Pendekar Mata Keranjang Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Hui Lian berdiri tegak sambil bertolak pinggang memandang delapan orang yang sekarang saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu.

"Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi."

Si Raksasa muka hitam hanya mampu mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ sambil terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Sesudah delapan orang itu lenyap, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.

"Sebaiknya jika Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan yang menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan memiliki banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi baru menghajar delapan orang murid rendahan saja, jika sampai murid-murid utama atau bahkan pimpinan mereka yang datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!"

Su Kiat memandang kepada orang itu sambil tetap tersenyum tenang. "Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami tidak tidak bersalah, maka siapa pun yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?"

Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat-alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya,

"Jika sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, apakah kami pun akan memiliki kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?"

Cu Kiat tersenyum dan mengangkat tangan untuk minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. "Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukan alat untuk berkelahi atau mengikat permusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan ilmu bela diri pula, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman mara bahaya. Cu-wi tadi telah melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Jika sumoi menggunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali."

Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah penduduk yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena baru pertama membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua. Kelak kalau keadaan mereka sudah baik, tentu saja tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dahulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya.

"Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang langsung menengok.

Ketika melihat munculnya dua orang itu, orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat segera berbisik kepada Su Kiat. "Celaka, dua orang pelatih mereka datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!" Sesudah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat menjauhkan diri.

Sekarang Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat lalu memperhatikan mereka.

Dua orang itu adalah lelaki yang berusia empat puluh tahun dan dari gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat laksana batu karang. Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam, ada pun orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.

Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja, bahkan Hui Lian menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dua orang itu agak tertegun ketika melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal biasanya orang-orang selalu merasa takut dan sungkan terhadap mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lantas memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis.

"Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?" tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat.

Orang ke dua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu.

Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. "Memang Suheng Ciang Su Kiat bersama aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Aku yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi, bukan Suheng. Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tak tahu aturan dan kurang ajar tadi?"

Sepasang Harimau Kong-goan itu saling pandang, sangat terkejut dan hampir tidak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi ternyata dikalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suheng-nya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu semuanya sudah mengenal nama mereka berdua, apa lagi nama perguruan silat Harimau Hitam.

"Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tak tahu aturan. Setiap orang yang hendak membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini setidaknya harus melapor dahulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberi tahu kepada kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!" kata pula Si Muka Hitam.

"Kami hendak membuka perguruan silat, lalu apa hubungannya dengan kalian? Dan kami tidak memandang rendah apa lagi menghina siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tidak pernah kami kenal? Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, kenapa kalian dari Hek-houw Bu-koan hendak mengganggu dan menghalangi?" Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.

"Bukan menghalangi melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian telah melanggar peraturan dan sopan santun!" sekarang Si Muka Kuning berkata. Bagaimana pun juga mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi.

"Boleh saja kalian menganggap demikian, tetapi kami juga punya pendapat sendiri. Habis, kalian mau apa sekarang?" tanya Hui Lian dengan sikap menantang.

Su Kiat membiarkan saja karena dia juga merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan tahu akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika dahulu dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini memang sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.

"Hemm, kalian adalah dua pendatang baru yang sombong!" kata Si Muka Hitam. "Baiklah, jika kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua beserta guru kami!"

Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. "Aku sama sekali tidak takut terhadap kalian! Akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, maka kami juga tak akan peduli dengan kalian!"

"Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami supaya Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya," kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati.

Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini mampu mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia pun bisa menduga bahwa gadis ini tentu lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apa lagi suheng-nya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah pada seorang yang buntung sebelah lengannya.

Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati bila menghadapi lawan yang nampak lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta serta orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu mempunyai sesuatu yang bisa diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.

Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tak enak bila menolak terus, apa lagi dia memang tahu tentang peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, segera melangkah maju.

"Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan semua pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga."

"Suheng...!"

"Biarlah, Sumoi. Biar urusan ini cepat selesai sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita lagi."

Hui Lian tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat paling sedikit tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba.

Melihat sepintas saja, Sui Kiat dapat mengenali dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tak keliru pandangannya yang tajam, karena Bouw Kwa Teng pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, sebenarnya adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini lalu digabung, maka muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.

Kong-goan Siang-houw, dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap begini tenang, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.

Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka mengenai jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.

Akan tetapi dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"

Sute-nya yang kurus, yang tadi sedang memimpin latihan, menjadi ketakutan maka cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan keringat membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.

Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat segera masuk ke dalam untuk mengundang gurunya, sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu itu. Ruangan tamu itu berupa ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak sebuah rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.

Tak lama kemudian terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang lelaki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Lelaki itu usianya sekitar enam puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini hitam seperti arang!

Bukan mukanya saja yang hitam, tapi agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, semua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya begitu lebar dan tajam. Pantaslah kalau perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak!

Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa kedua orang guru silat yang oleh dua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanya lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!

Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami sedang mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.

