Misteri Naga Laut

Pendekar Rajawali Sakti

MISTERI NAGA LAUT


SATU
Clark! Glarrr...!

Ledakan keras terdengar menggelegar, tak lama setelah cahaya kilat membelah langit hitam oleh gulungan awan tebal. Di bawahnya, permukaan Laut Utara tampak bergolak bagai diamuk ribuan tangan-tangan raksasa. Rintik-rintik air hujan pun mulai terlihat turun dari gumpalan awan hitam yang menutupi seluruh langit Pesisir Pantai Laut Utara ini.

Dari gulungan ombak yang setinggi gunung, terlihat sebuah perahu kecil bercadik tengah berusaha menepi. Hanya seorang laki-laki setengah baya saja yang ada di dalamnya. Dan tampaknya, dia begitu takut melihat laut yang bergelombang besar, bagai hendak menenggelamkan perahu kecilnya. Sedikit demi sedikit perahu bercadik itu mulai menepi.

Laki-laki setengah baya yang bertelanjang dada itu, bergegas melompat keluar begitu perahunya sudah menepi. Dengan sekuat tenaga, perahunya berusaha ditarik. Kemudian, talinya diikatkan di tonggak kayu. Sebentar dipandanginya langit yang hitam sambil menyeka keringat di leher dengan punggung tangan.

"Huh! Bakal ada kejadian apa ini...?" keluhnya berat.

Setelah meyakinkan kalau perahunya sudah aman, bergegas tubuhnya berputar dan melangkah pergi meninggalkan pesisir pantai. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, mendadak saja terdengar ledakan keras menggelegar yang mengejutkan, bersamaan dengan percikan cahaya kilat di angkasa. Laki-laki setengah baya itu cepat memutar tubuhnya berbalik kembali.

"Oh...?!" Kedua bola mata laki-laki itu jadi terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Seluruh tubuhnya langsung mengejang kaku. Hampir penglihatannya sendiri tidak dipercaya.

Ternyata di tengah laut yang bergelombang sangat besar terlihat seekor ular naga raksasa berwarna hijau dan memancarkan cahaya terang menyilaukan mata. Binatang yang hidup di alam dongeng itu ternyata benar-benar ada, dan kini muncul di permukaan laut!

"Dewata Yang Agung.... Apa itu...?" desahnya dengan suara bergetar.

Namun pada saat itu juga, kilat kembali menyambar dari angkasa. Dan begitu cahayanya lenyap, ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya terang itu pun langsung lenyap. Sementara, laki-laki setengah baya yang otot tubuhnya bertonjolan itu masih tetap berdiri terpaku memandang ke tengah laut

"Oh...." Kembali dia melenguh panjang, saat langit yang semula kelam terselimut awan hitam mendadak jadi terang dan sangat cerah. Bahkan sedikit pun tak ada awan yang terlihat menggantung di angkasa sana. Hujan rintik-rintik pun ikut lenyap. Semua yang terjadi saat itu benar-benar lenyap, begitu ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya di tengah laut menghilang.

"Mimpikah aku...? Benarkah itu Naga Laut?" Laki-laki setengah baya itu jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Rasanya saat itu tengah bermimpi saja. Tapi saat tubuhnya diputar, perkampungan nelayan yang ada di Pesisir Pantai Utara ini kelihatan sunyi sekali. Bahkan tak ada seorang pun yang terlihat. Semua rumah dalam keadaan tertutup, baik pintu maupun jendelanya! Dan keadaan perkampungan itu benar-benar seperti baru dilanda badai.

"Hal ini harus cepat-cepat kulaporkan pada Ki Amus," ujar laki-laki setengah baya itu berbicara pada diri sendiri. "Dia kepala desa. Jadi, harus tahu peristiwa ini lebih dulu daripada yang lain."

Bergegas laki-laki setengah baya itu melangkah dengan ayunan kaki lebar-lebar. Nafasnya langsung memburu, begitu memasuki perkampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini. Dia terus berjalan dengan langkah lebar dan cepat, walaupun tarikan nafasnya semakin tersengal.

********************

"Kau tidak bergurau, Paman Ardaga?" terdengar dalam sekali nada suara Ki Amus.

"Aku berani sumpah, Ki," sahut Paman Ardaga bersungguh-sungguh.

"Hm...." Ki Amus terdiam sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang. Pandangannya terus tertuju ke arah laut, dari beranda depan rumahnya.

Sedangkan laki-laki setengah baya yang tidak mengenakan baju dan tadi dipanggil Paman Ardaga itu terus memandangi wajah laki-laki tua yang menjadi kepala desa nelayan di perkampungan Pesisir Pantai Utara ini.

"Aku berani sumpah, Ki. Aku melihat sendiri. Naga Laut itu benar-benar muncul saat badai tadi," tegas Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.

"Naga Laut hanya ada dalam dongeng, Paman," kata Ki Amus, masih belum percaya terhadap cerita laki-laki setengah baya itu.

"Tapi aku benar-benar melihatnya, Ki."

"Di mana kau melihatnya?" tanya Ki Amus.

"Di pantai, Ki. Aku buru-buru pulang, karena badai itu datangnya tiba-tiba sekali. Perahu sudah kutambatkan waktu Naga Laut muncul. Ini benar-benar terjadi, Ki. Aku tidak bohong. Apalagi bermimpi," Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.

Ki Amus terdiam dengan pandangan terus ke tengah laut Begitu indah dan cerah, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan riak gelombang laut pun terlihat sangat tenang. Tapi, tak ada seorang nelayan pun yang pergi menangkap ikan. Semua penduduk desa ini masih terlalu sibuk membenahi kerusakan rumah, akibat badai yang tadi datang tiba-tiba dan sangat aneh.

"Bagaimana keadaan perahu mu?" tanya Ki Amus membelokkan pembicaraan, seakan-akan tidak ingin terus membicarakan kemunculan Naga Laut

"Rusak akibat badai tadi," sahut Paman Ardaga polos. 鈥淭api tidak terlalu berat."

"Sebaiknya, kau pulang saja dulu. Anak dan istrimu pasti sudah gelisah menunggu di rumah," kata Ki Amus sambil menepuk pundak warga desanya itu.

"Baik, Ki. Aku permisi," ucap Paman Ardaga.

Ki Amus hanya mengangguk saja, dan masih tetap berdiri di depan beranda rumahnya sambil memandang ke tengah laut. Sementara Paman Ardaga sudah pergi meninggalkannya, kembali ke rumahnya yang ada di ujung jalan perkampungan nelayan ini.

"Hm...," Ki Amus menggumam panjang dan perlahan. Dan sambil menghembuskan napas panjang, kepala desa itu memutar tubuhnya berbatik. Lalu, kakinya melangkah memasuki beranda depan rumahnya yang cukup luas.

Dan baru saja tubuhnya dihenyakkan di kursi, dari dalam rumah muncul seorang gadis muda yang cukup cantik. Bajunya agak ketat dan berwarna merah muda. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Ki Amus hanya melirik sedikit saja. Pandangannya kembali tertuju ke arah laut yang kelihatan tenang dan biru.

Sedangkan gadis cantik itu mengambil tempat tidak jauh di sebelah kanannya. Hanya sebuah meja bundar dengan alas terbuat dari batu pualam putih yang membatasi mereka. Kembali Ki Amus melirik sedikit pada gadis cantik itu.

"Ayah percaya pada cerita Paman Ardaga tadi...?" Terdengar pelan suara gadis Itu, seakan-akan tidak ingin didengar orang lain.

"Kau mendengar semuanya tadi, Layung?" Ki Amus malah balik bertanya.

Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Layung itu hanya mengangguk sedikit. Dan nama gadis itu adalah Layung Sari. Pandangannya juga diarahkan lurus ke tengah laut yang kelihatan begitu tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan hampir bersamaan mereka sama-sama berpaling, lalu saling bertatapan.

"Aku ke dalam dulu, Ayah," pamit Layung seraya bangkit berdiri.

Ki Amus tidak menjawab, dan hanya memandangi anak gadisnya yang berlalu masuk kembali ke dalam rumah berukuran cukup besar ini. Laki-laki tua yang juga kepala desa itu tetap duduk di kursinya, dan kembali memandang ke tengah laut. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya sekarang ini. Tapi, pandangan matanya tidak terlepas dari birunya riak gelombang Laut Utara di depan sana.

"Ki...! Ki Amus...!"

"Heh...?! Ada apa lagi ini...?"

Ki Amus langsung terlompat bangkit berdiri, saat telinganya mendengar orang berteriak-teriak memanggilnya. Saat kepalanya berpaling ke kiri, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun tengah berlari-lari menghampirinya. Bergegas Ki Amus melangkah, keluar dari dalam beranda depan rumahnya. Sebentar kemudian, mereka bertemu di tengah-tengah halaman yang sedikit berpasir.

"Ada apa, Ki Adong?" tanya Ki Amus.

"Aduh.... Tolong, Ki. Tolong aku...," tersedak suara laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Adong.

鈥淭enang.... Ada apa? Ceritakanlah yang tenang," pinta Ki Amus.

Ki Adong menarik nafasnya panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat beberapa kali. Dicobanya untuk menenangkan diri, namun nafasnya masih saja tersengal. Sedangkan Ki Amus menunggu dengan sabar, sampai laki-laki tua warga desanya itu bisa tenang.

"Katakan, ada apa...?" ujar Ki Amus dengan suara lembut.

"Anakku, Ki. Anak gadisku...," suara Ki Adong masih terdengar tersendat.

"Maksudmu, si...?"

"Puspita."

"Iya, ada apa dengan Puspita?"

"Puspita hilang, Ki. Tolong aku, Ki. Aku sudah mencari ke mana-mana, tapi Puspita benar-benar hilang."

"Kapan kejadiannya?"

"Waktu badai, Ki."

Ki Amus langsung terdiam. Sedangkan Ki Adong terus merengek meminta pertolongan kepala desanya untuk mencari anak gadisnya yang hilang, tepat di saat badai berlangsung dan melanda perkampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

"Tolong aku, Ki. Puspita anakku satu-satunya. Tidak ada lagi yang mengurus ku, kalau Puspita tidak ada," rengek Ki Adong memohon.

"Baik, baik. Tenanglah. Aku akan menolong," bujuk Ki Amus mencoba menenangkan.

"Terima kasih, Ki. Memang tidak ada lagi yang bisa menolongku selain kau, Ki. Tolong temukan Puspita."

Ki Amus mencoba tersenyum, tapi terasa kalau seperti dipaksakan. Ditepuknya sedikit pundak laki-laki tua yang mengenakan baju warna hitam dari kain yang sudah lusuh itu.

"Pulanglah dulu. Aku akan mengerahkan orang-orangku untuk mencari Puspita," kata Ki Amus.

"Baik, Ki. Terima kasih," ucap Ki Adong seraya membungkukkan tubuh sedikit.

"Pulanglah."

Ki Adong segera berlalu tergesa-gesa. Sedangkan Ki Amus masih tetap berdiri mematung memandangi. Dia masih tetap berdiri di tengah-tengah halaman rumahnya, walaupun Ki Adong sudah tidak terlihat lagi.

"Hhh...!"

********************

Kemunculan Naga Laut cepat sekali tersebar ke seluruh desa nelayan di Pesisir Pantai Utara. Semua orang membicarakan tentang munculnya Naga Laut. Bahkan langsung saja menghubungkannya dengan hilangnya Puspita, anak satu-satunya Ki Adong itu. Berbagai macam pikiran dan dugaan terlontar. Dan kebanyakan dugaan mereka sulit diterima akal pikiran sehat.

Sementara, Paman Ardaga yang melihat langsung kemunculan Naga Laut itu jadi merasa sangat cemas. Terlebih lagi, hilangnya Puspita bersamaan dengan munculnya Naga Laut. Dan kecemasan Paman Ardaga memang beralasan, karena juga memiliki anak gadis yang sudah menginjak usia delapan belas tahun.

Kecemasannya semakin menjadi-jadi, bila mendengar kemunculan Naga Laut akan membawa korban seorang gadis muda. Hal ini sudah cepat tersebar luas dan tentu saja membuat seluruh penduduk desa nelayan di Pesisir Pantai Utara menjadi cemas. Terlebih lagi, bagi yang memiliki anak gadis.

"Sudah malam, Ayah. Kenapa belum juga tidur...?"

"Oh...?!" Paman Ardaga tersentak kaget, dan langsung terbangun dari lamunannya. Cepat wajahnya berpaling, lalu tersenyum saat melihat seraut wajah manis yang dekat di belakangnya. Duduknya di geser, untuk memberi tempat pada gadis cantik yang berdiri di ambang pintu. Gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat itu duduk di samping laki-laki setengah baya ini.

"Kau sendiri, kenapa belum juga tidur, Andari?" tanya Paman Ardaga sambil mencoba memberi senyum.

"Aku tidak bisa tidur," sahut gadis manis yang bernama Andari, juga tersenyum.

Andari anak gadis Paman Ardaga. Dia seorang gadis manis, walaupun bentuk tubuhnya sedikit gemuk. Dan sebenarnya, Paman Ardaga masih mempunyai dua anak lagi, tapi berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan Andari adalah anak bungsu Paman Ardaga.

"Ayah...," terdengar ragu-ragu suara Andari.

"Ada apa?" tanya Paman Ardaga seraya berpaling menatap wajah manis anak gadisnya.

"Benar Ayah melihat Naga Laut itu?" Tanya Andari masih dengan suara terdengar seperti takut-takut.

"Hhh...!" Paman Ardaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dihembuskan nafasnya panjang-panjang, dan terasa berat. Memang sejak siang tadi, dia tidak menceritakan tentang Naga Laut yang dilihatnya saat terjadi badai pada anak-anaknya. Dan Paman Ardaga sendiri sebenarnya sedang kebingungan, karena apa yang dilihatnya siang tadi hanya diceritakan pada Ki Amus saja.

Tapi, ternyata munculnya Naga Laut itu sudah cepat sekali tersebar. Paman Ardaga sendiri jadi tidak mengerti, dari mana berita tentang Naga Laut cepat tersebar. Padahal hal itu tidak diceritakannya pada siapa pun juga, kecuali pada Ki Amus saja. Pada ketiga anaknya pun juga tidak diceritakannya. Dan sekarang, anak gadisnya menanyakan tentang Naga Laut itu.

"Dari mana kau tahu kalau aku yang melihat Naga Laut itu, Andari?" Paman Ardaga malah balik bertanya.

"Semua orang mengatakan kalau Ayah melihat langsung Naga Laut waktu badai berlangsung," sahut Andari agak manja nada suaranya.

"Hhh...!" Kembali Paman Ardaga menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Tangannya meraih guci dari tanah liat, lalu meneguk arak yang ada di dalamnya. Pandangannya langsung tertuju ke tengah laut yang kini tampak hitam. Deburan ombak terdengar begitu keras, menghantam karang dari pantai. Begitu akrab di telinga penduduk desa ini.

"Kau percaya pada omongan mereka?" Paman Ardaga kembali bertanya.

Dan kini, Andari tidak bisa menjawab. Hanya dipandanginya saja kedua bola mata ayahnya yang tidak berkedip, memandang lurus ke tengah laut Seakan-akan, gadis itu sedang mencari kesungguhan dari cerita orang-orang tentang Naga Laut yang didengarnya. Dia ingin kepastian, apakah kata mereka benar kalau ayahnya melihat naga raksasa itu muncul.

"Waktu itu, Ayah memang tidak ada di rumah. Dan Ayah baru pulang setelah badai berhenti," kata Andari perlahan.

"Benar Ayah melihat Naga Laut itu...?"

"Benar," sahut Paman Ardaga agak mendesah perlahan suaranya.

"Jadi...?" suara Andari terputus.

Paman Ardaga memalingkan wajah, dan memandangi wajah anak gadisnya dalam-dalam. Kemudian direngkuhnya Andari ke dalam pelukan penuh kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya. Andari jadi manja. Seketika kepalanya ditelusupkan ke dalam pelukan laki-laki setengah baya ini. Beberapa saat lamanya mereka baru melepaskan pelukan, dan sama-sama memandang ke tengah laut yang hitam dan penuh cahaya, yang dipantulkan cahaya bulan dan bintang bagai taburan mutiara.

"Ayah memang melihat Naga Laut itu, Andari. Tapi ayah tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, kecuali pada Ki Amus," jelas Paman Ardaga.

"Kalau begitu, mereka mendengarnya dari Ki Amus, Ayah?" tanya Andari ingin memastikan.

"Entalah...," sahut Paman Ardaga mendesah.

"Mungkin benar, mungkin juga tidak."

"Atau barang kali ada orang lain yang juga melihatnya, Ayah," duga Andari.

"Mungkin," desah Paman Ardaga.

"Lalu hilangnya Puspita, apa ada hubungannya dengan Naga Laut itu, Ayah?" Tanya Andari lagi.

"Ayah tidak dapat memastikan. Mungkin benar, mungkin juga tidak," sahut Paman Ardaga mencoba jawab bijaksana.

Saat itu, Andari terdiam. Dan Paman Ardaga juga tidak mengeluarkan suara lagi. Mereka sama-sama terdiam membisu untuk beberapa saat. Perlahan Andari berdiri dari duduknya di balai bambu yang ada di depan rumahnya.

"Aku pergi tidur dulu, Ayah," pamit Andari.

Paman Ardaga hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Sedangkan Andari sudah menghilang di dalam rumah yang hanya terbuat dari belahan papan dan bilik anyaman bambu ini. Sementara, Paman Ardaga masih tetap duduk di atas balai bambu beralaskan tikar daun pandan. Pandangannya masih tidak beralih dari tengah laut yang menghitam pekat, dan bertaburkan cahaya bagai lautan mutiara.

"Hhh! Dari mana mereka bisa tahu...?" desah Paman Ardaga bertanya pada diri sendiri.

DUA

Wrrr!

