Pendekar Mata Keranjang Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GADIS yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget. Ketika melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri bagaikan patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.

"Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?!" gadis itu membentak. Bibirnya bergerak-gerak sehingga tampak kilatan giginya ketika bicara, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.

"Bukan main... hemmm, bukan main...!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu.

Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah. "Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?"

"Wah-wah-wah-wah, selama hidupku belum pernah aku melihat yang seperti ini! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan kepalang, ya cantik, ya gagah, ya berani!"

"Heii, apakah engkau ini orang gila?" bentak gadis itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay.

"Aku? Tidak, belum gila, Nona, walau pun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan dan bukit ini?"

Dara itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay. "Apa kau bilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kau kira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau..." Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.

"Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Apa bila engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"

Gadis ini cemberut lantas memandang perut bangkai kijang itu. "Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!" Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya.

"Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu adalah milikku!" Hay Hay mencela dan dia pun melangkah maju menghampiri.

Sekarang nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seakan-akan dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya dara itu.

"Apa kau bilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi seperti orang tolol, kemudian mengatakan orang sebagai makhluk penjaga gunung, dan kini engkau bahkan berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan yang tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah kemudian sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!"

"Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dahulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona, dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini adalah milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."

"Apa?! Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!"

"Hemm, aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!" Hay Hay membantah, merasa penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku sudah membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja.

"Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku tadi. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?"

"Hemm, sebaiknya kita melihat buktinya dahulu, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?"

"Mengenai kepalanya, tepat di antara kedua matanya! Kau berani menyangka bahwa aku membohongimu?" Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.

"Lihat ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?"

"Aku pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan," kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu.

Gadis itu segera mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada tanda menghitam bekas sambitan. Dia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya.

"Tidak peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku, aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?!"

"Tidak mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang lapar."

"Hemm, kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!"

"Apakah engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?"

"Tidak, aku hanya seorang diri."

"Kalau begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih dari pada cukup!"

"Itu urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa saja dan menolak memberi kepada siapa pun. Dan aku tidak akan memberi kepadamu yang tolol dan kurang ajar!"

"Ehh? Aku kurang ajar?"

"Semua laki-laki kurang ajar!"

Hay Hay merasa penasaran hingga perutnya terasa panas. Dara ini keterlaluan galaknya, tidak ketolongan lagi. "Dan semua perempuan tak tahu diri!"

Gadis itu membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding sampai hampir mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu langsung melangkah mundur. "Apa kau bilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tidak tahu diri? Apakah ibumu bukan perempuan? Kalau begitu ibumu juga tak tahu diri!"

"Dan kau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah ayahmu bukan laki-laki? Kalau begitu ayahmu juga kurang ajar!"

"Sialan, engkau berani memaki ayahku?!" bentak gadis itu.

"Engkau juga lebih dulu memaki ibuku!"

"Apa?! Jadi engkau hendak menantang aku berkelahi? Boleh saja, kalau memang engkau sudah bosan hidup!" Gadis itu memasang kuda-kuda.

"Siapa yang mau berkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi jika engkau memang sudah begitu kelaparan, kalau dapat menghabiskan semua daging kijang ini, silakan, aku dapat mencari yang lain." Hay Hay mundur dan menghindarkan perkelahian. Bagaimana pun juga, dia kagum kepada gadis ini walau pun gadis ini liar, berani, dan galaknya bukan buatan lagi.

"Nah, bilang saja kalau tidak herani!" Gadis itu mengomel dan memanggul lagi bangkai kijang. Ketika dia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih.

"Huh, gembulnya! Apa perut kecil itu tidak akan meledak pecah nanti?"

Kaki yang sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu dibanting. "Kau bilang apa tadi? Aku gembul dan perutku akan pecah kalau makan daging kijang ini?"

Hay Hay tersenyum mengejek. "Aih, engkau memang pemarah sekali, Nona. Siapa bilang engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapa pun!"

Kembali bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan kekuatan sihirnya. "Sungguh aneh, Nona cantik ini mengaku menangkap kijang, padahal yang dipanggulnya adalah bangkai anjing!"

Kaki yang baru melangkah lima tindak itu kembali ditahan lantas gadis itu menengok lagi, siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu dia melirik ke arah kepala kijang yang berada di atas pundaknya.

"Ehhhh...?!" Dia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang, melainkan bangkai anjing!

Matanya terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah tadi dia salah pungut? Di mana bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay lalu mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata,

"Kalau aku memang merobohkan seekor kijang asli!"

Dengan pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan sekarang dia terbelalak kaget. Bangkai 'anjing' yang dilemparkannya tadi tiba-tiba saja berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi sesudah kini dipanggul oleh pemuda itu!

"Hei, keparat, tunggu!" bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui tubuh Hay Hay dan kini menghadang di depannya.

"Hemm, mau apa lagi? Apakah ingin meminta sebagian daging kijangku karena perutmu sudah lapar sekali seperti perutku?"

"Keparat, kembalikan kijangku!" dara itu membentak dan sikapnya siap untuk menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah.

"Hemm, kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang, sesudah diambil orang lain lalu ribut-ribut dan memintanya kembali."

"Habis, tadi kulihat seperti...," dia menahan kata-kata berikutnya, lalu melanjutkan ketus, "Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?!"

Hay Hay menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang lantas dipanggulnya lagi, siap untuk cepat-cepat pergi dari situ.

Akan tetapi Hay Hay segera berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya, "Sungguh aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan sekarang memanggul bangkai seekor ular besar! Apakah dia doyan daging ular?"

Gadis itu tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu dia melihat bangkai di pundaknya, wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya, melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan licin. Sungguh menjijikkan! Akan tetapi agaknya gadis itu kini mengeraskan hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya.

"Aku tak peduli, biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau bangkai setan sekali pun!"

Agaknya dia mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya lalu dia pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu, dan setelah tidak nampak lagi, tentu dia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang menjijikkan itu!

Melihat ini Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu. Seorang gadis yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tak akan lebih dari delapan belas tahun, gagah dan galak tapi wajahnya manis bukan main, terutama sekali mulutnya.

Mulut itu selalu terlihat manis, baik sedang cemberut, marah atau pun sedang terkejut dan ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu laksana bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan hati lelaki yang bagaimana pun alimnya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya tarik yang istimewa dan lain lagi dari pada gadis-gadis yang pernah ditemuinya.

Dan melihat betapa dengan sekali sambit saja gadis itu dapat mengenai kepala kijang, di antara kedua matanya, maka mudah diduga bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Cara dia mengangkat dan memanggul kijang itu saja telah membuktikan pula akan kekuatannya.

"Wah, hati-hati, Nona, ular itu masih hidup! Dan ular yang kepalanya seperti itu gigitannya membahayakan sekali, mengandung racun!" Tiba-tiba Hay Hay berseru keras.

Sesungguhnya gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan dia sudah mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat. Baru saja dia hendak berhenti dan membuang bangkai ular itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara pemuda itu tepat di belakangnya!

Peringatan itu membuat dia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah. Apa lagi saat dia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai mati itu kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan.

"Ihhh...!" Ia menjerit dan tentu saja dia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup kembali itu ke atas tanah dan dia pun melompat ke belakang dengan muka pucat.

Ketika dia berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu mempunyai ilmu berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan hampir tertinggal. Maka tadi dia pun cepat meneriakkan kata-kata yang mengandung sihir.

Saking kaget dan jijiknya, gadis itu sampai tak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu ternyata mampu mengejarnya. Dengan kedua mata terbelalak saking jijik dan ngerinya, dia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah.

"Kalau engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena memang kijang ini hakku, Nona!" kata pemuda itu.

Tiba-tiba saja gadis itu melihat bahwa 'ular hidup' itu bukan lain adalah bangkai kijang tadi yang sekarang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya. Dua tangan pemuda itu masing-masing memegang dua kaki depan dan kaki belakang bangkai kijang. Kini pemuda itu sudah melompat dan melarikan diri.

Gadis itu membanting kaki kanannya lantas secepat kilat dia pun mengejar. Ginkang-nya (ilmu meringankan tubuh) memang hebat, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak.

"Berhenti dulu kamu!"

Hay Hay masih tetap tersenyum. "Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah akhirnya engkau hendak menuntut bagian, yaitu separuh dari daging kijang yang memang menjadi hakmu ini? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan..."

"Cukup!" Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang cepat melangkah mundur selangkah. "Ternyata engkau adalah iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!"

Berkata demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan kiri yang menyambar ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main melihat betapa pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara pukulan itu dan mendatangkan hawa pukulan yang sangat kuat, juga sangat cepatnya sehingga hampir saja tak ada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa dia melempar tubuhnya ke belakang, lalu berjungkir balik.

"Crakkk...!"

Perut bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek oleh cengkeraman tangan gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang lalu memandang dengan mata terbelalak.

Kiranya walau pun sudah dapat dia hindarkan, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman jika tidak ada perisai istimewa berupa perut kijang itu! Perut itu terobek dan isi perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk sesaat dia terpukau.

Tentu saja gadis ini amat hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi kalau mengetahui siapa dia. Gadis ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis!

Cia Kui Hong bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi bahkan selama tiga tahun dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal lagi.

Kakeknya adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ada pun neneknya tidak kalah lihainya, yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi 'Datuk' kaum sesat dengan julukan Lam Sin. Sesudah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu kepandaian Kui Hong tentu saja meningkat dengan pesat dan kini dia menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang sangat lihai, gagah perkasa, galak sekaligus manis, juga agak ugal-ugalan!

"Wah-wah-wah, tobat, nanti dulu, Nona...!" kata Hay Hay ketika melihat gadis itu kembali menerjangnya dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi.

Melihat betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi dapat menghindarkan dirinya dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang digunakannya, kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang sembarangan, maka dia cepat menyerang lagi dan kini dia sengaja mengeluarkan ilmu silat yang paling rumit dan sukar ketika dia pelajari dari kakeknya.

Ilmu silat itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya terdiri delapan jurus, namun delapan jurus yang teramat hebat dan sulit dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sinkang yang amat kuat.

