Pendekar Remaja Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 28

Lili berlutut dan mengangkat kepala pemuda itu, kemudian dipangkunya dan dengan sapu tangannya, dia menyusuti darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu membuka matanya dan tersenyum!

“Lili... akhirnya aku dapat menebus dosaku kepadamu... aku sudah tersesat... aku salah duga... ayahmu seorang pendekar besar, seorang budiman, ada pun ayahku... ayahku... dia... dia seperti aku... tersesat…” sampai di sini kedua mata pemuda itu mengalirkan air mata.

Lili tidak dapat menahan keharuan hatinya dan dia mendekap muka Kam Seng dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak! Walau pun tidak boleh bicara, gadis ini masih boleh menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.

“Lili... kau menangis...? Kau menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik... tak pantas menangisi seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng... Lili, terima kasih... sampaikan hormatku kepada ayah bundamu..., dan salamku kepada... kepada... semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun... tunanganmu...”

Maka habislah napas Kam Seng, pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir dapat menghembuskan napas penghabisan dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh hatinya!

Lili menggunakan tulisan untuk menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis ini masih memiliki banyak potongan uang emas, maka segala urusan penguburan jenazah Kam Seng dapat dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ menganggap bahwa dia adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa heran bahwa dia tidak dapat bicara.

Setelah beres mengurus pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang kebenciannya kepada Ban Sai Cinjin bertambah lagi, dan dia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati Song Kam Seng, pemuda yang malang itu.

Hatinya berdebar tidak enak kalau dia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng, yang menyebut-nyebut Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai di mana kebenaran ucapan ini? Ia tidak merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguh pun paman dari Kam Liong, yaitu Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu dulu pernah membikin dia marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara begitu saja!

Juga diam-diam ia merasa girang karena di dalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia sudah mempergunakan sejurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan yang sejurus itu telah membuat ia berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin!

Dia maklum bahwa sebelum dia memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, meski pun dia memegang pedang dan kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan semudah tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga hari kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.

Dari kota Kun-lip, Lili kemudian menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke Shaning, ia bermaksud untuk singgah terlebih dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk mencari kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Dia teringat pula bahwa Ang I Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh suaminya, maka dia kemudian mempercepat perjalanannya sebab ia pun merasa kuatir apa bila Ang I Niocu mengalami kecelakaan pula.

Menghadapi orang-orang seperti Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga amat curang dan licik, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, walau yang menghadapi mereka itu seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekali pun!

Ketika dia tiba di dusun Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar dan mewah, dia terkejut sekali karena gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan bumi dan menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah membakar bagian dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul telah habis dan menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?

Agar jangan menarik perhatian orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia diam-diam lalu meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan di mana terdapat kelenteng tempat Ban Sai Cinjin bersama kawan-kawannya bersembunyi itu. Dia sengaja menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia menggunakan kepandaiannya jalan malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.

Ketika dia tiba di sebuah hutan pohon pek di mana di tengahnya terdapat sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis di atas bukit kecil itu!

Kalau saja Lili bukan seorang yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram mendengar suara orang menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu. Akan tetapi, puteri Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan cepat menghampiri tempat itu!

Malam hari itu bulan muncul setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih terang dan permukaannya masih lebih dari separuhnya. Oleh karena sinar bulan memang mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi sekaligus juga menyeramkan, tergantung dari tempat di mana bulan mematulkan cahayanya, maka di dalam hutan itu kelihatan benar-benar mengerikan.

Pohon-pohon pek yang besar itu kini di bawah sinar bulan nampak laksana setan-setan raksasa sedang menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun merupakan binatang berbentuk aneh yang berwarna hitam, yang bersiap untuk menyeruduk siapa saja yang lewat di hutan itu.

Semua keseraman ini ditambah lagi oleh suara binatang hutan. Sudah sepatutnya kalau orang akan merasa lebih ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apa bila pada saat dan di tempat seperti itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!

Akan tetapil Lili yang sangat tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu siapa orangnya yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis. Ketika ia menyusup-nyusup di antara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil itu, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu mengeluarkan kata-kata yang amat jelas terdengar dan yang membuat wajahnya menjadi pucat sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara itu sambil menahan tindakan kakinya.

“Ang I Niocu... tidak kusangka akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang gagah perkasa. Ahh, kini aku teringat... aku teringat akan semua hal yang mengerikan itu...”

“Suhu...!” Lili berteriak pada saat mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang tadinya berada di benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu.

Gadis ini melompat dan setelah sampai di puncak bukit kecil di mana terdapat tanaman bunga mawar hutan yang amat lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang berlutut dan di depannya menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka-luka!

“Ie-ie Im Giok...!” jeritan Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis ini menubruk Ang I Niocu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus dipangkunya.

Ang I Niocu ternyata masih belum mati dan ketika dia memandang kepada Lili, bibirnya tersenyum! Karena cahaya bulan hanya suram-suram, maka sekarang wajah Ang I Niocu nampak cantik luar biasa dan senyumnya manis sekali, memlbuat hati Lili menjadi makin terharu.

“Ie-ie Im Giok, mengapa kau sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie Im Giok??” tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.

“Lili anak manis... tenanglah dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang... suamiku…” Ang I Niocu sukar sekali mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka hebat pula. Kemudian wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya Lo Sian menceritakan pengalamannya dahulu.

Karena maklum bahwa nyawa Ang I Niocu tak akan tertolong lagi, maka Lo Sian segera menuturkan dengan singkat pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong Sian, peristiwa yang sudah lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang tiba-tiba saja telah kembali dalam ingatannya.

“Aku ingat betul...” ia mulai dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Taihiap mengejar Bouw Hun Ti murid Ban Sai Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Taihiap hendak membalas dendam kepada Bouw Hun Ti yang sudah menculik Lili dan juga telah membunuh Yo-lo-enghiong (Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong Siansu. Pertempuran itu hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak akan kalah kalau saja pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan amat licik kakek mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti menyerang pula dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian Taihiap terkena pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan akhirnya tewaslah dia!” Lo Sian berhenti sebentar, sedangkan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak gemas sekali dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.

“Kemudian dengan sedikit akal, yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil kepala gundul Hok Ti Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap karena hendak mengambil jantungnya, akhirnya aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya di tempat ini.”

Demikianlah, Lo Sian kemudian menuturkan pengalamannya seperti yang telah dituturkan dengan jelas di dalam jilid terdahulu dari cerita ini.

Berkali-kali Ang I Niocu mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata, “Bangsat terkutuk Ban Sai Cinjin! Sayang aku tak memiliki kesempatan lagi untuk menghancurkan batok kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku sudah membalaskan dendam suamiku dan aku puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio serta menghancurkan kuil itu.” Setelah mengeluarkan ucapan ini dengan penuh kegemasan, kembali napasnya menjadi berat dan keadaannya payah sekali.

“Suhu, mengapa tidak merawat Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat....”

Lo Sian menggeleng kepalanya, dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala masih di pangkuan Lili, “Percuma, Lili... percuma... luka-lukaku amat berat... aku tak kuat lagi...!”

“Ie-ie Im Giok! Jangan berkata begitu, Ie-ie!” Lili menangis!

“Anak baik, setelah suamiku meninggal dan aku... aku sudah mendapatkan makamnya... apakah yang lebih baik selain... menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya, Hong Li, dan kau... sekali lagi kutanya... apakah kau membenci Siong-ji...?”

Bukan main terharunya hati Lili. Dia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya mampu menggelengkan kepalanya saja. Ia sendiri tak pernah dapat menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang kadang-kadang timbul rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan ini adalah karena ia teringat akan hubungan pemuda itu dengan... Lilani! Lebih tepat disebut cemburu dari pada gemas.

“Kalau begitu... Hong Li, berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya! Aku... aku akan merasa gembira sekali, dan juga ayahnya akan... puas melihat kau sebagai... mantunya! Sukakah kau, Hong Li...!”

Lili tentu saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini, meski pun ia dapat mengerti bahwa pertanyaan ini keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang harus dijawab.

“Ie-ie Im Giok, kenapa kau tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab, Ie-ie? Urusan pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”

“Cin Hai dan Lin Lin tentu akan setuju…,” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu berkata kepada Lo Sian, “Lo-enghiong, kau... kuserahi kekuasaan untuk... menjadi wakilku... untuk menjadi wali dari Siong-ji... engkaulah yang akan mengajukan lamaran kepada Pendekar Bodoh...”

“Tentu, Ang I Niocu, tentu aku suka sekali. Aku merasa sangat terhormat untuk menjadi wakilmu dalam hal ini,” jawab Lo Sian dengan terharu.

Keadaan Ang I Niocu makin lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian serta menyebut nama Lie Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir di dalam pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.

Setelah menangisi kematian Ang I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian lalu menguburkan jenazah Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian. Kemudian mereka duduk menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu menuturkan keadaan dan pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari penuturan Ang I Niocu sendiri sebelum Lili datang.

