Rahasia Gordapala

Pendekar Rajawali Sakti Episode Rahasia Gordapala

Rahasia Gordapala

SATU

SEEKOR kuda hitam berpacu cepat melintasi jalan tanah berbatu. Debu mengepul tinggi ke angkasa, menambah pengapnya udara di siang hari yang panas. Matahari bersinar begitu terik, membuat kulit serasa bagai terbakar.

Pendekar Rajawali Sakti
Kuda hitam itu meringkik keras dan berhenti seketika saat penunggangnya menarik tali kekangnya kuat-kuat dan tiba-tiba sekali, tepat di saat beberapa orang bersenjata golok terhunus bermunculan dari sisi kiri-kanan jalan yang dipenuhi semak belukar.

Ada sekitar dua puluh orang laki-laki berperawakan kasar dan berwajah bengis menghadang perjalanan penunggang kuda itu. Golok-golok yang tergenggam terhunus melintang di depan dada, berkilatan tertimpa cahaya matahari yang bersinar sangat terik.

Pemuda tampan penunggang kuda hitam itu memperhatikan orang-orang yang kini sudah cepat mengepungnya. Sinar matanya menyorot begitu tajam. Sedangkan bibirnya yang tipis agak memerah, terkatup rapat. Tatapannya kemudian tertuju langsung pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang berdiri tepat satu batang tombak di depannya.

“Siapa kalian? Mau apa kalian menghadang jalanku?” tanya pemuda itu dingin.

“Turun dari kudamu!” laki-laki bertubuh tinggi tegap yang berbaju hitam pekat itu malah membentak kasar.

“Hm..., kenapa aku harus turun dari kuda...?” pemuda itu seperti tidak senang mendengar bentakan kasar tadi.

“Jangan banyak omong! Turun dari kudamu dan serahkan semua barangmu, atau kau ingin jadi dendeng, hah...?!”

Ucapan laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan kumis tebal melintang menghiasi bibirnya, disambut tawa keras terbahak-bahak dari teman-temannya. Sedangkan pemuda tampan berbaju merah muda dari bahan sutera halus itu jadi menggumam kecil dengan mata agak menyipit. Perlahan dia turun dari kudanya, lalu melangkah beberapa tindak ke depan. Sikapnya begitu tenang. Bahkan bibirnya mengulas senyum manis.

“Kalian ingin merampokku? Silakan. Tidak ada yang bisa kalian rampas dariku,” kata pemuda itu, tenang sekali suaranya.

Tanpa sedikit pun menghiraukan mereka yang mengepung dengan bersenjatakan golok terhunus, pemuda itu terus saja melangkah tenang sambil menuntun kudanya. Sikap tenang dan tidak peduli ini, membuat para penghadangnya jadi geram. Maka laki-laki berkumis tebal itu langsung saja melompat cepat menghadang. Seketika pemuda tampan berbaju merah muda itu menghentikan ayunan kakinya.

“Jangan berlagak jago di depan Singo Barong, Bocah!” bentak laki-laki kekar berkumis tebal itu geram.

“Telah kukatakan padamu, Kisanak. Tidak ada yang bisa dirampas dariku. Dan kalian semua akan menyesal jika tidak mendengarkan kata-kataku,” dingin sekali nada suara pemuda itu.

“Keparat..! Kau mengancam, heh...?!” gertak Singo Barong.

“Aku tidak mengancam, hanya mengingatkan saja supaya kalian tidak menyesal nantinya.”

“Setan...! Mampus kau. Hiyaaat..!”

Wuttt!

Cepat sekali Singo Barong melompat sambil mengecutkan golok besarnya ke dada pemuda tampan berbaju merah muda itu.

“Uts...!”

Tapi sedikit saja pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang, tebasan golok Singo Barong hanya lewat sedikit di depan dadanya. Dan sebelum Singo Barong bisa menarik kembali goloknya, tiba-tiba saja pemuda itu sudah cepat menghentakkan kakinya ke arah perut, sambil memiringkan tubuh ke kiri.

“Yeaaah...!”

Begkh!

“Akh...!” Singo Barong terpekik keras agak tertahan.

Tubuh laki-laki kekar berkumis tebal itu seketika terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Gerakan cepat pemuda tampan ini, tentu saja membuat yang lain jadi terkejut. Sedangkan Singo Barong sudah bergegas bangkit berdiri. Dia menggeram dahsyat. Wajahnya memerah menahan kemarahan yang langsung meluap sampai ke ujung kepala.

“Serang...! Bunuh bocah setan itu...!” teriak Singo Barong lantang menggelegar.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

Hampir dua puluh orang bersenjata golok seketika itu juga berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang pemuda tampan berbaju merah muda ini. Namun, pemuda itu tetap kelihatan tenang sambil tersenyum tipis. Dan ketika satu orang mengibaskan goloknya dari arah samping kanan, cepat sekali tangannya dikebutkan.

Tap!
“Hih!”
“Akh...!”

Sukar diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepatnya tangan pemuda itu menangkap pergelangan tangan penyerangnya. Bahkan langsung dibarengi satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Akibatnya, laki-laki kasar penyerangnya itu menjerit keras melengking tinggi. Dia jatuh bergulingan di tanah, dan goloknya kini sudah berpindah ke tangan pemuda itu.

“Hiyaaat...!”

Begitu mendapat golok, pemuda tampan itu langsung mengebutkannya sambil berputar. Tiga orang yang berada dekat dengannya tidak bisa lagi menghindari kelebatan golok yang begitu cepat bagai kilat. Mereka menjerit melengking tinggi begitu golok di tangan pemuda tampan itu membabat tubuhnya.

Belum lagi hilang jeritan panjang melengking dari pendengaran, pemuda tampan itu sudah kembali bergerak cepat sambil mengebutkan golok beberapa kali. Jeritan-jeritan panjang melengking kembali terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh berlumuran darah.

Sungguh menakjubkan! Hanya beberapa gebrakan saja, sudah lebih dari separuh yang bergelimpangan tewas berlumuran darah. Singo Barong yang menyaksikan anak buahnya berjatuhan tanpa mampu melakukan perlawanan berarti, langsung memucat wajahnya. Sedangkan jeritan-jeritan panjang melengking masih terus terdengar begitu menyayat

“Gila.... Bisa habis anak buahku kalau begini...,” desah Singo Barong dalam hati.

Memang tidak mungkin Singo Barong dan anak buahnya bisa menandingi pemuda tampan yang bergerak begitu cepat bagai kilat. Malah, setiap gerakannya sukar sekali diikuti pandangan mata mereka.

“Lari...!” seru Singo Barong tiba-tiba.

Cepat sekali Singo Barong melompat masuk ke dalam semak, dan menghilang seketika. Sisa anak buahnya yang tinggal enam orang lagi langsung berlompatan kabur begitu mendengar teriakan pemimpinnya. Sedangkan pemuda tampan ini hanya diam saja, membiarkan pengeroyoknya yang tinggal enam orang itu kabur. Bibirnya tampak menyunggingkan senyuman tipis. Lalu, dibuangnya golok rampasan yang sudah berlumuran darah.

“Hhh...! Baru segitu saja sudah mau sok jago!” dengus pemuda itu, mencibir.

Sambil merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan berlumuran darah, kakinya melangkah menghampiri kudanya di tepi jalan. Seekor kuda hitam yang begitu gagah, berpelana perak. Tali kekangnya pun berwarna kuning, bagai terbuat dari emas. Bagian sisi pelana itu dihiasi batu-batu berwarna merah yang berkilatan indah tertimpa cahaya matahari. Kuda yang gagah dengan pelana indah gemerlap, memang membuat siapa saja yang melihatnya pasti ingin memiliki.

“Kau tidak apa-apa, Jaran Geni?” tanya pemuda itu sambil menepuk-nepuk leher kudanya.

Kuda hitam yang dipanggil Jaran Geni itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kaki depan bagian kanannya dihentakkan beberapa kali ke tanah. Dari lubang hidungnya, mengepul asap tipis agak kemerahan saat mendengus untuk menjawab ucapan pemuda tampan ini.

“Cukup banyak orang seperti mereka, Jaran Geni. Tapi bukan seperti itu yang kuinginkan. Orang seperti mereka hanya bikin susah saja,” kata pemuda tampan itu lagi.

Kuda hitam bernama Jaran Geni hanya mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala, disertai kepulan asap tipis kemerahan dari mulutnya.

“Ayo, kita teruskan perjalanan ini. Kita harus segera mengumpulkan orang-orang pilihan yang berkepandaian tinggi,” kata pemuda itu lagi. “Pendekar Rajawali Sakti.... Hm, tunggulah pembalasanku. Kau akan menyesal nanti.... Juga kalian semua orang Karang Setra....”

Manis sekali gerakan pemuda itu saat melompat naik ke punggung kuda hitamnya. Kemudian tali kekangnya dihentakkan perlahan. Maka Jaran Geni melangkah perlahan-lahan melewati mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Meskipun kuda itu kelihatannya berjalan biasa, tapi sebentar saja sudah jauh meninggalkan jalan berdebu yang kini dipenuhi tubuh-tubuh tak bernyawa bermandikan darah.

Setelah pemuda penunggang kuda hitam itu tidak terlihat lagi, dari balik semak muncul Singo Barong diikuti sisa anak buahnya yang tinggal enam orang lagi. Rupanya, mereka belum meninggalkan tempat itu.

“Anak setan...!” desis Singo Barong menggeram sambil merayapi anak buahnya yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.

“Ki Singo! Sebaiknya kita laporkan saja pada Nini Naga Kembar,” kata salah seorang menyarankan.

“Nini Naga Kembar baru saja pulang. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya!” dengus Singo Barong.

“Tapi bisa berbahaya buat kita semua kalau pemuda setan itu lama-lama berada di daerah ini, Ki,” selak laki-laki satunya lagi.

“Benar, Ki. Dia tidak boleh merajalela, dan menguasai daerah kita. Malah, bisa-bisa kita yang disalahkan Nini Naga Kembar kalau tidak segera melapor,” sambung satunya lagi.

“Nini Naga Kembar pasti punya cara sendiri untuk menaklukkannya, Ki.”

“Hm..., baiklah,” ujar Singo Barong akhirnya menyetujui.

“Kita harus cepat, Ki. Sebelum anak setan itu bisa berbuat banyak.”

Mereka kemudian berlompatan cepat, masuk ke dalam semak belukar yang tumbuh di sepanjang sisi jalan ini. Sebentar saja mereka sudah menghilang, berlari-lari masuk ke dalam lebatnya hutan yang dibelah jalan tanah agak berbatu ini. Tak ada seorang pun yang terlihat lagi. Hanya tubuh-tubuh tak bernyawa saja yang bergelimpangan di jalan.

********************

Singo Barong terkejut ketika melihat seekor kuda hitam tertambat di depan sebuah rumah yang berukuran sangat besar dan megah, bagai sebuah istana kecil di tengah-tengah hutan lebat ini. Bahkan enam orang yang mengikuti di belakang juga jadi bengong memandangi kuda hitam yang sudah mereka kenali. Dan belum juga keterkejutan itu hilang, dari dalam rumah keluar dua orang gadis cantik yang masing-masing menyandang pedang tersampir di punggung. Dua gadis itu mengiringi seorang pemuda tampan berbaju merah muda.

Melihat pemuda tampan itu, Singo Barong dan enam orang anak buahnya langsung memucat wajahnya. Seketika, tubuh mereka menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Semua orang yang ada di sekitar rumah besar dan megah itu langsung berkumpul membentuk lingkaran, saat salah seorang gadis cantik tadi mengangkat tangannya ke atas. Sekitar lima puluh orang yang semuanya bersenjata golok segera membentuk lingkaran di halaman depan rumah ini. Sedangkan Singo Barong dan enam orang anak buahnya, masih berdiri terpaku di tengah-tengah lingkaran itu.

“Kalian sudah membuatku malu di depan junjungan kalian sendiri! Apa kalian tidak tahu, siapa yang kalian serang, heh...?!” dingin sekali nada suara salah seorang gadis yang mengenakan baju warna biru muda. Dialah Untari, salah satu dari gadis yang berjuluk Dewi Naga Kembar.

Singo Barong dan enam orang anak buahnya jadi tidak bisa berkata-kata lagi. Wajah mereka semakin memucat pasi. Mereka langsung terjatuh lemas, berlutut di tanah dengan kepala tertunduk. Sungguh mereka tidak tahu. Ternyata pemuda tampan yang tadi diserang adalah junjungan mereka, dan penguasa dunia hitam dari seluruh penjuru mata angin. Sedangkan Dewi Naga Kembar merupakan salah satu pemimpin dari mata angin kelima.

“Mereka sudah berbuat kesalahan yang cukup membuat malu, Raden. Dan kesalahan ini bisa berakibat parah jika didiamkan begitu saja,” tegas gadis berbaju kuning yang dikenal sebagai Legini, salah satu lagi dari Dewi Naga Kembar.

Memang, kedua gadis itu bukan gadis kembar. Hanya pedang mereka saja yang kembar, dan bernama Naga Kembar. Sehingga, kedua gadis ini dijuluki Dewi Naga Kembar. Dan keistimewaannya lagi, mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena, jurus-jurus yang dimiliki selalu saling berkaitan. Mereka begitu kuat jika bertarung bersama-sama, tapi juga bukan gadis lemah bila seorang diri. Hanya saja, Pedang Naga Kembar yang tersandang, memang lebih dahsyat bila digunakan secara bersama-sama. Karena kehebatan inilah, sehingga Dewi Naga Kembar bisa menjadi pemimpin dari delapan penjuru mata angin kelima.

“Kami serahkan pada Raden untuk menghukumnya,” kata Untari lagi.

“Mereka orang-orangmu, Untari. Biar kalian berdua saja yang menghukum. Aku sudah malas mengotori tangan dengan darah manusia busuk seperti mereka,” dingin sekali suara pemuda tampan yang ternyata Raden Gordapala. Dia adalah seorang tokoh hitam yang dikenal berjuluk Jago dari Alam Kubur.

Untari melangkah menghampiri Singo Barong dan enam orang anak buahnya. Gadis itu berdiri tegak di depan mereka. Tidak terlihat lagi kecantikan di wajahnya. Gadis itu bagaikan iblis neraka yang hendak mencabut nyawa. Singo Barong dan enam orang anak buahnya semakin menggeletar hebat melihat keangkeran gadis ini.

“Ampunkan kami, Nini...,” rintih Singo Barong.

“Kalian semua, ke sini...!” bentak Untari sambil menunjuk enam orang yang berada di belakang Singo Barong.

Wajah mereka semakin bertambah pucat Dengan tubuh gemetar, mereka bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati gadis itu. Kemudian, kembali berlutut sekitar tiga langkah di depan Untari.

“Dengar kalian semua...! Jika kalian tidak patuh dan melakukan perbuatan di luar perintahku, akan bernasib sama dengan mereka!” lantang sekali suara Untari.

Sret!

Keringat sebesar butir-butir jagung mengucur deras di tubuh enam orang itu, saat Untari mencabut pedangnya. Dan sebelum mereka bisa membuka suara, tiba-tiba saja Untari sudah cepat mengebutkan pedangnya.

“Hiyaaa...!”

Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Tepat ketika Untari menyarungkan pedangnya kembali, enam orang itu sudah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung menggenangi halaman rumah besar yang dijadikan tempat jagal manusia itu. Memang dahsyat sekali pedang gadis itu. Dengan sekali tebas saja, enam kepala seketika menggelinding!

Untari melangkah beberapa tindak mendekati Singo Barong yang semakin lemas tubuhnya setelah melihat enam orang anak buahnya kini tak bernyawa lagi dengan kepala terpenggal buntung. Sedangkan semua orang yang mengelilingi tempat itu, tak ada yang berani membuka suara. Wajah mereka memucat, melihat kekejaman yang berlangsung di depan mata. Memang, Dewi Naga Kembar tidak segan-segan memenggal kepala anak buahnya sendiri jika berbuat kesalahan, meskipun hanya kesalahan yang kecil sekali. Tapi tak ada seorang pun dari mereka yang berani menentang. Karena mereka sadar, tidak mungkin bisa menang menghadapi kedigdayaan gadis-gadis cantik ini

Sementara itu baru saja Untari akan mencabut pedangnya, tiba-tiba saja....

“Untari, tunggu...!” sentak Legini tiba-tiba.

Untari tidak jadi mencabut pedangnya. Kepalanya berpaling menatap Legini yang masih berdiri di samping Raden Gordapala. Pemuda tampan itu tersenyum-senyum melihat sikap Untari yang begitu tegas pada anak buahnya. Memang suatu hiburan yang menyegarkan bagi Raden Gordapala melihat darah menyembur dari leher yang buntung. Dan ini membuat bola matanya jadi berbinar.

“Biarkan dia hidup, Untari. Kita tidak punya lagi orang yang setia seperti dia,” sergah Legini.

“Kau dengar permintaan Nini Legini, Singo Barong...?” desis Untari dingin.

Singo Barong hanya mampu mengangguk saja.

“Kau harus berterima kasih padanya, karena masih bisa bernapas lagi. Tapi sekali saja berbuat salah, tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan nyawamu, Singo Barong,” ancam Untari mendesis dingin.

Singo Barong langsung menjatuhkan diri, menempelkan keningnya ke tanah di depan kaki Untari. Sedangkan gadis itu langsung berbalik dan melangkah menghampiri Raden Gordapala dan Legini yang masih berdiri di depan pintu rumah bagai istana kecil di tengah hutan ini.

“Hebat...! Aku mengagumi tindakan kalian ber-dua,” puji Raden Gordapala tersenyum puas.

“Kami memang harus bertindak tegas, Raden,” jelas Untari.

“Ayolah kita masuk lagi. Masih ada yang perlu kubicarakan dengan kalian berdua,” ajak Raden Gordapala.

“Mari, Raden,” ucap Legini mempersilakan pemuda itu masuk terlebih dahulu.

DUA

“Seharusnya kami tidak meninggalkan Raden saat itu...,” desah Legini perlahan bernada menyesal.

“Kau tidak perlu merasa bersalah, Legini. Aku sendiri tidak menyangka kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...! Dia benar-benar seorang pendekar tangguh,” sergah Raden Gordapala juga perlahan suaranya. “Semua pisau emas, kini tidak ada lagi padaku. Kalian tahu, apa jadinya jika pisau emas itu tidak bersemayam dalam tubuhku...?”

Dewi Naga Kembar hanya mengangguk saja. Mereka tahu, Raden Gordapala hanya mampu bertahan hidup paling lama satu purnama tanpa pisau emas bersemayam dalam tubuhnya. Memang, pisau-pisau emas itu merupakan nyawa bagi kehidupan dan kesaktiannya. Dan sekarang, pisau-pisau itu berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, itu sama saja nyawa Jago dari Alam Kubur ini sekarang berada di tangan Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

“Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra. Dan di sana, biasa dipanggil Prabu Rangga Pati Permadi. Rasanya, tidak sulit memperoleh kembali pisau-pisau emas itu, Raden,” tegas Untari, mantap.

“Benar, Raden. Kita bisa menelusupkan orang-orang kita ke dalam istana. Itu perkara yang sangat mudah. Kami tahu, penjagaan di Istana Karang Setra tidak begitu ketat. Tapi...,” ucapan Legini terputus.

“Tapi apa, Legini?” tanya Raden Gordapala.

