Warisan Terkutuk - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

WARISAN TERKUTUK

SATU

DI LUAR hujan masih seperti tadi. Rintik-rintik. Sesekali diiringi desau angin kencang yang merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Senja baru saja berlalu. Dan malam mulai merayap pelan-pelan. Dalam keadaan begini orang-orang enggan keluar. Mereka lebih senang berlindung di balik selimut di atas pembaringan.

Sebuah pondok yang berdiri di pinggiran Desa Sabrang Lor tampak semakin kuyup oleh hunjaman titik-titik air. Atapnya yang dari rumbia menciptakan butir-butir air yang kemudian bergantian jatuh ke bumi. Di dalam pondok, suatu suara aneh membangkitkan gairah terdengar bagai tak peduli dengan keadaan di luar. Suara rintihan yang diselingi erangan nikmat, meningkahi suara desau angin. Bahkan sesekali terdengar desahan napas garang, bagai kuda tengah berpacu ke atas bukit.

“Aaahhh...!” Desahan bernada penuh kepuasan terdengar.

Entah, apa yang terjadi di dalam pondok. Bahkan seekor serangga yang kebetulan melihat enggan menceritakannya, karena malu. Rintik hujan di luar membuat suara-suara di dalam terdengar semakin samar. Dan ketika hujan mulai reda, suara-suara aneh itu pun terhenti pula. Hening sejenak.

“Kau tak menyesal, Ambar...?” Terdengar suara lirih, memecahkan keheningan. Suara yang menuntut penegasan atas jawaban yang akan diberikan.

“Tidak, Kakang Kuntadewa...,” sahut suara lain, mendayu-dayu. Suara seorang wanita.

“Kita akan kawin. Aku akan meminangmu tidak lama lagi!” lanjut suara yang agak berat, suara yang dipanggil Kuntadewa.

Sementara gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Dan sesaat, tidak ada jawaban yang diberikan selain tertunduk dengan wajah lesu.

“Kenapa, Ambar? Kau tidak suka bila aku meminangmu?” tanya Kuntadewa dengan kening berkerut.

“Bukan itu, Kang...!” sanggah Ambar, lesu.

“Lalu apa?” desak Kuntadewa.

“Ayah...!”

Kuntadewa yang masih berusia dua puluh empat tahun menarik napas. Kepalanya menengadah ke langit-langit pondok dengan wajah pilu. Kemudian kembali dipandangnya wajah gadis pujaannya.

“Ya. Ayahmu tidak merestui. Bahkan sangat membenciku. Dalam kebahagiaan tadi, aku sempat melupakannya.” Mereka berdua terdiam beberapa saat. “Sudahlah. Pakai bajumu dulu. Nanti kalau ada yang lihat, bisa gawat kita,” ujar Kuntadewa.

“Bagaimana kalau kita kawin lari saja, Kang?” usul Ambar sambil mengenakan pakaiannya.

Pemuda berwajah tampan ini tercekat. Kembali dipandangnya gadis itu dengan mata tak berkedip.

“Kenapa, Kang? Kau tidak setuju?” tanya Ambar, langsung menghentikan pekerjaan memakai bajunya.

“Kau bersungguh-sungguh, Ambar?!” tukas Kuntadewa.

“Aduh, Kakang Kuntadewa! Apakah Kakang masih meragukan cintaku padamu?”

“Tidak, Ambar. Sedikit pun tidak. Hanya saja..., aku ini memang tolol dan tidak terpikir ke arah itu.”

“Jadi Kakang setuju?”

Kuntadewa mengangguk, membuat wajah Ambar berseri. “Kalau begitu, buat apa lama-lama, Kang? Lebih baik sekarang saja!”

“Iya, iya!”

“Ayo, Kang!” ajak gadis itu seraya bangkit berdiri sambil cepat-cepat membenahi bajunya lagi dengan wajah kian berseri-seri.

Wajah Kuntadewa pun ikut berseri. Buru-buru pemuda itu bangkit sambil merapikan bajunya. Bergegas mereka keluar. Namun baru saja hendak membuka pintu, mendadak Kuntadewa ingat sesuatu. Dia terdiam di belakang pintu dengan wajah bimbang.

“Kenapa, Kang?” tanya Ambar, bingung.

“Anjani...,” gumam pemuda itu lirih.

Ambar terdiam mendengar nama itu. “Aku khawatir akan keselamatannya. Walung Turangga berusaha mencari kesempatan untuk memperdayainya...,” lanjut Kuntadewa.

“Hm, begini saja. Kakang pergi lebih dulu, sementara aku akan menyusul bersama Anjani. Bagaimana?” usul Ambar.

“Mana bisa begitu? Mestinya kau yang pergi dulu. Dan nanti, kami menyusul. Tunggulah di bawah pohon mangga yang ada di simpang jalan,” sergah Kuntadewa.

“Kakang! Kalau kau yang pergi bersama Anjani, maka yang lain akan curiga. Dan disangka kalian mau melarikan diri. Tapi kalau kami yang keluar, mereka tidak akan menyangka begitu. Aku bisa punya alasan. Misalnya, karena takut tidur sendiri. Maka, kuminta Anjani menemani. Nah, pergilah Kakang lebih dulu!” tegas Ambar.

Kuntadewa terdiam dan belum juga bergerak.

“Ayolah, Kakang! Apalagi yang dipikirkan? Percayakan keselamatan Anjani padaku! Bukankah ini demi kita juga? Ayo.... Jangan buang-buang waktu lagi!” desak Ambar.

“Baiklah....” Meski dengan perasaan berat, akhirnya Kuntadewa setuju juga.

Bersama-sama mereka melangkah keluar dari pondok. Namun baru melangkah sekitar lima tindak, mendadak beberapa sosok tubuh telah mengepung. Dari depan, samping kiri, kanan, serta dari belakang. Salah seorang menyalakan obor. Dan yang lain pun menyusul. Kini mereka tahu, siapa orang-orang itu.

“Walung Turangga...!” desis Kuntadewa kaget.

“Mau ke mana kalian? Mau coba-coba melarikan diri, he?!” dengus pemuda kekar berambut keriting yang pertama kali menghidupkan obor. Pemuda itu memakai rompi hitam dengan gagang golok terselip di pinggang Kumisnya tipis dan panjang, sehingga bergerak-gerak ketika berbicara. Dialah yang bernama Walung Turangga.

“Itu tidak benar...!”

“Tutup mulutmu, Kuntadewa!” Kuntadewa coba membela diri, tapi langsung dibentak oleh Walung Turangga. “Kau melakukan banyak kesalahan, Kuntadewa. Dan kesalahan yang terbesar adalah apa yang kau lakukan saat ini!” lanjut Walung Turangga.

“Kakang Walung Turangga! Apa-apaan kau ini?! Jangan seenaknya menyalahkan orang. Kau kira apa yang kami kerjakan di sini?!” tukas Ambar, sengit.

“Jangan dikira kami semua bodoh, he?! Apa yang terjadi di dalam pondok antara laki-laki dan perempuan pada saat gerimis seperti ini?! Kalian kira bisa mengelabui kami, he?! Tangkap mereka!”

“Hup! Yeaaa...!”

Ambar dan Kuntadewa mundur ke belakang, merapat ke pintu pondok. Untuk sesaat Kuntadewa jadi bingung. Kalau tidak melawan, mereka pasti akan meringkus dan mungkin menghajar atas perintah Walung Turangga. Tapi kalau melawan, berarti mesti berhadapan dengan saudara-saudara seperguruannya. Keadaannya terjepit. Kalau Guru tahu, dia akan lebih disalahkan. Apalagi, berani melawan mereka.

“Kakang! Kita harus melawan mereka!” bisik Ambar.

“Tapi....”

“Kau ingin mereka menangkap lalu menyiksamu lagi seperti yang sudah-sudah?!” potong Ambar.

“Tentu saja tidak.”

“Nah! Kalau begitu, lawan mereka!”

Kuntadewa tidak sempat menjawab karena beberapa orang telah coba meringkus Ambar. Tapi gadis itu melawan dengan sengit. Dan ketika beberapa orang lagi berniat meringkusnya, hati Kuntadewa tergerak. Dan secepat kilat tubuhnya berkelebat seraya menangkis dan balas menghajar.

Plak! Duk!

“Akh!” Seorang pengeroyok berhasil dijatuhkan. Dan itu membuat yang lain menjadi marah.

“Kurang ajar! Kau berani melawan, Kuntadewa?!” hardik Walung Turangga, geram.

“Terpaksa. Kalian hendak menangkap kami....”

“Kurang ajar! Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan meringkusmu!” dengus Walung Turangga.

Pemuda kekar berambut keritis itu segera melesat. Langsung dikirimkannya tendangan kilat ke arah Kuntadewa. Namun, Kuntadewa segera berusaha menangkis dengan mengibaskan tangan kanannya.

Plak!

“Ohh...!” Tubuh Kuntadewa bergetar. Dia merasakan kalau tenaga dalam Walung Turangga amat kuat. Cepat pemuda ini melompat ke belakang.

Namun, Walung Turangga terus mengejar seraya melepas tendangan, menyambar ke batok kepala. Kuntadewa merunduk. Namun Walung Turangga menggunakan serangan yang luput untuk berputar sambil melepaskan hantaman ke dada.

Buk!

“Aaakh!” Kuntadewa mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam pukulan telak. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan mulut meringis. Namun baru saja dia hendak bersiap lagi, beberapa orang telah meluruk maju dengan hantaman bertubi-tubi.

“Kau tak bisa ke mana-mana!”

Buk! Buk!

“Aaakh...!” Jerit kesakitan dari mulut Kuntadewa langsung memecah keheningan malam. Tubuhnya terhuyung ke sana kemari. Sekali terjajar ke satu arah, satu-dua pukulan atau tendangan mendarat di tubuh.

“Hentikan! Hentikan penyiksaan itu...! Hentikan...!” jerit Ambar, tak tahan melihat kekasihnya jadi bulan-bulanan. Gadis itu berusaha mencegah tindakan brutal itu. Tapi, beberapa tangan kokoh telah mencegahnya.

“Jangan ikut campur urusan ini!” hardik salah seorang.

“Kalian biadab! Terkutuk! Hentikan penyiksaan ini...!”

Tapi, siapa yang peduli dengan jeritan wanita itu? Malah tindakannya disambut gelak tawa serta keluh kesakitan yang diderita Kuntadewa. Kuntadewa terengah-engah ketika para pengeroyok melepaskannya. Wajahnya berlumuran darah. Dan dari mulutnya masih meleleh cairan darah segar. Isi dada dan perutnya seperti remuk menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi.

“Ohh...!”

“Kau rasakan bagaimana akibatnya bila berani mengganggu calon istriku!” desis Walung Turangga, dingin.

Tapi Kuntadewa tak lagi mampu menyahut, selain mengerang kesakitan. Walung Turangga kembali melepas tendangan ke pantat Kuntadewa.

Plak!

“Seret dia ke hutan! Biar kawanan serigala berpesta-pora dengan tubuh busuknya itu!” perintah Walung Turangga.

“Beres!”

Lima orang segera bergerak menyeret tubuh Kuntadewa. Dan sebentar saja mereka lenyap diiringi jerit tangis Ambar.

“Tidak! Tidaaak...! Kalian tidak boleh berbuat begitu! Kakang Kuntadewa...!”

“Pegang dia kuat-kuat!”

“Jangan khawatir, Walung! Dia tidak akan bisa lepas!” sahut seorang kawannya.

“Hmm!” Walung Turangga tersenyum seraya mendekati gadis itu. “Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Apalagi, kepada anak bedebah itu!” desisnya.

“Aku akan melaporkan semua ini pada ayahmu!” balas Ambar sengit.

“He he he...! Kau tidak akan melapor pada siapa-siapa!” sahut pemuda itu, yakin. Kemudian Walung Turangga menoleh ke arah kawan-kawannya.

“Bawa dia!”

“Beres!” Mereka langsung menyeret gadis itu ke satu arah, di pinggiran hutan.

“Walung keparat! Lepaskan! Lepaskaaan...!” teriak Ambar, berusaha meronta-ronta

“Ha ha ha...!”

Percuma saja Ambar berteriak-teriak, karena hanya membuat Walung Turangga semakin girang saja. Meski begitu, Ambar tak patah semangat. Dia berontak untuk melepaskan diri.

“Lebih baik kau tidak melawan, Ambar. Sia-sia saja. Kau tidak bisa lepas dariku!” Walung Turangga memperingatkan.

“Terkutuk kau, Walung! Kalau ayahku tahu, kau akan binasa meski sembunyi di lubang jarum sekalipun!” maki Ambar.

“Tapi sayangnya, ayahmu tidak akan tahu. Jadi, aku tak perlu bersembunyi,” sahut Walung Turangga, enteng.

“Setan!”

“Ha ha ha...!”

Mereka telah tiba di sebuah pondok lain yang agak jauh dari padepokan. Letaknya pun dekat dengan hutan. Ke dalam pondok itu Ambar dibawa masuk. Di dalam pondok terdapat sebuah dipan agak lebar yang pada masing-masing sudutnya terdapat tonggak besi setinggi satu jengkal.

“Ikat dia di situ!” perintah Walung Turangga.

“Jangan lupa bagian kami, Walung!” sahut seorang kawannya sambil cengar-cengir dan mengikat sebelah tangan gadis itu ke tonggak.

“Jangan khawatir. Kalian akan mendapat giliran. Tapi, aku dulu yang pertama!” sahut Walung Turangga santai saja.

“Dan aku dapat giliran terakhir?!” teriak seseorang yang bertubuh kecil dan kurus. Suaranya bernada tak senang, karena mendapat giliran terakhir. Memang, untuk segala urusan seperti ini dia selalu dapat giliran paling buncit. Dan kebanyakan tidak enak!

"Jadi maumu yang pertama? Menggantikan Walung, begitu?!” ejek yang lain.

“Yaah, paling tidak ketiga atau keempat....”

“Ha ha ha...!” Orang-orang itu hanya tertawa, membuat pemuda bertubuh kecil itu jadi kesal sendiri.

“Sudahlah! Jangan mimpi. Lebih baik berjaga-jaga di luar. Siapa tahu bertemu kuntilanak yang naksir padamu. Kau bisa menggarapnya pertama kali!” sahut salah seorang.

Pemuda bertubuh kecil itu mendongkol, tapi tak berani lagi buka mulut. Bersama yang lain dia keluar, setelah Walung Turangga memberi isyarat. Dalam ruangan kini tinggal Walung Turangga dan Ambar. Wajah gadis itu tampak pucat menyiratkan ketakutan. Namun sorot matanya beringas. Meski kedua tangan dan kakinya terikat di atas dipan tapi dia berusaha melepaskan diri. Walaupun..., sia-sia!

“Sekarang kau tahu, bukan? Tidak ada yang bisa kau perbuat lagi, selain meladeni keinginanku...,” kata pemuda itu disertai seringai lebar. Jakunnya pun turun naik. Seperti tak kuasa menahan liurnya.

“Apa maumu, Walung?”

“Kau tentu tahu nantinya!” sahut pemuda itu, enteng.

Diam-diam Ambar bergidik ngeri melihat seringai Walung Turangga yang seperti harimau kelaparan melihat korbannya. Apalagi ketika pemuda itu mendekat, lalu membelai-belai wajahnya.

“Hm, wajah cantik...,” desah Walung Turangga.

“Lepaskan tanganku, Walung! Aku jijik melihatmu!” bentak Ambar.

“Kalau begitu tidak usah melihat, tapi rasakan saja,” sahut pemuda itu. Dan tangannya semakin nakal bermain di leher gadis ini, lalu terus ke bawah. Dan..., menetap untuk beberapa saat!

“Keparat terkutuk! Lepaskan tanganmu! Lepaskan tanganmu. Keparat! Lepaskaaan...!” teriak Ambar garang. Tubuhnya bergetar laksana ribuan lintah menempel di kulitnya. Tapi pemuda yang tengah kerasukan nafsu iblis itu mana mau melepaskannya begitu saja? Teriakan Ambar malah membuatnya semakin bergairah.

“He he he...! Dalam keadaan begini kau semakin cantik saja, Sayang.”

“Iblis terkutuk! Aku bersumpah akan mencincangmu menjadi serpihan kecil! Terkutuk! Bangsat! Hentikan perbuatan busukmu!” teriak Ambar berulang-ulang. Walung Turangga hanya terkekeh dan membuka pakaiannya satu persatu. Matanya tak lepas memandang tubuh gadis yang tergolek menantang.

“Sekarang giliranmu....”

“Lepaskan tanganmu, Iblis Terkutuk!” maki Ambar ketika tangan pemuda itu yang lincah mulai mempreteli pakaiannya satu persatu.

“Kau tahu, tak ada gunanya berteriak. Lebih baik, pasrah saja. Simpan tenagamu untuk lima belas orang lagi.”

“Terkutuk kau, Walung!”

“Terserah apa katamu. Yang jelas, aku mesti mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan, jangan mimpi untuk balas dendam padaku. Karena, setelah ini kau hanya tinggal nama!”

“Belum tentu!”

“Heh?!”

Mendadak terdengar sahutan dari belakang, membuat Walung Turangga terkesiap. Dan belum juga keterkejutannya hilang....

“Hiih!”

Jrot!

“Aaakh...!” Tepat ketika Walung Turangga menoleh, sebuah hantaman tangan mendarat di wajahnya.

Brosss...!

Walung Turangga terpental menghantam dinding pondok hingga jebol. Dari hidungnya mengucur darah segar. Pandangan matanya berkunang-kunang. Namun dengan membawa kemarahan, dia berusaha menguatkan diri. Dan secepatnya pemuda berompi hitam itu bangkit seraya menerobos ke dalam.

“Bedebah! Siapa yang mau berani mampus mencampuri urusanku?!”

“Aku! Belum puas hidungmu patah? Aku bisa mematahkan lehermu!”

DUA

Tahu-tahu di dalam pondok telah berdiri seorang gadis belia berwajah cantik sambil berkacak pinggang. Gadis itu kelihatan masih kanak-kanak. Tapi, Walung Turangga merasakan tenaga hebat ketika mukanya terhajar. Tapi mana mau dia berpikir ke situ? Yang jelas gadis itu telah mengganggu kelancaran niatnya. Apalagi ketika saat ini Ambar pun telah lepas dari ikatan dan telah berpakaian kembali.

“Walung keparat! Rasakan pembalasanku ini!” desis Ambar, kalap.

Sekali melompat, Ambar langsung mengirimkan tendangan bertenaga dalam kuat ke dada pemuda itu. Tapi Walung Turangga bukan orang sembarangan Dia adalah murid seorang tokoh persilatan yang memimpin sebuah padepokan.

Plak!

Telapak tangan kiri Walung Turangga cepat menghadang, lalu menangkap pergelangan tangan gadis itu.

Tap!

“Hiih...!”

Ambar terkejut, karena tiba-tiba pemuda itu melintir tangannya. Dan bersamaan itu, Walung Turangga melepas satu tendangan ke perut.

“Hiih!”

Tapi sebelum serangan itu sampai, gadis yang menolong Ambar melompat seraya melepas tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke dada Walung Turangga. Mau tak mau pemuda itu melepas cekalan tangannya pada tangan Ambar, dan berusaha menangkis.

Plak!

Tapi, pemuda berompi hitam itu terkejut ketika merasakan tangannya kesemutan. Bahkan dia segera melompat ke belakang ketika gadis berwajah seperti anak-anak itu melanjutkan serangan. Gadis itu terus melesat dengan kepalan tangan ke depan, laksana seekor walet yang melesat menyambar-nyambar. Beberapa kali Walung Turangga menangkis. Tapi ketika itu juga tangannya terasa kesemutan.

“Heaa...!” Gadis itu terus menggebrak. Begitu tangannya menghentak dari telapaknya mencelat selarik cahaya merah laksana nyala api.

“Aaah...!” Walung Turangga mencelat kaget. Langsung dia membuang diri ke samping. Tapi gadis itu cepat berputar. Segera dilepaskannya tendangan mendatar, tepat ke arah dada. Sehingga....

Dukk!

“Aakh...!” Walung Turangga memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar menghajar dinding pondok sampai roboh. Sementara gadis yang menyerangnya tidak membiarkannya. Dia terus mengejar.

“Heaaat!”

Meski dadanya terasa remuk dan dari mulutnya muncrat cairan darah, tapi Walung Turangga menyadari bahaya yang akan menimpa dirinya. Secepatnya tubuhnya bergulingan. Tapi hanya sekali itu dia luput. Karena selanjutnya gadis itu pun menjatuhkan diri seraya bergulingan. Begitu Walung Turangga bangkit, kedua kaki gadis itu langsung terangkat seperti seekor kuda tengah menyepak.

Des! Begkh!

“Aaa...!” Walung Turangga memekik kesakitan begitu kedua kaki gadis itu berganti menghajar dadanya Tubuhnya langsung terjengkang ke tanah, mulutnya kembali memuntahkan darah kental. Matanya membelalak. Dan wajahnya terlihat tegang. Pemuda itu terkulai lesu, dan nyawanya melayang!

“Huh! Hukuman ini masih terlalu enak buatmu!” dengus gadis itu.

“Mati...?!” desis Ambar yang tiba di tempat itu. Wajah gadis ini tampak kaget. Matanya menatap tak berkedip pada mayat Walung Turangga. Dia memang ingin menghajar Walung Turangga, karena kelakuan pemuda itu barusan. Bahkan ingin pula membunuhnya. Tapi melihat telah jadi mayat, mau tak mau timbul pula kekhawatiran di hatinya.

“Apa yang kau pikirkan? Dia patut mati setelah apa yang hendak dilakukannya padamu!” lanjut gadis penolong itu.

“Eh, ng.... Yang lainnya ke mana?” tanya Ambar seraya menatap ke sekeliling. Tapi setelah berada di luar begini agaknya, Ambar tak perlu lagi mendengar penjelasan gadis penolongnya. Di sekeliling pondok terlihat kawan-kawan Walung Turangga tergeletak tak sadarkan diri. Entah pingsan atau mati!

“Mereka kulumpuhkan. Tapi beberapa orang ada yang mampus!” sahut gadis penolong itu tanpa ditanya.

Dan itu membuat Ambar terkejut. Tidak sembarang orang bisa mengalahkan orang sebanyak ini. Tapi gadis di hadapannya? “Nisanak. Siapa kau sebenarnya?” tanya Ambar.

“Namaku Ratmi. Dan kau?”

“Ambar Ningrum. Tapi, panggil saja Ambar....”

“Hm.... Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Mungkin lebih deras. Kau harus pulang ke rumahmu. Ayo, kuantar!” ajak gadis penolong yang mengaku bernama Ratmi.

“Rumahku jauh...,” tolak Ambar, halus.

“Aku membawa kuda. Kita bisa memacunya dengan kencang.”

“Baiklah. Tapi..., aku mesti mencari seseorang.”

“Siapa?”

“Kakang Kuntadewa....”

“Kekasihmu?”

Ambar tak menjawab. Tapi senyumnya membuat Ratmi mengerti. “Baiklah. Kita cari dia. Tapi, di mana?” kata Ratmi, menyetujui.

“Mereka membawanya ke hutan.”

“Hm.... Perjalanan yang tak mudah malam-malam begini,” gumam Ratmi.

“Tapi, tak apalah. Ayo naik!” Ratmi lantas melompat ke punggung kuda yang tertambat di dekat pondok.

Dengan sigap Ambar melompat ke belakang Ratmi. Begitu digebah, kuda tunggangan itu berlari kencang meninggalkan tempat ini. Dari kejauhan terlihat cahaya petir seperti membelah angkasa!

********************

Gerimis yang tadi reda kini berubah menjadi deras. Bahkan bersamaan dengan gemuruh serta kilatan petir yang sambung-menyambung. Di antara curah hujan, tampak beberapa sosok tubuh berjalan memasuki hutan. Salah seorang memanggul satu sosok yang agaknya tengah tak sadarkan diri.

“Kita campakkan saja di sini!” kata sosok yang tengah memanggul.

“Ya. Biar mampus di makan serigala...!” sambut yang lain.

“Mungkin juga dipatuk ular! Sudahlah! Ayo, kita pergi!” timpal seorang lagi.

Bruk!

Seperti memperlakukan batang pisang, mereka mencampakkan tubuh yang dipanggul tadi begitu saja. Menimpa tanah lembab dan becek, dan tak mempedulikannya. Kelima orang itu cepat menghilang, ketika kilatan petir terlihat sekali.

Sosok tubuh itu tetap diam tak bergerak. Dari hidung dan mulutnya masih meneteskan darah, bercampur air hujan. Sehingga, membuat air di sekitarnya menjadi merah.

Glarrr...!

Guntur meledak keras tatkala cahaya petir membelah angkasa. Dan hujan semakin deras. Namun, tubuh itu tidak juga bergeming. Pada saat seperti itu entah dari mana terlihat cahaya merah bergerak-gerak gesit bagai sebuah obor. Cahaya merah itu meliuk-liuk, kemudian diam menggantung di angkasa, tepat di atas sosok tubuh tadi. Dan...

Siuuut! Blep!

Cahaya itu melesat turun bagai kilat dan sirna di dalam tubuh sosok yang tergolek. Kini sosok itu seperti terselimut cahaya merah.

“Akh!” Sosok itu tersentak seperti disodok sesuatu. Tubuhnya bergulingan ke kanan dan kiri sambil mengerang kesakitan. Dan tiba-tiba saja dia melompat ke atas sambil jungkir balik. Dari mulutnya terdengar raungan laksana seekor harimau liar.

“Graungrrr...!”

Tap!

Sosok tubuh itu mendarat manis dan berdiri di atas kedua telapak kakinya. Kelihatan kokoh laksana batu karang. Sepasang matanya berkilau seperti mata kucing di kegelapan. Dan rambutnya yang panjang sepunggung, riap-riapan diterpa angin dan air hujan. Sebagian bajunya tampak robek-robek. Darah di hidung dan mulutnya telah berhenti. Dan yang tersisa adalah kerak-kerak merah yang kehitam-hitaman.

“Kau Kuntadewa putra Bagus Perkasa?” Terdengar suara tanpa wujud. Terdengar dekat sekali. Seperti dari dalam dada sosok ini.

“Benar,” sahut sosok yang ternyata Kuntadewa.

“Kasihan nasibmu, Cucuku...!” lanjut suara tanpa wujud.

“Siapa kau?” tanya Kuntadewa.

“Aku Ki Maung Lugai.”

“Hm! Ayahku pernah cerita. Jadi, inikah saat itu?”

“Ya! Salah satu dari kalian harus menerimanya. Dan agaknya, kau yang ditakdirkan untuk menerimanya. Sudah mengertikah kau apa yang akan dirasakan nantinya?”

“Ibu pernah cerita sebelum kematiannya....”

“Bagus! Maka, lapangkan dadamu menerima kehadiranku,” ujar sosok tanpa wujud yang bernama Ki Maung Lugai.

Kuntadewa langsung berlutut dan terus bersujud ke satu arah. Tak peduli jidatnya mencium lumpur. “Eyang.... Terimalah sembah sujudku! Aku telah siap segalanya. Dan siap pula menanggung segala akibatnya!” ucap Kuntadewa.

“Ha ha ha...! Bagus! Bagus, Cucuku! Itu baru namanya keluarga Maung Lugai sejati!” sambut Ki Maung Lugai penuh semangat.

“Aku harus balas pada orang-orang terkutuk itu!” desis pemuda ini dengan wajah kalem.

“Ya! Orang-orang seperti mereka harus mendapat balasan setimpal. Pergilah sekarang juga. Mulai kini aku akan terus menyertaimu sampai ajalmu tiba!” ujar Ki Maung Lugai.

“Baik, Eyang!” Kuntadewa berbalik. Dan seketika dia berlari gesit meninggalkan tempat itu. Sebentar saja, tubuhnya sudah jauh menerobos hujan yang masih turun, walaupun mulai reda.

Langkah Kuntadewa terhenti. Matanya tajam memandang ke depan, di balik semak-semak. Tampak sembilan orang tengah berdiri di dekat sebuah pondok kecil, yang sebagian porak-poranda. Kakinya perlahan-lahan melangkah semakin mendekat ketika mengenali orang-orang itu.

“Keparat terkutuk! Siapa yang melakukan semua ini! Hm.... Siapa pun orangnya dia akan berhadapan denganku, Si Angwatama!” hardik seorang laki-laki tua bertubuh tinggi besar, terbungkus pakaian jubah putih.

Tak seorang pun yang berdiri di dekat laki-laki tua itu berani menjawab. Mereka tertunduk lesu dengan wajah sedikit ketakutan. Sementara laki-laki tua yang menyebut dirinya Angwatama masih berjongkok memandangi mayat seorang pemuda kekar berompi hitam yang terbaring dengan tulang dada remuk. Dari mulut dan hidungnya masih terlihat sisa-sisa darahnya yang terus mengalir. Pelan-pelan diangkatnya mayat itu, dan dipondongnya dengan tubuh gemetar menahan amarah.

“Aku bersumpah! Siapa pun yang membunuh putraku, Walung Turangga, harus mati!” desis Ki Angwatama menahan geram.

“Guru....”

“Hmm!” Seseorang memberanikan diri untuk angkat bicara. Namun suaranya tersendat di tenggorokan ketika mendengar sahutan Ki Angwatama berupa dengusan sinis.

“Apa yang akan kau bicarakan, Samparan?” tegur laki-laki tua berjubah putih itu.

“Hmm!”

“Guru tahu sendiri. Meskipun Ambar telah dijodohkan dengan Walung Turangga, tapi secara diam-diam dia sering berdua-duaan dengan Kuntadewa.”

“Kuntadewa tidak akan mampu membunuh anakku!” tepis Ki Angwatama.

“Memang benar, Guru. Tapi kuat dugaan kami, dia menghasut Ambar. Dengan segala kekayaan yang dimiliki orangtuanya, Ambar bisa menyewa jago-jago silat berilmu tinggi untuk menghabisi nyawa Walung Turangga,” kata Samparan, terus membakar amarah laki-laki tua itu.

“Tidak mungkin! Kami telah sepakat soal perjodohan itu!”

“Betul, Guru! Tapi bukankah Guru pun tahu kalau Ambar tak bersedia dijodohkan dengan Walung Turangga? Dia amat mencintai Kuntadewa. Maka kemungkinan Kuntadewa menghasut gadis itu sudah pasti ada, karena Walung Turangga dianggap penghalang cita-cita mereka.”

Ki Angwatama bergumam untuk sesaat, memikirkan apa yang dikatakan Samparan. “Panggil Kuntadewa sekarang juga!”

“Kami telah memeriksa kamarnya sebelum ke sini, Guru. Dan ternyata dia tak ada. Kuat dugaan kami kalau dia telah melarikan diri,” jelas Samparan.

“Keparat! Kalau begitu cari dia sampai ketemu!” dengus Ki Angwatama.

“Mencarinya mungkin akan sulit, Guru. Mungkin saja dia telah pergi jauh...,” kata pemuda lain, memberi alasan.

“Aku tak peduli!” tukas Ki Angwatama dengan suara keras. “Pokoknya cari dia sampai ketemu!”

“Kenapa tidak dengan cara yang mudah saja, Guru?” usul Samparan.

“Apa maksudmu?”

“Bukankah bisa kita tanyakan pada Anjani? Sebagai adik, tentu dia tahu ke mana kakangnya pergi.”

“Kalau begitu cepat tanyakan Anjani!”

“Baik, Guru!” Samparan segera membawa tiga orang pemuda murid Ki Angwatama lain, untuk berangkat lebih dulu. Sedangkan Ki Angwatama serta empat murid yang lain menyusul belakangan. Namun baru beberapa langkah....

“Aaa...!”

“Heh?!” Ki Angwatama dan empat muridnya terkejut ketika mendadak terdengar jeritan panjang saling bersahutan. Arahnya berasal dari selatan, di mana keempat muridnya tadi berkelebat.

“Celaka! Apa yang terjadi terhadap mereka!” seru seorang murid seraya menggenjot tubuh dan tergesa-gesa menghampiri asal suara.

Tapi mereka tak perlu terburu-buru. Sebab sesaat langkah orang-orang itu terhenti ketika sesosok tubuh tahu-tahu telah menghadang. “Hmm!”

“Siapa kau?!” bentak seorang murid.

“He, bukankah dia si Kuntadewa?!” seru murid lain setelah meneliti wajah pemuda di depannya.

“Benar! Dia Kuntadewa!” Mendengar itu, Ki Angwatama melompat ke depan setelah menyerahkan mayat putranya pada seorang murid yang bersamanya.

“Kuntadewa anak celaka! Apa yang telah kau perbuat terhadap Walung Turangga, he?!” Ki Angwatama seperti menemukan orang yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya. Maka tanpa basa-basi lagi langsung kepalan tangan kanannya disorongkan ke depan pemuda itu dengan pengerahan tenaga kuat. Rasanya kalau pemuda itu tidak menghindar mungkin akan binasa dihantam tenaga dalam tinggi.

Plak! Wuuut!

“Uhh...!” Tapi yang terjadi justru di luar perhitungan. Dengan telapak kiri terkembang, Kuntadewa menahan kepalan Ki Angwatama, lalu mendorongnya. Ki Angwatama sendiri tidak habis pikir ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, merasakan tenaga dorongan yang begitu kuat.

“Anak celaka! Beraninya kau melawanku, he?!” bentak Ki Angwatama, garang.

“Angwatama! Keparat! Hari ini kau akan mati di tanganku!” desis pemuda itu dengan suara serak.

“Guru! Biar kami saja yang membereskannya!” kata salah seorang murid.

Tapi Ki Angwatama tidak mempedulikannya. Orang tua itu sudah langsung menyerang dengan sebuah tendangan menggeledek. “Heaaat..!”

Namun, Kuntadewa tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya cepat menggeser ke samping seraya memapak tendangan dengan tangan kiri.

Plak! Plak!

Tendangan geledek yang dilancarkan laki-laki tua itu tertahan. Dan secepat kilat tangan kanan Kuntadewa yang membentuk cakar menyambar ke dada.

Wuutt!

Dengan gerakan kilat Ki Angwatama mengibaskan tangan untuk menangkis. Tapi pada saat yang sama, Kuntadewa melepas tendangan menyodok ke bawah perut.

“Hup...!” Terpaksa Ki Angwatama melompat ke belakang. “Iblis! Dari mana kau belajar ilmu iblis itu?!” desis laki-laki tua itu dengan wajah kaget, begitu mendarat di tanah.

Darah Ki Angwatama seperti tersirap melihat cara Kuntadewa menyerangnya. Ganas dan bertenaga kuat. Menyerang tanpa mempedulikan tata cara gerak-gerak silat. Apa saja yang terdekat dengan jangkauannya, maka itulah yang menjadi sasaran.

“Kau tak perlu tahu, Tua Bangka! Persiapkan saja kematianmu!” desis Kuntadewa.

“Guru! Biar kami bantu kau meringkus murid celaka ini!” teriak seorang murid. Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, pemuda murid Ki Angwatama ini telah menyerang Kuntadewa bersama tiga orang kawannya. “Yeaaat...!”

“Grrrng...!” Kuntadewa menggeram buas. Tubuhnya berbalik cepat, memapak serangan.

Prak! Bret! “Aaa...!”