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah berkumpul sebentar dengan Lili, Ang I Niocu dengan hati marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul puteranya. Dari gadis inilah pertama kali dia mendengar bahwa suaminya telah terbunuh orang, dan bahwa Lie Siong telah melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh itu.

Sampai beberapa lamanya dia merantau ke selatan, sehingga akhirnya pergilah dia ke Tong-sin-bun, karena dari Lili dia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga dia ingin sekali bertemu dan memberi hajaran kepada Ban Sai Cinjin, juga hendak mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.

Ketika ia tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum Ang I Niocu sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,

“Bukankah Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”

“Sin-kai Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”

“Siauwte tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak pernah saling bertemu lagi.”

Ang I Niocu mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata, “Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku sudah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendak anak itu? Apakah betul kau mengetahui siapa pembunuh suamiku?”

Lo Sian mengangguk. “Tidak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap adalah Ban Sai Cinjin.”

Kemudian Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika dia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku sudah membunuh Lie Kong Sian.

“Jadi kau sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan di mana pula dia dikubur?” Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan kemarahan.

Lo Sian menggeleng kepalanya dengan sedih. “Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum mendapatkan ingatanku kembali. Aku sengaja datang ke sini untuk menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas...”

“Tentu saja aku hendak menuntut balas! Di mana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu memotong dengan tak sabar lagi.

“Nanti dulu, Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biar pun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan sanggup mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang menjadi suheng-nya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang walau pun hanya menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”

“Lekas katakan, di mana letak rumahnya dan di mana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.

Lo Sian menjadi heran sekali, dan melihat kemarahan orang dia tidak berani membantah lagi. Dia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh, maka dia lalu cepat-cepat memberi petunjuk di mana adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan di mana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.

Setelah mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih segera menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya.

Ia percaya penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan ginkang-nya sehingga dapat melenyapkan diri demikian cepatnya, akan tetapi tetap saja dia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu mampu mengalahkan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tak mudah untuk dikalahkan. Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apa lagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah dia lalu mengejar ke dalam dusun itu.

Ternyata oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau pun tokoh-tokoh lainnya, kecuali hanya beberapa belas orang anak buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.

Di dalam kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat dari pada perbuatan Lie Siong satu tahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini dapat terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.

Kemudian pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan pada waktu dia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api yang terang.

Ada pun Lo Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam dia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar wanita yang murka itu.

Kemudian, setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, dia pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa menghadapi Ang I Niocu, dia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu, masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk menolongnya apa bila perlu dan tenaganya mengijinkan.

Sebagaimana telah dikuatirkan oleh Lo Sian, ternyata benar saja kedatangan Ang I Niocu ini sudah diduga lebih dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu sampai di depan kuil yang terang sekali karena di sana dipasang banyak penerangan, dari dalam muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari Shan-tung yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio gundul pula yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!

Melihat asap hitam yang mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, Lo Sian segera maklum bahwa kakek mewah itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa dia sudah menanti kedatangan Ang I Niocu!

Akan tetapi Ang I Niocu tidak merasa takut seujung rambut pun, bahkan kemudian dia menudingkan pedang yang bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.

“Apakah engkau yang bernama Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong Sian?”

Mendengar pertanyaan yang sifatnya langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk menghilangkan kegelisahannya melihat wanita yang sangat hebat ini. “Ang I Niocu, suamimu tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau harus penasaran? Sebaliknya kaulah yang sudah melakukan perbuatan keterlaluan sekali, yaitu membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh seorang gagah?”

“Bangsat terkutuk! Mana suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertempur dalam pibu yang adil? Kau tentu sudah melakukan kecurangan seperti yang biasa kau lakukan. Kau mengira aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau, hendak kulihat bagaimana kau sampai mampu mengalahkan suamiku!” Sambil berkata demikian dengan mata menyala-nyala Ang I Niocu kemudian melompat mundur dan melambaikan pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.

Hati Ban Sai Cinjin menjadi gentar juga melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua dari sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan Ang I Niocu. Pedang itu mencorong dan mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Cahaya lampu yang banyak itu membuat pedang itu semakin berkilauan lagi. Oleh karena itu, dia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.

Mendadak terdengar suara ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru saja keluar dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi kawan-kawannya. Memang akhir-akhir ini di dalam kuil itu telah berkumpul beberapa belas orang hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan tetapi yang sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok kepala gundul dan jubah pendeta!

“Lihat, orang macam itu hendak melawan Suhu!” Hok Ti Hwesio berkata kepada kawan-kawannya atau boleh juga disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa menyeringai.

Melihat rombongan hwesio muda ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang seorang hwesio yang menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin sekali dia bertanya sambil memandang ke arah mereka,

“Aku pernah mendengar nama Hok Ti Hwesio, entah siapakah di antara kalian bernama begitu?”

Hok Ti Hwesio memperkeras suara tawanya, lalu berkata, “Ang I Niocu, kau disohorkan orang sebagai seorang pendekar wanita baju merah yang cantik bagai bidadari. Sekarang kau datang menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku? Hemm, akulah yang tidak mau, Niocu, karena biar pun bajumu masih merah, akan tetapi mukamu sudah amat tua, terlalu tua...”

Belum sempat Hok Ti Hwesio menutup mulutnya, tampaklah berkelebat bayangan merah yang didahului oleh sinar putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.

“Awas...!” teriak Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng.

Dengan kaget sekali Hok Ti Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga terhindar dari sambaran pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu. Dengan gerak tipu Trenggiling Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio langsung bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, Ang I Niocu terus mengejarnya!

Dua orang hwesio murid Hok Ti Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam menyambar, terbabat putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio muda yang lain menjadi ngeri dan mundur, ada pun Hok Ti Hwesio telah melompat berdiri.

Hwesio ini telah mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak takut. Dia mencabut pisau terbangnya dan begitu Ang I Niocu menyerang, dia cepat menyambut dengan pisaunya yang lihai. Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah terbabat putus!

Hok Ti Hwesio membaca mantera dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I Niocu, lalu membentak sambil mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang I Niocu. Inilah ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong roboh lawan.

Ang I Niocu merasa ada tenaga yang mukjijat menyambarnya dari arah depan. Cepat dia menggerakkan lengan kirinya, maka mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat itu ketika dia mengerahkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dia pelajari dari Bu Pun Su.

“Suhu... tolong...!” Akhirnya Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena dia benar-benar telah terdesak hebat.

Memang semenjak tadi Ban Sai Cinjin sudah hendak menolongnya dan sekarang hwesio mewah ini lalu mengayun huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang! Ang I Niocu yang sudah menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang kepala tanpa menengok lagi sambil mengirim pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya ke arah Hok Ti Hwesio.

Sungguh gerakan yang sangat luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari belakang tanpa menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang tidak mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sian-li Utauw yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.

“Traaang…!”

Ujung huncwe itu, yakni pada bagian kepalanya yang mengeluarkan asap hitam, terbabat rompal oleh pedang Liong-cu-kiam sehingga Ban Sai Cinjin lantas melompat ke belakang dengan kaget.

Ada pun Hok Ti Hwesio yang mengandalkan ilmu kebalnya yang lihai, hanya miringkan tubuhnya sambil membalas menyerang dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika dia merasa betapa dadanya yang sudah miring itu tetap terdorong oleh tenaga raksasa dari pukulan lawan ini. Ia tak dapat mempertahankan kedua kakinya lagi dan terlemparlah dia ke belakang!

Akan tetapi, dengan heran dan makin marah Ang I Niocu melihat betapa hwesio muda itu sama sekali tidak kelihatan sakit dan telah berdiri kembali. Namun Ang I Niocu tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya dan cepat pedangnya digerakkan secara luar biasa sekali ke arah tubuh hwesio itu.

Hok Ti Hwesio masih berusaha mengelak dan melompat, akan tetapi sinar pedang itu terus mengurungnya dari segenap penjuru sehingga tidak ada jalan keluar lagi baginya. Sesudah tiga kali dia berhasil mengelak, pada kali ke empat Liong-cu-kiam menembus pahanya sehingga dia roboh terguling bermandikan darah dan berkaok-kaok seperti babi disembelih! Akan tetapi sekejap kemudian, mulutnya tak dapat mengeluarkan suara lagi karena pedang Liong-cu-kiam secepat kilat telah menembus jantungnya!

Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin melihat muridnya yang tersayang sudah binasa di tangan Ang I Niocu. Maka, sambil berseru bagaikan guntur, dia menyerang lagi dengan huncwe-nya yang ujungnya telah gompal. Ada pun Wi Kong Siansu juga merasa sangat penasaran melihat sepak terjang Ang I Niocu yang tidak mengenal ampun.

