Siluman Goa Tengkorak Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SADIS telah berdiri di sana sambil bertolak pinggang dan menentang pandangan matanya dengan senyum mengejek dan mata mencorong penuh kemarahan! Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati Siluman Goa Tengkorak ketika melihat pendekar ini.

"Ahh, Ceng-taihiap...!" katanya dengan suara yang ramah sekali, suara yang mengandung kekuatan sihir untuk menundukkan lawan. "Aku selalu memegang janji, tidak membunuh engkau atau Toan-lihiap..."

"Bagus, memang engkau tidak melanggar janji. Dan aku pun tidak akan membunuhmu, hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada para tosu Hong-kiam-pang dan Bu-tong-pai."

"Pengkhianat kau!" bentak Sian-su dan dia pun telah menerjang dan memukulkan tangan kanannya ke arah kepala Thian Sin.

"Darrrrr...!"

Thian Sin terkejut juga saat melihat sinar terang disertai bunyi ledakan ketika ada benda menghantam dinding di belakangnya. Pukulan Sian-su tadi dielakkannya dan ternyata Sian-su itu tidak hanya memukul, akan tetapi juga melepaskan sesuatu dari kepalan tangannya ke arah kepalanya yang akhirnya membentur dinding dan meledak, membuat dinding itu berlubang sebesar kepala orang. Kalau benda itu mengenai kepalanya dan meledak, tentu kepalanya yang akan pecah!

Sian-su sudah menerjang lagi dengan penuh kemarahan dan karena tangan kirinya masih memeluk peti hitam, dia mempergunakan pukulan tangan kanan secara beruntun dua kali dibantu oleh tendangan kakinya satu kali.

"Dukk! Dukk! Desss...!"

Thian Sin sengaja menangkis dua kali pukulan serta satu kali tendangan itu sambil dia mengerahkan tenaga keras lawan keras. Tubuhnya tergetar oleh pertemuan tenaga itu, akan tetapi juga Sian-su terdorong ke belakang sampai dua langkah dan terhuyung. Thian Sin tersenyum mengejek.

"Ha-ha-ha, Siluman Goa Tengkorak! Sekarang keluarkanlah semua kepandaianmu. Mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih kuat!"

Siluman itu hanya menggeram dan sekarang dia sudah menerjang lagi karena Thian Sin menghalang di depannya. Tangan kanannya bukan memukul melainkan mencengkeram, dan melihat betapa gerakan tangan itu berputar dan disertai bunyi suara mencicit nyaring, maka tahulah Thian Sin bahwa lawannya menggunakan ilmu pukulan yang amat keji, dan mungkin merupakan tok-ciang (tangan beracun). Akan tetapi, tentu saja Pendekar Sadis tidak takut, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi cengkeraman ini.....

Diam-diam dia sudah merasa heran sekali kenapa lawannya tetap memeluk peti hitam itu, padahal dalam pertemuan tenaga tadi saja siluman itu tentu sudah maklum bahwa tenaga siluman itu kalah kuat. Kalau bukan peti yang isinya amat berharga tentu siluman itu akan melepaskan peti itu supaya bisa menyerang dengan leluasa dan mempergunakan seluruh kepandaiannya.

"Wuttttt...! Plakk...!"

Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu dielakkan oleh Thian Sin, akan tetapi dibiarkan mengenai pundaknya dan dia telah menyambutnya dengan pengerahan tenaga Thi-khi I-beng!

"Aihhh...!" Sian-su memekik terkejut bukan main ketika cengkeramannya yang mengenai pundak itu mengakibatkan tenaganya langsung membanjir keluar, tersedot oleh kekuatan yang amat dahsyat dan pada saat itu, petinya telah terampas oleh Thian Sin.

"Thi-khi I-beng...!" serunya dan tiba-tiba tenaga cengkeramannya itu menghilang dan pada saat itu, dua jari tangan kirinya mencuat ke depan, ke arah kedua mata Thian Sin.

Memang hebat juga ketua Jit-sian-kauw ini. Agaknya dia sudah mengenal Thi-khi I-beng dengan baik dan tahu bagaimana caranya untuk menghadapinya. Dia telah menghentikan aliran tenaga sinkang-nya sehingga tidak sampai tersedot lagi dan jari tangan kirinya yang menusuk ke arah sepasang mata lawan itu tentu saja tidak dapat dihadapi dengan Thi-khi I-beng, karena sinkang yang bagaimana hebat pun tak mungkin dapat disalurkan melalui biji mata!

Thian Sin maklum akan berbahayanya serangan lawan itu, maka dia pun sudah meloncat ke belakang sambil membawa peti hitam. Tetapi gerakannya itu memberikan kesempatan kepada lawannya untuk meloncat ke kiri dan tiba-tiba saja siluman itu lenyap di belakang sebuah tiang besar.

"Siluman keparat, hendak lari ke mana engkau?" Thian Sin membentak sambil mengejar, namun di balik tiang ini tidak ada apa-apanya dan siluman itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Thian Sin menjadi penasaran bukan main. Ia merasa yakin sekali bahwa siluman itu tidak meninggalkan tempat itu melalui lain jalan. Tadi hanya terlihat meloncat ke belakang tiang ini dan lenyap. Maka dia pun segera menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah tiang sambil mengerahkan tenaga.

"Brakkkkk...!"

Tiang yang amat tebal itu, yang tebalnya dua kali ukuran manusia, pecah berantakan dan kiranya di sebelah dalam tiang itu berlubang dan tiang itu adalah tiang palsu, bukan balok kayu melainkan papan yang dibentuk seperti tiang dan di dalamnya berlubang. Sesudah pecah berantakan, nampak lubang itu turun ke bawah.

Thian Sin maklum bahwa itulah jalan rahasia yang baru dilalui oleh lawannya, maka tanpa ragu-ragu lagi sambil masih mengempit peti hitam itu, dia pun meloncat ke dalam lubang yang ternyata tidak seberapa dalam itu. Dia sampai di sebuah ruangan bawah dan terus meloncat ke arah pintu yang membawanya ke sebuah ruangan lain yang penuh dengan cermin.

Cemin-cermin kecil yang bersambung-sambung itu mencerminkan dirinya menjadi banyak sekali. Setiap kali dia bergerak, Thian Sin melihat semua bayangannya itu turut bergerak sehingga dia merasa seakan sedang dikepung oleh banyak sekali orang, ada tiga puluh banyaknya dan semua merupakan bayangannya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat, tentu saja gerakan-gerakan itu membuatnya terkejut dan waspada.

Setelah yakin bahwa semua bayangan itu adalah bayangannya sendiri, barulah dia berani melanjutkan langkahnya, meneliti serta memeriksa cermin-cermin yang berupa pintu-pintu tanpa kunci itu. Tentu saja gerakannya ketika memeriksa cermin-cermin itu diikuti terus oleh semua bayangannya.

Tiba-tiba Thian Sin meloncat ke kiri dan tujuh buah pisau terbang menyambar lewat, tapi salah satu sempat menyerempet bahunya, merobek baju dan melukai kulitnya. Dia cepat menengok dan mencari-cari dengan matanya, akan tetapi yang ikut bergerak-gerak hanya bayangan-bayangannya saja. Tak ada bayangan orang lain. Dia segera berhenti bergerak dan matanya saja yang melirik ke sana ke mari, ke dalam cermin-cermin itu. Namun yang nampak hanya dirinya sendiri.

Tadi dia merasa sukar untuk menangkap gerakan orang yang menyambitkan hui-to (pisau terbang) karena pandang matanya terpengaruh oleh semua gerakan bayangannya sendiri sehingga kalau ada bayangan orang lain, tentu gerakan orang itu dapat menyelinap dan tersembunyi oleh gerakan semua bayangannya sendiri itu. Thian Sin menjadi penasaran dan marah. Peti hitam itu ditaruhnya ke depan, menghantam ke arah pintu bercermin di depannya sambil mengerahkan tenaga.

"Brakkkk...!"

Cermin itu hancur berkeping-keping dan di balik cermin terdapat dinding bata yang kuat. Akan tetapi pada saat dia memukul tadi, dia sempat melihat sinar berkelebatan dari arah kanannya dan cepat dia menggulingkan tubuhnya. Kembali tujuh batang hui-to lewat dan karena dia tahu bahwa yang menyerangnya secara menggelap itu dari kanan datangnya, dia pun lalu menubruk ke kanan, ke arah cermin.

"Brakkk...!" Cermin-cermin ini pun hancur akan tetapi di belakangnya tidak terdapat siapa pun kecuali dinding batu.

Kini Thian Sin mengerti. Apa bila dia diam saja sehingga semua bayangannya turut diam, maka lawan tidak bergerak. Akan tetapi jika tubuhnya bergerak dan semua bayangannya tentu saja juga bergerak, kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya untuk turun tangan karena gerakannya tentu akan kabur dengan gerakan semua bayangan itu. Maka kini dia pura-pura bergerak lagi namun diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya.

Benar saja, sekarang dari arah kirinya dia melihat bayangan lain, bukan bayangan dirinya sendiri. Begitu melihat bayangan yang lain dari pada bayangannya sendiri, Thian Sin lalu memekik dan tubuhnya mencelat ke kiri, kedua kakinya menendang dengan dahsyatnya ke arah cermin di mana tadi dia melihat gerakan yang bukan bayangannya.

"Bresssss...!" Terdengar suara orang mengaduh dan daun pintu di balik cermin itu pecah berantakan.

Thian Sin melihat berkelebatnya orang yang meloncat ke depan dan melarikan diri. Cepat dia menyambar peti hitam dan melakukan pengejaran, akan tetapi Sian-su, orang itu yang biar pun sudah terkena tendangannya akan tetapi ternyata masih terlalu kuat untuk roboh itu, telah lenyap lagi melalui jalan rahasia yang tidak diketahuinya. Karena merasa tidak mampu mengejar lawan yang menggunakan jalan rahasia itu, dan juga mengkhawatirkan keadaan orang-orang Bu-tong-pai yang menghadapi keroyokan banyak orang, dengan hati kecewa Thian Sin lalu berjalan kembali ke tempat semula.

"Thian Sin...!"

Ternyata Kim Hong yang memanggilnya dan gadis ini pun membawa sebuah peti hitam yang serupa benar dengan peti yang dibawanya.

"Apa yang kau bawa itu?" Thian Sin bertanya.

"Kurampas dari Siok Cin Cu, tosu keparat pembantu ketua siluman itu. Dia telah kubunuh dan peti ini berisi harta yang agaknya hendak dilarikannya. Dan peti di tanganmu itu?"

"Kurampas dari Sian-su, sayang dia dapat melarikan diri melalui jalan rahasia yang tidak kukenal. Entah apa isinya..." Thian Sin menurunkan peti itu kemudian membuka tutupnya dan mereka memandang silau.

"Hemmm, isinya sama dengan isi peti ini," kata Kim Hong. "Agaknya siluman itu bersama pembantunya telah bersiap-siap hendak melarikan diri sambil membawa harta benda hasil kejahatan mereka, masing-masing membawa satu peti penuh perhiasan."

"Sudahlah, mari kita bantu orang-orang Bu-tong-pai menghadapi para anak buah siluman itu..."

"Kau bantulah mereka. Aku sendiri akan membebaskan para gadis yang ditawan sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka," jawab Kim Hong.

"Baik, dan sebaiknya engkau bawa kedua peti ini bersamamu. Engkau tentu masih ingat bagaimana untuk membebaskan orang dari pengaruh sihir dan bius?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Menotok dua belas Keng-siang-meh dan mengurut tujuh Ki-keng-meh, lalu mengguyur mereka dengan air dingin."

Thian Sin mengangguk dan mengelus dagu kekasihnya. "Bagus, engkau memang hebat. Nah, aku pergi dulu..." Dia pun lalu lari meninggalkan tempat itu untuk keluar membantu lima orang tokoh Bu-tong-pai yang tengah dikeroyok oleh banyak anak buah Siluman Goa Tengkorak dan para tamunya itu.

Kim Hong juga meninggalkan tempat itu, membawa kedua buah peti hitam yang diikatnya menjadi satu menggunakan tirai sutera yang terdapat di ruangan itu lantas pergilah dia ke ruangan dalam untuk mencari gadis-gadis yang dia duga tentu dikumpulkan dalam suatu tempat.

Dugaan gadis ini memang tepat. Dia menemukan hampir empat puluh orang wanita yang rata-rata masih muda dan cantik-cantik, dengan wajah yang pucat dan pandangan mata kosong, duduk berkumpul di sebuah ruangan besar. Ada empat orang bertopeng menjaga di depan ruangan, membawa golok dan memandang beringas ketika dia datang membawa dua buah peti hitam itu.

Empat orang penjaga ini segera mengenalnya sebagai gadis tawanan yang memberontak dan melarikan diri, maka tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menerjang maju. Melihat berkelebatnya empat batang golok itu, Kim Hong menggerakkan tangan yang memegang sutera pengikat dua peti hitam. Cahaya hitam yang lebar melayang, menyambut keempat batang golok itu dan gerakan ini diikuti oleh kedua kaki Kim Hong yang menendang empat kali beruntun.

Akibatnya, empat batang golok yang bertemu dengan peti-peti hitam itu terlempar, disusul tubuh empat orang itu yang terlempar pula, membentur dinding dan terbanting roboh, tak mampu bangun kembali karena ketika menendang tadi, Kim Hong mengerahkan tenaga pada kedua kakinya dan sekali tendang saja remuklah isi perut empat orang itu.

Kim Hong mendorong daun pintu ruangan itu hingga terbuka dan puluhan orang gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan. Beberapa orang di antara mereka bahkan maju dengan sikap menantang.

"Siapa kamu? Tidak boleh ada orang yang masuk ke sini kecuali ada ijin dari Sian-su!" kata salah seorang di antara mereka.

Kim Hong mengangkat muka memandang. Dia tahu bahwa gadis yang usianya baru tujuh belas tahun lebih ini, yang berwajah amat cantik, adalah kekasih Sian-su atau setidaknya merupakan gadis yang paling disuka oleh ketua siluman itu. Akan tetapi, di balik sikapnya yang genit dan binal, juga pandang mata gadis itu kosong dan sayu tanda bahwa gadis ini penuh oleh hawa jahat atau sihir yang mempengaruhi, dan wajahnya yang pucat itu pun menandakan bahwa dia telah banyak terkena obat bius. Semua gerakannya itu tak wajar dan gadis ini pun telah kehilangan kepribadiannya.

"Siapakah engkau?" Kim Hong bertanya dengan suara mengandung wibawa.

Akan tetapi gadis itu tidak terlihat takut, malah melangkah maju sambil mengangkat dagu dengan sikap tinggi hati. "Aku bernama Thio Siang Ci dan aku adalah murid terkasih dari Sian-su. Pergilah sebelum aku memanggil pengawal dan menangkapmu!"

Kim Hong tersenyum dan menurunkan dua buah peti yang dibawanya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ke depan. Akan tetapi dia kecelik kalau menyangka bahwa gadis itu sebagai murid dan kekasih Sian-su tentu lihai ilmu silatnya. Kiranya gadis itu sama sekali tidak pandai ilmu silat, dan sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak ketika dia menotoknya menjadi lumpuh seketika.

Terdengar jeritan-jeritan kaget dan marah dari para wanita itu. Akan tetapi Kim Hong tidak peduli dan cepat menggerakkan jari-jari tangannya menotok jalan darah di tempat-tempat tertentu pada tubuh Thio Siang Ci itu, lalu mengurut jalan darah Ki-keng-meh.

Gadis itu nampak tertidur pulas dan Kim Hong lalu melompat dan mengambil sepanci air yang berada di sudut ruangan, lalu menyiramkan air itu pada kepala Thio Siang Ci. Gadis itu adalah pengantin yang telah diculik oleh Silumah Goa Tengkorak, yaitu puteri dari Thio Ki, kembang dusun Ban-ceng.

Pada malam dia menjadi pengantin bersama The Si Kun, muncul siluman itu membunuh suaminya kemudian menculiknya. Siluman itu, atau Sian-su, tertarik akan kecantikannya sehingga semenjak malam itu, di bawah pengaruh sihir dan bius, Thio Siang Ci menjadi kekasihnya.

Begitu kepala dan mukanya terguyur air dingin, Thio Siang Ci gelagapan, terbangun dan seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia bangkit dan memandang ke sekitarnya. Pandang matanya yang sudah tidak kosong lagi itu terbelalak, mukanya pucat ketakutan melihat ke arah banyak gadis yang kini sudah serentak bangkit dengan marah itu.

"Di mana aku...? Apa... apa yang terjadi...?" Dan agaknya dia teringat, sebab tiba-tiba dia mendekap mukanya dengan kedua tangan, kemudian menangis mengguguk, memanggil-manggil ayahnya.

Sementara itu, gadis-gadis yang hampir empat puluh orang banyaknya itu sudah bangkit berdiri. Sebagian dari mereka yang berwatak pemberani, karena terdorong oleh kesetiaan mereka yang tidak wajar terhadap Sian-su, langsung maju hendak menyerang Kim Hong dengan cakaran dan gebukan.

Kim Hong maklum bahwa mereka itu adalah wanita-wanita tidak berdosa yang kehilangan kepribadiannya, maka dia pun cepat bergerak berkelebatan di antara mereka dan robohlah mereka itu satu demi satu karena sudah tertotok oleh pendekar wanita sakti ini. Yang lain-lain, yang ketakutan, kini berlutut dan tidak berani melawan.

Kim Hong lalu bekerja dengan sibuk dan cepat, menotoki wanita-wanita itu dan mengurut jalan darah mereka. Kemudian dia mengguyur kepala mereka dengan air yang diambilnya dari kamar mandi sehingga ruangan itu menjadi becek dan basah.

Akan tetapi kini keadaan dan suasana menjadi berubah sama sekali. Wanita-wanita yang telah sadar akan dirinya itu lalu menangis sehingga suasana menjadi riuh rendah dengan tangis mereka, seolah-olah di tempat itu terdapat perkabungan.

Kim Hong adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kekerasan hati seperti pria dan tak mengenal kecengengan lagi. Maka, melihat wanita-wanita menangis dengan cengeng ini, hatinya terasa mengkal dan dia pun sudah bangkit bediri lantas berkata dengan suara nyaring,

"Kalian semua diamlah, jangan menangis! Apa lagi yang perlu kalian tangisi? Kalian telah terseret ke tempat neraka ini, baik melalui bujukan beracun mau pun diculik, dan kalian hidup di dalam cengkeraman pengaruh ilmu sihir dan obat bius. Akan tetapi hari ini, aku Toan Kim Hong bersama sahabatku Ceng Thian Sin datang untuk membasmi gerombolan siluman ini dan membebaskan kalian. Lekaslah berkemas dan bawa barang-barang kalian masing-masing, kita akan keluar dari neraka ini dan kalian akan kembali kepada keluarga kalian masing-masing!"

Mendengar ucapan ini, bermacam-macam sambutan para wanita itu. Ada yang menangis mengguguk, ada yang tersenyum-senyum gembira, dan ada pula yang ketakutan karena meragukan apakah keluarga mereka akan sudi menerima mereka kembali. Dan sebagian besar adalah mereka yang menangis ketakukan dengan penuh keraguan dan kegelisahan ini.

Agaknya Kim Hong maklum pula akan hal ini, maka dia pun segera berkata lagi. "Jangan khawatir, kami akan menjelaskan kepada keluarga kalian! Dan andai kata keluarga kalian begitu kejam untuk tidak menerima kalian kembali, kalian tetap akan mampu hidup sendiri karena kami akan membagi-bagikan semua harta peninggalan Siluman Goa Tengkorak ini di antara kalian sehingga kehidupan kalian akan terjamin!"

Ucapan ini tentu saja merupakan hiburan bagi mereka. Kemudian, dengan dipimpin oleh Thio Siang Ci, mereka semua menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Kim Hong sambil menghaturkan terima kasih sehingga bersimpang-siurlah ucapan terima kasih mereka.

"Sudah... sudahlah, aku tidak mempunyai cukup waktu untuk segala macam upacara ini!" Kim Hong menggerak-gerakkan tangan dengan sikap hilang sabar. "Di luar masih terjadi pertempuran dan aku harus membantu untuk membasmi para siluman itu. Marilah, cepat, kita harus keluar dari sini!"

Sekarang para wanita itu sibuk berkemas, lantas mereka pun berbondong-bondong keluar meninggalkan ruangan itu, mengikuti Kim Hong yang mengajak mereka keluar ke tempat di mana terjadi pertempuran. Bahkan dengan bantuan wanita-wanita ini, Kim Hong dapat menghindari jebakan-jebakan rahasia.

Meski pun tadinya para wanita ini hidup dalam keadaan tersihir dan terbius, mereka tidak kehilangan ingatan mereka dan mereka tadinya hanya hidup seperti di dalam alam mimpi, telah kehilangan kepribadian akibat mereka itu diberi minuman-minuman yang di samping melumpuhkan kemauan sendiri, juga merangsang nafsu-nafsu mereka sehingga mereka hidup seakan-akan menjadi hamba nafsu yang harus melayani kebutuhan Sian-su, para anak buahnya dan para tamu, dan semua itu dilakukan dengan rela sebagai bakti mereka terhadap para dewa, terutama Dewa Kematian yang mereka puja.

Sementara itu, di luar daerah Goa Tengkorak terjadi pula kesibukan lain. Serombongan orang yang memegang pedang, dengan muka marah sekali berbondong-bondong menuju ke balik tebing Goa Tengkorak. Jumlah mereka ada tiga puluh orang, semuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah dan dipimpin oleh dua orang tosu. Mereka ini adalah orang-orang Hong-kiam-pang yang dipimpin sendiri oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, ketua dan pembantu utamanya.

Seperti kita ketahui, para murid Hong-kiam-pang dan pemimpinnya ini marah sekali ketika mendapat kenyataan bahwa Siluman Goa Tengkorak yang sudah membunuh tujuh orang anggota atau murid mereka itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Dan kemarahan mereka semakin memuncak pada saat Pendekar Sadis ditolong oleh seorang bertopeng tengkorak lainnya dan bersama siluman itu melarikan diri. Tentu saja mereka melakukan pengejaran dengan berpencar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Pendekar Sadis dan temannya di luar daerah Goa Tengkorak.

