Harta Karun Jenghis Khan Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MELIHAT wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak enak. Ia merasa bagai seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimana pun juga, dia terjatuh ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat. Dan kalau dia mengbendaki, apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya?

Pikiran ini membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira bersama para anak buahnya masih berada di luar kamar, dia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok Siang Sesungguhnya, ingin sekali dia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada waktu itu, Kim Hong lantas duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan kemarahan itu.

Sedangkan Kok Siang sendiri juga duduk di sudut kamar itu dengan tenang-tenang saja. Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang semacam Lui Cai Ko yang kasar. Paling tidak, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari para petugas pengadilan.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam ilmu silat, juga ahli sastera serta mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya.

Kebenaran dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah di mana terdapat kekuasaan yang jauh lebih hebat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan. Di bagian dunia mana pun, manusia benar-benar telah dicengkeram serta dikuasai oleh uang atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dan kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang.

Untuk memperoleh uang sebagai sarana utama agar dapat hidup senang ini, maka orang tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling keji dan kejam. Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh, menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan mendapatkan uang sebanyaknya. Uang membuat apa saja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekali pun!

Kok Siang tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal yang nampaknya tidak mungkin terjadi. Dia tidak pernah menduga bahwa seorang pembesar tinggi dapat saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang.

Kedudukan disalah gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya, martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis, semua ini terjadi apa bila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan melalui pengumpulan uang. Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi.

Dan hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan bila sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk pertama kali melakukan pencurian tentu akan merasa adanya penyesalan dalam hatinya, penyesalan yang datang karena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tidak baik atau tidak benar. Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan semakin menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya.

Bu Kok Siang masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke mana pun, sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke dalam istana. Dan kantor kejaksaan itu pun tak terluput, kantor pengadilan pun telah digerayangi oleh setan ini sehingga yang namanya keadilan pun dikemudikan oleh uang!

Selagi kedua orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, mendadak terdengar suara keras dan lantai di dalam kamar tahanan itu pun terbuka ke bawah! Hal ini terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak sehingga terjeblos ke bawah.

Akan tetapi, mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan sudah menguasai ilmu silat sehingga gerakan ilmu itu sudah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama sekali Kim Hong yang memiliki ginkang tinggi. Begitu tubuhnya terjeblos ke bawah, dia langsung mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang telah meluncur ke bawah itu tiba-tiba saja telah membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot atau menendang ke bawah, ada pun kedua tangannya bergerak seperti sayap dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas!

Kok Siang juga telah berhasil meloncat ke atas, akan tetapi ginkang-nya tak sehebat Kim Hong sehingga tubuhnya kembali meluncur ke bawah karena dia tidak bisa berpegangan pada apa pun. Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu bisa meluncur ke arah pintu besi. Kim Hong mengerahkan tenaga sinkang-nya dan sambil meluncur ke arah pintu, dia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan membobolkannya.

Akan tetapi ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi besar, mendadak muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itu pun mendorongkan dua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua tangan ini segera menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu mengerahkan seluruh tenaganya pula.

"Brakkkkk...!"

Pintu besi yang kokoh kuat itu tidak sanggup menahan himpitan dua tenaga raksasa dari dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itu pun terdorong ke belakang dan tentu saja sekarang meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula.

Sebaliknya, kakek itu sendiri pun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia terkejut bukan main, mengeluarkan seruan aneh, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya.

Sementara itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba sudah diterima oleh sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan sepasang lengan itu, akan tetapi dia merasa jantungnya berdebar keras dan mukanya terasa panas ketika mendengar suara yang dikenalnya,

"Hong-moi, engkau tidak apa-apa?"

Kiranya yang menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat meloncat turun. "Aku tidak apa-apa, dan engkau?"

"Untung bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini agak lunak sehingga aku tak sampai terluka. Tadi ketika melihat ada tubuh meluncur dari atas, aku merasa khawatir sehingga menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong."

Betapa sopan pemuda ini, pikir Kim Hong. Dia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai bayangan pikiran kotor saat menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat dia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan, pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap pemuda seperti ini?

"Tidak apa-apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada di mana? Kita harus dapat keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak."

"Tadi sudah kuperiksa dengan teliti, akan tetapi baru sebentar karena kulihat engkau jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Sama sekali tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas."

"Belum tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba."

Mereka pun mulai meraba-raba pada sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur itu.

"Apakah yang telah terjadi? Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan? Mengapa kita terjebak seperti ini? Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat jebakan seperti ini?" Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran.

"Ahh, twako. Di mana pun juga, apa pun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan makhluk yang palsu dan kejam. Sebenarnya aku sudah tidak setuju untuk menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu ada hubungannya antara Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang lihai, seorang lawan tangguh."

"Siapa dia?"

"Aku belum pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja penjahatnya."

"Siapa?" Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu tanah padas belaka.

"Kalau tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng."

"Ahhh...!"

"Kau mengenal dia?"

"Mengenal orangnya sih belum, akan tetapi siapa yang tak pernah mendengar namanya? Pat-pi Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Semenjak empat orang datuk kaum sesat itu lenyap, boleh dibilang dia inilah yang dikenal sebagai datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama-nama keempat datuk kaum sesat, bukan? Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh Pendekar Sadis. Ke dua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga tewas di tangan Pendekar itu. Ke tiga adalah Tung-hai-sian datuk timur yang kini sudah melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang saudagar yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw lagi. Ke empat adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Nah, setelah keempat orang datuk kaum sesat itu lenyap, lantas muncullah Pat-pi Mo-ko ini!"

Tentu saja apa yang diceritakan oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong karena dia sendirilah yang dulu menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin. Dengan sendirinya dia tidak tertarilk oleh cerita itu, akan tetapi dia sangat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko.

"Jadi Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?"

"Bukan mengangkat diri menjadi datuk, namun semua penjahat di seluruh empat penjuru takut dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang sangat hebat dan kekejamannya terhadap siapa saja yang tak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi, selalu dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui rahasianya tentu dibunuhnya. Apa lagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau saja benar dia yang berdiri di belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..." Kok Siang berhenti seolah-olah merasa terlanjur bicara.

Keadaan di sumur itu amat gelap, mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing. Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak.

"Harta karun Jenghis Khan? Peta dari dusun itu?"

"Ya, jika benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis saja yang akan sanggup menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul karena jeri terhadap Pendekar Sadis yang sudah membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang See-thian-ong. Kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... ahh... aku... sungguh mengagumi kegagahan pendekar itu."

Kim Hong diam saja. Ia pun memikirkan Thian Sin. Di sini ia terjebak bersama Kok Siang! Apa dayanya? Dan apakah Thian Sin akan bisa menemukan mereka sebelum terlambat? Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap!

"Celaka, asap beracun!" seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya.

"Ahhh, terlambat...!" Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian Sin tadi.

"Cepat tiarap dan rapatkan muka ke lantai!"

Mereka cepat-cepat bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menolong sejenak saja dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap dan setelah hawa udara di atas tanah itu habis, maka asap pun tersedot oleh mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan.

********************

Thian Sin yang berada sendirian di dalam kamar hotelnya, tersenyum simpul mendengar jejak-jejak kaki halus di atas genteng kamarnya. Kim Hong telah pergi menyelidik tentang pemuda sastrawan yang mencurigakan itu dan dia juga sudah pergi menyelidiki ke rumah gedung tempat tinggal Bouw Wan-gwe (Hartawan Bouw) di mana tinggal Bouw In Bwee yang cantik jelita. Akan tetapi dia gagal untuk dapat berjumpa dengan gadis itu karena agaknya gadis itu tinggal di dalam kamarnya bersama beberapa orang pelayan dan dia tidak berani memaksa masuk ke dalam kamar.

Dia hanya menyelidiki keadaan gadis dan keluarganya dengan mencari keterangan di luar dan dia mendengar bahwa Bouw Siocia terkenal sebagai seorang gadis kaya raya yang berhati mulia, suka menolong orang dan di samping itu juga gadis ini dikenal mempunyai kepandaian silat tinggi sehingga semua orang mengagumi dan menghormatinya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri gadis ini.

Maka, dia segera kembali ke kamar hotel, dengan keputusan untuk mengunjungi gadis itu secara berterang pada keesokan harinya, kalau bisa bersama dengan Kim Hong, sebagai sahabat-sahabat baru.

Namun pada malam hari ini, menjelang tengah malam, dia mendengar jejak kaki di atas genteng kamarnya itu. Bukan Kim Hong, pikirnya. Kalau Kim Hong yang datang, bahkan dia sendiri pun tidak akan dapat mendengar jejak kakinya, kecuali kalau dia sedang dalam semedhi dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dalam keadaan seperti itu, jarum jatuh pun akan terdengar olehnya. Namun dalam keadaan biasa, sukarlah dicari orangnya yang akan mampu mendengar telapak kaki Kim Hong yang memiliki ginkang hampir sempurna itu. Bukan, ini tentu orang lain. Ginkang-nya belum sehebat Kim Hong, akan tetapi sudah cukup lumayan, bukan penjahat biasa. Siapa lagi kalau bukan utusan para penjahat itu?

Dengan pendengarannya yang tajam, Thian Sin mengikuti gerak gerik orang yang datang itu tanpa bergerak dari atas pembaringannya di mana dia sedang duduk bersila. Karena dia kini memusatkan perhatiannya, maka dengan jelas dia dapat mengikuti gerakan orang itu.

Beberapa lamanya orang itu mendekam di atas genteng, membuka genteng mengintai ke dalam, lalu berlari di atas genteng, melompat turun dan menghampiri jendela kamarnya. Thian Sin tersenyum geli. Seorang penjahat yang masih hijau, pikirnya.

Akan tetapi, senyumnya segera lenyap dari mukanya ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik dari luar jendela itu. "Taihiap... jangan kaget, aku yang datang..."

Suara Bouw In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangkanya dan jantung pemuda itu berdebar kencang. Mau apa gadis itu malam-malam datang mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan? Apakah ini merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan?

Dia harus selalu berhati-hati. Pihak lawan agaknya tak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk memperoleh kunci emas itu. Dan siapa tahu gadis jelita ini pun merupakan salah seorang di antara mereka, walau pun menurut penyelidikannya siang tadi, agaknya tidak mungkinlah bila seorang gadis seperti In Bwee menjadi kaki tangan penjahat! Akan tetapi, siapa tahu?

Sebelum Thian Sin sempat menjawab, daun pintu telah didorong dari luar sehingga jebol, kemudian gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang membuat tubuhnya kelihatan demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali daun pintu itu.

"Ahh, nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun jendela?" tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun.

In Bwee membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah cahaya lilin tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan.

"Habis, apakah aku harus berkunjung secara terang-terangan dan biar terlihat oleh orang lain? Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu depan begitu saja!"

"Lalu... tentu ada hal penting sekali maka gadis itu datang berkunjung pada tengah malam melalui atas genteng dan membongkar jendela!" kata pula Thlan Sin, masih tersenyum.

Wajah gadis itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda itu. "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap? Jika begitu, biarlah aku pergi saja..." Dan dia membuat gerakan hendak membuka daun jendela.

Akan tetapi Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti yang diperlihatkan gadis itu. Dia pun memegang tangan gadis itu.

"Tunggu dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal? Aku merasa gembira sekali, seolah-olah kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!"

In Bwee membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu masih dipegang oleh Thian Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung pipit di dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan sambil tersenyum simpul dia bertanya,

"Beginikah menerima tamu? Tidak disuruh duduk? Betapa sopannya..."

Thian Sin tertawa. "Aihh, maaf. Silakan duduk, nona."

In Bwee lalu duduk di atas kursi, sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan. Sejenak mereka kembali berpandangan dan gadis itu tersenyum manis.

"Kau bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan? Jika benar kejatuhan bulan, mungkinkah masih dapat bergirang hati? Aku pernah membaca dalam kitab kuno bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah dunia yang besar!"

Thian Sin tersenyum. "Bukan begitu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..."

"Ihhhh...! Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!" In Bwee melempar senyum dan kerling tajam memikat.

Thian Sin menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu. Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka. Senyum dan kerling itu merupakan daya pikat, untuk memikat dirinya. Pihak lawan yang agaknya telah kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu mungkin saja menggunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk menjatuhkannya.

Akan tetapi, mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat? Ia adalah puteri seorang hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan penjahat?

"Nona, katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku pada tengah malam seperti ini? Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin tahu."

Gadis itu tersenyum lagi, lebih manis, dan dia memandang langsung dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. "Ceng Taihiap, coba katakan padaku, apa yang sepatutnya menyebabkan seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar sepertimu?" Sungguh merupakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan yang jelas menantang!

