RAHASIA CANDI TUA
SATU
TERLALU banyak rahasia alam yang tak bisa diungkapkan, apa lagi diterima oleh akal sehat manusia biasa. Barangkali orang bisa gila bila memikirkan misteri yang terkandung di alam jagat raya ini. Namun tidak sedikit orang yang mencoba mengungkapkan rahasia jagat raya dengan berbagai macam cara. Bahkan mereka rela mengorbankan apa saja untuk mendapatkan sedikit rahasia yang terkandung di alam ini. Nyawapun tak akan ada harganya lagi.Siang ini udara terasa begitu panas menyengat, langit terlalu cerah, sehingga tak ada awan sedikitpun menggantung membatasi sinar matahari yang bersorot tajam bagai hendak membakar semua yang ada di mayapada ini. Begitu teriknya cahaya sang surya, membuat pepohonan dan rerumputan meranggas kekurangan air. Sumber-sumber air bagaikan kering, tak lagi memiliki persediaan sumber utama kehidupan seluruh mahluk di bumi ini.
Namun teriknya sinar matahari, tak menghalangi empat orang laki-laki yang berjalan agak cepat mendaki sebuah lereng bukit berbatu dengan pepohonan meranggas kering. Angin berhembus kencang, seakan-akan hendak menghempaskan empat orang itu. Namun mereka tetap mengayunkan langkahnya dengan tegar mendaki bukit yang hampir gersang itu. Tampak yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki tua berjubah putih dengan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan tiga orang dibelakangnya masih muda-muda. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh lima tahunan.
"Cepat sedikit jalannya. Sebentar lagi gelap," kata laki-laki berjubah putih.
Tiga anak muda itu mempercepat langkahnya, meskipun mulai agak terseok, karena makin sukar untuk didaki. Terlebih angin berhembus semakin kencang, menerbangkan pepohonan dan bebatuan. Beberapa kerikil mulai menghujani mereka. Namun keempat orang itu terus berjalan dengan tegar, walaupun mulai terlambat, terseok-seok.
"Awas...!" tiba-tiba orang tua berjubah putih itu berteriak keras.
Pada saat yang sama, sebongkah batu sebesar kerbau, menggulir deras dari atas bukit. Suara gemuruh membuat hati ketiga anak muda yang berjalan di belakang orang tua itu, jadi bergetar. Namun bergegas mereka berlompatan menghindari longsoran batu yang tiba-tiba saja muncul tanpa diduga sama sekali.
"Aaaakh...!" mendadak terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
"Pardi…!" salah seorang anak muda itu berteriak saat melihat temannya terhempas jatuh tertimpa sebongkah batu yang cukup besar.
Tubuhnya bergelimpangan turun ke bawah bersama batu-batu yang berguguran. Sementara orang tua berjubah putih itu tetap berlompatan menghindari batu-batu yang berguguran. Sedangkan dua orang pemuda yang tersisa, mulai kewalahan. Batu-batu itu seperti tidak akan pernah habis berguguran.
Namun guguran batu itu akhirnya berhenti juga. Dua anak muda yang terengah dengan keringat bercucuran, memandang ke bawah bukit. Tampak satu orang menggeletak dengan kepala hancur terhimpit sebongkah batu besar. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu memandangi puncak bukit yang tampaknya angker dan rawan.
"Ki lebih baik kita pulang saja," kata salah seorang anak muda yang mengenakan baju biru agak ketat. Sebilah golok terselip dipinggang.
Laki-laki tua berjubah putih itu berpaling. Dia menatap tajam pada anak muda yang menganjurkannya kembali pulang tadi. Anak muda itu langsung menunduk, tak sanggup menentang sorot mata yang begitu tajam menusuk.
"Pengecut...!" desis orang tua itu. "Aku mendidik kalian bukan untuk menjadi pengecut!
Tapi, Ki...," pemuda berbaju biru itu ingin menyanggah. Namun suaranya tertahan ditenggorokan.
"Sudah! Ayo jalan terus...!" sentak orang tua berjubah putih itu.
Kedua anak muda itu hanya saling berpandangan saja. Mereka sama-sama menyeka keringat yang bercucuran membasahi wajah dan leher. Seluruh baju sudah basah melekat menyatu dengan tubuh. Sementara laki-laki tua itu sudah kembali melangkah mendaki bukit berbatu. Mereka berjalan agak cepat, agar tidak tertinggal jauh oleh orang tua berjubah putih itu. Napas mereka semakin tersengal. Dan keringat pun terus bercucuran. Beberapa kali kedua anak muda itu menggerutu dan berhenti berjalan. Namun sebentar kemudian meneruskan perjalanannya lagi.
********************
Malam sudah demikian larut, kegelapan menyelimuti seluruh mayapada ini. Tak ada sedikitpun terlihat cahaya bulan menerangi langit begitu kelam, tanpa bulan maupun bintang menggantung. Angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh. Namun dinginnya udara malam bagai tak terasakan oleh seorang pemuda yang duduk bersila didekat seonggok api unggun.
Cahaya api yang memerah jingga, seakan tidak sanggup menghalau kegelapan malam. Namun kehangatannya mampu mengusir sedikit udara dingin yang menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pemuda yang mengenakan baju warna putih tanpa lengan itu, menambahkan sepotong ranting kering ke atas api. Suara menggeretek terdengar begitu api melalap ranting yang dilemparkan ke atasnya tadi.
"Hhhh...! Kau tidak tidur, Kakang...?"
Pemuda berbaju rompi putih itu menolehkan kepalanya pada seorang gadis berbaju biru muda yang menggeliatkan tubuhnya. Gadis itu masih terbaring tidak jauh di sampingnya. Hanya tumpukan daun-daun kering yang menjadi alas tidurnya.
"Masih terlalu larut, Pandan. Kenapa bangun?" lembut sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Dari tadi aku tidak bisa tidur," sahut gadis itu seraya bangkit duduk.
Gadis berbaju biru muda itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal di dalam rimba persilatan dengan nama si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi itu sudah tidak asing lagi. Dialah Pendekar Rajawali Sakti yang nama aslinya adalah Rangga.
Pandan Wangi menggeser duduknya lebih dekat pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia duduk dengan memeluk lutut, seakan hendak mengusir udara dingin yang menggigit seluruh kulit tubuhnya. Panda Wangi mengambil beberapa ranting kering, kemudian menambahkan pada api unggun di depannya. Api langsung bertambah besar.
"Perasaan ada orang lain di sini, Kakang," kata Pandan Wangi setengah berbisik.
"Aku sudah merasakannya sejak tadi," sahut Rangga.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya berkeliling. Sedangkan Rangga kelihatan masa bodoh saja. Pandan Wangi menggeser lagi duduknya hingga merapat ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Kehangatan tubuh Rangga begitu terasa saat kulit tangan mereka bersentuhan. Rangga malah mengambil tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat. Seolah dia ingin membagi kehangatan dengan gadis itu.
"Biarkan saja. selama dia tidak mengganggu," bisik Rangga.
"Tarikan napasnya begitu pelan, Kakang." kata Pandan Wangi lagi.
"Sejak tadi sudah begitu." lagi-lagi Rangga menyahuti dengan kalem.
"Sebaiknya kita periksa. Kakang," usul Pandan Wangi.
"Sudahlah. Pandan. Tidak usah dihiraukan. Barang kali dia juga sedang istirahat seperti kita.
Pandan Wangi tidak mau mempercayai kata-kata Rangga. Dia selalu penasaran jika belum mengetahui dengan pasti. Si Kipas Maut itu bangkit berdiri.
"Mau apa. Pandan...?" tanya Rangga.
"Aku akan melihatnya," sahut Pandan Wangi.
Dan sebelum Rangga sempat mencegah, Pandan Wangi sudah melesal cepat bagaikan kilat ke arah yang dicurigainya. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja, si Kipas Maut sudah tidak terlihat bayangan tubuhnya.
"Kakang...! Cepat ke sini...!" terdengar teriakan Pandan Wangi yang keras.
"Heh...?" Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat ke arah Pandan Wangi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga, sehingga dalam waktu sekejapan mata, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi.
Rangga agak tercenung begitu sampai ke dekat Pandan Wangi. Tampak gadis itu tengah memeriksa seorang laki-laki berusia lanjut yang menggeletak di tanah dengan napas lemah sekali. Dada yang kurus kering, hampir tak bergerak sama sekali. Pandan Wangi bergegas bangkit berdiri begitu Rangga sampai. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera menggantikannya.
"Seperti terkena pukulan tenaga dalam yang tinggi sekali, Kakang," kata Pandan Wangi menduga-duga.
"Cukup sempurna," desah Rangga seraya berdiri.
"Pasti sudah lama berada di sini, Kakang," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga mcmandangi gadis itu, sedangkan yang dipandangi malah merayapi laki-laki tua yang menggeletak hampir tak bernapas lagi. Tak terlihat gerakan sedikitpun pada dadanya. Bahkan Pandan Wangi tidak lagi mendengar tarikan napas yang lemah. Gadis itu berpaling memandang pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia sudah meninggal," kata Rangga pelan disertai hembusan napas yang panjang.
"Kenapa dia ada di sini...?" gumam Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Tak ada sahutan sedikitpun dari pertanyaan yang agak menggumam itu. Sementara Rangga sudah duduk di batang pohon yang tumbang. Pandan Wangi masih merayapi laki-laki tua berbaju putih dengan ikat kepala yang putih juga. Tak ada luka sedikitpun di tubuhnya. Tapi si Kipas Maut tahu kalau luka dalam akibat pukulan tenaga dalam sangat tinggi yang menewaskannya. Dan Rangga mengatakan pukulan itu hampir mencapai kesempurnaannya.
Itu berarti orang yang menewaskan laki-laki tua ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Pandan Wangi kembali berpaling memandang Pendekar Rajawali Sakti. Dia melangkah menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu. Pandan Wangi menempatkan dirinya di samping Rangga.
"Kau kenal siapa dia, Kakang," tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya menggelengkan kepalanya saja. Pandangannya tak berkedip menatap ke satu arah. Pandan Wangi melayangkan pandangan matanya ke arah yang sama. Kemudian dia kembali menatap pemuda tampan di sampingnya. Dia tidak mengerti, kenapa Rangga memandangi puncak bukit yang kelihatan gersang menghitam itu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah...," sahut Rangga mendesah kurang yakin.
"Kau merasakan sesuatu, Kakang?"
"Aku tidak tahu, Pandan. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak." pelan sekali suara Rangga.
Pandan Wangi terdiam. Dia tahu kalau Rangga sudah mempunyai satu perasaan di dalam hatinya, pasti akan terjadi sesuatu. Namun Pandan Wangi belum bisa menduga-duga. Sedangkan Rangga sendiri kelihatannya masih belum yakin dengan apa yang dirasakan hatinya saat ini.
Mereka hanya diam saja membisu dengan hati dan pikiran sibuk sendiri-sendiri. Beberapa kali Pandan Wangi mendengar tarikan napas Pendekar Rajawali Sakti yang terasa berat, seakan-akan hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam rongga dadanya.
Sementara malam semakin bertambah larut. Udara dingin tak lagi mereka rasakan. Mereka masih larut dalam kebisuan yang panjang. Sedangkan Rangga terus memandang ke arah puncak bukit di depan sana. Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak mengerti dengan sikap Rangga yang mendadak saja berubah.
"Kembali lagi saja, Kakang...," ajak Pandan Wangi yang mulai merasakan dinginnya hembusan angin malam.
Rangga tidak menjawab. Tapi dia bangkit berdiri juga dan terus saja berjalan meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Belum juga jauh mereka berjalan, mendadak saja terdengar suara tawa menggelegar.
"Ha ha ha ha...!"
Suara tawa itu terdengar keras sekali, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Saat itu juga Pandan Wangi merasakan telinganya jadi sakit mendenging. Sedangkan Rangga segera menggerakkan tangannya di depan dada seraya menahan napas beberapa saat.
"Berdiri di belakangku. Pandan," kata Rangga agak mendesis.
Bergegas Pandan Wangi menggeser kakinya ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, Rangga menghentakkan tangannya ke samping. Beberapa kali kedua tangan yang merentang itu bergerak turun naik dengan cepat, kemudian menegang kaku.
"Aji Bayu Bajra...! Yeaaah...!" teriak Rangga tiba-tiba dengan keras sekali.
Mendadak saja bertiup angin yang kencang dan dahsyat. Seluruh hutan ini bergetar bagai terlanda badai topan yang sangat dahsyat sekali. Tapi Pandan Wangi tidak merasakan sedikitpun badai yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti. Dan telinganya tidak lagi berdenging.
Beberapa saat suara tawa itu masih juga terdengar. Namun semakin lama semakin memudar. Kemudian lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya suara tawa itu, Rangga menarik ajiannya kembali. Dan angin badai itupun berhenti seketika.
Meskipun Pandan Wangi sudah beberapa kali menyaksikan Rangga mengerahkan Aji Bayu Bajra yang dahsyat itu, dia masih juga tercengang melihat hasilnya. Hutan disekitarnya porak-poranda bagai baru saja diamuk ribuan gajah.
Pohon-pohon bertumbangan, dan batu-batu terbongkar pecah dari tanah. Pandan Wangi memandangi sekitarnya dengan mulut sedikit terbuka. Dia benar-benar kagum dengan kedahsyatan dari Aji Bayu Bajra itu. Pandan Wangi tidak bisa membayangkan jika ajian ini dipergunakan untuk menyerang orang. Tentu akan berpentalan seperti kapas.
"Jangan jauh-jauh dariku, Pandan," kata Rangga setengah berbisik.
"Iya," sahut Pandan Wangi.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia mengerahkan Aji Pembeda Gerak dan Suara. Namun yang didapatkan hanya desiran angin saja. Sedikitpun dia tidak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan. Bahkan saat dia mengerahkan Aji Tatar Netra pun, tak ada yang bisa dilihat, kecuali kegelapan semata. Pendekar Rajawali Sakti menggumam perlahan. Dia mengetahui kalau orang yang memperdengarkan suara tadi, memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dari suara tawanya saja tadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan adanya pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai tingkat kesempurnaan. Hanya saja, dia agak heran juga. Karena suara tawa itu langsung lenyap begitu dia mengerahkan Aji Bayu Bajra.
"Tidak ada siapa-siapa, Kakang," bisik Pandan Wangi hampir tak terdengar.
"Hh..." Rangga hanya menggumam kecil. Meskipun dia tidak mengetahui adanya seorang pun di sekitar tempat ini, namun kewaspadaannya tak bisa diabaikan begitu saja. Dia yakin, kalau ada seseorang tidak jauh dari tempat ini, hanya saja dia tidak bisa menemukannya, meskipun sudah menggunakan dua ajian untuk mengetahuinya.
Sing...! Tiba-tiba saja Rangga mendengar suara desiran halus dari arah kiri. Cepat dia mendorong Pandan Wangi ke belakang dan menarik tubuhnya sedikit ke belakang. Secepat itu pula, tangannya bergerak cepat mengibas ke depan dada.
Tap!
"Hap...!" Entah apa yang terjadi, tampak Rangga terhuyung sedikit ke kanan. Namun dia cepat menguasai keseimbangan tubuhnya, langsung dia melentingkan tubuhnya keudara, begitu terlihat cahaya kuning kehijauan melesat bagai kilat kearahnya.
Cahaya kuning kehijauan itu lewat di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan langsung menghajar sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping. Suara ledakan dahsyat terdengar sehingga bumi yang dipijak serasa bergetar, bagai diguncang gempa,
"Hap!" Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya ke tanah. Dia mengangkat tangan kanannya ke depan muka. Kedua kelopak matanya agak menyipit begitu melihat sebuah benda kecil seperti jarum terselip di antara kedua jari tangannya. Benda yang berwarna hitam pekat, sehingga tidak bisa dilihat jelas dalam keadaan gelap seperti ini.
"Hmmm...," Rangga bergumam kecil. Dia merasakan benda hitam ini mengandung racun yang dahsyat dan sangat mematikan sekali. Pendekar Rajawali Sakti menjentikan jarum beracun hitam itu. Benda beracun itu meluncur deras, dan menancap ke batang pohon yang tidak jauh di depan Rangga. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu menggumam saat melihat pohon itu mengepulkan asap. Lalu perlahan hangus jadi arang, daun-daun berguguran. Sebentar kemudian, pohon itu hancur jadi debu.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana kalau benda beracun itu sampai mengenai manusia. Pohon yang begitu besar, bisa hancur jadi debu hanya karena tertancap sebatang benda kecil berbentuk jarum. Rangga melirik Pandan Wangi yang berada tidak jauh darinya. Sedangkan Pandan Wangi sendiri masih memandangi pohon yang sudah lenyap menjadi debu. Entah apa yang ada di dalam benak Pandan Wangi. Yang jelas, dari sinar matanya memancarkan kengerian yang amat sangat melihat pohon itu jadi debu, hanya karena terkena sebuah benda kecil berwarna hitam.
"Hati-hati, Pandan. Orang ini mempunyai kemampuan yang tinggi sekali," kata Rangga memperingatkan.
Pandan Wangi menyambuti dengan desahan napas saja. Sementara suasana malam semakin terasa senyap, apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya bisa menunggu dengan penuh kewaspadaan. Memang tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu.
DUA
Semalaman Rangga dan Pandan Wangi tak bisa memicingkan mata barang sekejap pun. Mereka tak bisa meninggalkan kewaspadaan malam tadi. Namun sampai matahari terbit, tak ada satupun peristiwa yang terjadi pada diri mereka. Sementara keadaan di dalam hutan yang tidak begitu lebat ini, sudah terang oleh sinar matahari yang lembut, namun terasa hangat menyentuh kulit.
"Kita pergi saja, Kakang," kata Pandan Wangi menyarankan.
"Hh... ayolah," sahut Rangga.
Mereka kemudian mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Dua ekor kuda masih terlihat tertambat di pohon dekat bekas bakaran api unggun. Seekor kuda hitam dan kuda putih. Mereka kemudian naik ke punggung kuda. Tak berapa lama kemudian, dua ekor kuda sudah bergerak meninggalkan hutan.
Beberapa kali Rangga mengarahkan pandangannya ke puncak bukit yang kini tampak kegersangannya. Hanya bebatuan yang tampak, tak ada satu pohon pun yang terlihat. Rangga sendiri tidak tahu, dia seperti merasakan ada sesuatu di bukit batu yang gersang dan kelihatan rapuh. Sepertinya ada suara-suara halus berbisik di dalam relung hatinya yang menyuruh dia ke puncak bukit itu.
"Kau tahu nama bukit itu. Pandan?" tanya Rangga.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dia menatap ke arah bukit batu yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang masih juga memandangi puncak bukit itu. Pandan Wangi agak heran juga mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti ini. Biasanya Rangga selalu bisa mengetahui nama suatu tempat dengan cepat. Tapi kali ini dia malah bertanya kepadanya.
"Ada yang menarik di bukit itu, Kakang," Pandan Wangi malah balik bertanya, tanpa menjawab lebih dulu pertanyaan Rangga.
"Entahlah...," desah Rangga perlahan. "Seperti ada sesuatu yang menyuruhku kesana."
