Pendekar Mata Keranjang Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PADA pagi hari itu Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid datang menghadap dan memberi tahukan bahwa di luar pintu gerbang yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai telah datang seorang wanita yang menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.

Untuk beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang wanita? Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang? Ataukah Cia Kui Hong, puterinya? Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang di antara mereka yang datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu.

"Siapa namanya dan ada keperluan apakah dia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.

"Dia tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, tetapi berkeras mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.

Cia Hui Song mengerutkan kedua alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia pun merasakan sesuatu yang tak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi antara wanita itu dengan dirinya, namun sukarlah menduga siapa orangnya karena banyak sekali pengalaman yang sudah dilalui dalam hidupnya.

Sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dia pun tahu bahwa banyak sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh karena itu dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Tapi pengunjungnya ini adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia harus menyambut tamu itu dengan hormat.

"Baiklah, persilakan dia masuk dan menanti di ruang tamu."

"Aku sudah berada di sini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar beranda.

Hui Song terkejut sekali saat mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke pekarangan itu.

"Heiii! Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.

Cia Hui Song memberi tanda kepada isterinya supaya masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang menjadi isterinya itu cepat berjalan masuk sambil menggendong anaknya. Hui Song lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang langsung bersikap hormat ketika melihat ketua mereka.

"Pangcu, wanita ini kami suruh menunggu sebab belum ada keputusan dari Pangcu, akan tetapi tiba-tiba dia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami mengejarnya dan..."

"Sudahlah, kalian kembali ke pintu gerbang dan berjaga baik-baik," kata Hui Song kepada para muridnya.

Ketika mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya cantik dengan sepasang pipi kemerahan dan mulut indah, namun pada saat itu membayangkan kemarahan, sepasang matanya yang berkilat sedang mengamatinya pula.

"Aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya tegas dan galak.

Hui Song tersenyum sabar dan menjura. "Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan kita bicara di dalam."

Wanita itu terbelalak. Dia adalah Kok Hui Lian dan sekarang dia pun teringat. Seperti kilat menyambar, pada ingatannya terbayang kembali peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang silam.

Dia baru berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang waktu itu menjadi gubernur kota San-hai-koan diserbu oleh pemberontak. Orang tuanya terbunuh, gedungnya dibakar dan dia sendiri tentu sudah tewas apa bila tidak ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Oleh penolongnya dia digendong keluar dari keributan itu, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh hingga terpaksa dia dilepaskan.

Dia kemudian ditangkap penjahat dan pada saat itulah muncul suheng-nya, Ciang Su Kiat yang kemudian menjadi gurunya, juga suheng-nya sekaligus pengganti orang tuanya. Dan pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-ling-pai!

"Tidak, bukan engkau... aku hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang bernama Cia Kong Liang."

"Ahh, kiranya engkau ingin bertemu dengan ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih ayahku tidak lagi mencampuri urusan dunia dan selalu bertapa. Kalau ada urusan, harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk menanganinya."

"Tidak, aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia Kong Liang!"

Hui Song menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walau pun sinar matanya berkilat. "Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapa pun. Kalau Nyonya mempunyai urusan dengan ayahku, biarlah aku yang akan membereskan semua perhitungan. Silakan."

"Tidak... tidak...!" tentu saja Hui Lian tidak mau berurusan dengan orang yang dulu pernah menyelamatkannya ini. Dia pun membalikkan tubuh, kemudian dengan beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap.

Diam-diam Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah bahwa wanita muda itu mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa sedikit khawatir, maka memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.

Sementara itu Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai dengan hati tegang. Dia harus menemui Cia Kong Liang, ketua lama Cin-ling-pai untuk menegurnya dan kalau mungkin membalaskan penderitaan suheng-nya yang dahulu lengannya sudah dibuntungi oleh ketua yang kejam itu!

Akan tetapi Kok Hui Lian sama sekali tak pernah menyangka bahwa pendekar yang dulu sudah menyelamatkannya dari maut itu ternyata adalah putera ketua itu, bahkan kini telah menggantikan ayahnya menjadi ketua Cin-ling-pai. Suheng-nya, Ciang Su Kiat, tak pernah menceritakan tentang putera ketua itu.

Melihat kenyataan bahwa pendekar penolongnya berada di situ sebagai putera musuhnya, sebagai Ketua Cin-ling-pai, mendatangkan keraguan dan kebimbangan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa memusuhi pendekar itu? Dia sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa!

Akan tetapi penderitaan suheng-nya juga harus dibalas, walau pun hanya berupa teguran keras terhadap ayah pendekar itu yang sudah bertindak kejam, karena membuat lengan suheng-nya buntung sebagai hukuman. Malam nanti dia akan berusaha menyelundup dan mencari tempat kakek itu bersemedhi, hendak ditemuinya lalu akan ditegurnya. Sesudah menegur keras tanpa menimbulkan bentrokan dengan pendekar penolongnya itu, barulah hatinya akan puas.

Baru beberapa jam Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai ketika para murid yang berjaga di pintu gerbang menyambut datangnya seorang wanita lain dengan pandang mata penuh kecurigaan. Baru saja pagi tadi datang seorang wanita cantik yang masuk dengan memperlihatkan kepandaiannya, dan sesudah wanita itu pergi lagi, ketua mereka berpesan supaya mereka berjaga lebih ketat dari biasanya. Dan kini muncul lagi seorang wanita lain.

Wanita ini jauh lebih muda jika dibandingkan wanita pertama, seorang gadis yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, berpakaian sederhana sekali, namun wajahnya yang tidak memakai perhiasan, juga tidak memakai bedak itu nampak halus dan mengandung daya tarik yang amat kuat.

Yang paling menarik adalah mata dan mulutnya yang membayangkan watak yang lembut, kesabaran dan ketenangan yang jarang terdapat dalam diri seorang gadis yang demikian muda. Walau pun dia tidak buruk rupa, dia tidak dapat dinamakan gadis yang cantik pula melainkan manis, terutama sekali karena kelembutannya.

Biar pun demikian, bagaikan sekelompok kijang yang baru saja dikejutkan oleh serangan harimau, para murid Cin-ling-pai yang masih merasa tegang itu segera menghadang di depan pintu gerbang dengan sikap galak.

"Berhenti! Siapakah engkau, Nona? Ada keperluan apa mengunjungi Cin-ling-pai?" tanya seorang di antara para murid itu dengan suara galak.

Akan tetapi gadis yang bermata lembut itu tersenyum, nampaknya girang meski pun dia dibentak orang. Dia lalu memandang kepada enam orang murid Cin-ling-pai yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu dan berkata, "Ah, benar ini perkampungan Cin-ling-pai! Syukurlah, akhirnya dapat juga aku sampai ke sini. Namaku Ling Ling dan aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."

Meski pun cara gadis itu memperkenalkan diri masih seperti seorang gadis remaja, akan tetapi begitu mendengar dia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai, para murid itu lalu saling pandang dengan penuh arti. Keinginan gadis ini sama persis dengan wanita pagi tadi!

"Hemm, siapakah nama Ketua Cin-ling-pai yang ingin kau temui itu?" tanya lagi seorang murid, dia hendak memancing.

"Namanya... Kakek Cia Kong Liang. Bukankah beliau yang menjadi Ketua Cin-ling-pai?"

Kembali para murid itu saling pandang. Tepat, sungguh sama persis dengan wanita pagi tadi! Sekali ini mereka tidak ingin menerima teguran, mereka harus menghalangi gadis ini untuk mengacau ke dalam. Tak perlu sampai ketua mereka yang turun tangan mengusir, seperti wanita pagi tadi.

"Hemmm, engkau ini masih kanak-kanak tapi sudah berani hendak membikin ribut di sini. Pergilah sebelum kupukul kau!" kata murid yang memakai kumis tebal, bermaksud untuk menakut-nakuti agar gadis itu segera pergi tanpa banyak ribut lagi.

Gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu mengerutkan alisnya. "Aihh, kenapa? Harap kalian tidak membikin susah padaku. Aku datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan sampai berbulan-bulan, kini sesudah sampai di tempat yang kutuju, kalian hendak menyuruh aku pergi begitu saja? Aku hanya ingin menghadap Kakek Cia Kong Liang, Ketua Cin-ling-pai, tidak membikin ribut."

"Sudahlah, tak mudah untuk menghadap beliau. Setidaknya engkau harus melalui barisan tiga lapis dari Cin-ling-pai!" kata seorang murid kepala yang baru muncul dari dalam dan kini banyak murid Cin-ling-pai keluar dan ikut menghadang.

Cin-ling-pai terkenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan kuat, tentu saja memiliki peraturan-peraturan yang ketat dan tidak sembarang orang boleh masuk tanpa ijin. Sebab itu di sana memang terdapat tiga lapis barisan yang berjaga dan selama ini belum pernah ada orang dari luar yang mampu menembusnya! Jadi ucapan mereka itu bukan sekadar menakut-nakuti saja.

Kalau pagi tadi, mereka sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita yang cantik itu akan menggunakan ilmu kepandaiannya, meloncati mereka dan meloncati tembok begitu saja! Kalau mereka mengetahui terlebih dahulu, tentu mereka akan menahannya dengan pasukan tiga lapis itu. Kini mereka sudah siap siaga, sesudah mendapat peringatan dari ketua mereka untuk melakukan penjagaan ketat

Wajah yang lembut itu masih tersenyum, tetapi sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilau penuh semangat kegembiraan. Menghadapi tantangan itu, gadis ini justru merasa gembira untuk mencobanya! Dia bukan seorang gadis sembarangan walau pun usianya baru tujuh belas tahun. Gadis ini adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar Cia Sun yang amat lihai, dan Cia Sun adalah putera dari Pendekar Lembah Naga yang bernama Cia Han Tiong, seorang pendekar yang menjadi ketua perkumpulan Pek-liong-pang.

Murid-murid Pek-liong-pang kini banyak yang menjadi pendekar-pendekar dan tersebar di mana-mana, dan nama Pek-liong-pang amat terkenal sebagai pusat orang-orang gagah. Selain menerima ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga Cia Sun menjadi murid dari Go-bi Sian-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang juga disebut See-thian Lama. Ada pun isteri dari Cia Sun juga seorang wanita sakti yang bernama Tan Siang Wi dan pada waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!