Karena dua orang pemimpin mereka mampu berlari lebih cepat dan dalam pengejaran itu meninggalkan mereka, maka mereka kehilangan dua orang pimpinan itu sehingga mereka termangu-mangu menanti di depan deretan Goa Tengkorak, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka tidak dapat menemukan jalan masuk dari goa-goa itu.

Sesudah matahari naik tinggi dan mereka menanti dengan kesabaran yang hampir habis, tiba-tiba muncullah Bu Beng Tojin memanggul tubuh Im Yang Tosu yang terluka! Tentu saja para murid Hong-kiam-pang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat bahwa luka yang diderita oleh Im Yang Tosu itu tidaklah hebat, hanya luka kulit daging saja karena pundak kanannya tertusuk sebuah pisau. Bu Beng Tojin tadi memanggulnya karena ketua Hong-kiam-pang ini jatuh pingsan!

"Pinto mencari-cari hingga ke belakang tebing, akan tetapi pinto kehilangan jejak siluman-siluman itu," kata Bu Beng Tojin menceritakan kepada murid-murid Hong-kiam-pang.

"Agaknya suheng juga mencari sampai di sana dan entah apa yang terjadi, tahu-tahu aku mendapatkan suheng sudah menggeletak pingsan dengan sebuah pisau yang tertancap di pundaknya. Maka pinto lalu cepat-cepat membawanya ke sini untuk merawatnya." Bu Beng Tojin sendiri yang merawat luka Im Yang Tosu dan akhirnya ketua Hong-kiam-pang ini siuman.

Dia mengeluh dan bangkit duduk, lalu teringat akan apa yang terjadi dan menarik napas panjang. "Ahh... Pendekar Sadis yang menyamar sebagai siluman itu sungguh berbahaya sekali...," katanya.

"Apa yang telah terjadi, suheng? Aku menemukan suheng dalam keadaan pingsan di situ, lalu suheng kubawa ke sini untuk dirawat."

Im Yang Tosu memandang kepada pembantunya itu. "Untung sute datang, dan agaknya musuh langsung lari sehingga tidak sempat membunuhku ketika melihat sute datang. Aku mengejar sampai ke balik tebing dan melihat bayangan memasuki semak-semak belukar kemudian lenyap. Aku telah memeriksa dan mencari akan tetapi tak berhasil menemukan sesuatu. Pada saat aku mulai menjadi bosan mencari dan hendak pergi, aku mendengar suara dari balik batu karang. Cepat aku mendekati dan ternyata ada rumpun alang-alang yang terkuak dan di balik rumpun alang-alang ini terdapat sebuah lubang. Pada saat itu ada bayangan berkelebat di sebelah dalam lubang yang gelap dan tiba-tiba saja ada pisau menyambar. Aku kurang cepat mengelak sehingga pisau itu mengenai pundakku. Karena lukanya hanya luka daging, tidak mungkin aku roboh karena itu, akan tetapi tiba-tiba aku mencium bau keras dan aku pun tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya iblis itu menggunakan racun atau obat bius...!"

Bu Beng Tojin bangkit berdiri sambil mengepal tinju mendengar penuturan suheng-nya ini. Mukanya merah padam, dan dia kelihatan marah sekali. "Sungguh keterlaluan Pendekar Sadis itu! Kita harus membuat perhitungan, sekarang juga! Aku pun sudah melihat lubang itu, suheng, dan agaknya lubang itulah jalan yang menuju ke dalam sarang mereka! Mari kita serbu sekarang juga!"

"Tapi, susiok, bukankah suhu sudah terluka sehingga perlu beristirahat?" bantah seorang murid.

"Aku tidak apa-apa, luka ini tidak ada artinya. Mari kita serbu dan basmi iblis kejam itu!" Im Yang Tosu juga berkata marah, bangkit semagatnya oleh sikap pembantunya.

Demikianlah, mereka berdua segera memimpin tiga puluh orang murid Hong-kiam-pang itu, berbondong-bondong pergi menuju ke balik tebing Goa Tengkorak. Karena dua orang pimpinan Hong-kiam-pang itu sekarang sudah menemukan jalan tembusan rahasia, yang berupa terowongan yang membawa mereka ke sarang Jit-sian-kauw, maka mereka dapat memasuki terowongan itu dengan sikap hati-hati sekali.

"Bagaimana pun juga, kita harus berhati-hati," kata Bu Beng Tojin sesudah mereka mulai memasuki terowongan dan dia berjalan paling depan. "Orang yang sudah mampu melukai suheng, biar pun secara menggelap, tentulah amat berbahaya."

Pada sepanjang jalan terowongan, mereka menemukan jebakan-jebakan yang sudah tak bekerja akibat rusak sehingga beberapa kali Bu Beng Tojin mengeluarkan seruan marah, "Keparat, sungguh jebakan yang kejam sekali!" terdengar dia berkata.

Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tibalah mereka di pusat sarang gerombolan itu dan begitu mereka berloncatan keluar dari mulut terowongan, mereka lalu tercengang memandang ruangan itu. Pendekar Sadis berdiri di tengah-tengah ruangan bersama lima orang gagah dari Bu-tong-pai, dan di sekeliling ruangan yang luas itu nampak berserakan tubuh orang-orang yang memakai jubah dan topeng tengkorak! Ada pula yang berpakaian biasa, yaitu para tamu yang sedang membantu gerombolan itu menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang dibantu oleh Thian Sin!

Ketika Thian Sin meninggalkan Kim Hong dan berlari keluar, dia melihat betapa lima orang Bu-tong-pai itu masih mengamuk. Akan tetapi mereka terkurung rapat dan mulai terdesak. Untunglah di situ ada Liang Hi Tojin, yaitu tokoh ke dua dari Bu-tong-pai yang permainan pedangnya hebat bukan main sehingga untuk sementara, berkat kelihaian Liang Hi Tojin, kepungan itu masih dapat dibendung dan belum ada orang Bu-tong-pai yang terluka biar pun mereka telah lelah sekali dan sibuk mempertahankan diri.

Pada saat Thian Sin hendak maju, tiba-tiba ada orang yang merangkul kakinya. Thian Sin cepat menatap ke bawah. Orang itu adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian mewah. Agaknya dia tidak turut bertempur, akan tetapi sudah keserempet senjata tajam karena pahanya terluka dan dia kelihatan ketakutan setengah mati.

"Maafkan aku... ampunkan aku... ah, taihiap, ampunkan aku dan kelak aku akan memberi taihiap uang sebanyak yang kau minta. Emas, perak, apa saja... asalkan taihiap bersedia membawa aku keluar dari tempat ini..." Dan orang itu lalu menangis ketakutan.

Thian Sin mengenal orang ini sebagai seorang di antara para tamu, yaitu pemuda mewah yang dia lihat menerima janda Cia Kok Heng pada saat janda muda itu diangkat menjadi anggota baru, kemudian janda itu oleh Sian-su diberikan kepada pemuda mewah ini yang menggaulinya secara tidak tahu malu. Kini dia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa di antara pemuda kaya ini dengan Sian-su dan bukan tidak mungkin janda itu diculik oleh gerombolan Siluman Goa Tongkorak atas pesanan pemuda ini.

"Ampun sih mudah! Akan tetapi akuilah apakah benar engkau yang memesan janda Kok Heng itu untuk kau perkosa?" Pemuda itu memang pemuda bangsawan dan hartawan she Phang dari Tai-goan.

Pada saat itu dia berada dalam ketakutan yang luar biasa, maka mendengar ucapan itu, tanpa pikir panjang lagi dia pun langsung mengaku saja. Pokoknya, apa pun yang pernah dilakukannya akan diakui tanpa malu-malu lagi asalkan dia dibebaskan dan tidak dibunuh.

Hatinya telah ketakutan sekali melihat betapa orang-orang Bu-tong-pai itu mengamuk dan membunuhi banyak orang berkedok tengkorak dan begitu Thian Sin muncul, dia pun telah mengenalnya sebagai pemuda yang diperkenalkan sebagai Pendekar Sadis, maka walau pun dengan merangkak-rangkak, dia menghampiri dan minta ampun.

"Benar, taihiap... tapi ampunkan saya..."

"Desss...!"

Tendangan yang dilakukan oleh Thian Sin tepat mengenai dagu pemuda she Phang itu. Tulang rahangnya patah-patah dan pemuda itu menangis melolong-lolong. Thian Sin telah menghampiri dengan langkah lebar dan sekali dia menurunkan kaki kanannya, dia sudah menginjak pecah kepala orang she Phang itu seperti orang menginjak kepala ular saja.

Kemudian Thian Sin terjun ke dalam arena perkelahian dan begitu dia terjun, tentu saja keadaan menjadi berubah sama sekali. Setiap gerakan kaki tangannya pasti disusul oleh teriakan mengerikan karena ada seorang pengeroyok yang terjengkang dan tewas. Dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan enam orang pengeroyok. Hal ini tentu saja membuat para anak buah gerombolan itu menjadi sangat gentar, akan tetapi sebaliknya membuat lima orang Bu-tong-pai tambah bersemangat.

Demikianlah, saat rombongan orang-orang Hong-kiam-pang sampai di tempat itu, mereka hanya melihat Pendekar Sadis beserta lima orang Bu-tong-pai, ada pun semua anggota gerombolan Siluman Goa Tengkorak berikut para tamu yang ikut membantu mereka telah rebah malang melintang, ada yang tewas dan ada pula yang luka-luka.

"Pendekar Sadis, iblis jahat, kau harus menebus kematian murid-murid kami!" Im Yang Tosu yang memandang marah kepada pendekar itu langsung meloncat ke depan.

Akan tetapi Thian Sin meloncat ke belakang dan berkata dengan suara nyaring. "Im Yang Tosu, sabarlah dan dengarlah dulu penjelasanku!"

Akan tetapi tiba-tiba Bu Beng Tojin telah menggerakkan pedangnya dan menyerang Thian Sin dengan dahsyat sambil berteriak, "Tak usah banyak cerewet lagi, dosa-dosamu sudah bertumpuk!"

Serangan tosu itu dahsyat bukan kepalang, akan tetapi Thian Sin dapat mengelak dengan sigapnya tanpa membalas, melainkan berseru, "Tahanlah, totiang...!"

"Ceng Thian Sin, dosamu sudah bertumpuk, kini mau bicara apa lagi? Pinto sendiri yang menangkapmu sebagai Siluman Goa Tengkorak, dan dalam tawanan kami engkau sudah ditolong oleh seorang anggota gorombolon Siluman Goa Tengkorak! Kini engkau masih mau pura-pura lagi ?" Berkata demikian, Bu Beng Tojin dengan kemarahan meluap-luap telah menerjang lagi dengan pedangnya, mengirim serangan maut yang amat berbahaya.

Agaknya kakek pendeta ini benar-benar sakit hati karena kematian tujuh orang muridnya, maka kini dia menyerang bagaikan orang yang mata gelap. Kembali Thian Sin mengelak cepat sehingga pedang itu bercuit lewat di atas kepalanya.

"Tahan dan biarkan aku bicara dulu, totiang!" Thian Sin berseru.

"Sute, biarlah kita dengar apa yang hendak dikatakan Pendekar Sadis alias Siluman Goa Tengkorak ini!" kata Im Yang Tosu.

"Perlu apa mendengarkan ucapannya yang palsu, suheng? Bukankah baru saja dia telah melukai dan nyaris membunuh suheng?" bentak Bu Beng Tojin yang tak dapat menahan kemarahannya, sepasang matanya berapi-api dan mukanya merah sekali.

"Susiok, suhu minta kita mendengarkan dia bicara dulu. Untuk menyerangnya nanti juga masih belum terlambat," kata seorang murid Im Yang Tosu dan saudara-saudaranya telah mengurung Pendekar Sadis dengan pedang terhunus.

"Tidak perlu bicara lagi dengan iblis kejam ini!" bentak Bu Beng Tojin yang telah kembali menerjang dan menyerang Thian Sin.

Pendekar ini mendongkol bukan main, akan tetapi karena dia teringat bahwa kemarahan tokoh ke dua dari Hong-kiam-pang ini adalah karena sakit hati mengingat muridnya tewas di tangan Siluman Goa Tengkorak, maka dia pun berusaha menahan kedongkolan hatinya dan mengelak ke kiri dengan cepat. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin bercuitan dan sinar terang menyambar dari kiri.

"Siancai, dosamu memang terlalu banyak, Pendekar Sadis!" itulah suara Im Yang Tosu yang sudah menyerangnya, terbangun semangatnya oleh kemarahan sute-nya.

Murid Hong-kiam-pang juga mulai bergerak menyerang Thian Sin. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali dan cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik menghindarkan sambaran pedang Im Yang Tosu yang amat lihai.

"Trang-trang-trang...!"

Ketika Bu Beng Tojin menyerang kembali, tiba-tiba pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Liang Hi Tojin, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar dan dengan hati terkejut Bu Beng Tojin segera melompat ke belakang, memeriksa pedangnya yang ternyata tidak rusak, kemudian dia menudingkan pedangnya kepada Liang Hi Tojin.

"Bagus! Apakah pendeta Bu-tong-pai sekarang berpihak kepada gerombolan penjahat?!" bentaknya.

"Siancai! Bu Beng toyu dari Hong-kiam-pang, hendaknya bersikap tenang dan sabar dulu. Setiap persoalan dapat dibicarakan dan siapa yang bersalah wajib dihukum. Akan tetapi pinto sendiri sangat ingin tahu kenapa justru Ceng-taihiap yang dituduh sebagai Siluman Goa Tengkorak, padahal dia yang telah membasmi gerombolan ini?"

"Toyu harap jangan mudah tertipu oleh kelicikannya!" Bu Beng Tojin berseru marah sekali. "Sejak dahulu siapa yang tidak mendengar nama Pendekar Sadis yang amat kejam? Dan sekarang, pinto sendiri yang menangkap basah, ketika dia berpakaian dan bortopeng sebagai Siluman Goa Tengkorak. Agaknya dengan licik dia telah bersandiwara, menipu toyu dan kawan-kawan dari Bu-tong-pai, berpura-pura memusuhi Siluman Goa Tengkorak. Lebih baik toyu bantu kami untuk menangkapnya!" Berkata demikian, Bu Beng Tojin sudah hendak menyerang lagi.

Suasana menjadi tegang karena para murid Hong-kiam-pang kembali terpengaruh oleh ucapan susiok mereka, bahkan Im Yang Tosu juga memandang kepada Liang Hi Tojin dengan mata bersinar marah.

"Betapa pun juga, kami dari Hong-kiam-pang semua menyaksikan bahwa memang benar Pendekar Sadis pernah kami tangkap sebagai Siluman Goa Tengkorak lantas dibebaskan oleh seorang anggota gerombolan penjahat ini!" katanya.

Pada saat itu pula, tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah Kim Hong yang membawa dua buah peti hitam diikuti oleh empat puluh orang gadis-gadis muda cantik yang masih kelihatan berduka itu. Gadis ini cepat meloncat ke depan ketika melihat Thian Sin dikurung oleh orang-orang Hong-kiam-pang karena dia sempat mendengar ucapan Im Yang Tosu tadi.

"Tahan...!" serunya dengan nyaring sehingga semua orang menengok dan memandang kepadanya. "Memang akulah orangnya yang telah menolongnya dari tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah dan yang ceroboh sekali dalam tindakan mereka! Kami memang sudah menyamar sebagai anggota gerombolan Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi hal itu kami lakukan untuk dapat membasmi gerombolan ini seperti yang telah kami lakukan hari ini!"

"Bohong!" Tiba-tiba Bu Beng Tojin berseru marah. "Gadis ini adalah teman baik Pendekar Sadis, tentu saja dia hendak membelanya! Kalau toh mereka berdua memang menentang gerombolan ini, agaknya hanya ingin merampas harta kekayaannya saja. Buktinya, benda apakah yang dibawa oleh nona ini?" Bu Beng Tojin menunjuk dengan pedangnya ke arah dua peti hitam yang dibawa oleh Kim Hong itu.

Gadis itu tersenyum. "Totiang, agaknya engkau terlampau curiga dan memandang bahwa orang-orang lain kecuali para pendeta adalah orang-orang jahat belaka. Tanyakan saja pada gadis-gadis ini, siapa yang membebaskan mereka dari cengkeraman Siluman Goa Tengkorak kalau bukan kami? Dan mengenai dua peti ini, memang isinya adalah harta benda yang amat banyak!" Berkata demikian, Kim Hong sengaja membuka dua peti hitam itu dan semua orang terbelalak memandang kepada dua peti yang isinya penuh dengan benda-benda yang berkilauan, emas perak serta batu-batu permata yang harganya sukar dinilai.

Melihat ini, Liang Hi Tojin mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pendekar Sadis. "Taihiap, pinto sendiri tidak mengerti, apa artinya peti berisi harta itu?"

Sebelum Thian Sin menjawab, dan memang pendekar ini masih bingung dan belum siap menjawab pertanyaan ini, Kim Hong telah berkata nyaring.

"Totiang, harta kami ada puluhan kali lebih banyak dari pada isi kedua peti ini. Apa artinya harta ini bagi kami berdua? Kami memang sengaja merampasnya dari tangan Siluman Goa Tengkorak serta pembantunya yang agaknya hendak melarikan dua buah peti harta ini keluar sarang. Dan kami sudah mengambil keputusan mengenai harta ini. Gadis-gadis ini sudah banyak menderita, mereka diculik dan dibujuk oleh gerombolan jahat. Sekarang mereka akan kami pulangkan ke keluarga masing-masing dan semua harta ini akan kami bagi-bagi untuk mereka, juga untuk keluarga Tujuh Pendekar Tai-goan yang telah tewas. Bagaimana pendapatmu, Liang Hi Tojin?"

"Siancai... sungguh merupakan pikiran yang bagus sekali!" Liang Hi Tojin memuji. "Ceng-taihiap, harap maafkan keraguan pinto tadi." Tokoh Bu-tong-pai ini menjura kepada Thian Sin yang hanya tersenyum sambil memandang ke arah kekasihnya dengan rasa kagum dan terima kasih.

"Dan bagaimana dengan pendapat para pimpinan dari Hong-kiam-pang?" Kini Thian Sin bertanya kepada Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin.

"Kalau memang benar seperti apa yang pinto dengar tadi, memang tepat sekali jika harta itu dibagi-bagi kepada bekas para korban," jawab Im Yang Tosu.

"Dan bagaimana pendapatmu, Bu Beng Totiang?" Thian Sin bertanya kepada Bu Beng Tojin yang masih kelihatan marah dan penasaran itu.

Pendeta ini mengerutkan kedua alisnya. "Kami adalah orang-orang yang mengutamakan kebenaran dan selalu akan menentang kejahatan. Kalau memang benar Pendekar Sadis bukan Siluman Goa Tengkorak, tentu saja kami pun setuju. Akan tetapi kami masih tidak mengerti bagaimana sebagai orang yang menentang Siluman Goa Tengkorak, Pendekar Sadis memakai pakaian anggota gerombolan itu dan menyerang kami, bahkan tadi sudah melukai suheng!" Sepasang mata pendeta ini memandang dengan penuh tantangan dan rasa penasaran. Thian Sin tersenyum.

"Itu tidak aneh, totiang. Ketika itu aku dalam keadaan tertawan dan terbius oleh Siluman Goa Tengkorak dan agaknya aku sengaja diberi pakaian dan topeng anggota gerombolan mereka. Kemudian mereka sengaja menyerahkan aku pada pihak Hong-kiam-pang yang mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak atas kematian tujuh orang muridnya."

"Tapi kenapa engkau menyerang pinto?" Bu Beng Tojin bertanya, mendesak penasaran. "Pinto sendiri yang menawanmu, disaksikan oleh semua anak murid Hong-kiam-pang!"

"Huh, kalau saja dia dalam keadaan sadar mana mungkin engkau mampu menawannya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan suara galak dan dingin.

Akan tetapi Thian Sin mengangkat tangan memberi isyarat agar kekasihnya itu menahan kemarahannya. "Bu Beng totiang, telah kukatakan bahwa aku dalam keadaan tidak sadar dan terbius. Kalau aku kelihatan menyerangmu, hal itu tentu hanya akal dari Siluman Goa Tengkorak saja untuk mengelabui mata orang-orang Hong-kiam-pang. Ingat, siluman itu adalah seorang yang mahir mempergunakan ilmu sihir! Dan tentang orang yang melukai Im Yang totiang, aku sama sekali tidak melakukannya karena aku dan Kim Hong sedang sibuk menyerbu ke dalam sarang gerombolan ini. Agaknya tentulah siluman itu pula yang melakukannya, mungkin ketika hendak melarikan diri, ketahuan oleh Im Yang totiang dan menyerangnya."

Im Yang Tosu mengangguk-angguk. "Sute, agaknya keterangan dari Ceng-taihiap itu betul semua. Sayang bahwa siluman itu tidak dapat berhadapan dengan pinto sendiri."

Dia lantas menoleh ke kanan kiri, melihat semua orang bertopeng tengkorak itu malang melintang. "Apakah taihiap sudah berhasil merobohkan siluman itu yang menjadi kepala gerombolan?"

"Sayang, dia berhasil meloloskan diri, totiang. Akan tetapi aku bertekad untuk mencarinya terus dan baru berhenti kalau sudah dapat membekuknya."

Dengan disaksikan oleh Liang Hi Tojin, Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, Kim Hong dan Thian Sin membagi-bagikan harta benda itu kepada para gadis bekas korban gerombolan. Juga bagian untuk Cia Liong dan Cia Ling, lalu diserahkan kepada Im Yang Tosu untuk mengurus dan menyerahkannya.

Semua gadis itu lalu diantarkan oleh para anggota Hong-kiam-pang untuk dikembalikan ke tempat tinggal masing-masing. Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka semua berlutut dan menangis, menghaturkan terima kasih kepada Thian Sin dan Kim Hong.

