PANGERAN IMPIAN
SATU
Cras! Cras!
"Aaa...!" Keheningan pagi mendadak pecah oleh teriakan bernada kematian yang seperti hendak merobek angkasa, dari sebuah bangunan besar berpagar tembok setinggi dua tombak. Pada bagian pintu gerbang menggantung sebuah papan bertuliskan Padepokan Naga Merah.
"Heaaa...!" "Chiaaa...!"
Belum juga teriakan tadi menghilang tuntas, kembali terdengar suara-suara yang menyiratkan adanya sebuah pertarungan sengit yang ditingkahi bunyi senjata beradu.
"Berhenti...!" Pertarungan mendadak berhenti ketika terdengar bentakan keras menggelegar. Dari pintu bangunan utama Padepokan Naga Merah keluar seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Dia memakai baju jubah berwarna merah dengan gambar seekor naga dipunggung. Rambutnya panjang, diikat kain berwarna merah yang dihiasi gambar naga pula tepat di kening. Laki-laki berjubah merah yang diiringi belasan pemuda itu menghentikan langkahnya di depan
seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna kuning keemasan. Di dadanya yang membusung tanmpak sebuah gambar burung merak. Di belakang gadis ini, berdiri pula sekitar sepuluh orang gadis lain, berpakaian kuning keemasan pula.
"Ada apa ini, Nisanak? Mengapa kau membuka silang sengketa dengan padepokan kami?" tegur laki-laki berjubah merah. Nada bicaranya penuh tekanan. Matanya menyorot tajam, seolah hendak menghujam jantung gadis yang bersenjata pedang ini.
"Kau Jaka Supena, Ketua Padepokan Naga Merah?" gadis berbaju kuning keemasan bersenjata pedang yang agaknya menjadi pemimpin ini malah balik bertanya.
"Betul! Siapa kau?!" sahut laki-laki berjubah merah yang bernama Jaka Supena, Ketua Padepokan Naga Merah.
"Aku Ratih, utusan pemimpinku. Kami dari Padepokan Merak Emas," jawab gadis bernama Ratih, tegas.
"Mengapa kalian sampai membantai beberapa muridku?"
"Sebenarnya anak buahku tak bermaksud membunuh. Tapi, justru murid-muridmu yang cari masalah. Ah..., sudahlah. Kedatangan kami bukan mempersoalkan murid-muridmu yang angkuh, melainkan menyampaikan tantangan dari pemimpinku," tukas Ratih.
“Tantangan apa?" tanya Jaka Supena dengan kening berkerut
"Pertarungan!" tandas Ratih.
"Pertarungan?" ulang Jaka Supena. Keningnya makin berkerut "Aku tak pernah kenal pemimpinmu. Apalagi mempunyai persoalan. Jadi mana mungkin bertarung dengannya? Lagi pula, urusan apa sehingga dia menantangku?"
"Aku tak tahu. Tapi kalau kau menolak tantangannya, maka akan dianggap kalah. Dan kau mesti mengumumkan kekalahanmu di depan orang ramai."
"Gila!" maki salah seorang murid Padepokan Naga Merah. "Guru! Biarkan kuhajar mereka sekarang juga! Biar mereka tahu, siapa sebenarnya Naga Merah!” sambut murid lain lebih berani.
Sret!
Pemuda itu sudah mencabut golok dan siap menerjang.
“Tahan, Ranta!" Jaka Supena memberi isyarat Dan dengan sikap tenang, kakinya melangkah mendekati Ratih.
"Kau tahu, Nisanak. Aku tak mungkin berbuat begitu...," desah Jaka Supena.
"Kalau begitu kau harus terima tantangan pemimpin kami!" sentak Ratih, makin berani.
"Baiklah. Tentukan, kapan dan di mana?"
"Sekarang juga."
"Sekarang?!" Jaka Supena benar-benar mulai jengkel. Hatinya panas dipandang sebelah mata begitu. Padahal, Padepokan Naga Merah yang didirikannya lima tahun lalu cukup dikenal padepokan silat yang memiliki guru berkepandaian tinggi. Tapi, utusan dari Padepokan Merak Emas ini betul-betul menguras kesabarannya.
"Aku yang mewakili pemimpin kami untuk menghadapimu!" kata Ratih menegaskan.
"Hhh...!" desah Jaka Supena, tak jelas.
"Kau telah terima tantangan. Bersiaplah!" Ratih tak peduli laki-laki itu mendesah menahan amarah, seperti lahar bergolak yang menunggu saat dimuntahkan. Secepatnya gadis ini lompat menyerang. "Heaaa...!"
"Huh!" Jaka Supena mendengus. Dengan kegesitannya, tubuhnya bergerak ke samping. Begitu tendangan Ratih dapat dihindarinya, langsung dilepaskannya hantaman kepalan kanan ke pinggang.
"Hiih!"
"Uts!" Ratih mencelat ke atas. Setelah berputaran sekali, kedua kakinya menyapu tengkuk dan punggung. Jaka Supena terkejut, secepatnya dia menjatuhkan diri, dan secepat itu pula melenting bangkit
"Ayo, kerahkan segala kemampuan yang kau miliki!" ejek Ratih, langsung meluruk kembali.
"Keparat! Hup...!" Jaka Supena melenting ke belakang membuat jarak. Begitu kakinya menjejak, dia melesat melepas serangan dengan tubuh berputar laksana gelombang di lautan.
"Jurus apa yang kau mainkan?" tanya Ratih, bernada mengejek. Tubuhnya meloncat ke sana kemari, menghindari serangan.
"Ini jurus 'Naga Merah Mengamuk'. Kau rasakan kedahsyatannya!" sahut Jaka Supena, kian jengkel saja direndahkan begitu.
"Apakah ini jurusmu yang terhebat?"
"Aku masih punya sepuluh jurus hebat lainnya!"
"Bagus! Kalau begitu, cepat keluarkan semuanya. Jangan sampai ada yang tertinggal!"
Ratih kelihatan betul-betul menganggap remeh Ketua Padepokan Naga Merah. Agaknya dia terlalu percaya diri. Namun itu cukup beralasan, karena kemampuannya memang tinggi Gadis itu mampu bergerak segesit walet dan secepat anak panah mendesing.
"Hap!" Beberapa kali gadis itu melompat ke belakang menghindari terkaman. Sementara, Jaka Supena betul-betul tak memberi kesempatan sedikit pun. Ratih telah mempermalukannya di depan murid-muridnya. Maka dia akan membalas secepat mungkin.
"Hiaaah...!"
Wut!
Tiba-tiba Ratih menjatuhkan diri. Dan dengan bertumpu pada kedua tangannya, kedua kakinya melebar sambil berputar di atas. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! Des!
"Aaakh!" Jaka Supena menjerit tertahan saat dua pinggangnya terhajar kaki gadis itu. Dia mencelat ke belakang namun berdirinya tampak limbung. Mukanya kelihatan merah. Marah bercampur geram.
"Naga Merah Mengejar Awan..! Heaaa...!"
"Bagus, bagus...! Terus keluarkan semua jurus perguruanmu."
Jaka Supena tak mempedulikan kata-kata bernada meremehkan yang meluncur dari mulut Ratih. Tubuhnya langsung meluruk deras mengerahkan segala kemampuannya. Dia ingin menjatuhkan lawan secepat mungkin dengan pukulan yang dahsyat bertenaga dalam tinggi yang bertubi-tubi.
Plak! Plak!
Dua pukulan beruntun Jaka Supena berhasil ditangkis. Tubuh laki-laki ini langsung melesat ke atas untuk kembali melancarkan serangan dari udara. Tapi baru saja bergerak, Ratih telah menghadangnya dengan sambaran kaki. Maka secepat kilat Jaka Supena mengibaskan tangannya.
Plak! Plak!
Begitu terjadi benturan, tiba-tiba Ratih menyodokkan kepalan kanannya ke dada. Angin serangan begitu kuat. Namun dengan menggunakan tenaga benturan tadi. Jaka Supena cepat menghindar kebelakang sambil berputaran.
"Yeaaa...!"
Baru saja Ketua Padepokan Naga Merah itu mendarat, Ratih telah melesat dengan ujung kaki kanan mengarah ke wajah. Jaka Supena berusaha menangkis, namun gadis itu cepat menarik kaki kanannya. Dan secepat kilat ganti kaki kirinya yang mengancam dada. Sehingga.,..
Des...!
"Aaakh...!" Jaka Supena kontan terjungkal roboh disertai teriakan keras. Dari sudut bibirnya terlihat darah kental menetes. Meski begitu, dia berusaha bangkit Tapi Ratih tak memberi kesempatan. Kembali, tubuhnya berkelebat, ketika Jaka Supena berusaha bangkit Dua kali tendangan langsung dilepaskan.
Des! Des!
"Aaa...!" Ketua Padepokan Naga Merah betul-betul roboh. Pemuda itu megap-megap seperti ikan kekurangan air. Sementara murid-muridnya terkesiap. Mereka buru-buru mengerubungi. Namun sebagian lagi langsung mencabut golok seraya mengurung gadis-gadis di bawah pimpinan Ratih.
"Keparat!"
"Beri pelajaran saja!"
Suara-suara teriakan yang sarat kebencian terdengar dari mulut murid-murid. Namun semua itu hanya disambut senyum dingin Ratih. Bahkan dia memberi isyarat pada anak buahnya yang siap membantu agar tidak ikut campur.
"Serang...!" Begitu terdengar teriakan bernada perintah, murid-murid Padepokan Naga Merah segera meluruk maju sambil mengibaskan golok. Ratih mendadak berkelebat dengan kedua kaki menyapu pergelangan tangan dua yang berada paling dekat.
Pak! Pak!
Kedua murid itu kontan melintir. Kesempatan itu digunakan Ratih sebaik-baiknya. Secepat kilat tubuhnya berkelebat kembali melepaskan hantaman maut.
Des...! Diegkh...!
Dua orang kontan terjungkal roboh tanpa sempat memekik, begitu hantaman Ratih mendarat telak di dada dan rahang. Namun gadis bernama Ratih semakin kesetanan saja. Bahkan seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Gadis itu terus melepaskan serangan-serangan dahsyat, melumpuhkan perlawanan murid-murid Padepokan Naga Merah. Maka dalam waktu singkat, tak seorang pun yang bisa bangkit lagi. Mereka merintih-rintih kesakitan. Sedangkan Ratih dan anak-anak buahnya hanya memandangi dengan sinar mata dingin.
********************
Sepak terjang gadis-gadis yang mengaku berasal dari Padepokan Merak Emas tidak hanya menimpa Padepokan Naga Merah. Kali ini pun Padepokan Kilat Buana yang sangat dikenal dalam rimba persilatan pun tak urung pula disantroni gadis-gadis itu.
Ketua Padepokan Kilat Buana yang dikenal bernama Ki Jalasena sudah sejak tadi menahan geram melihat sikap sombong gadis cantik berbaju ketat kuning keemasan yang berada paling depan. Bahkan murid-murid laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun itu terus memberi dukungan
"Apalagi yang kau tunggu, Ki Jalasena? Apa kau ingin jadi pengecut dengan menolak tantangan Ketua kami?" lanjut gadis berbaju kuning keemasan
"Ayo, Guru! Tunjukkan pada mereka kalau kita bukan pengecut!" teriak seorang pemuda murid Padepokan Kilat Buana.
"Kita harus buktikan kalau kesombongan mereka hanya omong kosong belaka!"
"Ayo, Guru! Tunggu apa lagi?!"
Ki Jalasena menarik napas untuk melonggarkan isi dadanya yang terasa sesak oleh hawa amarah. Matanya tak berkedip memandang gadis itu. "Baiklah. Kuterima tantangan ketuamu...," tegas laki-laki tua berpakaian serba putih itu.
"Bagus! Kau boleh memulainya sekarang," sambut gadis berpakaian kuning keemasan yang menjadi pemimpin kelompok itu.
"Apa maksudmu?!" tukas Ki Jalasena.
"Kau bertarung melawanku!" tantang gadis itu.
"Nisanak! Jangan main-main kau! Ketuamulah yang mesti bertarung! Bukannya kau!" sentak Ketua Padepokan Kilat Buana.
"Ketua kami memberi kepercayaan penuh padaku untuk mewakilinya. Kalau kau bisa mengalahkanku, baru boleh berhadapan dengannya," jelas gadis itu kalem saja.
"Kurang ajar!" bentak Ki Jalasena.
"Orang tua! Apakah kebisaanmu hanya memaki? Perlihatkan kehebatanmu sebagai Ketua Padepokan Kilat Buana yang terkenal!" sindir gadis itu.
"Baik! Jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu!"
"Jangan khawatir! Aku pasti baik-baik saja."
"Anak sombong, lihat serangan!" Begitu habis kata-katanya, Ki Jalasena menyodorkan kepalan kanan. Namun gadis itu cepat menepis dengan tangan kiri.
Plak!
Ketua Padepokan Kilat Buana melanjutkan serangan dengan tendangan. Secepat kilat, gadis itu berkelit ke samping seraya menepis dengan tangan.
Pak!
"Heh?!" Tendangan itu bertenaga kuat, karena Ki Jalasena ingin merasakan sampai di mana kehebatan tenaga dalam gadis ini. Tapi nyatanya setelah benturan barusan justru membuatnya kaget. Gadis itu sama sekali tak merasa sakit. Malah kaki laki-laki tua itu sendiri yang agak kesemutan.
"Boleh juga kau, Bocah!" puji Ki Jalasena.
"Maka itu, jangan sungkan. Atau kau mendapat malu di depan murid-muridmu," sahut gadis itu jumawa.
"He he he...! Anak bodoh! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa, he?!" balas Ki Jalasena, tak mau diremehkan begitu saja.
"Aku berhadapan dengan orang tua sombong yang merasa dirinya hebat!"
"Huh!" Diiringi dengusan keras, Ki Jalasena melompat sambil mengibaskan tela pak kirinya. Seketika serangkum angin kencang melesat disertai suara menderu tajam. Namun agaknya gadis itu tak terpengaruh sama sekali. Bahkan tubuhnya meluruk menyerang di antara desir angin serangan. Dilepaskannya hantaman tangan bertubi-tubi ke tubuh laki-laki tua itu.
"Yeaaa...!"
"Heh?!" Ki Jalasena terkesiap. Buru-buru ditangkisnya serangan berantai gadis ini dengan tangannya. Sampai-sampai dia mesti bermain mundur beberapa langkah. Namun gadis itu tak memberi kesempatan sedikit pun. Tak hanya kedua tangannya, tapi kakinya pun ikut membantu serangan. Hingga pada satu kesempatan....
Desss...!
"Aaakh!" Ki Jalasena mengeluh tertahan, ketika dada dan perutnya terhantam telak pukulan dan tendangan. Dengan terhuyung-huyung ke belakang dia mendekap dada dan perut Wajahnya merah menahan sakit Namun yang lebih berat lagi, dia harus menahan malu di depan murid-muridnya.
"Hebat! Hebat sekali kau, Nisanak. Siapa namamu?" puji Ki Jalasena berusaha bangkit berdiri dengan tertatih-tatih.
"Terima kasih, Orang Tua. Namaku Ayu Tantri!" sahut gadis itu.
"Kau pasti anak buah kesayangan ketuamu. Tepatnya orang terdekatnya yang bisa dipercaya," tebak Ki Jalasena.
"Begitulah. Tapi bukan hanya aku. Ada lebih dari sepuluh orang yang seangkatanku. Serta, kurang lebih seratus orang yang satu tingkat kepandaiannya di bawahku," jelas gadis bernama Ayu Tantri.
Diam-diam Ki Jalasena mendesah kaget. Kalau orang kepercayaannya sudah begitu hebat, bagaimana ketuanya sendiri? Tak dapat dibayangkan, bagaimana hebatnya Ketua Padepokan Merak Emas itu. Namun begitu, mana mau kekagetannya diperlihatkan.
