Pendekar Mata Keranjang Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Mata Keranjang Jilid 13

HAY HAY merasa kasihan, sekaligus penasaran sekali. "Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"

Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya. "Sudahlah, Sun Bi. Mati dan hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi."

Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu tiba-tiba menjadi semakin sedih dan dia pun mendadak mengguguk lantas menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay.

"Hay Hay... ah, Hay Hay...!" Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu.

"Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi...," hiburnya.

Sesudah tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay, terdengar Sun Bi terisak berkata, "Selama ini... dalam perantauanku, semua laki-laki selalu menghinaku. Aku dipandang sebagai seorang janda muda yang boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar, mereka menghina, akan tetapi engkau... ahhh, Hay Hay, baru sekarang aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan terhadap diriku..."

Hay Hay tersenyum senang, namun juga merasa terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus rambut itu.

"Karena engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua pria ingin menggodamu dan memiliki dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu."

Dengan lembut Sun Bi mengangkat kepalanya. Sesudah terlepas dari dada Hay Hay dia memandang. Dua muka itu sangat berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium aroma bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya napas yang hangat menyapu leher dan pipinya.

"Dan engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay Hay?"

Sejenak mereka saling berpandangan dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan berkata lirih.

"Sun Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala yang indah. Aku suka kepadamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku akan kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk apa pun juga merupakan suatu kejahatan."

Sun Bi yang semenjak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Dia mengeluh panjang lalu berbisik. "Ahh, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau amat lembut, baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?"

Hampir saja Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia terkejut sekali mendengar pertanyaan itu. Namun dia masih mampu menguasai hatinya dan tersenyum menjawab. "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?"

"Akan tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin, karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan engkau mirip suamiku, bukan hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhhh... " Dan wanita itu semakin merapatkan tubuhnya.

Hay Hay mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya kini mulai berkeringat, bukan hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar bisa berbicara dengan baik, agar jantungnya tak berdebar kencang karena kehangatan dan kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan hiburan ini.

"Hay Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?" Di dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang

Untuk melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa itu, lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu. "Ha-ha-ha, mana ada kesempatan bagiku untuk menikah? Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa keluarga?"

"Janganlah merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu. Sementara aku sendiri... ahh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku, rindu dengan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku? Peluklah, Hay Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh..."

Suara itu demikian memelas serta penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa salahnya memenuhi keinginan itu? Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan memeluk tubuh Sun Bi. Maklumlah, mata keranjang berhidung belang.

Wanita itu mengerang dan makin merapatkan dirinya, kini bahkan duduk di atas pangkuan Hay Hay sambil merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan diri tenggelam di dalam rangkulan Hay Hay. Pemuda itu sebaliknya merasa kepanasan dan mulai bingung. Degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri dan dia merasa malu kalau-kalau Sun Bi akan mendengarnya pula.

Telinga Sun Bi menempel pada dada Hay Hay, maka tentu saja wanita itu mendengarnya. Secara diam-diam wanita itu tersenyum puas. Suara degup jantung pemuda ganteng itu seolah-olah menjadi sorak kemenangan baginya, atau sorak pertanda bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu! Dia harus pandai bersikap untuk menuntun pemuda ini memenuhi segala kehendaknya, memuaskan segala gairah dan hasratnya yang timbul.

Bagaimana lihainya pun, Hay Hay hanyalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hal hubungan dengan wanita, walau pun dia terkenal mata keranjang dan perayu wanita. Kini berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, tentu saja dia tidak tahu bahwa dialah yang kini menjadi permainan.

Wanita itu bukan sembarang orang. Selain cantik manis, dia pun memiliki ilmu silat yang sangat hebat dan merupakan seorang tokoh besar dalam dunia golongan hitam, terkenal pula sebagai seorang wanita cabul yang menjadi hamba nafsu birahi yang berkobar-kobar dan tak pernah mengenal puas.

Entah sudah berapa banyak pria yang menjadi korbannya, menjadi korban permainannya atau pun menjadi mayat akibat dibunuhnya karena pria itu tidak memuaskan hatinya atau berani menolaknya! Demikian jahat dan palsunya sampai dia diberi julukan Tok-sim Mo-li (lblis Betina Berhati Racun).

Namanya memang Ji Sun Bi dan kini usianya sudah tiga puluh tahun. Karena pandainya merawat diri dan bersolek, maka dia selalu nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Ketika dia menceritakan riwayatnya kepada Hay Hay, memang ada beberapa hal yang betul. Dia memang seorang janda dan suaminya memang telah mati. Akan tetapi suaminya itu mati karena dibunuhnya! Juga kedua mertuanya dibunuhnya! Padahal, baru tiga bulan saja dia menikah dengan suaminya itu.

Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi adalah murid tunggal dari Min-san Mo-ko (Iblis Gunung Min-san) yang kini usianya sudah enam puluh tahun. Sejak masih kecil Ji Sun Bi yang telah yatim piatu menjadi murid Min-san Mo-ko kemudian sesudah menjadi dewasa, dia pun menjadi kekasih Min-san Mo-ko!

Akan tetapi, guru yang mengambil murid menjadi kekasih ini memberi kebebasan kepada Sun Bi untuk bermain cinta dengan pria yang disukainya, di mana saja dan kapan saja! Bahkan gurunya ini mempunyai kesukaan yang aneh dan tidak patut. Dia suka mengintai kalau murid yang juga menjadi kekasihnya ini bermain cinta dengan orang lain!

Sun Bi tahu bahwa gurunya mengintai, akan tetapi dia pun malah senang kalau ditonton gurunya. Sudah demikian bejat akhlak kedua orang guru dan murid yang sebenarnya tak pernah berpisah ini sehingga mereka berdua terkenal sebagai sepasang iblis yang sangat ditakuti, terutama di sepanjang sungai Min-kiang di Pegunungan Min-san.

