PENGEMIS BINTANG EMAS
SATU
UDARA pagi ini terasa cerah. Angin bertiup pelan, ditingkahi kicau burung yang terdengar merdu. Cahaya matahari belum lagi terasa, namun biasnya sudah terlihat nun jauh di ufuk timur. Kehidupan baru pun mulai nampak. Para penduduk Desa Arjawinangun mulai mengisinya dengan kegiatan sehari-hari, seiring waktu berjalan. Tapi ketika hari mulai berangkat siang, mungkin segalanya akan berubah!
Dari kejauhan terdengar derap langkah kuda mendekati mulut Desa Arjawinangun ini. Mereka kelihatan santai dan tidak tergesa-gesa. Bahkan cenderung sembunyi-sembunyi. Tak seorang penduduk pun yang menyadari kehadiran mereka. Memang selama ini mereka merasa tidak ada perlunya waspada, karena tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk selama beberapa puluh tahun. Kehadiran mereka dianggap sesuatu yang wajar, karena desa ini memang sering dilalui para pedagang maupun orang-orang persilatan.
“Heaaa...!”
Begitu berada di tengah desa, para penunggang kuda itu berteriak langsung menggebah kudanya, dan menyebar ke segala arah. Lalu tahu-tahu saja, ada rumah terbakar. Sementara penghuninya kalang kabut berteriak-teriak ketakutan begitu keluar dari rumahnya yang terbakar.
Para penunggang kuda langsung berlompatan turun, seraya menghunus senjata tajam. Begitu ada penduduk yang keluar rumah, mereka langsung bergerak cepat menyerang disertai sabetan senjata.
“Aaa...!” Seorang laki-laki berusia lanjut langsung memekik ketika lehernya ditebas golok. Sementara, dua wanita yang berada didekatnya menjerit ketakutan. Dua orang laki-laki berwajah kasar telah menelikung mereka. Tak seorang pun yang berani menolong, karena rumah tetangga mereka juga mengalami hal yang sama.
“Aaa...!”
“Ouw, lepaskan! Lepaskaaan...! Ayah, tolooong...!”
Jerit kematian terdengar membaur dengan teriak ketakutan penduduk desa ini. Yang lelaki dibunuh. Sementara perawan dan janda muda dipermainkan sesuka hati. Bahkan tak peduli kalau wanita yang dipermainkan telah bersuami. Yang berani menolak dan berusaha melarikan diri tidak segan-segan dibunuh.
Kekejaman kawanan perampok memang sudah kelewat batas. Setelah selesai meluluhlantakkan Desa Arjawinangun ini berikut penghuninya, maka mereka segera pergi begitu saja. Meninggalkan tangis pilu dan rutuk kegeraman para korban.
********************
“Kawanan perampok datang! Ada perampok...!”
Orang-orang Desa Arjawinangun yang berada di sawah ladangnya mendadak terkejut, ketika seorang berlari kencang sambil berteriak-teriak dengan wajah pucat. Mereka langsung memandang ke satu arah, dimana seorang pemuda berusia lima belas tahun dengan tergopoh-gopoh dengan napas tersengal berusaha menghampiri.
“Siapa, Man?” tanya seorang laki-laki setengah baya, langsung menghadang pemuda tanggung itu.
“Perampok, Ki! Perampok...,” sahut pemuda itu dengan suara menggigil.
Seketika mereka yang bekerja berlari mendekati pemuda tanggung bernama Saman ini.
“Apa katamu, Man?!” desak yang bicara pertama kali padanya menegaskan pendengarannya.
“Ada perampok, Ki Gandoro! Lekas kita ke sana! Mereka bukan saja merampok, tapi juga membunuh serta memperkosa wanita-wanita kita,” lapor Saman.
“Rarasati...!” desis laki-laki setengah baya bernama Gandoro ketika mendengar penuturan itu.
Agaknya bukan hanya Ki Gandoro saja yang terkesiap, tapi juga yang lainnya. Mereka yang meninggalkan istri, kekasih, atau adik mulai cemas.
Maka seperti diberi aba-aba, serentak orang-orang itu menyambar cangkul dan merapikan letak golok di pinggang, kemudian berlari-lari kencang menuju desanya.
Dalam perjalanan, mereka berteriak-teriak, seperti menyumpahi para perampok. Agaknya mereka juga siap untuk adu nyawa, bila memang harus terjadi. Senjata-senjata mereka telah teracung-acung diatas kepala, sambil berlarian memasuki desa.
Namun setiba di desa orang-orang ini hanya menemukan rumah-rumah yang sebagian telah roboh dan terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan. Anak-anak kecil menangis ketakutan. Sementara yang membuat mereka pilu bercampur geram adalah, ketika melihat para wanita yang sendu dan terus terisak dengan wajah kusut.
“Rarasati...!” teriak Ki Gandoro ketika anak gadisnya duduk termenung di sudut ruangan depan.
Rambut gadis cantik ini kusut. Kedua telapak tangannya mendekap wajahnya yang sembab. Masih terdengar isak tangisnya. Halus.
“Ayah...!” Gadis itu menoleh, lantas cepat bangkit. Dipeluknya laki-laki setengah baya itu sekuat-kuatnya seperti hendak menumpahkan isi hatinya yang sesak oleh kedukaan.
“Tenanglah, Anakku. Tenang...,” hibur Ki Gandoro seraya mengelus-elus riak rambut putri tunggalnya.
“Ayah, aku..., aku....”
“Sudahlah.... Ayah mengerti. Ayah tahu peristiwanya...,” tukas Ki Gandoro berusaha menenangkan perasaan putrinya.
Rarasati tidak kuasa menahan sesak di dadanya, dan kembali menangis terisak-isak. Entah berapa lama Ki Gandoro berusaha membujuk. Barulah tangis putrinya itu mereda.
Laki-laki yang telah ditinggal mati istrinya lima tahun lalu itu tidak kuasa menahan geram dihatinya. Sebelah tangannya terkepal. Bias wajahnya tampak kelam. Kalau saja saat ini jahanam itu berada didepan hidungnya mungkin akan dicincang-cincangnya!
“Ayah.... Aku..., aku....”
Ki Gandoro seperti terjaga. Sementara Rarasati melepaskan pelukan. Wajahnya tertunduk. Dan suaranya berhenti sampai di situ.
“Apa yang ingin kau katakan. Anakku...?” tanya Ki Gandoro.
“Diriku telah kotor, Ayah! Aku telah ternoda dan membawa aib bagi keluarga kita....”
Walaupun hal itu sudah diduga, namun tak urung Ki Gandoro jadi tercekat. Dan rasanya seketika hatinya jadi mengkelap, penuh rasa dendam pada perampok yang telah menodai putrinya. Namun demikian dia berusaha menguatkan hatinya. Disadari tak akan ada yang dapat mengembalikan Rarasati sebagai gadis seutuhnya.
“Anakku, kau tidak sendiri. Semua kawanmu telah mengalami kekejian perampok itu. Tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini, selain bersabar dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan menghadapi cobaan ini...,” hibur Ki Gandoro.
“Tapi, aku malu pada Kang Dirja...,” keluh Rarasati, masih menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Sehingga rambutnya yang panjang laksana tirai hitam, menghalangi pandangan ayahnya.
Laki-laki ini menarik napas panjang. Dia tidak bisa bicara lagi untuk sesaat. Entah, bagaimana caranya menghadapi calon besannya nanti. Padahal menurut rencana, orangtua Dirja akan datang kurang dari seminggu ini. Apa yang harus dikatakan kepada mereka? Tapi yang terpenting adalah, apakah Dirja mau menerima Rarasati dalam keadaan seperti sekarang?
Rarasati kembali terisak. Dan ayahnya terpaksa membujuk kembali. “Dia tidak akan mau menerima diriku! Aku telah ternoda...!” sentak Rarasati.
“Bila kalian saling mencintai, maka persoalan apa pun tidak akan bisa menghalangi. Apalagi kejadian ini bukan kehendak kita. Dan semua orang desa menjadi saksi atas kejadian ini. Tidak ada alasan untuk menganggap dirimu nista,” tandas Ki Gandoro.
Rarasati terdiam. Namun isaknya masih terdengar juga meski lirih. Kata-kata ayahnya mungkin saja benar. Tapi, hatinya tidak bisa menyetujui. Tidak semudah itu. Apalagi dia seorang wanita, yang pendiam. Tentu saja semua kejadian ini sulit diceritakan kepada kekasihnya. Dan akhirnya, tentu saja tidak semudah apa yang dinasihatkan ayahnya tadi. Tapi Rarasati tidak bisa membantah. Dan saat ini, dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakan. Terlebih lagi, apa yang harus dilakukan.
********************
Penduduk Desa Arjawinangun seperti mati. Semenjak terjadinya perampokan, di desa ini seperti tidak ada kegiatan. Semua masih berdiam diri di rumah masing-masing. Meski satu atau dua orang masih berani keluar dan mengerjakan sawah ladang, tapi umumnya tidak memiliki anak atau saudara wanita. Sehingga tidak begitu merasakan perihnya aib yang diderita para tetangganya.
Ki Gandoro juga merasa ikut susah. Soalnya, dalam dua hari ini Rarasati lebih banyak menyendiri di kamarnya. Kalau tidak didesak, mungkin gadis itu tak akan makan. Meski begitu, makannya sedikit sekali. Sehingga bila diperhatikan, tubuhnya terlihat mulai kurus. Padahal esok hari calon mertuanya akan datang dari desa tetangga yang jaraknya cukup jauh dari desa ini.
“Fuuuh...!” Ki Gandoro menghembuskan asap rokoknya sambil duduk-duduk di ruang beranda rumahnya. Terasa panjang, bercampur beban yang menghimpit dadanya. Mukanya kusut dan keruh. Dahinya kelihatan berkerut. Udara malam yang sejuk dan bintang-bintang di langit yang berkerlap-kerlip, seperti tidak mampu membuat cerah hatinya.
“Belum tidur, Ki...?”
Ki Gandoro langsung menoleh begitu terdengar sapaan seorang tetangganya yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Cepat kemurungannya dihilangkan, lalu tersenyum ramah.
“Eh! Kau, Guminta! Dari mana?” tanya Ki Gandoro.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun yang dipanggil Guminta melangkah menghampiri, lalu duduk di sebelah Ki Gandoro ini.
“Jalan-jalan saja, Ki...,” sahut Guminta, serak.
“Oh, ya. Maafkan aku. Sejak peristiwa perampokan di desa kita, aku tidak keluar rumah lagi. Apalagi untuk berkunjung ke rumahmu. Hm.... Apa keluargamu baik-baik saja?”
Guminta tak menyahut. Mukanya berkerut. Kusut. Suaranya tercekat di kerongkongan. Dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan untuk menjawab pertanyaan Ki Gandoro.
Ki Gandoro mengangguk pelan, seperti bisa menduga apa yang tengah dipikirkan pemuda ini.
Guminta punya dua orang saudara perempuan. Satu berusia di atasnya, dan seorang lagi adiknya. Mereka pasti menjadi korban kebiadaban kawanan perampok itu juga.
“Saudaramu pun menjadi korban...?” pancing Ki Gandoro, halus.
“Ya...,” sahut Guminta pendek.
Laki-laki setengah baya ini mendesah. Mukanya terlihat semakin geram. Sementara kedua tangannya terkepal.
“Keparat terkutuk!” desis Ki Gandoro.
Guminta terdiam. Dia tak ikut-ikutan meluapkan amarahnya seperti orang tua ini.
“Aku bingung, Ki. Mereka selalu menangis. Dan kedua orangtuaku terus mendesak agak aku membalaskan dendam kedua saudaraku itu. Aku harus membalas kepada siapa? Para perampok itu? Itu sama saja bunuh diri...,” keluh Guminta.
“Memang sulit. Jumlah mereka banyak dan berkepandaian tinggi. Percuma saja kita berusaha membalaskan dendam. Bisa-bisa kita yang akan mati di tangan mereka....”
Mereka lantas terdiam untuk beberapa saat.
“Si Rarasati bagaimana, Ki?” tanya Guminta, memecah kebisuan.
“Sama saja seperti yang lainnya...,” sahut Ki Gandoro, lesu.
“Oh, maafkan aku, Ki. Aku sama sekali tidak tahu. Aku juga lama tak keluar rumah.”
“Kasihan dia. Jadi, bagaimana dengan calon mertuanya yang akan berkunjung ke sini?”
“Entahlah. Itu yang menjadi pikiranku. Apalagi Rarasati. Dia amat terpukul.”
“Bagaimana kira-kira tanggapan calon mertuanya, Ki? Terlebih lagi calon suaminya...?”
“Entahlah...,” desah Ki Gandoro, seperti enggan menjawab pertanyaan itu.
Laki-laki setengah baya ini lebih baik memilih diam. Dan Guminta agaknya tahu diri akan perasaan orang, sehingga tidak lagi bertanya-tanya soal Rarasati serta calon suami dan mertua putri Ki Gandoro ini. Dicobanya untuk mengalihkan perhatian dengan percakapan lain.
“Sebentar lagi panen. Sawahmu termasuk luas, hasilnya pun bagus. Apa rencanamu, Ki?”
Orang tua itu tersenyum hambar seraya menggeleng kecil. “Entahlah....”
Guminta terdiam lagi. Disadari kalau orang tua ini tengah kusut pikiran serta hatinya. Sama seperti dirinya saat ini.
Pada saat itu, dua penduduk desa lain yang bertugas jaga malam melewati depan rumah Ki Gandoro.
“Belum tidur, Ki...?” sapa salah seorang.
“Belum. Kalian akan berjaga sampai pagi?”
“Iya. Kalau tidak begini, kita akan kecolongan lagi....”
“Syukurlah. Hendaknya kegiatan ronda dilakukan sejak dulu.”
“Nasi telah jadi bubur, Ki. Mudah-mudahan peristiwa buruk ini tidak terulang lagi.”
“Mudah-mudahan....”
“Eh! Ngomong-ngomong, si Rarasati tadi mau ke mana, Ki?”
“Apa maksudmu, Ragil?”
“Tadi kami melihatnya menuju arah timur. Kelihatannya terburu-buru sekali...,” sahut peronda bernama Ragil.
“Ah, masa’?! Dia ada di dalam, kok!” Ki Gandoro tampak kaget, dan buru-buru ke dalam. Begitu berada di dalam, tidak dijumpainya Rarasati di dalam kamar. Jendela kamarnya pun terbuka lebar. Wajah orang tua itu mulai resah. Apalagi ketika menemukan sepucuk surat yang ditulis di permukaan meja.
Ayah, Rarasati pergi dari rumah. Tidak usah dicari-cari. Sebab jika masih di sini, aku hanya akan menyusahkan Ayah saja. Rarasati membawa aib bagi keluarga.
Salam hormat, Rarasati
“Rarasati...!” desis orang tua itu kaget. Buru-buru Ki Gandoro keluar dan menemui Guminta. Kedua peronda tadi agaknya tahu gelagat, dan masih menunggu di depan.
“Bagaimana, Ki?” tanya salah seorang peronda yang dikenal bernama Balung.
“Rarasati tidak ada dikamarnya! Tunjukkan padaku, di mana kalian tadi bertemu dengannya!” sahut Ki Gandoro dengan wajah bingung.
“Di sebelah sana, Ki!” sahut Ragil.
“Ayo, ikut Ragil. Dan, tunjukkan padaku!” sentak Ki Gandoro seraya menarik lengan salah seorang peronda.
Sementara Balung mau tidak mau juga mengikuti. Begitu juga Guminta.
********************
“Di sini terakhir kami melihatnya!” tunjuk Ragil, begitu mereka telah tiba di tempat terakhir dua peronda bertemu Rarasati.
“Rarasati...! Rarasatiii!” teriak laki-laki setengah baya ini.
Yang lain ikut berteriak mencari gadis itu. Namun tidak ada sahutan, selain angin malam yang bertiup lembut.
“Mungkin ke sana, Ki!” tunjuk Balung.
Ki Gandoro mengejar ke arah yang ditunjuk Balung. Jalan menuju ke kaki gunung ini harus melewati persawahan. Kalau benar seperti yang dikatakan Balung, kalau Rarasati menuju ke sana, apa yang akan dilakukannya? Ki Gandoro membatin. Namun dia tidak peduli, dan terus berlari kencang mencari-cari putrinya sambil berteriak-teriak.
“Rarasati..! Rarasatiii...!”
Tapi sampai jauh malam, gadis itu tidak kunjung ditemui. Ki Gandoro mulai putus asa. Seluruh persawahan ini telah dikelilinginya, dibantu ketiga orang tadi. Hasilnya tetap nihil. Rarasati raib seperti ditelan bumi.
“Ki, lihat!” seru Guminta seraya menunjukkan sesuatu.
“Ada apa?!” Orang tua itu melompat menghampiri Guminta. Langsung disambarnya sobekan kain di tangan pemuda itu.
“Ini sobekan kain Rarasati...!” desis Ki Gandoro dengan wajah tegang.
“Kudapatkan di sini. Melihat arah jalan ini, dia pasti menuju....”
“Jurang Mangu?!” tukas Ki Gandoro dengan wajah semakin kaget. “Tidak! Anakku tidak mungkin bunuh diri. Tidaaak...!”
Laki-laki setengah baya ini segera melompat dan menyusuri jalan yang berada di dekatnya. Sementara yang lain berusaha menahan dengan berteriak-teriak memanggil serta berlari menyusulnya.
“Ki Gandoro! Ki Gandoro...! Kembalilah. Sia-sia kita mencarinya di sana!”
Namun laki-laki itu tidak peduli. Dan dia terus saja berlari sambil menyebut-nyebut nama putrinya. “Rarasati! Rarasatiii...!”
********************
DUA
Sementara itu tidak jauh di bibir Jurang Mangu tampak berdiri sesosok tubuh ramping dengan kepala menengadah ke langit. Kedua tubuhnya tampak turun naik perlahan-lahan, seperti menyiratkan debaran jantungnya yang berdebaran lemas. Ada kegelisahan terpantul pada wajahnya, tatkala cahaya rembulan yang suram menyapu sekujur tubuhnya. Dan isak tangis halus menambah keyakinan siapa pun, bahwa gadis ini tengah gelisah.