“Para pembesar Kerajaan Karang Setra begitu patuh dan setia pada rajanya. Sulit sekali mempengaruhi mereka. Bahkan prajurit rendahan saja tidak mudah dipengaruhi. Juga seluruh rakyatnya begitu setia, dan mencintai rajanya. Karang Setra memang sebuah kerajaan yang penuh cinta, Raden. Tidak mudah bagi orang-orang seperti kita bertahan di sana. Sedikit saja sikap kita mencurigakan, mereka cepat bisa menciumnya. Mereka benar-benar terlatih. Dan penjagaan yang tidak begitu ketat, tidak bisa dipandang rendah. Mereka bisa bergerak cepat, dan menjadi kuat seketika tanpa dapat diduga sama sekali, Raden,” jelas Legini tentang keadaan di Kerajaan Karang Setra.

“Hm.... Ini berarti kita akan menghadapi lawan yang begitu besar kekuatannya...,” gumam Raden Gordapala.

“Melawan mereka dengan kekuatan, memang tidak mungkin, Raden,” tambah Legini.

Mereka jadi terdiam membisu, dan sama-sama menyadari keadaan yang sedang dihadapi sekarang ini. Dan mereka juga menyadari kalau tidak semudah membalikkan tangan dalam menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi, sekarang ini pendekar muda dan digdaya itu berada di tanah kelahirannya. Maka sudah barang tentu dikelilingi orang-orang berkepandaian tinggi yang patut diperhitungkan. Memang, Karang Setra sudah terkenal sebagai gudangnya tokoh tingkat tinggi yang tidak bisa dianggap sebelah mata begitu saja.

“Sayang sekali, orang-orang di wilayah kesatu dari delapan penjuru mata angin sudah porak-poranda. Padahal, mereka lebih tahu seluk-beluk Kerajaan Karang Setra. Terutama, pemimpin kesatu yang tahu betul tentang kerajaan itu,” desah Untari perlahan, seakan bicara untuk dirinya sendiri.

“Kenapa kita tidak tanyakan saja pada Kakek Siulan Maut? Dia juga tahu seluk-beluk Karang Setra,” selak Legini.

“Percuma, Legini. Kakek Siulan Maut sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Juga, Iblis Kembar dari Utara,” kata Raden Gordapala memberi tahu.

“Edan...!” desis Legini. terkejut “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Raden...?”

“Mereka mencoba menghalangi Pendekar Rajawali Sakti ke istanaku. Tapi, kepandaian mereka memang masih kalah. Dan mereka tewas demi membelaku.”

“Lalu, bagaimana dengan Iblis Tongkat Merah dan Dewi Cambuk Maut?” tanya Untari.

“Sampai saat ini, aku belum mendengar kabar beritanya. Itu sebabnya, kenapa aku langsung ke sini. Karena, aku tahu kalian pasti ada di sini,” sahut Raden Gordapala.

“Mudah-mudahan ini bukan awal dari kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin...,” desah Untari perlahan sekali. Hampir tidak terdengar suaranya.

“Kita tidak bisa diam saja. Harus ada cara tepat yang terbaik untuk mendapatkan kembali pisau-pisau emas itu,” desis Legini.

“Memang! Dan waktu yang kita miliki tidak cukup banyak,” sambung Untari.

“Hm... Kira-kira, berapa lama ke Karang Setra?” tanya Legini lagi.

“Tiga hari perjalanan berkuda,” jawab Raden Gordapala.

“Itu dengan kudamu, Raden.”

“Mungkin lima atau enam hari dengan kuda biasa,” kata Raden Gordapala lagi.

“Semakin sedikit saja,” desah Legini.

“Apa kau mampu tetap bertahan, Raden?” tanya Untari.

“Mungkin masih mampu bertahan lebih dari satu pekan dari satu purnama. Setelah itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan mungkin juga, ini memang awal dari kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin,” sahut Raden Gordapala, seakan-akan putus asa.

“Tidak akan, Raden. Delapan Penjuru Mata Angin tidak boleh hancur. Kalaupun terlambat mendapatkan pisau emas itu kembali, kami akan membangkitkan Raden lagi dari kubur,” tegas Untari bertekad.

“Kalian berdua memang pengikutku yang setia. Terima kasih. Dan kalian patut mendapatkan penghargaan yang layak,” ucap Raden Gordapala gembira mendengar tekad Dewi Naga Kembar ini.

“Terima kasih, Raden,” ucap Untari dan Legini bersamaan.

“Aku berjanji, jika kalian berhasil mendapatkan ke delapan pisau emasku, akan mendapatkan kedudukan mewakiliku memerintah Delapan Penjuru Mata Angin. Dan kalian bisa menentukan wakil-wakil dari setiap penjuru mata angin,” tegas Raden Gordapala.

Bola mata kedua gadis Dewi Naga Kembar jadi berbinar mendengar janji itu. Dan tentu saja, kedudukan yang tinggi seperti itu memang sangat didambakan. Bukan saja oleh Dewi Naga Kembar, tapi juga oleh seluruh tokoh golongan hitam yang tergabung dì dalam kekuasaan Delapan Penjuru Mata Angin. Karena orang yang menduduki jabatan bisa menentukan apa saja tanpa harus meminta persetujuan Raden Gordapala, yang menguasai seluruh wilayah Delapan Penjuru Mata Angin.

“Besok, pagi-pagi sekali, kami akan berangkat ke Karang Setra, Raden,” kata Untari jadi lebih bersemangat.

“Bukan hanya kalian saja. Tapi aku juga akan pergi ke sana. Aku tidak akan kembali ke istana di Gunung Tangkup sebelum mendapatkan pisau amas itu. Terutama sekali, membunuh Pendekar Rajawali Sakti...!” agak mendesis kata-kata terakhir Raden Gordapala.

“Dia memang harus dilenyapkan, Raden. Sekarang ini, memang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menjadi batu sandungan dari semua kegiatan anggota Delapan Penjuru Mata Angin,” nada suara Untari juga ikut mendesis.

“Benar, Raden! Sudah tidak terhitung lagi, berapa anak buah kami yang tewas di tangannya,” sambung Legini.

“Aku tahu itu. Dan kalian tidak perlu khawatir! Kalau pisau emas sudah ada di tanganku, tak ada seorang pun yang bisa menandingiku lagi. Bahkan Dewata pun akan tunduk pada perintahku!” desis Raden Gordapala pongah.

“Kami akan segera berkemas, Raden,” pamit Untari seraya bangkit berdiri dari kursinya.

“Silakan. Aku juga ingin istirahat,” sahut Raden Gordapala.

“Raden ingin ditemani?” tanya Legini.

“Tidak malam ini, Legini. Sama sekali aku tidak ada selera malam ini. Terima kasih,” ucap Raden Gordapala tersenyum.

Legini mengangkat bahunya, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu mengikuti Untari. Sementara Raden Gordapala masih tetap duduk diam di kursinya. Sebentar kemudian, ditinggalkannya juga ruangan berukuran cukup besar itu. Lalu, tubuhnya tenggelam di dalam kamar istirahat yang disediakan untuknya.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa di sekitar bangunan besar bagai istana di tengah-tengah hutan itu. Beberapa orang masih terlihat berjaga-jaga di sekitarnya, seperti tak peduli terhadap dinginnya angin malam ini.

********************

Sementara itu, di Istana Kerajaan Karang Setra, Pendekar Rajawali Sakti selalu dihantui mimpi-mimpi buruk yang belum pernah dialami sebelumnya, setelah pertarungannya melawan Jago dari Alam Kubur. Telah tiga hari mimpi-mimpi itu benar-benar menyiksanya.

Sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti jadi lebih banyak menyendiri. Seringkali Pandan Wangi, Danupaksi, maupun Cempak memergoki Pendekar Rajawali Sakti duduk termenung menyendiri di dalam taman kaputren yang berada di bagian belakang istana ini. Dan sikap Raja Karang Setra yang tidak seperti biasanya itu, tentu saja membuat mereka jadi bertanya-tanya.

“Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada Kakang Rangga...,” desah Cempaka sambil tidak lepas memperhatikan Rangga yang tengah duduk merenung sendiri dari balik jendela.

“Memang tidak biasanya Kakang Rangga begitu,” sambung Danupaksi.

“Apa mungkin Kakang Rangga sudah tidak betah lagi di sini?” tanya Cempaka seraya berpaling menatap Pandan Wangi yang hanya diam saja duduk di kursi dekat Danupaksi.

“Aku rasa tidak. Kakang Rangga mengatakan kalau ingin tinggal di sini paling tidak satu purnama,” jelas Pandan Wangi.

“Tapi kenapa selama tiga hari ini murung terus?” Cempaka seperti bertanya pada diri sendiri.

“Akan kutanyakan,” kata Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.

“Jangan, Pandan...,” cegah Danupaksi cepat-cepat

“Harus ada yang bisa menegurnya, Danupaksi. Dan aku rasa hanya salah satu dari kita yang bisa menegurnya,” tegas Pandan Wangi lagi.

“Kalau begitu, biar aku saja,” selak Cempaka.

“Tidak. Kita bertiga yang akan menemuinya,” ujar Danupaksi mengambil jalan tengah.

Mereka saling berpandangan sesaat, kemudian sama-sama mengangguk. Mereka kemudian bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Dua orang prajurit penjaga yang berada di pintu, segera membungkukkan tubuh saat ketiga anak muda itu melewatinya. Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang ditiap pintu selalu berdiri dua orang prajurit penjaga. Prajurit-prajurit itu selalu membungkukkan tubuh memberi hormat saat dilewati.

Mereka langsung menuju ke taman kaputren yang terletak di bagian belakang Istana Karang Setra ini. Empat orang prajurit bersenjata lembing, segera membungkukkan tubuh begitu melihat Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi hendak masuk ke taman itu. Mereka segera melangkah melewati pintu taman kaputren yang dijaga empat orang prajurit. Tapi begitu berada di dalam taman, mereka kelihatan jadi ragu-ragu untuk menghampiri Rangga yang hanya duduk membelakangi.

“Kenapa kalian berhenti di situ...? Kemarilah,” ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.

Rupanya Pendekar Rajawali Sakti tahu kedatangan Pandan Wangi dan kedua adik tirinya. Maka ketiga anak muda itu saling melemparkan pandangan sejenak, kemudian melangkah menghampiri pemuda yang saat ini mengenakan baju berbentuk jubah panjang berwarna putih dari bahan sutra halus. Tidak terlihat pedang pusakanya yang terkenal dahsyat itu. Bahkan, baju rompi putihnya juga tidak dikenakan. Dan memang, Rangga harus bisa menyesuaikan diri dalam dua dunia kehidupan yang sangat jauh perbedaannya.

Ketiga anak muda itu berdiri di depan Rangga. Lalu, mereka duduk di bangku taman di depan Pendekar Rajawali Sakti, setelah memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

“Ada yang ingin kalian bicarakan denganku?” Rangga lebih dulu membuka suara.

“Maaf kalau kami mengganggu istirahat Kakang Prabu,” ucap Cempaka seraya merapatkan kedua tangan di depan hidung.

Rangga tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat cara penghormatan yang dilakukan adik tirinya ini. Tapi cepat disadari kalau sekarang ini berada di lingkungan istana. Sudah sewajarnya kalau mereka bersikap begitu. Di istana ini, Rangga memang bukan lagi seorang pendekar kelana yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, seorang raja yang memerintah di Kerajaan Karang Setra ini.

“Katakan, apa yang hendak kalian bicarakan...,” pinta Rangga sambil tersenyum.

Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti itu. Begitu tipis dan sukar sekali diartikan. Mungkin dia menertawakan dirinya sendiri. Dan memang, Rangga selalu merasa canggung bila berada di dalam istana ini, tapi tidak berdaya untuk menolaknya. Karena, segala aturan dan tata krama yang ada di istana ini sudah terbentuk sebelum dirinya lahir. Bahkan sudah ada sejak nenek moyangnya terdahulu.

“Kenapa kalian saling pandang? Bicara saja...,” kata Rangga lagi melihat Pandan Wangi dan adik-adik tirinya hanya diam saja dan saling berpandangan satu sama lain.

“Maaf, Kakang Prabu. Hamba bertiga ke sini sebenarnya....”

“Tunggu dulu...,” selak Rangga, memutuskan ucapan Danupaksi.

Danupaksi cepat memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

“Kalian ini kenapa...? Apa karena aku mengenakan pakaian seperti ini, sehingga kalian selalu bersikap begitu? Aku tidak suka kalian bersikap seperti berhadapan dengan raja. Kalian bukan siapa-siapa lagi. Ayo..., bersikaplah seperti biasa,” pinta Rangga tegas seraya melepaskan jubahnya yang putih dan panjang.

Kini Pendekar Rajawali Sakti hanya mengenakan celana putih sebatas lutut, dengan sabuk kuning keemasan membelit pinggangnya. Sungguh tegap bentuk tubuhnya yang terbalut kulit putih, seperti kulit wanita.

“Ayo, pandang aku sebagai Rangga. Sebagai kakakmu, Danupaksi, Cempaka. Sebagai kekasihmu, Pandan Wangi. Sebagai pendekar, dan bukan raja di sini,” kata Rangga lagi lebih tegas.

“Tapi...,” Danupaksi jadi ragu-ragu melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti ini.

“Ah..., sudahlah. Tidak ada orang lain di sini,” selak Rangga memutuskan cepat.

Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka sama-sama mengangkat bahunya. Mereka tahu betul sikap dan watak Pendekar Rajawali Sakti. Tidak peduli apakah di dalam istana atau bukan, selalu saja tidak mau diperlakukan seperti raja jika tidak ada orang lain, selain mereka berempat.

“Nah...! Siapa yang akan memulai lebih dulu?” tanya Rangga seraya merayapi wajah-wajah di depannya.

“Aku harap Kakang tidak marah mendengarnya,” kata Danupaksi sudah biasa lagi sikapnya. Tidak lagi menuruti aturan tata krama istana.

“Kenapa aku harus marah...? Katakan saja, Danupaksi,” desak Rangga dengan kening berkerut

“Masalahnya ini menyangkut diri Kakang sendiri,” kata Danupaksi lagi.

“Aku...? Kenapa dengan diriku?” Rangga jadi tidak mengerti.

“Tiga hari ini, Kakang selalu menyendiri dan termenung saja. Kami khawatir terjadi sesuatu padamu,” Danupaksi langsung mengemukakan kecemasan hatinya. Juga, kecemasan hati Pandan Wangi dan Cempaka.

Rangga tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala, kemudian tertawa kecil. Begitu renyah suara tawanya. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekati kolam yang ada di tengah-tengah taman kaputren ini. Diambilnya batu kerikil, dan dilemparkannya ke tengah kolam.

“Aku tidak mengira kalau kalian selalu memperhatikan. Yaaah.... Memang aku tidak berdiri sendiri di sini. Masih ada kalian bertiga. Dan aku sekarusnya selalu membagi rasa suka dan duka. Hanya kalian bertiga milikku yang berharga sekarang ini,” kata Rangga perlahan, sambil memutar tubuhnya berbalik.

Pendekar Rajawali Sakti duduk di batu pinggir kolam. Sedangkan Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi masih tetap duduk di kursi taman memandangi pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat, mereka semua terdiam membisu tanpa bicara sedikit pun.

“Memang ada sesuatu yang mengganjal pikiranku selama tiga hari ini. Dan itu membuatku merasa tidak tenteram...,” desah Rangga lagi seraya berdiri, lalu berjalan menghampiri mereka. Dia kembali duduk di tempatnya semula.

“Bisakah kami mengetahuinya, Kakang...?” pinta Cempaka.

Rangga tersenyum menatap adik tirinya ini.

“Kalian memang perlu tahu. Dan itu yang sejak tadi kupikirkan untuk memberi tahu kalian. Karena, aku sendiri sebenarnya belum begitu yakin,” kata Rangga, masih pelan suaranya.

“Katakan, Kakang,” selak Pandan Wangi meminta.

“Kalian tentu belum lupa peristiwa beberapa hari yang lalu, bukan...?”

Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Peristiwa beberapa hari lalu yang terjadi, tidak mungkin bisa terlupakan begitu saja. Terlebih lagi, masih begitu hangat dibicarakan semua orang di istana ini. Tapi, memang peristiwa itu tidak sampai menyebar ke luar, karena memang dirahasiakan. Dan mereka semua tahu kalau Rangga telah menyelesaikannya dengan baik, tanpa harus mengorbankan satu nyawa pun dari rakyat Karang Setra.

“Kalian pasti menyangka kalau aku sudah membunuh Raden Gordapala di Puncak Gunung Tangkup,” kata Rangga lagi.

“Memang demikian kenyataannya kan, Kakang? Kau sudah bisa mengambil ketujuh pisau emas yang merupakan kehidupan Raden Gordapala dari tubuhnya. Dan itu berarti dia sudah tewas. Jadi, tidak perlu ada yang dicemaskan lagi,” selak Pandan Wangi.

“Itu memang benar, Pandan. Tapi, itu bukan berarti Raden Gordapala sudah tewas,” kata Rangga.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...?” ujar Cempaka sambil mengerutkan keningnya.

“Seharusnya, kau bertanya lebih jelas lagi pada putra-putra Elang Maut tentang Jago dari Alam Kubur itu, sebelum mereka pulang, Cempaka,” selak Danupaksi.

“Apa hubungannya dengan mereka, Kakang Danupaksi?” Cempaka semakin tidak mengerti.

“Karena, mereka lebih tahu tentang si Jago dari Alam Kubur itu,” sahut Danupaksi.

“Kau tanyakan pada mereka?” tanya Cempaka agak mencibir.

“Tentu saja. Liliani yang mengatakannya padaku semalam, sebelum mereka berangkat pulang,” sahut Danupaksi seraya tersenyum, seperti bangga.

Cempaka hanya mencibir saja.

“Sudahlah...,” Rangga cepat menengahi. “Kalian memang sebaiknya perlu mengetahui lebih jelas lagi tentang Raden Gordapala yang penuh teka-teki dan rahasia itu. Hal ini penting, karena aku merasa akan terjadi sesuatu pada Karang Setra. Dan aku yakin, Raden Gordapala masih hidup sekarang ini.”

“Bagaimana mungkin, Kakang...?!” tanya Cempaka tidak percaya. Dan dia lebih percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti telah menewaskannya.

“Hal itu bisa saja terjadi, Cempaka. Karena, Raden Gordapala juga dikenal berjuluk Iblis Seribu Nyawa. Sukar sekali membinasakannya. Kalaupun mati dan dikuburkan, dia bisa bangkit lagi tanpa bisa diduga kapan kebangkitannya. Hal ini karena pisau-pisau emas sebagai nyawa kehidupannya masih tetap ada,” Rangga mencoba menjelaskan.

“Kalau begitu, kenapa tidak dimusnahkan saja pisau-pisau emas itu, Kakang...?” selak Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.

“Tidak mudah melakukannya, Pandan. Sudah pernah ada yang mencoba. Dulu, seorang pandai pengolah emas mencoba meleburnya. Tapi, akhirnya dia tewas sebelum melaksanakan pekerjaannya. Pisau-pisau itu seperti memiliki nyawa, dan selalu menentang jika ada yang mencoba meleburnya,” sahut Rangga menjelaskan lagi.

“Edan...! Kalau semua orang jahat seperti dia, bisa hancur dunia ini...,” dengus Pandan Wangi seolah-olah untuk dirinya sendiri.

“Itulah tugas kita kaum pendekar pembela kebenaran dan keadilan, agar menumpas iblis-iblis berbentuk manusia seperti Raden Gordapala,” tegas Rangga lagi.

