Pendekar Bodoh Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 22

MARILAH kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.

Telah diceritakan pada bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam jurang saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa karena sentuhan tangan ini!

Akan tetapi betapa pun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak berdaya, tetapi ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!

Akhirnya ia pun berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh pada permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa tangan Ma Hoa yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu lalu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!

Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Dia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.

“Ma Hoa...”

Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak cabang dan daun, sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.

Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia ingin melemparkan dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Lebih dulu dia harus menyelidiki dengan teliti.

Maka dia segera merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati dia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.

Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan pohon di mana dia tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil itu dan beristirahat.

Semalaman penuh dia beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.

Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.

Pada saat tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak.

Secepat kilat kakek botak ini segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu tenaga luncurannya dibelokkan ke kiri, kemudian diteruskan ke atas sehingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu.

Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya luncurannya jauh berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah goa yang berada tak jauh dari tempat itu.

Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika dia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!

Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali, dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan jalan pernapasannya kembali, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Tidak lama kemudian, dari luar goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersemedhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan matanya dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!

Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.

“A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka sejak sekarang, dia menjadi sumoi-mu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”

A Tok yang gagu itu lalu terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke kanan dan kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.

“Hmm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”

Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.

Ketika melihat kakek yang berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.

“Ha-ha-ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.

Dari tangan itu lalu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.

Sedangkan kakek itu kemudian mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian dia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.

“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”

Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti!

Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.

Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat bahwa di atas dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.

“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.

“Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”

“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberi lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi dia suruh A Tok mencari.

Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi karena memang dia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, dia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,

“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon tanya, bagaimanakah nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.

“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”

“Ahh... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.

“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”

Biar pun hatinya ingin sekali lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan tetapi karena dia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa dia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,

“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”

Ma Hoa terkejut mendengar ini, karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi mengenai belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”

“Hemm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tidak mungkin dia dapat menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena bila dia memiliki ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”

Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa setelah mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, dia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,

“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”

Kakek botak itu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”

Ma Hoa lalu menjura kepada suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya bergerak-gerak.

“Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”

Ma Hoa menurut dan kedua guru serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan perlahan saja, namun dia selalu tertinggal di belakang! Maka dia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini sungguh-sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhu-nya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.

Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.

Biar pun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini dan di waktu mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang bagaimana pun.

Kemudian, pada waktu muda dia telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan diri dan bertapa, dia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan secara kebetulan dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.

Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.

Sesudah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini sangat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya lagi ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.

Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewa dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali.

Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf.

Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.

Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini dia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di mana mereka sekarang berada. Maka dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana dia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Setelah bermalam di dalam goa, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga.

Ia menderita sakit dan agaknya keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya.

Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa lapar sekali, dia mengambil daun-daun muda dan memakannya!

Demikianlah, dia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berupaya keluar dari tempat tahanan alam ini!

Sesudah dia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa dia sadari dia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia juga tidak ingat lagi bahwa dia telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!

Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan sekenyangnya.

Namun, baru saja dia turun dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan pakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta wajah mereka bagus dan tidak ada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.

Mereka ini adalah kelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.

Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis indah yang panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!

Rombongan orang berkumis melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.

“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka bukanlah seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.

Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.

“Siapakah kau dan dari mana kau datang?”

Kwee An merasa girang sekali. Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Syukur sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”

Dengan sukar sekali kakek ini lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”

“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.

“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”

Biar pun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula. Apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?

Ada pun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan dia adalah seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan pada hidungnya sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran dan beberapa kali ia lalu menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya. Ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!

Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak berkumis atau kera tak berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya. Sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.

Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.

“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.

Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau pergi menghadap kepala mereka.

Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan seutas cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.

“Ehh, ehh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok kecil yang tajam sekali.

Kakek itu mengangguk. “Apa bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”

Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali dan menyambar-nyambar ke atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu jika tidak mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!

“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.

Orang tua itu lalu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”

“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”

“Ini merupakan semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh digunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu hanya digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya bisa dibuat putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat menjaga sehingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”

Kwee An mengangguk-angguk dan ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya menyinarkan keberanian yang besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.

“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu.

Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan.

Melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk dua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.

Sebetulnya Kwee An tak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong. Akan tetapi oleh karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.

Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.

Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya.

Kwee An segera mengelak sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah dadanya.

Hanya dengan pengerahan lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.

Kwee An terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat heran melihat cara Kwee An mempertahankan diri.

Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Jadi ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan lawan serta ketepatan menangkis dengan golok.

Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkang-nya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.

Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.

Kakek itu lantas berkata dari tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, namun hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”

Kwee An terkejut. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia pun cepat-cepat berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”

Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekang-nya hingga cambuknya kemudian membelit cambuk lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.

“Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.

Semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju lantas kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Sesudah dia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.

“Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.

Kakek itu tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan tadi mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya masih belum terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”

Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu!

Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan niat memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat kemenangan!

Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya hingga cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.

Ia menyangka bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya segera menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!

Maka dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin gembira dan melawan dengan hebat, dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!

Sekarang para penonton bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi sudah mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!

Betapa pun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan untuk menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan tidak dapat diputuskan!

Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya!

Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang luar biasa! Dia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!

Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun bajunya pada bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, dia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.

Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku kalah. Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, maka dia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya sehingga pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.

Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah.

Sungguh pun Kwee An tak bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah, bahkan menjadi makin nekad dan menyerang semakin hebat!

Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton semakin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!

Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya.

Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi.

Melihat pemuda itu roboh dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah amat lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi saat dia mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.

Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.

Semua orang tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!

Sekarang semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.

Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu!

Pada saat melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!

Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”

“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.

Kakek itu tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kau lihat pada anak tadi.”

Kwee An baru mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus.

Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!

Pendekar Bodoh Jilid 22

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 22

MARILAH kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.

Telah diceritakan pada bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam jurang saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa karena sentuhan tangan ini!

Akan tetapi betapa pun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak berdaya, tetapi ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!

Akhirnya ia pun berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh pada permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa tangan Ma Hoa yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu lalu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!

Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Dia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.

“Ma Hoa...”

Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak cabang dan daun, sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.

Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia ingin melemparkan dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Lebih dulu dia harus menyelidiki dengan teliti.

Maka dia segera merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati dia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.

Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan pohon di mana dia tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil itu dan beristirahat.

Semalaman penuh dia beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.

Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.

Pada saat tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak.

Secepat kilat kakek botak ini segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu tenaga luncurannya dibelokkan ke kiri, kemudian diteruskan ke atas sehingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu.

Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya luncurannya jauh berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah goa yang berada tak jauh dari tempat itu.

Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika dia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!

Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali, dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan jalan pernapasannya kembali, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Tidak lama kemudian, dari luar goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersemedhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan matanya dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!

Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.

“A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka sejak sekarang, dia menjadi sumoi-mu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”

A Tok yang gagu itu lalu terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke kanan dan kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.

“Hmm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”

Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.

Ketika melihat kakek yang berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.

“Ha-ha-ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.

Dari tangan itu lalu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.

Sedangkan kakek itu kemudian mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian dia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.

“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”

Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti!

Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.

Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat bahwa di atas dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.

“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.

“Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”

“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberi lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi dia suruh A Tok mencari.

Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi karena memang dia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, dia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,

“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon tanya, bagaimanakah nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.

“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”

“Ahh... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.

“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”

Biar pun hatinya ingin sekali lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan tetapi karena dia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa dia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,

“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”

Ma Hoa terkejut mendengar ini, karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi mengenai belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”

“Hemm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tidak mungkin dia dapat menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena bila dia memiliki ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”

Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa setelah mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, dia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,

“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”

Kakek botak itu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”

Ma Hoa lalu menjura kepada suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya bergerak-gerak.

“Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”

Ma Hoa menurut dan kedua guru serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan perlahan saja, namun dia selalu tertinggal di belakang! Maka dia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini sungguh-sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhu-nya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.

Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.

Biar pun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini dan di waktu mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang bagaimana pun.

Kemudian, pada waktu muda dia telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan diri dan bertapa, dia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan secara kebetulan dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.

Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.

Sesudah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini sangat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya lagi ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.

Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewa dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali.

Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf.

Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.

Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini dia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di mana mereka sekarang berada. Maka dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana dia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Setelah bermalam di dalam goa, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga.

Ia menderita sakit dan agaknya keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya.

Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa lapar sekali, dia mengambil daun-daun muda dan memakannya!

Demikianlah, dia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berupaya keluar dari tempat tahanan alam ini!

Sesudah dia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa dia sadari dia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia juga tidak ingat lagi bahwa dia telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!

Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan sekenyangnya.

Namun, baru saja dia turun dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan pakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta wajah mereka bagus dan tidak ada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.

Mereka ini adalah kelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.

Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis indah yang panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!

Rombongan orang berkumis melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.

“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka bukanlah seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.

Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.

“Siapakah kau dan dari mana kau datang?”

Kwee An merasa girang sekali. Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Syukur sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”

Dengan sukar sekali kakek ini lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”

“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.

“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”

Biar pun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula. Apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?

Ada pun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan dia adalah seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan pada hidungnya sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran dan beberapa kali ia lalu menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya. Ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!

Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak berkumis atau kera tak berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya. Sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.

Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.

“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.

Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau pergi menghadap kepala mereka.

Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan seutas cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.

“Ehh, ehh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok kecil yang tajam sekali.

Kakek itu mengangguk. “Apa bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”

Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali dan menyambar-nyambar ke atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu jika tidak mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!

“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.

Orang tua itu lalu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”

“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”

“Ini merupakan semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh digunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu hanya digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya bisa dibuat putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat menjaga sehingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”

Kwee An mengangguk-angguk dan ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya menyinarkan keberanian yang besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.

“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu.

Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan.

Melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk dua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.

Sebetulnya Kwee An tak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong. Akan tetapi oleh karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.

Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.

Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya.

Kwee An segera mengelak sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah dadanya.

Hanya dengan pengerahan lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.

Kwee An terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat heran melihat cara Kwee An mempertahankan diri.

Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Jadi ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan lawan serta ketepatan menangkis dengan golok.

Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkang-nya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.

Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.

Kakek itu lantas berkata dari tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, namun hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”

Kwee An terkejut. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia pun cepat-cepat berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”

Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekang-nya hingga cambuknya kemudian membelit cambuk lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.

“Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.

Semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju lantas kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Sesudah dia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.

“Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.

Kakek itu tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan tadi mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya masih belum terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”

Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu!

Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan niat memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat kemenangan!

Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya hingga cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.

Ia menyangka bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya segera menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!

Maka dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin gembira dan melawan dengan hebat, dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!

Sekarang para penonton bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi sudah mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!

Betapa pun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan untuk menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan tidak dapat diputuskan!

Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya!

Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang luar biasa! Dia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!

Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun bajunya pada bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, dia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.

Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku kalah. Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, maka dia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya sehingga pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.

Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah.

Sungguh pun Kwee An tak bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah, bahkan menjadi makin nekad dan menyerang semakin hebat!

Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton semakin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!

Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya.

Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi.

Melihat pemuda itu roboh dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah amat lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi saat dia mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.

Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.

Semua orang tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!

Sekarang semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.

Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu!

Pada saat melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!

Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”

“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.

Kakek itu tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kau lihat pada anak tadi.”

Kwee An baru mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus.

Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!