“Hei?! Celaka!” seru Ki Angwatama dengan wajah semakin pucat melihat apa yang dilakukan Kuntadewa pada keempat muridnya. Hanya sekilas ketika kedua tangan dan kaki pemuda itu yang kokoh melabrak empat muridnya. Terdengar pekik kematian saling susul-menyusul. Keempatnya tewas dengan tubuh tercabik-cabik oleh kuku-kuku yang tajam dan kuat.

TIGA

Agaknya bukan cuma Ki Angwatama saja yang kecut nyalinya. Demikian empat muridnya. Mereka tidak menyangka kalau Kuntadewa memiliki kesaktian begitu hebat.

“Kau..., kau.... apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa?!” seru Ki Angwatama sambil mundur perlahan-lahan.

“Dia orangtuaku,” sahut Kuntadewa mantap.

“Hmm! Pantas. Tapi..., kenapa kau mendendam padaku, Kuntadewa? Aku tidak tahu-menahu tentang kematian orangtuamu,” kilah Ki Angwatama.

“Aku tak peduli. Kau memperlakukan aku dan adikku seperti budak di Padepokan Karang Gelam, Angwatama! Padahal perhiasan-perhiasan ibuku cukup untuk membiayai hidup kami di padepokan sampai kami dewasa dan mampu berdikari. Dan terakhir, perlakuan Walung Turangga padaku! Huh! Tidak akan pernah kumaafkan! Sayang dia sudah mampus, kalau tidak akan kucincang tubuhnya menjadi sobekan-sobekan kecil. Tapi untuk menutupi kekecewaanku maka kau harus mati! Kau harus menanggung dosa-dosanya!” desis Kuntadewa.

“Tidak! Kau tidak bisa menyamakannya denganku!” sergah Ki Angwatama, yang ternyata adalah Ketua Padepokan Karang Gelam.

“Dia anakmu! Dan kau amat menyayanginya serta mendukung segala perbuatannya baik salah maupun benar! Dengarkan, wahai anjing tua busuk! Bersama murid-murid lain. Walung Turangga menghajarku sampai nyaris mati. Lalu bagai seekor anjing buduk aku diseret ke hutan dan dibiarkan dalam keadaan hidup dan mati. Siapakah yang mempunyai watak seperti itu selain binatang?! Dan kau, ayah dan anak sama saja! Bersiaplah untuk mati!”

Begitu kata-katanya habis, secepat kilat Kuntadewa melompat ke arah Ketua Padepokan Karang Gelam dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar.

“Graungrrr...!” Raungan pemuda itu laksana seekor harimau kelaparan yang haus darah. Bahkan laki-laki tua yang juga guru Kuntadewa sendiri sampai bergetar hatinya. Dan nyalinya semakin ciut saja.

Wut! Bet!

Dengan mengerahkan segala kemampuan, Ki Angwatama berusaha menghindar serangan-serangan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian, keadaannya sudah terdesak hebat. Tidak sampai tujuh jurus!

“Hiih!” Ketika cakar Kuntadewa hendak merobek tenggorokan, Ki Angwatama nekat menangkis dengan tangan kiri.

Tak!

“Uts!” Bahkan laki-laki tua itu berhasil mengelakkan sambaran cakar yang satu lagi dengan menggeser tubuhnya ke samping.

Namun hal itu harus dibayar mahal, sebab mendadak Kuntadewa memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kaki kanan. Bukan telapaknya yang mengancam tetapi kuku-kuku kakinya yang runcing bagai mata pedang. Sehingga....

Bret!

“Aaakh...!” Ki Angwatama menjerit kesakitan ketika kuku-kuku itu merobek perutnya. Kedua tangannya langsung mendekap perut sambil terhuyung-huyung. Sementara dari sela-sela jarinya menetes deras cairan darah.

“Graungrrr...!” Kuntadewa tidak berhenti sampai di situ. Langsung diterkamnya Ketua Padepokan Karang Gelam ini dengan cakar-cakarnya yang runcing.

Bruk...! Bret! Bret! “Aaa...!”

Tanpa belas kasihan tubuh tua yang telah terjatuh di tanah itu dicabik-cabik cakar Kuntadewa sampai tak berbentuk lagi. Ki Angwatama memekik setinggi langit. Tapi hanya sesaat, sebelum tenggorokannya putus dirobek cakar muridnya sendiri.

********************

Wajah Ambar tampak suram dan kusut. Sejak tadi gadis ini berdiam diri. Sementara Ratmi di sebelahnya justru kebalikannya. Wajahnya selalu riang, sehingga kecantikannya seperti bersinar. Apalagi dengan pakaian merah ketat yang dikenakannya saat ini. Beberapa pemuda yang berpapasan mendecah kagum. Dan tak jarang yang tergerak mulutnya untuk menggoda. Dan sejauh itu hanya sesekali gadis ini menimpalinya.

“Lihatlah, Ambar! Hari ini terasa indah kalau kita berusaha menikmatinya!” ujar Ratmi yang periang.

Yang diajak bicara menoleh sekilas, lalu tersenyum pahit. Dan kembali matanya lurus menatap ke depan.

“Apalagi yang kau pikirkan? Laki-laki di dunia ini tidak hanya satu. Dengan wajah cantik. Orangtuamu kaya-raya. Kau bisa mendapatkan pemuda yang lebih tampan lebih dari sepuluh orang dalam sekejap!” desah Ratmi.

“Aku tidak bisa melupakan Kakang Kuntadewa...,” desah Ambar.

“Begitu cintanyakah kau padanya?”

“Mungkin dia tidak akan selamat di tangan mereka...,” gumam Ambar tak mempedulikan pertanyaan kawan seperjalanannya.

“Kenapa tidak kembali saja ke padepokan dan meminta pertanggungjawaban gurumu? Kalau dia macam-macam, biar kuhajar orang tua itu!” tukas Ratmi, memberi usulan.

“Tidak! Ki Angwatama tidak akan peduli!”

“Huh! Guru seperti apa itu? Mestinya dia bersikap bijaksana meski kepada putra sendiri! Tanganku gatal dan ingin menghajar orang seperti itu!” dengus Ratmi, geram.

“Kau mungkin saja hebat. Tapi, beliau tidak sendiri. Muridnya banyak. Dan dia bisa berbuat apa saja.”

“Kau bermaksud melaporkan kejadian ini pada orangtuamu?”

“Entahlah. Ayahku terlalu akrab dengannya. Beliau sangat mempercayainya. Maka tidak heran kalau aku dijodohkan dengan Walung Turangga. Padahal, aku sama sekali tidak menyukainya.”

“Kenapa tidak keluar saja dari padepokan itu?”

“Tidak bisa. Mereka mengawasiku siang dan malam. Sepertinya, aku ini tawanan.”

“Hm, kasihan sekali...!”

Ambar tersenyum getir.

“Eh! Ngomong-ngomong, masih jauhkah rumahmu?” tanya Ratmi.

“Kira-kira setengah hari perjalanan lagi dari sini,” sahut Ambar, menduga-duga.

“Lumayan jauh juga. Alangkah baiknya kita mampir sebentar di kedai. Kebetulan perutku mulai menggeliat minta diisi.”

“Baiklah...”

Pengunjung kedai kelihatan sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang terlihat. Sehingga, Ambar dan Ratmi yang duduk di dekat pintu masuk leluasa mengedarkan pandangan.

“Ah! Ternyata dia!” seru Ratmi dengan wajah berseri. Pandangan gadis itu tak berkedip memandang sesosok tubuh memakai baju rompi putih yang tengah membelakanginya.

“Ada apa?” tanya Ambar.

“Kau tunggu sebentar di sini!” sahut Ratmi seraya bangkit, langsung menghampiri sosok berompi putih itu. Langkah Ratmi kelihatan girang. Dan senyumnya terkembang ketika mendekati sosok berompi putih.

“Kakang Rangga!” teriak gadis ini seraya menepuk pundak orang yang dituju. Niat Ratmi jelas untuk membuat kaget. Tapi ketika orang itu menoleh, justru gadis ini yang dibuat kaget.

“Oh! Maaf, kukira Kisanak kawanku...!” seru Ratmi ketika melihat seraut wajah penuh bekas luka, yang dikira Rangga.

Orang itu menyeringai lebar, memperlihatkan sederetan gigi-giginya yang hitam dan kuning. “He he he...! Tidak apa, Nisanak! Aku pun bersedia menggantikannya!” kata orang ini.

Ratmi buru-buru hendak berlalu, tapi langkahnya terhenti karena pergelangan tangan kirinya dicekal pemuda itu.

“Mau ke mana? Jangan buru-buru! Kebetulan aku makan sendirian. Kau bisa menemaniku!”

“Maaf, Kisanak. Aku bersama kawanku. Lagi pula, aku tak berniat duduk bersamamu!” sahut gadis itu kesal.

“Tapi aku berminat!” tukas laki-laki itu seraya menyentakkan tangan gadis ini.

Set!

“Hup! Kurang ajar!” Ratmi terpaksa melompat melewati meja kalau tak ingin terjerembab.

Tapi tangan kiri orang itu seketika memapas lutut bagian dalam hingga tertekuk. Lalu telapak tangan laki-laki itu bergerak cepat, menekan perutnya hingga terhempas ke bawah, tepat di atas kursi.

Gabruk!

“Diamlah di situ. Dan temani aku makan!” ujar laki-laki itu, kasar dengan seringai memuakkan.

“Tak sudi!” hardik Ratmi seraya melayangkan kepalan tangan kiri ke wajah laki-laki bertampang kasar ini.

Laki-laki itu menggeser sedikit, sehingga kepalannya luput dari sasaran. Sebaliknya tangannya cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu. Meski berusaha berontak, tapi Ratmi merasakan genggaman lelaki itu seperti catut baja. Dengan kesal kepalannya yang satu lagi dilayangkan.

Tap!

Namun, nasibnya sama saja. Laki-laki itu menangkap dan menyatukannya dengan tangan yang satu lagi. Sehingga kedua pergelangan tangan gadis itu dicengkeram dengan satu tangan.

“Keparat! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku. Monyet buduk! Lepaskan!” maki Ratmi.

“Ha ha ha...!” Tapi orang itu hanya tertawa kegirangan. Namun....

“Kisanak, tolong kau lepaskan dia!” Mendadak terdengar seruan bernada perintah. Dan seketika laki-laki itu merasakan pundaknya seperti ditepuk.

Plak!

“Hei?!”

Tepukan barusan ternyata bukan sembarangan. Karena laki-laki yang mencengkeram tangan Ratmi merasa pundaknya bagai diganduli beban yang beratnya lebih dari delapan puluh kati. Dan mau tak mau, terpaksa cekalannya pada Ratmi dilepaskan. Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Dan kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Ratmi. Sebelah kakinya mendadak melesat ke perut laki-laki itu.

Des!

“Aaakh...!”

Gubrakkk!

Karuan saja laki-laki bertampang seram ini terjungkal roboh, menghajar beberapa buah meja dan kursi. Tapi secepat kilat dia bangkit dengan pandangan tajam.

“Kakang Rangga...! Ah! Kau rupanya!” seru Ratmi ketika melihat siapa yang telah menolongnya.

Tanpa canggung-canggung gadis itu memeluk pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dan itu membuat pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti jadi jengah.

“Ratmi.... Apa-apaan kau ini? He, malu dilihat orang!”

“Apa? Oh, iya! Maaf..., maaf!” Gadis itu melepaskan pelukannya dengan wajah tersipu-sipu. Dia jadi jengah sendiri ketika beberapa pasang mata memperhatikan. Apalagi Ambar yang telah berdiri di dekatnya juga ikut tersenyum. Untuk sesaat wajahnya yang berubah merah dadu dipalingkan. Tapi untung saja hal itu tak berlangsung lama, ketika....

“Hmm! Rupanya kau sudah menemukan orang yang dicari. Dan kekasihmu ini ditendang begitu saja.”

“Tutup mulutmu! Sudah untung aku tidak menghajarmu sampai babak belur!” bentak Ratmi, seperti mendapat pelampiasan mendengar sindiran barusan.

“Kau? He he he...!” laki-laki itu terkekeh, meremehkan.

“He, kau kira aku tak bisa menghajarmu?!” bentak Ratmi lagi, makin garang.

“Percuma saja. Bahkan kekasihmu yang baru ini pun belum tentu bisa menghajarku!”

“Bangsat rendah! Rupanya kau tak kenal siapa dia, hingga berani gegabah!”

“Kalong Wetan tidak pernah gegabah, Anak Manis,” sahut laki-laki itu tersenyum-senyum.

“Kakang! Kenapa tidak kau hajar saja dia? Orang itu telah menganggap enteng padamu!” desak Ratmi, begitu menatap Rangga.

“Itu tidak jadi masalah bagiku. Biarlah dia bicara apa saja. Sebaiknya tidak usah diladeni. Mari kita makan,” ajak Rangga, malah tidak mempedulikan laki-laki yang merendahkannya.

“Nah! Dengar, kan? Dia takut setelah mendengar namaku?!” celetuk laki-laki yang ternyata berjuluk si Kalong Wetan.

“Kakang! Orang ini betul-betul menyebalkan. Kau tidak boleh mendiamkannya!” sentak Ratmi.

Kali ini Rangga menoleh dan memandang si Kalong Wetan dengan tersenyum manis. “Kisanak! Aku tidak ingin mencari keributan di sini. Lagi pula ilmu silatku tidak seberapa. Jadi tak mungkin aku bisa menang bila menghadapimu,” kata Rangga merendah.

Mendengar itu si Kalong Wetan malah semakin penasaran. Ketika pundaknya ditekan tadi, jelas dia merasakan tenaga dalam yang hebat sekali. Dan sekarang, pemuda itu seenaknya saja mau mengalah dan mengatakan dirinya berilmu rendah. Kekesalan itu agaknya dirasakan pula oleh Ratmi. Dia tahu kalau Rangga berilmu tinggi. Tapi menghadapi orang seperti si Kalong Wetan ini, malah merendah.

“Kakang, kenapa kau ini?! Bangsat rendah ini jelas-jelas menantangmu, tapi kau malah mengalah. Di mana kehebatan namamu yang menjulang tinggi itu? Bahkan ayahku sendiri pun segan setelah kuberitahu tentang dirimu!” kejar Ratmi.

“Huh! Kekasihmu itu hanya punya nama kosong untuk menakut-nakuti orang!” dengus si Kalong Wetan.

Rangga menoleh dan memandang tajam. Raut wajahnya seketika memancarkan perbawa menggetarkan. Kali ini hatinya mulai terbakar oleh omongan si Kalong Wetan yang sepertinya terus membuka tantangan walau tak secara langsung.

“Kisanak! Kedai ini terasa sempit oleh kehadiran kita. Kalau tidak keberatan, tolong ajari aku barang satu atau dua jurus ilmu silatmu yang hebat itu di luar sana!” kata Rangga dingin. Dan tanpa berkata apa-apa lagi Rangga melangkah keluar, diikuti Ratmi dan Ambar.

Beda halnya dengan si Kalong Wetan. Tubuhnya langsung mencelat ke luar, menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dia lebih dulu tiba.

“Silakan, Kisanak,” ujar Rangga, tenang.

“Baiklah. Akan kuajarkan padamu, bagaimana caranya menjatuhkan lawan secepatnya!” dengus si Kalong Wetan. Dan seketika laki-laki itu melompat menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menghantam dada.

“Yeaaat!”

Ternyata gerak itu hanya tipuan. Karena ketika hampir dekat, si Kalong Wetan merubah serangan. Kali ini, kaki kirinya yang menyodok ke perut. Rangga mengegos ke samping seraya menepis dengan tangan kiri.

Plak!

Namun secepat itu, si Kalong Wetan berbalik, kaki kanannya dikibaskan menyambar ke leher. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti menunduk, hingga tendangan si Kalong Wetan menghantam angin. Lalu sebelah kaki Rangga mengait sebelah kaki laki-laki itu.

Plak!

“Uhh...!” Sebelah kaki si Kalong Wetan tertekuk, tapi tidak membuatnya jatuh. Sebaliknya laki-laki itu mencelat ke atas. Dan tiba-tiba tubuhnya menukik tajam, menyambar Pendekar Rajawali Sakti lewat tendangan kilat.

EMPAT

Rangga kembali mengegos sedikit ke samping, hingga tendangan itu luput. Lalu secepatnya dibalasnya serangan itu dengan tendangan lurus ke perut. Kalong Wetan melompat ke belakang, tapi Rangga terus memburunya dengan tendangan beruntun. Maka terpaksa laki-laki itu menangkis.

Plak!

Baru saja terjadi benturan, secepat kilat pula kaki Rangga yang sebelah lagi menghantam dada tanpa bisa dielakkan.

Desss...!

“Aaakh...!” Kalong Wetan mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.

“Hm! Kurasa pelajaran yang kau berikan hari ini cukuplah, Kisanak,” kata Pendekar Rajawali Sakti datar, seraya hendak meninggalkan tempat itu.

“Aku belum kalah, Kisanak!” dengus si Kalong Wetan geram, membuat Rangga mengurungkan niatnya.

“Kalah? Sepertinya kita tidak bertarung sungguh-sungguh? Bukankah aku hanya sekadar mendapatkan pelajaran darimu?” sahut Rangga, dengan kening berkerut.

“Jangan bersilat lidah, Kisanak! Terima seranganku ini!” desis si Kalong Wetan semakin geram.

Begitu habis kata-katanya, si Kalong Wetan mengembangkan kedua tangannya ke kiri dan kanan sejajar pundak. Sebelah kakinya ditekuk dan lututnya sejajar perut. Kemudian kedua tangannya bergerak saling menyilang dengan cepat, lalu meluruk maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!”

Wut! Wut!

“Hmm!”

Gerakan laki-laki berwajah angker ini cukup beragam dan sulit diterka. Namun Rangga meladeninya dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Meski terus menghindar, tapi saat itu justru Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengetahui kelemahan-kelemahan jurus si Kalong Wetan.

Plak! Plak!

Beberapa kali kedua tangan mereka saling berbenturan. Demikian pula kedua kaki. Dan Rangga merasakan tenaga dalam laki-laki itu bertambah dua kali lipat dari semula.

“Hm! Dengan jurusnya ini dia berusaha menekanku!” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Dugaan Rangga agaknya sedikit meleset. Sebab si Kalong Wetan tidak sekadar ingin menekannya, tapi juga hendak menjatuhkannya. Dan kalau perlu menghajarnya habis-habisan sampai babak belur. Mungkin juga sampai mati! Itu terlihat dari serangan-serangan yang cepat dan terus dibarengi pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Heaaat...!”

Rangga melompat ke belakang untuk mulai menyiapkan jurus menyerang. Sementara si Kalong Wetan menyangka pemuda itu mencari kesempatan untuk lolos dari tekanannya. Maka secepat kilat dia lompat mengejar dengan sebuah tendangan lurus.

Plak!

Rangga menepis tendangan itu dengan tangan kiri. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya yang membungkuk berputar. Langsung dilepaskannya satu hantaman ke perut. Si Kalong Wetan terkejut. Cepat dia melompat ke atas, sehingga hantaman itu luput. Namun dengan bertumpu pada tangan di tanah, Rangga melepas tendangan bertubi-tubi lewat kedua kakinya yang terangkat tinggi-tinggi.

Begkh! Des! “Aaakh...!”

Dua tendangan berturut-turut menghantam telak perut si Kalong Wetan. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa langkah.

“Uhh...!” Dengan wajah meringis menahan rasa sakit, si Kalong Wetan bangkit dan menatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Belum pernah si Kalong Wetan dipermalukan begini sebelumnya!” tanya laki-laki itu penuh tekanan.

“Makanya kalau mau bertingkah lihat-lihat dulu!” dengus Ratmi. “Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.”

“Pendekar Rajawali Sakti? Ah! Pantas saja aku tidak mampu mengalahkanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak merasa malu dijatuhkan olehmu. Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan padaku,” desah si Kalong Wetan seraya menjura hormat.

“Kau pun hebat, Kalong Wetan.... Tidak perlu merendah!” kilah Rangga, tak ingin membuat si Kalong Wetan kehilangan muka.

“Maaf, Pendekar Rajawali Sakti! Aku telah mempermalukan diriku sendiri. Kuharap kau tidak mendendam dan menyudahi urusan ini.”

“Hm! Aku tidak mendendam, Kalong Wetan! Kalau kau bermaksud menyudahinya, maka itulah yang terbaik.”

“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku mohon diri dulu. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi!” lanjut si Kalong Wetan, bergegas meninggalkan tempat itu.

“Hei, tunggu!” teriak Ratmi, mencegah.

“Sudahlah, Ratmi. Tidak perlu diperpanjang urusan tadi,” lerai Rangga.

“Kau tidak merasakan bagaimana rasanya dihina, bukan?! Nah, aku merasakannya, Kakang! Dia tak boleh pergi begitu saja!” tukas Ratmi.

“Kalau kau terus begini, maka urusan tidak akan selesai.”

“Aku tidak peduli!”

“Hm! Ternyata kau masih keras kepala. Kalau begitu terserahmu saja. Aku akan melanjutkan perjalanan,” kata Rangga pendek, seraya menghampiri Dewa Bayu yang tertambat di depan kedai.

“Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau?!” teriak Ratmi.

“Aku tidak mau ikut campur urusanmu yang bukan-bukan. Kalau kau mau mengejarnya, silakan saja. Selesaikan sampai tuntas. Dan aku tidak akan melarangnya,” sahut Rangga enteng.

“Hhh...!” Ratmi menggerutu kesal. Bukan saja kesal karena merasa dipermainkan, tapi juga kesal karena harus ditinggal Rangga. Padahal telah beberapa lama pemuda itu dicari-carinya. Dan, baru hari ini mujur bisa ketemu. Lagi pula kalau mengejar si Kalong Wetan, belum tentu sakit hatinya bisa terbalaskan. Padahal, dia ingin sekali menghajar laki-laki itu sampai memohon-mohon minta ampunannya. Maka betapa mendongkol hatinya mendengar jawaban Rangga yang tidak mendukung niatnya.

“Aku ikut...!” kata Ratmi ketus.

“Kau tengah berjalan bersama kawanmu. Tidak baik kalau ditinggalkan sendiri,” sahut Rangga.

“Eh, tidak apa! Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula perjalananku tidak seberapa jauh lagi!” timpal Ambar cepat.

Melihat sikap Ratmi pada pemuda penolongnya itu, Ambar menduga kalau ada apa-apa di antara mereka. Apalagi dengan permintaan Ratmi barusan. Maka kehadirannya hanya akan mengganggu ketenangan mereka berdua. Lagi pula, ada hal tertentu yang membuatnya ingin sendiri. Yaitu, kehilangan orang yang dicintainya. Ratmi tidak menghiburnya selama di perjalanan. Makanya untuk beberapa lama dia ingin sendiri. Merenungi kemalangannya.

“Mana bisa begitu? Kalian bepergian berdua. Maka sampai ke tujuan pun harus berdua,” tukas Rangga.

“Tidak mengapa. Lagi pula aku lebih senang jalan sendiri,” sahut Ambar.

“Benarkah? Kau tidak keberatan kalau kutinggal, bukan?” tambah Ratmi.

“Tidak, Ratmi. Tidak apa-apa. Silakan. Aku akan jalan sendiri saja,” sahut Ambar. Gadis ini lalu memberi hormat sebelum berlalu dari tempat ini.

“Hm! Dia jadi tidak melanjutkan makannya,” gumam Rangga.

“Ambar memang tidak lapar. Yang lapar justru aku. Dalam keadaan begitu, dia akan tahan lapar selama beberapa hari. Mungkin juga sebulan. Atau bahkan lebih!” jelas Ratmi, seraya menaiki kudanya.

“Memang ada apa?” tanya Rangga seraya menggebah kudanya pelan, diikuti Ratmi.

“Kekasihnya dianiaya orang. Entah di mana sekarang. Mungkin sudah mati,” sahut Ratmi seenaknya.

“Kenapa?”

“Entah. Mungkin karena cemburu!”

“Hm.”

“Ke mana saja Kakang selama ini? Sulit betul mencari orang terkenal!”

“Kau mencari-cariku? Hm, sayang sekali. Kalau kutahu tentu akan kudatangi sejak kemarin-kemarin!” sahut Rangga sambil tersenyum lebar.

“Bagaimana keadaan orangtuamu? Apakah mereka sudah rujuk lagi?”

“Aku tidak tahu. Terakhir bertemu, mereka masih bertengkar. Aku kesal melihat kelakuan mereka. Sudah tua-tua tidak juga akur!”

“Lalu ke mana kawanmu yang..., pendek itu?”

“Entahlah. Sejak itu aku belum bertemu dengannya. Mungkin dia kembali ke tempat ayahku....”

Rangga mengangguk pelan, lalu menoleh pada gadis itu. Bibirnya lantas tersenyum manis.

“Kenapa? Bersyukur atas kemalangan yang menimpaku?” tanya Ratmi, tak senang.

“Bukan,” sahut Rangga pendek.

“Lalu kenapa senyam-senyum?”

“Ya! Kenapa, ya?” Rangga pura-pura mengalihkan perhatian dengan garuk-garuk kepala. “Aku sendiri bingung. Terakhir bertemu, kau masih galak. Dan sekarang tahu-tahu kau memelukku. Gejala apa ini?”

“Huh! Siapa sudi memelukmu?!” semprot Ratmi dengan wajah jengah.

“Lho? Yang di kedai tadi itu apa namanya?”

“Aku tak merasa memelukmu!”

“O, kalau begitu kau pasti memeluk si Kalong Wetan! Kelihatannya dia tergila-gila padamu. Dan kurasa, kau pun sama.”

“Kakang Rangga! Apa-apaan kau ini?!”

Rangga terkekeh. Dan lari kuda Dewa Bayu dipercepat, ketika gadis itu mengejarnya dengan muka gemas. “Kalau kena kuhajar kau!” ancam Ratmi.

“Dari dulu kau memang selalu banyak mulut!” ejek Rangga.

“Brengsek! Heaaa...!" Gadis itu menggebah kudanya kencang-kencang. Lalu ditunjukkannya kemahiran berkuda. Tubuhnya dimiringkan, lalu dipungut beberapa buah kerikil sambil berkuda. Secepat kilat dikeluarkannya senjata anehnya yang kerap kali terselip di pinggang. Sebuah ketapel!

Siuuut! Siuuttt! Bet!

“Uhh! Dasar gadis liar...!” umpat Rangga dongkol melihat beberapa buah kerikil melesat mengejar punggung dan batok kepala. Rangga mengegos ke samping hingga kerikil-kerikil itu terus menghantam angin.

Tapi gadis itu tidak putus asa. Dalam kejar-kejaran itu beberapa kali dipungutnya kerikil. Dan lantas dibidik buruannya. Namun sejauh itu Rangga berhasil menghindar. Hal ini tentu saja membuat gadis itu semakin kesal saja. Sampai suatu saat....

Siuut!

Mendadak melesat satu sosok bayangan hijau dari balik semak-semak. Tubuhnya langsung meliuk-liuk di udara, seraya menangkap kerikil-kerikil yang melesat.

Tap! Tap!

“Hei?!” Rangga terkesiap. Cepat dihentikannya laju Dewa Bayu. Demikian pula Ratmi. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita cantik berusia setengah baya berbaju serba hijau. Dandanannya amat medok. Bibir merah menyala tak beraturan. Sepasang alis hitamnya saling bertaut. Namun yang menyolok adalah rambutnya yang sepunggung dan awut-awutan seperti tak terurus. Warnanya pirang!

“Siapa yang hendak bermain-main denganku?!” tanya wanita itu datar. Sepasang mata wanita ini nyalang menatap Rangga dan Ratmi. Lalu tiba-tiba saja tangannya mengebut, membuat dua buah kerikil melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Ratmi.

Siuuut!

“Hei?!”

Tap! Tap!

Rangga bergerak cepat menangkapnya. Namun dia sempat terkejut ketika tangannya terasa kesemutan saat menangkap kedua kerikil itu.

“Hm! Siapa wanita ini? Tenaganya kuat sekali!” gumam Rangga memuji.

“Hi hi hi...! Rupanya kau yang melemparku tadi, Bocah Tampan? Siapa pun tidak boleh memperlakukanku seperti itu. Kau harus kuhajar!” Dan tiba-tiba saja wanita ini bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi....

“Tunggu dulu!” cegah Ratmi.

“Hm! Ada apa, Bocah Ayu?” tanya wanita berbaju hijau itu, seraya menahan gerakannya.

“Bukan dia yang melempar batu-batu itu.”

“Lalu siapa?”

“Burung-burung di atas! Coba lihat. Mereka banyak sekali, bukan?” tunjuk Ratmi ke atas.

Wanita itu menengadah. Matanya memang menyaksikan belasan ekor burung besar berterbangan. Dahinya berkerut dan memandang aneh pada Ratmi.

“Burung-burung? Belum pernah kudengar burung-burung menjatuhkan batu?” tukas wanita itu.

“Itu karena kau belum pernah mengalaminya. Kami sering mengalaminya. Dan hari ini, agaknya pengalaman itu menimpamu,” jelas Ratmi.

“Apa benar?”

Gadis itu mengangguk cepat. “Kurang ajar! Kalau begitu burung-burung keparat itu mesti menerima pembalasan dariku!” dengus wanita ini geram.

“Mestinya memang begitu. Nah, tunggu apa lagi? Ayo, kejar mereka sebelum jauh!” seru Ratmi.

“Iya, iya! Kau benar! Aku mesti mengejarnya sekarang juga!” kata wanita itu. Seketika wanita itu berkelebat sambil berteriak-teriak. “Hei, turun kalian! Turun, Keparat! Akan kuhajar kau! Kuhajar kau...!”

Dahi Rangga berkernyit melihat kelakuan wanita itu. Wajahnya yang cantik mengesankan kalau dia terpelajar. Tapi berteriak-teriak pada kawanan burung dan memaki-makinya, bukanlah tindakan orang waras.

“Dia memang sinting...,” jelas Ratmi seperti menjawab pertanyaan pemuda itu.

“Kau kenal dengannya?” tanya Rangga.

“Ya. Dia adalah Dukun Gila Berambut Pirang. Ayahku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Orang itu memang sinting. Tapi, dia berilmu tinggi. Bersama ayahku, mereka pernah membunuh seorang tokoh sesat beberapa waktu lalu,” jelas Ratmi lagi.

Rangga mengangguk. “Nama itu pernah kudengar. Siapa yang mereka bunuh saat itu?”

“Kalau tidak salah namanya..., Ki Bagus Perkasa. Orang itu betul-betul iblis! Dia membunuh orang sebagaimana layaknya seekor harimau kelaparan.”

“Apa maksudmu seperti harimau kelaparan?” tanya Rangga, makin tertarik.

“Dia mencabik-cabik lawan-lawannya. Ayahku bilang, orang itu memiliki ilmu iblis. Dia dikuasai ilmunya itu, sehingga kelakuannya mirip binatang.”

“Hm, aneh...!” gumam Rangga.

“Kenapa?” tanya Ratmi.

“Belum lama ini kutemukan beberapa sosok mayat dalam keadaan seperti itu di pinggiran hutan.”

“Mati dengan tubuh terkoyak-koyak?!”

Rangga mengangguk. “Pada mulanya, aku punya dugaan kalau mereka diterkam harimau kelaparan. Tapi luka yang dialami lebih mengerikan. Dan tidak kutemukan jejak-jejak harimau atau kawanan serigala. Juga, tidak terdapat bulu-bulu mereka yang tertinggal. Jadi kuat dugaanku kalau mereka bukan dibunuh binatang buas,” jelas Rangga.

“Astaga! Mungkinkah Ki Bagus Perkasa hidup lagi?!” sentak Ratmi kaget. “Di mana Kakang temukan mayat-mayat itu?”

“Di pinggiran Hutan Petijah.”

“Hm.... Dia kutemukan tidak seberapa jauh dari Padepokan Karang Gelam.”

“Siapa yang kau maksudkan?”

“Ambar. Dia berasal dari sana.”

“Ambar? Gadis yang tadi bersamamu itu?”

Ratmi mengangguk cepat. “Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya!”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Entahlah. Kekasihnya diculik di depan matanya. Lalu, menghilang. Mungkin mati. Kemudian terjadi pembunuhan seperti yang baru saja Kakang ceritakan. Kenapa mesti di sana? Atau hanya kebetulan belaka?”

“Ratmi! Aku tidak mengerti apa yang tengah kau pikirkan.”

“Aku juga!” sahut gadis itu enteng sambil cengar-cengir. “Tapi, sudahlah. Buat apa diambil pusing. Toh, itu bukan urusan kita.”

“Kalau saja ini berlangsung terus, maka aku tidak bisa berdiam diri,” tegas Rangga.

“Terjadi apa? Pembunuhan itu?” tukas Ratmi.

Rangga mengangguk.

“Kenapa mesti repot-repot? Orang lain yang punya urusan, maka mereka yang menjadi korban. Asal saja tidak mengganggu kita, buat apa ikut campur segala?!”

“Apakah ayahmu pun berpikir begitu?”

“Jangan samakan aku dengan ayahku!” sahut gadis itu dengan muka masam.

“Tidak! Aku tidak menyamakan kau dengan beliau. Tapi hanya ingin tahu, apakah watakmu sama dengannya? Maksudku, misalnya dalam soal tadi, selalu tak peduli terhadap urusan atau kemalangan yang menimpa orang lain?”

“Kurasa begitu.”

“Lalu, kenapa ayahmu turun tangan dalam menumpas pembunuh itu?”

“Pembunuh yang mana?”

“Pembunuh kejam yang mengoyak-ngoyak tubuh korban-korbannya.”

LIMA

“Itu persoalan pribadi,” kata Ratmi.

“Sejauh mana pribadinya?” kejar Rangga.

“Soal dendam. Beberapa tahun sebelumnya, Ki Bagus Perkasa pernah dikalahkan ayahku. Tapi belakangan, setelah memiliki ilmu iblis itu, dia datang menantang ayahku. Kebetulan, saat itu banyak berkumpul tokoh silat yang mendendam pada Ki Bagus Perkasa. Walhasil, ketika mereka bertarung, maka tokoh-tokoh silat lainnya mengerubuti Ki Bagus Perkasa,” jelas Ratmi singkat.

Rangga mengangguk mengerti. “Hei?!” Mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersentak. Sejenak kepalanya miring ke kiri, seperti berusaha menajamkan pendengarannya.

Sehingga, membuat Ratmi bertanya-tanya. “Ada apa?” tanya Ratmi.

“Kudengar suara pertarungan di depan sana!” jelas Rangga.

“Ah! Peduli apa? Lebih baik jangan ikut campur,” ujar Ratmi.

“Tidak! Itu arah Dukun Gila Berambut Pirang menghilang tadi. Aku khawatir dia menghajar sembarang orang,” sergah Pendekar Rajawali Sakti.

“Biarkan saja! Kalaupun orang sampai mampus dihajarnya berarti nasibnya yang memang apes.”

“Kalau begitu terserahmu. Aku ke sana! Heaaa!” Begitu kata-katanya habis, Rangga menggebah kudanya.

“Kakang, eh tunggu...!” seru Ratmi.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak menoleh lagi. Dewa Bayu terus dipacu dengan kencang. Sehingga, mau tak mau terpaksa gadis itu mengikuti meski menggerutu kesal.

“Huu! Brengsek...!”

Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar kemudian Rangga tiba di sebuah tempat yang agak luas. Kemudian, menyusul Ratmi dengan kudanya yang mendengus-dengus kelelahan. Di situ terlihat dua orang saling bertempur hebat. Sementara di sekitarnya sepuluh orang memperhatikan dari jarak agak jauh. Sedangkan di dekat pertempuran terlihat beberapa sosok tampak dalam keadaan mengerikan.

“Tubuh mereka terkoyak-koyak...!” desis Ratmi ketika melihat pemandangan itu.

“Tahukah kau, siapa yang bertarung melawan si Dukun Gila Berambut Pirang itu?” tanya Rangga datar.

Ratmi memperhatikan dengan seksama seorang laki-laki tua dengan guci arak di tangannya. Gerakannya gesit, tapi juga aneh. Dan wajahnya kelihatan lucu. Sesekali dia mengejek lawannya. Padahal yang dihadapi bukanlah tokoh sembarangan.

“Aku belum pernah melihat sebelumnya...,” sahut gadis itu menggeleng lemah.

“Menurutmu, orang seperti dia yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang itu?”

“Kenapa berpikir begitu?” tanya Ratmi.

“Entahlah. Mungkin mereka menuduhnya sebagai pembunuh. Lalu, muncul si Dukun Gila Berambut Pirang dan membantu menghajarnya,” sahut Rangga, seperti menduga-duga.

“Atau mungkin saja memang dia pembunuhnya!”

Rangga tersenyum seraya turun dari punggung kudanya. “Yang jelas mereka memang mempunyai kesamaan,” kata Rangga.

“Apa?” kejar Ratmi.

“Sama-sama sinting!”

“Kau kenal kakek itu?”

Rangga tak menjawab. Kakinya malah melangkah mendekati. Sementara Ratmi mengikuti dari belakang.

“Ki Demong! Kurasa hari ini kau punya penggemar berat!” teriak Rangga.

Kakek yang bersenjata guci berpaling. Sejenak pertarungan dihentikannya. Wajahnya kelihatan berseri-seri melihat siapa yang menyapanya. “Hooi! Bocah Berambut Gondrong, apa yang kau lakukan di sini?!” teriak laki-laki tua urakan yang tak lain Ki Demong. Dalam rimba persilatan, dia terkenal sebagai Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Apa lagi? Tentu saja ingin melihat kalian bermesraan,” sahut Rangga seenaknya.

“Kurang ajar kau, Setan Rompi Putih! Kau kira, aku naksir si Nenek Sihir ini! Huh! Seratus orang sepertinya dengan mudah kudapatkan!”

Meski sambil bercakap-cakap begitu, Pemabuk Dari Gunung Kidul itu tidak lengah terhadap si Dukun Gila Berambut Pirang yang kembali menyerang. Ke mana saja perempuan sinting itu menyerang, maka tangan kirinya gesit menangkis. Atau gucinya balas menyerang, sehingga membuat wanita sinting menjadi gusar. Dan semakin gusar saja ketika dirinya diejek dengan sebutan Nenek Sihir.

“Pemabuk sial! Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu!” bentak Dukun Gila Berambut Pirang.

“Nenek Sihir!” teriak Ki Demong dengan suara lebih keras.

“Kurang ajar! Terkutuk kau, Pemabuk Sialan. Benar-benar akan kurobek mulutmu yang kotor itu!”

Tiba-tiba saja telapak tangan kiri wanita setengah baya itu dihentakkan ke arah Pemabuk Dari Gunung Kidul. Bersamaan dengan itu, belasan jarum-jarum melesat mengancam keselamatan Ki Demong.

Glek! Glek...!

Ki Demong tenang-tenang saja. Bahkan ditenggaknya tuak dalam guci. Dan ketika serangan jarum-jarum itu mendekat, tiba-tiba tuaknya disemprotkan ke depan.

“Fruhhh...!”

Prasss...!

Jarum-jarum halus yang dilepas perempuan itu rontok sebelum menemui sasaran. “Hiyaaat!” Tapi Dukun Gila Berambut Pirang tidak berhenti sampai di situ. Karena secepat kilat tubuhnya mencelat menyerang dengan tangan mengibas.

Dan Ki Demong pun meladeninya dengan mantap. Ketika telapak tangan kanan wanita itu hendak menghantam jidat, tubuhnya mengegos ke samping. “Tidak kena!” ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan mata dijulingkan.

Dukun Gila Berambut Pirang mengibaskan kaki kirinya

Wuuttt!

Dan,.., tendangan itu masih luput ketika Ki Demong mencelat ke atas. Dengan gesit perempuan itu jungkir balik mengejar dengan kedua kaki menyabet seperti kitiran. Seketika Ki Demong menangkisnya dengan hantaman guci.

Plak!

Secepat kilat, Pemabuk Dari Gunung Kidul merendahkan tubuhnya ke bawah. Bersamaan dengan itu tangan kirinya bergerak jahil menepuk salah satu buah dada Dukun Gila Berambut Pirang.

“Pemabuk busuk! Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!” teriak Dukun Gila Berambut Pirang, merasa terhina lambang kewanitaannya disentuh.

Karuan saja Ki Demong akhirnya kerepotan sendiri. Akibat perbuatan jahilnya tadi wanita itu terus mengejar. Tapi dasar orang tua tidak mau kalah, mana mau disalahkan?

“Nenek sihir! Kenapa kau ngamuk-ngamuk tidak karuan? Masih untung tidak kuhajar sampai muntah darah. Itu berarti aku masih sayang padamu. Mestinya kau mengerti!”

“Pemabuk edan! Kau kira aku tidak tahu akal licikmu, he?!”

“Akal licik apa? He, jangan sembarangan menuduh!”

“Banyak omong! Modar kau!” dengus Dukun Gila Berambut Pirang seraya menghentakkan tangan kanannya, melepas pukulan jarak jauh.

“Uts! Gila! Hampir saja bertemu malaikat maut!” rutuk Ki Demong seraya melompat ke samping.

Tak!

“Eee...!”

Gabruk!

Tapi saat itu sebuah batu yang menonjol ke permukaan menjegal kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul hingga ambruk seperti orok yang baru belajar jalan.

“Hi hi hi...! Dasar pemabuk kampungan! Bagaimana mungkin kau bisa mengalahkanku kalau berdiri saja tak betul!” ejek Dukun Gila Berambut Pirang sambil tertawa nyaring.

Dengan mulut mesem-mesem, Ki Demong bangkit. Ditenggaknya tuak merahnya yang harum. “Tapi bukan berarti kau tidak suka padaku, bukan?” tukas si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Huh! Tadi kau bilang aku seperti nenek penyihir!” cibir wanita itu.

Ki Demong mendekati sambil cengar-cengir. “Aah! Tadi aku hanya bercanda...!” desah pemabuk tua ini.

“Bohong!” sentak Dukun Gila Berambut Pirang.

“Betul! Mana mungkin aku menolak wanita secantikmu. Kau adalah bidadariku yang turun dari kahyangan!” sergah Ki Demong dengan gaya bersyair. “Tapi..., kahyangan itu di mana, ya? Di bawah pohon jengkol atau pohon pete? Atau barangkali di dalam guciku ini?” Pemabuk Dari Gunung Kidul melongok ke dalam gucinya sendiri.

“Eeehhh...!” Dukun Gila Berambut Pirang menghentak-hentakkan kedua kakinya dengan wajah memberengut kesal seperti layaknya bocah yang tengah ngadat. “Kalau tidak suka, bilang saja! Kenapa mesti mengata-ngatai segala?!”

“Eh, siapa bilang? Itu kan syair yang kuciptakan khusus untukmu. Aku masih punya banyak syair lagi. Tapi..., kalau tak salah kutinggal di dekat kali.”

“Kok, syair ditinggal di kali?”

“Iya! Kebetulan waktu buang ‘ampas’ aku dapat wangsit untuk menuangkan isi hatiku kepadamu, Kekasihku. Maka kutulis di daun-daun. Kalau kau mau akan kutunjukkan!”

“Benarkah?!” tanya Dukun Gila Berambut Pirang dengan wajah berseri-seri.

Ki Demong cepat mengangguk sambil tersenyum, lebar. “Kau mau aku mengambilkannya?”

“Mau! Mau...!”

“Tempat itu agak jauh. Dan..., lebih enak kalau jalan berdua. Bagaimana?”

“Tak apa! Ayo kita ke sana!” ajak Dukun Gila Berambut Pirang dengan wajah makin berseri-seri. Seperti seorang gadis yang menginjak dewasa, Dukun Gila Berambut Pirang melangkah riang. Dan tanpa malu-malu, digamitnya lengan Ki Demong.

“Tapi aku menulisnya di daun-daun kering? Mungkin telah diterbangkan angin?”

“Tidak apa!”

“Tapi cintaku kepadamu tidak pernah diterbangkan angin!” sahut Ki Demong cepat.

“Hi hi hi...!”

“Ha ha ha...!”

Kedua orang itu tertawa-tawa seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

“Dasar pemabuk setan!” umpat Rangga, sambil menggeleng-geleng.

“Ya. Wanita itu juga sinting! Mereka memang cocok!” timpal Ratmi.

Sementara itu sepuluh orang yang tadi menyaksikan pertarungan tidak bisa berbuat apa-apa melihat kelakuan kedua tokoh aneh barusan.

“Kakang, Lembu Abang.... Kita tidak bisa membiarkan mereka pergi begitu saja!” kata salah seorang, yang bertubuh sedang.

“Lalu, aku harus bagaimana?” sahut orang laki-laki bertubuh besar dan bersenjata golok.

“Paling tidak kita harus meyakinkan kalau kakek itu yang membunuh mereka!” lanjut pemuda bertubuh sedang sambil menunjuk mayat-mayat yang bergeletakan.

“Kurasa itu tidak perlu....”

Mendadak terdengar seruan, membuat kesepuluh orang itu menoleh. Rupanya, Rangga telah berdiri tak jauh dari tempat mereka.

“Aku yakin Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak melakukannya!” lanjut Rangga.

“Pemabuk Dari Gunung Kidul? Jadi..., benarkah dia orangnya?!” seru laki-laki bertubuh besar bersenjata golok.

Rangga mengangguk. “Aku kenal dengannya. Dan sejauh yang kuketahui, dia tidak pernah menyiksa korban-korbannya seperti itu. Pelakunya adalah orang sinting yang menganut ilmu iblis,” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

“Kisanak tahu, siapa kira-kira pelakunya?” tanya laki-laki bertubuh besar.

“Sayang sekali. Sampai hari ini, aku belum mengetahuinya....”

Orang itu mendesah dengan wajah kecewa. “Aku pun tengah mencarinya. Nanti jika bertemu akan kuberitahu padamu...,” lanjur Rangga.

“Benarkah? Hm... Kau bisa menemui Lembu Abang di Padepokan Kuring Gemuning,” tukas laki-laki itu, berbinar.

“O, jadi Kisanak bernama Lembu Abang dari Padepokan Kuring Gemuning?”

“Benar! Kisanak, karena mesti buru-buru untuk melaporkan kejadian ini pada Guru, maka kami tak bisa berlama-lama. Kami segera mohon diri. Kalau boleh tahu, siapa gerangan Kisanak ini?” tanya laki-laki bertubuh besar yang dipanggil Lembu Abang.

“Namaku Rangga...,” jawab Rangga.

“Dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti!” timpal Ratmi.

“Ratmi...!” sentak Rangga, merasa tak ingin menyombongkan diri. Matanya melotot pada Ratmi. Tapi gadis itu tak menggubrisnya.

“Oh! Pendekar Rajawali Sakti?! Suatu keberuntungan besar bisa bertemu denganmu Pendekar Rajawali Sakti. Guruku sudah lama ingin bertemu denganmu. Kalau tidak keberatan, sudikah mampir ke tempat kami?”

“Panggil aku Rangga saja, Kakang Lembu Abang. Hm.... Soal tawaranmu, maaf. Kami harus cepat-cepat agar tidak kehilangan buruan. Sampaikan saja salam kami pada gurumu. Nah, Kakang Lembu Abang! Kami berangkat lebih dulu,” tolak Rangga, halus. Rangga dan Ratmi melompat ke punggung kuda dan segera menggebahnya.

“Heaaa...!”

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

“Ssst..., Anjani...!”

“Heh...?!” Seorang gadis berpakaian serba kuning tersentak ketika terdengar suara berbisik yang seperti memanggilnya. Kepalanya celingukan ke sana kemari. Lalu tertuju ke pintu jendela kamar. Namun tak seorang pun yang terlihat batang hidungnya. Dan baru saja gadis itu hendak menghampiri jendela.

“Heh?!” Gadis yang dipanggil Anjani kembali tersentak, begitu tahu-tahu jendela kamar ini terbuka. Lalu dari luar, berkelebat satu sosok yang langsung menutup pintu jendela.

“Anjani...!”

“Kakang! Kakang Kuntadewa...!” Wajah Anjani yang semula tegang, berubah gembira bercampur haru ketika melihat siapa yang datang. Dengan segenap perasaan haru yang meledak-ledak di dada, dipeluknya sosok yang baru datang kuat-kuat. “Kakang! Ternyata kau masih hidup. Oh, Gusti! Padahal selama ini kukira Kakang telah mati...,” kata gadis itu, merasakan gembira bukan main melihat kakangnya masih hidup.

“Syukurlah, aku masih segar-bugar seperti yang kau lihat sekarang,” kata sosok pemuda yang ternyata Kuntadewa.

“Kakang! Ke mana saja? Banyak peristiwa penting yang terjadi di padepokan!” lapor gadis itu.

“Ya. Aku tahu....”

“Ki Angwatama dan Kakang Walung Turangga telah mati. Demikian pula beberapa murid yang lari. Kini Kakang Somadipura yang memimpin padepokan...,” jelas Anjani.

“Hmm! Kakang Somadipura baik. Kau aman bersamanya.”

“Ya...!” sahut gadis itu. Dipandanginya Kuntadewa untuk sejurus lamanya.

“Kakang.... Ke mana saja selama ini? Kenapa tidak memberitahuku kalau akan pergi? Lalu, kenapa mesti main kucing-kucingan begini untuk bertemu denganku?”

“Maaf, Anjani. Aku tidak bisa terang-terangan datang ke sana. Khawatir kalau mereka mencurigaiku.”

“Mencurigai kenapa?”

“Sebagai pembunuh Ki Angwatama....”

“Itu tidak mungkin, Kakang! Kakang Somadipura dan semua murid di padepokan tidak akan percaya. Mereka tidak berpikir kalau Kakang sebagai pembunuh Guru. Mengalahkan Kakang Walung Turangga saja, kakang tidak mampu. Apalagi untuk membunuh Guru serta yang lainnya?”

“Apakah Kakang Somadipura berpikir begitu?”

“Tentu saja.”

“Tapi..., bagaimana dengan Ambar?”

“Dia pun menghilang sejak peristiwa itu. Apakah..., apakah Kakang pergi karena mencarinya?”

“Eh, iya. Iya...!”

“Sabarlah. Kita akan menemukan kabarnya dalam waktu dekat....”

“Kenapa kau bisa memastikan begitu?”

“Kemarin Kakang Somadipura telah mengirim dua orang murid ke Desa Jembring. Mungkin hari ini atau esok mereka kembali.”

“Oh...!”

“Kakang Kuntadewa! Kenapa kau tidak ke padepokan untuk bertemu dengan Kakang Somadipura dan menceritakan peristiwa yang kau alami?”

“Tidak, Anjani! Aku masih banyak urusan saat ini.”

“Urusan apa?”

“Urusan penting!”

“Sepenting apakah urusan itu, sehingga enggan mengatakannya pada adik sendiri?”

Kuntadewa menatap adiknya, lalu memegang kedua bahu gadis itu. “Anjani.... Saat ini tidak bisa kukatakan padamu. Tapi suatu saat, kau akan tahu juga. Aku hanya ingin berbakti pada orangtua.”

“Tidak mungkin. Ayah dan ibu sudah lama tiada,” sergah Anjani.

“Tapi mereka mati penasaran. Dan kita harus membuat mereka tenang!” tandas Kuntadewa.

“Lalu bagaimana caranya?” tanya Anjani.

“Itulah yang akan kulakukan saat ini.”

“Kalau begitu, aku ikut saja.”

“Tidak. Kau tetap di padepokan. Biar kukerjakan sendiri, karena ini berbahaya bagimu. Nah, aku pergi dulu!” Setelah berkata begitu, Kuntadewa berbalik. Tubuhnya langsung berkelebat keluar pintu jendela, meninggalkan adiknya.

********************

ENAM

Malam ini tak begitu pekat, karena sang Dewi Malam bersinar penuh, membiaskan cahayanya yang keemasan. Biasanya saat-saat seperti ini bocah-bocah lebih suka main di luar rumah. Mereka bermain dolanan anak-anak, atau ada yang bernyanyi-nyanyi. Semuanya untuk menyambut purnama malam ini.

Namun malam ini, bocah-bocah di Desa Wadas Malang kelihatan enggan untuk keluar rumah. Mereka seperti ikut berduka, atas kematian beberapa murid Padepokan Kuring Gemuning yang memang terletak di desa ini.

Kematian beberapa orang murid membuat seorang laki-laki tua berjubah kuning hanya duduk merenung di ruangan utama padepokan itu. Namun lamunan laki-laki berambut putih keperakan ini mendadak terpenggal oleh....

Wuttt...! Tap...!

“Heh?!” Laki-laki tua ini tersentak ketika sebilah pisau melesat dari belakangnya, dan menancap di tiang utama padepokan. Agaknya orang yang melemparkannya memiliki tenaga dalam tinggi, karena mampu melewati batas halaman padepokan yang cukup luas. Sebab kalau dilemparkan dari halaman, pasti beberapa murid akan memergokinya.

“Hmm!” Laki-laki tua itu bergumam pendek. Ditunggunya serangan berikut dengan waspada. Pendengarannya dipertajam. Tapi tidak terdengar tanda-tanda akan adanya serangan berikut. Perlahan dia bangkit menghampiri pisau yang tertancap, lalu mencabutnya.

“Siapa yang mau main-main dengan Taji Bhirawa?” desah laki-laki tua berjubah kuning pendek ketika melihat pada batang pisau kecil terdapat selembar kulit kambing tipis yang diikat rapi. Buru-buru laki-laki tua yang mengaku bernama Taji Bhirawa membuka lembaran kulit. Di dalamnya tertera beberapa kalimat yang membuat mukanya merah menahan geram....

Ayam tua sakit! Temui aku di perempatan jalan di dekat padepokanmu. Di sana telah kusediakan lubang untukmu!

“Kurang ajar! Siapa orang ini? Dia tidak menyebutkan jati dirinya!” dengus laki-laki tua berjubah kuning ini gusar.

Ki Taji Bhirawa termangu sesaat sebelum meletakkan surat itu di atas meja. Kemudian kakinya melangkah pelan meraih sepasang pedang pendek yang batangnya melengkung. Sepasang senjata yang tadi tergantung di dinding, kini berpindah ke punggungnya. Lalu dengan langkah mantap dia bergegas keluar.

“Mau ke mana, Kang?”

“Heh?!” Ki Taji Bhirawa hampir saja terjingkat, ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang. Langsung dia menoleh seraya menghentikan langkahnya. Ternyata di belakangnya berdiri seorang wanita cukup tua dengan sinar mata lesu.

“Aku pergi sebentar..., Nyai.”

“Dengan membawa senjata?” tanya wanita itu.

Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu terdiam. Dipandanginya wanita itu sejurus lamanya.

“Aku khawatir, Kang...,” desah wanita yang memang istri Ki Taji Bhirawa.

“Tidak akan terjadi apa-apa denganku, Nyai. Percayalah!”

“Tapi firasatku begitu kuat?!”

“Jangan percaya firasat itu!” tukas Ki Taji Bhirawa.

“Tapi, Kang....”

“Berdoalah,” potong Ki Taji Bhirawa. “Aku akan kembali dengan selamat!”

“Kakang hendak bertarung melawan seseorang?” cecar perempuan tua ini. Ki Taji Bhirawa tak menjawab. “Di mana, Kang?” desak perempuan tua ini.

“Aku tidak bisa mengatakannya padamu, Nyai,” sahut laki-laki tua berjubah kuning.

“Kenapa tidak membawa beberapa orang murid?”

“Jangan mengajariku menjadi pengecut, Nyai!”

“Tapi, Kang....”

“Sudahlah! Jangan bebani langkahku dengan segala keraguanmu. Aku pergi dulu! Doakan aku selamat.”

Dan laki-laki yang memang Ketua Padepokan Kuring Gemuning melangkah lebar. Di bawah pintu depan rumah, beberapa pemuda berpakaian ketat berwarna kuning berdiri dengan kepala tertunduk. Dia berhenti sebentar memandangi mereka.

“Jaga tempat ini baik-baik!” ujar Ki Taji Bhirawa.

“Guru...!” Salah seorang memberanikan diri buka suara, tapi orang tua itu telah mengangkat sebelah tangan sebagai isyarat. Sehingga, murid itu tidak berani melanjutkan kalimatnya.

“Jangan bicara apa pun. Dan, jangan mengikutiku. Ini urusanku! Kalian mengerti?” Para pemuda murid Ki Taji Bhirawa tidak menyahut. Mereka tetap berdiri dengan kepala tertunduk.

“Hmm!” Orang tua itu melangkah lebar setelah menggumam pendek. Tak dipedulikan beberapa orang yang memanggilnya. “Hup!” Secepat kilat Ki Taji Bhirawa mencelat ke samping, mengerahkan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat. Tempat itu bukan arah yang dituju untuk sampai di tempat yang dimaksud penantangnya, dalam surat tadi. Tapi hal itu dilakukan untuk mengecoh para muridnya, jika mereka berkeras untuk mengikuti dari belakang.

Setelah berputar-putar agak lama, Ketua Padepokan Kuring Gemuning mencelat ke tempat yang dimaksud. Sebuah tempat yang tidak begitu luas dan banyak ditumbuhi pohon bambu. Matanya langsung mengawasi beberapa saat dengan sorot tajam. Tapi yang ditunggu belum juga kelihatan.

“Selamat datang, Taji Bhirawa...!”

“Hmm...!” Ketua Padepokan Kuring Gemuning menoleh ke kanan.

Pada jarak sekitar lima belas langkah telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berambut sepundak. Kelihatannya biasa saja. Bahkan tanpa senjata, sebagaimana layaknya tokoh-tokoh persilatan. Tapi lebih daripada itu, Ki Taji Bhirawa sama sekali belum pernah mengenalnya.

“Kaukah yang mengirim surat tantangan itu padaku, Anak Muda?” tanya Ki Taji Bhirawa.

“Apakah kau berharap orang lain?” tukas pemuda itu.

“Siapa kau?”

“Aku Kuntadewa!”

“Hmm...! Aku tidak kenal denganmu. Lantas, bagaimana kau bisa menantangku? Apakah ketenaran yang kau inginkan dengan menantangku dan berusaha mengalahkanku?” sindir Ki Taji Bhirawa.

“Aku datang dengan dendam yang hanya bisa terbalas oleh kematianmu!” desis pemuda yang ternyata Kuntadewa.

“Hmm! Dendam? Bahkan kita belum bertemu sebelum ini. Bagaimana mungkin kau mendendam padaku?”

“Nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang, bersiaplah menerima kematian.”

“Heh?!” Ki Taji Bhirawa tercekat. Dan tanpa sadar kakinya mundur dua langkah ke belakang melihat apa yang dilakukan Kuntadewa.

Pemuda itu menggeram. Kedua tangan dan kakinya membentuk cakar. Wajahnya yang semula tampan mendadak berubah menggiriskan. Bahkan tampak perubahan lain yang dialami. Sekujur tubuhnya pelan-pelan ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna belang hitam. Dan kuku-kuku jari tangan serta kaki tumbuh panjang dan runcing. Kalau boleh disebut, jelas Kuntadewa berubah bagai seekor harimau.... Harimau jadi-jadian!

“Graungrrr...!”

“Kau..., kau..., apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa?!” Bola mata Ki Taji Bhirawa melotot lebar dan mukanya pucat pasi.

Wut!

Bukannya menjawab, justru Kuntadewa meluruk melepaskan serangan dahsyat berbau kematian. Kedua tangan harimau jejadian ini terpentang membentuk cakar. Laki-laki tua itu berusaha mencelat ke samping dengan jungkir balik beberapa kali. Sambil bergerak demikian langsung sepasang pedangnya dicabut. Dan dengan senjata di tangan, dibalasnya serangan.

Wut! Bet!

Sabetan pedang Ki Taji Bhirawa berkelebat gencar, memapas pinggang dan batok kepala Kuntadewa. Pemuda yang berubah menjadi harimau jejadian ini tahu-tahu menghilang dari sabetan senjatanya. Dan sebagai balasannya, justru punggung laki-laki tua itu yang kena cakar.

Bret!

“Aaakh...!” Ki Taji Bhirawa mengeluh tertahan. Tubuhnya terus mencelat mundur untuk menghindar segala kemungkinan buruk lainnya.

“Graungrrr...!” Harimau jejadian itu menggeram. Dan kembali tubuhnya melesat, menerkam dengan buas.

Tring! Wuut...!

Ki Taji Bhirawa mengadukan pedangnya, hingga menimbulkan percikan bunga api. Dan laki-laki tua ini langsung berkelebat secepat kilat, membuat gerakan aneh. Beberapa kali dilakukannya gerakan membabat dan menyilang. Sehingga bukan saja tubuhnya yang terkurung ayunan pedang, namun dirinya sendiri laksana sebuah bola berisi tajam yang siap mengiris-ngiris Kuntadewa menjadi potongan-potongan kecil.

“Ayo mendekat, Keparat! Kau rasakan jurus ‘Pedang Mengitari Bumi’ ini...!” teriak Ki Taji Bhirawa geram.

“Ngrr...!” Harimau jejadian itu tak menyahut. Sepasang matanya menatap tajam dan berkilauan seperti hendak menelan Ki Taji Bhirawa saat itu juga.

Tapi Ketua Padepokan Kuring Gemuning tak peduli. Seketika itu juga dia melompat menyerang.

Wut! Wuk!

Pedang laki-laki tua itu menyambar ke seluruh tubuh Kuntadewa. Namun harimau jejadian ini menjatuhkan diri. Sebelah kakinya tiba-tiba memapaki sabetan pedang.

Tak!

“Heh?!” Betapa terkejutnya Ki Taji Bhirawa, karena sebuah pedangnya patah dihantam kuku kaki harimau jejadian itu. “Gila! Ilmu apa yang digunakan bocah ini? Apakah dia kesurupan roh Ki Bagus Perkasa?!” desis Ki Taji Bhirawa kaget. Belum habis rasa terkejut laki-laki tua itu, Kuntadewa telah melesat menerkam dengan cakarnya yang tajam. Begitu cepat gerakan harimau jejadian itu, sehingga....

“Graungrrr...!”

Bret!

“Aaarkh...!” Ki Taji Bhirawa menjerit kesakitan tatkala kedua cakar harimau jejadian itu menyambar dadanya. Kendati demikian, dia berusaha menghindar dengan melompat ke atas. Tapi Kuntadewa terus memburunya dengan lompatan ke atas pula. Dan....

Brettt!

“Aaakh...!” Kembali Ki Taji Bhirawa terpekik ketika perutnya jadi sasaran cakar Kuntadewa. Padahal saat itu pedang laki-laki ini telah bergerak membabat punggung. Ki Taji Bhirawa tidak sempat terkejut saat pedangnya sama sekali tak mampu melukai harimau jejadian itu. Bahkan sepertinya mata pedang itu membentur batu cadas. Ketua Padepokan Kuring Gemuning itu terhuyung-huyung ke belakang dengan sebelah tangan mendekap perut.

“Graungrr...!” Namun Kuntadewa tak memberi kesempatan sedikit pun. Dia terus menerkam.

“Hiaaa...!” Meski dengan sisa tenaga yang terakhir, Ki Taji Bhirawa coba menebas leher.

Namun dengan mudah Kuntadewa mengelak. Bahkan sambil berputar, kakinya yang berbulu tajam pula menyambar dahsyat menuju ke atas.

Bret!

“Aaakh!” Ki Taji Bhirawa kontan memekik tertahan. Lehernya langsung robek lebar disambar kaki kiri harimau jejadian ini. Dan bersamaan dengan itu, Kuntadewa telah berbalik. Tubuhnya kembali menerkam dengan cakar mengibas. Lalu....

Brettt!

Kibasan cakar Kuntadewa membuat tubuh Ki Taji Bhirawa ambruk dengan dada terkoyak lebar. Tak ada teriakan lagi, karena nyawa orang tua itu terbang sejak tadi. Kuntadewa berdiri seraya mengawasi dengan sorot mata tajam. Sikapnya masih terus siaga. Sepertinya, dia tak yakin kalau laki-laki tua itu sudah mampus.

“Guruuu...!”

“Grrr...!” Kuntadewa kembali menggereng, ketika terdengar jeritan panjang dari berbagai arah.

Beberapa sosok tubuh tampak langsung menghambur menghampiri mayat Ki Taji Bhirawa, disusul yang lainnya. Tapi, lima orang dari mereka langsung mencabut senjata dan menyerang Kuntadewa dengan ganas.

“Iblis terkutuk! Kau harus bayar kematian Guru kami dengan nyawa busukmu!”

“Yeaaat!” “Haaat...!”

Melihat sikap orang-orang itu, Kuntadewa tidak tinggal diam. Sebelum mereka sampai padanya, harimau jejadian ini lebih dulu menerkam.

“Graungrrr...!”

Brebet...!

“Aaa...!” Sepasang tangan dan kaki Kuntadewa yang membentuk cakar langsung mendapatkan korban lagi. Dua pedang para pengeroyok patah. Dan dada mereka diterkam cakar tangan Kuntadewa. Saat Kuntadewa berbalik maka dua pengeroyok lain mendapat bagian cakar kakinya. Saat itu juga perut mereka jebol.

“Heh?!” Orang-orang yang ternyata murid-murid Ki Taji Bhirawa terkejut melihat keadaan ini. Kesedihan mereka karena kematian gurunya, seketika tersentak. Bahkan berubah menjadi dendam membara.

“Bunuh harimau jejadian ini...!” teriak seseorang.

Sring!

“Yeaaat...!”

“Graungrr...!” Kuntadewa tidak tinggal diam. Tubuhnya kembali meluruk langsung balas menyerang dengan ganas.

Bret!

“Aarkh...!” Cakar Kuntadewa kembali menyambar secepat kilat, merobek dada serta menjebol perut.

Bahkan tidak jarang cakar-cakar yang sekuat baja itu mematahkan leher-leher mereka. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Sebagian besar murid-murid Ki Taji Bhirawa kontan binasa. Beberapa orang yang selamat dengan mengalami luka-luka akibat cakaran harimau jejadian ini, berusaha menyelamatkan diri.

“Kakang. Tinggal kita bertiga. Apakah kita akan lari juga?” tanya salah seorang murid yang tersisa.

“Tidak, Logawa! Meskipun mati, aku rela demi membalas kehormatan Guru!” sahut laki-laki bertubuh besar yang memang Lembu Abang.

“Aku pun begitu! Bagaimana denganmu, Lanang?” tandas pemuda yang dipanggil Logawa.

“Aku bersedia mati demi membalas dendam Guru!” sahut pemuda yang dipanggil Lanang garang.

“Kita harus hati-hati! Jahanam ini hebat dan amat buas!” ujar Logawa.

“Biar kuserang dia dari depan. Kalian menyerangnya dari samping kiri dan kanan,” kata Lembu Abang, orang tertua di antara mereka.

“Baiklah...!” sahut kedua adik seperguruannya, serentak.

Mereka mengambil tempat masing-masing yang telah disepakati untuk menyerang. Sementara Kuntadewa mengawasi dengan sorot mata buas, siap menerkam lawan-lawannya. Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak sesosok tubuh berkelebat cepat ke tempat itu.

“Wualah! Ada apa ini? Kenapa pada tidur-tiduran di sini?” tanya sosok yang baru datang dan berhenti pada jarak lima tombak di depan Kuntadewa, mulutnya mendecah dengan kepala menggeleng-geleng.

Lembu Abang dan kedua kawannya mengernyitkan dahi memperhatikan sosok yang baru datang. Sepertinya mereka pernah bertemu dengan sosok itu.

“Hm.... Dia Pemabuk Dari Gunung Kidul...!” gumam Lembu Abang, tersenyum lega.

Lembu Abang memang pernah bertemu dengan sosok yang tak lain Ki Demong. Pemuda ini dulu pernah menuduh kalau laki-laki tua pemabukan itu yang pernah membunuh beberapa murid Padepokan Kuring Gemuning. Namun, setelah mendapat penjelasan Rangga, Lembu Abang jadi malu sendiri karena telah salah menuduh. Pemabuk Dari Gunung Kidul memandang Kuntadewa dengan menyipitkan mata, lalu terkekeh-kekeh.

“Jadi kucing besar inikah yang membunuh kawan-kawanmu dulu? He he he...! Kukira iblis itu mengerikan. Tapi ternyata malah membuatku geli,” oceh Ki Demong, sambil melirik Lembu Abang.

“Grrr...!” Kuntadewa menggeram dan menyeringai lebar. Hingga dua pasang taring di sudut bibirnya terlihat. Besar dan tajam. Seperti harimau buas yang sekali terkam mampu mengoyak-ngoyak mangsanya.

“Kucing besar budukan! Ke sinilah kau! Mengeonglah beberapa kali, nanti akan kucarikan ikan asin! He he he...!”

“Graungrrr...!” Kuntadewa menggeram buas membuat ketiga pemuda di dekatnya bergetar. Secepat kilat tubuhnya melesat menerkam orang tua membawa guci itu.

“Eee...! Uts! Dasar kucing kurap tidak tahu diri! Minta digebuk rupanya!” seru Ki Demong kaget sambil mencelat ke samping.

Kuntadewa tidak mau melepaskannya. Sekali serangannya luput, maka tubuhnya cepat berbalik. Seketika kembali diserangnya lebih ganas.

Glek! Glek!

Sambil melompat ke belakang, Pemabuk Dari Gunung Kidul menenggak tuak dalam gucinya yang sekaligus menjadi senjata anehnya. Dan seketika guci itu dihantamkan ke depan menyambut terkaman Kuntadewa.

Plak!

“Heh?!” Namun Ki Demong sempat dibuat kaget merasakan guncangan hebat ketika gucinya membentur cakar Kuntadewa. Dan dalam keadaan begitu, nyaris mukanya disambar kuku kaki harimau jejadian ini kalau saja tidak menjatuhkan diri. Sambil bergulingan di tanah, Ki Demong menyemburkan tuak merahnya.

“Fruhhh...!” Cairan tuak itu agaknya bukan sembarangan. Sebab ketika keluar dari mulutnya, disertai nyala api yang menyambar Kuntadewa dengan cepat.

“Graungrrr...!” Harimau jejadian itu terkejut. Dia meraung keras sambil melompat ke samping. Kesempatan itu digunakan Ki Demong untuk cepat bangkit berjumpalitan. Seketika dikejarnya Kuntadewa dengan guci tuaknya menghantam dada.

Tak! Tak!

Dua kali Ki Demong menyerang, namun dapat ditangkis harimau jejadian itu dengan sengit. Namun sambil memutar tubuhnya, Ki Demong melepas tendangan kaki kanan menyodok ke perut, yang tak sempat dielakkan Kuntadewa.