Diam-diam Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan seorang petualang asmara? Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang gadis kaya dan lihai. Apa lagi kalau bukan seorang petualang cinta? Namun, pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka dia pun mencoba dan memancing.

"Hemmm, apa bila gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kalau kunjunganmu ini untuk membalas dendam kepadaku."

In Bwee menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan aku yang boleh membuat aku sakit hati. Lagi pula, kalau aku hendak membalas dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab? Tentu semenjak tadi-tadi aku sudah mencoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng, dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai begini."

"Kemungkinan ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung maksud tertentu..."

"Tentu saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?"

"Mungkin saja untuk menyelidiki aku." Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam saat mengucapkan kata-kata pancingan ini.

"Menyelidikimu?" Biar pun cahaya lilin itu tidak cukup terang, akan tetapi Thian Sin yang memandang penuh perhatian itu dapat melihat adanya perubahan pada wajah yang cantik itu. "Menyelidiki apanya?"

"Hemm... misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..."

Sekarang gadis itu benar-benar terkejut. "Kunci... kunci emas...? Apa... apa maksudmu, taihiap?"

Thian Sin tertawa. "Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan."

"Ahh, harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..."

Melihat keraguan gadis itu Thian Sin mendesak. "Sebetulnya bagaimana?"

"Karena aku... kagum sekali padamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa amat kagum dan..."

"Ya? Bagaimana?"

"Aku... aku ingin mempererat persahabatanku denganmu."

"Begitukah? Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tangan dan hati terbuka!"

Gadis itu mengangkat muka. Wajahnya yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub cantik manis. "Dengan hati terbuka? Kulihat hatimu sudah tertutup penuh oleh enci Kim Hong..."

Thian Sin tersenyum. Ternyata benar saja, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama-sama lihat saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti!

"Ha-ha, In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang gadis seperti engkau!" Dan dia pun meraih dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya.

"Ihh, mau apa kau?!" Gadis itu berseru dan kedua tangannya langsung mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak sangat dekat. Namun, tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin.

"Plak-plak-plak-plak!"

Empat kali pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudah oleh Thian Sin dan tangkisan terakhir disertai tangkapan pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee hanya dapat meronta-ronta tanpa dapat memukul lagi.

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku..." serunya dengan suara lirih karena dia pun tidak ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain.

Akan tetapi Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya. "Benar-benar hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu dan bahkan sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang engkau kehendaki dariku?"

"Lepaskan aku...! Kau... laki-laki kurang ajar!" In Bwee masih meronta-ronta, akan tetapi pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main.

"Kau dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah memakai kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukannya seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya akan mendekati wanita kalau wanita itu pun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau." Sesudah berkata begini, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lantas memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu.

"Uhh... uhhh...!" In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemas, dia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, dia pun langsung jatuh terkulai di atas pembaringan.

"Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau sudah datang di sini pada tengah malam dan mencoba merayuku, lantas menyerangku tanpa memberi tahukan sebab-sebabnya. Sudah selayaknya kalau engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciuman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!"

In Bwee yang menerima tugas dari suhu-nya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, dengan menggunakan kecantikannya, kini sadar bahwa usaha yang dilakukannya secara terpaksa itu sudah gagal sama sekali. Ketika tadi kedua lengannya ditangkap tanpa dia mampu melepaskan diri, lalu ketika dia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa!

Kini dia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Dia lalu teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba dia pun menangis sesenggukan.

"Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk bisa memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan jika melihat wanita cantik menangis." Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu.

Mendengar ucapan halus ini, tangis In Bwee makin menjadi dan dia pun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk.

Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untuk menundukkan hatinya, akan tetapi tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka dia pun merasa kasihan, lantas merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu.

Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora birahi, melainkan rasa iba yang tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu.

"Maafkan aku... ahhh, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian dia berbisik-bisik di antara isaknya.

Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu lantas dia pun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."

Dara itu tak menjawab, menghabiskan isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Sesudah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seakan-akan himpitannya terbawa keluar oleh air mata, maka dia pun mulai bicara.

"Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."

Tentu saja kalimat pertama ini sangat mengejutkan Thian Sin, sungguh pun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini telah mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia segera memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.

Wajah itu masih pucat dan basah, juga matanya agak kemerahan dan memandang sayu. "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhu-ku..."

"Suhu-mu...?" Kini Thian Sin mulai mengerti. Keluarga gadis itu tak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhu-nya!

"Ya, suhu-ku... juga pamanku..."

"Ahh, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"

Gadis cantik itu menarik napas panjang lantas mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu aku lakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"

Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam dia tersenyum senang. "Nona... ehh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau sudah tahu bahwa dulu memang aku pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebetulnya amat kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau sudah tahu tentang semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau aku pun dapat mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."

Sampai lama In Bwee berdiam diri di dalam pelukan Thian Sin hingga akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang kemudian menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

"Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta pada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."

"Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."

"Benar, aku tahu dan aku merasa iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku hanyalah seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."

"Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu."

"Semenjak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang mempunyai kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar sangat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ahh, betapa aku sudah mengkhianati guru dan pamanku dan aku tak akan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini."

"Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan dahulu ceritamu."

"Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayahku sendiri juga membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, maka peta itu tak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hong. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidiki dirimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan bila perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu, atau paling tidak keterangan darimu mengenai kunci emas itu. Nah, sudah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tetapi sekaligus juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..." Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah dia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain.

"Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang yang mendekat, aku tentu mengetahuinya," kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhu-mu, mengapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"

Ditanya demikian, kembali In Bwee menangis, air matanya mengalir keluar namun cepat dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah, "Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyeleweng, pada waktu aku berusia delapan belas tahun, aku sudah menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suheng-ku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, sedangkan murid itu tidak mau bertanggung jawab, lalu suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Jika aku tidak menurut, bukan saja dia hendak membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah, ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah, ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."

Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga di dalam hidupnya sudah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya.

Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja dia lemah sehingga tergelincir, maka hal itu merupakan malapetaka yang akan merubah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang hidupnya. Rasa takut akan selalu membayanginya, takut kalau aib yang menimpa dirinya ketahuan.

Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, selalu dicaci, dihina dan tidak ada seorang pun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini!

Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat. Tentu saja, seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melewati sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, hanya terdorong oleh nafsu dan kelemahan.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup dia tidak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria akan menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang dulu menyerahkan keperawanannya pada Thian Sin tanpa syarat apa pun, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu sangat ditentangnya.

Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan. Orang yang benar-benar mencinta, tidak mungkin akan mau mencelakakan orang yang dicintanya itu. Apa bila ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka hanya karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga supaya orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya.

Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah merupakan suatu perbuatan yang buruk dan hina maka pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Bila dia tetap melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta birahi belaka!

Untuk memuaskan hasrat birahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya, terancam mala petaka hebat bila terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air.


Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walau pun belum disahkan dengan upacara serta pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang amat mendalam di antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala peraturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak peduli tentang upacara dan pesta pernikahan.

"Aku memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh lalu perlahan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku memang lemah terhadap rayuan pria. Aku tak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali.

Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra. "Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang hanya manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik? Engkau saling mencinta dengan sastrawan itu? Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya bila seorang gadis seperti engkau ini tak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Mati pun tak akan penasaran bila kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan aku pun akan melindungimu dari ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di mana aku bisa bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"

"Biar pun namanya amat terkenal di kota raja, namun tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekar pun tidak mampu menemukan tempatnya itu."

"Tapi engkau tahu tempatnya?"

Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang amat tampan dan menarik itu. "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong memperoleh pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Jika cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."

Thian Sin tersenyum. "Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.

"Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi dia pun memiliki banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Maka, kalau hanya untuk uang, amat berbahaya jika taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..."

"Hushh... kau pikir kami adalah orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya serta mengandung rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itu pun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di hadapan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepada dialah kami akan menyerahkan semua harta karun itu, sebab dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."

Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk sambil menarik napas panjang. "Selama ini nama Pendekar Sadis selalu membuat aku merasa seram dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Bagaimana pun juga, hatiku khawatir sekali kalau membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."

"Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu."

In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu akan terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata. "Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."

"Ehh...?" Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan kepalang. "Di rumah jaksa? Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas serta menuntut para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"

In Bwee tersenyum pahit. "Ceng-taihiap, agaknya biar pun engkau seorang pendekar yang sudah banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Di sini para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tak ada bedanya dengan tukang-tukang pukul bayaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan."

"Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual belikan di kota raja ini? Dan apakah jaksa itu pun telah dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?"

"Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, semenjak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sana pun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar."

"Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"

Gadis itu mengangguk. "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..."

Thian Sin mengusap dagu yang halus itu. "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan amat hati-hati dan terima kasih atas segala keteranganmu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."

"Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah bukan main dan mungkin akan menjatuhkan hukuman karena aku telah gagal merayumu..."

"Siapa bilang gagal? Ahh, belum percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemmm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."

In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri-seri. "Memang, dia sangat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu mengenai keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah bertemu dengan Bu Kok Siang yang amat mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, maka kalau sekarang suhu membunuhku pun aku tidak akan penasaran lagi."

"Hushh, siapa yang bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhu-mu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kau berikan ini kepadanya."

Kemudian Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya, lantas memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu dia menatap wajah Pendekar Sadis.

"Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"

Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar sudah berubah, telah berpihak padanya dan secara diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Dia pun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu.

"Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci ini pun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."

"Hemm, kunci palsu?" bisik gadis itu.

Thian Sin tersenyum. "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."

Berserilah wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik asli atau pun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya dengan baik sehingga suhu-nya tidak memiliki alasan untuk marah kepadanya. Andai kata kunci emas itu palsu sekali pun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana dia tahu kalau kunci itu palsu?

Dia akan selamat, akan dapat berjumpa kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan tumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya.

"Terima kasih, taihiap, terima kasih...," katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu.

Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan teringat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskannya pelukannya dan ia pun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela.

Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yang menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju.

Dia sudah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang maka sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, dia pun dapat tidur pulas.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Di samping kegelisahan hatinya, tentu saja Thian Sin merasa heran sekali. Kekasihnya itu sedang melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang?

Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta pada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tak pernah menunjukkan rasa cemburu terhadap dirinya, walau pun gadis itu sering menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang!

Perasaan cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih artinya memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri.

Tak mungkin ada unsur pemaksaan di sini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Bila mencinta, dengan sendirinya tidak ada penyelewengan, sebaliknya kalau tidak mencinta, tak akan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu dan pura-pura belaka.

Kegelisahan di dalam hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itu pun termasuk komplotan jahat, sungguh pun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sastrawan muda itu.

Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarang orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat sangatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja. Kaum sesat itu sangat berbahaya dengan kelicikan serta kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya.

Akan tetapi dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sastrawan itu. Pula, kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, walau pun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi.

Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu, dan dia segera menyalakan lilin lalu memandang pada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu.

"Ada apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin.

"Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia...," In Bwee berkata dengan suara setengah meratap.

Melihat gadis yang nampak amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, dengan halus menyuruh gadis itu untuk duduk. "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi."

"Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..."

"Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!"

Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan sesudah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee akhirnya berhasil menguasai keguncangan hatinya. "Ceng-taihiap, kemarin mereka telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... ehh, maksudku Bu Kok Siang."

"Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"

Gadis itu mengangguk, menarik napas panjang, lantas menunduk. "Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap. Mereka kemudian mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."

"Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"

"Benar. Mereka menyerah saat melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka kemudian dibawa ke tempat tahanan jaksa di mana terdapat kamar jebakan. Mereka lantas terjebak, kemudian dibius hingga tertawan, dan kini berada dalam kekuasaan suhu..."

Thian Sin mengerutkan alisnya. "Cepat beri tahukan aku di mana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan di sana."

In Bwee segera memberi tahukan tempat itu, akan tetapi dia pun tidak tahu benar tentang seluk beluk tempat itu karena belum pernah ke sana. Namun hal itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu ditawan.

"Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir," katanya.

Dan gadis itu pun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, dia terkejut ketika melihat ada sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Ternyata sosok itu adalah gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu!

"Paman..."

"Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.

"Aku..." In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapa pun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka ia pun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang,

"Paman, aku dengan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat dia kau tawan, hatiku menjadi sangat gelisah sehingga aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."

Kakek itu memandang tajam. "Hanya untuk itu saja?"

"Habis untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan telah saya serahkan kepada paman? Saya tak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya merasa khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekali pun."

Sejenak kakek itu diam, lalu mendadak tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu dapat menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tidak dilihat oleh siapa pun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.

"Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."

********************

Sementara itu, Kim Hong bersama Kok Siang juga telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak di dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tidak mungkin dapat mereka elakkan. Pada waktu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai untuk tidur, namun dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang!

Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki serta tangan, juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan terdapat pula alat pemanas untuk dibakar yang berada di bawah dipan.

