Pendekar Mata Keranjang Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NENEK Wa Wa Lo-bo memandang marah lantas menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu sudah menyebabkan kematian Ong-ya serta isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimana pun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap siaga dan dengan mudahnya ia mengelak.

"Lo-bo, jangan...!" Sun Hok berseru dengan khawatir.

Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, sekarang menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak lalu dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, sungguh pun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.

"Lo-bo, jangan berkelahi...!" kembali Sun Hok berseru.

Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi makin marah. "Engkau adalah murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.

"Ahhh...!" Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang dia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.

"Dukkk!"

Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.

Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan dia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun dia tidak akan mampu menang!

"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.

"Wa Wa Lo-bo…," kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu tidak akan lama lagi, haruskah sekarang engkau nekat menyerangku secara mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis bersama semua kawan dan anak buahnya tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."

"Tutup mulutmu! Jika aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu maka lebih baik aku mampus saja!" Dan dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, sekarang nenek itu mempergunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.

"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin.

Cepat dia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dari pada tingkat lawannya sehingga seluruh serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan sepasang tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang

Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan bagai seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau hanya dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Melihat kenekatan nenek itu, maka dia pun menjadi marah.

"Haiiiitttttt...!" teriaknya.

Tiba-tiba dia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.

"Krakkkk...!"

Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal kayu yang meruncing ujungnya saja, sedangkan tubuh nenek itu terpental ke belakang. Dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting, namun ketika dia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, tampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Ternyata pertemuan tenaga dahsyat tadi sudah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya.

Melihat ini, Sun Hok berseru kaget, "Lo-bo...!"

Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Dia maklum bahwa melawan Sui Cin sudah tak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu sudah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,

"Ong-ya berdua dan Siocia, jangan salahkan saya jika anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!" Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.

"Lo-bo...!" Sun Hok meloncat kemudian menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan sisa kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat dia tewas seketika.

"Lo-bo, ahhh, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan para pelayan kini datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang telah menjadi mayat dalam keadaan amat mengerikan itu.

Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimana pun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!

"Kui Hong, mari kita pergi saja," katanya.

Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu pergi meninggalkan rumah besar itu, bahkan pada malam itu juga mereka langsung meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar dari pada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di Laut Selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dan subur. Pulau itu tidak berapa besar, panjangnya hanya belasan li dan lebarnya paling banyak sepuluh li.

Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana, bersama para pelayan dan para pembantu hingga jumlah mereka beserta keluarganya kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap sehingga sekarang pulau itu penuh dengan pohon-pohon, pohon buah mau pun pohon bunga yang serba indah dan bermacam-macam buah-buahan yang lezat dapat pula tumbuh di situ.

Di tengah-tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tidak kunjung kering walau pun di musim panas sekali pun. Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan lain.

Suasana di pulau itu sungguh tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk pada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tidak pernah kekurangan makan. Satu atau dua kali dalam sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka.

Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selain untuk dimakan sendiri, selebihnya dapat mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga para pelayan ini memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar.

Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat begitu mendengar namanya langsung menjadi pucat ketakutan.

Dalam usia enam puluh tahun lebih dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan semedhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan.

Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak lagi ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw.

Walau pun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang letaknya terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang dari kalangan kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya.

Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Akan tetapi usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik serta bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut.

Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Dulu namanya pun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan pada waktu masih gadis dia pernah menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan!

Ilmu kepandaiannya sangat tinggi, hanya sedikit dibawah tingkat suaminya walau pun dia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya di dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh). Suami isteri yang sangat lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu.

Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin. Setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, sekitar enam tahun yang silam terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya.

Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi beberapa orang penghuni pulau itu pulang membawa seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya yang terbalik sesudah tadi malam dihempaskan badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepat mendarat dan tidak berani mencari ikan.

Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat ada seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan tengah bergantung di perahunya yang terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat-cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega setelah mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mengalami pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika semalam diombang-ambingkan laut membadai. Sesudah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis.

Suami isteri pendekar itu saling pandang. Segera keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok, jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali.

Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya. "Anak baik, siapakah namamu?"

Anak laki-laki itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, lantas memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia pun menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula. "Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian berdua yang telah menyelamatkan aku dari tengah lautan?"