"Sebuah suara...?" Pandan Wangi menduga.
"Aku tidak tahu, Pandan. Hatiku yang mengatakan demikian," sahut Rangga.
Kembali Pandan Wangi memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia sudah menyelami watak dan pribadi Rangga selama ini. Tapi rasanya belum pernah dia mendengar Rangga mengatakan sesuatu yang berasal dari kata hatinya. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti kali ini tidak yakin akan kata hatinya.
"Mungkin kau pernah ke sana, Kakang. Hanya saja kau tidak ingat lagi," kata Pandan Wangi mencoba menenangkan hati Rangga yang tengah diliputi kegundahan.
Rangga memalingkan mukanya. Dia memandang Pandan Wangi yang saat itu sedang memandang ke arahnya. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan dengan sinar mata yang sukar untuk dilukiskan. Hanya mereka saja yang bisa mengetahui. Namun Pandan Wangi bisa merasakan adanya ketidak pastian di dalam sinar mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan dia belum pernah melihat Rangga seperti ini.
"Apa sebaiknya kau lihat ke sana, Pandan," kata Rangga perlahan. Suaranya terdengar mengambang tanpa kepastian.
"Untuk apa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Pandan. Tapi...," Rangga tidak meneruskan ucapannya. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. "Ah, sudahlah...," desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya, sehingga berlari lebih cepat lagi. Pandan Wangi segera mengikuti. Mereka berkuda dengan cepat sekali, membuat debu membumbung tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu dengan cepat bagaikan berlari di atas angin.
Tak berapa lama, mereka telah keluar dari hutan itu, dan memperlambat lari kudanya setelah menemukan sebuah jalan tanah berdebu. Di kiri kanan jalan terdapat parit yang mengalirkan air jernih. Sawah yang menguning sudah terlihat di sepanjang jalan. Bahkan mereka berpapasan dengan beberapa orang petani yang sedang melintasi jalan ini. Rangga semakin memperlambat lari kudanya. Dan Pandan Wangi mengikuti dengan mensejajarkan ayunan langkah kaki kudanya di samping kuda hitam yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Desa apa ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku belum pernah ke sini," sahut Rangga dengan suara yang mengambang tanpa keyakinan.
Suara yang tidak pasti itu sangat jelas terdengar nadanya. Pandan Wangi sempat melirik Rangga yang mengarahkan pandangannya pada sawah yang terhampar luas. Beberapa anak berlarian sambil berteriak-teriak mengusir burung-burung pemakan padi. Sepanjang mata memandang, hanya warna kuning yang terlihat. Sebentar lagi, pemilik sawah ini akan memetik hasil jerih payahnya.
Tak berapa lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah desa yang cukup besar dengan penduduknya yang padat. Jalan tanah yang membelah desa ini, tampak ramai dipenuhi orang, sehingga membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin memperlambat langkah kaki kudanya.
"Carilah kedai dulu, Kakang," kata Pandan Wangi.
Rangga melirik gadis itu dan tersenyum. Dia sendiri sudah merasakan perutnya keroncongan minta diisi, tanpa diminta pun, dia memang sedang mencari kedai yang cocok. Walaupun bukan kedai besar, asalkan bersih, pasti akan memasukinya. Dan di desa ini rupanya tidak terlalu sukar mendapatkan kedai yang diinginkan.
Cukup padat juga pengunjung di kedai ini. Tampaknya kebanyakan dari mereka bukan penduduk Desa Bulakan ini. Melihat dari pakaian yang dikenakan, serta senjata yang tersandang, sudah dapat dipastikan kalau mereka orang-orang dari rimba persilatan. Hampir semua meja terisi penuh, sehingga cukup sukar bagi Rangga untuk bisa memilih tempat. Seorang perempuan tua menyongsongnya begitu Rangga berada di ambang pintu. Dengan tubuh gemuk, kelihatannya dia sukar sekali bergerak. Terlebih lagi kedai ini memang padat sekali.
"Silahkan masuk, Den... Nini," sahut perempuan tua gemuk itu dengan ramah sekali.
Rangga tersenyum seraya menganggukkan kepala. Dia melangkah masuk diikuti Pandan Wangi yang berjalan di belakangnya. Perempuan gemuk itu berjalan di depan menuntun mereka. Tampaknya tak ada lagi tempat yang tersedia bagi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Semua meja sudah terisi penuh. Bising sekali di dalam kedai ini, dan udaranya juga terasa pengap.
"Apa tidak ada kedai lain, Kakang…?" bisik Pandan Wangi merasa tidak enak berada di tempat seperti ini.
"Semuanya sama," sahut Rangga. Pandan Wangi terdiam saja. Memang mereka sudah memasuki beberapa kedai, tapi keadaannya sama seperti ini. Padat dan bising sekali. Pandan Wangi cepat membuang muka ketika anak muda mengerdipkan mata padanya. Dan pemuda itu langsung tertawa terbahak-bahak.
"Jika Raden dan Nini berkenan, kami punya tempat khusus di belakang. Tapi harganya dua kali dari di sini," kata perempuan gemuk itu.
"Asal tidak penuh saja, Nyai," sela Pandan Wangi cepat.
"Tentu saja tidak, Nini. Tempat ini khusus untuk tamu-tamu yang mampu membayar dengan mahal," sahut perempuan gemuk itu diiringi dengan senyumnya yang lebar.
"Cepatlah, aku sudah muak di sini," desak Pandan Wangi.
Perempuan gemuk itu bergegas melangkah menuju ke pintu belakang. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir, terkuak. Mereka masuk ke dalam sebuah lorong yang tidak terlalu panjang. Sampai di ujung lorong, terlihat sebuah taman yang cukup indah dikelilingi beberapa kamar.
Pandan Wangi memandangi Rangga sejenak. Sedangkan perempuan gemuk itu melangkah mendekati salah satu kamar yang berada dekat sebuah kolam ikan. Dia membuka pintu kamar, dan mempersilahkan tamu-tamunya untuk masuk. Pandan Wangi mengamati kamar yang indah. Agak terkejut juga dia melihat di dalam kamar sudah menunggu tiga orang gadis cantik dengan tubuh indah menggiurkan pakaiannya.hampir terbuka semua.
"Tempat apa ini...?!" sentak Pandan Wangi mendelik pada perempuan gemuk itu.
"Mereka hanya pelayan, Nini. Yang akan melayani kalian," perempuan gemuk itu menjelaskan.
"Berapa sewanya?" tanya Rangga cepat menyelak.
Perempuan gemuk itu menyebutkan jumlah bayaran sewa yang begitu mahal. membuat Pandan Wangi mendelik mendengarnya. Tapi Rangga sudah mengeluarkan sekantung uang, dan menyerahkannya pada perempuan gemuk itu.
"Ini cukup untuk dua pekan," kata Rangga.
"Raden dan Nini mau menginap di sini...?" tanya perempuan gemuk itu terperanjat.
"Benar," sahut Rangga cepat, sebelum Pandan Wangi sempat membuka mulutnya. "Tapi aku tidak ingin ada pelayan di kamar ini, kecuali aku yang minta, atau adikku ini."
"Oh, tentu.... Tentu saja bisa, Den," sahut perempuan gemuk itu diiringi dengan senyumannya yang semakin lebar.
"Aku mau istirahat, dan sebaiknya jangan ada yang mengganggu sampai besok," kata Pandan Wangi cepat.
"Tolong sediakan saja makanan yang cukup, kemudian tidak boleh ada siapapun di kamar ini."
"Baik, Nini. Segera kami siapkan," sahut perempuan gemuk itu.
Dia menyuruh ketiga gadis itu keluar. Kemudian dia sendiri bergegas ke luar dari kamar. Pintu kembali tertutup. Sementara Pandan Wangi sudah membaringkan tubuhnya di pembaringan yang cukup besar dan nyaman. Tubuhnya terasa penat sekali setelah setengah harian terguncang di punggung kuda.
"Kenapa kau agak kasar tadi, Pandan?" tegur Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di kursi.
"Aku tidak suka ada gadis lain di sini," sahut Pandan Wangi agak ketus.
Mendadak saja Rangga terlawa terbahak-bahak. Jelas sekali kalau jawaban Pandan Wangi bernada cemburu. Dan si Kipas Maut itu hanya memberengut saja. Memang tidak ada seorang gadis pun yang rela kekasihnya menikmati tubuh setengah telanjang didepan matanya. Lain persoalan kalau dia tidak ada di sini. Apa lagi ketiga gadis itu cantik-cantik. Meskipun Pandan Wangi percaya penuh, toh Rangga juga seorang laki-laki normal.
"Kau cemburu, Pandan...," ujar Rangga setelah tawanya reda.
"Tidak! Aku hanya tidak suka saja dengan mereka!" sahut Pandan Wangi merengut.
"Ya, sudah.... Nanti aku minta pelayan laki-laki yang tampan dan gagah. Aku suruh dia hanya mengenakan cawat saja," kata Rangga berolok
"Heh...!" Pandan Wangi mendelik.
Tapi Rangga hanya tertawa saja melihat raut wajah gadis itu memerah.
"Edan...!" dengus Pandan Wangi.
********************
Setelah mengisi perut. Pandan Wangi berjalan jalan menghirup udara sore yang segar. Gadis itu menyusuri jalan setapak yang agak mendaki. Beberapa orang berpapasan dengannya, sempat melirik seraya menganggukkan kepala nya sedikit. Pandan Wangi membalas dengan anggukan kepala. Penduduk Desa Babakan ini memang ramah, bahkan ketika Pandan Wangi menanyakan letak sungai, seorang perempuan muda berusia sekitar empat belas tahun dengan senang hati mengantarkannya.
"Masih jauh sungainya, Dik Warti?" tanya Pandan Wangi pada gadis manis yang berjalan di sampingnya.
"Sebentar lagi, Kak," sahut gadis itu yang mengenalkan dirinya pada Pandan Wangi bernama Warti. "Mereka juga baru dari sungai, Kak."
Pandan Wangi memandangi orang-orang yang berjalan dari arah depannya. Kebanyakan dari mereka adalah gadis-gadis yang hanya mengenakan kain terlilit di badan. Mereka membawa keranjang bambu berisi cucian. Beberapa ada juga anak-anak mudanya. Mereka berjalan sambil bercengkerama, bercanda dengan riang sekali. Saat berpapasan, beberapa diantaranya menegur Warti.
"Tampaknya kau cukup dikenal di sini, Dik Warti," kata Pandan Wangi.
Warti hanya tersenyum saja. Mereka terus berjalan perlahan-lahan sambil berbincang-bincang. Tak terasa mereka sudah sampai di sungai yang dituju. Pandan Wangi sempat berdecak kagum menyaksikan keindahan sungai ini. Memang tidak terlalu besar sungainya. Namun pemandangan di sekitar sungai ini, bisa membuat siapa saja betah berlama-lama di sini.
Cukup banyak juga yang datang ke sungai ini. Beberapa gadis sebaya dengan Warti, memanggil gadis itu. Mereka asyik bermain di dalam sungai yang berair sangat jernih. Warti hanya membalasnya dengan lambaian tangan saja. Dia mengajak Pandan Wangi untuk menaiki gundukan batu-batu yang membentuk bukit kecil di tepi sungai. Tak begitu sukar untuk mencapai puncaknya, dan dari atas batu, mereka bisa memandangi sekelilingnya dengan bebas. Pandan Wangi semakin mengagumi keindahan alam disekitar sungai ini. Dia merasakan seakan-akan berada di nirwana, di dalam taman para dewa yang bersemayam di kahyangan. Sungguh indah dan mengagumkan sekali.
Namun mendadak saja bola mata Pandan Wangi berkerenyit ketika menatap keseberang sungai. Gadis itu menajamkan matanya, agar lebih jelas melihat. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika melihat seorang laki-laki tua tengah dikeroyok empat orang bersenjata tongkat warna putih keperakan.
"Kau tunggu disini dulu, Warti," kata Pandan Wangi seraya menepuk pundak gadis itu. Dan sebelum Warti sempat mengatakan sesuatu, mendadak saja Pandan Wangi sudah melesat cepat meluruk deras kebawah. Dia sempat menyambar sepotong ranting yang langsung di lemparkan ke tengah sungai. Hanya sedikit saja Pandan Wangi menotok ranting yang terapung, kemudian dia melesat lagi ke seberang sungai. Gerakannya sungguh indah dan ringan sekali, membuat Warti terpana bengong menyaksikannya.
"Berhenti...!" teriak Pandan Wangi keras menggelegar.
Mereka yang bertarung, seketika berhenti begitu mendengar bentakan yang keras mengejutkan. Pandan Wangi langsung meluruk, dan mendarat tepat di samping laki-laki tua yang mengenakan jubah warna kuning gading. Seuntai kalung batu hitam tergenggam di tangan kanannya. Sedangkan empat laki-laki berbaju merah dengan tongkat putih keperakan di tangan, berada di sekitar setengah tombak di depan mereka.
"Kenapa mereka mengeroyokmu, Ki?" tanya Pandan Wangi seraya menatap tajam pada empat orang bertongkat putih keperakan.
Namun sebelum laki-laki tua itu sempat menjawab, salah seorang bertongkat putih keperakan itu membentak dengan suara keras menggelegar.
"Nisanak, ini bukan urusanmu. Minggir...!"
Pandan Wangi semakin tajam menatap orang bertongkat putih keperakan itu. Usianya mungkin masih sekitar tiga puluhan tahun, tapi raut wajahnya begitu kasar dengan sorot mata tajam memerah. Sedangkan yang tiga orang lagi, tampaknya lebih muda beberapa tahun.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi tidak memperdulikan bentakan itu.
"Mereka algojo-algojo Partai Tongkat Putih," sahut laki-laki tua itu.
Pandan Wangi hanya menggumam kecil. Memang dia tidak punya urusan dengan orang-orang Partai Tongkat Putih. Tapi sudah sering mendengar tentang sepak terjang Partai Tongkat Putih. Baru kali ini dia berhadapan langsung dengan empat orang algojonya yang terkenal kejam dan tak mengenal belas kasihan.
"Sekali lagi aku peringatkan, Nisanak. Cepat menyingkir, atau kami terpaksa membunuhmu sekalian...!" bentak laki-laki bertongkat putih itu dengan garang.
"Kenapa kalian ingin membunuh orang tua ini? Apa salahnya?" tanya Pandan Wangi tidak menghiraukan ancaman orang bertongkat putih keperakan itu.
"Setan...! Telingamu rupanya sudah tuli, heh...!" geram orang itu lagi.
"Ayo, Ki. Kita pergi dari sini. Percuma mengurusi orang-orang tidak waras," kata Pandan Wangi tidak peduli.
"Keparat...!"
Belum juga Pandan Wangi sempat melangkah, dua orang bertongkat putih keperakan itu, sudah melompat cepat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah si Kipas Maut. Namun dengan manis sekali, Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya, berkelit menghindari kibasan dua tongkat putih keperakan. Sedangkan dua orang lagi sudah merangsak laki-laki tua berjubah kuning gading.
Pertarungan memang tak mungkin bisa.dihindari lagi. Pandan Wangi yang menghadapi dua orang berbaju merah yang menggunakan senjata tongkat putih keperakan, sudah mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah kipas dari baja putih yang tipis dan kuat dengan ujung-ujungnya berbentuk runcing seperti mata panah.
Beberapa kali Pandan Wangi mematahkan serangan lawan-lawannya. Dan beberapa kali pula senjata mereka berbenturan. Dan tampaknya tenaga dalam yang mereka miliki sangat berimbang sekali. Sehingga beradunya senjata tidak mengakibatkan hal yang berarti.
Sementara pertarungan di tempat lain juga tidak kalah sengitnya. Namun tampak jelas sekali kalau dua orang berbaju merah kewalahan menghadapi laki-laki tua berjubah kuning gading itu. Mereka berempat saja sudah sulit menghadapinya, apa lagi sekarang ini, mereka hanya berdua.
Trak!
Tiba-tiba saja orang tua itu mengebutkan kalung batu hitamnya. Kalung itu menghantam tongkat yang berada menyilang di depan dada salah seorang lawannya. Laki-laki berbaju merah yang memegang tongkat itu, terkejut setengah mati saat melihat tongkatnya hancur terhantam untaian kalung batu hitam.
Dan sebelum dia sempat menghilangkan rasa keterkejutannya, mendadak saja orang tua berjubah kuning gading itu melontarkan satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Tendangan cepat dan tidak terduga itu, tak dapat dihindarkan lagi.
Des!
"Akh...!" laki-laki berbaju merah itu memekik keras.
Tubuhnya seketika terlontar sekitar dua tombak ke belakang setelah dadanya menerima satu tendangan keras mengandung tenaga dalam tingkat tinggi. Keras sekali dia jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
"Hoek...!" orang berbaju merah itu memuntahkan darah kental agak kehitaman.
"Kurang ajar...! Kubunuh kau Ki Sarpa...!" geram seorang lagi yang dilehernya terlilit kalung bermata tengkorak manusia dari tulang. "Hiyaaaat...!"
Wut!
Laki-laki berbaju merah itu langsung mengebutkan tongkatnya ke arah dada. Namun dengan manis sekali laki-laki tua berjubah kuning gading itu berkelit menghindarinya. Dan tongkat itu lewat sedikit di depan dadanya. Secepat kilat dia menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam kalung batu hitam.
"Hih!"
Bet!
"Uts...!"
Laki-laki berbaju merah itu cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga sabetan kalung hitam itu tidak sempat mengenai sasaran. Sementara orang berbaju merah satunya lagi, masih berusaha bangkit berdiri sambil meringis dan mengerang merasakan dadanya yang nyeri bagaikan remuk seluruh tulang-tulangnya..Namun dia bisa bangkit berdiri juga meskipun dengan bersusah payah.
Setelah bisa mengurangi rasa nyeri pada dadanya, kembali dia melompat menyerang orang tua berjubah kuning gading itu. Sementara pertarungan antara Pandan Wangi dan dua orang lawannya, masih berlangsung dengan sengit. Mereka saling melancarkan serangan-serangan dahsyat mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Aaaakh...!" Mendadak saja terdengar satu jeritan panjang melengking. Pandan Wangi tersentak kaget begitu dia melihat orang tua berjubah kuning gading terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya. Si Kipas Maut terperangah, di depan orang tua berjubah kuning gading sudah berdiri seorang perempuan berbaju putih ketat yang membelakangi tubuhnya.
Dan sebelum Pandan Wangi bisa melihat wajahnya, mendadak perempuan berbaju putih itu melesat cepat ke arah laki-laki tua yang bernama Ki Sarpa. Tongkat putih yang berada di tangannya, seketika berkelebat cepat bagai kilat ke arah kepala Ki Sarpa.
"Oh, tidak...!" sentak Pandan Wangi agak mendesah. "Hup! Yeaaah...!"
Mendadak saja Pandan Wangi menggenjot tubuhnya, dan melesat cepat bagaikan kilat ke arah laki-laki tua itu. Begitu cepatnya tindakan Pandan Wangi, sehingga dua orang lawannya tadi terperangah bengong. Dan sebelum mereka menyadarinya, si Kipas Maut sudah menyambar tubuh Ki Sarpa. dan langsung membawanya pergi dengan cepat.
