PANGERAN DARI KEGELAPAN
SATU
SUASANA malam kian ramai, ketika senja telah berlalu. Hari ini disetiap sudut Desa Tunjungan orang-orang merayakan keberhasilan panen dengan pesta meriah! Kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun, sehingga menjadi hari yang ditunggu-tunggu semua orang. Semua penduduk keluar dari rumahnya, menikman tontonan. Atau, sekadar berjalan-jalan bersama keluarga.Yang menjadi pusat keramaian adalah halaman rumah kepala desa ini. Di situ, digelar pertunjukan tari-tarian yang diiringi seperangkat tetabuhan dan gamelan. Mereka sengaja didatangkan dari jauh. Dan selama ini, sering menghibur kalangan bangsawan.
Untuk mendatangkan mereka tidak sedikit uang yang dikeluarkan Kepala Desa Tunjungan yang bernama Ki Kasmanu ini. Namun orang tua berumur sekitar empat puluh tahun itu tidak mempedulikannya. Memang, yang menjadi tujuan utamanya adalah, agar penduduk desa ini bisa turut bergembira. Sementara pada kelompok-kelompok kecil lainnya, berkumpul bandar judi yang siap mengeruk keuntungan dari mereka yang berharap bisa melipatgandakan uangnya secara mudah.
"Sial! Aku kalah lagi...!" Sebuah umpatan kesal keluar dari mulut seorang pemuda disertai garukan kepala yang tak gatal.
"He he he...! Kalau tidak ada uang, barang berharga juga boleh dijadikan taruhan. Asal, nilainya tidak di bawah taruhan yang diinginkan...," sahut seorang bandar judi yang cepat tanggap akan kesulitan pemuda itu.
"Huh! Jangankan barang berharga. Hidupku saja pas-pasan!" gerutu pemuda itu.
"Kalau begitu, berikan giliranmu pada orang lain yang mencoba peruntungannya," ujar bandar judi itu menegaskan sambil mengocok dadu.
"Heh?! Tidak bisa begitu! Aku telah kalah banyak malam ini. Apakah kau tidak bisa memberi utangan?"
"Maaf, Anak Muda! Kalau ada uang kau boleh main. Dan kalau tidak silakan menyingkir!" sahut si bandar judi berusia sekitar empat puluh tujuh tahun itu.
Kali ini nada kata-kata laki-laki itu lebih tegas. Matanya melirik sekilas pada pemuda itu sambil mendengus. Lalu sikapnya cepat berubah, ketika meladeni para petaruh lainnya.
"Ayo, coba lagi! Siapa tahu kali ini kalian beruntung! Ayo, siapa lagi...?!"
"Setan!" maki pemuda yang kalah judi itu, kesal.
Amarahnya segera meluap melihat sikap bandar judi itu. Ketika tadi pertama datang dengan uang banyak, bandar judi ini menyambutnya dengan ramah. Namun kini setelah uangnya amblas, bandar judi ini sama sekali tidak peduli. Bahkan terang-terangan mengusirnya dari sini. Maka kemarahannya yang menggelegak ini harus dilampiaskan. Seketika dia bangkit berdiri. Lalu, kakinya bergerak cepat. Dan...
Prak!
"Hei?!" Si bandar judi dan para petaruh menjadi kaget, ketika pemuda itu tiba-tiba saja menendang meja kecil tempat pertaruhan sampai berantakan.
"Kurang ajar! Urus dia...!" dengus si bandar judi, langsung memberi perintah pada seorang laki-laki tegap yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
"Huh! Majulah kalau memang kau ingin mampus?" dengus pemuda itu menantang, segera mencabut goloknya.
Srang!
"Yeaaa...!" Laki-laki tegap yang agaknya adalah tukang pukul si bandar judi itu mendengus sinis. Tangannya cepat bergerak, menangkis pergelangan tangan pemuda itu sambil membungkuk.
Plak!
Golok pemuda itu terlepas saat pergelangan tangannya terhantam. Belum sempat pemuda itu berbuat sesuatu, kepalan tangan kanan laki-laki tegap itu menghantam ke dada.
Duk!
"Aaakh...!" Pemuda itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang, langsung membentur seseorang yang sejak tadi berdiri tegak memperhatikan.
Buk!
"Uhhh, kurang ajar!" maki pemuda itu kesal.
Sementara orang berpakaian compang-camping yang tertabrak sama sekali tidak bergeming. Malah, pemuda itu sendiri yang kembali tersungkur ke depan. Dia merasa kalau orang itu berada di pihak si bandar judi yang telah sengaja memukulnya. Maka kemarahannya kini ditumpahkannya pada orang berpakaian compang-camping dan bertopi caping lebar itu.
"Bangsat! Kau rasakan hajaranku!" teriak pemuda itu, kalap. Langsung melepaskan tendangan keras kearah laki-laki bercaping.
Laki-laki bercaping itu sama sekali tidak bergeming. Namun saat tendangan pemuda ini nyaris mengenainya, dia menghindar kesamping. Dan tiba-tiba tongkat runcing dalam genggamannya berkelebat cepat.
Wut! Cras!
"Aaa...!" Tahu-tahu saja pemuda itu terjungkal roboh disertai pekik kesakitan.
"Heh?!"
Semua orang yang berada di keramaian ini terkejut. Pemuda itu tewas setelah menggelepar sesaat. Darah segar tampak mengucur dari luka panjang yang menggaris dari dada sampai ke perut. Mereka segera berpaling pada lelaki aneh berpakaian compang-camping itu.
"Kisanak! Aku berterima kasih, karena membantuku. Tapi tidak perlu membunuhnya!" kata tukang pukul bertubuh tegap tadi dengan nada menyesal.
"Dia telah membunuhnya! Dia telah membunuh orang ini...!" teriak seseorang sambil menuding kearah laki-laki berpakaian compang-camping.
Yang lainnya segera berpaling. Dan dalam sekejap, keramaian itu berubah menjadi kegemparan. Beberapa saat pemuda desa yang tidak senang melihat kejadian ini sudah langsung menyergap orang bercaping lebar.
"Kisanak! Kau telah membunuh seorang penduduk desa ini! Serahkan dirimu untuk diadili!" bentak seseorang, garang.
Orang bertopi raping itu hanya mendengus sinis. Lalu tubuhnya berbalik dan bermaksud pergi dari tempat ini.
"He, berhenti!" bentak pemuda desa tadi.
Namun laki-laki yang wajahnya tidak terlihat karena tertutup tudung di kepalanya sama sekali tidak menoleh, apalagi menghentikan langkahnya. Dan ini membuat kalap para pemuda Desa Tunjungan ini. Mereka segera melompat menghadang dan mengurungnya.
"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu di sini?! Serahkan dirimu! Atau, terpaksa kami yang musti melakukannya!" bentak seorang pemuda yang lain.
"Huh! Kecoa-kecoa busuk, dikira bisa berbuat apa padaku?!" dengus laki-laki bersenjata tongkat runcing ini. Suaranya berat, tertahan.
"Kurang ajar! Dia memang sengaja mencari gara-gara! Ayo, tangkap orang ini!" teriak pemuda tadi, memberi perintah pada kawan-kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, para pemuda Desa Tunjungan langsung melompat menyergap laki-laki itu.
"Yeaaa!"
"Huh!" Namun di luar dugaan, tongkat laki-laki bercaping itu berkelebat cepat, dan tak mampu dihindari lagi.
Bret!
"Aaa...!" Empat pemuda desa ini kembali terjungkal ketanah disertai pekikan setinggi langit. Mereka tewas bersimbah darah, dengan luka memanjang di dada.
"Heh?! Orang ini pembunuh! Dia telah membunuh lima orang! Dia pembunuh...!" teriak seseorang. Maka semakin hebohlah tempat ini.
Keramaian segera terhenti. Dan semua orang sudah mengelilingi laki-laki bercaping itu sambil berteriak-teriak kalap. Namun begitu, tidak ada seorang pun yang berani bertindak. Kematian lima pemuda tadi sudah cukup membuat ciut nyali mereka.
"Minggir! Minggir...! Ki Kasmanu mau lewat!" teriak seseorang ketika seorang laki-laki setengah baya berusaha menyeruak di antara keramaian.
"Ada apa? Apa yang terjadi di sini?" tanya laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Kasmanu.
"Orang ini! Dia telah membunuh lima pemuda desa kita, Ki!" teriak seseorang.
"Betul! Dia pembunuh yang sengaja mengacau di sini!" timpal yang lain.
"Orang itu harus digantung! Dia pembunuh...!" teriak yang lain pula.
Ki Kasmanu tiba di depan kerumunan. Diperhatikannya dengan seksama laki-laki yang menjadi biang keladi persoalan ini.
Laki-laki bercaping itu tampak berdiri tenang. Sama sekali tidak menunjukkan kegentarannya atas kerumunan serta teriakan-teriakan penduduk desa.
"Siapa kau, Kisanak? Dan, benarkah kau telah membuat kerusuhan di tempat ini dengan membunuh lima pemuda desa?" tanya Ki Kasmanu, datar.
"Aku seorang Pangeran sahut orang bertudung lebar itu.
"Pangeran? Pangeran dari mana?! Dan, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Ki Kasmanu dengan wajah heran.
Semua orang yang berada di sini juga dikungkungi rasa heran. Mereka nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. Orang ini seorang pangeran? Bisa celaka kalau mereka mengeroyoknya ramai-ramai.
"Aku Pangeran dari Kegelapan," sahut laki-laki bercaping itu, enteng.
"Kisanak! Jangan main-main! Kau telah membunuh lima warga desa ini. Dan kesalahan itu hanya bisa ditebus dengan nyawamu!" ujar Ki Kasmanu, sedikit merasa kesal mendengar jawaban itu.
"Nyawaku? Kau ingin mencabut nyawaku? Ha ha ha...!" Laki-laki bertopi lebar yang menutupi wajahnya itu tergelak.
"Kurang ajar! Kalau begitu jelas sudah, kedatanganmu kesini untuk mengacau!" bentak Ki Kasmanu.
Begitu kata-katanya selesai, laki-laki setengah baya itu langsung memberi perintah pada para pemuda lainnya untuk menangkap sosok yang mengaku sebagai Pangeran dari Kegelapan ini
"Ringkus dia!"
"Tapi, Ki..."
"Kenapa kalian ragu?!" hardik Ki Kasmanu geram, menyadari tak seorang pun dari pemuda itu yang berani bergerak.
"Ha ha ha...! Ayo tangkap aku! Ringkus aku! Bukankah kalian ingin menghukumku? Ayo! Atau, barangkali kalian hanya sekumpulan kerbau dungu yang tidak bernyali?! Ha ha ha...!" ejek Pangeran dari Kegelapan.
Kurang ajar!" Ki Kasmanu menggeram. Wajah orang terpandang di Desa Tunjungan ini berkerut. Hela napasnya terasa memburu. Sepasang matanya melotot garang kearah Pangeran dari Kegelapan.
"Rupanya harus aku sendiri yang menangkapmu!" desis Ki Kasmanu garang.
"Ha ha ha...! Sungguh kasihan. Seorang kepala desa harus bekerja sendiri, karena semua penduduknya pengecut!" ejek Pangeran dari Kegelapan.
"Kisanak, tutup mulutmu! Aku tidak perlu belas kasihan darimu! Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah, sebelum aku bertindak kasar!" bentak Kepala Desa Tunjungan itu.
"Huh! Kau hanya seekor tikus busuk dihadapanku! Jangan bertingkah seperti harimau yang coba menakut-nakutiku! Hiiih!"
Ki Kasmanu tidak dapat menahan amarahnya. Dia langsung melompat menyerang.
Wut!
"Uts!" Begitu dekat, tongkat Pangeran dari Kegelapan segera berkelebat. Namun Ki Kasmanu tak kalah sigap. Tubuhnya segera membungkuk, dan mencelat kesamping. Langsung goloknya dicabut.
"Yeaaat!"
Apa yang dilakukan Ki Kasmanu membuat yang lain terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau orang tua itu berkepandaian cukup hebat. Tubuhnya tampak berputar bagai gasing saat menyerang. Kemudian, mampu bergerak secepat kilat. Padahal, selama ini tidak seorang penduduk desa ini pun yang tahu kalau Ki Kasmanu memiliki ilmu olah kanuragan sehebat itu.
"Gila! Dari mana Ki Kasmanu memiliki kepandaian sehebat itu?" desis seseorang sambil mendecak kagum.
"Selama ini kita tidak tahu. Mungkin sebelum menjadi kepala desa, beliau adalah seorang tokoh silat!" sahut yang lain menduga.
Namun apa pun yang diduga penduduk desa ini, yang jelas apa yang dilakukan Ki Kasmanu malam ini memang mengejutkan. Permainan goloknya terus berusaha mendesak Pangeran dari Kegelapan dengan gencar. Namun begitu, tidak sekalipun mampu melukai lawannya. Bahkan Pangeran dari Kegelapan sama sekali tidak merasa terdesak. Sehingga, hal ini membuat Ki Kasmanu semakin jengkel.
"Kurang ajar! Apakah kebisaanmu hanya menghindar, he?!" bentak orang tua itu sengit.
"Ha ha ha...! Kau kira begitu, Kunyuk? Pangeran dari Kegelapan telah memberi kesempatan hidup padamu barang sesaat. Dan kini, bersiaplah untuk mampus!" sahut laki-laki bercaping itu.
Begitu habis kata-katanya, Pangeran dari Kegelapan cepat berputar bagai gasing. Lalu terdengar bentakan nyaring. "Yeaaa!"
Wut!
"Uh...!" Ki Kasmanu terkesiap. Ujung tombak Pangeran dari Kegelapan yang runcing nyaris menyambar tenggorokannya. Untung dia melompat ke belakang.
Kini laki-laki bertudung lebar itu, segera melanjutkan serangan berupa sodokan keras tangan kiri yang cepat, terarah ke dada.
"Uts!" Ki Kasmanu mencoba berkelit ke samping. Namun saat itu juga, Pangeran dari Kegelapan membabatkan tongkatnya.
Cras!
"Aaa..!" Ki Kasmanu memekik keras. Tubuhnya kontan terjungkal kesamping dengan darah mengucur deras membasahi bumi. Perutnya robek lebar. Tampak isinya terburai keluar. Orang tua itu menggelepar setiba ditanah, dan diam tidak berkutik lagi.
"Heh?!"
"Ki Kasmanu mati!" jerit seseorang yang bergerak mendekati tubuh orang tua itu, dan memeriksanya sekilas.
"Kurang ajar! Orang ini telah membunuh Ki Kasmanu! Dia telah membunuh kepala desa kita! Orang seperti ini tidak patut dikasih hati. Dia harus dihukum!" teriak seorang pemuda seraya menuding garang.
Kata-kata pemuda itu keras. Wajahnya berkerut geram dengan tubuh gemetar menahan amarah. Dengan serta merta goloknya dicabut untuk membakar semangat kawan-kawannya yang lain.
"Ayo, tangkap dia! Bunuh dia...!"
Mendengar teriakan itu, yang lain segera mencabut golok. Dan diawali pemuda pertama tadi, mereka menyerang orang bercaping lebar itu bersama-sama.
"Yeaaa...!"
"Bunuh dia...! Cincang...!"
Namun, Pangeran dari Kegelapan sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan tidak berusaha kabur melihat jumlah pengeroyoknya yang banyak. Dia tetap tenang sambil mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya ketanah. Namun, begitu para pengeroyoknya telah mendekat, tiba-tiba saja tubuhnya berputar. Gerakannya sangat cepat dengan ujung tongkat menyambar kearah lawan-lawannya.
"Hiiih!"
Trang! Bret! Cres!
"Aaa...!"
Seketika terdengar suara senjata beradu yang diiringi pekik kesakitan. Lima orang pemuda desa ini terpental dengan robekan lebar di perut. Golok-golok melayang ke udara. Sementara pekik kematian terus berkumandang ketika orang bertopi lebar itu mengamuk dahsyat. Dalam waktu singkat, lebih dari lima belas orang telah menjadi korbannya. Dan ini membuat yang lain menjadi ketakutan.
"Lari...! Orang ini bukan manusia tapi iblis...!" teriak seseorang.
Dan serentak, orang-orang serabutan melarikan diri tanpa mempedulikan keadaan disekelilingnya. Ada yang menabrak kawannya hingga jatuh terjungkal bersama-sama. Dan yang lain berusaha sikut-sikutan, untuk lebih dulu menyelamatkan diri.
"Ha ha ha...! Ayo kabur! Kaburlah sejauhnya dari sini!" teriak Pangeran dari Kegelapan seraya tertawa terbahak-bahak.
Laki-laki bercaping itu hanya berdiri tegak. Sama sekali dia tidak bermaksud mengejar. Para penduduk desa ini langsung menuju rumah masing-masing, dan menutup serta mengunci pintu rapat-rapat. Maka dalam waktu singkat, keramaian ini berubah secara cepat. Tidak ada seorang pun yang berkeliaran. Kecuali..., para pemain tetabuhan yang tadi bermain dihalaman rumah Ki Kasmanu!
Mereka bingung membenahi alat-alat tetabuhannya. Bahkan tidak tahu harus ke mana. Yang bisa dilakukan adalah bersembunyi di rumah Ki Kasmanu. Namun, itu pun hanya bisa di beranda depan. Sebab, keluarga Ki Kasmanu telah mengunci pintu rapat-rapat. Orang bertopi lebar itu mendengus dingin. Lalu kakinya melangkah ketempat mereka perlahan-lahan.
DUA
"Kang, aku..., aku takut...," keluh seorang wanita pesinden berusia sekitar tiga puluh tahun lebih, melihat Pangeran dari Kegelapan datang menghampiri.
Pangeran dari Kegelapan terus melangkah, mendekati rombongan pemain gamelan yang merapat ketakutan di depan rumah Ki Kasmanu. Sementara, pemimpin rombongan yang bernama Ki Gandawaru hanya menatap. Tubuhnya dirapati oleh wanita yang tadi ketakutan.
Dan empat orang wanita lainnya pun duduk tidak jauh di dekat Ki Gandawaru. Sedangkan para nayaga laki-laki berdiri memagari. Jantung mereka berdegup kencang tatkala melihat lelaki bertopi lebar itu terus melangkah memasuki halaman depan rumah ini.
"Ki? Dia menuju ke sini!" bisik salah seorang nayaga laki-laki yang berdiri tegak menghalangi para pesinden.
"Celaka! Dia betul-betul ke sini. Apa maunya orang itu?" desis Ki Gandawaru seraya mengintip sekilas.
Jantung laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu semakin kencang berdetak memikirkan nasib dirinya dan anak buahnya. Di antara mereka adalah keluarganya sendiri. Yaitu, istrinya serta tiga orang anak-anaknya. Dua perempuan dan seorang pemuda.
Tubuh mereka gemetar. Dan mereka semakin gemetar, saat Pangeran dari Kegelapan telah berdiri di depan mereka. Dia diam sesaat seperti mengawasi orang-orang ini.
"Kesini!" ujar Pangeran dari Kegelapan pendek, sambil menuding dua orang gadis pesinden yang duduk mendekap Ki Gandawaru serta istrinya.