Angin begitu kencang menghantam seluruh Pesisir Pantai Laut Utara ini, seakan-akan ingin menghancurkan desa yang ada di sepanjang tepiannya. Debu-debu pasir berputaran, beterbangan ke angkasa. Para nelayan sibuk mengamankan perahunya dari hantaman ombak yang tinggi dan ganas. Matahari yang semula bersinar sangat terik, mendadak saja lenyap tersaput awan hitam yang datang bergulung-gulung cepat sekali.

Entah, datang dari mana. Dalam waktu sekejap saja, seluruh Pesisir Pantai Utara ini diliputi kegelapan bagai malam yang teramat pekat. Keadaan yang begitu cepat berubah, membuat seluruh penduduk desa nelayan itu jadi kalang kabut. Mereka berlarian kembali ke rumah masing-masing dan meninggalkan perahunya yang sudah tertambat aman di pantai.

Beberapa buah perahu yang tidak sempat diamankan, sudah hanyut terbawa arus gelombang yang begitu ganas. Bahkan ada beberapa perahu yang sudah hancur dihantam gelombang yang sangat besar. Sebentar saja, di pantai itu tidak terlihat orang lagi. Mereka semua berlindung dari amukan alam yang ganas ini di dalam rumah masing-masing. Hanya seorang laki-laki tua saja yang masih terlihat berada di depan rumahnya. Dialah Ki Amus, kepala desa nelayan ini.

"Hm.... Ini bukan badai biasa," gumam Ki Amus perlahan.

"Aku merasakan adanya kekuatan lain. Hm...."

Saat itu.... Clraaak! Glaaar...!

Begitu cepat kilat membersit, terdengar ledakan bagai hendak membelah angkasa yang gelap tersaput awan hitam. Peristiwa alam itu terjadi, tepat di tengah laut yang bergelombang setinggi gunung. Dan pada saat itu terlihat sebuah bentuk tengah menggeliat di tengah laut. Sebuah bentuk seekor ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang berkilau, menyilaukan mata.

"Oh...?!" Ki Amus jadi terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Kedua bola matanya jadi terbeliak, dan mulutnya ternganga lebar. Pandangannya sedikit pun tidak berkedip, ke arah ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang berkilau di tengah laut.

"Oh! Benarkah yang kulihat ini...?" Ki Amus merasakan seperti sedang bermimpi.

Sungguh tak disangka, ular naga itu benar-benar ada. Bahkan sekarang muncul, dan terlihat di tengah laut Warnanya hijau, memancarkan cahaya terang berkilau. Dan kini, tampak binatang itu bergerak ke arah pantai. Dari lubang hidungnya, api menyembur disertai asap kehijauan yang mengepul, membumbung ke angkasa.

Clark! Glarrr...!

Tepat di saat Naga Laut itu berada di garis pantai, kilat menyambar dari angkasa, diikuti ledakan guntur yang menggelegar dan menggetarkan jantung. Dan pada saat itu, Naga Laut sudah menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan lenyapnya ular naga raksasa, alam pun mendadak jadi cerah kembali. Awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa, seketika lenyap tak berbekas sedikit pun juga.

Langit kembali cerah. Cahaya matahari sudah bersinar terang menghangatkan bumi. Angin pun kini tidak lagi bertiup kencang. Bahkan laut pun tampak tenang, dengan lidah-lidah ombak yang lembut menebur batu-batu karang di Pesisir Pantai Utara.

Sementara, Ki Amus masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya. Matanya masih memandang lurus ke tengah laut. Rasanya, seakan-akan seperti tengah bermimpi. Begitu cepat keadaan alam ini berubah. Laki-laki tua berjubah panjang berwarna putih itu baru tersentak sadar, saat mendengar batuk kecil dari belakang. Cepat tubuhnya diputar. Matanya langsung menyipit begitu melihat Paman Ardaga tahu-tahu sudah ada di depan rumahnya.

"Kau percaya pada cerita ku, Ki? Naga Laut itu memang ada," kata Paman Ardaga seraya melangkah mendekati kepala desa itu.

"Entahlah.... Rasanya aku tadi bermimpi," sahut Ki Amus mendesah pelan.

"Kemunculan Naga Laut itu pasti akan membawa bencana bagi desa ini, Ki," kata Paman Ardaga.

Ki Amus tidak langsung menanggapi, dan hanya diam saja. Seakan-akan perasaannya masih diliputi suasana yang begitu mencekam dan sukar sekali diterima akal sehat. Kenyataan itu benar-benar belum bisa diterima akalnya. Bahkan memang sukar dipahami.

Naga Laut yang selama ini selalu menjadi dongeng anak-anak kecil sebelum tidur, kini benar-benar menjadi kenyataan dengan kemunculannya. Apakah dugaan Paman Ardaga menjadi kenyataan, kalau kemunculan Naga Laut itu akan membawa bencana.

********************

Satu pekan sudah perkampungan desa nelayan di Pesisir Pantai Utara dilanda ketakutan atas munculnya Naga Laut. Ketakutan mereka memang sangat beralasan. Betapa tidak? Setiap kali Naga Laut muncul, selalu saja ada seorang gadis yang masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun hilang. Bahkan sudah banyak orang yang melihat munculnya Naga Laut itu.

Dan belakangan ini, kemunculannya selalu menimbulkan kerusakan. Malah, sudah beberapa orang anak buah Ki Amus yang tewas, karena mencoba mengusir Naga Laut dari desa nelayan ini. Ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang di seluruh tubuhnya itu kelihatannya semakin ganas saja. Dan kemunculannya pun tidak lagi hanya sekejap. Dia baru pergi setelah mendapatkan seorang gadis, dan melahap satu atau dua orang laki-laki yang ditemuinya.

Siang itu, udara di sekitar Pesisir Pantai Utara terasa sangat panas, tidak seperti hari-hari biasanya. Matahari bersinar sangat terik, seakan-akan ingin membakar semua yang ada di Pesisir Pantai Utara itu. Sedikit pun tak terasa adanya angin berhembus. Dan laut pun kelihatan begitu tenang dengan riak gelombangnya yang kecil menerpa pasir putih di pantai.

Saat ini, tak ada seorang nelayan pun yang turun ke laut. Mereka semua dilanda ketakutan, karena sudah empat perahu hilang di tengah laut. Kegairahan mereka pun lenyap. Wajah-wajah muram terlihat jelas dari mereka yang kini hanya duduk-duduk di beranda depan rumah, sambil memperbaiki jala yang rusak.

Di tengah-tengah kemurungan wajah desa nelayan itu, terlihat seorang pemuda tengah menunggang kuda putih menyusuri tepian pantai. Pakaiannya yang berwarna biru terang, kelihatan mewah membungkus tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Wajahnya pun sangat tampan, bagai seorang putra mahkota.

Sementara semua penduduk desa nelayan itu hanya bisa memandangi. Namun pemuda itu kelihatan tidak peduli, dan terus saja mengendalikan kudanya agar berjalan perlahan-lahan memasuki perkampungan di Pesisir Pantai Utara ini. Langkah kudanya baru dihentikan, setelah sampai di depan rumah Ki Amus.

"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, pemuda tampan berpakaian mewah itu melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar dia berdiri memandangi rumah Ki Amus yang kelihatan sepi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya. Beberapa penduduk yang ada didepan rumahnya, terus memperhatikan dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.

Setelah memperhatikan keadaan rumah itu beberapa saat, pemuda itu baru mengayunkan kakinya memasuki halaman yang hanya dipagari belahan bambu. Sementara, kuda putih tunggangannya mengikuti dari belakang. Pemuda itu terus melangkah perlahan-lahan, namun ayunannya terlihat mantap. Pandangannya tertuju lurus, sedikit pun tak berkedip ke arah pintu rumah yang tertutup rapat. Dan begitu ayunan kakinya berhenti tepat di ujung bawah anak tangga beranda, pintu rumah itu bergerak terbuka. Kemudian, dari dalam muncul Ki Amus.

"Kau kepala desa di sini...?" Tanya pemuda itu langsung tanpa memberi hormat sedikit pun.

"Benar," sahut Ki Amus agak terkejut "Nama ku Ki Amus."

Laki-laki tua kepala desa itu memandangi pemuda yang berdiri tegak didepan beranda rumahnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Perlahan kakinya melangkah mendekati, dan berhenti pada undakan kedua.

Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju kain sutra halus berwarna biru terang, tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam, menusuk langsung ke bola mata Ki Amus.

"Maaf, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa denganku?" Tanya Ki Amus. Sikap dan suaranya terdengar sopan.

"Namaku Raden Banyu Samodra. Aku diutus Ayahanda Prabu Naga Pendaka untuk menemui seseorang di sini." Sahut pemuda itu memperkenalkan diri, dan langsung mengatakan tujuannya datang ke desa nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

"Oh...! Kau seorang pangeran," desah Ki Amus tersedak, tidak menyangka kalau pemuda tampan yang datang menemuinya ternyata seorang putra raja.

"Tapi..., dari kerajaan mana Raden datang?"

"Kerajaan Karang Emas."

"Lalu, siapa yang akan Raden temui?" Tanya Ki Amus lagi.

"Raja Karang Setra."

"Maksud Raden..., Gusti Prabu Rangga Pati Permadi...?" Ki Amus ingin menegaskan.

"Benar," tegas Raden Banyu Samodra.

"Wilayah ini memang masih termasuk Kerajaan Karang Setra. Tapi, ibu kotanya masih jauh dari sini. Paling tidak memerlukan waktu satu pekan kalau ingin menempuh ke sana," jelas Ki Amus.

"Aku tidak akan ke ibu kota. Apa lagi, datang ke istana. Aku ingin menemuinya di sini," kata Raden Banyu Samodra, tetap tegas nada suaranya.

"Maaf, Raden. Apakah Raden sudah ada janji untuk bertemu di sini?" Tanya Ki Amus, ingin tahu

"Tidak. Tapi aku harus menunggu di sini. Dan itu perintah langsung dari Ayahanda Prabu Naga Pendaka."

Ki Amus mengangguk-anggukkan kepala. Sekali lagi, diperhatikannya pemuda yang mengaku putra raja itu dalam-dalam. Dan memang, kalau dilihat dari perawakan serta pakaian yang dikenakan, orang pasti akan menyangka kalau dia seorang putra mahkota. Atau paling tidak, seorang putra bangsawan. Tapi, sikapnya yang angkuh membuat Ki Amus jadi ragu-ragu. Bahkan memandangnya dengan sinar mata curiga.

Namun yang dipandangi seperti tidak menangkap kecurigaan laki-laki tua kepala desa itu. Bahkan malah melangkah menaiki undakan tangga beranda depan rumah kepala desa itu, lalu berhenti dengan jarak satu undakan di depan Ki Amus.

"Boleh aku beristirahat di sini sambil menunggu Raja Karang Setra...?" Pinta Raden Banyu Samodra dengan sikap masih kelihatan angkuh.

"Jika Raden bersedia istirahat di gubuk reyot ini, aku sama sekali tidak berkeberatan," sahut Ki Amus tidak bisa menolak permintaan itu.

Tanpa mengucapkan satu kata pun, Raden Banyu Samodra melangkah melewati kepala desa itu. Dan dengan enak sekali tubuhnya dihempaskan di kursi rotan. Kedua kakinya diangkat, lalu ditumpangkan ke atas meja. Kedua bola mata Ki Amus jadi terbeliak melihat sikap kurang ajar pemuda itu. Dia benar-benar tidak memandang hormat sedikit pun sebagai tamu.

"Kau tidak memiliki pelayan di sini, Orang Tua?" terasa angkuh sekali nada suara Raden Banyu Samodra.

"Untuk apa?" Ki Amus malah balik bertanya ketus.

Laki-laki setengah baya itu mulai tidak senang terhadap sikap pemuda tampan yang seperti tak punya tata krama. Sedikit pun tidak memandang hormat pada pemilik rumah, sehingga membuat jengkel. Tapi Ki Amus masih berusaha mengendalikan diri, mengingat pemuda yang tengah dihadapinya adalah seorang pangeran dan sedang menunggu Raja Karang Setra.

Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan itu yang membuat Ki Amus terpaksa harus bisa menahan diri melihat sikap angkuh dan ketidak-sopanan pemuda asing ini.

"Aku ingin kau melayaniku dengan baik, Ki. Juga seluruh penduduk desa ini harus mematuhi semua yang kukatakan. Termasuk kau...!" kata Raden Banyu Samodra seraya menuding ke wajah Ki Amus dengan jari telunjuknya.

"Edan...!" desis Ki Amus langsung memerah wajahnya. Terdengar keras gemeretuk gerahamnya menahan kemarahan. Harga diri Ki Amus merasa telah terinjak dalam sesaat saja. Seluruh tubuh laki-laki tua itu jadi menggeletar menahan kemarahan yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Sedangkan pemuda yang mengaku pangeran itu sikapnya semakin membuat mual perut Ki Amus.

"Aku akan tinggal di sini sampai Raja Karang Setra muncul. Dan kau, serta semua penduduk desa ini, harus tunduk pada perintahku!" tegas Raden Banyu Samodra.

"Keparat..! Iblis dari mana kau ini, heh?" geram Ki Amus tidak dapat lagi menahan kejengkelannya.

Tapi Raden Banyu Samodra hanya tersenyum saja melihat kejengkelan laki-laki tua kepala desa itu. Bahkan sikapnya tampak mengejek dan meremehkan. Sedangkan wajah Ki Amus sudah kelihatan semakin memerah, menahan kemarahan yang meluap-luap tak tertahankan lagi.

"Kuharap, kau segera angkat kaki dari desa ini, Anak Muda," desis Ki Amus dingin, tidak memandang kepangeranan pemuda itu.

"Sudah kuduga, kau pasti akan menjadi orang pertama yang membangkang, Ki," sambut Raden Banyu Samodra datar.

"Pergi kau, cepaaat...!" bentak Ki Amus langsung.

Raden Banyu Samodra masih tetap tersenyum meremehkan. Perlahan dia bangkit berdiri. Dan tiba-tiga saja....

"Hih!"
Slap!

"Hap!" Ki Amus cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, ketika tiba-tiba sekali Raden Banyu Samodra mengebutkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga, terlihat sebuah benda bercahaya kehijauan meluncur deras hendak menyambar tubuh laki-laki tua kepala desa ini. Tapi gerakan menghindar yang dilakukan Ki Amus memang cepat dan manis sekali. Hingga, benda bercahaya kehijauan itu hanya lewat sedikit di samping tubuhnya.

Namun hatinya jadi tersentak kaget setengah mati, karena pada saat benda bercahaya kehijauan tadi lewat di samping tubuhnya, saat itu juga terasakan adanya hembusan hawa yang sangat panas dan menyengat. Cepat-cepat Ki Amus melompat, keluar dari beranda depan rumahnya. Dua kali dia berputaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya di halaman dengan manis dan ringan sekali.

Glarrr!

"Heh...?!" Ki Amus langsung berpaling dan terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar dari arah belakang. Dan kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat pohon beringin besar yang tumbuh didepan rumahnya mendadak saja hancur berkeping-keping setelah terlanda benda bercahaya kehijauan yang dilepaskan Raden Banyu Samodra tadi.

"Gila...!" desis Ki Amus masih dihinggapi rasa terkejut yang amat sangat

"Mudah sekali aku melumatkan tubuhmu hingga jadi debu, kalau kau tidak mau menuruti perintahku, Orang Tua," terasa sangat dingin nada suara Raden Banyu Samodra.

"Phuih! Siapa pun dan dari mana pun kau berasal, sekarang juga angkat kaki dari desa ini!" dengus Ki Amus sengit.

"Kau akan menyesali sikapmu, Ki," Raden Banyu Samodra memperingatkan.

"Sekali lagi kuperingatkan, pergi!" sentak Ki Amus lantang.

Tapi Raden Samodra hanya diam saja. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman yang sangat tipis. Dia masih berdiri didepan kursi yang tadi didudukinya. Perlahan kakinya terayun melangkah ke depan dua tindak. Dan begitu berhenti, cepat bagai kilat, tangan kirinya kembali mengebut ke depan.

Slap!
"Hap!"

Ki Amus langsung saja melenting ke udara, tapi tak ada satu pun benda yang meluncur dari telapak tangan kiri yang menjulur ke depan itu. Dan ini membuat Ki Amus jadi tersedak. Cepat disadari kalau gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu hanya tipuan belaka. Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Amus yang masih berjumpalitan di udara.

"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"

Cepat-cepat Ki Amus meluruk ke bawah, menghindari terjangan kilat Raden Banyu Samodra. Tapi begitu kakinya menjejak tanah berpasir didepan rumahnya, tanpa diduga sama sekali Raden Banyu Samodra cepat memutar tubuhnya. Saking cepatnya, sehingga sukar sekali diikuti oleh mata biasa. Dan tahu-tahu, dia sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada kepala desa itu.

"Hih!" Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk berkelit menghindari tendangan keras menggeledek itu. Maka cepat-cepat tangannya dikebutkan untuk menangkisnya. Hingga tak pelak lagi....

Plak!
"Akh...!"

Ki Amus memekik kecil agak tertahan. Bergegas dia melompat mundur beberapa langkah sambil memegangi tangan kirinya yang tadi digunakan untuk menangkis. Namun belum juga melihat tangannya yang langsung membiru, pemuda tampan yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu sudah melompat cepat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggang.

Sret! Cring!
"Hiyaaa...!"
"Hap!"

Ki Amus bergegas merundukkan kepala, menghindari tebasan pedang yang berkilat dan memancarkan cahaya hijau. Namun belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, Raden Banyu Samodra langsung melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah perut. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Ki Amus tidak sempat lagi berkelit menghindari. Hingga....

Des!
"Ugkh...!"

Ki Amus terlenguh pendek. Tubuh tua berjubah putih panjang itu seketika terpental deras sekali ke belakang. Dan luncurannya baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang langsung hancur terlanda tubuh tua dan kurus itu.

"Hiyaaat...!"