“Ibu, maafkan anakmu. Aku tidak kuasa menanggung aib yang begitu berat. Jangan marah, ibu. Aku akan menyusulmu di negeri sana untuk bersujud memohon ampun...,” ucap sosok ramping yang ternyata seorang gadis ini. Suaranya sendu dan lirih.
Kemudian gadis itu menundukkan kepalanya. Kedua telapak tangannya langsung membekap wajahnya. Dan seketika tangisnya kian memuncak.
“Ayah, maafkan Rarasati. Jangan sesali apa yang akan Rarasati lakukan saat ini. Tidak ada pilihan lain bagi Rarasati...,” lanjut gadis yang tak lain Rarasati dengan suara lebih lirih ketika tangisnya sudah reda. “Selamat tinggal....”
Tanpa ragu-ragu gadis yang tak lain Rarasati menceburkan diri ke jurang yang saat ini kelihatan gelap gulita.
“Rarasatiii...!”
Sementara pada saat yang bersamaan terdengar jeritan panjang dari arah belakang, memanggil nama gadis itu. Namun, nasi telah menjadi bubur. Gadis malang itu agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya seperti tersedot deras ke bawah. Dan suara teriakan tadi semakin keras saja, ketika sesosok tubuh telah berdiri di bibir jurang dengan wajah sedikit melongok ke bawah.
“Rarasatiii...! Rarasatiii...!” teriak sosok yang tak lain Ki Gandoro. Sementara dua sosok tubuh lain telah berdiri dua tombak di belakang Ki Gandoro. Mereka tak lain Balung dan Ragil, dua peronda yang mengikutinya. Perlahan-lahan, mereka mendekati Ki Gandoro.
“Ki Gandoro! Sadar! Sadar, Ki! Jangan berbuat nekat!” kata Ragil sambil memegangi kedua kaki dan tangan Ki Gandoro. Tindakannya diikuti Balung.
Pada saat itu, Guminta yang tadi tertinggal telah juga sampai di tempat ini.
“Lepaskan aku! Lepaskan! Biar kususul anakku ke sana. Lepaskan...!” sentak laki-laki setengah baya ini.
“Astaga! Sadar, Ki. Sadar! Belum tentu yang kau lihat itu si Rarasati....”
“Diam kau, Ragil! Apa kau kira aku tidak mengenali anakku sendiri? Dia Rarasati! Dan aku tahu itu!” bentak Ki Gandoro.
“Tapi, Ki....”
“Tutup mulutmu!” semprot Ki Gandoro.
Ragil terkesiap dan tidak berani bicara lagi. Dia sendiri sebenarnya memang yakin kalau sesosok tubuh yang tadi terlihat adalah si Rarasati. Apalagi, Ki Gandoro sebagai ayahnya. Tentu dia merasa lebih yakin lagi. Kalaupun tadi meragukan, karena sekadar ingin membujuk orang tua itu agar jangan kalap. Tapi agaknya niatnya itu tidak tersampaikan. Ki Gandoro tetap kalap, dan berusaha melepaskan diri dari cekalan kedua peronda itu.
“Keparat kalian! Lepaskan aku! Lepaskan akuuu...!” teriak Ki Gandoro seraya memaki dan meronta-ronta sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
“Guminta! Kenapa diam saja?! Bantu kami! He, malah bengong!” teriak Ragil, ketika menoleh ke belakang Guminta telah berada di situ tanpa berbuat apa-apa.
“Eh, apa? Oh, iya! Maaf...!” kata Guminta, tergagap.
“Kurang ajar kau, Guminta! Kupatahkan batang lehermu! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!” teriak Ki Gandoro, ketika Guminta ikut-ikutan memegangi tubuhnya.
“Sadarlah, Ki. Kalaupun benar gadis tadi si Rarasati, kita tidak harus menyusulnya ke sana. Bunuh diri itu tidak baik. Dan seharusnya kau sadar dan jangan ikut-ikutan, Ki,” ujar Balung.
“Kau hanya bisa bicara. Balung. Apakah kau tahu, apa yang kurasakan?”
“Semua orang di desa ini juga dilanda kesedihan, Ki. Tentu saja kami bisa merasakan kepedihan yang kau rasakan. Apalagi menyaksikan putri sendiri bunuh diri. Tentu saja kami rasakan kepedihanmu. Tapi jalan keluarnya tidak harus ikut-ikutan bunuh diri. Maka sadarlah, Ki. Masih banyak yang harus dikerjakan, Ki,” ujar Balung lagi.
“Rarasati, Anakku. Oh, Rarasati...,” keluh Ki Gandoro. Suara laki-laki setengah baya itu lemah. Begitu juga perlawanannya. Dia duduk dengan lesu sambil memandang bibir jurang dengan tatapan kosong.
“Kenapa kau lakukan ini, Rarasati? Bukankah aku bisa menerima keadaanmu yang seperti ini...?” desah Ki Gandoro kembali mengeluh.
Kini suasana jadi hening, ketika Ki Gandoro tidak bersuara lagi. Mereka yang berada di situ ikut terhanyut merasakan kepedihan yang dialaminya.
“Sudahlah, Ki. Besok akan kita cari mayat Rarasati di bawah jurang sana. Lalu, kita kuburkan secara layak...,” bujuk Balung lagi.
Ki Gandoro hanya diam saja, namun tak lama bangkit berdiri dan berbalik. Kepalanya menoleh ke arah jurang sebelum melangkah mengikuti ketiga tetangganya.
“Eh, mau ke mana lagi?” tanya Guminta ketika orang tua ini kembali berbalik.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memandang bibir jurang ini sekali lagi...,” desah Ki Gandoro lemah.
Kedua peronda itu mengikuti. Namun mereka tidak melepaskan cekalan pada kedua tangan Ki Gandoro. Dan orang tua ini pun agaknya maklum. Atau mungkin tidak.terlalu memikirkan hal itu. Tatapannya kosong tanpa arti. Untuk sesaat dia mematung, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya.
“Ayo, Ki. Kita pulang sekarang...,” ajak Guminta.
Ki Gandoro tidak menyahut. Namun tidak menolak ketika dipapah untuk mengikuti langkah mereka satu persatu meninggalkan tempat ini.
********************
Jurang Mangu bukanlah tempat yang asing bagi penduduk Desa Arjawinangun. Dasarnya cukup dalam, dipenuhi batu-batu besar. Dan tentu saja rasanya orang tak akan selamat bila terjungkal ke dalamnya. Dan anggapan seperti itu agaknya yang membayangi benak Ki Gandoro dan tiga orang yang bersamanya. Sementara buat Rarasati sendiri, benarkah tubuhnya telah luluh lantak terhempas di dasar jurang?
Kini gadis itu merasa sudah berada di akherat. Matanya mengerjap-ngerjap, beredar kesekeliling dengan pandangan heran. Apalagi ketika menyadari kalau tubuhnya masih utuh. Juga kedua tangannya. Lalu, kedua kakinya.
“Oh! Di manakah aku?” desah Rarasati pendek, seraya bangkit. Kembali matanya memperhatikan keadaan sekeliling. Tak ada apa-apa di sini. Hanya sebuah ruangan seperti tak pernah terawat. Di samping dipan yang ditidurinya, hanya ada sebuah bangku. Tepat di atas dipannya adalah sebuah jendela. Sementara ruangan ini sendiri hanya ditutupi dinding papan.
“O, bagus! Kau telah siuman rupanya?”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari ambang pintu ruangan ini. Rarasati tersentak kaget, menyangka kalau yang datang malaikat. Tapi ketika menoleh ternyata seorang laki-laki tua berpakaian gembel yang langsung menghampiri dan duduk di bangku sisi dipannya.
“Siapa kau?” tanya Rarasati, merasa aneh. Tidak terasa gadis itu merapatkan tubuhnya ke dinding. Wajahnya kelihatan tegang, dan bias ketakutan menyapu sekujur tubuhnya yang mulai bergetar.
“Di mana ini? Apakah aku berada di neraka?” tanya Rarasati, masih belum yakin.
“Gadis tolol! Apakah kau merasa telah berada di neraka?!” tukas orang tua berpakaian gembel itu dengan suara sedikit keras.
Rarasati termangu. Dipandanginya orang tua itu agak lama. Rambutnya yang panjang dan sedikit beruban tampak kusut masai seperti tak pernah dirawat. Begitu juga jenggot dan kumisnya. Beberapa buah giginya yang tadi sekilas sempat terlihat, tumbuh jarang-jarang. Bahkan sebagian telah gerepes, hitam dan menakutkan.
“Lalu, siapa kau sebenarnya?” tanya Rarasati.
“Aku Ki Jembrana, Ketua Partai Pengemis Bintang Emas,” sahut laki-laki tua ini, memperkenalkan diri.
“Ki Jembrana...? Jadi, kau bukan malaikat..?”
Orang tua itu terkekeh. Sehingga barisan giginya yang buruk itu terlihat, membuat gadis ini bergidik ngeri. “Dasar anak tolol! Apa kau pernah ke akherat, sehingga tahu betul rupa malaikat, he?!” kata Ki Jembrana, dengan suara keras.
“Maaf....”
“Tidak perlu! Katakan padaku, kenapa kau mencoba bunuh diri?”
Rarasati terdiam. Dia berusaha meyakinkan diri, kalau saat ini berada di sebuah ruangan. Dari sini terdengar suara ribut-ribut orang yang tengah bercakap-cakap di luar sana.
“Kau telah menolongku...?”
“Kalau tidak, kau tentu tidak berada di sini!”
Gadis itu melenguh pendek. Matanya memandang perutnya sekilas, lalu mengalihkannya ke tempat lain.
“Aku sempat memeriksa nadimu, dan... ternyata kau sedang hamil muda. Kira-kira sebulan,” jelas Ki Jembrana.
“Ohhh...!” desis Rarasati seraya menelungkupkan mukanya kepermukaan dipan tempatnya tadi berbaring.
Tanpa dapat dicegah lagi, Rarasati mulai memperdengarkan isak tangisnya yang pelan. Lalu, berubah keras dengan cepat. Kedua kepalan tangannya memukul-mukul permukaan dipan.
“Seharusnya aku mati! Aku harus mati! Tidak ada gunanya hidup...!” teriak Rarasati.
Ketua Partai Pengemis Bintang Emas itu jadi bingung sendiri. Kepalanya yang tak gatal digaruk-garuk melihat kelakuan gadis itu. Dia akan mendekat dan bermaksud membujuk. Tapi saat itu juga gadis ini bangkit dan memandang sinis padanya.
“Kenapa kau selamatkan aku?! Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati?! Biarkan aku mati! Biarkan aku matiii...!” dengus Rarasati.
“Gadis tolol! Apa kau kira mati akan menyelesaikan masalahmu, he?! Kau akan lebih sengsara di neraka sana. Malaikat-malaikat akan menyiksamu dengan kejam. Mati bunuh diri, teramat buruk!” bentak ketua pengemis ini.
Rarasati terdiam. Dan isak tangisnya perlahan-lahan mereda. Gadis itu kembali menyembunyikan wajahnya di permukaan dipan dengan kedua tangan menelungkupinya.
“Tidak ada gunanya kau mati sekarang. Sebab bila waktunya tiba, maka kau akan mati dengan sendirinya. Dan saat itu, tidak ada seorang pun yang bisa menolongmu. Kalaupun tadi aku berhasil menolongmu, mungkin karena telah ditakdirkan kalau kematianmu belum saatnya,” oceh Ki Jembrana.
Rarasati masih terdiam, tidak menyahut. Dia bangkit perlahan-lahan, namun tidak juga memandang pengemis tua itu. Tatapannya kosong ke depan. Untuk sesaat baru disadari kalau beberapa pasang mata mengintip dari balik jendela dan lubang-lubang dinding papan ruangan ini yang telah banyak yang bolong. Namun sebelum dia berbuat sesuatu, tiba-tiba....
Ki Jembrana bergerak gesit. Disambarnya sebatang tongkat yang berada di dekatnya, lalu dihantamnya dinding ruangan yang terbuat dari papan.
“Heaaa...!”
Pletak! Tak!
“Adaouwww...!” Terdengar suara gaduh dari luar bercampur teriakan kesakitan.
“Kesini kalian semua!” teriak Ki Jembrana.
“Baik, Ki...,” sahut suara di luar, terdengar bergetar ketakutan.
Tidak lama, muncul tujuh pengemis bertubuh kurus dari ambang pintu. Mereka langsung menghadap orang tua ini dengan langkah terseret-seret sambil menundukkan kepala. Sinar ketakutan tampak memancar di wajah mereka.
“Apa yang kalian intip, he?! Kalian kira aku memperkosa gadis ini?!” bentak Ki Jembrana geram, ketika tujuh pengemis ini telah berdiri berjajar.
“Tidak, Ki...,” sahut salah seorang.
“Mana berani kami menuduh begitu...!” timpal yang lain.
“Iya, Ki. Mana berani kami berbuat seperti itu...,” sahut seorang lagi.
“Terkutuk! Kalian kira semudah itu mengelabuiku?!” sentak Ki Jembrana. Bersamaan dengan itu, tongkat di tangan Ketua Partai Pengemis Bintang Emas bergerak cepat ke batok kepala mereka.
Tak! Tok! Pletak!
“Adouw!”
“Ampun, Ki! Ampuuun...!”
Ketujuh pengemis itu berteriak kesakitan, berusaha melindungi kepala masing-masing dengan tangan.
“Pergi sana! Sekali lagi berbuat begitu, akan kupecahkan batok kepala kalian!” bentak Ki Jembrana.
“Ampun, Ki! Kami tidak akan berbuat seperti itu lagi...!” ucap ketujuh pengemis ini serentak, langsung meninggalkan ruangan ini.
Ki Jembrana masih menunjukkan muka masam setelah ketujuh orang tadi tidak kelihatan lagi. “Brengsek!” umpat laki-laki berpakaian gembel ini.
Kemudian Ki Jembrana memalingkan muka ke arah Rarasati. Tampak gadis itu tengah berdiri di dekat pinggiran dipan sambil memandang aneh.
“Kenapa?! Kau masih ingin bunuh diri?!” bentak Ki Jembrana, garang.
Rarasati terkesiap, tidak mengerti sifat orang-orang tua ini. Kelihatannya dia baik. Tapi, bicaranya kasar dan sedikit keras.
“Untuk apa kau menolongku...?” tanya Rarasati.
“Lalu kau sendiri, kenapa mau bunuh diri? Apa tidak sayang suami dan calon anakmu?” Ki Jembrana malah balik bertanya.
“Kalau aku punya suami, tidak mungkin nekat bunuh diri....”
“Hm.... Jadi, kau perempuan nakal?” duga Ki Jembrana, seenaknya.
Mendengar hal ini wajah Rarasati seketika merah bercampur amarah. Dipandanginya orang tua itu lekat-lekat dengan perasaan geram. “Aku tidak perlu bunuh diri kalau memang perempuan nakal!” dengus gadis itu garang.
“Lalu, apa?” tanya orang tua itu enteng. Sama sekali tidak terlihat perubahan wajah Ki Jembrana melihat kemarahan gadis itu.
“Untuk apa kau ingin tahu...?”
“Supaya aku tahu, siapa orang yang kutolong....”
“Aku tidak minta pertolonganmu!” tukas Rarasati sinis.
“Kalau begitu, anggap saja aku menolong janin yang sedang....”
“Kau tidak berhak, sebab dia milikku...!” potong gadis itu cepat.
Tapi seperti sadar akan kata-katanya, Rarasati jadi termenung. Dan tanpa sadar matanya melirik perut, lalu mengusap-usapnya perlahan-lahan.
“Kalau memang dia milikmu, lalu kenapa tega hendak membunuhnya?” pancing Ki Jembrana.
Rarasati terdiam tak menjawab. Diliriknya orang tua itu sekilas, lalu beralih ke arah lain.
“Katakanlah, apa masalahmu...?” tanya Ki Jembrana.
Kali ini suara orang tua itu terdengar lunak dan bersahabat. Rarasati menoleh. Tampak Ki Jembrana duduk tidak jauh di dekatnya.
“Kalau dulu aku kawin, mungkin cucuku akan seusia denganmu...,” kata orang tua ini sambil tersenyum kecil.
Rarasati masih diam membisu. Di pandanginya orang tua itu beberapa saat, kemudian menunduk perlahan-lahan. “Semua ini bukan keinginanku...,” desah Rarasati lirih.
“Kenapa kau tidak cerita agar aku mengerti? Lagi pula menurut sebagian orang, menceritakan kesusahan hati kepada orang lain akan mengurangi beban dan melapangkan dada....”
“Benarkah...?”
Ki Jembrana mengangguk sambil menyungging senyum. Gadis itu menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan kejadian yang menimpa dirinya dari awal sampai akhir. Sementara Ki Jembrana menarik napas, lalu wajahnya tampak geram.
“Hhh, Jahanam Keparat! Kalau saja kutahu siapa mereka, akan kusapu bersih tanpa sisa!” dengus Ketua Partai Pengemis Bintang Emas.
Sesaat Ki Jembrana memperhatikan gadis itu. Dan ketika melihat wajah Rarasati mulai sendu, perlahan-lahan kegeramannya berubah. Bibirnya kembali menyungging senyum.
“Nah, apa kataku. Kau merasa lega, setelah menceritakan kejadian itu, bukan? Tidak ada yang menghinamu. Tidak ada yang akan mengatakan dirimu kotor atau pembawa aib. Siapa yang berani bicara begitu, akan kupecahkan batok kepalanya!” tandas orang tua ini.
Rarasati tertunduk, namun tidak mengangguk. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. “Kasihan ayah...,” desah gadis ini, halus.
“Kau ingin pulang?”
Rarasati menggeleng.
“Bagus! Kau boleh tinggal disini sampai kapan saja kau suka. Akan kujadikan anakmu sebagai buyutku, dan kelak kuangkat menjadi muridku!”
“Terima kasih, Ki....”
“He he he...! Tapi, ingat! Kau harus rela kalau aku berbuat sesuatu.”
“Maksudmu?”
“Aku harus mengatakan pada anak buahku, bahwa kau hamil. Jangan nanti mereka mengira bahwa kau hamil karena perbuatanku. Kau setuju, bukan?”
“Tentu saja....”