“Ang I Niocu, sepak terjangmu bukan seperti seorang gagah, tapi lebih pantas seperti iblis wanita!” seru Wi Kong Siansu sambil melompat maju karena ia maklum bahwa sute-nya, Ban Sai Cinjin, agaknya bukan lawan wanita gagah ini.

“Wi Kong, tua bangka tak tahu malu! Kau juga sudah mengotorkan tanganmu dan turut membantu sute-mu membunuh suamiku. Tua bangka sesat, majulah kau untuk menerima hukuman dari Ang I Niocu!” seru Ang I Niocu dengan marah sekali.

Muka Wi Kong Siansu menjadi merah dan dia cepat mencabut pedangnya Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam) maka sebentar saja Ang I Niocu telah dikeroyok dua oleh Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.

Tingkat kepandaian Wi Kong Siansu memang lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin dan hal ini diketahui dengan cepat oleh Ang I Niocu. Gerakan pedang pada tangan Wi Kong Siansu selain sangat cepat dan berbahaya, juga tenaga lweekang dari tosu ini pun jauh lebih kuat dari pada Ban Sai Cinjin.

Akan tetapi, kalau saja Ang I Niocu hanya menghadapi Wi Kong Siansu seorang, dia tak akan kalah dan agaknya sulit bagi tosu itu untuk dapat mengimbangi permainan pedang yang luar biasa hebatnya dari pendekar wanita baju merah itu. Namun, dengan adanya Ban Sai Cinjin yang memainkan huncwe-nya secara hebat pula, Ang I Niocu menghadapi lawan yang amat tangguh.

Betapa pun juga, Ang I Niocu pun tidak memperlihatkan perasaan jeri, bahkan karena dia sedang marah dan sakit hati sekali, maka gerakan pedangnya adalah gerakan dari orang yang nekat dan hendak mengadu jiwa, maka masih kelihatan betapa Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin yang masih menyayangi jiwa sendiri itu selalu terdesak mundur!

Tentu saja hal ini mengagetkan orang-orang gagah yang berada di sana. Orang yang masih mampu mendesak mundur Wi Kong Siansu beserta Ban Sai Cinjin, sukar dicari keduanya di dunia ini!

Diam-diam Hailun Thai-lek Sam-kui menjadi amat gembira. Tangan mereka telah merasa gatal-gatal karena makin tangguh lawan, makin besar keinginan mereka untuk mencoba kepandaiannya.

Akhirnya, tiga orang kakek ini tak dapat menahan keinginannya lagi dan sambil berseru keras mereka lalu menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, sehingga kini Ang I Niocu dikeroyok lima!

Melihat hal ini, Lo Sian menjadi bingung sekali. Kalau ia maju membantu Ang I Niocu, hal itu takkan ada artinya sama sekali. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan bantuannya tidak akan menolong Ang I Niocu, bahkan jangan-jangan malah akan menghancurkan daya tahan dari pendekar wanita baju merah itu. Akhirnya ia mendapat akal dan larilah Pengemis Sakti ini ke belakang kuil itu.

Karena semua orang telah berlari ke depan, maka keadaan di belakang kuil sunyi sekali. Dengan enaknya Lo Sian lalu menurunkan lampu dan menggunakah minyak serta api untuk membakar kuil. Ia membakar bagian yang terisi banyak kertas maka sebentar saja kuil itu menjadi lautan api yang mengamuk dari bagian belakang!

Ketika itu Ang I Niocu sudah mulai terdesak hebat, sungguh pun pedang Liong-cu-kiam sudah membabat putus rantai besar milik Lak Mau Couwsu dan sudah melukai pundak Bouw Ki sehingga orang ke tiga dan ke dua dari Hailun Thai-lek Sam-kui tidak dapat lagi mengeroyok. Sebagai gantinya, kedua saudara Can kini telah maju mengeroyok.

Ang I Niocu mengertak gigi kemudian memutar pedangnya lebih hebat lagi. Karena dia tidak mudah merobahkan para pengeroyoknya, kini dia mulai mengincar hwesio-hwesio yang menjadi murid Hok Ti Hwesio dan yang masih merubung mayat Hok Ti Hwesio dengan muka pucat. Begitu ia mendapat kesempatan, Ang I Niocu melompat keluar dari kepungan lima orang pengeroyoknya dan menerjang kawanan hwesio itu yang menjadi geger. Kembali tiga orang hwesio telah roboh mandi darah dalam keadaan mati!

“Ang I Niocu manusia kejam!” Wi Kong Siansu membentak marah.

Akan tetapi pada saat itu Ang I Niocu telah mengejar dua orang hwesio lain yang lantas dibabatnya sehingga tubuh kedua orang ini putus menjadi dua! Diam-diam kelima orang pengeroyok ini menjadi ngeri juga menyaksikan keganasan Ang I Niocu yang betul-betul seperti telah berubah menjadi kejam itu. Dengan sepenuh tenaga, mereka mengerahkan kepandaian mereka untuk merobohkan Ang I Niocu.

Para pengeroyok Ang I Niocu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yan menduduki tingkat atas. Wi Kong Siansu mendapat julukan Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa), seorang tokoh dari Hek-kwi-san yang di samping memegang pedang Hek-kwi-kiam, juga mainkan ilmu pedang Hek-kwi Kiam-hoat. Ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tidak kalah oleh Ang I Niocu sendiri.

Juga Ban Sai Cinjin tadinya sudah amat lihai, dan akhir-akhir ini dia memperdalam ilmu silatnya lagi sehingga dia memperoleh kemajuan besar. Ilmu tongkatnya yang dimainkan dengan sebatang huncwe itu benar-benar merupakan tangan maut yang siap menjangkau nyawa lawan.

Pengeroyok ke tiga adalah Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Tiga Iblis Geledek dari Hailun. Baru julukannya saja sudah Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Kolong Langit), maka sudah dapat dibayangkan betapa lihainya payung yang dia mainkan!

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Pengeroyok ke empat dan ke lima adalah Can Po Gan dan Can Po Tin, kakak beradik jago dari Shan-tung yang memiliki kepandaian tinggi pula. Maka tentu saja setelah dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus lebih, akhirnya Ang I Niocu menjadi repot dan terdesak hebat sekali.

Beberapa kali dia telah menderita luka-luka hebat, akan tetapi berkat latihan-latihan dan pengalaman-pengalamannya, maka pendekar wanita ini masih mampu mempertahankan diri dan pada saat ia menerima sambaran senjata lawan yang mengenai dekat lehernya, ia telah dapat menancapkan pedangnya di lambung Can Po Tin hingga orang ini menjerit keras lalu roboh tak bernyawa pula!

Ang I Niocu terhuyung-huyung akan tetapi ia masih dapat melawan dengan nekat. Ketika Can Po Gan yang menjadi marah menerjangnya, pendekar wanita ini kembali menerima pukulan pada pundaknya, akan tetapi sekali tangan kirinya melancarkan pukulan Pek-in Hoat-sut ke arah dada Can Po Gan, orang ini langsung memekik keras dan terlempar ke belakang dengan dada pecah!

Pada saat itu juga nampak cahaya api dan kagetlah para pengeroyok Ang I Niocu ketika melihat betapa kuil itu kini telah menjadi lautan api! Ban Sai Cinjin adalah orang pertama yang merasa paling kaget dan marah. Ia sudah mendengar betapa rumah gedungnya di Tong-sin-bun telah menjadi abu, dan sekarang kembali kuilnya yang indah mentereng ini hendak dimakan api!

Maka dia lalu melompat meniggalkan Ang I Niocu untuk mengusahakan pemadaman api yang membakar kuil. Akan tetapi sia-sia belaka karena api telah menjalar dan nyalanya telah terlampau besar untuk dapat dipadamkan lagi.

Sementara itu, Ang I Niocu yang merasa betapa kepungannya kini agak longgar, lalu melompat ke belakang. Dia sudah terlalu letih dan merasa bahwa dia tidak kuat untuk melawan lagi. Dia melarikan diri ke belakang, dikejar oleh Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu, dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Kedua orang tosu ini hendak menangkap Ang I Niocu yang dianggapnya terlalu ganas dan kejam itu.

Sungguh pun Ang I Niocu memiliki ginkang yang luar biasa dan kalau sekiranya dia tidak terluka, kedua orang tokoh besar ini pun belum tentu bisa mengejarnya. Akan tetapi pada saat itu pendekar wanita ini sudah terluka hebat dan tubuhnya telah mandi darah yang mengucur dari luka-lukanya.

Ia mencoba untuk menguatkan tubuhnya, berdiri tegak menunggu kedatangan dua orang pengejarnya untuk dilawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba sepasang matanya menjadi gelap, kepalanya pening dan robohlah dia tidak sadarkan diri lagi! Dari belakang pohon melompat keluar Lo Sian yang cepat memondong tubuh Ang I Niocu, lalu dibawa lari ke dalam hutan.

Melihat hal ini, Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu menjadi marah sekali dan mengejar makin cepat. Sin-kai Lo Sian menjadi sibuk sekali karena bagaimana ia dapat melepaskan diri dari kejaran dua orang yang memiliki kepandaian berlari cepat jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya?