Begitu siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, maka tahulah dia bahwa dia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlampau kuat, juga dia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andai kata pengaruh totokan itu telah hilang sekali pun. belum tentu dia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya.

Dia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang padanya kemudian tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu, sungguh hal yang luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum.

"Engkau masih bisa tersenyum?" tanyanya.

"Kenapa tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematian pun akan terasa ringan kalau dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merubah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara pilihan senyum dan tangis? Ha-ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"

Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, mempunyai ilmu silat yang tak rendah, juga mempunyai keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Dan di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu!

"Apanya yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu.

"Masa tidak lucu? Kita dikeroyok para penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara-cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan kini kita sudah dibelenggu di sini, bagaikan penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Sebenarnya, siapakah yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, ataukah kita?"

"Tentu saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!"

"Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlampau kurus jika disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, maka mereka pun kecelik. Ternyata yang masuk itu adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, biar pun kebanyakan dari mereka besikap kereng dan menyeramkan.

Kim Hong memandang penuh perhatian dan ia pun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang segera dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang telah kehilangan seorang anggotanya akibat tewas oleh anak panah yang sengaja dilepaskan untuk membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar oleh kepala mereka sendiri.

Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan kemudian dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnya riap-riapan nampak pula di antara mereka.

Kim Hong tidak merasa heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sebenarnya, tanpa kedok manis seperti ketika dia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan hingga tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang sudah bersekongkol dengan para penjahat.

Ada pun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini mempunyai kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika dia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat.

Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia merasa sangat terkejut saat melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik ini pun segera tahu bahwa tentu jaksa itu sudah bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, dia pun berteriak-teriak.

"Heiii! Apa-apaan ini? Sungguh penasaran! Kami tidak berdosa, mengapa ditangkap? Di mana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Mengapa bukan komandan pasukan yang datang? Kami menuntut keadilan!"

Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, yang kumis jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu telah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar.

"Plakk! Plakk!"

Dua kali wajah Kok Siang ditampar dengan keras. Karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan hingga dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah sehingga pipi kanannya menjadi merah membengkak.

"Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha-ha, sobat, kiranya engkau pun seorang pengecut, beraninya hanya sesudah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini, maka aku akan membuat engkau tidak sanggup bangun kembali!"

"Siucai sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali.

"Plakk! Plakk!"

"Cukuplah!" kata kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, sehingga Hai-pa-cu Can Hoa segera menghentikan tamparannya.

Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak akibat tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.

"Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"

Seperti juga Kim Hong, pemuda ini telah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah berjumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya telah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee!

Jadi inilah orangnya yang sudah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga para kaki tangannya yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia segera menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, dia pun mengangguk.

"Benar," jawabnya. "Kawan-kawanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakah engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?"

"Tutup mulutmu yang lancang itu dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak.

Jagoan dari kota Yen-tai ini memang merasa sakit hati terhadap Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau dia tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan malah mungkin membunuh pemuda yang amat dibencinya itu.

"Bu Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?"

Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling itu yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."

"Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.

"Ahhh...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh.

"Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau sudah berani menentangku dan siapa pun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu amat terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik.

Kok Siang bukan seorang yang bodoh. Dia telah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu, tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka jika dia mengaku bahwa dia adalah keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan membunuh diri.

"Apa yang hendak kulakukan di kota raja? Tentu saja melancong, apa lagi?"

"Hemm, kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku masih dapat percaya omonganmu." Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong.

"Ahh, nona ini? Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa. Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko yang besar itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan bersekongkol dengan pasukan pemerintah?"

"Tutup mulutmu! Apakah kau sudah bosan hidup?" Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Ia tadi memang sengaja hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya.

Akan tetapi kakek iblis hitam itu pun sangat cerdik dan tidak mudah dibakar hatinya. Dia lalu menghampiri Kim Hong, dan Kok Siang mengikuti gerakan kakek itu dengan jantung berdebar tegang dan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia tahu benar betapa berbahayanya bagi seorang gadis cantik seperti Kim Hong bila terjatuh ke tangan orang-orang macam ini. Ada bahaya penghinaaan yang lebih hebat dari pada kematian bagi gadis itu.

Akan tetapi, dia yang tentu saja tak akan mampu melindungi Kim Hong dengan kekuatan badannya yang sudah tak berdaya, merasa yakin bahwa ia akan mampu menyelamatkan Kim Hong dalam saat terakhir, karena dia masih memegang kunci rahasia yang sangat penting, yaitu peta yang asli! Dengan ini dia akan dapat menebus diri Kim Hong, kalau perlu.

"Nona, engkau bernama Toan Kim Hong yang menjadi sahabat serta kekasih Pendekar Sadis, bukan? Hemm, kasihan Pendekar Sadis, tidak tahu bahwa kekasihnya suka main gila dengan setiap orang pemuda ganteng seperti Bu Siucai di luaran!" Pat-pi Mo-ko lalu tersenyum menyeringai, agaknya merasa amat girang ketika mendapat kenyataan bahwa kekasih Pendekar Sadis mempermainkan pendekar itu.

Hal ini saja sudah dapat menimbulkan dugaan di dalam hati Kim Hong dan Kok Siang bahwa penjahat ini agaknya membenci Thian Sin. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, diam-diam Kok Siang terkejut setengah mati mendengar disebutnya Pendekar Sadis.

Dia pun merasa seperti pernah mendengar nama Ceng Thian Sin ketika mereka saling berkenalan di rumah makan, akan tetapi sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis yang pernah menggegerkan seluruh kota raja! Akan tetapi, dia dapat menyembunyikan keheranannya dan pura-pura tidak terpengaruh sama sekali oleh sebutan itu.

Akan tetapi, Kim Hong sama sekali tidak mau memberi jawaban dan hanya memandang dengan senyum mengejek, dan pandang matanya menghina sekali. Melihat ini Tiat-ciang Lui Cai Ko yang bermata juling itu mendekat.

"Twako, biarlah kusiksa dulu gadis ini supaya mau bersikap lunak dan mau menjawab pertanyaanmu!" Agaknya sudah gatal-gatal rasa tangan penjahat ini untuk menyiksa Kim Hong. Jari-jari tangannya sudah terbuka dan bersiap mencengkeram. Akan tetapi Pat-pi Mo-ko tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Sabarlah, Cai Ko. Belum tiba waktunya untuk itu." Dan kepala penjahat ini menghadapi Kim Hong lagi. "Nona, meski pun engkau tidak mengaku, kami sudah tahu bahwa engkau dan Pendekar Sadis datang sebagai utusan mendiang petani Ciang Gun, membawa kunci emas dan engkau tahu tentang rahasia harta karun Jenghis Khan itu. Marilah kita bicara secara terbuka saja karena kita sudah sama-sama tahu tentang hal itu. Kami juga telah menggeledah dan tidak temukan kunci emas di tubuhmu atau pakaianmu. Nah, katakan. Di manakah adanya kunci emas itu? Apakah dibawa oleh Pendekar Sadis?"

Diam-diam Kim Hong merasa sangat mendongkol. Ternyata dalam keadaan pingsan tadi tubuhnya sudah digeledah, tentu saja digerayangi tangan-tangan yang kotor dan kurang ajar itu. Untung tidak terjadi sesuatu dengan dirinya.

Hal ini tentu saja karena kepala penjahat ini masih membutuhkan keterangan-keterangan darinya, masih melihat manfaat pada dirinya. Akan tetapi bila sampai sekarang dia masih selamat, hal itu hanya soal waktu saja. Kalau ia sudah tidak dibutuhkan lagi, tentu ia akan dilempar kepada orang-orang kasar itu, untuk disiksa, diperkosa dan dipermainkan, bagai segumpal daging dilempar kepada anjing-anjing kelaparan. Atau mungkin Pat-pi Mo-ko ini sendiri yang akan mempeloporinya, melihat sinar matanya yang juga penuh mengandung nafsu ketika memandangnya itu.

Akan tetapi, dia sengaja tidak mau membuka mulut dan otaknya dikerjakan. Apa perlunya dia menjawab? Iblis ini tahu bahwa kunci emas masih berada di tangan Pendekar Sadis, jadi iblis itu tidak akan mampu berbuat sesuatu dan agaknya tidak akan mengganggunya secara sangguh-sungguh sebelum kunci itu didapatnya. Mungkin ia akan dijadikan umpan untuk memancing datang Pendekar Sadis.

Hampir saja Kim Hong tersenyum. Tanpa perlu dipancing sekali pun, Thian Sin pasti akan datang untuk menolongnya. Hal ini dia yakin benar. Akan tetapi dia pun merasa khawatir karena sekali ini mereka menghadapi penjahat-penjahat yang selain kejam, juga kuat dan curang sekali. Dia sendiri sudah bertindak sangat berhati-hati dan kalau saja di taman itu tak ada pasukan pemerintah yang turun tangan, belum tentu pula dia akan begitu lengah sehingga dapat ditangkap begitu saja!

Melihat gadis itu tinggal diam saja, Pat-pi Mo-ko tersenyum. Kalau lain orang, tentu sudah marah bukan main. Akan tetapi iblis ini bukan penjahat sembarangan dan karena itu dia dijadikan semacam raja tanpa mahkota oleh para penjahat lainnya di kota raja. Dia cerdik sekali.

"Nona, apa gunanya nona bersikap diam dan membisu? Meski pun Pendekar Sadis terus memegang kunci emas, apa gunanya jika dia tidak memiliki peta rahasia itu! Dan petanya berada di tangan kami! Kini engkau sudah berada di dalam kekuasaan kami. Pendekar Sadis akhirnya tentu akan menyerahkan kunci itu kalau memang dia sayang kepadamu."

Kim Hong hanya tersenyum mengejek saja, memandang dengan sinar mata menghina, bahkan lalu membuang muka. Sikapnya sungguh memandang rendah sekali.

Pat-pi Mo-ko kemudian bangkit berdiri, mukanya agak merah walau pun dia masih belum menunjukkan kekecewaan serta kemarahannya. "Baiklah, mari kita lihat siapa yang lebih keras hati di antara kita. Kami sudah menyaksikan bahwa engkau bermain cinta dengan sastrawan ganteng ini di taman. Nah, karena dia ini tidak ada gunanya bagi kami, maka biarlah engkau melihat ia tersiksa dan mampus di depan matamu. Hendak kulihat, apakah engkau akan tega melihat kekasih barumu ini tersiksa sampai mati dan tetap bersikeras menutup mulut?"

Kim Hong yang membuang muka tadi sudah memandang ke arah Kok Siang. Dilihatnya pemuda itu berkedip memberi isyarat agar jangan mau tunduk, akan tetapi diam-diam hati Kim Hong merasa khawatir. Pemuda itu merupakan orang yang amat penting, terpenting malah karena pemuda itu menguasai peta asli atau mengetahui tempat peta asli itu.

Tentu saja pemuda itu sekali-kali tidak boleh tewas begitu saja. Betapa pun juga, dia tidak mau tunduk oleh gertakan dan hendak dilihatnya dulu apakah benar iblis ini seorang yang memenuhi kata-katanya, bukan hanya penjahat besar mulut yang suka main gertak saja. Hal ini pun perlu baginya untuk mengenal watak dan sifat Pat-pi Mo-ko yang merupakan seorang lawan tangguh dan licik sekali.

Dan Pat-pi Mo-ko agaknya pun bukan orang yang suka banyak cakap. Tanpa menoleh kepada Kim Hong untuk melihat apa reaksi dari kata-katanya terhadap gadis itu, dia pun sudah memberi isyarat kepada para pembantunya.

Hai-pa-cu Can Hoa segera melangkah maju dan mulutnya menyeringai puas sekali. Inilah yang dinanti-nantinya. Kebenciannya terhadap sastrawan muda itu kini akan terpuaskan, dendamnya akan terbalas.

"Heh-heh-heh, semalam aku memang sudah mimpi melihat engkau terbakar hangus. Aku tak mau memulai dengan siksaan-siksaan kecil, melainkan langsung saja membakarmu. Ehh, kutu buku busuk, pernahkah engkau dipanggang hidup-hidup?"

Kok Siang tentu saja tahu apa yang sedang dihadapinya. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sejati yang tidak takut menghadapi apa pun juga. Karena itu, dia pun tersenyum ketika melihat wajah yang menyeringai itu, lalu menjawab dengan suara lantang.

"Memang aku pernah melihat, akan tetapi engkaulah yang dipanggang dalam api neraka, sehingga si Macan Tutul Laut berubah menjadi bangkai macan hangus, ha-ha-ha!"

"Keparat!" bentak Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut) Can Hoa dan dengan tangan membentuk cakar dia hendak menyerang pemuda yang terbelenggu di atas dipan besi itu.

"Can Hoa!" terdengar Pat-pi Mo-ko membentak.