Sebagai puteri dan anak tunggal dari ayah ibu pendekar, tentu saja gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu sejak kecil telah digembleng dan kini telah mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari ayah ibunya. Dan sebagai seorang yang baru berangkat dewasa dalam gemblengan ilmu silat, dia merasa sangat gembira ketika menghadapi tantangan seperti sekarang. Ia ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan Cin-ling-pai yang demikian disohorkan, dan dia pun ingin menguji kemampuan diri sendiri.

"Boleh kalian pasang barisan tiga lapis, aku ingin memasukinya!" katanya girang, sedikit pun tidak memperlihatkan kemarahan karena di dalam hatinya tidak terdapat permusuhan terhadap Cin-ling-pai, melainkan kegembiraan untuk menguji kepandaian.

Ayahnya sendiri mempunyai hubungan yang amat dekat dengan Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia akan memusuhinya? Menurut cerita ayahnya, Cin-ling-pai masih merupakan perguruan yang menjadi sumber ilmu yang dimiliki kakeknya, bahkan pada saat ayah dan ibunya menikah, acara pernikahan itu dilakukan di Cin-ling-san ini, bersamaan waktunya dengan pernikahan antara putera Ketua Cin-ling-pai sendiri, yaitu paman Cia Hui Song dan Bibi Ceng Sui Cin yang belum pernah dijumpainya.

Mendengar ucapan itu dan melihat pula sikap Ling Ling yang seperti mentertawakan dan memandang rendah, para murid Cin-ling-pai langsung menjadi penasaran. Seorang murid kepala cepat mengumpulkan teman-temannya dan pasukan tiga lapis itu pun disusunlah. Pasukan pertama terdiri dari lima orang dan mereka segera membentuk barisan untuk menghadapi gadis itu di luar pintu gerbang.

Ling Ling memandang penuh perhatian. Lima orang itu adalah murid yang lebih muda, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan mereka berdiri di depannya, membentuk setengah lingkaran sehingga dia menghadapi lawan dari depan dan kanan kiri. Akan tetapi, walau pun lima orang itu membawa pedang di punggung masing-masing, mereka tidak mencabut pedang dan agaknya hendak menghadapi dirinya dengan tangan kosong.

Mereka bersikap gagah dan nampak kuat dan terlatih, bermata tajam dan tak seorang pun di antara mereka yang memperlihatkan sikap tidak sopan atau mata jalang seperti yang sering kali dilihatnya terbayang pada mata lelaki yang dijumpainya dalam perjalanannya. Semenjak dia meninggalkan rumah kediaman orang tuanya di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja sampai ke Pegunungan Cin-ling-san, sudah sering kali dia digoda laki-laki tidak sopan sehingga beberapa kali dia harus turun tangan menghajar mereka.

Lima orang itu berdiri setengah mengepungnya dengan pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat, dengan kedua kaki terpentang lebar, kuda-kuda Menunggang Kuda, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.

"Aku akan menerobos masuk!" Tiba-tiba Ling Ling berseru dan dia pun melangkah maju, seolah-olah tak peduli akan adanya lima orang yang menghadang di depannya. Dia ingin tahu apa reaksi mereka dan bagaimana cara mereka menyerang atau menghalanginya.

Akan tetapi belum juga dia mendekati orang yang menghadang di depannya, dari arah kiri datang serangan. Orang yang berdiri paling ujung sebelah kirinya telah mencengkeram ke arah pundaknya. Ia mengenal gerakan itu sebagai jurus Awan Berarak Tertiup Angin dari Ilmu Silat San-in Kun-hwat, maka dengan mudahnya ia mengelak dengan menggeser kaki ke kanan, bermaksud menerobos di antara orang ke dua dan ke tiga di sebelah depan arah kanannya.

Akan tetapi dari kanan datang pula serangan sebagai susulan serangan pertama tadi dan dia pun mengenal pukulan ke arah lambungnya itu, karena itu adalah jurus Awan Gunung Turun ke Bumi. Seperti serangan pertama, serangan ke dua ini pun dilakukan dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Ling Ling ingin menguji tenaganya, maka sekali ini dia tidak mengelak namun membiarkan kepalan lawan menyambar ke arah lambungnya, kemudian secara tiba-tiba dan cepat sekali lengan kanannya bergerak ke bawah untuk menangkis.

"Dukkk!"

Tangkisan itu perlahan saja, akan tetapi Ling Ling telah mengerahkan sinkang-nya hingga lengan lawan itu pun terpental dan orangnya meringis kesakitan. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Ling Ling untuk menerobos ke depan. Sekarang lima orang itu mulai mengeroyoknya dengan cepat, menggunakan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan untuk mencegah gadis itu menerobos barisan mereka.

Tiba-tiba Ling Ling bergerak cepat sekali, mengelak dan menangkis dan terus menerobos. Lima orang itu terkejut melihat gadis itu hendak lolos ke dalam. Mereka lantas menubruk dari kanan kiri, tetapi tiba-tiba Ling Ling mengeluarkan bentakan halus, kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan lima orang itu pun terpelanting seperti terdorong angin yang amat kuat. Tentu saja mereka tidak mampu lagi mencegah gadis itu meloncat memasuki pintu gerbang!

Akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan tujuh orang yang sudah siap menantinya di belakang pintu gerbang! Tujuh orang itu kini bergerak mengepungnya, membuat lingkaran sambil terus melangkah maju, masing-masing pada jarak dua meter darinya. Seperti juga barisan pertama, tujuh orang ini membawa pedang pula di punggung, akan tetapi mereka tidak mencabut pedang, hanya bergerak membuat langkah-langkah maju mengelilinginya dengan sikap penuh kewaspadaan.

Ling Ling dapat menduga bahwa tentu para anggota barisan ke dua ini mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada barisan pertama, dan jumlah mereka juga lebih banyak. Dia seorang gadis yang cerdik dan biar pun dia tidak bergerak, matanya melirik ke kanan kiri mencari bagian yang lemah. Namun tujuh orang itu membuat langkah-langkah yang rapi dan teratur, dan kedudukan tangan mereka siap siaga dan saling melindungi.

Setelah membuat perhitungan, Ling Ling membalikkan tubuhnya menghadap ke luar pintu gerbang dan dia pun mengeluarkan suara bentakan, lantas menyerang dua orang yang berada di depannya. Dua orang itu mengelak dan menangkis, dua orang lain di kanan kiri mereka siap membalas serangan. Akan tetapi Ling Ling sudah memperhitungkan ini dan dengan tiba-tiba sekali dia membalik lagi dan kini menyerang bagian yang tadi berada di belakangnya sambil membentak nyaring.

"Biarkan aku masuk!" Kedua tangannya menampar dua orang untuk membuka jalan.

Dua orang itu terkejut sekali, tidak mengira bahwa gadis itu akan membalik dan mengirim serangan sedemikian cepatnya. Ketika mereka hendak menangkis, gerakan kedua tangan gadis itu berubah, yang kiri menusukkan dua jari ke arah mata, yang kanan menyerang lawan ke dua dengan tusukan ke arah dada dengan tangan miring. Dua serangan yang amat berbahaya bagi dua orang lawannya, sehingga mereka itu dengan kaget melangkah mundur menghindarkan diri dari serangan, sambil memutar lengan ke depan bagian tubuh yang diserang untuk melindungi.

Kesempatan ini memang sudah diperhitungkan Ling Ling dan dia pun cepat menerobos di antara dua orang yang melangkah mundur itu. Kini dia pun telah berada di luar lingkaran!

Akan tetapi betapa herannya ketika dia memandang, ternyata dia telah dikepung pula dan lingkaran tujuh orang itu kembali sudah mengelilinginya lagi. Ternyata lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu dia menerobos keluar, lingkaran itu sudah bergerak cepat membuat lingkaran lain sehingga dia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang.

Kini tujuh orang itu melakukan serangan lagi dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau balau melainkan dengan teratur sekali. Serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan orang pertama!

Orang pertama menghantam dari atas, lantas turun ke arah kepalanya. Ketika Ling Ling menangkis dari samping, orang ke dua sudah menyerang ke lambung, ke bawah lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat dia mengelak, orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu dia meloncat ke atas menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah jalan darah di punggung!

Serangan itu datang susul-menyusul dan bertubi-tubi. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh dengan mengandalkan kelincahannya, menangkis ke kanan kiri sambil berlompatan menghindar, menyelinap di antara sambaran banyak kaki tangan ketujuh orang lawannya. Namun setiap kali dia menerobos keluar, dia hanya memasuki lingkaran lain yang dibuat mereka secara otomatis.

Ling Ling terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau dia memang menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan dan merobohkan mereka. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu karena dia tidak ingin melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudara seperguruannya pula. Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa dia dan mereka satu aliran, memiliki dasar gerakan yang sama.

Jika tadi ia membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, dia pun tidak melukai mereka tetapi hanya menggunakan angin pukulannya saja membuat mereka terpelanting. Tetapi dia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan cara seperti tadi karena mereka ini mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pasukan pertama.

Setelah mendapat akal, tiba-tiba Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, dia lantas membuat gerakan ke bawah dan menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang! Tentu saja semua lawan menjadi amat terkejut dan untuk menyelamatkan kaki, mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar lingkaran.

Akan tetapi sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini ketujuh orang itu pun sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka menyerang kembali seperti tadi, biar pun dalam lingkaran yang lebih lebar, mempergunakan pedang masing-masing menyerang gadis itu secara susul-menyusul.

Inilah peraturan dari pasukan Cin-ling-pai yang gagah. Mereka akan mengepung seorang dengan tangan kosong dan kalau orang itu mempergunakan senjata, baru mereka akan mencabut senjata mereka pula.

Tentu saja Ling Ling menjadi semakin kerepotan! Tadinya, dia ingin para pengepungnya itu melonggarkan kepungan agar dia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung lagi. Siapa sangka penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka mempergunakan pedang pula, dan kini dia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang yang tentu saja lebih berbahaya dari pada serangan kaki tangan mereka tadi.

Akan tetapi kegembiraannya langsung timbul karena kini dia dapat menguji dirinya dalam menghadapi pengeroyokan bersenjata. Dia lalu memutar pedangnya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya.

Akan tetapi, dengan sendirinya dia pun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apa lagi karena dia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya. Berbeda dengan tujuh orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh sehingga apa bila gadis itu tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.

Tiba-tiba saja Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung tujuh orang pengeroyoknya, dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu, tubuh gadis ini sudah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh orang itu pada waktu dia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah induk perkampungan.

Akan tetapi, begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu dia sudah dikepung oleh sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang namun berwibawa dan mereka sudah membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di hadapannya berdiri berjajar empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi.

