Pendekar Bodoh Jilid 25

Pendekar Bodoh Jilid 25

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 25

PADA suatu hari dia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!

Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu hingga membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat betapa ada tiga orang-orang tua tengah melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah!

Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”

Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.

Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu yang dikebut oleh sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah. “Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”

Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya sehingga dia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!

“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu.

Ketika melihat seorang gadis berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi dia menjadi terhuyung-huyung ke belakang karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan dia pun segera menyerang dengan cepat.

Dan pada saat dia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!

Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi dan mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.

Melihat hal ini, Kwee An beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.

Saat melihat ada dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia segera menegur,

“Ma Hoa...! Kwee An...!”

Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang sedang melayang ke arah mukanya, dia berseru dengan isak tertahan,

“Enci Im Giok...!”

Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”

Sementara itu, tiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.

“Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”

“Adik Ma Hoa...,” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dengan tersenyum.

“Ha-ha-ha-ha, jadi kalian adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”

Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah seheng-ku!”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.

“Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”

Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa.

Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari pada gading gajah dan merupakan lingkaran panjang.

Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.

Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali.

Ang I Niocu memegang pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Ada pun Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!

Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.

Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Adikku, kau kini hebat sekali!”

Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!

Ada pun rajawali emas yang terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut.

“Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu ada pun ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.

Mendadak ketika burung itu menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An menggerakkan roda pada tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang ada di tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!

“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu.

Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.

Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!

Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apa bila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya, bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!

Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar.

Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai itu sampai kena dikalahkan.

Sebaliknya, sungguh pun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa.

Beberapa kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat mengelak sambil mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan yang sanggup mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!

Kwee An maklum bahwa apa bila dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,

“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhu-mu!”

Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru murid-muridnya saja sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”

Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee An,

”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”

“Mereka itu sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?” kata Kwee An sambil menarik napas lega.

“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.

“Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang lekaslah kau ceritakan pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.

Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”

Ma Hoa lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing bersama Kwee An.

Mendengar cerita itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari bahaya maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,

”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus berpisah pula. Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”

“Memang kami berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di sini.”

“Sayang sekali Sin-kim-tiauw sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,” kata Ang I Niocu.

Tentu saja ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan Bu Pun Su sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikang-nya memanggil, kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu yang selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.

Setelah menanti sampai senja dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, serta Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah barat.

*****


Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Dia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa dia lalu menuju ke barat oleh karena dia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.

Pada suatu hari, ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang dirinya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.

Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.

Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.

Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.

Ia bisa menduga bahwa dengan mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini, dia lantas mendapat akal.

Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?

Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling memandang ke belakang. Dan kini dia melihat seorang lelaki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika dia menengok!

“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.

Orang itu tertawa, suara tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, usianya paling banyak baru tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan serta gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celana biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang.

Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak yang seperti biasa dipakai wanita bersolek!

Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,

“Aku hendak berjalan di belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”

Dia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,

“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, namun maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan berwatak pengecut!”

Ucapan yang diputar-putar ini biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!

Lelaki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu meloloskan sehelai tali yang banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari tangannya.

“Kau pandai berkelakar anak muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik dari padamu!”

Pada saat itu burung bangau melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.

“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai.

Akan tetapi dengan tenang, seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,

“Ahh, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”

Bukan main terkejutnya hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikang-nya dan ketika kedua tenaga mereka bertemu, keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.

Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.

“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.

Pemuda ini merasa heran dan kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang sudah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa burung itu kini sedang bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya sendiri!

Sesudah Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek itu! Dia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat bukan main dan tak mudah diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!

Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!

Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.

Sesudah dia melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang.

Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lantas menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.

“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu!

Dia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!

“Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan sehingga dia berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.

Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Dia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika dia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!

Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya sehingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya.

Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.

Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!

Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.

Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.

Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga loteng, tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Salah seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!

“Yousuf sedang sakit dan tidak berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”

Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama sekali. Dia berjalan menundukkan muka, akan tetapi dia memperhatikan mereka.

Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu.

Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan Lok Kun Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.

Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?

Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol serta marah karena percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, karena meski pun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,

“Memang sungguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”

Tiga orang kawannya tertawa lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.

“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok.

Kini Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar dia segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!

Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik.

Sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,

“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”

Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!

Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”

Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat lantas melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu lalu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,

“Ha-ha-ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!” Sambil berkata demikian, dia menusuk sepotong daging dan ketika dia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk itu melayang ke arah mulut Cin Hai.

Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan pada saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika dia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua!

Kemudian dia menghadapi Wai Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,

“Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.

Kini terkejutlah kakek ini dan dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya sehingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!

Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai yang juga masih tetap duduk dengan tenang.

“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.

“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak mau menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”

Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali, maka tentu saja ia tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya.

“Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak bernama!”

Cin Hai pura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu.

“Ahh, kiranya kini aku berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan, akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.

“Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di hadapanku dulu, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”

Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan lain yang akan melebihi rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya pada saat dia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,

“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”

“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang lihai, senjatanya yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya sudah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!

Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!

Tak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!

”Kakek yang baik, kau bukalah sorbanmu!”

Sambil berkata demikian, sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak Jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya!

Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya dulu!

“Ha-ha-ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apa bila hinggap di kepalamu!”

Biar pun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.

Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,

“Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.

Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian ketakutan!

Dengan perasaan amat marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.

Empat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok. Ketika dia memandang, alangkah kagetnya oleh karena empat orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!

Ketujuh orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,

“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”

Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar.

Betaoa banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawan adalah Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga serta penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan.

Malam itu terang bulan sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.

“Yousuf! Kau keluarlah dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.

Tiba-tiba saja api penerangan yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,

”Kawanan penjahat rendah! Apa kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”

Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk membantu kekasihnya itu.

Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apa bila di luar gelap maka pada saat gadis itu keluar, dia mudah diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering dia tumpuk, lalu dia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali.

*****

Marilah kita ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang memaksa mereka berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.

Sambil menanti berita dari Cin Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.

Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!

“Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah golok di tangan.

“Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati

“Kami hendak menawannya!”

Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok itu terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!

“Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”

Orang-orang Turki itu merasa sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri Yousuf sebab sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri! Mereka segera menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walau pun hanya pendek, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor naga sakti mengamuk kepada para penyerangnya.

Akan tetapi, di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin serta beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.

Mendadak terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!

Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan lelah dan kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,

“Kong-ciak-ko, kau tahan mereka!”

Merak Sakti agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar dan menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya sehingga menjadi buta!

Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga dia merasa gelisah sekali apa bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!

“Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.

“Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.

“Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”

Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.

Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan mereka.

Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin serta pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang lagi.

Akhirnya Lin Lin dan Yousuf tinggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka sudah terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka tidak nampak menyerang.

Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang sudah memberikan kesanggupan kepada suheng-nya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.

Ketika pada malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,

“Lin Lin, anakku yang baik, kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau sampai terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”

“Tidak, tidak. Bagaimana pun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”

Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.