Pendekar Mata Keranjang Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GUNUNG itu sangat tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Sebagian tertutup oleh awan dan puncaknya dipenuhi hutan lebat sehingga dari jauh tak nampak adanya sebuah bangunan yang sangat indah dengan atapnya yang meruncing ke atas seperti kuil di Birma.

Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, apa bila hari sedang cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah bangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri dari selatan.

Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi telah merasa amat kagum, juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Lebih lagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilakan tiga orang tamu agung itu naik joli untuk digotong naik seperti orang-orang bangsawan.

Pak Kwi Ong hendak bertanya kepada salah satu di antara belasan orang penyambut itu. Akan tetapi, belum juga dia sempat membuka mulut, Tung Hek Kwi sudah naik dan duduk ke atas sebuah joli. Maka Pak Kwi Ong dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.

Mereka digotong melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, begitu tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka.

Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulai, mengiringi tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran yang serba mewah dan kaki tangan hingga kepalanya terhias emas permata!

"Selamat datang di istana kami!" kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung saat mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.

Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur rapi dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memenuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.

"Ha-ha-ha, mimpikah aku? Seperti berada di dalam istana saja!" kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.

Sebelah dalam istana itu lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik terus berkumandang dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, jumlahnya belasan orang, lalu mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun amat sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.

"Selamat datang di istana kami, semoga para dewa sudah melindungi perjalanan Sam-wi (Anda Bertiga)," kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang telah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh beberapa gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.

Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian lalu minum anggur itu yang ternyata baru saja dikeluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.

"Sebelum kita bicara, mari kita makan dahulu dan kami mengharapkan Sam-wi akan puas dengan hidangan kami yang seadanya."

Ternyata ‘yang seadanya’ itu sangat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih beberapa macam masakan yang menarik seleranya saja, dan dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia makan hidangan yang demikian lezatnya!

Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat isi dan keadaan di dalam istananya. Semua ruangan sengaja dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh berisi senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan diperlihatkan pula kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata.

Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, mereka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia!

Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya lantas bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa. "Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinangan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Sesudah melihat sendiri keadaan kami, kami harap Sam-wi dapat memberi jawaban yang pasti."

Terkejutlah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan dia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.

Untuk sejenak dua orang kakek itu saling pandang, kemudian Pak Kwi Ong tertawa lebar hingga perutnya bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!" Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu-ragu lagi. "Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?"

Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya, kemudian memandang kepada muridnya. "Bagiku sih terserah kepada Bi Lian."

"Aihh, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?" tanya Bi Lian penasaran.

"Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia telah mengajukan pinangan melalui Suheng-mu, Lam-hai Giam-lo, hendak mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?"

Bi Lian mengerutkan kedua alisnya dan teringatlah dia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi dia tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak mencintai pria yang pongah ini, sedikit pun tidak suka walau pun dia kagum dengan kelihaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong nampaknya setuju benar dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, dia pun tidak berani menolak begitu sasja.

"Suhu, bagi seorang wanita pernikahan adalah satu urusan besar yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku dapat mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah hal ini kupikirkan lebih dulu dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberikan jawaban." Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum.

"Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari."

Atas desakan Bi Lian mereka bertiga lantas meninggalkan istana itu dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, tiba-tiba Bi Lian menghentikan langkahnya.

"Suhu berdua sungguh terlalu!" tiba-tiba dia berkata sambil memandang mereka dengan muka merah.

"Wah, apa maksudmu, Bi Lian?" tanya Pak Kwi Ong tertawa.

"Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?"

"Bi Lian, apa katamu itu?!" Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. "Engkau adalah muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!"

"Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya."

"Tidak, engkau harus mau!" bentak Pak Kwi Ong.

"Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!" Bi Lian berkata nyaring. "Aku tidak sudi!"

"Aku akan memaksamu."

"Aku akan melawan!"

"Murid murtad!" Pak Kwi Ong marah bukan main dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan dia pun langsung mengelak. Ketika Pak Kwi Ong kembali mendesak, tiba-tiba Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukkk!" Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.

"Setan Hitam, engkau berani membelanya?"

"Tentu saja! Dia muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!"

"Dia harus kawin dengan Kulana!"

"Tidak, dia boleh menentukan pilihannya sendiri!"

"Keparat!"

"Bedebah!"

Dua orang kakek yang usianya telah delapan puluh tiga tahun itu sekarang saling hantam dan saling serang dengan sangat hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi namun tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut, apa lagi kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta.

Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan dia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.

Dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, akan tetapi belum sampai tiga puluh jurus keduanya telah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.

"Desss...!" keduanya terjengkang lantas roboh terkulai, tidak mampu bangkit kembali, dan napas mereka empas-empis!

"Suhu...!" Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sama-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu.

Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Sesudah melihat keadaan kedua orang tua itu, barulah dia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tanpa terasa lagi Bi Lian pun menangis!

Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walau pun sudah megap-megap. "Kau... kau harus menjadi isteri Kulana... ahhh..."

"Tidak... kau boleh menolak..."

Di dalam keadaan sekarat kedua orang kakek itu masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!

"Suhu...!" Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.

Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Dia segera melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Di sana sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo beserta dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!

"Nona Cu, sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah engkau ikut bersamaku lalu kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang gurumu," kata Kulana dengan suara halus dan sikap ramah sekali.

Mendengar kata-kata yang demikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis. "Guruku... kedua guruku... mereka telah meninggal dunia..."

"Hal itu kini sudah tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu...," kata pula Kulana dengan sikap lembut, kemudian Bi Lian tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.

Mendadak dia teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah dia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Dia pun meronta dan melepaskan tangannya, lalu cepat-cepat melompat menjauh.

"Tidak, jangan sentuh aku!" teriaknya.

Di dalam hatinya memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka terhadap kalangan sesat, bahkan sering kali dia menyesal mengingat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biar pun dia selalu bersikap keras dan ganas, namun belum pernah dia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya namun karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat.

Kalau selama ini dia masih mau diajak bergaul dengan golongan hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, sesudah kedua orang gurunya meninggal dunia, dia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu dia meloncat, kini dia telah berdiri dengan sikap menentang semua orang yang sedang memandangnya.

"Nona Cu," kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. "Kedua orang gurumu sudah menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang gurumu, dan aku pula yang akan melindungimu, membahagiakanmu..."

"Cukup!" Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khikang-nya untuk melawan pengaruh suara halus itu. "Justru karena ulahmu itu, justru karena pinanganmu itu, kedua guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh mereka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!"

Berkata demikian, Bi Lian sudah meloncat ke depan dan menyerang Kulana dengan amat hebatnya. Kedua tangan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena dia mengerahkan tenaga sinkang yang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang.

Hampir saja pelipis kiri Kulana kena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu tidak cepat melompat ke belakang sambil berjungkir balik. Pada saat itu pula Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian, wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.

"Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, tetapi kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, sesudah kedua Susiok-ku meninggal dunia, maka akulah yang menjadi pengganti mereka sebagai pelindungmu dan akulah yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan bersikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!"

Akan tetapi sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena dia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Bahkan kedua orang gurunya juga melarang dia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya.

Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata dengan suara lantang karena dia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dulu pernah dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.

"Lam-hai Giam-lo! Sejak dulu tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan dari kedua orang guruku. Namun mereka kini sudah tewas di sini, gara-gara ulah orang yang bernama Kulana ini, sebab itu jangan engkau mencampuri, karena aku bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!"

"Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!" bentak Lam-hai Gam-lo, marah bukan main akibat merasa dipandang rendah.

"Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!" kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian.

Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana hanya berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.

"Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!" katanya.

Bi Lian menjadi kerepotan juga dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, agaknya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya dengan kekuatan sihir. Apa lagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, hampir setingkat dengan kedua gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja dia tidak akan menang.

Sekarang dua orang lihai itu mengeroyoknya. Biar pun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya.

Dengan hati penuh kagum para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahi dan mereka itu sama sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang sedang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?

"Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?" tiba-tiba saja Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing.

Memang ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini hebat sekali. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seakan-akan tubuhnya sedang tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan dia pun terhuyung, sulit untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu pula tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.

"Heiiiittt...!"

Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Dia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu dia akan dapat ditawan kalau saja pada saat itu tidak terdengar suara berseru halus.

"Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tak tahu malu sekali!" Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu.

Begitu pemuda itu mengembangkan sepasang lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana langsung terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya berukuran sedang saja dan pakaiannya sangat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit putih, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, sepasang matanya agak sipit dan bersinar lembut, sikapnya amat tenang dan di bawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.

Melihat ada seorang pemuda asing yang berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan kepalang. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaannya di situ sudah ditentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.

"Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?" bentak Lam-hai Giam-lo sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.

Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata, "Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!"

Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya, lalu sambil memandang wajah pemuda itu, mendadak dia maju dan membentak. "Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!" Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar.

Namun pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum lantas menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.

"Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini," suara itu demikian lembut.

Biar pun Bi Lian belum mengenal siapa adanya pemuda ini, tetapi dia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Dia mengangguk dan segera menghampiri pemuda ini, lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!

Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tak percaya. Tetapi Kulana dan Lam-hai Giam-lo segera sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.

"Jangan pergi...!" Lam-hai Giam-lo berteriak.

"Berhenti!" Kulana juga membentak.

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapi serangan mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua telapak tangannya ke arah mereka yang sedang mengejar sambil mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.

"Diam kalian!"

Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung di dalam bentakan ini. Kedua orang sakti itu seketika terhenti dan diam laksana patung, bahkan terbelalak seperti orang terkejut. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti telah menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir dalam tubuhnya terhenti dan dia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.

"Nona, mari kita pergi!" Dan dia pun dapat menggerakkan kaki.

Mereka kemudian melarikan diri dari tempat itu. Sesudah mereka jauh menuruni lereng, baru terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya kembali melakukan pengejaran.

Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun segera mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap di atas sebuah bukit. Sesudah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Karena tadi mereka terus berlarian, apa lagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, maka gadis itu merasa lelah sehingga dia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga.

Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu dia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari. Dia melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan sedang memperhatikannya, maka dia pun lalu meloncat berdiri dan teringatlah dia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali.

Dia masih merasa bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihai seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana serta anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut.

"Engkau siapakah? Bagaimana engkau bisa meloloskan aku dari cengkeraman mereka?" tanya Bi Lian.

"Duduklah, Nona dan mari kita bicara," jawab pemuda itu.

Bi Lian lantas duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat.

Sesudah gadis itu duduk, pemuda itu lantas berkata dengan halus. "Sesungguhnya hanya kebetulan saja kita bertemu. Sudah beberapa hari aku melakukan penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Pada waktu melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa penasaran lantas menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena jika terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang amat sakti. Tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?"

Bi Lian mengerutkan alisnya. Apa bila menurutkan wataknya yang keras, dia dapat marah mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini belum menjawab pertanyaannya tadi, juga belum memperkenalkan keadaan dirinya, tetapi sudah balas bertanya seolah-olah tidak percaya kepadanya. Akan tetapi dia menahan diri dan menahan kemarahannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia berhutang budi kepada pemuda ini.

"Agaknya karena engkau sudah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Begitukah?" Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk.

Pemuda itu tersenyum sabar dan menggelengkan kepala. "Maaf, bukan begitu maksudku, Nona. Aku memang benar-benar merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena itulah maka aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku adalah Pek Han Siong..."

"Aihhh...!" Bi Lian terbelalak.

Han Siong tersenyum. "Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?"

"Jadi engkau inikah Pek Han Siong... engkau... Sing-tong itu? Kakak kandung Pek Eng?"

Kini pemuda itu yang terbelalak dan bahkan langsung meloncat turun dari atas batu yang dudukinya. "Engkau tahu semuanya, Nona?"

Pemuda itu memang Pek Han Siong. Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng, adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena tidak suka dijodohkan dengan putera keluarga Song dari Kang-jiu-pang. Dia menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya ditawan oleh kaki tangan Lam-hai Giam-lo lalu dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia pun segera melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu.

Bi Lian merasa girang bukan kepalang mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng, gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong, kakaknya itu hebat sekali!

"Sungguh kebetulan sekali!" katanya gembira. "Aku mendengar mengenai dirimu dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini dia menjadi murid bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo."

"Hehh...?!" Tentu saja Han Siong terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu. "Bagaimana pula ini? Apa saja yang sudah terjadi dan engkau... siapakah engkau ini, Nona?"

"Aku Cu Bi Lian..."

Bi Lian berhenti berbicara karena dia melihat betapa wajah pemuda itu tiba-tiba berubah, matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat. "Kau... kau kenapakah?"

"...Cu... Bi... Lian...?" Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini, ada pun matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik.