"Im Yang totiang," kata Thian Sin. "Mengingat bahwa mendiang saudara Cia Kong Heng adalah seorang murid Kun-lun-pai sebelum menjadi anggota Hong-kiam-pang, maka aku harap totiang sudi menaruh kasihan terhadap putera serta puterinya dan dapat menyuruh orang mengantarkan mereka ke Kun-lun-pai supaya menjadi murid di sana. Harta bagian mereka dapat dipergunakan untuk perawatan mereka, juga untuk bekal mereka sesudah dewasa karena mereka sudah kehilangan ayah bunda."

Im Yang Tosu mengangguk-angguk, kemudian mereka semua pergi meninggalkan tempat itu. Thian Sin membakar sarang itu dan menghancurkan semua benda, termasuk tempat pemujaan yang juga menjadi tempat maksiat atau pesta-pesta cabul itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sampai hampir sebulan lamanya Thian Sin serta Kim Hong melakukan penyelidikan dan mencari jejak kaburnya Siluman Goa Tengkorak, ketua dari Jit-sian-kauw. Perkumpulan itu sendiri, yang merupakan gerombolan penjahat kejam, telah dapat dibasmi. Akan tetapi kalau kepalanya itu masih berkeliaran, maka dunia masih terancam bahaya besar.

Di balik topeng tengkorak itu tersembunyi seorang manusia yang benar-benar berhati iblis, yang loba akan harta benda dan kedudukan, yang haus dengan kesenangan cabul, dan terutama sekali amat berbahaya karena selain ilmu silatnya tinggi, juga pandai ilmu sihir. Karena itu sudah bulat tekad dalam hati Thian Sin dan Kim Hong untuk mencari sampai ketemu dan membasmi Siluman Goa Tengkorak itu.

Namun siluman itu seperti telah menghilang ditelan bumi, sama sekali tidak meninggalkan jejak! Dan setelah menanti sebulan sambil menyelidiki dengan teliti, siluman itu tetap saja tidak pernah terdengar beraksi.

Akan tetapi Pendekar Sadis dan kekasihnya itu adalah dua orang pendekar yang biar pun masih muda tapi telah memiliki pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, terkenal pandai dan cerdik bukan main sehingga tentu saja mereka tak tinggal diam dan telah melakukan penyelidikan yang sangat teliti, mengambil kesimpulan-kesimpulan disertai pertimbangan-pertimbangan yang matang.

********************

Sementara itu, Im Yang Tosu telah menyuruh seorang muridnya untuk mengantarkan Cia Liong dan Cia Ling ke Kun-lun-pai. Bersama mereka dibawakan pula bagian harta mereka untuk bekal kelak kalau mereka sudah dewasa.

Dan pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak gerombolan Siluman Goa Tengkorak ditumpas, Hong-kiam-pang mengadakan pesta. Karena Pendekar Sadis serta kekasihnya masih tinggal di sebuah hotel di Tai-goan, mereka berdua pun menerima undangan.

Selain untuk merayakan hari ulang tahun ketua Im Yang Tosu yang sudah genap berusia tujuh puluh tahun, pesta yang diadakan oleh Hong-kiam-pang itu juga untuk mengadakan sedikit perubahan dalam susunan pengurus perkumpulan itu. Im Yang Tosu merasa telah terlalu tua untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang dan kedudukannya sebagai ketua akan diserahkan kepada Bu Beng Tojin.

Hal ini sebenarnya adalah wajar saja karena bukankah selama ini Bu Beng Tojin sudah menjadi pembantu utama dari ketua itu? Akan tetapi, menurut desas-desus orang luaran, tentu akan terjadi perdebatan seru karena Hong-kiam-pang dianggap sebagai cabang dari Kun-lun-pai, sedangkan Bu Beng Tojin sama sekali bukanlah murid Kun-lun-pai, biar pun hal ini bukan berarti bahwa dia asing akan ilmu silat dari Kun-lun-pai. Tokoh ini memang seorang ahli dalam berbagai macam ilmu silat, termasuk pula ilmu silat Kun-lun-pai, dan karena inilah maka Im Yang Tosu percaya dan kagum kepadanya.

Karena Hong-kiam-pang adalah sebuah perkumpulan silat yang cukup ternama di daerah Tai-goan, maka di dalam kesempatan itu banyak juga tokoh-tokoh kang-ouw dan jago-jago silat yang datang berkunjung untuk menghaturkan selamat kepada Im Yang Tosu yang berulang tahun dan kepada Bu Beng Tojin yang diangkat menjadi ketua Hong-kiam-pang baru.

Sejak pagi para tamu telah berbondong-bondong mendatangi kuil Hong-kiam-pang itu dan mereka dipersilakan duduk di halaman samping yang luas dari rumah perkumpulan yang ada kuilnya itu. Sebuah panggung yang tingginya hampir dua meter dan cukup luas telah dibangun, dan dua orang pimpinan Hong-kiam-pang sudah nampak duduk di atas kursi di panggung itu. Para anak buah Hong-kiam-pang yang gagah-gagah dan berpakaian serba baru menyambut para tamu, ada pula yang bertugas mengeluarkan arak serta melayani para tamu dengan sikap ramah, gagah dan cekatan.

Thian Sin terlihat datang sendirian dan dia disambut oleh murid kepala lalu dibawa naik ke atas panggung melewati anak tangga, menghadap dua orang pimpinan Hong-kiam-pang. Pendekar ini memberi hormat lalu memberi selamat kepada Im Yang Tosu dan berkata, "Semoga Im Yang totiang diberkahi usia panjang oleh Thian dan selalu sehat lahir batin."

Im Yang Tosu mengucapkan terima kasih dan Bu Beng Tojin mengerutkan alisnya karena pendekar itu sama sekali tidak memberi selamat kepadanya. Walau pun secara resmi dia belum diangkat dan pengangkatan itu akan dilakukan nanti, akan tetapi seperti para tamu lain, tentu pendekar ini sudah mendengar akan pengangkatannya dan banyak yang sudah memberi selamat. Maka dia pun diam saja dan hanya memandang kepada pendekar ini dengan alis berkerut.

Thian Sin maklum pula akan sikap ini dan dia hanya tersenyum melihat tosu yang keras hati ini dan yang agaknya tak pernah dapat melenyapkan kebenciannya terhadap dirinya. Dia lalu dipersilakan duduk pada bagian kursi kehormatan, yaitu belasan buah kursi yang berderet di tepi panggung.

Di kursi kehormatan ini terdapat pula Thian To Sinjin, tokoh Kun-lun-pai yang mewakili perkumpulan itu menghadiri pesta yang diadakan oleh Hong-kiam-pang. Thian To Sinjin ini adalah seorang tosu Kun-lun-pai tingkat tiga dan usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, sikapnya tenang dan ramah. Dia pun sudah mengenal baik Thian Sin, maka begitu pemuda ini duduk di dekatnya, dia sudah menegur ketika pendekar itu memberi hormat.

"Selamat bertemu, Ceng-taihiap. Kenapa taihiap hanya datang sendirian saja, dan mana Toan-lihiap?"

Hanya orang yang sudah kenal baik dan akrab saja yang berani menanyakan isteri atau kekasih seperti yang baru diucapkan oleh tokoh Kun-lun-pai kepada Thian Sin itu. Thian Sin tersenyum dan menjawab lirih,

"Dia nanti tentu datang, locianpwe. Mungkin ada sedikit urusan yang membuatnya datang terlambat."

Thian Sin memang seorang pendekar yang berwatak halus dan sangat pandai membawa diri sebagai orang yang terpelajar. Terhadap para tokoh tua, dia tidak segan-segan untuk menyebutnya dengan sebutan locianpwe untuk mengangkat serta menghormati tokoh itu dan merendahkan diri sendiri, walau pun tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tokoh ini.

Setelah waktu yang ditentukan tiba dan para tamu sudah memenuhi tempat itu, Im Yang Tosu lalu bangkit berdiri. Tosu tua ini masih memiliki suara yang nyaring pada waktu dia menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada para tamu yang telah memenuhi undangan Hong-kiam-pang, juga mengucapkan selamat kepadanya yang sudah berusia tujuh puluh tahun.

Kemudian dia melanjutkan dengan pengumuman yang sudah dinanti-nanti oleh beberapa orang dengan hati berdebar. "Cu-wi yang terhormat, pinto telah berusia tujuh puluh tahun maka telah tiba saatnya bagi pinto untuk mengundurkan diri dan hanya tekun bersemedhi. Akan tetapi, Hong-kiam-pang yang dapat dibilang masih muda harus hidup terus. Namun sebuah perkumpulan tak mungkin hidup tanpa pimpinan dan setelah pinto mengundurkan diri, maka pinto akan menyerahkan pimpinan Hong-kiam-pang kepada sute pinto, yaitu Bu Beng Tojin."

Tiba-tiba nampak kegelisahan di antara para murid Hong-kiam-pang.

"Suhu...!"

Im Yang Tosu menoleh dengan alis berkerut. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bersikap gagah telah naik ke atas panggung, lalu memberi hormat kepada Im Yang Tosu.

"Suhu, bukan sekali-kali teecu bermaksud kurang sopan dan membantah keputusan suhu. Akan tetapi teecu mewakili para murid suhu yang juga menjadi murid Kun-lun-pai untuk menyatakan suara hati kami."

Im Yang Tosu kelihatan tidak senang, sebab itu dia membentak, "Sui Lok, apa maksudmu mengganggu pernyataanku?"

"Suhu, perkumpulan kita adalah cabang dari Kun-lun-pai dan suhu sendiri adalah seorang tokoh Kun-lun-pai sebagai pendiri Hong-kiam-pang. Kami maklum bahwa susiok Bu Beng Tojin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan menjadi pembantu dan kepercayaan suhu. Akan tetapi, mengingat bahwa susiok Bu Beng Tojin bukanlah murid Kun-lun-pai, maka kami merasa berat untuk menerima beliau sebagai ketua..."

"Sui Lok, apakah engkau menganggap bahwa kedudukan ketua itu sebaiknya dioperkan kepadamu saja?" Tiba-tiba saja Bu Beng Tojin sudah bangkit dan mendekati suheng-nya sambil memandang kepada murid keponakan itu dengan sinar mata marah. "Walau pun suheng merupakan tokoh Kun-lun-pai, tapi Hong-kiam-pang adalah sebuah perkumpulan yang bebas dan juga terlepas dari induk perkumpulan mana pun. Katakanlah bahwa Ilmu Hong-kiam-sut memiliki sumber dari Kun-lun-pai, akan tetapi ilmu itu terus dikembangkan dan sama sekali bukan cabang dari Kun-lun-pai. Suheng telah memilihku, dan aku sendiri selama bertahun-tahun telah mengurus Hong-kiam-pang. Seorang ketua haruslah anggota perkumpulan dan hendak kulihat, siapakah di antara para anggota Hong-kiam-pang yang lebih mahir Ilmu Pedang Hong-kiam-sut dari pada aku. Yang merasa lebih pandai, silakan maju!"

"Tapi susiok..." Sui Lok yang mewakili saudara-saudara seperguruannya itu masih hendak membantah, akan tetapi Im Yang Tosu segera menengahi.

"Sui Lok dan semua murid-muridku, hendaknya tak ada yang membantah apa yang telah menjadi keputusanku. Ketahuilah bahwa di dalam hal mengembangkan ilmu pedang kita, sute Bu Beng Tojin sudah banyak membantu dan memberi saran. Pinto sendiri, sebagai pencipta dan pendiri Hong-kiam-pang, belum tentu mampu menandinginya dalam hal ilmu pedang perkumpulan kita. Nah, siapa lagi yang lebih pantas memimpin Hong-kiam-pang kecuali dia? Tentang Kun-lun-pai, agaknya... pendapat sute memang benar. Tadinya kita menganggap perkumpulan kita sebagai cabang dari Kun-lun-pai hanya karena mengingat bahwa pinto adalah seorang murid Kun-lun-pai. Namun mengingat bahwa para anggota dan murid Hong-kiam-pang terdiri dari bermacam-macam aliran, maka tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Hong-kiam-pang adalah cabang Kun-lun-pai."

Mendengar betapa pendiri Hong-kiam-pang sendiri agaknya berkeras membela Bu Beng Tojin, para murid Hong-kiam-pang menjadi gelisah dan bingung, ada pun Sui Lok sendiri segera menoleh ke arah Thian Sin yang duduk di dekat Thian To Sinjin dan dia melihat pendekar itu masih tersenyum-senyum tenang saja.

"Suhu, karena di sini juga terdapat supek Thian To Sinjin sebagai wakil Kun-lun-pai, maka biarlah teecu mohon petunjuk kepada beliau saja!" akhirnya Sui Lok berkata dengan suara nyaring.

Para tamu yang mendengar perbantahan itu tak ada yang berani turut mencampuri, akan tetapi diam-diam mereka merasa tegang dan gembira karena dapat menduga bahwa di dalam pengangkatan ketua baru ini agaknya terdapat suatu kericuhan atau mungkin juga perebutan kekuasaan. Karena Sui Lok tadi menyebut namanya, sekarang seluruh mata ditujukan kepada tokoh Kun-lun-pai itu.

"Siancai...! Kami sebagai tamu sebenarnya tidak seharusnya mencampuri urusan dalam. Akan tetapi karena nama kami telah disebut, biarlah kami mengemukakan pendapat kami sebagai wakil Kun-lun-pai." Kakek itu berkata lantang dengan sikap yang gagah.

"Sebuah perkumpulan tentu saja ditentukan oleh pendirinya, dan karena Hong-kiam-pang didirikan oleh sute Im Yang Tosu, maka terserah kepadanya apa bila hendak memisahkan perkumpulan ini dari Kun-lun-pai. Hanya kami peringatkan bahwa kalau tidak mau disebut sebagai cabang Kun-lun-pai, selanjutnya sama sekali tidak boleh menyebut-nyebut nama Kun-lun-pai dan segala sepak terjang seluruh murid Hong-kiam-pang bukan lagi menjadi tanggung jawab Kun-lun-pai. Hanya itulah yang perlu pinto jelaskan." Kakek itu lalu duduk kembali.

Dengan muka merah Bu Beng Tojin lalu berkata, suaranya lantang, "Baik sekali! Memang sejak dahulu tidak ada hubungan apa-apa antara Hong-kiam-pang dan Kun-lun-pai. Kami memiliki anggaran dasar dan peraturan sendiri. Kami menerima murid-murid dari berbagai aliran, bukan hanya dari aliran Kun-lun-pai. Nah, sebagai seorang ketua baru, sejak detik ini juga pinto menyatakan bahwa Hong-kiam-pang bukan cabang Kun-lun-pai dan segala sepak terjang Hong-kiam-pang tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai!"

"Bu Beng Tojin, perlahan dulu!" Tiba-tiba terdengar suara yang lebih nyaring lagi sehingga membuat semua orang memandang, dan ternyata Thian Sin sudah berdiri di hadapan Bu Beng Tojin dan Im Yang Tosu, di atas panggung.

Melihat majunya pendekar ini, Sui Lok lalu cepat-cepat mengundurkan diri dan bercampur dengan saudara-saudaranya. Semua orang menjadi makin tegang dan gembira. Sekarang urusan menjadi makin berbelit dan banyak pihak yang tersangkut, apa lagi mereka yang mengenal pemuda gagah itu sebagai Pendekar Sadis, menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apa hubungan Pendekar Sadis dengan pengangkatan ketua Hong-kiam-pang itu.

"Pendekar Sadis! Engkau yang banyak dibenci karena kekejaman dan sepak terjangmu, ada urusan apakah maka engkau sebagai orang luar hendak mencampuri urusan dalam Hong-kiam-pang kami?" Bu Beng Tojin membentak dengan mata melotot marah.

"Memang amat banyak yang membenciku, Bu Beng Tojin, akan tetapi yang membenciku adalah para penjahat karena aku selalu menentang kejahatan. Dan mengenai urusanku, kau dengarkan saja." Thian Sin kemudian menghadapi Im Yang Tosu, sepasang matanya mencorong dan suaranya mengandung getaran kuat sekali. "Im Yang totiang, sadarlah dan ingat baik-baik, sudah sepenuh hatimukah maka totiang mengangkat Bu Beng Tojin sebagai penggantimu, menjadi ketua baru Hong-kiampang? Ingat baik-baik dan sadarlah!"

Semua orang terkejut melihat kekasaran Thian Sin, kemudian melihat betapa kakek tua itu terbelalak dan mukanya berubah pucat.

"Apa...? Pengangkatan ketua baru? Ahh, tentu saja... hal itu tergantung kepada pemilihan para anggota..."

"Suheng! Bukankah suheng telah mengangkatku sebagai ketua baru? Aku Bu Beng Tojin, yang sudah suheng tetapkan untuk menjadi ketua baru menggantikan suheng!"

Di dalam suara Bu Beng Tojin ini juga terkandung kekuatan yang hebat. Wajah Im Yang Tosu nampak semakin pucat dan napasnya terengah-engah.

"Ah, ya... itu benar, sute Bu Beng Tojin yang akan menjadi ketua... tapi... tapi tergantung kepada para anggota..." Kakek itu menjadi bimbang ragu.

"Suheng...!" bentak Bu Beng Tojin.

"Im Yang totiang!" Thian Sin juga berseru.

Im Yang Tosu kelihatan semakin bingung dan pucat, bahkan tubuhnya terguncang dan tergetar, seperti orang yang terserang demam. Pada saat itu nampak Thian To Sinjin dari Kun-lun-pai bangkit dari kursinya, menghampiri ketua Hong-kiam-pang itu dan menuntun tangannya.

"Sute, engkau lelah, sebaiknya mengaso dulu."

Dan dia pun menarik sute-nya itu kembali ke tempat duduknya. Anehnya, Im Yang Tosu kelihatan menurut saja seperti seorang anak kecil! Tidak ada yang tahu bahwa tadi ketua Hong-kiam-pang ini tertarik ke sana-sini di antara dua orang yang menggunakan kekuatan sihir, yang seorang hendak mempengaruhinya dan yang seorang hendak membebaskan tosu itu. Hanya Thian To Sinjin saja yang agaknya dapat menduga akan hal itu, maka dia cepat menariknya kembali untuk duduk dan beristirahat.

"Ha-ha-ha, sebaiknya begitu. Beristirahatlah dengan tenang, Im Yang totiang dan biarkan aku membereskan persoalan ini!" kata Thian Sin.

"Pendekar Sadis! Engkau sebagai orang luar, sungguh tidak patut sekali jika mencampuri urusan dalam dari Hong-kiam-pang! Engkau telah melanggar aturan sopan santun di dunia persilatan!" Bu Beng Tojin berteriak marah.

"Bu Beng Tojin, memang aku bukanlah anggota Hong-kiam-pang, akan tetapi aku adalah sahabat baik Hong-kiam-pang yang tidak rela melihat Hong-kiam-pang diselewengkan."

"Mulut busuk! Apa maksudmu?" bentak Bu Beng Tojin.

Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab bentakan ini melainkan menghadapi para tamu dan juga pihak tuan rumah. "Cu-wi yang mulia, para anggota Hong-kiam-pang yang tercinta! Kita semua tahu bahwa Hong-kiam-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, para pendekar yang menentang kejahatan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya bila perkumpulan orang gagah ini diketuai oleh seorang penjahat besar seperti Bu Beng Tojin ini!"

Kata-kata ini sungguh hebat bukan kepalang. Bukan hanya semua tamu yang terbelalak, bahkan semua anggota Hong-kiam-pang menjadi pucat wajahnya dan juga Im Yang Tosu sendiri yang pada saat itu telah tenang kembali, cepat bangkit dari tempat duduknya.

"Ceng-taihiap, apa maksudmu dengan ucapan itu?" tanyanya nyaring, agaknya penasaran mendengar pembantunya disebut penjahat besar!

Melihat sikap suheng-nya dan para murid Hong-kiam-pang serta para tamu yang agaknya berpihak kepadanya, walau pun dia sendiri menjadi pucat, Bu Beng Tojin segera tertawa, "Ha-ha-ha, sekarang sudah nampak belangnya Pendekar Sadis, menuduh dan memfitnah secara membuta tuli. Siapa bilang bahwa aku Bu Beng Tojin yang selama ini dengan jujur memimpin Hong-kiam-pang menjadi penjahat besar?"

Akan tetapi Thian Sin tidak terpengaruh oleh ucapan itu. Dia masih memandang kepada semua yang hadir. "Cu-wi yang mulia, juga Im Yang totiang yang terhormat, biarlah aku memperkenalkan."

Dia lantas menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Tojin. "Inilah dia orang yang menyebut dirinya sebagai Sian-su! Ini dia Siluman Goa Tengkorak yang sudah memimpin gerombolan penjahat kejam yang telah kita basmi!"

Ucapan ini bahkan lebih mengejutkan lagi.

"Ceng-taihiap, harap engkau jangan menuduh sembarangan saja!" Im Yang Tosu bahkan berteriak marah.

Wajah Bu Beng Tojin sendiri tadi menjadi pucat sekali, akan tetapi dia segera mengambil sikap tenang, bahkan tersenyum lebar.

"Ahhh, sungguh sebuah tuduhan yang sangat menggelikan! Pinto sendiri yang membantu membasmi gerombolan itu, bagaimana engkau dapat menuduh demikian, apakah engkau sudah menjadi gila?"

"Ceng-taihiap, buktikan kebenaran tuduhanmu itu!" Im Yang Tosu yang sudah bangkit berdiri itu pun turut menuntut.

Tuduhan itu sangat hebat baginya. Kalau tuduhan itu tidak benar, berarti Pendekar Sadis sudah menghina Hong-kiam-pang. Dan apa bila benar, hal itu tentu merupakan tamparan yang memalukan sekali bagi Hong-kiam-pang!