Dan jagoan dari Yen-tai itu tidak melanjutkan serangannya, akan tetapi menarik sebuah pipa besi mononjol di bawah dipan. Terdengar suara berkerotokan dan dari dalam lubang rahasia muncullah sebuah panci baja terisi minyak yang sudah bernyala, minyak bernyala itu berada tepat di bawah dipan dan sebentar saja Kok Siang sudah merasa betapa dipan yang ditidurinya berubah menjadi hangat, lalu panas, makin lama semakin panas.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja, seluruh tubuhnya sudah menjadi basah, peluh membasahi pakaiannya dan uap terus mengepul dari dipan itu. Akan tetapi, tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulut pemuda itu. Dia hanya memejamkan kedua matanya dan karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka dia pun hanya menyerahkan nasib kepada Tuhan saja.

Akan tetapi, hawa panas itu ternyata menolongnya karena dia merasa betapa pengaruh totokan itu kini telah pudar dan bebas. Maka dia pun mengumpulkan tenaga sinkang dan mengerahkan hawa di tubuhnya untuk melawan rasa panas sehingga keadannya tidaklah sehebat tadi, penderitaannya berkurang, walau pun kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan terbakar hangus.

Tiba-tiba terdengar suara Kim Hung lantang, akan tetapi nadanya masih mencemoohkan dan memandang rendah sekali. "Huh, biar kau membakar dia, biar kau cincang dia, apa hubungannya dengan kami? Tapi kalau dia kalian bunuh, aku akan menganggap dia mati karena aku, maka kalian berhutang nyawa kepadaku!"

Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko memberi isyarat maka dengan kecewa sekali Hai-pa-cu Can Hoa menyingkirkan panci minyak bernyala itu dengan menarik pipa besi. Panci bersama api bernyala itu lenyap ke dalam lubang rahasia.

Dan Kok Siang malah semakin tersiksa lagi. Setelah tadi mengerahkan sinkang melawan panas yang luar biasa, kini dia pun menggigil sesudah tiba-tiba saja api itu disingkirkan! Kim Hong melihat hal ini, akan tetapi tahu bahwa pemuda itu telah terhindar dari bencana. Diam-diam dicatatnya di dalam hati tentang perbuatan Hai-pa-cu Can Hoa ini.

Pat-pi Mo-ko menghampiri Kim Hong. "Aku tak ingin menanam kebencian dalam hatimu, nona. Nah, marilah kita bicara dengan baik. Benarkah engkau dan Pendekar Sadis telah menemukan kunci emas itu? Hanya kunci emas saja? Tidak bersama petanya?"

Kim Hong teringat akan pemberi tahuan Kok Siang tentang peta palsu dan diam-diam ia pun tertawa di dalam hati, mentertawakan iblis ini. Pertanyaan tentang peta yang diajukan oleh iblis ini bahkan telah membuktikan kebenaran omongan Kok Siang dan agaknya iblis ini sudah tahu pula bahwa yang dikuasainya itu hanyalah peta palsu belaka!

Su Tong Hak yang agaknya juga menaruh perhatian kepada seluruh peristiwa itu, tiba-tiba saja ikut berbicara. "Nona, sebaiknya jika kalian bekerja sama dengan Bouw-sicu. Kalian akan dapat ikut menikmati hasilnya. Apa bila menentang, maka berarti kalian hanya akan membuang nyawa dengan sia-sia dan tidakkah sayang sekali seorang muda seperti nona mati konyol?"

"Ha-ha-ha, ucapan berbau busuk!" terdengar suara Kok Siang.

Semua orang menoleh karena terkejut. Pemuda yang baru saja tersiksa itu sudah dapat tertawa dan mengejek lagi! "Mati muda dalam kebenaran adalah matinya seorang gagah, akan tetapi matinya seorang jahat dalam kehinaan sama dengan matinya seekor babi!"

Kim Hong juga memandang kepada pedagang itu dan langsung membentak. "Su Thong Hak! Engkau pengkhianat tak tahu malu, sudah mencelakakan keluarga kakakmu sendiri hingga Ciang Gun beserta isterinya terbunuh, juga keponakanmu Ciang Kim Su terbunuh. Sekarang masih berani membuka mulut di hadapanku?"

Bentakan dan ejekan Kim Hong dan Kok Siang sungguh mengejutkan hati orang she Su ini, apa lagi bentakan Kim Hong yang mengingatkan dia akan perbuatannya yang kejam itu. "Tidak... tidak...!" Dia menggeleng kepala. "Aku tidak membunuh mereka... dan Kim Su tidak mati..."

"Diam!" Pat-pi Mo-ko membentak dan orang itu surut ke belakang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tentu saja Kim Hong mencatat semua ini di dalam hatinya.

"Nah, nona Toan, kami bemaksud baik dan berniat untuk kerja sama dengan engkau dan Pendekar Sadis. Maka, harap kau ceriterakan semua yang kalian ketahui tentang rahasia harta pusaka ini."

Kim Hong maklum bahwa baginya tak ada jalan lain lagi kecuali menceritakannya, karena menceritakan hal itu pun tidak ada salahnya. Akan tetapi dia tetap bersikap angkuh.

"Hemm, Pat-pi Mo-ko, engkau tentu telah mengerti bahwa dunia kita berlainan, kita saling berselisih jalan, engkau berkecimpung dalam dunia sesat dan kami bukanlah orang-orang yang suka mengejar harta dengan kejahatan. Mana mungkin kita dapat bekerja sama?"

Si tinggi besar itu menarik napas panjang, lantas berkata dengan suara bersungguh hati. "Nona Toan, engkau tentunya maklum bahwa di dunia ini tak ada orang mau menempuh jalan sesat yang penuh dengan bahaya bila tidak terpaksa. Jika kita berhasil memperoleh harta karun Jenghis Khan dan bagianku lebih dari cukup, untuk apa lagi aku mengambil jalan sesat? Aku akan mencuci tangan lalu hidup makmur dan tenteram dengan harta itu."

"Hemmm, hal itu masih harus dibuktikan. Akan tetapi, engkau bicara tentang kerja sama. Apakah begini caramu dalam bekerja sama, Pat-pi Mo-ko? Yang diajak kerja sama harus terlentang di dipan penyiksaan dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok?"

"Maafkan aku, nona. Engkau adalah seorang yang lihai maka dalam keadaan bebas akan mendatangkan banyak repot bagi kami. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar mau bekerja sama, dan setelah aku yakin barulah kita akan bicara seperti antara sahabat dan rekan yang bekerja sama. Nah, sekarang ceritakanlah dulu. Ceritamu akan menjadi pertimbangan apakah benar engkau mau bekerja sama denganku."

Sungguh seorang penjahat yang matang dan cerdik sekali. Seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kim Hong.

"Baiklah. Dengarkan. Kami berdua tidak sengaja mencampuri urusan harta karun Jenghis Khan ini. Di An-keng kami melihat kakek Ciang Gun dikejar-kejar dan diserang anak buah Liong-kut-pian Ban Lok. Kami lalu turun tangan, akan tetapi tidak berhasil menyelamatkan kakek petani itu walau pun kami dapat membunuh Liong-kut-pian dan dari kakek itu kami menerima kunci emas, dan kami juga ditugaskan untuk mencari puteranya, Ciang Kim Su, membantunya untuk mencari harta karun yang menjadi haknya. Sampai di sini, kami lalu mendengar dari orang she Su ini bahwa peta itu dibagi dua antara dia dan Kim Su dan bahwa peta bagiannya hilang dan Kim Su pun lenyap entah ke mana. Nah, selanjutnya tentu engkau sudah tahu sampai aku terjebak olehmu sekarang ini."

Pat-pi Mo-ko mengerutkan sepasang alisnya yang tebal. "Dan kakek Ciang Gun itu tidak memberikan sebuah peta lain kepada kalian berdua?" tanyanya sambil menatap tajam.

Kim Hong maklum apa artinya pertanyaan ini. Kembali dia mendapat bukti kebenaran dari pemberi tahuan Kok Siang mengenai peta yang tulen. Penjahat ini bukan hanya mencari kunci emas, melainkan juga peta aslinya! Dia menggelengkan kepala dan berkata,

"Kami justru sedang mencari peta itu yang katanya hilang dan kami merasa yakin bahwa engkaulah yang menguasai peta itu, bukan?"

Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Memang benar."

"Akan tetapi peta itu tiada gunanya jika engkau tidak memiliki kunci emasnya, bukankah begitu?" Kim Hong memancing karena kiranya tidak perlu disembunyikan lagi kenyataan bahwa mereka saling memperebutkan peta dan kunci emas.

Kakek itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda. "Sudah ada padaku."

Kim Hong terkejut, bahkan Kok Siang mengeluarkan seruan heran melihat bahwa benda di tangan kakek itu adalah sebuah kunci emas! Kim Hong segera mengenal kunci emas palsu yang biasanya dibawa oleh Thian Sin! Tentu saja jantungnya langsung berdebar tegang. Bagaimana mungkin kunci emas itu, kunci emas yang palsu, dapat dikuasai oleh kakek ini.

"Dari mana engkau memperoleh kunci emas itu?"

Kakek itu tersenyum. "Tak perlu kau tahu, pokoknya kunci emasnya kini sudah berada di tanganku."

Hening sejenak dan dengan pandangan matanya yang tajam Kim Hong menatap wajah orang. Ia dapat melihat bahwa di dalam mata kakek ini tidak ada sinar tanda kebanggaan atau kemenangan, maka hatinya pun terasa lega.

Entah bagaimana kunci itu dapat diambilnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa Thian Sin dalam keadaan selamat. Kalau kakek ini mampu merobohkan atau membunuh Thian Sin, tentu kakek ini akan merasa bangga sekali, akan membual di depannya atau paling tidak akan nampak di dalam sinar matanya.

"Hemm, Pat-pi Mo-ko, peta sudah ada padamu, juga kunci emasnya sudah ada padamu. Lalu kenapa pula engkau masih mengganggu dan menjebakku? Apa artinya perbuatanmu yang curang ini?"

Kakek hitam tinggi besar itu nampak kecewa dan penasaran sekali. Dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku di dekat dipan di mana Kim Hong terbelenggu, dan sambil menatap tajam wajah Kim Hong dia menggelengkan kepalanya.

"Peta yang dibagi dua antara Ciang Kim Su dengan Su Tong Hak itu adalah peta palsu! Tempat itu sudah kuselidiki menurut peta dan aku tidak dapat menemukan apa-apa."

"Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Kok Siang tertawa bergelak dan diam-diam Kim Hong merasa kaget dan khawatir sekali. Apakah pemuda itu tidak bisa melihat suasana sehingga berani tertawa, mentertawakan iblis yang sedang dilanda kekecewaan dan penasaran itu?

Benar saja, Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng segera menoleh ke arah pemada itu. Mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah, matanya mengeluarkan cahaya kilat dan Kim Hong tak akan merasa heran kalau iblis itu segera turun tangan membunuh Kok Siang.

"Orang she Bu, kenapa kau tertawa?" Suara iblis itu terdengar tenang saja, akan tetapi di balik ketenangan itu jelas terbayang kemarahan besar.

Kok Siang yang telah terbebas dari totokan oleh hawa panas tadi, masih saja tertawa geli, kemudian berkata. "Siapa yang tidak akan tertawa mendengar kelucuan itu? Harta karun Jenghis Khan sudah mengorbankan banyak nyawa, tenaga serta pikiran, namun ternyata hanya merupakan lelucon dari Jenghis Khan! Ha-ha-ha-ha, raja itu memang sangat hebat, pandai, kuat, gagah, keras, kejam sekaligus juga seorang pelawak besar!"

Pat-pi Mo-ko bangkit dari tempat duduknya. Dan ketika itu pula, Kim Hong yang melihat bahwa kemarahan iblis itu mungkin saja akan berarti tewasnya Kok Siang yang sudah mengeluarkan ejekan bukan pada saat yang tepat itu, segera berkata,

"Hemmm, Pat-pi Mo-ko, engkau yang sudah menjadi seorang tokoh kawakan dalam dunia kang-ouw, ternyata mudah saja ditipu orang. Kiranya tidak sulit untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen."

Ucapan Kim Hong ini seperti sinar terang di antara kegelapan yang menyelubungi pikiran Pat-pi Mo-ko, juga membuat semua orang yang hadir di sana langsung memandang ke arahnya. Tak ketinggalan Kok Siang menoleh dan memandang kepada Kim Hong dengan alis berkerut dan pandang mata kaget.

Pat-pi Mo-ko sudah sering mendengar tentang kelihaian dan kecerdikan Pendekar Sadis. Dan karena wanita cantik ini adalah sahabat dan juga kekasih Pendekar Sadis, maka tentu bukan merupakan seorang wanita sembarangan. Timbullah harapan di dalim hatinya.