"Benar. memangnya kenapa?" Bi Lian balas bertanya.

Han Siong menelan ludah dulu sebelum menjawab, "Tidak apa-apa... rasanya aku seperti pernah mengenal nama itu...," katanya agak gugup.

Tentu saja dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Siangkoan Bi Lian, adalah puteri dari suhu dan subo-nya! Inilah gadis yang harus dicarinya itu, bahkan yang oleh suhu dan subo-nya sudah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah tunangannya. Siapa orang yang tidak menjadi tegang hatinya kalau dihadapkan pada kenyataan yang begini tiba-tiba dan tidak disangka-sangka?

"Ahh, tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu," jawab Bi Lian.

Han Siong masih memandang bengong. Bertemu dan berhadapan dengan gadis ini, sadar sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu kandung gadis ini sendiri ditunangkan dengannya, membuat jantungnya berdebar kencang. Dia lalu menatap penuh perhatian.

Harus diakuinya bahwa Bi Lian adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita dan gagah perkasa. Tubuhnya begitu padat dan ramping, penuh kekuatan tersembunyi. Rambutnya panjang dan hitam, dikuncir tebal dan digelung di atas kepala. Matanya begitu tajam dan indah, bagaikan sepasang bintang dengan hidung kecil mancung, dan mulutnya demikian manis, dengan bibir yang merah basah. Mukanya bulat telur dan tahi lalat pada dagu itu... manis bukan main!

Gadis ini puteri suhu dan subo-nya, akan tetapi diserahkan kepada keluarga Cu sehingga gadis itu tidak tahu bahwa dia sebenarnya she Siangkoan. Menurut suhu dan subo-nya, ketika masih kecil gadis ini pernah memperoleh latihan ilmu dari suhu dan subo-nya, akan tetapi gadis itu kemudian lenyap. Bagaimana kini Bi Lian bisa menjadi seorang gadis yang sedemikian lihainya?

"Heii! Kenapa engkau memandangku seperti itu?" Bi Lian menegur. Ia memang galak dan paling tidak suka bila melihat pria memandangnya dengan sinar mata yang mengandung kekaguman, karena biasanya hal ini dianggap sebagai kekurang ajaran.

"Ahh, tidak, aku... aku teringat kepada adikku..."

"Adik Eng? Ia masih berada di sama. Tentu dia tidak tahu bahwa kakaknya telah muncul, bahkan menjadi lawan dari gurunya sendiri."

"Aku sungguh masih merasa bingung mendengar betapa adikku menjadi murid dan malah menjadi anak angkat orang seperti Lam-hai Giam-lo, juga heran melihat engkau berada di antara mereka, Nona."

"Menurut cerita adikmu, dia mencarimu akan tetapi bertemu dengan anak buah Lam-hai Giam-lo lalu ditawan, namun dia dapat membujuk Giam-lo sehingga dia diterima menjadi murid dan gurunya itu bahkan telah membatalkan ikatan perjodohannya dengan keluarga Kang-jiu-pang. Tentang diriku, ahhh, panjang ceritanya dan baru saja kedua orang guruku tewas di sana karena saling serang sendiri, gara-gara Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang berhasil membujuk guruku agar aku mau menjadi calon isteri Kulana."

Han Siong terkejut sekali. Dua orang guru gadis ini tewas karena saling serang sendiri? Orang-orang macam apakah guru-guru gadis ini?

"Siapakah guru-gurumu, Nona?" tanyanya, teringat kepada suhu dan subo-nya.

"Guruku adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."

Kembali Han Siong terkejut setengah mati. Dua nama itu adalah nama dua orang datuk sesat yang merupakan iblis-iblis, bahkan mereka adalah dua orang di antara Empat Setan yang tersohor itu. Pantas saja gadis ini lihai bukan main. Ngeri dia membayangkan bahwa puteri suhu dan subo-nya itu, yang telah dijodohkan dengannya, telah menjadi murid dua orang datuk sesat itu.

Melihat sikap Han Siong yang terkejut, Bi Lian tersenyum mengejek. "Memang aku murid mereka. Guruku adalah dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat seperti iblis! Lalu mengapa? Apa kau kira aku juga lalu menjadi jahat?"

"Ahh, sama sekali tidak, Nona. Akan tetapi... kalau aku tidak salah dengar bukankah ada hubungan antara Lam-hai Giam-lo dan kedua orang tua itu?"

"Benar, kedua orang guruku masih susiok dari Lam-hai Giam-lo."

"Kalau begitu Nona masih sumoi dari Giam-lo."

"Begitu maunya, akan tetapi aku tidak merasa menjadi sumoi-nya. Apa lagi setelah kedua orang guruku tewas. Dia yang menjadi gara-gara, dia dan Kulana, si keparat! Aku harus membalas kematian dua orang guruku terhadap mereka berdua!"

Tiba-tiba Han Siong memberi isyarat kepada gadis itu yang agaknya juga sudah melihat berkelebatnya bayangan orang di kejauhan. Keduanya sudah cepat menyelinap kemudian lenyap bersembunyi di balik batang pohon besar sambil mengintai bayangan itu bergerak cepat sekali dan tak lama kemudian mereka berdua melihat seorang laki-laki telah berada di situ. Melihat orang ini, Bi Lian marah sekali dan dia pun telah melompat keluar dari balik pohon sambil membentak.

"Kulana jahanam, engkau datang mengantar nyawa!"

Bi Lian meloncat keluar dan langsung menyerang dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah pelipis lawan, ada pun tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Serangan ini cepat dan kuat, dahsyat bukan kepalang karena dilakukan dalam keadaan marah dan penuh dendam.

Han Siong kaget sekali melihat serangan itu dan hampir saja dia turun tangan mencegah kalau saja dia tidak melihat bahwa orang yang diserang gadis itu pun kiranya bukan orang sembarangan.

Laki-laki itu juga terkejut karena tidak menyangka bahwa di tempat itu dia akan diserang seorang gadis yang demikian lihainya, apa lagi serangan itu merupakan serangan maut. Namun dia bersikap tenang dan sigap sekali. Dengan kecepatan seorang ahli, tubuhnya sudah merendah sehingga tusukan ke arah pelipis itu luput, ada pun cengkeraman tangan kanan Bi Lian ke arah lambungnya ditangkis dengan gerakan memutar.

"Dukkk!"

Dua lengan bertemu dan akibatnya kedua orang itu terdorong mundur dan merasa betapa lengan mereka masing-masing tergetar hebat, tanda bahwa keduanya mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat dan berimbang.

Bi Lian semakin marah. Dia memang sudah tahu tentang kelihaian Kulana, maka dia pun sudah siap untuk menyerang mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengar Han Siong berseru kepadanya.

"Nona, tahan dulu, jangan serang dia!"

Bi Lian mengerutkan alisnya. Dia tidak mengharapkan bantuan Han Siong, akan tetapi dia pun tidak ingin pemuda itu mencegah niatnya. "Hemm, Pek Han Siong, engkau mau apa sih sebenarnya?!" dia membentak.

"Nona Cu, lihat baik-baik. Dia ini bukanlah Kulana!"

Barulah Bi Lian terkejut lantas dia memandang penuh perhatian. Hemm, pemuda itu ada apakah? Orang ini jelas Kulana, mengapa berkata bahwa dia bukan Kulana? Bi Lian lalu mengamati orang itu. Wajahnya yang anggun berwibawa, pakaiannya yang mirip seperti pakaian bangsawan, mewah dan indah dengan kain kepala warna-warni dihiasi burungan merak terbuat dari emas permata, pandang matanya yang lembut namun mencorong dan sikapnya yang tenang dan halus. Siapa lagi kalau bukan Kulana?

Pandangan Bi Lian memang tidak keliru. Walau pun diperhatikan dengan teliti, baik wajah mau pun bentuk tubuhnya, laki-laki ini memang serupa benar dengan Kulana. Akan tetapi pandangan Han Siong tidaklah demikian, karena pemuda ini melihat ada perbedaan yang menyolok pada sinar matanya.

Laki-laki ini memandang bergantian kepada dua orang muda yang berdiri di hadapannya. Mula-mula matanya memandang ke arah Bi Lian dengan lembut, kemudian berubah tajam dan bersinar mencorong ketika menatap wajah Han Siong, namun di dalam pandangan ini juga terbayang kekaguman. Akhirnya dia tersenyum dan berkata kepada Han Siong,

“Saudara yang gagah perkasa sungguh mempunyai mata yang sangat tajam. Bagaimana Saudara dapat melihat sedemikian cepatnya bahwa aku bukanlah Kulana? Apakah yang membedakan antara kami menurut penglihatanmu?”

Han Siong menatap tajam kemudian memberi hormat. “Hampir tidak ada bedanya, seperti saudara kembar saja. Hanya agaknya bayangan duka membuat sinar matamu sayu dan rambut di pelipismu agak bercampur uban.”

Orang itu tersenyum. Kini Bi Lian baru percaya bahwa orang ini memang bukan Kulana, namun keduanya memang mirip sekali.

“Kalian bermusuhan dengan Kulana akan tetapi masih hidup, hal ini sudah mengagumkan sekali. Dan karena kalian dimusuhi oleh Kulana, maka sudah sepatutnya kalau kusambut sebagai tamuku. Marilah sobat-sobat, aku mengundang Ji-wi untuk datang ke tempatku, di sana kita dapat bicara dengan leluasa, tentu saja… kalau Ji-wi tidak merasa takut untuk mengunjungi tempatku,” kata pria yang mirip Kulana itu.

Laki-laki itu memang bukan Kulana, pangeran Birma yang melarikan diri itu. Dia bernama Mulana, merupakan saudara kembar dari Kulana, karena itu tidaklah mengherankan apa bila keduanya mirip sekali, baik wajah mau pun bentuk tubuhnya. Bahkan pakaian mereka juga sama-sama mewah dan indah, karena keduanya memang berdarah bangsawan.

“Siapa takut?!” bentak Bi Lian menjawab ucapan Mulana yang bernada tantangan tadi.

Han Siong yang merasa penasaran dan tertarik untuk mengenal pria ini lebih jauh, tidak ingin terjadi keributan antara Bi Lian dengan pria itu, maka dia cepat menengahi.

“Katakan saja tempat Saudara itu, kita akan datang ke sana,” katanya sambil tersenyum.

“Sungguh aku kagum terhadap Ji-wi yang bersedia memenuhi undanganku. Silakan Ji-wi mengikutiku,” kata Mulana yang langsung berkelebat pergi dari tempat itu.

Memang undangan itu aneh. Tuan rumah yang mengundang kini berlari cepat dibayangi oleh dua orang undangannya. Dilihat sepintas lalu mereka seperti tiga orang yang sedang berkejaran atau beradu cepat lari seperti tiga ekor kijang.

cerita silat online karya kho ping hoo

Diam-diam Mulana kagum bukan main. Dengan mudahnya gadis itu dapat mengimbangi kecepatan larinya, akan tetapi yang membuat dia lebih kagum adalah pemuda sederhana itu yang nampak enak-enak saja mengikuti dari belakang, seolah-olah tidak mengerahkan tenaga sama sekali.

Mereka melewati beberapa bukit dan hutan. Akhirnya Mulana berhenti pada kaki sebuah bukit. Dahi dan lehernya berpeluh, sedangkan napasnya agak memburu. Bi Lian yang ikut berhenti pula hanya agak terengah-engah dengan sedikit keringat pada dahinya, ada pun Han Siong tetap biasa saja, seolah-olah dia tadi tidak melakukan pekerjaan apa pun.

Dari balik jubahnya Mulana mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah semacam terompet, kemudian meniup mulut benda itu. Terdengarlah suara melengking tinggi yang menerobos hutan mengarah ke puncak bukit. Sesudah gema suara lengkingan itu lenyap, dia pun berkata,

“Harap Ji-wi suka menanti sebentar.”

Tidak lama kemudian, dari arah puncak bukit itu nampak turun serombongan orang yang diikuti oleh sebuah kereta di belakangnya. Mereka berbaris rapi, memberi hormat kepada Mulana seperti terhadap seorang pembesar tinggi. Kereta berkuda empat itu dikusiri oleh seorang kusir tua yang pakaiannya juga indah. Dengan gerakan anggun Mulana kemudian mempersilakan dua orang tamunya memasuki kereta.

Bi Lian dan Han Siong yang merasa sangat heran dan kagum, tanpa sungkan-sungkan lagi memasuki kereta bersama Mulana. Kereta lalu digerakkan, mendaki bukit yang penuh hutan, akan tetapi ternyata di sana sudah dibuat sebuah jalan yang rata dan cukup lebar sehingga kereta itu dapat berjalan dengan lancar.

