Asmara Berdarah Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MELIHAT betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan dia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Dia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat akhlak ini terhadap dirinya dan mulailah dia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu pula sambil terkekeh Sim Thian Bu yang sudah menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.

"Aihh, jantung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

Melihat pemuda itu telah menindihnya dan wajah pemuda itu pun demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit. "Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"

"Ha-ha-ha, membunuh engkau? Aihh, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian dia ingat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika dia berkata lirih.

"Akan tetapi jangan begini... ah, jika memang tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."

Sim Thian Bu menjadi girang sekali. "Jadi engkau... engkau mau...?" Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.

"Tetapi lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..." Dia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, dia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.

"Baik...," kata Sim Thian Bu dengan girang.

Pemuda itu lalu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki.

Kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya sambil tersenyum mengejek. Jari tangan itu sekarang malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis itu.

"Heh-heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cerdik dan licik. Kau kira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? He-he-he, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan seluruh pakaianmu, ha-ha-ha-ha!" Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin.

"Jangan... ahhh, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang sangat mengerikan dari mala petaka yang akan menimpa dirinya.

"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.

Tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang jika melihat wajahnya masih nampak muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu terlihat dingin dan sepasang matanya mencorong, ada pun tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa pada umumnya.

Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, menjadi amat terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.

"Ahh, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dahulu, nanti akan kulayani suheng bicara apa bila memang suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."

"Sim Thian Bu, tadi aku bertanya. Apa yang akan kau lakukan ini?"

Sim Thian Bu menatap pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jeri terhadap pemuda remaja itu, dan dia pun tersenyum lebar. "Aihh, engkau masih terlampau muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini adalah kekasihku dan kami hendak bermain-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"

Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Memang sungguh mengherankan keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, namun mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jeri terhadap pemuda remaja itu?

Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu dia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja dia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang mala petaka yang mengerikan, apa lagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walau pun usianya jelas lebih muda.

Dia lantas memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini malah akan menolongnya.

"Kekasihmu? Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara sepasang alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tangannya!"

Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, dia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."

"Lepaskan kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khikang yang terkandung di dalam suara itu.

Sim Thian Bu juga meraaakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."

Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu telah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Bagaikan terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu, lantas tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.

"Plakkk!"

Entah bagaimana, biar pun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan sehingga tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.

"Suheng...!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, kemudian hendak balas menyerang pemuda remaja itu.

"Plakk! Plakk!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi.

Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biar pun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh sendiri karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.

Kini pemuda remaja itu agaknya telah marah. Semenjak tadi dia tidak mau mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi-api. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan, dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di dekat Thian Bu. Kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran!

"Plakk! Plokk! Bakk! Bukk!"

Terdengar suara ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun telah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.

"Suheng... ampunkan aku..."

Pemuda remaja itu berhenti bergerak, lalu menatap wajah jai-hwa-cat yang telah bengkak-bengkak dan matang biru itu.

"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!" Hanya itu kata-katanya.

Tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya lalu Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan dia dapat bergerak lagi! Begitu dapat bergerak, tentu saja meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.

"Haiiiiittttt...!"

Dia mengeluarkan suara melengking tinggi, lantas tubuhnya langsung meluncur ke depan. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya dia telah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!

"Dukkk!"

Sim Thian Bu sendiri tak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening. Akan tetapi tiba-tiba saja pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.

Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin sampai lengannya tergetar hebat. Dia terdorong mundur tiga langkah, kemudian matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Dia menjadi serba salah. Mau marah akan tetapi teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari mala petaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, dia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi.

Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu sekarang terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa oleh Thian Bu itu adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sinkang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gadis sembarangan!

"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.

Pemuda itu menggelengkan kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.

"Sute-ku sudah kuhajar sendiri," katanya singkat saja.

"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"

Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya. "Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."

Sui Cin menjadi bingung, laksana kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Jika dia berkeras hingga dia sampai bentrok dengan pemuda ini, berarti dia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah dia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sute-nya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya.

Sui Cin mengepal tinju, merasa kehilangan akal. Akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat dia sudah melompat keluar dari dalam goa itu!

Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walau pun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.

"Sute, kuulangi. Bila sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting yang engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan jari telunjuknya ke pintu goa dengan nada dan sikap mengusir.

Sim Thian Bu mengangkat muka dan memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah lagi. Sesudah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu lantas menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu sambil mengepal kedua tangannya.

Dia seperti orang sedang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?