Ceng Thian Sin menjawab. "Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

"Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini," kata Toan Kim Hong sambil menerima pakaian yang dimintanya dari seorang pelayan yang meminjam pakaian dari keluarga nelayan yang memiliki anak sebaya dengan anak itu.

Dia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaian tanpa perasaan sungkan dan malu. Setelah dia kembali lagi, anak ini sudah mengenakan pakaian kering.

"Nah, sekarang katakan siapa namamu," kata nenek itu.

Akan tetapi, sebagai jawaban anak itu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. "Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe." Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang.

Toan Kim Hong tersenyum, mengangkat bangun anak itu. "Sudahlah, kau duduklah dan kini ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."

Anak itu tak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas lantai. "Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya lalu ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan bekerja keras akhirnya saya bisa membeli sebuah perahu kecil kemudian saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."

Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini telah yatim piatu! Tidak memiliki tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekali pun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian dekatnya hubungan batin di antara keduanya dan sekarang, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah saling setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka.

"Ki Liong, engkau terserang badai hingga nyaris saja tewas, akan tetapi akhirnya berhasil diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau untuk selanjutnya engkau hidup saja di sini, membantu pekerjaan di sini?" kata Ceng Thian Sin.

Ki Liong bersoja kembali memberi hormat. "Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi jika saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya sudah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe...!"

Kembali suami isteri itu saling pandang. "Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?"

"Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."

"Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?" Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian.

Memang semenjak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid. Akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.

"Semenjak hidup seorang diri, sudah banyak saya mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil kerja saya berbulan-bulan dirampas orang dengan kekerasan. Di dunia ini banyak sekali terjadi kejahatan dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga kelak hendak menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."

Suami isteri itu mendengarkan dengan perasaan kagum dan hati mereka merasa gembira sekali. Sungguh tak mereka duga bahwa mereka akan menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat amat baik, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!

"Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat."

Sambil tetap berlutut anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian. "Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, namun... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena jika hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang lihai itu?"

Suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. "Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau kini berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang sanggup menangkap burung terbang itu?"

"Tidak mungkin, Locianpwe," kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Bila mana tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?"

"Kau lihat baik-baik, aku akan menangkapnya!" Dan setelah nenek itu berkata demikian, tiba-tiba dia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini.

Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan sekejap kemudian bayangan itu sudah berada kembali di hadapannya. Nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam oleh tangan kirinya.

"Ahh... ohhh...!" Mata Ki Liong terbelalak dan tak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya ber-ah-uh-ah-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali.

"Lihat caraku yang lain lagi dalam hal menangkap burung terbang," kata Ceng Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandang matanya kepada isterinya.

Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang lantas bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu sudah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi!

Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai. "Ah, saya mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mukjijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe..."

Ceng Thian Sin tertawa lantas melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu pula Ciang Ki Liong sudah menjadi murid mereka.

Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini, dalam perantauannya dia pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat dengan cepat mengingat setiap jurus yang diajarkan. Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang sangat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang.

Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, apa lagi perempuan, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri!

Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subo-nya, yang memandang dia seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Ki Liong adalah seorang pemuda yang selalu bersikap ramah terhadap siapa pun juga, sehingga tak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya. Bahkan dia pun bersikap baik, sopan dan alim terhadap beberapa orang anak gadis keluarga para penghuni pulau.

Melihat sikap ini, tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka, maka kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu.

Demikianlah, tanpa diketahui oleh Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka yang dahsyat.

Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong tiba mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.

"Siocia datang...!"

"Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

"Siocia masih saja nampak muda biar pun anaknya sudah demikian besarnya!"

Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka beserta cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar, diikuti Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).

"Sui Cin...!" Toan Kim Hong berlari sambil berseru girang, dan sejenak kemudian ibu dan anak ini sudah saling berangkulan.

Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, dia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Walau pun anaknya adalah seorang wanita, namun memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini dia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang amat hebat.

"Sui Cin ada apakah?" dia bertanya, suaranya tegas.

Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang ikut mengantar mereka masuk sesudah tadi menyambut kedatangan mereka, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya. Dia memandang ragu dan ibunya segera maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkan percakapan dan kini dia memegang kedua pundak Kui Hong.

"Haiii, ini... benarkah dia Kui Hong si kecil itu?"

"Nenek...!" kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong langsung merangkulnya.

Wajah Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga kelihatan cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walau pun perasaannya tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang amat hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.

"Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."