"Ampun, Kisanak! Mereka anak-anakku. Kami bukan penduduk desa ini, dan tidak ada urusan denganmu. Aku mohon, jangan ganggu kami...!" ratap Ki Gandawaru dengan suara gemetar.
"Hm." Orang bertopeng itu tidak menjawab. Dia mendengus sinis seraya mengacungkan tongkatnya ke arah dua orang gadis tadi.
"Ke sini kalian!" Suara Pangeran dari Kegelapan terdengar keras, dan setengah memaksa. Sehingga membuat kedua gadis pesinden itu semakin menggigil ketakutan. Wajah mereka pucat-pasi dan mulai tampak menangis dengan tubuh menggigil penuh rasa takut.
Melihat itu, Ki Gandawaru segera mengambil tindakan untuk mencegah segala kemungkinan buruk. Di suruhnya yang lain untuk bersimpuh. Sedang, dia sendiri berlutut dihadapan laki-laki bertopi lebar ini seraya merangkapkan kedua tangan.
"Kisanak, ampunilah kami. Kami sama sekali tidak ikut-ikutan dengan mereka. Ampuni kami, Kisanak. Mohon jangan ganggu kami. Kami betul-betul bukan penduduk desa ini...," ratap Ki Gandawaru, memohon.
"Huh!" Namun jawaban Pangeran dari Kegelapan ternyata berupa sebuah totokan tongkatnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Blesss!
"Aaa...!" Tubuh Ki Gandawaru yang membungkuk tak ayal tertembus ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan yang bergerak cepat dan menancap sampai menembus kejantungnya. Ki Gandawaru memekik setinggi langit, dan tersungkur di tanah. Dia meregang nyawa, saat tongkat laki-laki itu tercabut. Lantai di beranda rumah kepala desa ini seketika bersimbah darah. Kejadian ini membuat yang lain makin terkesiap dengan wajah pucat pasi.
"Heh?!"
"Kakang...!"
"Ayaaah...!"
Istri dan anak-anak Ki Gandawaru segera mengerubungi sambil memekik menyayat. Demikian juga anggota yang lain. Namun laki-laki berpakaian compang-camping ini sama sekali tidak peduli. Tongkatnya bergerak cepat, menotok kedua gadis yang tadi ditunjuknya.
Tuk! Tuk!
"Ohhh...!" Kedua gadis pesinden itu terkulai lemah. Dan Pangeran dari Kegelapan langsung membopong di kedua pundaknya, lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang.
Perbuatan laki-laki bertopeng itu tentu saja tidak bisa diterima yang lain. Setelah membunuh Ki Gandawaru, kini seenaknya saja membawa kedua putri Ki Gandawaru.
Salah seorang pemuda yang tidak lain dari putra Ki Gandawaru langsung berdiri tegak seraya mencabut golok. Bersama empat orang kawannya, mereka langsung menghadang Pangeran dari Kegelapan.
"Pembunuh keparat! Hentikan langkahmu. Hari ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus putra Ki Gandawaru.
Orang bertopi lebar itu hanya mendengus dingin. Sama sekali tubuhnya tidak bergeming dari tempatnya.
"Huh!"
"Mampus!" Pemuda itu menggeram, tidak mampu lagi menahan diri. Dia melompat menerjang dengan golok terhunus. Dan sikapnya langsung diikuti kawan-kawannya.
"Yeaaa...!"
Trang!
Namun Pangeran dari Kegelapan tak kalah sigap. Tubuhnya cepat diputar dengan tongkat terayun. Sesaat terdengar suara senjata beradu. Tampak golok-golok berpentalan. Belum sempat para pengeroyok berbuat sesuatu, Pangeran dari Kegelapan telah cepat membabatkan tongkatnya.
Bret!
"Aaa...!" Seketika terdengar pekik kemarjan. Kelima orang nayaga itu roboh bermandikan darah dengan luka memanjang di dada.
Istri Ki Gandawaru tercekat. Demikian pula dua wanita lainnya. Dengan isak tangis dan suara menyayat, mereka berlari-lari kecil menghampiri para korban.
Sementara itu Pangeran dari Kegelapan melenggang tenang dengan bahu memanggul dua gadis pesinden. Kelihatannya dia tak berlari. Namun dalam sekejapan mata telah lenyap dari tempat itu. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi. Yang ditinggalkannya kini hanya malam sepi bercampur bau anyir darah, dan isak tangis keluarga korban yang ditinggalkan...!
********************
Tiga orang tengah menggebah kencang kuda-kudanya melewau jalan besar di tepi sebuah hutan kecil. Jauh didepan terlihat sebuah gunung menjulang tinggi. Di kaki gunung itu terdapat sebuah lembah yang subur. Dan selama ini, dikenal sebagai Lembah Seribu Dara. Nama lembah ini amat dikenal dalam dunia persilatan. Malah semua tokoh persilatan tahu kalau di lembah itu tinggal seorang tokoh silat terkenal. Namanya, Nyai Ratmi Sukaesih yang bergelar Ratu Maut Pedang Sakti!
Sesuai namanya, Nyai Ratmi Sukaesih memang ahli menggunakan pedang. Dan selama ini, hanya beberapa tokoh saja yang dianggap mampu mengimbangi ilmu pedangnya. Usianya sekitar lima puluh tahun. Sehingga dia digolongkan kepada tokoh tua yang kini jarang muncul di dunia persilatan. Namun begitu, keharuman namanya tak punah begitu saja. Sebab, penerus-penerusnya selalu mengingatkan orang akan kehebatan tokoh satu ini.
Banyak orang tahu kalau di lembah itu Nyai Ratmi Sukaesih membangun sebuah padepokan silat yang diberi nama Mawar Merah. Tidak seperti yang lainnya, maka padepokan ini hanya dikhususkan bagi wanita saja. Tak heran kalau, nama Lembah Seribu Dara amat cocok bagi lembah itu.
Dan melihat arah yang dituju jelas kalau tiga penunggang kuda tadi menuju ke sana. Kemudian bila melihat dan dekat, nyata kalau mereka terdiri dari tiga orang gadis berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Mereka semua memakai baju merah. Dan pada ikat kepalanya, terlihat bunga mawar berwarna merah. Dan ini adalah ciri khas yang menandakan kalau mereka adalah murid-murid Padepokan Mawar Merah.
"Hooo...!"
Salah seorang murid Padepokan Mawar Merah itu berteriak keras, seraya menarik tali kekang. Dua kawannya juga mengikuti. Ternyata di depan mereka berdiri seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan bercaping lebar. Ketiga gadis itu bermaksud menghindari namun orang itu bergerak menghadang. Hal itu tentu saja membuat mereka jengkel.
"Kisanak! Maaf, kami terburu-buru! Harap jangan menghalangi jalan," ujar salah seorang dari gadis itu.
Orang itu diam saja.
"Kisanak! Mungkin kau tuli, sehingga tidak bisa mendengar kata-kata kawanku! Tapi, kami tidak bermaksud mengganggu. Nah! Jangan mencari persoalan!" seru gadis lainnya dengan perasaan jengkel.
Ketiga gadis itu menarik tali kekang, bermaksud menghindari orang itu. Namun seperti tadi, laki-laki bercaping itu terus menghadang. Mereka bermaksud kekanan dia pun bergerak kekanan. Sehingga jelas, orang ini memang bermaksud menghadang.
Gadis yang berada di tengah menghela napas panjang. Diamatinya laki-laki itu dengan seksama. Orang ini membawa tongkat di tangan kanannya. Dari tubuhnya tercium bau tak sedap. Mungkin dari pakaiannya. Rambutnya yang panjang, menjela hingga kepunggung.
"Mungkin kau lapar. Tapi, kami tidak bawa makanan. Nih, ada sedikit uang! Pergilah! Dan, beli makanan dikedai terdekat," ujar gadis yang berada di kanan seraya merogoh saku dan melempar beberapa keping uang perak.
Kepingan uang itu jatuh di dekat kaki, namun orang itu tidak juga beranjak. Bahkan sama sekali tidak peduli pada kepingan perak yang bernilai cukup banyak itu.
Tentu saja hal ini membuat ketiga gadis ini kehilangan akal. Maka kesabaran mereka pun ada batasnya. Gadis yang berada di sebelah kanan langsung menuding sinis.
"Hei, Gembel! Enyahlah kau! Tidak tahu diri! Pergi! Atau kami akan memaksamu dengan kekerasan!" dengus gadis itu.
Namun orang berpakaian penuh tambalan itu sama sekali tidak peduli. Dan hal ini sudah membuat gadis itu marah bukan main.
"Huh! Jangan salahkan kalau aku bertindak kasar padamu! Kami telah memperingatkan. Dan agaknya kau tetap membandel!" lanjut gadis itu mendengus.
"Hiiih!" Gadis ini segera menghentakkan tangan kanannya, melepaskan pukulan jarak jauh. Dan dia menggunakan sedikit tenaga dalamnya, agar orang itu terlempar kebelakang.
Deb!
Serangkum angin kencang seketika melesat ke arah orang bercaping itu, dan tepat mengenai dadanya. Namun jangankan terjungkal. Bahkan laki-laki itu bergeser pun tidak. Dan kejadian ini membuat gadis yang tampak marah itu semakin berang saja.
"Kurang ajar! Rupanya kau memang sengaja mempermainkan kami, he?! Baik, kalau itu yang kau inginkan. Rasakan ini! Hih!"
Gadis itu kembali menghentakkan tangan kanannya dengan kekuatan dilipatgandakan. Kembali serangkum angin kencang menerpa laki-laki bercaping itu.
Deb!
Namun seperti tadi laki-laki itu seperti batu karang kokoh. Dia tetap berdiri tegak walau disapu badai topan.
"Keparat!" Gadis itu mendengus geram. Langsung pedangnya dicabut.
"Lestari, tahan dulu!" gadis lain yang berada disebelahnya berusaha menahan.
Namun, gadis bernama Lestari agaknya tidak dapat menahan diri lagi. Dengan pedang terhunus, dia langsung melompat dari punggung kuda. Diserangnya laki-laki bercaping itu.
"Yeaaa!" Pedang Lestari berkelebat cepat menyambar leher, namun laki-laki bercaping ini berkelit sedikit kesamping. Sehingga pedang itu hanya menebas angin. Dan seketika itu pula tongkat laki-laki ini cepat memapaki.
Wut! Trang!
Gadis itu terkejut melihat pedangnya terlepas dari genggaman. Belum lagi disadari apa yang terjadi, ujung tongkat laki-laki itu kembali menyambar.
Cras!
"Aouw...!" Bukan main kagetnya Lestari melihat apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Karena dalam sekejapan mata, pakaiannya tercabik-cabik di sana-sini tersambar ujung tongkat yang runcing. Gadis itu berteriak kaget. Segera ditutupinya bagian tubuhnya yang terlihat.
"Kisanak! Kau sungguh keterlaluan! Kami tidak bisa membiarkan begitu saja sikapmu yang kurang ajar!" dengus salah seorang kawan Lestari dengan wajah gemas.
"Hati-hati, Nirmala!" ujar gadis satunya lagi, mengingatkan.
"Jangan khawatir, Anggraini," sahut gadis yang barusan mendengus.
Gadis bernama Nirmala melompat turun dari punggung kudanya. Dilemparkannya selimut pada Lestari untuk menutupi tubuhnya. Namun sebelum selimut itu sampai pada Lestari, serangkum angin kencang menerbangkannya.
Wuer!
"Hei?!" Ketiga gadis itu tersentak kaget. Mereka menoleh. Dan jelas, angin kencang tadi adalah perbuatan orang berbaju penuh tambalan itu.
"Kurang ajar!" maki gadis yang tadi dipanggil Anggraini seraya melompat turun. Dan dia bermaksud memungut selimut itu. Tapi...
Wut!
Seperti yang telah diduga bersama, orang itu pasti menghalanginya. Dan dugaan mereka ternyata benar. Orang bertopi lebar ini bergerak cepat, namun kedua gadis ini pun telah bersiaga.
"Haiiit!" Mereka langsung mencabut pedang dan menyerang bersamaan. Namun laki-laki bercaping ini tak kalah sigap. Seketika tongkatnya berkelebat cepat.
Trang!
"Ohhh...!" Anggraini dan Nirmala berseru kaget. Bukan saja serangan mereka kandas. Tapi, kedua pedang dalam genggaman terpental oleh suatu tenaga kuat luar biasa. Dan sebelum kedua gadis itu berbuat apa-apa tongkat laki-laki gembel ini telah kembali berkelebat. Lalu...
Bret!
"Ouw..!" Kedua gadis itu terkejut bukan main. Seperti apa yang dilakukan terhadap Lestari, maka pakaian mereka pun terlihat robek disana-sini. Sehingga, terpaksa keduanya berbalik seraya menutupi bagian tubuhnya yang terlarang.
"Hua ha ha...! Gadis-gadis manis! Kalian kira tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Aku Pangeran dari Kegelapan. Dan tak ada seorang pun boleh menghinaku. Demikian pula dengan kalian!" kata orang bertudung lebar itu disertai tawa keras.
'Kisanak! Apa maumu? Apa yang kau inginkan? Bukankah kami telah berbaik hati? Dan kau yang mencari gara-gara!" sentak Nirmala dengan nada berang.
"Apa yang kuinginkan? Ha ha ha...! Pertanyaan bodoh! Kau kira apa yang diinginkan seorang laki-laki sepertiku, terhadap wanita cantik bertubuh bagus seperti kalian?! ha ha ha...!" sahut laki-laki yang ternyata Pangeran dari Kegelapan dengan tawa terkekeh penuh nafsu.
"Chuih! Tutup mulut kotormu! Kau kira kami perempuan murahan?! Aku lebih baik mati daripada dijamah laki-laki sepertimu!" sahut Anggraini.
Pangeran dari Kegelapan menoleh meski gadis itu berpaling. "Huh! Kau boleh menemui ajalmu sekarang juga!" dengus Pangeran dari Kegelapan sinis.
Tiba-tiba laki-laki itu berkelebat cepat, disertai sabetan tongkatnya. Anggraini yang tak menduga datangnya serangan, terkesiap kaget. Dan...
Wut! Bret!
"Akh!" Mendadak tongkat Pangeran dari Kegelapan telah menyayat leher gadis itu. Dan tahu-tahu, gadis yang bicara lantang menjerit tertahan. Tubuhnya ambruk bersimbah darah. Lehernya nyaris putus oleh babatan ujung tongkat yang runcing milik Pangeran dari Kegelapan. Nyawanya putus seketika!
"Anggraini...!" Nirmala dan Lestari berseru kaget.
Tanpa mempedulikan keadaan diri, Nirmala dan Lestari bermaksud memburu Anggraini yang tewas.
"Huh!" Namun laki-laki bertopi lebar ini segera menangkap Nirmala. Dan...
Tuk!
Seketika tubuh Nirmala lemas tak berdaya, tertotok Pangeran dari Kegelapan. Laki-laki itu langsung merebahkannya di atas rumput.
"Ha ha ha...! Hm... Wajahmu cantik dan tubuhmu montok! Kulitmu pun mulus. Kau tentu bisa memuaskan seleraku!" kata Pangeran dari Kegelapan dengan mata liar bagai serigala melihat domba gemuk yang siap disantap. Dijamahnya tubuh gadis yang berbaring tak berdaya dengan pakaian robek di sana-sini ini.
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan? Ouw, Keparat! Kurang ajar! Hentikan perbuatan kotormu! Hentikan...!" maki Nirmala dengan wajah ketakutan bercampur amarah meluap.
"Heh?!" Sementara. Lestari terkejut. Ditinggalkannya Anggraini yang telah mati. Dan dengan geram di-pungutnya salah saru pedang yang tergeletak didekatnya. Lalu dengan langkah pelan dan wajah geram, didekatinya Pangeran dari Kegelapan. Dia bermaksud memancung kepala laki-laki itu dengan sekali hajar.
"Mampus kau! Hiiih!"
Gerakan gadis itu cepat dan bertenaga kuat. Sehingga bila orang biasa yang menjadi sasarannya, maka kecil kemungkinan untuk lolos. Namun yang terjadi saat ini sebaliknya. Sebelum pedang itu menyambar batok kepala, tongkat Pangeran dari Kegelapan telah lebih dulu menangkis.
Tring!
Senjata di tangan Lestari terpental. Belum sempat gadis itu berbuat apa-apa tiba-tiba tongkat Pangeran dari Kegelapan telah berkelebat.
Bret!
"Aaakh...!"
"Lestari...!" Nirmala yang tertotok terpekik.
Tampak terhuyung-huyung kebelakang sambil memegang perutnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jarinya menetes darah segar. Mukanya pucat. Wajahnya berkerut seperti menahan rasa sakit hebat.
Namun laki-laki bertopi lebar itu tidak mempedulikannya. Dan segera niatnya yang tadi sempat tertunda diteruskan.
Sementara itu Nirmala terus memaki-maki dan berusaha melepaskan diri. Namun totokan di tubuhnya kuat bukan main. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga gadis itu sama sekali tidak berdaya melawan keinginan laki laki yang bermaksud tidak senonoh ini.
Sedang Lestari terus mengeluh tertahan. Segera didekatinya salah seekor kuda. Dia mendengar jeritan Nirmala saat laki-laki itu membuka penutup kepala. Kini, kawannya itu tampak terdiam. Tidak sadarkan diri setelah melihat pemandangan yang mungkin menakutkan baginya. Lestari hanya mampu memejamkan mata. Dia tidak kuat menahan perasaannya saat melihat laki-laki itu mulai membuka pakaian, kemudian menindih tubuh kawannya untuk melampiaskan nafsu iblisnya.
Lestari segera melompat pelan ke punggung kuda dengan tangan kiri mendekap perutnya yang robek. Sementara tangan kanan menarik tali kekang kudanya. Matanya melirik sekilas. Kemudian dengan membentak keras, kudanya dilarikan jauh-jauh dari tempat itu.
TIGA
Pangeran dari Kegelapan menarik napas lega. Dia bangkit berdiri sambil memungut bajunya. Diliriknya sekilas gadis yang tergolek di tanah. Sambil terkekeh-kekeh, pakaiannya dikenakan.
"He he he...! Betul juga. Kau hebat dan luar biasa, meski tidak sepenuhnya meladeniku karena keburu pingsan. Hua ha ha...! Sayang rasanya jika aku tidak mencicipi tubuhmu lagi. Tapi, setiap wanita yang menjadi korbanku, dia harus mampus!"
Pangeran dari Kegelapan mengenakan kembali tudung lebar yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu kembali dipandanginya gadis yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Gadis yang tak lain dari Nirmala tergolek dengan muka pucat. Sama sekali tubuhnya tidak bergerak seperti layaknya orang mati.
"Selamat tinggal, Cah Ayu...!"
Baru saja Pangeran dari Kegelapan hendak mengangkat tongkat untuk membunuh Nirmala mendadak terdengar derap langkah kuda yang berlari kencang mendekatinya. Laki-laki itu menoleh.
"Huh!" dengus Pangeran dari Kegelapan begitu melihat serombongan orang berkuda.