Sebenarnya Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya terhadap cucunya, dia lalu mengajarkannya kepada cucunya walau pun tidak mudah bagi Kui Hong untuk menguasainya. Biar pun dia belum sempurna menguasai ilmu silat itu, tetapi sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan.

"Wuuuutttt...!"

Angin kuat menyambar ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuh sampai berjongkok itu tiba-tiba saja menerjang ke arah Hay Hay dengan pukulan kedua tangannya, didorongkan sambil mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking.

"Haiiiiittt...!"

Hay Hay melihat dan mengenal pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang ugal-ugalan serta senang sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka sambil tersenyum dia pun mendorongkan kedua tangan menyambut pukulan itu.

"'Dessss...!"

Dua kekuatan yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah. Akan tetapi di lain pihak, Kui Hong tidak dapat menahan kekuatan dorongan yang demikian hebatnya, yang membuat tenaganya membalik hingga tubuhnya terdorong ke belakang sampai dia terjengkang dan terpaksa dia harus bergulingan agar tidak terbanting hebat!

Akan tetapi dia tadi sempat mengerahkan sinkang-nya sehingga tidak sampai terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik, dan sesudah tubuhnya menabrak batang pohon, baru dia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat, lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena dia menjadi marah dan juga malu!

Menurut kakeknya, pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu sangat hebatnya, jarang ada orang yang mampu menahannya. Apa bila pemuda ini dapat menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa lawannya ini mempunyai tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya.

Sementara itu, ketika melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran.

"Ah, harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Aku benar-benar tidak sengaja dan tidak bermaksud untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?"

Sikap baik dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi makin marah. Dia merasa diejek dan perutnya terasa panas bukan kepalang. "Manusia iblis, kau kira aku sudah mengaku kalah?" Berkata demikian, dia pun menerjang kembali dan sekali ini, biar pun pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih cepat dari pada tadi.

Memang Kui Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang lebih kuat. Maka dia pun menyerang dengan mengandalkan ginkang-nya. Gadis ini sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari ibunya lalu disempurnakan oleh gemblengan neneknya yang memiliki ginkang lebih hebat lagi.

Dan untuk lebih memperhebat ginkang-nya, dia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepat sehingga tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh pandang mata.

"Ihhh, engkau memang lihai sekali, Nona!" kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka sama sekali! Dia menjadi semakin kagum.

Gadis ini lihai ilmu silatnya, kuat sinkang-nya dan hebat pula ginkang-nya. Kiranya hanya Kok Hui Lian saja yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat betapa gadis itu kini mempergunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia pun melayaninya dengan gerakan cepat.

Akan tetapi diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan dan tidak pernah membalas.

Akan tetapi, biar pun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong. Karena Hay Hay sama sekali tidak mau membalas, hanya mengelak dengan amat cepatnya dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka dia pun menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini sangat memandang rendah kepadanya dan sedang mempermainkannya!

Tapi diam-diam dia pun terkejut bukan main karena baru sekarang dia tahu benar betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Siapa yang mampu menahan pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi darinya.

Akan tetapi bukan watak Kui Hong untuk merasa jeri dan mau mengaku kalah! Dia malah memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya sehingga dia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu.

Menghadapi seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerang dirinya secara bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu.

Kini Hay Hay mulai merasa bingung. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya. Amukan gadis ini pun karena tadi dia mempergunakan sihir sehingga dia dimaki sebagai manusia iblis dan dukun lepus!

"Haiii, Nona, tahan dahulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!" teriaknya berkali-kali.

Akan tetapi agaknya Kui Hong sudah menulikan telinganya dan tidak sudi mendengarkan omongannya lagi, bahkan menyerang terus walau pun sekarang leher dan dahinya telah berkeringat, dan napasnya telah agak memburu karena sejak tadi dia menyerang dengan sepenuh tenaga dan selalu mengerahkan ginkang-nya.

"Nona yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tak mengapa!" teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung.

Apa bila dilanjutkan, akhirnya dia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan kehabisan napas dan tenaga, dan hal ini juga amat membahayakan gadis yang nekat itu. Maka dia pun melompat lagi lantas melarikan diri ke arah puncak bukit! Akan tetapi Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan pengejaran dengan amat nekat.

Celaka, pikir Hay Hay. Gadis itu justru memiliki ilmu berlari cepat yang sangat hebat. Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu melewati puncak bukit, dia akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana sehingga dia akan dapat bersembunyi. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah lelah dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu.

Perhitungan Hay Hay tadi memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya, Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi dengan nekat dia berusaha mengejar dan menyusul. Hatinya gemas bukan main kepada pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Dia harus bisa menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay sesudah dia tiba di puncak bukit itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak ada jalan turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan di bagian lain bukit itu selebar kurang lebih dua ratus meter. Jurang itu tidak mungkin dilompati, kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung!

Sementara itu Kui Hong sudah berhasil menyusulnya dan meski pun napas gadis itu kini sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat.

"Cukuplah, Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!" berkata Hay Hay yang merasa terjebak dan tidak mampu lari mengelak lagi.

Akan tetapi tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong telah kembali menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya.

Akan tetapi tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya terlepas dari gelungnya. Rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan cambuk saja.

Bukan main! Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau sampai mengenai muka, terutama mata, maka dapat mencelakai lawan!

Menghadapi lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay harus melepaskan pegangannya dan meloncat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangannya untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin pukulannya sehingga beberapa batang jarum merah itu pun runtuh.

Hay Hay semakin kaget. Jarum-jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya. Dengan diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi hal ini malah membuat dia merasa penasaran sekali dan kini dia maju lagi sambil mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah.

Melihat pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran sekali. Apakah akhirnya gadis ini sudah kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum merah? Dia mencoba untuk menangkis pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah benar gadis itu sudah kehabisan tenaga.

"Plakkk...!"

Dan Hay Hay terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan lunak sekali. Itulah Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya lunak saja, namun begitu halusnya sehingga tenaga sinkang dan kekerasan pihak lawan akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja!

Ketika merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada pegangan pokok bahwa dengan kelembutan mengalahkan kekerasan! Dia cepat-cepat meloncat lagi ke belakang.

Akan tetapi tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga pada waktu Hay Hay melompat ke belakang dengan sepenuh tenaga, tubuh Kui Hong turut terbawa pula. Dan karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi, dia menjadi lengah, tak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melampaui tepi tebing sehingga tanpa dapat dicegah lagi, mereka terjun melayang ke dalam jurang yang amat curam itu!

"Ihhhh...!" Saking kagetnya Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan dia melihat betapa tubuh mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya.

Akan tetapi dia adalah seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi kematian. Karena dia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan dirinya, maka dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan. Dia tidak memejamkan mata, bahkan membuka kedua matanya lebar-lebar, seakan-akan dia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya dan dengan mata terbuka!

Hay Hay terkejut bukan main. Akan tetapi seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut, malah dia membuka mata dan bersiap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika masih dibebani dengan tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimana pun juga, masih lebih cepat dari pada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak dibandingkan gadis itu.

Ketika dia melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing sebelah bawah, menonjol keluar atau seperti tumbuh agak miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan terobek, bahkan dapat mengoyak tubuhnya dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan keras.

cerita silat online karya kho ping hoo

Hidup dan mati merupakan suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tak dikuasai dan juga tak dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri.

Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggota tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita.

Kita ini diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya mau pun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh Dia pula!

Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Namun sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, meski kita bersembunyi di dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekali pun, tetap saja maut akan datang menjemput! Paham, kan?


Begitu pula dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup sehingga meski pun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan menurut perhitungan akal manusia sudah wajarlah apa bila dia binasa dengan tubuh hancur di dasar jurang yang curam itu, namun secara 'kebetulan' sekali, di tengah tebing itu ada sebuah pohon yang tumbuh menonjol dan 'kebetulan' pula Hay Hay melihatnya.

Kemudian, 'kebetulan' ke tiga adalah bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk dapat meraih cabang pohon yang mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andai kata tidak ada kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu riwayat Hay Hay akan tamat!

Begitu tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh gadis itu pun meluncur ke bawah, tidak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya.

"Cepat tangkap kakiku!" teriak Hay Hay sekuat tenaga.

Agaknya Kui Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi, agaknya Tuhan masih menghendaki dia hidup. Maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan dia pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu.

Sentakan ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia telah mengerahkan sinkang-nya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas!

Demikianlah, pemuda dan gadis itu kini bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah mereka, maut menganga lebar dan siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan tubuh mereka berdua. Akan tetapi perhatiannya yang sedang melakukan penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada betis dan pegangan kaki kirinya.

"Hemmm, kini nyawamu berada di tanganku," kata gadis itu, agaknya kemarahannya kini bangkit kembali sesudah melihat bahwa mereka selamat biar pun hanya untuk sementara waktu. "Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan mampus!"

Hay Hay tersenyum. Pemuda ini memang luar biasa sekali. Dalam keadaan seperti itu dia masih mampu tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan watak jenakanya. Alangkah bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dan segala keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu.

Apakah sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut syarat, hanya satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh keinginan-keinginan akan hal-hal yang tidak ada! Berarti menerima segala sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian takkan pernah ada kekecewaan, takkan pernah mengeluh, sebab memang tidak mengharapkan hal-hal yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi.

"Ha-ha-ha, Nona manis. Agaknya engkau lupa diri. Kalau aku kau bunuh, tentu tanganku akan terlepas dari cabang ini dan kau sangka engkau akan dapat selamat kalau bersama mayatku meluncur ke bawah sana itu?"

Agaknya Kui Hong baru teringat mengenai hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi hatinya. Dia marah bukan hanya karena teringat tentang perebutan kijang, bukan hanya karena berkali-kali dia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding dia tidak mampu mengalahkan pemuda itu, tapi dia marah terutama karena mengingat bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak melompat ke jurang, tentu dia pun tidak akan terbawa!

Kini, mendengar ucapan itu, dia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk!

Meski pun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi pelukannya pada kaki kiri Hay Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang senyumnya menjadi semakin lebar. Memang dia amat nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi dia pun suka menggoda!

