Pendekar Mata Keranjang Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NENEK itu tersenyum menyeringai dan kini, ketika melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, timbullah kesan yang aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali.

"He-he-heh, itu tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, mau pun yang mati seperti batu, jamur dan pohon..."

"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, sekarang pemuda ini telah memperoleh kejenakaannya kembali.

"Hemm, maksudku yang tak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu berbicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku hendak menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan ke tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."

"Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.

"Akan tetapi yang terpenting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, agaknya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."

"Hay Hay, tentunya engkau juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan biar pun lumpuh, tapi agaknya amat cerdik dan juga lihai ini.

Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji maka janji itu harus ditepatinya, Hay Hay lalu mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, kemudian berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.

"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."

Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu...!" Kemudian dia menundukkan muka dan terlihat bingung. Melihat ini Kui Hong mengerutkan sepasang alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.

"Hay Hay, permainan apa yang sedang kau lakukan ini?" Dia merasa tidak senang sebab dia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!

Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main, Locianpwe, dan marilah kita berangkat keluar dari sini sekarang juga."

Nenek itu mengangkat mukanya perlahan lalu menjawab. "Aku tahu bahwa engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini." Kini dia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay.

Kui Hong sungguh tidak mengerti permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Tetapi dia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu.

"Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.

"Aku... kakiku... tidak dapat berjalan...," kata nenek itu.

Agaknya Hay Hay dan Kui Hong baru sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri mereka bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti dia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam goa itu! Kui Hong tersenyum.

"Aihh, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.

Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"

Karena pengaruh sihir itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mau mentaati kata-kata Hay Hay. Mendengar ucapan Kui Hong, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.

"Ihhh! Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."

Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Tetapi dia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tidak bertulang saja. Dia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.

"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa dia agar suka kau gendong!"

Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Tak mungkin dia dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini."

Biar dia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapa pun juga dia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Lagi pula di lubuk hatinya dia masih belum percaya kepada wanita ini.

Jika dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, maka akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, jika Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tentunya tidak boleh dipercaya begitu saja.

Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi dia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!"

Hay Hay ingin tertawa terbahak, namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya dan merangkul pundak Kui Hong, lalu mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong.

Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu kini bergantungan pada kedua sisinya. Terpaksa dia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. "Mari kita berangkat!"

Akan tetapi Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Aku tak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong, dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku akan mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"

Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, sedangkan aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."

Kui Hong merasa semakin dongkol. Dia mengerling ke arah Hay Hay, kemudian sambil bersungut-sungut dia berkata, "Seenak perutnya sendiri saja!"

Dan kembali Hay Hay menahan tawanya lalu mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ.

"Wah, ternyata jalan ini buntu, Nek!" teriak Kui Hong penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"

Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada dekat dengan telinganya, maka suara ketawa itu terdengar amat mengerikan.

"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"

Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu lalu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara berderit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, lebarnya hanya satu meter dan tingginya dua meter, tepat untuk masuk satu orang.

Jantung Kui Hong terasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi dia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat dia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.

"Hati-hatilah, Nona. Selain sempit dan gelap, jalan ini juga menanjak dan amat licin. Nanti akan kuberi tahukan bagian yang paling berbahaya, dan di sana engkau harus merangkak atau meloncati lubang. Karena itu jangan melangkah terlalu cepat, satu-satu saja." Sambil berkata demikian nenek itu mengulurkan tangan ke kanan dan meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu.

Hay Hay telah melepaskan pengaruh sihirnya sebab dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Tadi Locianpwe telah memperkenalkan nama suami Locianpwe, yaitu Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."

Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dulu memperkenalkan nama kalian walau pun aku sudah tahu dari cara kalian saling memanggil nama."

Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan dia bernama Kui Hong."

"Namaku... Ma Kim Siu," kata nenek itu singkat.

Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lainnya karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang bergoa itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!

Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek itu memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena dia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu maka akan berbahaya sekali. Ketika dia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali dia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Dia telah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay.

Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.

"Di depan terang!" teriaknya, dan dia pun melangkah lebar.

"Tenanglah, Kui Hong," kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"

Benar saja. Kini Kui Hong berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya lebih dari empat meter. Akan tetapi dia yang memiliki ginkang yang cukup tinggi tingkatnya. Sambil menggendong tubuh yang ringan itu dia dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.

"Nah, kini kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah, dia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu!

Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, sinar itu terlampau menyilaukan!"

Selama berada di dalam goa dia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena goa itu menghadap ke barat sehingga dia tidak pernah tertimpa sinar matahari siang.

Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain dari pada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang!

Sesudah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Dia cepat mengusap kedua matanya dan bibirnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih dia memandang ke sekeliling.

Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia merasa sangat lelah, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.

"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat," katanya kepada nenek itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu telah mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, dia akan roboh dan tewas!

"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu.

"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"

Hay Hay tersenyum, kemudian secara diam-diam ia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah. Engkau sendiri pun merasa lelah. Memang kita perlu beristirahat, maka turunlah dari punggung Kui Hong." Ia mengerahkan kekuatan sihir untuk menaklukkan sikap perlawanan nenek itu.

Akan tetapi kali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu dalam menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!

"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hi-hi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, sekarang cepat kau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!"

Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh dengan sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!

"Kalau begitu... tadi, ketika di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya melongo.

"Tentu saja, setelah kalian berdua berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku percaya dengan omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"

"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan...")

"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enci-ku."

"Dia... adalah salah seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena dia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.

"Memang, dan aku ini adiknya."

"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu...?"

"Kui Hong, pada waktu kita bicara di pohon itu, tentu dia sudah lama mengintai dan turut mendengarkan. Pantas saja begitu muncul dia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, dia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay.

"Hik-hik-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah sejak dari dalam goa aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, apa bila engkau berani memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan maka gadis kekasihmu ini akan mampus!"

"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah. Dia tidak takut sedikit pun juga biar pun dia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya.

"Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabui mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh-heh! Hay Hay mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan engkau benar-benar akan kubunuh kalau engkau banyak tingkah!"

"Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kau cari itu?"

"Heh-heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh lagi dari sini. Mudah-mudahan laki-laki jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!"

Hay Hay melangkah ke depan, menuruti petunjuk nenek itu. Dengan diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, bahwa lelaki itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena jika tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut.

Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya sangat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seseorang yang telah mempunyai sinkang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apa lagi setelah selama puluhan tahun digembleng dan dilatihnya di dalam goa, tentu tak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, tapi dapat dilawannya dengan sinkang-nya.

Memang pertama kalinya nenek itu terpengaruh karena dia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi dia segera dapat merasakan lantas menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan dia kemudian pura-pura terpengaruh agar dapat melaksanakan sandiwaranya sehingga kini dia bisa menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera.

Memang tempat yang dimaksud oleh Kiu-bwe Tok-li itu tidak terlalu jauh. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah goa dan nenek itu memberi isyarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi dia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian, dengan suara melengking nyaring Kiu-bwe Tok-li lalu berteriak ke arah goa yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter.