“Lalu, bagaimana cara menghentikannya, Kakang?” tanya Danupaksi.

“Inilah yang sedang kupikirkan, Danupaksi,” desah Rangga.

“Jadi selama ini kau menyendiri memikirkan itu, Kakang?” Pandan Wangi mulai mengerti.

“Benar. Tapi, aku belum bisa menemukan jalan keluarnya yang terbaik. Rasanya sulit sekali menemukan cara menghentikan Jago dari Alam Kubur itu.”

“Pasti ada cara, Kakang.”

“Benar, Kakang. Dan kita akan menemukannya,” sambung Danupaksi.

“Ya, kita semua...,” desah Rangga.

“Apakah itu berarti kita akan keluar istana, Kakang?” tanya Cempaka begitu bersemangat.

“Tampaknya begitu,” sahut Rangga.

“Ah! Senang sekali bisa berpetualang bersamamu, Kakang,” ujar Cempaka gembira.

“Tapi tidak keluar dari Kerajaan Karang Setra ini.”

“Itu pun aku sudah senang.”

“Kalau begitu, bersiaplah kalian. Malam nanti, kita berangkat,” kata Rangga.

“Kenapa tidak besok pagi saja, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

Rangga hanya tersenyum saja.

********************

TIGA

Empat ekor kuda berpacu cepat meninggalkan benteng Istana Karang Setra, melalui jalan rahasia di bagian belakang istana itu. Keempat kuda yang ditunggangi orang-orang utama kerajaan itu terus bergerak cepat, masuk ke dalam hutan yang berada tepat di bagian belakang benteng istana. Saat itu, malam memang sudah jatuh. Sehingga, seluruh Kerajaan Karang Setra sudah terselimut kegelapan yang cukup pekat

Keempat penunggang kuda yang tak lain dari Rangga, Pandan Wangi, Danupaksi, dan Cempaka, terus bergerak cepat semakin jauh masuk ke dalam hutan. Tapi tiba-tiba sekali, Rangga yang berada paling depan menghentikan lari kudanya. Maka ketiga anak muda yang ada di belakangnya segera menarik tali kekang, hingga kuda-kuda yang di-tunggangi berhenti berlari. Mereka langsung menatap lurus ke depan. Di dalam kegelapan malam yang begitu pekat, terlihat seseorang berada di punggung kuda, tepat di bawah sebatang pohon yang sangat besar dan lebat daunnya. Sehingga, sukar untuk mengenalinya.

“Siapakah kau di sana, Kisanak...?” tanya Rangga, agak lantang suaranya.

“Hamba, Gusti Prabu...,” terdengar sahutan yang cukup keras.

Penunggang kuda itu mendekati Rangga yang masih duduk di punggung kuda Dewa Bayu. Dan begitu dekat, wajahnya baru bisa terlihat Bukan hanya Rangga yang terkejut, tapi juga Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi. Mereka mengenali kalau orang itu adalah Banara, salah satu dari putra Elang Maut, dari Padepokan Elang Maut

“Banara, sedang apa kau di sini?” tanya Rangga. “Bukankah kau dan adik-adikmu sudah kembali ke Padepokan Elang Maut?”

“Maaf, Gusti Prabu. Hamba dan kedua adik hamba tidak jadi pulang ke padepokan,” sahut Banara.

“Kenapa?” tanya Rangga jadi tidak mengerti.

“Hamba memutuskan untuk tetap berada di Karang Setra ini, “ sahut Banara lagi.

Pada saat itu, dari balik pohon besar itu muncul dua orang penunggang kuda lagi. Mereka adalah Sarala dan Liliani.

“Kami akan bergabung menumpas Raden Gordapala dan orang-orangnya, Gusti Prabu,” kata Banara lagi.

“Kalian sudah tahu kalau Raden Gordapala masih hidup?” tanya Rangga.

“Bukan hanya tahu. Yang jelas, cerita tentang Raden Gordapala sudah di luar kepala kami,” jelas Banara.

Rangga tidak bisa berkata apa-apa lagi, dan hanya mengangkat bahunya saja sambil menghembuskan napas panjang. Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi juga tidak bisa menolak kesediaan putra-putra Elang Maut itu untuk bergabung. Dan mereka memang berkepentingan dalam hal ini. Memang ayah yang juga sekaligus guru mereka telah tewas oleh Jaran Geni, tunggangan Raden Gordapala. Kuda aneh yang bisa menyemburkan api dari mulutnya.

“Baiklah, kalian boleh bergabung. Tapi, aku tidak ingin kalian memanggilku Gusti Prabu. Panggil saja aku seperti mereka memanggilku,” pinta Rangga sambil menunjuk kedua adik tirinya dan Pandan Wangi.

“Terima kasih, Gusti Prabu,” sahut Banara seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

“Lupakan sebutan itu, Banara,” pinta Rangga.

“Baiklah, Ka.... Kakang,” sahut Banara kaku.

Rangga tersenyum saja seraya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka kemudian bergerak lagi menembus kegelapan malam di dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan rombongan ini sekarang berjumlah tujuh orang, yang masing-masing menunggang kuda. Sementara itu, diam-diam Danupaksi mendekati Liliani yang berkuda di samping Sarala.

“Kau diam saja sejak tadi. Kenapa...?” Danupaksi memulai pembicaraan dengan suara begitu perlahan, seakan tidak ingin didengar yang lain.

“Tidak apa-apa,” sahut Liliani seraya memberi senyuman yang manis sekali.

“Aku bisa merasakan ada sesuatu di hatimu, Nini,” tebak Danupaksi.

Liliani berpaling menatap Danupaksi dengan kening berkerut sedikit. Kemudian pandangannya kembali dialihkan ke depan. Sedangkan Danupaksi terus memandangi wajah cantik yang berkuda di sampingnya ini. Beberapa kali Liliani melirik, dan ini membuatnya jadi gelisah. Entah kenapa, setiap kali bertemu pandang, jantungnya langsung berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Aku tahu, kau adalah orang kedua di Karang Setra. Tapi, bisakah kau hilangkan sebutan Nini padaku? Kau sendiri tidak suka bila dipanggil dengan sebutan Gusti Danupaksi atau Raden Danupaksi,” kata Liliani tanpa berpaling sedikit pun.

Danupaksi tersenyum. “Cukup pedas juga kata-katamu, Liliani. Tapi, aku senang dengan gadis yang memiliki gairah dan semangat yang besar,” kata Danupaksi lagi.

“Kau sudah mulai merayuku, Kakang.”

“Tergantung dari penilaianmu.”

Liliani hanya diam saja. Mereka tidak berbicara lagi, karena Rangga yang berkuda di depan sudah berhenti. Memang, perjalanan jadi tidak terasa bila diisi dengan obrolan-obrolan ringan. Dan kini mereka sudah sampai di depan kuil yang dibangun Rangga untuk menghormati berdirinya Kerajaan Karang Setra. Seluruh benda bersejarah bagi Karang Setra tersimpan di kuil ini.

“Kita bermalam di sini. Ada banyak kamar untuk beristirahat di kuil ini,” kata Rangga setelah turun dari punggung kudanya.

Baru saja Rangga melangkah menjejak anak tangga pertama kuil itu, mendadak saja....

“Awas, Kakang...!” seru Pandan Wangi.

“Uts!” Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kiri, lalu tangannya bergerak cepat menangkap sebuah benda yang tiba-tiba meluncur cepat bagai kilat ke arahnya.

Tap!

“Hup...!” Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh berputar dua kali ke belakang. Saat itu juga, mereka yang berada di belakang pemuda berbaju rompi putih ini langsung berlompatan ke belakang beberapa tindak. Tanpa diperintah lagi, kuda hitam Dewa Bayu menggiring kuda-kuda lainnya menjauhi halaman depan kuil itu. Dewa Bayu yang bukan kuda biasa, sudah bisa merasakan akan terjadi sesuatu. Dan seperti biasa, binatang itu harus menyingkir menjauh.

“Apa itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi yang sudah mendekat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Panah,” sahut Rangga seraya menyerahkan sebatang panah yang tadi berhasil ditangkapnya.

“Hm.... Siapa yang melakukan ini..?” gumam Pandan Wangi bertanya sendiri sambil mengamati panah yang sudah berpindah ke tangannya.

Tapi belum juga ada yang menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar yang memekakkan telinga.

“Ha ha ha...!”

********************

“Jangan berkumpul. Kalian semua berpencar,” perintah Rangga, agak berbisik suaranya.

“Tidak ada waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti! Tempat ini sudah terkepung...!” terdengar suara keras menggelegar.

Belum lagi suara gema itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja berlompatan sosok-sosok tubuh berbaju ketat serba merah dari balik pepohonan yang menghitam pekat. Mereka semua membawa tongkat pendek yang kedua ujungnya berbentuk mata tombak. Dan sebentar saja, halaman depan kuil ini sudah dikepung deh tidak kurang dari lima puluh orang berbaju merah bersenjatakan tongkat pendek bermata tombak pada kedua ujungnya.

Pada saat itu, dari dalam kuil melesat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu, di ujung bawah tangga kuil sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Tampak tongkat berkepala tengkorak tergenggam di tangan kanan.

“Iblis Tongkat Merah...,” desis Banara langsung mengenali laki-laki tua berjubah merah itu.

Memang, laki-laki tua berjubah merah yang dikenal sebagai Iblis Tongkat Merah itu sudah pernah bertemu dengan ketiga putra Elang Maut (Ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Kuda Api Gordapala). Saat itu, mereka sama-sama mengejar kuda hitam Jaran Geni, tapi dengan tujuan berbeda.

“Siapa kau, Kisanak?! Apa keperluanmu berada di kuil suci ini?” tanya Rangga meskipun sudah mendengar desisan Banara yang begitu perlahan tadi.

“He he he...! Aku Iblis Tongkat Merah! Maksud kedatanganku ke kuil ini pasti sudah kau ketahui, Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Iblis Tongkat Merah, lantang suaranya.

Laki-laki tua berjubah merah itu menatap tajam ketiga putra Elang Maut yang berdiri tepat di belakang Rangga. Kemudian, matanya kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya begitu tajam, bagai sedang mengukur tingkat kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini.

Sementara Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Mereka mengedarkan pandangan, merayapi orang-orang berbaju ketat serba merah yang mengepung tempat ini begitu rapat. Sehingga, tak ada sedikit pun celah untuk dapat meloloskan diri, tanpa harus melakukan pertarungan. Dan tampaknya mereka juga sudah siap melakukan pertarungan. Yang jelas, hanya tinggal menunggu perintah saja dari Iblis Tongkat Merah.

“Aku tidak punya banyak waktu, Pendekar Rajawali Sakti. Kuharap, kau mau menyerahkan delapan pisau emas itu,” tegas Iblis Tongkat Merah dingin.

“Dia pemimpin keempat Delapan Penjuru Mata Angin, Kakang,” bisik Banara memberi tahu.

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti membalas tatapan laki-laki tua berjubah merah itu dengan sinar mata yang tidak kalah tajamnya.

“Untuk apa kau menginginkan pisau emas itu, Kisanak?” tanya Rangga.

“Jangan berpura-pura tidak tahu, Pendekar Rajawali Sakti!” sentak Iblis Tongkat Merah jadi berang.

“Baik.... Tapi sayang, pisau-pisau emas itu sudah kulebur,” kata Rangga enteng.

“Keparat..! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah!” Iblis Tongkat Merah semakin bertambah berang mendengar kata-kata Rangga barusan.

“Aku tidak main-main. Tanyakan saja pada mereka. Justru kedatangan kami ke kuil ini hendak mengambil hasil leburan pisau-pisau emas itu. Leburan itu ada di dalam kuil. Kalau kau mau melihatnya, silakan,” kata Rangga lagi semakin ringan suaranya.

“Setan...! Aku tidak butuh bualanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Serahkan pisau emas itu, atau seluruh Kerajaan Karang Setra jadi lautan api!” ancam Iblis Tongkat Merah menggeram marah.

“Hebat juga ancamanmu, Iblis Tongkat Merah. Tapi, aku khawatir kau tidak sempat lagi melakukannya,” pancing Rangga terus memanasi.

“Setan keparat..! Serang, bunuh mereka semua...!” geram Iblis Tongkat Merah berseru lantang memberi perintah.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

Seketika itu juga, orang-orang berbaju merah yang sejak tadi memang sudah menunggu perintah, langsung saja berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang pendekar-pendekar muda yang sudah terkepung ini.

Dan memang, pertarungan yang sudah diduga sejak tadi tidak bisa dihindari lagi. Ketiga putra Elang Maut langsung mencabut pedang masing-masing. Danupaksi dan Cempaka segera melompat menyebar, menyambut lawan-lawannya. Mereka juga langsung menarik pedang dari warangkanya. Hanya Rangga dan Pandan Wangi saja yang masih bertangan kosong. Memang, mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah sering menghadapi segala macam pertarungan di dalam pengembaraan selama ini.

“Hup! Hiyaaat..!”

Begitu memiliki kelonggaran, Rangga langsung melentingkan tubuh ke udara, lalu meluruk deras ke arah Iblis Tongkat Merah yang masih berdiri pada undakan pertama tangga kuil. Begitu ringan dan manis gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat mendarat sekitar lima langkah di depan Iblis Tongkat Merah. Sementara, pekik dan jeritan melengking terdengar saling sambut, disertai teriakan-teriakan pertempuran yang begitu membahana. Denting senjata beradu pun mewarnai suasana malam ini.

“Bagus! Kau bisa keluar dari orang-orangku, Pendekar Rajawali Sakti,” dengus Iblis Tongkat Merah sinis.

“Mereka orang-orang malang, yang seharusnya tidak perlu mengorbankan nyawa untuk orang sepertimu, Iblis Tongkat Merah,” sambut Rangga tidak kalah sinisnya.

“Kau akan menyesal mencampuri urusan Kelompok Delapan Penjuru Mata Angin, Pendekar Rajawali Sakti.”

“Aku khawatir kau sendiri yang menyesal telah berurusan denganku,” balas Rangga lagi, semakin dingin nada suaranya.

“Phuih! Bersiaplah, Bocah Setan...!”

“Hm..., silakan. Kau tamuku, silakan menyerang lebih dulu,” tantang Rangga langsung.

“Phuih!”

Perlahan Iblis Tongkat Merah melangkah ke depan dua tindak. Beberapa kali ludahnya disemburkan, mencoba mengurangi kemarahan yang begitu meluap dalam dada. Laki-laki tua berjubah merah ini adalah seorang tokoh persilatan yang sangat diperhitungkan. Makanya, dia tahu kalau dalam pertarungan sudah dihinggapi nafsu amarah, rasanya serangannya bakal tidak terkendalikan lagi. Iblis Tongkat Merah mencoba untuk tidak terpancing amarahnya. Meskipun, kata-kata balasan dari Pendekar Rajawali Sakti cukup membuat telinganya jadi terasa panas memerah bagai terbakar.

“Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!”

“Hap! Yeaaah...!”

Begitu Iblis Tongkat Merah mengecutkan tongkatnya, cepat sekali Rangga merunduk. Sehingga, tongkat berwarna merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak itu lewat di atas kepalanya. Dan pada saat itu juga, Rangga cepat memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan berputar yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Serangan balasan yang diberikan Rangga begitu cepat dan tidak terduga, membuat Iblis Tongkat Merah sempat terperangah juga. Tapi tendangan itu masih bisa dihindarinya dengan menarik mundur kakinya dua langkah. Tendangan keras bertenaga dalam sempurna itu tidak sampai mengenai sasaran.

“Yeaaah...!”

Begitu Rangga menegakkan tubuhnya kembali, Iblis Tongkat Merah sudah kembali mengebutkan tongkatnya kuat-kuat. Begitu tinggi tenaga dalam yang dimiliki laki-laki tua ini, sehingga kebutan tongkat merahnya menimbulkan deru angin dahsyat bagai badai topan.

“Hup...!” Rangga buru-buru melentingkan tubuh ke udara, lalu cepat sekali meluruk ke arah kepala Iblis Tongkat Merah, dengan kedua kaki bergerak cepat seperti berputar. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat serangan yang dilakukan Rangga, membuat Iblis Tongkat Merah jadi terperanjat bukan main.

“Hait…!”

Cepat-cepat Iblis Tongkat Merah mengebutkan tongkatnya berputar ke atas, untuk melindungi kepalanya dari serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga justru melentingkan tubuh berbalik, dan tahu-tahu sudah mendarat tepat di depan laki-laki tua berjubah merah itu. Pada saat Iblis Tongkat Merah belum sempat menyadari apa yang dilakukan Rangga, tahu-tahu...

“Yeaaah...!”
Bet!
Begkh!

“Akh...!” Iblis Tengkorak Merah terpekik keras terkejut

Sungguh sukar dipercaya! Gerakan Rangga ternyata begitu cepat. Tanpa diduga sama sekali, langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek ke dada, tanpa dapat dihindari laki-laki tua berjubah merah itu.

Tak pelak lagi, tubuh Iblis Tongkat Merah terpental deras ke belakang. Tapi keseimbangan tubuhnya masih bisa dikuasai meskipun dengan terhuyung-huyung. Tampak setetes darah menitik keluar dari sudut bibirnya. Iblis Tongkat Merah mendekap dadanya yang terkena pukulan keras menggeledek tadi. Untung saja tadi tengah mengerahkan tenaga dalam, sehingga pukulan Rangga yang bersarang di dadanya tidak sampai menimbulkan luka mengkhawatirkan.

“Hap! Hsss...!”

Wuk! Wuk...!

Iblis Tongkat Merah cepat-cepat menarik napas dalam-dalam, dan mengecutkan tongkatnya beberapa kali. Dia melakukan beberapa gerakan untuk mengatur jalan pernapasan dan peredaran darahnya yang tadi sempat terganggu akibat terkena pukulan bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga berdiri tegak dengan bibir mengulas senyuman tipis. Pendekar Rajawali Sakti menunggu sampai lawannya benar-benar siap melakukan pertarungan kembali.

Sementara itu pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung sengit Sudah terlihat tubuh-tubuh berbaju merah bergelimpangan bersimbah darah. Entah sudah berapa orang yang tewas di tangan para pendekar muda itu. Tapi pertarungan masih saja terus berlangsung sengit. Dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi masih terus terdengar, bercampur teriakan pertarungan dan denting senjata beradu.

“Gila...! Bisa habis semua anak buahku kalau begini terus,” desis Iblis Tongkat Merah dalam hati.

Rupanya laki-laki berjubah merah ini juga memperhatikan pertarungan itu. Dan dia tahu, orang-orangnya tidak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama menghadapi para pendekar muda yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi. Dan ini sudah bisa terbaca oleh Iblis Tongkat Merah, saat melihat hampir separuh anak buahnya sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi.

“Tinggalkan tempat ini, cepaaat..!” teriak Iblis Tongkat Merah tiba-tiba.

Begitu keras suara teriakannya! Sehingga mereka yang sedang bertarung, seketika itu juga berhenti. Pada saat itu, Iblis Tongkat Merah sudah melesat cepat bagai kilat meninggalkan halaman depan kuil ini. Melihat pemimpinnya melesat pergi, orang-orang berbaju merah ketat itu segera berlompatan cepat meninggalkan ajang pertarungan.

“Jangan dikejar...!” seru Rangga cepat begitu melihat teman-temannya ingin mengejar.