"Nona, apa bila aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua tanganmu yang merangkul kaki kiriku, lantas engkau akan terlepas dan jatuh. Akan tetapi jangan khawatir, aku tak sekejam dan seganas engkau yang haus darah ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di bawah sana."

Kui Hong merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke telinganya. Untunglah bahwa dia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak dapat melihat mukanya yang ditundukkan.

"Sudahlah, tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan berbahaya ini!" Akhirnya dia berkata sambil bersungut-sungut.

Semenjak tadi Hay Hay telah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat tertanam dan terbelit di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang sangat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal yang tidak mungkin sama sekali melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada tempat untuk berpijak dan berpegang sama sekali.

"Naikkanlah kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!" Kui Hong berkata lagi.

Tentu saja dia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan dilakukannya karena dia merasa malu. Apa bila dia merayap naik melalui tubuhnya maka seolah-olah dia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu!

"Dan sesudah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku terjatuh, begitukah?" Hay Hay bertanya. "Berjanjilah lebih dahulu bahwa engkau tak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku."

Kui Hong menjadi semakin gemas. Akan tetapi dia pun teringat betapa dia telah bersikap terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu terdapat luka bekas sambitan. Tidak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tak bersalah. Akan tetapi sikapnya itu seperti mempermainkan, itulah yang membuat dia marah. Dan pemuda itu tukang sihir pula! Dia bergidik.

"Baiklah, aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu hitammu itu!"

Hay Hay tertawa. "Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah engkau, Nona?"

Kui Hong mengerutkan sepasang alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya! Menggunakan keunggulannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung dan mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik dari pada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut bersama-sama. Dan pemuda itu sudah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang aneh karena tanpa nama keturunan.

"Namaku Kui Hong," katanya kemudian, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama keturunan).

"Kui Hong... Kui Hong... ahh, nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya..." Hay Hay memuji.

Apa bila pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tak pernah ingin mengambil hati atau merayu. Justru karena dia menyukai keindahan maka dia memuji berdasarkan apa yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu!

"Sudahlah, tutup mulutmu dan angkat kakimu supaya aku dapat naik ke cabang itu!" Kui Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa gembira sekali oleh pujian itu.

Hay Hay lalu mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu segera meraih cabang pohon di sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini dia sudah duduk di atas cabang pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum.

Untung ada pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui," kata Hay Hay, kini sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua mata gadis itu.

Mendengar sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan dia pun tersenyum. Lenyaplah semua kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona.

"Aih, Nona Kui. Mengapa engkau tidak mau memperbanyak senyummu itu? Bukan main! Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!"

Senyum ini lenyap seketika. "Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!"

Hay Hay membelalakkan matanya. "Memualkan perutmu? Wah aneh! Akan tetapi biarlah, hanya aku ingin sekali tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?"

"Ada beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum," kata Kui Hong. "Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui. Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku."

"Aihhh, begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama keturunan?"

"Hemm, sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?" Kui Hong mencela.

Hay Hay memandang wajah yang manis itu sehingga keduanya saling pandang, dan Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aihh Nona Hong!" Dia merubah panggilannya, tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong. "Jangan engkau main-main!"

"Main-main? Aku...?" Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang main-main kini malah mengatakan bahwa dialah yang main-main!

"Di tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek dan..."

"Tolol!"

"Memang aku tolol, tapi mengapa..."

"Maksudku bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku namamu Hay Hay, tanpa menyebutkan she-mu. Tak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she Hay di dunia ini? Kalau engkau sendiri tidak mau menyebutkan she-mu, apakah aku perlu memperkenalkan she-ku?"

Hay Hay tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang kala mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, dia bergidik dan segera menundukkan mukanya, tak berani terlalu lama bertemu pandang.

"Ahh, kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, meski pun selama ini aku ini tidak pernah mempergunakan she-ku, akan tetapi nama keturunanku adalah Tang, jadi nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka dikenal sebagai Hay Hay saja."

"Aneh kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!" kata Kui Hong. " Aku sendiri she Cia "

"Heiiii...!"

Kui Hong sampai tersentak kaget. "Apakah engkau gila? Teriak-teriak mengejutkan orang! Ada apa sih engkau langsung berteriak ketika mendengar nama keturunanku?"

"She Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suheng-ku. Menurut keterangan seorang di antara guru-guruku, beliau memiliki seorang murid yang juga she Cia, nama lengkapnya Cia Sun."

"Ihhhh...!"

Kini bagian Hay Hay yang tersentak kaget. "Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget. Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama suheng-ku itu? Apakah engkau mengenal dia?"

"Mengenal? Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai."

Hay Hay mengangguk-angguk. "Aku sudah sering mendengar akan keluarga Cin-ling-pai. Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?"

"Aku puteri ketuanya!" kata Kui Hong sambil mengangkat dada.

Kembali Hay Hay merasa kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika diangkat dada itu membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik.

"Wah-wah, kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat. Engkau adalah puteri Ketua Cin-ling-pai, keluarga Cia yang sangat terkenal, sedangkan aku hanya seorang perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi..."

"Sudahlah. Mengapa kita mengobrol ke barat dan ke timur tanpa arah ini? Lebih baik kita berbicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?" kata Kui Hong, sambil menatap wajah Hay Hay.

Yang ditatap tersenyum lebar sehingga Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya pertanyaan itu. Tentu saja tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup selamanya di pohon itu!

"Ya, aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!"

Senyum Kui Hong langsung lenyap dan mukanya kembali menjadi merah, tetapi matanya mencorong dan alisnya berkerut. "Engkau mau mempermainkan aku dan kurang ajar lagi?"

"Tidak, tidak..., mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka sekali bergurau. Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, marilah kita selidiki tempat ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Untuk turun ke bawah juga tidak mungkin, dinding tebingnya sama, bahkan lebih jauh dari pada kalau naik ke atas. Akan tetapi di sana itu terdapat sebuah goa. Lihat!"

Kui Hong memandang ke bawah sebelah kanan dan benar saja, di sana nampak sebuah goa yang cukup besar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang pohon itu.

"Akan tetapi goa itu terlalu jauh, bahkan untuk ke situ pun tidak mungkin dengan merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu," kata Kui Hong. "Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sinkang sambil menggunakan dua tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke goa itu."

"Akan tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa, dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, dan mungkin bisa mencari makanan di dalam goa itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di batang pohon dan akhirnya kita berdua akan mati kelaparan. Sayang, bangkai kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!"

Diingatkan akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk.

"Nah, perut siapa yang berkeruyuk?" kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana agar gembira.

Wajah Kui Hong berubah merah sekali. "Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku berkeruyuk?" bentaknya marah.

"Aihhh, siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku tadi hanya mendengar suara perut berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk."

"Perutku tidak!" Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku.

"Lagi pula perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan apa bila terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah, dengar, berkeruyuk lagi...!" Benar saja, terdengar perut Hay Hay berkeruyuk karena sejak berburu kijang, dia memang sudah merasa lapar sekali. Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi!

"Wah, jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!" kata Hay Hay tertawa dan kini Kui Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Dia tidak merasa malu lagi karena jelas perut Hay Hay terdengar berkeruyuk lebih dulu, lebih nyaring lagi!

"Kalau tinggal di sini terus, walau pun kita kuat bertahan namun perut kita ini yang tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari..."

"Hay Hay, lihat...!" tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah goa.

Hay Hay tersenyum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya jika saja dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh dara itu. Ketika dia menoleh ke arah goa, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut.

Sebuah wajah yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah seorang nenek-nenek yang sulit ditaksir berapa usianya. Jika melihat keriput pada pipinya tentu lebih dari enam puluh tahun.

Tetapi wajah itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila.

"Hik-hik-hik," nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas saja kelihatan kempot dan kisut. Andai kata nenek itu masih bergigi, tentu kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan mulus seperti dahi dan leher orang muda saja.

"Sepasang monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!"

Hay Hay dan Kui Hong mengamati nenek itu yang kini bagian tubuhnya yang lain nampak lebih banyak, sampai batas pinggangnya. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda!

Kini mereka melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke dalam mulutnya dan begitu dia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu pecahan dari batu keras, segera menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan!

"Awas...!" Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika dia miringkan kepala.

Dia terkejut bukan main karena telapak tangannya terasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu kerikil itu kuat bukan main! Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan dengan mudahnya dia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di dekat kepalanya.

Hay Hay membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil yang tajam runcing, namun bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi mempergunakan mulut meniup?

Kui Hong kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil sebagai senjata rahasia hanya dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum terhadap Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke arah mukanya. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak akan sanggup melakukannya, kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi.

Sementara itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran. "Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!"

Nenek itu kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, ada pun dua buah yang lain lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar dari pada tadi!

Kui Hong yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua sinar menyambar, dia telah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kepandaiannya yang sangat hebat. Dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil menangkap dua buah kerikil itu!

"Nenek iblis jahat!" bentak Kui Hong marah. "Hay Hay, balas iblis itu, serang dia dengan kerikil-kerikil itu!"

Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Kalau engkau tidak mau, kesinikan kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!" Kui Hong marah bukan main namun tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau dia menggunakan jarum-jarum merahnya, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.

"Jangan, biarkan aku bicara dengannya."

Sementara itu, ketika melihat mereka berdua kembali dapat menghindarkan diri, apa lagi melihat betapa dua butir kerikilnya berhasil ditangkap oleh pemuda itu, nenek itu berseru. "Celaka, kalian tentu urusannya datang untuk membunuhku! Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian hendak menghindar ke mana?"

Melihat nenek itu sudah bersiap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lantas berseru nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa,

"Nenek yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu, bahkan aku adalah suamimu sendiri. Lihat, apakah engkau sudah lupa kepada suamimu sendiri?"

"Apakah engkau sudah gila, Hay Hay?" Kui Hong berkata, namun gadis ini segera teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka dia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa sekarang pemuda itu tentu sedang menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu.

Ia melihat betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay Hay, nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya sendiri dengan punggung tangan kanannya, memandang kembali, dan... seketika muka nenek itu menjadi merah dan kelihatan marah bukan main.

"Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang ke sini untuk membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!"