"Hek-hiat-kwi, lelaki berhati binatang, kejam dan tak berperi kemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!"

Suara melengking itu bergema sampai jauh dan sesudah gaungnya tidak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam goa itu. Usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak. Wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas-bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur.

Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.

"Kim Siu...! Benar engkaukah ini? Masih... masih hidup...?"

"Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu. Meski pun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"

Sepasang mata itu bersinar-sinar dan wajah itu berseri-seri. "Ahh, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian dalam hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"

Seluruh tubuh nenek itu gemetar, terasa benar oleh Kui Hong dan dia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi cengkeraman di tengkuknya tidak pernah mengendur sedikit pun sehingga dia sama sekali tak melihat kesempatan untuk dapat membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.

"Huhh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia! Semua gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ahh, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong!

Akan tetapi sambil tersenyum Hay Hay bersikap tenang saja. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dia membunuh gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia!

"Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran yang begitu saja menyerang orang tanpa tahu perkaranya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."

"Tapi kau sudah berjanji!"

"Berjanji membantumu, memang. Tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya sudah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!"

"Tak peduli! Kalau engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"

Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lantas berkata. "Locianpwe, sebetulnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li sangat mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, tapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya."

Laki-laki tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang dahulu pernah menjadi isterinya itu.

"Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?"

"Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi kau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali.

Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang muda, siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin jika hidup di dalam dunia hitam, aku lalu mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat dia tidak senang sehingga dia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku semenjak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam."

"Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, jari telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, salah seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!" Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main.

Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek di punggungnya itu melihat betapa sedetik pun nenek itu tak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi dia amat terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu.

Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam terhadap keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong inilah yang dulu membunuh Hek-hiat Mo-li, sedangkan Hek-hiat Mo-li ini yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai, perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketuai oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya para murid yang menjadi korban, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu!

Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka dia lantas membentak, "Ada apa kau?! Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat.

Kui Hong terkejut dan dia tidak berbohong ketika berkata, "Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang dulu pernah menyerbu Lembah Naga dan membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?"

Nenek itu terkekeh. "Heh-heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh-heh!"

"Ya Tuhan...!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini adalah puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Cepat bebaskan Nona itu!"

"Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!"

Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin, "Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya hingga Locianpwe bisa bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li."

Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, kemudian menarik napas panjang. "Baiklah, akan aku ceritakan semuanya. Justru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang akhirnya membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Pada saat itu kedua orang guruku menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua dikalahkan oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni dan menasehati mereka tentang buruknya dendam! Ahh, sambil menangis Suhu dan Subo menceritakan hal itu kepadaku hingga aku pun merasa terharu sekali dan seketika itu pula terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertobat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, maka aku pun lantas mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini."

"Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran.

"Keputusanku itu agaknya telah membuat isteriku merasa kesal sehingga mulailah terjadi kerenggangan di antara kami. Isteriku bersikap dingin, selalu marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri."

"Siapa sudi membusuk di dalam goa kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela.

"Pada suatu hari dia datang bersama seorang laki-laki," kakek itu terus melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya.

"Isteriku dan pria tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, aku pun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu aku merelakan isteriku kalau memang dia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku terlebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku. Mereka takut jika kelak aku akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka kemudian menyerangku dan berusaha membunuhku."

"Ihhh...!" Kui Hong berseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu dia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa dia menghentikan penyaluran tenaganya.

"Heh-heh, dia tolol sekali, bukan? Dan engkau pun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong.

"Locianpwe, apa yang Locianpwe lakukan itu benar-benar membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa," kata pula Hay Hay dengan kagum.

"Aihh, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu, mencontoh perbuatannya terhadap kedua orang guruku. Dibandingkan dengan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka, maka terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa aku pun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Pada saat adu tenaga itulah dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Setelah melihat kekasihnya pingsan dan terluka, dia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari ke mana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa dengan tekun di sini. Dan hari ini dia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku."

Mendengar cerita itu, Hay Hay lalu mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li. "Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?"

"Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!"

"Akan tetapi, jika yang diceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal di dalam perkelahian itu engkau sama sekali tidak terluka oleh suamimu!" kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku dapat memenuhi permintaanmu, ceritakan dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh kemudian tinggal di dalam goa itu puluhan tahun, dan di mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?"

"Pertanyaan itu sangat tepat, Kim Siu, apakah yang sudah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini..."

"Sama saja! Engkaulah penyebabnya!" nenek itu membentak. "Engkau sudah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam goa di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya ke sana. Setelah tiba di dalam goa itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam goa itu, maka tiba-tiba saja dia lalu menyerangku dengan pukulan dahsyat yang membuat sepasang kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam goa itu tanpa bantuan orang lain."

"Ihhh, betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru jijik.

"Bocah tolol! Dia melakukan hal itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh supaya aku tidak meninggalkannya lagi. Dia sengaja melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku." Nenek itu lantas menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing.

"Lalu, di mana dia? Ketika kami memasuki goa, kami tidak melihatnya," kata Hay Hay.

"Pengerahan tenaga dahsyat yang dia gunakan untuk melumpuhkan sepasang kakiku itu membuat lukanya makin parah. Dalam waktu beberapa bulan saja akhirnya dia meninggal dunia dalam pelukanku, lalu aku hidup sendirian di sana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmuku, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar."

"Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua..." Kakek itu mengeluh, "Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimana pun juga engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari aku usahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh..."

Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum terhadap kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi, cinta kasih kakek itu benar-benar murni! Akan tetapi Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak,

"Tidak! Engkau harus mampus di tanganku, karena engkaulah yang telah menyebabkan aku kehilangan dia dan menyebabkan aku menderita sengsara selama puluhan tahun ini! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau berani membantah, maka gadis ini akan mampus!" Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri.

Hay Hay tidak melihat jalan lain. "Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!"

Hay Hay lalu maju dan menyerang kakek itu yang segera mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, sekaligus dia pun maklum bahwa pemuda ini terpaksa harus mentaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera.

Perih rasa hatinya! Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda serta gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam goa, akan tetapi sebagai balas jasanya nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya.

Bagaimana pun juga puteri dari Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa yang dulu dibuat oleh suhu dan subo-nya terhadap keluarga Cia!

Suhu dan subo-nya sudah membunuh isteri Cia Han Tiong, sehingga kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan seorang gadis keturunan keluarga Cia, maka meski pun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subo-nya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan.

Akan tetapi dia pun tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya serta tenaganya tadi, sehingga tak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah dengan cara menerima pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan.

Maka dia pun cepat menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah kini terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dengan Hay Hay! Bagaimana pun juga Hek-hiat-kwi adalah orang yang sejak mudanya berkecimpung di dalam dunia persilatan, sebab itu seperti para tokoh persilatan pada umumnya, dia pun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat ketika bertemu dengan lawan yang pandai!

Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, maka timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biar pun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri dari ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini!

Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Pada waktu pemuda ini melihat gerakan kakek itu dan merasakan kekuatan yang terkandung di dalam sepasang lengannya, dia pun merasa gembira dan ingin menguji sampai di mana kelihaian kakek itu.

Inilah sebabnya maka dua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Begitu hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabui!

Setelah cukup lama bertanding dan melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas, maka kini dia pun ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya.

Pada waktu itu Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat. Dengan jari-jari terbuka tangan kirinya mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin pukulannya menyambar ganas.

Melihat serangan dahsyat itu, Hek-hiat-kwi sengaja memperlambat gerakannya mengelak dan menangkis. Ia merasa yakin sekali bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya, terutama bagian ubun-ubunnya supaya dia dapat tewas dengan cepat.

Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat dan sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya hingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seakan-akan terelak atau tertangkis! Kemudian, pada waktu dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang!

Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini sungguh tidak mungkin, pikirnya! Tadi ketika dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, semua tendangan itu dapat dihindarkan oleh pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja bisa mengenai paha sehingga membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadi pun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya?

Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena dia masih berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan dia pun bukan orang bodoh.

Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan sebuah siasat! Maka, biar pun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara!

"Engkau masih belum menyerah kalah?!" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat.

Tadi semua ilmu simpanannya berhasil digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu langsung kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung. Kini Hay Hay lebih sering main mundur saja sehingga kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat.

Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru. "Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!"

Sesudah mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permainan sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabui Kiu-bwe Tok-li supaya mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka dia pun segera mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay.

"Tok-li, lihat, dia semakin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir.

"Hemmm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu.

"Tetapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah.

"Dessss...!"

Pada saat itu pula Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya. Kali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar!

Semenjak tadi Hay Hay selalu menaruh perhatian pada percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih juga belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang sangat tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar.

Sekali ini Kiu-bwe Tok-li terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang sudah parah, dia lalu berkata, "Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!"

Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang sangat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat-kwi terkejut sekali. Ternyata puteri Ketua Cin-ling-pai itu pun mempunyai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat bukan main! Ia merasa kagum, akan tetapi karena gadis itu sudah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, dia pun meloncat ke belakang.

Hay Hay segera bangkit sambil mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu hanya menggunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, ada pun tangan kirinya masih tetap mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka dia pun maju lagi dan membantu nenek itu mengeroyok Hek-hiat-kwi.

Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan perasaan kagum dia melihat betapa isterinya telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya walau pun kedua kakinya lumpuh, dan juga tenaga sinkang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main.

Meski pun kedua kakinya lumpuh, karena digendong oleh seorang gadis yang mempunyai ginkang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi makin lincah. Cambuk itu lalu meledak-ledak dari sembilan penjuru sebab cambuk berekor sembilan itu bergerak secara aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar pada bagian tubuh yang berbahaya!

Hay Hay yang beraksi seolah telah menderita luka itu membantu dengan kacau sehingga sering kali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Terdengar beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir.

Sekarang Hek-hiat-kwi melihat kesempatan bagaimana caranya untuk menolong nona itu tanpa perlu mengorbankan nyawanya, walau pun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya di tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tidak berdaya supaya nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya.

"Tar-tarrr-tarrrrr...!" Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari.

Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak bahkan cepat menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya yang memukul gencar, namun pukulan-pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan malah hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap tiga ujung yang lainnya, kemudian dengan sebelah tangan lain berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa pukulan Hay Hay tadi.

Nenek itu terkejut. Tidak disangkanya bahwa bekas suaminya ini kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang berekor sembilan itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan bekas suaminya sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Dia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, sama sekali tidak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk.

Melihat ini, untuk sejenak dia lupa diri, lupa bahwa dia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya!

Semenjak tengkuknya dicengkeram nenek itu, Kui Hong tidak pernah lengah sedetik pun. Dia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, dia lalu mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya dia mengguncang tubuhnya kemudian dia pun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa ada kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas.

Pada saat yang sama Hay Hay telah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, dia pun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tidak mampu bergerak lagi di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian.

"Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui Hong siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin.

"Tahan dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabui nenek ini. Aku tadi pura-pura terdesak agar Kiu-bwe Tok-li ikut maju, dan ternyata siasat kami berhasil baik."

"Ohhhh...?" Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!"

"Nona... jangan...!" Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya. "Apa bila dia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah sebagai suaminya aku yang mintakan ampun," berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan cepat menyingkir.

"Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biar pun dia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimana pun juga dia telah menyelamatkan kita dari pohon itu."

Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di goa tebing yang amat curam itu. Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main.

"Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi sudah mempunyai kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak mengenai riwayat Ji-wi dan tentang para pendekar, akan tetapi lebih dahulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang sudah rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya aku ingin mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi jika boleh aku bertanya, siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang gagah perkasa ini?"

Sebenarnya jarang sekali Hay Hay menyebutkan nama guru-gurunya, maka dia menjadi ragu-ragu menghadapi pertanyaan ini. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata, "Biarlah kelak saja kita berbicara, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, supaya aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat serta terima kasihku."

"Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih terhadap kami?" tanya Kui Hong yang telah memperoleh kembali kelincahannya. Semenjak dia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang dia merasa mendapatkan kernbali kebebasannya.

"Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apa pun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kamilah yang sepatutnya berterima kasih," sambung Hay Hay.

Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti. "Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing, dan juga telah berhasil mempertemukan kami suami isteri. Tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam goa, aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama."

Kakek itu lalu memondong tubuh isterinya yang masih lemas akibat totokan Hay Hay dan sesudah saling bertukar pandang, dua orang muda itu lantas mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, di dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, yaitu ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main!

Goa itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya. "Sobat-sobat muda, di sudut sana ada sayur-sayuran, daging kering, beras, buah-buahan yang boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti, sesudah aku mengobati isteriku, kita bisa makan bersama sambil bicara dengan leluasa." Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya, yaitu di bagian paling dalam dari goa itu.

Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar goa, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang. Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke salah satu sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, bahkan menutupi mulutnya agar suara tawanya jangan sampai terlepas.

Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat mereka butuhkan saat itu. Daging dendeng kering asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih nampak segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar. Di situ terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap!

"Heh-heh-heh, sekali ini kita makan besar!" Hay Hay berbisik.

"Kita masak di luar goa saja. Kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya," bisik pula Kui Hong.

Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar goa di mana terdapat batu-batu yang telah disusun sedemikian rupa sebagai tempat perapian. Agaknya kadang-kadang Hek-hiat-kwi juga masak di luar goa. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah apel di situ, juga jeruk yang manis.

Tidak lama kemudian, sesudah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, mendadak mereka mendengar jerit melengking dari dalam goa. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam goa dan langsung menghampiri kamar goa yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak.

Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Ada pun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur.

"Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, kini mampuslah engkau, mampuslah di tanganku... ha-ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka... aughhhhhh...!" Dan tubuh itu terkulai tewas!

"Kim Siu...!" Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap.

"Locianpwe, apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga.