Duk!

Hebat! Sedikit pun Kuntadewa tak bergeming. Bahkan tiba-tiba tubuhnya mencelat menerkam dengan cakarnya. Ki Demong terkesiap. Dia berusaha menjatuhkan diri ke samping. Tapi terlambat. Dan....

Bret!

“Akh!” Tahu-tahu saja lengan kanan Pemabuk Dari Gunung Kidul tersayat oleh cakar Kuntadewa. Kalau saja tadi tidak menjatuhkan diri ke bawah, niscaya cakar kaki Kuntadewa akan menyusul untuk membobol perutnya. Kendati demikian, luka di lengan kanannya cukup dalam, membuat darah leluasa keluar.

TUJUH

Setelah bergulingan beberapa kali Pemabuk Dari Gunung Kidul mencelat ke belakang sambil menenggak tuak.

“Glek...! Glek...!”

Sementara, Kuntadewa terus meluruk menerkam. “Grrr...!”

“Fruhhh...!” Begitu serangan harimau jejadian itu dekat, tuak di mulut Ki Demong menyembur cepat. Namun Kuntadewa kembali berkelit ke samping. Tubuhnya lantas berputar, dan langsung membuat lompatan panjang menerkam.

“Hup!” Pemabuk Dari Gunung Kidul cepat melayang ke atas menghindar terkaman. Dan tiba-tiba tubuhnya membuat putaran seraya melepas hantaman ke batok kepala Kuntadewa.

Tak!

Pukulan Ki Demong bukan main-main, melainkan disertai tenaga dalam kuat. Tapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakannya. Bahkan ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul mendarat di tanah, secepat kilat harimau jejadian itu berbalik dan menyerang kembali.

“Uts! Eh, astaga...!”

Kembali Ki Demong mencelat ke atas menghindari terkaman. Dutt! Tapi bersamaan dengan itu wajah Ki Demong berkerut kaget karena sesuatu yang ‘istimewa’ mendesak keluar dari lubang bawah, tepat menyembur kepala Kuntadewa. Tapi dasar pemuda itu telah kehilangan sifat manusianya, maka hal ini tidak terlalu mengganggunya. Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul mendarat di tanah....

“Hei, Pemabuk Edan! Ke mana kau bersembunyi? Kau berhutang beberapa bait syair padaku. Kau harus melunasinya! Walau sembunyi ke liang kubur akan kutemukan kau!” Terdengar seruan memanggil-manggil. Dan Ki Demong tahu siapa yang memanggil. Seketika kepalanya menoleh, lalu seenaknya meninggalkan pertarungan, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

“Nenek sihir, aku di sini sedang bermain-main,” sambut Ki Demong.

“Kurang ajar! Lagi-lagi kau menyebutku nenek sihir!”

Sementara Kuntadewa hanya terlongong bengong, heran melihat kelakuan Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Oh, maaf! Maaf, Sayangku. Aku betul-betul tidak sengaja. Sebenarnya aku ingin memanggilmu Nenek Cantik,” ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Huh! Kau masih lancang! Siapa bilang aku sudah jadi nenek?!” sahut wanita setengah baya berwajah cantik yang tak lain Dukun Gila Berambut Pirang.

“Apa? Aku menyebutmu nenek? Kau pasti salah dengar!” bantah Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul. “Padahal aku menyebutmu Bidadari Cantik.”

“Sungguh?!” kata Dukun Gila Berambut Pirang, minta penegasan. Senyumnya terkembang. Dan wajahnya tersipu-sipu mendengar pujian itu.

“Buat apa aku bohong? Coba tanyakan saja pada kawanmu itu! Kudengar beberapa tahun lalu, kau sempat putus hubungan dengannya.”

“Kucing kurap ini? Dasar tidak tahu diri! Padahal telah kukirim dia pelesir ke neraka!” gerutu Dukun Gila Berambut Pirang.

“Agaknya, dia tidak betah di sana. Dan kelihatannya, ingin mengajak kita juga. Huh! Dengan adanya dia, kau pasti akan berbagi cinta. Padahal sesungguhnya aku ingin memilikimu seorang diri,” ujar Ki Demong, merajuk.

“Jangan khawatir, Sayangku. Kasih sayangku hanya untukmu seorang.”

“Kalau begitu, kenapa tidak kau tendang lagi dia ke neraka?” tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Kalau itu maumu, baiklah,” sambut Dukun Gila Berambut Pirang. Dan.... Secepat kilat wanita itu mencelat menyerang Kuntadewa yang masih berdiri memperhatikan.

“Graungrr...!” Melihat adanya serangan, pemuda itu cepat menangkis.

Plak!

Namun wanita itu melanjutkan serangan lewat tendangan keras ke ulu. Harimau jejadian ini menggeram marah. Sedangkan kaki si Dukun Gila Berambut Pirang seperti menendang batu cadas. Meski begitu tidak kelihatan kalau dia kaget. Bahkan ketika Kuntadewa menerkam, secepatnya tubuhnya mencelat ke atas membuat gerakan salto beberapa kali.

“Yeaaat...!” Begitu menjejakkan kaki, justru Ki Demong telah lebih dulu menyerang Kuntadewa. Sementara, wanita itu menyusul kemudian.

Plak!

Hantaman guci Ki Demong ditangkis kedua cakar Kuntadewa. Pada saat itu Dukun Gila Berambut Pirang mencuri kesempatan. Melalui pinggang Ki Demong, kedua kakinya menyodok ke dada dan perut harimau jejadian itu. Sedangkan kedua tangannya berpegangan di pundak Ki Demong.

Duk! Duk!

“Graungrr!” Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil menggeram marah.

“Hiyaaat!” Dukun Gila Berambut Pirang segera mencelat menyerang.

Plak! Plak!

“Yeaaa...!”

Mereka sempat beradu tangan beberapa kali, sebelum Ki Demong melompat. Gucinya langsung disodokkan ke perut Kuntadewa. Sedangkan Dukun Gila Berambut Pirang melompat sedikit ke atas, memberi keleluasaan Ki Demong untuk mendaratkan senjatanya lewat selangkangan wanita setengah baya itu.

Begkh!

“Aaakh...!” Hasilnya memang luar biasa. Harimau jejadian itu menjerit kesakitan dan terjungkal beberapa langkah. Tapi secepat itu pula dia kembali bangkit. Hanya saja kali ini tidak langsung menyerang, melainkan kabur secepatnya dari tempat itu.

“Kurang ajar! Mau lari ke mana kau, Kucing Buduk!” teriak Dukun Gila Berambut Pirang seraya lompat mengejar.

“Eee, aku juga ikut denganmu, Sayang...!” seru Ki Demong, mengikuti dari belakang.

********************

Rangga dan Ratmi memacu kuda secepat-cepatnya. Meski terkadang Dewa Bayu yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali meninggalkannya jauh di belakang, namun Ratmi berusaha menggebah kudanya sekencang-kencangnya. Sampai-sampai kuda itu dipaksa berlari melebihi batas kemampuannya.

“Kakang! Kudaku tak tahan lagi! Mungkin sebentar lagi dia akan ambruk kalau terus begini!”

Rangga menarik tali kekang, sehingga Dewa Bayu berhenti mendadak. Seketika Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang. “Istirahatkan dulu kudamu. Setelah itu, kita lanjutkan lagi perjalanan...,” ujar Rangga.

“Kenapa sih, mesti terburu-buru seperti dikejar setan?” tanya gadis itu menggerutu sambil menggiring kudanya ke sebuah danau kecil yang tidak jauh dari tempat mereka berhenti.

“Aku tidak tahan lagi, Ratmi. Sepanjang perjalanan, kita lihat mayat-mayat terkoyak dalam keadaan mengerikan. Sampai kapan ini akan berakhir?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Huh! Terlalu memikirkan orang lain. Bahkan tidak sempat memikirkan dirimu sendiri!” cibir Ratmi sambil bersandar di bawah pohon.

“Aku tidak lupa pada diriku...,” kilah Rangga.

“Buktinya kau tak punya rumah. Tak punya..., istri yang mengurus segala keperluanmu!”

Rangga tersenyum. “Aku punya rumah.”

“Di mana? Kulihat selama ini kau tak pernah pulang.”

“Kau juga tidak.”

“Aku? Hmm... Itu karena aku selalu tidak pernah akur dengan ayahku. Tapi jelas aku punya tempat untuk pulang. Kalau kau? Mau ke mana kalau suatu saat ingin beristirahat panjang?"

“Aku bisa ke mana saja.”

“Tak ada yang mengurus, kasihaaan...!” ejek Ratmi.

“Eh, siapa bilang!”

“Paling-paling mengurus diri sendiri. Maksudku..., seorang istri.”

“Itu gampang. Meski tak punya istri, tapi ada seseorang yang mengurusiku.”

“Siapa?” tanya Ratmi pura-pura acuh. Padahal telinganya dibuka lebar-lebar. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dua kali.

“Kekasihku tentu saja,” sahut Rangga, kalem.

“Siapa kekasihmu itu?” kejar Ratmi dengan jantung berdetak semakin cepat.

Rangga hanya tertawa sambil merebahkan tubuhnya di atas rumput tebal.

“Huh! Kau hanya membual!” dengus Ratmi.

“Kenapa kau begitu tertarik mengetahui kekasihku?” tanya Rangga.

“Huh! Siapa yang tertarik?!” dengus Ratmi sambil melengos.

Rangga tersenyum-senyum. “Orangnya galak, tapi cantik. Periang dan..., memiliki kepandaian cukup hebat...,” jelas Rangga seperti bergumam.

Ratmi melirik kesal. Mukanya dipasang supaya kelihatan sinis. Padahal dalam hatinya mulai berbunga-bunga. Apa yang dikatakan pemuda itu bukankah..., bukankah dirinya? Dia mewakili watak yang disebutkan Rangga. Juga ciri-cirinya!

“Jadi sebenarnya Kakang Rangga telah menganggapku kekasihnya sejak dulu?” gumam gadis ini di hati. Dan Ratmi jadi melambung mengejar khayalannya. Sesekali diliriknya Rangga. Lalu bibirnya tersenyum-senyum sendiri membayangkan hal-hal indah yang hanya dilakukan berdua dengan pemuda itu.

“Naahh..., ketahuan bengong!” usik Pendekar Rajawali Sakti.

“Ohh!” Ratmi tersentak kaget ketika tiba-tiba saja pemuda itu berteriak di dekatnya.

“Brengsek! Kuhajar kau...!” teriak gadis itu kalap melihat Rangga tertawa girang.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti telah melompat ke sebatang pohon dan memanjatnya cepat. Ratmi tidak mau kalah. Dikeluarkannya ketapel. Dan setelah memungut beberapa buah kerikil, dibidiknya pemuda itu.

Siuuut! Tak. Pletak!

Kalau saja Rangga tidak bersembunyi di balik batang pohon yang dipeluknya, mungkin saja kepalanya akan jadi sasaran ketapel.

“Gila! Apa kau kira aku burung?!” teriak Rangga.

“Aku jarang mengetapel burung!”

“Lalu, siapa yang sering kau ketapel?”

“Monyet!”

“Sialan! Jadi kau samakan aku dengan monyet?!”

Gadis itu terkikik, tapi tidak menghentikan serangannya. Sehingga, terpaksa Rangga berpindah ke cabang pohon yang lebih rimbun dan terhalang pandangan. Tapi Ratmi tidak mau kalah. Dikumpulkannya kerikil sebanyak-banyaknya kemudian melompat mengejar pemuda itu lewat cabang pohon terdekat.

“Brengsek!” keluh Rangga.

“Kau kira bisa kabur seenaknya, he?! Kau harus merasakan pembalasanku!” dengus Ratmi.

“Dasar perempuan galak!” ledek Pendekar Rajawali Sakti.

“Biar!”

“Mana ada laki-laki yang suka pada perempuan galak!”

“Biar!”

“Biar tidak laku sampai perawan tua?!”

“Brengsek! Kuhajar kau!”

Siut! Siuuutt!

Kerikil-kerikil yang melesat dari ketapel bertubi-tubi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja jarak mereka agak jauh, mungkin Rangga masih gampang menghindar. Tapi Rangga selalu memperpendek jarak, sehingga jarak kerikil pun semakin dekat saja. Tapi untung saja karena pada saat yang gawat bagi Rangga....

“Tolooong...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang tidak jauh dari tempat mereka. Ratmi seketika menghentikan tindakannya. Sedangkan Rangga telah lebih dulu mencelat ke sumber teriakan tadi.

Begitu melihat Rangga berkelebat, Ratmi pun mengikuti dengan gerakan tak kalah gesit. Rangga dan Ratmi tiba di suatu tempat yang agak lapang.

Beberapa orang laki-laki bertampang kasar dengan badan rata-rata kekar tengah meringkus seorang gadis cantik. Salah seorang memeluknya dari belakang. Seorang lagi berusaha menurunkan celana pangsi yang dikenakan gadis itu. Sementara dua orang lagi coba mempreteli pakaiannya. Tiga orang yang tersisa, tegak berdiri di hadapan gadis itu sambil terbahak-bahak.

“Kurang ajar! Lepaskan gadis itu?!” bentak Rangga dengan suara menggelegar. Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke arah mereka.

Tapi meski begitu, Ratmi lebih dulu bertindak. Ketapelnya dibidik ke arah para begundal yang hendak memperkosa gadis itu. Dan....

Siuut! Tak! Pletak!

“Adouuwww...!”

Batok kepala laki-laki yang tengah memeluk gadis itu kontan terhajar kerikil. Sedangkan kerikil yang satu lagi nyasar pada kawannya yang tengah melepaskan celana. Karuan saja keduanya menjerit kesakitan, dan terpaksa melepaskan cekalan. Sehingga, gadis itu mampu melepaskan diri setelah menyentak kedua laki-laki yang coba menangkapnya kembali.

“Kurang ajar! Berani bertingkah di hadapan Kawanan Begal Wanara?!” bentak salah seorang laki-laki kasar yang berwajah penuh brewok. Agaknya dia pemimpin kawanan itu.

“Hmm.... Jadi, kalian Kawanan Begal Wanara?” sahut Ratmi mencibir sinis.

“Sekarang kau baru tahu, bukan? Ayo, serahkan dirimu padaku, si Banaspati. Dan, jangan halangi perbuatan kami!” bentak laki-laki brewok yang mengaku bernama Banaspati, sombong.

“Jangan keburu girang, Bangsat! Kalau kalian mau tahu, justru aku penjagal wanara, monyet!” bentak Ratmi.

“Perempuan liar! Kau memaksaku untuk bertindak keras, he?! Baik! Akan kutunjukkan, siapa aku. Agar kau tidak sesumbar bicara!” Pemimpin Kawanan Begal Wanara ini memberi isyarat pada dua anak buahnya untuk meringkus gadis itu.

“Bagus! Ayo sini cepat! Biar kupecahkan kepala kalian!” sambut Ratmi, tenang.

“Dan kau denganku!” tunjuk Rangga pada Banaspati.

“Huh! Bocah pentil! Kau pun perlu diberi pelajaran!” dengus Banaspati. Laki-laki bertampang kasar ini memberi isyarat pada tiga anak buahnya yang langsung melompat menyerang Rangga.

“Yeaaat!” Bersamaan dengan itu, Ratmi mendahului menyerang kedua lawannya. Ketapelnya siap menghajar.

“Yiaaat!”

Wut! Bet!

Dua bacokan golok dua orang laki-laki anak buah Banaspati menyambar ke leher dan pinggang gadis itu. Kelihatannya lemah dan tidak sungguh-sungguh. Mungkin sekadar menakut-nakuti saja. Perkiraan mereka, bila gadis itu lengah maka akan segera ditubruk. Tapi yang terjadi justru tidak seperti yang dibayangkan. Ratmi cepat berkelit ke samping. Tubuhnya terus mencelat melewati kepala dengan kepalan tangan menghantam batok kepala seorang laki-laki yang ada di kanan. Sedangkan kaki kirinya menyodok laki-laki yang ada di sebelah kiri.

Pletak! Duk!

“Aaakh...!” Kedua laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang.

Hal yang sama pun dialami ketiga lawan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi hati. Padahal, ketiga orang itu menyerang dengan ganas. Mereka sengaja hendak menghabisi Rangga dalam sekejap agar nanti tidak mengganggu niat mereka untuk meringkus kedua gadis itu. Tapi, ketika golok-golok mereka melayang menebas, Rangga telah berkelebat cepat dan hilang dari pandangan. Dan tahu-tahu, satu hantaman keras di tengkuk masing-masing membuat ketiganya ambruk tak sadarkan diri setelah melenguh pendek.

“Heh?!” Banaspati kaget melihat sepak terjang kedua anak muda itu. Dalam sekejap, lima anak buahnya rontok. Tanpa sadar kakinya mundur beberapa langkah ketika Rangga dan Ratmi menghampiri. Begitu pula seorang anak buahnya yang berada di sebelahnya.

“Kini giliranmu!” tunjuk Pendekar Rajawali Sakti dingin.

“Hiih!” Ratmi tidak banyak bicara lagi. Langsung ketapelnya dibidikkan.

Siuuut!

“Hup!” Banaspati dan anak buahnya yang tinggal seorang lagi berusaha menghindar. Tapi, Rangga langsung berkelebat, melepas pukulan keras.

Duk! Des!

“Aakh!” Keduanya terjungkal dihajar hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti disertai jerit kesakitan. Belum lagi Banaspati bangkit, sebelah kaki Rangga telah menjejak dadanya.

“Kalau kau mengulangi perbuatanmu, maka akan kupecahkan dadamu sekarang juga!”

“Oh! Ekh...! Ampun, Tuan. Ampuni aku...!” keluh Banaspati dengan muka pucat.

“Pergilah! Dan, cepat minggat dari hadapanku!” dengus Rangga seraya menyepak tubuh Banaspati.

Tanpa banyak bicara lagi, Banaspati kabur dari tempat itu, setelah memberi isyarat pada anak buahnya.

DELAPAN

“Kau tak apa-apa, Nisanak...?” tanya Pendekar Rajawali Sakti begitu menghampiri gadis yang hendak diperkosa.

“Tidak. Terima kasih,” ucap gadis itu.

“Sekarang, kau bisa melanjutkan perjalanan kembali.”

“Ya.”

“Sebenarnya ke mana tujuanmu?” tanya Ratmi.

“Aku ingin menjumpai kawanku di desa Jembring,” sahut gadis itu.

Mendengar nama tempat itu disebutkan, Ratmi teringat sesuatu. “Desa Jembring? Kebetulan sekali! Aku punya kawan di sana. Siapa nama kawanmu di sana?” tanya Ratmi.

“Ambar.”

“Astaga! Kalau begitu kita mempunyai kawan yang sama. Nama kawanku Ambar!” seru Ratmi dengan wajah ceria.

“Kau dari Padepokan Karang Gelam?” tanya Rangga.

“Ya. Dari mana Kisanak mengetahuinya?”

“Aku Ratmi dan ini Rangga. Siapa namamu?” tanya Ratmi menyela.

“Anjani...,” sebut gadis itu.

“Anjani?!” Rangga dan Ratmi saling pandang.

Wajah Ratmi yang tadi tersenyum-senyum, kini menunjukkan perubahan. Kelihatan kalau dia merasa kaget. Atau barangkali nama itu punya arti.

“Kenapa kalian kelihatan terkejut?” tanya gadis yang ternyata Anjani, bingung.

“Ini amat kebetulan! Karena kami memang hendak ke Padepokan Karang Gelam untuk mencarimu,” kata Rangga.

“Mencariku? Ada keperluan apa?”

“Eh! Ng....”

“Biar kujelaskan,” sambar Ratmi ketika Rangga sedikit bingung mengutarakan maksud mereka.

“Belakangan ini sering terjadi pembunuhan dengan cara mengerikan. Para korbannya terkoyak-koyak seperti diterkam binatang buas....”

“Ya. Guruku dan putranya serta beberapa saudara seperguruanku menjadi korbannya pula. Lalu, apa hubungannya denganku?” tukas Anjani.

“Tahukah kau kejadian beberapa tahun silam?” tanya Ratmi. Tapi ketika Ratmi melihat Anjani masih memandangnya dengan dahi berkerut, maka dia memutuskan untuk meneruskan keterangannya. “Belasan tahu lalu, ada seorang tokoh yang memiliki ilmu sesat. Ya..., kira-kira sejenis ilmu ‘Cindaku’ dari tanah Swarnadwipa atau tanah Andalas bagian barat. Ilmu itu adalah ilmu memuja harimau. Dan ilmu itu tidak dicarinya melainkan datang sendiri melalui warisan dari orangtuanya yang memuja harimau. Karena ilmu itu warisan, maka dia tidak bisa mengelak. Ilmu itu mengajarkan seseorang menjadi buas seperti harimau. Mempengaruhi watak, juga wujudnya seperti harimau. Maka tokoh itu merajalela ke mana-mana, menimbulkan korban cukup banyak. Tak lama kemudian dia mati dikeroyok beberapa tokoh persilatan. Namun agaknya, tokoh itu memiliki keturunan. Sehingga, ilmu itu menurun pada anaknya,” jelas Ratmi.

“Oh! Menyeramkan sekali! Siapa tokoh itu? Dan, siapa pula keturunannya?” tanya Anjani dengan tatapan curiga.

“Aku tahu, dari mana tokoh itu berasal. Karena, ayahku mengenalnya. Beliau salah seorang yang ikut membunuh tokoh itu. Bersama Kakang Rangga, kami ke sana. Ternyata, keturunan sang tokoh tidak ada di sana. Istrinya telah tiada. Demikian pula sanak saudaranya. Namun dari seorang tetangganya, kami tahu kalau keturunan tokoh itu dibawa ibunya ke Padepokan Karang Gelam, sebelum wanita itu wafat....”

“Katakanlah terus terang, Ratmi! Siapa orang yang kau maksudkan itu?!” desak Anjani.

“Tokoh itu bernama Ki Bagus Perkasa. Sedangkan keturunannya bernama Kuntadewa dan Anjani!”

“Ohhh...!” Anjani terkejut, tak kuasa menahan kepedihan di hatinya. Dengan kepala tertunduk gadis itu menangis sesenggukan.

“Jadi..., jadi selama ini yang melakukan perbuatan keji itu adalah....”

“Kalian berdua!” sambar Ratmi, langsung berubah garang.

“Tidak! Bukan aku!” bantah Anjani, garang. Gadis itu memandang Ratmi dengan sorot mata tajam. “Kau pembunuh ayahku! Kau keturunan pembunuh! Kalaupun aku memiliki ilmu itu, akan kubunuh kau dan ayahmu!” desis Anjani. Anjani bersiap menyerang. Namun Ratmi pun tidak kalah sigap. Dia pun bersiap pula meladeni serangan. Tapi sebelum hal itu dilakukan.

“Graungrr...!”

“Ratmi, awaaas...!” Sebuah raungan keras yang disertai berkelebatnya sosok bayangan kuning, membuat Rangga menoleh ke arah sumbernya. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat memperingatkan Ratmi.

Teriakan Rangga agaknya tak cukup ketika sosok bayangan itu menerkam Ratmi dengan gerakan gesit.

“Hup...!”

Bruk!

Terpaksa Rangga melompat, menubruk Ratmi. Sehingga, gadis itu luput dari terkaman. Dengan sigap Rangga bangkit. “Gila! Makhluk apa ini?!” desis Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat sosok yang menyerang Ratmi.

Sosok itu berwujud bagai manusia. Namun kepalanya berbentuk seperti harimau. Baris-baris giginya runcing dengan taring-taring tajam di sudut bibirnya. Matanya mencorong tajam bagai mata harimau. Bibirnya tipis, dengan kumis-kumis putih yang kaku tumbuh di sekitar bawah hidungnya. Sementara sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu berwarna dasar kuning dengan coreng-moreng hitam.

“Kakang Rangga, hati-hati! Kurasa inilah harimau jadi-jadian itu. Dia Kuntadewa, kakak gadis celaka ini! Kau mesti membunuhnya!” teriak Ratmi, memperingatkan.

“Kau yang mesti hati-hati!” dengus Anjani seraya menyerang Ratmi.

“Dasar manusia tak tahu berterima kasih. Mestinya tidak kami tolong kau!” rutuk Ratmi.

“Huh! Itu salahmu sendiri!”

Maka tak pelak lagi, kedua gadis itu terlibat pertarungan dengan kebencian masing-masing di dada. Sementara itu pertarungan antara Rangga dan harimau jadi-jadian yang tidak lain Kuntadewa, semakin seru saja.

“Graungrr...!”

Wut! Bet!

Kuntadewa yang saat itu berwujud setengah harimau dan setengah manusia menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas. Entah apa yang menyebabkannya demikian. Mungkin juga karena merasa adiknya terancam bahaya. Sebab, sesekali dia pun menyerang Ratmi yang saat itu tengah bertarung dengan Anjani. Sehingga terkadang Rangga jadi repot sendiri untuk melindungi Ratmi.

“Hmm! Orang ini benar-benar kerasukan iblis! Tubuhnya tak mempan pukulan dan tendanganku!” dengus Rangga, geram.

“Grrr...!”

“Hiih!” Ketika Kuntadewa kembali menerkam, Rangga bersiap memapaki dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat tertinggi. Tangannya yang berubah merah membara langsung dikebutkan.

Wuttt!

Namun, gesit sekali Kuntadewa mengelak. Bahkan begitu berbalik, dia menerkam kembali. Rangga cepat menyilangkan kedua tangan. Kemudian dihantamnya kedua pergelangan tangan harimau jejadian itu.

Plak! Plak!

Tak terduga, Kuntadewa berbalik. Seketika punggung telapak kaki kanannya menghantam pelipis Pendekar Rajawali Sakti.

Plakk!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti terpekik. Kepalanya terasa berdenyut keras, menerima hantaman berat. Meski begitu dia sempat menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil jarak. “Gila! Makhluk ini mempunyai kecepatan sangat mengagumkan!” keluh Pendekar Rajawali Sakti membatin.

Apa yang dikatakan Rangga memang tidak salah. Kuntadewa kini telah berbalik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya mencelat menerkam. Rangga yang merasa kalau makhluk itu tahan pukulan, tak mau ayal-ayalan lagi. Langsung tangan kanannya bergerak ke punggung. Lalu....

Sriing!

Sambil mencelat ke belakang menghindari terkaman, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan.

“Graungrr...!”

Tapi Kuntadewa yang raut wajahnya hampir mirip harimau, lengkap dengan kumis maupun taring serta bulu-bulu halus loreng-loreng, sama sekali tidak gentar melihat batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Malah dia terus melompat kembali, menyerang semakin ganas. Pendekar Rajawali Sakti yang telah bersiap, langsung mengebutkan pedangnya, hingga terdengar suara angin menderu tajam.

Wusss! Tak!

“Heh?!” Bukan main terkejut Rangga ketika pedangnya sama sekali tak mempan menebas pinggang harimau jadi-jadian itu. Pedangnya yang selama ini telah membinasakan ratusan musuh kini tak ada artinya di hadapan seekor harimau jadi-jadian? Dan keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus dibayar mahal, ketika cakar kiri harimau itu merobek dadanya.

Brettt!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap luka di dada. Darah mulai mengucur deras di dada. Namun sebelum pemuda itu bersiap kembali...

“Ha ha ha...! Ketemu batunya kau, Setan Rompi Putih! Kenapa dengan pedangmu? Apakah siluman yang ada di dalamnya telah minggat?!”

Mendadak terdengar suara menggoda, Rangga melirik. Tampak Ki Demong telah berada di tempat itu memperhatikan pertarungan, Di dekatnya, terlihat wanita setengah baya yang tak lain Dukun Gila Berambut Pirang yang telah tiba pula, setelah melakukan pengejaran terhadap Kuntadewa si manusia harimau jejadian saat meninggalkan pertarungan melawan Ki Demong dan Dukun Gila Berambut Pirang. Tapi Rangga tak sempat menyahut, karena Kuntadewa telah menyerang kembali.

“Graungrr...!”

Rangga melompat ke belakang sambil mengibaskan pedang. Kali ini dipergunakannya jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Dengan jurus itu, Rangga mampu menelusuri semua titik kelemahan lawan.

Tak! Tak!

Beberapa kali batang pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas tubuh Kuntadewa, namun tidak satu pun yang membuahkan hasil. Pedangnya seperti senjata mainan yang tak mampu melukai!

“Hm! Matanya! Aku yakin sepasang matanya adalah kelemahan iblis ini!” dengus Rangga.

Berpikir begitu, maka Pendekar Rajawali Sakti bersiap untuk mengincar bagian mata harimau jejadian ini. Tapi rasa sakit yang amat sangat di dada, membuat gerakan Pendekar Rajawali Sakti seperti tertahan. Tubuhnya terasa panas dibakar.

“Keparat! Lukaku tampaknya cukup parah!” desis Pendekar Rajawali Sakti geram. Meski meringis menahan rasa sakit, tapi Rangga tidak mau mengalah begitu saja. Cepat pedangnya dipindahkan ke tangan kiri.

“Graungrrr...!” Dengan raungan laksana seekor harimau kelaparan, Kuntadewa menerkam Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup...!” Dengan sisa tenaga Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil bergulung-gulung. Ujung pedangnya lurus mengancam sepasang mata Kuntadewa.

Kuntadewa terkesiap. Dia berusaha menghindar dengan mengegoskan kepala. Namun.

Tes!

“Aaargkh...!” Dan..., justru hal yang tak terduga terjadi! Kuntadewa menjerit kesakitan seperti digebuki orang sekampung. Lolongannya terdengar panjang dan memilukan, membuat yang berada di sekitar tempat itu terkejut. Demikian pula Anjani dan Ratmi.

“Kakang Kuntadewa...!” teriak Anjani ketika melihat pemuda itu menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan. Gadis itu berhenti, tidak jauh dari Kuntadewa. Hatinya gentar melihat pemandangan itu. Dari mulut dan hidung Kuntadewa mengucurkan darah. Begitu pula jubahnya. Terlihat luka-luka bekas sabetan senjata tajam.

Tapi Rangga tidak melihat sampai Kuntadewa diam tak berkutik. Pendekar Rajawali Sakti terduduk lesu. Pandangannya berkunang-kunang. Lalu...

“Aaakh...!” Rangga jatuh terduduk. Sambil meringis kesakitan, dia membuat sikap semadi.

“Kakang Rangga...!” teriak Ratmi cemas. Gadis itu buru-buru menghampiri. Namun seperti juga Anjani, dia agak gentar mendekati Rangga. Dalam keadaan begitu bisa saja Rangga menyerangnya.

Sementara itu Dukun Gila Berambut Pirang memandang sambil tersenyum-senyum sendiri. “Gila! Kawanmu itu betul-betul hebat. Dia telah memecahkan teka-teki ini dengan tepat!” seru wanita itu.

“Teka-teki apa? Yang jelas, Setan Rompi Putih itu tengah terluka dalam. Kau harus menolongnya!” ujar Ki Demong.

“Kenapa tidak dari dulu! Hi hi hi...! Kumisnya! Sederhana sekali!”

“Bicara apa kau?! Tolong dia dulu. Jangan biarkan pemuda itu tak berdaya!”

“Kenapa kau ini?! Tidakkah kau melihat? Bocah itu berusaha menusuk matanya. Tapi, yang kena malah kumisnya. Tapi itu membuat keberuntungan baginya, karena pada kumisnya itulah terletak kelemahan si Kucing Kurap. Hm, aku lupa. Siapa dulu yang menebas kumis si Bagus Perkasa...?”

“Sayang, tolonglah aku. Jangan pikirkan soal itu. Harap kau tolong dulu bocah itu...,” pinta Ki Demong sambil rangkapkan kedua tangan

“Hi hi hi...!” Dukun Gila Berambut Pirang masih terkikik kegirangan karena berhasil memecahkan teka-teki yang mungkin dipikirkannya saat ini.

“Huh! Kalau begitu percuma saja kehebatanmu sebagai dukun!” dengus Ki Demong, kesal.

“Apa katamu?!” semprot wanita itu dengan mata melotot lebar.

“Percuma kau bergelar dukun, kalau tak mampu mengobati orang!”

“Keparat! Aku bahkan bisa memindahkan kepalamu di kaki dan kakimu di kepala!”

“Tidak usah sehebat itu. Coba sembuhkan saja bocah itu!”

“Bocah siapa?”

“Ya, bocah berompi putih itu! Tunjukkan padaku, kalau kau benar-benar hebat. Sembuhkan dia!”

“Huh! Mudah!"

Dukun Gila Berambut Pirang menjentikkan tangan. Dan sekali melompat, dia tiba didekat Rangga yang masih bersemadi.

“Minggir!” ujar wanita aneh itu seraya menepis Ratmi yang berusaha menolong Pendekar Rajawali Sakti.

Gadis itu tidak marah karena dihalau oleh orang yang lebih ahli dalam bidang pengobatan ketimbang dirinya. Bersama dengan Ki Demong, gadis itu memperhatikan dibelakang Dukun Gila Berambut Pirang.

Keringat tampak mengucur deras dari seluruh pori-pori Rangga. Dan darah pada lukanya tiada henti menetes. Dukun Gila Berambut Pirang mengurut-ngurut beberapa bagian di sekitar luka Rangga. Lalu ditotoknya beberapa urat, sehingga darah tidak menetes lagi pada luka di bagian dada.

“Bagaimana?”

Tanpa banyak bicara, Dukun Gila Berambut Pirang menggendong Rangga.

“Eh? Mau kau apakan dia?!” tanya Ki Demong kaget.

“Dia terluka dalam. Aku harus membawanya ke suatu tempat,” jelas wanita aneh ini.

“Kalau begitu kami ikut!” kata Ki Demong.

“Tidak bisa!” bantah wanita itu.

“Tapi....”

“Sekali kukatakan tidak bisa, tetap tidak bisa!” hardik wanita itu.

“Ya, ya. Terserahmu saja! Yang penting dia sembuh,” ujar Ki Demong mengalah.

“Aku bisa membantumu merawat lukanya...,” kata Ratmi menawarkan diri. Tapi gadis itu mengkeret hatinya, melihat Dukun Gila Berambut Pirang melotot kearahnya.

“Siapa pun kau, dan apa pun hubungannya dengan bocah ini, tetap tidak bisa ikut!” bentak Dukun Gila Berambut Pirang. Dan tanpa mempedulikan tanggapan gadis itu, Dukun Gila Berambut Pirang secepatnya berkelebat dari tempat itu.

“Dasar dukun gila!” umpat Ratmi kesal.

Ki Demong terkekeh kecil dan melengos dari tempat itu.

“Hei, mau ke mana kau?!” tanya Ratmi.

“Mau ke mana pun aku pergi, bukan urusanmu, Bocah,” sahut Ki Demong enteng. Dan sebentar saja Pemabuk Dari Gunung Kidul telah kabur meninggalkan gadis itu seorang diri.

Ratmi kesal bukan main melihat keadaan itu. Apalagi ketika Anjani sudah tak terlihat lagi ditempat itu. Juga, Kuntadewa yang telah jadi mayat. Maka dengan langkah kesal, diikutinya arah yang dituju Dukun Gila Berambut Pirang. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya mulutnya memaki-maki untuk melampiaskan perasaan jengkel.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DENDAM BERKUBANG DARAH

Warisan Terkutuk

WARISAN TERKUTUK

SATU

DI LUAR hujan masih seperti tadi. Rintik-rintik. Sesekali diiringi desau angin kencang yang merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Senja baru saja berlalu. Dan malam mulai merayap pelan-pelan. Dalam keadaan begini orang-orang enggan keluar. Mereka lebih senang berlindung di balik selimut di atas pembaringan.