Dia adalah pemuda yang muncul di telaga dan berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi yang membakar perahu besar di mana terjadi perkelahian dan dia pula yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang sudah menduga bahwa pemuda itu sangat tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin memiliki riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di dalam kalangan sesat. Akan tetapi pada waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tak suka akan perbuatan jahat yang kejam, sering kali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad.

Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya lalu dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, ketika baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biar pun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi.

Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia terus berlatih silat dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui semua paman gurunya! Sementara itu, suhu-nya sudah meninggal dunia.

Pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru mendapatkan pelepasan. Siangkoan Lo-jin memberontak, dan lima orang paman gurunya yang dulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapa pun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya.

Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadilah perubahan pada diri kakek ini. Kalau pada waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, sesudah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan tetapi matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!

Setelah berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang sangat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata mampu memberi keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main.

Semenjak lahir, Ci Kang sudah digemblengnya. Bahkan untuk mandi bayi itu pun dia beri ramuan obat supaya jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan ternyata gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia.

Anak itu ternyata mempunyai bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya karena dia lebih muda, jadi menang kuat dan menang daya tahannya, juga menang cepat.

Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Semenjak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendirian di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya.

Dia, seperti para pendekar dan para budiman di dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka dengan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya sering kali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah mulai dewasa, pada suatu hari dia berani menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.

"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu kenapa mata ayahmu menjadi buta? Karena aku pun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku justru kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya mala petaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mataku, aku mengambil keputusan hendak menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"

Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru serta para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Sesudah lihai, akhirnya ayahnya lantas membalas dendam, membunuh lima orang susiok-nya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat.

Hal ini membuat hati Ci Kang kadang kala berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum sesat!

Sebagai putera Siangkoan Lo-jin, tentu saja dia tak dapat lari dari kenyataan ini sehingga beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya bila ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau jika sedang melaksanakan tugas, seperti yang baru dilakukannya di Telaga Emas itu. Namun selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain.

Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras bagaikan baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tidak pedulian, dan aneh!

Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu kemudian dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.

"Kalian benar-benar tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan telah digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu." Demikianlah Siangkoan Lo-jin mengomel sesudah mereka semuanya berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian. "Bukankah seharusnya kalian lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"

"Maaf, Lo-jin. Sebenarnya kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah digantikan oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanjikan oleh Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel itu sudah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.

Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang sudah putih. Tentu saja dia tak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.

"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?!" bentaknya.

Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biar pun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.

"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang telah diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas untuk mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Namun, sebelum menteri itu muncul, secara tidak tersangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."

Iblis buta itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"

"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam sehingga saya harus berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu sangat lihai. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tak meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan mampu menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."

"Hemmm...!" Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang sudah menjadi biang keladi kegagalan usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang sangat ringan sehingga dia cepat menegur.

Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu, hanya terdengar jawabannya dari luar, "Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan dia pun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin telah mengenal keanehan watak puteranya, karena itu dia pun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.

"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biarlah menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita bisa mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang lebih penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"

"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."

"Biar pun kalian telah membantu melaksanakan tugasku, tapi telah mengalami kegagalan. Jika aku membantu kalian sampai berhasil, maka lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Sungguh pun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga harus menyebut suheng kepadanya.

Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sute-nya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sute-nya lantas menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Sekarang, mendengar betapa sute-nya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah sekali dan segera melakukan pengejaran.

Tentu saja dia dapat menduga ke mana sute-nya membawa pergi gadis culikannya itu. Ke mana lagi kalau bukan ke dalam goa rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sute-nya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!

Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Apa bila Sim Thian Bu tidak bermaksud memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperkosanya seperti yang selama ini biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang akan terlambat dan gadis itu sudah ternoda, dan mungkin sekali jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik.

Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sute-nya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam goa itu sambil termenung. Hatinya terasa semakin sakit dan menyesal sekali. Perbuatan keji dari sute-nya tadi telah mengingatkan dia bahwa pria yang amat cabul dan keji itu adalah sute-nya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini bahkan menjadi antek pemerintah yang lalim. Hatinya sedih bukan kepalang.

Dia sudah banyak membaca mengenai pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat. Dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Namun kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri telah menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang tak akan hancur dan sedih hatinya?

Baru setelah goa itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam goa, menutupi lagi mulut goa dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"

Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak dengar atau tak peduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai.