Ketika Sun Bi menikah dengan pria yang membuatnya tergila-gila, Min-san Mo-ko sama sekali tidak keberatan, bahkan dia yang bertindak sebagai wali. Akan tetapi hubungan di antara mereka masih saja dilanjutkan.

Dan pada suatu hari, setelah menikah tiga bulan, suaminya menangkap basah hubungan antara isterinya dengan kakek itu. Suaminya marah, akan tetapi Sun Bi yang sudah mulai bosan dengan suaminya lantas turun tangan membunuhnya. Ayah beserta ibu mertuanya juga dibunuhnya, kemudian dia melanjutkan permainan cintanya dengan Min-san Mo-ko di dalam ruangan di mana menggeletak mayat-mayat suaminya dan kedua mertuanya!

Pada suatu hari, kebetulan saja Sun Bi melihat Hay Hay yang sedang memancing ikan. Segera dia tertarik sekali karena Hay Hay memang memiliki banyak daya tarik yang amat kuat bagi wanita. Maka dia lalu mendekati Hay Hay, menggunakan kepandaiannya untuk bermain sandiwara. Hay Hay yang masih hijau itu tentu saja tidak menduga akan hal itu dan dia pun terkecoh, melayani wanita yang sebenarnya kehausan dan tak pernah puas dengan pria itu.

"Betapa rinduku selama bertahun-tahun ini kepada suamiku yang kini telah tiada..., siang malam aku merindukan pelukannya dan sekarang engkau mau memelukku seperti yang dilakukan suamiku dahulu... ahh, terima kasih, Hay Hay, terima kasih..."

Hay Hay merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang bahwa sedikitnya dia sudah dapat menghibur wanita yang sengsara ini. Dan dia pun bukan asing dalam pergaulan dengan wanita, bahkan sudah sering kali dia berdekatan dengan wanita atau berpacaran, walau pun dia belum pernah melakukan hubungan yang lebih mendalam. Karena itu, dalam hal merangkul dan memeluk tubuh wanita yang hangat itu pun tidak membuat dia kehilangan keseimbangannya.

Akan tetapi, seperti tidak disengaja, kedua tangannya yang merangkul itu ditangkap oleh kedua tangan Sun Bi lantas wanita itu mengeluh, "Hay Hay... peluklah aku, belailah aku seperti dahulu suamiku membelaiku... ciumlah aku..."

Sun Bi seperti menuntun Hay Hay yang langsung memenuhi semua permintaannya. Hay Hay membelai dan menciumnya. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini agak canggung menurut ukuran dia yang telah berpengalaman, Sun Bi lalu balas mencium dan mengajarnya cara bermain asmara yang amat asing bagi Hay Hay, yang dianggap terlalu berani!

Apa bila tadinya Ji Sun Bi berusaha menggoda dan membangkitkan gairah pada pemuda itu, akibatnya malah dia sendiri yang kebakaran! Wanita itu sendiri yang kini dicengkeram birahi sampai ke puncaknya sehingga tubuhnya sudah panas dingin dan gemetaran ketika dia berbisik,

"Hay Hay... belum... belum pernahkah engkau dengan wanita...?"

Menghadapi permainan asmara yang sangat berani dan merangsang dari Sun Bi, betapa pun juga Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Dia memandang wanita itu dan menggeleng kepala, tidak menjawab karena dia tahu bahwa suaranya tentu terdengar aneh dan menggetar.

Melihat ini, nafsu birahi semakin kuat mencengkeram pikiran Ji Sun Bi. Bagaikan seekor kuda binal yang lepas kendali, dia menarik tangan Hay Hay supaya rebah di atas rumput. Akan tetapi tiba-tiba Hay Hay melepaskan diri dari pelukan, lantas bangkit dan melangkah mundur. Dia hanya menggelengkan kepala sambil mengerutkan alis.

Sun Bi yang telah kebakaran itu cepat meloncat berdiri dan menyambar tangan Hay Hay. "Hay Hay, mengapa? Marilah... aku... aku cinta kepadamu, Hay Hay, aku membutuhkan dirimu, aku..."

"Tidak, Sun Bi. Semua ada batasnya dan aku tidak mau melanggar batas itu. Aku belum siap untuk yang satu itu dan aku tidak mau melakukannya."

"Hay Hay...!" Sun Bi yang sudah mata gelap itu menarik tangan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay tetap mempertahankan bahkan lalu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Sun Bi.

"Hay Hay, kasihanilah aku... aku kesepian... aku..."

"Tidak, Sun Bi, engkau sadarlah, tenanglah! Engkau harus dapat menguasai dirimu. Aku mau menghiburmu, akan tetapi untuk yang satu itu, maaf, aku tidak mau melakukannya!" katanya tegas.

Dia memang suka pada wanita, suka berdekatan, suka bercumbuan, dan harus diakuinya bahwa bangkit pula gairahnya yang amat besar. Namun dia juga sadar bahwa harus ada batasnya dan dia tak boleh melanggar batas itu sembarangan saja. Dia hanya akan mau melakukan hal itu dengan wanita yang dicintanya, tidak dengan sembarang wanita, apa lagi Ji Sun Bi yang janda muda dan baru saja dikenalnya.

Tiba-tiba saja terjadi perubahan pada wajah Ji Sun Bi. Wajah yang tadinya sedikit pucat dan pandang matanya sayu merayu itu, kini berubah kemerahan dan pandang matanya berubah sama sekali, menjadi berkilat. Mata yang tadinya memandang padanya dengan setengah terpejam, basah dan sayu, kini mencorong sambil melotot. Mulut yang tadinya tersenyum manis, agak terengah dan menciuminya, juga diciuminya, kini ditarik keras dan terdengar suaranya membentak keras,

"Hay Hay, sekali lagi. Benar engkau tidak mau memenuhi kehendak hatiku, memuaskan hasrat cintaku?"

Hay Hay terkejut sekali melihat perubahan itu dan baru sekarang dia melihat kekejaman membayang pada sinar mata dan mulut itu. Dia hanya menggeleng kepala, merasa heran, terkejut dan juga penasaran. Belum pernah dia bertemu dengan wanita senekat ini.