Dalam gugupnya, Lo Sian lalu lari sejadi-jadinya sehingga dia menubruk rumpun berduri dan terus saja jatuh bangun serta bergulingan sambil memondong tubuh Ang I Niocu! Betapa pun juga, tetap saja dia mendengar suara dua orang pengejarnya yang lihai.

Ketika Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu sudah hampir dapat menyusul Lo Sian, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan di dalam hutan itu muncul seorang kakek kate yang memegangi sebuah guci arak dan sebentar-sebentar menenggak isi ciu-ouw itu sambil melenggang dan kemudian bernyanyi-nyanyi riang! Kakek kate ini berjalan tepat di tengah lorong menghadang kedua orang tosu yang mengejar Lo Sian dan ketika mereka sudah berhadapan, kakek kate itu dengan suara masih dinyanyikan lalu menegur,

“Dua orang tua bangka mengejar-ngejar orang dengan senjata di tangan dan hawa maut terbayang di mata, sungguh mengerikan!”

Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu cepat memandang dan bukan main kaget hati mereka ketika melihat bahwa yang menghadang di depan mereka itu adalah Im-yang Giok-cu, tokoh besar di Pegunungan Kun-lun-san yang jarang sekali memperlihatkan diri di dunia ramai!

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak ini dahulu bersama Sin Kong Tianglo yang berjuluk Yok-ong (Si Raja Obat) pernah menjadi guru dari Goat Lan. Pada saat itu, dalam perantauannya Im-yang Giok-cu mendengar bahwa kitab obat Thian-te Ban-yo Pit-kip peninggalan sahabatnya, Sin Kong Tianglo yang dulu oleh dia sendiri diberikan kepada Goat Lan, telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin, maka malam hari ini ia memang sengaja hendak mencari Ban Sai Cinjin untuk urusan itu.

Kebetulan sekali di dalam hutan ini melihat Wi Kong Siansu dan Thian-te Te-it Siansu sedang mengejar-ngejar seorang pengemis yang membawa lari tubuh seorang nenek tua. Ia tidak mengenal Lo Sian, juga tidak tahu bahwa nenek tua yang dibawa lari oleh Lo Sian itu adalah Ang I Niocu, akan tetapi ia cukup tahu akan Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu yang kabarnya memusuhi muridnya, Goat Lan! Oleh karena inilah maka Im-yang Giok-cu sengaja menghadang mereka untuk menolong orang yang dikejar itu.

Wi Kong Siansu cepat mengangkat dua tangan memberi hormat lalu berkata, “Apa bila tidak salah, kami sedang berhadapan dengan sahabat dari Kun-lun-san Im-yang Giok-cu. Tidak tahu malam-malam begini hendak pergi ke manakah, Toyu (sebutan untuk kawan seagama To)?”

Karena Im-yang Giok-cu tidak mengenal Lo Sian dan mengerti bahwa kini orang yang dikejar itu sudah lari jauh dan di dalam gelap ini tidak mungkin dapat disusul lagi, ia pun tidak mau mencampuri urusan orang, hanya berkata,

“Wi Kong Siansu, aku hendak mencari sute-mu yang kabarnya sudah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari mendiang Sin Kong Tianglo sahabat baikku. Sute-mu harus mengembalikan kitab itu dengan baik-baik kepadaku untuk kukembalikan kepada muridku Kwee Goat Lan. Harap sute-mu suka memandang mukaku dan jangan main-main dengan seorang anak-anak seperti muridku itu.” Setelah berkata demikian, Si Kate ini kemudian menenggak guci araknya.

Thian-he Te-it Siansu yang memang suka sekali berkelahi dan sekarang sedang marah sekali karena dua orang sute-nya tadi sudah dikalahkan oleh Ang I Niocu, dengan sikap menantang, kakek yang sama katenya dengan Im-yang Giok-cu ini lalu melompat maju sambil menggerak-gerakkan payungnya dan berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau minggirlah dulu agar aku dapat menangkap setan wanita tadi! Ada urusan boleh diurus nanti.”

Akan tetapi Im-yang Giok-cu juga menggerak-gerakkan guci araknya dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa! Urusanku lebih penting lagi, urusanmu mengejar-ngejar dan mengeroyok orang yang sudah berlari, sungguh tidak patut dan dapat dihabiskan saja!”

Thian-he Te-it Siansu marah sekali dan cepat payungnya bergerak menyambar ke dada Im-yang Giok-cu. Akan tetapi Si Dewa Arak ini menggerakkan guci araknya menangkis.

“Krakk!”

Terdengar suara dan patahlah ujung payung orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sedangkan beberapa tetes arak melompat keluar dari guci itu dan tepat sekali dua tetes di antaranya menyambar lurus ke arah kedua mata Thian-he Te-it Siansu! Orang cebol ini terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur.

Wi Kong Siansu yang cerdik segera melerai. Dia lebih maklum bahwa tokoh besar dari Pegunungan Kun-lun ini adalah suhu dari Kwee Goat Lan dan tentu saja boleh disebut berpihak kepada Pendekar Bodoh besertas kawan-kawannya, dan dia maklum pula akan kelihaian kakek ini, maka dia lalu berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau tidak tahu bahwa kuil sute-ku telah terbakar, maka marilah kita bersama ke sana dan tentang kitab obat itu boleh kau tanyakan kepada sute-ku. Di antara kita sendiri, mengapa saling serang?”

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak, lalu menjawab, “Bagus, inilah baru ucapan seorang cerdik! Urusan harus diselesaikan dahulu, untuk pibu...” dia melirik Thian-he Te-it Siansu, “puncak Thian-san masih cukup luas, ada pun musim chun memang selalu menimbulkan kegembiraan pada semua orang untuk main-main!”

Mendengar sindiran ini, Wi Kong Siansu segera maklum bahwa kakek kate yang lihai ini sudah mendengar pula tentang tantangan pibu antara dia melawan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, maka diam-diam dia mengeluh.

Akan tetapi ketika mereka bertiga mendapatkan Ban Sai Cinjin di depan kuil, ternyata bahwa kuil itu semua telah dimakan api. Tak sepotong pun barang dapat diselamatkan, termasuk kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip juga ikut musnah terbakar.

Untuk membuktikan bahwa kitab itu betul-betul terbakar, Ban Sai Cinjin lalu minta kepada Im-yang Giok-cu untuk menanti sampai api betul-betul padam, kemudian ia membongkar tempat di mana kitab itu tadinya disimpan yaitu dalam sebuah peti. Peti itu telah menjadi abu dan pada waktu dibongkar, benar saja di dalamnya terdapat abu sebuah kitab yang samar-samar masih dapat dilihat tulisannya!

Im-yang Giok-cu menarik napas panjang dan berkata, “Kitab ini telah menyusul pemilik dan penulisnya. Sudahlah, aku tak dapat berkata apa-apa lagi!” Ia lalu melenggang pergi sambil menenggak araknya, tak seorang pun berani mencegah atau mengganggunya.

Ada pun Lo Sian yang dapat melarikan diri sambil memondong tubuh Ang I Niocu yang berlumur darah, tanpa disengaja telah lari ke atas bukit di tengah hutan di mana dahulu dia mengubur jenazah Lie Kong Sian! Bagaikan ada dewa yang menuntunnya, di dalam kebingungannya melarikan diri dari kedua orang pengejarnya, Lo Sian naik terus dan di antara pohon-pohon pek itu dia melihat ada serumpun bunga mawar hutan yang sedang berkembang. Maka saking lelahnya, ia lalu meletakkan tubuh Ang I Niocu di atas rumput.

Kemudian, pemandangan di sekitarnya serta keharuan hatinya melihat keadaan Ang I Niocu yang sudah tak mungkin dapat ditolong lagi itu, membuka matanya dan teringatlah ia akan pengalamannya dahulu. Melihat rumpun bunga mawar hutan itu, Lo Sian tiba-tiba lalu menubruk ke arah rumpun itu dan dibuka-bukanya rumpun itu seperti orang mencari sesuatu, dan nampaklah olehnya gundukan tanah di bawah rumpun itu.

Lo Sian mengeluh dan menangis karena sekarang dia teringat bahwa inilah kuburan Lie Kong Sian! Teringat pula dia ketika dahulu dia melarikan diri membawa jenazah Lie Kong Sian seperti yang dilakukannya dengan membawa tubuh Ang I Niocu tadi, dan betapa ia mengubur jenazah Lie Kong Sian di tempat itu.

Dan pada saat Lo Sian menangisi nasib Ang I Niocu dan suaminya itulah, Lili mendengar suaranya dan datang ke tempat itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lo Sian dan Lili akhirnya mengubur jenazah Ang I Niocu, pendekar wanita yang gagah itu, di sebelah makam suaminya yang telah meninggal dunia lebih dulu beberapa tahun yang lalu.

