SAYEMBARA MAUT
SATU
"Heaaa...!"
Pagi masih buta. Suasana yang sunyi dengan kegelapan, mendadak pecah oleh beberapa teriakan keras dan derap langkah kuda yang berlari bagai dikejar setan. Burung-burung dan hewan kecil yang baru saja membuka mata, tersentak kaget dan buru-buru bersembunyi. Dedaunan bergoyang kencang seperti diterabas.
Malah sebagian rontok ketika seorang penunggang kuda menerobos pinggiran hutan kecil ini. Sementara pada jarak yang tidak terlampau jauh, sekitar lima penunggang kuda lain mengejar dari belakang.
"Heaaa...!"
"Jatmika! Kau kejar dari kanan! Jangan sampai dia lolos!" teriak salah seorang pengejar.
"Beres, Kang!" sahut seorang pemuda yang dipanggil Jatmika.
Dan dua orang dari mereka segera memutar haluan berbelok ke kanan. Sedangkan tiga orang tetap mengejar dari belakang. Yang dikejar adalah seorang pemuda berusia sekitar delapan belas tahun. Tubuhnya yang sedang terbungkus pakaian merah. Dan dia juga memakai ikat kepala berwarna merah. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang warna emas.
Sebentar-sebentar pemuda berbaju merah itu menoleh ke belakang. Kemudian kembali kudanya digebah sekencang-kencangnya. Dan kini pada jarak sekitar sepuluh tombak di depannya, terdapat jalan menikung ke kanan. Tidak ada pilihan lain baginya. Bila nekat menerobos hutan, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk ke luar dari hutan yang cukup lebat ini. Jalan satu-satunya memang menikung.
Saat itu juga pemuda berbaju merah ini berbelok ke kanan. Namun ternyata itu adalah kesalahan besar. Sebab ternyata dua dari pengejarnya yang tadi mencari jalan pintas, telah menghadang.
"Keparat...!" desis pemuda berbaju merah itu geram, menyadari keadaannya yang kini terjepit dari dua arah.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lari lagi, Jaka Dewa!" teriak salah seorang penghadang sambil tertawa mengejek.
Sementara itu, pengejar yang tadi dibelakang telah tiba pula di tempat itu. Dan pelan-pelan mereka turun dari punggung kudanya.
Sedangkan pemuda yang dipanggil Jaka Dewa tetap berada di punggung kudanya. Dengan sorot tajam, matanya mengawasi mereka dengan seksama. Tidak ada harapan baginya untuk lolos.
"Turun!" bentak seorang laki-laki berusia sete-ngah baya. Jenggotnya tipis, dengan wajah bengis. Agaknya, dialah yang memimpin pengejaran ini.
"Aku tidak berurusan dengan kalian. Kenapa mesti bersusah-payah mengejarku?" kata Jaka Dewa, berusaha membela diri.
"Kata Prabu Puntalaksana, kau orang berbahaya! Maka, orang sepertimu mesti disingkirkan," sahut laki-laki setengah baya itu sambil tersenyum enteng.
"Bedebah! Jadi, kalian antek-anteknya Prabu Puntalaksana?!" desis Jaka Dewa geram.
"Ha ha ha...! Mestinya kau tidak boleh tahu. Tapi, tidak mengapa. Ajalmu toh sebentar lagi. Dan, tidak ada salahnya aku tidak membuatmu penasaran!"
"Huh! Aku tidak takut mati! Ayo, bunuhlah aku kalau kalian mampu!" dengus Jaka Dewa.
Sring!
Seketika pemuda berbaju merah ini mencabut pedang, siap menghadapi lawan-lawannya.
"Hm.... Boleh juga nyalimu! Akan kulihat, sampai di mana kemampuanmu!" ejek laki-laki setengah baya itu seraya memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya yang bertubuh tinggi kurus.
"Baik, Ki Jumeneng! Biar kubereskan bocah ini!" sambut laki-laki tinggi kurus itu, langsung melompat dengan pedang terhunus.
"Hati-hati kau, Jarot!" ujar laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Jumeneng, mengejutkan.
"Jangan khawatir, Ki!" kata laki-laki tinggi kurus yang dipanggil Jarot, langsung membabat pedangnya.
Namun diluar dugaan, Jaka Dewa mendahului dengan sabetan pedangnya. Akibatnya benturan senjata tak dapat dihindari lagi.
Trang!
Begitu habis terjadi benturan, Jaka Dewa berusaha mencari celah dengan mencelat beberapa langkah ke belakang. Beberapa kali tubuhnya jungkir balik.
"Mau lari ke mana kau, he?!" dengus Jarot, langsung mengejar.
"Aku tidak lari ke mana-mana sebelum kalian mampus! Hih!" dengus Jaka Dewa begitu menjejakkan kakinya di tanah. Pedangnya secepat kilat dihunuskan ke lambung Jarot.
Sambil meluruk Jarot langsung menangkis.
Trang!
Kemudian, laki-laki itu memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kilat ke leher.
"Uts...!" Jaka Dewa cepat menunduk. Begitu tendangan lewat, dia melompat ke belakang. Namun, Jarot seperti tidak memberi kesempatan. Baru saja Jaka Dewa mendarat, tubuhnya telah berkelebat sambil mengibas pedangnya.
Wuttt...!
"Uhhh...!"
Trang!
Jaka Dewa mulai kerepotan walaupun berhasil menangkis serangan Jarot yang bagai terpaan ba-dai. Dan ketika Jarot terus mencecar, dia hanya bisa mundur atau berkelit.
Pada satu kesempatan, Jarot menyambarkan pedangnya ke leher dengan gerakan cepat bukan main. Sebisa mungkin, Jaka Dewa coba menunduk. Namun secepat itu pula Jarot berbalik. Langsung diayunkannya satu tendangan ke ulu hati.
Duk!
"Aaakh...!" Jaka Dewa menjerit kesakitan begitu tendangan laki-laki tinggi kurus itu berhasil mendarat di ulu hati. Tubuhnya terjungkal ke belakang lalu jatuh berdebuk keras di tanah. Dan belum juga dia bisa bangkit, Jarot terus mengejar lewat tendangan berikut. Dengan sisa kekuatannya, Jaka Dewa segera bergulingan menghindari serangan susulan ini.
Jder!
Tendangan Jarot hanya menghantam tanah kosong. Sementara di luar dugaan, Jaka Dewa kembali bergulingan ke arah lawannya sambil membabatkan pedang ke kaki. Untung saja laki-laki tinggi kurus itu cepat melenting ke atas. Kesempatan ini digunakan Jaka Dewa untuk bangkit berdiri. Namun sayang, dia salah perhitungan. Karena baru saja bangkit, justru pada saat yang sama Jarot kembali meluruk dengan sambaran pedangnya. Begitu tepat gerakannya, sehingga....
Bret!
"Aaakh...!" Jaka Dewa menjerit kesakitan, begitu dadanya tersambar pedang Jarot yang bergerak luar biasa tanpa berhasil ditangkis. Untung saja sambaran barusan hanya tipis sekali, sehingga hanya menimbulkan besetan yang tak terlalu dalam, walau cukup menimbulkan rasa perih. Tampak darah mulai merembes di dadanya. Sambil menekap lukanya, Jaka Dewa mundur beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Jarot sudah mendarat kembali ke tanah.
"Mampus kau, Bangsat! Heaaa...!"
Belum juga Jaka Dewa bersiap, Jarot sudah kembali meluruk dengan tendangan terbangnya disertai teriakan menggelegar. Begitu cepat serangan ini, membuat Jaka Dewa hanya mampu terkesiap. Dan....
Begkh!
"Aaakh...!" Kembali pemuda berbaju merah itu menjerit tinggi begitu tendangan Jarot telak sekali mampir di dadanya. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah kebelakang disertai muntahan darah segar. Dan saat dia berusaha bangkit, Jarot sudah kembali meluruk dengan sabetan pedangnya dari atas ke bawah secara menyilang.
"Hih! Mampus!" dengus Jarot.
Bret!
"Aaa...!" Jaka Dewa kembali terpekik. Perutnya kontan robek dibabat pedang laki-laki tinggi kurus itu. Tubuhnya limbung sebentar, lalu ambruk tertelungkup. Tampak darah berceceran di sekitar tempatnya jatuh. Pemuda itu megap-megap tak berdaya. Namun, kedua tangannya masih coba meraba-raba untuk bangkit dengan merayap pelan-pelan.
"Kuat juga bocah ini! Biar kuhabisi sekalian!" dengus Jarot geram.
"Hei! Tidak usah! Tidak perlu mengotori ta-nganmu lagi. Biarkan saja. Dia tidak punya kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama. Biar menjadi santapan anjing hutan!" tahan Ki Jumeneng.
"Benar! Begitu lebih baik dan nikmat baginya!" timpal Jatmika. "Mati dikerubuti anjing-anjing hutan yang kelaparan!"
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!" ajak Ki Jumeneng. Segera laki-laki setengah baya itu melompat ke punggung kudanya, diikuti yang lain.
Sementara Jarot sendiri masih diam di tempatnya. Dia masih penasaran ketika melihat pemuda itu masih bergerak-gerak dengan sisa tenaga yang ada.
"Sudah! Jangan pikirkan dia! Ayo kita pergi!" tukas Ki Jumeneng seraya menggebah kuda, diikuti yang lain. "Heaaa...!"
Jaka Dewa mengerang kesakitan, menahan ajal. Pikirannya melayang-layang dan ingatannya mulai mengambang. Namun pemuda itu berusaha menguatkan semangat, dan terus menggapai-gapai entah ke mana.
"Ohhh...!" Mendadak saja, Jaka Dewa merasakan tangannya membentur sesuatu. Sekuat tenaga dia mengarahkan kepalanya untuk melihat benda yang dibenturnya. Ternyata, itu adalah sepasang kaki yang tengah tegak berdiri.
"Si..., siapa...?" tanya Jaka Dewa.
Seseorang membungkuk dan langsung menyambut gapaian tangan Jaka Dewa. "Apa yang terjadi denganmu, Kisanak? Kenapa kau jadi begini?" tanya seorang pemuda tampan yang ternyata berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
"To... tolong... ganti... kan... aku da... lam sa-yem... bara...."
"Sayembara apa?" tanya pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kro... jowe... tan."
Dahi Rangga berkerut bingung.
"Punta... lak... sa... na... mem... bunuh me... reka...," lanjut Jaka Dewa.
"Cobalah bertahan, Kisanak! Lalu, ceritakan dengan jelas apa yang terjadi?"
Jaka Dewa berusaha memberitahukan lagi. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Dan kepalanya pun terkulai lemah disertai helaan napas yang terakhir.
"Ahhh...," Pendekar Rajawali Sakti mengeluh pendek. "Dia telah menghembuskan napasnya yang terakhir...."
Rangga coba mengingat-ingat kata-kata Jaka Dewa sebelum tewas. "Sayembara apa yang dimaksudkannya?" gumam Rangga bingung. "Krojowetan? Apa itu? Apakah nama sebuah desa, ataukah kadipaten?"
Lama Pendekar Rajawali Sakti tercenung sebelum kemudian menggali tanah dan menguburkan pemuda itu.
********************
"Boleh numpang tanya, Ki?" sapa Pendekar Rajawali Sakti sopan, pada seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun yang ditemuinya di sebuah desa yang tampak ramai oleh pedagang.
Laki-laki setengah baya itu tidak langsung mengiyakan. Tapi malah memperhatikan Rangga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun sebentar kemudian kepalanya mengangguk lemah.
"Apakah kau akan ikut sayembara?" laki-laki itu malah balik bertanya dengan tatapan penuh selidik.
"Sayembara apa?" tanya Rangga lagi dengan dahi berkerut.
"Kanjeng Gusti Prabu mengadakan sayembara sejak seminggu yang lalu. Apakah kau tidak tahu? Ah! Tentu saja kau tidak tahu!" tutur orang itu menjawab sendiri pertanyaannya. "Kau tentu orang baru di sini."
Rangga mengangguk.
"Desa Turi Manis ini berada dalam wilayah Kerajaan Krojowetan," sahut laki-laki itu.
"Ooo...," Rangga mengangguk. "Siapakah yang menjadi raja di negeri ini?"
"Kanjeng Gusti Prabu Kuntadewa."
"Kalau boleh tahu, siapakah sebenarnya Puntalaksana?"
"Hush! Jangan bicara sembarangan kau, Anak Muda! Kalau ketahuan orang-orangnya, kau bisa dihukum mati!" sergah laki-laki setengah baya itu.
"Hm.... Siapa gerangan dia?"
"Dia adalah adik tiri Kanjeng Gusti Prabu Kuntadewa."
Rangga mengangguk-angguk. "Apakah dia seorang raja yang bijaksana?" kejar Rangga.
"Beliau raja yang baik," jawab laki-laki ini.
"Lalu, sayembara apa yang tengah diadakan?"
"Mencari calon pendamping putri beliau."
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengangguk-angguk. "Kukira sayembara apa...," gumam Rangga dengan senyum hambar. "Kalau begitu aku permisi dulu, Ki. Terima kasih atas keterangannya.
Rangga langsung berbalik tanpa sempat memperhatikan raut wajah heran pada laki-laki setengah baya itu. Kakinya terus melangkah menyusuri jalan utama Desa Turi Manis ini.
Desa ini kelihatan aman-aman saja. Dan, tidak kelihatan kalau penduduknya dicekam ketakutan. Berarti, memang tidak terjadi apa-apa di sini. Kalau raja mengadakan sayembara, itu bukanlah hal yang luar biasa.
Rangga hampir saja tidak mempedulikan pesan Jaka Dewa seandainya tidak melihat kejadian aneh di depan matanya. Seketika langkahnya berhenti. Dan di depan kedai, dia melihat seseorang ditangkap oleh beberapa prajurit kerajaan. Sementara orang-orang yang melihat tidak berani memberi bantuan. Pendekar Rajawali Sakti cepat melangkah kembali, mendekati seorang laki-laki tua di depan sebuah kedai lain.
"Siapakah orang itu, Ki? Kenapa dia ditangkap?" tanya Rangga.
"Entahlah. Kudengar dari orang-orang, dia salah seorang peserta sayembara," sahut laki-laki tua ini.
"Kenapa dia ditangkap?" kejar Rangga.
Tanpa memberi jawaban lagi. Laki-laki tua ini buru-buru menjauh seperti ketakutan. Dan Rangga jadi heran. Dicobanya bertanya pada yang lain, namun tak seorang pun yang berani menjawab. Rata-rata mereka tidak mau berurusan atau membicarakan kejadian sekarang. Dan ini membuat pemuda itu jadi semakin heran.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Rangga bingung.
Dengan penasaran Pendekar Rajawali Sakti mengikuti rombongan prajurit yang sudah menggiring buruannya meninggalkan desa ini. Ternyata para prajurit itu tidak langsung menuju jalan utama yang menghubungkan ibukota kerajaan. Dan ini semakin membuat kening Rangga berkerut.
Sementara itu, sepuluh prajurit kerajaan terus menyeret-nyeret seorang pemuda berbaju kuning yang tadi ditangkap didalam kedai. Sebentar-sebentar pemuda itu berusaha berdiri, namun tak lama terjerembab jatuh. Dengan kedua tangan terikat dan ditarik seseorang, tidak banyak yang bisa dikerjakannya.
"Keparat terkutuk! Aku tidak melakukan apa-apa. Kenapa kalian menangkapku?!" teriak pemuda itu.
"Tutup mulutmu! Kau mencuri benda kerajaan. Maka, hukumanmu mati!" sahut seorang prajurit.
"Dusta! Aku tidak pernah mencuri apa pun dari kerajaan!" tukas pemuda itu.
"Kau boleh membantahnya setelah di akhirat Sana!"
"Kalian tidak bisa memperlakukanku begini! Aku akan meminta keadilan pada Kanjeng Gusti Prabu!" rutuk pemuda ini.
"Kau akan minta keadilan pada Kanjeng Gusti Prabu? Bagaimana caranya? Setelah kepalamu menggelinding? "
"Phuih! Terkutuk!" maki pemuda itu seraya meludahi muka prajurit di dekatnya. Tentu saja hal ini membangkitkan amarah prajurit. Sehingga....
Plak! Duk!
"Aaakh...!"
Para prajurit itu langsung melepaskan bogem mentah. Pemuda ini menjerit kesakitan dengan muka berkerut menahan rasa sakit.
"Mau mampus sekarang, he?!" dengus prajurit lain sambil menghapus air ludah di wajahnya.
"Chuih! Apa kau kira aku takut dengan jahanam busuk seperti kalian?!"
"Bagus. Tempat ini cukup jauh dari keramaian. Kau akan mampus. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mepemukan mayatmu!" desis prajurit lain ketika mereka telah tiba di pinggiran hutan.
"Iblis terkutuk! Kalian tidak akan selamat! Meski aku mati, tapi arwahku akan datang mencekik kalian!" dengus pemuda itu.
"Ha ha ha...! Bagaimana mungkin kau mela-kukannya? Sedang bersama jasadmu saja, kau tak berkutik. Apalagi arwahmu?!" ejek prajurit itu.
"Sudah! Jangan banyak ribut! Bereskan saja dia sekarang. Dan, tugas kita cepat selesai!" ujar seorang prajurit lain.
"Ya. Tidak usah banyak bicara lagi!" timpal yang lain.
"Kau dengar itu? Kawan-kawanku agaknya tidak sabar ingin membereskanmu. Nah, bersiaplah!" kata prajurit yang agaknya bertindak sebagai kepala rombongan yang bicara pada si pemuda.
Sring!