"Hiyaaat...!"
Ayunan tongkat perempuan berbaju putih itu menghantam tanah kosong. Dia terkejut setengah mati begitu tiba-tiba Ki Sarpa telah lenyap disambar sebuah bayangan biru yang berkelebat cepat bagai kilat.
"Setan…! Siapa berani main-main denganku, heh...!" geram perempuan berbaju putih itu.
Namun Pandan Wangi sudah lenyap tak berbekas lagi. "Kejar! Bunuh mereka...!" perintah perempuan itu lantang.
Seketika itu juga tiga orang berbaju merah yang bersenjata tongkat putih keperakan, berlompatan mengejar. Sedangkan satu orang lagi sudah jatuh menggeletak sambil menggeliat dan mengerang, lirih.
"Huh! Kau memang tidak ada gunanya!" dengus wanita berbaju putih itu. "Hih...!"
Crab!
"Aaaa...!" laki-laki berbaju merah itu menjerit keras menyayat. Sebentar laki-laki berbaju merah itu menggelepar berlumuran darah, kemudian diam tak bergerak gerak lagi. Wanita berbaju putih itu memandanginya dengan sinar mata tajam menusuk. Kemudian dia melesat pergi dengan cepat sekali.
********************
TIGA
Hati-hati sekali Pandan Wangi membaringkan laki-laki tua berbaju kuning gading di atas pembaringan. Tidak jauh di belakangnya berdiri Pendekar Rajawali Sakti yang hanya memandangi saja. Pandan Wangi membalikkan tubuhnya. Pandangannya langsung tertumbuk pada pandangan pemuda berbaju rompi putih.
"Jangan memandangku begitu, Kakang," ujar Pandan Wangi jengah.
"Persoalan apa yang kau bawa, Pandan?" tanya Rangga seraya memandang pada laki-laki tua yang terbaring bagai tidur pulas.
"Orang tua ini dikeroyok. Apa aku salah kalau menolongnya, Kakang? Kau kan sering bilang kalau kita harus menolong siapa saja yang membutuhkan," kata Pandan Wangi tidak ingin disalahkan.
"Kau tahu siapa dia?" tanya Rangga lagi.
"Dia tadi sempat bilang kalau namanya Ki Sarpa. Dia dikeroyok orang-orang Partai Tongkat Putih, Kakang," sahut Pandan Wangi menjelaskan.
Rangga semakin tajam menatap gadis itu. Agak memerah telinganya mendengar nama Partai Tongkat Putih disebut barusan. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tahu, siapa itu Partai Tongkat Putih. Satu Partai silat yang beraliran hitam dengan segala tindakannya yang sangat merugikan orang banyak. Sudah sering Rangga mendengar sepak terjang Partai tongkat Putih. Tapi dia belum pernah berurusan dengan Partai hitam terkuat di wilayah kulon ini.
Meskipun jumlah anggotanya tidak banyak, tapi rata-rata memiliki kemampuan yang tinggi. Dan tokoh-tokoh yang berdiri di dalamnya tidak bisa dianggap enteng. Memang diakui kalau tempat tinggal Partai Tongkat Putih tidak ada yang mengetahui sampai sekarang ini, sehingga sukar bagi kaum pendekar beraliran putih untuk memberantas sepak terjangnya yang selalu merugikan itu.
"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk mencari perkara dengan mereka. Aku juga tadinya tidak tahu kalau mereka orang-orang Partai Tongkat Putih," kata Pandan Wangi bernada agak menyesal. "Tapi aku hanya ingin menolong orang tua ini saja, Kakang," lanjut Pandan Wangi membela diri juga.
"Sudah, aku tidak menyalahkanmu," sahut Rangga.
Pandan Wangi baru bisa tersenyum. Memang segala sesuatu akan mengandung resiko. Dan gadis itu menyadari akan resikonya. Dengan begini, dia sudah membuka tali pertentangan dengan Partai Tongkat Putih. Tak mungkin orang-orang Partai Tongkat Putih akan diam begitu saja. Hal ini sangat disadari Pendekar Rajawali Sakti. Apa boleh buat..., semua sudah terjadi. Dan mereka harus menghadapi segala kemungkinan yang pasti akan terjadi nanti.
"Bagaimana dia bisa bentrok dengan orang-orang Partai Tongkat Putih, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Ki Sarpa belum sempat menjelaskan, Kakang. Dia keburu pingsan," sahut Pandan Wangi.
"Dia terluka?"
"Tidak begitu parah. Hanya luka dalam ringan," sahut Pandan Wangi. "Aku sudah memeriksanya dan memberikan sedikit hawa murni. Sekedar untuk mencegah meluasnya luka dalam, Kakang."
"Itu pun sudah cukup, Pandan. Kalau dia memiliki kemampuan yang tinggi, pasti bisa mengatasi luka dalamnya. Mudah-mudahan saja hawa murninya terlatih dengan baik," ujar Rangga.
Lagi-lagi Pandan Wangi tersenyum. Dia memang sudah menduga kalau Rangga tidak akan marah. Pendekar Rajawali Sakti memang cukup bijaksana, dan bisa memandang segala persoalan dari sudut yang jauh. Meskipun menyadari akan resikonya yang tinggi, tapi Rangga cukup bijaksana untuk memberikan kebebasan pada Pandan Wangi menolong orang tua yang bernama Ki Sarpa itu.
Rangga mengayunkan kakinya ke luar dari kamar itu. Sedikit dia membuka pintu, kemudian menutupnya kembali. Sedangkan Pandan Wangi menghempaskan dirinya, duduk di kursi rotan yang berada di bawah jendela. Sementara Rangga berada di beranda kamar sewaannya yang menghadap ke taman.
Slap!
"Heh...?! Uts!" Rangga mendadak terkesiap dan langsung memiringkan tubuhnya ke kiri ketika tiba-tiba telinganya yang setajam mata pisau, mendengar suara mendesir halus mengarah kepadanya. Sekejap dia melihat sebuah benda kecil berwarna hitam pekat meluncur deras ke arahnya. Benda kecil itu langsung menghantam daun pintu setelah lewat sedikit di depan dada Pendekar Rajawali Sakti itu.
Bresss...!
Seketika itu juga daun pintu tersebut mengepul asap, kemudian hangus menghitam bagai terbakar. Tak berapa lama kemudian, pintu itu hancur jadi debu. Pandan Wangi yang berada di dalam kamar, tersentak kaget. Dia langsung melesat keluar. Tiba-tiba si Kipas Maut sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit dia menatap ke arah pintu yang sudah menjadi debu, teronggok di lantai.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Kembali ke dalam, Pandan. Jaga Ki Sarpa," sahut Rangga setengah berbisik.
"Tapi ada apa...?" desak Pandan Wangi.
"Ada tamu tak diundang," sahut Rangga tanpa berpaling sedikitpun juga.
Pandan Wangi bisa mengerti, dia bergegas melangkah mundur. kembali masuk ke dalam kamar sewaannya. Sementara Rangga mengayunkan kakinya ke luar dari beranda depan kamar. Perlahan kakinya terayun menginjak tanah berumput yang terawat apik. Pandangan matanya tetap tajam, menatap lurus ke arah datangnya benda kecil berbentuk jarum hitam yang dahsyat.
"Siapapun kau, keluarlah!" seru Rangga dengan pengerahan tenaga dalam pada suaranya.
"He he he he...," suara Rangga disahuti oleh suara tawa terkekeh.
Suara tawa itu terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Pendekar Rajawali Sakti perlahan memutar tubuhnya dengan mata tidak berkedip memandang sekeliling pelataran taman. Setiap sudut dia perhatikan dengan teliti. Namun pemilik suara tawa itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Suara tawa itu masih terus terdengar menggema.
"Hmmm... kau ingin bermain-main denganku rupanya...," gumam Rangga perlahan.
"Permainan yang menarik, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar sahutan suara agak serak dan kering.
Rangga langsung membalikkan tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah-tengah taman penginapan sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah merah agak longgar dan panjang hingga menyentuh tanah.
Ditangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna putih keperakan dengan satu ujung bagian atas berbentuk kepala tengkorak manusia. Mata tengkorak itu memancarkan cahaya kuning kehijauan. Usia perempuan tua itu mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahunan. Rambutnya yang putih sudah berkurang, tergelung ke atas diikat dengan pita merah menyala.
"Boleh aku tahu, siapa Nyai sanak?" tanya Rangga dengan suara yang lembut dan terdengar ramah.
Dalam menghadapi siapapun, Rangga selalu bersikap ramah. Meskipun dia menduga kalau kemunculan perempuan tua berjubah merah ini tidak dengan membawa maksud yang baik. Namun Rangga tetap memperlakukannya dengan baik dan ramah. Lain halnya kalau dia dibuat marah. Pendekar Rajawali Sakti bisa bertindak tegas, bahkan dapat dikatakan kejam pada lawannya yang tak mau memperbaiki kesalahannya.
"Hik hik hik hik..., orang sering memanggilku Dewi Iblis Merah," sahut perempuan tua itu diiringi dengan suara tawanya yang mengerikan.
"Lalu apa maksudmu datang mengunjungiku?" tanya Rangga lagi.
"Aku datang untuk mengatakan kalau kau tidak ada perlunya datang ke sini. Dan sebaiknya segeralah enyah sebelum aku menyebarkan malapetaka padamu, Pendekar Rajawali Sakti," tegas sekali kata kata Dewi Iblis Merah.
"Aku hanya singgah sebentar disini, Nyai Dewi, tanpa kau mintapun, aku memang hendak meninggalkan desa ini. Tapi nanti setelah urusanku di sini selesai," sahut Rangga kalem seraya tersenyum.
"Phuah...! Kau selalu saja mencanri-cari urusan, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak peduli dengan segala macam urusanmu! Aku beri kau waktu sampai fajar besok!"
"Maaf, Nyai. Urusanku disini tidak bisa selesai sampai besok. Mungkin bisa satu atau dua purnama baru selesai."
"Bedebah...! Rupanya kau memang sengaja datang ke sini mencari mampus, seperti orang-orang tolol itu!" sentak Dewi Iblis Merah sengit.
"Hm..., aku tidak mengerti maksudmu, Nyai."
"Jangan banyak berdalih, Pendekar Rajawali Sakti! Kau tinggal pilih satu diantara dua. Mati..., atau tinggalkan desa ini secepatnya!"
"Ta...!" Belum juga Rangga sempat mengucapkan sesuatu, perempuan tua berjubah merah itu sudah melesat pergi. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam waktu sekejapan mata sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Rangga menghembuskan napas panjang. Dia memutar tubuhnya dan berjalan menuju ke kamar. Tampak Pandan Wangi sudah menanti di ambang pintu yang tak berdaun lagi.
Rangga menghentikan langkahnya sekitar setengah tombak di depan Pandan Wangi. Sementara gadis itu merayapi wajah Rangga yang nampak agak kusut. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempaskan tubuhnya di balai bambu yang menempel pada dinding beranda depan kamar.
"Siapa perempuan tua itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Dewi Iblis Merah," sahut Rangga.
"Dia bilang apa padamu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Dia meminta kita segera meninggalkan desa ini sebelum fajar besok," sahut Rangga.
"Heh...! Enak saja mengusir orang!" sentak Pandan Wangi langsung sengit.
Watak asli si Kipas Maut itu kembali timbul. Dan selalu begitu bila sedang mengembara seperti ini. Watak yang dulu membuat Rangga sempat tergetar hatinya, kini terlihat lagi setelah sekian lama terpendam, selama berada di Istana Karang Setra.
"Punya hak apa dia mengusir kita, Kakang...?" masih sengit nada suara Pandan Wangi.
Rangga tidak menyahuti. Dia hanya mengangkat bahunya sedikit. Sementara Pandan Wangi menatap lurus ke depan. Wajahnya nampak memerah. Dan membuat gadis itu semakin kelihatan cantik. Kecantikan seorang gadis akan terpancar disaat hatinya tersulut api kemarahan.
"Apa sih maunya dia...? Mengusir orang seenak udelnya" saja, huh!" dengus Pandan Wangi memberengut.
"Mungkin dia merasa terganggu, Pandan," kata Rangga seenaknya saja.
"Apanya yang terganggu...?"
"Mana aku tahu? Bisa saja begitu. Soalnya dia mengenalku, Pandan. Padahal aku sendiri baru melihatnya tadi."
"Terus...? Kau akan menyerah begitu saja?"
Lagi-lagi Rangga tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahu. Kemudian beranjak bangkit. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menggeliatkan tubuhnya, kemudian melangkah pergi. Pandan Wangi hanya memandanginya saja. Dia agak heran dengan sikap Rangga yang kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan masa bodoh dengan apa yang mereka hadapi saat ini. Cukup lama Pandan Wangi tidak bersama-sama lagi dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia belum pernah melihatnya seperti sekarang ini.
"Mau ke mana, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak keras suaranya.
"Jalan-jalan sebentar!" sahut Rangga tanpa berpaling sedikitpun juga.
Pendekar Rajawali Sakti terus saja berjalan tanpa menoleh ke belakang. Sementara Pandan Wangi sudah kembali masuk ke dalam kamar. Dia memandang laki-laki tua yang masih berbaring tak sadarkan diri di atas pembaringan yang cukup besar.
"Hhhh…!" sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi menghempaskan tubuhnya di kursi.
Bukan hanya tubuhnya saja yang penat. Tapi juga seluruh isi kepalanya seperti teraduk. Ini memang bukan hal baru lagi bagi Pandan Wangi. Sejak dilahirkan dia sudah berkecimpung di dalam ganasnya rimba persilatan. Dan bukan hal itu yang dia pikirkan. Yang membuat seluruh isi kepalanya memberontak adalah sikap Rangga yang tiba-tiba berubah aneh, tidak seperti biasanya. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti sudah menutupinya dengan bersikap biasa. Tapi Pandan Wangi tidak bisa dibohongi begitu saja.
"Pasti ada sesuatu yang membuat Kakang Rangga jadi aneh begitu..," desah Pandan Wangi dalam hati.
"Tapi apa...?"
Rangga memandangi bukit batu yang berdiri angkuh di depannya. Sebuah jurang tidak begitu besar, menghadang melintang di depannya. Untuk mencapai bukit itu, harus melewati jurang ini lebih dahulu, kemudian merambah hutan yang tidak begitu lebat, baru bisa mendaki bukit batu yang ada di seberang sana.
"Aku yakin, itu pasti bukit Gandrik," gumam Rangga pelan, berbicara dengan dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Tatapan matanya terpaku pada seorang gadis berusia sekitar empat belas tahunan yang tengah memandanginya sambil duduk di atas batu. Rangga tidak menyadari kalau ada orang lain di tempat yang sunyi ini. Dia menghampiri gadis itu, dan berdiri sekitar tiga langkah di depannya.
"Siapa kau, Adik Manis?" tanya Rangga lembut.
"Warti," sahut gadis itu menyebutkan namanya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Rangga lagi.
"Menunggu ayah," sahut Warti.
Rangga mengerutkan keningnya. Dia sudah cukup lama berada di tempat ini, dan sudah memeriksa keadaan sekitarnya. Tak ada seorangpun yang dijumpainya, kecuali gadis kecil itu. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti semakin menyipit saat melihat pandangan mata Warti, sepertinya dia sedang bicara dengan dirinya sendiri.
"Ke mana ayahmu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ke bukit itu," sahut Warti seraya menunjuk Bukit Gandrik.
Rangga mengarahkan pandangannya ke bukit batu yang ditunjuk gadis itu. Sebentar kemudian dia kembali menatap Warti dengan kening agak berkerut. Dia sudah banyak mendengar dari beberapa penduduk Desa Bulakan, kalau bukit itu tidak pernah didatangi orang. Mereka bilang, bukit itu dihuni setan-setan kejam yang akan membunuh siapa saja yang mencoba memasukinya.
"Untuk apa ayahmu ke sana?" tanya Rangga lagi.
"Mengusir setan-setan di bukit itu," sahut Warti datar.
Tapi sudah lebih dari tiga hari, ayah belum juga pulang. Aku takut mereka membunuh ayah di sana."
Sinar mata gadis itu semakin terlihat redup. Seluruh wajahnya terselimut kabut tebal. Rangga menempatkan diri, duduk disampingnya. Sedangkan Warti hanya diam saja dengan pandangan tidak beralih pada bukit batu di seberang jurang sana. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja.
"Kakang siapa?" tanya Warti setelah cukup lama membisu.
"Rangga. Panggil saja aku begitu," sahut Rangga sambil tersenyum.
Warti memandangi Rangga dalam-dalam, seakan dia sedang menyelidiki pemuda berbaju rompi putih yang tampan itu. Sedangkan Rangga membiarkan saja gadis itu memandanginya.
"Kakang hendak ke bukit itu juga?" tanya Warti tanpa melepaskan pandangannya pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Mungkin," sahut Rangga agak mendesah.
"Sebaiknya jangan, Kakang," ujar Warti mencegah.
"Kenapa?"
"Sudah banyak orang mencoba ke sana. Tapi tak ada yang bisa kembali lagi. Bahkan ayahku saja sampai sekarang belum juga pulang."
"Apakah di sana banyak setannya...?" Rangga setengah bergurau.
"Aku tidak tahu. Tapi di sana ada candi tua yang sudah tidak terpakai lagi. Katanya di dalam candi itu tersimpan banyak senjata pusaka. Makanya banyak orang ingin memilikinya. Tapi tak ada seorangpun yang bisa kembali lagi."
"Jadi ayahmu ke sana juga ingin mendapatkan pusaka-pusaka itu?" Rangga langsung bisa menduga.
"Entahlah. Aku tidak tahu pasti," sahut Warti seraya mendesah panjang.
Rangga tersenyum kecil. Dia beranjak turun dari batu yang didudukinya. Pendekar Rajawali Sakti kembali teringat dengan mimpi dan bisikan-bisikan misterius yang dalam beberapa hari ini selalu menghantuinya. Namun setelah dia berada di Desa Bulakan, semua mimpi dan bisikan-bisikan aneh itu tidak pernah lagi datang.
Sebenarnya Rangga tidak ingin mempercayai dengan segala macam mimpi. Tapi karena bisikan-bisikan aneh itu terus mengganggunya, terpaksa dia harus membuktikan. Dan kepercayaannya mulai timbul saat dia menemukan beberapa petunjuk yang pernah dilihatnya di dalam mimpi.
Bahkan tempat-tempat yang didatangi sama persis dengan semua yang pernah didatanginya dalam mimpi. Bahkan bukit batu itu yang membuat keyakinannya semakin bertambah tebal. Kalau mimpi yang kerap datang mengunjunginya bukan mimpi biasa. Melainkan sebuah petunjuk yang mengharuskannya berada di desa ini.
"Kau tinggal di mana, Warti?" tanya Rangga.
"Di Desa Bulakan. Sekarang aku tinggal dengan ibu saja," sahut Warti.
"Aku antar kau pulang." kata Rangga menawarkan jasa.
"Aku masih mau di sini," Warti menolak.
"Sudah hampir malam, ibumu pasti sudah cemas menunggu," Rangga mengingatkan.