"Orang tua! Aku telah menjawab keingintahuanmu. Sekarang mari lanjutkan pertarungan kita!" tantang Ayu Tantri.
"Tentu saja! Aku jadi ingin tahu dan bertemu ketuamu!" sahut Ki Jalasena.
"Keinginanmu terkabul kalau aku bisa dikalahkan!"
"Kau akan kukalahkan, Cah Ayu!"
"Buktikan omong kosongmu!"
"Heaaat...!" Dengan bernafsu, Ki Jalasena kembali menyerang. Kali ini dia tidak setengah-setengah lagi bertindak. Segala kemampuannya dikerahkan untuk menjatuhkan gadis itu secepatnya.
DUA
Saat ini murid-murid Padepokan Kilat Buana betul-betul menyaksikan sendiri, bagaimana kehebatan gurunya! Angin serangannya yang dahsyat, dan gerakannya yang gesit sulit diikuti pandangan mata. Tapi yang lebih membuat takjub, gerakan Ayu Tantri terlihat lebih cepat ketimbang Ki Jalasena. Dan Ketua Padepokan Kilat Buana bukannya tak merasakan hal itu. Malah dalam hati dia merasa terkagum-kagum.
Dalam dua jurus, kembali terdesak. Dan mati-matian dia berusaha menahan serangan. Dan beberapa kali pukulan serta tendangan gadis itu nyaris menghajarnya. Hanya karena kegesitannya sampai saat ini dia masih bisa bertahan. Namun itu tak berlangsung lama karena sesaat kemudian Ayu Tantri telah meningkatkan serangannya dengan hantaman tangan bertubi-tubi.
Pak! Pak!
Berkali-kali Ki Jalasena mencoba memapak dengan kedua tangannya pula. Namun mendadak Ayu Tantri memutar tubuhnya sambil melepas tendangan setengah lingkaran, tepat ketika Ki Jalasena terjajar mundur karena habis memapak. Dan....
Desss...!
"Ugkh...!" Ki Jalasena terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terhantam tendangan gadis itu. Dia memandang tak percaya kalau gadis itu berhasil menyarangkan tendangan yang begitu cepat bagai kilat.
"Heaaa...!" Belum juga laki-laki tua itu menyadari apa yang terjadi, Ayu Tantri telah kembali memutar tubuhnya dengan tendangan menggeledek.
Dess...!
"Aaa...!" Tendangan itu tepat menyodok perut dengan telak. Dan Ketua Padepokan Kilat Buana tak mampu menguasai diri. Dia terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan. Sebelum Ki Jalasena berhasil bangkit, Ayu Tantri telah melompat dan tegak berdiri sejauh dua langkah di depannya.
"Kau boleh bangkit dan melanjutkan pertarungan.... Atau, menyerah kalah!" desis gadis itu.
"Baiklah! Aku..., aku menyerah kalah. Aku mengakui kehebatanmu...!" sahut Ki Jalasena terpatah-patah.
"Terima kasih," ucap Ayu Tantri. Baru saja gadis itu hendak berbalik untuk meninggalkan padepokan ini bersama beberapa anak buahnya....
“Tahan langkah kalian...!"
Gadis-gadis dari Padepokan Merak Emas itu menatap ke arah datangnya suara. Dan Ayu Tantri jadi mengernyitkan alis melihat kemunculan wanita tua berjubah panjang abu-abu yang tadi berkelebat, dan tahu-tahu telah berdiri di depannya sejauh tiga tombak. Rambut wanita itu disanggul lancip dengan beberapa tusuk konde.
"Boleh-boleh saja kau mengalahkannya. Tapi jangan kira aku bisa menerimanya!" desis wanita tua yang memegang tongkat di tangan kanannya.
"Kakak Kameswari...! Kau rupanya...!" seru Ki Jalasena seraya bangkit berdiri dibantu dua muridnya. Rupanya dia mengenal betul perempuan tua itu.
“Tenanglah, Jalasena! Kubalaskan sakit hatimu...!" ujar perempuan bernama Nyai Kameswari.
“Tapi ini pertarungan jujur. Kau tak boleh...."
"Diam kau, Jalasena!" potong Nyai Kameswari, membentak. "Siapa pun dan apa pun soalnya, aku tak rela bila orang lain menginjak-injak harga diri kita!"
"Tapi...!"
"Huh!" Nyai Kameswari tak mempedulikan kata-kata Ki Jalasena yang merupakan adik seperguruannya. Dengan langkah lebar dihampirinya Ayu Tantri, hingga jarak mereka kini terpaut satu tombak. Matanya menyorot tajam seperti memendam kebencian.
"Bocah, aku siap meladenimu!"
"Maaf, Nyai! Kami tidak berkepentingan denganmu," tolak Ayu Tantri halus.
"Kalau begitu, aku yang berkepentingan! Bersiaplah kau...!"
Bet!
Begitu habis kata-katanya Nyai Kameswari mengebutkan tongkatnya, menyambar ke arah pinggang. Namun cepat bagai kilat Ayu Tantri melenting ke atas.
"Keras kepala! Jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu!" bentak gadis itu.
“Tidak usah banyak omong! Perlihatkan kehebatanmu!" tantang Nyai Kameswari.
"Baik!" geram Ayu Tantri begitu mendarat "Kuladeni keinginanmu!"
Nyai Kameswari tak memberi kesempatan. Dia menyerang dengan amarah membludak. Sementara, gadis itu meladeninya dengan sikap tenang. Walaupun sapuan tongkat perempuan tua itu mengurungnya ketat, namun selalu saja berhasil dihindari.
"Hiaaa...!" Lewat dua jurus, kini ganti Ayu Tantri yang menggebrak. Gadis itu langsung menyergap laksana harimau menerkam mangsa.
Wuuuttt...!
Nyai Kameswari coba mengibaskan tongkat. Tapi, Ayu Tantri lebih cepat lagi menyelinap dari bawah, seraya melepas sapuan kaki.
Wusss...!
"Heh...?!" Nyai Kameswari terkesiap. Buru-buru dia melompat ke belakang. Namun ketika gadis itu melepas sapuan lagi yang begitu cepat...
Bugkh...!
"Aaakh...!" Wanita tua itu terhuyung-huyung dengan wajah berkerut, menahan sakit di perutnya sekaligus geram! Telak sekali kaki Ayu Tantri mendarat
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Keparat..!" maki perempuan tua itu, seraya bangkit berdiri
"Jangan membuatku marah, Nyai," desis Ayu Tantri melotot garang.
“Tutup mulutmu! Yiaaa...!" Disertai teriakan merobek angkasa, Nyai Kameswari melesat tinggi disertai sambaran tongkatnya.
Wuuttt,..!
"Uts!" Sebelum sambaran itu datang, Ayu Tantri telah mencelat ke atas. Sejenak tubuhnya berjumpalitan, lalu meluruk deras sambil menyiapkan pukulan bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!" Wanita tua itu terpekik begitu hantaman Ayu Tantri mendarat di punggungnya. Nyai Kameswari kontan terpuruk jatuh ke depan. Sementara, gadis itu telah mendarat di tanah, langsung menatap dingin pada wanita tua itu.
"Beruntung aku tidak membunuhmu! Kau kumaafkan. Tapi sekali lagi mencampuri urusan kami, maka nyawamu di tanganku!" dengus Ayu Tantri lalu mengajak anak buahnya untuk segera meninggalkan tempat itu.
********************
Trang! Trang!
"Heaaa...!"
Suara-suara benturan senjata terdengar memekakkan telinga, menandai terjadinya sebuah pertarungan. Tampak seorang laki-laki tua berambut putih dengan senjata sebuah kendi berisi tuak, menghadapi keroyokan beberapa gadis berpakaian serba kuning keemasan.
Mendapat keroyokan begitu, kakek berambut putih tampak tenang-tenang saja. Bahkan gadis-gadis itu dibuat jatuh bangun. Dari sini jelas kalau laki-laki tua itu memiliki kepandaian amat tinggi, jauh di atas lawan-lawannya Laki-laki tua itu seperti tak ingin memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat, melepas serangan. Pada saat yang gawat bagi keselamatan gadis-gadis itu, mendadak....
"Akulah lawanmu, Pemabuk Dari Gunung Kidul!" Saat itu juga, berkelebat satu bayangan biru yang langsung melancarkan papakan bertenaga dalam tinggi.
Plak!
Satu benturan keras terjadi, membuat laki-laki tua itu dan sosok bayangan biru yang baru datang tergetar mundur beberapa langkah. Laki-laki tua yang ternyata Ki Demong alias Pemabuk Dari Gunung Kidul menatap tajam pada satu sosok gadis cantik berpakaian warna biru, serta sebilah pedang bergagang kepala naga.
"Pandan Wangi.... Maafkan, kami tak mampu mengalahkannya...!" ucap salah satu dari lima gadis yang menjadi lawan Ki Demong.
"Tak usah dipikirkan," sahut gadis yang ternyata Pandan Wangi.
"Orang tua ini cukup tangguh" jelas salah seorang, menambahkan.
"Aku tahu."
Sementara itu, Pemabuk Dari Gunung Kidul tampak mengernyitkan keningnya melihat Pandan Wangi. Dia yakin betul mengenal gadis ini. Tapi mengapa sifatnya berubah? Bahkan sepertinya hendak membantu gadis-gadis itu. Ada apa ini? Keterkejutan Ki Demong tak ingin ditunjukkan pada raut wajahnya. Sikapnya tetap seperti biasa.
"He he he...! Baru saja kuingat-ingat di mana pernah bertemu denganmu. Kini aku tak salah lagi. Kau Pandan Wangi, kekasih Pendekar...."
"Ki Demong, tutup mulutmu!"
Kata-kata Pemabuk Dari Gunung Kidul terpenggal oleh bentakan Pandan Wangi yang sarat kebencian. Entah, apa yang terjadi pada gadis itu.
"Kenapa? Kau malu mengakui?" tukas Ki Demong.
"Persoalan ini tak ada hubungannya dengan Kakang Rangga...!"
"Apa urusannya? Atau..., kau mulai naksir aku?!"
"Ki Demong! Kau harus bertarung denganku!" desis gadis yang berjuluk si Kipas Maut
"Eee, tunggu dulu?! Apa urusannya!" cegah Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Tidak usah banyak tanya! Bersiaplah."
"Pandan Wangi, tunggu dulu...!"
Srak!
Pandan Wangi tak mempedulikan. Kipas mautnya langsung dicabut Lalu diserangnya Ki Demong.
"Waduh, sinting ini anak! Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja menyerangku...!" rutuk Pemabuk Dari Gunung Kidul, cepat melompat ke belakang beberapa tindak.
"Ki Demong! Bersungguh-sungguhlah. Atau..., kepalamu akan terpenggal senjataku!" kata Pandan Wangi, memperingatkan.
"Eh, i... iya! Tapi..."
"Hiih!" Tanpa peduli lagi, si Kipas Maut kembali meluruk seraya mengebutkan kipasnya yang kini telah terkembang.
"Uts! Hampir leherku putus!" Ki Demong bergidik ngeri ketika ujung kipas nyaris menyabet lehernya. Tubuhnya berjungkir batik ke belakang.
Pandan Wangi terus mengejar. Ujung kipasnya terus mengancam keselamatan laki-laki tua yang pemabukan itu.
Bet! Bet! Trak!
Sambil terus menghindar, sesekali Pemabuk Dari Gunung Kidul memapak dengan guci berisi tuak merahnya. Dia tak ingin menggunakan semburan tuaknya, mengingat yang dihadapi adalah kekasih Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan, jangan kelewat memaksaku...!" ingat Ki Demong.
"Aku sedang memaksamu," desis gadis itu.
"Waduh! Benar-benar sinting dia! Kesambet setan dari mana anak itu?"
"Jangan banyak ngomel! Ayo, kerahkan segala kemampuanmu!"
"Aku suka kentut. Kau mau aku mengerahkannya?" Ki Demong terkekeh sambil mencelat ke atas, menghindari tebasan senjata si Kipas Maut. Begitu melewati kepala Pandan Wangi dari pantatnya meluncur 'angin maut'.
Bruuuttt!
"Waduh! Padahal tadi aku habis makan ubi campur pete dan jengkol!" keluh Pemabuk Dari Gunung Kidul begitu mendarat. Wajahnya dipasang memelas.
"Keparat kau, Ki Demong!" bentak Pandan Wangi geram.
"Tuh, betul dugaanku! Dia makin marah. Tidak dikentuti saja marah. Apalagi dikentuti," gumam laki-laki tua itu dengan suara menggerendeng. "Eee.... Tunggu, Pandan! Aku betul-betul tidak sengaja...!"
"Setan alas! Kurobek pantatmu biar tahu rasa!" dengus Pandan Wangi.
"Waduh! Jangan kejam begitu. Aku kan tidak sengaja...," kilah Ki Demong. Sebaliknya Pandan Wangi melotot lebar. Dia tidak sudi direndahkan seperti itu. Sementara Ki Demong tahu gelagat. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat dan melesat pergi dari tempat ini.
"Maaf, Pandan. Aku pergi dulu. Jangan marah, ya. Aku benar-benar tak sengaja.,.!" teriak Ki Demong sambil terus melesat cepat Tak ada waktu buat si Kipas Maut untuk mengejar. Karena sebentar saja, laki-laki tua itu telah menghilang dari pandangannya.
TIGA
"Bajingan! Terkutuk! Hentikan perbuatanmu, Jahanam...!"
Suara makian panjang pendek terdengar mengusik ketenangan pinggiran Hutan Blambangan. Sumbernya dari sebuah pondok kecil yang sudah tak terpakai lagi oleh pemiliknya. Di dalam pondok, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan wajah tirus dan gigi hitam yang sebagian telah ompong, tengah berusaha menjilati satu tubuh mulus dengan pandangan matanya.
Matanya berbinar liar dengan napas memburu, siap menikmati kehangatan tubuh gadis cantik yang tergolek tak berdaya di dipan bambu. Gadis yang tertotok itu hanya bisa berteriak-teriak. Bahkan untuk menutupi tubuhnya yang tanpa benang sehelai pun dia tak mampu. Air mata pun menggulir perlahan-lahan, meratapi nasibnya yang malang.
"Aduhai, ini betul-betul sempurna...!" desis laki-laki bermuka tirus. Jari-jarinya yang nakal mulai menggerayangi salah satu puncak gunung kebanggaan para wanita. "Jangan menangis.... mestinya kau bangga, karena Alit Saga akan membawamu ke puncak kenikmatan...!"
Gadis itu menjerit, namun percuma saja. Jeritannya tak membuat laki-laki bernama Alit Saga bergeming untuk hentikan perbuatannya. Malah nafsunya kian berkobar. Namun baru saja laki-laki itu hendak menerkam gadis di depannya....
"Sampurasun...!"
"Heh?!" Alit Saga tersentak mendengar suara dari luar. Matanya mendelik garang, karena niatnya mendadak terpenggal. Nafsu yang sudah menggelegak mendadak surut perlahan-lahan.
"Sampurasun...! Kisanak atau Nisanak penghuni gubuk....Izinkan aku bermalam di sini...!" lanjut suara dari luar.
"Hhh...!" Alit Saga beringsut bangun dari dipan bambu. Buru-buru disambarnya pakaian. Dan buru-buru pula dikenakannya. Tak lupa, disambarnya tongkat panjang di sisi dipan.
"Siapa?!" Alit Saga menghampiri pintu sambil bertanya. Suaranya serak. Dikeluarkan dari hati penuh kesal bercampur amarah.
"Aku seorang pengembara. Di luar hujan mulai turun. Dan aku ingin numpang meneduh di sini...," sahut suara dari luar lagi.