"Baik, akan kucoba untuk membuktikan sungguh pun hal itu tidak mudah karena Siluman Goa Tengkorak memang seorang penjahat yang amat keji, licik, curang, lihai ilmu silatnya dan juga lihai ilmu sihirnya. Cu-wi yang mulia, ketika pertama kali aku berkenalan dengan kejahatan siluman ini, aku melihat mendiang saudara Kwee Siu sekarat oleh luka-lukanya sesudah bertanding melawan siluman ini. Dan ucapan terakhir yang keluar dari mulutnya adalah sebutan susiok. Tadinya aku tidak mengerti apa dan siapa yang dia maksudkan sampai akhirnya aku mendapat kenyataan bahwa dia hanya mempunyai seorang susiok saja di dunia ini dan susiok-nya adalah Bu Beng Tojin. Tentu dia sudah mengenali orang bertopeng tengkorak yang telah membunuhnya, mengenai dari gerakan silatnya maka dia meninggalkan sebutan susiok itu yang sayang pada waktu itu belum kuketahui artinya."

"Huh, tuduhan kosong! Bisa jadi Kwee Siu menyebut namaku karena hendak minta tolong dan ingat kepadaku!" Bu Beng Tojin mencela dan semua orang juga menganggap bahwa alasan itu terlalu lemah untuk menjadi bukti kebenaran tuduhannya bahwa Bu Beng Tojin adalah Siluman Goa Tengkorak.

"Masih ada bukti lain," kata pula Thian Sin. "Pada waktu aku tertawan oleh Siluman Goa Tengkorak dalam keadaan pingsan terbius, tahu-tahu aku telah tertawan oleh orang-orang Hong-kiam-pang dan menurut keterangan, yang menangkap aku dalam pakaian siluman itu adalah Bu Beng Tojin. Dan hal ini jelas menunjukkan bahwa dia adalah Siluman Goa Tengkorak itu sendiri karena kalau aku berada dalam keadaan pingsan, bagaimana dari tangan siluman itu aku dapat berpindah ke tangan Bu Beng Tojin? Sebaliknya, kalau aku sadar seperti yang dikatakannya kepada murid-murid Hong-kiam-pang, agaknya tak akan begitu mudah baginya untuk dapat menawanku! Hal itu dapat dibuktikan sendiri!"

"Huh, alasan dan bukti apa itu? Pendekar Sadis, semua anggota Hong-kiam-pang sudah turut menyaksikan bahwa engkau memakai jubah dan topeng tengkorak. Tentu engkaulah Siluman Goa Tengkorak itu, dan sesudah rahasiamu ketahuan, engkau lalu berpura-pura dan membalik untuk membersihkan diri. Cih, sungguh tak tahu malu!" Bu Beng Tojin telah mencabut pedangnya dan hendak menyerang Thian Sin, akan tetapi pada saat itu pula Im Yang Tosu melangkah maju dan mencegahnya.

"Sabar dulu, sute." Lalu kakek ini berbalik menghadapi Thian Sin. "Ceng-taihiap, sungguh pinto tak mengerti dan merasa bingung permainan apa yang sedang taihiap mainkan saat ini. Akan tetapi harus pinto akui bahwa semua alasan yang taihiap ajukan tadi tidak cukup kuat untuk membuktikan kebenaran tuduhan taihiap yang sangat berat itu. Tidak mungkin kami dapat menerima begitu saja keterangan sepihak tanpa bukti yang mutlak atau tanpa adanya saksi yang membenarkan keterangan taihiap tadi."

"Saksi-saksi? Ah, totiang benar juga. Memang ada saksi yang kuat!" Thian Sin berkata.

"Inilah saksi-saksinya!"

Tiba-tiba saja terdengar suara merdu melengking dan semua orang menengok. Kiranya di sudut panggung itu sudah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah. Kim Hong tersenyum manis kepada Bu Beng Tojin.

Tosu ini mendengus. "Huh, saksi macam apa ini? Perempuan ini adalah Toan Kim Hong, kekasih dari Pendekar Sadis, tentu saja ucapannya akan senada dengan pacarnya. Siapa bisa percaya saksi macam ini?" Suaranya penuh tantangan dan sikapnya mencemooh.

"Siluman Goa Tengkorak, jangan takabur dahulu. Lihat, siapakah mereka ini?" Kim Hong menggapai ke belakangnya, lantas dari anak tangga di belakang panggung muncullah tiga orang gadis yang cantik dan yang memandang ke arah Bu Beng Tojin dengan mata penuh kebencian.

Melihat Thio Siang Ci, bekas kekasihnya, pengantin yang dia culik kemudian dipaksanya menjadi kekasihnya itu, bersama dua orang gadis lain yang juga termasuk dayang-dayang yang disukainya, wajah Bu Beng Tojin langsung berubah menjadi pucat. Akan tetapi dia masih sempat mengejek dan mencemooh.

"Siapa perempuan-perempuan itu? Pinto tidak mengenal segala macam pelacur!"

"Siang Ci, Siok Lan dan Kim Tui, coba katakan, siapa pendeta itu?" Kim Hong bertanya kepada tiga orang gadis itu dengan suara halus.

Thio Siang Ci yang lebih dulu menjawab, telunjuk tangan kirinya yang gemetar menuding ke arah Bu Beng Tojin dan terdengar suaranya agak gemetar akan tetapi mantap. "Dialah Sian-su yang menculikku itu!"

"Benar, dia itu Sian-su ketua Jit-sian-kauw!" kata Siok Lan, gadis ke dua.

"Aku berani sumpah, dialah Sian-su!" kata Kim Tui pula.

"Bohong! Fitnah gila! Apa buktinya?" Bu Beng Tojin berteriak marah.

"Apakah kalian bertiga dapat mengatakan buktinya dan tandanya bahwa dia itu Sian-su?" Kim Hong bertanya pula.

"Pada dadanya terdapat daging tumbuh sebesar telur ayam yang berambut panjang!" kata Siang Ci lantas menundukkan muka dan air matanya mengalir karena dia merasa sangat malu.

"Ada lukisan ular melingkari pinggangnya," kata pula Siok Lan yang juga menunduk malu.

"Di kedua pahanya ada gambar tengkorak," Kim Tui menyambung.

"Fitnah keji! Bohong! Kalian pelacur-pelacur yang harus mampus!" Tiba-tiba Bu Beng Tojin menggerakkan kedua tangannya dan ada empat sinar terang menyambar ke arah Kim Hong dan tiga orang gadis itu.

Akan tetapi, dengan gerakan lincah dan tenang Kim Hong dapat menyambut empat buah hui-to (pisau terbang) itu dengan kedua tangannya, lalu memandang ke arah pisau-pisau itu sambil tersenyum dan akhirnya melemparkan sebatang kepada Im Yang Tosu.

"Totiang, bukankah pisau terbang yang pernah melukai totiang itu seperti ini dan begitu pula cara melemparnya?" tanya Kim Hong manis.

"Jika semua itu fitnah keji, kenapa harus mencak-mencak? Tunjukkan saja bahwa semua keterangan itu bohong dengan memperlihatkan bagian tubuhmu yang disebut-sebut tadi, Sian-su!" kata Thian Sin mengejek.

Im Yang Tosu menerima pisau yang dilemparkan oleh Kim Hong, menatapnya sejenak, kemudian dengan alis berkerut dan muka pucat dia membanting pisau itu ke atas lantai sampai pisau itu amblas lenyap menembus papan lantai panggung. Lalu dia menghampiri Bu Beng Tojin, memandang dengan muka pucat.

"Sute, pinto tahu bahwa engkau pandai mempergunakan segala senjata, juga pisau itu. Pinto sendiri masih belum percaya akan semua tuduhan itu. Karena itu, sute, buktikanlah bahwa tuduhan itu semuanya palsu dan bohong. Buka bajumu lalu perlihatkan dada dan pinggangmu!"

"Gila! Suheng, apakah suheng membiarkan orang menghinaku sampai seperti ini?"

"Sute, namanya baru penghinaan jika tuduhan itu tidak terbukti dan percayalah, pinto tak akan tinggal diam melihat engkau dihina orang. Karena itu, bukalah bajumu."

"Tidak, suheng. Aku tidak sudi dihina! Orang-orang harus percaya kepadaku!"

"Sute, kalau engkau tidak mau, terpaksa aku sendiri yang akan membukakan bajumu."

Dengan halus ketua Hong-kiam-pang itu lantas melangkah maju dan meraba kancing baju sute-nya untuk dibukanya. Dia memang masih belum percaya akan semua tuduhan tadi, bahkan berharap sute-nya bersih agar nama Hong-kiam-pang juga ikut bersih. Bayangkan saja kalau tuduhan itu benar, berarti selama bertahun-tahun ini dia mempercayai seorang penjahat, dan namanya, juga nama Hong-kiam-pang, akan berlumur lumpur kehinaan.

"Awas, totiang...!" Thian Sin memperingatkan, akan tetapi sudah terlambat.

Pada saat Im Yang Tosu menggunakan kedua tangannya untuk membuka kancing baju sute-nya, tiba-tiba saja Bu Beng Tojin menggerakkan tangannya dan menghantam ke arah leher suheng-nya itu. Im Yang Tosu hanya dapat miringkan tubuhnya.

"Desss...!"

Pukulan itu tepat mengenai pundak kiri lantas tubuh kakek itu terjengkang, dari mulutnya tersembur darah segar dan tubuhnya terkulai.

"Hemmm, siluman jahat!" bentak Thian To Sinjin tokoh Kun-lun-pai yang cepat meloncat ke depan menyerang Bu Beng Tojin.

Maka terjadilah perkelahian yang seru antara Thian To Sinjin dan Bu Beng Tojin. Pukulan mereka mengandung angin yang amat kuat sehingga terdengar suara bercuitan dan angin menyambar-nyambar, ada pun panggung di mana mereka bertanding itu berderak-derak dan terguncang.

Semua tamu menjadi panik, akan tetapi karena mereka itu sebagian besar adalah ahli-ahli silat, mereka masih tetap di tempat sambil menonton perkelahian hebat di atas panggung itu. Sementara itu, murid-murid Hong-kiam-pang segera mengangkat tubuh suhu mereka yang pingsan ke belakang panggung.

Bu Beng Tojin ternyata memang hebat bukan main. Tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai itu adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi menghadapi Bu Beng Tojin, dia pun mulai terdesak. Setiap kali lengan mereka bertemu, Bu Beng Tojin membentak dan bentakan ini menambah tenaga pada lengannya.

Thian To Sinjin merasa lengannya tergetar dan juga jantungnya terguncang oleh bentakan lawan. Hanya dengan ilmu silat sakti dari Kun-lun-pai dia bisa bertahan hingga tiga puluh jurus. Akan tetapi, karena dia terus terdesak, tiba-tiba kakek ini menyambar tongkatnya yang tadi dia tancapkan di atas lantai. Dengan tongkat itu Thian To Sinjin menghadapi Bu Beng Tojin!

Akan tetapi Bu Beng Tojin mencabut pedangnya sehingga perkelahian dilanjutkan dengan lebih seru lagi karena keduanya menggunakan senjata dan setiap serangan merupakan serangan maut yang dahsyat. Akan tetapi, kembali Thian To Sinjin terdesak dan kini para murid Hong-kiam-pang yang menjadi marah melihat suhu mereka terpukul, sudah naik ke atas panggung dan melakukan pengeroyokan.

Mereka belum yakin benar bahwa susiok mereka itu adalah Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi melihat susiok mereka memukul suhu mereka secara keji, mereka menjadi marah dan segera mengeroyok. Akan tetapi, Bu Beng Tojin mengamuk dan tendangan kakinya merobohkan empat orang murid keponakan. Melihat ini, tiba-tiba saja Thian Sin meloncat ke depan.

"Saudara-saudara sekalian dan locianpwe Thian To Sinjin, silakan mundur. Dia ini adalah makananku!"

Thian To Sinjin maklum bahwa dia tidak akan mudah menang melawan tosu siluman itu, dan dia tahu akan kelihaian Pendekar Sadis, maka dia pun meloncat mundur diikuti oleh semua murid Hong-kiam-pang. Kini Thian Sin berdiri berhadapan dengan Bu Beng Tojin yang memegang pedang. Tosu itu memandang dengan mata beringas sedangkan Thian Sin tersenyum-senyum saja.

"Nah, Sian-su, sekarang Pendekar Sadis berhadapan satu melawan satu dengan Siluman Goa Tengkorak! Bagaimana pun juga, aku hendak membalas budimu kemarin dulu, yaitu aku tak akan membunuhmu, hanya akan melucuti kedokmu lalu menyerahkanmu kepada Hong-kiam-pang!"

"Keparat jahanam engkau!" bentak tosu itu dan pedangnya sudah membabat dahsyat.

Namun dengan cekatan sekali Thian Sin mengelak sambil balas memukul dengan tangan kiri yang juga dapat dielakkan oleh lawannya yang tangguh. Terjadilah perkelahian yang amat hebat, pedang melawan tangan kosong dan gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga dua bayangan tubuh itu seperti saling libat menjadi satu, sukar diikuti pandang mata.

Para penonton memandang kagum, namun sekaligus pandang mata mereka juga menjadi kabur. Gulungan sinar pedang di tangan Bu Beng Tojin telah menggulung tubuh keduanya dan hanya kadang-kadang nampak pedang, kepalan tangan atau ujung sepatu mencuat dengan dahsyatnya. Semua orang, kecuali Kim Hong, menonton dengan jantung berdebar tegang. Kim Hong berdiri sambil bertolak pinggang dengan sikap tenang, bahkan bibirnya tersenyum karena dia tahu pula bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah.

Terdengar lagi bentakan-bentakan aneh dari Bu Beng Tojin yang menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya, akan tetapi Thian Sin tidak terpengaruh sama sekali, malah terdengar dia mengejek, "Ha-ha-ha, keluarkan semua ilmu silumanmu, Sian-su!"

Ada lebih lima puluh jurus mereka berdua lenyap terbungkus cahaya pedang dan tiba-tiba saja terdengar Thian Sin mengeluarkan suara bentakan yang melengking nyaring hingga membuat semua orang memandang pucat karena bentakan Pendekar Sadis itu sungguh kuat sekali seperti membetot jantung. Teriakan ini disusul dengan teriakan Bu Beng Tojin, teriakan kaget, kemudian pedangnya terlempar ke atas lantai menjadi dua potong! Kiranya pedang itu sudah dihantam oleh tangan miring Thian Sin yang penuh mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang!

Akan tetapi Bu Beng Tojin masih terus mengamuk dengan tangan kosong, dan memang kakek ini memiliki kepandaian yang tangguh. Bagaimana pun juga, setelah dia bertangan kosong, nampak bahwa dia bukan lawan yang terlampau berat bagi Pendekar Sadis. Dia seperti dipermainkan saja, kadang kala pendekar itu mendorongnya dari samping sampai dia terhuyung-huyung, lalu menjegal kakinya sehingga dia hampir terjatuh dibarengi suara ketawa-ketawa Thian Sin yang mengejeknya.

"Brettttt...!" Mendadak jubah Bu Beng Tojin terkoyak lebar dan robekannya berada dalam cengkeraman tangan Thian Sin.

"Sian-su, perlihatkan kutil di dadamu!" Thian Sin mengejek.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, ingin sekali melihat apakah benar ada tanda-tanda seperti yang disebutkan oleh ketiga orang gadis tadi pada tubuh yang masih tertutup baju dalam itu. Tentu saja Bu Beng Tojin menjadi marah. Matanya menjadi merah dan melotot dan gerakannya semakin liar.

"Brettttt...!"

Kini baju dalamnya terobek, lantas terdengar semua orang mengeluarkan seruan tertahan melihat bahwa di dada kakek itu, di antara kedua buah dadanya, terdapat tonjolan daging sebesar telur ayam dan pada tempat itu ditumbuhi belasan helai rambut! Dan di seputar pinggangnya yang agak gendut itu terdapat lukisan seekor ular yang melilit pinggangnya, dengan kepala di perut.

Dengan wajah beringas tosu siluman itu melihat ke arah dada dan perutnya dan wajahnya berubah pucat. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan semua murid Hong-kiam-pang memandang dengan mata melotot.

"Celaka... celaka...!" Im Yang Tosu yang sudah siuman dan juga sudah melihat kenyataan ini menjadi pucat pula dan terkulai, pingsan!

"Ha-ha-ha, kiranya memang benar bahwa engkau adalah Siluman Goa Tengkorak! Nah, sekarang aku berani bertaruh potong leher bahwa pada kedua pahamu tentu ada gambar tengkoraknya!" kata Thian Sin.

Bu Beng Tojin atau Siluman Goa Tengkorak itu tidak melihat jalan lain. Bagaikan seekor harimau yang tersudut, dia pun menubruk lagi sambil menggeram, persis seekor harimau marah.

"Desss...!" Tubuhnya disambut tamparan Thian Sin yang mengenai lehernya.

Kakek itu terpelanting hingga kepalanya terasa pening, akan tetapi dia tidak tewas karena memang Pendekar Sadis tidak ingin membunuhnya, akan tetapi hendak menyerahkannya kepada Hong-kiam-pang. Tosu siluman itu bangkit dan menerjang lagi.

"Bresss...!"

Kini sepatu kaki Thian Sin yang menyambutnya dan kembali dia terjengkang. Ketika dia bangkit, mulutnya berdarah dan bibirnya pecah.

"Thian Sin, jangan habiskan sendiri, beri aku sedikit!" Tiba-tiba Kim Hong berseru lantas tubuhnya berkelebat, tahu-tahu gadis manis itu telah berada di samping Thian Sin.

Thian Sin tersenyum dan menggelengkan kepala, namun Kim Hong mendorong dadanya sehingga pemuda itu terpaksa melompat ke belakang, hampir jatuh dari panggung. Hal ini memang disengaja dan para tamu tertawa gembira menyaksikan kelakar dua orang itu.

Melihat majunya Kim Hong, Bu Beng Tojinn menjadi nekat. Ada sedikit harapan di dalam benaknya. Tadi dia tak berdaya menghadapi Pendekar Sadis. Akan tetapi dia mempunyai harapan untuk mengalahkan gadis ini, kalau tidak dengan ilmu silat, dengan ilmu sihirnya. Kalau dia dapat menundukkan, maka dia akan selamat, pikirnya. Dia akan menggunakan gadis ini sebagai tawanan, sebagai sandera supaya dia dapat melarikan diri! Maka begitu pening kepalanya hilang, dia sudah menubruk ke depan, menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk merangkul.

Semua orang terkejut melihat ini, apa lagi karena Kim Hong bersikap tenang saja. Namun sebelum tangan itu menyentuhnya, tanpa menggerakkan tubuh gadis itu menggerakkan kepalanya. Seberkas sinar hitam segera menyambar ke depan ketika gelungnya terlepas dan rambutnya yang panjang menyambar bagaikan cambuk baja.

"Plakkk!" Rambut panjang harum itu bagaikan cambuk baja melecut muka Bu Beng Tojin.

"Aduhhhhh...!" Tosu itu mengeluh dan matanya terpejam, pipinya berdarah seperti digaris dengan ujung pedang saja.

Akan tetapi Kim Hong tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya. Gadis ini sudah melangkah maju dan kembali rambutnya menyambar-nyambar, melecut-lecut muka, leher dan tubuh atas yang telanjang itu sampai kulit itu semuanya kelihatan pecah-pecah dan merah-merah mengeluarkan darah. Sungguh hebat dan mengerikan sekali rambut yang dipergunakan sebagai senjata ini, seperti pedang saja.

Bu Beng Tojin menutupi mukanya dari ancaman rambut, namun tubuhnya menjadi bulan-bulanan sepasang kaki Kim Hong. Akhirnya kakek itu terhuyung-huyung dan tidak kuat berdiri lagi.

"Kim Hong, jangan bunuh dia! Serahkan kepada Hong-kiam-pang!" teriak Thian Sin.

Kim Hong tersenyum, lalu untuk terakhir kalinya kaki kirinya menendang dan tubuh tosu siluman itu terlempar lalu jatuh berdebuk di atas lantai di depan kedua kaki Im Yang Tosu yang duduk di atas kursinya dengan muka pucat.

Melihat orang yang pernah menjadi sute-nya sekaligus pembantunya ini rebah terlentang di hadapannya dengan tubuh berdarah-darah dan napas empas-empis, Im Yang Tosu lalu membungkuk, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah celana sute-nya.

"Breettttt...!" Celana itu terobek dan nampaklah gambar dua tengkorak pada kedua paha itu.

"Keparat, engkau Siluman Goa Tengkorak...!" teriak Im Yang Tosu dengan suara parau, lantas tangannya menyambar pedang dan sekali pedang bergerak, dia telah menusukkan pedang itu dengan pengerahan tenaganya ke dalam dada Bu Beng Tojin.

Tubuh itu berkelojot, akan tetapi Im Yang Tosu juga roboh terguling dan ternyata kakek ini juga sudah menghembuskan napas terakhir. Dia tadi menderita luka pukulan yang hebat dan pengerahan tenaganya ketika menusuk tadi membuat dia tak kuat bertahan sehingga nyawanya pun melayang, hal yang sebenarnya malah meringankan penderitaan batinnya karena kakek ini tentu akan merasa malu dan menyesal sekali kalau dia dalam keadaan hidup melihat kenyataan pahit bahwa pembantunya adalah seorang penjahat keji.

Para murid Hong-kiam-pang yang sudah sangat marah itu demikian berduka melihat suhu mereka tewas. Maka puluhan batang pedang mencacah hancur tubuh Bu Beng Tojin!

Sementara itu Thian Sin mendekati Kim Hong. Mereka berdua saling pandang dan saling tersenyum puas. Usaha mereka menentang Siluman Goa Tengkorak sudah berhasil baik, walau pun dalam usaha itu berkali-kali mereka nyaris celaka, bahkan nyaris tewas pula. Mereka lalu menghadap ke arah semua orang di situ dan membungkuk. Thian Sin berkata lantang.

"Cu-wi yang terhormat, kami mohon diri karena kami telah menyelesaikan tugas kami!"

Mereka bergandeng tangan dengan mesra, lalu bersama-sama meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata kagum oleh semua orang.

