Pendekar Remaja Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 21

Lo Sian merasa ngeri melihat mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat tajam, seakan-akan hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah mata Ang I Niocu, Pendekar Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan dunia persilatan.

“Sayang sekali, orang muda. Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku sendiri pun tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”

“Lopek, harap kau orang tua jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan tetapi sekarang kau menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”

“Aku bicara sebenarnya, anak muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga membohong kepadamu. Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu apa yang telah terjadi dahulu. Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat Thian Kek Hwesio sampai sekarang. Sebelum itu, yang teringat olehku hanya bahwa ayahmu telah meninggal dunia.”

“Di mana matinya dan bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.

Lo Sian menarik napas panjang. “Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan kukerjakan pertama-tama kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang ayahmu itu. Akan tetapi apa daya, pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku untuk hidup hampir musnah karena aku telah berusaha mengingat-ingat tanpa hasil sedikit pun juga. Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”

Lo Sian lalu menceritakan semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula semua pengalamannya yang didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia dulu menolong Lili.

“Ahh, sampai sekarang aku tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku disembuhkan oleh Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di depan mataku, yaitu ayahmu yang telah meninggal dan ucapan pemakan jantung yang selama ini membuatku tak dapat tidur.”

Lie Siong mengerutkan alisnya. Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja sembuh dari sakit gila?

“Betapa pun juga, anak muda. Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam keadaan yang mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat kuburannya, tentu akan mengenal tempat itu.”

Timbul kembali harapan Lie Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kalau begitu, Lopek. Terpaksa kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau benar-benar dia telah meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”

“Boleh, boleh! Hanya saja... bagaimana dengan Lili?”

“Lili siapa?”

“Sie Hong Li, nona yang kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak atau keponakanku sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”

“Biar saja, dia bukan anak kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri,” jawab Lie Siong tegas.

“Ke mana kita akan pergi?”

“Sudah kukatakan tadi, mencari makam ayah.”

“Setelah itu?”

“Aku akan mengantarkan seorang gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”

Lo Sian teringat akan cerita Lili. “Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”

Merah muka Lie Siong. “Jangan berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani, seorang gadis Haimi yang kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia menderita penyakit pikiran dan kutinggalkan di rumah Thian Kek Hwesio. Kita sekarang menuju ke sana untuk melihat keadaannya.”

Lo Sian tertegun mendengar kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis yang berhati keras, akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!

“Baiklah, aku menurut saja, karena aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang pendekar besar. Biar pun aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku dahulu tentu pernah ditolong oleh ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau sekarang aku membantumu mencarikan makamnya. Jangan sekali-kali kau menganggap kepergianku denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu, anak muda. Ahh, bukan sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun aku Sin-kai Lo Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu karena aku pun ingin sekali mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian ayahmu.”

Lie Siong mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang dianggapnya cukup gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah kedua orang ini menuju ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang bernasib malang itu. Tentu saja sebagai seorang yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lie Siong tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.

Dengan hati girang Lie Siong mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja gadis ini sekarang berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak nasehat dan petuah dari Thian Kek Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini menganggap Thian Kek Hwesio sebagai satu-satunya orang yang dapat diajak bertukar pikiran. Pendeta tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham dengan bahasa Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah tenang dan sabar.

“Itulah salahnya bila orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang sudah jauh lebih tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang gadis seperti engkau melakukan perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti Lie Siong yang tampan dan gagah. Mudah sekali bagi iblis untuk mengganggu kalian.” Hwesio itu menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau memang benar-benar sudah merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda itu, jalan satu-satunya bagimu adalah kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu dan kebiasaan Lie Siong, sebagai seorang gadis Haimi dan seorang pemuda Han tidak cocok sekali. Kau biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat oleh peraturan-peraturan kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu terlepas sedikit saja, akan membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau menikah denganmu, akan tetapi kalau hal demikian tidak terjadi, jalan satu-satunya adalah seperti yang kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”

Lilani mendengarkan nasehat ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai mengucur. Alangkah besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia juga dapat merasakan bahwa pemuda itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar nasehat dari Thian Kek Hwesio, memang dia sudah mengambil keputusan untuk kembali kepada bangsanya, dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.

Demikianlah, ketika Lie Siong datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam kamarnya dan berkata, “Anak muda she Lie. Pinceng telah mendengar semua penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan saja terus terang kepada pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”

Lie Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya. Akan tetapi pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan berkata, “Betapa pun juga, Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan meninggalkan dia begitu saja. Aku akan menjaganya, kalau perlu mengambilnya sebagai adik angkat, atau… bagaimana saja menurut sekehendak hatinya asalkan... asalkan jangan menjadi suaminya!”

“Pinceng maklum akan isi hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau mengakui kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis itu, kau boleh disebut orang baik.”

“Aku akan mencari suku bangsa Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu saja aku tidak akan memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”

Thian Kek Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa girang sekali mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak muda. Kalau kau bukan putera pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan kebajikan, kiranya pinceng tak akan mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu. Akan tetapi, sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas segala perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran bersama Lilani dan sungguh pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya dan sekali-kali jangan menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan. Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan menjadi seorang siauw-jin (orang rendah). Mengertikah kau?”

Kalau sekiranya yang bicara itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh luar biasa memancar keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu, pasti Lie Siong akan menjadi marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu hanya menundukkan kepala dan menyatakan kesanggupannya.

Ketika Lilani bertemu dengan Lie Siong, gadis itu memandang dengan mata sayu, lalu bertanya perlahan, “Taihiap, bilakah kita akan mencari suku bangsaku?”

“Sekarang juga, Lilani. Hari ini juga!” jawab Lie Siong dengan hati diliputi keharuan besar.

Ada pun Lo Sian begitu bertemu dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat dia memberi hormat. Hwesio sangat tua itu mengangguk-angguk lagi dengan senang.

“Adanya Sin-kai Lo Sian bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu betul-betul seorang yang boleh dipercaya,” pikir hwesio ini, karena dia tahu betul orang macam apa adanya Sin-kai Lo Sian.

“Lebih baik kita mengantar dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan rombongan suku bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, baru kita mencoba untuk mencari keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian sesudah mereka bertiga mulai melakukan perjalanan.

Lie Siong menyetujui pikiran ini, akan tetapi dia hendak mengetahui pendirian Lilani yang kini nampak demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.

