Asmara Berdarah Jilid 20

Serial Pedang Kayu Harum Episode Asmara Berdarah Jilid 20 Karya Kho Ping Hoo
SUI CIN yang merasa betapa ada hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir saja tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sinkang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang kini seakan-akan menjadi lumpuh. Akan tetapi dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sinkang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.

Telah lewat tiga jam lamanya semenjak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dahulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin pun sadar dari keadaan seperti tidur itu.

Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling menatap. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun pun menarik napas panjang.

"Cin-moi, kita harus mengaso dahulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sinkang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."

Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Dia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, dia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera dari ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar!

Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini adalah seorang pendekar yang mengagumkan, tidak hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sinkang. Seorang pemuda yang hebat, dan sinar mata pemuda itu kalau ditujukan kepadanya membuat jantungnya tergetar karena jelas terasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.

"Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hamburkan tenaga untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, hanya lemas dan tak dapat membangkitkan tenaga sinkangku..."

"Akan tetapi, engkau tentu sangat menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan matamu layu, Cin-moi, bagaimana pun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan seorang ahli untukmu."

Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini telah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya nenek ini tentu saja segera mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, dia pun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga.

Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya pun penuh ejekan. "Orang muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"

Cia Sun mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Benar sekali, dan sesudah nenek iblis itu melarikan diri sekarang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau dengan Kiu-bwe Coa-li?"

Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya. "Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"

"Apa bila nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti dia memang sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di sini?"

"Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu." Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan sambil mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah pada dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.

"Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan dia pun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh.

Melihat tamparan yang mengandung hawa pukulan yang sangat dahsyat ini, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Ia pun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya.

Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan beberapa kali pula Cia Sun harus kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apa lagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar lantas berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu sering kali berkelebatan lenyap sehingga tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di mana Sui Cin duduk bengong tadi.

Gadis ini merasa gelisah karena dia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu. Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, sudah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Dia cepat melangkahkan kaki untuk mengejar karena walau pun dia sendiri tak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih terasa lemas, akan tetapi dia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan dan akhir dari perkelahian itu.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang sangat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat. Apa bila dia berada dalam keadaan biasa, tentu dia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri?

Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik sekali. Rasa ngeri mencekam hatinya dan dia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Dia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebesar paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin roboh bersama ke bawah!

"Ahhhh...!" Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan dia pun jatuh pingsan.

Sementara itu, sesudah mendengar auman-auman harimau itu, nenek pemegang kebutan tersenyum dan berkata, "Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu memang hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!" Dia menggerakkan kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari hadapan Cia Sun.

Pemuda ini tercengang, mencari ke sana sini dengan pandangan matanya, akan tetapi sia-sia belaka, dia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat tadi sebab dia pun sempat mendengar suara auman-auman harimau tadi sehingga amat mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.

Ketika tiba di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.

"Cin-moi...!" Dia berseru memanggil, mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Tapi panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khikang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban sama sekali.

"Cin-moi, di mana kau...?" Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan atau pun jejak gadis itu.

Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari lantas duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biar pun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu mempunyai ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja?

Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itu pun langsung menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.

Cia Sun mengepal tinju kemudian bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras. "Nenek siluman, sampai di mana pun juga, aku akan mengejarmu!"

Dia pun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.

********************

Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang bentuknya aneh-aneh. Dan di daerah ini banyak terdapat goa-goa alam yang besar dan bentuknya juga aneh-aneh. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah goa yang amat besar.

Pintu goa ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa goa itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar goa sudah nampak bahwa di sebelah dalam goa itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu.

Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan goa. Dia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kaanannya membawa kebutan bulu putih dan di hadapannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.

Terdengar auman harimau dari depan goa. Untuk mencapai goa itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu agar mendaki naik dan membawa gadis yang diseretnya itu.

Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidak sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju mulut goa di mana nenek itu menanti dengan wajah berseri.

"Letakkan dia di sini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya.

Harimau itu membawa Sui Cin ke hadapan si nenek, lantas melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang.

"Nah, kini kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.

Nenek itu membuka baju atas Sui Cin kemudian melakukan pemeriksaan, meraba sana sini, mengetuk sana sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.

"Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."

Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam goa. Ternyata goa itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang sangat luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian dia membuat api di tungku dan mulai memasak obat.

Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Dia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka dia segera bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau di sana sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.

"Nenek iblis! Apa yang sudah kau lakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika dia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.

Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh lantas tersenyum. "Ahh, engkau telah sadar, nona? Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."

"Hemmm, siapa yang mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Di mana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"

Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api lalu menuangkan air obat yang berwarna coklat serta mengebulkan uap panas itu ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hidung Sui Cin, bau masakan obat.

"Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, nona, aku Yelu Kim jangan kau samakan dengan Kiu-bwe Coa-li."

"Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"

"Memang aku sengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk membawamu ke sini."