"Meneduhlah kau di luar!" bentak Alit Saga.
"Tapi, Kisanak... Aku pun lapar...," desah suara itu.
"Aku tak punya makanan untukmu!"
"Bajuku basah. Dan aku bisa sakit. Sudilah Kisanak meminjamkan baju...."
"Kurang ajar!" Alit Saga mendengus. Amarahnya kian membakar ubun-ubunnya. Di kepalanya langsung tersusun rencana yang dianggap paling tepat. Seketika dibukanya pintu. Pandangannya segera tertumbuk pada seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung.
"Masuklah! Aku ada sepasang pakaian untukmu.,.," ujar Alit Saga.
"Terima kasih."
Alit Saga tak beranjak dari pintu. Dia hanya bergeser sedikit ke samping agar ada jalan bagi pemuda itu untuk masuk. Diam-diam tangannya yang memegang, tongkat mulai bergerak. Tepat ketika pemuda itu membelakanginya.
Srak! Bet!
Tiba-tiba dari ujung tongkat Alit Saga keluar sebuah mata pisau ketika salah satu jarinya memencet tombol kecil yang ada di pangkal tongkat. Tapi alangkah terkejutnya Alit Saga karena pemuda itu cepat sedikit menggeser tubuhnya, sehingga ujung pisau tak menemui sasaran.
"Kisanak! Ternyata kau bukan tuan rumah yang ramah. Aku tak mengerti maksudmu?" kata pemuda itu seraya berbalik. Nada suaranya terdengar lemah lembut dengan tatapan penuh perbawa.
"Tutup mulutmu! Kau merusak acaraku! Karena itu kau harus mati!" Begitu habis kata-katanya, Alit Saga mengebutkan tongkatnya yang ujungnya bermata pisau.
Wuuut!
"Uts!" Pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang. Namun seketika Alit Saga memutar tubuhnya dengan kaki kanan menghajar ke perut
Kembali pemuda itu melompat ke belakang. Dan itu membuat Alit Saga kesal. Sehingga dia terus menyerang.
"Yeaaa...!" Brusss!
Pemuda berbaju rompi putih itu melenting ke atas, langsung menerobos atap pondok ini. Tubuhnya berputaran beberapa kali, lalu mendarat manis di tanah. Sementara Alit Saga langsung mengejar, lewat jalan yang sama dengan pemuda tadi. Begitu mendarat, langsung diserangnya pemuda itu dengan sambaran tongkat.
Bet! Bet!
Tongkat Alit Saga mengurung pemuda itu ke mana saja bergerak. Jelas ilmu tongkatnya tampak hebat. Bisa dipastikan Alit Saga adalah seorang tokoh silat berkepandaian tinggi.
Tapi yang dihadapi Alit Saga kali ini ternyata bukan orang sembarangan. Pemuda itu tak lain dari Rangga yang di kalangan persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau Alit Saga menjadi penasaran karena serangan-serangannya belum membuahkan hasil.
"Kisanak. Kurasa kau terlalu bernafsu...," kata Rangga, kalem.
"Tutup mulutmu!" bentak Alit Saga.
"Aku tak mengerti. Kau rela repot-repot menghajarku, sementara istrimu dibiarkan kedinginan seorang diri di dalam."
"Tutup mulutmu, Bajingan!"
"Hm.... Orang sepertiku mungkin saja bajingan. Tapi makhluk seperti kau..., apa namanya? Mungkin kakek moyangnya bajingan!"
"Setan!" Setelah memaki demikian, Alit Saga menggebrak kembali. Ujung tongkatnya semakin gesit dan ganas saja.
Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' Pendekar Rajawali Sakti selalu bisa menghindari serangan. Tubuhnya meliuk-liuk indah. Kadang condong ke kiri, lalu ke kanan bagaikan orang mabuk. Gerakannya lincah, ditunjang gerakan kaki yang cepat bukan main. Tak heran kalau sampai sejauh ini tak satu serangan pun yang bisa menyentuh tubuhnya.
Dan dalam satu kesempatan Pendekar Rajawali Saki melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu meluruk, Rangga melepas serangan cepat dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi disertai pengerahan tenaga dalam lumayan tinggi.
Siuuut!
"Hei?!" Pukulan yang cepat, membuat Alit Saga terkejut. Sebisanya dipapakinya pukulan itu dengan tangannya.
Plak!
"Uhh...!" Alit Saga mengeluh tertahan begitu terjadi benturan. Tubuhnya bergetar dan terjajar beberapa langkah dengan mulut menyeringai menahan sakit.
Kesempatan itu dipergunakan, Rangga sebaik-baiknya. Kali ini tubuhnya berkelebat cepat. Langsung dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', dengan tenaga dalam tinggi. Tangannya mengibas cepat dan...
Desss...!
"Aaakh...!" Kembali Alit Saga mengeluh tertahan dengan tubuh limbung. Sebelum terjungkal, Rangga berkelebat merampas tongkat laki-laki itu. Begitu terampas, langsung dihantamkan ke perut Alit Saga.
Buk!
"Aaakh...!" Alit Saga tersungkur di tanah becek. Dia cepat bangkit dengan wajah gusar. Tapi hatinya agak gentar melihat senjatanya mampu dirampas pemuda itu.
Sementara Rangga memainkan tongkat itu dengan lihai. Diputar ke sana kemari, memperdengarkan suara menderu-deru.
Wuk!
"Kau mau ambil tongkat ini?" tanya Rangga, kalem.
"Huh!" Alit Saga mendengus geram melihat Pendekar Rajawali Sakti menyodorkan tongkatnya. Tak mungkin pemuda itu akan memberikannya begitu saja. Pasti ada maksud tertentu. Itu yang tergambar di benaknya. Sehingga, dia tak begitu tertarik mendapatkan tongkatnya kembali.
"Kau tak mau tongkatmu kembali?" ulang Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan mempermainkan aku, Keparat!" desis Alit Saga.
"Kau kira aku mempermainkanmu?"
"Huh!"
"Baiklah. Kalau tak mau ambil tongkat ini, kau boleh pergi sekarang juga...."
"Kurang ajar! Kau kira bisa mempermainkan Kelelawar Hitam Penghisap Darah?!" dengus Alit Saga yang ternyata berjuluk Kelelawar Hitam Penghisap Darah.
"Apakah kau merasa dipermainkan?" tukas Rangga.
"Setan!"
"Kisanak! Mulutmu kotor sekali. Mudah-mudahan otakmu tak sekotor mulutmu...."
Alit Saga tak dapat menguasai diri. Kemarahannya kian menggelegak. Seketika kedua tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh.
Wuuusss...!
"Uts!" Rangga menghindar dengan memiringkan tubuhnya ke samping. Belum juga Pendekar Rajawali Sakti menegakkan tubuhnya, Alit Saga telah meluruk deras seraya menghantamkan tangannya.
Namun Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh kemarin sore. Tepat ketika jarak Alit Saga tinggal setengah tombak tagi, tubuhnya berputar seraya mengibaskan tongkat yang dipegangnya.
Alit Saga tak menyangka kalau pemuda itu mampu bergerak sangat cepat. Ujung tongkat di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyambar dada si Kelelawar Hitam Penghisap Darah.
Bret!
"Aaakh...!" Alit Saga menjerit kesakitan sambil mendekap dadanya yang tersambar tongkatnya sendiri. Dari sela-sela jari-jarinya menetes darah segar. Tubuhnya limbung dengan mulut meringis.
"Pergilah! Dan, jangan kembali ke sini lagi!" ujar Rangga, penuh perbawa.
"Huh!" Si Kelelawar Hitam Penghisap Darah mendengus geram. Namun dia tak mampu berbuat apa apa lagi. Dengan membawa api dendam di hati ditinggalkannya tempat ini
Rangga tersenyum menatap kepergian Alit Saga. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam gubuk.
"Oh...?!" Rangga mendesah kaget, langsung memalingkan wajahnya ketika matanya tertumbuk pada seorang gadis yang tergolek di dipan bambu tanpa benang sehelai pun.
"Kisanak.... Tolong aku!" ratap gadis itu.
"Bagaimana aku menolongmu kalau keadaanmu begitu?" tanya Rangga, salah tingkah.
"Aku tertotok. Tolong bebaskan totokanku ini..!" jelas gadis itu.
"Tapi...."
"Sudahlah, kau tolong saja aku...!"
"Baiklah." Sambil berjalan mundur, Rangga mendekati gadis itu. Dia berdiri sesaat di tepi dipan seperti orang bingung.
"Cepatlah! Kau mesti membebaskan aku!" desak gadis itu.
"Di bagian mana yang tertotok?" tanya Rangga.
"Pinggang."
"Hm...!" Pendekar Rajawali Sakti menggumam tak jelas, lalu tangannya bergerak cepat menotok.
Tuk!
"Aow...!" Rangga buru-buru menarik tangannya, ketika gadis itu memekik kesakitan.
"Mengapa totokanmu keras sekali?! Kau ingin membunuhku?!" maki gadis itu.
"Nisanak! Kalau aku punya niat membunuh, tak akan kulepaskan totokanmu. Di pinggir hutan ini, banyak sekali binatang buas berkeliaran mencari mangsa!" tukas Pendekar Rajawali Sakti, jadi kesal melihat sikap gadis ini.
Begitu bebas dari totokan, gadis itu cepat menyambar pakaiannya yang teronggok di sampingnya. Cepat dipakainya pakaian berwarna kuning itu. Sementara Rangga melangkah. Tapi belum lagi tiba di ambang pintu....
"Hei, mau ke mana kau?!" seru gadis itu.
Rangga sedikit melirik. Ketika gadis itu telah berpakaian, dia betul-betul berbalik sambil tersenyum datar.
"Kau sudah bebas. Aman dari gangguan bajingan tadi. Kalau aku terus di sini, jangan-jangan malah jadi bajingan kedua bagimu," ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Maaf, kalau kata-kataku tadi terlalu keras...," ucap gadis ini melemah.
"Tak apa," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berbalik kembali, melangkah keluar gubuk ini.
"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana, sih?!" teriak gadis itu mengejar.
"Mau pulang," jawab Rangga, pendek sambil terus melangkah.
"Ke mana?" tanya gadis ini lagi, seraya menjajari langkah Pendekar Rajawali Sakti.
"Ke rumah."
"Oh, ya.... Siapa namamu, Kisanak? Aku Prabawati...," tanya gadis itu.
"Aku Rangga," sahut Pendekar Rajawali Sakti pendek.
"Di mana rumahmu?" kejar gadis bernama Prabawati.
"Aku tak punya rumah. Aku hanya seorang pengembara.
"Aku tak percaya, tadi kau bilang mau ke rumah!"
Rangga tak menjawab. Kakinya terus melangkah. Sementara gadis itu terus menjajari langkahnya.
Wajah Prabawati memberengut kesal. "Kenapa kau bersikap dingin?! Padahal aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih...!" cibir gadis itu bersungut-sungut.
"Kuterima rasa terima kasihmu,"
"Huuuh...!"
"Kenapa?"
"Kau sombong dan tidak berperasaan!" cetus Prabawati tiba-tiba.
Rangga menghentikan langkahnya. Wajahnya melongo seperti bocah tanpa dosa.
"Apa kau selalu bersikap begitu pada setiap orang?" tanya Prabawati.
"Tidak juga," jawab Rangga, pendek.
"Kau terlalu angkuh! Sok! Orang sepertimu pasti dijauhi banyak orang!" Rangga tak menjawab. "Banyak kutemui orang-orang sepertimu. Terlalu mengagungkan diri karena merasa paling tampan, paling hebat, dan paling sok! Kau seperti memiliki segalanya, dan menganggap orang lain hina, rendah, tidak sederajat!” Napas gadis itu megap-megap meluapkan amarah dan kekesalannya. Wajahnya masih menunjukkan sisa kegarangan. Dipandangnya pemuda itu dengan perasaan kesal.
"Masih ada yang mesti kudengar? Kalau tak ada, aku mohon diri...," sahut Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti mendadak berkelebat cepat meninggalkan Prabawati. Begitu cepat gerakannya sehingga sebentar saja telah jauh dari gadis itu.
"Selamat tinggal, Nisanak...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei, tunggu!" Gadis itu berteriak. Dan pemuda itu memang menghentikan langkahnya. Bukan karena teriakan itu, melainkan di depannya berdiri tubuh ramping dengan sikap menghadang.
"Hmm...!" Pendekar Rajawali Sakti menggumam lirih. Matanya mengawasi tiga orang gadis yang dari sikapnya jelas tak menunjukkan persahabatan. Rangga tak mengerti, apa maksud ketiga gadis itu menghadangnya. Dan sebelum dia sempat berpikir lebih jauh....
"Chiaaat...!" Ketiga gadis itu serentak menyerang. Dua orang dari kiri, dan seorang lagi dari depan.
"Hup! Rangga melenting ke atas dan beberapa kali berputaran. Kemudian manis sekali kakinya mendarat Tapi serangan baru telah muncul. Sebuah tedangan meluruk menyambar muka dengan gerakan amat cepat. Namun Pendekar Rajawali Sakti hanya memiringkan tubuhnya, maka tendangan itu luput. Pada saat yang sama, ada sebuah serangan meluncur cepat dari kiri dan kanan.
EMPAT
"Hup!" Tangkas sekali Rangga melenting ke belakang. Dia tidak mendarat di tanah, namun sengaja menjejakkan kakinya di sebuah batang pohon.
"Hup...!" Sambil mengempos kakinya dengan batang pohon sebagai tumpuan, Pendekar Rajawali Sakti melesat bagai anak panah lepas dari busur. Langsung dikerahkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Diserangnya salah seorang dengan satu hantaman keras. Gadis yang menjadi sasaran terkesiap, tanpa mampu mengelak lagi. Sehingga....
Des!
"Uhh...!" Gadis itu melenguh tertahan terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti pada bagian dadanya. Tubuhnya sempat terdorong. Dan Rangga memang tak banyak mengerahkan tenaga dalam. Kalau saja mau, pemuda itu bisa menghancurkan tulang dada gadis ini.
"Parwati! Kau tak apa-apa...?!" seru salah seorang gadis dengan wajah kaget
Parwati menggeleng. Wajahnya geram memandang Pendekar Rajawali Sakti. "Bocah setan! Kau akan mati di tanganku!" bentak gadis bernama Parwati, hendak menyerang kembali. Namun....
"Parwati! Hentikan perbuatanmu!" Mendadak terdengar teriakan keras, yang disusul berkelebatnya satu bayangan kuning. Tahu-tahu di depan Parwati berdiri seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna kuning.
"Prabawati! Apa-apaan kau ini?! Bukankah pemuda ini yang menculikmu?!" bentak Parwati.
Prabawati tersenyum sambil menggeleng.
"Kenapa kau cengengesan begitu?!" sentak gadis lainnya.
"Kalian salah alamat. Bukan dia yang menculikku," jelas Prabawati.
"Lalu siapa?"
"Namanya Alit Saga alias si Kelelawar Hitam Penghisap Darah."
"Mana orang itu sekarang?"
"Sudah kabur."
"Kabur? Apa maksudmu?!"
"Aku tak tahu. Tapi begitu melihat pemuda ini, dia langsung terbirit-birit ketakutan," jelas Prabawati sedikit berbohong.
"Hmm!"
"Jangan macam-macam kau, Prabawati! Bicara yang betul!" sela gadis lainnya.
"Apa kau tak percaya padaku, Ningsih?" tukas Prabawati
"Alit Saga bukan tokoh sembarangan. Mana mungkin dia terbirit-birit melihat pemuda tolol ini!" tambah Parwati, menyanggah.
"Tapi kenyataannya begitu. Dan kau telah merasakan sendiri kalau pemuda ini tak bisa dibuat main-main, bukan?"