Raden Banyu Samodra kembali melompat hendak menyerang laki-laki tua kepala desa itu lagi. Maka satu pukulan yang teramat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun mendarat di dada laki-laki tua ini. Akibatnya, Ki Amus terpekik cukup keras. Semua penduduk desa nelayan yang mendengar pekikan itu kontan keluar dari dalam rumah masing-masing. Dan mereka langsung berhamburan ke tempat ini. Sebentar saja, sekeliling halaman depan rumah kepala desa itu sudah dipadati orang yang baru keluar dari dalam rumahnya.

"Katakan pada mereka, kalau sekarang aku yang berkuasa di desa ini, Ki Amus," kata Raden Banyu Samodra dingin.

"Phuih! Kau tidak akan bisa merebut desa ini begitu saja, Anak Setan! Langkahi dulu mayat kami!" sambut Ki Amus lantang.

"Hm. Rupanya kau keras kepala juga, Ki Amus," desis Raden Banyu Samodra dingin.

Setelah berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa sekali pemuda tampan berpakaian mewah dari sutra halus itu melompat menerjang Ki Amus.

"Hiyaaat...!"
"Hap! Yeaaah...!"

TIGA

Ki Amus cepat-cepat melesat, begitu Raden Banyu Samodra melompat menerjang dengan kecepatan sangat tinggi. Maka serangan pemuda tampan berpakaian mewah dari bahan sutra halus itu tidak mengenai sasaran. Tapi kegagalan serangannya malah membuat Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh, seakan-akan senang mendapat sambutan dari serangannya tadi.

"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Orang Tua. Tapi tahanlah seranganku berikutnya.

Hiyaaat..!"
"Hait!"

Ki Amus segera memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Namun, dia jadi terkejut dan cepat-cepat me-lompat ke belakang beberapa langkah, saat merasakan adanya hembusan angin berhawa panas menyengat dari sambaran pukulan lawan.

"Hap!" Kepala desa itu segera melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Sementara, Raden Banyu Samodra sudah bersiap hendak menghadang lagi. Jelas kalau dari sikapnya, pemuda itu meremehkan kemampuan kepala desa itu. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Bahkan pandangannya sedikit pun tidak berkedip, lurus ke bola mata laki-laki tua yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyu Samodra tiba-tiba saja melesat tinggi ke udara. Dan bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras dengan kedua tangan terkembang seperti sayap seekor burung yang hendak menghantam mangsa. Begitu cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Amus jadi terperangah sesat.

"Hap!" Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Ki Amus melompat ke belakang. Maka serangan pemuda tampan itu dapat dihindarinya. Dan tepat di saat Raden Banyu Samodra baru menjejakkan kaki di tanah, Ki Amus sudah memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Uts!"

Hampir saja tendangan Ki Amus menghantam dada. Untungnya, Raden Banyu Samodra cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Lalu sambil menggeser kaki ke samping, tubuhnya meliuk seraya melepaskan satu sodokan cepat terarah ke perut laki-laki tua kepala desa itu.

"Hih!"
"Hap!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk menghindari sodokan tangan kiri lawan. Maka dengan cepat tangan kanannya dikebutkan untuk menangkis sodokan yang sangat cepat dan terarah ke perutnya. Hingga tak pelak lagi, dua tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu pun beradu tepat didepan perut Ki Amus.

Plak!"
"Ikh...!"

Ki Amus jadi terpekik kecil, begitu tangannya beradu dengan tangan Raden Banyu Samodra. Saat itu juga tulang-tulang tangannya terasa bagaikan remuk terhantam besi baja yang sangat keras. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sambil memegangi tangan kirinya dengan tangan kanan. Namun pada saat itu, Raden Banyu Samodra sudah memberi serangan kembali yang tidak kalah dahsyatnya.

"Hiyaaa...!"

Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Raden Banyu Samodra, sehingga Ki Amus tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Des!
"Akh...!"

Ki Amus terpekik agak tertahan, begitu dadanya terhantam pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras pukulan itu, sehingga membuat tubuh Ki Amus terpental sejauh dua batang tombak.

Brak!

Tubuh tua itu baru berhenti meluncur setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar batangnya, hingga hancur berkeping-keping.

"Hiyaaat...!" Rupanya, Raden Banyu Samodra tidak sudi lagi memberi kesempatan pada laki-laki tua kepala desa itu untuk dapat melihat matahari esok pagi. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, seraya melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun belum juga pukulan mematikan itu mendarat di tubuh Ki Amus, mendadak saja....

Slap!
"Heh...?!
Utfs...!"

Raden Banyu Samodra segera melenting dan berputar ke belakang, begitu tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan memapak arus serangannya terhadap Ki Amus. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tampak seorang gadis berwajah cantik berbaju ketat warna merah muda sudah berdiri menghadang di depan laki-laki tua kepala desa nelayan itu.

"Iblis pengecut...! Bisanya hanya menghadapi orang tua!" dengus gadis itu mendesis geram.

"Hhh! Rupanya ada juga gadis cantik berkepandaian tinggi di desa ini," dengus Raden Banyu Samodra begitu rasa terkejutnya hilang dari dadanya. Saat itu, Ki Amus sudah bisa bangkit berdiri. Lalu, dihampirinya gadis cantik berpakaian ketat berwarna merah muda itu. Dia berdiri di sebelah kanannya. Dan begitu melihat wajah cantik yang telah menyelamatkan nyawanya, Ki Amus jadi kaget setengah mati.

"Layung...," desis Ki Amus perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.

Belum juga gadis cantik yang ternyata Layung Sari bisa membuka mulutnya untuk menghilangkan keterkejutan kepala desa itu, Raden Banyu Samodra segera bergerak menghampiri. Kakinya menggeser, menyusuri tanah berpasir putih di halaman depan rumah Ki Amus yang sangat luas ini.

"Jangan banyak omong! Pergi kau dari sini, atau kepalamu ingin pecah!" bentak Layung Sari langsung kasar.

"Wueh...! Galak juga kau rupanya, Cah Ayu...."

Saat itu, Ki Amus sudah berada di samping putrinya. Ditariknya tangan Layung Sari hingga gadis itu tertarik ke belakang dua langkah.

"Jangan layani dia, Layung. Biar aku saja yang mengusirnya," kata Ki Amus setengah berbisik.

"Orang kurang ajar seperti dia harus diberi sedikit pelajaran, Ayah," suara Layung Sari terdengar agak menyentak.

"Sudah, kau minggir sana!" perintah Ki Amus.

Layung Sari hendak membantah, tapi Ki Amus sudah melangkah ke depan sambil mendorong tubuhnya. Maka terpaksa gadis itu harus menarik kakinya ke belakang beberapa langkah.

Sementara, Raden Banyu Samodra masih kelihatan tenang dengan sikap meremehkan. Sedikit pun dia tidak memandang sebelah mata laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Layung Sari sudah begitu gemas melihat kecongkakan pemuda tampan yang baru pertama kali ini dilihatnya.

"Sudahlah, Orang Tua. Jangan paksakan dirimu lagi. Kalau aku mau, dengan mudah batang lehermu bisa kupatahkan," kata Raden Banyu Samodra merendahkan.

"Anak Muda, kuperintahkan sekali lagi. Kalau kau tidak segera angkat kaki dari sini, semua orang di desa ini bisa merancah mu jadi daging cincang!" ancam Ki Amus tidak main-main lagi.

"He he he...!" tapi Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh. Sama sekali pemuda itu tidak gentar mendengar ancaman Ki Amus tadi. Bahkan kakinya melangkah beberapa tindak mendekati laki-laki tua kepala desa itu. Sedikit matanya melirik Layung Sari. Senyumnya terkembang melihat kecantikan gadis itu. Tapi, Layung Sari Malah menyemburkan ludahnya dengan wajah memerah berang.

"Anak gadismu cantik sekali, Orang Tua. Rasanya dia pantas mendampingiku di istana," kata Raden Banyu Samodra sambil memandang wajah cantik Layung Sari.

"Keparat...!" desis Layung Sari, menggeram.
"Kata-katamu semakin kurang ajar saja, Anak Muda. Jangan memaksaku bertindak lebih kasar lagi padamu," desis Ki Amus langsung menggelegak amarahnya.

"He he he...," Raden Banyu Samodra hanya terkekeh saja mendengar kata-kata kasar bernada marah itu.

Sedangkan Ki Amus sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap kurang ajar pemuda asing ini. Sementara, Layung Sari sudah menggenggam gagang pedang di pinggang, walaupun masih belum mencabutnya. Wajah gadis itu kelihatan memerah menahan amarah yang sudah meluap-luap dalam dada.

Sementara, pertengkaran yang terjadi sudah menarik perhatian seluruh penduduk di desa nelayan Pesisir-Pantai Utara. Sekitar halaman rumah Ki Amus yang cukup luas, sudah hampir dipadati penduduk desa. Mereka semua memandang geram pada Raden Banyu Samodra. Tapi, yang dipandangi malah tersenyum dan terkekeh kecil. Dia benar-benar tidak memandang sedikit pun, walau keadaannya bisa dikatakan sudah terkepung.

"Ki Amus! Aku akan mengadakan perjanjian denganmu," kata Raden Banyu Samodra agak lantang suaranya. Sehingga, bisa terdengar jelas oleh orang-orang yang berada di sekitar halaman rumah kepala desa ini.

"Hm, perjanjian apa?" Tanya Ki Amus agak sinis.

"Aku akan menantang kau dan anak gadismu. Tapi dengan satu perjanjian yang adil," kata Raden Banyu Samodra menawarkan.

Ki Amus berpaling sedikit ke belakang, memandang Layung Sari. Sedangkan gadis itu hanya diam saja. Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju lurus ke bola mata Raden Samodra. Perlahan Ki Amus kembali memalingkan wajahnya, dan menatap pemuda tampan yang berada sekitar enam langkah lagi di depannya.

"Katakan, apa perjanjianmu?" dengus Ki Amus tegas.

"Kau dan anak gadismu boleh bertarung melawanku bersamaan. Tapi kalau kalian kalah, desa ini ada di bawah kekuasaanku. Dan kalau aku kalah, desa ini aman dari gangguan siapa pun juga. Aku akan menjaga desa ini, walaupun tidak tinggal di sini. Bagaimana...?"

Ki Amus tidak langsung menjawab. Kembali dipandangnya Layung Sari. Dan pandangannya beralih pada deretan orang tua yang ada di belakang gadis itu. Tatapan matanya terpaku pada Paman Ardaga beberapa saat lamanya. Permintaan Raden Banyu Samodra yang diucapkan lantang, terdengar jelas sekali oleh semua orang yang ada di sekitar halaman rumah kepala desa itu.

Cukup lama juga Ki Amus mempertimbangkan permintaan perjanjian Raden Banyu Samodra. Dan tampaknya, semua orang menyerahkan segala keputusan padanya. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Tapi dari sorot mata, mereka mengharapkan Ki Amus dapat mengalahkan pemuda congkak itu. Walaupun, tanpa dibantu anak gadisnya yang memang memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Malah, tak ada seorang pun pemuda di desa ini yang berani mendekatinya.

"Bagaimana, Ki Amus...?" Tanya Raden Banyu Samodra tidak sabar lagi menunggu.

"Baik! Tantanganmu kuterima," sahut Ki Amus tegas.

"Ha ha ha...!" Raden Banyu Samodra tertawa terbahak-bahak.

Semua orang yang memadati halaman depan rumah kepala desa itu segera menyingkir menjauh. Sedangkan Layung Sari sudah berada sekitar lima langkah di sebelah kanan ayahnya. Sementara, Raden Banyu Samodra menyunggingkan senyuman yang sangat manis. Tapi di dalam pandangan semua orang, senyuman itu merupakan seringai iblis yang akan menghancurkan desa di Pesisir Pantai Utara ini.

"Bersiaplah, Ki," ujar Raden Banyu Samodra kalem.

"Hm...," Ki Amus hanya menggumam kecil.

"Kau boleh menyerang lebih dulu, Cah Ayu," kata Raden Banyu Samodra sambil menatap Layung Sari.

"Phuih!" Layung Sari menyemburkan ludahnya sengit. Kaki gadis itu langsung bergerak mantap, menyusuri tanah berpasir putih. Tatapan matanya begitu tajam tanpa berkedip sedikit pun, bagai hendak melahap bulat-bulat seluruh tubuh pemuda tampan dan congkak itu. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangkanya yang tergantung di pinggang.

"Hiyaaat..!" Bet!

Sambil berteriak nyaring, Layung Sari melompat begitu cepat sambil membabatkan pedangnya yang diarahkan langsung ke leher Raden Banyu Samodra. Semua orang yang melihat, seketika itu juga menahan nafasnya. Terlebih lagi, Raden Banyu Samodra seperti tidak berusaha menghindari sabetan pedang yang berkilatan tajam itu.

"Hhh!" Tapi begitu mata pedang yang berkilat hampir saja memenggal batang lehernya, mendadak saja Raden Banyu Samodra menarik kepalanya ke belakang dengan gerakan manis sekali. Dan begitu ujung pedang Layung Sari lewat didepan tenggorokan, cepat sekali kedua telapak tangannya diayunkan. Hingga...

Tap! "Heh...?!"

Layung Sari jadi terkejut setengah mati, begitu ujung mata pedangnya terjepit di antara kedua telapak tangan Raden Banyu Samodra. Cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk menarik pedangnya dari jepitan kedua telapak tangan itu. Tapi sungguh sulit dipercaya, ternyata pedangnya sedikit pun tidak bergeming dari jepitan kedua telapak tangan pemuda itu.

"Yeaaah...?!" Namun pada saat itu, Ki Amus sudah melompat cepat sekali sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Pukulannya langsung diarahkan ke kepala Raden Banyu Samodra.

"Utfs!" Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Raden Banyu Samodra bisa menghindari serangan laki-laki tua kepala desa itu. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya yang menjepit pedang dihentakkan ke samping, tepat terarah pada Ki Amus. Dan tindakan itu tentu saja membuat Ki Amus jadi terbeliak. Terlebih lagi Layung Sari.

"Haiiit..!"

Cepat-cepat Ki Amus melenting ke udara, menghindari terjangan pedang Layung Sari yang sudah tidak terkendali lagi setelah dihentakkan Raden Banyu Samodra. Dan saat itu juga, Layung Sari mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Cepat pedangnya dikebutkan ke bawah, hingga lewat di bawah telapak kaki Ki Amus.

"Hup!"

Layung Sari bergegas melompat ke belakang beberapa tindak jauhnya. Sementara, Ki Amus berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berpasir putih. Sedangkan Raden Banyu Samodra tampak berdiri tegak dengan kedua tangan tepat didepan dada. Bibirnya terus menyunggingkan senyum.

"Kau serang dia dari bawah, Layung," kata Ki Amus agak berbisik perlahan. Layung Sari cepat mengangguk. Dan....

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak nyaring, Layung Sari kembali melompat menghampiri Raden Banyu Samodra. Dan begitu kakinya menjejak tanah berpasir putih, bagaikan kilat pedangnya dikebutkan ke arah kaki pemuda itu.

"Hup!"

Raden Banyu Samodra cepat-cepat melompat menghindari sabetan pedang yang mengarah ke kakinya. Tapi begitu berada di udara, Ki Amus sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada.

"Hap!"

Sungguh di luar dugaan sama sekali, ternyata Raden Banyu Samodra tidak berusaha menghindari sedikit pun juga. Bahkan memapak pukulan kepala desa itu dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan. Hingga tak pelak lagi, dua tangan berkekuatan tenaga dalam tinggi beradu.

Plak!
"Akh...!"

"Ayah...!" jerit Layung Sari terperanjat.

Cepat-cepat gadis itu menghambur, begitu melihat ayahnya terpental ke belakang dan jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Seketika dari mulut orang tua itu keluar darah kental berwarna agak kehitaman. Ki Amus berusaha bangkit berdiri, tapi saat itu juga seluruh tubuhnya terasa jadi lemas seperti tidak memiliki tulang-tulang lagi. Seluruh tenaganya seketika itu juga seperti lenyap.

"Ayah...." Layung Sari berusaha membantu ayahnya berdiri.

Tapi, Ki Amus memang tidak sanggup lagi berdiri. Sedangkan darah semakin banyak saja keluar dari mulutnya. Hal ini tentu saja membuat Layung Sari jadi kalang kabut. Seketika mulutnya mendesis geram begitu sorot matanya tertumbuk pada Raden Banyu Samodra yang tengah tertawa terkekeh, setelah berhasil menjatuhkan satu orang lawan.

"Setan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"

Layung Sari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Seperti seekor singa betina yang kehilangan anaknya, langsung diserangnya pemuda tampan yang baru sekali ini datang ke desa nelayan itu. Bagaikan kilat, Layung Sari mengebutkan pedangnya beberapa kali, bagai hendak merancah tubuh lawan.

"Haiiit...!"

Tapi dengan gerakan-gerakan indah dan ringan sekali, Raden Banyu Samodra berhasil menghindarinya. Dan tampaknya, dia seperti sengaja mempermainkan, sehingga membuat Layung Sari semakin dihinggapi perasaan marah. Semua serangannya satu pun tidak ada yang berhasil mengenai sasaran.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Layung Sari semakin memperhebat serangan-serangannya. Semua kebutan pedangnya mengandung penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi. Hingga setiap berkelebat, selalu menimbulkan desiran angin yang dapat membuat hati siapa saja yang mendengarnya langsung ciut.

"Mampus kau! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Layung Sari melompat ke atas. Pedangnya langsung dibabatkan ke arah kepala Raden Banyu Samodra dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Hap!"

Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata Raden Banyu Samodra bukannya berusaha berkelit menghindar. Bahkan malah ikut melompat dan tiba-tiba sekali tangan kirinya mengibas cepat. Tahu-tahu, kini ujung pedang Layung Sari sudah terjepit di antara dua jemari tangan pemuda itu.

"Ikh...!"