T A M A T

Bagian Ke delapan Serial Pedang Kayu Harum ASMARA BERDARAH

Siluman Goa Tengkorak Jilid 05

PENDEKAR SADIS telah berdiri di sana sambil bertolak pinggang dan menentang pandangan matanya dengan senyum mengejek dan mata mencorong penuh kemarahan! Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati Siluman Goa Tengkorak ketika melihat pendekar ini.

"Ahh, Ceng-taihiap...!" katanya dengan suara yang ramah sekali, suara yang mengandung kekuatan sihir untuk menundukkan lawan. "Aku selalu memegang janji, tidak membunuh engkau atau Toan-lihiap..."

"Bagus, memang engkau tidak melanggar janji. Dan aku pun tidak akan membunuhmu, hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada para tosu Hong-kiam-pang dan Bu-tong-pai."

"Pengkhianat kau!" bentak Sian-su dan dia pun telah menerjang dan memukulkan tangan kanannya ke arah kepala Thian Sin.

"Darrrrr...!"

Thian Sin terkejut juga saat melihat sinar terang disertai bunyi ledakan ketika ada benda menghantam dinding di belakangnya. Pukulan Sian-su tadi dielakkannya dan ternyata Sian-su itu tidak hanya memukul, akan tetapi juga melepaskan sesuatu dari kepalan tangannya ke arah kepalanya yang akhirnya membentur dinding dan meledak, membuat dinding itu berlubang sebesar kepala orang. Kalau benda itu mengenai kepalanya dan meledak, tentu kepalanya yang akan pecah!

Sian-su sudah menerjang lagi dengan penuh kemarahan dan karena tangan kirinya masih memeluk peti hitam, dia mempergunakan pukulan tangan kanan secara beruntun dua kali dibantu oleh tendangan kakinya satu kali.

"Dukk! Dukk! Desss...!"

Thian Sin sengaja menangkis dua kali pukulan serta satu kali tendangan itu sambil dia mengerahkan tenaga keras lawan keras. Tubuhnya tergetar oleh pertemuan tenaga itu, akan tetapi juga Sian-su terdorong ke belakang sampai dua langkah dan terhuyung. Thian Sin tersenyum mengejek.

"Ha-ha-ha, Siluman Goa Tengkorak! Sekarang keluarkanlah semua kepandaianmu. Mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih kuat!"

Siluman itu hanya menggeram dan sekarang dia sudah menerjang lagi karena Thian Sin menghalang di depannya. Tangan kanannya bukan memukul melainkan mencengkeram, dan melihat betapa gerakan tangan itu berputar dan disertai bunyi suara mencicit nyaring, maka tahulah Thian Sin bahwa lawannya menggunakan ilmu pukulan yang amat keji, dan mungkin merupakan tok-ciang (tangan beracun). Akan tetapi, tentu saja Pendekar Sadis tidak takut, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi cengkeraman ini.....

Diam-diam dia sudah merasa heran sekali kenapa lawannya tetap memeluk peti hitam itu, padahal dalam pertemuan tenaga tadi saja siluman itu tentu sudah maklum bahwa tenaga siluman itu kalah kuat. Kalau bukan peti yang isinya amat berharga tentu siluman itu akan melepaskan peti itu supaya bisa menyerang dengan leluasa dan mempergunakan seluruh kepandaiannya.

"Wuttttt...! Plakk...!"

Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu dielakkan oleh Thian Sin, akan tetapi dibiarkan mengenai pundaknya dan dia telah menyambutnya dengan pengerahan tenaga Thi-khi I-beng!

"Aihhh...!" Sian-su memekik terkejut bukan main ketika cengkeramannya yang mengenai pundak itu mengakibatkan tenaganya langsung membanjir keluar, tersedot oleh kekuatan yang amat dahsyat dan pada saat itu, petinya telah terampas oleh Thian Sin.

"Thi-khi I-beng...!" serunya dan tiba-tiba tenaga cengkeramannya itu menghilang dan pada saat itu, dua jari tangan kirinya mencuat ke depan, ke arah kedua mata Thian Sin.

Memang hebat juga ketua Jit-sian-kauw ini. Agaknya dia sudah mengenal Thi-khi I-beng dengan baik dan tahu bagaimana caranya untuk menghadapinya. Dia telah menghentikan aliran tenaga sinkang-nya sehingga tidak sampai tersedot lagi dan jari tangan kirinya yang menusuk ke arah sepasang mata lawan itu tentu saja tidak dapat dihadapi dengan Thi-khi I-beng, karena sinkang yang bagaimana hebat pun tak mungkin dapat disalurkan melalui biji mata!

Thian Sin maklum akan berbahayanya serangan lawan itu, maka dia pun sudah meloncat ke belakang sambil membawa peti hitam. Tetapi gerakannya itu memberikan kesempatan kepada lawannya untuk meloncat ke kiri dan tiba-tiba saja siluman itu lenyap di belakang sebuah tiang besar.

"Siluman keparat, hendak lari ke mana engkau?" Thian Sin membentak sambil mengejar, namun di balik tiang ini tidak ada apa-apanya dan siluman itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Thian Sin menjadi penasaran bukan main. Ia merasa yakin sekali bahwa siluman itu tidak meninggalkan tempat itu melalui lain jalan. Tadi hanya terlihat meloncat ke belakang tiang ini dan lenyap. Maka dia pun segera menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah tiang sambil mengerahkan tenaga.

"Brakkkkk...!"

Tiang yang amat tebal itu, yang tebalnya dua kali ukuran manusia, pecah berantakan dan kiranya di sebelah dalam tiang itu berlubang dan tiang itu adalah tiang palsu, bukan balok kayu melainkan papan yang dibentuk seperti tiang dan di dalamnya berlubang. Sesudah pecah berantakan, nampak lubang itu turun ke bawah.

Thian Sin maklum bahwa itulah jalan rahasia yang baru dilalui oleh lawannya, maka tanpa ragu-ragu lagi sambil masih mengempit peti hitam itu, dia pun meloncat ke dalam lubang yang ternyata tidak seberapa dalam itu. Dia sampai di sebuah ruangan bawah dan terus meloncat ke arah pintu yang membawanya ke sebuah ruangan lain yang penuh dengan cermin.

Cemin-cermin kecil yang bersambung-sambung itu mencerminkan dirinya menjadi banyak sekali. Setiap kali dia bergerak, Thian Sin melihat semua bayangannya itu turut bergerak sehingga dia merasa seakan sedang dikepung oleh banyak sekali orang, ada tiga puluh banyaknya dan semua merupakan bayangannya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat, tentu saja gerakan-gerakan itu membuatnya terkejut dan waspada.

Setelah yakin bahwa semua bayangan itu adalah bayangannya sendiri, barulah dia berani melanjutkan langkahnya, meneliti serta memeriksa cermin-cermin yang berupa pintu-pintu tanpa kunci itu. Tentu saja gerakannya ketika memeriksa cermin-cermin itu diikuti terus oleh semua bayangannya.

Tiba-tiba Thian Sin meloncat ke kiri dan tujuh buah pisau terbang menyambar lewat, tapi salah satu sempat menyerempet bahunya, merobek baju dan melukai kulitnya. Dia cepat menengok dan mencari-cari dengan matanya, akan tetapi yang ikut bergerak-gerak hanya bayangan-bayangannya saja. Tak ada bayangan orang lain. Dia segera berhenti bergerak dan matanya saja yang melirik ke sana ke mari, ke dalam cermin-cermin itu. Namun yang nampak hanya dirinya sendiri.

Tadi dia merasa sukar untuk menangkap gerakan orang yang menyambitkan hui-to (pisau terbang) karena pandang matanya terpengaruh oleh semua gerakan bayangannya sendiri sehingga kalau ada bayangan orang lain, tentu gerakan orang itu dapat menyelinap dan tersembunyi oleh gerakan semua bayangannya sendiri itu. Thian Sin menjadi penasaran dan marah. Peti hitam itu ditaruhnya ke depan, menghantam ke arah pintu bercermin di depannya sambil mengerahkan tenaga.

"Brakkkk...!"

Cermin itu hancur berkeping-keping dan di balik cermin terdapat dinding bata yang kuat. Akan tetapi pada saat dia memukul tadi, dia sempat melihat sinar berkelebatan dari arah kanannya dan cepat dia menggulingkan tubuhnya. Kembali tujuh batang hui-to lewat dan karena dia tahu bahwa yang menyerangnya secara menggelap itu dari kanan datangnya, dia pun lalu menubruk ke kanan, ke arah cermin.

"Brakkk...!" Cermin-cermin ini pun hancur akan tetapi di belakangnya tidak terdapat siapa pun kecuali dinding batu.

Kini Thian Sin mengerti. Apa bila dia diam saja sehingga semua bayangannya turut diam, maka lawan tidak bergerak. Akan tetapi jika tubuhnya bergerak dan semua bayangannya tentu saja juga bergerak, kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya untuk turun tangan karena gerakannya tentu akan kabur dengan gerakan semua bayangan itu. Maka kini dia pura-pura bergerak lagi namun diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya.

Benar saja, sekarang dari arah kirinya dia melihat bayangan lain, bukan bayangan dirinya sendiri. Begitu melihat bayangan yang lain dari pada bayangannya sendiri, Thian Sin lalu memekik dan tubuhnya mencelat ke kiri, kedua kakinya menendang dengan dahsyatnya ke arah cermin di mana tadi dia melihat gerakan yang bukan bayangannya.

"Bresssss...!" Terdengar suara orang mengaduh dan daun pintu di balik cermin itu pecah berantakan.

Thian Sin melihat berkelebatnya orang yang meloncat ke depan dan melarikan diri. Cepat dia menyambar peti hitam dan melakukan pengejaran, akan tetapi Sian-su, orang itu yang biar pun sudah terkena tendangannya akan tetapi ternyata masih terlalu kuat untuk roboh itu, telah lenyap lagi melalui jalan rahasia yang tidak diketahuinya. Karena merasa tidak mampu mengejar lawan yang menggunakan jalan rahasia itu, dan juga mengkhawatirkan keadaan orang-orang Bu-tong-pai yang menghadapi keroyokan banyak orang, dengan hati kecewa Thian Sin lalu berjalan kembali ke tempat semula.

"Thian Sin...!"

Ternyata Kim Hong yang memanggilnya dan gadis ini pun membawa sebuah peti hitam yang serupa benar dengan peti yang dibawanya.

"Apa yang kau bawa itu?" Thian Sin bertanya.

"Kurampas dari Siok Cin Cu, tosu keparat pembantu ketua siluman itu. Dia telah kubunuh dan peti ini berisi harta yang agaknya hendak dilarikannya. Dan peti di tanganmu itu?"

"Kurampas dari Sian-su, sayang dia dapat melarikan diri melalui jalan rahasia yang tidak kukenal. Entah apa isinya..." Thian Sin menurunkan peti itu kemudian membuka tutupnya dan mereka memandang silau.

"Hemmm, isinya sama dengan isi peti ini," kata Kim Hong. "Agaknya siluman itu bersama pembantunya telah bersiap-siap hendak melarikan diri sambil membawa harta benda hasil kejahatan mereka, masing-masing membawa satu peti penuh perhiasan."

"Sudahlah, mari kita bantu orang-orang Bu-tong-pai menghadapi para anak buah siluman itu..."

"Kau bantulah mereka. Aku sendiri akan membebaskan para gadis yang ditawan sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka," jawab Kim Hong.

"Baik, dan sebaiknya engkau bawa kedua peti ini bersamamu. Engkau tentu masih ingat bagaimana untuk membebaskan orang dari pengaruh sihir dan bius?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Menotok dua belas Keng-siang-meh dan mengurut tujuh Ki-keng-meh, lalu mengguyur mereka dengan air dingin."

Thian Sin mengangguk dan mengelus dagu kekasihnya. "Bagus, engkau memang hebat. Nah, aku pergi dulu..." Dia pun lalu lari meninggalkan tempat itu untuk keluar membantu lima orang tokoh Bu-tong-pai yang tengah dikeroyok oleh banyak anak buah Siluman Goa Tengkorak dan para tamunya itu.

Kim Hong juga meninggalkan tempat itu, membawa kedua buah peti hitam yang diikatnya menjadi satu menggunakan tirai sutera yang terdapat di ruangan itu lantas pergilah dia ke ruangan dalam untuk mencari gadis-gadis yang dia duga tentu dikumpulkan dalam suatu tempat.

Dugaan gadis ini memang tepat. Dia menemukan hampir empat puluh orang wanita yang rata-rata masih muda dan cantik-cantik, dengan wajah yang pucat dan pandangan mata kosong, duduk berkumpul di sebuah ruangan besar. Ada empat orang bertopeng menjaga di depan ruangan, membawa golok dan memandang beringas ketika dia datang membawa dua buah peti hitam itu.

Empat orang penjaga ini segera mengenalnya sebagai gadis tawanan yang memberontak dan melarikan diri, maka tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menerjang maju. Melihat berkelebatnya empat batang golok itu, Kim Hong menggerakkan tangan yang memegang sutera pengikat dua peti hitam. Cahaya hitam yang lebar melayang, menyambut keempat batang golok itu dan gerakan ini diikuti oleh kedua kaki Kim Hong yang menendang empat kali beruntun.

Akibatnya, empat batang golok yang bertemu dengan peti-peti hitam itu terlempar, disusul tubuh empat orang itu yang terlempar pula, membentur dinding dan terbanting roboh, tak mampu bangun kembali karena ketika menendang tadi, Kim Hong mengerahkan tenaga pada kedua kakinya dan sekali tendang saja remuklah isi perut empat orang itu.

Kim Hong mendorong daun pintu ruangan itu hingga terbuka dan puluhan orang gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan. Beberapa orang di antara mereka bahkan maju dengan sikap menantang.

"Siapa kamu? Tidak boleh ada orang yang masuk ke sini kecuali ada ijin dari Sian-su!" kata salah seorang di antara mereka.

Kim Hong mengangkat muka memandang. Dia tahu bahwa gadis yang usianya baru tujuh belas tahun lebih ini, yang berwajah amat cantik, adalah kekasih Sian-su atau setidaknya merupakan gadis yang paling disuka oleh ketua siluman itu. Akan tetapi, di balik sikapnya yang genit dan binal, juga pandang mata gadis itu kosong dan sayu tanda bahwa gadis ini penuh oleh hawa jahat atau sihir yang mempengaruhi, dan wajahnya yang pucat itu pun menandakan bahwa dia telah banyak terkena obat bius. Semua gerakannya itu tak wajar dan gadis ini pun telah kehilangan kepribadiannya.

"Siapakah engkau?" Kim Hong bertanya dengan suara mengandung wibawa.

Akan tetapi gadis itu tidak terlihat takut, malah melangkah maju sambil mengangkat dagu dengan sikap tinggi hati. "Aku bernama Thio Siang Ci dan aku adalah murid terkasih dari Sian-su. Pergilah sebelum aku memanggil pengawal dan menangkapmu!"

Kim Hong tersenyum dan menurunkan dua buah peti yang dibawanya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ke depan. Akan tetapi dia kecelik kalau menyangka bahwa gadis itu sebagai murid dan kekasih Sian-su tentu lihai ilmu silatnya. Kiranya gadis itu sama sekali tidak pandai ilmu silat, dan sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak ketika dia menotoknya menjadi lumpuh seketika.

Terdengar jeritan-jeritan kaget dan marah dari para wanita itu. Akan tetapi Kim Hong tidak peduli dan cepat menggerakkan jari-jari tangannya menotok jalan darah di tempat-tempat tertentu pada tubuh Thio Siang Ci itu, lalu mengurut jalan darah Ki-keng-meh.

Gadis itu nampak tertidur pulas dan Kim Hong lalu melompat dan mengambil sepanci air yang berada di sudut ruangan, lalu menyiramkan air itu pada kepala Thio Siang Ci. Gadis itu adalah pengantin yang telah diculik oleh Silumah Goa Tengkorak, yaitu puteri dari Thio Ki, kembang dusun Ban-ceng.

Pada malam dia menjadi pengantin bersama The Si Kun, muncul siluman itu membunuh suaminya kemudian menculiknya. Siluman itu, atau Sian-su, tertarik akan kecantikannya sehingga semenjak malam itu, di bawah pengaruh sihir dan bius, Thio Siang Ci menjadi kekasihnya.

Begitu kepala dan mukanya terguyur air dingin, Thio Siang Ci gelagapan, terbangun dan seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia bangkit dan memandang ke sekitarnya. Pandang matanya yang sudah tidak kosong lagi itu terbelalak, mukanya pucat ketakutan melihat ke arah banyak gadis yang kini sudah serentak bangkit dengan marah itu.

"Di mana aku...? Apa... apa yang terjadi...?" Dan agaknya dia teringat, sebab tiba-tiba dia mendekap mukanya dengan kedua tangan, kemudian menangis mengguguk, memanggil-manggil ayahnya.

Sementara itu, gadis-gadis yang hampir empat puluh orang banyaknya itu sudah bangkit berdiri. Sebagian dari mereka yang berwatak pemberani, karena terdorong oleh kesetiaan mereka yang tidak wajar terhadap Sian-su, langsung maju hendak menyerang Kim Hong dengan cakaran dan gebukan.

Kim Hong maklum bahwa mereka itu adalah wanita-wanita tidak berdosa yang kehilangan kepribadiannya, maka dia pun cepat bergerak berkelebatan di antara mereka dan robohlah mereka itu satu demi satu karena sudah tertotok oleh pendekar wanita sakti ini. Yang lain-lain, yang ketakutan, kini berlutut dan tidak berani melawan.

Kim Hong lalu bekerja dengan sibuk dan cepat, menotoki wanita-wanita itu dan mengurut jalan darah mereka. Kemudian dia mengguyur kepala mereka dengan air yang diambilnya dari kamar mandi sehingga ruangan itu menjadi becek dan basah.

Akan tetapi kini keadaan dan suasana menjadi berubah sama sekali. Wanita-wanita yang telah sadar akan dirinya itu lalu menangis sehingga suasana menjadi riuh rendah dengan tangis mereka, seolah-olah di tempat itu terdapat perkabungan.

Kim Hong adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kekerasan hati seperti pria dan tak mengenal kecengengan lagi. Maka, melihat wanita-wanita menangis dengan cengeng ini, hatinya terasa mengkal dan dia pun sudah bangkit bediri lantas berkata dengan suara nyaring,

"Kalian semua diamlah, jangan menangis! Apa lagi yang perlu kalian tangisi? Kalian telah terseret ke tempat neraka ini, baik melalui bujukan beracun mau pun diculik, dan kalian hidup di dalam cengkeraman pengaruh ilmu sihir dan obat bius. Akan tetapi hari ini, aku Toan Kim Hong bersama sahabatku Ceng Thian Sin datang untuk membasmi gerombolan siluman ini dan membebaskan kalian. Lekaslah berkemas dan bawa barang-barang kalian masing-masing, kita akan keluar dari neraka ini dan kalian akan kembali kepada keluarga kalian masing-masing!"

Mendengar ucapan ini, bermacam-macam sambutan para wanita itu. Ada yang menangis mengguguk, ada yang tersenyum-senyum gembira, dan ada pula yang ketakutan karena meragukan apakah keluarga mereka akan sudi menerima mereka kembali. Dan sebagian besar adalah mereka yang menangis ketakukan dengan penuh keraguan dan kegelisahan ini.

Agaknya Kim Hong maklum pula akan hal ini, maka dia pun segera berkata lagi. "Jangan khawatir, kami akan menjelaskan kepada keluarga kalian! Dan andai kata keluarga kalian begitu kejam untuk tidak menerima kalian kembali, kalian tetap akan mampu hidup sendiri karena kami akan membagi-bagikan semua harta peninggalan Siluman Goa Tengkorak ini di antara kalian sehingga kehidupan kalian akan terjamin!"

Ucapan ini tentu saja merupakan hiburan bagi mereka. Kemudian, dengan dipimpin oleh Thio Siang Ci, mereka semua menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Kim Hong sambil menghaturkan terima kasih sehingga bersimpang-siurlah ucapan terima kasih mereka.

"Sudah... sudahlah, aku tidak mempunyai cukup waktu untuk segala macam upacara ini!" Kim Hong menggerak-gerakkan tangan dengan sikap hilang sabar. "Di luar masih terjadi pertempuran dan aku harus membantu untuk membasmi para siluman itu. Marilah, cepat, kita harus keluar dari sini!"

Sekarang para wanita itu sibuk berkemas, lantas mereka pun berbondong-bondong keluar meninggalkan ruangan itu, mengikuti Kim Hong yang mengajak mereka keluar ke tempat di mana terjadi pertempuran. Bahkan dengan bantuan wanita-wanita ini, Kim Hong dapat menghindari jebakan-jebakan rahasia.

Meski pun tadinya para wanita ini hidup dalam keadaan tersihir dan terbius, mereka tidak kehilangan ingatan mereka dan mereka tadinya hanya hidup seperti di dalam alam mimpi, telah kehilangan kepribadian akibat mereka itu diberi minuman-minuman yang di samping melumpuhkan kemauan sendiri, juga merangsang nafsu-nafsu mereka sehingga mereka hidup seakan-akan menjadi hamba nafsu yang harus melayani kebutuhan Sian-su, para anak buahnya dan para tamu, dan semua itu dilakukan dengan rela sebagai bakti mereka terhadap para dewa, terutama Dewa Kematian yang mereka puja.

Sementara itu, di luar daerah Goa Tengkorak terjadi pula kesibukan lain. Serombongan orang yang memegang pedang, dengan muka marah sekali berbondong-bondong menuju ke balik tebing Goa Tengkorak. Jumlah mereka ada tiga puluh orang, semuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah dan dipimpin oleh dua orang tosu. Mereka ini adalah orang-orang Hong-kiam-pang yang dipimpin sendiri oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, ketua dan pembantu utamanya.

Seperti kita ketahui, para murid Hong-kiam-pang dan pemimpinnya ini marah sekali ketika mendapat kenyataan bahwa Siluman Goa Tengkorak yang sudah membunuh tujuh orang anggota atau murid mereka itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Dan kemarahan mereka semakin memuncak pada saat Pendekar Sadis ditolong oleh seorang bertopeng tengkorak lainnya dan bersama siluman itu melarikan diri. Tentu saja mereka melakukan pengejaran dengan berpencar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Pendekar Sadis dan temannya di luar daerah Goa Tengkorak.