Pendekar Remaja Jilid 28

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 28

Lili berlutut dan mengangkat kepala pemuda itu, kemudian dipangkunya dan dengan sapu tangannya, dia menyusuti darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu membuka matanya dan tersenyum!

“Lili... akhirnya aku dapat menebus dosaku kepadamu... aku sudah tersesat... aku salah duga... ayahmu seorang pendekar besar, seorang budiman, ada pun ayahku... ayahku... dia... dia seperti aku... tersesat…” sampai di sini kedua mata pemuda itu mengalirkan air mata.

Lili tidak dapat menahan keharuan hatinya dan dia mendekap muka Kam Seng dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak! Walau pun tidak boleh bicara, gadis ini masih boleh menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.

“Lili... kau menangis...? Kau menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik... tak pantas menangisi seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng... Lili, terima kasih... sampaikan hormatku kepada ayah bundamu..., dan salamku kepada... kepada... semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun... tunanganmu...”

Maka habislah napas Kam Seng, pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir dapat menghembuskan napas penghabisan dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh hatinya!

Lili menggunakan tulisan untuk menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis ini masih memiliki banyak potongan uang emas, maka segala urusan penguburan jenazah Kam Seng dapat dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ menganggap bahwa dia adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa heran bahwa dia tidak dapat bicara.

Setelah beres mengurus pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang kebenciannya kepada Ban Sai Cinjin bertambah lagi, dan dia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati Song Kam Seng, pemuda yang malang itu.

Hatinya berdebar tidak enak kalau dia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng, yang menyebut-nyebut Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai di mana kebenaran ucapan ini? Ia tidak merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguh pun paman dari Kam Liong, yaitu Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu dulu pernah membikin dia marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara begitu saja!

Juga diam-diam ia merasa girang karena di dalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia sudah mempergunakan sejurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan yang sejurus itu telah membuat ia berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin!

Dia maklum bahwa sebelum dia memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, meski pun dia memegang pedang dan kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan semudah tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga hari kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.

Dari kota Kun-lip, Lili kemudian menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke Shaning, ia bermaksud untuk singgah terlebih dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk mencari kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Dia teringat pula bahwa Ang I Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh suaminya, maka dia kemudian mempercepat perjalanannya sebab ia pun merasa kuatir apa bila Ang I Niocu mengalami kecelakaan pula.

Menghadapi orang-orang seperti Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga amat curang dan licik, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, walau yang menghadapi mereka itu seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekali pun!

Ketika dia tiba di dusun Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar dan mewah, dia terkejut sekali karena gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan bumi dan menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah membakar bagian dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul telah habis dan menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?

Agar jangan menarik perhatian orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia diam-diam lalu meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan di mana terdapat kelenteng tempat Ban Sai Cinjin bersama kawan-kawannya bersembunyi itu. Dia sengaja menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia menggunakan kepandaiannya jalan malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.

Ketika dia tiba di sebuah hutan pohon pek di mana di tengahnya terdapat sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis di atas bukit kecil itu!

Kalau saja Lili bukan seorang yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram mendengar suara orang menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu. Akan tetapi, puteri Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan cepat menghampiri tempat itu!

Malam hari itu bulan muncul setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih terang dan permukaannya masih lebih dari separuhnya. Oleh karena sinar bulan memang mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi sekaligus juga menyeramkan, tergantung dari tempat di mana bulan mematulkan cahayanya, maka di dalam hutan itu kelihatan benar-benar mengerikan.

Pohon-pohon pek yang besar itu kini di bawah sinar bulan nampak laksana setan-setan raksasa sedang menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun merupakan binatang berbentuk aneh yang berwarna hitam, yang bersiap untuk menyeruduk siapa saja yang lewat di hutan itu.

Semua keseraman ini ditambah lagi oleh suara binatang hutan. Sudah sepatutnya kalau orang akan merasa lebih ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apa bila pada saat dan di tempat seperti itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!

Akan tetapil Lili yang sangat tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu siapa orangnya yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis. Ketika ia menyusup-nyusup di antara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil itu, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu mengeluarkan kata-kata yang amat jelas terdengar dan yang membuat wajahnya menjadi pucat sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara itu sambil menahan tindakan kakinya.

“Ang I Niocu... tidak kusangka akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang gagah perkasa. Ahh, kini aku teringat... aku teringat akan semua hal yang mengerikan itu...”

“Suhu...!” Lili berteriak pada saat mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang tadinya berada di benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu.

Gadis ini melompat dan setelah sampai di puncak bukit kecil di mana terdapat tanaman bunga mawar hutan yang amat lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang berlutut dan di depannya menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka-luka!

“Ie-ie Im Giok...!” jeritan Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis ini menubruk Ang I Niocu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus dipangkunya.

Ang I Niocu ternyata masih belum mati dan ketika dia memandang kepada Lili, bibirnya tersenyum! Karena cahaya bulan hanya suram-suram, maka sekarang wajah Ang I Niocu nampak cantik luar biasa dan senyumnya manis sekali, memlbuat hati Lili menjadi makin terharu.

“Ie-ie Im Giok, mengapa kau sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie Im Giok??” tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.

“Lili anak manis... tenanglah dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang... suamiku…” Ang I Niocu sukar sekali mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka hebat pula. Kemudian wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya Lo Sian menceritakan pengalamannya dahulu.

Karena maklum bahwa nyawa Ang I Niocu tak akan tertolong lagi, maka Lo Sian segera menuturkan dengan singkat pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong Sian, peristiwa yang sudah lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang tiba-tiba saja telah kembali dalam ingatannya.

“Aku ingat betul...” ia mulai dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Taihiap mengejar Bouw Hun Ti murid Ban Sai Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Taihiap hendak membalas dendam kepada Bouw Hun Ti yang sudah menculik Lili dan juga telah membunuh Yo-lo-enghiong (Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong Siansu. Pertempuran itu hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak akan kalah kalau saja pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan amat licik kakek mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti menyerang pula dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian Taihiap terkena pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan akhirnya tewaslah dia!” Lo Sian berhenti sebentar, sedangkan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak gemas sekali dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.

“Kemudian dengan sedikit akal, yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil kepala gundul Hok Ti Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap karena hendak mengambil jantungnya, akhirnya aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya di tempat ini.”

Demikianlah, Lo Sian kemudian menuturkan pengalamannya seperti yang telah dituturkan dengan jelas di dalam jilid terdahulu dari cerita ini.

Berkali-kali Ang I Niocu mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata, “Bangsat terkutuk Ban Sai Cinjin! Sayang aku tak memiliki kesempatan lagi untuk menghancurkan batok kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku sudah membalaskan dendam suamiku dan aku puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio serta menghancurkan kuil itu.” Setelah mengeluarkan ucapan ini dengan penuh kegemasan, kembali napasnya menjadi berat dan keadaannya payah sekali.

“Suhu, mengapa tidak merawat Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat....”

Lo Sian menggeleng kepalanya, dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala masih di pangkuan Lili, “Percuma, Lili... percuma... luka-lukaku amat berat... aku tak kuat lagi...!”

“Ie-ie Im Giok! Jangan berkata begitu, Ie-ie!” Lili menangis!

“Anak baik, setelah suamiku meninggal dan aku... aku sudah mendapatkan makamnya... apakah yang lebih baik selain... menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya, Hong Li, dan kau... sekali lagi kutanya... apakah kau membenci Siong-ji...?”

Bukan main terharunya hati Lili. Dia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya mampu menggelengkan kepalanya saja. Ia sendiri tak pernah dapat menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang kadang-kadang timbul rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan ini adalah karena ia teringat akan hubungan pemuda itu dengan... Lilani! Lebih tepat disebut cemburu dari pada gemas.

“Kalau begitu... Hong Li, berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya! Aku... aku akan merasa gembira sekali, dan juga ayahnya akan... puas melihat kau sebagai... mantunya! Sukakah kau, Hong Li...!”

Lili tentu saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini, meski pun ia dapat mengerti bahwa pertanyaan ini keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang harus dijawab.

“Ie-ie Im Giok, kenapa kau tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab, Ie-ie? Urusan pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”

“Cin Hai dan Lin Lin tentu akan setuju…,” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu berkata kepada Lo Sian, “Lo-enghiong, kau... kuserahi kekuasaan untuk... menjadi wakilku... untuk menjadi wali dari Siong-ji... engkaulah yang akan mengajukan lamaran kepada Pendekar Bodoh...”

“Tentu, Ang I Niocu, tentu aku suka sekali. Aku merasa sangat terhormat untuk menjadi wakilmu dalam hal ini,” jawab Lo Sian dengan terharu.

Keadaan Ang I Niocu makin lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian serta menyebut nama Lie Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir di dalam pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.