“Bagus! Kau tidak perlu marah kalau mereka nanti usil. Anak buahku memang gembel, tapi kebanyakan dari mereka baik hati. Meskipun, terkadang ada yang jahil satu atau dua orang. Kau menjadi cucuku saat ini. Maka siapa yang berani mengusikmu, akan kuhajar sampai babak belur!” lanjut orang tua ini sambil mengayun-ayunkan tongkatnya.
Rarasati terdiam untuk beberapa saat karena tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ucapan terima kasih rasanya tidak sepadan bagi sikap bersahabat yang ditunjukkan Ki Jembrana.
“Tubuhmu lemah, mungkin kurang makan. Pergilah kedapur. Ada makanan diatas meja. Kau boleh menyantapnya, dan sisakan sedikit untukku.”
“Aku belum lapar....”
“Makanlah, tidak usah malu-malu! Anggap saja saat ini kau berada di rumah sendiri. Atau barangkali aku yang harus mengambilkannya untukmu?”
Ki Jembrana tidak menunggu jawaban gadis itu. Segera tubuhnya beranjak ke belakang. Sebentar saja dia sudah kembali dengan dua mangkuk berukuran sedang. Yang satu disodorkan pada Rarasati, sedang yang satu lagi untuknya.
“Ayo, makan!” ujar Ki Jembrana sambil mulai menyuap untuk dirinya sendiri. “Makan dan jangan malu-malu!”
Rarasati terpaku barang sesaat. Tapi perlahan-lahan didekatinya mangkuk itu dan mulai menyantap isinya.
********************
TIGA
Dua puluh tahun telah berlalu sejak peristiwa di Desa Arjawinangun. Desa itu pun telah pulih seperti sediakala. Bagi kebanyakan mereka, hal itu seperti mimpi buruk yang tidak boleh terulang lagi. Kalaupun ada hal-hal yang menyakitkan, itu adalah akibat perbuatan kawanan perampok, yang telah menghamili wanita-wanita di desa ini. Dan kemudian, para wanita itu harus membesarkan anaknya dengan perasaan malu. Bahkan tidak jarang ada yang menggugurkannya selagi belum hamil besar. Tapi, tidak ada seorang penduduk pun yang menganggap mereka sebagai suatu keaiban. Mereka menyadari, kejadian itu tidak bisa dielakkan dan bukan kemauan sendiri.
Siang ini, Desa Arjawinangun seperti tengah terpanggang sinar matahari. Sinarnya yang menyengat, membuat seorang pemuda berpakaian pengemis berteduh dibawah sebatang pohon, dekat sebuah kedai. Sepasang matanya menatap tajam ke arah orang-orang yang tengah bersantap di situ. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat dan duduk di sebelah salah seorang yang bersandar.
“Maaf. Kalau boleh tahu, di mana rumah Ki Gandoro?” tanya pemuda berpakaian pengemis ini.
“Ki Gandoro...? Ki Gandoro yang hidup sendiri itu?” sahut laki-laki tua yang ditanya.
“Mungkin....”
“Sayang sekali.... Dia telah lama mati, Anak Muda.”
“Mati? Kenapa?”
“Bunuh diri di Jurang Mangu.”
“Kenapa dia bunuh diri?”
“Mungkin karena gara-gara putrinya yang bernama Rarasati mati bunuh diri di jurang itu.”
“Hm, ada apa sebenarnya? Bapak dan anak sama-sama bunuh diri...?” tanya pemuda itu dengan dahi berkerut.
“Itu terjadi dua puluh tahun lalu. Anak Muda. Apakah kau saudaranya?”
“Ya! Aku adalah saudara jauhnya. Kebetulan, ibuku baru mengatakan kalau kami memiliki saudara di desa ini. Sekadar ingin mempererat persaudaraan saja jangan sampai terputus,” sahut pengemis muda itu ramah. “Bisakah kalian menceritakan tentang kejadian itu?”
Laki-laki tua itu lalu menceritakan secara ringkas peristiwa yang diketahuinya dua puluh tahun lalu di Desa Arjawinangun ini. Karena semua orang di desa ini tahu, maka mereka bisa menduga apa yang menyebabkan bapak dan anak itu bunuh diri.
“Mungkin mereka tidak kuat menahan aib dan rasa malu...,” ujar orang tua itu menyelesaikan ceritanya dan menyimpulkannya sendiri.
“O, begitu...?” Pengemis muda ini mengangguk-angguk. “Lalu, dimana kawanan perampok itu berada saat ini?”
“Konon menurut sebagian orang, mereka berada di hutan sebelah timur laut sana. Pemimpinnya bernama Mayong Ireng. Kenapa kau tanyakan mereka? Apakah kau ingin membalas dendam?” tanya orang tua ini.
“Ki Gandoro adalah saudara kami satu-satunya. Sudah sepatutnya aku membalaskan dendamnya. Kalau tidak, dia tidak akan tenang di alam sana!” desis pemuda pengemis itu.
“Percuma saja. Kawanan rampok itu berjumlah banyak. Dan mereka pun amat kuat. Kau akan sia-sia bila mencoba melawan mereka.”
Pemuda itu tersenyum. “Itu sama sekali tidak kupikirkan. Tapi, ada hal yang amat menggangguku saat ini....”
“Tentang apa?”
“Ki Gandoro konon memiliki sawah yang cukup luas. Siapa yang kini mengerjakannya. Dan, kemana hasil panennya setiap tahun?”
“O.... Itu ditangani Ki Saptasena.”
“Siapa dia?”
“Kepala desa ini.”
“O.... Di mana rumahnya!”
“Dari sini kelihatan. Itu, yang atap rumahnya merah. Dia satu-satunya yang memiliki rumah agak besar dan hidup berkecukupan,” jelas orang tua ini sambil menunjuk rumah yang dimaksudkan.
“Hm, terima kasih...,” ucap pemuda pengemis ini seraya melangkah ke sana.
“Kau mau ke sana?” tanya orang tua itu.
“Ya!” sahut pemuda ini singkat.
********************
Apa yang ditunjukkan orang tadi memang tidak salah. Di antara sekian banyak rumah di desa ini, hanya rumah kepala desa yang agak besar dan mewah. Dan pemuda berpakaian pengemis itu telah berada di depan rumah ini. Tampak seorang penjaga rumah bertampang seram terus memperhatikannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda pengemis ini segera menghampiri.
“Selamat siang. Aku ingin bertemu Ki Saptasena,” ucap pemuda pengemis ini. Setelah berada satu tombak di hadapan penjaga rumah.
Laki-laki bertampang seram itu memperhatikan pengemis muda ini sejurus lamanya. “Maaf, Ki Saptasena tak ada. Lagi pula dia tidak pernah menerima tamu pengemis...,” sahut penjaga ini, Jumawa.
Pemuda pengemis itu tersenyum. Dan tahu-tahu dia melompat cepat sambil melepaskan tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Buk...!
“Aaakh...!” Penjaga itu kontan terpelanting kebelakang, ketika tendangan pengemis ini menghantam perutnya. Punggung belakangnya langsung menghantam dinding. Saat itu juga dari mulutnya keluar pekik kesakitan.
Teriakan penjaga itu agaknya mengagetkan orang-orang yang berada di dalam rumah. Sebentar saja seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun tergopoh-gopoh keluar ditemani seorang wanita tua dan seorang pemuda.
“Parta! Ada apa? He, siapa kau...?!”
Pengemis muda itu tidak langsung menjawab. “Kaukah kepala desa di sini...?” pengemis ini malah balik bertanya.
“He! Jaga bicaramu, Pengemis Busuk! Jawab dulu pertanyaan ayahku. Siapa kau?! Dan apa yang kau lakukan terhadapnya?!” tuding salah seorang pemuda di samping laki-laki tua itu.
“Dia telah memukulku tanpa sebab...,” lapor Parta, orang yang tadi terjajar, seraya bangkit dan berlindung di belakang orang tua yang sebenarnya memang Ki Saptasena.
“Aku pengemis busuk seperti katamu. Dan aku hanya ingin bertemu kepala desa ini. Tapi, orangmu yang kurang ajar ini bicara macam-macam!” sahut pengemis muda itu disertai dengusan kecil.
“Benar apa yang dikatakannya, Parta?” tanya Ki Saptasena.
“Bohong, Ki! Dia ingin mengemis, lalu kuusir. Eee..., tahu-tahu dia malah memukulku!” bantah Parta.
“Kurang ajar!” Pengemis muda itu kelihatan geram sekali mendengar jawaban orang itu.
“Sudahlah, tidak usah diteruskan. Kalau memang benar dia salah bicara, maafkanlah. Nah! Siapa sebenarnya kau, Anak Muda? Kau mencari kepala desa ini. Akulah orangnya,” ujar Ki Saptasena, berubah ramah.
“Aku sedang bukan hendak mengemis, tapi hendak menuntut hakku atas peninggalan Ki Gandoro!” sahut pengemis muda itu, lantang.
“O, begitu? Punya hubungan apa kau dengannya?”
“Aku cucunya!”
“Cucunya? Seingatku, Ki Gandoro belum mempunyai cucu. Bahkan terakhir sebelum bunuh diri, perkawinan putrinya dengan seorang pemuda dari seberang dibatalkan. Sebab, Rarasati keburu bunuh diri. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan sebagai cucunya?” kilah Ki Saptasena.
“Semua orang di desa ini tahu, kenapa ibuku bunuh diri. Dia dinodai kawanan perampok. Begitu juga yang terjadi dengan semua wanita muda di desa ini saat itu. Ibuku tidak mati. Dia telah diselamatkan seseorang, dan kemudian mengandung aku. Nah! Kini, apakah kau masih belum percaya?” tuntas pengemis muda itu.
Ki Saptasena terdiam. Dia mengajak tamunya masuk. Tapi pengemis muda itu menolak. Keangkuhannya membuat dua pemuda yang merupakan putra Ki Saptasena semakin kesal saja.
“Ayah! Buat apa susah-susah mempercayai seorang pengemis? Bisa saja cerita itu dikarang sendiri!” ujar putra sulung Ki Saptasena yang bernama Kalangka.
“Benar! Lebih baik usir saja. Aku muak melihat tingkahnya!” timpal si bungsu yang bernama Brata.
“Huh! Jadi kalian memang telah kemaruk harta dan bermaksud menguasai harta kakekku?!” dengus pengemis muda ini.
“Eee! Jangan salah sangka, Anak Muda. Siapa namamu...?” tukas Ki Saptasena.
“Karyasena!” sahut pengemis muda ini.
“O, Karyasena. Aku tidak bermaksud menyerakahi harta kakekmu. Tapi kalau benar kau cucunya, maka tentu saja akan kuserahkan peninggalannya,” jelas Ki Saptasena.
“Selama dua puluh tahun kalian menikmatinya. Aku ingin semua itu tanpa tersisa!” tegas Karyasena.
“Heh?!” Ki Saptasena terkesiap. Demikian juga kedua putra serta istrinya.
Apa yang dikatakan Kalangka tidak salah. Pemuda pengemis bernama Karyasena kelewat angkuh dan mau menang sendiri. Akhirnya mau tidak mau Ki Saptasena harus berpikir seperti itu.
“Hm.... Rumah bagus ini tentu hasil jerih payah kakekku. Maka aku adalah pemilik sahnya...,” tandas Karyasena.
“Kurang ajar! Dasar pengemis tak tahu diri. Kau semakin tidak sopan di rumah orang. Pergilah sebelum kami memanggil orang-orang kampung untuk menggebukmu!” bentak Jarot, yang agaknya tidak bisa menahan amarahnya lagi.
“Kau mengusirku di rumahku sendiri? He he he..., lucu! Lucu sekali! Sebaiknya, kalianlah yang harus cepat-cepat angkat kaki dari sini. Atau, perlu aku yang melakukannya?”
Baru saja selesai bicara begitu, mendadak pengemis muda ini bergerak cepat. Tahu-tahu kedua tangan Karyasena telah mencengkeram ke arah baju Kalangka dan Brata. Lalu....
Wut! Wut!
“Aaakh...!” Tubuh Jarot dan Brata kontan terlempar keluar begitu Karyasena menariknya dengan keras. Dan mereka langsung terbanting di tanah disertai jerit kesakitan.
“He, apa yang kau lakukan terhadap kedua putraku?!” desis Ki Saptasena terkesiap kaget.
“Kau kira apa? Mereka pantas mendapatkan itu,” sahut Karyasena enteng.
“Kurang ajar! Kalau begitu jelas, siapa kau sebenarnya!”
Ki Saptasena naik pitam. Dia bermaksud memukul kentongan yang berada di depan rumahnya. Namun sebelum dilakukannya, pengemis muda itu mencekal pergelangan tangannya.
Tap!
“Heh!”
“Kau ingin memanggil orang-orang desa untuk mengeroyokku? Sebaiknya, pikirkan dulu keselamatanmu sebelum melakukannya. Coba lihat!” ujar Karyasena.
Karyasena bersuit nyaring. Maka tiba-tiba saja berlompatan lebih dari dua puluh pengemis dari berbagai arah. Perlahan-lahan mereka melangkah masuk ke pekarangan rumah Ki Saptasena.
“Coba lihat! Mereka siap melaksanakan apa saja perintahku. Oleh sebab itu, jangan berbuat macam-macam. Turuti saja keinginanku kalau ingin selamat!” ancam Karyasena.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” tanya Ki Saptasena dengan suara tercekat di tenggorokan.
“Tidak banyak. Selama dua puluh tahun, kau menguras sawah ladang kakekku. Maka sudah sepatutnya aku meminta imbalan darimu. Kau tetap menjadi kepala desa ini, dan tetap mengurus sawah ladang kakekku. Tapi, kau harus membayar upeti kepadaku seminggu sekali. Besarnya sepuluh keping uang emas,” jelas Karyasena.
Ki Saptasena tampak terbelalak, mendengar sejumlah uang yang disebutkan pengemis muda ini. “Sepuluh keping uang emas setiap satu minggu?! Mana mungkin! Itu jumlah yang sangat banyak,” elak orang tua itu.
“Aku tidak mau tahu. Kau hanya punya dua pilihan. Menyetujuinya atau kalian sekeluarga akan mati di tanganku!” ancam Karyasena, lebih menggiriskan.
Ki Saptasena bergidik ngeri mendengar ancaman Karyasena. Dengan apa yang dilakukannya tadi kepada dua putranya, orang tua ini yakin kalau Karyasena mampu membuktikan ancamannya.
“Ba..., baiklah...,” sahut Ki Saptasena lemah.
“Bagus! Berarti kau memang pintar memilih. Maka sejak hari ini, sampai ketemu satu minggu, kami mulai akan menagihnya. Jangan pernah telat sedikit pun, sebab aku tidak akan bisa mengampunimu!”
“I..., iya...!”
Karyasena mendengus sebentar, kemudian berlalu dari tempat ini diikuti para pengemis anak buahnya. Tak ada yang tahu, ke mana mereka akan pergi.
“Apa yang akan kita lakukan. Ayah?” tanya Kalangka, ketika para pengemis sudah tak terlihat lagi.
“Entahlah...,” sahut Ki Saptasena, lirih.
“Ayah akan memenuhi tuntutannya?”
“Tak ada jalan lain, kalau kita ingin selamat....”
“Tapi dari mana ayah akan mencarinya?”
“Entahlah...,” sahut Ki Saptasena hambar.
Orang tua itu berbalik dan melangkah ke belakang, diikuti istrinya. Kedua anaknya perlahan-lahan mengikuti. Ada perasaan yang sama di dada mereka. Kegelisahan!
********************
Seorang laki-laki bertampang kasar duduk di bawah sebatang pohon besar yang sejuk dan rindang, tepat di depan sebuah gubuk besar yang berbentuk lingkaran dengan atap rumbia. Di dekatnya bergayut dua wanita berpakaian seronok yang sesekali mencumbunya. Laki-laki itu sesekali tertawa geli, kemudian balas mencumbu kedua wanita itu dengan gemas. Sementara di depannya, tiga orang kaki tangannya tengah berpesta pora. Dan masing-masing dilayani seorang wanita muda yang berpenampilan genit. Sedangkan sepuluh orang anak buahnya yang lain tersebar di sekitar tempat ini untuk berjaga-jaga.
“Ayo, Jiran! Tambah lagi minumannya! Apa kau takut mabuk?!” seru laki-laki bertampang kasar itu.
“Sudah terlalu banyak yang masuk ke perutku, Ki Mayong!” sahut laki-laki yang dipanggil Jiran.
“Ha ha ha...! Kau ini seperti banci saja. Ayo, tambahkan lagi minuman ke bumbungmu!” teriak laki-laki bertampang kasar yang tak lain Ki Mayong Ireng.
Laki-laki berperawakan besar ini memang memiliki kulit hitam legam. Dialah pemimpin perampok yang pernah menyerang Desa Arjawinangun dua puluh tahun lalu.
Jiran tidak bisa menolak ketika wanita yang meladeninya menuangkan tuak kembali kedalam bumbung minumannya. Dia bersulang sebentar dengan pimpinannya, dan pada kawan-kawan disebelahnya. Lalu ditenggaknya tuak itu sampai tandas ke perutnya.
“He he he...! Begitu baru betul. Ayo, tambahkan tuak kalian lagi. Hari ini kita akan berpesta besar-besaran untuk merayakan keberhasilan kita!” teriak Ki Mayong Ireng dengan suara serak.
Anak buah laki-laki berkulit hitam ini tidak bisa membantah. Entah sudah berapa bumbung tuak yang mengisi lambung mereka. Dan sebagian terlihat mulai mabuk. Namun mereka terpaksa harus menenggaknya lagi. Siapa pun tahu, kalau perintah Ki Mayong Ireng tak bisa ditolak. Bagi yang menolak, maka orang itu akan mendapat hukuman berat.
“Wah.... Sungguh meriah pesta kalian!”
“Heh?!”
Dalam keadaan begitu, mendadak Ki Mayong Ireng dan anak buahnya dikejutkan sebuah suara asing. Begitu mereka memandang ke sekeliling, tampak kawanan pengemis telah mengepung rapat tempat ini.
Dengan langkah sempoyongan, tiga anak buah Ki Mayong Ireng bergerak menghampiri para pengemis. Seketika mereka berusaha menyerang pengemis yang paling muda dengan golok masing-masing. Namun dengan tangkas pengemis muda yang tak lain Karyasena mengebutkan tongkat di tangannya.
Trak!