Warti memutar kepalanya, menatap ke arah matahari yang sudah demikian condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti siang tadi. Kini terasa lembut membelai kulit. Tanpa berkata apa-apa sedikitpun, Warti mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Sebentar Rangga hanya memandangi saja. Kemudian dia ikut melangkah dan mensejajarkannya di samping gadis itu.
EMPAT
Pandan Wangi memandangi Rangga yang tidak berkedip menatap puncak Bukit Gandrik yang tampak angkuh namun terlihat rapuh itu. Sementara di sampingnya, berdiri seorang laki-laki tua berjubah kuning gading, yang selalu memainkan jari-jarinya pada untaian kalung dan batu hitam yang berkilat. Laki-laki tua itu juga menatap ke arah bukit itu dengan mata tidak berkedip sedikitpun juga.
Rangga sudah menceritakan semua tentang mimpi-mimpi dan bisikan-bisikan aneh yang selama ini selalu menghantuinya. Dan gadis itu baru tahu sebabnya, kenapa Pendekar Rajawali Sakti kelihatan berubah. Ternyata Dia tengah disibukkan dengan pikiran-pikiran dari mimpi-mimpi yang telah mengganggu ketenangannya.
"Apa benar di sana ada candi tua, Ki?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik pada laki-laki tua yang berdiri di sampingnya.
"Benar, Nini," sahut Ki Sarpa.
"Lalu, tentang pusaka-pusaka itu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Kalau tentang itu, aku tidak tahu," sahut Ki Sarpa.
Pandan Wangi memandangi laki-laki tua itu dengan dalam. Ki Sarpa sudah mengatakan kalau dia sebenarnya datang dari daerah Kidul, memang sengaja untuk ke Bukit Gandrik, karena mendengar adanya benda-benda pusaka yang tidak lagi memiliki majikan untuk merawatnya. Sebenarnya Pandan Wangi dan Rangga mengagumi keinginan Ki Sarpa untuk memiliki benda-benda pusaka itu untuk dirawat sebagai mana mestinya. Hanya saja Rangga lebih senang lagi jika benda-benda itu tetap berada pada tempatnya, tanpa ada seorangpun yang mencoba untuk mengusiknya.
Pandan Wangi mengetahui keinginan Pendekar Rajawali Sakti dari sinar matanya ketika Ki Sarpa mengutarakan maksud kedatangannya ke Desa Bulakan ini. Meskipun Rangga tidak mengucapkannya. tapi Pandan Wangi bisa mengetahui dengan jelas sekali. Hal itu bisa dirasakan, karena mereka sudah cukup lama bersama-sama. Jadi sudah bisa mengetahui keinginan masing-masing tanpa harus diucapkan lebih dahulu.
Sementara itu Rangga sudah melangkah semakin mendekati jurang di depannya. Pandan Wangi dan Ki Sarpa mendekati. Mereka kemudian berdiri mengapit Pendekar Rajawali Sakti di samping kanan dan kirinya.
"Kau akan tetap ke sana juga, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Mimpi itu akan terus hadir jika aku tidak datang ke sana, Pandan," sahut Rangga.
"Apa di dalam mimpimu itu tidak dikatakan sesuatu yang harus kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
Dari nada suaranya, Rangga sudah mengetahui kalau gadis ini menyimpan kekhawatiran. Hanya saja Pandan Wangi tidak menunjukkan dengan jelas. Gadis itu mampu menyembunyikan perasaannya dengan baik sekali, meskipun dia tidak bisa melakukannya di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepalanya.
Di dalam mimpi-mimpinya, Rangga memang tidak mengetahui untuk apa dia datang ke sana. Dia hanya tahu kalau harus ke Puncak Bukit Gandrik itu, tanpa tahu apa yang harus dilakukan di sana. Tapi Rangga sangat yakin kalau ada sesuatu di sana. Terlebih lagi dia mendengar bukan saja dari Ki Sarpa, tapi juga banyak yang mengatakan kalau di Puncak Bukit Gandrik ada sebuah candi tua yang menyimpan banyak benda-benda pusaka.
"Aku akan melihat dulu ke seberang sana," kata Rangga.
Dan sebelum mendapatkan persetujuan, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang yang tidak begitu besar, tapi sangat dalam. Begitu dalamnya, sehingga dasar jurang tidak terlihat sama sekali.
Indah sekali gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti saat berada di udara melompati jurang yang ada di depannya. Hanya tiga kali dia memutar tubuhnya diudara, kemudian dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti hinggap di seberang jurang itu. Sebentar Rangga menoleh ke arah Pandan Wangi dan Ki Sarpa. Kemudian dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti melakukan sesuatu, mendadak saja seberkas sinar kuning kehijauan meluruk deras ke arahnya. Sinar kuning berbentuk bulat sebesar kepala bayi itu, menimbulkan suara menderu disertai kepulan asap tipis beraneka warna.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran dua kali. Cahaya kuning kehijauan itu lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Satu suara ledakan menggelegar terdengar dahsyat ketika bola bercahaya kuning kehijauan itu menghantam sebongkah batu sebesar kerbau.
"Hap!"
Manis sekali Rangga hinggap di tanah berumput tebal di tepi jurang. Dia langsung bersiap dengan sikap penuh kewaspadaan. Matanya sempat melirik ke arah batu yang hancur berkeping-keping. Sukar untuk dibayangkan jika bola bercahaya kuning kehijauan itu menghantam tubuhnya. Sudah pasti tubuhnya akan hancur seperti batu itu.
Slap! Wusss!
"Uts...!"
Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti ketika tiba-tiba saja dari arah depan, kanan dan kirinya meluncur puluhan anak panah berwarna hitam pekat meluruk ke arah dirinya. Seketika itu juga, Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serbuan anak panah hitam itu. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti merontokkan panah-panah yang mengancam tubuhnya dengan kibasan tangan dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.
Namun sepertinya hujan anak panah itu tidak akan berhenti, terus saja bermunculan dari segala arah. Hal ini membuat Rangga agak kewalahan juga menghadapinya. Kemanapun dia mencoba menghindar, Panah-panah hitam itu seperti memiliki mata saja, selalu mengikuti. Sementara Rangga belum bisa melihat orang yang telah melontarkan panah-panah itu.
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar.
Bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih itu memutar tubuhnya sambil melesat ke udara. Kedua tangannya merentang lebar bagaikan sayap seekor burung. Cepat sekali gerakan tangan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja beberapa anak panah meluncur balik ke arah asalnya.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara jeritan-jeritan melengking dan menyayat. Di susul kemudian dengan bermunculannya tubuh-tubuh dari dalam semak belukar dan dari balik pepohonan. Tubuh-tubuh berbaju hitam pekat dengan panah menghujam membuat darah memuncrat ke luar dengan deras sekali. Saat itu juga, hujan anak panah terhenti seketika. Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah berumpun dengan manis sekali.
Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa mengedarkan pandangannya, mendadak saja tubuh-tubuh berbaju hitam bermunculan dari dalam semak belukar dan dari balik pepohonan. Mereka semua bersenjatakan golok yang berkilatan tertimpa cahaya matahari. Orang-orang berbaju serba hitam itu, berlompatan sambil mengelebatkan goloknya dengan cepat.
Tak ada yang mengucapkan kata-kata. Mereka langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras. Golok-golok berkilat itu, berkelebatan cepat mengarah tubuh pemuda berbaju rompi putih. Namun dengan gerakan yang manis dan lincah sekali, Rangga menghindarkan diri dari serangan cepat yang datang dari segala penjuru. Bahkan beberapa kali dia sempat melontarkan serangan balasan. Jeritan melengking dan pekik pertempuran, seketika terdengar berbaur menjadi satu.
"Aku datang, Kakang...!" terdengar seruan keras melengking tinggi.
Rangga sempat melirik ke arah suara yang didengarnya tadi. Tampak Pandan Wangi sudah melompati jurang bersama Ki Sarpa. Mereka langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Ikut campurnya Pandan Wangi dan Ki Sarpa, membuat orang-orang berbaju hitam itu jadi terpecah perhatiannya. Dan mereka terpaksa membagi kekuatan. Hal ini tentu saja sangat merugikan mereka sendiri, karena tingkat kepandaian tiga orang itu jauh lebih tinggi dari mereka semua.
Jeritan-jeritan melengking tinggi. semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh bersimbah darah, terus berjatuhan bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dengan kipas baja putih yang terkenal maut, Pandan Wangi mengamuk bagai ombak menghantam batu karang. Belum lagi Ki Sarpa yang bertarung dengan sengit mempergunakan pedang. Sedangkan Rangga sendiri masih bertangan kosong. Namun begitu, setiap pukulan yang dilontarkannya, mengandung tenaga dalam yang sempurna. Tak ada seorangpun dari lawan-lawannya yang bisa membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pukulan-pukulan yang dilontarkannya, selalu mengandung hawa maut.
Hingga dalam waktu tak berapa lama saja, sudah tak terhitung lagi. berapa jumlah orang-orang berbaju serba hitam yang menggeletak tak bernyawa lagi. Udara di sekitar jurang sudah penuh sesak oleh bau anyir darah yang menyebar, darah mengucur dari tubuh-tubuh tak bernyawa.
Teng! Teng! Teng...!
Tiba-tiba saja terdengar bunyi suara genta yang keras sekali. Mendadak orang-orang berbaju serba hitam itu berlompatan meninggalkan arena pertarungan. Lesatan mereka cukup cepat, sehingga dalam waktu singkat, sudah lenyap ke dalam hutan yang tidak begitu lebat.
"Jangan di kejar...!" sentak Rangga ketika Pandan Wangi hendak mengejarnya.
Pandan Wangi mengurungkan niatnya. Dia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Sarpa sudah lebih dulu berada di samping Rangga. Pedang yang berlumuran darah segera dia masukkan ke dalam sarungnya di pinggang. Pandan Wangi juga menyelipkan senjata kipas mautnya di balik ikat pinggangnya.
'Langsung saja, Kakang?" tanya Pandan Wangi tidak sabaran ingin segera ke puncak Bukit Gandrik yang penuh misteri itu.
"Ya, ayo. segera berangkat," sahut Rangga.
Mereka mengayunkan kakinya memasuki hutan yang tidak begitu lebat. Dan mereka berjalan perlahan tanpa harus merasa dikejar sesuatu. Hutan yang tidak begitu lebat ini, tidak banyak menimbulkan kesulitan bagi mereka bertiga untuk melaluinya. Meskipun perjalanan merambat hutan ini nampaknya tidak mengalami hambatan yang berarti, namun mereka tetap waspada.
"Aku pernah sampai ke lereng bukit itu," kata Ki Sarpa mengisi kebisuan yang terjadi di antara mereka bertiga.
"Terus...?" Pandan Wangi yang berjalan di sebelah laki-laki tua itu ingin tahu kelanjutannya.
"Tidak mudah untuk mencapai puncak bukit itu. Besar sekali rintangannya. Terlebih lagi, mereka yang mencoba mendaki bukit itu, tidak akan bisa tenang meskipun mengurungkan niatnya. Orang-orang berbaju serba hitam itu selalu mengejarnya sampai dimanapun juga. Dan mereka akan terus mengejar sebelum orang itu mati," lanjut Ki Sarpa.
"Seperti yang kau alami, Ki?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Benar, Nisanak. Aku sendiri sebenarnya sudah ingin kembali pulang. Tapi rupanya mereka tidak memberikan kesempatan padaku untuk bisa ke luar dari wilayah kulon ini."
Sementara Rangga hanya diam membisu. Dia mendengarkan semua penuturan Ki Sarpa. Sedangkan Pandan Wangi semakin diliputi rasa penasaran yang amat sangat. Dari beberapa kisah yang dia dengar tentang Bukit Gandrik, membuat gadis itu jadi penasaran sekali ingin mengetahui nya. Terlebih lagi Bukit Gandrik tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Candi Tua yang banyak menyimpan misteri yang belum terungkapkan.
Sukar untuk dijelaskan, misteri apa yang ada di dalam candi tua itu. Karena belum ada seorangpun yang bisa mencapainya ke sana. Mereka yang mencoba, selalu mati. Kalaupun tidak mati di tempat, selalu mati di tempat lain. Meskipun dalam jarak yang sangat jauh dari sekitar Bukit Gandrik.
Mereka menghentikan langkahnya begitu sampai di kaki Bukit Gandrik. Bukan hanya Rangga yang terkejut, tapi juga Ki Sarpa dan Pandan Wangi. Mereka tidak menyangka kalau begitu banyak tokoh rimba persilaian yang sudah mendengar tentang Candi tua di Puncak Bukit Gandrik itu. Bukan hanya mayat-mayat yang mereka temukan sudah membusuk ataupun yang masih baru. Tetapi mereka juga beberapa orang tokoh rimba persilatan sudah mencoba mendaki bukit yang gersang dan berbatu rapuh itu.
"Mau apa mereka ke sana?" tanya Pandan Wangi seperti untuk dirinya sendiri.
"Sudah menjadi watak orang-orang rimba persilatan. Tak boleh mendengar adanya suatu pusaka yang tak bertuan lagi," desah Ki Sarpa menjawab pertanyaan Pandan Wangi.
"Apakah mereka sudah tahu tentang pusaka yang ada di sana?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tak seorang pun yang mengetahui bentuknya, Nini." sahut Ki Sarpa.
"Aku jadi curiga, jangan-jangan tidak ada apa-apa di sana," terdengar agak sinis nada suara Pandan Wangi.
Si Kipas Maut memang tidak pernah tertarik dengan segala macam bentuk benda pusaka yang bukan miliknya. Dia sudah merasa puas dengan apa yang dimilikinya sekarang ini, meskipun gadis itu menyadari kalau apa yang dimilikinya masih kurang, dan masih perlu banyak waktu untuk bisa lebih sempurna lagi penguasaannya.
Namun gadis itu selalu berusaha untuk menyempurnakan apa yang sudah dia miliki. Sehingga kemampuannya semakin meningkat. Dan ini dia sadar karena bimbingan Pendekar Rajawali Sakti yang terus memompa semangatnya agar lebih sempurna lagi dalam menguasai semua ilmu yang sudah dimilikinya. Rangga selalu menekankan untuk bangga dengan apa yang sudah dimiliki. Dan jangan mempunyai keinginan untuk bisa menguasai milik orang lain, kecuali orang itu memberikannya dengan senang hati.
"Kau akan tetap ke sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menyahut. Dia menatap Pandan Wangi sejenak, kemudian kembali memandang orang-orang yang terus bergerak menyusuri lereng bukit yang berbatu itu. Pandangannya beralih ke arah puncak bukit yang kelihatan rapuh dan angker sekali. Dari kaki bukit, mereka bisa melihat ada bangunan berbentuk candi kecil berdiri di sana diselimut kabut yang tipis. Bangunan batu itu terlihat angker. Kabut tipis itu bagaikan selubung misteri yang mengundang setiap orang untuk bisa menyingkapkannya.
"Bangunan itu persis seperti apa yang kulihat di dalam mimpi," ujar Rangga setengah bergumam. Seakan-akan dia berbicara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau lihat di dalam bangunan itu?" tanya Ki Sarpa.
"Hanya sebuah altar batu," sahut Rangga tanpa berpaling sedikitpun.
"Tepat! Di dalam altar batu itulah benda-benda pusaka tersimpan," sentak Ki Sarpa agak keras nada suaranya.
Rangga berpaling memandangi laki-laki tua itu. Sedangkan yang dipandang, buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Sementara Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan Rangga yang agak tajam itu, bisa dirasakan Pandan Wangi memancarkan suatu kecurigaan pada Ki Sarpa. Pandan Wangi bisa merasakannya dengan jelas sekali.
"Tampaknya kau banyak tahu tentang candi di Bukit Gandrik itu, Ki," kata Rangga agak datar suaranya.
"Oh, aku hanya mendengar cerita orang-orang saja," sahut Ki Sarpa buru-buru.
"Lihat...!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Rangga dan Ki Sarpa langsung memandang ke arah lereng bukit. Tampak sekitar empat orang meluncur jatuh bergulingan ke bawah. Sedangkan beberapa orang tampak berjumpalitan di udara. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara gemuruh disusul dengan jeritan dan pekikan melengking tinggi. Bumi yang mereka pijak jadi bergetar ketika dari puncak bukit itu meluncur batu-batu besar dan kecil.
Bukit Gandrik bagaikan hendak runtuh. Sementara orang-orang yang mencoba mendaki bukit itu, semakin banyak yang bergulingan jatuh bersama batu-batu yang menghantam tubuh-tubuh mereka tanpa ampun lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi semakin sering terdengar bersamaan dengan gemuruh dari batu-batu yang longsor dengan tiba-tiba.
"Mengerikan...," desis Pandan Wangi tanpa sadar.
Apa yang mereka saksikan itu memang sungguh mengerikan sekali. Dalam waktu yang singkat saja, tak ada lagi orang yang hidup. Mereka semua tewas tertimpa longsoran batu-batu itu. Dan longsoran batu itu langsung berhenti mendadak ketika tak ada lagi orang yang hidup.
Untuk beberapa saat lamanya, kesunyian menyelimuti sekitar Bukit Gandrik. Begitu sunyinya, sehingga desiran angin yang bertiup pelan pun dapat terdengar jelas mengusik gendang telinga. Sementara ketiga orang itu terus memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan terhimpit bebatuan. Lebih dari dua puluh orang tewas tak tersisa lagi. Satu pengorbanan yang sia-sia sekali.
"Memang tidak mudah untuk mencapai ke sana, Kakang," kata Pandan Wangi setengah bergumam.
Rangga melirik sedikit pada gadis itu. Meskipun suara Pandan Wangi terdengar agak bergetar, namun Rangga tidak yakin kalau gadis ini merasa gentar hanya melihat peristiwa itu. Dia sudah mengenal betul watak Pandan Wangi yang tidak pernah mengenal rasa takut. Meskipun sikapnya sekarang ini sudah mulai berubah, namun kenakalannya masih juga nampak muncul. Selama mengenalnya, Rangga belum pernah mendengar kata-kata bernada gentar. Tapi gumamannya tadi, seakan-akan Pandan Wangi gentar menghadapi tantangan yang sukar dan mengerikan ini.
"Ki Sarpa, berapa banyak kau mengetahui tentang bukit ini?" tanya Rangga mengalihkan perhatiannya pada laki-laki tua itu.
"Aku tidak tahu banyak. Baru sekali aku datang ke sini," sahut Ki Sarpa.
"Apa ada jalan lain menuju ke sana, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu. Waktu ke sini pun aku me lewati tempat ini juga," sahut Ki Sarpa lagi.
"Hmmm...," Rangga bergumam kecil.
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengarahkan pandangannya ke puncak Bukit Gandrik. Kemudian dia melirik pada Pandan Wangi dan Ki Sarpa sebentar. Seharusnya tak terlalu sukar bagi Rangga untuk mencapai puncak bukit itu. Dia bisa menggunakan Rajawali Putih Raksasa. Tapi tidak mungkin dia bisa memanggilnya, sementara ada dua orang lain di dekatnya. Mungkin dia bisa membawa Pandan Wangi sekalian. Tapi tidak mungkin dia menyertakan Ki Sarpa. Dan Rangga sendiri tidak ingin burung raksasa tunggangannya yang sekaligus menjadi gurunya diketahui oleh orang lain yang tidak dia kenal dengan baik.