Karena dua orang pemimpin mereka mampu berlari lebih cepat dan dalam pengejaran itu meninggalkan mereka, maka mereka kehilangan dua orang pimpinan itu sehingga mereka termangu-mangu menanti di depan deretan Goa Tengkorak, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka tidak dapat menemukan jalan masuk dari goa-goa itu.

Sesudah matahari naik tinggi dan mereka menanti dengan kesabaran yang hampir habis, tiba-tiba muncullah Bu Beng Tojin memanggul tubuh Im Yang Tosu yang terluka! Tentu saja para murid Hong-kiam-pang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat bahwa luka yang diderita oleh Im Yang Tosu itu tidaklah hebat, hanya luka kulit daging saja karena pundak kanannya tertusuk sebuah pisau. Bu Beng Tojin tadi memanggulnya karena ketua Hong-kiam-pang ini jatuh pingsan!

"Pinto mencari-cari hingga ke belakang tebing, akan tetapi pinto kehilangan jejak siluman-siluman itu," kata Bu Beng Tojin menceritakan kepada murid-murid Hong-kiam-pang.

"Agaknya suheng juga mencari sampai di sana dan entah apa yang terjadi, tahu-tahu aku mendapatkan suheng sudah menggeletak pingsan dengan sebuah pisau yang tertancap di pundaknya. Maka pinto lalu cepat-cepat membawanya ke sini untuk merawatnya." Bu Beng Tojin sendiri yang merawat luka Im Yang Tosu dan akhirnya ketua Hong-kiam-pang ini siuman.

Dia mengeluh dan bangkit duduk, lalu teringat akan apa yang terjadi dan menarik napas panjang. "Ahh... Pendekar Sadis yang menyamar sebagai siluman itu sungguh berbahaya sekali...," katanya.

"Apa yang telah terjadi, suheng? Aku menemukan suheng dalam keadaan pingsan di situ, lalu suheng kubawa ke sini untuk dirawat."

Im Yang Tosu memandang kepada pembantunya itu. "Untung sute datang, dan agaknya musuh langsung lari sehingga tidak sempat membunuhku ketika melihat sute datang. Aku mengejar sampai ke balik tebing dan melihat bayangan memasuki semak-semak belukar kemudian lenyap. Aku telah memeriksa dan mencari akan tetapi tak berhasil menemukan sesuatu. Pada saat aku mulai menjadi bosan mencari dan hendak pergi, aku mendengar suara dari balik batu karang. Cepat aku mendekati dan ternyata ada rumpun alang-alang yang terkuak dan di balik rumpun alang-alang ini terdapat sebuah lubang. Pada saat itu ada bayangan berkelebat di sebelah dalam lubang yang gelap dan tiba-tiba saja ada pisau menyambar. Aku kurang cepat mengelak sehingga pisau itu mengenai pundakku. Karena lukanya hanya luka daging, tidak mungkin aku roboh karena itu, akan tetapi tiba-tiba aku mencium bau keras dan aku pun tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya iblis itu menggunakan racun atau obat bius...!"

Bu Beng Tojin bangkit berdiri sambil mengepal tinju mendengar penuturan suheng-nya ini. Mukanya merah padam, dan dia kelihatan marah sekali. "Sungguh keterlaluan Pendekar Sadis itu! Kita harus membuat perhitungan, sekarang juga! Aku pun sudah melihat lubang itu, suheng, dan agaknya lubang itulah jalan yang menuju ke dalam sarang mereka! Mari kita serbu sekarang juga!"

"Tapi, susiok, bukankah suhu sudah terluka sehingga perlu beristirahat?" bantah seorang murid.

"Aku tidak apa-apa, luka ini tidak ada artinya. Mari kita serbu dan basmi iblis kejam itu!" Im Yang Tosu juga berkata marah, bangkit semagatnya oleh sikap pembantunya.

Demikianlah, mereka berdua segera memimpin tiga puluh orang murid Hong-kiam-pang itu, berbondong-bondong pergi menuju ke balik tebing Goa Tengkorak. Karena dua orang pimpinan Hong-kiam-pang itu sekarang sudah menemukan jalan tembusan rahasia, yang berupa terowongan yang membawa mereka ke sarang Jit-sian-kauw, maka mereka dapat memasuki terowongan itu dengan sikap hati-hati sekali.

"Bagaimana pun juga, kita harus berhati-hati," kata Bu Beng Tojin sesudah mereka mulai memasuki terowongan dan dia berjalan paling depan. "Orang yang sudah mampu melukai suheng, biar pun secara menggelap, tentulah amat berbahaya."

Pada sepanjang jalan terowongan, mereka menemukan jebakan-jebakan yang sudah tak bekerja akibat rusak sehingga beberapa kali Bu Beng Tojin mengeluarkan seruan marah, "Keparat, sungguh jebakan yang kejam sekali!" terdengar dia berkata.

Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tibalah mereka di pusat sarang gerombolan itu dan begitu mereka berloncatan keluar dari mulut terowongan, mereka lalu tercengang memandang ruangan itu. Pendekar Sadis berdiri di tengah-tengah ruangan bersama lima orang gagah dari Bu-tong-pai, dan di sekeliling ruangan yang luas itu nampak berserakan tubuh orang-orang yang memakai jubah dan topeng tengkorak! Ada pula yang berpakaian biasa, yaitu para tamu yang sedang membantu gerombolan itu menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang dibantu oleh Thian Sin!

Ketika Thian Sin meninggalkan Kim Hong dan berlari keluar, dia melihat betapa lima orang Bu-tong-pai itu masih mengamuk. Akan tetapi mereka terkurung rapat dan mulai terdesak. Untunglah di situ ada Liang Hi Tojin, yaitu tokoh ke dua dari Bu-tong-pai yang permainan pedangnya hebat bukan main sehingga untuk sementara, berkat kelihaian Liang Hi Tojin, kepungan itu masih dapat dibendung dan belum ada orang Bu-tong-pai yang terluka biar pun mereka telah lelah sekali dan sibuk mempertahankan diri.

Pada saat Thian Sin hendak maju, tiba-tiba ada orang yang merangkul kakinya. Thian Sin cepat menatap ke bawah. Orang itu adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian mewah. Agaknya dia tidak turut bertempur, akan tetapi sudah keserempet senjata tajam karena pahanya terluka dan dia kelihatan ketakutan setengah mati.

"Maafkan aku... ampunkan aku... ah, taihiap, ampunkan aku dan kelak aku akan memberi taihiap uang sebanyak yang kau minta. Emas, perak, apa saja... asalkan taihiap bersedia membawa aku keluar dari tempat ini..." Dan orang itu lalu menangis ketakutan.

Thian Sin mengenal orang ini sebagai seorang di antara para tamu, yaitu pemuda mewah yang dia lihat menerima janda Cia Kok Heng pada saat janda muda itu diangkat menjadi anggota baru, kemudian janda itu oleh Sian-su diberikan kepada pemuda mewah ini yang menggaulinya secara tidak tahu malu. Kini dia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa di antara pemuda kaya ini dengan Sian-su dan bukan tidak mungkin janda itu diculik oleh gerombolan Siluman Goa Tongkorak atas pesanan pemuda ini.

"Ampun sih mudah! Akan tetapi akuilah apakah benar engkau yang memesan janda Kok Heng itu untuk kau perkosa?" Pemuda itu memang pemuda bangsawan dan hartawan she Phang dari Tai-goan.

Pada saat itu dia berada dalam ketakutan yang luar biasa, maka mendengar ucapan itu, tanpa pikir panjang lagi dia pun langsung mengaku saja. Pokoknya, apa pun yang pernah dilakukannya akan diakui tanpa malu-malu lagi asalkan dia dibebaskan dan tidak dibunuh.

Hatinya telah ketakutan sekali melihat betapa orang-orang Bu-tong-pai itu mengamuk dan membunuhi banyak orang berkedok tengkorak dan begitu Thian Sin muncul, dia pun telah mengenalnya sebagai pemuda yang diperkenalkan sebagai Pendekar Sadis, maka walau pun dengan merangkak-rangkak, dia menghampiri dan minta ampun.

"Benar, taihiap... tapi ampunkan saya..."

"Desss...!"

Tendangan yang dilakukan oleh Thian Sin tepat mengenai dagu pemuda she Phang itu. Tulang rahangnya patah-patah dan pemuda itu menangis melolong-lolong. Thian Sin telah menghampiri dengan langkah lebar dan sekali dia menurunkan kaki kanannya, dia sudah menginjak pecah kepala orang she Phang itu seperti orang menginjak kepala ular saja.

Kemudian Thian Sin terjun ke dalam arena perkelahian dan begitu dia terjun, tentu saja keadaan menjadi berubah sama sekali. Setiap gerakan kaki tangannya pasti disusul oleh teriakan mengerikan karena ada seorang pengeroyok yang terjengkang dan tewas. Dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan enam orang pengeroyok. Hal ini tentu saja membuat para anak buah gerombolan itu menjadi sangat gentar, akan tetapi sebaliknya membuat lima orang Bu-tong-pai tambah bersemangat.

Demikianlah, saat rombongan orang-orang Hong-kiam-pang sampai di tempat itu, mereka hanya melihat Pendekar Sadis beserta lima orang Bu-tong-pai, ada pun semua anggota gerombolan Siluman Goa Tengkorak berikut para tamu yang ikut membantu mereka telah rebah malang melintang, ada yang tewas dan ada pula yang luka-luka.

"Pendekar Sadis, iblis jahat, kau harus menebus kematian murid-murid kami!" Im Yang Tosu yang memandang marah kepada pendekar itu langsung meloncat ke depan.

Akan tetapi Thian Sin meloncat ke belakang dan berkata dengan suara nyaring. "Im Yang Tosu, sabarlah dan dengarlah dulu penjelasanku!"

Akan tetapi tiba-tiba Bu Beng Tojin telah menggerakkan pedangnya dan menyerang Thian Sin dengan dahsyat sambil berteriak, "Tak usah banyak cerewet lagi, dosa-dosamu sudah bertumpuk!"

Serangan tosu itu dahsyat bukan kepalang, akan tetapi Thian Sin dapat mengelak dengan sigapnya tanpa membalas, melainkan berseru, "Tahanlah, totiang...!"

"Ceng Thian Sin, dosamu sudah bertumpuk, kini mau bicara apa lagi? Pinto sendiri yang menangkapmu sebagai Siluman Goa Tengkorak, dan dalam tawanan kami engkau sudah ditolong oleh seorang anggota gorombolon Siluman Goa Tengkorak! Kini engkau masih mau pura-pura lagi ?" Berkata demikian, Bu Beng Tojin dengan kemarahan meluap-luap telah menerjang lagi dengan pedangnya, mengirim serangan maut yang amat berbahaya.

Agaknya kakek pendeta ini benar-benar sakit hati karena kematian tujuh orang muridnya, maka kini dia menyerang bagaikan orang yang mata gelap. Kembali Thian Sin mengelak cepat sehingga pedang itu bercuit lewat di atas kepalanya.

"Tahan dan biarkan aku bicara dulu, totiang!" Thian Sin berseru.

"Sute, biarlah kita dengar apa yang hendak dikatakan Pendekar Sadis alias Siluman Goa Tengkorak ini!" kata Im Yang Tosu.

"Perlu apa mendengarkan ucapannya yang palsu, suheng? Bukankah baru saja dia telah melukai dan nyaris membunuh suheng?" bentak Bu Beng Tojin yang tak dapat menahan kemarahannya, sepasang matanya berapi-api dan mukanya merah sekali.

"Susiok, suhu minta kita mendengarkan dia bicara dulu. Untuk menyerangnya nanti juga masih belum terlambat," kata seorang murid Im Yang Tosu dan saudara-saudaranya telah mengurung Pendekar Sadis dengan pedang terhunus.

"Tidak perlu bicara lagi dengan iblis kejam ini!" bentak Bu Beng Tojin yang telah kembali menerjang dan menyerang Thian Sin.

Pendekar ini mendongkol bukan main, akan tetapi karena dia teringat bahwa kemarahan tokoh ke dua dari Hong-kiam-pang ini adalah karena sakit hati mengingat muridnya tewas di tangan Siluman Goa Tengkorak, maka dia pun berusaha menahan kedongkolan hatinya dan mengelak ke kiri dengan cepat. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin bercuitan dan sinar terang menyambar dari kiri.

"Siancai, dosamu memang terlalu banyak, Pendekar Sadis!" itulah suara Im Yang Tosu yang sudah menyerangnya, terbangun semangatnya oleh kemarahan sute-nya.

Murid Hong-kiam-pang juga mulai bergerak menyerang Thian Sin. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali dan cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik menghindarkan sambaran pedang Im Yang Tosu yang amat lihai.

"Trang-trang-trang...!"

Ketika Bu Beng Tojin menyerang kembali, tiba-tiba pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Liang Hi Tojin, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar dan dengan hati terkejut Bu Beng Tojin segera melompat ke belakang, memeriksa pedangnya yang ternyata tidak rusak, kemudian dia menudingkan pedangnya kepada Liang Hi Tojin.

"Bagus! Apakah pendeta Bu-tong-pai sekarang berpihak kepada gerombolan penjahat?!" bentaknya.

"Siancai! Bu Beng toyu dari Hong-kiam-pang, hendaknya bersikap tenang dan sabar dulu. Setiap persoalan dapat dibicarakan dan siapa yang bersalah wajib dihukum. Akan tetapi pinto sendiri sangat ingin tahu kenapa justru Ceng-taihiap yang dituduh sebagai Siluman Goa Tengkorak, padahal dia yang telah membasmi gerombolan ini?"

"Toyu harap jangan mudah tertipu oleh kelicikannya!" Bu Beng Tojin berseru marah sekali. "Sejak dahulu siapa yang tidak mendengar nama Pendekar Sadis yang amat kejam? Dan sekarang, pinto sendiri yang menangkap basah, ketika dia berpakaian dan bortopeng sebagai Siluman Goa Tengkorak. Agaknya dengan licik dia telah bersandiwara, menipu toyu dan kawan-kawan dari Bu-tong-pai, berpura-pura memusuhi Siluman Goa Tengkorak. Lebih baik toyu bantu kami untuk menangkapnya!" Berkata demikian, Bu Beng Tojin sudah hendak menyerang lagi.

Suasana menjadi tegang karena para murid Hong-kiam-pang kembali terpengaruh oleh ucapan susiok mereka, bahkan Im Yang Tosu juga memandang kepada Liang Hi Tojin dengan mata bersinar marah.

"Betapa pun juga, kami dari Hong-kiam-pang semua menyaksikan bahwa memang benar Pendekar Sadis pernah kami tangkap sebagai Siluman Goa Tengkorak lantas dibebaskan oleh seorang anggota gerombolan penjahat ini!" katanya.

Pada saat itu pula, tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah Kim Hong yang membawa dua buah peti hitam diikuti oleh empat puluh orang gadis-gadis muda cantik yang masih kelihatan berduka itu. Gadis ini cepat meloncat ke depan ketika melihat Thian Sin dikurung oleh orang-orang Hong-kiam-pang karena dia sempat mendengar ucapan Im Yang Tosu tadi.

"Tahan...!" serunya dengan nyaring sehingga semua orang menengok dan memandang kepadanya. "Memang akulah orangnya yang telah menolongnya dari tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah dan yang ceroboh sekali dalam tindakan mereka! Kami memang sudah menyamar sebagai anggota gerombolan Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi hal itu kami lakukan untuk dapat membasmi gerombolan ini seperti yang telah kami lakukan hari ini!"

"Bohong!" Tiba-tiba Bu Beng Tojin berseru marah. "Gadis ini adalah teman baik Pendekar Sadis, tentu saja dia hendak membelanya! Kalau toh mereka berdua memang menentang gerombolan ini, agaknya hanya ingin merampas harta kekayaannya saja. Buktinya, benda apakah yang dibawa oleh nona ini?" Bu Beng Tojin menunjuk dengan pedangnya ke arah dua peti hitam yang dibawa oleh Kim Hong itu.

Gadis itu tersenyum. "Totiang, agaknya engkau terlampau curiga dan memandang bahwa orang-orang lain kecuali para pendeta adalah orang-orang jahat belaka. Tanyakan saja pada gadis-gadis ini, siapa yang membebaskan mereka dari cengkeraman Siluman Goa Tengkorak kalau bukan kami? Dan mengenai dua peti ini, memang isinya adalah harta benda yang amat banyak!" Berkata demikian, Kim Hong sengaja membuka dua peti hitam itu dan semua orang terbelalak memandang kepada dua peti yang isinya penuh dengan benda-benda yang berkilauan, emas perak serta batu-batu permata yang harganya sukar dinilai.

Melihat ini, Liang Hi Tojin mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pendekar Sadis. "Taihiap, pinto sendiri tidak mengerti, apa artinya peti berisi harta itu?"

Sebelum Thian Sin menjawab, dan memang pendekar ini masih bingung dan belum siap menjawab pertanyaan ini, Kim Hong telah berkata nyaring.

"Totiang, harta kami ada puluhan kali lebih banyak dari pada isi kedua peti ini. Apa artinya harta ini bagi kami berdua? Kami memang sengaja merampasnya dari tangan Siluman Goa Tengkorak serta pembantunya yang agaknya hendak melarikan dua buah peti harta ini keluar sarang. Dan kami sudah mengambil keputusan mengenai harta ini. Gadis-gadis ini sudah banyak menderita, mereka diculik dan dibujuk oleh gerombolan jahat. Sekarang mereka akan kami pulangkan ke keluarga masing-masing dan semua harta ini akan kami bagi-bagi untuk mereka, juga untuk keluarga Tujuh Pendekar Tai-goan yang telah tewas. Bagaimana pendapatmu, Liang Hi Tojin?"

"Siancai... sungguh merupakan pikiran yang bagus sekali!" Liang Hi Tojin memuji. "Ceng-taihiap, harap maafkan keraguan pinto tadi." Tokoh Bu-tong-pai ini menjura kepada Thian Sin yang hanya tersenyum sambil memandang ke arah kekasihnya dengan rasa kagum dan terima kasih.

"Dan bagaimana dengan pendapat para pimpinan dari Hong-kiam-pang?" Kini Thian Sin bertanya kepada Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin.

"Kalau memang benar seperti apa yang pinto dengar tadi, memang tepat sekali jika harta itu dibagi-bagi kepada bekas para korban," jawab Im Yang Tosu.

"Dan bagaimana pendapatmu, Bu Beng Totiang?" Thian Sin bertanya kepada Bu Beng Tojin yang masih kelihatan marah dan penasaran itu.

Pendeta ini mengerutkan kedua alisnya. "Kami adalah orang-orang yang mengutamakan kebenaran dan selalu akan menentang kejahatan. Kalau memang benar Pendekar Sadis bukan Siluman Goa Tengkorak, tentu saja kami pun setuju. Akan tetapi kami masih tidak mengerti bagaimana sebagai orang yang menentang Siluman Goa Tengkorak, Pendekar Sadis memakai pakaian anggota gerombolan itu dan menyerang kami, bahkan tadi sudah melukai suheng!" Sepasang mata pendeta ini memandang dengan penuh tantangan dan rasa penasaran. Thian Sin tersenyum.

"Itu tidak aneh, totiang. Ketika itu aku dalam keadaan tertawan dan terbius oleh Siluman Goa Tengkorak dan agaknya aku sengaja diberi pakaian dan topeng anggota gerombolan mereka. Kemudian mereka sengaja menyerahkan aku pada pihak Hong-kiam-pang yang mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak atas kematian tujuh orang muridnya."

"Tapi kenapa engkau menyerang pinto?" Bu Beng Tojin bertanya, mendesak penasaran. "Pinto sendiri yang menawanmu, disaksikan oleh semua anak murid Hong-kiam-pang!"

"Huh, kalau saja dia dalam keadaan sadar mana mungkin engkau mampu menawannya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan suara galak dan dingin.

Akan tetapi Thian Sin mengangkat tangan memberi isyarat agar kekasihnya itu menahan kemarahannya. "Bu Beng totiang, telah kukatakan bahwa aku dalam keadaan tidak sadar dan terbius. Kalau aku kelihatan menyerangmu, hal itu tentu hanya akal dari Siluman Goa Tengkorak saja untuk mengelabui mata orang-orang Hong-kiam-pang. Ingat, siluman itu adalah seorang yang mahir mempergunakan ilmu sihir! Dan tentang orang yang melukai Im Yang totiang, aku sama sekali tidak melakukannya karena aku dan Kim Hong sedang sibuk menyerbu ke dalam sarang gerombolan ini. Agaknya tentulah siluman itu pula yang melakukannya, mungkin ketika hendak melarikan diri, ketahuan oleh Im Yang totiang dan menyerangnya."

Im Yang Tosu mengangguk-angguk. "Sute, agaknya keterangan dari Ceng-taihiap itu betul semua. Sayang bahwa siluman itu tidak dapat berhadapan dengan pinto sendiri."

Dia lantas menoleh ke kanan kiri, melihat semua orang bertopeng tengkorak itu malang melintang. "Apakah taihiap sudah berhasil merobohkan siluman itu yang menjadi kepala gerombolan?"

"Sayang, dia berhasil meloloskan diri, totiang. Akan tetapi aku bertekad untuk mencarinya terus dan baru berhenti kalau sudah dapat membekuknya."

Dengan disaksikan oleh Liang Hi Tojin, Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, Kim Hong dan Thian Sin membagi-bagikan harta benda itu kepada para gadis bekas korban gerombolan. Juga bagian untuk Cia Liong dan Cia Ling, lalu diserahkan kepada Im Yang Tosu untuk mengurus dan menyerahkannya.

Semua gadis itu lalu diantarkan oleh para anggota Hong-kiam-pang untuk dikembalikan ke tempat tinggal masing-masing. Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka semua berlutut dan menangis, menghaturkan terima kasih kepada Thian Sin dan Kim Hong.

"Im Yang totiang," kata Thian Sin. "Mengingat bahwa mendiang saudara Cia Kong Heng adalah seorang murid Kun-lun-pai sebelum menjadi anggota Hong-kiam-pang, maka aku harap totiang sudi menaruh kasihan terhadap putera serta puterinya dan dapat menyuruh orang mengantarkan mereka ke Kun-lun-pai supaya menjadi murid di sana. Harta bagian mereka dapat dipergunakan untuk perawatan mereka, juga untuk bekal mereka sesudah dewasa karena mereka sudah kehilangan ayah bunda."

Im Yang Tosu mengangguk-angguk, kemudian mereka semua pergi meninggalkan tempat itu. Thian Sin membakar sarang itu dan menghancurkan semua benda, termasuk tempat pemujaan yang juga menjadi tempat maksiat atau pesta-pesta cabul itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sampai hampir sebulan lamanya Thian Sin serta Kim Hong melakukan penyelidikan dan mencari jejak kaburnya Siluman Goa Tengkorak, ketua dari Jit-sian-kauw. Perkumpulan itu sendiri, yang merupakan gerombolan penjahat kejam, telah dapat dibasmi. Akan tetapi kalau kepalanya itu masih berkeliaran, maka dunia masih terancam bahaya besar.

Di balik topeng tengkorak itu tersembunyi seorang manusia yang benar-benar berhati iblis, yang loba akan harta benda dan kedudukan, yang haus dengan kesenangan cabul, dan terutama sekali amat berbahaya karena selain ilmu silatnya tinggi, juga pandai ilmu sihir. Karena itu sudah bulat tekad dalam hati Thian Sin dan Kim Hong untuk mencari sampai ketemu dan membasmi Siluman Goa Tengkorak itu.

Namun siluman itu seperti telah menghilang ditelan bumi, sama sekali tidak meninggalkan jejak! Dan setelah menanti sebulan sambil menyelidiki dengan teliti, siluman itu tetap saja tidak pernah terdengar beraksi.

Akan tetapi Pendekar Sadis dan kekasihnya itu adalah dua orang pendekar yang biar pun masih muda tapi telah memiliki pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, terkenal pandai dan cerdik bukan main sehingga tentu saja mereka tak tinggal diam dan telah melakukan penyelidikan yang sangat teliti, mengambil kesimpulan-kesimpulan disertai pertimbangan-pertimbangan yang matang.

********************

Sementara itu, Im Yang Tosu telah menyuruh seorang muridnya untuk mengantarkan Cia Liong dan Cia Ling ke Kun-lun-pai. Bersama mereka dibawakan pula bagian harta mereka untuk bekal kelak kalau mereka sudah dewasa.

Dan pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak gerombolan Siluman Goa Tengkorak ditumpas, Hong-kiam-pang mengadakan pesta. Karena Pendekar Sadis serta kekasihnya masih tinggal di sebuah hotel di Tai-goan, mereka berdua pun menerima undangan.

Selain untuk merayakan hari ulang tahun ketua Im Yang Tosu yang sudah genap berusia tujuh puluh tahun, pesta yang diadakan oleh Hong-kiam-pang itu juga untuk mengadakan sedikit perubahan dalam susunan pengurus perkumpulan itu. Im Yang Tosu merasa telah terlalu tua untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang dan kedudukannya sebagai ketua akan diserahkan kepada Bu Beng Tojin.

Hal ini sebenarnya adalah wajar saja karena bukankah selama ini Bu Beng Tojin sudah menjadi pembantu utama dari ketua itu? Akan tetapi, menurut desas-desus orang luaran, tentu akan terjadi perdebatan seru karena Hong-kiam-pang dianggap sebagai cabang dari Kun-lun-pai, sedangkan Bu Beng Tojin sama sekali bukanlah murid Kun-lun-pai, biar pun hal ini bukan berarti bahwa dia asing akan ilmu silat dari Kun-lun-pai. Tokoh ini memang seorang ahli dalam berbagai macam ilmu silat, termasuk pula ilmu silat Kun-lun-pai, dan karena inilah maka Im Yang Tosu percaya dan kagum kepadanya.

Karena Hong-kiam-pang adalah sebuah perkumpulan silat yang cukup ternama di daerah Tai-goan, maka di dalam kesempatan itu banyak juga tokoh-tokoh kang-ouw dan jago-jago silat yang datang berkunjung untuk menghaturkan selamat kepada Im Yang Tosu yang berulang tahun dan kepada Bu Beng Tojin yang diangkat menjadi ketua Hong-kiam-pang baru.

Sejak pagi para tamu telah berbondong-bondong mendatangi kuil Hong-kiam-pang itu dan mereka dipersilakan duduk di halaman samping yang luas dari rumah perkumpulan yang ada kuilnya itu. Sebuah panggung yang tingginya hampir dua meter dan cukup luas telah dibangun, dan dua orang pimpinan Hong-kiam-pang sudah nampak duduk di atas kursi di panggung itu. Para anak buah Hong-kiam-pang yang gagah-gagah dan berpakaian serba baru menyambut para tamu, ada pula yang bertugas mengeluarkan arak serta melayani para tamu dengan sikap ramah, gagah dan cekatan.

Thian Sin terlihat datang sendirian dan dia disambut oleh murid kepala lalu dibawa naik ke atas panggung melewati anak tangga, menghadap dua orang pimpinan Hong-kiam-pang. Pendekar ini memberi hormat lalu memberi selamat kepada Im Yang Tosu dan berkata, "Semoga Im Yang totiang diberkahi usia panjang oleh Thian dan selalu sehat lahir batin."

Im Yang Tosu mengucapkan terima kasih dan Bu Beng Tojin mengerutkan alisnya karena pendekar itu sama sekali tidak memberi selamat kepadanya. Walau pun secara resmi dia belum diangkat dan pengangkatan itu akan dilakukan nanti, akan tetapi seperti para tamu lain, tentu pendekar ini sudah mendengar akan pengangkatannya dan banyak yang sudah memberi selamat. Maka dia pun diam saja dan hanya memandang kepada pendekar ini dengan alis berkerut.

Thian Sin maklum pula akan sikap ini dan dia hanya tersenyum melihat tosu yang keras hati ini dan yang agaknya tak pernah dapat melenyapkan kebenciannya terhadap dirinya. Dia lalu dipersilakan duduk pada bagian kursi kehormatan, yaitu belasan buah kursi yang berderet di tepi panggung.

Di kursi kehormatan ini terdapat pula Thian To Sinjin, tokoh Kun-lun-pai yang mewakili perkumpulan itu menghadiri pesta yang diadakan oleh Hong-kiam-pang. Thian To Sinjin ini adalah seorang tosu Kun-lun-pai tingkat tiga dan usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, sikapnya tenang dan ramah. Dia pun sudah mengenal baik Thian Sin, maka begitu pemuda ini duduk di dekatnya, dia sudah menegur ketika pendekar itu memberi hormat.

"Selamat bertemu, Ceng-taihiap. Kenapa taihiap hanya datang sendirian saja, dan mana Toan-lihiap?"

Hanya orang yang sudah kenal baik dan akrab saja yang berani menanyakan isteri atau kekasih seperti yang baru diucapkan oleh tokoh Kun-lun-pai kepada Thian Sin itu. Thian Sin tersenyum dan menjawab lirih,

"Dia nanti tentu datang, locianpwe. Mungkin ada sedikit urusan yang membuatnya datang terlambat."

Thian Sin memang seorang pendekar yang berwatak halus dan sangat pandai membawa diri sebagai orang yang terpelajar. Terhadap para tokoh tua, dia tidak segan-segan untuk menyebutnya dengan sebutan locianpwe untuk mengangkat serta menghormati tokoh itu dan merendahkan diri sendiri, walau pun tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tokoh ini.

Setelah waktu yang ditentukan tiba dan para tamu sudah memenuhi tempat itu, Im Yang Tosu lalu bangkit berdiri. Tosu tua ini masih memiliki suara yang nyaring pada waktu dia menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada para tamu yang telah memenuhi undangan Hong-kiam-pang, juga mengucapkan selamat kepadanya yang sudah berusia tujuh puluh tahun.

Kemudian dia melanjutkan dengan pengumuman yang sudah dinanti-nanti oleh beberapa orang dengan hati berdebar. "Cu-wi yang terhormat, pinto telah berusia tujuh puluh tahun maka telah tiba saatnya bagi pinto untuk mengundurkan diri dan hanya tekun bersemedhi. Akan tetapi, Hong-kiam-pang yang dapat dibilang masih muda harus hidup terus. Namun sebuah perkumpulan tak mungkin hidup tanpa pimpinan dan setelah pinto mengundurkan diri, maka pinto akan menyerahkan pimpinan Hong-kiam-pang kepada sute pinto, yaitu Bu Beng Tojin."

Tiba-tiba nampak kegelisahan di antara para murid Hong-kiam-pang.

"Suhu...!"

Im Yang Tosu menoleh dengan alis berkerut. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bersikap gagah telah naik ke atas panggung, lalu memberi hormat kepada Im Yang Tosu.

"Suhu, bukan sekali-kali teecu bermaksud kurang sopan dan membantah keputusan suhu. Akan tetapi teecu mewakili para murid suhu yang juga menjadi murid Kun-lun-pai untuk menyatakan suara hati kami."

Im Yang Tosu kelihatan tidak senang, sebab itu dia membentak, "Sui Lok, apa maksudmu mengganggu pernyataanku?"

"Suhu, perkumpulan kita adalah cabang dari Kun-lun-pai dan suhu sendiri adalah seorang tokoh Kun-lun-pai sebagai pendiri Hong-kiam-pang. Kami maklum bahwa susiok Bu Beng Tojin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan menjadi pembantu dan kepercayaan suhu. Akan tetapi, mengingat bahwa susiok Bu Beng Tojin bukanlah murid Kun-lun-pai, maka kami merasa berat untuk menerima beliau sebagai ketua..."

"Sui Lok, apakah engkau menganggap bahwa kedudukan ketua itu sebaiknya dioperkan kepadamu saja?" Tiba-tiba saja Bu Beng Tojin sudah bangkit dan mendekati suheng-nya sambil memandang kepada murid keponakan itu dengan sinar mata marah. "Walau pun suheng merupakan tokoh Kun-lun-pai, tapi Hong-kiam-pang adalah sebuah perkumpulan yang bebas dan juga terlepas dari induk perkumpulan mana pun. Katakanlah bahwa Ilmu Hong-kiam-sut memiliki sumber dari Kun-lun-pai, akan tetapi ilmu itu terus dikembangkan dan sama sekali bukan cabang dari Kun-lun-pai. Suheng telah memilihku, dan aku sendiri selama bertahun-tahun telah mengurus Hong-kiam-pang. Seorang ketua haruslah anggota perkumpulan dan hendak kulihat, siapakah di antara para anggota Hong-kiam-pang yang lebih mahir Ilmu Pedang Hong-kiam-sut dari pada aku. Yang merasa lebih pandai, silakan maju!"

"Tapi susiok..." Sui Lok yang mewakili saudara-saudara seperguruannya itu masih hendak membantah, akan tetapi Im Yang Tosu segera menengahi.

"Sui Lok dan semua murid-muridku, hendaknya tak ada yang membantah apa yang telah menjadi keputusanku. Ketahuilah bahwa di dalam hal mengembangkan ilmu pedang kita, sute Bu Beng Tojin sudah banyak membantu dan memberi saran. Pinto sendiri, sebagai pencipta dan pendiri Hong-kiam-pang, belum tentu mampu menandinginya dalam hal ilmu pedang perkumpulan kita. Nah, siapa lagi yang lebih pantas memimpin Hong-kiam-pang kecuali dia? Tentang Kun-lun-pai, agaknya... pendapat sute memang benar. Tadinya kita menganggap perkumpulan kita sebagai cabang dari Kun-lun-pai hanya karena mengingat bahwa pinto adalah seorang murid Kun-lun-pai. Namun mengingat bahwa para anggota dan murid Hong-kiam-pang terdiri dari bermacam-macam aliran, maka tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Hong-kiam-pang adalah cabang Kun-lun-pai."

Mendengar betapa pendiri Hong-kiam-pang sendiri agaknya berkeras membela Bu Beng Tojin, para murid Hong-kiam-pang menjadi gelisah dan bingung, ada pun Sui Lok sendiri segera menoleh ke arah Thian Sin yang duduk di dekat Thian To Sinjin dan dia melihat pendekar itu masih tersenyum-senyum tenang saja.

"Suhu, karena di sini juga terdapat supek Thian To Sinjin sebagai wakil Kun-lun-pai, maka biarlah teecu mohon petunjuk kepada beliau saja!" akhirnya Sui Lok berkata dengan suara nyaring.

Para tamu yang mendengar perbantahan itu tak ada yang berani turut mencampuri, akan tetapi diam-diam mereka merasa tegang dan gembira karena dapat menduga bahwa di dalam pengangkatan ketua baru ini agaknya terdapat suatu kericuhan atau mungkin juga perebutan kekuasaan. Karena Sui Lok tadi menyebut namanya, sekarang seluruh mata ditujukan kepada tokoh Kun-lun-pai itu.

"Siancai...! Kami sebagai tamu sebenarnya tidak seharusnya mencampuri urusan dalam. Akan tetapi karena nama kami telah disebut, biarlah kami mengemukakan pendapat kami sebagai wakil Kun-lun-pai." Kakek itu berkata lantang dengan sikap yang gagah.

"Sebuah perkumpulan tentu saja ditentukan oleh pendirinya, dan karena Hong-kiam-pang didirikan oleh sute Im Yang Tosu, maka terserah kepadanya apa bila hendak memisahkan perkumpulan ini dari Kun-lun-pai. Hanya kami peringatkan bahwa kalau tidak mau disebut sebagai cabang Kun-lun-pai, selanjutnya sama sekali tidak boleh menyebut-nyebut nama Kun-lun-pai dan segala sepak terjang seluruh murid Hong-kiam-pang bukan lagi menjadi tanggung jawab Kun-lun-pai. Hanya itulah yang perlu pinto jelaskan." Kakek itu lalu duduk kembali.

Dengan muka merah Bu Beng Tojin lalu berkata, suaranya lantang, "Baik sekali! Memang sejak dahulu tidak ada hubungan apa-apa antara Hong-kiam-pang dan Kun-lun-pai. Kami memiliki anggaran dasar dan peraturan sendiri. Kami menerima murid-murid dari berbagai aliran, bukan hanya dari aliran Kun-lun-pai. Nah, sebagai seorang ketua baru, sejak detik ini juga pinto menyatakan bahwa Hong-kiam-pang bukan cabang Kun-lun-pai dan segala sepak terjang Hong-kiam-pang tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai!"

"Bu Beng Tojin, perlahan dulu!" Tiba-tiba terdengar suara yang lebih nyaring lagi sehingga membuat semua orang memandang, dan ternyata Thian Sin sudah berdiri di hadapan Bu Beng Tojin dan Im Yang Tosu, di atas panggung.

Melihat majunya pendekar ini, Sui Lok lalu cepat-cepat mengundurkan diri dan bercampur dengan saudara-saudaranya. Semua orang menjadi makin tegang dan gembira. Sekarang urusan menjadi makin berbelit dan banyak pihak yang tersangkut, apa lagi mereka yang mengenal pemuda gagah itu sebagai Pendekar Sadis, menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apa hubungan Pendekar Sadis dengan pengangkatan ketua Hong-kiam-pang itu.

"Pendekar Sadis! Engkau yang banyak dibenci karena kekejaman dan sepak terjangmu, ada urusan apakah maka engkau sebagai orang luar hendak mencampuri urusan dalam Hong-kiam-pang kami?" Bu Beng Tojin membentak dengan mata melotot marah.

"Memang amat banyak yang membenciku, Bu Beng Tojin, akan tetapi yang membenciku adalah para penjahat karena aku selalu menentang kejahatan. Dan mengenai urusanku, kau dengarkan saja." Thian Sin kemudian menghadapi Im Yang Tosu, sepasang matanya mencorong dan suaranya mengandung getaran kuat sekali. "Im Yang totiang, sadarlah dan ingat baik-baik, sudah sepenuh hatimukah maka totiang mengangkat Bu Beng Tojin sebagai penggantimu, menjadi ketua baru Hong-kiampang? Ingat baik-baik dan sadarlah!"

Semua orang terkejut melihat kekasaran Thian Sin, kemudian melihat betapa kakek tua itu terbelalak dan mukanya berubah pucat.

"Apa...? Pengangkatan ketua baru? Ahh, tentu saja... hal itu tergantung kepada pemilihan para anggota..."

"Suheng! Bukankah suheng telah mengangkatku sebagai ketua baru? Aku Bu Beng Tojin, yang sudah suheng tetapkan untuk menjadi ketua baru menggantikan suheng!"

Di dalam suara Bu Beng Tojin ini juga terkandung kekuatan yang hebat. Wajah Im Yang Tosu nampak semakin pucat dan napasnya terengah-engah.

"Ah, ya... itu benar, sute Bu Beng Tojin yang akan menjadi ketua... tapi... tapi tergantung kepada para anggota..." Kakek itu menjadi bimbang ragu.

"Suheng...!" bentak Bu Beng Tojin.

"Im Yang totiang!" Thian Sin juga berseru.

Im Yang Tosu kelihatan semakin bingung dan pucat, bahkan tubuhnya terguncang dan tergetar, seperti orang yang terserang demam. Pada saat itu nampak Thian To Sinjin dari Kun-lun-pai bangkit dari kursinya, menghampiri ketua Hong-kiam-pang itu dan menuntun tangannya.

"Sute, engkau lelah, sebaiknya mengaso dulu."

Dan dia pun menarik sute-nya itu kembali ke tempat duduknya. Anehnya, Im Yang Tosu kelihatan menurut saja seperti seorang anak kecil! Tidak ada yang tahu bahwa tadi ketua Hong-kiam-pang ini tertarik ke sana-sini di antara dua orang yang menggunakan kekuatan sihir, yang seorang hendak mempengaruhinya dan yang seorang hendak membebaskan tosu itu. Hanya Thian To Sinjin saja yang agaknya dapat menduga akan hal itu, maka dia cepat menariknya kembali untuk duduk dan beristirahat.

"Ha-ha-ha, sebaiknya begitu. Beristirahatlah dengan tenang, Im Yang totiang dan biarkan aku membereskan persoalan ini!" kata Thian Sin.

"Pendekar Sadis! Engkau sebagai orang luar, sungguh tidak patut sekali jika mencampuri urusan dalam dari Hong-kiam-pang! Engkau telah melanggar aturan sopan santun di dunia persilatan!" Bu Beng Tojin berteriak marah.

"Bu Beng Tojin, memang aku bukanlah anggota Hong-kiam-pang, akan tetapi aku adalah sahabat baik Hong-kiam-pang yang tidak rela melihat Hong-kiam-pang diselewengkan."

"Mulut busuk! Apa maksudmu?" bentak Bu Beng Tojin.

Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab bentakan ini melainkan menghadapi para tamu dan juga pihak tuan rumah. "Cu-wi yang mulia, para anggota Hong-kiam-pang yang tercinta! Kita semua tahu bahwa Hong-kiam-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, para pendekar yang menentang kejahatan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya bila perkumpulan orang gagah ini diketuai oleh seorang penjahat besar seperti Bu Beng Tojin ini!"

Kata-kata ini sungguh hebat bukan kepalang. Bukan hanya semua tamu yang terbelalak, bahkan semua anggota Hong-kiam-pang menjadi pucat wajahnya dan juga Im Yang Tosu sendiri yang pada saat itu telah tenang kembali, cepat bangkit dari tempat duduknya.

"Ceng-taihiap, apa maksudmu dengan ucapan itu?" tanyanya nyaring, agaknya penasaran mendengar pembantunya disebut penjahat besar!

Melihat sikap suheng-nya dan para murid Hong-kiam-pang serta para tamu yang agaknya berpihak kepadanya, walau pun dia sendiri menjadi pucat, Bu Beng Tojin segera tertawa, "Ha-ha-ha, sekarang sudah nampak belangnya Pendekar Sadis, menuduh dan memfitnah secara membuta tuli. Siapa bilang bahwa aku Bu Beng Tojin yang selama ini dengan jujur memimpin Hong-kiam-pang menjadi penjahat besar?"

Akan tetapi Thian Sin tidak terpengaruh oleh ucapan itu. Dia masih memandang kepada semua yang hadir. "Cu-wi yang mulia, juga Im Yang totiang yang terhormat, biarlah aku memperkenalkan."

Dia lantas menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Tojin. "Inilah dia orang yang menyebut dirinya sebagai Sian-su! Ini dia Siluman Goa Tengkorak yang sudah memimpin gerombolan penjahat kejam yang telah kita basmi!"

Ucapan ini bahkan lebih mengejutkan lagi.

"Ceng-taihiap, harap engkau jangan menuduh sembarangan saja!" Im Yang Tosu bahkan berteriak marah.

Wajah Bu Beng Tojin sendiri tadi menjadi pucat sekali, akan tetapi dia segera mengambil sikap tenang, bahkan tersenyum lebar.

"Ahhh, sungguh sebuah tuduhan yang sangat menggelikan! Pinto sendiri yang membantu membasmi gerombolan itu, bagaimana engkau dapat menuduh demikian, apakah engkau sudah menjadi gila?"

"Ceng-taihiap, buktikan kebenaran tuduhanmu itu!" Im Yang Tosu yang sudah bangkit berdiri itu pun turut menuntut.

Tuduhan itu sangat hebat baginya. Kalau tuduhan itu tidak benar, berarti Pendekar Sadis sudah menghina Hong-kiam-pang. Dan apa bila benar, hal itu tentu merupakan tamparan yang memalukan sekali bagi Hong-kiam-pang!