Ketiga kaki tangan kanan Ki Mayong Ireng kontan terjajar mundur, begitu golok-golok mereka terpapak. Dan sebelum mereka berbuat sesuatu, tongkat Karyasena telah bergerak cepat.
Brusss!
“Aaa...!”
Ketiga anak buah Ki Mayong Ireng terpekik. Mereka terjungkal ke belakang dengan darah bercucuran dari luka lebar di bagian leher.
“Suiiit...!”
Mayong Ireng bersuit nyaring. Namun tidak seorang pun dari anak buahnya yang tersebar di tempat ini muncul.
“Kau mencari anak buahmu? Mereka telah kami lumpuhkan. Sia-sia saja...,” ejek Karyasena.
“Keparat! Kau ingin bermain-main denganku rupanya!” Laki-laki berkulit hitam itu seketika menyambar kapak besar yang tidak pernah berada jauh darinya.
“Heaaa...!” Disertai teriakan menggelegar, Ki Mayong Ireng meluruk dengan sambaran kapaknya ke arah Karyasena.
“Hm.... Aku memang akan bermain-main sebentar denganmu!” sahut Karyasena bernada mengejek. Tongkat runcing ditangannya diputar sedemikian rupa untuk menangkis kapak Ki Mayong Ireng.
Trang!
Baru saja senjata mereka beradu, mendadak ujung tongkat Karyasena menggores dada Ki Mayong ireng.
Cras!
“Aaakh...!” Ki Mayong Ireng terpekik tanpa sadar. Dia mundur beberapa langkah ke belakang.
“Mulai takut mati, he?!” kata pengemis muda itu, terdengar sinis.
“Siapa kau?!” hardik Ki Mayong Ireng.
“Aku hanya salah satu dari akibat perbuatan bejat kalian! Aku tidak peduli siapa pun yang berbuat kepada ibuku. Tapi sebagai akibatnya, kau harus bertanggung jawab. Kau harus mati di tanganku!” dengus Karyasena.
“Hm.... Jadi kau anak haram jadah, he? He he he...! Orang sepertimu mana mungkin menakut-nakutiku!” Ki Mayong Ireng berusaha menjatuhkan semangat lawan dengan membangkitkan amarah pemuda itu.
Tapi Karyasena hanya tersenyum. “Pantat kuali! Kau tidak perlu memanasiku. Aku sudah kebal disebut sebagai anak haram jadah. Dan yang perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak berniat menakut-nakutimu. Tapi akan kubuktikannya segera!”
Baru saja selesai kata-katanya, tubuh Karyasena melenting kearah Ki Mayong Ireng dengan ayunan tongkatnya.
“Hih!” Ki Mayong Ireng berusaha menangkis, meski gerakannya kurang mantap. Mungkin gugup menyaksikan kecepatan pemuda itu bergerak. Atau juga, karena kebanyakan minum tuak. Sehingga, kemampuannya tidak seperti dalam keadaan biasa.
Trak!
Tubuh Ki Mayong Ireng kontan terhuyung-huyung. Tapi pemuda itu tidak memberi ampun. Ujung tongkatnya bergerak amat cepat. Bahkan sulit diimbangi kepandaian Ki Mayong Ireng. Akibatnya....
Cras!
“Aaakh...!” Ki Mayong Ireng kembali terpekik. Ujung tongkat pemuda pengemis itu tahu-tahu merobek perutnya. Belum lagi dia memperbaiki keseimbangan, satu tendangan geledek menghantam kepalanya.
Prak!
“Aaakh...!” Orang tua itu hanya melenguh pendek, lalu ambruk dengan batok kepala retak. Darah mengalir deras dari lukanya. Saat itu juga nyawanya melayang!
Karyasena berdiri tegak di depan anak buah Ki Mayong Ireng yang sudah digiring ke hadapannya dalam keadaan teringkus. “Mulai hari ini aku yang memimpin kawanan ini! Siapa yang menentang boleh tunjuk tangan. Biar akan sekalian kukirim ke neraka!” desis pemuda itu dingin.
Tidak ada seorang pun yang berani tunjuk tangan.
“Bagus! Berarti kalian setuju. Beritahu yang lain tentang pengangkatanku ini. Lalu, buang mayat keparat ini ke hutan agar menjadi santapan kawanan serigala!”
********************
EMPAT
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih menghentikan makanannya, ketika mendengar pembicaraan orang-orang di dalam kedai yang cukup ramai ini. Keningnya jadi berkerut, seperti tak percaya.
Bergegas pemuda tampan dengan pedang tersilang di punggung ini beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri orang-orang yang sedang ramai berbicara itu.
“Maaf, Kisanak semua! Soal apa yang kalian bicarakan?” tanya pemuda itu.
“Partai Pengemis Bintang Emas mengamuk dan banyak membunuh penduduk Desa Arjawinangun ini,” jelas seorang berusia lima puluh tahun.
“Partai Pengemis Bintang Emas? Bukankah mereka terkenal sebagai orang-orang yang suka menolong rakyat?” tanya pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
“Kau ketinggalan berita. Anak Muda! Itu dulu. Tapi sekarang, kawanan itu tidak ubahnya seperti perampok. Mereka memeras, membunuh, dan merampok harta benda penduduk. Serta segudang lagi perbuatan buruk yang dilakukan,” jelas laki-laki tua itu dengan suara geram.
“Setahuku Partai Pengemis Bintang Emas dipimpin Ki Jembrana. Dan dia terkenal sebagai tokoh golongan putih. Bagaimana mungkin orang tua sepertinya tiba-tiba saja berubah pikiran seperti itu?” tanya Rangga seperti untuk diri sendiri.
“Ki Jembrana mungkin saja tidak melakukannya, tapi harus tetap bertanggung jawab!”
“Apa maksudnya?”
“Kawanan pengemis yang suka merampok itu dipimpin seorang pemuda bernama Karyasena. Entah, apa hubungannya dengan Ki Jembrana. Tapi dia selalu mengatakan dari Partai Pengemis Bintang Emas, dalam setiap sepak terjangnya,” jelas orang itu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.
“Dan kau sendiri, apa urusannya tanya-tanya soal mereka? Apakah ingin bergabung juga?” tanya orang tua ini, seraya memandang ke arah teman-temannya.
“Ah, tidak! Mana mungkin aku bergabung?”
“Kenapa tidak? Banyak orang yang dulu berkata seperti itu. Tapi setelah berhadapan dengan kemewahan, bicara mereka jadi lain. Apalagi, kawanan itu memang suka sekali mencari orang-orang tangguh untuk dijadikan kaki tangannya,” tambah orang tua ini.
Pemuda berbaju rompi putih ini termangu, kemudian melangkah keluar kedai setelah membayar makanannya. Begitu tiba di luar, di ujung desa ini terlihat dua orang pengemis tengah berebutan buntalan kain lusuh dengan seorang wanita tua di depan sebuah rumah.
“Jangan! Jangan dibawa! Ini satu-satunya benda berharga yang kumiliki. Tolong, jangan diambil...!” ratap wanita tua itu.
“Keparat! Kau ingin mampus, he?!” sentak salah seorang pengemis sambil mencabut sebilah golok pendek yang terselip di pinggang.
Srang!
“Hih!”
Tanpa belas kasihan sedikit pun, golok itu diayunkan. Namun belum juga pergelangan tangan wanita itu jadi sasaran, mendadak berkelebat satu sosok bayangan putih. Lalu...
Trak!
Des!
“Aaakh!” Pengemis itu kontan terpekik kaget begitu senjatanya tahu-tahu mental entah ke mana. Bahkan dia langsung menjerit, ketika tiba-tiba saja perutnya terhantam pukulan keras, hingga terasa mulas.
Sementara pengemis yang satu lagi terkesiap. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, bayangan itu telah kembali berkelebat.
Des!
“Aaakh...!” Pengemis itu terpekik begitu perutnya terhantam sebuah pukulan telak. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang.
“Keparat! Siapa kau, he?!” bentak pengemis yang pertama kali terhantam pukulan. Dia berusaha bangkit dengan muka meringis menahan rasa sakit.
Di depan pengemis itu kini berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dia tak lain dari Rangga yang di rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
“Kalian tidak perlu tahu...!” desis Rangga, dingin menggetarkan.
“Setan! Rupanya kau belum tahu siapa kami, he?!” bentak pengemis itu.
“Aku juga tak perlu tahu, siapa kalian. Yang jelas, aku tak bisa tinggal diam melihat kalian bertindak sewenang-wenang terhadap wanita tua itu!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
“Keparat!” Dengan wajah gusar pengemis itu langsung mengayunkan tongkat menyerang. Sementara kawannya yang bersenjata golok ikut menyerang dari belakang.
“Heaaa...!”
“Uts!” Namun hanya meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindari serangan dari dua arah. Bahkan begitu kedua tangannya bergerak mengibas....
Duk! Des!
“Aaakh...!” Terdengar dua jeritan saling susul yang diikuti ambruknya dua pengemis itu. Telak sekali hantaman Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dada, membuat napas mereka terasa sesak.
“Siapa kau sebenarnya?!” bentak seorang pengemis, berusaha bangkit berdiri.
“Hm.... Kalian belum kapok, rupanya. Cepat pergi dari sini sebelum tubuhmu terbujur kaku di sini!” ujar Rangga, tenang.
“Kurang ajar!” Kedua pengemis itu memaki geram, namun tidak berani berbuat apa-apa lagi. Dengan muka gusar ditinggalkannya pemuda itu.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi sebaiknya cepat-cepat pergi dari sini. Jumlah mereka banyak dan amat tangguh. Kau akan celaka kalau terus berada di sini,” ujar wanita tua itu, kepada Pendekar Rajawali Sakti.
“Kalau begitu tunjukkan padaku, di mana sarang mereka?” tanya Rangga.
“Anak muda! Kau sungguh gila! Apakah sudah bosan hidup?!” bukannya menjawab, wanita tua itu malah terkejut.
“Nyisanak! Aku sama sekali tidak gila. Dan aku hanya ingin bicara dengan pimpinan mereka. Yah.... Siapa tahu bisa melunakkan hatinya...,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Wanita itu mendesah seraya menggeleng perlahan. “Entahlah, aku tidak mengerti. Banyak orang yang ingin menjauh dari mereka. Tapi kau malah ingin bertemu pimpinannya. Kecuali mereka yang ingin bergabung, apakah kau ingin bergabung dengannya?” tanya wanita tua ini dengan tatapan penuh selidik.
Rangga tersenyum. “Mereka yang bergabung tentu menginginkan uang dan kekayaan. Tapi aku tidak seperti itu, Nyisanak!”
Wanita itu menggeleng lemah. “Kalau kau tanyakan di mana tempat mereka, aku tidak tahu. Kecuali, kalau kau mau menunggu. Mereka pasti akan datang, sebab kau telah menghajar dua orang anggota mereka,” jelas wanita tua ini.
“Kalau begitu akan kutunggu mereka di desa ini!” sahut Rangga enteng.
Wanita itu menggeleng tak percaya. Dan setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, dia segera masuk ke dalam rumahnya.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak kembali ke kedai, telah berlompatan beberapa sosok pengemis dari balik pohon dan rumah-rumah penduduk. Mereka langsung bergerak mengepung Rangga. Wajah mereka tampak beringas penuh dendam. Rangga berhenti melangkah, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Jumlah mereka tidak kurang dari sepuluh ketika Rangga menghitung dalam hati. Termasuk, dua orang yang tadi dihajarnya. Namun seperti tak ingin peduli, Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah.
“Berhenti kau, Bocah!” bentak pengemis yang bertubuh besar.
Orang itu berbaju serba hitam. Sepasang matanya tampak merah. Dengan cambang bauk dan kumis serta jenggot tebal jelas menambah keseraman wajahnya. Terlebih lagi ketika menyeringai lebar.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap dengan kening berkerut, begitu menghentikan langkahnya kembali.
“Hm.... Apakah kalian kawan dari dua pengemis yang terlalu memaksakan kehendak kalian sendiri?” gumam Rangga, tenang.
“Kurang ajar! Bocah sudah bosan hidup!” dengus laki-laki berbaju hitam itu. “Rupanya kau belum kenal Diwangkara, he?!” Dengan amarah yang meluap laki-laki yang mengaku bernama Diwangkara mencabut golok besar di punggungnya.
Sret!
“Kau akan mampus sekarang, bersiaplah!” desis laki-laki itu, geram. “Heaaat...!” Diwangkara langsung melompat dengan ayunan senjatanya.
Wut!
Namun dengan gerakan ringan sekali. Rangga melenting ke belakang, sehingga serangan itu hanya menyambar angin kosong.
“He! Punya kebisaan juga rupanya, Monyet Buduk ini!” dengus Diwangkara geram.
Dan begitu serangannya gagal, Diwangkara kembali mencelat mengejar. Golok di tangannya siap menebas leher Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja mendarat empuk di tanah.
“Heaaa...!”
“Uts!” Namun dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan, Rangga berhasil menghindari serangan golok yang hanya beberapa rambut di depannya.
Serangan yang gagal membuat Diwangkara semakin geram saja. “Buangsaaat!” dengus laki-laki itu sambil menyeringai buas.
“Hm.... Sudah cukup bermain-main denganmu. Sekarang bukalah mata,” ujar Rangga pendek.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke udara. Dan setelah berputaran dua kali, tubuhnya meluruk menggunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ dengan kaki kanan mengancam batok kepala.
“Hiyaaat...!”
Diwangkara terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak amat cepat. Makanya dia tidak mau bertindak sembarangan. Cepat goloknya diayunkan, siap memapaki serangan.
Wut!
“Heh?!” Betapa terkejutnya Diwangkara ketika pemuda itu menarik kaki kanannya. Sehingga goloknya hanya memapas angin. Bahkan tahu-tahu, kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti menghantam pergelangan tangannya.
Plak!
Golok Diwangkara terpental tersambar kaki Rangga. Bahkan kaki itu cepat melepaskan tendangan menggeledek menghantam dada Diwangkara.
Des!
“Aaakh...!”
“Heh?!” Para pengemis yang lain terkesiap ketika Diwangkara jatuh tersungkur di dekat mereka.
“Seraaang...!”
Dan keterkejutan mereka hanya sebentar, karena selanjutnya seseorang memberi aba-aba. Maka serentak mereka maju mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
“Heaaa...!”
“Uts!” Rangga bergerak gesit. Cepat ditangkapnya pergelangan tangan salah seorang yang memegang golok. Begitu golok terlepas, Rangga cepat balik menyerang. Dengan golok di tangan, Rangga menangkis semua senjata dan menghantam mereka satu persatu.
Tak! Trak!
Cras! Cras!
“Aaakh...!”
Empat orang kontan terjungkal dengan senjata terpental entah ke mana. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri benar-benar tidak memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melepaskan pukulan maupun sabetan golok.
Desss!
“Aaakh...!” Jerit kesakitan saling susul terdengar. Dan dalam waktu singkat para pengemis itu dibuat tidak berdaya.
Sebentar Rangga memperhatikan para pengemis yang bergelimpangan, lalu berbalik pada Diwangkara.
“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Diwangkara dengan hati kecut. Tapi, dia tidak mau kehilangan muka di depan para pengemis, sehingga perlu membentak sambil berkacak pinggang.
“Maaf, agaknya kau bukan ketua pengemis ini, karena aku hanya perlu bicara dengannya!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
“Keparat! Di dalam partai pengemis, aku memiliki dua puluh anak buah. Apa kau kira aku tidak memiliki derajat?!”
“Aku tidak bilang kalau kau tak memiliki derajat. Hanya mungkin pandangan kurang luas untuk dapat mengenali seseorang,” sahut Rangga tanpa bermaksud merendahkan.
Kata-kata pemuda itu membuat wajah Diwangkara merah menahan malu. “Huh! Apa kehebatanmu?! Kau hanya bocah pentil yang baru saja turun gunung!”
Mendengar itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum dingin. “Kalau memang aku hanya orang biasa, buat apa kau repot-repot mau tahu tentang diriku? Sampaikan saja pada ketuamu, Ki Jembrana bahwa suatu saat aku akan berkunjung. Dan aku akan menanyakan, kenapa anak buahnya kini berubah menjadi kawanan perampok!” balas pemuda itu, pedas.
Namun sebelum Diwangkara menjawab....
“Rangga! Tentu saja aku akan senang hati menyampaikannya pada Ki Jembrana. Suatu kehormatan baginya bila mendapat kunjungan Pendekar Rajawali Sakti!”
Mendadak terdengar suara yang menyahuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum habis gema suara yang berisi tenaga dalam ini, berkelebat satu sosok bayangan yang kemudian mendarat disamping Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm....!” Begitu menoleh, tampak seorang berpakaian pengemis. Usianya sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tidak sekasar Diwangkara.
Sebaliknya Diwangkara terkesiap kaget. Bukan karena kehadiran pengemis itu, melainkan karena telah tahu, siapa pemuda yang tadi menjadi lawannya.
“Pendekar Rajawali Sakti?”
Rangga tidak menanggapi. Matanya melirik sekilas. Dan dia tahu kalau kawanan pengemis yang bersama Diwangkara tampak salah tingkah setelah kemunculannya pengemis yang baru datang ini.
“Rangga.... Perkenalkanlah aku yang rendah ini. Namaku Pamulang. Telah lama sekali kami memperingatkan mereka. Tapi, orang-orang ini ternyata membandel. Dan Ki Jembrana bukannya tidak bertindak tegas, tapi karena mereka selalu bermuka dua di depannya,” jelas pengemis yang baru muncul dan bernama Pamulang.
“Ki Pamulang, jangan merendah begitu. Kau dan aku mempunyai derajat sama. Nah, apa maksud kata-katamu tadi?” ujar Rangga, seraya menahan pundak Ki Pamulang yang hendak membungkuk memberi hormat.
“Mereka bukanlah anak buah Ki Jembrana yang asli, melainkan kaki tangan Karyasena...,” jelas Ki Pamulang, setelah tubuhnya tegak kembali.
“Siapa itu Karyasena?”
“Murid, dan sekaligus cucu angkat Ki Jembrana sendiri.”
“Hm.... Kenapa bisa terjadi demikian?” Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut dengan raut wajah bingung.
“Pamulang, tutup mulutmu! Bicara apa kau?! Mereka semua tentu saja anak buah Ki Jembrana. Hanya saja, di bawah kendali Ki Karyasena!” hardik Diwangkara.
