Asmara Berdarah Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

BEGITU tubuhnya meloncat dan terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu sehingga loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu yang dilemparkan dengan tenaga raksasa. Jika bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu.

Akan tetapi Hui Song tak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia bisa mengambil tindakan yang tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya lantas dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadi pun dapat dia hindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali, kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh.

Ketika memandang, kepalanya terasa pening sehingga dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia mampu menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Kini dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!

"Cin-moi...!" Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan kemudian dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.

"Dia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.

"Untung dia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.

Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinya pun merasa lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berhenti sama sekali seperti semula. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang akan menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!

"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.

"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.

"Atau dia sengaja memancing para pendekar supaya berkumpul di sini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasia batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.

"Aku tidak peduli Iblis itu menggunakan siasat apa pun, aku tidak peduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.

Cia Sun mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orang lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri. Ci Kang hanya diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.

"Maksudku, aku tak peduli aku celaka atau mati sekali pun asalkan dia bisa diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.

Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat-cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya tetapi segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, dia merasa betapa tempat di sekelilingnya masih berpusing.

"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.

Mendengar suara Hui Song ini, legalah hati Sui Cin. Tadi dia telah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja merasa berpusing sedemikian cepatnya, maka dia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni hingga akhirnya dia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.

"Kalian berhati-hatilah, jangan bertindak gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ahh, siapa yang datang itu...?"

Tiga orang muda itu memandang dan mereka mengerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.

"Hemm, kalau ternyata itu adalah Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.

"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.

"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.

"Heii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.

"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang saat mengenal kakek gendut botak itu.

Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.

"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"

"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"

Setelah mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"

"Locianpwe, tadi kami bertiga telah mencoba-coba akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."

Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya berkata, "Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu bisa membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"

Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia pun menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.

"Ha-ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlampau banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.

Kerut di antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal. "Ahhh, apa sih sukarnya? Walau pun batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"

"Jangan, suhu!" Hui Song berseru. "Baru diinjak saja sudah mengeluarkan senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apa lagi kalau digempur!"

"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur kemudian alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti engkau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelalak dan mulut cemberut. Dia marah sungguh-sungguh, namun tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.

"Huhh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir di sini? Aku menggempur batu pat-kwa sementara engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau harus menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"

"Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang seperti engkau inilah yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kau habiskan sendiri!"

"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tak tahu terima kasih kepada alam, meski alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."

"Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"

Kini dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin segera berseru, "Suhu, aku tidak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"

Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai cukup lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang.

"Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"

Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak mau melayani, malah dia bertanya kepada Hui Song "Kalian tadi telah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan kepadaku, apa rahasianya!"

"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu otomatis mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa ini juga mengandung jebakan yang berbahaya sekali sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dan alat rahasianya tak berdaya lagi. Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami bertiga telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu lantas hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itu pun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"

Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin segera mengejek, "Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"

Hui Song memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"

"Membebaskan dia melalui batu pat-kwa itu tidak mungkin, meloncat ke tiang itu pun tidak mungkin. Maka satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah dengan membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"

Mendadak kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah. "Ndut, mengapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"

"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya mampu dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulurkan lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"

Biar pun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu meski pun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang lantas memandang kakek gendut dengan mata melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku sudah tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."

"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.

"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia segera menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkau San-sian (Dewa Kipas), karena engkaulah yang paling gendut dan paling berat, juga sebagai hukumanmu tadi telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga yang terbawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu..." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini..." kini dia menunjuk Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku itu. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"

Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya orang yang bertubuh kecil biasanya memang lebih gesit dan cerdik dari pada orang yang memiliki tubuh besar. Dia lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti..."

"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat sekali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.

Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini, Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turuti saja perintahku! Tidak perlu membuang banyak waktu lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa pada bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan semua tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"

Biar pun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas. "Jangan kata hanya empat orang, biar pun sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.

"Bagus, jika begitu cepat kau rebahkan dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"

Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, pada bagian segi yang tertutup bayangan tiang.

"Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas dulu bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."

Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya, ada pun tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu.

Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lantas meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung.

Setelah itu Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, bagai seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, dua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Kini jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.

"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heiii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"

Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang. Gadis ini menoleh ke belakang karena pada waktu itu matahari berada di depannya, ada pun bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.

"Ha-ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenaga pun aku masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan berat tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan berbicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biar pun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!

"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin.

Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar pada kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin!

Akhirnya mereka dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa mau pun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil akan tetapi mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.

"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar dari batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar dari batu pat-kwa!"

Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang oleh tiang. Gurunya memegang kedua pundaknya, lantas dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melempar tubuh muridnya itu ke arah samping.