"Keparat jahanam! Apakah engkau lebih senang mampus?" dengan mulutnya yang manis, hangat dan bergairah, wanita itu kini memaki dengan kata-kata yang penuh kebencian.

"Sun Bi, ingatlah. Kita bersahabat, bukan? Kita baru saja bertemu, dan kita telah menjadi teman "

"Cukup! Untuk yang terakhir, mau tidak engkau melayani aku?"

Hay Hay mengerti apa yang dimaksudkan, karena itu dengan sikap tegas dia menggeleng kepala.

"Mampuslah!" Tiba-tiba saja wanita itu sudah menerjang dengan pukulan tangan miring ke arah lehernya. Pukulan maut!

Wanita ini jelas bermaksud hendak membunuhnya sebagai pelampiasan kemarahan dan kekecewaan hatinya. Keganasan dan kekejamannya ini mengejutkan Hay Hay, walau pun serangan itu sendiri tidak mengejutkannya karena sejak tadi dia memang sudah bersikap waspada. Dengan mudah saja dia mengelak ke kiri, membiarkan pukulan itu lewat tanpa membalas.

Kini Jin Sun Bi yang merasa terkejut sendiri. Dia tadi sudah merasa yakin bahwa dengan sekali pukulan saja, laki-laki yang mengecewakan hatinya itu tentu akan roboh dan tewas. Pukulannya tadi selain keras bertenaga, juga dilakukan dengan kecepatan kilat.

Akan tetapi siapa kira bahwa pemuda yang kelihatannya lemah ini mampu mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan pertamanya. Dia masih merasa penasaran dan mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja.

"Heiiittt...!" Serangan berikutnya menyusul dan sekali ini kedua tangannya mencengkeram dari kanan kiri, disusul tendangan kakinya.

"Wuuuttt...! Dukkk!"

Tubuh Ji Sun Bi hampir terpelanting pada waktu tendangannya ditangkis Hay Hay setelah kedua cengkeramannya mengenai angin saja. Barulah wanita itu sadar bahwa pemuda itu ternyata tidaklah selemah yang disangkanya.

"Keparat, ternyata engkau dapat bersilat? Nah, sekarang kau sambutlah ini!" Dan kini Ji Sun Bi menyerang bagai datangnya gelombang lautan yang ganas sekali, menghujankan serangan bertubi-tubi secara gencar dan setiap pukulannya mengandung tenaga sinkang yang akan dapat menewaskan seorang lawan tangguh!

Hay Hay maklum bahwa kini dia tidak boleh main-main lagi. Bagaimana pun juga, wanita ini ternyata mempunyai ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada yang diduganya semula. Hal ini bisa diukurnya dari pertemuan tangan pada saat dia menangkis tadi, juga dari kecepatan gerakannya.

Maka dia pun tidak mungkin tinggal diam dan hanya mengandalkan elakan dan tangkisan. Jika hal ini terus dilakukan, maka dia akan terancam bahaya. Apa lagi karena dia maklum bahwa wanita ini jahat sekali, tentu inilah golongan wanita sesat yang pernah dia dengar diceritakan oleh Ciu-sian Sin-kai, gurunya yang ke dua. Menurut gurunya, dia harus amat berhati-hati menghadapi wanita-wanita cantik yang berwatak cabul sebab di samping lihai mereka itu juga licik dan pandai merayu.

"Hati-hati," demikian antara lain gurunya berpesan, "engkau memiliki kelemahan terhadap kaum wanita, dan rayuan wanita cantik jauh lebih berbahaya dan sulit dielakkan dari pada serangan yang bagaimana pun dahsyatnya."

Kini baru dia mengalaminya sendiri. Memang Sun Bi wanita hebat. Tadi hampir saja dia jatuh. Kepandaian wanita itu bercumbu rayu membuat dia hampir taluk. Untung dia masih dapat bertahan dan menghindar pada saat terakhir.

Dari pengalaman yang pertama ini Hay Hay memperoleh pelajaran yang baik sekali, yaitu bahwa yang berat bukanlah mengelakkan diri dari cumbu rayu wanita cantik, akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri! Di dalam hal ini dia berhasil, karena sejak kecil dia sudah digembleng oleh dua orang sakti sehingga dia memiliki kekuatan batin yang cukup untuk menguasai nafsunya sendiri.

"Ahh, kiranya engkau seorang wanita yang kejam sekali, Ji Sun Bi!" kata Hay Hay sambil menangkis sebuah pukulan, lalu membalas dengan tamparan ke arah pundak wanita itu.

"Aihhhhh..!" Sun Bi cepat melempar tubuh ke belakang karena pundaknya nyaris terkena tamparan yang datangnya demikian cepat, tidak terduga, juga kuat bukan main.

Sun Bi menjadi semakin terkejut dan penasaran. Ternyata pemuda ini bukan hanya dapat bersilat, bahkan memiliki kepandaian yang sangat tinggi! Gairah cintanya bangkit kembali, akan tetapi segera hatinya kecewa teringat betapa pemuda yang tampan, menarik hati ini menolaknya mentah-mentah.

Ahh, betapa senangnya jika dia dapat memiliki seorang kekasih seperti ini, selain tampan dan romantis, juga dapat menjadi kawan yang sangat kuat dalam menghadapi musuh. Dia merasa kecewa sekali dan kekecewaan ini akhirnya menimbulkan kebencian.

"Jahanam keparat, engkau harus mampus di tanganku!" bentaknya.

Begitu kedua tangannya bergerak menyambar buntalannya yang panjang, wanita ini telah mencabut keluar sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Kini dia menerjang dengan sepasang pedangnya, gerakannya begitu cepat dan kuat sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang yang mengeluarkan suara berdesing-desing!

Diam-diam Hay Hay terkejut dan kagum. Wanita ini benar-benar lihai sekali, sungguh pun belum tentu selihai Bi Lian, akan tetapi juga amat berbahaya dan sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dia masih bersikap tenang dan menghadapi serangan sepasang pedang itu dengan tangan kosong saja.