"Kim Siu... ahhh, tidak kusangka... ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sinkang, mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, dia siuman lantas tiba-tiba saja menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... tanpa terkendali lagi sinkang dari kedua tanganku juga menyusup secara liar ke tubuhnya dan dia... dia terluka parah... kemudian tewas dan... dan..."

"Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu," kata Hay Hay yang segera menghampiri kakek itu lantas merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah sekali.

"Lihat..." kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai.

Ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat sekali, lebih parah dari pada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar.

"Gila... sungguh gila..."

Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja sungguh pun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian. "Mari kita keluar dari sini," ajaknya.

Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh akibat dorongannya, kemudian memasangnya kembali.

"Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang."

"Hemm, mengapa kau lakukan itu?" tanya Kui Hong.

"Kita biarkan saja mereka di dalam kamar goa ini, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka tak akan diganggu binatang buas."

Kui Hong membantu Hay Hay mendorong sebuah batu besar masuk ke goa itu dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekor pun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu kedua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar.

"Mari kita makan dulu sebelum pergi," kata pula Hay Hay.

Peristiwa yang terjadi dalam kamar goa itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya dia tak mau makan sama sekali karena biar pun perutnya sangat lapar namun nafsu makannya sudah lenyap, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya dara itu mau juga makan sedikit nasi dengan sayur. Dia lebih banyak makan buah untuk mengisi perutnya yang kosong.

Sesudah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat-alat masak ke dalam goa dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar goa yang sudah tertutup batu besar.

"Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe mendapat kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe."

Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti sedang berdoa itu. Mereka lalu keluar dari dalam goa dan menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun kelegaan terasa menyusup di dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang amat mengerikan itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya kemudian menjatuhkan diri di atas rumput dan... menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya bisa memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran sekali.

Semenjak bertemu dengan Kui Hong, saling berebut bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi bahaya maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu sekarang tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.

"Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut sesudah dia ikut duduk di depan gadis itu.

Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari arah barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka jatuh ke dalam jurang.

Memang gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang sudah dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika dia merasa amat terhina oleh nenek iblis serta ketidak berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.

Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong cepat mengusap sisa air matanya. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, sekarang memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri-seri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tanpa pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.

"Ihhh, Hay Hay! Mengapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hong tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti kaum gadis pada umumnya.

"Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang tadi dicekam keheranan namun kini sudah bisa menguasai diri Tadi engkau menangis tanpa sebab, lantas sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangisan. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"

Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita jatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti aku merasa hatiku ringan dan demikian lega sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"

Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk. "Ahh, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."

"Beruntung? Apa maksudmu?"

"Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau telah terbebas dari semua itu. Kemudian, sesudah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi sangat lega dan gembira sehingga engkau mendapatkan kembali watakmu yang asli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak..."

Sepasang mata itu melotot lebar dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"

Hay Hay tertawa. "Nah... nah... baru dikatakan galak saja sudah marah. Apa lagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis."

Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Dia kelihatan termenung karena dia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar goa itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berkata lirih, "Gila, sungguh gila...!"

Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Sudah dua kali engkau mengatakan ucapan itu, Kui Hong!"

"Dua kali?" gadis ini pun bertanya heran.

"Iya, ketika kita akan meninggalkan goa, di depan kamar goa itu engkau pun mengatakan demikian, dan kini engkau mengulanginya. Sebenarnya apa dan siapa yang kau katakan gila itu?"

"Mereka, kakek dan nenek lumpuh itu. Mereka menjadi gila karena cinta," kata Kui Hong, lalu termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.

Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Puteri ketua Cin-ling-pai ini manis sekali, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biar pun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang melenyapkan kekerasan pada ujung kedua bibirnya.

"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam urusan cinta sehingga tahu bahwa mereka menjadi gila karena cinta," pancing Hay Hay.

Biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui bahwa mata itu sangat indah, bening sekali ketika mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk yang indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.

"Biar pun aku bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila akibat cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Dia sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tak semestinya dia begitu mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."

Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah dara itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya demikian murni dan suci. Biar pun isterinya sudah melakukan penyelewengan dengan pria lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya juga berusaha membunuhnya lantas meninggalkannya hingga puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tapi tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan di dunia ini kiranya sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."

"Itulah sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya pantas dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu juga sudah gila karena cintanya terhadap kekasihnya. Kekasihnya itu sudah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, tapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke goa, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin ditinggalkan. Dan nenek itu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematian kekasihnya kepada Hek-hiat-kwi. Apa lagi namanya itu kalau tidak gila?"

"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta birahi, hanya cinta nafsu belaka! Mungkin laki-laki yang menjadi kekasihnya itu sangat tampan, sangat menyenangkan hatinya sehingga dia merasa kecewa dan berduka ketika dia kehilangan kekasihnya itu, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."

"Itulah, bukankah keduanya itu gila? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tak semestinya begitu!" kata Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena dia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.

Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta adalah seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, seorang hamba nafsu birahi yang telah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, maka tak akan terdengar aneh. Akan tetapi sungguh terdengar lucu dan ganjil apa bila keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya,.

"Kui Hong, engkau sungguh hebat! Jika menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia agak khawatir kalau-kalau gadis itu menjadi marah.

Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar yang sedang memberi kuliah kepada para mahasiswanya, dia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung birahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembang biakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa birahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu birahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki sehingga terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar birahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."

Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih hijau? ini bisa bicara demikian panjang lebar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.

"Hebat, engkau sungguh hebat sekali, Nona! Ternyata engkau adalah seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"

Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri lantas bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"

Tentu saja Hay Hay sangat terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"

"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Sudah jelas tadi engkau menghinaku, mengatakan bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kau kira aku ini petualang cinta?"

"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau begitu pandai menguraikan soal cinta sampai demikian jelas dan terperinci kalau tidak memiliki banyak pengalaman? Dari mana engkau mendapat pengetahuan yang begini luas tentang cinta?"

"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"

"Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"

"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?!" Kui Hong membentak. "Tentu saja orang bisa memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor anjing, monyet atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi anjing, monyet atau babi?"

Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"

"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"

"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong? Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"

"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentulah laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Ibuku selalu memperingatkan aku supaya berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"

"Wah-wah, betapa banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang?" dia mengelus hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang. "Akan tetapi aku yakin hidungku tak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku memang kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal ayah ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"

Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk kembali di atas rumput dan mengomel sebab merasa kewalahan dalam berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apa semua itu bukan merayu namanya?"

"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya jika orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang sangat manis itu menjadi sangat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, juga kerling matamu demikian tajam menyayat!"

Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena merasa canggung dan malu, akan tetapi dia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tak berani menentang pandang mata pemuda itu.

"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat hidung yang seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang sangat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat." Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.

"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ahh, tidak mudah untuk melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, di dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Bila diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum laksana bunga mawar mekar merekah, dan jika tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, jika sedang cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tidak tersisir, akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai...!"

Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya dia merasakan kenikmatan serta kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar.