"Aku harus mencari cara untuk bisa memanggil Rajawali Putih Raksasa," bisik Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memutar otaknya untuk bisa berpisah dari kedua orang ini. Meskipun sebenarnya dia mempunyai keinginan untuk bisa mengenalkan Pandan Wangi pada Rajawali Putih tunggangannya itu. Tapi saat sekarang kurang tepat. Kembali mereka dicekam kebisuan.
********************
LIMA
Senja sudah mulai merayap turun menyelimuti seluruh mayapada ini. Sinar mentari yang semula terik menyengat, sudah tidak terasa lagi sengatannya. Kini nampak indah dipandang, dengan sinarnya yang lembut membelai kulit. Namun keindahan senja ini sama sekali tak dapat dirasakan di sekitar Kaki Bukit Gandrik. Sementara bukan hanya Rangga, Pandan Wangi dan Ki Sarpa saja yang berada di kaki bukit itu. Tapi juga sudah ada beberapa orang lagi yang berdatangan.
Tujuan mereka sudah jelas ke Puncak Bukit Gandrik. Mereka tentu tergiur dengan adanya kabar tentang pusaka yang berada di dalam candi tua di puncak bukit itu. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak mengenal teman. Masing-masing menganggap musuh dalam persaingan mencapai Candi Tua penuh misteri itu. Bahkan semakin senja merayap turun. ketegangan semakin terasa menyiksa.
Beberapa keributan kecil mulai timbul diantara mereka. Bahkan pertarungan sudah mulai terjadi. Entah apa yang diperebutkannya, yang jelas Rangga tidak mau peduli. Dia datang ke tempat ini dengan tujuan yang sama sekali berbeda. Dia tidak perduli dengan pusaka-pusaka yang belum tentu kebenarannya itu.
"Mau kemana, Kakang?" tegur Pandan Wangi ketika Rangga bangkit berdiri.
"Jalan-jalan," sahut Rangga.
"Aku ikut," Pandan Wangi bergegas berdiri.
Rangga memandang pada Ki Sarpa.
"Pergilah kalian, mengendurkan ketegangan memang perlu," kata Ki Sarpa, seakan ia mengerti arti dari pandangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tinggal dulu, Ki," ujar Pandan Wangi.
Mereka kemudian berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi melingkarkan tangannya ke lengan Pendekar Rajawali Sakti yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Rangga membiarkan saja gadis itu bersikap manja padanya. Dia bisa mengerti kalau kesempatan seperti itu memang sangat jarang sekali mereka dapatkan. Dan Pandan Wangi selalu berharap bisa menyisihkan waktu sedikit saja untuk berdua dengan kekasihnya.
Mereka semakin jauh meninggalkan Kaki Bukit Gandrik yang semakin dipenuhi orang-orang dari rimba persilatan. Suasana tegang dan bising sudah tidak terdengar lagi. Pandan Wangi semakin merapatkan tubuhnya dengan Pendekar Rajawali Sakti, dia benar-benar ingin melepaskan semua persoalan yang sedang mereka hadapi sekarang ini. Persoalan yang sebenarnya tidak dia inginkan sama sekali.
"Kakang...," lembut sekali suara Pandan Wangi.
"Hmmm,..," Rangga hanya menggumam.
"Kakang sudah punya cara lain untuk pergi ke sana?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Sebenarnya inilah kesempatan sempit yang terbaik untuk bisa mencapai puncak bukit itu tanpa mengambil resiko yang tinggi. Hanya saja dia tidak siap untuk mengenalkan Rajawali Putih dengan Pandan Wangi. Atau mungkin juga Pandan Wangi yang belum siap.
"Sebenarnya aku mudah saja untuk bisa mencapai kesana, Pandan," kata Rangga setelah dia berpikir agak lama.
"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja Kakang lakukan? Semakin cepat, semakin baik," kata Pandan Wangi yang memang ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat.
"Aku khawatir kau belum siap," kata Rangga.
"Aku selalu siap untuk melakukan apa saja, Kakang," sahut Pandan Wangi mantap.
"Sudah berapa lama kau kenal denganku, Pandan?" tanya Rangga agak mendesah suaranya.
"Kenapa Kakang tanyakan hal itu?" Pandan Wangi balik bertanya dengan heran.
Rangga tidak langsung menjawab. Lidahnya mendadak jadi kelu. Dia ingin mengatakan kalau memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa. Tapi dia tidak ingin Pandan Wangi terkejut dan menuduhnya yang tidak-tidak, karena burung rajawali raksasa bukan burung biasa. Burung itu bagaikan dewa yang menjelma untuk memberantas keangkaramurkaan dengan menjadikan seorang manusia sebagai pendekar tangguh yang sukar dicari tandingannya.
"O..., aku tahu. Kau tentu saja bisa dengan mudah ke puncak bukit itu. Kau kan mempunyai tunggangan rajawali raksasa, Kakang. Kenapa tidak kau gunakan saja...?" ujar Pandan Wangi.
"Heh...! Dari mana kau tahu?" Rangga terperanjat.
"Sudah lama aku tahu. Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Sungguh dia tidak menyangka kalau Pandan Wangi mengetahui tentang Burung Rajawali Putih Raksasa. Seingatnya, Rangga tidak pernah memberitahukan tentang Rajawali Putih pada siapapun. Bisa dihitung dengan jari tangan, orang-orang yang mengetahui tentang tunggangannya itu.
"Kakang ingat peristiwa di Rimba Tengkorak?" kata Pandan Wangi mencoba mengingatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Maksudmu...?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Waktu aku pernah dijuluki Perawan Rimba Tengkorak, Kakang. Aku tahu tentang Rajawali Putih di sana. Bahkan aku melihat kau menungganginya. Rasanya aku pernah katakan itu padamu, kan? Dan aku juga pernah melihat burung raksasa itu mengamuk, membantai orang-orang Tengkorak Putih. Masa sih sudah lupa...," Pandan Wangi kembali mengingatkan.
"Gundul apek...!" desis Rangga seraya menepak keningnya sendiri.
Dia baru ingat kalau Pandan Wangi sudah mengetahui tentang Rajawali Putih. Bahkan ketika mereka bersama-sama lagi setelah menumpas gerombolan Tengkorak Putih, dia membawa Pandan Wangi mengarungi angkasa bersama Rajawali Putih. Tentu saja Pandan Wangi sudah mengetahui. Dan mereka sudah mengenal satu sama lainnya. Rangga benar-benar merutuki dirinya sendiri yang sudah melupakan peristiwa itu.
Sejak siang tadi dia selalu memikirkan hal ini. Dan ternyata Pandan Wangi sendiri sudah mengetahui tentang Rajawali Putih. Kalau saja dia ingat. untuk apa bersusah payah memikirkan sesuatu yang tidak perlu dilakukan. Lagi-lagi Rangga merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Ayo, Pandan. Kita jangan buang waktu," ujar Rangga.
"Mau kemana...?" tanya Pandan Wangi.
"Mencari tempat yang baik untuk memanggil Rajawali Putih." sahut Rangga langsung menyeret gadis itu.
"Bagatmana dengan Ki Sarpa, Kakang?" Pandan Wangi kembali mengingatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku tidak mungkin membawanya sekalian, Pandan," sahut Rangga.
Tapi...."
"Dia bisa menjaga dirinya," sentak Rangga memutuskan ucapan gadis itu.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Lagi pula aku tidak suka dengan tujuannya datang ke sini, Pandan," sambung Rangga.
"Kenapa?" Pandan Wangi ingin tahu.
"Dia sama saja dengan yang lainnya. Mencari benda pusaka hanya untuk kepuasan diri sendiri."
"Tapi tujuannya mulia, Kakang."
"Apapun tujuannya, aku tidak suka orang-orang yang selalu meributkan sesuatu yang bukan miliknya. Saling bunuh dan sering terjadi jika semua orang selalu meributkan benda-benda pusaka."
"Lantas, jika kau yang mendapatkannya, bagaimana?" tanya Pandan Wangi ingin mengetahui isi hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Memberikannya pada yang berhak. Kalau pun tidak ada, aku tinggalkan di tempatnya semula, karena aku tidak berhak memilikinya," tegas sekali jawaban Rangga.
Pandan Wangi kembali terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Yang jelas, kekagumannya pada pemuda berbaju rompi putih itu semakin menebal. Sementara mereka semakin jauh saja meninggalkan kaki Bukit Gandrik, dan pepohonanpun semakin terlihat jarang. Suasana semakin meremang, sebentar lagi kegelapan akan menyelimuti sekitarnya.
********************
"Suiiit...!"
Pandan Wangi menutup telinganya ketika Rangga bersiul nyaring dengan nada yang tinggi dan terdengar aneh sekali. Tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan kepala terdongak memandang lurus kelangit yang semakin terlihat gelap. Sementara matahari sudah demikian condong kearah barat.
Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di belakang pemuda berbaju rompi putih itu, ikut menengadahkan kepalanya ke atas. Tapi belum juga dia melihat adanya tanda-tanda kalau Rajawali Putih akan datang memenuhi panggilan Rangga.
"Suiiiit...!" kembali Rangga bersiul nyaring.
Kembali mereka menunggu dengan kepala terdongak ke atas. Namun tak berapa lama berselang, mereka sudah melihat adanya satu titik keperakan yang terlihat seperti titik hitam di angkasa. Semakin dekat, titik itu semakin terlihat jelas bentuknya. Pandan Wangi tak berkedip memandang Rajawali Putih yang sudah kelihatan jelas sekali, melayang-layang di angkasa sambil berkaokan keras dan serak.
"Khraaaaghk...!"
Rajawali Putih menukik turun dengan cepat sekali. Tahu-tahu dia sudah mendarat tidak seberapa jauh di depan Rangga. Sementara Pandan Wangi masih memandanginya dengan kagum dan keheranan yang amat sangat. Meskipun dia sudah pernah melihat sebelumnya, tapi tetap saja merasakan adanya kengerian bercampur keheranan dan kekaguman pada burung rajawali raksasa ini. Saat itu Rangga sudah melangkah mendekati. Rajawali Putih menyorongkan kepalanya. Rangga langsung memeluknya dengan hangat. Dia menepuk-nepuk leher burung raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Aku memerlukan bantuanmu, Rajawali," kata Rangga setelah dia melepaskan pelukan pada leher burung raksasa itu.
"Khrrrkh...," Rajawali Putih hanya mengkirik mendekati.
"Apa...? Oooo..., itu Pandan Wangi. Kau sudah pernah mengenalnya, kan...?" Rangga seperti bisa berbicara langsung dengan rajawali itu.
"Khragkh...!"
"Ha ha ha ha...! Ternyata kau dikenali, Pandan," ujar Rangga seraya tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja agak meringis. Gadis itu melangkah menghampiri. Rajawali Putih menyorongkan kepalanya pada Pandan Wangi. Karena tadi melihat Rangga memeluk burung itu dengan mesra sekali, Pandan Wangi langsung memeluk leher burung raksasa, meskipun ada sedikit kengerian di hatinya.
"Ayo. Kita berangkat sekarang," ajak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera naik ke punggung burung raksasa berbulu putih keperakan. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri saja memandangi Rangga tampak gagah sekali berada di punggung Rajawali Putih.
"Ayo, Pandan. Cepat naik...!" ajak Rangga agak keras suaranya.
"Kau saja sendiri, Kakang," Pandan Wangi menolak halus.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini, Pandan. Cepatlah naik, sebelum ada orang yang lewat ke sini," desah Rangga.
Pandan Wangi terlihat ragu-ragu. Masih terbayang saat pertama kali dia menunggangi burung raksasa ini. Kengerian berada jauh di angkasa. tak bisa terlupakan selama hidupnya. Meskipun tidak akan mungkin Rajawali Putih menjatuhkannya, tapi tetap saja dia merasakan kengerian bila berada tinggi di angkasa.
"Kau saja sendiri, Kakang," kata Pandan Wangi tetap menolak dengan halus.
"Tidak! Kau harus ikut, Pandan," Rangga memaksa.
"Tapi...!"
Belum juga Pandan Wangi selesai dengan ucapannya, mendadak saja Rangga melesat dan langsung menyambar gadis itu. Tentu saja Pandan Wangi terkejut bukan main. Dia sampai terpekik kaget. Namun belum juga dia bisa menyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi sudah merasakan dirinya melambung tinggi ke angkasa.
"Kakang...!" jerit Pandan Wangi begitu dia sadar sudah berada di punggung Rajawali yang melayang tinggi ke angkasa.
"Tidak apa-apa, Pandan. Nanti juga kau terbiasa," kata Rangga kalem.
Pandan Wangi tidak sanggup melihat ke bawah. Dia memegangi tangan Rangga kuat-kuat. Telinganya terasa pekak mendengar deru angin yang begitu keras. Sementara Rajawali Putih semakin tinggi berada di udara.
"Ke bukit itu, Rajawali...!" seru Rangga seraya menunjuk puncak Bukit Gandrik.
"Khraghk...!"
Rangga mengerahkan Aji Tatar Netra agar bisa melihat lebih jelas ke sekitar puncak Bukit Gandrik yang mulai terselimuti kegelapan. Perhatiannya kemudian tertuju langsung ke arah bangunan candi yang sudah tua, terletak tepat di tengah-tengah puncak bukit gersang berbatu. Agak heran juga dia, karena tidak seorangpun terlihat disekitar puncak bukit itu.
Turun di belakang candi itu, Rajawali!" seru Rangga keras. Mengalahkan deru angin yang memekakkan telinga.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih menukik deras ke bawah. Sementara Pandan Wangi yang berada di depan Rangga, memejamkan matanya, tidak sanggup melihat ke bawah lagi. Jantungnya seperti berhenti berdetak seketika begitu merasakan Rajawali Putih yang ditungganginya menukik turun dengan kecepatan melebihi kilat.
"Hup.....!" Rangga langsung melompat turun begitu Rajawali Putih mendarat dengan manis sekali dipuncak Bukit Gandrik yang seluruhnya terdiri dari bebatuan keras.
Merasakan Rajawali Putih sudah mendarat, Pandan Wangi membuka matanya. Dia langsung melompat turun dengan cepat. Wajahnya agak memucat. Dia bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih dulu turun dari punggung Rajawali Putih tunggangannya.
"Kau jangan kemana-mana, Rajawali," pesan Rangga.
"Khrrrk...," sahut Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Ayo, Pandan." Rangga melangkah menuju ke bangunan candi tua itu seraya mengapit tangan Pandan Wangi. Bergegas gadis itu mengikuti dan melangkah di sampingnya. Kengerian masih membayang pada sorot mata gadis itu. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, memandang Rajawali Putih yang sudah mendekam menunggu. Sementara mereka semakin dekat pada candi tua yang seluruhnya terbuat dari batu. Mereka sengaja mengambil jalan memutar menuju ke bagian depan.
Mereka baru berhenti melangkah setelah sampai di bagian depan candi itu. Rangga mengamati candi tua itu dengan mata tidak berkedip. Sementara Pandan Wangi mengedarkan pandangannya berkeliling. Suasana disekitar candi tua ini begitu sunyi sekali. Tak ada seorangpun terlihat. Bahkan tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Hanya desiran angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga.
"Aku mau lihat ke dalam. Kau mau ikut, Pandan? ujar Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.
"Iya," sahut Pandan Wangi agak mendesah suaranya.
Kembali mereka mengayunkan kakinya perlahan mendekati pintu candi yang terbuka lebar tanpa penutup. Namun belum juga mereka mendekat, mendadak saja...
"Awas, Pandan...!" teriak Rangga.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke samping sambil mendorong Pandan Wangi ke arah yang berlawanan. Secercah sinar kuning kehijauan, mendadak melesat lewat dari dalam candi. Sinar kuning kehijauan berbentuk bulat itu, langsung menghantam sebongkah batu besar yang berada tidak jauh dari tepi puncak bukit.
Glarrrr!
Suara ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu hingga berkeping-keping. Berguguran ke bawah. Dan sebelum Rangga bisa melakukan sesuatu, kembali bola bersinar kuning kehijauan, meluncur deras ke arahnya dari dalam candi. Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke udara dan berputar beberapa kali. Cahaya kuning kehijauan itu, lewat sedikit di bawah tubuhnya.
Kembali terdengar suara ledakan dahsyat ketika sinar kuning kehijauan berbentuk bulat sebesar kepala bayi menghantam batu. Di Puncak Bukit Gandrik ini memang tidak ada yang bisa dilihat. Sepanjang mata memandang, hanya bongkahan batu saja yang bisa dinikmati. Sungguh pemandangan yang tidak sedap di pandang mata.
"Hap...!" Rangga mendarat dengan manis sekali. Dia langsung bersiap menerima serangan berikutnya. Namun serangan yang ditunggu-tunggunya tidak juga kunjung datang. Sementara Pandan Wangi terpisah darinya sekitar tiga tombak. Gadis itu juga rupanya sudah siap dengan segala ke mungkinan yang terjadi. Dia sudah menggenggam senjata mautnya yang berbentuk sebuah kipas dari baja putih. Kipas itu masih tertutup tergenggam erat sekali di tangan kanannya.
"Ha ha ha ha...!" Tiba-tiba saja terdengar suara tawa menggelegar. Begitu kerasnya suara tawa itu, membuat telinga mereka terasa sakit berdengung. Rangga segera menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Suara tawa itu jelas dikerahkan dengan menggunakan penyaluran tenaga dalam yang tinggi. Sementara Pandan Wangi berdiri tegak dengan kipas terkembang di depan dada. Dan tangan kirinya menyilang dengan kipasnya. Gadis itu juga mencoba bertahan dari gempuran tenaga dalam tingkat tinggi yang dikeluarkan dengan menggunakan suara tawa.
Namun suara tawa itu tidak lama berlangsung. Meskipun hanya sebentar saja, sudah membuat Pandan Wangi merasa tersiksa. Karena dia harus menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengadakan perlawanan terhadap suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Dan sebelum ada yang sempat berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja dari dalam candi melesat satu bayangan putih mengarah kepada Pandan Wangi. Hal ini membuat Rangga terkejut bukan main. Bergegas dia melentingkan tubuhnya, hendak menghentikan serangan bayangan putih itu pada si Kipas Maut.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa mencapai ke arah Pandan Wangi, mendadak saja dari dalam candi tua itu kembali melesat satu bayangan putih lagi yang memotong arus lompatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!" Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya, berputar dua kali ke belakang, sehingga terjangan bayangan putih itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara Pandan Wangi sudah terlihat pertarungan sengit melawan seorang berbaju putih yang ketat dan bersenjatakan sebuah tongkat putih keperakan dengan kedua ujungnya berbentuk runcing. Dan Rangga tidak sempat lagi memperhatikan gadis itu, karena dia sendiri sudah sibuk menghindarkan serangan-serangan cepat dan dahsyat dari seorang yang tidak dia kenal.
ENAM
Pertarungan di pelataran depan candi tua terus berlangsung dengan sengit sekali. Lawan-lawan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut, ternyata memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Terlebih lagi mereka selalu menggunakan senjata rahasia bila dalam keadaan terdesak. Hal ini menjadikan satu kesulitan tersendiri bagi Rangga dan Pandan Wangi. Karena harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya masing-masing.