Setelah menangisi kematian Ang I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian lalu menguburkan jenazah Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian. Kemudian mereka duduk menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu menuturkan keadaan dan pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari penuturan Ang I Niocu sendiri sebelum Lili datang.

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah berkumpul sebentar dengan Lili, Ang I Niocu dengan hati marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul puteranya. Dari gadis inilah pertama kali dia mendengar bahwa suaminya telah terbunuh orang, dan bahwa Lie Siong telah melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh itu.

Sampai beberapa lamanya dia merantau ke selatan, sehingga akhirnya pergilah dia ke Tong-sin-bun, karena dari Lili dia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga dia ingin sekali bertemu dan memberi hajaran kepada Ban Sai Cinjin, juga hendak mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.

Ketika ia tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum Ang I Niocu sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,

“Bukankah Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”

“Sin-kai Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”

“Siauwte tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak pernah saling bertemu lagi.”

Ang I Niocu mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata, “Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku sudah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendak anak itu? Apakah betul kau mengetahui siapa pembunuh suamiku?”

Lo Sian mengangguk. “Tidak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap adalah Ban Sai Cinjin.”

Kemudian Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika dia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku sudah membunuh Lie Kong Sian.

“Jadi kau sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan di mana pula dia dikubur?” Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan kemarahan.

Lo Sian menggeleng kepalanya dengan sedih. “Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum mendapatkan ingatanku kembali. Aku sengaja datang ke sini untuk menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas...”

“Tentu saja aku hendak menuntut balas! Di mana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu memotong dengan tak sabar lagi.

“Nanti dulu, Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biar pun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan sanggup mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang menjadi suheng-nya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang walau pun hanya menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”

“Lekas katakan, di mana letak rumahnya dan di mana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.

Lo Sian menjadi heran sekali, dan melihat kemarahan orang dia tidak berani membantah lagi. Dia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh, maka dia lalu cepat-cepat memberi petunjuk di mana adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan di mana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.

Setelah mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih segera menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya.

Ia percaya penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan ginkang-nya sehingga dapat melenyapkan diri demikian cepatnya, akan tetapi tetap saja dia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu mampu mengalahkan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tak mudah untuk dikalahkan. Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apa lagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah dia lalu mengejar ke dalam dusun itu.

Ternyata oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau pun tokoh-tokoh lainnya, kecuali hanya beberapa belas orang anak buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.

Di dalam kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat dari pada perbuatan Lie Siong satu tahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini dapat terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.

Kemudian pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan pada waktu dia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api yang terang.

Ada pun Lo Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam dia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar wanita yang murka itu.

Kemudian, setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, dia pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa menghadapi Ang I Niocu, dia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu, masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk menolongnya apa bila perlu dan tenaganya mengijinkan.

Sebagaimana telah dikuatirkan oleh Lo Sian, ternyata benar saja kedatangan Ang I Niocu ini sudah diduga lebih dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu sampai di depan kuil yang terang sekali karena di sana dipasang banyak penerangan, dari dalam muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari Shan-tung yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio gundul pula yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!

Melihat asap hitam yang mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, Lo Sian segera maklum bahwa kakek mewah itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa dia sudah menanti kedatangan Ang I Niocu!

Akan tetapi Ang I Niocu tidak merasa takut seujung rambut pun, bahkan kemudian dia menudingkan pedang yang bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.

“Apakah engkau yang bernama Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong Sian?”

Mendengar pertanyaan yang sifatnya langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk menghilangkan kegelisahannya melihat wanita yang sangat hebat ini. “Ang I Niocu, suamimu tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau harus penasaran? Sebaliknya kaulah yang sudah melakukan perbuatan keterlaluan sekali, yaitu membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh seorang gagah?”

“Bangsat terkutuk! Mana suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertempur dalam pibu yang adil? Kau tentu sudah melakukan kecurangan seperti yang biasa kau lakukan. Kau mengira aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau, hendak kulihat bagaimana kau sampai mampu mengalahkan suamiku!” Sambil berkata demikian dengan mata menyala-nyala Ang I Niocu kemudian melompat mundur dan melambaikan pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.

Hati Ban Sai Cinjin menjadi gentar juga melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua dari sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan Ang I Niocu. Pedang itu mencorong dan mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Cahaya lampu yang banyak itu membuat pedang itu semakin berkilauan lagi. Oleh karena itu, dia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.

Mendadak terdengar suara ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru saja keluar dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi kawan-kawannya. Memang akhir-akhir ini di dalam kuil itu telah berkumpul beberapa belas orang hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan tetapi yang sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok kepala gundul dan jubah pendeta!

“Lihat, orang macam itu hendak melawan Suhu!” Hok Ti Hwesio berkata kepada kawan-kawannya atau boleh juga disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa menyeringai.

Melihat rombongan hwesio muda ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang seorang hwesio yang menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin sekali dia bertanya sambil memandang ke arah mereka,

“Aku pernah mendengar nama Hok Ti Hwesio, entah siapakah di antara kalian bernama begitu?”

Hok Ti Hwesio memperkeras suara tawanya, lalu berkata, “Ang I Niocu, kau disohorkan orang sebagai seorang pendekar wanita baju merah yang cantik bagai bidadari. Sekarang kau datang menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku? Hemm, akulah yang tidak mau, Niocu, karena biar pun bajumu masih merah, akan tetapi mukamu sudah amat tua, terlalu tua...”

Belum sempat Hok Ti Hwesio menutup mulutnya, tampaklah berkelebat bayangan merah yang didahului oleh sinar putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.

“Awas...!” teriak Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng.

Dengan kaget sekali Hok Ti Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga terhindar dari sambaran pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu. Dengan gerak tipu Trenggiling Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio langsung bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, Ang I Niocu terus mengejarnya!

Dua orang hwesio murid Hok Ti Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam menyambar, terbabat putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio muda yang lain menjadi ngeri dan mundur, ada pun Hok Ti Hwesio telah melompat berdiri.

Hwesio ini telah mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak takut. Dia mencabut pisau terbangnya dan begitu Ang I Niocu menyerang, dia cepat menyambut dengan pisaunya yang lihai. Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah terbabat putus!

Hok Ti Hwesio membaca mantera dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I Niocu, lalu membentak sambil mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang I Niocu. Inilah ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong roboh lawan.

Ang I Niocu merasa ada tenaga yang mukjijat menyambarnya dari arah depan. Cepat dia menggerakkan lengan kirinya, maka mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat itu ketika dia mengerahkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dia pelajari dari Bu Pun Su.

“Suhu... tolong...!” Akhirnya Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena dia benar-benar telah terdesak hebat.

Memang semenjak tadi Ban Sai Cinjin sudah hendak menolongnya dan sekarang hwesio mewah ini lalu mengayun huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang! Ang I Niocu yang sudah menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang kepala tanpa menengok lagi sambil mengirim pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya ke arah Hok Ti Hwesio.

Sungguh gerakan yang sangat luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari belakang tanpa menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang tidak mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sian-li Utauw yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.

“Traaang…!”

Ujung huncwe itu, yakni pada bagian kepalanya yang mengeluarkan asap hitam, terbabat rompal oleh pedang Liong-cu-kiam sehingga Ban Sai Cinjin lantas melompat ke belakang dengan kaget.

Ada pun Hok Ti Hwesio yang mengandalkan ilmu kebalnya yang lihai, hanya miringkan tubuhnya sambil membalas menyerang dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika dia merasa betapa dadanya yang sudah miring itu tetap terdorong oleh tenaga raksasa dari pukulan lawan ini. Ia tak dapat mempertahankan kedua kakinya lagi dan terlemparlah dia ke belakang!

Akan tetapi, dengan heran dan makin marah Ang I Niocu melihat betapa hwesio muda itu sama sekali tidak kelihatan sakit dan telah berdiri kembali. Namun Ang I Niocu tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya dan cepat pedangnya digerakkan secara luar biasa sekali ke arah tubuh hwesio itu.

Hok Ti Hwesio masih berusaha mengelak dan melompat, akan tetapi sinar pedang itu terus mengurungnya dari segenap penjuru sehingga tidak ada jalan keluar lagi baginya. Sesudah tiga kali dia berhasil mengelak, pada kali ke empat Liong-cu-kiam menembus pahanya sehingga dia roboh terguling bermandikan darah dan berkaok-kaok seperti babi disembelih! Akan tetapi sekejap kemudian, mulutnya tak dapat mengeluarkan suara lagi karena pedang Liong-cu-kiam secepat kilat telah menembus jantungnya!

Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin melihat muridnya yang tersayang sudah binasa di tangan Ang I Niocu. Maka, sambil berseru bagaikan guntur, dia menyerang lagi dengan huncwe-nya yang ujungnya telah gompal. Ada pun Wi Kong Siansu juga merasa sangat penasaran melihat sepak terjang Ang I Niocu yang tidak mengenal ampun.

