Pendekar Mata Keranjang Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

HAN SIONG terbelalak karena laki-laki itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada di sana.

Akan tetapi, ketika dia sampai di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Begitu cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung bersama wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi.

Ternyata Ceng Hok Hwesio bersama para muridnya amat kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, makin lama semakin beringas dan ganas sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang langsung diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

Akan tetapi lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu hanya dengan dua tangan kosong saja. Dengan dua lengan tangannya dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.

"Dukk! Wuuuttt...!"

Ceng Hok Hwesio kaget bukan kapalang dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tak mengenal bahaya sehingga dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut.

Kembali yang diserang hanya tertawa dan sekali ini sama sekali tak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya.

"Cusss!"

Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sesungguhnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis. Ketika ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo telah bergerak, yang satu menotok pundak dan yang lain mencengkeram jubah di tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram!

Melihat betapa guru mereka sudah tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Kini mereka sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.

"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!" tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa, diikuti berkelebatnya dua sosok bayangan dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang.

Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa lelaki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi.

Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio. "Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak lantas ujung lengan baju itu menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu adalah sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas!

Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan lain berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya amat hebat sebab sepasang tangan wanita itu secara bertubi-tubi mengirim totokan-totokan ke arah sembilan jalan darah yang ada pada bagian depan tubuhnya.

Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa harus melepaskan cengkeraman di tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya sangat kuat sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu.

Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia pun sudah bisa mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio sudah dapat bergerak lagi kemudian diturunkan.

Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya menonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya.

Diam-diam hatinya merasa heran sekali sebab selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu sangat lihai, karena kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda dengan sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja!

Kini Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali. "Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku adalah Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapa sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu.

Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, kemudian menjawab singkat, "Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan dia adalah Toan Hui Cu."

Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih ingat dengan kedua nama ini. Seperti yang sudah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali.

Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya malah sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tak disukanya. Kemudian, secara beruntung dia bisa menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang.

Akan tetapi, dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang sudah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan dia masih bersikap amat bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah.

Dengan jantan Ci Kang melindungi, bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!

Pada malam hari itu, sesudah Hui Song menikah dengan Sui Cin, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih di kebun. Dia tahu mengapa Hui Cu menangis, sebab keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai.

Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu saja, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri adalah putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, dan Toan Hui Cu bahkan lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis dan Ratu Iblis, raja dan ratunya para datuk sesat!

Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, sesudah mereka saling berjumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandengan tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang sangat sakti, tentu saja Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat!

Akan tetapi agaknya Lam-hai Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih sangat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw, kemudian mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai!

"Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, sesudah aku berada di sini dan melihat kalian berdua berlatih, hatiku merasa tertarik sekali. Sekarang berikan kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo.

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, lalu keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda.

"Enak saja kau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau segera pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"

Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, tetapi karena matanya memang sipit sekali, biar sudah dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merubah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu.

Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya.

Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu bukan menangkis lengan, namun menyambut lengan yang meluncur dan hendak mencengkeram ke arah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dahulu mengenai jalan darah pada pergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya.

"Uhhhhh...!" Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, kini cepat sekali telah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput.

"Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lantas menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.

Tubuh itu kini hanya nampak bagai bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu!

Ci Kang telah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, tapi kadang-kadang dipegang di bagian tengah kemudian diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam.

Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biar pun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. Setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli dalam permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.

Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, dan ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun masih terasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu!

Memang ilmu silat kedua orang hukuman itu amat hebat. Jika gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, bagai seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari atas seperti burung garuda menyambar-nyambar, ada pun Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular.

Betapa pun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, salah seorang di antara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya.

Maka, biar pun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi kecepatan dua orang pengeroyoknya dan setelah diputar-putar sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, kedua lengan itu mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai dua lengannya tidak berpengaruh apa-apa!

Semenjak tadi Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua mata terbelalak dan hwesio ketua kuil ini lantas tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Ternyata kakek itu memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya.

Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ.

Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang berlutut menangis dan memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus semua dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka berdua begitu lembut dan biar pun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini hingga mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo?

Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga amat kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali inilah mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya.