Sebuah pondok yang berdiri di pinggiran Desa Sabrang Lor tampak semakin kuyup oleh hunjaman titik-titik air. Atapnya yang dari rumbia menciptakan butir-butir air yang kemudian bergantian jatuh ke bumi. Di dalam pondok, suatu suara aneh membangkitkan gairah terdengar bagai tak peduli dengan keadaan di luar. Suara rintihan yang diselingi erangan nikmat, meningkahi suara desau angin. Bahkan sesekali terdengar desahan napas garang, bagai kuda tengah berpacu ke atas bukit.

“Aaahhh...!” Desahan bernada penuh kepuasan terdengar.

Entah, apa yang terjadi di dalam pondok. Bahkan seekor serangga yang kebetulan melihat enggan menceritakannya, karena malu. Rintik hujan di luar membuat suara-suara di dalam terdengar semakin samar. Dan ketika hujan mulai reda, suara-suara aneh itu pun terhenti pula. Hening sejenak.

“Kau tak menyesal, Ambar...?” Terdengar suara lirih, memecahkan keheningan. Suara yang menuntut penegasan atas jawaban yang akan diberikan.

“Tidak, Kakang Kuntadewa...,” sahut suara lain, mendayu-dayu. Suara seorang wanita.

“Kita akan kawin. Aku akan meminangmu tidak lama lagi!” lanjut suara yang agak berat, suara yang dipanggil Kuntadewa.

Sementara gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Dan sesaat, tidak ada jawaban yang diberikan selain tertunduk dengan wajah lesu.

“Kenapa, Ambar? Kau tidak suka bila aku meminangmu?” tanya Kuntadewa dengan kening berkerut.

“Bukan itu, Kang...!” sanggah Ambar, lesu.

“Lalu apa?” desak Kuntadewa.

“Ayah...!”

Kuntadewa yang masih berusia dua puluh empat tahun menarik napas. Kepalanya menengadah ke langit-langit pondok dengan wajah pilu. Kemudian kembali dipandangnya wajah gadis pujaannya.

“Ya. Ayahmu tidak merestui. Bahkan sangat membenciku. Dalam kebahagiaan tadi, aku sempat melupakannya.” Mereka berdua terdiam beberapa saat. “Sudahlah. Pakai bajumu dulu. Nanti kalau ada yang lihat, bisa gawat kita,” ujar Kuntadewa.

“Bagaimana kalau kita kawin lari saja, Kang?” usul Ambar sambil mengenakan pakaiannya.

Pemuda berwajah tampan ini tercekat. Kembali dipandangnya gadis itu dengan mata tak berkedip.

“Kenapa, Kang? Kau tidak setuju?” tanya Ambar, langsung menghentikan pekerjaan memakai bajunya.

“Kau bersungguh-sungguh, Ambar?!” tukas Kuntadewa.

“Aduh, Kakang Kuntadewa! Apakah Kakang masih meragukan cintaku padamu?”

“Tidak, Ambar. Sedikit pun tidak. Hanya saja..., aku ini memang tolol dan tidak terpikir ke arah itu.”

“Jadi Kakang setuju?”

Kuntadewa mengangguk, membuat wajah Ambar berseri. “Kalau begitu, buat apa lama-lama, Kang? Lebih baik sekarang saja!”

“Iya, iya!”

“Ayo, Kang!” ajak gadis itu seraya bangkit berdiri sambil cepat-cepat membenahi bajunya lagi dengan wajah kian berseri-seri.

Wajah Kuntadewa pun ikut berseri. Buru-buru pemuda itu bangkit sambil merapikan bajunya. Bergegas mereka keluar. Namun baru saja hendak membuka pintu, mendadak Kuntadewa ingat sesuatu. Dia terdiam di belakang pintu dengan wajah bimbang.

“Kenapa, Kang?” tanya Ambar, bingung.

“Anjani...,” gumam pemuda itu lirih.

Ambar terdiam mendengar nama itu. “Aku khawatir akan keselamatannya. Walung Turangga berusaha mencari kesempatan untuk memperdayainya...,” lanjut Kuntadewa.

“Hm, begini saja. Kakang pergi lebih dulu, sementara aku akan menyusul bersama Anjani. Bagaimana?” usul Ambar.

“Mana bisa begitu? Mestinya kau yang pergi dulu. Dan nanti, kami menyusul. Tunggulah di bawah pohon mangga yang ada di simpang jalan,” sergah Kuntadewa.

“Kakang! Kalau kau yang pergi bersama Anjani, maka yang lain akan curiga. Dan disangka kalian mau melarikan diri. Tapi kalau kami yang keluar, mereka tidak akan menyangka begitu. Aku bisa punya alasan. Misalnya, karena takut tidur sendiri. Maka, kuminta Anjani menemani. Nah, pergilah Kakang lebih dulu!” tegas Ambar.

Kuntadewa terdiam dan belum juga bergerak.

“Ayolah, Kakang! Apalagi yang dipikirkan? Percayakan keselamatan Anjani padaku! Bukankah ini demi kita juga? Ayo.... Jangan buang-buang waktu lagi!” desak Ambar.

“Baiklah....” Meski dengan perasaan berat, akhirnya Kuntadewa setuju juga.

Bersama-sama mereka melangkah keluar dari pondok. Namun baru melangkah sekitar lima tindak, mendadak beberapa sosok tubuh telah mengepung. Dari depan, samping kiri, kanan, serta dari belakang. Salah seorang menyalakan obor. Dan yang lain pun menyusul. Kini mereka tahu, siapa orang-orang itu.

“Walung Turangga...!” desis Kuntadewa kaget.

“Mau ke mana kalian? Mau coba-coba melarikan diri, he?!” dengus pemuda kekar berambut keriting yang pertama kali menghidupkan obor. Pemuda itu memakai rompi hitam dengan gagang golok terselip di pinggang Kumisnya tipis dan panjang, sehingga bergerak-gerak ketika berbicara. Dialah yang bernama Walung Turangga.

“Itu tidak benar...!”

“Tutup mulutmu, Kuntadewa!” Kuntadewa coba membela diri, tapi langsung dibentak oleh Walung Turangga. “Kau melakukan banyak kesalahan, Kuntadewa. Dan kesalahan yang terbesar adalah apa yang kau lakukan saat ini!” lanjut Walung Turangga.

“Kakang Walung Turangga! Apa-apaan kau ini?! Jangan seenaknya menyalahkan orang. Kau kira apa yang kami kerjakan di sini?!” tukas Ambar, sengit.

“Jangan dikira kami semua bodoh, he?! Apa yang terjadi di dalam pondok antara laki-laki dan perempuan pada saat gerimis seperti ini?! Kalian kira bisa mengelabui kami, he?! Tangkap mereka!”

“Hup! Yeaaa...!”

Ambar dan Kuntadewa mundur ke belakang, merapat ke pintu pondok. Untuk sesaat Kuntadewa jadi bingung. Kalau tidak melawan, mereka pasti akan meringkus dan mungkin menghajar atas perintah Walung Turangga. Tapi kalau melawan, berarti mesti berhadapan dengan saudara-saudara seperguruannya. Keadaannya terjepit. Kalau Guru tahu, dia akan lebih disalahkan. Apalagi, berani melawan mereka.

“Kakang! Kita harus melawan mereka!” bisik Ambar.

“Tapi....”

“Kau ingin mereka menangkap lalu menyiksamu lagi seperti yang sudah-sudah?!” potong Ambar.

“Tentu saja tidak.”

“Nah! Kalau begitu, lawan mereka!”

Kuntadewa tidak sempat menjawab karena beberapa orang telah coba meringkus Ambar. Tapi gadis itu melawan dengan sengit. Dan ketika beberapa orang lagi berniat meringkusnya, hati Kuntadewa tergerak. Dan secepat kilat tubuhnya berkelebat seraya menangkis dan balas menghajar.

Plak! Duk!

“Akh!” Seorang pengeroyok berhasil dijatuhkan. Dan itu membuat yang lain menjadi marah.

“Kurang ajar! Kau berani melawan, Kuntadewa?!” hardik Walung Turangga, geram.

“Terpaksa. Kalian hendak menangkap kami....”

“Kurang ajar! Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan meringkusmu!” dengus Walung Turangga.

Pemuda kekar berambut keritis itu segera melesat. Langsung dikirimkannya tendangan kilat ke arah Kuntadewa. Namun, Kuntadewa segera berusaha menangkis dengan mengibaskan tangan kanannya.

Plak!

“Ohh...!” Tubuh Kuntadewa bergetar. Dia merasakan kalau tenaga dalam Walung Turangga amat kuat. Cepat pemuda ini melompat ke belakang.

Namun, Walung Turangga terus mengejar seraya melepas tendangan, menyambar ke batok kepala. Kuntadewa merunduk. Namun Walung Turangga menggunakan serangan yang luput untuk berputar sambil melepaskan hantaman ke dada.

Buk!

“Aaakh!” Kuntadewa mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam pukulan telak. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan mulut meringis. Namun baru saja dia hendak bersiap lagi, beberapa orang telah meluruk maju dengan hantaman bertubi-tubi.

“Kau tak bisa ke mana-mana!”

Buk! Buk!

“Aaakh...!” Jerit kesakitan dari mulut Kuntadewa langsung memecah keheningan malam. Tubuhnya terhuyung ke sana kemari. Sekali terjajar ke satu arah, satu-dua pukulan atau tendangan mendarat di tubuh.

“Hentikan! Hentikan penyiksaan itu...! Hentikan...!” jerit Ambar, tak tahan melihat kekasihnya jadi bulan-bulanan. Gadis itu berusaha mencegah tindakan brutal itu. Tapi, beberapa tangan kokoh telah mencegahnya.

“Jangan ikut campur urusan ini!” hardik salah seorang.

“Kalian biadab! Terkutuk! Hentikan penyiksaan ini...!”

Tapi, siapa yang peduli dengan jeritan wanita itu? Malah tindakannya disambut gelak tawa serta keluh kesakitan yang diderita Kuntadewa. Kuntadewa terengah-engah ketika para pengeroyok melepaskannya. Wajahnya berlumuran darah. Dan dari mulutnya masih meleleh cairan darah segar. Isi dada dan perutnya seperti remuk menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi.

“Ohh...!”

“Kau rasakan bagaimana akibatnya bila berani mengganggu calon istriku!” desis Walung Turangga, dingin.

Tapi Kuntadewa tak lagi mampu menyahut, selain mengerang kesakitan. Walung Turangga kembali melepas tendangan ke pantat Kuntadewa.

Plak!

“Seret dia ke hutan! Biar kawanan serigala berpesta-pora dengan tubuh busuknya itu!” perintah Walung Turangga.

“Beres!”

Lima orang segera bergerak menyeret tubuh Kuntadewa. Dan sebentar saja mereka lenyap diiringi jerit tangis Ambar.

“Tidak! Tidaaak...! Kalian tidak boleh berbuat begitu! Kakang Kuntadewa...!”

“Pegang dia kuat-kuat!”

“Jangan khawatir, Walung! Dia tidak akan bisa lepas!” sahut seorang kawannya.

“Hmm!” Walung Turangga tersenyum seraya mendekati gadis itu. “Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Apalagi, kepada anak bedebah itu!” desisnya.

“Aku akan melaporkan semua ini pada ayahmu!” balas Ambar sengit.

“He he he...! Kau tidak akan melapor pada siapa-siapa!” sahut pemuda itu, yakin. Kemudian Walung Turangga menoleh ke arah kawan-kawannya.

“Bawa dia!”

“Beres!” Mereka langsung menyeret gadis itu ke satu arah, di pinggiran hutan.

“Walung keparat! Lepaskan! Lepaskaaan...!” teriak Ambar, berusaha meronta-ronta

“Ha ha ha...!”

Percuma saja Ambar berteriak-teriak, karena hanya membuat Walung Turangga semakin girang saja. Meski begitu, Ambar tak patah semangat. Dia berontak untuk melepaskan diri.

“Lebih baik kau tidak melawan, Ambar. Sia-sia saja. Kau tidak bisa lepas dariku!” Walung Turangga memperingatkan.

“Terkutuk kau, Walung! Kalau ayahku tahu, kau akan binasa meski sembunyi di lubang jarum sekalipun!” maki Ambar.

“Tapi sayangnya, ayahmu tidak akan tahu. Jadi, aku tak perlu bersembunyi,” sahut Walung Turangga, enteng.

“Setan!”

“Ha ha ha...!”

Mereka telah tiba di sebuah pondok lain yang agak jauh dari padepokan. Letaknya pun dekat dengan hutan. Ke dalam pondok itu Ambar dibawa masuk. Di dalam pondok terdapat sebuah dipan agak lebar yang pada masing-masing sudutnya terdapat tonggak besi setinggi satu jengkal.

“Ikat dia di situ!” perintah Walung Turangga.

“Jangan lupa bagian kami, Walung!” sahut seorang kawannya sambil cengar-cengir dan mengikat sebelah tangan gadis itu ke tonggak.

“Jangan khawatir. Kalian akan mendapat giliran. Tapi, aku dulu yang pertama!” sahut Walung Turangga santai saja.

“Dan aku dapat giliran terakhir?!” teriak seseorang yang bertubuh kecil dan kurus. Suaranya bernada tak senang, karena mendapat giliran terakhir. Memang, untuk segala urusan seperti ini dia selalu dapat giliran paling buncit. Dan kebanyakan tidak enak!

"Jadi maumu yang pertama? Menggantikan Walung, begitu?!” ejek yang lain.

“Yaah, paling tidak ketiga atau keempat....”

“Ha ha ha...!” Orang-orang itu hanya tertawa, membuat pemuda bertubuh kecil itu jadi kesal sendiri.

“Sudahlah! Jangan mimpi. Lebih baik berjaga-jaga di luar. Siapa tahu bertemu kuntilanak yang naksir padamu. Kau bisa menggarapnya pertama kali!” sahut salah seorang.

Pemuda bertubuh kecil itu mendongkol, tapi tak berani lagi buka mulut. Bersama yang lain dia keluar, setelah Walung Turangga memberi isyarat. Dalam ruangan kini tinggal Walung Turangga dan Ambar. Wajah gadis itu tampak pucat menyiratkan ketakutan. Namun sorot matanya beringas. Meski kedua tangan dan kakinya terikat di atas dipan tapi dia berusaha melepaskan diri. Walaupun..., sia-sia!

“Sekarang kau tahu, bukan? Tidak ada yang bisa kau perbuat lagi, selain meladeni keinginanku...,” kata pemuda itu disertai seringai lebar. Jakunnya pun turun naik. Seperti tak kuasa menahan liurnya.

“Apa maumu, Walung?”

“Kau tentu tahu nantinya!” sahut pemuda itu, enteng.

Diam-diam Ambar bergidik ngeri melihat seringai Walung Turangga yang seperti harimau kelaparan melihat korbannya. Apalagi ketika pemuda itu mendekat, lalu membelai-belai wajahnya.

“Hm, wajah cantik...,” desah Walung Turangga.

“Lepaskan tanganku, Walung! Aku jijik melihatmu!” bentak Ambar.

“Kalau begitu tidak usah melihat, tapi rasakan saja,” sahut pemuda itu. Dan tangannya semakin nakal bermain di leher gadis ini, lalu terus ke bawah. Dan..., menetap untuk beberapa saat!

“Keparat terkutuk! Lepaskan tanganmu! Lepaskan tanganmu. Keparat! Lepaskaaan...!” teriak Ambar garang. Tubuhnya bergetar laksana ribuan lintah menempel di kulitnya. Tapi pemuda yang tengah kerasukan nafsu iblis itu mana mau melepaskannya begitu saja? Teriakan Ambar malah membuatnya semakin bergairah.

“He he he...! Dalam keadaan begini kau semakin cantik saja, Sayang.”

“Iblis terkutuk! Aku bersumpah akan mencincangmu menjadi serpihan kecil! Terkutuk! Bangsat! Hentikan perbuatan busukmu!” teriak Ambar berulang-ulang. Walung Turangga hanya terkekeh dan membuka pakaiannya satu persatu. Matanya tak lepas memandang tubuh gadis yang tergolek menantang.

“Sekarang giliranmu....”

“Lepaskan tanganmu, Iblis Terkutuk!” maki Ambar ketika tangan pemuda itu yang lincah mulai mempreteli pakaiannya satu persatu.

“Kau tahu, tak ada gunanya berteriak. Lebih baik, pasrah saja. Simpan tenagamu untuk lima belas orang lagi.”

“Terkutuk kau, Walung!”

“Terserah apa katamu. Yang jelas, aku mesti mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan, jangan mimpi untuk balas dendam padaku. Karena, setelah ini kau hanya tinggal nama!”

“Belum tentu!”

“Heh?!”

Mendadak terdengar sahutan dari belakang, membuat Walung Turangga terkesiap. Dan belum juga keterkejutannya hilang....

“Hiih!”

Jrot!

“Aaakh...!” Tepat ketika Walung Turangga menoleh, sebuah hantaman tangan mendarat di wajahnya.

Brosss...!

Walung Turangga terpental menghantam dinding pondok hingga jebol. Dari hidungnya mengucur darah segar. Pandangan matanya berkunang-kunang. Namun dengan membawa kemarahan, dia berusaha menguatkan diri. Dan secepatnya pemuda berompi hitam itu bangkit seraya menerobos ke dalam.

“Bedebah! Siapa yang mau berani mampus mencampuri urusanku?!”

“Aku! Belum puas hidungmu patah? Aku bisa mematahkan lehermu!”

DUA

Tahu-tahu di dalam pondok telah berdiri seorang gadis belia berwajah cantik sambil berkacak pinggang. Gadis itu kelihatan masih kanak-kanak. Tapi, Walung Turangga merasakan tenaga hebat ketika mukanya terhajar. Tapi mana mau dia berpikir ke situ? Yang jelas gadis itu telah mengganggu kelancaran niatnya. Apalagi ketika saat ini Ambar pun telah lepas dari ikatan dan telah berpakaian kembali.

“Walung keparat! Rasakan pembalasanku ini!” desis Ambar, kalap.

Sekali melompat, Ambar langsung mengirimkan tendangan bertenaga dalam kuat ke dada pemuda itu. Tapi Walung Turangga bukan orang sembarangan Dia adalah murid seorang tokoh persilatan yang memimpin sebuah padepokan.

Plak!

Telapak tangan kiri Walung Turangga cepat menghadang, lalu menangkap pergelangan tangan gadis itu.

Tap!

“Hiih...!”

Ambar terkejut, karena tiba-tiba pemuda itu melintir tangannya. Dan bersamaan itu, Walung Turangga melepas satu tendangan ke perut.

“Hiih!”

Tapi sebelum serangan itu sampai, gadis yang menolong Ambar melompat seraya melepas tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke dada Walung Turangga. Mau tak mau pemuda itu melepas cekalan tangannya pada tangan Ambar, dan berusaha menangkis.

Plak!

Tapi, pemuda berompi hitam itu terkejut ketika merasakan tangannya kesemutan. Bahkan dia segera melompat ke belakang ketika gadis berwajah seperti anak-anak itu melanjutkan serangan. Gadis itu terus melesat dengan kepalan tangan ke depan, laksana seekor walet yang melesat menyambar-nyambar. Beberapa kali Walung Turangga menangkis. Tapi ketika itu juga tangannya terasa kesemutan.

“Heaa...!” Gadis itu terus menggebrak. Begitu tangannya menghentak dari telapaknya mencelat selarik cahaya merah laksana nyala api.

“Aaah...!” Walung Turangga mencelat kaget. Langsung dia membuang diri ke samping. Tapi gadis itu cepat berputar. Segera dilepaskannya tendangan mendatar, tepat ke arah dada. Sehingga....

Dukk!

“Aakh...!” Walung Turangga memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar menghajar dinding pondok sampai roboh. Sementara gadis yang menyerangnya tidak membiarkannya. Dia terus mengejar.

“Heaaat!”

Meski dadanya terasa remuk dan dari mulutnya muncrat cairan darah, tapi Walung Turangga menyadari bahaya yang akan menimpa dirinya. Secepatnya tubuhnya bergulingan. Tapi hanya sekali itu dia luput. Karena selanjutnya gadis itu pun menjatuhkan diri seraya bergulingan. Begitu Walung Turangga bangkit, kedua kaki gadis itu langsung terangkat seperti seekor kuda tengah menyepak.

Des! Begkh!

“Aaa...!” Walung Turangga memekik kesakitan begitu kedua kaki gadis itu berganti menghajar dadanya Tubuhnya langsung terjengkang ke tanah, mulutnya kembali memuntahkan darah kental. Matanya membelalak. Dan wajahnya terlihat tegang. Pemuda itu terkulai lesu, dan nyawanya melayang!

“Huh! Hukuman ini masih terlalu enak buatmu!” dengus gadis itu.

“Mati...?!” desis Ambar yang tiba di tempat itu. Wajah gadis ini tampak kaget. Matanya menatap tak berkedip pada mayat Walung Turangga. Dia memang ingin menghajar Walung Turangga, karena kelakuan pemuda itu barusan. Bahkan ingin pula membunuhnya. Tapi melihat telah jadi mayat, mau tak mau timbul pula kekhawatiran di hatinya.

“Apa yang kau pikirkan? Dia patut mati setelah apa yang hendak dilakukannya padamu!” lanjut gadis penolong itu.

“Eh, ng.... Yang lainnya ke mana?” tanya Ambar seraya menatap ke sekeliling. Tapi setelah berada di luar begini agaknya, Ambar tak perlu lagi mendengar penjelasan gadis penolongnya. Di sekeliling pondok terlihat kawan-kawan Walung Turangga tergeletak tak sadarkan diri. Entah pingsan atau mati!

“Mereka kulumpuhkan. Tapi beberapa orang ada yang mampus!” sahut gadis penolong itu tanpa ditanya.

Dan itu membuat Ambar terkejut. Tidak sembarang orang bisa mengalahkan orang sebanyak ini. Tapi gadis di hadapannya? “Nisanak. Siapa kau sebenarnya?” tanya Ambar.

“Namaku Ratmi. Dan kau?”

“Ambar Ningrum. Tapi, panggil saja Ambar....”

“Hm.... Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Mungkin lebih deras. Kau harus pulang ke rumahmu. Ayo, kuantar!” ajak gadis penolong yang mengaku bernama Ratmi.

“Rumahku jauh...,” tolak Ambar, halus.

“Aku membawa kuda. Kita bisa memacunya dengan kencang.”

“Baiklah. Tapi..., aku mesti mencari seseorang.”

“Siapa?”

“Kakang Kuntadewa....”

“Kekasihmu?”

Ambar tak menjawab. Tapi senyumnya membuat Ratmi mengerti. “Baiklah. Kita cari dia. Tapi, di mana?” kata Ratmi, menyetujui.

“Mereka membawanya ke hutan.”

“Hm.... Perjalanan yang tak mudah malam-malam begini,” gumam Ratmi.

“Tapi, tak apalah. Ayo naik!” Ratmi lantas melompat ke punggung kuda yang tertambat di dekat pondok.

Dengan sigap Ambar melompat ke belakang Ratmi. Begitu digebah, kuda tunggangan itu berlari kencang meninggalkan tempat ini. Dari kejauhan terlihat cahaya petir seperti membelah angkasa!

********************

Gerimis yang tadi reda kini berubah menjadi deras. Bahkan bersamaan dengan gemuruh serta kilatan petir yang sambung-menyambung. Di antara curah hujan, tampak beberapa sosok tubuh berjalan memasuki hutan. Salah seorang memanggul satu sosok yang agaknya tengah tak sadarkan diri.

“Kita campakkan saja di sini!” kata sosok yang tengah memanggul.

“Ya. Biar mampus di makan serigala...!” sambut yang lain.

“Mungkin juga dipatuk ular! Sudahlah! Ayo, kita pergi!” timpal seorang lagi.

Bruk!

Seperti memperlakukan batang pisang, mereka mencampakkan tubuh yang dipanggul tadi begitu saja. Menimpa tanah lembab dan becek, dan tak mempedulikannya. Kelima orang itu cepat menghilang, ketika kilatan petir terlihat sekali.

Sosok tubuh itu tetap diam tak bergerak. Dari hidung dan mulutnya masih meneteskan darah, bercampur air hujan. Sehingga, membuat air di sekitarnya menjadi merah.

Glarrr...!

Guntur meledak keras tatkala cahaya petir membelah angkasa. Dan hujan semakin deras. Namun, tubuh itu tidak juga bergeming. Pada saat seperti itu entah dari mana terlihat cahaya merah bergerak-gerak gesit bagai sebuah obor. Cahaya merah itu meliuk-liuk, kemudian diam menggantung di angkasa, tepat di atas sosok tubuh tadi. Dan...

Siuuut! Blep!

Cahaya itu melesat turun bagai kilat dan sirna di dalam tubuh sosok yang tergolek. Kini sosok itu seperti terselimut cahaya merah.

“Akh!” Sosok itu tersentak seperti disodok sesuatu. Tubuhnya bergulingan ke kanan dan kiri sambil mengerang kesakitan. Dan tiba-tiba saja dia melompat ke atas sambil jungkir balik. Dari mulutnya terdengar raungan laksana seekor harimau liar.

“Graungrrr...!”

Tap!

Sosok tubuh itu mendarat manis dan berdiri di atas kedua telapak kakinya. Kelihatan kokoh laksana batu karang. Sepasang matanya berkilau seperti mata kucing di kegelapan. Dan rambutnya yang panjang sepunggung, riap-riapan diterpa angin dan air hujan. Sebagian bajunya tampak robek-robek. Darah di hidung dan mulutnya telah berhenti. Dan yang tersisa adalah kerak-kerak merah yang kehitam-hitaman.

“Kau Kuntadewa putra Bagus Perkasa?” Terdengar suara tanpa wujud. Terdengar dekat sekali. Seperti dari dalam dada sosok ini.

“Benar,” sahut sosok yang ternyata Kuntadewa.

“Kasihan nasibmu, Cucuku...!” lanjut suara tanpa wujud.

“Siapa kau?” tanya Kuntadewa.

“Aku Ki Maung Lugai.”

“Hm! Ayahku pernah cerita. Jadi, inikah saat itu?”

“Ya! Salah satu dari kalian harus menerimanya. Dan agaknya, kau yang ditakdirkan untuk menerimanya. Sudah mengertikah kau apa yang akan dirasakan nantinya?”

“Ibu pernah cerita sebelum kematiannya....”

“Bagus! Maka, lapangkan dadamu menerima kehadiranku,” ujar sosok tanpa wujud yang bernama Ki Maung Lugai.

Kuntadewa langsung berlutut dan terus bersujud ke satu arah. Tak peduli jidatnya mencium lumpur. “Eyang.... Terimalah sembah sujudku! Aku telah siap segalanya. Dan siap pula menanggung segala akibatnya!” ucap Kuntadewa.

“Ha ha ha...! Bagus! Bagus, Cucuku! Itu baru namanya keluarga Maung Lugai sejati!” sambut Ki Maung Lugai penuh semangat.

“Aku harus balas pada orang-orang terkutuk itu!” desis pemuda ini dengan wajah kalem.

“Ya! Orang-orang seperti mereka harus mendapat balasan setimpal. Pergilah sekarang juga. Mulai kini aku akan terus menyertaimu sampai ajalmu tiba!” ujar Ki Maung Lugai.

“Baik, Eyang!” Kuntadewa berbalik. Dan seketika dia berlari gesit meninggalkan tempat itu. Sebentar saja, tubuhnya sudah jauh menerobos hujan yang masih turun, walaupun mulai reda.

Langkah Kuntadewa terhenti. Matanya tajam memandang ke depan, di balik semak-semak. Tampak sembilan orang tengah berdiri di dekat sebuah pondok kecil, yang sebagian porak-poranda. Kakinya perlahan-lahan melangkah semakin mendekat ketika mengenali orang-orang itu.

“Keparat terkutuk! Siapa yang melakukan semua ini! Hm.... Siapa pun orangnya dia akan berhadapan denganku, Si Angwatama!” hardik seorang laki-laki tua bertubuh tinggi besar, terbungkus pakaian jubah putih.

Tak seorang pun yang berdiri di dekat laki-laki tua itu berani menjawab. Mereka tertunduk lesu dengan wajah sedikit ketakutan. Sementara laki-laki tua yang menyebut dirinya Angwatama masih berjongkok memandangi mayat seorang pemuda kekar berompi hitam yang terbaring dengan tulang dada remuk. Dari mulut dan hidungnya masih terlihat sisa-sisa darahnya yang terus mengalir. Pelan-pelan diangkatnya mayat itu, dan dipondongnya dengan tubuh gemetar menahan amarah.

“Aku bersumpah! Siapa pun yang membunuh putraku, Walung Turangga, harus mati!” desis Ki Angwatama menahan geram.

“Guru....”

“Hmm!” Seseorang memberanikan diri untuk angkat bicara. Namun suaranya tersendat di tenggorokan ketika mendengar sahutan Ki Angwatama berupa dengusan sinis.

“Apa yang akan kau bicarakan, Samparan?” tegur laki-laki tua berjubah putih itu.

“Hmm!”

“Guru tahu sendiri. Meskipun Ambar telah dijodohkan dengan Walung Turangga, tapi secara diam-diam dia sering berdua-duaan dengan Kuntadewa.”

“Kuntadewa tidak akan mampu membunuh anakku!” tepis Ki Angwatama.

“Memang benar, Guru. Tapi kuat dugaan kami, dia menghasut Ambar. Dengan segala kekayaan yang dimiliki orangtuanya, Ambar bisa menyewa jago-jago silat berilmu tinggi untuk menghabisi nyawa Walung Turangga,” kata Samparan, terus membakar amarah laki-laki tua itu.

“Tidak mungkin! Kami telah sepakat soal perjodohan itu!”

“Betul, Guru! Tapi bukankah Guru pun tahu kalau Ambar tak bersedia dijodohkan dengan Walung Turangga? Dia amat mencintai Kuntadewa. Maka kemungkinan Kuntadewa menghasut gadis itu sudah pasti ada, karena Walung Turangga dianggap penghalang cita-cita mereka.”

Ki Angwatama bergumam untuk sesaat, memikirkan apa yang dikatakan Samparan. “Panggil Kuntadewa sekarang juga!”

“Kami telah memeriksa kamarnya sebelum ke sini, Guru. Dan ternyata dia tak ada. Kuat dugaan kami kalau dia telah melarikan diri,” jelas Samparan.

“Keparat! Kalau begitu cari dia sampai ketemu!” dengus Ki Angwatama.

“Mencarinya mungkin akan sulit, Guru. Mungkin saja dia telah pergi jauh...,” kata pemuda lain, memberi alasan.

“Aku tak peduli!” tukas Ki Angwatama dengan suara keras. “Pokoknya cari dia sampai ketemu!”

“Kenapa tidak dengan cara yang mudah saja, Guru?” usul Samparan.

“Apa maksudmu?”

“Bukankah bisa kita tanyakan pada Anjani? Sebagai adik, tentu dia tahu ke mana kakangnya pergi.”

“Kalau begitu cepat tanyakan Anjani!”

“Baik, Guru!” Samparan segera membawa tiga orang pemuda murid Ki Angwatama lain, untuk berangkat lebih dulu. Sedangkan Ki Angwatama serta empat murid yang lain menyusul belakangan. Namun baru beberapa langkah....

“Aaa...!”

“Heh?!” Ki Angwatama dan empat muridnya terkejut ketika mendadak terdengar jeritan panjang saling bersahutan. Arahnya berasal dari selatan, di mana keempat muridnya tadi berkelebat.

“Celaka! Apa yang terjadi terhadap mereka!” seru seorang murid seraya menggenjot tubuh dan tergesa-gesa menghampiri asal suara.

Tapi mereka tak perlu terburu-buru. Sebab sesaat langkah orang-orang itu terhenti ketika sesosok tubuh tahu-tahu telah menghadang. “Hmm!”

“Siapa kau?!” bentak seorang murid.

“He, bukankah dia si Kuntadewa?!” seru murid lain setelah meneliti wajah pemuda di depannya.

“Benar! Dia Kuntadewa!” Mendengar itu, Ki Angwatama melompat ke depan setelah menyerahkan mayat putranya pada seorang murid yang bersamanya.

“Kuntadewa anak celaka! Apa yang telah kau perbuat terhadap Walung Turangga, he?!” Ki Angwatama seperti menemukan orang yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya. Maka tanpa basa-basi lagi langsung kepalan tangan kanannya disorongkan ke depan pemuda itu dengan pengerahan tenaga kuat. Rasanya kalau pemuda itu tidak menghindar mungkin akan binasa dihantam tenaga dalam tinggi.

Plak! Wuuut!

“Uhh...!” Tapi yang terjadi justru di luar perhitungan. Dengan telapak kiri terkembang, Kuntadewa menahan kepalan Ki Angwatama, lalu mendorongnya. Ki Angwatama sendiri tidak habis pikir ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, merasakan tenaga dorongan yang begitu kuat.

“Anak celaka! Beraninya kau melawanku, he?!” bentak Ki Angwatama, garang.

“Angwatama! Keparat! Hari ini kau akan mati di tanganku!” desis pemuda itu dengan suara serak.

“Guru! Biar kami saja yang membereskannya!” kata salah seorang murid.

Tapi Ki Angwatama tidak mempedulikannya. Orang tua itu sudah langsung menyerang dengan sebuah tendangan menggeledek. “Heaaat..!”

Namun, Kuntadewa tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya cepat menggeser ke samping seraya memapak tendangan dengan tangan kiri.

Plak! Plak!

Tendangan geledek yang dilancarkan laki-laki tua itu tertahan. Dan secepat kilat tangan kanan Kuntadewa yang membentuk cakar menyambar ke dada.

Wuutt!

Dengan gerakan kilat Ki Angwatama mengibaskan tangan untuk menangkis. Tapi pada saat yang sama, Kuntadewa melepas tendangan menyodok ke bawah perut.

“Hup...!” Terpaksa Ki Angwatama melompat ke belakang. “Iblis! Dari mana kau belajar ilmu iblis itu?!” desis laki-laki tua itu dengan wajah kaget, begitu mendarat di tanah.

Darah Ki Angwatama seperti tersirap melihat cara Kuntadewa menyerangnya. Ganas dan bertenaga kuat. Menyerang tanpa mempedulikan tata cara gerak-gerak silat. Apa saja yang terdekat dengan jangkauannya, maka itulah yang menjadi sasaran.

“Kau tak perlu tahu, Tua Bangka! Persiapkan saja kematianmu!” desis Kuntadewa.

“Guru! Biar kami bantu kau meringkus murid celaka ini!” teriak seorang murid. Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, pemuda murid Ki Angwatama ini telah menyerang Kuntadewa bersama tiga orang kawannya. “Yeaaat...!”

“Grrrng...!” Kuntadewa menggeram buas. Tubuhnya berbalik cepat, memapak serangan.

Prak! Bret! “Aaa...!”