Rangga yang sudah berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan, sudah bisa mengetahui kelemahan lawannya. Dengan cepat dia merubah cara bertarungnya. Dan ini membuat lawannya jadi kelabakan juga menghadapi cara bertarung Pendekar Rajawali Sakti yang dahsyat.
"Tahan...!" tiba-tiba Rangga berseru nyaring.
Bet!
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya kearah kepala orang berbaju putih itu. Serangan cepat dan mendadak yang dilakukan Rangga, tak bisa terbendung lagi. Terlebih lagi orang berbaju serba putih itu baru saja menghindari satu tendangan keras yang dilepaskan Rangga ke arah perutnya. Dan dia tidak mungkin menarik tubuhnya kembali, dengan kepala doyong ke depan. Sehingga....
Prak!
"Aaaa...!" Orang berbaju serba putih itu menjerit keras, melengking tinggi.
Tubuhnya seketika limbung dengan tangan memegangi kepalanya. Darah merembes ke luar dari sela-sela jari tangan. Dan belum sempat dia menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Pendekar Rajawali Sakti memberikan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Deghk!
"Akh...!" lagi-lagi orang berbaju serba putih itu menjerit keras.
Seketika tubuhnya terlontar ke belakang sejauh dua tombak. Keras sekali dia tersuruk jatuh menghantam tanah berumput. Hanya sebentar saja di mampu menggelepar seraya mengerang menahan sakit. Kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah terus mengucur deras dari kepalanya yang hancur, terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dadanya melesak masuk ke dalam dengan tulang-tulangnya, bersembulan ke luar. Rupanya tendangan Rangga tadi, begitu keras dan bertenaga dalam tinggi sekali.
"Phuiiiih...!" Rangga menyemburkan napasnya dengan kuat sekali.
Di dalam hatinya dia mengakui ketangguhan orang itu, meskipun mereka bertarung tidak menggunakan ilmu kesaktian sedikitpun juga. Namun ilmu olah kanuragan yang dimiliki orang berbaju putih itu sangat tinggi sekali, sehingga Rangga terpaksa mengeluarkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hmmm...," Rangga bergumam seraya memutar tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap Pandan Wangi yang masih bertarung sengit dengan lawannya. Kali ini juga rupanya Pandan Wangi mendapatkan lawan yang cukup tangguh. Sehingga si Kipas Maut bukan hanya menggunakan senjata kipasnya yang sudah terkenal maut nya itu. Tapi dia juga mengeluarkan pedang Naga Geni. Pedang yang sangat luar biasa dahsyatnya. Dan Pandan Wangi tidak akan mengeluarkan pedang itu jika dia tidak merasa perlu.
Meskipun mereka bertarung dalam tempo yang sangat cepat sekali, namun Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat dengan jelas serangan-serangan yang dilakukan kedua orang itu. Kalau orang biasa yang menyaksikan pasti hanya akan melihat dua bayangan putih dan biru berkelebatan saling sambar saja. Karena pertarungan itu memang berjalan sangat cepat sekali..Mereka memang sudah menggunakan jurus-jurus simpanannya.
"Perlu bantuan, Pandan...?" teriak Rangga.
"Tidak...!" sahut Pandan Wangi keras.
Rangga hanya tersenyum saja. Jawaban Pandan Wangi yang terdengar keras dan tegas itu, sudah diduganya sejak semula. Dan memang Pandan Wangi tidak memerlukan bantuan dari Pendekar Rajawali Sakti, karena pada saat itu, dia sudah mampu mendesak lawannya dengan hebat. Dengan dua senjata maut berada di tangan, Pandan Wangi memang sukar untuk ditandingi.
"Lepas...! Yeaaah...!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pandan Wangi menebaskan pedangnya yang berada di tangan kanan ke arah leher orang berbaju serba putih itu. Namun dengan manis sekali, orang itu mengelakkannya dengan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Sehingga tebasan pedang Pandan Wangi hanya lewat sedikit saja di depan lehernya.
"Hiyaaat...!"
Namun sebelum dia sempat mengembalikan posisi kepalanya, mendadak saja Pandan Wangi sudah mengibaskan senjata kipas baja putihnya kearah dada. Dan kibasan yang cepat itu, tak bisa dihindarkan lagi.
Bet!
Cras!
"Aaaakh...!" Orang itu menjerit melengking tinggi. Ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan tajam, membelah dada orang berbaju serba putih.
Saat orang berbaju putih itu sedang terhuyung-huyung ke belakang, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mengibaskan Pedang Naga Geni dengan kecepatan kilat.
"Hiyaaat..!"
Crakh!
"Aaa...!" orang itu menjerit panjang itu. Darah seketika muncrat ke luar tak terbendung lagi, orang berbaju putih itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mengibaskan pedang Naga Geni dengan kecepatan bagai kilat.
"Hiyaaat...!"
Crakh!
"Aaaa...!" kembali orang itu menjerit panjang melengking tinggi. Dan sebelum orang itu bisa merasakan bagian tubuh mana yang terkena sabetan pedang Pandan Wangi, dengan cepat sekali si Kipas Maut sudah memberikan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Degkh!
Orang berbaju serba putih itu tak mampu bersuara lagi. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang dan ambruk ke tanah dengan keras sekali. Seketika kepalanya terpisah dari leher. Darah kembali menyemburat ke luar dengan deras dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Rupanya serangan Pandan Wangi yang terakhir itu membuat nyawa lawannya langsung terpisah dari raganya.
Pandan Wangi menghembuskan napas panjang dan berat. Dia memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya di punggung. Kemudian dia melangkah menghampiri Rangga sambil memain-mainkan kipasnya di depan dada. Kemudian dia melipat kipas itu dan menyelipkan disabuk depan perutnya setelah sampai di hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana menurutmu?" Rangga malah memberikan pertanyaan.
"Lho...?! Kau kan yang punya urusan, kenapa tanya aku...?" Pandan Wangi mendelik manja.
Rangga tersenyum, kemudian dia mengayunkan kakinya mendekati pintu candi yang tetap terbuka tanpa penutup. Sementra Pandan Wangi mengikuti di samping kanan agak ke belakang satu langkah.
Pendekar Rajawali Sakti kembali menghentikan ayunan kakinya sekitar lima langkah lagi di depan pintu candi itu. Tak ada yang dapat dilihat di dalam sana dari luar. Keadaannya sangat gelap sekali, sukar untuk menembus dengan penglihatan mata biasa. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja dengan pandangan lurus tak berkedip ke arah pintu candi itu.
"Rasanya tidak ada orang di dalam sana. Kakang," bisik Pandan Wangi pelan.
"Hmmm...," Rangga hanya bergumam saja perlahan.
"Silahkan masuk, Pendekar Rajawali Sakti...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara berat dari arah dalam candi tua itu.
Bukan hanya Pandan Wangi yang terkejut, tapi juga Rangga sempat terhenyak mendengar suara itu. Yang membuat Rangga terkejut, pemilik suara itu sudah mengetahui tentang dirinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menganggap ringan. Dia tidak tahu, siapa pemilik suara yang terdengar berat.
"Tidak perlu kau ragu, Pendekar Rajawali Sakti. Masuklah, aku sudah menunggu sejak tadi," kata suara itu lagi.
Rangga berpaling sedikit, menatap Pandan Wangi yang kini sudah berada dekat di sampingnya. Sedangkan pada saat yang sama, si Kipas Maut juga memandang pada Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan mereka sama-sama meminta persetujuan atas undangan pemilik suara yang berat dari dalam candi.
"Sebaiknya kau tunggu di luar saja. Pandan," kata Rangga perlahan.
"Tidak! Aku ikut," sentak Pandan Wangi cepat.
"Kita harus waspada, Pandan. Kau berjaga-jaga di luar, kalau kalau ada sesuatu," kata Rangga lagi.
"Kita hadapi bersama, Kakang. Tidak ada yang perlu dijaga di luar sini," Pandan Wangi tetap pada pendiriannya.
"Ha ha ha ha...! Kenapa kalian berdebat? Masuklah kalian berdua ke sini. Aku tidak keberatan jika yang bersamamu itu si Kipas Maut," kembali terdengar suara berat dari dalam candi.
Rangga kembali memandang Pandan Wangi. Dia mengangkat bahunya sedikit. Kemudian kakinya terayun melangkah masuk ke dalam candi tua. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
Mereka terus melangkah perlahan semakin masuk ke dalam candi yang gelap, tanpa sedikitpun ada cahaya yang meneranginya. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dengan dinding lantai dan langit langit semuanya terbuat dari batu hitam berkilat. Seberkas cahaya api yang menyala tepat di tengah-tengah ruangan ini, sedikit memberikan penerangan, sehingga Rangga dan Pandan Wangi bisa melihat meskipun api itu tidak seluruhnya bisa menerangi setiap sudut ruangan.
"Hmmm...," kembali Rangga memperdengarkan suara bergumam yang kecil.
"Ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar lagi suara berat yang agak menggema.
Rangga menolehkan kepalanya ke kanan. Terlihat dinding di sebelah kanannya, tiba-tiba saja bergerak menggeser ke samping. Suara menggemuruh terdengar, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh dinding ruangan. Perlahan namun pasti, dinding batu itu terus bergerak menggeser. Hingga akhirnya terpampang sebuah ruangan yang tidak kalah besarnya dari ruangan sebelumnya. Dan keadaannya juga sangat terang benderang.
Rangga mengayunkan kakinya memasuki ruangan itu. Pandan Wangi mengikuti dengan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Saat mereka sudah bergerak di dalam ruangan itu, dinding batu tadi kembali bergerak menutup.
"Silahkan beristirahat dulu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku berharap kau bisa menikmatinya." kembali terdengar suara tanpa ujud.
"Hmm....,"
Sambil bergumam pelan, Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Seluruh ruangan ini berdinding batu yang berwarna hitam berkilat. Lantainya pun terbuat dari batu. Juga langit-langitnya. Tak ada satu lubang jendela ataupun pintu. Ruangan ini benar-benar rapat, dikelilingi dinding batu. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu tertumbuk pada sebuah meja kayu jati yang panjang, terletak di tengah-tengah ruangan. Ada sekitar dua belas kursi mengelilingi meja panjang dan besar itu. Di atas meja tersedia makanan yang cukup mengundang selera dengan beberapa guci arak yang terbuat dari perak. Bahkan semua yang ada di atas meja itu, terbuat dari perak bakar yang halus buatannya.
"Kita duduk dulu di sana, Pandan," kata Rangga mengajak.
Tanpa menunggu persetujuan Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti mendekati meja panjang itu dan menarik sebuah kursi. Kemudian dia duduk di sana. Pandan Wangi masih berdiri dengan mata beredar berkeliling. Kemudian dia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan duduk di sampingnya.
"Selamat datang di Candi Sepuh, Pendekar Rajawali Sakti," tiba-tiba terdengar suara berat yang begitu dekat.
Rangga dan Pandan Wangi segera memalingkan mukanya ke arah datangnya suara itu. Dan mereka terkejut, karena tiba-tiba saja di ujung meja itu sudah duduk seorang laki-laki tua yang usianya mungkin sudah lebih dari sembilan puluh tahun.
Rangga memandangi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua tergelung ke atas terikat pita berwarna putih. Sedangkan pada bagian samping dan belakangnya dibiarkan terurai menjuntai ke bawah. Laki-laki tua itu mengenakan baju jubah panjang berwarna putih bersih. Sebatang tongkat berkeluk tak beraturan, tergenggam di tangan kanannya. Di leher terlilit sebuah kalung yang panjang, terbuat dari batu-batu mutiara bercahaya kebiruan.
Raut wajahnya terlihat begitu tenang, memancarkan cahaya, dengan sorot mata yang lembut, mencerminkan kearifan dan kebijaksanaan. Bukan hanya Rangga yang terpana melihat sosok laki-laki tua itu. Tapi juga Pandan Wangi sampai tak berkedip memandanginya.
"Aku mohon maaf jika cara mengundangku ini tidak berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar laki-laki tua itu dengan suara yang berat, namun terdengar adanya nada kelembutan dan kebijaksanaan.
"Hm, boleh aku tahu siapa Kisanak ini?" tanya Rangga dengan sikap yang sopan.
"Sebenarnya aku bernama Sundrata. Tapi orang-orang selalu menyebutku Kakek Putih. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka selalu memanggilku dengan sebutan itu," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri.
"Boleh aku memanggilmu dengan Eyang Sundrata?" pinta Rangga dengan sikap sopan.
"Dengan senang hati, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Eyang Sundrata diiringi dengan senyuman manis.
Beberapa saat kemudian mereka hanya berdiam diri saja membisu. Beberapa kali Rangga melirik Pandan Wangi yang tidak lepas memandangi laki-laki tua itu. Sorot matanya begitu sukar untuk diterka dengan tepat. Rangga mengalihkan perhatiannya pada laki-laki tua yang mengaku bernama Eyang Sundrata.
Dan belum lagi ada yang membuka suara, tiba tiba saja dinding yang berada di belakang Eyang Sundrata bergerak menggeser ke samping. Kemudian seorang laki-laki berusia muda, sekitar dua puluh tahunan, masuk ke dalam ruangan. Dia mengenakan baju warna putih yang agak ketat. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Pemuda itu melirik sedikit pada Rangga dan Pandan Wangi Kemudian dia mendekatkan mulutnya ke telinga Eyang Sundrata. Entah apa yang dibisikkan pemuda itu. Dia bergegas ke luar lagi dari ruangan, begitu Eyang Sundrata mengibaskan tangannya sedikit. Dinding batu itu kembali bergerak menutup setelah pemuda itu melewatinya.
"Apakah kalian tadi mendapat sambutan yang tidak enak, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Eyang Sundrata.
"Maaf, Eyang. Aku tidak mengerti maksudmu...?" ujar Rangga dengan benak sudah menduga.
"Apakah yang Eyang maksudkan dua orang yang menyerang kami?" selak Pandan Wangi.
Rangga sempat melirik pada gadis itu sedikit. Tapi tidak mungkin dia meralat kembali ucapan gadis itu. Pandan Wangi memang selalu ceplas-ceplos. Dan masih sukar baginya untuk bisa menahan diri dalam berbicara. Salah satu wataknya yang sukar untuk dirubah lagi.
"Mereka adalah dua orang muridku yang kutugaskan menjaga bagian luar candi ini," sahut Eyang Sundrata tetap lembut suaranya.
"Maaf, Eyang. kami terpaksa membunuhnya," ujar Pandan Wangi lagi, menyelak.
Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata Pandan Wangi yang seperti tidak dipikirkan lebih dahulu. Namun Eyang Sundrata hanya tersenyum saja mendengar keterusterangan Pandan Wangi. Tidak ada sedikitpun tanda kalau dia gusar mendengar muridnya tewas di tangan dua orang pendekar ini.
Sikap Eyang Sundrata membuat Rangga mengerutkan keningnya. Biasanya, seorang guru akan marah bila muridnya diketahui tewas dalam pertarungan atau apapun. Tapi Eyang Sundrata malah tersenyum mendengar muridnya tewas ditangan dua orang pendekar muda ini. Tak sedikit pun dia terlihat marah ataupun gusar. Senyumnya malah semakin mengembang kala mendengar pengakuan Pandan Wangi yang polos dan berterus terang.
"Maafkan kelancangan kami, Eyang," ucap Rangga seraya melirik sedikit pada Pandan Wangi.
"Tidak mengapa, Pendekar Rajawali Sakti. Kalian toh terpaksa melakukannya karena membela diri," sahut Eyang Sundrata kalem.
"Jika Eyang tidak berkenan, kami akan mempertanggung jawabkannya," kata Rangga lagi.
"Tidak perlu kau risaukan masalah itu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau tentu tidak menginginkan hal itu terjadi. Penyesalan yang kau ucapkan saja sudah cukup menyenangkan bagi hatiku," ujar Eyang Sundrata lagi. Suaranya masih terdengar kalem, tanpa adanya nada kemarahan.
"Kenapa Eyang bersikap begitu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku yang menyuruh mereka untuk mencegah siapa saja yang mencoba masuk ke dalam candi ini. Dan sebenarnya aku juga tahu tentang pertarungan itu. Maaf, aku hanya sekedar menguji kalian, agar aku yakin kalau kalian benar-benar pendekar yang aku harapkan. Terutama kau, Pendekar Rajawali Sakti," Eyang Sundrata menjelaskan.
"Seharusnya Eyang mencegah sebelum mereka tewas," Rangga menyesali.
"Mereka yang menghendaki begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku tidak mungkin bisa mencegahnya. Tekad mereka adalah mati untuk mempertahankan kesucian candi ini dari tangan-tangan kotor," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga tercenung seraya memandangi wajah laki-laki tua itu. Dia mulai bisa menangkap maksud dari undangan laki-laki tua ini dengan cara yang sebenarnya tidaklah layak dilakukan. Tapi di dalam dunia persilatan, hal seperti itu tidak aneh lagi. Sering terjadi dimana-mana. Laki-laki tua ini yang berada didalam mimpi-mimpinya selama beberapa malam terakhir ini. Dan candi sepuh serta ruangan ini juga berada di dalam mimpinya. Namun Rangga masih memerlukan penjelasan yang lebih mendalam, meskipun di hatinya dia sudah bisa menduga apa yang diinginkan Eyang Sundrata pada dirinya. Yang mengundang Pendekar Rajawali Sakti itu melalui mimpi-mimpi.
TUJUH
Kabut malam sudah menyelimuti permukaan puncak Bukit Gandrik. Kesunyian begitu terasa sangat mencekam disekitar pelataran Candi Sepuh. Tak ada seorangpun terlihat di sana, kecuali seorang pemuda yang mengenakan baju rompi putih, berdiri di samping seorang laki-laki tua berjubah putih panjang. Sebatang tongkat yang tak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan. Menyanggah tubuhnya agar berdiri dengan tegak. Mereka berdiri dekat bibir tebing puncak bukit yang gersang dan berbatu.
"Kau lihat, Pendekar Rajawali Sakti," kata orang tua itu seraya menunjuk ke arah kaki bukit dengan ujung tongkatnya.
Pemuda berbaju rompi putih yang memang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti, memandang ke arah kaki bukit. Tampak di sana beberapa cahaya api terlihat. Rangga tahu kalau di kaki Bukit Gandrik ini sudah berkumpul tokoh-tokoh persilatan yang entah berapa banyak jumlahnya. Mereka datang ke sini karena mendengar adanya pusaka tersimpan di dalam Candi Sepuh. Mereka ingin memiliki pusaka yang belum tentu kebenarannya.
"Jika semua orang bersikap seperti mereka, entah apa jadinya dunia ini...," nada suara Eyang Sundrata terdengar agak mengeluh. "Mereka hanya mendengar, dan belum pernah membuktikan. Tapi sudah berani berkorban nyawa untuk sesuatu yang belum tentu kebenarannya."
"Apakah pusaka itu ada di Candi Sepuh ini, Eyang?" tanya Rangga.
"Kau sudah masuk ke dalam candi, Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan aku memberimu ke bebasan untuk melihat seluruh bagian candi tanpa ada yang ditutupi. Apakah kau menemukan adanya sesuatu yang pantas disebut pusaka...?"