Biar pun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, malah beberapa kali tubuh mereka terdorong mundur oleh angin pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.

"Kwan Im Hud-couw...!"

Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur lalu mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian mereka berdiri tegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja di depan dada. Mereka mengambil sikap seperti sedang menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im.

Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa kedua lawannya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun langsung dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.

"Ha-ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"

Tetapi kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, laksana seorang puteri yang melangkahkan kakinya, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan. Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapa pun lihainya dua orang pengeroyoknya, tetapi dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka.

"Biarlah aku yang akan memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu.

Seperti tadi, serangannya ini mengandung keceriwisan sebab dia sengaja mencengkeram dengan dua tangan, satu ke dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya dan melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput!

Kakek muka kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput!

Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah 'mengusap' ke arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan halus itu!

"Celaka!" teriaknya.

Cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini segera memutar lagi tubuhnya sehingga berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.

"Jurus ke tiga dan ke sebelas!" tiba-tiba Ci Kang berseru.

Secara otomatis Hui Cu bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang amat aneh itu. Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu.....

Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im Khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu), ada pun jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai. Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya amat lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga.

Akan tetapi dengan hati kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu, juga terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berputar itu, ada pun kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya itu mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya lantas tangan Ci Kang tahu-tahu sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur dari atas ke bawah, mengancam pelipis kepalanya!

"Iihhhh...!" Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai.

Akan tetapi dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyok itu telah mengejarnya lantas empat buah lengan bertubi-tubi melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka.

Tapi kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biar pun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan sepasang tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk menangkis. Ia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui kedua tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis.

Betapa pun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.

"Plakk...!"

Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Suara teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut bukan main, cepat melompat mundur sambil melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang.

Akan tetapi kesempatan itu segera digunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan satu lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, ia telah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio serta para penghuni kuil dengan pandang mata kagum.

"Wah, Lam-hai Giam-lo sungguh berbahaya sekali...," kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

Semenjak dia dulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andai kata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, meski pun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu!

Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kedua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

"Omitohud, kalian sudah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali ke dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata,

"Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."

Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata, "Suhu, kami hendak mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."

Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri, dan dia segera memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang kereng dan penuh wibawa.

"Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Karena itu, mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."

Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih dari pada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhu-nya itu membuat dia mengerutkan alisnya.

Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu sangat merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, dan sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat.

Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di sana tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama!

Memang begitulah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih.

Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara manusia, baik dari bangsa atau golongan atau agama apa pun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang sebetulnya tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu.

Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, terasa nyaman dan menjadi sumber kehidupan segala sesuatu yang tampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari itu salah satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan?

Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, mau pun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar dirinya, akan bisa menikmati seutuhnya bila matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian dan kesadaran ketika matahari menyengat terlampau keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah sehingga tidak mampu menikmati keindahan serta kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik.

Jelaslah, bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di sana tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan, karena penilaian ini selalu didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu saja condong ke arah baik sedangkan jika dirugikan, maka akan dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan.


cerita silat online karya kho ping hoo

"Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani sudah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"

Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apa lagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.

"Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka sudah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil," demikian ketua kuil itu berkata dengan suara dan sikap kereng.

"Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka."

"Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Pada waktu kakek buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahkan engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau bisa menjadi murid di sini. Kini sesudah engkau menjadi seorang calon hwesio, berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!"

"Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap sebagai murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"

Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu.

"Pinceng tak akan merubah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tak boleh berguru kepada siapa pun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi jika engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka."

"Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak. "Biarlah teecu di sini hanya bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melakukan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, tetapi teecu menjadi murid mereka!"

Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang telah berkata. "Kami kira permintaan Han Siong itu sangat patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun ini merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Sekali lagi kami mengharapkan kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami."

Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa sangat kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak. "Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya."

"Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas.

"Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu suka rela, tiada bedanya dengan mereka yang dibayar kuil atau bekerja suka rela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil." Sesudah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya.

Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu.

"Suhu...! Subo...!" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.

"Han Siong, bangkitlah dan mari engkau ikut bersamaku ke dalam kamarku," kata Ci Kang dan Han Siong menurut.

Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya di sebelah timur, ada pun Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat.

Ketika Han Siong turut memasuki kamar itu, dia merasa sangat terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali.

Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup sejuk karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung di langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, pikir Han Siong.

"Han Siong, setelah engkau menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?"

"Dia adalah kakek buyut teecu yang bernama Pek Khun. Kakek buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."

Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik. "Mengapa begitu? Di manakah ayah ibumu dan siapakah mereka?"

"Teecu tidak pernah mengenal ayah mau pun ibu. Menurut cerita kakek buyut teecu, ayah adalah cucunya dan ayah bernama Pek Kong. Karena dulu teecu hendak dirampas oleh orang-orang jahat, demikian kata kakek buyut teecu, maka sejak bayi teecu dibawa pergi oleh kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini untuk mempelajari ilmu. Menurut kakek Pek Khun, kakek dan juga ayah teecu secara berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun."

"Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemmm, aku belum pernah mendengar nama itu. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau adalah keturunan orang-orang gagah."

"Teecu tidak banyak tahu tentang keluarga teecu sendiri, dan kini teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu supaya teecu tidak menjadi penasaran lagi?"

Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang lalu termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu sekarang terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling kasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama.

Mereka berdua kemudian pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Sesudah lewat beberapa pekan, barulah masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa di dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib.

Kemudian, pada suatu malam yang diterangi bulan purnama, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dengan hawa yang sejuk, terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan birahi membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela.

Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang sudah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk. Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka.

Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di pinggir Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka segera pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan serta kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.

Ceng Hok Hwesio sangat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang kelihatan gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apa lagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu. Diterimanya mereka dengan hati rela sehingga mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam selalu mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio.

Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, biar pun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun.

Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidak senangan.

Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal. Dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut!

Keinginan untuk mencapai dan mendapat hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat. Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya bisa melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat.

Pengejaran kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian, pemerasan dan sebagainya. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling bunuh bahkan dapat pula menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjinah, memperkosa dan sebagainya lagi.


Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Semenjak kecil hwesio ini sudah hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Kini, sebagai muridnya Hui Cu sering berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya.

Hui Cu, biar pun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun dia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ini dia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu.

Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu birahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang telah dinyatakan dengan pandangan matanya. Namun gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan!

Kemudian terjadilah sesuatu yang amat menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini dia masih dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja dia tidak mampu menyembunyikannya lagi.

Bagaikan seekor harimau kelaparan Ceng Hok Hwesio lalu menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal. "Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki.

Pada saat itu pula Ci Kang cepat maju berlutut. "Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya teecu yang bersalah. Akan tetapi semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak pernah melakukan hal itu, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu."

"Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?!" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhu-nya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.

"Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami sudah... sudah... akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mengandung."

"Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"

Ci Kang menggeleng kepalanya. "Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri..."

"Omitohud... semoga kuil ini diampuni dari dosa-dosa yang sangat besar ini. Bukan suami isteri namun kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si...!"

"Ampun, Suhu, kami tak sengaja. Andai kata kami tahu bahwa Hui Cu telah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."

"Andai kata... andai kata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama serta kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Maka, sebagai gantinya kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertobat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?"

Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut, mendengarkan dengan hati pilu. Apa lagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.

"Bagaimana pun juga, kalian harus menerima hukuman yang telah pinceng jatuhkan tadi, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.

"Teecu... sanggup...," kata Hui Cu.

Ci Kang terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan namun Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah menyanggupi, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyatakan kesanggupannya juga.

"Teecu sanggup."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni dosa kalian berdua. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa di dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!"

Semua hwesio yang berada di sana terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi ketika dia melihat pandangan mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia hanya bisa menarik napas panjang. Tadi mereka berdua telah menyatakan kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa beratnya itu.

Semua peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya mengenai sebab hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya karena Han Siong masih terlampau kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya baru dua belas tahun, belum dewasa.

"Han Siong, dulu Suhu dan Subo-mu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil. Kami berdua sudah menjadi suami isteri kemudian Subo-mu melahirkan seorang anak, karena itu kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar Renungan Dosa..."