Mata Sui Cin terbelalak. "Apa? Harimau itu adalah binatang peliharaanmu dan dia kau suruh datang menculikku?"

Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."

Sui Cin mendengus marah. "Tidak berniat jahat tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang serta memancing Sun-twako agar meninggalkan aku? Bagus, kau kira ada orang yang mau percaya omonganmu ini?"

"Terserah padamu, nona. Akan tetapi, kalau aku berniat buruk, apakah kau kira kau masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"

"Di mana Sun-toako?"

"Aku meninggalkan dia. Dia terlampau kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa harimauku, aku pun pergi meninggalkannya."

"Tetapi... tetapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"

"Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau tidak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah perkasa itu. Namaku Yelu Kim dan di daerah Mongol ini aku dihormati orang, bahkan dianggap sebagai orang tua yang patut dimintai nasehat oleh para kepala suku."

Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget saat mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan kelak boleh diandalkan.

"Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"

Melihat sikap orang yang begitu ramah dan halus, maka berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimana pun juga, dari sikap serta bicaranya, sukarlah menyamakan nenek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Dia lalu menarik napas panjang. Bagaimana pun juga, dalam keadaan kehilangan tenaga ini dia tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di tangan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau dia bersikap halus mengimbangi sikap nenek itu.

"Ahh, aku menjadi bingung kalau ditanya begitu, nek. Ketahuilah, aku sudah lupa sama sekali tentang keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat menipuku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki dan tanganku. Sampai sekarang aku tidak ingat lagi siapa adanya diriku, apa lagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."

Mendengar ucapan itu dan melihat sikap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia memandang tajam penuh selidik. "Apa? Engkau kehilangan ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"

"Bagaimana aku tahu, nek? Yang aku ingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala tapi ada dorongan di dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan di sinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu sesudah dia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan dia mengaku bahwa dia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi aku pun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, kemudian engkau muncul..."

Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk. "Ah, jika begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, aku pun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."

Sui Cin memandang tajam. "Tetapi mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu? Kenapa memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku ke sini?"

"Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan tanpa sebab apa pun iblis itu menyerangku. Akan tetapi akhirnya dia tewas oleh ulahnya sendiri, terjatuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku dapat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi aku juga dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan sebuah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya agar pergi meninggalkanmu dan aku menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."

Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta bantuannya. Pertolongan yang bersyarat, pikirnya.

"Nenek yang baik, hendaknya engkau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak menerima pengobatan darimu!"

Nenek itu tertawa. "Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."

"Sungguh aneh sekali. Engkau yang dapat mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat aku lakukan untuk seorang sakti seperti engkau?"

"Sudahlah, tidak perlu engkau membuang banyak tenaga. Mari kuobati engkau lebih dulu, baru nanti kuceritakan apa yang harus kau lakukan untukku. Mari, kau minumlah obat ini maka racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kembali."

"Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu...," Sui Cin meragu.

"Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andai kata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hatimu, engkau boleh tidak usah melakukannya. Nah, sekarang kau tahu bahwa aku tidak memiliki niat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."

Sui Cin yang tahu bahwa kalau dia tidak minum obat itu, keselamatannya tentu terancam maut, maka dia pun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini berniat buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlunya nenek ini bersusah payah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau maksudnya buruk?

Dia lantas menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupanya. Baunya sedap dan rasanya agak manis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.

Tiba-tiba saja Sui Cin merasa betapa dalam perutnya bergerak-gerak kemudian terdengar suara berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Yelu Kim tersenyum.

"Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, apa bila pintu pusar sumber tian-tian telah terbuka, perlahan-lahan salurkan tenagamu supaya tidak merusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."

Sui Cin menurut dan ia pun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan dia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya serta ada kekuatan yang naik. Dia lalu menguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai dia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang tadi seperti tenggelam itu.

Tak lama kemudian dia merasa segar dan sehat kembali dan dibukanya kedua matanya. Nenek Yelu Kim berdiri memandang kepadanya dengan senyum ramah. Maka lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan dia pun cepat bangkit dan memberi hormat kepada wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.

"Harap locianpwe sudi memaafkan kekasaranku tadi dan terima kasih atas pertolongan locianpwe."

Nenek itu tersenyum. "Nanti dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!" Dan kebutan di tangannya bergerak menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin.

Gadis ini terkejut namun otomatis dia bergerak mengelak dan setelah dia mengerti bahwa nenek itu hendak mengujinya, maka dia pun lantas bergerak lincah menghadapi serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga sinkang-nya.

"Plakkk...!"

Tangkisannya itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan nenek ini menjadi makin girang. Dia lalu mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera dia merasa pusing sesudah Sui Cin menggunakan ginkang-nya yang istimewa.