"Kalau begitu kebetulan!" Parwati melangkah mendekati Rangga. "Kepandaianmu lumayan juga, Anak Muda. Akan kami lihat sampai beberapa jauh kemampuanmu!" lanjut gadis itu.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga, kalem.
"Mereka menantangmu bertarung!" jelas Prabawati, yang telah berdiri di sisi Rangga.
"Untuk apa?" Rangga tertawa hambar.
"Ketua kami perlu seorang pemuda tangguh sepertimu. Dan kalau memenuhi syarat, kau tak akan kecewa," jelas gadis yang bernama Ningsih.
"Untuk apa? Apakah hendak dijadikan gendaknya?"
"Jangan sembarangan bicara! Ketua kami orang terhormat. Sekali lagi kau bicara begitu, kami akan memancung kepalamu!" dengus Parwati geram.
Dua gadis yang lain bersikap demikian. Hanya Prabawari yang sedikit lunak saat memperingatkan pemuda itu.
"Kisanak.... Tak semestinya kau berkata begitu. Ketua kami punya maksud baik, karena beliau orang terhormat."
"O, begitu? Maaf, aku tak tahu. Nah! Kalau boleh tahu, siapa ketua kalian? Dan di mana tempatnya?" ucap Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan tahu setelah mengalahkan kami!" sahut Parwati.
"Aku tak punya alasan untuk bertarung dengan kalian," tolak Rangga, haius.
"Kami punya! Dan, akan memaksamu!" tegas Parwati.
Rangga tertawa dingin. "Selain sombong, ternyata kalian suka memaksakan kehendak. Mungkin setelah itu, masih banyak tingkah kalian yang aneh-aneh."
"Tutup mulutmu!" bentak Ningsih.
"Cabutlah pedangmu!" timpal Parwati seraya menghunus senjata.
"Belum waktunya aku menggunakan senjata," sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Sombong! Tapi kami tak bertindak kepalang tanggung. Kalau lengah, kau akan celaka!" ingat Parwati.
Begitu habis kata-katanya, Parwati lompat menyerang, diikuti Ningsih dan seorang gadis satunya. Sedangkan Prabawati diam saja memperhatikan. Mau tak mau Rangga terpaksa meladeni, ketiga gadis yang menyerang ganas bukan main. Seolah-olah Rangga adalah musuh besarnya.
"Ini betul-betul keterlaluan! Kalau dibiarkan bisa aku yang celaka!" keluh Pendekar Rajawali Sakti dalam hati. Berpikir begitu Rangga mulai balas menyerang. Sejak tadi dia telah mengamati kalau kepandaian ketiga lawannya setaraf. Hanya salah seorang yang agak lamban. Maka, gadis itulah yang lebih dulu diincamya.
"Heaaat...!"
"Awas, Parwati...!" teriak Ningsih memperingatkan, ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti menerkam kawannya.
Gadis itu bermaksud menolong, Rangga terpaksa membatalkan serangannya. Tubuhnya lantas berbalik, meladeni serangan Ningsih.
Pak! Pak!
"Uh... Ningsih tergetar mundur disertai keluhan tertahan ketika tangannya berbenturan dengan tangan Rangga.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti sedikit pun tak goyah. Namun pada saat yang sama, meluruk gadis lainnya yang berniat membokong.
"Hmm...!" Rangga menggumam perlahan, lalu memutar tubuhnya disertai tendangan menggeledek yang tak terduga.
Des!
"Aaakh!" Gadis itu mengeluh tertahan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di dadanya. Tubuhnya terpental dan terbanting ke belakang. Sementara Parwati dan Ningsih menggeram.
"Yeaaat..!"
"Hmm!" Rangga mendengus pendek melihat kedua gadis itu meluruk melepas serangan. Segera tubuhnya merendah dengan kuda-kuda kokoh.
Kedua gadis itu menyambar pedangnya, Rangga melesat tinggi-tinggi ke udara. Setelah berputaran, tubuhnya meluruk ke arah Ningsih yang belum sempat menyadari. Tahu-tahu....
"Lepas!" Tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menepak senjata Ningsih yang terangkat ke atas, hingga terpental di udara. Lalu secepatnya ditangkapnya pedang gadis itu.
Tap!
Tepat ketika pedang itu tertangkap, Rangga telah mendarat di tanah, setengah tombak di depan Ningsih. Seketika dilepaskannya satu tendangan keras menghajar dada.
Desss...!
"Aaakh...!" Gadis itu kontan terpental ke belakang disertai keluh kesakitan.
Pada saat yang sama, Parwati telah melesat sambil membabatkan pedang. Mendapati angin serangan yang berkelebat ke arahnya, tanpa menoleh Pendekar Rajawali Sakti langsung mengayunkan pedang ke atas menangkis sabetan senjata Parwati.
Trang!
"Uhh...! Gadis itu melenguh, merasakan nyeri pada tangannya. Namun pedangnya kembali menyambar ke dada diikuti tendangan kaki kiri.
Pendekar Rajawali Sakti cepat berbalik seraya mengangkat kakinya yang tertekuk ke depan perut. Sementara pedang di tangannya kembali dikibaskan ke arah pedang Parwati.
Plak! Trang!
Pedang gadis itu terpental. Kembali wajah Parwati berkerut menahan nyeri di tangan dan kakinya. Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa, pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti telah menempel di lehernya.
"Pertarungan selesai! Kecuali kau ingin mati!" desis Rangga.
"Huh!"
"Ini belum berakhir, Anak Muda!" dengus Ningsih.
"Ini sudah berakhir. Sebab kalau kalian macam-macam, pedangmu ini akan menggorok leher!" ancam Rangga, bersungguh-sungguh.
"Kau kira aku takut mati?" ejek Parwati, tak kenal takut.
"Mungkin saja kau tak takut mati, tapi aku tetap akan menggorok lehermu!"
Untuk sesaat tak ada yang bersuara. Kedua gadis itu memandang kesal, sekaligus bingung.
"Kau ikut bersamaku untuk jaminan kalau mereka tak macam-macam!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti. Rangga mengajak Parwati berjalan dengan pedang tetap di leher.
"Kisanak! Mau ke mana kau? Kau bawa ke mana kawanku?" teriak Prabawati.
"Tenanglah, Prabawati. Aku tak menyakiti kawanmu selama mereka tidak macam-macam. Aku tak cari urusan. Tapi, kalian yang memulainya!" ujar Rangga tegas.
"Tapi kau tak bisa memperlakukannya begitu,..!" sergah Prabawati.
"Aku bisa melakukan apa saja, kalau kalian coba menyerangku."
"Kami tak menyerangmu!"
"Aku tak percaya!"
"Baiklah.... Kau boleh bawa dia. Tapi kalau dia celaka, maka kita akan berurusan lagi!" tegas Prabawati.
Rangga tertawa dingin. Namun baru saja dia akan berkelebat membawa Parwati....
Wuuttt...!
Mendadak saja melesat sesosok bayangan kuning yang langsung menyerang ganas. Angin serangannya menderu ganas, menandakan kalau tenaga dalamnya cukup hebat.
Rangga yang merasakan adanya angin sambaran cepat mendorong tubuh Parwati. Dan seketika tangannya mengibas, memapak serangan.
Plak!
"Hmm...!" Rangga menggumam tak jelas melihat gadis berbaju kuning berselendang biru di pinggang yang baru saja menyerangnya. Gadis itu memiliki rambut panjang yang terurai begitu saja. Sebagian menutupi wajahnya, meski begitu kecantikannya tetap masih terlihat.
Sedangkan Parwati yang dilemparkannya, buru-buru berdiri dengan pedang terhunus. Wajahnya tampak beringas dipenuhi dendam.
"Jadi kalian telah dipecundangi olehnya,..?" ejek gadis itu dengan tersenyum mengejek. "Sekarang perhatikan, bagaimana aku membuatnya jadi pecundang!"
"Aku masih mampu menghajarnya, Tikasari!" dengus Parwati.
"Tahukah kau, siapa yang kalian hadapi ini? Dia Pendekar Rajawali Sakti. Kau tak akan mampu mengunggulinya!" jelas gadis berselendang biru yang ternyata bernama Tikasari.
"Hei?!" Parwati terkejut mendengar nama itu. Demikian pula kawan-kawannya, termasuk Prabawati. Namun gadis yang juga berbaju kuning keemasan dan berselendang biru tenang-tenang saja. Malah berkacak pinggang sambil tersenyum-senyum. Sepertinya tidak memandang sebelah mata padanya.
"Maaf, Nisanak. Julukan itu tak berarti apa-apa. Hanya julukan kosong," selak Rangga.
"Tidak usah merendah, Pendekar Rajawali Sakti. Semua orang tahu bagaimana kehebatanmu!" sentak Tikasari.
"Terima kasih...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.
"Tapi bukan berarti tak ada yang berani menantangmu!"
"Tentu saja!" sahut Rangga menimpali.
"Aku akan menantangmu bertarung!" tegas gadis itu, lantang.
"Nah, ini yang tak benar! Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja kau mengajakku bertarung," sergah Rangga.
"Aku hanya ingin tahu sampai di mana kehebatanmu!"
"Kalau begitu akan kukatakan padamu, aku sama sekali tak hebat"
Gadis itu mendengus dingin. Matanya memandang Rangga dengan sorot tajam. Perlahan-lahan tangannya meloloskan pedang di punggung.
"Karena kau telah bersenjata, maka kuanggap telah siap...," desis Tikasari datar.
"Oh, ini?! Baiklah, aku tak siap!" Rangga buru-buru membuang pedang di tangan yang sejak tadi dipegangnya.
"Itu tidak merubah apa pun. Aku tetap akan menantangmu. Bersiaplah!" tandas Tikasari.
"Wah, gawat..!" Rangga menghela napas sesak.
"Hiaaat..!" Tikasari tak banyak kata lagi. Diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas dengan sabetan pedangnya. Namun, Rangga langsung mencelat ke belakang, dan terus menghindar menjauhi tempat itu.
"Jangan coba-coba lari, Pendekar Rajawali Sakti!" kejar Tikasari.
"Kalau tidak lari, jangan-jangan kepalaku dipenggal pedangmu!" sahut Rangga kalem.
"Hm, kau terlalu menganggap enteng padaku! Rasakan ilmu pedangku ini!"
Bet! Bet!
Rangga berkali-kali meliuk-liuk menghindari sambaran pedang. Dari gerakannya jelas kalau dia mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib”. Sehingga tak satu serangan pun menyentuh tubuhnya. Hal itu membuat gadis berbaju kuning keemasan penasaran. Dia terus menyerangnya tanpa henti.
"Yang ingin bertarung sebenamya siapa?. Kau atau ketuamu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Itu bukan urusanmu!"
"Kalau kini kau bertarung denganku, tentu saja urusanku juga kan?"
"Yiaaat...!" Gadis itu tak menyahuti Dia terus mengejar dengan sambaran pedang yang semakin hebat saja, mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Gila! Aku tak bisa terus-terusan begini...!" keluh Rangga, seraya meraih gagang pedangnya di punggung.
Sring!
Beberapa jengkal lagi pedang Tikasari membabat, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilau. Gadis itu terkesiap. Namun tak mungkin menarik serangannya kembali. Dan....
Tras!
Pedang gadis itu kontan putus. Dan secepat itu pula cahaya biru itu kembali hilang di punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Kukira pertarungan ini selesai, Nisanak," ujar Rangga melihat gadis itu terpaku di tempatnya.
"Hebat! Hebat sekali pedangmu. Tidak sia-sia apa yang kudengar tentangmu," puji Tikasari, tulus.
"Terima kasih. Kalau begitu aku permisi...," ucap Rangga.
"Tunggu dulu!" cegah gadis itu.
"Apa lagi?" tanya Rangga, seraya berbalik.
"Atas nama Ketua, kami bermaksud mengundangmu ke Padepokan Merak Emas!"
"Terima kasih. Maaf, aku tak bisa menerima undangan kalian."
"Ketua kami pasti senang sekali menerima kehadiranmu."
"Sampaikan saja salamku padanya. Kapan-kapan kalau berubah pikiran, aku akan mampir ke sana."
"Ketua kami cantik dan berilmu tinggi...!" pancing Tikasari.
"O, ya?! Tentu menarik sekali!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, pura-pura terkejut
"Dia senang dengan pemuda-pemuda hebat sepertimu...," tambah Tikasari.
"Semakin menarik saja!"
"Apa itu berarti kau berubah pikiran?"
Rangga tersenyum. Dipandangnya gadis itu sebentar, lalu menghela napas pendek. "Sayang sekali.... Ini pasti menarik. Tapi..., aku tetap tak bisa. Maaf, Nisanak....'"
"Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa tidak kau terima saja undangan kami ini? Apa keberatanmu?" tanya Prabawati.
"Aku tidak merasa berat. Hanya saja ada sesuatu yang mesti kukerjakan. Dan ini agaknya lebih penting. Nah, sekali lagi kuucapkan kata maaf. Sampaikan saja salamku pada ketua kalian." Setelah berkata begitu, Rangga segera berkelebat Sebentar saja tubuhnya menghilang di balik kegelapan malam. Jelas ilmu meringankan tubuhnya telah amat tinggi.
"Pemuda keras kepala!" umpat Parwati.
"Jangan berkata begitu, Parwati. Kita mesti menghormati pendiriannya...." Tikasari menasihati
"Bukankah orang seperti dia yang diinginkan Ketua?" tanya Ningsih.
"Kita akan usahakan untuk menjeratnya. Namun hal ini mesti dibicarakan dulu pada Ketua."
"Ya, aku setuju dengan usul Tikasari!" ujar Prabawati.
********************
LIMA
Kegiatan yang dilakukan gadis-gadis dari Padepokan Merak Emas dalam menantang padepokan-padepokan lain terus berlangsung. Bahkan kini mereka berani menantang tokoh-tokoh persilatan. Kendati demikian, mereka tak bermaksud melenyapkan atau membantai tokoh-tokoh itu. Tujuan mereka hanya menantang bertarung. Apakah ada maksud di balik semua itu?
Memang belum jelas benar. Yang pasti kini gadis-gadis itu kini tengah menantang dua orang pemuda berpakaian kulit macan bercorak loreng. Padahal, kedua tokoh yang berasal dari Lembah Maut ini sudah tak asing lagi bagi dunia persilatan.
Tak jelas, apa golongan kedua pemuda itu. Kadang mereka ikut membasmi tokoh-tokoh sesat, namun tak jarang pula mencari persoalan dengan tokoh-tokoh golongan lurus. Namun yang pasti pula kepandaian mereka cukup menggetarkan lawan-lawan yang dihadapi. Yang bertubuh tinggi besar dikenal bernama Maung Lodra. Sedang yang bertubuh tinggi kurus sering dipanggii Maung Sukma. Kedua pemuda itu berdiri di halaman rumah mereka sendiri, menghadapi enam orang gadis yang semuanya berpakaian kuning keemasan.
"Kau telah sinting berani menantang Macan Loreng Dari Lembah Maut!" dengus pemuda yang bertubuh tinggi kurus.
"Lebih baik kalian pulang saja!" timpal pemuda tinggi besar.
"Apa kepandaian kalian demikian hebat sehingga menganggap enteng kami?" tukas gadis berbaju kuning yang menjadi pemimpin, tenang-tenang saja. "Kalau bisa mengalahkan aku dalam lima jurus, bolehlah kalian menepuk dada."
Kedua pemuda yang ternyata dikenal sebagai Macan Loreng Dari Lembah Maut tertawa keras menahan geli. Betapa tidak? Mendatangi tempat kediaman mereka dengan sebuah tantangan, berarti mati! "Ha ha ha...! Lima jurus katamu?! Hei, aku mampu mematahkan tanganmu sebelum satu jurus berakhir!" leceh Maung Lodra.