Seruan Rangga yang cukup keras, membuat mereka mengurungkan keinginan untuk mengejar Iblis Tongkat Merah dan orang-orangnya yang berlarian cepat meninggalkan halaman depan kuil ini. Mereka kemudian segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Kenapa mereka dibiarkan kabur, Kakang?” tanya Cempaka merasa tidak puas.

“Tidak ada gunanya mengejar mereka, Cempaka. Paling-paling kau hanya akan mendapatkan mereka yang tertinggal, dan tidak bisa berlari cepat. Dan itu tidak ada artinya untuk mengetahui di mana Raden Gordapala saat ini,” sahut Rangga menjelaskan.

“Aku tidak yakin kalau iblis itu masih hidup, Kakang,” dengus Cempaka.

“Dia memang masih hidup, Cempaka,” serobot Banara.

“Bagaimana kau bisa yakin?” Cempaka meminta penjelasan.

“Raden Gordapala sudah bisa bangkit hanya dengan tujuh pisau emas, walaupun seharusnya ada delapan pisau untuk membangkitkannya dari kubur, Namun, itu saja sudah cukup bagi kehidupannya sampai purnama yang akan datang,” kata Banara mencoba menjelaskan.

“Tapi Kakang Rangga sudah membunuhnya, Banara,” sanggah Cempaka.

“Hanya dari luarnya saja, Cempaka. Rohnya masih tetap hidup, dan masih akan bangkit selama semua pisau emas itu belum dimusnahkan.”

Sementara Cempaka dan Banara berdebat, Rangga mengajak yang lain untuk masuk ke dalam kuil. Dan Banara yang ingin ikut, dapat dicegah Cempaka. Sehingga, pemuda itu terpaksa menemani gadis yang masih penasaran ini. Memang, dia masih belum jelas tentang Raden Gordapala yang diyakini mereka semua masih hidup.

“Katakan padaku, Banara. Kenapa kau dan mereka semua begitu yakin kalau Jago dari Alam Kubur itu masih hidup...?” desak Cempaka meminta penjelasan untuk keyakinan dirinya sendiri.

“Penjelasanku tadi belum cukup, Cempaka? Yang jelas, Raden Gordapala memiliki seribu satu macam rahasia yang sukar dicari jawabannya. Dia juga dikenal berjuluk Iblis Seribu Nyawa, karena memang sukar untuk bisa benar-benar membunuhnya,” Banara mencoba menjelaskan.

“Tapi dia manusia biasa, kan...?”

“Sekarang ini aku sendiri tidak yakin. Sebab, tidak sedikit orang yang mengatakan kalau dia jelmaan iblis dari dasar neraka. Dan sampai saat ini juga, belum ada yang tahu rahasia kelemahannya. Terlebih lagi mengetahui titik kelemahan untuk membunuhnya, hingga benar-benar mati,” jelas Banara lagi.

“Sudah berapa kali dia bisa bangkit lagi dari kematian?” tanya Cempaka lagi.

“Ayahku pernah cerita tentang dia, Cempaka. Katanya, Raden Gordapala sudah hidup tujuh keturunan sebelum kita lahir ke dunia ini. Dan sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa menemukan rahasia kematiannya yang abadi. Dia selalu bisa bangkit kembali, setiap kali orang yang bertarung dengannya menyangka sudah bisa membunuhnya. Sehingga, tidak jarang para pendekar jadi gila, karena beberapa kali harus berhadapan dengan Jago dari Alam Kubur itu.”

Cempaka mengangguk-anggukkan kepala, kemudian melangkah meniti anak-anak tangga yang langsung menuju ke pintu kuil. Banara mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis ini.

“Kau sudah puas, Cempaka?” tanya Banara.

“Cukup untuk saat ini,” sahut Cempaka.

********************

“Heh...?!” Rangga menggerinjang bangun dengan terkejut dari tidur, begitu telinganya mendengar teriakan-teriakan keras memanggilnya. Cepat dia melompat menghampiri jendela kamar, dan langsung dibukanya lebar-lebar. Tampak Danupaksi berdiri di depan jendela kamar ini.

“Ada apa, Danupaksi...?”

“Mereka hendak menghancurkan desa sebelah Timur, Kakang,” sahut Danupaksi.

“Mereka siapa...?” tanya Rangga.

“Iblis Tongkat Merah dan anak buahnya, Kakang. Mereka sudah bergerak ke sana.”

“Keparat..!” geram Rangga. “Beri tahu yang lainnya.”

“Mereka semua sudah berangkat sejak tadi,” sahut Danupaksi.

“Heh...?! Kenapa tidak memberitahuku dari tari?”

“Aku tidak tahu kalau kau tidur di sini, Kakang. Kamar yang biasa kau tempati kudapati kosong. Sejak tadi, aku mencarimu,” sahut Danupaksi menjelaskan, tidak mau disalahkan.

“Kau cepat susul yang lain. Aku segera ke sana,” kata Rangga.

“Baik, Kakang.”

Danupaksi bergegas berlari menghampiri kudanya yang tertambat tidak jauh di bawah pohon. Cepat sekali dia melompat. Lalu begitu hinggap di atas punggung kudanya, langsung digebahnya keras-keras. Kuda tinggi besar berwarna coklat tua itu meringkik keras, kemudian berlari cepat seperti anak panah terlepas dari busurnya.

Sementara Rangga juga bergegas mengenakan pakaian dan pedangnya, lalu melesat keluar dari kamar itu melalui jendela yang masih terbuka lebar. Dia terus berlari menghampiri kuda hitamnya yang ditambatkan di bawah sebatang pohon kemuning. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak jadi naik ke punggung kuda hitam itu.

“Kau segera ke desa sebelah Timur, Dewa Bayu. Aku akan menggunakan Rajawali Putih. Kita bertemu di sana,” kata Rangga sambil menepuk punggung kuda hitam itu.

Setelah meringkik keras, Dewa Bayu segera berlari cepat ke arah yang sama dengan Danupaksi tadi. Sementara Rangga bergegas ke tengah-tengah halaman depan kuil. Lalu, dia berdiri tegak di tengah-tengah halaman kuil yang cukup luas ini, sehingga cukup untuk mendarat Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang merawat dan membesarkan Rangga, serta membekalinya dengan ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat tinggi. Bahkan menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti di saat-saat genting seperti sekarang ini.

“Suiiit..!”

********************

Danupaksi terkejut begitu tiba di desa sebelah Timur dari Kotaraja Karang Setra. Seluruh rakyat Karang Setra menyebut desa ini adalah Desa Lampak. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini hampir tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Suasana desa ini begitu tenang dan sunyi. Tak seorang pun terlihat berduka. Semuanya dalam keadaan wajar, bagai tak pernah terjadi sesuatu di sini. Bahkan sedikit pun tak ada tanda-tanda kalau desa ini habis diserang. Keadaannya begitu bersih.

“Cempaka...!” seru Danupaksi begitu melihat Cempaka keluar dari sebuah rumah.

Bergegas Danupaksi melompat turun dari punggung kudanya, lalu berlari-lari menghampiri Cempaka yang berpaling begitu namanya dipanggil. Cempaka berdiri saja menanti sampai Danupaksi dekat di depannya.

“Kita terlambat, Kakang,” jelas Cempaka sebelum Danupaksi sempat membuka mulutnya.

“Eh...?! Apa maksudmu, Cempaka?” tanya Danupaksi tidak mengerti.

“Kakang Rangga sudah membereskan mereka sebelum sampai ke desa ini,” sahut Cempaka memberi tahu.

“Kakang Rangga...? Sekarang di mana dia?”

“Di rumah kepala desa, bersama yang lain,” sahut Cempaka lagi kalem.

Danupaksi jadi tertegun.

“Hanya dua puluh orang. Dan tidak ada Iblis Tongkat Merah bersama mereka,” sambung Cempaka.

“Aneh.... Padahal aku pergi lebih dulu. Kenapa sekarang Kakang Rangga yang lebih dulu sampai...?” gumam Danupaksi bertanya-tanya sendiri keheranan.

“Jangankan kau, Kakang. Aku saja yang pergi lebih dulu masih juga tidak kebagian,” celetuk Cempaka. “Tapi jangan heran. Soalnya, pasti Kakang Rangga mengendarai Rajawali Putih. Tentu saja bisa sampai lebih dulu.”

“Iya, ya...,” Danupaksi mengangguk-anggukkan kepala.

Danupaksi baru ingat kalau kakak tirinya itu punya tunggangan seekor burung rajawali raksasa. Sudah barang tentu bisa sampai ke desa ini dalam waktu yang sangat singkat. Dan lagi, bagi Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pekerjaan yang sulit untuk menghadapi dua puluh orang anak buah Iblis Tongkat Merah, yang rata-rata berkepandaian rendah. Danupaksi sendiri masih sanggup menghadapi mereka dalam jumlah yang sama.

“Kakang, boleh aku tanya...?”

“Apa?”

“Dari mana kau bisa tahu kalau mereka hendak menggempur desa ini?” tanya Cempaka ingin tahu.

“Dari salah seorang telik sandi yang kusebar ke seluruh pelosok kerajaan,” sahut Danupaksi.

“Telik sandi itu tahu kau ada di kuil?”

“Aku yang memberi tahu,” sahut Danupaksi lagi. “Mereka semua tahu, di mana aku berada. Dan harus cepat melapor jika terjadi sesuatu.”

“Kakang Rangga tahu?”

“Tidak. Dan kuminta, kau juga jangan memberi tahu.”

“Kenapa?”

“Itu tugasku, Cempaka. Bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas keselamatan Karang Setra, meskipun ada Kakang Rangga di sini.”

“Aku mengerti, Kakang.”

“Terima kasih, Cempaka. Hanya kau saja yang tahu.”

Mereka terdiam dan terus melangkah menyusuri jalan desa yang berdebu ini. Penduduk masih banyak terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka seperti tidak tahu kalau desa ini hampir saja digempur anak buah Iblis Tongkat Merah.

“Apakah penduduk tidak ada yang tahu, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Tidak. Dan ini memang disengaja agar mereka tidak resah,” sahut Cempaka.

Danupaksi mengangguk-anggukkan kepala. Pemuda itu sudah menduga kalau Rangga pasti tidak mengizinkan kepala desa untuk memberi tahu warganya. Dan itu memang watak Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak pernah mau melibatkan seluruh rakyat Karang Setra dalam persoalan seperti ini. Hal itu tentu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah dari para penduduk, di samping tidak ingin terjadi keresahan yang akan membuat keadaan semakin bertambah kacau. Bahkan mungkin bisa tidak terkendali. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa menguntungkan pihak lawan yang semakin leluasa mengacaukan keadaan.

Mereka berhenti melangkah ketika melihat Rangga dan Pandan Wangi keluar dari sebuah rumah berukuran cukup besar dan berhalaman luas diikuti tiga orang putra Elang Maut. Mereka diiringi seorang laki-laki separuh baya, bertubuh tegap dengan sebuah gagang golok menyembul di pinggang.

Danupaksi dan Cempaka segera menghampiri saat Rangga melambaikan tangan memanggil. Mereka kemudian dikenalkan kepada laki-laki separuh baya yang bernama Ki Lantaka, Kepala Desa Lampak ini.

“Aku harap kau tidak perlu resah, Ki. Semuanya sudah kami tangani. Dan kuharap lagi, kau tidak perlu memberi tahu warga desa ini. Sebentar lagi desa ini akan dijaga para prajurit kerajaan,” kata Rangga.

“Baik, Den. Terima kasih,” ucap Ki Lantaka seraya membungkuk hormat.

Kepala desa ini memang tidak tahu, siapa pendekar-pendekar muda ini sebenarnya. Karena, mereka semua memang mengenakan pakaian biasa seperti umumnya kaum pendekar. Tak ada seorang pun yang menunjukkan ciri kalau mereka adalah orang-orang utama Kerajaan Karang Setra. Di antara mereka, hanya ketiga putra Elang Maut saja yang bukan anggota keluarga Istana Karang Setra. Sedangkan Pandan Wangi sudah diangkat sebagai anggota keluarga kehormatan Istana Karang Setra.

“Kami harus pergi sekarang, Ki. Masalahnya, harus tiba lebih dahulu sebelum mereka sampai,” kata Rangga langsung berpamitan.

“Kalau ada yang bisa kubantu, pasti dengan senang hati akan turut membantu, Den,” kata Ki Lantaka.

“Kau sudah cukup membantu dengan membuat keadaan desa ini tetap tenang,” ujar Rangga.

“Akan kuusahakan, Den.”

“Terima kasih, Ki. Nah, sekarang kami mohon diri.”

“Selamat jalan, Den. Semoga Hyang Widi menyertai kalian semua.”

Rangga menepuk pundak kepala desa itu, kemudian melompat naik ke punggung kuda hitam Dewa Bayu, diikuti yang lainnya. Sebentar kemudian, para pendekar muda penegak keadilan itu sudah bergerak cepat meninggalkan desa itu. Dan tujuan mereka sudah pasti, ke Puncak Gunung Tangkup! Di sanalah Raden Gordapala mendirikan istananya. Dan Rangga menduga kalau Jago dari Alam Kubur itu berada di sana bersama para pengikutnya.

*** Perjalanan yang ditempuh ke Puncak Gunung Tangkup memang tidak terlalu sulit. Bahkan sama sekali tidak ditemui hambatan berarti. Sehingga, rombongan para pendekar muda yang dipimpin Pendekar Rajawali Sakti sampai di Puncak Gunung Tangkup dalam waktu yang tidak begitu lama. Malah bisa lebih cepat dari perhitungan mereka semula.

“Wah...! Aku tidak tahu kalau di sini ada bangunan istana...,” desah Cempaka menggumam perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.

“Kelihatannya sudah puluhan tahun tidak dihuni,” sambung Danupaksi menggumam.

Keadaan bangunan istana itu memang kotor dan tak terawat. Tanaman rambat hampir menutupi seluruh dindingnya yang sudah retak dan berlumut. Rerumputan tampak tumbuh liar di sekeliling bangunan ini. Sarang-sarang burung terlihat di setiap dinding yang berlubang. Bahkan di atap, dan lubang-lubang jendela serat-serat laba-laba tersebar di mana-mana. Benar-benar sebuah istana yang mengerikan keadaannya. Tidak heran kalau bangunan itu disebut Istana Hantu.

“Sepi, Kakang. Apa mungkin Raden Gordapala ada di sini?” bisik Pandan Wangi bertanya perlahan pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di sampingnya.

“Mungkin. Tapi, aku tidak yakin,” sahut Rangga, juga perlahan suaranya.

“Apa tidak sebaiknya kita periksa saja ke dalam, Kakang?” saran Pandan Wangi.

Rangga terdiam sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tak terlihat gerakan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya melangkah mendekati pintu depan bangunan istana itu. Rerumputan yang tumbuh liar, cukup merepotkan juga. Sarala terpaksa berada di depan, membabat rerumputan yang menghalangi jalan mereka untuk mendekati pintu Istana Hantu ini.

Krieeet..!

Suara berderit menggiriskan terdengar menyakitkan telinga saat Rangga membuka pintu Istana Hantu ini. Bau tidak sedap langsung menyeruak hidung mereka saat berada dalam bangunan tua yang sudah tidak terawat ini. Sungguh tidak sedap keadaan di dalam bangunan ini. Keadaannya begitu kotor dan berantakan.

Daun-daun kering, debu, batu-batu kerikil dan serpihan kayu berserakan di lantai. Sarang laba-laba tersebar hampir menutupi ruangan yang berukuran sangat besar ini. Pendekar-pendekar muda itu terus melangkah perlahan-lahan, melintasi ruangan yang kotor dan berantakan ini.

“Kakang...,” desis Cempaka ketika mereka memasuki ruangan dalam yang tidak kalah besarnya dari ruangan depan tadi.

Mereka semua memandang ke arah yang ditunjuk Cempaka. Di sudut ruangan, terlihat tulang-tulang tengkorak manusia bertumpuk membukit. Pendekar-pendekar muda itu terus melangkah, memasuki setiap ruangan yang ada di dalam bangunan istana ini. Tak ada yang didapatkan di dalam istana ini. Hampir setiap ruangan yang dimasuki, hanya tulang-tulang tengkorak manusia saja yang ditemukan. Tak ada satu ruangan pun yang kelihatan bersih. Semuanya dalam keadaan rusak, kotor, dan berantakan. Sampai mereka tiba di luar istana melalui pintu belakang, tetap tak menemukan sesuatu yang berarti.

“Tidak ada yang berarti di sini, Kakang,” kata Pandan Wangi, agak mendesah suaranya.

“Kalau tidak di sini, di mana lagi dia tinggal, Banara?” tanya Danupaksi seraya menatap Banara yang selalu didampingi kedua adiknya.

“Hanya istana ini satu-satunya tempat tinggal Raden Gordapala. Dan menurut ayahku, semua rahasia Raden Gordapala tersimpan di istana ini,” sahut Banara.

“Tapi sudah seluruh bagian istana ini diperiksa, tapi tak ada sesuatu pun yang berarti,” kata Danupaksi lagi.

“Mungkin ada tempat rahasia yang tidak bisa kita lihat di sini,” selak Sarala.

“Ya, mungkin juga. Tapi aku ragu bisa menemukan tempat rahasia itu,” gumam Danupaksi, seakan-akan untuk dirinya sendiri.

“Apa tidak sebaiknya kita berpencar saja, Kakang...?” usul Pandan Wangi.

“Jangan edan-edanan, Kak Pandan!” rungut Cempaka.

“Sangat berbahaya kalau kita berpencar, Pandan Wangi. Kita semua tidak paham seluk-beluk daerah ini,” Banara juga tidak menyetujui usul si Kipas Maut itu.

“Tapi....”

Belum juga Pandan Wangi selesai dengan ucapannya, tiba-tiba saja....

“Akh...!” pekik Liliani.

Mereka semua jadi terkejut, melihat sebuah tangan yang kotor berlumpur dan rusak tiba-tiba saja menyembul dari dalam tanah. Tangan itu mencengkeram pergelangan kaki Liliani.

“Hiyaaa...!”
Sret!
Bet!

Danupaksi cepat bertindak. Bagai kilat pedangnya dicabut, langsung dibabatkan ke tangan yang menyembul dari dalam tanah, dan tengah mencengkeram pergelangan kaki Liliani. Sekali tebas saja, tangan membusuk itu buntung. Lalu Danupaksi cepat melompat menyambar tubuh gadis itu.

Belum lagi hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba saja dari dalam tanah di sekitar mereka bersembulan tubuh-tubuh rusak yang begitu mengerikan. Sosok-sosok mayat hidup itu terus bermunculan semakin banyak mengepung para pendekar muda ini.

Sret!

Cring!

Mereka semua langsung mencabut senjata masing-masing. Hanya Rangga yang tidak mengeluarkan pedang pusakanya. Mayat-mayat hidup yang bermunculan dari dalam tanah itu bergerak lamban dan kaku menghampiri para pendekar muda itu. Suara-suara menggereng terdengar mendengung.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Cempaka berteriak nyaring, dan melompat menyambut mayat-mayat hidup itu. Cepat sekali pedangnya dikebutkan pada salah satu mayat hidup yang berhasil dijangkaunya.

Crakkk!

“Aaargkh...!” mayat hidup itu meraung keras, langsung ambruk begitu pedang Cempaka membelah dadanya.