Kepala prajurit itu mencabut pedang, siap menebas leher korbannya. Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak berkelebat satu bayangan putih.
"Hei?!"
Plak!
"Aaakh...!"
Belum sempat prajurit menghilangkan rasa terkejutnya mendapati satu sosok bayangan yang berkelebat ke arahnya, tahu-tahu tangannya yang menggenggam pedang terpental. Sementara pedangnya sendiri sudah berpindah ke tangan sosok bayangan putih itu. Suara keluhan tertahan langsung meluncur, merasakan tangannya yang mendadak lunu.
Belum sempat prajurit lain berbuat sesuatu, bayangan putih itu terus menyambar tubuh pemuda berbaju kuning dengan gerakan cepat luar biasa, lalu berkelebat menerobos kebun penduduk di pinggiran desa ini.
Tak seorang prajurit pun yang mampu mengejar, karena mereka masih terpaku dengan wajah kebodoh-bodohan. Mereka baru tersadar ketika bayangan putih tadi sudah tak terlihat lagi, membawa pemuda berbaju kuning yang tadi siap dibantai.
DUA
"Kau baik-baik saja, Kisanak?" sapa pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, dialah yang menyelamatkan pemuda berbaju kuning yang siap dibantai oleh beberapa prajurit dipinggiran Desa Turi Manis tadi.
Pemuda berbaju kuning sendiri tak mampu berpikir, apa yang terjadi padanya. Dalam keadaan begini, bahkan kelopak matanya tak berani dibuka. Dalam keadaan terbaring dipinggiran hutan, dia hanya memandang kosong pada penolongnya.
"Eh! Aku..., oh! Ya, aku baik-baik saja...!" sahut pemuda berbaju kuning ini.
"Siapa namamu?" tanya Rangga.
"Kertapati...!" jawab pemuda berbaju kuning yang mengaku bernama Kertapati.
"Apa kesalahanmu, sehingga para prajurit itu menangkap dan hendak membunuhmu?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka menuduhku mencuri barang kerajaan. Padahal, sumpah! Aku tidak melakukannya!"
"Mestinya mereka membawa ke istana dan ditanyai lebih dulu. Tapi, kenapa mereka malah akan menghukum mati?"
"Entahlah, aku sendiri bingung. Mungkin ada hubungannya dengan keikutsertaanku dalam sayembara itu...," sahut Kertapati, tak pasti.
"Kau ikut dalam sayembara itu?"
Kertapati mengangguk.
"Apa karena keikutsertaanmu dalam seyembara, sehingga mereka hendak membunuhmu?"
"Aku tidak yakin. Tapi kudengar samar-samar...," Kertapati tidak melanjutkan ceritanya.
Pemuda berbaju kuning ini memandang curiga pada Rangga. "Kenapa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Eh, tidak! Tidak apa-apa. Aku..., aku berterima kasih atas pertolonganmu," kilah Kertapati.
"Hm, ya...."
"Eee.... Kalau tak ada kepentingan lain, bolehkah aku melanjutkan perjalanan?" cetus Kertapati.
Pendekar Rajawali Sakti diam saja tak menjawab. Dan Kertapati bergegas bangkit berdiri. Lalu kakinya segera melangkah agak tergesa-gesa. Sesekali matanya melirik kearah Rangga dengan sikap takut-takut.
"Kalau kau menyangka aku orangnya PrabuPuntalaksana, maka kau salah duga!" kata Rangga seperti berkata pada diri sendiri, seraya bangkit berdiri.
Dan ternyata kata-kata Pendekar Rajawali Sakti berpengaruh. Kertapati langsung berhenti melangkah. Kemudian tubuhnya berbalik, dan menatap Rangga dengan sorot mata masih curiga.
"Siapakah kau sebenarnya?" tanya Kertapati.
"Aku orang asing di sini. Kudengar, ada sedikit yang tak beres di negeri ini. Mungkin aku orang usil. Tapi seseorang yang tengah sekarat meminta pertolongan padaku," jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa orang itu?" tanya Kertapati lagi.
"Aku tidak sempat menanyakan namanya. Tapi, dia peserta sayembara. Oh, ya. Bagaimana kau dengan sayembara itu?"
"Aku gagal...," desah Kertapati, dengan kepala tertunduk.
"Gagal...?" ulang Rangga.
"Ya, gagal...!" Kertapati tersenyum pahit.
"Apa saja yang sebenarnya disayembarakan?"
"Cuma tiga. Yang pertama, memanah burung rumpit yang terbang amat gesit. Yang kedua melawan raksasa-raksasa istana. Mereka kuat dan perkasa. Tenaganya sama dengan dua ekor gajah.
Dan yang ketiga, memasuki rumah bersusun tiga belas. Di dalamnya banyak terdapat jebakan tidak terduga. Rata-rata peserta sayembara hanya mampu melewati tahap kesatu. Kalaupun mampu melewati tahap kedua, mereka tidak akan lolos di tahap ketiga," jelas Kertapati. Rangga mengangguk.
"Lalu, apa hubungannya dengan Prabu Puntalaksana?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah. Sepertinya beliau tak ingin ada yang memenangkan sayembara ini," desah Kertapati.
"Kenapa?"
"Kudengar beliau ingin mengawini putri Kanjeng Prabu Kuntadewa dan menjadi raja di negeri ini."
Kembali Rangga mengangguk. "Banyakkah peserta sayembara itu?"
"Kanjeng Ayu Sekar Arum seorang gadis cantik tiada tara. Sehingga, pemuda mana yang tidak terpesona? Dengan adanya sayembara ini, hampir semua laki-laki dari pelosok negeri, baik kaum bangsawan maupun rakyat jelata, berbondong-bondong mengikutinya. Tapi belakangan ini jumlah mereka menurun banyak...."
"Kenapa?"
"Selain banyak yang tewas, juga mereka takut akibatnya. Kebanyakan peserta sayembara hilang tak tentu rimbanya. Mungkin seperti yang kualami, mereka dibunuh diam-diam atau dipenjara," duga Kertapati, masygul.
"Hm.... Menarik juga," gumam Rangga.
"Kalau kau hendak mengikuti sayembara itu, sebaiknya hati-hati. Atau kalau perlu, sebaiknya urungkan saja niatmu. Sebab sampai saat ini tidak ada seorang pun peserta sayembara yang kembali ke rumah dengan selamat. Aku mungkin termasuk yang beruntung. Namun, kalau kau tidak menolongku, maka nasibku tidak ada bedanya," papar pemuda berbaju kuning itu menasihati.
"Ya. Terima kasih atas nasihatmu," ucap Rangga.
"Kalau memang tidak ada hal yang penting lagi, maka aku mohon diri," pamit Kertapati.
Rangga mengangguk. "Jaga dirimu baik-baik, Kertapati!"
Pemuda berbaju kuning ini mengangguk, kemudian berjalan ke arah barat. Sementara Rangga hanya memandangi sampai Kertapati tak terlihat lagi. Baru setelah itu tubuhnya berkelebat ke arah ibukota Kerajaan Krojowetan, di mana Prabu Kuntadewa berkuasa.
********************
Matahari belum terlalu condong ke barat ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di ibukota Kerajaan Krojowetan. Suasananya masih terlihat ramai. Di beberapa penjuru tempat terlihat beberapa prajurit kerajaan tengah berjaga-jaga. Ada umbul-umbul dan bendera berwarna-warni di sepanjang jalan menuju pintu gerbang istana.
Rangga cepat melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang utama istana, menemui dua orang penjaga yang juga langsung mencegatnya.
"Apa keperluanmu, Anak Muda?" tanya penjaga yang berbadan tegak dengan pandangan penuh menyelidik.
"Aku ingin ikut sayembara...," sahut Rangga, merendahkan diri.
"He he he...! Cari mati barangkali pemuda itu!" celetuk prajurit satunya yang berbadan gemuk.
Prajurit yang berbadan tegap ikut tertawa, lalu segera mempersilakan Rangga masuk. Sementara Rangga pura-pura tidak mempedulikan, dan segera berjalan santai bersama prajurit itu, ke arah dua prajurit piket bagian pendaftaran peserta sayembara.
"Selamat sore! Aku bermaksud mendaftar sebagai peserta sayembara!" ucap Rangga, ketika tiba di depan dua petugas pendaftaran. Sementara prajurit yang mengawalnya telah berbalik ke tempatnya semula.
"Siapa namamu?" tanya salah seorang petugas, seraya memandang Rangga dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Rangga...."
"Kau yakin akan ikut sayembara?"
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk. Petugas berkumis tebal itu diam sebentar. Kembali diperhatikannya pemuda itu dengan seksama sebelum mengangguk.
"Baiklah. Anak buahku akan mengurus segala sesuatunya...."
Laki-laki berkumis itu berbisik sebentar pada seorang laki-laki lain yang ada disebelahnya. Orang yang dibisiki mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri. Dan Rangga kemudian diajak ke samping istana.
"Ini kamarmu. Semua peserta sayembara diberikan kamar masing-masing...," tunjuk petugas yang mengantar Rangga keruang penginapan di samping istana.
"Aku tidak melihat yang lainnya?" tanya Rangga dengan kening berkerut. Prajurit itu tersenyum.
"Karena mereka tak ada!" sahut petugas itu, singkat.
"Tidak ada? Kenapa? Kudengar banyak sekali pesertanya!"
"Tak seorang pun yang berhasil!" sahut petugas itu, singkat.
Rangga mengangguk. "Kapan aku diuji?" tanya Rangga lagi.
"Besok pagi. Bersiaplah. Sekarang kau boleh beristirahat dengan tenang."
Prajurit itu hendak pergi, namun Rangga cepat mencekal pergelangan tangannya.
""Tidak enak kalau tiada seorang pun yang kukenal. Siapa namamu? Barangkali kita bisa menjadi kawan akrab," kata Rangga, seraya melepas cekalannya.
"Ragil...!"
Sehabis berkata demikian, prajurit itu angkat kaki dengan sikap kaku. Dia kelihatan tidak peduli terhadap tawaran baik Rangga. Bahkan terkesan tidak mau terlalu banyak bicara.
Rangga segera masuk ke ruangan. Dia termenung memandang ke segala sudut kamar kecil ini. Cuma ada sebuah ranjang dan meja yang di atasnya terdapat guci berisi air minum. Juga tampak sebuah lemari di pojok ruangan. Selebihnya dua buah jendela yang menghubungkan kamar ini dengan pekarangan.
Pendekar Rajawali Sakti menghela napas kemudian duduk bersila di tempat tidur untuk memusatkan pikiran dan mempertajam pendengaran.
Saat ini senja telah berlalu. Dan malam pun merayap perlahan-lahan namun pasti. Di luar, masih terdengar gelak tawa para prajurit jaga. Namun pemuda itu seperti tidak terusik, dan tetap pada sikapnya semula.
"Hm....!" Rangga bergumam pendek dengan kening berkerut.
Set! Set!"
"Heh?!"
Walaupun sudah menduga, tak urung Rangga tersentak kaget ketika melihat beberapa benda kecil berkilatan, tepat ke arah dada kirinya. Halus sekali laksana jarum.
"Epuuh!"
Seketika Rangga meniup disertai pengerahan tenaga dalam. Maka kurang lebih lima buah benda yang ternyata jarum halus rontok ke lantai.
Set!
Kembali meluncur beberapa buah jarum dari jendela di depan Rangga. Pemuda itu tidak bergeming, dan hanya melambaikan tangan.
Wesss!
Seketika serangkum angin kencang menyambar jarum-jarum itu, dan kembali merontokkannya.
Bruak!
"Hih!"
Baru saja Rangga meletakkan tangannya kembali ke pangkuan, mendadak sesosok tubuh menyeruak dari jendela, langsung berkelebat cepat ke arahnya dengan sebuah sambaran senjata tajam.
Wut! Bet!
"Uts!" Dengan gerakan indah bukan main, Pendekar Rajawali Sakti melenting dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi, tubuhnya kembali melayang turun seraya mengayunkan tendangan ke arah sosok yang menyerangnya.
"Hih!"
"Hup!"
Secepat kilat sosok berbaju hitam yang wajahnya tertutup selubung kain hitam itu melompat ke belakang. Dan begitu menjejak lantai tubuhnya kembali meluruk dengan pedang berkelebat-kelebat cepat laksana kitiran.
Rangga yang baru saja mendarat di lantai terpaksa melompat ke belakang merapat ke dinding. Lalu tubuhnya dibuang ke lantai dan bergulingan. Begitu bangkit berdiri disambarnya guci di meja.
"Hih!" Seketika Rangga menghantamkan guci ke kepala. Namun dengan cepat sosok berpakaian serba hitam itu memapaknya.
Prak!
Guci itu hancur berantakan dihantam kepalan kiri. Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan satu tendangan keras ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Begkh!
"Aaakh...!"
Mantap sekali kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perut sosok berbaju serba hitam. Orang itu langsung terpental disertai jeritan kesakitan ke arah dinding dekat jendela. Namun begitu tubuhnya menabrak dinding, dia langsung bangkit. Dan secepat kilat, diterobosnya jendela itu, lalu berkelebat keluar. Kabur!
Baru saja Rangga hendak mengejar, tiba-tiba pintu ruangan ini terdobrak. Pendekar Rajawali Sakti cepat berbalik, dan tampaklah beberapa prajurit memasuki ruangan ini.
TIGA
"Apa yang terjadi, Kisanak?" tanya seorang prajurit.
"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga, kalem.
"Keributan tadi?" cecar prajurit ini.
"Aku bermimpi buruk hingga terjatuh dari tempat tidur," kilah Rangga, berdusta.
Prajurit itu tertegun sambil melongokkan kepala ke dalam. Tapi cuma sebentar. Kemudian kepalanya mengangguk dan meninggalkan tempat ini bersama dua kawannya, setelah menutup pintu yang tidak sampai jebol akibat didobrak tadi.
Rangga menghela napas. Dikuncinya jendela, dan kembali duduk di tempat tidur seraya mengamati jarum-jarum yang berserakan.
"Hm.... Ini bukan sembarang jarum. Ini senjata rahasia yang mengandung racun...!" gumam Rangga lirih. "Siapa pun orang bertopeng hitam itu, pastilah bukan orang sembarangan."
Sementara ini, malam terus bergulir semakin jauh. Di luar, sudah tampak sepi. Hanya suara serangga malam saja yang keluar. Beberapa prajurit penjaga tampak terkantuk-kantuk di tempatnya. Di dalam kamarnya, Rangga perlahan-lahan bangkit. Sebentar kepalanya mendongak ke atas, lalu....
"Hup!"
Ringan sekali tubuh Pendekar Rajawali Sakti melayang, lalu mendarat dicagak-cagak wuwungan ruangan ini. Dibukanya beberapa buah genteng, lalu tubuhnya menelusup keluar lewat lubang genteng yang dibuatnya.
Dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh dan mengetrapkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti mulai menyusuri atas bangunan. Tubuhnya terus berkelebat, melompat dari satu bangunan ke bangunan lain.
Istana Krojowetan ini tidak begitu luas, tapi juga tidak bisa dibilang kecil. Selain bangunan utama berukuran cukup besar, juga terdapat bangunan-bangunan lain yang sedikit lebih kecil.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengendap-endap dan melompat ke bangunan yang di atasnya terdapat sebuah menara kecil.
"Mudah-mudahan ini bangunannya...," gumam Rangga, begitu sampai di bangunan yang dimaksud.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti membuka sebuah genteng, mengintip ke dalam. Ada dua prajurit yang berjaga di depan pintu sebuah ruangan. Pemuda itu menutupnya, lalu membuka genteng yang lain. Kali ini dia mengintip ruangan yang dijaga ketat tadi.
"Bodoh...!"
Terdengar bentakan yang cukup keras di bawah sana. Dan Rangga segera mengamati dengan seksama. Tampak seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus duduk pada sebuah kursi rotan. Di kanan kirinya tegak berdiri empat pengawal. Melihat pakaiannya yang indah, tentulah orang itu termasuk golongan bangsawan. Agaknya, dialah yang barusan mengumpat. Wajahnya kelihatan kusut dan kesal. Sementara di depannya berlutut seorang laki-laki agak gemuk dan pendek dengan kepala tertunduk.
"Kau tak mampu membereskan seorang saja, Anabrang?!" bentak laki-laki setengah baya itu lagi.
"Dia bukan orang sembarangan, Kanjeng Prabu...," kilah laki-laki agak gemuk yang dipanggil Anabrang.
"Goblok! Jangan sebut kata itu di depanku. Aku tidak ingin dengar alasanmu. Bocah itu harus dibereskan. Kau mengerti?! Agar tak ada lagi orang yang berani coba-coba mengikuti sayembara ini!"
Laki-laki bernama Anabrang itu mengangguk. Sementara di atas, Rangga mengamati dengan lebih seksama. Dan dia melihat, tidak jauh dari laki-laki bangsawan itu duduk pula seorang wanita tua bertubuh kurus memegang tongkat besar. Pakaiannya pun bagus. Dia didampingi dua pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun.
"Jangan begitu keras padanya, Puntalaksana. Berilah dia kesempatan. Mungkin pikirannya tengah kacau...!" ujar perempuan tua itu dengan suara halus.
"Tapi, Nyai...."
"Sudahlah. Biar aku yang menanyainya!" potong perempuan tua ini. Lalu diberinya isyarat pada Anabrang.
Lelaki yang tengah berlutut itu beringsut ke depan perempuan tua ini. Tubuhnya membungkuk dua kali, kemudian diam tertunduk.
"Ada apa, Anabrang? Kenapa kau tidak mampu membereskan bocah itu?"