Dengan Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah ajaib yang dulu dipelajarinya dari See-thian Lama, tubuhnya dapat berputar-putaran secara tenang dan aneh sekali, semua sambaran pedang-pedang di kedua tangan lawan itu tak pernah dapat menyentuhnya. Memang ilmu ini amat hebat, merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu yang aneh dan tinggi dari See-thian Lama, seorang di antara Delapan Dewa itu.

Dari dalam lingkaran yang dibentuk oleh gerakan kedua kakinya yang melakukan langkah-langkah berputaran, dia bahkan bisa membalas dengan serangan-serangan pembalasan. Setiap kali tangannya mencuat keluar dari lingkaran kemudian mengirim tamparan, tentu lawannya berteriak kaget dan terpaksa menyelamatkan diri dengan pelemparan tubuh ke belakang.

Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar bentakan orang, suaranya tinggi kecil melengking, menyakitkan anak telinga, "Heiii, siapa berani kurang ajar terhadap muridku?"

Hay Hay cepat melangkah ke belakang lantas memandang. Kiranya yang muncul adalah seorang lelaki yang berusia kurang lebih enam puluh tahun. Orang ini bertubuh kurus dan bermuka pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi pakaiannya mewah dan pesolek, sedangkan sebatang pedang tergantung pada punggungnya. Kakek ini demikian pesolek sehingga menggelikan karena dia memakai penghitam alis dan pemerah bibir!

Sementara itu, begitu melihat munculnya kakek ini, Ji Sun Bi cepat berkata dengan sikap dan suara yang manja sekali, "Suhu... ahhh, suhu, bantulah aku menghukum laki-laki ini. Dia telah berani menolak untuk melayaniku bermain cinta!"

"Apa...?! Wah, itu penghinaan namanya. Kecuali aku, tidak ada laki-laki di dunia ini yang cukup berharga untuk bercinta dengan Sun Bi, dan dia berani menolakmu? Wah, untuk itu dia harus mampus!" Kakek itu segera mencabut pedangnya kemudian bersama Ji Sun Bi, dia kini menerjang dan mengeroyok Hay Hay.

Pemuda ini terkejut melihat kehebatan serta kekuatan di dalam serangan kakek itu, maka dia cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan mereka. Dia merasa tak perlu lagi bicara dengan kakek itu. Dari percakapan mereka saja dia sudah tahu bahwa guru dan murid itu adalah manusia-manusia iblis, orang-orang sesat yang kemungkinan besar merupakan tokoh-tokoh golongan hitam yang tidak dikenalnya. Percuma saja bicara dengan orang-orang seperti mereka, pikirnya.

Maka sambil meloncat tadi dia melihat-lihat untuk mencari buntalan pakaiannya. Buntalan itu masih berada di tempat tadi, di dekat bekas api unggun di tepi sungai. Maka dia cepat melompat ke sana, lalu menyambar buntalan pakaiannya dan mencabut keluar sebatang suling terbuat dari kayu hitam.

Suling itu seperti suling milik Ciu-sian Sin-kai, terbuat dari sejenis kayu pohon yang hanya tumbuh di Pulau Hiu, kayunya ulet sekali dan suling kayu sepanjang tiga kaki itu selain dapat ditiup seperti suling biasa, juga merupakan senjata yang ampuh, senjata khas dari Ciu-sian Sin-kai!

Dengan suling kayu hitam di tangan dan buntalan diikat di punggung, Hay Hay sekarang menghadapi dua orang pengeroyoknya. Guru dan murid itu kini mengepung dari kanan kiri dan begitu kakek itu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung, dia dan muridnya sudah menerjang dari kanan kiri dengan cepat dan kuat, dengan serangan maut karena memang mereka menyerang untuk membunuh.

"Cringgg..! Tranggg...!" Bunga api berpijar di kanan kiri Hay Hay.

Kakek itu berseru kaget dan pedangnya terpental, ada pun Sun Bi terhuyung-huyung oleh tangkisan itu. Guru dan murid itu semakin terkejut. Kiranya pemuda itu benar-benar hebat, pikir mereka dengan penasaran dan kini mereka menyerang dengan lebih hebat pula.

Akan tetapi Hay Hay sudah siap siaga. Dengan langkah-langkah Jiauw-pouw Poan-soan yang dipelajarinya dari See-thian Lama dia bisa menghindarkan diri dari kepungan lawan, sementara suling hitamnya menciptakan gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdengung-dengung, dengan gerakan aneh namun mantap dan kuat sekali.

Biar pun guru dan murid itu memiliki ilmu pedang yang ganas, liar dan lihai, akan tetapi sebagai murid dari dua orang kakek sakti yang merupakan dua orang di antara Delapan Dewa, tingkat ilmu kepandaian Hay Hay lebih tinggi sehingga sesudah mereka berkelahi selama lima puluh jurus lebih, guru dan murid itu mulai mendesak.

"Haiiiittttt...!" Sun Bi menubruk dengan nekat, menggunakan pedangnya untuk membacok kepala Hay Hay, ada pun tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, tubuhnya meloncat seperti seekor harimau menubruk.

Hay Hay mulai merasa muak dengan kekejaman guru dan murid itu. Dia lalu menangkis pedang, mengelak dari cengkeraman tangan kiri wanita itu dan kakinya menendang.

"Desss...!"

Tubuh Sun Bi terlempar sampai tiga meter dan terbanting ke atas tanah. Untung baginya bahwa Hay Hay tidak berniat membunuhnya sehingga tendangan itu mengandung tenaga yang terbatas saja.

Melihat muridnya roboh, kakek itu tidak jadi menyerang Hay Hay melainkan cepat-cepat menghampiri muridnya yang merintih kesakitan. Dengan sikap sangat menyayang, kakek itu bertanya. "Di mana yang sakit, Sun Bi? Apanya yang sakit?"