Pendekar Mata Keranjang Jilid 39

NENEK itu tersenyum menyeringai dan kini, ketika melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, timbullah kesan yang aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali.

"He-he-heh, itu tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, mau pun yang mati seperti batu, jamur dan pohon..."

"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, sekarang pemuda ini telah memperoleh kejenakaannya kembali.

"Hemm, maksudku yang tak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu berbicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku hendak menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan ke tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."

"Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.

"Akan tetapi yang terpenting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, agaknya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."

"Hay Hay, tentunya engkau juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan biar pun lumpuh, tapi agaknya amat cerdik dan juga lihai ini.

Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji maka janji itu harus ditepatinya, Hay Hay lalu mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, kemudian berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.

"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."

Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu...!" Kemudian dia menundukkan muka dan terlihat bingung. Melihat ini Kui Hong mengerutkan sepasang alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.

"Hay Hay, permainan apa yang sedang kau lakukan ini?" Dia merasa tidak senang sebab dia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!

Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main, Locianpwe, dan marilah kita berangkat keluar dari sini sekarang juga."

Nenek itu mengangkat mukanya perlahan lalu menjawab. "Aku tahu bahwa engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini." Kini dia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay.

Kui Hong sungguh tidak mengerti permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Tetapi dia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu.

"Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.

"Aku... kakiku... tidak dapat berjalan...," kata nenek itu.

Agaknya Hay Hay dan Kui Hong baru sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri mereka bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti dia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam goa itu! Kui Hong tersenyum.

"Aihh, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.

Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"

Karena pengaruh sihir itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mau mentaati kata-kata Hay Hay. Mendengar ucapan Kui Hong, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.

"Ihhh! Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."

Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Tetapi dia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tidak bertulang saja. Dia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.

"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa dia agar suka kau gendong!"

Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Tak mungkin dia dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini."

Biar dia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapa pun juga dia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Lagi pula di lubuk hatinya dia masih belum percaya kepada wanita ini.

Jika dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, maka akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, jika Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tentunya tidak boleh dipercaya begitu saja.

Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi dia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!"

Hay Hay ingin tertawa terbahak, namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya dan merangkul pundak Kui Hong, lalu mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong.

Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu kini bergantungan pada kedua sisinya. Terpaksa dia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. "Mari kita berangkat!"

Akan tetapi Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Aku tak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong, dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku akan mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"

Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, sedangkan aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."

Kui Hong merasa semakin dongkol. Dia mengerling ke arah Hay Hay, kemudian sambil bersungut-sungut dia berkata, "Seenak perutnya sendiri saja!"

Dan kembali Hay Hay menahan tawanya lalu mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ.

"Wah, ternyata jalan ini buntu, Nek!" teriak Kui Hong penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"

Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada dekat dengan telinganya, maka suara ketawa itu terdengar amat mengerikan.

"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"

Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu lalu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara berderit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, lebarnya hanya satu meter dan tingginya dua meter, tepat untuk masuk satu orang.

Jantung Kui Hong terasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi dia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat dia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.

"Hati-hatilah, Nona. Selain sempit dan gelap, jalan ini juga menanjak dan amat licin. Nanti akan kuberi tahukan bagian yang paling berbahaya, dan di sana engkau harus merangkak atau meloncati lubang. Karena itu jangan melangkah terlalu cepat, satu-satu saja." Sambil berkata demikian nenek itu mengulurkan tangan ke kanan dan meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu.

Hay Hay telah melepaskan pengaruh sihirnya sebab dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Tadi Locianpwe telah memperkenalkan nama suami Locianpwe, yaitu Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."

Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dulu memperkenalkan nama kalian walau pun aku sudah tahu dari cara kalian saling memanggil nama."

Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan dia bernama Kui Hong."

"Namaku... Ma Kim Siu," kata nenek itu singkat.

Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lainnya karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang bergoa itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!

Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek itu memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena dia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu maka akan berbahaya sekali. Ketika dia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali dia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Dia telah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay.

Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.

"Di depan terang!" teriaknya, dan dia pun melangkah lebar.

"Tenanglah, Kui Hong," kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"

Benar saja. Kini Kui Hong berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya lebih dari empat meter. Akan tetapi dia yang memiliki ginkang yang cukup tinggi tingkatnya. Sambil menggendong tubuh yang ringan itu dia dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.

"Nah, kini kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah, dia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu!

Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, sinar itu terlampau menyilaukan!"

Selama berada di dalam goa dia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena goa itu menghadap ke barat sehingga dia tidak pernah tertimpa sinar matahari siang.

Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain dari pada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang!

Sesudah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Dia cepat mengusap kedua matanya dan bibirnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih dia memandang ke sekeliling.

Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia merasa sangat lelah, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.

"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat," katanya kepada nenek itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu telah mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, dia akan roboh dan tewas!

"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu.

"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"

Hay Hay tersenyum, kemudian secara diam-diam ia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah. Engkau sendiri pun merasa lelah. Memang kita perlu beristirahat, maka turunlah dari punggung Kui Hong." Ia mengerahkan kekuatan sihir untuk menaklukkan sikap perlawanan nenek itu.

Akan tetapi kali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu dalam menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!

"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hi-hi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, sekarang cepat kau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!"

Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh dengan sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!

"Kalau begitu... tadi, ketika di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya melongo.

"Tentu saja, setelah kalian berdua berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku percaya dengan omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"

"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan...")

"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enci-ku."

"Dia... adalah salah seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena dia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.

"Memang, dan aku ini adiknya."

"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu...?"

"Kui Hong, pada waktu kita bicara di pohon itu, tentu dia sudah lama mengintai dan turut mendengarkan. Pantas saja begitu muncul dia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, dia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay.

"Hik-hik-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah sejak dari dalam goa aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, apa bila engkau berani memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan maka gadis kekasihmu ini akan mampus!"

"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah. Dia tidak takut sedikit pun juga biar pun dia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya.

"Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabui mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh-heh! Hay Hay mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan engkau benar-benar akan kubunuh kalau engkau banyak tingkah!"

"Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kau cari itu?"

"Heh-heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh lagi dari sini. Mudah-mudahan laki-laki jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!"

Hay Hay melangkah ke depan, menuruti petunjuk nenek itu. Dengan diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, bahwa lelaki itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena jika tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut.

Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya sangat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seseorang yang telah mempunyai sinkang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apa lagi setelah selama puluhan tahun digembleng dan dilatihnya di dalam goa, tentu tak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, tapi dapat dilawannya dengan sinkang-nya.

Memang pertama kalinya nenek itu terpengaruh karena dia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi dia segera dapat merasakan lantas menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan dia kemudian pura-pura terpengaruh agar dapat melaksanakan sandiwaranya sehingga kini dia bisa menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera.

Memang tempat yang dimaksud oleh Kiu-bwe Tok-li itu tidak terlalu jauh. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah goa dan nenek itu memberi isyarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi dia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian, dengan suara melengking nyaring Kiu-bwe Tok-li lalu berteriak ke arah goa yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter.