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 04

MELIHAT wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak enak. Ia merasa bagai seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimana pun juga, dia terjatuh ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat. Dan kalau dia mengbendaki, apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya?

Pikiran ini membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira bersama para anak buahnya masih berada di luar kamar, dia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok Siang Sesungguhnya, ingin sekali dia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada waktu itu, Kim Hong lantas duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan kemarahan itu.

Sedangkan Kok Siang sendiri juga duduk di sudut kamar itu dengan tenang-tenang saja. Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang semacam Lui Cai Ko yang kasar. Paling tidak, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari para petugas pengadilan.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam ilmu silat, juga ahli sastera serta mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya.

Kebenaran dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah di mana terdapat kekuasaan yang jauh lebih hebat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan. Di bagian dunia mana pun, manusia benar-benar telah dicengkeram serta dikuasai oleh uang atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dan kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang.

Untuk memperoleh uang sebagai sarana utama agar dapat hidup senang ini, maka orang tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling keji dan kejam. Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh, menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan mendapatkan uang sebanyaknya. Uang membuat apa saja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekali pun!

Kok Siang tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal yang nampaknya tidak mungkin terjadi. Dia tidak pernah menduga bahwa seorang pembesar tinggi dapat saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang.

Kedudukan disalah gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya, martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis, semua ini terjadi apa bila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan melalui pengumpulan uang. Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi.

Dan hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan bila sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk pertama kali melakukan pencurian tentu akan merasa adanya penyesalan dalam hatinya, penyesalan yang datang karena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tidak baik atau tidak benar. Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan semakin menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya.

Bu Kok Siang masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke mana pun, sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke dalam istana. Dan kantor kejaksaan itu pun tak terluput, kantor pengadilan pun telah digerayangi oleh setan ini sehingga yang namanya keadilan pun dikemudikan oleh uang!

Selagi kedua orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, mendadak terdengar suara keras dan lantai di dalam kamar tahanan itu pun terbuka ke bawah! Hal ini terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak sehingga terjeblos ke bawah.

Akan tetapi, mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan sudah menguasai ilmu silat sehingga gerakan ilmu itu sudah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama sekali Kim Hong yang memiliki ginkang tinggi. Begitu tubuhnya terjeblos ke bawah, dia langsung mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang telah meluncur ke bawah itu tiba-tiba saja telah membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot atau menendang ke bawah, ada pun kedua tangannya bergerak seperti sayap dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas!

Kok Siang juga telah berhasil meloncat ke atas, akan tetapi ginkang-nya tak sehebat Kim Hong sehingga tubuhnya kembali meluncur ke bawah karena dia tidak bisa berpegangan pada apa pun. Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu bisa meluncur ke arah pintu besi. Kim Hong mengerahkan tenaga sinkang-nya dan sambil meluncur ke arah pintu, dia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan membobolkannya.

Akan tetapi ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi besar, mendadak muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itu pun mendorongkan dua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua tangan ini segera menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu mengerahkan seluruh tenaganya pula.

"Brakkkkk...!"

Pintu besi yang kokoh kuat itu tidak sanggup menahan himpitan dua tenaga raksasa dari dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itu pun terdorong ke belakang dan tentu saja sekarang meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula.

Sebaliknya, kakek itu sendiri pun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia terkejut bukan main, mengeluarkan seruan aneh, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya.

Sementara itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba sudah diterima oleh sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan sepasang lengan itu, akan tetapi dia merasa jantungnya berdebar keras dan mukanya terasa panas ketika mendengar suara yang dikenalnya,

"Hong-moi, engkau tidak apa-apa?"

Kiranya yang menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat meloncat turun. "Aku tidak apa-apa, dan engkau?"

"Untung bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini agak lunak sehingga aku tak sampai terluka. Tadi ketika melihat ada tubuh meluncur dari atas, aku merasa khawatir sehingga menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong."

Betapa sopan pemuda ini, pikir Kim Hong. Dia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai bayangan pikiran kotor saat menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat dia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan, pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap pemuda seperti ini?

"Tidak apa-apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada di mana? Kita harus dapat keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak."

"Tadi sudah kuperiksa dengan teliti, akan tetapi baru sebentar karena kulihat engkau jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Sama sekali tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas."

"Belum tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba."

Mereka pun mulai meraba-raba pada sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur itu.

"Apakah yang telah terjadi? Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan? Mengapa kita terjebak seperti ini? Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat jebakan seperti ini?" Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran.

"Ahh, twako. Di mana pun juga, apa pun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan makhluk yang palsu dan kejam. Sebenarnya aku sudah tidak setuju untuk menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu ada hubungannya antara Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang lihai, seorang lawan tangguh."

"Siapa dia?"

"Aku belum pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja penjahatnya."

"Siapa?" Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu tanah padas belaka.

"Kalau tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng."

"Ahhh...!"

"Kau mengenal dia?"

"Mengenal orangnya sih belum, akan tetapi siapa yang tak pernah mendengar namanya? Pat-pi Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Semenjak empat orang datuk kaum sesat itu lenyap, boleh dibilang dia inilah yang dikenal sebagai datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama-nama keempat datuk kaum sesat, bukan? Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh Pendekar Sadis. Ke dua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga tewas di tangan Pendekar itu. Ke tiga adalah Tung-hai-sian datuk timur yang kini sudah melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang saudagar yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw lagi. Ke empat adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Nah, setelah keempat orang datuk kaum sesat itu lenyap, lantas muncullah Pat-pi Mo-ko ini!"

Tentu saja apa yang diceritakan oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong karena dia sendirilah yang dulu menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin. Dengan sendirinya dia tidak tertarilk oleh cerita itu, akan tetapi dia sangat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko.

"Jadi Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?"

"Bukan mengangkat diri menjadi datuk, namun semua penjahat di seluruh empat penjuru takut dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang sangat hebat dan kekejamannya terhadap siapa saja yang tak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi, selalu dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui rahasianya tentu dibunuhnya. Apa lagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau saja benar dia yang berdiri di belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..." Kok Siang berhenti seolah-olah merasa terlanjur bicara.

Keadaan di sumur itu amat gelap, mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing. Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak.

"Harta karun Jenghis Khan? Peta dari dusun itu?"

"Ya, jika benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis saja yang akan sanggup menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul karena jeri terhadap Pendekar Sadis yang sudah membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang See-thian-ong. Kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... ahh... aku... sungguh mengagumi kegagahan pendekar itu."

Kim Hong diam saja. Ia pun memikirkan Thian Sin. Di sini ia terjebak bersama Kok Siang! Apa dayanya? Dan apakah Thian Sin akan bisa menemukan mereka sebelum terlambat? Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap!

"Celaka, asap beracun!" seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya.

"Ahhh, terlambat...!" Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian Sin tadi.

"Cepat tiarap dan rapatkan muka ke lantai!"

Mereka cepat-cepat bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menolong sejenak saja dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap dan setelah hawa udara di atas tanah itu habis, maka asap pun tersedot oleh mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan.

********************

Thian Sin yang berada sendirian di dalam kamar hotelnya, tersenyum simpul mendengar jejak-jejak kaki halus di atas genteng kamarnya. Kim Hong telah pergi menyelidik tentang pemuda sastrawan yang mencurigakan itu dan dia juga sudah pergi menyelidiki ke rumah gedung tempat tinggal Bouw Wan-gwe (Hartawan Bouw) di mana tinggal Bouw In Bwee yang cantik jelita. Akan tetapi dia gagal untuk dapat berjumpa dengan gadis itu karena agaknya gadis itu tinggal di dalam kamarnya bersama beberapa orang pelayan dan dia tidak berani memaksa masuk ke dalam kamar.

Dia hanya menyelidiki keadaan gadis dan keluarganya dengan mencari keterangan di luar dan dia mendengar bahwa Bouw Siocia terkenal sebagai seorang gadis kaya raya yang berhati mulia, suka menolong orang dan di samping itu juga gadis ini dikenal mempunyai kepandaian silat tinggi sehingga semua orang mengagumi dan menghormatinya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri gadis ini.

Maka, dia segera kembali ke kamar hotel, dengan keputusan untuk mengunjungi gadis itu secara berterang pada keesokan harinya, kalau bisa bersama dengan Kim Hong, sebagai sahabat-sahabat baru.

Namun pada malam hari ini, menjelang tengah malam, dia mendengar jejak kaki di atas genteng kamarnya itu. Bukan Kim Hong, pikirnya. Kalau Kim Hong yang datang, bahkan dia sendiri pun tidak akan dapat mendengar jejak kakinya, kecuali kalau dia sedang dalam semedhi dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dalam keadaan seperti itu, jarum jatuh pun akan terdengar olehnya. Namun dalam keadaan biasa, sukarlah dicari orangnya yang akan mampu mendengar telapak kaki Kim Hong yang memiliki ginkang hampir sempurna itu. Bukan, ini tentu orang lain. Ginkang-nya belum sehebat Kim Hong, akan tetapi sudah cukup lumayan, bukan penjahat biasa. Siapa lagi kalau bukan utusan para penjahat itu?

Dengan pendengarannya yang tajam, Thian Sin mengikuti gerak gerik orang yang datang itu tanpa bergerak dari atas pembaringannya di mana dia sedang duduk bersila. Karena dia kini memusatkan perhatiannya, maka dengan jelas dia dapat mengikuti gerakan orang itu.

Beberapa lamanya orang itu mendekam di atas genteng, membuka genteng mengintai ke dalam, lalu berlari di atas genteng, melompat turun dan menghampiri jendela kamarnya. Thian Sin tersenyum geli. Seorang penjahat yang masih hijau, pikirnya.

Akan tetapi, senyumnya segera lenyap dari mukanya ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik dari luar jendela itu. "Taihiap... jangan kaget, aku yang datang..."

Suara Bouw In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangkanya dan jantung pemuda itu berdebar kencang. Mau apa gadis itu malam-malam datang mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan? Apakah ini merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan?

Dia harus selalu berhati-hati. Pihak lawan agaknya tak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk memperoleh kunci emas itu. Dan siapa tahu gadis jelita ini pun merupakan salah seorang di antara mereka, walau pun menurut penyelidikannya siang tadi, agaknya tidak mungkinlah bila seorang gadis seperti In Bwee menjadi kaki tangan penjahat! Akan tetapi, siapa tahu?

Sebelum Thian Sin sempat menjawab, daun pintu telah didorong dari luar sehingga jebol, kemudian gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang membuat tubuhnya kelihatan demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali daun pintu itu.

"Ahh, nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun jendela?" tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun.

In Bwee membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah cahaya lilin tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan.

"Habis, apakah aku harus berkunjung secara terang-terangan dan biar terlihat oleh orang lain? Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu depan begitu saja!"

"Lalu... tentu ada hal penting sekali maka gadis itu datang berkunjung pada tengah malam melalui atas genteng dan membongkar jendela!" kata pula Thlan Sin, masih tersenyum.

Wajah gadis itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda itu. "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap? Jika begitu, biarlah aku pergi saja..." Dan dia membuat gerakan hendak membuka daun jendela.

Akan tetapi Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti yang diperlihatkan gadis itu. Dia pun memegang tangan gadis itu.

"Tunggu dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal? Aku merasa gembira sekali, seolah-olah kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!"

In Bwee membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu masih dipegang oleh Thian Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung pipit di dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan sambil tersenyum simpul dia bertanya,

"Beginikah menerima tamu? Tidak disuruh duduk? Betapa sopannya..."

Thian Sin tertawa. "Aihh, maaf. Silakan duduk, nona."

In Bwee lalu duduk di atas kursi, sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan. Sejenak mereka kembali berpandangan dan gadis itu tersenyum manis.

"Kau bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan? Jika benar kejatuhan bulan, mungkinkah masih dapat bergirang hati? Aku pernah membaca dalam kitab kuno bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah dunia yang besar!"

Thian Sin tersenyum. "Bukan begitu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..."

"Ihhhh...! Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!" In Bwee melempar senyum dan kerling tajam memikat.

Thian Sin menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu. Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka. Senyum dan kerling itu merupakan daya pikat, untuk memikat dirinya. Pihak lawan yang agaknya telah kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu mungkin saja menggunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk menjatuhkannya.

Akan tetapi, mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat? Ia adalah puteri seorang hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan penjahat?

"Nona, katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku pada tengah malam seperti ini? Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin tahu."

Gadis itu tersenyum lagi, lebih manis, dan dia memandang langsung dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. "Ceng Taihiap, coba katakan padaku, apa yang sepatutnya menyebabkan seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar sepertimu?" Sungguh merupakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan yang jelas menantang!

Diam-diam Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan seorang petualang asmara? Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang gadis kaya dan lihai. Apa lagi kalau bukan seorang petualang cinta? Namun, pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka dia pun mencoba dan memancing.

"Hemmm, apa bila gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kalau kunjunganmu ini untuk membalas dendam kepadaku."

In Bwee menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan aku yang boleh membuat aku sakit hati. Lagi pula, kalau aku hendak membalas dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab? Tentu semenjak tadi-tadi aku sudah mencoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng, dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai begini."

"Kemungkinan ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung maksud tertentu..."

"Tentu saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?"

"Mungkin saja untuk menyelidiki aku." Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam saat mengucapkan kata-kata pancingan ini.

"Menyelidikimu?" Biar pun cahaya lilin itu tidak cukup terang, akan tetapi Thian Sin yang memandang penuh perhatian itu dapat melihat adanya perubahan pada wajah yang cantik itu. "Menyelidiki apanya?"

"Hemm... misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..."

Sekarang gadis itu benar-benar terkejut. "Kunci... kunci emas...? Apa... apa maksudmu, taihiap?"

Thian Sin tertawa. "Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan."

"Ahh, harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..."

Melihat keraguan gadis itu Thian Sin mendesak. "Sebetulnya bagaimana?"

"Karena aku... kagum sekali padamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa amat kagum dan..."

"Ya? Bagaimana?"

"Aku... aku ingin mempererat persahabatanku denganmu."

"Begitukah? Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tangan dan hati terbuka!"

Gadis itu mengangkat muka. Wajahnya yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub cantik manis. "Dengan hati terbuka? Kulihat hatimu sudah tertutup penuh oleh enci Kim Hong..."

Thian Sin tersenyum. Ternyata benar saja, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama-sama lihat saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti!

"Ha-ha, In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang gadis seperti engkau!" Dan dia pun meraih dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya.

"Ihh, mau apa kau?!" Gadis itu berseru dan kedua tangannya langsung mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak sangat dekat. Namun, tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin.

"Plak-plak-plak-plak!"

Empat kali pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudah oleh Thian Sin dan tangkisan terakhir disertai tangkapan pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee hanya dapat meronta-ronta tanpa dapat memukul lagi.

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku..." serunya dengan suara lirih karena dia pun tidak ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain.

Akan tetapi Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya. "Benar-benar hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu dan bahkan sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang engkau kehendaki dariku?"

"Lepaskan aku...! Kau... laki-laki kurang ajar!" In Bwee masih meronta-ronta, akan tetapi pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main.

"Kau dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah memakai kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukannya seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya akan mendekati wanita kalau wanita itu pun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau." Sesudah berkata begini, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lantas memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu.

"Uhh... uhhh...!" In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemas, dia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, dia pun langsung jatuh terkulai di atas pembaringan.

"Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau sudah datang di sini pada tengah malam dan mencoba merayuku, lantas menyerangku tanpa memberi tahukan sebab-sebabnya. Sudah selayaknya kalau engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciuman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!"

In Bwee yang menerima tugas dari suhu-nya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, dengan menggunakan kecantikannya, kini sadar bahwa usaha yang dilakukannya secara terpaksa itu sudah gagal sama sekali. Ketika tadi kedua lengannya ditangkap tanpa dia mampu melepaskan diri, lalu ketika dia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa!

Kini dia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Dia lalu teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba dia pun menangis sesenggukan.

"Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk bisa memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan jika melihat wanita cantik menangis." Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu.

Mendengar ucapan halus ini, tangis In Bwee makin menjadi dan dia pun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk.

Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untuk menundukkan hatinya, akan tetapi tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka dia pun merasa kasihan, lantas merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu.

Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora birahi, melainkan rasa iba yang tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu.

"Maafkan aku... ahhh, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian dia berbisik-bisik di antara isaknya.

Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu lantas dia pun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."

Dara itu tak menjawab, menghabiskan isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Sesudah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seakan-akan himpitannya terbawa keluar oleh air mata, maka dia pun mulai bicara.

"Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."

Tentu saja kalimat pertama ini sangat mengejutkan Thian Sin, sungguh pun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini telah mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia segera memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.

Wajah itu masih pucat dan basah, juga matanya agak kemerahan dan memandang sayu. "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhu-ku..."

"Suhu-mu...?" Kini Thian Sin mulai mengerti. Keluarga gadis itu tak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhu-nya!

"Ya, suhu-ku... juga pamanku..."

"Ahh, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"

Gadis cantik itu menarik napas panjang lantas mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu aku lakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"

Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam dia tersenyum senang. "Nona... ehh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau sudah tahu bahwa dulu memang aku pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebetulnya amat kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau sudah tahu tentang semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau aku pun dapat mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."

Sampai lama In Bwee berdiam diri di dalam pelukan Thian Sin hingga akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang kemudian menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

"Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta pada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."

"Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."

"Benar, aku tahu dan aku merasa iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku hanyalah seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."

"Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu."

"Semenjak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang mempunyai kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar sangat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ahh, betapa aku sudah mengkhianati guru dan pamanku dan aku tak akan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini."

"Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan dahulu ceritamu."

"Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayahku sendiri juga membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, maka peta itu tak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hong. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidiki dirimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan bila perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu, atau paling tidak keterangan darimu mengenai kunci emas itu. Nah, sudah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tetapi sekaligus juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..." Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah dia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain.

"Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang yang mendekat, aku tentu mengetahuinya," kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhu-mu, mengapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"

Ditanya demikian, kembali In Bwee menangis, air matanya mengalir keluar namun cepat dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah, "Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyeleweng, pada waktu aku berusia delapan belas tahun, aku sudah menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suheng-ku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, sedangkan murid itu tidak mau bertanggung jawab, lalu suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Jika aku tidak menurut, bukan saja dia hendak membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah, ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah, ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."

Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga di dalam hidupnya sudah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya.

Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja dia lemah sehingga tergelincir, maka hal itu merupakan malapetaka yang akan merubah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang hidupnya. Rasa takut akan selalu membayanginya, takut kalau aib yang menimpa dirinya ketahuan.

Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, selalu dicaci, dihina dan tidak ada seorang pun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini!

Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat. Tentu saja, seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melewati sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, hanya terdorong oleh nafsu dan kelemahan.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup dia tidak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria akan menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang dulu menyerahkan keperawanannya pada Thian Sin tanpa syarat apa pun, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu sangat ditentangnya.

Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan. Orang yang benar-benar mencinta, tidak mungkin akan mau mencelakakan orang yang dicintanya itu. Apa bila ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka hanya karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga supaya orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya.

Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah merupakan suatu perbuatan yang buruk dan hina maka pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Bila dia tetap melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta birahi belaka!

Untuk memuaskan hasrat birahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya, terancam mala petaka hebat bila terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air.


Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walau pun belum disahkan dengan upacara serta pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang amat mendalam di antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala peraturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak peduli tentang upacara dan pesta pernikahan.

"Aku memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh lalu perlahan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku memang lemah terhadap rayuan pria. Aku tak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali.

Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra. "Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang hanya manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik? Engkau saling mencinta dengan sastrawan itu? Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya bila seorang gadis seperti engkau ini tak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Mati pun tak akan penasaran bila kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan aku pun akan melindungimu dari ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di mana aku bisa bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"

"Biar pun namanya amat terkenal di kota raja, namun tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekar pun tidak mampu menemukan tempatnya itu."

"Tapi engkau tahu tempatnya?"

Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang amat tampan dan menarik itu. "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong memperoleh pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Jika cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."

Thian Sin tersenyum. "Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.

"Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi dia pun memiliki banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Maka, kalau hanya untuk uang, amat berbahaya jika taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..."

"Hushh... kau pikir kami adalah orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya serta mengandung rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itu pun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di hadapan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepada dialah kami akan menyerahkan semua harta karun itu, sebab dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."

Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk sambil menarik napas panjang. "Selama ini nama Pendekar Sadis selalu membuat aku merasa seram dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Bagaimana pun juga, hatiku khawatir sekali kalau membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."

"Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu."

In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu akan terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata. "Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."

"Ehh...?" Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan kepalang. "Di rumah jaksa? Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas serta menuntut para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"

In Bwee tersenyum pahit. "Ceng-taihiap, agaknya biar pun engkau seorang pendekar yang sudah banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Di sini para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tak ada bedanya dengan tukang-tukang pukul bayaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan."

"Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual belikan di kota raja ini? Dan apakah jaksa itu pun telah dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?"

"Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, semenjak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sana pun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar."

"Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"

Gadis itu mengangguk. "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..."

Thian Sin mengusap dagu yang halus itu. "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan amat hati-hati dan terima kasih atas segala keteranganmu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."

"Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah bukan main dan mungkin akan menjatuhkan hukuman karena aku telah gagal merayumu..."

"Siapa bilang gagal? Ahh, belum percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemmm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."

In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri-seri. "Memang, dia sangat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu mengenai keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah bertemu dengan Bu Kok Siang yang amat mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, maka kalau sekarang suhu membunuhku pun aku tidak akan penasaran lagi."

"Hushh, siapa yang bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhu-mu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kau berikan ini kepadanya."

Kemudian Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya, lantas memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu dia menatap wajah Pendekar Sadis.

"Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"

Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar sudah berubah, telah berpihak padanya dan secara diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Dia pun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu.

"Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci ini pun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."

"Hemm, kunci palsu?" bisik gadis itu.

Thian Sin tersenyum. "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."

Berserilah wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik asli atau pun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya dengan baik sehingga suhu-nya tidak memiliki alasan untuk marah kepadanya. Andai kata kunci emas itu palsu sekali pun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana dia tahu kalau kunci itu palsu?

Dia akan selamat, akan dapat berjumpa kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan tumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya.

"Terima kasih, taihiap, terima kasih...," katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu.

Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan teringat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskannya pelukannya dan ia pun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela.

Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yang menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju.

Dia sudah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang maka sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, dia pun dapat tidur pulas.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Di samping kegelisahan hatinya, tentu saja Thian Sin merasa heran sekali. Kekasihnya itu sedang melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang?

Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta pada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tak pernah menunjukkan rasa cemburu terhadap dirinya, walau pun gadis itu sering menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang!

Perasaan cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih artinya memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri.

Tak mungkin ada unsur pemaksaan di sini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Bila mencinta, dengan sendirinya tidak ada penyelewengan, sebaliknya kalau tidak mencinta, tak akan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu dan pura-pura belaka.

Kegelisahan di dalam hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itu pun termasuk komplotan jahat, sungguh pun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sastrawan muda itu.

Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarang orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat sangatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja. Kaum sesat itu sangat berbahaya dengan kelicikan serta kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya.

Akan tetapi dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sastrawan itu. Pula, kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, walau pun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi.

Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu, dan dia segera menyalakan lilin lalu memandang pada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu.

"Ada apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin.

"Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia...," In Bwee berkata dengan suara setengah meratap.

Melihat gadis yang nampak amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, dengan halus menyuruh gadis itu untuk duduk. "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi."

"Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..."

"Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!"

Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan sesudah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee akhirnya berhasil menguasai keguncangan hatinya. "Ceng-taihiap, kemarin mereka telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... ehh, maksudku Bu Kok Siang."

"Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"

Gadis itu mengangguk, menarik napas panjang, lantas menunduk. "Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap. Mereka kemudian mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."

"Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"

"Benar. Mereka menyerah saat melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka kemudian dibawa ke tempat tahanan jaksa di mana terdapat kamar jebakan. Mereka lantas terjebak, kemudian dibius hingga tertawan, dan kini berada dalam kekuasaan suhu..."

Thian Sin mengerutkan alisnya. "Cepat beri tahukan aku di mana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan di sana."

In Bwee segera memberi tahukan tempat itu, akan tetapi dia pun tidak tahu benar tentang seluk beluk tempat itu karena belum pernah ke sana. Namun hal itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu ditawan.

"Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir," katanya.

Dan gadis itu pun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, dia terkejut ketika melihat ada sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Ternyata sosok itu adalah gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu!

"Paman..."

"Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.

"Aku..." In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapa pun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka ia pun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang,

"Paman, aku dengan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat dia kau tawan, hatiku menjadi sangat gelisah sehingga aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."

Kakek itu memandang tajam. "Hanya untuk itu saja?"

"Habis untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan telah saya serahkan kepada paman? Saya tak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya merasa khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekali pun."

Sejenak kakek itu diam, lalu mendadak tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu dapat menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tidak dilihat oleh siapa pun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.

"Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."

********************

Sementara itu, Kim Hong bersama Kok Siang juga telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak di dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tidak mungkin dapat mereka elakkan. Pada waktu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai untuk tidur, namun dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang!

Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki serta tangan, juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan terdapat pula alat pemanas untuk dibakar yang berada di bawah dipan.

Begitu siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, maka tahulah dia bahwa dia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlampau kuat, juga dia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andai kata pengaruh totokan itu telah hilang sekali pun. belum tentu dia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya.

Dia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang padanya kemudian tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu, sungguh hal yang luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum.

"Engkau masih bisa tersenyum?" tanyanya.

"Kenapa tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematian pun akan terasa ringan kalau dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merubah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara pilihan senyum dan tangis? Ha-ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"

Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, mempunyai ilmu silat yang tak rendah, juga mempunyai keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Dan di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu!

"Apanya yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu.

"Masa tidak lucu? Kita dikeroyok para penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara-cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan kini kita sudah dibelenggu di sini, bagaikan penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Sebenarnya, siapakah yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, ataukah kita?"

"Tentu saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!"

"Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlampau kurus jika disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, maka mereka pun kecelik. Ternyata yang masuk itu adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, biar pun kebanyakan dari mereka besikap kereng dan menyeramkan.

Kim Hong memandang penuh perhatian dan ia pun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang segera dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang telah kehilangan seorang anggotanya akibat tewas oleh anak panah yang sengaja dilepaskan untuk membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar oleh kepala mereka sendiri.

Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan kemudian dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnya riap-riapan nampak pula di antara mereka.

Kim Hong tidak merasa heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sebenarnya, tanpa kedok manis seperti ketika dia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan hingga tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang sudah bersekongkol dengan para penjahat.

Ada pun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini mempunyai kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika dia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat.

Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia merasa sangat terkejut saat melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik ini pun segera tahu bahwa tentu jaksa itu sudah bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, dia pun berteriak-teriak.

"Heiii! Apa-apaan ini? Sungguh penasaran! Kami tidak berdosa, mengapa ditangkap? Di mana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Mengapa bukan komandan pasukan yang datang? Kami menuntut keadilan!"

Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, yang kumis jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu telah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar.

"Plakk! Plakk!"

Dua kali wajah Kok Siang ditampar dengan keras. Karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan hingga dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah sehingga pipi kanannya menjadi merah membengkak.

"Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha-ha, sobat, kiranya engkau pun seorang pengecut, beraninya hanya sesudah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini, maka aku akan membuat engkau tidak sanggup bangun kembali!"

"Siucai sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali.

"Plakk! Plakk!"

"Cukuplah!" kata kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, sehingga Hai-pa-cu Can Hoa segera menghentikan tamparannya.

Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak akibat tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.

"Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"

Seperti juga Kim Hong, pemuda ini telah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah berjumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya telah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee!

Jadi inilah orangnya yang sudah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga para kaki tangannya yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia segera menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, dia pun mengangguk.

"Benar," jawabnya. "Kawan-kawanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakah engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?"

"Tutup mulutmu yang lancang itu dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak.

Jagoan dari kota Yen-tai ini memang merasa sakit hati terhadap Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau dia tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan malah mungkin membunuh pemuda yang amat dibencinya itu.

"Bu Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?"

Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling itu yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."

"Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.

"Ahhh...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh.

"Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau sudah berani menentangku dan siapa pun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu amat terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik.

Kok Siang bukan seorang yang bodoh. Dia telah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu, tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka jika dia mengaku bahwa dia adalah keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan membunuh diri.

"Apa yang hendak kulakukan di kota raja? Tentu saja melancong, apa lagi?"

"Hemm, kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku masih dapat percaya omonganmu." Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong.

"Ahh, nona ini? Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa. Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko yang besar itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan bersekongkol dengan pasukan pemerintah?"

"Tutup mulutmu! Apakah kau sudah bosan hidup?" Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Ia tadi memang sengaja hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya.

Akan tetapi kakek iblis hitam itu pun sangat cerdik dan tidak mudah dibakar hatinya. Dia lalu menghampiri Kim Hong, dan Kok Siang mengikuti gerakan kakek itu dengan jantung berdebar tegang dan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia tahu benar betapa berbahayanya bagi seorang gadis cantik seperti Kim Hong bila terjatuh ke tangan orang-orang macam ini. Ada bahaya penghinaaan yang lebih hebat dari pada kematian bagi gadis itu.

Akan tetapi, dia yang tentu saja tak akan mampu melindungi Kim Hong dengan kekuatan badannya yang sudah tak berdaya, merasa yakin bahwa ia akan mampu menyelamatkan Kim Hong dalam saat terakhir, karena dia masih memegang kunci rahasia yang sangat penting, yaitu peta yang asli! Dengan ini dia akan dapat menebus diri Kim Hong, kalau perlu.

"Nona, engkau bernama Toan Kim Hong yang menjadi sahabat serta kekasih Pendekar Sadis, bukan? Hemm, kasihan Pendekar Sadis, tidak tahu bahwa kekasihnya suka main gila dengan setiap orang pemuda ganteng seperti Bu Siucai di luaran!" Pat-pi Mo-ko lalu tersenyum menyeringai, agaknya merasa amat girang ketika mendapat kenyataan bahwa kekasih Pendekar Sadis mempermainkan pendekar itu.

Hal ini saja sudah dapat menimbulkan dugaan di dalam hati Kim Hong dan Kok Siang bahwa penjahat ini agaknya membenci Thian Sin. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, diam-diam Kok Siang terkejut setengah mati mendengar disebutnya Pendekar Sadis.

Dia pun merasa seperti pernah mendengar nama Ceng Thian Sin ketika mereka saling berkenalan di rumah makan, akan tetapi sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis yang pernah menggegerkan seluruh kota raja! Akan tetapi, dia dapat menyembunyikan keheranannya dan pura-pura tidak terpengaruh sama sekali oleh sebutan itu.

Akan tetapi, Kim Hong sama sekali tidak mau memberi jawaban dan hanya memandang dengan senyum mengejek, dan pandang matanya menghina sekali. Melihat ini Tiat-ciang Lui Cai Ko yang bermata juling itu mendekat.

"Twako, biarlah kusiksa dulu gadis ini supaya mau bersikap lunak dan mau menjawab pertanyaanmu!" Agaknya sudah gatal-gatal rasa tangan penjahat ini untuk menyiksa Kim Hong. Jari-jari tangannya sudah terbuka dan bersiap mencengkeram. Akan tetapi Pat-pi Mo-ko tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Sabarlah, Cai Ko. Belum tiba waktunya untuk itu." Dan kepala penjahat ini menghadapi Kim Hong lagi. "Nona, meski pun engkau tidak mengaku, kami sudah tahu bahwa engkau dan Pendekar Sadis datang sebagai utusan mendiang petani Ciang Gun, membawa kunci emas dan engkau tahu tentang rahasia harta karun Jenghis Khan itu. Marilah kita bicara secara terbuka saja karena kita sudah sama-sama tahu tentang hal itu. Kami juga telah menggeledah dan tidak temukan kunci emas di tubuhmu atau pakaianmu. Nah, katakan. Di manakah adanya kunci emas itu? Apakah dibawa oleh Pendekar Sadis?"

Diam-diam Kim Hong merasa sangat mendongkol. Ternyata dalam keadaan pingsan tadi tubuhnya sudah digeledah, tentu saja digerayangi tangan-tangan yang kotor dan kurang ajar itu. Untung tidak terjadi sesuatu dengan dirinya.

Hal ini tentu saja karena kepala penjahat ini masih membutuhkan keterangan-keterangan darinya, masih melihat manfaat pada dirinya. Akan tetapi bila sampai sekarang dia masih selamat, hal itu hanya soal waktu saja. Kalau ia sudah tidak dibutuhkan lagi, tentu ia akan dilempar kepada orang-orang kasar itu, untuk disiksa, diperkosa dan dipermainkan, bagai segumpal daging dilempar kepada anjing-anjing kelaparan. Atau mungkin Pat-pi Mo-ko ini sendiri yang akan mempeloporinya, melihat sinar matanya yang juga penuh mengandung nafsu ketika memandangnya itu.

Akan tetapi, dia sengaja tidak mau membuka mulut dan otaknya dikerjakan. Apa perlunya dia menjawab? Iblis ini tahu bahwa kunci emas masih berada di tangan Pendekar Sadis, jadi iblis itu tidak akan mampu berbuat sesuatu dan agaknya tidak akan mengganggunya secara sangguh-sungguh sebelum kunci itu didapatnya. Mungkin ia akan dijadikan umpan untuk memancing datang Pendekar Sadis.

Hampir saja Kim Hong tersenyum. Tanpa perlu dipancing sekali pun, Thian Sin pasti akan datang untuk menolongnya. Hal ini dia yakin benar. Akan tetapi dia pun merasa khawatir karena sekali ini mereka menghadapi penjahat-penjahat yang selain kejam, juga kuat dan curang sekali. Dia sendiri sudah bertindak sangat berhati-hati dan kalau saja di taman itu tak ada pasukan pemerintah yang turun tangan, belum tentu pula dia akan begitu lengah sehingga dapat ditangkap begitu saja!

Melihat gadis itu tinggal diam saja, Pat-pi Mo-ko tersenyum. Kalau lain orang, tentu sudah marah bukan main. Akan tetapi iblis ini bukan penjahat sembarangan dan karena itu dia dijadikan semacam raja tanpa mahkota oleh para penjahat lainnya di kota raja. Dia cerdik sekali.

"Nona, apa gunanya nona bersikap diam dan membisu? Meski pun Pendekar Sadis terus memegang kunci emas, apa gunanya jika dia tidak memiliki peta rahasia itu! Dan petanya berada di tangan kami! Kini engkau sudah berada di dalam kekuasaan kami. Pendekar Sadis akhirnya tentu akan menyerahkan kunci itu kalau memang dia sayang kepadamu."

Kim Hong hanya tersenyum mengejek saja, memandang dengan sinar mata menghina, bahkan lalu membuang muka. Sikapnya sungguh memandang rendah sekali.

Pat-pi Mo-ko kemudian bangkit berdiri, mukanya agak merah walau pun dia masih belum menunjukkan kekecewaan serta kemarahannya. "Baiklah, mari kita lihat siapa yang lebih keras hati di antara kita. Kami sudah menyaksikan bahwa engkau bermain cinta dengan sastrawan ganteng ini di taman. Nah, karena dia ini tidak ada gunanya bagi kami, maka biarlah engkau melihat ia tersiksa dan mampus di depan matamu. Hendak kulihat, apakah engkau akan tega melihat kekasih barumu ini tersiksa sampai mati dan tetap bersikeras menutup mulut?"

Kim Hong yang membuang muka tadi sudah memandang ke arah Kok Siang. Dilihatnya pemuda itu berkedip memberi isyarat agar jangan mau tunduk, akan tetapi diam-diam hati Kim Hong merasa khawatir. Pemuda itu merupakan orang yang amat penting, terpenting malah karena pemuda itu menguasai peta asli atau mengetahui tempat peta asli itu.

Tentu saja pemuda itu sekali-kali tidak boleh tewas begitu saja. Betapa pun juga, dia tidak mau tunduk oleh gertakan dan hendak dilihatnya dulu apakah benar iblis ini seorang yang memenuhi kata-katanya, bukan hanya penjahat besar mulut yang suka main gertak saja. Hal ini pun perlu baginya untuk mengenal watak dan sifat Pat-pi Mo-ko yang merupakan seorang lawan tangguh dan licik sekali.

Dan Pat-pi Mo-ko agaknya pun bukan orang yang suka banyak cakap. Tanpa menoleh kepada Kim Hong untuk melihat apa reaksi dari kata-katanya terhadap gadis itu, dia pun sudah memberi isyarat kepada para pembantunya.

Hai-pa-cu Can Hoa segera melangkah maju dan mulutnya menyeringai puas sekali. Inilah yang dinanti-nantinya. Kebenciannya terhadap sastrawan muda itu kini akan terpuaskan, dendamnya akan terbalas.

"Heh-heh-heh, semalam aku memang sudah mimpi melihat engkau terbakar hangus. Aku tak mau memulai dengan siksaan-siksaan kecil, melainkan langsung saja membakarmu. Ehh, kutu buku busuk, pernahkah engkau dipanggang hidup-hidup?"

Kok Siang tentu saja tahu apa yang sedang dihadapinya. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sejati yang tidak takut menghadapi apa pun juga. Karena itu, dia pun tersenyum ketika melihat wajah yang menyeringai itu, lalu menjawab dengan suara lantang.

"Memang aku pernah melihat, akan tetapi engkaulah yang dipanggang dalam api neraka, sehingga si Macan Tutul Laut berubah menjadi bangkai macan hangus, ha-ha-ha!"

"Keparat!" bentak Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut) Can Hoa dan dengan tangan membentuk cakar dia hendak menyerang pemuda yang terbelenggu di atas dipan besi itu.

"Can Hoa!" terdengar Pat-pi Mo-ko membentak.