Tubuh gadis itu segera melayang jauh. Dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya hingga akhirnya dengan lunak gadis itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!

Tiang manusia itu pun terbongkar sesudah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.

"Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.

"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"

Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan yang luar biasa, kini berlari menghampiri Hui Song yang telah melompat turun pula. Mereka berdua saling menghampiri dan sekarang berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa dia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.

"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.

"Benar sekali katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.

Mendengar kata-kata dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan gadis ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lantas menghampiri Cia Sun.

"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.

"Berterima kasihlah kepada suhu-mu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.

Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali. Dalam hatinya dia tak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"

Ci Kang mengangkat muka memandang. Melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."

Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan kepalang ketika melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Bila menurutkan perasaan hatinya, ingin dia meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimana pun juga Ci Kang telah membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia pun menahan kepanasan hatinya.

"Di mana datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu sekarang, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"

Sambil berkata demikian dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda ini pun putera seorang datuk sesat.

"Sesudah mengikatku di sini mereka lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.

"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua iblis itu dihancurkan tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi," kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.

Seperti dikomando saja enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itu pun tidak mereka temukan.

Agaknya kedua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit sana memang batu pat-kwa itu dapat terlihat dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya ketika suami isteri iblis itu melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai pula, mereka menjadi gentar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.

"Hemmm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.

"Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata sehingga semua mata memandang padanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka."

Akan tetapi pada saat itu pula terdengar Cia Sun berkata, "Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"

Sebagai penunjuk jalan Ci Kang dan Cia Sun segera berlari cepat diikuti oleh yang lain. Sesudah melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,

"Ehh, kenapa ke San-hai-koan?"

"Memang di situlah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapa pun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Perang akhirnya selesai sesudah bala tentara pemerintah merebut kembali San-hai-koan dan Ceng-tek. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun bersama para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.

Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras sedang bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu sudah diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan segera menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.

Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu. Mereka diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walau pun mereka merasa jeri juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang prajurit pengawal pilihan.

Tempat rahasia itu segera dikepung oleh pasukan. Enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.

"Kami akan bersembunyi dahulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia menggunakan tongkat sakti itu, bagaimana pun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."

"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja bila mana kami telah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe baru keluar membantu sehingga dia tak sempat lagi mengeluarkan tongkatnya itu."

Sesudah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang ada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lantas menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khikang-nya.

"Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"

Tidak ada jawaban dari bawah, juga tak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.

Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!"

Perwira ini hendak menggunakan siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap supaya mereka yang berada di sebelah dalam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.

Melihat kesibukan prajurit-prajurit pengawal mempersiapkan perintah sang perwira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang prajurit yang berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika karena jarum-jarum beracun sudah menyambar tenggorokan mereka. Dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua sosok tubuh, seorang lelaki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek.

Tentu saja para prajurit pengawal menjadi terkejut dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi dua orang muda itu benar-benar lihai dan begitu mereka berdua menggerakkan pedang, kembali robohlah empat orang prajurit yang mengeroyok mereka.

Sementara itu, ketika mengenal bahwa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang langsung marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sute-nya biar pun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.

"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menyerah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"

Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merubah sifat pemuda ini. Biar pun dia marah sekali dan tahu bahwa bekas sute-nya ini adalah seorang jahat yang sepatutnya dibasmi, namun dia masih memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merubah sifatnya yang jahat.

Namun Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, betapa lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang.

Akan tetapi, dengan mudah saja Ci Kang mengelak dan menendang ke arah pergelangan lengan lawan yang juga dapat dielakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru biar pun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.

Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu segera menyerang tanpa banyak cakap lagi. Dia pun hanya mempergunakan tangan kosong saja, menubruk sambil mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak,

"Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"

Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa dia telah terkepung oleh banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap dia pun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat kosong, bahkan dia terkejut bukan main ketika melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah menyerang ke arah kepalanya dengan tamparan dari samping!

Tahulah dia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang tangguh, sebab itu dia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh. Maka terjadilah perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.

Cia Sun dan Hui Song hanya menonton sambil bersiap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena maklum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan kedua orang musuh itu. Membantu teman yang lebih kuat dari pada lawan merupakan pantangan bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras, lalu tanah dan batu muncrat dari tempat tak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlubang besar lantas dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa.

Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian prajurit melainkan pakaian jago silat, ada pun di atas joli terbuka itu duduk dua orang yang membuat semua orang menjadi terkejut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!

Tentu saja para prajurit segera mengepungnya, lantas belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya.

Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk dan kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka. Hawa pukulan segera menyambar dahsyat, membuat belasan orang prajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa mampu bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para prajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.