Ki Liong cepat melangkah maju kemudian menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan nada halus dan sopan, "Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku."

Mata Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya begitu sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.

"Ahh, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini paman gurumu, hayo beri hormat kepadanya."

Walau pun di dalam hatinya merasa segan untuk memberi hormat seorang pemuda yang usianya tak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah.

"Susiok (Paman Guru)...!" katanya sambil memberi hormat.

"Ahh, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?" Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam.

Melihat sikap pemuda ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan dia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang amat baik.

"Mari kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya.

Akan tetapi dia melihat Sui Cin memandang kepadanya lantas melirik ke arah Ki Liong. Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka dia lalu berkata kepada Ki Liong,

"Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu dengan Suci-mu."

"Baik, Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.

"Aku mau melihat Susiok berlatih silat!" tiba-tiba Kui Hong berkata.

Ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, ada pun kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka.

Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran.

"Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?"

Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini.

"Ibu dan Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana."

Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat dari pada sekedar cekcok saja.

"Engkau cekcok dengan suamimu?" Toan Kim Hong bertanya hati-hati.

Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biar pun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguh pun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh.

Betapa banyaknya hubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi perceraian akibat pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang sedang retak itu. Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan.

Bukan tak mungkin suami dan isteri yang hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya telah saling berkasih-kasihan lagi. Akan tetapi, orang tua dan keluarga hanyalah orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan bisa akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak.


Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentulah cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras.

"Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya.

Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.

Dengan bijaksana Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri, dengan niat mengingatkan, "Anakku, ayah mertuamu tak ada bedanya dengan ayahmu sendiri, oleh karena itu semua kehendaknya harus ditaati dan jangan sekali-kali dibantah."

"Ibu!" Sui Cin berkata penuh semangat perlawanan sebab hatinya diliputi rasa penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekali pun ?"

"Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu memiliki kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin, biar pun berlawanan dengan perasaannya sendiri karena seperti isterinya, dia pun hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.

"Sebenarnya apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena ia pun ingin sekali tahu.

"Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"

"Apa?!" Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu. "Tapi... tapi mengapa? Bukankah dia sudah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran.

"Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan di antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!"

"Ahhh...!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang.

Mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu mereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Jika Ceng Thian Sin sendiri tak bersikap seperti itu adalah karena dia lain dari pada yang lain, dan dia sangat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang.

Karena sebab percekcokan itu adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andai kata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.

"Bagaimana dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati.

Sui Cin menggerakkan pundaknya. "Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya tetapi tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul."

Sui Cin lalu menuturkan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka dia pun kemudian bertanya, "Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi itu keliru?"

Ayahnya menarik napas panjang. "Sui Cin, bagaimana pun juga, Ayah dan Ibumu tidak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan..."

"Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran.

Ayahnya hanya tersenyum dan ibunya yang menjawab, "Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain dari pada yang lain. Kami cukup puas walau pun tidak memiliki anak laki-laki, dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang sangat baik, yaitu sute-mu Ki Liong. Kami tidak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Kini terserah kepada Hui Song karena dialah yang harus mengambil keputusan."

"Kasihan Hui Song, dialah yang harus menanggung paling berat," kata Ceng Thian Sin. "Dia yang menjadi serba salah."

"Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya tapi kehilangan ayah? Harap Ayah menjawab dengan jujur."

Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang sangat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tak akan mau dimadu dengan alasan apa pun juga.

"Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya jika dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin."

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Tidak, aku tidak sudi mengalah. Biarlah kalau dia memang mau menikah lagi, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!"

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menarik napas panjang. Mereka tahu pasti, apa bila puterinya telah berkata demikian maka tak ada satu orang atau satu sebab pun yang bisa mengubah keputusan itu.

********************

Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Walau pun pemuda itu terhitung paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apa lagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biar pun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah bila dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona!

Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi saat harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apa lagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sukar, diam-diam Kui Hong mentertawakannya.

Dia merasa lebih unggul dalam bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena sejak berusia lima enam tahun dia telah digembleng oleh ayah ibunya, sudah sepuluh tahun lamanya dia berlatih ilmu silat keluarganya, ada pun Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja.

Saat Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong Hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), pemuda itu terlihat agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan harus memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali namun belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa.

"Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"

Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa di sana terdapat orang lain yang menonton dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu suci-nya.

"Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahli dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!" kata Ki Liong yang segera menghentikan gerakannya. "Aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walau pun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu."

"Hi-hi-hik, mana ada seorang paman guru yang bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjukmu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu mulda.

"Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."

Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang. "Baiklah, akan tetapi jurus Pat-hong Hong-i ini memang sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kau lihat baik-baik, namun gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok." Gadis itu segera memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah dia sedang menari-nari saja.

Ki Liong memperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dia pun langsung dapat melihat kekeliruannya tadi. Seharusnya dia mempergunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing.

Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu sambil memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya.

Agaknya gerakan Ki Liong menjadi semakin kacau. Akan tetapi akhirnya, sesudah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama-sama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong Hong-i dengan benar.

"Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."

Kini Ki Liong menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lantas menjura dan tersenyum. "Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."

Kui Hong merasa aneh saat mendengar dirinya dipuji cantik jelita. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya. "Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!" katanya.

Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu ber-pibu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apa lagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru.

"Susiok, mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di hadapan pemuda itu.

"Ehh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?"

"Apa lagi permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pibu?"

"Wah! Engkau mengajak aku untuk pibu? Mana aku berani, Nona?"

"Susiok, namanya saja pibu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pibu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri masing-masing sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"

"Ahh, begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri-seri. "Kalau latihan bersama, tentu saja aku mau. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk apabila ada gerakanku yang keliru, Nona."

"Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong Sin-kun yang kau latih tadi!" Gadis remaja itu lantas bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya.

Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, lalu membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong Sin-kun. Dengan mudah Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka kemudian saling serang menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa paman gurunya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik!

"Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya.

Dan kembali dia merasa kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya hingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja

Kui Hong terkejut sekali, lalu teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya mempunyai ilmu mukjijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Dia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Bahkan ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari.

Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat milik ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walau pun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya secara sempurna benar. Hal ini dapat terjadi karena ketika muda Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.

Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. Dia yang memiliki bakat amat baiknya itu secara diam-diam telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia dibawa ke Pulau Teratai Merah!

Tadi pun ketika berlatih Pat-hong Hong-i dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walau pun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini dapat selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!

Pendekar Mata Keranjang Jilid 19

NENEK Wa Wa Lo-bo memandang marah lantas menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu sudah menyebabkan kematian Ong-ya serta isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimana pun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap siaga dan dengan mudahnya ia mengelak.

"Lo-bo, jangan...!" Sun Hok berseru dengan khawatir.

Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, sekarang menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak lalu dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, sungguh pun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.

"Lo-bo, jangan berkelahi...!" kembali Sun Hok berseru.

Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi makin marah. "Engkau adalah murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.

"Ahhh...!" Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang dia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.

"Dukkk!"

Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.

Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan dia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun dia tidak akan mampu menang!

"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.

"Wa Wa Lo-bo…," kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu tidak akan lama lagi, haruskah sekarang engkau nekat menyerangku secara mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis bersama semua kawan dan anak buahnya tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."

"Tutup mulutmu! Jika aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu maka lebih baik aku mampus saja!" Dan dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, sekarang nenek itu mempergunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.

"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin.

Cepat dia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dari pada tingkat lawannya sehingga seluruh serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan sepasang tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang

Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan bagai seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau hanya dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Melihat kenekatan nenek itu, maka dia pun menjadi marah.

"Haiiiitttttt...!" teriaknya.

Tiba-tiba dia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.

"Krakkkk...!"

Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal kayu yang meruncing ujungnya saja, sedangkan tubuh nenek itu terpental ke belakang. Dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting, namun ketika dia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, tampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Ternyata pertemuan tenaga dahsyat tadi sudah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya.

Melihat ini, Sun Hok berseru kaget, "Lo-bo...!"

Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Dia maklum bahwa melawan Sui Cin sudah tak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu sudah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,

"Ong-ya berdua dan Siocia, jangan salahkan saya jika anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!" Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.

"Lo-bo...!" Sun Hok meloncat kemudian menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan sisa kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat dia tewas seketika.

"Lo-bo, ahhh, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan para pelayan kini datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang telah menjadi mayat dalam keadaan amat mengerikan itu.

Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimana pun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!

"Kui Hong, mari kita pergi saja," katanya.

Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu pergi meninggalkan rumah besar itu, bahkan pada malam itu juga mereka langsung meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar dari pada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di Laut Selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dan subur. Pulau itu tidak berapa besar, panjangnya hanya belasan li dan lebarnya paling banyak sepuluh li.

Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana, bersama para pelayan dan para pembantu hingga jumlah mereka beserta keluarganya kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap sehingga sekarang pulau itu penuh dengan pohon-pohon, pohon buah mau pun pohon bunga yang serba indah dan bermacam-macam buah-buahan yang lezat dapat pula tumbuh di situ.

Di tengah-tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tidak kunjung kering walau pun di musim panas sekali pun. Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan lain.

Suasana di pulau itu sungguh tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk pada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tidak pernah kekurangan makan. Satu atau dua kali dalam sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka.

Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selain untuk dimakan sendiri, selebihnya dapat mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga para pelayan ini memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar.

Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat begitu mendengar namanya langsung menjadi pucat ketakutan.

Dalam usia enam puluh tahun lebih dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan semedhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan.

Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak lagi ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw.

Walau pun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang letaknya terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang dari kalangan kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya.

Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Akan tetapi usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik serta bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut.

Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Dulu namanya pun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan pada waktu masih gadis dia pernah menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan!

Ilmu kepandaiannya sangat tinggi, hanya sedikit dibawah tingkat suaminya walau pun dia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya di dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh). Suami isteri yang sangat lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu.

Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin. Setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, sekitar enam tahun yang silam terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya.

Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi beberapa orang penghuni pulau itu pulang membawa seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya yang terbalik sesudah tadi malam dihempaskan badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepat mendarat dan tidak berani mencari ikan.

Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat ada seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan tengah bergantung di perahunya yang terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat-cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega setelah mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mengalami pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika semalam diombang-ambingkan laut membadai. Sesudah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis.

Suami isteri pendekar itu saling pandang. Segera keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok, jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali.

Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya. "Anak baik, siapakah namamu?"

Anak laki-laki itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, lantas memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia pun menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula. "Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian berdua yang telah menyelamatkan aku dari tengah lautan?"

Ceng Thian Sin menjawab. "Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

"Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini," kata Toan Kim Hong sambil menerima pakaian yang dimintanya dari seorang pelayan yang meminjam pakaian dari keluarga nelayan yang memiliki anak sebaya dengan anak itu.

Dia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaian tanpa perasaan sungkan dan malu. Setelah dia kembali lagi, anak ini sudah mengenakan pakaian kering.

"Nah, sekarang katakan siapa namamu," kata nenek itu.

Akan tetapi, sebagai jawaban anak itu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. "Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe." Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang.

Toan Kim Hong tersenyum, mengangkat bangun anak itu. "Sudahlah, kau duduklah dan kini ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."

Anak itu tak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas lantai. "Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya lalu ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan bekerja keras akhirnya saya bisa membeli sebuah perahu kecil kemudian saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."

Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini telah yatim piatu! Tidak memiliki tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekali pun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian dekatnya hubungan batin di antara keduanya dan sekarang, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah saling setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka.

"Ki Liong, engkau terserang badai hingga nyaris saja tewas, akan tetapi akhirnya berhasil diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau untuk selanjutnya engkau hidup saja di sini, membantu pekerjaan di sini?" kata Ceng Thian Sin.

Ki Liong bersoja kembali memberi hormat. "Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi jika saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya sudah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe...!"

Kembali suami isteri itu saling pandang. "Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?"

"Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."

"Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?" Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian.

Memang semenjak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid. Akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.

"Semenjak hidup seorang diri, sudah banyak saya mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil kerja saya berbulan-bulan dirampas orang dengan kekerasan. Di dunia ini banyak sekali terjadi kejahatan dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga kelak hendak menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."

Suami isteri itu mendengarkan dengan perasaan kagum dan hati mereka merasa gembira sekali. Sungguh tak mereka duga bahwa mereka akan menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat amat baik, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!

"Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat."

Sambil tetap berlutut anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian. "Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, namun... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena jika hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang lihai itu?"

Suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. "Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau kini berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang sanggup menangkap burung terbang itu?"

"Tidak mungkin, Locianpwe," kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Bila mana tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?"

"Kau lihat baik-baik, aku akan menangkapnya!" Dan setelah nenek itu berkata demikian, tiba-tiba dia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini.

Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan sekejap kemudian bayangan itu sudah berada kembali di hadapannya. Nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam oleh tangan kirinya.

"Ahh... ohhh...!" Mata Ki Liong terbelalak dan tak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya ber-ah-uh-ah-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali.

"Lihat caraku yang lain lagi dalam hal menangkap burung terbang," kata Ceng Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandang matanya kepada isterinya.

Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang lantas bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu sudah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi!

Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai. "Ah, saya mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mukjijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe..."

Ceng Thian Sin tertawa lantas melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu pula Ciang Ki Liong sudah menjadi murid mereka.

Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini, dalam perantauannya dia pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat dengan cepat mengingat setiap jurus yang diajarkan. Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang sangat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang.

Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, apa lagi perempuan, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri!

Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subo-nya, yang memandang dia seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Ki Liong adalah seorang pemuda yang selalu bersikap ramah terhadap siapa pun juga, sehingga tak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya. Bahkan dia pun bersikap baik, sopan dan alim terhadap beberapa orang anak gadis keluarga para penghuni pulau.

Melihat sikap ini, tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka, maka kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu.

Demikianlah, tanpa diketahui oleh Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka yang dahsyat.

Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong tiba mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.

"Siocia datang...!"

"Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

"Siocia masih saja nampak muda biar pun anaknya sudah demikian besarnya!"

Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka beserta cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar, diikuti Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).

"Sui Cin...!" Toan Kim Hong berlari sambil berseru girang, dan sejenak kemudian ibu dan anak ini sudah saling berangkulan.

Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, dia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Walau pun anaknya adalah seorang wanita, namun memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini dia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang amat hebat.

"Sui Cin ada apakah?" dia bertanya, suaranya tegas.

Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang ikut mengantar mereka masuk sesudah tadi menyambut kedatangan mereka, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya. Dia memandang ragu dan ibunya segera maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkan percakapan dan kini dia memegang kedua pundak Kui Hong.

"Haiii, ini... benarkah dia Kui Hong si kecil itu?"

"Nenek...!" kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong langsung merangkulnya.

Wajah Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga kelihatan cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walau pun perasaannya tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang amat hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.

"Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."

Ki Liong cepat melangkah maju kemudian menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan nada halus dan sopan, "Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku."

Mata Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya begitu sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.

"Ahh, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini paman gurumu, hayo beri hormat kepadanya."

Walau pun di dalam hatinya merasa segan untuk memberi hormat seorang pemuda yang usianya tak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah.

"Susiok (Paman Guru)...!" katanya sambil memberi hormat.

"Ahh, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?" Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam.

Melihat sikap pemuda ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan dia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang amat baik.

"Mari kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya.

Akan tetapi dia melihat Sui Cin memandang kepadanya lantas melirik ke arah Ki Liong. Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka dia lalu berkata kepada Ki Liong,

"Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu dengan Suci-mu."

"Baik, Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.

"Aku mau melihat Susiok berlatih silat!" tiba-tiba Kui Hong berkata.

Ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, ada pun kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka.

Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran.

"Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?"

Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini.

"Ibu dan Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana."

Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat dari pada sekedar cekcok saja.

"Engkau cekcok dengan suamimu?" Toan Kim Hong bertanya hati-hati.

Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biar pun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguh pun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh.

Betapa banyaknya hubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi perceraian akibat pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang sedang retak itu. Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan.

Bukan tak mungkin suami dan isteri yang hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya telah saling berkasih-kasihan lagi. Akan tetapi, orang tua dan keluarga hanyalah orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan bisa akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak.


Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentulah cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras.

"Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya.

Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.

Dengan bijaksana Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri, dengan niat mengingatkan, "Anakku, ayah mertuamu tak ada bedanya dengan ayahmu sendiri, oleh karena itu semua kehendaknya harus ditaati dan jangan sekali-kali dibantah."

"Ibu!" Sui Cin berkata penuh semangat perlawanan sebab hatinya diliputi rasa penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekali pun ?"

"Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu memiliki kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin, biar pun berlawanan dengan perasaannya sendiri karena seperti isterinya, dia pun hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.

"Sebenarnya apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena ia pun ingin sekali tahu.

"Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"

"Apa?!" Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu. "Tapi... tapi mengapa? Bukankah dia sudah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran.

"Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan di antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!"