Teringat akan pengeroyokan dengan pedang, segera dia menyimpan kembali pedangnya sebab menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah pasukan ke tiga, pikirnya. Dia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia mereka pun tentu lebih dari tiga puluh tahun.

Maka Ling Ling menjura dengan sikap hormat. "Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cin-ling-pai."

"Nona, engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melewati dua pasukan. Untuk dapat menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus berhasil lolos dari kepungan kami," kata seorang di antara mereka dengan suara tenang dan sikap yang sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling walau pun dia hanya seorang gadis remaja.

Ling Ling menghela napas panjang. "Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang ajar. Bukan aku merasa takut, melainkan aku tak ingin membikin ribut, akan tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"

Sesudah berkata demikian, dia menerjang di antara dua orang yang berada di depannya untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi dua orang itu menyambutnya dengan tangkisan dan cengkeraman.

"Dukkk! Dukkk!"

Sepasang lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan dia merasa betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga, dan gerakan mereka dengan kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat dia mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.

"Thian-te Sin-ciang...!" katanya.

Dia pun menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thian-te Sin-ciang dan karena gadis ini memang memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur. Namun segera kawan-kawannya telah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini sembilan orang itu menyerangnya bergantian dan biar pun gerakan mereka nampak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat.

"Thai-kek Sin-kun...!" Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka.

Pada saat itu pula dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apa lagi ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian lihai.

"Tahan...!" serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.

Ling Ling mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di hadapannya itu berusia empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan kedua matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu demikian taat. Dua pun cepat menjura dan berkata dengan suara sopan.

"Maafkan saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."

Cia Hui Song tersenyum. "Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai."

Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya. "Akan tetapi Ayah... Ayah bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ahh, kalau begitu, apakah Ketua Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?"

Hui Song semakin tertarik. "Cia Kong Liang adalah ayahku yang telah mengundurkan diri dan aku sebagai penggantinya..."

"Kalau begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!" Ling Ling berseru girang.

"Dan engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... ehh, siapa aku lupa lagi..."

"Cia Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!"

"Benar, engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aihh..., engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di dalam," ajak Hui Song dengan girang sekali. Gadis itu pun tersenyum, mengangguk sambil melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi horrnat.

"Kuharap kalian suka memaafkan aku!"

Para murid itu pun tersenyum sambil membalas penghormatannya. "Nona masih begini muda tapi sudah lihai bukan main!" kata seorang di antara mereka memuji.

Ling Ling lantas mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk saling berhadapan dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam segera menyuguhkan air teh.

"Paman Cia Hui Song, di mana adanya Kakek Cia Kong Liang dan di mana pula keluarga Paman?"

"Semenjak mengundurkan diri, ayahku lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Ada pun keluargaku... ahh, nanti dulu, Ling Ling, engkau tidak boleh menyebutku paman. Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang silsilah keluarga kita? Ayahmu itu masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek kepadaku."

Ling Ling mengangguk. "Ayah pernah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."

Cia Hui Song adalah seorang yang sikap dan wataknya berbeda sekali jika dibandingkan dengan ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu berpegang teguh pada peraturan dan tradisi kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, dia pun tersenyum.

"Baik-baik saja kalau engkau ingin menyebut Paman, namun ketahuilah bahwa ayahmu itu masih terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun Houw, pada masa mudanya sudah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Sesudah umurnya agak tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, ayahku. Uwa Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya tiga tahun lebih muda dari ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia Han Tiong, yaitu kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, ayahmu, Cia Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"

Ling Ling mengangguk-angguk. "Sekarang saya ingat, Paman... ehhh, Cek-kong (Kakek Paman)..."

Melihat kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa. "Sudahlah, engkau mau menyebut apa pun terserah. Paman pun baik saja bagiku."

"Akan janggal rasanya apa bila saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh menyebut Paman. Paman, di mana adanya Bibi? Bukankah bibi bernama Ceng Sui Cin dan mempunyai ilmu kepandaian lihai sekali? Menurut cerita ayah, bibi adalah puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman juga memiliki seorang puteri yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Di mana mereka, Paman?"

Di dalam hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan di wajahnya. "Kini mereka sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah bibi mudamu dan anak kami. Tunggulah, kupanggilkan mereka."

Hui Song keluar sebentar dari kamar itu dan tidak lama kemudian dia pun sudah kembali bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun.

Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan santun, dia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat saat diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka kemudian bercakap-cakap, di mana Ling Ling menuturkan bahwa dia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yang menyuruh puterinya supaya melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.

"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi," katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat sopan santun gadis ini.

"Ahh, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya memiliki niat yang kurang baik, sebab itu penjagaan lantas diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, dengan mudah engkau mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Kiranya ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."

"Ah, Paman terlalu memuji," kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada di sini."

Kembali secara diam-diam Hui Song memuji di dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan telah matang dan berpemandangan luas walau pun usianya masih demikian muda.

Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan berladang. Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota." Antara lain Ling Ling bercerita.

Memang selama ini keluarga ayahnya hidup di dusun Ciang-si-bun dalam suasana aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan dan pakaian, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, pada waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlalu berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan beras dan gandum di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan.

Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh ke luar daerah itu. Apa lagi semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.

Sesudah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lantas berkata, "Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"

Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.

"Kakekmu itu kini lebih suka berdiam di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersemedhi saja, tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Akan tetapi dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."

Kamar di mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktu untuk semedhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima cahaya matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada waktu Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka di atas meja dan tengah dibacanya. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya dengan penuh harap dia menyangka bahwa gadis itu adalah Kui Hong, cucunya yang sangat disayangnya dan sudah lama dirindukannya. Akan tetapi sesudah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan penuh heran kenapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.

Akan tetapi Ling Ling langsung menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."

Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lantas bertanya, "Hui Song, siapakah gadis ini?"

"Ayah, dia bernama Cia Ling dan biasa dipanggil Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."

Wajah kakek yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup akan tetapi juga dibayangi ketenangan mendalam itu, sekarang tiba-tiba saja mengeluarkan sinar berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada bibirnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.

"Aha, kiranya engkau adalah puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."

Gadis itu pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.

Dengan suara halus tapi jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang lagi semua yang telah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk pada saat mendengar kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun.

Dia mengenal benar watak Cia Sun yang sangat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan Siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat merubah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya.

"Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari ayah bundamu, bukan? Jika belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."

"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."

"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga dia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnya. Hanya dalam waktu sebentar saja dia berhasil lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilewatinya dengan baik. Dia hebat, Ayah dan sungguh tak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.

Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali kedua alisnya berkerut. "Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"

Hui Song tersenyum. "Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama sekali tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang memaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya. Kemudian, tanpa memperkenalkan diri atau memberi tahukan kepentingannya, dia pergi begitu saja. Ketika masuk dia pun meloncati para penjaga yang menghadangnya dan sikapnya amat mencurigakan. Oleh karena itu penjagaan diperketat sehingga ketika Ling Ling muncul, tentu saja dia dicurigai dan dihalangi. Untung saya tadi keluar dan mengenal gerakan-gerakannya."

"Bagus sekali, aku turut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?"

"Entahlah, saya belum pernah melihatnya namun sikapnya sungguh mencurigakan. Kalau melihat gerakannya, agaknya dia mempunyai ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin dia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat."

"Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dulu. Kalau dia datang lagi, biarlah kau beri tahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek itu setelah menghela napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.

Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun dan meski pun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu beserta anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, tetapi dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini.

Setiap kali dia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, pamannya selalu memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan sama sekali tak menjawab ketika dia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu kelihatan gelisah dan tidak enak kalau mendengar dia bertanya tentang mereka. Apakah yang sudah terjadi dalam keluarga pamannya?

Selagi dia termenung di dalam kamarnya, mendadak dia mendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Dia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, dia pun keluar dari dalam kamarnya menuju ruangan itu. Di situ dia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Dia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam.

Nampak Cia Hui Song sedang berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan muka, sementara kakek Cia Kong Liang duduk dengan tubuh lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di hadapan mereka berdiri tegak seorang gadis yang berwajah manis dan cantik, dengan sepasang mata mencorong sedang marah-marah dan menegur dua orang ayah dan anak itu dengan suara lantang!

"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apakah kesalahan ibu sehingga Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Kini aku minta pertanggungan jawab dari Ayah!"

Wajah Cia Hui Song sebentar merah dan sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, tetapi segera menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu.

Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga tampak sedih sekali mencoba untuk membela puteranya. "Kui Hong, cucuku yang baik, janganlah engkau bersikap seperti itu terhadap ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah..."

"Aku tahu, jika Ayah tidak bersalah, ini berarti Kongkong-lah yang bersalah! Ya, aku tahu bahwa Ayah telah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kongkong! Kongkong hanya mau menang sendiri saja, berdalih ingin cucu laki-laki! Apakah cucu perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kongkong dan Ayah hanya ingin senang sendiri, di atas penderitaan ibuku! Dan juga di atas penderitaan batinku! Kongkong dan Ayah sungguh berdosa besar, sudah melakukan kejahatan terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang bukan untuk membela diri sendiri, melainkan membela Ibuku! Dia sudah menjadi sengsara, menderita akibat perbuatan kalian! Karena itu aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab dari Kongkong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar, seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah kalau melakukan perbuatan seperti itu, menyakiti hati ibuku, isterinya sendiri?"

Mendengar semua ini dan melihat wajah kedua orang laki-laki itu pucat dan bingung, Ling Ling merasa penasaran sekali. Ia kini tahu siapa adanya gadis cantik itu. Tentulah Cia Kui Hong, puteri pamannya yang dikatakan pergi dengan ibunya berkunjung ke Pulau Teratai Merah itu.

Kiranya mereka bukan pergi berkunjung, melainkan Bibi Ceng Sui Cin pergi bersama Kui Hong karena pamannya Cia Hui Song menikah lagi dengan Bibi Siok Bi Nio! Kalau begitu, melihat usia Cia Kui Bu yang kini sudah dua tahun, tentu ibu dan anak itu telah pergi dari Cin-ling-san sedikitnya selama tiga tahun!

Sekarang gadis itu agaknya pulang hanya untuk marah-marah dan menegur ayahnya dan kakeknya, dengan kata-kata keras yang dianggap oleh Ling Ling sudah melampaui batas. Mukanya menjadi merah mendengar semua ucapan Kui Hong yang mencela ayah sendiri dan kakek sendiri itu. Ling Ling lalu melangkah memasuki ruangan itu.