Laki-laki itu melihat para penunggang kuda yang berhenti di dekatnya itu lebih dari dua puluh orang. Mereka semua terdiri dari wanita. Dengan gerakan mantap, para wanita yang memang berasal dari Padepokan Mawar Merah ini melompat turun.
Berada paling depan adalah seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Rambutnya yang panjang dan sebagian telah memutih, disanggul agak ke atas. Tampak beberapa buah konde menghiasinya. Pakaiannya merah, memakai celana pangsi. Sebilah pedang tampak berada dalam genggaman tangan kanannya.
"Kisanak! Kau telah membunuh dua muridku. Dan kini..., apa yang telah kau lakukan terhadap seorang muridku lagi?!" dengus wanita tua itu, sambil melirik kearah gadis yang tergolek tidak sadarkan diri.
"Guru, itu Nirmala! Astaga! Apa yang dilakukan iblis ini terhadapnya?!" seru gadis kepada wanita tua yang ternyata guru mereka dengan wajah kaget penuh kegeraman.
Tiga orang gadis langsung melompat hendak mendekati. Namun, laki-laki bertudung lebar itu langsung menghalangi.
"Jangan coba-coba mendekati kalau tidak ingin mampus!"
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadap kawan kami, he?!" bentak salah seorang dari gadis itu.
"He he he...! Kurasa kalian tidak tolol. Melihat keadaannya, kalian tentu tahu apa yang telah kulakukan. Dia kini tawananku. Dan aku bebas berbuat apa saja terhadapnya!" sahut Pangeran dari Kegelapan enteng.
"Bedebah busuk! Bangsat cabul...! Terkutuklah kau!" bentak gadis itu seraya mencabut pedang. Langsung diserangnya laki-laki bercaping itu.
Namun meski gerakan gadis itu terhitung cepat, gerakan Pangeran dari Kegelapan pun ternyata tidak kalah cepat. Dia cepat menangkis pedang murid Padepokan Mawar Merah.
Tring!
Tindakan itu benar-benar diluar perhitungan gadis ini. Sebab begitu selesai menangkis pedangnya tongkat laki-laki itu langsung bergerak menyambar leher.
Bret!
"Aaakh...!" Gadis itu memekik tertahan. Tubuhnya ambruk dengan leher nyaris putus mengeluarkan darah. Nyawanya melayang setelah menggelepar beberapa saat.
"Heh?!" Kematian gadis itu membuat para murid Padepokan Mawar Merah tersentak. Dan ini lebih mengagetkan wanita tua yang tak lain dari Nyai Ratmi Sukaesih. Dia langsung memberi isyarat agar kedua muridnya yang berada di depan, segera mundur.
"Tapi, Guru! Dia telah membunuh..."
"Dia bukan tandingan kalian. Mundurlah!" sahut Nyai Ratmi Sukaesih, menahan amarah terpendam.
Perlahan-lahan wanita tua itu melangkah. Lalu dia berhenti saat jaraknya terpaut sekitar lima langkah dengan Pangeran dari Kegelapan. Sinar matanya tajam seperti hendak membetot sukma laki-laki itu.
"Kisanak! Aku tidak ada permusuhan denganmu. Bahkan siapa pun kau, aku sama sekali belum kenal. Tapi hari ini, perbuatanmu terhadap murid-muridku sungguh kurang ajar dan tidak bisa kumaafkan. Seorang muridku kau bunuh. Lalu yang lain kau perkosa. Dan seorang lagi, luka parah kemudian tewas tidak lama setelah tiba ditempatku. Apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami?" tanya Nyai Ratmi Sukaesih, dingin.
"Pangeran dari Kegelapan tidak perlu alasan untuk sepak terjangnya. Aku bebas melakukan apa saja yang kusuka, tanpa seorang pun boleh menghalanginya. Siapa pun yang menghalangiku, dia boleh mampus!" sahut laki-laki bertudung lebar itu enteng, tanpa merasa bersalah.
"Aku telah malang melintang di dunia persilatan. Baik tokoh tua maupun angkatan sekarang, aku mengenalnya dengan baik. Dan, tidak seorang pun yang menjadi musuhku. Tapi kau mengaku sebagai Pangeran dari Kegelapan? Hm, nama yang asing bagiku. Mungkin bila kau menunjukkan wajahmu, aku bisa menebak pengecut mana yang telah membunuh murid-muridku!" sindir Nyai Ratmi Sukaesih, tajam.
"Ha ha ha...! Kau ingin melihat wajahku? Jangankan dirimu. Malaikat sekalipun, tidak akan sanggup melihatnya!" sahut Pangeran dari Kegelapan, takabur.
"Huh! Dasar iblis! Omongan kacau. Dan otakmu mungkin sinting! Tapi tidak berarti aku membiarkan saja urusan kita. Kau harus mati untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!" dengus Nyai Ratmi Sukaesih, kesal karena kesabarannya telah habis.
"He he he...! Banyak mulut! Cabut pedangmu. Dan, bunuh aku kalau memang mampu!" sahut Pangeran dari Kegelapan, menantang.
"Huh!"
Srang!
Wanita yang dalam dunia persilatan bergelar Ratu Maut Pedang Sakti ini agaknya tidak mau bermain-main lagi. Dan sebenarnya pedang itu hanya tercabut bila dalam keadaan terdesak hebat. Namun melihat gerakan laki-laki itu yang cepat saat membunuh seorang muridnya tadi, telah meyakinkan Nyai Ratmi Sukaesih untuk tak bisa menganggap enteng. Paling tak kepandaian tokoh berjuluk Pangeran dari Kegelapan ini hebat dan tak berada di bawahnya makanya dia langsung mencabut pedang, karena ingin membereskan lawan secepatnya.
"Iblis keparat! Lihat serangan!" bentak Pangeran dari Kegelapan nyaring.
Nyai Ratmi Sukaesih melompat gesit. Pedangnya berputar menyambar Pangeran dari Kegelapan dengan gerakan kilat.
Trang! Wut!
Pedang di tangan wanita itu berkelebat, membuat beberapa kali gerakan kilat dalam satu serangan. Sehingga, membuat laki-laki itu terlihat kerepotan untuk sesaat. Namun, tidak berarti kalau Pangeran dari Kegelapan menjadi terdesak. Beberapa kali tongkatnya berhasil menangkis. Dan dilain saat, dia menghindar dari babatan senjata wanita itu.
"Hm, tidak buruk! Tidak buruk...!" puji Pangeran dari Kegelapan sambil terus menghindar dari setiap serangan.
Namun pujian itu dianggap suatu penghinaan bagi Nyai Ratmi Sukaesih. Karena sampai saat ini, jurus-jurus terhebatnya, sudah dikerahkan. Namun laki-laki itu belum juga kelihatan terdesak.
"Keparat! Hari ini aku akan mengadu jiwapadamu. Kau atau aku yang mesti terkapar disini!" geram wanita tua itu seraya melipatgandakan tenaga dalamnya.
"Yiaaat...!"
Bet! Wut!
"Uts! Belum kena!" ejek Pangeran dari Kegelapan seraya menghindari dari tebasan pedang Ratu Maut Pedang Sakti.
Bukan main geramnya Nyai Ratmi Sukaesih mendengamya. Namun dia tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab meski telah mengerahkan kemampuan tertingginya, laki-laki itu belum juga mampu didesaknya. Bahkan setelah lewat empat jurus, Pangeran dari Kegelapan mulai balas menyerang dengan sengit.
Trang! Tring!
"Uhhh...!" Wanita tua itu mengeluh tertahan, saat terjadi benturan senjata. Dan lama-kelamaan, tangannya terasa bergetar sampai ke jantung. Hal itu menandakan kalau tenaga dalam Pangeran dari Kegelapan kuat luar biasa. Padahal pedang di tangan wanita itu bukanlah senjata biasa. Namun, yang terasa adalah sebaliknya. Tongkat milik Pangeran dari Kegelapan yang runcing dan permukaannya tidak rata, sepertinya senjata remeh. Namun dalam genggaman pemakainya, bisa menjadi senjata ampuh yang tak tertandingi.
Trang!
Sekali lagi senjata mereka beradu, maka setiap kali pula Pangeran dari Kegelapan berusaha mencuri kesempatan. Sehingga bila Nyai Ratmi Sukaesih tidak cepat menghindar, maka ujung tongkat laki-laki itu akan menyambar leher atau dadanya. Namun kali ini, terasa benturan itu amat berat. Maka dengan sejadi-jadinya, dia berusaha menghindar saat ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan menyambar ke pinggang.
"Uhhh...." Nyai Ratmi Sukaesih melompat ke samping, lalu melenting ke belakang. Namun, Pangeran dari Kegelapan mengimbangi dengan tubuh berputar ke belakang disertai kibasan tongkatnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Bret!
"Akh...!" Ratu Maut Pedang Sakti mengeluh tertahan begitu pinggangnya robek mengucurkan darah segar, tersabet tongkat Pangeran dari Kegelapan. Beberapa muridnya berseru kaget. Namun, Nyai Ratmi Sukaesih berusaha menghilangkan kekhawatiran murid-muridnya. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, dia langsung menghantam laki-laki itu dengan pukulan jarak jauh.
"Heaaa...!"
Slap!
Selarik cahaya merah seketika menyambar deras kearah Pangeran dari Kegelapan. Namun, wanita itu jadi kecewa. Ternyata laki-laki itu lenyap entah ke mana. Dan tahu tahu terasa angin sambaran dari sebelah kanan. Seketika Nyai Ratmi Sukaesih berbalik, seraya mengayunkan pedang.
Wuk!
Pedang Nyai Ratmi Sukaesih hanya menyambar tempat kosong. Sementara, sambaran angin tadi telah cepat berpindah ke belakang.
Bret!
"Aaakh...!" Wanita itu memekik, begitu ujung runcing tongkat Pangeran dari Kegelapan tepat menyambar leher. Dan dari tengkuknya tampak memancur darah segar. Tubuhnya ambruk dengan leher nyaris copot. Nyawanya melayang sejurus kemudian.
"Guru...!" pekik murid-murid Padepokan Mawar Merah, kaget.
Mereka berhamburan menghampiri gurunya. Namun sebagian lainnya langsung mengurung Pangeran dari Kegelapan.
"Iblis keparat! Dosamu kelewat banyak. Kau harus mampus untuk menebusnya!" dengus salah seorang murid.
"Huh!" Pangeran dari Kegelapan hanya mendengus sinis. Dan ini membuat salah seorang dari mereka tidak peduli. Dia langsung memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk menyerang.
"Heaaat...!"
"Mampuslah kau, Durjana Keparat!"
Disertai bentakan nyaring serta sumpah serapah, murid-murid Padepokan Mawar Merah menyerang bersamaan. Namun baru saja mereka melompat maju, maka tongkat Pangeran dari Kegelapan telah menyambar cepat.
Trang...!
Beberapa bilah pedang terpental. Dan bersamaan dengan itu, tongkat Pangeran dari Kegelapan terus berkelebat.
Bret!
"Aaa...!" Terdengar pekikan menyayat yang disusul ambruknya beberapa sosok tubuh dengan luka memanjang di dada.
"Heh?!"
"Kurang ajar!"
Murid-murid yang lainnya terkesiap melihat kejadian itu. Dan mereka segera bangkit serta ikut menyerang. Sehingga dalam waktu singkat, Pangeran dan Kegelapan telah terkurung rapat. Laki-laki itu mendengus sinis. Sama sekali tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Tapi begitu para murid itu melompat menyerang, Pangeran dari Kegelapan langsung berputar disertai ayunan tongkat. "Yeaaa...!"
Cras!
"Aaa...!" Kembali terdengar pekik kematian. Beberapa orang gadis kembali ambruk, tewas bermandikan darah. Tidak seperti tadi. Kali ini Pangeran dari Kegelapan langsung mengamuk dahsyat. Sehingga tidak ada seorang murid Padepokan Mawar Merah pun yang mampu menahannya. Mereka bagaikan daun-daun kering yang beterbangan tertiup angin. Dan laki-laki itu sama sekali tidak mau memberi ampun, sampai tidak ada seorang pun yang mampu bangkit berdiri lagi.
********************
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi putih terkejut saat menyaksikan mayat-mayat wanita bergeletakan di tempat ini dalam keadaan menyedihkan. Dia turun dari punggung kudanya yang berbulu hitam pekat. Diperiksanya mereka satu persatu.
"Astaga! Apa yang telah terjadi? Sungguh biadab orang yang telah melakukan pembantaian ini!" dengus pemuda itu dengan pedang bergagang kepala burung rajawali itu.
Kebanyakan dari wanita wanita yang bergeletakan telah tidak bernyawa. Namun sampai pada sesosok tubuh, pemuda itu tertegun. Segera kepalanya berpaling ke arah lain.
Ternyata ada sesosok yang mengeluh pelan. Sosok gadis itu mengerang halus. Namun bukan itu yang menyebabkan pemuda itu berpaling Melainkan, karena gadis itu sama sekali tidak mengenakan pakaian.
"Nisanak! Aku tidak bermaksud jahat. Cobalah kau berpakaian dulu, baru kemudian kita bicara ..." ujar pemuda tampan itu.
Tidak ada sahutan. Pemuda itu curiga. Kembali kata-katanya diulang. Dan untuk yang kedua kalinya, tetap saja tidak ada sahutan. Sementara pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini menggerutu kesal sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Huuu, entahlah. Mungkin kau bisu. Atau juga sinting. Kalau tidak, mana mungkin kau sudi bertelanjang begitu di antara tumpukan mayat..." gumam Rangga, seraya beranjak dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Kisanak...," panggil gadis itu lirih.
"He, ternyata kau tidak bisu! Tapi, aku malu berbalik. Pakailah bajumu, agar aku bisa bicara denganmu," sahut Rangga.
"Aku..., aku tidak bisa ..."
"Kenapa?"
"Aku.... aku tertotok..."
"Oh...!" Rangga terkejut. Segera kekeliruannya disadari. Pikirannya langsung melayang, dan menduga kalau sesuatu yang buruk telah menimpa gadis itu. Maka sambil melangkah mundur, didekatinya gadis itu.
"Maaf, aku akan membebaskan totokanmu...," ucap Rangga sambil mengibaskan tangannya ke belakang. Dan...
Tuk!
Begitu totokannya terlepas, gadis itu cepat bangkit dan mencari pakaian yang pas untuk menutupi bagian tubuhnya. Sementara Rangga masih tetap dalam sikap membelakangi. Namun pendengarannya yang tajam menangkap denting sebilah pedang. Dan dengan cepat tubuhnya berbalik karena menduga kalau gadis itu akan menyerangnya.
"Nisanak, kau...! Hiiih!"
Tak Wut!
Apa yang diduga Pendekar Rajawali Sakti ternyata salah. Gadis itu memang memungut pedang, tapi bukan untuk menyerangnya. Melainkan, untuk bunuh diri. Rangga tidak bisa membiarkan begitu saja. Dengan cepat tubuhnya bergerak, langsung menendang batang pedang yang siap menghujam jantung gadis itu.
"Kenapa?! Kenapa kau cegah? Biarkan akumati! Biarkan aku mati daripada menanggung hina ini...!" jerit gadis itu seraya menangis tersedu-sedu sambil menelungkupkan wajahnya ke tanah.
Rangga berdiri persis didekatnya. Diperhatikannya gadis itu sesaat. "Nisanak... Aku tidak tahu, apa yang telah menimpamu. Namun aku bisa merasakan kesedihanmu yang dalam. Tapi, kematian bukanlah jalan pintas untuk keluar dari kesulitan...," hibur Pendekar Rajawali Sakti, halus.
Gadis itu masih membisu. Isak tangisnya belum reda. Rangga beranjak. Segera dikumpulkannya semua senjata yang berada ditempat ini. Lalu Pendekar Rajawali Sakti mulai menggali sebuah lobang yang cukup besar.
Menjelang senja, lobang itu telah tergali cukup dalam. Pendekar Rajawali Sakti mulai menguburkan mayat-mayat ke dalam lobang. Lalu ditancap-kannya semua pedang di atas pusara yang masih baru itu.
Sementara. gadis itu tertegun. Namun isak tangisnya masih terdengar meski halus. Wajahnya kemudian terangkat. Lalu perlahan-lahan dia bangkit mendekati pusara yang baru saja dibuat pemuda itu. Tak lama, dia duduk bersimpuh di sebelah Rangga. Bola matanya berkaca-kaca. Beberapa tetes airmata kembali jatuh, membasahi pusara yang masih baru ini.
"Guru...! Saudara-saudaraku..! Maafkan aku. Kalian tewas dengan sia-sia. Maafkan... Aku murid yang tidak berguna. Dan tidak sepatutnya hidup. Namun, percayalah. Dengan kehinaan yang kutanggung, akan kubalas perbuatan iblis biadab itu! Akan kutuntut nyawanya di tanganku!" desah gadis itu.
Rangga masih diam. Dia hanya mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan gadis itu. Gadis murid Padepokan Mawar Merah ini berdiri. Lalu dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti sejurus lamanya.
"Kisanak. Terima kasih atas semua pertolongan yang kau berikan. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus pergi secepatnya...," ucap gadis itu.
"Hm... Tidak usah berkata begitu. Sudah selayaknya kita hidup saling tolong-menolong. Kalau boleh kutahu. apa yang telah terjadi?" tanya Rangga.
Gadis itu terdiam dan menunduk sesaat. Lalu wajahnya diangkat dan dipalingkan pada pusara itu.
"Ini rahasia keluarga kami. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Maaf, aku harus berangkat...," sahut gadis ini singkat.
Setelah itu, murid Padepokan Mawar Merah ini menuju pada salah seekor kuda. Lalu dia melompat kepunggungnya. Masih sempat kepalanya menoleh kearah Rangga, sebelum memacu kencang kudanya.
Rangga termangu memandangi gadis itu. Ada duka teramat dalam di wajah cantik itu, hingga menyuramkan sedikit kecantikannya. Pemuda itu menghela napas panjang, lalu beranjak. Dan dia segera melompat ke punggung Dewa Bayu. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti terdiam, seperti ada yang terlupa.
"Heh?! Aku tidak tahu, siapa namanya. Dan, dari padepokan mana dia berasal...?" gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan.
Namun sesaat kembali Pendekar Rajawali Sakti menghela napas disertai gelengan lemah. Kemudian kudanya digebah untuk segera berlalu dari tempat ini.
EMPAT
Entah kenapa, arah yang dituju Pendekar Rajawali Sakti ternyata searah dengan gadis itu. Padahal, Rangga tidak merencanakannya. Dia hanya merasakan kedukaan gadis itu telah mengusik hatinya. Juga, kejadian yang tadi sempat terlihat. Suatu hal yang mengerikan. Dan gadis tadi menyebutnya sebagai urusan keluarga. Dan entah kenapa, rasanya Rangga tidak bisa percaya begitu saja!
Sengaja Pendekar Rajawali Sakti mengatur langkah Dewa Bayu sedemikian rupa agar tidak sampai menyusul gadis tadi. Namun mendadak pendengarannya yang terlatih menangkap suara suara ribut tidak jauh di depannya.