“Taihiap tahu bahwa aku selalu hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya ikut, karena apakah daya seorang seperti aku?” jawaban ini tak saja membuat Lie Siong menjadi amat terharu, bahkan Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang urusan mereka, menjadi kasihan sekali melihat Lilani. Dia lalu bersikap ramah tamah dan baik terhadap gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka kepada Pengemis Sakti ini.

Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas Mongolia di Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota dan dusun lainnya di dekat tapal batas, karena penduduknya sebagian besar telah pergi mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan gangguan tentara-tentara.

Di sepanjang jalan, Lie Siong dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para tentara Mongol dan Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah sekali dan beberapa kali dia menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau dia bertemu dengan tentara musuh, dia tentu akan menyerang mereka! Sebaliknya, pemuda itu hanya diam saja tidak menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo Sian untuk mengetahui isi hati pemuda aneh ini.

Seperti biasa, di dalam kota Ciang-kou mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil yang sudah ditinggal pergi oleh para hwesio-nya, dan di sana hanya terdapat dua orang hwesio penjaga kuil yang ramah tamah.

“Sicu, sungguh amat berani sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota ini dapat diserbu oleh gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini tidak ada bahayanya.” Kedua hwesio ini memandang kepada Lilani dengan kening dikerutkan.

Betapa pun Lilani bersikap sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang berbeda dengan gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa dia bukanlah gadis bangsa Han. Kulit seorang gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang kulitnya kekuning-kuningan. Sebaliknya kulit tubuh gadis ini putih kemerah-merahan.

“Biarkan mereka datang, akan kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.

Kedua orang hwesio itu diam saja, akan tetapi di dalam hatinya mengejek orang yang berpakaian pengemis itu. Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan Mongol yang mempunyai banyak perwira pandai?

Akan tetapi, ketika Lie Siong minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan mengeluarkan uang perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta melayani mereka dengan ramah. Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa diam-diam kedua orang hwesio itu telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama Lilani kepada seorang gagah yang selalu melakukan pengawasan terhadap mata-mata Mongol di tempat itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman dari Kam Liong!

Di dalam usahanya mencari kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari serangan musuh, Kam Wi memisahkan diri dari suheng-nya, Tiong Kun Tojin dan pergi sampai ke kota Ciang-kou. Di sepanjang jalan dia selalu berlaku waspada. Apa bila dia melihat ada orang-orang kang-ouw yang hendak menyeberang ke utara untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu akan dibujuknya, baik dengan jalan halus atau pun dengan cara kasar!

Mendengar laporan kedua orang hwesio itu bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya mencurigakan bersama seorang gadis Haimi hendak bermalam di kuil, diam-diam Kam Wi merasa curiga sekali. Pada keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan Lilani melanjutkan perjalanan mereka, sebelum meninggalkan kota yang sunyi itu, tiba-tiba saja mereka sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar yang melompat keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah Kam Wi.

Begitu melihat keadaan Lilani, maka tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis ini memang seorang gadis Haimi. Maka, untuk mencari bukti, dia segera menegur Lilani dalam bahasa Haimi,

“Apakah kau orang Haimi?”

Ditegur demikian tiba-tiba dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan tetapi dia menjawab juga, “Betul! Saudara siapakah?”

Akan tetapi Kam Wi tak banyak cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak menangkap pundak kiri Lilani, “Mata-mata Mongol! Jangan harap kau akan dapat melepaskan diri dari Sin-houw Enghiong!”

Akan tetapi Lilani bukanlah seorang gadis yang lemah. Ia pun telah mendapat tambahan pelajaran silat dari Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa orang tinggi besar yang berwajah galak itu tiba-tiba menyerang dan hendak menangkap pundaknya, dia cepat mengelak dan melompat mundur.

Bukan main marahnya hati Kam Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu. Sekarang kecurigaannya makin bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari cengkeramannya pastilah bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi mata-mata Mongol atau setidaknya pencari orang-orang kang-ouw untuk membantu gerakan bangsa Mongol.

“Bagus, kau berani mengelak? Cobalah kau mengelak lagi kalau dapat!” Sambil berkata demikian, Kam Wi mengeluarkan kepandaiannya yang sangat diandalkan, yaitu Ilmu Silat Houw-jiauw-kang! Tangannya terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku harimau dan dia menubruk ke depan untuk menangkap atau mencengkeram pundak gadis itu!

Lilani benar-benar menjadi bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat bukan main dan kedua tangan Kam Wi yang merupakan kuku harimau itu betul-betul sulit untuk dielakkan lagi. Jalan ke kanan kiri atau ke belakang telah tertutup sehingga Lilani hanya akan dapat menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke atas atau amblas ke dalam bumi!

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar mumbul ke atas! Kam Wi sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang hendak ditangkapnya itu lenyap dari depan matanya dan telah melompati tubuhnya, melalui atas kepala dan tiba di belakangnya! Ia cepat menengok dan ternyata bahwa yang menolong gadis itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang dengan tenangnya.

Memang sesungguhnya adalah Lie Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam Wi tadi. Ketika tadi pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya cengkeraman yang demikian lihainya, cepat dia melompat sambil menyambar pinggang Lilani, dibawa lompat melewati atas kepala Kam Wi dengan gerakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang menerjang Mega)! Dengan gerakan ginkang yang luar biasa ini ia pun berhasil menolong gadis itu sehingga kini Kam Wi memandang dengan tertegun dan penuh kekaguman.

“Siapa Saudara muda yang gagah ini? Mengapa dapat bersama dengan seorang gadis Haimi yang menjadi mata-mata Mongol? Apakah mungkin seorang enghiong yang gagah perkasa sampai tersesat dan hendak mengkhianati bangsa sendiri?”

Sebelum Lie Siong sempat menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya. Pengemis tua ini mengangkat kedua tangan menjura sambil berkata, “Orang gagah, harap kau suka bersabar dahulu, agaknya kau sudah salah sangka! Kami sekali-kali bukanlah pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”

Kam Wi berpaling kepada Lo Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh perhatian dan berkata, “Ahh, bukankah aku berhadapan dengan Sin-kai Lo Sian?”

Lo Sian tertegun dan ia mengerti bahwa dulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu atau bahkan kenal dengannya, akan tetapi dia telah lupa sama sekali. Karena itu dengan senyum ramah ia berkata,

“Maaf, memang benar siauwte adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh otakku yang tumpul tidak ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di hadapanku sekarang.”