Dan jagoan dari Yen-tai itu tidak melanjutkan serangannya, akan tetapi menarik sebuah pipa besi mononjol di bawah dipan. Terdengar suara berkerotokan dan dari dalam lubang rahasia muncullah sebuah panci baja terisi minyak yang sudah bernyala, minyak bernyala itu berada tepat di bawah dipan dan sebentar saja Kok Siang sudah merasa betapa dipan yang ditidurinya berubah menjadi hangat, lalu panas, makin lama semakin panas.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja, seluruh tubuhnya sudah menjadi basah, peluh membasahi pakaiannya dan uap terus mengepul dari dipan itu. Akan tetapi, tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulut pemuda itu. Dia hanya memejamkan kedua matanya dan karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka dia pun hanya menyerahkan nasib kepada Tuhan saja.

Akan tetapi, hawa panas itu ternyata menolongnya karena dia merasa betapa pengaruh totokan itu kini telah pudar dan bebas. Maka dia pun mengumpulkan tenaga sinkang dan mengerahkan hawa di tubuhnya untuk melawan rasa panas sehingga keadannya tidaklah sehebat tadi, penderitaannya berkurang, walau pun kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan terbakar hangus.

Tiba-tiba terdengar suara Kim Hung lantang, akan tetapi nadanya masih mencemoohkan dan memandang rendah sekali. "Huh, biar kau membakar dia, biar kau cincang dia, apa hubungannya dengan kami? Tapi kalau dia kalian bunuh, aku akan menganggap dia mati karena aku, maka kalian berhutang nyawa kepadaku!"

Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko memberi isyarat maka dengan kecewa sekali Hai-pa-cu Can Hoa menyingkirkan panci minyak bernyala itu dengan menarik pipa besi. Panci bersama api bernyala itu lenyap ke dalam lubang rahasia.

Dan Kok Siang malah semakin tersiksa lagi. Setelah tadi mengerahkan sinkang melawan panas yang luar biasa, kini dia pun menggigil sesudah tiba-tiba saja api itu disingkirkan! Kim Hong melihat hal ini, akan tetapi tahu bahwa pemuda itu telah terhindar dari bencana. Diam-diam dicatatnya di dalam hati tentang perbuatan Hai-pa-cu Can Hoa ini.

Pat-pi Mo-ko menghampiri Kim Hong. "Aku tak ingin menanam kebencian dalam hatimu, nona. Nah, marilah kita bicara dengan baik. Benarkah engkau dan Pendekar Sadis telah menemukan kunci emas itu? Hanya kunci emas saja? Tidak bersama petanya?"

Kim Hong teringat akan pemberi tahuan Kok Siang tentang peta palsu dan diam-diam ia pun tertawa di dalam hati, mentertawakan iblis ini. Pertanyaan tentang peta yang diajukan oleh iblis ini bahkan telah membuktikan kebenaran omongan Kok Siang dan agaknya iblis ini sudah tahu pula bahwa yang dikuasainya itu hanyalah peta palsu belaka!

Su Tong Hak yang agaknya juga menaruh perhatian kepada seluruh peristiwa itu, tiba-tiba saja ikut berbicara. "Nona, sebaiknya jika kalian bekerja sama dengan Bouw-sicu. Kalian akan dapat ikut menikmati hasilnya. Apa bila menentang, maka berarti kalian hanya akan membuang nyawa dengan sia-sia dan tidakkah sayang sekali seorang muda seperti nona mati konyol?"

"Ha-ha-ha, ucapan berbau busuk!" terdengar suara Kok Siang.

Semua orang menoleh karena terkejut. Pemuda yang baru saja tersiksa itu sudah dapat tertawa dan mengejek lagi! "Mati muda dalam kebenaran adalah matinya seorang gagah, akan tetapi matinya seorang jahat dalam kehinaan sama dengan matinya seekor babi!"

Kim Hong juga memandang kepada pedagang itu dan langsung membentak. "Su Thong Hak! Engkau pengkhianat tak tahu malu, sudah mencelakakan keluarga kakakmu sendiri hingga Ciang Gun beserta isterinya terbunuh, juga keponakanmu Ciang Kim Su terbunuh. Sekarang masih berani membuka mulut di hadapanku?"

Bentakan dan ejekan Kim Hong dan Kok Siang sungguh mengejutkan hati orang she Su ini, apa lagi bentakan Kim Hong yang mengingatkan dia akan perbuatannya yang kejam itu. "Tidak... tidak...!" Dia menggeleng kepala. "Aku tidak membunuh mereka... dan Kim Su tidak mati..."

"Diam!" Pat-pi Mo-ko membentak dan orang itu surut ke belakang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tentu saja Kim Hong mencatat semua ini di dalam hatinya.

"Nah, nona Toan, kami bemaksud baik dan berniat untuk kerja sama dengan engkau dan Pendekar Sadis. Maka, harap kau ceriterakan semua yang kalian ketahui tentang rahasia harta pusaka ini."

Kim Hong maklum bahwa baginya tak ada jalan lain lagi kecuali menceritakannya, karena menceritakan hal itu pun tidak ada salahnya. Akan tetapi dia tetap bersikap angkuh.

"Hemm, Pat-pi Mo-ko, engkau tentu telah mengerti bahwa dunia kita berlainan, kita saling berselisih jalan, engkau berkecimpung dalam dunia sesat dan kami bukanlah orang-orang yang suka mengejar harta dengan kejahatan. Mana mungkin kita dapat bekerja sama?"

Si tinggi besar itu menarik napas panjang, lantas berkata dengan suara bersungguh hati. "Nona Toan, engkau tentunya maklum bahwa di dunia ini tak ada orang mau menempuh jalan sesat yang penuh dengan bahaya bila tidak terpaksa. Jika kita berhasil memperoleh harta karun Jenghis Khan dan bagianku lebih dari cukup, untuk apa lagi aku mengambil jalan sesat? Aku akan mencuci tangan lalu hidup makmur dan tenteram dengan harta itu."

"Hemmm, hal itu masih harus dibuktikan. Akan tetapi, engkau bicara tentang kerja sama. Apakah begini caramu dalam bekerja sama, Pat-pi Mo-ko? Yang diajak kerja sama harus terlentang di dipan penyiksaan dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok?"

"Maafkan aku, nona. Engkau adalah seorang yang lihai maka dalam keadaan bebas akan mendatangkan banyak repot bagi kami. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar mau bekerja sama, dan setelah aku yakin barulah kita akan bicara seperti antara sahabat dan rekan yang bekerja sama. Nah, sekarang ceritakanlah dulu. Ceritamu akan menjadi pertimbangan apakah benar engkau mau bekerja sama denganku."

Sungguh seorang penjahat yang matang dan cerdik sekali. Seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kim Hong.

"Baiklah. Dengarkan. Kami berdua tidak sengaja mencampuri urusan harta karun Jenghis Khan ini. Di An-keng kami melihat kakek Ciang Gun dikejar-kejar dan diserang anak buah Liong-kut-pian Ban Lok. Kami lalu turun tangan, akan tetapi tidak berhasil menyelamatkan kakek petani itu walau pun kami dapat membunuh Liong-kut-pian dan dari kakek itu kami menerima kunci emas, dan kami juga ditugaskan untuk mencari puteranya, Ciang Kim Su, membantunya untuk mencari harta karun yang menjadi haknya. Sampai di sini, kami lalu mendengar dari orang she Su ini bahwa peta itu dibagi dua antara dia dan Kim Su dan bahwa peta bagiannya hilang dan Kim Su pun lenyap entah ke mana. Nah, selanjutnya tentu engkau sudah tahu sampai aku terjebak olehmu sekarang ini."

Pat-pi Mo-ko mengerutkan sepasang alisnya yang tebal. "Dan kakek Ciang Gun itu tidak memberikan sebuah peta lain kepada kalian berdua?" tanyanya sambil menatap tajam.

Kim Hong maklum apa artinya pertanyaan ini. Kembali dia mendapat bukti kebenaran dari pemberi tahuan Kok Siang mengenai peta yang tulen. Penjahat ini bukan hanya mencari kunci emas, melainkan juga peta aslinya! Dia menggelengkan kepala dan berkata,

"Kami justru sedang mencari peta itu yang katanya hilang dan kami merasa yakin bahwa engkaulah yang menguasai peta itu, bukan?"

Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Memang benar."

"Akan tetapi peta itu tiada gunanya jika engkau tidak memiliki kunci emasnya, bukankah begitu?" Kim Hong memancing karena kiranya tidak perlu disembunyikan lagi kenyataan bahwa mereka saling memperebutkan peta dan kunci emas.

Kakek itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda. "Sudah ada padaku."

Kim Hong terkejut, bahkan Kok Siang mengeluarkan seruan heran melihat bahwa benda di tangan kakek itu adalah sebuah kunci emas! Kim Hong segera mengenal kunci emas palsu yang biasanya dibawa oleh Thian Sin! Tentu saja jantungnya langsung berdebar tegang. Bagaimana mungkin kunci emas itu, kunci emas yang palsu, dapat dikuasai oleh kakek ini.

"Dari mana engkau memperoleh kunci emas itu?"

Kakek itu tersenyum. "Tak perlu kau tahu, pokoknya kunci emasnya kini sudah berada di tanganku."

Hening sejenak dan dengan pandangan matanya yang tajam Kim Hong menatap wajah orang. Ia dapat melihat bahwa di dalam mata kakek ini tidak ada sinar tanda kebanggaan atau kemenangan, maka hatinya pun terasa lega.

Entah bagaimana kunci itu dapat diambilnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa Thian Sin dalam keadaan selamat. Kalau kakek ini mampu merobohkan atau membunuh Thian Sin, tentu kakek ini akan merasa bangga sekali, akan membual di depannya atau paling tidak akan nampak di dalam sinar matanya.

"Hemm, Pat-pi Mo-ko, peta sudah ada padamu, juga kunci emasnya sudah ada padamu. Lalu kenapa pula engkau masih mengganggu dan menjebakku? Apa artinya perbuatanmu yang curang ini?"

Kakek hitam tinggi besar itu nampak kecewa dan penasaran sekali. Dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku di dekat dipan di mana Kim Hong terbelenggu, dan sambil menatap tajam wajah Kim Hong dia menggelengkan kepalanya.

"Peta yang dibagi dua antara Ciang Kim Su dengan Su Tong Hak itu adalah peta palsu! Tempat itu sudah kuselidiki menurut peta dan aku tidak dapat menemukan apa-apa."

"Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Kok Siang tertawa bergelak dan diam-diam Kim Hong merasa kaget dan khawatir sekali. Apakah pemuda itu tidak bisa melihat suasana sehingga berani tertawa, mentertawakan iblis yang sedang dilanda kekecewaan dan penasaran itu?

Benar saja, Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng segera menoleh ke arah pemada itu. Mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah, matanya mengeluarkan cahaya kilat dan Kim Hong tak akan merasa heran kalau iblis itu segera turun tangan membunuh Kok Siang.

"Orang she Bu, kenapa kau tertawa?" Suara iblis itu terdengar tenang saja, akan tetapi di balik ketenangan itu jelas terbayang kemarahan besar.

Kok Siang yang telah terbebas dari totokan oleh hawa panas tadi, masih saja tertawa geli, kemudian berkata. "Siapa yang tidak akan tertawa mendengar kelucuan itu? Harta karun Jenghis Khan sudah mengorbankan banyak nyawa, tenaga serta pikiran, namun ternyata hanya merupakan lelucon dari Jenghis Khan! Ha-ha-ha-ha, raja itu memang sangat hebat, pandai, kuat, gagah, keras, kejam sekaligus juga seorang pelawak besar!"

Pat-pi Mo-ko bangkit dari tempat duduknya. Dan ketika itu pula, Kim Hong yang melihat bahwa kemarahan iblis itu mungkin saja akan berarti tewasnya Kok Siang yang sudah mengeluarkan ejekan bukan pada saat yang tepat itu, segera berkata,

"Hemmm, Pat-pi Mo-ko, engkau yang sudah menjadi seorang tokoh kawakan dalam dunia kang-ouw, ternyata mudah saja ditipu orang. Kiranya tidak sulit untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen."

Ucapan Kim Hong ini seperti sinar terang di antara kegelapan yang menyelubungi pikiran Pat-pi Mo-ko, juga membuat semua orang yang hadir di sana langsung memandang ke arahnya. Tak ketinggalan Kok Siang menoleh dan memandang kepada Kim Hong dengan alis berkerut dan pandang mata kaget.

Pat-pi Mo-ko sudah sering mendengar tentang kelihaian dan kecerdikan Pendekar Sadis. Dan karena wanita cantik ini adalah sahabat dan juga kekasih Pendekar Sadis, maka tentu bukan merupakan seorang wanita sembarangan. Timbullah harapan di dalim hatinya.