"Maaf, engkau tentu Enci Cia Kui Hong," katanya lembut.

Mendengar ini, gadis itu yang ternyata memang Cia Kui Hong lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Ling Ling. Sebelum dia sempat membuka mulut, Ling Ling sudah mendahului dan melanjutkan kata-katanya yang dikeluarkan dengan nada lembut dan sikap sabar dan ramah, mulutnya dihias senyuman.

"Enci Cia Kui Hong, aku mohon kepadamu, ingatlah siapa yang berada di depanmu, siapa yang kau cela dengan kata-kata keras itu. Enci, mereka adalah ayah kandungmu sendiri dan kakekmu sendiri. Kelak engkau akan merasa menyesal sendiri, Enci. Ingatlah bahwa tidak semestinya kita bersikap seperti itu terhadap ayah sendiri dan kakek sendiri. Segala persoalan dapat dirundingkan dengan hati dan kepala dingin, dengan kata-kata yang halus dan penuh damai..."

Sejak tadi alis Kui Hong sudah berkerut dan sinar matanya menyambar-nyambar marah. Sikap dan ucapan gadis yang tidak dikenalnya itu dianggap membela dan membenarkan ayah dan kakeknya, sekaligus menyalahkan dirinya! Tentu saja hal ini membuat hatinya menjadi makin panas. Bagaimana pun juga dia masih belum berani untuk menggunakan kekerasan menyerang ayahnya sendiri atau kakeknya. Namun gadis ini tidak dikenalnya dan berani menyalahkannya, maka semua kemarahannya kini ditumpahkan kepada gadis itu.

"Berani engkau mencampuri urusan antara aku dengan ayahku sendiri? Siapakah engkau begini lancang?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati Ling Ling bagaikan seekor singa betina yang marah. Namun Ling Ling tetap tenang menghadapinya.

"Enci, aku adalah Cia Ling, ayahku adalah Cia Sun dan ibuku Tan Siang Wi. Baru siang tadi aku datang dari tempat tinggal kami di dusun Ciang-si-bun, untuk berkunjung kepada keluarga Cin-ling-pai dan..."

"Cukup! Kau sangka karena itu engkau berhak mencampuri urusanku? Engkau manusia lancang patut dihajar!" bentak Kui Hong.

Semua rasa penasaran dan kemarahan yang membakar dirinya, yang membuat dia ingin sekali menyerang orang akan tetapi ditahan-tahannya karena dia tadi berhadapan dengan ayahnya dan kakeknya, kini ditumpahkan kepada Ling Ling dan dia pun menerjang maju menyerang gadis itu!

Tentu saja Ling Ling langsung mengelak dan menangkis ketika melihat betapa Kui Hong menyerangnya dengan gerakan dahsyat sekali. Melihat ini, Cia Kong Liang diam saja dan menyerahkan urusan ini kepada puteranya, akan tetapi Cia Hui Song juga tidak segera melerai.

Pendekar ini adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, dan biar pun hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh sikap puterinya tadi, bagaimana pun juga dia merasa gembira melihat munculnya Kui Hong dan kini dia hendak melihat sampai di mana pula kelihaian Ling Ling puteri Cia Sun! Maka dia pun diam saja, walau pun dengan penuh perhatian dia mengikuti setiap gerak perkelahian itu sambil berjaga-jaga supaya jangan sampai seorang di antara mereka terluka parah.

Mula-mula Ling Ling yang sama sekali tidak menghendaki adanya perkelahian di antara mereka hanya membela diri saja dengan elakan serta tangkisan. Akan tetapi dia terkejut sekali menghadapi serangan-serangan yang makin lama semakin dahsyat dan berbahaya. Apa lagi karena di pihak Kui Hong, gadis ini merasa penasaran bukan kepalang sesudah beberapa kali serangannya berhasil dihindarkan lawan dengan gesitnya. Rasa penasaran mendatangkan kemarahan, dan Kui Hong memperhebat serangannya dengan jurus-jurus pilihan.

Harus diketahui bahwa selama beberapa tahun ini Kui Hong telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah sehingga gadis ini menjadi lihai bukan main. Kalau dibandingkan dengan tingkat Ling Ling, dia jauh lebih lihai, bahkan kini dia tak kalah lihai dibandingkan ibunya sendiri. Maka, setelah dia mendesak dengan jurus-jurus pilihan, Ling Ling menjadi repot sehingga selain mengelak gadis ini pun terpaksa juga membalas untuk menghindarkan dirinya dari desakan.

Terjadilah perkelahian yang seru. Dua orang gadis yang sama gesitnya, kini saling serang dengan hebat di ruangan yang luas itu, hanya ditonton oleh Cia Hui Song dan Cia Kong Liang. Tidak ada murid Cin-ling-pai yang berani ikut menonton. Semenjak tadi mereka tak berani mendekat.

Pada saat Kui Hong muncul di depan pintu gerbang, para murid sudah terkejut dan girang bukan main. Mereka cepat menyapa dengan hormat dan manis, bahkan segera memberi tahukan ke dalam bahwa 'Nona Kui Hong' telah pulang.

Mendengar ini, maka Cia Hui Song dan Cia Kong Liang keluar pula dari kamar mereka sehingga mereka bertemu dengan Kui Hong yang sudah memasuki ruangan itu. Tak ada seorang pun murid atau pelayan di situ berani mendekat, apa lagi mendengar teriakan-teriakan Kui Hong yang marah-marah tadi. Mereka tak akan muncul tanpa dipanggil.

Akhirnya Ling Ling harus mengakui kelihaian Kui Hong. Setelah dua puluh lima jurus dia mulai terdesak hebat oleh jurus-jurus aneh yang digunakan Kui Hong dalam serangannya, yaitu jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pulau Teratai Merah. Gadis ini tentu akan roboh dan mungkin terluka hebat kalau perkelahian itu dilanjutkan.

Melihat ini, diam-diam Hui Song terkejut, juga bangga akan kelihaian puterinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu puterinya itu sudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan menengahi perkelahian itu.

"Sudah cukup, kalian tidak boleh berkelahi lagi!"

Melihat pamannya maju melerai, tentu saja Ling Ling cepat mundur. Akan tetapi Kui Hong menjadi semakin penasaran. Dia berdiri menghadapi ayahnya dengan mata mencorong.

"Hemm, agaknya Ayah bahkan hendak membela orang luar dan memusuhi aku?"

Cia Hui Song menarik napas panjang. Dia merasa berduka sekali melihat sikap puterinya ini, puteri yang amat dicintanya dan dia bisa mengerti akan sakit hati yang diderita dalam batin puterinya. Dia tidak menyalahkan sikap itu, melainkan menyesali nasib sendiri.

Sejenak dia memandang wajah puterinya, lantas terbayanglah semua kebahagiaan dan kemesraan bersama dengan ibu gadis ini, terbayanglah dia betapa sayangnya ketika dia membelai dan menimang gadis ini di waktu kecilnya dahulu, betapa tekunnya dia melatih silat kepada Kui Hong. Anak yang amat mungil dan sangat sayang kepada ayahnya pula. Namun sekarang? Anak ini berdiri bagaikan seekor singa kelaparan, dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kebencian kepadanya. Tak terasa lagi, sepasang mata pendekar ini terasa panas dan menjadi basah.

"Kui Hong, engkau tentu sudah tahu kenapa ibumu pergi meninggalkan aku. Karena aku menikah lagi. Dan engkau tentu tahu pula mengapa aku menikah lagi. Karena kakekmu menghendaki aku memiliki keturunan seorang anak laki-laki. Kui Hong, dalam kehidupan ini ada satu kewajiban yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh seorang laki-laki, yaitu memenuhi harapan utama seorang ayah. Ayahku menghendaki supaya aku memiliki keturunan laki-laki untuk penyambung nama keturunan, itu adalah hal yang wajar. Hidup memang kadang-kadang pahit, tetapi seorang gagah harus berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebaktiannya kepada orang tua. Kini aku sudah memenuhi kewajibanku, aku sudah memperoleh seorang anak laki-laki seperti yang diharapkan ayahku. Kewajibanku terhadap ayahku telah kuselesaikan dengan baik. Aku menikah lagi bukan karena bosan kepada ibumu. Ahh, aku mencinta ibumu, Kui Hong, juga mencintamu. Engkau dan ibumu tentu saja tahu akan hal itu. Apa bila engkau masih merasa penasaran, biarlah kutebus dengan nyawaku supaya kalian puas. Nah, engkau bunuh saja aku kalau engkau anggap ayahmu ini orang yang tidak pantas hidup di dunia ini!"

Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut Cia Hui Song ini! Seorang pendekar besar dan juga seorang ketua Cin-ling-pai, dan semua ucapannya itu sudah menunjukkan betapa tersiksa rasa hatinya menghadapi tuntutan puterinya. Ling Ling sampai menangis mendengar ucapan itu, dan wajah Kakek Cia Kong Liang menjadi pucat sekali, diam-diam menyesal mengapa permintaannya untuk memperoleh penyambung nama keluarga, yang sudah sepatutnya itu, ternyata mendatangkan akibat yang demikian pahit.

Kui Hong berdiri terbelalak. Wajahnya yang tadinya merah itu berubah pucat, jantungnya bagai ditusuk-tusuk saat mendengar ucapan ayahnya itu, kata demi kata seperti meremas batinnya. Apa lagi melihat Ling Ling menangis, tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu lari ke depan dan menubruk ayahnya sambil menjerit.

"Ayaaaahhh...!"

Dan menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan mencurahkan seluruh rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ini dia menangis demikian sedihnya.

Cia Kong Liang merasa terharu, akan tetapi juga gembira melihat betapa kekerasan hati cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata,

"Ayahmu benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati ayahnya. Akulah yang bersalah kalau keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan kekerasan hatinya, kalau saja dia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu dia tidak akan pergi dan tidak terjadi keretakan di dalam keluarga kita. Ahh, betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab dari pada perbuatan-perbuatanku sendiri."

Kui Hong melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu dia pun menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki kakeknya. Dia teringat betapa sejak dia masih kecil orang tua ini sangat menyayangnya dan sesudah kini dia sadar tentang segala hal yang terjadi, dia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Dkia pun merasa menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.

"Kongkong, maafkan aku, Kongkong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kongkong."

"Sudahlah, Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan kakekmu ini yang bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri."

Pada waktu itu terdengar suara halus, "Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak orang!"

Semua orang terkejut lantas memandang gadis yang tiba-tiba saja muncul dari ambang pintu itu. Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu dengan ayahnya!