Rangga tidak langsung menjawab. Memang dia sudah mengelilingi bagian dalam candi itu. Bahkan sampai ke ruangan bawah tanah, hingga ke puncaknya. Tak ada satu bendapun yang bisa disebut sebagai pusaka. Candi itu sendiri sebenarnya adalah pusaka yang tak ternilai.
"Eyang, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" ucap Rangga setelah agak lama berdiam diri.
"Tanyakan jika ada yang masih mengganjal dihatimu, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hampir semua orang bilang kalau candi ini tidak lagi berpenghuni. Kenapa selama puluhan tahun Eyang tidak pernah menampakkan diri? Kenapa semua murid-muridmu juga tak pernah ke luar dari dalam candi?" tanya Rangga ingin tahu.
Eyang Sundrata tidak segera menjawab. Dia memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa ditutupi kenyataannya. Sudah lebih dari sepuluh tahun. dia dan seluruh muridnya menghilang. Sehinga semua orang menyangka kalau Candi Sepuh sudah tidak berpenghuni lagi. Tak ada yang tahu. Kenapa tiba-tiba saja seluruh penghuni candi itu menghilang, dan tak pernah lagi ada kabar beritanya.
Sementara Rangga masih menunggu jawaban dengan sabar. Beberapa kali dia mengalihkan perhatiannya ke kaki bukit. Namun Eyang Sundrata belum juga menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Eyang, pasti punya alasan tertentu, sehingga tidak menampakkan diri begitu lama," kata Rangga setelah cukup lama berdiam diri menunggu jawaban dari pertanyaannya.
Kembali Eyang Sundrata menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Dia masih diam, belum bisa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Eyang, apakah ini ada hubungan dengan Partai Tongkat Putih yang hendak menguasai seluruh Bukit Gandrik ini...?" tanya Rangga menduga.
"Dari mana kau tahu tentang Partai Tongkat Putih?" Eyang Sundrata malah balik bertanya dengan terkejut.
"Selama berada di sekitar bukit ini, beberapa kali aku bentrok dengan mereka. Bahkan ketuanya telah memperingatkan aku untuk segera pergi dari sini. Aku yakin kalau sikap Eyang selama ini ada hubungannya dengan Partai Tongkat Putih. Apakah sebenarnya yang diinginkan mereka Eyang?"
"Memang sudah seharusnya kau mengetahui segalanya, Pendekar Rajawali Sakti," kata Eyang Sundrata agak pelan suaranya.
"Eyang tentu mengundangku ke sini bukan hanya untuk menyaksikan kehancuran Candi Sepuh ini kan...?"
"Tentu saja tidak, Pendekar Rajawali Sakti. Aku justru mengundangmu dengan cara kontak batin seperti itu. untuk meminta bantuanmu menjaga kesucian dan kelestarian candi ini. Arwahku tidak akan rela jika tempat ini jatuh ke tangan orang-orang berhati iblis, seperti Partai Tongkat Putih itu," sahut Eyang Sundrata.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Eyang?"
"Aku tidak ingin memaksa, tapi hanya kau yang mampu menghadapi Dewi Iblis Merah," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga mengerutkan keningnya. Dia pernah sekali bertemu dengan perempuan tua yang mengaku bernama Dewi Iblis Merah. Dan dia tahu kalau perempuan itu adalah pimpinan besar dari Partai Tongkat Putih yang sangat ditakuti. Bukan hanya oleh para pendekar beraliran putih, tapi juga tokoh-tokoh hitam lainnya. Semua orang akan berpikir seribu kali, jika hendak berhadapan dengan orang nomor satu di Partai Tongkat Putih.
"Demi kebenaran, aku akan melakukan apa saja dengan restu dan kehendak sang Hyang Widi, Eyang. Tapi aku harus tahu duduk persoalan yang sebenarnya lebih dahulu. Aku tidak ingin melakukan tindakan yang akan menjadi penyesalan seumur hidupku kelak. Aku harap Eyang bisa memahami maksudku," kata Rangga dengan hati-hati sekali.
"Akan kujelaskan, Pendekar Rajawali Sakti. Mari, sebaiknya kita kembali ke dalam," sahut Eyang Sundrata seraya mengajak Rangga untuk kembali ke dalam Candi Sepuh.
Rangga mengikuti berjalan di belakang laki-laki tua itu. Sementara dia sempat melihat beberapa orang murid Eyang Sundrata, bersembunyi dibalik semak dan bebatuan besar. Siang malam mereka selalu menjaga puncak bukit ini dari jamahan orang-orang yang selalu haus akan benda pusaka. Namun yang paling mereka cemaskan adalah penyerbuan orang-orang dari Partai Tongkat Putih ke Candi Sepuh ini.
Eyang Sundrata duduk bersila di atas permadani tebal bermotifkan bunga-bunga yang beraneka warna, dengan dasar berwarna merah menyala. Rangga duduk tepat di depannya. Di samping Pendekar Rajawali Sakti terlihat Pandan Wangi. Dan di belakang mereka, duduk bersila empat orang murid utama Eyang Sundrata. Mereka semua mengenakan baju putih dengan pedang tersampir di pinggang.
Sudah sebagian, Eyang Sundrata menceritakan keadaan Candi Sepuh selama lebih kurang sepuluh tahun ini. Mereka memang sengaja menyembunyikan diri di dalam ruangan bawah tanah. Namun mereka selalu mencegah siapa saja yang mencoba mendaki bukit ini. Dan tidak memperdulikan maksud atau tujuan mereka yang mencoba mendaki Bukit Gandrik.
Tak ada seorangpun yang berhasil, selama ini mereka selalu mencoba mendaki bukit Gandrik dan semuanya tewas tertimpa batu-batuan yang longsor. Murid-murid Eyang Sundrata memang sengaja menjatuhkan batu-batu itu. Tapi dari Partai Tongkat Putih juga selalu menghalangi siapa saja yang mencoba ke Candi Sepuh. Terutama para pendekar beraliran putih. Hal ini pernah dialami Pendekar Rajawali Sakti yang langsung didatangi oleh pemimpin Partai Tongkat Putih.
"Terus terang, Eyang. Apa yang Eyang lakukan ini adalah membabi buta. Tidak semua orang tergiur akan benda pusaka yang sebenarnya tidak ada di sini. Banyak juga yang mencoba ke sini dengan maksud membantumu mempertahankan keutuhan candi ini dari tangan tangan kotor tak bertanggung jawab," kata Rangga mengemukakan pendapatnya.
"Aku memang menyadari hal itu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tidak mudah untuk mengetahui isi hati seseorang," Eyang Sundrata membela diri.
"Keadaan yang kau alami memang sulit, Eyang. Aku bisa merasakannya," desah Rangga.
"Kakang...," selak Pandan Wangi.
"Hm, ada apa, Pandan Wangi?" Rangga berpaling menatap si Kipas Maut yang duduk di sebelahnya.
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului menyerang Partai Tongkat Putih?" Pandan Wangi memberikan usul.
"Tidak ada yang tahu, dimana Partai Tongkat Putih berada saat ini, Pandan," kata Rangga.
"Tapi, mereka pasti tidak jauh dari tempat ini, Kakang. Aku yakin mereka berada di sekitar bukit ini," kata Pandan Wangi lagi.
"Mereka memang ada di sekitar Bukit Gandrik ini. Nisanak. Tapi tidak mudah untuk mengetahui tempatnya yang pasti." kata Eyang Sundrata menyelak.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pandan Wangi.
"Menunggu," sahut Rangga.
"Untuk berapa lama?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak lama, jika membiarkan mereka ke puncak bukit ini," sahut Rangga.
"Kau harus pikirkan yang lainnya, Kakang. Orang-orang di bawah sana sudah begitu percaya dengan adanya peninggalan pusaka di candi ini," kata Pandan Wangi lagi.
"Kau ingat peristiwa di Bukit Setan, Pandan...?"
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya saja. Tentu saja tidak akan melupakan peristiwa di Bukit Setan. Peristiwa itu yang mempertemukan mereka berdua, hingga sekarang ini selalu bersama-sama. Memang ada sedikit persamaannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung di Bukit Gandrik ini. Tapi tentu saja banyak perbedaannya. Tapi Pandan Wangi belum mengerti maksud Pendekar Rajawali Sakti itu dengan mengingatkannya pada peristiwa di Bukit Setan.
"Dulu aku yang memancing, sekarang aku ingin kau yang memancing mereka. Tapi bukan ke puncak bukit ini, melainkan menjauhkannya dari bukit ini," kata Rangga mengemukakan rencananya.
"Jangan konyol, Kakang!" sentak Pandan Wangi.
"Hanya cara itu yang bisa dilakukan sekarang ini. Pandan. Mereka harus jauh dari Bukit Gandrik, agar kita bisa mengetahui dengan cepat keberadaan Partai Tongkat Putih di bukit ini," kata Rangga.
Pandan Wangi memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Mereka yang berada di bawah bukit ini, bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka mempunyai kemampuan ilmu silat yang tinggi. Besar kemungkinan akan terjadi bentrokan langsung. Dan Pandan Wangi sadar kalau tidak mungkin bisa menghadapi mereka seorang diri saja.
"Maaf, aku harus bicara berdua saja dengan Pandan Wangi," ujar Rangga seraya bangkit berdiri.
"Silahkan," sahut Eyang Sundrata.
Pandan Wangi ikut bangkit berdiri. Sementara Rangga sudah melangkah ke luar dari dalam candi tua itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti dari belakang. Sementara Eyang Sundrata masih tetap duduk bersila di tempatnya, dengan mata tidak berkedip memandangi dua orang pendekar itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman, dan kepalanya terangguk-angguk. Dia bisa memahami maksud Pendekar Rajawali Sakti yang ingin membebaskan Candi Sepuh ini dari rongrongan orang-orang berhati tamak.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah menghilang di luar ruangan candi. Malam sudah semakin larut, kesunyian menyelimuti sekitar Puncak Bukit Gandrik. Tak lagi terdengar suara suara percakapan. Keadaan begitu sunyi sampai-sampai suara binatang malampun tak terdengar, hanya desiran angin saja terdengar menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh.
********************
Rangga membawa Pandan Wangi ke bagian belakang Candi Sepuh. Mereka terus berjalan melintasi hamparan bebatuan yang terasa dingin tersiram embun. Tak ada seorangpun terlihat disekitar tempat ini. Mereka menyusup melalui celah-celah batu yang besar dan banyak tersebar di puncak bukit yang gersang. Pemandangan di Bukit Gandrik, memang tidak sedap untuk dinikmati. Hanya kegersangan saja yang terlihat disekitarnya. Namun tempat ini sangat cocok sekali dijadikan markas sebuah partai, ataupun untuk mendirikan sebuah padepokan. Tidak heran jika ketua Partai Tongkat Putih mengincar Bukit Gandrik ini.
Mereka berhenti berjalan setelah sampai di tempat yang agak lapang, dengan batu-batu besar bertumpukkan membuat sebuah cincin raksasa. Tampak seekor rajawali raksasa berbulu putih keperakan, sedang mendekam. Burung raksasa itu mengangkat kepalanya ketika mendengar ada orang mendekati. Dia mengkirik perlahan begitu mengetahui yang datang adalah Rangga dan Pandan Wangi.
"Rajawali, aku membutuhkan pertolonganmu," kata Rangga setelah berada dekat di depan burung raksasa itu.
"Khrrr...," Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.
"Kau bersama Pandan Wangi menghalau orang-orang yang berada di bawah bukit," kata Rangga lagi.
"Kakang...!" sentak Pandan Wangi terkejut.
Sungguh dia tak menyangka kalau Rangga mempunyai rencana yang dianggapnya edan ini. Mustahil dia berani menunggangi Rajawali Putih seorang diri. Meskipun sudah pernah, itupun terpaksa, dan rasanya seperti sudah mati saja saat berada di angkasa.
"Bersama Rajawali, kau tidak perlu takut menghadapi mereka, Pandan," kata Rangga.
"Tapi...," Pandan Wangi ingin memprotes. Bagi gadis itu, lebih baik seorang diri menghadapi orang-orang itu, daripada harus menyiksa diri menunggang burung raksasa ini. Burung Rajawali Putih, memang bukan burung biasa. Dia seperti jelmaan dewa yang hadir ke mayapada dengan tugas mulia. Namun tetap saja Pandan Wangi tidak mungkin sanggup mengusir ketakutannya. Dia juga manusia biasa, yang tidak luput dari perasaan takut.
"Apa tidak ada cara lain, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya melirik pada Rajawali Putih.
Rangga menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, pakai saja rencanaku," kata Pandan Wangi yang terang-terangan tidak ingin menunggang Rajawali Putih lagi.
"Apa rencanamu?" tanya Rangga.
"Aku akan menemui Ki Sarpa. Biarkan dia yang mengatakan kalau aku sudah mendapatkan pusaka itu. Biar mereka mengejarku, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Terlalu berbahaya, Pandan," Rangga tidak setuju.
"Bukankah itu yang kau inginkan...?"
"Iya, tapi kau akan menghadapi bahaya besar."
"Tidak seberapa sulit jika dibandingkan kau yang harus menghadapi Ketua Partai Tongkat Putih. Sudahlah, Kakang. Pengorbanan itu perlu untuk maksud yang mulia."
Meskipun terasa berat, Rangga tidak bisa menolak lagi. Dia sudah terlanjur mempunyai rencana seperti itu. Dan Pandan Wangi malah menambahkan dengan mengambil resiko yang sangat besar. Tapi Rangga harus mempercayai gadis ini, karena dia tahu kemampuan Pandan Wangi.
"Baiklah, Pandan, tapi kau harus berhati-hati," kata Rangga menyerah.
"Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang," ujar Pandan Wangi.
"Pandan, ke arah mana kau akan membawa mereka?" tanya Rangga.
"Selatan," sahut Pandan Wangi.
"Aku akan segera menyusulmu."
Pandan Wangi tersenyum. Kemudian dia bergegas melangkah pergi dari lempat yang sangat tersembunyi itu. Puncak Bukit Gandrik memang banyak tempat-tempat tersembunyi. Sementara Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi. Rangga masih tetap berada di tempat itu. Dia memandangi Rajawali Putih.
"Ikuti dia, Rajawali. Lakukan apa saja untuk menyelamatkannya dari bencana," kata Rangga.
"Khraghk!" Rajawali Putih menyahuti.
"Aku pergi dulu, Rajawali," ucap Rangga.
"Khraghk...!"
"Hm..., memang sebaiknya begitu. Cepatlah kau awasi Pandan Wangi," kata Rangga bisa mengerti apa yang disuarakan burung raksasa itu.
Rajawali Putih mengepakkan sayapnya. Sekali kepak saja, burung raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa. Dan terus melesat ke arah mana tadi Pandan Wangi pergi. Beberapa saat Rangga masih berdiri ditempatnya, memandangi kepergian Rajawali Putih. Ada sedikit kelonggaran, karena Pandan Wangi dilindungi oleh Rajawali Putih.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga harus menghadapi suatu persoalan yang lebih berat lagi. Dia harus menghadapi ketua Partai Tongkat Putih yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Sampai saat ini. belum ada satupun pendekar yang bisa menandingi kepandaian yang dimiliki Dewi Iblis Merah.
"Mudah-mudahan pancingan ini berhasil," desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, meninggalkan tempat yang dilingkari batu-batu besar membentuk sebuah cincin raksasa.
Dia berjalan cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh, dan lenyap ditelan gelapnya malam.
Rangga berdiri tegak memandang ke arah kaki Bukit Gandrik. Di samping Pendekar Rajawali Sakti berdiri Eyang Sundrata. Empat orang murid utama laki-laki tua berjubah putih itu berada di belakang mereka. Semua memandang ke arah kaki bukit yang terlihat jelas dari tempat itu.
"Mereka sudah pergi semua, Pendekar Rajawali Sakti," kata Eyang Sundrata.
"Hmmm," Rangga hanya menggumam saja perlahan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Eyang Sundrata lagi.
"Menunggu orang-orang Partai Tongkat Putih," sahut Rangga.
"Apa kau yakin mereka bisa dengan mudah mempercayai siasatmu ini, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Jika memang mereka menghendaki tempat ini, mereka pasti datang. Tapi jika mereka sama seperti yang lainnya, akan mengejar Pandan Wangi," sahut Rangga.
"Mereka yang menghendaki tempat ini, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka yang menyebarkan kabar bohong mengenai pusaka yang tersimpan di dalam Candi Sepuh."
"Kalau begitu, mereka pasti datang," kata Rangga mantap.
Eyang Sundrata kembali diam membisu. Dia sudah mempercayai Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Dewi Iblis Merah. Dan sepengetahuannya, hanya pemuda berbaju rompi putih ini yang bisa menandingi kesaktian Dewi Iblis Merah. Sedangkan dia sendiri, sudah menyadari tidak akan mampu.
Agak lama juga mereka berdiam diri memandang kesekitar kaki Bukit Gandrik. Seakan-akan ada yang mereka tunggu di Puncak Bukit Gandrik. Perlahan Rangga memalingkan mukanya menatap Eyang Sundrata yang berdiri disampingnya.
"Kenapa Eyang tidak mau menghadapi Dewi Iblis Merah?" tanya Rangga.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba itu, membuat Eyang Sundrata terperanjat. Dan dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi.
"Aku pernah bertarung dengannya," sahut Eyang Sundrata pelan.
Rangga semakin dalam memandangi laki-laki tua itu.
"Terus terang, Pendekar Rajawali Sakti. Dalam pertarungan itu aku memang mempertaruhkan Candi Sepuh ini. Aku kalah, dan sudah seharusnya aku menyerahkan candi ini. Tapi murid-muridku tidak rela jika candi ini jatuh ke tangan Dewi Iblis Merah. Hingga lebih dari sepuluh tahun, aku dan murid-muridku bertahan sambil menyebarkan kabar kalau Candi Sepuh sudah tidak berpenghuni lagi. Dan selama itu kami semua menempati ruangan bawah tanah yang sangat tersembunyi letaknya."
"Tentu ada sesuatu sehingga kau begitu berani mempertaruhkan tempat suci ini," kata Rangga.
"Ya, Putraku satu-satunya menjadi tawanan mereka. Tapi putraku sudah tewas bunuh diri begitu aku kalah bertarung dengan Dewi Iblis Merah," sahut Eyang Sundrata.
Rangga hanya diam saja.
"Mereka menginginkan candi ini memang sudah lama, dan selalu berusaha dengan berbagai macam cara. Pendekar Rajawali Sakti. Hingga akhirnya mereka menculik anakku, dan memberikan syarat bertarung jika anakku ingin selamat. Mereka juga mengajukan syarat yang berat. Yaaah, itu, aku harus menyerahkan candi ini jika kalah dalam pertarungan. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku benar-benar tidak punya pilihan lagi, Pendekar Rajawali Sakti," ada sedikit nada keluhan pada suara Eyang Sundrata.
"Sayang sekali, seharusnya anakmu tidak perlu mengambil jalan pintas seperti itu," desah Rangga pelan.