Layung Sari cepat berusaha mencabut pedangnya dari jepitan dua jemari tangan itu, tapi sedikit pun tidak bergeming. Apalagi terlepas. Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras yang begitu cepat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepat pukulannya, sehingga Layung Sari tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terlebih lagi, seluruh perhatiannya tengah tertumpah pada pedangnya yang terjepit di antara dua jari tangan pemuda itu. Hingga tak pelak lagi, pukulan Raden Banyu Samodra tepat menghantam dadanya.

Des!
"Akh...!"

Layung Sari terpekik agak tertahan. Seketika, tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan pedangnya tidak dapat lagi dipertahankan, hingga terlepas dari genggaman. Gadis itu juga kontan jatuh terjerembab cukup keras. Dan pada saat hendak bangkit berdiri, tahu-tahu Raden Banyu Samodra sudah berdiri dekat. Seketika ujung pedang di tangannya ditempelkan tepat di tenggorokan Layung Sari.

"Kau kalah, Manis," ujar Raden Banyu Samodra sambil tersenyum menyeringai lebar.

"Phuih!"

Layung Sari menyemburkan ludahnya.

"He he he...!"

EMPAT

Sambil tertawa terbahak-bahak, Raden Banyu Samodra menghampiri rumah Ki Amus. Dan dengan angkuh sekali dia memasuki beranda, lalu berdiri tegak sambil berkacak pinggang di pinggiran beranda depan rumah kepala desa itu. Sementara, Layung Sari, Paman Ardaga, dan beberapa orang tua membantu berdiri Ki Amus. Kepala desa itu masih menderita kelumpuhan, akibat beradu tenaga dalam dengan Raden Banyu Samodra tadi.

"Dengar kalian semua...! Mulai saat ini, aku yang berkuasa di sini. Kalian harus patuh pada perintahku. Siapa saja berani membangkang, tidak segan-segan kepala kalian kujadikan hiasan tiang-riang perahu!" lantang sekali suara Raden Banyu Samodra.

Tak ada seorang pun yang membuka suara, meskipun di dalam hati mengutuki pemuda itu. Semua penduduk di desa nelayan itu sudah melihat kedigdayaannya. Dan tak ada seorang pun yang berani menantang. Ki Amus saja yang diketahui memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi, bisa dibuat lumpuh seketika.

"Ha ha ha...!" Sambil tertawa terbahak-bahak, pemuda berpakaian sutra halus yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu melangkah masuk ke dalam rumah Ki Amus. Dia memang bermaksud menjadikan rumah kepala desa itu sebagai istananya. Dan memang, hanya rumah Ki Amus saja yang paling bagus di desa nelayan Pesisir Pantai Utara.

"Ayo, Ki. Sebaiknya tinggal di rumahku saja dulu," kata Paman Ardaga sambil memapah Ki Amus.

"Terima kasih," ucap Ki Amus pelan.

Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ki Amus, Kecuali menurut saja saat dipapah Paman Ardaga dan Layung Sari. Sementara, semua orang hanya dapat memandangi dengan wajah lesu. Mereka baru meninggalkan halaman depan rumah kepala desanya setelah Ki Amus tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumah Paman Ardaga bersama putrinya.

********************

Sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa nelayan di Pesisir Pantai Utara, keadaannya bagaikan berada dalam lingkaran api neraka. Keinginannya macam-macam saja dan tidak bisa dibantah lagi. Beberapa pemuda desa yang mencoba menentang, kepalanya benar-benar menjadi hiasan tiang perahu. Bahkan tidak sedikit gadis yang diambil paksa dari tangan orang tuanya.

Bahkan setiap gadis yang sudah jatuh ke tangannya, tak akan ada yang bisa melihat lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana nasib gadis-gadis itu. Hari demi hari berlalu. Keadaan di desa itu semakin gersang oleh ulah Raden Banyu Samodra. Dia benar-benar menancapkan kuku kekuasaannya begitu dalam. Hingga, tak ada seorang pun yang berani menentangnya.

Tapi anehnya, sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa itu, Naga Laut berwarna hijau yang memancarkan cahaya tidak pernah kelihatan lagi. Bahkan desa itu tidak pernah lagi dilanda badai.

"Kita harus segera bertindak, Ki," kata Paman Ardaga dengan nada suara terdengar geram.

"Dengan cara apa...?" tanya Ki Amus lesu. "Sedangkan aku sudah tidak punya daya lagi. Jangankan untuk menantang, mengangkat tanganku saja sudah tidak mampu lagi."

"Tapi, Ki. Kalau didiamkan terus begini, desa kita ini bisa hancur," desah Paman Ardaga.

"Desa ini memang sudah hancur. Bahkan sudah musnah," selak Layung Sari sambil menyuapi ayahnya.

"Aku tidak akan tinggal diam begitu saja, Ki," kata Paman Ardaga lagi.

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Amus.

Paman Ardaga tidak segera menjawab. Tapi memang, dia tidak mempunyai satu cara pun untuk mengusir Raden Banyu Samodra. Sedangkan ilmu olah kanuragan saja hanya sedikit dimilikinya. Jadi tidak mungkin dia bisa menantang Raden Banyu Samodra yang semakin menggila saja tingkahnya.

"Ki! Bukankah kau pernah mengatakan kalau kedatangan si iblis keparat itu karena mencari seseorang...," kata Paman Ardaga, setelah cukup lama berdiam diri termenung.

"Benar. Dia sendiri yang mengatakannya padaku," sahut Ki Amus.

"Siapa orangnya yang sedang dicari, Ki?" Tanya Paman Ardaga ingin tahu.

"Untuk apa kau tanyakan itu, Ardaga?" Ki Amus malah batik bertanya.

"Mungkin kalau kita bisa bertemu orang yang dicarinya lebih dahulu, desa ini bisa dikembalikan seperti semula, Ki," kata Paman Ardaga agak ragu-ragu nada suaranya terdengar.

"Hm.... Kau yakin itu?" Tanya Ki Amus juga ragu-ragu.

"Itu hanya kemungkinan saja, Ki," sahut Paman Ardaga.

Ki Amus terdiam. Matanya melirik sedikit pada Layung Sari yang masih tetap duduk di sampingnya. Sedangkan gadis itu malah memandangi, seakan-akan sedang membaca jalan pikiran laki-laki setengah baya yang menampung mereka di rumahnya ini, sejak Raden Banyu Samodra menjadikan rumah mereka untuk tempat tinggalnya.

Saat itu, dari dalam sebuah kamar muncul seorang gadis cantik yang mengenakan baju dari bahan sederhana. Kepalanya mengangguk sedikit pada Ki Amus. Lalu, dengan cekatan sekali dibenahinya bekas makan yang berserakan di atas meja. Layung Sari bergegas turun dari balai bambu, dan mem-bantu gadis itu membenahi bekas makan mereka semua.

"Mari kubantu kau mencuci ini semua, Andari," kata Layung Sari.

"Ah, jangan. Biar aku saja yang mengerjakannya," tolak Andari halus.

"Sudah beberapa hari aku dan ayahku menumpang di sini. Sudah selayaknya kalau ikut mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan di sini," kata Layung Sari memaksa.

Andari melirik sedikit ayahnya. Sedangkan Paman Ardaga hanya tersenyum saja. Maka Andari tidak bisa menolak lagi. Kedua gadis itu sebentar saja sudah menghilang di bagian belakang rumah sederhana yang hanya terbuat dari balik anyaman bambu ini. Sementara, Ki Amus dan Paman Ardaga masih tetap duduk di balai bambu, di ruangan depan. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tidak ada yang membuka suara. Sampai Andari dan Layung Sari muncul lagi, belum ada yang membuka suara sedikit pun. Kini kedua gadis itu duduk berdampingan di bangku panjang yang ada di bawah jendela.

"Kau lihat Ki. Tidak ada seorang pun yang pergi ke laut lagi. Padahal, dari sanalah sumber penghidupan semua orang di sini," kata Paman Ardaga baru membuka suara lagi. Ki Amus hanya diam saja. Kedua bola matanya kelihatan nanar, memandang ke arah laut dari jendela yang terbuka lebar. Angin laut yang berhembus lembut, membawa aroma yang sudah tidak asing lagi bagi hidung mereka. Dan di sana, terlihat perahu nelayan yang semuanya tertambat di pantai. Tak ada seorang pun yang kelihatan berada di tengah laut. Dan kejadian ini sudah berlangsung lebih dari dua pekan lamanya.

"Ki, kurasa tidak ada salahnya kalau salah satu dari kita berusaha bertemu lebih dahulu dengan orang yang dicari si iblis keparat itu," kata Paman Ardaga lagi.

"Inilah yang menjadi persoalannya, Ardaga," kata Ki Amus agak mendesah perlahan.

"Maksudmu, Ki...?" Paman Ardaga meminta penjelasan.

"Orang yang dicari adalah Raja Karang Setra," sahut Ki Amus pelan.

"Maksudmu..., Gusti Prabu Rangga Pati Permadi...?"

Jelas sekali, kalau dari nada suaranya Paman Ardaga terkejut mendengar maksud kedatangan Raden Banyu Samodra sebenarnya yang hanya untuk mencari Raja Karang Setra. Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk Kerajaan Karang Setra. Dan semua orang sudah tahu, Raja Karang Setra juga seorang pendekar digdaya yang lebih banyak mengembara daripada di istananya.

Jelas sangat sulit untuk bertemu Raja Karang Setra. Dan rupanya, hal ini yang menjadikan beban pikiran Ki Amus sampai saat sekarang. Paman Ardaga sendiri jadi terdiam termenung begitu mendengar penjelasan Ki Amus, tentang tujuan Raden Banyu Samodra.

"Tapi, Ayah.... Untuk apa dia mencari Gusti Prabu Rangga?" Tanya Layung Sari menyelak, di saat semua terdiam membisu.

Ki Amus tidak langsung menjawab, karena memang tidak tahu tujuan Raden Banyu Samodra mencari Raja Karang Setra. Tapi, Raden Banyu Samodra memang pernah berkata kalau Raja Karang Setra yang juga dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan datang ke desa ini. Tapi entah kapan, tak ada seorang pun yang bisa memastikannya.

Sedangkan saat ini, hampir semua orang di Karang Setra tahu kalau Rangga sedang mengembara bersama Pandan Wangi. Dan seorang pun tak ada yang tahu, di mana mereka berada. Apakah benar Rangga akan datang ke desa nelayan ini, seperti yang dikatakan Raden Banyu Samodra...?

********************

Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Utara. Angin berhembus cukup kencang, membuat udara terasa sangat dingin. Namun, langit kelihatan cerah dihiasi cahaya bulan yang penuh, serta gemerlapnya bintang-bintang. Namun semua keindahan itu hanya bisa dinikmati sendu oleh seorang gadis cantik yang duduk mencangkung di depan rumah Paman Ardaga.

Gadis berwajah cantik yang mengenakan baju merah cukup ketat itu memukul-mukulkan pedang yang masih tersimpan di dalam warangka, ke tanah berpasir putih. Entah, sudah berapa lama dia duduk mencangkung di atas dahan pohon yang sudah roboh itu. Dan pandangannya lurus tanpa berkedip sedikit pun, ke tengah laut yang meriak bergelombang kecil, mempermainkan perahu-perahu nelayan yang sudah beberapa hari tidak pernah melaut lagi.

"Hhh...!" Terdengar tarikan nafasnya yang panjang dan terasa berat. Sedikit tubuhnya menggeliat, dan memasang kembali tali pedangnya ke pinggang. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kepalanya sedikit berpaling ke pintu rumah yang sedikit terbuka. Tak terlihat seorang pun di dalam rumah itu. Mungkin semua penghuninya sudah tertidur lelap. Dan memang, malam sudah begitu larut. Hanya debur ombak saja yang memecah kesunyian malam ini. Perlahan kakinya terayun hendak masuk ke dalam rumah itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja...

Clraaak! "Heh...?!"

Gadis cantik yang tak lain Layung Sari, jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba membersit cahaya kilat di angkasa. Padahal, malam ini langit kelihatan begitu cerah. Dan begitu kepalanya menengadah, tiba-tiba saja datang awan hitam bergulung-gulung, seakan-akan datang dari tengah laut Dan sebentar saja, seluruh Pesisir Pantai Utara sudah terselimut awan hitam yang begitu tebal. Saat itu, hembusan angin pun semakin terasa kencang, memperdengarkan suara menggemuruh menggetarkan jantung.

Crasss!

Kembali kilat membersit bagai hendak membelah angkasa. Ujung kilat itu tempat menyambar ke permukaan laut yang kini bergelombang sangat besar. Dan pada saat itu....

"Oh...?!" Kedua bola mata Layung Sari jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya sampai ternganga begitu melihat di tengah laut ada seekor ular raksasa yang memancarkan cahaya hijau terang, bergerak-gerak menggeliat menuju tepi pantai. Begitu cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu sebentar saja binatang yang selama ini selalu disebut Naga Laut sudah sampai di tepi pantai. Dan pada saat itu, terlihat seseorang berlari-lari kecil sambil memanggul sesuatu di pundaknya.

"Raden Banyu Samodra...," desis Layung Sari agak tercekat suaranya di tenggorokan.

Jelas sekali terlihat kalau orang yang berlari-lari kecil menghampiri Naga Laut itu Raden Banyu Samodra. Tapi Layung Sari jadi terkesiap, begitu tahu kalau benda yang dipanggul adalah seorang gadis yang seluruh tubuhnya terbungkus kain putih. Hanya bagian kepalanya saja yang terlihat Rambutnya yang panjang bergerai tampak menjuntai ke bawah.

"Hup...!" Layung Sari cepat melompat. Dia kemudian berlindung di balik sebatang pohon yang cukup besar, begitu Raden Banyu sudah dekat di depan Naga Laut yang memancarkan cahaya hijau. Tampak Raden Banyu Samodra menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu memutar tubuhnya untuk menyelidiki sekitarnya. Seakan-akan dia takut ada orang lain yang melihatnya. Kemudian pemuda itu menurunkan beban yang ada di pundaknya, tepat didepan Naga Laut.

Semua itu terlihat jelas sekali dari tempat persembunyian Layung Sari. Pemuda yang kini menguasai desa ini dengan cara kejam, tampak membungkukkan tubuhnya dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Rupanya, dia memberi hormat pada Naga Laut.

"Gila...! Apa yang dilakukannya...?" Desis Layung Sari hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

Sedikit pun gadis itu tidak mengerdipkan matanya dan terus memperhatikan semua yang dilakukan Raden Banyu Samodra. Begitu inginnya untuk mengetahui lebih jelas lagi, Layung Sari pelan-pelan segera menggeser kakinya lebih mendekat. Tapi, dia terus berusaha berlindung dan tidak ingin diketahui kehadirannya. Gadis itu baru berhenti menggeser kakinya, setelah jaraknya terasa sudah cukup dekat dengan Raden Banyu Samodra.

"Edan...!" desis Layung Sari dalam hati. Apa yang disaksikannya, saat ini benar-benar sukar bisa dipercaya. Bahkan perutnya terasa jadi mual hendak muntah. Ternyata, Raden Banyu Samodra tengah mempersembahkan seorang gadis yang dirampasnya dari tangan orang tuanya untuk Naga Laut. Dan dengan buas sekali, Naga Laut mengoyak tubuh gadis malang itu hingga tidak tersisa sedikit pun juga.

Setelah puas melahap gadis muda itu, Naga Laut kembali masuk ke dalam laut. Tepat di saat ular naga raksasa bercahaya hijau terang itu lenyap ke dalam laut langit yang diselimuti awan tebal pun kembali cerah. Bahkan angin pun tidak lagi berhembus menggila. Perubahan ini terjadi begitu cepat bersamaan dengan menghilangnya Naga Laut.

Sementara Layung Sari terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya, Raden Banyu Samodra kembali ke rumah kepala desa yang kini menjadi tempat tinggalnya. Sama sekali tidak di sadarinya kalau semua yang dilakukan mendapat perhatian dari seorang gadis cantik, putri kepala desa nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

"Gila...! Ini tidak bisa didiamkan terus. Bisa habis semua gadis-gadis desa ini, kalau setiap malam harus dipersembahkan pada Naga Laut," desis Layung Sari dalam hati. "Hhh! Apa yang harus kulakukan...?"

Memang sulit menghentikan sepak terjang Raden Banyu Samodra. Terlebih lagi, pemuda yang kini menguasai seluruh desa di Pesisir Pantai Utara memiliki kepandaian yang sulit dicari tandingannya.

"Aku harus bicarakan semua ini pada Paman Ardaga. Hanya dia saja yang bisa diajak bicara sekarang ini," ujar Layung Sari dalam hati lagi.

Mendapat pikiran begitu, bergegas gadis itu melesat kembali ke rumah Paman Ardaga. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah cukup tinggi. Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah sampai di rumah Paman Ardaga yang selama ini juga menjadi tempat tinggalnya bersama ayahnya.

Hampir saja Layung Sari bertabrakan dengan Paman Ardaga saat akan masuk ke pintu. Cepat-cepat gadis itu melompat ke belakang. Sementara, Paman Ardaga juga langsung terlompat ke belakang, dan masuk lagi ke dalam rumah. Tapi, sebentar kemudian mereka sudah bertemu lagi didepan pintu.

"Layung...," desah Paman Ardaga sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Paman.... Bikin aku terkejut saja," desah Layung Sari sambil menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa terburu-buru?" Tanya Paman Ardaga sambil duduk di balai bambu yang ada di beranda depan rumahnya.

Layung Sari tidak langsung menjawab. Lalu, diambilnya tempat tidak jauh dari laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu. Sedangkan Paman Ardaga sudah asyik melinting tembakau, dan di sulutkan ke ujung api pelita yang tergantung di tiang beranda. Harum sekali bau tembakau, sehingga membuat Layung Sari seakan-akan sulit mengatakan semua yang telah disaksikannya di tepi pantai tadi.