“Ang I Niocu, sepak terjangmu bukan seperti seorang gagah, tapi lebih pantas seperti iblis wanita!” seru Wi Kong Siansu sambil melompat maju karena ia maklum bahwa sute-nya, Ban Sai Cinjin, agaknya bukan lawan wanita gagah ini.

“Wi Kong, tua bangka tak tahu malu! Kau juga sudah mengotorkan tanganmu dan turut membantu sute-mu membunuh suamiku. Tua bangka sesat, majulah kau untuk menerima hukuman dari Ang I Niocu!” seru Ang I Niocu dengan marah sekali.

Muka Wi Kong Siansu menjadi merah dan dia cepat mencabut pedangnya Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam) maka sebentar saja Ang I Niocu telah dikeroyok dua oleh Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.

Tingkat kepandaian Wi Kong Siansu memang lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin dan hal ini diketahui dengan cepat oleh Ang I Niocu. Gerakan pedang pada tangan Wi Kong Siansu selain sangat cepat dan berbahaya, juga tenaga lweekang dari tosu ini pun jauh lebih kuat dari pada Ban Sai Cinjin.

Akan tetapi, kalau saja Ang I Niocu hanya menghadapi Wi Kong Siansu seorang, dia tak akan kalah dan agaknya sulit bagi tosu itu untuk dapat mengimbangi permainan pedang yang luar biasa hebatnya dari pendekar wanita baju merah itu. Namun, dengan adanya Ban Sai Cinjin yang memainkan huncwe-nya secara hebat pula, Ang I Niocu menghadapi lawan yang amat tangguh.

Betapa pun juga, Ang I Niocu pun tidak memperlihatkan perasaan jeri, bahkan karena dia sedang marah dan sakit hati sekali, maka gerakan pedangnya adalah gerakan dari orang yang nekat dan hendak mengadu jiwa, maka masih kelihatan betapa Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin yang masih menyayangi jiwa sendiri itu selalu terdesak mundur!

Tentu saja hal ini mengagetkan orang-orang gagah yang berada di sana. Orang yang masih mampu mendesak mundur Wi Kong Siansu beserta Ban Sai Cinjin, sukar dicari keduanya di dunia ini!

Diam-diam Hailun Thai-lek Sam-kui menjadi amat gembira. Tangan mereka telah merasa gatal-gatal karena makin tangguh lawan, makin besar keinginan mereka untuk mencoba kepandaiannya.

Akhirnya, tiga orang kakek ini tak dapat menahan keinginannya lagi dan sambil berseru keras mereka lalu menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, sehingga kini Ang I Niocu dikeroyok lima!

Melihat hal ini, Lo Sian menjadi bingung sekali. Kalau ia maju membantu Ang I Niocu, hal itu takkan ada artinya sama sekali. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan bantuannya tidak akan menolong Ang I Niocu, bahkan jangan-jangan malah akan menghancurkan daya tahan dari pendekar wanita baju merah itu. Akhirnya ia mendapat akal dan larilah Pengemis Sakti ini ke belakang kuil itu.

Karena semua orang telah berlari ke depan, maka keadaan di belakang kuil sunyi sekali. Dengan enaknya Lo Sian lalu menurunkan lampu dan menggunakah minyak serta api untuk membakar kuil. Ia membakar bagian yang terisi banyak kertas maka sebentar saja kuil itu menjadi lautan api yang mengamuk dari bagian belakang!

Ketika itu Ang I Niocu sudah mulai terdesak hebat, sungguh pun pedang Liong-cu-kiam sudah membabat putus rantai besar milik Lak Mau Couwsu dan sudah melukai pundak Bouw Ki sehingga orang ke tiga dan ke dua dari Hailun Thai-lek Sam-kui tidak dapat lagi mengeroyok. Sebagai gantinya, kedua saudara Can kini telah maju mengeroyok.

Ang I Niocu mengertak gigi kemudian memutar pedangnya lebih hebat lagi. Karena dia tidak mudah merobahkan para pengeroyoknya, kini dia mulai mengincar hwesio-hwesio yang menjadi murid Hok Ti Hwesio dan yang masih merubung mayat Hok Ti Hwesio dengan muka pucat. Begitu ia mendapat kesempatan, Ang I Niocu melompat keluar dari kepungan lima orang pengeroyoknya dan menerjang kawanan hwesio itu yang menjadi geger. Kembali tiga orang hwesio telah roboh mandi darah dalam keadaan mati!

“Ang I Niocu manusia kejam!” Wi Kong Siansu membentak marah.

Akan tetapi pada saat itu Ang I Niocu telah mengejar dua orang hwesio lain yang lantas dibabatnya sehingga tubuh kedua orang ini putus menjadi dua! Diam-diam kelima orang pengeroyok ini menjadi ngeri juga menyaksikan keganasan Ang I Niocu yang betul-betul seperti telah berubah menjadi kejam itu. Dengan sepenuh tenaga, mereka mengerahkan kepandaian mereka untuk merobohkan Ang I Niocu.

Para pengeroyok Ang I Niocu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yan menduduki tingkat atas. Wi Kong Siansu mendapat julukan Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa), seorang tokoh dari Hek-kwi-san yang di samping memegang pedang Hek-kwi-kiam, juga mainkan ilmu pedang Hek-kwi Kiam-hoat. Ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tidak kalah oleh Ang I Niocu sendiri.

Juga Ban Sai Cinjin tadinya sudah amat lihai, dan akhir-akhir ini dia memperdalam ilmu silatnya lagi sehingga dia memperoleh kemajuan besar. Ilmu tongkatnya yang dimainkan dengan sebatang huncwe itu benar-benar merupakan tangan maut yang siap menjangkau nyawa lawan.

Pengeroyok ke tiga adalah Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Tiga Iblis Geledek dari Hailun. Baru julukannya saja sudah Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Kolong Langit), maka sudah dapat dibayangkan betapa lihainya payung yang dia mainkan!

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Pengeroyok ke empat dan ke lima adalah Can Po Gan dan Can Po Tin, kakak beradik jago dari Shan-tung yang memiliki kepandaian tinggi pula. Maka tentu saja setelah dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus lebih, akhirnya Ang I Niocu menjadi repot dan terdesak hebat sekali.

Beberapa kali dia telah menderita luka-luka hebat, akan tetapi berkat latihan-latihan dan pengalaman-pengalamannya, maka pendekar wanita ini masih mampu mempertahankan diri dan pada saat ia menerima sambaran senjata lawan yang mengenai dekat lehernya, ia telah dapat menancapkan pedangnya di lambung Can Po Tin hingga orang ini menjerit keras lalu roboh tak bernyawa pula!

Ang I Niocu terhuyung-huyung akan tetapi ia masih dapat melawan dengan nekat. Ketika Can Po Gan yang menjadi marah menerjangnya, pendekar wanita ini kembali menerima pukulan pada pundaknya, akan tetapi sekali tangan kirinya melancarkan pukulan Pek-in Hoat-sut ke arah dada Can Po Gan, orang ini langsung memekik keras dan terlempar ke belakang dengan dada pecah!

Pada saat itu juga nampak cahaya api dan kagetlah para pengeroyok Ang I Niocu ketika melihat betapa kuil itu kini telah menjadi lautan api! Ban Sai Cinjin adalah orang pertama yang merasa paling kaget dan marah. Ia sudah mendengar betapa rumah gedungnya di Tong-sin-bun telah menjadi abu, dan sekarang kembali kuilnya yang indah mentereng ini hendak dimakan api!

Maka dia lalu melompat meniggalkan Ang I Niocu untuk mengusahakan pemadaman api yang membakar kuil. Akan tetapi sia-sia belaka karena api telah menjalar dan nyalanya telah terlampau besar untuk dapat dipadamkan lagi.

Sementara itu, Ang I Niocu yang merasa betapa kepungannya kini agak longgar, lalu melompat ke belakang. Dia sudah terlalu letih dan merasa bahwa dia tidak kuat untuk melawan lagi. Dia melarikan diri ke belakang, dikejar oleh Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu, dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Kedua orang tosu ini hendak menangkap Ang I Niocu yang dianggapnya terlalu ganas dan kejam itu.

Sungguh pun Ang I Niocu memiliki ginkang yang luar biasa dan kalau sekiranya dia tidak terluka, kedua orang tokoh besar ini pun belum tentu bisa mengejarnya. Akan tetapi pada saat itu pendekar wanita ini sudah terluka hebat dan tubuhnya telah mandi darah yang mengucur dari luka-lukanya.

Ia mencoba untuk menguatkan tubuhnya, berdiri tegak menunggu kedatangan dua orang pengejarnya untuk dilawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba sepasang matanya menjadi gelap, kepalanya pening dan robohlah dia tidak sadarkan diri lagi! Dari belakang pohon melompat keluar Lo Sian yang cepat memondong tubuh Ang I Niocu, lalu dibawa lari ke dalam hutan.

Melihat hal ini, Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu menjadi marah sekali dan mengejar makin cepat. Sin-kai Lo Sian menjadi sibuk sekali karena bagaimana ia dapat melepaskan diri dari kejaran dua orang yang memiliki kepandaian berlari cepat jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya?