"Aduhh, Suhu... lengan kiriku... terbanting, nyeri sekali...," kata wanita itu sambil merintih-rintih.

Kakek itu cepat mengurut lengan kiri, menyingsingkan lengan bajunya. Setelah mengurut lengan itu, dia lalu menundukkan mukanya dan menciumi lengan yang nampak membiru itu. "Sudah, nanti sebentar tentu sembuh."

Hay Hay berdiri bengong. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah dia bisa menyerang dan merobohkan mereka. Akan tetapi dia terlampau heran melihat apa yang terjadi antara guru dan murid itu. Sudah gilakah kakek itu? Murid itu demikian manja kekanak-kanakan, dan gurunya juga begitu menyayang, menciumi lengan yang terbanting, sikapnya seperti seorang yang mencumbu pacarnya saja!

Dia menggeleng-gelengkan kepala, menyelipkan suling di buntalan pakaiannya, kemudian menggerakkan kedua pundak dan memutar tubuh untuk meninggalkan guru dan murid itu. Muak dia melihat tingkah mereka.

"Heiii! Berhenti dulu kau, keparat!"

Bentakan dengan suara melengking tinggi ini membuat Hay Hay menahan kakinya, lantas dengan alis berkerut dan hati marah dia membalikkan tubuh menghadapi kakek yang tadi membentaknya itu.

Kakek itu masih berjongkok dekat muridnya, akan tetapi kini sudah menghadapi Hay Hay. Sepasang matanya mencorong dan kedua tangannya menepuk-nepuk tanah secara aneh sekali, kemudian kedua tangan itu diangkat dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengarlah suara kecil melengking aneh.

"Majulah engkau ke sini!"

Tentu saja Hay Hay tidak sudi mentaati perintah itu, akan tetapi tiba-tiba saja sepasang kakinya sudah melangkah ke depan! Tidak dapat ditahannya lagi, seolah-olah kedua kaki itu kini sudah bukan miliknya lagi, tidak menurut lagi terhadap kehendak dan perintahnya. Terkejutlah dia dan maklumlah Hay Hay bahwa ini tentulah kekuatan sihir yang aneh! Dia mengerahkan kekuatan batinnya dan tiba-tiba ke dua kakinya berhenti melangkah.

Akan tetapi kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya secara aneh, sepasang matanya makin tajam mencorong seperti mata kucing, ada pun suaranya semakin tinggi melengking, "Berlututlah engkau!"

Kembali Hay Hay ingin menolak, akan tetapi tiba-tiba kedua kakinya telah bertekuk lutut!

"Jangan mencoba bergerak, engkau tidak akan mampu bergerak dan tidak akan bergerak sebelum kuperintahkan!"

Hay Hay membantah di dalam hatinya, memaksa diri untuk meronta dan bangkit berdiri, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah mogok! Dia tetap dalam keadaan berlutut dan tidak mampu bergerak laksana sebuah arca dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang mencorong kehijauan itu!

Melihat ini, tiba-tiba Sun Bi bangkit berdiri. "Suhu... Suhu... jangan bunuh dia dulu. Biarlah dia melayani aku dahulu, baru dibunuh. Suhu suruh dia melayani aku!" Berkata demikian, wanita itu mulai meraba-raba kancing bajunya!

"Heh-heh-heh, bagus sekali!" Kakek itu tertawa, kemudian terdengar lagi suaranya yang melengking tinggi penuh wibawa. "Orang muda, engkau harus melayani Ji Sun Bi. Hayo kau buka bajumu!"

Hay Hay masih berada dalam keadaan sadar dan dia terbelalak. Mau apa perempuan itu? Mau memperkosanya di hadapan gurunya sendiri? Gilakah perempuan itu? Gilakah kakek itu? Ataukah dia yang sudah gila?

Pikirannya menjadi semakin kacau pada saat dia melihat betapa kedua tangannya sendiri mulai melepas kancing bajunya, seperti yang dilakukan oleh Sun Bi yang kini tersenyum-senyum menyeramkan baginya! Dia berusaha melawan, namun semakin dilawan, kedua tangannya bekerja semakin cepat seperti terdorong oleh tenaga yang tidak nampak atau seolah-olah kedua tangannya telah menjadi tangan-tangan orang lain yang membukakan kancing bajunya!

Pada waktu Hay Hay berperang dengan tenaga aneh yang hendak menelanjanginya itu, tiba-tiba ada angin lembut bertiup dan terdengarlah suara yang halus lunak dibawa angin yang bersilir lembut. "Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li, kejahatan tidak akan membawa kalian ke alam kebahagiaan...!"

Ketika terdengar suara itu dan merasakan angin semilir meniup mukanya, mendadak Hay Hay merasa kesadarannya pulih kembali, kedua tangannya menurut kepada perintahnya dan berhenti dengan kegiatan mereka yang sama sekali tidak dikehendakinya. Ketika dia memandang, dia pun langsung bergidik.

Baju atasnya telah tanggal, sedangkan kedua tangannya tadi mulai membuka celananya. Terlambat sedikit saja tentu dia sudah bertelanjang bulat! Cepat dia mengenakan kembali bajunya lantas meloncat berdiri, memandang kepada seorang kakek berambut putih yang tiba-tiba muncul di situ.

"Keparat"' Min-san Mo-ko membentak marah dengan sepasang mata melotot. "Berani kau mencampuri urusanku? Aku akan membunuhmu!" Berkata demikian, Min-san Mo-ko lalu mengangkat pedangnya dan menerjang ke depan.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tersentak ke belakang, seperti tertolak oleh kekuatan yang hebat, dan betapa pun dia berusaha untuk maju, kedua kakinya tetap saja seakan-akan tertumbuk sesuatu dan tidak dapat maju, tidak mampu mendekati kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu.

"Setan, lihat kekuatanku"' Min-san Mo-ko berseru dan dia menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali, mulutnya berkemak-kemik.