Rangga segera menghentikan laju kudanya ketika melihat gadis yang dikuntitnya tengah dihadang empat orang laki-laki. Dengan gerakan indah, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari kudanya. Dia cepat mengendap-endap, mendekati. Kemudian dengan gerakan ringan, tubuhnya mencelat ke atas pohon, dan terus melompat kedahan pohon lain tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak pada sebuah cabang pohon. Diperhatikannya keadaan di bawahnya.
"Huh...! Jangan coba-coba menggangguku! Lebih baik kalian enyah sebelum aku bertindak!" bentak gadis itu galak seraya menghunuskan pedang.
"Ha ha ha...! Gadis galak! Kau kira kami takut ancamanmu itu? Hm... Semakin galak sikapmu, semakin berhasrat aku untuk memeluk tubuhmu erat-erat!" sahut salah seorang penghadang disertai seringai lebar.
Laki-laki yang barusan berkata-kata berkepala botak, namun memiliki kumis dan cambang bauk tebal. Sepasang kelopak matanya bulat dengan biji matanya besar. Begitu pula hidungnya. Ketika tertawa, gigi-giginya yang hitam kotor dan tanggal beberapa buah. Tubuhnya gemuk. Dia memakai kalung yang terbuat dari untaian tulang. Di pinggangnya, terselip sebilah golok panjang.
"Sudah... serahkan saja pada kami untuk membereskan, Ki Kebo!" ujar salah seorang kawannya
"Jangan, Mahesa Burik! Dia terlalu galak. Aku khawatir, kalian tidak bisa menahan diri. Biar aku saja yang meringkusnya!" sahut laki-laki botak yang dipanggil Kebo Sawangan.
"Phuih! Lebih baik kalian maju semua, agar lebih mudah bagiku memberi pelajaran!" dengus gadis itu disertai semburan ludah.
"He he he...! Dia tak tahu, tengah berhadapan dengan siapa! Sehingga berani buka bacot seenaknya. Hei! Kau tengah berhadapan dengan Kebo Sawangan, tahu?! Banyak orang yang lebih memilih menyingkir, daripada harus berurusan denganku. Karena, mereka tahu. Aku lebih suka menghirup darah manusia, ketimbang arak!" dengus Kebo Sawangan menggeram disertai ancaman.
"Kebo Sawangan atau Kebo Gundul, apa bedanya? Di mataku, kau hanya badut murahan!" ejek gadis itu.
"Kurang ajar! Huh! Agaknya orang sepertimu mesti dikasih adat! Kau rasakan hajaranku! Hiiih!" geram Kebo Sawangan, langsung melompat menerjang.
Wut!
Namun gadis itu tidak kalah gesit. Pedangnya. langsung menyambut. Cepat bagai kilat Kebo Sawangan membatalkan serangan dan langsung melompat ke samping. Dan kembali tubuhnya mencelat lewat bagian belakang lawannya untuk melakukan hajaran kilat. Namun gadis itu cepat memutar tubuhnya dan terus mengayunkan pedang.
Bet!
"Uts! Weeeh! Ternyata kau memang galak, Cah Ayu! He he he...! Tapi jangan bangga dulu. Lihat seranganku!" bentak Kebo Sawangan, langsung mencabut goloknya.
Srang!
"Huh!" Kebo Sawangan mendengus sinis, kemudian membuka jurus baru. Disertai geraman buas, tubuhnya melompat menerjang.
Namun gadis itu bergerak gesit ke samping. Kemudian, tubuhnya melenting keatas, langsung menangkis senjata Kebo Sawangan yang coba menyambar perut.
Trang!
"Uhhh...!" Si gadis mengeluh tertahan, saat terjadi benturan senjata. Dia merasakan tenaga dalam laki-laki itu menindihnya dengan kuat. Dan saat senjata mereka kembali beradu, wajahnya, berkerut menahan rasa sakit hebat.
"Yeaaa...!" Baru saja gadis itu mendarat di tanah, Kebo Sawangan mengejar. Laki-laki itu mulai melihat kalau keadaan lawan melemah. Golok di tangannya cepat menyambar kearah leher.
Karena untuk menghindar sudah tak mungkin, gadis itu terpaksa kembali memapak serangan golok Kebo Sawangan.
Trak!
"Uhhh..." Pedang di tangan gadis itu terpental oleh sambaran senjata Kebo Sawangan. Dan belum lagi ke seimbangannya sempat diperbaiki, laki-laki botak itu telah melepaskan satu tendangan geledek ke perut. Dan...
Des!
"Aaakh!" Si gadis mengeluh tertahan, begitu perutnya telak terhantam tendangan Kebo Sawangan. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi sempat menguasai diri, laki-laki botak itu telah melompat sambil mengayunkan tendangan kedada.
Duk!
"Akh!" Kembali gadis itu menjerit kesakitan. Kali ini tubuhnya terjungkal keras. Dan sebelum sempat bangun, golok di tangan Kebo Sawangan telah menempel di tenggorokannya.
"He he he...! Apa kataku! Kau tidak akan mampu berkutik melawanku! Kini, apalagi yang bisa kau lakukan? He he he...!" ejek Kebo Sawangan, merasa menang.
"Phuih! Babi busuk! Kau kira aku takut denganmu? Ayo bunuh! Bunuh saja! Aku tidak takut mati!" sentak gadis itu galak.
"Ha ha ha...! Terlalu enak bagimu untuk mati. Kau akan merasakan sesuatu yang nikmat. Dan mungkin, belum pernah kau rasakan. Ha ha ha...! Aku akan mencicipi tubuhmu yang montok itu, Cah Ayu!" kata Kebo Sawangan sambil menyeringai lebar, mirip serigala kelaparan.
Gadis itu memaki-maki. Namun Kebo Sawangan cepat menekan mata goloknya. Sehingga leher gadis itu mulai mengeluarkan darah. Dan laki-laki botak itu cepat memerintahkan ketiga kawannya untuk mengikat kedua tangan dan kaki gadis ini. Namun sebelum hal itu dilakukan, tahu-tahu telah berdiri tegak satu sosok dibelakang mereka.
"Iblis jahanam, lepaskan gadis itu!"
"Heh?!" Kebo Sawangan berpaling. Demikian pula ketiga kawannya. Dan mereka melihat seorang pemuda tampan berambut panjang berdiri pada jarak kurang lebih sembilan langkah dari mereka. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang tersandang dipunggung.
"Bocah edan! Hei, Kunyuk! Enyah dari sini, sebelum kupatahkan lehermu!" bentak Kebo Sawangan dengan mata mendelik garang.
"Biar kubereskan kunyuk ini, Ki!" dengus dua orang teman Kebo Sawangan, langsung melompat mencabut golok.
"Uruslah! Dan kalau perlu, pancung kepalanya biar penasaran di akherat Sana!" sahut Kebo Sawangan, tidak peduli.
Kebo Sawangan berbalik. Dia bermaksud meneruskan niatnya. Tapi saat itu juga, terdengar pekikan kedua anak buahnya yang kesakitan.
"Heh?! Kurang ajar...!"
Kebo Sawangan terkejut, dan kembali berbalik. Tampak kedua kawannya terjungkal dengan wajah meringis menahan rasa sakit di dada. Mereka berusaha bangkit dengan tertatih-tatih.
"Lepaskan gadis itu. Dan, pergilah dari sini!" ujar pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan alas! Hei, Kunyuk Pentil! Kau kira siapa dirimu?! Baru kenal sejurus dua jurus ilmu silat, mau berlagak di depan hidungku?! Monyet buduk!" maki Kebo Sawangan garang. Kembali dia memberi perintah pada seorang kawannya lagi, untuk membereskan Pendekar Rajawali Sakti.
"Beres, Ki! Biar kucongkel biji matanya. Mau usil saja dengan urusan orang tua!" sahut laki-laki bernama Mahesa Burik. Langsung dia melompat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Lebih baik urungkan niat busuk kalian. Dan, pergilah dengan tenang." ujar Rangga memperingatkan.
"Kadal buduk! Wueh! Kau boleh mampus oleh golokku ini! Simpan saja khotbahmu untuk kawan-kawanmu di akherat Sana!" sahut Mahesa Burik, geram.
"Mahesa Burik langsung mencabut golok, dan menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa!"
"Uts!" Rangga mendengus sinis. Tubuhnya lantas berkelit gesit sambil membungkuk. Sehingga, golok Mahesa Burik menyambar tempat kosong. Dan pada saat laki-laki itu meneruskan serangan dengan memapas kakinya, Rangga melompat ke atas. Seketika itu pula diayunkannya satu tendangan ke punggung. Mahesa Burik cepat bergerak ke samping. Tapi Rangga sudah memutar tubuhnya dan terus mengayunkan kaki dari bawah menghantam ke perut.
Duk!
"Hugkh!" Ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam keperut, hingga Mahesa Burik mengeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perut. Dia berusaha menyerang Pendekar Rajawali Sakti, namun gerakannya yang lambat membuat Kebo Sawangan jadi kesal sendiri.
"Minggir, Mahesa! Dasar tolol! Menghadapi kunyuk satu ini saja kalian tidak becus. Lihat, bagaimana aku akan meringkusnya!" bentak Kebo Sawangan garang, langsung melompat kehadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Masih ada kesempatan bagimu untuk pergi. Di antara kita tidak ada urusan. Aku hanya minta, kalian tidak mengganggu gadis itu...," ujar Rangga, nadanya datar serta berusaha tersenyum.
"Kurang ajar! Kunyuk pentil, tutup mulutmu! Aku tidak butuh nasihatmu!" sahut Kebo Sawangan, makin panas saja. Setelah berkata begitu, Kebo Sawangan melompat. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti setelah mencabut goloknya.
"Yeaaa!"
Bet! Wut!
Senjata di tangan Kebo Sawangan menyambar cepat menimbulkan desir angin kencang. Dia berusaha menghabisi pemuda itu dengan cepat untuk menunjukkan pada kawan-kawannya kalau dirinya mampu membuktikan kata-katanya.
Dan Rangga bukannya tidak merasakan. Dibanding ketiga kawannya, Kebo Sawangan, memang memiliki kepandaian lebih tinggi. Namun begitu, bukan berarti mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti.
Meski telah mengeluarkan seluruh kemampuan, namun Rangga sama sekali tidak mampu disentuh. Ini membuat Kebo Sawangan penasaran dan sekaligus geram
"Heaaa...!" Kebo Sawangan mengamuk sejadi-jadinya. Sehingga dengan begitu, dia berharap pemuda itu akan bingung.
Rangga hanya tersenyum. Kakinya diayunkan, dan cepat menariknya kembali saat Kebo Sawangan memapak dengan tebasan golok. Pemuda itu bergerak ke samping kanan. Cepat bagai kilat Kebo Sawangan mengibaskan goloknya. Namun senjatanya mengenai tempat kosong, ketika tahu-tahu pemuda itu berkelebat sangat cepat, seperti lenyap dan pandangan. Dan...
Duk!
Satu hantaman keras mendera pundak Kebo Sawangan. Laki-laki botak itu mengeluh tertahan. Dan berbalik cepat. Tapi saat itu juga...
Begkh!
"Wuakh...!" Kebo Sawangan menjerit keras, saat tubuhnya terjungkal kebelakang. Dan sudut bibirnya menetes darah segar. Dengan tangan kiri mendekap dada, dia berusaha bangkit. Tatapan matanya menyiratkan keheranan bercampur kegeraman.
"Bocah! Tidak sembarang orang bisa mengalahkanku. Kau pasti bukan tokoh sembarangan. Siapa kau sebenarnya?!" tanya Kebo Sawangan, agak tercekat di tenggorokan.
"Orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti? Oh, benarkah?!" seru Kebo Sawangan kaget.
Kedua kawan Kebo Sawangan pun sama-sama terkejut. Mereka memandang pemuda itu dengan wajah setengah percaya.
"Hm, maafkan. Ternyata kami tengah berhadapan dengan seorang pendekar besar. Aku tidak perlu merasa malu dijatuhkan olehmu!" seru Kebo Sawangan, langsung memberi hormat.
"Tidak usah terlalu menghormat begitu rupa, Kisanak. Aku malah bersyukur kalau kalian tidak lagi keras kepala mencari permusuhan. Nah, Kisanak. Biarkanlah gadis itu bersamaku. Sebab, kami telah saling mengenal...," sahut Rangga.
Kebo Sawangan dan ketiga kawannya tidak banyak bicara lagi. Mereka segera berlalu meninggalkan Rangga dan gadis itu.
"Terima kasih...," sahut gadis itu setelah Pendekar Rajawali Sakti membantu mengangkatnya berdiri.
"Sebenarnya hendak kemana tujuanmu, Nisanak...?"
Gadis itu terdiam, tapi kakinya melangkah pelan. Hanya beberapa langkah, lantas berhenti. Kini terlihat dia termenung. Malam telah merambat semakin gelap. Hewan malam pun mulai berkeliaran di tempat itu.
"Hari telah malam. Sebaiknya kau tunda lebih dulu kepergianmu sampai esok hari..." ujar Rangga memberi saran.
Gadis itu tidak menjawab, melainkan melangkah kebawah sebuah pohon. Dan dia duduk dengan wajah lesu. Rangga beranjak lantas mengumpulkan kayu kering yang banyak berserakan di tempat itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Dan tak lama muncul seekor kuda berbulu hitam, bernama Dewa Bayu.
Api mulai memercik kecil. Pendekar Rajawali Sakti segera menambahkan dedaunan kering, sehingga nyala api semakin besar. Baru kemudian diletakkannya ranting-ranting yang cukup besar, untuk mempertahankan nyala api. Cahayanya menjilat mereka berdua, dan juga kuda berbulu hitam yang sesekali mendengus kasar.
"Namaku Rangga...," ujar pemuda itu, memecah kesunyian.
Gadis itu meliriknya. Lalu, kembali diperhatikannya nyala api di depannya.
Rangga menarik napas panjang. "Maaf, kalau memang kau anggap aku usil. Namun aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Baiklah. Kalau kau memang tidak suka dengan kehadiranku di sini, aku akan pergi...," lanjut Rangga seraya bangkit berdiri. Dan dia bermaksud melompat kepunggung kudanya.
"Kisanak...," ujar gadis itu lirih.
"Hm...." Rangga berbalik.
"Aku tidak bermaksud begitu. Dan, tidak juga berprasangka buruk terhadapmu. Tapi, aku telah berhutang banyak padamu. Dan aku tak tahu, bagaimana harus membalasnya..."
"Pertolongan yang kuberikan hanya sebatas kewajaran sebagai sesama manusia yang harus saling tolong-menolong. Dan sama sekali aku tidak bermaksud mengharap pamrih darimu..," desah Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu kembali terdiam. Dipandangnya pemuda itu sejurus lamanya. Lalu wajahnya berpaling disertai desahan pelan.
"Aku..., aku hanya merasa tidak pantas menerima kebaikanmu. Kita tidak saling mengenal. Dan semestinya, kau tidak mempedulikan aku...."
"Nisanak..."
"Panggil saja aku, Nirmala!" potong gadis itu memberitahukan namanya.
"Namamu bagus!" puji Rangga disertai senyum kecil.
"Terima kasih. Tapi menyandang nama bagus, tidak berarti nasibku bagus pula..."
"Kau tidak perlu berkecil hati, Nirmala...."
"Aku bukan berkecil hati. Namun, merasa kalau hidupku tidak berarti sama sekali!"
"Setiap orang punya masalah yang berbeda. Hanya mereka yang berjiwa besar saja yang mampu mengatasi segala masalahnya...."
"Apakah kau kira begitu? Aku wanita. Dan, kau laki-laki. Apakah kau kira setiap persoalan yang dialami sama?"
"Maksudmu?"
"Pernahkah kau merasakan bagaimana sakitnya bila menjadi korban pemerkosaan? Dan aku merasakannya. Tanpa daya, lalu menanggung aib!" sahut Nirmala dengan suara keras.
Rangga terdiam. Matanya melirik gadis itu sekilas, kemudian mengalihkan perhatian pada nyala api di hadapan mereka. Lalu ditambahkannya ranting ranting kayu ke dalamnya. Suasana hening untuk beberapa saat. Nirmala duduk dengan dagu diletakkan pada kedua lutut. Bola matanya yang mulai berkaca-kaca, terjilat cahaya api.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu... "
"Tidak apa. Aku mulai terbiasa untuk menahan perasaan..."
"Siapa yang telah melakukan hal itu padamu?"
Orang itu berjuluk Pangeran dan Kegelapan"
"Dan orang-orang yang terbunuh itu apamu?"
"Mereka adalah guru dan saudara-saudara seperguruanku dari Padepokan Mawar Merah..."
"Oh! Jadi, kau murid Ratu Maut Pedang Sakti?" seru Rangga.
Nirmala tersenyum pahit. "Dulu, nama itu amat kubanggakan. Tapi kini..., apa yang bisa kubanggakan lagi? Semua orang akan mencemooh dan mengatakan kalau riwayat kami telah tamat!"
"Nama baik akan selalu dikenang sepanjang masa, meski si empunya nama telah tiada. Namun kita harus menyadari kalau di antara sekian banyak orang yang menyukai kita, maka ada yang membenci. Nah! Tidak usah berkecil hati menerima penghinaan dari mereka yang membenci. Itu semacam kodrat hidup manusia yang harus dihadapi..."
Nirmala tersenyum, namun terasa pahit di hatinya mendengar kata-kata pemuda itu. Meski dalam hatinya membenarkan, namun rasanya sulit dilakukan.
"Jadi kau bermaksud membalas dendam pada orang yang menamakan dirinya Pangeran dari Kegelapan?" tanya Rangga.
"Orang itu sudah sepatutnya menerima hukuman!"
"Jika gurumu sendiri tewas ditangannya, bagaimana mungkin kau mampu membalaskan dendamnya?"
"Aku akan melakukan segala cara agar iblis itu terbunuh!"
Rangga terdiam. Lalu dia menghela napas panjang. "Apakah sebelumnya ada pertikaian antara guru atau padepokan kalian dengannya?"
"Pertikaian? Bertemu saja baru hari ini. Dan orang itu memang sengaja mencari urusan!" sahut Nirmala dengan nada sewot.
Kemudian gadis itu menceritakan secara singkat awal kejadian yang dialaminya. Rangga manggut-manggut. Dipandangnya pada bola mata gadis itu sejurus lamanya. Ada kejujuran disana, yang tidak mungkin bisa disembunyikan.
"Nirmala... Aku akan membantumu menghadap iblis itu'' sahut Rangga singkat.
"Kau...?!" Gadis itu terkesiap. Dipandangnya pemuda itu dengan wajah ragu.
Namun Rangga mengangguk dan tersenyum kecil untuk meyakinkan atas keputusannya tadi.
LIMA
Rangga dan Nirmala telah memasuki Desa Branjangan, ketika hari menjelang siang. Suasana kelihatan sepi. Beberapa orang berkumpul di satu tempat dan saling bercerita. Setelah berjalan beberapa langkah, mereka melihat banyak orang berkumpul di halaman sebuah rumah. Dan di tempat lain, juga terlihat hal yang sama. Dan ini amat menarik perhatian kedua anak muda itu.