Kam Wi tertawa bergelak. “Ah, ahh, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku sudah tak ragu-ragu lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan tetapi sungguh sangat mengherankan apa bila seorang Sin-kai Lo Sian sampai lupa kepadaku. Aku adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan Sin-houw-enghiong dari Kun-lun-pai?”

Akan tetapi Kam Wi tidak tahu bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya. Bagaimanakah pengemis ini dapat ingat kepadanya sedangkan terhadap diri sendiri saja sudah lupa? Akan tetapi Lo Sian tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia menjura lagi sambil berkata,

“Ah, tidak tahunya Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami tidak tahu sebelumnya maka sudah berani bertindak kurang ajar. Harap Enghiong suka melepaskan kami, karena sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya maka bisa sampai di tempat ini.”

Kam Wi berdiri ternganga. Lo Sian sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya ini benar-benar mengherankan hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak sedemikian ‘sopan santun’ sikapnya. Mengapa pengemis ini begini berubah?

“Sungguh aneh!” Kam Wi berkata. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para pengkhianat bangsa, akan tetapi ingin mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku bangsa Haimi sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa Mongol sudah menjadi sekutu untuk menyerang dan mengganggu negara kita!”

“Kau bohong!” tiba-tiba Lilani berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti itu! Selamanya bangsaku bahkan selalu diganggu oleh orang-orang Mongol, dan sebaliknya selalu mendapat pertolongan bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa bersekutu dengan perampok-perampok Mongol!”

“Nona, baiknya kau datang bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau bukanlah orang jahat. Apa bila tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada Sin-houw Enghiong Kam Wi sudah merupakan alasan yang cukup untuk membuatku turun tangan. Aku Kam Wi selama hidup tak pernah berbohong. Agaknya kau telah lama meninggalkan bangsamu sehingga kau tidak tahu betapa pemimpinmu yang bernama Saliban itu sudah membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang Mongol!”

Lilani kaget sekali. Saliban adalah seorang di antara sekian banyak pamannya. Memang dia tahu bahwa di antara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut cerita mendiang ibunya, Meilani, dulu Saliban pernah memberontak bahkan hampir saja membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak cintanya oleh ibunya yang pada masa itu sudah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya.

Lilani berpaling kepada Lie Siong, “Taihiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan melenyapkan Saliban yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”

Lie Siong tidak membantah dan kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu pergi dari situ. Ada pun Sin-kai Lo Sian cepat memberi hormat kepada Kam Wi dan berkata,

“Sin-houw-enghiong, terima kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita berjumpa lagi.” Setelah berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi.

Akan tetapi Kam Wi menahannya dengan kata-kata, “Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam oleh penyerbuan pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang gagah mau berpeluk tangan saja?”

“Siapa bilang aku hendak peluk tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku akan mengerahkan sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”

“Bagus, kalau begitu kau benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan. Jika kau bermaksud membantu, pergilah ke Gunung Alkata-san dan bantulah tentara kerajaan di sana.”

“Aku akan memperhatikan omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dahulu aku akan membantu Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul Lie Siong dan Lilani yang telah berangkat lebih dulu.

Setelah mengalami peristiwa yang tidak enak itu, dan yang disebabkan oleh keadaannya sebagai seorang gadis Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan menyesal sekali mendengar betapa bangsanya sudah dibawa tersesat oleh Saliban sehingga suku bangsa Haimi kini dipandang sebagai musuh oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi dialami saat bertemu dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti seorang gadis Han, bahkan rambutnya juga diubah susunannya sehingga kini dia benar-benar merupakan seorang gadis Han yang cantik.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menduga bahwa diam-diam Sin-houw-enghiong Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi mereka. Kam Wi merasa curiga kepada mereka yang disangkanya mata-mata bangsa Mongol.

Kehadiran Lo Sian memang menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian yang amat berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian pemuda tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah dia kalau-kalau mereka itu benar-benar akan menggabungkan diri dengan kaum pengacau.

Pada suatu pagi, tibalah mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung Alkata-san. Dusun itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari berbagai golongan. Memang amat mengherankan apa bila melihat di tempat yang jauh di sebelah utara itu begitu banyak terdapat orang-orang dari selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan orang-orang Mongol dan biar pun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya bahaya perang, namun orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar.

Pada saat Lo Sian dan kedua orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Ha, bangsat muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau di sini!” Orang ini ketika dilihat ternyata adalah Ban Sai Cinjin!

Seperti telah diketahui, Ban Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu mengamuk dan telah membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin ketika orang-orang muda itu mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin sehingga dia langsung menegur di jalan raya.

Ban Sai Cinjin bukan seorang diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis tua yang sangat menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti kawat. Pengemis menyeramkan ini sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin, ketua dari perkumpulan Coa-tung Kai-pang!

Sebagaimana sudah dituturkan, dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Hong Beng yang telah diangkat menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang. Dalam usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil pula menempel raja pengemis yang terkenal galak dan ganas ini dan kini mereka berada di utara karena memang Ban Sai Cinjin sudah mengadakan persekutuan dengan Malangi Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw Hun Ti yang sudah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan membantu mereka.

Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Dia mengubah cita-citanya.

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Kini dia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol dan berpura-pura membantu Malangi Khan dan kemudian setelah mendapat kemenangan, akan merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Dia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.

Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, maka tak tertahan lagi ia segera membentak sambil memandang dengan penuh kebencian. Demikian pula sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.

“Setan tua, kau berada di sini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak Lie Siong sambil mencabut pedangnya.

Akan tetapi pada saat itu Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seolah-olah tidak mengenalnya, dia menjadi lega dan bertanya,

“Pengemis tua ini bukankah gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran sekaligus juga mencoba untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.

“Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!” kata Lie Siong.

Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, maka tugasnya akan lebih berat.

Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan jika kakek mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan bila mana mungkin hendak segera menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.

Akan tetapi pada saat pengemis yang menyeramkan itu melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi makin kaku, sepasang matanya memandang marah.

“Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?” dia bertanya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lo Sian.

Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan sepasang mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, dia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab, “Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian.”

“Bagus!” seru Coa-ong Lojin dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan telah mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”

Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu. Dia hendak menjawab, akan tetapi tak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang langsung menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat. Kedua lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.

Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat dia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan serangan itu sambil membentak, “Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!”

Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong. Sungguh pun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya digunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya.

Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat yang bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu lalu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong.

Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu. Akan tetapi dia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak pada saat beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat luar biasa!

Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan dia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.

Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari ginkang luar biasa dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya sudah menggemblengnya semenjak kecil sehingga kini dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.

Ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, Lo Sian tidak mau tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong. Akan tetapi dari samping segera berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?” Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian.

Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwe-nya telah dapat menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!

Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan mampu mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apa lagi ia merasa amat gelisah pada saat melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.

Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, lantas pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah dia tak sadarkan diri lagi!

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak. “Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah mengambil pedang Lie Siong, dan bersama Coa-ong Lojin lalu berlari cepat menuju ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.

Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini? Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang sudah meninggalkan jalan itu sehingga keadaan menjadi sepi sekali.

Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong ke dalam sebuah kamar. “Dia yang paling berbahaya,” katanya.

Kemudian dia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tidak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.

“Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang telah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada kawannya itu yang hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Ada pun pengemis ini... ahh, lihat, bukankah dia mirip seperti boneka hidup?” Dia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.

“Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?”

Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar banyak dari Lili mengenai kakek mewah ini. Karena itu dengan senyum mengejek dia pun berkata,

“Sungguh pun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperi kemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda tadi itu harap kau bebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan suka melepaskannya!”

Tadi pada saat mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.

“Apa...? Dia putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat kembali akan peristiwa dahulu...?”

Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja dia mengangguk dan berkata, “Mengapa tidak ingat? Kau maksudkan peristiwa dulu tentang Lie Kong Sian Taihiap? Tentu saja!”

“Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ahhh, kalau begitu kalian harus mampus!”

Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.

“Nanti dulu, sahabat,” tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan tetapi gadis ini...” dia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. “Ehh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?”

Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.

“Kenalkah kau kepada Saliban?”

“Dia adalah pamanku.”

Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.

“Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu itu adalah kawan baik kami, jangan kuatir, kami tidak akan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!”

“Jangan bunuh mereka!” Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.

“Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian.

Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ahh, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.

“Ban Sai Cinjin!” katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu. “Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”

Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. “Ha-ha-ha! Kau kini berpura-pura tidak tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!”

Huncwe-nya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras, “Jangan bunuh dia!”

“Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati,” Lo Sian berkata. “Kini puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap.”

Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat huncwe-nya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.

“Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?”

Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang lelaki tinggi besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.

“Sin-houw-enghiong Kam Wi!” berkata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah? Aku mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?”

“Ban Sai Cinjin, janganlah kau memutar-mutar persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang telah membujuk banyak orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat yang amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tidak dapat membiarkannya begitu saja!”

Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa urusan ia tidak mempunyai sangkut paut dengan segala macam pengemis, diam-diam dia telah menyindir Coa-ong Lojin.

Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. “Kam Wi, kau manusia macam apa berani berlagak besar-besaran di hadapanku? Sepak terjangku yang mana pun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti sesudah aku bikin mampus pengemis hina ini!” Dia kembali hendak menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.

“Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang macam apa maka tidak kau layani lebih dulu?”

Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah. “Kam Wi, biar pun orang lain boleh takut mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut! Sebetulnya apakah kehendakmu?”

“Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima hukuman atas semua perbuatan pengkhianatanmu!”

“Ho-ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin menyindir.

“Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih mau memandang mukamu sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak peduli akan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”

“Kalau aku memilih yang terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.

“Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”

“Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati padaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah, biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin segera menggerakkan huncwe-nya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dia anggap sombong sekali, segera mendahuluinya berkata,

“Sahabat Ban Sai Cinjin, biarlah aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun ini!”

Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coa-ong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.

Kam Wi cepat mengelak. “Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu.”

“Bangsat she Kam! Sudah semenjak lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang membawa kesombonganmu di sini, biarlah kini kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang.

Melihat betapa kedua tangan pengemis itu sekarang tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang dia dengar disebut Hek-coa Tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan cepat dia mengelak kemudian mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan hingga hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.

Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga lweekang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga walau pun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pukulannya sudah membuat lawannya merasa lambungnya bagaikan terlanggar benda tajam! Coa-ong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Dia lalu bersilat dengan amat hati-hati.

Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Di samping ia menang tenaga, juga ginkang-nya amat mengagumkan. Sepasang kakinya berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya sangat ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia.

Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin. Maka, sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.

“Ha-ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi mengejek sambil menyerang makin hebat.

Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa meski pun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apa bila Ban Sai Cinjin ikut maju mengeroyok, maka akan celakalah dia. Dia merasa bingung sekali. Untuk membantu, dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.

Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras, “Sin-houw-enghiong, awas belakang!”

Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya suara angin pukulan yang sangat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali.

Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap yang dilakukan Ban Sai Cinjin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan ginkang hebat ini, selamatlah ia dari penyerangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu.

Sesampainya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya. Kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, ada pun kaki kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting dengan kaki kanannya menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang sangat lihai karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!

“Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini sudah turun lagi ke bawah.

Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, Dengan muka merah saking marah dan malunya dia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut tongkat ularnya!

Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, dia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, karena itu dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan?

Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali cepat berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin.

Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa.

Betapa pun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.

“Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!” kata Lilani.

“Kau boleh membawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biar pun untuk usaha ini aku akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!”

Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun apa bila tidak ingat akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata, “Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!” kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.

Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali. Sungguh sangat lucu dan harus dikasihani melihat orang tinggi besar yang bertangan kosong ini melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.

“Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba saja Lo Sian berseru keras.

Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan dia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biar pun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, akan tetapi di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya.

Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apa bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, mau pun Sin-houw-enghiong Kam Wi, dia masih ketinggalan amat jauh!

Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, biar pun dia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.

Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali. “Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua kalinya!” Sambil berkata demikian, huncwe-nya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwe-nya sedemikian rupa.

Sebenarnya ikat pinggang itu ketika digunakan oleh Lo Sian, sudah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, seluruh tenaga lweekang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena dia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi.

Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok sehingga biar pun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar saja dia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!

“Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, kemudian dengan amat tenangnya dia lalu memasang tembakau pada kepala pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.

“Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata pengemis tongkat ular itu.

“Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi yang sekarang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot memandangnya penuh keberanian.

“Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau engkau mempunyai kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!”

Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, “Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau mencampuri urusanku dan selalu pula kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dahulu aku sudah mengampuni nyawamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”

Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang dia tahu bahwa yang membuat dia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian. Bahkan suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le seperti yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini!

Akan tetapi apa dayanya? Dia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi dia akan mati. Maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.

“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga telah mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!

Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan…

“Trangg…! Trangg…!”

Tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.

Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga.

Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.

Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya.

Yang wanita biar pun telah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.