"Ampun, Nyai Saptaningrum! Hamba telah berusaha. Namun anak muda itu memang tidak bisa dibuat main-main," ucap Anabrang.
"Apa kelebihannya sehingga dia mampu menggagalkan rencanamu?" tanya perempuan tua yang bemama Saptaningrum ini.
"Entahlah, Nyai. Pemuda itu mampu melumpuhkan jarum-jarum beracun yang kulepaskan. Kelihatannya mudah sekali. Bahkan dia berhasil menghajarku. Aku tidak bisa meneruskan, sebab beberapa prajurit bergegas mendatangi tempat itu," jelas Anabrang.
"Apakah dia mengikutimu?" tanya Nyai Saptaningrum.
"Kelihatannya tidak, Nyai...."
"Kau teledor, Anabrang. Kalau kau katakan dia hebat, Anak Muda itu pasti tidak akan mendiamkan kejadian ini. Dia berusaha mengikutimu!"
Anabrang terlongong bengong. Keningnya berkerut, heran dengan ucapan Nyai Saptaningrum.
"Tapi, Nyai. Hamba tidak langsung ke sini, melainkan mengawasinya. Dan hamba lihat jelas dia tidak mengikuti," jelas Anabrang, berusaha meyakinkan.
"Kau yakin?"
"Hamba yakin, Nyai!"
Wanita tua itu tersenyum.
"Aku tidak menyalahkanmu, Anabrang. Seperti yang kau katakan, bocah itu memang memiliki kepandaian hebat. Kau bukan tandingannya. Dia cerdik dan tak mau membuat keributan. Padahal, sesungguhnya dia mengikutimu," ungkap Nyai Saptaningrum dengan senyum sinis.
"Oh! Apa maksudmu, Nyai?!" tanya Anabrangdengan wajah kaget.
"Maksudku, setidaknya dia berusaha mengikutimu dan mencari tahu apa maksudmu menyerangnya. Coba lihat!" Setelah berkata begitu wanita tua ini menghentakkan tangan kirinya.
"Hih!" Seketika, serangkum angin kencang menderu ke arah Rangga yang saat ini masih berada di atas atap, mengintip.
Bruak!
Genteng itu langsung hancur berantakan, namun Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat lebih dulu. Agaknya tindakan Rangga pun tidak luput dari perhatian wanita tua ini.
"Kejar!" teriak Nyai Saptaningrum.
Saat itu juga, beberapa prajurit bergerak keluar mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Dan Nyai Saptaningrum sendiri melompat ke atas, menerobos genteng yang rusak tadi. Tubuhnya meluncur ringan, dan menjejakkan kaki di wuwungan. Matanya memandang ke sekeliling tempat, namun tidak terlihat sesuatu pun yang mencurigakan.
"Cari di sekitar tempat ini! Aku yakin dia belum jauh!" ujar perempuan tua ini pada para prajurit yang berjaga-jaga di bawah.
"Baik, Nyai!"
Wanita tua itu sendiri melompat ke selatan melewati atap dengan mata tajam beredar ke sekeliling tempat. Kemudian tubuhnya melayang turun di depan sebuah pintu. Beberapa prajurit menghampiri dan menjura hormat.
"Siapa yang berada di kamar ini?" tanya Nyai Saptaningrum.
"Seorang peserta sayembara, Nyai!" sahut salah seorang prajurit.
"Hm.... Ketuklah pintunya. Aku ingin bertemu."
"Baik, Nyai!"
Seorang prajurit mengetuk pintu, tak lama dari dalam menyembul seraut wajah pemuda tampan yang tak lain Rangga sambil tersenyum membukakan pintu.
"Oh, Prajurit! Ada apa gerangan malam-malam begini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Seseorang ingin bertemu denganmu," sahut prajurit. Dan prajurit ini lantas menunjuk kepada nyai Saptaningrum.
"Hem.... Nyisanakkah yang ingin bertemu denganku?" tanya Rangga, setelah, melempar pandangan ke arah wanita tua ini.
"Ya!" sahut Nyai Saptarungrum singkat.
"Ada apa gerangan?" tanya Rangga sopan setelah memberi salam hormat.
"Kau tidak apa-apa?" Nyai Saptaningrum balik bertanya.
"Tidak. Eh, mengapa?"
"Seseorang lari ke arah sini. Kau yakin tidak melihat sesuatu?" tanya wanita itu dengan tatapan menyelidik.
"Aku tertidur pulas dan mimpi indah, sehingga tak tahu apa yang tengah terjadi. Apakah ini suatu kesalahan?"
"Siapa namamu?" tanya Nyai Saptaningrum tanpa mempedulikan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga. Kalau boleh kutahu, siapa gerangan Nyisanak?"
"Beliau penasihat panglima perang," seorang prajurit menyahuti.
Rangga mengangguk.
"Kau peserta sayembara itu?" tanya Nyai Saptaningrum lagi.
"Benar, Nyai," sahut Rangga, datar.
"Dari mana asalmu?"
"Aku? Eh..., dari timur!"
Dahi wanita tua itu berkernyit. Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia segera berlalu diikuti tiga prajurit yang menyertainya tadi.
"Perempuan aneh...!" desis Rangga sambil menggeleng lemah dan kembali masuk ke kamarnya.
Rangga tersenyum-senyum kecil sambil menutup pintu, lalu kembali berbaring di ranjang. Dan baru saja otot-ototnya dilemaskan di ranjang....
"Heh?!"
Rangga tersentak ketika terdengar sesuatu bergerak-gerak dari arah jendela. Namun dia diam saja dan pura-pura tak tahu, walaupun kewaspadaannya terus terjaga.
"Kisanak...!" Terdengar suara panggilan dari luar jendela secara berbisik.
"Siapa?" tanya Rangga bergegas bangkit, dan melangkah menuju jendela.
"Aku utusan Kanjeng Ayu Sekar Arum!" sahut seseorang dari luar.
Dahi pemuda itu berkernyit. "Sekar Arum?" gumam Rangga.
"Ada surat untukmu. Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Setelah dibaca, musnahkanlah!" kata suara itu lagi.
Dan dari sisi jendela yang sedikit terbuka meluncur segulungan kulit tipis. Rangga menangkapnya, lalu mengintip keluar dengan hati-hati. Tampak seseorang berkelebat cepat menjauhi tempat ini. Perlahan-lahan Rangga membuka surat itu, lalu dibacanya.
Kisanak, hati-hati! Jaga dirimu baik-baik. Atau..., mungkin lebih baik kau mengundurkan diri dari sayembara ini.
"Hm.... Surat ini tanpa nama si pengirim...," gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengamat-amati surat ini beberapa kali. Ditandainya lekuk-lekuk serta guratan-guratan kata-kata dalam surat ini. Setelah hafal betul, diremasnya dengan mengerahkan tenaga dalam. Seketika surat itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak mungkin dapat dibaca lagi.
"Aku memang mesti berhati-hati kepada siapa pun. Tidak terkecuali, kepada putri itu sendiri. Ini soal yang tidak bisa dipandang enteng...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti, kembali menghampiri Rangga. Tubuhnya lantas berbaring ringan.
********************
Sejak pagi tadi Pendekar Rajawali Sakti telah bersiap-siap menjalani sayembara pertama. Dan baru saja dia menghabiskan sarapannya, seorang prajurit muncul di ruang tempatnya menginap.
"Sayembara akan dimulai!" kata salah seorang prajurit, memberi tahu.
"Baiklah," sahut Rangga seraya beranjak.
Rangga segera mengikuti prajurit itu. Sebentar saja, mereka telah tiba di halaman istana yang telah dipenuhi barisan prajurit yang membuat sebuah lingkaran besar. Di salah satu sudut lingkaran, duduk seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun. Jenggotnya pendek. Kepalanya dihiasi mahkota bertatahkan permata indah. Begitu tiba di tengah lingkaran, Pendekar Rajawali Sakti langsung menjura hormat.
"Salam hormat hamba, Kanjeng Gusti Prabu!" ucap Rangga.
Laki-laki setengah baya yang tak lain Prabu Kuntadewa merentangkan tangan sambil melambai ke arahnya untuk menyambut salam hormat Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian pemuda itu pun memberi hormat kepada gadis cantik di sebelah Gusti Prabu. Apa yang didengarnya memang tidak salah. Gadis ini laksana bidadari yang turun dari kahyangan.
Lalu berturut-turut Rangga memberi hormat kepada seorang laki-laki setengah baya yang dilihatnya semalam. Di sebelah laki-laki itu, duduk wanita tua membawa tongkat besar yang cukup panjang. Dialah Nyai Saptaningrum yang menemuinya semalam.
Seorang prajurit bertubuh besar berteriak lantang, memberitahukan apa yang mesti dikerjakan Rangga. Kemudian dua prajurit membawa nampan besar yang berisi busur serta tiga batang anak panah. Rangga segera mengambilnya, kemudian memandang kepada seorang prajurit yang tengah membawa sangkar burung. Sementara, dua prajurit lain di dekatnya juga membawa sangkar burung.
"Kau mempunyai kesempatan tiga kali untuk memanahnya. Kalau gagal, maka langsung gugur!" jelas prajurit berbadan besar tadi.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.
"Kau siap?"
"Ya!"
Seketika prajurit itu memberi isyarat pada kawannya untuk melepaskan burung dalam sangkar. Sementara Rangga siap dengan anak panah. Namun entah kenapa, sampai burung itu terbang dari sangkarnya, dia tidak juga melepaskan anak panah. Semua yang melihat kejadian itu menertawakannya. Bahkan menganggap pemuda itu pasti tak akan mampu melakukannya.
Namun di antara mereka ada juga yang merasa khawatir akan keberhasilan Pendekar Rajawali Sakti. Dia adalah Nyai Saptaningrum yang sama sekali tidak memandang enteng pemuda itu.
"Apakah kau kira dia mampu memanah burung itu, Nyai?" tanya Prabu Puntalaksana.
"Dia mampu!"
"Lalu, kenapa dia diam saja dan tidak berusaha melepaskan anak panahnya?"
"Dia bukan orang sembarangan, Punta. Kau lihat! Dia tidak mau melepaskan anak panah sembarangan. Sebelum tahu betul apa yang akan dipanahnya. Kau lihat, bukan? Dia memperhatikan burung itu dengan seksama," papar wanita tua ini.
"Apa maksudnya?" tanya Prabu Puntalaksana lagi.
"Dia memperhatikan cara terbang burung itu, arah yang ditempuhnya, dan gerakan yang dibuat," jelas Nyai Saptaningrum.
Prabu Puntalaksana mengangguk kecil. Sedikit merasa tidak yakin. Tapi apa yang dikatakan perempuan tua itu agaknya mendekati kebenaran. Sebab pada giliran kedua, kelihatannya pemuda itu lebih mantap dan percaya diri. Busurnya telah ditarik ketika sangkar burung hendak dilepas.
"Yak!"
Seorang prajurit memberi aba-aba, maka burung kecil sebesar jempol kaki itu melesat bagai kilat. Meliuk-liuk di angkasa sambil mengepak-ngepakkan sayapnya dengan lincah. Pada saat itu Pendekar Rajawali Sakti dengan cepat melepas anak panah.
Set!
Crab!
Seketika burung kecil itu berhenti terbang dan langsung terbawa luncuran panah. Dan ketika daya luncurannya habis, burung yang terpanggang anak panah melayang deras ke bawah.
"Heh?!"
Orang-orang yang menyaksikan kejadian ini terperangah heran. Entah mengapa pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan anak panahnya tidak mengikuti gerakan burung. Dia bahkan memanah ke tempat lain, namun dengan perkiraannya bahwa arah itu akan dilalui burung itu dalam waktu yang telah diperhitungkan secara matang. Sementara anak panah meluncur cepat, tepat saat burung kecil itu lewat. Dan....
Crab!
Seketika burung kecil itu berhenti terbang dan langsung terbawa luncuran panah. Dan ketika daya luncurannyan habis, burung yang terpanggang anak panah melayang deras ke bawah.
"Bagus, Anak Muda!" puji Prabu Kuntadewa, ketika Rangga telah berbalik menghadap ke arahnya.
"Terima kasih, Kanjeng Gusti Prabu!" ucap Rangga.
Sementara Prabu Puntalaksana tampak geram melihat keberhasilan Rangga. Dan dia hanya mampu mendesis pelan.
"Jaga amarahmu, Puntalaksana! Kau berada di tengah orang banyak jangan sampai mereka melihat perubahan wajahmu!" ujar Nyai Saptaningrum, memperingatkan.
Meski bersungut-sungut dengan hati geram, namun Prabu Puntalaksana menuruti juga saran perempuan tua itu.
"Aku tidak ingin hal ini terus berlanjut!" dengus Prabu Puntalaksana.
"Tenang saja. Akan kita lihat apakah dia mampu mengalahkan si Gajah Petung," sahut Nyai Saptaningrum seraya tersenyum kecil.
Kini, seorang prajurit mengumumkan sayembara kedua. Yaitu, pertarungan melawan jawara istana.
Dalam waktu tak lama, seseorang bertubuh besar muncul dari belakang. Bahkan lebih besar ketimbang ukuran orang-orang biasa yang bertubuh besar. Sepasang matanya bulat dan bibimya lebar. Rambutnya pendek dan kaku seperti ijuk.
"Pertarungan ini tidak terbatas. Kau boleh saja menghajarnya sampai mati. Begitu pula dia!" teriak seorang prajurit dengan suara lantang, memberitahukan peraturannya.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk. Sementara laki-laki bertubuh besar bernama Gajah Petung mendekat sambil menyeringai lebar.
"He he he...! Kau akan menjadi kepingan-kepingan kecil setelah kubeset-beset tubuhmu, Bocah!" gertak Gajah Petung dengan seringai lebar.
Rangga menanggapinya hanya dengan senyum, tak ada kegentaran sedikit pun dihatinya. Namun demikian sikapnya tetap penuh kewaspadaan.
"Grrr...! Akan kuremukkan tulang-tulangmu!" dengus Gajah Petung menyeringai buas.
"Silakan, Kisanak.... Mulailah lebih dulu," ujar Pendekar Rajawali Sakti kalem.
Begitu kata-kata Pendekar Rajawali Sakti habis, Gajah Petung langsung saja melompat menyergap.
"Heaaa...!"
"Uts!" Namun Rangga telah cepat melompat keatas dengan ringan. Gajah Petung coba menggapainya seraya berbalik cepat, tapi lagi-lagi pemuda itu mampu menghindarinya dengan melenting ke belakang.
Baru saja Rangga mendarat, Gajah Petung telah meluruk deras sambil membabatkan tangannya ke kepala.
Wuttt...!
Cepat Rangga mengegos ke kanan, lalu memutar tubuhnya sambil melepaskan tendangan setengah lingkaran. Untungnya, dengan sigap Gajah Petung menarik tangan kanannya dan berusaha memapak.
Plak!
Begitu terjadi benturan, justru Rangga memanfaatkannya untuk melepaskan tendangan kembali, setelah menjejak tanah. Begitu cepat gerakannya, membuat Gajah Petung tak mampu menghindar. Dan...
Duk!
"Hugkh...!"
EMPAT
Gajah Petung terjajar beberapa langkah ke belakang, begitu tendangan susulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di perutnya. Gajah Petung semakin geram saja. Seketika tubuhnya kembali meluruk sambil melayangkan kepalan tangan menghantam dada. Bersamaan dengan itu kaki kirinya ikut menendang.
Rangga dengan gerakan ringan mencelat keatas, sehingga dua serangan itu hanya menghantam tempat kosong. Dan di luar dugaan, tubuhnya kembali meluncur deras ke bawah dengan serangan menggeledek lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', pada tingkat pertama. Dan ketika tangannya mengibas....
Desss...!
"Aaakh!" Laki-laki bertubuh raksasa itu menjerit tertahan ketika tengkuknya terhajar kibasan tangan Rangga. Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka dan nyaris terjerembab.
"Keparat!" bentak Gajah Petung menggeram marah.
Wajah laki-laki bertubuh raksasa ini berkerut dengan seringai lebar menghiasinya. Agaknya kemarahan di dadanya begitu berkobar-kobar. Rasanya ingin direncahnya pemuda itu sampai tidak berbentuk lagi.
"Huh!"
Gajah Petung mendengus geram. Kesabaran-nya sudah habis. Dia harus cepat menyudahi pertarungan ini dengan membunuh pemuda itu. Maka diberinya isyarat pada seorang prajurit. Dan prajurit itu pun menghampiri sambil membawa sebilah pedang besar.
"Kau akan menyesal karena tidak melakukannya, Bocah! Sebab kaulah yang akan mampus di tanganku!" gertak Gajah Petung, seraya meraih pedang.
"Hati-hati dengan pedang itu, Kisanak. Salah-salah bisa memakan tuannya sendiri," ujar Rangga kalem, penuh sindiran. Rangga sadar, lawannya seperti mengiyakan kematiannya.
"Banyak mulut! Yeaaa...!" Disertai teriakan menggelegar, Gajah Petung melompat sambil mengibaskan pedangnya.
Bet!
"Mampus kau, Bocah!"
Kelebatan pedang itu memang kuat dan bertenaga cukup lumayan. Namun di mata Pendekar Rajawali Sakti, kecepatannya tak jauh beda dengan tokoh persilatan yang selalu mengandalkan tenaga kasar, alias berilmu cetek.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti sedikit menunduk lalu melompat ke samping. Dan ini membuat Gajah Petung semakin penasaran. Seketika tubuhnya berbalik dengan ayunan pedang. Tapi segala usahanya percuma saja, sebab tiba-tiba pemuda itu telah berkelebat cepat dengan ayunan kaki berturut-turut.
Begkh! Duk!
