SATU
Ctar!“Akh...!”
Geletar lidah cambuk ditingkahi pekik kesakitan menyayat, memecah kesunyian dipagi buta ini. Di pinggiran sebuah desa, tampak seorang laki-laki tua tengah terikat dibawah sebatang pohon. Punggungnya tampak pecah-pecah memerah mengucurkan darah. Tidak Jauh dari situ, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot tengah mengayunkan cambuknya. Disekitarnya beberapa orang laki-laki malah tersenyum-senyum diiringi tawa terkekeh.
“Hehehe..."
"Akh...! Aaakh...!"
“Cukup..."tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Suara bentakan itu datang dari seorangg laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, yang mengenakan baju sutra halus, bersulamkan benang emas. Sebagian rambutnya sudah berwarna putih. Namun wajahnya masih menampakkan kegagahan.
Kakinya melangkah menghampiri laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang cambuk. Laki-Iaki tegap bertelanjang dada itu melangkah mundur beberapa tindak.
"Kau masih juga suka tutup mulut, Ki Rabul?" dingin sekali suara laki-laki setengah baya itu. Dijambaknya rambut laki-laki tua yang terikat dipohon dalam keadaan sangat payah itu, sehingga kepalanya terdongak. Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah yang menetes membasahi tubuhnya. Meskipun dalam keadaan tidak berdaya, namun sinar matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki yang menjambak rambutnya.
"Dengar, Orang Tua. Aku bisa membuatmu lebih parah lagi. Bahkan mudah sekali mengirimmu keneraka!" desis laki-laki setengah baya itu datar. Begitu dingin nada suaranya terdengar.
Tapi laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak mengenakan baju itu hanya diam membisu saja. Hanya tatapan matanya saja yang tajam menusuk.
"Katakan, dimana anakmu sekarang berada?" tanya laki-laki setengah baya itu mendesis dingin.
"Kau berurusan dengan anakku, Barada. Lalu mengapa kau siksa aku? Pengecut...!" dengus laki-laki tua yang dipanggil Ki Rabul.
"Kesempatanmu untuk hidup hanya sekali saja, Ki Rabul. Kau dengar, aku tidak bisa bermain-main lagi" ancam Barada bersungguh-sungguh sekali.
"Phuih!" Ki Rabul menyemburkan darah yang menggumpal dimulutnya. Cairan merah itu langsung muncrat, dan menimpa wajah Barada. Hal ini membuat laki-laki setengah baya itu semakin bertambah berang. Mulutnya menggeram sambil menyeka darah yang memenuhi wajah. Maka tiba-tiba saja, tangannya melayang menampar wajah tua kurus itu.
Plak!
"Akh!" Ki Rabul terpekik keras.
Kepalanya sampai bergetar akibat tamparan keras. Barada menghentakkan kakinya, dan berbalik. Dipandanginya lima orang yang hanya diam saja, dan bersikap seperti seorang jago tak tertandingi.
"Bunuh orang tua keparat ini!" perintah Barada keras.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang otot-ototnya bersembulan, melangkah maju. Dihentak-hentakkan cambuknya. Suara geraman terdengar dari bibir yang menyeringai buas, bagai seekor srigala lapar melihat setumpuk daging segar. Sepasang bola matanya merah menyala, menyorot tajam pada tubuh kurus yang sudah babak belur tersengat cambukannya.
Ctar!
Kembali orang itu mengayunkan cambuknya.
"Akh....!"Ki Rabul kembali memekik keras tertahan. Geletar cambuk menjilat tubuh kurus itu berkali-kali, disertai pekikan tertahan yang sangat memilukan.
Sementara yang lainnya hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Barada menyeka darah yang melekat diwajahnya dengan selembar kain putih dari sutra halus.
"Aaa...!" tiba-tiba Ki Rabul menjerit. Sebentar kepalanya terdongak keatas, lalu terkulai disertai mata terpejam.
Ujung cambuk masih menjilat tubuhnya, tapi laki-laki tua kurus itu tidak lagi bersuara. Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu menghentikan cambukannya, Ialu berbalik menghadap Barada.
"Dia sudah mati, Suro?" tanya Barada, datar nada suaranya.
"Mungkin pingsan, Gusti," sahut orang bertubuh tinggi tegap dan berotot kekar itu.
"Biarkan dia disitu ,supaya jadi santapan binatang hutan. Bakar rumahnya!" dengus Barada.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu berbalik dan berjalan menghampiri kudanya yang tertambat didepan sebuah pondok kecil dari bilik bambu. Sedangkan empat orang lainnya segera menyalakan obor. Mereka melemparkan obo ritu ke atas atap pondok. Maka seketika api langsung membesar membakar pondok itu. Mereka mengambil kuda masing-masing, lalu melompat naik. Sedangkan Suro masih berdiri tegak didekat tubuh Ki Rabul yang terkulai tak sadarkan diri
"Suro...! Ayo pergi dari sini!" bentak Barada memerintah.
Suro membungkuk sedikit memberi hormat, kemudian langsung melompat naik kepunggung kudanya yang berwarna hitam, tinggi, dan tegap. Gerakannya sungguh ringan, pertanda tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Sebentar kemudian, enam ekor kuda berpacu cepat meninggalkan tempat itu. Meninggalkan seorang laki-laki tua yang pingsan akibat dicambuk tanpa henti.
Sementara api semakin membesar merobohkan bangunan pondok kecil yang seluruhnya dari kayu dan bambu itu. Percikan bunga api menyebar kesegala arah, disertai letupan kecil. Api terus membesar, tak bisa dicegah lagi. Sedangkan dibawah pohon, Ki Rabul masih terikat dengan kepala terkulai tanpa daya.
Tak ada seorangpun yang menyaksikan kejadian itu, kecuali seorang bocah kecil yang bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dia sejak tadi memang menyaksikan semua kekejaman itu. Bocah kecil itu baru keluar setelah derap langkah kaki kuda tidak terdengar lagi. Bergegas dihampirinya Ki Rabul yang masih belum juga sadarkan diri.
"Ki....Ki...,"panggil bocah kecil itu. Suaranya terdengar pelan dan agak tersendat. Dipandanginya tubuh Ki Rabul yang hancur terhantam cambuk Kemudian dia memandangi wajah laki-laki tua itu. Dari mulut Ki Rabul masih menetes darah segar.
"Ki...," suara bocah laki-laki itu mulai tersendat. Anak itu tidak tahan juga melihat keadaan tubuh Ki Rabul. Dia kemudian menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil laki-laki tua Itu supaya bangun. Namun laki-laki tua Itu tetap saja diam dengan kepala terkulai lemas.
********************
"Ohhh...," Ki Rabul merintih Iirih. Kepala laki-laki tua kurus itu menggeleng pelahan, lalu kelopak matanya mulai terbuka pelahan pula. Namun pandangannya begitu kabur, sehingga tidak bisa melihat jelas. Ki Rabul kembali memejamkan matanya. Sebentar kemudian kembali matanya terbuka. Perlahan pandangannya menjadi terang, dan kini bisa melihat jelas.
Ki Rabul memandangi sekitarnya. Sungguh hatinya berharap kalau sekarang sudah berada dialamak herat. Tapi begitu melihat bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun duduk didekatnya, Ki Rabul langsung sadar kalau dirinya belum mati. Dan kini dirinya berada didalam sebuah pondok yang berdinding anyaman bambu.
"Kak...! Dia sudah sadar...!" teriak bocah itu keras.
Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang gadis berwajah cukup cantik. Bajunya berwarna merah muda, dan nampak ketat, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang ramping padat berisi. Langsung dihampirinya dipan bambu yang ditiduri Ki Rabul. Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu menyingkir, memberi tempat pada gadis yang baru datang.
"Oh, siapa kalian? Dan dimana aku ini...?" tanya Ki Rabul, lemah suaranya.
"Aku Lasini, dan ini adikku. Namanya, Badil," sahut gadis itu rnemperkenalkan diri.
"Ohhh...," Ki Rabul kembali mengeluh lirih
"Kau berada dipondok kami, Ki," sambung Lasini.
"Aku menemukan mu pingsan terikat di pohon," celetuk Badil.
"Terimakasih, kalian baik sekali," ucap Ki Rabul lirih.
"Lukamu cukup parah, Ki. Istirahatlah dulu, jangan banyak bergerak dan bicara," ujar Lasini lembut.
"Terimakasih," ucap Ki Rabul lagi.
Lasini bangkit berdiri.
"Nak...," panggil Ki Rabul.
Lasini yang akan melangkah pergi, jadi mengurungkan niatnya. Tubuhnya diputar, memandang laki-laki tua kurus yang terbaring tanpa daya didipan bambu itu. Hanya selembar tikar pandan lusuh menjadi alasnya.
"Kaliankah yang membawa kukesini?" tanya Ki Rabul ingin tahu.
"Tidak. Kami dibantu seorang pengembara yang kebetulan lewat," sahut Lasini berterus terang.
"Siapa pengembara itu? Apakah dia sudah pergi?"
"Sudah. Dia langsung pergi. Sayang sekali, aku lupa menanyakan namanya tadi."
Ki Rabul menghembuskan napas panjang seraya memejamkan matanya. Sebentar Lasini masih memandangi laki-laki tua itu, kemudian keluar sambil mengajak adiknya. Mereka menutup pintu setelah berada diluar pondok kecil itu, kemudian sama-sama duduk dibawah pohon sambil memiiih- millh kedelai yang akan dijadikan bibit.
"Kasihan Ki Tua itu, ya Kak..?" ujar Badil.
"Yaaah...," sahut Lasini mendesah.
"Mereka kejam sekali, Kak. Mereka memukul dan mencambukinya sampai pingsan begitu. Ih... serem, Kak," celetuk Badil lagi.
"Badil...."
"Ya, Kak...?"
"Lain kali kalau melihat mereka lagi, kamu pergi saja. Jangan sekali-sekali mengintip. Berbahaya! Coba kalau mereka melihatmu tadi. Bisa-bisa kau yang malah didera," Lasini memperingatkan.
"Kalau aku dicambuk... Aku pasti melawan, Kak!" Badil menyombongkan diri.
"Memangnya kamu berani?" goda Lasini mencibir.
"Berani! Tapi kalau sudah besar, Kak. Badil kan masih kecil, mana mungkin bisa melawan orang besar?"
"Dil..., Badil. Lagakmu seperti pendekar saja."
"Aku memang ingin jadi pendekar kalau sudah besar nanti. Biar tidak ada orang yang mengganggu Kakak. Pokoknya kalau ada yang berbuat jahat pada Kakak, pasti Badil bacok!"
Lasini hanya tertawa saja mendengar ocehan anak kecil Itu. Namun suara tawanya terdengar sumbang. Meskipun tertawa, tapi dari sinar matanya terlihat adanya kedukaan yang tersembunyi cukup dalam dihati.
"Kak Lasini tidak percaya kalau aku sudah besar nanti ingin jadi pendekar? Nih ,lihat! Ciaaat..!"
Badil bangkit berdiri, dan langsung memperagakan beberapa jurus silat. Tapi belum lama berlagak, kakinya terantuk sebatang akar pohon, lalu tubuhnya pun jatuh terjerembab.
"Aduh...!"pekik Badil.
Lasini jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat bocah itu meringis sambil memijat-mijat pinggangnya.
"Sakit..?" goda Lasini.
"Tidak! Calon pendekar tidak boleh mengeluh sakit!" sahut Badil mantap.
Lasini hanya tersenyum saja. Ada kebahagiaan bila sedang bercanda dengan anak ini. Badil seorang bocah lucu, cerdas, dan berani. Dia selalu saja bisa cepat menangkap setiap kata-kata dan gerakan ilmu olah kanuragan. Meskipun tadi gerakannya tidak beraturan, namun cukup diakui kalau beberapa jurus yang biasa dilatih Lasini setiap pagi, bisa diserap cepat oleh anak ini.
Padahal Lasini hanya latihan sendiri saja. Dan biasanya, Badil selalu mengikuti setiap gerakan-gerakannya. Tidak pernah Badil meminta diajarkan, tapi anak itu tidak pernah terlambat mengikuti latihan yang dilakukan Lasini setiap pagi, Bahkan kalau malam hari, saat Lasini tengah melatih tenaga dalam dengan bersemadi, bocah itu selalu mengikuti duduk bersila. Memang, Badil belum tahu maksudnya. Tapi bocah itu sudah bisa menangkap, kalau hendak menjadi seorang pendekar harus sering berlatih ilmu olah kanuragan.
"Badil, kau benar ingin jadi pendekar?" tanya Lasini setelah Badil kembali duduk didekatnya.
"Jelas dong, Kak," sahut Badil mantap.
"Kalau kau bersungguh-sungguh, mulai besok pagi aku akan mengajarkanmu beberapa jurus. Kau mau?"
"Tentu dong, Kak...!" sambut Badil gembira.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Seorang pendekar tidak boleh sombong, tidak boleh main pukul, dan tidak boleh tinggi hati. Apalagi berkata kasar, malas dan menjelek-jelekkan orang lain. Apa kau menyanggupi syarat itu?"
"Sanggup!" sahut Badil tanpa berpikir panjang. Tapi semua kata-kata yang diucapkan kakaknya ini meresap dalam hati sanubarinya. Bahkan semua kata-kata itu diulang dikepalanya hingga benar-benar melekat.
"Tapi latihannya berat, Dil," kata Lasini lagi.
"Tidak ada kata berat bagi seorang pendekar, Kak! mantap kata-kata Badil.
Lasini tersenyum. Diusap-usapnya kepala adiknya ini. Badil tampak senang, lalu tersenyum cerah dengan bola mata berbinar. Sudah lama dia ingin sekali mempelajari ilmu olah kanuragan, dan baru sekarang kakaknya bersedia untuk melatihnya. Dalam hati, bocah itu berjanji untuk patuh dan menuruti kata-kata kakaknya ini. Bagaimanapun beratnya, harus dijalankan untuk bisa menjadi seorang pendekar.
********************
Sudah lebih dari dua pekan Ki Rabul hanya terbaring saja didipan bambu. Segala keperluannya selalu disediakan kakak beradik yang menolong dan membawanya ketempat ini. Meskipun Lasini dan Badil melayani dan merawatnya dengan senang hati, tapi perasaan laki-laki tua ini jadi tidak enak juga. Ki Rabul sudah merasa sehat dan bisa turun dari pembaringan, tapi Lasini belum boleh mengijinkannya.
Pagi ini Ki Rabul merasakan tubuhnya benar-benar segar. Laki-laki tua itu turun dari pembaringan bambu ini, kemudian pelahan berjalan kepintu. Dibukanya pintu itu pelahan-lahan sekali. Telinga tuanya langsung mendengar suara-suara orang sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Dari suara-suara yang terdengar, Ki Rabul sudah bisa memastikan kalau mereka adalah Lasini dan adiknya yang sedang berlatih.
Ki Rabul melangkah menuju arah suara-suara itu. Dan teenyata dugaannya tidak meleset. Tidak jauh disamping pondok kecil ini, terlihat Lasini sedang memperagakan jurus-jurus tangan kosong. Sementara dibelakangnya, Badil mengikuti dengan gerakan-gerakan lucu. Namun sesaat kemudian, laki-laki tua itu jadi tertegun. Dipandanginya Badil tanpa berkedip.
"Hm.... Anak itu mempunyai bakat bagus, dan susunan tulang-tularngnya juga bagus sekali," gumam Ki Rabul.
Laki-laki tua itu jadi tertegun diam, namun tidak menyadari kalau Lasini sudah menghentikan latihannya. Dihampirinya laki-laki tua itu. Badil bergegas mengikuti. KiRabul baru tersadar begitu mendengar teguran lembut gadis itu.
"Kenapa bangun, Ki?"
"Aku sudah sehat, Lasini. Tidak enak rasanya jadi orang jompo yang hanya terbaring saja ditempat tidur," sahut Ki Rabul.
"Memangnya Aki sudah benar-benar sehat?" tanya Badil polos.
"Sudah. Kau lihat sendiri, tidak ada lagi luka ditubuhku. Aku benar-benar sudah sehat sekarang, dan ingin melihat kalian berlatih."
"Ah...! itu tadi hanya sekadar bermain-main saja, Ki. Untuk kesehatan badan," Lasini merendah.
"Tapi kulihat, jurus-jurus yang kau mainkan sangat mantap dan bagus."
"Ki Rabul juga bisa ilmu olah kanuragan...?" tanyaLasini.
"Tidak, tapi...," ucapan Ki Rabul terputus. Mendadak saja wajah laki-laki tua kurus itu jadi mendung. Tampak bola matanya berkaca-kaca. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Lasini jadi tertegun melihat perubahan wajah laki-lakitua ini.
"Maaf kalau aku telah menyinggung perasaanmu," ucap Lasini menyesal.
"Oh, tidak... Tidak sama sekali. Aku hanya teringat anakku," kata Ki Rabul buru-buru.
"Oh... dimana anak Aki sekarang?" tanya Lasini
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu. Dia anak baik dan patuh pada orangtua. Kepandaiannya juga tinggi. Tapi.... Yahhh... nasibnya memang malang," lirih sekali nada suara Ki Rabul.
Lasini memandangi wajah laki-laki tua itu dalam-dalam. Terasa ada kesenduan pada sorot matanya yang cekung, masuk kedalam. Sepasang bola mata tua itu berkaca-kaca. Beberapa kali Ki Rabul menghembuskan napas panjang dan terasa berat sekali. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam membisu saja. Saat mereka tengah berdiam diri, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat kearah pondok ini. Mereka semua mengangkat kepala, berpaling kearah suara berasal.
Sesaat mereka hanya diam terpaku, melihat kepulan debu diudara yang semakin mendekat. Mereka saling berpandangan sesaat Lasini menarik tangan adiknya, dan membawanya kebelakang tubuhnya sendiri. Tak berapa lama kemudian, terlihat lima orang penunggang kuda. Semakin dekat, semakin jelas kelima penunggang kuda itu terlihat. Seketika bola mata Ki Rabul membeliak lebar, dan mulutnya ternganga, seolah-olah melihat serombongan hantu yang akan mencekik lehernya hingga mati.
Lima penunggang kuda itu langsung berlompatan turun begitu sampai didepan mereka. Ki Rabul mengenali mereka semua, yang ternyata adalah kaki tangan Barada. Sedangkan Ki Barada sendiri tak nampak diantara mereka. Laki-laki tinggi tegap dan berotot bersembulan yang mencambuk Ki Rabul, ternyata juga ada diantara mereka.
"Hehehe...! Ternyata kau masih hidup juga, Ki Rabul." kata salah seorang yang mengenakan baju warna hijau muda.
Ki Rabul tahu, kalau anak muda yang menggunakan senjata pedang itu bemama Sarapat. Wajahnya terlihat pucat, dan sorot matanya merah menyala mencerminkan kekejaman. Sedangkan yang berdiri disampingkanannya, seorang laki-laki setengah tua yang memegang tombak pendek bermata dua. Bajunya ketat berwarna merah.
Seorang lagi yang bertubuh tinggi tegap berotot, dan memegang cambuk hitam adalah Suro. Sementara dua orang lagi disamping Suro, adalah kakak beradik yang sama-sama mengenakan baju biru. Mereka memegang senjata rantai berujung bola berduri yang kelihatannya berat sekali. Masing-masing bernama Cakak yang berkumis dan Cakik yang tidak berkumis.
Ki Rabul yang mengetahui kalau kelima orang itu adalah manusia kejam, segera menarik tangan Lasini agar menjauh. Gadis itu hanya memandangi Ki Rabul sejenak, kemudian beralih pada lima orang berwajah bengis didepannya.
"Menyingkirlah, Lasini. Mereka manusia iblis yang kejam," jelas Ki Rabul setengah berbisik.
Lasini ingin bertanya, tapi Badil sudah menarik tangan kakaknya, dan membawanya pergi menjauh. Mereka berhenti didepan rumah. Sementara Ki Rabul berdiri tegak, bersikap menantang. Mungkin kali ini, hati laki-laki tua itu sudah nekat. Daripada mati tersiksa, lebih baik mati dalam pertempuran sebagai seorang laki-laki.