Saat itu, Danupaksi dan ketiga putra Elang Maut juga sudah bertindak. Raungan-raungan keras terdengar menggema, disusul ambruknya mayat-mayat hidup itu. Tapi makhluk-makhluk bertubuh rusak dan kotor berlumpur lainnya tetap saja maju dengan gerakan lamban dan kaku. Pendekar-pendekar muda itu terus berlompatan sambil mengebutkan cepat pedangnya, membabat makhluk-makhluk bertubuh rusak mengerikan itu.

Tapi mereka semua jadi terkejut setengah mati, karena mayat-mayat hidup yang tadi ambruk bisa bangkit lagi. Dan mereka terus merangsek semakin rapat mengepung para pendekar muda ini. Bahkan yang sudah buntung kepalanya saja, masih bisa bangkit lagi. Sementara kepala-kepala yang buntung itu ikut bergerak, sehingga membuat hati ngeri melihatnya. Melihat kenyataan ini, Rangga yang sejak tadi tidak melakukan tindakan apa pun segera bertindak.

“Kalian semua ke belakangku...!” seru Rangga lantang.

Tanpa menunggu waktu lagi, mereka semua berlompatan ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga sudah merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping, dan merendahkan tubuh dengan lutut tertekuk. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Sebentar, ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....

“Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!”

Tepat di saat Rangga menghentakkan kedua tangannya merentang ke samping, seketika itu juga bertiup angin badai yang begitu keras menderu-deru. Begitu hebatnya badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga mayat-mayat hidup itu tidak mampu lagi bertahan. Mereka beterbangan bagai daun-daun kering tersapu angin. Bahkan pepohonan di sekitar bagian belakang istana ini ikut beterbangan, terbongkar dari akarnya. Tapi aneh, badai topan itu sama sekali tidak dirasakan pendekar-pendekar muda yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka hanya bisa terlongong bengong melihat mayat-mayat hidup itu berpelantingan tak mampu menghadapi gempuran aji 'Bayu Bajra'.

“Hep!”

Rangga kembali merapatkan kedua tangannya di depan dada. Seketika itu juga badai topan lenyap, begitu Rangga menarik ajiannya yang dahsyat. Tak ada lagi satu makhluk mayat hidup di sekitar mereka.

“Ayo, cepat tinggalkan tempat ini,” ajak Rangga.

Tanpa menunggu waktu lagi, mereka segera berlarian sambil menyimpan senjata masing-masing. Mereka terus berlari ke bagian depan halaman Istana Hantu lewat samping. Tapi mendadak saja....

“Ha ha ha...!”

Ketujuh pendekar muda itu seketika berhenti berlari, begitu tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras menggelegar. Begitu kerasnya, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Saat itu mereka baru saja sampai di halaman depan Istana Hantu ini. Mereka benar-benar terkejut mendengar suara tawa yang begitu keras menggelegar dan tiba-tiba sekali datangnya.

Dan belum lagi rasa terkejut itu hilang, tiba-tiba saja mereka dikejutkan kembali. Tanah yang dipijak, tiba-tiba saja bergetar hebat bagai diguncang gempa. Lalu....

Grakh...!
“Whaaa...!”
“Aaa...!”

Mereka jadi menjerit, begitu tiba-tiba saja tanah yang dipijak terbelah lebar. Tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Ketujuh pendekar muda itu langsung terjatuh masuk ke dalam tanah yang terbelah dengan sendirinya. Jeritan panjang terus terdengar bersamaan dengan meluncurnya tubuh-tubuh mereka ke dalam tanah yang terbelah!

********************

LIMA

Entah berapa lama pendekar-pendekar muda itu meluncur masuk ke dalam tanah yang terbelah. Hingga akhirnya, mereka merasa seperti terbanting di tempat yang cukup keras, seperti terbanting di atas batu cadas keras. Untung saja sebelum tubuh mereka menyentuh bumi, terlebih dahulu mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga, tubuh mereka tidak remuk. Namun, tetap saja mereka meringis, menahan pegal pada persendian tubuh.

Ketujuh pendekar itu jadi terkejut, karena tahu-tahu sudah berada di dalam sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari batu hitam. Suasana di ruangan itu lembab dan pengap. Hanya ada sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan batu ini

Sedikit pun tak ada lubang atau pintu di ruangan ini. Mereka sama-sama mendongak ke atas. Tampak begitu jauh mereka berada di dalam tanah ini. Begitu jauhnya, sehingga hanya terlihat sedikit lubang bulat berada tepat di atas kepala. Sehingga, cahaya matahari tak sanggup menerobos masuk menerangi ruangan yang tidak begitu besar ini.

“Tempat apa ini...?” gumam Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri.

Tidak ada yang bisa menjawab. Dan memang, mereka semua tidak tahu tempat ini. Mereka juga tidak tahu sekarang berada di mana. Sementara Rangga sudah memeriksa dinding batu yang mengelilingi ruangan berukuran tidak begitu besar ini Sedangkan Cempaka menyandarkan punggungnya ke dinding. Tapi mendadak saja....

“Eh...?!” Cempaka terkejut sambil melompat

“Ada apa, Cempaka?” tanya Rangga seraya bergegas menghampiri.

“Dinding ini seperti bergerak,” sahut Cempaka seraya memandangi dinding yang tadi disandarinya.

Rangga cepat menghampiri dinding itu. Tangannya meraba-raba. Tidak ada yang aneh. Dinding ini sama dengan yang lainnya. Tapi saat memandang ke bawah, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut dalam. Memang, dinding ini tadi bergerak sedikit. Ada segaris debu terlihat di lantai batu yang keras dan dingin ini.

“Hep. .!”

Rangga mencoba mendorong dinding batu yang kelihatannya berat Sedikit demi sedikit, mereka berhasil mendorong dinding batu itu, hingga akhirnya mereka menemukan pintu. Ketujuh pendekar muda itu bergegas keluar dari ruangan ini.

“Lorong...,” desis Cempaka begitu berada di luar ruangan batu itu.

“Tingkatkan kewaspadaan kalian. Kita telusuri lorong ini,” kata Rangga, agak berbisik suaranya.

Mereka mulai melangkah menyusuri lorong batu ini. Rangga berjalan paling depan, diikuti Danupaksi, Cempaka, dan Liliani. Sedangkan Pandan Wangi berada di belakang kedua gadis itu, diikuti Banara dan Sarala. Mereka melangkah begitu hati-hati. Lorong ini cukup terang, karena setiap jarak tiga tombak terdapat obor yang terpancang di dinding. Tampaknya, lorong ini cukup panjang, dan penuh belokan berliku.

Hingga akhirnya, mereka sampai di depan pintu yang terbuat dari besi, setelah melewati satu tikungan yang cukup tajam. Mereka berhenti berkumpul di depan pintu besi yang sudah karatan ini. Rangga memeriksa sisi pintu, kemudian mengetuk-ngetuk seluruh bagian pintu itu.

“Dobrak saja, Kakang,” usul Danupaksi.

“Silakan!” ujar Rangga menyetujui.

Danupaksi segera bersiap-siap. Kemudian, Rangga meminta yang lainnya untuk menyingkir menjauhi pintu ini. Lalu Pendekar Rajawali Sakti juga melangkah mundur beberapa tindak. Sementara, tinggal Danupaksi yang masih berdiri tegak di depan pintu besi yang sudah karatan itu.

“Hati-hati, Danupaksi,” desis Rangga berbisik memperingatkan.

Saat itu Danupaksi sudah bersiap hendak menghancurkan pintu besi itu. Kakinya direntangkan agak lebar. Lalu, kedua lututnya ditekuk, hingga tubuhnya merendah. Kedua tangannya terkepal berada di samping pinggang. Tatapan matanya begitu tajam tertuju lurus ke pintu besi di depannya.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring, Danupaksi menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan seluruh jari-jari mengembang terbuka. Secercah sinar terang, menyemburat keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Lalu....

“Yeaaah...!”

Cepat sekali Danupaksi melompat menghantam pintu besi itu dengan keras sekali. Seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar. Akibatnya, seluruh dinding dan atap lorong ini jadi bergetar, bagaikan hendak runtuh. Tampak Danupaksi terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali di lantai batu lorong ini. Bergulingnya baru berhenti setelah menyentuh kaki Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti membantu Danupaksi berdiri. Mereka kemudian menatap pintu besi yang sudah hancur terkena pukulan dahsyat yang dilancarkan Danupaksi tadi. Debu masih mengepul di sekitar pintu yang sudah hancur itu. Perlahan Rangga dan Danupaksi menghampir, diikuti yang lainnya.

“Edan...!” desis Danupaksi begitu berada di ambang pintu.

Semua pendekar muda itu berjejalan di ambang pintu. Mereka jadi mengeluh, begitu di depan terlihat hanya ada kubangan lumpur panas yang mendidih dan berwarna merah. Uap berbau belerang tercium menyengat lubang hidung. Baru disadari kalau sekarang ini mereka berada di dalam perut Gunung Tangkup. Dan kolam lumpur mendidih itulah yang membuat mereka jadi mengeluh. Tak ada lagi jalan keluar dari tempat ini.

Dengan tubuh lemas, mereka menjauhi pintu itu. Sementara, Rangga dan Danupaksi masih tetap berdiri di ambang pintu. Mereka merayapi sekitarnya. Batu-batu yang ada semuanya berwarna merah membara seperti terbakar. Sesekali, terlihat semburan api dari dalam kubangan lumpur yang bergolak mendidih itu.

“Bagaimana sekarang, Kakang?” tanya Danupaksi.

Rangga hanya diam saja.

“Apa mungkin ada jalan lain keluar dari sini...?” tanya Danupaksi lagi, seperti untuk diri sendiri. Dan nada suaranya jelas terdengar mengeluh menghadapi kenyataan ini.

“Mungkin. Dugaanku, jalan keluar hanyalah memanjat dinding batu ini, Danupaksi,” kata Rangga seraya mendongak ke atas.

“Mustahil, Kakang. Lihat saja batu-batu ini semuanya panas terbakar. Mana mungkin bisa melewatinya...?” keluh Danupaksi.

Mereka kembali terdiam. Memang sangat kecil kemungkinannya untuk bisa keluar dari tempat ini, meskipun memanjat dinding batu di sekitar kubangan lumpur yang bergolak mendidih ini.

“Kakang, apa tidak mungkin kalau memanggil Rajawali Putih?” usul Danupaksi.

Rangga menatap adik tirinya ini, kemudian berpaling ke arah tiga putra Elang Maut. Kini Danupaksi baru bisa mengerti. Memang sulit bagi Rangga untuk memanggil Rajawali Putih, karena ada orang lain di antara mereka. Kalau hanya ada dirinya, Pandan Wangi, dan Cempaka, tidak ada persoalan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk memanggil burung rajawali raksasa tunggangannya. Karena, mereka semua tahu. Tapi yang menjadi persoalan adalah ketiga putra Elang Maut itu. Mereka belum tahu kalau Rangga mempunyai tunggangan seekor burung rajawali raksasa, yang bisa dipanggil dengan siulan sakti.

“Sebaiknya, kita cari dulu jalan keluar yang lain, Danupaksi,” kata Rangga merasa keberatan terhadap usul adik tirinya tadi.

“Aku mengerti, Kakang. Maaf...,” ucap Danupaksi

“Sudahlah,” Rangga menepuk pundak Danupaksi seraya tersenyum.

Mereka kemudian berbalik, dan melangkah menghampiri yang lain. Rangga tahu, mereka semua kini mulai dihinggapi perasaan putus asa. Ini bisa terlihat dari raut wajah dan sinar mata yang begitu lesu menghadapi kenyataan seperti ini. Terkurung di dalam perut Gunung Tangkup, tanpa ada jalan keluar yang bisa ditemukan. Hanya Pandan Wangi yang kelihatannya tetap tabah. Si Kipas Maut itu masih tetap percaya kalau ada jalan keluar dari tempat ini.

Ketabahan Pandan Wangi bisa terbentuk, karena sudah begitu sering menghadapi hal-hal yang tak terduga seperti sekarang ini. Dan dia percaya, kalau bisa menemukan jalan keluar. Persoalannya hanya tergantung dari keuletan serta ketabahan diri masing-masing dalam menghadapi kejadian seperti ini.

“Ayo, kita telusuri lagi lorong ini,” ajak Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melangkah menyusuri lorong ini melalui jalan yang sama. Pandan Wangi mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang lain hanya bisa mengikuti di belakang kedua pendekar muda yang sudah berpengalaman dalam menghadapi segala macam persoalan dan kejadian yang tidak terduga.

“Mereka sepertinya putus asa, Kakang,” ujar Pandan Wangi berbisik perlahan.

“Ya, aku tahu,” sahut Rangga.

“Kita harus segera menemukan jalan keluarnya, Kakang. Sebelum mereka benar-benar putus asa,” kata Pandan Wangi lagi, tetap pelan suaranya.

Rangga hanya diam saja. Memang, keikutsertaan tiga putra Elang Maut sebenarnya menjadi beban bagi mereka berdua. Tapi baik Rangga maupun Pandan Wangi tidak bisa lagi menolak keinginan mereka untuk ikut serta dalam memburu Raden Gordapala. Tapi, semuanya memang sudah terjadi. Dan mereka berdua harus bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini secepatnya, sebelum terjadi sesuatu yang bisa membuat mereka semua semakin kehilangan semangat

Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah begitu sampai di depan pintu ruangan, tempat mereka tadi terperosok masuk ke dalam perut Gunung Tangkup ini. Sebentar matanya merayapi keadaan ruangan itu, kemudian kembali melangkah menyusuri lorong ini, diikuti yang lain. Lorong yang arahnya berlawanan dengan yang dilalui tadi.

Mereka semua terus berjalan menyusuri lorong yang cukup terang oleh obor terpancang di dinding, tanpa ada seorang pun yang membuka suara. Sementara, Pandan Wangi terus mendampingi Pendekar Rajawali Sakti dengan bibir terkatup. Gadis ini memandangi setiap jengkal dinding yang dilewati. Seperti lorong yang dilalui tadi, lorong ini juga cukup panjang dan banyak terdapat tikungan cukup tajam dan berliku. Tapi, mereka merasakan kalau lorong ini menanjak, meski tidak ada satu pun undakan ditemui. Jalan yang menanjak naik ini semakin terasa setelah mereka melewati lima buah tikungan yang cukup tajam. Hingga akhirnya, mereka kembali menemui sebuah pintu yang juga terbuat dari besi.

Tapi, pintu ini tidak tertutup rapat. Sehingga, mudah sekali Rangga membukanya. Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun, karena di balik pintu ini terdapat sebuah ruangan yang berukuran cukup besar. Mereka kemudian melangkah memasuki ruangan itu.

“Seperti sebuah gelanggang, Kakang,” bisik Pandan Wangi yang masih tetap mendampingi Rangga di sampingnya.

Memang, ruangan ini merupakan sebuah gelanggang. Sekelilingnya terdapat undakan-undakan batu yang melingkar menyerupai tempat duduk. Ada beberapa pintu yang tertutup jeruji besi. Sedangkan atap ruangan ini terbuat dari batu yang melingkar seperti stupa candi yang sangat besar ukurannya. Saat mereka tengah memandangi sekitarnya, tiba-tiba saja....

Brakkk!

Semua jadi terkejut! Tiba-tiba saja, pintu yang dimasuki tadi tertutup dengan sendirinya. Danupaksi cepat melompat ke pintu itu, dan mencoba membukanya. Tapi, pintu itu sudah terkunci kuat dan sulit dibuka lagi. Danupaksi jadi mendengus mengeluh.

“Ha ha ha...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar dan menggema. Suara tawa yang mereka dengar ketika terperosok masuk ke dalam tanah yang terbelah di depan bangunan Istana Hantu. Kini suara tawa itu kembali terdengar menggema di ruangan yang bentuknya seperti sebuah gelanggang pertandingan.

“Selamat datang di gelanggang istanaku, Pendekar-pendekar Gagah!”

“Heh...?!”

Kembali mereka terkejut, begitu tiba-tiba di atas mimbar sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya berwarna merah muda, dan terbuat dari bahan sutera halus. Indah sekali. Pemuda itu didampingi dua orang gadis cantik, seorang perempuan tua membawa cambuk ekor kuda, dan seorang laki-laki tua berjubah merah membawa tongkat berkepala tengkorak.

Pada saat itu seluruh ruangan ini jadi terang benderang, begitu atap batu di atas mereka membelah terbuka lebar. Tampak langit biru yang berawan tipis berarak di atas sana. Matahari pun terlihat bersinar cerah. Dan di sekeliling mereka, sudah terlihat puluhan orang, bahkan mungkin ratusan orang yang membawa senjata berbagai macam bentuk. Mereka menempati undakan-undakan tangga bagian atas, seperti hendak menyaksikan suatu pertunjukan di tengah-tengah gelanggang ini.

“Kita masuk perangkap Raden Gordapala, Kakang Rangga,” bisik Banara yang tahu-tahu sudah berdiri di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya diam saja, menatap lurus pemuda tampan yang berdiri di atas mimbar kehormatan gelanggang ini. Dia tahu, pemuda itu adalah Raden Gordapala. Memang, mereka sempat bertemu dan bertarung di depan bangunan Istana Hantu di Puncak Gunung Tangkup. Sedangkan yang mendampingi si Jago dari Alam Kubur itu adalah Iblis Tongkat Merah, Dewi Cambufr Maut, dan kedua gadis berjuluk Dewi Naga Kembar. Dan ratusan orang bersenjata yang berkeliling di sekitar bagian atas gelanggang ini sudah pasti para pengikut si Jago dari Alam Kubur itu.

“Ternyata tidak terlalu sulit menggiringmu ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, aku tidak menyangka kau membawa orang lain yang sama sekali tidak kubutuhkan,” lantang sekali suara Raden Gordapala.

“Apa yang kau inginkan dariku, Gordapala?” tanya Rangga tidak kalah lantang suaranya.

“Kenapa mesti bertanya begitu...? Seharusnya kau sudah tahu apa yang kuinginkan. Pendekar Rajawali Sakti!” agak menggeram nada suara Raden Gordapala.

“Kalau kau menginginkan pisau emas itu, aku sudah meleburnya kemarin. Tidak mungkin kau bisa mendapatkannya lagi,” kata Rangga, tetap lantang suaranya.

“Bedebah...! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Raden Gordapala jadi berang.

“Aku tidak main-main. Lihat saja ini...!”

Rangga mengeluarkan sebuah lempengan logam berwarna kuning keemasan yang berkilat dari balik sabuk pinggangnya. Kemudian benda itu dilempar-kannya begitu saja, jauh ke depan. Melihat lempengan emas itu, bola mata Raden Gordapala jadi terbeliak lebar. Begitu juga para pendampingnya. Mereka terkejut setengah mati melihat lempengan emas yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Setan keparat..! Kau benar-benar membuatku marah, Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus mampus! Juga Kerajaan Karang Setra yang kau bangga-banggakan itu harus hancur...!”

Raden Gordapala tidak bisa lagi menahan kemarahannya, melihat lempengan emas yang dilemparkan Rangga. Wajahnya memerah bagai besi yang terbakar dalam tungku pembakaran. Gerahamnya bergemeletuk, dan matanya berkilatan merah bagai sepasang bola mata api yang hendak menghanguskan apa saja yang dilihat.

Sementara, Rangga tetap kelihatan tenang. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

Ketika tiba-tiba Raden Gordapala mengangkat tangannya ke atas, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan jeruji-jeruji besi baja hitam yang terlihat kokoh. Rangga yang melihat terlebih dahulu cepat melompat menghindar, hingga terpisah dari yang lain. Dan jeruji besi baja itu cepat sekali menyembul keluar begitu tinggi dan rapat, sebelum pendekar-pendekar muda itu sempat menyadari. Sehingga, mereka jadi terkurung jeruji besi baja hitam yang begitu rapat dan kuat. Hanya Rangga yang tidak terkurung, karena tadi sempat melompat.