Dia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan dia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Dia pun duduk miring seenaknya saja di atas punggung kudanya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.

"Prak-plok-prak-plok-prak-prok...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.

Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia sudah mengenal gadis berpayung yang menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tidak dapat tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantu dirinya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo?

Maka dia pun segera lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari mala petaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Sesudah pergi, dia lalu kembali ke dusun di mana dia menitipkan kudanya dan kini dia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah.

Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa dia berjumpa dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Dia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.

"Huh..., apa maksudmu berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.

"Aku tidak kesurupan tapi memang gila, tepatnya tergila-gila. Dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tidak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"

Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga dia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa dia adalah Sui Cin si pemuda jembel itu. Kini dia tidak perlu berpura-pura lagi.

"Hemm, jadi baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Dia tidak menghentikan kudanya, maka terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang karena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.

"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."

"Lalu mau apa?"

"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan engkau bilang mempunyai seorang cici."

"Akulah cici-nya!"

"Ha-ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau pernah menjanjikan kepadaku hendak memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Engkau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"

Sui Cin mengangguk. "Ehh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"

"Nanti dulu, apakah engkau begini kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"

"Hemm, engkau pun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"

"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"

"Kalau kau mau!"

"Sudahlah, kasihanlah padaku. Aku amat capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kasihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat sambil makan rumput."

Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Di sini dia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan tetapi sekali ini Hui Song yang lebih dulu menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.

"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan enci-nya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."

"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau ternyata aku adalah enci-nya?"

"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum di bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... ehhh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal betul sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku langsung mengenalimu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, sesudah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Dan sekarang agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."

"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan aku tidak mempunyai adik mau pun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku, pada waktu merantau aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."

Mendadak Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan sehingga dia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"

Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha-ha, pintar sekali engkau mencari alasan kenapa engkau marah-marah saat aku mendekatimu. Ingat, ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki akan tetapi engkau marah-marah dan..."

Wajah dara itu menjadi merah bukan main. "Sudahlah, tidak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"

Hui Song bersikap sungguh-sungguh walau pun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, ia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan sedang mencari jejak Sui Cin pemuda itu."

"Mau apa?"

Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... ehh, aku hendak bertanya mengapa dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... aku... aku hendak menagih janji karena dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada enci-nya."

"Mata keranjang!"

"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetaplah janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di telaga itu? Aku mendengar penuturan Shan-tung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis yang diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan enci-nya Sui Cin, karena itu aku pun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama enci-nya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shan-tung Lo-kiam itu?"

Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang sudah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku lalu mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah hendak ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat maka kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."

"Shan-tung Lo-kiam..."

"Kakek itu menyerang si gendut, kemudian mereka berkelahi. Aku yang telah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu dan aku dibawa menuju ke sebuah goa tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"

Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"

"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walau pun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku segera menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia sangat kuat..."

Hui Song terbelalak heran. "Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih sangat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi tegap?"

"Benar, jubahnya kasar belang-belang dan agaknya dari kulit harimau..."

"Ahh, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"

"Apa?! Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"

"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena dia kalah tingkat."

"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sute-nya sendiri?"

Hui Song termenung. "Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."

Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa terbiasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"

"Berhasil dengan baik," katanya.

Dia pun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa pada saat yang ditentukan dia lalu menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan pula betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo beserta Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya, akan tetapi dia dan para pengawal istimewa mampu menanggulangi, bahkan dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam sudah hampir berhasil untuk mengalahkan mereka.

"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu hingga dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu dan kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."

Sui Cin mendengarkan dengan rasa heran dan kagum. Tokoh muda yang menolongnya itu sungguh aneh sekali. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.

"Dan selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"

"Masih banyak pekerjaan yang ingin kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."

"Baru saja aku terlepas dari bencana dan sekarang aku ingin pulang, sudah terlalu lama aku pergi meninggalkan ayah dan ibu."

"Ahhh, betapa ingin aku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya semenjak kecil sudah kukenal! Akan tetapi tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu pula bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."

"Engkau bukan seorang pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"

"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa Jenderal Ciang juga terancam. Bila kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah akan merasa curiga dengan kebenaran berita itu. Apa lagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Maka kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."

"Wah! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum.

"Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang-orang tua kita telah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di dalam lubuk hati kita sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"

Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"

"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel mau pun sebagai seorang gadis. Betapa pun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang sangat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkau pun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."