"Hek-hiat-kwi, lelaki berhati binatang, kejam dan tak berperi kemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!"

Suara melengking itu bergema sampai jauh dan sesudah gaungnya tidak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam goa itu. Usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak. Wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas-bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur.

Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.

"Kim Siu...! Benar engkaukah ini? Masih... masih hidup...?"

"Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu. Meski pun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"

Sepasang mata itu bersinar-sinar dan wajah itu berseri-seri. "Ahh, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian dalam hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"

Seluruh tubuh nenek itu gemetar, terasa benar oleh Kui Hong dan dia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi cengkeraman di tengkuknya tidak pernah mengendur sedikit pun sehingga dia sama sekali tak melihat kesempatan untuk dapat membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.

"Huhh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia! Semua gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ahh, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong!

Akan tetapi sambil tersenyum Hay Hay bersikap tenang saja. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dia membunuh gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia!

"Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran yang begitu saja menyerang orang tanpa tahu perkaranya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."

"Tapi kau sudah berjanji!"

"Berjanji membantumu, memang. Tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya sudah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!"

"Tak peduli! Kalau engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"

Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lantas berkata. "Locianpwe, sebetulnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li sangat mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, tapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya."

Laki-laki tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang dahulu pernah menjadi isterinya itu.

"Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?"

"Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi kau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali.

Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang muda, siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin jika hidup di dalam dunia hitam, aku lalu mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat dia tidak senang sehingga dia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku semenjak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam."

"Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, jari telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, salah seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!" Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main.

Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek di punggungnya itu melihat betapa sedetik pun nenek itu tak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi dia amat terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu.

Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam terhadap keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong inilah yang dulu membunuh Hek-hiat Mo-li, sedangkan Hek-hiat Mo-li ini yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai, perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketuai oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya para murid yang menjadi korban, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu!

Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka dia lantas membentak, "Ada apa kau?! Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat.

Kui Hong terkejut dan dia tidak berbohong ketika berkata, "Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang dulu pernah menyerbu Lembah Naga dan membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?"

Nenek itu terkekeh. "Heh-heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh-heh!"

"Ya Tuhan...!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini adalah puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Cepat bebaskan Nona itu!"

"Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!"

Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin, "Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya hingga Locianpwe bisa bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li."

Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, kemudian menarik napas panjang. "Baiklah, akan aku ceritakan semuanya. Justru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang akhirnya membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Pada saat itu kedua orang guruku menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua dikalahkan oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni dan menasehati mereka tentang buruknya dendam! Ahh, sambil menangis Suhu dan Subo menceritakan hal itu kepadaku hingga aku pun merasa terharu sekali dan seketika itu pula terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertobat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, maka aku pun lantas mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini."

"Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran.

"Keputusanku itu agaknya telah membuat isteriku merasa kesal sehingga mulailah terjadi kerenggangan di antara kami. Isteriku bersikap dingin, selalu marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri."

"Siapa sudi membusuk di dalam goa kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela.

"Pada suatu hari dia datang bersama seorang laki-laki," kakek itu terus melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya.

"Isteriku dan pria tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, aku pun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu aku merelakan isteriku kalau memang dia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku terlebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku. Mereka takut jika kelak aku akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka kemudian menyerangku dan berusaha membunuhku."

"Ihhh...!" Kui Hong berseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu dia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa dia menghentikan penyaluran tenaganya.

"Heh-heh, dia tolol sekali, bukan? Dan engkau pun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong.

"Locianpwe, apa yang Locianpwe lakukan itu benar-benar membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa," kata pula Hay Hay dengan kagum.

"Aihh, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu, mencontoh perbuatannya terhadap kedua orang guruku. Dibandingkan dengan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka, maka terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa aku pun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Pada saat adu tenaga itulah dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Setelah melihat kekasihnya pingsan dan terluka, dia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari ke mana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa dengan tekun di sini. Dan hari ini dia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku."

Mendengar cerita itu, Hay Hay lalu mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li. "Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?"

"Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!"

"Akan tetapi, jika yang diceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal di dalam perkelahian itu engkau sama sekali tidak terluka oleh suamimu!" kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku dapat memenuhi permintaanmu, ceritakan dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh kemudian tinggal di dalam goa itu puluhan tahun, dan di mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?"

"Pertanyaan itu sangat tepat, Kim Siu, apakah yang sudah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini..."

"Sama saja! Engkaulah penyebabnya!" nenek itu membentak. "Engkau sudah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam goa di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya ke sana. Setelah tiba di dalam goa itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam goa itu, maka tiba-tiba saja dia lalu menyerangku dengan pukulan dahsyat yang membuat sepasang kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam goa itu tanpa bantuan orang lain."

"Ihhh, betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru jijik.

"Bocah tolol! Dia melakukan hal itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh supaya aku tidak meninggalkannya lagi. Dia sengaja melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku." Nenek itu lantas menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing.

"Lalu, di mana dia? Ketika kami memasuki goa, kami tidak melihatnya," kata Hay Hay.

"Pengerahan tenaga dahsyat yang dia gunakan untuk melumpuhkan sepasang kakiku itu membuat lukanya makin parah. Dalam waktu beberapa bulan saja akhirnya dia meninggal dunia dalam pelukanku, lalu aku hidup sendirian di sana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmuku, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar."

"Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua..." Kakek itu mengeluh, "Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimana pun juga engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari aku usahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh..."

Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum terhadap kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi, cinta kasih kakek itu benar-benar murni! Akan tetapi Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak,

"Tidak! Engkau harus mampus di tanganku, karena engkaulah yang telah menyebabkan aku kehilangan dia dan menyebabkan aku menderita sengsara selama puluhan tahun ini! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau berani membantah, maka gadis ini akan mampus!" Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri.

Hay Hay tidak melihat jalan lain. "Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!"

Hay Hay lalu maju dan menyerang kakek itu yang segera mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, sekaligus dia pun maklum bahwa pemuda ini terpaksa harus mentaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera.

Perih rasa hatinya! Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda serta gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam goa, akan tetapi sebagai balas jasanya nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya.

Bagaimana pun juga puteri dari Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa yang dulu dibuat oleh suhu dan subo-nya terhadap keluarga Cia!

Suhu dan subo-nya sudah membunuh isteri Cia Han Tiong, sehingga kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan seorang gadis keturunan keluarga Cia, maka meski pun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subo-nya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan.

Akan tetapi dia pun tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya serta tenaganya tadi, sehingga tak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah dengan cara menerima pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan.

Maka dia pun cepat menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah kini terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dengan Hay Hay! Bagaimana pun juga Hek-hiat-kwi adalah orang yang sejak mudanya berkecimpung di dalam dunia persilatan, sebab itu seperti para tokoh persilatan pada umumnya, dia pun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat ketika bertemu dengan lawan yang pandai!

Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, maka timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biar pun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri dari ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini!

Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Pada waktu pemuda ini melihat gerakan kakek itu dan merasakan kekuatan yang terkandung di dalam sepasang lengannya, dia pun merasa gembira dan ingin menguji sampai di mana kelihaian kakek itu.

Inilah sebabnya maka dua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Begitu hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabui!

Setelah cukup lama bertanding dan melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas, maka kini dia pun ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya.

Pada waktu itu Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat. Dengan jari-jari terbuka tangan kirinya mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin pukulannya menyambar ganas.

Melihat serangan dahsyat itu, Hek-hiat-kwi sengaja memperlambat gerakannya mengelak dan menangkis. Ia merasa yakin sekali bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya, terutama bagian ubun-ubunnya supaya dia dapat tewas dengan cepat.

Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat dan sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya hingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seakan-akan terelak atau tertangkis! Kemudian, pada waktu dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang!

Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini sungguh tidak mungkin, pikirnya! Tadi ketika dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, semua tendangan itu dapat dihindarkan oleh pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja bisa mengenai paha sehingga membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadi pun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya?

Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena dia masih berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan dia pun bukan orang bodoh.

Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan sebuah siasat! Maka, biar pun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara!

"Engkau masih belum menyerah kalah?!" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat.

Tadi semua ilmu simpanannya berhasil digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu langsung kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung. Kini Hay Hay lebih sering main mundur saja sehingga kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat.

Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru. "Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!"

Sesudah mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permainan sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabui Kiu-bwe Tok-li supaya mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka dia pun segera mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay.

"Tok-li, lihat, dia semakin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir.

"Hemmm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu.

"Tetapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah.

"Dessss...!"

Pada saat itu pula Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya. Kali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar!

Semenjak tadi Hay Hay selalu menaruh perhatian pada percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih juga belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang sangat tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar.

Sekali ini Kiu-bwe Tok-li terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang sudah parah, dia lalu berkata, "Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!"

Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang sangat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat-kwi terkejut sekali. Ternyata puteri Ketua Cin-ling-pai itu pun mempunyai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat bukan main! Ia merasa kagum, akan tetapi karena gadis itu sudah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, dia pun meloncat ke belakang.

Hay Hay segera bangkit sambil mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu hanya menggunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, ada pun tangan kirinya masih tetap mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka dia pun maju lagi dan membantu nenek itu mengeroyok Hek-hiat-kwi.

Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan perasaan kagum dia melihat betapa isterinya telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya walau pun kedua kakinya lumpuh, dan juga tenaga sinkang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main.

Meski pun kedua kakinya lumpuh, karena digendong oleh seorang gadis yang mempunyai ginkang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi makin lincah. Cambuk itu lalu meledak-ledak dari sembilan penjuru sebab cambuk berekor sembilan itu bergerak secara aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar pada bagian tubuh yang berbahaya!

Hay Hay yang beraksi seolah telah menderita luka itu membantu dengan kacau sehingga sering kali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Terdengar beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir.

Sekarang Hek-hiat-kwi melihat kesempatan bagaimana caranya untuk menolong nona itu tanpa perlu mengorbankan nyawanya, walau pun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya di tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tidak berdaya supaya nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya.

"Tar-tarrr-tarrrrr...!" Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari.

Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak bahkan cepat menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya yang memukul gencar, namun pukulan-pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan malah hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap tiga ujung yang lainnya, kemudian dengan sebelah tangan lain berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa pukulan Hay Hay tadi.

Nenek itu terkejut. Tidak disangkanya bahwa bekas suaminya ini kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang berekor sembilan itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan bekas suaminya sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Dia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, sama sekali tidak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk.

Melihat ini, untuk sejenak dia lupa diri, lupa bahwa dia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya!

Semenjak tengkuknya dicengkeram nenek itu, Kui Hong tidak pernah lengah sedetik pun. Dia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, dia lalu mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya dia mengguncang tubuhnya kemudian dia pun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa ada kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas.

Pada saat yang sama Hay Hay telah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, dia pun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tidak mampu bergerak lagi di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian.

"Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui Hong siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin.

"Tahan dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabui nenek ini. Aku tadi pura-pura terdesak agar Kiu-bwe Tok-li ikut maju, dan ternyata siasat kami berhasil baik."

"Ohhhh...?" Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!"

"Nona... jangan...!" Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya. "Apa bila dia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah sebagai suaminya aku yang mintakan ampun," berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan cepat menyingkir.

"Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biar pun dia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimana pun juga dia telah menyelamatkan kita dari pohon itu."

Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di goa tebing yang amat curam itu. Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main.

"Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi sudah mempunyai kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak mengenai riwayat Ji-wi dan tentang para pendekar, akan tetapi lebih dahulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang sudah rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya aku ingin mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi jika boleh aku bertanya, siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang gagah perkasa ini?"

Sebenarnya jarang sekali Hay Hay menyebutkan nama guru-gurunya, maka dia menjadi ragu-ragu menghadapi pertanyaan ini. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata, "Biarlah kelak saja kita berbicara, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, supaya aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat serta terima kasihku."

"Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih terhadap kami?" tanya Kui Hong yang telah memperoleh kembali kelincahannya. Semenjak dia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang dia merasa mendapatkan kernbali kebebasannya.

"Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apa pun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kamilah yang sepatutnya berterima kasih," sambung Hay Hay.

Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti. "Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing, dan juga telah berhasil mempertemukan kami suami isteri. Tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam goa, aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama."

Kakek itu lalu memondong tubuh isterinya yang masih lemas akibat totokan Hay Hay dan sesudah saling bertukar pandang, dua orang muda itu lantas mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, di dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, yaitu ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main!

Goa itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya. "Sobat-sobat muda, di sudut sana ada sayur-sayuran, daging kering, beras, buah-buahan yang boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti, sesudah aku mengobati isteriku, kita bisa makan bersama sambil bicara dengan leluasa." Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya, yaitu di bagian paling dalam dari goa itu.

Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar goa, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang. Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke salah satu sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, bahkan menutupi mulutnya agar suara tawanya jangan sampai terlepas.

Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat mereka butuhkan saat itu. Daging dendeng kering asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih nampak segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar. Di situ terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap!

"Heh-heh-heh, sekali ini kita makan besar!" Hay Hay berbisik.

"Kita masak di luar goa saja. Kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya," bisik pula Kui Hong.

Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar goa di mana terdapat batu-batu yang telah disusun sedemikian rupa sebagai tempat perapian. Agaknya kadang-kadang Hek-hiat-kwi juga masak di luar goa. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah apel di situ, juga jeruk yang manis.

Tidak lama kemudian, sesudah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, mendadak mereka mendengar jerit melengking dari dalam goa. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam goa dan langsung menghampiri kamar goa yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak.

Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Ada pun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur.

"Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, kini mampuslah engkau, mampuslah di tanganku... ha-ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka... aughhhhhh...!" Dan tubuh itu terkulai tewas!

"Kim Siu...!" Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap.

"Locianpwe, apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga.