"Tapi itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"

"Di kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apa lagi ketika itu kami telah menjadi pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid kuil, Subo-mu sudah mengandung. Andai kata kami tahu, tentu kami tidak menjadi hwesio dan nikouw sehingga tidak melakukan pelanggaran dan dosa."

"Tapi, dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!" kembali Han Siong berseru.

Ci Kang tersenyum. "Ssttt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa. Kamar-kamar kami amat baik, juga kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan."

Han Siong mengangguk-angguk. "Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apa lagi kalau malam tiba..."

"Ehh, kau tahu akan hal itu?" gurunya bertanya heran.

"Pernah teecu melihat ada dua bayangan berkelebat masuk lantas dikejar oleh bayangan Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo sering keluar dari kamar secara rahasia?"

Kembali gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, memang ada kalanya kami perlu keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh ikut tinggal di sini sehingga kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak, maka mereka menerimanya dengan senang hati. Nah, kadang-kadang kami pergi untuk menjenguk anak kami itu, atau ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi kami akan tetap memenuhi masa hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Namun hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak perempuan kami itu telah lenyap."

"Lenyap...?" Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhu-nya. "Bagaimana bisa lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?"

Ci Kang menarik napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu menjalani hukuman, pada waktu malam keduanya sering kali keluar dari tempat tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lian, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana.

Sejak mereka tahu bahwa Hui Cu mengandung, tentu saja mereka melanjutkan hubungan mereka sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi, apa lagi setelah mereka tidak menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak menganggap mereka sebagai anggota Siauw-lim-pai lagi.

Mereka berdua bukan hanya menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Bi Lian, semenjak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali, ketika Siangkoan Ci Kang sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan, dia menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat di bawah lantai. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain adalah ilmu silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im.

Setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata ilmu-ilmu silat itu sangat aneh dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh tahun, mereka sudah mulai dapat menguasainya.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya ilmu-ilmu itu dipelajari kalau dua orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui Cu lalu memberi nama Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu. Dan ternyata bahwa Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka gunakan dengan baik sehingga dapat mengalahkan Lam-hai Giam-lo.

Pendekar Mata Keranjang Jilid 05

HAN SIONG terbelalak karena laki-laki itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada di sana.

Akan tetapi, ketika dia sampai di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Begitu cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung bersama wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi.

Ternyata Ceng Hok Hwesio bersama para muridnya amat kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, makin lama semakin beringas dan ganas sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang langsung diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

Akan tetapi lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu hanya dengan dua tangan kosong saja. Dengan dua lengan tangannya dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.

"Dukk! Wuuuttt...!"

Ceng Hok Hwesio kaget bukan kapalang dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tak mengenal bahaya sehingga dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut.

Kembali yang diserang hanya tertawa dan sekali ini sama sekali tak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya.

"Cusss!"

Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sesungguhnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis. Ketika ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo telah bergerak, yang satu menotok pundak dan yang lain mencengkeram jubah di tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram!

Melihat betapa guru mereka sudah tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Kini mereka sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.

"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!" tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa, diikuti berkelebatnya dua sosok bayangan dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang.

Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa lelaki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi.

Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio. "Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak lantas ujung lengan baju itu menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu adalah sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas!

Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan lain berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya amat hebat sebab sepasang tangan wanita itu secara bertubi-tubi mengirim totokan-totokan ke arah sembilan jalan darah yang ada pada bagian depan tubuhnya.

Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa harus melepaskan cengkeraman di tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya sangat kuat sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu.

Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia pun sudah bisa mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio sudah dapat bergerak lagi kemudian diturunkan.

Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya menonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya.

Diam-diam hatinya merasa heran sekali sebab selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu sangat lihai, karena kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda dengan sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja!

Kini Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali. "Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku adalah Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapa sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu.

Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, kemudian menjawab singkat, "Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan dia adalah Toan Hui Cu."

Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih ingat dengan kedua nama ini. Seperti yang sudah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali.

Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya malah sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tak disukanya. Kemudian, secara beruntung dia bisa menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang.

Akan tetapi, dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang sudah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan dia masih bersikap amat bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah.

Dengan jantan Ci Kang melindungi, bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!