Dua orang muda yang menjadi tamu itu merasa sangat kagum sekaligus heran. Di bukit yang terasa sunyi dan liar, mereka merasa seolah-olah menjadi tamu agung dari seorang bangsawan tinggi atau bahkan seorang pangeran. Perasaan mereka ini tidak terlalu keliru karena dari kejauhan kini tampak sebuah bangunan indah mirip istana yang membuat hati keduanya merasa kagum bukan main.

Ketika Han Siong dan Bi Lian turun, mereka berdua menjadi semakin kagum. Sederetan gadis pelayan yang pakaiannya amat rapi dan indah, rata-rata berwajah cantik dan berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun, manis-manis seperti dayang saja, menyambut dengan sembah kepada Mulana serta dua orang tamunya. Juga beberapa orang laki-laki setengah tua berpakaian pantas sebagai pengurus-pengurus rumah tangga menyambut pula dengan sikap hormat.

Baru serambi depan rumah itu saja sudah sangat indah, dengan perabotan rumah yang mengingatkan Bi Lian akan rumah tempat tinggal Kulana. Agaknya memang ada banyak persamaan antara Kulana dengan Mulana ini, baik wajah, tubuh, pakaian mau pun tempat tinggal mereka.

Dengan sikap anggun Mulana hanya mengangguk untuk menerima penghormatan para pelayannya itu, kemudian berkata kepada tamunya,

“Silakan Ji-wi beristirahat lebih dahulu. Tetapi, ahh… maafkan aku, tempat istirahat untuk tamu wanita dipisahkan dengan tamu pria, karena itu terpaksa Ji-wi harus terpisah untuk sementara waktu. Maafkan aku…”

Han Siong mengerutkan alis, lalu memandang kepada Bi Lian seakan-akan menyerahkan keputusannya kepada gadis itu. Bi Lian yang memiliki hati keras tentu saja tidak mengenal takut, karena itu dia segera mengangguk tanda setuju.

Melihat anggukan tanda setuju ini, Han Siong menjadi lega. Dia sudah tahu bahwa Bi Lian bukanlah wanita lemah, sebab itu dia tidak terlampau khawatir jika mereka harus terpisah. Maka dia pun menjawab mewakili Bi Lian,

“Terpisah pun tidak mengapa,” katanya sambil tersenyum.

“Bagus! Ji-wi masing-masing akan dilayani oleh beberapa pelayan, katakan saja kepada mereka apa pun yang Ji-wi perlukan. Kita akan berkumpul kembali ketika makan malam nanti, dan silakan Ji-wi mengikuti para pelayan ke tempat istirahat. Selamat beristirahat,” setelah berkata demikian, Mulana lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi.

“Silakan ikut kami, Nona,” kata seorang pelayan wanita dengan sikap hormat.

Sejenak Han Siong dan Bi Lian saling pandang, lantas gadis itu membalikkan tubuh untuk mengikuti dua orang pelayan wanita yang telah berjalan menuju sebuah pintu. Han Siong terus memandangnya dan setelah bayangan gadis itu lenyap, terdengar suara halus.

“Silakan ikut kami, Kongcu.”

Tanpa menunggu jawaban lagi, dua pelayan wanita sudah berjalan menuju pintu lain yang arahnya berlawanan dengan pintu yang dimasuki Bi Lian tadi, sedangkan pelayan lainnya tetap diam tanpa bergerak. Maka Han Siong segera mengikuti dua pelayan itu memasuki pintu.

Han Siong tidak dapat beristirahat dengan tenang. Biar pun dia tahu bahwa Bi Lian bukan seorang gadis yang lemah melainkan seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi, tapi hatinya tetap merasa khawatir. Ia hanya duduk di pinggir pembaringan, dan waktu terasa berjalan begitu lambat baginya. Karena itu dia langsung meloncat ke arah pintu kamarnya ketika seorang pelayan memberi tahu bahwa waktu makan malam telah tiba.

Ternyata Mulana telah berada di ruangan itu ketika Bi Lian dan Han Siong masuk dari dua pintu yang berlawanan. Bi Lian dan Han Siong bertukar pandang, kemudian Han Siong tersenyum, diam-diam merasa lega dan girang melihat gadis itu nampak sehat dan segar. Bagaimana pun juga dia masih merasa curiga dan meragukan isi hati tuan rumah.

Bi Lian adalah seorang gadis yang cantik dan terlampau luar biasa sehingga tidaklah aneh kalau orang semacam Mulana ini mempunyai niat yang tidak terpuji. Meski pun rumah itu penuh dengan gadis pelayan yang cantik dan manis, bagaikan sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga harum, namun kecantikan para gadis itu kehilangan cahayanya jika dibandingkan dengan Bi Lian. Seperti sebutir mutiara di antara batu akik, seperti burung Hong di antara burung-burung nuri, atau setangkai teratai di antara bunga-bunga air.

Ruang tamu yang sekarang dijadikan ruangan makan atau tempat pesta menjamu tamu agung itu ternyata sudah dihias dengan indahnya, dengan kain sutera warna-warni, kertas kembang, juga bunga-bunga hidup dan lukisan indah. Lampu-lampu yang beraneka warna bergantungan di mana-mana sehingga tempat itu selain nampak terang juga terlihat indah dan meriah sekali. Sebuah meja besar telah dihiasi dengan taplak meja warna merah dan bunga-bunga. Juga mangkok, piring, sumpit dan cawan sudah disusun rapi.

Bi Lian dan Han Siong dipersilakan duduk berhadapan dengan Mulana, hanya terhalang oleh sebuah meja. Dua orang muda itu melihat bahwa di samping kursi Mulana masih ada sebuah kursi kosong yang amat indah, terbuat dari emas dan perak, dengan tilam beludru hijau dan di depan kursi ini terdapat sebuah pot bunga berisi bunga-bunga yang segar.

Mereka berdua saling pandang dan menduga-duga siapa yang akan duduk di samping kiri Mulana itu. Sejak kedatangan mereka di situ tadi, Mulana tidak pernah memperkenalkan anggota keluarganya, kecuali para pelayan yang amat banyak jumlahnya.

“Selamat malam!” katanya menyambut dengan gembira ketika dua orang muda itu muncul dan sudah dipersilakan duduk. “Apakah Ji-wi (Anda Berdua) mendapat pelayanan cukup dan sudah cukup beristirahat pula?”

“Terima kasih, para pelayan di sini sungguh amat baik,” kata Bi Lian dan Han Siong juga mengangguk sambil tersenyum.

“Syukurlah, baru sekarang ini kami mendapatkan tamu-tamu agung dan aku akan merasa menyesal jika sampai mengecewakan tamu kami. Sekarang, sebelum kita makan malam bersama dengan akrab dan Ji-wi kuperkenalkan dengan isteriku, kiranya telah sepatutnya kalau kita berkenalan dengan baik. Bagaimana pendapat Ji-wi?”

Kembali Han Siong dan Bi Lian bertukar pandang. Tuan rumah ini sungguh aneh. Mereka sama sekali tidak ingin berkenalan atau menjadi tamu agung tetapi tuan rumah inilah yang mengundang mereka. Bagaimana pun juga, keadaan tuan rumah yang mewah, kaya raya serta penuh rahasia itu memang menarik perhatian mereka. Han Siong mewakili Bi Lian, menjawab sambil memberi hormat.

“Saudara telah menyambut kami dengan baik sekali, kami merasa terhormat bisa menjadi tamu di tempat yang indah ini.”

Mulana tersenyum dan balas menjura. "Akan tetapi Ji-wi belum mengenal betul siapa aku ini, meski Ji-wi mungkin sudah mengenal Kulana. Ketahuilah bahwa aku bernama Mulana dan aku adalah saudara kembarnya dari Kulana. Tadinya kehidupan kami di Birma dapat dikata amat baik, kedudukan kami berdua sangat terhormat sebagai penasehat raja, dan terutama sekali Kulana membuat jasa besar ketika terjadi penyerbuan pasukan Tiongkok dengan mengatur barisan pertahanan yang berhasil memukul mundur musuh. Akan tetapi dia masih belum puas dan dia melakukan usaha untuk merampas kedudukan raja. Ketika ketahuan, dia lalu melarikan diri dan sebagai saudara kembarnya aku terpaksa turut pula menjadi buruan. Karena dalam urusan pemberontakan itu kami berdua tidak cocok, maka kami saling berpisah dan tidak lagi saling mencampuri urusan pribadi. Aku lalu tinggal di bukit ini bersama isteriku yang nanti akan aku perkenalkan kepada Ji-wi. Nah, sekarang harap Ji-wi suka memperkenalkan diri sebagai tamu-tamu yang kami hormati!."

Bi Lian lebih dahulu memperkenalkan diri, "Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan." Dia tidak menceritakan lebih jauh lagi sebab dia sendiri tentu saja masih merasa ragu apakah saudara kembar dari Kulana ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya. "Aku dikeroyok, lantas mendapat bantuan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil melarian diri sampai berjumpa denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi yang dapat kuceritakan."

"Apa yang diceritakan Nona Cu tadi memang benar adanya, Saudara Mulana. Aku pun tengah mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunya dan kami melarikan diri ke dalam hutan itu."

Mulana mengangguk-angguk. "Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda kalian sudah berani menentang Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali! Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau kuperkenalkan dengan isteriku yang tercinta!"

Sesudah berkata demikian, Mulana lalu mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan suara tiupannya ketika dia memberi tahukan tentang kedatangannya kepada para pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara laksana seekor binatang yang mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai jauh.

Begitu mendengar suara ini, seluruh pelayan yang sedang sibuk di ruangan itu kelihatan amat kikuk dan mereka pun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian nampak ada orang muncul dari pintu dalam, diiringi oleh lima orang gadis pelayan.

Pada waktu Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang, keduanya terpesona, bahkan Bi Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang keluar dari dalam dengan langkah halus laksana seorang bidadari melayang-layang saja, diikuti oleh lima orang pelayan.

Wanita itu sudah berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun memiliki kecantikan yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna, cantik dan agung walau pun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana kaisar.

Pakaiannya, gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa dia bukan seorang wanita biasa, namun seorang wanita bangsawan agung yang memiliki gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak kelihatan melangkah sehingga tampak bagaikan melayang ketika dia menghampiri meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang kosong.

Diam-diam Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang sangat cantik, terlalu cantik di tempat yang seperti itu. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti mata seorang yang berada di bawah pengaruh sihir! Ia juga melihat sinar duka yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menyelidiki rahasia aneh apa yang ada pada wanita itu.

Sambutan Mulana kepada isterinya itu pun luar biasa. Saat wanita itu tiba dekat, dia pun bangkit dari tempat duduknya lantas dengan senyum lebar dia menyongsong kedatangan isterinya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti oleh kedua orang tamunya.

"Selamat malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau makin cantik saja. Silakan duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat."

Sikap Mulana seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali.

Wanita itu pun lalu menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian dia mengambil tempat duduk di atas kursi di sisi suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna menimpa mukanya, diam-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya.

Wanita ini memang hebat, cantik jelita dan cara dandanannya, dari setiap untaian rambut hitam yang dilingkar-lingkar sampai pada hiasan kuku dari emas, mau pun setiap lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan seorang wanita yang lembut.

Sekarang para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagai sekelompok kupu-kupu saja gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperti menari-nari, datang dan pergi membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap hingga terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang sudah sangat lapar itu mengeluarkan bunyi!

Wajah itu selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit muka yang demikian halus dan walau pun nampak pucat, namun kehalusannya sungguh jarang dimiliki oleh perempuan lain. Rambutnya hitam panjang dan tebal, digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih serta diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis.

Alisnya hitam panjang dan melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup laksana bulan terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, dan bibirnya mengandung tantangan birahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus.

Setelah hidangan lengkap dikeluarkan di atas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan berkata halus kepada seorang pengawal. "Ambilkan cawan kehormatan dari Tuan Puteri!"

Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat betapa wanita cantik itu dengan terkejut menoleh kepada suaminya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya. "Perlukah...?" Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak dimengerti oleh dua orang tamu itu.

Akan tetapi, dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu telah mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tak menghiraukannya, malah memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal yang tadinya kelihatan ragu-ragu itu kemudian melangkah cepat memasuki ruangan lain yang tersambung dengan ruangan itu.

Bi Lian dan Han Siong saling pandang. Mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Keluarga tuan rumah ini memang aneh serta penuh rahasia yang menegangkan. Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang namun keduanya harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka setelah melihat kepala pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak.

Kepala pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah. Benda itu adalah sebuah tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, namun terawat dengan baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup dengan emas, dan hanya tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga. Agaknya tengkorak itu sekarang dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali!

"Isi cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!" Tiba-tiba Mulana berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya itu.