Hemm, sama sekali bukan orang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biar pun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu sering kali bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah.

Dia segera membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"

"Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."

Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"

"Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, tiba-tiba muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."

Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah terhadap kami sebanyak dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberi tahukan kepada kami sebagai rekan, yang ke dua, andai kata ada murid kami yang keliru, maka sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka."

"Maaf, karena benar-benar tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan," kata pula Su Kiat.

Sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan kedua alis berkerut. Diam-diam dia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suheng-nya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.

"Baiklah, tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang-orang yang memiliki kepandaian hingga tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini kita lakukan untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan terhadap para muda di kota Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka masih terlampau rendah untuk menjadi guru silat."

"Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang harus menentukan tinggi rendahnya serta tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"

Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu dengan tenang. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang dibenarkan untuk menjadi guru silat harus memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami. Siapa saja yang mampu menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang sekarang menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."

"Bagus! Telah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian. Su Kiat membiarkan saja sumoi-nya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Agaknya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi jangan hanya seorang yang maju. Biarlah kedua Kong-goan Siang-houw itu maju bersama-sama, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!"

Sesudah berkata demikian, Hui Lian langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga digunakan untuk tempat berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.

Kakek muka hitam arang itu nampak amat tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang dengan bingung. Sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang sangat disegani, tentu saja mereka merasa sungkan dan malu apa bila harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.

Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda.

"Di sini ada dua orang muridku yang menjadi penguji, sedangkan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil," katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat selama lima puluh jurus!"

"Tak perlu Suheng sampai maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biar kalian maju berdua, atau boleh juga bersama guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"

"Sumoi...!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoi-nya yang dianggapnya terlalu lancang dan takabur.

"Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!"

Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah bukan main. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa amat marah karena menganggap tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka.

"Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru bisa mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama? Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"

"Huhh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!"

"Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini nanti akan menjadi muridnya. Kalau memang begitu, dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"

Sebenarnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok seorang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi sangat penasaran setelah mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan pada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri.

Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang lengannya buntung sebelah. Oleh karena itu dia pun segera mengangguk begitu mendengar permintaan Cu Hoat.

Melihat suhu mereka telah memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.

"Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" kata Su Kiat memperingatkan.

Ia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di daerah itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Biar pun berhati keras, namun Hui Lian juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suheng-nya, maka dia pun mengangguk sambil tersenyum.

Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!"

"Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.

Melihat kedua lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, maka tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, sebab ilmu silat yang bersumber dari Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau. Kedua lengan itu sangat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu pula mencengkeram tulang hingga remuk!

Memang kedua orang itu tidak mau main-main. Begitu menyerang langsung saja mereka memainkan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan mirip suara harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang menggunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.

Namun gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan dia lalu tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Dia bahkan berkata demikian yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seakan ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya!

Yang lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan dua tangannya. Sebenarnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis mau pun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang mau pun untuk melompat dan bergeser.

"Haiiittttt...!"

Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada waktu yang hampir berbarengan, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada.

Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan, maka muncul angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.

"Plakk! Plakk!"

Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lainnya dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat.

Kembali ada angin keras menyambar yang sangat mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.

"Aihh, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.

"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkanlah kami yang tidak tahu diri...!"

Su Kiat tersenyum. Ternyata Cin-ling-pai masih memiliki nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang.

Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam goa di tebing jurang.

"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dengan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoi-nya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"

Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, tapi sekali ini aku tak akan main-main!"

Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja gadis itu sudah memperlihatkan kehebatannya, dan itu baru main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang amat hebat dan kini mereka tak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka bisa jatuh hanya dalam satu gebrakan saja ketika menghadapi gadis ini!

Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri. Sekarang mereka tidak lagi mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh!

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka, dan tahu-tahu tubuh itu menyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!

Kong-goan Siang-houw telah meloncat bangun kembali dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya berkelebat sehingga lenyaplah tubuh itu, yang tampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, bagaikan burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, sekarang dengan kepala di bawah sambil kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.

Selama hidupnya dua orang harimau Kong-goan ini belum pernah mendapat lawan yang sepertipandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka telah berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetapi tetap saja kalah cepat karena tubuh itu telah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas lantas robohlah mereka seperti sehelai kain.

Ternyata dengan kecepatan yang tak terhindarkan oleh mereka, gadis itu sudah menotok pundak mereka sehingga membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biar pun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Meski pun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.

"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Namun aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu.

Melihat ini Hui Lian berkata kepada suheng-nya. "Suheng, biarkan aku mewakilimu untuk menghadapi Bouw-kauwsu!"

Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap engkau suka mundur, engkau sudah lulus ujian. Sekarang Bouw-kauwsu ingin mengujiku, maka biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.

Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu mempunyai keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan demikian cepatnya seperti gadis itu, seakan-akan pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja.

Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal dia sendiri belum tentu menang dengan mudah bila menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu!