Nenek ini dapat menghilang dengan bantuan sihirnya, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika menghadapi kecepatan Sui Cin, karena kadang-kadang bayangan gadis itu seperti lenyap dan tahu-tahu telah berada di samping atau belakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.

"Cukup, cukup! Aihh, girang hatiku karena aku sama sekali tidak kecewa. Engkau bahkan melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."

"Ah, locianpwe terlalu memuji. Sekarang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu!"

Nenek itu kembali tersenyum. "Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting sekali, namun aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kukenal benar siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk menyembuhkan dulu luka di dalam kepalamu yang membuatmu kehilangan ingatan itu."

Sepasang mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking gembiranya. "Locianpwe dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?" tanyanya penuh harapan.

Nenek itu mengangguk. "Mudah-mudahan demikian supaya tak percuma sebutan semua rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke dalam kamarku dan aku akan memulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus percaya penuh kepadaku dan bersabar karena mengobati bagian kepala harus sangat hati-hati dan teliti."

Demikianlah, nenek Yelu Kim yang ternyata memiliki ilmu pengobatan yang sangat tinggi itu memeriksa kepala Sui Cin dan mulai memberi pengobatan dengan urutan-urutan pada jalan darah dan juga memberi obat minum yang rasanya amat pahit. Namun Sui Cin yang sudah menaruh kepercayaan penuh kepada nenek yang amat ramah itu mentaati semua petunjuknya dengan sabar.

Kemudian dia juga melihat betapa nenek ini dibantu oleh beberapa orang pelayan wanita Mongol yang datang setiap kali tenaga mereka diperlukan dan agaknya mereka itu tinggal di luar goa yang hanya ditempati nenek Yelu Kim seorang diri saja. Juga ia melihat betapa harimau besar yang dulu pernah mengejutkannya itu kiranya adalah seekor binatang yang amat jinak apa bila berada di dekat nenek Yelu Kim. Bahkan dia sendiri mulai bersababat dengan binatang itu yang agaknya sekarang telah mengerti bahwa dia bukanlah seorang musuh melainkan seorang kawan baik.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Hui Song memasuki kota kecil yang menjadi benteng terakhir dari pasukan pemerintah di daerah utara. Benteng itu berada di dekat Tembok Besar, di sebelah selatan tembok dan penduduknya cukup banyak karena kota San-hai-koan ini benar-benar merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah orang-orang Han utara, akan tetapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar, karena kota benteng ini merupakan pertahanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng.

Pada waktu itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Ke selatan sampai lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiang-si dan Yun-nan, ke barat hanya sampai Se-cuan dan Shen-si saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar. Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau rampasan dari kekuasaan Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas wilayah.

San-hai-koan merupakan kota penghubung antara Tiongkok dengan daerah Mongol dan Mancu, dan menjadi satu di antara benteng-benteng terakhir di utara, juga merupakan benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, benteng ini diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu oleh seorang panglima perang.

Karena letaknya di tepi lautan, di tepi teluk besar Po-hai, maka sebagian besar dari pada penghuninya adalah para pelaut dan nelayan yang sudah biasa bekerja keras, di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalu lalang di daerah perbatasan ini. Kotanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan serta rumah penginapan. Akan tetapi penjagaan kota itu sangat ketat dan para penjaga keamanan selalu mengadakan pemeriksaan untuk mencegah terjadinya kerusuhan di kota benteng itu.

Ketika Hui Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui Cin, maka melihat ramainya orang pergi ke jurusan tengah kota, dia pun segera menyusup di antara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka sekali menyamar sebagai pria.

Dia tersenyum geli bila mana teringat tentang hal itu. Betapa bodohnya dia dahulu, kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai laki-laki dan dia sama sekali tidak tahu bahwa 鈥榩emuda jembel鈥? yang lucu dan jenaka itu adalah Sui Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan menyamar seribu kali, dia pasti akan dapat mengenalnya.

"Sobat, ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu arah? Ke manakah kalian hendak pergi?" tanyanya kepada seorang laki-laki brewok yang wajahnya membayangkan keramahan.

Orang itu memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya. "Hemmm, agaknya engkau baru datang dari selatan, ya?"

"Benar," Hui Song menjawab terus terang, "aku sedang melancong."

Si brewok itu menggeleng kepala. "Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh sangat berbahaya."

"Ehh, ada apakah?"

"Negara sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pemberontakan besar. Karena itu, sejak sepekan ini Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengadakan sayembara penerimaan perwira-perwira baru, juga para prajurit cadangan untuk menjaga kalau-kalau benteng ini diserang musuh."

"Ahh, begitukah? Sayembara apakah itu?"

"Tentu saja semacam pibu (adu kepandaian silat). Setiap orang yang bisa mengalahkan pengujinya, akan langsung diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk menjadi prajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi penguji para calon perwira itu, wah, luar biasa sekali. Raksasa itu tidak terkalahkan sehingga belum ada seorang pun yang lulus ujian dalam sepekan ini! Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang yang berani menghadapi raksasa itu."