"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"

"Kita masih saudara seperguruan, dan kita berdua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya sampai urusan ini selesai kemudian aku akan menemanimu pulang ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan padaku untuk belajar kenal dengan mereka."

Sui Cin termenung. Bagaimana pun juga dia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tak enak juga kalau sekarang dia membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.

Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu dapat digagalkan."

Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan perasaan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"

"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang lebih penting, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Untuk sementara ini Menteri Liang sudah dapat diselamatkan, dan dia tentu akan selalu dikawal ketat."

"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, maka penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"

"Engkau tentu tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat sekali. Aku telah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam amat membencinya. Kekuasaan Liu-thaikam harus ditumbangkan, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."

"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habis perkara."

"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, thaikam itu kedudukannya tinggi sekali dan celakanya, kaisar sangat percaya kepadanya. Bahkan dia adalah orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan kemudian kita akan menghadapi mereka sehingga tak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu bisa membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu, lantas dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"

"Bagaimana rencana jenderal itu?"

"Diam-diam Ciang-goanswe telah memerintahkan salah seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan agar merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu sekaligus juga sebagai guru silat, tidak terlampau menyolok jika dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk datang menghadiri pestanya. Lantas disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, pada saat itu pula kita turun tangan menentang kemudian menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang secara diam-diam diselundupkan ke tempat itu."

"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Sejak kecil gadis ini memang suka berkelahi, apa lagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, dia tidak pernah mengenal takut.

Sui Cin menunggang kudanya lagi, tetap memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri-seri dan semangatnya berkobar. Sesudah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan dia pun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.

********************

Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kawan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bekerja sebagai kepala piauwsu (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwsu, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini sangat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauwkiok yang dipimpinnya.

Sekarang usianya telah enam puluh tahun. Pada waktu dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberi tahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan.

Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini langsung terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya tak akan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?

Dengan cepat berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu memberi kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka.

Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.

Pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, semenjak pagi mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sulit untuk membedakan siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga pakaian dan sikap mereka aneh-aneh. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kalangan persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.

Walau pun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, dia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya.

Cin-ling-pai adalah nama yang telah terkenal sekali. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang bisa menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.

Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas akan tetapi cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Apa bila rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjang rambut itu sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahan dara itu.

Pada saat Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana sudah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan.

Asmara Berdarah Jilid 09

MELIHAT betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan dia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Dia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat akhlak ini terhadap dirinya dan mulailah dia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu pula sambil terkekeh Sim Thian Bu yang sudah menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.

"Aihh, jantung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

Melihat pemuda itu telah menindihnya dan wajah pemuda itu pun demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit. "Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"

"Ha-ha-ha, membunuh engkau? Aihh, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian dia ingat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika dia berkata lirih.

"Akan tetapi jangan begini... ah, jika memang tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."

Sim Thian Bu menjadi girang sekali. "Jadi engkau... engkau mau...?" Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.

"Tetapi lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..." Dia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, dia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.

"Baik...," kata Sim Thian Bu dengan girang.

Pemuda itu lalu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki.

Kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya sambil tersenyum mengejek. Jari tangan itu sekarang malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis itu.

"Heh-heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cerdik dan licik. Kau kira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? He-he-he, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan seluruh pakaianmu, ha-ha-ha-ha!" Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin.

"Jangan... ahhh, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang sangat mengerikan dari mala petaka yang akan menimpa dirinya.

"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.

Tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang jika melihat wajahnya masih nampak muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu terlihat dingin dan sepasang matanya mencorong, ada pun tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa pada umumnya.

Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, menjadi amat terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.

"Ahh, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dahulu, nanti akan kulayani suheng bicara apa bila memang suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."

"Sim Thian Bu, tadi aku bertanya. Apa yang akan kau lakukan ini?"

Sim Thian Bu menatap pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jeri terhadap pemuda remaja itu, dan dia pun tersenyum lebar. "Aihh, engkau masih terlampau muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini adalah kekasihku dan kami hendak bermain-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"

Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Memang sungguh mengherankan keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, namun mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jeri terhadap pemuda remaja itu?

Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu dia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja dia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang mala petaka yang mengerikan, apa lagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walau pun usianya jelas lebih muda.

Dia lantas memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini malah akan menolongnya.

"Kekasihmu? Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara sepasang alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tangannya!"

Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, dia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."

"Lepaskan kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khikang yang terkandung di dalam suara itu.

Sim Thian Bu juga meraaakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."

Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu telah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Bagaikan terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu, lantas tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.