Pendekar Remaja Jilid 21

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 21

Lo Sian merasa ngeri melihat mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat tajam, seakan-akan hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah mata Ang I Niocu, Pendekar Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan dunia persilatan.

“Sayang sekali, orang muda. Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku sendiri pun tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”

“Lopek, harap kau orang tua jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan tetapi sekarang kau menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”

“Aku bicara sebenarnya, anak muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga membohong kepadamu. Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu apa yang telah terjadi dahulu. Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat Thian Kek Hwesio sampai sekarang. Sebelum itu, yang teringat olehku hanya bahwa ayahmu telah meninggal dunia.”

“Di mana matinya dan bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.

Lo Sian menarik napas panjang. “Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan kukerjakan pertama-tama kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang ayahmu itu. Akan tetapi apa daya, pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku untuk hidup hampir musnah karena aku telah berusaha mengingat-ingat tanpa hasil sedikit pun juga. Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”

Lo Sian lalu menceritakan semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula semua pengalamannya yang didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia dulu menolong Lili.

“Ahh, sampai sekarang aku tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku disembuhkan oleh Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di depan mataku, yaitu ayahmu yang telah meninggal dan ucapan pemakan jantung yang selama ini membuatku tak dapat tidur.”

Lie Siong mengerutkan alisnya. Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja sembuh dari sakit gila?

“Betapa pun juga, anak muda. Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam keadaan yang mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat kuburannya, tentu akan mengenal tempat itu.”

Timbul kembali harapan Lie Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kalau begitu, Lopek. Terpaksa kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau benar-benar dia telah meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”

“Boleh, boleh! Hanya saja... bagaimana dengan Lili?”

“Lili siapa?”

“Sie Hong Li, nona yang kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak atau keponakanku sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”

“Biar saja, dia bukan anak kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri,” jawab Lie Siong tegas.

“Ke mana kita akan pergi?”

“Sudah kukatakan tadi, mencari makam ayah.”

“Setelah itu?”

“Aku akan mengantarkan seorang gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”

Lo Sian teringat akan cerita Lili. “Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”

Merah muka Lie Siong. “Jangan berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani, seorang gadis Haimi yang kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia menderita penyakit pikiran dan kutinggalkan di rumah Thian Kek Hwesio. Kita sekarang menuju ke sana untuk melihat keadaannya.”

Lo Sian tertegun mendengar kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis yang berhati keras, akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!

“Baiklah, aku menurut saja, karena aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang pendekar besar. Biar pun aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku dahulu tentu pernah ditolong oleh ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau sekarang aku membantumu mencarikan makamnya. Jangan sekali-kali kau menganggap kepergianku denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu, anak muda. Ahh, bukan sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun aku Sin-kai Lo Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu karena aku pun ingin sekali mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian ayahmu.”

Lie Siong mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang dianggapnya cukup gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah kedua orang ini menuju ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang bernasib malang itu. Tentu saja sebagai seorang yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lie Siong tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.

Dengan hati girang Lie Siong mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja gadis ini sekarang berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak nasehat dan petuah dari Thian Kek Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini menganggap Thian Kek Hwesio sebagai satu-satunya orang yang dapat diajak bertukar pikiran. Pendeta tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham dengan bahasa Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah tenang dan sabar.

“Itulah salahnya bila orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang sudah jauh lebih tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang gadis seperti engkau melakukan perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti Lie Siong yang tampan dan gagah. Mudah sekali bagi iblis untuk mengganggu kalian.” Hwesio itu menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau memang benar-benar sudah merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda itu, jalan satu-satunya bagimu adalah kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu dan kebiasaan Lie Siong, sebagai seorang gadis Haimi dan seorang pemuda Han tidak cocok sekali. Kau biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat oleh peraturan-peraturan kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu terlepas sedikit saja, akan membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau menikah denganmu, akan tetapi kalau hal demikian tidak terjadi, jalan satu-satunya adalah seperti yang kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”

Lilani mendengarkan nasehat ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai mengucur. Alangkah besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia juga dapat merasakan bahwa pemuda itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar nasehat dari Thian Kek Hwesio, memang dia sudah mengambil keputusan untuk kembali kepada bangsanya, dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.

Demikianlah, ketika Lie Siong datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam kamarnya dan berkata, “Anak muda she Lie. Pinceng telah mendengar semua penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan saja terus terang kepada pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”

Lie Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya. Akan tetapi pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan berkata, “Betapa pun juga, Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan meninggalkan dia begitu saja. Aku akan menjaganya, kalau perlu mengambilnya sebagai adik angkat, atau… bagaimana saja menurut sekehendak hatinya asalkan... asalkan jangan menjadi suaminya!”

“Pinceng maklum akan isi hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau mengakui kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis itu, kau boleh disebut orang baik.”

“Aku akan mencari suku bangsa Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu saja aku tidak akan memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”

Thian Kek Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa girang sekali mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak muda. Kalau kau bukan putera pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan kebajikan, kiranya pinceng tak akan mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu. Akan tetapi, sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas segala perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran bersama Lilani dan sungguh pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya dan sekali-kali jangan menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan. Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan menjadi seorang siauw-jin (orang rendah). Mengertikah kau?”

Kalau sekiranya yang bicara itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh luar biasa memancar keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu, pasti Lie Siong akan menjadi marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu hanya menundukkan kepala dan menyatakan kesanggupannya.

Ketika Lilani bertemu dengan Lie Siong, gadis itu memandang dengan mata sayu, lalu bertanya perlahan, “Taihiap, bilakah kita akan mencari suku bangsaku?”

“Sekarang juga, Lilani. Hari ini juga!” jawab Lie Siong dengan hati diliputi keharuan besar.

Ada pun Lo Sian begitu bertemu dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat dia memberi hormat. Hwesio sangat tua itu mengangguk-angguk lagi dengan senang.

“Adanya Sin-kai Lo Sian bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu betul-betul seorang yang boleh dipercaya,” pikir hwesio ini, karena dia tahu betul orang macam apa adanya Sin-kai Lo Sian.

“Lebih baik kita mengantar dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan rombongan suku bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, baru kita mencoba untuk mencari keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian sesudah mereka bertiga mulai melakukan perjalanan.

Lie Siong menyetujui pikiran ini, akan tetapi dia hendak mengetahui pendirian Lilani yang kini nampak demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.