"Aaakh...!" Gajah Petung terpekik nyaring ketika tendangan bertubi-tubi Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perut dan tangannya yang menggenggam pedang. Pedang itu terlepas dan tangan kanannya patah. Sementara tubuhnya terpental, dan bergulingan di tanah. Laki-laki bertubuh raksasa itu megap-megap tak berdaya. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar. Dia berusaha bangkit, namun wajahnya seketika berkerut menahan rasa sakit.
"Aku bisa saja membunuhmu. Tapi kalau kau mau mengaku kalah, maka aku akan menyudahi pertarungan ini!" ujar Rangga ketika telah berdiri di depan Gajah Petung.
"Baiklah, aku mengaku kalah...," sahut Gajah Petung, lirih.
Beberapa prajurit bertepuk tangan melihat kemenangan pemuda itu. Demikian juga rakyat di luaran sana yang diperbolehkan masuk ke dalam pelataran halaman istana, untuk menyaksikan sayembara. Namun prajurit-prajurit yang lain banyak yang berdiam diri. Dan mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat melihat kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita akan meneruskan pada sayembara ketiga...!"
Pengumuman prajurit itu terhenti ketika....
"Acara hari ini selesai. Biarkan pemuda itu beristirahat. Esok baru dilanjutkan kembali!" potong Prabu Kuntadewa.
"Ya! Pemuda itu tentu letih! Dan sayembara ketiga memerlukan tenaga serta semangat yapg kuat. Untuk itu, dia perlu istirahat!" sambut Prabu Puntalaksana.
Para prajurit segera mengumumkannya. Tak lama kemudian para penonton bubar satu persatu.
********************
Rangga baru saja selesai membersihkan tubuhnya dan menghabiskan santap siang yang disediakan ketika seorang prajurit mengetuk pintu.
"Ada apa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kanjeng Gusti Prabu Kuntadewa memanggilmu, Kisanak!" lapor prajurit ini.
"Adakah sesuatu yang penting?"
"Entahlah, aku tidak tahu!"
"Sekarang?"
"Sebaiknya begitu."
"Baiklah. Aku ikut bersamamu."
Rangga dibawa menuju balairung utama. Jarak antara balairung dengan tempat penginapan Rangga sekitar tiga puluh tombak, dibatasi sebuah lorong memanjang. Dengan langkah lebar-lebar sebentar saja mereka telah tiba di depan balairung. Dua orang prajurit penjaga bergegas membuka pintu balairung begitu Rangga tiba.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti masuk, tampak Prabu Kuntadewa beserta beberapa pejabat istana lainnya. Termasuk di dalamnya Prabu Puntalaksana dan Nyai Saptaningrum. Dan Rangga segera menjura hormat kepada mereka semua.
"Silakan duduk!" ujar Prabu Kutadewa.
"Terima kasih, Gusti Prabu!" sahut Rangga, sopan.
"Kami tengah bersantap bersama. Dan tiba-tiba aku teringat bahwa kau adalah peserta istimewa. Oleh sebab itu, aku ingin agar kau pun ikut dalam jamuan ini," jelas Prabu Kuntadewa.
"Terima kasih, Gusti Prabu. Hamba seperti mendapat kehormatan besar bisa bersantap bersama Gusti Prabu. Namun baru saja hamba selesai bersantap, sebelum prajurit Gusti Prabu memberitahukan hal ini," jelas Rangga, menolak halus.
"Kalau demikian, kau boleh mencicipi buah-buahan segar itu!" kata Prabu Kuntadewa memberi pilihan.
"Sekali lagi, terima kasih! Gusti Prabu baik sekali kepada hamba yang hina ini," ucap Rangga, merendah.
Tak lama, seorang pelayan menyodorkan sekeranjang buah-buahan ke hadapan Rangga, kemudian meletakkannya ke piring tembaga.
"Oh, maaf!" seru pelayan itu ketika sebiji buah jambu air besar menggelinding jatuh ke kaki Rangga.
Buru-buru pelayan itu hendak memungut. Dan bersamaan dengan itu Rangga bergerak hendak memunggutnya pula. Seketika wajah mereka tenggelam dibawah meja panjang besar yang beralaskan sutera ungu.
"Maaf, ini ada titipan dari Gusti Prabu. Simpan baik-baik. Dan, jangan terlihat siapa pun!" bisik pelayan itu sambil menyodorkan sepucuk surat, ketika wajah mereka masih berada di bawah.
Dahi Rangga berkerut, tapi diterimanya juga surat itu, dan disimpannya baik-baik. Dengan cara seperti memang tidak ada seorang pun yang curiga. Tapi Rangga semakin bertanya-tanya, siapa yang menyurati? Apakah sang putri lagi? Atau..., Gusti Prabu? Bahkan bisa juga dari Prabu Puntalaksana. Apa mau mereka?
Memikirkan itu, rasanya untuk saat ini belum ada penyelesaian. Maka Rangga bersikap sewajar mungkin ketika telah duduk tegak lagi. Sempat melirik kepada pelayan tadi yang telah terburu-buru pergi dari tempatnya.
********************
Setiba di kamarnya, Pendekar Rajawali Sakti buru-buru membuka isi surat dan membacanya.
Kisanak, masih belum terlambat untuk mengundurkan diri sebelum kau celaka. Aku tidak kuasa menentukan sayembara yang jujur dalam hal ini. Oleh sebab itu jika hendak maju terus, maka berjuanglah sekuat tenaga. Kalau kau menang, maka aku amat berhutang budi padamu.
Salam, Prabu Kuntadewa
"Hm, Prabu Kuntadewa?" Rangga mengangguk-angguk meski tidak begitu mengerti apa yang tengah terjadi di kerajaan ini. Namun dia tahu, ada sesuatu yang tidak beres tengah berlangsung.
"Hm..., aku akan mencoba memancing mereka. Aku ingin tahu, apa yang akan mereka lakukan bila aku di luar. Mudah-mudahan aku bisa mengorek keterangan," gumam Rangga perlahan, seperti berkata sendiri. "Tapi agar aku tetap menjalani sayembara sebaiknya melakukan penyamaran."
Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, memandang ke arah lemari di pojok ruangan. Cepat dihampirinya lemari itu, dan dibukanya.
"Hm.... Rupanya banyak terdapat pakaian di sini, dan beberapa potong kain. Yah, terpaksa.... agar rencanaku ikut sayembara tidak gugur, sebaiknya memang harus melakukan penyamaran. Dengan pakaian dan kain-kain yang mungkin bekas pakaian para peserta sayembara terdahulu, rencanaku mungkin akan berhasil," gumam Rangga lagi.
Cepat Rangga mengambil sepotong pakaian berwarna merah dan beberapa kain, kemudian segera menyembunyikannya dibagian belakang badannya dengan serapi mungkin. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke pintu. Dan sebentar saja, dia telah berhadapan dengan dua orang prajurit yang menjaga kamarnya.
"Aku hendak menghirup udara segar di luar sana. Sebelum malam, aku akan kembali lagi!" pamit Rangga.
"Panitia sayembara ini harus diberitahu. Kau harus menunggu sebentar, Kisanak!" sahut salah seorang prajurit tanpa curiga sedikit pun.
"Baiklah."
Sementara prajurit yang satu bergegas menuju petugas piket sayembara, Rangga menunggu di depan kamarnya ditemani prajurit yang diajak bicara. Sebentar saja Rangga menunggu, kini tampak prajurit yang melapor kepergiannya sudah kembali.
"Kau diizinkan pergi. Dan seperti katamu, harus sudah tiba kembali sebelum malam," jelas prajurit itu, begitu tiba.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk dan segera melangkah ke depan istana. Dua orang prajurit segera membuka pintu gerbang, ketika mendapat isyarat dari petugas piket sayembara di depan Istana Kerajaan Krojowetan ini.
Begitu tiba di luar, Rangga melangkah perlahan dengan sikap santai seperti tidak terjadi sesuatu yang berarti. Kendati demikian, pendengarannya dipasang tajam-tajam.
Dugaan Rangga benar. Pendengarannya yang terlatih tak bisa tertipu. Demikian pula kecurigaannya. Berarti, pancingannya mulai tersambut. Sekitar tiga puluh tombak dia meninggalkan pintu gerbang istana, enam prajurit kerajaan diam-diam membuntuti pada jarak yang tidak begitu jauh.
"Hm mereka mulai membuntutiku! Mereka pasti mata-mata Prabu Puntalaksana!" gumam pemuda berbaju rompi putih ini tersenyum sinis.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti mempercepat langkahnya, lalu berbelok. Diambilnya jalan yang jarang dilalui orang-orang. Dan ternyata, para prajurit itu tetap mengikutinya.
Setelah keluar dari ibukota kerajaan, Pendekar Rajawali Sakti terus menyusuri pinggiran hutan kecil yang tidak berapa luas. Dan ternyata, para pengejarnya tinggal tiga orang. Akalnya yang cerdik segera bisa cepat menyertai.
"Mereka jelas hendak mencegatku. Hm, terlalu gegabah! Aku jadi ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan!" gumam Rangga lagi.
Saat itu juga, Rangga berkelebat cepat ke balik kerimbunan pohon. Lalu menghilang entah ke mana. Sementara para prajurit yang mengikuti kontan terperangah. Mereka cepat berlari ke arah menghilangnya pemuda itu.
"Kurang ajar! Ke mana dia?!" hardik salah seorang prajurit, begitu tiba di tempat Rangga menghilang tadi. Kini tiga prajurit yang mencoba menghadang telah bergabung bersama kawan-kawannya.
"Mungkin dia tahu kalau diikuti!" tukas prajurit lain.
"Ya. Bisa jadi begitu...."
"Apa yang mesti kita lakukan sekarang?" tanya yang lain.
"Menyebar ke sekitar tempat ini. Aku yakin, dia tidak pergi jauh. Kita harus menemukannya!" sahut prajurit pertama yang ternyata merupakan pemimpin mereka.
Baru saja mereka hendak bergerak, mendadak....
"Apa yang kalian lakukan di wilayahku ini?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan, yang disusul meluncurnya satu sosok bayangan merah dari atas pohon. Dan tahu-tahu di depan prajurit berdiri seorang laki-laki berbaju merah dengan kepala tertutup balutan kain berwarna-warni. Hanya bagian mata yang dibiarkan terbuka.
"Siapa kau?!" balas seorang prajurit dengan suara tidak kalah garang.
"He he he...! Sungguh galak! Padahal, kalian berada di sarang macan!" desis orang bertopeng warna-warni ini, dengan kekehan melecehkan.
"Tidak usah banyak bicara! Kau tengah berhadapan dengan prajurit kerajaan. Berlakulah sopan!" bentak prajurit tadi.
"He he he...! Baru prajurit sudah sombong sekali. Bagaimana rajanya? Tentu tidak akan bisa kenal dekat dengan rakyatnya. Huh! Aku muak sekali dengan orang-orang seperti kalian!"
"Kurang ajar! Kau berani menghina prajurit kerajaan! Kau akan dihukum berat sekali!"
"Hua ha ha...! Hukuman? Hukuman apa? Di hutan ini aku adalah satu-satunya hukum yang berlaku. Hitam kataku, maka akan jadi hitam. Tidak peduli seorang raja sekali pun! Apalagi, cecurut seperti kalian!"
"Keparat!"
Seorang prajurit yang agaknya tidak bisa lagi menahan diri, langsung saja mencabut pedang. Segera diserangnya orang bertopeng warna-warni ini.
"Mampus kau!"
"Uts! Tentu saja tidak, Cecurut! Kau tidak akan mampu menjatuhkanku!" ejek orang bertopeng itu sambil berkelit gesit. Dan tiba-tiba sebelah kakinya menghantam ke dada.
Duk!
"Aaakh...!"
Prajurit itu sama sekali tidak menduga kalau orang bertopeng ini mampu bergerak cepat. Bahkan dia menganggap enteng. Dan akibatnya sungguh tidak enak. Tubuhnya kontan terjungkal roboh disertai jerit kesakitan, terkena tendangan orang bertopeng ini.
"Itu pelajaran pertama bagi monyet-monyet kudisan seperti kalian!" lanjut orang bertopeng.
"Huh! Kau telah melukai seorang prajurit kerajaan. Maka kau tidak akan bisa lolos begitu saja!" dengus kepala prajurit. "Tangkap dia! Dan kalau perlu, bunuh!"
Sring!
Dan serentak empat prajurit lain ikut mencabut pedang begitu pemimpin mereka mencabut pedang. Kemudian mereka berlompatan ke arah orang bertopeng.
"Yeaaa...!"
"Hm.... Sudah kukatakan, di sini akulah hukum. Aku bisa berbuat apa saja yang kuinginkan. Termasuk, membunuh kalian!" desis orang bertopeng ini.
"Banyak omong! Terima seranganku!" desis kepala prajurit seraya mengayunkan pedang.
Wut!
"Uts!" Namun orang bertopeng itu telah melompat ke kiri, sehingga tebasan pedang ini hanya menyambar angin kosong. Kemudian menyusul dua prajurit yang coba memapas dari kiri dan kanan. Namun orang bertopeng itu telah lebih dulu mencelat ke belakang. Dan begitu mendarat tubuhnya kembali berkelebat dengan kakinya menyodok perut salah seorang yang terdekat.
Duk!
"Aaakh...!"
Karuan saja prajurit yang jadi sasaran terpekik. Tubuhnya terjungkal dengan pedang terlempar. Secepat kilat orang bertopeng ini menyambar pedang. Lalu dengan gerakan dahsyat tubuhnya berkelebat sambil menyambar pedang rampasan.
"Hiyaaa...!"
Bret!
"Aaakh...!"
Dua prajurit kontan terpekik, terbabat pedang di tangan orang bertopeng pada bagian dada. Seketika, tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang sambil membekap dada.
"Hiyaaa...!"
Orang berkerudung itu tidak berhenti sampai di situ. Disertai bentakan keras tubuhnya kembali berkelebat menyerang lawan-lawannya. Para prajurit hanya mampu bersiap dan tidak mampu bertahan lama.
Trang!
Trang!
Senjata-senjata mereka terpental. Sementara pedang di tangan orang bertopeng telah melukai mereka satu persatu. Meski tidak parah, namun cukup menjadi peringatan kalau orang bertopeng itu mampu membunuh dengan mudah.
"Hm.... Inikah prajurit-prajurit kerajaan yang terkenal tangguh? Kalian tidak lebih dari kantong-kantong nasi tak berguna!" ejek orang bertopeng sambil tertawa keras, ketika lawan-lawannya tak mampu lagi melawan.
Rata-rata para prajurit itu memang kelihatan telah ciut nyalinya. Mereka bisa merasakan gerakan orang bertopeng itu cepat bukan main. Bahkan tidak ada seorang pun yang mampu melihat, bagaimana mereka dilukai. Tahu-tahu saja satu sambaran pedang menggores setiap dada, membuat para prajurit terjungkal roboh.
"Aku bisa saja membunuh kalian. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu apa yang kalian lakukan di tempat ini? Kalau tidak ada jawaban, maka satu persatu kepala kalian akan kupenggal!" ancam orang bertopeng itu.
LIMA
"Kami tengah mengejar seseorang...," sahut seorang prajurit, yang tengah duduk berlutut di hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa?" kejar Rangga.
"Buronan kerajaan.... Seorang pemuda berbaju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung di punggung."
"Siapa yang memberi perintah?"
"Panglima kerajaan."
"Siapa yang menjadi panglima kerajaan?"
"Kanjeng Prabu Puntalaksana...."
"O.... Jadi, kalian antek-anteknya Puntalaksana?!" dengus orang bertopeng itu.
Semua prajurit tak ada yang menyahut.
"Kalian pendusta!" bentak orang bertopeng. "Katakan sejujurnya, kenapa kalian mengejar orang itu?!"
"Sudah kami katakan, orang itu buronan," sahut prajurit ini.
"Apa yang telah dilakukannya?"
"Dia mencuri benda-benda kerajaan, dan men-coba memasuki kaputren untuk melarikan sang putri!"
"Kalian sadar kalau tengah berdusta?" sindir orang bertopeng ini.
"Aku tidak memintamu percaya. Kami hanya sekadar menjalankan tugas!"
"Dengar! Aku sama sekali tak percaya ocehan kalian. Kalau dia mencuri benda-benda kerajaan, maka sudah kuketahui sejak tadi. Bahkan buru-buru kurampas. Tapi dia tidak membawa apa-apa!" dengus orang bertopeng itu, seraya menjulurkan ujung pedang dengan sikap mengancam.
"Eh! Apa maumu?!" seru prajurit itu dengan muka pucat.
"Jawab yang benar. Atau, kutebas lehermu sekarang juga!" desis orang bertopeng.
"Eh! Ba..., baiklah. Tapi, jauhkan dulu pedangmu...."
"Huh!" Orang bertopeng itu menarik pedang seraya mendengus sinis.
"Cepaaat!"
"Ba..., baik! Orang itu... dia, eh...! Dia seorang peserta sayembara...."
"Peserta sayembara? Untuk apa kalian hendak menangkapnya?"
"Entahlah. Kami hanya mendapat perintah begitu. Meringkus dan membunuhnya di tempat."
"Siapa yang memberi perintah?"
"Gusti Prabu Puntalaksana."
"Hm.... Kau tahu, kenapa?"
"Tidak...."
"Jangan berdusta!" hardik orang bertopeng seraya menghunuskan pedangnya ke leher kepala prajurit yang jadi juru bicara.
"Eh, sungguh. Aku..., aku tak tahu untuk apa. Tapi dia memang memberi perintah begitu."
"Kau tentu bisa mengira-ngira, apa maunya?"