"Kau beruntung mempunyai dewi penolong yang cantik, Ki Rabul. Hehehe...," kata Katir seraya melirik Lasini.
Bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebih mirip seringai serigala. Empat orang lainnya terkekeh seraya merayapi wajah Lasini yang cantik. Ki Rabul jadi muak, tapi khawatir juga jika mereka sampai mengganggu gadis yang telah berbaik hati menolong dan merawatnya hingga sembuh seperti sekarang ini.
"Iblis...! Kalian berurusan denganku! Jangan coba-coba mengganggunya...!" bentak Ki Rabul geram.
"Hahaha...! Dia sudah berani main bentak, Kakang Suro," kata Katir seraya melirik laki-laki bertubuh tinggi tegap berotot yang tidak mengenakan baju.
"Grrr...! Mungkin ingin merasakan cambukku lagi" geram Suro seraya mendelik pada laki-laki tua itu.
"Kau pikir aku takut dengan cambuk burutmu!" dengus Ki Rabul nekat.
"Setaaan...!" geram Suro yang tidak pernah bisa mengendalikan kemarahannya. Seketika itu juga laki-laki tinggi tegap itu melompat cepat samba mengayunkan cambuknya yang hitam dan berduri halus.
Ctar!
"Hup...!"
Tanpa diduga sama sekali, ternyata Ki Rabul mampu berkelit menghindari ujung cambuk itu. Bahkan sempat memberikan satu tendangan keras kearah perut Suro.
Bughk!
"Heghk...!"
Suro yang tidak menduga kalau Ki Rabul memiliki ilmu dan kanuragan, jadi mendelik. Tendangan keras kaki kurus itu tepat menghantam perut, membuatnya langsung terbungkuk diiringi keluhan kecil. Tendangan Ki Rabul memang keras sekali meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun itu sudah membuat perut Suro jadi mual seperti ingin muntah.
"Setan...! Grrrh...!" Suro menggeram marah. Tindakan Ki Rabul tadi juga sempat membuat empat orang lainnya mendelik setengah tidak percaya. Mereka sungguh kaget, karena tidak menyangka kalau laki-laki tua yang kelihatan lemah itu mampu memberi perlawanan. Padahal, dua pekan yang lalu, Ki Rabul benar-benar tidak punya daya sama sekali.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak lantang, Suro kembali melompat menyerang Ki Rabul. Cambuknya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Ctar! Ctar! "Hup! Yeaaah...!"
Tangkas sekali Ki Rabul berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang gencar datangnya dari laki-laki tinggi besar bagai raksasa itu. Gerakan Ki Rabul ternyata sungguh cepat dan lincah. Bahkan beberapa kali memberikan serangan balasan, sehingga membuat Suro sedikit kelabakan.
Pertarungan antara Ki Rabul melawan Suro, membuat empat orang lainnya jadi terbengong. Mereka jadi melupakan perhatiannya pada Lasini yang sudah menggendong adiknya. Diam-diam gadis itu menyingkir, dan berlindung dibalik sebongkah batu. Sebenarnya Lasini tidak ingin berbuat seperti ini, yang dianggapnya sebagai pengecut. Namun, keselamatan adiknya yang baru berusia tujuh tahun itu harus dipikirkan juga.
Sementara pertarungan antara Ki Rabul dan Suro, semakin berlangsung sengit. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya. Namun kelihatannya, laki-laki tua itu masih mampu menandingi kehebatan cambuk Suro.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Suro mengebutkan cambuknya kuat-kuat. Dan kali ini, jurusa ndalannya yang dahsyat dikerahkan. Setiap kali cambuknya dikebutkan, maka dari ujung cambuk itu memercik bunga api disertai kepulan asap hitam. Kepulan asap hitam itu semakin lama semakin menebal, menyelimuti tubuh Ki Rabul.
"Hiyaaatt" Ctar!
"Aaakh...!"
********************
DUA
Dalam kepulan asap hitam yang membuat pandangan mata terganggu, Ki Rabul tidak bisa menghindari satu jilatan cambuk disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Ujung cambuk tepat menyengat dadanya, hingga membuat kulitnya sobek hingga menembus daging. Darah langsung mengalir keluar dari dada yang sobek, begitu panjang dan dalam.
Ki Rabul terhuyung-huyung ke belakang, sambil meringis merasakan perih pada dadanya yang terluka. Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, mendadak saja Suro sudah melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Cambuknya diangkat tinggi-tinggi keatas kepala. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam penuh, dikebutkan cambuk itu kuat-kuat kearah kepala Ki Rabul.
"Hiyaaa...!"
Ctar! Glarrr!
Sungguh dahsyat serangan yang dilakukan Suro. Dari ujung cambuknya memercik bunga api disertai kepulan asap hitam. Ujung cambuk itu persis mengarah kekepala Ki Rabul. Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh laki- laki tua itu. Akibatnya, hantaman cambuk Suro hanya menyengat tanah kosong. Seketika tanah itu terbongkar membentuk lobang yang lebar dan cukup dalam.
"Setan...!" geram Suro begitu menyadari sasarannya lolos dari serangan.
Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan laki-laki tinggi berotot itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih. Pemuda itu menyangga tubuh Ki Rabul yang kelihatan lemas akibat terlalu banyak mengeluarkan darah. Diberikannya totokan di sekitar luka didada laki-laki tua itu, maka darah seketika berhenti mengalir.
Dari balik batu besar, keluar Lasini yang diikuti adiknya. Gadis itu langsung mengambil Ki Rabul dan membawanya keberanda. Dibaringkannya laki-laki tua itu keatas dipan bambu. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu masih berdiri tegak menghadapi Suro. Empat orang lainnya bergegas menghampiri Suro, dan berdiri disampingnya.
"Heh! Siapa kau...?!" bentak Suro berang.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku!" dingin sekali jawaban pemuda itu.
"Setan..! Berani kau menantang aku, heh...?!" geram Suro semakin marah.
"Untuk manusia pengecut macam kalian, tidak ada gunanya bersilat lidah!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju rompi putih itu.
Sambil menggeram dahsyat, Suro mengegoskan kepalanya. Maka seketika itu juga empat orang temannya berlompatan mengepung pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Suro langsung melompat menyerang sambil mengebutkan cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Ctar!
"Hup!"
Sukar dipercaya, pemuda itu tidak berkelit sedikitpun. Bahkan tangkas sekali mengatupkan keduatangannya, langsung menjepit ujung cambuk hitam berduri halus itu. Suro jadi terkejut bukan main. Dihentakkan cambuknya kuat-kuat. Tapi jepitan tangan pemuda itu kuat bukan main, bagaikan sepasang penjepit besi baja!
"Hiyaaa...!"tiba-tiba saja dari arah samping kanan, melompat seorang berbaju merah yang langsung mengayunkan tombaknya kearah pemuda berbaju rompi putih itu.
Suara mendesing dari kebutan tombak itu membuat pemuda berbaju rompi putih jadi tersentak sedikit. Tapi dengan cepat diliukkan tubuhnya seraya kakinya bergeser kesamping. Maka hentakan tombak itu hanya mengenai angin kosong. Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu mengibaskan kakinya kearah orang yang membawa tombak. Ternyata, dia adalah Katir.
"Yeaaah...!"
Bet!
Tendangan kaki pemuda itu sungguh cepat, sehingga Katir tidak mampu lagi berkelit. Apalagi pada saat itu, tubuhnya memang sedang dalam keadaan doyong kedepan. Namun begitu, tubuhnya masih berusaha ditarik kebelakang. Tapi, tendangan pemuda itu masih juga mengenai bagian pinggangnya.
"Akh...!" Katir memekik keras.
Tepat saat tubuh Katir terpental, pemuda berbaju rompi putih itu melentingkan tubuhnya keatas. Seketika dihentakkan tangannya untuk melepaskan Jepitan pada ujung cambuk hitam berduri halus.
"Whaaa...!"
Suro tersentak kaget, dan tubuhnya yang besar itu tidak mampu lagi di kuasai. Dia langsung terpental, jatuh bergulingan ditanah. Bersamaan dengan itu, kaki pemuda berbaju rompi putih sudah melayang kearah kepala Suro. Tapi belum juga kaki pemuda itu menghantam kepala Suro, mendadak saja dua orang berbaju birum melontarkan rantai besi baja yang berbandul bola berduri dari arah berlawanan. Suara lontaran senjata rantai berbandul bola berduri itu mendesing keras, menderu-deru bagai angin topan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu cepat melentingkan tubuhnya, lalu berputaran dua kali kebelakang. Dengan manis sekali kakinya mendarat ditanah. Kemudian, langsung diliukkan tubuhnya ketika sebilah pedang berwarna keperakan menyambar dengan kecepatan bagai kilat kearahnya. Pedang itu lewat sedikit disamping pinggang pemuda itu.
"Yeaaah...!"
Pada saat yang sama, pemuda itu mengibaskan tangannya, tepat menghantam pergelangan tangan kanan Sarapat.
"Akh...!"Sarapat memekik keras agak tertahan. Untung saja Sarapat cepat menarik tangannya, dan memindahkan pedang ketangan kiri. Dengan demikian, senjatanya berhasil diselamatkan.
Tapi sebelum dia melompat mundur, pemuda itu sudah melayangkan satu tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu tepat menghantam dada Sarapat, sehingga membuatnya terpental sambil memekik keras melengking. Sarapat jatuh bergulingan ditanah, dan punggungnya membentur sebatang pohon hingga tumbang. Sarapat merintih lirih, sambil bergerak mencoba bangkit berdiri. Bibirnya menyeringai, menahan sakit.
Sementara pemuda berbaju rompi putih masih berdiri tegak memandangi lima orang yang memacu kuda bagai dikejar setan. Pemuda itu baru berbalik setelah kelima orang itu tidak terlihat lagi bayangannya. Yang terlihat kini hanyalah kepulan debu yang membumbung tinggi keangkasa semakin menjauh. Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah menghampiri beranda depan.
Tampak Ki Rabul sudah bisa duduk, dan dadanya yang terluka sudah terbalut kain putih. Disampingnya, duduk seorang gadis cantik sambil memang kubocah laki- laki berusia sekitar tujuh tahun. Pemuda itu berdiri didepan mereka.
"Bagaimana lukanya, Ki?" tanya pemuda itu lembut
"Ah, tidak apa-apa. Oh, ya....Terimakasih atas pertolonganmu," sahut Ki Rabul
"Ah, lupakanlah. Aku hanya kebetulan lewat, dan melihat mu tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan," kata pemuda itu merendah.
"Kau hebat sekali, bisa menandingi keroyokan mereka," puji Ki Rabul tulus.
Pemuda itu hanya tersenyum saja. Dia memandang Lasini yang duduk disamping Ki Rabul sambil memangku adiknya. Gadis itu kebetulan sedang memandang pemuda tampan ini. Maka, tanpa dapat dicegah lagi pandangan merekapun bertemu. Entah kenapa, tiba-tiba saja wajah gadis itu menyemburat merah dadu. Buru-buru dipalingkan wajahnya kearah lain.
"Kalau boleh aku tahu, siapa nama mu, Anak Muda?" tanya Ki Rabul.
"Rangga," sahut pemuda itu menyebutkan namanya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang bernama Rangga yang lebih dikenal dalam rimba persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tapi saat pemuda itu menyebutkan namanya, mendadak saja Ki Rabul terlonjak. Bahkan langsung turun dari pembaringan diberanda depan pondok kecil ini.
Dirayapi pemuda berbaju rompi didepannya dalam-dalam, dari ujung kepala sampai keujung kaki, seakan-akan ingin meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah.
"Ada apa, Ki? Apa ada yang salah pada diriku?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Oh, tidak... Apakah kau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" nada suara Ki Rabul terdengar tergagap dan ragu-ragu.
Rangga hanya tersenyum saja, dan hanya menganggukkan kepalanya. Memang orang lebih mengenal julukannya daripada nama aslinya.Tidak banyak orang yang mengetahui namaa slinya, kecuali hanya orang-orang tertentu saja. Mengingat itu, Rangga jadi tertegun. Kini malah dia yang memandangi Ki Rabul dalam-dalam.
"Oh! Tidak kusangka, ternyata aku bisa bertemu seorang pendekar besar dan digdaya. Sungguh beruntung sisa kehidupanku ini...," desah Ki Rabul dengan mata berbinar.
Laki-laki tua itu menggamit tangan Rangga, dan mengajaknya duduk didipan bambu. Sedangkan Lasini hanya memperhatikan saja disertai kening agak berkerut. Gadis itu tahu kalau pemuda inilah yang dulu pernah menolongnya membawa Ki Rabul kepondok ini. Namun, Pemuda ini menghilang begitu saja saat Lasini sibuk membersihkan luka- luka ditubuh laki-laki tua itu. Kini pemuda itu muncul lagi, dan Ki Rabul kelihatannya begitu gembira.
"Lasini, kau harus berbangga karena pondokmu kedatangan seorang pendekar digdaya yang tidak tertandingi saat ini,"kata Ki Rabul.
"Ki, siapa dia sebenarnya?" tanya Lasini setengah berbisik dekat telinga Ki Rabul.
Ki Rabul malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan gadis itu.Tentu saja hal ini membuat Lasini memberengut. Ki Rabul menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Bibirnya selalu tersenyum dan bola matanya terus berbinar.
"Dia bernama Rangga, dan terkenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Memangnya, Kau belum pernah mendengar tentang Pendekar Rajawali Sakti?" kini Ki Rabul malah bertanya, Lasini hanya diam saja.
Dicobanya untuk mengingat-ingat, tapi nama Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah didengarnya. Namun gadis itu akhirnya percaya saja, karena tadi telah melihat bagaimana pemuda tampan ini mengusir lima orang berkepandaian tinggi dan kelihatan sangat kejam. Gadis itu kembali memandangi wajah tampan yang duduk disamping kiri KiRabul.
Sedangkan dia sendiri berada disamaping kanan KiRabul. Jadi, Ki Rabul seperti pembatas saja. Lasini kembali mengalihkan pandangannya kearah lain, begitu Rangga juga menatap kearahnya. Entah kenapa, hatinya merasa tidak sanggup bila harus bertemu mata. Malah jantungnya jadi berdebar kencang setiap kali bertemu pandang denga pemuda itu. Belum pernah dirasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Nak Rangga, kau berada disini bukan hanya sekedar lewat saja, bukan?Aku yakin ada sesuatu sehingga kau berada ditempat sepi dan terpencil ini," tebak Ki Rabul bernada sungguh-sungguh.
Sayang sekali, Ki. AKu sebenarnya hanya sekedar lewat saja. AKu tidak punya kepentingan ditempat ini, sahut Rangga Kalem.
"Oh! Kalau begitu, boleh kuminta bantuanmu...?"
"Bantuan apa, Ki?" tanyaRangga. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menolak memberikan bantuan pada siapapun bagi yang memerlukan. Terutama jika menolong seseorang atau sekelompok orang yang tertindas akibat kesewenang-wenangan. Terlebih lagi, daerah ini tidak berapa jauh dari wilayah Kerajaan Karang Setra.
Tapi karena jiwa kependekarannya, diaharus mengembara memberantas keangkaramurkaan. Rangga tahu meskipun daerah ini jauh dar ipusat Kerajaan Karang Setra, tapi masih termasuk wilayah kerajaan itu. Dan itu berarti, orang-orang ini adalah rakyatnya yang tentu tidak mengetahui tentang rajanya.
"Tentang mereka itu, Nak," kata Ki Rabul.
"Orang-orang yang hampir membunuhmu tadi?" tanya Rangga ingin penegasan.
"Benar, Nak Rangga. Mereka orang-orang kejam yang selalu menindas rakyat kecil. Aku pernah hampir mati oleh mereka, kalau saja tidak ditolong Lasini dan adiknya ini," jelas Ki Rabul.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Dia sudah tahu, karena telah membantu Lasini dan adiknya membawa Ki Rabul kepondok ini. Memang kejadian itu sudah berselang sekitar dua pekan lamanya, dan Lasini sendiri hampir melupakan pemuda itu. Tapi gadis itu langsung ingat, hanya saja tidak ingin banyak bicara.
"Kalau saja aku mampu, sudah dari dulu aku menumpas mereka. Tapi aku tidak mampu. Mereka terlalu kuat bagi orangtua sepertiku ini, Nak Rangga," lanjut Ki Rabul bernada mengeluh.
Rangga hanya terdiam saja, tapi menyimak penuh perhatian setiap kata yang diucapkan Ki Rabul. Dari sikap orang-orang tadi, Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau mereka adalah orang-orang kasar yang selalu bertindak dengan kekerasan dan kekejaman. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu permasalahannya, mengapa mereka hendak membunuh orangtua ini...?
********************
Malam sudah cukup larut. Sekitar pondok kecil ditepi hutan itu terasa sunyi terselimut kegelapan. Malam ini, bulan seperti enggan menampakkan diri. Akibatnya sekeliling daerah itu begitu gelap, tanpa penerangan sedikitpun juga. Mirip sebuah gua tanpa obor. Didepan pondok, dibawah pohon kebembem, Pendekar Rajawali Sakti duduk mencangkung memandangi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.
Malam ini tidak ada angin berhembus, membuat udara terasa panas. Bahkan kesunyian begitu mencekam, sedikitpun tak terdengar suara binatang malam menggerit. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu langsung bisa menangkap ketika terdengar suara langkah kaki halus dari arah belakang. Kepalanya berpaling dan mulutnya langsung tersenyum begitu melihat Lasini menghampirinya.
"Belum tidur, Dik Lasini?" tanyaRangga setelah gadis itu dekat disampingnya.
"Belum ngantuk," sahut Lasini seraya duduk disamping Rangga.
"Malam sudah begini larut...," desah Rangga.
"Ya, dan panas sekali," sambung Lasini pelahan.
"Rasanya tidak akan terjadi sesuatu malam ini,"duga Rangga lagi.
"Kau sengaja menunggu mereka, Kakang?" tanya Lasini ingin tahu.
"Aku hanya menduga saja. Biasanya, orang seperti mereka selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Terutama saat kita lengah. Maka sudah sepatutnya kita tidak boleh lengah sedikit pun dalam menghadapi orang seperti itu," jelas Rangga.
"Sepertinya kau sudah pengalaman sekali menghadapi orang-orang seperti mereka, Kakang," kata Lasini seperti ingin mengetahui tentang diri Pendekar Rajawali Sakti lebih dalam lagi.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Memang Pendekar Rajawali Sakti sudah banyak mengenyam pahit getirnya dunia persilatan. Rasanya tidak akan ada habisnya jika harus bergelut didalam rimba yang penuh kekerasan, kedengkian dan keserakahan ini.
Sepertinya, Hyang Jagat Nata memang sengaja menciptakan manusia untuk saling bertentangan tanpa ada penyelesaian yang berakhir menyenangkan. Tidak jarang Rangga harus menghadapi mereka yang merasa sakit hati, dan ingin mencelakakannya.
Dendam memang selalu menyelimuti setiap hati manusia, dan tidak akan pernah bisa menyelasikan suatu persoalan. Dendam yang berakhir akan melahirkan dendam baru yang lebih dahsyat lagi. Itulah sebabnya Rangga tidak akan pernah merasa dendam pada siapapun. Bahkan selalu memberi pintu kesempatan bagi lawan-lawannya yang ingin memperbaiki jalan hidupnya. Tapi kemurahan hati Pendekar Rajawali Sakti ini seringkali dimanfaatkan mereka yang ingin membalas dendam.
"Kakang...," tegur Lasini lembut
"Oh...!" Rangga tersentak dari lamunannya.
"Kok melamun...? Ingat kekasihnya, ya?" kata Lasini
Padahal dalam mengucapkan itu, Lasini sempat menggigit bibirnya sendiri. Entah kenapa, gadis itu merasakan adanya ketidak senangan bila pemuda tampan ini memiliki kekasih, dan sekarang sedang melamunkannya. Sedangkan Rangga hanya diam saja, lalu tersenyum seraya memalingkan muka memandang gadis disebelahnya.