Hati Hui Song tertarik sekali dan dia pun ikut bersama rombongan orang yang berduyun menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung oleh tembok benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula lapangan-lapangan untuk latihan berbaris dan olah raga bagi para prajurit.

Ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu ada sebuah bangunan kecil di mana duduk seorang pembesar sipil serta seorang pembesar militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar.

Hui Song dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang sangat besar. Dia sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya kalau dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi alisnya tebal dan hitam, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar.

Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan. Di bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet. Selain cawat itu, betisnya diikat dengan semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut, tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan serta kakinya juga penuh dengan tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan.

Pendek kata, raksasa ini cukup menakutkan bagi siapa pun yang harus menghadapinya sebagai lawan. Melihat bentuk wajahnya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, dia pun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat.

Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung, "Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang masih belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"

Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorang pun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga di antara penonton yang memandangnya penuh kebencian.

"Biarkan aku maju menghadapinya, paman," kata seorang lelaki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah. Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.

"Ah, sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, paling sedikit tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia amat lihai, kuat dan kebal," kata yang tua.

"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah telah bertahun-tahun aku mempelajari ilmu silat?" bantah yang muda.

"Ahh, apa kau kira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itu pun bukan ahli-ahli silat? Percuma saja! Begitu tertangkap oleh tangan raksasa itu, mereka itu satu demi satu tidak mampu berkutik, lalu dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."

"Saudara-saudara sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari ini belum ada seorang pun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah? Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Dan tidak perlu mengalahkan Moghul, asal mampu bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya satu batang hio saja sudah dianggap lulus. Kami pun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah!"

Ucapan itu benar-benar merupakan tantangan. Dengan mengatakan pertanyaan apakah di kota San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan oleh si pembicara tadi, maka si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran di dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.

"Paman, aku hendak mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju dan mendekati panggung.

"A-bian... jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung.

Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat, dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lantas menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.

"Hamba Kui Bian mohon perkenan paduka untuk mencoba kebodohan hamba."

Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya. "Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."

Seorang pengawal telah siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung hio itu. Asap mengepul dan hio itu ditancapkan pada tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding itu. Si baju hitam lantas bangkit dan menghampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.

Kini si baju hitam itu menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, dia pun berkata dengan bahasa Han yang kaku, "Majulah, hio telah menyala."

Si baju hitam tiba-tiba berteriak, "Lihat serangan!" dan dia pun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan.

Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menyangka akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.

"Blukk...!"

Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan amat kuatnya dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring. Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak.

Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini amat girang melihat bahwa akhirnya muncul juga seorang gagah yang dapat merobohkan si raksasa hanya dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya.

Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan sudah membuat tubuhnya terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini sungguh mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya.

Dengan amarah meluap Moghul balas menyerang. Dia mementang sepasang lengannya bagai seorang jago gulat atau seperti seekor beruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri ingin menangkap kedua pundak lawan.

Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit. Dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping, lantas kembali melayang sambil dua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari sisi kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka dia pun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.

"Bresss...!"

Dan kembali raksasa itu terguling. Walau pun dia mampu menangkis, akan tetapi tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya sehingga untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul sehingga tahu bagaimana cara untuk mengalahkannya, karena itu dia mempergunakan tendangan-tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar.

Kali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Dia pun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun. Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu sudah menangkap kaki kiri lawan!

Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas. Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang ketika melihat akalnya yang pura-pura terlambat bangun tadi ternyata berhasil, tiba-tiba saja si baju hitam mengeluarkan bentakan keras lantas kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan.

Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia mampu menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi sekarang yang diserang adalah wajahnya, di mana terdapat bagian-bagian yang tak mungkin bisa dibuat kebal seperti mata dan hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi pula tidak terduga-duga.

"Desss...!"

Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas lantas Moghul terhuyung ke belakang, sepasang tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini dan juga Kok-taijin tersenyum girang, akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.

Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itu pun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar.

Dan hio yang bernyala itu pun belum padam, baru terbakar separuhnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang. Menurut peraturannya, jika dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar, atau jika dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang.

Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan. Agaknya si baju hitam itu tak memiliki akal lain kecuali hendak mengalahkan lawannya dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa selain kebal dan bertenaga besar, Moghul juga memiliki kecerdikan.

Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga ikut menggerakkan kakinya ke depan dan menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang terlampau kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.

"Bresss...!"

Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lantas terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam, sedangkan Kok-taijin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan akibat dia melihat betapa si raksasa itu curang. Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja!

Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri bukan kepalang bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini. Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia tetap hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi.

Si raksasa menyeringai. Sekarang dia berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang kali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu datang menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.

"Bresss...!"