Pendekar Mata Keranjang Jilid 30

PADA pagi hari itu Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid datang menghadap dan memberi tahukan bahwa di luar pintu gerbang yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai telah datang seorang wanita yang menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.

Untuk beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang wanita? Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang? Ataukah Cia Kui Hong, puterinya? Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang di antara mereka yang datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu.

"Siapa namanya dan ada keperluan apakah dia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.

"Dia tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, tetapi berkeras mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.

Cia Hui Song mengerutkan kedua alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia pun merasakan sesuatu yang tak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi antara wanita itu dengan dirinya, namun sukarlah menduga siapa orangnya karena banyak sekali pengalaman yang sudah dilalui dalam hidupnya.

Sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dia pun tahu bahwa banyak sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh karena itu dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Tapi pengunjungnya ini adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia harus menyambut tamu itu dengan hormat.

"Baiklah, persilakan dia masuk dan menanti di ruang tamu."

"Aku sudah berada di sini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar beranda.

Hui Song terkejut sekali saat mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke pekarangan itu.

"Heiii! Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.

Cia Hui Song memberi tanda kepada isterinya supaya masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang menjadi isterinya itu cepat berjalan masuk sambil menggendong anaknya. Hui Song lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang langsung bersikap hormat ketika melihat ketua mereka.

"Pangcu, wanita ini kami suruh menunggu sebab belum ada keputusan dari Pangcu, akan tetapi tiba-tiba dia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami mengejarnya dan..."

"Sudahlah, kalian kembali ke pintu gerbang dan berjaga baik-baik," kata Hui Song kepada para muridnya.

Ketika mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya cantik dengan sepasang pipi kemerahan dan mulut indah, namun pada saat itu membayangkan kemarahan, sepasang matanya yang berkilat sedang mengamatinya pula.

"Aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya tegas dan galak.

Hui Song tersenyum sabar dan menjura. "Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan kita bicara di dalam."

Wanita itu terbelalak. Dia adalah Kok Hui Lian dan sekarang dia pun teringat. Seperti kilat menyambar, pada ingatannya terbayang kembali peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang silam.

Dia baru berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang waktu itu menjadi gubernur kota San-hai-koan diserbu oleh pemberontak. Orang tuanya terbunuh, gedungnya dibakar dan dia sendiri tentu sudah tewas apa bila tidak ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Oleh penolongnya dia digendong keluar dari keributan itu, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh hingga terpaksa dia dilepaskan.

Dia kemudian ditangkap penjahat dan pada saat itulah muncul suheng-nya, Ciang Su Kiat yang kemudian menjadi gurunya, juga suheng-nya sekaligus pengganti orang tuanya. Dan pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-ling-pai!

"Tidak, bukan engkau... aku hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang bernama Cia Kong Liang."

"Ahh, kiranya engkau ingin bertemu dengan ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih ayahku tidak lagi mencampuri urusan dunia dan selalu bertapa. Kalau ada urusan, harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk menanganinya."

"Tidak, aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia Kong Liang!"

Hui Song menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walau pun sinar matanya berkilat. "Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapa pun. Kalau Nyonya mempunyai urusan dengan ayahku, biarlah aku yang akan membereskan semua perhitungan. Silakan."

"Tidak... tidak...!" tentu saja Hui Lian tidak mau berurusan dengan orang yang dulu pernah menyelamatkannya ini. Dia pun membalikkan tubuh, kemudian dengan beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap.

Diam-diam Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah bahwa wanita muda itu mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa sedikit khawatir, maka memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.

Sementara itu Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai dengan hati tegang. Dia harus menemui Cia Kong Liang, ketua lama Cin-ling-pai untuk menegurnya dan kalau mungkin membalaskan penderitaan suheng-nya yang dahulu lengannya sudah dibuntungi oleh ketua yang kejam itu!

Akan tetapi Kok Hui Lian sama sekali tak pernah menyangka bahwa pendekar yang dulu sudah menyelamatkannya dari maut itu ternyata adalah putera ketua itu, bahkan kini telah menggantikan ayahnya menjadi ketua Cin-ling-pai. Suheng-nya, Ciang Su Kiat, tak pernah menceritakan tentang putera ketua itu.

Melihat kenyataan bahwa pendekar penolongnya berada di situ sebagai putera musuhnya, sebagai Ketua Cin-ling-pai, mendatangkan keraguan dan kebimbangan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa memusuhi pendekar itu? Dia sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa!

Akan tetapi penderitaan suheng-nya juga harus dibalas, walau pun hanya berupa teguran keras terhadap ayah pendekar itu yang sudah bertindak kejam, karena membuat lengan suheng-nya buntung sebagai hukuman. Malam nanti dia akan berusaha menyelundup dan mencari tempat kakek itu bersemedhi, hendak ditemuinya lalu akan ditegurnya. Sesudah menegur keras tanpa menimbulkan bentrokan dengan pendekar penolongnya itu, barulah hatinya akan puas.

Baru beberapa jam Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai ketika para murid yang berjaga di pintu gerbang menyambut datangnya seorang wanita lain dengan pandang mata penuh kecurigaan. Baru saja pagi tadi datang seorang wanita cantik yang masuk dengan memperlihatkan kepandaiannya, dan sesudah wanita itu pergi lagi, ketua mereka berpesan supaya mereka berjaga lebih ketat dari biasanya. Dan kini muncul lagi seorang wanita lain.

Wanita ini jauh lebih muda jika dibandingkan wanita pertama, seorang gadis yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, berpakaian sederhana sekali, namun wajahnya yang tidak memakai perhiasan, juga tidak memakai bedak itu nampak halus dan mengandung daya tarik yang amat kuat.

Yang paling menarik adalah mata dan mulutnya yang membayangkan watak yang lembut, kesabaran dan ketenangan yang jarang terdapat dalam diri seorang gadis yang demikian muda. Walau pun dia tidak buruk rupa, dia tidak dapat dinamakan gadis yang cantik pula melainkan manis, terutama sekali karena kelembutannya.

Biar pun demikian, bagaikan sekelompok kijang yang baru saja dikejutkan oleh serangan harimau, para murid Cin-ling-pai yang masih merasa tegang itu segera menghadang di depan pintu gerbang dengan sikap galak.

"Berhenti! Siapakah engkau, Nona? Ada keperluan apa mengunjungi Cin-ling-pai?" tanya seorang di antara para murid itu dengan suara galak.

Akan tetapi gadis yang bermata lembut itu tersenyum, nampaknya girang meski pun dia dibentak orang. Dia lalu memandang kepada enam orang murid Cin-ling-pai yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu dan berkata, "Ah, benar ini perkampungan Cin-ling-pai! Syukurlah, akhirnya dapat juga aku sampai ke sini. Namaku Ling Ling dan aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."

Meski pun cara gadis itu memperkenalkan diri masih seperti seorang gadis remaja, akan tetapi begitu mendengar dia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai, para murid itu lalu saling pandang dengan penuh arti. Keinginan gadis ini sama persis dengan wanita pagi tadi!

"Hemm, siapakah nama Ketua Cin-ling-pai yang ingin kau temui itu?" tanya lagi seorang murid, dia hendak memancing.

"Namanya... Kakek Cia Kong Liang. Bukankah beliau yang menjadi Ketua Cin-ling-pai?"

Kembali para murid itu saling pandang. Tepat, sungguh sama persis dengan wanita pagi tadi! Sekali ini mereka tidak ingin menerima teguran, mereka harus menghalangi gadis ini untuk mengacau ke dalam. Tak perlu sampai ketua mereka yang turun tangan mengusir, seperti wanita pagi tadi.

"Hemmm, engkau ini masih kanak-kanak tapi sudah berani hendak membikin ribut di sini. Pergilah sebelum kupukul kau!" kata murid yang memakai kumis tebal, bermaksud untuk menakut-nakuti agar gadis itu segera pergi tanpa banyak ribut lagi.

Gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu mengerutkan alisnya. "Aihh, kenapa? Harap kalian tidak membikin susah padaku. Aku datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan sampai berbulan-bulan, kini sesudah sampai di tempat yang kutuju, kalian hendak menyuruh aku pergi begitu saja? Aku hanya ingin menghadap Kakek Cia Kong Liang, Ketua Cin-ling-pai, tidak membikin ribut."

"Sudahlah, tak mudah untuk menghadap beliau. Setidaknya engkau harus melalui barisan tiga lapis dari Cin-ling-pai!" kata seorang murid kepala yang baru muncul dari dalam dan kini banyak murid Cin-ling-pai keluar dan ikut menghadang.

Cin-ling-pai terkenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan kuat, tentu saja memiliki peraturan-peraturan yang ketat dan tidak sembarang orang boleh masuk tanpa ijin. Sebab itu di sana memang terdapat tiga lapis barisan yang berjaga dan selama ini belum pernah ada orang dari luar yang mampu menembusnya! Jadi ucapan mereka itu bukan sekadar menakut-nakuti saja.

Kalau pagi tadi, mereka sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita yang cantik itu akan menggunakan ilmu kepandaiannya, meloncati mereka dan meloncati tembok begitu saja! Kalau mereka mengetahui terlebih dahulu, tentu mereka akan menahannya dengan pasukan tiga lapis itu. Kini mereka sudah siap siaga, sesudah mendapat peringatan dari ketua mereka untuk melakukan penjagaan ketat

Wajah yang lembut itu masih tersenyum, tetapi sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilau penuh semangat kegembiraan. Menghadapi tantangan itu, gadis ini justru merasa gembira untuk mencobanya! Dia bukan seorang gadis sembarangan walau pun usianya baru tujuh belas tahun. Gadis ini adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar Cia Sun yang amat lihai, dan Cia Sun adalah putera dari Pendekar Lembah Naga yang bernama Cia Han Tiong, seorang pendekar yang menjadi ketua perkumpulan Pek-liong-pang.

Murid-murid Pek-liong-pang kini banyak yang menjadi pendekar-pendekar dan tersebar di mana-mana, dan nama Pek-liong-pang amat terkenal sebagai pusat orang-orang gagah. Selain menerima ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga Cia Sun menjadi murid dari Go-bi Sian-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang juga disebut See-thian Lama. Ada pun isteri dari Cia Sun juga seorang wanita sakti yang bernama Tan Siang Wi dan pada waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!