Pandangan Rangga yang tiba-tiba itu, membuat Lasini gugup sendiri. Buru-buru dialihkan pandangannya kearah lain. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu, dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan lagi. Lasini merasakan seluruh aliran darahnya terbalik, ketika Pendekar Rajawali Sakti mengambil tangannya dan menggenggam erat-erat.
"Tanganmu dingin sekali, Kau sakit...?" tanya Rangga merasakan tangan gadis itu begitu dingin dan berkeringat.
"Ah! Tidak... aku tidak apa-apa..." sahut Lasini jadi tergagap. Buru-buru ditarik kembali tangannya, dan duduknya bergeser agak menjauh.
Sementara Rangga memandangi gadis itu lekat-lekat, sehingga membuat Lasini semakin serba salah. Dia tidak tahu lagi, seperti apa saat ini wajahnya. Yang jelas seluruh wajahnya terasa jadi panas seperti terbakar. Pemuda tampan ini benar-benar telah membuatnya seperti orang bodoh. Perasaannya bagai tikus kepergok mencuri ikan, dikelilingi puluhan kucing liar.
"Ma... maaf... Aku akan tidur dulu," kata Lasini masih tergagap.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri. Tapi saat itu, sebuah benda bercahaya keperakan melesat bagaikan kilat kearahnya. Rangga yang mengetahui lebih dahulu, langsung tersentak kaget.
"Awas...!" seru Rangga keras. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menerkam Lasini yang juga terkejut mendengar teriakan tadi. Namun belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba sepasang tangan sudah memeluk pinggangnya, sehingga membuat keseimbangan tubuhnya jadi tidak terkendali.
"Akh...!" Lasini memekik kecil. Gadis itu jatuh bergulingan bersama Rangga yang masih memeluk pinggangnya kuat-kuat. Maka, benda bercahaya keperakan itu melesat lewat diatas tubuh mereka. Benda keperakan itu langsung menghantam pohon tempat tadi mereka duduk, hingga langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat. Rangga langsung melompat bangkit berdiri sambil menarik tangan gadis itu. Lasini tersentak lalu berdiri disamping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa...?" tanya Lasini tidak mengerti.
Belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak terdengar tawa keras menggelegar. Baik suara tawa maupun suara ledakan akibat pohon yang hancur tadi, membuat Ki Rabul dan Badil terbangun dari tidurnya. Laki-laki tua itu cepat menyambar tubuh bocah itu dan menggendongnya. Sambil menyambar golok yang berada diatas meja, Ki Rabul melompat keluar menjebol pintu. Laki-laki tua itu langsung mendarat disamping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, suara tawa masih terdengar menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin.
"Hahaha...!"
"Hm...,"gumam Rangga pelahan.
********************
TIGA
Bersamaan dengan berhentinya suara tawa itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua berjubah merah menyala. Ditangannya tergenggam sebatang tongkat panjang yang melewati tinggi tubuhnya. Yang lebih aneh lagi, seluruh rambutnya berwama merah bagai terbakar. Kakek itu tertawa terkekeh seraya melangkah mendekali. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi didepan Pendekar Rajawali Sakti yang diapit Lasini dan Ki Rabul.
"Iblis Racun Merah...! Ada apa dia kesini...?" desis Ki Rabul mengenali laki-laki tua yang serba merah itu.
Gumaman Ki Rabul yang begitu pelan, masih bisa terdengar juga oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dan pemuda berbaju rompi putih itu melirik sedikit pada Ki Rabul yang masih menggendong bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun. Mata tanpa dosa itu malah memandangi laki-laki tua yang dirasakannya sangat aneh.
"Hehehe....Kau pasti yang bernama Ki Rabul!" kata laki-laki aneh berjubah merah itu seraya menunjuk Ki Rabul.
"Benar!" sahut Ki Rabul tegas." Ada apa kau mencariku, Iblis Racun Merah?"
"Hahaha...!" laki-laki tua berjubah merah yang dipanggil Iblis Racun Merah itu tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya begitu keras menggelegar, menyakitkan gendang telinga. Sampai-sampai, Badil menutup telinga dengan kedua tangannya. Rangga tahu kalau tawa itu mengandung pengerahan tenaga dalam. Maka Pendekar Rajawali Sakti langsung mengambil Badil dari gendongan Ki Rabul, kemudian menyerahkannya pada Lasini. Segera disuruhnya Lasini agar membawa adiknya menyingkir sejauh mungkin. Tanpa membantah sedikitpun, gadis itu pergi. Tapi dia tidak pergi jauh, dan pandangannya terarah pada mereka yang berada didepan pondoknya.
"Dengar, Ki Rabul! Aku datang untuk menagih hutang padamu!" tegas Iblis Racun Merah, namun terdengar dingin nada suaranya.
"Hm..., kita belum pernah bertemu. Jadi, bagaimana aku merasa pernah punya hutang padamu?" sahut Ki Rabul datar.
"Memang kau tidak secara langsung berhutang, tapi anakmu telah berhutang nyawa padaku!" bentak siIblis Racun Merah lantang.
Ki Rabul tersenyum sinis. Terdengar dengusan napasnya yang keras. Sementara Rangga hanya diam saja mendengarkan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua ini begitu banyak mempunyai musuh. Bahkan yang menginginkan kematiannya adalah tokoh-tokoh rimba persilatan kelas tinggi. Seperti siang tadi, lima orang berkemampuan cukup tinggi telah datang dan ingin membunuhnya. Dan sekarang, muncul seorang laki-laki tua aneh berjubah merah yang seluruh rambutnya berwarna merah menyala. Dia juga menginginkan kematian Ki Rabul.
Rangga jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya Ki Rabul ini? Namun belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu terjawab, mendadak saja laki-laki berjubah merah yang berjuluk Iblis Racun Merah itu sudah melompat bagaikan kilat menerjang Ki Rabul. Tongkat merah yang bagian atasnya berbentuk kepala tengkorak manusia itu dikebutkan keras, sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Cepat sekali Ki Rabul melompat kebelakang, sehingga tebasan tongkat itu hanya mengenai tempat kosong. Sementara Rangga yang tadi berada disampingnya, jadi terkejut. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya hembusan angin keras dan terasa panas. Maka cepat-cepat kakinya ditarik kebelakang. Tepat pada saat itu, si Iblis Racun Merah mengibaskan ujung tongkatnya ke arah pemuda berbaju rompi putih itu.
"Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena si Iblis Racun Merah mampu memutar tongkat demikian cepat luar biasa dan tidak terduga samas ekali. Biasanya seseorang yang menghantamkan tongkat dari atas kebawah, harus menarik dulu tongkatnya sebelum melakukan serangan kembali. Tapi laki-laki tua berjubah merah itu malah langsung memutar tongkatnya, lalu mengibaskan kesamping tanpa menghentikan gerakan arus tongkatnya. Hal ini membuat Rangga harus mengakui kehebatan si Iblis Racun Merah.
Kalau saja Rangga tidak cepat menarik kakinya kebelakang ,sudah pasti ujung tongkat si Iblis Racun Merah akan menghantam tubuhnya. Namun serangan laki-laki tua itu hanya lewat didepan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun serangannya luput, namun sudah membuat Rangga sedikit terhuyung terkena angin sambaran tongkat itu.
"Gila...!" dengus Rangga dalam hati.
"Hehehe...!" Iblis Racun Merah tertawa terkekeh sambil menarik pulang tongkatnya. Segera dihentakkan ujung tongkatnya ketanah diujung jari kaki.
Sementara itu Ki Rabul menggeser kakinya, mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki tua itu sudah siap mencabut goloknya yang terselip dipinggang. Sedangkan Rangga hanya berdiri tegak, menatap tajam tanpa berkedip kearah laki-laki tua berjubah merah itu. Suara tawa si lbiis Racun Merah masih terdengar sumbang.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda Kuharap kau tidak mencampuri urusan pribadiku dengan Ki Rabul!" tegas Iblis Racun Merah, dingin nada suaranya.
"Hm...," Rangga hanya bergumam kecil.
"Menyingkirlah, Pendekar Rajawali Sakti! Ini bukan urusan mu, tapi urusan pribadiku dengan manusia pengkhianat itu!" bentak si Iblis Racun Merah, lantang nada suaranya.
"Dia tidak akan menyingkir! Aku sudah memintanya untuk melindungiku!" dengus Ki Rabul tegas.
"Phuah...!" Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya dengan sengit. Laki-laki tua berjubah merah itu menatap Ki Rabul tajam, kemudian beralih pada pemuda berbaju rompi putih yang berada disamping laki-laki tua itu. Sorot matanya memerah dan begitu tajam, seakan-akan ingin menghanguskan dua orang yang berada didepannya.
"Dengar, Iblis Racun Merah. Sebenarnya urusanmu bukan denganku, tapi dengan anakku! Dan sekarang, aku punya hak untuk mendapatkan seorang pembela yang akan menghadapimu, atau siapa saja yang mencoba mengganggu kehidupanku!" tegas Ki Rabul.
"Hahaha...!" Iblis Racun Merah tertawa terbahak-bahak, dan langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti." Bagus! Jika kau memang benar berada dibelakang manusia busuk itu, berarti aku tidak perlu lagi bersusah-payah mencarimu untuk bertanding, Pendekar Rajawali Sakti. Sudah lama aku ingin bertemu denganmu. Kita buktikan, siapa diantara kita yang lebih berhak menguasai rimba persilatan!"
Mendengar hal itu, Rangga jadi mendengus keras. Pendekar Rajawali Sakti paling tidak suka mendengar tantangan yang bernada pongah. Baginya, tidak ada seorangpun yang bisa menguasai seluruh dunia. Saat ini, mungkin dirinya memang yang paling tangguh. Tapi bukannya tidak mustahil bakal ada orang lain lagi yang lebih tinggi ilmunya daripada dirinya. Atau mungkin dibelahan bumi lain, ada yang lebih tinggi lagi saat ini. Yang pasti, tingginya gunung, masih lebih tinggi langit. Dan di atas langit, masih ada yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya.
Trak!
Iblis Racun Merah menghentakkan tongkatnya hingga menyilang didepan dada. Di genggamnya bagian tengah tongkat merah itu dengan kedua tangannya. Pelahan kakinya bergeser kesamping, setengah memutari tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Rabul. Pandangan matanya begitu tajam menusuk, seakan-akan tengah mengukur tingkatke pandaian dua orang lawannya itu.
"Aku minta kau menyingkir lebih dahulu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan menyelesaikan urusanku dulu dengan manusia pengkhianat itu!" datar dan dingin sekali nada suara si Iblis Racun Merah.
Sebentar Rangga melirik Ki Rabul. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti tengah mempertimbangkan permintaan laki-Iaki berjubah merah itu. Sedangkan Ki Rabul hanya menatap Rangga. Sinar matanya menyiratkan permohonan kepada Pendekar Rajawali Sakti agar dirinya tidak sampai bertarung melawan laki-laki berjubah merah itu. Dari sorot mata Ki Rabul, Rangga sudah bisa mengerti. Maka didorong halus dada laki-laki tua itu agar kebelakang. Ki Rabul tersenyum senang. Bergegas kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu.
"Phuih! Keparat kau Rabul...!" geram si Iblis Racun Merah.
Iblis Racun Merah benar-benar geram akan sikap Ki Rabul yang dianggapnya pengecut. Sepertinya, laki-laki itu hanya melindungi dirinya sendiri dibelakang nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Namun laki-laki berjubah merah yang kini sudah berhadapan dengan Rangga, tidak mungkin lagi menarik mundur. Mulutnya tadi sudah sesumbar akan menantang pendekar muda itu dalam pertarungan tunggal.
"Kau tadi mengatakan ingin menantangku, Kisanak. Nah, sekarang aku sudah siap menerima tantanganmu," tegasRangga.
"Huh! Kau terlalu pongah, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Iblis Racun Merah. Pendekar Rajawali Sakti merentangkan tangannya. Dipersilakannya laki-laki tua berjubah merah itu untuk menyerang lebih dahulu. Melihat pemuda berbaju rompi putih itu sudah siap menerima serangan, Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya. Dari sikapnya, terlihat jelas kalau laki-laki tua berjubah merah itu ragu-ragu dalam menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih! Kepalang tanggung!" dengus Iblis Racun Merah dalam hati.
Iblis Racun Merah memang tidak bisa lagi melakukan apa-apa, selain harus bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Mulutnya sudah sesumbar untuk menantang pemuda berbaju rompi putih itu. Jika sampai diurungkan, sudah pasti seluruh rimba persilatan akan menertawakannya. Maka tak akan ada lagi tempat baginya didunia ini jika hal itu terjadi.
Bahkan pendekar tanggung pun akan menantang bertarung tanpa menghiraukan julukannya yang sudah membuat tokoh-tokoh rimba persilatan harus berpikir dua kali jika harus berhadapan dengannya. Kini, Iblis Racun Merah harus menghadapi seorang pendekar digdaya yang sangat ditakuti dan disegani, baik oleh golongan putih maupun golongan hitam. Dan semua itu karena berbicaranya tidak dipikirkan lebih dahulu. Jelas kalau perkataannya tadi sudah menyinggung, dan diterima bulat-bulat Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh persilatan tidak akan undur setapakpun jika menerima tantangan terbuka seperti ini.
"Silakan, kau yang menjual dan aku siap membeli daganganmu," kataRangga kalem.
"Phuih!" lagi-lagi Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya.
Pelahan laki-laki berjubah merah itu menggeser kakinya kesamping. Tongkatnya diputar pelahan didepan dada. Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak dengan tangan merentang terbuka kesamping. Bibirnya tidak pernah lepas menyunggingkan senyuman.
"Hup! Hyeaaa...!"
Sambil berteriak keras melengking tinggi, laki-laki tua berjubah merah itu melompat menerjang sambil mengibaskan ujung tongkatnya tiga kali ke beberapa bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun manis sekali, Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan si Iblis Racun Merah. Sedikitpun kakinya tidak bergeser, tapi serangan laki-laki tua itu tidak mengenai sasaran sama sekali. Tentu saja hal ini membuat si Iblis Racun Merah jadi geram bukan main.
"Setan! Hiyaaat...!"
Iblis Racun Merah memperhebat serangan-serangannya. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan, dan langsung disalurkan pada tongkatnya. Sehingga tongkat merah itu semakin bersinar bagai terbakar. Hebatnya, setiap kebutan tongkatnya selalu mengeluarkan hawa panas menyengat.
"Hawa racun...," desis Rangga dalam hati. Dan memang, si Iblis Racun Merah sudah mengeluarkan jurusa ndalannya yang paling ditakuti. Jurus Tongkat Beracun. Suatu jurus berbahaya yang mengandung hawa racun pada setiap kibasan tongkatnya. Racun itu sangat dahsyat dan mematikan. Biasanya, lawan yang berhadapan dengannya tidak akan tahan lama bila menghirup udara yang sudah tercemar racun itu. Lawan akan menjadi pening, dan seluruh tubuhnya menjadi panas seperti terbakar.
Sementara Rangga melayani laki-laki tua berbaju merah itu dengan menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajalb. Suatu jurus yang sering digunakan jika bertarung satu lawan satu. Dengan jurus ini. Pendekar Rajawali Sakti bisa menjajaki, sampai dimana tingkat kepandaian lawan sebelum mulai membalas serangan. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh sukar diterka. Bahkan sepertinya tidak melakukan permainan jurus sama sekali. Terkadang tubuhnya doyong hampir jatuh.
Bahkan terkadang bergelimpangan ditanah, lalu dengan cepat bangkit berdiri. Sepertinya, pemuda berbaju rompi putih itu bagai orang mabuk, kebanyakan minum arak. Melihat ini, si Iblis Racun Merah menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah terkena pengaruh racun yang disebarkan melalui tongkatnya. Dan memang, setiap lawan yang sudah tidak tahan oleh racunnya, akan mengalami hal serupa. Gerakan-gerakannya jadi kacau, dan tubuhnya limbung tak terkendali lagi.
"Hiya! Yeaaah...!"
Iblis Racun Merah semakin memperhebat serangan-serangannya. Dia benar-benar menyangka kalau pertarungan ini akan mudah dimenangkannya, karena Rangga tidak memberi perlawanan sama sekali. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya berkelit dan menghindar, seperti tak mampu memberi perlawanan. Namun sampai sejauh ini, si Iblis Racun Merah masih belum juga bisa mendesak. Bahkan tak satupun dari serangannya yang berhasil mengenai sasaran. Semuanya dapat dihindari Pendekar Rajawali Sakti. Yang lebih menjengkelkan lagi, pemuda itu bisa menghindar, meskipun dalam keadaan kritis.
"Kurang ajar...! Kau mempermainkan aku, Bocah Keparat...!" geram Iblis Racun Merah begitu menyadari kekeliruannya.
Sementara Rangga hanya tersenyum saja sambil terus bergerak menghindari setiap serangan yang datang. Tapi sekarang, sesekali diberikannya serangan balasan, meskipun tidak berarti. Memang, pukulan maupun tendangan yang dilontarkan Rangga tidak berbahaya sama sekali. Bahkan terkesan lamban. Tentu mudah bagi si Iblis Racun Merah untuk menghindarinya.
"Hup...!" Iblis Racun Merah melompat ke belakang sejauh tiga batang tombak.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti menghentikan gerakannya, lalu berdiri tegak dengan tangan melipat didepan dada. Sedangkan si Iblis Racun Merah sudah bersiap mengerahkan jurus lainnya.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras melengking, laki-laki tua berjubah merah menyala itu melompat cepat bagai kilat. Ujung tongkatnya tertuju lurus kearah dada pemuda berbaju rompi putih. Dan begitu ujung tongkat hampir menyambar dada, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali menarik tubuhnya kesamping agak miring. Lalu dengan cepat pula tangannya dikibaskan kearah lambung.
"Yeaaah...!"
Beghk!
"Ughk...!" Iblis Racun Merah mengeluh pendek. Seketika perutnya terasa mual. Laki-laki tua berjubah merah itu terpental balik kebelakang sejauh tiga batang tombak. Dan sebelum menyentuh tanah, Rangga sudah melompat menerjang seraya melontarkan satu pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hiyaaat..!"
"Hah...!"
Iblis Racun Merah terperangah melihat kedua kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi memerah bagai terbakar. Ditambah lagi, lompatan pemuda berbaju putih itu demikian cepat bagai kilat. Buru-buru Iblis Racun Merah menggulirkan tubuhnya kesamping. Maka pukulan Rangga hanya menghantam tanah, tempat laki-laki tua itu tadi tergeletak setelah terkena sodokan pada lambungnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Iblis Racun Merah melompat bangkit berdiri. Tiba-tiba dia berdahak, dan memuntahkan darah kental dari mulutnya. Rupanya sodokan pada lambungnya mengandung tenaga dalam tinggi, sehingga laki-laki tua itu terluka dalam cukup parah. Sedangkan pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang menghantam tanah, membuat bumi jadi berguncang hebat disertai ledakan dahsyat menggelegar. Tampak tanah bekas pukulan pemuda berbaju rompi putih itu berlubang besar. Tampak pula debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Gila...!" desis Iblis Racun Merah terbeliak menyaksikan kedahsyatan pukulan pemuda itu.
Rangga memutar tubuhnya, berbalik menghadap Iblis Racun Merah. Sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu memerah, menyorot tajam. Seakan-akan tatapan itu hendak melumat habis tubuh tua berjubah merah didepannya. Pelahan laki-laki berjubah merah itu melangkah mundur.
"Kau kuberi kesempatan hidup, Kisanak. Tapi jangan coba-coba mengganggu Ki Rabul, atau orang-orang lain yang tidak bersalah denganmu," kata Rangga mendesis tajam.
"Hhh...! Kali ini kau boleh merasa menang, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi lain kali, kau akan berlutut memohon belas kasihan padaku!" dengus Iblis Racun Merah.
"Silakan pergi dari sini!" bentak Rangga keras.