Kali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang lantas terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul lalu mengirim tendangan! Agaknya raksasa ini masih marah sebab tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.

Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tidak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.

"Dukkk...!"

Si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling. Tulang lengan yang menangkis itu patah begitu bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa sepatu itu pada bagian dalamnya juga berlapis baja!

Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting. Moghul cepat menghampirinya, lantas menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam.

Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata tulang kedua kakinya itu sudah retak-retak akibat diinjak oleh Moghul. Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh langsung bersorak girang memuji dan menyambut kemenangan raksasa Moghul.

Memang di antara para penonton banyak pula yang mengadakan pertaruhan dalam setiap pertandingan dan sekarang orang-orang yang bertaruh memegang Moghul berani melipat gandakan taruhannya dengan satu berbanding tiga! Agaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul!

Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pula beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan tetapi, mereka itu satu demi satu dirobohkan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah. Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja sehingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan tulangnya patah-patah.

Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, kecuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah kembali berteriak-teriak melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk maju.

"Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi? Benarkah tidak ada seorang pun yang mampu bertahan menandingi Moghul sampai habis terbakarnya satu batang hio saja? Apakah kalian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak ada seorang pun yang dapat disebut gagah? Ingatlah, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pangkat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!" Demikianlah si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton.

Akan tetapi mereka yang merasa memiliki kepandaian silat agaknya telah menjadi gentar. Melihat betapa lima orang yang gagah-gagah kalah dan menderita siksaan mengerikan, mereka merasa bahwa mereka tidak akan sanggup menandingi raksasa itu. Maka, para penonton hanya mampu saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal.

Sekarang perasaan mereka semua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu sudah berubah menjadi semacam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampaknya semakin sombong itu.

Sekarang Moghul berdiri di tengah-tengah panggung sambil bertolak pinggang. Tubuhnya yang telanjang berkilauan karena keringat. Dia terbelalak memandang ke empat penjuru dan mulutnya menyeringai lebar. "Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi yang maju? Aku belum lelah, belum keluar keringat!"

Tentu saja ucapan ini hanya dipergunakan untuk menyombongkan diri saja. Kemudian dia menggerak-gerakkan kaki tangannya hingga terdengar suara berkerotokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.

Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang amat hebat dan sukar dikalahkan. Mengapakah pembesar setempat mengadakan syarat yang begitu beratnya untuk menjadi seorang calon perwira? Jelaslah bahwa di antara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang dapat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio apa bila menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apa lagi raksasa itu telah berlaku curang, menyembunyikan besi di dalam sepatu dan pembalut kakinya.

Pembesar setempat itu seakan-akan bahkan hendak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada peserta yang unggul, walau pun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir. Mengapa begini? Bukankah justru si panglima itu yang membutuhkan perwira-perwira baru untuk membantunya?

Juga dia yang memilih Moghul sebagai penguji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciangkun itu malah hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru? Semua ini, ditambah pula oleh sikap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung.

Dia harus menyelidiki semua ini. Pula, kalau dia sudah memperoleh kedudukan, biar pun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggunakan pasukan untuk mencari Sui Cin. Selain itu, dia pun dapat membantu dengan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang disangkanya.

Begitu muncul seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-sedang saja serta tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar laksana seekor kucing melihat seekor tikus yang akan bisa dipermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi para penonton telah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, biar pun sorak-sorai itu hanya untuk melepaskan ganjalan hati yang menjadi penasaran sebab si pembicara tadi mengatakan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Padahal di lubuk hati mereka timbul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparkan ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau tulang kaki dan tangannya patah-patah.

Hui Song menghampiri panggung di mana dua orang pembesar itu duduk, lalu memberi hormat sambil berkata dengan suara nyaring, "Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."

Kok-taijin mengangguk-angguk, ada pun Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata, "Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."

Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya mengenakan pakaian. Sekali raksasa ini dapat menangkap dan mencengkeram baju lawan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulatnya, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan bisa diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri dalam keadaan telanjang dan berkeringat sehingga licin.

Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata,

"Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, maka tidak adil jika aku memakai baju ini. Tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dahulu." Dan dia pun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.

"Di antara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak atau gajih? Bila ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada mereka.

Para penonton menjadi heran sekali, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengoleskan sedikit pada kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak.

Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton yang terdekat, Hui Song kemudian menghadapi Moghul, sementara sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.

"Apakah engkau seorang jago gulat?" Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda itu berdiri di depannya.

Hui Song menggelengkan kepala. "Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, maka aku pun melumuri tubuhku dengan minyak," katanya dengan sikap tolol.

"Orang muda, engkau sudah menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah kau akan menghadapi aku bertanding gulat? Ataukah dengan ilmu silat?"

"Dengan apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira," jawab Hui Song seenaknya.

"Kau pandai gulat?" tanya Moghul. Hui Song menggelengkan kepala.