“Taihiap tahu bahwa aku selalu hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya ikut, karena apakah daya seorang seperti aku?” jawaban ini tak saja membuat Lie Siong menjadi amat terharu, bahkan Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang urusan mereka, menjadi kasihan sekali melihat Lilani. Dia lalu bersikap ramah tamah dan baik terhadap gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka kepada Pengemis Sakti ini.

Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas Mongolia di Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota dan dusun lainnya di dekat tapal batas, karena penduduknya sebagian besar telah pergi mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan gangguan tentara-tentara.

Di sepanjang jalan, Lie Siong dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para tentara Mongol dan Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah sekali dan beberapa kali dia menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau dia bertemu dengan tentara musuh, dia tentu akan menyerang mereka! Sebaliknya, pemuda itu hanya diam saja tidak menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo Sian untuk mengetahui isi hati pemuda aneh ini.

Seperti biasa, di dalam kota Ciang-kou mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil yang sudah ditinggal pergi oleh para hwesio-nya, dan di sana hanya terdapat dua orang hwesio penjaga kuil yang ramah tamah.

“Sicu, sungguh amat berani sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota ini dapat diserbu oleh gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini tidak ada bahayanya.” Kedua hwesio ini memandang kepada Lilani dengan kening dikerutkan.

Betapa pun Lilani bersikap sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang berbeda dengan gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa dia bukanlah gadis bangsa Han. Kulit seorang gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang kulitnya kekuning-kuningan. Sebaliknya kulit tubuh gadis ini putih kemerah-merahan.

“Biarkan mereka datang, akan kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.

Kedua orang hwesio itu diam saja, akan tetapi di dalam hatinya mengejek orang yang berpakaian pengemis itu. Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan Mongol yang mempunyai banyak perwira pandai?

Akan tetapi, ketika Lie Siong minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan mengeluarkan uang perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta melayani mereka dengan ramah. Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa diam-diam kedua orang hwesio itu telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama Lilani kepada seorang gagah yang selalu melakukan pengawasan terhadap mata-mata Mongol di tempat itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman dari Kam Liong!

Di dalam usahanya mencari kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari serangan musuh, Kam Wi memisahkan diri dari suheng-nya, Tiong Kun Tojin dan pergi sampai ke kota Ciang-kou. Di sepanjang jalan dia selalu berlaku waspada. Apa bila dia melihat ada orang-orang kang-ouw yang hendak menyeberang ke utara untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu akan dibujuknya, baik dengan jalan halus atau pun dengan cara kasar!

Mendengar laporan kedua orang hwesio itu bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya mencurigakan bersama seorang gadis Haimi hendak bermalam di kuil, diam-diam Kam Wi merasa curiga sekali. Pada keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan Lilani melanjutkan perjalanan mereka, sebelum meninggalkan kota yang sunyi itu, tiba-tiba saja mereka sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar yang melompat keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah Kam Wi.

Begitu melihat keadaan Lilani, maka tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis ini memang seorang gadis Haimi. Maka, untuk mencari bukti, dia segera menegur Lilani dalam bahasa Haimi,

“Apakah kau orang Haimi?”

Ditegur demikian tiba-tiba dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan tetapi dia menjawab juga, “Betul! Saudara siapakah?”

Akan tetapi Kam Wi tak banyak cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak menangkap pundak kiri Lilani, “Mata-mata Mongol! Jangan harap kau akan dapat melepaskan diri dari Sin-houw Enghiong!”

Akan tetapi Lilani bukanlah seorang gadis yang lemah. Ia pun telah mendapat tambahan pelajaran silat dari Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa orang tinggi besar yang berwajah galak itu tiba-tiba menyerang dan hendak menangkap pundaknya, dia cepat mengelak dan melompat mundur.

Bukan main marahnya hati Kam Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu. Sekarang kecurigaannya makin bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari cengkeramannya pastilah bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi mata-mata Mongol atau setidaknya pencari orang-orang kang-ouw untuk membantu gerakan bangsa Mongol.

“Bagus, kau berani mengelak? Cobalah kau mengelak lagi kalau dapat!” Sambil berkata demikian, Kam Wi mengeluarkan kepandaiannya yang sangat diandalkan, yaitu Ilmu Silat Houw-jiauw-kang! Tangannya terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku harimau dan dia menubruk ke depan untuk menangkap atau mencengkeram pundak gadis itu!

Lilani benar-benar menjadi bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat bukan main dan kedua tangan Kam Wi yang merupakan kuku harimau itu betul-betul sulit untuk dielakkan lagi. Jalan ke kanan kiri atau ke belakang telah tertutup sehingga Lilani hanya akan dapat menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke atas atau amblas ke dalam bumi!

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar mumbul ke atas! Kam Wi sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang hendak ditangkapnya itu lenyap dari depan matanya dan telah melompati tubuhnya, melalui atas kepala dan tiba di belakangnya! Ia cepat menengok dan ternyata bahwa yang menolong gadis itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang dengan tenangnya.

Memang sesungguhnya adalah Lie Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam Wi tadi. Ketika tadi pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya cengkeraman yang demikian lihainya, cepat dia melompat sambil menyambar pinggang Lilani, dibawa lompat melewati atas kepala Kam Wi dengan gerakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang menerjang Mega)! Dengan gerakan ginkang yang luar biasa ini ia pun berhasil menolong gadis itu sehingga kini Kam Wi memandang dengan tertegun dan penuh kekaguman.

“Siapa Saudara muda yang gagah ini? Mengapa dapat bersama dengan seorang gadis Haimi yang menjadi mata-mata Mongol? Apakah mungkin seorang enghiong yang gagah perkasa sampai tersesat dan hendak mengkhianati bangsa sendiri?”

Sebelum Lie Siong sempat menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya. Pengemis tua ini mengangkat kedua tangan menjura sambil berkata, “Orang gagah, harap kau suka bersabar dahulu, agaknya kau sudah salah sangka! Kami sekali-kali bukanlah pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”

Kam Wi berpaling kepada Lo Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh perhatian dan berkata, “Ahh, bukankah aku berhadapan dengan Sin-kai Lo Sian?”

Lo Sian tertegun dan ia mengerti bahwa dulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu atau bahkan kenal dengannya, akan tetapi dia telah lupa sama sekali. Karena itu dengan senyum ramah ia berkata,

“Maaf, memang benar siauwte adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh otakku yang tumpul tidak ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di hadapanku sekarang.”