"Phuih!" Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya. Tapi semburan ludahnya berwarna merah. Dan saat itu juga Iblis Racun Merah menyadari kalau dirinya terluka dalam cukup parah. Itu berarti harus segera disembuhkan, sebelum menjadi lebih parah lagi. Sambil mengumpat dan mengancam, laki-laki tua berjubah merah itu segera melompat pergi. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Rangga memutar tubuhnya, lalu melangkah menghampiri Ki Rabul yang berdiri disamping Lasini yang menggendong adiknya. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu kemudian mengambil Badil dari gendongan Lasini, lalu menggendongnya sambil tersenyum, memijit hidung bangir bocah itu.
"Ah! Kenapa tidak dibunuh saja dia, Nak Rangga?" ujar Ki Rabul menyayangkan sikap Rangga yang membiarkan si Iblis Racun Merah pergi begitu saja.
"Dia hanya menantangku, dan tidak ada alasan bagiku untuk membunuhnya, Ki," jelas Rangga.
"Tapi, dia bisa datang lagi. Aku bukannya takut, tapi mencemaskan Lasini dan Badil. Dia itu licik. Segala cara akan ditempuhnya demi mencapai kemenangan," ada nada kecemasan pada suara Ki Rabul.
"Untuk beberapa saat lamanya, dia tidak akan kembali. Luka dalamnya harus disembuhkan dulu, dan itu membutuhkan waktu paling tidak satu pekan lamanya. Kalau dia memang mempunyai cukup hawa murni, mungkin bisa tiga hari," kembali Pendekar Rajawali Sakti menjelaskan dengan tenang.
"Yahhh..., mudah-mudahan saja lukanya bertambah parah," desah Ki Rabul berharap.
Rangga menepuk pundak laki-laki tua itu, lalu mengajak semuanya masuk kedalam pondok. Lasini melangkah disamping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu, Hatinya benar-benar kagum dengan ketangkasan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Sudah dua kali gadis itu menyaksikan Rangga bertarung, dan itu membuatnya semakin kagum. Bahkan Lasini tidak malu-malu lagi kalau hatinya sudah terpaut pada pemuda ini. Terlebih lagi Badil.
Tampaknya bocah itu benar-benar mengagumi dan menyukai Rangga. Belum pernah Lasini melihat Badil begitu cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Mereka semua masuk kedalam pondok. Rangga membesarkan nyala pelita, kemudian duduk dikursi bambu yang berada dibawah jendela. Sedangkan Lasini masuk kedalam kamar bersama adiknya. Di dipan bambu, Ki Rabul duduk mencangkung memeluk lutut, dan punggungnya bersandar pada dinding. Tak ada yang berbicara, dan masing-masing sibuk dengan pikirannya. Sedangkan Rangga mulai memejamkan matanya, karena ingin sedikit melemaskan otot-ototnya yang terasa menegang sejak siang tadi.
********************
EMPAT
Rangga tersentak bangun dari tidurnya ketika mendengar derap kaki kuda menuju pondok ini. Ternyata bukan hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang terbangun, melainkan Ki Rabul dan Lasini. Mereka bergegas menghampiri pintu dan membukanya lebar-lebar. Ketiga orang itu segera melangkah keluar. Tampak seorang penunggang kuda memacu cepat kudanya menuju kearah pondok. Kuda berwarna putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu tali kekangnya ditarik. Penunggang kuda itu langsung melompat, dan mendarat ringan didepan Ki Rabul yang berdiri paling depan didampingi Rangga dan Lasini.
"Ayah...!" seru penunggang kuda yang mengenakan baju warna putih ketat itu.
Ternyata, dia seorang pemuda berwajah cukup tampan. Tubuhnya tinggi tegap dan otot-ototnya bersembulan. Tubuh kekar itu berkilatan karena tersiram keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Tampak sebilah pedang tersampir di pinggangnya. Pemuda itu langsung menghampiri Ki Rabul dan berlutut memeluk kaki laki-laki tua itu. Sedangkan Ki Rabul hanya diam terpaku, sepertinya tidak mengenali pemuda itu, Atau bisa jadi memang tidak menyukai kehadirannya. Pemuda itu mengangkat kepalanya, memandang wajah laki-laki tua yang tetap berdiri terpaku memandang lurus kedepan. Pelahan dia bangkit berdiri.
"Ayah..., maafkan aku. Aku telah membuatmu menderita," ucap pemuda itu agak tersendat suaranya.
"Untuk apa datang kesini?" tanya Ki Rabul, agak ketus nada suaranya.
"Aku datang karena mendengar Ayah disiksa oleh mereka. Aku ingin menuntut balas pada mereka, Ayah. Tidak ada seorangpun yang boleh menghina Ayah sedemikian rupa," tegas pemuda itu.
"Bukan kau yang membalas dendam, tapi mereka yang membalas dendam padamu!" sentak Ki Rabul tegas.
"Aku mengakui kesalahanku, Ayah. Tapi tidak seharusnya mereka menyiksa Ayah"
"Aku hanya orang tua. Dan sudah sepantasnya orangtua menanggung semua akibat perbuatan anaknya. Kau datang kesini hahya mencari penyakit saja, Teruna. Kau akan memperburuk keadaan!"
Pemuda yang dipanggil Teruna itu memandangi wajah Ki Rabul yang dipanggilnya dengan sebutan ayah. Pandangannya kemudian beralih pada Lasini dan Pendekar Rajawali Sakti. Saat menatap pemuda berbaju rompi putih, sinar matanya jadi bersinar lain. Cukup lama dia memandang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandang hanya tersenyum saja sambil mengangkat sedikit pundaknya.
"Ayah, bisa aku bicara berdua saja denganmu?" pinta Teruna, kembali memandang ayahnya.
"Untuk apa? Aku sudah cukup banyak terlibat. Dan sekarang aku tidak sudi dilibatkan lagi, Teruna. Kau sudah besar, dan sudah bisa menentukan hidupmu sendiri. Kau harus bisa mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu," tegas Ki Rabul merasa enggan untuk berbicara lagi.
"Aku mohon, Ayah. Sebentar saja," pinta Teruna berharap.
"Kenapa tidak dibicarakan saja disini?"
Teruna tidak menjawab, tapi malah memandang Rangga dan Lasini yang berada disamping Ki Rabul. Laki-laki tua kurus itu melirik pada mereka, kemudian mengayunkan kakinya menuju samping pondok. Sebentar Teruna melirik Rangga, kemudian bergegas mengikuti Ki Rabul. Sementara Lasini dan Rangga saling berpandangan saja.
"Apakah dia anaknya Ki Rabul, Kakang?" tanya Lasini seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
Rangga menjawab hanya dengan mengangkat bahunya saja. Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya, lalu berjalan menuju pancuran yang berada dibagian lain dari pekarangan pondok kecil ini. Pancuran itu berasal dari mata air dibelakang bukit, dan dialirkan melalui bambu yang disambung-sambung, hingga sampai kepondok itu. Rangga membasuh mukanya. Air pancuran itu memang terasa sejuk menyegarkan.
Kembali tubuhnya diputar. Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti, karena Lasini sudah ada di dekatnya. Gadis itu juga membasuh muka, leher, dan tangannya. Mereka kemudian sama-sama duduk dibawah pohon dekat pancuran itu, dan sama-sama memandang kearah tempat Ki Rabul dan anaknya sedang berbicara. Entah apa yang dibicarakan. Sebenarnya Rangga bisa saja mendengarkan pembicaraan itu dengan mempergunakan ilmu Pembeda Gerak dan Suara. Tapi itu tidak dilakukan, karena seperti orang yang ingin ikut campur urusan orang lain saja.
"Apa yang mereka bicarakan, Kakang?" tanya Lasini lagi.
"Entahlah," sahut Rangga agak mendesah.
"Tampaknya Ki Rabul tidak menyukai anaknya, Kakang. Kenapa bisa begitu ya...?" kembali Lasini bertanya seperti untuk dirinya sendiri.
"Mungkin urusan pribadi," sahut Rangga seenaknya.
Lasini tidak bertanya lagi, karena pada saat itu Ki Rabul menghampiri mereka. Tampak wajah laki-laki tua itu memberengut seperti sedang menahan kemarahan, Atau mungkin juga sedang jengkel pada anaknya. Sebenarnya Lasini ingin bertanya, tapi Rangga sudah keburu mencegahnya.
********************
Teruna memalingkan wajahnya ketika mendengar suaralangkah kaki menghampiri. Pemuda itu duduk bersandar dibawah pohon, memandangi bukit yang tampak anggun dengan bagian puncak terselimut kabut. Segera digeser duduknya ketika Rangga sudah berada disampingnya. Pendekar Rajawali Sakti itu duduk disamping Teruna. Tak ada yang membuka suara lebih dahulu. Sesekali Teruna melirik pemuda berbaju rompi putih disampingnya.
"Bagaimana keadaan istrimu?" tanya Rangga membuka suara terlebih dahulu, setelah menghembuskan napas panjang.
"Baik. Tadinya dia ingin ikut kesini," sahut Teruna pelahan.
"Kau tidak mengijinkan? Mengapa?" tanya Rangga.
"Terlalu besar resikonya, Rangga. Aku tidak ingin dia melihat aku mati dicincang bajingan itu. Yaaah... Seharusnya aku menghormatinya. Tapi, keadaan malah membuatku semakin membencinya," agak tertahan nada suara Teruna.
Rangga menghembuskan napas panjang kuat-kuat. Sementara Teruna bangkit berdiri, lalu berjalan dua tindak kedepan. Pandangannya tetap lurus kedepan, seakan-akan sedang mencari sesuatu dipuncak bukit sana. Sedangkan Rangga masih tetap duduk bersandar pada pohon sambil memandangi pemuda itu. Dia tahu, apa yang sedang menjadi beban dalam diri Teruna.
"Paria menitipkan salam untukmu," kata Teruna tanpa berpaling sedikitpun.
"Terimakasih," ucap Rangga.
"Dia berharap anak yang dikandungnya laki- laki, dan akan diberi nama yang sama denganmu. Hanya saja, dia tidak tahu nama lengkapmu," sambung Teruna.
Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum. Dia teringat dengan Paria. Seorang wanita muda yang cantik, ramah, dan selalu tersenyum. Dia tidak pernah terlihat sedih ataupun duka, meskipun sedang mengalami masa-masa genting. Semua itu selalu dihadapinya dengan senyum. Rangga teringat akan kata-kata yang tidak pernah terlupakan.
"Nasib dan keadaan manusia sudah ditentukan sejak dilahirkan kedunia. Jadi, tidak perlu meratap jika sedang mengalami kesulitan, dan gembira jika sedang senang. Semuanya harus dihadapi dengan hati lapang dan senyum. Hidup manusia bagaikan roda yang selalu berputar. Tak ada yang bisa mengubahnya, kecuali sang Pencipta itu sendiri."
Rangga jadi tersenyum sendiri mendengar kata-kata yang diucapkan Paria waktu itu. Saat itu mereka tengah menghadapi kemelut yang hampir saja merenggut nyawa wanita itu. Tapi semua memang dihadapi dengan senyum. Rangga benar-benar kagum, dan mengakui kekagumannya didepan Teruna. Bahkan mengatakan kalau Teruna adalah satu-satunya makhluk dibumi ini yang paling beruntung. Pemuda ini mempunyai seorang istri yang bukan saja cantik wajahnya tetapi juga cantik hatinya.
"Rangga...."
"Oh...!" Rangga tergugah dari lamunannya ketika mendengar namanya dipanggil. Kepalanya diangkat, dan tahu-tahu Teruna sudah duduk didepannya. Pendekar Rajawali Sakti itu memberi Senyuman sedikit
"Apakah kau sudah mengatakan pada ayah kalau kita sudah pernah berjumpa?" tanya Teruna.
"Belum," sahut Rangga.
"Dan kau akan mengatakannya?" Teruna ingin tahu.
"Bagaimana nanti. Lihat saja dulu keadaannya," sahut Rangga kalem.
"Aku percaya padamu, Rangga. Maaf, aku selalu merepotkanmu."
"Sudahlah. Bukankah Paria pernah mengatakan kalau setiap manusia memang dilahirkan untuk saling membantu? Nah! Apa salahnya jika bisa membantu, maka akan kulakukan semampuku," tegas Rangga mengutip kata-kata yang pernah didengarnya dari seorang wanita yang dikagumi karena memiliki pandangan hidup yang sangat luas.
"Tampaknya kau begitu meresapi setiap kata yang diucapkan istriku, Rangga," tebak Teruna.
"Ya! Dan aku mengakui kalau istrimu punya pandangan hidup yang patut diteladani. Terus terang, aku merasa kecil bila sedang berhadapan dengannya," Rangga jujur mengakuinya.
"Yaaah..., apa yang kau katakan barusan memang selalu kurasakan, Rangga. Dia terlalu agung dan luhur bagiku. itulah sebabnya, mengapa aku berani mempertaruhkan nyawa hanya untuknya. Rasanya hanya dialah satu-satunya wanita yang sempurna didunia ini," sahut Teruna juga memuji istrinya.
"Tentu kau bahagia sekali, Teruna."
"Mungkin hanya akulah satu-satunya laki-laki yang paling berbahagia didunia ini, Rangga."
Entah kenapa, tiba-tiba saja mereka jadi tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin mereka teringat saat-saat bersama-sama dulu. Saat saat menjadi orang paling tolol didunia, didepan seorang wanita yang bicaranya tak ada yang bisa membantah. Paria memang selalu berbicara lemah lembut, namun sangat mengena dan menusuk hingga kedalam sanubari yang paling dalam.
"Hhh.... Waktu itu kita benar-benar seperti kerbau, Rangga," kata Teruna setelah tawanya berhenti.
"Yaaa..., kurasa kau akan senang selamanya menjadi kerbau," sahu tRangga menimpali.
"Tentu! Asal, yang jadi gembalanya Paria," sambut Teruna tanpa pikir panjang lagi.
"Kau mau...?!" Rangga terkejut mendengar jawaban Teruna tadi.
Sebenarnya tadi Pendekar Rajawali Sakti hanya memperolok saja. Tapi kenyataannya, jawaban yang diterima justru sungguh mengejutkan. Kerbau adalah binatang yang paling dungu, tapi sangat dibutuhkan kaum petani untuk menggarap sawahnya. Tak ada seorangpun yang suka bila dirinya dikatakan kerbau. Tapi, Teruna malah senang dikatakan kerbau.
"Kenapa tidak...? Sebetulnya seorang laki-laki adalah kerbau dimata wanita. Hanya saja, kita terlalu angkuh dan tidak pernah mengakuinya," tegas jawaban Teruna.
Rangga memandangi pemuda itu dalam-dalam, tapi mendadak saja tertawa terbahak-bahak. Dan Teruna jadi ikut tertawa. Ya, memang benar kata Teruna tadi. Sebenarnya, laki-laki memang seperti kerbau, bahkan lebih rendah dari seekor kerbau di mata wanita. Banyak contoh bisa dilihat. Laki-laki tidak merasa kalau dirinya sebenarnya menjadi budak kaum wanita. Dan mereka tidak merasakannya, atau tidak ambil peduli. Hanya saja mereka terlalu angkuh untuk mengakui. Dan biasanya, kaum wanita yang menjadi sasaran keangkuhan laki-laki. Tapi mendadak saja tawa mereka berhenti ketika mendengar jeritan panjang melengking tinggi. Sejenak mereka saling pandang ,lalu sama-sama melompat bangkit berdiri.
'"Ayah...," desis Teruna.
"Lasini...," desis Rangga.
Tanpa berkata lagi, mereka langsung melesat meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
********************
Rangga terpaku menyaksikan pondok kecil itu sudah hangus terbakar. Sedangkan disekitarnya ada sekitar dua puluh mayat bergelimpangan. Sementara Teruna melangkah pelahan-lahan mendekati pondok yang sudah jadi bara itu. Matanya terbeliak memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan disekitarnya. Bau anyir darah sangat menusuk hidung, dihembus angin yang agak kencang.
"Ayah...," desis Teruna pelahan, agak tersendat suaranya.
Teruna membalikkan satu persatu mayat yang bergelimpangan. Tapi setelah semua diperiksa, tidak ada satu mayatpun yang dikenalnya. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada tanda-tanda kehidupan disekitamya. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda berkilat yang bentuknya seperti sebuah sabuk terbuat dari emas. Rangga menjumput benda itu. Dan memang, ternyata itu sebuah sabuk yang terbuat dari emas.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan disekitaenya. Tak ada satu mayatpun yang mengenakan sabuk emas ini. Kembali Rangga mengamati sabuk emas di tangannya. Pada saat itu, Teruna datang menghampiri sambil membawa sebatang anak panah. Dipangkalnya tergulung selembar daun lontar terikat pita berwarna merah darah.
"Aku temukan ini tertancap dipohon," jelas Teruna seraya menyodorkan anak panah itu pada Rangga.
Teruna juga memandangi sabuk emas yang berada ditangan Pendekar Rajawali Sakti. "Apa itu?" tanyaTeruna.
Rangga menyodorkan sabuk emas itu, dan Teruna langsung menerimanya. Sedangkan dia sendiri menerima anak panah yang disodorkan padanya. Sementara Teruna mengamati sabuk emas itu, Rangga membuka gulungan daun lontar pada anak panah. Hanya ada sebaris kalimat, tapi cukup jelas maksudnya.
"JIKA INGIN MEREKA SELAMAT, DATANG KE PUNCAK BUKIT SANGU"
Rangga menunjukkan tulisan didaun lontar pada Teruna yang langsung membacanya. Seketika wajah pemuda itu memerah setelah membacanya. Di remasnya daun itu hingga hancur jadi tepung. Sebentar mereka hanya berdiam diri, dan saling berpandangan saja.
"Apa yang harus kita lakukan, Rangga?" tanya Teruna.
"Aku yakin orang itu hanya memerlukan aku saja, Teruna," sahut Rangga.
"Aku benar-benar telah menyulitkan mu, Rangga. Tidak seharusnya kau kulibatkan terlalu jauh begini," keluh Teruna menyesali.
Rangga menepuk pundak pemuda itu, lalu tersenyum seakan-akan ingin memberi ketabahan pada Teruna. Namun wajah pemuda itu begitu murung. Teruna benar-benar menyesali akan semua yang telah terjadi. Semua ini akibat perbuatannya. Kalau saja kata-kata ayahnya dituruti, tentu tidak akan terjadi semua ini.
Mereka sama-sama memandang Puncak Bukit Sangu yang selalu terselimut kabut tebal. Cukup jelas terlihat dari tempat ini, tapi bukit itu cukup jauh jaraknya. Paling tidak memerlukan tiga hari tiga malam perjalanan untuk sampai kesana. Tapi, Rangga tidak ingin terlambat. Hanya saja, Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin bisa memanggil Rajawali Putih karena ada Teruna disini.
"Dimana kudamu, Teruna?" tanya Rangga.
"Ada didekat sungai. Mudah-mudahan saja mereka tidak mengambilnya," sahutTeruna.
"Pergilah dulu kesana, nanti aku menyusul," ujar Rangga.
"Maksudmu...?" Teruna ingin ketegasan.
"Kau pergi lebih dahulu ke Bukit Sangu, kita bertemu disana," jelas Rangga.
"Edan...!" dengus Teruna.
"Kenapa...? Bukankah mereka menginginkan kita pergi kesana? lngat, Teruna. Keselamatan ayahmu tergantung padamu sendiri, meskipun sebenarnya mereka menginginkan diriku," kilah Rangga.
"Tidak Rangga! Yang mereka inginkan adalah nyawaku, bukan nyawamu!" sentak Teruna tegas.
Rangga mengerutkan keningnya. Meskipun sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menebak tapi masih belum jelas apa persoalan yang sebenarnya. Mereka memang pernah bersama-sama ketika sekelompok orang mengejar-ngejar Paria. istri pemuda itu. Rangga sendiri tidak tahu, mengapa mereka menginginkan Paria?
Dan setelah keadaan jadi tenang, Teruna meminta Rangga untuk menemukan ayahnya dan membawanya pada mereka berdua ditempat yang sudah ditentukan. Kini setelah Pendekar Rajawali Sakti itu bertemu Ki Rabul, muncul lagi persoalan yang sulit dimengerti. Namun Rangga sudah menduga kalau semua persoalan ini tentu ada kaitannya dengan orang-orang yang mengejar-ngejar Patia waktu itu.