"Baik, akan kucoba untuk membuktikan sungguh pun hal itu tidak mudah karena Siluman Goa Tengkorak memang seorang penjahat yang amat keji, licik, curang, lihai ilmu silatnya dan juga lihai ilmu sihirnya. Cu-wi yang mulia, ketika pertama kali aku berkenalan dengan kejahatan siluman ini, aku melihat mendiang saudara Kwee Siu sekarat oleh luka-lukanya sesudah bertanding melawan siluman ini. Dan ucapan terakhir yang keluar dari mulutnya adalah sebutan susiok. Tadinya aku tidak mengerti apa dan siapa yang dia maksudkan sampai akhirnya aku mendapat kenyataan bahwa dia hanya mempunyai seorang susiok saja di dunia ini dan susiok-nya adalah Bu Beng Tojin. Tentu dia sudah mengenali orang bertopeng tengkorak yang telah membunuhnya, mengenai dari gerakan silatnya maka dia meninggalkan sebutan susiok itu yang sayang pada waktu itu belum kuketahui artinya."

"Huh, tuduhan kosong! Bisa jadi Kwee Siu menyebut namaku karena hendak minta tolong dan ingat kepadaku!" Bu Beng Tojin mencela dan semua orang juga menganggap bahwa alasan itu terlalu lemah untuk menjadi bukti kebenaran tuduhannya bahwa Bu Beng Tojin adalah Siluman Goa Tengkorak.

"Masih ada bukti lain," kata pula Thian Sin. "Pada waktu aku tertawan oleh Siluman Goa Tengkorak dalam keadaan pingsan terbius, tahu-tahu aku telah tertawan oleh orang-orang Hong-kiam-pang dan menurut keterangan, yang menangkap aku dalam pakaian siluman itu adalah Bu Beng Tojin. Dan hal ini jelas menunjukkan bahwa dia adalah Siluman Goa Tengkorak itu sendiri karena kalau aku berada dalam keadaan pingsan, bagaimana dari tangan siluman itu aku dapat berpindah ke tangan Bu Beng Tojin? Sebaliknya, kalau aku sadar seperti yang dikatakannya kepada murid-murid Hong-kiam-pang, agaknya tak akan begitu mudah baginya untuk dapat menawanku! Hal itu dapat dibuktikan sendiri!"

"Huh, alasan dan bukti apa itu? Pendekar Sadis, semua anggota Hong-kiam-pang sudah turut menyaksikan bahwa engkau memakai jubah dan topeng tengkorak. Tentu engkaulah Siluman Goa Tengkorak itu, dan sesudah rahasiamu ketahuan, engkau lalu berpura-pura dan membalik untuk membersihkan diri. Cih, sungguh tak tahu malu!" Bu Beng Tojin telah mencabut pedangnya dan hendak menyerang Thian Sin, akan tetapi pada saat itu pula Im Yang Tosu melangkah maju dan mencegahnya.

"Sabar dulu, sute." Lalu kakek ini berbalik menghadapi Thian Sin. "Ceng-taihiap, sungguh pinto tak mengerti dan merasa bingung permainan apa yang sedang taihiap mainkan saat ini. Akan tetapi harus pinto akui bahwa semua alasan yang taihiap ajukan tadi tidak cukup kuat untuk membuktikan kebenaran tuduhan taihiap yang sangat berat itu. Tidak mungkin kami dapat menerima begitu saja keterangan sepihak tanpa bukti yang mutlak atau tanpa adanya saksi yang membenarkan keterangan taihiap tadi."

"Saksi-saksi? Ah, totiang benar juga. Memang ada saksi yang kuat!" Thian Sin berkata.

"Inilah saksi-saksinya!"

Tiba-tiba saja terdengar suara merdu melengking dan semua orang menengok. Kiranya di sudut panggung itu sudah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah. Kim Hong tersenyum manis kepada Bu Beng Tojin.

Tosu ini mendengus. "Huh, saksi macam apa ini? Perempuan ini adalah Toan Kim Hong, kekasih dari Pendekar Sadis, tentu saja ucapannya akan senada dengan pacarnya. Siapa bisa percaya saksi macam ini?" Suaranya penuh tantangan dan sikapnya mencemooh.

"Siluman Goa Tengkorak, jangan takabur dahulu. Lihat, siapakah mereka ini?" Kim Hong menggapai ke belakangnya, lantas dari anak tangga di belakang panggung muncullah tiga orang gadis yang cantik dan yang memandang ke arah Bu Beng Tojin dengan mata penuh kebencian.

Melihat Thio Siang Ci, bekas kekasihnya, pengantin yang dia culik kemudian dipaksanya menjadi kekasihnya itu, bersama dua orang gadis lain yang juga termasuk dayang-dayang yang disukainya, wajah Bu Beng Tojin langsung berubah menjadi pucat. Akan tetapi dia masih sempat mengejek dan mencemooh.

"Siapa perempuan-perempuan itu? Pinto tidak mengenal segala macam pelacur!"

"Siang Ci, Siok Lan dan Kim Tui, coba katakan, siapa pendeta itu?" Kim Hong bertanya kepada tiga orang gadis itu dengan suara halus.

Thio Siang Ci yang lebih dulu menjawab, telunjuk tangan kirinya yang gemetar menuding ke arah Bu Beng Tojin dan terdengar suaranya agak gemetar akan tetapi mantap. "Dialah Sian-su yang menculikku itu!"

"Benar, dia itu Sian-su ketua Jit-sian-kauw!" kata Siok Lan, gadis ke dua.

"Aku berani sumpah, dialah Sian-su!" kata Kim Tui pula.

"Bohong! Fitnah gila! Apa buktinya?" Bu Beng Tojin berteriak marah.

"Apakah kalian bertiga dapat mengatakan buktinya dan tandanya bahwa dia itu Sian-su?" Kim Hong bertanya pula.

"Pada dadanya terdapat daging tumbuh sebesar telur ayam yang berambut panjang!" kata Siang Ci lantas menundukkan muka dan air matanya mengalir karena dia merasa sangat malu.

"Ada lukisan ular melingkari pinggangnya," kata pula Siok Lan yang juga menunduk malu.

"Di kedua pahanya ada gambar tengkorak," Kim Tui menyambung.

"Fitnah keji! Bohong! Kalian pelacur-pelacur yang harus mampus!" Tiba-tiba Bu Beng Tojin menggerakkan kedua tangannya dan ada empat sinar terang menyambar ke arah Kim Hong dan tiga orang gadis itu.

Akan tetapi, dengan gerakan lincah dan tenang Kim Hong dapat menyambut empat buah hui-to (pisau terbang) itu dengan kedua tangannya, lalu memandang ke arah pisau-pisau itu sambil tersenyum dan akhirnya melemparkan sebatang kepada Im Yang Tosu.

"Totiang, bukankah pisau terbang yang pernah melukai totiang itu seperti ini dan begitu pula cara melemparnya?" tanya Kim Hong manis.

"Jika semua itu fitnah keji, kenapa harus mencak-mencak? Tunjukkan saja bahwa semua keterangan itu bohong dengan memperlihatkan bagian tubuhmu yang disebut-sebut tadi, Sian-su!" kata Thian Sin mengejek.

Im Yang Tosu menerima pisau yang dilemparkan oleh Kim Hong, menatapnya sejenak, kemudian dengan alis berkerut dan muka pucat dia membanting pisau itu ke atas lantai sampai pisau itu amblas lenyap menembus papan lantai panggung. Lalu dia menghampiri Bu Beng Tojin, memandang dengan muka pucat.

"Sute, pinto tahu bahwa engkau pandai mempergunakan segala senjata, juga pisau itu. Pinto sendiri masih belum percaya akan semua tuduhan itu. Karena itu, sute, buktikanlah bahwa tuduhan itu semuanya palsu dan bohong. Buka bajumu lalu perlihatkan dada dan pinggangmu!"

"Gila! Suheng, apakah suheng membiarkan orang menghinaku sampai seperti ini?"

"Sute, namanya baru penghinaan jika tuduhan itu tidak terbukti dan percayalah, pinto tak akan tinggal diam melihat engkau dihina orang. Karena itu, bukalah bajumu."

"Tidak, suheng. Aku tidak sudi dihina! Orang-orang harus percaya kepadaku!"

"Sute, kalau engkau tidak mau, terpaksa aku sendiri yang akan membukakan bajumu."

Dengan halus ketua Hong-kiam-pang itu lantas melangkah maju dan meraba kancing baju sute-nya untuk dibukanya. Dia memang masih belum percaya akan semua tuduhan tadi, bahkan berharap sute-nya bersih agar nama Hong-kiam-pang juga ikut bersih. Bayangkan saja kalau tuduhan itu benar, berarti selama bertahun-tahun ini dia mempercayai seorang penjahat, dan namanya, juga nama Hong-kiam-pang, akan berlumur lumpur kehinaan.

"Awas, totiang...!" Thian Sin memperingatkan, akan tetapi sudah terlambat.

Pada saat Im Yang Tosu menggunakan kedua tangannya untuk membuka kancing baju sute-nya, tiba-tiba saja Bu Beng Tojin menggerakkan tangannya dan menghantam ke arah leher suheng-nya itu. Im Yang Tosu hanya dapat miringkan tubuhnya.

"Desss...!"

Pukulan itu tepat mengenai pundak kiri lantas tubuh kakek itu terjengkang, dari mulutnya tersembur darah segar dan tubuhnya terkulai.

"Hemmm, siluman jahat!" bentak Thian To Sinjin tokoh Kun-lun-pai yang cepat meloncat ke depan menyerang Bu Beng Tojin.

Maka terjadilah perkelahian yang seru antara Thian To Sinjin dan Bu Beng Tojin. Pukulan mereka mengandung angin yang amat kuat sehingga terdengar suara bercuitan dan angin menyambar-nyambar, ada pun panggung di mana mereka bertanding itu berderak-derak dan terguncang.

Semua tamu menjadi panik, akan tetapi karena mereka itu sebagian besar adalah ahli-ahli silat, mereka masih tetap di tempat sambil menonton perkelahian hebat di atas panggung itu. Sementara itu, murid-murid Hong-kiam-pang segera mengangkat tubuh suhu mereka yang pingsan ke belakang panggung.

Bu Beng Tojin ternyata memang hebat bukan main. Tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai itu adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi menghadapi Bu Beng Tojin, dia pun mulai terdesak. Setiap kali lengan mereka bertemu, Bu Beng Tojin membentak dan bentakan ini menambah tenaga pada lengannya.

Thian To Sinjin merasa lengannya tergetar dan juga jantungnya terguncang oleh bentakan lawan. Hanya dengan ilmu silat sakti dari Kun-lun-pai dia bisa bertahan hingga tiga puluh jurus. Akan tetapi, karena dia terus terdesak, tiba-tiba kakek ini menyambar tongkatnya yang tadi dia tancapkan di atas lantai. Dengan tongkat itu Thian To Sinjin menghadapi Bu Beng Tojin!

Akan tetapi Bu Beng Tojin mencabut pedangnya sehingga perkelahian dilanjutkan dengan lebih seru lagi karena keduanya menggunakan senjata dan setiap serangan merupakan serangan maut yang dahsyat. Akan tetapi, kembali Thian To Sinjin terdesak dan kini para murid Hong-kiam-pang yang menjadi marah melihat suhu mereka terpukul, sudah naik ke atas panggung dan melakukan pengeroyokan.

Mereka belum yakin benar bahwa susiok mereka itu adalah Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi melihat susiok mereka memukul suhu mereka secara keji, mereka menjadi marah dan segera mengeroyok. Akan tetapi, Bu Beng Tojin mengamuk dan tendangan kakinya merobohkan empat orang murid keponakan. Melihat ini, tiba-tiba saja Thian Sin meloncat ke depan.

"Saudara-saudara sekalian dan locianpwe Thian To Sinjin, silakan mundur. Dia ini adalah makananku!"

Thian To Sinjin maklum bahwa dia tidak akan mudah menang melawan tosu siluman itu, dan dia tahu akan kelihaian Pendekar Sadis, maka dia pun meloncat mundur diikuti oleh semua murid Hong-kiam-pang. Kini Thian Sin berdiri berhadapan dengan Bu Beng Tojin yang memegang pedang. Tosu itu memandang dengan mata beringas sedangkan Thian Sin tersenyum-senyum saja.

"Nah, Sian-su, sekarang Pendekar Sadis berhadapan satu melawan satu dengan Siluman Goa Tengkorak! Bagaimana pun juga, aku hendak membalas budimu kemarin dulu, yaitu aku tak akan membunuhmu, hanya akan melucuti kedokmu lalu menyerahkanmu kepada Hong-kiam-pang!"

"Keparat jahanam engkau!" bentak tosu itu dan pedangnya sudah membabat dahsyat.

Namun dengan cekatan sekali Thian Sin mengelak sambil balas memukul dengan tangan kiri yang juga dapat dielakkan oleh lawannya yang tangguh. Terjadilah perkelahian yang amat hebat, pedang melawan tangan kosong dan gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga dua bayangan tubuh itu seperti saling libat menjadi satu, sukar diikuti pandang mata.

Para penonton memandang kagum, namun sekaligus pandang mata mereka juga menjadi kabur. Gulungan sinar pedang di tangan Bu Beng Tojin telah menggulung tubuh keduanya dan hanya kadang-kadang nampak pedang, kepalan tangan atau ujung sepatu mencuat dengan dahsyatnya. Semua orang, kecuali Kim Hong, menonton dengan jantung berdebar tegang. Kim Hong berdiri sambil bertolak pinggang dengan sikap tenang, bahkan bibirnya tersenyum karena dia tahu pula bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah.

Terdengar lagi bentakan-bentakan aneh dari Bu Beng Tojin yang menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya, akan tetapi Thian Sin tidak terpengaruh sama sekali, malah terdengar dia mengejek, "Ha-ha-ha, keluarkan semua ilmu silumanmu, Sian-su!"

Ada lebih lima puluh jurus mereka berdua lenyap terbungkus cahaya pedang dan tiba-tiba saja terdengar Thian Sin mengeluarkan suara bentakan yang melengking nyaring hingga membuat semua orang memandang pucat karena bentakan Pendekar Sadis itu sungguh kuat sekali seperti membetot jantung. Teriakan ini disusul dengan teriakan Bu Beng Tojin, teriakan kaget, kemudian pedangnya terlempar ke atas lantai menjadi dua potong! Kiranya pedang itu sudah dihantam oleh tangan miring Thian Sin yang penuh mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang!

Akan tetapi Bu Beng Tojin masih terus mengamuk dengan tangan kosong, dan memang kakek ini memiliki kepandaian yang tangguh. Bagaimana pun juga, setelah dia bertangan kosong, nampak bahwa dia bukan lawan yang terlampau berat bagi Pendekar Sadis. Dia seperti dipermainkan saja, kadang kala pendekar itu mendorongnya dari samping sampai dia terhuyung-huyung, lalu menjegal kakinya sehingga dia hampir terjatuh dibarengi suara ketawa-ketawa Thian Sin yang mengejeknya.

"Brettttt...!" Mendadak jubah Bu Beng Tojin terkoyak lebar dan robekannya berada dalam cengkeraman tangan Thian Sin.

"Sian-su, perlihatkan kutil di dadamu!" Thian Sin mengejek.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, ingin sekali melihat apakah benar ada tanda-tanda seperti yang disebutkan oleh ketiga orang gadis tadi pada tubuh yang masih tertutup baju dalam itu. Tentu saja Bu Beng Tojin menjadi marah. Matanya menjadi merah dan melotot dan gerakannya semakin liar.

"Brettttt...!"

Kini baju dalamnya terobek, lantas terdengar semua orang mengeluarkan seruan tertahan melihat bahwa di dada kakek itu, di antara kedua buah dadanya, terdapat tonjolan daging sebesar telur ayam dan pada tempat itu ditumbuhi belasan helai rambut! Dan di seputar pinggangnya yang agak gendut itu terdapat lukisan seekor ular yang melilit pinggangnya, dengan kepala di perut.

Dengan wajah beringas tosu siluman itu melihat ke arah dada dan perutnya dan wajahnya berubah pucat. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan semua murid Hong-kiam-pang memandang dengan mata melotot.

"Celaka... celaka...!" Im Yang Tosu yang sudah siuman dan juga sudah melihat kenyataan ini menjadi pucat pula dan terkulai, pingsan!

"Ha-ha-ha, kiranya memang benar bahwa engkau adalah Siluman Goa Tengkorak! Nah, sekarang aku berani bertaruh potong leher bahwa pada kedua pahamu tentu ada gambar tengkoraknya!" kata Thian Sin.

Bu Beng Tojin atau Siluman Goa Tengkorak itu tidak melihat jalan lain. Bagaikan seekor harimau yang tersudut, dia pun menubruk lagi sambil menggeram, persis seekor harimau marah.

"Desss...!" Tubuhnya disambut tamparan Thian Sin yang mengenai lehernya.

Kakek itu terpelanting hingga kepalanya terasa pening, akan tetapi dia tidak tewas karena memang Pendekar Sadis tidak ingin membunuhnya, akan tetapi hendak menyerahkannya kepada Hong-kiam-pang. Tosu siluman itu bangkit dan menerjang lagi.

"Bresss...!"

Kini sepatu kaki Thian Sin yang menyambutnya dan kembali dia terjengkang. Ketika dia bangkit, mulutnya berdarah dan bibirnya pecah.

"Thian Sin, jangan habiskan sendiri, beri aku sedikit!" Tiba-tiba Kim Hong berseru lantas tubuhnya berkelebat, tahu-tahu gadis manis itu telah berada di samping Thian Sin.

Thian Sin tersenyum dan menggelengkan kepala, namun Kim Hong mendorong dadanya sehingga pemuda itu terpaksa melompat ke belakang, hampir jatuh dari panggung. Hal ini memang disengaja dan para tamu tertawa gembira menyaksikan kelakar dua orang itu.

Melihat majunya Kim Hong, Bu Beng Tojinn menjadi nekat. Ada sedikit harapan di dalam benaknya. Tadi dia tak berdaya menghadapi Pendekar Sadis. Akan tetapi dia mempunyai harapan untuk mengalahkan gadis ini, kalau tidak dengan ilmu silat, dengan ilmu sihirnya. Kalau dia dapat menundukkan, maka dia akan selamat, pikirnya. Dia akan menggunakan gadis ini sebagai tawanan, sebagai sandera supaya dia dapat melarikan diri! Maka begitu pening kepalanya hilang, dia sudah menubruk ke depan, menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk merangkul.

Semua orang terkejut melihat ini, apa lagi karena Kim Hong bersikap tenang saja. Namun sebelum tangan itu menyentuhnya, tanpa menggerakkan tubuh gadis itu menggerakkan kepalanya. Seberkas sinar hitam segera menyambar ke depan ketika gelungnya terlepas dan rambutnya yang panjang menyambar bagaikan cambuk baja.

"Plakkk!" Rambut panjang harum itu bagaikan cambuk baja melecut muka Bu Beng Tojin.

"Aduhhhhh...!" Tosu itu mengeluh dan matanya terpejam, pipinya berdarah seperti digaris dengan ujung pedang saja.

Akan tetapi Kim Hong tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya. Gadis ini sudah melangkah maju dan kembali rambutnya menyambar-nyambar, melecut-lecut muka, leher dan tubuh atas yang telanjang itu sampai kulit itu semuanya kelihatan pecah-pecah dan merah-merah mengeluarkan darah. Sungguh hebat dan mengerikan sekali rambut yang dipergunakan sebagai senjata ini, seperti pedang saja.

Bu Beng Tojin menutupi mukanya dari ancaman rambut, namun tubuhnya menjadi bulan-bulanan sepasang kaki Kim Hong. Akhirnya kakek itu terhuyung-huyung dan tidak kuat berdiri lagi.

"Kim Hong, jangan bunuh dia! Serahkan kepada Hong-kiam-pang!" teriak Thian Sin.

Kim Hong tersenyum, lalu untuk terakhir kalinya kaki kirinya menendang dan tubuh tosu siluman itu terlempar lalu jatuh berdebuk di atas lantai di depan kedua kaki Im Yang Tosu yang duduk di atas kursinya dengan muka pucat.

Melihat orang yang pernah menjadi sute-nya sekaligus pembantunya ini rebah terlentang di hadapannya dengan tubuh berdarah-darah dan napas empas-empis, Im Yang Tosu lalu membungkuk, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah celana sute-nya.

"Breettttt...!" Celana itu terobek dan nampaklah gambar dua tengkorak pada kedua paha itu.

"Keparat, engkau Siluman Goa Tengkorak...!" teriak Im Yang Tosu dengan suara parau, lantas tangannya menyambar pedang dan sekali pedang bergerak, dia telah menusukkan pedang itu dengan pengerahan tenaganya ke dalam dada Bu Beng Tojin.

Tubuh itu berkelojot, akan tetapi Im Yang Tosu juga roboh terguling dan ternyata kakek ini juga sudah menghembuskan napas terakhir. Dia tadi menderita luka pukulan yang hebat dan pengerahan tenaganya ketika menusuk tadi membuat dia tak kuat bertahan sehingga nyawanya pun melayang, hal yang sebenarnya malah meringankan penderitaan batinnya karena kakek ini tentu akan merasa malu dan menyesal sekali kalau dia dalam keadaan hidup melihat kenyataan pahit bahwa pembantunya adalah seorang penjahat keji.

Para murid Hong-kiam-pang yang sudah sangat marah itu demikian berduka melihat suhu mereka tewas. Maka puluhan batang pedang mencacah hancur tubuh Bu Beng Tojin!

Sementara itu Thian Sin mendekati Kim Hong. Mereka berdua saling pandang dan saling tersenyum puas. Usaha mereka menentang Siluman Goa Tengkorak sudah berhasil baik, walau pun dalam usaha itu berkali-kali mereka nyaris celaka, bahkan nyaris tewas pula. Mereka lalu menghadap ke arah semua orang di situ dan membungkuk. Thian Sin berkata lantang.

"Cu-wi yang terhormat, kami mohon diri karena kami telah menyelesaikan tugas kami!"

Mereka bergandeng tangan dengan mesra, lalu bersama-sama meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata kagum oleh semua orang.

T A M A T

Bagian Ke delapan Serial Pedang Kayu Harum ASMARA BERDARAH