"Pandai silat?" Kembali Hui Song menggelengkan kepala.

Mendengar percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini? Tidak bisa gulat atau pun silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul! Apakah pemuda ini mencari mati?

Moghul sendiri tertawa bergelak, kepalanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, bocah nakal, lebih baik kau pulang saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat, ha-ha-ha!"

Para penonton juga merasa ngeri membayangkan pemuda yang lemah ini akan disiksa habis-habisan, maka di antara mereka ada yang berteriak-teriak minta supaya Hui Song cepat-cepat turun saja dari atas panggung.

Akan tetapi Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah ditancapi sebatang hio bernyala, kemudian dia menggunakan dua jari menjepit ujung hio itu sehingga apinya padam.

"Hei, apa yang kau lakukan itu?" Si petugas yang tadi membakar hio menegur.

"Terlalu cepat kalau dibiarkan terbakar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan gajah bengkak itu? Biarlah kami berdua main-main sampai seorang di antara kami roboh tak mampu melawan lagi!" jawab Hui Song dengan sikap yang masih tenang.

Mendengar ucapan ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini benar-benar telah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti itu, menantang si raksasa untuk bertanding sampai seorang di antara mereka menggeletak tidak mampu melawan lagi? Seolah-olah dia akan mampu bertahan sekian lamanya!

Akan tetapi, sikap Hui Song ini membuat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu.

"Majulah dan akan kupatahkan seluruh tulang-tulang dalam tubuhmu!" bentaknya sambil melangkah lebar menghampiri Hui Song yang telah kembali ke tengah panggung. "Engkau ini tikus kecil berani banyak lagak!"

Hui Song tersenyum jenaka. "Dan engkau ini babi kebiri terlampau banyak berkaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"

Para penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkan si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, dua matanya menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia segera menubruk ke depan, sepasang tangannya mencengkeram hendak menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi, dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyeluruk ke bawah lengan si raksasa sambil berseru,

"Sayang luput!"

Kemudian, karena dia tadi menyelinap melalui bawah lengan lawan, kini tubuhnya berada di belakang lawan dan sekali dia mengayun kaki kiri, sepatunya telah menendang pinggul yang besar dan berdaging tebal itu. Tentu saja dia tak mengerahkan tenaga sinkang-nya karena dia ingin mempermainkan raksasa yang berhati kejam ini.

"Bukkk...!"

Pinggul itu kena ditendang dan sungguh pun Moghul tidak roboh dan tendangan itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi suaranya yang nyaring itu terdengar semua orang sehingga mulailah para penonton bersorak gembira. Walau pun gerakan pemuda itu tidak memperlihatkan gerak silat atau gerak gulat yang mahir, namun buktinya pemuda itu telah berhasil menendang pinggul Moghul. Ini saja sudah hebat!

Moghul memutar tubuhnya, membalik dan mukanya merah bukan main, matanya melotot saking marahnya. Dia menyerbu dan hendak menangkap, akan tetapi kembali Hui Song mengelak. Moghul mengejarnya dan kini raksasa itu mempergunakan kakinya yang besar untuk menyerang dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi.

Hemm, pikir Hui Song, kiranya pegulat ini pun mahir ilmu tendangan yang cukup lihai, apa lagi kalau diingat bahwa di balik sepatu dan pembalut kakinya itu tersembunyi baja yang keras dan kuat. Dia mengelak dengan sembarangan saja, sengaja bersikap bodoh untuk memancing si raksasa agar bersikap lengah.

Beberapa kali tendangan itu hanya lewat saja, dan ketika tendangan kaki kanan raksasa itu menyambar, dia cepat merendahkan tubuhnya dan begitu kaki itu lewat, dia mengulur tangannya, menangkap bawah kaki itu dan langsung mendorongnya ke atas. Oleh karena Hui Song hanya menambah tenaga luncuran kaki itu sendiri, maka Moghul tidak mampu mempertahankan diri. Akibat kakinya terus terangkat ke atas, otomatis tubuhnya segera terjengkang dengan keras.

"Brukkk...!"

Papan lantai panggung itu tergetar hebat, dan untung tidak ambrol tertimpa tubuh yang besar dan berat itu.

"Waah, hati-hati, babi kebiri. Perutmu bisa pecah kalau kau banting-banting begitu!" Hui Song mengejek dan kembali terdengar sorak-sorai yang amat hebat.

Kini mulailah timbul harapan di dalam hati penonton. Boleh jadi pemuda itu tidak mampu silat, tidak mampu gulat, akan tetapi jelas amat pemberani dan cerdik, dan sudah terbukti bahwa dalam beberapa gebrakan saja sudah mampu menendang pinggul si raksasa dan kini malah membuatnya terjengkang dan terbanting keras.

Namun Moghul tak segera bangkit, sengaja memancing supaya pemuda itu melanjutkan serangannya untuk ditangkapnya, seperti yang dilakukannya terhadap si baju hitam tadi. Akan tetapi Hui Song tidak menyerang lagi, melainkan hanya pringas-pringis mengejek.

"Heh-heh-heh, apakah perutmu terasa mulas dan kau tidak mampu bangun berdiri? Nah, baiklah. Mari kubantu, babi!" Hui Song mengulurkan tangannya seperti hendak membantu raksasa itu bangun.

Tentu saja para penonton menjadi panik, bahkan ada pula yang berteriak-teriak agar Hui Song berhati-hati. Memang pemuda itu nampaknya terlalu sembrono dengan memberikan tangannya seperti itu. Sekali tangannya tertangkap, tentu pemuda itu akan celaka, akan dipatah-patahkan tulangnya, bahkan mungkin saja akan dibunuh sebab raksasa itu sudah amat marah padanya. Akan tetapi Hui Song pura-pura tak mendengar cegahan-cegahan itu dan tetap mengulur tangan kepada Moghul.

Raksasa itu benar-benar menyambar tangan Hui Song yang diulurkan, dan jari-jari yang panjang besar itu berhasil menangkap pergelangan tangan Hui Song dengan kuat. Akan tetapi tiba-tiba Hui Song menarik lengannya dan cekalan itu pun terlepas. Tangan itu licin seperti belut sehingga terlepas tanpa mampu dipertahankan oleh Moghul.

Hui Song tersenyum sambil memandang kepada orang yang memberi minyak kepadanya tadi, lalu menjura. "Terima kasih atas minyaknya, lenganku jadi licin, hi-hik!"

Kembali orang-orang bersorak-sorai dan Hui Song pun kembali menyerahkan lengan yang satu lagi kepada Moghul. Ketika secara otomatis Moghul mengulurkan tangannya hendak menangkap, Hui Song menarik kembali tangannya, seperti menggoda seorang anak kecil saja.

Sorak-sorai makin keras, orang-orang tertawa dan merasa geli menyaksikan pertunjukan yang lucu itu. Seperti bukan melihat pibu yang menyeramkan saja melainkan menonton panggung lawak yang lucu.

Dapat dibayangkan betapa kemarahan Moghul semakin menjadi-jadi. "Kupatahkan semua tulangmu, kuhancurkan kepalamu...!" katanya berkali-kali dengan suara mendesis.

"Silakan, kalau kau mampu menangkap aku," Hui Song mengejek.

Moghul yang sudah marah sekali itu tak menjawab, melainkan kembali menubruk dengan cepat sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor beruang marah. Namun Hui Song mengelak dan sambil tersenyum mengejek pemuda ini tidak membalas, melainkan terus mengelak sampai raksasa itu terengah-engah kecapaian.

Semua penonton tertawa-tawa melihat tingkah Hui Song yang mempermainkan Moghul. Namun bagi Moghul agaknya tidak ada kata kalah dalam benaknya. Dia sudah terbiasa selalu menang, sehingga kini, menghadapi seorang lawan yang demikian licin bagai belut sehingga semua serbuan serta terkamannya hanya selalu mengenai tempat kosong, dia pun merasa penasaran dan belum sadar bahwa sesungguhnya dia sedang menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dari pada dia.

"Hohhhh...!" Kembali raksasa itu menubruk dari samping, dan untuk ke sekian kalinya Hui Song mengelak dan menyelinap di bawah lengan kanannya.

Raksasa yang sudah lelah itu terhuyung ke depan karena terdorong tenaga tubrukannya sendiri. Ketika dia membalik, tiba-tiba dia melihat lawannya yang bertubuh amat kecil jika dibandingkan dengan tubuh raksasa itu, menerjang ke depan. Hui Song meloncat sambil menggunakan jari-jari tangan kirinya hendak mencengkeram muka raksasa itu.

"Awas, kucokel keluar matamu!"

Moghul terkejut sekali dan tentu saja dia terpengaruh ucapan itu, memperhatikan tangan kiri lawan yang menyerangnya dan siap melindungi matanya dengan kedua tangan sambil mencari kesempatan untuk menangkap tangan kiri itu. Sejak tadi dia sudah mengancam dalam hatinya bahwa sekali dia dapat menangkap pemuda itu, maka akan diangkat dan dibantingnya, akan dipatah-patahkan semua tulang tubuhnya!

Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa serangan Hui Song itu hanyalah merupakan gertakan saja, karena yang bekerja ternyata adalah tangan kanannya yang beberapa kali menepuk ke arah perut gendut itu dengan keras.

"Plak! Plak! Pungg...!" Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.

"Wah, gentong ini kosong!" Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras sehingga para penonton semakin geli tertawa.

Akan tetapi suara tawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu pula Moghul sudah berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Lalu dengan gerakan seorang jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan sudah menangkap pundak pemuda itu, dan secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah diangkat ke atas kepala.