"Kenapa kau tidak buktikan?" tantang gadis itu.
"Kakang Maung Lodra! Dia mencemoohkanmu! Kenapa tidak kau buktikan saja?!" sentak Maung Sukma, kelihatan mulai gusar.
"Hmm! Baik! Memang itu mauku...!" dengus Maung Lodra.
"Silakan dimulai!" Gadis berbaju kuning yang bila melihat ciri-cirinya tak lain dari Ayu Tantri itu tersenyum. Sikapnya tenang, tidak memperlihatkan ketakutan sedikit pun. Malah wajahnya berseri-seri mendapati tantangannya diterima.
"Yiaaat...!"
Disertai teriakan keras, Maung Lodra menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar macan. Namun, Ayu Tantri cukup menggeser ke samping seraya mengibaskan tangan.
Plak!
Begitu sambarannya terpapak hingga tubuhnya sempat terjajar, Maung Lodra kembali menggebrak. Kedua cakarnya menyambar ke perut dan dada. Namun cepat sekali gadis itu melompat seraya melepas tendangan mengincar kepala.
Wuutt..!
"Uts...!"
"Boleh juga!" puji Maung Lodra sambil menjatuhkan diri ke belakang. Dan dengan bertumpu dengan kedua tangan, dia melenting bangkit.
Pada saat yang sama, Ayu Tantri telah berbalik. Tubuhnya seketika meluruk melepas tendangan sebelum Maung Lodra berbalik. Maung Lodra bukan tokoh kemarin sore. Begitu merasakan satu desir halus di belakangnya, tubuhnya cepat berbalik sambil mengibaskan cakar macannya dengan kaki langsung membentuk kuda-kuda. Gadis itu cepat menarik kakinya. Di udara tubuhnya bergulingan, langsung menampar kedua pergelangan tangan Maung Lodra.
Plak! Plak!
"Uhh...!" Pemuda itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar sedikit ke belakang. Pada saat itu pula kedua kaki Ayu Tantri yang menekuk langsung terjulur ke depan. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des...!
"Aaakh...!" Maung Lodra terhuyung-huyung ke belakang disertai jerit kesakitan. Mulutnya meringis dengan tangan mendekap dada yang jadi sasaran kaki gadis Itu
"Kisanak! Telah lewat satu jurus, dan ternyata kau belum mampu mematahkan tanganku!" cibir Ayu Tantri begitu mendarat. Tatapannya dingin menusuk ke arah Maung Lodra yang masih menahan nyeri pada dadanya.
"Kurang ajar! Jangan gembira dulu. Aku belum kalah!" dengus Maung Lodra penasaran.
"Kakang, biar kuhajar dia!" teriak Maung Sukma.
"Tidak! Biar aku saja!" bentak Maung Lodra, keras kepala. Pemuda itu kembali bersiap. Dibukanya jurus baru yang dinamakan 'Macan Betina Menjaga Anak'. Jurus ini sebenarnya untuk pertahanan. Tapi, bisa juga digunakan untuk menyerang dengan menambahkan beberapa gerakan.
"Yeaaa...!" Bet! Bet!
"Hebat! Hebat, bukan main!" puji Ayu Tantri melihat serangan gencar yang diperlihatkan Maung Lodra.
Kedua cakar Maung Lodra yang dipadu tendangan bertubi-tubi, silih berganti mencecar Ayu Tantri. Tapi gadis itu pun mampu menghindar dengan liuk-liukkan tubuhnya dengan indah.
"Aku tak butuh pujian!" dengus Maung Lodra.
“Kalau begitu mungkin kau butuh kemplangan."
"Keparat!" Kali ini Maung Lodra mengibas cakar tangan kiri ke dada. Sementara kanannya mengikuti dari bawah.
Ayu Tantri tak kalah sigap. Cepat tangan kanannya bergerak menyamping menghantam pergelangan tangan yang menjurus ke dadanya yang berbentuk bagus itu. Sementara, tangan kirinya bergerak menyilang ke bawah menahan cakar tangan kiri pemuda itu.
Plak! Plak!
Begitu pertahanan pemuda itu lowong, Ayu Tantri melepas tendangan ke depan.
Bet!
"Hup!" Maung Lodra cepat melompat ke belakang. Sementara gadis itu terus mencecarnya dengan tendangan ke depan bertubi-tubi. Maung Lodra kelimpungan dan hanya bisa bermain mundur. Tapi itu pun tak lama, karena sejurus kemudian salah satu tendangan gadis itu telah mendarat di dadanya.
Des!
"Aaakh...!" Maung Lodra terpental deras ke belakang dengan mulut memuntahkan darah segar. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Dan tertatih-tatih dia berusaha bangkit, namun tak juga berhasil.
"Kisanak! Kau tak mampu membuktikan ocehanmu yang hanya omong kosong saja!" ejek Ayu Tantri.
"Ayu! Kita tak dapat apa-apa di sini! Sebaiknya pergi saja...!" kata salah seorang gadis, anak buah Ayu Tantri.
"Kau benar, Ratna!"
"Berhenti...! Kami belum menyerah kalah...!" sela Maung Sukma, membentak.
"Hmm...!" Ayu Tantri menggumam tak jelas. Dia menoleh menatap dingin pada pemuda yang barusan membentaknya.
"Apa lagi yang akan kau buktikan?" tukas Ayu Tantri.
"Kau boleh mengalahkan kakangku. Tapi, aku tidak!" desis pemuda itu.
"Hm, apa bedanya? Kepandaian kalian toh sama. Kakangmu kalah. Maka, berarti kaupun harus menerima keadaan itu."
"Tidak usah banyak mulut! Cabut pedangmu!" Maung Sukma segera membuka jurus. Wajahnya menyiratkan kebencian mendalam. Amarahnya kian menggelora melihat sikap gadis itu. Namun sebelum Ayu meladeni....
"He he he...! Dasar, Macan Ompong! Sudah tahu tak becus apa-apa, tapi malah ngotot minta digebuk lagi!"
"Hei?!" Mendadak terdengar suara tawa bernada mengejek kedua pemuda itu. Namun semua mata orang yang berada di situ segera mencari sumber suara tadi. Dan mereka melihat seorang laki-laki tua berambut putih tengah bertengger di salah satu cabang pohon sambil menenggak arak dari gucinya.
"Siapa kau, Orang Tua?!" bentak Maung Sukma, garang. "Kurang ajar betul berani menghina kami!"
"Siapa yang menghinamu, Bocah? Kenyataannya begitu, apa hendak dipungkiri?" tukas laki-laki tua yang tak lain Ki Demong alias Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Huh! Kalau punya kepandaian, kau boleh menguji kami! Turun kau!" dengus Maung Sukma.
"Aku tak berkepentingan denganmu. Tapi kalau memaksa, mengapa tidak kau saja yang naik ke sini?" tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul, enteng.
"Setan..!" maki Maung Sukma.
"Hiih...!" Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu langsung menghentakkan kedua tangannya, melepas pukulan jarak jauh.
Sinar kuning kehijauan langsung meluruk cepat, disertai deru angin kencang. Namun sejengkal lagi menghantam, tubuh Ki Demong telah berkelebat cepat bagai kilat ke sebuah batu besar di depan pondok milik Macam Loreng Dari Lembah Maut.
Blarrr...!
"He he he...! Inikah kehebatanmu? Pukulan itu pantasnya ditujukan pada nyamuk-nyamuk! Tapi bahkan tak seekor pun dari mereka yang koit!" ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul, langsung duduk bersila di batu itu.
Sementara dahan yang diduduki Ki Demong tadi hancur dihajar pukulan Maung Sukma, menimbulkan suara keras memekakkan telinga.
"Kurang ajar!" maki pemuda itu, seraya melepas pukulan jarak jauhnya kembali.
Wusss...! Blarrr...!
"Hi hi hi...!" Ki Demong tertawa mengekeh. Batu yang didudukinya hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan keras. Sedangkan laki-laki tua itu telah mencelat ke atas, lalu mendarat ringan di depan Maung Sukma pada jarak sekitar tujuh langkah. Dan dengan enaknya ditenggaknya tuak merah dari guci.
"Orang tua celaka! Mampuslah kau! Hiih...!" Maung Sukma melompat langsung melepas tendangan kilat. Namun dengan gerakan asal-asalan, Ki Demong mengibaskan sebelah tangannya.
Plak!
Justru pemuda itu yang terdorong mundur dengan mulut meringis menahan sakit pada kakinya.
"Apa ini? Tendangan perempuan? Ah! Aku lupa kalau yang melakukannya salah satu dari macan ompong," ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Setaaan!" Darah pemuda itu mendidih. Secepat kilat dipasangnya kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya membentuk cakar macan. Dan tanpa basa-basi lagi tubuhnya bergerak menerkam disertai sambaran tangan bertenaga dalam tinggi.
"Hup!
Eit..! Uts!" Tapi Ki Demong menghindarinya dengan gaya lucu. Terkadang tubuhnya membungkuk ketika cakar pemuda itu menyambar dada. Kemudian pinggangnya meliuk ketika serangan mengarah ke perut. Dan dia tidak perlu melompat-lompat untuk menghindari serangan-serangan, tapi cukup berputar-putar di sekitar Maung Sukma.
Sementara pemuda itu semakin geram. Meski telah mengerahkan seluruh kepandaian, tetap saja tak mampu menyarangkan pukulan maupun tendangan.
"Cukup!" bentak Ki Demong tiba-tiba. "Kau telah kuberi kesempatan. Sekarang giliranku! Satu...!" Ki Demong tiba-tiba mengibaskan guci di tangan kiri, mengincar kedua cakar Maung Sukma. Pemuda itu cepat menarik kedua tangannya.
"Dua...!"
"Hup!" Pemuda itu terkesiap ketika tiba-tiba, Pemabuk Dari Gunung Kidul memutar tubuhnya, sambil mengibaskan gucinya kembali. Cepat-cepat Maung Sukma menggeser tubuhnya ke kiri. Namun pada saat yang sama, Ki Demong menyambut dengan kepalan tangan yang berisi tenaga dalam lumayan. Dan....
"Tigaaa...!"
Jdes!
"Aaakh!" Tepat pada hitungan ketiga, kepalan kanan Ki Demong mendarat di dada Maung Sukma. hingga menjerit tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dengan tangan kiri mendekap dada.
"He he he...! Apa kubilang, Bocah?! Kalian tidak lebih dari dua ekor macam ompong yang banyak lagak!" ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil berkacak pinggang dan menenggak arak.
"Siapa sebenamya kau, Orang Tua?!" Suara pemuda itu masih terdengar lantang penuh kekesalan. Namun dia tak berani lagi gegabah. Terbukti, orang tua itu mampu menjatuhkannya dalam tiga kali gebrakan.
"Hm.... Aku baru ingat! Kau pasti Pemabuk Dari Gunung Kidul!" tebak Maung Lodra yang sudah bisa bangkit setelah tadi bersemadi cukup lama. "Mengapa kau mencampuri urusan kami, Pemabuk Dari Gunung Kidul?"
"Sebenarnya aku tak bermaksud mencampuri, melainkan hanya menonton. Tapi adikmu ini kelewatan. Dia menyerangku lebih dulu seperti yang kau lihat. Apa aku mesti berdiam diri?" tukas Ki Demong.
"Tapi kau yang lebih dulu menghina kami dengan menyebut kami Macan Ompong!" sergah Maung Sukma.
"Itu karena kalian tak tahu diri. Kalian tidak tahu, siapa yang tengah dihadapi...."
"Apa maksudmu?!" tanya Macan Loreng Dari Lembah Maut hampir bersamaan.
"Bocah perempuan ini murid si Gagar Mayang alias Pendekar Elang Perak," sahut Ki Demong tandas.
"Oh, benarkah?!" Kedua kakak beradik itu berseru kaget mendengar nama yang disebutkan Ki Demong.
Pendekar Elang Perak adalah seorang tokoh sakit yang dihormati kaum persilatan. Baik dari golongan hitam, maupun golongan putih, Dia jarang sekali muncul di rimba persilatan. Namun setiap kemunculannya selalu menimbulkan kegemparan. Selama ini belum ada seorang tokoh persilatan manapun yang mampu mengalahkannya. Tak heran kalau kedua Macan Loreng Dari Lembah Maut begitu kaget.
"Pemabuk Dari Gunung Kidul! Anggapanku terhadapmu ternyata salah. Kukira pemabuk sepertimu berotak tumpul, tapi siapa nyana kau mempunyai mata jeli dan ingatan kuat," kata Ayu Tantri sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bocah! Terima kasih. Bagaimana kabar gurumu? Mudah-mudahan beliau sehat-sehat" ucap Ki Demong.
"Aku telah lama tidak bertemu dengan beliau sahut Ayu Tantri, enteng.
"He, kenapa begitu?" tanya Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan kening berkerut .
"Maaf, ini soal pribadi. Kurasa orang luar tak boleh mengetahuinya."
"He he he...! Aku bisa mengerti. Tapi sebaiknya, jangan usik orang-orang seperti...."
"Apa maksudmu?!" tanya Ayu Tantri tegang.
"Bukankah kau telah bergabung dengan orang-orang yang berasal dari Padepokan Merak Emas?" tebak Ki Demong.
"Hm, bagus. Temyata kau telah mengetahuinya.”
"Ha ha ha...! Apa yang luput dari perhatian si Pemabuk Dari Gunung Kidul?! Aku bahkan tahu maksud ketua kalian. Makanya kau harus mencari orang yang pantas."
"Siapa yang kau maksudkan?" sambar Ayu Tantri.
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Demong pendek
"Pendekar Rajawali Sakti?" Ayu Tantri tercenung sekilas. Lalu kepalanya mengangguk sambil tersenyum.
"Kau benar, Orang Tua! Aku pernah mendengar kehebatannya. Dia tentu sepadan dengan Ketua kami. Tapi..., di mana aku bisa menemuinya?"
"Dia bisa ada di mana saja. Aku pun sudah lama tak bertemu. Tapi kalau berniat mencari pasti ketemu."
"Hm.... Sementara mencari mereka, kenapa tidak kau saja yang lebih dulu menggantikannya?" gumam Ayu Tantri, menatap tajam pada Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Eee..., apa maksudmu?!" seru Ki Demong, kaget.
"Kau cukup hebat. Dan ketua ku bukannya butuh laki-laki tampan, tapi laki-laki berilmu tinggi. Mengapa tidak kau saja yang kami bawa?" tukas Ayu Tantri.
"Wah.... Ini gila, sekaligus mengasyikkan!"
"Kalau begitu kau mesti mengalahkan aku lebih dulu!"
"Tidak."
"Apa maksudmu?"
"Aku tak suka bertarung denganmu. Kalau ketua mu butuh, dia boleh datang mencariku sendiri!" sahut Ki Demong terkekeh sambil menenggak arak merahnya.
''Pemabuk Dari Gunung Kidul! Jangan sombong kau!" bentak Ayu Tantri.
"Aku dilahirkan untuk sombong. Dan yang bisa melarangku hanya ibuku. Apa kau mau jadi ibuku?" Setelah berkata begitu, Ki Demong berbalik dan melangkah pergi seperti tak ada kejadian apa-apa.
"Berhenti kau!"
"Aku tak suka diperintah. Dan kalau ada yang melakukannya, maka akan kukerjakan sebaliknya," sahut Ki Demong. Seketika laki-laki tua itu menggenjot tubuhnya, berlari kencang meninggalkan mereka dengan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Keparat...!" Bukan main geramnya Ayu Tantri melihat kelakuan orang tua itu. Seketika tubuhnya digenjot mengejar, disusul lima anak buahnya.
"Akan kukejar ke mana pun kau pergi, Keparat!" bentak Ayu Tantri, mengerahkan ilmu meringankan tubuh pula.
"Bagaimana kalau ke tempat tidur?" leceh Ki Demong.