"Ahhh...!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang.

Mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu mereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Jika Ceng Thian Sin sendiri tak bersikap seperti itu adalah karena dia lain dari pada yang lain, dan dia sangat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang.

Karena sebab percekcokan itu adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andai kata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.

"Bagaimana dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati.

Sui Cin menggerakkan pundaknya. "Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya tetapi tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul."

Sui Cin lalu menuturkan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka dia pun kemudian bertanya, "Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi itu keliru?"

Ayahnya menarik napas panjang. "Sui Cin, bagaimana pun juga, Ayah dan Ibumu tidak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan..."

"Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran.

Ayahnya hanya tersenyum dan ibunya yang menjawab, "Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain dari pada yang lain. Kami cukup puas walau pun tidak memiliki anak laki-laki, dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang sangat baik, yaitu sute-mu Ki Liong. Kami tidak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Kini terserah kepada Hui Song karena dialah yang harus mengambil keputusan."

"Kasihan Hui Song, dialah yang harus menanggung paling berat," kata Ceng Thian Sin. "Dia yang menjadi serba salah."

"Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya tapi kehilangan ayah? Harap Ayah menjawab dengan jujur."

Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang sangat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tak akan mau dimadu dengan alasan apa pun juga.

"Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya jika dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin."

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Tidak, aku tidak sudi mengalah. Biarlah kalau dia memang mau menikah lagi, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!"

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menarik napas panjang. Mereka tahu pasti, apa bila puterinya telah berkata demikian maka tak ada satu orang atau satu sebab pun yang bisa mengubah keputusan itu.

********************

Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Walau pun pemuda itu terhitung paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apa lagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biar pun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah bila dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona!

Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi saat harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apa lagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sukar, diam-diam Kui Hong mentertawakannya.

Dia merasa lebih unggul dalam bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena sejak berusia lima enam tahun dia telah digembleng oleh ayah ibunya, sudah sepuluh tahun lamanya dia berlatih ilmu silat keluarganya, ada pun Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja.

Saat Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong Hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), pemuda itu terlihat agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan harus memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali namun belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa.

"Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"

Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa di sana terdapat orang lain yang menonton dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu suci-nya.

"Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahli dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!" kata Ki Liong yang segera menghentikan gerakannya. "Aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walau pun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu."

"Hi-hi-hik, mana ada seorang paman guru yang bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjukmu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu mulda.

"Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."

Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang. "Baiklah, akan tetapi jurus Pat-hong Hong-i ini memang sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kau lihat baik-baik, namun gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok." Gadis itu segera memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah dia sedang menari-nari saja.

Ki Liong memperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dia pun langsung dapat melihat kekeliruannya tadi. Seharusnya dia mempergunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing.

Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu sambil memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya.

Agaknya gerakan Ki Liong menjadi semakin kacau. Akan tetapi akhirnya, sesudah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama-sama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong Hong-i dengan benar.

"Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."

Kini Ki Liong menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lantas menjura dan tersenyum. "Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."

Kui Hong merasa aneh saat mendengar dirinya dipuji cantik jelita. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya. "Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!" katanya.

Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu ber-pibu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apa lagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru.

"Susiok, mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di hadapan pemuda itu.

"Ehh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?"

"Apa lagi permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pibu?"

"Wah! Engkau mengajak aku untuk pibu? Mana aku berani, Nona?"

"Susiok, namanya saja pibu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pibu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri masing-masing sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"

"Ahh, begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri-seri. "Kalau latihan bersama, tentu saja aku mau. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk apabila ada gerakanku yang keliru, Nona."

"Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong Sin-kun yang kau latih tadi!" Gadis remaja itu lantas bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya.

Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, lalu membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong Sin-kun. Dengan mudah Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka kemudian saling serang menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa paman gurunya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik!

"Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya.

Dan kembali dia merasa kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya hingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja

Kui Hong terkejut sekali, lalu teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya mempunyai ilmu mukjijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Dia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Bahkan ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari.

Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat milik ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walau pun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya secara sempurna benar. Hal ini dapat terjadi karena ketika muda Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.

Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. Dia yang memiliki bakat amat baiknya itu secara diam-diam telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia dibawa ke Pulau Teratai Merah!

Tadi pun ketika berlatih Pat-hong Hong-i dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walau pun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini dapat selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!