Hay Hay hanya menonton saja karena merasa tidak sanggup menghadapi ilmu-ilmu sihir yang aneh itu. Tiba-tiba Min-san Mo-ko menggerakkan tangannya dan angin yang keras sekali menyambar ke arahnya, ke arah kakek berambut putih. Rambut dan pakaian kakek itu sampai melambai-lambai dan angin itu mengeluarkan suara menderu-deru. Akan tetapi di tengah badai yang mengamuk itu, terdengar suara yang lunak dan lembut seperti tadi,

"Min-san Mo-ko, perbuatan jahat hanya akan menimpa diri sendiri, bukan orang lain."

Sungguh aneh sekali, angin itu sekarang berputaran di sekeliling kakek berambut putih itu dan sesudah berputaran beberapa kali, angin itu membalik lalu menerjang Min-san Mo-ko dengan kekuatan yang berlipat ganda.

Hay Hay melihat betapa tubuh Min-san Mo-ko terjengkang dan bergulingan, sedangkan Ji Sun Bi berlindung di balik batu besar dan tengah mengenakan kembali pakaiannya sebab perempuan ini tadi sudah hampir telanjang sama sekali.

Min-san Mo-ko berteriak-teriak dengan suaranya yang melengking, lalu meloncat bangkit lagi. Kini dia mendorong dengan kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan itu kini mencuat sinar kemerahan, seperti api yang menyambar perlahan-lahan menuju ke arah kakek berambut putih.

"Siancai-siancai-siancai...!" Kakek itu berkata halus.

Dia pun menjulurkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadap keluar. Dari kedua telapak tangannya kini keluar sinar terang yang perlahan-lahan meluncur ke depan, lantas menyambut sinar kemerahan yang keluar dari telapak tangan Min-san Mo-ko. Dua gulung sinar itu bertemu di antara mereka lantas bertaut, akan tetapi Hay Hay melihat betapa perlahan akan tetapi pasti, sinar kemerahan dari Min-san Mo-ko terdorong mundur, terus mundur oleh sinar terang.

Akan tetapi Hay Hay juga melihat betapa tubuh Ji Sun Bi berkelebat, kemudian dengan sepasang pedangnya, wanita itu berindap-indap menghampiri kakek berambut putih dari belakang, sudah siap untuk menusuk dari belakang dan agaknya kakek rambut putih itu tidak melihatnya. Melihat hal ini, Hay Hay meloncat dan membentak.

"Manusia curang!" Dan kakinya sudah menendang.

"Desss...!"

Tubuh Ji Sun Bi terlempar dan terbanting keras. Akan tetapi sekali ini pun Hay Hay tetap membatasi tenaganya sehingga wanita itu hanya terbanting dengan keras saja dan tidak sampai menderita luka parah.

Sementara itu sinar merah telah kembali ke telapak tangan Min-san Mo-ko, sedang sinar terang pun kembali ke tangan kakek berambut putih.

"Pergilah kalian!" kakek berambut putih itu berseru perlahan dan tangan kirinya melambai seperti menyuruh mereka pergi. Guru bersama muridnya itu seperti mentaati perintah ini dan mereka berdua pun mengambil langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu!

Sesudah kedua orang itu pergi dan tidak nampak lagi, tiba-tiba kakek berambut putih itu mengeluh dan tubuhnya terhuyung, lalu dia jatuh terduduk dan bersila di atas rumput. Hay Hay terkejut bukan main, cepat dia menghampiri dan berlutut di dekat kakek itu.

"Locianpwe kenapakah ?" tanyanya khawatir melihat betapa wajah kakek ini pucat sekali.

Kakek itu membuka matanya, memandang kepada Hay Hay lantas tersenyum, mukanya ramah dan nampak kesabaran luar biasa membayang di seluruh bagian wajahnya. "Orang muda yang gagah, jangan menyebut Locianpwe padaku, karena aku hanyalah seorang pertapa yang lemah. Bahkan kalau tidak ada engkau, tadi aku tentu sudah tewas di ujung pedang wanita itu."

"Akan tetapi... Locianpwe sudah menyelamatkan saya dari... dari..." Tiba-tiba wajah Hay Hay berubah merah karena dia teringat akan peristiwa yang amat memalukan tadi.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku tahu, hampir saja engkau mengalami penghinaan, kemudian mungkin sekali kematian. Guru dan murid itu memang jahat sekali dan mereka seperti bukan manusia lagi, tidak mengenal tata susila dan kesopanan lagi. Akan tetapi, aku hanya dapat mengusir mereka dengan kekuatan sihir. Apa bila mereka menyerangku dengan ilmu silat, hemmm, aku sama sekali tidak pandai ilmu silat dan... ahhhhhh!" Kakek itu memejamkan kedua matanya sambil menggigit bibir, nampaknya menahan rasa nyeri yang hebat.

"Locianpwe... apakah Locianpwe terluka...?" Hay Hay bertanya khawatir, sebab dia masih belum dapat menerima bahwa kakek yang sudah menyelamatkannya ini seorang pertapa lemah yang tidak pandai silat, hanya pandai dengan ilmu sihir saja.

Kakek itu mengangguk. "Aku memang sedang menderita sakit, akan tetapi bukan karena pertandingan tadi. Penggunaan sihir memaksa aku mengerahkan tenaga hingga membuat penyakitku menjadi bertambah berat. Ahhh, orang muda, bila tidak mendapatkan obatnya, agaknya paling lama dua puluh empat jam lagi aku terpaksa harus meninggalkan dunia yang keruh ini..."

Tentu saja Hay Hay menjadi prihatin bukan main. Bagaimana pun juga, kakek ini adalah penolongnya! "Locianpwe, apakah obat itu? Di manakah mencarinya? Biarlah saya yang akan mencarikan untukmu."

Sepasang mata yang sayu itu sekarang menjadi terang dan wajah kakek itu berseri, jelas nampak harapan timbul dalam hatinya ketika dia memandang Hay Hay.

"Benarkah engkau mau menolongku, orang muda yang gagah?"