Para gadis pelayan lantas membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, dan dengan gerak tubuh yang lemah gemulai mereka pun mengisi cawan arak di hadapan Bi Lian, Han Siong dan Mulana. Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan pelayannya kemudian menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya, melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Sesudah itu Mulana mengangkat cawan araknya sambil bangkit berdiri.

"Isteriku, marilah kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di rumah kami!"

Bi Lian dan Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti pandang mata suaminya, lalu bersama suaminya minum anggur dari... mulut tengkorak.

Bi Lian bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman dengan tengkorak itu, beradu mulut. Penglihatan ini sungguh sangat menegangkan dan mengerikan hatinya. Perasaan Han Siong juga tergetar dan jantungnya masih berdebar saat mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu di depannya.

"Mari, mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, temanilah dua orang tamu kita makan minum!" dengan sikap gembira sekali Mulana lalu mengajak isterinya serta kedua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu. Isterinya lalu makan dengan cara yang sopan sekali, dengan sikap lembut, pandang mata tak pernah ditujukan kepada tamunya atau pun suaminya, seperti seorang dalam mimpi,.

"Ha, makan minum barulah enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku, dongeng yang sangat indah dan menarik kepada Ji-wi?"

Bi Lian dan Han Siong bertukar pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut mereka Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita), dan kini hendak mendongeng. Sebagai tamu, tentu saja mereka hanya dapat menyetujui dan mengangguk.

Biar pun tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak sudah membuat mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu supaya mereka dapat segera mengundurkan diri, bahkan di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya.

"Di negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang amat cantik jelita," Mulana mulai dengan dongengnya. "Begitu cantiknya puteri itu sehingga banyak pria yang tergila-gila, di antaranya seorang pria bangsawan tergila-gila dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Di antara banyak sekali saingan, akhirnya pria itu berhasil sehingga bisa dibayangkan alangkah berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya dia berhasil memperisteri puteri jelita itu."

Mulana berhenti sebentar dan menarik napas panjang, lalu menengadah seolah-olah dia membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu.

Bi Lian dan Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke arah nyonya rumah, wanita itu nampak acuh saja, masih melanjutkan makan dengan mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, lalu mengunyah perlahan tanpa membuka bibir.

"Semua pria di negeri Birma merasa iri hati dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiri pun merasa iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan tak perlu diceritakan lagi betapa besarnya perasaan cinta kasih pria itu kepada isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, ia siap untuk mencium bekas kaki isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah oleh isterinya itu dan melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Setiap minum dia menggunakan sandal isterinya sebagai cawan, setiap hari menulis sajak pujian baginya dan menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan cinta yang mungkin dilakukan oleh seorang pria terhadap wanita. Pria itu sangat memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau dibutuhkan oleh wanita itu."

Kembali Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai tertarik sekali. Memang Mulana sangat pandai bercerita dan dia memiliki daya tarik yang mempesona.

"Akan tetapi, ahhh…, sungguh kasihan sekali pria itu! Betapa pun besar cintanya, segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya, tak pernah mau melirik wanita lain lagi, menyerahkan seluruh kedudukannya, hartanya, kesehatannya dan segala-galanya, namun... isteri tercinta itu tetap saja dingin terhadapnya."

Bi Lian menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. Diam-diam dia marah sekali. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan hal seperti itu kepadanya? Kalau cerita yang tidak sepantasnya ini terus dilanjutkan, tentu dia akan menegurnya! Agaknya Mulana maklum akan isi hatinya.

"Maafkan aku, Nona Cu. Maaf, bukan maksudku untuk menceritakan hal yang tak pantas! Akan tetapi semua ini untuk menyatakan betapa semua cinta serta pengorbanan pria itu sia-sia belaka. Hebatnya, biar pun puteri yang sudah menjadi isterinya itu bersikap dingin, pria itu masih tetap memujanya. Dengan sabar dia merayu, dia membujuk, dengan sangat hati-hati, dengan halus sekali untuk membangkitkan perasaan cinta di hati isterinya, walau pun sedikit dia sudah akan menerimanya dengan perasaan amat berbahagia. Akan tetapi sia-sia... puteri itu tetap dingin dan selalu memperlihatkan sikap tidak suka berdekatan..."

"Hemm, cerita itu semakin tidak menarik," kata Bi Lian.

"Dongeng yang amat menyedihkan," kata pula Han Siong sambil tersenyum kepada tuan rumah, untuk menghibur karena dia merasa tak enak melihat sikap Bi Lian yang demikian jujur mencela dongeng tuan rumah.

Mulana tersenyum dan wajahnya yang tampan nampak berduka, senyumnya pahit sekali. "Memang menyedihkan, dan mungkin tidak menarik bagi Nona Cu, juga bagi wanita pada umumnya. Akan tetapi sangat menyedihkan bagi seorang pria. Cinta kasih seorang pria mendambakan balasan, biar pun sedikit saja, melalui sentuhan halus, melalui senyuman, melalui pandang mata yang mesra, melalui apa saja. Pria yang merindukan kasih sayang isterinya itu selama bertahun-tahun hanya mampu berharap, berharap, dan berharap! Dan pada suatu malam… dunia kiamat baginya!" Dan tiba-tiba saja Mulana menangis!

Han Siong dan Bi Lian kaget bukan kepalang. Mereka saling bertukar pandang, kemudian memandang kepada tuan rumah yang menutupi muka dengan dua tangannya dan terisak menangis. Pada saat mereka melirik ke arah nyonya rumah, wanita cantik itu masih terus makan dan ketika sepasang matanya melirik ke arah suaminya, Bi Lian menangkap sinar mata yang mengandung ejekan dan hinaan!

Ingin sekali Han Siong bertanya, apa yang sudah terjadi dengan pria yang mendambakan cinta isterinya itu, akan tetapi dia menahan diri dan bersabar, menunggu sampai Mulana menghentikan tangisnya.

Pria itu menurunkan dua tangannya, menggunakan sapu tangan sutera untuk menghapus air mata yang membasahi mukanya, lalu tersenyum, tapi senyum paksaan. "Maafkan aku. setiap kali menceritakan hal itu, aku selalu tidak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatiku. Akan tetapi, seperti yang kukatakan tadi, malam itu memang terjadi sesuatu yang membuat pria itu merasa dunia kiamat baginya!"

"Apa yang terjadi?" Pek Han Siong tak dapat menahan lagi keinginan tahuannya.

"Apa yang terjadi? Pek-taihiap, tidakkah engkau dapat menduganya? Puteri yang cantik jelita itu, isteri yang amat dicinta oleh suaminya yang suka menjilati telapak kakinya untuk menyatakan cintanya, wanita yang secantik bidadari itu, yang kecantikannya tanpa cacat cela, pada suatu malam jahanam itu... ketika pria yang menjadi suaminya itu terbangun dan tidak melihatnya tidur di pembaringan lalu mencarinya ke belakang, wanita itu, yang selalu dingin terhadap suaminya, yang sekali pun tak pernah membelai suaminya, bahkan tidak pernah menyentuhnya dengan gairah, wanita itu... di dalam taman, di atas rumput begitu saja, di tempat terbuka, tanpa pakaian sama sekali, tanpa bermalu sedikit pun juga, bagaikan seekor binatang jalang yang panas dan penuh nafsu birahi, sambil mengerang seperti binatang dan dengan nafsu menggebu-gebu laksana kemasukan iblis, perempuan itu bergelut dan bermain cinta dengan tukang kebun!"

"Ahhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Bi Lian dan Han Siong hampir berbareng karena mereka sungguh terkejut bukan main.

"Ha, kalian tentu kaget sekali! Siapa orangnya yang tidak kaget! Dan pria itu, suami itu... dia bukan hanya kaget, akan tetapi dunia seperti kiamat baginya. Wanita yang dipujanya seperti dewi itu, yang didambakan cintanya, menyerahkan diri sebulatnya, lahir dan batin, kepada seorang laki-laki lain! Bukan pangeran bukan bangsawan, bukan pula hartawan, melainkan seorang tukang kebun biasa! Seorang hamba yang hina dina dan rendah, juga kotor! Apa yang selalu dijauhkannya dari suaminya yang mencintanya, yang memujanya, di malam hari itu, mungkin juga malam-malam sebelumnya, sudah diberikan sepenuhnya kepada seekor anjing!" Setelah berkata demikian, Mulana memandang kepada isterinya dengan sinar mata mengerikan, penuh penyesalan, penuh duka, penuh kebencian, akan tetapi juga penuh kasih sayang!

"Cukup!" Mendadak wanita cantik jelita yang menjadi isteri Mulana itu berseru, suaranya seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya, kemudian muka yang amat cantik itu menjadi kemerahan. "Setelah semua dendam kau curahkan, kenapa malam ini engkau melanggar janji dan menceritakan kepada orang lain, Mulana?"

"Aku terpaksa, Yasmina, aku tidak dapat bertahan lagi untuk menyimpannya sendiri. Dan dua orang ini bukan orang sembarangan, mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah berani menentang Kulana! Mereka patut mendengarkannya!"

"Bagus, engkau melanggar janji, aku pun tidak perlu setia terhadap janjiku. Hai dua orang muda, dengarkan baik-baik. Akulah Yasmina, akulah isteri yang diceritakannya itu, wanita itu. Dialah yang membuat aku seperti itu. Dia menganggap aku bukan seperti manusia, tapi memujaku bagai benda keramat, seperti boneka kaca, melimpahkan semua cintanya seperti terhadap seorang dewi di kahyangan. Aku seorang perempuan, dari darah daging! Aku ingin diperlakukan sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan dari darah daging yang haus akan belaian dan kasih sayang nyata seorang jantan! Dan memang aku menyerahkan diri sepenuhnya, sepuas hatiku kepadanya! Dan aku puas. Aku menyesal, akan tetapi aku puas. Dan Mulana, dia memenggal leher tukang kebun itu, lalu membuat kepalanya menjadi tengkorak ini. Aku harus selalu minum anggur dari dalam tengkorak ini melalui mulutnya! Aku menerima semua pelampiasan dendam ini untuk menebus dosaku. Dan dia setiap malam bermain cinta dengan para gadis pelayan yang cantik dan muda, di depan mataku untuk membalas dendam. Aku hanya mentertawakannya dalam hati sebab bagaimana pun juga dia tidak dapat disamakan dengan tukang kebunku itu! Tidak ada seperempatnya! Dan dia berjanji takkan membuka rahasia itu. Akan tetapi malam ini dia melanggar janjinya...!" Wanita itu, Yasmina, sekarang mengangkat tengkorak yang sudah diisi anggur baru, kemudian mencium mulut tengkorak itu. "Engkau, tukang kebunku yang setia, engkau selama ini menemaniku, engkau kehilangan nyawa karena aku, sekarang tiba saatnya engkau menjemputku. Bawalah aku ke sana..." dan wanita itu lalu menggigit sebuah di antara gigi tengkorak itu, minum anggur dari dalamnya lantas dia pun terkulai di atas meja. Tengkorak itu terlepas kemudian jatuh bergulingan di atas lantai, seperti hidup, sampai berhenti di dekat kaki Mulana.

"Yasmina...!" Mulana menendang tengkorak itu kemudian meloncat ke dekat isterinya. Dia mengangkat muka isterinya.

Mungkin wanita itu sudah lama mempersiapkan dan menyimpan racun di bawah sepotong gigi tengkorak yang tadi digigitnya, dan minum racun itu bersama anggur!

"Yasmina...!" Mulana mengguncang-guncang isterinya, didukungnya, dipondongnya dan dia pun menangis sambil kebingungan.

Melihat ini Bi Lian bangkit dan memandang kepada Pek Han Siong. Alisnya berkerut dan gadis ini merasa betapa batinnya terguncang hebat oleh peristiwa yang terjadi di antara suami isteri yang aneh itu.

"Mari kita pergi, aku menjadi muak dan mual!" katanya.

Pek Han Siong sendiri juga terguncang hebat perasaannya. Apa lagi yang terjadi antara Mulana dengan Yasmina itu terlalu hebat, sampai wajahnya menjadi berubah agak pucat. Ngeri dia membayangkan malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa sepasang suami isteri yang seperti mereka itu. Kaya raya, bangsawan tinggi, keduanya tampan dan cantik!

"Mari!" katanya dan keduanya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa pamit lagi karena tuan rumah tidak mungkin dapat diajak bicara.

Mulana sudah menjadi seperti orang gila, memondong mayat isterinya ke sana-sini sambil menangis dan menciumi muka yang kini kebiruan itu. Pelayan yang berada di situ seperti berubah menjadi patung, terbelalak pucat tanpa ada yang berani bergerak. Bahkan ketika Bi Lian dan Han Siong pergi meninggalkan perkampungan itu, tidak seorang pun penjaga mencoba untuk menghalangi mereka.