Sebagai puteri dan anak tunggal dari ayah ibu pendekar, tentu saja gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu sejak kecil telah digembleng dan kini telah mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari ayah ibunya. Dan sebagai seorang yang baru berangkat dewasa dalam gemblengan ilmu silat, dia merasa sangat gembira ketika menghadapi tantangan seperti sekarang. Ia ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan Cin-ling-pai yang demikian disohorkan, dan dia pun ingin menguji kemampuan diri sendiri.

"Boleh kalian pasang barisan tiga lapis, aku ingin memasukinya!" katanya girang, sedikit pun tidak memperlihatkan kemarahan karena di dalam hatinya tidak terdapat permusuhan terhadap Cin-ling-pai, melainkan kegembiraan untuk menguji kepandaian.

Ayahnya sendiri mempunyai hubungan yang amat dekat dengan Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia akan memusuhinya? Menurut cerita ayahnya, Cin-ling-pai masih merupakan perguruan yang menjadi sumber ilmu yang dimiliki kakeknya, bahkan pada saat ayah dan ibunya menikah, acara pernikahan itu dilakukan di Cin-ling-san ini, bersamaan waktunya dengan pernikahan antara putera Ketua Cin-ling-pai sendiri, yaitu paman Cia Hui Song dan Bibi Ceng Sui Cin yang belum pernah dijumpainya.

Mendengar ucapan itu dan melihat pula sikap Ling Ling yang seperti mentertawakan dan memandang rendah, para murid Cin-ling-pai langsung menjadi penasaran. Seorang murid kepala cepat mengumpulkan teman-temannya dan pasukan tiga lapis itu pun disusunlah. Pasukan pertama terdiri dari lima orang dan mereka segera membentuk barisan untuk menghadapi gadis itu di luar pintu gerbang.

Ling Ling memandang penuh perhatian. Lima orang itu adalah murid yang lebih muda, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan mereka berdiri di depannya, membentuk setengah lingkaran sehingga dia menghadapi lawan dari depan dan kanan kiri. Akan tetapi, walau pun lima orang itu membawa pedang di punggung masing-masing, mereka tidak mencabut pedang dan agaknya hendak menghadapi dirinya dengan tangan kosong.

Mereka bersikap gagah dan nampak kuat dan terlatih, bermata tajam dan tak seorang pun di antara mereka yang memperlihatkan sikap tidak sopan atau mata jalang seperti yang sering kali dilihatnya terbayang pada mata lelaki yang dijumpainya dalam perjalanannya. Semenjak dia meninggalkan rumah kediaman orang tuanya di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja sampai ke Pegunungan Cin-ling-san, sudah sering kali dia digoda laki-laki tidak sopan sehingga beberapa kali dia harus turun tangan menghajar mereka.

Lima orang itu berdiri setengah mengepungnya dengan pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat, dengan kedua kaki terpentang lebar, kuda-kuda Menunggang Kuda, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.

"Aku akan menerobos masuk!" Tiba-tiba Ling Ling berseru dan dia pun melangkah maju, seolah-olah tak peduli akan adanya lima orang yang menghadang di depannya. Dia ingin tahu apa reaksi mereka dan bagaimana cara mereka menyerang atau menghalanginya.

Akan tetapi belum juga dia mendekati orang yang menghadang di depannya, dari arah kiri datang serangan. Orang yang berdiri paling ujung sebelah kirinya telah mencengkeram ke arah pundaknya. Ia mengenal gerakan itu sebagai jurus Awan Berarak Tertiup Angin dari Ilmu Silat San-in Kun-hwat, maka dengan mudahnya ia mengelak dengan menggeser kaki ke kanan, bermaksud menerobos di antara orang ke dua dan ke tiga di sebelah depan arah kanannya.

Akan tetapi dari kanan datang pula serangan sebagai susulan serangan pertama tadi dan dia pun mengenal pukulan ke arah lambungnya itu, karena itu adalah jurus Awan Gunung Turun ke Bumi. Seperti serangan pertama, serangan ke dua ini pun dilakukan dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Ling Ling ingin menguji tenaganya, maka sekali ini dia tidak mengelak namun membiarkan kepalan lawan menyambar ke arah lambungnya, kemudian secara tiba-tiba dan cepat sekali lengan kanannya bergerak ke bawah untuk menangkis.

"Dukkk!"

Tangkisan itu perlahan saja, akan tetapi Ling Ling telah mengerahkan sinkang-nya hingga lengan lawan itu pun terpental dan orangnya meringis kesakitan. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Ling Ling untuk menerobos ke depan. Sekarang lima orang itu mulai mengeroyoknya dengan cepat, menggunakan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan untuk mencegah gadis itu menerobos barisan mereka.

Tiba-tiba Ling Ling bergerak cepat sekali, mengelak dan menangkis dan terus menerobos. Lima orang itu terkejut melihat gadis itu hendak lolos ke dalam. Mereka lantas menubruk dari kanan kiri, tetapi tiba-tiba Ling Ling mengeluarkan bentakan halus, kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan lima orang itu pun terpelanting seperti terdorong angin yang amat kuat. Tentu saja mereka tidak mampu lagi mencegah gadis itu meloncat memasuki pintu gerbang!

Akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan tujuh orang yang sudah siap menantinya di belakang pintu gerbang! Tujuh orang itu kini bergerak mengepungnya, membuat lingkaran sambil terus melangkah maju, masing-masing pada jarak dua meter darinya. Seperti juga barisan pertama, tujuh orang ini membawa pedang pula di punggung, akan tetapi mereka tidak mencabut pedang, hanya bergerak membuat langkah-langkah maju mengelilinginya dengan sikap penuh kewaspadaan.

Ling Ling dapat menduga bahwa tentu para anggota barisan ke dua ini mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada barisan pertama, dan jumlah mereka juga lebih banyak. Dia seorang gadis yang cerdik dan biar pun dia tidak bergerak, matanya melirik ke kanan kiri mencari bagian yang lemah. Namun tujuh orang itu membuat langkah-langkah yang rapi dan teratur, dan kedudukan tangan mereka siap siaga dan saling melindungi.

Setelah membuat perhitungan, Ling Ling membalikkan tubuhnya menghadap ke luar pintu gerbang dan dia pun mengeluarkan suara bentakan, lantas menyerang dua orang yang berada di depannya. Dua orang itu mengelak dan menangkis, dua orang lain di kanan kiri mereka siap membalas serangan. Akan tetapi Ling Ling sudah memperhitungkan ini dan dengan tiba-tiba sekali dia membalik lagi dan kini menyerang bagian yang tadi berada di belakangnya sambil membentak nyaring.

"Biarkan aku masuk!" Kedua tangannya menampar dua orang untuk membuka jalan.

Dua orang itu terkejut sekali, tidak mengira bahwa gadis itu akan membalik dan mengirim serangan sedemikian cepatnya. Ketika mereka hendak menangkis, gerakan kedua tangan gadis itu berubah, yang kiri menusukkan dua jari ke arah mata, yang kanan menyerang lawan ke dua dengan tusukan ke arah dada dengan tangan miring. Dua serangan yang amat berbahaya bagi dua orang lawannya, sehingga mereka itu dengan kaget melangkah mundur menghindarkan diri dari serangan, sambil memutar lengan ke depan bagian tubuh yang diserang untuk melindungi.

Kesempatan ini memang sudah diperhitungkan Ling Ling dan dia pun cepat menerobos di antara dua orang yang melangkah mundur itu. Kini dia pun telah berada di luar lingkaran!

Akan tetapi betapa herannya ketika dia memandang, ternyata dia telah dikepung pula dan lingkaran tujuh orang itu kembali sudah mengelilinginya lagi. Ternyata lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu dia menerobos keluar, lingkaran itu sudah bergerak cepat membuat lingkaran lain sehingga dia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang.

Kini tujuh orang itu melakukan serangan lagi dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau balau melainkan dengan teratur sekali. Serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan orang pertama!

Orang pertama menghantam dari atas, lantas turun ke arah kepalanya. Ketika Ling Ling menangkis dari samping, orang ke dua sudah menyerang ke lambung, ke bawah lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat dia mengelak, orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu dia meloncat ke atas menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah jalan darah di punggung!

Serangan itu datang susul-menyusul dan bertubi-tubi. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh dengan mengandalkan kelincahannya, menangkis ke kanan kiri sambil berlompatan menghindar, menyelinap di antara sambaran banyak kaki tangan ketujuh orang lawannya. Namun setiap kali dia menerobos keluar, dia hanya memasuki lingkaran lain yang dibuat mereka secara otomatis.

Ling Ling terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau dia memang menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan dan merobohkan mereka. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu karena dia tidak ingin melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudara seperguruannya pula. Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa dia dan mereka satu aliran, memiliki dasar gerakan yang sama.

Jika tadi ia membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, dia pun tidak melukai mereka tetapi hanya menggunakan angin pukulannya saja membuat mereka terpelanting. Tetapi dia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan cara seperti tadi karena mereka ini mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pasukan pertama.

Setelah mendapat akal, tiba-tiba Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, dia lantas membuat gerakan ke bawah dan menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang! Tentu saja semua lawan menjadi amat terkejut dan untuk menyelamatkan kaki, mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar lingkaran.

Akan tetapi sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini ketujuh orang itu pun sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka menyerang kembali seperti tadi, biar pun dalam lingkaran yang lebih lebar, mempergunakan pedang masing-masing menyerang gadis itu secara susul-menyusul.

Inilah peraturan dari pasukan Cin-ling-pai yang gagah. Mereka akan mengepung seorang dengan tangan kosong dan kalau orang itu mempergunakan senjata, baru mereka akan mencabut senjata mereka pula.

Tentu saja Ling Ling menjadi semakin kerepotan! Tadinya, dia ingin para pengepungnya itu melonggarkan kepungan agar dia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung lagi. Siapa sangka penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka mempergunakan pedang pula, dan kini dia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang yang tentu saja lebih berbahaya dari pada serangan kaki tangan mereka tadi.

Akan tetapi kegembiraannya langsung timbul karena kini dia dapat menguji dirinya dalam menghadapi pengeroyokan bersenjata. Dia lalu memutar pedangnya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya.

Akan tetapi, dengan sendirinya dia pun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apa lagi karena dia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya. Berbeda dengan tujuh orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh sehingga apa bila gadis itu tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.

Tiba-tiba saja Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung tujuh orang pengeroyoknya, dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu, tubuh gadis ini sudah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh orang itu pada waktu dia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah induk perkampungan.

Akan tetapi, begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu dia sudah dikepung oleh sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang namun berwibawa dan mereka sudah membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di hadapannya berdiri berjajar empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi.