“Siapa kau?! Aku kenal semua anggota partai pengemis. Tapi kau sama sekali asing bagiku. Kau pasti orang luar. Dan oleh karenanya, jangan campuri urusan pribadi pengemis!” sahut Ki Pamulang, sinis.
“Keparat!” Bukan main geramnya Diwangkara mendengar kata-kata itu. Amarahnya tidak tertahan lagi. Dan dengan geram, goloknya dicabut langsung melompat menyerang.
“Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu berani bicara seperti itu!”
Begitu selesai kata-katanya, Ki Pamulang cepat mengayunkan tongkatnya untuk menangkis golok Diwangkara.
Trak!
Dan tongkat runcing di tangan Ki Pamulang ternyata menjadi senjata yang cukup ampuh. Bahkan mampu meladeni serangan-serangan Diwangkara. Selesai terjadi benturan senjata, Ki Pamulang kembali mengebutkan tongkat runcingnya.
Diwangkara terkesiap melihat ujung tongkat itu hendak menyambar mukanya. Cepat tubuhnya mencekal ke belakang sambil jungkir balik. Namun baru saja kedua kakinya menjejak tanah, serangan Ki Pamulang yang cepat dan dahsyat telah kembali datang.
“Uts!” Diwangkara mencoba menjatuhkan diri ke samping, namun terlambat. Karena....
Bret!
“Aaakh...!” Tak urung pinggang Diwangkara tergores ujung tongkat Ki Pamulang, membuatnya mengeluh tertahan. Dan sebelum sempat bangkit berdiri satu tendangan keras meluncur ke dadanya.
Desss!
“Aaakh...!” Karuan saja Diwangkara terpental disertai jerit kesakitan, begitu dadanya telak sekali mendapat tendangan keras Ki Pamulang.
“Ayo, mau mencobaku lagi?!” ejek Ki Pamulang.
“Huh! Aku akan mengadakan pembalasan denganmu nanti! Tunggu saja saatnya!” dengus Diwangkara, berusaha bangkit berdiri walau tertatih-tatih. Diwangkara bermaksud angkat kaki dari situ sambil memberi isyarat pada anak buahnya.
“Kau boleh pergi karena bukan anggota partai. Tapi, mereka tidak! Orang-orang ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Ki Jembrana!” ujar Ki Pamulang tegas.
“Tapi, Ki....” Para pengemis coba berdalih. Namun....
“Kalian berani mengikutinya, maka aku tidak segan-segan bertindak!” hardik Ki Pamulang, memotong. “Aku mendapat perintah dari Ki Jembrana, boleh membunuh siapa saja anggota partai yang coba melawan untuk dibawa ke hadapannya!”
Anak buah Diwangkara kontan bergidik ngeri. Tak seorang pun yang berani beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika Diwangkara meninggalkan mereka sambil mendengus, tak seorang pun yang berani bergeming.
“Bagus! Ternyata akal kalian masih sehat, dan bisa membedakan keputusan apa yang harus diambil!” ujar Ki Pamulang.
“Tapi, Ki.... Kami hanya sekadar mengikuti perintah Karyasena saja...,” sahut salah seorang pengemis, coba membela diri.
“Itu bukan tanggung jawabku. Katakan saja di depan Ki Jembrana. Dialah yang akan memutuskan, apakah kalian bersalah atau tidak. Tugasku hanya membawa kalian kembali!” tegas Ki Pamulang.
Kemudian Ki Pamulang memandang Pendekar Rajawali Sakti. “Rangga, maafkan. Karena kami harus buru-buru menghadap Ki Jembrana, maka kita tidak bisa saling tukar cerita. Kalau kau tidak keberatan, beliau tentu senang sekali mendapat kunjunganmu.”
“Terima kasih, Ki Pamulang. Sampaikan saja salamku untuk beliau. Saat ini, aku belum bisa memenuhi undanganmu. Tapi mungkin lain kali....”
“Ah, sayang sekali. Tapi aku tak bisa memaksa agaknya. Baiklah. Kami tunggu saat itu, Rangga. Kapanpun kau datang, kami akan gembira menyambutnya. Mari, Rangga!”
Rangga membalas salam hormat orang itu sambil tersenyum. Kemudian memandang kepergian mereka beberapa saat, sebelum kembali dan melanjutkan perjalanan menuju arah yang tadi dilalui Diwangkara.
********************
LIMA
Bukit Tanggamus terletak agak jauh dari desa terdekat. Di kakinya berdiri sebuah rumah bagai istana kecil yang dikelilingi pagar bambu setinggi kurang dari dua tombak. Sehingga dari luar yang terlihat hanya atapnya saja, dan sebuah menara yang di atasnya terdapat gubuk kecil seperti pos penjagaan.
Bagian dalam pagar bambu itu ternyata dilapisi batang-batang pohon kelapa, sehingga terlihat kokoh. Kemudian di sekeliling halaman yang cukup luas, terdapat barak-barak melingkar. Hanya ada bagian sekitar pintu gerbang saja yang lowong. Sedangkan bangunan utama yang terlihat mewah ini terletak di tengah-tengah. Tidak terlalu luas, namun kelihatan mewah.
Setahun yang lalu, penduduk Desa Tanggamus yang terdekat dari tempat ini, belum tahu adanya bangunan itu. Namun belakangan mereka baru mengerti, ketika banyak pengemis yang keluar masuk tempat itu. Lalu mereka pun menduga, bahwa tempat itu merupakan markas Partai Pengemis Bintang Emas yang selama ini dikenal sering membantu rakyat jelata untuk memberi perlindungan setempat.
Tapi, bayangan itu terhapus sudah ketika partai ini ternyata tidak seperti apa yang diharapkan. Para anggotanya ternyata tidak lebih dari kawanan perampok! Penduduk desa ini diwajibkan memberi upeti yang cukup besar setiap minggu. Siapa yang berani menolak, maka kematian akan menjemput. Dan terbukti, beberapa orang yang menentang tidak lama ditemukan telah tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang berusaha melarikan diri, pasti hidup dalam ketakutan dari cengkeraman partai pengemis itu.
Rupanya, sepak terjang Partai Pengemis Bintang Emas sudah demikian meluas. Kegiatan mereka yang dimulai dari Desa Arjawinangun, kini telah melebar ke Desa Tanggamus di wilayah timur laut ini.
Siang yang tidak terlalu panas, membuat penjagaan di sekitar pintu gerbang tidak terlalu ketat. Seorang tampak duduk dengan mata terkantuk. Yang seorang lagi malah tengah asyik mengilik-ngilik telinganya dengan bulu ayam.
Dan mereka masih belum menyadari ketika seorang pemuda berpakaian pengemis berjalan mendekati. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang ujungnya runcing.
“Aku ingin bertemu Karyasena...,” kata pemuda itu pelan.
Kedua penjaga pintu gerbang terjaga. Yang terkantuk cuma menoleh sebentar, lalu kembali terkantuk-kantuk.
“Siapa pimpinanmu? Dan, ada keperluan apa?” tanya penjaga yang tengah mengilik-ngilik telinga.
“Pimpinanku Ki Jembrana. Dan urusanku, kalian tidak perlu tahu...,” sahut pemuda itu datar.
Kedua pengemis yang menjaga pintu gerbang ini seketika terkesiap dan saling berpandangan. Kemudian mereka sama-sama menatap pengemis muda itu. Mereka coba menegaskan wajah yang terlindung di balik topi caping lebar yang terbuat dari bambu itu. Dan ketika pemuda itu membuka tudungnya, mendadak kedua pengemis penjaga pintu gerbang ini terkejut kaget.
“Ketua Karyasena, maaf! Kami sama sekali tidak menyangka kalau ketua yang datang. Tapi..., bukankah Ki Karyasena masih di dalam, dan tengah menerima tamu?!” ucap pengemis penjaga yang tadi terkantuk-kantuk. Namun sesaat kemudian dia seperti terjaga, lalu kembali memandang pemuda di depannya dengan seksama.
“Aku bukan Karyasena, melainkan Daryasena. Saudara kembar ketua kalian. Apakah kalian tidak mengenalinya?” kata pemuda pengemis yang mengaku bernama Daryasena.
“Oh, maaf. Kami orang baru, sehingga tidak mengenalimu. Tapi wajahmu mirip sekali dengan ketua kami. Sudah barang tentu kami mempercayainya. Silakan masuk!” ucap penjaga itu, seraya membuka pintu gerbang.
Salah seorang penjaga kemudian mengantarkan Daryasena ke dalam. Sementara beberapa orang pengemis yang berada di dalam halaman depan terkejut dan buru-buru memberi hormat. Sedang yang lainnya, meski tidak terkejut, namun tetap memberi hormat juga.
Mereka yang tidak terkejut, agaknya mengenali pemuda itu sebelumnya. Sedangkan yang terkejut tentu saja tidak mengenalinya. Dan mereka sudah kaget, sebab menyangka kalau pemuda itu ketua mereka. Padahal sang ketua sendiri sedang bercakap-cakap di ruang tamu, bersama beberapa orang kawan.
********************
“Ah, saudaraku Daryasena! Apa kabar? Silakan masuk!” sambut seorang pemuda yang tidak lain dari Karyasena, ketika Daryasena memasuki ruangan utama rumah mewah ini.
Walaupun tidak terlihat, sebenarnya Karyasena terkesiap mengetahui siapa tamu yang datang. Namun senyumnya segera terkembang, buru-buru menyongsong saudaranya.
“Karyasena, aku tidak akan berlama-lama di sini! Aku membawa pesan dari kakek yang harus kau patuhi!” jelas Daryasena langsung tanpa basa-basi. Suaranya terdengar lantang.
“Oh, benarkah? Bagaimana keadaannya? Sehat-sehat saja, bukan? Hm, aku juga telah rindu. Juga kepada ibu. Tapi, sebaiknya kau duduk dulu!” ajak Karyasena kembali.
“Sudah kukatakan padamu, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kakek menginginkan kau menghadap kepadanya sekarang juga!” Daryasena kembali menegaskan maksudnya.
“Kenapa tidak? Tentu saja aku senang sekali bertemu beliau. Tapi, tidak sekarang. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan...,” elak Karyasena.
“Aku harus membawamu sekarang. Suka atau tidak. Dan, bisa atau tidak bisa!” tegas Daryasena, mantap.
Raut wajah Karyasena seketika berubah mendengar kata-kata Daryasena. Itu suatu pemaksaan. Dan selamanya dia tidak suka dipaksa. Meskipun itu saudaranya sendiri!
“Kalau aku tidak mau?”
“Aku akan memaksamu!”
Karyasena terdiam sejurus lamanya. Tapi perlahan-lahan dia tersenyum, lalu tertawa.
“Selamanya tak seorang pun yang boleh memaksakan kehendak kepada Karyasena! Tidak juga kau, Daryasena! Pulanglah! Katakan pada kakek, bahwa aku akan datang menghadapnya kapan saja suka!” ujar Karyasena dengan suara keras.
“Karyasena! Kau memang keterlaluan! Tidakkah kau bisa membalas budi orang?! Beliau membesarkan, lalu mendidikmu. Dan inikah balasan yang kau berikan kepadanya?! Kau cemarkan nama baik beliau! Kau tebar benih kekacauan. Dan kini, kau akan melawan dengan menolak perintahnya!” bentak Daryasena tak kalah keras. Wajahnya tampak merah padam, mendengar penolakan Karyasena!
“Sudah kukatakan padamu, bahwa tidak seorang pun bisa memerintahku! Aku berbuat atas apa yang kusukai. Lagi pula, kakek telah mengusirku. Buat apa sekarang ingin memanggilku?!”
“Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu selama ini di hadapan Kakek!”
“Ha ha ha...! Kau tahu, Daryasena? Itu sama sekali tidak mungkin kulakukan. Aku bertanggung jawab penuh atas apa yang kulakukan!”
“Lalu kenapa kau menggunakan nama Partai Bintang Emas untuk segala tindak bejatmu itu? Itu saja sudah patut bagi Kakek untuk memberi hukuman bagimu!”
“Tutup mulutmu, Daryasena!” bentak Karyasena, tak tahan lagi. “Pergilah sebelum aku berbuat kasar padamu!”
“Aku tidak akan pergi, kalau tidak bersamamu!”
“Jangan bertindak bodoh! Di sini, aku bisa berbuat apa saja. Karena masih memandang kalau kau saudaraku, maka aku mengampuni kelancanganmu! Nah! Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!” hardik Karyasena, masih berusaha menahan diri.
“Karyasena! Kau tahu, bagaimana keputusanku?! Aku tetap pada pendirianku. Kau harus ikut sekarang juga. Atau, aku terpaksa memaksamu!”
“Cobalah kalau kau mampu!” dengus Karyasena, membuka tantangan.
“Baiklah kalau itu maumu,” sambut Daryasena, merasa tak ada pilihan lagi.
Daryasena maju dua langkah sambil mengebutkan tongkat di tangannya ke belakang. Dan Pada saat itu juga, capingnya disambar dan dilemparkan ke arah Karyasena.
Wut!
Caping lebar itu melesat ke arah Karyasena.
“Hiyaaat!”
Namun Karyasena cepat bergerak, mengibaskan tongkatnya ke arah caping. Caping bambu itu terbelah dua, dan jatuh di lantai. Sementara Daryasena langsung melesat, sambil mengayunkan tongkatnya.
Karyasena yang baru saja membabatkan tongkat caping yang mengancamnya, terpaksa kembali membabatkan tongkatnya untuk memapak.
Trak!
Baru saja kedua tongkat mereka beradu, ujung tongkat Karyasena telah kembali menyambar ke tenggorokan saudara kembarnya.
Wut!
“Uts!” Daryasena berkelit gesit dengan melompat ke belakang. Dan baru saja kakinya menjejak tanah, serangan Karyasena kembali datang. Tongkatnya berkelebat menghantam kepala. Cepat bagai kilat, Daryasena memalangkan tongkatnya di atas kepala.
Tak!
Begitu tongkat Karyasena terpental balik, Daryasena langsung membabatkan tongkatnya sekaligus menuju ke arah dada. Namun Karyasena cepat memutar tongkatnya pula.
Pertarungan antara dua orang saudara kembar ini berlangsung cepat dan hebat. Apalagi, mereka memiliki ilmu olah kanuragan dari sumber yang sama. Sehingga masing-masing saling mengetahui kelebihan dan kekurangan jurus satu sama lain. Tanpa disadari, pertarungan telah bergeser ke halaman rumah mewah ini. Keduanya terus saling gebrak, tanpa ada yang mau mengalah.
Tapi begitu menginjak jurus ke tiga puluh satu, terlihat Daryasena mulai terdesak hebat. Pemuda itu tidak habis pikir. Gaya serangan saudara kembarnya kini berbeda dan sama sekali tidak diketahuinya. Meski dia berusaha menghindar, tetap saja kewalahan. Apalagi, Karyasena bisa membaca jurus yang digunakannya untuk menghindar.
Pada satu kesempatan, Daryasena melenting ke atas menghindari serangan. Tapi saat itu juga, ujung tongkat Karyasena berputar membentuk lingkaran. Sehingga, mau tidak mau Daryasena akan masuk perangkap. Terpaksa Daryasena menekuk tubuhnya menghindari sabetan tongkat. Dan baru saja Daryasena mendarat di tanah, sebuah kepalan tangan Karyasena mendadak meluruk menghantam ke arah dada. Cepat bagai kilat, Daryasena mengebutkan tongkatnya untuk menangkis. Namun Karyasena cepat menarik serangannya kembali. Pada saat yang sama dari arah samping ujung tongkat Karyasena berkelebat. Dan....
Crasss...!
“Aaakh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, ujung tongkat Karyasena merobek dada bidang Daryasena. Saudara kembar Karyasena ini kontan terjajar beberapa langkah disertai pekik kesakitan. Darah tampak merembes dari dadanya. Langsung ditatapnya tajam-tajam Karyasena.
“Heh?! Jurus apa yang kau pergunakan itu?!” desis Daryasena. Tangan kirinya mendekap luka di dadanya.
“He he he...! Kau tak perlu heran, Daryasena. Kepandaianku semakin bertambah sejak mengembara setahun lalu. Aku berguru lagi pada banyak orang. Maka, tidak usah heran kalau aku dapat mengalahkanmu!” leceh Karyasena.
“Huh! Meski kau memiliki ilmu iblis sekalipun, jangan harap aku akan takut! Aku akan tetap memaksamu sampai kau ikut denganku!” dengus Daryasena.
“Hm, bandel!” Karyasena bersungut-sungut garang. “Aku masih memandang hubungan pertalian darah denganmu, sehingga masih mau mengampuni jiwamu. Tapi kau sungguh tolol jika mengira aku tidak berani membunuhmu. Daryasena! Aku akan membunuhmu hari ini!”
“Tidak usah banyak mulut! Lakukanlah kalau kau mampu!” sentak Daryasena.
“Huh!”
Karyasena kembali mendengus. Setelah kakinya maju selangkah ke depan, tubuhnya langsung meluruk menyerang disertai ayunan tongkatnya.
“Yiaaat...!”
Ujung tongkat Karyasena menyambar-nyambar mengincar keselamatan Daryasena dengan gencar. Meski sesekali Daryasena berhasil menangkis atau menghindar, tapi tak urung serangan Karyasena cukup mengejutkannya. Ini tidak mengherankan lagi, sebab banyak jurus milik Karyasena yang tidak dikenalnya. Sebaliknya Karyasena amat mengenal jurus-jurus saudara kembarnya itu dengan baik. Sehingga dengan cepat mampu mendesak Daryasena.
“Hiyaaat...!”
Daryasena membentak nyaring begitu tubuhnya mencelat ke belakang. Ketika mendarat empuk di tanah, telapak tangan kirinya dihentakkan ke arah Karyasena. Saat itu juga, dari telapak tangannya mendesir angin kencang berhawa panas.
Wesss...!
“Uts!” Namun Karyasena yang sudah mampu membaca serangan, cepat melenting ke atas. Begitu berada di atas, tubuhnya meluruk ke arah Daryasena dengan hantaman pukulan jarak jauhnya. Begitu cepat gerakan Karyasena, sehingga....
Des!
“Aaakh...!”
Daryasena kontan memekik keras begitu dadanya terhantam tongkat Karyasena. Tubuhnya terpental ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
“Karyasena! Habisi dia sekarang! Kalau tidak, kelak akan menjadi batu sandungan bagimu!” teriak seorang laki-laki tua berpakaian pendeta yang berada didekatnya.
Sementara itu Karyasena ragu-ragu untuk melanjutkan serangan. Tampak Daryasena megap-megap, berusaha bangkit dengan susah payah. Sementara darah berlelehan dari mulutnya.
“Ayo, Karyasena! Apa lagi yang kau tunggu?! Bunuh saja! Dia akan menjadi duri dalam hidupmu kalau dibiarkan hidup. Bunuh dia sekarang!” bentak pendeta itu lagi.
Karyasena melirik sekilas. Kemudian kembali kepalanya berpaling kepada Daryasena. Lalu....
“Yeaaa...!” Disertai bentakan menggelegar, gerakan cepat Karyasena mencelat kearah Daryasena dan siap menghabisinya. Telapak tangan kiri siap menghantam pukulan maut. Sedangkan tongkat di tangan kanannya berjaga-jaga jika Daryasena mampu menghindar.
“Uhhh...!” Daryasena melenguh pendek dengan sikap pasrah. Kepalanya sakit dan dadanya sesak. Pandangannya mengabur. Beberapa kali dia muntahkan darah segar bercampur warna kehitam-hitaman. Bukannya Daryasena tidak tahu adanya serangan. Namun dalam keadaan seperti saat ini, sulit baginya untuk menghindar. Pemuda itu hanya bisa duduk berlutut sambil memejamkan mata.
Tapi begitu serangan pukulan jarak jauh hampir menghantam Daryasena, mendadak berkelebat satu bayangan putih yang langsung menyambarnya.
Tap!
“Heh?!”
Glarrr...!
Tepat ketika pukulan jarak jauh Karyasena menghantam tanah tempat Daryasena tadi terjajar, bayangan itu sudah kembali berkelebat. Sementara bunyi ledakan keras terdengar, disertai bongkahan tanah yang terhantam pukulan jarak jauh tadi.
Belum sempat ada yang menyadari, sosok bayangan putih itu sudah melesat cepat, lalu melompati pagar yang cukup tinggi. Begitu cepat dan ringan gerakannya, pertanda sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
“Keparat! Siapa kira-kira dia, Wiku Timbal?!” tanya Karyasena kepada laki-laki berpakaian pendeta, begitu mereka tersadar dari keterpakuan.
“Entahlah.... Apa kau tidak punya dugaan bahwa itu kakekmu sendiri?” sosok berpakaian pendeta yang dipanggil Wiku Timbal malah balik bertanya.
Dahi Karyasena berkerut sebentar, lalu menggeleng kecil. “Sejak kakek menyerahkan tampuk pimpinan kepada Daryasena, beliau memilih hidup mengasingkan diri...,” desah Karyasena.
“Tidak mau mencampuri urusan dunia lagi?” tanya Wiku Timbal sambil tersenyum.
“Ya....”
“Kalau begitu, kenapa dia menyuruh saudaramu kesini dan memerintahkanmu agar menghadap kepadanya? Tahukah kau, untuk apa kau diperintahkan menghadap padanya?” tanya Wiku Timbal.
“Orang tua itu pasti akan mencoba untuk menghukumku!” desis Karyasena.
“Dia hendak turun mengurusi tingkah cucunya?”
“Ya!”
“Kalau begitu dia telah mengurusi hal-hal keduniaan. Itu berarti pertapaannya dibatalkan.”
Karyasena terdiam. Dia mengerti, apa yang dimaksud Wiku Timbal. Tapi bukan itu yang menjadi pikirannya saat ini.
“Aku yakin, itu bukan kakek. Kalau betul, dia tidak akan berbuat begitu. Kakekku berangasan. Kalau bermaksud menghukum, tentu tidak secara begini. Menyelamatkan Daryasena, lalu kabur...,” gumam Karyasena.
“Lalu siapa? Apa salah seorang anak buah kakekmu?” desah Wiku Timbal.
“Tidak. Tidak ada yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat itu. Aku curiga pada seseorang...,” ucap Karyasena terputus.
“Siapa?”
“Pendekar Rajawali Sakti.”
“Pendekar Rajawali Sakti? Kau hendak menghubungkannya dengan cerita yang dibawa Diwangkara?” duga Wiku Timbal dengan kening berkerut.
“Ya, Orang itu suka ikut campur urusan orang. Dia akan menjadi batu sandungan bagi kita!” desis Karyasena.
“Tidak usah khawatir! Jumlah kita banyak. Dan kami bukanlah tokoh-tokoh tingkat rendah!” tandas Wiku Timbal.
Karyasena tersenyum seraya memandang sang wiku serta yang lainnya. “Ya, aku percaya itu. Itulah sebabnya kalian kuajak bergabung. Nah! Aku inginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tangkaplah dia. Dan, pancung kepalanya. Tidak seorang pun boleh menghalangi urusanku.”
“Beres! Dalam waktu singkat akan kami bawakan kepalanya untukmu!” sahut Wiku Timbal.
Karyasena kembali tersenyum, lalu kembali ke rumah utama.
********************
ENAM
Daryasena menggeliat perlahan-lahan sambil mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Kepalanya masih terasa sakit berdenyut-denyut Pandangannya sedikit mengabur. Namun matanya masih jelas melihat seseorang berbaju rompi putih berdiri membelakangi memandang keluar lewat jendela.
“Oh...!” Daryasena mengeluh, ketika berusaha bangkit Sementara orang berbaju rompi putih itu berbalik. Dia mendekati Daryasena, lalu mendorong dadanya hingga kembali berbaring. Kini dia bisa melihat jelas, seorang pemuda tampan dengan baju rompi putih di depannya.
“Siapakah Kisanak? Apakah kau yang menolongku...?” tanya Daryasena, lirih.
“Aku Rangga. Hanya kebetulan saja aku dapat menolongmu,” sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
“Ah! Aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi....”
“Kau masih lemah,” potong Rangga. “Jangan terlalu banyak berpikir.”
“Aku gagal menjalankan tugas! Apa yang harus kukatakan pada Kakek Jembrana?” keluh pemuda berbaju pengemis itu.
“O, jadi kau cucu Ki Jembrana?” tanya Rangga.
“Kau kenal beliau?”
“Hanya kebetulan saja?”
“Kau sahabat kakekku?!” desak Daryasena.
“Begitulah....”
Daryasena tertawa, namun tiba-tiba berhenti. Wajahnya meringis. Sebelah telapak tangannya mendekap dada. Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak mengurut-urut dada pemuda pengemis ini. Sehingga rasa nyeri yang tadi dirasakannya berangsur-angsur membaik.
“Kenapa kau tadi tertawa...?” tanya Rangga.
Daryasena tersenyum, lalu menarik napas panjang. “Kakekku sudah tua. Sedangkan kau paling-paling berusia sedikit diatasku. Bagaimana bisa dikatakan kalau kau sahabatnya?”
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. “Apakah kau tidak tahu? Dalam bersahabat, bukan usia yang menentukan. Tapi ketulusan hati dan saling menghormati. Itulah yang kami lakukan...,” jelas Rangga, penuh makna.
“Kau menghormati kakekku?”
“Tentu saja!”
“Bila menghormati, tentu akan saling menolong bila kawan dalam kesulitan. Kini kakekku dalam kesulitan. Karyasena, saudara kembarku, membuat malu Kakek Jembrana dengan segala kelakuan buruknya. Maka sebagai seorang sahabat, mana rasa hormatmu kepadanya?” pancing Daryasena.
Rangga tersenyum. “Bukankah kau dan aku di sini? Kalau kubiarkan, kau akan mati dibunuh saudaramu sendiri. Dan kemarin, seseorang bernama Pamulang mungkin telah menceritakan keterlibatanku. Sehingga, dia secara tidak langsung berhasil membawa pulang beberapa pengemis yang selama ini menjadi anak buah Karyasena. Itulah tanda rasa hormatku kepadanya. Dan kalaupun tanpa rasa hormat, aku tetap akan turut campur memerangi kejahatan dan membantu mereka yang lemah....”
Daryasena terdiam. Dipandanginya pemuda itu untuk beberapa saat lamanya, lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain.
“Maafkan, mungkin aku terlalu picik. Wawasan berpikirku sempit sehingga tidak tahu apa yang harus kukatakan...,” ucap Daryasena.
“Mungkin kau terlalu dibawa hanyut perasaan. Kau menghendaki semua orang mengikuti jalan pikiranmu, sementara caramu menyampaikannya salah. Sehingga ketika mereka tidak mau mengerti, maka kau menjadi marah...,” kata Rangga, bijaksana.
“Yaah, kau benar...,” desah Daryasena.
“Sudahlah.... Tidak usah dipersoalkan lagi. Kini apa rencanamu selanjutnya?” tanya Rangga.
“Aku harus membawa Karyasena menghadap kakek. Tapi dalam keadaan begini...? Oh, rasanya sulit...,” keluh pemuda berbaju pengemis itu.
“Apakah tidak ada cara lain?”
“Kakek memberi perintah begitu. Maka aku harus melaksanakannya sesuai perintah.”
“Kau cucu yang baik, Daryasena. Namun perlu banyak akal untuk membawa Karyasena ke hadapan kakekmu. Bila kita gagal dalam menggunakan satu cara, maka kita harus menempuh cara lain. Yang penting maksudnya tercapai,” jelas Rangga.
“Maksudnya?”
“Bukankah tujuanmu cuma ingin mendapatkan Karyasena, lalu dibawa menghadap Ki Jembrana?”
Daryasena mengangguk. Wajahnya tampak penuh perhatian menunggu bicara pemuda berbaju rompi putih itu.
“Cara yang kau tempuh tadi jelas salah. Kedudukan Karyasena saat ini bukan sekadar saudara kembarmu, dan tidak seperti dulu. Dia Ketua Partai Pengemis yang baru, meski masih menggunakan nama partai kakekmu. Sudah tentu dia tidak sudi ikut denganmu!” papar Rangga.
“Kenapa?”
“Harga dirinya akan jatuh di depan anak buahnya. Apalagi, dia tahu bila menghadap kakekmu, berarti siap menerima hukuman. Sedang Karyasena jelas tidak mau dihukum. Dia berani berbuat semaunya dengan menggunakan nama partai yang dipimpin kakekmu, itu berarti ingin melawan. Mana mungkin orang yang jelas-jelas melawan, mau datang menemui orang yang dilawannya,” papar Rangga lagi.
“Hm, ya. Kau benar. Sobat. Tapi cara apa yang sebaiknya kutempuh? Dengan kekerasan jelas tidak mungkin. Sebab, kepandaiannya saat ini jauh di atasku...!” keluh Daryasena.
“Itu sama seperti bunuh diri. Bukan saja dia lebih hebat, tapi di sekelilingnya pun banyak terdapat tokoh silat yang cukup tangguh. Sekarang yang terpenting adalah, menyembuhkan luka dalam yang kau derita. Baru setelah itu, kita pikirkan bagaimana cara menyeret Karyasena...”
“Ya, kau benar. Dalam keadaan terluka begini, tak ada yang bisa kulakukan. Berpikir pun rasanya kacau....”
“Kalau begitu, jangan berpikir dulu,” tukas Rangga seraya menyodorkan bumbung bambu berisi cairan obat kepada Daryasena. “Minum, lalu tidurlah....”
“Eh, kau mau kemana?!” seru Daryasena, ketika Rangga melangkah keluar.
“Aku berjaga-jaga diluar!” sahut Rangga tanpa menoleh.
Di luar gubuk yang telah ditinggalkan pemiliknya, udara terasa dingin. Sehingga Rangga lebih nyaman berada di dalam. Sesekali matanya melirik Daryasena yang masih terbaring di dipan. Kelihatannya tidur pulas sekali. Obat yang tadi diberikan mungkin telah bekerja. Itu lebih baik, ketimbang dia banyak bicara dan terus berpikir. Daryasena memang lugu, sehingga pikirannya selalu lurus kedepan. Ketika bertemu jalan buntu, maka dia jadi putus asa dan nekad melabrak apa saja dengan kekuatannya.
Rangga menarik napas. Ketika mendongak keatas, langit terlihat gelap. Tidak terlihat sebuah bintang pun. Mendung demikian tebal. Dan sebentar lagi, mungkin hujan. Gubuk ini sudah rusak, sehingga ditinggalkan pemiliknya. Kalau hujan lebat datang bersama angin kencang, maka mereka terpaksa mencari tempat berlindung yang lain. Mungkin dirumah salah seorang penduduk desa ini.
“Hm....” Pemuda Itu menghela napas pendek, ketika telinganya yang terlatih mendengar beberapa langkah halus mendekati tempat ini. Mendengar gerakannya, mereka tampaknya jelas memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Sementara Rangga sendiri belum berbuat apa-apa. Dia sengaja memberi peluang kepada pengintai-pengintai yang berada tidak jauh dari tempatnya.
Set! Set!
Baru ketika dari balik pohon-pohon di sekitarnya berkelebat sinar putih keperakan, Pendekar Rajawali Sakti mulai bertindak.
“Hup!” Saat itu juga, tubuh Rangga melenting tinggi ke udara, menghindari terjangan senjata rahasia yang ternyata logam berbentuk bintang berwarna keemasan.
Tap! Tap!
Beberapa bintang emas langsung menancap di tiang-tiang rumah di belakang Rangga tadi. Sedangkan Rangga yang baru saja mendarat di tanah, langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
“Aji ‘Bayu Bajra’! Heaaa...!”
Saat itu juga tercipta angin keras bagai topan, menerjang sosok-sosok tubuh yang mulai berlompatan hendak menyerang.
Wusss...!
“Aaakh...!”
Bagi sosok-sosok yang berkepandaian tangguh, angin itu membuat tubuh mereka terhumbalang, dan langsung menghantam batang-batang pohon.
Pendekar Rajawali Sakti kini melipat kedua tangannya ke dada, lalu memandang beberapa orang yang mampu bertahan setelah mengerahkan tenaga dalam tinggi.
“He he he...! Ternyata nama Pendekar Rajawali Sakti bukan isapan jempol belaka!” Seorang laki-laki bertubuh besar dengan jubah panjang terkekeh sambil berkacak pinggang.
“Aku tidak perlu pujianmu. Apa yang kalian inginkan disini, sehingga mesti mengendap-endap seperti maling?” sahut Rangga, datar.
“Serahkan Daryasena pada kami. Dan, jauhi segala urusan partai pengemis!” dengus laki-laki berjubah hitam itu.
“Kenapa kau bisa menuduhku begitu?” tanya Rangga, pura-pura bodoh.
“Jangan berpura-pura. Keparat! Saat ini kau berhadapan dengan Ki Bagus Tiran. Aku kenal sekali semua orang di desa ini. Dan, tahu apa pun yang terjadi meski kecil sekalipun!” dengus laki-laki berjubah hitam yang mengaku bernama Ki Bagus Tiran.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dingin. “Kalau begitu, berarti kau tahu juga bagaimana watakku. Aku tidak suka diganggu. Dan siapa saja yang berani mengganggu, akan kujewer telinganya!” sambung Rangga, memanas-manasi.
“Keparat! Sombong juga rupanya kau!” bentak Ki Bagus Tiran.
“Huh! Aku jadi ingin tahu sampai di mana kebisaan keparat sombong ini!” desis orang yang berada di sebelah kiri Ki Bagus Tiran.
Tanpa menunggu perintah kawannya, orang itu langsung mencelat ke depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Keparat sombong, hadapi si Kuto Gede!” dengus laki-laki bernama Kuto Gede.
Sring!
Begitu pedangnya tercabut, Ki Kuto Gede langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
“Heaaa...!”
Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak mau terlalu bermain dengan lawan. Begitu Ki Kuto Gede menyerang, maka saat itu pula pedangnya dicabut. Sinar biru berkilauan langsung memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Sring!
Tepat ketika pedang Ki Kuto Gede hampir menyambar leher. Rangga cepat melompat ke belakang sambil memapak.
Tras!
“Heh?!” Bukan main kagetnya Ki Kuto Gede ketika melihat pedangnya putus disambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Belum sempat dia berbuat sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, pedangnya meluncur ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Jres!
“Aaa...!”
Ki Kuto Gede kontan terpekik begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menghujam dadanya. Tubuhnya langsung ambruk saat Rangga mencabut pedangnya. Di tengah genangan darah, tubuhnya menggelepar-gelepar, kemudian diam tak berkutik.
“Kuto Gede?!” sentak Ki Bagus Tiran kaget.
Laki-laki berjubah hitam itu memandang Pendekar Rajawali Sakti lekat-lekat. Wajahnya menyiratkan amarah dan kegeraman luar biasa.
“Keparat! Kau bunuh kawanku, he?! Kau pun akan mampus di tanganku!” desis Ki Bagus Tiran seraya mencabut sepasang kapak besar yang terselip di pinggang.
Sret!
“Heaaa...!” Bukan hanya Ki Bagus Tiran saja yang ikut menyerang.. Seorang kawannya yang bersenjata pedang pun sudah langsung mencabut senjata. Lalu dengan cepat dia membantu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!” Rangga pun seperti tak pernah ciut nyalinya. Begitu mendapat dua serangan, tubuhnya berkelebat cepat sambil memapak senjata-senjata dua orang lawannya dengan pedang.
“Uts!” Ki Bagus Tiran terkesiap. Nyaris ujung pedang pemuda itu membabat lehernya kalau tidak cepat-cepat melompat ke belakang. Meski begitu, tidak urung hawa panas menyengat seperti menyambarnya. Namun malang bagi kawannya. Dia begitu nekat memapaki senjata Pendekar Rajawali Sakti dengan pedangnya.
Bet! Tras!
Akibatnya pedang itu putus. Sedangkan senjata Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya secepat kilat. Dan....
Cras!
“Aaakh...!” Disertai pekik kecil, orang itu kontan ambruk dengan mata melotot. Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang begitu cepat meluncur, tidak dapat dihindari dan langsung membeset lehernya. Begitu tubuhnya ambruk, kepalanya langsung menggelinding ditanah. Darah seketika berhamburan dari lehernya yang buntung.
“Jlatung...!” teriak Ki Bagus Tiran, kaget. Ki Bagus Tiran memandang pemuda itu sambil menyeringai buas. Sepasang matanya mendelik garang. Kemudian tiba-tiba dia melompat menerjang.