Pendekar Mata Keranjang Jilid 35

GUNUNG itu sangat tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Sebagian tertutup oleh awan dan puncaknya dipenuhi hutan lebat sehingga dari jauh tak nampak adanya sebuah bangunan yang sangat indah dengan atapnya yang meruncing ke atas seperti kuil di Birma.

Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, apa bila hari sedang cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah bangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri dari selatan.

Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi telah merasa amat kagum, juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Lebih lagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilakan tiga orang tamu agung itu naik joli untuk digotong naik seperti orang-orang bangsawan.

Pak Kwi Ong hendak bertanya kepada salah satu di antara belasan orang penyambut itu. Akan tetapi, belum juga dia sempat membuka mulut, Tung Hek Kwi sudah naik dan duduk ke atas sebuah joli. Maka Pak Kwi Ong dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.

Mereka digotong melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, begitu tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka.

Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulai, mengiringi tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran yang serba mewah dan kaki tangan hingga kepalanya terhias emas permata!

"Selamat datang di istana kami!" kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung saat mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.

Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur rapi dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memenuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.

"Ha-ha-ha, mimpikah aku? Seperti berada di dalam istana saja!" kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.

Sebelah dalam istana itu lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik terus berkumandang dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, jumlahnya belasan orang, lalu mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun amat sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.

"Selamat datang di istana kami, semoga para dewa sudah melindungi perjalanan Sam-wi (Anda Bertiga)," kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang telah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh beberapa gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.

Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian lalu minum anggur itu yang ternyata baru saja dikeluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.

"Sebelum kita bicara, mari kita makan dahulu dan kami mengharapkan Sam-wi akan puas dengan hidangan kami yang seadanya."

Ternyata ‘yang seadanya’ itu sangat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih beberapa macam masakan yang menarik seleranya saja, dan dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia makan hidangan yang demikian lezatnya!

Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat isi dan keadaan di dalam istananya. Semua ruangan sengaja dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh berisi senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan diperlihatkan pula kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata.

Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, mereka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia!

Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya lantas bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa. "Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinangan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Sesudah melihat sendiri keadaan kami, kami harap Sam-wi dapat memberi jawaban yang pasti."

Terkejutlah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan dia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.

Untuk sejenak dua orang kakek itu saling pandang, kemudian Pak Kwi Ong tertawa lebar hingga perutnya bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!" Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu-ragu lagi. "Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?"

Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya, kemudian memandang kepada muridnya. "Bagiku sih terserah kepada Bi Lian."

"Aihh, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?" tanya Bi Lian penasaran.

"Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia telah mengajukan pinangan melalui Suheng-mu, Lam-hai Giam-lo, hendak mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?"

Bi Lian mengerutkan kedua alisnya dan teringatlah dia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi dia tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak mencintai pria yang pongah ini, sedikit pun tidak suka walau pun dia kagum dengan kelihaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong nampaknya setuju benar dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, dia pun tidak berani menolak begitu sasja.

"Suhu, bagi seorang wanita pernikahan adalah satu urusan besar yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku dapat mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah hal ini kupikirkan lebih dulu dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberikan jawaban." Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum.

"Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari."

Atas desakan Bi Lian mereka bertiga lantas meninggalkan istana itu dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, tiba-tiba Bi Lian menghentikan langkahnya.

"Suhu berdua sungguh terlalu!" tiba-tiba dia berkata sambil memandang mereka dengan muka merah.

"Wah, apa maksudmu, Bi Lian?" tanya Pak Kwi Ong tertawa.

"Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?"

"Bi Lian, apa katamu itu?!" Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. "Engkau adalah muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!"

"Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya."

"Tidak, engkau harus mau!" bentak Pak Kwi Ong.

"Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!" Bi Lian berkata nyaring. "Aku tidak sudi!"

"Aku akan memaksamu."

"Aku akan melawan!"

"Murid murtad!" Pak Kwi Ong marah bukan main dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan dia pun langsung mengelak. Ketika Pak Kwi Ong kembali mendesak, tiba-tiba Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukkk!" Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.

"Setan Hitam, engkau berani membelanya?"

"Tentu saja! Dia muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!"

"Dia harus kawin dengan Kulana!"

"Tidak, dia boleh menentukan pilihannya sendiri!"

"Keparat!"

"Bedebah!"

Dua orang kakek yang usianya telah delapan puluh tiga tahun itu sekarang saling hantam dan saling serang dengan sangat hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi namun tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut, apa lagi kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta.

Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan dia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.

Dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, akan tetapi belum sampai tiga puluh jurus keduanya telah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.

"Desss...!" keduanya terjengkang lantas roboh terkulai, tidak mampu bangkit kembali, dan napas mereka empas-empis!

"Suhu...!" Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sama-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu.

Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Sesudah melihat keadaan kedua orang tua itu, barulah dia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tanpa terasa lagi Bi Lian pun menangis!

Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walau pun sudah megap-megap. "Kau... kau harus menjadi isteri Kulana... ahhh..."

"Tidak... kau boleh menolak..."

Di dalam keadaan sekarat kedua orang kakek itu masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!

"Suhu...!" Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.

Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Dia segera melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Di sana sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo beserta dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!

"Nona Cu, sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah engkau ikut bersamaku lalu kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang gurumu," kata Kulana dengan suara halus dan sikap ramah sekali.

Mendengar kata-kata yang demikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis. "Guruku... kedua guruku... mereka telah meninggal dunia..."

"Hal itu kini sudah tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu...," kata pula Kulana dengan sikap lembut, kemudian Bi Lian tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.

Mendadak dia teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah dia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Dia pun meronta dan melepaskan tangannya, lalu cepat-cepat melompat menjauh.

"Tidak, jangan sentuh aku!" teriaknya.

Di dalam hatinya memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka terhadap kalangan sesat, bahkan sering kali dia menyesal mengingat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biar pun dia selalu bersikap keras dan ganas, namun belum pernah dia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya namun karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat.

Kalau selama ini dia masih mau diajak bergaul dengan golongan hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, sesudah kedua orang gurunya meninggal dunia, dia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu dia meloncat, kini dia telah berdiri dengan sikap menentang semua orang yang sedang memandangnya.

"Nona Cu," kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. "Kedua orang gurumu sudah menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang gurumu, dan aku pula yang akan melindungimu, membahagiakanmu..."

"Cukup!" Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khikang-nya untuk melawan pengaruh suara halus itu. "Justru karena ulahmu itu, justru karena pinanganmu itu, kedua guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh mereka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!"

Berkata demikian, Bi Lian sudah meloncat ke depan dan menyerang Kulana dengan amat hebatnya. Kedua tangan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena dia mengerahkan tenaga sinkang yang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang.

Hampir saja pelipis kiri Kulana kena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu tidak cepat melompat ke belakang sambil berjungkir balik. Pada saat itu pula Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian, wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.

"Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, tetapi kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, sesudah kedua Susiok-ku meninggal dunia, maka akulah yang menjadi pengganti mereka sebagai pelindungmu dan akulah yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan bersikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!"

Akan tetapi sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena dia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Bahkan kedua orang gurunya juga melarang dia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya.

Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata dengan suara lantang karena dia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dulu pernah dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.

"Lam-hai Giam-lo! Sejak dulu tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan dari kedua orang guruku. Namun mereka kini sudah tewas di sini, gara-gara ulah orang yang bernama Kulana ini, sebab itu jangan engkau mencampuri, karena aku bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!"

"Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!" bentak Lam-hai Gam-lo, marah bukan main akibat merasa dipandang rendah.

"Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!" kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian.

Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana hanya berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.

"Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!" katanya.

Bi Lian menjadi kerepotan juga dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, agaknya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya dengan kekuatan sihir. Apa lagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, hampir setingkat dengan kedua gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja dia tidak akan menang.

Sekarang dua orang lihai itu mengeroyoknya. Biar pun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya.

Dengan hati penuh kagum para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahi dan mereka itu sama sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang sedang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?

"Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?" tiba-tiba saja Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing.

Memang ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini hebat sekali. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seakan-akan tubuhnya sedang tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan dia pun terhuyung, sulit untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu pula tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.

"Heiiiittt...!"

Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Dia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu dia akan dapat ditawan kalau saja pada saat itu tidak terdengar suara berseru halus.

"Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tak tahu malu sekali!" Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu.

Begitu pemuda itu mengembangkan sepasang lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana langsung terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya berukuran sedang saja dan pakaiannya sangat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit putih, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, sepasang matanya agak sipit dan bersinar lembut, sikapnya amat tenang dan di bawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.

Melihat ada seorang pemuda asing yang berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan kepalang. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaannya di situ sudah ditentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.

"Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?" bentak Lam-hai Giam-lo sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.

Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata, "Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!"

Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya, lalu sambil memandang wajah pemuda itu, mendadak dia maju dan membentak. "Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!" Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar.

Namun pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum lantas menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.

"Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini," suara itu demikian lembut.

Biar pun Bi Lian belum mengenal siapa adanya pemuda ini, tetapi dia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Dia mengangguk dan segera menghampiri pemuda ini, lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!

Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tak percaya. Tetapi Kulana dan Lam-hai Giam-lo segera sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.

"Jangan pergi...!" Lam-hai Giam-lo berteriak.

"Berhenti!" Kulana juga membentak.

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapi serangan mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua telapak tangannya ke arah mereka yang sedang mengejar sambil mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.

"Diam kalian!"

Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung di dalam bentakan ini. Kedua orang sakti itu seketika terhenti dan diam laksana patung, bahkan terbelalak seperti orang terkejut. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti telah menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir dalam tubuhnya terhenti dan dia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.

"Nona, mari kita pergi!" Dan dia pun dapat menggerakkan kaki.

Mereka kemudian melarikan diri dari tempat itu. Sesudah mereka jauh menuruni lereng, baru terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya kembali melakukan pengejaran.

Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun segera mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap di atas sebuah bukit. Sesudah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Karena tadi mereka terus berlarian, apa lagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, maka gadis itu merasa lelah sehingga dia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga.

Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu dia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari. Dia melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan sedang memperhatikannya, maka dia pun lalu meloncat berdiri dan teringatlah dia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali.

Dia masih merasa bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihai seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana serta anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut.

"Engkau siapakah? Bagaimana engkau bisa meloloskan aku dari cengkeraman mereka?" tanya Bi Lian.

"Duduklah, Nona dan mari kita bicara," jawab pemuda itu.

Bi Lian lantas duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat.

Sesudah gadis itu duduk, pemuda itu lantas berkata dengan halus. "Sesungguhnya hanya kebetulan saja kita bertemu. Sudah beberapa hari aku melakukan penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Pada waktu melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa penasaran lantas menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena jika terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang amat sakti. Tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?"

Bi Lian mengerutkan alisnya. Apa bila menurutkan wataknya yang keras, dia dapat marah mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini belum menjawab pertanyaannya tadi, juga belum memperkenalkan keadaan dirinya, tetapi sudah balas bertanya seolah-olah tidak percaya kepadanya. Akan tetapi dia menahan diri dan menahan kemarahannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia berhutang budi kepada pemuda ini.

"Agaknya karena engkau sudah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Begitukah?" Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk.

Pemuda itu tersenyum sabar dan menggelengkan kepala. "Maaf, bukan begitu maksudku, Nona. Aku memang benar-benar merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena itulah maka aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku adalah Pek Han Siong..."

"Aihhh...!" Bi Lian terbelalak.

Han Siong tersenyum. "Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?"

"Jadi engkau inikah Pek Han Siong... engkau... Sing-tong itu? Kakak kandung Pek Eng?"

Kini pemuda itu yang terbelalak dan bahkan langsung meloncat turun dari atas batu yang dudukinya. "Engkau tahu semuanya, Nona?"

Pemuda itu memang Pek Han Siong. Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng, adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena tidak suka dijodohkan dengan putera keluarga Song dari Kang-jiu-pang. Dia menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya ditawan oleh kaki tangan Lam-hai Giam-lo lalu dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia pun segera melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu.

Bi Lian merasa girang bukan kepalang mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng, gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong, kakaknya itu hebat sekali!

"Sungguh kebetulan sekali!" katanya gembira. "Aku mendengar mengenai dirimu dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini dia menjadi murid bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo."

"Hehh...?!" Tentu saja Han Siong terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu. "Bagaimana pula ini? Apa saja yang sudah terjadi dan engkau... siapakah engkau ini, Nona?"

"Aku Cu Bi Lian..."

Bi Lian berhenti berbicara karena dia melihat betapa wajah pemuda itu tiba-tiba berubah, matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat. "Kau... kau kenapakah?"

"...Cu... Bi... Lian...?" Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini, ada pun matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik.