Tiba-tiba saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau ditiupkan, semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang bertubi-tubi dan semua itu dilepaskan dengan kekuatan dahsyat, bahkan masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis.

Diam-diam Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi dia pun kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau dia yang diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Dan diam-diam dia merasa khawatir sekali, maka dia pun segera mengerahkan khikang lantas dengan suara nyaring mengandung kekuatan khikang dia pun berteriak.

"Nenek tolol! Lihat baik-baik, dia adalah seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!"

Ternyata lengkingan suara ini mampu menembus jarak dan pada saat itu Hay Hay juga menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan langsung menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, wajahnya masih sedikit pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri!

Sesudah melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukanlah suaminya melainkan seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk membujuknya.

"Nenek yang baik, kami tidak punya kesalahan padamu, kenapa engkau memusuhi kami? Manusia hidup harus saling tolong menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan, tadi terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu kami juga akan dapat menolongmu kelak."

Nenek itu agaknya berpikir sampai lama, memandang pada Hay Hay dan Kui Hong, lalu mengangguk-angguk. "Aku sudah salah sangka, kalian jelas bukan musuh, bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai. Memang benar, kalian tentu akan dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huh... aku yang sengsara, disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat."

Nenek itu lalu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya sehingga kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena sudah menanti tangis nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong menjadi kehilangan kesabarannya.

"Sudahlah, Nek, hentikan tangismu itu dan tolonglah kami kalau memang engkau mampu, baru kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!" kata Kui Hong sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi, Hay Hay segera menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai nenek ini.

"Benar, Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas budimu."

Nenek itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian dia pun mengangguk. "Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong kalian."

Mendadak tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap, agaknya dia masuk ke dalam goa. Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka?

"Nona, dengarlah..."

"Hay Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara denganmu lagi! Namaku Kui Hong, engkau sudah tahu ini, jadi tidak ada tuan-tuan atau nona-nonaan!"

Hay Hay tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi, di luar dugaannya gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam goa, dia sudah menduga bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya kepadanya.

"Baiklah, Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum dia muncul," katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik. "Jika nenek itu nanti benar-benar menolong kita, biar aku yang lebih dulu ditolongnya, karena aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan dia menolong hanya untuk menjebak kita."

Kui Hong memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali mengenai tingkat kepandaian mereka. Dia maklum bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang sangat tinggi ilmunya. Dia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan bisa menyelamatkan diri ketika dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya!

Mendengar suara bisikan itu dia pun mengangguk karena dia sendiri juga belum percaya benar terhadap nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu berhadapan dengan nenek itu, yang jelas mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya.

Pada saat itu kepala Si Nenek tadi nongol kembali dan kini dia membawa segulung tali! Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tidak disangkanya bahwa nenek itu mempunyai gulungan tali yang nampaknya panjang dan kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu hendak menolong mereka, yaitu mengajak mereka ke dalam goa itu, akan tetapi bagaimana pun juga, tentu lebih baik dari pada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu!

Akan tetapi Kui Hong cemberut. "Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke bawah?" katanya.

Mendengar ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak bernada mengejek seperti tadi, walau pun masih kelihatan sama, yaitu mulut itu tidak bergigi lagi.

"Mau apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tak ada kemungkinan naik kembali, kecuali menunggang burung rajawali!" nenek itu berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Akan tetapi sayang, selama bertahun-tahun ini tidak pernah kulihat seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui goa ini."

"Baiklah, Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!" kata Hay Hay.

"He-heh-heh, engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya engkau dan Nona itu yang mampu membantuku menghadapi musuh besarku. Nah, sambutlah tali ini!"

Nenek itu melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa lihainya nenek itu. Kekuatan lontarannya begitu hebatnya sehingga ujung tali itu meluncur dengan cepat ke arah pohon itu, bagaikan dibawa anak panah saja,. Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu, melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya!

Hay Hay cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya pada sebatang pohon yang berukuran sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam rumput yang amat kuat.

"Sudah kuikat dengan kuat, Nek. Tariklah biar tegang!" Kemudian dia berbisik kepada Kui Hong. "Kui Hong, jika nanti engkau menyeberang, jangan berjalan di atas tali. Berbahaya kalau dia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung saja seperti yang aku lakukan."

Nenek di goa itu telah menarik talinya hingga tali itu kini menegang, merupakan jembatan yang terbuat dari sehelai tali, dari atas ke bawah namun tidak terlalu menurun sehingga kalau saja tidak takut dikhianati oleh nenek itu, akan lebih mudah bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya tentu akan terjatuh ke bawah sana.

"Kui Hong, aku menyeberang lebih dahulu, perhatikan!" bisiknya kepada nona itu dan dia pun berteriak ke arah goa, " Aku mulai menyeberang, Nek!"

Dan dia pun memegang tali itu dengan kedua tangannya, lalu meloncat dari atas cabang pohon. Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan sepasang tangannya merayap maju sambil bergantung.

Dengan cara demikian, andai kata nenek itu bertindak curang dan melepaskan tali, maka tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang pada tali tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya sehingga dia akan selamat dan kembali ke pohon tadi. Agaknya hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia semakin kagum. Di samping lihai, pemuda itu juga cerdik sekali.

Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek. "Orang muda, agaknya engkau tak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, jika aku bermaksud buruk, biar pun engkau bergantungan, apa kau sangka aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, jika sekarang aku menghujankan batu kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"

"Aku akan menghindarkan seranganmu dengan cara begini, nenek yang baik!"

Tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali atau bermain sulap. Akan tetapi gerakan Hay Hay lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan sangat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu menjadi terkejut dan kagum.

Memang akan sukarlah menyerang Hay Hay karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil tubuhnya berputaran, kedua tangan Hay Hay terus 'melangkah' sehingga akhirnya dia tiba di mulut goa dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu.

Dan Hay Hay terkejut bukan main ketika melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya yang terkulai lemas dalam celana hitam itu, dia pun dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah.

"Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena sesungguhnya engkau juga membutuhkan bantuanku," katanya sambil tersenyum.

"Hi-hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu sebab engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi aku tak membutuhkan bantuan gadis itu, sebab itu lebih baik dia dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang.

Karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi untuk mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring, karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan pada tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!

"Heiii, Nek, untuk apakah engkau memegang ular di tangan kananmu?"

Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi gerakannya segera terhenti di tengah jalan ketika mendengar bentakan itu. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.

"Ular...?" Dan dia pun cepat mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya kemudian dia pun menjerit.

"Ihhhh...!" Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai goa.

Saat itu pula Hay Hay telah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedang lalu mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan goa itu hanya tiga puluh meter, dengan 'melangkah' sebanyak lima puluh kali saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut goa kemudian melompat ke dalam dengan selamat.

Nenek itu telah memungut kembali pedangnya dan kini dia berdiri, atau lebih tepatnya lagi duduk karena dia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut karena seperti juga Hay Hay, dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya!

Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah dua kakinya, nenek itu berkata, "Kalian tidak menduga bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku memang lumpuh, aku tak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!"

Tiba-tiba nenek itu terlihat beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Kemudian pedang di tangannya dimainkan, menyambar-nyambar ganas.

"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!"

Pedang itu kembali menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu amat terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.

"Crakkk!" tampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu.

"Seperti inilah dia akan kucincang...!" Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu sudah menjadi puluhan potong!

Seperti permulaannya tadi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian ke arah pedangnya dan dia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, namun hanya sepotong batu besar!

"Uhu-huu-huuuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara..." Dan tiba-tiba pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya kemudian dia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"

"Krekkk...!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.

"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar goa, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu.

Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan sekaligus kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudah dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang baik sekali, akan tetapi dengan sangat mudah pula nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini sudah membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.

"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami pasti akan suka membantumu, asal saja engkau bisa menunjukkan jalan keluar dari sini," kata Kui Hong yang menjadi terharu sesudah melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja dia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya. "Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam goa ini?"

Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, namun tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.

Sesudah menangis beberapa lamanya nenek itu menghentikan tangisnya, lantas berkata, seperti menjawab semua pertanyaan Kui Hong tadi. "Satu-satunya jalan keluar dari jurang ini adalah melalui goa ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, walau kalian sudah berada di dalam goa ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, sudah dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah..."

"Tetapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)," kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau sangat lihai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi, kalau memang mengenal jalan rahasia itu, kenapa selama ini engkau tidak keluar?"

"Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa setan itu lebih dulu membuat kedua kakiku lumpuh sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekali pun jangan harap dapat keluar kalau dia tidak mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini."

"Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran. Dia tak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.

"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."

"Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong semakin penasaran, dan sebagai seorang wanita tentu saja dia segera merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu dan menentang suami nenek itu yang begitu kejam dan jahatnya.

Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lantas menarik napas panjang dan dengan sikap sedih dia menundukkan mukanya. "Di dunia ini mana ada laki-laki yang dapat dipercaya? Sebelum mendapatkan wanita yang disukanya, dia merayu dengan kata-kata manis, yang semanis madu. Akan tetapi, sesudah wanita itu berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan lalu mencari wanita lain! Sebagai isterinya tentu saja aku merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu, akan tetapi dia membela wanita itu. Dan dia sangat lihai! Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"

"Jahanam keparat laki-laki itu!" Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya telah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.

"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"

"Goa ini luas sekali dan memiliki banyak terowongan, bahkan beberapa di antaranya ada yang menembus ke dinding tebing, menjadi goa kecil lainnya. Di salah satu goa-goa kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku bisa makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang mereka tinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki goa-goa kecil itu dan daging ular lezat sekali. Di dalam terowongan juga terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan di depan goa kecil ada tanaman yang menghasilkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."

"Dan Locianpwe masih memiliki waktu untuk memintal tali itu, juga berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"

"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, selama ini banyak waktu luang sehingga aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar atau meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilin dari sejenis rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud mempergunakan tali itu untuk keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."

"Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara." Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu untuk memancing dan menyembunyikan kecurigaannya karena memang sungguh aneh jika melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun tetapi masih mampu bicara sedemikian lancarnya.