Pada malam hari itu, sesudah Hui Song menikah dengan Sui Cin, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih di kebun. Dia tahu mengapa Hui Cu menangis, sebab keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai.

Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu saja, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri adalah putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, dan Toan Hui Cu bahkan lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis dan Ratu Iblis, raja dan ratunya para datuk sesat!

Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, sesudah mereka saling berjumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandengan tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang sangat sakti, tentu saja Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat!

Akan tetapi agaknya Lam-hai Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih sangat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw, kemudian mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai!

"Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, sesudah aku berada di sini dan melihat kalian berdua berlatih, hatiku merasa tertarik sekali. Sekarang berikan kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo.

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, lalu keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda.

"Enak saja kau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau segera pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"

Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, tetapi karena matanya memang sipit sekali, biar sudah dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merubah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu.

Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya.

Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu bukan menangkis lengan, namun menyambut lengan yang meluncur dan hendak mencengkeram ke arah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dahulu mengenai jalan darah pada pergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya.

"Uhhhhh...!" Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, kini cepat sekali telah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput.

"Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lantas menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.

Tubuh itu kini hanya nampak bagai bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu!

Ci Kang telah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, tapi kadang-kadang dipegang di bagian tengah kemudian diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam.

Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biar pun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. Setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli dalam permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.

Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, dan ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun masih terasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu!

Memang ilmu silat kedua orang hukuman itu amat hebat. Jika gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, bagai seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari atas seperti burung garuda menyambar-nyambar, ada pun Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular.

Betapa pun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, salah seorang di antara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya.

Maka, biar pun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi kecepatan dua orang pengeroyoknya dan setelah diputar-putar sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, kedua lengan itu mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai dua lengannya tidak berpengaruh apa-apa!

Semenjak tadi Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua mata terbelalak dan hwesio ketua kuil ini lantas tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Ternyata kakek itu memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya.

Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ.

Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang berlutut menangis dan memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus semua dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka berdua begitu lembut dan biar pun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini hingga mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo?

Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga amat kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali inilah mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya.

Biar pun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, malah beberapa kali tubuh mereka terdorong mundur oleh angin pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.

"Kwan Im Hud-couw...!"

Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur lalu mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian mereka berdiri tegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja di depan dada. Mereka mengambil sikap seperti sedang menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im.

Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa kedua lawannya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun langsung dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.

"Ha-ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"

Tetapi kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, laksana seorang puteri yang melangkahkan kakinya, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan. Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapa pun lihainya dua orang pengeroyoknya, tetapi dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka.

"Biarlah aku yang akan memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu.

Seperti tadi, serangannya ini mengandung keceriwisan sebab dia sengaja mencengkeram dengan dua tangan, satu ke dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya dan melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput!

Kakek muka kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput!

Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah 'mengusap' ke arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan halus itu!

"Celaka!" teriaknya.

Cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini segera memutar lagi tubuhnya sehingga berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.

"Jurus ke tiga dan ke sebelas!" tiba-tiba Ci Kang berseru.

Secara otomatis Hui Cu bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang amat aneh itu. Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu.....

Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im Khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu), ada pun jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai. Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya amat lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga.

Akan tetapi dengan hati kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu, juga terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berputar itu, ada pun kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya itu mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya lantas tangan Ci Kang tahu-tahu sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur dari atas ke bawah, mengancam pelipis kepalanya!

"Iihhhh...!" Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai.

Akan tetapi dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyok itu telah mengejarnya lantas empat buah lengan bertubi-tubi melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka.

Tapi kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biar pun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan sepasang tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk menangkis. Ia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui kedua tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis.

Betapa pun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.

"Plakk...!"

Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Suara teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut bukan main, cepat melompat mundur sambil melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang.

Akan tetapi kesempatan itu segera digunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan satu lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, ia telah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio serta para penghuni kuil dengan pandang mata kagum.

"Wah, Lam-hai Giam-lo sungguh berbahaya sekali...," kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

Semenjak dia dulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andai kata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, meski pun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu!

Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kedua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

"Omitohud, kalian sudah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali ke dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata,

"Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."

Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata, "Suhu, kami hendak mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."

Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri, dan dia segera memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang kereng dan penuh wibawa.

"Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Karena itu, mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."

Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih dari pada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhu-nya itu membuat dia mengerutkan alisnya.

Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu sangat merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, dan sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat.

Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di sana tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama!

Memang begitulah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih.

Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara manusia, baik dari bangsa atau golongan atau agama apa pun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang sebetulnya tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu.

Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, terasa nyaman dan menjadi sumber kehidupan segala sesuatu yang tampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari itu salah satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan?

Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, mau pun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar dirinya, akan bisa menikmati seutuhnya bila matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian dan kesadaran ketika matahari menyengat terlampau keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah sehingga tidak mampu menikmati keindahan serta kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik.

Jelaslah, bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di sana tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan, karena penilaian ini selalu didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu saja condong ke arah baik sedangkan jika dirugikan, maka akan dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan.


cerita silat online karya kho ping hoo

"Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani sudah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"

Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apa lagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.

"Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka sudah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil," demikian ketua kuil itu berkata dengan suara dan sikap kereng.

"Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka."

"Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Pada waktu kakek buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahkan engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau bisa menjadi murid di sini. Kini sesudah engkau menjadi seorang calon hwesio, berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!"

"Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap sebagai murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"

Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu.

"Pinceng tak akan merubah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tak boleh berguru kepada siapa pun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi jika engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka."

"Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak. "Biarlah teecu di sini hanya bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melakukan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, tetapi teecu menjadi murid mereka!"

Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang telah berkata. "Kami kira permintaan Han Siong itu sangat patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun ini merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Sekali lagi kami mengharapkan kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami."

Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa sangat kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak. "Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya."

"Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas.

"Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu suka rela, tiada bedanya dengan mereka yang dibayar kuil atau bekerja suka rela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil." Sesudah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya.

Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu.

"Suhu...! Subo...!" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.

"Han Siong, bangkitlah dan mari engkau ikut bersamaku ke dalam kamarku," kata Ci Kang dan Han Siong menurut.

Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya di sebelah timur, ada pun Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat.

Ketika Han Siong turut memasuki kamar itu, dia merasa sangat terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali.

Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup sejuk karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung di langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, pikir Han Siong.

"Han Siong, setelah engkau menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?"

"Dia adalah kakek buyut teecu yang bernama Pek Khun. Kakek buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."

Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik. "Mengapa begitu? Di manakah ayah ibumu dan siapakah mereka?"

"Teecu tidak pernah mengenal ayah mau pun ibu. Menurut cerita kakek buyut teecu, ayah adalah cucunya dan ayah bernama Pek Kong. Karena dulu teecu hendak dirampas oleh orang-orang jahat, demikian kata kakek buyut teecu, maka sejak bayi teecu dibawa pergi oleh kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini untuk mempelajari ilmu. Menurut kakek Pek Khun, kakek dan juga ayah teecu secara berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun."

"Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemmm, aku belum pernah mendengar nama itu. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau adalah keturunan orang-orang gagah."

"Teecu tidak banyak tahu tentang keluarga teecu sendiri, dan kini teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu supaya teecu tidak menjadi penasaran lagi?"

Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang lalu termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu sekarang terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling kasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama.

Mereka berdua kemudian pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Sesudah lewat beberapa pekan, barulah masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa di dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib.

Kemudian, pada suatu malam yang diterangi bulan purnama, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dengan hawa yang sejuk, terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan birahi membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela.

Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang sudah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk. Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka.

Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di pinggir Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka segera pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan serta kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.

Ceng Hok Hwesio sangat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang kelihatan gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apa lagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu. Diterimanya mereka dengan hati rela sehingga mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam selalu mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio.

Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, biar pun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun.

Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidak senangan.

Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal. Dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut!

Keinginan untuk mencapai dan mendapat hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat. Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya bisa melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat.

Pengejaran kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian, pemerasan dan sebagainya. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling bunuh bahkan dapat pula menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjinah, memperkosa dan sebagainya lagi.


Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Semenjak kecil hwesio ini sudah hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Kini, sebagai muridnya Hui Cu sering berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya.