“Ha ha ha...!” Raden Gordapala tertawa terbahak-bahak.

Dan memang inilah yang diinginkan si Jago dari Alam Kubur itu. Memisahkan Rangga dengan yang lain. Jadi, hanya sekali saja bertindak, keinginannya itu sudah bisa terlaksana. Sekarang Rangga berhasil dipisahkan dari yang lain. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terkejut begitu menyadari akal licik dari Raden Gordapala. Bergegas dia bangkit berdiri dan hendak menghampiri rekan-rekannya.

Tapi belum juga sampai, kurungan besi baja itu sudah cepat terangkat naik. Dan enam pendekar muda itu kini terkurung berada jauh di atas tanah. Rangga hanya bisa memandangi saja. Sementara, Raden Gordapala terus tertawa terbahak-bahak. Begitu keras menggelegar suara tawanya. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja tiang besi baja yang menopang kurungan berisi enam pendekar muda itu.

“Licik...!” desis Rangga seraya memutar tubuhnya, menghadapi Raden Gordapala lagi.

“Itu baru permulaan, Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar lagi, kau akan menghadapi suatu kematian yang begitu indah.... Kau akan menghadapi kematianmu secara perlahan-lahan. Ha ha ha...!”

Rangga hanya bisa mendesis geram. Memang tidak ada yang bisa dilakukannya, selain menghadapi semua rencana yang ada di benak Jago dari Alam Kubur itu. Apa pun yang akan terjadi, memang sukar diduga. Tapi yang pasti, tidak akan mungkin menguntungkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ini sudah dipikirkannya dalam menghadapi keadaan semacam ini.

“Buka pintu pertama...!” seru Raden Gordapala tiba-tiba.

Rangga cepat berpaling saat mendengar suara berderak dari sebuah pintu jeruji besi yang berada tepat di sebelah kanannya. Hati Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap, begitu dari dalam pintu itu keluar sesosok tubuh tinggi besar bagai raksasa. Tingginya dua kali dari ukuran manusia biasa. Seluruh tubuhnya hampir tertutup rambut-rambut halus yang ikal menghitam. Makhluk raksasa itu menyandang sebuah gada berduri tajam berkilatan yang ukurannya sama dengan paha orang dewasa.

“Manusia apa ini...?” desis Rangga dalam hati.

“Ghraaagkh...!”

Bumi jadi bergetar saat makhluk raksasa itu menggerung keras menggelegar sambil mengangkat gadanya tinggi-tinggi ke atas kepala. Sedangkan Rangga melangkah mundur perlahan-lahan beberapa tindak. Dari atas mimbar, terdengar suara tawa keras menggelegar. Sementara, enam pendekar muda yang terkurung di atas hanya bisa menahan napas saja melihat Rangga harus menghadapi manusia raksasa yang begitu liar ini.

“Hadapi jagoku ini, Pendekar Rajawali Sakti! Ha ha ha...!”

Sementara itu, si manusia raksasa sudah bergerak mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dan sambil menggeram dahsyat gadanya diayunkan ke atas kepala pemuda berbaju rompi putih itu. Begitu kuat ayunan gadanya, sehingga menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai topan.

“Hup...!”

Rangga cepat melenting ke belakang menghindari hantaman gada baja berduri itu. Bumi seketika bergetar ketika gada baja berduri itu menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi. Manusia raksasa itu menggerung keras. Matanya yang besar, memerah marah melihat lawannya berhasil lolos dari hantaman gadanya.

“Ghraaagkh...!”

Wukkk!

Kembali si manusia raksasa itu menghantamkan gadanya dengan kuat sekali. Dan lagi-lagi Rangga melentingkan tubuh ke belakang. Sehingga hantaman manusia raksasa itu lagi-lagi hanya menemui tanah kosong. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Rangga cepat melesat tinggi ke udara. Lalu, dia meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, sehingga manusia raksasa yang bergerak lamban itu tidak bisa menghindari dupakan kaki Rangga yang bergerak cepat luar biasa.

Plakkk!
“Ghraaagkh...!”
“Hup!”

Cepat-cepat Rangga melompat ke belakang begitu berhasil mendaratkan tendangan di kepala manusia raksasa itu. Tapi dia jadi mendengus heran. Ternyata manusia raksasa itu tidak mengalami luka sedikit pun di kepalanya. Dan begitu berbalik, cepat sekali Rangga melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

“Hiyaaa...!”
Begkh!
“Aaargkh...!”

Makhluk raksasa itu meraung keras begitu pukulan Rangga mendarat telak di dadanya. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan, sehingga manusia raksasa itu terhuyung-huyung ke belakang sambil menggerung marah. Rangga tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kembali Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

“Yeaaah...!”

Desss!

Untuk kedua kalinya pukulan Pendekar Rajawali Sakti menghantam telak dada makhluk raksasa dengan keras sekali. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan, sehingga membuat makhluk raksasa itu terbanting ke tanah. Akibatnya, tanah di sekitar gelanggang ini jadi bergetar hebat bagai terguncang gempa. Tapi, makhluk raksasa itu bisa cepat bangkit kembali. Bahkan langsung meluruk deras ke arah Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Deras sekali gadanya yang besar dan berduri tajam itu diayunkan.

“Graaagkh...!”

“Hup! Yeaaah...!”

ENAM

Rangga cepat-cepat menjatuhkan diri begitu gada baja besar dan berduri melayang deras ke arah kepalanya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti bergulingan di tanah, lalu cepat bangkit berdiri. Langsung dia melompat cepat bagai kilat sambil mencabut pedang yang selalu tersimpan dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang berkilau, seketika menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.

“Hiyaaa...!”

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat sambil mengecutkan pedangnya ke arah leher manusia raksasa itu. Begitu cepat tebasannya, sehingga manusia raksasa itu tidak dapat lagi meng-hindar.

Cras!

“Aaargkh...!”

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang begitu pedangnya berhasil mengoyak tenggorokan manusia raksasa itu. Tapi, makhluk raksasa itu masih mampu berdiri. Bahkan mampu mengayunkan gadanya beberapa kali, meskipun darah terus mengucur deras dari lehernya yang terkoyak cukup lebar.

“Hiyaaat...!”

Cepat sekali Rangga melompat ke udara. Lalu bagaikan kilat, pedangnya dihunjamkan hingga terbenam dalam di dada manusia raksasa itu. Sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang mencabut pedangnya yang terbenam di dada makhluk itu.

Cras!

“Aaargkh...!”

Pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil mengoyak tenggorokan manusia raksasa itu. Tapi hebatnya, makhluk raksasa itu masih mampu berdiri! Bahkan masih mampu mengayunkan gadanya beberapa kali.

Manusia raksasa itu menggerung-gerung dahsyat, lalu ambruk menggelepar di tanah. Cukup lama juga makhluk raksasa itu menggelepar meregang nyawa, lalu diam meregang kaku tak berkutik-kutik lagi. Begitu banyak darah yang keluar dari dada dan lehernya.

Sementara Rangga sudah berdiri tegak, dengan Pedang Rajawali Sakti masih tergenggam erat di tangan kanannya. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus kepada Raden Gordapala yang tampak memerah geram melihat jagonya tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Kakang...!”

Rangga cepat berpaling, mendongak ke atas begitu terdengar suara keras memanggilnya. Dia tahu, yang berteriak memanggilnya tadi adalah Pandan Wangi. Geraham pemuda berbaju rompi putih itu jadi menggeretak melihat Pandan Wangi dan yang lain terkurung tak berdaya. Cukup tinggi juga tiang besi baja yang menyangga kurungan besi itu. Tapi, masih bisa dijangkau dengan hanya sekali lompatan saja. Bahkan masih bisa terjangkau oleh orang yang berkepandaian lumayan.

“Menyingkir kalian...!” seru Rangga keras.

Mereka semua yang terkurung langsung bergerak menyingkir ke sisi lain, begitu mendengar teriakan Rangga. Tanpa menunggu waktu lagi, tiba-tiba saja....

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat, melambung tinggi ke angkasa. Begitu cepat gerakannya, sehingga belum ada yang bisa menyadari lebih dulu. Dan kini, Rangga sudah berada dekat di jeruji besi baja yang mengurung enam orang pendekar muda itu.

“Yeaaah...!”

Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau ke jeruji besi baja yang mengurung enam pendekar muda itu.

Wukkk!
Trang!
“Hap!”

Rangga langsung melunak turun begitu pedangnya berhasil menghancurkan jeruji besi baja yang mengurung enam orang pendekar muda itu. Manis sekali gerakannya, sehingga tak ada sedikit pun suara yang terdengar saat kakinya menjejak tanah.

“Ayo, cepat keluar...!” teriak Rangga begitu sudah berdiri lagi di tanah.

Mereka yang terkurung, segera berlompatan keluar dari kurungan besi itu. Enam pendekar muda itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Sehingga bukan suatu hal yang sulit untuk melompat dari ketinggian seperti ini.

Sementara Raden Gordapala, Iblis Tongkat Merah, Dewi Cambuk Maut, dan Dewi Naga Kembar yang berada di atas mimbar kehormatan, jadi terkejut setengah mati melihat tindakan Rangga yang tidak pernah diduga sama sekali. Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu menghancurkan jeruji besi baja hanya sekali tebas saja!

“Serang...! Bunuh mereka semua!” seru Raden Gordapala lantang menggelegar.

Seketika itu juga, orang-orang yang berada di sekeliling gelanggang pertarungan, langsung berhamburan meluruk turun sambil berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan senjata masing-masing.

Sementara Rangga, Pandan Wangi, Danupaksi, Cempaka, dan tiga putra Elang Maut segera bersiap menghadapi orang-orang yang jumlahnya ratusan itu.

“Kita tidak mungkin bisa menghadapinya, Kakang. Jumlah mereka begitu banyak,” desis Pandan Wangi yang berada tepat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Gunakan saja aji 'Bayu Bajra', Kakang,” usul Danupaksi yang berada agak ke belakang di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Sinar matanya tajam merayapi orang-orang yang terus berlarian cepat memasuki gelanggang pertarungan ini. Memang, jumlah mereka tidak sebanding. Tujuh orang harus menghadapi ratusan orang. Jadi, sama saja mereka harus menghadapi satu pasukan penuh sebuah kerajaan. Bahkan bukannya tidak mungkin, orang-orang ini berkepandaian lebih tinggi dari para prajurit. Karena, mereka sudah tentu berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan.

Baru saja Rangga membuka mulutnya hendak menyuruh mereka berlindung di belakangnya, tiba-tiba saja dari atas bangunan gelanggang pertarungan ini berhamburan ratusan anak panah yang langsung menghujani para pengikut Raden Gordapala. Dan seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul berjatuhannya tubuh-tubuh tertembus anak panah.

********************

“Kakang, lihat...!” seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke atas.

Mereka semua mendongak, memandang ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tampak di atas tembok batu yang mengelilingi gelanggang, sudah dipenuhi orang berseragam prajurit. Tentu saja mereka mengenali, karena para prajurit itu mengenakan seragam prajurit Karang Setra. Prajurit-prajurit itu kini tengah menghujani orang-orang Raden Gordapala yang jadi kalang-kabut karenanya.

“Seraaang...!”

Tiba-tiba saja terdengar perintah keras menggelegar. Seketika itu juga, dari atas tembok yang mengelilingi gelanggang ini berhamburan para prajurit bersenjata tombak dan pedang. Mereka meluncur turun melalui tambang, dan langsung menyerang orang-orang Raden Gordapala yang sudah kalang-kabut kehilangan kendali lagi. Pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, kini bercampur denting senjata beradu.

Sementara Danupaksi, Cempaka, dan ketiga putra Elang Maut sudah terjun ke dalam pertempuran. Tinggal Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap diam memperhatikan pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Tapi, perhatian Rangga cepat berubah. Ditatapnya mimbar kehormatan yang berada di sebelah Timur gelanggang ini. Tapi, di sana tidak ada lagi Raden Gordapala dan para pembantunya. Mimbar itu sudah kosong, tanpa seorang pun terlihat di sana.

“Pengecut..!” desis Rangga menggeram.

“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

Rangga tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, tapi malah cepat melompat. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dikerahkan. Pandan Wangi sempat memperhatikan sejenak, lalu bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat ke arah mimbar yang sekarang sudah kosong tak ada seorang pun di sana.

Sementara itu, Rangga sudah berada di atas mimbar itu. Pendekar Rajawali Sakti mendengus melihat di mimbar kehormatan itu terdapat sebuah pintu yang terbuka lebar. Bergegas kakinya melangkah ke pintu itu. Tapi belum juga melewati pintu, tiba-tiba saja....

Wusss!

“Uts!”

Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, begitu tiba-tiba dari balik dinding pintu meluncur dua batang tombak yang lewat di atas kepalanya. Dan begitu tombak ditarik kembali, dari balik pintu itu melesat dua orang laki-laki setengah baya menghunus tombak, yang langsung dihunjamkan kembali ke dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari hunjaman dua batang tombak yang meluruk deras mengancam dadanya. Dan sebelum dua orang penyerangnya bisa menarik tombaknya pulang, cepat sekali Rangga memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada salah seorang. Lalu disusul lagi dengan satu pukulan keras menggeledek dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' kepada orang satunya lagi.

Dua laki-laki setengah baya itu seketika menjerit keras melengking begitu serangan balasan yang dilancarkan Rangga tidak dapat dihindari lagi. Begitu keras tendangan dan pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua orang laki-laki separuh baya itu terpental deras ke belakang. Tubuh mereka langsung meluncur turun dari mimbar ini.

Rangga sempat melirik ke arah dua penyerangnya yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi di atas batu gelanggang ini. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah sampai di atas mimbar, tepat di saat Rangga melangkahkan kakinya memasuki pintu ini. Pandan Wangi bergegas mengikuti di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus melangkah cepat anak-anak tangga batu di sebuah lorong yang cukup besar.

Mereka terus melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Rangga tidak mau lagi gegabah. Cepat dilontarkannya satu pukulan jarak jauh yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Yeaaah...!”

Glarrr...!

Pintu itu hancur seketika disertai ledakan dahsyat menggelegar. Di sela-sela ledakan itu, terdengar jeritan panjang melengking tinggi.

“Hup!”

Rangga cepat melesat melewati pintu yang sudah hancur itu. Tampak dua orang berbaju merah menggeletak di dekat pintu dengan tubuh penuh tertusuk kepingan kayu dari pintu yang hancur terkena pukulan jarak jauh Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tepat ketika kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan kuning yang meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Awas, Kakang...!” seru Pandan Wangi yang baru saja melewati pintu yang hancur.

“Uts!”

Rangga cepat merundukkan tubuh ke depan, begitu merasakan adanya hembusan angin halus dari arah belakang. Terjangan bayangan kuning itu lewat sedikit saja di atas kepala pemuda berbaju rompi putih ini. Dan begitu tubuhnya ditegakkan sambil berbalik, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua berbaju kuning. Sebuah cambuk berbentuk buntut kuda tampak tergenggam di tangan kanannya.

“Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti! Kau sudah menghina junjunganku!” desis wanita tua yang tak lain Dewi Cambuk Maut itu dingin.

Setelah berkata demikian, Dewi Cambuk Maut cepat mengecutkan cambuknya yang berbentuk buntut kuda.

Ctar!

“Ups!”

Rangga cepat melompat mundur sambil menahan napasnya. Kebutan cambuk itu menimbulkan asap hitam, selain menyebarkan bau busuk yang tidak sedap. Sehingga membuat perut langsung bergolak mau muntah.

“Pandan, cepat menyingkir...!” seru Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau kebutan cambuk wanita tua itu mengandung asap racun yang berbahaya sekali bila terhisap. Sedangkan Pandan Wangi yang mendapat perintah untuk menyingkir, segera saja berlompatan menjauh. Gadis itu juga langsung menyadari kalau kebutan cambuk buntut kuda itu mengandung racun berbahaya dan mematikan.

“Hep! Hsss...!”

Rangga cepat memindahkan pernapasannya ke perut. Meskipun dirinya kebal terhadap segala jenis racun, tapi tetap saja tidak ingin untung-untungan dalam menghadapi senjata yang mengandung racun.

“Mampus kau! Hiyaaat..!”

Sambil berseru lantang menggelegar, Dewi Cambuk Maut cepat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Cambuk buntut kudanya dikebutkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan. Tapi lincah sekali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan menghindari serangan yang dilancarkan lawan. Bahkan tubuhnya meliuk-liuk indah, mengikuti gerakan kakinya yang begitu lincah. Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang seringkali digunakan Pendekar Rajawali Sakti dalam menjajaki tingkat kepandaian yang dimiliki lawan. Dan jurus itu memang luar biasa, meskipun tidak bersifat menyerang. Tapi, tidak mudah bagi lawan untuk mematahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Bahkan lawan bisa jadi kehilangan kendali, karena serangan-serangannya sama sekali tidak membawa hasil.

“Hup! Yeaaah...!”

Rangga cepat melentingkan tubuh ke udara, begitu Dewi Cambuk Maut mengecutkan cambuk buntut kudanya ke arah kaki. Pada saat itu, Dewi Cambuk Maut cepat melompat ke atas mengejar Rangga yang sudah lebih dulu melayang di udara. Cepat sekali wanita tua itu mengecutkan cambuknya ke tubuh Rangga.

Menghadapi serangan itu, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak gugup. Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindari kebutan cambuk buntut kuda yang mengeluarkan asap beracun itu. Dan begitu serangan Dewi Cambuk Maut melonggar, cepat sekali Rangga merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu sepasang tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak mengebut, seperti sepasang sayap burung rajawali. Rangga saat ini memang tengah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

“Hiyaaa...!”

“Uts...!”

Dewi Cambuk Maut jadi kelabakan setengah mati menghindari kibasan-kibasan kedua tangan Rangga yang merentang dan bergerak cepat. Lalu, cepat-cepat tubuhnya melenting berputar ke belakang, dan meluruk deras turun kembali ke tanah. Pada saat itu juga, Rangga segera merubah jurusnya menjadi jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

“Yeaaah...!”

“Heh...?!”

Dewi Cambuk Maut jadi terkejut setengah mati. Buru-buru cambuk buntut kudanya dikebutkan ke atas, untuk melindungi kepalanya dari incaran kedua kaki Rangga yang bergerak begitu cepat. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga malah memutar tubuhnya berbalik. Dan tiba-tiba saja, dilepaskannya satu pukulan keras ke arah dada Dewi Cambuk Maut yang benar-benar kosong tak terlindungi. Gerakan Rangga yang begitu cepat dan tak terduga itu, benar-benar membuat Dewi Cambuk Maut jadi terperangah setengah mati. Tapi, perempuan tua itu tidak sempat lagi menghindar. Sehingga....

Desss!

“Aaakh...!”

Pukulan yang dilepaskan Rangga, memang sungguh keras. Sehingga, tubuh wanita tua itu terpental deras ke belakang. Hanya sebentar saja Dewi Cambuk Maut bergulingan di tanah, lalu cepat bangkit berdiri, meskipun dalam keadaan limbung. Tampak dari sudut bibirnya menetes darah agak kental.

“Phuih!” Dewi Cambuk Maut menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.