Kam Wi tertawa bergelak. “Ah, ahh, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku sudah tak ragu-ragu lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan tetapi sungguh sangat mengherankan apa bila seorang Sin-kai Lo Sian sampai lupa kepadaku. Aku adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan Sin-houw-enghiong dari Kun-lun-pai?”

Akan tetapi Kam Wi tidak tahu bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya. Bagaimanakah pengemis ini dapat ingat kepadanya sedangkan terhadap diri sendiri saja sudah lupa? Akan tetapi Lo Sian tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia menjura lagi sambil berkata,

“Ah, tidak tahunya Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami tidak tahu sebelumnya maka sudah berani bertindak kurang ajar. Harap Enghiong suka melepaskan kami, karena sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya maka bisa sampai di tempat ini.”

Kam Wi berdiri ternganga. Lo Sian sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya ini benar-benar mengherankan hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak sedemikian ‘sopan santun’ sikapnya. Mengapa pengemis ini begini berubah?

“Sungguh aneh!” Kam Wi berkata. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para pengkhianat bangsa, akan tetapi ingin mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku bangsa Haimi sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa Mongol sudah menjadi sekutu untuk menyerang dan mengganggu negara kita!”

“Kau bohong!” tiba-tiba Lilani berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti itu! Selamanya bangsaku bahkan selalu diganggu oleh orang-orang Mongol, dan sebaliknya selalu mendapat pertolongan bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa bersekutu dengan perampok-perampok Mongol!”

“Nona, baiknya kau datang bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau bukanlah orang jahat. Apa bila tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada Sin-houw Enghiong Kam Wi sudah merupakan alasan yang cukup untuk membuatku turun tangan. Aku Kam Wi selama hidup tak pernah berbohong. Agaknya kau telah lama meninggalkan bangsamu sehingga kau tidak tahu betapa pemimpinmu yang bernama Saliban itu sudah membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang Mongol!”

Lilani kaget sekali. Saliban adalah seorang di antara sekian banyak pamannya. Memang dia tahu bahwa di antara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut cerita mendiang ibunya, Meilani, dulu Saliban pernah memberontak bahkan hampir saja membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak cintanya oleh ibunya yang pada masa itu sudah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya.

Lilani berpaling kepada Lie Siong, “Taihiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan melenyapkan Saliban yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”

Lie Siong tidak membantah dan kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu pergi dari situ. Ada pun Sin-kai Lo Sian cepat memberi hormat kepada Kam Wi dan berkata,

“Sin-houw-enghiong, terima kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita berjumpa lagi.” Setelah berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi.

Akan tetapi Kam Wi menahannya dengan kata-kata, “Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam oleh penyerbuan pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang gagah mau berpeluk tangan saja?”

“Siapa bilang aku hendak peluk tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku akan mengerahkan sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”

“Bagus, kalau begitu kau benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan. Jika kau bermaksud membantu, pergilah ke Gunung Alkata-san dan bantulah tentara kerajaan di sana.”

“Aku akan memperhatikan omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dahulu aku akan membantu Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul Lie Siong dan Lilani yang telah berangkat lebih dulu.

Setelah mengalami peristiwa yang tidak enak itu, dan yang disebabkan oleh keadaannya sebagai seorang gadis Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan menyesal sekali mendengar betapa bangsanya sudah dibawa tersesat oleh Saliban sehingga suku bangsa Haimi kini dipandang sebagai musuh oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi dialami saat bertemu dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti seorang gadis Han, bahkan rambutnya juga diubah susunannya sehingga kini dia benar-benar merupakan seorang gadis Han yang cantik.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menduga bahwa diam-diam Sin-houw-enghiong Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi mereka. Kam Wi merasa curiga kepada mereka yang disangkanya mata-mata bangsa Mongol.

Kehadiran Lo Sian memang menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian yang amat berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian pemuda tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah dia kalau-kalau mereka itu benar-benar akan menggabungkan diri dengan kaum pengacau.

Pada suatu pagi, tibalah mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung Alkata-san. Dusun itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari berbagai golongan. Memang amat mengherankan apa bila melihat di tempat yang jauh di sebelah utara itu begitu banyak terdapat orang-orang dari selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan orang-orang Mongol dan biar pun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya bahaya perang, namun orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar.

Pada saat Lo Sian dan kedua orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Ha, bangsat muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau di sini!” Orang ini ketika dilihat ternyata adalah Ban Sai Cinjin!

Seperti telah diketahui, Ban Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu mengamuk dan telah membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin ketika orang-orang muda itu mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin sehingga dia langsung menegur di jalan raya.

Ban Sai Cinjin bukan seorang diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis tua yang sangat menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti kawat. Pengemis menyeramkan ini sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin, ketua dari perkumpulan Coa-tung Kai-pang!

Sebagaimana sudah dituturkan, dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Hong Beng yang telah diangkat menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang. Dalam usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil pula menempel raja pengemis yang terkenal galak dan ganas ini dan kini mereka berada di utara karena memang Ban Sai Cinjin sudah mengadakan persekutuan dengan Malangi Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw Hun Ti yang sudah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan membantu mereka.

Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Dia mengubah cita-citanya.

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Kini dia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol dan berpura-pura membantu Malangi Khan dan kemudian setelah mendapat kemenangan, akan merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Dia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.

Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, maka tak tertahan lagi ia segera membentak sambil memandang dengan penuh kebencian. Demikian pula sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.

“Setan tua, kau berada di sini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak Lie Siong sambil mencabut pedangnya.

Akan tetapi pada saat itu Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seolah-olah tidak mengenalnya, dia menjadi lega dan bertanya,

“Pengemis tua ini bukankah gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran sekaligus juga mencoba untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.

“Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!” kata Lie Siong.

Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, maka tugasnya akan lebih berat.

Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan jika kakek mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan bila mana mungkin hendak segera menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.

Akan tetapi pada saat pengemis yang menyeramkan itu melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi makin kaku, sepasang matanya memandang marah.

“Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?” dia bertanya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lo Sian.

Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan sepasang mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, dia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab, “Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian.”

“Bagus!” seru Coa-ong Lojin dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan telah mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”

Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu. Dia hendak menjawab, akan tetapi tak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang langsung menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat. Kedua lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.

Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat dia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan serangan itu sambil membentak, “Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!”

Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong. Sungguh pun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya digunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya.

Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat yang bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu lalu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong.

Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu. Akan tetapi dia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak pada saat beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat luar biasa!

Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan dia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.

Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari ginkang luar biasa dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya sudah menggemblengnya semenjak kecil sehingga kini dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.

Ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, Lo Sian tidak mau tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong. Akan tetapi dari samping segera berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?” Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian.

Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwe-nya telah dapat menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!

Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan mampu mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apa lagi ia merasa amat gelisah pada saat melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.

Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, lantas pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah dia tak sadarkan diri lagi!

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak. “Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah mengambil pedang Lie Siong, dan bersama Coa-ong Lojin lalu berlari cepat menuju ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.

Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini? Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang sudah meninggalkan jalan itu sehingga keadaan menjadi sepi sekali.

Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong ke dalam sebuah kamar. “Dia yang paling berbahaya,” katanya.

Kemudian dia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tidak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.

“Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang telah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada kawannya itu yang hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Ada pun pengemis ini... ahh, lihat, bukankah dia mirip seperti boneka hidup?” Dia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.

“Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?”

Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar banyak dari Lili mengenai kakek mewah ini. Karena itu dengan senyum mengejek dia pun berkata,

“Sungguh pun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperi kemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda tadi itu harap kau bebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan suka melepaskannya!”

Tadi pada saat mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.

“Apa...? Dia putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat kembali akan peristiwa dahulu...?”

Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja dia mengangguk dan berkata, “Mengapa tidak ingat? Kau maksudkan peristiwa dulu tentang Lie Kong Sian Taihiap? Tentu saja!”

“Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ahhh, kalau begitu kalian harus mampus!”

Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.

“Nanti dulu, sahabat,” tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan tetapi gadis ini...” dia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. “Ehh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?”

Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.

“Kenalkah kau kepada Saliban?”

“Dia adalah pamanku.”

Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.

“Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu itu adalah kawan baik kami, jangan kuatir, kami tidak akan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!”

“Jangan bunuh mereka!” Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.

“Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian.

Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ahh, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.

“Ban Sai Cinjin!” katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu. “Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”

Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. “Ha-ha-ha! Kau kini berpura-pura tidak tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!”

Huncwe-nya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras, “Jangan bunuh dia!”

“Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati,” Lo Sian berkata. “Kini puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap.”

Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat huncwe-nya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.

“Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?”

Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang lelaki tinggi besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.

“Sin-houw-enghiong Kam Wi!” berkata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah? Aku mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?”

“Ban Sai Cinjin, janganlah kau memutar-mutar persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang telah membujuk banyak orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat yang amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tidak dapat membiarkannya begitu saja!”

Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa urusan ia tidak mempunyai sangkut paut dengan segala macam pengemis, diam-diam dia telah menyindir Coa-ong Lojin.

Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. “Kam Wi, kau manusia macam apa berani berlagak besar-besaran di hadapanku? Sepak terjangku yang mana pun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti sesudah aku bikin mampus pengemis hina ini!” Dia kembali hendak menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.

“Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang macam apa maka tidak kau layani lebih dulu?”

Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah. “Kam Wi, biar pun orang lain boleh takut mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut! Sebetulnya apakah kehendakmu?”

“Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima hukuman atas semua perbuatan pengkhianatanmu!”

“Ho-ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin menyindir.

“Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih mau memandang mukamu sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak peduli akan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”

“Kalau aku memilih yang terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.

“Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”

“Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati padaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah, biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin segera menggerakkan huncwe-nya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dia anggap sombong sekali, segera mendahuluinya berkata,

“Sahabat Ban Sai Cinjin, biarlah aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun ini!”

Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coa-ong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.

Kam Wi cepat mengelak. “Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu.”

“Bangsat she Kam! Sudah semenjak lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang membawa kesombonganmu di sini, biarlah kini kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang.

Melihat betapa kedua tangan pengemis itu sekarang tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang dia dengar disebut Hek-coa Tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan cepat dia mengelak kemudian mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan hingga hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.

Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga lweekang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga walau pun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pukulannya sudah membuat lawannya merasa lambungnya bagaikan terlanggar benda tajam! Coa-ong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Dia lalu bersilat dengan amat hati-hati.

Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Di samping ia menang tenaga, juga ginkang-nya amat mengagumkan. Sepasang kakinya berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya sangat ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia.

Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin. Maka, sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.

“Ha-ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi mengejek sambil menyerang makin hebat.

Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa meski pun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apa bila Ban Sai Cinjin ikut maju mengeroyok, maka akan celakalah dia. Dia merasa bingung sekali. Untuk membantu, dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.

Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras, “Sin-houw-enghiong, awas belakang!”

Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya suara angin pukulan yang sangat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali.

Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap yang dilakukan Ban Sai Cinjin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan ginkang hebat ini, selamatlah ia dari penyerangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu.

Sesampainya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya. Kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, ada pun kaki kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting dengan kaki kanannya menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang sangat lihai karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!

“Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini sudah turun lagi ke bawah.

Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, Dengan muka merah saking marah dan malunya dia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut tongkat ularnya!

Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, dia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, karena itu dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan?

Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali cepat berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin.

Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa.

Betapa pun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.

“Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!” kata Lilani.

“Kau boleh membawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biar pun untuk usaha ini aku akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!”

Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun apa bila tidak ingat akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata, “Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!” kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.

Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali. Sungguh sangat lucu dan harus dikasihani melihat orang tinggi besar yang bertangan kosong ini melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.

“Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba saja Lo Sian berseru keras.

Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan dia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biar pun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, akan tetapi di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya.

Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apa bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, mau pun Sin-houw-enghiong Kam Wi, dia masih ketinggalan amat jauh!

Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, biar pun dia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.

Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali. “Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua kalinya!” Sambil berkata demikian, huncwe-nya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwe-nya sedemikian rupa.

Sebenarnya ikat pinggang itu ketika digunakan oleh Lo Sian, sudah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, seluruh tenaga lweekang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena dia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi.

Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok sehingga biar pun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar saja dia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!

“Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, kemudian dengan amat tenangnya dia lalu memasang tembakau pada kepala pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.

“Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata pengemis tongkat ular itu.

“Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi yang sekarang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot memandangnya penuh keberanian.

“Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau engkau mempunyai kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!”

Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, “Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau mencampuri urusanku dan selalu pula kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dahulu aku sudah mengampuni nyawamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”

Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang dia tahu bahwa yang membuat dia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian. Bahkan suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le seperti yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini!

Akan tetapi apa dayanya? Dia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi dia akan mati. Maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.

“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga telah mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!

Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan…

“Trangg…! Trangg…!”

Tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.

Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga.

Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.

Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya.

Yang wanita biar pun telah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.