"Benar. memangnya kenapa?" Bi Lian balas bertanya.

Han Siong menelan ludah dulu sebelum menjawab, "Tidak apa-apa... rasanya aku seperti pernah mengenal nama itu...," katanya agak gugup.

Tentu saja dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Siangkoan Bi Lian, adalah puteri dari suhu dan subo-nya! Inilah gadis yang harus dicarinya itu, bahkan yang oleh suhu dan subo-nya sudah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah tunangannya. Siapa orang yang tidak menjadi tegang hatinya kalau dihadapkan pada kenyataan yang begini tiba-tiba dan tidak disangka-sangka?

"Ahh, tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu," jawab Bi Lian.

Han Siong masih memandang bengong. Bertemu dan berhadapan dengan gadis ini, sadar sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu kandung gadis ini sendiri ditunangkan dengannya, membuat jantungnya berdebar kencang. Dia lalu menatap penuh perhatian.

Harus diakuinya bahwa Bi Lian adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita dan gagah perkasa. Tubuhnya begitu padat dan ramping, penuh kekuatan tersembunyi. Rambutnya panjang dan hitam, dikuncir tebal dan digelung di atas kepala. Matanya begitu tajam dan indah, bagaikan sepasang bintang dengan hidung kecil mancung, dan mulutnya demikian manis, dengan bibir yang merah basah. Mukanya bulat telur dan tahi lalat pada dagu itu... manis bukan main!

Gadis ini puteri suhu dan subo-nya, akan tetapi diserahkan kepada keluarga Cu sehingga gadis itu tidak tahu bahwa dia sebenarnya she Siangkoan. Menurut suhu dan subo-nya, ketika masih kecil gadis ini pernah memperoleh latihan ilmu dari suhu dan subo-nya, akan tetapi gadis itu kemudian lenyap. Bagaimana kini Bi Lian bisa menjadi seorang gadis yang sedemikian lihainya?

"Heii! Kenapa engkau memandangku seperti itu?" Bi Lian menegur. Ia memang galak dan paling tidak suka bila melihat pria memandangnya dengan sinar mata yang mengandung kekaguman, karena biasanya hal ini dianggap sebagai kekurang ajaran.

"Ahh, tidak, aku... aku teringat kepada adikku..."

"Adik Eng? Ia masih berada di sama. Tentu dia tidak tahu bahwa kakaknya telah muncul, bahkan menjadi lawan dari gurunya sendiri."

"Aku sungguh masih merasa bingung mendengar betapa adikku menjadi murid dan malah menjadi anak angkat orang seperti Lam-hai Giam-lo, juga heran melihat engkau berada di antara mereka, Nona."

"Menurut cerita adikmu, dia mencarimu akan tetapi bertemu dengan anak buah Lam-hai Giam-lo lalu ditawan, namun dia dapat membujuk Giam-lo sehingga dia diterima menjadi murid dan gurunya itu bahkan telah membatalkan ikatan perjodohannya dengan keluarga Kang-jiu-pang. Tentang diriku, ahhh, panjang ceritanya dan baru saja kedua orang guruku tewas di sana karena saling serang sendiri, gara-gara Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang berhasil membujuk guruku agar aku mau menjadi calon isteri Kulana."

Han Siong terkejut sekali. Dua orang guru gadis ini tewas karena saling serang sendiri? Orang-orang macam apakah guru-guru gadis ini?

"Siapakah guru-gurumu, Nona?" tanyanya, teringat kepada suhu dan subo-nya.

"Guruku adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."

Kembali Han Siong terkejut setengah mati. Dua nama itu adalah nama dua orang datuk sesat yang merupakan iblis-iblis, bahkan mereka adalah dua orang di antara Empat Setan yang tersohor itu. Pantas saja gadis ini lihai bukan main. Ngeri dia membayangkan bahwa puteri suhu dan subo-nya itu, yang telah dijodohkan dengannya, telah menjadi murid dua orang datuk sesat itu.

Melihat sikap Han Siong yang terkejut, Bi Lian tersenyum mengejek. "Memang aku murid mereka. Guruku adalah dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat seperti iblis! Lalu mengapa? Apa kau kira aku juga lalu menjadi jahat?"

"Ahh, sama sekali tidak, Nona. Akan tetapi... kalau aku tidak salah dengar bukankah ada hubungan antara Lam-hai Giam-lo dan kedua orang tua itu?"

"Benar, kedua orang guruku masih susiok dari Lam-hai Giam-lo."

"Kalau begitu Nona masih sumoi dari Giam-lo."

"Begitu maunya, akan tetapi aku tidak merasa menjadi sumoi-nya. Apa lagi setelah kedua orang guruku tewas. Dia yang menjadi gara-gara, dia dan Kulana, si keparat! Aku harus membalas kematian dua orang guruku terhadap mereka berdua!"

Tiba-tiba Han Siong memberi isyarat kepada gadis itu yang agaknya juga sudah melihat berkelebatnya bayangan orang di kejauhan. Keduanya sudah cepat menyelinap kemudian lenyap bersembunyi di balik batang pohon besar sambil mengintai bayangan itu bergerak cepat sekali dan tak lama kemudian mereka berdua melihat seorang laki-laki telah berada di situ. Melihat orang ini, Bi Lian marah sekali dan dia pun telah melompat keluar dari balik pohon sambil membentak.

"Kulana jahanam, engkau datang mengantar nyawa!"

Bi Lian meloncat keluar dan langsung menyerang dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah pelipis lawan, ada pun tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Serangan ini cepat dan kuat, dahsyat bukan kepalang karena dilakukan dalam keadaan marah dan penuh dendam.

Han Siong kaget sekali melihat serangan itu dan hampir saja dia turun tangan mencegah kalau saja dia tidak melihat bahwa orang yang diserang gadis itu pun kiranya bukan orang sembarangan.

Laki-laki itu juga terkejut karena tidak menyangka bahwa di tempat itu dia akan diserang seorang gadis yang demikian lihainya, apa lagi serangan itu merupakan serangan maut. Namun dia bersikap tenang dan sigap sekali. Dengan kecepatan seorang ahli, tubuhnya sudah merendah sehingga tusukan ke arah pelipis itu luput, ada pun cengkeraman tangan kanan Bi Lian ke arah lambungnya ditangkis dengan gerakan memutar.

"Dukkk!"

Dua lengan bertemu dan akibatnya kedua orang itu terdorong mundur dan merasa betapa lengan mereka masing-masing tergetar hebat, tanda bahwa keduanya mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat dan berimbang.

Bi Lian semakin marah. Dia memang sudah tahu tentang kelihaian Kulana, maka dia pun sudah siap untuk menyerang mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengar Han Siong berseru kepadanya.

"Nona, tahan dulu, jangan serang dia!"

Bi Lian mengerutkan alisnya. Dia tidak mengharapkan bantuan Han Siong, akan tetapi dia pun tidak ingin pemuda itu mencegah niatnya. "Hemm, Pek Han Siong, engkau mau apa sih sebenarnya?!" dia membentak.

"Nona Cu, lihat baik-baik. Dia ini bukanlah Kulana!"

Barulah Bi Lian terkejut lantas dia memandang penuh perhatian. Hemm, pemuda itu ada apakah? Orang ini jelas Kulana, mengapa berkata bahwa dia bukan Kulana? Bi Lian lalu mengamati orang itu. Wajahnya yang anggun berwibawa, pakaiannya yang mirip seperti pakaian bangsawan, mewah dan indah dengan kain kepala warna-warni dihiasi burungan merak terbuat dari emas permata, pandang matanya yang lembut namun mencorong dan sikapnya yang tenang dan halus. Siapa lagi kalau bukan Kulana?

Pandangan Bi Lian memang tidak keliru. Walau pun diperhatikan dengan teliti, baik wajah mau pun bentuk tubuhnya, laki-laki ini memang serupa benar dengan Kulana. Akan tetapi pandangan Han Siong tidaklah demikian, karena pemuda ini melihat ada perbedaan yang menyolok pada sinar matanya.

Laki-laki ini memandang bergantian kepada dua orang muda yang berdiri di hadapannya. Mula-mula matanya memandang ke arah Bi Lian dengan lembut, kemudian berubah tajam dan bersinar mencorong ketika menatap wajah Han Siong, namun di dalam pandangan ini juga terbayang kekaguman. Akhirnya dia tersenyum dan berkata kepada Han Siong,

“Saudara yang gagah perkasa sungguh mempunyai mata yang sangat tajam. Bagaimana Saudara dapat melihat sedemikian cepatnya bahwa aku bukanlah Kulana? Apakah yang membedakan antara kami menurut penglihatanmu?”

Han Siong menatap tajam kemudian memberi hormat. “Hampir tidak ada bedanya, seperti saudara kembar saja. Hanya agaknya bayangan duka membuat sinar matamu sayu dan rambut di pelipismu agak bercampur uban.”

Orang itu tersenyum. Kini Bi Lian baru percaya bahwa orang ini memang bukan Kulana, namun keduanya memang mirip sekali.

“Kalian bermusuhan dengan Kulana akan tetapi masih hidup, hal ini sudah mengagumkan sekali. Dan karena kalian dimusuhi oleh Kulana, maka sudah sepatutnya kalau kusambut sebagai tamuku. Marilah sobat-sobat, aku mengundang Ji-wi untuk datang ke tempatku, di sana kita dapat bicara dengan leluasa, tentu saja… kalau Ji-wi tidak merasa takut untuk mengunjungi tempatku,” kata pria yang mirip Kulana itu.

Laki-laki itu memang bukan Kulana, pangeran Birma yang melarikan diri itu. Dia bernama Mulana, merupakan saudara kembar dari Kulana, karena itu tidaklah mengherankan apa bila keduanya mirip sekali, baik wajah mau pun bentuk tubuhnya. Bahkan pakaian mereka juga sama-sama mewah dan indah, karena keduanya memang berdarah bangsawan.

“Siapa takut?!” bentak Bi Lian menjawab ucapan Mulana yang bernada tantangan tadi.

Han Siong yang merasa penasaran dan tertarik untuk mengenal pria ini lebih jauh, tidak ingin terjadi keributan antara Bi Lian dengan pria itu, maka dia cepat menengahi.

“Katakan saja tempat Saudara itu, kita akan datang ke sana,” katanya sambil tersenyum.

“Sungguh aku kagum terhadap Ji-wi yang bersedia memenuhi undanganku. Silakan Ji-wi mengikutiku,” kata Mulana yang langsung berkelebat pergi dari tempat itu.

Memang undangan itu aneh. Tuan rumah yang mengundang kini berlari cepat dibayangi oleh dua orang undangannya. Dilihat sepintas lalu mereka seperti tiga orang yang sedang berkejaran atau beradu cepat lari seperti tiga ekor kijang.

cerita silat online karya kho ping hoo

Diam-diam Mulana kagum bukan main. Dengan mudahnya gadis itu dapat mengimbangi kecepatan larinya, akan tetapi yang membuat dia lebih kagum adalah pemuda sederhana itu yang nampak enak-enak saja mengikuti dari belakang, seolah-olah tidak mengerahkan tenaga sama sekali.

Mereka melewati beberapa bukit dan hutan. Akhirnya Mulana berhenti pada kaki sebuah bukit. Dahi dan lehernya berpeluh, sedangkan napasnya agak memburu. Bi Lian yang ikut berhenti pula hanya agak terengah-engah dengan sedikit keringat pada dahinya, ada pun Han Siong tetap biasa saja, seolah-olah dia tadi tidak melakukan pekerjaan apa pun.

Dari balik jubahnya Mulana mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah semacam terompet, kemudian meniup mulut benda itu. Terdengarlah suara melengking tinggi yang menerobos hutan mengarah ke puncak bukit. Sesudah gema suara lengkingan itu lenyap, dia pun berkata,

“Harap Ji-wi suka menanti sebentar.”

Tidak lama kemudian, dari arah puncak bukit itu nampak turun serombongan orang yang diikuti oleh sebuah kereta di belakangnya. Mereka berbaris rapi, memberi hormat kepada Mulana seperti terhadap seorang pembesar tinggi. Kereta berkuda empat itu dikusiri oleh seorang kusir tua yang pakaiannya juga indah. Dengan gerakan anggun Mulana kemudian mempersilakan dua orang tamunya memasuki kereta.

Bi Lian dan Han Siong yang merasa sangat heran dan kagum, tanpa sungkan-sungkan lagi memasuki kereta bersama Mulana. Kereta lalu digerakkan, mendaki bukit yang penuh hutan, akan tetapi ternyata di sana sudah dibuat sebuah jalan yang rata dan cukup lebar sehingga kereta itu dapat berjalan dengan lancar.