"Ada yang ingin kau katakan, Layung?" Tanya Paman Ardaga sambil membuang lintingan tembakaunya yang sudah hampir habis terhisap.

"Hhh...," Layung Sari malah menghembuskan napas panjang.

Paman Ardaga memandangi dengan kening berkerut dan mata menyipit. Bisa diduga kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu, tapi kelihatannya begitu berat Sedikit duduknya bergeser lebih mendekat. Sedangkan Layung Sari mengarahkan pandangan lurus ke arah laut yang menggelombang kecil menghantam pantai. Begitu indah permukaan laut malam ini, dihiasi pantulan cahaya bulan dan bintang yang bagai bertaburkan ribuan batu-batu mutiara gemeriapan.

"Paman, ada yang ingin kuceritakan. Tapi...," ucapan Layung Sari terputus.

"Katakan saja, Layung," pinta Paman Ardaga lembut.

"Aku..., aku baru saja melihat Naga Laut," terdengar pelan sekali suara Layung Sari.

"Kau..., melihat...?!" Paman Ardaga tidak bias melanjutkan.

Suara laki-laki setengah baya itu seperti tertahan di tenggorokan. Hanya bisa dipandanginya saja wajah cantik Layung Sari. Sedangkan yang dipandangi malah mengarahkan pandangannya ke tengah laut. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tak ada yang membuka suara lagi. Perlahan Layung Sari menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin mencari kekuatan untuk mengatakan semua yang telah disaksikannya tadi.

"Ceritakan, apa saja yang sudah kau lihat, Layung," pinta Paman Ardaga setelah cukup lama terdiam membisu karena terkejut.

Dengan suara pelan, Layung Sari kemudian menceritakan semua yang disaksikannya di tepi pantai tadi. Sedangkan Paman Ardaga mendengarkannya penuh perhatian. Sedikit pun cerita gadis itu tidak diselaknya. Seakan-akan, semua kata-kata yang meluncur bagai air sungai dari bibir yang merah menawan itu ditelan bulat-bulat.

Paman Ardaga masih tetap terdiam, walaupun Layung Sari sudah menyelesaikan ceritanya. Dihembuskannya napas panjang, sambil mengalihkan pandangan ke tengah laut saat Layung Sari berpaling menatapnya. Beberapa saat mereka masih tetap terdiam, Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing saat ini.

"Paman..., apa yang harus kita lakukan sekarang...?" Tanya Layung Sari pelan, seperti bertanya untuk diri sendiri.

"Bagaimanapun juga, hal ini harus dilaporkan ke Istana Karang Setra. Ada atau tidak Gusti Prabu Rangga di istana, kita harus segera melaporkannya," sahut Paman Ardaga terdengar tegas sekali nada suaranya.

"Tapi, Paman.... Kelihatannya ayah tidak setuju."

"Salah satu dari kita harus pergi ke kotaraja. Ini harus, dan tidak bisa didiamkan terus-menerus. Bisa-bisa, kau atau anakku yang menjadi korbannya nanti," kata Paman Ardaga terdengar tegas nada suaranya.

"Kalau begitu, biar aku saja yang pergi, Paman," pinta Layung Sari mantap.

"Perjalanan dari sini ke kotaraja sangat jauh, Layung. Bisa tiga hari tiga malam dengan berkuda."

"Aku bisa menunggang kuda dengan baik, Paman."

"Hanya seorang diri?"

"Andari bisa menemaniku."

Paman Ardaga terdiam. Dia tahu, anak gadisnya sangat mahir menunggang kuda. Tapi Andari tidak menguasai ilmu olah kanuragan sedikit pun juga. Dan inilah yang membuatnya jadi harus berpikir dua kali untuk mengizinkan Andari pergi ke Kotaraja Karang Setra. Walaupun, kepergiannya bersama Layung Sari yang sudah tidak diragukan lagi kepandaian ilmu olah kanuragannya. Tapi kehidupan di dunia luar tidak bisa mudah diramalkan.

Terlalu banyak tokoh persilatan dari berbagai macam golongan yang berkeliaran. Dan sudah pasti, tidak sedikit rintangan yang akan dihadapi. Sedangkan perjalanan ke Kotaraja Karang Setra sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari tiga malam perjalanan berkuda. Itu bukan waktu yang sedikit

"Bagaimana, Paman...?" desak Layung Sari.

"Biar ku putuskan besok," sahut Paman Ardaga.

Layung Sari tidak bisa memaksa, dan bisa mengerti keberatan Paman Ardaga untuk membawa Andari pergi dari desa ini. Walaupun, kepergiannya untuk menyelamatkan desa nelayan ini dari kehancuran dan cengkeraman kebiadaban Raden Banyu Samodra.

********************

LIMA

Tepat seperti perhitungan Paman Ardaga, setelah menempuh perjalanan panjang selama tiga hari tiga malam, Layung Sari dan Andari baru tiba di Istana Kerajaan Karang Setra, Kedua gadis dari desa nelayan di Pesisir Pantai Utara itu langsung diterima Danupaksi. Kemudian Layung Sari menceritakan semua peristiwa yang terjadi di desanya, setelah diterima orang kedua Karang Setra.

Setelah mendengar semua cerita tentang keadaan yang terjadi di desa nelayan itu, Danupaksi segera menyampaikannya pada Rangga. Dan saat ini, Rangga memang kebetulan berada di istana, dan sedang bercengkerama bersama Pandan Wangi dan Cempaka di taman keputren belakang istana. Pendekar Rajawali Sakti yang mendapat laporan dari adik tirinya, bergegas menemui Layung Sari dan Andari di ruangan Bangsal Pendopo Agung. Cempaka dan Pandan Wangi tidak ketinggalan mendampinginya.

"Semua yang kalian ceritakan sudah kudengar dari Danupaksi. Hm..., sudah berapa lama berlangsung?" Rangga yang juga Raja Karang Setra langsung membuka suara, begitu duduk di singgasana.

"Lebih dari satu purnama, Gusti Prabu," sahut Layung Sari dengan sikap begitu hormat.

"Satu Purnama...? Kenapa baru datang ke sini?" Tanya Rangga agak terkejut.

"Ampun, Gusti. Kesempatan untuk meninggalkan desa yang tidak ada. Dan lagi, kami khawatir Gusti tidak berada di istana," sahut Layung Sari lagi.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti melirik Cempaka, Danupaksi, dan Pandan Wangi yang mendampinginya. Kemudian, pandangannya kembali tertuju pada Layung Sari dan Andari yang duduk bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu tebal dan halus lembut. Raja Karang Setra yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini bangkit dari singgasananya sambil menghembuskan napas panjang. Dengan ayunan kaki mantap, dihampirinya kedua gadis dari desa nelayan di Pesisir Pantai Utara itu.

"Bangunlah," pinta Rangga lembut.

"Ampun, Gusti Rangga," ucap Layung Sari sambil memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Andari juga mengikuti dengan sikap sama. Setelah Rangga meminta untuk kedua kali, baru kedua gadis itu bangkit berdiri. Sikap mereka begitu hormat. Dan mereka memberi sembah sekali lagi, setelah berdiri dengan tubuh agak membungkuk.

"Cempaka, antarkan mereka ke tempat peristirahatannya," pinta Rangga.

"Baik, Kakang Prabu," sahut Cempaka sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

Cempaka langsung mengajak kedua gadis itu meninggalkan Bangsal Pendopo Agung. Sementara, Rangga masih berdiri mematung memandangi gadis-gadis itu sampai lenyap di balik dinding penyekat Sedangkan, Pandan Wangi dan Danupaksi sudah menghampiri, mengapit Pendekar Rajawali Sakti yang saat ini mengenakan pakaian kebesaran seorang raja.

"Kalian berdua tetap di sini," kata Rangga.

"Kakang akan pergi sendiri?" Tanya Pandan Wangi dengan nada suara menyesalkan keinginan Pendekar Rajawali Sakti yang akan pergi sendiri ke Pesisir Pantai Utara.

"Ya! Aku akan datang sendiri ke sana. Dia menginginkan aku sendiri yang datang ke sana," sahut Rangga mantap.

"Tapi...."

Rangga cepat-cepat menggoyangkan tangannya, sehingga memutuskan ucapan Pandan Wangi. Sedangkan Danupaksi hanya diam saja dengan kening agak berkerut. Entah, apa yang sedang dipikirkan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Sementara, Rangga sudah melangkah meninggalkan ruangan yang berukuran sangat besar dan megah ini.

Tinggallah Pandan Wangi dan Danupaksi yang masih berada di dalam ruangan. Mereka semua terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang terus melangkah tanpa menoleh lagi menuju bagian belakang istana. Dan pemuda itu lenyap setelah memasuki sebuah lorong yang cukup panjang.

"Bagaimana, Danupaksi...?" ujar Pandan Wangi meminta pendapat Danupaksi mengangkat bahunya sedikit.

Dia tahu bila Rangga sudah mengatakan ingin pergi sendiri, tidak mungkin bisa dibantah lagi. Dan tidak mungkin dia atau siapa pun juga membuntutinya. Hal ini juga sudah diketahui Pandan Wangi yang setiap saat selalu mendampingi Pendekar Rajawali Sakti dalam pengembaraannya, menjalankan tugas sebagai seorang pendekar.

"Aku akan pergi ke sana sendiri," kata Pandan Wangi.

"Jangan, Kak. Bisa celaka kalau tetap pergi diam-diam," cegah Danupaksi.

"Perasaanku tidak enak, Danupaksi."

"Tapi aku percaya, Kakang Rangga pasti bisa mengatasinya sendiri. Lagi pula, Raden Banyu Samodra menghendaki Kakang Rangga sendiri yang datang," kata Danupaksi tetap menghalangi keinginan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.

"Tapi...."

"Sudahlah, Kak. Untuk sekali ini, sebaiknya turuti saja," potong Danupaksi cepat. Pandan Wangi terdiam.

"Ayo, Kak. Sebaiknya temui kedua gadis itu. Barangkali saja ada yang lupa diceritakan," ajak Danupaksi.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mereka kemudian bergegas meninggalkan ruangan Bangsal Pendopo Agung, menuju tempat peristirahatan untuk tamu-tamu istana.

********************

"Khraaagkh...!"

"Agak rendah sedikit Rajawali...!" teriak Rangga agak keras suaranya, agar bisa mengalahkan deru angin yang membuat telinganya terasa sakit.

"Khraaagkh...!" Rajawali Putih Raksasa merendahkan terbangnya, sehingga Rangga bisa melihat jelas ke bawah. Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja memanggil burung raksasa tunggangannya agar lebih cepat sampai ke Pesisir Pantai Utara. Dan pakaiannya kini sudah kembali seperti biasa yang menjadi ciri utama di dalam dunia kependekaran. Sebuah baju rompi putih dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti bertengger di punggung.

"Khraaagkh...!"

"Jangan terlalu ribut Rajawali. Lihat..! Perkampungan itu sudah terlihat dari sini," kata Rangga sambil menunjuk ke sebuah perkampungan yang berdiri di Pesisir Pantai Utara.

Tampak jelas dari angkasa kalau keadaan perkampungan itu sangat sunyi, seakan tidak berpenghuni lagi. Dan keadaannya pun seperti baru saja dilanda badai yang sangat dahsyat. Rangga meminta Rajawali Putih lebih merendah lagi terbangnya, hingga tepat di atas desa nelayan yang sunyi. Rangga memperhatikan setiap sudut desa itu dengan tatapan mata tajam, tanpa berkedip sedikit pun juga.

"Turun di sebelah sana, Rajawali!" pinta Rangga sambil menunjuk sebuah hutan bakau di sebelah Selatan Pantai Utara.

"Khraaagkh...!" Cepat sekali Rajawali Putih meluruk ke arah hutan bakau yang ditunjuk Rangga. Dalam waktu sekejap saja, burung rajawali raksasa itu sudah mendarat di pinggir hutan bakau.

Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Sebentar pandangannya beredar berkeliling. Tak seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Bahkan binatang kecil pun tidak dijumpainya. Benar-benar sunyi suasana di Pesisir Pantai Utara ini. Hanya desiran angin dan debur ombak saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

"Rajawali, menyingkirlah. Tapi jangan terlalu jauh. Aku pasti akan membutuhkan mu lagi," kata Rangga sambil menepuk leher binatang raksasa tunggangannya.

"Khrrrk...!"

"Pergilah."

Hanya sekali mengepakkan sayapnya, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa. Binatang itu lenyap dari pandangan mata, begitu menembus awan yang berarak di langit.

Sebentar Rangga masih menengadahkan pandangannya keatas, kemudian menarik napas dalam-dalam. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuju perkampungan nelayan yang berada tidak begitu jauh dari tepian hutan bakau ini. Ayunan kakinya begitu tenang dan mantap. Pandangannya pun tertuju lurus ke depan.

Begitu menginjakkan kakinya, Rangga sudah merasakan kalau desa nelayan ini tidak ditinggalkan penduduknya. Tapi, tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan tak ada satu rumah pun yang membuka pintu atau jendelanya. Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan adanya napas kehidupan di tiap-tiap rumah yang dilewatinya.

"Hm. Sebaiknya aku langsung saja ke salah satu rumah desa ini. aku ingin tahu, apa cerita Layung Sari itu benar...," gumam Rangga dalam hati.

Rangga terus berjalan dengan ayunan kaki mantap. Dan dia baru berhenti melangkah setelah sampai didepan sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Keadaannya sangat sunyi. Bahkan sedikit pun tak terdengar suara dari dalamnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti meneliti keadaan rumah di depannya, tanpa menggunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dia tidak ingin getaran ajian itu bisa ditangkap orang yang bersembunyi di dalam rumah itu.

"Sunyi sekali.... Apakah memang tidak ada orang di dalam sana...?" gumam Rangga bicara sendiri.

Perlahan kepala Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang terlihat. Namun, tiba-tiba saja kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Tidak jauh dari rumah ini, tampak sebuah rumah berukuran kecil yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Tampak juga sebuah jendela di rumah itu terbuka, walaupun hanya sedikit. Sekilas, terlihat ada sepasang mata mengintai dari balik jendela.

"Hup...!" Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba saja melesat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri didepan jendela rumah yang sedikit terbuka itu.

"Kisanak yang di dalam, boleh aku bertanya sesuatu...?" ujar Rangga dengan suara dibuat sopan.

Tak ada jawaban sedikit pun juga dari dalam rumah itu. Tapi telinganya yang tajam, bisa mendengar adanya tarikan napas agak ditahan. Rangga bisa menebak, di dalam rumah ini ada dua orang laki-laki. Dan dia tahu, yang seorang sudah tua usianya. Sedangkan, yang seorang lagi masih berusia sekitar lima puluh tahun. Semua itu diketahuinya dari tarikan napas yang terdengar.

"Kisanak...!" panggil Rangga lagi setelah berpindah ke depan pintu. Tetap tak ada jawaban dari dalam. Tapi begitu Rangga hendak mengetuk pintu, mendadak saja....

"Hup...!" Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang, begitu meluncur sebuah benda panjang yang ternyata sebatang tombak saat pintu rumah itu tiba-tiba terbuka.

Tap!

Dengan satu gerakan tangan yang sangat cepat Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap tombak itu. Lalu, begitu ringan kakinya menjejak kembali di tanah. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah berpasir putih ini.

"Kisanak, kenapa kau menyerangku? Aku bukan musuhmu," kata Rangga, agak dikeraskan suaranya.

"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini...?" Terdengar suara lantang dari dalam rumah itu.

Sementara, Rangga menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Lalu ditancapkannya tombak yang tadi meluncur dari dalam rumah itu, dan ditinggalkan begitu saja di belakangnya. Sedangkan pintu rumah itu masih terbuka lebar, tapi memang sulit untuk bisa melihat jelas ke dalam. Keadaan di dalam rumah itu sangat gelap. Ayunan kaki Rangga baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan pintu rumah ini.

"Aku Rangga," Rangga memperkenalkan diri, tanpa merasa tersinggung sedikit pun juga atas sambutan yang tidak mengenakkan tadi.

"Apakah aku berbicara dengan Ki Amus...?"

Saat itu, terdengar tarikan napas yang panjang. Dan tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia setengah baya bertubuh tegap berotot, keluar dari dalam rumah dengan langkah tergopoh-gopoh. Langsung dijatuhkan dirinya untuk berlutut, seraya merapatkan kedua tangannya di depan hidung begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Oh! Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak tahu kalau yang datang Gusti Prabu sendiri," ujar laki-laki setengah baya yang tak lain Paman Ardaga.

"Bangunlah, Paman," pinta Rangga sambil menyentuh pundak Paman Ardaga.

Perlahan laki-laki setengah baya itu bangkit berdiri. Namun, tubuhnya masih sedikit membungkuk hormat Rangga tersenyum dan melangkah lebih mendekat.

"Silakan masuk, Gusti Prabu. Tapi keadaan rumah Hamba sangat tidak menyenangkan," ajak Paman Ardaga dengan sikap sangat hormat.

"Terima kasih, Paman," sahut Rangga sambil tersenyum.

Tanpa ada keraguan sedikit pun juga, Rangga melangkah masuk ke dalam rumah itu. Sementara, Paman Ardaga membuntuti dari belakang. Dengan sikap yang enak sekali, Pendekar Rajawali Sakti duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela yang tertutup rapat. Sementara, di depannya terdapat sebuah balai-balai dari bambu yang di atasnya terbaring sesosok tubuh laki-laki tua. Hanya bagian kepalanya saja yang bisa bergerak. Sedangkan seluruh tubuhnya tidak dapat digerakkan lagi.

"Ki Amus menderita kelumpuhan setelah bertarung melawan Iblis Raden Banyu Samodra," jelas Paman Ardaga, tanpa diminta lebih dahulu.

"Hm, sudah berapa lama?" Tanya Rangga seraya bangkit berdiri dan menghampiri laki-laki tua yang terbaring di atas balai-balai bambu yang memang Ki Amus, kepala desa nelayan di Pesisir Pan tai Utara ini.