Asmara Berdarah Jilid 36

BEGITU tubuhnya meloncat dan terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu sehingga loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu yang dilemparkan dengan tenaga raksasa. Jika bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu.

Akan tetapi Hui Song tak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia bisa mengambil tindakan yang tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya lantas dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadi pun dapat dia hindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali, kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh.

Ketika memandang, kepalanya terasa pening sehingga dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia mampu menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Kini dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!

"Cin-moi...!" Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan kemudian dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.

"Dia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.

"Untung dia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.

Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinya pun merasa lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berhenti sama sekali seperti semula. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang akan menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!

"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.

"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.

"Atau dia sengaja memancing para pendekar supaya berkumpul di sini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasia batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.

"Aku tidak peduli Iblis itu menggunakan siasat apa pun, aku tidak peduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.

Cia Sun mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orang lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri. Ci Kang hanya diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.

"Maksudku, aku tak peduli aku celaka atau mati sekali pun asalkan dia bisa diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.

Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat-cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya tetapi segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, dia merasa betapa tempat di sekelilingnya masih berpusing.

"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.

Mendengar suara Hui Song ini, legalah hati Sui Cin. Tadi dia telah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja merasa berpusing sedemikian cepatnya, maka dia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni hingga akhirnya dia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.

"Kalian berhati-hatilah, jangan bertindak gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ahh, siapa yang datang itu...?"

Tiga orang muda itu memandang dan mereka mengerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.

"Hemm, kalau ternyata itu adalah Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.

"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.

"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.

"Heii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.

"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang saat mengenal kakek gendut botak itu.

Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.

"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"

"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"

Setelah mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"

"Locianpwe, tadi kami bertiga telah mencoba-coba akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."

Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya berkata, "Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu bisa membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"

Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia pun menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.

"Ha-ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlampau banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.

Kerut di antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal. "Ahhh, apa sih sukarnya? Walau pun batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"

"Jangan, suhu!" Hui Song berseru. "Baru diinjak saja sudah mengeluarkan senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apa lagi kalau digempur!"

"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur kemudian alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti engkau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelalak dan mulut cemberut. Dia marah sungguh-sungguh, namun tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.

"Huhh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir di sini? Aku menggempur batu pat-kwa sementara engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau harus menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"

"Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang seperti engkau inilah yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kau habiskan sendiri!"

"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tak tahu terima kasih kepada alam, meski alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."

"Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"

Kini dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin segera berseru, "Suhu, aku tidak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"

Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai cukup lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang.

"Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"

Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak mau melayani, malah dia bertanya kepada Hui Song "Kalian tadi telah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan kepadaku, apa rahasianya!"

"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu otomatis mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa ini juga mengandung jebakan yang berbahaya sekali sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dan alat rahasianya tak berdaya lagi. Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami bertiga telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu lantas hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itu pun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"

Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin segera mengejek, "Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"

Hui Song memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"

"Membebaskan dia melalui batu pat-kwa itu tidak mungkin, meloncat ke tiang itu pun tidak mungkin. Maka satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah dengan membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"

Mendadak kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah. "Ndut, mengapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"

"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya mampu dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulurkan lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"

Biar pun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu meski pun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang lantas memandang kakek gendut dengan mata melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku sudah tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."

"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.

"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia segera menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkau San-sian (Dewa Kipas), karena engkaulah yang paling gendut dan paling berat, juga sebagai hukumanmu tadi telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga yang terbawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu..." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini..." kini dia menunjuk Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku itu. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"

Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya orang yang bertubuh kecil biasanya memang lebih gesit dan cerdik dari pada orang yang memiliki tubuh besar. Dia lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti..."

"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat sekali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.

Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini, Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turuti saja perintahku! Tidak perlu membuang banyak waktu lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa pada bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan semua tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"

Biar pun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas. "Jangan kata hanya empat orang, biar pun sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.

"Bagus, jika begitu cepat kau rebahkan dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"

Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, pada bagian segi yang tertutup bayangan tiang.

"Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas dulu bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."

Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya, ada pun tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu.

Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lantas meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung.

Setelah itu Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, bagai seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, dua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Kini jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.

"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heiii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"

Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang. Gadis ini menoleh ke belakang karena pada waktu itu matahari berada di depannya, ada pun bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.

"Ha-ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenaga pun aku masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan berat tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan berbicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biar pun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!

"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin.

Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar pada kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin!

Akhirnya mereka dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa mau pun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil akan tetapi mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.

"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar dari batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar dari batu pat-kwa!"

Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang oleh tiang. Gurunya memegang kedua pundaknya, lantas dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melempar tubuh muridnya itu ke arah samping.