Dua orang muda yang menjadi tamu itu merasa sangat kagum sekaligus heran. Di bukit yang terasa sunyi dan liar, mereka merasa seolah-olah menjadi tamu agung dari seorang bangsawan tinggi atau bahkan seorang pangeran. Perasaan mereka ini tidak terlalu keliru karena dari kejauhan kini tampak sebuah bangunan indah mirip istana yang membuat hati keduanya merasa kagum bukan main.

Ketika Han Siong dan Bi Lian turun, mereka berdua menjadi semakin kagum. Sederetan gadis pelayan yang pakaiannya amat rapi dan indah, rata-rata berwajah cantik dan berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun, manis-manis seperti dayang saja, menyambut dengan sembah kepada Mulana serta dua orang tamunya. Juga beberapa orang laki-laki setengah tua berpakaian pantas sebagai pengurus-pengurus rumah tangga menyambut pula dengan sikap hormat.

Baru serambi depan rumah itu saja sudah sangat indah, dengan perabotan rumah yang mengingatkan Bi Lian akan rumah tempat tinggal Kulana. Agaknya memang ada banyak persamaan antara Kulana dengan Mulana ini, baik wajah, tubuh, pakaian mau pun tempat tinggal mereka.

Dengan sikap anggun Mulana hanya mengangguk untuk menerima penghormatan para pelayannya itu, kemudian berkata kepada tamunya,

“Silakan Ji-wi beristirahat lebih dahulu. Tetapi, ahh… maafkan aku, tempat istirahat untuk tamu wanita dipisahkan dengan tamu pria, karena itu terpaksa Ji-wi harus terpisah untuk sementara waktu. Maafkan aku…”

Han Siong mengerutkan alis, lalu memandang kepada Bi Lian seakan-akan menyerahkan keputusannya kepada gadis itu. Bi Lian yang memiliki hati keras tentu saja tidak mengenal takut, karena itu dia segera mengangguk tanda setuju.

Melihat anggukan tanda setuju ini, Han Siong menjadi lega. Dia sudah tahu bahwa Bi Lian bukanlah wanita lemah, sebab itu dia tidak terlampau khawatir jika mereka harus terpisah. Maka dia pun menjawab mewakili Bi Lian,

“Terpisah pun tidak mengapa,” katanya sambil tersenyum.

“Bagus! Ji-wi masing-masing akan dilayani oleh beberapa pelayan, katakan saja kepada mereka apa pun yang Ji-wi perlukan. Kita akan berkumpul kembali ketika makan malam nanti, dan silakan Ji-wi mengikuti para pelayan ke tempat istirahat. Selamat beristirahat,” setelah berkata demikian, Mulana lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi.

“Silakan ikut kami, Nona,” kata seorang pelayan wanita dengan sikap hormat.

Sejenak Han Siong dan Bi Lian saling pandang, lantas gadis itu membalikkan tubuh untuk mengikuti dua orang pelayan wanita yang telah berjalan menuju sebuah pintu. Han Siong terus memandangnya dan setelah bayangan gadis itu lenyap, terdengar suara halus.

“Silakan ikut kami, Kongcu.”

Tanpa menunggu jawaban lagi, dua pelayan wanita sudah berjalan menuju pintu lain yang arahnya berlawanan dengan pintu yang dimasuki Bi Lian tadi, sedangkan pelayan lainnya tetap diam tanpa bergerak. Maka Han Siong segera mengikuti dua pelayan itu memasuki pintu.

Han Siong tidak dapat beristirahat dengan tenang. Biar pun dia tahu bahwa Bi Lian bukan seorang gadis yang lemah melainkan seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi, tapi hatinya tetap merasa khawatir. Ia hanya duduk di pinggir pembaringan, dan waktu terasa berjalan begitu lambat baginya. Karena itu dia langsung meloncat ke arah pintu kamarnya ketika seorang pelayan memberi tahu bahwa waktu makan malam telah tiba.

Ternyata Mulana telah berada di ruangan itu ketika Bi Lian dan Han Siong masuk dari dua pintu yang berlawanan. Bi Lian dan Han Siong bertukar pandang, kemudian Han Siong tersenyum, diam-diam merasa lega dan girang melihat gadis itu nampak sehat dan segar. Bagaimana pun juga dia masih merasa curiga dan meragukan isi hati tuan rumah.

Bi Lian adalah seorang gadis yang cantik dan terlampau luar biasa sehingga tidaklah aneh kalau orang semacam Mulana ini mempunyai niat yang tidak terpuji. Meski pun rumah itu penuh dengan gadis pelayan yang cantik dan manis, bagaikan sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga harum, namun kecantikan para gadis itu kehilangan cahayanya jika dibandingkan dengan Bi Lian. Seperti sebutir mutiara di antara batu akik, seperti burung Hong di antara burung-burung nuri, atau setangkai teratai di antara bunga-bunga air.

Ruang tamu yang sekarang dijadikan ruangan makan atau tempat pesta menjamu tamu agung itu ternyata sudah dihias dengan indahnya, dengan kain sutera warna-warni, kertas kembang, juga bunga-bunga hidup dan lukisan indah. Lampu-lampu yang beraneka warna bergantungan di mana-mana sehingga tempat itu selain nampak terang juga terlihat indah dan meriah sekali. Sebuah meja besar telah dihiasi dengan taplak meja warna merah dan bunga-bunga. Juga mangkok, piring, sumpit dan cawan sudah disusun rapi.

Bi Lian dan Han Siong dipersilakan duduk berhadapan dengan Mulana, hanya terhalang oleh sebuah meja. Dua orang muda itu melihat bahwa di samping kursi Mulana masih ada sebuah kursi kosong yang amat indah, terbuat dari emas dan perak, dengan tilam beludru hijau dan di depan kursi ini terdapat sebuah pot bunga berisi bunga-bunga yang segar.

Mereka berdua saling pandang dan menduga-duga siapa yang akan duduk di samping kiri Mulana itu. Sejak kedatangan mereka di situ tadi, Mulana tidak pernah memperkenalkan anggota keluarganya, kecuali para pelayan yang amat banyak jumlahnya.

“Selamat malam!” katanya menyambut dengan gembira ketika dua orang muda itu muncul dan sudah dipersilakan duduk. “Apakah Ji-wi (Anda Berdua) mendapat pelayanan cukup dan sudah cukup beristirahat pula?”

“Terima kasih, para pelayan di sini sungguh amat baik,” kata Bi Lian dan Han Siong juga mengangguk sambil tersenyum.

“Syukurlah, baru sekarang ini kami mendapatkan tamu-tamu agung dan aku akan merasa menyesal jika sampai mengecewakan tamu kami. Sekarang, sebelum kita makan malam bersama dengan akrab dan Ji-wi kuperkenalkan dengan isteriku, kiranya telah sepatutnya kalau kita berkenalan dengan baik. Bagaimana pendapat Ji-wi?”

Kembali Han Siong dan Bi Lian bertukar pandang. Tuan rumah ini sungguh aneh. Mereka sama sekali tidak ingin berkenalan atau menjadi tamu agung tetapi tuan rumah inilah yang mengundang mereka. Bagaimana pun juga, keadaan tuan rumah yang mewah, kaya raya serta penuh rahasia itu memang menarik perhatian mereka. Han Siong mewakili Bi Lian, menjawab sambil memberi hormat.

“Saudara telah menyambut kami dengan baik sekali, kami merasa terhormat bisa menjadi tamu di tempat yang indah ini.”

Mulana tersenyum dan balas menjura. "Akan tetapi Ji-wi belum mengenal betul siapa aku ini, meski Ji-wi mungkin sudah mengenal Kulana. Ketahuilah bahwa aku bernama Mulana dan aku adalah saudara kembarnya dari Kulana. Tadinya kehidupan kami di Birma dapat dikata amat baik, kedudukan kami berdua sangat terhormat sebagai penasehat raja, dan terutama sekali Kulana membuat jasa besar ketika terjadi penyerbuan pasukan Tiongkok dengan mengatur barisan pertahanan yang berhasil memukul mundur musuh. Akan tetapi dia masih belum puas dan dia melakukan usaha untuk merampas kedudukan raja. Ketika ketahuan, dia lalu melarikan diri dan sebagai saudara kembarnya aku terpaksa turut pula menjadi buruan. Karena dalam urusan pemberontakan itu kami berdua tidak cocok, maka kami saling berpisah dan tidak lagi saling mencampuri urusan pribadi. Aku lalu tinggal di bukit ini bersama isteriku yang nanti akan aku perkenalkan kepada Ji-wi. Nah, sekarang harap Ji-wi suka memperkenalkan diri sebagai tamu-tamu yang kami hormati!."

Bi Lian lebih dahulu memperkenalkan diri, "Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan." Dia tidak menceritakan lebih jauh lagi sebab dia sendiri tentu saja masih merasa ragu apakah saudara kembar dari Kulana ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya. "Aku dikeroyok, lantas mendapat bantuan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil melarian diri sampai berjumpa denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi yang dapat kuceritakan."

"Apa yang diceritakan Nona Cu tadi memang benar adanya, Saudara Mulana. Aku pun tengah mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunya dan kami melarikan diri ke dalam hutan itu."

Mulana mengangguk-angguk. "Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda kalian sudah berani menentang Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali! Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau kuperkenalkan dengan isteriku yang tercinta!"

Sesudah berkata demikian, Mulana lalu mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan suara tiupannya ketika dia memberi tahukan tentang kedatangannya kepada para pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara laksana seekor binatang yang mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai jauh.

Begitu mendengar suara ini, seluruh pelayan yang sedang sibuk di ruangan itu kelihatan amat kikuk dan mereka pun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian nampak ada orang muncul dari pintu dalam, diiringi oleh lima orang gadis pelayan.

Pada waktu Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang, keduanya terpesona, bahkan Bi Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang keluar dari dalam dengan langkah halus laksana seorang bidadari melayang-layang saja, diikuti oleh lima orang pelayan.

Wanita itu sudah berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun memiliki kecantikan yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna, cantik dan agung walau pun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana kaisar.

Pakaiannya, gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa dia bukan seorang wanita biasa, namun seorang wanita bangsawan agung yang memiliki gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak kelihatan melangkah sehingga tampak bagaikan melayang ketika dia menghampiri meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang kosong.

Diam-diam Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang sangat cantik, terlalu cantik di tempat yang seperti itu. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti mata seorang yang berada di bawah pengaruh sihir! Ia juga melihat sinar duka yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menyelidiki rahasia aneh apa yang ada pada wanita itu.

Sambutan Mulana kepada isterinya itu pun luar biasa. Saat wanita itu tiba dekat, dia pun bangkit dari tempat duduknya lantas dengan senyum lebar dia menyongsong kedatangan isterinya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti oleh kedua orang tamunya.

"Selamat malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau makin cantik saja. Silakan duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat."

Sikap Mulana seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali.

Wanita itu pun lalu menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian dia mengambil tempat duduk di atas kursi di sisi suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna menimpa mukanya, diam-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya.

Wanita ini memang hebat, cantik jelita dan cara dandanannya, dari setiap untaian rambut hitam yang dilingkar-lingkar sampai pada hiasan kuku dari emas, mau pun setiap lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan seorang wanita yang lembut.

Sekarang para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagai sekelompok kupu-kupu saja gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperti menari-nari, datang dan pergi membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap hingga terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang sudah sangat lapar itu mengeluarkan bunyi!

Wajah itu selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit muka yang demikian halus dan walau pun nampak pucat, namun kehalusannya sungguh jarang dimiliki oleh perempuan lain. Rambutnya hitam panjang dan tebal, digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih serta diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis.

Alisnya hitam panjang dan melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup laksana bulan terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, dan bibirnya mengandung tantangan birahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus.

Setelah hidangan lengkap dikeluarkan di atas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan berkata halus kepada seorang pengawal. "Ambilkan cawan kehormatan dari Tuan Puteri!"

Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat betapa wanita cantik itu dengan terkejut menoleh kepada suaminya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya. "Perlukah...?" Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak dimengerti oleh dua orang tamu itu.

Akan tetapi, dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu telah mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tak menghiraukannya, malah memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal yang tadinya kelihatan ragu-ragu itu kemudian melangkah cepat memasuki ruangan lain yang tersambung dengan ruangan itu.

Bi Lian dan Han Siong saling pandang. Mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Keluarga tuan rumah ini memang aneh serta penuh rahasia yang menegangkan. Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang namun keduanya harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka setelah melihat kepala pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak.

Kepala pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah. Benda itu adalah sebuah tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, namun terawat dengan baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup dengan emas, dan hanya tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga. Agaknya tengkorak itu sekarang dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali!

"Isi cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!" Tiba-tiba Mulana berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya itu.