"Eh! Beliau memang biasa memberi perintah begitu...."
"Apa?"
"Membunuh peserta sayembara...."
"Kenapa?!"
"Aku..., aku sungguh-sungguh tidak tahu!" tegas kepala prajurit itu pasrah.
"Jawab!" hardik orang bertopeng. Ujung pedang itu menghujam agak ke dalam ke leher kepala prajurit, dan membuatnya ketakutan setengah mati.
"Aku..., aku benar-benar tak tahu...," sahut kepala prajurit dengan bibir bergetar. "Tapi kurasa itu mungkin ada hubungannya dengan sikap beliau yang tidak setuju adanya sayembara...."
"Hei?!"
Kepala prajurit itu belum sempat melanjutkan kata-katanya ketika salah seorang prajurit menggunakan kesempatan untuk kabur. Namun hal itu tidak luput dari perhatian orang bertopeng. Secepat kilat, tubuhnya merunduk menyambar sebuah batu kerikil. Dan seketika dicentilnya batu kerikil itu.
Set!
Dengan kecepatan dahsyat batu sebesar kelereng itu melesat, mengancam punggung prajurit yang hendak kabur.
Tuk!
"Aaakh...!" Mantap sekali batu kerikil itu menghantam punggung, membuat prajurit itu terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan tersungkur roboh dan terus mengerang-erang. Rupanya lemparan batu kerikil tadi disertai tenaga dalam dan tepat menghantam urat gerak prajurit itu. Sehingga begitu ambruk di tanah, tubuhnya tak bisa digerakkan lagi.
Kejadian ini tentu saja membuat nyali prajurit lain menjadi ciut. Dan kini mereka yakin kalau orang yang dihadapi memiliki kepandaian amat tinggi.
"Nah! Kalau tidak ada yang macam-macam lagi, mari kita lanjutkan persoalan tadi. Kalau memang kau tidak tahu, maka ungkapkan saja kecurigaanmu. Jangan sekali-sekali membohongi, sebab aku tidak suka dibohongi!" lanjut orang bertopeng itu.
"Apa urusannya denganmu?" tanya kepala prajurit.
"Itu bukan urusanmu!"
Kepala prajurit itu menelan ludah dengan wajah pucat, semakin ketakutan mendengar hardikan barusan.
"Apakah Puntalaksana ingin jadi raja?"
"Mungkin...," sahut kepala prajurit, tak pasti.
"Kenapa dia tidak melakukannya?"
"Pengaruh Prabu Kuntadewa masih kuat melekat di mata rakyat. Dan kalau sampai Prabu Puntalaksana merebut begitu saja, dikhawatirkan akan timbul perlawanan rakyat..."
"Apa kau kira Prabu Puntalaksana berani merebut kedudukan Gusti Prabu?" kejar Rangga.
"Entahlah... Aku tidak tahu...," sahut kepala prajurit.
"Kau memimpin beberapa kawan-kawanmu. Dan itu menandakan, bahwa kau bukan prajurit rendahan. Sedikit banyak kau pasti tahu perselisihan rumah tangga kerajaan!"
Kepala prajurit itu terdiam.
"Ayo jawab!"
"Aku benar-benar tak tahu menahu soal ini...," sahut kepala prajurit dengan suara bergetar.
"Kalau begitu kau pilih mati?!" dengus orang bertopeng.
Kepala prajurit ini terdiam seraya memandang orang bertopeng. Lalu kepalanya menunduk.
"Baiklah, kuganti pertanyaannya. Berapa prajurit yang setia kepada Prabu Kuntadewa?"
"Tidak ada seorang pun yang tahu. Semua saling mencurigai. Dan, hanya Prabu Puntalaksana saja yang tahu berapa banyak prajurit yang setia padanya...."
"Termasuk kalian, bukan?"
"Kami hanya menjalankan perintah atasan, Kisanak...," sahut kepala prajurit lirih.
Mendadak Rangga terdiam. Kepalanya dimiringkan kekanan, seperti mendengar sesuatu dari belakangnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya merunduk, memungut dua bilah pedang yang tercecer di tanah.
"Hih...!" Dengan mengerahkan tenaga dalam tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berbalik seraya melemparkan pedang di kedua tangan. Dan....
Set! Set!
Crab! Crab!
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar dua jerit kesakitan saling susul dari arah belakang pada jarak sepuluh tombak. Tampak dua orang berseragam prajurit seketika roboh meregang nyawa dengan dada masing-masing tertancap pedang.
Namun bersamaan dengan itu, menyeruak belasan prajurit lain dan seorang berpakaian panglima perang dari balik semak-semak. Dan mereka langsung mengurung orang bertopeng. Panglima bertubuh kekar yang agaknya bertindak sebagai kepala pasukan Kerajaan Krojowetan ini memandang garang pada para prajurit yang tadi dipecundangi orang bertopeng itu.
"Apa yang kau lakukan di situ, Sanggawa?! Kau akan mendapat hukuman berat karena kelancangan mulutmu!" bentak panglima itu, geram.
"Aku..., aku tidak mengatakan apa-apa, Panglima Jumeneng!" sahut kepala prajurit yang ternyata bernama Sanggawa ketakutan.
"Phuih! Aku mendengar kicauanmu yang akan mengantarkan lehermu ke tiang gantungan. Sekarang, bangkitlah! Dan ajak anak buahmu untuk meringkus bangsat bertopeng ini!" lanjut laki-laki kekar yang tak lain Panglima Jumeneng.
Sanggawa tidak mampu berbuat apa-apa, selain mematuhi perintah itu.
"Tangkap dia hidup-hidup. Dan kalau melawan, bunuh di tempat!" teriak Panglima Jumeneng.
Saat itu juga para prajurit langsung menyerang. Mereka tampak bersemangat, seperti hendak merencah orang bertopeng itu.
"Yeaaa...!"
"Ha ha ha...! Kalian hendak menangkapku, ya? Ayo, buktikan kehebatan kalian sebagai prajurit-prajurit hebat!" ejek orang bertopeng seraya berkelebat cepat sambil menangkis beberapa kelebatan pedang yang berseliweran di sekitar tubuhnya.
Trang! Tang!
Bet!
Dua prajurit yang sangat bernafsu tampak terkejut. Pedang mereka tahu-tahu terlepas dihantam senjata orang bertopeng. Dan belum lagi keduanya sempat berbuat apa-apa, satu tendangan keras telah meluncur deras.
Duk! Des!
"Aaakh...!"
Dua prajurit kontan terjungkal roboh tak bisa bangun lagi. Darah tampak meleleh dari sudut bibir masing-masing. Namun, ini bukan membuat para prajurit lain gentar. Mereka malah marah, dan semakin bersemangat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Bangsat terkutuk! Kau akan rasakan balasan kami!" dengus Panglima Jumeneng.
Kata-kata panglima ini agaknya tidak main-main. Karena seketika diserangnya orang bertopeng itu dengan gencar. Pedangnya berkelebat cepat menyambar. Dan sepertinya, dia tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun.
"Hm.... Ilmu pedangmu cukup hebat! Sayang sekali, orang sepertimu menjadi kaki tangan pengkhianat!" leceh orang bertopeng itu, sinis sambil terus berkelebatan menghindari sambaran pedang.
"Tutup mulutmu, Bedebah! Lebih baik, selamatkan saja nyawamu yang kerdil. Karena sebentar lagi, aku akan mencabutnya!" bentak Panglima Jumeneng.
"Bagaimana mungkin kau bisa mencabut nyawaku, sedang mengejar lalat saja tak mampu?" ejek orang bertopeng itu.
"Setan!" Panglima Jumeneng menggeram marah. Apalagi, orang bertopeng itu selalu mampu menghindari incaran pedangnya. Maka anak buahnya yang saat ini ikut membantu serangan, diperintahkan untuk lebih keras lagi menyerang.
"Gunakan segala kemampuan kalian untuk membunuhnya! Aku ingin dia mampus sekarang juga!" teriak Panglima Jumeneng.
Dan orang bertopeng itu memang merasakan-nya. Keroyokan lawan-lawannya kini semakin gila. Bahkan cenderung membabi-buta! Agaknya mereka berusaha menggunakan segala cara untuk membunuhnya secepat mungkin.
"Hm.... Orang-orang yang nekat!" umpat orang bertopeng. "Kalian yang memaksaku. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
Selesai berkata begitu, orang bertopeng ini memutar pedangnya. Ditangkisnya beberapa senjata. Kemudian pedang itu mulai menyambar sasaran dengan gerakan cepat yang tidak mampu terlihat mata.
Trang! Tang!
Cras! Bret!
"Aaa...!"
Korban mulai berjatuhan. Dua prajurit kembali terjungkal roboh dengan leher nyaris putus. Dan tiga lainnya menyusul cepat dalam waktu singkat.
"Hiyaaa...!"
Orang bertopeng itu pun tidak mau buang-buang waktu. Tubuhnya mencelat gesit, mencari sasaran yang berharga. Panglima Jumeneng!
Wut!
Panglima Jumeneng terkesiap mendapat serangan kilat yang tak terdengar dari orang bertopeng. Dia berusaha menangkis sebisanya.
Trang!
"Uhhh...!" Panglima Jumeneng mengeluh tertahan ketika tangannya bergetar hebat dan rasa nyeri menjalar sampai ke ulu hati ketika terjadi benturan senjata, Dan masih untung dia pun mampu mengelak ketika orang bertopeng ini membabatkan pedang ke perutnya. Tapi siapa sangka kalau itu hanya gerak tipu. Karena tiba-tiba saja, sebuah tendangan telah menunggu dari samping.
Begkh!
Tendangan itu tepat menghantam dan diikuti kelebatan pedang orang bertopeng ke arah bahu.
Cras!
"Aaakh...!"
Panglima Jumeneng terpekik ketika lengan kanannya robek lebar, tersayat pedang.
"Kalau kau ingin mati, cepat bergeraklah!" desis orang bertopeng yang tiba-tiba saja berada di belakang Panglima Jumeneng sambil menempelkan mata pedang ke leher.
Entah kapan bergeraknya orang bertopeng ini, Panglima Jumeneng sendiri tak tahu. Waktu terjajar limbung tadi, dia hanya merasakan desir angin halus yang berkelebat. Dalam hati, panglima ini sebenarnya sudah ciut nyalinya melihat kedigdayaan orang bertopeng. Tapi didepan anak buahnya, dia tak ingin menunjukkannya.
"Ayo bunuhlah! Aku tidak takut mati!" dengus Panglima Jumeneng.
Sementara melihat panglimanya berada di bawah ancaman pedang, para prajurit langsung menghentikan serangan. Mereka tak ada yang berani bergerak, kalau tak ingin Panglima Jumeneng tewas.
"Pengkhianat sepertimu kukira akan sayang dengan nyawa. Tapi, ternyata tidak. Kalau begitu kuganti saja. Kau akan mati pelan-pelan," kata orang bertopeng itu, tenang.
"Huh! Kau tidak akan berani melakukannya. Melawan panglima kerajaan hukumannya berat. Kau bisa dihukum gantung!" ancam Panglima Jumeneng.
"Ha ha ha...! Kau masih bisa mengancamku? Padahal, jiwamu tengah terancam. Bahkan mati! Hebat sekali. Akan kubuktikan ucapanmu. Mendadak tangan orang bertopeng itu bergerak cepat ke bahu. Kemudian....
Tuk! Tuk!
"Aaakh...!"
Panglima Jumeneng berteriak kesakitan ketika dua buah totokan mendarat di bahunya. Totokan yang disertai tenaga dalam tinggi itu membuat tubuhnya ambruk dengan rasa sakit yang amat sangat. Wajahnya kontan meringis.
"Itu baru permulaan. Dan berikutnya mungkin saja kau akan kubuat lumpuh seumur hidup, lalu mati perlahan-lahan dengan penderitaan yang amat menyiksa!" gertak orang bertopeng ini, tersenyum dingin.
"Keparat! Apa maumu?!" teriak Panglima Jumeneng, di tengah rasa sakitnya.
Orang bertopeng itu tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada prajurit lain yang memandangnya dengan geram. Namun karena pemimpinnya dalam ancaman, maka tiada seorang pun yang berani maju.
"Sebenarnya kalau kau tidak terlalu angkuh, mungkin saja aku mau mengalah. Tapi aku pun orang yang tak sudi bila ada orang lain bersikap angkuh didepanku. Apalagi pengkhianat busuk sepertimu yang jiwanya tak berharga. Tapi, ada satu kesempatan bagimu kalau kau ingin tetap hidup. Yaitu, jawab pertanyaan-pertanyaanku!" tandas orang bertopeng itu, mengancam.
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Panglima Jumeneng.
"Berapa kekuatan Puntalaksana?" orang bertopeng ini balik bertanya.
"Aku tak tahu pasti. Barangkali seribu atau seribu lima ratus!" sahut Panglima Jumeneng, akhirnya mengalah.
"Berapa jumlah seluruh prajurit kerajaan?"
"Dua ribu orang dan tersebar di beberapa kadipaten!"
"Berapa kekuatan di istana?"
"Sekitar dua ratus prajurit!"
"Dan berapa kekuatan Puntalaksana?"
"Hm.... Kalau kau bermaksud hendak membantu Prabu Kuntadewa, lupakan saja! Seluruh prajurit telah dikuasai Prabu Kuntalaksana. Lebih baik, bergabung saja dengan kami. Karena kedudukan baik akan menantimu!" sahut Panglima Jumeneng, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh, begitu? Kedudukan apa yang bisa kuperoleh bila bergabung dengan kalian?" pancing Rangga.
"Dengan kepandaianmu, kau bisa saja dijadi-kan panglima perang. Dan sekaligus, pengawal pribadi Prabu Puntalaksana!"
"Lalu, apa keuntungannya aku menjadi panglima perang serta menjadi pengawal pribadinya?"
"Kau bisa saja mendapatkan apa saja yang kau inginkan! Wanita, harta, dan kekuasaan."
"Lupakan saja tawaran itu, Panglima! Semuanya bisa mudah kudapat, seperti mudahnya membalikkan telapak tangan. Sebaiknya, pergilah kalian kepada Puntalaksana. Dan katakan, bahwa dia tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Dia akan mendapat balasan setimpal atas apa yang dilakukannya selama ini kepada korban-korbannya!" ujar orang bertopeng itu.
Setelah berkata begitu, orang bertopeng ini segera membalikkan tubuh. Panglima Jumeneng yang tadi telentang, lalu dibebaskannya totokan di bahu panglima itu.
Tuk! Tuk!
Dan belum sempat Panglima Jumeneng berbalik, tubuh orang bertopeng langsung berkelebat cepat bagai kilat, masuk dalam lebatnya hutan kecil.
"Kurang ajar! Siapa orang itu sebenarnya?!" dengus Panglima Jumeneng dengan wajah geram, begitu bangkit berdiri.
"Apa tidak mungkin kalau dia pemuda itu, Gusti Panglima?" duga seorang anak buahnya.
"Siapa yang kau maksud? Peserta sayembara itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Akan kita selidiki nanti. Kalau benar terbukti bahwa orang bertopeng itu dia, maka rasakan saja pembalasanku!" dengus Panglima Jumeneng.
********************
ENAM
Pendekar Rajawali Sakti memang menepati janjinya. Sebelum hari gelap dia telah kembali ke Istana Krojowetan. Setelah melapor pada petugas piket sayembara, pemuda itu langsung masuk dalam kamamya.
Segera Rangga mengeluarkan kembali pakaian merah dan kain-kain berwarna-warni yang disembunyikan di balik baju rompi putihnya dibagian belakang.
"Hm.... Kelihatannya, penyamaranku tadi cukup berhasil, walaupun tetap menimbulkan kecurigaan pada prajurit dan Panglima Jumeneng. Dan sekarang aku ingin tahu tanggapan Prabu Puntalaksana dan Nyai Saptaningmm.
Memang, sebenarnya orang bertopeng yang telah memperdaya Panglima Jumeneng adalah Pendekar Rajawali Sakti. Seperti rencananya, dia memang bermaksud mengungkap tabir di Kerajaan Krojowetan yang mengadakan sayembara memperebutkan putri dari Prabu Kuntadewa. Namun ternyata, setiap peserta sayembara selalu mendapat ancaman kematian. Inilah yang menarik perhatian Rangga untuk ikut sayembara.
Dan memang, sebagai pendekar berhati bersih, Rangga memang paling benci dengan kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan. Baginya seorang raja adalah lambang pengayoman untuk para rakyatnya. Bukan sebaliknya.
"Aku yakin, Panglima Jumeneng telah kembali ke istana untuk melapor kejadian tadi. Hhh.... Untung saja, Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tadi kutinggal di atas pohon tidak hilang. Kalau saja tadi ada tokoh sesat yang kebetulan lewat, entah apa jadinya aku tanpa pedang ini," gumam Rangga, seperti berkata untuk diri sendiri." Sebaiknya aku akan mencuri dengar pembicaraan lagi, diruang khusus Prabu Puntalaksana...." Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandang ke atas. Lalu....
"Hup!" Rangga melayang ringan ke wuwungan. Langsung dibukanya beberapa genteng. Dan seketika tubuhnya menyelinap dan keluar lewat lubang genteng. Hati-hati sekali dia melangkah menuju ke bangunan yang agak memanjang. Rangga yang juga Raja Karang Setra, paham betul bentuk bangunan seperti ini. Dilihat dari bentuknya, bangunan itu adalah gudang berisi perlengkapan senjata.
"Betul!" gumam Rangga dengan wajah berseri ketika membuka beberapa genteng.