“Hei?! Celaka!” seru Ki Angwatama dengan wajah semakin pucat melihat apa yang dilakukan Kuntadewa pada keempat muridnya. Hanya sekilas ketika kedua tangan dan kaki pemuda itu yang kokoh melabrak empat muridnya. Terdengar pekik kematian saling susul-menyusul. Keempatnya tewas dengan tubuh tercabik-cabik oleh kuku-kuku yang tajam dan kuat.

TIGA

Agaknya bukan cuma Ki Angwatama saja yang kecut nyalinya. Demikian empat muridnya. Mereka tidak menyangka kalau Kuntadewa memiliki kesaktian begitu hebat.

“Kau..., kau.... apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa?!” seru Ki Angwatama sambil mundur perlahan-lahan.

“Dia orangtuaku,” sahut Kuntadewa mantap.

“Hmm! Pantas. Tapi..., kenapa kau mendendam padaku, Kuntadewa? Aku tidak tahu-menahu tentang kematian orangtuamu,” kilah Ki Angwatama.

“Aku tak peduli. Kau memperlakukan aku dan adikku seperti budak di Padepokan Karang Gelam, Angwatama! Padahal perhiasan-perhiasan ibuku cukup untuk membiayai hidup kami di padepokan sampai kami dewasa dan mampu berdikari. Dan terakhir, perlakuan Walung Turangga padaku! Huh! Tidak akan pernah kumaafkan! Sayang dia sudah mampus, kalau tidak akan kucincang tubuhnya menjadi sobekan-sobekan kecil. Tapi untuk menutupi kekecewaanku maka kau harus mati! Kau harus menanggung dosa-dosanya!” desis Kuntadewa.

“Tidak! Kau tidak bisa menyamakannya denganku!” sergah Ki Angwatama, yang ternyata adalah Ketua Padepokan Karang Gelam.

“Dia anakmu! Dan kau amat menyayanginya serta mendukung segala perbuatannya baik salah maupun benar! Dengarkan, wahai anjing tua busuk! Bersama murid-murid lain. Walung Turangga menghajarku sampai nyaris mati. Lalu bagai seekor anjing buduk aku diseret ke hutan dan dibiarkan dalam keadaan hidup dan mati. Siapakah yang mempunyai watak seperti itu selain binatang?! Dan kau, ayah dan anak sama saja! Bersiaplah untuk mati!”

Begitu kata-katanya habis, secepat kilat Kuntadewa melompat ke arah Ketua Padepokan Karang Gelam dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar.

“Graungrrr...!” Raungan pemuda itu laksana seekor harimau kelaparan yang haus darah. Bahkan laki-laki tua yang juga guru Kuntadewa sendiri sampai bergetar hatinya. Dan nyalinya semakin ciut saja.

Wut! Bet!

Dengan mengerahkan segala kemampuan, Ki Angwatama berusaha menghindar serangan-serangan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian, keadaannya sudah terdesak hebat. Tidak sampai tujuh jurus!

“Hiih!” Ketika cakar Kuntadewa hendak merobek tenggorokan, Ki Angwatama nekat menangkis dengan tangan kiri.

Tak!

“Uts!” Bahkan laki-laki tua itu berhasil mengelakkan sambaran cakar yang satu lagi dengan menggeser tubuhnya ke samping.

Namun hal itu harus dibayar mahal, sebab mendadak Kuntadewa memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kaki kanan. Bukan telapaknya yang mengancam tetapi kuku-kuku kakinya yang runcing bagai mata pedang. Sehingga....

Bret!

“Aaakh...!” Ki Angwatama menjerit kesakitan ketika kuku-kuku itu merobek perutnya. Kedua tangannya langsung mendekap perut sambil terhuyung-huyung. Sementara dari sela-sela jarinya menetes deras cairan darah.

“Graungrrr...!” Kuntadewa tidak berhenti sampai di situ. Langsung diterkamnya Ketua Padepokan Karang Gelam ini dengan cakar-cakarnya yang runcing.

Bruk...! Bret! Bret! “Aaa...!”

Tanpa belas kasihan tubuh tua yang telah terjatuh di tanah itu dicabik-cabik cakar Kuntadewa sampai tak berbentuk lagi. Ki Angwatama memekik setinggi langit. Tapi hanya sesaat, sebelum tenggorokannya putus dirobek cakar muridnya sendiri.

********************

Wajah Ambar tampak suram dan kusut. Sejak tadi gadis ini berdiam diri. Sementara Ratmi di sebelahnya justru kebalikannya. Wajahnya selalu riang, sehingga kecantikannya seperti bersinar. Apalagi dengan pakaian merah ketat yang dikenakannya saat ini. Beberapa pemuda yang berpapasan mendecah kagum. Dan tak jarang yang tergerak mulutnya untuk menggoda. Dan sejauh itu hanya sesekali gadis ini menimpalinya.

“Lihatlah, Ambar! Hari ini terasa indah kalau kita berusaha menikmatinya!” ujar Ratmi yang periang.

Yang diajak bicara menoleh sekilas, lalu tersenyum pahit. Dan kembali matanya lurus menatap ke depan.

“Apalagi yang kau pikirkan? Laki-laki di dunia ini tidak hanya satu. Dengan wajah cantik. Orangtuamu kaya-raya. Kau bisa mendapatkan pemuda yang lebih tampan lebih dari sepuluh orang dalam sekejap!” desah Ratmi.

“Aku tidak bisa melupakan Kakang Kuntadewa...,” desah Ambar.

“Begitu cintanyakah kau padanya?”

“Mungkin dia tidak akan selamat di tangan mereka...,” gumam Ambar tak mempedulikan pertanyaan kawan seperjalanannya.

“Kenapa tidak kembali saja ke padepokan dan meminta pertanggungjawaban gurumu? Kalau dia macam-macam, biar kuhajar orang tua itu!” tukas Ratmi, memberi usulan.

“Tidak! Ki Angwatama tidak akan peduli!”

“Huh! Guru seperti apa itu? Mestinya dia bersikap bijaksana meski kepada putra sendiri! Tanganku gatal dan ingin menghajar orang seperti itu!” dengus Ratmi, geram.

“Kau mungkin saja hebat. Tapi, beliau tidak sendiri. Muridnya banyak. Dan dia bisa berbuat apa saja.”

“Kau bermaksud melaporkan kejadian ini pada orangtuamu?”

“Entahlah. Ayahku terlalu akrab dengannya. Beliau sangat mempercayainya. Maka tidak heran kalau aku dijodohkan dengan Walung Turangga. Padahal, aku sama sekali tidak menyukainya.”

“Kenapa tidak keluar saja dari padepokan itu?”

“Tidak bisa. Mereka mengawasiku siang dan malam. Sepertinya, aku ini tawanan.”

“Hm, kasihan sekali...!”

Ambar tersenyum getir.

“Eh! Ngomong-ngomong, masih jauhkah rumahmu?” tanya Ratmi.

“Kira-kira setengah hari perjalanan lagi dari sini,” sahut Ambar, menduga-duga.

“Lumayan jauh juga. Alangkah baiknya kita mampir sebentar di kedai. Kebetulan perutku mulai menggeliat minta diisi.”

“Baiklah...”

Pengunjung kedai kelihatan sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang terlihat. Sehingga, Ambar dan Ratmi yang duduk di dekat pintu masuk leluasa mengedarkan pandangan.

“Ah! Ternyata dia!” seru Ratmi dengan wajah berseri. Pandangan gadis itu tak berkedip memandang sesosok tubuh memakai baju rompi putih yang tengah membelakanginya.

“Ada apa?” tanya Ambar.

“Kau tunggu sebentar di sini!” sahut Ratmi seraya bangkit, langsung menghampiri sosok berompi putih itu. Langkah Ratmi kelihatan girang. Dan senyumnya terkembang ketika mendekati sosok berompi putih.

“Kakang Rangga!” teriak gadis ini seraya menepuk pundak orang yang dituju. Niat Ratmi jelas untuk membuat kaget. Tapi ketika orang itu menoleh, justru gadis ini yang dibuat kaget.

“Oh! Maaf, kukira Kisanak kawanku...!” seru Ratmi ketika melihat seraut wajah penuh bekas luka, yang dikira Rangga.

Orang itu menyeringai lebar, memperlihatkan sederetan gigi-giginya yang hitam dan kuning. “He he he...! Tidak apa, Nisanak! Aku pun bersedia menggantikannya!” kata orang ini.

Ratmi buru-buru hendak berlalu, tapi langkahnya terhenti karena pergelangan tangan kirinya dicekal pemuda itu.

“Mau ke mana? Jangan buru-buru! Kebetulan aku makan sendirian. Kau bisa menemaniku!”

“Maaf, Kisanak. Aku bersama kawanku. Lagi pula, aku tak berniat duduk bersamamu!” sahut gadis itu kesal.

“Tapi aku berminat!” tukas laki-laki itu seraya menyentakkan tangan gadis ini.

Set!

“Hup! Kurang ajar!” Ratmi terpaksa melompat melewati meja kalau tak ingin terjerembab.

Tapi tangan kiri orang itu seketika memapas lutut bagian dalam hingga tertekuk. Lalu telapak tangan laki-laki itu bergerak cepat, menekan perutnya hingga terhempas ke bawah, tepat di atas kursi.

Gabruk!

“Diamlah di situ. Dan temani aku makan!” ujar laki-laki itu, kasar dengan seringai memuakkan.

“Tak sudi!” hardik Ratmi seraya melayangkan kepalan tangan kiri ke wajah laki-laki bertampang kasar ini.

Laki-laki itu menggeser sedikit, sehingga kepalannya luput dari sasaran. Sebaliknya tangannya cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu. Meski berusaha berontak, tapi Ratmi merasakan genggaman lelaki itu seperti catut baja. Dengan kesal kepalannya yang satu lagi dilayangkan.

Tap!

Namun, nasibnya sama saja. Laki-laki itu menangkap dan menyatukannya dengan tangan yang satu lagi. Sehingga kedua pergelangan tangan gadis itu dicengkeram dengan satu tangan.

“Keparat! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku. Monyet buduk! Lepaskan!” maki Ratmi.

“Ha ha ha...!” Tapi orang itu hanya tertawa kegirangan. Namun....

“Kisanak, tolong kau lepaskan dia!” Mendadak terdengar seruan bernada perintah. Dan seketika laki-laki itu merasakan pundaknya seperti ditepuk.

Plak!

“Hei?!”

Tepukan barusan ternyata bukan sembarangan. Karena laki-laki yang mencengkeram tangan Ratmi merasa pundaknya bagai diganduli beban yang beratnya lebih dari delapan puluh kati. Dan mau tak mau, terpaksa cekalannya pada Ratmi dilepaskan. Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Dan kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Ratmi. Sebelah kakinya mendadak melesat ke perut laki-laki itu.

Des!

“Aaakh...!”

Gubrakkk!

Karuan saja laki-laki bertampang seram ini terjungkal roboh, menghajar beberapa buah meja dan kursi. Tapi secepat kilat dia bangkit dengan pandangan tajam.

“Kakang Rangga...! Ah! Kau rupanya!” seru Ratmi ketika melihat siapa yang telah menolongnya.

Tanpa canggung-canggung gadis itu memeluk pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dan itu membuat pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti jadi jengah.

“Ratmi.... Apa-apaan kau ini? He, malu dilihat orang!”

“Apa? Oh, iya! Maaf..., maaf!” Gadis itu melepaskan pelukannya dengan wajah tersipu-sipu. Dia jadi jengah sendiri ketika beberapa pasang mata memperhatikan. Apalagi Ambar yang telah berdiri di dekatnya juga ikut tersenyum. Untuk sesaat wajahnya yang berubah merah dadu dipalingkan. Tapi untung saja hal itu tak berlangsung lama, ketika....

“Hmm! Rupanya kau sudah menemukan orang yang dicari. Dan kekasihmu ini ditendang begitu saja.”

“Tutup mulutmu! Sudah untung aku tidak menghajarmu sampai babak belur!” bentak Ratmi, seperti mendapat pelampiasan mendengar sindiran barusan.

“Kau? He he he...!” laki-laki itu terkekeh, meremehkan.

“He, kau kira aku tak bisa menghajarmu?!” bentak Ratmi lagi, makin garang.

“Percuma saja. Bahkan kekasihmu yang baru ini pun belum tentu bisa menghajarku!”

“Bangsat rendah! Rupanya kau tak kenal siapa dia, hingga berani gegabah!”

“Kalong Wetan tidak pernah gegabah, Anak Manis,” sahut laki-laki itu tersenyum-senyum.

“Kakang! Kenapa tidak kau hajar saja dia? Orang itu telah menganggap enteng padamu!” desak Ratmi, begitu menatap Rangga.

“Itu tidak jadi masalah bagiku. Biarlah dia bicara apa saja. Sebaiknya tidak usah diladeni. Mari kita makan,” ajak Rangga, malah tidak mempedulikan laki-laki yang merendahkannya.

“Nah! Dengar, kan? Dia takut setelah mendengar namaku?!” celetuk laki-laki yang ternyata berjuluk si Kalong Wetan.

“Kakang! Orang ini betul-betul menyebalkan. Kau tidak boleh mendiamkannya!” sentak Ratmi.

Kali ini Rangga menoleh dan memandang si Kalong Wetan dengan tersenyum manis. “Kisanak! Aku tidak ingin mencari keributan di sini. Lagi pula ilmu silatku tidak seberapa. Jadi tak mungkin aku bisa menang bila menghadapimu,” kata Rangga merendah.

Mendengar itu si Kalong Wetan malah semakin penasaran. Ketika pundaknya ditekan tadi, jelas dia merasakan tenaga dalam yang hebat sekali. Dan sekarang, pemuda itu seenaknya saja mau mengalah dan mengatakan dirinya berilmu rendah. Kekesalan itu agaknya dirasakan pula oleh Ratmi. Dia tahu kalau Rangga berilmu tinggi. Tapi menghadapi orang seperti si Kalong Wetan ini, malah merendah.

“Kakang, kenapa kau ini?! Bangsat rendah ini jelas-jelas menantangmu, tapi kau malah mengalah. Di mana kehebatan namamu yang menjulang tinggi itu? Bahkan ayahku sendiri pun segan setelah kuberitahu tentang dirimu!” kejar Ratmi.

“Huh! Kekasihmu itu hanya punya nama kosong untuk menakut-nakuti orang!” dengus si Kalong Wetan.

Rangga menoleh dan memandang tajam. Raut wajahnya seketika memancarkan perbawa menggetarkan. Kali ini hatinya mulai terbakar oleh omongan si Kalong Wetan yang sepertinya terus membuka tantangan walau tak secara langsung.

“Kisanak! Kedai ini terasa sempit oleh kehadiran kita. Kalau tidak keberatan, tolong ajari aku barang satu atau dua jurus ilmu silatmu yang hebat itu di luar sana!” kata Rangga dingin. Dan tanpa berkata apa-apa lagi Rangga melangkah keluar, diikuti Ratmi dan Ambar.

Beda halnya dengan si Kalong Wetan. Tubuhnya langsung mencelat ke luar, menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dia lebih dulu tiba.

“Silakan, Kisanak,” ujar Rangga, tenang.

“Baiklah. Akan kuajarkan padamu, bagaimana caranya menjatuhkan lawan secepatnya!” dengus si Kalong Wetan. Dan seketika laki-laki itu melompat menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menghantam dada.

“Yeaaat!”

Ternyata gerak itu hanya tipuan. Karena ketika hampir dekat, si Kalong Wetan merubah serangan. Kali ini, kaki kirinya yang menyodok ke perut. Rangga mengegos ke samping seraya menepis dengan tangan kiri.

Plak!

Namun secepat itu, si Kalong Wetan berbalik, kaki kanannya dikibaskan menyambar ke leher. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti menunduk, hingga tendangan si Kalong Wetan menghantam angin. Lalu sebelah kaki Rangga mengait sebelah kaki laki-laki itu.

Plak!

“Uhh...!” Sebelah kaki si Kalong Wetan tertekuk, tapi tidak membuatnya jatuh. Sebaliknya laki-laki itu mencelat ke atas. Dan tiba-tiba tubuhnya menukik tajam, menyambar Pendekar Rajawali Sakti lewat tendangan kilat.

EMPAT

Rangga kembali mengegos sedikit ke samping, hingga tendangan itu luput. Lalu secepatnya dibalasnya serangan itu dengan tendangan lurus ke perut. Kalong Wetan melompat ke belakang, tapi Rangga terus memburunya dengan tendangan beruntun. Maka terpaksa laki-laki itu menangkis.

Plak!

Baru saja terjadi benturan, secepat kilat pula kaki Rangga yang sebelah lagi menghantam dada tanpa bisa dielakkan.

Desss...!

“Aaakh...!” Kalong Wetan mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.

“Hm! Kurasa pelajaran yang kau berikan hari ini cukuplah, Kisanak,” kata Pendekar Rajawali Sakti datar, seraya hendak meninggalkan tempat itu.

“Aku belum kalah, Kisanak!” dengus si Kalong Wetan geram, membuat Rangga mengurungkan niatnya.

“Kalah? Sepertinya kita tidak bertarung sungguh-sungguh? Bukankah aku hanya sekadar mendapatkan pelajaran darimu?” sahut Rangga, dengan kening berkerut.

“Jangan bersilat lidah, Kisanak! Terima seranganku ini!” desis si Kalong Wetan semakin geram.

Begitu habis kata-katanya, si Kalong Wetan mengembangkan kedua tangannya ke kiri dan kanan sejajar pundak. Sebelah kakinya ditekuk dan lututnya sejajar perut. Kemudian kedua tangannya bergerak saling menyilang dengan cepat, lalu meluruk maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!”

Wut! Wut!

“Hmm!”

Gerakan laki-laki berwajah angker ini cukup beragam dan sulit diterka. Namun Rangga meladeninya dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Meski terus menghindar, tapi saat itu justru Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengetahui kelemahan-kelemahan jurus si Kalong Wetan.

Plak! Plak!

Beberapa kali kedua tangan mereka saling berbenturan. Demikian pula kedua kaki. Dan Rangga merasakan tenaga dalam laki-laki itu bertambah dua kali lipat dari semula.

“Hm! Dengan jurusnya ini dia berusaha menekanku!” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Dugaan Rangga agaknya sedikit meleset. Sebab si Kalong Wetan tidak sekadar ingin menekannya, tapi juga hendak menjatuhkannya. Dan kalau perlu menghajarnya habis-habisan sampai babak belur. Mungkin juga sampai mati! Itu terlihat dari serangan-serangan yang cepat dan terus dibarengi pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Heaaat...!”

Rangga melompat ke belakang untuk mulai menyiapkan jurus menyerang. Sementara si Kalong Wetan menyangka pemuda itu mencari kesempatan untuk lolos dari tekanannya. Maka secepat kilat dia lompat mengejar dengan sebuah tendangan lurus.

Plak!

Rangga menepis tendangan itu dengan tangan kiri. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya yang membungkuk berputar. Langsung dilepaskannya satu hantaman ke perut. Si Kalong Wetan terkejut. Cepat dia melompat ke atas, sehingga hantaman itu luput. Namun dengan bertumpu pada tangan di tanah, Rangga melepas tendangan bertubi-tubi lewat kedua kakinya yang terangkat tinggi-tinggi.

Begkh! Des! “Aaakh...!”

Dua tendangan berturut-turut menghantam telak perut si Kalong Wetan. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa langkah.

“Uhh...!” Dengan wajah meringis menahan rasa sakit, si Kalong Wetan bangkit dan menatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Belum pernah si Kalong Wetan dipermalukan begini sebelumnya!” tanya laki-laki itu penuh tekanan.

“Makanya kalau mau bertingkah lihat-lihat dulu!” dengus Ratmi. “Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.”

“Pendekar Rajawali Sakti? Ah! Pantas saja aku tidak mampu mengalahkanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak merasa malu dijatuhkan olehmu. Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan padaku,” desah si Kalong Wetan seraya menjura hormat.

“Kau pun hebat, Kalong Wetan.... Tidak perlu merendah!” kilah Rangga, tak ingin membuat si Kalong Wetan kehilangan muka.

“Maaf, Pendekar Rajawali Sakti! Aku telah mempermalukan diriku sendiri. Kuharap kau tidak mendendam dan menyudahi urusan ini.”

“Hm! Aku tidak mendendam, Kalong Wetan! Kalau kau bermaksud menyudahinya, maka itulah yang terbaik.”

“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku mohon diri dulu. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi!” lanjut si Kalong Wetan, bergegas meninggalkan tempat itu.

“Hei, tunggu!” teriak Ratmi, mencegah.

“Sudahlah, Ratmi. Tidak perlu diperpanjang urusan tadi,” lerai Rangga.

“Kau tidak merasakan bagaimana rasanya dihina, bukan?! Nah, aku merasakannya, Kakang! Dia tak boleh pergi begitu saja!” tukas Ratmi.

“Kalau kau terus begini, maka urusan tidak akan selesai.”

“Aku tidak peduli!”

“Hm! Ternyata kau masih keras kepala. Kalau begitu terserahmu saja. Aku akan melanjutkan perjalanan,” kata Rangga pendek, seraya menghampiri Dewa Bayu yang tertambat di depan kedai.

“Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau?!” teriak Ratmi.

“Aku tidak mau ikut campur urusanmu yang bukan-bukan. Kalau kau mau mengejarnya, silakan saja. Selesaikan sampai tuntas. Dan aku tidak akan melarangnya,” sahut Rangga enteng.

“Hhh...!” Ratmi menggerutu kesal. Bukan saja kesal karena merasa dipermainkan, tapi juga kesal karena harus ditinggal Rangga. Padahal telah beberapa lama pemuda itu dicari-carinya. Dan, baru hari ini mujur bisa ketemu. Lagi pula kalau mengejar si Kalong Wetan, belum tentu sakit hatinya bisa terbalaskan. Padahal, dia ingin sekali menghajar laki-laki itu sampai memohon-mohon minta ampunannya. Maka betapa mendongkol hatinya mendengar jawaban Rangga yang tidak mendukung niatnya.

“Aku ikut...!” kata Ratmi ketus.

“Kau tengah berjalan bersama kawanmu. Tidak baik kalau ditinggalkan sendiri,” sahut Rangga.

“Eh, tidak apa! Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula perjalananku tidak seberapa jauh lagi!” timpal Ambar cepat.

Melihat sikap Ratmi pada pemuda penolongnya itu, Ambar menduga kalau ada apa-apa di antara mereka. Apalagi dengan permintaan Ratmi barusan. Maka kehadirannya hanya akan mengganggu ketenangan mereka berdua. Lagi pula, ada hal tertentu yang membuatnya ingin sendiri. Yaitu, kehilangan orang yang dicintainya. Ratmi tidak menghiburnya selama di perjalanan. Makanya untuk beberapa lama dia ingin sendiri. Merenungi kemalangannya.

“Mana bisa begitu? Kalian bepergian berdua. Maka sampai ke tujuan pun harus berdua,” tukas Rangga.

“Tidak mengapa. Lagi pula aku lebih senang jalan sendiri,” sahut Ambar.

“Benarkah? Kau tidak keberatan kalau kutinggal, bukan?” tambah Ratmi.

“Tidak, Ratmi. Tidak apa-apa. Silakan. Aku akan jalan sendiri saja,” sahut Ambar. Gadis ini lalu memberi hormat sebelum berlalu dari tempat ini.

“Hm! Dia jadi tidak melanjutkan makannya,” gumam Rangga.

“Ambar memang tidak lapar. Yang lapar justru aku. Dalam keadaan begitu, dia akan tahan lapar selama beberapa hari. Mungkin juga sebulan. Atau bahkan lebih!” jelas Ratmi, seraya menaiki kudanya.

“Memang ada apa?” tanya Rangga seraya menggebah kudanya pelan, diikuti Ratmi.

“Kekasihnya dianiaya orang. Entah di mana sekarang. Mungkin sudah mati,” sahut Ratmi seenaknya.

“Kenapa?”

“Entah. Mungkin karena cemburu!”

“Hm.”

“Ke mana saja Kakang selama ini? Sulit betul mencari orang terkenal!”

“Kau mencari-cariku? Hm, sayang sekali. Kalau kutahu tentu akan kudatangi sejak kemarin-kemarin!” sahut Rangga sambil tersenyum lebar.

“Bagaimana keadaan orangtuamu? Apakah mereka sudah rujuk lagi?”

“Aku tidak tahu. Terakhir bertemu, mereka masih bertengkar. Aku kesal melihat kelakuan mereka. Sudah tua-tua tidak juga akur!”

“Lalu ke mana kawanmu yang..., pendek itu?”

“Entahlah. Sejak itu aku belum bertemu dengannya. Mungkin dia kembali ke tempat ayahku....”

Rangga mengangguk pelan, lalu menoleh pada gadis itu. Bibirnya lantas tersenyum manis.

“Kenapa? Bersyukur atas kemalangan yang menimpaku?” tanya Ratmi, tak senang.

“Bukan,” sahut Rangga pendek.

“Lalu kenapa senyam-senyum?”

“Ya! Kenapa, ya?” Rangga pura-pura mengalihkan perhatian dengan garuk-garuk kepala. “Aku sendiri bingung. Terakhir bertemu, kau masih galak. Dan sekarang tahu-tahu kau memelukku. Gejala apa ini?”

“Huh! Siapa sudi memelukmu?!” semprot Ratmi dengan wajah jengah.

“Lho? Yang di kedai tadi itu apa namanya?”

“Aku tak merasa memelukmu!”

“O, kalau begitu kau pasti memeluk si Kalong Wetan! Kelihatannya dia tergila-gila padamu. Dan kurasa, kau pun sama.”

“Kakang Rangga! Apa-apaan kau ini?!”

Rangga terkekeh. Dan lari kuda Dewa Bayu dipercepat, ketika gadis itu mengejarnya dengan muka gemas. “Kalau kena kuhajar kau!” ancam Ratmi.

“Dari dulu kau memang selalu banyak mulut!” ejek Rangga.

“Brengsek! Heaaa...!" Gadis itu menggebah kudanya kencang-kencang. Lalu ditunjukkannya kemahiran berkuda. Tubuhnya dimiringkan, lalu dipungut beberapa buah kerikil sambil berkuda. Secepat kilat dikeluarkannya senjata anehnya yang kerap kali terselip di pinggang. Sebuah ketapel!

Siuuut! Siuuttt! Bet!

“Uhh! Dasar gadis liar...!” umpat Rangga dongkol melihat beberapa buah kerikil melesat mengejar punggung dan batok kepala. Rangga mengegos ke samping hingga kerikil-kerikil itu terus menghantam angin.

Tapi gadis itu tidak putus asa. Dalam kejar-kejaran itu beberapa kali dipungutnya kerikil. Dan lantas dibidik buruannya. Namun sejauh itu Rangga berhasil menghindar. Hal ini tentu saja membuat gadis itu semakin kesal saja. Sampai suatu saat....

Siuut!

Mendadak melesat satu sosok bayangan hijau dari balik semak-semak. Tubuhnya langsung meliuk-liuk di udara, seraya menangkap kerikil-kerikil yang melesat.

Tap! Tap!

“Hei?!” Rangga terkesiap. Cepat dihentikannya laju Dewa Bayu. Demikian pula Ratmi. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita cantik berusia setengah baya berbaju serba hijau. Dandanannya amat medok. Bibir merah menyala tak beraturan. Sepasang alis hitamnya saling bertaut. Namun yang menyolok adalah rambutnya yang sepunggung dan awut-awutan seperti tak terurus. Warnanya pirang!

“Siapa yang hendak bermain-main denganku?!” tanya wanita itu datar. Sepasang mata wanita ini nyalang menatap Rangga dan Ratmi. Lalu tiba-tiba saja tangannya mengebut, membuat dua buah kerikil melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Ratmi.

Siuuut!

“Hei?!”

Tap! Tap!

Rangga bergerak cepat menangkapnya. Namun dia sempat terkejut ketika tangannya terasa kesemutan saat menangkap kedua kerikil itu.

“Hm! Siapa wanita ini? Tenaganya kuat sekali!” gumam Rangga memuji.

“Hi hi hi...! Rupanya kau yang melemparku tadi, Bocah Tampan? Siapa pun tidak boleh memperlakukanku seperti itu. Kau harus kuhajar!” Dan tiba-tiba saja wanita ini bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi....

“Tunggu dulu!” cegah Ratmi.

“Hm! Ada apa, Bocah Ayu?” tanya wanita berbaju hijau itu, seraya menahan gerakannya.

“Bukan dia yang melempar batu-batu itu.”

“Lalu siapa?”

“Burung-burung di atas! Coba lihat. Mereka banyak sekali, bukan?” tunjuk Ratmi ke atas.

Wanita itu menengadah. Matanya memang menyaksikan belasan ekor burung besar berterbangan. Dahinya berkerut dan memandang aneh pada Ratmi.

“Burung-burung? Belum pernah kudengar burung-burung menjatuhkan batu?” tukas wanita itu.

“Itu karena kau belum pernah mengalaminya. Kami sering mengalaminya. Dan hari ini, agaknya pengalaman itu menimpamu,” jelas Ratmi.

“Apa benar?”

Gadis itu mengangguk cepat. “Kurang ajar! Kalau begitu burung-burung keparat itu mesti menerima pembalasan dariku!” dengus wanita ini geram.

“Mestinya memang begitu. Nah, tunggu apa lagi? Ayo, kejar mereka sebelum jauh!” seru Ratmi.

“Iya, iya! Kau benar! Aku mesti mengejarnya sekarang juga!” kata wanita itu. Seketika wanita itu berkelebat sambil berteriak-teriak. “Hei, turun kalian! Turun, Keparat! Akan kuhajar kau! Kuhajar kau...!”

Dahi Rangga berkernyit melihat kelakuan wanita itu. Wajahnya yang cantik mengesankan kalau dia terpelajar. Tapi berteriak-teriak pada kawanan burung dan memaki-makinya, bukanlah tindakan orang waras.

“Dia memang sinting...,” jelas Ratmi seperti menjawab pertanyaan pemuda itu.

“Kau kenal dengannya?” tanya Rangga.

“Ya. Dia adalah Dukun Gila Berambut Pirang. Ayahku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Orang itu memang sinting. Tapi, dia berilmu tinggi. Bersama ayahku, mereka pernah membunuh seorang tokoh sesat beberapa waktu lalu,” jelas Ratmi lagi.

Rangga mengangguk. “Nama itu pernah kudengar. Siapa yang mereka bunuh saat itu?”

“Kalau tidak salah namanya..., Ki Bagus Perkasa. Orang itu betul-betul iblis! Dia membunuh orang sebagaimana layaknya seekor harimau kelaparan.”

“Apa maksudmu seperti harimau kelaparan?” tanya Rangga, makin tertarik.

“Dia mencabik-cabik lawan-lawannya. Ayahku bilang, orang itu memiliki ilmu iblis. Dia dikuasai ilmunya itu, sehingga kelakuannya mirip binatang.”

“Hm, aneh...!” gumam Rangga.

“Kenapa?” tanya Ratmi.

“Belum lama ini kutemukan beberapa sosok mayat dalam keadaan seperti itu di pinggiran hutan.”

“Mati dengan tubuh terkoyak-koyak?!”

Rangga mengangguk. “Pada mulanya, aku punya dugaan kalau mereka diterkam harimau kelaparan. Tapi luka yang dialami lebih mengerikan. Dan tidak kutemukan jejak-jejak harimau atau kawanan serigala. Juga, tidak terdapat bulu-bulu mereka yang tertinggal. Jadi kuat dugaanku kalau mereka bukan dibunuh binatang buas,” jelas Rangga.

“Astaga! Mungkinkah Ki Bagus Perkasa hidup lagi?!” sentak Ratmi kaget. “Di mana Kakang temukan mayat-mayat itu?”

“Di pinggiran Hutan Petijah.”

“Hm.... Dia kutemukan tidak seberapa jauh dari Padepokan Karang Gelam.”

“Siapa yang kau maksudkan?”

“Ambar. Dia berasal dari sana.”

“Ambar? Gadis yang tadi bersamamu itu?”

Ratmi mengangguk cepat. “Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya!”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Entahlah. Kekasihnya diculik di depan matanya. Lalu, menghilang. Mungkin mati. Kemudian terjadi pembunuhan seperti yang baru saja Kakang ceritakan. Kenapa mesti di sana? Atau hanya kebetulan belaka?”

“Ratmi! Aku tidak mengerti apa yang tengah kau pikirkan.”

“Aku juga!” sahut gadis itu enteng sambil cengar-cengir. “Tapi, sudahlah. Buat apa diambil pusing. Toh, itu bukan urusan kita.”

“Kalau saja ini berlangsung terus, maka aku tidak bisa berdiam diri,” tegas Rangga.

“Terjadi apa? Pembunuhan itu?” tukas Ratmi.

Rangga mengangguk.

“Kenapa mesti repot-repot? Orang lain yang punya urusan, maka mereka yang menjadi korban. Asal saja tidak mengganggu kita, buat apa ikut campur segala?!”

“Apakah ayahmu pun berpikir begitu?”

“Jangan samakan aku dengan ayahku!” sahut gadis itu dengan muka masam.

“Tidak! Aku tidak menyamakan kau dengan beliau. Tapi hanya ingin tahu, apakah watakmu sama dengannya? Maksudku, misalnya dalam soal tadi, selalu tak peduli terhadap urusan atau kemalangan yang menimpa orang lain?”

“Kurasa begitu.”

“Lalu, kenapa ayahmu turun tangan dalam menumpas pembunuh itu?”

“Pembunuh yang mana?”

“Pembunuh kejam yang mengoyak-ngoyak tubuh korban-korbannya.”

LIMA

“Itu persoalan pribadi,” kata Ratmi.

“Sejauh mana pribadinya?” kejar Rangga.

“Soal dendam. Beberapa tahun sebelumnya, Ki Bagus Perkasa pernah dikalahkan ayahku. Tapi belakangan, setelah memiliki ilmu iblis itu, dia datang menantang ayahku. Kebetulan, saat itu banyak berkumpul tokoh silat yang mendendam pada Ki Bagus Perkasa. Walhasil, ketika mereka bertarung, maka tokoh-tokoh silat lainnya mengerubuti Ki Bagus Perkasa,” jelas Ratmi singkat.

Rangga mengangguk mengerti. “Hei?!” Mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersentak. Sejenak kepalanya miring ke kiri, seperti berusaha menajamkan pendengarannya.

Sehingga, membuat Ratmi bertanya-tanya. “Ada apa?” tanya Ratmi.

“Kudengar suara pertarungan di depan sana!” jelas Rangga.

“Ah! Peduli apa? Lebih baik jangan ikut campur,” ujar Ratmi.

“Tidak! Itu arah Dukun Gila Berambut Pirang menghilang tadi. Aku khawatir dia menghajar sembarang orang,” sergah Pendekar Rajawali Sakti.

“Biarkan saja! Kalaupun orang sampai mampus dihajarnya berarti nasibnya yang memang apes.”

“Kalau begitu terserahmu. Aku ke sana! Heaaa!” Begitu kata-katanya habis, Rangga menggebah kudanya.

“Kakang, eh tunggu...!” seru Ratmi.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak menoleh lagi. Dewa Bayu terus dipacu dengan kencang. Sehingga, mau tak mau terpaksa gadis itu mengikuti meski menggerutu kesal.

“Huu! Brengsek...!”

Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar kemudian Rangga tiba di sebuah tempat yang agak luas. Kemudian, menyusul Ratmi dengan kudanya yang mendengus-dengus kelelahan. Di situ terlihat dua orang saling bertempur hebat. Sementara di sekitarnya sepuluh orang memperhatikan dari jarak agak jauh. Sedangkan di dekat pertempuran terlihat beberapa sosok tampak dalam keadaan mengerikan.

“Tubuh mereka terkoyak-koyak...!” desis Ratmi ketika melihat pemandangan itu.

“Tahukah kau, siapa yang bertarung melawan si Dukun Gila Berambut Pirang itu?” tanya Rangga datar.

Ratmi memperhatikan dengan seksama seorang laki-laki tua dengan guci arak di tangannya. Gerakannya gesit, tapi juga aneh. Dan wajahnya kelihatan lucu. Sesekali dia mengejek lawannya. Padahal yang dihadapi bukanlah tokoh sembarangan.

“Aku belum pernah melihat sebelumnya...,” sahut gadis itu menggeleng lemah.

“Menurutmu, orang seperti dia yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang itu?”

“Kenapa berpikir begitu?” tanya Ratmi.

“Entahlah. Mungkin mereka menuduhnya sebagai pembunuh. Lalu, muncul si Dukun Gila Berambut Pirang dan membantu menghajarnya,” sahut Rangga, seperti menduga-duga.

“Atau mungkin saja memang dia pembunuhnya!”

Rangga tersenyum seraya turun dari punggung kudanya. “Yang jelas mereka memang mempunyai kesamaan,” kata Rangga.

“Apa?” kejar Ratmi.

“Sama-sama sinting!”

“Kau kenal kakek itu?”

Rangga tak menjawab. Kakinya malah melangkah mendekati. Sementara Ratmi mengikuti dari belakang.

“Ki Demong! Kurasa hari ini kau punya penggemar berat!” teriak Rangga.

Kakek yang bersenjata guci berpaling. Sejenak pertarungan dihentikannya. Wajahnya kelihatan berseri-seri melihat siapa yang menyapanya. “Hooi! Bocah Berambut Gondrong, apa yang kau lakukan di sini?!” teriak laki-laki tua urakan yang tak lain Ki Demong. Dalam rimba persilatan, dia terkenal sebagai Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Apa lagi? Tentu saja ingin melihat kalian bermesraan,” sahut Rangga seenaknya.

“Kurang ajar kau, Setan Rompi Putih! Kau kira, aku naksir si Nenek Sihir ini! Huh! Seratus orang sepertinya dengan mudah kudapatkan!”

Meski sambil bercakap-cakap begitu, Pemabuk Dari Gunung Kidul itu tidak lengah terhadap si Dukun Gila Berambut Pirang yang kembali menyerang. Ke mana saja perempuan sinting itu menyerang, maka tangan kirinya gesit menangkis. Atau gucinya balas menyerang, sehingga membuat wanita sinting menjadi gusar. Dan semakin gusar saja ketika dirinya diejek dengan sebutan Nenek Sihir.

“Pemabuk sial! Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu!” bentak Dukun Gila Berambut Pirang.

“Nenek Sihir!” teriak Ki Demong dengan suara lebih keras.

“Kurang ajar! Terkutuk kau, Pemabuk Sialan. Benar-benar akan kurobek mulutmu yang kotor itu!”

Tiba-tiba saja telapak tangan kiri wanita setengah baya itu dihentakkan ke arah Pemabuk Dari Gunung Kidul. Bersamaan dengan itu, belasan jarum-jarum melesat mengancam keselamatan Ki Demong.

Glek! Glek...!

Ki Demong tenang-tenang saja. Bahkan ditenggaknya tuak dalam guci. Dan ketika serangan jarum-jarum itu mendekat, tiba-tiba tuaknya disemprotkan ke depan.

“Fruhhh...!”

Prasss...!

Jarum-jarum halus yang dilepas perempuan itu rontok sebelum menemui sasaran. “Hiyaaat!” Tapi Dukun Gila Berambut Pirang tidak berhenti sampai di situ. Karena secepat kilat tubuhnya mencelat menyerang dengan tangan mengibas.

Dan Ki Demong pun meladeninya dengan mantap. Ketika telapak tangan kanan wanita itu hendak menghantam jidat, tubuhnya mengegos ke samping. “Tidak kena!” ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan mata dijulingkan.

Dukun Gila Berambut Pirang mengibaskan kaki kirinya

Wuuttt!

Dan,.., tendangan itu masih luput ketika Ki Demong mencelat ke atas. Dengan gesit perempuan itu jungkir balik mengejar dengan kedua kaki menyabet seperti kitiran. Seketika Ki Demong menangkisnya dengan hantaman guci.

Plak!

Secepat kilat, Pemabuk Dari Gunung Kidul merendahkan tubuhnya ke bawah. Bersamaan dengan itu tangan kirinya bergerak jahil menepuk salah satu buah dada Dukun Gila Berambut Pirang.

“Pemabuk busuk! Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!” teriak Dukun Gila Berambut Pirang, merasa terhina lambang kewanitaannya disentuh.

Karuan saja Ki Demong akhirnya kerepotan sendiri. Akibat perbuatan jahilnya tadi wanita itu terus mengejar. Tapi dasar orang tua tidak mau kalah, mana mau disalahkan?

“Nenek sihir! Kenapa kau ngamuk-ngamuk tidak karuan? Masih untung tidak kuhajar sampai muntah darah. Itu berarti aku masih sayang padamu. Mestinya kau mengerti!”

“Pemabuk edan! Kau kira aku tidak tahu akal licikmu, he?!”

“Akal licik apa? He, jangan sembarangan menuduh!”

“Banyak omong! Modar kau!” dengus Dukun Gila Berambut Pirang seraya menghentakkan tangan kanannya, melepas pukulan jarak jauh.

“Uts! Gila! Hampir saja bertemu malaikat maut!” rutuk Ki Demong seraya melompat ke samping.

Tak!

“Eee...!”

Gabruk!

Tapi saat itu sebuah batu yang menonjol ke permukaan menjegal kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul hingga ambruk seperti orok yang baru belajar jalan.

“Hi hi hi...! Dasar pemabuk kampungan! Bagaimana mungkin kau bisa mengalahkanku kalau berdiri saja tak betul!” ejek Dukun Gila Berambut Pirang sambil tertawa nyaring.

Dengan mulut mesem-mesem, Ki Demong bangkit. Ditenggaknya tuak merahnya yang harum. “Tapi bukan berarti kau tidak suka padaku, bukan?” tukas si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Huh! Tadi kau bilang aku seperti nenek penyihir!” cibir wanita itu.

Ki Demong mendekati sambil cengar-cengir. “Aah! Tadi aku hanya bercanda...!” desah pemabuk tua ini.

“Bohong!” sentak Dukun Gila Berambut Pirang.

“Betul! Mana mungkin aku menolak wanita secantikmu. Kau adalah bidadariku yang turun dari kahyangan!” sergah Ki Demong dengan gaya bersyair. “Tapi..., kahyangan itu di mana, ya? Di bawah pohon jengkol atau pohon pete? Atau barangkali di dalam guciku ini?” Pemabuk Dari Gunung Kidul melongok ke dalam gucinya sendiri.

“Eeehhh...!” Dukun Gila Berambut Pirang menghentak-hentakkan kedua kakinya dengan wajah memberengut kesal seperti layaknya bocah yang tengah ngadat. “Kalau tidak suka, bilang saja! Kenapa mesti mengata-ngatai segala?!”

“Eh, siapa bilang? Itu kan syair yang kuciptakan khusus untukmu. Aku masih punya banyak syair lagi. Tapi..., kalau tak salah kutinggal di dekat kali.”

“Kok, syair ditinggal di kali?”

“Iya! Kebetulan waktu buang ‘ampas’ aku dapat wangsit untuk menuangkan isi hatiku kepadamu, Kekasihku. Maka kutulis di daun-daun. Kalau kau mau akan kutunjukkan!”

“Benarkah?!” tanya Dukun Gila Berambut Pirang dengan wajah berseri-seri.

Ki Demong cepat mengangguk sambil tersenyum, lebar. “Kau mau aku mengambilkannya?”

“Mau! Mau...!”

“Tempat itu agak jauh. Dan..., lebih enak kalau jalan berdua. Bagaimana?”

“Tak apa! Ayo kita ke sana!” ajak Dukun Gila Berambut Pirang dengan wajah makin berseri-seri. Seperti seorang gadis yang menginjak dewasa, Dukun Gila Berambut Pirang melangkah riang. Dan tanpa malu-malu, digamitnya lengan Ki Demong.

“Tapi aku menulisnya di daun-daun kering? Mungkin telah diterbangkan angin?”

“Tidak apa!”

“Tapi cintaku kepadamu tidak pernah diterbangkan angin!” sahut Ki Demong cepat.

“Hi hi hi...!”

“Ha ha ha...!”

Kedua orang itu tertawa-tawa seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

“Dasar pemabuk setan!” umpat Rangga, sambil menggeleng-geleng.

“Ya. Wanita itu juga sinting! Mereka memang cocok!” timpal Ratmi.

Sementara itu sepuluh orang yang tadi menyaksikan pertarungan tidak bisa berbuat apa-apa melihat kelakuan kedua tokoh aneh barusan.

“Kakang, Lembu Abang.... Kita tidak bisa membiarkan mereka pergi begitu saja!” kata salah seorang, yang bertubuh sedang.

“Lalu, aku harus bagaimana?” sahut orang laki-laki bertubuh besar dan bersenjata golok.

“Paling tidak kita harus meyakinkan kalau kakek itu yang membunuh mereka!” lanjut pemuda bertubuh sedang sambil menunjuk mayat-mayat yang bergeletakan.

“Kurasa itu tidak perlu....”

Mendadak terdengar seruan, membuat kesepuluh orang itu menoleh. Rupanya, Rangga telah berdiri tak jauh dari tempat mereka.

“Aku yakin Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak melakukannya!” lanjut Rangga.

“Pemabuk Dari Gunung Kidul? Jadi..., benarkah dia orangnya?!” seru laki-laki bertubuh besar bersenjata golok.

Rangga mengangguk. “Aku kenal dengannya. Dan sejauh yang kuketahui, dia tidak pernah menyiksa korban-korbannya seperti itu. Pelakunya adalah orang sinting yang menganut ilmu iblis,” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

“Kisanak tahu, siapa kira-kira pelakunya?” tanya laki-laki bertubuh besar.

“Sayang sekali. Sampai hari ini, aku belum mengetahuinya....”

Orang itu mendesah dengan wajah kecewa. “Aku pun tengah mencarinya. Nanti jika bertemu akan kuberitahu padamu...,” lanjur Rangga.

“Benarkah? Hm... Kau bisa menemui Lembu Abang di Padepokan Kuring Gemuning,” tukas laki-laki itu, berbinar.

“O, jadi Kisanak bernama Lembu Abang dari Padepokan Kuring Gemuning?”

“Benar! Kisanak, karena mesti buru-buru untuk melaporkan kejadian ini pada Guru, maka kami tak bisa berlama-lama. Kami segera mohon diri. Kalau boleh tahu, siapa gerangan Kisanak ini?” tanya laki-laki bertubuh besar yang dipanggil Lembu Abang.

“Namaku Rangga...,” jawab Rangga.

“Dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti!” timpal Ratmi.

“Ratmi...!” sentak Rangga, merasa tak ingin menyombongkan diri. Matanya melotot pada Ratmi. Tapi gadis itu tak menggubrisnya.

“Oh! Pendekar Rajawali Sakti?! Suatu keberuntungan besar bisa bertemu denganmu Pendekar Rajawali Sakti. Guruku sudah lama ingin bertemu denganmu. Kalau tidak keberatan, sudikah mampir ke tempat kami?”

“Panggil aku Rangga saja, Kakang Lembu Abang. Hm.... Soal tawaranmu, maaf. Kami harus cepat-cepat agar tidak kehilangan buruan. Sampaikan saja salam kami pada gurumu. Nah, Kakang Lembu Abang! Kami berangkat lebih dulu,” tolak Rangga, halus. Rangga dan Ratmi melompat ke punggung kuda dan segera menggebahnya.

“Heaaa...!”

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

“Ssst..., Anjani...!”

“Heh...?!” Seorang gadis berpakaian serba kuning tersentak ketika terdengar suara berbisik yang seperti memanggilnya. Kepalanya celingukan ke sana kemari. Lalu tertuju ke pintu jendela kamar. Namun tak seorang pun yang terlihat batang hidungnya. Dan baru saja gadis itu hendak menghampiri jendela.

“Heh?!” Gadis yang dipanggil Anjani kembali tersentak, begitu tahu-tahu jendela kamar ini terbuka. Lalu dari luar, berkelebat satu sosok yang langsung menutup pintu jendela.

“Anjani...!”

“Kakang! Kakang Kuntadewa...!” Wajah Anjani yang semula tegang, berubah gembira bercampur haru ketika melihat siapa yang datang. Dengan segenap perasaan haru yang meledak-ledak di dada, dipeluknya sosok yang baru datang kuat-kuat. “Kakang! Ternyata kau masih hidup. Oh, Gusti! Padahal selama ini kukira Kakang telah mati...,” kata gadis itu, merasakan gembira bukan main melihat kakangnya masih hidup.

“Syukurlah, aku masih segar-bugar seperti yang kau lihat sekarang,” kata sosok pemuda yang ternyata Kuntadewa.

“Kakang! Ke mana saja? Banyak peristiwa penting yang terjadi di padepokan!” lapor gadis itu.

“Ya. Aku tahu....”

“Ki Angwatama dan Kakang Walung Turangga telah mati. Demikian pula beberapa murid yang lari. Kini Kakang Somadipura yang memimpin padepokan...,” jelas Anjani.

“Hmm! Kakang Somadipura baik. Kau aman bersamanya.”

“Ya...!” sahut gadis itu. Dipandanginya Kuntadewa untuk sejurus lamanya.

“Kakang.... Ke mana saja selama ini? Kenapa tidak memberitahuku kalau akan pergi? Lalu, kenapa mesti main kucing-kucingan begini untuk bertemu denganku?”

“Maaf, Anjani. Aku tidak bisa terang-terangan datang ke sana. Khawatir kalau mereka mencurigaiku.”

“Mencurigai kenapa?”

“Sebagai pembunuh Ki Angwatama....”

“Itu tidak mungkin, Kakang! Kakang Somadipura dan semua murid di padepokan tidak akan percaya. Mereka tidak berpikir kalau Kakang sebagai pembunuh Guru. Mengalahkan Kakang Walung Turangga saja, kakang tidak mampu. Apalagi untuk membunuh Guru serta yang lainnya?”

“Apakah Kakang Somadipura berpikir begitu?”

“Tentu saja.”

“Tapi..., bagaimana dengan Ambar?”

“Dia pun menghilang sejak peristiwa itu. Apakah..., apakah Kakang pergi karena mencarinya?”

“Eh, iya. Iya...!”

“Sabarlah. Kita akan menemukan kabarnya dalam waktu dekat....”

“Kenapa kau bisa memastikan begitu?”

“Kemarin Kakang Somadipura telah mengirim dua orang murid ke Desa Jembring. Mungkin hari ini atau esok mereka kembali.”

“Oh...!”

“Kakang Kuntadewa! Kenapa kau tidak ke padepokan untuk bertemu dengan Kakang Somadipura dan menceritakan peristiwa yang kau alami?”

“Tidak, Anjani! Aku masih banyak urusan saat ini.”

“Urusan apa?”

“Urusan penting!”

“Sepenting apakah urusan itu, sehingga enggan mengatakannya pada adik sendiri?”

Kuntadewa menatap adiknya, lalu memegang kedua bahu gadis itu. “Anjani.... Saat ini tidak bisa kukatakan padamu. Tapi suatu saat, kau akan tahu juga. Aku hanya ingin berbakti pada orangtua.”

“Tidak mungkin. Ayah dan ibu sudah lama tiada,” sergah Anjani.

“Tapi mereka mati penasaran. Dan kita harus membuat mereka tenang!” tandas Kuntadewa.

“Lalu bagaimana caranya?” tanya Anjani.

“Itulah yang akan kulakukan saat ini.”

“Kalau begitu, aku ikut saja.”

“Tidak. Kau tetap di padepokan. Biar kukerjakan sendiri, karena ini berbahaya bagimu. Nah, aku pergi dulu!” Setelah berkata begitu, Kuntadewa berbalik. Tubuhnya langsung berkelebat keluar pintu jendela, meninggalkan adiknya.

********************

ENAM

Malam ini tak begitu pekat, karena sang Dewi Malam bersinar penuh, membiaskan cahayanya yang keemasan. Biasanya saat-saat seperti ini bocah-bocah lebih suka main di luar rumah. Mereka bermain dolanan anak-anak, atau ada yang bernyanyi-nyanyi. Semuanya untuk menyambut purnama malam ini.

Namun malam ini, bocah-bocah di Desa Wadas Malang kelihatan enggan untuk keluar rumah. Mereka seperti ikut berduka, atas kematian beberapa murid Padepokan Kuring Gemuning yang memang terletak di desa ini.

Kematian beberapa orang murid membuat seorang laki-laki tua berjubah kuning hanya duduk merenung di ruangan utama padepokan itu. Namun lamunan laki-laki berambut putih keperakan ini mendadak terpenggal oleh....

Wuttt...! Tap...!

“Heh?!” Laki-laki tua ini tersentak ketika sebilah pisau melesat dari belakangnya, dan menancap di tiang utama padepokan. Agaknya orang yang melemparkannya memiliki tenaga dalam tinggi, karena mampu melewati batas halaman padepokan yang cukup luas. Sebab kalau dilemparkan dari halaman, pasti beberapa murid akan memergokinya.

“Hmm!” Laki-laki tua itu bergumam pendek. Ditunggunya serangan berikut dengan waspada. Pendengarannya dipertajam. Tapi tidak terdengar tanda-tanda akan adanya serangan berikut. Perlahan dia bangkit menghampiri pisau yang tertancap, lalu mencabutnya.

“Siapa yang mau main-main dengan Taji Bhirawa?” desah laki-laki tua berjubah kuning pendek ketika melihat pada batang pisau kecil terdapat selembar kulit kambing tipis yang diikat rapi. Buru-buru laki-laki tua yang mengaku bernama Taji Bhirawa membuka lembaran kulit. Di dalamnya tertera beberapa kalimat yang membuat mukanya merah menahan geram....

Ayam tua sakit! Temui aku di perempatan jalan di dekat padepokanmu. Di sana telah kusediakan lubang untukmu!

“Kurang ajar! Siapa orang ini? Dia tidak menyebutkan jati dirinya!” dengus laki-laki tua berjubah kuning ini gusar.

Ki Taji Bhirawa termangu sesaat sebelum meletakkan surat itu di atas meja. Kemudian kakinya melangkah pelan meraih sepasang pedang pendek yang batangnya melengkung. Sepasang senjata yang tadi tergantung di dinding, kini berpindah ke punggungnya. Lalu dengan langkah mantap dia bergegas keluar.

“Mau ke mana, Kang?”

“Heh?!” Ki Taji Bhirawa hampir saja terjingkat, ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang. Langsung dia menoleh seraya menghentikan langkahnya. Ternyata di belakangnya berdiri seorang wanita cukup tua dengan sinar mata lesu.

“Aku pergi sebentar..., Nyai.”

“Dengan membawa senjata?” tanya wanita itu.

Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu terdiam. Dipandanginya wanita itu sejurus lamanya.

“Aku khawatir, Kang...,” desah wanita yang memang istri Ki Taji Bhirawa.

“Tidak akan terjadi apa-apa denganku, Nyai. Percayalah!”

“Tapi firasatku begitu kuat?!”

“Jangan percaya firasat itu!” tukas Ki Taji Bhirawa.

“Tapi, Kang....”

“Berdoalah,” potong Ki Taji Bhirawa. “Aku akan kembali dengan selamat!”

“Kakang hendak bertarung melawan seseorang?” cecar perempuan tua ini. Ki Taji Bhirawa tak menjawab. “Di mana, Kang?” desak perempuan tua ini.

“Aku tidak bisa mengatakannya padamu, Nyai,” sahut laki-laki tua berjubah kuning.

“Kenapa tidak membawa beberapa orang murid?”

“Jangan mengajariku menjadi pengecut, Nyai!”

“Tapi, Kang....”

“Sudahlah! Jangan bebani langkahku dengan segala keraguanmu. Aku pergi dulu! Doakan aku selamat.”

Dan laki-laki yang memang Ketua Padepokan Kuring Gemuning melangkah lebar. Di bawah pintu depan rumah, beberapa pemuda berpakaian ketat berwarna kuning berdiri dengan kepala tertunduk. Dia berhenti sebentar memandangi mereka.

“Jaga tempat ini baik-baik!” ujar Ki Taji Bhirawa.

“Guru...!” Salah seorang memberanikan diri buka suara, tapi orang tua itu telah mengangkat sebelah tangan sebagai isyarat. Sehingga, murid itu tidak berani melanjutkan kalimatnya.

“Jangan bicara apa pun. Dan, jangan mengikutiku. Ini urusanku! Kalian mengerti?” Para pemuda murid Ki Taji Bhirawa tidak menyahut. Mereka tetap berdiri dengan kepala tertunduk.

“Hmm!” Orang tua itu melangkah lebar setelah menggumam pendek. Tak dipedulikan beberapa orang yang memanggilnya. “Hup!” Secepat kilat Ki Taji Bhirawa mencelat ke samping, mengerahkan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat. Tempat itu bukan arah yang dituju untuk sampai di tempat yang dimaksud penantangnya, dalam surat tadi. Tapi hal itu dilakukan untuk mengecoh para muridnya, jika mereka berkeras untuk mengikuti dari belakang.

Setelah berputar-putar agak lama, Ketua Padepokan Kuring Gemuning mencelat ke tempat yang dimaksud. Sebuah tempat yang tidak begitu luas dan banyak ditumbuhi pohon bambu. Matanya langsung mengawasi beberapa saat dengan sorot tajam. Tapi yang ditunggu belum juga kelihatan.

“Selamat datang, Taji Bhirawa...!”

“Hmm...!” Ketua Padepokan Kuring Gemuning menoleh ke kanan.

Pada jarak sekitar lima belas langkah telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berambut sepundak. Kelihatannya biasa saja. Bahkan tanpa senjata, sebagaimana layaknya tokoh-tokoh persilatan. Tapi lebih daripada itu, Ki Taji Bhirawa sama sekali belum pernah mengenalnya.

“Kaukah yang mengirim surat tantangan itu padaku, Anak Muda?” tanya Ki Taji Bhirawa.

“Apakah kau berharap orang lain?” tukas pemuda itu.

“Siapa kau?”

“Aku Kuntadewa!”

“Hmm...! Aku tidak kenal denganmu. Lantas, bagaimana kau bisa menantangku? Apakah ketenaran yang kau inginkan dengan menantangku dan berusaha mengalahkanku?” sindir Ki Taji Bhirawa.

“Aku datang dengan dendam yang hanya bisa terbalas oleh kematianmu!” desis pemuda yang ternyata Kuntadewa.

“Hmm! Dendam? Bahkan kita belum bertemu sebelum ini. Bagaimana mungkin kau mendendam padaku?”

“Nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang, bersiaplah menerima kematian.”

“Heh?!” Ki Taji Bhirawa tercekat. Dan tanpa sadar kakinya mundur dua langkah ke belakang melihat apa yang dilakukan Kuntadewa.

Pemuda itu menggeram. Kedua tangan dan kakinya membentuk cakar. Wajahnya yang semula tampan mendadak berubah menggiriskan. Bahkan tampak perubahan lain yang dialami. Sekujur tubuhnya pelan-pelan ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna belang hitam. Dan kuku-kuku jari tangan serta kaki tumbuh panjang dan runcing. Kalau boleh disebut, jelas Kuntadewa berubah bagai seekor harimau.... Harimau jadi-jadian!

“Graungrrr...!”

“Kau..., kau..., apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa?!” Bola mata Ki Taji Bhirawa melotot lebar dan mukanya pucat pasi.

Wut!

Bukannya menjawab, justru Kuntadewa meluruk melepaskan serangan dahsyat berbau kematian. Kedua tangan harimau jejadian ini terpentang membentuk cakar. Laki-laki tua itu berusaha mencelat ke samping dengan jungkir balik beberapa kali. Sambil bergerak demikian langsung sepasang pedangnya dicabut. Dan dengan senjata di tangan, dibalasnya serangan.

Wut! Bet!

Sabetan pedang Ki Taji Bhirawa berkelebat gencar, memapas pinggang dan batok kepala Kuntadewa. Pemuda yang berubah menjadi harimau jejadian ini tahu-tahu menghilang dari sabetan senjatanya. Dan sebagai balasannya, justru punggung laki-laki tua itu yang kena cakar.

Bret!

“Aaakh...!” Ki Taji Bhirawa mengeluh tertahan. Tubuhnya terus mencelat mundur untuk menghindar segala kemungkinan buruk lainnya.

“Graungrrr...!” Harimau jejadian itu menggeram. Dan kembali tubuhnya melesat, menerkam dengan buas.

Tring! Wuut...!

Ki Taji Bhirawa mengadukan pedangnya, hingga menimbulkan percikan bunga api. Dan laki-laki tua ini langsung berkelebat secepat kilat, membuat gerakan aneh. Beberapa kali dilakukannya gerakan membabat dan menyilang. Sehingga bukan saja tubuhnya yang terkurung ayunan pedang, namun dirinya sendiri laksana sebuah bola berisi tajam yang siap mengiris-ngiris Kuntadewa menjadi potongan-potongan kecil.

“Ayo mendekat, Keparat! Kau rasakan jurus ‘Pedang Mengitari Bumi’ ini...!” teriak Ki Taji Bhirawa geram.

“Ngrr...!” Harimau jejadian itu tak menyahut. Sepasang matanya menatap tajam dan berkilauan seperti hendak menelan Ki Taji Bhirawa saat itu juga.

Tapi Ketua Padepokan Kuring Gemuning tak peduli. Seketika itu juga dia melompat menyerang.

Wut! Wuk!

Pedang laki-laki tua itu menyambar ke seluruh tubuh Kuntadewa. Namun harimau jejadian ini menjatuhkan diri. Sebelah kakinya tiba-tiba memapaki sabetan pedang.

Tak!

“Heh?!” Betapa terkejutnya Ki Taji Bhirawa, karena sebuah pedangnya patah dihantam kuku kaki harimau jejadian itu. “Gila! Ilmu apa yang digunakan bocah ini? Apakah dia kesurupan roh Ki Bagus Perkasa?!” desis Ki Taji Bhirawa kaget. Belum habis rasa terkejut laki-laki tua itu, Kuntadewa telah melesat menerkam dengan cakarnya yang tajam. Begitu cepat gerakan harimau jejadian itu, sehingga....

“Graungrrr...!”

Bret!

“Aaarkh...!” Ki Taji Bhirawa menjerit kesakitan tatkala kedua cakar harimau jejadian itu menyambar dadanya. Kendati demikian, dia berusaha menghindar dengan melompat ke atas. Tapi Kuntadewa terus memburunya dengan lompatan ke atas pula. Dan....

Brettt!

“Aaakh...!” Kembali Ki Taji Bhirawa terpekik ketika perutnya jadi sasaran cakar Kuntadewa. Padahal saat itu pedang laki-laki ini telah bergerak membabat punggung. Ki Taji Bhirawa tidak sempat terkejut saat pedangnya sama sekali tak mampu melukai harimau jejadian itu. Bahkan sepertinya mata pedang itu membentur batu cadas. Ketua Padepokan Kuring Gemuning itu terhuyung-huyung ke belakang dengan sebelah tangan mendekap perut.

“Graungrr...!” Namun Kuntadewa tak memberi kesempatan sedikit pun. Dia terus menerkam.

“Hiaaa...!” Meski dengan sisa tenaga yang terakhir, Ki Taji Bhirawa coba menebas leher.

Namun dengan mudah Kuntadewa mengelak. Bahkan sambil berputar, kakinya yang berbulu tajam pula menyambar dahsyat menuju ke atas.

Bret!

“Aaakh!” Ki Taji Bhirawa kontan memekik tertahan. Lehernya langsung robek lebar disambar kaki kiri harimau jejadian ini. Dan bersamaan dengan itu, Kuntadewa telah berbalik. Tubuhnya kembali menerkam dengan cakar mengibas. Lalu....

Brettt!

Kibasan cakar Kuntadewa membuat tubuh Ki Taji Bhirawa ambruk dengan dada terkoyak lebar. Tak ada teriakan lagi, karena nyawa orang tua itu terbang sejak tadi. Kuntadewa berdiri seraya mengawasi dengan sorot mata tajam. Sikapnya masih terus siaga. Sepertinya, dia tak yakin kalau laki-laki tua itu sudah mampus.

“Guruuu...!”

“Grrr...!” Kuntadewa kembali menggereng, ketika terdengar jeritan panjang dari berbagai arah.

Beberapa sosok tubuh tampak langsung menghambur menghampiri mayat Ki Taji Bhirawa, disusul yang lainnya. Tapi, lima orang dari mereka langsung mencabut senjata dan menyerang Kuntadewa dengan ganas.

“Iblis terkutuk! Kau harus bayar kematian Guru kami dengan nyawa busukmu!”

“Yeaaat!” “Haaat...!”

Melihat sikap orang-orang itu, Kuntadewa tidak tinggal diam. Sebelum mereka sampai padanya, harimau jejadian ini lebih dulu menerkam.

“Graungrrr...!”

Brebet...!

“Aaa...!” Sepasang tangan dan kaki Kuntadewa yang membentuk cakar langsung mendapatkan korban lagi. Dua pedang para pengeroyok patah. Dan dada mereka diterkam cakar tangan Kuntadewa. Saat Kuntadewa berbalik maka dua pengeroyok lain mendapat bagian cakar kakinya. Saat itu juga perut mereka jebol.

“Heh?!” Orang-orang yang ternyata murid-murid Ki Taji Bhirawa terkejut melihat keadaan ini. Kesedihan mereka karena kematian gurunya, seketika tersentak. Bahkan berubah menjadi dendam membara.

“Bunuh harimau jejadian ini...!” teriak seseorang.

Sring!

“Yeaaat...!”

“Graungrr...!” Kuntadewa tidak tinggal diam. Tubuhnya kembali meluruk langsung balas menyerang dengan ganas.

Bret!

“Aarkh...!” Cakar Kuntadewa kembali menyambar secepat kilat, merobek dada serta menjebol perut.

Bahkan tidak jarang cakar-cakar yang sekuat baja itu mematahkan leher-leher mereka. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Sebagian besar murid-murid Ki Taji Bhirawa kontan binasa. Beberapa orang yang selamat dengan mengalami luka-luka akibat cakaran harimau jejadian ini, berusaha menyelamatkan diri.

“Kakang. Tinggal kita bertiga. Apakah kita akan lari juga?” tanya salah seorang murid yang tersisa.

“Tidak, Logawa! Meskipun mati, aku rela demi membalas kehormatan Guru!” sahut laki-laki bertubuh besar yang memang Lembu Abang.

“Aku pun begitu! Bagaimana denganmu, Lanang?” tandas pemuda yang dipanggil Logawa.

“Aku bersedia mati demi membalas dendam Guru!” sahut pemuda yang dipanggil Lanang garang.

“Kita harus hati-hati! Jahanam ini hebat dan amat buas!” ujar Logawa.

“Biar kuserang dia dari depan. Kalian menyerangnya dari samping kiri dan kanan,” kata Lembu Abang, orang tertua di antara mereka.

“Baiklah...!” sahut kedua adik seperguruannya, serentak.

Mereka mengambil tempat masing-masing yang telah disepakati untuk menyerang. Sementara Kuntadewa mengawasi dengan sorot mata buas, siap menerkam lawan-lawannya. Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak sesosok tubuh berkelebat cepat ke tempat itu.

“Wualah! Ada apa ini? Kenapa pada tidur-tiduran di sini?” tanya sosok yang baru datang dan berhenti pada jarak lima tombak di depan Kuntadewa, mulutnya mendecah dengan kepala menggeleng-geleng.

Lembu Abang dan kedua kawannya mengernyitkan dahi memperhatikan sosok yang baru datang. Sepertinya mereka pernah bertemu dengan sosok itu.

“Hm.... Dia Pemabuk Dari Gunung Kidul...!” gumam Lembu Abang, tersenyum lega.

Lembu Abang memang pernah bertemu dengan sosok yang tak lain Ki Demong. Pemuda ini dulu pernah menuduh kalau laki-laki tua pemabukan itu yang pernah membunuh beberapa murid Padepokan Kuring Gemuning. Namun, setelah mendapat penjelasan Rangga, Lembu Abang jadi malu sendiri karena telah salah menuduh. Pemabuk Dari Gunung Kidul memandang Kuntadewa dengan menyipitkan mata, lalu terkekeh-kekeh.

“Jadi kucing besar inikah yang membunuh kawan-kawanmu dulu? He he he...! Kukira iblis itu mengerikan. Tapi ternyata malah membuatku geli,” oceh Ki Demong, sambil melirik Lembu Abang.

“Grrr...!” Kuntadewa menggeram dan menyeringai lebar. Hingga dua pasang taring di sudut bibirnya terlihat. Besar dan tajam. Seperti harimau buas yang sekali terkam mampu mengoyak-ngoyak mangsanya.

“Kucing besar budukan! Ke sinilah kau! Mengeonglah beberapa kali, nanti akan kucarikan ikan asin! He he he...!”

“Graungrrr...!” Kuntadewa menggeram buas membuat ketiga pemuda di dekatnya bergetar. Secepat kilat tubuhnya melesat menerkam orang tua membawa guci itu.

“Eee...! Uts! Dasar kucing kurap tidak tahu diri! Minta digebuk rupanya!” seru Ki Demong kaget sambil mencelat ke samping.

Kuntadewa tidak mau melepaskannya. Sekali serangannya luput, maka tubuhnya cepat berbalik. Seketika kembali diserangnya lebih ganas.

Glek! Glek!

Sambil melompat ke belakang, Pemabuk Dari Gunung Kidul menenggak tuak dalam gucinya yang sekaligus menjadi senjata anehnya. Dan seketika guci itu dihantamkan ke depan menyambut terkaman Kuntadewa.

Plak!

“Heh?!” Namun Ki Demong sempat dibuat kaget merasakan guncangan hebat ketika gucinya membentur cakar Kuntadewa. Dan dalam keadaan begitu, nyaris mukanya disambar kuku kaki harimau jejadian ini kalau saja tidak menjatuhkan diri. Sambil bergulingan di tanah, Ki Demong menyemburkan tuak merahnya.

“Fruhhh...!” Cairan tuak itu agaknya bukan sembarangan. Sebab ketika keluar dari mulutnya, disertai nyala api yang menyambar Kuntadewa dengan cepat.

“Graungrrr...!” Harimau jejadian itu terkejut. Dia meraung keras sambil melompat ke samping. Kesempatan itu digunakan Ki Demong untuk cepat bangkit berjumpalitan. Seketika dikejarnya Kuntadewa dengan guci tuaknya menghantam dada.

Tak! Tak!

Dua kali Ki Demong menyerang, namun dapat ditangkis harimau jejadian itu dengan sengit. Namun sambil memutar tubuhnya, Ki Demong melepas tendangan kaki kanan menyodok ke perut, yang tak sempat dielakkan Kuntadewa.