“Heaaa...!” Rangga tidak mau menunggu lama-lama lagi. Seketika itu juga pedangnya berkelebat memapaki kedua kapak Ki Bagus Tiran.
Tras!
Dalam keadaan marah seperti ini, Ki Bagus Tiran mulai lupa akan keampuhan senjata pemuda itu. Dan ketika kesadarannya pulih, sebuah kapaknya ternyata telah putus!
“Setan! Akan kubunuh kau. Jahanam!” desis Ki Bagus Tiran menggeram.
“Silakan saja, Kisanak. Tidak usah sungkan-sungkan!” balas Rangga, kalem.
“Heaaa...!” Baru saja kata-kata Rangga habis, Ki Bagus Tiran langsung menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Wurrr...!
Dari telapak tangan Ki Bagus Tiran seketika meluncur sinar hijau ke arah Rangga. Pada saat yang sama tubuhnya menyusuli dengan mencelat cepat sambil mengayunkan senjatanya menebas leher.
“Hup!” Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengegos ke kiri, menghindari pukulan jarak jauh Ki Bagus Tiran. Pada saat yang sama pula, pedangnya berkelebat, memapak kapak laki-laki berjubah itu.
Tras!
Ki Bagus Tiran geram bukan main melihat kapaknya kembali buntung terbabat pedang pemuda itu. Dan belum sempat dia berbuat sesuatu. Rangga telah melepaskan gedoran tajam ke dadanya.
Desss...!
“Aaakh...!” Ki Bagus Tiran kembali terpekik. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang. Isi dadanya terasa remuk. Dan dari mulutnya mengucur darah segar. Dengan bersusah-payah dia berusaha bangkit. Tapi baru saja bergerak, ujung pedang pemuda itu telah menempel di dada kirinya.
“Apakah kau masih sayang nyawamu?” kata Rangga, mengancam.
“Huh!” Ki Bagus Tiran hanya bisa mendengus sambil memandang sinis pada pemuda itu.
“Pergilah. Dan katakan pada Karyasena! Kutunggu dia disini kalau memang jantan!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Setelah berkata begitu, Rangga mengangkat pedangnya dan tubuhnya lantas berbalik, meninggalkan Ki Bagus Tiran.
Ki Bagus Tiran kembali menggeram dan buru-buru bangkit. Dia tidak berani berbuat macam-macam, meski pemuda itu memunggunginya. Tanpa banyak bicara, dia segera kabur dari tempat ini.
Diambang pintu terlihat Daryasena tengah bersandar seraya memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti. Segera saja Rangga menghampiri.
“Hebat sekali! Tapi bagaimana kalau ternyata mereka benar-benar datang lalu mengeroyokmu? Apakah kau sanggup menghadapi mereka?” tanya Daryasena ketika Rangga telah berada setengah tombak di depannya.
“Mudah-mudahan saja,” sahut Rangga merendah.
“Lantas, kenapa kau berani menghadapi mereka?”
“Jangan khawatir. Kita tidak perlu menghadapi mereka semua....”
“Lantas, kau punya cara lain?”
“Ya.”
“Apa itu?”
“Kita harus cepat-cepat angkat kaki dari sini!”
“Kau telah menantangnya, kemudian kabur begitu saja. Itu bukanlah tindakan ksatria!”
Rangga tersenyum. “Beda besar antara pengecut dengan mereka yang menggunakan akalnya. Pengecut, berarti tidak berani menghadapi musuh dan terus bersembunyi. Sedang aku masih bersemangat untuk mencundangi mereka,” kilah Rangga.
“Bagaimana caranya?” desak Daryasena.
“Inilah salah satunya. Kita biarkan mereka marah, karena tidak berhasil menemui musuhnya. Dan..., ah! Pokoknya ikut saja. Dan, jangan banyak tanya dulu! Bagaimana keadaanmu sekarang?” ujar Rangga.
“Agak lumayan....”
“Bagus! Kita berangkat sekarang juga ke tempat mereka.”
“Ke tempat mereka?!”
“Ya, kenapa? Untuk mengalahkan musuh, kita perlu tahu apa saja gerakan yang dilakukannya. Dan setelah itu, baru menghantamnya setelah mengetahui kelemahannya.”
“Hm, akal yang cerdik!” puji Daryasena.
“Bukan. Kita belum sampai ke tujuan. Ini baru rencana. Karena, kalau keadaannya tidak sama seperti yang diharapkan, maka rencana bisa berubah. Nah, ayo kita berangkat sekarang juga!” ajak Pendekar Rajawali Sakti.
“Ayolah...!”
TUJUH
Karyasena mencak-mencak tak karuan. Wajahnya tampak garang dengan sepasang mata melotot tajam. “Keparat! Jadi dia ingin menantangku, he?!” dengus Karyasena geram.
“Begitulah yang dikatakannya...,” ujar Ki Bagus Tiran.
“Tidak tahukah dia, siapa aku?!” lanjut Karyasena, bernada sombong.
“Kenapa tidak sekalian saja kau beri pelajaran, agar dia tidak jadi besar kepala?” tanya Ki Bagus Tiran.
“Tutup mulutmu! Kau kuajak bergabung bukan untuk mengajariku!” hardik Karyasena.
Ki Bagus Tiran tersentak kaget, dan buru-buru menunduk. Karyasena terdiam. Namun hela napasnya terasa memburu. Raut wajahnya masih tegang penuh api amarah. Dipandanginya mereka yang duduk di depan satu persatu, kemudian berakhir pada Wiku Timbal.
“Bagaimana, Wiku? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Karyasena.
“Apa rencanamu?” Wiku Timbal malah balik bertanya.
“Aku akan datang kesana dan memenggal kepalanya dengan tanganku sendiri!” desis pemuda itu.
“Hm, memang begitu seharusnya. Tapi, hati-hati. Siapa tahu ini pancingan untuk kita...,” ujar Wiku Timbal.
“Bukankah kau sendiri yang berjanji akan menyerahkan kepalanya untukku?” sindir Karyasena.
“Aku tidak akan menarik janjiku, Karyasena. Bagus Tiran telah gagal menunaikan tugasnya. Maka, kini giliranku!” dengus Wiku Timbal seraya mengepalkan kedua tangannya.
“Lalu, apa lagi yang kau tunggu? Pergilah kesana. Dan, penggal kepalanya lalu bawa ke hadapanku!”
“Karyasena! Kau harus ingat. Selain memiliki ilmu olah kanuragan hebat, Pendekar Rajawali Sakti pun terkenal cerdik. Kita harus hati-hati dan jangan terburu-buru...,” ujar Wiku Timbal.
“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Menunggu dia datang.”
“Menunggu dia datang? Gila!” sentak Karyasena dengan mata mendelik garang. Kata-kata Wiku Timbal, membuatnya hampir tak percaya. Begitu hebatkah Pendekar Rajawali Sakti, sehingga akan menyatroni tempat ini?
“Sabar dulu. Dengarkan penjelasanku selanjutnya!” tukas sang wiku ketika melihat perubahan air muka Ketua Partai Pengemis Bintang Emas itu.
Karyasena memandang penuh seksama dan menanti lanjutan kata-kata Wiku Timbal.
“Aku tidak yakin bila Pendekar Rajawali Sakti berada di sana. Dia menantang kita semua ke sana. Bagaimana kalau itu hanya jebakan?” jelas laki-laki berpakaian pendeta ini.
“Jebakan bagaimana maksudmu?” tanya Karyasena tak sabar.
“Begitu kita ke sana, maka dia ke sini. Lalu mengobrak-abrik seluruh anak buahmu serta markas ini!” papar Wiku Timbal.
Karyasena berpikir beberapa saat, lalu mengangguk pelan. “Benar juga katamu...,” gumam pemuda itu.
“Kita harus cari cara lain,” cetus Wiku Timbal membuat semua mata memandang ke arahnya.
“Cara apa?”
“Kirim dua orang ke sana. Dan pastikan bahwa ini bukan siasatnya saja. Bila benar dia ada di sana, maka kita datang memenuhi tantangannya. Tapi bila ternyata cuma siasat, maka kita gunakan cara lain,” jelas Wiku Timbal lagi.
“Apa itu?” desak Karyasena, tak sabar.
“Kita sandera penduduk desa! Bila dia tidak muncul, maka bunuh mereka satu persatu tiap hitungan ke lima puluh!” papar laki-laki berpakaian pendeta, namun beraliran sesat ini.
“Kenapa kau yakin caramu ini akan berhasil? Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak ada di sini, sehingga tidak tahu ancaman kita itu? Sia-sia saja jadinya.”
“Aku yakin dia di sini. Pendekar Rajawali Sakti selalu menyelesaikan urusannya sampai tuntas. Lagi pula, untuk apa dia menantang kita segala kalau ternyata sudah tidak berada di wilayah ini lagi?”
“Hm, kau benar. Semoga saja begitu dugaanmu. Aku sudah geram sekali ingin menghajar batok kepalanya!” desis Karyasena.
“Sabarlah, tidak usah terburu-buru. Bila saatnya tiba, maka segalanya akan berjalan lancar,” ujar Wiku Timbal.
“Sekarang juga kirim dua orang ke sana. Dan, pastikan bahwa keparat itu ada atau tidak!” perintah Karyasena pada salah seorang anak buahnya yang berada di ruangan ini.
Orang itu segera menjura hormat dan cepat berlalu. Tapi baru saja Karyasena hendak duduk, mendadak terdengar ribut-ribut dari arah luar. Tak lama, salah seorang tergopoh-gopoh memasuki ruangan ini.
“Ada apa?!” semprot Karyasena pada orang yang baru masuk ini.
“Seorang pengemis tua mengamuk di depan!” lapor orang itu.
“Tolol! Kenapa dia bisa masuk?!” bentak Karyasena.
“Dia lompat melewati pagar, Ki!”
“Keparat! Siapa dia?!”
“Menurut yang lain, orang tua itu bernama Ki Jembrana....”
“Apa? Ki Jembrana?!” Bola mata Karyasena tampak membulat. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dan hatinya mulai ketar-ketir. Selama kepergiannya dari tempat orang tua itu, baru sekali ini Ki Jembrana mengunjunginya. Dan jelas kalau kunjungan orang tua itu ke sini tidak sekadar menjenguk cucunya, melainkan untuk menghukumnya.
“Apa yang harus kita lakukan, Wiku?” tanya Karyasena.
“Kenapa kau kelihatan gelisah? Tidak usah khawatir. Kita sambut dia sebagaimana layaknya,” sahut sang wiku, tenang.
“Tapi....”
“Jangan khawatir!” potong Wiku Timbal. “Kami tentu saja tidak akan membiarkannya mencelakaimu. Ayo, mari temui dia!”
“Baiklah...,” sahut Karyasena dengan nada datar.
Sementara itu di halaman depan terlihat seorang pengemis tua tengah menghadapi keroyokan beberapa orang berpakaian pengemis. Gerakannya lincah sekali. Dan hampir setiap ujung tongkatnya bergerak, terdengar jerit kesakitan dari lawan-lawannya.
“He he he...! Cuma beginikah Karyasena mendidik kalian? Huh! Ternyata kalian sedikit lebih buruk ketimbang anjing kurap!” ejek orang tua ini.
Tidak ada seorang pun yang berani menanggapi ejekan kakek itu. Bahkan bila dilihat, ternyata serangan yang mereka lakukan seperti tidak sungguh-sungguh. Orang-orang itu hanya sekadar menjalankan perintah kaki tangan Karyasena. Ini tidak mengherankan, karena di antara mereka kenal betul, siapa orang tua itu. Beliau tidak lain dari Ki Jembrana, Ketua Partai Pengemis Bintang Emas.
“Hentikaaan...!” Mendadak terdengar bentakan keras. Tampak di ambang pintu berdiri tegak Karyasena bersama Wiku Timbal serta yang lain. Perlahan-lahan mereka melangkah mendekati orang tua itu, lalu menjura hormat.
“Kakek, terimalah salam hormat cucumu...!” sambut Karyasena.
“He he he...! Kau masih menganggapku sebagai kakekmu, Karyasena?” kata Ki Jembrana.
“Tentu saja, Kakek!”
“Lalu kenapa kau mengkhianatiku?”
“Kakek, aku tidak mengerti maksudmu...?!”
“Tidak usah berpura-pura, Anak Celaka! Kau gunakan nama partai yang kupimpin, demi kepentinganmu sendiri. Kalau apa yang kau lakukan beserta anak buahmu itu baik dan tidak merugikan, mungkin aku tidak semarah ini. Tapi perbuatanmu sungguh terkutuk! Kau coreng wajahku sehingga tokoh-tokoh persilatan menyangka aku merestui semua perbuatanmu!” dengus Ki Jembrana.
“Kakek! Kau salah sangka. Meski kau telah mengusirku, tapi aku sama sekali tidak bermaksud mencemarkan nama baikmu. Aku bisa menjelaskan semua ini!” kilah Karyasena.
“Kau boleh menjelaskannya setelah di akherat sana!” dengus Ki Jembrana lagi, langsung mencelat menyerang pemuda itu.
“Kakek...!” Karyasena pura-pura terkejut.
“Jangan sebut aku sebagai kakekmu lagi, Bocah Busuk!” Ki Jembrana menggeram sambil menyambarkan ujung tongkatnya ke muka Karyasena.
Namun pemuda itu tidak mau terluka begitu saja. Secepat itu dia melompat ke belakang.
“Bagus! Itu membuktikan bahwa kau memang ingin melawanku!” desis Ki Jembrana.
“Kakek! Aku tidak mau mati konyol begitu saja!”
“Kalau begitu, coba pertahankan kematianmu dari tanganku!”
“Maaf, Kek. Kau terlalu memaksaku...!” seru Karyasena, seraya mengayunkan tongkat menangkis senjata orang tua itu.
Trang!
Wuuut...!
Mula-mula Karyasena terlihat canggung setiap kali menangkis serangan kakeknya. Bagaimanapun, Ki Jembrana telah ikut membesarkan, mendidik, serta mengajarkannya ilmu olah kanuragan. Tapi lama kelamaan dia terpaksa harus mempertahankan diri, saat orang tua itu menyerangnya sungguh-sungguh. Sepertinya apa yang tadi dikatakannya, akan dibuktikan. Dan tentu saja, Karyasena tidak mau mati konyol!
“Heaaa...!”
Trang!
Kembali Karyasena menangkis senjata Ki Jembrana. Bahkan kini ujung tongkatnya melesat menyambar leher orang tua itu. Ki Jembrana terkekeh. Tubuhnya langsung mencelat ke belakang. Namun, Karyasena tidak mau membiarkan begitu saja. Amarahnya yang telah bangkit, kini membuat niat hatinya bukan sekadar ingin menangkis dan membalas serangan, melainkan juga ingin membunuh kakek angkatnya.
“He he he..,! Kau ingin mencobaku. Bocah? Baiklah! Akan kulihat, sampai di mana kemajuanmu selama ini!” Ki Jembrana terkekeh. Lalu tubuhnya melompat menghindari serangan, untuk kemudian meluruk membalas serangan.
“Uts!” Karyasena cepat mencelat ke atas sambil mengibaskan ujung tongkatnya. Tapi tubuh Ki Jembrana terus mengejarnya, orang tua ini malah mencelat ke atas melewati kepalanya.
Tentu saja hal ini membuat Karyasena terkejut. Dia coba merunduk sambil mengibaskan tongkat. Dan tahu-tahu senjatanya menyambar tempat kosong.
“Bedebah...!” maki pemuda itu geram begitu kakinya menjejak tanah.
Sepasang mata Karyasena nanar menatap Ki Jembrana yang juga sudah mendarat ringan. Wajahnya menyeringai buas.
“Kau yang memaksaku, Kakek. Jangan salahkan kalau aku bertindak kasar padamu!” desis Karyasena, penuh ancaman.
“Karyasena! Kau sudah kuanggap orang lain! Dan kejahatanmu mesti disingkirkan. Kenapa mesti memikirkan aku sebagai kakekmu, sehingga kau jadi sungkan? Ayo, seranglah! Aku tahu, kau banyak belajar selain ilmu yang kuturunkan kepadamu!” balas Ki Jembrana.
Karyasena mendengus geram. Telapak tangan kirinya mendadak menghentak ke depan. Dari telapak tangannya melesat angin kencang berhawa panas. Bersamaan dengan itu Karyasena mencelat menerjang Ki Jembrana.
“Heaaa...!”
“Uts!” Ki Jembrana mencelat ke atas menghindari angin kencang yang meluruk ke arahnya. Setelah membuat beberapa gerakan jungkir balik orang tua itu cepat memapak serangan Karyasena selanjutnya yang berupa sabetan tongkatnya, dengan tongkat pula.
Trak!
Baru saja memapak serangan Karyasena, mendadak berkelebat beberapa buah benda berkilatan ke arahnya. Maka secepat itu pula tongkatnya kembali dikibaskan.
Trak! Trak!
Orang tua itu terkekeh ketika kedua telapak kakinya berpijak ke tanah. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, memang mudah baginya menghalau serangan gelap yang dilakukan anak buah Karyasena berupa lemparan pisau kecil.
“He he he...! Ternyata orang-orangmu sudah gatal tangannya. Mereka tidak sabar ingin ikut campur. Kenapa tidak kau suruh saja mereka untuk ikut membantumu?” ejek Ki Jembrana.
“Kakek! Kau yang menginginkan hal itu. Aku hanya sekadar menjalankannya saja,” sambut pemuda itu.
Karyasena cepat memberi isyarat, maka tujuh orang kawannya langsung melompat mengurung orang tua itu. Termasuk, Wiku Timbal. Tanpa banyak bicara, mereka langsung menyerang Ki Jembrana dari segala arah.
“Heaaa...!”
Tring! Trang!
Bet! Wuuuk!
Ki Jembrana kelihatan lincah menghadapi serangan-serangan lawan-lawannya. Meski mereka rata-rata memiliki kepandaian di bawahnya, namun kalau bersatu seperti sekarang, maka sulit juga baginya untuk bisa mengalahkan dengan mudah. Terlebih lagi, di situ ada Karyasena yang mengerti sebagian ilmu silatnya. Dan mungkin telah mengajarkan sebagian garis besarnya pada kawan-kawannya.