"Plakkk!"

Entah bagaimana, biar pun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan sehingga tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.

"Suheng...!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, kemudian hendak balas menyerang pemuda remaja itu.

"Plakk! Plakk!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi.

Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biar pun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh sendiri karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.

Kini pemuda remaja itu agaknya telah marah. Semenjak tadi dia tidak mau mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi-api. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan, dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di dekat Thian Bu. Kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran!

"Plakk! Plokk! Bakk! Bukk!"

Terdengar suara ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun telah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.

"Suheng... ampunkan aku..."

Pemuda remaja itu berhenti bergerak, lalu menatap wajah jai-hwa-cat yang telah bengkak-bengkak dan matang biru itu.

"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!" Hanya itu kata-katanya.

Tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya lalu Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan dia dapat bergerak lagi! Begitu dapat bergerak, tentu saja meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.

"Haiiiiittttt...!"

Dia mengeluarkan suara melengking tinggi, lantas tubuhnya langsung meluncur ke depan. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya dia telah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!

"Dukkk!"

Sim Thian Bu sendiri tak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening. Akan tetapi tiba-tiba saja pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.

Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin sampai lengannya tergetar hebat. Dia terdorong mundur tiga langkah, kemudian matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Dia menjadi serba salah. Mau marah akan tetapi teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari mala petaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, dia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi.

Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu sekarang terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa oleh Thian Bu itu adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sinkang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gadis sembarangan!

"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.

Pemuda itu menggelengkan kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.

"Sute-ku sudah kuhajar sendiri," katanya singkat saja.

"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"

Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya. "Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."

Sui Cin menjadi bingung, laksana kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Jika dia berkeras hingga dia sampai bentrok dengan pemuda ini, berarti dia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah dia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sute-nya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya.

Sui Cin mengepal tinju, merasa kehilangan akal. Akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat dia sudah melompat keluar dari dalam goa itu!

Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walau pun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.

"Sute, kuulangi. Bila sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting yang engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan jari telunjuknya ke pintu goa dengan nada dan sikap mengusir.

Sim Thian Bu mengangkat muka dan memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah lagi. Sesudah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu lantas menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu sambil mengepal kedua tangannya.

Dia seperti orang sedang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?

Dia adalah pemuda yang muncul di telaga dan berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi yang membakar perahu besar di mana terjadi perkelahian dan dia pula yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang sudah menduga bahwa pemuda itu sangat tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin memiliki riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di dalam kalangan sesat. Akan tetapi pada waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tak suka akan perbuatan jahat yang kejam, sering kali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad.

Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya lalu dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, ketika baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biar pun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi.

Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia terus berlatih silat dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui semua paman gurunya! Sementara itu, suhu-nya sudah meninggal dunia.

Pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru mendapatkan pelepasan. Siangkoan Lo-jin memberontak, dan lima orang paman gurunya yang dulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapa pun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya.

Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadilah perubahan pada diri kakek ini. Kalau pada waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, sesudah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan tetapi matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!

Setelah berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang sangat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata mampu memberi keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main.

Semenjak lahir, Ci Kang sudah digemblengnya. Bahkan untuk mandi bayi itu pun dia beri ramuan obat supaya jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan ternyata gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia.

Anak itu ternyata mempunyai bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya karena dia lebih muda, jadi menang kuat dan menang daya tahannya, juga menang cepat.

Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Semenjak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendirian di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya.

Dia, seperti para pendekar dan para budiman di dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka dengan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya sering kali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah mulai dewasa, pada suatu hari dia berani menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.

"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu kenapa mata ayahmu menjadi buta? Karena aku pun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku justru kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya mala petaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mataku, aku mengambil keputusan hendak menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"

Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru serta para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Sesudah lihai, akhirnya ayahnya lantas membalas dendam, membunuh lima orang susiok-nya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat.

Hal ini membuat hati Ci Kang kadang kala berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum sesat!

Sebagai putera Siangkoan Lo-jin, tentu saja dia tak dapat lari dari kenyataan ini sehingga beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya bila ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau jika sedang melaksanakan tugas, seperti yang baru dilakukannya di Telaga Emas itu. Namun selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain.

Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras bagaikan baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tidak pedulian, dan aneh!

Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu kemudian dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.