"Maaf, Rangga. Bukannya aku tidak menghargai semua yang kau lakukan padaku. Tapi rasanya, sudah saatnya aku harus menjadi seorang laki-laki," tegas Teruna.
Setelah berkata demikian, Teruna langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sedangkan Rangga masih diam saja, termenung memandangi punggung pemuda yang semakin jauh, dan menghilang dibalik rimbunnya pepohonan. Pendekar Rajawali Sakti itu masih berdiri mematung, meskipun Teruna sudah tak terlihat lagi.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas berat. Pelahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Namun belum juga jauh berjalan, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat kearahnya. Tahu-tahu didepan Rangga sudah berdiri seorang perempuan muda dan cantik, mengenakan baju ketat berwarna hitam legam. Kepalanya juga mengenakan kain berwarna hitam. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai melewati bahunya.
Rangga menghentikan langkahnya. Diamatinya wanita itu dalam-dalam. Wanita itu bersenjatakan dua buah pedang yang gagangnya berbentuk kepala seekor naga, menyembul keluar dari balik punggungnya. Rangga tidak tahu, siapa wanita ini, dan apa maksudnya menghadang.
"Kau yang bemama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya wanita itu dengan suaranya yang dingin, namun masih terdengar kelembutannya.
"Benar. Dan kau siapa?" sahut Rangga langsung balik bertanya.
"Kau boleh memanggilku Putri Naga Hitam," sahut wanita itu memperkenalkan diri.
"Maaf. Rasanya, kita belum pernah berjumpa. Apa maksudmu menghadang jalanku?" tanya Rangga.
"Kau bisa memperoleh jawabannya dineraka nanti! Hiyaaat..!"
"Heii...! Tunggu...!" sentak Rangga.
Tapi wanita cantik yang mengaku berjuluk Putri Naga Hitam itu sudah lebih dahulu menyerang dengan cepat. Dua pukulan beruntun cepat dilontarkan dengan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya menghindari serangan wanita berbaju hitam itu.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti melakukan sesuatu lagi, satu tendangan keras yang dilontarkan Putri Naga Hitam telak menghantam dadanya.
"Akh...!" Rangga memekik keras tertahan. Pendekar Rajawali Sakti terjajar kebelakang. Seketika dadanya terasa sesak, dan napasnya tersengal. Belum lagi bola matanya seperti berair, berkunang-kunang. Tendangan wanita itu cukup keras, karena mengandung tenaga dalam tinggi. Kalau saja yang terkena tendangan itu bukan Pendekar Rajawali Sakti, mungkin sudah tergeletak jadi mayat. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengalami sedikit sesak napas saja.
"Hsss.... Hih!"
Rangga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Juga segera dikerahkan hawa murni untuk mengusir rasa sesak yang melanda dadanya. Sebentar digerak-gerakkan tangannya didepan dada, kemudian langsung bersiap menerima serangan selanjutnya.
"Hm... Ternyata kau kedot juga, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Putri Naga Hitam.
Rangga hanya menggumam sedikit. Matanya tajam mengamati setiap gerakan kaki wanita berbaju hitam yang bergeser menyusur tanah ke arah samping kanan. Ringan sekali gerakannya. Tak ada suara sedikitpun terdengar, saat kakinya menyusur tanah.
"Bersiaplah! Hiyaaa...!"
"Hup!" Rangga langsung melompat keatas disertai pengerahan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega, tepat pada saat Putri Naga Hitam melancarkan serangan lewat lontaran tiga pukulan beruntun. Hasilnya, serangan gadis itu lewat dibawah kaki Rangga. Dan sebelum lawan sempat memberi serangan kembali, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya hingga kepalanya berada dibawah. Secepat itu pula dikibaskan tangannya ke arah kepala Putri Naga Hitam.
Wuk! Wuk!
Tangan Rangga mengibas dua kali, mengarah kekepala wanita berbaju hitam ketat itu. Namun tangkas sekali Putri Naga Hitam menghindarinya dengan sedikit merundukkan kepala. Pada saat itu, segera dicabut pedangnya dari punggung, dan langsung dikibaskan keatas kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah....!"
"Uts...!" Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuh, dan berputaran dua kali di udara. Dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat sekitar lima langkah didepan Putri Naga Hitam. Namun sebelum bisa berdiri tegak, wanita berbaju hitam ketat itu sudah kembali ganas menyerangnya. Terlebih lagi sekarang ini memegang dua buah senjata pedang yang bentuk dan ukurannya sama persis.
Serangan-serangan yang dilakukan Putri Naga Hitam semakin dahsyat dan berbahaya. Kedua pedangnya berkelebat mengurung setiap gerak Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu, lawannya yang tidak menggunakan senjata, belum juga kelihatan terdesak. Sama sekali wanita itu tidak peduli, apakah Rangga menggunakan senjata atau tidak. Yang penting, lawannya harus mati! Dia terus saja melancarkan serangan lewat jurus-jurus yang berganti-ganti dengan cepat.
Semakin lama, pertarungan itu berjalan semakin cepat dan dahsyat. Tempat sekitar pertarungan jadi porak-poranda akibat terkena gempuran-gempuran yang luput dari sasaran. Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tak terasa, mereka bertarung sudahmelewati lebih dari dua puluh jurus. Namun sampai sejauh itu, Rangga belum juga menggunakan senjata andalannya. Dan herannya, Putri Naga Hitam belum juga mampu mendesak.
Tiba-tiba saja" Putri Naga Hitam melentingkan tubuhnya kebelakang, keluar dari arena pertarungan. Disilangkan sepasang pedangnya didepan dada. Sorot matanya begitu tajam menusuk. Keringat bercucuran diwajah dan lehernya. Baju hitam yang begitu ketat semakin terasa ketat karena keringat. Rangga tidak meneruskan pertarungannya. Dia juga berhenti, namun sikapnya masih tetap waspada. Bagaimanapun juga, Pendekar Rajawali Sakti mengakui kehebatan gadis berbaju hitam yang berjuluk Putri Naga Hitam itu. Belum pernah pemuda berbaju rompi putih itu mendapatkan lawan seorang wanita muda begitu tangguh, sehingga harus memeras tenaga untuk menandinginya. Beberapa saat mereka hanya saling pandang saja sambil mengatur pernapasan.
"Kuakui, kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku ingin tahu, apakah kau mampu menandingi aji Naga Kembar," ancam Putri Naga Hitam.
"Hm, silakan," sambut Rangga kalem.
"Hooop...!"
Putri Naga Hitam mengangkat pedangnya tinggi-tinggi keatas kepala, lalu pelahan-lahan diturunkan hingga sejajar dada. Sebentar kemudian sepasang pedangnya dibenturkan.
Tring!
Rangga jadi berkernyit keningnya, melihat pedang yang semula berwarna keperakan berkilat itu mendadak jadi hitam legam.
"Hm...."
Melihat sepasang pedang yang kini berubah warnanya jadi hitam, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mencabut pedangnya. Seketika cahaya biru berkilau menyemburat memancar dari pedang itu. Rangga menyilangkan pedangnya didepan dada, lalu pelahan telapak tangan kirinya menggosok mata pedang itu. Seketika cahaya biru yang memancar dari pedangnya semakin menyilaukan. Dan begitu Rangga menghentakkan pedangnya kedepan. Cahaya biru itu menggumpal diujung mata pedang, membentuk bulatan seperti bola sebesar kepala manusia dewasa.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Putri Naga Hitam melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pedangnya tertuju lurus kearah dada lawan.
Sementara Rangga dengan cepat sekali menyilangkan kembali pedangnya didepan dada. Lalu....
"Aji Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga keras.
Tepat ketika sepasang pedang yang berwarna hitam mengepulkan asap itu mengibas bagaikan kilat, secepat itu pula Rangga mengadukan pedangnya.
Trang!
Tiga buah pedang beradu secara bersamaan, menimbulkan suara mendenting nyaring, menggema memekakkan telinga. Ketiga pedang itu menempel erat, seperti tidak bisa dilepaskan lagi.
"Heh...?!" Putri Naga Hitam terkejut. Cepat-cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan kedua pedangnya yang menempel erat pada pedang Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun sudah menariknya kuat-kuat, pedang itu tidak mau terlepas juga. Bahkan semakin lekat menempel. Putri Naga Hitam jadi terbeliak, mana kala mencoba melepaskan pegangan pada pedangnya. Tangannya seperti terpatri, tak bisa dilepaskan lagi.
"Heh...?! Ilmu apa yang dipakainya...?" sentak Putri Naga Hitam dalam hati.
Beberapa kali wanita itu mencoba melepaskan pedangnya. Namun setiap kali mencoba mengerahkan kekuatan tenaga dalam, setiap kali pula darahnya terasa mendesir cepat. Bahkan tenaganya juga terasa tersedot. Putri Naga Hitam semakin terperanjat karena merasakan tenaganya terus tersedot. Padahal seluruh tubuhnya sudah dilemaskan.
"Setan...!" dengus Putri Naga Hitam sengit. Sementara cahaya biru yang menggumpal, mulai bergerak menyelimuti pedang hitam kembar itu. Gerakan cahaya biru itu memang lambat, namun semakin menyelimuti pedang hitam yang menempel erat pada mata Pedang Rajawali Sakti dengan pasti.
"Kau masih punya kesempatan, Putri Naga Hitam," kata Rangga seraya menahan arus sinar biru yang keluar merambat dari pedangnya.
"Huh...!" Putri Naga Hitam mendengus sengit.
"Aku tahu. Tidak ada gunanya mendesakmu, Putri Naga Hitam. Tapi aku masih memberi kesempatan padamu untuk berpikir. Aku memberi pilihan padamu," kata Rangga lagi.
Putri Naga Hitam hanya diam saja. Meskipun tidak lati merasakan adanya sedotan tenaga, tapi dia belum juga bisa melepaskan pedangnya. Rupanya tawaran Pendekar Rajawali Sakti itu menjadi bahan pemikirannya juga, namun cukup lama untuk mengambil keputusan.
LIMA
"Baik...! Aku menyerah...!" seru Putri Naga Hitam ketika kembali merasakan tenaganya tersedot.
"Bagus! Tapi apa jaminanmu agar bisa kupercaya?" sambut Rangga dingin.
"Kedua pedangku," sahut Putri Naga Hitam.
Rangga tersenyum, lalu tiba-tiba saja menghentakkan tangannya. Seketika itu juga tubuh Putri Naga Hitam tersentak, dan kedua pedangnya terlepas dari tangan. Pendekar Rajawali Sakti mengambil kedua pedang milik Putri Naga Hitam yang melekat dipedangnya sendiri. Lalu dimasukkan Pedang Rajawali Sakti kedalam warangka dipunggung. Sementara sepasang pedang yang tadi berwarna hitam, kini kembali berwarna keperakan berkilat.
Sementara itu Putri Naga Hitam tampak cemas. Sepertinya dia kehilangan banyak tenaga ketika melawan gempuran aji Cakra Buana Sukma yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan matanya begitu sayu tak bergairah.
"Aku sudah mengaku kalah. Lalu, apa yang kau inginkan dariku sekarang?" dengus Putri Naga Hitam masih bernada ketus.
"Hanya beberapa jawaban jujur darimu," sahut Rangga.
Putri Naga Hitam hanya diam saja. Wajahnya memberengut. Sinar matanya agak sayu, namun masih mencerminkan ketajaman seorang gadis yang sedang diliputi kekesalan.
"Sekarang, jawab pertanyaanku dengan Jujur. Untuk apa kau menghadang dan menyerangku?" tanya Rangga langsung.
"Karena kau manusia iblis yang membunuh ayahku dan menculik ibuku!" sahut Putri Naga Hitam ketus.
"Aku...?!" Rangga terkejut mendengar jawaban lantang bernada ketus itu.
"Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu, Pendekar Iblis!" dengus Putri Naga Hitam lagi.
"Nisanak! Aku tidak tahu siapa dirimu?! Dan lagi, aku tidak tahu siapa kedua orangtua mu. Dari mana kau peroleh keterangan sembarangan itu?!" sentak Rangga jadi gusar juga
. "Untuk apa kau tahu?" sinis sekali nada suara Putri Naga Hitam.
"Kau tidak perlu tanya lagi, Nisanak. Jawab saja pertanyaanku!" bentak Rangga gusar.
"Kakek Iblis Racun Merah," sahut Putri Naga Hitam pelan.
"Ibis Racun Merah...," desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak perlu bertanya lagi, karena langsung memahami persoalannya kini. Ternyata gadis yang mengaku berjuluk Putri Naga Hitam ini sedang mencari pembunuh ayahnya, dan penculik ibunya. Dan yang lebih parah lagi, rupanya dia terkena hasutan Iblis Racun Merah yang pernah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga benar-benar geram terhadap laki-laki tua berjubah merah dan berambut serba merah itu. Benar-benar licik, Tidak sanggup menghadapi sendiri, sekarang malah memperalat orang lain untuk membalaskan dendamnya. Rangga melemparkan sepasang pedang bergagang kepala nagake depan Putri Naga Hitam. Maka dua pedang itu tepat menancap diujung jari kaki gadis didepannya.
"Kau boleh pergi mencari pembunuh ayahmu yang sebenarnya," jelas Rangga datar.
"Hhh! Kau ingin mungkir setelah membunuh ayahku...?" dengus Putri Naga Hitam sinis.
"Kau masih muda, Nisanak. Cobalah pahami dulu seluk beluk dunia persilatan. Kuharap kau tidak salah memilih jalan. Kau cukup tangguh. Sayang kalau memilih jalan yang salah," kata Rangga menasihati.
Putri Naga Hitam tersenyum sinis. Dicabut pedangnya yang tertancap ditanah, tepat diujung jari kakinya. Lalu dimasukkan kembali kedalam warangka dipunggung.
"Perlu kau ketahui. Orang yang memberimu keterangan waktu itu adalah seorang tokoh sesat. Jika ingin tahu tentang dirinya, aku yakin gurumu bisa memberitahu. Nah, aku ada urusan lain. Mudah-mudahan pembunuh ayah mu bisa kau temukan," kata Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga, sehingga sebelum Putri Naga Hitam menyadari, pemuda berbaju rompi putih itu sudah lenyap dari pandangan."
Hei, tung...!"
Teriakan Putri Naga Hitam terputus, karena Rangga sudah tidak terlihat lagi. Entah pergi kemana pemuda berbaju rompi putih itu. Putri Naga Hitam mengedarkan pandangannya berkeliling, namun Pendekar Rajawali Sakti itu benar-benar sudah tidak terlihat lagi. Dihentakkan kakinya kuat-kuat ketanah, dan wajahnya memberengut
"Huh...! Apakah dia memang bukan pembunuh ayahku...? Lalu siapa sebenarnya pembunuh ayahku..?" Putri Naga Hitam bertanya-tanya sendiri.
Agak lama juga wanita berbaju serba hitam itu berdiri mematung, memikirkan kata-kata Rangga yang demikian tegas. Hatinya jadi ragu-ragu juga, apakah mungkin Pendekar Rajawali Sakti yang membunuh ayahnya?Putri Naga Hitam baru menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti masih muda. Mungkin baru berusia sekitar dua puluh lima tahun, atau mungkin tiga puluh tahun. Tidak lebih. Rasanya mustahil kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah pembunuh ayahnya.
Kini Putri Naga Hitam baru teringat. Ketika peristiwa itu berlangsung, usianya baru sekitar dua tahun. Sedangkan sekarang ini, dia sudah berumur sembilan belas tahun Rasanya tidak mungkin kalau pembunuh ayahnya masih muda. Jadi sekarang, paling tidak sudah berusia sekitar lima puluh tahun. Ya.... Dia sendiri tahu kalau ayahnya dibunuh dari gurunya yang juga pamannya, adik dari ayahnya
"Hhh...! Aku harus bertanya pada Paman!" dengus Putri Naga Hitam. Wanita cantik berbaju serba hitam itu langsung melesat pergi. Cepat sekali gerakannya, dan sangat ringan. Sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
********************
Sementara itu, Rangga sudah berada jauh dari tempat tinggal Lasini yang kini sudah hancur jadi debu. Rangga berada ditengah-tengah sebuah lapangan yang berada dalam sebuah hutan. Lapangan rumput yang subur, dan tidak begitu luas. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu mendongak keatas, lalu...
"Suiiit..!"
Rangga bersiul nyaring melengking tinggi, bernada aneh ditelinga. Siulannya itu memecah kesegala penjuru, dan lenyap terbawa angin yang berhembus agak kencang. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menunggu, kemudian kembali bersiul nyaring dan panjang. Kepalanya tetap mendongak keatas, menatap langit cerah yang dihiasi sedikit awan menggantung. Cukup lama juga Rangga berdiri tegak di tengah hamparan rumput itu. Dan kepalanya terus terdongak keatas, memandang kesatu arah.
Bibirnya menyunggingkan senyuman ketika melihat satu titik bercahaya keperakan diangkasa. Perlahan, titik keperakan itu mem besar, dan semakin jelas bentuknya. Ternyata itu adalah seekor burung berbulu putih keperakan. Burung itu meluncur cepat bagaikan kilat, sehingga sebentar saja sudah begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Rajawali Putih, cepat kesini...!" panggil Rangga seraya melambaikan tangannya.
"Khraaaghk..!"
Suara burung Rajawali raksasa itu begitu keras dan terdengar serak. Bagi telinga yang mendengarnya pasti akan terasa sakit, seakan-akan ingin pecah. Namun Rangga malah tersenyum seakan-akan, suara buruk yang jelek Itu sangat merdu ditelinganya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan Itu mendarat tepat didepan Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas dihampiri dan dipeluknya leher burung raksasa itu dengan perasaan rindu mendalam.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Rajawali Putih. Aku rindu sekali padamu...," ujar Rangga lembut.
"Khrrrk..." Rajawali Putih mengkirik pelahan. Sepertinya, burung itu juga ingin meluapkan kerinduannya pada pemuda berbaju rompi putih itu. Di desak-desakkan kepalanya, dan digosok-gosokkan didada Rangga. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti itu menepuk leher burung raksasa itu, kemudian melepaskan pelukannya.
"Tolong antarkan aku ke Puncak Bukit Sangu," kata Rangga seraya mengelus-elus leher burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
"Ya! Kita akan menghadapi sesuatu. Tapi kurasa kau tidak perlu ikut serta, Rajawali Putih," kata Rangga seakan-akan mengerti suara serak burung raksasa itu. Kepala burung raksasa itu terangguk-angguk. Rangga tersenyum, kemudian melompat naik. Ringan sekali, dengan sekali lesatan saja sudah hinggap di punggung burung rajawali putih raksasa itu.
"Ayo, Rajawali Putih. Kita berangkat sekarang," ajak Rangga setelah berada dipunggung burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
Hanya beberapa kali kepakan sayapnya saja, Rajawali Putih itu sudah melambung tinggi ke angkasa bersama Pendekar Rajawali Sakti dipunggungnya. Rangga menunjuk kearah puncak bukit yang terselimut kabut tebal.
"Kesana, Rajawali Putih...!." seru Rangga memberitahu.
"Khraaaghk...!"
Bagai kilat, Rajawali Putih meluncur deras kearah Bukit Sangu yang ditunjuk Rangga. Deru angin begitu keras, membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti itu serasa tersumbat. Namun karena terbiasa mengendarai burung raksasa ini, semua itu tidak ada masalah buat Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada satu ilmupun yang digunakan Rangga dalam mengendarai Rajawali Putih. Ini semua karena kebiasaan sejak kecil. Memang, Rangga hidup dan dibesarkan oleh burung raksasa ini. Bahkan semua ilmu yang didapatnya juga karena bimbingan burung itu.
Sama sekali Rangga tidak pernah menganggap Rajawali Putih hanya sekadar seekor binatang raksasa. Bahkan Rajawali Putih dianggap sebagai pengganti kedua orangtuanya, sekaligus gurunya. Meskipun, sebagian ilmunya didapat dari pemilik rajawali ini yang terdahulu, yang sudah meninggal seratus tahun lebih yang lalu. Bahkan Rangga juga mendapat beberapa jurus serta ilmu kesaktian dari sahabat mendiang gurunya yang bernama Satria Naga Emas. Namun ilmu-ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas jarang sekali digunakan. Memang, Pendekar Rajawali Sakti lebih senang dengan jurus-jurus Rajawali Sakti.
"Kita turun disana, Rajawali Putih...!" seru Rangga seraya menunjuk sebuah dataran yang tidak seberapa luas dipuncak bukit berkabut ini. Sebuah dataran yang terdiri dari batu-batuan. Tanah disekitarnya hampir tertutup kerikil dan pasir.
"Khraaaghk...!"
Rajawali Putih menukik turun dengan kecepatan tinggi, kemudian manis sekali mendarat ditanah berbatu. Rangga langsung melompat turun dari punggung rajawali raksasa itu. Sebentar di amati sekitarnya, lalu memandang pada burung raksasa itu.
"Terimakasih, Rajawali," ucap Rangga.
"Khreeeghk...!"
Rangga mengerutkan keningnya mendengar suara Rajawali Putih mengkirik lirih. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi burung raksasa itu dalam-dalam. Rajawali Putih menyorongkan kepalanya, dan Rangga merengkuh kedalam pelukannya.
"Ada apa, Rajawali Putih? Tidak biasanya kau bersikap seperti ini," kata Rangga.
"Khrrrhk...."
"Jangan cemas, Rajawali Putih. Kita sudah biasa melakukan hal seperti ini sebelumnya," kata Rangga bisa merasakan adanya kecemasan dihati burung raksasa itu. Rajawali Putih menggeleng-gelengkan kepalanya, setelah Rangga melepaskan pelukan. Pemuda berbaju rompi putih itu semakin berkerut keningnya. Sungguh sulit dimengerti sikap Rajawali Putihkali ini. Belum pernah burung raksasa itu terlihat seperti ini. Kelihatannya begitu cemas, seakan-akan tidak ingin ditinggalkan.
"Ada apa, Rajawali Putih?" tanya Rangga lembut
"Khrrr...."
Rajawali Putih mengembangkan sayap, lalu sebelah kakinya menghentak ketanah berbatu. Kepalanya dijulurkan kedepan dan paruhnya terbuka lebar. Namun, tak ada suara yang keluar. Rangga mengamati setiap gerakan yang dilakukan burung raksasa itu.
"Rajawali Putih. Saat ini aku sedang menyelesaikan satu masalah yang cukup berat. Aku janji, setelah semua ini selesai, pasti akan memperhatikan keinginanmu," bujuk Rangga.
"Khraghk...!"
"lya. Ku usahakan tidak akan lama," kata Rangga lagi.
Rajawali Putih mengepakkan sayapnya sambil melonjak seperti seorang bocah yang kesenangan karena mendapatkan kembang gula. Rangga jadi tersenyum, meskipun dalam sorot matanya mengandung segudang tanda tanya. Sungguh, kali ini Pendekar Rajawali Sakti mendapatkan kesulitan untuk memahami maksud burung raksasa itu.
"Nah! Sekarang, pergilah .Aku tidak ingin ada orang lain melihat kehadiranmu. Kau bisa mengerti, bukan?" kata Rangga lagi.
Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian mengepakkan sayapnya. Burung itu langsung meluncur, membumbung tinggi keangkasa. Sebentar saja burung raksasa itu sudah lenyap di angkasa. Rangga masih memandangi kepergian burung raksasa itu beberapa saat.
"Hm..., sikap Rajawali Putih aneh sekali kali ini. Ada apa, ya...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Namun segera dilupakannya sejenak persoalan burung rajawali raksasa itu. Saat ini Pendekar Rajawali Sakti harus memusatkan perhatiannya pada permasalahan yang sedang dihadapi. Ki Rabul, Lasini, dan adiknya harus ditemukan secepat mungkin, sebelum mendapat celaka. Rangga berdiri tegak ditengah-tengah Puncak Bukit Sangu ini. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak tahu, dimana harus menunggu. Karena, secarik daun lontar yang memintanya kesini, tidak menyebutkan tempatnya. Tulisan itu hanya mengatakan, diaharus datang ke Puncak Bukit Sangu. Dan sekarang pemuda berbaju rompi putih itu sudah berada disini. Tapi suasana di puncak bukit ini begitu sunyi, tak terlihat adanya satu kehidupan pun.
"Aku rasa, Inilah Puncak Bukit Sangu...," gumam Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali mengedarkan pandangannya kesekeding. Sekitarnya benar-benar sunyi. Tapi mendadak saja...
Slap!
"Heh...! Uts!" Rangga tersentak kaget. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan tangannya didepan dada. Tepat pada saat itu, sebuah benda yang meluncur deras kearahnya, telah berada didepan dadanya.
Tap!
Sejenak Rangga memandangi sebatang ruyung kecil yang kini terselip diujung kedua jarinya. Ruyung berwarna keperakan yang bisa saja mencabut nyawa nyata di Pendekar Rajawali Sakti melirik arah datangnya benda yang selalu digunakan sebagai senjata rahasia ini. Kemudian....
"Hih...!"
Sambil mengerahkan tenaga dalam yang telah mencapai taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan senjata kecil itu kearah datangnya tadi. Senjata berwarna keperakan itu melesa tcepat bagai kilat, melebihi kecepatannya semula.
" Aaa...!" Srak!
Bersamaan terdengarnya suara jeritan melengking tinggi, dari dalam sebuah semak belukar keluar sesosok tubuh yang langsung ambruk menggelepar ditanah. Pada lehernya tertancap sebuah ruyung kecil berwarna keperakan. Rangga langsung melompat kearah soso ktubuh yang tidak bergerak lagi. Namun sebelum sampai, mendadak saja beberapa benda berwarna keperakan berhamburan kearahnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya, dan berputaran diudara, menghindari serangan gelap itu. Pendekar Rajawali Sakti kembali mendarat halus, begitu senjata-senjata ruyung keperakan tidak lagi menghujaninya. Segera diedarkan pandangannya kesekeliling dengan tajam. Tadi sempat terlihat kalau senjata-senjata kecil itu datang dari segala arah. Saat itu juga Rangga sadar kalau dirinya sudah terkepung dari segala arah. Dan sudah pasti kedatangannya memang sudah di tunggu-tunggu.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung waspada penuh. Mata dan telinganya dipasang tajam-tajam. Bahkan juga menggunakan aji Pembeda Cerak dan Suara. Dengan ajian itu, hatinya semakin yakin kalau disekelilingnya sudah mengepung puluhan orang.
"Siapapun kalian, aku sudah memenuhi undangan ini! Keluarlah kalian...!" seru Rangga lantang.
Pendekar Rajawali Sakti menyalurkan tenaga dalam pada suaranya tadi. Sehingga, suaranya terdengar keras dan menggema, bahkan sampai mendebarkan jantung. Pemuda berbaju rompi putih itu tersenyum begitu mendengar erangan lirih dari beberapa penjuru. Dia merasa yakin kalau suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam itu membuat telinga beberapa orang yang mengepungnya jadi sakit.
"Hahaha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa lepas menggelegar dan terbahak-bahak. Rangga mencoba mencari sumber suara yang datang bagaikan dari segala penjuru mata angia Pendekar Rajawali Sakti itu langsung tahu, kalau pemilik suara itu memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi sekali. Bahkan mungkin sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hm...," Rangga bergumam perlahan. Dan bersamaan hilangnya suara tawa itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu didepan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun.
Dia mengenakan baju yang sangat indah, dari bahan sutra halus. Meskipun rambutnya sudah berwarna dua, namun wajah dan bentuk tubuhnya masih kelihatan segar. Beberapa saat Rangga mengamati laki-laki setengah baya itu.
"Kau cukup jantan juga, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang kau bisa memenuhi undanganku ini. Tapi tidak kuduga akan secepat ini kedatanganmu," kata laki-laki setengah baya itu.
"Siapa kau?! Apa maksudmu mengundangku kesini?!" tanya Rangga tegas.
"Aku Barada. Mengundangmu kesini, karena kau terlalu banyak ikut campur urusanku!" sahut laki-laki setengah baya itu tajam.
"Dimana kau sembunyikan mereka?" tanya Rangga langsung.
"Kau datang terlalu cepat, Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga kau tidak bisa bertemu mereka sekarang ini. Kau harus menunggu, paling tidak tiga hari. Mereka masih dalam perjalanan kesini," sahut Barada kalem.
Rangga tertegun. Baru disadari kalau perjalanan dari pondok Lasini ke Puncak Bukit Sangu ini memakan waktu tiga hari lamanya. Pendekar Rajawali Sakti bisa datang secepat ini juga karena menunggang Rajawali Putih.
"Jika kau sabar menunggu, sebaiknya tunggu saja dipondok ku," ajak Barada.
"Hmm...," Rangga menggumam pelahan.
"Kujamin, dua temanmu dan seorang bocah kecil tidak akan mengalami kekurangan sedikitpun. Tapi itu semua tergantung dari kau sendiri," jelas Barada lagi.
"Memang itu sebaiknya!" dengus Rangga. Perlu kau ketahui, Pendekar Rajawali Sakti. Aku hanya menginginkan Satria Baja Hitam. Dan aku tidak ingin kau menghalang-halangi, karena bukan urusanmu," kata Barada lagi setengah mengancam.
"Maaf. Aku tidak kenal orang yang berjuluk Satria Baja Hitam," kata Rangga.
"Hahaha...!" Barada malah tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Dia memang tidak tahu, siapa Satria Baja Hitam yang dimaksudkan Barada. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi menduga-duga, siapa sebenarnya Satria Baja Hitam itu?
********************
ENAM
Rangga duduk bersila dalam posisi bersemadi. Kelopak matanya setengah terpejam, namun tidak menghilangkan kewaspadaannya. Mata dan telinganya tetap dipasang tajam. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau disekelilingnya terdapat puluhan orang yang bersembunyi dibalik kerimbunan semak dan pepohonan. Sudah dua hari Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila dibawah kerindangan pohon ini, namun yang ditunggunya belum juga muncul. Dan memang, dia sudah tahu kalau esok hari mereka baru tiba dipuncak bukit ini. Dan ini berarti harus menunggu satu hari lagi. Itupun jika tidak terjadi sesuatu dijalan.
"Hehehe...."
Rangga membuka matanya saat mendengar tawa terkekeh yang sudah dikenalnya sejak berada dipuncak bukit ini. Matanya memandang seorang laki-laki setengah bayayang bemama Barada. Laki-laki itu duduk bersila didepan Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang tipis dan sedikit berkumis Itu selalu menyunggingkan senyuman.
"Seharusnya kau tinggal dipondok, Pendekar Rajawali Sakti. Udara disini jika malam hari terlalu dingin. Aku khawatir, pada saatnya tiba kau tidak mampu melakukan sesuatu," kata Barada dengan bibir terus menyunggingkan senyuman tipis.
"Apa maksudmu dengan kata-kata melakukan sesuatu, Barada?" tanya Rangga. Nada suaranya dingin, sedingin udara di Puncak Bukit Sangu ini.
"Hehehe... Seharusnya kau sudah bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Barada diiringi suara tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak suka bermain teka-teki, Barada. Jika kau merencanakan kelicikan, aku tidak akan banyak bicara denganmu. Dan kau tentu sudah bisa mengerti maksudku," tegas Rangga setengah mengancam.
"Sebenarnya ini bukan kelicikan, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku tidak pernah punya rencana seperti ini, sebelum kemunculanmu disekitar Bukit Sangu ini. Yaaa.... Tadinya aku sudah ingin melupakan keterlibatanmu pada persoalan keluargaku. Tapi karena kau tersasar sampai kesini, dan sekarang juga melibatkan diri, maka aku tidak punya pilihan lain," kata Barada dengan suara tenang.
Rangga terdiam seraya memandangi bola mata laki-laki setengah baya yang duduk bersila didepannya. Dicobanya untuk mencerna kata-kata yang diucapkan Barada barusan. Memang penuh teka-teki yang terasa sukar dipecahkan. Namun berkat kecerdasan otaknya, pelahan-lahan Rangga dapat mengetahuinya, meskipun masih dalam tahap menebak.
"Ada hubungan apa antara kau dengan Paria?" tanya Rangga langsung.
"Kenapa kau tidak tanyakan pada anak durhaka itu?!" bentak Barada ketus.
Seketika itu juga wajah Barada berubah memerah dan menegang. Nama Paria yang disebut Pendekar Rajawali Sakti barusan membuat wajahnya langsung memerah. Perubahan yang cepat dan tiba-tiba itu sempat mendapat perhatian Rangga. Hal ini membuat pemuda berbaju rompi itu harus berpikir keras dengan berbagai macam dugaan.
"Anak Muda! Sudah kuperingatkan, agar kau tidak terlalu jauh melibatkan diri. Kau sudah cukup merepotkan aku. Tapi jika tetap keras kepala, maka aku tidak segan-segan membandingkan kekerasan kepalamu dengan batu ini!" Sambil berkata demikia, Barada menghantamkan pukulan padasebongkah batu yang berada disampingnya. Batu itu langsung hancur berkeping-keping. Tapi Rangga tidak terkejut. Pendekar Rajawali Sakti sudah biasa menyaksikan kebolehan seorang tokoh rimba persilatan dalam memecahkan batu hanya dengan sekali pukul saja.
"lngat kata-kata itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Barada.
Setelah berkata demikian, Barada langsung bangkit berdiri dan berbalik. Laki-laki setengah baya itu segera berjalan cepat meninggalkan Rangga yang hanya tersenyum saja memperhatikan. Pemuda berbaju rompi putih itu masih duduk tenang. Sedangkan Barada sudah lenyap dibalik pintu sebuah pondok kecil yang terletak cukup jauh dari tempat itu. Namun pondok itu terlihat jelas.
"Hm.... Apakah dia ayahnya Paria? Dan orang yang disebut Satria Baja Hitam itu adalah Teruna. Ya.... Kenapa aku jadi bodoh begini? Sudah jelas kalau Teruna memiliki julukan Satria Baja Hitam!" gumam Rangga pelahan seorang diri.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu belum merasa yakin benar akan semua dugaannya barusan. Hampir saja pancingannya tadi mengenai sasaran. Tapi laki-laki setengah baya itu seperti sudah mengetahui, dan cepat mengelak dengan kemarahan meluap-luap.
Pada saat Rangga tengah berpikir keras, tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat Tak lama berselang, muncul seekor kuda coklat yang ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah merah menyala. Dia langsung menuju kearah pondok. Tapi begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila dibawah pohon, arah kudanya dibelokkan untuk menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
Laki-laki tua berjubah merah yang dikenali Rangga berjuluk Iblis Racun Merah itu, langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dia berdiri tegak sekitar dua batang tombak jaraknya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Rangga tetap duduk tenang bersila. Bahkan matanya setengah terpejam.
"Hehehe..., ternyata kau sudah lebih dulu berada disini, Bocah!" kata Iblis Racun Merah seraya terkekeh.
Rangga hanya diam saja tidak menanggapi.
"Kemarin kau boleh merasa menang, tapi sekarang.... Hiyaaa!"
Tiba-tiba saja laki-laki tua itu mengibaskan tongkatnya dari atas kebawah, mengarah kekepala Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh cepat luar biasa serangan mendadak itu, sehingga membuat Rangga sedikit terperanjat. Namun sebelum ujung tongkat laki-laki tua berjubah merah itu menghantam kepala, dengan cepat sekali Rangga menggeser duduknya kesamping, tanpa bangkit lebih dahulu. Tongkat Iblis Racun Merah menghantam tanah dengan keras sekali, sehingga membuat permukaan tanah jadi bergetar bagai terjadi gempa. Pada saat itu, Rangga cepat melompat bangkit berdiri.
"Phuih...!" Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya.
Rangga berdiri tegak sambil melipatkan tangan didepan dada. Sedangkan Iblis Racun Merah sudah cepat memutar tongkatnya didepan dada, bagaikan sebuah baling-baling tertiup angin yang kencang sekali. Suara putaran tongkat itu menderu-deru seperti badai. Saat itu juga Rangga merasakan adanya hawa panas menyengat kulit tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Iblis Racun Merah melompat cepat menerjang. Tongkatnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat mengarah kekepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Rangga berhasil mengelakkan sambaran tongkat itu. Secepat kilat disentakkan tangannya hendak menangkap tongkat itu. Namun Iblis Racun Merah sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya, sambil mengirimkan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Uts!
Cepat Rangga menarik mundur perutnya, menghindari tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser kakinya kebelakang beberapa langkah, sehingga terdapat jarak antara dirinya dengan Iblis Racun Merah. Namun laki-laki tua berjubah merah itu tidak ingin membiarkan lawan melakukan serangan. Langsung saja dia melompat seraya mengibaskan tongkatnya mengarah kebeberapa bagian tubuh yang mematikan.
Rupanya pertarungan itu membuat Barada dan beberapa orang yang berada didalam pondok terkejut Mereka bergegas keluar dari pondok, dan terkejut begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah menahan gempuran-gempuran seorang laki-laki tua berjubah merah. Barada dan lima orang pembantunya segera berlarian menuju ketempat pertarungan itu.
"Berhenti...!" teriak Barada keras menggelegar. Suara bentakan Barada yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, membuat Iblis Racun Merah menghentikan pertarungannya seketika. Kakek itu melompat mundur dan berpaling kearah datangnya bentakan menggelegar tadi.
"Barada...! Kenapa kau hentikan pertarunganku?" dengus Iblis Racun Merah sengit.
"Belum saatnya melakukan pertarungan, Iblis Racun Merah," sahut Barada seraya menghampiri laki-laki tua berjubah merah itu.
"Kenapa?" tanya Iblis Racun Merah memberengut.
"Nanti saja kalau mereka sudah datang semua. Lagi pula, sasaran kita yang utama bukan dia. Kau harus ingat. Sasaran kita yang utama adalah Satria Baja Hitam," jelas Barada.
"Tapi bocah edan ini sudah banyak menyusahkan, Barada."
"Aku tahu. Giliran untuknya ada saatnya nanti."
"Hm, baiklah. Tapi kau harus ingat, dia bagianku yang pertama!"
"Aku janji, Iblis Racun Merah."
Iblis Racun Merah kelihatan puas mendengar janji yang diucapkan Barada. Laki-laki tua itu berpaling menatap tajam kearah Rangga. Sinar matanya merah membara bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya tenang saja sambil melipat tangan didepan dada. Bahkan, kini dia kembali duduk tenang dibawah pohon dengan sikap bersemadi.
"Huh...!" dengus Iblis Racun Merah sengit.
"Ayo, Iblis Racun Merah. Kita menunggu didalam pondok," ajak Barada ramah.
"Ayolah."
Mereka segera melangkah kembali kedalam pondok. Barada dan Iblis Racun Merah berjalan didepan, diikuti lima orang pembantu utamal aki-laki setengah baya itu. Tampak Suro yang bertubuh paling besar dan tegap, sempat melirik sengit Pendekar Rajawali Sakti. Memang, laki-laki bertubuh tinggi besar itu juga menyimpan dendam pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Tenang saja. Bagianmu nanti, Suro," bisik Sarapat yang berjalan disamping Suro.
"Akan kuhirup darahnya sampai habis!" dengus Suro menggeram pelan.
"Tapi, Ingat Jantungnya bagianku," bisik Sarapat lagi.
Suro hanya meringis saja. Mereka tidak lagi bicara, lalu menghilang didalam pondok. Sementara itu, Rangga hanya tersenyum saja. Dengan mengerahkan Ilmu Pembeda Gerak dan Suara. Semua percakapan Itu bisa terdengar. Sempat diperhatikannya orang-orang yang kini sudah menghilang didalam pondok kecil yang beratapkan daun rumbia.
"Pssst...Pssst..!"
Rangga tersentak ketika telinganya mendengar suara halus dari arah belakang. Pelahan dipalingkan kepalanya menoleh kebelakang. Hampir Pendekar Rajawali Sakti terlonjak begitu melihat sebuah kepala sedikit menyembul dari dalam semak belukar. Seraut wajah yang sangat dikenalinya dengan baik.