"Paman, apa yang terjadi? Kenapa banyak orang-orang berkumpul di depan rumah?" tanya Rangga, ketika berpapasan dengan seorang laki-laki tua penduduk desa ini.
"Apakah kalian tidak tahu?" laki-laki tua itu malah balik bertanya.
Rangga dan Nirmala menggeleng.
"Ah! Kalian pasti bukan penduduk desa ini. Tadi pagi ada kerusuhan. Dan dia telah membunuh beberapa orang desa!" sahut laki-laki itu.
"Kerusuhan? Kerusuhan bagaimana?"
"Dia meminta makanan dengan paksa. Lalu, membunuh lima orang penduduk desa."
"Siapa dia yang kau maksud, Paman?"
"Tidakkah kalian mengerti juga? Siapa lagi kalau bukan Pangeran dari Kegelapan! Iblis terkutuk itu selalu membuat kerusuhan di mana-mana. Setiap tempat yang dilalui, selalu saja ada korban yang mati. Huh! Mudah-mudahan orang seperti itu mati disambar geledek!"
Rangga tercenung, seraya menoleh kearah Nirmala.
"Kau dengar? Iblis itu kembali membuat ulah Huh! Mendengar namanya saja, sudah menggigil tubuhku untuk mencincangnya!" dengus Nirmala geram.
"Telah tiga desa yang kita lalui selama sehari. Dan semuanya menjadi korban iblis itu. Hm.... Dia memang iblis terkutuk! Membunuh tanpa alasan jelas, dan hanya sekadar mengumbar nafsu belaka!" timpal Rangga ikut-ikutan geram.
"Heaaa...!"
"Minggir! Minggiiir...! Pasukan Kerajaan Pringsewu akan melewati desa ini!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang sambil berlari-lari memberitahukan yang lain. Orang-orang Desa Branjangan segera terkejut. Mereka cepat bersimpuh saat melihat iring-iringan berkuda melewati jalan utama desa ini.
"Ayo!" ajak Rangga, langsung menggamit lengan Nirmala. Dan mereka segera bersembunyi di balik sebuah kandang yang terlindung dari penglihatan orang.
"Kenapa? Kau kelihatan takut dengan pasukan kerajaan..."
"Bukan. Aku hanya tidak terbiasa berlutut begitu!" sahut Rangga enteng.
Nirmala memandangnya sesaat, lalu menggeleng lemah seraya menghela napas pendek. Kemudian pandangannya dialihkan kedepan, dimana pasukan kerajaan tengah lewat di tempat itu.
"Barang siapa yang bisa menunjukkan dimana tempat orang yang menamakan dirinya Pangeran dari Kegelapan harap melapor pada prajurit kerajaan! Orang itu pembunuh, dan musuh nomor satu pihak kerajaan...!" teriak seorang prajurit sambil memukul mukul kentongan.
"Musuh kerajaan? Apa maksudnya?" tanya Nirmala dengan wajah bingung.
"Entahlah. Mungkin pihak kerajaan telah mendengar pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya belakangan ini. Sehingga, dia dianggap meresahkan masyarakat sahut Rangga menduga.
"Iblis terkutuk yang menamakan dirinya Pangeran dari Kegelapan telah membunuh putra mahkota kerajaan, yaitu Kanjeng Gusti Raden Mas Arya Kertajaya! Maka barang siapa yang mengetahui iblis itu berada, harap segera melapor. Barang siapa yang tidak melapor, dianggap bersekutu dengannya. Dan orang itu akan dijatuhi hukuman berat!" teriak prajurit Kerajaan Pringsewu melanjutkan pengumumannya.
"Gila! Dia mencari kematiannya sendiri!" desis Nirmala.
"Orang itu mungkin tidak waras. Apa urusannya dia membunuh putra mahkota kerajaan?" tanya Rangga pada diri sendiri.
"Hanya orang tidak waras yang berani melakukan hal itu!" umpat Nirmala.
"Mungkin juga. Tapi orang itu suka usil. Dan mungkin ada niat untuk mencari nama..."
"Apa maksudnya?"
"Seseorang yang baru muncul dalam dunia persilatan, berusaha mensejajarkan namanya dengan tokoh-tokoh besar lainnya. Orang itu akan membuat kegemparan. Dan mungkin menurutnya, dengan membunuh putra mahkota, akan menimbulkan kegemparan...," sahut Rangga.
"Dan niatnya berhasil."
"Sepertinya begitu...."
Kedua anak muda itu segera keluar dari persembunyiannya setelah pasukan Kerajaan Pringsewu meninggalkan desa ini. Kini para penduduk kembali pada kegiatannya semula.
"Huh! Apa pun yang dilakukannya, dia harus mati di tanganku!" dengus Nirmala.
Rangga tersenyum mendengar kata-kata Nirmala yang diucapkan dengan nada geram.
"Pihak kerajaan ikut campur. Dan urusannya tidak ringan. Iblis itu telah membunuh putra mahkota. Tentu mereka akan menggunakan segala cara untuk menangkap dan menghukumnya. Mungkin juga, dengan menggunakan jago-jago bayaran...," kata pemuda itu mengemukakan pendapatnya.
"Huh! Sudah kukatakan. Apa pun caranya, keparat itu harus binasa di tanganku!" sahut Nirmala tidak peduli. Dia segera melompat ke punggung kudanya, meninggalkan tempat itu. Rangga mengikutinya dari belakang.
********************
Dua orang penunggang kuda menggebah tunggangannya perlahan-lahan. Yang seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Kulitnya kuning langsat, berwajah tampan. Rambutnya pendek dan memakai ikat kepala kembang-kembang dengan warna dasar merah. Di pinggang bagian belakang terselip sebuah keris. Sedang disebelahnya adalah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Dia memakai sorban putih, berselempang kain putih pula. Sebagian dadanya yang kurus terlihat.
Laki-laki tua itu dikenal sebagai Empu Satyawaraga. Beliau ahli membuat senjata yang amat terkenal di seantero kerajaan. Bahkan kemasyhuran namanya melambung sampai di negeri-negeri tetangga. Setiap senjata buatannya selalu memiliki pamor, dan seperti mengandung kekuatan gaib. Sehingga, membuat pemakainya merasa lebih digdaya karena percaya diri.
Pemuda disamping Empu Satyawaraga dikenal bernama Kuncara. Dia adalah abdi terdekat Ki Samparan, seorang kerabat Kerajaan Pringsewu yang memiliki hubungan erat dengan Gusti Prabu Darma Kameswara. Keris yang terselip dipinggang Empu Satyawaraga adalah pesanan beliau beberapa waktu yang lalu.
Keris itu diselesaikan Empu Satyawaraga dalam waktu lebih kurang setahun. Dan selama mengerjakannya, sang empu tidak menerima pesanan lain. Dia perlu bertapa beberapa lama, sebelum menempa logam dan mengisinya dengan daya-daya kesaktian, sehingga keris itu memiliki pamor hebat.
Eyang Satyawaraga sendiri selain dikenal sebagai ahli pembuat senjata, dia pun memiliki ilmu kanuragan hebat yang diakui tokoh-tokoh persilatan.
"Hieee...!" Mendadak Kuncara menghentikan laju kudanya. Demikian juga Eyang Satyawaraga, saat di depan mereka berjalan seseorang berpakaian gembel bertopi lebar dari anyaman bambu yang menghalangi wajahnya. Tangannya tampak memegang tongkat runcing.
"Dasar gembel tidak tahu diri! Jalan seenaknya. Kau kira jalan ini milik bapak moyangmu, he?!" bentak Kuncara, galak.
Eyang Satyawaraga mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar Kuncara tidak bersikap demikian.
"Huh! Untung saja aku berjalan bersama sang empu. Kalau tidak, sudah kuhajar kau! Ayo, minggir cepat!" lanjut pemuda itu dengan wajah bersungut-sungut.
"Kisanak berdua, maafkan aku. Aku minta sedekah dari kalian...," ujar gembel itu dengan nada datar.
"Kurang ajar! Dasar gembel busuk tidak tahu adat! Sudah bagus aku tidak menghajarmu! Eh, malah berani minta-minta segala!" hardik Kuncara semakin geram saja.
"Kuncara, jangan begitu. Mungkin dia belum makan. Berilah sedekah kalau kau memiliki uang...," ujar Eyang Satyawaraga.
"Tapi, Empu. Gembel ini amat menjengkelkan!"
"Mungkin saja dia tidak tahu sopan-santun. Dan kau yang mengerti, hendaknya menyadarinya. Nah, berikanlah barang beberapa keping uangmu...."
"Huh!" kesal Kuncara. Namun begitu, pemuda itu tidak bisa membantah. Dirogohnya koceknya. Dan dia bermaksud mengeluarkan beberapa kepingan uang untuk gembel yang menjengkelkannya itu.
"Kisanak, kau salah. Aku tidak bermaksud meminta uangmu...!" kata gembel itu, datar.
"Dasar gembel kurang ajar! Jadi apa maumu?!"
"Aku ingin kepalamu!"
"Apa?! Keparat! Kau hendak mempermainkanku, he?! Kurang ajar!" geram Kuncara dengan wajah berkerut menahan geram.
Sepasang mata pemuda itu melotot lebar. Dan dengan serta-merta dia melompat turun, untuk menghajar gembel itu. Namun sebelum dilakukannya, gembel ini telah lebih dulu mencelat kearahnya sambil mengayunkan tongkat.
"Hiiih!"
"Heh?!" Kuncara terkesiap. Gembel itu ternyata bergerak secepat kilat. Dan bahkan pemuda itu sendiri sampai terkesima, hingga tidak menyadari kalau maut tengah membayanginya. Namun saat itu juga, Eyang Satyawaraga mencelat. Disambarnya keris pemuda itu untuk menangkis senjata si gembel.
Tak! Trak!
Wut!
"Uhhh..." Dua sabetan tongkat gembel itu berhasil ditangkis Eyang Satyawaraga. Dan saat gembel ini berbalik melakukan tendangan, Eyang Satyawaraga mendorong tubuh Kuncara. Akibatnya, pemuda itu terlempar dari punggung kudanya. Orang tua itu sendiri cepat menangkis sambil berputar di udara.
Tap!
"Hup!" Mendadak si gembel mencelat ke belakang. Demikian pula halnya Eyang Satyawaraga. Kedua bahu orang tua itu turun naik menandakan kalau pernapasannya kalang kabut. Baru sekali ini dia merasakan kalau gerakan lawan begitu cepat.
"Ha ha ha...! Ternyata apa yang kudengar tentang dirimu tidak salah, Kunyuk Peot. Kau boleh juga...!" ujar gembel itu sambil tertawa lebar.
Kuncara bangkit dengan muka penasaran. Didekatinya Eyang Satyawaraga. "Siapa orang itu, Empu? Apakah kau mengenalnya?" bisik pemuda itu.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu...."
"Huh! Kalau dia macam-macam, biar kuadukan pada prajurit kerajaan. Dia akan diringkus dan mendapat hukuman berat!" dengus Kuncara.
"Dengan cara apa kau hendak memberitahu pihak kerajaan?"
"Tentu saja dengan berkuda! Sementara dia kau hadang, aku akan memberitahu pihak kerajaan. Jarak kita tidak jauh lagi dari sini!"
"Dia menginginkan kita berdua. Dan tidak akan membiarkan kau pergi begitu saja."
"Apakah kau tidak bisa menghadangnya barang sesaat?"
Orang tua itu tidak menjawab, tapi malah tersenyum tipis.
"Aku akan buktikan!" sahut Kuncara bersemangat. Langsung diambilnya keris yang berada dalam genggaman Eyang Satyawaraga.
Pemuda itu cepat melompat ke punggung kudanya. Dan dia bermaksud pergi dari situ. Namun sebelum kudanya berlari, gembel itu langsung melompat menyerang.
"Yeaaa...!"
Eyang Satyawaraga tidak bisa membiarkan begitu saja. Langsung orang tua itu melompat menghadang serangan si gembel.
"Hup!"
Wut! Bet!
Ujung tongkat di tangan si gembel melayang-layang menyambar ke arahnya. Namun, orang tua itu bergerak gesit menghindarinya meski sedikit kerepotan. Dan ternyata, si gembel tidak terus mendesaknya, saat orang tua itu mencelat kesamping. Bahkan dia menghantam satu pukulan jarak jauh ke arah Kuncara.
"Hiiih!"
"Kuncara, awaaas...!" teriak Eyang Satyawaraga memperingatkan.
"Hup!
Uts...!" Kuncara melompat dari kudanya. Namun akibatnya, justru kudanya yang menjadi korban. Hewan itu meringkik keras, langsung terjungkal roboh. Sambil meringkik-ringkik kesakitan kuda itu berusaha bangkit, namun tidak juga berhasil.
"Ha ha ha...! Kau kira begitu mudah meninggalkanku, Bocah? Kalau ingin pergi, tinggalkan dulu kepalamu di sini!" kata orang bertopi lebar itu seraya menuding ke kakinya.
"Setan! Gembel busuk! Apa kau kira aku takut denganmu, he?!" sahut Kuncara, garang.
"Aku tidak peduli kau takut atau tidak. Namun, kau boleh bicara lagi setelah kepalamu kucabut!" desis orang bertopi lebar itu seraya melompat menyerang Kuncara.
Kali ini, laki-laki bercaping itu tidak peduli apakah Eyang Satyawaraga akan menghalangi atau tidak. Tapi, agaknya dia telah memperhitungkannya. Terbukti, saat Eyang Satyawaraga bermaksud melindungi pemuda itu, maka serangkum angin kencang berbau busuk menerpanya. Orang tua itu kaget, namun cepat melompat menghindar. Pada hal pada saat yang sama, ujung tongkat si gembel mengancam keselamatan Kuncara.
Tring!
Kuncara terkejut setengah mati. Kerisnya tahu-tahu terpental disambar tongkat si gembel, saat berusaha menangkis. Belum sempat keterkejutannya hilang, ujung tongkat laki-laki bercaping itu telah menyambar ke leher.
Cras!
"Aaakh...!" Kepala Kuncara menggelinding, setelah sempat menjerit sesaat. Dari pangkal lehernya tampak mengucur darah segar! Kemudian dia ambruk, tak berkutik lagi.
"Heh...? Biadab...!" desis Eyang Satyawaraga dengan mata terbelalak lebar, begitu menjejakkan kakinya di tanah. Laki-laki tua itu amat terperanjat dengan gerakan si gembel yang cepat tak terkira.
"Ha ha ha...! Sekali aku menginginkan sesuatu, maka harus terpenuhi!" ujar laki-laki berbaju gembel itu tertawa keras.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?! Dan, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya orang tua itu datar.
"Kematian!"
"Hm.... Kurasa aku belum pernah mengenalmu sebelumnya. Dan tidak ada alasan untuk membunuhku dan pemuda itu...!" sentak Eyang Satyawaraga.
"Pangeran dari Kegelapan tidak perlu alasan untuk meminta kematian kalian!"
"Pangeran dari Kegelapan?! Hm... Jadi, kau orangnya? Kudengar kau telah membunuh putra mahkota kerajaan...."
"Ha ha ha...! Kini berita lebih cepat menyebar ketimbang angin. Bahkan tua bangka sepertimu yang hidup terkucil pun tahu hal itu," kata laki-laki bercaping yang ternyata Pangeran dari Kegelapan.
"Aku banyak punya hubungan dengan pihak kerajaan...."
"Apa?! Ha ha ha...! Bagus! Jadi kau bermaksud menangkapku? Ayo, tangkaplah! Atau, barangkali kau ingin menakut-nakutiku?! Ha ha ha...! Tua bangka busuk! Ayo tunggu apa lagi? Tangkaplah aku!" ejek Pangeran dari Kegelapan.
"Hm.... Sebenarnya aku tidak ada urusan denganmu. Dan, sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusanmu dengan orang-orang kerajaan. Namun kau telah membunuh Kuncara. Padahal, dia dalam perlindunganku. Maka aku tidak bisa berdiam diri melihat kenyataan ini," sahut Eyang Satyawaraga, datar.
"Tua bangka! Kau terlalu banyak mulut! Tidak usah cerewet! Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan!" bentak Pangeran dari Kegelapan.
"Baiklah kalau itu yang kau mau. Bersiaplah!" sahut Eyang Satyawaraga.
Orang tua itu mencabut keris yang terselip dipinggang, bersiap menyerang. Sengaja itu dilakukannya untuk mengimbangi senjata Pangeran dari Kegelapan. Sebab dalam beberapa gebrakan tadi, dia bisa merasakan kalau tongkat di tangan Pangeran dari Kegelapan bukanlah senjata sembarangan. Sehingga, dia tidak mau gegabah meladeninya dengan tangan kosong.
"Yeaaat!" Keris itu menyambar bagaikan kilat. Namun tenang sekali Pangeran dari Kegelapan menangkis dengan tongkatnya.
Trang! Wut!
Sementara ujung keris itu terus berkelebat kebawah mengikuti gerakan pemegangnya.
"Haiiit!" Pangeran dari Kegelapan terkesiap. Dan dia cepat melompat ke belakang. Dia merasakan hawa panas tajam menyambar dekat perut. Meski telah mengibaskan tongkat untuk menangkis, namun orang tua itu berusaha menghindari bentrokan senjata. Keris itu bergerak gesit, dan terus mengancam leher.
"Uts!"
"Huh! Ke mana pun kau berlari, akan kukejar! Kau harus menebus jiwa Kuncara!" desis Eyang Satyawaraga.
Pangeran dari Kegelapan melompat ke belakang sambil membentak nyaring. "Ha ha ha...! Apakah kau merasa telah mampu mengalahkanku, Tua Bangka? Dasar kunyuk buduk! Kau boleh bermimpi diakherat sana!" ajak Pangeran dari Kegelapan.
Setelah berkata demikian, laki-laki bercaping itu melompat menerjang disertai bentakan nyaring. "Yeaaa...!"
Eyang Satyawaraga terkesiap. Gerakan Pangeran dari Kegelapan kian gesit dan cepat Kerisnya dikibaskan untuk memapak.
Bet! Trang!
"Uhhh..." Saat senjata mereka beradu, orang tua itu merasakan kalau tenaga dalam Pangeran dari Kegelapan mulai menindih tenaga dalamnya yang disalurkan lewat keris.
"Hiiih!" Ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan semakin lincah saja bergerak dengan arah tak terduga. Dan ini membuat Eyang Satyawaraga kewalahan.
"Heaaa...!"
ENAM
Pangeran dari Kegelapan melompat gesit, menyerang Eyang Satyawaraga dengan ayunan tongkatnya. Orang tua itu berusaha menangkis. Namun siapa duga bila ternyata tongkat itu ternyata adalah sarung sebilah pedang kecil yang amat tajam.
Dengan memegang tongkat di tangan kiri, tangan kanan Pangeran dari Kegelapan mencabut pedang tipis itu. Dan begitu cepat dia mengibaskan pedangnya membabat tenggorokan orang tua itu, tanpa bisa dielakkan lagi. Eyang Satyawaraga terkesiap. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Dan...
Cras!