Setelah melakukan beberapa gerakan, perempuan tua itu cepat melompat kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali cambuknya dikebutkan, tapi Rangga berhasil menghindarinya dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu indah dan manis.

“Hup!”

Begitu ada kesempatan, Rangga cepat melompat keluar dari lingkaran serangan yang dilancarkan Dewi Cambuk Maut. Lalu, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Kemudian, pedang pusaka yang selalu berada di balik punggungnya segera dicabut

Sret!

Cring!

Seketika cahaya biru berkilau menyemburat terang begitu Rangga mencabut keluar pedang pusakanya. Hati Dewi Cambuk Maut seketika terkesiap melihat pamor pedang Pendekar Rajawali Sakti yang begitu dahsyat luar biasa. Tapi, dia tidak bisa lama-lama tertegun. Apalagi lawannya sudah melompat menyerang sambil mengecutkan pedangnya seperti membentuk lingkaran.

“Hup! Yeaaah...!”

Dewi Cambuk Maut cepat-cepat melompat ke belakang beberapa tindak. Lalu, langsung disiapkannya jurus baru yang lebih dahsyat lagi. Sedangkan Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang begitu dahsyat dan jarang sekali digunakan di dalam pertarungan.

Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga, sungguh cepat luar biasa. Sedangkan pedangnya berkelebat cepat mengurung seluruh ruang gerak Dewi Cambuk Maut. Akibatnya perempuan tua itu benar-benar tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Terlebih lagi, perhatiannya terasa jadi terpecah.

Sedangkan jiwanya terasa tercabik-cabik, sehingga tidak mampu lagi menguasai keadaan. Dewi Cambuk Maut tidak menyadari kalau pikirannya sudah terpengaruh jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaah...!” tiba-tiba Rangga berteriak keras.

Bet!

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menusukkan pedang ke arah Dewi Cambuk Maut. Begitu cepat gerakan yang dilakukannya, sehingga membuat Dewi Cambuk Maut tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan tak pelak lagi, Pedang Rajawali Sakti menghunjam dadanya hingga tembus ke punggung.

Crab!

Tak ada suara jeritan sedikit terdengar. Dewi Cambuk Maut hanya berdiri terpaku mematung dengan kedua bola mata terbeliak lebar.

Sementara Rangga sudah menarik pedangnya, dan melompat ke belakang beberapa tindak. Dan Pedang Rajawali Sakti segera dimasukkan kembali ke dalam warangka di punggung.

Pada saat itu, Dewi Cambuk Maut sudah limbung. Dan sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah tak bernyawa lagi. Darah seketika menyembur dari dada yang tertembus pedang.

********************

TUJUH

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang.

Sementara itu, Pandan Wangi sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak mereka memandangi mayat Dewi Cambuk Maut yang tergeletak di depannya. Darah semakin banyak menggenang dari luka tusukan pedang di dadanya. Kemudian, kedua pendekar muda ini saling berpandangan.

Sedangkan di dalam gelanggang, masih terdengar suara-suara pertarungan. Itu berarti pertarungan di dalam gelanggang masih terus berlangsung sengit. Tapi, Rangga yakin kalau para prajurit Karang Setra mampu menumpas gerombolan Raden Gordapala. Karena, mereka dibantu Danupaksi, Cempaka, dan tiga orang pendekar muda putra Elang Maut

“Ayo, Pandan. Kita kejar Raden Gordapala,” ajak Rangga.

“Ke mana...?” tanya Pandan Wangi.

Rangga yang baru saja melangkah dua tindak, langsung berhenti mendengar pertanyaan si Kipas Maut itu. Tubuhnya berbalik memutar dan langsung menatap Pandan Wangi yang masih berdiri memandanginya.

“Maaf, Kakang. Tidak seharusnya aku bertanya seperti itu,” ucap Pandan Wangi baru menyadari.

“Tidak. Kau benar, Pandan. Saat ini Raden Gordapala mungkin sudah jauh. Dan lagi kita memang tidak tahu, ke mana harus mengejarnya,” kata Rangga juga baru menyadari.

Pertanyaan Pandan Wangi tadi seakan-akan membangunkan mimpi buruknya. Sungguh Rangga tidak sadar kalau hatinya sudah dikuasai nafsu amarah dan duniawi. Kini baru disadari, tidak sepatutnya seorang pendekar bertindak seperti ini, walau dalam keadaan marah sekalipun. Dia harus dapat mengendalikan diri agar tidak terpancing amarahnya.

Pada saat itu muncul Danupaksi dan seorang laki-laki setengah baya berpakaian panglima perang Kerajaan Karang Setra. Mereka langsung menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang sudah berpaling memandanginya. Laki-laki separuh baya yang mengenakan pakaian panglima perang itu, segera membungkukkan tubuh memberi penghormatan pada Rangga. Sedangkan Rangga sendiri hanya membalas dengan membungkukkan tubuhnya sedikit saja.

“Rupanya kau yang memimpin prajurit, Panglima Rakatala,” ujar Rangga lebih dahulu membuka suara.

“Benar, Gusti Prabu. Ampunkan hamba yang telah bertindak di luar perintah,” sahut Panglima Rakatala.

“Kau bertindak cepat dan tepat pada waktunya, Panglima Rakatala,” kata Rangga, sama sekali tidak marah ataupun tersinggung atas tindakan yang dilakukan panglima perangnya ini. “Aku justru berterima kasih padamu.”

“Hamba, Gusti Prabu.”

Panglima Rakatala membungkukkan tubuh menerima pujian dan ucapan terima kasih dari Pendekar Rajawali Sakti yang juga rajanya di Kerajaan Karang Setra.

“Tapi, bagaimana kau bisa tahu kalau kami semua ada di sini, Panglima,” tanya Rangga.

“Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Secara diam-diam hamba memang mengikuti, dan menyebar telik sandi untuk terus mengawasi ke mana saja Gusti Prabu dan rombongan pergi. Hal ini hamba lakukan atas perintah langsung dari Gusti Danupaksi,” sahut Panglima Rakatala.

Rangga langsung menatap Danupaksi yang berdiri di samping Panglima Rakatala. Danupaksi cepat-cepat membungkukkan tubuh seraya merapatkan kedua tangan di depan hidung.

“Kenapa kau lakukan itu, Danupaksi?” tanya Rangga meminta penjelasan.

“Maaf, Kakang Prabu. Hamba hanya merasa kalau lawan yang dihadapi sangat licik dan berbahaya. Itu sebabnya, kenapa hamba memerintahkan para telik sandi untuk tetap mengawasi. Dan juga memerintahkan Paman Panglima Rakatala mengikuti dari jarak yang cukup jauh. Hamba hanya berjaga-jaga dari segala kemungkinan, Kakang Prabu,” sahut Danupaksi menjelaskan dengan sikap seperti layaknya seorang adik raja.

“Aku tidak menyalahkan tindakanmu, Danupaksi. Tapi apakah sudah kau pikirkan keamanan di kotaraja sendiri? Bukankah dengan begitu jumlah prajurit yang ada jadi berkurang,” kata Rangga lagi.

“Hamba sudah pikirkan semua itu, Kakang Prabu. Dan jika terjadi sesuatu, maka seorang telik sandi akan datang memberi tahu. Atau, mereka akan memberi tanda dengan asap merah ke udara,” sahut Danupaksi menjelaskan lagi. “Terlebih lagi jika Raden Gordapala dan orang-orangnya datang ke kotaraja, Kanda Prabu. Kita semua pasti bisa cepat mengetahui. Bahkan sebelum mereka sampai di gerbang kota.”

Rangga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti begitu kagum dan bangga akan sikap dan tindakan adik tirinya ini. Sungguh suatu sikap dan tindakan yang patut mendapat pujian serta penghargaan, sebagai seorang abdi yang begitu setia dan berpikiran luas. Danupaksi mampu mengambil tindakan yang tepat, tanpa harus mempertaruhkan banyak korban sia-sia.

“Panglima Rakatala....”

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Panglima Rakatala cepat memberi hormat.

“Selesaikan urusan di sini segera, lalu secepatnya bawa pulang prajurit ke kotaraja. Aku tidak ingin mereka yang di sana kehilangan pemimpin sepertimu,” perintah Rangga.

“Segera hamba laksanakan, Gusti Prabu,” sahut Panglima Rakatala.

Setelah memberi penghormatan, Panglima Rakatala bergegas masuk kembali ke dalam gelanggang pertarungan. Masih terdengar teriakan-teriakan pertempuran, dan jeritan-jeritan melengking tinggi mengiringi kematian yang diwarnai denting senjata beradu. Setelah Panglima Rakatala tidak terlihat lagi, Rangga menghampiri Danupaksi. Langsung ditepuk-tepuknya pundak adik tirinya ini dengan lembut dan senyum terulas di bibir.

********************

Rangga memacu kudanya perlahan-lahan sambil mengarahkan pandangan ke depan. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di samping Pendekar Rajawali Sakti, seringkali mencuri pandang ke wajah tampan di sampingnya. Tapi bukan ketampanan wajah Rangga yang diperhatikan, melainkan raut wajah yang tampak muram itu yang menjadi perhatiannya.

Memang, sejak meninggalkan Puncak Gunung Tangkup, Rangga lebih banyak diam dan muram. Wajahnya benar-benar terselimut mendung yang begitu tebal. Pandan Wangi tahu, kemuraman Pendekar Rajawali Sakti karena telah gagal memburu Raden Gordapala. Mereka hanya berhasil menumpas para pengikutnya, ditambah satu orang pembantu utama Jago dari Alam Kubur itu. Memang tinggal mereka berdua saja yang terakhir meninggalkan Puncak Gunung Tangkup.

Sedangkan Danupaksi, Cempaka dan ketiga pendekar muda putra Elang Maut, bergabung dengan para prajurit yang dipimpin Panglima Rakatala kembali ke Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Dan mereka semua nanti akan berkumpul di Balai Sema Agung Istana Karang Setra. Tapi, tampaknya Rangga sama sekali tidak bergairah untuk kembali ke istana, sebelum berhasil me-numpas Raden Gordapala yang menjadi ancaman berbahaya bagi keutuhan Kerajaan Karang Setra.

“Pandan! Apa kau bisa perkirakan, di mana Raden Gordapala berada sekarang ini?” tanya Rangga perlahan seraya berpaling menatap gadis cantik yang berkuda di sebelahnya.

“Sulit, Kakang,” sahut Pandan Wangi. “Tapi aku yakin, sekarang ini Raden Gordapala pasti sedang merencanakan untuk menyerang Karang Setra. Dan mungkin tidak jauh dari kotaraja.”

“Seluruh pengikutnya sudah habis. Jadi, hanya tinggal tiga orang lagi yang mendampinginya. Rasanya tidak mungkin dia bisa menyerang Karang Setra, Pandan,” kata Rangga, membantah perkiraan Pandan Wangi.

“Kemungkinan juga, dia melakukannya sedikit-sedikit, Kakang.”

“Itu yang menjadi beban pikiranku saat ini. Kalau dia bertindak seperti tikus, sangat sulit bagi kita untuk bisa mendapatkannya. Sedangkan dia begitu tangguh, dan sukar dibinasakan. Kecuali, bila kita bisa mendapatkan rahasia kelemahannya,” kata Rangga lagi.

“Yang pasti, kematiannya ada pada kedelapan pisau emas itu, Kakang,” kata Pandan Wangi.

“Memang benar. Tapi, tidak mudah untuk memusnahkannya, Pandan. Sudah dua orang ahli pembuat emas yang kuminta melebur pisau itu, tapi mereka semua tewas saat mengerjakannya. Pisau itu seperti bernyawa,” sahut Rangga, masih tetap pelan suaranya.

“Kenapa kita tidak tanyakan saja pada Banara dan adik-adiknya, Kakang?” usul Pandan Wangi.

“Percuma saja, Pandan. Mereka juga tidak tahu kelemahan Raden Gordapala. Aku sudah tanyakan hal itu pada Banara, dan dia sendiri belum mengetahui rahasianya,” sahut Rangga.

“Hm… Kalau begitu, harus mencari orang yang mengetahui tentang Jago dari Alam Kubur itu, Kakang,” gumam Pandan Wangi.

Rangga menggeleng-gelengkan kepala mendengar gumaman Pandan Wangi yang begitu perlahan seperti bisikan.

“Kau tahu, Pandan? Lebih dari seratus tahun lalu, Raden Gordapala sudah ada. Dan hingga sekarang, dia masih bisa muncul dalam bentuk tubuh yang tegap dan muda. Rasanya tidak ada lagi orang yang mengetahui rahasianya. Kalaupun ada, pasti sudah lama meninggal,” bantah Rangga.

Pandan Wangi jadi terdiam. Memang tidak mudah memecahkan rahasia kelemahan Raden Gordapala. Kedua pendekar muda itu jadi terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi, tiba-tiba saja Rangga menghentikan laju kudanya. Sedangkan Pandan Wangi segera mengikuti, menarik tali kekang kudanya hingga berhenti.

“Kau pergi dulu ke istana, Pandan. Ada sesuatu yang akan kukerjakan sendirian,” kata Rangga.

“Apa yang akan kau lakukan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Aku ada jalan yang baik untuk memecahkan rahasia Raden Gordapala, Pandan. Tapi sayang, aku tidak bisa mengajakmu,” jelas Rangga lagi.

“Kenapa...?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya, Pandan. Dan sebaiknya tidak perlu bertanya alasannya. Maaf...,” tegas Rangga.

Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu, bila Rangga sudah berkata seperti itu, tidak mungkin bisa didesak lagi. Setelah memandangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat, Pandan Wangi kemudian memacu cepat kudanya menuju Kotaraja Karang Setra. Sedangkan Rangga masih tetap berada di punggung kuda, kemudian baru melompat turun setelah kuda yang ditunggangi Pandan Wangi tidak terlihat lagi.

“Kau juga kembali ke istana, Dewa Bayu,” kata Rangga sambil menepuk punggung kuda hitam itu.

Tanpa diminta dua kali, kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu langsung berlari kencang menuju arah yang sama dengan Pandan Wangi. Sebentar Rangga memandangi, kemudian mendongakkan kepala ke atas.

“Hanya Eyang Guru Pendekar Rajawali yang bisa mengetahui kelemahan Raden Gordapala. Hm.... Aku harus bertanya padanya,” gumam Rangga perlahan.

Sebentar Rangga menarik napas dalam-dalam. Lalu....

“Suiiit..!”

Siulan panjang melengking bernada aneh terdengar menggema ke segala penjuru mata angin. Rangga masih berdiri tegak dengan kepala mendongak memandang langit. Beberapa saat dia menunggu, kemudian bibirnya tersenyum begitu melihat satu titik melayang di angkasa. Dan perlahan-lahan, titik itu semakin membesar. Lalu, terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan tengah melayang cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Khraaagkh...!”

“Cepat ke sini, Rajawali...!” seru Rangga seraya melambaikan tangan.

“Khraaagkh!”

Manis sekali burung rajawali raksasa itu mendarat tidak jauh dari Rangga. Dan pemuda berbaju rompi putih itu bergegas menghampiri, lalu melompat naik ke punggung Rajawali Putih.

“Antarkan aku ke Lembah Bangkai, Rajawali. Ada yang ingin kutanyakan pada Eyang Guru,” pinta Rangga.

“Khraaagkh...!”

“Iya, nanti akan kukatakan juga padamu di perjalanan. “

“Khragkh!”

Sekali kepak saja, Rajawali Putih cepat membumbung tinggi ke angkasa. Lalu, burung raksasa itu melesat cepat bagai kilat membawa Rangga yang berada di punggungnya. Memang sungguh luar biasa kecepatan terbang burung raksasa itu. Sehingga, tidak mudah diikuti pandangan mata biasa. Dalam waktu sekejapan mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah tidak terlihat lagi, menghilang di balik awan.

********************

Rangga duduk bersila di depan seorang laki-laki yang sebenarnya telah berusia lanjut namun wajahnya masih muda dan tampan, semuda dan setampan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki berjubah putih itu berdiri mengambang di atas lubang makam bercungkup. Di belakang Pendekar Rajawali Sakti, terlihat seekor burung rajawali raksasa mendekam dengan kepala sedikit tertunduk. Laki-laki itulah yang dianggap Rangga sebagai gurunya. Dialah Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun lalu.

Di depan gurunya ini, Rangga menceritakan semua yang telah terjadi di Kerajaan Karang Setra. Juga ditunjukkannya kedelapan pisau emas, di mana yang tujuh bilah diambil dari dalam tubuh Raden Gordapala. Tak ada yang dikurangi atau dilebihkan. Rangga menceritakan seluruh kejadian dari awal hingga akhir secara lengkap. Sampai Rangga selesai bercerita, Pendekar Rajawali masih tetap diam memandangi muridnya.

“Jadi kau tidak bisa melenyapkannya, Anakku?” tanya Pendekar Rajawali setelah cukup lama berdiam diri.

“Benar, Eyang,” sahut Rangga seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Pendekar Rajawali mengangguk-anggukkan kepala.

“Aku tahu, memang sulit melenyapkan Raden Gordapala. Dia memang sudah hidup ratusan tahun yang lalu di dunia ini. Bahkan sebelum aku lahir lebih dari seratus tahun lalu pun, sudah ada. Hhh...! Sayang sekali! Selama aku hidup dulu, belum pernah sekali pun bertemu dengannya. Hingga akhirnya, aku menyendiri di sini dan meninggal,” jelas Pendekar Rajawali.

“Jadi, Eyang sendiri juga tidak tahu rahasianya?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali tersenyum, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dulu, aku pernah berhadapan dengan orang seperti itu. Tapi bukan Raden Gordapala. Dia juga menggunakan sebuah benda untuk kehidupan dan kesempurnaan ilmunya. Rasanya, pengalamanku tidak jauh berbeda denganmu. Beruntunglah kau bisa mengambil benda kehidupan dan kesempurnaan ilmunya, Anakku. Itu sudah suatu langkah yang baik untuk melenyapkan selama-lamanya. Dan berarti, tidak sulit lagi bagimu untuk membunuhnya, Anakku. Karena, dia tidak lagi memiliki kekuatan yang bisa diandalkan untuk hidup kembali. Semua kekuatannya kini telah kau miliki,” jelas Pendekar Rajawali lagi.

“Oh.... Jadi, sebenarnya rahasia kekuatannya tertumpu pada kedelapan pisau emas ini?”

“Benar. Tanpa benda-benda itu, dia tidak memiliki kekuatan sama sekali. “

“Lalu, bagaimana dengan kuda ajaibnya? Kuda tunggangannya itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya, Eyang,” kata Rangga lagi.

“Kuda itu akan musnah jika Raden Gordapala sendiri sudah mati. Memang, kuda itu adalah satu bagian dari dirinya. Bahkan kuda itu juga salah satu kekuatannya. Tapi kau tidak perlu memikirkannya. Binatang siluman itu akan musnah dengan sendirinya kalau kau bisa membunuh penunggangnya. Tapi jangan khawatir, Anakku. Rajawali Putih tahu apa yang harus dilakukan, untuk memudahkan kau menghadapinya nanti. Biarkan Rajawali Putih yang akan membereskannya. “

“Baik, Eyang. Terima kasih,” ucap Rangga.

“Tapi ingat kau tidak akan bisa membunuh Raden Gordapala dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti,” kata Pendekar Rajawali.

“Kenapa...?”

“Kau pernah menggunakan padanya, bukan...?”

Rangga mengangguk.