"Kalian benar-benar tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan telah digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu." Demikianlah Siangkoan Lo-jin mengomel sesudah mereka semuanya berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian. "Bukankah seharusnya kalian lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"

"Maaf, Lo-jin. Sebenarnya kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah digantikan oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanjikan oleh Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel itu sudah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.

Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang sudah putih. Tentu saja dia tak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.

"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?!" bentaknya.

Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biar pun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.

"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang telah diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas untuk mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Namun, sebelum menteri itu muncul, secara tidak tersangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."

Iblis buta itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"

"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam sehingga saya harus berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu sangat lihai. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tak meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan mampu menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."

"Hemmm...!" Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang sudah menjadi biang keladi kegagalan usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang sangat ringan sehingga dia cepat menegur.

Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu, hanya terdengar jawabannya dari luar, "Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan dia pun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin telah mengenal keanehan watak puteranya, karena itu dia pun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.

"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biarlah menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita bisa mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang lebih penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"

"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."

"Biar pun kalian telah membantu melaksanakan tugasku, tapi telah mengalami kegagalan. Jika aku membantu kalian sampai berhasil, maka lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Sungguh pun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga harus menyebut suheng kepadanya.

Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sute-nya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sute-nya lantas menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Sekarang, mendengar betapa sute-nya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah sekali dan segera melakukan pengejaran.

Tentu saja dia dapat menduga ke mana sute-nya membawa pergi gadis culikannya itu. Ke mana lagi kalau bukan ke dalam goa rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sute-nya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!

Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Apa bila Sim Thian Bu tidak bermaksud memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperkosanya seperti yang selama ini biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang akan terlambat dan gadis itu sudah ternoda, dan mungkin sekali jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik.

Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sute-nya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam goa itu sambil termenung. Hatinya terasa semakin sakit dan menyesal sekali. Perbuatan keji dari sute-nya tadi telah mengingatkan dia bahwa pria yang amat cabul dan keji itu adalah sute-nya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini bahkan menjadi antek pemerintah yang lalim. Hatinya sedih bukan kepalang.

Dia sudah banyak membaca mengenai pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat. Dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Namun kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri telah menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang tak akan hancur dan sedih hatinya?

Baru setelah goa itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam goa, menutupi lagi mulut goa dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"

Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak dengar atau tak peduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai.

Dia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan dia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Dia pun duduk miring seenaknya saja di atas punggung kudanya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.

"Prak-plok-prak-plok-prak-prok...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.

Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia sudah mengenal gadis berpayung yang menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tidak dapat tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantu dirinya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo?

Maka dia pun segera lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari mala petaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Sesudah pergi, dia lalu kembali ke dusun di mana dia menitipkan kudanya dan kini dia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah.

Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa dia berjumpa dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Dia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.

"Huh..., apa maksudmu berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.

"Aku tidak kesurupan tapi memang gila, tepatnya tergila-gila. Dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tidak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"

Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga dia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa dia adalah Sui Cin si pemuda jembel itu. Kini dia tidak perlu berpura-pura lagi.

"Hemm, jadi baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Dia tidak menghentikan kudanya, maka terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang karena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.

"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."

"Lalu mau apa?"

"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan engkau bilang mempunyai seorang cici."

"Akulah cici-nya!"

"Ha-ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau pernah menjanjikan kepadaku hendak memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Engkau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"

Sui Cin mengangguk. "Ehh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"

"Nanti dulu, apakah engkau begini kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"

"Hemm, engkau pun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"

"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"

"Kalau kau mau!"

"Sudahlah, kasihanlah padaku. Aku amat capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kasihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat sambil makan rumput."

Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Di sini dia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan tetapi sekali ini Hui Song yang lebih dulu menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.

"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan enci-nya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."

"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau ternyata aku adalah enci-nya?"

"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum di bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... ehhh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal betul sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku langsung mengenalimu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, sesudah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Dan sekarang agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."

"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan aku tidak mempunyai adik mau pun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku, pada waktu merantau aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."

Mendadak Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan sehingga dia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"

Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha-ha, pintar sekali engkau mencari alasan kenapa engkau marah-marah saat aku mendekatimu. Ingat, ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki akan tetapi engkau marah-marah dan..."

Wajah dara itu menjadi merah bukan main. "Sudahlah, tidak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"

Hui Song bersikap sungguh-sungguh walau pun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, ia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan sedang mencari jejak Sui Cin pemuda itu."

"Mau apa?"

Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... ehh, aku hendak bertanya mengapa dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... aku... aku hendak menagih janji karena dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada enci-nya."