Pendekar Mata Keranjang Jilid 38

GADIS yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget. Ketika melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri bagaikan patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.

"Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?!" gadis itu membentak. Bibirnya bergerak-gerak sehingga tampak kilatan giginya ketika bicara, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.

"Bukan main... hemmm, bukan main...!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu.

Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah. "Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?"

"Wah-wah-wah-wah, selama hidupku belum pernah aku melihat yang seperti ini! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan kepalang, ya cantik, ya gagah, ya berani!"

"Heii, apakah engkau ini orang gila?" bentak gadis itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay.

"Aku? Tidak, belum gila, Nona, walau pun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan dan bukit ini?"

Dara itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay. "Apa kau bilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kau kira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau..." Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.

"Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Apa bila engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"

Gadis ini cemberut lantas memandang perut bangkai kijang itu. "Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!" Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya.

"Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu adalah milikku!" Hay Hay mencela dan dia pun melangkah maju menghampiri.

Sekarang nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seakan-akan dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya dara itu.

"Apa kau bilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi seperti orang tolol, kemudian mengatakan orang sebagai makhluk penjaga gunung, dan kini engkau bahkan berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan yang tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah kemudian sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!"

"Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dahulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona, dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini adalah milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."

"Apa?! Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!"

"Hemm, aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!" Hay Hay membantah, merasa penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku sudah membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja.

"Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku tadi. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?"

"Hemm, sebaiknya kita melihat buktinya dahulu, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?"

"Mengenai kepalanya, tepat di antara kedua matanya! Kau berani menyangka bahwa aku membohongimu?" Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.

"Lihat ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?"

"Aku pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan," kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu.

Gadis itu segera mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada tanda menghitam bekas sambitan. Dia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya.

"Tidak peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku, aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?!"

"Tidak mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang lapar."

"Hemm, kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!"

"Apakah engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?"

"Tidak, aku hanya seorang diri."

"Kalau begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih dari pada cukup!"

"Itu urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa saja dan menolak memberi kepada siapa pun. Dan aku tidak akan memberi kepadamu yang tolol dan kurang ajar!"

"Ehh? Aku kurang ajar?"

"Semua laki-laki kurang ajar!"

Hay Hay merasa penasaran hingga perutnya terasa panas. Dara ini keterlaluan galaknya, tidak ketolongan lagi. "Dan semua perempuan tak tahu diri!"

Gadis itu membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding sampai hampir mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu langsung melangkah mundur. "Apa kau bilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tidak tahu diri? Apakah ibumu bukan perempuan? Kalau begitu ibumu juga tak tahu diri!"

"Dan kau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah ayahmu bukan laki-laki? Kalau begitu ayahmu juga kurang ajar!"

"Sialan, engkau berani memaki ayahku?!" bentak gadis itu.

"Engkau juga lebih dulu memaki ibuku!"

"Apa?! Jadi engkau hendak menantang aku berkelahi? Boleh saja, kalau memang engkau sudah bosan hidup!" Gadis itu memasang kuda-kuda.

"Siapa yang mau berkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi jika engkau memang sudah begitu kelaparan, kalau dapat menghabiskan semua daging kijang ini, silakan, aku dapat mencari yang lain." Hay Hay mundur dan menghindarkan perkelahian. Bagaimana pun juga, dia kagum kepada gadis ini walau pun gadis ini liar, berani, dan galaknya bukan buatan lagi.

"Nah, bilang saja kalau tidak herani!" Gadis itu mengomel dan memanggul lagi bangkai kijang. Ketika dia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih.

"Huh, gembulnya! Apa perut kecil itu tidak akan meledak pecah nanti?"

Kaki yang sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu dibanting. "Kau bilang apa tadi? Aku gembul dan perutku akan pecah kalau makan daging kijang ini?"

Hay Hay tersenyum mengejek. "Aih, engkau memang pemarah sekali, Nona. Siapa bilang engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapa pun!"

Kembali bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan kekuatan sihirnya. "Sungguh aneh, Nona cantik ini mengaku menangkap kijang, padahal yang dipanggulnya adalah bangkai anjing!"

Kaki yang baru melangkah lima tindak itu kembali ditahan lantas gadis itu menengok lagi, siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu dia melirik ke arah kepala kijang yang berada di atas pundaknya.

"Ehhhh...?!" Dia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang, melainkan bangkai anjing!

Matanya terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah tadi dia salah pungut? Di mana bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay lalu mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata,

"Kalau aku memang merobohkan seekor kijang asli!"

Dengan pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan sekarang dia terbelalak kaget. Bangkai 'anjing' yang dilemparkannya tadi tiba-tiba saja berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi sesudah kini dipanggul oleh pemuda itu!

"Hei, keparat, tunggu!" bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui tubuh Hay Hay dan kini menghadang di depannya.

"Hemm, mau apa lagi? Apakah ingin meminta sebagian daging kijangku karena perutmu sudah lapar sekali seperti perutku?"

"Keparat, kembalikan kijangku!" dara itu membentak dan sikapnya siap untuk menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah.

"Hemm, kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang, sesudah diambil orang lain lalu ribut-ribut dan memintanya kembali."

"Habis, tadi kulihat seperti...," dia menahan kata-kata berikutnya, lalu melanjutkan ketus, "Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?!"

Hay Hay menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang lantas dipanggulnya lagi, siap untuk cepat-cepat pergi dari situ.

Akan tetapi Hay Hay segera berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya, "Sungguh aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan sekarang memanggul bangkai seekor ular besar! Apakah dia doyan daging ular?"

Gadis itu tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu dia melihat bangkai di pundaknya, wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya, melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan licin. Sungguh menjijikkan! Akan tetapi agaknya gadis itu kini mengeraskan hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya.

"Aku tak peduli, biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau bangkai setan sekali pun!"

Agaknya dia mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya lalu dia pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu, dan setelah tidak nampak lagi, tentu dia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang menjijikkan itu!

Melihat ini Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu. Seorang gadis yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tak akan lebih dari delapan belas tahun, gagah dan galak tapi wajahnya manis bukan main, terutama sekali mulutnya.

Mulut itu selalu terlihat manis, baik sedang cemberut, marah atau pun sedang terkejut dan ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu laksana bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan hati lelaki yang bagaimana pun alimnya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya tarik yang istimewa dan lain lagi dari pada gadis-gadis yang pernah ditemuinya.

Dan melihat betapa dengan sekali sambit saja gadis itu dapat mengenai kepala kijang, di antara kedua matanya, maka mudah diduga bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Cara dia mengangkat dan memanggul kijang itu saja telah membuktikan pula akan kekuatannya.

"Wah, hati-hati, Nona, ular itu masih hidup! Dan ular yang kepalanya seperti itu gigitannya membahayakan sekali, mengandung racun!" Tiba-tiba Hay Hay berseru keras.

Sesungguhnya gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan dia sudah mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat. Baru saja dia hendak berhenti dan membuang bangkai ular itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara pemuda itu tepat di belakangnya!

Peringatan itu membuat dia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah. Apa lagi saat dia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai mati itu kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan.

"Ihhh...!" Ia menjerit dan tentu saja dia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup kembali itu ke atas tanah dan dia pun melompat ke belakang dengan muka pucat.

Ketika dia berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu mempunyai ilmu berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan hampir tertinggal. Maka tadi dia pun cepat meneriakkan kata-kata yang mengandung sihir.

Saking kaget dan jijiknya, gadis itu sampai tak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu ternyata mampu mengejarnya. Dengan kedua mata terbelalak saking jijik dan ngerinya, dia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah.

"Kalau engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena memang kijang ini hakku, Nona!" kata pemuda itu.

Tiba-tiba saja gadis itu melihat bahwa 'ular hidup' itu bukan lain adalah bangkai kijang tadi yang sekarang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya. Dua tangan pemuda itu masing-masing memegang dua kaki depan dan kaki belakang bangkai kijang. Kini pemuda itu sudah melompat dan melarikan diri.

Gadis itu membanting kaki kanannya lantas secepat kilat dia pun mengejar. Ginkang-nya (ilmu meringankan tubuh) memang hebat, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak.

"Berhenti dulu kamu!"

Hay Hay masih tetap tersenyum. "Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah akhirnya engkau hendak menuntut bagian, yaitu separuh dari daging kijang yang memang menjadi hakmu ini? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan..."

"Cukup!" Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang cepat melangkah mundur selangkah. "Ternyata engkau adalah iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!"

Berkata demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan kiri yang menyambar ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main melihat betapa pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara pukulan itu dan mendatangkan hawa pukulan yang sangat kuat, juga sangat cepatnya sehingga hampir saja tak ada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa dia melempar tubuhnya ke belakang, lalu berjungkir balik.

"Crakkk...!"

Perut bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek oleh cengkeraman tangan gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang lalu memandang dengan mata terbelalak.

Kiranya walau pun sudah dapat dia hindarkan, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman jika tidak ada perisai istimewa berupa perut kijang itu! Perut itu terobek dan isi perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk sesaat dia terpukau.

Tentu saja gadis ini amat hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi kalau mengetahui siapa dia. Gadis ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis!

Cia Kui Hong bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi bahkan selama tiga tahun dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal lagi.

Kakeknya adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ada pun neneknya tidak kalah lihainya, yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi 'Datuk' kaum sesat dengan julukan Lam Sin. Sesudah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu kepandaian Kui Hong tentu saja meningkat dengan pesat dan kini dia menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang sangat lihai, gagah perkasa, galak sekaligus manis, juga agak ugal-ugalan!

"Wah-wah-wah, tobat, nanti dulu, Nona...!" kata Hay Hay ketika melihat gadis itu kembali menerjangnya dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi.

Melihat betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi dapat menghindarkan dirinya dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang digunakannya, kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang sembarangan, maka dia cepat menyerang lagi dan kini dia sengaja mengeluarkan ilmu silat yang paling rumit dan sukar ketika dia pelajari dari kakeknya.

Ilmu silat itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya terdiri delapan jurus, namun delapan jurus yang teramat hebat dan sulit dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sinkang yang amat kuat.