Duk!

Hebat! Sedikit pun Kuntadewa tak bergeming. Bahkan tiba-tiba tubuhnya mencelat menerkam dengan cakarnya. Ki Demong terkesiap. Dia berusaha menjatuhkan diri ke samping. Tapi terlambat. Dan....

Bret!

“Akh!” Tahu-tahu saja lengan kanan Pemabuk Dari Gunung Kidul tersayat oleh cakar Kuntadewa. Kalau saja tadi tidak menjatuhkan diri ke bawah, niscaya cakar kaki Kuntadewa akan menyusul untuk membobol perutnya. Kendati demikian, luka di lengan kanannya cukup dalam, membuat darah leluasa keluar.

TUJUH

Setelah bergulingan beberapa kali Pemabuk Dari Gunung Kidul mencelat ke belakang sambil menenggak tuak.

“Glek...! Glek...!”

Sementara, Kuntadewa terus meluruk menerkam. “Grrr...!”

“Fruhhh...!” Begitu serangan harimau jejadian itu dekat, tuak di mulut Ki Demong menyembur cepat. Namun Kuntadewa kembali berkelit ke samping. Tubuhnya lantas berputar, dan langsung membuat lompatan panjang menerkam.

“Hup!” Pemabuk Dari Gunung Kidul cepat melayang ke atas menghindar terkaman. Dan tiba-tiba tubuhnya membuat putaran seraya melepas hantaman ke batok kepala Kuntadewa.

Tak!

Pukulan Ki Demong bukan main-main, melainkan disertai tenaga dalam kuat. Tapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakannya. Bahkan ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul mendarat di tanah, secepat kilat harimau jejadian itu berbalik dan menyerang kembali.

“Uts! Eh, astaga...!”

Kembali Ki Demong mencelat ke atas menghindari terkaman. Dutt! Tapi bersamaan dengan itu wajah Ki Demong berkerut kaget karena sesuatu yang ‘istimewa’ mendesak keluar dari lubang bawah, tepat menyembur kepala Kuntadewa. Tapi dasar pemuda itu telah kehilangan sifat manusianya, maka hal ini tidak terlalu mengganggunya. Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul mendarat di tanah....

“Hei, Pemabuk Edan! Ke mana kau bersembunyi? Kau berhutang beberapa bait syair padaku. Kau harus melunasinya! Walau sembunyi ke liang kubur akan kutemukan kau!” Terdengar seruan memanggil-manggil. Dan Ki Demong tahu siapa yang memanggil. Seketika kepalanya menoleh, lalu seenaknya meninggalkan pertarungan, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

“Nenek sihir, aku di sini sedang bermain-main,” sambut Ki Demong.

“Kurang ajar! Lagi-lagi kau menyebutku nenek sihir!”

Sementara Kuntadewa hanya terlongong bengong, heran melihat kelakuan Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Oh, maaf! Maaf, Sayangku. Aku betul-betul tidak sengaja. Sebenarnya aku ingin memanggilmu Nenek Cantik,” ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Huh! Kau masih lancang! Siapa bilang aku sudah jadi nenek?!” sahut wanita setengah baya berwajah cantik yang tak lain Dukun Gila Berambut Pirang.

“Apa? Aku menyebutmu nenek? Kau pasti salah dengar!” bantah Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul. “Padahal aku menyebutmu Bidadari Cantik.”

“Sungguh?!” kata Dukun Gila Berambut Pirang, minta penegasan. Senyumnya terkembang. Dan wajahnya tersipu-sipu mendengar pujian itu.

“Buat apa aku bohong? Coba tanyakan saja pada kawanmu itu! Kudengar beberapa tahun lalu, kau sempat putus hubungan dengannya.”

“Kucing kurap ini? Dasar tidak tahu diri! Padahal telah kukirim dia pelesir ke neraka!” gerutu Dukun Gila Berambut Pirang.

“Agaknya, dia tidak betah di sana. Dan kelihatannya, ingin mengajak kita juga. Huh! Dengan adanya dia, kau pasti akan berbagi cinta. Padahal sesungguhnya aku ingin memilikimu seorang diri,” ujar Ki Demong, merajuk.

“Jangan khawatir, Sayangku. Kasih sayangku hanya untukmu seorang.”

“Kalau begitu, kenapa tidak kau tendang lagi dia ke neraka?” tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul.

“Kalau itu maumu, baiklah,” sambut Dukun Gila Berambut Pirang. Dan.... Secepat kilat wanita itu mencelat menyerang Kuntadewa yang masih berdiri memperhatikan.

“Graungrr...!” Melihat adanya serangan, pemuda itu cepat menangkis.

Plak!

Namun wanita itu melanjutkan serangan lewat tendangan keras ke ulu. Harimau jejadian ini menggeram marah. Sedangkan kaki si Dukun Gila Berambut Pirang seperti menendang batu cadas. Meski begitu tidak kelihatan kalau dia kaget. Bahkan ketika Kuntadewa menerkam, secepatnya tubuhnya mencelat ke atas membuat gerakan salto beberapa kali.

“Yeaaat...!” Begitu menjejakkan kaki, justru Ki Demong telah lebih dulu menyerang Kuntadewa. Sementara, wanita itu menyusul kemudian.

Plak!

Hantaman guci Ki Demong ditangkis kedua cakar Kuntadewa. Pada saat itu Dukun Gila Berambut Pirang mencuri kesempatan. Melalui pinggang Ki Demong, kedua kakinya menyodok ke dada dan perut harimau jejadian itu. Sedangkan kedua tangannya berpegangan di pundak Ki Demong.

Duk! Duk!

“Graungrr!” Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil menggeram marah.

“Hiyaaat!” Dukun Gila Berambut Pirang segera mencelat menyerang.

Plak! Plak!

“Yeaaa...!”

Mereka sempat beradu tangan beberapa kali, sebelum Ki Demong melompat. Gucinya langsung disodokkan ke perut Kuntadewa. Sedangkan Dukun Gila Berambut Pirang melompat sedikit ke atas, memberi keleluasaan Ki Demong untuk mendaratkan senjatanya lewat selangkangan wanita setengah baya itu.

Begkh!

“Aaakh...!” Hasilnya memang luar biasa. Harimau jejadian itu menjerit kesakitan dan terjungkal beberapa langkah. Tapi secepat itu pula dia kembali bangkit. Hanya saja kali ini tidak langsung menyerang, melainkan kabur secepatnya dari tempat itu.

“Kurang ajar! Mau lari ke mana kau, Kucing Buduk!” teriak Dukun Gila Berambut Pirang seraya lompat mengejar.

“Eee, aku juga ikut denganmu, Sayang...!” seru Ki Demong, mengikuti dari belakang.

********************

Rangga dan Ratmi memacu kuda secepat-cepatnya. Meski terkadang Dewa Bayu yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali meninggalkannya jauh di belakang, namun Ratmi berusaha menggebah kudanya sekencang-kencangnya. Sampai-sampai kuda itu dipaksa berlari melebihi batas kemampuannya.

“Kakang! Kudaku tak tahan lagi! Mungkin sebentar lagi dia akan ambruk kalau terus begini!”

Rangga menarik tali kekang, sehingga Dewa Bayu berhenti mendadak. Seketika Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang. “Istirahatkan dulu kudamu. Setelah itu, kita lanjutkan lagi perjalanan...,” ujar Rangga.

“Kenapa sih, mesti terburu-buru seperti dikejar setan?” tanya gadis itu menggerutu sambil menggiring kudanya ke sebuah danau kecil yang tidak jauh dari tempat mereka berhenti.

“Aku tidak tahan lagi, Ratmi. Sepanjang perjalanan, kita lihat mayat-mayat terkoyak dalam keadaan mengerikan. Sampai kapan ini akan berakhir?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Huh! Terlalu memikirkan orang lain. Bahkan tidak sempat memikirkan dirimu sendiri!” cibir Ratmi sambil bersandar di bawah pohon.

“Aku tidak lupa pada diriku...,” kilah Rangga.

“Buktinya kau tak punya rumah. Tak punya..., istri yang mengurus segala keperluanmu!”

Rangga tersenyum. “Aku punya rumah.”

“Di mana? Kulihat selama ini kau tak pernah pulang.”

“Kau juga tidak.”

“Aku? Hmm... Itu karena aku selalu tidak pernah akur dengan ayahku. Tapi jelas aku punya tempat untuk pulang. Kalau kau? Mau ke mana kalau suatu saat ingin beristirahat panjang?"

“Aku bisa ke mana saja.”

“Tak ada yang mengurus, kasihaaan...!” ejek Ratmi.

“Eh, siapa bilang!”

“Paling-paling mengurus diri sendiri. Maksudku..., seorang istri.”

“Itu gampang. Meski tak punya istri, tapi ada seseorang yang mengurusiku.”

“Siapa?” tanya Ratmi pura-pura acuh. Padahal telinganya dibuka lebar-lebar. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dua kali.

“Kekasihku tentu saja,” sahut Rangga, kalem.

“Siapa kekasihmu itu?” kejar Ratmi dengan jantung berdetak semakin cepat.

Rangga hanya tertawa sambil merebahkan tubuhnya di atas rumput tebal.

“Huh! Kau hanya membual!” dengus Ratmi.

“Kenapa kau begitu tertarik mengetahui kekasihku?” tanya Rangga.

“Huh! Siapa yang tertarik?!” dengus Ratmi sambil melengos.

Rangga tersenyum-senyum. “Orangnya galak, tapi cantik. Periang dan..., memiliki kepandaian cukup hebat...,” jelas Rangga seperti bergumam.

Ratmi melirik kesal. Mukanya dipasang supaya kelihatan sinis. Padahal dalam hatinya mulai berbunga-bunga. Apa yang dikatakan pemuda itu bukankah..., bukankah dirinya? Dia mewakili watak yang disebutkan Rangga. Juga ciri-cirinya!

“Jadi sebenarnya Kakang Rangga telah menganggapku kekasihnya sejak dulu?” gumam gadis ini di hati. Dan Ratmi jadi melambung mengejar khayalannya. Sesekali diliriknya Rangga. Lalu bibirnya tersenyum-senyum sendiri membayangkan hal-hal indah yang hanya dilakukan berdua dengan pemuda itu.

“Naahh..., ketahuan bengong!” usik Pendekar Rajawali Sakti.

“Ohh!” Ratmi tersentak kaget ketika tiba-tiba saja pemuda itu berteriak di dekatnya.

“Brengsek! Kuhajar kau...!” teriak gadis itu kalap melihat Rangga tertawa girang.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti telah melompat ke sebatang pohon dan memanjatnya cepat. Ratmi tidak mau kalah. Dikeluarkannya ketapel. Dan setelah memungut beberapa buah kerikil, dibidiknya pemuda itu.

Siuuut! Tak. Pletak!

Kalau saja Rangga tidak bersembunyi di balik batang pohon yang dipeluknya, mungkin saja kepalanya akan jadi sasaran ketapel.

“Gila! Apa kau kira aku burung?!” teriak Rangga.

“Aku jarang mengetapel burung!”

“Lalu, siapa yang sering kau ketapel?”

“Monyet!”

“Sialan! Jadi kau samakan aku dengan monyet?!”

Gadis itu terkikik, tapi tidak menghentikan serangannya. Sehingga, terpaksa Rangga berpindah ke cabang pohon yang lebih rimbun dan terhalang pandangan. Tapi Ratmi tidak mau kalah. Dikumpulkannya kerikil sebanyak-banyaknya kemudian melompat mengejar pemuda itu lewat cabang pohon terdekat.

“Brengsek!” keluh Rangga.

“Kau kira bisa kabur seenaknya, he?! Kau harus merasakan pembalasanku!” dengus Ratmi.

“Dasar perempuan galak!” ledek Pendekar Rajawali Sakti.

“Biar!”

“Mana ada laki-laki yang suka pada perempuan galak!”

“Biar!”

“Biar tidak laku sampai perawan tua?!”

“Brengsek! Kuhajar kau!”

Siut! Siuuutt!

Kerikil-kerikil yang melesat dari ketapel bertubi-tubi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja jarak mereka agak jauh, mungkin Rangga masih gampang menghindar. Tapi Rangga selalu memperpendek jarak, sehingga jarak kerikil pun semakin dekat saja. Tapi untung saja karena pada saat yang gawat bagi Rangga....

“Tolooong...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang tidak jauh dari tempat mereka. Ratmi seketika menghentikan tindakannya. Sedangkan Rangga telah lebih dulu mencelat ke sumber teriakan tadi.

Begitu melihat Rangga berkelebat, Ratmi pun mengikuti dengan gerakan tak kalah gesit. Rangga dan Ratmi tiba di suatu tempat yang agak lapang.

Beberapa orang laki-laki bertampang kasar dengan badan rata-rata kekar tengah meringkus seorang gadis cantik. Salah seorang memeluknya dari belakang. Seorang lagi berusaha menurunkan celana pangsi yang dikenakan gadis itu. Sementara dua orang lagi coba mempreteli pakaiannya. Tiga orang yang tersisa, tegak berdiri di hadapan gadis itu sambil terbahak-bahak.

“Kurang ajar! Lepaskan gadis itu?!” bentak Rangga dengan suara menggelegar. Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke arah mereka.

Tapi meski begitu, Ratmi lebih dulu bertindak. Ketapelnya dibidik ke arah para begundal yang hendak memperkosa gadis itu. Dan....

Siuut! Tak! Pletak!

“Adouuwww...!”

Batok kepala laki-laki yang tengah memeluk gadis itu kontan terhajar kerikil. Sedangkan kerikil yang satu lagi nyasar pada kawannya yang tengah melepaskan celana. Karuan saja keduanya menjerit kesakitan, dan terpaksa melepaskan cekalan. Sehingga, gadis itu mampu melepaskan diri setelah menyentak kedua laki-laki yang coba menangkapnya kembali.

“Kurang ajar! Berani bertingkah di hadapan Kawanan Begal Wanara?!” bentak salah seorang laki-laki kasar yang berwajah penuh brewok. Agaknya dia pemimpin kawanan itu.

“Hmm.... Jadi, kalian Kawanan Begal Wanara?” sahut Ratmi mencibir sinis.

“Sekarang kau baru tahu, bukan? Ayo, serahkan dirimu padaku, si Banaspati. Dan, jangan halangi perbuatan kami!” bentak laki-laki brewok yang mengaku bernama Banaspati, sombong.

“Jangan keburu girang, Bangsat! Kalau kalian mau tahu, justru aku penjagal wanara, monyet!” bentak Ratmi.

“Perempuan liar! Kau memaksaku untuk bertindak keras, he?! Baik! Akan kutunjukkan, siapa aku. Agar kau tidak sesumbar bicara!” Pemimpin Kawanan Begal Wanara ini memberi isyarat pada dua anak buahnya untuk meringkus gadis itu.

“Bagus! Ayo sini cepat! Biar kupecahkan kepala kalian!” sambut Ratmi, tenang.

“Dan kau denganku!” tunjuk Rangga pada Banaspati.

“Huh! Bocah pentil! Kau pun perlu diberi pelajaran!” dengus Banaspati. Laki-laki bertampang kasar ini memberi isyarat pada tiga anak buahnya yang langsung melompat menyerang Rangga.

“Yeaaat!” Bersamaan dengan itu, Ratmi mendahului menyerang kedua lawannya. Ketapelnya siap menghajar.

“Yiaaat!”

Wut! Bet!

Dua bacokan golok dua orang laki-laki anak buah Banaspati menyambar ke leher dan pinggang gadis itu. Kelihatannya lemah dan tidak sungguh-sungguh. Mungkin sekadar menakut-nakuti saja. Perkiraan mereka, bila gadis itu lengah maka akan segera ditubruk. Tapi yang terjadi justru tidak seperti yang dibayangkan. Ratmi cepat berkelit ke samping. Tubuhnya terus mencelat melewati kepala dengan kepalan tangan menghantam batok kepala seorang laki-laki yang ada di kanan. Sedangkan kaki kirinya menyodok laki-laki yang ada di sebelah kiri.

Pletak! Duk!

“Aaakh...!” Kedua laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang.

Hal yang sama pun dialami ketiga lawan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi hati. Padahal, ketiga orang itu menyerang dengan ganas. Mereka sengaja hendak menghabisi Rangga dalam sekejap agar nanti tidak mengganggu niat mereka untuk meringkus kedua gadis itu. Tapi, ketika golok-golok mereka melayang menebas, Rangga telah berkelebat cepat dan hilang dari pandangan. Dan tahu-tahu, satu hantaman keras di tengkuk masing-masing membuat ketiganya ambruk tak sadarkan diri setelah melenguh pendek.

“Heh?!” Banaspati kaget melihat sepak terjang kedua anak muda itu. Dalam sekejap, lima anak buahnya rontok. Tanpa sadar kakinya mundur beberapa langkah ketika Rangga dan Ratmi menghampiri. Begitu pula seorang anak buahnya yang berada di sebelahnya.

“Kini giliranmu!” tunjuk Pendekar Rajawali Sakti dingin.

“Hiih!” Ratmi tidak banyak bicara lagi. Langsung ketapelnya dibidikkan.

Siuuut!

“Hup!” Banaspati dan anak buahnya yang tinggal seorang lagi berusaha menghindar. Tapi, Rangga langsung berkelebat, melepas pukulan keras.

Duk! Des!

“Aakh!” Keduanya terjungkal dihajar hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti disertai jerit kesakitan. Belum lagi Banaspati bangkit, sebelah kaki Rangga telah menjejak dadanya.

“Kalau kau mengulangi perbuatanmu, maka akan kupecahkan dadamu sekarang juga!”

“Oh! Ekh...! Ampun, Tuan. Ampuni aku...!” keluh Banaspati dengan muka pucat.

“Pergilah! Dan, cepat minggat dari hadapanku!” dengus Rangga seraya menyepak tubuh Banaspati.

Tanpa banyak bicara lagi, Banaspati kabur dari tempat itu, setelah memberi isyarat pada anak buahnya.

DELAPAN

“Kau tak apa-apa, Nisanak...?” tanya Pendekar Rajawali Sakti begitu menghampiri gadis yang hendak diperkosa.

“Tidak. Terima kasih,” ucap gadis itu.

“Sekarang, kau bisa melanjutkan perjalanan kembali.”

“Ya.”

“Sebenarnya ke mana tujuanmu?” tanya Ratmi.

“Aku ingin menjumpai kawanku di desa Jembring,” sahut gadis itu.

Mendengar nama tempat itu disebutkan, Ratmi teringat sesuatu. “Desa Jembring? Kebetulan sekali! Aku punya kawan di sana. Siapa nama kawanmu di sana?” tanya Ratmi.

“Ambar.”

“Astaga! Kalau begitu kita mempunyai kawan yang sama. Nama kawanku Ambar!” seru Ratmi dengan wajah ceria.

“Kau dari Padepokan Karang Gelam?” tanya Rangga.

“Ya. Dari mana Kisanak mengetahuinya?”

“Aku Ratmi dan ini Rangga. Siapa namamu?” tanya Ratmi menyela.

“Anjani...,” sebut gadis itu.

“Anjani?!” Rangga dan Ratmi saling pandang.

Wajah Ratmi yang tadi tersenyum-senyum, kini menunjukkan perubahan. Kelihatan kalau dia merasa kaget. Atau barangkali nama itu punya arti.

“Kenapa kalian kelihatan terkejut?” tanya gadis yang ternyata Anjani, bingung.

“Ini amat kebetulan! Karena kami memang hendak ke Padepokan Karang Gelam untuk mencarimu,” kata Rangga.

“Mencariku? Ada keperluan apa?”

“Eh! Ng....”

“Biar kujelaskan,” sambar Ratmi ketika Rangga sedikit bingung mengutarakan maksud mereka.

“Belakangan ini sering terjadi pembunuhan dengan cara mengerikan. Para korbannya terkoyak-koyak seperti diterkam binatang buas....”

“Ya. Guruku dan putranya serta beberapa saudara seperguruanku menjadi korbannya pula. Lalu, apa hubungannya denganku?” tukas Anjani.

“Tahukah kau kejadian beberapa tahun silam?” tanya Ratmi. Tapi ketika Ratmi melihat Anjani masih memandangnya dengan dahi berkerut, maka dia memutuskan untuk meneruskan keterangannya. “Belasan tahu lalu, ada seorang tokoh yang memiliki ilmu sesat. Ya..., kira-kira sejenis ilmu ‘Cindaku’ dari tanah Swarnadwipa atau tanah Andalas bagian barat. Ilmu itu adalah ilmu memuja harimau. Dan ilmu itu tidak dicarinya melainkan datang sendiri melalui warisan dari orangtuanya yang memuja harimau. Karena ilmu itu warisan, maka dia tidak bisa mengelak. Ilmu itu mengajarkan seseorang menjadi buas seperti harimau. Mempengaruhi watak, juga wujudnya seperti harimau. Maka tokoh itu merajalela ke mana-mana, menimbulkan korban cukup banyak. Tak lama kemudian dia mati dikeroyok beberapa tokoh persilatan. Namun agaknya, tokoh itu memiliki keturunan. Sehingga, ilmu itu menurun pada anaknya,” jelas Ratmi.

“Oh! Menyeramkan sekali! Siapa tokoh itu? Dan, siapa pula keturunannya?” tanya Anjani dengan tatapan curiga.

“Aku tahu, dari mana tokoh itu berasal. Karena, ayahku mengenalnya. Beliau salah seorang yang ikut membunuh tokoh itu. Bersama Kakang Rangga, kami ke sana. Ternyata, keturunan sang tokoh tidak ada di sana. Istrinya telah tiada. Demikian pula sanak saudaranya. Namun dari seorang tetangganya, kami tahu kalau keturunan tokoh itu dibawa ibunya ke Padepokan Karang Gelam, sebelum wanita itu wafat....”

“Katakanlah terus terang, Ratmi! Siapa orang yang kau maksudkan itu?!” desak Anjani.

“Tokoh itu bernama Ki Bagus Perkasa. Sedangkan keturunannya bernama Kuntadewa dan Anjani!”

“Ohhh...!” Anjani terkejut, tak kuasa menahan kepedihan di hatinya. Dengan kepala tertunduk gadis itu menangis sesenggukan.

“Jadi..., jadi selama ini yang melakukan perbuatan keji itu adalah....”

“Kalian berdua!” sambar Ratmi, langsung berubah garang.

“Tidak! Bukan aku!” bantah Anjani, garang. Gadis itu memandang Ratmi dengan sorot mata tajam. “Kau pembunuh ayahku! Kau keturunan pembunuh! Kalaupun aku memiliki ilmu itu, akan kubunuh kau dan ayahmu!” desis Anjani. Anjani bersiap menyerang. Namun Ratmi pun tidak kalah sigap. Dia pun bersiap pula meladeni serangan. Tapi sebelum hal itu dilakukan.

“Graungrr...!”

“Ratmi, awaaas...!” Sebuah raungan keras yang disertai berkelebatnya sosok bayangan kuning, membuat Rangga menoleh ke arah sumbernya. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat memperingatkan Ratmi.

Teriakan Rangga agaknya tak cukup ketika sosok bayangan itu menerkam Ratmi dengan gerakan gesit.

“Hup...!”

Bruk!

Terpaksa Rangga melompat, menubruk Ratmi. Sehingga, gadis itu luput dari terkaman. Dengan sigap Rangga bangkit. “Gila! Makhluk apa ini?!” desis Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat sosok yang menyerang Ratmi.

Sosok itu berwujud bagai manusia. Namun kepalanya berbentuk seperti harimau. Baris-baris giginya runcing dengan taring-taring tajam di sudut bibirnya. Matanya mencorong tajam bagai mata harimau. Bibirnya tipis, dengan kumis-kumis putih yang kaku tumbuh di sekitar bawah hidungnya. Sementara sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu berwarna dasar kuning dengan coreng-moreng hitam.

“Kakang Rangga, hati-hati! Kurasa inilah harimau jadi-jadian itu. Dia Kuntadewa, kakak gadis celaka ini! Kau mesti membunuhnya!” teriak Ratmi, memperingatkan.

“Kau yang mesti hati-hati!” dengus Anjani seraya menyerang Ratmi.

“Dasar manusia tak tahu berterima kasih. Mestinya tidak kami tolong kau!” rutuk Ratmi.

“Huh! Itu salahmu sendiri!”

Maka tak pelak lagi, kedua gadis itu terlibat pertarungan dengan kebencian masing-masing di dada. Sementara itu pertarungan antara Rangga dan harimau jadi-jadian yang tidak lain Kuntadewa, semakin seru saja.

“Graungrr...!”

Wut! Bet!

Kuntadewa yang saat itu berwujud setengah harimau dan setengah manusia menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas. Entah apa yang menyebabkannya demikian. Mungkin juga karena merasa adiknya terancam bahaya. Sebab, sesekali dia pun menyerang Ratmi yang saat itu tengah bertarung dengan Anjani. Sehingga terkadang Rangga jadi repot sendiri untuk melindungi Ratmi.

“Hmm! Orang ini benar-benar kerasukan iblis! Tubuhnya tak mempan pukulan dan tendanganku!” dengus Rangga, geram.

“Grrr...!”

“Hiih!” Ketika Kuntadewa kembali menerkam, Rangga bersiap memapaki dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat tertinggi. Tangannya yang berubah merah membara langsung dikebutkan.

Wuttt!

Namun, gesit sekali Kuntadewa mengelak. Bahkan begitu berbalik, dia menerkam kembali. Rangga cepat menyilangkan kedua tangan. Kemudian dihantamnya kedua pergelangan tangan harimau jejadian itu.

Plak! Plak!

Tak terduga, Kuntadewa berbalik. Seketika punggung telapak kaki kanannya menghantam pelipis Pendekar Rajawali Sakti.

Plakk!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti terpekik. Kepalanya terasa berdenyut keras, menerima hantaman berat. Meski begitu dia sempat menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil jarak. “Gila! Makhluk ini mempunyai kecepatan sangat mengagumkan!” keluh Pendekar Rajawali Sakti membatin.

Apa yang dikatakan Rangga memang tidak salah. Kuntadewa kini telah berbalik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya mencelat menerkam. Rangga yang merasa kalau makhluk itu tahan pukulan, tak mau ayal-ayalan lagi. Langsung tangan kanannya bergerak ke punggung. Lalu....

Sriing!

Sambil mencelat ke belakang menghindari terkaman, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan.

“Graungrr...!”

Tapi Kuntadewa yang raut wajahnya hampir mirip harimau, lengkap dengan kumis maupun taring serta bulu-bulu halus loreng-loreng, sama sekali tidak gentar melihat batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Malah dia terus melompat kembali, menyerang semakin ganas. Pendekar Rajawali Sakti yang telah bersiap, langsung mengebutkan pedangnya, hingga terdengar suara angin menderu tajam.

Wusss! Tak!

“Heh?!” Bukan main terkejut Rangga ketika pedangnya sama sekali tak mempan menebas pinggang harimau jadi-jadian itu. Pedangnya yang selama ini telah membinasakan ratusan musuh kini tak ada artinya di hadapan seekor harimau jadi-jadian? Dan keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus dibayar mahal, ketika cakar kiri harimau itu merobek dadanya.

Brettt!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap luka di dada. Darah mulai mengucur deras di dada. Namun sebelum pemuda itu bersiap kembali...

“Ha ha ha...! Ketemu batunya kau, Setan Rompi Putih! Kenapa dengan pedangmu? Apakah siluman yang ada di dalamnya telah minggat?!”

Mendadak terdengar suara menggoda, Rangga melirik. Tampak Ki Demong telah berada di tempat itu memperhatikan pertarungan, Di dekatnya, terlihat wanita setengah baya yang tak lain Dukun Gila Berambut Pirang yang telah tiba pula, setelah melakukan pengejaran terhadap Kuntadewa si manusia harimau jejadian saat meninggalkan pertarungan melawan Ki Demong dan Dukun Gila Berambut Pirang. Tapi Rangga tak sempat menyahut, karena Kuntadewa telah menyerang kembali.

“Graungrr...!”

Rangga melompat ke belakang sambil mengibaskan pedang. Kali ini dipergunakannya jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Dengan jurus itu, Rangga mampu menelusuri semua titik kelemahan lawan.

Tak! Tak!

Beberapa kali batang pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas tubuh Kuntadewa, namun tidak satu pun yang membuahkan hasil. Pedangnya seperti senjata mainan yang tak mampu melukai!

“Hm! Matanya! Aku yakin sepasang matanya adalah kelemahan iblis ini!” dengus Rangga.

Berpikir begitu, maka Pendekar Rajawali Sakti bersiap untuk mengincar bagian mata harimau jejadian ini. Tapi rasa sakit yang amat sangat di dada, membuat gerakan Pendekar Rajawali Sakti seperti tertahan. Tubuhnya terasa panas dibakar.

“Keparat! Lukaku tampaknya cukup parah!” desis Pendekar Rajawali Sakti geram. Meski meringis menahan rasa sakit, tapi Rangga tidak mau mengalah begitu saja. Cepat pedangnya dipindahkan ke tangan kiri.

“Graungrrr...!” Dengan raungan laksana seekor harimau kelaparan, Kuntadewa menerkam Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup...!” Dengan sisa tenaga Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil bergulung-gulung. Ujung pedangnya lurus mengancam sepasang mata Kuntadewa.

Kuntadewa terkesiap. Dia berusaha menghindar dengan mengegoskan kepala. Namun.

Tes!

“Aaargkh...!” Dan..., justru hal yang tak terduga terjadi! Kuntadewa menjerit kesakitan seperti digebuki orang sekampung. Lolongannya terdengar panjang dan memilukan, membuat yang berada di sekitar tempat itu terkejut. Demikian pula Anjani dan Ratmi.

“Kakang Kuntadewa...!” teriak Anjani ketika melihat pemuda itu menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan. Gadis itu berhenti, tidak jauh dari Kuntadewa. Hatinya gentar melihat pemandangan itu. Dari mulut dan hidung Kuntadewa mengucurkan darah. Begitu pula jubahnya. Terlihat luka-luka bekas sabetan senjata tajam.

Tapi Rangga tidak melihat sampai Kuntadewa diam tak berkutik. Pendekar Rajawali Sakti terduduk lesu. Pandangannya berkunang-kunang. Lalu...

“Aaakh...!” Rangga jatuh terduduk. Sambil meringis kesakitan, dia membuat sikap semadi.

“Kakang Rangga...!” teriak Ratmi cemas. Gadis itu buru-buru menghampiri. Namun seperti juga Anjani, dia agak gentar mendekati Rangga. Dalam keadaan begitu bisa saja Rangga menyerangnya.

Sementara itu Dukun Gila Berambut Pirang memandang sambil tersenyum-senyum sendiri. “Gila! Kawanmu itu betul-betul hebat. Dia telah memecahkan teka-teki ini dengan tepat!” seru wanita itu.

“Teka-teki apa? Yang jelas, Setan Rompi Putih itu tengah terluka dalam. Kau harus menolongnya!” ujar Ki Demong.

“Kenapa tidak dari dulu! Hi hi hi...! Kumisnya! Sederhana sekali!”

“Bicara apa kau?! Tolong dia dulu. Jangan biarkan pemuda itu tak berdaya!”

“Kenapa kau ini?! Tidakkah kau melihat? Bocah itu berusaha menusuk matanya. Tapi, yang kena malah kumisnya. Tapi itu membuat keberuntungan baginya, karena pada kumisnya itulah terletak kelemahan si Kucing Kurap. Hm, aku lupa. Siapa dulu yang menebas kumis si Bagus Perkasa...?”

“Sayang, tolonglah aku. Jangan pikirkan soal itu. Harap kau tolong dulu bocah itu...,” pinta Ki Demong sambil rangkapkan kedua tangan

“Hi hi hi...!” Dukun Gila Berambut Pirang masih terkikik kegirangan karena berhasil memecahkan teka-teki yang mungkin dipikirkannya saat ini.

“Huh! Kalau begitu percuma saja kehebatanmu sebagai dukun!” dengus Ki Demong, kesal.

“Apa katamu?!” semprot wanita itu dengan mata melotot lebar.

“Percuma kau bergelar dukun, kalau tak mampu mengobati orang!”

“Keparat! Aku bahkan bisa memindahkan kepalamu di kaki dan kakimu di kepala!”

“Tidak usah sehebat itu. Coba sembuhkan saja bocah itu!”

“Bocah siapa?”

“Ya, bocah berompi putih itu! Tunjukkan padaku, kalau kau benar-benar hebat. Sembuhkan dia!”

“Huh! Mudah!"

Dukun Gila Berambut Pirang menjentikkan tangan. Dan sekali melompat, dia tiba didekat Rangga yang masih bersemadi.

“Minggir!” ujar wanita aneh itu seraya menepis Ratmi yang berusaha menolong Pendekar Rajawali Sakti.

Gadis itu tidak marah karena dihalau oleh orang yang lebih ahli dalam bidang pengobatan ketimbang dirinya. Bersama dengan Ki Demong, gadis itu memperhatikan dibelakang Dukun Gila Berambut Pirang.

Keringat tampak mengucur deras dari seluruh pori-pori Rangga. Dan darah pada lukanya tiada henti menetes. Dukun Gila Berambut Pirang mengurut-ngurut beberapa bagian di sekitar luka Rangga. Lalu ditotoknya beberapa urat, sehingga darah tidak menetes lagi pada luka di bagian dada.

“Bagaimana?”

Tanpa banyak bicara, Dukun Gila Berambut Pirang menggendong Rangga.

“Eh? Mau kau apakan dia?!” tanya Ki Demong kaget.

“Dia terluka dalam. Aku harus membawanya ke suatu tempat,” jelas wanita aneh ini.

“Kalau begitu kami ikut!” kata Ki Demong.

“Tidak bisa!” bantah wanita itu.

“Tapi....”

“Sekali kukatakan tidak bisa, tetap tidak bisa!” hardik wanita itu.

“Ya, ya. Terserahmu saja! Yang penting dia sembuh,” ujar Ki Demong mengalah.

“Aku bisa membantumu merawat lukanya...,” kata Ratmi menawarkan diri. Tapi gadis itu mengkeret hatinya, melihat Dukun Gila Berambut Pirang melotot kearahnya.

“Siapa pun kau, dan apa pun hubungannya dengan bocah ini, tetap tidak bisa ikut!” bentak Dukun Gila Berambut Pirang. Dan tanpa mempedulikan tanggapan gadis itu, Dukun Gila Berambut Pirang secepatnya berkelebat dari tempat itu.

“Dasar dukun gila!” umpat Ratmi kesal.

Ki Demong terkekeh kecil dan melengos dari tempat itu.

“Hei, mau ke mana kau?!” tanya Ratmi.

“Mau ke mana pun aku pergi, bukan urusanmu, Bocah,” sahut Ki Demong enteng. Dan sebentar saja Pemabuk Dari Gunung Kidul telah kabur meninggalkan gadis itu seorang diri.

Ratmi kesal bukan main melihat keadaan itu. Apalagi ketika Anjani sudah tak terlihat lagi ditempat itu. Juga, Kuntadewa yang telah jadi mayat. Maka dengan langkah kesal, diikutinya arah yang dituju Dukun Gila Berambut Pirang. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya mulutnya memaki-maki untuk melampiaskan perasaan jengkel.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DENDAM BERKUBANG DARAH