"Mata keranjang!"

"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetaplah janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di telaga itu? Aku mendengar penuturan Shan-tung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis yang diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan enci-nya Sui Cin, karena itu aku pun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama enci-nya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shan-tung Lo-kiam itu?"

Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang sudah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku lalu mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah hendak ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat maka kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."

"Shan-tung Lo-kiam..."

"Kakek itu menyerang si gendut, kemudian mereka berkelahi. Aku yang telah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu dan aku dibawa menuju ke sebuah goa tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"

Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"

"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walau pun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku segera menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia sangat kuat..."

Hui Song terbelalak heran. "Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih sangat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi tegap?"

"Benar, jubahnya kasar belang-belang dan agaknya dari kulit harimau..."

"Ahh, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"

"Apa?! Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"

"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena dia kalah tingkat."

"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sute-nya sendiri?"

Hui Song termenung. "Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."

Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa terbiasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"

"Berhasil dengan baik," katanya.

Dia pun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa pada saat yang ditentukan dia lalu menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan pula betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo beserta Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya, akan tetapi dia dan para pengawal istimewa mampu menanggulangi, bahkan dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam sudah hampir berhasil untuk mengalahkan mereka.

"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu hingga dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu dan kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."

Sui Cin mendengarkan dengan rasa heran dan kagum. Tokoh muda yang menolongnya itu sungguh aneh sekali. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.

"Dan selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"

"Masih banyak pekerjaan yang ingin kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."

"Baru saja aku terlepas dari bencana dan sekarang aku ingin pulang, sudah terlalu lama aku pergi meninggalkan ayah dan ibu."

"Ahhh, betapa ingin aku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya semenjak kecil sudah kukenal! Akan tetapi tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu pula bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."

"Engkau bukan seorang pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"

"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa Jenderal Ciang juga terancam. Bila kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah akan merasa curiga dengan kebenaran berita itu. Apa lagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Maka kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."

"Wah! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum.

"Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang-orang tua kita telah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di dalam lubuk hati kita sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"

Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"

"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel mau pun sebagai seorang gadis. Betapa pun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang sangat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkau pun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."

"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"

"Kita masih saudara seperguruan, dan kita berdua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya sampai urusan ini selesai kemudian aku akan menemanimu pulang ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan padaku untuk belajar kenal dengan mereka."

Sui Cin termenung. Bagaimana pun juga dia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tak enak juga kalau sekarang dia membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.

Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu dapat digagalkan."

Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan perasaan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"

"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang lebih penting, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Untuk sementara ini Menteri Liang sudah dapat diselamatkan, dan dia tentu akan selalu dikawal ketat."

"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, maka penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"

"Engkau tentu tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat sekali. Aku telah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam amat membencinya. Kekuasaan Liu-thaikam harus ditumbangkan, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."

"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habis perkara."

"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, thaikam itu kedudukannya tinggi sekali dan celakanya, kaisar sangat percaya kepadanya. Bahkan dia adalah orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan kemudian kita akan menghadapi mereka sehingga tak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu bisa membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu, lantas dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"

"Bagaimana rencana jenderal itu?"

"Diam-diam Ciang-goanswe telah memerintahkan salah seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan agar merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu sekaligus juga sebagai guru silat, tidak terlampau menyolok jika dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk datang menghadiri pestanya. Lantas disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, pada saat itu pula kita turun tangan menentang kemudian menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang secara diam-diam diselundupkan ke tempat itu."

"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Sejak kecil gadis ini memang suka berkelahi, apa lagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, dia tidak pernah mengenal takut.

Sui Cin menunggang kudanya lagi, tetap memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri-seri dan semangatnya berkobar. Sesudah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan dia pun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.

********************

Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kawan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bekerja sebagai kepala piauwsu (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwsu, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini sangat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauwkiok yang dipimpinnya.

Sekarang usianya telah enam puluh tahun. Pada waktu dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberi tahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan.

Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini langsung terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya tak akan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?

Dengan cepat berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu memberi kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka.

Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.

Pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, semenjak pagi mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sulit untuk membedakan siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga pakaian dan sikap mereka aneh-aneh. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kalangan persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.

Walau pun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, dia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya.

Cin-ling-pai adalah nama yang telah terkenal sekali. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang bisa menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.

Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas akan tetapi cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Apa bila rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjang rambut itu sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahan dara itu.

Pada saat Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana sudah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan.