Pendekar Remaja Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 16

DIA dan Bhok Coa Jin adalah dua orang di antara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat satu. Kepandaian mereka ini sudah sangat tinggi, oleh karena mereka merupakan murid-murid yang menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari Coa-tung Kai-pang! Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat dan ilmu tongkat dan telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

Oleh karena memandang rendah dan tak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok Coa Jin, “Sute, harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang mencoba kekuatan pangcu muda ini!” Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut tersenyum.

Bhok Coa Jin juga tersenyum, lalu dia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk di atas tongkat itu! Demonstrasi kekuatan lweekang ini saja sudah hebat sekali, karena lantai itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan lantai itu terdiri dari tanah lumpur belaka!

“Silakan, Suheng, aku hendak menonton saja,” katanya.

“Nah, Sie-pangcu, marilah kita mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.

“Majulah Kim-lokai. Sebagai tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil memegang tongkat hitamnya dengan cara sembarangan saja.

Ia memegang kepala tongkatnya sehingga tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti seorang kakek yang meminjam tenaga tongkat untuk membantu menunjang tubuhnya yang sudah lemah. Bagi orang yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini tidak pandai ilmu silat dan bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada artinya sama sekali.

Akan tetapi pada saat Kim Coa Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya tertegun. Itulah kuda-kuda yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, yakni semacam kuda-kuda yang tidak sembarang orang berani menggunakannya untuk memulai sebuah pertempuran, karena kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.

“Awas serangan!” serunya dan Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.

Dia sengaja menyerang dengan gerakan yang paling hebat dan lihai, karena dia hendak merobohkan ketua Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat ularnya dengan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah dada Hong Beng, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur pula di belakang tongkatnya untuk mengirimkan pukulan susulan yang dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!

Akan tetapi Hong Beng dengan gerakan Hek-hong Koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan) menggerakkan tongkat hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya bertemu dengan tongkat ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat ular itu ikut pula terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan lweekang-nya untuk ‘menyedot’ dan menempel senjata lawan.

Karena kedua tongkat itu terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri pengemis tua itu tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk membetot kembali tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi ternyata tongkat itu seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia merasa penasaran sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya dia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja dia jatuh ketika secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!

Bukan main kagetnya hati Kim Coa Jin merasakan kelihaian pangcu muda dari Hek-tung Kai-pang ini. Sambil menggereng laksana seekor harimau terluka ia lalu menerjang maju, memutar-mutar tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan kini benar-benar dia mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena dia sudah maklum sepenuhnya bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid orang pandai!

Akan tetapi Hong Beng tetap saja berlaku tenang. Dengan puas dan gembira sekali dia mendapat kenyataan bahwa tongkat hitam yang lemas pada tangannya itu benar-benar merupakan senjata istimewa. Walau pun tongkat itu lemas, akan tetapi dapat menerima saluran tenaga lweekang dengan baik sekali, sehingga tidak kalah ‘enaknya’ dipakai dari pada sebatang ranting kecil!

Dia lalu memainkan Ngo-heng Tung-hoat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat lawannya menjadi pening kepala. Ngo-heng Tung-hoat adalah semacam ilmu silat yang mengambil sari dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah air, sepanas api! Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat tubuhnya lenyap dari pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat yang menghitam!

Kim Coa Jin sebagai tokoh tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu silat yang sudah sangat tinggi. Akan tetapi harus dia akui bahwa selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.

Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat bukanlah ilmu silat sembarang saja, tetapi memiliki sifat-sifat tersendiri yang sangat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini amat ganas dan kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali karena ilmu ini tercipta di antara jalan hitam, di antara orang-orang yang memiliki pikiran dan tabiat yang kurang baik.

Tongkat yang berbentuk ular itu saja mengandung bagian-bagian rahasia sehingga dapat mengeluarkan senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Malah dari mulut ular itu, apa bila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan semacam uap berbisa yang berbahaya sekali.

Hong Beng sengaja tidak mau melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat yang memang lebih tinggi tingkatnya. Pemuda ini biar pun masih muda dan mempunyai darah panas namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau ia sampai melukai orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan menjadi semakin mendalam. Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin sakit hati dan menaruh dendam hati yang maha berat. Dia ingin menghindarkan hal ini, maka ia hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk mengalahkan Kim Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan jiwanya.

Bhok Coa Jin yang menonton pertandingan itu menjadi marah serta penasaran sekali. Bhok Coa Jin mempunyai watak yang lebih berangasan dan keras dari pada suheng-nya. Melihat betapa suheng-nya tidak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak hebat sekali, tiba-tiba dia berseru keras dan membantu suheng-nya menyerang Hong Beng.

“Pengemis curang, perlahan dulu!” Mendadak terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat yang diputar oleh Bhok Coa Jin itu telah terpental mundur karena tertangkis oleh sebatang tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.

Bhok Coa Jin terkejut dan lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.

“Bocah kurang ajar!” seru pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali menghalangi Bhok Coa Jin?”

“Hemm, agaknya kau terlalu sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan menyindir. “Kau mau tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang takut mendengar namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama sekali tidak sesuai dengan sifatmu yang pengecut!”

“Kurang ajar!” Bhok Coa Jin memaki dan tongkatnya segera meluncur cepat mengarah tenggorokan nona itu.

Akan tetapi cepat sekali sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan menjepit tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tak dapat dicabut kembali. Betapa pun Bhok Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan terjepit oleh dua potong besi yang kuat sekali. Barulah dia merasa amat terkejut dan heran. Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya?

Juga Goat Lan merasa gemas sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini. Dia sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng berkata mencegahnya,

“Lan-moi, jangan layani dia. Biarkan saja dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian Hek-tung Kai-pang!”

Walau pun hatinya mendongkol dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan tunangannya ini dan ia melompat mundur. Dia tahu kalau ia turun tangan, maka hal ini akan mengurangi keangkeran Hek-tung Kai-pang.

Sebaliknya, diam-diam Bhok Coa Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat mundur. Tak banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng, membantu suheng-nya.

Jika sekiranya keadaan Hong Beng berbahaya apa bila dikeroyok dua, tentu betapa pun juga Goat Lan akan memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi dua orang pengemis Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah sebab kepandaian Hong Beng masih lebih tinggi tingkatnya. Dia lalu duduk kembali dan menonton dengan sikap tenang. Sebaliknya, para anggota Hek-tung Kai-pang merasa kuatir juga melihat betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang amat tangguh itu.

Menghadapi keroyokan dua orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng memperlihatkan kehebatan ilmu tongkatnya. Dia segera merubah gerakan tongkat hitamnya dan kini dia mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa Tung-hoat yang gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ngo-heng Tung-hoat.

Sebentar saja, seperti halnya lima saudara Hek pada waktu menghadapi pemuda ini, dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang ini merasa pening serta pandangan mata mereka menjadi kabur. Mereka merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan ilmu tongkat yang seperti itu. Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat pernah mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat yang dimainkan oleh ketua baru dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka kenal.

Sebaliknya, bagi Hong Beng juga tak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa menggunakan serangan kilat yang sedikitnya akan melukai mereka. Maka terpaksa, biar pun dia tidak ingin melukai kedua lawan ini, dia harus memperlihatkan kepandaiannya.

Sekali dia mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat ular itu patah di tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu, dari dalam tongkat menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong Beng. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam itu dengan tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke bawah dan kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!

Untung bahwa Hong Beng hanya mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku kejam, meski pun kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu akan patah-patah tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka sakit sekali dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu berdiri. Mereka hanya duduk memandang dengan mata terbelalak, lebih merasa heran dari pada merasa marah.

“Kau... kau siapakah? Dan ilmu sihir apakah yang sudah kau gunakan untuk merobohkan kami?” Akhirnya Kim Coa Jin dapat juga berkata sambil merangkak mencoba bangun. Begitu pula Bhok Coa Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun berdiri.

“Tadi sudah kukatakan bahwa namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan karena kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap kalian jangan persalahkan kami.”

Akan tetapi jawaban ini tidak memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak puas mendengar jawaban pangcu-nya, kemudian berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Bukalah matamu baik-baik, kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah putera dari Pendekar Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita yang kalian pandang rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan Lihiap adalah murid dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah keterangan ini masih belum cukup?”

Pucatlah muka kedua orang pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para pahlawan dan tokoh dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin pun menarik napas panjang dan berkata, “Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan Pendekar Bodoh! Buah yang jatuh tidak akan menggelinding jauh dari pohonnya!” Setelah berkata demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin pergi meninggalkan tempat itu.

“Tahan...!” seru Hong Beng dan tubuhnya berkelebat mendahului kedua orang itu. Ia kini berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang dan matanya memandang tajam penuh ancaman. “Apa maksud kata-katamu tadi? Apa maksudmu bahwa buah tidak akan jatuh menggelinding jauh dari pohonnya?”

Kim Coa Jin tersenyum mengejek “Watak anak takkan berbeda jauh dengan bapaknya. Suhu-ku pernah menceritakan bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang selalu turut mencampuri urusan orang lain, seorang yang selalu turun tangan dan bertindak dengan sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Dan kau agaknya tidak berbeda jauh dengan ayahmu itu!”

“Siapakah suhu-mu?” tanya Hong Beng.

“Suhu kami adalah pendiri dari Coa-tung Kai-pang, yang bernama Coa Ong Lojin!”

Sambil berkata demikian Kim Coa Jin memandang tajam karena mengharapkan pemuda itu akan menjadi terkejut mendengar nama suhu-nya. Akan tetapi ternyata Hong Beng menerima keterangan ini dengan dingin saja, sungguh pun dia pernah mendengar nama orang tua yang sakti itu.

“Pernahkah suhu-mu bentrok dengan ayahku?”

“Belum, belum pernah. Akan tetapi Suhu sudah cukup banyak mendengar dari kawan-kawannya, dan Suhu ingin sekali bertemu dengan ayahmu untuk melihat sampai di mana sih kepandaiannya maka dia dan puteranya sesombong ini!”

Tiba-tiba muka Hong Beng menjadi merah sekali, tanda bahwa ia marah. “Jahanam berlidah busuk!” makinya sehingga Goat Lan yang sudah berdiri di dekatnya menjadi terkejut, karena tak disangkanya sama sekali bahwa tunangannya yang lemah lembut dan sopan santun ini sekarang begitu marah sampai memaki orang. “Kau pandai benar memutar balik duduknya perkara! Pantas saja kau menjadi pengurus Perkumpulan Tongkat Ular sebab watakmu seperti ular, lidahmu berbisa. Kalian yang datang mengacau di perkumpulan kami akan tetapi kalian yang menuduh kami suka mencampuri urusan orang lain! Memang ayahku suka mencampuri urusan orang lain, urusan orang jahat macam engkau yang suka mengganggu orang, dan hal seperti itu tentu saja ayahku dan aku tak akan tinggal diam memeluk tangan!”

Hampir saja Hong Beng mengangkat tangan menjatuhkan pukulan, kalau saja Goat Lan tidak menyentuh pundaknya sambil memandang dengan senyum menghibur. Pemuda ini menjadi marah sekali karena mendengar ayahnya dicela oleh dua orang jahat seperti Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin.

Kedua orang pengemis dari Coa-tung Kai-pang itu segera pergi dengan muka pucat dan tak berani menengok lagi. Goat Lan lalu menghibur tunangannya dengan kata-kata yang halus,

“Sudahlah, Koko, untuk apa mencurahkan kemarahan terhadap orang-orang macam itu? Mereka sudah dikalahkan dan tentu mereka sudah merasa kapok.”

“Mudah-mudahan begitu,” jawab Hong Beng. “Akan tetapi aku masih merasa amat kuatir kalau-kalau mereka akan datang lagi bersama kawan-kawan mereka untuk mengganggu Hek-tung Kai-pang.”

“Kalau begitu, lebih baik kita menanti dahulu sampai beberapa hari di sini, untuk menjaga keselamatan perkumpulan. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk melindunginya dari serangan orang-orang jahat. Biarlah mereka mendatangkan suhu mereka, aku pun sudah pernah mendengar nama Coa Ong Lojin yang terkenal jahat. Betapa pun lihainya, kita pasti akan dapat mengalahkannya.”

Demikianlah, dua orang muda ini terpaksa menunda keberangkatan mereka dan berjaga di tempat itu bersama para pengurus Hek-tung Kai-pang sampai sepekan lamanya. Dan ini pulalah sebabnya maka mereka tidak cepat menyusul Lili dan Lo Sian yang pergi ke rumah Thian Kek Hwesio sehingga setelah menanti tiga hari lamanya, Lili menjadi hilang kesabaran dan mengajak bekas suhu-nya itu pergi ke Shaning, ke rumah orang tuanya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.

******

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Betapa pun Lili berusaha untuk membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.

“Suhu, kau bernama Lo Sian dan berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah ingat-ingat lagi, Suhu. Aku bernama Sie Hong Li atau Lili yang dahulu pernah kau tolong dari tangan Bouw Hun Ti. Dan tidak ingatkah kau kepada suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le?” Untuk kesekian kalinya di dalam perjalanannya menuju ke Shaning, Lili berkata kepada bekas suhu-nya.

Lo Sian hanya menggeleng kepalanya dengan wajah sedih. “Sebenarnya, sudah hampir setiap malam aku mencoba mengerahkan seluruh ingatanku, akan tetapi tiada gunanya. Ingatanku akan hal-hal yang lampau bagaikan sebuah goa yang hitam pekat. Memang, namamu dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku, akan tetapi aku benar-benar sudah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian lagi dan engkau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat akan hal yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”

Akan tetapi, jalan pikiran Lo Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih sempurna, mencerminkan wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu hari, ketika mereka sedang melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka melihat sebuah makam yang dibangun indah sekali di pinggir jalan. Besarnya makam itu seperti rumah orang, merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal. Lo Sian nampaknya amat tertarik dan kagum. Dia berdiri di depan makam itu sambil memandang ke dalam seperti seorang yang terpesona.

“Suhu, coba kau ingat-ingat, makam siapakah ini?”

Seperti bicara kepada diri sendiri, Lo Sian berkata perlahan, “Sudah pasti bukan makam Lie Kong Sian... bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”

Lili memandang dengan terharu. “Suhu, benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”

Lo Sian mengangguk pasti. “Memang dia sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan bisa mengenali kalau melihat makamnya. Akan tetapi entah di mana, entah bagaimana macamnya, hanya aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati... tidak salah lagi...”

Pada saat bicara tentang kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili lalu terbayang kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga tak terasa mukanya telah berubah pula menjadi merah sekali.

“Sesungguhnya, makam siapakah begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?” tanya Lo Sian sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang bagus-bagus, juga pada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap hari.

Lili menarik napas panjang. Apa bila suhu-nya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah lupa segala. Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar yang gagah perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan bangsa?

“Suhu, masa kau tidak ingat kepada makam Jenderal Ho ini?”

Lo Sian menggelengkan kepala. “Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal Ho yang kau sebutkan tadi?”

“Jenderal Ho adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dahulu ketika bala tentara Mongol menyerang pedalaman Tiongkok dan hampir saja bisa membobolkan pertahanan, Jenderal Ho inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok Besar. Juga ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar sudah terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan berhasil memukul hancur para pemberontak.”

“Dan bagaimana ia sampai meninggal dunia?”

“Dia gugur dalam peperangan ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biar pun dia telah terluka hebat di dalam peperangan itu, namun dia masih sanggup untuk memimpin pasukannya dan mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan dia menghembuskan napas terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya terhadap negara inilah maka namanya terkenal di seluruh negeri sehingga semua rakyat tak ada yang tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita akan masuk dan memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di dalam terdapat orang yang menyediakan dupa.”

Akan tetapi Lo Sian malah menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela napas panjang. “Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”

Lili memandang suhu-nya dengan dua mata terbelalak. “Apa maksudmu, Suhu? Palsu? Apanya yang palsu?”

“Penghormatan ini, makam ini, semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Kau duduklah, Lili, dan biarlah aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala kepalsuan dunia.” Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di depan makam besar itu.

“Sebelum aku membentangkan pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah melihat makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para prajurit-prajurit biasa yang gugur dalam peperangan membela negara?”

Lili memandang bodoh kemudian menggelengkan kepalanya. “Belum pernah Suhu, yang selalu dihormati adalah makam orang-orang besar, jenderal-jenderal, panglima-panglima besar, dan menteri-menteri.”

“Nah, itulah yang kukatakan palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia berjasa terhadap negara, bahwa dia sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. Bahkan orang-orang yang katanya besar, sungguh pun tak usah mengorbankan nyawa dalam peperangan, tetap saja makamnya terus dipuji-puji, namanya dihormati dan dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa prajurit kecil itu kalah besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan maju di garis pertempuran terdepan, gugur lebih dahulu dari pada para pemimpinnya yang hanya mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka ini tidak jauh lebih berani, lebih gagah, dan berjasa dari pada jenderal-jenderal itu? Namun, bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan bagaimana keadaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat lagi kepada mereka! Nah, inilah yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang hanya pandai mengingat yang besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal, tanpa yang kecil-kecil, yang besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar tanpa rakyatnya? Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa prajurit-prajuritnya?”

Lili tertegun mendengar ucapan suhu-nya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh yang banyak mendengar tentang filsafat, dia tidak mau menyerah begitu saja dan masih membantah, “Akan tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya prajurit-prajurit dalam barisan tanpa pemimpin yang mengatur siasat peperangan? Apakah artinya rakyat tanpa adanya pemimpin yang pandai?”

Lo Sian mengangguk-angguk. “Hemm, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang kedua hal itu perlu sekali, keduanya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Betapa pun juga, lebih penting anak buahnya dari pada kepalanya. Tanpa jenderal, tiap pasukan prajurit masih merupakan kekuatan yang hebat. Tanpa pemimpin, rakyat masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang sama sekali tidak berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena kukatakan tadi bahwa keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya menghormati pemimpinnya saja tanpa mengingat anak buahnya?”

Mendengar ucapan suhu-nya yang panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali, oleh karena dia kini merasa yakin bahwa biar pun sudah kehilangan ingatannya dan lupa akan peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhu-nya ini masih memiliki pikiran sehat dan pandangan yang mengagumkan.

Sesudah bicara panjang lebar kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri tembok yang mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lweekang-nya dan dengan jari-jari telunjuknya ia lalu mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah huruf yang artinya seperti berikut,

Jenderal Ho menerima penghormatan berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat makam ini harus mengingat akan jasa dari setiap orang prajurit tak dikenal dalam pasukannya!

Biar pun dia menggurat-gurat tembok yang keras itu hanya dengan jari telunjuknya saja, akan tetapi bagaikan sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan tulisan itu tidak dapat dihapus lagi!

Ketika melihat kejadian ini, orang-orang yang lewat di tempat itu lalu maju melihat dan mereka mengeluarkan pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara amat nyaring dan keras,

“Bagus, tulisan yang gagah sekali!”

Ketika Lili dan Lo Sian menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan mukanya tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan Lo Sian, orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.

Lili melihat dengan herannya betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur sambil membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukanlah orang sembarangan dan mempunyai pengaruh yang besar. Dia merasa segan untuk membalas penghormatan itu, akan tetapi melihat suhu-nya menjura dengan hormat, terpaksa ia pun mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.

“Siauwte adalah Kam Liong, dan sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat tertarik melihat tulisan Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan Lo-enghiong yang bersemangat gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya siauwte mengetahui pula siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”

Ucapan Kam Liong terdengar jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang prajurit, dan Lo Sian memandang kepada pemuda ini dengan mata gembira. Ia bisa menduga bahwa pemuda ini memiliki kegagahan dan kejujuran hati.

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari panglima besar Kam Hong Sin. Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian dengan Lie Siong pada waktu Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi tamu dari keluarga bangsawan Gui.

“Terima kasih atas keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian ramah, “kami hanyalah orang-orang biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong Li, puteri dari pendekar Bodoh.”

“Suhu...!” Lili menegur suhu-nya sebab ia tak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang pemuda asing.

Akan tetapi Lo Sian berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri kepada orang yang berwatak buruk, akan tetapi dia melihat pemuda ini sungguh pun mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi peramah dan sopan, maka tidak ada salahnya memperkenalkan diri mereka.

Mendengar nama Lo Sian, wajah Kam Liong tidak berubah, akan tetapi saat mendengar bahwa gadis cantik jelita itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya langsung berubah sama sekali. Ia menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka berdua.

“Ahhh, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan puteri dari Sie Taihiap yang terkenal! Kalau begitu, kita bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan ayahmu, Nona. Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang tempat tinggal ayahmu yang terhormat?”

Terpaksa Lili menjawab, “Ayah kini tinggal di kota Shaning.”

“Siauwte harap Lo-enghiong dan Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa gembira dan terhormat sekali dapat menjadi tuan rumah.”

“Terima kasih, Kam-ciangkun. Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.

“Ahh, sayang sekali siauwte tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi biarlah lain kali siauwte mengunjungi Sie Taihiap untuk menghaturkan hormat.”

Maka berpisahlah mereka, Kam Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian melanjutkan perjalanan ke kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata kepada Lili,

“Pemuda itu gagah dan baik sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.”

“Ayahnya memang berkepandaian tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu bahwa Kam Hong Sin adalah seorang panglima yang mempunyai ilmu silat tinggi dan dulu pernah bertemu dengan kedua orang tuaku.”

Gadis ini sambil berjalan kemudian menuturkan secara singkat kepada suhu-nya tentang pengalaman orang tuanya pada waktu muda, pada saat bertemu dengan ayah panglima muda itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali dari arah belakang. Ketika tiba di dekat mereka, seorang perwira tua yang menunggang kuda itu kemudian melompat turun dan bertanya,

“Apakah kau yang bernama Lo Sian?”

Lo Sian dan Lili menjadi heran sekali.

“Betul,” jawab Lo Sian. “Ada keperluan apakah kau mencariku?”

Perwira itu menyerahkan sepucuk surat yang tertutup kepadanya sambil melirik ke arah Lili. “Aku telah menerima perintah dari Kam-ciangkun agar supaya menyerahkan surat ini kepada seorang nona yang berjalan bersama dengan orang tua yang bernama Lo Sian. Kurasa kaulah Nona itu.”

Lili tidak mau menerima surat itu, dan Lo Sian yang menerimanya. Setelah memberikan surat itu, perwira ini cepat-cepat melompat ke atas kudanya kembali dan tanpa memberi kesempatan kedua orang itu bicara, dia sudah membalapkan kudanya kembali. Memang begitulah perintah komandannya, hanya menyampaikan surat lalu segera meninggalkan mereka lagi.

“Kurang ajar sekali panglima muda itu!” kata Lili dengan muka merah. “Apa maksudnya memberi surat kepadaku? Aku tidak sudi membacanya!”

“Jangan terburu nafsu, Lili. Tidak baik menuduh orang kalau belum melihat buktinya. Kau bacalah dahulu surat ini, baru kemudian kita dapat melihat orang macam apakah adanya panglima muda she Kam itu,” kata Lo Sian.

Dengan mulut cemberut dan muka merah Lili membuka sampul surat itu dengan kasar dan membaca surat yang singkat itu.

Nona Sie,
Aku pernah bertemu dengan kakakmu dan karena dia menewaskan putera bangsawan, Gui Kongcu, kini dia menjadi buruan pemerintah. Aku sebagai panglima tentu saja harus melakukan tugas ini, sungguh pun aku bersimpati kepada kakakmu itu. Suruh dia supaya berhati-hati apa bila bertemu dengan perwira-perwira kerajaan.

Yang tetap menghormat orang tuamu,
Kam Liong


Setelah membaca surat ini, berubahlah wajah Lili dan dia menjadi termenung. Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh kakaknya? Yang dimaksud oleh Kam Liong ini tentulah Hong Beng, akan tetapi mengapa ketika bertemu, Hong Beng tidak bercerita sesuatu tentang pembunuhan seorang bernama Gui Kongcu?

“Surat apakah itu, Lili?” Pertanyaan Lo Sian ini menyadarkan Lili dari lamunannya.

Ia tak menjawab, hanya menyerahkan surat kepada bekas suhu-nya. Lo Sian membaca surat itu dan kemudian berkata,

“Aku tidak tahu siapa adanya kakakmu, akan tetapi dari bunyi surat ini saja dapat diambil kesimpulan bahwa pemuda she Kam itu memang benar orang baik hati.”

Akan tetapi Lili tidak menjawab karena ia masih merasa heran. Apakah perwira muda itu tidak membohong?

“Teecu sendiri tidak tahu apakah isi surat ini tidak bohong, Suhu. Akan tetapi biarlah, kakakku Hong Beng mana takut menghadapi ancaman dari para perwira kerajaan? Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Shaning tidak jauh lagi.”

Dua hari kemudian pada senja hari mereka tiba di kota Lianing, hanya beberapa puluh li lagi dari kota Shaning. Di luar kota Lianing ini, di luar barisan hutan pada lereng bukit terdapat banyak kuil-kuil kuno yang sudah kosong, karena sudah banyak yang rusak.

Pada siang hari banyak pelancong datang untuk melihat-lihat kuil kuno ini dan sekaligus mengagumi seni ukir serta sajak-sajak kuno yang banyak ditulis pada tembok kuil. Akan, tetapi pada malam harinya, tempat ini amat sunyi, karena selain gelap juga nampaknya angker menakutkan.

Akan tetapi Lo Sian lebih menyukai tempat seperti ini untuk bermalam dari pada hotel yang ramai. Maka, malam hari itu mereka kemudian bermalam di kuil ini untuk menanti lewatnya malam dan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.

Pada saat mereka menuju ke kuil itu di waktu hari telah mulai menggelap tiba-tiba di luar hutan itu berkelebat bayangan orang. Lili yang merasa curiga melihat gerakan bayangan yang cepat ini, segera mengejar. Akan, tetapi ketika dia tiba di luar hutan, bayangan itu sudah lenyap.

“Hemm, bayangan itu dari gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang berilmu tinggi. Malam hari ini kita harus berlaku hati-hati, Lili,” kata Lo Sian.

Akan tetapi gadis yang tabah sekali ini hanya tersenyum dan sama sekali tidak merasa takut, sungguh pun gerakan orang tadi juga membuat dia kagum.

Mereka memilih kuil yang bersih di mana terdapat sebuah kamar. Lili memakai kamar ini sebagai tempat bermalam dan ia merebahkan diri di atas sebuah pembaringan batu yang kasar. Ada pun Lo Sian memilih ruang belakang kuil itu.

Agaknya kekuatiran Lo Sian tidak terbukti, oleh karena sampai tengah malam tak terjadi sesuatu. Akan tetapi, pada saat Lili dan Lo Sian sudah hampir pulas, tiba-tiba terdengar suara perlahan dari atas genteng dan tahu-tahu bayangan hitam yang gerakannya ringan sekali melayang turun di ruangan belakang di mana Lo Sian membaringkan tubuhnya. Pada waktu itu, bulan telah muncul dan ruangan itu yang tidak tertutup genteng, nampak agak terang oleh cahaya bulan yang dingin.

Pendengaran Lo Sian masih sangat tajam dan begitu dia mendengar suara ini, lenyaplah kantuknya dan ia segera bangun dan duduk memandang tajam.

Untuk sesaat bayangan itu tak bergerak, tapi terdengar sedu sedan di kerongkongannya dan tiba-tiba saja bayangan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata perlahan, “Suhuuu..., ampunkan teecu yang tidak kenal budi…”

Tentu saja Lo Sian menjadi terkejut dan heran sekali. Ia berdiri bengong untuk beberapa lamanya, kemudian baru ia dapat berkata gagap,

“Eh, eh, nanti dulu. Kau siapakah dan mengapa menyebut Suhu kepadaku? Aku Lo Sian tidak mempunyai murid lain kecuali Lili yang mengaku sebagai muridku!” Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan memandang wajah orang itu dengan penuh perhatian.

Orang itu adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, akan tetapi benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi siapa gerangan yang datang mengaku guru kepadanya itu.

“Sudah sepatutnya Suhu tidak sudi mengaku murid kepada teecu,” pemuda itu berkata dengan suara sedih sekali, “teecu telah Suhu tolong dan lepaskan dari bahaya maut, lalu menerima budi Suhu yang sangat besar. Akan tetapi teecu...,” kembali terdengar sedu sedan di kerongkongan pemuda itu.

“Sabar dulu, orang muda. Bukan aku tak sudi mengakui kau sebagai muridku, akan tetapi sesungguhnya aku tidak kenal siapa kau ini.”

“Suhu, teecu adalah Kam Seng, anak yang dulu pernah Suhu tolong di sebuah kelenteng dan kemudian menjadi murid Suhu. Lupakah Suhu kepada teecu yang bodoh?”

Akan tetapi tentu saja Lo Sian yang sudah kehilangan ingatannya itu tidak mengenalnya. Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan tubuh Lili berkelebat masuk dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan.

“Bangsat rendah, kau berani datang ke sini?” Secepat kilat pedangnya menusuk ke arah tubuh Kam Seng yang masih berlutut tidak bergerak itu!

Untung pada saat itu juga Lo Sian bergerak maju dan mencegah sehingga terpaksa Lili menahan tusukannya. Akan tetapi sebetulnya cegahan Lo Sian itu kurang perlu, karena pada saat itu tubuh Kam Seng sudah mencelat ke arah pintu dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar suaranya dari luar,

“Aku tidak dapat melawanmu, Lili, tidak dapat membencimu! Betapa pun benciku kepada ayahmu, aku tak dapat memusuhimu, kau tahu akan hal ini...”

“Bangsat rendah, jangan lari!” Lili membentak marah dan dia pun cepat melompat keluar hendak mengejar.

Akan tetapi di luar tidak terlihat bayangan Kam Seng lagi. Diam-diam Lili merasa sangat penasaran dan juga heran mengapa kini ginkang dari pemuda itu jauh lebih hebat dari pada dahulu. Ketika dia kembali ke ruangan itu, terpaksa dia menuturkan kepada Lo Sian tentang Song Kam Seng, putera dari Song Kun yang dulu tewas di tangan ayahnya. Dia menuturkan pula betapa dulu Kam Seng telah ditolong oleh Lo Sian. Pengemis Sakti ini menarik napas panjang dan berkata,

“Sayangnya dia menaruh hati dendam terhadap ayahmu, Lili. Melihat betapa pemuda itu masih ingat kepadamu dan tidak mau melupakan budi, dia terhitung seorang yang masih memiliki pribudi.”

Lili tidak menjawab, akan tetapi kepalanya terasa panas sekali kalau dia teringat betapa pemuda itu dulu pernah menciumnya! Betapa pun juga, agaknya dia tidak akan sampai hati membunuh Kam Seng, kalau diingat bahwa pemuda itu pernah pula membebaskan dirinya dari kematian dan hinaan di dalam kuil Ban Sai Cinjin.

Memang pemuda itu adalah Song Kam Seng yang kini sudah menjadi murid Wi Kong Siansu. Semenjak kekalahannya terhadap Lili dan juga terhadap Lie Siong, pemuda ini merasa prihatin sekali.

Dia lalu mengajukan permohonan kepada suhu-nya untuk menurunkan ilmu silat yang lebih tinggi dan bertekun mempelajari segala macam ilmu silat dari Wi Kong Siansu. Tidak heran apa bila ia mendapat kemajuan yang amat pesatnya.

Pada saat itu ia sedang mengikuti suhu-nya melakukan perantauan, dan biar pun ia tidak berkata sesuatu, namun ia merasa berdebar ketika mendengar bahwa suhu-nya hendak pergi ke Shaning mencari Pendekar Bodoh! Ketika sampai di kota Lianing dan suhu-nya mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan lama, dia lalu berjalan-jalan seorang diri dan melihat Lili dengan gurunya dalam kota itu.

Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan hatinya terharu ketika dia melihat kedua orang itu. Teringatlah dia ketika dulu Lili masih kecil bersama Lo Sian pula untuk menolongnya dari ancaman pisau Hok Ti Hwesio di kuil dalam rimba milik Ban Sai Cinjin.

Diam-diam dia mengikuti mereka dan menahan nafsu hatinya untuk menjumpai suhu-nya itu. Dia kuatir kalau-kalau Lili akan menyerangnya, maka menanti sampai tengah malam barulah dia masuk ke dalam kuil menjumpai suhu-nya. Tak tahunya suhu-nya telah lupa sama sekali kepadanya dan hampir saja dia menjadi korban pedang Lili!

Pada keesokan harinya, Lili mengajak suhu-nya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka mampir dulu di kota Lianing untuk makan pagi. Ketika mereka memasuki sebuah rumah makan, tiba-tiba saja wajah gadis itu berubah dan tak terasa pula dia memegang tangan suhu-nya.

Lo Sian juga menengok dan dia melihat pemuda yang malam tadi mendatangi kuil telah duduk menghadap meja bersama tiga orang lainnya. Kam Seng duduk bersama Wi Kong Siansu dan dua orang lain, dua orang setengah tua yang nampak gagah. Yang seorang berhadapan dengan Wi Kong Siansu dan memakai sebuah topi, dan sikapnya nampak sombong sekali. Orang ke dua bertubuh pendek serta bermuka buruk bagaikan seekor monyet.

Song Kam Seng juga terkejut sekali ketika melihat Lili dan Lo Sian memasuki rumah makan itu. Untuk sesaat matanya bertemu dengan mata Lili dan pemuda itu kemudian mengerutkan keningnya dengan hati penuh kekuatiran. Ia kuatir sekali kalau-kalau gadis itu akan bentrok dengan Wi Kong Siansu, karena dia pun maklum bahwa kepandaian Lili masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian gurunya.

Akan tetapi Lili yang tabah sekali tidak mempedulikan Wi Kong Siansu, bahkan dengan tenangnya lalu mencari meja yang masih kosong. Meja satu-satunya yang kosong adalah meja yang berada dekat meja Wi Kong Siansu itu. Akan tetapi, dengan langkah tenang dan gagah Lili mengajak suhu-nya duduk menghadapi meja itu!

Wi Kong Siansu seolah-olah tidak mengetahui kedatangan nona yang pernah merasakan kelihaian totokannya. Ia sedang bercakap-cakap dengan orang yang bertopi. Nampaknya mereka sedang berdebat tentang sesuatu.

Orang bertopi itu adalah seorang jago silat dari Shantung, seorang ahli gwakang yang mempunyai tenaga gajah. Namanya Can Po Gan, dan orang yang bertubuh kecil dan bermuka buruk itu adalah adiknya bernama Can Po Tin.

Sungguh pun dia kecil dan buruk, akan tetapi kelirulah kalau orang memandang rendah kepadanya, karena ilmu kepandaiannya bahkan lebih lihai dari pada kakaknya. Apa pula Can Po Tin terkenal mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa sehingga di kalangan kang-ouw dia diberi nama poyokan Si Belut! Secara kebetulan sekali, di kota ini mereka bertemu dengan Wi Kong Siansu yang telah mereka kenal dan mereka kagumi, maka mereka lalu bercakap-cakap dengan asyiknya di restoran itu.

Biar pun matanya tidak memandang ke arah meja di mana Wi Kong Siansu, Song Kam Seng, dan kedua orang sudara Can itu bercakap-cakap, akan tetapi Lili tertarik juga akan percakapan mereka dan mendengarkan sambil minum air teh yang tadi dipesannya dari pelayan.

Ketika Lo Sian memandang kepadanya dengan mata bertanya, Lili segera mencelupkan telunjuknya ke dalam cawan tehnya, dan menggunakan jari telunjuk yang basah itu untuk menulis huruf-huruf di atas meja agar Lo Sian dapat membacanya. Ia menulis nama Wi Kong Siansu.

Lo Sian terkejut membaca nama ini karena telah beberapa kali Lili bercerita kepadanya mengenai tosu ini yang sangat tinggi kepandaiannya dan yang diakui oleh Lili bahwa dia pernah roboh oleh totokan tosu itu! Juga Lili pernah menceritakan bahwa Wi Kong Siansu ini adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang terkenal jahat. Diam-diam Lo Sian juga turut memperhatikan orang-orang itu dan mendengarkan percakapan mereka.

“Wi Kong Totiang tadi berkata benar, Twako,” terdengar Si Kecil Buruk berkata kepada kakaknya yang mukanya nampak tidak percaya. “Betapa pun besarnya tenaga gwakang, akan celakalah kalau menghadapi seorang ahli lweekeh, karena tenaga kasar itu hanya akan terbuang sia-sia.”

“Betapa pun juga sukar untuk dapat dipercaya!” bantah Can Po Gan sambil memandang pada Wi Kong Siansu. “Aku lebih percaya bahwa tingkat kepandaian seseoranglah yang menentukan kemenangan. Tentu saja, kalau misalnya aku menghadapi Wi Kong Totiang yang tingkatnya lebih tinggi dariku, aku pasti akan kalah, tidak peduli Wi Kong Totiang mempergunakan gwakang mau pun lweekang. Akan tetapi kalau aku menghadapi orang setingkat, biar pun dia ahli lweekeh, agaknya belum tentu aku akan kalah!”

Adiknya, Tan Po Tin tertawa hingga Lili merasa bulu tengkuknya meremang mendengar suara ketawa yang tinggi kecil seperti suara ketawa seorang perempuan itu. Orang yang suara bicaranya demikian parau dan besar bagaimana bisa tertawa seperti itu?

“Twako, kau tidak tahu. Kalau kau menghadapi orang yang ilmu kepandaian dan tenaga lweekang-nya seperti Pendekar Bodoh, tenagamu yang besar takkan ada gunanya lagi.”

Marahlah Can Po Gan mendengar ini.

“Hemm, ingin sekali aku mencoba tenaga lweekang dari Pendekar Bodoh yang banyak didengung-dengungkan orang itu! Hendak kulihat apakah tenaganya ada selaksa kati!”

Wi Kong Siansu tersenyum. “Harapanmu akan terkabul, Can-sicu. Akan tetapi sebelum kau bertemu dengan dia, lebih baik kau berhati-hati dan jangan terlampau mengandalkan tenagamu. Dengan ilmu silat Hui-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Pukulan Harimau Terbang) agaknya kau masih akan mampu menghadapinya, akan tetapi kalau kau mengandalkan tenagamu, jelas kau sudah keliru. Ketahuilah bahwa di antara ahli-ahli lweekeh ada yang menyatakan bahwa tenaga gwakang amat lemahnya sehingga tidak dapat menarik putus sehelai rambut. Dan kata-kata ini memang ada betulnya!”

“Totiang, mengapa kau pun memandang amat rendahnya kepada tenaga orang? Hendak kusaksikan sendiri kebenaran kata-kata sombong ini.” Kini Can Po Gan yang berangasan menjadi marah dan penasaran sekali.

“Kau ingin bukti? Nah, mari kita buktikan supaya dapat menambah pengalaman dan kau bisa bertindak hati-hati,” jawab Wi Kong Siansu yang segera mencabut sehelai rambut jenggotnya yang panjang. Ia memegang rambut itu pada ujungnya dan berkata,

“Can-sicu, coba kau tarik rambut ini dan kita sama-sama lihat apakah kau dapat menarik putus rambut ini!”

Can Po Gan tertawa keras dan ia segera menjepit ujung rambut itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

“Awas, Totiang, sekali tarik saja, akan putuslah rambut ini,” katanya dan ia mengerahkan tenaganya menarik.

Akan tetapi sungguh heran! Ketika ditarik, rambut itu tidak menjadi putus, hanya mulur sedikit. Ia lalu menambah tenaganya dan tahu-tahu rambut yang terjepit di antara kedua jarinya itu terlepas, akan tetapi tidak putus!

Kembali terdengar suara ketawa yang kecil aneh dari Can Po Tin.

“Ingat, Twako. Rambut itu mempunyai tenaga lemas, apa lagi berada di dalam tangan Wi Kong Tosu! Mana kau bisa memutuskannya?”

“Rambut itu terlalu licin!” kata Can Po Gan penasaran. “Kalau tidak terlepas, tentu aku akan dapat memutuskannya!”

“Boleh kau coba sekali lagi, Can-sicu,” kata Wi Kong Siansu.

Kembali Can Po Gan memegang ujung rambut itu dan mulai menariknya. Rambut itu menegang sehingga menjadi makin kecil.

Lili yang tadi mendengar nama ayahnya disebut-sebut, menjadi mendongkol sekali. Dia maklum bahwa Wi Kong Siansu pasti telah melihatnya, karena mustahil seorang memiliki kepandaian tinggi seperti tosu itu tidak melihatnya yang duduk demikian dekat.

Melihat betapa tosu itu tidak pernah mempedulikannya, bahkan berani bercakap-cakap membicarakan ayahnya, tanda bahwa pendeta itu tidak memandang mata kepadanya, membuat gadis ini marah sekali. Dia tidak merasa takut sedikit pun juga, meski pun dia maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu.

Melihat pertapa itu bersama orang bertopi itu kembali akan mendemonstrasikan tenaga lweekang dan gwakang, Lili lantas mengambil sebuah uang mas dari saku bajunya dan memegang uang itu di antara jari-jari tangan kirinya. Ia menanti dan melihat ke arah Wi Kong Siansu yang masih saja mengadu tenaga melalui rambut itu dengan Can Po Gan. Setelah dilihatnya bahwa rambut itu telah menjadi tegang dan kecil akan tetapi tetap saja tidak dapat putus, tiba-tiba Lili lalu menggunakan jari tangannya menyentil uang emas di tangannya itu.

“Tingg...!” Nyaring sekali suara ini saat uang emas itu terkena sentilannya dan terlempar ke udara.

“Ahh...!” Wi Kong Siansu dan Can Po Gan berseru kaget karena ketika terdengar suara yang nyaring itu, rambut yang mereka tarik telah putus dengan tiba-tiba sekali.

Tadinya Can Po Gan mengira bahwa dia sudah menang dalam pertandingan ini. Akan tetapi dia merasa heran sekali ketika melihat Wi Kong Siansu dan adiknya, Can Po Tin, tidak memandang kepadanya dengan kagum, sebaliknya menengok dan memandang ke arah meja di sebelah kirinya dan anehnya, pandang mata Wi Kong Siansu nampak amat marah.

Dia pun segera menengok dan baru kali ini Can Po Gan melihat wajah Lo Sian yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya.

“Sin-kai Lo Sian!” Can Po Gan berseru ketika dia melihat dan mengenal kakek pengemis ini. Akan tetapi tentu saja Lo Sian tidak mengenalnya dan mendengar namanya disebut, ia memandang dengan tajam.

Sementara itu, Wi Kong Siansu telah bangkit berdiri dan berkata kepada Lili,

“Hemm, puteri Pendekar Bodoh, engkau sungguh lancang dan jail seperti ayahmu! Akan tetapi aku harus menyatakan kagum atas ketabahan hatimu. Apakah kau masih belum mengaku kalah terhadapku?”

Lili tetap duduk di bangkunya saat dia menjawab dengan suara dingin, “Wi Kong Siansu, menang dan menang merupakan dua macam hal yang jauh berlainan! Menang dengan mutlak adalah kemenangan yang dicapai dengan cara jujur dan berterang. Tapi ada pula kemenangan yang dicapai dengan kecurangan dan dengan jalan pengeroyokan. Dahulu kemenanganmu terhadap aku adalah kemenangan yang kedua ini. Siapa mau mengaku kalah terhadap kau? Seperti juga tadi, kau katakan rambut jenggotmu itu tak dapat putus, bukankah dengan suara uang emasku saja sudah dapat terputus? Apakah hal ini boleh dianggap kau telah kalah pula terhadapku?”

“Bocah bermulut lincah! Apakah kau datang ini sengaja hendak memancing pertempuran dengan pinto?” Wi Kong Siansu bertanya penasaran.

“Tidak ada yang memancing pertempuran. Aku masuk ke dalam rumah makan umum untuk makan, apa salahnya dan siapa berhak melarangku?”

“Akan tetapi, mengapa tadi kau berlancang tangan memutuskan rambutku dengan suara uangmu?” Wi Kong Siansu makin penasaran.

“Siapa pula menyuruh kalian membawa-bawa nama ayahku dalam percakapan kalian?” balas Lili.

Tiba-tiba Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Betul pandai! Aku mengaku kalah berdebat dengan engkau. Bagus, tolong kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa kalau dia berani, aku mengundangnya untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kelak pada musim semi tahun depan di puncak Thian-san! Jika dia tidak datang, akan kuanggap bahwa Pendekar Bodoh hanya namanya saja yang besar, akan tetapi nyalinya kecil!”

“Siapa takut kepadamu?” kata Lili marah. “Jangan kata Ayah, aku sendiri pun tidak takut dan akan datang pada waktu itu!”

Wi Kong Siansu duduk kembali, tidak mau mempedulikan lagi kepada Lili. Akan tetapi, kedua saudara Can itu memandang dengan hati penuh penasaran. Bagaimana seorang tokoh besar seperti Wi Kong Siansu dapat bercakap-cakap dengan seorang gadis muda seakan-akan bicara dengan orang yang sama tinggi kedudukannya dalam kepandaian silat?

Pula, Can Po Gan yang mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, dan bahwa putusnya rambut tadi adalah disebabkan oleh gadis itu yang membunyikan uang emas dengan nyaringnya, dia menjadi amat penasaran. Ia memandang dengan senyum mengejek dan berkata,

“Jadi inikah puteri Pendekar Bodoh? Ehhh, Nona, kau duduk semeja dengan Sin-kai Lo Sian, apamukah dia?” tanya Can Po Gan dengan kasar dan menyeringai.

“Dia adalah Suhu-ku, kau mau apa tanya-tanya?” Lili yang memiliki hati tabah itu balas bertanya dengan kasar.

Tidak saja kedua saudara Can itu yang terheran, bahkan Wi Kong Siansu juga tertegun mendengar ucapan ini. Ia juga pernah melihat Lo Sian dan sudah mendengar pula akan kepandaian Pengemis Sakti ini, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan kepandaian gadis puteri Pendekar Bodoh itu, Si Pengemis Sakti akan kalah jauh!

Hanya Kam Seng seorang yang menundukkan mukanya, diam-diam dia mengagumi Lili yang masih terus mengaku guru kepada Lo Sian meski pun gadis itu kini telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Lo Sian!

Terdengar suara ketawa yang menyeramkan dari Can Po Tin ketika dia mendengar ini. “Sin-kai Lo Sian, benar-benarkah Nona ini muridmu? Dan muridmu sudah berani berlaku kurang ajar terhadap Wi Kong Siansu, kau diamkan saja? Alangkah kurang ajar dan tak tahu adat kau ini!”

Akan tetapi dengan tenang Lo Sian menjawab dengan suaranya yang dalam, “Kalian ini siapakah? Aku tidak kenal dengan Ji-wi (Tuan Berdua), akan tetapi mengapa Jiwi hendak menggangguku?”

Mendengar jawaban ini, kedua saudara Can itu melengak. Akhirnya Can Po Gan yang berangasan itu lalu bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia menghampiri Lo Sian.

“Pengemis jembel! Kau pura-pura tidak mengenal kami? Dulu kami pernah mengampuni jiwa anjingmu dan sekarang kau masih berani berlaku demikian kurang ajar dan tidak memandang mata? Agaknya kau minta dihajar lagi!”

Sambil berkata demikian, tangan kanan orang berangasan ini melayang dari atas dan memukul lengan tangan Lo Sian yang diletakkan di atas meja. Lo Sian cepat menarik lengannya dan…

“Brakk!”

Kepalan tangan Can Po Gan yang keras itu bagaikan palu baja menimpa meja sehingga tembus! Cawan air teh di depan Lili melayang ke atas dengan cepat karena getaran meja itu sehingga kalau tidak cepat-cepat Lili menangkapnya, tentu isinya akan tumpah. Gadis ini menjadi marah sekali dan cepat dia berdiri, sementara itu Lo Sian sudah melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan selanjutnya.

“Buaya darat!” Lili memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Kepandaian macam itu saja kau pamerkan di sini? Apakah kau tukang jual obat kuat?”

Can Po Gan memandang kepada Lili dengan senyum mengejek menghias pada bibirnya yang tebal. “Apa kau tidak takut melihat tanganku ini?” Ia mengacungkan kepalan tangan kanannya yang kini menjadi kemerah-merahan.

Melihat cahaya merah yang menjalar di sepanjang lengan tangan yang sangat besar itu, diam-diam Lili terkejut dan mengetahui bahwa lengan tangan itu mempunyai kekuatan Ang-see-jiu yang berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan ia lalu membuka telapak tangannya, mengulurkan ke depan dan berkata,

“Siapa sih takut kepada lengan tangan kasar berbulu macam itu? Gunanya paling banyak hanya untuk memukul meja atau menakut-nakuti orang.”

“Bocah bermulut lancang! Kepalamu pun akan tertembus terkena pukulanku,” kata Can Po Gan.

Lili tersenyum dingin. “Begitukah? Coba kau tembuskan telapak tanganku ini, kalau dapat membuat aku merasa sakit, aku mau berlutut di hadapan kakimu dan mengangkat kau sebagai Sucouw (Kakek Guru)!”

“Kau menantang?!”

“Beranikah kau memukul tanganku?”

“Siapa takut? Awas, kuhancurkan tanganmu yang kecil halus!” Setelah berkata demikian, Can Po Gan langsung melakukan pukulan keras ke arah telapak tangan Lili yang sejak tadi diperlihatkan kepadanya.

Tanpa dapat terlihat oleh orang lain, karena gerakannya sangat cepat, tangan gadis itu lalu bergeser sedikit dan jari telunjuknya menyentil dengan cepat dan keras ketika lengan tangan lawannya itu meluncur lewat menyerempet telapak tangannya.

“Aduhh...!”

Can Po Gan menarik kembali lengannya, akan tetapi ia tak dapat menggerakkan lengan tangan kirinya yang kini telah menjadi kaku seperti sepotong kayu itu!

Ternyata ketika tadi dia memukul, dari gerakan anginnya saja Lili sudah dapat mengelak sedikit tanpa menggerakkan lengan, hanya menggerakkan pergelangan tangannya, lalu dia sudah melakukan sentilan jari telunjuk untuk menotok jalan darah pada pergelangan siku lawannya!

“Jangan kau main-main terhadap gadis itu Sicu!” kata Wi Kong Siansu yang kini sudah melangkah maju.

Dengan beberapa kali urutan serta tepukan, totokan itu dapat dibebaskan dari lengan tangan Can Po Gan. Akan tetapi Can Po Gan dan Can Po Tin sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu mencabut golok masing-masing, siap maju menggempur Lili.

Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan nyaring, tubuh Lili mencelat ke atas meja dan sekarang ia telah berdiri di atas meja dengan tangan memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, yakni pedang Liong-coan-kiam!

“Kalian mau mencari mampus? Boleh, boleh, majulah!” tantangnya dengan sikap gagah sekali.

Melihat ini, kedua saudara Can itu menjadi gentar juga. Sesungguhnya, kekalahan Can Po Gan tadi bukan karena ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Lili, akan tetapi terjadi oleh karena kurang hati-hatinya dan kesembronoannya, juga karena tadinya dia memandang rendah. Sekarang melihat ketabahan dan kekerasan gadis itu, apa lagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, setidaknya mereka menjadi ragu-ragu. Wi Kong Siansu lalu maju pula dan mencegah mereka.

“Ji-wi Can-sicu, tak perlu membikin ribut di sini. Kelak saja pada permulaan musim semi tahun depan, kita mempunyai kesempatan banyak untuk mengadu tenaga dengan Nona ini.”

“Baiklah, kami akan menanti datangnya saat itu dengan hati tidak sabar,” kata Can Po Gan sambil duduk kembali dan menyimpan senjatanya.

Ada pun Lili pada saat melihat sikap lawannya ini, juga tidak mau mendesak lebih lanjut, karena gadis ini bukan tidak tahu bahwa kalau sampai terjadi pertempuran dan Wi Kong Siansu turun tangan, sukar sekali bagi dia dan suhu-nya untuk mencapai kemenangan.

Lili melompat turun, menyimpan pedangnya dan memberi ganti kerugian kepada pelayan restoran, kemudian ia mengajak suhu-nya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena kini dia menjadi perhatian semua orang yang tadi menyaksikan peristiwa itu.

“Jangan lupa sampaikan undanganku kepada ayahmu!” Wi Kong Siansu masih berseru keras ketika Lili dan Lo Sian sudah tiba di luar restoran.

Gadis itu tak menjawab karena ia merasa mendongkol sekali. Terang-terangan ayahnya ditantang oleh tosu itu dan dia merasa penasaran sekali tidak dapat menghadapi tosu itu sekarang juga!

Ketika tiba di Shaning dan memasuki rumah keluarga Sie, Lo Sian disambut oleh Cin Hai dan Lin Lin dengan penuh penghormatan. Kedua suami-isteri pendekar ini merasa amat berterima kasih kepada Lo Sian dan mereka menyambutnya sebagai seorang penolong besar.

Sebaliknya Lo Sian merasa amat canggung dan juga kagum, melihat sepasang suami isteri yang namanya sudah terkenal di seluruh penjuru bumi Tiongkok, akan tetapi yang ternyata bersikap ramah tamah dan sederhana, juga suami-isteri itu sangat tampan dan cantik.

Pada waktu mendengar penuturan Lili mengenai keadaan Lo Sian, Cin Hai dan Lin Lin mengerutkan keningnya. Apa lagi kelika mereka mendengar bahwa Lo Sian merasa pasti akan kematian Lie Kong Sian, kedua orang ini menjadi amat berduka.

“Apakah kau tidak dapat mengingat di mana dan bagaimana cara Lie-suheng menemui kematiannya?” tanya Cin Hai.

Akan tetapi Lo Sian menggeleng kepalanya. “Menyesal sekali, Taihiap. Ingatanku sudah lenyap sama sekali, dan aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku bisa berhal seperti ini. Sudah kucoba untuk mengerahkan seluruh ingatan, namun hasilnya nihil belaka. Hanya dapat kurasakan dan agaknya sudah terukir dalam-dalam di hatiku bahwa Lie Kong Sian Taihiap sudah tewas, entah dengan cara bagaimana dan di mana, tapi yang sudah pasti menurut perasaan hatiku, tewas dalam cara yang amat mengerikan!”

“Suhu sudah lupa segala macam peristiwa yang lalu, Ayah. Bahkan nama sendiri pun dia telah lupa. Akan tetapi pada waktu aku menjumpai Suhu dalam keadaan lupa ingatan dan rusak pikiran, Suhu berseru-seru ketakutan dan mengucapkan kata-kata 'pemakan jantung', entah apa yang dimaksudkan.”

Mendengar kata-kata ini, wajah Lo Sian berubah agak pucat dan dia menghela napas berkali-kali. “Ucapan ini sudah sering kali membuatku tak dapat tidur. Aku sendiri merasa bahwa dalam ucapan ini terkandung hal yang amat hebat, akan tetapi sayang sekali, aku tak dapat mengingatnya lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin merasa sangat kasihan melihat keadaan penolong puterinya ini dan tahu bahwa orang ini perlu beristirahat dan mendapatkan hiburan. Maka ia merasa girang sekali mendengar keinginan Lili untuk menahan suhu-nya tinggal di situ.

Mereka menyatakan persetujuan mereka, bahkan mereka setengah memaksa Lo Sian untuk tinggal di sana, sehingga lenyaplah keraguan dan kesungkanan dari hati Lo Sian. Semenjak saat itu, dia tinggal bersama Pendekar Bodoh dan menempati kamar bekas tempat tinggal Yousuf yang masih dibiarkan kosong.

Ketika Cin Hai dan isterinya mendengar penuturan Lili mengenai Wi Kong Siansu yang menantang mereka untuk mengadu kepandaian di puncak Thian-san pada musim semi tahun depan, Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata tenang,

“Wi Kong Siansu seperti anak kecil saja. Betapa pun juga, undangan macam ini tak boleh tidak harus disambut dengan gembira.”

Sebaliknya, Lin Lin berkata dengan muka merah, “Pendeta sombong! Kalau memang dia merasa penasaran dan hendak mencoba kepandaian, mengapa dia tidak terus datang saja sekarang? Siapa yang takut menghadapinya?”

Mendengar percakapan suami-isteri ini, Lo Sian menjadi kagum sekali. Sikap Pendekar Bodoh demikian tenang dan tabah sebagaimana layaknya sikap seorang pendekar besar yang telah luas sekali pengetahuannya. Dan sikap Lin Lin demikian gagahnya, sehingga mengingatkan Lo Sian kepada watak Lili.

“Menurut pendapatku yang bodoh, orang yang mengundang pibu dengan menyebutkan waktu dan tempat tertentu harus dihadapi dengan hati-hati. Kalau Wi Kong Siansu telah menetapkan waktu tahun depan dan mengambil tempat di puncak Thian-san, tentulah dia telah merencanakan hal ini dengan semasak-masaknya dan takkan mengherankan apa bila Taihiap kelak tak hanya akan bertemu dengan dia seorang saja, akan tetapi dengan orang-orang lain yang lihai.”

Cin Hai mengangguk-angguk, ada pun Lin Lin segera berkata dengan wajah berseri-seri, “Lo-twako, mendengar bicaramu aku jadi teringat kepada mendiang ayah angkatku! Kau sama benar dengan ayah, hati-hati dan jauh pandangan.”

Sebentar saja Lo Sian merasa cocok dan suka sekali dengan sepasang pendekar besar itu yang menyebutnya twako (kakak tertua), sedangkan Lili lalu menyebut dirinya twa-pek (uwa).

*****

Sesudah selama sepekan bersama Goat Lan menjaga di Istana Pengemis untuk menanti kalau-kalau pihak Coa-tung Kai-pang datang membikin pembalasan, dan ternyata tidak terjadi sesuatu, maka Hong Beng kemudian minta diri dari kelima saudara Hek. Bersama dengan tunangannya dia lalu berangkat menyusul Lili ke kota Kiciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio, ahli pengobatan di kuil Siauw-lim-si itu.

Thian Kek Hwesio menerima mereka dengan girang sebab memang sudah lama ia kenal dan mengagumi Goat Lan, murid tersayang dari sahabat baiknya, Sin Kong Tianglo. Ia merasa makin gembira ketika mendengar betapa Goat Lan sudah berhasil mendapatkan To-hio-giok-ko obat satu-satunya untuk penyakit putera kaisar.

Pada waktu Goat Lan menyatakan terus terang bahwa ia hendak ke Tiang-an dulu untuk mengambil kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip untuk mempelajari cara mempergunakan dua macam obat itu, Thian Kek Hwesio segera berkata,

“Tidak usah, Nona. Tidak perlu kau membuang waktu untuk mengambil jalan memutar. Penyakit putera kaisar sudah payah sekali dan kalau kau tidak cepat-cepat pergi ke kota raja dan segera mengobatinya, mungkin kau akan terlambat dan pengharapan mendiang sahabat baikku akan sia-sia belaka.”

Terkejut Goat Lan ketika dia mendengar ucapan ini. “Habis bagaimana baiknya, Losuhu? Aku tidak tahu apa macamnya penyakit yang diderita oleh Pangeran Muda itu dan tidak tahu cara bagaimana harus mempergunakan obat yang langka ini.”

“Jangan kuatir, pinceng pernah mendengar keterangan dari sabahat baikku gurumu itu. Baiklah kubentangkan sedikit agar supaya lebih jelas bagimu. Penyakit yang diderita oleh Pangeran Mahkota ini adalah semacam penyakit di dalam usus besar. Menurut gurumu, usus besar itu terluka hebat dan di sana terdapat bisul yang sudah pecah dan menjadi semacam luka yang makin lama makin menghebat. Oleh karena itulah, maka Pangeran Muda itu selalu mengeluarkan kotoran darah dan tubuhnya lemas, perutnya terasa sakit. Bila mana kau sudah menghadap Hong-siang (Kaisar) dan Hong-houw (Permaisuri) dan dibawa ke tempat si sakit, terlebih dahulu kau harus memberinya sebuah Giok-ko (Buah Mutiara) untuk dimakan mentah-mentah. Khasiat Giok-ko ini untuk membersihkan darah sehingga daya penolak luka di dalam itu akan menjadi kuat. Kemudian, To-bio (Daun Golok) itu boleh kau rebus dengan air sampai airnya tinggal satu bagian, lalu berikan untuk diminum. Daun ini sarinya manjur sekali untuk mengeringkan lukanya. Setelah tiga hari berturut-turut kau memberi obat To-hio-giok-ko kepada Pangeran, selanjutnya dapat kau lakukan pengobatan dengan obat-obat penguat tubuh serta pembersih darah seperti biasa, bahkan sangat baik kalau kau mempergunakan juga tiam-hoat (ilmu totok) untuk melancarkan jalan darah!”

Setelah mendapat keterangan demikian, Goat Lan lalu minta diri untuk segera menuju ke kota raja. Kepada Hong Beng ia berkata setelah keluar dari kuil itu.

“Koko, kau dengar sendiri bahwa aku harus segera ke kota raja untuk mengobati putera Kaisar, demi menjaga dan menjunjung nama baik dan kehormatan mendiang Suhu Sin Kong Tianglo. Apakah kau hendak menyusul Lili, ataukah...?”

Goat Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sesungguhnya hatinya masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan tunangan yang gagah berani dan tampan ini. Tentu saja sebagai seorang gadis yang sopan dan tinggi hati, ia tidak dapat menyatakan suara hatinya.

Seperti halnya Goat Lan, meski pun dia seorang laki-laki namun Hong Beng juga masih sungkan dan malu-malu. Dia pun tak pandai menyatakan perasaan hati melalui bibirnya, maka dengan muka merah ia menjawab,

“Lan-moi, sebetulnya aku pun ingin sekali ke kota raja, dan... dan aku kuatir kalau-kalau para tokoh kang-ouw yang merasa iri hati terhadap mendiang suhu-mu, akan datang lalu mengganggu dan menghalangimu mengobati putera Kaisar.”

“Aku pun berpikir demikian, Koko. Bukan tak mungkin sekarang sudah ada banyak yang mengincar gerak-gerikku.”

“Biarlah aku mengawanimu sampai selesai tugasmu ini, Moi-moi, tetapi... kalau kau tidak keberatan.”

“Mengapa keberatan?” Goat Lan memandang kepada tunangannya yang kebetulan juga menatap wajahnya.

Dua pasang mata kembali bertemu untuk kesekian kalinya dan keduanya menundukkan muka dengan wajah merah dan bibir tersenyum. Pada saat seperti itu tak perlu kata-kata lagi. Mereka sudah saling mendengar seribu satu ucapan yang keluar dari hati masing-masing.

“Hayo kita berangkat!” Akhirnya Hong Beng memecahkan kesunyian yang menekan dan membuat mereka merasa canggung. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke kota raja.

Memang kekuatiran kedua orang muda ini betul-betul terjadi. Di dalam kota raja terdapat komplotan yang sudah siap sedia menghalangi semua usaha mengobati Pangeran yang sedang rebah menderita sakit yang amat berat. Mereka ini dikepalai oleh seorang selir kaisar yang juga mempunyai putera dan yang mengharapkan agar puteranya kelak yang menggantikan kedudukan kaisar apa bila pangeran itu meninggal dunia karena sakitnya.

Selir kaisar inilah yang mengharapkan kematian putera Kaisar. Ia telah mempercayakan pelaksanaan semua urusan ini kepada seorang pembesar tinggi yang kini menjadi kepala pengawal istana dan bernama Bu Kwan Ji, yang sesungguhnya sudah lama mempunyai hubungan gelap dengan selir kaisar itu!

Bu Kwan Ji adalah seorang yang pandai ilmu silat, termasuk perwira kelas satu di kota raja, dan mempunyai banyak kawan sepaham terdiri dari para perwira bayangkari yang tinggi ilmu silatnya. Para kawan-kawannya pun maklum akan keadaan Bu Kwan Ji yang dikasihi oleh Kaisar dan selirnya, dan bahwa Bu Kwan Ji mempunyai banyak harapan bagus di masa depan. Maka tentu saja mereka suka membantu supaya kelak ikut pula merasakan kesenangan.

Rombongan pengkhianat ini lalu minta bantuan pula dari tiga orang tabib yang paling terkenal di kota raja. Mereka mengadakan hubungan dan Bu Kwan Ji menjanjikan upah besar dan pembagian keuntungan apa bila kelak ia dapat menduduki kursi tinggi.

Memang harta benda dan pangkat dapat memabukkan manusia dan dapat membutakan mata batin manusia. Tiga orang tabib itu bukanlah orang sembarangan, bahkan ilmu silat dan ilmu pengobatan mereka sudah amat terkenal di kalangan kang-ouw.

Yang seorang bernama Ang Lok Cu, seorang pendeta dan pertapa yang terkenal dari Bukit Kun-lun-san. Orang ke dua dan ke tiga adalah dua orang hwesio gundul, kakak beradik seperguruan yang tinggi ilmu silat serta ilmu pengobatan mereka. Mereka ini bernama Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio.

Kedua orang hwesio ini dahulu pernah belajar ilmu pengobatan dari Thian Kek Hwesio. Akan tetapi setelah dapat menduga bahwa dua orang hwesio ini bukanlah orang-orang yang berhati teguh dan suci, Thian Kek Hwesio menghentikan pelajaran mereka. Ada pun Ang Lok Cu adalah murid dari seorang tosu perantau yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.

Tadinya, tiga orang pendeta ini datang ke kota raja untuk mencoba kepandaian mereka mengobati putera Kaisar, akan tetapi mereka tak berhasil. Kemudian mereka mendengar tentang kesanggupan Sin Kong Tianglo, maka mereka lalu menjadi iri hati dan bersama beberapa orang tokoh kang-ouw mereka menjumpai Sin Kong Tianglo dan memperolok-olokannya dan memanaskan hati Sin Kong Tianglo hingga kakek sakti ini pergi mencari obatnya dan akhirnya menjumpai kematian di daerah dingin itu.

Ketika Bu Kwan Ji mendengar tentang kekecewaan dan iri hati dari tiga orang pendeta ini, maka dia lalu datang menghubunginya dan kini ketiga orang pendeta ini menerima tugas untuk mencegah pengobatan untuk putera Kaisar ini. Melalui selir Kaisar, Bu Kwan Ji berhasil membuat Kaisar mengangkat ketiga orang pendeta itu menjadi tabib-tabib penjaga putera Kaisar, dan mereka inilah yang berhak memeriksa obat-obat yang akan diminumkan kepada yang sakit.

Dengan demikian, maka bukanlah tugas yang ringan bagi Goat Lan untuk mengobati putera Kaisar itu, karena menghadapi segerombolan serigala kejam tanpa diketahuinya lebih dulu di mana serigala-serigala itu bersembunyi. Baiknya dia dan Hong Beng sudah dapat menduga terlebih dulu bahwa tugasnya ini tentu akan mengalami halangan pihak yang memusuhinya.

Halangan pertama dijumpai oleh Goat Lan dan Hong Beng pada saat mereka telah tiba di kota raja dan hendak menghadap Kaisar. Yang menerima adalah kepala bayangkari yang juga telah menjadi kaki tangan Bu Kwan Ji, maka tidak mudah bagi kedua orang muda ini untuk menghadap Hong-siang (Kaisar). Mereka lalu dibawa masuk ke dalam sebuah kantor besar di mana duduk Bu Kwan Ji yang memeriksa mereka.

“Kalian ini dari manakah dan dari siapakah kalian membawa obat untuk putera Kaisar?” tanya Bu Kwan Ji dengan pandangan mata tajam.

Mendengar pertanyaan yang kasar ini, Goat Lan mengerutkan keningnya. Akan tetapi Hong Beng yang tahu akan kekerasan hati Goat Lan, mewakili tunangannya menjawab,

“Kami mewakili Yok-ong (Raja Obat) Sin Kong Tianglo dan membawa obat penyembuh penyakit Pangeran. Harap saja Ciangkun sudi membawa kami untuk menghadap kepada Hong-siang atau langsung membawa kami kepada yang sakit agar supaya pengobatan tidak terlambat.”

“Mudah saja kau bicara hendak mengobati Pangeran!” tiba-tiba Bu Kwan Ji membentak marah. “Aku telah bosan mendengar ocehan segala macam tukang obat. Sudah ratusan ahli pengobatan yang tua-tua dan berpengalaman tidak berhasil menyembuhkan Beliau, dan kalian ini orang-orang muda berani sekali membawa obat palsu. Apakah kalian tidak menyayangi jiwa sendiri? Awas, pengobatan yang tidak berhasil akan membuat kalian ditangkap dan menerima hukuman berat!”

Goat Lan menjadi mendongkol sekali dan cahaya berapi sudah muncul pada sepasang matanya. Ingin sekali ia maju dan menampar mulut perwira ini, akan tetapi kembali Hong Beng yang menyabarkannya karena pemuda ini telah berkata pula kepada Bu Kwan Ji,

“Maaf, Ciangkun. Kami datang dengan maksud menolong. Dulu Yok-ong sudah berjanji hendak menyembuhkan penyakit putera Kaisar, dan sekarang muridnya ini telah datang membawa obat itu. Berilah kami kesempatan untuk menolong nyawa putera Kaisar yang sakit.”

“Hemm, benarkah kau murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?” tanya Bu Kwan Ji kepada Goat Lan. “Dan kau benar-benar sudah mendapatkan obat yang manjur untuk mengobati penyakit putera Kaisar?”

“Benar!” jawab Goat Lan singkat.

“Kalau begitu, kau tinggalkan obat itu kepadaku agar aku dapat memberi perintah kepada tabib-tabib istana untuk meminumkan obat itu kepada Pangeran.”

“Tidak bisa demikian!” Goat Lan berkata gemas. “Obat itu tidak boleh diminumkan oleh orang lain, harus aku sendiri yang mengobatinya.”

“Kalau begitu, pergilah kalian dari sini!” Bu Kwan Ji menggebrak meja.

Mendengar ucapan ini, Goat Lan bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Bagus! Macam apakah perwira seperti kau ini? Kau kira kami takut kepadamu? Kami datang hendak menolong putera Kaisar dan kau sengaja mengusir kami? Kalau kami melaporkan hal ini kepada Hong-siang, aku kuatir kau takkan dapat mempertahankan pangkatmu lagi!”

Bu Kwan Ji memandang tajam dan melihat sikap kedua orang muda yang gagah ini, hatinya menjadi ragu-ragu. “Pulanglah dan besok kalian boleh datang kembali. Aku harus melaporkan hal ini kepada Kaisar lebih dulu. Aku hanya menjalankan tugas, karena siapa tahu jika ada yang datang berpura-pura membawa obat akan tetapi sebenarnya hendak meracuni Pangeran!”

Dengan mendongkol Goat Lan dan Hong Beng terpaksa keluar dari situ, karena mereka mau tak mau harus membenarkan pula ucapan ini.

Memang Bu Kwan Ji orangnya cerdik sekali. Melihat keadaan kedua orang muda itu dan mendengar bahwa nona itu adalah murid Sin Kong Tianglo yang sakti, dia tidak berani berlaku sembrono. Dia menyuruh kedua orang muda itu pulang lebih dulu untuk mencari kesempatan mengatur siasat.

Pada saat Goat Lan dan Hong Beng keluar dari situ, mereka melihat tiga orang perwira menyusul mereka dan berjalan mengikuti mereka.

“Kalian mau apa?” Goat Lan membentak marah.

“Oleh karena Ji-wi hendak mengobati putera Kaisar, maka kami disuruh mengikuti Ji-wi dan mencari tahu di mana Jiwi bermalam, agar mudah memanggil apa bila ada perintah dari Kaisar untuk memanggil Ji-wi menghadap,” jawab seorang perwira itu.

Hong Beng dan Goat Lan tidak dapat membantah dan sesudah mereka mendapat kamar dalam sebuah hotel, ketiga orang perwira itu pergi meninggalkan mereka.

“Malam ini kita harus berhati-hati sekali,” kata Hong Beng kepada Goat Lan. “Siapa tahu kalau-kalau ada penjahat datang hendak mengganggu. Ayah sering kali bercerita tentang penjahat-penjahat yang pandai di kota raja.”

Goat Lan mengangguk dan dia masuk ke dalam kamarnya setelah makan malam. Hong Beng juga duduk di dalam kamarnya, duduk bersila di atas ranjang, tidak mau tidur, dan hanya beristirahat sambil bersemedhi.

Menjelang tengah malam, baik Hong Beng mau pun Goat Lan yang duduk bersemedhi pula, dapat mendengar gerakan kaki beberapa orang yang amat ringan dan halus di atas genteng hotel. Kedua orang muda itu tersenyum dan dengan penuh perhatian keduanya memasang telinga untuk mengikuti gerak-gerik orang di atas genteng itu. Mereka berdua sudah memiliki pendengaran yang amat tajam, maka dengan mudahnya dapat menduga bahwa yang datang adalah tiga orang yang ilmu ginkangnya cukup tinggi.

Pendekar Remaja Jilid 16

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 16

DIA dan Bhok Coa Jin adalah dua orang di antara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat satu. Kepandaian mereka ini sudah sangat tinggi, oleh karena mereka merupakan murid-murid yang menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari Coa-tung Kai-pang! Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat dan ilmu tongkat dan telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

Oleh karena memandang rendah dan tak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok Coa Jin, “Sute, harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang mencoba kekuatan pangcu muda ini!” Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut tersenyum.

Bhok Coa Jin juga tersenyum, lalu dia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk di atas tongkat itu! Demonstrasi kekuatan lweekang ini saja sudah hebat sekali, karena lantai itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan lantai itu terdiri dari tanah lumpur belaka!

“Silakan, Suheng, aku hendak menonton saja,” katanya.

“Nah, Sie-pangcu, marilah kita mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.

“Majulah Kim-lokai. Sebagai tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil memegang tongkat hitamnya dengan cara sembarangan saja.

Ia memegang kepala tongkatnya sehingga tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti seorang kakek yang meminjam tenaga tongkat untuk membantu menunjang tubuhnya yang sudah lemah. Bagi orang yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini tidak pandai ilmu silat dan bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada artinya sama sekali.

Akan tetapi pada saat Kim Coa Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya tertegun. Itulah kuda-kuda yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, yakni semacam kuda-kuda yang tidak sembarang orang berani menggunakannya untuk memulai sebuah pertempuran, karena kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.

“Awas serangan!” serunya dan Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.

Dia sengaja menyerang dengan gerakan yang paling hebat dan lihai, karena dia hendak merobohkan ketua Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat ularnya dengan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah dada Hong Beng, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur pula di belakang tongkatnya untuk mengirimkan pukulan susulan yang dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!

Akan tetapi Hong Beng dengan gerakan Hek-hong Koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan) menggerakkan tongkat hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya bertemu dengan tongkat ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat ular itu ikut pula terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan lweekang-nya untuk ‘menyedot’ dan menempel senjata lawan.

Karena kedua tongkat itu terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri pengemis tua itu tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk membetot kembali tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi ternyata tongkat itu seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia merasa penasaran sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya dia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja dia jatuh ketika secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!

Bukan main kagetnya hati Kim Coa Jin merasakan kelihaian pangcu muda dari Hek-tung Kai-pang ini. Sambil menggereng laksana seekor harimau terluka ia lalu menerjang maju, memutar-mutar tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan kini benar-benar dia mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena dia sudah maklum sepenuhnya bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid orang pandai!

Akan tetapi Hong Beng tetap saja berlaku tenang. Dengan puas dan gembira sekali dia mendapat kenyataan bahwa tongkat hitam yang lemas pada tangannya itu benar-benar merupakan senjata istimewa. Walau pun tongkat itu lemas, akan tetapi dapat menerima saluran tenaga lweekang dengan baik sekali, sehingga tidak kalah ‘enaknya’ dipakai dari pada sebatang ranting kecil!

Dia lalu memainkan Ngo-heng Tung-hoat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat lawannya menjadi pening kepala. Ngo-heng Tung-hoat adalah semacam ilmu silat yang mengambil sari dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah air, sepanas api! Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat tubuhnya lenyap dari pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat yang menghitam!

Kim Coa Jin sebagai tokoh tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu silat yang sudah sangat tinggi. Akan tetapi harus dia akui bahwa selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.

Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat bukanlah ilmu silat sembarang saja, tetapi memiliki sifat-sifat tersendiri yang sangat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini amat ganas dan kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali karena ilmu ini tercipta di antara jalan hitam, di antara orang-orang yang memiliki pikiran dan tabiat yang kurang baik.

Tongkat yang berbentuk ular itu saja mengandung bagian-bagian rahasia sehingga dapat mengeluarkan senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Malah dari mulut ular itu, apa bila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan semacam uap berbisa yang berbahaya sekali.

Hong Beng sengaja tidak mau melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat yang memang lebih tinggi tingkatnya. Pemuda ini biar pun masih muda dan mempunyai darah panas namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau ia sampai melukai orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan menjadi semakin mendalam. Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin sakit hati dan menaruh dendam hati yang maha berat. Dia ingin menghindarkan hal ini, maka ia hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk mengalahkan Kim Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan jiwanya.

Bhok Coa Jin yang menonton pertandingan itu menjadi marah serta penasaran sekali. Bhok Coa Jin mempunyai watak yang lebih berangasan dan keras dari pada suheng-nya. Melihat betapa suheng-nya tidak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak hebat sekali, tiba-tiba dia berseru keras dan membantu suheng-nya menyerang Hong Beng.

“Pengemis curang, perlahan dulu!” Mendadak terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat yang diputar oleh Bhok Coa Jin itu telah terpental mundur karena tertangkis oleh sebatang tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.

Bhok Coa Jin terkejut dan lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.

“Bocah kurang ajar!” seru pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali menghalangi Bhok Coa Jin?”

“Hemm, agaknya kau terlalu sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan menyindir. “Kau mau tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang takut mendengar namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama sekali tidak sesuai dengan sifatmu yang pengecut!”

“Kurang ajar!” Bhok Coa Jin memaki dan tongkatnya segera meluncur cepat mengarah tenggorokan nona itu.

Akan tetapi cepat sekali sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan menjepit tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tak dapat dicabut kembali. Betapa pun Bhok Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan terjepit oleh dua potong besi yang kuat sekali. Barulah dia merasa amat terkejut dan heran. Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya?

Juga Goat Lan merasa gemas sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini. Dia sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng berkata mencegahnya,

“Lan-moi, jangan layani dia. Biarkan saja dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian Hek-tung Kai-pang!”

Walau pun hatinya mendongkol dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan tunangannya ini dan ia melompat mundur. Dia tahu kalau ia turun tangan, maka hal ini akan mengurangi keangkeran Hek-tung Kai-pang.

Sebaliknya, diam-diam Bhok Coa Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat mundur. Tak banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng, membantu suheng-nya.

Jika sekiranya keadaan Hong Beng berbahaya apa bila dikeroyok dua, tentu betapa pun juga Goat Lan akan memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi dua orang pengemis Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah sebab kepandaian Hong Beng masih lebih tinggi tingkatnya. Dia lalu duduk kembali dan menonton dengan sikap tenang. Sebaliknya, para anggota Hek-tung Kai-pang merasa kuatir juga melihat betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang amat tangguh itu.

Menghadapi keroyokan dua orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng memperlihatkan kehebatan ilmu tongkatnya. Dia segera merubah gerakan tongkat hitamnya dan kini dia mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa Tung-hoat yang gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ngo-heng Tung-hoat.

Sebentar saja, seperti halnya lima saudara Hek pada waktu menghadapi pemuda ini, dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang ini merasa pening serta pandangan mata mereka menjadi kabur. Mereka merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan ilmu tongkat yang seperti itu. Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat pernah mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat yang dimainkan oleh ketua baru dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka kenal.

Sebaliknya, bagi Hong Beng juga tak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa menggunakan serangan kilat yang sedikitnya akan melukai mereka. Maka terpaksa, biar pun dia tidak ingin melukai kedua lawan ini, dia harus memperlihatkan kepandaiannya.

Sekali dia mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat ular itu patah di tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu, dari dalam tongkat menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong Beng. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam itu dengan tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke bawah dan kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!

Untung bahwa Hong Beng hanya mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku kejam, meski pun kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu akan patah-patah tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka sakit sekali dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu berdiri. Mereka hanya duduk memandang dengan mata terbelalak, lebih merasa heran dari pada merasa marah.

“Kau... kau siapakah? Dan ilmu sihir apakah yang sudah kau gunakan untuk merobohkan kami?” Akhirnya Kim Coa Jin dapat juga berkata sambil merangkak mencoba bangun. Begitu pula Bhok Coa Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun berdiri.

“Tadi sudah kukatakan bahwa namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan karena kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap kalian jangan persalahkan kami.”

Akan tetapi jawaban ini tidak memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak puas mendengar jawaban pangcu-nya, kemudian berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Bukalah matamu baik-baik, kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah putera dari Pendekar Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita yang kalian pandang rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan Lihiap adalah murid dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah keterangan ini masih belum cukup?”

Pucatlah muka kedua orang pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para pahlawan dan tokoh dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin pun menarik napas panjang dan berkata, “Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan Pendekar Bodoh! Buah yang jatuh tidak akan menggelinding jauh dari pohonnya!” Setelah berkata demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin pergi meninggalkan tempat itu.

“Tahan...!” seru Hong Beng dan tubuhnya berkelebat mendahului kedua orang itu. Ia kini berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang dan matanya memandang tajam penuh ancaman. “Apa maksud kata-katamu tadi? Apa maksudmu bahwa buah tidak akan jatuh menggelinding jauh dari pohonnya?”

Kim Coa Jin tersenyum mengejek “Watak anak takkan berbeda jauh dengan bapaknya. Suhu-ku pernah menceritakan bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang selalu turut mencampuri urusan orang lain, seorang yang selalu turun tangan dan bertindak dengan sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Dan kau agaknya tidak berbeda jauh dengan ayahmu itu!”

“Siapakah suhu-mu?” tanya Hong Beng.

“Suhu kami adalah pendiri dari Coa-tung Kai-pang, yang bernama Coa Ong Lojin!”

Sambil berkata demikian Kim Coa Jin memandang tajam karena mengharapkan pemuda itu akan menjadi terkejut mendengar nama suhu-nya. Akan tetapi ternyata Hong Beng menerima keterangan ini dengan dingin saja, sungguh pun dia pernah mendengar nama orang tua yang sakti itu.

“Pernahkah suhu-mu bentrok dengan ayahku?”

“Belum, belum pernah. Akan tetapi Suhu sudah cukup banyak mendengar dari kawan-kawannya, dan Suhu ingin sekali bertemu dengan ayahmu untuk melihat sampai di mana sih kepandaiannya maka dia dan puteranya sesombong ini!”

Tiba-tiba muka Hong Beng menjadi merah sekali, tanda bahwa ia marah. “Jahanam berlidah busuk!” makinya sehingga Goat Lan yang sudah berdiri di dekatnya menjadi terkejut, karena tak disangkanya sama sekali bahwa tunangannya yang lemah lembut dan sopan santun ini sekarang begitu marah sampai memaki orang. “Kau pandai benar memutar balik duduknya perkara! Pantas saja kau menjadi pengurus Perkumpulan Tongkat Ular sebab watakmu seperti ular, lidahmu berbisa. Kalian yang datang mengacau di perkumpulan kami akan tetapi kalian yang menuduh kami suka mencampuri urusan orang lain! Memang ayahku suka mencampuri urusan orang lain, urusan orang jahat macam engkau yang suka mengganggu orang, dan hal seperti itu tentu saja ayahku dan aku tak akan tinggal diam memeluk tangan!”

Hampir saja Hong Beng mengangkat tangan menjatuhkan pukulan, kalau saja Goat Lan tidak menyentuh pundaknya sambil memandang dengan senyum menghibur. Pemuda ini menjadi marah sekali karena mendengar ayahnya dicela oleh dua orang jahat seperti Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin.

Kedua orang pengemis dari Coa-tung Kai-pang itu segera pergi dengan muka pucat dan tak berani menengok lagi. Goat Lan lalu menghibur tunangannya dengan kata-kata yang halus,

“Sudahlah, Koko, untuk apa mencurahkan kemarahan terhadap orang-orang macam itu? Mereka sudah dikalahkan dan tentu mereka sudah merasa kapok.”

“Mudah-mudahan begitu,” jawab Hong Beng. “Akan tetapi aku masih merasa amat kuatir kalau-kalau mereka akan datang lagi bersama kawan-kawan mereka untuk mengganggu Hek-tung Kai-pang.”

“Kalau begitu, lebih baik kita menanti dahulu sampai beberapa hari di sini, untuk menjaga keselamatan perkumpulan. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk melindunginya dari serangan orang-orang jahat. Biarlah mereka mendatangkan suhu mereka, aku pun sudah pernah mendengar nama Coa Ong Lojin yang terkenal jahat. Betapa pun lihainya, kita pasti akan dapat mengalahkannya.”

Demikianlah, dua orang muda ini terpaksa menunda keberangkatan mereka dan berjaga di tempat itu bersama para pengurus Hek-tung Kai-pang sampai sepekan lamanya. Dan ini pulalah sebabnya maka mereka tidak cepat menyusul Lili dan Lo Sian yang pergi ke rumah Thian Kek Hwesio sehingga setelah menanti tiga hari lamanya, Lili menjadi hilang kesabaran dan mengajak bekas suhu-nya itu pergi ke Shaning, ke rumah orang tuanya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.

******

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Betapa pun Lili berusaha untuk membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.

“Suhu, kau bernama Lo Sian dan berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah ingat-ingat lagi, Suhu. Aku bernama Sie Hong Li atau Lili yang dahulu pernah kau tolong dari tangan Bouw Hun Ti. Dan tidak ingatkah kau kepada suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le?” Untuk kesekian kalinya di dalam perjalanannya menuju ke Shaning, Lili berkata kepada bekas suhu-nya.

Lo Sian hanya menggeleng kepalanya dengan wajah sedih. “Sebenarnya, sudah hampir setiap malam aku mencoba mengerahkan seluruh ingatanku, akan tetapi tiada gunanya. Ingatanku akan hal-hal yang lampau bagaikan sebuah goa yang hitam pekat. Memang, namamu dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku, akan tetapi aku benar-benar sudah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian lagi dan engkau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat akan hal yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”

Akan tetapi, jalan pikiran Lo Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih sempurna, mencerminkan wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu hari, ketika mereka sedang melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka melihat sebuah makam yang dibangun indah sekali di pinggir jalan. Besarnya makam itu seperti rumah orang, merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal. Lo Sian nampaknya amat tertarik dan kagum. Dia berdiri di depan makam itu sambil memandang ke dalam seperti seorang yang terpesona.

“Suhu, coba kau ingat-ingat, makam siapakah ini?”

Seperti bicara kepada diri sendiri, Lo Sian berkata perlahan, “Sudah pasti bukan makam Lie Kong Sian... bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”

Lili memandang dengan terharu. “Suhu, benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”

Lo Sian mengangguk pasti. “Memang dia sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan bisa mengenali kalau melihat makamnya. Akan tetapi entah di mana, entah bagaimana macamnya, hanya aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati... tidak salah lagi...”

Pada saat bicara tentang kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili lalu terbayang kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga tak terasa mukanya telah berubah pula menjadi merah sekali.

“Sesungguhnya, makam siapakah begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?” tanya Lo Sian sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang bagus-bagus, juga pada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap hari.

Lili menarik napas panjang. Apa bila suhu-nya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah lupa segala. Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar yang gagah perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan bangsa?

“Suhu, masa kau tidak ingat kepada makam Jenderal Ho ini?”

Lo Sian menggelengkan kepala. “Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal Ho yang kau sebutkan tadi?”

“Jenderal Ho adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dahulu ketika bala tentara Mongol menyerang pedalaman Tiongkok dan hampir saja bisa membobolkan pertahanan, Jenderal Ho inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok Besar. Juga ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar sudah terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan berhasil memukul hancur para pemberontak.”

“Dan bagaimana ia sampai meninggal dunia?”

“Dia gugur dalam peperangan ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biar pun dia telah terluka hebat di dalam peperangan itu, namun dia masih sanggup untuk memimpin pasukannya dan mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan dia menghembuskan napas terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya terhadap negara inilah maka namanya terkenal di seluruh negeri sehingga semua rakyat tak ada yang tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita akan masuk dan memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di dalam terdapat orang yang menyediakan dupa.”

Akan tetapi Lo Sian malah menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela napas panjang. “Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”

Lili memandang suhu-nya dengan dua mata terbelalak. “Apa maksudmu, Suhu? Palsu? Apanya yang palsu?”

“Penghormatan ini, makam ini, semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Kau duduklah, Lili, dan biarlah aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala kepalsuan dunia.” Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di depan makam besar itu.

“Sebelum aku membentangkan pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah melihat makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para prajurit-prajurit biasa yang gugur dalam peperangan membela negara?”

Lili memandang bodoh kemudian menggelengkan kepalanya. “Belum pernah Suhu, yang selalu dihormati adalah makam orang-orang besar, jenderal-jenderal, panglima-panglima besar, dan menteri-menteri.”

“Nah, itulah yang kukatakan palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia berjasa terhadap negara, bahwa dia sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. Bahkan orang-orang yang katanya besar, sungguh pun tak usah mengorbankan nyawa dalam peperangan, tetap saja makamnya terus dipuji-puji, namanya dihormati dan dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa prajurit kecil itu kalah besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan maju di garis pertempuran terdepan, gugur lebih dahulu dari pada para pemimpinnya yang hanya mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka ini tidak jauh lebih berani, lebih gagah, dan berjasa dari pada jenderal-jenderal itu? Namun, bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan bagaimana keadaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat lagi kepada mereka! Nah, inilah yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang hanya pandai mengingat yang besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal, tanpa yang kecil-kecil, yang besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar tanpa rakyatnya? Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa prajurit-prajuritnya?”

Lili tertegun mendengar ucapan suhu-nya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh yang banyak mendengar tentang filsafat, dia tidak mau menyerah begitu saja dan masih membantah, “Akan tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya prajurit-prajurit dalam barisan tanpa pemimpin yang mengatur siasat peperangan? Apakah artinya rakyat tanpa adanya pemimpin yang pandai?”

Lo Sian mengangguk-angguk. “Hemm, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang kedua hal itu perlu sekali, keduanya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Betapa pun juga, lebih penting anak buahnya dari pada kepalanya. Tanpa jenderal, tiap pasukan prajurit masih merupakan kekuatan yang hebat. Tanpa pemimpin, rakyat masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang sama sekali tidak berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena kukatakan tadi bahwa keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya menghormati pemimpinnya saja tanpa mengingat anak buahnya?”

Mendengar ucapan suhu-nya yang panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali, oleh karena dia kini merasa yakin bahwa biar pun sudah kehilangan ingatannya dan lupa akan peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhu-nya ini masih memiliki pikiran sehat dan pandangan yang mengagumkan.

Sesudah bicara panjang lebar kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri tembok yang mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lweekang-nya dan dengan jari-jari telunjuknya ia lalu mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah huruf yang artinya seperti berikut,

Jenderal Ho menerima penghormatan berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat makam ini harus mengingat akan jasa dari setiap orang prajurit tak dikenal dalam pasukannya!

Biar pun dia menggurat-gurat tembok yang keras itu hanya dengan jari telunjuknya saja, akan tetapi bagaikan sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan tulisan itu tidak dapat dihapus lagi!

Ketika melihat kejadian ini, orang-orang yang lewat di tempat itu lalu maju melihat dan mereka mengeluarkan pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara amat nyaring dan keras,

“Bagus, tulisan yang gagah sekali!”

Ketika Lili dan Lo Sian menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan mukanya tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan Lo Sian, orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.

Lili melihat dengan herannya betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur sambil membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukanlah orang sembarangan dan mempunyai pengaruh yang besar. Dia merasa segan untuk membalas penghormatan itu, akan tetapi melihat suhu-nya menjura dengan hormat, terpaksa ia pun mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.

“Siauwte adalah Kam Liong, dan sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat tertarik melihat tulisan Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan Lo-enghiong yang bersemangat gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya siauwte mengetahui pula siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”

Ucapan Kam Liong terdengar jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang prajurit, dan Lo Sian memandang kepada pemuda ini dengan mata gembira. Ia bisa menduga bahwa pemuda ini memiliki kegagahan dan kejujuran hati.

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari panglima besar Kam Hong Sin. Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian dengan Lie Siong pada waktu Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi tamu dari keluarga bangsawan Gui.

“Terima kasih atas keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian ramah, “kami hanyalah orang-orang biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong Li, puteri dari pendekar Bodoh.”

“Suhu...!” Lili menegur suhu-nya sebab ia tak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang pemuda asing.

Akan tetapi Lo Sian berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri kepada orang yang berwatak buruk, akan tetapi dia melihat pemuda ini sungguh pun mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi peramah dan sopan, maka tidak ada salahnya memperkenalkan diri mereka.

Mendengar nama Lo Sian, wajah Kam Liong tidak berubah, akan tetapi saat mendengar bahwa gadis cantik jelita itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya langsung berubah sama sekali. Ia menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka berdua.

“Ahhh, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan puteri dari Sie Taihiap yang terkenal! Kalau begitu, kita bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan ayahmu, Nona. Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang tempat tinggal ayahmu yang terhormat?”

Terpaksa Lili menjawab, “Ayah kini tinggal di kota Shaning.”

“Siauwte harap Lo-enghiong dan Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa gembira dan terhormat sekali dapat menjadi tuan rumah.”

“Terima kasih, Kam-ciangkun. Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.

“Ahh, sayang sekali siauwte tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi biarlah lain kali siauwte mengunjungi Sie Taihiap untuk menghaturkan hormat.”

Maka berpisahlah mereka, Kam Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian melanjutkan perjalanan ke kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata kepada Lili,

“Pemuda itu gagah dan baik sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.”

“Ayahnya memang berkepandaian tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu bahwa Kam Hong Sin adalah seorang panglima yang mempunyai ilmu silat tinggi dan dulu pernah bertemu dengan kedua orang tuaku.”

Gadis ini sambil berjalan kemudian menuturkan secara singkat kepada suhu-nya tentang pengalaman orang tuanya pada waktu muda, pada saat bertemu dengan ayah panglima muda itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali dari arah belakang. Ketika tiba di dekat mereka, seorang perwira tua yang menunggang kuda itu kemudian melompat turun dan bertanya,

“Apakah kau yang bernama Lo Sian?”

Lo Sian dan Lili menjadi heran sekali.

“Betul,” jawab Lo Sian. “Ada keperluan apakah kau mencariku?”

Perwira itu menyerahkan sepucuk surat yang tertutup kepadanya sambil melirik ke arah Lili. “Aku telah menerima perintah dari Kam-ciangkun agar supaya menyerahkan surat ini kepada seorang nona yang berjalan bersama dengan orang tua yang bernama Lo Sian. Kurasa kaulah Nona itu.”

Lili tidak mau menerima surat itu, dan Lo Sian yang menerimanya. Setelah memberikan surat itu, perwira ini cepat-cepat melompat ke atas kudanya kembali dan tanpa memberi kesempatan kedua orang itu bicara, dia sudah membalapkan kudanya kembali. Memang begitulah perintah komandannya, hanya menyampaikan surat lalu segera meninggalkan mereka lagi.

“Kurang ajar sekali panglima muda itu!” kata Lili dengan muka merah. “Apa maksudnya memberi surat kepadaku? Aku tidak sudi membacanya!”

“Jangan terburu nafsu, Lili. Tidak baik menuduh orang kalau belum melihat buktinya. Kau bacalah dahulu surat ini, baru kemudian kita dapat melihat orang macam apakah adanya panglima muda she Kam itu,” kata Lo Sian.

Dengan mulut cemberut dan muka merah Lili membuka sampul surat itu dengan kasar dan membaca surat yang singkat itu.

Nona Sie,
Aku pernah bertemu dengan kakakmu dan karena dia menewaskan putera bangsawan, Gui Kongcu, kini dia menjadi buruan pemerintah. Aku sebagai panglima tentu saja harus melakukan tugas ini, sungguh pun aku bersimpati kepada kakakmu itu. Suruh dia supaya berhati-hati apa bila bertemu dengan perwira-perwira kerajaan.

Yang tetap menghormat orang tuamu,
Kam Liong


Setelah membaca surat ini, berubahlah wajah Lili dan dia menjadi termenung. Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh kakaknya? Yang dimaksud oleh Kam Liong ini tentulah Hong Beng, akan tetapi mengapa ketika bertemu, Hong Beng tidak bercerita sesuatu tentang pembunuhan seorang bernama Gui Kongcu?

“Surat apakah itu, Lili?” Pertanyaan Lo Sian ini menyadarkan Lili dari lamunannya.

Ia tak menjawab, hanya menyerahkan surat kepada bekas suhu-nya. Lo Sian membaca surat itu dan kemudian berkata,

“Aku tidak tahu siapa adanya kakakmu, akan tetapi dari bunyi surat ini saja dapat diambil kesimpulan bahwa pemuda she Kam itu memang benar orang baik hati.”

Akan tetapi Lili tidak menjawab karena ia masih merasa heran. Apakah perwira muda itu tidak membohong?

“Teecu sendiri tidak tahu apakah isi surat ini tidak bohong, Suhu. Akan tetapi biarlah, kakakku Hong Beng mana takut menghadapi ancaman dari para perwira kerajaan? Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Shaning tidak jauh lagi.”

Dua hari kemudian pada senja hari mereka tiba di kota Lianing, hanya beberapa puluh li lagi dari kota Shaning. Di luar kota Lianing ini, di luar barisan hutan pada lereng bukit terdapat banyak kuil-kuil kuno yang sudah kosong, karena sudah banyak yang rusak.

Pada siang hari banyak pelancong datang untuk melihat-lihat kuil kuno ini dan sekaligus mengagumi seni ukir serta sajak-sajak kuno yang banyak ditulis pada tembok kuil. Akan, tetapi pada malam harinya, tempat ini amat sunyi, karena selain gelap juga nampaknya angker menakutkan.

Akan tetapi Lo Sian lebih menyukai tempat seperti ini untuk bermalam dari pada hotel yang ramai. Maka, malam hari itu mereka kemudian bermalam di kuil ini untuk menanti lewatnya malam dan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.

Pada saat mereka menuju ke kuil itu di waktu hari telah mulai menggelap tiba-tiba di luar hutan itu berkelebat bayangan orang. Lili yang merasa curiga melihat gerakan bayangan yang cepat ini, segera mengejar. Akan, tetapi ketika dia tiba di luar hutan, bayangan itu sudah lenyap.

“Hemm, bayangan itu dari gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang berilmu tinggi. Malam hari ini kita harus berlaku hati-hati, Lili,” kata Lo Sian.

Akan tetapi gadis yang tabah sekali ini hanya tersenyum dan sama sekali tidak merasa takut, sungguh pun gerakan orang tadi juga membuat dia kagum.

Mereka memilih kuil yang bersih di mana terdapat sebuah kamar. Lili memakai kamar ini sebagai tempat bermalam dan ia merebahkan diri di atas sebuah pembaringan batu yang kasar. Ada pun Lo Sian memilih ruang belakang kuil itu.

Agaknya kekuatiran Lo Sian tidak terbukti, oleh karena sampai tengah malam tak terjadi sesuatu. Akan tetapi, pada saat Lili dan Lo Sian sudah hampir pulas, tiba-tiba terdengar suara perlahan dari atas genteng dan tahu-tahu bayangan hitam yang gerakannya ringan sekali melayang turun di ruangan belakang di mana Lo Sian membaringkan tubuhnya. Pada waktu itu, bulan telah muncul dan ruangan itu yang tidak tertutup genteng, nampak agak terang oleh cahaya bulan yang dingin.

Pendengaran Lo Sian masih sangat tajam dan begitu dia mendengar suara ini, lenyaplah kantuknya dan ia segera bangun dan duduk memandang tajam.

Untuk sesaat bayangan itu tak bergerak, tapi terdengar sedu sedan di kerongkongannya dan tiba-tiba saja bayangan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata perlahan, “Suhuuu..., ampunkan teecu yang tidak kenal budi…”

Tentu saja Lo Sian menjadi terkejut dan heran sekali. Ia berdiri bengong untuk beberapa lamanya, kemudian baru ia dapat berkata gagap,

“Eh, eh, nanti dulu. Kau siapakah dan mengapa menyebut Suhu kepadaku? Aku Lo Sian tidak mempunyai murid lain kecuali Lili yang mengaku sebagai muridku!” Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan memandang wajah orang itu dengan penuh perhatian.

Orang itu adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, akan tetapi benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi siapa gerangan yang datang mengaku guru kepadanya itu.

“Sudah sepatutnya Suhu tidak sudi mengaku murid kepada teecu,” pemuda itu berkata dengan suara sedih sekali, “teecu telah Suhu tolong dan lepaskan dari bahaya maut, lalu menerima budi Suhu yang sangat besar. Akan tetapi teecu...,” kembali terdengar sedu sedan di kerongkongan pemuda itu.

“Sabar dulu, orang muda. Bukan aku tak sudi mengakui kau sebagai muridku, akan tetapi sesungguhnya aku tidak kenal siapa kau ini.”

“Suhu, teecu adalah Kam Seng, anak yang dulu pernah Suhu tolong di sebuah kelenteng dan kemudian menjadi murid Suhu. Lupakah Suhu kepada teecu yang bodoh?”

Akan tetapi tentu saja Lo Sian yang sudah kehilangan ingatannya itu tidak mengenalnya. Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan tubuh Lili berkelebat masuk dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan.

“Bangsat rendah, kau berani datang ke sini?” Secepat kilat pedangnya menusuk ke arah tubuh Kam Seng yang masih berlutut tidak bergerak itu!

Untung pada saat itu juga Lo Sian bergerak maju dan mencegah sehingga terpaksa Lili menahan tusukannya. Akan tetapi sebetulnya cegahan Lo Sian itu kurang perlu, karena pada saat itu tubuh Kam Seng sudah mencelat ke arah pintu dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar suaranya dari luar,

“Aku tidak dapat melawanmu, Lili, tidak dapat membencimu! Betapa pun benciku kepada ayahmu, aku tak dapat memusuhimu, kau tahu akan hal ini...”

“Bangsat rendah, jangan lari!” Lili membentak marah dan dia pun cepat melompat keluar hendak mengejar.

Akan tetapi di luar tidak terlihat bayangan Kam Seng lagi. Diam-diam Lili merasa sangat penasaran dan juga heran mengapa kini ginkang dari pemuda itu jauh lebih hebat dari pada dahulu. Ketika dia kembali ke ruangan itu, terpaksa dia menuturkan kepada Lo Sian tentang Song Kam Seng, putera dari Song Kun yang dulu tewas di tangan ayahnya. Dia menuturkan pula betapa dulu Kam Seng telah ditolong oleh Lo Sian. Pengemis Sakti ini menarik napas panjang dan berkata,

“Sayangnya dia menaruh hati dendam terhadap ayahmu, Lili. Melihat betapa pemuda itu masih ingat kepadamu dan tidak mau melupakan budi, dia terhitung seorang yang masih memiliki pribudi.”

Lili tidak menjawab, akan tetapi kepalanya terasa panas sekali kalau dia teringat betapa pemuda itu dulu pernah menciumnya! Betapa pun juga, agaknya dia tidak akan sampai hati membunuh Kam Seng, kalau diingat bahwa pemuda itu pernah pula membebaskan dirinya dari kematian dan hinaan di dalam kuil Ban Sai Cinjin.

Memang pemuda itu adalah Song Kam Seng yang kini sudah menjadi murid Wi Kong Siansu. Semenjak kekalahannya terhadap Lili dan juga terhadap Lie Siong, pemuda ini merasa prihatin sekali.

Dia lalu mengajukan permohonan kepada suhu-nya untuk menurunkan ilmu silat yang lebih tinggi dan bertekun mempelajari segala macam ilmu silat dari Wi Kong Siansu. Tidak heran apa bila ia mendapat kemajuan yang amat pesatnya.

Pada saat itu ia sedang mengikuti suhu-nya melakukan perantauan, dan biar pun ia tidak berkata sesuatu, namun ia merasa berdebar ketika mendengar bahwa suhu-nya hendak pergi ke Shaning mencari Pendekar Bodoh! Ketika sampai di kota Lianing dan suhu-nya mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan lama, dia lalu berjalan-jalan seorang diri dan melihat Lili dengan gurunya dalam kota itu.

Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan hatinya terharu ketika dia melihat kedua orang itu. Teringatlah dia ketika dulu Lili masih kecil bersama Lo Sian pula untuk menolongnya dari ancaman pisau Hok Ti Hwesio di kuil dalam rimba milik Ban Sai Cinjin.

Diam-diam dia mengikuti mereka dan menahan nafsu hatinya untuk menjumpai suhu-nya itu. Dia kuatir kalau-kalau Lili akan menyerangnya, maka menanti sampai tengah malam barulah dia masuk ke dalam kuil menjumpai suhu-nya. Tak tahunya suhu-nya telah lupa sama sekali kepadanya dan hampir saja dia menjadi korban pedang Lili!

Pada keesokan harinya, Lili mengajak suhu-nya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka mampir dulu di kota Lianing untuk makan pagi. Ketika mereka memasuki sebuah rumah makan, tiba-tiba saja wajah gadis itu berubah dan tak terasa pula dia memegang tangan suhu-nya.

Lo Sian juga menengok dan dia melihat pemuda yang malam tadi mendatangi kuil telah duduk menghadap meja bersama tiga orang lainnya. Kam Seng duduk bersama Wi Kong Siansu dan dua orang lain, dua orang setengah tua yang nampak gagah. Yang seorang berhadapan dengan Wi Kong Siansu dan memakai sebuah topi, dan sikapnya nampak sombong sekali. Orang ke dua bertubuh pendek serta bermuka buruk bagaikan seekor monyet.

Song Kam Seng juga terkejut sekali ketika melihat Lili dan Lo Sian memasuki rumah makan itu. Untuk sesaat matanya bertemu dengan mata Lili dan pemuda itu kemudian mengerutkan keningnya dengan hati penuh kekuatiran. Ia kuatir sekali kalau-kalau gadis itu akan bentrok dengan Wi Kong Siansu, karena dia pun maklum bahwa kepandaian Lili masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian gurunya.

Akan tetapi Lili yang tabah sekali tidak mempedulikan Wi Kong Siansu, bahkan dengan tenangnya lalu mencari meja yang masih kosong. Meja satu-satunya yang kosong adalah meja yang berada dekat meja Wi Kong Siansu itu. Akan tetapi, dengan langkah tenang dan gagah Lili mengajak suhu-nya duduk menghadapi meja itu!

Wi Kong Siansu seolah-olah tidak mengetahui kedatangan nona yang pernah merasakan kelihaian totokannya. Ia sedang bercakap-cakap dengan orang yang bertopi. Nampaknya mereka sedang berdebat tentang sesuatu.

Orang bertopi itu adalah seorang jago silat dari Shantung, seorang ahli gwakang yang mempunyai tenaga gajah. Namanya Can Po Gan, dan orang yang bertubuh kecil dan bermuka buruk itu adalah adiknya bernama Can Po Tin.

Sungguh pun dia kecil dan buruk, akan tetapi kelirulah kalau orang memandang rendah kepadanya, karena ilmu kepandaiannya bahkan lebih lihai dari pada kakaknya. Apa pula Can Po Tin terkenal mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa sehingga di kalangan kang-ouw dia diberi nama poyokan Si Belut! Secara kebetulan sekali, di kota ini mereka bertemu dengan Wi Kong Siansu yang telah mereka kenal dan mereka kagumi, maka mereka lalu bercakap-cakap dengan asyiknya di restoran itu.

Biar pun matanya tidak memandang ke arah meja di mana Wi Kong Siansu, Song Kam Seng, dan kedua orang sudara Can itu bercakap-cakap, akan tetapi Lili tertarik juga akan percakapan mereka dan mendengarkan sambil minum air teh yang tadi dipesannya dari pelayan.

Ketika Lo Sian memandang kepadanya dengan mata bertanya, Lili segera mencelupkan telunjuknya ke dalam cawan tehnya, dan menggunakan jari telunjuk yang basah itu untuk menulis huruf-huruf di atas meja agar Lo Sian dapat membacanya. Ia menulis nama Wi Kong Siansu.

Lo Sian terkejut membaca nama ini karena telah beberapa kali Lili bercerita kepadanya mengenai tosu ini yang sangat tinggi kepandaiannya dan yang diakui oleh Lili bahwa dia pernah roboh oleh totokan tosu itu! Juga Lili pernah menceritakan bahwa Wi Kong Siansu ini adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang terkenal jahat. Diam-diam Lo Sian juga turut memperhatikan orang-orang itu dan mendengarkan percakapan mereka.

“Wi Kong Totiang tadi berkata benar, Twako,” terdengar Si Kecil Buruk berkata kepada kakaknya yang mukanya nampak tidak percaya. “Betapa pun besarnya tenaga gwakang, akan celakalah kalau menghadapi seorang ahli lweekeh, karena tenaga kasar itu hanya akan terbuang sia-sia.”

“Betapa pun juga sukar untuk dapat dipercaya!” bantah Can Po Gan sambil memandang pada Wi Kong Siansu. “Aku lebih percaya bahwa tingkat kepandaian seseoranglah yang menentukan kemenangan. Tentu saja, kalau misalnya aku menghadapi Wi Kong Totiang yang tingkatnya lebih tinggi dariku, aku pasti akan kalah, tidak peduli Wi Kong Totiang mempergunakan gwakang mau pun lweekang. Akan tetapi kalau aku menghadapi orang setingkat, biar pun dia ahli lweekeh, agaknya belum tentu aku akan kalah!”

Adiknya, Tan Po Tin tertawa hingga Lili merasa bulu tengkuknya meremang mendengar suara ketawa yang tinggi kecil seperti suara ketawa seorang perempuan itu. Orang yang suara bicaranya demikian parau dan besar bagaimana bisa tertawa seperti itu?

“Twako, kau tidak tahu. Kalau kau menghadapi orang yang ilmu kepandaian dan tenaga lweekang-nya seperti Pendekar Bodoh, tenagamu yang besar takkan ada gunanya lagi.”

Marahlah Can Po Gan mendengar ini.

“Hemm, ingin sekali aku mencoba tenaga lweekang dari Pendekar Bodoh yang banyak didengung-dengungkan orang itu! Hendak kulihat apakah tenaganya ada selaksa kati!”

Wi Kong Siansu tersenyum. “Harapanmu akan terkabul, Can-sicu. Akan tetapi sebelum kau bertemu dengan dia, lebih baik kau berhati-hati dan jangan terlampau mengandalkan tenagamu. Dengan ilmu silat Hui-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Pukulan Harimau Terbang) agaknya kau masih akan mampu menghadapinya, akan tetapi kalau kau mengandalkan tenagamu, jelas kau sudah keliru. Ketahuilah bahwa di antara ahli-ahli lweekeh ada yang menyatakan bahwa tenaga gwakang amat lemahnya sehingga tidak dapat menarik putus sehelai rambut. Dan kata-kata ini memang ada betulnya!”

“Totiang, mengapa kau pun memandang amat rendahnya kepada tenaga orang? Hendak kusaksikan sendiri kebenaran kata-kata sombong ini.” Kini Can Po Gan yang berangasan menjadi marah dan penasaran sekali.

“Kau ingin bukti? Nah, mari kita buktikan supaya dapat menambah pengalaman dan kau bisa bertindak hati-hati,” jawab Wi Kong Siansu yang segera mencabut sehelai rambut jenggotnya yang panjang. Ia memegang rambut itu pada ujungnya dan berkata,

“Can-sicu, coba kau tarik rambut ini dan kita sama-sama lihat apakah kau dapat menarik putus rambut ini!”

Can Po Gan tertawa keras dan ia segera menjepit ujung rambut itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

“Awas, Totiang, sekali tarik saja, akan putuslah rambut ini,” katanya dan ia mengerahkan tenaganya menarik.

Akan tetapi sungguh heran! Ketika ditarik, rambut itu tidak menjadi putus, hanya mulur sedikit. Ia lalu menambah tenaganya dan tahu-tahu rambut yang terjepit di antara kedua jarinya itu terlepas, akan tetapi tidak putus!

Kembali terdengar suara ketawa yang kecil aneh dari Can Po Tin.

“Ingat, Twako. Rambut itu mempunyai tenaga lemas, apa lagi berada di dalam tangan Wi Kong Tosu! Mana kau bisa memutuskannya?”

“Rambut itu terlalu licin!” kata Can Po Gan penasaran. “Kalau tidak terlepas, tentu aku akan dapat memutuskannya!”

“Boleh kau coba sekali lagi, Can-sicu,” kata Wi Kong Siansu.

Kembali Can Po Gan memegang ujung rambut itu dan mulai menariknya. Rambut itu menegang sehingga menjadi makin kecil.

Lili yang tadi mendengar nama ayahnya disebut-sebut, menjadi mendongkol sekali. Dia maklum bahwa Wi Kong Siansu pasti telah melihatnya, karena mustahil seorang memiliki kepandaian tinggi seperti tosu itu tidak melihatnya yang duduk demikian dekat.

Melihat betapa tosu itu tidak pernah mempedulikannya, bahkan berani bercakap-cakap membicarakan ayahnya, tanda bahwa pendeta itu tidak memandang mata kepadanya, membuat gadis ini marah sekali. Dia tidak merasa takut sedikit pun juga, meski pun dia maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu.

Melihat pertapa itu bersama orang bertopi itu kembali akan mendemonstrasikan tenaga lweekang dan gwakang, Lili lantas mengambil sebuah uang mas dari saku bajunya dan memegang uang itu di antara jari-jari tangan kirinya. Ia menanti dan melihat ke arah Wi Kong Siansu yang masih saja mengadu tenaga melalui rambut itu dengan Can Po Gan. Setelah dilihatnya bahwa rambut itu telah menjadi tegang dan kecil akan tetapi tetap saja tidak dapat putus, tiba-tiba Lili lalu menggunakan jari tangannya menyentil uang emas di tangannya itu.

“Tingg...!” Nyaring sekali suara ini saat uang emas itu terkena sentilannya dan terlempar ke udara.

“Ahh...!” Wi Kong Siansu dan Can Po Gan berseru kaget karena ketika terdengar suara yang nyaring itu, rambut yang mereka tarik telah putus dengan tiba-tiba sekali.

Tadinya Can Po Gan mengira bahwa dia sudah menang dalam pertandingan ini. Akan tetapi dia merasa heran sekali ketika melihat Wi Kong Siansu dan adiknya, Can Po Tin, tidak memandang kepadanya dengan kagum, sebaliknya menengok dan memandang ke arah meja di sebelah kirinya dan anehnya, pandang mata Wi Kong Siansu nampak amat marah.

Dia pun segera menengok dan baru kali ini Can Po Gan melihat wajah Lo Sian yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya.

“Sin-kai Lo Sian!” Can Po Gan berseru ketika dia melihat dan mengenal kakek pengemis ini. Akan tetapi tentu saja Lo Sian tidak mengenalnya dan mendengar namanya disebut, ia memandang dengan tajam.

Sementara itu, Wi Kong Siansu telah bangkit berdiri dan berkata kepada Lili,

“Hemm, puteri Pendekar Bodoh, engkau sungguh lancang dan jail seperti ayahmu! Akan tetapi aku harus menyatakan kagum atas ketabahan hatimu. Apakah kau masih belum mengaku kalah terhadapku?”

Lili tetap duduk di bangkunya saat dia menjawab dengan suara dingin, “Wi Kong Siansu, menang dan menang merupakan dua macam hal yang jauh berlainan! Menang dengan mutlak adalah kemenangan yang dicapai dengan cara jujur dan berterang. Tapi ada pula kemenangan yang dicapai dengan kecurangan dan dengan jalan pengeroyokan. Dahulu kemenanganmu terhadap aku adalah kemenangan yang kedua ini. Siapa mau mengaku kalah terhadap kau? Seperti juga tadi, kau katakan rambut jenggotmu itu tak dapat putus, bukankah dengan suara uang emasku saja sudah dapat terputus? Apakah hal ini boleh dianggap kau telah kalah pula terhadapku?”

“Bocah bermulut lincah! Apakah kau datang ini sengaja hendak memancing pertempuran dengan pinto?” Wi Kong Siansu bertanya penasaran.

“Tidak ada yang memancing pertempuran. Aku masuk ke dalam rumah makan umum untuk makan, apa salahnya dan siapa berhak melarangku?”

“Akan tetapi, mengapa tadi kau berlancang tangan memutuskan rambutku dengan suara uangmu?” Wi Kong Siansu makin penasaran.

“Siapa pula menyuruh kalian membawa-bawa nama ayahku dalam percakapan kalian?” balas Lili.

Tiba-tiba Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Betul pandai! Aku mengaku kalah berdebat dengan engkau. Bagus, tolong kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa kalau dia berani, aku mengundangnya untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kelak pada musim semi tahun depan di puncak Thian-san! Jika dia tidak datang, akan kuanggap bahwa Pendekar Bodoh hanya namanya saja yang besar, akan tetapi nyalinya kecil!”

“Siapa takut kepadamu?” kata Lili marah. “Jangan kata Ayah, aku sendiri pun tidak takut dan akan datang pada waktu itu!”

Wi Kong Siansu duduk kembali, tidak mau mempedulikan lagi kepada Lili. Akan tetapi, kedua saudara Can itu memandang dengan hati penuh penasaran. Bagaimana seorang tokoh besar seperti Wi Kong Siansu dapat bercakap-cakap dengan seorang gadis muda seakan-akan bicara dengan orang yang sama tinggi kedudukannya dalam kepandaian silat?

Pula, Can Po Gan yang mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, dan bahwa putusnya rambut tadi adalah disebabkan oleh gadis itu yang membunyikan uang emas dengan nyaringnya, dia menjadi amat penasaran. Ia memandang dengan senyum mengejek dan berkata,

“Jadi inikah puteri Pendekar Bodoh? Ehhh, Nona, kau duduk semeja dengan Sin-kai Lo Sian, apamukah dia?” tanya Can Po Gan dengan kasar dan menyeringai.

“Dia adalah Suhu-ku, kau mau apa tanya-tanya?” Lili yang memiliki hati tabah itu balas bertanya dengan kasar.

Tidak saja kedua saudara Can itu yang terheran, bahkan Wi Kong Siansu juga tertegun mendengar ucapan ini. Ia juga pernah melihat Lo Sian dan sudah mendengar pula akan kepandaian Pengemis Sakti ini, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan kepandaian gadis puteri Pendekar Bodoh itu, Si Pengemis Sakti akan kalah jauh!

Hanya Kam Seng seorang yang menundukkan mukanya, diam-diam dia mengagumi Lili yang masih terus mengaku guru kepada Lo Sian meski pun gadis itu kini telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Lo Sian!

Terdengar suara ketawa yang menyeramkan dari Can Po Tin ketika dia mendengar ini. “Sin-kai Lo Sian, benar-benarkah Nona ini muridmu? Dan muridmu sudah berani berlaku kurang ajar terhadap Wi Kong Siansu, kau diamkan saja? Alangkah kurang ajar dan tak tahu adat kau ini!”

Akan tetapi dengan tenang Lo Sian menjawab dengan suaranya yang dalam, “Kalian ini siapakah? Aku tidak kenal dengan Ji-wi (Tuan Berdua), akan tetapi mengapa Jiwi hendak menggangguku?”

Mendengar jawaban ini, kedua saudara Can itu melengak. Akhirnya Can Po Gan yang berangasan itu lalu bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia menghampiri Lo Sian.

“Pengemis jembel! Kau pura-pura tidak mengenal kami? Dulu kami pernah mengampuni jiwa anjingmu dan sekarang kau masih berani berlaku demikian kurang ajar dan tidak memandang mata? Agaknya kau minta dihajar lagi!”

Sambil berkata demikian, tangan kanan orang berangasan ini melayang dari atas dan memukul lengan tangan Lo Sian yang diletakkan di atas meja. Lo Sian cepat menarik lengannya dan…

“Brakk!”

Kepalan tangan Can Po Gan yang keras itu bagaikan palu baja menimpa meja sehingga tembus! Cawan air teh di depan Lili melayang ke atas dengan cepat karena getaran meja itu sehingga kalau tidak cepat-cepat Lili menangkapnya, tentu isinya akan tumpah. Gadis ini menjadi marah sekali dan cepat dia berdiri, sementara itu Lo Sian sudah melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan selanjutnya.

“Buaya darat!” Lili memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Kepandaian macam itu saja kau pamerkan di sini? Apakah kau tukang jual obat kuat?”

Can Po Gan memandang kepada Lili dengan senyum mengejek menghias pada bibirnya yang tebal. “Apa kau tidak takut melihat tanganku ini?” Ia mengacungkan kepalan tangan kanannya yang kini menjadi kemerah-merahan.

Melihat cahaya merah yang menjalar di sepanjang lengan tangan yang sangat besar itu, diam-diam Lili terkejut dan mengetahui bahwa lengan tangan itu mempunyai kekuatan Ang-see-jiu yang berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan ia lalu membuka telapak tangannya, mengulurkan ke depan dan berkata,

“Siapa sih takut kepada lengan tangan kasar berbulu macam itu? Gunanya paling banyak hanya untuk memukul meja atau menakut-nakuti orang.”

“Bocah bermulut lancang! Kepalamu pun akan tertembus terkena pukulanku,” kata Can Po Gan.

Lili tersenyum dingin. “Begitukah? Coba kau tembuskan telapak tanganku ini, kalau dapat membuat aku merasa sakit, aku mau berlutut di hadapan kakimu dan mengangkat kau sebagai Sucouw (Kakek Guru)!”

“Kau menantang?!”

“Beranikah kau memukul tanganku?”

“Siapa takut? Awas, kuhancurkan tanganmu yang kecil halus!” Setelah berkata demikian, Can Po Gan langsung melakukan pukulan keras ke arah telapak tangan Lili yang sejak tadi diperlihatkan kepadanya.

Tanpa dapat terlihat oleh orang lain, karena gerakannya sangat cepat, tangan gadis itu lalu bergeser sedikit dan jari telunjuknya menyentil dengan cepat dan keras ketika lengan tangan lawannya itu meluncur lewat menyerempet telapak tangannya.

“Aduhh...!”

Can Po Gan menarik kembali lengannya, akan tetapi ia tak dapat menggerakkan lengan tangan kirinya yang kini telah menjadi kaku seperti sepotong kayu itu!

Ternyata ketika tadi dia memukul, dari gerakan anginnya saja Lili sudah dapat mengelak sedikit tanpa menggerakkan lengan, hanya menggerakkan pergelangan tangannya, lalu dia sudah melakukan sentilan jari telunjuk untuk menotok jalan darah pada pergelangan siku lawannya!

“Jangan kau main-main terhadap gadis itu Sicu!” kata Wi Kong Siansu yang kini sudah melangkah maju.

Dengan beberapa kali urutan serta tepukan, totokan itu dapat dibebaskan dari lengan tangan Can Po Gan. Akan tetapi Can Po Gan dan Can Po Tin sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu mencabut golok masing-masing, siap maju menggempur Lili.

Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan nyaring, tubuh Lili mencelat ke atas meja dan sekarang ia telah berdiri di atas meja dengan tangan memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, yakni pedang Liong-coan-kiam!

“Kalian mau mencari mampus? Boleh, boleh, majulah!” tantangnya dengan sikap gagah sekali.

Melihat ini, kedua saudara Can itu menjadi gentar juga. Sesungguhnya, kekalahan Can Po Gan tadi bukan karena ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Lili, akan tetapi terjadi oleh karena kurang hati-hatinya dan kesembronoannya, juga karena tadinya dia memandang rendah. Sekarang melihat ketabahan dan kekerasan gadis itu, apa lagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, setidaknya mereka menjadi ragu-ragu. Wi Kong Siansu lalu maju pula dan mencegah mereka.

“Ji-wi Can-sicu, tak perlu membikin ribut di sini. Kelak saja pada permulaan musim semi tahun depan, kita mempunyai kesempatan banyak untuk mengadu tenaga dengan Nona ini.”

“Baiklah, kami akan menanti datangnya saat itu dengan hati tidak sabar,” kata Can Po Gan sambil duduk kembali dan menyimpan senjatanya.

Ada pun Lili pada saat melihat sikap lawannya ini, juga tidak mau mendesak lebih lanjut, karena gadis ini bukan tidak tahu bahwa kalau sampai terjadi pertempuran dan Wi Kong Siansu turun tangan, sukar sekali bagi dia dan suhu-nya untuk mencapai kemenangan.

Lili melompat turun, menyimpan pedangnya dan memberi ganti kerugian kepada pelayan restoran, kemudian ia mengajak suhu-nya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena kini dia menjadi perhatian semua orang yang tadi menyaksikan peristiwa itu.

“Jangan lupa sampaikan undanganku kepada ayahmu!” Wi Kong Siansu masih berseru keras ketika Lili dan Lo Sian sudah tiba di luar restoran.

Gadis itu tak menjawab karena ia merasa mendongkol sekali. Terang-terangan ayahnya ditantang oleh tosu itu dan dia merasa penasaran sekali tidak dapat menghadapi tosu itu sekarang juga!

Ketika tiba di Shaning dan memasuki rumah keluarga Sie, Lo Sian disambut oleh Cin Hai dan Lin Lin dengan penuh penghormatan. Kedua suami-isteri pendekar ini merasa amat berterima kasih kepada Lo Sian dan mereka menyambutnya sebagai seorang penolong besar.

Sebaliknya Lo Sian merasa amat canggung dan juga kagum, melihat sepasang suami isteri yang namanya sudah terkenal di seluruh penjuru bumi Tiongkok, akan tetapi yang ternyata bersikap ramah tamah dan sederhana, juga suami-isteri itu sangat tampan dan cantik.

Pada waktu mendengar penuturan Lili mengenai keadaan Lo Sian, Cin Hai dan Lin Lin mengerutkan keningnya. Apa lagi kelika mereka mendengar bahwa Lo Sian merasa pasti akan kematian Lie Kong Sian, kedua orang ini menjadi amat berduka.

“Apakah kau tidak dapat mengingat di mana dan bagaimana cara Lie-suheng menemui kematiannya?” tanya Cin Hai.

Akan tetapi Lo Sian menggeleng kepalanya. “Menyesal sekali, Taihiap. Ingatanku sudah lenyap sama sekali, dan aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku bisa berhal seperti ini. Sudah kucoba untuk mengerahkan seluruh ingatan, namun hasilnya nihil belaka. Hanya dapat kurasakan dan agaknya sudah terukir dalam-dalam di hatiku bahwa Lie Kong Sian Taihiap sudah tewas, entah dengan cara bagaimana dan di mana, tapi yang sudah pasti menurut perasaan hatiku, tewas dalam cara yang amat mengerikan!”

“Suhu sudah lupa segala macam peristiwa yang lalu, Ayah. Bahkan nama sendiri pun dia telah lupa. Akan tetapi pada waktu aku menjumpai Suhu dalam keadaan lupa ingatan dan rusak pikiran, Suhu berseru-seru ketakutan dan mengucapkan kata-kata 'pemakan jantung', entah apa yang dimaksudkan.”

Mendengar kata-kata ini, wajah Lo Sian berubah agak pucat dan dia menghela napas berkali-kali. “Ucapan ini sudah sering kali membuatku tak dapat tidur. Aku sendiri merasa bahwa dalam ucapan ini terkandung hal yang amat hebat, akan tetapi sayang sekali, aku tak dapat mengingatnya lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin merasa sangat kasihan melihat keadaan penolong puterinya ini dan tahu bahwa orang ini perlu beristirahat dan mendapatkan hiburan. Maka ia merasa girang sekali mendengar keinginan Lili untuk menahan suhu-nya tinggal di situ.

Mereka menyatakan persetujuan mereka, bahkan mereka setengah memaksa Lo Sian untuk tinggal di sana, sehingga lenyaplah keraguan dan kesungkanan dari hati Lo Sian. Semenjak saat itu, dia tinggal bersama Pendekar Bodoh dan menempati kamar bekas tempat tinggal Yousuf yang masih dibiarkan kosong.

Ketika Cin Hai dan isterinya mendengar penuturan Lili mengenai Wi Kong Siansu yang menantang mereka untuk mengadu kepandaian di puncak Thian-san pada musim semi tahun depan, Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata tenang,

“Wi Kong Siansu seperti anak kecil saja. Betapa pun juga, undangan macam ini tak boleh tidak harus disambut dengan gembira.”

Sebaliknya, Lin Lin berkata dengan muka merah, “Pendeta sombong! Kalau memang dia merasa penasaran dan hendak mencoba kepandaian, mengapa dia tidak terus datang saja sekarang? Siapa yang takut menghadapinya?”

Mendengar percakapan suami-isteri ini, Lo Sian menjadi kagum sekali. Sikap Pendekar Bodoh demikian tenang dan tabah sebagaimana layaknya sikap seorang pendekar besar yang telah luas sekali pengetahuannya. Dan sikap Lin Lin demikian gagahnya, sehingga mengingatkan Lo Sian kepada watak Lili.

“Menurut pendapatku yang bodoh, orang yang mengundang pibu dengan menyebutkan waktu dan tempat tertentu harus dihadapi dengan hati-hati. Kalau Wi Kong Siansu telah menetapkan waktu tahun depan dan mengambil tempat di puncak Thian-san, tentulah dia telah merencanakan hal ini dengan semasak-masaknya dan takkan mengherankan apa bila Taihiap kelak tak hanya akan bertemu dengan dia seorang saja, akan tetapi dengan orang-orang lain yang lihai.”

Cin Hai mengangguk-angguk, ada pun Lin Lin segera berkata dengan wajah berseri-seri, “Lo-twako, mendengar bicaramu aku jadi teringat kepada mendiang ayah angkatku! Kau sama benar dengan ayah, hati-hati dan jauh pandangan.”

Sebentar saja Lo Sian merasa cocok dan suka sekali dengan sepasang pendekar besar itu yang menyebutnya twako (kakak tertua), sedangkan Lili lalu menyebut dirinya twa-pek (uwa).

*****

Sesudah selama sepekan bersama Goat Lan menjaga di Istana Pengemis untuk menanti kalau-kalau pihak Coa-tung Kai-pang datang membikin pembalasan, dan ternyata tidak terjadi sesuatu, maka Hong Beng kemudian minta diri dari kelima saudara Hek. Bersama dengan tunangannya dia lalu berangkat menyusul Lili ke kota Kiciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio, ahli pengobatan di kuil Siauw-lim-si itu.

Thian Kek Hwesio menerima mereka dengan girang sebab memang sudah lama ia kenal dan mengagumi Goat Lan, murid tersayang dari sahabat baiknya, Sin Kong Tianglo. Ia merasa makin gembira ketika mendengar betapa Goat Lan sudah berhasil mendapatkan To-hio-giok-ko obat satu-satunya untuk penyakit putera kaisar.

Pada waktu Goat Lan menyatakan terus terang bahwa ia hendak ke Tiang-an dulu untuk mengambil kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip untuk mempelajari cara mempergunakan dua macam obat itu, Thian Kek Hwesio segera berkata,

“Tidak usah, Nona. Tidak perlu kau membuang waktu untuk mengambil jalan memutar. Penyakit putera kaisar sudah payah sekali dan kalau kau tidak cepat-cepat pergi ke kota raja dan segera mengobatinya, mungkin kau akan terlambat dan pengharapan mendiang sahabat baikku akan sia-sia belaka.”

Terkejut Goat Lan ketika dia mendengar ucapan ini. “Habis bagaimana baiknya, Losuhu? Aku tidak tahu apa macamnya penyakit yang diderita oleh Pangeran Muda itu dan tidak tahu cara bagaimana harus mempergunakan obat yang langka ini.”

“Jangan kuatir, pinceng pernah mendengar keterangan dari sabahat baikku gurumu itu. Baiklah kubentangkan sedikit agar supaya lebih jelas bagimu. Penyakit yang diderita oleh Pangeran Mahkota ini adalah semacam penyakit di dalam usus besar. Menurut gurumu, usus besar itu terluka hebat dan di sana terdapat bisul yang sudah pecah dan menjadi semacam luka yang makin lama makin menghebat. Oleh karena itulah, maka Pangeran Muda itu selalu mengeluarkan kotoran darah dan tubuhnya lemas, perutnya terasa sakit. Bila mana kau sudah menghadap Hong-siang (Kaisar) dan Hong-houw (Permaisuri) dan dibawa ke tempat si sakit, terlebih dahulu kau harus memberinya sebuah Giok-ko (Buah Mutiara) untuk dimakan mentah-mentah. Khasiat Giok-ko ini untuk membersihkan darah sehingga daya penolak luka di dalam itu akan menjadi kuat. Kemudian, To-bio (Daun Golok) itu boleh kau rebus dengan air sampai airnya tinggal satu bagian, lalu berikan untuk diminum. Daun ini sarinya manjur sekali untuk mengeringkan lukanya. Setelah tiga hari berturut-turut kau memberi obat To-hio-giok-ko kepada Pangeran, selanjutnya dapat kau lakukan pengobatan dengan obat-obat penguat tubuh serta pembersih darah seperti biasa, bahkan sangat baik kalau kau mempergunakan juga tiam-hoat (ilmu totok) untuk melancarkan jalan darah!”

Setelah mendapat keterangan demikian, Goat Lan lalu minta diri untuk segera menuju ke kota raja. Kepada Hong Beng ia berkata setelah keluar dari kuil itu.

“Koko, kau dengar sendiri bahwa aku harus segera ke kota raja untuk mengobati putera Kaisar, demi menjaga dan menjunjung nama baik dan kehormatan mendiang Suhu Sin Kong Tianglo. Apakah kau hendak menyusul Lili, ataukah...?”

Goat Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sesungguhnya hatinya masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan tunangan yang gagah berani dan tampan ini. Tentu saja sebagai seorang gadis yang sopan dan tinggi hati, ia tidak dapat menyatakan suara hatinya.

Seperti halnya Goat Lan, meski pun dia seorang laki-laki namun Hong Beng juga masih sungkan dan malu-malu. Dia pun tak pandai menyatakan perasaan hati melalui bibirnya, maka dengan muka merah ia menjawab,

“Lan-moi, sebetulnya aku pun ingin sekali ke kota raja, dan... dan aku kuatir kalau-kalau para tokoh kang-ouw yang merasa iri hati terhadap mendiang suhu-mu, akan datang lalu mengganggu dan menghalangimu mengobati putera Kaisar.”

“Aku pun berpikir demikian, Koko. Bukan tak mungkin sekarang sudah ada banyak yang mengincar gerak-gerikku.”

“Biarlah aku mengawanimu sampai selesai tugasmu ini, Moi-moi, tetapi... kalau kau tidak keberatan.”

“Mengapa keberatan?” Goat Lan memandang kepada tunangannya yang kebetulan juga menatap wajahnya.

Dua pasang mata kembali bertemu untuk kesekian kalinya dan keduanya menundukkan muka dengan wajah merah dan bibir tersenyum. Pada saat seperti itu tak perlu kata-kata lagi. Mereka sudah saling mendengar seribu satu ucapan yang keluar dari hati masing-masing.

“Hayo kita berangkat!” Akhirnya Hong Beng memecahkan kesunyian yang menekan dan membuat mereka merasa canggung. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke kota raja.

Memang kekuatiran kedua orang muda ini betul-betul terjadi. Di dalam kota raja terdapat komplotan yang sudah siap sedia menghalangi semua usaha mengobati Pangeran yang sedang rebah menderita sakit yang amat berat. Mereka ini dikepalai oleh seorang selir kaisar yang juga mempunyai putera dan yang mengharapkan agar puteranya kelak yang menggantikan kedudukan kaisar apa bila pangeran itu meninggal dunia karena sakitnya.

Selir kaisar inilah yang mengharapkan kematian putera Kaisar. Ia telah mempercayakan pelaksanaan semua urusan ini kepada seorang pembesar tinggi yang kini menjadi kepala pengawal istana dan bernama Bu Kwan Ji, yang sesungguhnya sudah lama mempunyai hubungan gelap dengan selir kaisar itu!

Bu Kwan Ji adalah seorang yang pandai ilmu silat, termasuk perwira kelas satu di kota raja, dan mempunyai banyak kawan sepaham terdiri dari para perwira bayangkari yang tinggi ilmu silatnya. Para kawan-kawannya pun maklum akan keadaan Bu Kwan Ji yang dikasihi oleh Kaisar dan selirnya, dan bahwa Bu Kwan Ji mempunyai banyak harapan bagus di masa depan. Maka tentu saja mereka suka membantu supaya kelak ikut pula merasakan kesenangan.

Rombongan pengkhianat ini lalu minta bantuan pula dari tiga orang tabib yang paling terkenal di kota raja. Mereka mengadakan hubungan dan Bu Kwan Ji menjanjikan upah besar dan pembagian keuntungan apa bila kelak ia dapat menduduki kursi tinggi.

Memang harta benda dan pangkat dapat memabukkan manusia dan dapat membutakan mata batin manusia. Tiga orang tabib itu bukanlah orang sembarangan, bahkan ilmu silat dan ilmu pengobatan mereka sudah amat terkenal di kalangan kang-ouw.

Yang seorang bernama Ang Lok Cu, seorang pendeta dan pertapa yang terkenal dari Bukit Kun-lun-san. Orang ke dua dan ke tiga adalah dua orang hwesio gundul, kakak beradik seperguruan yang tinggi ilmu silat serta ilmu pengobatan mereka. Mereka ini bernama Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio.

Kedua orang hwesio ini dahulu pernah belajar ilmu pengobatan dari Thian Kek Hwesio. Akan tetapi setelah dapat menduga bahwa dua orang hwesio ini bukanlah orang-orang yang berhati teguh dan suci, Thian Kek Hwesio menghentikan pelajaran mereka. Ada pun Ang Lok Cu adalah murid dari seorang tosu perantau yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.

Tadinya, tiga orang pendeta ini datang ke kota raja untuk mencoba kepandaian mereka mengobati putera Kaisar, akan tetapi mereka tak berhasil. Kemudian mereka mendengar tentang kesanggupan Sin Kong Tianglo, maka mereka lalu menjadi iri hati dan bersama beberapa orang tokoh kang-ouw mereka menjumpai Sin Kong Tianglo dan memperolok-olokannya dan memanaskan hati Sin Kong Tianglo hingga kakek sakti ini pergi mencari obatnya dan akhirnya menjumpai kematian di daerah dingin itu.

Ketika Bu Kwan Ji mendengar tentang kekecewaan dan iri hati dari tiga orang pendeta ini, maka dia lalu datang menghubunginya dan kini ketiga orang pendeta ini menerima tugas untuk mencegah pengobatan untuk putera Kaisar ini. Melalui selir Kaisar, Bu Kwan Ji berhasil membuat Kaisar mengangkat ketiga orang pendeta itu menjadi tabib-tabib penjaga putera Kaisar, dan mereka inilah yang berhak memeriksa obat-obat yang akan diminumkan kepada yang sakit.

Dengan demikian, maka bukanlah tugas yang ringan bagi Goat Lan untuk mengobati putera Kaisar itu, karena menghadapi segerombolan serigala kejam tanpa diketahuinya lebih dulu di mana serigala-serigala itu bersembunyi. Baiknya dia dan Hong Beng sudah dapat menduga terlebih dulu bahwa tugasnya ini tentu akan mengalami halangan pihak yang memusuhinya.

Halangan pertama dijumpai oleh Goat Lan dan Hong Beng pada saat mereka telah tiba di kota raja dan hendak menghadap Kaisar. Yang menerima adalah kepala bayangkari yang juga telah menjadi kaki tangan Bu Kwan Ji, maka tidak mudah bagi kedua orang muda ini untuk menghadap Hong-siang (Kaisar). Mereka lalu dibawa masuk ke dalam sebuah kantor besar di mana duduk Bu Kwan Ji yang memeriksa mereka.

“Kalian ini dari manakah dan dari siapakah kalian membawa obat untuk putera Kaisar?” tanya Bu Kwan Ji dengan pandangan mata tajam.

Mendengar pertanyaan yang kasar ini, Goat Lan mengerutkan keningnya. Akan tetapi Hong Beng yang tahu akan kekerasan hati Goat Lan, mewakili tunangannya menjawab,

“Kami mewakili Yok-ong (Raja Obat) Sin Kong Tianglo dan membawa obat penyembuh penyakit Pangeran. Harap saja Ciangkun sudi membawa kami untuk menghadap kepada Hong-siang atau langsung membawa kami kepada yang sakit agar supaya pengobatan tidak terlambat.”

“Mudah saja kau bicara hendak mengobati Pangeran!” tiba-tiba Bu Kwan Ji membentak marah. “Aku telah bosan mendengar ocehan segala macam tukang obat. Sudah ratusan ahli pengobatan yang tua-tua dan berpengalaman tidak berhasil menyembuhkan Beliau, dan kalian ini orang-orang muda berani sekali membawa obat palsu. Apakah kalian tidak menyayangi jiwa sendiri? Awas, pengobatan yang tidak berhasil akan membuat kalian ditangkap dan menerima hukuman berat!”

Goat Lan menjadi mendongkol sekali dan cahaya berapi sudah muncul pada sepasang matanya. Ingin sekali ia maju dan menampar mulut perwira ini, akan tetapi kembali Hong Beng yang menyabarkannya karena pemuda ini telah berkata pula kepada Bu Kwan Ji,

“Maaf, Ciangkun. Kami datang dengan maksud menolong. Dulu Yok-ong sudah berjanji hendak menyembuhkan penyakit putera Kaisar, dan sekarang muridnya ini telah datang membawa obat itu. Berilah kami kesempatan untuk menolong nyawa putera Kaisar yang sakit.”

“Hemm, benarkah kau murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?” tanya Bu Kwan Ji kepada Goat Lan. “Dan kau benar-benar sudah mendapatkan obat yang manjur untuk mengobati penyakit putera Kaisar?”

“Benar!” jawab Goat Lan singkat.

“Kalau begitu, kau tinggalkan obat itu kepadaku agar aku dapat memberi perintah kepada tabib-tabib istana untuk meminumkan obat itu kepada Pangeran.”

“Tidak bisa demikian!” Goat Lan berkata gemas. “Obat itu tidak boleh diminumkan oleh orang lain, harus aku sendiri yang mengobatinya.”

“Kalau begitu, pergilah kalian dari sini!” Bu Kwan Ji menggebrak meja.

Mendengar ucapan ini, Goat Lan bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Bagus! Macam apakah perwira seperti kau ini? Kau kira kami takut kepadamu? Kami datang hendak menolong putera Kaisar dan kau sengaja mengusir kami? Kalau kami melaporkan hal ini kepada Hong-siang, aku kuatir kau takkan dapat mempertahankan pangkatmu lagi!”

Bu Kwan Ji memandang tajam dan melihat sikap kedua orang muda yang gagah ini, hatinya menjadi ragu-ragu. “Pulanglah dan besok kalian boleh datang kembali. Aku harus melaporkan hal ini kepada Kaisar lebih dulu. Aku hanya menjalankan tugas, karena siapa tahu jika ada yang datang berpura-pura membawa obat akan tetapi sebenarnya hendak meracuni Pangeran!”

Dengan mendongkol Goat Lan dan Hong Beng terpaksa keluar dari situ, karena mereka mau tak mau harus membenarkan pula ucapan ini.

Memang Bu Kwan Ji orangnya cerdik sekali. Melihat keadaan kedua orang muda itu dan mendengar bahwa nona itu adalah murid Sin Kong Tianglo yang sakti, dia tidak berani berlaku sembrono. Dia menyuruh kedua orang muda itu pulang lebih dulu untuk mencari kesempatan mengatur siasat.

Pada saat Goat Lan dan Hong Beng keluar dari situ, mereka melihat tiga orang perwira menyusul mereka dan berjalan mengikuti mereka.

“Kalian mau apa?” Goat Lan membentak marah.

“Oleh karena Ji-wi hendak mengobati putera Kaisar, maka kami disuruh mengikuti Ji-wi dan mencari tahu di mana Jiwi bermalam, agar mudah memanggil apa bila ada perintah dari Kaisar untuk memanggil Ji-wi menghadap,” jawab seorang perwira itu.

Hong Beng dan Goat Lan tidak dapat membantah dan sesudah mereka mendapat kamar dalam sebuah hotel, ketiga orang perwira itu pergi meninggalkan mereka.

“Malam ini kita harus berhati-hati sekali,” kata Hong Beng kepada Goat Lan. “Siapa tahu kalau-kalau ada penjahat datang hendak mengganggu. Ayah sering kali bercerita tentang penjahat-penjahat yang pandai di kota raja.”

Goat Lan mengangguk dan dia masuk ke dalam kamarnya setelah makan malam. Hong Beng juga duduk di dalam kamarnya, duduk bersila di atas ranjang, tidak mau tidur, dan hanya beristirahat sambil bersemedhi.

Menjelang tengah malam, baik Hong Beng mau pun Goat Lan yang duduk bersemedhi pula, dapat mendengar gerakan kaki beberapa orang yang amat ringan dan halus di atas genteng hotel. Kedua orang muda itu tersenyum dan dengan penuh perhatian keduanya memasang telinga untuk mengikuti gerak-gerik orang di atas genteng itu. Mereka berdua sudah memiliki pendengaran yang amat tajam, maka dengan mudahnya dapat menduga bahwa yang datang adalah tiga orang yang ilmu ginkangnya cukup tinggi.