"Sejak Raden Banyu Samodra datang ke desa ini, Gusti Prabu," sahut Paman Ardaga. Rangga mengangguk-anggukkan kepala.

Sebentar diperiksanya beberapa bagian tubuh Ki Amus. Kemudian nafasnya berhembus panjang, dan kembali duduk di kursinya tadi. Sementara, Paman Ardaga masih tetap berdiri di ujung balai-balai bambu dengan sikap agak membungkuk.

Walaupun saat ini Rangga berpakaian biasa, tapi sudah dikenal seluruh rakyatnya. Sehingga, tidak mungkin lagi bisa menyembunyikan keadaan dirinya. Semua rakyat di Kerajaan Karang Setra sudah tahu, raja mereka adalah seorang pendekar tangguh dan digdaya. Dan di dalam kalangan rimba persilatan, dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Gusti Prabu...."

"Jangan panggil aku seperti itu, Paman," potong Rangga cepat

"Tapi...."

"Aku lebih senang kalau dipanggil Rangga saja," kembali Rangga memotong, hingga Paman Ardaga tidak bisa melanjutkan bicaranya.

Sikap Rangga yang begitu, membuat Paman Ardaga jadi bertambah kaku. Sikapnya jadi serba salah. Memang, bagaimanapun pakaian yang dikenakan Pendekar Rajawali Sakti, tetap saja seorang raja. Jadi tidak mungkin bagi Paman Ardaga untuk memanggil nama rajanya.

"Kau bisa memanggilku apa saja, Paman. Asal jangan Gusti Prabu," pinta Rangga.

Paman Ardaga hanya bisa menganggukkan kepala saja. Namun begitu, tetap saja tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga hanya tersenyum. Dia tahu, Paman Ardaga kebingungan untuk memanggilnya nanti. Tapi hal seperti ini memang sudah seringkali ditemui, jika berada di dalam wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga yakin, Paman Ardaga nantinya pasti akan terbiasa.

"Paman, coba ceritakan semua yang telah terjadi di desa ini," pinta Rangga.

"Maksud, Gusti Pra.... Eh, Raden...?" Paman Ardaga jadi tergagap.

"Dua orang gadis dari desa ini datang ke istana. Dan kebetulan sekali, aku ada di sana. Aku langsung datang setelah mendengar ceritanya. Tapi, aku ingin Paman sendiri yang mengatakannya. Mungkin bisa lebih lengkap lagi," jelas Rangga.

"Oh, jadi Layung Sari dan Andari sudah sampai di sana...?" desah Paman Ardaga, merasa lega saat itu juga.

"Benar. Dan mereka kuminta tetap tinggal di sana, sampai keadaan di sini bisa teratasi," sahut Rangga menjelaskan lagi.

"Dewata Yang Agung...," desah Paman Ardaga bersyukur.

Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum. Tapi, kali ini senyumannya terasa hambar. Melihat sikap Paman Ardaga seperti itu, Rangga sudah bisa menduga kalau keadaan yang akan dihadapi tidak seperti bayangannya. Pasti akan lebih sulit lagi.

"Nah, Paman. Kau bisa menceritakannya dari awal sekarang," ujar Rangga lembut.

"Baik, Den," sahut Paman Ardaga, masih bersikap hormat sekali.

Tanpa diminta lagi, Paman Ardaga menceritakan semua yang telah terjadi dari awal hingga saat ini. Juga diceritakan kalau hampir setiap hari ada saja gadis yang hilang entah ke mana. Tapi, Layung Sari pernah melihat kalau Raden Banyu Samodra mempersembahkan gadis-gadis desa untuk menjadi santapan Naga Laut.

Hanya saja, Paman Ardaga belum bisa menarik kesimpulan lebih banyak lagi. Dan dia hanya bisa menceritakan apa adanya, seperti yang diketahui selama ini. Sedangkan Rangga mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun tidak menyelak, sampai Paman Ardaga selesai dengan ceritanya.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Tepat tengah malam, Rangga berada di depan rumah Ki Amus yang sekarang ditempati Raden Banyu Samodra. Paman Ardaga terus mendampingi Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi kelihatannya dia begitu gelisah sekali. Kedua bola matanya terus melirik ke kanan dan ke kiri. Seakan dia takut ada orang lain yang melihatnya berada di tempat ini bersama seorang pemuda yang sudah dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.

鈥淧aman disini saja," kata Rangga setengah berbisik.

"Raden akan ke mana?" Tanya Paman Ardaga juga berbisik pelan suaranya.

"Aku ingin melihat ke dalam," sahut Rangga.

"Hati-hati, Den," pesan Paman Ardaga.

Rangga tersenyum kecil, lalu menepuk pundak laki-laki setengah baya itu. Sebentar masih diamatinya keadaan rumah kepala desa itu. Kemudian dengan kecepatan kilat, tubuhnya melesat naik ke atas atap. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas atap rumah itu.

Sementara, Paman Ardaga bergegas mencari tempat untuk berlindung untuk menyembunyikan diri. Hatinya baru merasa aman setelah berada di balik sebatang pohon yang cukup besar, hingga melindungi dirinya dari bayang-bayang cahaya rembulan.

Sementara, Rangga terus bergerak ringan sekali di atas atap bangunan rumah. Dan dengan gerakan yang ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun ke bagian belakang. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, manis sekali kakinya menjejak ke tanah berpasir. Sebentar, diamatinya keadaan sekitarnya.

"Hm. Pintu ini tidak terkunci," gumam Rangga dalam hati. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendorong pintu belakang yang memang tidak terkunci. Tapi baru saja daun pintu itu terdorong sedikit, mendadak saja Rangga merasakan adanya hempasan angin yang begitu kuat dari balik daun pintu.

"Hup!" Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang. Tepat pada saat kakinya menjejak tanah, daun pintu itu hancur berkeping-keping. Dan pada saat yang bersamaan, dari dalam meluncur deras puluhan benda kecil berbentuk mata tombak ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!" Manis sekali Rangga melenting, dan berputaran di udara menghindari benda-benda kecil berbentuk mata tombak yang meluruk deras mengancam nyawa. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru bisa menjejakkan kakinya kembali di tanah, setelah tidak ada lagi benda-benda berbahaya yang mengancam jiwanya.

"Hm...," gumam Rangga perlahan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menunggu, tapi tidak juga ada sambutan lagi yang datang. Perlahan kakinya terayun melangkah mendekati pintu yang kini sudah hancur berkeping-keping. Tak terlihat ada gerakan sedikit pun di dalam rumah ini. Segera dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi, sama sekali tidak terdengar menyusup ke dalam telinganya.

Rumah ini benar-benar bagaikan tidak berpenghuni lagi, dan seakan-akan tidak ada seorang pun di dalamnya. Tapi, sambutan dari benda-benda kecil berbentuk mata tombak itu membuat Rangga harus bersikap lebih waspada lagi. Diyakininya kalau ada orang di dalam rumah ini, meskipun dengan penge-rahan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', sedikit pun tidak terdengar suara yang menandakan adanya kehidupan.

"Raden Banyu Samodra, keluarlah...! Aku Rangga. Bukankah kau sedang menantikan kedatanganku...?" Terdengar lantang sekali suara Rangga.

Namun, sedikit pun tidak terdengar jawaban dari dalam. Keadaannya masih tetap sunyi. Perlahan Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Pandangan matanya tetap tajam, tertuju langsung ke pintu yang sudah hancur berkeping-keping. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak membuka mulutnya kembali, mendadak saja dari dalam rumah melesat sebuah bayangan begitu cepat bagai kilat.

"Hup...!" Rangga cepat-cepat melenting ke samping, menghindari terjangan bayangan yang meluncur secepat kilat dari dalam rumah. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak di tanah berpasir. Saat itu, didepan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, namun memiliki sorot mata yang begitu tajam. Dialah pemuda asing yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra

"Kau yang bernama Raden Banyu Samodra?" Tanya Rangga, langsung saja.

"Kau sendiri, apakah kau Rangga, Raja Karang Setra, dan juga bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" Raden Banyu Samodra malah balik bertanya.

"Benar," sahut Rangga agak datar nada suaranya.

"Ha ha ha... bagus! Ternyata nama besarmu tidak kosong belaka. Kau benar-benar punya nyali besar hingga datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti."

"Raden Banyu Samodra, katakan saja terus terang. Apa tujuanmu sebenarnya ingin bertemu denganku secara seperti ini?" Tanya Rangga langsung.

"Ha ha ha...!" Tapi Raden Banyu Samodra hanya tertawa saja terbahak-bahak mendengar pertanyaan Rangga.

Sementara, Rangga sudah mulai tidak suka atas sikap yang meremehkan seperti ini. Tapi dia harus bisa menahan diri. Harus diketahuinya lebih dahulu tujuan pemuda asing yang tidak dikenalnya hingga datang ke desa nelayan ini dan membuat keka-cauan hanya karena ingin bertemu dengannya.

"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Kedatanganku atas perintah ayahku. Aku sengaja datang ke sini untuk bertemu denganmu," kata Raden Banyu Samodra dengan suara lantang menggelegar.

"Hm, siapa ayahmu?" Tanya Rangga datar.

"Ayahanda Prabu Naga Pendaka."

Rangga mengerutkan keningnya sambil menggumamkan nama yang tadi disebutkan Raden Banyu Samodra. Dicobanya mengingat-ingat nama itu, tapi memang baru mendengarnya malam ini. Sama sekali tidak diketahuinya, siapa Prabu Naga Pendaka yang diakui Raden Banyu Samodra sebagai ayahnya itu.

"Lalu, apa maksudmu kau ingin bertemu denganku?" Tanya Rangga lagi.

"Membawamu ke Kerajaan Karang Emas," sahut Raden Banyu Samodra mantap.

"Untuk apa?"

"Kau akan tahu kalau sudah sampai di sana, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang padamu."

"Hm...," gumam Rangga kembali.

Kedua kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat agak menyipit, merayapi Raden Samodra dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan tengah dinilainya kemampuan pemuda tampan yang berwajah keras, lewat sorot mata yang sangat tajam itu. Tapi benak Pendekar Rajawali Sakti terus berputar dan menduga-duga, apa tujuan pemuda itu sebenarnya hingga ingin bertemu den-gannya. Walaupun tadi sudah mengatakan hendak membawanya ke Kerajaan Karang Emas. Sedangkan Rangga sama sekali belum pernah mendengar nama kerajaan itu.

"Ayo, ikut aku..."

Tanpa menunggu jawaban lagi, Raden Banyu Samodra langsung melangkah tanpa sedikit pun ada perasaan curiga kalau-kalau Rangga melakukan serangan dari belakang. Dia terus saja berjalan dengan ayunan kaki mantap.

Sementara, Rangga masih tetap diam memandangi. Entah, apa yang ada dalam pikiran Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan Raden Banyu Samodra sudah cukup jauh berjalan meninggalkannya. Jelas, arah yang dituju adalah pantai.

"Apa maksudnya ini...?" Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati.

Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti melangkah, Paman Ardaga tiba-tiba saja muncul. Laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu langsung menghampiri Rangga yang sudah menghentikan langkahnya lagi. Sementara, Raden Banyu Samodra terus saja berjalan tanpa berpaling sedikit pun juga.

"Mau apa dia, Raden?" Tanya Paman Ardaga.

"Entahlah," sahut Rangga agak mendesah.

"Dia menuju ke laut, Raden," kata Paman Ardaga masih dengan suara perlahan berbisik.

Rangga tidak bicara lagi. Kini kakinya terayun mengikuti pemuda asing yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra. Sementara Paman Ardaga hanya bisa berdiri mematung sambil memandangi. Hatinya jadi ragu-ragu juga untuk mengikuti dua orang pemuda yang menuju tepian pantai.

"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" Desah Paman Ardaga jadi kebingungan sendiri.

Padahal, tadi dikiranya akan menyaksikan suatu pertarungan seru. Tapi kenyataannya, Rangga malah mengikuti Raden Banyu Samodra menuju laut. Dan ini yang membuat Paman Ardaga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Bahkan kecemasan mulai tumbuh menyelimuti hati.

Sementara itu, Raden Banyu Samodra sudah sampai di tepian pantai. Tubuhnya baru diputar menunggu Rangga yang masih berjalan menghampiri. Debur ombak terdengar sangat keras menghantam baru karang yang banyak terdapat di sepanjang Pesisir Pantai Utara. Dan Rangga baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi didepan Raden Banyu Samodra.

"Kau benar-benar Rangga si Pendekar Rajawali Sakti...?" Tanya Raden Banyu Samodra seperti sedang memastikan.

"Benar," sahut Rangga datar.

"Terus terang, sebenarnya aku ragu-ragu. Apakah kau memang benar Pendekar Rajawali Sakti, atau bukan. Dan untuk meyakinkan, terpaksa harus ku uji lebih dahulu, sebelum kubawa ke kerajaan ku," kata Raden Banyu Samodra mantap.

"Hm, apa maksudmu...?" Tanya Rangga tidak mengerti.

Tapi, jawaban yang diterima Rangga ternyata sebuah serangan kilat dari senjata-senjata kecil berbentuk mata tombak yang dilepaskan Raden Banyu Samodra dengan kecepatan luar biasa.

"Hup!" Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk mencegah. Terpaksa menghindari serangan senjata-senjata berbahaya itu. Kedua tangannya langsung bergerak cepat, mengibas melindungi tubuhnya dari incaran senjata-senjata rahasia.

"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga meluruk deras sambil mengebutkan kedua tangan dengan cepat sekali. Saat itu langsung dikerahkannya jurus Rajawali Sakti Menukik Menyambar Mangsa, yang dipadukan dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega!

Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Raden Banyu Samodra jadi terperangah sesaat.

"Hap!" Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Raden Banyu Samodra berhasil menghindari kebutan kedua tangan dan tendangan menggeledek yang langsung dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sempat juga Raden Banyu Samodra kelabakan menghindari serangan balik yang dilakukan pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi, dia cepat dapat menguasai keadaan dengan melompat ke belakang, sejauh dua batang tombak. Lalu dengan manis sekali kakinya menjejak pantai yang berpasir putih bagai mutiara. Maka serangan-serangan senjatanya pun seketika terhenti. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlihat di depan dada.

"Hebat...! Seranganmu sungguh dahsyat," puji Raden Banyu Samodra sambil menghembuskan napas berat.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.

"Tapi, itu belum membuktikan kalau kau Pendekar Rajawali Sakti," sambung Raden Banyu Samodra.

"Katakan, apa saja yang kau ketahui tentang Pendekar Rajawali Sakti," terasa dingin nada suara Rangga.

Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti mulai tidak menyukai sikap Raden Banyu Samodra yang angkuh ini. Tapi tetap saja dia harus bisa menahan diri, karena tidak ingin terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan penyesalan di belakang hari. Rangga khawatir kalau sikap yang ditunjukkan Raden Banyu Samodra hanya berpura-pura saja, untuk memancing amarahnya.

"Aku tidak bisa mengatakannya, tapi harus melihatnya sendiri. Dan itu harus dilakukan dengan pengujian menurut caraku," tegas Raden Banyu Samodra.

Rangga kembali terdiam.

"Nah, bersiaplah kau. Hiyaaa...!"

"Hap!"

Sesaat Rangga sempat terkesiap, ketika tiba-tiba Raden Banyu Samodra melompat sambil melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek yang mengarah langsung ke dada. Tapi dengan memiringkan tubuh ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya.

"Hup!" Bergegas Rangga melompat kesamping, tepat di saat Raden Banyu Samodra memutar tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Untuk kedua kakinya, serangan pemuda tampan itu berhasil dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan manis sekali.

"Hooop...! Yeaaah...!"

"Hap...?! Hup!"

Rangga jadi terbeliak setengah mati, begitu tiba-tiba Raden Banyu Samodra menghentakkan kedua tangan ke depan. Dan dari kedua telapak tangan itu, meluncur dua baris sinar berwarna merah bagai lidah api yang menjulur cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Namun dengan kecepatan bagai kilat pula, Rangga melenting ke udara, menghindari terjangan cahaya merah bagai lidah api. Beberapa kali Rangga berputaran di udara, lalu melesat ke belakang dengan mengempos tubuhnya. Begitu manis dan ringan Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki di pasir pantai yang putih ini. Tepat pada saat itu, terdengar suara ledakan dahsyat menggelegar yang menggetarkan seluruh permukaan Pesisir Pantai Laut Utara ini.

"Edan...?!" desis Rangga kagum.

Sebuah perahu seketika hancur berkeping-keping terlanda sinar merah yang meluncur bagai kilat dari kedua telapak tangan Raden Banyu Samodra. Begitu dahsyatnya, hingga membuat Rangga jadi kagum. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa berlama-lama mengagumi kedahsyatan ilmu yang dimiliki Raden Banyu Samodra, karena sudah kembali diserang dengan ilmu-ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat.

Dan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus melayani dengan ilmu-ilmu kedigdayaan pula. Seketika itu, juga suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar beruntun, disertai kilatan-kilatan cahaya dan percikan bunga api. Pesisir pantai yang semula gelap, kini jadi terang benderang oleh kilatan-kilatan cahaya dan kobaran api yang menghanguskan perahu-perahu nelayan, akibat menjadi sasaran pertarungan ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat tinggi itu.

Suara pertarungan membuat seluruh penduduk desa nelayan jadi keluar dari rumahnya. Dan mereka terlongong bengong menyaksikan sebuah pertarungan tingkat tinggi yang seumur hidup belum pernah disaksikannya. Terlebih lagi, Paman Ardaga yang memang sejak tadi membuntuti terus. Matanya sampai tidak berkedip menyaksikan pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Raden Banyu Samodra.

"Siapa anak muda itu, Paman?" Tanya salah seorang penduduk yang berdiri di dekat Paman Ardaga.

"Den Rangga," sahut Paman Ardaga, tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Mudah-mudahan saja mampu mengalahkan iblis itu," sambung salah seorang lagi.