Tak ada seorang penjaga pun yang berada di dalam. Maka dengan leluasa dia melompat turun. Begitu berada di bawah, diambilnya sebuah busur dan beberapa anak panah serta beberapa kain perca yang kelihatan telah lusuh. Setelah itu tubuhnya kembali mencelat ke atas. Rangga langsung melangkah tanpa menutup genteng tempatnya masuk tadi.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengendap-endap diatas atap, menuju bangunan yang dihuni Prabu Puntalaksana. Namun langkahnya terhenti ketika....
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengamankan bocah itu, Nyai?"
Terdengar sebuah suara di bawah, di luar bangunan. Rangga cepat membuang pandangan ke halaman bangunan. Tampak di halaman Prabu Puntalaksana tengah berjalan-jalan ditemani Nyai Saptaningrum yang bertindak sebagai penasihatnya menuju bangunan tempat tinggalnya.
"Sudah kukatakan padamu, dia tidak bisa dibuat main-main. Dan kau malah menganggap enteng!" desis perempuan tua itu, seraya berhenti melangkah. Ditatapnya tajam-tajam Prabu Puntalaksana yang juga berhenti melangkah.
"Siang tadi Jumeneng melaporkan tentang orang bertopeng yang mencegatnya. Dia punya dugaan kuat, bahwa orang itu adalah bocah yang dibuntuti Sanggawa...," lapor Prabu Puntalaksana.
"Hm.... Jadi, karena itu kau menghukum Sanggawa?" tanya Nyai Saptaningrum.
"Dia terlalu banyak bicara!" desis laki-laki setengah baya itu.
"Kudengar Jumeneng pun sama-sama buka mulut..."
"Jumeneng berada dipihakku. Sedangkan Kakang Sanggawa belum berhasil kubujuk. Mungkin dia terlalu setia kepada Kakang Kuntadewa."
"Tidak juga. Kau hanya terlalu curiga. Sudah kukatakan berkali-kali, bahwa kau tidak perlu menunjukkan perasaan tidak suka pada raut wajahmu. Itu bukan sikap yang baik!"
Prabu Puntalaksana terdiam beberapa saat. "Bagaimana mengatasi bocah itu, Nyai?" tanya Prabu Puntalaksana.
"Jangan khawatir. Besok adalah hari terakhirnya. Dia tidak akan selamat!"
"Nyai yakin?"
"Aku telah mengatur sebaik-baiknya. Selama ini, tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari tempat itu!"
"Kuharap rencana Nyai berhasil. Sebab kalautidak, aku tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya. Terpaksa kau yang melenyapkannya!" kata pemuda itu, dingin.
"Serahkan saja soal itu kepadaku!" tegas Nyai Saptaningrum, langsung kembali melangkah masuk ke dalam bangunan, diikuti Prabu Puntalaksana.
"Hm..., aku harus membebaskan prajurit yang bernama Sanggawa itu. Mudah-mudahan dari dia aku bisa mendapat keterangan lebih banyak lagi...," gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menggunakan kesempatan itu untuk menuju ruang tahanan yang terletak paling belakang dari istana ini.
********************
"Haus...! Aku haus sekali...! Tolong ambilkan air...!"
Terdengar keluhan berulang-ulang dari seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus di ruang tahanan bagian belakang bangunan Istana Kerajaan Krojowetan ini. Sesekali dia menyeringai kesakitan. Dari bibirnya yang pecah-pecah masih menetes darah segar. Mukanya babak belur bekas hajaran.
Tubuhnya kurus loyo seperti tidak bertulang. Dan pakaiannya compang-camping tidak karuan. Kedua tangannya diikat dan direntangkan ke dinding. Demikian pula kedua kakinya. Di depan ruang tahanan ini berdiri tiga prajurit kerajaan yang menjaga.
Suara keluhan tadi sama sekali tidak ditanggapi ketiga penjaga itu. Bahkan menoleh pun tidak. Mereka hanya diam seperti patung.
"Air...! Air.... Tolong ambilkan aku air...!"
Salah seorang prajurit yang mungkin sebal mendengar rintihan itu, menoleh dengan muka masam.
"Diamlah kau, Sanggawa! Kalau masih mengoceh juga, akan kuhajar kau!" bentak prajurit yang berkumis lebat.
"Aku haus sekali. Tolonglah ambilkan aku air...," keluh tawanan yang tak lain Sanggawa.
Sanggawa adalah kepala prajurit yang tadi pagi membuntuti Pendekar Rajawali Sakti. Namun, dia dapat dicundangi Rangga, sampai akhirnya membuka mulutnya. Akibatnya, Sanggawa harus rela dirinya dijebloskan ke dalam ruang tahanan.
"Kurang ajar! Rupanya kau memang benar-benar ingin kuhajar!" dengus prajurit itu.
Prajurit ini sudah hendak melangkah ke dalam, untuk melayangkan bogem mentah.
"Kenapa kau repot-repot mengurusinya? Berikan saja dia apa yang diinginkannya!" kata prajurit lain, menahan langkah prajurit berkumis tebal.
"Gila! Kau ingin mendapat dampratan dari Gusti Puntalaksana?!" dengus prajurit berkumis lebat.
"Dia ingin air kan?" susul prajurit yang memiliki tahi lalat besar di pipi.
Prajurit berkumis lebat mengangguk. "Berikan saja...."
Prajurit bertahi lalat itu kemudian membisiki prajurit yang berkumis lebat. Mendengar bisikan, wajah prajurit berkumis lebat yang tadi kelihatan sewot tiba-tiba berubah cerah.
"Usulmu bagus! Tapi, aku sedang tak ingin...."
"Jangan khawatir," potong prajurit bertahi lalat. "Aku keluar sebentar mengambil cangkir dan sekaligus mengisinya."
"Jangan lama-lama, Sarkam!" ingat prajurit berkumis lebat.
"Beres, Ludira!" sahut prajurit bertahi lalat yang dipanggil Sarkam, seraya beranjak keluar.
Prajurit berkumis lebat yang bernama Ludira tersenyum-senyum sendiri. Sementara, prajurit yang seorang lagi amat penasaran.
"Ada apa?" tanya prajurit itu seraya mendekat.
"Sarkam hendak mengambilkan air minum," sahut Ludira.
Kemudian Ludira menoleh pada Sanggawa di dalam ruang tahanan. "Sabarlah, Sanggawa! Sebentar lagi Sarkam akan kembali membawakan air minum untukmu!"
"Oh, terima kasih...."
"Kau gila! Kalau Gusti Prabu mengetahuinya kita bisa digantung!" desis prajurit yang belum mengerti rencana Sarkam dan Ludira.
"Tenang saja, Suminta! Kita akan memberikannya air minum yang terbaik!" ujar Ludira sambil tersenyum simpul.
"Apa maksudmu?" tanya prajurit yang dipanggil Suminta.
"Air kencing Sarkam!" bisik Ludira.
Demi mengetahui hal itu, Suminta tidak dapat menahan tawanya. Dan mereka pun cekikikan geli.
"Cepatlah, Sarkam!" ujar Ludira ketika melihat satu sosok berdiri di ujung lorong dengan sikap membelakangi.
"Apa-apaan kau ini? Ayo cepat ke sini! Jangan berdiri saja!" seru Suminta ketika melihat sosok yang disangka Sarkam tetap tak bergeming. Sedikit pun, mereka tak curiga. Sebab apa yang dilihat memang sosok berpakaian prajurit yang tubuhnya seukuran Sarkam. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ludira dan Suminta segera beranjak mendekati.
"Mana airnya?" tanya Ludira tak sabar.
"Ini!"
Dan tiba-tiba saja sosok yang disangka Sarkam berbalik, langsung menyiramkan air di dalam cangkir. Karuan saja keduanya kelabakan, namun tak bisa menghindar. Dan....
Wesss...!
Pyarrr...!
"Hei?! Kau bukan Sarkam! Siapa kau...?!" bentak Ludira gelagapan ketika melihat wajah sosok berpakaian prajurit.
Tapi belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, sosok itu telah berkelebat sambil mengibaskan tangan dua kali berturut-turut.
Begkh! Begkh...!
"Aaakh...!"
Kedua prajurit itu kontan ambruk tak berdaya, ketika dua kibasan tangan mendarat di tubuh masing-masing. Mereka kontan ambruk tak sadarkan diri.
"Oh! Si..., siapakah kau, Kisanak...?"
Dalam keadaan ruang yang remang-remang, apalagi matanya bengkak seperti itu, Sanggawa memang tak bisa cepat mengenali seseorang. Namun Rangga tidak mempedulikannya. Segera dibukanya pintu tahanan dan segera melepaskan ikatan Sanggawa.
Sementara Sanggawa terus memperhatikan dengan seksama. "Ka..., kau bukankah pemuda yang menjadi peserta sayembara itu?!" seru laki-laki ini dengan sorot mata tidak percaya.
"Jangan ribut! Setelah terjadi keributan nanti, gunakan kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat ini. Pergilah kau sejauh mungkin dari istana ini!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Sanggawa hanya manggut-manggut, walau tak sepenuhnya mengerti.
"Gunakan pakaian prajurit yang teronggok di luar. Bersikaplah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jangan keluar dulu. Tunggu sebentar lagi, ketika suasana mulai ramai!" ujar pemuda itu mengingatkan, seraya berkelebat dari tempat ini.
Sanggawa masih belum jelas maksud pemuda itu. Tapi kalau mesti menunggu di sini, maka jelas berbahaya sekali. Kalau saja ada prajurit jaga yang lewat dan mengenalinya, maka dia segera ditangkap kembali. Bahkan mungkin saja Prabu Puntalaksana akan memberi hukuman yang lebih berat.
********************
Ternyata, Sanggawa tidak langsung keluar dari lingkungan istana. Dengan mengendap-endap, tubuhnya menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain. Dan yang dituju adalah sebuah bangunan kecil, di pojok istana. Begitu tiba di samping bangunan kecil itu, Sanggawa langsung mengetuk jendela.
"Siapa?" Terdengar suara dari dalam bangunan kecil ini.
"Jangan keras-keras, Ki Sabdo! Ini aku...!" ujar Sanggawa, agak ditekan suaranya.
"Siapa?"
"Sanggawa!"
"Apa?!" Terdengar suara terkejut kaget dari dalam sebelum akhirnya membuka jendela. Lalu disuruh-nya Sanggawa yang berada di luar untuk buru-buru masuk. Jendela itu kemudian kembali terkunci rapat-rapat.
Laki-laki berusia empat puluh lima tahun bernama Ki Sabdo ini tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dipandanginya Sanggawa di depannya itu dalam-dalam dengan wajah masih memperlihatkan sisa keterkejutannya.
"Apa yang kau lakukan sehingga terbebas dari penjara?!" tanya Ki Sabdo.
"Aku kabur!" sahut Sanggawa seraya tersenyum cerah.
"Apa maksudmu? Kau kabur begitu saja?!" sentak Ki Sabdo.
"Bukan begitu. Seseorang telah membebaskanku!"
"Siapa?"
"Aduh! Aku haus sekali, Ki! Beri aku air dulu!"
Ki Sabdo buru-buru memberi kendi berisi air minum. Dan Sanggawa segera menenggaknya sampai tandas. Terasa lega sekali hatinya. Rasa letih dan penat seperti sirna dari wajahnya.
"Siapa orang itu, Sanggawa?!" kejar Ki Sabdo dengan nada penasaran.
"Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan, Ki!" sahut Sanggawa.
"Katakan saja dulu! Nanti akan kutentukan, apakah aku percaya atau tidak," tukas Ki Sabdo.
"Pemuda itu!"
"Pemuda yang mana?"
"Pemuda yang mengikuti sayembara itu!"
"Dia?! Apa maksudnya membebaskanmu? Lagi pula, dari mana dia tahu kalau kau dihukum? Bukankah dia tidak mengenalmu?!"
"Entahlah, Ki. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin ada hubungannya dengan peristiwa siang tadi."
"Orang bertopeng yang mencegat kalian?"
Sanggawa mengangguk.
"Kudengar dari Jumeneng, diduga orang bertopeng yang mencegatmu adalah pemuda itu."
"Mungkin juga, Ki!"
"Apa sebenarnya yang diinginkannya?"
"Entahlah, Ki. Tapi orang bertopeng itu sepertinya ingin tahu betul apa yang tengah terjadi di sini. Dia tanya macam-macam!"
"Ya, itulah yang membuatmu dijebloskan ke penjara! Kau tidak tahu, bagaimana harus bersikap!" sahut Ki Sabdo bersungut-sungut.
"Kita tidak bisa terus dalam keadaan begini, Ki! Harus ada sesuatu yang mesti kita kerjakan?!" desak Sanggawa.
"Apa yang bisa kita kerjakan?! Jumlah para prajurit yang berpihak kepada Prabu Puntalaksana demikian banyak. Kedudukan mereka amat kuat. Kalau kita coba macam-macam, mereka akan menggilas kita!"
"Aku mengerti, Ki. Tapi kali ini, kita punya pendukung kuat!"
"Siapa yang kau maksudkan? Prabu Kuntadewa? Jangan harap! Kedudukan beliau sendiri dalam bahaya."
"Bukan. Tapi pemuda itu!"
"Pemuda itu? Bagaimana kau tahu dia di pihak kita? Lagi pula, bagaimana kau bisa yakin bahwa dia peduli pada persoalan di sini? Dia hanya peserta sayembara. Dan yang ada di benaknya hanya kemenangan, lalu bisa mempersunting Gusti Ayu Sekar Arum!"
"Jangan berprasangka buruk dulu kepadanya, Ki. Buktinya dia peduli kepadaku dengan membebaskan aku dari tahanan."
"Mungkin itu hanya kebetulan saja...."
"Kebetulan bagaimana? Apakah perasaanmu, yang putus asa telah membuat semangatmu padam? Kita mesti melihat semua peluang yang ada meskipun kecil. Dan pemuda itu adalah salah satu peluang. Yang bisa dilakukannya cukup banyak, Ki. Dan pertolongan yang diberikannya kepadaku cukup membuktikan, bahwa dia peduli terhadap semua persoalan di sini. Bahkan aku curiga kalau kedatangannya justru bukan untuk mempersunting sang putri," tukas Sanggawa.
"Apa maksudmu?" tanya Ki Sabdo dengan kening berkerut.
"Bisa saja dia orang kepercayaan Gusti Prabu Kuntadewa untuk melindungi sekaligus membereskan kekacauan di kerajaan ini."
Ki Sabdo terdiam beberapa saat merenungkan kata-kata Sanggawa.
"Kita harus menghubunginya, Ki. Katakan, kalau dia berada di pihak kita. Maka, mintalah bantuan padanya. Dan, kita pun harus berhubungan dengan pengawal pribadi Gusti Prabu Kuntadewa!" desak Sanggawa.
"Yang kau maksudkan Ki Bagaspati?" tanya Ki Sabdo ingin meyakinkan.
"Tentu saja!"
"Tidak semudah itu. Kita belum tahu persis. Jangan-jangan dia malah orang kepercayaan Prabu Puntalaksana!"
"Aku yakin, Ki Bagaspati adalah orang yang dipercaya Gusti Prabu!"
"Dari mana kau bisa begitu yakin?"
"Aku pernah melihatnya memasuki kamar pemuda itu."
"Masuk ke dalam?"
"Tidak. Hanya mendekat ke jendela. Sepertinya, tengah berbicara. Tapi aku tahu, apa yang dilakukannya. Karena saat itu, amat gelap. Tapi ketika dia berlalu dari kamar pemuda itu, aku bisa melihat persis kalau dia memang Ki Bagaspati."
Ki Sabdo kembali tercenung memikirkan kata-kata Sanggawa. Tiba-tiba saja Sanggawa menunjuk ke arah jendela. Dari lubang-lubang jendela, tampak memancar cahaya kemerahan.
"Ki, coba lihat! Apa yang terjadi?!" seru Sanggawa.
Ki Sabdo terperangah. Cepat dibukanya jendela sedikit. Tampak cahaya merah menyapu bangunan istana kerajaan.
"Ada apa, Ki?"
"Bangunan istana terbakar!" jelas Ki Sabdo.
"Apa?!"
Sanggawa terkejut. Dan dia berusaha mengintip dari belakang tubuh kawan satu perjuangan yang mendukung Prabu Kuntadewa.
"Bangunan apa yang terbakar menurutmu?"
"Entahlah. Sepertinya gudang persenjataan...."
"Ya. Dan gedung yang satu lagi seperti..., tempat kediaman Prabu Puntalaksana!" seru Ki Sabdo.
"Hm.... Siapa yang berani berbuat seperti itu selain dia?" gumam Sanggawa.
"Siapa yang kau maksud? Pemuda itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?!"
"Jangan terlalu yakin. Kau tidak punya cukup bukti untuk menuduhnya!"
"Dia sendiri yang mengatakan padaku. Katanya, sebentar lagi ada keributan. Dan saat itulah aku mesti melarikan diri. Tadi aku masih bingung tentang keributan yang dimaksudnya, sehingga kuputuskan untuk bersembunyi di sini. Mungkin ini keributan yang dimaksudkannya. Hm.... aku tertarik mengikuti sepak terjang berikutnya, Ki!"
"Kau gila! Ini kesempatanmu yang paling baik untuk melarikan diri!" seru Ki Sabdo.
"Apakah kau tidak hendak menyelamatkanku? Kau bisa menyembunyikanku di sini!"
"Bukan itu yang kupikirkan tapi ada hal-hal lain!"
"Apa?"