"Aaakh...!" Orang tua itu menjerit tertahan. Tubuhnya terkulai lesu dengan leher nyaris putus. Darah segar memancur deras dari lukanya. Orang tua itu lantas ambruk dengan nyawa melayang.
Trek!
Pangeran dari Kegelapan menyarungkan pedangnya. Tubuhnya berbalik seraya mendekati mayat orang tua itu.
"Huh, Kunyuk Busuk! Kau hanya banyak mulut. Kehebatanmu yang digembar-gemborkan hanya omong kosong!" dengus Pangeran dari Kegelapan sinis seraya meludahi mayat itu.
Baru saja Pangeran dari Kegelapan bertindak seperti itu...
"Itu dia! Kejar! Ringkus, dan jangan biarkan lolos...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan beberapa orang yang berlari kencang mendekati tempat ini. Pangeran dari Kegelapan menoleh. Matanya disipitkan dengan wajah sinis. Ternyata lebih dari tiga puluh prajurit Kerajaan Pringsewu telah berada di tempat itu. Meski ada kesempatan baginya untuk kabur, namun tidak dilakukannya. Dia malah berdiri dengan sikap siap menyambut.
"Lihat! Dia telah membunuh Empu Satyawaraga dan seorang abdi Gusti Samparan!" teriak salah seorang prajurit Kerajaan Pringsewu.
"Kurang ajar! Hei, menyerahlah. Agar kami tidak bertindak keras padamu!" sentak prajurit yang lain.
"Menyerah? Ha ha ha...! Kunyuk-kunyuk dungu! Kalian kira siapa aku? Pangeran dari Kegelapan tidak mungkin menyerah pada kunyuk-kunyuk seperti kalian!" sahut Pangeran dari Kegelapan, jumawa.
"Bangsat! Kalau begitu jelas kau cari mati. Ayo, ringkus dia!" sahut prajurit itu seraya memberi perintah pada kawan-kawannya.
"Yeaaa ...!"
Srang!
Tanpa diperintah dua kali, para prajurit Kerajaan Pringsewu itu langsung menghunus senjata dan berlompatan menyerang. Pangeran dari Kegelapan berputar sambil mengayunkan tongkat. Akibatnya, beberapa buah pedang dan tombak melayang.
Trang! Bret!
"Aaa...!"
Kelebatan tongkat Pangeran dari Kegelapan, disusul pekik kematian beberapa prajurit. Lima orang ambruk dan tewas dengan luka lebar di leher.
"Kurang ajar! Jangan beri hati. Bunuh dia!" teriak prajurit tadi membakar semangat kawan-kawannya.
"Heaaa...!"
Kembali para prajurit Pringsewu menyerang penuh nafsu. Namun yang diserang kelihatan tenang-tenang saja. Dan begitu para prajurit sedikit lagi mendekat, Pangeran dari Kegelapan memutar tubuhnya sambil mengayunkan tongkat.
Cras! Cras!
Dan kembali beberapa orang menjadi korban ujung tongkatnya. Melihat keganasan dan kehebatan laki-laki gembel itu, sebagian prajurit menjadi ciut nyalinya. Namun karena beberapa kawannya yang lain membakar semangat mereka, maka serangan terhadap Pangeran dari Kegelapan diteruskan.
"Yaaat!"
"Huh! Dasar kunyuk-kunyuk tidak tahu diri! Kalian hanya mengantar nyawa sia-sia. Tidak ada seorang pun yang mampu membunuhku!" dengus laki-laki gembel berbaju penuh tambalan ini.
Pangeran dari Kegelapan melenting ke atas kepala lawan-lawannya. Lalu dihalaunya semua senjata mereka. Dan dengan kecepatan yang tidak mampu diikuti mata biasa, ujung tongkatnya menyapu kearah tenggorokan.
Cras!
"Aaa...!"
Beberapa prajurit lagi menjadi korban. Kali ini sasarannya adalah bagian tenggorokannya. Sehingga, mayat-mayat yang ambruk itu terlihat menyedihkan. Kepala mereka nyaris putus dan darah segar mengalir dari leher yang terluka.
"Bagaimana ini? Jumlah kita semakin menipis. Sedang, iblis ini belum juga tertangkap?" bisik seorang prajurit yang agaknya memimpin pasukan ini, kepada kawan terdekatnya.
"Entahlah... Aku sendiri tidak tahu. Apa kita harus kembali dan melaporkan kegagalan ini? Kanjeng Panglima tentu akan menghukum kita dengan berat."
"Masih lebih baik ketimbang mati sia-sia!" sahut prajurit yang lain.
"Gila! Jadi kau ingin menyingkir, he?!" dengus prajurit yang diajak bicara.
"Bukan begitu, tapi..."
"Kunyuk-kunyuk buduk! Kenapa kalian diam?! Ayo, serang aku! Bukankah kalian ingin menangkapku? Ayo, serang! Atau barangkali semua prajurit kerajaan berjiwa pengecut?"
Kata-kata prajurit itu terhenti ketika Pangeran dari Kegelapan membentak nyaring. Kepala pasukan prajurit itu belum sempat menjawab ketika sesosok tubuh berkelebat, lalu berdiri tegak membelakangi mereka.
Orang yang baru muncul itu memakai jubah hitam pudar. Rambutnya panjang sepunggung, tanpa pengikat kepala. Dia langsung menatap tajam Pangeran dari Kegelapan.
"Pangeran dari Kegelapan, kau boleh berhadapan denganku saat ini!" ujar orang yang baru muncul itu.
Laki-laki bertopi lebar yang terbuat dari anyaman bambu itu mendengus. Kedua tangannya memegang tongkat yang ujungnya menyentuh tanah. Orang yang baru muncul ini adalah tokoh berusia sekitar lima puluh tahun. Dahinya lebar dengan kedua kelopak mata agak menyipit. Hidungnya bulat, sedikit lebar. Tubuhnya besar, dengan dada bidang lebar. Satu-satunya senjata yang dimilikinya hanya sebatang tongkat yang hampir mirip dengan milik Pangeran dari Kegelapan.
"Hm... Memang telah lama kutunggu-tunggu saat seperti ini, Keparat! Akhirnya kau muncul juga dihadapanku!" dengus Pangeran dan Kegelapan.
"Aku bisa menduga, siapa kau sebenarnya...," ujar tokoh yang baru muncul.
"Syukurlah kalau benar begitu. Hm.... Nama Malaikat Tongkat Maut tidak akan pernah hilang dari benakku. Kau membunuh keluargaku, membunuh anak istriku. Serta, merusak mukaku! Aku akan membalasnya sampai tuntas, berikut bunga-bunganya!" desis Pangeran dari Kegelapan.
"Kalian adalah keluarga bajingan! Dan kau mendidik istri dan anakmu dengan cara salah. Kau suruh mereka merampok, membunuh, dan mengganggu setiap orang. Persis apa yang kau lakukan sekarang. Kalian memang bajingan, Karta! Dan sedikit pun aku tidak menyesal akan apa yang telah kulakukan terhadapmu. Hm, sungguh menyesal kala itu aku tidak langsung membunuhmu!" sahut tokoh yang ternyata bergelar Malaikat Tongkat Maut.
"Tidak usah banyak mulut! Sekarang tentukan saja, siapa di antara kita yang akan mati hari ini!" timpal Pangeran dari Kegelapan yang bernama asli Kartawijaya.
"Kau boleh mulai!"
Tanpa banyak bicara lagi, Pangeran dari Kegelapan melompat secepat kilat menyerang.
"Huh!"
Trang! Bet!
Tongkat Pangeran dari Kegelapan berkelebat menyambar. Namun, Malaikat Tongkat Maut tidak kalah gesitnya menghindar dan sesekali menangkis. Bahkan kini mulai balas menyerang. Dan setiap kali tongkat mereka saling beradu, terlihat pijaran bunga api. Ini menandakan kalau kedua tongkat itu terbuat dari bahan logam kuat atau baru yang amat keras.
"Yeaaa...!"
Tubuh Pangeran dari Kegelapan mencelat ke sana kemari. Dia berusaha mendesak Malaikat Tongkat Maut secepat mungkin. Sehingga dalam waktu singkat Malaikat Tongkat Maut mulai keteter.
"Huh!"
Malaikat Tongkat Maut mengkertak rahang. Lalu tubuhnya mencelat ke belakang. Ternyata Pangeran dari Kegelapan tidak berusaha menyusul, seperti membiarkan si Malaikat Tongkat Maut mengeluarkan jurus baru yang bisa diandalkan.
"He he he...! Mau menggunakan jurus 'Tongkat Maut Menyapu Bulan'? Kau akan menyesal di akherat sana bila menyadari kalau semua ilmu silatmu hanya seujung kuku!"
"Huh! Kau boleh tertawa sepuas hatimu! Tapi setelah kepalamu berpisah dari tubuh, baru tawamu terhenti!" dengus Malaikat Tongkat Maut seraya melompat menerjang.
Trang! Tring!
Tongkat Malaikat Tongkat Maut menyambar Pangeran dari Kegelapan cepat mengincar leher. Namun, mendadak berbelok mencecar dada. Lalu, secepat kilat berpindah menyambar perut. Sehingga apa yang disebutnya sebagai jurus 'Tongkat Maut Menyapu Bulan' sebagai jurus andalan, bukanlah omong kosong. Hanya saja, Malaikat Tongkat Maut kini ketemu batunya. Biasanya jurus itu bisa diandalkan. Bahkan jarang ada tandingannya. Dan kali ini, kelihatan sama sekali tidak berguna.
Pangeran dari Kegelapan bukan saja mampu menghidar atau menangkis, namun juga mampu mencari titik kelemahan jurus Malaikat Tongkat Maut. Sehingga, dengan mudah pertahanan musuh bebuyutannya itu terdesak. Dan kini, Malaikat Tongkat Maut tampak kewalahan.
"Heaaa...!"
Trang! Wut!
Malaikat Tongkat Maut menerjang disertai bentakan keras. Tongkatnya yang berada di tangan kiri dan ternyata juga berisi pedang kecil tipis itu menyambar ke arah leher.
Pangeran dari Kegelapan cepat menunduk kebelakang. Tangan kanannya juga cepat mencabut sebilah pedang kecil dari tongkatnya dan terus menyambar dada.
"Hup!"
Malaikat Tongkat Maut mencelat ke samping, menghindari pedang tipis Pangeran dari Kegelapan. Namun pedang kecil yang berada dalam tongkat Pangeran dari Kegelapan terus menyambar ke arah tengkuk. Dan...
Cras!
Malaikat Tongkat Maut tidak sempat menjerit. Kepalanya kontan putus dipapas senjata Pangeran dari Kegelapan.
Trek!
Bruk!
Tepat kebka pedang tipis Pangeran dari Kegelapan kembali masuk kedalam warangka, tubuh Malaikat Tongkat Maut ambruk dengan darah segar menyembur dari pangkal lehernya.
Pangeran dari Kegelapan berdiri tegak memperhatikan sambil mendengus sinis. "Satu kesalahan besar yang kau lakukan terhadapku, Kunyuk! Aku berusaha meniru senjatamu sampai hal sekecil-kecilnya. Dan kau kira aku tidak tahu siasatmu dalam mengeluarkan pedang dari tongkat itu? Kini kau boleh mengutukku dari akherat sana. Tapi, aku tidak peduli. Kau telah mampus ditanganku. Terbalaslah sudah dendamku meski kematianmu terlalu cepat!"
Meski terasa puas, namun tidak seperti yang terlihat. Pangeran dari Kegelapan masih berdiri di dekat mayat lawannya seraya sesekali mendesah kesal. Kematian lawannya memang terlalu cepat dan di luar rencananya. Dia tidak menginginkan kematian Malaikat Tongkat Maut secepat itu, melainkan kematian secara perlahan-lahan. Namun amarah terlalu meluap saat melihat kesempatan didepan mata. Maka langsung dipancung kepala Malaikat Tongkat Maut.
Pangeran dari Kegelapan menarik napas sesak, lalu berpaling. Dan dia melihat para prajurit kerajaan yang tinggal sedikit lagi, tunggang-langgang menyelamatkan diri dari tempat ini. Pangeran dari Kegelapan tidak mempedulikannya dan terus saja melangkah meninggalkan tempat ini.
********************
Menjelang lewat tengah hari, Rangga dan Nirmala memasuki sebuah desa. Penduduknya cukup ramai dan kelihatan tenang. Keduanya mampir ke sebuah kedai. Tidak banyak orang yang berada di dalamnya. Hanya dua orang lelaki yang tengah asyik berbincang-bincang, serta seorang laki-laki lain yang duduk agak ke pojok. Mereka berdiri mengambil tempat yang tidak jauh dari pintu depan.
"Mau makan apa, Kisanak...?" tanya seorang pelayan.
Rangga menyebutkan pesanannya. Demikian pula Nirmala. Pelayan kedai itu segera berlalu untuk menyiapkannya.
"Apakah kau yakin dia akan melewati desa ini?" tanya gadis itu dengan nada sungguh-sungguh.
"Tidak. Tapi, tempat ini merupakan desa terdekat setelah terakhir dia membunuh prajurit-prajurit kerajaan "
"Tempat ini tidak jauh dari istana kerajaan. Apakah menurutmu para prajurit kerajaan akan mengejarnya kesini?"
"Mungkin saja."
"Dari mana mereka menduga kalau iblis itu akan melewati desa ini?"
"Kau lihat desa ini? Begitu tenang dan damai. Rasanya, mereka mungkin belum menjadi korban iblis itu...."
"Tapi itu tidak cukup alasan kalau iblis itu akan ke sini!"
"Dia akan kesini!" Rangga menegaskan.
"Dari mana kau bisa begitu yakin?"
"Hanya perasaan. Dan biasanya, perasaanku benar. Lagi pula telah terbukti, kalau selama ini Pangeran dari Kegelapan sama sekali tidak merasa gentar kalau dirinya dikejar-kejar. Dia malah semakin mendekati ibukota kerajaan..."
"Hm... Aku tidak bisa percaya sesuatu dengan alasan perasaan. Rasanya kita hanya buang-buang waktu bila berharap dia datang ke sini!"
"Tidak juga. Coba lihat di luar sana!"
Nirmala menoleh. Dan dia melihat lebih dari empat puluh prajurit kerajaan di kejauhan. Berada paling depan beberapa tokoh yang tidak mengenakan seragam prajurit. Mereka terlihat seperti tokoh-tokoh silat saja layaknya.
"Apa yang mereka lakukan di desa ini?'" tanya Nirmala, seraya menerima pesanan dari pelayan kedai.
"Mungkin seperti kita juga" Menunggu keparat itu?"
"Apa lagi?"
"Hm... Sepertinya mereka telah menyiapkan sesuatu"
"Maksudmu, tokoh-tokoh silat itu? Mereka mungkin orang upahan, karena pihak kerajaan telah mengetahui kehebatan lawannya"
"Bisa jadi..."
Kedua anak muda ini menunggu perkembangan yang terjadi sambil menyantap hidangan yang tersedia.
Tampaknya, para prajurit kerajaan itu hanya berputar-putar di sekitar desa ini, lalu menunggu di suatu tempat. Para penduduk yang melihat gelagat itu buru-buru menyingkir ke dalam rumah masing-masing, setelah mengetahui akan terjadi pertumpahan darah di sini. Hanya beberapa orang saja yang berani keluar dari rumahnya.
"Maaf, Kisanak. Aku tidak bermaksud mengusir kalian. Tapi sepertinya ada keributan sebentar lagi. Dan aku tidak mau terlibat dalam keramaian itu. Sehingga bermaksud menutup kedai ini..." ujar pemilik kedai ini dengan wajah ketakutan dan was-was.
Nirmala melirik Rangga. Dan pemuda itu hanya mengangkat bahu. "Tidakkah kau lihat kami tengah makan? Kalau mau tutup, silakan saja. Tapi biarkan kami menyelesaikan makan ini dulu," sahut gadis itu.
"Eh! Kalau begitu, baiklah..." Pemilik kedai itu segera memanggil dua orang pembantunya, dan mulai menutup kedai ini. Pengunjung yang lain telah meninggalkan tempatnya. Sehingga, yang ada saat ini hanya Rangga dan Nirmala.
"Hm, agaknya dugaanku benar...," gumam Rangga.
"Apa.'"
"Coba lihat..." ujar Pendekar Rajawali Sakti, menoleh keluar.
Nirmala menoleh. Dan dia melihat seseorang berjalan pelan dari arah yang berlawanan dengan para prajunt kerajaan yang tengah berkumpul.
Orang itu berbaju penuh tambal dan kelihatan dekil. Kepalanya mengenakan topi lebar terbuat dari anyaman bamboo. Langkahnya pelan, namun mantap. Dan sesekali, ujung tongkatnya diketukkan ke tanah.
Melihat kehadiran orang itu, para prajurit Kerajaan Pringsewu langsung bersiaga. Mereka segera menghampiri dengan setengah berlari, membuat barisan pengurungan.
Melihat dirinya dikepung, laki-laki gembel itu menghentikan langkah. Dan dia sama sekali tidak menoleh kesekelilingnya.
"Jahanam! Aku tidak boleh terlambat!" desis Nirmala dengan wajah geram. Gadis itu hendak melompat keluar, namun Rangga cepat menangkap pergelangan tangannya.
"Duduklah dulu. Dan, habiskan makananmu...!"
"Huh! Aku tidak bernafsu makan lagi setelah melihat bajingan terkutuk itu!"
"Kalau begitu, diamkan dulu perutmu. Dan, biarkan makanan yang masuk ke dalamnya dicerna lebih dulu..."
"Jangan halangi aku, Rangga! Aku telah bersumpah akan menuntut balas terhadapnya. Dia harus mati di tanganku!" sentak Nirmala berusaha melepaskan diri dari cekalan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku mengerti. Tapi, tidakkah kau melihat apa yang terjadi di sana...?"
"Prajurit-prajurit itu? Huh! Aku tidak peduli!"
"Kau mungkin tidak peduli. Namun, mereka peduli!" tegas Rangga dengan kalimat ditekan sedemikian rupa, agar gadis itu tidak terlalu mengikuti hawa nafsu amarahnya.
"Apa maksudmu?"
"Mungkin saja mereka tidak suka ada orang yang mencampuri urusannya. Dan dalam hal ini, prajurit-prajurit itu bisa menangkapmu lebih dulu sebelum meringkus lawan yang sebenarnya. Dan lebih dari itu, ada hal yang lebih penting. "
Pemuda itu tersenyum. Ditunggunya tanggapan Nirmala. Dan ketika melihat gadis itu terdiam tanpa berusaha melepaskan diri dari cekalannya, kata-katanya dilanjutkan.
"Mereka belum tentu dapat meringkusnya dengan mudah. Nah! Kau bisa mencuri kesempatan, saat dia kecapaian atau tenaganya terkuras banyak. Itu lebih baik ketimbang kau menghadapinya saat ini"
Nirmala terdiam, langsung dipikirkannya akal yang dikemukakan Rangga. Kemudian perlahan-lahan gadis itu kembali duduk di bangkunya, dan memandang tajam kearah peristiwa yang terjadi tidak jauh didepan.