"Mendekat kesini, Rangga...," pelan sekali suara itu.
Rangga menatap kearah pondok sebentar, kemudian tanpa mengubah posisi duduknya sedikitpun, digeser tubuhnya mendekati semak belukar itu. Dan kepala yang menyembul, langsung melesat masuk kedalam semak. Rangga tetap duduk bersila membelakangi semak belukar itu. Pandangannya lurus kearah pondok yang berada cukup jauh di depannya.
"Sejak kapan kau sudah sampai kesini, Teruna?" tanya Rangga berbisik.
"Baru tadi," sahut Teruna yang bersembunyi didalam semak belukar dibelakang Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kenapa kau tidak langsung muncul?" tanya Rangga lagi.
"Untuk apa? Biarkan saja mereka berharap sampai kiamat," sahut Teruna lagi.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" sentak Rangga tidak mengerti.
"Kau tahu, apa yang mereka tunggu?" Teruna malah bertanya.
"Ayahmu, Lasini, dan Badil."
"Mereka sudah aman disuatu tempat."
Rangga tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Maka tubuhnya langsung melesat, dan menghilang dibalik semak belukar. Tapi bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata didalam semak ini tidak adas eorangpun, kecuali dua sosok mayat yang lehernya koyak hampir putus. Darah masih mengalir deras dari leher yang terkoyak itu.
"Teruna...," panggil Rangga setengah berbisik.
Tapi tak ada sahutan sedikitpun. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya dengan tajam. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan putih berkelebat menyelinap diantara pepohonan yang rapat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat mengejar bayangan putih yang diduga bayangan. Teruna.
Rangga berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Matanya tetap tajam memperhatikan bayangan putih yang berkelebat cepat menuruni lereng bukit ini. Dan bayangan putih itu berhenti tepat ditepi sebuah bukit kecil berair jernih yang mengalir berkelokan bagai ular raksasa melingkari bukit Pendekar Rajawali Sakti kini telah tiba dibelakang seorang laki-laki berbaju putih yang berdiri tegak menghadap kesungai. Ketika tubuhnya diputar, maka tampak wajah tampan itu tersenyum manis menawan.
"Kau harus menjelaskan semua ini, Teruna," pinta Rangga langsung dengan suara yang begitu dalam.
"Aku berhasil menyusul mereka dilereng bukit. Tidak sulit untuk mengalahkan mereka yang hanya kroco-kroco saja," jelas Teruna ringan sekali.
Teruna berjalan menghampiri sebongkah batu yang tidak seberapa besar, lalu dengan sikap enak sekali duduk diatasnya. Sedangkan Rangga masih berdiri memperhatikan.
"Teruna, siapa kau ini sebenarnya?" tanya Rangga, dingin dan tajam sekali nada suaranya.
"Aku Teruna, putra tunggal Ki Rabul," sahut Teruna kalem.
"Kau menyembunyikan sesuatu, Teruna. Aku tahu, persoalan yang kau hadapi tidak kecil. Apalagi juga harus menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi. Mereka tidak menginginkan aku, dan tidak ingin aku ikut terlibat. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Teruna?" desak Rangga meminta penjelasan
"Anak bengal itu membawa lari putri Barada...!"
Rangga langsung berpaling ketika mendengar suara dari arah samping kanannya. Tampak Ki Rabul tengah melangkah ringan keluar dari dalam sebuah gua. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tadi tidak memperhatikan ada sebuah gua didekat tepi sungai ini. Tak lama berselang, dari dalam gua itu juga muncul. Lasini yang menuntun adiknya. Gadis itu menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri disampingnya. Sedangkan Ki Rabul berdiri diantara Pendekar Rajawali Sakti dan Teruna yang masih tetap duduk tenang diatas batu.
********************
TUJUH
"Kau sudah kuperingatkan, Teruna. Dan jangan harapakan bisa hidup bebas. Barada tidak akan menyerah begitu saja sebelum menghirup darahmu," kata Ki Rabul.
"Tidak ada yang bisa memisahkan cintaku dengan Paria, Ayah," tegas Teruna.
"Tapi kau telah membuat semua orang jadi menderita. Coba lihat Lasini dan adiknya ini. Akibat perbuatanmu, pondoknya musnah! Juga kau lihat Rangga. Apa yang kau lakukan hanya menyusahkan orang lain saja, Teruna."
"Untuk itulah aku datang kesini, Ayah. Semuanya akan kuselesaikan sendiri. Aku laki-laki. Rasanya tidak mungkin terus-menerus berlari, meskipun Paria tidak menginginkan aku menghadapi ayahnya," tegas kata-kata Teruna.
"Apa yang akan kau lakukan?! Menantang Barada dan orang-orangnya? Apa kau sudah sanggup menghadapi mereka, Teruna? Bisa-bisa kau malah akan mati dicincang mereka!" dengus Ki Rabul sengit.
"Ya, aku akan menghadapinya sebagai laki- laki," tetap tegas jawaban Teruna.
"Anak edan! Apa yang kau andalkan? Kau sekarang tidak lagi memiliki Baja Hitam, Teruna. Lalu apa yang akan kau lakukan dengan keadaanmu seperti ini?Jangan harap mampu mengalahkan Barada tanpa Topeng Baja Hitam...."
"Dengan cara apa? Membunuh dirimu sendiri? Tidak, Teruna. Aku tidak ingin mendapatkan dirimu dalam keadaan hancur tanpa bentuk," Ki Rabul menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu Rangga hanya mendengarkan saja. Kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, sebenarnya Teruna adalah seorang pendekar yang berjuluk Satria Baja Hitam. Orang yang diinginkan kematiannya oleh Barada. Kini Rangga semakin bisa mengerti, mengapa Barada selalu menghendaki kematian pemuda itu. Rupanya percintaan Teruna dengan Paria tidak dikehendaki Barada. Dan sudah jelas kalau Paria adalah anak perempuan laki-laki setengah baya itu.
Cinta memang bisa membuat orang jadi buta. Mereka yang dimabuk asmara tidak akan mempedulikan segalanya. Bahkan nyawa akan dipertaruhkan demi mempertahankan cinta. Cinta suci memang memerlukan pengorbanan yang tidak kecil artinya. Dan kini Teruna tengah mempertahankan cinta dengan mempertaruhkan nyawanya. Bahkan orangtuanya sendiri tidak luput dari kemelut itu. Ditambah lagi Lasini yang tidak tahu-menahu persoalannya, jadi ikut-ikutan berkorban.
Gadis itu kini tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Pondoknya sudah hancur dibakar oleh orang-orang Barada. Diam-diam Lasini menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu melangkah mundur dan berbalik menjauhi tempat itu. Sebentar Rangga memperhatikan, lalu mengikuti gadis itu. Mereka kemudian berhenti dan duduk dibawah sebatang pohon rindang, tidak jauh dari mulut gua.
Sementara ditempat lain, Ki Rabul masih sengit berdebat dengan anaknya yang tetap mempertahankan kebulatan tekadnya. Meskipun Ki Rabul selalu menyalahkan Teruna, tapi di dalam hati kecilnya malah bangga terhadap sikap anaknya yang keras dan tidak tergoyahkan. Memang, akibatnya Teruna harus menghadapi bahaya yang tidak kecil.
Ki Rabul sebenarnya senang, karena anaknya memperoleh seorang istri seperti Paria. Tapi, sama sekali dia tidak pernah menyukai orangtua wanita itu.Terutama jalan hidup yang ditempuh Barada. Barada selalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Bahkan tidak segan-segan membunuh atau merampok, atau bahkan menculik hanya untuk memuaskan nafsu iblisnya.
"Teruna, bukannya aku tidak pernah mendukung semua tindakanmu itu. Aku cukup senang Paria jadi istrimu. Dia anak baik yang jauh berbeda dengan sifat-sifat ayahnya. Sifatnya dituruni oleh mendiang ibunya. Aku hanya ingin memberimu sedikit nasihat. Demi keselamatan mu dan Paria. Maka, sebaiknya kau pergi sejauh mungkin dan hindari bentrokan dengan Barada atau siapapun. Lupakan semuanya. Lupakan juga kalau kau dulu pernah bergelut dalam dunia kependekaran. Dan yang paling penting, lupakan julukan Satria Baja Hitam yang sudah melekat dalam hati dan darahmu. Aku akan bahagia jika melihatmu hidup bahagia," ujar Ki Rabul, terdengar pelan nada suatanya.
"Ayah akan membiarkan mereka mengotori pusaka leluhur kita? Tidak, Ayah! Topeng Baja Hitam harus dapat direbut kembali dari tangan mereka. Julukan Satria Baja Hitam akan kupertahankan, dan akan kuturunkan pada anak cucuku kelak!" sahut Teruna tegas.
"Teruna...."
"Maaf, Ayah. Keputusan ku sudah bulat. Apa pun yang terjadi, topeng itu harus direbut kembali. Dan aku akan menjadi Satria Baja Hitam selama masih mampu. Itu sudah tekadku, Ayah. Dan Paria juga menyetujui. Dia akan mengikuti kemana aku pergi," tegas sekali kata-kata Teruna.
"Teruna...," desah Ki Rabul. Meskipun hatinya bangga akan tekad anaknya, tap ilaki-laki tua itu tetap merasa cemas. Hatinya cemas, karena tahu kalau Teruna tidak akan mampu menghadapi siapapun tanpa Topeng Baja Hitam yang merupakan warisan leluhur berusia puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Orang yang memakai Topeng Baja Hitam akan memiliki kekuatan yang tidak tertandingi. Bahkan segala jenis senjata, segala macam racun bagaimanapun dahsyatnya, tidakakan mampu menandinginya.
"Aku akan pergi, Ayah. Aku mohon restumu." ucap Teruna seraya menghampiri ayahnya.
Pemuda itu berlutut dan mencium kaki ayahnya. Seketika Ki Rabul tidak bisa lagi membendung keharuannya. Yah..., bagaimanapun juga, sekeras apapun hatinya, akan luruh juga oleh kekerasan hati dan tekad anaknya. Terlebih lagi Teruna begitu menyayangi dan menghormatinya Ki Rabul tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Lidahnya terasa kelu, tak mampu mengucapkan satu patah katapun.Laki-laki tua itu hanya bisa mengusap kepala anaknya. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang, selain memberi restu didalam hatinya. Itu diucapkan dalam hati, meskipun terasa berat sekali.
********************
Rangga langsung berdiri ketika melihat Teruna sudah melompat naik kepunggung kudanya. Seekor kuda putih yang tinggi dan tegap. Teruna langsung menggebah kudanya begitu berada dipunggung kuda putih itu. Rangga hendak mengejar, tapi tangannya sudah lebih dulu ditangkap Lasini yang langsung ikut bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti itu mengurungkan niatnya mengejar Teruna. Ditatapnya Lasini, kemudian beralih pada Ki Rabul yang menghampiri dengan mata merembang berkaca-kaca.
"Kakang...," agak tertahan suara Lasini. Lembut sekali Rangga melepaskan cekalan gadis itu pada pergelangan tangannya. Rangga melangkah dua tindak menjauhi gadis itu Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan, apa yang dirasakan Lasini saat ini. Dan perasaan itulah yang tidak diinginkan Rangga. Dia berpaling pada Ki Rabul yang sudah berada di sampingnya
. "Kemana Teruna pergi, Ki?" tanya Rangga.
"Menemui Barada," sahut Ki Rabul.
"Dia bisa celaka, Ki. Di sana ada pula Iblis Racun Merah. Tidak mungkin Teruna mampu menandingi mereka seorang diri...!" sentak Rangga yang terkejut mendengar kalau Teruna hendak menemui Barada.
Memang, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerti jelas semua persoalannya. Dan memang sudah bisa diketahui, kalau Teruna pasti akan menantang Barada. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti belum pernah bentrok langsung, tapi dari sikap Barada, dan patuhnya si Iblis Racun Merah terhadap laki-laki setengah baya itu, sudah dapat dipastikan kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Barada tentu tinggi sekali.
"Kenapa kau biarkan dia pergi kesana, Ki?" tanya Rangga seperti menyesali.
"Aku tidak bisa mencegah lagi, Nak Rangga. Itu memang sudah tekadnya. Lagi pula dia memang harus berani menghadapi semua yang telah dilakukannya," sahut Ki Rabul pelan.
"Aku harus cepat menyusul, Ki!"
"Rangga...."
Ki Rabul cepat menangkap pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Maka Rangga jadi mengurungkan niatnya. Sebentar ditatapnya laki-laki tua kurus itu. Ki Rabul menarik napas panjang, kemudian mengajak Rangga menjauh dari Lasini. Gadis itu hanya diam saja memandangi. Entah apa yang dibicarakan Ki Rabul bersama Pendekar Rajawali Sakti. Jaraknya terlalu jauh, sehingga Lasini tidak bisa mendengarnya.
Lasini hanya bisa melihat kalau Rangga tampak terkejut, lalu tertegun cukup lama. Sedangkan bibir Ki Rabul terus bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Tampak Rangga memandang Lasini yang menunggu didepan mulut gua, kemudian berpaling pada laki-laki tua kurus yang berdiri di hadapannya.
Ki Rabul tidak lagi berbicara, seakan-akan sedang menunggu keputusan yang akan diambil Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Lasini tersentak kaget. Dan langsung berlari menghampiri Ki Rabul yang masih berdiri memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Ki...," tersedak suara Lasini.
"Ayo, kita kembali ke gua. Akan kujelaskan padamu disana," kata Ki Rabul sebelum Lasini sempat bertanya.
Sebentar gadis itu menatap kearah kepergian Pendekar Rajawali Sakti, kemudian berbalik dan melangkah mengikuti Ki Rabul. Mereka masuk ke dalam gua, dan Ki Rabul menutupi mulut gua dengan ranting dan rerumputan kering hingga tersamar.
********************
Sementara itu, Teruna sudah sampai di Puncak Bukit Sangu sebelah Selatan. Kudanya ditinggalkan disana, dan perjalanannya dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sengaja dia memilih jalan memutar, agar tidak cepat diketahui anak buah Barada. Hanya satu tujuannya, merebut kembali Topeng Baja Hitam yang menjadi warisan leluhumya. Dengan topeng warisan itu, Teruna akan kembali menjelma sebagai Satria Baja Hitam. Teruna menyadari kalau dia tidak akan mampu menghadapi Barada dan orang-orangnya dalam keadaan polos. Tanpa Topeng Baja Hitam, kepandaian yang dimiliki masih jauh dibawah kepandaian Barada.
"Hm...," Teruna menggumam pelahan. Tatapan mata pemuda itu luruh kepada sebuah pondok kecil yang ada di Puncak Bukit Sangu ini. Pelahan tubuhnya mengendap-endap mendekati pondok kecil itu. Namun tiba-tiba saja....
Srek!
"Heh...?!" Teruna terkejut setengah mati ketika tiba-tiba dari atas pohon, meluncur seseorang berpakaian serba hitam. Pemuda itu langsung melompat mundur dua langkah. Dipandanginya sosok tubuh berbaju hitam yang sangat ketat didepannya. Sosok tubuh ramping seorang wanita cantik. Dua gagang pedang berbentuk kepala naga menyembul dari punggungnya. Dia berdiri tegak berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Teruna.
"Kau yang bernama Teruna si Satria Baja Hitam?" dingin sekali nada suara wanita itu bertanya.
"Benar, dan kau siapa?" sahut Teruna langsung balik bertanya.
"Putri Naga Hitam."
"Hm..., rasanya kita belum pernah bertemu. Apa maksudmu berdiri disitu? Ingin menghadangku?" dingin sekali nada suara Teruna.
"Apakah kau akan kepondok itu?" Putri Naga Hitam malah balik bertanya.
"Apa urusanmu?" dengus Teruna.
"Jika ingin masuk kesana, aku akan mengalihkan perhatian mereka."
"Heh...!" Teruna terkejut.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku akan membantumu, karena aku juga punya urusan dengan salah seorang dari mereka," sahut Putri Naga Hitam.
Belum sempat Teruna bertanya lagi, wanita berbaju serba hitam itu sudah melesat cepat bagai kilat menuju pondok kecil dipuncak bukit ini. Dan Teruna semakin tidak mengerti, karena gadis itu berdiri tegak didepan pintu pondok sambil berkacak pinggang.
"Iblis Racun Merah, keluar kau...!" terdengar suara lantang Putri Naga Hitam.
Seketika itu juga, dari dalam pondok berlompatan keluar tujuh orang laki-laki bertampang bengis. Teruna tentu sudah kenal mereka semua. Terlebih lagi pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna merah muda, dipadu dengan merah tua yang sangat indah terbuat dari bahan sutra halus.
Namun pemuda itu semakin terkejut begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah merah membawa sebatang tongkat yang juga berwarna merah. Teruna pernah bentrok sekali dengan laki-laki tua yang berjuluk Iblis Racun Merah itu. Dialah yang mengambil topeng baja hitam darinya, dan diserahkan pada Barada. Perhatian tujuh orang itu terpusat pada Putri Naga Hitam Kesempatan ini tidak disia-siakan Teruna.
Dengan cepat sekali tubuhnya melesat ke belakang pondok. Pemuda itu merapatkan tubuhnya kedinding pondok, dan memasang telinganya tajam-tajam. Telinganya mencoba menangkap suara dari dalam pondok. Tapi, tak ada satu suarapun yang terdengar dari sana, kecuali suara-suara yang datangnya dari depan pondok. Teruna mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik bajunya. Sebentar di amaati sekitarnya. Sepi. Tak ada seorangpun disekitar tempat ini. Sebentar kemudian terdengar suara pertarungan dari depan pondok.
"Hih!"
Cepat Teruna merobek dinding pondok yang terbuat dari anyaman bambu itu dengan pisau kecilnya. Kembali disimpannya pisau itu dibalik baju, kemudian perlahan-lahan masuk kedalam pondok itu. Keadaan didalam pondo kini begitu lapang. Tidak ada sebuah perabotpun, kecuali selembar permadani merah yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah meja bundar berkaki rendah. Diatas meja bundar itu terdapat beberapa guci arak dan sebuah kotak kayu berukuran cukup besar. Kotak berukir dari kayu jati.
Pelahan-lahan Teruna menghampiri meja bundar berkaki rendah itu. Di bukanya kotak kayu Itu pelahan-lahan. Matanya langsung terbeliak begitu melihat isinya. Didalam kotak kayu itu hanya tersimpan sebuah benda berwarna hitam pekat berbentuk bulat dengan dua buah lubang. Cepat Teruna mengambil benda itu. Sebentar diamati, lalu cepat-cepat dia keluar dari dalam pondok setelah menutup kembali kotak kayu itu.Teruna keluar lewat jalan masuk tadi. Kemudian dirapikannya kembali dinding bilik bambu yang dibedah tadi.
"Hmhmhm..., Satria Baja Hitam muncul lagi...," Teruna tersenyum-senyum. Pemuda itu cepat-cepat melesat pergi dari tempat itu, dan cepat sekali menghilang kedalam hutan. Namun belum juga jauh, mendadak lompatannya terhenti. Mata pemuda itu jadi membeliak melihat seorang laki-laki muda berwajah tampan yang mengenakan rompi putih sudah berdiri menghadang didepannya.
"Rangga...," desis Teruna.
"Kenapa kaulari, Teruna?" desis Rangga, dingin nada suaranya.
Teruna tidak bisa menjawab. Sementara Topeng Baja Hitam disembunyikan dibalik punggungnya. Dia tidak ingin benda keramat ini jatuh ketangan orang lain lagi. Meskipun sudah sering ditolong Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi Teruna tidak ingin Rangga terpikat oleh benda keramat ini. Benda yang sangat berharga baginya.
"Kau sudah memperoleh topeng itu?" tanya Rangga.
"Sudah," sahut Teruna.
"Kau lupa, seorang gadis tengah menyabung nyawa karena membantumu mendapatkan topeng itu. Picik sekali jiwamu, Teruna!" dengus Rangga.
"Aku tidak kenal siapa dia. Lagipula, gadis itu punya urusan sendiri dengan mereka!" dengus Teruna.