"Prabu Puntalaksana akan marah besar. Dan dia akan menjebloskan siapa pun orangnya yang bukan di pihaknya. Dia akan menggeledah kamar setiap prajurit. Dan kalau sampai menemukan kau di sini, maka tamatlah riwayat kita berdua. Oleh sebab itu, demi kebaikan bersama, kau mesti menyingkir dulu. Pergilah ke utara. Temui saudaraku yang ada di sana. Mintalah perlindungannya. Aku akan menemuimu bila ada perkembangan selanjutnya!" ujar Ki Sabdo, khawatir.
"Baiklah, Ki. Apa yang kau katakan memang benar. Aku akan angkat kaki. Tapi, jangan lupa pesanku. Kau mesti berhubungan dengan pemuda itu. Dia satu-satunya peluang kita!" sahut Sanggawa, sebelum melompat ke jendela.
TUJUH
"Eh, siapa?!"
Ki Sabdo terkejut setengah mati saat pintu kamarnya digedor dari luar. Dengan cepat dia berusaha bersikap biasa. Segera dibukanya pintu. Tampak dua prajurit telah menunggu di luar pintu.
"Ada apa?" tanya Ki Sabdo pura-pura mengucek-ucek mata.
"Gudang persenjataan serta tempat kediaman Prabu Puntalaksana terbakar!" lapor seorang prajurit.
"Apa? Astaga!"
Ki Sabdo pura-pura terkejut. Segera diajaknya kedua prajurit itu untuk mengikuti yang lain. Di luar sana telah banyak prajurit berkeliaran. Mereka berusaha memadamkan api sebelum menjalar ke tempat lain. Sementara yang berada di gudang persenjataan, berusaha menyelamatkan senjata-senjata. Namun karena pada umumnya senjata-senjata itu terbuat dari besi, sehingga amat panas sekali. Sulit bagi mereka untuk mengamankannya.
"Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan ini kepadaku?!" umpat Prabu Puntalaksana yang telah keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak tegang, penuh keheranan.
Sejak tadi Prabu Puntalaksana mondar-mandir sambil membentak-bentak agar para prajurit yang bertugas memadamkan api bekerja lebih cepat.
"Ayo, ambil air lebih banyak! Cepaaat...! Jangan diam saja! Cepat kerja kalian...!" teriak adik tiri Prabu Kuntadewa.
"Ini juga sudah cepat, Gusti Prabu...," sahut seorang anak buahnya.
"Kurang ajar! Aku tidak perlu jawabanmu! Cepat padamkan api itu! Cepat, cepat, cepaaat...!" teriak Prabu Puntalaksana seperti orang kesurupan!
"Baik..., baik, Gusti Prabu...!"
Para prajurit makin lintang pukang mengambil air dengan ember, lalu menyerahkannya pada kawan-kawannya yang bertugas memadamkan api. Kerja keras para prajurit itu memang tidak sia-sia. Tidak berapa lama, api berhasil dipadamkan.
"Bereskan semua sisa-sisa kebakaran! Aku akan mengusut, siapa saja yang berani berbuat seperti ini. Orang itu akan mendapat hukuman sekeras-kerasnya!" teriak Prabu Puntalaksana, lantang.
Para prajurit yang mendengar maklumat itu bergidik ngeri. Namun bagi mereka yang merasa punya hubungan dekat dengan Prabu Puntalaksana, kelihatan tenang-tenang saja. Orang-orang itu merasa yakin bahwa mereka tidak akan terkena hukuman panglima utama Kerajaan Krojowetan itu.
Menjelang dini hari, para prajurit masih saja disibuki untuk membenahi kedua bangunan yang terbakar. Sementara Prabu Puntalaksana sendiri sibuk menjalankan rencana bersama komplotannya. Orang yang dipercaya sudah barang tentu Nyai Saptaningrum yang selalu bersamanya, serta beberapa panglima kerajaan yang berada di pihaknya.
"Akan kujebloskan mereka semua ke dalam penjara!" dengus Prabu Puntalaksana.
"Itu usul yang bagus, Gusti Prabu!" sahut salah seorang panglima.
"Ya. Dengan begitu, kekuatan mereka kurang. Dan istana kerajaan kita kuasai sepenuhnya!" sambut Panglima Jumeneng yang juga hadir di tempat ini.
"Bagaimana menurutmu, Nyai?" tanya Prabu Puntalaksana.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Sepertinya, dia tengah berpikir keras untuk menyumbangkan usul.
"Bila mereka semua dijebloskan ke dalam penjara, maka istana kita kuasai sepenuhnya. Dan Kuntadewa tidak bisa berkutik lagi!" desak Prabu Puntalaksana.
"Betul! Rencana Gusti Puntalaksana itu amat cerdik dan bagus sekali!" timpal panglima lain yang dikenal bernama Panglima Jatmika.
"Kau melupakan pemuda itu?" Nyai Saptaningmm tiba-tiba mengalihkan percakapan.
"Untuk apa kupikirkan dia? Bukankah kau telah menyanggupi untuk membereskannya?! Atau barangkali kau tidak mampu? Kalau begitu, biar kucari orang lain saja!" sahut Prabu Puntalaksana, sinis. Nada suaranya menyiratkan ketidaksenangan terhadap pertanyaan wanita tua itu.
"Hi hi hi...! Bukan begitu maksudku, Puntalaksana. Aku hanya sekadar mengingatkan, kalau kau belum boleh bergembira. Kita harus memikirkan semua hal yang kelak bisa menjadi batu sandungan. Lagi pula, he he he...! Apa kau kira semudah itu memecatku, dan menggantikannya dengan orang lain? Aku banyak tahu tentang rahasiamu! He he he...!" sahut Nyai Saptaningmm sambil terkekeh kecil.
Prabu Puntalaksana mendongkol betul mendengar kata-kata wanita tua ini. Kalau tidak ingat budi baik, sekaligus ancaman di balik itu, ingin rasanya wanita tua itu dijebloskan ke penjara untuk dihukum mati!
Tapi Prabu Puntalaksana memang orang yang cerdik. Sebisa mungkin disembunyikan kekesalan hatinya. Wajahnya tetap tersenyum ramah.
"He he he...! Nyai terlalu memasukkan ke hati tentang kata-kataku tadi. Padahal, aku hanya bercanda," kilah Prabu Puntalaksana.
"Syukurlah kalau memang demikian. Karena, kita tidak mau hal-hal buruk terjadi di antara ki berdua, bukan?"
"Tentu saja. Nah, bagaimana dengan rencanamu tadi?"
"Yaaah... Boleh saja dilaksanakan."
"Baiklah. Aku akan menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan berkomplot membakar gedung kediamanku!" dengus Prabu Puntalaksana.
Prabu Puntalaksana benar-benar melaksanakan niatnya untuk menjebloskan prajurit-prajurit yang tidak disukai dan tidak mau berpihak kepadanya. Bermacam-macam alasan dibuat. Dan yang lebih kuat, tentunya adalah soal kebakaran yang terjadi di tempat kediamannya.
"Mereka berkomplot hendak membunuhku. Oleh sebab itu sudah sepatutnya dijebloskan ke dalam penjara!" jelas Prabu Puntalaksana lantang tatkala Prabu Kuntadewa mempertanyakannya.
"Apakah kau punya bukti bahwa mereka yang membakar tempat kediamanmu?" tanya Prabu Kuntadewa.
"Kutemukan busur serta anak panah yang dibalut sumbu. Dan setelah diselidiki, ternyata penyebab kebakaran adalah anak panah yang ujungnya disulut api," papar adik tiri Prabu Kuntadewa ini.
"Di mana kau temukan busur serta anak panah itu?"
"Di tempat kediaman Ki Jiwandana!" sahut Prabu Puntalaksana lantang.
Prabu Kuntadewa terkesiap. Dia betul-betul kaget mendengar tuduhan adik tirinya. Siapa pun di istana kerajaan ini tahu, Ki Jiwandana adalah penasihat Gusti Prabu Kuntadewa. Maka dengan menangkapnya, sama artinya Prabu Puntalaksana mempermalukan Raja Krojowetan itu.
"Tapi kenapa kau menjebloskan sekian banyak prajurit? Ini perbuatan yang tidak adil, Panglima!" tanya Prabu Kuntadewa.
Meskipun Prabu Puntalaksana adalah adik tirinya, namun di muka umum, Prabu Kuntadewa selalu memanggilnya sesuai jabatannya.
"Hamba memeriksanya lebih terliti. Dan ternyata Ki Jiwandana bersekutu dengan para prajurit itu. Ketahuilah, bahwa hal ini hamba lakukan demi keselamatan Gusti Prabu sendiri!" jelas Prabu Puntalaksana dengan kata-kata manis yang dibuat-buat.
Prabu Kuntadewa tidak mampu berkata apa-apa lagi. Beliau masih terpaku, tatkala Prabu Puntalaksana telah meninggalkan tempat itu.
"Sabarlah, Ayahanda. Mudah-mudahan segalanya akan cepat berakhir...."
Prabu Kuntadewa terkejut dan cepat menoleh. Bibirnya tersenyum ketika mengetahui siapa yang baru saja bicara membujuknya.
"Sekar Arum anakku...," sambut laki-laki setengah baya ini.
"Sudahlah. Ayah jangan terlalu merisaukan soal ini," hibur gadis cantik bernama Sekar Arum.
"Bagaimana aku tidak risau? Pamanmu telah menangkap dan menjebloskan sekian banyak prajurit ke dalam penjara. Bahkan dia telah menangkap Ki Jiwandana...," keluh Prabu Kuntadewa. "Ini betul-betul hal buruk dan kelewatan! Sementara itu, aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
"Aku mengerti perasaan Ayah. Tapi, apakah selama ini Ayah telah cukup berusaha?" tanya Sekar Arum.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku telah berusaha. Bahkan sayembara ini kau kira untuk apa? Tapi, semuanya nihil. Utusan-utusan yang kukirim untuk meminta bantuan kepada kawan-kawanku, tidak pernah kembali. Mereka raib seperti ditelan bumi. Bahkan para peserta sayembara semua tewas tak tersisa. Apalagi yang bisa Ayah lakukan untuk menghentikan niat keji pamanmu?"
"Apakah Ayah lupa, saat ini kita masih mempunyai seorang peserta lagi?" tanya gadis itu, tersenyum penuh arti.
"Pemuda itukah yang kau maksudkan?"
"Tentu saja!"
"Dia hanya sendiri. Tidak ada yang bisa diandalkan...," sahut Prabu Kuntadewa.
"Memang dia hanya sendiri. Namun kehebatannya telah terbukti, Ayah. Kenapa Ayah tidak berusaha bicara lebih mendalam lagi?"
"Dan kau ingin agar pamanmu mengetahuinya?"
"Ayah bisa menggunakan cara lain, agar paman Puntalaksana tidak mengetahuinya!"
"Cara bagaimana?"
"Entahlah. Tapi Ayah kan pintar. Maka, carilah jalan untuk bisa bertemu dan bicara dengan leluasa padanya. Itu salah satu usaha dan tidak hanya pasrah menerima keadaan!" ujar Sekar Arum dengan suara meninggi.
Prabu Kuntadewa merenung sebentar.
"Kalau Ayah tak mau, biar aku yang menghubunginya!" lanjut gadis itu.
"Itu bukan sikap bijaksana. Seorang gadis semestinya tidak menghampiri laki-laki. Apalagi, gadis terhormat sepertimu. Biar Ayah yang mendekatinya dan membicarakan hal ini kepadanya."
Wajah Sekar Arum tampak berseri mendengar jawaban ayahnya. "Nah! Ini baru ayahku yang bijaksana dan tidak mudah menyerah!"
Prabu Kuntadewa ikut tersenyum seraya mengelus-elus rambut putrinya.
********************
Pendekar Rajawali Sakti keluar dari kamarnya. Dan dia pura-pura heran melihat keributan yang terjadi. Dihampirinya seorang prajurit.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian menangkap sesama kawan sendiri?" tanya Rangga.
"Mereka berusaha mencelakakan Prabu Puntalaksana," jelas prajurit itu.
"Mencelakakan bagaimana?"
"Kebakaran tadi malam. Itu adalah ulah mereka."
"O, begitu?"
"Orang-orang itu sudah sepatutnya mendapat ganjaran setimpal!" sahut prajurit itu, sinis.
"Ya! Orang-orang seperti mereka memang sudah sepatutnya mendapat hukuman!" timpal Rangga. "Lalu, bagaimana dengan sayembara itu? Bukankah menurut rencananya akan dilaksanakan pagi ini?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Dengan adanya keadaan seperti ini, maka kemungkinan pengujian ketiga diundur."
"Benarkah? Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam soal sayembara ini?"
"Semula Ki Jiwandana. Namun karena beliau terlibat dalam persekutuan ini, maka mungkin dialihkan kepada Prabu Puntalaksana."
"Kalau begitu, aku harus menemui Prabu Puntalaksana sekarang juga!"
"Tidak bisa! Kau harus berurusan dengan Panglima Jumeneng, sebagai wakil beliau. Begitu biasanya ketentuan yang berlaku," sergah prajurit ini.
"Hm.... Kalau begitu, di mana bisa kutemui Panglima Jumeneng?"
"Bangunan di sebelah timur sana, nomor tiga dari kiri. Tapi kurasa beliau tidak ada di sana...," sahut prajurit itu.
"Ke mana?"
"Beliau tengah sibuk mengurusi para tawanan itu."
"Hm.... Jadi kepada siapa aku mesti bicara mengenai sayembara itu?"
"Tunggu saja sebentar lagi. Mungkin Panglima Jumeneng akan ke sini membicarakannya padamu," sahut prajurit itu.
"Yah.... Kalau begitu, baiklah. Biar kutunggu saja keputusan beliau...."
Pendekar Rajawali Sakti kembali ke kamarnya. Panglima Jumeneng telah muncul di kamar Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya tidak sedap dipandang. Dan lagaknya angkuh sekali.
"Kau boleh kembali sekarang juga!" kata Panglima Jumeneng tanpa banyak bicara.
"Kembali? Apa maksudnya?" tanya Rangga.
"Sayembara ini dibatalkan!" jelas panglima itu.
"Dibatalkan? Mana mungkin! Aku telah melewati dua tahap. Dan kalian tidak bisa membatalkannya begitu saja tanpa alasan jelas!"
"Sebaiknya jangan susahkan dirimu!" desis panglima itu seraya menyeringai kecil. Wajahnya didekatkan pada pemuda itu. "Prabu Puntalaksana telah memutuskan begitu, maka tak seorang pun yang boleh membantah. Pergilah sebelum aku berubah pendirian. Kalau kau tetap bersikeras, maka kau akan kujebloskan kepenjara karena melawan perintah!"
"Tidak! Walau bagaimanapun, aku akan tetap bertahan. Sayembara itu telah berlangsung. Dan kalian tidak boleh membatalkannya begitu saja!" tukas Rangga. "Aku mesti menghadap Gusti Prabu. Biar kudengar jawaban itu dari mulut beliau sendiri."
"Prajurit, tangkap dia!" bentak Panglima Jumeneng, ketika pemuda itu akan melangkah.
Dua prajurit segera meringkus Rangga.
"Jebloskan dia kepenjara!" lanjut Panglima Jumeneng memberi perintah.
"Apa-apaan ini?! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Lepaskan aku!" teriak Pendekar Rajawali Sakti pura-pura berontak.
"Aku bisa melakukan apa saja kepada siapa pun!" dengus Panglima Jumeneng disertai senyum sinis.
"Terkutuk kau, Panglima Keparat! Aku tidak bersalah apa-apa! Kenapa kau menangkapku?!"
Panglima Jumeneng tersenyum mengejek. Sementara, tak lama muncul wanita tua yang sering bersama Prabu Puntalaksana.
"Jumeneng, hentikan ini! Lepaskan dia!" ujar Nyai Saptaningrum.
"Tapi, Nyai...?!" Panglima Jumeneng hendak membantah. Namun wanita tua itu telah mengangkat tangannya, menahan kata-kata Prabu Puntalaksana.
"Lepaskan dia kataku!" perintah Nyai Saptaningrum.
Panglima Jumeneng agaknya tidak berani membantah kata-kata wanita tua itu. Segera diperintahkannya prajurit-prajurit itu untuk melepaskan Rangga.
"Nah, Bocah. Sekarang kau bebas, bukan? Pergilah sejauh-jauhnya dari istana ini. Dan jangan sampai kau terlihat lagi oleh kami," ujar Nyai Saptaningrum.
"Tapi aku ingin tahu, kenapa sayembara dibatalkan? Kalian tidak bisa berbuat sesuka hatinya.
Sayembara diadakan untuk diselesaikan. Kecuali, kalau memang sudah tidak ada peserta lagi," kilah Rangga.
"Tujuan seyambara ini adalah untuk mencari calon suami bagi Gusti Ayu Sekar Arum. Nah! Dia telah mendapatkan calon suaminya. Oleh karena itu, sayembara ini dibatalkan. Harap kau maklum. Kami pun berterima kasih atas kesediaanmu menjadi peserta. Nah! Kalau kau tetap bersikeras dengan maklumat ini, sama artinya melawan Gusti Prabu. Dan untuk itu, kau bisa dihukum berat. Pergilah sekarang juga," lanjut Nyai Saptaningrum datar.
Setelah berkata begitu perempuan tua ini segera meninggalkan Rangga yang masih termangu di tempatnya. Rangga tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain merutuk di hati. Semestinya wanita ini membiarkan saja Panglima Jumeneng meringkus dan menjebloskannya ke penjara. Karena, memang hal itu yang diinginkannya. Dia punya rencana sendiri nantinya setelah tiba di sana. Tapi siapa sangka wanita tua itu ternyata jeli juga dengan membiarkannya pergi begitu saja.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan meninggalkan Istana Kerajaan Krojowetan. Dan sekarang dia telah berada di perbatasan ibukota kerajaan. Sambil terus berjalan, benaknya mencari akal agar dapat memasuki istana itu lagi.