Paman Ardaga hanya melirik saja sedikit. Sementara, pertarungan antara Raden Banyu Samodra melawan Pendekar Rajawali Sakti masih terus berlangsung sengit. Dan tampaknya, pertarungan masih akan berlangsung lama. Terbukti, mereka masih sama-sama memiliki ketangguhan untuk saling memberi serangan. Tapi, pertarungan yang berlangsung sudah cukup lama itu malah membuat hati Paman Ardaga jadi cemas. Dia khawatir, kalau-kalau Rangga tidak dapat mengalahkan Raden Banyu Samodra.

"Hap!"
Cring!

Tiba-tiba saja Raden Banyu Samodra mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Begitu tercabut terlihat asap berwarna merah mengepul dari mata pedangnya. Saat itu juga, Rangga melompat ke belakang. Dirasakan adanya hawa racun pada pedang yang mengepulkan asap merah itu.

"Hm...."
Sret!

Cepat Rangga mencabut pedangnya. Seketika, malam yang begitu pekat jadi terang benderang oleh cahaya biru berkilauan yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Semua orang yang menyaksikan pedang Rajawali Sakti jadi tercengang. Bahkan Raden Banyu Samodra sampai terlongong dengan mata terbeliak lebar dan mulut ternganga. Mereka semua begitu kagum melihat pedang di tangan Rangga yang berpamor sangat dahsyat.

"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti...!" sentak Raden Banyu Samodra sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di pinggang.

Sementara, Rangga masih menggenggam pedang pusakanya dengan erat, tersilang di depan dada. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuatnya bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Tampak Raden Banyu Samodra membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Namun hal itu membuat Rangga jadi terlongong bengong tidak mengerti. Bahkan semua orang yang menyaksikan sejak tadi juga jadi terpaku diam, tidak mengerti sikap Raden Banyu Samodra yang begitu cepat sekali berubah setelah Rangga mencabut pedang pusaka yang berpamor sangat dahsyat itu.

"Kenapa dia...? Apa ini bukan hanya tipu daya Belaka..?" gumam Rangga bertanya sendiri dalam hati.

TUJUH

Perlahan Rangga memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangka di punggung. Sementara, tubuh Raden Banyu Samodra masih sedikit terbungkuk, dengan sikap begitu hormat. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun melangkah mendekati, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan pemuda tampan yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra.

"Sudah cukup, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sekarang percaya kalau kau memang Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus Raja Karang Setra," kata Raden Banyu Samodra.

"Apa arti dari semua ini, Raden Banyu Samodra?" Tanya Rangga meminta penjelasan.

Raden Banyu Samodra tidak langsung menjawab. Malah pandangannya kini beredar ke sekeliling, merayapi orang-orang yang kini sudah cukup dekat berada di sekitar pesisir pantai ini. Sikap dan sorot mata mereka sekarang tidak lagi mencerminkan ketakutan. Mereka sudah begitu percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatasi kedigdayaan Raden Banyu Samodra. Bahkan seakan-akan mereka ingin merancah halus tubuh pemuda itu.

Perlahan Raden Banyu Samodra lebih mendekati Pendekar Rajawali Sakti, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedikit tubuhnya dibungkukkan untuk memberi hormat. Dan Rangga membalasnya dengan hanya menganggukkan kepala sedikit. Meskipun sikap Raden Banyu Samodra sudah jauh berubah, tapi tetap saja Rangga bersikap waspada.

"Kuharap, kau sudi memaafkan semua yang telah kulakukan di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Semua ini karena terpaksa. Aku sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal ini terjadi," kata Raden Banyu Samodra dengan sikap dan tutur kata sopan.

"Terus terang, aku tidak mengerti semua yang kau katakan tadi, Raden Banyu Samodra," kata Rangga meminta penjelasan dengan halus.

"Memang sulit dijelaskan, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi memang harus ku jelaskan. Dan kuharap kau mengerti, karena semua yang kulakukan ini hanya untuk menarik perhatianmu. Dan tujuanku sebenarnya adalah ingin memohon pertolonganmu," kata Raden Banyu Samodra memulai menjelaskan.

"Hm, pertolongan apa?" Tanya Rangga.

"Membebaskan ayah dan rakyat ku dari cengkeraman Naga Laut," sahut Raden Banyu Samodra.

"Naga Laut...?" Kening Rangga jadi berkerut mendengar Naga Laut disebut Raden Banyu Samodra.

Sedangkan selama ini yang diketahuinya dari Layung Sari, Andari, dan Paman Ardaga justru Raden Banyu Samodralah yang disangka sebagai orang suruhan dari si Naga Laut. Bahkan Layung Sari telah berterus terang telah melihat dengan mata kepala sendiri, kalau Raden Banyu Samodra menyerahkan seorang gadis untuk santapan si Naga Laut. Dan sekarang, pemuda itu mengatakan ingin meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti untuk membebaskan ayah dan seluruh rakyatnya dari cengkeraman si Naga Laut. Kalau begitu, mana yang benar...?

Rangga jadi tidak mengerti, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk mencari yang benar. Dia harus memutar otak agar tidak terjebak dalam persoalan yang rumit ini.

"Sudah lebih dari lima tahun ini, Kerajaan Karang Emas dikuasai Naga Laut. Dan kami semua tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap hari, kami harus menyediakan seorang gadis untuk santapannya. Dan sekarang, tidak ada lagi gadis yang bisa dijadikan santapan di sana. Jadi, terpaksa aku harus mencari gadis-gadis dari kerajaan lain. Dan tempat yang terdekat hanyalah Pesisir Pantai Utara ini. Di samping itu pula, ayahku memang mengatakan kalau daerah Pesisir Pantai Utara, ini masih termasuk wilayah Kerajaan Kerang Setra. Dan ayah bilang, kalau Raja Karang Setra adalah seorang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itulah aku segera datang di sini. Dan aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan. Aku harus meminta bantuan padamu, juga harus menyediakan seorang gadis muda untuk santapan si Naga Emas setiap malam,"

Raden Banyu Samodra langsung menceritakan panjang lebar. Sementara, Rangga hanya diam saja mendengarkan. Sedikit matanya melirik Paman Ardaga yang kini sudah berada tidak jauh di sebelah kirinya. Laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu juga mendengar semua cerita Raden Banyu Samodra tanpa membuka suara sedikit pun juga. Dia sendiri baru tahu semua tujuan dari perbuatan pemuda itu, selama di desa nelayan ini.

"Sudah berapa orang gadis yang kau berikan pada Naga Laut itu?" Tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

"Entahlah. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi," sahut Raden Banyu Samodra pelan.

"Malam ini, apakah Naga Laut akan datang untuk meminta santapannya?" Tanya Rangga lagi.

"Ya, sebentar lagi," sahut Raden Banyu Samodra.

"Hm.... Kau memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Raden. Tapi kenapa tidak kau saja yang melawannya?"

"Semua yang kumiliki tidak ada artinya sama sekali bagi Naga Laut, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Raden Banyu Samodra dengan suara terdengar lesu.

"Kenapa...?" Tanya Rangga ingin tahu.

Raden Banyu Samodra tidak langsung menjawab. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling, dan bertumpu pada Paman Ardaga. Kemudian, kembali ditatapnya Rangga yang berdiri sekitar beberapa langkah di depannya. Cukup lama juga dia terdiam, tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Perlahan ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan ingin dilonggarkannya rongga dada yang mendadak saja jadi terasa sesak.

"Kenapa semua kepandaian yang kau miliki tidak berarti bagi Naga Laut, Raden?" Rangga mengulangi pertanyaan yang tadi belum juga terjawab.

"Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengalahkan Naga Laut Apalagi membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti. Naga Laut sudah hidup ribuan tahun, bahkan mungkin sejak dunia ini ada. Dan...," Raden Banyu Samodra tidak melanjutkan.

"Tapi, kenapa kau meminta ku untuk membunuhnya?" Tanya Rangga karena menunggu cukup lama, tapi Raden Banyu Samodra tidak juga melanjutkan kata-katanya yang terputus tadi.

"Karena, hanya kau yang mampu mengalahkannya, Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun belum tahu, apakah kau bisa membunuhnya. Tapi paling tidak, bisa melenyapkannya sampai namamu tidak terdengar lagi olehnya," sahut Raden Banyu Samodra.

"Hm...," Rangga menggumam kecil. Tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin kata-kata Raden Banyu Samodra tadi yang membuatnya tampak berpikir keras. Memang sulit diterima akal pikiran manusia biasa. Tapi, di dalam kalangan rimba persilatan, hal seperti itu memang bukanlah sesuatu yang aneh lagi.

Seseorang yang memiliki ilmu kedigdayaan tingkat tinggi begitu banyak, bisa saja kalah oleh orang yang hanya memiliki satu ilmu kedigdayaan saja. Tapi, semua itu memang tidak bisa diramalkan siapa pun juga. Dan kata-kata Raden Banyu Samodra yang mengatakan kalau hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang mampu mengalahkan Naga Laut, membuatnya jadi berpikir keras.

Sementara, Rangga tahu kalau ilmu kedigdayaan yang dimiliki Raden Banyu Samodra saja sudah begitu tinggi. Dan Rangga sendiri mengakui kalau hampir saja kewalahan menghadapinya, hingga terpaksa harus mengeluarkan pedang pusaka yang sudah terkenal sangat dahsyat.

"Raden, bagaimana kau bisa mengatakan kalau hanya aku yang bisa mengalahkan si Naga Laut itu...?" Tanya Rangga, ingin tahu.

"Ayahku yang mengatakannya begitu," sahut Raden Banyu Samodra.

"Ayahmu...?"

"Ya! Seribu tahun lalu, atau bahkan mungkin lebih. Naga Laut merah muncul dan melahap begitu banyak gadis tak berdosa. Begitu banyak pendekar yang mencoba untuk membunuhnya, tapi tak ada seorang pun yang berhasil. Dan Naga Laut itu berhasil dihentikan kiprahnya, hanya oleh seorang pendekar saja," jelas Raden Banyu Samodra.

"Siapa pendekar itu?" Tanya Rangga ingin tahu.

"Gurumu," sahut Raden Banyu Samodra.

"Guruku...?!" Rangga jadi terkejut.

"Ya! Pendekar Rajawali yang menjadi guru mu."

"Hm. Dia hidup lebih dari seratus tahun yang lalu. Bagaimana mungkin kau bisa begitu yakin kalau aku muridnya, Raden Banyu Samodra?"

"Hanya orang yang memegang Pedang Pusaka Rajawali Sakti sajalah yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pendekar Rajawali. Dan kini, pedang itu ada di tanganmu. Itu berarti, kau adalah murid Pendekar Rajawali. Dan lagi, kau sendiri mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti. Nah, dari situlah aku yakin kalau kau murid Pendekar Rajawali. Hanya mereka yang memiliki pedang pusaka itulah yang bisa mengalahkan Naga Laut," jelas Raden Banyu Samodra gamblang.

Kali ini, Rangga benar-benar tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dan dia hanya bisa memandangi Raden Banyu Samodra yang telah mengupas semua asal muasal ilmu-ilmu kedigdayaannya. Bahkan sampai kehidupan Pendekar Rajawali yang memang gurunya. Walaupun, apa yang sekarang dimiliki tidak langsung didapat dari Pendekar Rajawali.

"Kalau bisa mengalahkan Naga Laut, kau bukan hanya membebaskan Kerajaan Karang Emas dari cengkeramannya, tapi juga membebaskan dunia ini dari kehancuran, Pendekar Rajawali Sakti. Kau tentu bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau semua gadis di dunia ini harus menjadi santapan Naga Laut setiap hari," kata Raden Banyu Samodra, seperti membujuk nada suaranya.

"Dengan apa aku harus menghadapinya?" Tanya Rangga bernada menguji.

"Pedangmu itu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Raden Banyu Samodra.

"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam.

"Aku rasa tidak ada waktu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Naga Laut sebentar lagi pasti datang untuk meminta seorang gadis lagi untuk santapannya," desak Raden Banyu Samodra.

"Di mana akan munculnya?" Tanya Rangga.

Tapi belum juga Raden Banyu Samodra bisa menjawab, mendadak saja bertiup angin kecang yang membuat laut bergelombang begitu besar. Seketika itu juga, semua orang yang tadi memadati pantai ini langsung berhamburan berlarian ke rumah masing-masing. Dan sebentar saja, di tepian pantai itu tinggal Raden Banyu Samodra, Rangga, dan Paman Ardaga.

Sementara, angin yang bertiup semakin terasa kencang, hingga menimbulkan suara menderu bagai hendak membalikkan seluruh Pesisir Pantai Utara. Tampak laut bergelombang begitu besar setinggi gunung. Dan sebentar saja, sudah ada beberapa pohon yang tumbang, tercabut dari akarnya.

Crraaak! Glaaar...!"

Paman Ardaga langsung melompat ke belakang begitu terlihat kilat menyambar disertai ledakan guntur yang sangat dahsyat menggelegar memekakkan telinga. Saat itu, terlihat cahaya terang kehijauan membersit keluar dari tengah laut. Semakin lama, cahaya terang kehijauan itu semakin terlihat membesar. Sementara, Paman Ardaga diam-diam sudah melangkah mundur menjauh. Tinggal Rangga dan Raden Banyu Samodra yang masih tetap berdiri tegak memandang ke arah cahaya terang kehijauhan di tengah laut.

"Hm.... Kemunculannya sangat dahsyat," gumam Rangga dalam hati.

Tepat ketika cahaya terang kehijauan itu bergerak ke pantai, Raden Banyu Samodra menggeser kaki ke belakang beberapa langkah. Sementara, Rangga yang sempat melirik tetap saja berdiri tegak menanti cahaya terang kehijauan itu. Malam yang semula begitu pekat karena langit terselimut awan hitam dan tebal, kini jadi terang benderang oleh cahaya kehijauan yang muncul dari tengah laut.

"Hup!" Rangga cepat melompat ke belakang, hingga kembali berdiri di samping Raden Banyu Samodra, tepat di saat cahaya terang kehijauan itu sampai di garis tepi pantai. Dan saat itu, cahaya kehijauan meredup. Lalu, terlihatlah bentuk seekor ular naga raksasa yang berwarna hijau dan bercahaya pada seluruh tubuh.

Sungguh besar dan sangat mengerikan bentuknya. Kedua bola matanya yang memancarkan sinar kehijauan, menatap begitu tajam pada Raden Banyu Samodra. Dari kedua lubang hidungnya yang besar, selalu mengepulkan asap kehijauan. Air liur tampak menetes dari sela-sela bibirnya yang memperlihatkan gigi-gigi yang tajam dan runcing bagai barisan mata tombak. Perlahan-lahan kepalanya disorongkan mendekati Raden Banyu Samodra.

"Maaf, Naga Laut. Malam ini aku tidak bisa memberimu santapan. Aku tidak bisa menyediakan gadis untukmu lagi," tegas Raden Banyu Samodra dengan suara terdengar agak bergetar dan tertahan.

"Ghrrr...!" Naga Laut itu menggereng. Tampaknya, dia marah sekali mendengar kata-kata Raden Banyu Samodra. Dan tiba-tiba saja....

"Awas...!" seru Rangga keras.

"Hup!" Begitu cepat Rangga melesat sambil menyambar tubuh Raden Banyu Samodra, ketika kepala ular raksasa berwarna hijau itu meluruk cepat bagai kilat sambil membuka moncongnya lebar-lebar. Tapi, tindakan Rangga memang begitu cepat, sehingga moncong Naga Laut hanya menyambar pasir pantai yang kosong.

"Ghraaaugkh...!" Naga Laut menggerung keras, dan kelihatan begitu marah. Serangannya pada Raden Banyu Samodra yang dapat digagalkan, membuatnya semakin murka.

Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah berpasir putih ini. Dengan sedikit merentang tangan, dia meminta Raden Banyu Samodra untuk menyingkir ke belakang. Tanpa diucapkan dengan kata-kata, Raden Banyu Samodra segera melangkah mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrrr...!" Naga Laut kelihatan benar-benar marah melihat Rangga yang telah menyelamatkan Raden Banyu Samodra. Perlahan ular raksasa itu melata menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara, Raden Banyu Samodra sudah berada cukup jauh bersama Paman Ardaga, dan berada di tempat yang cukup aman dan terlindung. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak menanti ular naga raksasa berwarna hijau itu.

"Ghraaaugkh...?"

"Hup! Yeaaah...!"

Tepat begitu Naga Laut menyerang dengan menyorongkan kepala, Rangga cepat-cepat melenting ke udara. Tapi begitu baru saja melakukan satu putaran, mendadak saja kepala naga raksasa itu sudah terangkat sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Saat itu juga, dari mulutnya yang bergigi runcing menyemburkan api sangat besar.

"Hap! Hiyaaa...!"

Cepat-cepat Rangga memutar tubuhnya ke belakang, lalu membanting ke tanah berpasir putih ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali bergulingan menghindari semburan api Naga Laut. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Dengan gerakan kaki yang begitu cepat dan lincah serangan dan semburan api Naga Laut berhasil dihindarinya.

"Ghraaagukh...!" Naga Laut semakin kelihatan marah, karena serangan-serangannya tidak membawa hasil. Bahkan seperti disengaja, Rangga membawa ular naga raksasa itu menjauhi pantai. Juga, menjauhi perumahan penduduk nelayan di Pesisir Pantai Utara. Pendekar Rajawali Sakti terus berjumpalitan dan bergerak mendekati hutan bakau yang letaknya cukup jauh dari perumahan penduduk.

"Hup! Hiyaaa...!"

"Ghraaaugkh...!"

Rangga terus bergerak cepat dan lincah sekali untuk memancing ular naga raksasa semakin menjauhi rumah-rumah penduduk. Sementara, dari jarak yang cukup jauh, Raden Banyu Samodra dan Paman Ardaga terus mengikuti sambil memperhatikan jalannya pertarungan aneh itu. Pertarungan antara manusia melawan ular naga raksasa, tapi terjadi sangat dahsyat.

Sedikit kelengahan saja bisa membuat keadaan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa tertolong lagi. Semburan-semburan api Naga Laut begitu dahsyat dan menghanguskan. Bahkan batu karang yang sangat keras sekalipun, langsung hancur jadi debu terkena semburan api Naga Laut. Sulit dibayangkan, bagaimana jika semburan api itu mengenai tubuh manusia.

"Rangga, gunakan pedang pusaka mu...!" teriak Raden Banyu Samodra.

"Ghraaaugkh...!"

Teriakan Raden Banyu Samodra rupanya mengejutkan Naga Laut. Maka bagaikan kilat, tubuhnya diputar dan langsung meluruk deras ke arah Raden Banyu Samodra. Begitu cepat gerakan binatang itu, hingga membuatnya jadi terkesiap.

"Hiyaaat...!"

Tapi belum juga serangan kilat Naga Laut sampai pada sasaran, Rangga sudah melesat begitu cepat melebihi kilat. Langsung disambarnya tubuh Paman Ardaga yang berada tidak seberapa jauh dari Raden Banyu Samudra. Pada saat yang bersamaan pula, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan, hingga membuat tubuh Raden Banyu Samodra terpental jauh ke belakang.

"Ghraaagkh...!"

Naga Laut semakin bertambah murka melihat serangannya pada Raden Banyu Samodra kembali gagal. Sementara, Rangga sudah membawa Paman Ardaga ke tempat yang lebih aman, lalu langsung melesat menghampiri Raden Banyu Samodra yang terpental jauh akibat sentakan tangan kanannya tadi. Sebongkah batu karang yang cukup besar menahan tubuh Raden Banyu Samodra. Tapi, batu karang itu langsung hancur seketika, sehingga membuat Raden Banyu Samodra terkapar sambil merintih nyeri.

"Hap!" Begitu menjejak Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar tubuh Raden Banyu Samodra. Kembali Rangga melesat cepat bagai kilat menyelamatkan pemuda itu dari serangan Naga Laut. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah kembali di depan Paman Ardaga. Pendekar Rajawali Sakti menurunkan tubuh Raden Banyu Samodra dari pondongan, dan membaringkannya di tanah berpasir putih, tepat di depan Paman Ardaga.

"Tolong jaga dia, Paman. Kalau bisa jauhkan dari sini," pinta Rangga.

"Apakah dia terluka, Den?" Tanya Paman Ardaga.

"Tidak!" sahut Rangga singkat.

"Den...."

Suara Paman Ardaga jadi terputus, karena Rangga sudah begitu cepat melesat menghampiri Naga Laut kembali yang sudah bergerak hendak mendekati Raden Banyu Samodra. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah kembali didepan Naga Laut.

"Aku lawanmu, Naga Laut!" desis Rangga dingin.

"Ghrrr...!" Dengan kedua bola matanya yang menyala hijau, Naga Laut menatap Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam. Seakan-akan ingin dihancurkannya pemuda berbaju rompi putih itu hingga lumat jadi tepung dengan cahaya hijau dari matanya.

Tapi, Rangga malah membalasnya dengan tatapan mata yang tidak kalah tajam. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sedangkan jaraknya dengan Naga Laut hanya sekitar dua batang tombak saja.

"Ghraaaugkh...!" Sambil menggerung keras, Naga Laut meluruk deras menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi, rupanya Rangga memang sudah siap sejak tadi. Dan begitu moncong yang terbuka lebar itu hampir melahapnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke belakang. Dan hanya menghentakkan sedikit ujung jemari kakinya, tubuhnya langsung melenting ke udara, hingga melewati bagian atas kepala ular naga raksasa itu.

"Yeaaah...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melepaskan satu pukulan dahsyat dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali, tepat ke arah bagian tengah kepala ular naga raksasa itu. Pukulan tingkatan terakhir dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali memang sangat cepat dan dahsyat. Sehingga, Naga Laut tidak sempat lagi bergerak menghindar. Dan....

Diegkh! "Ghraaaugkh...!"

"Hup! Hiyaaa...!"

DELAPAN

Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke angkasa dan berputaran beberapa kali. Sementara, Naga Laut meraung keras sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pukulan tingkatan terakhir dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali yang dilepaskan Rangga, dan tepat menghantam bagian tengah kepala itu membuat Naga Laut semakin bertambah murka. Bumi jadi berguncang bagai dilanda gempa, saat seluruh tubuh ular naga raksasa itu menggelepar merasakan sakit yang amat sangat pada kepala.

Tampak dari bagian kepala yang terkena pukulan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti tadi mengucurkan darah segar. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya ringan di tanah.

"Ghraaaugkh...!" Begitu cepatnya Naga Laut melupakan kepala yang retak akibat pukulan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti hingga mengeluarkan darah. Dan kini, kembali meluruk deras menyerang pemuda berbaju rompi putih itu. Tapi dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga kembali melesat ke udara. Dan begitu baru saja hendak meluruk melakukan serangan balasan, Naga Laut sudah mendongakkan kepala sambil menyemburkan api dari mulutnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Namun, Rangga sudah lebih cepat lagi melesat ke belakang, hingga semburan api tidak sampai menjilat tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Namun begitu hendak menjejakkan kakinya di pasir pantai lagi, mendadak saja Naga Laut mengibaskan ekornya cepat sekali. Hingga....

Wuk! Plak! "Akh...!"

Rangga terpekik keras begitu ekor Naga Laut menyambar tubuhnya. Tak pelak lagi, Pendekar Rajawali Sakti terpental jauh ke belakang. Begitu kerasnya hantaman tadi, hingga beberapa pohon kelapa bertumbangan terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan meluncurnya baru berhenti setelah menghantam gundukan batu karang hingga hancur berkeping-keping.

"Ghraaaugkh...!"

"Hup!" Rangga cepat-cepat melenting bangkit berdiri kembali, begitu Naga Laut kembali meluruk deras hendak melumatnya. Bergegas Rangga melompat ke samping, dan kembali melesat hingga melewati tubuh ular naga raksasa itu.

"Hiyaaa...!" Saat berada di udara, Rangga melepaskan satu kibasan tangan kanan mempergunakan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Dan rupanya kibasan tangannya itu tepat menghantam bagian leher Naga Laut. Akibatnya, ular raksasa itu menggerung dahsyat sambil menggeliatkan tubuhnya.

"Hap! Yeaaah...!" Rangga kembali melenting tinggi-tinggi ke udara, dan kembali meluruk deras sambil melepaskan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus itu, sehingga kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi berwarna merah, bagai batang besi terbakar dalam tungku.

"Hiyaaa...!"

Begkh! "Ghraaaugkh...!"

Begitu keras dan cepatnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Naga Laut itu tidak bisa lagi menghindar. Dan binatang raksasa itu meraung dahsyat sambil menggeliatkan tubuhnya. Kembali daerah Pesisir Pantai Utara itu berguncang bagai dilanda gempa yang amat dahsyat, membuat rumah-rumah yang berdiri di sekitarnya berguncang. Bahkan sudah ada beberapa rumah yang kelihatannya hampir runtuh, karena terus-menerus menerima guncangan yang sangat keras dan dahsyat.

"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh tiga batang tombak. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri leher. Pertarungannya dengan Naga Laut ini benar-benar menguras tenaga. Sudah beberapa kali ular naga raksasa itu terkena pukulan dahsyat yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi tetap saja masih kuat, walaupun meraung keras merasakan kesakitan yang amat sangat.

"Hm, Naga Laut ini benar-benar kuat. Apakah aku harus menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti...?" gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati.

Sementara itu, Raden Banyu Samodra sudah terbangun dari pingsannya. Tubuhnya langsung menggerinjang bangkit berdiri. Dan dia hampir saja melompat menerjang Naga Laut, kalau saja Paman Ardaga tak segera mencegah. Sedangkan saat itu, Rangga sudah mulai menggenggam gagang pedangnya, walaupun belum tercabut dari warangka di punggung.

"Ghrrr...!" Naga Laut menggereng keras sambil membuka mulut lebar-lebar. Dari dalam mulutnya, menyembur api yang sangat besar dan langsung menghanguskan beberapa batang pohon kelapa yang ada di dekatnya. Kedua bola matanya yang semula berwarna hijau, kini jadi merah membara bagaikan sepasang bola api. Tatapannya begitu tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghraaaugkh...!" Sambil meraung dahsyat, Naga Laut kembali meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga serangannya sampai, Rangga sudah melentingkan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu ringan dan cepat, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah melambung tinggi di angkasa.

"Hiyaaat...!"

Sret! Cring!

Bagaikan kilat, Rangga meluruk deras sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika itu juga, cahaya biru terang menyemburat menyilaukan mata. Melihat pedang yang berpamor sangat dahsyat tergenggam di tangan lawan, Naga Laut meraung keras. Dan dengan gerakan cepat dihindarinya tebasan pedang bercahaya biru terang itu.

"Hap! Hiyaaa...!"

Begitu menjejakkan kaki di pasir pantai, Rangga kembali melesat sambil mengibaskan pedang dengan cepat sekali. Sinar biru yang memancar dari pedangnya berkelebat begitu cepat, bergulung-gulung bagaikan hendak menggulung tubuh ular naga raksasa itu. Dari gerakan-gerakannya, sudah dapat dipastikan kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Sebuah jurus simpanan yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Gerakan tubuh Rangga begitu cepat, mengimbangi tebasan-tebasan pedangnya. Saking cepatnya, sehingga sulit sekali dilihat. Dan kini, yang terlihat hanya gulungan cahaya biru berkelebat mengurung Naga Laut

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti berteriak nyaring. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke udara, tepat bersamaan dengan terangkatnya kepala Naga Laut ke atas. Dan pada saat itu juga, pedangnya dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Begitu cepat serangannya, sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu...

Cras! "Aaargkh...!"

Raungan yang begitu keras terdengar dahsyat menggelegar. Tampak Naga Laut menggelepar, membuat seluruh permukaan Pantai Utara ini jadi terguncang hebat bagai dilanda gempa sangat dahsyat. Sementara, terlihat Rangga berputaran di udara beberapa kali, lalu meluruk ke bawah. Kemudian kakinya menjejak tanah berpasir dengan indah dan ringan sekali.

"Ghraaaugkh...!"

"Hap!" Melihat Naga Laut yang sudah terbabat bagian tenggorokannya masih ingin menyerang lagi, cepat-cepat Rangga menempelkan telapak tangan kiri pada Pedang Rajawali Sakti. Lalu digosokkannya pedang itu hingga sampai ke ujung dan kembali bergerak sampai ke pangkalnya.

Saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang, berkumpul membentuk bulatan pada ba-gian ujungnya. Tepat di saat Naga Laut menerjang dengan kecepatan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pedangnya ke depan sambil berteriak keras bagai guntur meledak di angkasa.

"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!"

Wuk!

Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedang pusakanya, sehingga membuat bulatan cahaya biru pada ujung pedang langsung terlontar ke depan dengan kecepatan melebihi kilat. Seketika bulatan cahaya biru itu langsung menghantam tubuh Naga Laut keras sekali.

"Ghraaaugkh...!"

"Hih!"

Rangga segera menyilangkan pedang di depan dada. Dan dengan seluruh kekuatan yang ada, dikerahkannya aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat. Sinar biru yang memancar dari mata pedangnya semakin banyak menggumpal, menyelimuti seluruh tubuh ular naga raksasa. Tubuh Naga Laut hanya menggeliat-geliat sambil menggerung-gerung dahsyat.

"Edan! Hih! yeaaah...!"

Rangga merasakan adanya kekuatan yang sangat dahsyat menentang aji kesaktiannya. Sehingga, seluruh kekuatannya harus dikerahkan. Dan ini membuat kakinya yang menjejak pasir seketika amblas sampai ke betis. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak sudi menyerah. Aji Cakra Buana Sukma terus dikerahkan, hingga sampai tingkat terakhir. Tampak titik-titik keringat mulai membanjiri seluruh wajah, leher, dan tubuhnya. Pakaian yang dikenakan pun sudah basah oleh keringat.

Pertarungan kali ini benar-benar menguras seluruh kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, kedua kaki Rangga semakin dalam terbenam ke dalam pasir pantai. Dan sekarang, malah sudah terbenam sampai ke batas lutut. Tapi Pendekar Rajawali Sakti terus mengerahkan seluruh tenaga, untuk mengalahkan Naga Laut.

"Hih! Yeaaah...!"

Brus!

Sambil mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ada, Rangga menghentakkan tubuhnya hingga melesat ke udara. Dan cepat sekali tubuhnya meluruk deras ke arah Naga Laut yang masih menggeliat-geliat dalam lingkaran cahaya biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan pedangnya ke atas kepala. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar tercabut. Namun dengan kecepatan luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya, tepat terarah ke kepala Naga Laut. Begitu cepat serangannya sehingga Naga Laut tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras! "Aaargkh...!"

Darah seketika muncrat begitu pedang di tangan Rangga menghantam kepala Naga Laut, tepat di bagian tengah antara kedua matanya. Ular naga raksasa itu menggerung-gerung sambil bergelimpangan. Tubuhnya terus menggeliat-geliat dahsyat, membuat bumi jadi berguncang hebat.

Hap!" Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah. Sementara, tangan kanannya langsung bergerak indah memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Seketika itu juga cahaya biru yang memancar terang jadi lenyap, tepat di saat Pedang Rajawali Sakti kembali tenggelam dalam warangka.

"Haaap...! Yeaaah...!"

Begitu cepat Rangga melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangan merapat di depan dada. Gerakannya meliuk-liuk seperti ular. Lalu sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangan ke depan setelah merentangkan kedua kaki lebar-lebar ke samping, hingga tubuhnya jadi agak rendah.

Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur sinar biru yang sangat terang hingga menyilaukan mata. Sinar itu meluncur deras melebihi kilat, dan langsung menghantam tubuh Naga Laut yang masih menggeliat-geliat sambil menggerung keras.

Glaaar...!

"Ghraaaugkh...!"

Begitu terdengar ledakan dahsyat menggelegar, terdengar pula raungan keras yang menggetarkan jantung. Tampak kilatan-kilatan bunga api menyebar diiringi memancarnya api yang begitu besar menyelubungi seluruh tubuh Naga Laut. Dan tak berapa lama kemudian....

Blarrr...!

Kembali terdengar ledakan menggelegar yang begitu keras dan dahsyat. Tampak tubuh Naga Laut hancur berkeping-keping, tersebar ke segala penjuru. Saat itu juga, Rangga melompat ke belakang untuk menghindari terpaan serpihan tubuh Naga Laut yang meledak hancur akibat aji kesaktian yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

"Huhhh...!" Rangga menyeka keringat di lehernya sambil mendengus panjang. Kakinya kemudian ditarik ke belakang beberapa langkah. Pandangannya tak berkedip sedikit pun memperhatikan kepulan asap merah kehijauan yang menggumpal di tempat Naga Laut tadi berada. Dan begitu asap merah kehijauan lenyap....

"Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget.

Ternyata, di tempat tadi Naga Laut berada kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan baju jubah panjang berwarna hijau dan memancarkan cahaya terang. Dia berdiri tegak, walaupun usianya sudah sangat lanjut. Pandangannya tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku mengaku kalah, Anak Muda...," kata laki-laki tua berjubah hijau itu agak lirih nada suaranya terdengar.

"Hm...," Rangga menanggapi hanya dengan menggumam kecil.

"Aku berjanji tidak akan muncul lagi, dan mengganggu siapa pun juga," sambungnya masih tetap terdengar lirih.

"Selamanya...?" Rangga ingin menegaskan.

"Tidak. Hanya sampai kau tidak ada lagi di dunia ini," tegas laki-laki tua berjubah hijau jelmaan Naga Laut.

"Apa...?!"

Belum juga keterkejutan Rangga bisa hilang, tiba-tiba saja laki-laki tua jelmaan Naga Hijau itu lenyap, setelah seluruh tubuhnya terlebih dahulu memancarkan sinar terang. Sedikit pun tak ada bekas yang ditinggalkannya. Beberapa saat Rangga masih mematung. Ingin dipastikannya kalau Naga Laut benar-benar telah lenyap.

Kemudian tubuhnya memutar, dan melangkah menghampiri Raden Banyu Samodra yang masih tetap didampingi Paman Ardaga. Dan entah datang dari mana, seekor kuda kini sudah ada di be-lakang Raden Banyu Samodra. Seekor kuda yang sangat gagah dan bagus. Rangga berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Raden Banyu Samodra.

"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Raden Banyu Samodra, sebelum Rangga bisa membuka mulut.

Raden Banyu Samodra langsung menyodorkan tangannya dengan sikap tubuh agak membungkuk, seperti sedang memberi hormat pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan uluran tangan ini tidak bisa lagi ditolak. Rangga segera menyambutnya, membuat kedua pemuda itu berjabatan tangan erat sekali.

"Izinkan aku pergi sekarang untuk mengabarkan kegembiraan ini pada rakyat ku, Gusti Prabu," ujar Raden Banyu Samodra berpamitan.

"Pergilah," sahut Rangga.

"Terima kasih." Raden Banyu Samodra langsung saja melompat naik ke punggung kudanya. Dan sekali hentak saja, kuda itu sudah melesat kencang bagai anak panah terlepas dari busur.

Sementara Rangga dan Paman Ardaga berdiri berdampingan memandangi kepergian Raden Banyu Samodra sampai lenyap tak terlihat lagi. Tak ada dendam lagi yang tertanam di hati penduduk desa nelayan di Pesisir Pantai Utara. Mereka semua menyadari, perbuatan Raden Banyu Samodra semata-mata karena terpaksa. Mungkin kalau hal ini dihadapkan pada mereka, bisa jadi mereka juga akan melakukan tindakan yang sama dengan Raden Banyu Samodra.

SELESAI

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.