TUJUH
Dua orang yang berada paling depan melangkah mendekati laki-laki gembel itu. Mereka adalah Ki Sapta Wiguna dan Ki Karmapala. Selama ini mereka berdua dikenal sebagai sesepuh para prajurit kerajaan. Sebab, banyak murid mereka yang menjadi prajurit kerajaan, ataupun yang menjadi pelatih ketangkasan dalam ilmu kanuragan dan kedigdayaan lainnya.
Ki Sapta Wiguna terkenal ahli memainkan pedang yang termashur. Sedangkan Ki Karmapala sangat ahli menggunakan tombak. Dan sesungguhnya, mereka berdua adalah dua saudara seperguruan. Perbedaan usia mereka pun tidak menyolok. Ki Sapta Wiguna berusia lima puluh tahun, sedang Ki Karrnapala berusia sekitar empat puluh tujuh tahun.
Bersama para prajurit Kerajaan Pringsewu mereka bersiap menyerang gembel bertopi lebar itu. Agaknya kedua orang tua ini menyadari kalau musuh yang dihadapi tidak bisa dianggap enteng. Berita apa yang terdengar belakangan ini tentang kematian tokoh-tokoh silat di tangan orang itu, telah membuktikan kalau tokoh berjuluk Pangeran dari Kegelapan ini memiliki kepandaian hebat. Sehingga, mereka terpaksa merencanakan sesuatu dalam penyerangan kali ini.
"Kaukah Pangeran dari Kegelapan itu?" tanya Ki Sapta Wiguna, datar.
"Kau tengah bicara dengannya!"
"Bagus! Kau tahu, apa kesalahanmu sehingga kami datang ke sini?"
"Huh! Kau kira aku bersalah terhadap kalian? Tidak! Sekali-sekali tidak pernah aku merasa bersalah terhadap kalian!"
"Kau telah membunuh Empu Satyawaraga. Bahkan entah berapa rakyat tidak berdosa menjadi korbanmu. Maka, hari ini sudah sepatutnya kau mendapat hukuman!" tegas Ki Sapta Wiguna lantang.
"Ha ha ha...! Segala kunyuk busuk datang hendak mengadiliku. He, Kunyuk! Enyahlah dari hadapanku, sebelum kalian menyesal. Sebab bila kalian memaksa, maka aku tidak segan-segan mengirim ke akherat!" sahut tokoh yang memang Pangeran dari Kegelapan, jumawa.
"Sombong! Iblis keparat, dosamu telah lewat takaran! Bila kau tidak menyerah, maka terpaksa kami membunuhmu!" umpat Ki Karmapala, mendengus sinis.
"Ha ha ha. .! Besar juga nyalimu, Kunyuk! Aku telah memperingatkan. Dan ternyata, kalian memang orang yang keras kepala. Maka berdoalah sebelum malaikat maut menjemput...!
"Huh! Keparat sombong ini semakin membuat perutku mual saja, Kakang! Sebaiknya kita ringkus saja dia sekarang!" dengus Ki Karmapala semakin gemas mendengar ucapan Pangeran dari Kegelapan.
"Ya! Aku pun berpikir begitu. Pimpinlah sebagian pasukan, sementara aku akan memimpin pasukan yang lain," sahut Ki Sapta Wiguna.
"Baik, Kakang!"
Kedua sesepuh Kerajaan Pringsewu ini membagi pasukan menjadi dua bagian. Dan mereka bersiap menyerang.
"Ringkus dia!" sentak Ki Karmapala, memberi perintah.
"Yeaaa...!"
Beberapa prajurit melompat menyerang. Saat yang sama, beberapa prajurit lain di bawah pimpinan Ki Sapta Wiguna menyerang dari arah yang berlawanan.
"Hup!" Pangeran dari Kegelapan melompat keatas. Namun saat itu juga, beberapa utas tambang melesat, berusaha menjerat kedua kaki, pinggang, dan leher. Gembel bertudung lebar itu mendengus sinis, dan cepat mengibaskan tongkatnya.
Tes! Tes!
Tambang-tambang itu kontan putus ditebas ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan. Namun serangan lain telah menunggu dari regu pemanah yang memang sejak tadi telah dipersiapkan.
"Mampusss...!"
Set! Set!
Trak! Tak!
Pangeran dan Kegelapan tidak kalah gesit untuk menghindar dan menangkis belasan batang anak panah yang melesat ke arahnya. Tongkatnya berkelebat menghantam. Maka anak panah-anak panah itu berpatahan dan jatuh tanpa mampu menyentuh sasaran.
"Heaaa.!"
Baru saja Pangeran dari Kegelapan mematahkan serangan regu pemanah, kedua orang tua yang memimpin pasukan Kerajaan Pringsewu melompat. Mereka menyerang bersamaan dengan senjata di tangan. Sedangkan para prajurit ikut mengeroyok dengan mengincar kelemahan lawan.
Trang! Bet!
"Uts!" Sejauh ini, Pangeran dari Kegelapan masih mampu mengimbangi serangan dengan mantap. Tongkatnya sesekali menangkis, dan balas menyerang ganas. Namun sejurus kemudian, Pangeran dari Kegelapan membentak nyaring. Lalu, tubuhnya berputar, dan mencelat kearah para prajurit Kerajaan Pringsewu.
"Heaaat...!"
Bret! Cras!
Ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan langsung menyambar, menghantam semua senjata prajurit. Lalu tongkatnya terus menyapu kearah dada dan leher.
"Aaa...!"
"Heh?!"
Ki Sapta Wiguna dan Ki Karmapala terkesiap. Mereka seperti kecolongan. Sebab sekali Pangeran dari Kegelapan mengamuk, maka sekitar tujuh prajurit kerajaan tewas dalam keadaan mengerikan.
"Bangsat!" maki Ki Karmapala, langsung melompat menerjang.
Bet! Wuk!
Tombak Ki Karmapala membabat deras kearah laki-laki gembel itu. Namun, Pangeran dari Kegelapan menyambutnya dengan tenang. Bahkan sedikit pun tidak merasa kerepotan. Malah setelah Ki Sapta Wiguna ikut membantu saudara seperguruannya, tetap saja tidak mampu mendesak.
"Paman, biarkan aku ikut membantu...!" teriak seseorang, seraya ikut menyerang Pangeran dari Kegelapan.
"Ah, Raden Samparan! Kenapa repot-repot turun tangan segala? Serahkan saja bangsat ini kepada kami!" seru Ki Sapta Wiguna ketika melihat siapa yang telah membantu.
"Tanganku sudah gatal ingin menghukumnya. Aku sama sekali tidak bermaksud merendahkan kemampuan Paman berdua!" sahut laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu lantang.
"Raden! Ini bisa membahayakan diri Raden sendiri...!" ujar Ki Karmapala.
"Tidak, Paman. Aku bisa menjaga diri!" sahut Raden Samparan mantap.
Kedua orang tua itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, melihat kenekatan Raden Samparan. Meski tahu kalau Raden Samparan memiliki ilmu olah kanuragan hebat, tetap saja merasa khawatir. Musuh yang dihadapi bukanlah lawan enteng. Dan salah-salah, Raden Samparan bisa binasa. Padahal beliau adalah adik bungsu Kanjeng Gusti Prabu.
"Ayo, cepat ringkus penjahat ini!" teriak Ki Sapta Wiguna kepada para prajurit.
"Baik. Gusti...!"
Para prajurit langsung menyerang Pangeran dari Kegelapan kembali setelah sesaat berjaga jaga.
"Heaaat !"
"Huh!"
Wuk! Bet!
Pangeran dari Kegelapan hanya mendengus sinis. Tubuhnya langsung melompat kesana kemari, menghindari senjata lawan-lawannya. Dan sesekali dia menangkisnya. Dengan sikapnya seolah-olah ingin menunjukkan kalau lawan-lawannya sama sekali tidak berarti.
"Yeaaat...!"
Namun beberapa saat kemudian, Pangeran dari Kegelapan mulai mengamuk dan tongkatnya mulai mencari korban.
Bret! Cras!
"Aaa...!"
Beberapa orang prajurit kembali tewas disambar tongkat Pangeran dari Kegelapan. Meski kedua tokoh tua itu berusaha menyerangnya sekuat daya, bahkan dibantu Raden Samparan, tetap saja tidak mampu mendesak. Buktinya Pangeran dari Kegelapan mampu menghindar dari setiap serangan dengan mudah.
Bret! Bret!
Kembali tongkat Pangeran dari Kegelapan berkelebat. Bahkan beberapa buah senjata para prajurit kerajaan terpental, lalu terdengar pekik kematian. Lebih dari tujuh orang kembali tewas disambar ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan.
"Kurang ajar! Bangsat pengecut, ayo hadapi kami! Jangan kau ladeni mereka!" teriak Raden Samparan, langsung menghunus pedang.
Wut! Bet!
Pedang Raden Samparan menyambar pinggang. Lalu pedang itu terus bergerak menikam jantung. Tapi, Pangeran dari Kegelapan mampu menghindar dengan gesit. Dan dia mencelat sambil melakukan gerakan berputar diatas kepala Raden Samparan.
"Jadi kau ingin mampus lebih dulu, he?!" desis Pangeran dari Kegelapan disertai ayunan tongkat.
Dengan sebisanya Raden Samparan mengangkat pedangnya, memapak tongkat yang mengancam kepala.
Trak!
Baru saja Raden Samparan menangkis, tanpa diduga Pangeran dari Kegelapan yang telah mendarat di tanah mengibaskan tongkatnya secara mendatar menyambar pinggang.
Bret!
"Uhhh...!" Masih untung, tongkat Pangeran dari Kegelapan hanya sedikit menggores kulit. Sebab kalau Raden Samparan tidak cepat mengelak, bukan mustahil jiwanya tak bakal selamat.
"Kurang ajar! Orang ini tak boleh dikasih hati!" desis Ki Karmapala geram seraya melompat menerjang.
"He he he...! Jadi selama ini kalian tidak sepenuh hati melawanku? Kasihan. Padahal, aku ingin benar mencabut kepalamu " sahut Pangeran dari Kegelapan, mengejek.
"Hiiih!"
Setelah berkata demikian, Pangeran dari Kegelapan berkelebat cepat kearah Ki Karmapala. Dan meski saudara seperguruannya serta yang lain ikut membantu, tetap saja Ki Karmapala kerepotan menangkis semua serangan yang memang ditujukan ke arahnya.
"Kau akan tahu...! Akan tahu bagaimana nikmatnya mampus di tangan Pangeran dari Kegelapan. Dan sebentar lagi, hal itu akan kau rasakan. Ha ha ha...!"
"Huh, banyak mulut! Keparat sombong! Sebaliknya kaulah yang akan mampus di tanganku!" sahut Ki Karrnapala, mendengus sinis.
Pangeran dari Kegelapan tidak mempedulikan. Dan tiba-tiba saja tubuhnya berbalik. Langsung diserangnya Ki Sapta Wiguna dan Raden Samparan bersama.
"Heaaat...!"
"Heh?!"
Kedua orang itu terkejut. Dengan sebisa mungkin, mereka menghindar dan menangkis serangan. Dan dalam keadaan begitu, Ki Karmapala menggunakan kesempatan untuk menyerang selagi Pangeran dari Kegelapan lengah.
"Yeaaat...!"
"Hup!" Pangeran dari Kegelapan sama sekali tidak menoleh kebelakang. Tubuhnya hanya membungkuk, dan sedikit dimiringkan. Lalu tahu-tahu, tongkatnya bergerak kebelakang. Dan...
Bles!
"Aaa..!" Ki Sapta Wiguna serta yang lainnya terkejut. Mereka mendengar Ki Karmapala memekik setinggi langit, dengan tubuh gemetar dan wajah berkerut menahan sakit yang hebat.
"Huh!"
Plas!
Pangeran dari Kegelapan menyentak tongkatnya, dan langsung melompat ke depan. Tampak tubuh Ki Karmapala yang tadi berada dibelakangnya, ambruk tidak berkutik dengan darah mengucur deras dari luka di dada kiri. Tongkat Pangeran dari Kegelapan agaknya tepat menancap jantung dan tembus ke punggungnya.
Bruk!
"Karmapala...!" seru Ki Sapta Wiguna kaget, melihat Ki Karmapala ambruk mencium tanah dengan tubuh bersimbah darah.
Sesaat, Ki Sapta Wiguna tidak tahu apa yang harus dilakukannya, selain memandang mayat adik seperguruannya dengan mata berkaca-kaca dan wajah murung. Lama dia tercenung sampai dikagetkan jerit kematian para prajurit kerajaan.
Ki Sapta Wiguna menoleh. Dan dia melihat para prajurit menjadi bulan-bulanan Pangeran dari Kegelapan. Meski Raden Samparan berusaha membantu, namun tidak bisa berbuat banyak. Dalam waktu singkat, jumlah para prajurit Kerajaan Pringsewu semakin berkurang. Dan saat ini hanya ada sekitar kurang dari dua puluh orang.
"Iblis keparat itu harus mati ditanganku! Dia harus menebus kematian Karmapala!" dengus Ki Sapta Wiguna dingin.
Orang tua itu bangkit dengan dada penuh amarah. Matanya menatap tajam. Hela napasnya terasa kasar. Lalu disertai bentakan nyaring, tubuhnya melompat menerjang Pangeran dari Kegelapan.
"Heaaat..!" Ki Sapta Wiguna seperti tidak mempedulikan dirinya lagi. Orang tua itu menyerang membabi buta dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau, Keparat! Yeaaa...!"
"Huh! Cari mampus! Kau hanya akan menyusul kawanmu saja, Kunyuk Dungu!" dengus Pangeran dari Kegelapan.
Dalam keadaan begitu, agaknya Ki Sapta Wiguna tidak memikirkan pertahanan dirinya lagi. Yang ada di benaknya adalah, bagaimana menjatuhkan Pangeran dari Kegelapan secepatnya. Maka dengan demikian, laki-laki bercaping itu memanfaatkan kesempatan untuk mendesaknya habis-habisan. Meski Raden Samparan dan para prajurit berusaha membantu, tetap saja tidak berarti banyak.
"Heaaa...!"
Trang! Tring! Wut!
Satu sambaran tongkat Pangeran dari Kegelapan berhasil ditanglas pedang Ki Sapta Wiguna. Namun ujung tongkat itu terus melesat ke tenggorokan. Dengan gerakan cepat Ki Sapta Wiguna kembali menangkis sebisa-bisanya.
Trang!
Ki Sapta Wiguna memang berhasil menangkis, tapi hanya sekadar membelokkan arah gerakan tongkat itu, ke arah dadanya sendiri. Akibatnya....
Cras!
"Uhhh..!" Ki Sapta Wiguna mengeluh tertahan, begitu ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan yang bukan main cepatnya, tidak urung menyambar dadanya. Masih untung hanya tergores sedikit. Sebab pada saat itu, serangan Pangeran dari Kegelapan terganggu oleh serangan Raden Samparan dan para prajurit kerajaan.
"Yeaaa!"
Trang! Bet!
Pangeran dari Kegelapan mencelat ke arah orang tua itu. Dan dia juga berusaha menangkis beberapa buah senjata lawan-lawannya yang lain. Tapi serangan utamanya tetap tertuju pada Ki Sapta Wiguna.
"Ajalmu telah tiba, Kunyuk!" dengus Pangeran dari Kegelapan.
Ki Sapta Wiguna terkesiap saat melihat tongkat Pangeran dari Kegelapan berkelebat cepat. Dia berusaha menghindar sebisanya. Namun karena keadaan tubuhnya telah begitu lelah, sehingga gerakannya jadi lambat. Akibatnya...
Cras!
"Aaa...!" Ki Sapta Wiguna memekik keras, begitu ujung senjata Pangeran dari Kegelapan berhasil memapas buntung pergelangan tangannya. Dan belum lagi dia berbuat sesuatu, ujung tongkat itu terus bergerak ke dada.
Bret!
"Aaakh!" Beberapa buah tulang rusuk Ki Sapta Wiguna berpatahan, terbabat tongkat Pangeran dari Kegelapan. Orang tua itu jatuh terhuyung-huyung dan jatuh menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih. Kemudian dia tewas dengan mata melotot.
"Ha ha ha...! Dasar kunyuk tidak tahu diri. Dikiranya mampu membunuhku, he?! Phuih! Kau rasakan sendiri akibatnya!"
"Bajingan keparat! Jangan dulu takabur. Aku masih ada, Iblis! Dan aku masih sanggup memenggal kepalamu!" desis Raden Samparan, mendengus geram.
"Heeeh! Bangsat...! Rupanya nyalimu masih ada juga, he?! Baik! Kau boleh menyusul kedua kawanmu ke akherat!"
"Huh! Kaulah yang akan kukirim ke neraka!"
Pangeran dari Kegelapan tidak banyak bicara. Perhatiannya kini terpusat pada Raden Samparan. Meski beberapa prajurit masih menyerang, namun dianggap sepi. Bahkan tanpa menoleh lagi, dia mampu menangkis dan membinasakan prajurit kerajaan.
"Mampusss...!" desis Pangeran dari Kegelapan seraya melompat dan mengayunkan senjata kearah Raden Samparan.
Trang!
"Uhhh!" Raden Samparan menangkis. Namun, diam diam dia mengeluh tertahan. Tangannya terasa kesemutan. Dan belum lagi bersiap diri untuk menyambut serangan, ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan telah menyambar ke arah wajah.
"Hup!"
Raden Samparan cepat melompat ke belakang. Sementara Pangeran dan Kegelapan telah siap menerjang sebelum kedua kakinya menyentuh tanah.
"Yeaaa...!"
"Kurang ajar! Mau mampus barangkali...!" dengus Pangeran dari Kegelapan saat beberapa prajurit menyerang dari samping kiri dan kanan, serta dari belakang.
Trang! Bret!
"Aaa!"
Para prajurit Kerajaan Pringsewu memekik nyaring. Senjata-senjata mereka terpental dan mereka jatuh ketanah dengan tubuh bermandikan darah.
"Bangsat..!" Raden Samparan memaki geram menyaksikan mayat-mayat prajurit yang dibantai Pangeran dari Kegelapan.
Raden Samparan tidak mempedulikan cara-cara ksatria lagi. Langsung diterjangnya saat Pangeran dari Kegelapan membelakangi.
"Yeaaat..!"
Namun ternyata indera keenam Pangeran dari Kegelapan tajam sekali. Tanpa menoleh lagi, ditangkisnya pedang Raden Samparan sampai terpental. Bahkan langsung menendang tepat ke dada.
Trang!
Des!
Raden Samparan menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang. Dan kini Pangeran dari Kegelapan telah siap menghabisinya.
"Yeaaa...!" Pada saat yang gawat, mendadak berkelebat sesosok tubuh dan langsung menangkis tongkat Pangeran dari Kegelapan.
Trang!
Pangeran dari Kegelapan tidak merasakan apa-apa, selain arah tongkatnya yang sedikit melenceng. Sehingga jiwa Raden Samparan terselamatkan. Namun akibatnya bagi sosok yang baru muncul amat mengkhawatirkan. Tubuh sosok itu terhuyung-huyung ke belakang.
Untung saja Pangeran dari Kegelapan tidak melanjutkan serangan. Dia hanya menatap tajam pada sosok yang menggagalkan serangan pada Raden Samparan.
DELAPAN
"Hm... Kukira anjing kerajaan lagi yang muncul. Rupanya bocah manis yang ingin mampus!" gumam Pangeran dari Kegelapan, enteng.
"Bajingan busuk! Tidak ingatkah kau padaku? Beberapa hari lalu kau telah merusak harga diriku. Dan hari ini, aku akan menuntut balas atas perbuatanmu!" dengus seorang gadis manis sambil menghunus pedang.
Pangeran dari Kegelapan tertawa kecil sambil mengamati gadis itu seksama. Lalu pandangannya beralih pada seorang pemuda yang tahu-tahu sudah berdiri tak jauh dari gadis itu.
Wajah pemuda itu tampan. Rambutnya panjang, memakai rompi putih. Di belakangnya tersandang sebilah pedang berhulu kepala burung. Sinar mata pemuda itu tajam menusuk, seperti menembus celah-celah topinya yang lebar dan terus menghujam ke jantung. Tidak terasa, Pangeran dari Kegelapan terkesiap barang sekejap.
"Hm.... Banyak sudah gadis yang menjadi korbanku. Dan semuanya tiada yang istimewa. Lalu, siapakah kau sebenarnya?" tanya Pangeran dari Kegelapan, langsung mengalihkan perhatiannya pada sosok gadis itu.
Mendengar jawaban Pangeran dari Kegelapan yang bernada mengejek dan menganggap sepele, bukan main geramnya gadis itu. "Bajingan keparat! Aku murid Padepokan Mawar Merah yang kau nodai di dekat Lembah Seribu Dara!"
"Entahlah... Aku tak pernah mengingat-ingatnya secara khusus. Tapi bila kedatanganmu kesini karena kurang puas atas layananku, maka hari ini aku bisa memuaskanmu...." sahut Pangeran dari Kegelapan, makin membuat panas gadis yang tak lain dari Nirmala.
"Iblis busuk! Tutup mulut kotormu itu! Kedatanganku kesini untuk memancung kepalamu!" bentak Nirmala.
Nirmala agaknya tidak dapat menahan diri lagi. Langsung dia melompat menyerang. "Yeaaa...!"
Namun Pangeran dari Kegelapan telah melompat lincah, menghindari serangan Nirmala. Bahkan sesekali tertawa mengejek. "He he he...! Dengan kepandaian seperti ini, kau hendak membunuhku? Kau hanya bermimpi, Cah Ayu! Lebih baik tinggal bersamaku dan mengurusi segala keperluanku!"
"Cis! Bajingan bermulut kotor! Kau kira aku tidak mampu membunuhmu, he? Aku telah bersumpah atas nyawa guru dan kawan-kawanku, serta atas nama kehormatan diriku, bahwa kau harus mati di tanganku!" dengus Nirmala.
"Ha ha ha...! Kau bermimpi kalau hendak membunuhku. Dan sumpahmu tidak akan pernah terlaksana!"
"Tutup mulutmu...!" Nirmala berusaha mendesak Pangeran dari Kegelapan lewat permainan ilmu pedang tertinggi yang dimilikinya. Namun, laki-laki bercaping itu menghadapi dengan angin-anginan. Bahkan dia lebih mudah lagi meladeni setiap serangan gadis itu, karena Ki Samparan serta para prajurit kerajaan tidak ikut menyerang pula.
Beberapa kali Nirmala mengeluh tertahan. Wajahnya berkerut saat kedua senjata mereka beradu. Namun gadis yang keras hati itu sama sekali tidak peduli lagi. Dia memang telah bertekat untuk bertarung mati-matian
Sementara pemuda yang tadi berdiri tidak jauh di dekatnya, memandang pertarungan itu sambil sesekali mendecah dan menggeleng lemah. Disadari kalau gadis itu tidak akan mampu membuktikan kata-katanya. Kepandaian Pangeran dari Kegelapan beberapa kali lipat diatasnya. Dan meski Nirmala berusaha mendesak mati-matian, tetap saja tidak mampu. Bahkan Pangeran dari Kegelapan terlihat main-main menghadapinya.
Pemuda yang tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti itu, sebelumnya telah menawarkan diri untuk menggantikannya dalam melawan Pangeran dari Kegelapan. Namun, Nirmala menolak mentah-mentah. Dia tidak peduli, meski Rangga telah memperingatkan kalau lawan yang dihadapi bukanlah tandingannya. Sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti telah mengamati, bagaimana Pangeran dari Kegelapan menghabisi musuh-musuhnya. Dan tingkat kepandaian seperti itu sama sekali tidak dimiliki Nirmala.
"Yeaaa...!"
Bet! Trang!
Kali ini terlihat kalau Pangeran dari Kegelapan mulai mendesak Nirmala. Sabetan pedang gadis itu yang ditujukan keleher dan pinggang, dengan mudah ditangkisnya. Malah ujung tongkatnya terus menyambar ke arah dada gadis itu.
Nirmala melompat kebelakang. Namun pada saat itu pula Pangeran dari Kegelapan terus mengejar dengan sebelah kaki menuju ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga Nirmala tak mampu menghindar. Dan
Des!
"Aaakh!" Gadis itu menjerit keras, langsung terjungkal ke belakang.
"Sekarang kau boleh menyusul guru dan kawan-kawanmu di akherat sana!" bentak Pangeran dari Kegelapan, langsung melompat menerjang.
Tendangan yang tadi dilakukan Pangeran dari Kegelapan sangat keras. Sehingga, gadis itu sampai terguling-guling. Dari mulutnya tampak keluar cairan merah segar. Jangankan untuk menghindar dari serangan. Untuk bangkit pun, gadis itu merasa sulit. Sehingga, hanya keberuntungan saja yang bisa menyelamatkan dirinya.
Pada saat yang gawat bagi Nirmala, mendadak berkelebat sesosok tubuh yang langsung menangkis serangan. Seketika terjadi pertarungan singkat dalam tempo cepat. Mereka saling menyerang dan menangkis. Bahkan orang-orang yang berada disitu pun tidak mampu mengetahui, apa yang terjadi. Barulah ketika kedua orang yang bertarung melompat kebelakang untuk mengambil jarak mereka bisa mengenali siapa orang yang telah menahan serangan si Pangeran dari Kegelapan.
"Hm... Aku telah menduga, kau akan menolongnya. Tapi kau hanya mencari mati, bila mencampuri urusanku, Bocah!" dengus Pangeran dari Kegelapan, memandang sinis pada pemuda yang berdiri didepannya.
"Akan kita lihat, siapa yang mencari mati dalam urusan ini," sahut pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Selama ini, belum pernah ada korbanku yang kubiarkan hidup. Mereka mati dan tidak sempat menyesali perbuatannya."
"Tidak perlu menakut-nakutiku seperti itu, Kisanak. Telah banyak yang kudengar tentang dirimu. Dan, semakin bersemangat hatiku ingin melenyapkan orang sepertimu," sahut Rangga, disertai senyum kecil.
"Bedebah! Bocah pentil! Rupanya kau belum kenal denganku, he?!" dengus Pangeran dari Kegelapan dengan wajah geram.
"Kenapa tidak? Kau hanyalah segelintir iblis durjana yang mengotori mayapada! Dosamu kelewat takaran. Dan, tidak ada lagi yang bisa kau perbuat untuk menebusnya selain kematianmu."
"Setan...!" maki Pangeran dari Kegelapan. Pangeran dari Kegelapan segera melompat bagaikan kilat, bermaksud menggebrak Pendekar Rajawali Sakti dengan sekali serangan.
"Hiyaaat..!"
Bet! Wuk!
Ujung tongkat Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke leher. Lalu tubuhnya yang berputar coba mengecoh, sambil melepaskan tendangan keras.
Rangga yang langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' mencelat kesamping. Langsung ditangkisnya tendangan Pangeran dari Kegelapan dengan mantap. Bahkan ketika Pangeran dari Kegelapan mengayunkan senjata untuk merobek perut, pemuda itu cepat melompat kebelakang.
"Hup!"
Pangeran dari Kegelapan tidak berhenti sampai di situ. Tongkatnya beberapa kali mengincar bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan. Namun, sejauh itu Rangga mampu mengimbanginya dengan mantap. Permainan tongkat Pangeran dari Kegelapan dapat diimbangi dengan pedang yang baru saja dipungutnya di tanah ketika habis melompat kebelakang tadi.
Trang!
"Hiiih!" Pangeran dari Kegelapan mendengus geram. Serangannya diperhebat. Sehingga dalam waktu singkat terlihat Rangga agak keteter. Namun, pemuda itu segera menyadari kalau tidak boleh seterusnya begitu. Maka segera dikerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Seketika tubuhnya berkelebat cepat. Gerakannya cepat bukan main dalam mengerahkan jurus-jurusnya. Dan apabila dengan pedang di tangan, jurus ini bukan saja mampu membingungkan. Tapi, juga mampu mendesak. Dan yang terlihat dalam pertarungan memang begitu adanya.
"Hiyaaat!"
Trang! Tring!
"Hiiih!" Pelan-pelan keadaan kini kembali terbalik. Pendekar Rajawali Sakti yang semula mulai terdesak, gerakannya cepat dan sulit diduga, membuat Pangeran dari Kegelapan kalang kabut. Laki-laki bercaping itu berusaha bertahan sekuat daya untuk melindungi diri dari hujaman serangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaat!" Rangga menerjang. Ujung pedang ditangannya menyambar-nyambar keseluruh tubuh Pangeran dari Kegelapan.
Pangeran dari Kegelapan mendengus geram. Namun dia tidak mampu berbuat apa-apa. Meski berusaha menangkis, tetap saja pemuda itu mampu lolos dan mengancam keselamatan jiwanya. Lagi pula, percuma saja bila berusaha memapaki pedang pemuda itu. Setiap kali terjadi benturan senjata, maka tangannya bergetar. Dan ini menandakan kalau tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti sangat tinggi.
Sekali lagi, terjadi benturan senjata. Bahkan pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke perut Pangeran dari Kegelapan cepat melompat ke belakang. Namun secara tidak terduga, Rangga menyambar tudung lebar yang dikenakannya.
Pras! Bret!
"Heh?!" Pangeran dari Kegelapan terkejut. Dalam sekejapan mata, caping lebarnya hancur menjadi kepingan-kepingan kecil, dibabat pedang ditangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, wajah yang asli terlihat jelas.
Mereka yang berada di tempat itu terkejut. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tertegun, sehingga hanya berdiam diri barang sesaat. Sedang, Nirmala memalingkan muka melihat pemandangan yang menakutkan.
Apa yang terlihat memang menakutkan, sekaligus membuat rasa kasihan. Kulit wajah Pangeran dari Kegelapan rusak berat, seperti bekas disayat-sayat benda tajam. Kelopak matanya hilang, sehingga terlihat hanya kedua biji matanya yang dikelilinggi warna merah yang selalu berair. Hidungnya pun tidak ada. Dan yang tersisa hanya dua lobang hidung yang rata dengan permukaan kulit. Demikian pula kedua bibirnya. Yang terlihat hanya gusi-gusi yang menghitam dan gigi-gigi yang ompong.
"Kurang ajar! Kau akan mampus...!" desis Pangeran dari Kegelapan geram, seraya melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Aku menyayangkan kejadian ini. Meski jalan tobat masih ada, namun banyak orang yang tidak akan rela membiarkan kau hidup berkeliaran membuat bencana! Dan, masih ada kesempatan untuk itu, dengan menyerah dan membiarkan para prajurit kerajaan membawamu ke istana untuk menerima hukuman ujar Rangga enteng.
Pemuda itu menyadari kalau Pangeran dari Kegelapan tidak mungkin bisa dinasihati. Dan itu sama artinya dengan menghina. Dan ternyata, dugaannya memang benar.
"Bocah keparat! Kubunuh kau...! Yeaaa...!" Pangeran dari Kegelapan langsung meluruk dengan tongkat menyambar-nyambar.
Wuk!
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak kalah sigap. Cepat Rangga menangkis. Namun, mendadak tangan kanan Pangeran dari Kegelapan mencabut gagang tongkat. Maka, dari situ melesat sebilah pedang tipis menyambar kedada, membuat Pendekar Rajawali Sakti terkesiap, dan cepat melompat ke belakang. Tapi....
Bret!
"Akh...!" Meski sempat menghindar, namun tidak urung kulit dada Pendekar Rajawali Sakti terserempet juga. Rangga mengeluh tertahan.
"Sial!" rutuk Rangga, geram. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menerjang. Dan kali ini, langsung digunakannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang mampu memecah belah jiwa orang yang dihadapi.
Demikian pula yang dialami Pangeran dari Kegelapan saat ini. Meski sesekali berhasil menangkis, namun lebih banyak pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti seperti mempengaruhi jiwanya. Bahkan, sepertinya dia kehilangan semangat bertarung. Dan dia tak tahu harus berbuat apa.
"Yeaaa...!" Bahkan ketika Pendekar Rajawali Sakti menggunakan kesempatan itu, Pangeran dari Kegelapan hanya terkesiap. Tubuh Rangga berkelebat cepat sambil membabatkan pedang di tangannya.
Pangeran dari Kegelapan berusaha mencelat keatas, saat Pendekar Rajawali Sakti menyambar kedua kakinya. Dan dia terus bergerak ke atas. Namun Rangga berhasil membabat pinggangnya.
Wuk! Cras!
"Aaakh...!" Laki-laki berwajah busuk itu terus mencelat kebelakang, dan mendarat ringan di tanah. Darah segar tampak mulai mengucur dari pinggang. Tapi Rangga tidak membiarkannya begitu saja. Pendekar Rajawali Sakti terus bergerak, tak memberi kesempatan bagi Pangeran dari Kegelapan untuk bersiaga. Sebisanya, Pangeran dari Kegelapan mampu menangkis.
Trang!
Tapi selanjutnya, laki-laki berwajah buruk itu tidak mampu menangkis gerakan senjata Pendekar Rajawali Sakti yang menyambar ke dada.
Bret!
"Aaakh...!" Pangeran dari Kegelapan memekik nyaring. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap lukanya.
"Nirmala! Kau boleh mendapat bagianmu!" teriak Rangga.
Gadis itu terkesiap. Demikian pula dengan Pangeran dari Kegelapan. Namun, laki-laki berwajah buruk itu tidak sempat berpikir. Sebab dengan tiba-tiba, satu tendangan keras dari Pendekar Rajawali Sakti menghantam pinggangnya. Seketika tubuhnya tersungkur persis di dekat Nirmala.
"Huh! Hari ini kau akan terima balasan dariku, Keparat!" dengus Nirmala, langsung melompat menerjang disertai sambaran pedang.
Cras!
"Aaa...!" Pedang gadis itu cepat menyambar dada kiri Pangeran dari Kegelapan. Laki-laki berwajah buruk itu berusaha bangkit. Namun, kembali Nirmala menghujamkan pedangnya.
Crab!
"Aaa...!" Laki-laki berwajah buruk itu memekik setinggi langit. Dia berusaha membalas gadis itu dengan mengayunkan tongkat. Namun sebelum sempat mengerahkan sisa-sisa tenaganya
Cras! Crab! Crak!
Lebih dari tujuh buah anak panah menancap di punggung Pangeran dari Kegelapan. Laki-laki itu menggeram hebat.
"Itu untuk para prajurit kerajaan yang menjadi korbanmu!" desis Raden Samparan yang berdiri didekat Pangeran dari Kegelapan.
Raden Samparan kembali melompat dengan mengayunkan pedang. Pangeran dari Kegelapan berusaha menangkis. Namun, sia-sia saja. Sebab tongkatnya terpental, begitu beradu dengan pedang Raden Samparan. Dan...
Cras! Cras!
"Aaakh..!" Kembali Pangeran dari Kegelapan memekik keras. Kedua lengannya putus tersambar pedang Raden Samparan.
"Itu untuk korban-korban lain yang kau bunuh dengan kejam!" desis Raden Samparan. Raden Samparan bermaksud melanjutkan serangan, namun Nirmala keburu mencegah.
"Tahan, Kisanak! Kali ini dia menjadi bagianku!" Gadis itu tidak menunggu jawaban Raden Samparan. Dia langsung mendengus sinis, seraya mendekati Pangeran dari Kegelapan.
"Tidak ada manusia yang kekal dimuka bumi ini. Dan hari ini, kesombonganmu akan berakhir dengan kematianmu sendiri!"
Selesai berkata begitu, pedang ditangan Nirmala berkelebat cepat. Pangeran dari Kegelapan bukannya tidak mampu mengelak. Namun, tenaganya telah terkuras habis. Dan dia tidak mampu berkelit lagi.
Cras!
"Ukh...!" Pangeran dari Kegelapan hanya mengeluh pelan. Kepalanya putus dan bergulir ditanah, ketika pedang Nirmala menebas lehernya. Darah segar mengalir pelan dari leher. Sudah terlalu banyak darahnya yang terbuang. Laki-laki berwajah buruk meregang nyawa, lalu diam untuk selamanya.
"Itu untuk kehormatanku yang kau renggut!" desis Nirmala sambil membersihkan lumuran darah dibatang pedangnya, dengan baju Pangeran dari Kegelapan yang telah terkapar.
Kemudian gadis itu menengadah. Wajahnya terlihat berseri-seri haru. "Guru, dan saudara-saudaraku! Lihatlah! Hari ini aku telah berhasil membunuh keparat ini! Tenangkanlah arwah kalian di alam Sana. Mudah-mudahan kalian bisa merasa tenteram...!" seru Nirmala keras.
Gadis itu menyarungkan pedang, kemudian menoleh sekilas pada Pangeran dari Kegelapan yang tergeletak tidak berdaya. Lalu kepalanya berpaling dan bermaksud menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Namun, pemuda itu sudah tidak ada ditempatnya. Pergi, entah ke mana.
"Kemana? Kemana pemuda itu...?" tanya Nirmala pada para prajurit kerajaan.
"Siapa yang kau maksud, Nisanak?" tanya Raden Samparan ramah.
"Pemuda itu..! Apakah kalian tidak melihatnya?"
"Maksudmu, pemuda yang berompi putih itu?"
"Ya! Aku belum mengucapkan terima kasih atas bantuannya...," sahut gadis itu masghul.
"Nisanak! Menurut seorang prajurit, dia telah pergi ketika kita berebut hendak membunuh Pangeran dari Kegelapan," jelas Raden Samparan.
"Pergi? Tanpa pamit denganku...?" gumam Nirmala.
Gadis itu merasa kecewa mendengar berita ini. Entah apa yang dirasakannya. Mungkin karena belum sempat mengucapkan terima kasih secara langsung. Atau juga, ada sesuatu yang lain. Tidak ada yang tahu, selain dirinya sendiri. Bahkan dia begitu terhanyut dalam pikirannya sendiri. Kini kakinya berjalan pelan, meninggalkan tempat ini tanpa mempedulikan seruan Raden Samparan.
Laki-laki itu menghela napas panjang, lalu hanya menggeleng lemah. Dan dia segera mengajak para prajurit kerajaan untuk membereskan keadaan ditempat ini.
SELESAI