"Harap Locianpwe tidak meragukan kesanggupan saya. Apalah artinya saya mempelajari ilmu kalau tidak untuk, menolong siapa saja yang terancam bahaya? Apa lagi Locianpwe baru saja menyelamatkan saya. Katakanlah di mana saya dapat menemukan obat itu dan apakah macamnya obat itu."

"Ahhh, kalau saja kekuatan sihirku ini dapat menundukkan harimau seperti menundukkan manusia, tentu sudah lama aku mampu mencari sendiri obat itu. Obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitku adalah otak seekor harimau dan di hutan yang kelihatan dari sini itu terdapat banyak harimau hitam yang kumaksudkan."

"Otak seekor harimau hitam? Di hutan itu? Baiklah, harap Locianpwe menunggu sebentar di sini, saya akan mencarikannya!" Sesudah berkata demikian, Hay Hay segera meloncat dan berlari cepat.

Kakek itu tertegun melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu telah lenyap dari hadapannya. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan mempunyai ilmu silat tinggi, pikirnya. Sayang dia tidak mahir ilmu sihir sehingga hampir saja menjadi korban kekuatan sihir Min-san Mo-ko!

Kakek ini pun mengangguk-angguk karena dia tahu dengan cara apa dia akan membalas kalau pemuda itu benar-benar dapat mencarikan obat dan dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya selama ini.

********************

Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ ditumbuhi pohon-pohon besar sekali yang usianya sudah ratusan tahun serta amat lebat dan liar. Dia langsung mencari binatang yang dikehendaki kakek itu hingga akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar.

Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Selama ini Hay Hay belum pernah berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu.

Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka lalu bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang.

Hay Hay menenangkan hatinya lalu dia pun mendekat, sikapnya amat hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng.

Dia belum tahu sampai di mana kekuatan mau pun kecepatan dua ekor harimau itu, tetapi maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun selalu waspada dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus bisa membunuh keduanya, karena tentu saja amat berbahaya jika melarikan diri dari seekor harimau.

Maka dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay segera mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya sambil mencari kesempatan baik.

"Hemmmmm...!" Hay Hay menggereng dan sekarang dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai untuk memperlihatkan gigi mereka.

Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka segera mundur sedangkan kalau dia mundur mereka segera maju, Hay Hay lantas menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka.

Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu terlihat marah, lalu merendahkan tubuhnya sambil mencengkeram tanah dan tiba-tiba saja salah seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan satu loncatan yang amat kuat dan cepat.

Melihat tubrukan yang begitu kuat dan cepatnya, Hay Hay yang sudah siap siaga segera menghindarkan diri dengan melompat ke kiri, namun tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya.

"Bukkk!"

Tendangan itu cukup keras hingga membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyat, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang.

Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu harimau jantan sebagai penyerang pertama sudah melompat dan menubruknya lagi dari belakang!

Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu tak mungkin dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya untuk menangkis.

"Dukkk!"

Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu.

"Desss...!"

Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, dia pun segera menubruk dari samping.

Pada waktu itu Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menyambar dari samping ke arah leher harimau, lalu disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.

"Dukkkk...!" Harimau itu terbanting dan berkelojotan.

Tiba-tiba saja dua buah cakar harimau sudah menubruk dan mencengkeram pundaknya dari belakang! Hay Hay terkejut sekali, tidak menyangka bahwa harimau jantan tadi sudah dapat menyerangnya demikian cepat. Dia merasa kedua pundaknya nyeri, juga ada bau amis dan apek mendekati tengkuknya. Maklum bahwa kalau harimau itu sudah menggigit tengkuknya maka dia akan celaka, cepat dia menggerakkan suling kayu hitamnya ke arah belakang tubuh sambil membalik.

"Capppp...!" Suling kayu hitam itu menusuk dada harimau dan menembus jantung.

Untung Hay Hay sudah cepat menggunakan tangan kirinya menyiku ke belakang sebagai susulan tusukannya sehingga cengkeraman pada pundaknya terlepas. Kalau tidak maka tubuhnya bisa tercabik-cabik oleh kuku-kuku harimau yang kini berkelojotan dalam sekarat itu.

Hay Hay tidak mau membuang waktu lagi. Ditangkapnya ekor harimau jantan yang masih berkelojotan itu dan diseretnya keluar dari hutan sambil berlari cepat. Setelah harimau itu tidak bergerak lagi, cepat dipanggulnya tubuh binatang itu lantas dilarikannya ke tempat di mana kakek tua renta itu menantinya, yaitu di tepi sungai. Dia tidak peduli betapa bajunya menjadi kotor berlepotan darah dan dia merasa betapa tubuh yang sudah tidak bernyawa itu masih hangat.

Hampir kakek itu tak dapat percaya ketika melihat pemuda perkasa itu dalam waktu yang sangat singkat sudah datang kembali sambil memanggul bangkai binatang buas itu. Akan tetapi dia menyambutnya dengan girang bukan main.

"Luar biasa... sungguh luar biasa...!" Dia memuji kagum. "Orang muda perkasa, jangan kepalang menolongku. Belahlah kepala harimau itu dengan hati-hati, keluarkan segumpal otaknya lantas masaklah dengan obat ini, dengan air tiga mangkok sampai mendidih dan airnya menguap tinggal sedikit."

Kakek itu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas lantas menyerahkan kepada Hay Hay. Hay Hay menerimanya. Untung bahwa perabot masak yang dibawanya tidak rusak ketika tadi terjadi perkelahian.

Dengan sebilah pisau Hay Hay membuka kepala harimau itu, mengeluarkan otaknya yang masih mengandung darah, memasukkannya ke dalam panci bersama obat yang ternyata berupa akar-akar dan daun-daun kering itu, mengisi panci dengan air lalu memasaknya di atas api unggun yang dibuatnya. Kakek itu sendiri masih duduk bersila dan memejamkan mata, seperti orang bersemedhi.

Sambil menanti dan menjaga obat yang dimasaknya itu, Hay Hay lalu memotong daging harimau, memilih bagian yang gemuk, mengumpulkannya, mencuci dan menggaraminya, memberi bumbu dan menusuk daging-daging itu dengan potongan-potongan bambu, lalu memanggangnya. Bau sedap membuat kakek itu membuka kedua matanya, menoleh dan dia tersenyum.

"Daging harimau hitam itu panas, akan tetapi justru amat baik untuk memulihkan tenaga."

Tak lama kemudian obat itu pun masak sudah, airnya tinggal sedikit dan otak harimau itu tampak merah kecoklatan bercampur dengan sari obat rempah-rempah tadi. Setelah agak dingin, kakek itu langsung mengganyangnya sampai habis! Dan mukanya nampak merah, matanya berseri.

"Orang muda, engkau sudah menolongku. Obat ini melenyapkan penyakitku dan mungkin akan menambah usiaku beberapa tahun lagi. Aku ingin mengisi sisa hidupku yang tidak lama ini untuk membalas budimu..."

"Ahh, Locianpwe, harap jangan bicara tentang budi. Locianpwe tadi menyelamatkan saya dari ancaman maut yang lebih mengerikan, kalau sekarang saya mencarikan obat untuk Locianpwe, apalah artinya itu? Harap dianggap saja bahwa kita berdua sama-sama telah melaksanakan kewajiban sebagai orang-orang yang tahu bahwa selagi hidup harus saling bantu. Bukankah begitu, Locianpwe?"

Kakek itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Engkau gagah perkasa dan bijaksana, anak baik. Sebab itu timbul keinginanku untuk mewariskan kepandaianku kepadamu. Biar pun engkau ahli silat yang pandai, ternyata tadi menghadapi serangan sihir dari Min-san Mo-ko saja, engkau hampir celaka. Maukah engkau belajar ilmu sihir dariku?"

Tentu saja Hay Hay merasa girang bukan main! Memang harus diakuinya bahwa ketika dia berhadapan dengan Min-san Mo-ko tadi, hampir dia celaka akibat serangan ilmu hitam dari kakek kurus pucat itu. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek tua renta itu.

"Kalau Suhu ingin mengajarkan ilmu kepada teecu, tentu saja teecu menerimanya dengan rasa sukur dan terima kasih."

"Bangkitlah, anak baik. Lihat, daging yang kau panggang bisa hangus," kata kakek itu.

Hay Hay bangkit lantas kembali ke api unggun karena dia sedang memanggang daging harimau tadi. Sesudah daging itu matang, mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput sambil makan daging yang masih panas itu, gurih dan manis rasanya, juga lunak. Mereka makan sambil bercakap-cakap.

"Siapakah namamu?"

"Nama teecu Hay dan biasa disebut Hay Hay. Teecu tidak tahu siapakah nama keturunan teecu karena sejak kecil sudah terpisah dari orang tua kandung. Teecu kini sedang dalam perjalanan mencari tahu mengenai orang tua teecu. Teecu hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap," Hay Hay langsung saja memberi keterangan yang sejelasnya sebelum kakek itu bertanya.

Kakek itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya, di dalam hatinya merasa kasihan. "Dan dari siapakah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi itu sehingga engkau menjadi seorang pemuda yang amat lihai?"

Kakek yang duduk di hadapannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, maka Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi. "Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-sian Sin-kai..."

"Ya Tuhan...!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai...? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa...?

Hay Hay mengangguk. "Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup."

"Hebat... hebat...! Berbahagialah engkau yang dapat menjadi murid mereka dan aku juga bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang..."

"Suhu, bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"

Kakek itu lantas menghela napas panjang. "Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku sudah tidak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi untukmu, tentu saja aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"

Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam goa-goa yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan semedhi di tempat yang amat hening.

Dengan tekunnya kakek itu melatih muridnya, dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum mulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya.

"Hay Hay, ingat baik-baik. Biar pun segala macam ilmu kalau dipergunakan secara sesat akhirnya akan menjadi kutukan bagi diri sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Semenjak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak bisa terlepas dari pada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi, yaitu ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja dan dilarang keras untuk digunakan secara sesat, tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir mau pun batin. Apa bila larangan ini sampai dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami dan besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Malah ilmu itu sendiri akan dapat membunuh jika sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini sekali-kali tak boleh digunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas dari pada hukumannya."

Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun dia tidak merasa khawatir. "Akan selalu teecu ingat, Suhu."

Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi dia hanya sempat belajar selama satu tahun saja dari Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua.

Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya pada saat masih hidup, yaitu di bawah sebatang pohon di dekat goa tempat gurunya bertapa, lantas meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Sesudah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Kini, dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang sungguh pun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, tapi kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri.

********************

Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, lalu masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, hingga akhirnya Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha lantas membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang sangat terkenal itu. Sungai Yalong mengalir melalui Pegunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, pada tepi Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang.

Keluarga Pek yang belasan tahun yang lampau meninggalkan Tibet akibat dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa para anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang merupakan tempat asal keluarga Pek. Dan akhirnya, bersama para anggota Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, keluarga itu menetap di tepi Sungai Yalong itu.

Tempat itu amat indah, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu mempunyai tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari dalam hutan mereka bisa mendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka.

Sekarang keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempah-rempah, selain terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang sangat disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya menjadi aman sekali. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan serta pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang.

Sesudah keluarga Pek tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggota atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga lalu tinggal dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu. Sekarang perkampungan itu memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara para murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan atau penjaga-penjaga keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan.

Perkampungan itu cukup luas, berada pada lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar pada waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir.

Rumah keluarga Pek terletak di tengah perkampungan, dikelilingi oleh rumah-rumah para anggota. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas. Di sebelah timur rumah terdapat sebuah taman bunga yang mungil.

Pada waktu itu yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang sekarang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang merupakan keturunan keluarga Pek, turun temurun.

Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai. Meski pun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa.

Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, seorang bekas ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan sekarang hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya sudah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya.