Pendekar Sakti Jilid 37 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 37

PARA pejuang yang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka juga turut mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh sudah roboh malang melintang dan bertumpang tindih. Sebagian lagi segera melarikan diri dengan muka pucat, tidak tahan menghadapi para pendekar itu.

Akibat terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka bahkan menunda keperluan lainnya dan semenjak saat itu, Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka segera menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan kaisar.

Berkat perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan penjajah. Kaisar Si Cung, yakni pengganti Kaisar Sin Cong, juga mengerahkan barisan dan dengan bantuan suku bangsa Uighur, akhimya dapat merebut kembali kota raja dan mengusir penjajah.

Beberapa tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan kelompok kecil yang cerai berai dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini.

****

Sesudah melakukan tugas membantu perjuangan rakyat beberapa tahun lamanya, para orang gagah yang tidak gugur dalam peperangan kembali lagi ke tempat masing-masing, termasuk Pak-lo-sian yang mengajak Swi Kiat kembali ke utara.

Kun Beng yang mendapat pukulan batin hebat karena peristiwa dengan Gouw Kui Lan, melenyapkan diri, agaknya untuk menebus dosa.

Sui Ceng lalu menyusul gurunya, Kiu-bwe Coa-li untuk memperdalam ilmu silatnya serta mempelajari kebatinan. Hatinya masih terluka dan dia masih menderita patah hati serta duka, mengandung cinta kasih yang tidak tercapai.

Bagaimana dengan Kwan Cu, pendekar sakti itu? Pemuda ini menderita batinnya. Cinta kasihnya terhadap Sui Ceng mengalami kegagalan, membuat dia makin merasa jemu terhadap kehidupan. Meski pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dia seperti seorang yang jauh lebih tua.

Namun, semangat membalas dendam masih terkandung dalam hatinya, terhadap An Kai Seng, musuh besar yang tinggal satu-satunya itu. Oleh karena itu, setelah peperangan selesai dan pemerintah Tang berdiri kembali, Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan untuk mencari musuh besarnya ini. Akhirnya dia mendapat berita bahwa An Kai Seng tinggal di kota An-keng di Propinsi An-hui. Segera dia menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya ini.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang dan merupakan kota yang besar dan ramai. An Kai Seng tinggal di kota besar ini bersama isterinya dan tetap menggunakan nama Tan Kai seng. Tak seorang pun pernah mengira bahwa Tan Kai Seng ini adalah cucu dari An Lu Shan, si pemberontak yang sudah mendatangkan banyak sekali mala petaka kepada rakyat jelata.

Setelah mengetahui bahwa musuh besarnya, yakni Lu Kwan Cu yang amat lihai, begitu menghendaki nyawanya, An Kai Seng beserta isterinya telah memperdalam ilmu silatnya sehingga kepandaiannya jauh lebih maju kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia bertemu dengan Kwan Cu. Isterinya bahkan kembali belajar dari gurunya, yakni Lui Kong Nikouw, sedangkan An Kai Seng belajar dari beberapa orang guru silat yang pandai.

Tidak demikian saja, bahkan An Kai Seng yang kaya raya itu kini mendatangkan banyak jago-jago silat untuk menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Juga Lui Kong Nikouw kini ditarik olehnya dan tinggal di kota An-keng.

Di samping Lui Kong Nikouw, masih ada tiga orang lagi yang dia amat andalkan, yakni tiga jago yang disebut Sin-to Sam-eng (Tiga Orang Gagah Bergolok Sakti). Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-si yang diusir dari partai itu karena melanggar peraturan. Dengan pandainya mereka dapat menyelundup ke Go-bi-san dan menjadi murid partai Go-bi-pai pula, akan tetapi lagi-lagi mereka diusir karena memang mereka bukan orang baik-baik.

Akan tetapi, sesudah menerima pelajaran ilmu silat dari kedua partai ini, ditambah pula dengan pengalaman-pengalaman mereka dan pergaulan mereka dengan kaum hek-to (penjahat), kepandaian tiga orang ini benar-benar amat lihai.

Yang tertua bemama Ang Kian dan berjuluk It-to-cilan (Setangkai Bunga Cilan), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang ditakuti orang. Tiap kali melakukan perbuatan terkutuk, dia selalu meninggalkan sebatang cilan-piauw, yakni semacam senjata rahasia berbentuk bunga cilan, maka dia mendapat nama julukan It-to-cilan.

Orang ke dua bernama Yap Ki, seorang ahli mempergunakan racun sehingga dijuluki Tok-ong (Raja Racun), sedangkan orang ke tiga adalah adiknya sendiri bernama Yap Ek yang paling lihai ilmu goloknya di antara dua orang kawannya.

Tiga orang penjahat ini dengan menggabungkan ilmu silat Siauw-lim-si dan Go-bi, dapat menciptakan ilmu golok yang kemudian mereka namakan Sin-sam To-hiap (llmu Golok Tiga Serangkai Yang Sakti), nama yang benar-benar menggambarkan betapa sombong adanya tiga orang ini. Akan tetapi, memang ilmu golok mereka jarang ada yang dapat menandingi dan hal ini membuat mereka makin sombong dan tinggi hati.

Hanya dengan harta bendanya yang banyak serta senyum dan lirikan mata Wi Wi Toanio yang menggiurkan, maka An Kai Seng baru berhasil menarik ketiga orang ini menjadi sahabatnya atau lebih tepat disebut pengawal pribadinya. Ia juga maklum bahwa antara isterinya dan It-to-cilan Ang Kian yang berwajah tampan ada terjalin hubungan yang tidak seharusnya, akan tetapi An Kai Seng hanya dapat mengelus dada saja.

Kepandaian isterinya lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, sedangkan Ang Kian juga mempunyai kepandaian yang tidak mampu dilawannya. Apa lagi Ang Kian bersama kawan-kawannya merupakan pelindung-pelindungnya, maka dia merasa bahwa menjaga keselamatan diri sendiri lebih penting dari pada kebahagiaan rumah tangganya. Karena itu dia tidak mempedulikan lagi kepada isterinya, bahkan ditemani oleh kawan-kawannya ini, dia mulai mencari hiburan di luar dan memelihara banyak selir di luaran.

Selain melakukan penjagaan yang sangat kuat di rumahnya, juga di kota An-keng dan di sekitarnya, dia melepas banyak kaki tangan untuk menyelidiki kalau-kalau ada datang Kwan Cu musuh besarnya. Akan tetapi sampai beberapa tahun tidak ada kabar ceritanya tentang diri Kwan Cu. Paling akhir dia mendengar bahwa musuhnya itu membantu kaum pejuang, maka dia menganggap bahwa pemuda itu tentu telah gugur dalam peperangan. Hatinya mulai lega dan tenang.

Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika pada suatu hari dia mendapatkan kabar dari pengurus hotel Liok-an yang menjadi kaki tangannya pula bahwa di hotel itu telah datang seorang pemuda yang mengaku bernama Lu Kwan Cu! Kalau ada geledek menyambar pada waktu tengah hari, Kai Seng agaknya takkan sekaget itu. Cepat dia mengumpulkan jago-jagonya dan mengadakan perundingan.

"Belum tentu kalau yang datang itu adalah musuh besarmu, Tan-wangwe," kata Ang Kian menghibur. "Sebaiknya kita semua pergi ke hotel itu dan kau melihat sendiri apakah dia betul-betul musuh besarmu itu. Kalau ternyata betul, tak usah banyak ribut lagi kita terus membunuhnya.” Memang Ang Kian amat sombong dan memandang rendah pada musuh besar majikannya ini.

"Tak bisa, tak bisa!" kata Kai Seng yang sudah ketakutan. "Kalau benar dia Lu Kwan Cu, begitu melihat aku, tentu dia akan menyerangku!"

"Takut apa? Kita membawa kawan-kawan dan tak mungkin dia dapat mengalahkan kita," kata Yap Ki.

"Tidak tepat," lagi-lagi Kai Seng mencela, "lebih baik lekas panggil Kwa-sianseng."

Yang disebut Kwa-sianseng adalah seorang kaki tangannya yang selalu berpakaian mirip seperti sastrawan, dan memang betul ia merupakan seorang terpelajar yang terkenal ahli dalam melukis. Kalau melihat sesuatu, dia dapat melukisnya cepat dan cocok sekali.

Selain kepandaian ini, dia pun mengerti ilmu silat cukup tinggi sehingga di kota An-keng dia dijuluki Bun-bu Siang-pit. Senjatanya adalah siang-pit (sepasang pit) yang tidak saja lihai kalau digunakan untuk menggambar, akan tetapi juga lihai kalau dimainkan sebagai senjata.

Orang she Kwa ini dipanggil dan segera mendapat tugas untuk menyelidiki pemuda di hotel Liok-an yang bemama Lu Kwan Cu itu. Kwa-sianseng menerima tugas ini dengan senyum menyeringai, karena tiap kali mendapat tugas dari hartawan she Tan ini, selalu dia akan pulang dengan kantong penuh uang.

Pemuda yang datang di hotel Liok-an itu memang benar Lu Kwan Cu. Biar pun pemuda ini dapat menduga bahwa tentu di kota ini An Keng Seng mempunyai banyak kaki tangan dan mata-mata, namun dia sengaja menuliskan nama asli di buku tamu.

Apa yang dia takutkan? Pemuda ini merasa yakin akan kepandaiannya sendiri dan dia sudah merasa pasti bahwa betapa pun juga akhimya dia akan berhadapan muka dengan musuh besarnya. Sesudah membersihkan diri, dia segera pergi ke rumah makan untuk makan siang.

Seperti juga di hotel Liok-an, di rumah makan itu terdapat banyak pelayan yang amat memperhatikan dia. Dengan pandangan matanya yang sudah awas itu, Kwan Cu dapat membedakan perhatian orang biasa dan perhatian orang yang mengandung maksud tertentu. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan makan dengan tenang, sungguh pun dia amat berhati-hati dan mencoba setiap masakan lebih dulu, menjaga kalau-kalau fihak musuh menaruh racun.

Di dalam rumah makan itu hanya ada beberapa orang tamu yang makan siang. Akan tetapi di antara mereka, hanya seorang yang menarik perhatian Kwan Cu dan diam-diam dia mengawasi gerak-gerik orang ini.

la melihat orang ini sebagai seorang sastrawan dan biar pun orang itu kelihatan makan minum seorang diri, namun dia tahu bahwa orang itu amat memperhatikannya. Tiba-tiba dia melihat orang itu mencorat-coret sehelai kertas dengan pitnya. Melihat pit itu, makin besar kecurigaan hati Kwan Cu. Pit itu gagangnya terbuat dari pada kuningan dan lebih tepat kalau dipergunakan sebagai senjata.

Akan tetapi Kwan Cu pura-pura tidak melihatnya dan mempercepat makannya. Setelah beres membayar, dia lalu keluar. Akan tetapi pada saat dia sengaja lewat di dekat meja sastrawan itu dan melirik ke atas mejanya, dia menjadi terkejut dan heran sebab biar pun orang itu cepat-cepat menutupi kertas yang dicoret-coretnya, tapi sekelebatan dia masih sempat melihat bahwa di atas kertas itu tergambar wajahnya sendiri!

Namun Kwan Cu dapat menekan perasaannya dan cepat melangkah keluar. Dia segera menyelinap dan bersembunyi di tempat yang agak jauh sambil memasang mata. Apakah kehendak sastrawan itu yang dapat menggambar mukanya demikian cepat dan demikian cocok?

Tidak lama kemudian dia melihat orang itu keluar, menengok ke kanan kiri lalu berjalan dengan tindakan kaki tergesa-gesa ke kiri. Kwan Cu mengikutinya dari jauh. Orang itu masuk ke dalam rumah gedung yang mewah dan terjaga kuat. Di pintu pekarangan saja dia melihat lima orang laki-laki yang sikapnya seperti tukang pukul, sedang duduk sambil bercakap-cakap. Melihat sastrawan itu, lima orang penjaga menjura sambil tertawa.

"Lopek, bukankah rumah gedung itu adalah tempat tinggal Kwan-wangwe (hartawan she Kwan)?" tanya Kwan Cu kepada seorang tua yang memikul tahu.

Kakek itu menggerakkan alisnya heran. "Ehh, anak muda, masa kau tidak tahu bahwa itu adalah gedung dari Tan-wangwe?"

Kwan Cu berdebar girang, akan tetapi dia tak memperlihatkan kegembiraannya, bahkan nampak kecewa. "Aku mencari rumah hartawan Kwan."

"Entahlah, aku tidak tahu di mana rumah hartawan Kwan. Kalau gedung itu memang rumah hartawan Tan Kai Seng, siapa orangnya tidak mengenal rumahnya?" Tukang tahu itu lalu pergi lagi setelah Kwan Cu menghaturkan terima kasihnya.

"Hemm, tidak salah lagi. Di situlah tempat tinggal anjing she An itu," pikimya dan tanpa membuang waktu lagi dia segera melangkah lebar menuju ke pintu gerbang pekarangan gedung itu.

"Siapa kau? Mau apa menyelonong ke sini?" bentak seorang di antara lima penjaga pintu pekarangan.

"Katakanlah kepada Tan-wangwe bahwa ada seorang sahabat dari jauh hendak bertemu dengan dia," jawab Kwan Cu tenang.

"Tan-wangwe sudah memesan kepada kami bahwa hari ini dia tidak mau terima tamu. Kau lekas tinggalkan nama dan alamat biar nanti kami yang menyampaikan. Besok pagi boleh datang lagi menerima keputusan."

"Hm, dia hendak menyembunyikan diri? Tidak apa, aku bisa masuk sendiri menemuinya."

Sambil berkata demikian, Kwan Cu tidak mempedulikan lagi para penjaga itu dan terus berjalan masuk.

"Heiii, kau ini bangsat dari mana begini tidak tahu aturan? Berhenti!" Lima orang penjaga mengejar, akan tetapi Kwan Cu berjalan terus memasuki pekarangan.

"Kau harus dilempar keluar!" seorang di antara mereka berteriak sambil mencengkeram pundak Kwan Cu dan hendak melemparkan pemuda itu keluar dari pekarangan. Akan tetapi, segera dia berseru kaget ketika tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpelanting keluar dari pekarangan, jatuh di jalan raya mengeluarkan suara berdebuk!

Empat orang penjaga yang lainnya menjadi marah dan mereka lalu memukul. Terdengar suara berdebukan dan bukan yang dipukul yang jatuh, melainkan para pemukulnya yang memekik kesakitan dan terguling roboh!

Jeritan para penjaga pintu itu terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung. Tidak lama kemudian keluarlah berlarian beberapa orang dan Kwan Cu menjadi girang bukan main, karena di antara sekian banyak orang itu dia mengenal An Kai Seng dan Wi Wi Toanio!

"Bangsat she An, bersiaplah untuk terima mampus!" bentak Kwan Cu sambil menghunus pedang Liong-coan-kiam dari pinggangnya.

Akan tetapi sekali berkelebat, Kai Seng dan Wi Wi Toanio lenyap di dalam gedung dan ketika Kwan Cu hendak mengejar, dia dihadang oleh lima orang. Orang pertama adalah si sastrawan tadi yang bukan lain adalah Kwa-sianseng. Orang ke dua adalah Lui Kong Nikouw yang sudah dikenal oleh Kwan Cu. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Sin-to Sam-eng yang belum dikenalnya.

Melihat Kwan Cu mengejar majikan mereka, lima orang ini maju mengeroyoknya. Akan tetapi begitu Kwan Cu menggerakkan Liong-cuan-kiam, maka terdengarlah suara nyaring pada saat pedangnya mengenai salah satu pit milik Kwa-sianseng dan sebatang golok di tangan It-to-cilan Ang Kian, orang pertama dari Sin-to Sam-eng.

Lima orang yang senjatanya tidak terbabat putus oleh Liong-cuan-kiam itu terkejut sebab merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga dari pemuda itu jauh mengatasi tenaga mereka yang dipersatukan.

Kwan Cu mengamuk terus dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dibarengi dengan gerakan tangan kiri. Dia berhasil merobohkan It-to-cilan dengan sebuah pukulan tangan kiri yang tepat mengenai jalan darah di lehernya.

Lui Kong Nikouw membabat dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang kawannya yang menggerakkan senjata dengan cepatnya. Akan tetapi gerakan Kwan Cu lebih cepat lagi sehingga sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mendadak Lui Kong Nikouw menjerit dengan pundak terluka dan Yap Ki si Raja Racun terlempar kena ditendang oleh Kwan Cu. Bukan main kaget dan marahnya para pengeroyok ini.

Tok-ong Yap Ki berseru keras dan sambil melompat berdiri tangannya bergerak-gerak. Beberapa tok-ciam (jarum beracun) menyambar ke arah Kwan Cu, akan tetapi sekali saja Kwan Cu mengibaskan tangan kirinya, jarum-jarum itu lantas terpental kembali, ada yang langsung menyerang Yap Ek dan si sastrawan dan lebih hebat lagi, ada yang kembali dan menyerang Yap Ki sendiri!

Yap Ek dan si sastrawan roboh akan tetapi Yap Ki dapat menyelamatkan dirinya. Si Raja Racun ini kaget sekali melihat jarum-jarumnya mengenai saudaranya dan kawan sendiri, karena dia tahu bahwa jarum-jarum beracun itu amat berbahaya dan siapa yang terkena akan binasa dalam beberapa menit saja bila tidak lekas-lekas dia beri obat pemunahnya.

Pada saat itu, dari dalam gedung keluarlah belasan orang bersenjata, sedangkan dari luar gedung masuk pula lebih dari dua puluh orang dengan senjata di tangan. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dan kaki tangan An Kai Seng yang telah mendengar bahwa musuh besar majikan mereka datang mengamuk.

Kwan Cu segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi apakah artinya puluhan jagoan-jagoan murah itu? Dengan enaknya Kwan Cu menyimpan kembali pedangnya, lalu dia menggerakkan kaki dan tangannya untuk merobohkan mereka seperti orang membabat rumput saja.

Yap Ki sendiri tidak dapat membantu pengeroyokan itu, karena dia sibuk memberi obat pemunah kepada si sastrawan Kwa dan Yap Ek agar nyawa mereka ini bisa tertolong. Kemudian, dia lalu maju menerjang lagi dengan goloknya.

Selagi Kwan Cu mengamuk hebat, dari luar datang lagi serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah sepasukan penjaga keamanan kota yang jumlahnya tiga puluh orang! Sebagai hartawan yang terkenal dengan nama Tan-wangwe dan seringkali menyumbang sehingga memiliki hubungan yang amat baik dengan para pembesar, tentu saja An Kai Seng segera ditolong oleh penjaga-penjaga keamanan ketika mereka mendengar bahwa di rumah Tan-wangwe terjadi keributan dengan datangnya seorang pengacau.

Kwan Cu menjadi gemas. Tetapi pemuda ini tidak mau sembarangan membunuh orang. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi dia mampu membikin para pengeroyoknya itu roboh seorang demi seorang dengan tulang-tulang yang patah atau luka-luka yang tidak menimbulkan bahaya bagi keselamatan nyawa mereka. Dan tak lama kemudian, jumlah pengeroyok hanya tinggal belasan orang lagi dan sebagian besar sudah rebah malang melintang tak berdaya.

"Bangsat she Lu, kau keterlaluan!" tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan seorang berpakaian panglima maju menerjang dari luar.

Kwan Cu memandang dan melihat bahwa yang datang adalah Panglima Kam Cun Hong, maka sambil menangkis serangan pedang di tangan panglima ini dengan sulingnya yang sudah dia cabut secepat kilat, dia pun segera tertawa mengejek.

"Hemm, bukankah kau adalah panglima yang dahulu sama-sama datang dengan Kiam Ki Sianjin? Bagus kau belum mampus oleh para pejuang, sekarang kau mengantar jiwa!"

Kata-kata Kwan Cu ini mengejutkan hati Kam Cun Hong. Panglima ini memang sudah melarikan diri dari kota raja dan di kota ini minta perlindungan dari An Kai Seng yang sudah dikenalnya. Walau pun dahulunya mereka ini bermusuhan, yakni Kam Cun Hong membantu Si Su Beng sedang An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, namun karena sama-sama mempunyai rahasia yang harus disembunyikan, maka An Kai Seng tidak menolaknya dan bahkan memberi rumah kepada bekas panglima ini.

Mendengar ucapan Kwan Cu, Panglima Kam takut kalau-kalau rahasianya diketahui oleh rakyat, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat dan melarikan diri.

Beberapa orang roboh lagi dan sisanya, hanya tujuh orang lagi termasuk Yap Ki si Raja Racun, menjadi gentar dan segera melarikan diri! Kwan Cu tertawa mengejek dan ia pun segera melompat ke dalam gedung hendak mengejar musuh besarnya. Semua kamar dibukanya, namun gedung yang amat besar itu sudah kosong melompong. Tak seorang pun pelayan berada di situ, agaknya sudah lari cerai-berai ketika keributan terjadi.

Memang sebelumnya An Kai Seng sudah mengatur terlebih dahulu dan membubarkan semua pelayan supaya tidak akan ada pelayan yang dapat dipaksa oleh Kwan Cu untuk memberi tahukan tempat sembunyinya.

Kwan Cu penasaran dan mencari terus. Setiap kamar yang tertutup pintunya, didobrak dan dibukanya. Ketika tiba di ruang belakang, dia melihat sebuah kamar yang tertutup pintunya. Didengarnya berkereseknya kain di dalam kamar, tanda bahwa di dalam kamar itu ada orangnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia mendorong pintu kamar yang tebal itu. Sekali dorong saja pecahlah daun pintunya dan dia segera melompat masuk.

“Ayaaa… kurang ajar sekali...!” terdengar pekik seorang wanita.

Kwan Cu merasa mukanya panas. Warna merah menjalar sampai di telinganya. Ternyata bahwa di dalam kamar itu terdapat Wi Wi Toanio yang agaknya sedang berganti pakaian, karena wanita cantik ini hanya memakai pakaian dalam yang amat pendek dan ringkas. Bukan main cantik dan menariknya wanita itu, sehingga untuk sesaat Kwan Cu berdiri bagaikan patung.

“Mana suamimu?” Kwan Cu berusaha untuk membikin suaranya terdengar kasar, akan tetapi dia tidak sanggup menekan suaranya yang agak gemetar.

"Laki-laki tak bermalu! Kau... kau melihat apakah? Cih, kurang ajar benar!" kata Wi Wi Toanio. Meski mulutnya berkata begini, namun sepasang matanya berseri dan mulutnya tersenyum manis!

Kwan Cu cepat membalikkan tubuhnya dengan perasaan amat jengah dan hati berdebar.

"Lekas kau berpakaian, baru kita bicara!" katanya.

Diam-diam dia merasa cemas kalau-kalau ada orang yang melihat dia berada di dalam kamar seorang wanita yang hanya memakai pakaian seperti itu, apa akan kata orang?

Terdengar wanita itu tertawa kecil dengan suara genit, lalu terdengar pula dia memakai pakaian. Waktu yang dipergunakan oleh Wi Wi Toanio untuk berpakaian amat lamanya, sehingga Kwan Cu menjadi hilang sabar.

"Cepatan sedikit!" bentaknya.

Akan tetapi Wi Wi Toanio hanya tertawa mengejek saja. Kemudian tercium bau yang amat harum, kiranya wanita itu dalam berdandan bahkan bersolek, berbedak segala!

Tiba-tiba Kwan Cu memiringkan tubuhnya dan tiga batang piauw menyambar lewat di samping tubuhnya.

"Jangan berlaku curang, takkan ada gunanya," dia mengejek tanpa menoleh.

Benar-benar lihai pemuda ini, tanpa menoleh dia tahu bahwa dia diserang oleh Wi Wi Toanio mempergunakan piauw.

"Hemm, kau mengambil pedang untuk apa? Kau tidak akan menang melawan aku," kata pula Kwan Cu.

Wi Wi Toanio terkejut bukan main sehingga tangannya yang memegang pedang menjadi gemetar. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia mengambil, pedang? Sementara itu, mengetahui bahwa wanita itu sudah mengambil pedang, tentu ia sudah berpakaian rapi, maka Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya memandang.

Bukan main, Wi Wi Toanio memang benar-benar seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya, dan pandai bersolek pula. Harus diakui oleh Kwan Cu bahwa belum pernah dia melihat wanita yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan wanita ini.

“Kau mau apa?" tanya Wi Wi Toanio yang sudah memegang sebatang pedang, mulutnya tersenyum-senyum memikat.

Kwan Cu masih bodoh dalam menghadapi kelincinan wanita, maka dia tidak tahu bahwa tadi sebenarnya Wi Wi Toanio memang sengaja menantinya di dalam kamar itu untuk mulai dengan siasatnya, memikat hati pemuda yang tak mungkin bisa dikalahkan dengan kekuatan senjata ini.

"Jangan berpura-pura bodoh!" bentak Kwan Cu. "Aku mencari suamimu, lebih baik kau berterus terang saja, di mana dia? Kalau aku sudah membalas dendam kepadanya, aku tak akan mengganggu dan tak peduli lagi dengan keadaanmu. Hanya An Kai Seng yang kucari dan aku tidak ingin mencari permusuhan dengan orang orang lain."

"Kau benar-benar hebat dan gagah," Wi Wi Toanio memuji, "jauh berbeda dengan Kai Seng dan kawan-kawannya yang tidak punya guna. Orang segagah engkau, yang masih begini muda, kenapa mengotori hati dan pikiran dengan permusuhan? Apakah tidak lebih baik kalau kita bersahabat saja? Aku ingin sekali menjadi sahabatmu, bahkan kalau kau sudi, aku suka berlutut dan mengangkat kau sebagai guruku."

"Tak usah banyak cakap, di mana suamimu?"

Melihat Kwan Cu tidak berhasil dibujuknya, Wi Wi Toanio tidak menjadi kecewa. Sebagai seorang wanita yang berpengalaman, dari sinar pandang mata Kwan Cu saja tahulah dia bahwa dirinya tidak kalah sama sekali. Tahu bahwa pemuda itu betapa pun juga sudah tertarik padanya, sudah mengagumi kecantikannya, karena itu ia menarik muka semanis mungkin.

"Lu Kwan Cu, apa boleh buat, agaknya kau tidak dapat dibujuk lagi untuk melenyapkan permusuhan. Kalau kau memang menghendaki pertempuran, mari kita lakukan secara terang-terangan dan secara orang gagah. Aku dan suamiku hendak menantangmu untuk mengadakan pertempuran sampai mati di dalam hutan dekat rawa maut di sebelah barat kota ini. Beranikah kau?"

"Mengapa tidak berani? Biar pun suamimu akan mengumpulkan semua jagonya di sana, aku tak akan takut seujung rambut pun! Akan tetapi, siapa yang tidak tahu akan kelicikan suamimu? Siapa yang percaya bahwa suamimu benar-benar akan berada di sana?"

"Lu Kwan Cu, kau menghinaku! Bukan suamiku, akan tetapi akulah yang menantangmu! Kau tidak percaya padaku? Datanglah besok pada pagi hari, aku dan suamiku pasti akan berada di sana, tanpa seorang pun kawan! Di sana kita bertiga akan menentukan siapa yang harus mampus. Kalau kau berani datang, tanda bahwa kau benar seorang jantan, akan tetapi kalau kau tidak mau dan tidak percaya kepadaku, terserah, mau bunuh aku boleh bunuh. Jangan harap kau dapat menemui Kai Seng sebelum besok pagi di hutan itu."

Kwan Cu berpikir sejenak, hatinya penuh keraguan.

"Lu Kwan Cu, apakah kau kira akan mampu memaksaku? Ketahuilah bahwa aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, kalau tidak demikian, andai kata sekarang aku menjerit minta tolong dan merobek-robek pakaianku, di mana lagi kau akan menaruh mukamu?"

Kwan Cu terkejut sekali. Memang hebat ancaman ini dan kalau dilaksanakan, namanya tentu akan hancur .

"Baiklah, andai kata suamimu tidak datang dan lari sembunyi, apa sih sukarnya mencari dia? Akhirnya aku pasti akan datang di hutan itu." Sesudah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan keluar dari gedung itu.

Setelah Kwan Cu pergi, Kai Seng muncul dari balik pintu rahasia yang berada di bawah tempat tidur. Mukanya pucat sekali, tubuhnya masih menggigil dan dia menarik napas berulang-ulang.

"Baiknya kau pandai sekali mengusir dia, hanya saja aku merasa kurang senang melihat gayamu di depan musuh besar kita," katanya kepada isterinya.

Wajah manis dari Wi Wi Toanio tiba-tiba menjadi berkerut dan dia memandang kepada suaminya dengan marah. "Apa katamu? Kalau kau sendiri becus mengusirnya, mengapa kau menyuruh aku? Sudah, sudah, besok kau boleh menghadapinya sendiri, aku lebih baik tinggal di rumah!"

Kai Seng segera menghampiri isterinya dan memegang lengannya.

"Jangan marah, isteriku yang manis. Nyawaku berada di tanganmu dan hanya engkau saja kiranya yang dapat menolongku, dapat menghadapi pemuda yang kepandaiannya seperti siluman itu."

Wi Wi Toanio menarik tangannya dan tersenyum puas. "Kau lihat saja nanti. Aku bukan wanita kalau tidak dapat membikin dia bertekuk lutut di hadapanku. Lebih baik lagi, aku akan mencari tahu akan rahasia kepandaiannya dan kalau saja aku dapat membujuknya sehingga dia mau menurunkan kepandaiannya itu, bukankah amat menguntungkan bagi kita? Akan tetapi kalau kau cemburu…" sinar mata yang jernih itu mengancam.

Kai Seng memeluk isterinya. "Tidak, isteriku. Demi keselamatan kita semua, aku tak akan cemburu... terserah kepadamu bagaimana kau akan menghadapinya."

"Nah, kalau begitu, kau dengarlah baik-baik…"

Isteri yang cantik dan juga sangat licin ini lalu membisikkan rencana dan siasatnya untuk menghadapi Kwan Cu, didengarkan oleh Kai Seng sambil mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi…..

*****

Hutan di sebelah barat kota An-keng tidak berapa besar akan tetapi amat liar, karena di tempat itu banyak terdapat rawa-rawa yang sangat berbahaya. Para penggembala tidak berani membawa binatang peliharaan mereka mendekati rawa, karena sekali tergelincir ke dalam rawa itu, tidak mungkin tertolong lagi.

Rawa itu airnya tidak dalam, tapi di bawah air terdapat lumpur yang dapat mengisap apa saja yang jatuh ke dalamnya. Di atas rawa penuh pohon-pohon dan pemandangan di situ memang sangat indah. Rumput-rumput hijau segar, akan tetapi kalau orang melihat ke bawah, orang akan bergidik dan merasa ngeri.

Pagi-pagi sekali Kwan Cu telah berlarian memasuki hutan, mencari-cari musuh besarnya, yakni Kai Seng dan Wi Wi Toanio yang sudah berjanji hendak mengadu kepandaian dengannya di tempat itu. Dia tidak begitu mengharapkan akan bertemu dengan mereka, karena dia masih sangsi apakah benar-benar seorang wanita seperti Wi Wi Toanio mau memegang janjinya. Sampai lama dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat bayangan seorang pun manusia.

"Hm, biar pun kau bersembunyi di mana saja, akhirnya aku pasti akan dapat mencarimu," kata Kwan Cu seorang diri, “dan lain kali aku takkan mendengarkan omongan wanita itu."

Baru saja dia hendak meninggalkan hutan, tiba-tiba dia melihat bayangan Wi Wi Toanio di pinggir rawa. Wanita ini menggunakan tangan kiri mencekik seorang laki-laki sambil memaki.

"Apa kau kira aku mudah saja menjadi kaki tanganmu? Sudah lama kau menyakiti hatiku dan sekaranglah pembalasanku!"

Tangan kanan wanita itu melayang, menghantarn dada laki-laki itu yang terjengkang dan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi laki-laki itu terlempar masuk ke dalam rawa!

“Apa yang kau lakukan itu?" teriak Kwan Cu terkejut dan seperti terbang dia lantas berlari rnenghampiri tempat itu.

Wi Wi Toanio kelihatan berdiri seperti patung, mukanya pucat memandang ke arah lelaki yang sudah terjungkal ke dalam rawa. Ketika Kwan Cu melihat, ternyata bahwa laki-laki itu jatuh ke dalam rawa dengan kepala lebih dulu sehingga yang kelihatan hanya kedua kakinya sampai ke pinggang saja. Kaki yang sudah lemas dan tak bergerak lagi, agaknya laki-laki itu sudah tewas. Yang sangat mengagetkan hatinya adalah ketika dia mengenal pakaian laki-laki itu sebagai pakaian An Kai Seng, musuh besarnya!

"Dia... dia An Kai Seng... apakah yang telah kau perbuat?" Kwan Cu memandang Wi Wi Toanio dengan heran.

Dengan perlahan Wi Wi Toanio membalikkan tubuh dan memandang Kwan Cu. Mukanya pucat, rambutnya awut-awutan menambah kecantikannya dan di atas pipinya terdapat butiran-butiran air mata. Setelah pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kwan Cu, tiba-tiba Wi Wi Toanio menangis.

"Eh, ehh, ehh, ada apakah...? Mengapa kau membunuh suamimu sendiri?"

Wi Wi Toanio tidak dapat menjawab, bahkan lalu berlutut di depan kaki Kwan Cu. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung sekali. Dia menyangka akan sesuatu yang tidak beres, maka sekali memegang kedua pundak wanita itu, Wi Wi Toanio telah dipaksanya berdiri lagi.

"Katakan, sandiwara apa ini? Kenapa kau mendahuluiku membunuh musuh besarku itu?"

"Lu Kwan Cu..., apakah hanya kau saja yang mempunyai sakit hati dan dendam? Apakah hanya kau saja yang membencinya? Aku… aku lebih sakit hati terhadap dia, aku lebih membencinya seperti membenci racun busuk! Dan kesempatan ini, selagi kami berada berdua di sini, kupergunakan untuk membalas sakit hatiku, sebelum kau mendahuluiku."

Kwan Cu tertegun. "Apa maksudmu? Bagaimana kau dapat sakit hati terhadap suami sendiri?"

"Aku… aku seorang wanita malang... dahulu aku dipaksa oleh manusia busuk itu menjadi isterinya. Aku tidak berdaya, orang tuaku dibelinya. Aku... aku tidak suka padanya, aku benci padanya! Kemudian kau datang, Taihiap. Kau seorang pendekar besar yang amat kukagumi, yang sudah lama ingin kujumpai, ehhh…, ternyata kau adalah musuh besar suamiku. Ternyata kau pun sudah dibikin sakit hati oleh manusia jahanam itu! Tidak itu saja, permusuhannya denganmu berarti menyeret aku pula ke dalam permusuhan ini, permusuhan dengan seorang pendekar pujaanku. Aku tidak tahan lagi, aku mengusulkan supaya dia dan aku menantangmu di sini dan dalam keadaan berdua saja ini, kugunakan kesempatan untuk membalas dendam. Karena itulah kubunuh dia!"

Wi Wi Toanio menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah mayat yang kini tinggal kelihatan kaki sebatas lutut saja, lalu menangis lagi.

Kwan Cu merasa tertarik sekali, tidak hanya tertarik oleh penuturan ini, namun terutama sekali tertarik oleh kecantikan Wi Wi Toanio, oleh olah bicaranya yang demikian menarik, demikian manis sehingga pemuda ini seperti mabuk.

Baru saja Kwan Cu mengalami patah hati karena Sui Ceng. Hati mudanya haus akan sifat lemah lembut seorang wanita, haus akan kasih sayang seorang wanita, terlebih lagi setelah dia digagalkan dalam cinta kasih pertamanya dengan Sui Ceng.

Melihat Wi Wi Toanio, timbul kasihan di dalam hatinya. Alangkah malangnya nasib wanita ini, wanita yang secantik ini, seperti bidadari!

Wi Wi Toanio bukanlah seorang wanita luar biasa kalau dia tidak dapat membaca pikiran Kwan Cu dari sinar matanya. Tiba-tiba dia makin terisak dan dipegangnya kedua tangan Kwan Cu sambil berlutut di depan pemuda itu!

"Lu-taihiap, setelah membunuh An Kai Seng, aku... aku yang sebatang kara ini sudah lama mengagumi Taihiap. Sudilah Taihiap menerima perasaan hatiku... biar sampai mati aku Wi Wi seorang sengsara takkan merasa penasaran. Jangan takut, Taihiap, perkara pembunuh Kai Seng ini tentu semua orang mengira bahwa taihiap yang melakukannya, akan tetapi selama aku berada di sampingmu, tidak seorang pun berani mengganggumu. Aku akan mengatakan bahwa Kai Seng tewas dalam pertempuran yang jujur. Dan kau boleh berdiam di gedungku, Taihiap. Atau, apa bila Taihiap menghendaki, aku juga rela meninggalkan gedung itu untuk mengikutimu merantau. Sampai mati aku ingin berada di sampingmu, Taihiap."

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara merayu-rayu ini, luluh hati Kwan Cu. Musuh besarnya sudah tewas, dan dia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan wanita ini, bahkan wanita ini pun menjadi korban dari musuh besarnya.

Suara yang merdu merayu ini, wajah yang cantik jelita, tangan halus yang memegangi tangannya, semua ini terlampau kuat dan berpengaruh bagi batin Kwan Cu yang biar pun amat kuat akan tetapi masih hijau dalam menghadapi wanita. Hampir saja dia memeluk wanita yang sudah menyerahkan diri dan nasib kepadanya.

Akan tetapi rasa jengah membuat dia membetot tangannya dan cepat melompat mundur. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Belum pernah dia menghadapi wanita yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya, apa lagi seorang wanita secantik Wi Wi Toanio.

Hatinya yang kosong dan kecewa karena kegagalan cinta kasihnya terhadap Sui Ceng menuntut isi. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini melemparkan diri ke dalam hatinya!

"Jangan...," suaranya gemetar dan berbisik, "jangan begitu Wi Wi Toanio..., ini… ini tidak baik...," katanya dan dia merasa heran sendiri karena napasnya menjadi terengah-engah dan tubuhnya lemas.

"Mengapa tidak baik?" Wi Wi Toanio bangun berdiri dan kembali dia memegangi kedua tangan pemuda itu. "Kita sama-sama bernasib malang, dan aku... aku juga rela menjadi muridmu, menjadi bujangmu... asal saja kau menerima perasaan hatiku, Lu-taihiap...”

Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah mendekati hatinya terbayang di depan mata Kwan Cu. Pek-cilan Thio Loan Eng, Liyani gadis raksasa, Malita dan Malika dua gadis katai, Gouw Kui Lan. Akan tetapi tidak ada yang secantik Wi Wi Toanio, tidak ada yang demikian menariknya, bahkan melebihi Sui Ceng. Tidak ada pula di antara mereka yang menyatakan cinta kasih sebulatnya seperti Wi Wi Toanio.

"Jangan..., biarkan aku pergi saja!" Hati nurani Kwan Cu masih memberontak dan sekali renggut dia melepaskan diri, lalu melompat dan hendak lari pergi, lari dari tempat yang dianggapnya amat asing, amat berbahaya namun yang mendebarkan hatinya ini.

"Kau kejam, Lu-taihiap. Kalau begitu, biarlah aku Wi Wi yang malang nasibnya binasa di saat ini juga!" sambil berkata demikian, wanita muda yang cantik jelita itu melompat ke dalam rawa di mana suaminya kini hanya kelihatan sepasang kaki sebatas lutut saja.

Kwan Cu belum pergi terlalu jauh, tentu saja pendengarannya yang luar biasa tajamnya itu dapat mendengar suara tubuh wanita itu terjatuh ke dalam lumpur berair.

"Wi Wi...!" teriaknya dengan muka pucat dan dia cepat melompat ke pinggir rawa.

Dilihatnya Wi Wi sudah tenggelam sampai ke pinggangnya, di dekat mayat suaminya itu! Muka wanita itu memandangnya sedemikian rupa sehingga Kwan Cu tak dapat menahan hatinya lagi.

"Wi Wi..., kau bertahan dulu, aku akan menolongmu..."

"Kalau kau meloncat ke sini, kita berdua akan mati, Taihiap."

"Tunggu, aku akan mencari akal."

"Tidak usah kau menolongku, hidup juga percuma saja. Kalau kau tidak mau menerima perasaan hatiku, aku tidak mau ditolong!"

Kwan Cu tak mau menjawab lagi, hatinya ngeri melihat betapa tubuh wanita itu melesak makin dalam, sekarang lumpur telah mengisapnya sampai ke dada. Bagaimana ia dapat menolongnya? Biar pun kepandaiannya tinggi, akan tetapi kalau dia melompat ke dalam rawa, dia pun akan terisap oleh lumpur itu dan tidak berdaya.

Tiba-tiba dia mendapat akal. Didorongnya sebatang pohon sehingga roboh dan batang pohon ini dia lemparkan ke dalam rawa di dekat Wi Wi Toanio. Air memercik ke atas hingga membasahi seluruh muka wanita yang kini kelihatan lemas. Isapan lumpur sudah rnenyesakkan dada dan membuat ia hampir tak dapat bernapas.

"Taihiap... Aku… aku mati... selamat tinggal...," katanya lemah.

"Wi Wi, tahankan, aku akan menolongmu!”

“Percuma...," kata Wi Wi Toanio dan kini ia semakin tenggelam sampai ke leher.

"Wi Wi, pegang cabang pohon itu!"

"Tidak, biar aku... mati...”

“Jangan, Wi Wi... aku kasihan padamu, aku akan menolongmu."

"Katakan, kau cinta padaku atau tidak?"

Kwan Cu tertegun, mukanya merah sekali dan dadanya berdebar.

"Katakan, Kwan Cu, sebelum lumpur ini memasuki mulutku, memasuki telingaku..."

Kwan Cu melihat betapa sekarang air sudah sampai ke dagu wanita itu, maka secara setengah terpaksa dan dengan suara gemetar dia menjawab, "Aku... cinta padamu, Wi Wi."

Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi Kwan Cu segera melayang turun ke dalam rawa itu. Kakinya menotol batang pohon yang tadi dilemparnya, dan dengan mengerahkan ginkang-nya agar batang itu tidak bergerak seperti dihinggapi oleh seekor burung saja, tangannya menyambar baju di pundak Wi Wi Toanio.

"Brettt!" Baju robek akan tetapi tubuh Wi Wi Toanio telah terbetot sedikit sehingga kini air hanya sampai di pundaknya.

"Keluarkan lenganmu dari lumpur itu!" kata Kwan Cu yang cepat mengimbangi tubuhnya karena batang pohon itu bergoyang-goyang.

Wi Wi Toanio menggerakkan tangannya dan tangan kirinya dapat terlepas dari isapan lumpur.

"Hati-hati, aku akan menarikmu keluar!" kata Kwan Cu lagi.

Dia cepat menyambar pergelangan tangan wanita itu, lalu dengan pengerahan tenaga lweekang yang hebat, dia dapat melawan isapan lumpur dan sedikit demi sedikit tertarik keluarlah tubuh Wi Wi Toanio dari bawah permukaan air. Kini tangan kanan Wi Wi Toanio merangkul pinggang Kwan Cu dan dia membantu pemuda ini menarik dirinya.

Gerakan ini sebetulnya tidak perlu, karena kalau dia diam saja, Kwan Cu akhirnya tetap akan dapat menariknya keluar. Bahkan dengan gerakan ini Wi Wi Toanio sudah merusak keseimbangan tubuh Kwan Cu sehingga ketika batang pohon itu bergoyang-goyang, dia tidak dapat menahan diri lagi sehingga keduanya terpeleset dan... tercebur ke dalam air!

"Celaka !" Wi Wi Toanio menjerit.

Akan tetapi dengan tenang Kwan Cu lalu menyambar cabang pohon dan sekali menarik dirinya, dia telah berdiri kembali di atas batang pohon.

Ia segera menangkap tangan Wi Wi Toanio lagi dan menariknya kuat-kuat. Ia berhasil! Kini Wi Wi Toanio dengan pakaian basah dan kotor, berdiri di atas batang pohon dengan menggigil, mendekap pinggang Kwan Cu yang pakaiannya juga basah dan kotor.

Tiba-tiba Wi Wi Toanio mengeluh panjang dan dia pingsan di dalam pelukan Kwan Cu. Pemuda ini terkejut dan setelah memeriksa ketukan nadi, tahulah dia bahwa wanita ini pingsan karena mengerahkan lweekang-nya sendiri.

Tadi di dalam lumpur, kalau Wi Wi Toanio tidak mengerahkan lweekang sekuatnya, tentu tubuhnya telah terisap semua dan dadanya terhimpit lumpur sampai tak dapat bernapas. Dan kini setelah terbebas, jalan darahnya langsung lancar kembali dan ini mendatangkan goncangan kepada jantungnya, terutama karena baru saja dia mengalami kekhawatiran hebat!

Kwan Cu lalu memanggul tubuh wanita itu dan melompat ke darat. Akan tetapi, ketika dia meloncat ke darat, batang pohon itu bergerak sehingga lenyaplah sebagian besar tenaga loncatannya. Hal ini karena sekarang ia memanggul tubuh Wi Wi Toanio dan pula batang pohon itu mengambang di atas air, maka amat mudah bergoyang.

Kwan Cu tidak berhasil melompat sampai ke darat, melainkan jatuh lagi ke dalam rawa! Baiknya dia terjatuh di bagian pinggir, di mana lumpur terdapat tanah keras sehingga dia selamat. Dengan tubuh Wi Wi Toanio di atas pundaknya, Kwan Cu berjalan naik dengan memegang dahan-dahan pohon sebagai bantuan. Akhirnya dia selamat sampai di darat dan Wi Wi Toanio mengeluh panjang, tanda siuman kembali dari pingsannya.

Begitu membuka mata, wanita ini segera menubruk dan memeluk leher Kwan Cu sambil menangis terisak-isak. Kwan Cu memandang wajah wanita itu, kemudian sambil tertawa dia berkata,

"Jangan kau menangis, bukankah kita sudah selamat? Lihat, mukamu dan mukaku serta pakaian kita penuh lumpur!"

Wi Wi Toanio mengangkat mukanya, dan wajahnya yang cantik manis tersenyum geli di antara air matanya.

"Mari kita mencuci pakaian kita," katanya. "Di tengah hutan ini terdapat sumber air, biar aku yang akan mencuci pakaianmu."

"Apakah kau tidak lebih baik pulang dan berganti pakaian? Aku… aku…"

Akan tetapi Wi Wi Toanio tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak membantah, karena wanita ini sudah memegang tangannya dan menariknya ke tengah hutan. Kwan Cu hanya menurut saja.

Dengan bujukan-bujukan, rayuan-rayuan dan tipu muslihat yang semenjak jaman purba dimiliki oleh pihak wanita untuk merobohkan hati pria yang bagaimana kuat pun, Wi Wi Toanio berhasil membikin Kwan Cu bertekuk lutut!

Pemuda yang masih hijau ini akhirnya jatuh dalam perangkap, roboh di bawah pengaruh Wi Wi Toanio yang memang amat cantik lahirnya, akan tetapi amat kotor batinnya itu. Kwan Cu mengalami pengalaman yang membuat dirinya seolah-olah sudah buta dan tuli, membuat dia seperti menjadi seekor domba yang lunak dan jinak, yang menuruti segala kehendak dan kemauan Wi Wi Toanio yang amat pandai mengambil hati.

Sampai tiga hari mereka berada di tengah hutan, akhirnya mereka bermufakat untuk mengadakan pertemuan di hutan itu setiap hari. Kemudian, barulah Wi Wi Toanio pulang ke kota An-keng dan Kwan Cu juga kembali ke rumah penginapan. Pemuda ini berani kembali ke kota karena Wi Wi Toanio menanggung bahwa tidak akan ada yang berani mengganggu dirinya.

Benar saja, ketika Kwan Cu tiba di hotel, pengurus hotel berlaku amat hormat dan manis kepadanya, dan dia memuji kekasihnya yang ternyata tidak berkata bohong. Wanita itu yang sudah pulang terlebih dulu agaknya sudah mengatur segala-galanya, bahkan untuk makannya, pengurus hotel menyediakannya dengan hidangan-hidangan istimewa.

*****

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah pergi ke hutan itu. Semalam dia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan Wi Wi Toanio. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan diam-diam dia harus mengakui bahwa meski pun perbuatannya itu tidak tahu malu, namun bagaimana lagi karena dia telah jatuh cinta kepada Wi Wi Toanio.

Dia mencinta wanita itu dengan seluruh jiwa raganya. Perasaan cinta kasihnya terhadap wanita-wanita lain, juga terhadap Bun Sui Ceng berubah menjadi cinta kasih terhadap Wi Wi Toanio. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Wi Wi Toanio sedang mempermainkannya, dan dia hanya mengira bahwa Wi Wi Toanio benar-benar cinta kepadanya dengan suci murni!

Dia segera membuat rencana dalam hidupnya yang akan datang. Wi Wi Toanio sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan dia, hendak menjadi suami isteri sampai tua dan hidup penuh kebahagiaan serta melupakan segala hal yang sudah lalu.

Bahkan Wi Wi Toanio tidak merasa keberatan untuk pergi ikut dengan dia tinggal di pulau kosong, yaitu Pulau Pek-hio-to di mana dia telah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Wanita itu bahkan menyatakan hendak ikut pula mempelajari ilmu ini dari Kwan Cu, dan keduanya hendak memperdalam ilmunya di pulau itu, jauh dari dunia ramai, hidup berdua penuh cinta kasih.

Wi Wi Toanio pulang lebih dulu karena harus membersihkan nama, harus menyatakan kepada dunia ramai bahwa Kai Seng telah meninggal dunia karena terjerumus ke dalam lumpur. Setelah itu, barulah mereka dapat menjadi suami isteri yang sah, karena sebagai seorang janda, Wi Wi Toanio berhak menikah lagi dengan pria pilihannya.

Bagi orang-orang biasa, tentu saja hal ini merupakan hal yang tidak masuk di akal. Tidak ada seorang janda yang menikah lagi. Akan tetapi Wi Wi Toanio bukanlah wanita biasa. Dia dapat dianggap sebagai seorang wanita gagah di dunia kang-ouw yang tidak kukuh mempertahankan tradisi lama, maka tentang perkawinan lagi dari seorang janda bukan apa-apa lagi.

Sebelum Kwan Cu berangkat ke hutan, pengurus hotel menemuinya sambil membawa sebungkus barang.

"Taihiap, perkumpulan orang-orang hartawan di kota ini yang mendengar bahwa Taihiap adalah seorang gagah yang amat terkenal, telah mengirim barang-barang sebagai tanda penghormatan. Harap Taihiap suka menerimanya."

Kwan Cu terheran, akan tetapi dia menerima bungkusan itu dan membukanya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat sejumlah barang-barang perhiasan yang indah-indah, terbuat dari pada emas dan permata, juga terdapat pula potongan-potongan uang emas.

"Ahh, bagaimana aku dapat menerima sumbangan sebanyak ini? Aku tidak mengenal mereka. Harap Lopek mengembalikan saja.”

"Jangan begitu, Lu-taihiap. Penolakan tentu akan mendatangkan rasa tidak enak dan malu. Harap Taihiap menerimanya, biar pun tidak semua."

Kwan Cu menganggap bahwa kata-kata ini ada betulnya juga. Pula, dia memang amat tertarik melihat benda-benda ini, karena alangkah senangnya apa bila dia bisa memberi ‘hadiah’ kepada kekasihnya. Dia lalu mengambil sebatang tusuk konde yang terbuat dari pada perak yang berukirkan atau berbentuk naga indah sekali dan bermata intan.

"Biarlah aku mengambil tanda mata ini saja. Selebihnya harap kau kembalikan, diiringkan ucapan terima kasihku."

Demikianlah, dengan tusuk konde itu di dalam sakunya, dia pergi ke hutan. Dia melihat kekasihnya sudah berada di situ dan tanpa banyak cakap lagi mereka kemudian saling berpelukan dengan mesra.

"Aku tunggu-tunggu kau setengah mati. Aku gelisah kalau-kalau secara diam-diam kau sudah meninggalkan aku," kata Wi Wi Toanio dengan sikap manja.

"Mengapa kau khawatir kutinggalkan? Demikian besarkah cintamu kepadaku, Wi Wi?"

Wi Wi Toanio menjatuhkan kepala di atas dada pemuda itu. "Aku akan bunuh diri kalau kau tinggalkan, kekasihku."

Kwan Cu tersenyum bangga. Hatinya sebesar gunung dan dia merasa amat berbahagia. Diambilnya tusuk konde yang tadi dia terima dari sumbangan para hartawan, kemudian diperlihatkan kepada Wi Wi Toanio.

"Wi Wi, lihat, aku membawa hadiah untukmu."

Wi Wi Toanio pura-pura memandang dengan penuh kekaguman. Padahal ‘sumbangan’ tadi sebetulnya adalah dia sendiri yang menyuruh pengurus hotel mengantarkan kepada Kwan Cu dengan maksud dan siasat tertentu.

"Pasangkan pada rambutku, Koko," katanya dengan suara mesra.

Kwan Cu memasang tusuk konde itu pada rambut Wi Wi Toanio yang hitam panjang dan halus serta berbau harum itu.

"Koko, apakah artinya tanda mata ini? Apakah sekedar untuk penghias rambut?"

"Tentu saja, habis apa lagi kegunaannya?" tanya Kwan Cu.

"Apa benar kau mencintaku seperti aku mencintamu, Koko? Mencinta dengan sepenuh jiwa ragamu?"

"Wi Wi, apakah kau masih bersangsi lagi? Lu Kwan Cu adalah orang gagah yang selalu memegang teguh janjinya."

"Kalau begitu, berjanjilah bahwa kau akan menuruti segala kemauanku, Koko."

Tanpa bersangsi-sangsi lagi, sambil memeluk tubuh itu erat-erat, Kwan Cu berbisik. "Aku bersumpah untuk menuruti segala kehendakmu, kekasihku. Biar tusuk konde naga perak ini menjadi saksi."

"Bagus! Girang sekali hatiku!"

Kegirangan Wi Wi Toanio benar-benar besar dan luar biasa. Sepasang matanya yang indah laksana mata burung hong itu bersinar-sinar, mukanya berseri-seri, akan tetapi di balik seri mukanya ini terbayang kekejaman yang hebat bukan main.

Tiba-tiba Kwan Cu melompat ke belakang dan bajunya pada lambung kiri berdarah. Kulit lambungnya terluka sedikit ketika dia melompat tadi karena Wi Wi Toanio telah menusuk lambungnya dengan tusuk konde yang dicabutnya perlahan-lahan.

Kwan Cu membelalakkan matanya, memandang wajah cantik yang tersenyum itu.

"Wi Wi... kau..." Akan tetapi kata-katanya ini dia hentikan dan secepat kilat tubuhnya melompat ke kanan.

Ia mendengar gerakan orang di balik rumpun dan sekali dia melompat, dia melihat orang itu hendak melarikan diri. Dengan gerakan kakinya, Kwan Cu dapat menendang bagian belakang lutut orang itu dengan cepat sehingga orang itu tidak sempat mengelak lagi, segera roboh terguling.

Kwan Cu menubruk maju dan menotok jalan darah orang itu. Ketika dia melihat wajah orang itu, tiba-tiba Kwan Cu menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Tak terasa lagi dia mundur tiga tindak. la melihat bahwa orang ini bukan lain adalah An Kai Seng.

“Kau... An Kai Seng...??”

An Kai Seng yang tidak jadi tertotok, bangkit duduk karena sambungan lututnya sudah terlepas. Dia menyeringai dan berkata mengejek,

"Memang aku An Kai Seng dan kau adalah pendekar besar Lu Kwan Cu yang telah main gila dengan isteri orang lain. Cih, manusia macam kau ini hidup juga hanya mengotorkan dunia. Bunuhlah aku kalau kau hendak bunuh, lebih baik mati dari pada hidup dengan nama busuk!"

Kwan Cu merasa seakan-akan dunia ini kiamat. Dia menoleh dan melihat Wi Wi Toanio memandangnya dengan mata menyatakan kemenangan besar! Tiba-tiba saja Kwan Cu menjadi mata gelap. Segera dicabutnya Liong-coan-kiam dan dia hendak mencincang tubuh musuh besarnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan Wi Wi Toanio.

"Lu Kwan Cu, tahan senjatamu!"

Suara yang lunak dan halus ini memang amat besar pengaruhnya terhadap Kwan Cu. Tanpa terasa lagi, dia kembali menurunkan pedangnya.

Wi Wi Toanio melompat ke tempat itu sambil memegang tusuk kondenya yang tadi gagal membunuh Kwan Cu.

"Kwan Cu, lupakah kau akan sumpahmu tadi? Aku menghendaki agar kau mengampuni Kai Seng dan selamanya kau tidak boleh membunuhnya! Lihatlah, tusuk konde ini yang menjadi saksi akan sumpahmu. Kau harus mentaati segala kehendakku!"

Kwan Cu menjadi makin pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa semua ini adalah tipu muslihat dari Wi Wi Toanio. Selama ini An Kai Seng memang masih hidup, dan yang didorong masuk ke dalam rawa-rawa sampai mati mungkin hanyalah salah seorang kaki tangan mereka yang sengaja dikorbankan untuk siasat ini! Jadi selama ini Kai Seng tahu bahwa isterinya sengaja menjual diri kepada Kwan Cu dan selama itu mungkin sekali Kai Seng bersembunyi di dalam hutan, mengintai semua perbuatannya!

"Kau... kau merencanakan tipu busuk ini…”

Wi Wi Toanio mengangguk. "Kau terlalu lihai untuk dilawan dengan senjata," jawabnya sederhana.

Kwan Cu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang gagah dia harus memegang teguh sumpahnya. Selamanya dia tidak dapat membunuh Kai Seng kalau Wi Wi Toanio tidak menghendakinya.

"Kwan Cu, berjanjilah bahwa kau tak akan membunuh Kai Seng," kata pula Wi Wi Toanio dan suara yang biasanya terdengar mesra itu kini terdengar oleh Kwan Cu seperti suara setan.

"Baik, baik, aku menyerah kalah."

Dan akhirnya, sambil mengeluarkan teriakan setengah tertawa dan setengah menangis, pendekar muda yang sakti ini lalu berkelebat dan lenyap dari situ!

Kai Seng memeluk isterinya. "Wi Wi, aku berhutang nyawa kepadamu. Kau benar-benar seorang isteri yang setia!"

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam perutnya Kai Seng merasa panas sekali kalau dia mengingat akan cara bagaimana isterinya menyelamatkan nyawanya. Dia merasa amat sakit hati kepada Lu Kwan Cu.

Wi Wi Toanio tahu akan isi hati suaminya, maka ia menghiburnya, "Jangan kau kecewa. Biarlah perlahan-lahan kita mencari Kwan Cu dan dengan pengaruh tusuk konde itu, kita akan dapat membunuhnya kalau dia bertemu dengan kita lagi."

Akan tetapi usaha suami isteri yang curang ini selalu gagal.

Di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar nama Lu Kwan Cu lagi, yang ada hanyalah Bu Pun Su (Tidak Ada Kepandaian). Semenjak munculnya pendekar yang berjuluk Bu Pun Su, dunia kangouw tergoncang hebat.

Dan Bu Pun Su ini bukan lain adalah pemuda Lu Kwan Cu yang menderita pukulan hebat sekali seperti orang gila, namun dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar penolong mereka yang sengsara.

T A M A T

SERI KE 2 SERIAL BU PUN SU ANG I NIO CU (DARAH BAJU MERAH)

Pendekar Sakti Jilid 37

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 37

PARA pejuang yang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka juga turut mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh sudah roboh malang melintang dan bertumpang tindih. Sebagian lagi segera melarikan diri dengan muka pucat, tidak tahan menghadapi para pendekar itu.

Akibat terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka bahkan menunda keperluan lainnya dan semenjak saat itu, Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka segera menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan kaisar.

Berkat perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan penjajah. Kaisar Si Cung, yakni pengganti Kaisar Sin Cong, juga mengerahkan barisan dan dengan bantuan suku bangsa Uighur, akhimya dapat merebut kembali kota raja dan mengusir penjajah.

Beberapa tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan kelompok kecil yang cerai berai dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini.

****

Sesudah melakukan tugas membantu perjuangan rakyat beberapa tahun lamanya, para orang gagah yang tidak gugur dalam peperangan kembali lagi ke tempat masing-masing, termasuk Pak-lo-sian yang mengajak Swi Kiat kembali ke utara.

Kun Beng yang mendapat pukulan batin hebat karena peristiwa dengan Gouw Kui Lan, melenyapkan diri, agaknya untuk menebus dosa.

Sui Ceng lalu menyusul gurunya, Kiu-bwe Coa-li untuk memperdalam ilmu silatnya serta mempelajari kebatinan. Hatinya masih terluka dan dia masih menderita patah hati serta duka, mengandung cinta kasih yang tidak tercapai.

Bagaimana dengan Kwan Cu, pendekar sakti itu? Pemuda ini menderita batinnya. Cinta kasihnya terhadap Sui Ceng mengalami kegagalan, membuat dia makin merasa jemu terhadap kehidupan. Meski pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dia seperti seorang yang jauh lebih tua.

Namun, semangat membalas dendam masih terkandung dalam hatinya, terhadap An Kai Seng, musuh besar yang tinggal satu-satunya itu. Oleh karena itu, setelah peperangan selesai dan pemerintah Tang berdiri kembali, Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan untuk mencari musuh besarnya ini. Akhirnya dia mendapat berita bahwa An Kai Seng tinggal di kota An-keng di Propinsi An-hui. Segera dia menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya ini.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang dan merupakan kota yang besar dan ramai. An Kai Seng tinggal di kota besar ini bersama isterinya dan tetap menggunakan nama Tan Kai seng. Tak seorang pun pernah mengira bahwa Tan Kai Seng ini adalah cucu dari An Lu Shan, si pemberontak yang sudah mendatangkan banyak sekali mala petaka kepada rakyat jelata.

Setelah mengetahui bahwa musuh besarnya, yakni Lu Kwan Cu yang amat lihai, begitu menghendaki nyawanya, An Kai Seng beserta isterinya telah memperdalam ilmu silatnya sehingga kepandaiannya jauh lebih maju kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia bertemu dengan Kwan Cu. Isterinya bahkan kembali belajar dari gurunya, yakni Lui Kong Nikouw, sedangkan An Kai Seng belajar dari beberapa orang guru silat yang pandai.

Tidak demikian saja, bahkan An Kai Seng yang kaya raya itu kini mendatangkan banyak jago-jago silat untuk menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Juga Lui Kong Nikouw kini ditarik olehnya dan tinggal di kota An-keng.

Di samping Lui Kong Nikouw, masih ada tiga orang lagi yang dia amat andalkan, yakni tiga jago yang disebut Sin-to Sam-eng (Tiga Orang Gagah Bergolok Sakti). Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-si yang diusir dari partai itu karena melanggar peraturan. Dengan pandainya mereka dapat menyelundup ke Go-bi-san dan menjadi murid partai Go-bi-pai pula, akan tetapi lagi-lagi mereka diusir karena memang mereka bukan orang baik-baik.

Akan tetapi, sesudah menerima pelajaran ilmu silat dari kedua partai ini, ditambah pula dengan pengalaman-pengalaman mereka dan pergaulan mereka dengan kaum hek-to (penjahat), kepandaian tiga orang ini benar-benar amat lihai.

Yang tertua bemama Ang Kian dan berjuluk It-to-cilan (Setangkai Bunga Cilan), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang ditakuti orang. Tiap kali melakukan perbuatan terkutuk, dia selalu meninggalkan sebatang cilan-piauw, yakni semacam senjata rahasia berbentuk bunga cilan, maka dia mendapat nama julukan It-to-cilan.

Orang ke dua bernama Yap Ki, seorang ahli mempergunakan racun sehingga dijuluki Tok-ong (Raja Racun), sedangkan orang ke tiga adalah adiknya sendiri bernama Yap Ek yang paling lihai ilmu goloknya di antara dua orang kawannya.

Tiga orang penjahat ini dengan menggabungkan ilmu silat Siauw-lim-si dan Go-bi, dapat menciptakan ilmu golok yang kemudian mereka namakan Sin-sam To-hiap (llmu Golok Tiga Serangkai Yang Sakti), nama yang benar-benar menggambarkan betapa sombong adanya tiga orang ini. Akan tetapi, memang ilmu golok mereka jarang ada yang dapat menandingi dan hal ini membuat mereka makin sombong dan tinggi hati.

Hanya dengan harta bendanya yang banyak serta senyum dan lirikan mata Wi Wi Toanio yang menggiurkan, maka An Kai Seng baru berhasil menarik ketiga orang ini menjadi sahabatnya atau lebih tepat disebut pengawal pribadinya. Ia juga maklum bahwa antara isterinya dan It-to-cilan Ang Kian yang berwajah tampan ada terjalin hubungan yang tidak seharusnya, akan tetapi An Kai Seng hanya dapat mengelus dada saja.

Kepandaian isterinya lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, sedangkan Ang Kian juga mempunyai kepandaian yang tidak mampu dilawannya. Apa lagi Ang Kian bersama kawan-kawannya merupakan pelindung-pelindungnya, maka dia merasa bahwa menjaga keselamatan diri sendiri lebih penting dari pada kebahagiaan rumah tangganya. Karena itu dia tidak mempedulikan lagi kepada isterinya, bahkan ditemani oleh kawan-kawannya ini, dia mulai mencari hiburan di luar dan memelihara banyak selir di luaran.

Selain melakukan penjagaan yang sangat kuat di rumahnya, juga di kota An-keng dan di sekitarnya, dia melepas banyak kaki tangan untuk menyelidiki kalau-kalau ada datang Kwan Cu musuh besarnya. Akan tetapi sampai beberapa tahun tidak ada kabar ceritanya tentang diri Kwan Cu. Paling akhir dia mendengar bahwa musuhnya itu membantu kaum pejuang, maka dia menganggap bahwa pemuda itu tentu telah gugur dalam peperangan. Hatinya mulai lega dan tenang.

Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika pada suatu hari dia mendapatkan kabar dari pengurus hotel Liok-an yang menjadi kaki tangannya pula bahwa di hotel itu telah datang seorang pemuda yang mengaku bernama Lu Kwan Cu! Kalau ada geledek menyambar pada waktu tengah hari, Kai Seng agaknya takkan sekaget itu. Cepat dia mengumpulkan jago-jagonya dan mengadakan perundingan.

"Belum tentu kalau yang datang itu adalah musuh besarmu, Tan-wangwe," kata Ang Kian menghibur. "Sebaiknya kita semua pergi ke hotel itu dan kau melihat sendiri apakah dia betul-betul musuh besarmu itu. Kalau ternyata betul, tak usah banyak ribut lagi kita terus membunuhnya.” Memang Ang Kian amat sombong dan memandang rendah pada musuh besar majikannya ini.

"Tak bisa, tak bisa!" kata Kai Seng yang sudah ketakutan. "Kalau benar dia Lu Kwan Cu, begitu melihat aku, tentu dia akan menyerangku!"

"Takut apa? Kita membawa kawan-kawan dan tak mungkin dia dapat mengalahkan kita," kata Yap Ki.

"Tidak tepat," lagi-lagi Kai Seng mencela, "lebih baik lekas panggil Kwa-sianseng."

Yang disebut Kwa-sianseng adalah seorang kaki tangannya yang selalu berpakaian mirip seperti sastrawan, dan memang betul ia merupakan seorang terpelajar yang terkenal ahli dalam melukis. Kalau melihat sesuatu, dia dapat melukisnya cepat dan cocok sekali.

Selain kepandaian ini, dia pun mengerti ilmu silat cukup tinggi sehingga di kota An-keng dia dijuluki Bun-bu Siang-pit. Senjatanya adalah siang-pit (sepasang pit) yang tidak saja lihai kalau digunakan untuk menggambar, akan tetapi juga lihai kalau dimainkan sebagai senjata.

Orang she Kwa ini dipanggil dan segera mendapat tugas untuk menyelidiki pemuda di hotel Liok-an yang bemama Lu Kwan Cu itu. Kwa-sianseng menerima tugas ini dengan senyum menyeringai, karena tiap kali mendapat tugas dari hartawan she Tan ini, selalu dia akan pulang dengan kantong penuh uang.

Pemuda yang datang di hotel Liok-an itu memang benar Lu Kwan Cu. Biar pun pemuda ini dapat menduga bahwa tentu di kota ini An Keng Seng mempunyai banyak kaki tangan dan mata-mata, namun dia sengaja menuliskan nama asli di buku tamu.

Apa yang dia takutkan? Pemuda ini merasa yakin akan kepandaiannya sendiri dan dia sudah merasa pasti bahwa betapa pun juga akhimya dia akan berhadapan muka dengan musuh besarnya. Sesudah membersihkan diri, dia segera pergi ke rumah makan untuk makan siang.

Seperti juga di hotel Liok-an, di rumah makan itu terdapat banyak pelayan yang amat memperhatikan dia. Dengan pandangan matanya yang sudah awas itu, Kwan Cu dapat membedakan perhatian orang biasa dan perhatian orang yang mengandung maksud tertentu. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan makan dengan tenang, sungguh pun dia amat berhati-hati dan mencoba setiap masakan lebih dulu, menjaga kalau-kalau fihak musuh menaruh racun.

Di dalam rumah makan itu hanya ada beberapa orang tamu yang makan siang. Akan tetapi di antara mereka, hanya seorang yang menarik perhatian Kwan Cu dan diam-diam dia mengawasi gerak-gerik orang ini.

la melihat orang ini sebagai seorang sastrawan dan biar pun orang itu kelihatan makan minum seorang diri, namun dia tahu bahwa orang itu amat memperhatikannya. Tiba-tiba dia melihat orang itu mencorat-coret sehelai kertas dengan pitnya. Melihat pit itu, makin besar kecurigaan hati Kwan Cu. Pit itu gagangnya terbuat dari pada kuningan dan lebih tepat kalau dipergunakan sebagai senjata.

Akan tetapi Kwan Cu pura-pura tidak melihatnya dan mempercepat makannya. Setelah beres membayar, dia lalu keluar. Akan tetapi pada saat dia sengaja lewat di dekat meja sastrawan itu dan melirik ke atas mejanya, dia menjadi terkejut dan heran sebab biar pun orang itu cepat-cepat menutupi kertas yang dicoret-coretnya, tapi sekelebatan dia masih sempat melihat bahwa di atas kertas itu tergambar wajahnya sendiri!

Namun Kwan Cu dapat menekan perasaannya dan cepat melangkah keluar. Dia segera menyelinap dan bersembunyi di tempat yang agak jauh sambil memasang mata. Apakah kehendak sastrawan itu yang dapat menggambar mukanya demikian cepat dan demikian cocok?

Tidak lama kemudian dia melihat orang itu keluar, menengok ke kanan kiri lalu berjalan dengan tindakan kaki tergesa-gesa ke kiri. Kwan Cu mengikutinya dari jauh. Orang itu masuk ke dalam rumah gedung yang mewah dan terjaga kuat. Di pintu pekarangan saja dia melihat lima orang laki-laki yang sikapnya seperti tukang pukul, sedang duduk sambil bercakap-cakap. Melihat sastrawan itu, lima orang penjaga menjura sambil tertawa.

"Lopek, bukankah rumah gedung itu adalah tempat tinggal Kwan-wangwe (hartawan she Kwan)?" tanya Kwan Cu kepada seorang tua yang memikul tahu.

Kakek itu menggerakkan alisnya heran. "Ehh, anak muda, masa kau tidak tahu bahwa itu adalah gedung dari Tan-wangwe?"

Kwan Cu berdebar girang, akan tetapi dia tak memperlihatkan kegembiraannya, bahkan nampak kecewa. "Aku mencari rumah hartawan Kwan."

"Entahlah, aku tidak tahu di mana rumah hartawan Kwan. Kalau gedung itu memang rumah hartawan Tan Kai Seng, siapa orangnya tidak mengenal rumahnya?" Tukang tahu itu lalu pergi lagi setelah Kwan Cu menghaturkan terima kasihnya.

"Hemm, tidak salah lagi. Di situlah tempat tinggal anjing she An itu," pikimya dan tanpa membuang waktu lagi dia segera melangkah lebar menuju ke pintu gerbang pekarangan gedung itu.

"Siapa kau? Mau apa menyelonong ke sini?" bentak seorang di antara lima penjaga pintu pekarangan.

"Katakanlah kepada Tan-wangwe bahwa ada seorang sahabat dari jauh hendak bertemu dengan dia," jawab Kwan Cu tenang.

"Tan-wangwe sudah memesan kepada kami bahwa hari ini dia tidak mau terima tamu. Kau lekas tinggalkan nama dan alamat biar nanti kami yang menyampaikan. Besok pagi boleh datang lagi menerima keputusan."

"Hm, dia hendak menyembunyikan diri? Tidak apa, aku bisa masuk sendiri menemuinya."

Sambil berkata demikian, Kwan Cu tidak mempedulikan lagi para penjaga itu dan terus berjalan masuk.

"Heiii, kau ini bangsat dari mana begini tidak tahu aturan? Berhenti!" Lima orang penjaga mengejar, akan tetapi Kwan Cu berjalan terus memasuki pekarangan.

"Kau harus dilempar keluar!" seorang di antara mereka berteriak sambil mencengkeram pundak Kwan Cu dan hendak melemparkan pemuda itu keluar dari pekarangan. Akan tetapi, segera dia berseru kaget ketika tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpelanting keluar dari pekarangan, jatuh di jalan raya mengeluarkan suara berdebuk!

Empat orang penjaga yang lainnya menjadi marah dan mereka lalu memukul. Terdengar suara berdebukan dan bukan yang dipukul yang jatuh, melainkan para pemukulnya yang memekik kesakitan dan terguling roboh!

Jeritan para penjaga pintu itu terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung. Tidak lama kemudian keluarlah berlarian beberapa orang dan Kwan Cu menjadi girang bukan main, karena di antara sekian banyak orang itu dia mengenal An Kai Seng dan Wi Wi Toanio!

"Bangsat she An, bersiaplah untuk terima mampus!" bentak Kwan Cu sambil menghunus pedang Liong-coan-kiam dari pinggangnya.

Akan tetapi sekali berkelebat, Kai Seng dan Wi Wi Toanio lenyap di dalam gedung dan ketika Kwan Cu hendak mengejar, dia dihadang oleh lima orang. Orang pertama adalah si sastrawan tadi yang bukan lain adalah Kwa-sianseng. Orang ke dua adalah Lui Kong Nikouw yang sudah dikenal oleh Kwan Cu. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Sin-to Sam-eng yang belum dikenalnya.

Melihat Kwan Cu mengejar majikan mereka, lima orang ini maju mengeroyoknya. Akan tetapi begitu Kwan Cu menggerakkan Liong-cuan-kiam, maka terdengarlah suara nyaring pada saat pedangnya mengenai salah satu pit milik Kwa-sianseng dan sebatang golok di tangan It-to-cilan Ang Kian, orang pertama dari Sin-to Sam-eng.

Lima orang yang senjatanya tidak terbabat putus oleh Liong-cuan-kiam itu terkejut sebab merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga dari pemuda itu jauh mengatasi tenaga mereka yang dipersatukan.

Kwan Cu mengamuk terus dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dibarengi dengan gerakan tangan kiri. Dia berhasil merobohkan It-to-cilan dengan sebuah pukulan tangan kiri yang tepat mengenai jalan darah di lehernya.

Lui Kong Nikouw membabat dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang kawannya yang menggerakkan senjata dengan cepatnya. Akan tetapi gerakan Kwan Cu lebih cepat lagi sehingga sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mendadak Lui Kong Nikouw menjerit dengan pundak terluka dan Yap Ki si Raja Racun terlempar kena ditendang oleh Kwan Cu. Bukan main kaget dan marahnya para pengeroyok ini.

Tok-ong Yap Ki berseru keras dan sambil melompat berdiri tangannya bergerak-gerak. Beberapa tok-ciam (jarum beracun) menyambar ke arah Kwan Cu, akan tetapi sekali saja Kwan Cu mengibaskan tangan kirinya, jarum-jarum itu lantas terpental kembali, ada yang langsung menyerang Yap Ek dan si sastrawan dan lebih hebat lagi, ada yang kembali dan menyerang Yap Ki sendiri!

Yap Ek dan si sastrawan roboh akan tetapi Yap Ki dapat menyelamatkan dirinya. Si Raja Racun ini kaget sekali melihat jarum-jarumnya mengenai saudaranya dan kawan sendiri, karena dia tahu bahwa jarum-jarum beracun itu amat berbahaya dan siapa yang terkena akan binasa dalam beberapa menit saja bila tidak lekas-lekas dia beri obat pemunahnya.

Pada saat itu, dari dalam gedung keluarlah belasan orang bersenjata, sedangkan dari luar gedung masuk pula lebih dari dua puluh orang dengan senjata di tangan. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dan kaki tangan An Kai Seng yang telah mendengar bahwa musuh besar majikan mereka datang mengamuk.

Kwan Cu segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi apakah artinya puluhan jagoan-jagoan murah itu? Dengan enaknya Kwan Cu menyimpan kembali pedangnya, lalu dia menggerakkan kaki dan tangannya untuk merobohkan mereka seperti orang membabat rumput saja.

Yap Ki sendiri tidak dapat membantu pengeroyokan itu, karena dia sibuk memberi obat pemunah kepada si sastrawan Kwa dan Yap Ek agar nyawa mereka ini bisa tertolong. Kemudian, dia lalu maju menerjang lagi dengan goloknya.

Selagi Kwan Cu mengamuk hebat, dari luar datang lagi serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah sepasukan penjaga keamanan kota yang jumlahnya tiga puluh orang! Sebagai hartawan yang terkenal dengan nama Tan-wangwe dan seringkali menyumbang sehingga memiliki hubungan yang amat baik dengan para pembesar, tentu saja An Kai Seng segera ditolong oleh penjaga-penjaga keamanan ketika mereka mendengar bahwa di rumah Tan-wangwe terjadi keributan dengan datangnya seorang pengacau.

Kwan Cu menjadi gemas. Tetapi pemuda ini tidak mau sembarangan membunuh orang. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi dia mampu membikin para pengeroyoknya itu roboh seorang demi seorang dengan tulang-tulang yang patah atau luka-luka yang tidak menimbulkan bahaya bagi keselamatan nyawa mereka. Dan tak lama kemudian, jumlah pengeroyok hanya tinggal belasan orang lagi dan sebagian besar sudah rebah malang melintang tak berdaya.

"Bangsat she Lu, kau keterlaluan!" tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan seorang berpakaian panglima maju menerjang dari luar.

Kwan Cu memandang dan melihat bahwa yang datang adalah Panglima Kam Cun Hong, maka sambil menangkis serangan pedang di tangan panglima ini dengan sulingnya yang sudah dia cabut secepat kilat, dia pun segera tertawa mengejek.

"Hemm, bukankah kau adalah panglima yang dahulu sama-sama datang dengan Kiam Ki Sianjin? Bagus kau belum mampus oleh para pejuang, sekarang kau mengantar jiwa!"

Kata-kata Kwan Cu ini mengejutkan hati Kam Cun Hong. Panglima ini memang sudah melarikan diri dari kota raja dan di kota ini minta perlindungan dari An Kai Seng yang sudah dikenalnya. Walau pun dahulunya mereka ini bermusuhan, yakni Kam Cun Hong membantu Si Su Beng sedang An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, namun karena sama-sama mempunyai rahasia yang harus disembunyikan, maka An Kai Seng tidak menolaknya dan bahkan memberi rumah kepada bekas panglima ini.

Mendengar ucapan Kwan Cu, Panglima Kam takut kalau-kalau rahasianya diketahui oleh rakyat, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat dan melarikan diri.

Beberapa orang roboh lagi dan sisanya, hanya tujuh orang lagi termasuk Yap Ki si Raja Racun, menjadi gentar dan segera melarikan diri! Kwan Cu tertawa mengejek dan ia pun segera melompat ke dalam gedung hendak mengejar musuh besarnya. Semua kamar dibukanya, namun gedung yang amat besar itu sudah kosong melompong. Tak seorang pun pelayan berada di situ, agaknya sudah lari cerai-berai ketika keributan terjadi.

Memang sebelumnya An Kai Seng sudah mengatur terlebih dahulu dan membubarkan semua pelayan supaya tidak akan ada pelayan yang dapat dipaksa oleh Kwan Cu untuk memberi tahukan tempat sembunyinya.

Kwan Cu penasaran dan mencari terus. Setiap kamar yang tertutup pintunya, didobrak dan dibukanya. Ketika tiba di ruang belakang, dia melihat sebuah kamar yang tertutup pintunya. Didengarnya berkereseknya kain di dalam kamar, tanda bahwa di dalam kamar itu ada orangnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia mendorong pintu kamar yang tebal itu. Sekali dorong saja pecahlah daun pintunya dan dia segera melompat masuk.

“Ayaaa… kurang ajar sekali...!” terdengar pekik seorang wanita.

Kwan Cu merasa mukanya panas. Warna merah menjalar sampai di telinganya. Ternyata bahwa di dalam kamar itu terdapat Wi Wi Toanio yang agaknya sedang berganti pakaian, karena wanita cantik ini hanya memakai pakaian dalam yang amat pendek dan ringkas. Bukan main cantik dan menariknya wanita itu, sehingga untuk sesaat Kwan Cu berdiri bagaikan patung.

“Mana suamimu?” Kwan Cu berusaha untuk membikin suaranya terdengar kasar, akan tetapi dia tidak sanggup menekan suaranya yang agak gemetar.

"Laki-laki tak bermalu! Kau... kau melihat apakah? Cih, kurang ajar benar!" kata Wi Wi Toanio. Meski mulutnya berkata begini, namun sepasang matanya berseri dan mulutnya tersenyum manis!

Kwan Cu cepat membalikkan tubuhnya dengan perasaan amat jengah dan hati berdebar.

"Lekas kau berpakaian, baru kita bicara!" katanya.

Diam-diam dia merasa cemas kalau-kalau ada orang yang melihat dia berada di dalam kamar seorang wanita yang hanya memakai pakaian seperti itu, apa akan kata orang?

Terdengar wanita itu tertawa kecil dengan suara genit, lalu terdengar pula dia memakai pakaian. Waktu yang dipergunakan oleh Wi Wi Toanio untuk berpakaian amat lamanya, sehingga Kwan Cu menjadi hilang sabar.

"Cepatan sedikit!" bentaknya.

Akan tetapi Wi Wi Toanio hanya tertawa mengejek saja. Kemudian tercium bau yang amat harum, kiranya wanita itu dalam berdandan bahkan bersolek, berbedak segala!

Tiba-tiba Kwan Cu memiringkan tubuhnya dan tiga batang piauw menyambar lewat di samping tubuhnya.

"Jangan berlaku curang, takkan ada gunanya," dia mengejek tanpa menoleh.

Benar-benar lihai pemuda ini, tanpa menoleh dia tahu bahwa dia diserang oleh Wi Wi Toanio mempergunakan piauw.

"Hemm, kau mengambil pedang untuk apa? Kau tidak akan menang melawan aku," kata pula Kwan Cu.

Wi Wi Toanio terkejut bukan main sehingga tangannya yang memegang pedang menjadi gemetar. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia mengambil, pedang? Sementara itu, mengetahui bahwa wanita itu sudah mengambil pedang, tentu ia sudah berpakaian rapi, maka Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya memandang.

Bukan main, Wi Wi Toanio memang benar-benar seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya, dan pandai bersolek pula. Harus diakui oleh Kwan Cu bahwa belum pernah dia melihat wanita yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan wanita ini.

“Kau mau apa?" tanya Wi Wi Toanio yang sudah memegang sebatang pedang, mulutnya tersenyum-senyum memikat.

Kwan Cu masih bodoh dalam menghadapi kelincinan wanita, maka dia tidak tahu bahwa tadi sebenarnya Wi Wi Toanio memang sengaja menantinya di dalam kamar itu untuk mulai dengan siasatnya, memikat hati pemuda yang tak mungkin bisa dikalahkan dengan kekuatan senjata ini.

"Jangan berpura-pura bodoh!" bentak Kwan Cu. "Aku mencari suamimu, lebih baik kau berterus terang saja, di mana dia? Kalau aku sudah membalas dendam kepadanya, aku tak akan mengganggu dan tak peduli lagi dengan keadaanmu. Hanya An Kai Seng yang kucari dan aku tidak ingin mencari permusuhan dengan orang orang lain."

"Kau benar-benar hebat dan gagah," Wi Wi Toanio memuji, "jauh berbeda dengan Kai Seng dan kawan-kawannya yang tidak punya guna. Orang segagah engkau, yang masih begini muda, kenapa mengotori hati dan pikiran dengan permusuhan? Apakah tidak lebih baik kalau kita bersahabat saja? Aku ingin sekali menjadi sahabatmu, bahkan kalau kau sudi, aku suka berlutut dan mengangkat kau sebagai guruku."

"Tak usah banyak cakap, di mana suamimu?"

Melihat Kwan Cu tidak berhasil dibujuknya, Wi Wi Toanio tidak menjadi kecewa. Sebagai seorang wanita yang berpengalaman, dari sinar pandang mata Kwan Cu saja tahulah dia bahwa dirinya tidak kalah sama sekali. Tahu bahwa pemuda itu betapa pun juga sudah tertarik padanya, sudah mengagumi kecantikannya, karena itu ia menarik muka semanis mungkin.

"Lu Kwan Cu, apa boleh buat, agaknya kau tidak dapat dibujuk lagi untuk melenyapkan permusuhan. Kalau kau memang menghendaki pertempuran, mari kita lakukan secara terang-terangan dan secara orang gagah. Aku dan suamiku hendak menantangmu untuk mengadakan pertempuran sampai mati di dalam hutan dekat rawa maut di sebelah barat kota ini. Beranikah kau?"

"Mengapa tidak berani? Biar pun suamimu akan mengumpulkan semua jagonya di sana, aku tak akan takut seujung rambut pun! Akan tetapi, siapa yang tidak tahu akan kelicikan suamimu? Siapa yang percaya bahwa suamimu benar-benar akan berada di sana?"

"Lu Kwan Cu, kau menghinaku! Bukan suamiku, akan tetapi akulah yang menantangmu! Kau tidak percaya padaku? Datanglah besok pada pagi hari, aku dan suamiku pasti akan berada di sana, tanpa seorang pun kawan! Di sana kita bertiga akan menentukan siapa yang harus mampus. Kalau kau berani datang, tanda bahwa kau benar seorang jantan, akan tetapi kalau kau tidak mau dan tidak percaya kepadaku, terserah, mau bunuh aku boleh bunuh. Jangan harap kau dapat menemui Kai Seng sebelum besok pagi di hutan itu."

Kwan Cu berpikir sejenak, hatinya penuh keraguan.

"Lu Kwan Cu, apakah kau kira akan mampu memaksaku? Ketahuilah bahwa aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, kalau tidak demikian, andai kata sekarang aku menjerit minta tolong dan merobek-robek pakaianku, di mana lagi kau akan menaruh mukamu?"

Kwan Cu terkejut sekali. Memang hebat ancaman ini dan kalau dilaksanakan, namanya tentu akan hancur .

"Baiklah, andai kata suamimu tidak datang dan lari sembunyi, apa sih sukarnya mencari dia? Akhirnya aku pasti akan datang di hutan itu." Sesudah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan keluar dari gedung itu.

Setelah Kwan Cu pergi, Kai Seng muncul dari balik pintu rahasia yang berada di bawah tempat tidur. Mukanya pucat sekali, tubuhnya masih menggigil dan dia menarik napas berulang-ulang.

"Baiknya kau pandai sekali mengusir dia, hanya saja aku merasa kurang senang melihat gayamu di depan musuh besar kita," katanya kepada isterinya.

Wajah manis dari Wi Wi Toanio tiba-tiba menjadi berkerut dan dia memandang kepada suaminya dengan marah. "Apa katamu? Kalau kau sendiri becus mengusirnya, mengapa kau menyuruh aku? Sudah, sudah, besok kau boleh menghadapinya sendiri, aku lebih baik tinggal di rumah!"

Kai Seng segera menghampiri isterinya dan memegang lengannya.

"Jangan marah, isteriku yang manis. Nyawaku berada di tanganmu dan hanya engkau saja kiranya yang dapat menolongku, dapat menghadapi pemuda yang kepandaiannya seperti siluman itu."

Wi Wi Toanio menarik tangannya dan tersenyum puas. "Kau lihat saja nanti. Aku bukan wanita kalau tidak dapat membikin dia bertekuk lutut di hadapanku. Lebih baik lagi, aku akan mencari tahu akan rahasia kepandaiannya dan kalau saja aku dapat membujuknya sehingga dia mau menurunkan kepandaiannya itu, bukankah amat menguntungkan bagi kita? Akan tetapi kalau kau cemburu…" sinar mata yang jernih itu mengancam.

Kai Seng memeluk isterinya. "Tidak, isteriku. Demi keselamatan kita semua, aku tak akan cemburu... terserah kepadamu bagaimana kau akan menghadapinya."

"Nah, kalau begitu, kau dengarlah baik-baik…"

Isteri yang cantik dan juga sangat licin ini lalu membisikkan rencana dan siasatnya untuk menghadapi Kwan Cu, didengarkan oleh Kai Seng sambil mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi…..

*****

Hutan di sebelah barat kota An-keng tidak berapa besar akan tetapi amat liar, karena di tempat itu banyak terdapat rawa-rawa yang sangat berbahaya. Para penggembala tidak berani membawa binatang peliharaan mereka mendekati rawa, karena sekali tergelincir ke dalam rawa itu, tidak mungkin tertolong lagi.

Rawa itu airnya tidak dalam, tapi di bawah air terdapat lumpur yang dapat mengisap apa saja yang jatuh ke dalamnya. Di atas rawa penuh pohon-pohon dan pemandangan di situ memang sangat indah. Rumput-rumput hijau segar, akan tetapi kalau orang melihat ke bawah, orang akan bergidik dan merasa ngeri.

Pagi-pagi sekali Kwan Cu telah berlarian memasuki hutan, mencari-cari musuh besarnya, yakni Kai Seng dan Wi Wi Toanio yang sudah berjanji hendak mengadu kepandaian dengannya di tempat itu. Dia tidak begitu mengharapkan akan bertemu dengan mereka, karena dia masih sangsi apakah benar-benar seorang wanita seperti Wi Wi Toanio mau memegang janjinya. Sampai lama dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat bayangan seorang pun manusia.

"Hm, biar pun kau bersembunyi di mana saja, akhirnya aku pasti akan dapat mencarimu," kata Kwan Cu seorang diri, “dan lain kali aku takkan mendengarkan omongan wanita itu."

Baru saja dia hendak meninggalkan hutan, tiba-tiba dia melihat bayangan Wi Wi Toanio di pinggir rawa. Wanita ini menggunakan tangan kiri mencekik seorang laki-laki sambil memaki.

"Apa kau kira aku mudah saja menjadi kaki tanganmu? Sudah lama kau menyakiti hatiku dan sekaranglah pembalasanku!"

Tangan kanan wanita itu melayang, menghantarn dada laki-laki itu yang terjengkang dan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi laki-laki itu terlempar masuk ke dalam rawa!

“Apa yang kau lakukan itu?" teriak Kwan Cu terkejut dan seperti terbang dia lantas berlari rnenghampiri tempat itu.

Wi Wi Toanio kelihatan berdiri seperti patung, mukanya pucat memandang ke arah lelaki yang sudah terjungkal ke dalam rawa. Ketika Kwan Cu melihat, ternyata bahwa laki-laki itu jatuh ke dalam rawa dengan kepala lebih dulu sehingga yang kelihatan hanya kedua kakinya sampai ke pinggang saja. Kaki yang sudah lemas dan tak bergerak lagi, agaknya laki-laki itu sudah tewas. Yang sangat mengagetkan hatinya adalah ketika dia mengenal pakaian laki-laki itu sebagai pakaian An Kai Seng, musuh besarnya!

"Dia... dia An Kai Seng... apakah yang telah kau perbuat?" Kwan Cu memandang Wi Wi Toanio dengan heran.

Dengan perlahan Wi Wi Toanio membalikkan tubuh dan memandang Kwan Cu. Mukanya pucat, rambutnya awut-awutan menambah kecantikannya dan di atas pipinya terdapat butiran-butiran air mata. Setelah pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kwan Cu, tiba-tiba Wi Wi Toanio menangis.

"Eh, ehh, ehh, ada apakah...? Mengapa kau membunuh suamimu sendiri?"

Wi Wi Toanio tidak dapat menjawab, bahkan lalu berlutut di depan kaki Kwan Cu. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung sekali. Dia menyangka akan sesuatu yang tidak beres, maka sekali memegang kedua pundak wanita itu, Wi Wi Toanio telah dipaksanya berdiri lagi.

"Katakan, sandiwara apa ini? Kenapa kau mendahuluiku membunuh musuh besarku itu?"

"Lu Kwan Cu..., apakah hanya kau saja yang mempunyai sakit hati dan dendam? Apakah hanya kau saja yang membencinya? Aku… aku lebih sakit hati terhadap dia, aku lebih membencinya seperti membenci racun busuk! Dan kesempatan ini, selagi kami berada berdua di sini, kupergunakan untuk membalas sakit hatiku, sebelum kau mendahuluiku."

Kwan Cu tertegun. "Apa maksudmu? Bagaimana kau dapat sakit hati terhadap suami sendiri?"

"Aku… aku seorang wanita malang... dahulu aku dipaksa oleh manusia busuk itu menjadi isterinya. Aku tidak berdaya, orang tuaku dibelinya. Aku... aku tidak suka padanya, aku benci padanya! Kemudian kau datang, Taihiap. Kau seorang pendekar besar yang amat kukagumi, yang sudah lama ingin kujumpai, ehhh…, ternyata kau adalah musuh besar suamiku. Ternyata kau pun sudah dibikin sakit hati oleh manusia jahanam itu! Tidak itu saja, permusuhannya denganmu berarti menyeret aku pula ke dalam permusuhan ini, permusuhan dengan seorang pendekar pujaanku. Aku tidak tahan lagi, aku mengusulkan supaya dia dan aku menantangmu di sini dan dalam keadaan berdua saja ini, kugunakan kesempatan untuk membalas dendam. Karena itulah kubunuh dia!"

Wi Wi Toanio menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah mayat yang kini tinggal kelihatan kaki sebatas lutut saja, lalu menangis lagi.

Kwan Cu merasa tertarik sekali, tidak hanya tertarik oleh penuturan ini, namun terutama sekali tertarik oleh kecantikan Wi Wi Toanio, oleh olah bicaranya yang demikian menarik, demikian manis sehingga pemuda ini seperti mabuk.

Baru saja Kwan Cu mengalami patah hati karena Sui Ceng. Hati mudanya haus akan sifat lemah lembut seorang wanita, haus akan kasih sayang seorang wanita, terlebih lagi setelah dia digagalkan dalam cinta kasih pertamanya dengan Sui Ceng.

Melihat Wi Wi Toanio, timbul kasihan di dalam hatinya. Alangkah malangnya nasib wanita ini, wanita yang secantik ini, seperti bidadari!

Wi Wi Toanio bukanlah seorang wanita luar biasa kalau dia tidak dapat membaca pikiran Kwan Cu dari sinar matanya. Tiba-tiba dia makin terisak dan dipegangnya kedua tangan Kwan Cu sambil berlutut di depan pemuda itu!

"Lu-taihiap, setelah membunuh An Kai Seng, aku... aku yang sebatang kara ini sudah lama mengagumi Taihiap. Sudilah Taihiap menerima perasaan hatiku... biar sampai mati aku Wi Wi seorang sengsara takkan merasa penasaran. Jangan takut, Taihiap, perkara pembunuh Kai Seng ini tentu semua orang mengira bahwa taihiap yang melakukannya, akan tetapi selama aku berada di sampingmu, tidak seorang pun berani mengganggumu. Aku akan mengatakan bahwa Kai Seng tewas dalam pertempuran yang jujur. Dan kau boleh berdiam di gedungku, Taihiap. Atau, apa bila Taihiap menghendaki, aku juga rela meninggalkan gedung itu untuk mengikutimu merantau. Sampai mati aku ingin berada di sampingmu, Taihiap."

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara merayu-rayu ini, luluh hati Kwan Cu. Musuh besarnya sudah tewas, dan dia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan wanita ini, bahkan wanita ini pun menjadi korban dari musuh besarnya.

Suara yang merdu merayu ini, wajah yang cantik jelita, tangan halus yang memegangi tangannya, semua ini terlampau kuat dan berpengaruh bagi batin Kwan Cu yang biar pun amat kuat akan tetapi masih hijau dalam menghadapi wanita. Hampir saja dia memeluk wanita yang sudah menyerahkan diri dan nasib kepadanya.

Akan tetapi rasa jengah membuat dia membetot tangannya dan cepat melompat mundur. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Belum pernah dia menghadapi wanita yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya, apa lagi seorang wanita secantik Wi Wi Toanio.

Hatinya yang kosong dan kecewa karena kegagalan cinta kasihnya terhadap Sui Ceng menuntut isi. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini melemparkan diri ke dalam hatinya!

"Jangan...," suaranya gemetar dan berbisik, "jangan begitu Wi Wi Toanio..., ini… ini tidak baik...," katanya dan dia merasa heran sendiri karena napasnya menjadi terengah-engah dan tubuhnya lemas.

"Mengapa tidak baik?" Wi Wi Toanio bangun berdiri dan kembali dia memegangi kedua tangan pemuda itu. "Kita sama-sama bernasib malang, dan aku... aku juga rela menjadi muridmu, menjadi bujangmu... asal saja kau menerima perasaan hatiku, Lu-taihiap...”

Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah mendekati hatinya terbayang di depan mata Kwan Cu. Pek-cilan Thio Loan Eng, Liyani gadis raksasa, Malita dan Malika dua gadis katai, Gouw Kui Lan. Akan tetapi tidak ada yang secantik Wi Wi Toanio, tidak ada yang demikian menariknya, bahkan melebihi Sui Ceng. Tidak ada pula di antara mereka yang menyatakan cinta kasih sebulatnya seperti Wi Wi Toanio.

"Jangan..., biarkan aku pergi saja!" Hati nurani Kwan Cu masih memberontak dan sekali renggut dia melepaskan diri, lalu melompat dan hendak lari pergi, lari dari tempat yang dianggapnya amat asing, amat berbahaya namun yang mendebarkan hatinya ini.

"Kau kejam, Lu-taihiap. Kalau begitu, biarlah aku Wi Wi yang malang nasibnya binasa di saat ini juga!" sambil berkata demikian, wanita muda yang cantik jelita itu melompat ke dalam rawa di mana suaminya kini hanya kelihatan sepasang kaki sebatas lutut saja.

Kwan Cu belum pergi terlalu jauh, tentu saja pendengarannya yang luar biasa tajamnya itu dapat mendengar suara tubuh wanita itu terjatuh ke dalam lumpur berair.

"Wi Wi...!" teriaknya dengan muka pucat dan dia cepat melompat ke pinggir rawa.

Dilihatnya Wi Wi sudah tenggelam sampai ke pinggangnya, di dekat mayat suaminya itu! Muka wanita itu memandangnya sedemikian rupa sehingga Kwan Cu tak dapat menahan hatinya lagi.

"Wi Wi..., kau bertahan dulu, aku akan menolongmu..."

"Kalau kau meloncat ke sini, kita berdua akan mati, Taihiap."

"Tunggu, aku akan mencari akal."

"Tidak usah kau menolongku, hidup juga percuma saja. Kalau kau tidak mau menerima perasaan hatiku, aku tidak mau ditolong!"

Kwan Cu tak mau menjawab lagi, hatinya ngeri melihat betapa tubuh wanita itu melesak makin dalam, sekarang lumpur telah mengisapnya sampai ke dada. Bagaimana ia dapat menolongnya? Biar pun kepandaiannya tinggi, akan tetapi kalau dia melompat ke dalam rawa, dia pun akan terisap oleh lumpur itu dan tidak berdaya.

Tiba-tiba dia mendapat akal. Didorongnya sebatang pohon sehingga roboh dan batang pohon ini dia lemparkan ke dalam rawa di dekat Wi Wi Toanio. Air memercik ke atas hingga membasahi seluruh muka wanita yang kini kelihatan lemas. Isapan lumpur sudah rnenyesakkan dada dan membuat ia hampir tak dapat bernapas.

"Taihiap... Aku… aku mati... selamat tinggal...," katanya lemah.

"Wi Wi, tahankan, aku akan menolongmu!”

“Percuma...," kata Wi Wi Toanio dan kini ia semakin tenggelam sampai ke leher.

"Wi Wi, pegang cabang pohon itu!"

"Tidak, biar aku... mati...”

“Jangan, Wi Wi... aku kasihan padamu, aku akan menolongmu."

"Katakan, kau cinta padaku atau tidak?"

Kwan Cu tertegun, mukanya merah sekali dan dadanya berdebar.

"Katakan, Kwan Cu, sebelum lumpur ini memasuki mulutku, memasuki telingaku..."

Kwan Cu melihat betapa sekarang air sudah sampai ke dagu wanita itu, maka secara setengah terpaksa dan dengan suara gemetar dia menjawab, "Aku... cinta padamu, Wi Wi."

Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi Kwan Cu segera melayang turun ke dalam rawa itu. Kakinya menotol batang pohon yang tadi dilemparnya, dan dengan mengerahkan ginkang-nya agar batang itu tidak bergerak seperti dihinggapi oleh seekor burung saja, tangannya menyambar baju di pundak Wi Wi Toanio.

"Brettt!" Baju robek akan tetapi tubuh Wi Wi Toanio telah terbetot sedikit sehingga kini air hanya sampai di pundaknya.

"Keluarkan lenganmu dari lumpur itu!" kata Kwan Cu yang cepat mengimbangi tubuhnya karena batang pohon itu bergoyang-goyang.

Wi Wi Toanio menggerakkan tangannya dan tangan kirinya dapat terlepas dari isapan lumpur.

"Hati-hati, aku akan menarikmu keluar!" kata Kwan Cu lagi.

Dia cepat menyambar pergelangan tangan wanita itu, lalu dengan pengerahan tenaga lweekang yang hebat, dia dapat melawan isapan lumpur dan sedikit demi sedikit tertarik keluarlah tubuh Wi Wi Toanio dari bawah permukaan air. Kini tangan kanan Wi Wi Toanio merangkul pinggang Kwan Cu dan dia membantu pemuda ini menarik dirinya.

Gerakan ini sebetulnya tidak perlu, karena kalau dia diam saja, Kwan Cu akhirnya tetap akan dapat menariknya keluar. Bahkan dengan gerakan ini Wi Wi Toanio sudah merusak keseimbangan tubuh Kwan Cu sehingga ketika batang pohon itu bergoyang-goyang, dia tidak dapat menahan diri lagi sehingga keduanya terpeleset dan... tercebur ke dalam air!

"Celaka !" Wi Wi Toanio menjerit.

Akan tetapi dengan tenang Kwan Cu lalu menyambar cabang pohon dan sekali menarik dirinya, dia telah berdiri kembali di atas batang pohon.

Ia segera menangkap tangan Wi Wi Toanio lagi dan menariknya kuat-kuat. Ia berhasil! Kini Wi Wi Toanio dengan pakaian basah dan kotor, berdiri di atas batang pohon dengan menggigil, mendekap pinggang Kwan Cu yang pakaiannya juga basah dan kotor.

Tiba-tiba Wi Wi Toanio mengeluh panjang dan dia pingsan di dalam pelukan Kwan Cu. Pemuda ini terkejut dan setelah memeriksa ketukan nadi, tahulah dia bahwa wanita ini pingsan karena mengerahkan lweekang-nya sendiri.

Tadi di dalam lumpur, kalau Wi Wi Toanio tidak mengerahkan lweekang sekuatnya, tentu tubuhnya telah terisap semua dan dadanya terhimpit lumpur sampai tak dapat bernapas. Dan kini setelah terbebas, jalan darahnya langsung lancar kembali dan ini mendatangkan goncangan kepada jantungnya, terutama karena baru saja dia mengalami kekhawatiran hebat!

Kwan Cu lalu memanggul tubuh wanita itu dan melompat ke darat. Akan tetapi, ketika dia meloncat ke darat, batang pohon itu bergerak sehingga lenyaplah sebagian besar tenaga loncatannya. Hal ini karena sekarang ia memanggul tubuh Wi Wi Toanio dan pula batang pohon itu mengambang di atas air, maka amat mudah bergoyang.

Kwan Cu tidak berhasil melompat sampai ke darat, melainkan jatuh lagi ke dalam rawa! Baiknya dia terjatuh di bagian pinggir, di mana lumpur terdapat tanah keras sehingga dia selamat. Dengan tubuh Wi Wi Toanio di atas pundaknya, Kwan Cu berjalan naik dengan memegang dahan-dahan pohon sebagai bantuan. Akhirnya dia selamat sampai di darat dan Wi Wi Toanio mengeluh panjang, tanda siuman kembali dari pingsannya.

Begitu membuka mata, wanita ini segera menubruk dan memeluk leher Kwan Cu sambil menangis terisak-isak. Kwan Cu memandang wajah wanita itu, kemudian sambil tertawa dia berkata,

"Jangan kau menangis, bukankah kita sudah selamat? Lihat, mukamu dan mukaku serta pakaian kita penuh lumpur!"

Wi Wi Toanio mengangkat mukanya, dan wajahnya yang cantik manis tersenyum geli di antara air matanya.

"Mari kita mencuci pakaian kita," katanya. "Di tengah hutan ini terdapat sumber air, biar aku yang akan mencuci pakaianmu."

"Apakah kau tidak lebih baik pulang dan berganti pakaian? Aku… aku…"

Akan tetapi Wi Wi Toanio tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak membantah, karena wanita ini sudah memegang tangannya dan menariknya ke tengah hutan. Kwan Cu hanya menurut saja.

Dengan bujukan-bujukan, rayuan-rayuan dan tipu muslihat yang semenjak jaman purba dimiliki oleh pihak wanita untuk merobohkan hati pria yang bagaimana kuat pun, Wi Wi Toanio berhasil membikin Kwan Cu bertekuk lutut!

Pemuda yang masih hijau ini akhirnya jatuh dalam perangkap, roboh di bawah pengaruh Wi Wi Toanio yang memang amat cantik lahirnya, akan tetapi amat kotor batinnya itu. Kwan Cu mengalami pengalaman yang membuat dirinya seolah-olah sudah buta dan tuli, membuat dia seperti menjadi seekor domba yang lunak dan jinak, yang menuruti segala kehendak dan kemauan Wi Wi Toanio yang amat pandai mengambil hati.

Sampai tiga hari mereka berada di tengah hutan, akhirnya mereka bermufakat untuk mengadakan pertemuan di hutan itu setiap hari. Kemudian, barulah Wi Wi Toanio pulang ke kota An-keng dan Kwan Cu juga kembali ke rumah penginapan. Pemuda ini berani kembali ke kota karena Wi Wi Toanio menanggung bahwa tidak akan ada yang berani mengganggu dirinya.

Benar saja, ketika Kwan Cu tiba di hotel, pengurus hotel berlaku amat hormat dan manis kepadanya, dan dia memuji kekasihnya yang ternyata tidak berkata bohong. Wanita itu yang sudah pulang terlebih dulu agaknya sudah mengatur segala-galanya, bahkan untuk makannya, pengurus hotel menyediakannya dengan hidangan-hidangan istimewa.

*****

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah pergi ke hutan itu. Semalam dia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan Wi Wi Toanio. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan diam-diam dia harus mengakui bahwa meski pun perbuatannya itu tidak tahu malu, namun bagaimana lagi karena dia telah jatuh cinta kepada Wi Wi Toanio.

Dia mencinta wanita itu dengan seluruh jiwa raganya. Perasaan cinta kasihnya terhadap wanita-wanita lain, juga terhadap Bun Sui Ceng berubah menjadi cinta kasih terhadap Wi Wi Toanio. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Wi Wi Toanio sedang mempermainkannya, dan dia hanya mengira bahwa Wi Wi Toanio benar-benar cinta kepadanya dengan suci murni!

Dia segera membuat rencana dalam hidupnya yang akan datang. Wi Wi Toanio sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan dia, hendak menjadi suami isteri sampai tua dan hidup penuh kebahagiaan serta melupakan segala hal yang sudah lalu.

Bahkan Wi Wi Toanio tidak merasa keberatan untuk pergi ikut dengan dia tinggal di pulau kosong, yaitu Pulau Pek-hio-to di mana dia telah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Wanita itu bahkan menyatakan hendak ikut pula mempelajari ilmu ini dari Kwan Cu, dan keduanya hendak memperdalam ilmunya di pulau itu, jauh dari dunia ramai, hidup berdua penuh cinta kasih.

Wi Wi Toanio pulang lebih dulu karena harus membersihkan nama, harus menyatakan kepada dunia ramai bahwa Kai Seng telah meninggal dunia karena terjerumus ke dalam lumpur. Setelah itu, barulah mereka dapat menjadi suami isteri yang sah, karena sebagai seorang janda, Wi Wi Toanio berhak menikah lagi dengan pria pilihannya.

Bagi orang-orang biasa, tentu saja hal ini merupakan hal yang tidak masuk di akal. Tidak ada seorang janda yang menikah lagi. Akan tetapi Wi Wi Toanio bukanlah wanita biasa. Dia dapat dianggap sebagai seorang wanita gagah di dunia kang-ouw yang tidak kukuh mempertahankan tradisi lama, maka tentang perkawinan lagi dari seorang janda bukan apa-apa lagi.

Sebelum Kwan Cu berangkat ke hutan, pengurus hotel menemuinya sambil membawa sebungkus barang.

"Taihiap, perkumpulan orang-orang hartawan di kota ini yang mendengar bahwa Taihiap adalah seorang gagah yang amat terkenal, telah mengirim barang-barang sebagai tanda penghormatan. Harap Taihiap suka menerimanya."

Kwan Cu terheran, akan tetapi dia menerima bungkusan itu dan membukanya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat sejumlah barang-barang perhiasan yang indah-indah, terbuat dari pada emas dan permata, juga terdapat pula potongan-potongan uang emas.

"Ahh, bagaimana aku dapat menerima sumbangan sebanyak ini? Aku tidak mengenal mereka. Harap Lopek mengembalikan saja.”

"Jangan begitu, Lu-taihiap. Penolakan tentu akan mendatangkan rasa tidak enak dan malu. Harap Taihiap menerimanya, biar pun tidak semua."

Kwan Cu menganggap bahwa kata-kata ini ada betulnya juga. Pula, dia memang amat tertarik melihat benda-benda ini, karena alangkah senangnya apa bila dia bisa memberi ‘hadiah’ kepada kekasihnya. Dia lalu mengambil sebatang tusuk konde yang terbuat dari pada perak yang berukirkan atau berbentuk naga indah sekali dan bermata intan.

"Biarlah aku mengambil tanda mata ini saja. Selebihnya harap kau kembalikan, diiringkan ucapan terima kasihku."

Demikianlah, dengan tusuk konde itu di dalam sakunya, dia pergi ke hutan. Dia melihat kekasihnya sudah berada di situ dan tanpa banyak cakap lagi mereka kemudian saling berpelukan dengan mesra.

"Aku tunggu-tunggu kau setengah mati. Aku gelisah kalau-kalau secara diam-diam kau sudah meninggalkan aku," kata Wi Wi Toanio dengan sikap manja.

"Mengapa kau khawatir kutinggalkan? Demikian besarkah cintamu kepadaku, Wi Wi?"

Wi Wi Toanio menjatuhkan kepala di atas dada pemuda itu. "Aku akan bunuh diri kalau kau tinggalkan, kekasihku."

Kwan Cu tersenyum bangga. Hatinya sebesar gunung dan dia merasa amat berbahagia. Diambilnya tusuk konde yang tadi dia terima dari sumbangan para hartawan, kemudian diperlihatkan kepada Wi Wi Toanio.

"Wi Wi, lihat, aku membawa hadiah untukmu."

Wi Wi Toanio pura-pura memandang dengan penuh kekaguman. Padahal ‘sumbangan’ tadi sebetulnya adalah dia sendiri yang menyuruh pengurus hotel mengantarkan kepada Kwan Cu dengan maksud dan siasat tertentu.

"Pasangkan pada rambutku, Koko," katanya dengan suara mesra.

Kwan Cu memasang tusuk konde itu pada rambut Wi Wi Toanio yang hitam panjang dan halus serta berbau harum itu.

"Koko, apakah artinya tanda mata ini? Apakah sekedar untuk penghias rambut?"

"Tentu saja, habis apa lagi kegunaannya?" tanya Kwan Cu.

"Apa benar kau mencintaku seperti aku mencintamu, Koko? Mencinta dengan sepenuh jiwa ragamu?"

"Wi Wi, apakah kau masih bersangsi lagi? Lu Kwan Cu adalah orang gagah yang selalu memegang teguh janjinya."

"Kalau begitu, berjanjilah bahwa kau akan menuruti segala kemauanku, Koko."

Tanpa bersangsi-sangsi lagi, sambil memeluk tubuh itu erat-erat, Kwan Cu berbisik. "Aku bersumpah untuk menuruti segala kehendakmu, kekasihku. Biar tusuk konde naga perak ini menjadi saksi."

"Bagus! Girang sekali hatiku!"

Kegirangan Wi Wi Toanio benar-benar besar dan luar biasa. Sepasang matanya yang indah laksana mata burung hong itu bersinar-sinar, mukanya berseri-seri, akan tetapi di balik seri mukanya ini terbayang kekejaman yang hebat bukan main.

Tiba-tiba Kwan Cu melompat ke belakang dan bajunya pada lambung kiri berdarah. Kulit lambungnya terluka sedikit ketika dia melompat tadi karena Wi Wi Toanio telah menusuk lambungnya dengan tusuk konde yang dicabutnya perlahan-lahan.

Kwan Cu membelalakkan matanya, memandang wajah cantik yang tersenyum itu.

"Wi Wi... kau..." Akan tetapi kata-katanya ini dia hentikan dan secepat kilat tubuhnya melompat ke kanan.

Ia mendengar gerakan orang di balik rumpun dan sekali dia melompat, dia melihat orang itu hendak melarikan diri. Dengan gerakan kakinya, Kwan Cu dapat menendang bagian belakang lutut orang itu dengan cepat sehingga orang itu tidak sempat mengelak lagi, segera roboh terguling.

Kwan Cu menubruk maju dan menotok jalan darah orang itu. Ketika dia melihat wajah orang itu, tiba-tiba Kwan Cu menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Tak terasa lagi dia mundur tiga tindak. la melihat bahwa orang ini bukan lain adalah An Kai Seng.

“Kau... An Kai Seng...??”

An Kai Seng yang tidak jadi tertotok, bangkit duduk karena sambungan lututnya sudah terlepas. Dia menyeringai dan berkata mengejek,

"Memang aku An Kai Seng dan kau adalah pendekar besar Lu Kwan Cu yang telah main gila dengan isteri orang lain. Cih, manusia macam kau ini hidup juga hanya mengotorkan dunia. Bunuhlah aku kalau kau hendak bunuh, lebih baik mati dari pada hidup dengan nama busuk!"

Kwan Cu merasa seakan-akan dunia ini kiamat. Dia menoleh dan melihat Wi Wi Toanio memandangnya dengan mata menyatakan kemenangan besar! Tiba-tiba saja Kwan Cu menjadi mata gelap. Segera dicabutnya Liong-coan-kiam dan dia hendak mencincang tubuh musuh besarnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan Wi Wi Toanio.

"Lu Kwan Cu, tahan senjatamu!"

Suara yang lunak dan halus ini memang amat besar pengaruhnya terhadap Kwan Cu. Tanpa terasa lagi, dia kembali menurunkan pedangnya.

Wi Wi Toanio melompat ke tempat itu sambil memegang tusuk kondenya yang tadi gagal membunuh Kwan Cu.

"Kwan Cu, lupakah kau akan sumpahmu tadi? Aku menghendaki agar kau mengampuni Kai Seng dan selamanya kau tidak boleh membunuhnya! Lihatlah, tusuk konde ini yang menjadi saksi akan sumpahmu. Kau harus mentaati segala kehendakku!"

Kwan Cu menjadi makin pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa semua ini adalah tipu muslihat dari Wi Wi Toanio. Selama ini An Kai Seng memang masih hidup, dan yang didorong masuk ke dalam rawa-rawa sampai mati mungkin hanyalah salah seorang kaki tangan mereka yang sengaja dikorbankan untuk siasat ini! Jadi selama ini Kai Seng tahu bahwa isterinya sengaja menjual diri kepada Kwan Cu dan selama itu mungkin sekali Kai Seng bersembunyi di dalam hutan, mengintai semua perbuatannya!

"Kau... kau merencanakan tipu busuk ini…”

Wi Wi Toanio mengangguk. "Kau terlalu lihai untuk dilawan dengan senjata," jawabnya sederhana.

Kwan Cu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang gagah dia harus memegang teguh sumpahnya. Selamanya dia tidak dapat membunuh Kai Seng kalau Wi Wi Toanio tidak menghendakinya.

"Kwan Cu, berjanjilah bahwa kau tak akan membunuh Kai Seng," kata pula Wi Wi Toanio dan suara yang biasanya terdengar mesra itu kini terdengar oleh Kwan Cu seperti suara setan.

"Baik, baik, aku menyerah kalah."

Dan akhirnya, sambil mengeluarkan teriakan setengah tertawa dan setengah menangis, pendekar muda yang sakti ini lalu berkelebat dan lenyap dari situ!

Kai Seng memeluk isterinya. "Wi Wi, aku berhutang nyawa kepadamu. Kau benar-benar seorang isteri yang setia!"

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam perutnya Kai Seng merasa panas sekali kalau dia mengingat akan cara bagaimana isterinya menyelamatkan nyawanya. Dia merasa amat sakit hati kepada Lu Kwan Cu.

Wi Wi Toanio tahu akan isi hati suaminya, maka ia menghiburnya, "Jangan kau kecewa. Biarlah perlahan-lahan kita mencari Kwan Cu dan dengan pengaruh tusuk konde itu, kita akan dapat membunuhnya kalau dia bertemu dengan kita lagi."

Akan tetapi usaha suami isteri yang curang ini selalu gagal.

Di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar nama Lu Kwan Cu lagi, yang ada hanyalah Bu Pun Su (Tidak Ada Kepandaian). Semenjak munculnya pendekar yang berjuluk Bu Pun Su, dunia kangouw tergoncang hebat.

Dan Bu Pun Su ini bukan lain adalah pemuda Lu Kwan Cu yang menderita pukulan hebat sekali seperti orang gila, namun dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar penolong mereka yang sengsara.

T A M A T

SERI KE 2 SERIAL BU PUN SU ANG I NIO CU (DARAH BAJU MERAH)