"Kim Siu... ahhh, tidak kusangka... ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sinkang, mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, dia siuman lantas tiba-tiba saja menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... tanpa terkendali lagi sinkang dari kedua tanganku juga menyusup secara liar ke tubuhnya dan dia... dia terluka parah... kemudian tewas dan... dan..."

"Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu," kata Hay Hay yang segera menghampiri kakek itu lantas merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah sekali.

"Lihat..." kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai.

Ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat sekali, lebih parah dari pada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar.

"Gila... sungguh gila..."

Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja sungguh pun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian. "Mari kita keluar dari sini," ajaknya.

Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh akibat dorongannya, kemudian memasangnya kembali.

"Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang."

"Hemm, mengapa kau lakukan itu?" tanya Kui Hong.

"Kita biarkan saja mereka di dalam kamar goa ini, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka tak akan diganggu binatang buas."

Kui Hong membantu Hay Hay mendorong sebuah batu besar masuk ke goa itu dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekor pun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu kedua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar.

"Mari kita makan dulu sebelum pergi," kata pula Hay Hay.

Peristiwa yang terjadi dalam kamar goa itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya dia tak mau makan sama sekali karena biar pun perutnya sangat lapar namun nafsu makannya sudah lenyap, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya dara itu mau juga makan sedikit nasi dengan sayur. Dia lebih banyak makan buah untuk mengisi perutnya yang kosong.

Sesudah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat-alat masak ke dalam goa dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar goa yang sudah tertutup batu besar.

"Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe mendapat kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe."

Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti sedang berdoa itu. Mereka lalu keluar dari dalam goa dan menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun kelegaan terasa menyusup di dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang amat mengerikan itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya kemudian menjatuhkan diri di atas rumput dan... menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya bisa memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran sekali.

Semenjak bertemu dengan Kui Hong, saling berebut bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi bahaya maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu sekarang tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.

"Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut sesudah dia ikut duduk di depan gadis itu.

Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari arah barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka jatuh ke dalam jurang.

Memang gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang sudah dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika dia merasa amat terhina oleh nenek iblis serta ketidak berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.

Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong cepat mengusap sisa air matanya. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, sekarang memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri-seri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tanpa pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.

"Ihhh, Hay Hay! Mengapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hong tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti kaum gadis pada umumnya.

"Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang tadi dicekam keheranan namun kini sudah bisa menguasai diri Tadi engkau menangis tanpa sebab, lantas sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangisan. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"

Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita jatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti aku merasa hatiku ringan dan demikian lega sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"

Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk. "Ahh, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."

"Beruntung? Apa maksudmu?"

"Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau telah terbebas dari semua itu. Kemudian, sesudah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi sangat lega dan gembira sehingga engkau mendapatkan kembali watakmu yang asli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak..."

Sepasang mata itu melotot lebar dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"

Hay Hay tertawa. "Nah... nah... baru dikatakan galak saja sudah marah. Apa lagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis."

Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Dia kelihatan termenung karena dia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar goa itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berkata lirih, "Gila, sungguh gila...!"

Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Sudah dua kali engkau mengatakan ucapan itu, Kui Hong!"

"Dua kali?" gadis ini pun bertanya heran.

"Iya, ketika kita akan meninggalkan goa, di depan kamar goa itu engkau pun mengatakan demikian, dan kini engkau mengulanginya. Sebenarnya apa dan siapa yang kau katakan gila itu?"

"Mereka, kakek dan nenek lumpuh itu. Mereka menjadi gila karena cinta," kata Kui Hong, lalu termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.

Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Puteri ketua Cin-ling-pai ini manis sekali, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biar pun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang melenyapkan kekerasan pada ujung kedua bibirnya.

"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam urusan cinta sehingga tahu bahwa mereka menjadi gila karena cinta," pancing Hay Hay.

Biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui bahwa mata itu sangat indah, bening sekali ketika mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk yang indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.

"Biar pun aku bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila akibat cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Dia sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tak semestinya dia begitu mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."

Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah dara itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya demikian murni dan suci. Biar pun isterinya sudah melakukan penyelewengan dengan pria lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya juga berusaha membunuhnya lantas meninggalkannya hingga puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tapi tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan di dunia ini kiranya sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."

"Itulah sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya pantas dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu juga sudah gila karena cintanya terhadap kekasihnya. Kekasihnya itu sudah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, tapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke goa, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin ditinggalkan. Dan nenek itu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematian kekasihnya kepada Hek-hiat-kwi. Apa lagi namanya itu kalau tidak gila?"

"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta birahi, hanya cinta nafsu belaka! Mungkin laki-laki yang menjadi kekasihnya itu sangat tampan, sangat menyenangkan hatinya sehingga dia merasa kecewa dan berduka ketika dia kehilangan kekasihnya itu, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."

"Itulah, bukankah keduanya itu gila? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tak semestinya begitu!" kata Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena dia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.

Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta adalah seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, seorang hamba nafsu birahi yang telah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, maka tak akan terdengar aneh. Akan tetapi sungguh terdengar lucu dan ganjil apa bila keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya,.

"Kui Hong, engkau sungguh hebat! Jika menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia agak khawatir kalau-kalau gadis itu menjadi marah.

Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar yang sedang memberi kuliah kepada para mahasiswanya, dia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung birahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembang biakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa birahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu birahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki sehingga terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar birahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."

Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih hijau? ini bisa bicara demikian panjang lebar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.

"Hebat, engkau sungguh hebat sekali, Nona! Ternyata engkau adalah seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"

Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri lantas bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"

Tentu saja Hay Hay sangat terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"

"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Sudah jelas tadi engkau menghinaku, mengatakan bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kau kira aku ini petualang cinta?"

"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau begitu pandai menguraikan soal cinta sampai demikian jelas dan terperinci kalau tidak memiliki banyak pengalaman? Dari mana engkau mendapat pengetahuan yang begini luas tentang cinta?"

"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"

"Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"

"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?!" Kui Hong membentak. "Tentu saja orang bisa memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor anjing, monyet atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi anjing, monyet atau babi?"

Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"

"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"

"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong? Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"

"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentulah laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Ibuku selalu memperingatkan aku supaya berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"

"Wah-wah, betapa banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang?" dia mengelus hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang. "Akan tetapi aku yakin hidungku tak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku memang kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal ayah ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"

Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk kembali di atas rumput dan mengomel sebab merasa kewalahan dalam berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apa semua itu bukan merayu namanya?"

"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya jika orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang sangat manis itu menjadi sangat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, juga kerling matamu demikian tajam menyayat!"

Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena merasa canggung dan malu, akan tetapi dia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tak berani menentang pandang mata pemuda itu.

"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat hidung yang seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang sangat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat." Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.

"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ahh, tidak mudah untuk melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, di dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Bila diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum laksana bunga mawar mekar merekah, dan jika tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, jika sedang cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tidak tersisir, akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai...!"

Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya dia merasakan kenikmatan serta kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar.