Harpa Neraka - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

HARPA NERAKA

SATU

UDARA sore ini terasa sejuk. Matahari berkali-kali tertutup awan kelabu. Suasana lengang. Tak ditingkahi suara petir. Seekor burung melintas agak pendek, lewat di depan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Pemuda ini memandang sambil tersenyum, kemudian bangkit berdiri. Diusap-usapnya kuda hitam berbulu hitam mengkilap di sisinya.

"Sudah lama kita berada di sini, Dewa Bayu.... Dan kelihatannya orang itu belum juga muncul. Entah dia akan datang atau sekadar mempermainkan ku...," desah pemuda yang tak lain Rangga.

Di kalangan persilatan kiprahnya begitu menggetarkan. Tak seorang pun tokoh yang tak pernah mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti! Hewan berbulu hitam itu meringkik halus dan menggetarkan bulunya. Kepalanya terangguk-angguk, seolah mengerti apa yang dikatakan Rangga.

"Baiklah. Kita tunggu dia sebentar lagi. Kalau tak muncul juga berarti dia sengaja mempermainkan ku...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti, seraya kembali melangkah ke tempat semula.

Pemuda itu kembali bersandar di bawah pohon. Duduk seenaknya dengan sebatang rumput di antara bibirnya. Meski begitu, telinganya tetap dipertajam. Dan saat itu juga lapat-lapat telinganya mendengar gesekan rebab dari kejauhan. Seketika bibirnya tersenyum.

"Nah! Akhirnya datang juga dia...!" desah Rangga seraya bangkit berdiri.

Dari jauh ku datang
Membawa janji yang malang
Ternyata sia-sia, sebab yang ditunggu tak kunjung datang
Aduhai hatiku yang tak tenang
Karena cintaku terhalang oleh selubung awan
Adakah dia akan mengenang meski cuma sebatas angan?


Orang yang ditunggu Pendekar Rajawali Sakti muncul sambil melantunkan syair. Lengkap dengan ciri khasnya. Wajahnya diselubungi topeng berbentuk wajah perempuan. Rambutnya panjang terurai. Dia membawa sebuah rebab yang digesek halus menimbulkan irama syahdu. Jalannya lambat. Suaranya halus seperti perempuan. Tapi dadanya kelihatan rata.

Jarak antara dua pundak sedikit lebar dari yang dimiliki perempuan pada umumnya. Langkah orang bertopeng itu terhenti ketika tiba di depan Rangga. Kedengaran suara tawanya yang cempreng dan nyaring.

"Hi hi hi...! Kasihan.... Apakah kau sudah lama menunggu?" tanya sosok aneh ini. Nada suaranya terdengar seenaknya.

"Belum! Belum lama, Raja Penyair. Tapi cukup untuk menimbulkan rasa kantuk dan bosan. Kenapa kau lama sekali baru muncul?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, sedikit mangkel.

"Ada urusan yang mesti kuselesaikan...," sahut sosok bertopeng yang tak lain Raja Penyair.

"Meski banyak urusan, tapi masih sempat nyanyi segala!" Raja Penyair tertawa halus. "Tapi mestinya gelarmu mulai sekarang dicopot!" lanjut Rangga.

"He, kenapa begitu?!" tukas Raja Penyair, tak mengerti.

"Syair mu kacau!" ejek Rangga. "Kau katakan yang ditunggu-tunggu tak datang. Padahal bukan kau yang menunggu. Tapi, aku!"

Suara Raja Penyair yang tadi kaget, kembali berubah. Dan kini, terdengar tawanya yang berderai. "Hi hi hi..! Syair bisa ditafsirkan macam-macam. Dan itu boleh saja sesuai selera. Kaupun kelihatan girang, padahal kekasihmu digondol maling," kilah Raja Penyair, seenaknya.

"Kekasih? Siapa yang kau maksud?"

"Siapa lagi kalau bukan yang telah mempengaruhi tenagamu, setelah kau diberi minuman yang telah diberi ajian 'Pelumpuh Raga'?"

"Oh, Malini?!" seru Rangga. Dan kesudahannya, pemuda ini terkekeh. "Cantik ya? Kalau dia mau jadi kekasihku, berarti tampangku hebat betul!"

"Huh! Jangan merasa paling tampan! Siapa bilang tampangmu hebat?" dengus Raja Penyair.

"Eeee, jangan sewot? Memang ada yang melarang memuji diri sendiri?"

"Sudah, sudah! Kita jangan melantur!"

"Baiklah. Kau kirim pesan supaya aku datang ke sini untuk membalas budimu. Nah! Sekarang katakan, apa yang bisa kulakukan untuk membalas budimu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, setelah terkekeh.

"Aku butuh pertolonganmu...," desah Raja Penyair.

"Pertolongan apa?"

"Kekasihku diculik orang...."

Tawa Rangga meledak mendengar kata-kata Raja Penyair.

"Diam dulu! Aku belum selesai bicara!" hardik Raja Penyair kesal. "Kenapa tertawa?!"

Rangga kontan menghentikan tawanya dengan napas terengah-engah. "Maaf, Raja Penyair. Aku ini sebenarnya tidak tahu, kau laki-laki atau perempuan? Kalau gelarmu Raja Penyair, mestinya laki-laki. Tapi suara dan lagakmu seperti perempuan. Dan kenapa kau mesti pakai topeng segala? Dan..., melihat keadaanmu yang demikian, bagaimana pula kekasihmu? Lalu, siapa pula yang menculiknya?" cerocos Rangga.

Raja Penyair diam membisu. Dadanya beberapa kali membusung mengikuti gerakan kedua pundaknya. Kelihatan hatinya kesal sekali. "Sudah selesai bicaramu?" tanya Raja Penyair, begitu Pendekar Rajawali Sakti selesai mengoceh.

"Sudah, sudah...! Ceritakanlah! Pertolongan apa yang bisa kuberikan untukmu?" sahut Rangga.

"Bukan hanya kekasihku. Tapi, orangtua ku pun diculik. Kau harus membantuku membebaskan mereka!" tegas Raja Penyair.

"He, kudengar kepandaianmu hebat! Apakah orang sepertimu masih memerlukan orang sepertiku yang tak bisa apa-apa?" tukas Rangga, merendah.

"Mereka berjumlah banyak. Dan rata-rata berkepandaian hebat. Aku tak mau usaha penyelamatan ini gagal!"

Rangga mengangguk mengerti. "Sebenarnya urusan apa sehingga mereka diculik? Minta tebusan atau kau punya kesalahan terhadap mereka? Dan..., siapa sebenarnya penculik yang kau maksudkan itu?"

"Aku lupa mengatakan satu hal!"

"Hmm!"

"Tolong, jangan banyak tanya soal itu! Kau cukup membantuku!"

Rangga angkat bahu. "Yaaah, terserahmulah...!" desah Pendekar Rajawali Sakti.

"Kita akan berangkat sekarang!" ajak Raja Penyair.

"Ke mana?"

"Ke Cadas Pangeran."

"Bagaimana kalau kita makan dulu?" sahut Rangga, memberi usul.

"Usul yang baik, Ayo!" sambut Raja Penyair.

Namun sebelum itu, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Kepalanya didekatkan ke telinga Dewa Bayu. Berbisik. Seperti mengerti, kuda hitam mengkilat ini mengangguk-angguk lalu berlari meninggalkan tempat ini.

Rangga dan Raja Penyair terus berjalan ke arah utara, setelah mengisi perut masing-masing. Dan baru saja mereka berbelok ke kanan, terlihat dua sosok tubuh. tegak berdiri dengan sikap menghadang. Dan Rangga mengenali salah seorang dari mereka.

"Golok Terbang! Kebetulan sekali!" kata Rangga

"Kau punya kesempatan melampiaskan perasaan jengkelmu padanya, Rangga!" ingat Raja Penyair.

"Tapi, hati-hati terhadap laki-laki yang berdiri di atas bambu enggrang itu, meski bukan tokoh kelas satu, tapi tak bisa dipandang rendah."

"O, begitu! Siapa namanya?" tanya Rangga.

"Ki Gering alias si Mayat Hidup!" sahut Raja Penyair.

Rangga tersenyum.

"Kenapa kau tersenyum?" tanya Raja Penyair, tak senang.

"Yang namanya mayat itu mati, Raja Penyair! Mengapa orang mati malah berkeliaran?" seloroh Rangga.

"Berhenti kalian!" bentak si Golok Terbang, sebelum Raja Penyair sempat menanggapi kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga dan Raja Penyair berhenti pada jarak lima tombak. Kening mereka berkerut dengan sorot mata tajam. "Ada apa, Golok Terbang! Mengapa kau menahan langkah kami?" tanya Rangga halus.

"Jangan berlagak kau, Pendekar Rajawali Sakti! Mestinya kau tahu, mengapa aku menahan langkahmu!"

"Maaf, aku tak mau cari gara-gara," elak Rangga masih halus.

"Bocah busuk! Jangan banyak tingkah kau sekarang. Ajalmu sudah dekat, tahu?!"

"Hm.... Rupanya kau menyesal, mengapa waktu itu tidak membunuhku. Sebetulnya, akulah yang mesti mencarimu untuk melampiaskan dendam. Tapi apa gunanya? Dan sekarang kau malah muncul di depanku. Mau mengancam segala! Sekarang, ku hitung sampai tiga. Bila kau belum juga minggat, jangan salahkan aku!" gertak Rangga, kali ini tak kalah garang.

"Bocah banyak lagak! Masih untung saat itu kuampuni nyawamu. Kalau tidak, saat ini kau telah jadi santapan cacing-cacing tanah, tahu?!"

"Hm.... Jangan terlalu jumawa, Golok Terbang. Di atas langit masih ada langit."

"Huh! Akan kita lihat sekarang, siapa sebenarnya yang akan jadi pecundang!" dengus si Golok Terbang seraya mencabut golok besarnya.

Sret!

"Jangan terlalu cepat bermain senjata, Golok Terbang. Salah-salah, kau sendiri yang termakan senjatamu," kata Rangga, kalem tapi mengandung perbawa kuat

"Yeaaa...!" Si Golok Terbang langsung menyerang. Goloknya berkelebatan mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Mudah saja Rangga menghindar. Tubuhnya meliuk-liuk di antara kelebatan golok. Kadang condong ke kanan, kadang condong ke kiri. Semuanya ditunjang oleh gerakan kaki yang lincah bukan main.

"Uh! Hebat juga dia!" puji Rangga diam-diam. "Kalau dia rajin berlatih rasanya sepuluh tahun lagi bakal mampu menandingi ku!"

Melihat serangannya selalu menemui tempat kosong, si Golok Terbang jadi murka sekaligus penasaran. Seketika serangannya makin ditingkatkan. "Setan! Rupanya kebisaan mu hanya menghindar saja! Ayo serang aku!" teriak si Golok Terbang yang merasa kesal melihat serangannya selalu kandas.

"Belum waktunya aku mengeluarkan pedang, kalau dengan sebatang cabang pohon pun aku bisa mengalahkanmu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng. Seketika Rangga mengempos tubuhnya ke atas.

"Hup!" Tubuh Rangga meluncur ke sebuah pohon. Langsung diambilnya sebatang ranting yang masih dipenuhi oleh daun-daunnya. Kemudian tubuhnya berputaran di udara, lalu meluncur ke arah si Golok Terbang. Gerakan yang dilakukannya cepat bukan main.

"Ayo, aku siap meladeni jurus golokmu!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.

"Kurang ajar!" Bukan main geramnya si Golok Terbang melihat Pendekar Rajawali Sakti hendak menahan serangannya hanya dengan sepotong ranting! Padahal goloknya selama ini sudah menjadi senjata kebanggaannya.

"Heaaa...!" Ketika golok si Golok Terbang berkelebat, Rangga menahannya dengan ranting di tangan yang telah dialiri tenaga dalam tinggi.

"Jahanam!" Si Golok Terbang memaki ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Dia bukan marah karena tubuhnya terjajar. Tapi, karena goloknya ditahan hanya dengan sebatang ranting!

"Lihat! Golokmu ternyata hanya dari kerupuk udang. Berbenturan dengan ranting saja sudah gompal!" kata Rangga, menunjuk golok lawannya.

Jantung si Golok Terbang berdebar kencang ketika perlahan-lahan melirik goloknya. Dan dia jadi tercekat melihat senjatanya tahu-tahu telah buntung!

"Setan! Aku masih sanggup memotes lehermu dengan tanganku!" rutuk si Golok Terbang seraya membuang senjata kebanggaannya.

"Kau kelewat banyak membual. Sejak tadi ocehanmu terus begitu, tapi selalu saja tak terbukti," sahut Rangga, enteng.

Si Golok Terbang bukan alang kepalang marah. Hatinya tak kuat menahan ledakan dahsyat di dada. Kalau saja mampu maka akan dilumatnya Rangga hingga menjadi debu.

"Hiyaaa...!" " Saat itu juga si Golok Terbang melesat dengan hantaman tangan bertubi-tubi.

Dan dengan enaknya, Pendekar Rajawali Sakti bergeser ke samping. Lalu tanpa disangka, ranting di tangannya mengibas sambil memutar tubuhnya.

Pratt!

"Aaakh...!" Tak ampun lagi, si Golok Terbang terpental ke belakang sejauh beberapa langkah, setelah tersambar ranting kayu di dadanya. Seketika nafasnya terasa sesak. Dadanya yang tersambar tadi panas bukan main.

"Uhh...!"

"Benar kan kubilang? Dengan ranting ini sudah cukup untuk...!"

Wusss...!

"Heh?!" Kata-kata Rangga terpenggal oleh serangkum angin kencang yang bergerak cepat ke arahnya. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, sehingga serangan itu hanya menghantam sebatang pohon sampai tumbang. Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap tajam ke arah Ki Gering. Memang serangan tadi berasal dari laki-laki berjuluk si Mayat Hidup.

DUA

"Aku paling muak dengan orang yang suka membokong!" desis Rangga, menggetarkan.

"Bocah edan! Kau kira bisa bertingkah di depanku seenak perutmu?!" bentak si Mayat Hidup dengan mata mendelik.

"Apa ada larangan kalau aku bertingkah? Kalau kau merasa tersinggung, ya silakan pergi dari tempat ini," sahut Rangga, kalem.

"Bangsaaat!" Si Mayat Hidup yang menggunakan enggrang bambu sepanjang dua tombak menggeram. Dengan sekali melangkah, bambu yang seolah menjadi penyambung kakinya berkelebat menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga melenting ke belakang dan berputar dua kali. Ujung bambu Ki Gering yang digunakan sebagai kaki untuk melangkah, menyerangnya dalam jarak jauh. Sehingga, sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mendekat. Sambil menyerang begitu, tubuh si Mayat Hidup seolah telah berayun-ayun dengan penyangga bambu satunya.

"Hm.... Tenaga dalamnya hebat bukan main. Angin serangan bambu itu terasa panas. Ranting ini tak akan cukup untuk menghentikannya!" gumam Rangga, sambil menatap tajam lawannya.

"Yiaaah...!"

"Hup!" Rangga melompat ke atas ketika serangan bambu datang kembali. Sengaja dipilihnya tempat berlindung yang dekat dengan tempat Raja Penyair nangkring. Sehingga....

Prak! Prasss!

"Kampret!" maki Raja Penyair ketika batang bambu si Mayat Hidup bergerak cepat memapas dahan yang digunakan untuk nangkring. Untungnya, dia telah melompat ke udara.

"Hati-hati, Raja Penyair! Rupanya dia tertarik denganmu!" teriak Rangga, sedikit meledek.

"Diam kau, Anak Muda!" umpat Raja Penyair, begitu mendarat.

"Ah! Jangan begitu, Sahabat. Maafkan aku...," sahut Rangga seraya bergerak cepat menghampiri. Baru saja Rangga tiba di samping Raja Penyair, saat itu juga bambu panjang yang bisa digunakan sebagai senjata oleh si Mayat Hidup, bergerak cepat menyambar.

Wutt!

Siasat Rangga yang menuju ke arah Raja Penyair mengena. Pemuda itu agaknya sengaja melibatkan Raja Penyair dalam pertarungan.

"Iblis licik!" umpat Raja Penyair seraya melenting ke belakang menjauhi. Begitu mendarat, tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

"Hei! Mau ke mana kau?! Bukankah kita kawan seperjalanan?! Kalau kau pergi, aku pun ikut!" teriak Rangga, juga mengikuti gerakan Raja Penyair.

"Bangsat! Jangan dikira kalian bisa pergi seenaknya setelah mempermainkan ku!" teriak si Mayat Hidup sambil mengejar.

"Siapa yang pergi? Aku mau mengejar kawanku dulu!" sahut Rangga, langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling tinggi.

Karena tak mampu mengejar, si Mayat Hidup kesal bukan main. Kekesalannya langsung dilampiaskan pada pohon-pohon di sekitarnya yang menjadi korban babatan enggrangnya. Rangga dan Raja Penyair bukan takut menghadapi si Mayat Hidup. Pada saat ini mereka tengah diburu waktu. Bertarung dengan tokoh sesat tadi, sama saja membuang-buang waktu. Makanya mereka merasa lebih baik menunda pertarungan.

********************

Cadas Pangeran yang mereka tuju lumayan jauh. Namun dengan kelebatan tubuh yang disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh, menjelang tengah malam Rangga dan Raja Penyair tiba di pegunungan sekitar Cadas Pangeran.

"Tempat ini bernama Wadah Karangka. Hati-hati! Salah-salah kau bisa pulang tinggal nama...!" ingat Raja Penyair.

"Kenapa?"

"Di sini tempat tinggalnya si Setan Belang Pemakan Tulang!"

"Wuih! Nama yang seram!" Rangga pura-pura bergidik ketakutan. "Kenapa kau memilih jalan yang berbahaya?"

"Ini jalan terdekat menuju Cadas Pangeran. Dengan lewat sini, perjalanan kita semakin dekat."

"Semakin dekat ke neraka?!"

Raja Penyair tertawa dan terus melangkah memasuki semak belukar. Tempat ini masih asing bagi Rangga meski telah sering mendengar keangkerannya. Alam yang tidak bersahabat dan binatang buas yang banyak berkeliaran semakin membuat orang enggan mengunjunginya. Kecuali, mereka yang memang hendak bunuh diri.

"Kita berhenti di sini dulu...," usul Rangga dengan suara agak keras.

"Ssst! Pelankan suaramu. Kau mau kehadiran kita diketahui?!" seru Raja Penyair.

"Diketahui siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan si Setan Belang Pemakan Tulang!"

"Oh...!" Rangga pura-pura pilon. "Kau takut padanya?"

"Aku hanya tak ingin cari gara-gara!" desis Raja Penyair.

"Kalau dia yang cari gara-gara lebih dulu?"

"Dia tak akan can gara-gara kalau kita tak memulainya!"

"O, begitu! Misalnya bagaimana?"

"Dengan suaramu yang keras, berarti menyinggung perasaannya. Kalau kita bersuara keras sama artinya kita tak takut padanya. Dan itu diartikan sebagai mencari gara-gara!" jelas Raja Penyair.

"Tapi kita kan tak bermaksud cari gara-gara?!" tukas Rangga. Entah kenapa suaranya dikeraskan.

"Ssst! Sudah kuperingatkan. Jangan bicara keras-keras!"

"Oh! Maaf...!"

Sesaat mereka terus berjalan tanpa saling bi鈥恈ara. Keadaan jalan mulai sulit. Kadang menurun, dan kemudian menaik melewati celah-celah sempit di lereng bukit. Terpeleset sedikit saja, maka jurang menganga akan siap menelan.

"Kita istirahat saja dulu...," usul Rangga.

"Sebentar lagi sampai. Kita harus menyergap, sebelum orang-orang itu bersiaga!"

"Kau hendak menggunakan siasat itu?" tanya Rangga.

"Apa kau kira aku akan datang terang-terang lalu mengutarakan maksud dan menantang mereka bertarung?!" cibir Raja Penyair.

"Bukan begitu maksudku. Kalau ingin mengagetkan mereka, tunggu waktu beberapa saat lagi...."

"Apa maksudmu?"

"Berapa lama lagi tiba di sana?"

"Kita akan melalui jalan di sebelah kanan yang menurun dan bertebing tidak terlalu curam. Kalau mau sedikit saja mengerahkan ilmu meringankan tubuh, kita akan tiba di bawah tidak sampai sepenanakan nasi."

"Kita istirahat. Dan kira-kira dua kali penanakan nasi sebelum subuh, kita menyergap ke sana. Biasanya suasana seperti itu sedang enak-enaknya tidur. Kalau sekarang ke sana, kemungkinan satu dua orang masih ada yang berjaga-jaga. Dan..., katamu tak mau mengalami kesulitan seandainya mereka mengetahui kehadiran kita!" papar Rangga.

"Encer juga otakmu!" puji Raja Penyair.

Rangga tersenyum. "Kau boleh tidur di sini kalau suka...," ajak Rangga, menawarkan.

"Huh! Aku tak sudi tidur di dekatmu!" dengus Raja Penyair seraya mencari tempat lain. "Hei, awas! Jangan tidur kau!"

Tapi terlambat, Rangga kini sudah memperdengarkan dengkuran halus dengan napas halus turun naik.

"Brengsek!" umpat Raja Penyair kesal.

Kalau tidak ingat bahwa Raja Penyair membutuhkan Pendekar Rajawali Sakti, sudah sejak tadi ditinggalkannya. Raja Penyair memang bukanlah jenis orang penyabar. Itu sebabnya hatinya kesal saat Rangga mengajaknya beristirahat. Pelan-pelan laki-laki bertopeng ini merebahkan diri. Hela nafasnya terasa panjang.

Tubuhnya di selonjorkan untuk mengendurkan otot-otot yang kaku selama di perjalanan. Rasa kantuk mulai menguasai matanya yang sesekali terpejam. Sesekali diliriknya pemuda itu. Terlihat Rangga tidur pulas. Dan baru saja perhatiannya beralih ke tempat lain....

Swing!

"Heh?!" Raja Penyair terkesiap saat terdengar bunyi mendesing halus. Belum sempat bisa menduga apa yang terjadi, beberapa helai daun tampak rontok dalam keadaan terpotong! "Jangan-jangan si Setan Belang Pemakan Tulang mengetahui kehadiranku di sini...!" desis Raja Penyair, seraya bangkit. Segera dicarinya tempat yang tersembunyi. Tak dipedulikan lagi Pendekar Rajawali Sakti yang masih terlelap. Dan baru saja dia bersembunyi....

"Heaaa...!"

"Haahhh...!" Beberapa saat kemudian terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul terpentalnya beberapa buah batu sebesar kepalan tangan.

"Ini yang ingin ku hindari. Dasar bocah brengsek! Tak mau diatur! Baru rasa dia!" umpat Raja Penyair di tempat persembunyiannya.

Dengan segan, Raja Penyair keluar dari persembunyian. Segera dihampirinya suara ribut-ribut tadi. Tampak dua orang tengah bertempur seru. Yang seorang memakai rompi putih. Di punggungnya tersandang sebilah pedang. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti?

Sedangkan lawannya bertubuh agak besar dengan kepalan tangan sebesar semangka. Gerakannya gesit dengan tenaga kuat. Terasa dari desir angin kencang yang ditimbulkannya. Di samping itu beberapa buah senjata rahasia terbuat dari lempengan baja tajam berbentuk bulan sabit tampak berseliweran menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Seketika Raja Penyair menggesek rebab, sehingga mengeluarkan irama tajam laksana sengatan seekor lebah. Terasa di telinga lalu terus menusuk jantung.

"Setan alas!" Orang yang bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti memaki geram. Telinganya seperti ditusuk-tusuk. "Hiih!"

Siiuut!

Begitu tangan kanan orang bertubuh besar itu mengibas, maka beberapa buah senjata rahasia melesat ke arah Raja Penyair. Raja Penyair mengibaskan penggesek.

Tang! Tang!

Beberapa buah senjata rahasia itu terpental, terhantam penggesek rebab Raja Penyair.

"Bangsat keparat! Rupanya kau masih berani menampakkan diri lagi di depanku, heh?!" Saat itu juga terdengar bentakan keras menggelegar.

"Raksasa goblok! Buat apa aku mesti takut segala padamu?!" sahut Raja Penyair.

"Setan! Akan kulumat batok kepalamu!" Suara gemuruh yang keluar dari amarah meledak-ledak dalam dada, tertumpah dalam serangan kilat yang diiringi desir angin kencang laksana badai topan dari sosok tinggi besar itu.

"Hup!"

Raja Penyair terkejut. Cepat dia melompat ke samping, mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Hei! Mau ke mana kau, Buto Ijo?!" teriak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi laki-laki tinggi besar itu tak menghiraukannya. Kini perhatiannya tertuju pada Raja Penyair.

TIGA

Namun pada saat yang sama Raja Penyair pun telah bergerak menyerang. Tubuhnya meluruk cepat sambil memutar-mutar penggesek rebab di tangannya. Sehingga bentuknya berubah bagaikan senjata pedang bermata dua.

Bet! Bet!

"Hup!" Laki-laki bertubuh besar ini membatalkan serangannya. Cepat dia melompat ke belakang menghindari. Namun Raja Penyair tak memberi kesempatan. Dia lompat lebih tinggi seraya mengayunkan penggesek rebabnya.

Wut! Wut!

Dengan gerakan cepat, orang bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri seraya berguling-gulingan. Namun saat dia melenting bangkit, Raja Penyair sudah meluncur ke arahnya dengan satu tendangan menggeledek.

Des!

"Aduuuh!" Manusia bertubuh besar itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Sebelum orang itu bisa berbuat banyak, Raja Penyair kembali melepas tendangan silang sambil berputar.

Jdaaag!

"Wuaaakh...!"

"Orang sepertimu lebih baik mampus!" dengus Raja Penyair, sambil menatap orang tinggi besar yang terjungkal sampai dua tombak disertai pekikan tertahan.

Namun tanpa diduga, orang tinggi besar itu masih sempat mengibaskan tangannya yang begitu cepat

Set! Set!

Seketika meluruk sinar keperakan yang tidak lain senjata-senjata rahasia ke arah Raja Penyair.

"Heit! Kurang ajar!" Raja Penyair terkesiap. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke samping, langsung berguling-guling. Senjata-senjata rahasia itu memang berhasil dihindari. Namun, salah satunya tepat menghantam sebuah tali.

Tas! Broil!

Begitu tali putus, saat itu juga sebatang pohon kecil sebesar lengan menyambar dari arah samping ke arah Raja Penyair. Bahkan diikuti oleh longsoran batu-batu sebesar kepala kerbau dari tebing di atas mereka.

"Manusia terkutuk! Kulumat tubuhmu nanti!" umpat Raja Penyair, seraya melompat tinggi menghindari sambaran pohon. Begitu Raja Penyair mendarat, harus pula menghindar setiap batu yang mengancamnya. Dia berlompatan ke sana kemari. Setelah serangan bebatuan reda, Raja Penyair langsung meluruk melakukan serangan.

Terpaksa orang bertubuh besar itu bermain mundur. Selain telah terluka dalam, serangan Raja Penyair memang hebat sekali. Apalagi laki-laki bertopeng itu sudah marah bukan main. Tanpa disadari, orang bertubuh besar itu terus melangkah mundur sambil menahan serangan. Dan berarti itu mendekati bibir jurang. Selanjutnya....

"Aaa...!" Orang bertubuh tinggi besar itu terperosok, ketika Raja Penyair menggertak dengan sebuah tendangan menggeledek. Tubuhnya langsung jadi santapan mulut jurang yang menganga. Sementara di bawahnya telah menanti batu-batu runcing yang tajam.

"Diakah yang kau sebut Setan Belang Pemakan Tulang?" tanya Rangga tersenyum, memuji dalam hati kehebatan Raja Penyair. "Kepandaiannya ternyata tak terlalu tinggi."

"Kau salah! Kalau Setan Belang Pemakan Tulang yang muncul, riwayat kita akan sampai di sini. Itu salah seorang muridnya!" sergah Raja Penyair.

"Muridnya?" Rangga melongo takjub.

"Ya! Dia punya tiga belas murid yang berkepandaian berbeda-beda. Kalau tadi adalah muridnya yang keenam. Kalau sampai kita bertemu murid kelima, keempat, dan seterusnya, maka keadaan kita tidak menguntungkan. Karena itu jangan tunda lagi! Ayo, lekas tinggalkan tempat ini buru-buru!" jelas Raja Penyair.

"Baiklah," desah Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa membuang waktu lagi mereka segera menuruni lereng yang tidak terlalu curam. Dan dalam beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah dataran yang agak luas. Dari situ terlihat beberapa buah obor terpasang di depan tiap-tiap rumah.

"Perkampungan inikah yang kau maksud?" tanya Rangga setengah berbisik.

Raja Penyair mengangguk. "Namanya perkampungan Kidung Bahana."

Rangga mengangguk. Dalam hati dia membenarkan ketika mendengar irama gending mengalun tenang, meningkahi suara unggas malam yang hampir berakhir. Karena akan berganti subuh. Udara dingin pada saat ini betul-betul dingin menggigit

"Kita ke sana sekarang! Ingat! Jangan berisik dan jangan membuat gerakan-gerakan mencurigakan!"

"Tenang saja, Raja Penyair!" Dengan gaya pencuri kawakan, keduanya menyelinap di antara rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bilik bambu. Beberapa kali bola mata mereka memandang ke sekeliling tempat, kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.

"Di mana mereka menyekapnya?"

"Di samping bangunan paling besar itu!" tunjuk Raja Penyair.

Rangga melihat sebuah bangunan paling besar yang tidak dijaga oleh seorang pun. Kelihatan sepi dan lengang. Tapi bangunan di sebelahnya justru dijaga ketat. Bangunan itulah yang ditunjuk Raja Penyair.

"Bangunan utama yang besar itu tempat tinggal kepala kampung. Sedangkan yang di sebelahnya itu penjara!" jelas Raja Penyair.

"Siapa kepala kampung di sini?" tanya Rangga.

"Mana ku tahu?!"

"Lalu, kenapa kau hafal jalan ke sini? Tempat ini terpencil. Dan aku pun heran kalau di sini ada perkampungan. Jalan masuknya susah. Bahkan jalan keluarnya pun sama sulitnya. Orang-orang biasa rasanya tak akan mau tinggal di sini."

"Aku berhasil menguntit salah seorang. Dan ketika hendak membebaskan orangtua serta kekasihku, mereka memergokinya. Saat mereka berusaha menangkap, untung aku berhasil kabur!"

"Ooo...!" Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.

"Sudahlah! Jangan bicarakan soal itu. Sekarang tujuan kita sudah jelas. Ada kurang lebih dua belas yang berjaga di sana. Kita lewat samping. Dan kukira, di situ cuma ada empat orang. Kita bagi tugas. Jadi, satu orang menghadapi dua penjaga. Kau mampu membungkam keduanya sekaligus tanpa menimbulkan suara berarti?" ujar Raja Penyair.

"Kita coba!" sahut Rangga, tak ingin menjanjikan.

Mereka segera memutar melewati jalan sam鈥恜ing. Dan sejauh ini tak seorang pun yang terlihat. Sehingga keduanya bergerak dengan leluasa.

"Hup!" Raja Penyair lompat ke atas pagar tembok setinggi satu tombak. Begitu mendarat matanya mengamati keadaan di bawah. Lalu tatapannya beralih pada Rangga sambil mengembangkan kelima jari tangan. Dengan bahasa isyarat dia menunjuk bagiannya tiga orang. Sedangkan Rangga sisanya.

"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Setelah Raja Penyair memberi isyarat, keduanya melompat turun tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Sasaran mereka adalah lima penjaga yang tengah terkantuk-kantuk. Tapi dua di antaranya tegak berdiri dengan sikap waspada.

"Hei?!"

"Hiih!" Kedua penjaga itu tersentak ketika dua sosok bayangan berkelebat. Dan sebelum mereka berbuat sesuatu...

Dess! Desss!

"Aaakh...!" Kedua penjaga itu kontan ambruk disertai keluhan tertahan. Dan suara keluhan itu rupanya terdengar oleh tiga penjaga yang terkantuk-kantuk. Namun sebelum mereka benar-benar tersadar, Raja Penyair dan Rangga segera membereskan dengan cepat.

"Hup!" Selesai membereskan kelima penjaga itu, Raja Penyair melompat ke atas atap. Sambil merebahkan diri, dibukanya atap terbuat dari genteng. Lalu tubuhnya masuk ke dalamnya.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti menunggu di bawah dengan mata nyalang mengawasi keadaan sekitarnya. Raja Penyair agak lama di dalam. Entah dia berhasil atau tidak. Tapi sesaat kemudian terdengar suara ribut-ribut.

"Heh?!" Rangga cepat melompat ke atas genteng. Namun begitu mendarat, sesosok tubuh tampak keluar dari atap.

"Hei?!"

"Wah, barabe!" seru Rangga ketika orang menoleh. Terlihat seraut wajah marah dari seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.

"Ini malingnya! Tangkaaap...!" teriak laki-laki itu.

Selesai berteriak orang itu langsung melenting dan menyerang. Bahkan kemudian tak lama berlompatan beberapa sosok tubuh ke atap genteng, langsung membentuk lingkaran seperti tak memberi jalan keluar sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti. Dari cara melayang dan hinggap tanpa memecahkan genteng, bisa ditaksir kalau ilmu meringankan tubuh mereka tidak bisa dipandang enteng.

"Yeaaa!"

Plak! Wut!

Serangan yang datang begitu gencar dan bertenaga kuat. Namun, Rangga masih mampu menghindar dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Bahkan segera balas menyerang cepat dengan sebuah tendangan ke dada.

"Hiih!" Orang yang jadi sasaran menghindari dengan mencelat ke atas. Seketika Pendekar Rajawali Sakti berjungkir balik dengan kedua telapak tangan bertumpu permukaan genteng. Dan mendadak kedua kakinya menghantam ke arah perut, saat orang itu mendarat.

Duk! Des!

"Wuaaakh...!" Begitu salah seorang terpental roboh dan ambruk ke bawah, saat itu juga dua orang lainnya menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa...!" Seperti orang pertama tadi, mereka tidak menggunakan senjata apa pun. Namun begitu, serangan-serangan mereka tak bisa dipandang enteng. Bersamaan dengan serangan yang dilakukan, yang lain pun membunyikan bunyi-bunyian berupa suling, harpa, rebab, kecapi, gending dan sebagainya.

Saat itu juga suasana di subuh yang gelap ini benar-benar hiruk-pikuk saling sambung-menyambung satu sama lain. Kalau saja terdengar seperti biasa, maka segalanya akan terasa indah. Namun tidak demikian yang dialami Rangga. Irama itu bukan sembarangan, karena disertai tenaga dalam dahsyat.

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh sambil menutup kedua telinga. Namun irama itu seperti menyentak-nyentak seluruh urat syarafnya.

"Hup!" Seketika Pendekar Rajawali Sakti mulai mengerahkan tenaga dalamnya sambil menangkis serangan-serangan dengan kedua kaki.

"Hiih!"

Plak! Plak!

Anehnya, suara-suara merdu itu sama sekali tidak mempengaruhi kedua lawan-lawannya. Dan itulah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti takjub bukan main.

"Suatu pengerahan tenaga dalam yang hebat! Suara-suara itu sampai mampu mempengaruhi ku, namun sama sekali tidak mengusik mereka!"

Sementara alunan bunyi-bunyian masih terus dimainkan. Dan lambat tapi pasti, keadaan Pendekar Rajawali Sakti semakin terdesak hebat.

"Kurang ajar! Ke mana Raja Penyair?! Apakah dia tertangkap atau melarikan diri?!"

Tak banyak waktu bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bertanya. Karena saat itu juga kedua lawannya telah meluruk menyerang. Secepatnya Rangga membuat kuda-kuda rendah. Begitu serangan mendekat, langsung dibukanya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Heaaa...!" Dengan mengerahkan tenaga dalam di kedua telinga untuk menahan serangan suara, serta untuk melepas serangan, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas sambil berputaran di udara. Dan pada jarak tertentu, kedua tangannya mengibas dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang begitu cepat. Dan....

"Heaaa...!"

Wuusss!

Prak! Prak!

"Aaa...!" Kedua lawan Pendekar Rajawali Sakti kontan terjungkal dengan kepala pecah berlumuran darah. Suara lengkingan menyayat mengiringi saat tubuh mereka menggelinding ke bawah. Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang merasa sudah kepalang basah segera meluruk ke bawah. Namun baru saja mendarat...

"Ha ha ha...!"

"Hmm...!"

"Rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.... Hm, hebat sekali! Aku pernah mendengar jurus-jurus itu, Anak Muda! Kaukah yang belakangan ini dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti?"

Rangga memperhatikan laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun di hadapannya dengan kening berkerut. Laki-laki tua itu berbaju putih agak kemerahan. Dandanannya resik. Rambut panjangnya yang telah memutih disanggul ke belakang dengan menyisakan sedikit untuk menutupi tengkuknya. Hal yang paling menarik darinya adalah sebuah harpa di tangan kirinya.

EMPAT

"Sungguh jeli matamu melihat seseorang, Ki. Kalau boleh tahu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga, kalem.

"Aku Ki Niti Sabdo. Dan orang-orang mengenalku sebagai Harpa Neraka!"

"Harpa Neraka?!" ulang Rangga, agak terkejut.

"Hm.... Nama besarmu memang pernah kudengar...."

Puluhan tahun lalu nama itu memang pernah menggetarkan rimba persilatan. Dan semua orang lebih baik menyingkir bila bertemu dengannya. Orang ini pun terkenal berwatak kejam. Selama malang melintang di dunia persilatan, entah berapa ratus nyawa yang melayang di tangannya.

"Telah lama dia menghilang. Dan kukira tokoh ini telah mati. Tapi siapa nyana aku akan bertemu di sini?" gumam Rangga dalam hati.

"Sungguh membuatku kagum, karena bocah sepertimu kenal denganku. Padahal, ketika aku malang melintang di dunia persilatan, kurasa kau belum nongol di jagat ini!" puji laki-laki tua bernama Ki Niti Sabdo yang dikenal sebagai Harpa Neraka.

"Merupakan suatu kehormatan buatku, bisa berjumpa denganmu, Harpa Neraka," kata Rangga, tanpa menghilangkan kewaspadaannya.

Harpa Neraka terkekeh. "Mestinya aku suka padamu, Bocah. Dalam usia seperti sekarang namamu betul-betul membuatku iri. Tapi mengingat kelakuanmu, betul-betul membuatku muak! Dan untuk itu aku tak bisa membiarkannya!"

"Setiap orang punya tujuan hidup yang diyakini. Kalau dia menyimpang dari tujuannya, maka tak akan pernah berhasil mencapai cita-cita."

"Apakah tujuan hidupmu menjadi pencuri ulung?!" sindir Harpa Neraka.

"Tentu saja tidak! Tapi kurasa itu yang menjadi tujuan hidupmu! Kau culik kekasih orang. Lalu, kau culik kedua orangtuanya. Dan aku punya kewajiban membebaskan mereka!" kilah Rangga.

"Aku menculik seseorang?!" Ki Niti Sabdo terkejut. Dahinya langsung berkerut. "Ha ha ha...! Sungguh kurang ajar kau, Bocah! Berani-beraninya malah balik menuduhku sebagai penculik!"

"Ki Niti Sabdo! Boleh jadi namamu menggetarkan setiap orang. Tapi kau tak bisa berbuat seenak perutmu! Kau harus bebaskan mereka sekarang juga!"

"Aku akan bebaskan mereka. Tapi, tunjukkan padaku satu bukti kalau aku menculik seseorang?" tukas Ki Niti Sabdo.

Rangga terdiam. Isi kepalanya bingung karena memang tak punya bukti kalau orangtua ini menculik seseorang. Satu-satunya saksi hanyalah Raja Penyair. Tapi orang itu kini entah ke mana?

"Sial! Ke mana dia pergi?!" rutuk Rangga geram, di dalam hati.

"Bagaimana? Apakah kau bisa menunjukkannya padaku?" usik Harpa Neraka.

"Kalau bukti itu memang tak ada. Tapi ada saksi yang memberatkan mu!"

"Siapa?"

"Raja Penyair!"

"Raja Penyair?" Ki Niti Sabdo terkekeh geli. "Jadi bocah nakal itu yang kau jadikan saksi?"

"Ya! Kekasih dan orangtuanya yang kau culik!"

"Dan kau percaya?"

"Kenapa tidak?! Kau terkenal karena kekejamanmu. Dan, bisa berbuat apa saja yang kau suka!"

"Ha ha ha...! Aku memang kejam, Bocah. Tapi aku tak pernah menculik siapa pun seumur hidupku! Orang-orang yang datang ke perkampungan ini dengan susah-payah. Tidak pernah ku paksa dan kuculik. Mereka datang dengan suka rela. Sebagian malah kutolak, karena aku tidak berkenan. Bagaimana mungkin aku menculik seseorang?"

"Semua orang bisa bicara untuk berdalih. Kenapa aku mesti percaya omongan mu?"

"Baiklah, baiklah...! Ada beberapa hal yang mungkin akan meyakinkanmu. Sudah berapa lama kau mengenal bocah bernama Raja Penyair itu?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Apa cukup untuk mengetahui kalau dia ditinggal mati ibu bapaknya sejak bayi? Apa cukup untuk kau ketahui, kalau dia tak punya sanak saudara?!"

"Kau cuma mengada-ada, Ki Niti Sabdo! Percuma untuk mempengaruhiku!"

"Bocah itu kupungut sejak bayi di sebuah perkampungan! Kubesarkan dengan kasih sayang, kudidik seperti cucuku sendiri. Dan sebagai rasa terima kasih, dia kabur. Kemudian dia mencuri benda pusaka yang dimiliki perkampungan ini! Apakah kau mempercayai orang seperti itu?!" sentak Ki Niti Sabdo, lantang.

"Kau pendekar muda yang kudengar harum namanya. Apakah hatimu membenarkan tindakannya?! Tidak malukah kau pada dirimu sendiri?!"

Rangga terdiam mendengar tangkisan Harpa Neraka yang menggugah kesadarannya. Hatinya betul-betul malu karena telah berburuk sangka terhadap Harpa Neraka tanpa ada bukti. Dan untuk saat ini dia tak tahu mesti berbuat apa.

"Apakah kau betul-betul mengenalnya...?" tanya Rangga dalam kebimbangan.

"Masuklah ke pondokku. Akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak berdusta soal ini...," ajak Ki Niti Sabdo, langsung berubah ramah.

Pendekar Rajawali Sakti bimbang untuk mengikuti. Tapi ketika melihat sinar kesungguhan pada pancaran mata laki-laki tua itu, dia pun segera melangkah.

"Silakan masuk! Kau menjadi tamu kami saat ini!" ucap Ki Niti Sabdo seraya menjajari langkah pemuda itu ke bangunan utama. Sementara yang lain mengiringi dari belakang.

"Siapa namamu?" tanya Ki Niti Sabdo, halus.

"Rangga," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan malu-malu! Anggap saja di tempat sendiri!"

"Terima kasih!" Ki Niti Sabdo mengajak tamunya ke sebuah ruangan. Begitu sampai, dia memanggil seorang anak buahnya.

"Panggil Nyai Senah kemari!" perintah laki-laki tua ini, saat salah seorang anak buahnya mendekat.

"Baik, Ki!" sahut pemuda anak buah Harpa Neraka seraya berlari.

Rangga dan Ki Niti Sabdo memasuki sebuah ruangan yang tidak terlalu kecil. Di situ terdapat sebuah tempat tidur, lemari, dan meja.

"Di sini dia dibesarkan. Ini kamarnya...," jelas Harpa Neraka.

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Saraswati...."

"Saraswati?!"

"Orang yang kau sebut sebagai Raja Penyair."

"Jadi..., jadi dia betul-betul perempuan?!" Rangga melengak, tak menyangka kalau Raja Penyair seorang perempuan.

Ki Niti Sabdo tersenyum. "Kau bahkan tidak mengetahui kalau dia perempuan."

Mendengar itu Rangga jadi malu hati. Pada saat itu muncul seorang wanita setengah baya ke dalam ruangan. Sejenak dia memberi hormat dengan merapatkan tangan di depan hidung.

"Hamba menghadap, Ki...!" ucap perempuan itu.

"Nyai Senah! Tahukah kau, kamar siapa ini?" tanya Ki Niti Sabdo, langsung.

"Tentu saja hamba mengetahuinya, Ki. Ini adalah kamar Saraswati...," sahut perempuan bernama Nyai Senah.

"Katakanlah pada tamu kita ini, bagaimana aku mendidik dan membesarkannya dengan kasih sayang. Lalu, katakanlah. Apa balasan yang kuterima darinya," ujar Harpa Neraka.

"Ki Niti Sabdo memungutnya dari bayi. Lalu, mendidiknya dengan baik hingga menjadi gadis dewasa. Tapi suatu hari, Saraswati tiba-tiba saja kabur dan berusaha mencuri benda pusaka yang dimiliki Ki Niti Sabdo. Aku mengetahui sejak kecil kalau dia memang berwatak nakal dan tidak tahu membalas budi. Aku tahu semua wataknya, karena mengasuhnya sejak kecil," jelas Nyai Senah.

"Nah! Telah kau dengar, bukan? Kini akan kutunjukkan padamu, benda apa yang dicuri oleh Saraswati. Mari!" Ki Niti Sabdo beranjak dari ruangan itu, dan Rangga mengikutinya.

"Di sini aku menyimpan benda-benda pusaka yang kumiliki sejak aku masih muda...," jelas Ki Niti Sabdo, begitu memasuki ruangan dari bangunan yang tadi dimasuki Raja Penyair.

Rangga meneliti dengan seksama benda-benda pusaka yang terpajang di dinding atau di dalam peti-peti berukir. Rata-rata merupakan alat-alat seperti harpa, rebab, kenong, siding, dan lain sebagainya.

"Jadi pusaka apa yang dicuri Saraswati?" tanya Rangga.

"Sebuah pusaka langka. Dan ada di antara pusaka-pusaka yang ku rawat dengan baik. Mari!" ajak laki-laki tua itu, membawa Rangga ke dalam sebuah ruangan.

Mereka tiba di sebuah ruangan yang di depan pintunya tertulis nama benda pusaka yang dimaksud.

"Di situ! Kau bisa melihatnya!" tunjuk Ki Niti Sabdo. "Rebab Swara Buana!" baca Rangga di depan pintu ruangan tempat penyimpanan pusaka-pusaka langka.

"Ya! Sejak dulu dia amat menginginkannya. Namun aku tak memberikan. Alasannya sederhana. Karena aku tak pernah memberikan pusaka-pusaka ini kepada siapa pun!" jelas Harpa Neraka.

Ki Niti Sabdo menyuruh seorang anak buahnya membuka pintu. Begitu pintu terbuka Harpa Neraka mengantar Rangga memasuki sebuah ruangan kecil yang terdapat sebuah peti coklat berukir. Anak buah Harpa Neraka segera membukanya. Ternyata, di dalam peti itu tidak terlihat apa pun.

"Kau lihat, bukan?"

Rangga mendekat untuk memastikannya lebih jauh tanpa rasa curiga sedikit pun. Justru pada saat itu Ki Niti Sabdo bersama anak buahnya menjauhi pintu. Lalu....

Drr...! Jreg!

"Hei?!" Rangga menoleh dan terkejut bukan main saat pintu yang diiringi kerangkeng besi bergerak menutup. "Ki Niti Sabdo, buka pintu ini! Jangan main-main kau...!" bentak Rangga, garang.

"Aku tak main-main! Siapa pun yang masuk ke tempatku dengan niat buruk, atau membantu seseorang yang berniat buruk, maka akan menanggung akibatnya. Tidak terkecuali kau!" sahut Ki Niti Sabdo dari balik pintu.

"Kurang ajar!" Rangga berniat akan menghancurkan pintu besi itu. Tapi sebelum bergerak, mendadak telinganya mendengar petikan suara harpa yang begitu menusuk-nusuk perasaannya. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti tersentak namun selanjutnya kepalanya jadi berdenyut-denyut. Tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari. Sambil menutup telinganya. Dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam, namun tetap saja suara petikan harpa itu terus menyiksanya!

"Oh.... Kenapa aku jadi bodoh begini? Kenapa aku gampang percaya padanya...?!" keluh Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti! Boleh jadi kau pendekar tersohor! Tapi jangan dikira bisa mengalahkan aji 'Petikan Harpa Neraka'ku. Bahkan sampai tenaga dalammu terkuras habis, kau tak akan mampu bertahan!" teriak Ki Niti Sabdo dari balik pintu, sambil memainkan harpanya.

"Licik!" Hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.

"Ha ha ha...! Sampai kapan kau akan bertahan, Bocah? Ayo, kerahkan seluruh kemampuanmu!" teriak Ki Niti Sabdo lagi.

"Hukh...!" Rangga terhuyung-huyung ke pojok ruangan. Lalu duduk bersila. Diambilnya sikap bersemadi untuk mengerahkan hawa murni. Dengan seluruh kekuatan yang ada dia berusaha menahan getaran tenaga dalam yang disalurkan lewat suara petikan harpa itu. Ohh...! Aku harus bisa mengatasi suara harpa ini!" desis pemuda itu, mantap.

Tapi saat Rangga akan berhasil mengatasi suara harpa, kembali terdengar suara-suara lain yang berirama teratur, namun mengandung getaran tenaga dalam.

"Uhh...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti kini menggigil. Dari hidungnya mulai mengucur darah segar. Namun begitu, pemuda ini masih terus berusaha bertahan.

"Hoeekh...!" Tapi saat itu juga menyembur darah kental merah kehitam-hitaman dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Dan tubuhnya semakin bergetar seperti diserang demam hebat. Menahan denting harpa yang dimainkan Ki Niti Sabdo saja, dia sudah kewalahan. Apalagi, ada suara-suara lain yang memenuhi ruangan ini. Lambat laun tenaganya terkuras habis.

Dan sampai pada suatu titik, Rangga benar-benar tak kuat menahan getaran tenaga dalam lewat permainan harpa dan bebunyian lain. Ki Niti Sabdo masih duduk bersila di atas sebuah batu. Di belakangnya berdiri rapi beberapa orang anak buahnya yang juga memegang alat-alat bebunyian.

"Hmm...!" Beberapa saat kemudian Ki Niti Sabdo menghentikan permainannya yang diikuti anak buahnya. Lalu kepalanya menoleh pada salah seorang anak buahnya.

"Buka pintunya!" perintah Harpa Neraka.

"Baik, Ki!" Seseorang maju ke depan dan membuka pintu, tempat Pendekar Rajawali Sakti terkurung.

Yang terlihat kini adalah seorang pemuda berompi putih yang terkulai lesu tak berdaya dengan sekujur tubuh pucat bagai mayat. Dua orang menyeretnya ke hadapan Ki Niti Sabdo.

"Hm! Daya tahan pemuda ini benar-benar mengagumkan. Belum pernah ada yang sanggup bertahan dari aji 'Petikan Harpa Neraka' lebih dari lima kali hitungan. Benar-benar istimewa...!" puji Harpa Neraka sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa yang kita lakukan terhadapnya, Ki?" tanya seorang anak buahnya.

Tapi sebelum orang tua itu memutuskan sesuatu, sekonyong-konyong terdengar ribut-ribut dari luar. Saat itu juga muncul dua gadis tanggung. Yang di depan dikejar gadis yang ada di belakangnya. Tapi gadis yang di depan segera berlindung di balik tubuh Ki Niti Sabdo.

"Kakek, Kakek...! Kakak Sangkawangi mau memukulku...!" lapor gadis yang dikejar.

"Lulur Herang! Kemari kau!" bentak gadis yang mengejar, dan bernama Sangkawangi.

"Tidak mau!" sahut gadis yang dipanggil Lulur Herang.

"Kemari!" bentak Sangkawangi.

Tapi Lulur Herang tak kalah keras kepala. "Tidak!"

"Dasar anak bandel. Kuhajar kau nanti!" bentak Sangkawangi. Sangkawangi sudah mau melangkah dan menjambret baju gadis yang dikejarnya, namun....

"Sangkawangi, ada apa ini? Kenapa kau begitu galak pada adikmu?" cegah Ki Niti Sabdo, menahan langkah Sangkawangi.

"Kakek tidak tahu masalahnya! Dia selalu membuatku jengkel!" kilah Sangkawangi.

"Apa yang diperbuatnya?" tanya Ki Niti Sabdo.

"Dia menumpahkan air ke mukaku, saat aku tengah tertidur pulas!"

Laki-laki tua itu menoleh pada Lulur Herang yang merapatkan tubuh padanya. Gadis itu yang tadi berani mengejek kakaknya, kini tertunduk. Tak berani dia menentang pandangan Ki Niti Sabdo.

"Benar apa yang dikatakan kakakmu, Lulur Herang?" tanya laki-laki tua itu.

"Habis..., Kakak Sangkawangi tak mau mengajariku bermain harpa. Dia selalu menunda dan terus menunda...!" gerutu Lulur Herang.

"Bukankah kau bisa berlatih dengan Kakek?"

"Kakek selalu sibuk dengan urusan sendiri!"

LIMA

Ki Niti Sabdo terdiam. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan. Ucapan serta sikapnya terhadap Lulur Herang begitu lembut menandakan amat menyayangi gadis usia enam belas tahun itu. Dan gadis itu pun agaknya tahu betul kalau kakeknya amat sayang padanya. Sehingga setiap bicara tidak canggung-canggung lagi. Tidak seperti Sangkawangi yang masih menaruh perasaan segan. Sebaliknya, Lulur Herang selalu bicara ceplas-ceplos apa adanya.

"Sangkawangi, kembalilah ke tempatmu. Biar urusan ini Kakek selesaikan...," ujar Harpa Neraka, penuh wibawa.

"Baik, Kek!" sahut Sangkawangi.

Sebelum meninggalkan tempat itu, gadis ini masih sempat melirik pada adiknya. Dan Lulur Herang memencongkan mulut, mengejek kakaknya. Sehingga, semakin membuat Sangkawangi berang. Namun dalam keadaan seperti ini, dia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah kakeknya. Setelah Sangkawangi berlalu, Ki Niti Sabdo memandang tajam pada Lulur Herang.

"Berapa kali Kakek harus memperingatkan padamu? Kalian tidak boleh mengganggu kalau Kakek sedang punya urusan...," desah Ki Niti Sabdo.

"Tapi kalau aku tidak ke sini, Kakak Sangkawangi pasti akan memukulku, Kek!" kilah gadis itu.

"Itu karena kau salah!" tuding laki-laki itu.

"Habiiis...! Aku telah meminta padanya berkali-kali supaya mau mengajari. Tapi jawabannya selalu saja nanti, nanti, nantiii! Bosan mendengarnya!"

"Kau memang tidak sabaran. Mestinya kau harus belajar bersabar."

Lulur Herang menunjukkan wajah cemberut mendengar nasihat kakeknya. Tapi perhatiannya tiba-tiba tertarik pada pemuda yang tergolek di lantai, tepat di depan kaki kakeknya.

"Astaga! Apa yang terjadi, Kek? Kenapa dengan pemuda ini?!" sentak gadis ini.

"Nah, nah...! Kau mulai mengacau urusan Kakek, bukan?" sergah Ki Niti Sabdo.

"Tapi, Kek...."

"Ayo, lekas pergi dari sini! Jangan ganggu urusan kakek!" tukas Ki Niti Sabdo dengan suara agak keras.

"Kakek membunuh pemuda ini?!" tanya Lulur Herang, ingin tahu. "Tidak! Dia hanya seorang pencuri yang patut mendapat hukuman."

"Tapi dari mulut dan hidungnya keluar da鈥恟ah...?"

"Lulur Herang! Kau tak mau dengar kata-kata Kakek?"

"Tapi, Kek...."

"Lekas pergi!" bentak Ki Niti Sabdo, memenggal kalimat gadis itu.

"Ohh!" desah Lulur Herang.

Gadis itu terperanjat kaget mendengar bentakan kakeknya. Seumur hidup, belum pernah dia dibentak begitu oleh kakeknya. Apalagi di depan orang-orang. Tak heran kalau wajahnya langsung pucat. Sorot matanya tajam memandang penuh kebencian terhadap laki-laki tua itu.

"Aku benci padamu! Aku benciii...!" teriak Lulur Herang nyaring sambil berbalik, lalu lari kencang dan menangis sesenggukan.

Ki Niti Sabdo menghela napas panjang sambil memandangi kepergian cucunya. Dia sadar apa yang dilakukannya. Seketika timbul penyesalan di hati. Tapi kalau tidak begitu, pertanyaan Lulur Herang akan terus memojokkannya.

"Ki...." Seseorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun membuyarkan lamunan Harpa Neraka.

"Eh, ng..., ya!" sahut Ki Niti Sabdo tergagap.

"Pemuda ini...?" tanya laki-laki itu.

"O, ya! Bawa dia ke ruang tahanan dan beri perlakuan khusus. Ingat! Aku tak mau dia kabur," ujar Ki Niti Sabdo, tegas.

"Baik, Ki!"

Setelah anak buahnya pergi membawa Pendekar Rajawali Sakti, laki-laki tua itu merenung. Namun sebentar kemudian dia bangkit, lalu keluar dari ruangan itu. Dengan langkah lebar Ki Niti Sabdo kembali ke ruangan utama, menuju ke sebuah kamar. Dari luar masih terdengar isak tangis seorang gadis dari dalam.

"Lulur Herang, buka pintu...," pinta Ki Niti Sabdo halus.

"Pergi! Pergiii...! Aku tak mau bertemu Kakek!" sahut gadis yang memang Lulur Herang.

"Lulur Herang.... Buka dulu pintunya. Kakek akan menjelaskannya padamu...," desak Ki Nib Sabdo, membujuk.

"Tidak! Aku tidak mau ketemu Kakek! Kakek jahat! Kakek tidak sayang lagi pada Lulur...!"

"Bukan begitu, tapi...."

"Pergiii...! Pergiii...!" bentak gadis itu dari dalam.

Buk! Jder!

Teriakan itu disusul hantaman benda-benda ke arah pintu, membuat hati orang tua itu trenyuh. Ki Niti Sabdo masih berdiri mematung di depan pintu dengan kepala tertunduk. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, ketika meninggalkan pintu kamar itu perlahan-lahan.

Lulur Herang memang keras kepala. Adatnya seperti anak-anak nakal. Kemauannya mesti dituruti. Dan kalau tidak, maka hal-hal seperti tadi akan terjadi. Ki Niti Sabdo hanya bisa mengurut dada. Sama sekali tidak ada niat untuk menghukum tingkah cucunya meski terkadang amat kelewatan!

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

"Uhh...!" Rangga terjaga. Bukan karena tamparan atau siraman air, melainkan karena sengatan nada-nada harpa yang dimainkan Ki Niti Sabdo.

"Apa kabar, Bocah? Mudah-mudahan tidurmu nyenyak hari ini...," sapa Harpa Neraka sambil tersenyum dan menghentikan permainan harpa.

"Kau menang, Orang Tua! Tapi ingatlah! Karma akan membalasmu. Kalaupun aku mati, tak nantinya orang-orang persilatan akan berdiam diri!" desis Rangga geram sambil berusaha melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti saat ini memang terbelenggu rantai besi yang dilekatkan erat-erat ke dinding ruangan. Demikian pula kedua kakinya.

"Lebih baik simpan tenagamu. Karena, kau akan banyak memerlukannya nanti," ujar Ki Niti Sabdo, tersenyum mengejek.

"Kenapa kau tidak langsung saja membunuhku?" desis Rangga, setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang marah.

"Membunuhmu? Kenapa aku mesti membunuhmu?" tukas Ki Niti Sabdo.

"Jadi apa maumu sebenarnya?"

"Kau terkena ajian ku, Bocah. Dan di dunia ini hanya aku yang memiliki pemunahnya. Hidupmu tergantung padaku...."

"Tidak perlu menakut-nakutiku, Tua Bangka Licik!"

Ki Niti Sabdo tersenyum tipis. "Aku bukan menakut-nakuti. Tapi hidup ini hanya sekali. Dan mestinya kita habiskan untuk hal-hal yang indah dan bermanfaat. Kalau kau mati, hilanglah kesempatanmu itu...," kata laki-laki tua ini. Nada bicaranya benar-benar membuat muak Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak usah berbelit-belit! Katakan saja maksud tujuanmu!" sergah Rangga, keras suaranya.

"Sudah kuduga kau memang pemuda cerdas. Kau cepat menangkap maksudku. Aku ingin agar kau melakukan satu hal bagiku," jelas Harpa Neraka.

"Apa itu?" tanya Rangga.

"Cari Saraswati. Dan rebut kembali Rebab Swara Buana. Bawa keduanya kemari! Kedua, tolong carikan sebuah angkin sakti bernama Angkin Naga yang dicuri Ki Bogatama alias Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Bawa benda itu ke sini. Juga, orangnya. Kalau kau sanggup melakukannya untukku, maka kuberikan pemunah ajian 'Petikan Harpa Neraka'. Dan kau bebas pergi dari tempat ini," papar Ki Niti Sabdo.

"Begitu berartikah kedua benda itu bagimu?"

"Benda itu seperti jiwaku. Seperti harpa ini!"

"Kalau begitu, kau boleh mengambilnya sendiri!" sahut Rangga sambil tersenyum-senyum.

"Jadi kau tak ingin selamat? Kau ingin mampus di sini?!"

"Siapa yang mau mampus? Yang jadi persoalan adalah, karena aku tak mempercayaimu!"

"Apa maksudmu?"

"Kau licik! Dan kau berhasil menangkapku karena kelicikanmu. Hmm.... Seumur hidup aku tak akan pernah mempercayaimu lagi. Kau suruh aku mencari kedua benda itu, dan membawa kedua pencurinya ke sini. Lalu setelah itu, kau berikan pemunah dan membiarkan aku pergi begitu saja. Terlalu mudah! Dan aku sama sekali tidak mempercayaimu!" Rangga mencibir.

"Ha ha ha...! Bocah pintar. Tapi kau tak punya pilihan lain, atau..., mati sia-sia! Aku beri waktu sampai siang nanti. Kau bisa melihat cahaya matahari dari lubang angin itu!" tunjuk Ki Niti Sabdo.

Rangga menoleh sedikit. Memang hanya ada sedikit lubang angin sebesar ibu jari. Saat ini, cahaya yang masuk amat terang. Itu menandakan kalau saat ini hampir tengah hari. Atau malah sudah tengah hari. Jadi kalau Ki Niti Sabdo memberi waktu sampai siang nanti, sama artinya dengan bergurau. Waktunya amat sedikit!

"Hei?" Tapi ketika Rangga menoleh, Ki Niti Sabdo telah berlalu dari ruangan ini. "Bangsat!" maki Pendekar Rajawali Sakti geram. Rangga menarik napas dalam-dalam. Bola matanya menerawang ke seluruh ruangan dan dahinya sedikit berkerut memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat ini.

"Benar-benar brengsek dia! Ajiannya telah melumpuhkan tenagaku. Aku seperti penyakitan yang tak berdaya!" rutuk Rangga di hati. "Bahkan untuk melepaskan rantai besi ini saja, aku tak mampu. Dan yang lebih brengsek lagi, Raja Penyair. Dia telah menipuku mentah-mentah!" Tengah Pendekar Rajawali Sakti memaki dalam hati, mendadak....

"Psst!"

"Hei?!" Terdengar bisikan seseorang, membuat Rangga tersentak. Kepalanya langsung dihadapkan ke lubang angin. Karena cahaya satu-satunya di ruangan ini, mendadak tertutup. Sebuah mata tampak mengintip dari luar.

"Kau mau bebas tidak?!" tanya sosok bersuara halus itu.

"Siapa kau?" Rangga malah bertanya.

"Sudah! Jangan banyak mulut. Aku ke sana sekarang juga!"

"Hei, tunggu!"

Percuma saja Rangga menahan, karena mata yang mengintip itu telah menghilang. Dan cahaya kembali masuk ke dalam ruangan dengan leluasa. Rangga menunggu beberapa saat. Tak lama mendengar suara ribut di muka pintu. Lalu..., pintu terbuka. Tampak seraut gadis manis dengan rambut dikuncir agak ke atas muncul sambil tersenyum. Meski begitu, matanya masih kelihatan sembab seperti habis menangis. Di tangannya tergenggam sebilah pedang bergagang kepala burung yang masih tersimpan dalam warangkanya.

"Ini pedangmu, bukan?" tanya gadis itu.

"Ya! Hati-hati menggunakannya. Salah-salah bisa celaka nanti!" ingat Pendekar Rajawali Sakti.

Sring!

Tapi bukannya gadis itu hati-hati, malah pedang itu dicabut. Seketika terpancar sinar biru berkilau dari mata pedang. Dan mendadak gadis itu mengebutkannya

Swing! Tras!

Melihat usianya yang masih muda belia, pantas rasanya kalau Rangga khawatir pada gadis itu. Apalagi ketika ujung pedang menyambar ke arahnya. Karuan saja dia berseru kaget. Namun ketika segalanya berakhir, dia tak merasakan kalau kepalanya putus. Malah kedua belenggu di tangannya yang putus.

"Satu lagi!" ujar gadis itu. Dan....

Wuuttt...! Cring!

Pedang di tangan gadis ini kembali berkelebat, membabat belenggu yang mengikat kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti hingga putus. Lalu secepatnya gadis itu memasukkan pedang ke dalam warangka kembali.

"Hebat! Hebat sekali...!" puji Rangga.

"Tak ada waktu untuk pujian. Simpan saja dulu! Nih, pedangmu! Lekas pergilah dari tempat ini!" tukas gadis itu sambil menyerahkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti milik Rangga.

Rangga menyambutnya cepat. "Terima kasih, Adik Kecil! Aku tak akan melupakan budimu!" ucap pemuda ini.

"Jangan menyebutku adik kecil! Aku bukan adikmu!" dengus gadis ini ketus.

"Oh, maaf! Lalu aku harus panggil apa padamu?" tanya Rangga, halus.

"Namaku Lulur Herang...," sahut gadis ini.

"Wah, nama yang bagus! Terima kasih atas kebaikanmu, Lulur Herang. Aku pergi dulu!"

"Hei, tunggu!" cegah gadis yang ternyata Lulur Herang ketika Rangga melangkah keluar. "Apa kau mau mati konyol? Di luar banyak penjaga. Bila seorang mengetahui, maka segalanya akan sulit bagimu. Karena, kau akan terkurung."

"Apakah ada jalan rahasia di tempat ini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak ada. Kau hanya perlu hati-hati dalam melewati tempat yang penjagaannya tidak terlalu ketat. Ingat! Keluar dari sini, beloklah ke kiri. Lalu ambil jalan lurus di belakang gubuk kecil. Berhentilah sebentar di dekat kamar mandi yang terbuat dari bilik bambu untuk mengamati penjagaan. Dan setelah merasa aman, ambil jalan ke kanan. Di sana, ada kebun kecil. Setelah berada di tengah, kau ambil jalan ke kiri. Dari situ, jalan terdekat menuju bukit. Selanjutnya tergantung dari usahamu sendiri. Sebagai langkah awal, telah kubereskan dua penjaga di depan pintu! Ayo, lekaaas!" papar Lulur Herang.

"Kau sendiri bagaimana? Apakah kau tak ikut pergi bersamaku?" Rangga malah bertanya.

Gadis itu tertawa renyah. "Aku lahir dan besar di sini. Pergilah sebelum diketahui oleh penjaga yang lain!" sahut Lulur Herang.

"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik!"

Setelah berkata begitu, Rangga buru-buru keluar. Sejenak dia mengamati keadaan di sekelilingnya. Masih sempat kepalanya menoleh pada Lulur Herang sebelum terus berlari kencang. Jalan yang dikatakan gadis itu memang benar. Penjagaan di situ kurang ketat. Kalaupun ada gubuk, ternyata hanya kandang kerbau berukuran besar. Kalaupun ada sumur dan kamar mandi yang dikatakannya, maka itu untuk keperluan hewan ternak. Ada dua orang yang tengah bercakap-cakap di dalam kandang. Dan dengan mengendap-endap, Pendekar Rajawali Sakti berhasil melewatinya tanpa menimbulkan kecurigaan.

"Hup!" Rangga melompati sebuah parit kecil, lalu tiba di sebuah kebun yang cukup luas. Sampai di tengah kebun perjalanan Rangga aman-aman saja. Tapi ketika berbelok dan hampir mendekati kaki bukit....

"Tawanan lolos! Tawanan lolos...!"

Tong! Tong!

Saat itu terdengar teriakan dan suara kentongan saling bersahutan. Orang-orang sibuk keluar dari rumah dan berlarian ke sana kemari. Melihat itu, Rangga tak mau buang waktu lagi. Secepatnya seluruh sisa tenaganya dikerahkan untuk mendaki bukit. Sesekali tubuhnya menyelinap jika melihat beberapa orang penjaga yang berdiri di bukit-bukit pada bagian lain.

"Kurang ajar! Sampai di bukit-bukit tertinggi pun masih terdapat penjagaan. Padahal waktu kesini penjagaan tidak begitu ketat!" keluh Pendekar Rajawali Sakti. "Agaknya si tua licik itu memperhitungkan segalanya. Mungkin termasuk perlarian ku ini.

"Heh?!" Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti ingat sesuatu. Buru-buru diambilnya jalan lain di sisi bukit. "Jangan-jangan gadis itu suruhan Harpa Neraka. Dia menggunakan akal licik untuk meloloskan ku dari kurungan. Entah apa yang direncanakannya. Tapi, aku mesti waspada!" duga Rangga.

"Hei, itu dia...!"

"Ohh?!" Paras pemuda itu berubah ketika terdengar teriakan seseorang ke arahnya. Cepat kepalanya mendongak. Tampak seseorang siap melemparkan tombak ke arahnya dari atas lereng bukit. Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak melesat bayangan hitam.

Dig!

"Aaakh...!" Orang yang hendak melempar tombak kontan tersungkur ke bawah, dan jatuh bergulingan sambil menjerit kesakitan.

"Hup!" Bayangan hitam tadi tahu-tahu telah berada di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kontan paras Rangga geram bukan main ketika melihat siapa gerangan penolongnya.

"Raja Penyair! Kau rupanya! Kukira kau telah mampus ditelan iblis!"

"Simpan dulu makianmu! Yang jelas, kita mesti pergi secepatnya dari sini. Ayo, lekas!" ujar bayangan hitam yang ternyata Raja Penyair.

"Aku tak bisa berlari kencang...," keluh Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan bergurau! Ayo, cepaaat! Orang-orang itu mulai mengejar kita!" seru Raja Penyair.

"Harpa Neraka itu telah mengurung ku dalam sebuah ruangan, dan mempengaruhi ku dengan ajian 'Petikan Harpa Neraka'. Jadi, tenagaku saat ini betul-betul lemas,"

"Apa?! Kurang ajar! Betul-betul keparat dia! Ayo, cepat!" maki Raja Penyair.

"Hei, mau apa kau?!" seru Rangga kaget.

Tanpa buang waktu lagi, Raja Penyair segera menyambar tubuh Rangga, membawanya kabur dari tempat itu dengan mendaki bukit di atas.

"Brengsek! Apa yang kau lakukan?!" rutuk Rangga.

"Sudah, jangan banyak bicara! Yang penting kita selamat dulu. Kalau sampai tertangkap, kau akan celaka!"

"Bukan cuma aku. Tapi, kau juga! Bahkan kau yang lebih celaka!"

Raja Penyair terkekeh, tanpa menghiraukan rutukan Pendekar Rajawali Sakti.

ENAM

Raja Penyair benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendaki lereng bukit di depan yang cukup terjal. Semakin tinggi, jalan yang dilalui semakin sulit. Bahkan untuk satu orang. Apalagi saat ini, dia memikul beban. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi dan telah kenal betul dengan daerah sekitarnya yang mampu selamat dari tempat ini. Dan ternyata, Raja Penyair mampu melakukannya dengan baik. Sehingga, kini mereka sampai di bibir atas lereng!

"Mudah-mudahan mereka tidak nekat untuk mengejar sampai di sini...!" desah Raja Penyair penuh harap sambil menoleh ke bawah.

"Hei, turunkan aku!" pinta Rangga, yang sudah merasa jengkel terhadap Raja Penyair.

"Cerewet betul! Apa kau kira kita aman? Ini hutan kekuasaan Setan Belang Pemakan Tulang!" ingat Raja Penyair.

"Aku tak peduli! Ayo, turunkan aku!" sentak Rangga.

"Baik kalau itu maumu!"

Brukk!

Dengan kasar Raja Penyair menghempaskan tubuh pemuda itu. Rangga kontan meringis. Sementara Raja Penyair sudah meninggalkan pemuda itu.

"Hei! Mau ke mana kau?!" tanya Rangga sambil meringis menahan nyeri di dadanya.

Mau tak mau terpaksa Rangga bangkit dan lari mengejar. Tapi dalam keadaan terluka dalam seperti ini, sulit baginya untuk bisa menyusul Raja Penyair. Sebentar saja bayangannya telah hilang. Dan pemuda itu kehilangan jejak.

"Brengsek!" umpat Rangga lagi sambil terus berjalan tersaruk-saruk dengan mulut meringis.

Tapi baru saja melangkah kembali beberapa tindak, mendadak mencelat dua sosok tubuh menghadang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menatap tajam dua laki-laki bertubuh kekar, dengan sebilah golok tajam yang diselempangkan hingga ke pundak masing-masing.

"Hm.... Aku yakin dia anak buah si Harpa Neraka, Adi Kudapaksi," gumam penghadang yang berbaju hitam.

"Tak salah, Kakang Jalak Ireng! Buktinya kulihat tadi arah kedatangannya dari sana," sahut laki-laki satunya yang dipanggil Kudapaksi.

"Hei, Anak Muda! Kau pasti kaki tangannya si Harpa Neraka. Hm.... Kalian telah membunuh saudara seperguruan kami...," tegur laki-laki berbaju hitam yang dipanggil Jalak Ireng.

"Maaf, Kisanak berdua. Aku tak mengerti maksud kalian," ucap Rangga halus.

"Jangan berlagak bodoh!" hardik Kudapaksi. "Barusan kau dari mana?!"

"Dari perkampungan...," sahut Rangga.

"Perkampungan mana?!" cecar Kudapaksi.

"Perkampungan Kidung Bahana!"

"Bagus! Kalau begitu kau harus mampus!" dengus Kudapaksi, seraya berkelebat sambil membabatkan golok besarnya ke leher Rangga.

"Hup!" Dengan sejadi-jadinya, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Sehingga, luput dari tebasan.

"Harpa Neraka dan anak buahnya memang sudah kelewatan. Mereka menganggap diri selalu hebat sendiri. Hari ini jadi pelajaran berharga bagi yang lain! Agar mereka tidak lagi memandang enteng!" seru Jaka Ireng.

Selesai berkata begitu, laki-laki berbaju hitam itu langsung lompat menyerang. Dan Rangga cepat menghindarinya dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Memang, walaupun Rangga terluka dalam akibat pengaruh aji 'Petikan Harpa Neraka', namun untuk mengerahkan jurusnya tidak begitu mengalami kesulitan. Asal saja jangan sampai tenaga dalamnya diumbar terus-menerus. Dan untung saja daya tahan pemuda ini amat mengagumkan.

"Hhh.... Kalau terus begini aku bisa mampus!" keluh Rangga sambil terus meliuk-liukkan tubuhnya di antara kelebatan golok.

Saat itu, Kudapaksi telah kembali siap menebaskan goloknya ke leher. Maka tanpa buang waktu lagi, Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

Sinar biru berkilau langsung memendar dari mata pedang. Tepat ketika golok Kudapaksi sejengkal lagi menemui sasaran, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya.

Wuutt! Trang!

Terdengar benturan keras yang disertai percikan bunga api ke segala arah....

"Heh?!"

"Oh...?!" Kudapaksi terperangah melihat goloknya putus. Sementara Rangga mengeluh, karena pedangnya terpental. Memang Pendekar Rajawali Sakti hanya sedikit mengerahkan tenaga dalam. Sehingga pegangan pada pedang tak begitu kuat. Tapi kalau seluruh tenaga dalamnya dikerahkan, justru keadaannya makin tambah parah.

"Pedang bagus! Ini untukku!" seru Jalak Ireng.

"Hei?!" Bukan main kagetnya Rangga melihat laki-laki berbaju hitam akan memungut pedangnya. Padahal, jaraknya dengan pedang lebih jauh ketimbang jarak orang itu ke pedangnya. Dan kalau sampai pedangnya jatuh ke tangan lawan....

"Heaaa...!" Pada saat yang gawat, mendadak melesat satu bayangan hitam ke arah Jalak Ireng yang akan memungut pedang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

"Akh!"

Ternyata bayangan yang baru muncul adalah sosok Raja Penyair. Tendangannya tadi langsung mampir ke punggung Jalak Ireng hingga jatuh bergulingan. Secepat kilat disambarnya pedang milik Rangga. Pada saat yang sama, Kudapaksi meluruk hendak melepas serangan berupa tendangan terbang. Namun tanpa diduga, Raja Penyair berputar sambil membabatkan pedang milik Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa...!"

Bret!

Terdengar jerit kematian dari mulut Kudapaksi saat perutnya robek tersambar pedang. Tubuhnya langsung ambruk bersimbah darah dan tewas begitu menyentuh tanah. Sementara, Jalak Ireng yang sudah bangkit jadi tertegun. Namun Raja Penyair tak mau membuang-buang kesempatan. Secepat kilat tubuhnya meluruk.

"Heaaa...!"

"Hei?!" Jalak Ireng terkesiap kaget. Segera dia menghindar sejadi-jadinya, Hanya dua kali dia mampu menghindar, karena selebihnya....

Crasss!

"Aaa...!" Pedang di tangan Raja Penyair berhasil menebas leher Jalak Ireng hingga putus! Laki-laki itu langsung tersungkur. Begitu kepalanya menggelinding, darah mengucur deras dari lehernya.

"Ayo, mari kita pergi sebelum yang lain kesini!" ajak Raja Penyair seraya menyerahkan pedang pada Rangga.

Begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah memasukkan pedangnya, Raja Penyair sudah berkelebat cepat.

"Hup!" Rangga sebisanya bangkit. Walaupun sambil meringis, dia berlari sekencang-kencangnya untuk mengikuti kecepatan lari Raja Penyair.

"Ayo, lebih cepat lagi!" teriak Raja Penyair.

"Brengsek! Mana bisa aku lebih kencang lagi dari ini!" umpat Rangga.

"Biar kugendong!"

"Tidak! Aku masih mampu berlari!"

"Kalau begitu ayo cepaaat!"

"Ini juga sudah cepat!"

"Lebih cepat lagi!"

"Sial!" umpat Rangga, kesal. Mereka terus berlari hampir seharian. Peluh telah membasahi seluruh tubuh. Napas Rangga terengah-engah. Demikian pula halnya Raja Penyair. Menjelang sore baru mereka tiba di pinggiran hutan.

"Aku istirahat dulu! Napas ku mau putus rasanya...," keluh Rangga sambil menyandarkan diri di bawah sebatang pohon dan jatuh terduduk.

"Untuk seorang yang terkena aji 'Petikan Harpa Neraka', kau termasuk yang paling hebat. Bahkan sepintas tidak terlihat kalau kau terluka dalam!" puji Raja Penyair.

"Terima kasih atas pujianmu. Tapi bagaimanapun aku lebih suka untuk tidak terkena ajian ini!"

"Itu ajian yang sangat ampuh dan jarang sekali ada obatnya."

"Jarang katamu?"

"Ya!"

"Berarti bukan tak ada?"

"Ada. Dan itu hanya Ki Niti Sabdo yang memilikinya."

"Apakah kau tak tahu ramuannya?"

"Sayang sekali...," Raja Penyair menggeleng lemah. "Tapi kurasa ada berita gembira yang perlu kau ketahui."

"Kukira tak ada berita gembira. Yang ada hanya berita celaka!" gumam Rangga, tak suka.

"Jangan cepat putus asa...," ujar Raja Penyair, kalem.

"Aku bukan putus asa! Aku marah!" bentak Rangga, meninggi.

"Pada siapa?" tanya Raja Penyair, pura-pura pilon.

"Pada siapa lagi kalau bukan padamu?! Ini hanya karena aku ingin membalas budimu. Dan akibatnya aku! Heh?! Ngomong-ngomong, kau memang menginginkan kematianku, ya?" cibir Rangga Raja Penyair terdiam.

Kepalanya menoleh sejenak pada pemuda itu. "Cabut pedangmu! Dan ini leherku. Dengan sekali tebas, maka kau bisa melampiaskan dendammu," ujar Raja Penyair sambil membungkuk sedikit, dan berlutut di depan pemuda itu.

Rangga diam membisu. Bergerak pun tidak.

"Kenapa kau diam saja?" tantang Raja Penyair.

"Aku tak pernah melakukan sesuatu dengan cara semudah itu...."

"Kalau begitu kesempatan masih ada. Saat sehat nanti, kau boleh mencariku dan melampiaskan dendam yang belum reda."

Rangga diam tak menjawab. Sementara Raja Penyair telah berdiri. "Keadaan di sini sudah lebih aman. Kau bisa menentukan jalan mu sendiri...," kata Raja Penyair lagi.

"Sebelum aku pergi, ada yang hendak kutanyakan padamu...," ungkap Rangga.

"Tentang apa?"

"Kenapa kau memperalatku?"

"Karena kuanggap kau pintar. Dan yang terpenting..., kau hebat. Cukup untuk diandalkan untuk menahan mereka, sementara aku mengambil benda yang kuinginkan," sahut Raja Penyair terus-terang.

"Benda apa yang kau cari?"

"Kitab berisi tembang-tembang ampuh untuk melengkapi permainan rebab ku. Kitab itu bernama Kitab Dandang Gula Perapuh Jiwa."

"Lalu kenapa kau mesti membohongi ku?" kejar Rangga.

"Kalau berkata sejujurnya, apakah kau mau membantuku?" Raja Penyair malah balik bertanya.

"Lalu, apakah bantuanmu padaku hari yang lalu juga karena pamrih untuk melancarkan keinginanmu memperalatku?" tukas Rangga.

Raja Penyair menarik napas panjang sebelum menjawab. "Terus terang, tidak. Tapi ketika kau mengatakan akan membalas budi atas pertolonganku, maka aku memikirkan hal itu. Kau cukup hebat untuk kuandalkan," papar Raja Penyair.

"Kuanggap kau orang yang paling tega di dunia dengan menghalalkan segala cara. Tak peduli orang celaka. Tapi, kenapa kau mempertaruhkan diri dengan menuruni lereng itu kembali, setelah bebas dan bisa pergi jauh?"

"Aku merasa..., entahlah! Mungkin perasaan bersalah. Dan bermaksud kembali untuk menolongmu. Tapi kulihat, dari kejauhan kau malah telah berusaha meloloskan diri. Peranan ku amat kecil...," tutur Raja Penyair masyghul. "Siapa yang telah membebaskanmu? "

"Seorang gadis belia bernama Lulur Herang...," sahut Rangga.

"Adik Lulur Herang? Sulit dipercaya! Dia adalah cucu kesayangan Ki Niti Sabdo!"

"Tapi, begitulah kenyataannya...."

"Yaaah, mungkin juga. Lulur Herang sering berbuat aneh. Dan adatnya pun kekanak-kanakan...."

Suasana hening beberapa saat. "Mengapa kau melarikan diri...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.

"Eh, apa?!" Raja Penyair tersentak.

"Mengapa kau melarikan diri dari perkampungan itu? Bukankah mereka semua menyayangi mu?"

"Menyayangiku...? Ha ha ha...!" Raja Penyair tergelak mendengar kata-kata itu.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Rangga, heran.

"Aku hanya merasa geli karena kenyataan berbeda dengan apa yang kau katakan!"

"Apa maksudmu?"

"Kalau mereka menyayangi ku, mengapa aku melarikan diri? Eh, kau tentu tahu tentang aku. Ya, pasti si Tua Bangka itu telah cerita banyak...."

"Dari dia aku tahu kalau kau ternyata seorang gadis. Sifatmu nakal dan suka melawan. Bahkan selalu menyalahi aturan...," papar Rangga, terus terang.

"Ha ha ha...! Begitukah yang mereka katakan padamu?"

"Lalu bagaimana cerita yang sebenarnya?"

Raja Penyair terdiam. Dan dia merenung untuk sejurus lamanya.

"Itu mungkin cerita pribadi. Dan aku tak bermaksud mengusiknya...," ujar Rangga sambil duduk bersila.

"Tidak. Kurasa kau perlu tahu agar hatimu tidak memendam kecurigaan terhadapku...." Raja Penyair terdiam, lalu menarik napas panjang. "Puluhan tahun yang lalu, ada dua orang sahabat akrab. Yang satu kaya raya. Sedangkan seorang lagi hidup biasa. Mereka sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tanpa perasaan apa-apa, orang yang kaya mengajak kawannya tinggal bersama. Tapi, siapa nyana kalau tiba-tiba kawannya yang hidup biasa berhasrat menyerakahi semua harta yang dimiliki. Maka pada suatu saat, keluarga kaya itu diracuni. Maka saat itu pula niat orang yang hidup biasa terlaksana. Namun ada seorang yang selamat, yaitu menantu si kaya yang saat itu tengah mengandung. Dengan bantuan seorang bujang setia, mereka melarikan diri. Hidup mereka telantar. Bahkan si menantu itu meninggal setelah melahirkan putrinya. Maka bersama bujang setia itu, bayi cilik itu berkelana dari tahun ke tahun. Sampai kemudian, bujang setia itu mati. Dan, bocah cilik yang telah berusia sepuluh tahun itu ditemukan seseorang...." Raja Penyair terdiam sebentar.

Rangga bisa melihat bola mata gadis di depannya berkaca-kaca. Namun begitu dia tak bermaksud melepaskan topeng untuk menyeka muka.

"Seseorang yang memungutnya itu kemudian merawatnya penuh kasih sayang. Tapi sayang, dia tidak tahu kalau bocah perempuan itu sejak bisa bicara oleh ibu dan bujang setianya selalu diberi tahu nama dan ciri-ciri pembunuh keluarga mereka. Maka, sadarlah bocah perempuan itu kalau saat ini hidup bersama pembunuh keluarganya. Dia mulai tak betah, dan berusaha untuk melarikan diri. Tapi akalnya berpikir lain. Dan ketika mulai mahir ilmu olah kanuragan, maka ditantangnya orang yang telah menolongnya...," lanjut Raja Penyair.

"Orang itu adalah Ki Niti Sabdo?" tebak Rangga.

Raja Penyair mengangguk. "Dan bocah perempuan yang telah dewasa itu adalah kau sendiri?"

"Benar...."

"Lalu apa yang terjadi?"

"Aku gagal membalaskan dendam keluargaku. Dan secara terus terang, kukatakan niatku hendak membunuhnya. Ki Niti Sabdo menyesali perbuatannya dan meminta maaf. Dia meminta agar aku melupakan peristiwa itu, dan menyuruh tetap tinggal di perkampungan itu. Aku menolak, dan memilih pergi. Namun sebelumnya aku telah mencuri Rebab Swara Buana. Dan sejak saat itulah aku mengembara ke mana-mana...."

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?"

"Suatu saat aku akan menantangnya kembali. Dia memiliki Harpa Neraka yang menjadi andalannya. Senjata itu bisa dilawan, dengan Rebab Swara Buana yang dipadu Kitab Dandang Gula Perapuh Jiwa. Kelak bila kuanggap ilmu silatku cukup, maka aku akan kembali menantangnya!"

"Jadi itukah sebabnya kau memperalat ku, lalu mencuri kitab itu?"

Raja Penyair mengangguk.

"Kenapa dulu kau tidak memintanya secara baik-baik?"

"Dia tak akan memberikannya. Orang tua itu kelewat pelit dengan pusaka-pusaka yang dimiliki!"

Tiba-tiba Raja Penyair memberi isyarat. Dan mereka beringsut ke rerimbunan semak.

Srak!

"Tidak perlu bersembunyi! Aku mengetahui kehadiran kalian di sini!" Terdengar satu suara bernada nyaring. Suara khas yang dimiliki gadis muda.

Dari balik semak-semak, Rangga dan Raja Penyair berusaha mengintip. Dan terlihat seseorang tegak berdiri tidak jauh dari tempat persembunyian.

"Adik Lulur Herang!" seru Raja Penyair.

"Lulur Herang? Apa maunya?" tanya Rangga heran.

"Sebaiknya kita keluar. Karena dia telah mengetahuinya...."

Mereka segera keluar dari persembunyian. Apa yang dikatakan Raja Penyair memang benar. Gadis itu adalah Lulur Herang, yang telah menolong Rangga.

"Kakak Saraswati! Terimalah salam hormatku!" sambut Lulur Herang.

"Sudahlah. Jangan banyak peradatan segala. Aku kini orang luar dan terusir dari kampung. Kau tak perlu menghormatiku segala," tolak Raja Penyair yang ternyata bernama Saraswati.

Memang orang tak akan menyangka kalau Raja Penyair adalah seorang gadis. Dadanya yang rata, serta penampilannya yang mengenakan topeng, membuat Saraswati lebih dikenal sebagai Raja Penyair.

"Bagiku kau tetap seorang kakak yang kuhormati...!"

"Terima kasih! Sekarang, katakanlah. Apa keperluanmu menemui kami?"

"Ada permintaanku padanya!" tunjuk Lulur Herang pada Rangga.

"Aku? Apa yang bisa kubantu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Angkin Naga adalah hadiah Kakek yang diberikan padaku. Tapi benda itu dirampas seseorang. Maukah kau membawakannya untukku? Kalau kau setuju, maka sekarang juga akan kuberikan obat pemunah aji 'Petikan Harpa Neraka'," jelas Lulur Herang.

TUJUH

Selesai berkata begitu, Lulur Herang membuka telapak tangan kanan. Maka terlihat sebuah kendi kecil berisi tiga butir obat pulung berukuran kecil.

"Lulur Herang.... Tahukah kau akan perbuatanmu ini? Ki Niti Sabdo akan menghukum mu!" seru Raja Penyair mengingatkan.

"Aku tak peduli! Aku benci Kakek!" sungut gadis belia ini.

"Kenapa? Apakah beliau memarahi mu?" Dengan wajah cemberut gadis itu mengangguk.

"Kalau kau mencuri obatnya, maka beliau akan semakin marah padamu...."

"Biar saja! Aku tak peduli!" Gadis itu masih menunjukkan wajah cemberut. Lalu wajahnya berpaling pada Rangga.

"Bagaimana? Apakah kau setuju?" tanya Lulur Herang.

Rangga menarik napas panjang. Dahinya sedikit berkerut memikirkan tawaran itu. Sebentar kepalanya menoleh pada Raja Penyair sebelum kemudian mengangguk.

"Bagus! Nah! Terimalah obat ini!" sahut Lulur Herang gembira sambil melemparkan kendi kecil dalam genggamannya. "Minum ketiganya sekaligus. Maka luka dalammu akibat aji 'Petikan Harpa Neraka' akan berangsur-angsur sembuh.

Tanpa banyak tingkah, Rangga menenggaknya sekaligus. Lalu diambilnya sikap semadi. Pikirannya dipusatkan sambil mengerahkan hawa murni. Matanya terpejam dengan napas diatur perlahan. Benar saja, sebentar kemudian Rangga merasakan ada sesuatu yang mendesak-desak dadanya. Perutnya terasa mulas seperti diaduk-aduk. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Lalu....

"Hoeeekh...!" Rangga memuntahkan darah kental berwarna hitam. Namun sikapnya tak berubah, pikirannya tetap dipusatkan pada satu titik.

"Hoeeekh...!" Kembali Pendekar Rajawali Sakti memuntahkan darah kental. Namun kali ini warnanya merah segar.

"Bagus! Itu tandanya pengaruh aji 'Petikan Harpa Neraka' mulai lenyap!" seru Lulur Herang.

"Adik Lulur Herang.... Kau tak perlu memberitahukannya. Rangga telah mengetahui semuanya...," ujar Raja Penyair.

"Tapi ini amat berbahaya, Kak...!" tangkis gadis belia itu.

"Orang seperti dia bukan sekali atau dua kali mengalami keadaan seperti ini. Dia akan tahu bagaimana cara menanggulanginya...."

"Yaaah! Terserah. Aku hanya sekadar ingin membantu!" sahut Lulur Herang sambil angkat bahu. Kemudian matanya melirik.

"Kenapa Kakak sekarang memakai topeng segala? Wajah Kakak cukup cantik. Dan kalau semua pemuda melihatnya, mereka pasti berebutan memikat Kakak!"

"Aku tak bermaksud memikat siapa pun, Adik Lulur Herang...."

"Ya, memang! Tapi sebagai wanita kan ada kebanggaan tersendiri kalau banyak laki-laki yang mengagumi?"

"Kau pun cukup cantik. Dan kurasa, banyak laki-laki yang naksir padamu...!"

"Benarkah?!" Wajah Lulur Herang tampak berseri-seri. Sementara Raja Penyair mengangguk untuk meyakinkan jawabannya.

Tapi nyatanya tak ada seorang pemuda pun yang menyukaiku...!" cibir gadis belia ini, manja.

"Itu karena mereka takut."

"Ya, ya.... Aku sadar. Aku memang galak!"

"Bukan. Mereka bukan takut padamu!"

"Lalu takut pada siapa?"

"Pada kakekmu."

"Pada kakek? Hm, lucu! Apa yang mesti ditakutkan? Kakek bukan tukang makan orang seperti si Setan Belang Pemakan Tulang itu. Kenapa mesti takut segala padanya. Kakak juga tidak takut kan? Buktinya dulu pernah berkelahi dengan kakek."

"Kau cucu kesayangan beliau, Lulur Herang. Dan beliau amat menyayangi mu. Sehingga kau tidak merasakan apa yang dirasakan orang lain terhadap kakekmu...."

"Aku tidak mengerti maksud Kakak! Semuanya serba membingungkan!"

"Suatu saat, kau pasti akan mengerti...."

"Aku ingin mengerti sekarang saja! Ayolah, tolong jelaskan!" paksa gadis itu.

Raja Penyair belum sempat menjawab ketika terdengar keluh kesakitan dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Dari mulutnya kembali menyembur cairan kental berwarna merah. Tapi warna merahnya sudah benar-benar merah segar.

"Bagus! Kau berhasil membebaskan diri dari ajian itu!" kata Lulur Herang terus memberi semangat ketika Pendekar Rajawali Sakti terus melakukan beberapa gerakan untuk melancarkan peredaran darahnya.

"Ayo, kau pasti bisa! Lakukan dengan baik! Ayo, lekas!"

Melihat itu, Raja Penyair hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tak bermaksud melarang. Karena kalau pembicaraan tadi berlanjut, Lulur Herang akan terus memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan lain yang tak akan habis-habisnya.

Sementara itu wajah Pendekar Rajawali Sakti kelihatan pucat. Namun ketika kelopak matanya terbuka, terlihat sorot matanya tajam dan liar. Lalu tiba-tiba saja dia melompat bangkit. "Aji Guntur Geni...! Heaaa...!"

Sambil membentak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke depan.

Wusss...! Brakkk...!

Sebatang pohon besar berukuran kurang lebih sepelukan laki-laki dewasa kontan hancur berantakan terhantam sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum lega menyadari kesehatan dan tenaga dalamnya telah pulih. Tubuhnya langsung berbalik, menatap suka cita pada Lulur Herang.

"Sungguh aku berhutang nyawa padamu, Lulur! Dua kali kamu menolongku. Entah, bagaimana aku harus membalasnya," desak Pendekar Rajawali Sakti, penuh kebahagiaan.

"Simpan saja rasa terima kasihmu, Kakang. Yang penting tolong rebut Angkin Naga dari orang yang mencurinya," sahut Lulur Herang.

"Akan ku usahakan semampu ku!" tegas Rangga. "Suiiittt...! Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring.

Sebentar saja, terlihat dari kejauhan seekor kuda hitam menghampiri. "Hieee...!"

"Bagus, Dewa Bayu! Ternyata kau masih setia mengikutiku dari kejauhan. Mari kita pergi...," ujar Rangga sambil mengusap-usap leher tunggangannya. Dan dengan gerakan ringan, dia lompat ke punggung kuda hitam itu.

"Eee, mau ke mana kau?!" tahan Lulur Herang.

"Katamu tadi mencari Angkin Naga?" sahut Rangga.

"Aku ikut!" pinta gadis belia itu.

"Lebih baik jangan...."

"Tidak! Kau tidak tahu, mana angkin yang asli. Dan kau juga tidak tahu, bagaimana melumpuhkan kesaktian angkin itu. Kau akan dibuat repot seandainya memakai angkin itu," kilah Lulur Herang.

"Baiklah.... Kalau begitu, naiklah," ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah bisa menerima alasan Lulur Herang.

"Hup!" Dengan gerakan ringan pula, Lulur Herang lompat ke belakang pemuda itu. Dari gerakannya bisa ditebak kalau gadis ini cukup berisi juga.

"Apakah aku akan kalian tinggalkan begitu saja?" usik Raja Penyair.

"Kurasa kau tak ada sangkut-pautnya dengan hal ini. Keinginanmu telah tercapai. Biarlah kami berdua yang mengurusnya...," jawab Rangga, tegas.

"Kalau aku bersedia ikut dengan suka rela, apakah kau akan tetap melarangku?"

Rangga angkat bahu. "Ya, apa boleh buat? Bagaimanapun, tenaga bertiga lebih baik ketimbang dua orang. Tapi menunggang kuda dengan dua orang gadis, bisa-bisa kepalaku makin besar saja...."

"Tidak usah merepotkan. Aku bisa menyusul kalian meski tanpa kuda!" sahut Raja Penyair meyakinkan.

"Aku tidak meragukan kemampuanmu. Tapi, rasanya kurang sopan. Biarlah aku yang berjalan kaki dan kalian berdua menunggang kuda!" kata Rangga.

"Kenapa kita tidak menuntunnya saja sekalian. Lalu, kita bertiga jalan kaki?" tanya Lulur Herang memberi usul.

"Baiklah. Begitu juga baik...," ujar Rangga.

Akhirnya mereka jalan kaki. Dan Rangga menuntun Dewa Bayu.

"Ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Lulur Herang.

"Bukankah Angkin Naga dicuri Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa? Jadi tujuan kita adalah mencarinya," sahut Rangga.

"Siapa yang tahu di mana dia berada...?" tanya Lulur Herang lagi.

"Aku tahu!" sahut Raja Penyair pendek.

"Syukurlah. Berarti kita tak repot-repot lagi mencarinya...."

"Tempatnya agak jauh dari sini. Mendekati pantai selatan. Kita akan berminggu-minggu tiba di sana, kalau berjalan kaki seperti ini...," lanjut Raja Penyair.

"Nanti setiba di desa terdekat, kita membeli dua ekor kuda lagi. Dengan begitu perjalanan bisa dipercepat," usul Rangga.

"Begitu lebih baik."

"Tapi aku tak punya uang!" kata Lulur Herang lugu.

"Biar aku yang akan membelikannya!" jawab Rangga.

"Ayo, sekarang percepat langkah. Mudah-mudahan sebelum malam, kita bisa tiba di desa terdekat. Sekalian mengisi perutku yang mulai berkukuruyuk!"

TUJUH

"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Binatang! Aouw...! Terkutuk kau! Terkutuk kau...! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!"

Terdengar jeritan-jeritan menyayat dari mulut seorang wanita. Jeritan yang berasal dari sebuah pondok itu tak membuat iba seorang laki-laki yang juga berada di dalam pondok itu.

"Ha ha ha...! Sampai kapan kau bisa bertahan dariku, Malini sayang?"

"Iblis terkutuk! Kau akan menyesal bila berani melakukannya padaku!" bentak gadis yang dipanggil Malini.

"Satu-satunya yang kusesali adalah kalau gagal bersenang-senang denganmu! Ayo, Malini. Percuma saja kau berteriak dan melawan. Tak ada seorang pun yang mampu menahan keinginanku. Tak seorang pun! Sia-sia saja kau mengharapkan pertolongan! Juga sia-sia saja seandainya berharap bisa lepas dariku...!"

"Aouuuw...!"

"Ha ha ha...!"

Perlahan-lahan gadis yang siap diterkam itu beringsut ke sudut ranjang dengan wajah penuh ketakutan. Tak ada lagi daya dan upaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman sosok yang bagaikan serigala lapar itu. Kalaupun sampai saat ini yang terdengar hanya suara jeritan dan suara tawa terbahak-bahak, barangkali si pemangsa sengaja mempermainkan korbannya lebih dulu. Tapi pada saat itu, mendadak....

"Iblis jahanam! Keluar kau! Perlihatkan batang hidungmu! Atau kuhancurkan kandang sapi ini...!"

Gadis yang merupakan putri Banghadur Gupta itu memang diculik oleh guru dari si Capung Hitam. Padahal, memang Malini sendiri yang mengundang lewat si Capung Hitam (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Misteri Wanita Bertopeng).

"Heh, kurang ajar! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?! Mau mampus barangkali!" dengus laki-laki yang berada dalam pondok sambil menyambar pakaiannya.

"Capung Hitam! Di mana kau?! Bereskan manusia celaka itu!"

Namun tak ada sahutan. Dan ini membuat laki-laki itu kesal. "Capung Hitam! Kau dengar kata-kataku?! Bereskan orang itu!"

Bruakkk!

Sebagai jawaban, malah terdengar suara keras dari pintu depan yang hancur berantakan. Beberapa keping kayu dan batu melayang ke dalam kamar ini.

"Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa! Keluar kau! Keluar kau iblis pengecut...!" bentak suara tadi, dengan suara menggelegar.

"Kurang ajar! Ke mana perginya anak gendeng itu? Kalau ketemu, akan ku cekik sampai mampus!" dengus laki-laki yang disebut sebagai Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa seraya melayang keluar dengan ringan.

Di halaman depan terlihat seorang laki-laki kurus berkulit hitam dengan hidung mancung dan kelopak mata cekung. Dia bertelanjang dada, dan hanya mengenakan cawat yang terbuat dari lipatan selendang.

"Kecoa busuk! Mau apa kau mengganggu kesenangan orang?!" teriak Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Serahkan putri ku. Atau, ku ratakan tempat ini!" ancam laki-laki kurus yang tak lain Banghadur Gupta.

"Meratakan tempat ini? Ha ha ha...!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa yang bertubuh besar dengan hidung pesek dan bibir nyaris tak terlihat tertawa lebar. Begitu tawanya berhenti, paras wajahnya berubah geram. Telapak tangan kanannya menghantam ke depan.

"Hiih! Cacing kurus, mampuslah kau!"

Wuusss...!

Serangkum angin kencang laksana badai topan meluruk ke arah Banghadur Gupta. Namun dengan lincahnya, laki-laki bertelanjang dada itu berkelit ke samping. Dan seketika kedua tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh.

Siutt...!

Angin panas yang mampu membakar kulit menerpa ke arah Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Namun dengan sedikit mengibaskan tangan kiri, pukulan Banghadur Gupta rontok. Sementara, orang asing berkulit legam itu tak tinggal diam. Tubuhnya mendadak melesat menyerang disertai siulan yang panjang dan berirama tak teratur.

"Huh! Macam-macam saja kau!" dengus Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa seraya mengibaskan kedua tangan.

Wuuttt...!

Tubuh Banghadur Gupta mencelat ke atas menghindari terpaan tenaga dalam Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Kaki kanannya bergerak cepat ke wajah. Namun dengan gesit laki-laki bertubuh besar menangkis. Dan tahu-tahu, kepalan kirinya dengan mantap menghajar dada.

Jdeg!

"Aahh...!" Banghadur Gupta terjajar mundur beberapa langkah. Dari mulutnya keluar keluh kesakitan. Ini menandakan kalau tenaga dalam Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa berada setingkat di atasnya. Namun begitu dengan semangat berapi-api dia kembali menyerang.

"Heaaa...!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa tidak beru鈥恠aha mengelak. Ditangkisnya semua serangan dengan penuh percaya diri. Bahkan balik menyerang, sampai-sampai Banghadur Gupta mesti menjaga jarak.

"Hiih!" Ketika kepalan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menghantam ke dada, cepat Banghadur Gupta memutar tubuhnya sambil berusaha melakukan tendangan ke arah pinggang.

Tap!

Tapi siapa sangka tiba-tiba tangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa bergerak cepat, menangkap kakinya. Kemudian dengan gaya khas, dilemparkannya Banghadur Gupta ke atas.

"Aaakh...!" Banghadur Gupta menjerit. Tubuhnya melayang seperti layangan putus, lalu jatuh dengan keras ke tanah. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Huh! Cuma segitukah kemampuanmu berani berkoar-koar di hadapanku?!" dengus Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa mengejek. "Ilmu sihirmu tak berarti sama sekali bagiku. Bahkan saat ini aku bisa menyihirmu jadi tape!"

"Keparat! Aku belum kalah olehmu. Coba kau lihat ke sana!" dengus Banghadur Gupta.

"Hm!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa melirik. Tampak sekawanan rajawali bergerak cepat menyambarnya. Sementara dari darat terlihat ratusan ular berbisa menyerbunya. Bahkan puluhan banteng siap melumatkannya.

"Itulah pasukanku yang akan melumatkanmu. He he he...!" kekeh Banghadur Gupta.

"Huh! Ini sama sekali tidak berarti bagiku!" dengus laki-laki tinggi besar itu.

DELAPAN

Apa yang dikatakan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa bukan isapan jempol belaka. Ketika tubuhnya berputar, mendadak terlihat angin halus yang berubah cepat menjadi angin ribut yang menelan hewan-hewan itu. Suara teriakan rajawali, lenguh banteng, dan desis ular, semua tertelan oleh gemuruh angin kencang yang diciptakan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Hah?!" Bukan main kagetnya Banghadur Gupta melihat keadaan itu. Dan lebih kaget lagi ketika semua hewan-hewan yang tadi dipanggilnya habis tersapu bersih. Dan kini gilirannya!

"Celaka! Aku harus menyelamatkan diri!" keluh laki-laki berkulit hitam ini berusaha bangkit. Tapi usaha Banghadur Gupta sia-sia saja. Karena angin lesus itu telah melibatnya dengan cepat.

Wup!

"Aaa...!" Terdengar jeritan panjang menyayat, ketika tubuh Banghadur Gupta tertelan pusaran angin. Kemudian tercampak keras, membentur sebatang pohon besar hingga hancur. Dan angin itu perlahan-lahan mereda. Menjadi bentuk aslinya, yaitu si Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Huh! Hanya segitukah kemampuanmu? Kau cari mati berani datang ke sini!" dengus laki-laki bertubuh besar ini. Baru saja laki-laki itu akan melangkah, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari kejauhan.

"Hm!" Secepatnya Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menoleh, melihat tiga penunggang kuda mendatangi tempat ini. Satu pemuda berompi putih, dan seorang lagi seseorang berpakaian serba hitam, bertopeng, dan membawa harpa. Yang terakhir adalah gadis belia berwajah manis. Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa tegak berdiri sambil berkacak pinggang, menghadang ketiga. penunggang kuda itu.

"Berhenti...!" Bentakan keras menggelegar membuat ketiga orang itu menghentikan laju kuda. "Sebelum celaka, lekas minggat dari sini!" bentak laki-laki berhidung pesek itu garang.

"Kaukah yang bergelar Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa?" tanya pemuda berompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau benar, kau mau apa?!" sahut laki-laki itu, bernada meremehkan.

"Aku mendapat pesan dari Ki Niti Sabdo untuk meminta Angkin Naga yang kau curi darinya!" sahut Rangga.

"Dia mengutus kalian?! Ha ha ha...! Sungguh gegabah Niti Sabdo! Sungguh gegabah...!"

"Lebih baik serahkan Angkin Naga itu padaku!" bentak gadis berusia muda dengan suara nyaring.

"Siapa kau bocah manis?" tanya Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa, menatap penuh hasrat.

"Aku cucu kakek Niti Sabdo!" sahut gadis yang memang Lulur Herang, mantap!

"Kau cucunya? Hi hi hi...! Tua bangka itu pasti sudah kurang waras otaknya. Sampai-sampai tega mengirim cucunya sendiri!"

"Kisanak! Benda itu bukan milikmu! Serahkanlah padanya. Dia lebih berhak memilikinya ketimbang kau!" ujar Rangga.

"Tutup mulutmu, Bocah! Tahu apa kau?!" leceh Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Apa pun yang kuinginkan, harus kumiliki. Dan benda itu telah jadi milikku. Maka tak seorang pun yang boleh merebutnya dariku kalau masih ingin hidup!"

"Kalau begitu kami terpaksa merebutnya dengan kekerasan!"

"Ha ha ha...! Sungguh lancang kalian. Baiklah! Hitung-hitung ingin kulihat, bekal apa yang kalian bawa hingga berani menyatroniku!"

Selesai berkata begitu, tiba-tiba saja Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa melompat menyerang. Yang ditujunya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Karena sejak tadi dia melihat pemuda ini memiliki kepandaian paling tinggi

"Hup!" Rangga melenting dari punggung kudanya. Namun tak disangka Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa mengejar kelewat cepat sambil mengibaskan kedua tangannya. Sambil berputaran di udara, Pendekar Rajawali Sakti menangkis. Karena sudah tahu siapa Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa, Rangga langsung mengerahkan tenaga dalamnya hingga hampir puncaknya.

Plak! Plak!

"Uhh...!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa agaknya meremehkan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga saat berbenturan tadi, tubuhnya sempat terlempar beberapa tombak. Untungnya dengan gerakan lincah dia bisa mendarat manis di tanah.

"Kurang ajar! Hebat juga rupanya kau...!" Seketika Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menyilangkan kedua tangan di dada.

"Heaaa...!" Disertai bentakan keras, tubuh laki-laki itu berputaran. Kini wujudnya berubah bagaikan tiupan angin yang semula perlahan, mendadak berubah bagaikan topan menggila.

"Hmm...?" Pendekar Rajawali Sakti segera membuat gerakan tangan dengan kuda-kuda kokoh. Tepat ketika serangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa satu tombak lagi tiba, kedua telapak tangan Rangga telah berada di sisi pinggang. Lalu....

"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!" Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghentak ke depan. Seketika tercipta angin kencang laksana badai topan, memapak serangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

Jderrr!

Benturan antara dua tenaga dahsyat itu betul-betul menimbulkan suara ledakan dahsyat. Batu-batu sebesar kepala kerbau dan batang-batang pohon di sekitar tempat itu terpelanting kesana kemari. Dan bangunan rumah milik lawan, hancur berantakan! Lalu....

"Aaakh...!" Kedua orang yang bertarung sama-sama terpental disertai jerit tertahan.

Dari mulut Pendekar Rajawali Sakti meleleh darah segar. Wajahnya berubah pucat bagai mayat saat berusaha bangkit berdiri.

"Heaaa...!" Sementara, Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa telah sejak tadi bangkit. Bahkan terus melesat menyerang.

"Gila! Tenaga dalamnya benar-benar dahsyat?!" gumam Rangga kaget.

"Yeaaa...!"

"Hiyaaat...!"

Sementara Raja Penyair dan Lulur Herang tidak tinggal diam. Melihat keadaan itu mereka langsung meluruk menghadang serangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Laki-laki bertubuh besar itu mendengus geram. Seketika telapak tangan kirinya mengebut ke arah dua penyerangnya.

Dess...!

"Aaakh...!" Terjadi benturan dahsyat.

Karena tenaga dalam Raja Penyair dan Lulur Herang masih terbatas, tak pelak lagi keduanya terpental ke belakang. Begitu mendarat, mereka sempoyongan dengan mulut meringis. Darah tampak meleleh dari sudut bibir. Namun hal itu bukannya tanpa arti. Sebab serangan laki-laki berhidung pesek terhadap Pendekar Rajawali Sakti terhenti. Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa jatuh terduduk. Dari sudut bibirnya keluar tetesan darah. Namun buru-buru disekanya. Kini matanya memandang geram ke arah Rangga.

"Bocah terkutuk! Kau akan mampus sekarang juga!" desis laki-laki itu penuh dendam.

"Aku pun telah siap menghadapimu!" sambut Rangga dingin.

Sring!

Keadaan Rangga memang tidak menguntungkan. Tubuhnya malah gemetar ketika mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Meski begitu semangatnya dikuatkan. Rangga telah bertekad untuk pantang menyerah begitu saja.

"Heh?!" Tapi sebelum Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menyerang, mendadak terdengar nada-nada harpa dimainkan dari jarak jauh.

"Harpa Neraka...!" desis Rangga.

"Niti Sabdo! Akhirnya kau muncul juga di sini!" seru Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Aku datang karena dua hal, Bogatama! Pertama kau mencuri benda kesayanganku. Dan kedua, kau melukai cucuku. Untuk yang kesatu bisa ku maafkan. Tapi yang kedua sama sekali tak bisa kuampuni...," sahut satu suara tanpa wujud.

"Huh! Jangan kira aku takut denganmu! Perlihatkan dirimu sekarang juga!" bentak Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa yang ternyata bernama asli Ki Bogatama.

"Ha ha ha...! Bogatama, Bogatama...! Kau masih juga sombong seperti dulu meski usiamu telah keropos dimakan zaman."

"Perlihatkan dirimu!" bentak Ki Bogatama.

"Baiklah!"

Wusss...!

Mendadak berkelebat satu bayangan hitam dari balik sebatang pohon. Dan tahu-tahu di depan Ki Bogatama berdiri seorang laki-laki tua berbaju serba putih. Jenggotnya panjang dengan rambut telah memutih. Di tangannya terdapat harpa yang siap dicabik. Begitu melihat kemunculan sosok yang memang Harpa Neraka alias Ki Niti Sabdo, Ki Bogatama langsung menyerang dengan serangan angin lesus. Tubuhnya berputaran, membentuk segulungan angin topan yang bergerak ke arah Harpa Neraka.

"Ha ha ha...! Kau sungguh hebat, Bogatama!"

"Jangan banyak mulut! Hari ini kita tentukan. Kau atau aku yang mampus!"

"Hup!" Ki Niti Sabdo mencelat ke atas sambil memainkan harpanya. Tapi angin topan itu terus mengejar. Secepatnya Harpa Neraka mencelat turun. Begitu mendarat, tangan kirinya mengibas. Seketika bertiup angin lembut, langsung meredakan amukan angin lesus yang diciptakan Ki Bogatama. Tapi, cuma sebentar. Karena berikutnya angin lesus itu semakin liar dan galak saja. Sementara Ki Niti Sabdo terus mengimbangi.

Pertarungan aneh antara Ki Bogatama melawan Ki Niti Sabdo memang berjalan seru. Tapi Rangga bisa langsung menyimpulkan kalau Ki Niti Sabdo yang keluar sebagai pemenang. Berarti tak lama lagi Angkin Naga akan dimiliki orang tua itu lagi. Dia menyadari, kini kehadirannya di tempat ini tak diperlukan. Perlahan dia bangkit setelah menyarungkan pedangnya yang bersinar biru berkilau.

"Heh?! Ke mana si Raja Penyair?" gumam Rangga pendek ketika gadis berbaju hitam dan bertopeng itu telah lenyap dari tempatnya. "Hm..., aku tahu! Kurasa dia tak ingin bertemu dengan Ki Niti Sabdo..."

Dan seketika Rangga beralih pada Lulur Herang. Gadis belia itu tampak asyik menyaksikan pertarungan. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke arah Dewa Bayu. Dengan gerakan agak tersendat karena luka dalamnya, Rangga naik ke punggung Dewa Bayu.

"Ayo, Dewa Bayu! Kita tinggalkan tempat ini...," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Pelan-pelan Rangga meninggalkan tempat itu. Tapi belum begitu jauh, terlihat seseorang berdiri menghadang. Dan setelah dekat, Pendekar Rajawali Sakti terkejut

"Malini...! Mau apa kau di sini...?" tanya Rangga. Gadis itu diam tertunduk.

"Ternyata kau tak apa-apa. Dan lagi-lagi, kau pandai bersandiwara!" sindir Rangga seraya menggebah kudanya perlahan.

"Kakang Rangga...!" panggil Malini.

"Apalagi maumu?" tanya Rangga, menghentikan kudanya.

"Kukira..., kukira kau datang ke sini untuk membebaskanku dari cengkeramannya...," kata gadis ini, tergagap.

"Apa maksudmu?"

"Yang menculikku adalah Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Aku sendiri yang mengundangnya, karena dia guru si Capung Hitam. Sungguh aku tak menyangka akan begini jadinya. Baru saja ayahku tewas olehnya ketika Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa hendak menodaiku...."

Rangga terdiam beberapa saat.

"Lagi-lagi Kakang telah menyelamatkanku. Tapi hidupku telah tak berguna. Aku memiliki banyak noda yang menutupi sekujur tubuh. Kakang! Biarkanlah aku mengabdi dan menjadi budakmu seumur hidup. Budimu kelewat berat untuk kupikul. Dan aku tak bisa membayarnya!" kata gadis itu sambil berlutut dan memohon.

"Kenapa kau ingin menangkapku?" tanya Rangga, dingin.

"Eh, apa?!" Malini tergagap.

"Kenapa saat itu kau hendak menangkapku?!" ulang Rangga.

"Aku..., aku malu mengatakannya...."

"Katakanlah!"

"Kakang tidak marah?"

"Aku ingin dengar pengakuanmu yang jujur!"

"Baiklah, Kakang. Aku.., aku mencintaimu. Tapi untuk memiliki mu, rasanya tak mungkin. Jadi..., aku berharap bisa mendapat keturunan darimu melalui..., melalui...." Putri Banghadur Gupta tak kuasa meneruskan kata-katanya. Kepalanya menunduk, lalu menangis terisak.

"Tahukah kau bahwa perbuatanmu itu salah? Kau telah memaksakan kehendakmu atas orang lain!"

"Kakang! Aku betul-betul bersalah! Ampunilah aku, Kakang! Kau hukum pun aku rela! Kakang, ampuni aku...!"

"Malini! Sebetulnya niatku bertemu denganmu, ingin menghukum mu. Tapi itu tak bisa kulakukan...."

"Kakang! Kau boleh menghukumku sekarang juga!" tukas gadis itu.

"Biarlah.... Biarlah karma yang menghukum mu. Aku sudah cukup bahagia seandainya kau merubah jalan hidupmu...."

"Jadi, jadi kau memaafkan aku?"

"Yang Maha Kuasa saja mau memaafkan hambanya, apalagi aku yang hanya manusia biasa."

"Oh! Terima kasih, Kakang!"

"Nah, urusanku telah selesai. Selamat tinggal! Heaaa...!"

Malini yang hendak menubruk Rangga jadi terlongong saat Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya dengan kencang.

"Kakang...! Kakang Rangga...!" teriak gadis itu memanggil.

Tapi sia-sia saja. Pemuda itu tak sedikit pun menoleh. Apalagi berhenti. Malini terduduk lesu dengan air mata mengalir membasahi pipi. Dari jauh, samar-samar terdengar syair yang tengah dilantunkan.

Sungguh malang nasibmu, wanita mengharapkan cinta yang fana
Seperti rembulan dan matahari
Sia-sia bertemu
Dan meski dalam mimpi
Sang Pemuda tetap dalam kelana
Oh, ini cuma sekeping kisah
Seorang anak manusia yang dirundung duka, karena cinta

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SETAN ALAM KUBUR

Harpa Neraka

HARPA NERAKA

SATU

UDARA sore ini terasa sejuk. Matahari berkali-kali tertutup awan kelabu. Suasana lengang. Tak ditingkahi suara petir. Seekor burung melintas agak pendek, lewat di depan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Pemuda ini memandang sambil tersenyum, kemudian bangkit berdiri. Diusap-usapnya kuda hitam berbulu hitam mengkilap di sisinya.

"Sudah lama kita berada di sini, Dewa Bayu.... Dan kelihatannya orang itu belum juga muncul. Entah dia akan datang atau sekadar mempermainkan ku...," desah pemuda yang tak lain Rangga.

Di kalangan persilatan kiprahnya begitu menggetarkan. Tak seorang pun tokoh yang tak pernah mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti! Hewan berbulu hitam itu meringkik halus dan menggetarkan bulunya. Kepalanya terangguk-angguk, seolah mengerti apa yang dikatakan Rangga.

"Baiklah. Kita tunggu dia sebentar lagi. Kalau tak muncul juga berarti dia sengaja mempermainkan ku...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti, seraya kembali melangkah ke tempat semula.

Pemuda itu kembali bersandar di bawah pohon. Duduk seenaknya dengan sebatang rumput di antara bibirnya. Meski begitu, telinganya tetap dipertajam. Dan saat itu juga lapat-lapat telinganya mendengar gesekan rebab dari kejauhan. Seketika bibirnya tersenyum.

"Nah! Akhirnya datang juga dia...!" desah Rangga seraya bangkit berdiri.

Dari jauh ku datang
Membawa janji yang malang
Ternyata sia-sia, sebab yang ditunggu tak kunjung datang
Aduhai hatiku yang tak tenang
Karena cintaku terhalang oleh selubung awan
Adakah dia akan mengenang meski cuma sebatas angan?


Orang yang ditunggu Pendekar Rajawali Sakti muncul sambil melantunkan syair. Lengkap dengan ciri khasnya. Wajahnya diselubungi topeng berbentuk wajah perempuan. Rambutnya panjang terurai. Dia membawa sebuah rebab yang digesek halus menimbulkan irama syahdu. Jalannya lambat. Suaranya halus seperti perempuan. Tapi dadanya kelihatan rata.

Jarak antara dua pundak sedikit lebar dari yang dimiliki perempuan pada umumnya. Langkah orang bertopeng itu terhenti ketika tiba di depan Rangga. Kedengaran suara tawanya yang cempreng dan nyaring.

"Hi hi hi...! Kasihan.... Apakah kau sudah lama menunggu?" tanya sosok aneh ini. Nada suaranya terdengar seenaknya.

"Belum! Belum lama, Raja Penyair. Tapi cukup untuk menimbulkan rasa kantuk dan bosan. Kenapa kau lama sekali baru muncul?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, sedikit mangkel.

"Ada urusan yang mesti kuselesaikan...," sahut sosok bertopeng yang tak lain Raja Penyair.

"Meski banyak urusan, tapi masih sempat nyanyi segala!" Raja Penyair tertawa halus. "Tapi mestinya gelarmu mulai sekarang dicopot!" lanjut Rangga.

"He, kenapa begitu?!" tukas Raja Penyair, tak mengerti.

"Syair mu kacau!" ejek Rangga. "Kau katakan yang ditunggu-tunggu tak datang. Padahal bukan kau yang menunggu. Tapi, aku!"

Suara Raja Penyair yang tadi kaget, kembali berubah. Dan kini, terdengar tawanya yang berderai. "Hi hi hi..! Syair bisa ditafsirkan macam-macam. Dan itu boleh saja sesuai selera. Kaupun kelihatan girang, padahal kekasihmu digondol maling," kilah Raja Penyair, seenaknya.

"Kekasih? Siapa yang kau maksud?"

"Siapa lagi kalau bukan yang telah mempengaruhi tenagamu, setelah kau diberi minuman yang telah diberi ajian 'Pelumpuh Raga'?"

"Oh, Malini?!" seru Rangga. Dan kesudahannya, pemuda ini terkekeh. "Cantik ya? Kalau dia mau jadi kekasihku, berarti tampangku hebat betul!"

"Huh! Jangan merasa paling tampan! Siapa bilang tampangmu hebat?" dengus Raja Penyair.

"Eeee, jangan sewot? Memang ada yang melarang memuji diri sendiri?"

"Sudah, sudah! Kita jangan melantur!"

"Baiklah. Kau kirim pesan supaya aku datang ke sini untuk membalas budimu. Nah! Sekarang katakan, apa yang bisa kulakukan untuk membalas budimu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, setelah terkekeh.

"Aku butuh pertolonganmu...," desah Raja Penyair.

"Pertolongan apa?"

"Kekasihku diculik orang...."

Tawa Rangga meledak mendengar kata-kata Raja Penyair.

"Diam dulu! Aku belum selesai bicara!" hardik Raja Penyair kesal. "Kenapa tertawa?!"

Rangga kontan menghentikan tawanya dengan napas terengah-engah. "Maaf, Raja Penyair. Aku ini sebenarnya tidak tahu, kau laki-laki atau perempuan? Kalau gelarmu Raja Penyair, mestinya laki-laki. Tapi suara dan lagakmu seperti perempuan. Dan kenapa kau mesti pakai topeng segala? Dan..., melihat keadaanmu yang demikian, bagaimana pula kekasihmu? Lalu, siapa pula yang menculiknya?" cerocos Rangga.

Raja Penyair diam membisu. Dadanya beberapa kali membusung mengikuti gerakan kedua pundaknya. Kelihatan hatinya kesal sekali. "Sudah selesai bicaramu?" tanya Raja Penyair, begitu Pendekar Rajawali Sakti selesai mengoceh.

"Sudah, sudah...! Ceritakanlah! Pertolongan apa yang bisa kuberikan untukmu?" sahut Rangga.

"Bukan hanya kekasihku. Tapi, orangtua ku pun diculik. Kau harus membantuku membebaskan mereka!" tegas Raja Penyair.

"He, kudengar kepandaianmu hebat! Apakah orang sepertimu masih memerlukan orang sepertiku yang tak bisa apa-apa?" tukas Rangga, merendah.

"Mereka berjumlah banyak. Dan rata-rata berkepandaian hebat. Aku tak mau usaha penyelamatan ini gagal!"

Rangga mengangguk mengerti. "Sebenarnya urusan apa sehingga mereka diculik? Minta tebusan atau kau punya kesalahan terhadap mereka? Dan..., siapa sebenarnya penculik yang kau maksudkan itu?"

"Aku lupa mengatakan satu hal!"

"Hmm!"

"Tolong, jangan banyak tanya soal itu! Kau cukup membantuku!"

Rangga angkat bahu. "Yaaah, terserahmulah...!" desah Pendekar Rajawali Sakti.

"Kita akan berangkat sekarang!" ajak Raja Penyair.

"Ke mana?"

"Ke Cadas Pangeran."

"Bagaimana kalau kita makan dulu?" sahut Rangga, memberi usul.

"Usul yang baik, Ayo!" sambut Raja Penyair.

Namun sebelum itu, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Kepalanya didekatkan ke telinga Dewa Bayu. Berbisik. Seperti mengerti, kuda hitam mengkilat ini mengangguk-angguk lalu berlari meninggalkan tempat ini.

Rangga dan Raja Penyair terus berjalan ke arah utara, setelah mengisi perut masing-masing. Dan baru saja mereka berbelok ke kanan, terlihat dua sosok tubuh. tegak berdiri dengan sikap menghadang. Dan Rangga mengenali salah seorang dari mereka.

"Golok Terbang! Kebetulan sekali!" kata Rangga

"Kau punya kesempatan melampiaskan perasaan jengkelmu padanya, Rangga!" ingat Raja Penyair.

"Tapi, hati-hati terhadap laki-laki yang berdiri di atas bambu enggrang itu, meski bukan tokoh kelas satu, tapi tak bisa dipandang rendah."

"O, begitu! Siapa namanya?" tanya Rangga.

"Ki Gering alias si Mayat Hidup!" sahut Raja Penyair.

Rangga tersenyum.

"Kenapa kau tersenyum?" tanya Raja Penyair, tak senang.

"Yang namanya mayat itu mati, Raja Penyair! Mengapa orang mati malah berkeliaran?" seloroh Rangga.

"Berhenti kalian!" bentak si Golok Terbang, sebelum Raja Penyair sempat menanggapi kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga dan Raja Penyair berhenti pada jarak lima tombak. Kening mereka berkerut dengan sorot mata tajam. "Ada apa, Golok Terbang! Mengapa kau menahan langkah kami?" tanya Rangga halus.

"Jangan berlagak kau, Pendekar Rajawali Sakti! Mestinya kau tahu, mengapa aku menahan langkahmu!"

"Maaf, aku tak mau cari gara-gara," elak Rangga masih halus.

"Bocah busuk! Jangan banyak tingkah kau sekarang. Ajalmu sudah dekat, tahu?!"

"Hm.... Rupanya kau menyesal, mengapa waktu itu tidak membunuhku. Sebetulnya, akulah yang mesti mencarimu untuk melampiaskan dendam. Tapi apa gunanya? Dan sekarang kau malah muncul di depanku. Mau mengancam segala! Sekarang, ku hitung sampai tiga. Bila kau belum juga minggat, jangan salahkan aku!" gertak Rangga, kali ini tak kalah garang.

"Bocah banyak lagak! Masih untung saat itu kuampuni nyawamu. Kalau tidak, saat ini kau telah jadi santapan cacing-cacing tanah, tahu?!"

"Hm.... Jangan terlalu jumawa, Golok Terbang. Di atas langit masih ada langit."

"Huh! Akan kita lihat sekarang, siapa sebenarnya yang akan jadi pecundang!" dengus si Golok Terbang seraya mencabut golok besarnya.

Sret!

"Jangan terlalu cepat bermain senjata, Golok Terbang. Salah-salah, kau sendiri yang termakan senjatamu," kata Rangga, kalem tapi mengandung perbawa kuat

"Yeaaa...!" Si Golok Terbang langsung menyerang. Goloknya berkelebatan mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Mudah saja Rangga menghindar. Tubuhnya meliuk-liuk di antara kelebatan golok. Kadang condong ke kanan, kadang condong ke kiri. Semuanya ditunjang oleh gerakan kaki yang lincah bukan main.

"Uh! Hebat juga dia!" puji Rangga diam-diam. "Kalau dia rajin berlatih rasanya sepuluh tahun lagi bakal mampu menandingi ku!"

Melihat serangannya selalu menemui tempat kosong, si Golok Terbang jadi murka sekaligus penasaran. Seketika serangannya makin ditingkatkan. "Setan! Rupanya kebisaan mu hanya menghindar saja! Ayo serang aku!" teriak si Golok Terbang yang merasa kesal melihat serangannya selalu kandas.

"Belum waktunya aku mengeluarkan pedang, kalau dengan sebatang cabang pohon pun aku bisa mengalahkanmu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng. Seketika Rangga mengempos tubuhnya ke atas.

"Hup!" Tubuh Rangga meluncur ke sebuah pohon. Langsung diambilnya sebatang ranting yang masih dipenuhi oleh daun-daunnya. Kemudian tubuhnya berputaran di udara, lalu meluncur ke arah si Golok Terbang. Gerakan yang dilakukannya cepat bukan main.

"Ayo, aku siap meladeni jurus golokmu!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.

"Kurang ajar!" Bukan main geramnya si Golok Terbang melihat Pendekar Rajawali Sakti hendak menahan serangannya hanya dengan sepotong ranting! Padahal goloknya selama ini sudah menjadi senjata kebanggaannya.

"Heaaa...!" Ketika golok si Golok Terbang berkelebat, Rangga menahannya dengan ranting di tangan yang telah dialiri tenaga dalam tinggi.

"Jahanam!" Si Golok Terbang memaki ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Dia bukan marah karena tubuhnya terjajar. Tapi, karena goloknya ditahan hanya dengan sebatang ranting!

"Lihat! Golokmu ternyata hanya dari kerupuk udang. Berbenturan dengan ranting saja sudah gompal!" kata Rangga, menunjuk golok lawannya.

Jantung si Golok Terbang berdebar kencang ketika perlahan-lahan melirik goloknya. Dan dia jadi tercekat melihat senjatanya tahu-tahu telah buntung!

"Setan! Aku masih sanggup memotes lehermu dengan tanganku!" rutuk si Golok Terbang seraya membuang senjata kebanggaannya.

"Kau kelewat banyak membual. Sejak tadi ocehanmu terus begitu, tapi selalu saja tak terbukti," sahut Rangga, enteng.

Si Golok Terbang bukan alang kepalang marah. Hatinya tak kuat menahan ledakan dahsyat di dada. Kalau saja mampu maka akan dilumatnya Rangga hingga menjadi debu.

"Hiyaaa...!" " Saat itu juga si Golok Terbang melesat dengan hantaman tangan bertubi-tubi.

Dan dengan enaknya, Pendekar Rajawali Sakti bergeser ke samping. Lalu tanpa disangka, ranting di tangannya mengibas sambil memutar tubuhnya.

Pratt!

"Aaakh...!" Tak ampun lagi, si Golok Terbang terpental ke belakang sejauh beberapa langkah, setelah tersambar ranting kayu di dadanya. Seketika nafasnya terasa sesak. Dadanya yang tersambar tadi panas bukan main.

"Uhh...!"

"Benar kan kubilang? Dengan ranting ini sudah cukup untuk...!"

Wusss...!

"Heh?!" Kata-kata Rangga terpenggal oleh serangkum angin kencang yang bergerak cepat ke arahnya. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, sehingga serangan itu hanya menghantam sebatang pohon sampai tumbang. Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap tajam ke arah Ki Gering. Memang serangan tadi berasal dari laki-laki berjuluk si Mayat Hidup.

DUA

"Aku paling muak dengan orang yang suka membokong!" desis Rangga, menggetarkan.

"Bocah edan! Kau kira bisa bertingkah di depanku seenak perutmu?!" bentak si Mayat Hidup dengan mata mendelik.

"Apa ada larangan kalau aku bertingkah? Kalau kau merasa tersinggung, ya silakan pergi dari tempat ini," sahut Rangga, kalem.

"Bangsaaat!" Si Mayat Hidup yang menggunakan enggrang bambu sepanjang dua tombak menggeram. Dengan sekali melangkah, bambu yang seolah menjadi penyambung kakinya berkelebat menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga melenting ke belakang dan berputar dua kali. Ujung bambu Ki Gering yang digunakan sebagai kaki untuk melangkah, menyerangnya dalam jarak jauh. Sehingga, sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mendekat. Sambil menyerang begitu, tubuh si Mayat Hidup seolah telah berayun-ayun dengan penyangga bambu satunya.

"Hm.... Tenaga dalamnya hebat bukan main. Angin serangan bambu itu terasa panas. Ranting ini tak akan cukup untuk menghentikannya!" gumam Rangga, sambil menatap tajam lawannya.

"Yiaaah...!"

"Hup!" Rangga melompat ke atas ketika serangan bambu datang kembali. Sengaja dipilihnya tempat berlindung yang dekat dengan tempat Raja Penyair nangkring. Sehingga....

Prak! Prasss!

"Kampret!" maki Raja Penyair ketika batang bambu si Mayat Hidup bergerak cepat memapas dahan yang digunakan untuk nangkring. Untungnya, dia telah melompat ke udara.

"Hati-hati, Raja Penyair! Rupanya dia tertarik denganmu!" teriak Rangga, sedikit meledek.

"Diam kau, Anak Muda!" umpat Raja Penyair, begitu mendarat.

"Ah! Jangan begitu, Sahabat. Maafkan aku...," sahut Rangga seraya bergerak cepat menghampiri. Baru saja Rangga tiba di samping Raja Penyair, saat itu juga bambu panjang yang bisa digunakan sebagai senjata oleh si Mayat Hidup, bergerak cepat menyambar.

Wutt!

Siasat Rangga yang menuju ke arah Raja Penyair mengena. Pemuda itu agaknya sengaja melibatkan Raja Penyair dalam pertarungan.

"Iblis licik!" umpat Raja Penyair seraya melenting ke belakang menjauhi. Begitu mendarat, tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

"Hei! Mau ke mana kau?! Bukankah kita kawan seperjalanan?! Kalau kau pergi, aku pun ikut!" teriak Rangga, juga mengikuti gerakan Raja Penyair.

"Bangsat! Jangan dikira kalian bisa pergi seenaknya setelah mempermainkan ku!" teriak si Mayat Hidup sambil mengejar.

"Siapa yang pergi? Aku mau mengejar kawanku dulu!" sahut Rangga, langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling tinggi.

Karena tak mampu mengejar, si Mayat Hidup kesal bukan main. Kekesalannya langsung dilampiaskan pada pohon-pohon di sekitarnya yang menjadi korban babatan enggrangnya. Rangga dan Raja Penyair bukan takut menghadapi si Mayat Hidup. Pada saat ini mereka tengah diburu waktu. Bertarung dengan tokoh sesat tadi, sama saja membuang-buang waktu. Makanya mereka merasa lebih baik menunda pertarungan.

********************

Cadas Pangeran yang mereka tuju lumayan jauh. Namun dengan kelebatan tubuh yang disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh, menjelang tengah malam Rangga dan Raja Penyair tiba di pegunungan sekitar Cadas Pangeran.

"Tempat ini bernama Wadah Karangka. Hati-hati! Salah-salah kau bisa pulang tinggal nama...!" ingat Raja Penyair.

"Kenapa?"

"Di sini tempat tinggalnya si Setan Belang Pemakan Tulang!"

"Wuih! Nama yang seram!" Rangga pura-pura bergidik ketakutan. "Kenapa kau memilih jalan yang berbahaya?"

"Ini jalan terdekat menuju Cadas Pangeran. Dengan lewat sini, perjalanan kita semakin dekat."

"Semakin dekat ke neraka?!"

Raja Penyair tertawa dan terus melangkah memasuki semak belukar. Tempat ini masih asing bagi Rangga meski telah sering mendengar keangkerannya. Alam yang tidak bersahabat dan binatang buas yang banyak berkeliaran semakin membuat orang enggan mengunjunginya. Kecuali, mereka yang memang hendak bunuh diri.

"Kita berhenti di sini dulu...," usul Rangga dengan suara agak keras.

"Ssst! Pelankan suaramu. Kau mau kehadiran kita diketahui?!" seru Raja Penyair.

"Diketahui siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan si Setan Belang Pemakan Tulang!"

"Oh...!" Rangga pura-pura pilon. "Kau takut padanya?"

"Aku hanya tak ingin cari gara-gara!" desis Raja Penyair.

"Kalau dia yang cari gara-gara lebih dulu?"

"Dia tak akan can gara-gara kalau kita tak memulainya!"

"O, begitu! Misalnya bagaimana?"

"Dengan suaramu yang keras, berarti menyinggung perasaannya. Kalau kita bersuara keras sama artinya kita tak takut padanya. Dan itu diartikan sebagai mencari gara-gara!" jelas Raja Penyair.

"Tapi kita kan tak bermaksud cari gara-gara?!" tukas Rangga. Entah kenapa suaranya dikeraskan.

"Ssst! Sudah kuperingatkan. Jangan bicara keras-keras!"

"Oh! Maaf...!"

Sesaat mereka terus berjalan tanpa saling bi鈥恈ara. Keadaan jalan mulai sulit. Kadang menurun, dan kemudian menaik melewati celah-celah sempit di lereng bukit. Terpeleset sedikit saja, maka jurang menganga akan siap menelan.

"Kita istirahat saja dulu...," usul Rangga.

"Sebentar lagi sampai. Kita harus menyergap, sebelum orang-orang itu bersiaga!"

"Kau hendak menggunakan siasat itu?" tanya Rangga.

"Apa kau kira aku akan datang terang-terang lalu mengutarakan maksud dan menantang mereka bertarung?!" cibir Raja Penyair.

"Bukan begitu maksudku. Kalau ingin mengagetkan mereka, tunggu waktu beberapa saat lagi...."

"Apa maksudmu?"

"Berapa lama lagi tiba di sana?"

"Kita akan melalui jalan di sebelah kanan yang menurun dan bertebing tidak terlalu curam. Kalau mau sedikit saja mengerahkan ilmu meringankan tubuh, kita akan tiba di bawah tidak sampai sepenanakan nasi."

"Kita istirahat. Dan kira-kira dua kali penanakan nasi sebelum subuh, kita menyergap ke sana. Biasanya suasana seperti itu sedang enak-enaknya tidur. Kalau sekarang ke sana, kemungkinan satu dua orang masih ada yang berjaga-jaga. Dan..., katamu tak mau mengalami kesulitan seandainya mereka mengetahui kehadiran kita!" papar Rangga.

"Encer juga otakmu!" puji Raja Penyair.

Rangga tersenyum. "Kau boleh tidur di sini kalau suka...," ajak Rangga, menawarkan.

"Huh! Aku tak sudi tidur di dekatmu!" dengus Raja Penyair seraya mencari tempat lain. "Hei, awas! Jangan tidur kau!"

Tapi terlambat, Rangga kini sudah memperdengarkan dengkuran halus dengan napas halus turun naik.

"Brengsek!" umpat Raja Penyair kesal.

Kalau tidak ingat bahwa Raja Penyair membutuhkan Pendekar Rajawali Sakti, sudah sejak tadi ditinggalkannya. Raja Penyair memang bukanlah jenis orang penyabar. Itu sebabnya hatinya kesal saat Rangga mengajaknya beristirahat. Pelan-pelan laki-laki bertopeng ini merebahkan diri. Hela nafasnya terasa panjang.

Tubuhnya di selonjorkan untuk mengendurkan otot-otot yang kaku selama di perjalanan. Rasa kantuk mulai menguasai matanya yang sesekali terpejam. Sesekali diliriknya pemuda itu. Terlihat Rangga tidur pulas. Dan baru saja perhatiannya beralih ke tempat lain....

Swing!

"Heh?!" Raja Penyair terkesiap saat terdengar bunyi mendesing halus. Belum sempat bisa menduga apa yang terjadi, beberapa helai daun tampak rontok dalam keadaan terpotong! "Jangan-jangan si Setan Belang Pemakan Tulang mengetahui kehadiranku di sini...!" desis Raja Penyair, seraya bangkit. Segera dicarinya tempat yang tersembunyi. Tak dipedulikan lagi Pendekar Rajawali Sakti yang masih terlelap. Dan baru saja dia bersembunyi....

"Heaaa...!"

"Haahhh...!" Beberapa saat kemudian terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul terpentalnya beberapa buah batu sebesar kepalan tangan.

"Ini yang ingin ku hindari. Dasar bocah brengsek! Tak mau diatur! Baru rasa dia!" umpat Raja Penyair di tempat persembunyiannya.

Dengan segan, Raja Penyair keluar dari persembunyian. Segera dihampirinya suara ribut-ribut tadi. Tampak dua orang tengah bertempur seru. Yang seorang memakai rompi putih. Di punggungnya tersandang sebilah pedang. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti?

Sedangkan lawannya bertubuh agak besar dengan kepalan tangan sebesar semangka. Gerakannya gesit dengan tenaga kuat. Terasa dari desir angin kencang yang ditimbulkannya. Di samping itu beberapa buah senjata rahasia terbuat dari lempengan baja tajam berbentuk bulan sabit tampak berseliweran menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Seketika Raja Penyair menggesek rebab, sehingga mengeluarkan irama tajam laksana sengatan seekor lebah. Terasa di telinga lalu terus menusuk jantung.

"Setan alas!" Orang yang bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti memaki geram. Telinganya seperti ditusuk-tusuk. "Hiih!"

Siiuut!

Begitu tangan kanan orang bertubuh besar itu mengibas, maka beberapa buah senjata rahasia melesat ke arah Raja Penyair. Raja Penyair mengibaskan penggesek.

Tang! Tang!

Beberapa buah senjata rahasia itu terpental, terhantam penggesek rebab Raja Penyair.

"Bangsat keparat! Rupanya kau masih berani menampakkan diri lagi di depanku, heh?!" Saat itu juga terdengar bentakan keras menggelegar.

"Raksasa goblok! Buat apa aku mesti takut segala padamu?!" sahut Raja Penyair.

"Setan! Akan kulumat batok kepalamu!" Suara gemuruh yang keluar dari amarah meledak-ledak dalam dada, tertumpah dalam serangan kilat yang diiringi desir angin kencang laksana badai topan dari sosok tinggi besar itu.

"Hup!"

Raja Penyair terkejut. Cepat dia melompat ke samping, mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Hei! Mau ke mana kau, Buto Ijo?!" teriak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi laki-laki tinggi besar itu tak menghiraukannya. Kini perhatiannya tertuju pada Raja Penyair.

TIGA

Namun pada saat yang sama Raja Penyair pun telah bergerak menyerang. Tubuhnya meluruk cepat sambil memutar-mutar penggesek rebab di tangannya. Sehingga bentuknya berubah bagaikan senjata pedang bermata dua.

Bet! Bet!

"Hup!" Laki-laki bertubuh besar ini membatalkan serangannya. Cepat dia melompat ke belakang menghindari. Namun Raja Penyair tak memberi kesempatan. Dia lompat lebih tinggi seraya mengayunkan penggesek rebabnya.

Wut! Wut!

Dengan gerakan cepat, orang bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri seraya berguling-gulingan. Namun saat dia melenting bangkit, Raja Penyair sudah meluncur ke arahnya dengan satu tendangan menggeledek.

Des!

"Aduuuh!" Manusia bertubuh besar itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Sebelum orang itu bisa berbuat banyak, Raja Penyair kembali melepas tendangan silang sambil berputar.

Jdaaag!

"Wuaaakh...!"

"Orang sepertimu lebih baik mampus!" dengus Raja Penyair, sambil menatap orang tinggi besar yang terjungkal sampai dua tombak disertai pekikan tertahan.

Namun tanpa diduga, orang tinggi besar itu masih sempat mengibaskan tangannya yang begitu cepat

Set! Set!

Seketika meluruk sinar keperakan yang tidak lain senjata-senjata rahasia ke arah Raja Penyair.

"Heit! Kurang ajar!" Raja Penyair terkesiap. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke samping, langsung berguling-guling. Senjata-senjata rahasia itu memang berhasil dihindari. Namun, salah satunya tepat menghantam sebuah tali.

Tas! Broil!

Begitu tali putus, saat itu juga sebatang pohon kecil sebesar lengan menyambar dari arah samping ke arah Raja Penyair. Bahkan diikuti oleh longsoran batu-batu sebesar kepala kerbau dari tebing di atas mereka.

"Manusia terkutuk! Kulumat tubuhmu nanti!" umpat Raja Penyair, seraya melompat tinggi menghindari sambaran pohon. Begitu Raja Penyair mendarat, harus pula menghindar setiap batu yang mengancamnya. Dia berlompatan ke sana kemari. Setelah serangan bebatuan reda, Raja Penyair langsung meluruk melakukan serangan.

Terpaksa orang bertubuh besar itu bermain mundur. Selain telah terluka dalam, serangan Raja Penyair memang hebat sekali. Apalagi laki-laki bertopeng itu sudah marah bukan main. Tanpa disadari, orang bertubuh besar itu terus melangkah mundur sambil menahan serangan. Dan berarti itu mendekati bibir jurang. Selanjutnya....

"Aaa...!" Orang bertubuh tinggi besar itu terperosok, ketika Raja Penyair menggertak dengan sebuah tendangan menggeledek. Tubuhnya langsung jadi santapan mulut jurang yang menganga. Sementara di bawahnya telah menanti batu-batu runcing yang tajam.

"Diakah yang kau sebut Setan Belang Pemakan Tulang?" tanya Rangga tersenyum, memuji dalam hati kehebatan Raja Penyair. "Kepandaiannya ternyata tak terlalu tinggi."

"Kau salah! Kalau Setan Belang Pemakan Tulang yang muncul, riwayat kita akan sampai di sini. Itu salah seorang muridnya!" sergah Raja Penyair.

"Muridnya?" Rangga melongo takjub.

"Ya! Dia punya tiga belas murid yang berkepandaian berbeda-beda. Kalau tadi adalah muridnya yang keenam. Kalau sampai kita bertemu murid kelima, keempat, dan seterusnya, maka keadaan kita tidak menguntungkan. Karena itu jangan tunda lagi! Ayo, lekas tinggalkan tempat ini buru-buru!" jelas Raja Penyair.

"Baiklah," desah Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa membuang waktu lagi mereka segera menuruni lereng yang tidak terlalu curam. Dan dalam beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah dataran yang agak luas. Dari situ terlihat beberapa buah obor terpasang di depan tiap-tiap rumah.

"Perkampungan inikah yang kau maksud?" tanya Rangga setengah berbisik.

Raja Penyair mengangguk. "Namanya perkampungan Kidung Bahana."

Rangga mengangguk. Dalam hati dia membenarkan ketika mendengar irama gending mengalun tenang, meningkahi suara unggas malam yang hampir berakhir. Karena akan berganti subuh. Udara dingin pada saat ini betul-betul dingin menggigit

"Kita ke sana sekarang! Ingat! Jangan berisik dan jangan membuat gerakan-gerakan mencurigakan!"

"Tenang saja, Raja Penyair!" Dengan gaya pencuri kawakan, keduanya menyelinap di antara rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bilik bambu. Beberapa kali bola mata mereka memandang ke sekeliling tempat, kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.

"Di mana mereka menyekapnya?"

"Di samping bangunan paling besar itu!" tunjuk Raja Penyair.

Rangga melihat sebuah bangunan paling besar yang tidak dijaga oleh seorang pun. Kelihatan sepi dan lengang. Tapi bangunan di sebelahnya justru dijaga ketat. Bangunan itulah yang ditunjuk Raja Penyair.

"Bangunan utama yang besar itu tempat tinggal kepala kampung. Sedangkan yang di sebelahnya itu penjara!" jelas Raja Penyair.

"Siapa kepala kampung di sini?" tanya Rangga.

"Mana ku tahu?!"

"Lalu, kenapa kau hafal jalan ke sini? Tempat ini terpencil. Dan aku pun heran kalau di sini ada perkampungan. Jalan masuknya susah. Bahkan jalan keluarnya pun sama sulitnya. Orang-orang biasa rasanya tak akan mau tinggal di sini."

"Aku berhasil menguntit salah seorang. Dan ketika hendak membebaskan orangtua serta kekasihku, mereka memergokinya. Saat mereka berusaha menangkap, untung aku berhasil kabur!"

"Ooo...!" Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.

"Sudahlah! Jangan bicarakan soal itu. Sekarang tujuan kita sudah jelas. Ada kurang lebih dua belas yang berjaga di sana. Kita lewat samping. Dan kukira, di situ cuma ada empat orang. Kita bagi tugas. Jadi, satu orang menghadapi dua penjaga. Kau mampu membungkam keduanya sekaligus tanpa menimbulkan suara berarti?" ujar Raja Penyair.

"Kita coba!" sahut Rangga, tak ingin menjanjikan.

Mereka segera memutar melewati jalan sam鈥恜ing. Dan sejauh ini tak seorang pun yang terlihat. Sehingga keduanya bergerak dengan leluasa.

"Hup!" Raja Penyair lompat ke atas pagar tembok setinggi satu tombak. Begitu mendarat matanya mengamati keadaan di bawah. Lalu tatapannya beralih pada Rangga sambil mengembangkan kelima jari tangan. Dengan bahasa isyarat dia menunjuk bagiannya tiga orang. Sedangkan Rangga sisanya.

"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Setelah Raja Penyair memberi isyarat, keduanya melompat turun tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Sasaran mereka adalah lima penjaga yang tengah terkantuk-kantuk. Tapi dua di antaranya tegak berdiri dengan sikap waspada.

"Hei?!"

"Hiih!" Kedua penjaga itu tersentak ketika dua sosok bayangan berkelebat. Dan sebelum mereka berbuat sesuatu...

Dess! Desss!

"Aaakh...!" Kedua penjaga itu kontan ambruk disertai keluhan tertahan. Dan suara keluhan itu rupanya terdengar oleh tiga penjaga yang terkantuk-kantuk. Namun sebelum mereka benar-benar tersadar, Raja Penyair dan Rangga segera membereskan dengan cepat.

"Hup!" Selesai membereskan kelima penjaga itu, Raja Penyair melompat ke atas atap. Sambil merebahkan diri, dibukanya atap terbuat dari genteng. Lalu tubuhnya masuk ke dalamnya.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti menunggu di bawah dengan mata nyalang mengawasi keadaan sekitarnya. Raja Penyair agak lama di dalam. Entah dia berhasil atau tidak. Tapi sesaat kemudian terdengar suara ribut-ribut.

"Heh?!" Rangga cepat melompat ke atas genteng. Namun begitu mendarat, sesosok tubuh tampak keluar dari atap.

"Hei?!"

"Wah, barabe!" seru Rangga ketika orang menoleh. Terlihat seraut wajah marah dari seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.

"Ini malingnya! Tangkaaap...!" teriak laki-laki itu.

Selesai berteriak orang itu langsung melenting dan menyerang. Bahkan kemudian tak lama berlompatan beberapa sosok tubuh ke atap genteng, langsung membentuk lingkaran seperti tak memberi jalan keluar sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti. Dari cara melayang dan hinggap tanpa memecahkan genteng, bisa ditaksir kalau ilmu meringankan tubuh mereka tidak bisa dipandang enteng.

"Yeaaa!"

Plak! Wut!

Serangan yang datang begitu gencar dan bertenaga kuat. Namun, Rangga masih mampu menghindar dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Bahkan segera balas menyerang cepat dengan sebuah tendangan ke dada.

"Hiih!" Orang yang jadi sasaran menghindari dengan mencelat ke atas. Seketika Pendekar Rajawali Sakti berjungkir balik dengan kedua telapak tangan bertumpu permukaan genteng. Dan mendadak kedua kakinya menghantam ke arah perut, saat orang itu mendarat.

Duk! Des!

"Wuaaakh...!" Begitu salah seorang terpental roboh dan ambruk ke bawah, saat itu juga dua orang lainnya menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa...!" Seperti orang pertama tadi, mereka tidak menggunakan senjata apa pun. Namun begitu, serangan-serangan mereka tak bisa dipandang enteng. Bersamaan dengan serangan yang dilakukan, yang lain pun membunyikan bunyi-bunyian berupa suling, harpa, rebab, kecapi, gending dan sebagainya.

Saat itu juga suasana di subuh yang gelap ini benar-benar hiruk-pikuk saling sambung-menyambung satu sama lain. Kalau saja terdengar seperti biasa, maka segalanya akan terasa indah. Namun tidak demikian yang dialami Rangga. Irama itu bukan sembarangan, karena disertai tenaga dalam dahsyat.

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh sambil menutup kedua telinga. Namun irama itu seperti menyentak-nyentak seluruh urat syarafnya.

"Hup!" Seketika Pendekar Rajawali Sakti mulai mengerahkan tenaga dalamnya sambil menangkis serangan-serangan dengan kedua kaki.

"Hiih!"

Plak! Plak!

Anehnya, suara-suara merdu itu sama sekali tidak mempengaruhi kedua lawan-lawannya. Dan itulah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti takjub bukan main.

"Suatu pengerahan tenaga dalam yang hebat! Suara-suara itu sampai mampu mempengaruhi ku, namun sama sekali tidak mengusik mereka!"

Sementara alunan bunyi-bunyian masih terus dimainkan. Dan lambat tapi pasti, keadaan Pendekar Rajawali Sakti semakin terdesak hebat.

"Kurang ajar! Ke mana Raja Penyair?! Apakah dia tertangkap atau melarikan diri?!"

Tak banyak waktu bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bertanya. Karena saat itu juga kedua lawannya telah meluruk menyerang. Secepatnya Rangga membuat kuda-kuda rendah. Begitu serangan mendekat, langsung dibukanya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Heaaa...!" Dengan mengerahkan tenaga dalam di kedua telinga untuk menahan serangan suara, serta untuk melepas serangan, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas sambil berputaran di udara. Dan pada jarak tertentu, kedua tangannya mengibas dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang begitu cepat. Dan....

"Heaaa...!"

Wuusss!

Prak! Prak!

"Aaa...!" Kedua lawan Pendekar Rajawali Sakti kontan terjungkal dengan kepala pecah berlumuran darah. Suara lengkingan menyayat mengiringi saat tubuh mereka menggelinding ke bawah. Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang merasa sudah kepalang basah segera meluruk ke bawah. Namun baru saja mendarat...

"Ha ha ha...!"

"Hmm...!"

"Rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.... Hm, hebat sekali! Aku pernah mendengar jurus-jurus itu, Anak Muda! Kaukah yang belakangan ini dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti?"

Rangga memperhatikan laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun di hadapannya dengan kening berkerut. Laki-laki tua itu berbaju putih agak kemerahan. Dandanannya resik. Rambut panjangnya yang telah memutih disanggul ke belakang dengan menyisakan sedikit untuk menutupi tengkuknya. Hal yang paling menarik darinya adalah sebuah harpa di tangan kirinya.

EMPAT

"Sungguh jeli matamu melihat seseorang, Ki. Kalau boleh tahu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga, kalem.

"Aku Ki Niti Sabdo. Dan orang-orang mengenalku sebagai Harpa Neraka!"

"Harpa Neraka?!" ulang Rangga, agak terkejut.

"Hm.... Nama besarmu memang pernah kudengar...."

Puluhan tahun lalu nama itu memang pernah menggetarkan rimba persilatan. Dan semua orang lebih baik menyingkir bila bertemu dengannya. Orang ini pun terkenal berwatak kejam. Selama malang melintang di dunia persilatan, entah berapa ratus nyawa yang melayang di tangannya.

"Telah lama dia menghilang. Dan kukira tokoh ini telah mati. Tapi siapa nyana aku akan bertemu di sini?" gumam Rangga dalam hati.

"Sungguh membuatku kagum, karena bocah sepertimu kenal denganku. Padahal, ketika aku malang melintang di dunia persilatan, kurasa kau belum nongol di jagat ini!" puji laki-laki tua bernama Ki Niti Sabdo yang dikenal sebagai Harpa Neraka.

"Merupakan suatu kehormatan buatku, bisa berjumpa denganmu, Harpa Neraka," kata Rangga, tanpa menghilangkan kewaspadaannya.

Harpa Neraka terkekeh. "Mestinya aku suka padamu, Bocah. Dalam usia seperti sekarang namamu betul-betul membuatku iri. Tapi mengingat kelakuanmu, betul-betul membuatku muak! Dan untuk itu aku tak bisa membiarkannya!"

"Setiap orang punya tujuan hidup yang diyakini. Kalau dia menyimpang dari tujuannya, maka tak akan pernah berhasil mencapai cita-cita."

"Apakah tujuan hidupmu menjadi pencuri ulung?!" sindir Harpa Neraka.

"Tentu saja tidak! Tapi kurasa itu yang menjadi tujuan hidupmu! Kau culik kekasih orang. Lalu, kau culik kedua orangtuanya. Dan aku punya kewajiban membebaskan mereka!" kilah Rangga.

"Aku menculik seseorang?!" Ki Niti Sabdo terkejut. Dahinya langsung berkerut. "Ha ha ha...! Sungguh kurang ajar kau, Bocah! Berani-beraninya malah balik menuduhku sebagai penculik!"

"Ki Niti Sabdo! Boleh jadi namamu menggetarkan setiap orang. Tapi kau tak bisa berbuat seenak perutmu! Kau harus bebaskan mereka sekarang juga!"

"Aku akan bebaskan mereka. Tapi, tunjukkan padaku satu bukti kalau aku menculik seseorang?" tukas Ki Niti Sabdo.

Rangga terdiam. Isi kepalanya bingung karena memang tak punya bukti kalau orangtua ini menculik seseorang. Satu-satunya saksi hanyalah Raja Penyair. Tapi orang itu kini entah ke mana?

"Sial! Ke mana dia pergi?!" rutuk Rangga geram, di dalam hati.

"Bagaimana? Apakah kau bisa menunjukkannya padaku?" usik Harpa Neraka.

"Kalau bukti itu memang tak ada. Tapi ada saksi yang memberatkan mu!"

"Siapa?"

"Raja Penyair!"

"Raja Penyair?" Ki Niti Sabdo terkekeh geli. "Jadi bocah nakal itu yang kau jadikan saksi?"

"Ya! Kekasih dan orangtuanya yang kau culik!"

"Dan kau percaya?"

"Kenapa tidak?! Kau terkenal karena kekejamanmu. Dan, bisa berbuat apa saja yang kau suka!"

"Ha ha ha...! Aku memang kejam, Bocah. Tapi aku tak pernah menculik siapa pun seumur hidupku! Orang-orang yang datang ke perkampungan ini dengan susah-payah. Tidak pernah ku paksa dan kuculik. Mereka datang dengan suka rela. Sebagian malah kutolak, karena aku tidak berkenan. Bagaimana mungkin aku menculik seseorang?"

"Semua orang bisa bicara untuk berdalih. Kenapa aku mesti percaya omongan mu?"

"Baiklah, baiklah...! Ada beberapa hal yang mungkin akan meyakinkanmu. Sudah berapa lama kau mengenal bocah bernama Raja Penyair itu?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Apa cukup untuk mengetahui kalau dia ditinggal mati ibu bapaknya sejak bayi? Apa cukup untuk kau ketahui, kalau dia tak punya sanak saudara?!"

"Kau cuma mengada-ada, Ki Niti Sabdo! Percuma untuk mempengaruhiku!"

"Bocah itu kupungut sejak bayi di sebuah perkampungan! Kubesarkan dengan kasih sayang, kudidik seperti cucuku sendiri. Dan sebagai rasa terima kasih, dia kabur. Kemudian dia mencuri benda pusaka yang dimiliki perkampungan ini! Apakah kau mempercayai orang seperti itu?!" sentak Ki Niti Sabdo, lantang.

"Kau pendekar muda yang kudengar harum namanya. Apakah hatimu membenarkan tindakannya?! Tidak malukah kau pada dirimu sendiri?!"

Rangga terdiam mendengar tangkisan Harpa Neraka yang menggugah kesadarannya. Hatinya betul-betul malu karena telah berburuk sangka terhadap Harpa Neraka tanpa ada bukti. Dan untuk saat ini dia tak tahu mesti berbuat apa.

"Apakah kau betul-betul mengenalnya...?" tanya Rangga dalam kebimbangan.

"Masuklah ke pondokku. Akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak berdusta soal ini...," ajak Ki Niti Sabdo, langsung berubah ramah.

Pendekar Rajawali Sakti bimbang untuk mengikuti. Tapi ketika melihat sinar kesungguhan pada pancaran mata laki-laki tua itu, dia pun segera melangkah.

"Silakan masuk! Kau menjadi tamu kami saat ini!" ucap Ki Niti Sabdo seraya menjajari langkah pemuda itu ke bangunan utama. Sementara yang lain mengiringi dari belakang.

"Siapa namamu?" tanya Ki Niti Sabdo, halus.

"Rangga," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan malu-malu! Anggap saja di tempat sendiri!"

"Terima kasih!" Ki Niti Sabdo mengajak tamunya ke sebuah ruangan. Begitu sampai, dia memanggil seorang anak buahnya.

"Panggil Nyai Senah kemari!" perintah laki-laki tua ini, saat salah seorang anak buahnya mendekat.

"Baik, Ki!" sahut pemuda anak buah Harpa Neraka seraya berlari.

Rangga dan Ki Niti Sabdo memasuki sebuah ruangan yang tidak terlalu kecil. Di situ terdapat sebuah tempat tidur, lemari, dan meja.

"Di sini dia dibesarkan. Ini kamarnya...," jelas Harpa Neraka.

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Saraswati...."

"Saraswati?!"

"Orang yang kau sebut sebagai Raja Penyair."

"Jadi..., jadi dia betul-betul perempuan?!" Rangga melengak, tak menyangka kalau Raja Penyair seorang perempuan.

Ki Niti Sabdo tersenyum. "Kau bahkan tidak mengetahui kalau dia perempuan."

Mendengar itu Rangga jadi malu hati. Pada saat itu muncul seorang wanita setengah baya ke dalam ruangan. Sejenak dia memberi hormat dengan merapatkan tangan di depan hidung.

"Hamba menghadap, Ki...!" ucap perempuan itu.

"Nyai Senah! Tahukah kau, kamar siapa ini?" tanya Ki Niti Sabdo, langsung.

"Tentu saja hamba mengetahuinya, Ki. Ini adalah kamar Saraswati...," sahut perempuan bernama Nyai Senah.

"Katakanlah pada tamu kita ini, bagaimana aku mendidik dan membesarkannya dengan kasih sayang. Lalu, katakanlah. Apa balasan yang kuterima darinya," ujar Harpa Neraka.

"Ki Niti Sabdo memungutnya dari bayi. Lalu, mendidiknya dengan baik hingga menjadi gadis dewasa. Tapi suatu hari, Saraswati tiba-tiba saja kabur dan berusaha mencuri benda pusaka yang dimiliki Ki Niti Sabdo. Aku mengetahui sejak kecil kalau dia memang berwatak nakal dan tidak tahu membalas budi. Aku tahu semua wataknya, karena mengasuhnya sejak kecil," jelas Nyai Senah.

"Nah! Telah kau dengar, bukan? Kini akan kutunjukkan padamu, benda apa yang dicuri oleh Saraswati. Mari!" Ki Niti Sabdo beranjak dari ruangan itu, dan Rangga mengikutinya.

"Di sini aku menyimpan benda-benda pusaka yang kumiliki sejak aku masih muda...," jelas Ki Niti Sabdo, begitu memasuki ruangan dari bangunan yang tadi dimasuki Raja Penyair.

Rangga meneliti dengan seksama benda-benda pusaka yang terpajang di dinding atau di dalam peti-peti berukir. Rata-rata merupakan alat-alat seperti harpa, rebab, kenong, siding, dan lain sebagainya.

"Jadi pusaka apa yang dicuri Saraswati?" tanya Rangga.

"Sebuah pusaka langka. Dan ada di antara pusaka-pusaka yang ku rawat dengan baik. Mari!" ajak laki-laki tua itu, membawa Rangga ke dalam sebuah ruangan.

Mereka tiba di sebuah ruangan yang di depan pintunya tertulis nama benda pusaka yang dimaksud.

"Di situ! Kau bisa melihatnya!" tunjuk Ki Niti Sabdo. "Rebab Swara Buana!" baca Rangga di depan pintu ruangan tempat penyimpanan pusaka-pusaka langka.

"Ya! Sejak dulu dia amat menginginkannya. Namun aku tak memberikan. Alasannya sederhana. Karena aku tak pernah memberikan pusaka-pusaka ini kepada siapa pun!" jelas Harpa Neraka.

Ki Niti Sabdo menyuruh seorang anak buahnya membuka pintu. Begitu pintu terbuka Harpa Neraka mengantar Rangga memasuki sebuah ruangan kecil yang terdapat sebuah peti coklat berukir. Anak buah Harpa Neraka segera membukanya. Ternyata, di dalam peti itu tidak terlihat apa pun.

"Kau lihat, bukan?"

Rangga mendekat untuk memastikannya lebih jauh tanpa rasa curiga sedikit pun. Justru pada saat itu Ki Niti Sabdo bersama anak buahnya menjauhi pintu. Lalu....

Drr...! Jreg!

"Hei?!" Rangga menoleh dan terkejut bukan main saat pintu yang diiringi kerangkeng besi bergerak menutup. "Ki Niti Sabdo, buka pintu ini! Jangan main-main kau...!" bentak Rangga, garang.

"Aku tak main-main! Siapa pun yang masuk ke tempatku dengan niat buruk, atau membantu seseorang yang berniat buruk, maka akan menanggung akibatnya. Tidak terkecuali kau!" sahut Ki Niti Sabdo dari balik pintu.

"Kurang ajar!" Rangga berniat akan menghancurkan pintu besi itu. Tapi sebelum bergerak, mendadak telinganya mendengar petikan suara harpa yang begitu menusuk-nusuk perasaannya. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti tersentak namun selanjutnya kepalanya jadi berdenyut-denyut. Tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari. Sambil menutup telinganya. Dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam, namun tetap saja suara petikan harpa itu terus menyiksanya!

"Oh.... Kenapa aku jadi bodoh begini? Kenapa aku gampang percaya padanya...?!" keluh Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti! Boleh jadi kau pendekar tersohor! Tapi jangan dikira bisa mengalahkan aji 'Petikan Harpa Neraka'ku. Bahkan sampai tenaga dalammu terkuras habis, kau tak akan mampu bertahan!" teriak Ki Niti Sabdo dari balik pintu, sambil memainkan harpanya.

"Licik!" Hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.

"Ha ha ha...! Sampai kapan kau akan bertahan, Bocah? Ayo, kerahkan seluruh kemampuanmu!" teriak Ki Niti Sabdo lagi.

"Hukh...!" Rangga terhuyung-huyung ke pojok ruangan. Lalu duduk bersila. Diambilnya sikap bersemadi untuk mengerahkan hawa murni. Dengan seluruh kekuatan yang ada dia berusaha menahan getaran tenaga dalam yang disalurkan lewat suara petikan harpa itu. Ohh...! Aku harus bisa mengatasi suara harpa ini!" desis pemuda itu, mantap.

Tapi saat Rangga akan berhasil mengatasi suara harpa, kembali terdengar suara-suara lain yang berirama teratur, namun mengandung getaran tenaga dalam.

"Uhh...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti kini menggigil. Dari hidungnya mulai mengucur darah segar. Namun begitu, pemuda ini masih terus berusaha bertahan.

"Hoeekh...!" Tapi saat itu juga menyembur darah kental merah kehitam-hitaman dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Dan tubuhnya semakin bergetar seperti diserang demam hebat. Menahan denting harpa yang dimainkan Ki Niti Sabdo saja, dia sudah kewalahan. Apalagi, ada suara-suara lain yang memenuhi ruangan ini. Lambat laun tenaganya terkuras habis.

Dan sampai pada suatu titik, Rangga benar-benar tak kuat menahan getaran tenaga dalam lewat permainan harpa dan bebunyian lain. Ki Niti Sabdo masih duduk bersila di atas sebuah batu. Di belakangnya berdiri rapi beberapa orang anak buahnya yang juga memegang alat-alat bebunyian.

"Hmm...!" Beberapa saat kemudian Ki Niti Sabdo menghentikan permainannya yang diikuti anak buahnya. Lalu kepalanya menoleh pada salah seorang anak buahnya.

"Buka pintunya!" perintah Harpa Neraka.

"Baik, Ki!" Seseorang maju ke depan dan membuka pintu, tempat Pendekar Rajawali Sakti terkurung.

Yang terlihat kini adalah seorang pemuda berompi putih yang terkulai lesu tak berdaya dengan sekujur tubuh pucat bagai mayat. Dua orang menyeretnya ke hadapan Ki Niti Sabdo.

"Hm! Daya tahan pemuda ini benar-benar mengagumkan. Belum pernah ada yang sanggup bertahan dari aji 'Petikan Harpa Neraka' lebih dari lima kali hitungan. Benar-benar istimewa...!" puji Harpa Neraka sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa yang kita lakukan terhadapnya, Ki?" tanya seorang anak buahnya.

Tapi sebelum orang tua itu memutuskan sesuatu, sekonyong-konyong terdengar ribut-ribut dari luar. Saat itu juga muncul dua gadis tanggung. Yang di depan dikejar gadis yang ada di belakangnya. Tapi gadis yang di depan segera berlindung di balik tubuh Ki Niti Sabdo.

"Kakek, Kakek...! Kakak Sangkawangi mau memukulku...!" lapor gadis yang dikejar.

"Lulur Herang! Kemari kau!" bentak gadis yang mengejar, dan bernama Sangkawangi.

"Tidak mau!" sahut gadis yang dipanggil Lulur Herang.

"Kemari!" bentak Sangkawangi.

Tapi Lulur Herang tak kalah keras kepala. "Tidak!"

"Dasar anak bandel. Kuhajar kau nanti!" bentak Sangkawangi. Sangkawangi sudah mau melangkah dan menjambret baju gadis yang dikejarnya, namun....

"Sangkawangi, ada apa ini? Kenapa kau begitu galak pada adikmu?" cegah Ki Niti Sabdo, menahan langkah Sangkawangi.

"Kakek tidak tahu masalahnya! Dia selalu membuatku jengkel!" kilah Sangkawangi.

"Apa yang diperbuatnya?" tanya Ki Niti Sabdo.

"Dia menumpahkan air ke mukaku, saat aku tengah tertidur pulas!"

Laki-laki tua itu menoleh pada Lulur Herang yang merapatkan tubuh padanya. Gadis itu yang tadi berani mengejek kakaknya, kini tertunduk. Tak berani dia menentang pandangan Ki Niti Sabdo.

"Benar apa yang dikatakan kakakmu, Lulur Herang?" tanya laki-laki tua itu.

"Habis..., Kakak Sangkawangi tak mau mengajariku bermain harpa. Dia selalu menunda dan terus menunda...!" gerutu Lulur Herang.

"Bukankah kau bisa berlatih dengan Kakek?"

"Kakek selalu sibuk dengan urusan sendiri!"

LIMA

Ki Niti Sabdo terdiam. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan. Ucapan serta sikapnya terhadap Lulur Herang begitu lembut menandakan amat menyayangi gadis usia enam belas tahun itu. Dan gadis itu pun agaknya tahu betul kalau kakeknya amat sayang padanya. Sehingga setiap bicara tidak canggung-canggung lagi. Tidak seperti Sangkawangi yang masih menaruh perasaan segan. Sebaliknya, Lulur Herang selalu bicara ceplas-ceplos apa adanya.

"Sangkawangi, kembalilah ke tempatmu. Biar urusan ini Kakek selesaikan...," ujar Harpa Neraka, penuh wibawa.

"Baik, Kek!" sahut Sangkawangi.

Sebelum meninggalkan tempat itu, gadis ini masih sempat melirik pada adiknya. Dan Lulur Herang memencongkan mulut, mengejek kakaknya. Sehingga, semakin membuat Sangkawangi berang. Namun dalam keadaan seperti ini, dia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah kakeknya. Setelah Sangkawangi berlalu, Ki Niti Sabdo memandang tajam pada Lulur Herang.

"Berapa kali Kakek harus memperingatkan padamu? Kalian tidak boleh mengganggu kalau Kakek sedang punya urusan...," desah Ki Niti Sabdo.

"Tapi kalau aku tidak ke sini, Kakak Sangkawangi pasti akan memukulku, Kek!" kilah gadis itu.

"Itu karena kau salah!" tuding laki-laki itu.

"Habiiis...! Aku telah meminta padanya berkali-kali supaya mau mengajari. Tapi jawabannya selalu saja nanti, nanti, nantiii! Bosan mendengarnya!"

"Kau memang tidak sabaran. Mestinya kau harus belajar bersabar."

Lulur Herang menunjukkan wajah cemberut mendengar nasihat kakeknya. Tapi perhatiannya tiba-tiba tertarik pada pemuda yang tergolek di lantai, tepat di depan kaki kakeknya.

"Astaga! Apa yang terjadi, Kek? Kenapa dengan pemuda ini?!" sentak gadis ini.

"Nah, nah...! Kau mulai mengacau urusan Kakek, bukan?" sergah Ki Niti Sabdo.

"Tapi, Kek...."

"Ayo, lekas pergi dari sini! Jangan ganggu urusan kakek!" tukas Ki Niti Sabdo dengan suara agak keras.

"Kakek membunuh pemuda ini?!" tanya Lulur Herang, ingin tahu. "Tidak! Dia hanya seorang pencuri yang patut mendapat hukuman."

"Tapi dari mulut dan hidungnya keluar da鈥恟ah...?"

"Lulur Herang! Kau tak mau dengar kata-kata Kakek?"

"Tapi, Kek...."

"Lekas pergi!" bentak Ki Niti Sabdo, memenggal kalimat gadis itu.

"Ohh!" desah Lulur Herang.

Gadis itu terperanjat kaget mendengar bentakan kakeknya. Seumur hidup, belum pernah dia dibentak begitu oleh kakeknya. Apalagi di depan orang-orang. Tak heran kalau wajahnya langsung pucat. Sorot matanya tajam memandang penuh kebencian terhadap laki-laki tua itu.

"Aku benci padamu! Aku benciii...!" teriak Lulur Herang nyaring sambil berbalik, lalu lari kencang dan menangis sesenggukan.

Ki Niti Sabdo menghela napas panjang sambil memandangi kepergian cucunya. Dia sadar apa yang dilakukannya. Seketika timbul penyesalan di hati. Tapi kalau tidak begitu, pertanyaan Lulur Herang akan terus memojokkannya.

"Ki...." Seseorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun membuyarkan lamunan Harpa Neraka.

"Eh, ng..., ya!" sahut Ki Niti Sabdo tergagap.

"Pemuda ini...?" tanya laki-laki itu.

"O, ya! Bawa dia ke ruang tahanan dan beri perlakuan khusus. Ingat! Aku tak mau dia kabur," ujar Ki Niti Sabdo, tegas.

"Baik, Ki!"

Setelah anak buahnya pergi membawa Pendekar Rajawali Sakti, laki-laki tua itu merenung. Namun sebentar kemudian dia bangkit, lalu keluar dari ruangan itu. Dengan langkah lebar Ki Niti Sabdo kembali ke ruangan utama, menuju ke sebuah kamar. Dari luar masih terdengar isak tangis seorang gadis dari dalam.

"Lulur Herang, buka pintu...," pinta Ki Niti Sabdo halus.

"Pergi! Pergiii...! Aku tak mau bertemu Kakek!" sahut gadis yang memang Lulur Herang.

"Lulur Herang.... Buka dulu pintunya. Kakek akan menjelaskannya padamu...," desak Ki Nib Sabdo, membujuk.

"Tidak! Aku tidak mau ketemu Kakek! Kakek jahat! Kakek tidak sayang lagi pada Lulur...!"

"Bukan begitu, tapi...."

"Pergiii...! Pergiii...!" bentak gadis itu dari dalam.

Buk! Jder!

Teriakan itu disusul hantaman benda-benda ke arah pintu, membuat hati orang tua itu trenyuh. Ki Niti Sabdo masih berdiri mematung di depan pintu dengan kepala tertunduk. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, ketika meninggalkan pintu kamar itu perlahan-lahan.

Lulur Herang memang keras kepala. Adatnya seperti anak-anak nakal. Kemauannya mesti dituruti. Dan kalau tidak, maka hal-hal seperti tadi akan terjadi. Ki Niti Sabdo hanya bisa mengurut dada. Sama sekali tidak ada niat untuk menghukum tingkah cucunya meski terkadang amat kelewatan!

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

"Uhh...!" Rangga terjaga. Bukan karena tamparan atau siraman air, melainkan karena sengatan nada-nada harpa yang dimainkan Ki Niti Sabdo.

"Apa kabar, Bocah? Mudah-mudahan tidurmu nyenyak hari ini...," sapa Harpa Neraka sambil tersenyum dan menghentikan permainan harpa.

"Kau menang, Orang Tua! Tapi ingatlah! Karma akan membalasmu. Kalaupun aku mati, tak nantinya orang-orang persilatan akan berdiam diri!" desis Rangga geram sambil berusaha melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti saat ini memang terbelenggu rantai besi yang dilekatkan erat-erat ke dinding ruangan. Demikian pula kedua kakinya.

"Lebih baik simpan tenagamu. Karena, kau akan banyak memerlukannya nanti," ujar Ki Niti Sabdo, tersenyum mengejek.

"Kenapa kau tidak langsung saja membunuhku?" desis Rangga, setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang marah.

"Membunuhmu? Kenapa aku mesti membunuhmu?" tukas Ki Niti Sabdo.

"Jadi apa maumu sebenarnya?"

"Kau terkena ajian ku, Bocah. Dan di dunia ini hanya aku yang memiliki pemunahnya. Hidupmu tergantung padaku...."

"Tidak perlu menakut-nakutiku, Tua Bangka Licik!"

Ki Niti Sabdo tersenyum tipis. "Aku bukan menakut-nakuti. Tapi hidup ini hanya sekali. Dan mestinya kita habiskan untuk hal-hal yang indah dan bermanfaat. Kalau kau mati, hilanglah kesempatanmu itu...," kata laki-laki tua ini. Nada bicaranya benar-benar membuat muak Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak usah berbelit-belit! Katakan saja maksud tujuanmu!" sergah Rangga, keras suaranya.

"Sudah kuduga kau memang pemuda cerdas. Kau cepat menangkap maksudku. Aku ingin agar kau melakukan satu hal bagiku," jelas Harpa Neraka.

"Apa itu?" tanya Rangga.

"Cari Saraswati. Dan rebut kembali Rebab Swara Buana. Bawa keduanya kemari! Kedua, tolong carikan sebuah angkin sakti bernama Angkin Naga yang dicuri Ki Bogatama alias Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Bawa benda itu ke sini. Juga, orangnya. Kalau kau sanggup melakukannya untukku, maka kuberikan pemunah ajian 'Petikan Harpa Neraka'. Dan kau bebas pergi dari tempat ini," papar Ki Niti Sabdo.

"Begitu berartikah kedua benda itu bagimu?"

"Benda itu seperti jiwaku. Seperti harpa ini!"

"Kalau begitu, kau boleh mengambilnya sendiri!" sahut Rangga sambil tersenyum-senyum.

"Jadi kau tak ingin selamat? Kau ingin mampus di sini?!"

"Siapa yang mau mampus? Yang jadi persoalan adalah, karena aku tak mempercayaimu!"

"Apa maksudmu?"

"Kau licik! Dan kau berhasil menangkapku karena kelicikanmu. Hmm.... Seumur hidup aku tak akan pernah mempercayaimu lagi. Kau suruh aku mencari kedua benda itu, dan membawa kedua pencurinya ke sini. Lalu setelah itu, kau berikan pemunah dan membiarkan aku pergi begitu saja. Terlalu mudah! Dan aku sama sekali tidak mempercayaimu!" Rangga mencibir.

"Ha ha ha...! Bocah pintar. Tapi kau tak punya pilihan lain, atau..., mati sia-sia! Aku beri waktu sampai siang nanti. Kau bisa melihat cahaya matahari dari lubang angin itu!" tunjuk Ki Niti Sabdo.

Rangga menoleh sedikit. Memang hanya ada sedikit lubang angin sebesar ibu jari. Saat ini, cahaya yang masuk amat terang. Itu menandakan kalau saat ini hampir tengah hari. Atau malah sudah tengah hari. Jadi kalau Ki Niti Sabdo memberi waktu sampai siang nanti, sama artinya dengan bergurau. Waktunya amat sedikit!

"Hei?" Tapi ketika Rangga menoleh, Ki Niti Sabdo telah berlalu dari ruangan ini. "Bangsat!" maki Pendekar Rajawali Sakti geram. Rangga menarik napas dalam-dalam. Bola matanya menerawang ke seluruh ruangan dan dahinya sedikit berkerut memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat ini.

"Benar-benar brengsek dia! Ajiannya telah melumpuhkan tenagaku. Aku seperti penyakitan yang tak berdaya!" rutuk Rangga di hati. "Bahkan untuk melepaskan rantai besi ini saja, aku tak mampu. Dan yang lebih brengsek lagi, Raja Penyair. Dia telah menipuku mentah-mentah!" Tengah Pendekar Rajawali Sakti memaki dalam hati, mendadak....

"Psst!"

"Hei?!" Terdengar bisikan seseorang, membuat Rangga tersentak. Kepalanya langsung dihadapkan ke lubang angin. Karena cahaya satu-satunya di ruangan ini, mendadak tertutup. Sebuah mata tampak mengintip dari luar.

"Kau mau bebas tidak?!" tanya sosok bersuara halus itu.

"Siapa kau?" Rangga malah bertanya.

"Sudah! Jangan banyak mulut. Aku ke sana sekarang juga!"

"Hei, tunggu!"

Percuma saja Rangga menahan, karena mata yang mengintip itu telah menghilang. Dan cahaya kembali masuk ke dalam ruangan dengan leluasa. Rangga menunggu beberapa saat. Tak lama mendengar suara ribut di muka pintu. Lalu..., pintu terbuka. Tampak seraut gadis manis dengan rambut dikuncir agak ke atas muncul sambil tersenyum. Meski begitu, matanya masih kelihatan sembab seperti habis menangis. Di tangannya tergenggam sebilah pedang bergagang kepala burung yang masih tersimpan dalam warangkanya.

"Ini pedangmu, bukan?" tanya gadis itu.

"Ya! Hati-hati menggunakannya. Salah-salah bisa celaka nanti!" ingat Pendekar Rajawali Sakti.

Sring!

Tapi bukannya gadis itu hati-hati, malah pedang itu dicabut. Seketika terpancar sinar biru berkilau dari mata pedang. Dan mendadak gadis itu mengebutkannya

Swing! Tras!

Melihat usianya yang masih muda belia, pantas rasanya kalau Rangga khawatir pada gadis itu. Apalagi ketika ujung pedang menyambar ke arahnya. Karuan saja dia berseru kaget. Namun ketika segalanya berakhir, dia tak merasakan kalau kepalanya putus. Malah kedua belenggu di tangannya yang putus.

"Satu lagi!" ujar gadis itu. Dan....

Wuuttt...! Cring!

Pedang di tangan gadis ini kembali berkelebat, membabat belenggu yang mengikat kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti hingga putus. Lalu secepatnya gadis itu memasukkan pedang ke dalam warangka kembali.

"Hebat! Hebat sekali...!" puji Rangga.

"Tak ada waktu untuk pujian. Simpan saja dulu! Nih, pedangmu! Lekas pergilah dari tempat ini!" tukas gadis itu sambil menyerahkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti milik Rangga.

Rangga menyambutnya cepat. "Terima kasih, Adik Kecil! Aku tak akan melupakan budimu!" ucap pemuda ini.

"Jangan menyebutku adik kecil! Aku bukan adikmu!" dengus gadis ini ketus.

"Oh, maaf! Lalu aku harus panggil apa padamu?" tanya Rangga, halus.

"Namaku Lulur Herang...," sahut gadis ini.

"Wah, nama yang bagus! Terima kasih atas kebaikanmu, Lulur Herang. Aku pergi dulu!"

"Hei, tunggu!" cegah gadis yang ternyata Lulur Herang ketika Rangga melangkah keluar. "Apa kau mau mati konyol? Di luar banyak penjaga. Bila seorang mengetahui, maka segalanya akan sulit bagimu. Karena, kau akan terkurung."

"Apakah ada jalan rahasia di tempat ini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak ada. Kau hanya perlu hati-hati dalam melewati tempat yang penjagaannya tidak terlalu ketat. Ingat! Keluar dari sini, beloklah ke kiri. Lalu ambil jalan lurus di belakang gubuk kecil. Berhentilah sebentar di dekat kamar mandi yang terbuat dari bilik bambu untuk mengamati penjagaan. Dan setelah merasa aman, ambil jalan ke kanan. Di sana, ada kebun kecil. Setelah berada di tengah, kau ambil jalan ke kiri. Dari situ, jalan terdekat menuju bukit. Selanjutnya tergantung dari usahamu sendiri. Sebagai langkah awal, telah kubereskan dua penjaga di depan pintu! Ayo, lekaaas!" papar Lulur Herang.

"Kau sendiri bagaimana? Apakah kau tak ikut pergi bersamaku?" Rangga malah bertanya.

Gadis itu tertawa renyah. "Aku lahir dan besar di sini. Pergilah sebelum diketahui oleh penjaga yang lain!" sahut Lulur Herang.

"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik!"

Setelah berkata begitu, Rangga buru-buru keluar. Sejenak dia mengamati keadaan di sekelilingnya. Masih sempat kepalanya menoleh pada Lulur Herang sebelum terus berlari kencang. Jalan yang dikatakan gadis itu memang benar. Penjagaan di situ kurang ketat. Kalaupun ada gubuk, ternyata hanya kandang kerbau berukuran besar. Kalaupun ada sumur dan kamar mandi yang dikatakannya, maka itu untuk keperluan hewan ternak. Ada dua orang yang tengah bercakap-cakap di dalam kandang. Dan dengan mengendap-endap, Pendekar Rajawali Sakti berhasil melewatinya tanpa menimbulkan kecurigaan.

"Hup!" Rangga melompati sebuah parit kecil, lalu tiba di sebuah kebun yang cukup luas. Sampai di tengah kebun perjalanan Rangga aman-aman saja. Tapi ketika berbelok dan hampir mendekati kaki bukit....

"Tawanan lolos! Tawanan lolos...!"

Tong! Tong!

Saat itu terdengar teriakan dan suara kentongan saling bersahutan. Orang-orang sibuk keluar dari rumah dan berlarian ke sana kemari. Melihat itu, Rangga tak mau buang waktu lagi. Secepatnya seluruh sisa tenaganya dikerahkan untuk mendaki bukit. Sesekali tubuhnya menyelinap jika melihat beberapa orang penjaga yang berdiri di bukit-bukit pada bagian lain.

"Kurang ajar! Sampai di bukit-bukit tertinggi pun masih terdapat penjagaan. Padahal waktu kesini penjagaan tidak begitu ketat!" keluh Pendekar Rajawali Sakti. "Agaknya si tua licik itu memperhitungkan segalanya. Mungkin termasuk perlarian ku ini.

"Heh?!" Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti ingat sesuatu. Buru-buru diambilnya jalan lain di sisi bukit. "Jangan-jangan gadis itu suruhan Harpa Neraka. Dia menggunakan akal licik untuk meloloskan ku dari kurungan. Entah apa yang direncanakannya. Tapi, aku mesti waspada!" duga Rangga.

"Hei, itu dia...!"

"Ohh?!" Paras pemuda itu berubah ketika terdengar teriakan seseorang ke arahnya. Cepat kepalanya mendongak. Tampak seseorang siap melemparkan tombak ke arahnya dari atas lereng bukit. Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak melesat bayangan hitam.

Dig!

"Aaakh...!" Orang yang hendak melempar tombak kontan tersungkur ke bawah, dan jatuh bergulingan sambil menjerit kesakitan.

"Hup!" Bayangan hitam tadi tahu-tahu telah berada di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kontan paras Rangga geram bukan main ketika melihat siapa gerangan penolongnya.

"Raja Penyair! Kau rupanya! Kukira kau telah mampus ditelan iblis!"

"Simpan dulu makianmu! Yang jelas, kita mesti pergi secepatnya dari sini. Ayo, lekas!" ujar bayangan hitam yang ternyata Raja Penyair.

"Aku tak bisa berlari kencang...," keluh Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan bergurau! Ayo, cepaaat! Orang-orang itu mulai mengejar kita!" seru Raja Penyair.

"Harpa Neraka itu telah mengurung ku dalam sebuah ruangan, dan mempengaruhi ku dengan ajian 'Petikan Harpa Neraka'. Jadi, tenagaku saat ini betul-betul lemas,"

"Apa?! Kurang ajar! Betul-betul keparat dia! Ayo, cepat!" maki Raja Penyair.

"Hei, mau apa kau?!" seru Rangga kaget.

Tanpa buang waktu lagi, Raja Penyair segera menyambar tubuh Rangga, membawanya kabur dari tempat itu dengan mendaki bukit di atas.

"Brengsek! Apa yang kau lakukan?!" rutuk Rangga.

"Sudah, jangan banyak bicara! Yang penting kita selamat dulu. Kalau sampai tertangkap, kau akan celaka!"

"Bukan cuma aku. Tapi, kau juga! Bahkan kau yang lebih celaka!"

Raja Penyair terkekeh, tanpa menghiraukan rutukan Pendekar Rajawali Sakti.

ENAM

Raja Penyair benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendaki lereng bukit di depan yang cukup terjal. Semakin tinggi, jalan yang dilalui semakin sulit. Bahkan untuk satu orang. Apalagi saat ini, dia memikul beban. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi dan telah kenal betul dengan daerah sekitarnya yang mampu selamat dari tempat ini. Dan ternyata, Raja Penyair mampu melakukannya dengan baik. Sehingga, kini mereka sampai di bibir atas lereng!

"Mudah-mudahan mereka tidak nekat untuk mengejar sampai di sini...!" desah Raja Penyair penuh harap sambil menoleh ke bawah.

"Hei, turunkan aku!" pinta Rangga, yang sudah merasa jengkel terhadap Raja Penyair.

"Cerewet betul! Apa kau kira kita aman? Ini hutan kekuasaan Setan Belang Pemakan Tulang!" ingat Raja Penyair.

"Aku tak peduli! Ayo, turunkan aku!" sentak Rangga.

"Baik kalau itu maumu!"

Brukk!

Dengan kasar Raja Penyair menghempaskan tubuh pemuda itu. Rangga kontan meringis. Sementara Raja Penyair sudah meninggalkan pemuda itu.

"Hei! Mau ke mana kau?!" tanya Rangga sambil meringis menahan nyeri di dadanya.

Mau tak mau terpaksa Rangga bangkit dan lari mengejar. Tapi dalam keadaan terluka dalam seperti ini, sulit baginya untuk bisa menyusul Raja Penyair. Sebentar saja bayangannya telah hilang. Dan pemuda itu kehilangan jejak.

"Brengsek!" umpat Rangga lagi sambil terus berjalan tersaruk-saruk dengan mulut meringis.

Tapi baru saja melangkah kembali beberapa tindak, mendadak mencelat dua sosok tubuh menghadang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menatap tajam dua laki-laki bertubuh kekar, dengan sebilah golok tajam yang diselempangkan hingga ke pundak masing-masing.

"Hm.... Aku yakin dia anak buah si Harpa Neraka, Adi Kudapaksi," gumam penghadang yang berbaju hitam.

"Tak salah, Kakang Jalak Ireng! Buktinya kulihat tadi arah kedatangannya dari sana," sahut laki-laki satunya yang dipanggil Kudapaksi.

"Hei, Anak Muda! Kau pasti kaki tangannya si Harpa Neraka. Hm.... Kalian telah membunuh saudara seperguruan kami...," tegur laki-laki berbaju hitam yang dipanggil Jalak Ireng.

"Maaf, Kisanak berdua. Aku tak mengerti maksud kalian," ucap Rangga halus.

"Jangan berlagak bodoh!" hardik Kudapaksi. "Barusan kau dari mana?!"

"Dari perkampungan...," sahut Rangga.

"Perkampungan mana?!" cecar Kudapaksi.

"Perkampungan Kidung Bahana!"

"Bagus! Kalau begitu kau harus mampus!" dengus Kudapaksi, seraya berkelebat sambil membabatkan golok besarnya ke leher Rangga.

"Hup!" Dengan sejadi-jadinya, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Sehingga, luput dari tebasan.

"Harpa Neraka dan anak buahnya memang sudah kelewatan. Mereka menganggap diri selalu hebat sendiri. Hari ini jadi pelajaran berharga bagi yang lain! Agar mereka tidak lagi memandang enteng!" seru Jaka Ireng.

Selesai berkata begitu, laki-laki berbaju hitam itu langsung lompat menyerang. Dan Rangga cepat menghindarinya dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Memang, walaupun Rangga terluka dalam akibat pengaruh aji 'Petikan Harpa Neraka', namun untuk mengerahkan jurusnya tidak begitu mengalami kesulitan. Asal saja jangan sampai tenaga dalamnya diumbar terus-menerus. Dan untung saja daya tahan pemuda ini amat mengagumkan.

"Hhh.... Kalau terus begini aku bisa mampus!" keluh Rangga sambil terus meliuk-liukkan tubuhnya di antara kelebatan golok.

Saat itu, Kudapaksi telah kembali siap menebaskan goloknya ke leher. Maka tanpa buang waktu lagi, Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

Sinar biru berkilau langsung memendar dari mata pedang. Tepat ketika golok Kudapaksi sejengkal lagi menemui sasaran, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya.

Wuutt! Trang!

Terdengar benturan keras yang disertai percikan bunga api ke segala arah....

"Heh?!"

"Oh...?!" Kudapaksi terperangah melihat goloknya putus. Sementara Rangga mengeluh, karena pedangnya terpental. Memang Pendekar Rajawali Sakti hanya sedikit mengerahkan tenaga dalam. Sehingga pegangan pada pedang tak begitu kuat. Tapi kalau seluruh tenaga dalamnya dikerahkan, justru keadaannya makin tambah parah.

"Pedang bagus! Ini untukku!" seru Jalak Ireng.

"Hei?!" Bukan main kagetnya Rangga melihat laki-laki berbaju hitam akan memungut pedangnya. Padahal, jaraknya dengan pedang lebih jauh ketimbang jarak orang itu ke pedangnya. Dan kalau sampai pedangnya jatuh ke tangan lawan....

"Heaaa...!" Pada saat yang gawat, mendadak melesat satu bayangan hitam ke arah Jalak Ireng yang akan memungut pedang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

"Akh!"

Ternyata bayangan yang baru muncul adalah sosok Raja Penyair. Tendangannya tadi langsung mampir ke punggung Jalak Ireng hingga jatuh bergulingan. Secepat kilat disambarnya pedang milik Rangga. Pada saat yang sama, Kudapaksi meluruk hendak melepas serangan berupa tendangan terbang. Namun tanpa diduga, Raja Penyair berputar sambil membabatkan pedang milik Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa...!"

Bret!

Terdengar jerit kematian dari mulut Kudapaksi saat perutnya robek tersambar pedang. Tubuhnya langsung ambruk bersimbah darah dan tewas begitu menyentuh tanah. Sementara, Jalak Ireng yang sudah bangkit jadi tertegun. Namun Raja Penyair tak mau membuang-buang kesempatan. Secepat kilat tubuhnya meluruk.

"Heaaa...!"

"Hei?!" Jalak Ireng terkesiap kaget. Segera dia menghindar sejadi-jadinya, Hanya dua kali dia mampu menghindar, karena selebihnya....

Crasss!

"Aaa...!" Pedang di tangan Raja Penyair berhasil menebas leher Jalak Ireng hingga putus! Laki-laki itu langsung tersungkur. Begitu kepalanya menggelinding, darah mengucur deras dari lehernya.

"Ayo, mari kita pergi sebelum yang lain kesini!" ajak Raja Penyair seraya menyerahkan pedang pada Rangga.

Begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah memasukkan pedangnya, Raja Penyair sudah berkelebat cepat.

"Hup!" Rangga sebisanya bangkit. Walaupun sambil meringis, dia berlari sekencang-kencangnya untuk mengikuti kecepatan lari Raja Penyair.

"Ayo, lebih cepat lagi!" teriak Raja Penyair.

"Brengsek! Mana bisa aku lebih kencang lagi dari ini!" umpat Rangga.

"Biar kugendong!"

"Tidak! Aku masih mampu berlari!"

"Kalau begitu ayo cepaaat!"

"Ini juga sudah cepat!"

"Lebih cepat lagi!"

"Sial!" umpat Rangga, kesal. Mereka terus berlari hampir seharian. Peluh telah membasahi seluruh tubuh. Napas Rangga terengah-engah. Demikian pula halnya Raja Penyair. Menjelang sore baru mereka tiba di pinggiran hutan.

"Aku istirahat dulu! Napas ku mau putus rasanya...," keluh Rangga sambil menyandarkan diri di bawah sebatang pohon dan jatuh terduduk.

"Untuk seorang yang terkena aji 'Petikan Harpa Neraka', kau termasuk yang paling hebat. Bahkan sepintas tidak terlihat kalau kau terluka dalam!" puji Raja Penyair.

"Terima kasih atas pujianmu. Tapi bagaimanapun aku lebih suka untuk tidak terkena ajian ini!"

"Itu ajian yang sangat ampuh dan jarang sekali ada obatnya."

"Jarang katamu?"

"Ya!"

"Berarti bukan tak ada?"

"Ada. Dan itu hanya Ki Niti Sabdo yang memilikinya."

"Apakah kau tak tahu ramuannya?"

"Sayang sekali...," Raja Penyair menggeleng lemah. "Tapi kurasa ada berita gembira yang perlu kau ketahui."

"Kukira tak ada berita gembira. Yang ada hanya berita celaka!" gumam Rangga, tak suka.

"Jangan cepat putus asa...," ujar Raja Penyair, kalem.

"Aku bukan putus asa! Aku marah!" bentak Rangga, meninggi.

"Pada siapa?" tanya Raja Penyair, pura-pura pilon.

"Pada siapa lagi kalau bukan padamu?! Ini hanya karena aku ingin membalas budimu. Dan akibatnya aku! Heh?! Ngomong-ngomong, kau memang menginginkan kematianku, ya?" cibir Rangga Raja Penyair terdiam.

Kepalanya menoleh sejenak pada pemuda itu. "Cabut pedangmu! Dan ini leherku. Dengan sekali tebas, maka kau bisa melampiaskan dendammu," ujar Raja Penyair sambil membungkuk sedikit, dan berlutut di depan pemuda itu.

Rangga diam membisu. Bergerak pun tidak.

"Kenapa kau diam saja?" tantang Raja Penyair.

"Aku tak pernah melakukan sesuatu dengan cara semudah itu...."

"Kalau begitu kesempatan masih ada. Saat sehat nanti, kau boleh mencariku dan melampiaskan dendam yang belum reda."

Rangga diam tak menjawab. Sementara Raja Penyair telah berdiri. "Keadaan di sini sudah lebih aman. Kau bisa menentukan jalan mu sendiri...," kata Raja Penyair lagi.

"Sebelum aku pergi, ada yang hendak kutanyakan padamu...," ungkap Rangga.

"Tentang apa?"

"Kenapa kau memperalatku?"

"Karena kuanggap kau pintar. Dan yang terpenting..., kau hebat. Cukup untuk diandalkan untuk menahan mereka, sementara aku mengambil benda yang kuinginkan," sahut Raja Penyair terus-terang.

"Benda apa yang kau cari?"

"Kitab berisi tembang-tembang ampuh untuk melengkapi permainan rebab ku. Kitab itu bernama Kitab Dandang Gula Perapuh Jiwa."

"Lalu kenapa kau mesti membohongi ku?" kejar Rangga.

"Kalau berkata sejujurnya, apakah kau mau membantuku?" Raja Penyair malah balik bertanya.

"Lalu, apakah bantuanmu padaku hari yang lalu juga karena pamrih untuk melancarkan keinginanmu memperalatku?" tukas Rangga.

Raja Penyair menarik napas panjang sebelum menjawab. "Terus terang, tidak. Tapi ketika kau mengatakan akan membalas budi atas pertolonganku, maka aku memikirkan hal itu. Kau cukup hebat untuk kuandalkan," papar Raja Penyair.

"Kuanggap kau orang yang paling tega di dunia dengan menghalalkan segala cara. Tak peduli orang celaka. Tapi, kenapa kau mempertaruhkan diri dengan menuruni lereng itu kembali, setelah bebas dan bisa pergi jauh?"

"Aku merasa..., entahlah! Mungkin perasaan bersalah. Dan bermaksud kembali untuk menolongmu. Tapi kulihat, dari kejauhan kau malah telah berusaha meloloskan diri. Peranan ku amat kecil...," tutur Raja Penyair masyghul. "Siapa yang telah membebaskanmu? "

"Seorang gadis belia bernama Lulur Herang...," sahut Rangga.

"Adik Lulur Herang? Sulit dipercaya! Dia adalah cucu kesayangan Ki Niti Sabdo!"

"Tapi, begitulah kenyataannya...."

"Yaaah, mungkin juga. Lulur Herang sering berbuat aneh. Dan adatnya pun kekanak-kanakan...."

Suasana hening beberapa saat. "Mengapa kau melarikan diri...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.

"Eh, apa?!" Raja Penyair tersentak.

"Mengapa kau melarikan diri dari perkampungan itu? Bukankah mereka semua menyayangi mu?"

"Menyayangiku...? Ha ha ha...!" Raja Penyair tergelak mendengar kata-kata itu.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Rangga, heran.

"Aku hanya merasa geli karena kenyataan berbeda dengan apa yang kau katakan!"

"Apa maksudmu?"

"Kalau mereka menyayangi ku, mengapa aku melarikan diri? Eh, kau tentu tahu tentang aku. Ya, pasti si Tua Bangka itu telah cerita banyak...."

"Dari dia aku tahu kalau kau ternyata seorang gadis. Sifatmu nakal dan suka melawan. Bahkan selalu menyalahi aturan...," papar Rangga, terus terang.

"Ha ha ha...! Begitukah yang mereka katakan padamu?"

"Lalu bagaimana cerita yang sebenarnya?"

Raja Penyair terdiam. Dan dia merenung untuk sejurus lamanya.

"Itu mungkin cerita pribadi. Dan aku tak bermaksud mengusiknya...," ujar Rangga sambil duduk bersila.

"Tidak. Kurasa kau perlu tahu agar hatimu tidak memendam kecurigaan terhadapku...." Raja Penyair terdiam, lalu menarik napas panjang. "Puluhan tahun yang lalu, ada dua orang sahabat akrab. Yang satu kaya raya. Sedangkan seorang lagi hidup biasa. Mereka sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tanpa perasaan apa-apa, orang yang kaya mengajak kawannya tinggal bersama. Tapi, siapa nyana kalau tiba-tiba kawannya yang hidup biasa berhasrat menyerakahi semua harta yang dimiliki. Maka pada suatu saat, keluarga kaya itu diracuni. Maka saat itu pula niat orang yang hidup biasa terlaksana. Namun ada seorang yang selamat, yaitu menantu si kaya yang saat itu tengah mengandung. Dengan bantuan seorang bujang setia, mereka melarikan diri. Hidup mereka telantar. Bahkan si menantu itu meninggal setelah melahirkan putrinya. Maka bersama bujang setia itu, bayi cilik itu berkelana dari tahun ke tahun. Sampai kemudian, bujang setia itu mati. Dan, bocah cilik yang telah berusia sepuluh tahun itu ditemukan seseorang...." Raja Penyair terdiam sebentar.

Rangga bisa melihat bola mata gadis di depannya berkaca-kaca. Namun begitu dia tak bermaksud melepaskan topeng untuk menyeka muka.

"Seseorang yang memungutnya itu kemudian merawatnya penuh kasih sayang. Tapi sayang, dia tidak tahu kalau bocah perempuan itu sejak bisa bicara oleh ibu dan bujang setianya selalu diberi tahu nama dan ciri-ciri pembunuh keluarga mereka. Maka, sadarlah bocah perempuan itu kalau saat ini hidup bersama pembunuh keluarganya. Dia mulai tak betah, dan berusaha untuk melarikan diri. Tapi akalnya berpikir lain. Dan ketika mulai mahir ilmu olah kanuragan, maka ditantangnya orang yang telah menolongnya...," lanjut Raja Penyair.

"Orang itu adalah Ki Niti Sabdo?" tebak Rangga.

Raja Penyair mengangguk. "Dan bocah perempuan yang telah dewasa itu adalah kau sendiri?"

"Benar...."

"Lalu apa yang terjadi?"

"Aku gagal membalaskan dendam keluargaku. Dan secara terus terang, kukatakan niatku hendak membunuhnya. Ki Niti Sabdo menyesali perbuatannya dan meminta maaf. Dia meminta agar aku melupakan peristiwa itu, dan menyuruh tetap tinggal di perkampungan itu. Aku menolak, dan memilih pergi. Namun sebelumnya aku telah mencuri Rebab Swara Buana. Dan sejak saat itulah aku mengembara ke mana-mana...."

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?"

"Suatu saat aku akan menantangnya kembali. Dia memiliki Harpa Neraka yang menjadi andalannya. Senjata itu bisa dilawan, dengan Rebab Swara Buana yang dipadu Kitab Dandang Gula Perapuh Jiwa. Kelak bila kuanggap ilmu silatku cukup, maka aku akan kembali menantangnya!"

"Jadi itukah sebabnya kau memperalat ku, lalu mencuri kitab itu?"

Raja Penyair mengangguk.

"Kenapa dulu kau tidak memintanya secara baik-baik?"

"Dia tak akan memberikannya. Orang tua itu kelewat pelit dengan pusaka-pusaka yang dimiliki!"

Tiba-tiba Raja Penyair memberi isyarat. Dan mereka beringsut ke rerimbunan semak.

Srak!

"Tidak perlu bersembunyi! Aku mengetahui kehadiran kalian di sini!" Terdengar satu suara bernada nyaring. Suara khas yang dimiliki gadis muda.

Dari balik semak-semak, Rangga dan Raja Penyair berusaha mengintip. Dan terlihat seseorang tegak berdiri tidak jauh dari tempat persembunyian.

"Adik Lulur Herang!" seru Raja Penyair.

"Lulur Herang? Apa maunya?" tanya Rangga heran.

"Sebaiknya kita keluar. Karena dia telah mengetahuinya...."

Mereka segera keluar dari persembunyian. Apa yang dikatakan Raja Penyair memang benar. Gadis itu adalah Lulur Herang, yang telah menolong Rangga.

"Kakak Saraswati! Terimalah salam hormatku!" sambut Lulur Herang.

"Sudahlah. Jangan banyak peradatan segala. Aku kini orang luar dan terusir dari kampung. Kau tak perlu menghormatiku segala," tolak Raja Penyair yang ternyata bernama Saraswati.

Memang orang tak akan menyangka kalau Raja Penyair adalah seorang gadis. Dadanya yang rata, serta penampilannya yang mengenakan topeng, membuat Saraswati lebih dikenal sebagai Raja Penyair.

"Bagiku kau tetap seorang kakak yang kuhormati...!"

"Terima kasih! Sekarang, katakanlah. Apa keperluanmu menemui kami?"

"Ada permintaanku padanya!" tunjuk Lulur Herang pada Rangga.