"Kau berjuluk Satria Baja Hitam. Apakah seperti itu sikap seorang satria? Membiarkan orang lain menderita, menyabung nyawa, dan kau lari begitu saja. Aku benar-benar kecewa terhadap perbuatanmu, Teruna. Rasanya kau belum pantas mendapat gelar Satria Baja Hitam. Kau masih lebih mementingkan dirimu sendiri! Jiwamu masih kerdil!" tajam sekali nada suara Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga langsung melesat pergi kearah pondok di Puncak Bukit Sangu ini. Cepat sekali lesatan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sehingga, sebelum Teruna sempat melakukan sesuatu,bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sementara Rangga terus berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Kini tampak Putri Naga Hitam kewalahan menghadapi keroyokan tujuh orang yang rata-rata memiliki kemampuan tinggi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terjun ke dalam kancah pertempuran.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Barada terkejut melihat kemunculan Rangga.
Kemunculan pemuda berbaju rompi putih itu, bukan hanya mengejutkan Barada. Tapi semua yang terlibat pertempuran dengan Putri Naga Hitam, langsung berlompatan mundur. Rangga berdiri tegak disamping gadis berbaju hitam yang sudah menghunus sepasang pedang kembarnya.
"Pengecut! Mengeroyok seorang gadis...!" desis Rangga, terdengar tajam nada suaranya.
"Terimakasih atas kedatanganmu. Tapi, aku ingin memenggal kepala tua bangka busuk itu," ujar Putri Naga Hitam, agak mendesis suaranya.
"Hadapi dia, biar aku akan menghadang yang lainnya," sambut Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, Putri Naga Hitam langsung melompat menerjang Iblis Racun Merah. Serangan gadis itu sungguh dahsyat dan mebgejutkan. Akibatnya laki-laki tua berjubah merah itu agak terperangah sesaat, namun dengan cepat mampu berkelit dan terus membalas serangan tidak kalah dahsyatnya.
Pada saat itu, Suro dan Sarapat melompat hendak membantu Iblis Racun Merah. Untungnya, Rangga cepat menghadang gerakan mereka. Pendekar Rajawali Sakti itu lebih cepat lagi melesat bagaikan kilat disertai lontaran dua pukulan sekaligus.
"Yeaaah...!"
Suro dan Sarapat terkejut bukan main. Mereka buru-buru melentingkan tubuhnya kebelakang, menghindari pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi dan sudah mencapai tahap kesempurnaan.
Bersamaan dengan mendaratnya kedua orang itu, manis sekali Rangga menjejakkan kakinya ditanah. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak didepan enam orang itu sambil melipat tangannya didepan dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, membuat hati siapa saja yang memandangnya jadi bergetar.
"Kalian tidak perlu ikut campur!" dengus Rangga dingin.
"Apa pedulimu?! Huh...!" sentak Suro ketus.
Orang bertubuh tinggi tegap tanpa baju itu, langsung melepaskan cambuk yang melilit pinggangnya. Dan seketika itu juga cambuknya dikebutkan dengan kuat kearah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
“Yeaaah...!"
Ctar!
"Uts!"
DELAPAN
Tepat pada saat ujung cambuk itu berada di atas kepala, cepat sekali Rangga mengangkat tangannya. Seketika ditangkapnya cambuk itu sambil kepalanya ditarik kebelakang. Sebelum Suro bisa menyadari apa yang terjadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghentakkan tangannya yang memegang cambuk keatas.
"Hih! Yeaaah...!"
"Whaaa...!
Tubuh tinggi besar bagai raksasa itu tiba-tiba saja terangkat, dan melayang deras keangkasa. Saat itu Rangga melepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dengan cepat dilesatkan tubuhnya untuk mengejar Suro. Lewat pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti itu mengibaskan tangannya beberapa kali kearah tubuh Suro yang sedang melayang diudara.
Beberapa kali tebasan tangan pemuda berbaju rompi putih itu menghajar tubuh laki-laki tinggi besar berotot.
Bughk!
Des!
"Aaakh...!" Suro menjerit melengking tinggi.
Deras sekali tubuh tinggi besar bagai raksasa itu meluruk kebawah. Suro terbanting keras ketanah, lalu menggeliat sambil mengerang. Saat itu Rangga sudah menukik deras bagai kilat. Kedua kakinya bergerak cepat mengarah tubuh laki-laki tinggi besar itu. Kini Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'
"Dughk!
Beghk...!
Kembali Suro menjerit melengking tinggi begitu kaki-kaki Pendekar Rajawali Sakti menghajar tubuhnya beberapa kali. Laki-laki tinggi besar itu bergulingan sejauh tiga batang tombak diatas tanah berumput, dan baru berhenti setelah tubuhnya menghantam sebuah pohon yang cukup besar hingga tumbang. Hanya sebentar Suro mampu menggeliat, kemudian mengejang dan langsung diam tak berkutik lagi. Tidak ada luka yang terlihat di tubuhnya, tapi seluruh bagian dalam tubuhnya remuk. Darah terus mengucur keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Suro diam tak bergerak tanpa nyawa dibadannya.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati tubuh Suro yang sudah tidak bernyawa lagi. Perlahan-lahan tubuhnya berputar, menghadap Barada yang didampingi empat orang pembantu utamanya. Mereka seakan-akan belum bisa mempercayai kematian Suro yang begitu cepat ditangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian akan bernasib sama jika bertindak bodoh!" dengus Rangga mengancam.
Barada menggeretakkan gerahamnya menahan kemarahan yang meluap. Ketika tangannya menepuk tiga kali, saat itu juga disekitarnya bermunculan orang-orang bersenjata golok, pedang, serta tombak. Rangga menggumam kecil melihat di sekeliling tempat itu sudah terkepung tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata terhunus.
"Aku akui, kau memang hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku ingin tahu, apakah kau mampu menghadapi orang-orangku!" desis Barada menggeram.
Rangga tidak menyahuti, tapi malah mengedarkan pandangannya kesekeliling, merayapi orang-orang yang bergerak mendekat mengurungnya. Mereka semua sudah siap melakukan pertarungan sambil menghunus senjata masing-masing. Tinggal menunggu perintah, maka mereka akan berlompatan menyerang dari segala penjuru.
Sementara itu Rangga sempat melirik kearah lain, kearah pertarungan antara si Iblis Racun Merah dengan Putri Naga Hitam yang masih berlangsung sengit. Dan tampaknya mereka sangat berimbang. Belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu akan berakhir. Meski pun jurus-jurus andalan yang dahsyat sudah dikerahkan, tapi nampaknya pertarungan itu masih terus berlangsung cukup lama.
Rangga kembali mengalihkan perhatiannya pada Barada yang diapit empat orang pembantu utamanya. Mereka tampaknya juga sudah siap melakukan pertarungan.
"Kau sudah terlalu banyak mencampuri urusanku, Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorangpun yang bisa hidup bila berurusan denganku!" ujar Barada, dingin sekali suaranya terdengar.
"Kau akan membuang nyawa sia-sia saja, Barada. Tidak ada gunanya seluruh anak buahmu dikerahkan. Aku ada disini justru ingin menyelesaikan persoalanmu dengan Teruna," tegas Rangga.
"Hanya satu penyelesaian dalam diriku. Mati...!" desis Barada dingin.
Rangga mengangkat bahunya. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Barada tidak akan menyerah begitu saja. Ki Rabul juga sudah mengatakan padanya kalau orang itu tidak akan bisa diajak bicara. Baginya, mati adalah penyelesaian untuk setiap persoalan. Dan memang, semua orang yang punya persoalan dengannya tidak ada yang bisa bertahan hidup lebih lama. Barada akan membunuh siapa saja yang dianggap merintangi pekerjaannya.
Laki-laki setengah baya itu akan membunuh manusia tanpa berkedip, seperti menyembelih seekor ayam!
"Seraaang...!" seru Barada tiba-tiba. Suaranya keras, lantang dan menggelegar, bagai guntur disiang hari bolong. Seketika itu juga, terdengar teriakan-teriakan keras mengawali suatu pertempuran yang akan terjadi di Puncak Bukit Sangu ini. Orang-orang yang sejak tadi sudah siap menunggu perintah, langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti, jika tidak ingin mati konyol dirajam dipuncak bukit yang dingin ini. Begitu dua orang berserjata golok menyerang dengan mengayunkan goloknya, secepat kilat Rangga memutar tubuhnya seraya melontarkan dua pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Hiyaaat...!"
Bughk!
Deghk!
Dua jeritan melengking tinggi terdengar, tepat saat dua orang yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti terlontar. Mereka tergeletak ditanah dengan dada remuk dan mulut menyemburkan darah segar. Seketika itu juga mereka tewas, tanpa mampu menggeliat lagi. Namun belum juga pemuda berpakaian rompi putih itu bisa menarik napas lega, datang lagi serangan-serangan yang sangat gencar dari segala penjuru.
Serangan-serangan itu demikian cepat dan saling sambut. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit mengalami kerepotan juga. Namun berkat pengalamannya dalam menghadapi segala macam pertarungan, keadaan segera bisa dikuasai. Jerit pekik melengking terdengar saling sahut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh tak bernyawa lagi. Rangga benar-benar tidak punya pilihan lain lagi. Kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak bertindak ,bisa-bisa malah dirinya yang dirajam.
Mereka benar-benar bagaikan makhluk buas haus darah. Bahkan tidak mengenal rasa gentar, meskipun sudah banyak temannya yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Mereka terus saja merangsek Rangga, menyerang dengan senjatanya.
Namun tiba-tiba saja, mereka yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti jadi berantakan. Tampak tubuh-tubuh berpentalan keudara, dan jeritan-jeritan menyayat semakin sering terdengar. Sesaat, Rangga memperoleh ruang gerak untuk keluar dari kepungan ini. Maka waktu yang sedikit ini tidak disia-siakannya. Dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya keudara, lalu manis mendarat diluar kepungan.
Rangga jadi terbeliak begitu melihat seorang yang berpakaian serba hitam berkilat, bagai mengenakan baju dari lempengan besi baja, tengah mengamuk dengan pedang berwarna hitam tergenggam ditangan. Seluruh kapalanya terbungkus logam hitam, kecuali bagian matanya saja yang terlihat. Namun belum sempat Rangga berpikir tentang manusia aneh itu, sudah datang lagi serangan kearahnya.
"Yeaaah...!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil memberikan beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Saat ini Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Suatu jurus dahsyat dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin tanggung-tanggung, dan langsung mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dalam tahap yang terakhir. Seketika kedua kepalan tangannya berubah menjadi merah membara bagai terbakar.
Maka dalam waktu yang tidak berapa lama saja, semua orang yang mengeroyoknya sudah tergeletak ditanah. Rangga melompat mendekati Barada yang berdiri mengawasi didampingi empat orang pembantu utamanya. Tepai saat Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan kakinya di sampingnya sudah datang dan berdiri manusia bertubuh seperti dari logam hitam.
"Satria Baja Hitam...!" desis Barada terbeliak melihat orang yang berada disamping Rangga.
Desisan Barada juga membuat Rangga berkerenyit keningnya. Kepalanya menoleh sedikit, lalu melirik mengamati manusia yang tidak ketahuan wajahnya itu.
"Mustahil.... Tidak mungkin...!" desis Barada sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Saat itu, Sarapat melompat masuk kedalam pondok. Tak berapa lama kemudian, sudah keluar lagi dengan wajah pucat pasi. Langsung dihampirinya Barada yang tengah kebingungan bercampur ketidakpercayaan. Matanya tidak berkedip memandangi manusia aneh yang berdiri di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Topeng itu lenyap, Gusti," bisik Sarapat dekat telinga Barada.
"Apa...?!" Barada terperanjat. Begitu terkejutnya Barada, sampai terlompat kebelakang beberapa tindak. Dipandanginya Sarapat, kemudian beralih pada manusia bertubuh serba hitam. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Mustahil…..! Bagaimana dia mendapatkannya...?" desis Barada tidak percaya.
"Dinding bagian belakang jebol," lapor Sarapat.
Sementara itu manusia aneh yang tubuh dan seluruh wajahnya bagai dari besi bajah hitam itu, melangkah maju tiga tindak. Sedangkan Barada dan keempat pembantu utamanya langsung mengeluarkan senjata masing-masing. Tampak kegentaran tersirat pada wajah mereka. Sementara Rangga hanya menyaksikan saja. Pendekar Rajawali Sakti sendiri terpana akan kemunculan manusia aneh yang disebut Barada sebagai Satria Baja Hitam. Memang, dia tahu itu pasti Teruna. Tapi Rangga baru kali ini melihat sosok Satria Baja Hitam.
"Seraaang...! Bunuh dia!" teriak Barada keras.
Seketika empat orang pembantu utamanya berlompatan menyerang manusia aneh bertubuh serba hitam itu. Namun sebelum mereka sampai, manusia berjuluk Satria Baja Hitam itu sudah melompat cepat. Seketika dilontarkannya beberapa pukulan, dibarengi tebasan pedangnya yang berkelebat bagai kilat.
Dua jeritan melengking tinggi terdengar. Tampak dua orang terjerembab jatuh menggelepar ditanah. Darah langsung mengucur deras dari lehernya yang terpenggal hampir buntung. Dua orang lagi mencoba kabur. Tapi Satria Baja Hitam lebih cepat melemparkan pedangnya, dan dia sendiri langsung melesat mengejar kearah satu orang lagi.
Pedang berwarna hitam itu menancap tepat dipunggung orang yang melarikan diri itu. Jeritan melengking tinggi, kembali terdengar memecah angkasa. Pada saat yang sama, Satria Baja Hitam menghantamkan satu pukulan, dan tepat menghajar kepala orang satunya lagi.
"Aaa...!"
Jerit melengking kembali terdengar. Orang itu menggelepar dengan kepala hancur berantakan.
Pada saat yang sama, Barada melompat sambil mengibaskan pedangnya kearah punggung Satria Baja Hitam. Kecurangan Barada ini terlihat oleh Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi hanya diam saja menyaksikan.
"Hiyaaat..!"
Rangga seketika melompat secepat kilat, langsung melepaskan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Duk!
"Aaakh...!"
Pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam dada Barada. Akibatnya laki-laki setengah baya itu menjerit keras, dan tubuhnya terpental jauh kebelakang. Dalam waktu yang bersamaan, Satria Baja Hitam berbalik dan segera melesat kearah Barada yang bergulingan ditanah. Sebelum laki-laki tua itu berhenti bergulingan, Satria Baja Hitam sudah cepat mencabut pedangnya yang menancap dipunggung salah seorang pembantu Barada. Dan dengan kecepatan luar biasa, ditebaskan pedangnya keleher laki-laki setengah baya itu.
Cras!
"Aaa...!" kembali Barada menjerit melengking tinggi. Darah langsung muncrat keluar dari batang leher yang terpenggal buntung. Hanya sebentar saja Barada mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi. Nyawanya langsung terbang meninggalkan raga yang tanpa kepala lagi. Satria Baja Hitam memutar tubuhnya, menatap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Secara bersamaan mereka berpaling ketika mendengar suara jeritan melengking tinggi. Tampak ditempat lain, Putri Naga Hitam baru saja menyelesaikan pertarungannya melawan si Iblis Racun Merah.
********************
Putri Naga Hitam menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri disamping Satria Baja Hitam. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri seraya merayapi sekelilingnya. Mayat-mayat bergelimpangan, darah menyebar keluar dari tubuh-tubuh yang terluka. Bau anyir darah begitu terasa menyengat terbawa hembusan angin.
"Terimakasih. Kau telah menyadarkan diriku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Putri Naga Hitam seraya menyodorkan tangannya.
Rangga hanya tersenyum saja. Di sambutnya uluran tangan wanita cantik berbaju serba hitam itu. Mereka kemudian saling melepas jabatan tangan, dan sama-sama berpaling pada seseorang yang wajahnya tertutup topeng baja berwarna hitam pekat.
"Sudah saatnya kita berpisah disini," kata Satria Baja Hitam cepat.
"Kau benar. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan disini," sambut Putri Naga Hitam.
Setelah berkata demikian, Putri Naga Hitam membalikkan tubuhnya, langsung melangkah pergi. Namun baru juga beberapa langkah berjalan, wanita berbaju hitam itu berhenti dan berbalik,
"Aku berharap kita bisa bertemu lagi," kata Putri Naga Hitam.
Putri Naga Hitam kembali memutar tubuhnya, dan langsung melesat cepat pergi. Sebentar saja bayangan tubuh wanita berbaju hitam itu sudah lenyap dari pandangan. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengalihkan perhatiannya pada Satria Baja Hitam.
"Aku juga harus segera pergi, Pendekar Rajawali Sakti," pamit Satria Baja Hitam.
"Tunggu dulu...!" cegah Rangga.
"Ada apa?"
"Bagaimana dengan Ki Rabul dan Lasini?" tanya Rangga.
"Siapa mereka?" Satria Baja Hitam balik bertanya.
"Kau jangan berpura-pura didepan ku, Teruna. Meskipun dalam ujud lain, tapi aku bisa mengenal suaramu," tegas Rangga.
"Aku bukan Teruna, tapi Satria Baja Hitam."
"Baik. Kau sekarang memang Satria Baja Hitam. Tapi setelah semua yang melekat di tubuhmu dilepas, kau adalah Teruna," desis Rangga.
"Hahaha...! Bagaimana kau bisa yakin, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Sudahlah. Tidak ada gunanya berpura-pura didepanku. Aku sudah tahu semuanya tentang Satria Baja Hitam. Lepaskan saja pakaianmu itu, Teruna. Aku ingin agar kau mengambil keputusan tepat bagi ayahmu, juga Lasini dan adiknya."
Satria Baja Hitam terdiam, lalu dengan tajam memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Pelahan-lahan tangannya terangkat sampai kewajah, lalu melepaskan topeng baja hitam yang menutupi wajahnya. Sungguh ajaib sekali. Tiba-tiba saja seluruh tubuh Satria Baja Hitam mengepulkan asap. Dan begitu asap berwarna hitam itu memudar, kini yang berdiri didepan Rangg aadalah Teruna.
"Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa didepanmu, Pendekar Rajawali Sakti," ungkap Teruna seraya memasukkan Topeng Baja Hitam kebalik bajunya.
"Kalau saja ayahmu belum cerita, mungkin aku tidak akan tahu tentang dirimu dalam bentuk lain," Rangga mengakui.
"Baiklah. Kau tadi bicara tentang ayah, Lasini, dan adiknya. Sudah kuputuskan kalau aku harus membawa mereka dan hidup bersama-sama istriku. Lasini sudah banyak berkorban untuk ayahku. Maka sudah sepantasnya aku harus menampung, melindungi, dan memberinya kehidupan layak," tegas Teruna mantap.
"Itulah yang kuinginkan, Teruna."
Kedua pemuda itu sama-sama tersenyum.
"Rangga! Bagaimana aku harus mengatakan tentang kematian Barada pada Paria?" tanya Teruna.
"Ceritakan saja terus terang. Apakah istrimu itu sudah tahu tentang Satria Baja Hitam?"
"Belum."
"Itu lebih bagus lagi. Katakan saja kalau ayahmu kalah oleh Satria Baja Hitam. Itu berarti bukan kalah olehmu."
"Kau benar, Rangga. Hahaha...."
Rangga hanya tersenyum saja. "Baiklah. Sekarang aku pergi dulu, Teruna," pamit Rangga.
"Bagaimana aku bisa mengucapkan terima kasih padamu, Pendekar Rajawali Sakti? Kau sudah begitu banyak berkorban untukku," ujar Teruna.
"Persahabatan," sahut Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga langsung cepat melesat pergi. Kini tinggal Teruna yang berdiri memandangi sambil menarik napas dalam-dalam
"Senang bersahabat denganmu, Pendekar Rajawali Sakti," desah Teruna.
Pemuda itu kini mengayunkan kakinya, meninggalkan Puncak Bukit Sahgu. Langkahnya pelahan-lahan dengan wajah cerah. Tak ada lagi yang mengganggu kehidupannya di masa datang. Tak ada yang akan mengejar-ngejar lagi. Semuanya sudah berakhir. Matahari esok bersinar cerah, siap menyambut kehidupannya yang baru.
SELESAI