"Aku bangga dengan sikapnya, Pendekar Rajawali Sakti. Dia benar-benar membela kehormatanku. Dia langsung membunuh dirinya sendiri, karena Dewi Iblis Merah masih tetap menjadikan tawanannya, meskipun aku bersedia meninggalkan candi ini. Tapi sebelum tewas, anakku berpesan agar tetap mempertahankan candi ini," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga tersenyum, kemudian memutar tubuhnya. Perlahan dia mengayunkan kakinya. Eyang Sundrata mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan menuju ke Candi Sepuh tanpa berbicara lagi. Sementara empat murid utama laki-laki tua itu mengikuti dari belakang.
DELAPAN
"Eyang...! Eyang...!"
Seorang anak muda berbaju putih yang agak ketat, berlari-lari sambil berteriak memanggil gurunya. Eyang Sundrata yang sedang bercengkerama dengan Pendekar Rajawali Sakti, langsung menggerinjang bangkit berdiri. Laki-laki tua itu melompat ke luar dengan cepat. Rangga yang juga berada di dalam candi itu, segera mengikuti melesat keluar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung berhenti tepat di samping Eyang Sundrata. Pemuda yang tadi berlari-lari sambil berteriak keras, agak terbungkuk di depan Eyang Sundrata. Seluruh baju yang berwarna putih, berlumuran darah.
"Mereka sudah datang...," ujar pemuda itu.
Dan sebelum Eyang Sundrata sempat bertanya, pemuda itu jatuh terkulai ke tanah. Eyang Sundrata bergegas berlutut dan memeriksa urat nadi di leher pemuda itu. Perlahan kemudian dia mengangkat kepalanya, langsung menatap Rangga yang kini sudah berpindah di depannya.
"Dia sudah mati," kata Eyang Sundrata pelan.
Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit berdiri dibantu tongkat yang tergenggam dengan kedua tangannya. Eyang Sundrata memandangi murid-muridnya yang sudah berkumpul di depan pelataran candi dengan cepat, ketika mendengar teriakan pemuda yang sudah tewas ini.
Hanya ada sekitar tiga puluh orang murid Eyang Sundrata. Dan mereka sudah siap melakukan pertempuran. Selain menyandang pedang di pinggang, mereka juga memegang tombak panjang. Eyang Sundrata menatap Rangga dalam-dalam.
"Kekuatan kita tidak berimbang, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Eyang Sundrata lemah.
"Kita tunggu mereka di sini, Eyang," kata Rangga.
"Jumlah mereka tentu lebih besar lagi," Eyang Sundrata masih juga mengeluh.
Memang sejak Rangga menjalankan rencananya, laki-laki tua ini seperti kehilangan semangat, mengingat jumlah murid-muridnya tidak sebanding dengan banyaknya anggota Partai Tongkat Putih. Meskipun dia sudah mengetahui kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Namun masih juga tersimpan keraguan akan keberhasilan rencana pemuda berbaju rompi putih itu.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Eyang Sundrata menyerahkan segalanya pada Rangga.
"Aku akan menantang Dewi Iblis Merah, seperti yang kau lakukan dulu," sahut Rangga.
"Terlalu berbahaya, Pendekar Rajawali Sakti. Aku lebih suka bertempur sampai titik darah terakhir dari pada harus mengorbankanmu. Hhhh! Seharusnya aku memang tidak perlu mengganggu ketenanganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Maafkan kelancanganku," semakin pelan suara Eyang Sundrata.
"Kau tidak perlu berkata begitu, Eyang. Candi Sepuh ini milik semua orang yang hendak mendekatkan diri pada Hyang Widi. Dan aku turut bertanggung jawab dengan kesuciannya, Eyang. Meskipun kau tidak meminta, jika aku tahu, aku pasti akan datang ke sini," kata Rangga mencoba membangkitkan semangat laki-laki tua itu.
"Sungguh mulia hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Eyang Sundrata.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Sebaiknya Eyang dan semua murid-murid berada tidak jauh dari pintu Candi. Aku akan menunggu mereka di sini. Jika ada diantara mereka yang mencoba menerobos, Eyang bisa menghadangnya," kata Rangga.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah, mereka orang-orang yang licik," kata Eyang Sundrata memperingatkan.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Eyang Sundrata kemudian memerintahkan seluruh muridnya agar tidak jauh dari Candi Sepuh. Tak ada yang membantah, mereka segera bergerak mendekati candi itu, dan berdiri berjajar tepat di depan pintu Sedangkan Eyang Sundrata sendiri masih tetap berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa Eyang tidak menyingkir?" tanya Rangga melihat Eyang Sundrata masih tetap berada di dekatnya.
"Kita akan menghadapi mereka bersama-sama, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Eyang Sundrata.
Rangga tidak mau mencegah. Dia tidak ingin memupuskan semangat laki-laki tua ini yang telah bangkit kembali. Namun Pendekar Rajawali Sakti merasa adanya nada putus asa dalam suara Eyang Sundrata. Keputusasaannya itu membuat dia jadi nekad hendak menghadapi orang-orang Partai Tongkat Putih yang sudah bergerak menuju ke Puncak Bukit Gandrik.
"Mereka sudah kelihatan...," gumam Eyang Sundrata pelan. Hampir tidak terdengar suaranya, seakan-akan dia berbicara dengan dirinya sendiri.
Rangga mengalihkan perhatiannya ke depan. Dan memang jauh di depan sana, terlihat orang-orang yang tengah bergerak menuju ke Candi Sepuh. Dari pakaiannya yang menyolok dengan tongkat putih berada di tangan. sudah bisa dipastikan kalau mereka adalah orang-orang Partai Tongkat Putih.
Ada yang membuat Rangga tercenung menyaksikan orang-orang yang jumlahnya begitu banyak, berbaris sejauh sekitar lima batang tombak di depannya. Bukan hanya orang-orang berbaju merah dengan senjata tongkat berwarna putih keperakan, tapi juga ada orang-orang berbaju hitam yang menghunus senjata golok.
"Mereka yang berbaju hitam, orang-orang baru di dalam Partai Tongkat Putih," bisik Eyang Sundrata memberitahu.
Pendekar Rajawali Sakti baru mengerti. Ternyata di dalam keanggotaan Partai Tongkat Putih juga memiliki tingkatan tersendiri. Dan yang pasti, tingkatan itu memiliki tanda. Hanya saja dia tidak tahu, letak tanda dari satu tingkatan keanggotaan mereka. Sedangkan pandangan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lepas dari seorang perempuan tua berjubah merah yang berdiri paling depan. Sebatang tongkat putih dengan ujung berbentuk kepala tengkorak, juga menatap pada Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam menusuk.
"Rupanya kau sudah ada di sini Pendekar Rajawali Sakti," desis Dewi Iblis Merah. Suaranya terdengar kering dan agak serak.
"Aku sengaja menunggumu di sini, Dewi Iblis Merah," sahut Rangga kalem.
"Untuk apa?" tanya Dewi Iblis Merah dingin.
"Menantangmu bertarung," sahut Rangga tegas.
Dewi Iblis Merah tertawa terbahak-bahak mendengarkan tantangan itu. Keras sekali suara tawanya, seakan-akan hendak menghancurkan bukit ini dengan suaranya yang menggeledek menggelegar keras.
"Bocah! Apakah kau tidak melihat tingginya gunung...? Tidak sampai lima jurus, aku sudah bisa mengirimmu ke neraka!" bentak Dewi Iblis Merah congkak.
"Lihat saja nanti, Dewi Iblis Merah. Aku khawatir justru kau yang akan lebih dahulu ke neraka," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Apa taruhanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" dengus Dewi Iblis Merah gusar.
Rangga tidak langsung menjawab. Dia melirik pada Eyang Sundrata yang berada di sampingnya. Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya sedikit. Namun perhatiannya tidak lepas tertuju pada orang-orang Partai Tongkat Putih yang berjumlah lebih dari dua ratus orang banyaknya. Sungguh tidak sebanding dengan jumlah murid-muridnya yang hanya tiga puluh orang saja.
"Kau boleh memiliki bukit ini bila berhasil mengalahkan aku, Dewi Iblis Merah," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha ha...! Taruhanmu terlalu kecil, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Dewi Iblis Merah semakin pongah.
"Hm..., apa lagi yang kau inginkan?" tanya Rangga.
"Kepalamu!" sahut Dewi Iblis Merah agak mendesis.
"Aku terima, Dewi Iblis Merah."
Eyang Sundrata terkejut. Tapi dia tidak bisa berbuat apa apa lagi, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menyanggupi persyaratan yang diajukan perempuan tua itu.
"Lantas, apa yang menjadi taruhanmu, Dewi Iblis Merah?" tanya Rangga dengan suara yang kalem.
"Aku hanya ingin mengambil hak, dan kau tidak ada hak untuk meminta pertaruhanku!" jawab Dewi Iblis Merah ketus.
"Hmmm...," Rangga menggumam pelan.
"Sudah aku duga, akan percuma saja, Pendekar Rajawali Sakti," bisik Eyang Sundrata pelan.
"Perempuan Iblis itu harus dimusnahkan terlebih dahulu, Eyang," sahut Rangga juga berbisik.
"Tapi orang orangnya begitu banyak...."
"Mereka akan gentar jika pemimpinnya sudah lumpuh."
Eyang Sundrata tidak berbicara lagi. Dia masih khawatir, karena orang-orang Partai Tongkat Putih sudah terkenal licik dan kejam. Selalu menggunakan cara apapun untuk melaksanakan keinginannya. Mereka tidak perduli dengan cara kotor. Eyang Sundrata teringat dengan pertarungannya melawan Dewi Iblis Merah. Dia bisa kalah, juga mendapat kecurangan yang dibuat orang-orang Partai Tongkat Putih.
Eyang Sundrata sudah menduga kalau mereka tentu akan melakukan kecurangan juga. Dan ini yang membuat dia merasa cemas akan keberhasilan Pendekar Rajawali Sakti dalam menghadapi perempuan tua berhati iblis itu. Dia menyesal, telah melibatkan Pendekar Rajawali Sakti dalam kemelut ini. Kalau saja dia tidak mengirimkan getaran batin, sudah tentu Pendekar Rajawali Sakti tidak akan berada di Puncak Bukit Gandrik ini.
"Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti...?" kembali terdengar suara Dewi Iblis Merah
"Aku terima persyaratanmu," sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha ha...!" kembali Dewi Iblis Merah tertawa terbahak bahak.
Dan sebelum suara tawanya lenyap dari pendengaran, mendadak saja dia melompat cepat bagaikan kilat. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Begitu kakinya menjejak tanah di depan Pendekar Rajawali Sakti. seketika itu juga dia langsung mengibaskan tongkatnya.
"Yeaaah...!"
Wut!
"Uts...!"
Bergegas Rangga menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan tongkat putih berkepala tengkorak itu, lewat di depan dadanya. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan tubuhnya, Dewi Iblis Merah sudah kembali memberikan satu serangan dengan pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Rangga memutar tubuhnya ke belakang, dan melesat ke udara. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah Dewi Iblis Merah yang baru saja menarik pulang serangannya. Kedua kaki Rangga bergerak cepat, dengan tangan terkembang ke samping. Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus Rajawali menukik Menyambar Mangsa. Salah satu jurus dahsyat dari rangkaian lima jurus Rajawali Sakti.
"Ufrs...!"
Dewi Iblis Merah buru-buru merundukkan kepalanya, sehingga kedua kaki Rangga yang bergerak cepat, tidak mengenai sasaran. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat memutar tubuhnya, sehingga kakinya berada di atas. Seketika itu juga tangannya bergerak cepat mengibas ke arah beberapa bagian tubuh perempuan berjubah merah itu.
"Setan...! Hih...!" rutuk Dewi Iblis Merah terkejut dengan serangan Pendekar Rajawali Sakti yang sungguh tidak diduga sama sekali.
Dewi Iblis Merah, sedikit agak kerepotan juga. Namun dia berhasil menguasai keadaan dirinya. dan kembali melakukan serangan begitu mendapat kesempatan. Pertarungan itupun langsung dengan kecepatan yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus yang ampuh dan sangat luar biasa.
Tak terasa, pertarungan sudah berjalan lebih dari sepuluh jurus. Namun tampaknya masih akan berlangsung lama. Sementara itu Eyang Sundrata yang sudah menyingkir agak menjauh, selalu mengamati orang-orang Partai Tongkat Putih. Dia tidak ingin Rangga mendapat ke curangan dari mereka. Pengalamannya menjadikan dia harus waspada.
"Iblis...!" desis Eyang Sundrata ketika matanya menangkap salah seorang dari mereka mengebutkan tangannya ke arah pertarungan itu.
Dan seketika terlihat benda-benda halus berwarna hitam meluncur deras ke arah dua orang yang sedang bertarung. Eyang Sundrata segera menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga, dari balik lengan jubahnya yang panjang, meluncur bola api sebesar kepala. Suara letupan kecil terdengar ketika bola api itu menghantam benda-benda halus berwarna hitam yang dilepaskan salah seorang anggota Partai Tongkat Putih. Kejadian ini membuat mereka terkejut.
Namun, sebelum mereka sempat bertindak, mendadak saja dari angkasa meluncur suatu benda besar berwarna putih keperakan. Benda besar itu langsung ke arah orang-orang yang berdiri berbaris itu. Sesaat kemudian, terdengar suara suara jeritan melengking tinggi, disusul dengan berpentalannya tubuh-tubuh ke udara, kemudian terbanting keras ke tanah.
Kejadian yang cepat ini membuat semua orang yang berada di puncak Bukit Gandrik ini jadi terperangah terkejut. Namun sosok bayangan berwarna putih keperakan itu, terus berkelebatan cepat menyambar orang-orang Partai Tongkat Putih, membuat mereka jadi berantakan tak karuan.
"Hiyaat...!" Pada saat itu, dari atas meluncur sebuah bayangan berwarna biru. Bayangan itu bergerak cepat menghajar orang-orang dari Partai Tongkat Putih.
"Pandan Wangi...," desis Eyang Sundrata begitu mengenali orang yang mengenakan baju warna biru muda itu.
Seketika itu juga Eyang Sundrata berteriak keras memerintahkan murid-muridnya untuk bergerak membantu. Dan dia sendiri segera melompat menyerang orang-orang Partai Tongkat Putih. Sementara di lain tempat, Pendekar Rajawali Sakti masih bertarung dengan Dewi Iblis Merah. Perempuan tua itu benar-benar terkejut melihat orang-orangnya berantakan. Dan dia lebih terkejut lagi begitu melihat seekor burung raksasa mengamuk menghajar orang-orangnya.
"Tak ada lagi kesempatan bagimu, Dewi Iblis Merah!" seru Rangga seraya melontarkan beberapa pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Setan...!" dengus Dewi Iblis Merah geram.
Kegentaran mulai timbul di hati perempuan tua itu. Dan dia mulai menjadi tidak seimbang dengan segala gerakannya. Perhatiannya terpecah, sehingga membuat Rangga lebih leluasa menggempurnya, namun begitu, masih terlalu sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa melumpuhkan Dewi Iblis Merah dengan cepat, karena perempuan tua itu masih terlalu tangguh.
Sret!
Cring...!
Seketika itu juga, cahaya biru menyemburat terang begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusaka dari warangkanya di punggung. Dewi Iblis Merah. terperanjat kaget melihat pamor pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat. Dan sebelum dia sempat menguasai keterkejutannya, mendadak saja Rangga sudah memberikan serangan kilat Pedangnya berkelebat cepat menyambar leher perempuan tua itu.
"Uts...!" Buru-buru Dewi Iblis Merah menghentakkan tongkatnya, menangkis tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Tring!
Trak!
"Heh...?!" Bukan main terkejutnya Dewi Iblis Merah ketika tongkatnya beradu dengan pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Seluruh pergelangan tangannya seperti tersengat ribuan lebah, dan lebih terkejut lagi ketika dia melihat tongkatnya buntung.
"Saatnya sudah tiba, Dewi Iblis Merah...!" seru Rangga keras. "Hiyaaat...!''
Bet!
Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pedangnya ke arah leher. Sesaat Dewi Iblis Merah terkesiap melihat cahaya biru berkilauan, berkelebat di depan mukanya. Dan sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak dia merasakan benda dingin berada di lehernya.
"Hih...!"
Satu tendangan mendarat di dada perempuan tua berjubah merah itu. Seketika tubuhnya terlontar keras ke belakang. Pada saat itu, kepala Dewi Iblis Merah terpental terpisah dari lehernya. Darah langsung muncrat dari leher yang buntung, begitu menghantam batu. Dewi Iblis Merah tewas seketika tanpa mampu mengeluarkan suara lagi.
"Berhenti...!" teriak Rangga keras menggelegar. Suara teriakan Rangga yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat pertarungan seketika berhenti. Orang-orang Partai Tongkat Putih, terperanjat begitu melihat pemimpinnya sudah terbujur tak bernyawa lagi dengan kepala terpenggal buntung dari lehernya.
Seperti ada yang memberi perintah, mereka bergegas berhamburan meninggalkan puncak bukit. Namun murid-murid Eyang Sundrata, tidak membiarkan begitu saja. Pada saat mereka sedang menuruni lereng, semua murid-murid Eyang Sundrata, menjatuhkan batu-batu besar.
Suara menggemuruh terdengar seketika, di susul dengan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi. Batu-batu di lereng bukit, berguguran menimpa orang-orang Partai Tongkat Putih yang mencoba melarikan diri. Sementara Rangga hanya bisa menyaksikan tanpa mampu mencegahnya. Batu-batu sudah berguguran menghantam orang-orang itu tanpa ampun lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Pandan Wangi yang berdiri di samping Rajawali Putih. Sementara tak terhitung lagi, berapa banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya. Rangga sempat melirik pada Eyang Sundrata yang berdiri mematung memandangi mayat-mayat itu. Dia seperti tidak percaya, bisa menghalau orang-orang dari Partai Tongkat Putih.
"Kita pergi, Pandan," ajak Rangga seraya mencolek pundak Pandan Wangi.
"Tidak pamitan dulu pada Eyang Sundrata, Kakang?"
"Tidak perlu." sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dia memandang Pandan Wangi yang juga tengah menatap padanya. Kemudian gadis itu melompat, langsung hinggap di depan Rangga.
"Kita pergi dari sini, Rajawali." kata Rangga seraya menepuk leher burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
Hanya sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa. Saat itu Eyang Sundrata menolehkan kepalanya, dan dia langsung mendongak ke atas. Namun Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa, menembus awan.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Eyang Sundrata pelan.
Sementara itu Rajawali Putih sudah jauh meninggalkan Bukit Gandrik dengan membawa Rangga dan Pandan Wangi di punggungnya. Tampak sekali kalau Pandan Wangi tidak kelihatan takut lagi. Dan ini membuat Rangga heran juga.
"Kau tidak takut lagi, Pandan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Rajawali Putih yang membuatku tidak takut," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum
"Bagaimana caranya?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Rahasia..." sahut Pandan Wangi seraya tertawa.
"Khraghk...!" Rajawali Putih menyambuti.
"Sial!" rutuk Rangga dalam hati.
"Kau memang hebat, Rajawali. Aku senang bersahabat denganmu," ucap Pandan Wangi.
"Khraghk...!"
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: INTAN SAGA MERAH