Kecurigaan Ki Jembrana itu bukannya tanpa alasan. Hampir semua serangannya selalu bisa dielakkan dengan mudah. Sementara semua titik-titik kelemahannya meski yang paling kecil sekalipun, dapat diketahui. Sehingga beberapa kali terpaksa dia tersentak kaget, lalu pontang-panting menghindar ketika serangan lawan-lawannya datang bertubi-tubi dan sambung menyambung bagai ombak di lautan.
“Ha ha ha...! Inikah dia Ketua Partai Pengemis Bintang Emas yang kesohor tidak ada bandingannya? Yang kulihat sekarang ternyata tidak ubahnya seperti tikus kecebur got!” ejek Wiku Timbal.
“Diam kau, Paderi Busuk! Tidak malukah kau dengan seragammu itu?! Kau seperti serigala berbulu domba. Luarnya kelihatan baik, tapi dalamnya busuk dan keji!” balas Ki Jembrana.
“Keparat! Orang tua celaka! Sebentar lagi kau bakal mampus di tanganku. Maka hiruplah udara sepuas-puasnya untuk yang terakhir kali!”
“Kaulah yang sepatutnya berdoa. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa berkenan mengirimmu ke neraka!”
“Setan!” Wiku Timbal memaki. Tongkat besar di tangan Wiku Timbal menggebuk punggung Ki Jembrana dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga terdengar angin kencang bergemuruh. Namun, Ki Jembrana telah melompat ke atas, sehingga serangan itu luput dari sasaran.
Baru saja kedua kaki Ki Jembrana menginjak tanah, saat itu juga Karyasena mengayunkan tongkat menebas lehernya. Cepat bagai kilat, orang tua itu menarik tubuhnya ke belakang tanpa menggeser kakinya dengan dada menghadap ke atas. Sementara tongkat di tangannya menangkis, saat dua lawan lainnya hendak memapas pinggangnya. Dan belum sempat Ki Jembrana menegakkan tubuhnya kembali....
“Lepaskan jaring!”
Begitu terdengar perintah, beberapa sosok tubuh langsung melompat. Masing-masing dari mereka melempar ujung jaring yang terbuat dari bahan yang cukup alot. Bahkan sulit diputuskan meski dengan sebilah golok tajam.
“Uts! Yeaaa...!”
Begitu sebuah jaring hendak meringkus, Ki Jembrana merendahkan kuda-kuda, lalu melompat ke samping dan bergulingan. Jaring pertama gagal meringkusnya. Tapi tiga lawannya serentak menyudutkan orang tua itu dengan serangan gencar.
“Yeaaa...!”
Pengemis tua itu kembali mencelat ke atas sambil mengayunkan tongkat, ketika sebuah jaring lain berusaha meringkusnya.
Tes! Tes!
Ujung tongkat laki-laki tua itu yang dialiri tenaga dalam tinggi, berhasil memutus beberapa utas tali jaring. Tapi mendadak seutas tali lain melibat pergelangan tangan kanannya.
Rrrrt!
Baru saja Ki Jembrana hendak menyentaknya, maka seutas tali lain melibat pergelangan tangannya yang satu lagi.
“Hmhhh...!” Ki Jembrana mendengus geram. Dia bermaksud mengerahkan tenaga dalam untuk menyentak mereka. Namun belum lagi hal itu dilakukan, mendadak dua utas tali lain segera menjerat pergelangan kedua kakinya.
“Keparat...!” desis Ketua Partai Pengemis Bintang Emas itu.
Wrap...!
Ketika dua buah jaring lain melesat hendak meringkusnya, Ki Jembrana coba mencelat ke atas. Dengan begitu, dia berharap keempat pemegang tali yang menjeratnya akan terpental dan terbanting.
“Heaaa...!”
Harapan Ki Jembrana memang terkabul. Empat sosok tubuh lawannya terpental. Tapi mereka tidak terbanting seperti yang diharapkannya, melainkan seperti bertukar tempat satu sama lain dengan gerakan berputar.
Tap! Tap!
“Keparat...!” dengus orang tua itu. Sia-sia Ki Jembrana berusaha berontak. Sebab secara tidak langsung, keempat orang pemegang tali itu terlihat melilitnya dengan cepat.
Dua buah jala menutupi Ki Jembrana, dan langsung dikebat tali-tali yang dipegang empat orang yang meringkusnya. Sekali lagi, orang tua itu berusaha berontak. Namun tongkat Wiku Timbal telah bergerak cepat.
Begkh...!
“Aaakh...!” Ki Jembrana memekik, ketika tongkat itu menghajar tengkuknya.
“Hua ha ha...! Bagaimana, Pengemis Tua? Apakah kau merasa lebih baik dalam keadaan begini?!” ejek Wiku Timbal.
Ki Jembrana meringis. Namun seketika wajahnya berubah. Orang tua itu seperti tidak sudi memperlihatkan rasa sakit di depan lawan-lawannya.
“Tahukah kau? Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa sejak tadi! Apa itu? Tongkatmukah yang tadi mengelus-elusku? He he he...! Aku bahkan merasa lebih baik dielus-elus sehelai bulu.”
“Baik! Akan kulihat, apakah tongkatku sama sekali tidak terasa olehmu!” geram Wiku Timbal.
Secepat kilat laki-laki pendeta murtad itu melompat seraya menghantamkan tongkatnya kepada Ki Jembrana berkali-kali.
Des! Begkh! Buk!
“Uhhh...!” Ki Jembrana mengeluh tertahan. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk tidak menjerit, meski tulang-tulangnya terasa remuk menerima hajaran. Dan darah mulai mengucur dari mulut, lubang hidung, serta beberapa bagian tubuhnya yang terluka.
Tak seorang pun yang merasa iba melihat perlakuan Wiku Timbal terhadap orang tua itu. Apalagi berusaha menolongnya. Kalau tidak dihentikan, agaknya Ki Jembrana akan tewas. Tindakan Wiku Timbal seperti orang kesurupan!
“Heaaa...!”
“Heh?!”
Mendadak terdengar satu teriakan keras menggelegar yang disertai berkelebatnya satu sosok bayangan putih yang langsung menahan gerakan Wiku Timbal.
Semua orang yang ada di sini tersentak kaget, namun tidak bisa berbuat apa-apa, saking cepatnya gerakan bayangan putih itu.
“Uts!” Wiku Timbal terkesiap. Buru-buru dia melompat menghindari. Dan baru saja kakinya menjejak tanah. Tampak sesosok tubuh lainnya mencelat ke tempat itu. Dan kini di hadapannya berdiri dua sosok pemuda dengan wajah dingin menggetarkan.
“Hm, pucuk dicinta ulam tiba!” seru sang wiku ketika melihat siapa yang muncul. “Pendekar Rajawali Sakti! Hm..., rupanya Daryasena berhasil membujukmu kesini!”
DELAPAN
Sosok bayangan putih yang pertama muncul tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang berdiri di sampingnya, Daryasena.
“Aku pernah mendengar nama seorang pendeta berhati busuk dengan isi kepala penuh niat-niat buruk. Kurasa saat ini telah bertemu dengannya!” sindir Rangga.
“Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah terkepung di tempatku! Menyerahlah!” bentak Karyasena, garang.
Rangga melirik dan tersenyum. “Inikah murid durhaka itu?”
Disindir demikian bukan main geramnya Karyasena. Sejak semula mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti dan mengetahui kalau tokoh satu ini akan menjadi batu sandungan baginya, dia sudah begitu membencinya. Dan niatnya untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah padam. Apalagi saat ini, ketika tokoh itu telah berdiri didepannya.
“Tangkap dia...!” perintah Karyasena, dengan suara menggelegar.
“Heaaa...!”
Tujuh orang yang tadi dikerahkan untuk menangkap Ki Jembrana, kini mencoba meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Karyasena agaknya mau menyamakannya dengan Ki Jembrana. Bila orang tua itu berhasil diringkusnya, maka Pendekar Rajawali Sakti pun pasti bisa pula.
“Daryasena! Tidak usah ikut membantuku! Bantulah kakekmu lebih dulu!” teriak Rangga ketika melihat pengemis muda itu hendak bersiap membantunya.
“Tapi kau sendiri...?” kata Daryasena, ragu-ragu.
“Sudah, jangan pikirkan aku!” tukas Pendekar Rajawali Sakti. Suara Pendekar Rajawali Sakti terdengar lantang, seolah-olah sengaja agar didengar lawan-lawannya.
“Baiklah...,” ujar Daryasena. Pemuda itu bermaksud membebaskan kakeknya. Tapi hal itu agaknya tidak mudah, sebab anak buah Karyasena langsung menghalangi dan menyerang gencar.
“Heaaa...!” Maka terpaksa Daryasena lebih dulu harus menghadapi mereka.
Sementara hal yang sama tengah dialami Pendekar Rajawali Sakti. Ketujuh anggota partai pengemis yang diketuai Karyasena begitu bernafsu hendak menghajar dan menghabisinya dalam waktu singkat. Sehingga tidak mengherankan kalau gerakan mereka terlihat cepat. Masing-masing mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Terutama dalam permainan tongkatnya.
“Hiyaaat...!”
Sring!
Dan seperti hendak membuktikan kata-katanya, si Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bertindak setengah-setengah. Tubuhnya mencelat ke atas sambil berputaran beberapa kali. Begitu tubuhnya menukik tajam, pedangnya sudah tercabut. Selarik cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti berkelebat memapas senjata lawan-lawannya.
Trasss!
Orang-orang itu terkesiap. Dan sebelum mereka sempat sadar, ujung pedang si Pendekar Rajawali Sakti telah mendapat korban.
Bret! Cras!
“Aaa...!” Dua orang roboh setelah memekik kesakitan.
“Heaaa...!”
Pada saat yang sama tiga orang lawan termasuk Wiku Timbal, mencelat ke atas mengejar. Kembali tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, lalu menukik tajam mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Desss! Digkh!
“Aaa...! Aaakh...!”
Dua orang kontan terjungkal roboh dengan dada ringsek ke dalam begitu hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak pada sasaran. Sementara Wiku Timbal berhasil menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah, langsung bergulingan.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mencelat menyerang lawan-lawannya. Empat lawan yang tersisa ditambah Karyasena agaknya tidak cukup menahan amukan pemuda berbaju rompi putih itu. Sehingga perlu menambahkan beberapa orang anak buahnya yang lain.
“Hup!” Rangga terus berkelebat dengan pedangnya menyambar-nyambar mencari korban.
Cras! Cras!
“Aaa...!”
“Aaakh...!” Kembali dua orang menjadi korban. Sementara Pendekar Rajawali Sakti terus mencelat. Dan kali ini, gerakannya terarah pada Karyasena.
“Keparat busuk!” bentak Wiku Timbal. Pendeta itu segera memberi isyarat agar beberapa anak buahnya menyiapkan perangkap seperti yang tadi dilakukan terhadap Ki Jembrana.
“Hup!”
Set!
Beberapa orang melompat sambil menebar jala. Rangga tersenyum dingin. Dan tubuhnya langsung mencelat ke samping. Namun, lawan-lawannya yang lain telah menunggu dan bermaksud memojokkannya. Dan seketika mereka langsung menebar jala.
“Heaaat...!” Namun, begitu pedang pemuda itu bergerak...
Tras!
Jala-jala yang dilempar itu kontan koyak, tak dapat digunakan lagi tersambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan ketika Rangga berkelebat dengan jurus mengibas, tak ada seorang pun yang mampu mencegahnya.
Bret!
“Aaakh...!”
Kembali jatuh korban. Dua orang memekik, lalu roboh bermandikan darah saat pedang Rangga mendapatkan sasaran. Bahkan sang wiku sendiri kalau tidak cepat mengelak, lehernya nyaris putus.
“Heaaa...!”
Kali ini Karyasena meluruk, memberikan perlawanan hebat. Tapi amarah dan dendam telah menguasai hatinya, sehingga serangannya jadi kurang hati-hati. Dan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke arahnya, tanpa pikir panjang lagi tongkatnya langsung menangkis.
Tras!
“Heh?!” Betapa terkejutnya Karyasena ketika tongkatnya putus menjadi tiga bagian. Sementara pedang Pendekar Rajawali Sakti terus menyambar tenggorokannya. Dengan terburu-buru, Karyasena mencelat ke belakang. Rangga bermaksud mengejar, namun tiga lawan lainnya menyerang dari belakang.
“Hiaaa...!”
Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya menukik tajam mengejar Karyasena. Sedangkan tiga orang yang menyerang dari belakang hanya terbengong melihat serangannya luput. Karyasena mencoba menghalau serangan dengan melepaskan pukulan jarak jauhnya.
“Hih!”
“Uts!” Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat membuang tubuhnya, sehingga serangan itu luput.
Bletar!
“Aaakh...!”
Pukulan yang terus meluncur itu menghajar beberapa orang anak buah Karyasena. Mereka terlempar ke belakang dan roboh bermandikan darah. Nyawa mereka melayang saat itu juga.
“Heh?!” Karyasena terkesiap melihat keadaan itu. Tapi dia tidak punya banyak waktu, karena begitu tegak berdiri, tubuh Rangga kembali meluruk deras. Kali ini gerakan Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat dari semula.
Kilauan cahaya biru yang terpancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti menyilaukan pandangan. Dengan sejadi-jadinya, Karyasena berusaha melompat ke samping menghindari pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Sakti. Namun di luar dugaan. Rangga tahu-tahu memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangannya. Belum sempat Karyasena berbuat apa-apa tahu-tahu....
Tuk! Tuk!
“Uhhh...!” Karyasena kontan melorot ambruk di tanah, begitu dua totokan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat bagai kilat mendarat di rusuknya. Tubuhnya seketika lemas tak bertenaga lagi.
Belum sempat yang lain berbuat sesuatu. Pendekar Rajawali Sakti telah menyandera Karyasena. Pedangnya persis berada di muka pemuda yang memimpin pengemis ini.
“Kalau kalian masih menganggapnya pemimpin, menyerahlah! Aku tidak segan-segan menggorok lehernya!” bentak Pendekar Rajawali Sakti mengancam.
Yang lainnya terkesiap, tidak berani berbuat apa-apa. Namun Wiku Timbal yang masih sakit hati, sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti lewat senjata-senjata rahasianya yang berbentuk bintang emas.
“Huh!” Rangga mendengus. Cepat bagai kilat pedangnya berkelebat menangkis senjata-senjata rahasia yang dilepaskan Wiku Timbal.
Tring! Tring!
Begitu bintang-bintang emas itu berjatuhan di tanah. Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat sambil menyabetkan pedangnya. Gerakannya yang tak terduga, membuat Wiku Timbal terkesiap kaget. Dan....
Cras!
“Aaakh...!”
Semua orang yang berada di situ baru menyadari ketika terdengar pekikan halus. Dan ternyata tubuh Wiku Timbal ambruk bermandikan darah dengan leher nyaris putus! Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi.
“Bila ada yang mencoba lagi, dia akan mengalami nasib yang sama dengan wiku celaka ini!” desis Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak ada satu pun yang berani macam-macam lagi. Perlahan-lahan mereka melempar senjata sebagai isyarat menyerah.
Trek!
Rangga menyarungkan pedangnya. Seketika sinar biru yang memancar dari pedangnya lenyap. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti menoleh ketika Daryasena yang saat itu membopong kakek angkatnya menghampiri.
“Rangga, aku dan kakekku amat berterima kasih atas pertolongan yang kau berikan...,” ucap Daryasena.
Rangga tersenyum seraya melirik Karyasena. “Jangan pikirkan soal itu. Nah! Karyasena dan anak buahnya kuserahkan pada kalian. Kepentinganku disini sudah tak ada lagi.”
“He he he...! Apakah kau tidak ingin bertandang ke gubukku, Bocah?” ujar Ki Jembrana sambil tertawa kecil. Orang tua itu memang kelihatan tabah sekali. Meski menahan luka yang cukup hebat, namun masih sempat tertawa-tawa.
“Apakah ini berarti kau mengundangku, Orang Tua?” tanya Rangga.
“Apalagi namanya?”
Rangga tersenyum. “Lukamu cukup parah. Dalam keadaan begini, kau bukan tuan rumah yang baik untuk menyambut tamu. Setelah kelak kau sembuh, mudah-mudahan aku akan menyempatkan diri. Nah, Orang Tua, aku pamit dulu!” ujar Rangga tenang.
Belum sempat cucu dan kakek itu berkata-kata, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat pergi dari tempat ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga sebentar saja sudah terlihat jauh. Jelas ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah sangat tinggi.
“Aku heran...!” gumam Daryasena.
“Apa yang kau herankan, Cucuku?” tanya Ki Jembrana.
“Dia katakan, akan menghancurkan Karyasena melalui rencana yang bagus. Tapi yang kulihat tadi bukan rencana atau siasat bagus seperti yang dikatakannya...,” papar Daryasena.
“Kalau saja bukan dia yang muncul, mungkin hanya bunuh diri saja. Perbuatannya sama seperti yang kulakukan. Nekat, dan tanpa perhitungan!” tambah Ki Jembrana.
“Kakek katakan Pendekar Rajawali Sakti cerdik. Tapi ternyata sama sekali tidak terbukti. Bahkan siasat yang dikatakannya padaku, tidak dijadikannya,” ujar Daryasena dengan kening berkerut.
“Mungkin saja mulanya begitu. Tapi ketika aku datang ke sini, rencananya jadi rusak. Dan yang terpikir dalam benaknya hanya satu. Yaitu, ingin menyelamatkanku! Jadi bukan berarti dia tidak cerdik atau tidak punya siasat,” jelas Ki Jembrana, bijaksana.
“Tapi kenapa dia mesti bersiasat segala? Padahal, dia mampu melabrak mereka?”
“Kadang-kadang orang sepertinya membutuhkan sentuhan manis untuk mengalahkan musuh....”
“Sentuhan manis bagaimana, Kek?!” Daryasena semakin tidak mengerti.
“Kemenangan yang diperoleh dari siasat, sehingga lawan terjebak atau tak berdaya sebelum bertarung. Itu lebih bagus ketimbang kalah dalam bertarung,” papar orang tua ini.
Daryasena mengangguk-angguk. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Ki Jembrana yang sejak tadi memang malas-malasan menjawabnya, sudah beranjak meninggalkannya. Dan dia kini sibuk mengurusi Karyasena yang tertotok.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: KITAB NAGA JONGGRANG