Dalam gugupnya, Lo Sian lalu lari sejadi-jadinya sehingga dia menubruk rumpun berduri dan terus saja jatuh bangun serta bergulingan sambil memondong tubuh Ang I Niocu! Betapa pun juga, tetap saja dia mendengar suara dua orang pengejarnya yang lihai.

Ketika Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu sudah hampir dapat menyusul Lo Sian, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan di dalam hutan itu muncul seorang kakek kate yang memegangi sebuah guci arak dan sebentar-sebentar menenggak isi ciu-ouw itu sambil melenggang dan kemudian bernyanyi-nyanyi riang! Kakek kate ini berjalan tepat di tengah lorong menghadang kedua orang tosu yang mengejar Lo Sian dan ketika mereka sudah berhadapan, kakek kate itu dengan suara masih dinyanyikan lalu menegur,

“Dua orang tua bangka mengejar-ngejar orang dengan senjata di tangan dan hawa maut terbayang di mata, sungguh mengerikan!”

Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu cepat memandang dan bukan main kaget hati mereka ketika melihat bahwa yang menghadang di depan mereka itu adalah Im-yang Giok-cu, tokoh besar di Pegunungan Kun-lun-san yang jarang sekali memperlihatkan diri di dunia ramai!

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak ini dahulu bersama Sin Kong Tianglo yang berjuluk Yok-ong (Si Raja Obat) pernah menjadi guru dari Goat Lan. Pada saat itu, dalam perantauannya Im-yang Giok-cu mendengar bahwa kitab obat Thian-te Ban-yo Pit-kip peninggalan sahabatnya, Sin Kong Tianglo yang dulu oleh dia sendiri diberikan kepada Goat Lan, telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin, maka malam hari ini ia memang sengaja hendak mencari Ban Sai Cinjin untuk urusan itu.

Kebetulan sekali di dalam hutan ini melihat Wi Kong Siansu dan Thian-te Te-it Siansu sedang mengejar-ngejar seorang pengemis yang membawa lari tubuh seorang nenek tua. Ia tidak mengenal Lo Sian, juga tidak tahu bahwa nenek tua yang dibawa lari oleh Lo Sian itu adalah Ang I Niocu, akan tetapi ia cukup tahu akan Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu yang kabarnya memusuhi muridnya, Goat Lan! Oleh karena inilah maka Im-yang Giok-cu sengaja menghadang mereka untuk menolong orang yang dikejar itu.

Wi Kong Siansu cepat mengangkat dua tangan memberi hormat lalu berkata, “Apa bila tidak salah, kami sedang berhadapan dengan sahabat dari Kun-lun-san Im-yang Giok-cu. Tidak tahu malam-malam begini hendak pergi ke manakah, Toyu (sebutan untuk kawan seagama To)?”

Karena Im-yang Giok-cu tidak mengenal Lo Sian dan mengerti bahwa kini orang yang dikejar itu sudah lari jauh dan di dalam gelap ini tidak mungkin dapat disusul lagi, ia pun tidak mau mencampuri urusan orang, hanya berkata,

“Wi Kong Siansu, aku hendak mencari sute-mu yang kabarnya sudah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari mendiang Sin Kong Tianglo sahabat baikku. Sute-mu harus mengembalikan kitab itu dengan baik-baik kepadaku untuk kukembalikan kepada muridku Kwee Goat Lan. Harap sute-mu suka memandang mukaku dan jangan main-main dengan seorang anak-anak seperti muridku itu.” Setelah berkata demikian, Si Kate ini kemudian menenggak guci araknya.

Thian-he Te-it Siansu yang memang suka sekali berkelahi dan sekarang sedang marah sekali karena dua orang sute-nya tadi sudah dikalahkan oleh Ang I Niocu, dengan sikap menantang, kakek yang sama katenya dengan Im-yang Giok-cu ini lalu melompat maju sambil menggerak-gerakkan payungnya dan berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau minggirlah dulu agar aku dapat menangkap setan wanita tadi! Ada urusan boleh diurus nanti.”

Akan tetapi Im-yang Giok-cu juga menggerak-gerakkan guci araknya dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa! Urusanku lebih penting lagi, urusanmu mengejar-ngejar dan mengeroyok orang yang sudah berlari, sungguh tidak patut dan dapat dihabiskan saja!”

Thian-he Te-it Siansu marah sekali dan cepat payungnya bergerak menyambar ke dada Im-yang Giok-cu. Akan tetapi Si Dewa Arak ini menggerakkan guci araknya menangkis.

“Krakk!”

Terdengar suara dan patahlah ujung payung orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sedangkan beberapa tetes arak melompat keluar dari guci itu dan tepat sekali dua tetes di antaranya menyambar lurus ke arah kedua mata Thian-he Te-it Siansu! Orang cebol ini terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur.

Wi Kong Siansu yang cerdik segera melerai. Dia lebih maklum bahwa tokoh besar dari Pegunungan Kun-lun ini adalah suhu dari Kwee Goat Lan dan tentu saja boleh disebut berpihak kepada Pendekar Bodoh besertas kawan-kawannya, dan dia maklum pula akan kelihaian kakek ini, maka dia lalu berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau tidak tahu bahwa kuil sute-ku telah terbakar, maka marilah kita bersama ke sana dan tentang kitab obat itu boleh kau tanyakan kepada sute-ku. Di antara kita sendiri, mengapa saling serang?”

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak, lalu menjawab, “Bagus, inilah baru ucapan seorang cerdik! Urusan harus diselesaikan dahulu, untuk pibu...” dia melirik Thian-he Te-it Siansu, “puncak Thian-san masih cukup luas, ada pun musim chun memang selalu menimbulkan kegembiraan pada semua orang untuk main-main!”

Mendengar sindiran ini, Wi Kong Siansu segera maklum bahwa kakek kate yang lihai ini sudah mendengar pula tentang tantangan pibu antara dia melawan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, maka diam-diam dia mengeluh.

Akan tetapi ketika mereka bertiga mendapatkan Ban Sai Cinjin di depan kuil, ternyata bahwa kuil itu semua telah dimakan api. Tak sepotong pun barang dapat diselamatkan, termasuk kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip juga ikut musnah terbakar.

Untuk membuktikan bahwa kitab itu betul-betul terbakar, Ban Sai Cinjin lalu minta kepada Im-yang Giok-cu untuk menanti sampai api betul-betul padam, kemudian ia membongkar tempat di mana kitab itu tadinya disimpan yaitu dalam sebuah peti. Peti itu telah menjadi abu dan pada waktu dibongkar, benar saja di dalamnya terdapat abu sebuah kitab yang samar-samar masih dapat dilihat tulisannya!

Im-yang Giok-cu menarik napas panjang dan berkata, “Kitab ini telah menyusul pemilik dan penulisnya. Sudahlah, aku tak dapat berkata apa-apa lagi!” Ia lalu melenggang pergi sambil menenggak araknya, tak seorang pun berani mencegah atau mengganggunya.

Ada pun Lo Sian yang dapat melarikan diri sambil memondong tubuh Ang I Niocu yang berlumur darah, tanpa disengaja telah lari ke atas bukit di tengah hutan di mana dahulu dia mengubur jenazah Lie Kong Sian! Bagaikan ada dewa yang menuntunnya, di dalam kebingungannya melarikan diri dari kedua orang pengejarnya, Lo Sian naik terus dan di antara pohon-pohon pek itu dia melihat ada serumpun bunga mawar hutan yang sedang berkembang. Maka saking lelahnya, ia lalu meletakkan tubuh Ang I Niocu di atas rumput.

Kemudian, pemandangan di sekitarnya serta keharuan hatinya melihat keadaan Ang I Niocu yang sudah tak mungkin dapat ditolong lagi itu, membuka matanya dan teringatlah ia akan pengalamannya dahulu. Melihat rumpun bunga mawar hutan itu, Lo Sian tiba-tiba lalu menubruk ke arah rumpun itu dan dibuka-bukanya rumpun itu seperti orang mencari sesuatu, dan nampaklah olehnya gundukan tanah di bawah rumpun itu.

Lo Sian mengeluh dan menangis karena sekarang dia teringat bahwa inilah kuburan Lie Kong Sian! Teringat pula dia ketika dahulu dia melarikan diri membawa jenazah Lie Kong Sian seperti yang dilakukannya dengan membawa tubuh Ang I Niocu tadi, dan betapa ia mengubur jenazah Lie Kong Sian di tempat itu.

Dan pada saat Lo Sian menangisi nasib Ang I Niocu dan suaminya itulah, Lili mendengar suaranya dan datang ke tempat itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lo Sian dan Lili akhirnya mengubur jenazah Ang I Niocu, pendekar wanita yang gagah itu, di sebelah makam suaminya yang telah meninggal dunia lebih dulu beberapa tahun yang lalu.