“Jika saat itu kau langsung menghunjamkan sepotong besi biasa saja ke dadanya, dia pasti tidak akan bisa bangkit lagi. Itulah pengalaman yang pernah kudapat. Dan bangkitnya Jago dari Alam Kubur itu, mungkin karena kekuatan yang ada pada pedang pusakamu terserap ke dalam tubuhnya. Biasanya, siluman macam itu memang bisa menyerap kekuatan benda-benda pusaka. Itu sebabnya, kenapa dia tidak pernah mau berhadapan dengan orang biasa yang menggunakan senjata dari bahan biasa. Tidak heran bila dia lebih senang berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, yang memiliki senjata pusaka berkekuatan tinggi pula. Karena, semakin banyak tubuhnya menerima hunjaman senjata pusaka berkekuatan tinggi, semakin besar pula kekuatan senjata itu terserap ke dalam tubuhnya,” lagi-lagi Pendekar Rajawali menjelaskan.

“Jadi, aku harus menghadapinya dengan pedang biasa, Eyang?”

“Benar. Karena ibarat api dengan air, salah satu akan terkalahkan. Jika api dilawan oleh api, akan bertambah besar. Begitu pula jika air dilawan air, yang akan menimbulkan malapetaka. Maka, api itu harus dihadapi dengar air untuk memadamkannya. Kau mengerti maksudku, Rangga?”

“Mengerti, Eyang.”

“Bagus.”

“Wejangan ini akan berharga sekali, Eyang. Aku akan menggunakannya nanti.”

“Aku rasa sudah cukup, Rangga. Pergilah secepatnya, sebelum dia benar-benar menghancurkan kerajaanmu. “

“Pamit, Eyang.”

Rangga merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Pada saat itu, asap putih tipis mengepul menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Rajawali. Dan perlahan-lahan, tubuh laki-laki berjubah putih itu menghilang. Sementara gumpalan asap putih itu merembes masuk ke dalam lubang kuburan yang menganga lebar. Lalu perlahan-lahan, lubang kuburan itu bergerak merapat.

Rangga kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, setelah kuburan gurunya kembali seperti semula. Kemudian, dia bergegas berdiri. Lalu diambilnya pisau-pisau emas yang tergeletak di tanah.

“Tinggalkan benda-benda itu di sini, Rangga...!” terdengar suara lembut menggema.

“Baik, Eyang,” sahut Rangga langsung mengetahui kalau itu suara gurunya.

Rangga kemudian meletakkan pisau-pisau emas berjumlah delapan itu di sisi makam gurunya. Kemudian, cepat dihampirinya Rajawali Putih yang sudah berdiri menunggu. Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.

“Langsung ke Karang Setra, Rajawali,” ujar Rangga seraya menepuk leher Rajawali Putih.

“Khraaagkh...!”

Wusss...!

********************

DELAPAN

Rangga melompat turun begitu Rajawali Putih mendarat tidak jauh dari perbatasan sebelah Utara Kotaraja Karang Setra. Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak berbicara dengan burung rajawali raksasa itu, tiba-tiba saja jadi tersentak ketika mendengar suara-suara ribut dari sebuah pertarungan. Dan suara itu ternyata datangnya dari gerbang perbatasan Utara kotaraja.

“Edan...! Mereka benar-benar sudah bertindak...!” desis Rangga tidak menyangka.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat. Dia berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Pada saat yang sama, Rajawali Putih juga melesat tinggi ke angkasa. Tapi burung rajawali raksasa itu tidak kembali ke Lembah Bangkai, melainkan meluncur ke arah perbatasan kotaraja. Diikutinya Rangga yang terus berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.

Begitu cepatnya Rangga berlari, sehingga dalam waktu singkat saja sudah sampai di perbatasan Utara Kotaraja Karang Setra. Dan apa yang didengar Rangga, memang benar. Para prajurit Karang Setra tengah bertempur melawan empat orang tokoh persilatan yang selama ini menjadi beban pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

Tepat saat Rangga muncul, dari arah kotaraja juga datang Danupaksi, Cempaka, Pandan Wangi, dan tiga orang putra Elang Maut yang disertai para panglima perang Kerajaan Karang Setra. Mereka semua langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Bahkan Danupaksi justru malah memerintahkan para prajurit menyingkir dari kancah pertarungan.

“Ha ha ha...! Ternyata kalian semua berkumpul di sini. Bagus...! Aku bisa menghancurkan kalian tanpa susah-susah!” Raden Gordapala tertawa terbahak-bahak.

“Aku yang akan menghancurkanmu, Raden Gordapala!” sambut Rangga lantang.

“Pendekar Rajawali Sakti...,” desis Raden Gordapala begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah ada di tempat ini juga.

Cepat-cepat tokoh siluman itu melompat turun dari punggung kudanya. Sementara itu, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi serta ketiga putra Elang Maut sudah menghadang Iblis Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar. Tempat pertarungan kini sudah terkurung rapat oleh para prajurit dan Panglima Kerajaan Karang Setra.

“Mampus kau, Keparat! Hiyaaat...!”

Cepat sekali Raden Gordapala melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi sudah siap menghadapinya. Dan begitu Raden Gordapala menyerang, cepat sekali pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu, dengan cepat kedua tangannya ditarik kembali. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Rangga mengerahkan jurus itu pada tingkat yang terakhir, sehingga kedua kepalan tangannya berwarna merah membara seperti besi terbakar dalam tungku. Raden Gordapala terkejut melihat jurus dahsyat Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi serangannya sudah tidak bisa ditarik lagi. Sehingga....

Plak!

Glarrr...!

Satu ledakan menggelegar terdengar dahsyat membelah angkasa begitu pukulan yang dilepaskan Raden Gordapala beradu dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak si Jago dari Alam Kubur itu terpental deras ke belakang sambil menjerit melengking tinggi. Sedangkan Rangga sendiri hanya terdorong dua langkah saja ke belakang.

“Hiyaaa...!”

Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat menerjang Raden Gordapala yang tengah terhuyung-huyung menguasai keseimbangan tubuhnya. Maka serangan Rangga yang begitu cepat, tidak dapat dielakkan lagi.

Desss!

“Aaakh...!

Satu pukulan yang dilepaskan Rangga dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' berhasil mendarat telak di dada Jago dari Alam Kubur itu. Begitu kerasnya pukulan itu, sehingga membuat Raden Gordapala terpental jauh ke belakang. Lalu, keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.

“Hup!”

Raden Gordapala cepat bangkit berdiri, dan membuat beberapa gerakan. Dia menggereng kuat dan dahsyat sekali. Kedua bola matanya memerah, bagai sepasang bola api membara, menyimpan kemarahan yang amat sangat Sementara Rangga sudah mulai bersiap kembali menggunakan jurus lain. Pendekar Rajawali Sakti melirik ke kanan dan ke kiri. Seketika terngiang lagi kata-kata wejangan gurunya.

“Hm...,” sebentar Rangga menggumam. Lalu....

“Hup!”

Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti melompat dan menyambar sebilah pedang yang tergenggam di tangan seorang prajurit. Tahu-tahu, Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar enam langkah di depan Raden Gordapala. Pedang dari bahan biasa yang tergenggam di tangan Rangga, membuat Jago dari Alam Kubur itu menggereng geram.

“Ghrrr...! Yeaaah...!”

“Hup! Hiyaaa...!”

Pertarungan yang terjadi antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Jago dari Alam Kubur berlangsung begitu sengit dan dahsyat. Jurus demi jurus berlalu cepat. Pertarungan yang begitu dahsyat dan indah, membuat semua orang yang ada di sekitar pertarungan jadi ternganga takjub menyaksikannya.

Bahkan Danupaksi, Cempaka, Pandan Wangi, dan tiga putra Elang Maut yang sudah berhadapan dengan Iblis Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar, jadi terkesan dengan pertarungan itu. Mereka seperti lupa, dan berhenti bertarung. Kini, mereka telah menyaksikan pertarungan dua tokoh tingkat tinggi itu tanpa berkedip.

Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit. Serangan Rangga tidak berubah, terus menggunakan rangkaian lima jurus rajawali yang digabung-gabungkan antara satu dengan lain. Sehingga, jurus itu menjadi puluhan jurus yang dahsyat dan sukar ditandingi. Dan ini membuat Raden Gordapala semakin bertambah kelabakan saja.

Beberapa kali Raden Gordapala harus menerima pukulan maupun tendangan Rangga yang selalu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Jago dari Alam Kubur itu memang benar-benar tangguh. Semua pukulan dan tendangan yang bersarang di tubuhnya tidak menjadikannya gentar. Hanya saja, dia selalu menghindari pedang yang berada di dalam genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hal ini membuat Rangga merasa kesulitan untuk membabatkan pedangnya ke tubuh pemuda yang berjuluk Jago dari Alam Kubur itu.

“Akan kugunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'...,” dengus Rangga dalam hati. “Hiyaaat...!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya. Dan kini, seluruh kekuatannya dipusatkan pada pedang yang diambil dari salah seorang prajurit Karang Setra. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat dan luar biasa. Pedangnya berkelebat bagai kilat, mengurung setiap jengkal ruang gerak Raden Gordapala.

“Awas kepala...!” seru Rangga tiba-tiba, begitu keras.

Wuk!

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengecutkan pedang ke arah kepala Raden Gordapala. Sesaat Jago dari Alam Kubur itu terperangah, lalu cepat-cepat merundukkan kepalanya. Sehingga, tebasan pedang Rangga lewat sedikit di atas kepala Jago dari Alam Kubur itu.

Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga memutar tubuhnya sambil melayangkan satu tendangan berputar yang begitu cepat dan luar biasa. Dan ini tidak bisa lagi dihindari Raden Gordapala. Sama sekali tidak disangka kalau Rangga bisa melakukan dua serangan beruntun begitu cepat, di saat serangan pertamanya belum lagi berakhir.

Desss!

“Akh...!” Raden Gordapala menjerit keras.

Tendangan Rangga tepat mendarat di dada Jago dari Alam Kubur itu. Seketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu. Pada saat itu juga, Rangga sudah melompat cepat sambil mengecutkan pedang yang diambil dari seorang prajurit Karang Setra.

“Hiyaaat..!”
Bet!
“Uts!”

Raden Gordapala berusaha menghindar dengan menarik-tubuhnya ke kanan. Namun sungguh di luar perhitungan, ujung pedang itu bergetar hebat dan meliuk begitu cepat ke arah gerakan tubuh Jago dari Alam Kubur itu. Hingga akhirnya....

Crab!

“Akh...!” Raden Gordapala menjerit tertahan.

Pedang itu berhasil merobek bahu kanan Raden Gordapala. Darah seketika mengucur deras dari bahu yang sobek cukup lebar. Kembali Raden Gordapala terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap bahunya yang berlumuran darah.

“Saatmu sudah tiba, Raden Gordapala...!” desis Rangga agak menggeram.

“Huh!” Raden Gordapala mendengus berat

“Terimalah kematianmu! Hiyaaat..!”

Rangga langsung melompat dengan ujung pedang tertuju lurus ke depan. Maka Raden Gordapala cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara. Sehingga, hunjaman pedang Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu pula, terdengar ringkikan seekor kuda yang begitu keras menyakitkan telinga.

Tiba-tiba saja, seekor kuda hitam melompat cepat menerjang Rangga yang tengah meluncur deras di atas tanah. Begitu cepatnya serangan binatang itu, sehingga Rangga tidak bisa lagi menghindar.

Plakkk!

“Akh...!” Rangga terpekik agak tertahan.

Depakan kaki kuda hitam itu membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti terguling beberapa kali di tanah. Dan begitu Rangga melompat bangkit, kuda hitam itu menyemburkan api dari mulutnya. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan bergelimpangan beberapa kali. Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri sambil menyilangkan pedang di depan dada.

“Khraaagkh...!”

Semua orang yang ada di perbatasan Utara Kotaraja Kerajaan Karang Setra jadi terperangah begitu tiba-tiba saja terdengar suara keras meng-gelegar dari angkasa. Dan sebelum mereka bisa terbebas dari rasa terkejutnya, mendadak saja dari angkasa meluncur seekor burung rajawali raksasa.

“Khraaagkh...!”

Rajawali Putih yang memang sejak tadi memperhatikan pertarungan dari angkasa, langsung saja meluruk menyerang begitu melihat Rangga mendapat serangan dari kuda aneh yang bisa menyemburkan api dari mulut itu. Begitu cepat serangan yang dilakukan Rajawali Putih, sehingga kuda hitam bernama Jaran Geni itu tidak dapat lagi menyadari. Dan tahu-tahu, Rajawali Putih sudah mendaratkan paruhnya di punggung kuda hitam itu.

Keras sekali Rajawali Putih menghajar punggung, sehingga Jaran Geni meringkik keras dengan semburan api dari mulutnya. Seketika darah mengucur dari punggung Jaran Geni yang berlubang. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Rajawali Putih sudah menyambar leher kuda itu dengan cakar-cakarnya yang kuat dan besar. Burung raksasa itu langsung melesat ke angkasa, sedangkan Jaran Geni mencoba bertahan. Tapi justru kepalanya malah tidak bisa dipertahankan lagi. Maka seketika itu juga kepalanya buntung. Kuda hitam itu menggelepar di tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah berhamburan ke segala arah. Sementara dari atas, kepala kuda hitam itu melayang turun, dan jatuh bergelimpangan tidak jauh di depan kaki Raden Gordapala.

“Setan keparat..!” geram Raden Gordapala. Matanya langsung terbeliak lebar melihat kuda kesayangan dan belahan jiwanya tewas oleh seekor burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul dari angkasa.

Raden Gordapala seketika menggeletar tubuhnya. Memang, seketika itu juga sebagian dari jiwa kehidupannya terasa telah lenyap, bersamaan dengan tewasnya Jaran Geni. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin lagi bisa hidup jika sampai terbunuh kali ini. Terlebih lagi, tampaknya Rangga memang sudah mengetahui kelemahan kehidupannya. Dan itu bisa diketahuinya dari cara Rangga yang menggunakan pedang biasa, bukan pedang pusaka miliknya sendiri. Memang, justru senjata yang tidak memiliki kekuatan, dan terbuat dari bahan biasa yang menjadi pangkal kematiannya.

“Setan...! Aku harus pergi dari sini...,” dengus Raden Gordapala langsung menyadari keadaan dirinya yang terdesak.

Mendapat pikiran demikian, cepat sekali Jago dari Alam Kubur itu melompat hendak kabur. Tapi Rangga yang memang sudah sejak tadi terus memperhatikan, tidak akan melepaskan begitu saja. Dengan cepat sekali dilemparkannya pedang yang berada dalam genggamannya, disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

“Hiyaaa...!”
Wusss...!
Jleb!
“Aaa...!”

Raden Gordapala langsung terpental. Tubuhnya kontan terguling begitu pedang yang dilemparkan Rangga menembus punggung, hingga ujungnya menyembul keluar dadanya. Hanya sebentar saja Jago dari Alam Kubur itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Rupanya rahasia yang diberikan Pendekar Rajawali kepada Pendekar Rajawali Sakti tepat sekali. Dan itu memang dari pengalaman Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu, dalam menghadapi makhluk jenis ini.

Melihat junjungannya tewas, Iblis Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar, langsung mengambil langkah seribu.

“Jangan dikejar...!” seru Rangga melihat adik-adik tirinya dan Pandan Wangi hendak mengejar.

Tapi para prajurit Karang Setra yang sudah begitu marah atas tindakan tokoh-tokoh sesat itu, langsung saja melemparkan tombak dan melepaskan anak-anak panah ke arah mereka. Hunjaman tombak dan anak panah yang meluncur cepat bagai hujan, membuat keinginan tokoh-tokoh sesat itu untuk kabur jadi terhambat. Dan mereka jadi kerepotan menghalau senjata-senjata yang menghujaninya.

“Mereka harus dibasmi, Kakang!” seru Pandan Wangi. “Hiyaaat...!”

Cepat sekali Pandan Wangi melompat sambil mengecutkan kipas mautnya ke arah Untari yang sedang sibuk menghalau anak panah yang menghujani tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, ketiga putra Elang Maut, Danupaksi, dan Cempaka juga sudah berlompatan menyerang orang-orang kepercayaan Raden Gordapala itu. Sedangkan Rangga sudah tidak bisa lagi mencegah.

“Mampus kau! Hiyaaa...!”

Wukkk!

Cepat sekali kebutan kipas Pandan Wangi, sehingga Untari tidak sempat lagi berkelit menghindar. Gadis itu menjerit keras melengking tinggi begitu dadanya robek tersabet kipas baja putih yang terkenal membawa hawa maut itu. Pada saat yang bersamaan, Cempaka juga berhasil menyarangkan pedangnya ke tubuh Legini, dibarengi tebasan pedang Sarala ke leher gadis itu.

Sedangkan Danupaksi masih kerepotan menghadapi Iblis Tongkat Merah. Tapi begitu Banara dan Liliani ikut membantu, Iblis Tongkat Merah tidak bisa lagi berbuat banyak. Terlebih lagi, Cempaka dan Sarala segera berlompatan ikut menyerangnya. Tentu saja hal ini membuat Iblis Tongkat Merah benar-benar kewalahan dikeroyok pendekar-pendekar muda yang rata-rata berkepandaian tinggi. Hingga akhirnya....

“Mampus kau! Yeaaah...!”

Crab...!

Bres...!

Iblis Tongkat Merah tak mampu lagi bersuara, begitu pedang para pendekar muda itu menghunjam tubuhnya. Dan tokoh sesat itu langsung ambruk tak bernyawa lagi dengan tubuh berlumuran darah tertembus beberapa pedang dari para pendekar muda ini.

Rangga yang menyaksikan itu semua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Pendekar Rajawali Sakti tahu, mereka semua memang masih muda. Jelas, mereka tidak bisa mengendalikan nafsu amarah yang meluap, melihat kekejaman Raden Gordapala dan orang-orangnya.

Terlebih lagi, mereka memang begitu mendendam atas peristiwa yang dialami akibat jebakan Raden Gordapala di perut Gunung Tangkup. Itulah rupanya yang membuat mereka tidak bisa lagi mengendalikan amarah dan dendam. Para pendekar muda itu meng-hampiri Rangga yang sudah didampingi Pandan Wangi.

“Jangan bicara apa-apa, nanti saja di istana,” kata Rangga langsung, sebelum ada yang membuka suara.

Mereka semua jadi terdiam. Tapi, Cempaka mendekati Pendekar Rajawali Sakti dan melingkarkan tangannya. Langsung dipeluknya lengan pemuda berbaju rompi putih ini.

“Maaf. Kakang...,” ucap Cempaka pelan sekali.

“Sudahlah.... Ayo, kembali saja ke istana,” ujar Rangga

“Oh, ya. Apakah pisau-pisau emas itu benar-benar sudah dilebur?” tanya Cempaka, karena takut kalau Raden Gordapala hidup lagi. Memang, gadis ini paling ceriwis di antara yang lain, terutama persoalan Raden Gordapala.

“Belum,” sahut Rangga enteng.

“Belum? Lalu...?” Cempaka tampak begitu khawatir.

“Batangan emas yang kulempar waktu itu memang bukan dari leburan pisau-pisau emas milik Raden Gordapala. Tapi, ah! Sudahlah. Yang penting, Raden Gordapala tak akan bangkit lagi. Percayalah!”

“Kau yakin!”

“Yakin sekali.”

Kemudian, mereka berjalan beriringan menuju Istana Karang Setra yang megah dan indah itu.

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.