Teringat akan pengeroyokan dengan pedang, segera dia menyimpan kembali pedangnya sebab menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah pasukan ke tiga, pikirnya. Dia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia mereka pun tentu lebih dari tiga puluh tahun.

Maka Ling Ling menjura dengan sikap hormat. "Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cin-ling-pai."

"Nona, engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melewati dua pasukan. Untuk dapat menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus berhasil lolos dari kepungan kami," kata seorang di antara mereka dengan suara tenang dan sikap yang sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling walau pun dia hanya seorang gadis remaja.

Ling Ling menghela napas panjang. "Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang ajar. Bukan aku merasa takut, melainkan aku tak ingin membikin ribut, akan tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"

Sesudah berkata demikian, dia menerjang di antara dua orang yang berada di depannya untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi dua orang itu menyambutnya dengan tangkisan dan cengkeraman.

"Dukkk! Dukkk!"

Sepasang lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan dia merasa betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga, dan gerakan mereka dengan kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat dia mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.

"Thian-te Sin-ciang...!" katanya.

Dia pun menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thian-te Sin-ciang dan karena gadis ini memang memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur. Namun segera kawan-kawannya telah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini sembilan orang itu menyerangnya bergantian dan biar pun gerakan mereka nampak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat.

"Thai-kek Sin-kun...!" Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka.

Pada saat itu pula dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apa lagi ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian lihai.

"Tahan...!" serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.

Ling Ling mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di hadapannya itu berusia empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan kedua matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu demikian taat. Dua pun cepat menjura dan berkata dengan suara sopan.

"Maafkan saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."

Cia Hui Song tersenyum. "Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai."

Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya. "Akan tetapi Ayah... Ayah bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ahh, kalau begitu, apakah Ketua Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?"

Hui Song semakin tertarik. "Cia Kong Liang adalah ayahku yang telah mengundurkan diri dan aku sebagai penggantinya..."

"Kalau begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!" Ling Ling berseru girang.

"Dan engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... ehh, siapa aku lupa lagi..."

"Cia Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!"

"Benar, engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aihh..., engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di dalam," ajak Hui Song dengan girang sekali. Gadis itu pun tersenyum, mengangguk sambil melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi horrnat.

"Kuharap kalian suka memaafkan aku!"

Para murid itu pun tersenyum sambil membalas penghormatannya. "Nona masih begini muda tapi sudah lihai bukan main!" kata seorang di antara mereka memuji.

Ling Ling lantas mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk saling berhadapan dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam segera menyuguhkan air teh.

"Paman Cia Hui Song, di mana adanya Kakek Cia Kong Liang dan di mana pula keluarga Paman?"

"Semenjak mengundurkan diri, ayahku lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Ada pun keluargaku... ahh, nanti dulu, Ling Ling, engkau tidak boleh menyebutku paman. Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang silsilah keluarga kita? Ayahmu itu masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek kepadaku."

Ling Ling mengangguk. "Ayah pernah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."

Cia Hui Song adalah seorang yang sikap dan wataknya berbeda sekali jika dibandingkan dengan ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu berpegang teguh pada peraturan dan tradisi kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, dia pun tersenyum.

"Baik-baik saja kalau engkau ingin menyebut Paman, namun ketahuilah bahwa ayahmu itu masih terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun Houw, pada masa mudanya sudah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Sesudah umurnya agak tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, ayahku. Uwa Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya tiga tahun lebih muda dari ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia Han Tiong, yaitu kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, ayahmu, Cia Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"

Ling Ling mengangguk-angguk. "Sekarang saya ingat, Paman... ehhh, Cek-kong (Kakek Paman)..."

Melihat kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa. "Sudahlah, engkau mau menyebut apa pun terserah. Paman pun baik saja bagiku."

"Akan janggal rasanya apa bila saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh menyebut Paman. Paman, di mana adanya Bibi? Bukankah bibi bernama Ceng Sui Cin dan mempunyai ilmu kepandaian lihai sekali? Menurut cerita ayah, bibi adalah puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman juga memiliki seorang puteri yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Di mana mereka, Paman?"

Di dalam hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan di wajahnya. "Kini mereka sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah bibi mudamu dan anak kami. Tunggulah, kupanggilkan mereka."

Hui Song keluar sebentar dari kamar itu dan tidak lama kemudian dia pun sudah kembali bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun.

Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan santun, dia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat saat diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka kemudian bercakap-cakap, di mana Ling Ling menuturkan bahwa dia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yang menyuruh puterinya supaya melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.

"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi," katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat sopan santun gadis ini.

"Ahh, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya memiliki niat yang kurang baik, sebab itu penjagaan lantas diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, dengan mudah engkau mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Kiranya ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."

"Ah, Paman terlalu memuji," kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada di sini."

Kembali secara diam-diam Hui Song memuji di dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan telah matang dan berpemandangan luas walau pun usianya masih demikian muda.

Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan berladang. Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota." Antara lain Ling Ling bercerita.

Memang selama ini keluarga ayahnya hidup di dusun Ciang-si-bun dalam suasana aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan dan pakaian, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, pada waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlalu berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan beras dan gandum di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan.

Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh ke luar daerah itu. Apa lagi semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.

Sesudah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lantas berkata, "Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"

Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.

"Kakekmu itu kini lebih suka berdiam di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersemedhi saja, tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Akan tetapi dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."

Kamar di mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktu untuk semedhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima cahaya matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada waktu Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka di atas meja dan tengah dibacanya. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya dengan penuh harap dia menyangka bahwa gadis itu adalah Kui Hong, cucunya yang sangat disayangnya dan sudah lama dirindukannya. Akan tetapi sesudah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan penuh heran kenapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.

Akan tetapi Ling Ling langsung menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."

Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lantas bertanya, "Hui Song, siapakah gadis ini?"

"Ayah, dia bernama Cia Ling dan biasa dipanggil Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."

Wajah kakek yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup akan tetapi juga dibayangi ketenangan mendalam itu, sekarang tiba-tiba saja mengeluarkan sinar berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada bibirnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.

"Aha, kiranya engkau adalah puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."

Gadis itu pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.

Dengan suara halus tapi jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang lagi semua yang telah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk pada saat mendengar kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun.

Dia mengenal benar watak Cia Sun yang sangat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan Siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat merubah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya.

"Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari ayah bundamu, bukan? Jika belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."

"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."

"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga dia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnya. Hanya dalam waktu sebentar saja dia berhasil lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilewatinya dengan baik. Dia hebat, Ayah dan sungguh tak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.

Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali kedua alisnya berkerut. "Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"

Hui Song tersenyum. "Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama sekali tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang memaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya. Kemudian, tanpa memperkenalkan diri atau memberi tahukan kepentingannya, dia pergi begitu saja. Ketika masuk dia pun meloncati para penjaga yang menghadangnya dan sikapnya amat mencurigakan. Oleh karena itu penjagaan diperketat sehingga ketika Ling Ling muncul, tentu saja dia dicurigai dan dihalangi. Untung saya tadi keluar dan mengenal gerakan-gerakannya."

"Bagus sekali, aku turut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?"

"Entahlah, saya belum pernah melihatnya namun sikapnya sungguh mencurigakan. Kalau melihat gerakannya, agaknya dia mempunyai ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin dia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat."

"Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dulu. Kalau dia datang lagi, biarlah kau beri tahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek itu setelah menghela napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.

Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun dan meski pun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu beserta anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, tetapi dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini.

Setiap kali dia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, pamannya selalu memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan sama sekali tak menjawab ketika dia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu kelihatan gelisah dan tidak enak kalau mendengar dia bertanya tentang mereka. Apakah yang sudah terjadi dalam keluarga pamannya?

Selagi dia termenung di dalam kamarnya, mendadak dia mendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Dia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, dia pun keluar dari dalam kamarnya menuju ruangan itu. Di situ dia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Dia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam.

Nampak Cia Hui Song sedang berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan muka, sementara kakek Cia Kong Liang duduk dengan tubuh lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di hadapan mereka berdiri tegak seorang gadis yang berwajah manis dan cantik, dengan sepasang mata mencorong sedang marah-marah dan menegur dua orang ayah dan anak itu dengan suara lantang!

"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apakah kesalahan ibu sehingga Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Kini aku minta pertanggungan jawab dari Ayah!"

Wajah Cia Hui Song sebentar merah dan sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, tetapi segera menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu.

Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga tampak sedih sekali mencoba untuk membela puteranya. "Kui Hong, cucuku yang baik, janganlah engkau bersikap seperti itu terhadap ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah..."

"Aku tahu, jika Ayah tidak bersalah, ini berarti Kongkong-lah yang bersalah! Ya, aku tahu bahwa Ayah telah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kongkong! Kongkong hanya mau menang sendiri saja, berdalih ingin cucu laki-laki! Apakah cucu perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kongkong dan Ayah hanya ingin senang sendiri, di atas penderitaan ibuku! Dan juga di atas penderitaan batinku! Kongkong dan Ayah sungguh berdosa besar, sudah melakukan kejahatan terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang bukan untuk membela diri sendiri, melainkan membela Ibuku! Dia sudah menjadi sengsara, menderita akibat perbuatan kalian! Karena itu aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab dari Kongkong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar, seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah kalau melakukan perbuatan seperti itu, menyakiti hati ibuku, isterinya sendiri?"

Mendengar semua ini dan melihat wajah kedua orang laki-laki itu pucat dan bingung, Ling Ling merasa penasaran sekali. Ia kini tahu siapa adanya gadis cantik itu. Tentulah Cia Kui Hong, puteri pamannya yang dikatakan pergi dengan ibunya berkunjung ke Pulau Teratai Merah itu.

Kiranya mereka bukan pergi berkunjung, melainkan Bibi Ceng Sui Cin pergi bersama Kui Hong karena pamannya Cia Hui Song menikah lagi dengan Bibi Siok Bi Nio! Kalau begitu, melihat usia Cia Kui Bu yang kini sudah dua tahun, tentu ibu dan anak itu telah pergi dari Cin-ling-san sedikitnya selama tiga tahun!

Sekarang gadis itu agaknya pulang hanya untuk marah-marah dan menegur ayahnya dan kakeknya, dengan kata-kata keras yang dianggap oleh Ling Ling sudah melampaui batas. Mukanya menjadi merah mendengar semua ucapan Kui Hong yang mencela ayah sendiri dan kakek sendiri itu. Ling Ling lalu melangkah memasuki ruangan itu.