Semua orang memandang pucat, sementara itu Moghul menyeringai, mengeluarkan suara ha-ha-huh-huh seperti orang terengah-engah saking girangnya. Dia hendak membanting lawannya itu ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi tiba-tiba saja dia memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas.

Kiranya Hui Song menggunakan jari-jari tangannya, biar pun pergelangan tangan itu telah ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang pada dada dan lengan raksasa itu, dan berbareng dengan itu ujung sepatunya telah menotok jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk beberapa detik lamanya.

Ini sudah cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi sehingga terlepas lantas meloncat ke belakang sambil berkata, "Heh-heh-heh, tubuhku licin, berkat minyak!"

Kembali penonton tertawa dengan hati lega. Biar pun sampai kini pemuda itu belum juga memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang nampaknya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya!

Lumpuhnya kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin penasaran dan marah. Apa lagi melihat betapa pemuda itu sekarang sudah berdiri sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang lebar dan berkata kepadanya, "Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan membantingku kalau mampu!"

Tantangan ini mendatangkan rasa heran dan khawatir kepada semua penonton, kecuali beberapa orang di antara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pendekar yang lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya.

Akan tetapi yang merasa girang adalah Moghul. Tadi dia penasaran dan kecewa karena sungguh tidak dikiranya bahwa pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal banting saja itu dapat lolos. Kini dia ditantang, tentu saja dia merasa girang. Sekali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos, pikirnya.

Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pemuda itu tentu hanya mempermainkannya dan akan mengelak bila ditangkap. Akan tetapi ternyata tidak! Saat dua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak bergeming dan tidak mampu diangkatnya! Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan dapat diangkat oleh Moghul walau pun hanya dengan satu tangan saja, kini terasa berat sekali, atau seolah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai panggung.

Moghul tidak percaya dan semakin penasaran. Dikerahkannya kekuatannya sehingga urat serta otot pada kedua lengan dan dadanya menggembung kemudian dicobanya lagi untuk mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap saja tak terangkat olehnya. Kedua tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, dan tetap saja tidak terangkat.

Tiba-tiba Hui Song merendahkan tubuh, menggunakan dua tangannya untuk menyangga paha dan perut si raksasa, mengerahkan sinkang-nya dan sambil mengeluarkan lengking suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas olehnya! Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-sorai gemuruh, bahkan Ji-ciangkun terbelalak dan mukanya berubah menjadi agak pucat, sementara Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.

"Brukkkk...!"

Tubuh tinggi besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting namun hanya dilempar. Akan tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa tubuh raksasa itu langsung ambrol!

Di bawah suara ketawa dan sorak-sorai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari lantai papan panggung yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tak ada lagi hio yang terbakar, maka orang tidak tahu lagi berapa lama batas pertandingan itu dan agaknya Moghul juga belum mau menerima kalah.

"Eh-eh, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?" Hui Song bertanya mengejek.

Raksasa itu tak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat dan penuh kemarahan. Akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap. Semua penonton dapat melihat betapa pemuda itu mengelak tubrukan lawan sambil meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ketika tubuhnya berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak raksasa itu sambil tertawa-tawa!

Sejenak Moghul kebingungan, akan tetapi melihat dua batang kaki Hui Song bergantung di depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung di belakang punggungnya dalam keadaan menelungkup.

"Wah, wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!" Hui Song berseru.

Dan dengan kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul lantas membukanya. Tentu saja nampaklah kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih putih dari pada bagian tubuh lainnya. Melihat ini, semua penonton lantas tertawa bergelak karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh bagian bawah raksasa itu dari belakang!

Kini Moghul sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena dua kaki yang menjepit lehernya itu membuat dia merasa sulit sekali bernapas. Dua kaki itu sedemikian kuatnya laksana jepitan baja yang dikalungkan di lehernya saja. Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu, namun sia-sia saja dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu menggunakan kedua tangannya untuk menotok belakang lutut Moghul.

Raksasa itu mengeluh keras dan kedua kakinya tertekuk. Hui Song melepaskan jepitan kakinya dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Raksasa ini merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan pada belakang lutut tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia cepat bangkit berdiri dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan ilmu gulat lagi.

Agaknya Hui Song sudah merasa cukup mempermainkannya, maka dia pun menyambut pukulan lengan kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari yang terbuka dan tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.

"Krekkk...!"

Moghul memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah patah! Tapi dasar manusia yang keras kepala, dia masih menyerang terus dengan tangan kirinya.

Kembali Hui Song menangkis dan kini lengan kiri itu pun patah lengannya. Pemuda itu teringat betapa raksasa ini telah menyiksa banyak orang dengan mematahkan tulang kaki dan tangan mereka, maka dia pun segera melakukan tendangan susulan dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu. Moghul roboh dan tak dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, tulangnya sudah patah-patah.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.