"Setan! Orang tua cabul!" maki gadis itu.
"Yang cabul kau atau aku? Aku hanya menawarkan kita kejar-kejaran di tempat tidur. Bukan adu gulat di situ," sahut Ki Demong mengekeh.
Sebaliknya, gadis itu semakin naik darah saja. "Hiaaat..!" Sambil membentak keras Ayu Tantri mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya setinggi mungkin.
"Hebat!" puji Ki Demong ketika gadis itu telah berada dua tombak di belakangnya.
"Berhenti kau!" bentak Ayu Tantri, langsung melenting mendahului Ki Demong lewat atas kepala dan mendarat ringan di hadapannya.
"Eeeh...!" Ki Demong tercekat kaget Seketika larinya dihentikan.
Pada saat yang sama gadis itu telah menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.
"Wah, gawat!" Ki Demong terkejut. Lalu secepat kilat melompat ke samping, sehingga pukulan itu menghantam sebatang pohon hingga roboh.
"Yiaaat...!" Ayu Tantri tak memberi kesempatan. Tubuhnya cepat melesat dengan kepalan tangan menghantam dada. Namun Ki Demong secepat kilat menangkis.
Plak!
"Hebat! Tenaga dalammu hebat bukan main...!" puji Ki Demong, begitu terjadi benturan tangan.
"Aku tak butuh pujian! Ayo, keluarkan segala kemampuanmu!" dengus Ayu Tantri.
ENAM
Sementara itu kelima gadis anak buah Ayu Tantri telah pula tiba di tempat ini. Mereka takut orang tua itu akan kabur lagi.
"Ini akan jadi perkelahian yang tak menarik lagi," kata Ki Demong.
"Aku tak peduli! Kerahkan kemampuanmu!" bentak Ayu Tantri.
"He he he...! Kau bersungguh-sungguh, Bocah Manis?"
"Dia bersungsuh-sungguh, Sobat!"
"Eh, siapa?!" Ki Demong menoleh saat terdengar sahutan dengan suara berat. Demikian pula yang lain. Tidak jauh dari situ terlihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali di punggung.
"Rangga...! Ah, kebetulan sekali...!" seru Ki Demong dengan wajah ceria. Buru-buru dihampirinya sosok pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti. "Dari mana saja kau selama ini? Ada yang tengah mencari-carimu."
"Siapa?" tanya Rangga.
"Bocah manis itu" tunjuk Ki Demong dengan ekor matanya.
"Jangan memojokkan aku, Sobat," ingat Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak! Aku sungguh-sungguh!" Ki Demong lalu menghadap Ayu Tantri. "Bocah manis! Kau mencari Pendekar Rajawali Sakti? Dia ada di depanmu!" kata Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Jangan berdusta, Orang Tua?!" desis Ayu Tantri.
"Kenapa mesti bohong? Ayo, cepatlah! Tumpahkan rindumu padanya," ujar Ki Demong seenaknya.
"Brengsek!" Ayu Tantri mendengus geram. Ingin rasanya dia merobek mulut si Pemabuk Dari Gunung Kidul itu sekarang juga.
"Nisanak! Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Rangga, halus.
"Kami dari Padepokan Merak Emas. Ketua kami berhasrat untuk bertemu denganmu," jelas Ayu Tantri.
"Padepokan Merak Emas? Hm, ya. Aku pernah dengar. Tapi sayang sekali, Nisanak. Aku tak bisa memenuhi undangan ketua mu. Sampaikan saja salam dan maafku," ucap Rangga, menolak halus.
"Pendekar Rajawali Sakti! Bagaimanapun kami akan membawamu ke sana!" bentak Ayu Tantri.
"Hm...!"
"Walaupun mesti dengan jalan keras!" tegas Ayu Tantri. Bersamaan dengan itu, kelima gadis anak buah Ayu Tantri mendekat. Mereka siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"He he he...! Ini akan jadi tontonan menarik!" seru Ki Demong terkekeh lebar. "Hei, Sobat! Kelihatannya bukan pertemuan indah! Gadis ini bukan mengajakmu tidur bersama, tapi mengajakmu bertarung...!"
"Pemabuk sinting, tutup mulutmu!" bentak Ayu Tantri
"Hati-hati, Sobat! Dia kelihatan galak. Tentu akan galak juga di tempat tidur!" lanjut Ki Demong, tak mempedulikan bentakan Ayu Tantri.
"Kurang ajar! Huh...!" Gadis itu tak mampu menahan amarahnya. Kedua tangannya cepat menghentak ke arah Ki Demong.
"Hup! Apa kataku! Dia betul-betul galak..!" teriak Ki Demong, langsung melenting ke atas sehingga pukulan jarak jauh itu hanya menghantam angin.
"Kuhajar kau lebih dulu, Pemabuk Sinting!" dengus Ayu Tantri seraya mencecar orang tua itu.
"Eee, bukan aku sasaranmu. Tapi, pemuda itu!"
"Mulutmu kurang ajar! Akan kita selesaikan urusan ini lebih dulu!"
"Hei, Sobat! Bagaimana ini? Kau harus menolongku...!" teriak Ki Demong.
"Kau patut menerimanya...!" sahut Rangga, tersenyum geli.
"Sial!"
"Aku pergi dulu, Sobat!"
Tapi begitu Rangga hendak mengempos tubuhnya, lima gadis yang tadi mengurung maju mendekat dengan sikap mengancam.
"Kau tak akan pergi begitu saja, Kisanak!" ancam salah seorang gadis.
"Aku akan pergi dan jangan terlalu memaksaku...," desah Rangga lirih, seraya menghela napas.
"Tidak kali ini!" sentak gadis itu.
"Kalian tak bisa menghalangiku!"
"Kau boleh coba!"
"Hmm!" Rangga menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap keras kepala yang diperlihatkan kelima gadis itu. Untuk sesaat dia coba menarik napas menahan sabar.
"Pergilah. Dan jangan cari-cari urusan."
"Pendekar Rajawali Sakti! Namamu boleh menjulang tinggi. Tapi, jangan dikira kami takut!" bentak gadis itu.
"Sebaiknya kau diam di tempat. Karena kalau tidak..., kami akan memaksamu!" ancam yang lainnya.
"Bukan main! Kalian benar-benar keras kepala. Tapi aku pun terbiasa untuk tidak mematuhi perintah. Karena itu, maaf perintah kalian tak bisa kuturuti!"
"Setan!"
Sring!
Kelima gadis itu telah meloloskan pedang dan siap menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti, lihat serangan...!"
"Hm...!" Rangga menggumam tak jelas melihat kelima gadis yang menghadangnya telah berkelebat menyerang dengan tebasan pedang secara bersamaan. Namun sejengkal lagi mata-mata pedang itu merancah tubuhnya, dengan kecepatan luar biasa Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Beberapa kali Rangga berputaran, lalu menukik tajam ke arah gadis-gadis itu sambil mengebutkan tangannya berkali-kali.
Des! Des...!
"Aaahh...!" Dua orang gadis langsung terjungkal terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang bertenaga dalam lumayan. Mereka kontan ambruk pingsan. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat cepat ke arah seorang gadis lainnya.
Tap!
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak, menyambar pedang dari tangan salah seorang gadis lawannya.
"Yiaaat..!" Pada saat yang sama, dari belakang Pendekar Rajawali Sakti meluncur sambaran pedang. Secepat kilat, Rangga memutar tubuhnya sambil membabatkan pedang yang ada di tangannya.
Trang!
Berikutnya, Rangga kini balas menyerang. Ujung pedang rampasannya berputar-putar di depan dada gadis yang tadi membokongnya. Kini Rangga membuat lawannya hanya bisa bermain mundur.
"Heaaa...!" Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti mengangkat pedang di tangannya seolah-olah hendak menebas. Secepat kilat, gadis itu mengangkat pula pedangnya untuk menangkis. Melihat pertahanan gadis itu lowong, Pendekar Rajawali Sakti melepas tendangan menggeledek ke perut.
Begkh...!
"Hugkh...!" Gadis itu menjerit tertahan dan terlempar kebelakang. Namun sebelum Rangga melanjutkan serangan, gadis lainnya telah berkelebat menyerang dengan pedangnya.
"Yiaaat!" Rangga cepat berbalik seraya mengibaskan pedang.
Tang!
Pedang gadis itu terpental ketika benturan terjadi. Dan sekali berputar, kakinya ikut menghajar gadis itu.
Desss...!
"Aaakh...!" Kembali terdengar keluhan tertahan. Gadis itu kontan terjengkang pingsan.
Melihat hal itu, gadis yang seorang lagi jadi nekat. Segera dia menyerang. Namun sebelum melakukan serangan....
"Mundur! Biar aku yang meladeninya...!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring, membuat gadis itu mernbatalkan serangan. Ternyata yang datang Ayu Tantri. Gadis itu rupanya sempat melihat keadaan kawan-kawannya. Makanya segera ditinggalkannya Ki Demong.
"He he he...! Ini baru menarik. Hei, Sobat! Hati-hati! Gadis ini bukan sekadar galak, tapi juga menggemaskan! Jangan-jangan kau tergoda nantinya!" teriak Ki Demong.
Kali ini Ayu Tantri tak mau lagi meladeni ocehannya. Meski hatinya panas, tapi perhatiannya coba dipusatkan kepada Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga Ayu Tantri meluruk deras disertai sambaran pedang. Untuk saat ini Pendekar Rajawali Sakti, melayaninya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah bagai orang mabuk. Sehingga tak satu serangan pun yang menyentuh tubuhnya.
"Hm.... Tidak percuma kau menjadi murid Pendekar Elang Perak!" puji Rangga.
"Terima kasih. Pujian dari seorang pendekar besar sepertimu mestinya hal yang hebat. Tapi, yang kubutuhkan adalah perlawananmu Kisanak!" sahut Ayu Tantri, tegas.
"Jangan khawatir! Aku senang bertarung dengan gadis-gadis gagah sepertimu."
"Kalau begitu, kenapa kau masih menggunakan pedang kawanku, bukan pedangmu sendiri?" tanya Ayu Tantri. "Itu seperti menghinaku!"
"Ah, pedangku hanya benda rongsokan dan memalukan bila dikeluarkan. Sebaliknya pedang kawanmu ini kuanggap bagus dan sepadan dengan senjatamu!" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
Ayu Tantri memang tidak tahu banyak soal Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi melihat pedangnya. Hanya berita selentingan saja yang terdengar kalau pemuda ini memiliki senjata bagus. Dengan bicara seperti tadi, jelas pemuda itu menghinanya. Maka dia bertekad memberi pelajaran!
Bet! Bet!
Saat itu juga, Ayu Tantri meningkatkan serangannya. Pedangnya mengibas berkali-kali mengincar bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum kecut. Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat. Pedang di tangannya berputaran, membalas serangan gadis itu. Tak ada jalan lain bagi Ayu Tantri selain menangkisnya.
Trang! Trang!
"Uhh...!" Wajah gadis itu berkerut menahan nyeri. Terasa tenaga dalam pemuda itu seperti menekan dadanya. Bahkan nyaris pedang dalam genggamannya terpental.
"Hup!" Ayu Tantri melenting ke belakang untuk menjaga jarak. Sayang, maksudnya terbaca Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat dikejar gadis itu. Tepat ketika Ayu Tantri mendarat, Rangga menyambarkan pedangnya.
Sret!
"Ohh...?!" Ayu Tantri menjerit tertahan. Terasa ujung pedang di tangan pemuda itu begitu dekat menggores kulitnya. Sampai-sampai matanya dipejamkan barang sekejap. Tapi ketika disadari ternyata, pakaiannya di bagian pinggang telah robek sekitar satu jengkal.
"Kukira permainan kita telah berakhir, Nisanak," desis Pendekar Rajawali Sakti seraya melempar pedang di tangannya.
Ayu Tantri tak mampu berkata apa-apa. Sejurus lamanya dia cuma terpaku di tempatnya. Seolah tak percaya kalau pertarungan telah berakhir. Dan pemuda itu telah mengalahkannya begitu mudah. Padahal selama ini dia terlalu mengagungkan kepandaiannya sendiri. Tapi baru berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti, dia telah keteter.
"He he he...! Mau ke mana kau, Sobat? Kau pergi begitu saja?" tanya Ki Demong melihat Rangga berbalik dan melangkah meninggalkan tempat ini.
"Melanjutkan perjalanan," sahut Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghentikan langkahnya. Dia berbalik, menghadap Ki Demong. "Ada apa rupanya?"
"Gadis-gadis itu! Apakah akan kau biarkan begitu saja? Mereka telah kau kalahkan. Maka kau berhak memilikinya!"
"Tidak bisa begitu, Sobat..."
"Kenapa tidak? Sebenarnya mereka memang mengharapkan begitu."
"Hm, apa maksudnya?"
"Siapa pun laki-laki yang telah mengalahkan mereka, maka berhak menjadi suaminya."
"Lucu sekali!"
"Eee, kau kira aku melawak?!" seru Ki Demong dengan wajah tak suka. "Coba kau tanyakan pada mereka!"
Pendekar Rajawali Sakti menatap Ayu Tantri. "Benarkah begitu, Nisanak? Eh, siapa namamu?" tanya Rangga.
"Ayu Tantri...."
"Benarkah apa yang dikatakan Ki Demong?"
"Itu...,tergantung dari jawabanmu...," sahut Ayu Tantri dengan wajah memerah.
"Apa kataku?! Aku selalu benar, kan?!" terabas Ki Demong, tergelak pendek sebelum menenggak arak.
"Siapa sebenarnya ketua kalian? Diakah yang memberi peraturan seperti itu?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami sendiri tidak mengetahuinya...."
"Ini sungguh aneh!" desis Rangga dengan kening berkerut "Bagaimana mungkin kalian tak mengenal ketua sendiri?"
"Aku hanya menerima perintah dari seseorang yang menjadi wakil ketua. Sedangkan Ketua sendiri, jarang menampakkan diri. Kalaupun menemui kami, dia selalu memakai penutup muka...," jelas Ayu Tantri.
"He he he....! Apakah kau tak berminat menemuinya, Sobat?" tanya Ki Demong.
"Beliau tentu suka kedatangan seorang tamu terhormat sepertimu," tambah Ayu Tantri.
"Ya! Kenapa tidak luangkan waktu? Lagi pula ada hal penting yang akan kau temui, di sana," lanjut Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Apa maksudmu, Sobat?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Pandan Wangi," sahut Ki Demong pendek.
"Pandan Wangi?! Apa maksudmu?" sentak Rangga. Dadanya kontan bergemuruh. Jantungnya berdebar kencang.
"Apa? Kau tak tahu? Kukira kau telah mengetahuinya dan berpura-pura tak tahu!"
"Ki Demong! Bicara yang betul! Apa maksudmu dengan Pandan Wangi? Apa dia di sana?!" kejar Pendekar Rajawali Sakti dengan suara keras.
"Begitulah," sahut Pemabuk Dari Gunung Kidul, mendesah.
"Gila! Apa yang dilakukannya di sana?!"
"Mana aku tahu?! Kenapa tidak kau tanyakan sendiri padanya? Barangkali dia ingin lekas dapat jodoh, karena denganmu tak ada kepastian."
Rangga menarik napas. Omongan Ki Demong memang sering keluar sejadi-jadinya. Kalau tak kenal baik pasti akan langsung marah. Tapi bukan itu yang dipikirkannya. Melainkan... apa yang menyebabkan Pandan Wangi bergabung dengan orang-orang dari Padepokam Merak Emas?
"Kau tak percaya? Kenapa tidak tanyakan saja pada mereka?"
Rangga menoleh. Dipandangnya sekilas gadis bernama Ayu Tantri. "Benarkah Pandan Wangi ada di antara kalian?" tanya Pendekar Rajawali Sakti penuh tekanan.