"Maaf, engkau tentu Enci Cia Kui Hong," katanya lembut.

Mendengar ini, gadis itu yang ternyata memang Cia Kui Hong lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Ling Ling. Sebelum dia sempat membuka mulut, Ling Ling sudah mendahului dan melanjutkan kata-katanya yang dikeluarkan dengan nada lembut dan sikap sabar dan ramah, mulutnya dihias senyuman.

"Enci Cia Kui Hong, aku mohon kepadamu, ingatlah siapa yang berada di depanmu, siapa yang kau cela dengan kata-kata keras itu. Enci, mereka adalah ayah kandungmu sendiri dan kakekmu sendiri. Kelak engkau akan merasa menyesal sendiri, Enci. Ingatlah bahwa tidak semestinya kita bersikap seperti itu terhadap ayah sendiri dan kakek sendiri. Segala persoalan dapat dirundingkan dengan hati dan kepala dingin, dengan kata-kata yang halus dan penuh damai..."

Sejak tadi alis Kui Hong sudah berkerut dan sinar matanya menyambar-nyambar marah. Sikap dan ucapan gadis yang tidak dikenalnya itu dianggap membela dan membenarkan ayah dan kakeknya, sekaligus menyalahkan dirinya! Tentu saja hal ini membuat hatinya menjadi makin panas. Bagaimana pun juga dia masih belum berani untuk menggunakan kekerasan menyerang ayahnya sendiri atau kakeknya. Namun gadis ini tidak dikenalnya dan berani menyalahkannya, maka semua kemarahannya kini ditumpahkan kepada gadis itu.

"Berani engkau mencampuri urusan antara aku dengan ayahku sendiri? Siapakah engkau begini lancang?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati Ling Ling bagaikan seekor singa betina yang marah. Namun Ling Ling tetap tenang menghadapinya.

"Enci, aku adalah Cia Ling, ayahku adalah Cia Sun dan ibuku Tan Siang Wi. Baru siang tadi aku datang dari tempat tinggal kami di dusun Ciang-si-bun, untuk berkunjung kepada keluarga Cin-ling-pai dan..."

"Cukup! Kau sangka karena itu engkau berhak mencampuri urusanku? Engkau manusia lancang patut dihajar!" bentak Kui Hong.

Semua rasa penasaran dan kemarahan yang membakar dirinya, yang membuat dia ingin sekali menyerang orang akan tetapi ditahan-tahannya karena dia tadi berhadapan dengan ayahnya dan kakeknya, kini ditumpahkan kepada Ling Ling dan dia pun menerjang maju menyerang gadis itu!

Tentu saja Ling Ling langsung mengelak dan menangkis ketika melihat betapa Kui Hong menyerangnya dengan gerakan dahsyat sekali. Melihat ini, Cia Kong Liang diam saja dan menyerahkan urusan ini kepada puteranya, akan tetapi Cia Hui Song juga tidak segera melerai.

Pendekar ini adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, dan biar pun hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh sikap puterinya tadi, bagaimana pun juga dia merasa gembira melihat munculnya Kui Hong dan kini dia hendak melihat sampai di mana pula kelihaian Ling Ling puteri Cia Sun! Maka dia pun diam saja, walau pun dengan penuh perhatian dia mengikuti setiap gerak perkelahian itu sambil berjaga-jaga supaya jangan sampai seorang di antara mereka terluka parah.

Mula-mula Ling Ling yang sama sekali tidak menghendaki adanya perkelahian di antara mereka hanya membela diri saja dengan elakan serta tangkisan. Akan tetapi dia terkejut sekali menghadapi serangan-serangan yang makin lama semakin dahsyat dan berbahaya. Apa lagi karena di pihak Kui Hong, gadis ini merasa penasaran bukan kepalang sesudah beberapa kali serangannya berhasil dihindarkan lawan dengan gesitnya. Rasa penasaran mendatangkan kemarahan, dan Kui Hong memperhebat serangannya dengan jurus-jurus pilihan.

Harus diketahui bahwa selama beberapa tahun ini Kui Hong telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah sehingga gadis ini menjadi lihai bukan main. Kalau dibandingkan dengan tingkat Ling Ling, dia jauh lebih lihai, bahkan kini dia tak kalah lihai dibandingkan ibunya sendiri. Maka, setelah dia mendesak dengan jurus-jurus pilihan, Ling Ling menjadi repot sehingga selain mengelak gadis ini pun terpaksa juga membalas untuk menghindarkan dirinya dari desakan.

Terjadilah perkelahian yang seru. Dua orang gadis yang sama gesitnya, kini saling serang dengan hebat di ruangan yang luas itu, hanya ditonton oleh Cia Hui Song dan Cia Kong Liang. Tidak ada murid Cin-ling-pai yang berani ikut menonton. Semenjak tadi mereka tak berani mendekat.

Pada saat Kui Hong muncul di depan pintu gerbang, para murid sudah terkejut dan girang bukan main. Mereka cepat menyapa dengan hormat dan manis, bahkan segera memberi tahukan ke dalam bahwa 'Nona Kui Hong' telah pulang.

Mendengar ini, maka Cia Hui Song dan Cia Kong Liang keluar pula dari kamar mereka sehingga mereka bertemu dengan Kui Hong yang sudah memasuki ruangan itu. Tak ada seorang pun murid atau pelayan di situ berani mendekat, apa lagi mendengar teriakan-teriakan Kui Hong yang marah-marah tadi. Mereka tak akan muncul tanpa dipanggil.

Akhirnya Ling Ling harus mengakui kelihaian Kui Hong. Setelah dua puluh lima jurus dia mulai terdesak hebat oleh jurus-jurus aneh yang digunakan Kui Hong dalam serangannya, yaitu jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pulau Teratai Merah. Gadis ini tentu akan roboh dan mungkin terluka hebat kalau perkelahian itu dilanjutkan.

Melihat ini, diam-diam Hui Song terkejut, juga bangga akan kelihaian puterinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu puterinya itu sudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan menengahi perkelahian itu.

"Sudah cukup, kalian tidak boleh berkelahi lagi!"

Melihat pamannya maju melerai, tentu saja Ling Ling cepat mundur. Akan tetapi Kui Hong menjadi semakin penasaran. Dia berdiri menghadapi ayahnya dengan mata mencorong.

"Hemm, agaknya Ayah bahkan hendak membela orang luar dan memusuhi aku?"

Cia Hui Song menarik napas panjang. Dia merasa berduka sekali melihat sikap puterinya ini, puteri yang amat dicintanya dan dia bisa mengerti akan sakit hati yang diderita dalam batin puterinya. Dia tidak menyalahkan sikap itu, melainkan menyesali nasib sendiri.

Sejenak dia memandang wajah puterinya, lantas terbayanglah semua kebahagiaan dan kemesraan bersama dengan ibu gadis ini, terbayanglah dia betapa sayangnya ketika dia membelai dan menimang gadis ini di waktu kecilnya dahulu, betapa tekunnya dia melatih silat kepada Kui Hong. Anak yang amat mungil dan sangat sayang kepada ayahnya pula. Namun sekarang? Anak ini berdiri bagaikan seekor singa kelaparan, dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kebencian kepadanya. Tak terasa lagi, sepasang mata pendekar ini terasa panas dan menjadi basah.

"Kui Hong, engkau tentu sudah tahu kenapa ibumu pergi meninggalkan aku. Karena aku menikah lagi. Dan engkau tentu tahu pula mengapa aku menikah lagi. Karena kakekmu menghendaki aku memiliki keturunan seorang anak laki-laki. Kui Hong, dalam kehidupan ini ada satu kewajiban yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh seorang laki-laki, yaitu memenuhi harapan utama seorang ayah. Ayahku menghendaki supaya aku memiliki keturunan laki-laki untuk penyambung nama keturunan, itu adalah hal yang wajar. Hidup memang kadang-kadang pahit, tetapi seorang gagah harus berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebaktiannya kepada orang tua. Kini aku sudah memenuhi kewajibanku, aku sudah memperoleh seorang anak laki-laki seperti yang diharapkan ayahku. Kewajibanku terhadap ayahku telah kuselesaikan dengan baik. Aku menikah lagi bukan karena bosan kepada ibumu. Ahh, aku mencinta ibumu, Kui Hong, juga mencintamu. Engkau dan ibumu tentu saja tahu akan hal itu. Apa bila engkau masih merasa penasaran, biarlah kutebus dengan nyawaku supaya kalian puas. Nah, engkau bunuh saja aku kalau engkau anggap ayahmu ini orang yang tidak pantas hidup di dunia ini!"

Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut Cia Hui Song ini! Seorang pendekar besar dan juga seorang ketua Cin-ling-pai, dan semua ucapannya itu sudah menunjukkan betapa tersiksa rasa hatinya menghadapi tuntutan puterinya. Ling Ling sampai menangis mendengar ucapan itu, dan wajah Kakek Cia Kong Liang menjadi pucat sekali, diam-diam menyesal mengapa permintaannya untuk memperoleh penyambung nama keluarga, yang sudah sepatutnya itu, ternyata mendatangkan akibat yang demikian pahit.

Kui Hong berdiri terbelalak. Wajahnya yang tadinya merah itu berubah pucat, jantungnya bagai ditusuk-tusuk saat mendengar ucapan ayahnya itu, kata demi kata seperti meremas batinnya. Apa lagi melihat Ling Ling menangis, tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu lari ke depan dan menubruk ayahnya sambil menjerit.

"Ayaaaahhh...!"

Dan menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan mencurahkan seluruh rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ini dia menangis demikian sedihnya.

Cia Kong Liang merasa terharu, akan tetapi juga gembira melihat betapa kekerasan hati cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata,

"Ayahmu benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati ayahnya. Akulah yang bersalah kalau keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan kekerasan hatinya, kalau saja dia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu dia tidak akan pergi dan tidak terjadi keretakan di dalam keluarga kita. Ahh, betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab dari pada perbuatan-perbuatanku sendiri."

Kui Hong melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu dia pun menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki kakeknya. Dia teringat betapa sejak dia masih kecil orang tua ini sangat menyayangnya dan sesudah kini dia sadar tentang segala hal yang terjadi, dia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Dkia pun merasa menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.

"Kongkong, maafkan aku, Kongkong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kongkong."

"Sudahlah, Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan kakekmu ini yang bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri."

Pada waktu itu terdengar suara halus, "Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak orang!"

Semua orang terkejut lantas memandang gadis yang tiba-tiba saja muncul dari ambang pintu itu. Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu dengan ayahnya!