"Kisanak, tunggu!"
"Hei?!" Rangga tersentak kaget ketika terdengar panggilan dari belakangnya. Seketika langkahnya terhenti. Tubuhnya berbalik. Matanya liar mencari-cari ke setiap sudut. Dan ketika seseorang melambaikan tangan dari balik sebuah rumah kecil, segera dihampirinya.
"Kaukah yang memanggilku?" tanya Rangga, begitu sampai di tempat orang yang memanggilnya.
"Benar. Kau tentu belum lupa padaku, bukan?!" sahut laki-bki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan muka berseri.
"Kau yang bernama Sanggawa, bukan? Kenapa belum juga meninggalkan negeri ini?" tanya Rangga.
"Aku tidak bisa pergi begitu saja sebelum keadaan di sini selesai. Kau mengerti, Kisanak? Ada sesuatu yang tidak beres tengah berlangsung di dalam istana. Aku tidak bisa membiarkan Prabu Puntalaksana berbuat sewenang-wenang. Dia orang jahat. Dan kalau dia berkuasa, maka rakyat akan sengsara," papar Sanggawa, bersemangat.
"Lalu apa maksudmu!" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Bantulah aku! Kita bereskan mereka!"
"Baiklah." Memang kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Pendekar Rajawali Sakti. Selama ini, dia hanya berjuang sendiri, tanpa tahu siapa yang bisa diajak bekerja sama untuk menyingkap tabir di Istana Kerajaan Krojowetan itu. Maka begitu Sanggawa memintanya, dia langsung setuju.
********************
DELAPAN
Prabu Kuntadewa mondar-mandir di ruangan khusus ini. Dia tidak habis pikir, bagaimana adik tirinya menangkapi para prajurit. Namun yang terpenting baginya adalah, rencananya bisa berantakan. Karena pemuda itu sudah diusir dari sini!
"Apa kau punya usul bagus untukku, Bagaspati?" tanya Prabu Kuntadewa kepada seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh dua tahun.
"Gusti Prabu harus secepatnya meninggalkan istana, sebab...."
"Tidak!" tukas Prabu Kuntadewa memotong kata-kata orang yang dipanggil Bagaspati. "Itu bukan usul bijaksana. Aku tidak bisa membiarkan Puntalaksana berbuat sesuka hati. Lagi pula tidak mudah bagiku untuk keluar begitu saja. Dia telah menguasai istana ini, dan menjaga ketat di semua tempat."
Laki-laki pembantu setia Prabu Kuntadewa ini terdiam. Dia pun merasa bingung, apa yang mesti dilakukannya untuk menyelamatkan junjungannya.
"Apakah kau tidak bisa menyuruh seseorang untuk membuntuti pemuda itu?" tanya Prabu Kuntadewa.
"Sudah, Gusti Prabu. Namun Panglima Jumeneng mencegahnya. Dan hamba tak bisa berbuat apa-apa. Prabu Puntalaksana telah menguasai semua prajurit. Maka semua kendali berada di tangannya," jelas Bagaspati.
"Kurang ajar dia!" umpat Prabu Kuntadewa.
Baru saja Prabu Kuntadewa menutup mulutnya, mendadak terdengar sesuatu berderak dari atas. Cepat keduanya bersiaga. Terutama Bagaspati, yang berkewajiban melindungi junjungannya.
"Hamba di sini, Gusti Prabu...."
"Hei?!" Prabu Kuntadewa terkesiap dan Bagaspati melompat cepat seraya mencabut pedang begitu terdengar sebuah suara dari arah jendela. Dan mereka langsung berseri, ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih telah memasuki ruangan ini. Dalam hati mereka heran, bagaimana pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu bisa masuk tanpa diketahui? Berarti, pemuda itu memang memiliki kepandaian tinggi.
"Hormatku untukmu, Gusti Prabu!" ucap Rangga penuh hormat.
Prabu Kuntadewa tersenyum ramah dan langsung menghampiri Rangga. Sedang Bagaspati segera menyarungkan pedangnya kembali.
"Ah! Syukurlah ternyata kau muncul. Kami baru saja membicarakanmu!" sambut Prabu Kuntadewa.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tersenyum ketika melihat Prabu Kuntadewa dan Bagaspati masih melirik-lirik ke atas.
"Itu hanya tipuan saja agar Gusti Prabu tidak ribut. Dan hamba bisa masuk lewat jendela ini!" jelas Rangga sambil menunjuk jendela di belakangnya. "Tapi kita tidak punya banyak waktu, Gusti Prabu. Perlawanan telah diberikan!"
"Perlawanan? Perlawanan apa yang kau maksudkan?"
"Perlawanan terhadap orang-orang Prabu Puntalaksana tentunya!" sahut Rangga enteng.
"Oh! Bagaimana hal itu kau lakukan?!" tanya Prabu Kuntadewa dengan wajah kaget.
"Sebenarnya bukan hamba sendiri yang melakukannya. Tapi, juga dibantu para prajurit yang masih setia pada Gusti Prabu!"
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Mereka yang telah dijebloskan ke dalam penjara ini!"
"Oh! Kau membuatku takjub, Anak Muda! Bagaimana hal itu bisa kau lakukan?"
"Mudah saja. Mereka kubebaskan, kemudian kubekali senjata. Dan tidak usah diberitahu, mereka mengerti apa yang mesti dilakukan. Yaitu, menangkap orang-orangnya Prabu Puntalaksana," jelas Rangga.
Prabu Kuntadewa berdecak kagum. Lalu buru-buru dia melongok ke jendela untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun yang terlihat hanya kegelapan malam dan obor-obor terpancang sebagai penerangan, serta pepohonan yang memang banyak tumbuh di halaman istana.
"Aku tidak melihat apa pun...?!" desis Prabu Kuntadewa seraya memandang heran pada pemuda itu.
"Mereka kusuruh untuk bergerak hati-hati. Dan perang belum dilakukan secara terbuka. Hal ini mengingat, jumlah lawan cukup banyak!" sahut Rangga. "Tapi tidak berapa lama lagi, mungkin akan terjadi perang terbuka. Sebab lambat laun, mereka akan menyadari bahwa sesuatu tengah menggerogoti.
Apa yang dikatakan pemuda itu terbukti. Sesaat kemudian terdengar teriakan pertempuran. Tak lama, tampak beberapa prajurit berhamburan ke sana kemari.
"Cepat, Gusti Prabu! Hamba mesti menolong mereka. Gusti Prabu mesti mencari tempat yang aman, yaitu di kaputren!" ujar Rangga seraya menggamit pergelangan tangan Raja Krojowetan itu, kemudian bergegas keluar ruangan. Sementara Bagaspati mengikuti di belakang.
Karena jarak yang amat dekat, dalam waktu. singkat mereka tiba di istana kaputren. Untungnya tempat itu kini telah dikuasai oleh orang-orang yang masih setia kepada Prabu Kuntadewa.
"Siapa namamu?" tanya Rangga pada Bagaspati ketika Prabu Kuntadewa telah berada di dalam.
"Bagaspati...."
"Nah! Pergilah ke dalam dan lindungi junjunganmu, Bagaspati!"
"Tapi aku ingin berjuang membela beliau...."
"Dengan melindunginya, sama artinya kau berjuang membela beliau. Cepat! Sebelum ada penyusup masuk ke dalam!" tegas Rangga, mantap.
"Ba..., baiklah!" sahut Bagaspati sedikit gugup.
Rangga memang sudah memikirkan matang-matang. Dengan adanya perang terbuka seperti sekarang, maka Prabu Puntalaksana akan memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh semua pemberontak. Dan Nyai Saptaningrum, penasihatnya yang jeli itu, pasti akan memberi saran untuk menyandera Prabu Kuntadewa dan Sekar Arum. Dengan cara seperti itu tentu pertempuran akan cepat berakhir. Sebab mereka akan tahu, para prajurit yang keluar dari penjara adalah pengikut setia Prabu Kuntadewa.
Dugaan pemuda itu tidak salah. Tiga prajurit yang ditugaskan ke istana Prabu Kuntadewa tampak buru-buru ke kaputren. Di belakang mereka, tampak mengikuti Prabu Puntalaksana serta Nyai Saptaningrum.
"Huh! Kau rupanya! Minggir!" bentak seorang prajurit.
"Kaulah yang minggir!" dengus Rangga, yang telah berdiri tenang di depan pintu kaputren. Begitu selesai kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya.
Desss!
"Aaakh...!" Keruan saja prajurit itu terpekik. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang. Terhajar tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua prajurit lain akan turun tangan. Namun....
"Minggirlah! Ini bagianku!" cegah Nyai Saptaningmm.
Perlahan-lahan perempuan tua ini melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya tajam bagai sembilu.
"Sudah kuduga, kau akan ikut campur dalam urusan ini!" desis Nyai Saptaningrum! "Tapi kuperingatkan padamu, sebaiknya tidak usah ikut campur. Karena, masih ada kesempatan bagimu untuk angkat kaki dengan selamat dari sini!"
"Sayangnya aku orang paling benci pada orang telengas sepertimu," sahut Rangga, enteng.
"Kalau begitu kau akan merasakan gebukanku, Bocah!" bentak Nyai Saptaningrum.
"Heaaa...!" Dengan teriakan menggelegar, perempuan tua itu meluruk dengan pukulan bertubi-tubi ke segala jalan kematian Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!" Namun dengan meliuk-liukkan tubuhnya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', semua serangan mudah sekali dihindari Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Jangan hanya menghindar! Lawan aku! Atau kupecahkan batok kepalamu!" dengus perempuan tua itu geram melihat serangannya tak satu pun yang berhasil.
Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja memancing-macing amarah Nyai Saptaningrum dengan terus menghindar. Bagi tokoh tingkat tinggi macam dia, cara bertarung Pendekar Rajawali Sakti sama saja menganggap remeh.
Dan nyatanya Nyai Saptaningrum terus menyerang dengan gencar, seperti mengumbar seluruh kemampuannya. Ini adalah suatu keuntungan bagi Rangga. Dengan demikian dia akan lebih mudah mencari titik lemah lawannya. Pada satu kesempatan, Nyai Saptaningrum mengebutkan tongkat pendeknya yang tadi terselip dipinggang.
"Hih...!"
"Uts...!" Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang sambil menggerakkan tangannya ke punggung.
Sring!
"Hei?!" Nyai Saptaningrum terkesiap ketika Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah. Ternyata di tangan pemuda itu telah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya biru terang. Seketika, malam yang semula kelam jadi terang benderang. Sejenak perempuan tua itu tercenung. Dan dia ingat, siapa pemuda yang mempunyai pedang seperti ini.
"Aku tahu. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti?!" tebak Nyai Saptaningmm.
"Syukurlah kalau sudah tahu," sahut Rangga, dingin.
"Huh! Jangan kira aku takut menghadapimu!" sahut perempuan tua itu menyembunyikan rasa kecutnya.
Sebagai tokoh persilatan, Nyai Saptaningrum tahu siapa Pendekar Rajawali Sakti. Dan, sampai di mana kehebatannya. Namun dengan cepat ditelannya rasa kecutnya. Lalu....
"Hiaaat...!" Nyai Saptaningrum langsung berkelebat sambil mengebut-ngebutkan tongkat pendeknya.
"Kau terlalu memaksaku, Nyisanak. Baiklah..!" Rangga langsung menyilangkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti didepan dadanya. Dan begitu serangan meluncur dekat...
"Hiaaat...!" Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya memapak tongkat pendek Nyai Saptaningrum. Dan....
Tras!
"Uhhh...!" Mestinya Nyai Saptaningrum tahu bahwa pedang Pendekar Rajawali Sakti bukan senjata sembarangan. Namun perasaan geram membuatnya nekat. Akibatnya sungguh parah. Tongkat itu kontan putus tersambar pedang Rangga. Bahkan ujung pedang itu terus berkelebat ke arah leher.
"Eh?!" Secepat kilat Nyai Saptaningrum mencelat kesamping, menghindari serangan. Namun pada saat yang sama Rangga telah memutar tubuhnya seraya melepaskan sapuan dengan kaki kearah perut. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Des!
"Aaakh...!" Nyai Saptaningrum terpekik begitu perutnya terhajar sapuan kaki berisi tenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung kebelakang. Dalam keadaan begitu, dia masih sempat mengebutkan tangannya.
Wurrr!
"Heh?!" Rangga tersentak melihat sinar putih berkilatan yang meluruk ke arahnya.
"Hiiih!" Namun dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya membuat tameng. Maka tak satu pun sinar putih yang ternyata jarum-jarum beracun itu menyentuh tubuhnya.
"Hup!" Pada saat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya untuk memapak jarum-jarum beracun, Nyai Saptaningrum telah mencelat, sambil melemparkan sisa tongkatnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam tinggi.
"Hiiih!"
Wuttt...!
Pada saat sisa tongkat meluncur, perempuan tua itu telah pula meluncur dahsyat melepaskan tendangan menggeledek. Namun di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu potongan tongkat lewat menyambar angin kosong, Rangga langsung meluruk dengan merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Perubahan yang tak diduga-duga ini membuat Nyai Saptaningrum tercekat. Apalagi, saat ini tubuhnya telah meluruk deras tak tercegah lagi. Sementara saat yang sama Rangga telah menyambutnya dengan sabetan pedang. Dan....
Crasss...!
"Aaa...!" Tidak ayal lagi, wanita tua itu terpekik begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyabet lehernya. Tubuhnya langsung tersuruk dengan kepala menggelinding. Darah langsung menyembur dari lehernya. Tubuhnya meregang nyawa untuk sesaat, lalu diam untuk selama-lamanya.
Trek!
Begitu mendarat di tanah setelah berputaran beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti langsung memasukkan pedangnya ke dalam warangka di punggung.
"Hm...!" Pendekar Rajawali Sakti bergumam dingin melihat Prabu Puntalaksana hendak melarikan diri, begitu Nyai Saptaningrum tewas. Secepat kilat, tubuhnya berkelebat menjejak. Dan hanya sekali melenting saja, Rangga telah mampu menyusul dan mendaratkan kakinya di depan Prabu Puntalaksana.
"Heh?!"
"Kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana, Puntalaksana!" Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat ke arah Prabu Puntalaksana. Seketika tangannya bergerak cepat. Dan...
Tuk! Tuk!
"Aaakh...!" Prabu Puntalaksana kontan ambruk tak berdaya ketika dua totokan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menyambar tubuh laki-laki setengah baya itu, dan membawanya kehadapan Prabu Kuntadewa.
"Berhenti! Pertarungan harap dihentikan. Bagi para prajurit pemberontak harap menyerah, sebab Prabu Puntalaksana telah kami tangkap! Bagi yang menyerah akan diperlakukan baik-baik!" teriak Sanggawa di atas dinding pagar istana, sambil mencekal leher Prabu Puntalaksana.
Melihat pemimpinnya tertawan, para prajurit pemberontak langsung melempar senjata masing-masing tanda menyerah. Maka para prajurit yang berada di bawah pimpinan Sanggawa segera meringkus tanpa banyak mendapat kesulitan.
Sementara itu Prabu Kuntadewa segera keluar dengan hati-hati bersama putrinya, setelah Bagaspati memberitahu bahwa keadaan diluar telah aman.
"Terimalah hormat kami, Gusti Prabu!" seru semua prajurit yang setia ketika Prabu Kuntadewa berada di depan istana. Mereka semua berlutut di depan Raja Krojovvetan ini.
"Bangunlah kalian semua. Aku terharu dan bangga atas semangat serta kesetiaan kalian kepadaku!"
"Terima kasih, Gusti Prabu!"
"Gusti Prabu, izinkanlah hamba bicara mewakili yang lain!" seru Sanggawa, ketika telah menyerahkan tubuh Prabu Puntalaksana pada prajurit bawahannya.
"Ada apa, Sanggawa?" tanya Prabu Kuntadewa.
"Sebenarnya semua ini karena andil pemuda peserta sayembara itu. Sedangkan kami hanya sekadar membantu saja," jelas Sanggawa.
"Hm, ya. Aku mengerti. Kemana pemuda itu? Aku mesti berterima kasih kepadanya!" tanya Gusti Prabu Kuntadewa, seraya memandang kesekeliling.
Ternyata pemuda berjujuk Pendekar Rajawali Sakti telah menghilang entah kemana. Beberapa prajurit segera diperintahkan mencari namun tidak juga kunjung ditemukan. Mereka berusaha mencari disekitar halaman istana serta di luar istana, tidak juga melihat batang hidung pemuda yang telah berjasa itu. Dan hal itu membuat Prabu Kuntadewa sedikit merasa kecewa.
"Ke mana dia? Apakah pergi secara diam-diam setelah menyelesaikan semua ini? Jangankan hendak menjodohkan putriku. Bahkan dia tidak memberi kesempatan padaku untuk mengucapkan terima kasih," gumam Prabu Kuntadewa.
"Mungkin anggapan hamba benar. Pemuda itu ikut sayembara bukan untuk mempersunting sang putri, melainkan untuk membenahi keadaan di istana ini...," timpal Bagaspati yang berada di dekatnya.
"Siapa dia sebenarnya? Datang dan pergi bagai angin...!"
"Mungkin sebangsa dewa yang diturunkan untuk menolong kita, Gusti Prabu...."
Lama Prabu Kuntadewa terdiam sebelum mengangguk. "Kau benar. Dia mungkin Dewa yang diturunkan untuk membantu kita...."
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: MISTERI TABIB SILUMAN