"Apakah yang kau maksudkan si Kipas Maut?" Ayu Tantri balik bertanya.
"Ya."
"Kalau itu memang benar. Kipas Maut telah bergabung dengan kami."
"He he he...! Benar, bukan? Aku tak pernah bicara sembarangan. Nah! Kenapa tidak kau susul saja dia ke sana?” timpal Ki Demong.
Rangga masih termangu tak menjawab. Dia memikirkan sikap Pandan Wangi terakhir bertemu dengannya. Waktu itu pemuda ini memang sedikit ada perselisihan. Pandan Wangi tak bisa terima, lalu kabur.
"Apakah Pandan Wangi sekadar melampiaskan kesalnya dengan bergabung pada mereka?" tanya Rangga dalam hati.
"Apa lagi yang kau tunggu, Sobat?" usik Ki Demong.
"Apakah ketuamu mempengaruhi anak buahnya dengan semacam ajian?" tanya Rangga ragu.
"Apakah aku kelihatan seperti dipengaruhi dengan ajian?" tukas Ayu Tantri.
"Kalau tidak, apa sebenaenya tujuan kalian mengabdi pada ketuamu?" desak Rangga.
"Itu rahasia yang terjadi di antara wanita!" sahut Ayu Tantri pendek.
Rangga berpikir sebentar. "Baiklah. Kalau begitu, bawa aku pada ketuamu," pinta Pendekar Rajawali Sakti.
"Haa! Itu baru keputusan tepat!" seru Ki Demong "Kau tentu tak lupa mengajakku, bukan?"
"Kau boleh ikut bila suka," Ayu yang menjawab.
"Eh! Apa di sana ada arak yang paling keras dan paling wangi?" tanya Ki Demong berbinar-binar, menanti jawaban yang mengenakan.
"Kami tidak minum arak," sahut Ayu Tantri.
"Wah, sayang sekali...!" desah Pemabuk Dari Gunung Kidul, kecewa.
TUJUH
Padepokan Merak Emas, sebuah padepokan yang hanya dikuasai oleh kaum wanita. Padepokan ini mirip sebuah perkampungan kecil di lereng Gunung Kamboja sebelah utara. Maka tak heran kalau banyak orang menyebutnya Desa Merak Emas.
Di tengah-tengah perumahan yang diisi oleh murid-murid padepokan itu, berdiri sebuah bangunan paling besar dari bilah-bilah papan. Atapnya terbuat dari ijuk. Rumah panggung itu memang hanya dihuni oleh Ketua Padepokan Merak Emas.
Seorang gadis berbaju kuning keemasan tampak memasuki bangunan besar itu. Kakinya terus melangkah menuju sebuah ruangan yang dijaga dua orang gadis berparas cantik. Kedua penjaga itu membungkuk memberi hormat.
"Hormat kami, Tuanku...!"
"Hmm!" Salah seorang gadis penjaga membuka pintu. Lalu dengan langkah lebar, gadis berbaju kuning keemasan itu melangkah masuk, pintu kembali tertutup. Langkahnya terhenti sebentar sebelum maju mendekati seorang wanita cantik berpakaian kuning pula, duduk tenang di atas sebuah kursi panjang. Wajahnya terlihat samar dalam cadar yang terbuat dari sutera halus.
"Hamba menghadap, Tuan Putri...," ucap gadis yang baru datang.
"Apa yang kau bawa hari ini, Sari?" tanya wanita bercadar kuning keemasan.
"Beberapa calon lagi, Tuan Putri.,.," sahut gadis yang dipanggil Sari.
"Hebatkah mereka?"
"Tak diragukan lagi, Tuan Putri."
"Kerjamu bagus, Sari”
"Terima kasih, Tuan Putri."
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Mereka pun membawa beberapa orang, Tuan Putri.”
"Hmm. Lalu, kenapa kulihat wajahmu sedikit murung?" tanya wanita bercadar yang dipanggil Tuan Putri ketika melihat Sari tak bergairah.
"Ada berita yang mungkin tak enak didengar, Tuan Putri..."
"Katakanlah. Bagaimanapun buruknya, aku mencoba mendengarnya dengan baik," ujar Tuan Putri.
"Ini soal kawanan yang dipimpin Tikasari..." jelas Sari mendesah lirih.
"Kenapa dengan mereka?" kejar Tuan Putri.
"Tikasari melaporkan pada hamba, bahwa mereka bertemu seorang pendekar tangguh...."
"Lalu?"
"Pendekar itu mengalahkan mereka...."
"Bukankah itu berita bagus?"
"Sebetulnya begitu, Tuan Putri. Tapi..., mereka tak berhasil membawanya ke sini..." jelas Sari.
"Kenapa tidak? Bukankah kalian telah kubekali ajian 'Manut Jiwa'?" tanya wanita bercadar itu, heran. "Dengan ajian itu kalian bisa memikat laki-laki mana pun. Bahkan membawanya ke sini?" tukas Tuan Putri.
"Hamba sendiri tak mengetahuinya, Tuan Putri...."
"Kalau begitu, panggil Tikasari! Suruh dia menghadapku!"
"Baik, Tuan Putri.
"Hamba menghadap, Tuan Putri!" ucap seorang gadis, begitu memasuki ruangan Tuan Putri bersama Sari.
"Tikasari! Sari telah menceritakan padaku tentang pengalamanmu. Coba katakan, apa yang menyebabkan ajian 'Manut Jiwa' tak mempan pada pendekar itu...! Atau barangkali kau tidak menterapkannya?" perintah Tuan Putri langsung.
"Ampun, Tuan Putri! Hamba telah mengterapkannya. Tapi pemuda itu tidak terpengaruh sedikit pun. Hamba juga tidak mengerti, bagaimana hal itu bisa terjadi?" ucap gadis yang tak lain Tikasari.
"Hmm...." Wanita bercadar itu bergumam pendek. Lalu katanya memandang tajam pada Tikasari. "Kau kenal pemuda itu?"
"Kalau tak salah..., Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti?!" Paras wanita bercadar itu seketika terlonjak kaget. Jika cadarnya disingkap, kedua gadis yang ada di depannya akan melihat keterkejutannya. "Tidak mungkin...!" sentak Tuan Putri.
Kedua gadis itu tidak mengerti, mengapa Tuan Putri berkata dengan nada keras? Namun mereka tak ingin memperpanjang.
"Kau yakin kalau pemuda itu Pendekar Rajawali Sakti?!" tanya Tuan Putri.
"Sepertinya begitu, Tuan Putri.
"Hmm, mana mungkin! Tidak mungkin dia...!"
"Tuan Putri.... Apakah ada yang salah...?" tanya Tikasari hati- hati.
"Eh, tidak! Tidak...!" sahut Tuan Putri, tergagap.
"Apakah nama itu mengganggu Tuan Putri?" tanya Sari. "Kalau Tuan Putri menginginkannya, biar hamba coba membujuknya ke sini."
"Kau yakin mampu melakukannya?" tukas Tuan Putri.
"Apa pun demi Tuan Putri, akan hamba laksanakan!"
"Pergilah. Dan bujuk dia ke sini dengan segala cara!"
"Baik, Tuan Putri!" Sari beringsut bangkit. Baru saja akan melangkah....
"Tunggu dulu! Bagaimana dengan sayembara itu? Sudah kau persiapkan?" cegah Tuan Putri sekaligus bertanya.
"Hamba serahkan pada si Kipas Maut dan bawahannnya. Mereka bisa dipercaya menangangi soal itu," sahut Sari menjelaskan.
"Baiklah. Kau boleh pergi sekarang," ujar Tuan Putri. Setelah Sari berlalu, wanita bercadar ikut bangkit.
"Tikasari! Tunjukkan padaku, di mana calon pangeranku yang akan bertanding," pinta Tuan Putri.
"Baik, Tuan Putri," sahut Tikasari.
********************
Sayembara yang dimaksud Tuan Putri adalah adu laga dari beberapa tokoh persilatan yang digelar di sebuah lapangan luas di sebelah timur Perkampungan Merak Emas.
"Siapa menurutmu yang unggul di antara mereka, Pandan Wangi?" tanya Tuan Putri yang sudah berada di tempat terhormat di sisi lapangan. Dia bertanya pada seorang gadis berbaju biru yang duduk di sebelahnya.
"Menurut hamba yang bersenjata pedang itu, Tuan Putri," sahut gadis berbaju biru yang ternyata Pandan Wangi, menunjuk pada seorang pemuda bersenjata pedang.
"Apa penilaianmu?"
"Pertama dia putra almarhum Raja Pedang Selatan yang tidak diragukan lagi kehebatannya. Yang kedua, perhatikan ilmu pedangnya. Cepat dan dahsyat. Padahal dengan kekuatan tenaga dalam yang sama, Balaga yang bersenjata gada besi mesti bersusah payah untuk mengayunkan senjatanya," jelas gadis berjuluk si Kipas Maut.
"Teryata matamu cukup jeli, Pandan. Eh?! Siapa nama pemuda itu?" puji Tuan Putri.
"Yang bersenjata pedang, Tuan Putri?" Wanita bercadar itu mengangguk. "Adhitama."
"O, Adhitama...? Bagaimana menurutmu? Apakah dia pantas mendampingiku?" tanya Tuan Putri, manja sekali.
"Pertandingan belum selesai, Tuan Putri...." ingat Pandan Wangi.
"Ya, ya. Kau benar. Kita belum melihat kehebatan semuanya...."
Perhatian mereka kini beralih ke arah pertarungan. Kedua pemuda yang tengah berlaga sebenarnya bukan orang sembarangan dalam dunia persilatan. Seperti yang dikatakan Pandan Wangi, yang bersenjata pedang adalah putra Raja Pedang Selatan yang telah mangkat lima tahun lalu. Dia tak kalah hebat dari ayahnya. Dan mungkin tiga atau lima tahun lagi kalau rajin berlatih, bisa menyamai kehebatan ayahnya.
Sementara pemuda bernama Balaga yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai Satria Gada Besi belakangan ini memperlihatkan kehebatannya. Sehingga namanya cukup menonjol di antara pendekar seangkatannya. Padahal usianya baru dua puluh tiga tahun.
Meski keduanya sama-sama hebat, namun apa yang dikatakan Pandan Wangi memang mendekati kebenaran. Adhitama lebih lincah menggunakan pedangnya. Beberapa kali Balaga kalah cepat saat menangkis dan kalang-kabut menghindari serangan
"Yeaaa...!" Adhitama mencelat seraya memutar pedang di depan Balaga ketika keduanya memasuki jurus ke dua belas.
Trang!
"Aaakh...!" Balaga mengeluh tertahan ketika coba menangkis. Buru-buru dia melompat ke samping tatkala tendangan Adhitama menyusul.
Tapi Adhitama tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya kembali berkelebat. Pedangnya menusuk gesit seperti ular melingkari sebatang pohon. Dan ini membuat Satria Gada Besi kelabakan menghindar dan menangkis. Hingga pada satu kesempatan....
Trang!
Adhitama tak memberi kesempatan. Baru saja Balaga menangkis serangannya, tubuhnya telah berputar. Ujung pedangnya mendadak berkelebat ke leher.
"Yeaaat...!"
Bet!
"Uhh..,!" Balaga terkesiap. Dia coba melompat ke samping sambil bergulingan. Namun ujung pedang itu sempat menggores kulit dadanya sedikit. Sementara, Adhitama terus berkelebat mengejar.
"Ekh...?” Ketika Balaga hendak bangkit, ujung pedang Adhitama telah menempel di tenggorokan.
"Apakah kau tak terima kekalahan ini...?" desis Adhitama.
"Oh.... Baiklah! Aku mengaku kalah...," sahut Balaga lesu.
Penonton yang mengelilingi lapangan itu bertepuk tangan dan bersuit-suit genit. Memang kebanyakan dari mereka rata-rata wanita. Sebelum suara riuh rendah itu menghilang, melompat sebuah bayangan merah dan mendarat di depan Adhitama. Maka suara tepuk tangan pun kembali menyambung.
Laki-laki yang barusan melompat bersenjata kapak bermata satu. Ciri khasnya yang lain, memakai baju serta celana wama merah. "Adhitama! Hadapi aku! ingin kulihat, sampai di mana kehebatan ilmu pedangmu!" ujar laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Pendekar Baju Merah! Aku telah siap!" sahut Adhitama, mengenali laki-laki itu.
"Bagus! Mari kita mulai...Heaaa...!" Laki-laki berbaju merah yang ternyata berjuluk Pendekar Baju Merah lebih dulu menyerang. Kapaknya mendesing keras dan mengincar leher. Namun Adhitama cepat memapaki sambil melompat ke samping.
Trak!
"Uhh...!" Pemuda putra Raja Pedang Selatan itu mengeluh tertahan. Sekilas wajahnya berkerut menahan linu ketika senjatanya beradu. Ternyata, tenaga dalam Pendekar Baju Merah sedikit di atasnya.
Sebelum rasa linu di tangan Adhitama hilang, Pendekar Baju Merah melepaskan tendangan ke ulu hati. Secepat kilat Adhitama melompat ke belakang. Tubuhnya terus berputar ke kanan, sambil mengibaskan pedang. Ini membuktikan kalau pemuda itu setingkat lebih gesit ketimbang laki-laki berbaju serba merah.
Trak!
Begitu terjadi benturan, Adhitama berkelebat cepat. Pedangnya berputaran mengincar keselamatan Pendekar Baju Merah.
Bet! Wut!
"Uhh...!" Serangan Adhitama mengejutkan Pendekar Baju Merah. Tak terasa dia melompat mundur. Sedangkan Adhitama terus mencercarnya. Beberapa kali coba dipapaki, namun kapaknya hanya menebas angin. Dengan kegesitannya, Adhitama berusaha mengibaskan pedangnya ke segala penjuru. Seolah-olah tubuh Pendekar Baju Merah terkepung rapat tanpa mampu dihindari. Hingga akhirnya...
Sret!
"Aaakh...!" Pendekar Baju Merah terpekik halus ketika ujung pedang Adhitama sempat menyerempet dada merobek baju kesayangannya. Belum lagi habis rasa kagetnya, Adhitama melepas tendangan menggeledek.
Desss...!
"Aaakh...!" Pendekar Baju Merah terhuyung ke belakang ketika tendangan Adhitama mendarat telak di dadanya. Adhitama tak memberi kesempatan Dia telah melompat melepas tendangan kembali.
Desss...!
"Aaakh...!" Pendekar Baju Merah terpental dan jatuh berdebuk di tanah. Belum sempat dia bangkit, Adhitama telah melesat ke arahnya. Langsung pedangnya ditempelkan ke leher pendekar itu.
"Apakah kau menyerah kalah, Pendekar Baju Merah?" tanya Adhitama, dingin
"Baiklah, aku menyerah...," desah Pendekar Baju Merah.
"Terima kasih."
Sementara itu, Tuan Putri tersenyum menyaksikan kemenangan Adhitama. "Bagaimaha menurutmu, Pandan? Dia bisa diandalkan, bukan?" tanya wanita bercadar itu.
"Sepertinya begitu, Tuan Putri. Tapi kita belum melihat kehebatan dua calon lainnya," sahut Pandan Wangi
"Apakah menurutmu mereka dapat mengalahkan Adhitama?"
"Dua orang itu cukup hebat, Tuan Putri. Aku tak yakin kalau Adhitama mampu mengalahkannya...."
"Menarik sekali! Siapa mereka?"
"Iblis Mata Sakti dan Bajing Siluman. Iblis Mata Sakti memiliki ilmu sihir yang bisa mematahkan serangan Adhitama. Sedangkan Bajing Siluman memiliki gerakan gesit, yang mampu mengatasi kegesitan pemuda itu."
Wanita bercadar itu mengangguk sambil tersenyum.