Hui Cu, biar pun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun dia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ini dia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu.

Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu birahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang telah dinyatakan dengan pandangan matanya. Namun gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan!

Kemudian terjadilah sesuatu yang amat menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini dia masih dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja dia tidak mampu menyembunyikannya lagi.

Bagaikan seekor harimau kelaparan Ceng Hok Hwesio lalu menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal. "Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki.

Pada saat itu pula Ci Kang cepat maju berlutut. "Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya teecu yang bersalah. Akan tetapi semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak pernah melakukan hal itu, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu."

"Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?!" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhu-nya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.

"Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami sudah... sudah... akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mengandung."

"Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"

Ci Kang menggeleng kepalanya. "Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri..."

"Omitohud... semoga kuil ini diampuni dari dosa-dosa yang sangat besar ini. Bukan suami isteri namun kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si...!"

"Ampun, Suhu, kami tak sengaja. Andai kata kami tahu bahwa Hui Cu telah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."

"Andai kata... andai kata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama serta kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Maka, sebagai gantinya kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertobat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?"

Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut, mendengarkan dengan hati pilu. Apa lagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.

"Bagaimana pun juga, kalian harus menerima hukuman yang telah pinceng jatuhkan tadi, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.

"Teecu... sanggup...," kata Hui Cu.

Ci Kang terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan namun Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah menyanggupi, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyatakan kesanggupannya juga.

"Teecu sanggup."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni dosa kalian berdua. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa di dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!"

Semua hwesio yang berada di sana terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi ketika dia melihat pandangan mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia hanya bisa menarik napas panjang. Tadi mereka berdua telah menyatakan kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa beratnya itu.

Semua peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya mengenai sebab hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya karena Han Siong masih terlampau kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya baru dua belas tahun, belum dewasa.

"Han Siong, dulu Suhu dan Subo-mu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil. Kami berdua sudah menjadi suami isteri kemudian Subo-mu melahirkan seorang anak, karena itu kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar Renungan Dosa..."

"Tapi itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"

"Di kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apa lagi ketika itu kami telah menjadi pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid kuil, Subo-mu sudah mengandung. Andai kata kami tahu, tentu kami tidak menjadi hwesio dan nikouw sehingga tidak melakukan pelanggaran dan dosa."

"Tapi, dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!" kembali Han Siong berseru.

Ci Kang tersenyum. "Ssttt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa. Kamar-kamar kami amat baik, juga kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan."

Han Siong mengangguk-angguk. "Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apa lagi kalau malam tiba..."

"Ehh, kau tahu akan hal itu?" gurunya bertanya heran.

"Pernah teecu melihat ada dua bayangan berkelebat masuk lantas dikejar oleh bayangan Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo sering keluar dari kamar secara rahasia?"

Kembali gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, memang ada kalanya kami perlu keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh ikut tinggal di sini sehingga kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak, maka mereka menerimanya dengan senang hati. Nah, kadang-kadang kami pergi untuk menjenguk anak kami itu, atau ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi kami akan tetap memenuhi masa hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Namun hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak perempuan kami itu telah lenyap."

"Lenyap...?" Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhu-nya. "Bagaimana bisa lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?"

Ci Kang menarik napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu menjalani hukuman, pada waktu malam keduanya sering kali keluar dari tempat tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lian, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana.

Sejak mereka tahu bahwa Hui Cu mengandung, tentu saja mereka melanjutkan hubungan mereka sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi, apa lagi setelah mereka tidak menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak menganggap mereka sebagai anggota Siauw-lim-pai lagi.

Mereka berdua bukan hanya menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Bi Lian, semenjak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali, ketika Siangkoan Ci Kang sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan, dia menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat di bawah lantai. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain adalah ilmu silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im.

Setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata ilmu-ilmu silat itu sangat aneh dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh tahun, mereka sudah mulai dapat menguasainya.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya ilmu-ilmu itu dipelajari kalau dua orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui Cu lalu memberi nama Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu. Dan ternyata bahwa Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka gunakan dengan baik sehingga dapat mengalahkan Lam-hai Giam-lo.