Sebenarnya Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya terhadap cucunya, dia lalu mengajarkannya kepada cucunya walau pun tidak mudah bagi Kui Hong untuk menguasainya. Biar pun dia belum sempurna menguasai ilmu silat itu, tetapi sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan.

"Wuuuutttt...!"

Angin kuat menyambar ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuh sampai berjongkok itu tiba-tiba saja menerjang ke arah Hay Hay dengan pukulan kedua tangannya, didorongkan sambil mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking.

"Haiiiiittt...!"

Hay Hay melihat dan mengenal pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang ugal-ugalan serta senang sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka sambil tersenyum dia pun mendorongkan kedua tangan menyambut pukulan itu.

"'Dessss...!"

Dua kekuatan yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah. Akan tetapi di lain pihak, Kui Hong tidak dapat menahan kekuatan dorongan yang demikian hebatnya, yang membuat tenaganya membalik hingga tubuhnya terdorong ke belakang sampai dia terjengkang dan terpaksa dia harus bergulingan agar tidak terbanting hebat!

Akan tetapi dia tadi sempat mengerahkan sinkang-nya sehingga tidak sampai terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik, dan sesudah tubuhnya menabrak batang pohon, baru dia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat, lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena dia menjadi marah dan juga malu!

Menurut kakeknya, pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu sangat hebatnya, jarang ada orang yang mampu menahannya. Apa bila pemuda ini dapat menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa lawannya ini mempunyai tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya.

Sementara itu, ketika melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran.

"Ah, harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Aku benar-benar tidak sengaja dan tidak bermaksud untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?"

Sikap baik dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi makin marah. Dia merasa diejek dan perutnya terasa panas bukan kepalang. "Manusia iblis, kau kira aku sudah mengaku kalah?" Berkata demikian, dia pun menerjang kembali dan sekali ini, biar pun pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih cepat dari pada tadi.

Memang Kui Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang lebih kuat. Maka dia pun menyerang dengan mengandalkan ginkang-nya. Gadis ini sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari ibunya lalu disempurnakan oleh gemblengan neneknya yang memiliki ginkang lebih hebat lagi.

Dan untuk lebih memperhebat ginkang-nya, dia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepat sehingga tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh pandang mata.

"Ihhh, engkau memang lihai sekali, Nona!" kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka sama sekali! Dia menjadi semakin kagum.

Gadis ini lihai ilmu silatnya, kuat sinkang-nya dan hebat pula ginkang-nya. Kiranya hanya Kok Hui Lian saja yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat betapa gadis itu kini mempergunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia pun melayaninya dengan gerakan cepat.

Akan tetapi diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan dan tidak pernah membalas.

Akan tetapi, biar pun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong. Karena Hay Hay sama sekali tidak mau membalas, hanya mengelak dengan amat cepatnya dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka dia pun menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini sangat memandang rendah kepadanya dan sedang mempermainkannya!

Tapi diam-diam dia pun terkejut bukan main karena baru sekarang dia tahu benar betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Siapa yang mampu menahan pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi darinya.

Akan tetapi bukan watak Kui Hong untuk merasa jeri dan mau mengaku kalah! Dia malah memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya sehingga dia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu.

Menghadapi seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerang dirinya secara bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu.

Kini Hay Hay mulai merasa bingung. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya. Amukan gadis ini pun karena tadi dia mempergunakan sihir sehingga dia dimaki sebagai manusia iblis dan dukun lepus!

"Haiii, Nona, tahan dahulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!" teriaknya berkali-kali.

Akan tetapi agaknya Kui Hong sudah menulikan telinganya dan tidak sudi mendengarkan omongannya lagi, bahkan menyerang terus walau pun sekarang leher dan dahinya telah berkeringat, dan napasnya telah agak memburu karena sejak tadi dia menyerang dengan sepenuh tenaga dan selalu mengerahkan ginkang-nya.

"Nona yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tak mengapa!" teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung.

Apa bila dilanjutkan, akhirnya dia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan kehabisan napas dan tenaga, dan hal ini juga amat membahayakan gadis yang nekat itu. Maka dia pun melompat lagi lantas melarikan diri ke arah puncak bukit! Akan tetapi Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan pengejaran dengan amat nekat.

Celaka, pikir Hay Hay. Gadis itu justru memiliki ilmu berlari cepat yang sangat hebat. Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu melewati puncak bukit, dia akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana sehingga dia akan dapat bersembunyi. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah lelah dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu.

Perhitungan Hay Hay tadi memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya, Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi dengan nekat dia berusaha mengejar dan menyusul. Hatinya gemas bukan main kepada pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Dia harus bisa menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay sesudah dia tiba di puncak bukit itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak ada jalan turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan di bagian lain bukit itu selebar kurang lebih dua ratus meter. Jurang itu tidak mungkin dilompati, kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung!

Sementara itu Kui Hong sudah berhasil menyusulnya dan meski pun napas gadis itu kini sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat.

"Cukuplah, Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!" berkata Hay Hay yang merasa terjebak dan tidak mampu lari mengelak lagi.

Akan tetapi tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong telah kembali menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya.

Akan tetapi tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya terlepas dari gelungnya. Rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan cambuk saja.

Bukan main! Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau sampai mengenai muka, terutama mata, maka dapat mencelakai lawan!

Menghadapi lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay harus melepaskan pegangannya dan meloncat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangannya untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin pukulannya sehingga beberapa batang jarum merah itu pun runtuh.

Hay Hay semakin kaget. Jarum-jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya. Dengan diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi hal ini malah membuat dia merasa penasaran sekali dan kini dia maju lagi sambil mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah.

Melihat pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran sekali. Apakah akhirnya gadis ini sudah kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum merah? Dia mencoba untuk menangkis pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah benar gadis itu sudah kehabisan tenaga.

"Plakkk...!"

Dan Hay Hay terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan lunak sekali. Itulah Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya lunak saja, namun begitu halusnya sehingga tenaga sinkang dan kekerasan pihak lawan akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja!

Ketika merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada pegangan pokok bahwa dengan kelembutan mengalahkan kekerasan! Dia cepat-cepat meloncat lagi ke belakang.

Akan tetapi tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga pada waktu Hay Hay melompat ke belakang dengan sepenuh tenaga, tubuh Kui Hong turut terbawa pula. Dan karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi, dia menjadi lengah, tak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melampaui tepi tebing sehingga tanpa dapat dicegah lagi, mereka terjun melayang ke dalam jurang yang amat curam itu!

"Ihhhh...!" Saking kagetnya Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan dia melihat betapa tubuh mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya.

Akan tetapi dia adalah seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi kematian. Karena dia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan dirinya, maka dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan. Dia tidak memejamkan mata, bahkan membuka kedua matanya lebar-lebar, seakan-akan dia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya dan dengan mata terbuka!

Hay Hay terkejut bukan main. Akan tetapi seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut, malah dia membuka mata dan bersiap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika masih dibebani dengan tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimana pun juga, masih lebih cepat dari pada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak dibandingkan gadis itu.

Ketika dia melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing sebelah bawah, menonjol keluar atau seperti tumbuh agak miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan terobek, bahkan dapat mengoyak tubuhnya dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan keras.

cerita silat online karya kho ping hoo

Hidup dan mati merupakan suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tak dikuasai dan juga tak dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri.

Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggota tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita.

Kita ini diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya mau pun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh Dia pula!

Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Namun sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, meski kita bersembunyi di dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekali pun, tetap saja maut akan datang menjemput! Paham, kan?


Begitu pula dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup sehingga meski pun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan menurut perhitungan akal manusia sudah wajarlah apa bila dia binasa dengan tubuh hancur di dasar jurang yang curam itu, namun secara 'kebetulan' sekali, di tengah tebing itu ada sebuah pohon yang tumbuh menonjol dan 'kebetulan' pula Hay Hay melihatnya.

Kemudian, 'kebetulan' ke tiga adalah bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk dapat meraih cabang pohon yang mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andai kata tidak ada kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu riwayat Hay Hay akan tamat!

Begitu tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh gadis itu pun meluncur ke bawah, tidak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya.

"Cepat tangkap kakiku!" teriak Hay Hay sekuat tenaga.

Agaknya Kui Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi, agaknya Tuhan masih menghendaki dia hidup. Maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan dia pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu.

Sentakan ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia telah mengerahkan sinkang-nya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas!

Demikianlah, pemuda dan gadis itu kini bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah mereka, maut menganga lebar dan siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan tubuh mereka berdua. Akan tetapi perhatiannya yang sedang melakukan penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada betis dan pegangan kaki kirinya.

"Hemmm, kini nyawamu berada di tanganku," kata gadis itu, agaknya kemarahannya kini bangkit kembali sesudah melihat bahwa mereka selamat biar pun hanya untuk sementara waktu. "Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan mampus!"

Hay Hay tersenyum. Pemuda ini memang luar biasa sekali. Dalam keadaan seperti itu dia masih mampu tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan watak jenakanya. Alangkah bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dan segala keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu.

Apakah sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut syarat, hanya satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh keinginan-keinginan akan hal-hal yang tidak ada! Berarti menerima segala sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian takkan pernah ada kekecewaan, takkan pernah mengeluh, sebab memang tidak mengharapkan hal-hal yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi.

"Ha-ha-ha, Nona manis. Agaknya engkau lupa diri. Kalau aku kau bunuh, tentu tanganku akan terlepas dari cabang ini dan kau sangka engkau akan dapat selamat kalau bersama mayatku meluncur ke bawah sana itu?"

Agaknya Kui Hong baru teringat mengenai hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi hatinya. Dia marah bukan hanya karena teringat tentang perebutan kijang, bukan hanya karena berkali-kali dia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding dia tidak mampu mengalahkan pemuda itu, tapi dia marah terutama karena mengingat bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak melompat ke jurang, tentu dia pun tidak akan terbawa!

Kini, mendengar ucapan itu, dia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk!

Meski pun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi pelukannya pada kaki kiri Hay Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang senyumnya menjadi semakin lebar. Memang dia amat nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi dia pun suka menggoda!

"Nona, apa bila aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua tanganmu yang merangkul kaki kiriku, lantas engkau akan terlepas dan jatuh. Akan tetapi jangan khawatir, aku tak sekejam dan seganas engkau yang haus darah ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di bawah sana."

Kui Hong merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke telinganya. Untunglah bahwa dia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak dapat melihat mukanya yang ditundukkan.

"Sudahlah, tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan berbahaya ini!" Akhirnya dia berkata sambil bersungut-sungut.

Semenjak tadi Hay Hay telah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat tertanam dan terbelit di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang sangat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal yang tidak mungkin sama sekali melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada tempat untuk berpijak dan berpegang sama sekali.

"Naikkanlah kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!" Kui Hong berkata lagi.

Tentu saja dia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan dilakukannya karena dia merasa malu. Apa bila dia merayap naik melalui tubuhnya maka seolah-olah dia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu!

"Dan sesudah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku terjatuh, begitukah?" Hay Hay bertanya. "Berjanjilah lebih dahulu bahwa engkau tak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku."

Kui Hong menjadi semakin gemas. Akan tetapi dia pun teringat betapa dia telah bersikap terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu terdapat luka bekas sambitan. Tidak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tak bersalah. Akan tetapi sikapnya itu seperti mempermainkan, itulah yang membuat dia marah. Dan pemuda itu tukang sihir pula! Dia bergidik.

"Baiklah, aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu hitammu itu!"

Hay Hay tertawa. "Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah engkau, Nona?"

Kui Hong mengerutkan sepasang alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya! Menggunakan keunggulannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung dan mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik dari pada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut bersama-sama. Dan pemuda itu sudah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang aneh karena tanpa nama keturunan.

"Namaku Kui Hong," katanya kemudian, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama keturunan).

"Kui Hong... Kui Hong... ahh, nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya..." Hay Hay memuji.

Apa bila pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tak pernah ingin mengambil hati atau merayu. Justru karena dia menyukai keindahan maka dia memuji berdasarkan apa yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu!

"Sudahlah, tutup mulutmu dan angkat kakimu supaya aku dapat naik ke cabang itu!" Kui Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa gembira sekali oleh pujian itu.

Hay Hay lalu mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu segera meraih cabang pohon di sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini dia sudah duduk di atas cabang pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum.

Untung ada pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui," kata Hay Hay, kini sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua mata gadis itu.

Mendengar sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan dia pun tersenyum. Lenyaplah semua kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona.

"Aih, Nona Kui. Mengapa engkau tidak mau memperbanyak senyummu itu? Bukan main! Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!"

Senyum ini lenyap seketika. "Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!"

Hay Hay membelalakkan matanya. "Memualkan perutmu? Wah aneh! Akan tetapi biarlah, hanya aku ingin sekali tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?"

"Ada beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum," kata Kui Hong. "Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui. Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku."

"Aihhh, begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama keturunan?"

"Hemm, sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?" Kui Hong mencela.

Hay Hay memandang wajah yang manis itu sehingga keduanya saling pandang, dan Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aihh Nona Hong!" Dia merubah panggilannya, tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong. "Jangan engkau main-main!"

"Main-main? Aku...?" Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang main-main kini malah mengatakan bahwa dialah yang main-main!

"Di tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek dan..."

"Tolol!"

"Memang aku tolol, tapi mengapa..."

"Maksudku bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku namamu Hay Hay, tanpa menyebutkan she-mu. Tak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she Hay di dunia ini? Kalau engkau sendiri tidak mau menyebutkan she-mu, apakah aku perlu memperkenalkan she-ku?"

Hay Hay tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang kala mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, dia bergidik dan segera menundukkan mukanya, tak berani terlalu lama bertemu pandang.

"Ahh, kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, meski pun selama ini aku ini tidak pernah mempergunakan she-ku, akan tetapi nama keturunanku adalah Tang, jadi nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka dikenal sebagai Hay Hay saja."

"Aneh kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!" kata Kui Hong. " Aku sendiri she Cia "

"Heiiii...!"

Kui Hong sampai tersentak kaget. "Apakah engkau gila? Teriak-teriak mengejutkan orang! Ada apa sih engkau langsung berteriak ketika mendengar nama keturunanku?"

"She Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suheng-ku. Menurut keterangan seorang di antara guru-guruku, beliau memiliki seorang murid yang juga she Cia, nama lengkapnya Cia Sun."

"Ihhhh...!"

Kini bagian Hay Hay yang tersentak kaget. "Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget. Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama suheng-ku itu? Apakah engkau mengenal dia?"

"Mengenal? Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai."

Hay Hay mengangguk-angguk. "Aku sudah sering mendengar akan keluarga Cin-ling-pai. Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?"

"Aku puteri ketuanya!" kata Kui Hong sambil mengangkat dada.

Kembali Hay Hay merasa kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika diangkat dada itu membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik.

"Wah-wah, kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat. Engkau adalah puteri Ketua Cin-ling-pai, keluarga Cia yang sangat terkenal, sedangkan aku hanya seorang perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi..."

"Sudahlah. Mengapa kita mengobrol ke barat dan ke timur tanpa arah ini? Lebih baik kita berbicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?" kata Kui Hong, sambil menatap wajah Hay Hay.

Yang ditatap tersenyum lebar sehingga Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya pertanyaan itu. Tentu saja tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup selamanya di pohon itu!

"Ya, aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!"

Senyum Kui Hong langsung lenyap dan mukanya kembali menjadi merah, tetapi matanya mencorong dan alisnya berkerut. "Engkau mau mempermainkan aku dan kurang ajar lagi?"

"Tidak, tidak..., mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka sekali bergurau. Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, marilah kita selidiki tempat ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Untuk turun ke bawah juga tidak mungkin, dinding tebingnya sama, bahkan lebih jauh dari pada kalau naik ke atas. Akan tetapi di sana itu terdapat sebuah goa. Lihat!"

Kui Hong memandang ke bawah sebelah kanan dan benar saja, di sana nampak sebuah goa yang cukup besar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang pohon itu.

"Akan tetapi goa itu terlalu jauh, bahkan untuk ke situ pun tidak mungkin dengan merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu," kata Kui Hong. "Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sinkang sambil menggunakan dua tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke goa itu."

"Akan tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa, dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, dan mungkin bisa mencari makanan di dalam goa itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di batang pohon dan akhirnya kita berdua akan mati kelaparan. Sayang, bangkai kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!"

Diingatkan akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk.

"Nah, perut siapa yang berkeruyuk?" kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana agar gembira.

Wajah Kui Hong berubah merah sekali. "Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku berkeruyuk?" bentaknya marah.

"Aihhh, siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku tadi hanya mendengar suara perut berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk."

"Perutku tidak!" Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku.

"Lagi pula perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan apa bila terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah, dengar, berkeruyuk lagi...!" Benar saja, terdengar perut Hay Hay berkeruyuk karena sejak berburu kijang, dia memang sudah merasa lapar sekali. Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi!

"Wah, jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!" kata Hay Hay tertawa dan kini Kui Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Dia tidak merasa malu lagi karena jelas perut Hay Hay terdengar berkeruyuk lebih dulu, lebih nyaring lagi!

"Kalau tinggal di sini terus, walau pun kita kuat bertahan namun perut kita ini yang tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari..."

"Hay Hay, lihat...!" tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah goa.

Hay Hay tersenyum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya jika saja dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh dara itu. Ketika dia menoleh ke arah goa, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut.

Sebuah wajah yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah seorang nenek-nenek yang sulit ditaksir berapa usianya. Jika melihat keriput pada pipinya tentu lebih dari enam puluh tahun.

Tetapi wajah itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila.

"Hik-hik-hik," nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas saja kelihatan kempot dan kisut. Andai kata nenek itu masih bergigi, tentu kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan mulus seperti dahi dan leher orang muda saja.

"Sepasang monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!"

Hay Hay dan Kui Hong mengamati nenek itu yang kini bagian tubuhnya yang lain nampak lebih banyak, sampai batas pinggangnya. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda!

Kini mereka melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke dalam mulutnya dan begitu dia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu pecahan dari batu keras, segera menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan!

"Awas...!" Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika dia miringkan kepala.

Dia terkejut bukan main karena telapak tangannya terasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu kerikil itu kuat bukan main! Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan dengan mudahnya dia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di dekat kepalanya.

Hay Hay membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil yang tajam runcing, namun bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi mempergunakan mulut meniup?

Kui Hong kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil sebagai senjata rahasia hanya dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum terhadap Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke arah mukanya. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak akan sanggup melakukannya, kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi.

Sementara itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran. "Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!"

Nenek itu kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, ada pun dua buah yang lain lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar dari pada tadi!

Kui Hong yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua sinar menyambar, dia telah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kepandaiannya yang sangat hebat. Dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil menangkap dua buah kerikil itu!

"Nenek iblis jahat!" bentak Kui Hong marah. "Hay Hay, balas iblis itu, serang dia dengan kerikil-kerikil itu!"

Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Kalau engkau tidak mau, kesinikan kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!" Kui Hong marah bukan main namun tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau dia menggunakan jarum-jarum merahnya, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.

"Jangan, biarkan aku bicara dengannya."

Sementara itu, ketika melihat mereka berdua kembali dapat menghindarkan diri, apa lagi melihat betapa dua butir kerikilnya berhasil ditangkap oleh pemuda itu, nenek itu berseru. "Celaka, kalian tentu urusannya datang untuk membunuhku! Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian hendak menghindar ke mana?"

Melihat nenek itu sudah bersiap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lantas berseru nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa,

"Nenek yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu, bahkan aku adalah suamimu sendiri. Lihat, apakah engkau sudah lupa kepada suamimu sendiri?"

"Apakah engkau sudah gila, Hay Hay?" Kui Hong berkata, namun gadis ini segera teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka dia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa sekarang pemuda itu tentu sedang menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu.

Ia melihat betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay Hay, nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya sendiri dengan punggung tangan kanannya, memandang kembali, dan... seketika muka nenek itu menjadi merah dan kelihatan marah bukan main.

"Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang ke sini untuk membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!"

Tiba-tiba saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau ditiupkan, semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang bertubi-tubi dan semua itu dilepaskan dengan kekuatan dahsyat, bahkan masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis.

Diam-diam Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi dia pun kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau dia yang diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Dan diam-diam dia merasa khawatir sekali, maka dia pun segera mengerahkan khikang lantas dengan suara nyaring mengandung kekuatan khikang dia pun berteriak.

"Nenek tolol! Lihat baik-baik, dia adalah seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!"

Ternyata lengkingan suara ini mampu menembus jarak dan pada saat itu Hay Hay juga menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan langsung menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, wajahnya masih sedikit pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri!

Sesudah melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukanlah suaminya melainkan seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk membujuknya.

"Nenek yang baik, kami tidak punya kesalahan padamu, kenapa engkau memusuhi kami? Manusia hidup harus saling tolong menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan, tadi terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu kami juga akan dapat menolongmu kelak."

Nenek itu agaknya berpikir sampai lama, memandang pada Hay Hay dan Kui Hong, lalu mengangguk-angguk. "Aku sudah salah sangka, kalian jelas bukan musuh, bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai. Memang benar, kalian tentu akan dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huh... aku yang sengsara, disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat."

Nenek itu lalu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya sehingga kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena sudah menanti tangis nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong menjadi kehilangan kesabarannya.

"Sudahlah, Nek, hentikan tangismu itu dan tolonglah kami kalau memang engkau mampu, baru kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!" kata Kui Hong sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi, Hay Hay segera menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai nenek ini.

"Benar, Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas budimu."

Nenek itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian dia pun mengangguk. "Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong kalian."

Mendadak tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap, agaknya dia masuk ke dalam goa. Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka?

"Nona, dengarlah..."

"Hay Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara denganmu lagi! Namaku Kui Hong, engkau sudah tahu ini, jadi tidak ada tuan-tuan atau nona-nonaan!"

Hay Hay tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi, di luar dugaannya gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam goa, dia sudah menduga bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya kepadanya.

"Baiklah, Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum dia muncul," katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik. "Jika nenek itu nanti benar-benar menolong kita, biar aku yang lebih dulu ditolongnya, karena aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan dia menolong hanya untuk menjebak kita."

Kui Hong memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali mengenai tingkat kepandaian mereka. Dia maklum bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang sangat tinggi ilmunya. Dia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan bisa menyelamatkan diri ketika dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya!

Mendengar suara bisikan itu dia pun mengangguk karena dia sendiri juga belum percaya benar terhadap nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu berhadapan dengan nenek itu, yang jelas mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya.

Pada saat itu kepala Si Nenek tadi nongol kembali dan kini dia membawa segulung tali! Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tidak disangkanya bahwa nenek itu mempunyai gulungan tali yang nampaknya panjang dan kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu hendak menolong mereka, yaitu mengajak mereka ke dalam goa itu, akan tetapi bagaimana pun juga, tentu lebih baik dari pada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu!

Akan tetapi Kui Hong cemberut. "Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke bawah?" katanya.

Mendengar ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak bernada mengejek seperti tadi, walau pun masih kelihatan sama, yaitu mulut itu tidak bergigi lagi.

"Mau apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tak ada kemungkinan naik kembali, kecuali menunggang burung rajawali!" nenek itu berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Akan tetapi sayang, selama bertahun-tahun ini tidak pernah kulihat seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui goa ini."

"Baiklah, Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!" kata Hay Hay.

"He-heh-heh, engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya engkau dan Nona itu yang mampu membantuku menghadapi musuh besarku. Nah, sambutlah tali ini!"

Nenek itu melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa lihainya nenek itu. Kekuatan lontarannya begitu hebatnya sehingga ujung tali itu meluncur dengan cepat ke arah pohon itu, bagaikan dibawa anak panah saja,. Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu, melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya!

Hay Hay cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya pada sebatang pohon yang berukuran sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam rumput yang amat kuat.

"Sudah kuikat dengan kuat, Nek. Tariklah biar tegang!" Kemudian dia berbisik kepada Kui Hong. "Kui Hong, jika nanti engkau menyeberang, jangan berjalan di atas tali. Berbahaya kalau dia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung saja seperti yang aku lakukan."

Nenek di goa itu telah menarik talinya hingga tali itu kini menegang, merupakan jembatan yang terbuat dari sehelai tali, dari atas ke bawah namun tidak terlalu menurun sehingga kalau saja tidak takut dikhianati oleh nenek itu, akan lebih mudah bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya tentu akan terjatuh ke bawah sana.

"Kui Hong, aku menyeberang lebih dahulu, perhatikan!" bisiknya kepada nona itu dan dia pun berteriak ke arah goa, " Aku mulai menyeberang, Nek!"

Dan dia pun memegang tali itu dengan kedua tangannya, lalu meloncat dari atas cabang pohon. Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan sepasang tangannya merayap maju sambil bergantung.

Dengan cara demikian, andai kata nenek itu bertindak curang dan melepaskan tali, maka tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang pada tali tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya sehingga dia akan selamat dan kembali ke pohon tadi. Agaknya hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia semakin kagum. Di samping lihai, pemuda itu juga cerdik sekali.

Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek. "Orang muda, agaknya engkau tak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, jika aku bermaksud buruk, biar pun engkau bergantungan, apa kau sangka aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, jika sekarang aku menghujankan batu kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"

"Aku akan menghindarkan seranganmu dengan cara begini, nenek yang baik!"

Tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali atau bermain sulap. Akan tetapi gerakan Hay Hay lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan sangat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu menjadi terkejut dan kagum.

Memang akan sukarlah menyerang Hay Hay karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil tubuhnya berputaran, kedua tangan Hay Hay terus 'melangkah' sehingga akhirnya dia tiba di mulut goa dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu.

Dan Hay Hay terkejut bukan main ketika melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya yang terkulai lemas dalam celana hitam itu, dia pun dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah.

"Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena sesungguhnya engkau juga membutuhkan bantuanku," katanya sambil tersenyum.

"Hi-hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu sebab engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi aku tak membutuhkan bantuan gadis itu, sebab itu lebih baik dia dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang.

Karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi untuk mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring, karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan pada tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!

"Heiii, Nek, untuk apakah engkau memegang ular di tangan kananmu?"

Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi gerakannya segera terhenti di tengah jalan ketika mendengar bentakan itu. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.

"Ular...?" Dan dia pun cepat mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya kemudian dia pun menjerit.

"Ihhhh...!" Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai goa.

Saat itu pula Hay Hay telah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedang lalu mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan goa itu hanya tiga puluh meter, dengan 'melangkah' sebanyak lima puluh kali saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut goa kemudian melompat ke dalam dengan selamat.

Nenek itu telah memungut kembali pedangnya dan kini dia berdiri, atau lebih tepatnya lagi duduk karena dia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut karena seperti juga Hay Hay, dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya!

Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah dua kakinya, nenek itu berkata, "Kalian tidak menduga bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku memang lumpuh, aku tak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!"

Tiba-tiba nenek itu terlihat beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Kemudian pedang di tangannya dimainkan, menyambar-nyambar ganas.

"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!"

Pedang itu kembali menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu amat terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.

"Crakkk!" tampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu.

"Seperti inilah dia akan kucincang...!" Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu sudah menjadi puluhan potong!

Seperti permulaannya tadi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian ke arah pedangnya dan dia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, namun hanya sepotong batu besar!

"Uhu-huu-huuuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara..." Dan tiba-tiba pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya kemudian dia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"

"Krekkk...!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.

"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar goa, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu.

Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan sekaligus kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudah dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang baik sekali, akan tetapi dengan sangat mudah pula nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini sudah membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.

"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami pasti akan suka membantumu, asal saja engkau bisa menunjukkan jalan keluar dari sini," kata Kui Hong yang menjadi terharu sesudah melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja dia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya. "Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam goa ini?"

Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, namun tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.

Sesudah menangis beberapa lamanya nenek itu menghentikan tangisnya, lantas berkata, seperti menjawab semua pertanyaan Kui Hong tadi. "Satu-satunya jalan keluar dari jurang ini adalah melalui goa ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, walau kalian sudah berada di dalam goa ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, sudah dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah..."

"Tetapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)," kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau sangat lihai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi, kalau memang mengenal jalan rahasia itu, kenapa selama ini engkau tidak keluar?"

"Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa setan itu lebih dulu membuat kedua kakiku lumpuh sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekali pun jangan harap dapat keluar kalau dia tidak mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini."

"Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran. Dia tak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.

"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."

"Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong semakin penasaran, dan sebagai seorang wanita tentu saja dia segera merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu dan menentang suami nenek itu yang begitu kejam dan jahatnya.

Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lantas menarik napas panjang dan dengan sikap sedih dia menundukkan mukanya. "Di dunia ini mana ada laki-laki yang dapat dipercaya? Sebelum mendapatkan wanita yang disukanya, dia merayu dengan kata-kata manis, yang semanis madu. Akan tetapi, sesudah wanita itu berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan lalu mencari wanita lain! Sebagai isterinya tentu saja aku merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu, akan tetapi dia membela wanita itu. Dan dia sangat lihai! Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"

"Jahanam keparat laki-laki itu!" Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya telah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.

"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"

"Goa ini luas sekali dan memiliki banyak terowongan, bahkan beberapa di antaranya ada yang menembus ke dinding tebing, menjadi goa kecil lainnya. Di salah satu goa-goa kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku bisa makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang mereka tinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki goa-goa kecil itu dan daging ular lezat sekali. Di dalam terowongan juga terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan di depan goa kecil ada tanaman yang menghasilkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."

"Dan Locianpwe masih memiliki waktu untuk memintal tali itu, juga berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"

"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, selama ini banyak waktu luang sehingga aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar atau meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilin dari sejenis rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud mempergunakan tali itu untuk keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."

"Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara." Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu untuk memancing dan menyembunyikan kecurigaannya karena memang sungguh aneh jika melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun tetapi masih mampu bicara sedemikian lancarnya.