Para gadis pelayan lantas membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, dan dengan gerak tubuh yang lemah gemulai mereka pun mengisi cawan arak di hadapan Bi Lian, Han Siong dan Mulana. Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan pelayannya kemudian menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya, melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Sesudah itu Mulana mengangkat cawan araknya sambil bangkit berdiri.

"Isteriku, marilah kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di rumah kami!"

Bi Lian dan Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti pandang mata suaminya, lalu bersama suaminya minum anggur dari... mulut tengkorak.

Bi Lian bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman dengan tengkorak itu, beradu mulut. Penglihatan ini sungguh sangat menegangkan dan mengerikan hatinya. Perasaan Han Siong juga tergetar dan jantungnya masih berdebar saat mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu di depannya.

"Mari, mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, temanilah dua orang tamu kita makan minum!" dengan sikap gembira sekali Mulana lalu mengajak isterinya serta kedua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu. Isterinya lalu makan dengan cara yang sopan sekali, dengan sikap lembut, pandang mata tak pernah ditujukan kepada tamunya atau pun suaminya, seperti seorang dalam mimpi,.

"Ha, makan minum barulah enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku, dongeng yang sangat indah dan menarik kepada Ji-wi?"

Bi Lian dan Han Siong bertukar pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut mereka Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita), dan kini hendak mendongeng. Sebagai tamu, tentu saja mereka hanya dapat menyetujui dan mengangguk.

Biar pun tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak sudah membuat mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu supaya mereka dapat segera mengundurkan diri, bahkan di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya.

"Di negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang amat cantik jelita," Mulana mulai dengan dongengnya. "Begitu cantiknya puteri itu sehingga banyak pria yang tergila-gila, di antaranya seorang pria bangsawan tergila-gila dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Di antara banyak sekali saingan, akhirnya pria itu berhasil sehingga bisa dibayangkan alangkah berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya dia berhasil memperisteri puteri jelita itu."

Mulana berhenti sebentar dan menarik napas panjang, lalu menengadah seolah-olah dia membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu.

Bi Lian dan Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke arah nyonya rumah, wanita itu nampak acuh saja, masih melanjutkan makan dengan mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, lalu mengunyah perlahan tanpa membuka bibir.

"Semua pria di negeri Birma merasa iri hati dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiri pun merasa iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan tak perlu diceritakan lagi betapa besarnya perasaan cinta kasih pria itu kepada isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, ia siap untuk mencium bekas kaki isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah oleh isterinya itu dan melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Setiap minum dia menggunakan sandal isterinya sebagai cawan, setiap hari menulis sajak pujian baginya dan menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan cinta yang mungkin dilakukan oleh seorang pria terhadap wanita. Pria itu sangat memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau dibutuhkan oleh wanita itu."

Kembali Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai tertarik sekali. Memang Mulana sangat pandai bercerita dan dia memiliki daya tarik yang mempesona.

"Akan tetapi, ahhh…, sungguh kasihan sekali pria itu! Betapa pun besar cintanya, segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya, tak pernah mau melirik wanita lain lagi, menyerahkan seluruh kedudukannya, hartanya, kesehatannya dan segala-galanya, namun... isteri tercinta itu tetap saja dingin terhadapnya."

Bi Lian menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. Diam-diam dia marah sekali. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan hal seperti itu kepadanya? Kalau cerita yang tidak sepantasnya ini terus dilanjutkan, tentu dia akan menegurnya! Agaknya Mulana maklum akan isi hatinya.

"Maafkan aku, Nona Cu. Maaf, bukan maksudku untuk menceritakan hal yang tak pantas! Akan tetapi semua ini untuk menyatakan betapa semua cinta serta pengorbanan pria itu sia-sia belaka. Hebatnya, biar pun puteri yang sudah menjadi isterinya itu bersikap dingin, pria itu masih tetap memujanya. Dengan sabar dia merayu, dia membujuk, dengan sangat hati-hati, dengan halus sekali untuk membangkitkan perasaan cinta di hati isterinya, walau pun sedikit dia sudah akan menerimanya dengan perasaan amat berbahagia. Akan tetapi sia-sia... puteri itu tetap dingin dan selalu memperlihatkan sikap tidak suka berdekatan..."

"Hemm, cerita itu semakin tidak menarik," kata Bi Lian.

"Dongeng yang amat menyedihkan," kata pula Han Siong sambil tersenyum kepada tuan rumah, untuk menghibur karena dia merasa tak enak melihat sikap Bi Lian yang demikian jujur mencela dongeng tuan rumah.

Mulana tersenyum dan wajahnya yang tampan nampak berduka, senyumnya pahit sekali. "Memang menyedihkan, dan mungkin tidak menarik bagi Nona Cu, juga bagi wanita pada umumnya. Akan tetapi sangat menyedihkan bagi seorang pria. Cinta kasih seorang pria mendambakan balasan, biar pun sedikit saja, melalui sentuhan halus, melalui senyuman, melalui pandang mata yang mesra, melalui apa saja. Pria yang merindukan kasih sayang isterinya itu selama bertahun-tahun hanya mampu berharap, berharap, dan berharap! Dan pada suatu malam… dunia kiamat baginya!" Dan tiba-tiba saja Mulana menangis!

Han Siong dan Bi Lian kaget bukan kepalang. Mereka saling bertukar pandang, kemudian memandang kepada tuan rumah yang menutupi muka dengan dua tangannya dan terisak menangis. Pada saat mereka melirik ke arah nyonya rumah, wanita cantik itu masih terus makan dan ketika sepasang matanya melirik ke arah suaminya, Bi Lian menangkap sinar mata yang mengandung ejekan dan hinaan!

Ingin sekali Han Siong bertanya, apa yang sudah terjadi dengan pria yang mendambakan cinta isterinya itu, akan tetapi dia menahan diri dan bersabar, menunggu sampai Mulana menghentikan tangisnya.

Pria itu menurunkan dua tangannya, menggunakan sapu tangan sutera untuk menghapus air mata yang membasahi mukanya, lalu tersenyum, tapi senyum paksaan. "Maafkan aku. setiap kali menceritakan hal itu, aku selalu tidak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatiku. Akan tetapi, seperti yang kukatakan tadi, malam itu memang terjadi sesuatu yang membuat pria itu merasa dunia kiamat baginya!"

"Apa yang terjadi?" Pek Han Siong tak dapat menahan lagi keinginan tahuannya.

"Apa yang terjadi? Pek-taihiap, tidakkah engkau dapat menduganya? Puteri yang cantik jelita itu, isteri yang amat dicinta oleh suaminya yang suka menjilati telapak kakinya untuk menyatakan cintanya, wanita yang secantik bidadari itu, yang kecantikannya tanpa cacat cela, pada suatu malam jahanam itu... ketika pria yang menjadi suaminya itu terbangun dan tidak melihatnya tidur di pembaringan lalu mencarinya ke belakang, wanita itu, yang selalu dingin terhadap suaminya, yang sekali pun tak pernah membelai suaminya, bahkan tidak pernah menyentuhnya dengan gairah, wanita itu... di dalam taman, di atas rumput begitu saja, di tempat terbuka, tanpa pakaian sama sekali, tanpa bermalu sedikit pun juga, bagaikan seekor binatang jalang yang panas dan penuh nafsu birahi, sambil mengerang seperti binatang dan dengan nafsu menggebu-gebu laksana kemasukan iblis, perempuan itu bergelut dan bermain cinta dengan tukang kebun!"

"Ahhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Bi Lian dan Han Siong hampir berbareng karena mereka sungguh terkejut bukan main.

"Ha, kalian tentu kaget sekali! Siapa orangnya yang tidak kaget! Dan pria itu, suami itu... dia bukan hanya kaget, akan tetapi dunia seperti kiamat baginya. Wanita yang dipujanya seperti dewi itu, yang didambakan cintanya, menyerahkan diri sebulatnya, lahir dan batin, kepada seorang laki-laki lain! Bukan pangeran bukan bangsawan, bukan pula hartawan, melainkan seorang tukang kebun biasa! Seorang hamba yang hina dina dan rendah, juga kotor! Apa yang selalu dijauhkannya dari suaminya yang mencintanya, yang memujanya, di malam hari itu, mungkin juga malam-malam sebelumnya, sudah diberikan sepenuhnya kepada seekor anjing!" Setelah berkata demikian, Mulana memandang kepada isterinya dengan sinar mata mengerikan, penuh penyesalan, penuh duka, penuh kebencian, akan tetapi juga penuh kasih sayang!

"Cukup!" Mendadak wanita cantik jelita yang menjadi isteri Mulana itu berseru, suaranya seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya, kemudian muka yang amat cantik itu menjadi kemerahan. "Setelah semua dendam kau curahkan, kenapa malam ini engkau melanggar janji dan menceritakan kepada orang lain, Mulana?"

"Aku terpaksa, Yasmina, aku tidak dapat bertahan lagi untuk menyimpannya sendiri. Dan dua orang ini bukan orang sembarangan, mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah berani menentang Kulana! Mereka patut mendengarkannya!"

"Bagus, engkau melanggar janji, aku pun tidak perlu setia terhadap janjiku. Hai dua orang muda, dengarkan baik-baik. Akulah Yasmina, akulah isteri yang diceritakannya itu, wanita itu. Dialah yang membuat aku seperti itu. Dia menganggap aku bukan seperti manusia, tapi memujaku bagai benda keramat, seperti boneka kaca, melimpahkan semua cintanya seperti terhadap seorang dewi di kahyangan. Aku seorang perempuan, dari darah daging! Aku ingin diperlakukan sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan dari darah daging yang haus akan belaian dan kasih sayang nyata seorang jantan! Dan memang aku menyerahkan diri sepenuhnya, sepuas hatiku kepadanya! Dan aku puas. Aku menyesal, akan tetapi aku puas. Dan Mulana, dia memenggal leher tukang kebun itu, lalu membuat kepalanya menjadi tengkorak ini. Aku harus selalu minum anggur dari dalam tengkorak ini melalui mulutnya! Aku menerima semua pelampiasan dendam ini untuk menebus dosaku. Dan dia setiap malam bermain cinta dengan para gadis pelayan yang cantik dan muda, di depan mataku untuk membalas dendam. Aku hanya mentertawakannya dalam hati sebab bagaimana pun juga dia tidak dapat disamakan dengan tukang kebunku itu! Tidak ada seperempatnya! Dan dia berjanji takkan membuka rahasia itu. Akan tetapi malam ini dia melanggar janjinya...!" Wanita itu, Yasmina, sekarang mengangkat tengkorak yang sudah diisi anggur baru, kemudian mencium mulut tengkorak itu. "Engkau, tukang kebunku yang setia, engkau selama ini menemaniku, engkau kehilangan nyawa karena aku, sekarang tiba saatnya engkau menjemputku. Bawalah aku ke sana..." dan wanita itu lalu menggigit sebuah di antara gigi tengkorak itu, minum anggur dari dalamnya lantas dia pun terkulai di atas meja. Tengkorak itu terlepas kemudian jatuh bergulingan di atas lantai, seperti hidup, sampai berhenti di dekat kaki Mulana.

"Yasmina...!" Mulana menendang tengkorak itu kemudian meloncat ke dekat isterinya. Dia mengangkat muka isterinya.

Mungkin wanita itu sudah lama mempersiapkan dan menyimpan racun di bawah sepotong gigi tengkorak yang tadi digigitnya, dan minum racun itu bersama anggur!

"Yasmina...!" Mulana mengguncang-guncang isterinya, didukungnya, dipondongnya dan dia pun menangis sambil kebingungan.

Melihat ini Bi Lian bangkit dan memandang kepada Pek Han Siong. Alisnya berkerut dan gadis ini merasa betapa batinnya terguncang hebat oleh peristiwa yang terjadi di antara suami isteri yang aneh itu.

"Mari kita pergi, aku menjadi muak dan mual!" katanya.

Pek Han Siong sendiri juga terguncang hebat perasaannya. Apa lagi yang terjadi antara Mulana dengan Yasmina itu terlalu hebat, sampai wajahnya menjadi berubah agak pucat. Ngeri dia membayangkan malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa sepasang suami isteri yang seperti mereka itu. Kaya raya, bangsawan tinggi, keduanya tampan dan cantik!

"Mari!" katanya dan keduanya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa pamit lagi karena tuan rumah tidak mungkin dapat diajak bicara.

Mulana sudah menjadi seperti orang gila, memondong mayat isterinya ke sana-sini sambil menangis dan menciumi muka yang kini kebiruan itu. Pelayan yang berada di situ seperti berubah menjadi patung, terbelalak pucat tanpa ada yang berani bergerak. Bahkan ketika Bi Lian dan Han Siong pergi meninggalkan perkampungan itu, tidak seorang pun penjaga mencoba untuk menghalangi mereka.

Loading...