"Tuan Putri! Akan kita lihat pertarungan mereka," kata Pandan Wangi ketika melihat seorang laki-laki berbaju dekil masuk ke kancah pertarung.
"Itukah si Iblis Mata Sakti?" tanya Tuan Putri.
"Benar, Tuan Putri...!" sahut Pandan Wangi
"Hmm...!" Wanita bercadar itu menggumam. Dan tepat ketika kedua orang itu mulai bertarung, salah seorang anak buahnya datang menghadap.
"Sari! Cepat sekali kau datang? Apa yang kau bawa?" tanya Tuan Putri.
"Ada sesuatu yang hendak hamba katakan, Tuan Putri," ujar gadis berbaju kuning keemasan yang ternyata Sari.
"Hmm, baiklah." Wanita bercadar itu memandang sesaat. Dan seperti mengerti apa yang ada di benak Sari, dia bangkit dari duduknya.
"Pandan! Kau awasi pertandingan ini. Laporkan nanti padaku setelah aku kembali," perintah Tuan Putri.
"Baik, Tuan Putri..."
"Mari, Sari!"
Sari mengangguk. Segera diikutinya wanita bercadar itu dari belakang.
********************
"Katakan apa yang hendak kau bicarakan?" tanya Tuan Putri ketika bersama Sari tiba di ruangan belakang tempat tinggalnya.
"Ayu dan kawan-kawannya telah kembali...," jelas Sari.
"Apa yang mereka bawa?"
"Tuan Putri pasti senang. Mereka membawa pemuda itu!"
"Pendekar Rajawali Sakti?" Sari mengangguk. "Di mana dia sekarang?"
"Di beranda depan, Tuan Putri."
"Mari kita temui!"
Sari mengangguk kembali. Dia segera mengiringi wanita bercadar itu ke sebuah bangunan yang biasa dipergunakan untuk menerima tamu. Setelah wanita bercadar itu duduk, Sari keluar. Sebentar kemudian, Sari telah kembali bersama Ayu Tantri dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.
"Hamba menghatur hormat, Tuan Putri!" ucap Ayu Tantri.
"Hm, hormatmu kuterima. Siapa yang kau bawa?" sahut Tuan Putri.
"Dia bergelar Pendekar Rajawali Sakti, Tuan Putri...."
Pemuda yang tak lain Rangga tersenyum seraya membungkuk sedikit untuk memberi hormat pada wanita bercadar itu.
"Hm, benarkah begitu?" gumam Tuan Putri.
"Begitulah agaknya yang dikatakan orang atas diriku, Tuan Putri," sahut Rangga.
"Silakan duduk, Pendekar Rajawali Sakti! Aku sedang mendapat kujungan seorang pendekar tangguh untuk saat ini!" ujar Tuan Putri
"Ini amat berlebihan, Tuan Putri. Sesungguhnya aku hanya manusia biasa yang tidak punya kelebihan," sahut Rangga seraya duduk di tempat yang dipersilakan Tuan Putri.
"Sari! Dan kau Ayu! Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing!" ujar Tuan Putri, menatap penuh arti pada kedua tangan kanannya.
"Baik, Tuan Putri," sahut kedua gadis itu.
Sari dan Ayu Tantri segera berlalu. Sementara perhatian Tuan Putri beralih ke arah Rangga ketika kedua gadis tadi betul-betul lenyap dari ruangan.
"Jarang sekali aku memperlihatkan diri di depan tamu. Namun kau istimewa. Dan aku tak keberatan kau melihat wajahku," kata Tuan Putri seraya menyingkap tirai tipis yang menghalangi wajahnya.
"Terima kasih....Ini suatu kehormatan besar bagiku!" ucap Pendekar Rajawali Sakti. Rangga duduk tenang sambil mengamat-amati gadis berwajah cantik laksana bidadari yang duduk di depannya. Sama sekali tak terlihat keterkejutan di wajahnya.
"Selamat jumpa, Rangga...!" sambut gadis cantik itu.
"Selamat jumpa juga, Gandasari!" balas Rangga, tenang.
"Hm.... Tak kusangka, kau masih penasaran padaku."
"Serahkan Pandan Wangi!" desis Pendekar Rajawali Sakti langsung.
Wanita bercadar ini tertawa ngikik. "Hi hi hi...! Sudah kuduga kau adalah kekasih Pandan Wangi!"
"Syukurlah kalau memang kau mengetahuinya!"
"Apa kau kira dia menginginkanmu lagi? Pikirkan baik-baik! Sedangkan aku setulus hati mengharapkanmu. Menjadikanmu pangeran kelak. Atau...wajahku kelewat jelek dibanding Pandan Wangi?"
"Gandasari! Aku tak akan menjawabnya. Serahkan Pandan Wangi padaku!" bentak Rangga.
"Hm.... Sombong sekali! Apa kau kira bisa berbuat seenaknya di sini? Kau berada di wilayahku. Dan aku yang menentukan hidup matimu!" dengus Gandasari lantang.
"Hm.... Sebaiknya jangan ada pertumpahan darah untuk hal ini. Aku meminta padamu baik-baik. Kalau kau tak mengabulkannya terpaksa aku menggunakan kekerasan!" ancam Rangga.
"Kau boleh mengambilnya sendiri!" desis Gandasari.
"Baiklah kalau itu maumu. Jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
"Hi hi hi...! Kau kira begitu?" sahut Gandasari tersenyum-senyum kecil. "Penghuni Lokananta saja tak mampu membendungku. Tak heran kalau aku dengan leluasa bisa melarikan diri dari penjara di negeri Siluman...."
Tanpa peduli, Rangga segera keluar dari ruangan. Langkahnya lebar-lebar penuh kekesalan. Sementara Tuan Putri yang ternyata Gandasari tertawa renyah. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Titah Sang Ratu dan Asmara Gila Di Lokananta).
Dalam keadaan ramai begini, rasanya tak sulit bagi Rangga mencari orang yang dimaksud. Sepintas, dia sempat melihat keramaian di tanah lapang di sebelah timur rumah panggung tadi. Namun belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bertanya pada seseorang, mendadak beberapa gadis menghampiri dengan sikap mengancam.
"Berhenti! Kau tak boleh ke sana!" bentak seorang gadis.
"Aku ingin bertemu Pandan Wangi," sahut Pendekar Rajawali Sakti tenang.
"Di sini tidak ada yang bernama Pandan Wangi!" bentak gadis lain.
"Seseorang mengatakan kalau dia berada di sini. Sebaiknya kalian beritahukan saja," tandas Pendekar Rajawali Sakti keras kepala.
"Sudah kukatakan, tak ada yang bernama Pandan Wangi! Pergilah. Atau kami akan mengusirmu seperti anjing!"
Rangga menggeleng-gelengkan kepala disertai senyum hambar. Dia menghela napas pendek sambil menatap gadis-gadis itu.
"Hm, kalau begitu kau benar-benar ingin dihajar! Baik!" Gadis yang agaknya menjadi pemimpin itu memberi isyarat. Maka kawan-kawannya seketika menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
Mau tak mau Rangga mesti meladeni serangan-serangan mereka. Pertama-tama tiga orang yang mengeroyok. Namun berikutnya, muncul dua orang gadis lagi. Dan berikutnya dua lagi. Terus menerus begitu, hingga yang mengeroyok berjumlah dua puluh orang.
Suasana jadi berubah. Arena pertarungan kini berpindah tempat. Begitu juga para penonton. Mereka mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti dan mengurung dengan ketat secara berlapis. Rasanya, sulit bagi Rangga untuk bisa melarikan diri.
"Kurang ajar...!" desis Pendekar Rajawali Sakti, geram.
"Hi hi hi...! Menganggap enteng padaku, hah?! Kini kau rasakan sendiri, bukan?!"
Terdengar suara yang tak asing lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Cepat matanya melirik ke arah suara. Wajah Pendekar Rajawali Sakti menggeram marah melihat Gandasari tegak berdiri di atas atap rumah panggung sambil tertawa mengikik.
"Gandasari! Jangan paksa aku bertindak keras! Kau bisa mencelakakan orang-orang ini!" teriak Rangga, sambil terus menghindari keroyokan.
"He?! Kau memandang enteng pada mereka?! Orang-orang ini bukan anak ingusan yang baru belajar sejurus atau dua jurus ilmu silat! Kau akan merasakannya!" sahut Gandasari, sedikit mengancam.
Begitu selesai ucapannya, mendadak para pengeroyok semakin beringas. Mereka menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan jarak jauh, secara bersamaan!
"Heaaa...!"
Wuusss...!
"Gila! Ini bisa membunuhku...!" desis Rangga. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti mencelat keatas ketika merasakan angin kencang yang mampu merobohkan belasan batang pohon besar. Tubuhnya berputaran menjauh, dan mendarat di luar kepungan.
"Yiaaat!”
Namun, kini tujuh gadis bersenjata pedang langsung mengejar. Dari depan, belakang dan samping.
"Gila!" Rangga betul-betul tidak mengira. Tak ada kesempatan lolos lagi baginya. Segera dia memasang kuda-kuda rendah, siap menghentakkan tangannya. Namun, saat itu juga berkelebat satu sosok yang langsung membantunya.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka kau punya demikian banyak penggemar!"
"Jangan banyak omong, Ki Demong! Kau hajar mereka. Dan aku mengejar ketuanya!" desis Rangga, tak ingin bermain-main lagi.
"Ha ha ha.... Kalau urusan perempuan, serahkan padaku. Aku tahu bagaimana menjinakkan mereka!" kata sosok yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul. Sambil menenggak arak, Ki Demong menangkis dan menghindari serangan-serangan. Sesekali araknya disemburkan ke arah mereka, menimbulkan percikan bunga api yang cukup mengagetkan. Dan di saat itu, dia menggebrak orang-orang yang berada di dekatnya.
Sementara itu gerakan Rangga pun kurang bebas. Sebab, lawan-lawannya yang lain terus menghadang seperti tak pernah berhenti. Namun pemuda itu tak sungkan-sungkan kedua tangannya menghentak ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!"
Wuuusss...!
"Aaakh...!" Beberapa gadis terpental ke belakang sambil menjerit begitu tersapu angin topan yang meluncur dari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun itu tidak mengurungkan niat yang lain mencegah Pendekar Rajawali Sakti dalam usahanya mendekati rumah panggung.
"Hm.... Gandasari! Kau memaksaku untuk membunuh mereka! Biadab kau...!" bentak Rangga geram, seraya menghindari setiap serangan.
"Hi hi hi...! Mereka amat patuh padaku. Dan meski berkorban nyawa, mereka pun rela. Kau tak akan bisa menghentikannya, kecuali membunuh mereka!" sahut Gandasari.
"Aku hanya meminta kau berikan Pandan Wangi! Apakah itu permintaan sulit?!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan kuberikan Pandan Wangi asalkan kau berjanji menjadi pangeranku," sahut Gandasari.
"Itu tidak mungkin!"
"Kau telah menjawab permintaanmu sendiri."
"Hei, tunggu dulu! Apa maksudmu...?!"
Tak ada sahutan karena Gandasari telah menghilang di balik pintu. Rangga kembali berteriak. Tapi saat itu juga para pengeroyok telah mencecarnya dari segala arah. Hal ini membuatnya marah. Hatinya bergolak. Tangannya siap mencabut pedang, namun dalam keadaan demikian dia masih mendengar suara hati nuraninya yang paling dalam.
"Oh, tidak! Tidak! Mereka tengah dipengaruhi. Mereka menyerangku karena perintahnya. Orang-orang ini belum tentu jahat. Aku tak boleh membunuh mereka!" Tapi apa yang harus Pendekar Rajawali Sakti lakukan?
Pendekar Rajawali Sakti tak punya pilihan lagi, karena jiwanya sendiri terancam. Dalam keadaan begini hanya ada dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Secepat kilat pemuda itu mencabut pedangnya yang bersinar biru berkilau.
"Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat sambil mengibas-ngibaskan pedangnya.
Tras! Tras!
Beberapa bilah pedang seketika putus tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan yang lainnya menyusul. Hal ini belum menggetarkan hati pengeroyoknya. Dan Rangga tak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya cepat berkelebat mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat menengah.
Des! Des...!
"Aaakh...!"
"Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan. Tubuhnya langsung melenting ringan dalam jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Seketika tangannya yang berisi tenaga dalam lumayan bergerak menghantam.
Diegkh! Desss...!
"Aaakh...!" Tiga orang tersungkur kesakitan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti makin dahsyat saja. Satu persatu lawannya mulai berjatuhan terhantam tangan dan senjatanya. Namun pada saat yang mengkhawatirkan....
“Rangga, hentikan...! Kau bisa membunuh banyak orang tak berdosa dengan cara itu...!" teriak si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
Rangga bukan tak menyadari akibat buruk yang ditimbulkannya. Maka secepat kilat dia melenting ke belakang, menghentikan serangannya. Beberapa sosok mayat tampak bergeletakan. Rata-rata mereka wanita berusia muda.
"Ohh..., aku tak menyangka akan begini jadinya...," keluh pemuda berbaju rompi putih ini, menyesal bukan main.
"Sudahlah.... Ini bukan semata salahmu. Mereka kelewat memaksa kita kan?" bujuk Ki Demong.
"Heh?!" Tiba-tiba bola mata Rangga berubah. Kepalanya beredar ke sekitarnya. Tempat ini mendadak sunyi. Desa ini mati seperti tak ada penghuni seorang pun. Padahal barusan hingar-bingar.
"Kurang ajar...!" desis Rangga, seraya berkelebat.
"Hei, mau ke mana kau?!" teriak Ki Demong. Pemuda itu tak menjawab. Tubuhnya berkelebat memasuki panggung.
"Gandasari keluar kau! Keluar...! Tunjukkan dirimu...!" bentak Rangga berulang-ulang sambil, menghajar apa saja yang ada di dekatnya.
"Wah, wah...! Gawat! Ini bisa jadi kiamat kecil-kecilan...!" seru Ki Demong.
"Yeaaa...!" Saat itu, Rangga mencelat keluar rumah. Dan sebelum kakinya menapak tanah, kedua tangannya menghentak dengan tenaga dalam penuh ke arah rumah panggung.
Wuusss...! Blarrr...!
Sesaat terdengar suara gemuruh ketika angin bergulung-gulung menerpa rumah itu hingga hancur berantakan.
"Sobat, tak perlu kau lampiaskan kemarahanmu pada benda-benda tak berguna. Itu tak akan mengembalikan apa yang kau cari...," bujuk Ki Demong ketika pemuda itu memandang geram pada rumah panggung yang telah roboh.
"Aku tak tahu, Sobat. Tapi..., ke mana pun dia pergi akan kucari!" desis Rangga.
"Nah, itu baru bagus! Tak guna menghancurkan rumah dengan segala macam isinya. Sayang sekali. Sebab, benda-benda berharga yang ada di dalam bisa dijual!" ujar Ki Demong tersenyum-senyum.
Rangga tersenyum getir. "Kalau suka, kau boleh punguti barang-barang itu...!"
"He he he...! Tentu saja! Tentu saja...!" Ki Demong buru-buru menghampiri reruntuhan rumah panggung. Namun baru tiga langkah, matanya sempat melirik Pendekar Rajawali Sakti yang berjalan meninggalkan tempat ini.
"Hei, mau ke mana kau?!" teriak Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Aku harus mencari wanita itu dan menyelamatkan Pandan Wangi!" sahut Rangga.
"Jadi kau tak mau harta benda ini?!"
"Ambillah untukmu semua!"
"Wah, asyiiiikkk! Aku bisa beli tuak merah berpuluh-puluh guci lagi!"
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti tersenyum getir. Tubuhnya lantas berkelebat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah amat tinggi.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: KEKASIH SANG PENDEKAR