Sungguh pun Ciang Su Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai dari pada gadis itu, namun bagaimana pun juga laki-laki itu hanya memiliki sebuah lengan saja dan agaknya tak mungkin memiliki kecepatan gerakan seperti sumoi-nya. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andai kata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!

"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku pun telah banyak berkurang, maka marilah sebentar kita bermain-main dengan senjata, jadi tidak hanya mengandalkan tenaga serta kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh."

Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu lantas mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya. Begitu pedang tercabut dan digerakkan, segera nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukanlah pedang biasa, tetapi sebatang senjata pusaka yang ampuh.

Namun Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi. "Bouw-kauwsu, di antara kita tak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."

Bouw Kwa Teng mengira sudah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang mempunyai kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat betapa hebatnya tenaga gadis itu, maka dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan.

Akan tetapi sungguh tak dikiranya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak menggunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jeri, tapi menggunakan senjata, apakah tidak memalukan. Dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biar pun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, sekarang akan melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang?

Selagi dia masih ragu-ragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka sekali pada ketua ini, berkata dengan suara halus, "Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."

"Sebenarnya aku merasa sungkan sekali, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"

Berkata demikian, ketua Hek-houw Bu-koan ini telah memutar pedang pendeknya hingga bentuk pedang itu pun lenyap, berubah menjadi gulungan cahaya hijau yang menyilaukan mata. Tidak mungkin dia sanggup menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.

Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, laki-laki yang lengan kirinya buntung ini merasa yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka dapatkan karena selama bertahun-tahun tubuh mereka selalu menerima makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia.

Makanan berupa jamur, sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata telah membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sulit dilawan oleh siapa pun juga di dunia persilatan.

Kini Su Kiat menghadapi lawannya yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan ginkang-nya. Seperti yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan.

Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung. Namun guru silat yang sejak tadi telah menduga akan kehebatan ginkang lawan ini, cepat memutar pedangnya, di samping melindungi seluruh tubuhnya juga untuk menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas.

Ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw tadi, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan.

Baik Hui Lian mau pun Su Kiat sudah memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di goa itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan ginkang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.

Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah bisa menyentuh ujung baju lawan, apa lagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu dapat mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya saja. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya terus menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.

"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.

"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya karena bergerak amat cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.

"Trakkk...!" dan pedang di tangannya terdorong ke belakang.

Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual pada waktu mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.

"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi.

Tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang-kunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seakan-akan dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu.

Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian sudah mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat menggunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!

Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, tetapi dia merasa ada sesuatu yang menyentuh leher serta dadanya, lantas lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena kini Su Kiat sudah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata,

"Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"

Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya sambil meraba ke lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.

"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri sesudah mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa jika lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuh dirinya atau setidaknya melukai dengan berat.

"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiap dan Lihiap berhak membuka perguruan silat di mana pun juga."

Melihat sikap guru mereka ini, mendengar pula guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, dan juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun segera maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.

Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka sangat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka.

Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu mampu keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, malah dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, membuat banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu.

Suheng dan sumoi itu pun mulai bekerja. Tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat serta beberapa macam pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menunggu apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah bila dia telah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu," kata Su Kiat kepada sumoi-nya dengan sikap serius, pada suatu senja saat mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena semua murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang sekarang menjadi besar karena ditambah bangunan baru.

Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suheng-nya langsung menunduk dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan dia merasa malu serta canggung sekali. Betapa pun juga urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya.

Dia pun mengerti bahwa pada jaman itu setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah ketika berusia paling banyak dua puluh tahun. Dan dia telah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suheng-nya, yang juga merupakan pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara begitu banyak pemuda yang sudah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, dia selalu menolak dengan halus.

"Akan tetapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."

"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria jika dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suheng-mu, karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu, kakakmu dan akulah yang akan dicela orang apa bila mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku, kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan begitu banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Segera jatuhkan pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus semua pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga"

Mendengar suara suheng-nya yang bersungguh-sungguh serta sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini Su Kiat cepat menghiburnya.

"Sumoi, kenapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang amat menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga peristiwa terpenting dalam kehidupan yang kita alami. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang sangat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau akan menghadapi peristiwa pernikahan, kenapa harus berduka? Apa lagi kalau pernikahan ini bukan merupakan pemaksaan dan engkau diberi hak untuk memilih sendiri calon suamimu."

"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja padamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."

Wajah Su Kiat berseri. "Ahh, jadi engkau telah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik sudah meminangmu, akan tetapi bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Kini usianya telah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya sangat baik, halus dan sopan. Juga dia sudah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia kalau menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"

Di lubuk hatinya Hui Lian agak kecewa sebab pemuda yang dimaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah sungguh pun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagai putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.

"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal itu yang kau kehendaki."

"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."

"Aku mengerti, Suheng, engkau aturlah saja. Aku akan mentaati karena aku yakin bahwa segala yang kau kehendaki itu memang benar dan tepat."

Setelah berkata demikian Hui Lian pergi meninggalkan suheng-nya, kemudian memasuki kamar untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumoi-nya dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sebagai seorang gadis, tentu sumoi-nya merasa malu membicarakan urusan perjodohan itu.

Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat kemudian membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang sangat dikagumi, karena bukan saja dia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.

Dua bulan kemudian setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.

Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walau pun dia menjadi isteri tanpa cinta kasih. Suaminya yang pernah lulus di kota raja itu lebih suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang.

Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walau pun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi apa yang tampak indah dari luar belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya. Antara Hui Lian dengan Tee Sun terdapat perbedaan cara dan selera hidup.

Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat, Hui Lian telah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan aman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya.

Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup yang penuh kekerasan, Hui Lian sering kali turut pergi berburu binatang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan ada kalanya Hui Lian rindu dengan keadaan hidup seperti ini. Makin sering dia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.

Pada dasamya Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sebenarnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam yang dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang beraroma harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun mau pun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian.

Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng biar pun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena kakinya pernah terluka oleh terkaman harimau buas.

Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan sebenarnya memang dia sudah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri adalah seorang pemburu yang gagah berani, tapi melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta.

Tanpa peduli bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu memang tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!

Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak keras, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa dia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya.

Wanita ini menyangka bahwa Su Ta Touw sungguh-sungguh cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Akan tetapi dia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.

Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun, maka marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu pada waktu engkau jauh dariku dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau sudah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"

Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau dia tidak ingat bahwa penuduhnya itu adalah suaminya dan laki-laki itu bertubuh lemah, tentu Tee Sun sudah ditamparnya.

"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh isterimu secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia kemudian hajarlah dia yang sudah berani merayu isterimu!" Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.

Akan tetapi tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apa lagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Namun sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!

Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoi-nya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjinah dengan pria lain!

"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjinah dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap wajah tampan suami dari sumoi-nya itu.

Tee Sun menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, namun banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu secara terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti yang cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"

"Bagus!" Tiba-tiba saja muncul Hui Lian yang agaknya semenjak tadi telah mengikuti dan ikut mendengarkan pada waktu suaminya mengadu kepada suheng-nya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"

"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.

Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, akan tetapi sia-sia belaka. Keduanya sudah merasa terlampau panas sehingga percekcokan itu pun harus berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoi-nya, maka terpaksa Su Kiat kemudian pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.

"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.

"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap waktu marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Apa bila dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, dan perceraian adalah jalan yang terbaik."

Akhirnya Hui Lian dan Tee Sun bercerai. Hui Lian kembali tinggal bersama suheng-nya dan membantu suheng-nya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati, lantas dengan nekat dia pun melakukan pendekatan sambil melimpahkan rayuan-rayuan mautnya.

Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Dia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga dia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi dia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Dia mengira bahwa sekali ini dia benar-benar bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka dia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!

Ketika dia minta persetujuan suheng-nya, Su Kiat memandang kepada sumoi-nya dengan alis berkerut. "Dia? Ahh, Sumoi, apakah telah kau pikir baik-baik kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Jangan lupa bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rumah tanggamu rusak, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik dari pada Tee Sun, karena dia begitu kasar dan terlalu pandai bermanis muka."

"Tidak, Suheng. Justru karena dia yang menjadi penyebab aku bercerai, maka sebaiknya bila sekarang aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, lagi pula sekali ini aku yakin bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."

Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoi-nya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw.

Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suheng-nya.

Pada bulan-bulan pertama Hui Lian merasa amat bahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw!

Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dahulu dia mau begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu birahi yang membadai. Kini, sesudah Hui Lian menjadi isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang asli, yaitu pembosan!

Laki-laki semacam ini tidak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum mendapatkan yang diinginkan, akan tetapi mudah merasa bosan. Kini sikap Su Ta Touw mulai berubah dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang leIaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik.

Hui Lian merasa hatinya bagai disayat-sayat. Dia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu jika harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suheng-nya. Betapa tepat peringatan suheng-nya dahulu. Akan tetapi segalanya telah terlanjur.

Dia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau telah berada di luar rumah, suaminya itu segera berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya

Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai satu tahun lagi. Sudah dua tahun dia menjadi isteri Su Ta Touw ketika dia mendengar bahwa suaminya itu kembali bermain gila dengan seorang wanita tetangganya, dan wanita itu sudah mempunyai tiga orang anak!

Ketegangan memuncak saat dia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu sudah berjinah dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak pernah mendekatinya sama sekali. Suami itu menuduh bahwa isterinya bisa mengandung sebagai hasil perjinahannya dengan Su Ta Touw!

"Benarkah semua keributan di sebelah itu?" Dia bertanya kepada suaminya.

Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal. Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sulit mencari makan, biar aku mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya.

Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.

Pendekar Mata Keranjang Jilid 24

Hui Lian berdiri tegak sambil bertolak pinggang memandang delapan orang yang sekarang saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu.

"Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi."

Si Raksasa muka hitam hanya mampu mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ sambil terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Sesudah delapan orang itu lenyap, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.

"Sebaiknya jika Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan yang menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan memiliki banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi baru menghajar delapan orang murid rendahan saja, jika sampai murid-murid utama atau bahkan pimpinan mereka yang datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!"

Su Kiat memandang kepada orang itu sambil tetap tersenyum tenang. "Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami tidak tidak bersalah, maka siapa pun yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?"

Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat-alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya,

"Jika sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, apakah kami pun akan memiliki kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?"

Cu Kiat tersenyum dan mengangkat tangan untuk minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. "Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukan alat untuk berkelahi atau mengikat permusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan ilmu bela diri pula, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman mara bahaya. Cu-wi tadi telah melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Jika sumoi menggunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali."

Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah penduduk yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena baru pertama membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua. Kelak kalau keadaan mereka sudah baik, tentu saja tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dahulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya.

"Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang langsung menengok.

Ketika melihat munculnya dua orang itu, orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat segera berbisik kepada Su Kiat. "Celaka, dua orang pelatih mereka datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!" Sesudah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat menjauhkan diri.

Sekarang Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat lalu memperhatikan mereka.

Dua orang itu adalah lelaki yang berusia empat puluh tahun dan dari gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat laksana batu karang. Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam, ada pun orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.

Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja, bahkan Hui Lian menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dua orang itu agak tertegun ketika melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal biasanya orang-orang selalu merasa takut dan sungkan terhadap mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lantas memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis.

"Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?" tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat.

Orang ke dua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu.

Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. "Memang Suheng Ciang Su Kiat bersama aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Aku yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi, bukan Suheng. Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tak tahu aturan dan kurang ajar tadi?"

Sepasang Harimau Kong-goan itu saling pandang, sangat terkejut dan hampir tidak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi ternyata dikalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suheng-nya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu semuanya sudah mengenal nama mereka berdua, apa lagi nama perguruan silat Harimau Hitam.

"Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tak tahu aturan. Setiap orang yang hendak membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini setidaknya harus melapor dahulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberi tahu kepada kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!" kata pula Si Muka Hitam.

"Kami hendak membuka perguruan silat, lalu apa hubungannya dengan kalian? Dan kami tidak memandang rendah apa lagi menghina siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tidak pernah kami kenal? Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, kenapa kalian dari Hek-houw Bu-koan hendak mengganggu dan menghalangi?" Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.

"Bukan menghalangi melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian telah melanggar peraturan dan sopan santun!" sekarang Si Muka Kuning berkata. Bagaimana pun juga mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi.

"Boleh saja kalian menganggap demikian, tetapi kami juga punya pendapat sendiri. Habis, kalian mau apa sekarang?" tanya Hui Lian dengan sikap menantang.

Su Kiat membiarkan saja karena dia juga merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan tahu akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika dahulu dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini memang sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.

"Hemm, kalian adalah dua pendatang baru yang sombong!" kata Si Muka Hitam. "Baiklah, jika kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua beserta guru kami!"

Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. "Aku sama sekali tidak takut terhadap kalian! Akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, maka kami juga tak akan peduli dengan kalian!"

"Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami supaya Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya," kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati.

Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini mampu mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia pun bisa menduga bahwa gadis ini tentu lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apa lagi suheng-nya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah pada seorang yang buntung sebelah lengannya.

Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati bila menghadapi lawan yang nampak lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta serta orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu mempunyai sesuatu yang bisa diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.

Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tak enak bila menolak terus, apa lagi dia memang tahu tentang peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, segera melangkah maju.

"Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan semua pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga."

"Suheng...!"

"Biarlah, Sumoi. Biar urusan ini cepat selesai sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita lagi."

Hui Lian tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat paling sedikit tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba.

Melihat sepintas saja, Sui Kiat dapat mengenali dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tak keliru pandangannya yang tajam, karena Bouw Kwa Teng pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, sebenarnya adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini lalu digabung, maka muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.

Kong-goan Siang-houw, dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap begini tenang, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.

Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka mengenai jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.

Akan tetapi dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"

Sute-nya yang kurus, yang tadi sedang memimpin latihan, menjadi ketakutan maka cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan keringat membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.

Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat segera masuk ke dalam untuk mengundang gurunya, sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu itu. Ruangan tamu itu berupa ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak sebuah rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.

Tak lama kemudian terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang lelaki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Lelaki itu usianya sekitar enam puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini hitam seperti arang!

Bukan mukanya saja yang hitam, tapi agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, semua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya begitu lebar dan tajam. Pantaslah kalau perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak!

Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa kedua orang guru silat yang oleh dua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanya lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!

Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami sedang mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.

Hemm, sama sekali bukan orang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biar pun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu sering kali bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah.

Dia segera membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"

"Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."

Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"

"Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, tiba-tiba muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."

Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah terhadap kami sebanyak dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberi tahukan kepada kami sebagai rekan, yang ke dua, andai kata ada murid kami yang keliru, maka sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka."

"Maaf, karena benar-benar tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan," kata pula Su Kiat.

Sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan kedua alis berkerut. Diam-diam dia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suheng-nya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.

"Baiklah, tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang-orang yang memiliki kepandaian hingga tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini kita lakukan untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan terhadap para muda di kota Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka masih terlampau rendah untuk menjadi guru silat."

"Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang harus menentukan tinggi rendahnya serta tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"

Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu dengan tenang. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang dibenarkan untuk menjadi guru silat harus memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami. Siapa saja yang mampu menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang sekarang menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."

"Bagus! Telah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian. Su Kiat membiarkan saja sumoi-nya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Agaknya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi jangan hanya seorang yang maju. Biarlah kedua Kong-goan Siang-houw itu maju bersama-sama, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!"

Sesudah berkata demikian, Hui Lian langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga digunakan untuk tempat berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.

Kakek muka hitam arang itu nampak amat tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang dengan bingung. Sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang sangat disegani, tentu saja mereka merasa sungkan dan malu apa bila harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.

Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda.

"Di sini ada dua orang muridku yang menjadi penguji, sedangkan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil," katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat selama lima puluh jurus!"

"Tak perlu Suheng sampai maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biar kalian maju berdua, atau boleh juga bersama guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"

"Sumoi...!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoi-nya yang dianggapnya terlalu lancang dan takabur.

"Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!"

Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah bukan main. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa amat marah karena menganggap tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka.

"Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru bisa mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama? Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"

"Huhh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!"

"Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini nanti akan menjadi muridnya. Kalau memang begitu, dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"

Sebenarnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok seorang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi sangat penasaran setelah mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan pada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri.

Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang lengannya buntung sebelah. Oleh karena itu dia pun segera mengangguk begitu mendengar permintaan Cu Hoat.

Melihat suhu mereka telah memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.

"Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" kata Su Kiat memperingatkan.

Ia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di daerah itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Biar pun berhati keras, namun Hui Lian juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suheng-nya, maka dia pun mengangguk sambil tersenyum.

Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!"

"Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.

Melihat kedua lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, maka tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, sebab ilmu silat yang bersumber dari Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau. Kedua lengan itu sangat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu pula mencengkeram tulang hingga remuk!

Memang kedua orang itu tidak mau main-main. Begitu menyerang langsung saja mereka memainkan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan mirip suara harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang menggunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.

Namun gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan dia lalu tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Dia bahkan berkata demikian yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seakan ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya!

Yang lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan dua tangannya. Sebenarnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis mau pun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang mau pun untuk melompat dan bergeser.

"Haiiittttt...!"

Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada waktu yang hampir berbarengan, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada.

Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan, maka muncul angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.

"Plakk! Plakk!"

Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lainnya dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat.

Kembali ada angin keras menyambar yang sangat mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.

"Aihh, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.

"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkanlah kami yang tidak tahu diri...!"

Su Kiat tersenyum. Ternyata Cin-ling-pai masih memiliki nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang.

Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam goa di tebing jurang.

"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dengan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoi-nya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"

Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, tapi sekali ini aku tak akan main-main!"

Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja gadis itu sudah memperlihatkan kehebatannya, dan itu baru main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang amat hebat dan kini mereka tak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka bisa jatuh hanya dalam satu gebrakan saja ketika menghadapi gadis ini!

Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri. Sekarang mereka tidak lagi mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh!

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka, dan tahu-tahu tubuh itu menyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!

Kong-goan Siang-houw telah meloncat bangun kembali dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya berkelebat sehingga lenyaplah tubuh itu, yang tampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, bagaikan burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, sekarang dengan kepala di bawah sambil kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.

Selama hidupnya dua orang harimau Kong-goan ini belum pernah mendapat lawan yang sepertipandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka telah berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetapi tetap saja kalah cepat karena tubuh itu telah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas lantas robohlah mereka seperti sehelai kain.

Ternyata dengan kecepatan yang tak terhindarkan oleh mereka, gadis itu sudah menotok pundak mereka sehingga membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biar pun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Meski pun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.

"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Namun aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu.

Melihat ini Hui Lian berkata kepada suheng-nya. "Suheng, biarkan aku mewakilimu untuk menghadapi Bouw-kauwsu!"

Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap engkau suka mundur, engkau sudah lulus ujian. Sekarang Bouw-kauwsu ingin mengujiku, maka biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.

Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu mempunyai keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan demikian cepatnya seperti gadis itu, seakan-akan pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja.

Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal dia sendiri belum tentu menang dengan mudah bila menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu!

Sungguh pun Ciang Su Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai dari pada gadis itu, namun bagaimana pun juga laki-laki itu hanya memiliki sebuah lengan saja dan agaknya tak mungkin memiliki kecepatan gerakan seperti sumoi-nya. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andai kata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!

"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku pun telah banyak berkurang, maka marilah sebentar kita bermain-main dengan senjata, jadi tidak hanya mengandalkan tenaga serta kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh."

Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu lantas mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya. Begitu pedang tercabut dan digerakkan, segera nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukanlah pedang biasa, tetapi sebatang senjata pusaka yang ampuh.

Namun Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi. "Bouw-kauwsu, di antara kita tak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."

Bouw Kwa Teng mengira sudah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang mempunyai kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat betapa hebatnya tenaga gadis itu, maka dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan.

Akan tetapi sungguh tak dikiranya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak menggunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jeri, tapi menggunakan senjata, apakah tidak memalukan. Dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biar pun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, sekarang akan melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang?

Selagi dia masih ragu-ragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka sekali pada ketua ini, berkata dengan suara halus, "Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."

"Sebenarnya aku merasa sungkan sekali, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"

Berkata demikian, ketua Hek-houw Bu-koan ini telah memutar pedang pendeknya hingga bentuk pedang itu pun lenyap, berubah menjadi gulungan cahaya hijau yang menyilaukan mata. Tidak mungkin dia sanggup menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.

Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, laki-laki yang lengan kirinya buntung ini merasa yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka dapatkan karena selama bertahun-tahun tubuh mereka selalu menerima makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia.

Makanan berupa jamur, sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata telah membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sulit dilawan oleh siapa pun juga di dunia persilatan.

Kini Su Kiat menghadapi lawannya yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan ginkang-nya. Seperti yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan.

Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung. Namun guru silat yang sejak tadi telah menduga akan kehebatan ginkang lawan ini, cepat memutar pedangnya, di samping melindungi seluruh tubuhnya juga untuk menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas.

Ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw tadi, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan.

Baik Hui Lian mau pun Su Kiat sudah memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di goa itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan ginkang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.

Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah bisa menyentuh ujung baju lawan, apa lagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu dapat mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya saja. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya terus menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.

"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.

"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya karena bergerak amat cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.

"Trakkk...!" dan pedang di tangannya terdorong ke belakang.

Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual pada waktu mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.

"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi.

Tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang-kunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seakan-akan dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu.

Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian sudah mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat menggunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!

Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, tetapi dia merasa ada sesuatu yang menyentuh leher serta dadanya, lantas lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena kini Su Kiat sudah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata,

"Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"

Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya sambil meraba ke lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.

"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri sesudah mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa jika lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuh dirinya atau setidaknya melukai dengan berat.

"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiap dan Lihiap berhak membuka perguruan silat di mana pun juga."

Melihat sikap guru mereka ini, mendengar pula guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, dan juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun segera maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.

Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka sangat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka.

Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu mampu keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, malah dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, membuat banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu.

Suheng dan sumoi itu pun mulai bekerja. Tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat serta beberapa macam pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menunggu apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah bila dia telah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu," kata Su Kiat kepada sumoi-nya dengan sikap serius, pada suatu senja saat mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena semua murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang sekarang menjadi besar karena ditambah bangunan baru.

Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suheng-nya langsung menunduk dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan dia merasa malu serta canggung sekali. Betapa pun juga urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya.

Dia pun mengerti bahwa pada jaman itu setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah ketika berusia paling banyak dua puluh tahun. Dan dia telah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suheng-nya, yang juga merupakan pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara begitu banyak pemuda yang sudah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, dia selalu menolak dengan halus.

"Akan tetapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."

"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria jika dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suheng-mu, karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu, kakakmu dan akulah yang akan dicela orang apa bila mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku, kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan begitu banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Segera jatuhkan pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus semua pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga"

Mendengar suara suheng-nya yang bersungguh-sungguh serta sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini Su Kiat cepat menghiburnya.

"Sumoi, kenapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang amat menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga peristiwa terpenting dalam kehidupan yang kita alami. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang sangat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau akan menghadapi peristiwa pernikahan, kenapa harus berduka? Apa lagi kalau pernikahan ini bukan merupakan pemaksaan dan engkau diberi hak untuk memilih sendiri calon suamimu."

"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja padamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."

Wajah Su Kiat berseri. "Ahh, jadi engkau telah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik sudah meminangmu, akan tetapi bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Kini usianya telah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya sangat baik, halus dan sopan. Juga dia sudah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia kalau menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"

Di lubuk hatinya Hui Lian agak kecewa sebab pemuda yang dimaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah sungguh pun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagai putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.

"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal itu yang kau kehendaki."

"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."