"Aku? Apa yang bisa kubantu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Angkin Naga adalah hadiah Kakek yang diberikan padaku. Tapi benda itu dirampas seseorang. Maukah kau membawakannya untukku? Kalau kau setuju, maka sekarang juga akan kuberikan obat pemunah aji 'Petikan Harpa Neraka'," jelas Lulur Herang.

TUJUH

Selesai berkata begitu, Lulur Herang membuka telapak tangan kanan. Maka terlihat sebuah kendi kecil berisi tiga butir obat pulung berukuran kecil.

"Lulur Herang.... Tahukah kau akan perbuatanmu ini? Ki Niti Sabdo akan menghukum mu!" seru Raja Penyair mengingatkan.

"Aku tak peduli! Aku benci Kakek!" sungut gadis belia ini.

"Kenapa? Apakah beliau memarahi mu?" Dengan wajah cemberut gadis itu mengangguk.

"Kalau kau mencuri obatnya, maka beliau akan semakin marah padamu...."

"Biar saja! Aku tak peduli!" Gadis itu masih menunjukkan wajah cemberut. Lalu wajahnya berpaling pada Rangga.

"Bagaimana? Apakah kau setuju?" tanya Lulur Herang.

Rangga menarik napas panjang. Dahinya sedikit berkerut memikirkan tawaran itu. Sebentar kepalanya menoleh pada Raja Penyair sebelum kemudian mengangguk.

"Bagus! Nah! Terimalah obat ini!" sahut Lulur Herang gembira sambil melemparkan kendi kecil dalam genggamannya. "Minum ketiganya sekaligus. Maka luka dalammu akibat aji 'Petikan Harpa Neraka' akan berangsur-angsur sembuh.

Tanpa banyak tingkah, Rangga menenggaknya sekaligus. Lalu diambilnya sikap semadi. Pikirannya dipusatkan sambil mengerahkan hawa murni. Matanya terpejam dengan napas diatur perlahan. Benar saja, sebentar kemudian Rangga merasakan ada sesuatu yang mendesak-desak dadanya. Perutnya terasa mulas seperti diaduk-aduk. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Lalu....

"Hoeeekh...!" Rangga memuntahkan darah kental berwarna hitam. Namun sikapnya tak berubah, pikirannya tetap dipusatkan pada satu titik.

"Hoeeekh...!" Kembali Pendekar Rajawali Sakti memuntahkan darah kental. Namun kali ini warnanya merah segar.

"Bagus! Itu tandanya pengaruh aji 'Petikan Harpa Neraka' mulai lenyap!" seru Lulur Herang.

"Adik Lulur Herang.... Kau tak perlu memberitahukannya. Rangga telah mengetahui semuanya...," ujar Raja Penyair.

"Tapi ini amat berbahaya, Kak...!" tangkis gadis belia itu.

"Orang seperti dia bukan sekali atau dua kali mengalami keadaan seperti ini. Dia akan tahu bagaimana cara menanggulanginya...."

"Yaaah! Terserah. Aku hanya sekadar ingin membantu!" sahut Lulur Herang sambil angkat bahu. Kemudian matanya melirik.

"Kenapa Kakak sekarang memakai topeng segala? Wajah Kakak cukup cantik. Dan kalau semua pemuda melihatnya, mereka pasti berebutan memikat Kakak!"

"Aku tak bermaksud memikat siapa pun, Adik Lulur Herang...."

"Ya, memang! Tapi sebagai wanita kan ada kebanggaan tersendiri kalau banyak laki-laki yang mengagumi?"

"Kau pun cukup cantik. Dan kurasa, banyak laki-laki yang naksir padamu...!"

"Benarkah?!" Wajah Lulur Herang tampak berseri-seri. Sementara Raja Penyair mengangguk untuk meyakinkan jawabannya.

Tapi nyatanya tak ada seorang pemuda pun yang menyukaiku...!" cibir gadis belia ini, manja.

"Itu karena mereka takut."

"Ya, ya.... Aku sadar. Aku memang galak!"

"Bukan. Mereka bukan takut padamu!"

"Lalu takut pada siapa?"

"Pada kakekmu."

"Pada kakek? Hm, lucu! Apa yang mesti ditakutkan? Kakek bukan tukang makan orang seperti si Setan Belang Pemakan Tulang itu. Kenapa mesti takut segala padanya. Kakak juga tidak takut kan? Buktinya dulu pernah berkelahi dengan kakek."

"Kau cucu kesayangan beliau, Lulur Herang. Dan beliau amat menyayangi mu. Sehingga kau tidak merasakan apa yang dirasakan orang lain terhadap kakekmu...."

"Aku tidak mengerti maksud Kakak! Semuanya serba membingungkan!"

"Suatu saat, kau pasti akan mengerti...."

"Aku ingin mengerti sekarang saja! Ayolah, tolong jelaskan!" paksa gadis itu.

Raja Penyair belum sempat menjawab ketika terdengar keluh kesakitan dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Dari mulutnya kembali menyembur cairan kental berwarna merah. Tapi warna merahnya sudah benar-benar merah segar.

"Bagus! Kau berhasil membebaskan diri dari ajian itu!" kata Lulur Herang terus memberi semangat ketika Pendekar Rajawali Sakti terus melakukan beberapa gerakan untuk melancarkan peredaran darahnya.

"Ayo, kau pasti bisa! Lakukan dengan baik! Ayo, lekas!"

Melihat itu, Raja Penyair hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tak bermaksud melarang. Karena kalau pembicaraan tadi berlanjut, Lulur Herang akan terus memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan lain yang tak akan habis-habisnya.

Sementara itu wajah Pendekar Rajawali Sakti kelihatan pucat. Namun ketika kelopak matanya terbuka, terlihat sorot matanya tajam dan liar. Lalu tiba-tiba saja dia melompat bangkit. "Aji Guntur Geni...! Heaaa...!"

Sambil membentak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke depan.

Wusss...! Brakkk...!

Sebatang pohon besar berukuran kurang lebih sepelukan laki-laki dewasa kontan hancur berantakan terhantam sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum lega menyadari kesehatan dan tenaga dalamnya telah pulih. Tubuhnya langsung berbalik, menatap suka cita pada Lulur Herang.

"Sungguh aku berhutang nyawa padamu, Lulur! Dua kali kamu menolongku. Entah, bagaimana aku harus membalasnya," desak Pendekar Rajawali Sakti, penuh kebahagiaan.

"Simpan saja rasa terima kasihmu, Kakang. Yang penting tolong rebut Angkin Naga dari orang yang mencurinya," sahut Lulur Herang.

"Akan ku usahakan semampu ku!" tegas Rangga. "Suiiittt...! Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring.

Sebentar saja, terlihat dari kejauhan seekor kuda hitam menghampiri. "Hieee...!"

"Bagus, Dewa Bayu! Ternyata kau masih setia mengikutiku dari kejauhan. Mari kita pergi...," ujar Rangga sambil mengusap-usap leher tunggangannya. Dan dengan gerakan ringan, dia lompat ke punggung kuda hitam itu.

"Eee, mau ke mana kau?!" tahan Lulur Herang.

"Katamu tadi mencari Angkin Naga?" sahut Rangga.

"Aku ikut!" pinta gadis belia itu.

"Lebih baik jangan...."

"Tidak! Kau tidak tahu, mana angkin yang asli. Dan kau juga tidak tahu, bagaimana melumpuhkan kesaktian angkin itu. Kau akan dibuat repot seandainya memakai angkin itu," kilah Lulur Herang.

"Baiklah.... Kalau begitu, naiklah," ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah bisa menerima alasan Lulur Herang.

"Hup!" Dengan gerakan ringan pula, Lulur Herang lompat ke belakang pemuda itu. Dari gerakannya bisa ditebak kalau gadis ini cukup berisi juga.

"Apakah aku akan kalian tinggalkan begitu saja?" usik Raja Penyair.

"Kurasa kau tak ada sangkut-pautnya dengan hal ini. Keinginanmu telah tercapai. Biarlah kami berdua yang mengurusnya...," jawab Rangga, tegas.

"Kalau aku bersedia ikut dengan suka rela, apakah kau akan tetap melarangku?"

Rangga angkat bahu. "Ya, apa boleh buat? Bagaimanapun, tenaga bertiga lebih baik ketimbang dua orang. Tapi menunggang kuda dengan dua orang gadis, bisa-bisa kepalaku makin besar saja...."

"Tidak usah merepotkan. Aku bisa menyusul kalian meski tanpa kuda!" sahut Raja Penyair meyakinkan.

"Aku tidak meragukan kemampuanmu. Tapi, rasanya kurang sopan. Biarlah aku yang berjalan kaki dan kalian berdua menunggang kuda!" kata Rangga.

"Kenapa kita tidak menuntunnya saja sekalian. Lalu, kita bertiga jalan kaki?" tanya Lulur Herang memberi usul.

"Baiklah. Begitu juga baik...," ujar Rangga.

Akhirnya mereka jalan kaki. Dan Rangga menuntun Dewa Bayu.

"Ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Lulur Herang.

"Bukankah Angkin Naga dicuri Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa? Jadi tujuan kita adalah mencarinya," sahut Rangga.

"Siapa yang tahu di mana dia berada...?" tanya Lulur Herang lagi.

"Aku tahu!" sahut Raja Penyair pendek.

"Syukurlah. Berarti kita tak repot-repot lagi mencarinya...."

"Tempatnya agak jauh dari sini. Mendekati pantai selatan. Kita akan berminggu-minggu tiba di sana, kalau berjalan kaki seperti ini...," lanjut Raja Penyair.

"Nanti setiba di desa terdekat, kita membeli dua ekor kuda lagi. Dengan begitu perjalanan bisa dipercepat," usul Rangga.

"Begitu lebih baik."

"Tapi aku tak punya uang!" kata Lulur Herang lugu.

"Biar aku yang akan membelikannya!" jawab Rangga.

"Ayo, sekarang percepat langkah. Mudah-mudahan sebelum malam, kita bisa tiba di desa terdekat. Sekalian mengisi perutku yang mulai berkukuruyuk!"

TUJUH

"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Binatang! Aouw...! Terkutuk kau! Terkutuk kau...! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!"

Terdengar jeritan-jeritan menyayat dari mulut seorang wanita. Jeritan yang berasal dari sebuah pondok itu tak membuat iba seorang laki-laki yang juga berada di dalam pondok itu.

"Ha ha ha...! Sampai kapan kau bisa bertahan dariku, Malini sayang?"

"Iblis terkutuk! Kau akan menyesal bila berani melakukannya padaku!" bentak gadis yang dipanggil Malini.

"Satu-satunya yang kusesali adalah kalau gagal bersenang-senang denganmu! Ayo, Malini. Percuma saja kau berteriak dan melawan. Tak ada seorang pun yang mampu menahan keinginanku. Tak seorang pun! Sia-sia saja kau mengharapkan pertolongan! Juga sia-sia saja seandainya berharap bisa lepas dariku...!"

"Aouuuw...!"

"Ha ha ha...!"

Perlahan-lahan gadis yang siap diterkam itu beringsut ke sudut ranjang dengan wajah penuh ketakutan. Tak ada lagi daya dan upaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman sosok yang bagaikan serigala lapar itu. Kalaupun sampai saat ini yang terdengar hanya suara jeritan dan suara tawa terbahak-bahak, barangkali si pemangsa sengaja mempermainkan korbannya lebih dulu. Tapi pada saat itu, mendadak....

"Iblis jahanam! Keluar kau! Perlihatkan batang hidungmu! Atau kuhancurkan kandang sapi ini...!"

Gadis yang merupakan putri Banghadur Gupta itu memang diculik oleh guru dari si Capung Hitam. Padahal, memang Malini sendiri yang mengundang lewat si Capung Hitam (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Misteri Wanita Bertopeng).

"Heh, kurang ajar! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?! Mau mampus barangkali!" dengus laki-laki yang berada dalam pondok sambil menyambar pakaiannya.

"Capung Hitam! Di mana kau?! Bereskan manusia celaka itu!"

Namun tak ada sahutan. Dan ini membuat laki-laki itu kesal. "Capung Hitam! Kau dengar kata-kataku?! Bereskan orang itu!"

Bruakkk!

Sebagai jawaban, malah terdengar suara keras dari pintu depan yang hancur berantakan. Beberapa keping kayu dan batu melayang ke dalam kamar ini.

"Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa! Keluar kau! Keluar kau iblis pengecut...!" bentak suara tadi, dengan suara menggelegar.

"Kurang ajar! Ke mana perginya anak gendeng itu? Kalau ketemu, akan ku cekik sampai mampus!" dengus laki-laki yang disebut sebagai Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa seraya melayang keluar dengan ringan.

Di halaman depan terlihat seorang laki-laki kurus berkulit hitam dengan hidung mancung dan kelopak mata cekung. Dia bertelanjang dada, dan hanya mengenakan cawat yang terbuat dari lipatan selendang.

"Kecoa busuk! Mau apa kau mengganggu kesenangan orang?!" teriak Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Serahkan putri ku. Atau, ku ratakan tempat ini!" ancam laki-laki kurus yang tak lain Banghadur Gupta.

"Meratakan tempat ini? Ha ha ha...!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa yang bertubuh besar dengan hidung pesek dan bibir nyaris tak terlihat tertawa lebar. Begitu tawanya berhenti, paras wajahnya berubah geram. Telapak tangan kanannya menghantam ke depan.

"Hiih! Cacing kurus, mampuslah kau!"

Wuusss...!

Serangkum angin kencang laksana badai topan meluruk ke arah Banghadur Gupta. Namun dengan lincahnya, laki-laki bertelanjang dada itu berkelit ke samping. Dan seketika kedua tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh.

Siutt...!

Angin panas yang mampu membakar kulit menerpa ke arah Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Namun dengan sedikit mengibaskan tangan kiri, pukulan Banghadur Gupta rontok. Sementara, orang asing berkulit legam itu tak tinggal diam. Tubuhnya mendadak melesat menyerang disertai siulan yang panjang dan berirama tak teratur.

"Huh! Macam-macam saja kau!" dengus Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa seraya mengibaskan kedua tangan.

Wuuttt...!

Tubuh Banghadur Gupta mencelat ke atas menghindari terpaan tenaga dalam Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Kaki kanannya bergerak cepat ke wajah. Namun dengan gesit laki-laki bertubuh besar menangkis. Dan tahu-tahu, kepalan kirinya dengan mantap menghajar dada.

Jdeg!

"Aahh...!" Banghadur Gupta terjajar mundur beberapa langkah. Dari mulutnya keluar keluh kesakitan. Ini menandakan kalau tenaga dalam Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa berada setingkat di atasnya. Namun begitu dengan semangat berapi-api dia kembali menyerang.

"Heaaa...!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa tidak beru鈥恠aha mengelak. Ditangkisnya semua serangan dengan penuh percaya diri. Bahkan balik menyerang, sampai-sampai Banghadur Gupta mesti menjaga jarak.

"Hiih!" Ketika kepalan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menghantam ke dada, cepat Banghadur Gupta memutar tubuhnya sambil berusaha melakukan tendangan ke arah pinggang.

Tap!

Tapi siapa sangka tiba-tiba tangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa bergerak cepat, menangkap kakinya. Kemudian dengan gaya khas, dilemparkannya Banghadur Gupta ke atas.

"Aaakh...!" Banghadur Gupta menjerit. Tubuhnya melayang seperti layangan putus, lalu jatuh dengan keras ke tanah. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Huh! Cuma segitukah kemampuanmu berani berkoar-koar di hadapanku?!" dengus Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa mengejek. "Ilmu sihirmu tak berarti sama sekali bagiku. Bahkan saat ini aku bisa menyihirmu jadi tape!"

"Keparat! Aku belum kalah olehmu. Coba kau lihat ke sana!" dengus Banghadur Gupta.

"Hm!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa melirik. Tampak sekawanan rajawali bergerak cepat menyambarnya. Sementara dari darat terlihat ratusan ular berbisa menyerbunya. Bahkan puluhan banteng siap melumatkannya.

"Itulah pasukanku yang akan melumatkanmu. He he he...!" kekeh Banghadur Gupta.

"Huh! Ini sama sekali tidak berarti bagiku!" dengus laki-laki tinggi besar itu.

DELAPAN

Apa yang dikatakan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa bukan isapan jempol belaka. Ketika tubuhnya berputar, mendadak terlihat angin halus yang berubah cepat menjadi angin ribut yang menelan hewan-hewan itu. Suara teriakan rajawali, lenguh banteng, dan desis ular, semua tertelan oleh gemuruh angin kencang yang diciptakan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Hah?!" Bukan main kagetnya Banghadur Gupta melihat keadaan itu. Dan lebih kaget lagi ketika semua hewan-hewan yang tadi dipanggilnya habis tersapu bersih. Dan kini gilirannya!

"Celaka! Aku harus menyelamatkan diri!" keluh laki-laki berkulit hitam ini berusaha bangkit. Tapi usaha Banghadur Gupta sia-sia saja. Karena angin lesus itu telah melibatnya dengan cepat.

Wup!

"Aaa...!" Terdengar jeritan panjang menyayat, ketika tubuh Banghadur Gupta tertelan pusaran angin. Kemudian tercampak keras, membentur sebatang pohon besar hingga hancur. Dan angin itu perlahan-lahan mereda. Menjadi bentuk aslinya, yaitu si Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Huh! Hanya segitukah kemampuanmu? Kau cari mati berani datang ke sini!" dengus laki-laki bertubuh besar ini. Baru saja laki-laki itu akan melangkah, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari kejauhan.

"Hm!" Secepatnya Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menoleh, melihat tiga penunggang kuda mendatangi tempat ini. Satu pemuda berompi putih, dan seorang lagi seseorang berpakaian serba hitam, bertopeng, dan membawa harpa. Yang terakhir adalah gadis belia berwajah manis. Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa tegak berdiri sambil berkacak pinggang, menghadang ketiga. penunggang kuda itu.

"Berhenti...!" Bentakan keras menggelegar membuat ketiga orang itu menghentikan laju kuda. "Sebelum celaka, lekas minggat dari sini!" bentak laki-laki berhidung pesek itu garang.

"Kaukah yang bergelar Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa?" tanya pemuda berompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau benar, kau mau apa?!" sahut laki-laki itu, bernada meremehkan.

"Aku mendapat pesan dari Ki Niti Sabdo untuk meminta Angkin Naga yang kau curi darinya!" sahut Rangga.

"Dia mengutus kalian?! Ha ha ha...! Sungguh gegabah Niti Sabdo! Sungguh gegabah...!"

"Lebih baik serahkan Angkin Naga itu padaku!" bentak gadis berusia muda dengan suara nyaring.

"Siapa kau bocah manis?" tanya Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa, menatap penuh hasrat.

"Aku cucu kakek Niti Sabdo!" sahut gadis yang memang Lulur Herang, mantap!

"Kau cucunya? Hi hi hi...! Tua bangka itu pasti sudah kurang waras otaknya. Sampai-sampai tega mengirim cucunya sendiri!"

"Kisanak! Benda itu bukan milikmu! Serahkanlah padanya. Dia lebih berhak memilikinya ketimbang kau!" ujar Rangga.

"Tutup mulutmu, Bocah! Tahu apa kau?!" leceh Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Apa pun yang kuinginkan, harus kumiliki. Dan benda itu telah jadi milikku. Maka tak seorang pun yang boleh merebutnya dariku kalau masih ingin hidup!"

"Kalau begitu kami terpaksa merebutnya dengan kekerasan!"

"Ha ha ha...! Sungguh lancang kalian. Baiklah! Hitung-hitung ingin kulihat, bekal apa yang kalian bawa hingga berani menyatroniku!"

Selesai berkata begitu, tiba-tiba saja Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa melompat menyerang. Yang ditujunya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Karena sejak tadi dia melihat pemuda ini memiliki kepandaian paling tinggi

"Hup!" Rangga melenting dari punggung kudanya. Namun tak disangka Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa mengejar kelewat cepat sambil mengibaskan kedua tangannya. Sambil berputaran di udara, Pendekar Rajawali Sakti menangkis. Karena sudah tahu siapa Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa, Rangga langsung mengerahkan tenaga dalamnya hingga hampir puncaknya.

Plak! Plak!

"Uhh...!" Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa agaknya meremehkan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga saat berbenturan tadi, tubuhnya sempat terlempar beberapa tombak. Untungnya dengan gerakan lincah dia bisa mendarat manis di tanah.

"Kurang ajar! Hebat juga rupanya kau...!" Seketika Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menyilangkan kedua tangan di dada.

"Heaaa...!" Disertai bentakan keras, tubuh laki-laki itu berputaran. Kini wujudnya berubah bagaikan tiupan angin yang semula perlahan, mendadak berubah bagaikan topan menggila.

"Hmm...?" Pendekar Rajawali Sakti segera membuat gerakan tangan dengan kuda-kuda kokoh. Tepat ketika serangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa satu tombak lagi tiba, kedua telapak tangan Rangga telah berada di sisi pinggang. Lalu....

"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!" Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghentak ke depan. Seketika tercipta angin kencang laksana badai topan, memapak serangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

Jderrr!

Benturan antara dua tenaga dahsyat itu betul-betul menimbulkan suara ledakan dahsyat. Batu-batu sebesar kepala kerbau dan batang-batang pohon di sekitar tempat itu terpelanting kesana kemari. Dan bangunan rumah milik lawan, hancur berantakan! Lalu....

"Aaakh...!" Kedua orang yang bertarung sama-sama terpental disertai jerit tertahan.

Dari mulut Pendekar Rajawali Sakti meleleh darah segar. Wajahnya berubah pucat bagai mayat saat berusaha bangkit berdiri.

"Heaaa...!" Sementara, Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa telah sejak tadi bangkit. Bahkan terus melesat menyerang.

"Gila! Tenaga dalamnya benar-benar dahsyat?!" gumam Rangga kaget.

"Yeaaa...!"

"Hiyaaat...!"

Sementara Raja Penyair dan Lulur Herang tidak tinggal diam. Melihat keadaan itu mereka langsung meluruk menghadang serangan Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Laki-laki bertubuh besar itu mendengus geram. Seketika telapak tangan kirinya mengebut ke arah dua penyerangnya.

Dess...!

"Aaakh...!" Terjadi benturan dahsyat.

Karena tenaga dalam Raja Penyair dan Lulur Herang masih terbatas, tak pelak lagi keduanya terpental ke belakang. Begitu mendarat, mereka sempoyongan dengan mulut meringis. Darah tampak meleleh dari sudut bibir. Namun hal itu bukannya tanpa arti. Sebab serangan laki-laki berhidung pesek terhadap Pendekar Rajawali Sakti terhenti. Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa jatuh terduduk. Dari sudut bibirnya keluar tetesan darah. Namun buru-buru disekanya. Kini matanya memandang geram ke arah Rangga.

"Bocah terkutuk! Kau akan mampus sekarang juga!" desis laki-laki itu penuh dendam.

"Aku pun telah siap menghadapimu!" sambut Rangga dingin.

Sring!

Keadaan Rangga memang tidak menguntungkan. Tubuhnya malah gemetar ketika mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Meski begitu semangatnya dikuatkan. Rangga telah bertekad untuk pantang menyerah begitu saja.

"Heh?!" Tapi sebelum Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa menyerang, mendadak terdengar nada-nada harpa dimainkan dari jarak jauh.

"Harpa Neraka...!" desis Rangga.

"Niti Sabdo! Akhirnya kau muncul juga di sini!" seru Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa.

"Aku datang karena dua hal, Bogatama! Pertama kau mencuri benda kesayanganku. Dan kedua, kau melukai cucuku. Untuk yang kesatu bisa ku maafkan. Tapi yang kedua sama sekali tak bisa kuampuni...," sahut satu suara tanpa wujud.

"Huh! Jangan kira aku takut denganmu! Perlihatkan dirimu sekarang juga!" bentak Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa yang ternyata bernama asli Ki Bogatama.

"Ha ha ha...! Bogatama, Bogatama...! Kau masih juga sombong seperti dulu meski usiamu telah keropos dimakan zaman."

"Perlihatkan dirimu!" bentak Ki Bogatama.

"Baiklah!"

Wusss...!

Mendadak berkelebat satu bayangan hitam dari balik sebatang pohon. Dan tahu-tahu di depan Ki Bogatama berdiri seorang laki-laki tua berbaju serba putih. Jenggotnya panjang dengan rambut telah memutih. Di tangannya terdapat harpa yang siap dicabik. Begitu melihat kemunculan sosok yang memang Harpa Neraka alias Ki Niti Sabdo, Ki Bogatama langsung menyerang dengan serangan angin lesus. Tubuhnya berputaran, membentuk segulungan angin topan yang bergerak ke arah Harpa Neraka.

"Ha ha ha...! Kau sungguh hebat, Bogatama!"

"Jangan banyak mulut! Hari ini kita tentukan. Kau atau aku yang mampus!"

"Hup!" Ki Niti Sabdo mencelat ke atas sambil memainkan harpanya. Tapi angin topan itu terus mengejar. Secepatnya Harpa Neraka mencelat turun. Begitu mendarat, tangan kirinya mengibas. Seketika bertiup angin lembut, langsung meredakan amukan angin lesus yang diciptakan Ki Bogatama. Tapi, cuma sebentar. Karena berikutnya angin lesus itu semakin liar dan galak saja. Sementara Ki Niti Sabdo terus mengimbangi.

Pertarungan aneh antara Ki Bogatama melawan Ki Niti Sabdo memang berjalan seru. Tapi Rangga bisa langsung menyimpulkan kalau Ki Niti Sabdo yang keluar sebagai pemenang. Berarti tak lama lagi Angkin Naga akan dimiliki orang tua itu lagi. Dia menyadari, kini kehadirannya di tempat ini tak diperlukan. Perlahan dia bangkit setelah menyarungkan pedangnya yang bersinar biru berkilau.

"Heh?! Ke mana si Raja Penyair?" gumam Rangga pendek ketika gadis berbaju hitam dan bertopeng itu telah lenyap dari tempatnya. "Hm..., aku tahu! Kurasa dia tak ingin bertemu dengan Ki Niti Sabdo..."

Dan seketika Rangga beralih pada Lulur Herang. Gadis belia itu tampak asyik menyaksikan pertarungan. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke arah Dewa Bayu. Dengan gerakan agak tersendat karena luka dalamnya, Rangga naik ke punggung Dewa Bayu.

"Ayo, Dewa Bayu! Kita tinggalkan tempat ini...," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Pelan-pelan Rangga meninggalkan tempat itu. Tapi belum begitu jauh, terlihat seseorang berdiri menghadang. Dan setelah dekat, Pendekar Rajawali Sakti terkejut

"Malini...! Mau apa kau di sini...?" tanya Rangga. Gadis itu diam tertunduk.

"Ternyata kau tak apa-apa. Dan lagi-lagi, kau pandai bersandiwara!" sindir Rangga seraya menggebah kudanya perlahan.

"Kakang Rangga...!" panggil Malini.

"Apalagi maumu?" tanya Rangga, menghentikan kudanya.

"Kukira..., kukira kau datang ke sini untuk membebaskanku dari cengkeramannya...," kata gadis ini, tergagap.

"Apa maksudmu?"

"Yang menculikku adalah Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa. Aku sendiri yang mengundangnya, karena dia guru si Capung Hitam. Sungguh aku tak menyangka akan begini jadinya. Baru saja ayahku tewas olehnya ketika Manusia Tanpa Rupa Tanpa Rasa hendak menodaiku...."

Rangga terdiam beberapa saat.

"Lagi-lagi Kakang telah menyelamatkanku. Tapi hidupku telah tak berguna. Aku memiliki banyak noda yang menutupi sekujur tubuh. Kakang! Biarkanlah aku mengabdi dan menjadi budakmu seumur hidup. Budimu kelewat berat untuk kupikul. Dan aku tak bisa membayarnya!" kata gadis itu sambil berlutut dan memohon.

"Kenapa kau ingin menangkapku?" tanya Rangga, dingin.

"Eh, apa?!" Malini tergagap.

"Kenapa saat itu kau hendak menangkapku?!" ulang Rangga.

"Aku..., aku malu mengatakannya...."

"Katakanlah!"

"Kakang tidak marah?"

"Aku ingin dengar pengakuanmu yang jujur!"

"Baiklah, Kakang. Aku.., aku mencintaimu. Tapi untuk memiliki mu, rasanya tak mungkin. Jadi..., aku berharap bisa mendapat keturunan darimu melalui..., melalui...." Putri Banghadur Gupta tak kuasa meneruskan kata-katanya. Kepalanya menunduk, lalu menangis terisak.

"Tahukah kau bahwa perbuatanmu itu salah? Kau telah memaksakan kehendakmu atas orang lain!"

"Kakang! Aku betul-betul bersalah! Ampunilah aku, Kakang! Kau hukum pun aku rela! Kakang, ampuni aku...!"

"Malini! Sebetulnya niatku bertemu denganmu, ingin menghukum mu. Tapi itu tak bisa kulakukan...."

"Kakang! Kau boleh menghukumku sekarang juga!" tukas gadis itu.

"Biarlah.... Biarlah karma yang menghukum mu. Aku sudah cukup bahagia seandainya kau merubah jalan hidupmu...."

"Jadi, jadi kau memaafkan aku?"

"Yang Maha Kuasa saja mau memaafkan hambanya, apalagi aku yang hanya manusia biasa."

"Oh! Terima kasih, Kakang!"

"Nah, urusanku telah selesai. Selamat tinggal! Heaaa...!"

Malini yang hendak menubruk Rangga jadi terlongong saat Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya dengan kencang.

"Kakang...! Kakang Rangga...!" teriak gadis itu memanggil.

Tapi sia-sia saja. Pemuda itu tak sedikit pun menoleh. Apalagi berhenti. Malini terduduk lesu dengan air mata mengalir membasahi pipi. Dari jauh, samar-samar terdengar syair yang tengah dilantunkan.

Sungguh malang nasibmu, wanita mengharapkan cinta yang fana
Seperti rembulan dan matahari
Sia-sia bertemu
Dan meski dalam mimpi
Sang Pemuda tetap dalam kelana
Oh, ini cuma sekeping kisah
Seorang anak manusia yang dirundung duka, karena cinta

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SETAN ALAM KUBUR