Tubuh gadis itu segera melayang jauh. Dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya hingga akhirnya dengan lunak gadis itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!

Tiang manusia itu pun terbongkar sesudah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.

"Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.

"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"

Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan yang luar biasa, kini berlari menghampiri Hui Song yang telah melompat turun pula. Mereka berdua saling menghampiri dan sekarang berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa dia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.

"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.

"Benar sekali katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.

Mendengar kata-kata dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan gadis ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lantas menghampiri Cia Sun.

"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.

"Berterima kasihlah kepada suhu-mu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.

Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali. Dalam hatinya dia tak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"

Ci Kang mengangkat muka memandang. Melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."

Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan kepalang ketika melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Bila menurutkan perasaan hatinya, ingin dia meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimana pun juga Ci Kang telah membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia pun menahan kepanasan hatinya.

"Di mana datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu sekarang, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"

Sambil berkata demikian dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda ini pun putera seorang datuk sesat.

"Sesudah mengikatku di sini mereka lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.

"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua iblis itu dihancurkan tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi," kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.

Seperti dikomando saja enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itu pun tidak mereka temukan.

Agaknya kedua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit sana memang batu pat-kwa itu dapat terlihat dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya ketika suami isteri iblis itu melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai pula, mereka menjadi gentar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.

"Hemmm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.

"Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata sehingga semua mata memandang padanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka."

Akan tetapi pada saat itu pula terdengar Cia Sun berkata, "Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"

Sebagai penunjuk jalan Ci Kang dan Cia Sun segera berlari cepat diikuti oleh yang lain. Sesudah melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,

"Ehh, kenapa ke San-hai-koan?"

"Memang di situlah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapa pun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Perang akhirnya selesai sesudah bala tentara pemerintah merebut kembali San-hai-koan dan Ceng-tek. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun bersama para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.

Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras sedang bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu sudah diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan segera menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.

Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu. Mereka diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walau pun mereka merasa jeri juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang prajurit pengawal pilihan.

Tempat rahasia itu segera dikepung oleh pasukan. Enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.

"Kami akan bersembunyi dahulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia menggunakan tongkat sakti itu, bagaimana pun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."

"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja bila mana kami telah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe baru keluar membantu sehingga dia tak sempat lagi mengeluarkan tongkatnya itu."

Sesudah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang ada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lantas menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khikang-nya.

"Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"

Tidak ada jawaban dari bawah, juga tak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.

Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!"

Perwira ini hendak menggunakan siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap supaya mereka yang berada di sebelah dalam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.

Melihat kesibukan prajurit-prajurit pengawal mempersiapkan perintah sang perwira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang prajurit yang berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika karena jarum-jarum beracun sudah menyambar tenggorokan mereka. Dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua sosok tubuh, seorang lelaki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek.

Tentu saja para prajurit pengawal menjadi terkejut dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi dua orang muda itu benar-benar lihai dan begitu mereka berdua menggerakkan pedang, kembali robohlah empat orang prajurit yang mengeroyok mereka.

Sementara itu, ketika mengenal bahwa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang langsung marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sute-nya biar pun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.

"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menyerah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"

Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merubah sifat pemuda ini. Biar pun dia marah sekali dan tahu bahwa bekas sute-nya ini adalah seorang jahat yang sepatutnya dibasmi, namun dia masih memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merubah sifatnya yang jahat.

Namun Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, betapa lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang.

Akan tetapi, dengan mudah saja Ci Kang mengelak dan menendang ke arah pergelangan lengan lawan yang juga dapat dielakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru biar pun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.

Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu segera menyerang tanpa banyak cakap lagi. Dia pun hanya mempergunakan tangan kosong saja, menubruk sambil mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak,

"Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"

Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa dia telah terkepung oleh banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap dia pun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat kosong, bahkan dia terkejut bukan main ketika melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah menyerang ke arah kepalanya dengan tamparan dari samping!

Tahulah dia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang tangguh, sebab itu dia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh. Maka terjadilah perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.

Cia Sun dan Hui Song hanya menonton sambil bersiap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena maklum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan kedua orang musuh itu. Membantu teman yang lebih kuat dari pada lawan merupakan pantangan bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras, lalu tanah dan batu muncrat dari tempat tak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlubang besar lantas dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa.

Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian prajurit melainkan pakaian jago silat, ada pun di atas joli terbuka itu duduk dua orang yang membuat semua orang menjadi terkejut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!

Tentu saja para prajurit segera mengepungnya, lantas belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya.

Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk dan kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka. Hawa pukulan segera menyambar dahsyat, membuat belasan orang prajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa mampu bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para prajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.