"Aku mengerti, Suheng, engkau aturlah saja. Aku akan mentaati karena aku yakin bahwa segala yang kau kehendaki itu memang benar dan tepat."

Setelah berkata demikian Hui Lian pergi meninggalkan suheng-nya, kemudian memasuki kamar untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumoi-nya dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sebagai seorang gadis, tentu sumoi-nya merasa malu membicarakan urusan perjodohan itu.

Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat kemudian membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang sangat dikagumi, karena bukan saja dia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.

Dua bulan kemudian setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.

Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walau pun dia menjadi isteri tanpa cinta kasih. Suaminya yang pernah lulus di kota raja itu lebih suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang.

Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walau pun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi apa yang tampak indah dari luar belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya. Antara Hui Lian dengan Tee Sun terdapat perbedaan cara dan selera hidup.

Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat, Hui Lian telah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan aman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya.

Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup yang penuh kekerasan, Hui Lian sering kali turut pergi berburu binatang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan ada kalanya Hui Lian rindu dengan keadaan hidup seperti ini. Makin sering dia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.

Pada dasamya Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sebenarnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam yang dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang beraroma harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun mau pun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian.

Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng biar pun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena kakinya pernah terluka oleh terkaman harimau buas.

Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan sebenarnya memang dia sudah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri adalah seorang pemburu yang gagah berani, tapi melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta.

Tanpa peduli bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu memang tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!

Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak keras, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa dia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya.

Wanita ini menyangka bahwa Su Ta Touw sungguh-sungguh cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Akan tetapi dia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.

Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun, maka marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu pada waktu engkau jauh dariku dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau sudah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"

Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau dia tidak ingat bahwa penuduhnya itu adalah suaminya dan laki-laki itu bertubuh lemah, tentu Tee Sun sudah ditamparnya.

"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh isterimu secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia kemudian hajarlah dia yang sudah berani merayu isterimu!" Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.

Akan tetapi tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apa lagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Namun sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!

Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoi-nya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjinah dengan pria lain!

"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjinah dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap wajah tampan suami dari sumoi-nya itu.

Tee Sun menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, namun banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu secara terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti yang cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"

"Bagus!" Tiba-tiba saja muncul Hui Lian yang agaknya semenjak tadi telah mengikuti dan ikut mendengarkan pada waktu suaminya mengadu kepada suheng-nya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"

"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.

Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, akan tetapi sia-sia belaka. Keduanya sudah merasa terlampau panas sehingga percekcokan itu pun harus berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoi-nya, maka terpaksa Su Kiat kemudian pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.

"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.

"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap waktu marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Apa bila dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, dan perceraian adalah jalan yang terbaik."

Akhirnya Hui Lian dan Tee Sun bercerai. Hui Lian kembali tinggal bersama suheng-nya dan membantu suheng-nya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati, lantas dengan nekat dia pun melakukan pendekatan sambil melimpahkan rayuan-rayuan mautnya.

Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Dia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga dia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi dia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Dia mengira bahwa sekali ini dia benar-benar bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka dia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!

Ketika dia minta persetujuan suheng-nya, Su Kiat memandang kepada sumoi-nya dengan alis berkerut. "Dia? Ahh, Sumoi, apakah telah kau pikir baik-baik kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Jangan lupa bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rumah tanggamu rusak, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik dari pada Tee Sun, karena dia begitu kasar dan terlalu pandai bermanis muka."

"Tidak, Suheng. Justru karena dia yang menjadi penyebab aku bercerai, maka sebaiknya bila sekarang aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, lagi pula sekali ini aku yakin bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."

Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoi-nya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw.

Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suheng-nya.

Pada bulan-bulan pertama Hui Lian merasa amat bahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw!

Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dahulu dia mau begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu birahi yang membadai. Kini, sesudah Hui Lian menjadi isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang asli, yaitu pembosan!

Laki-laki semacam ini tidak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum mendapatkan yang diinginkan, akan tetapi mudah merasa bosan. Kini sikap Su Ta Touw mulai berubah dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang leIaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik.

Hui Lian merasa hatinya bagai disayat-sayat. Dia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu jika harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suheng-nya. Betapa tepat peringatan suheng-nya dahulu. Akan tetapi segalanya telah terlanjur.

Dia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau telah berada di luar rumah, suaminya itu segera berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya

Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai satu tahun lagi. Sudah dua tahun dia menjadi isteri Su Ta Touw ketika dia mendengar bahwa suaminya itu kembali bermain gila dengan seorang wanita tetangganya, dan wanita itu sudah mempunyai tiga orang anak!

Ketegangan memuncak saat dia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu sudah berjinah dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak pernah mendekatinya sama sekali. Suami itu menuduh bahwa isterinya bisa mengandung sebagai hasil perjinahannya dengan Su Ta Touw!

"Benarkah semua keributan di sebelah itu?" Dia bertanya kepada suaminya.

Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal. Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sulit mencari makan, biar aku mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya.

Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.