Pendekar Sakti Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 27

PEMUDA yang bergerak belakangan ini bahkan jauh lebih cepat dari pada dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dahulu digerakkan menyamping membabat pedang!

Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu pada saat pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.

Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Akan tetapi dalam pertemuan senjata ini, Kwan Cu sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekang-nya. Karena itu dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.

Bian Ti Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu memiliki gerak tipu yang sama atau hampir sama dengan Tian-kiam Kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia kemudian memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai Tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari).

Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai Tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung yang mengitari tubuh Kwan Cu.

Untuk sejenak Kwan Cu melengak. Tidak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benar-benar hebat bukan main. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkang-nya, bergerak memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apa bila terlalu mendekati tubuhnya.

Juga dengan gerakan Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.

Setelah menghadapi belasan jurus serangan, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal ‘jiwa’ atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di dinding goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga.

Dengan girang dia lalu memuji, "Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"

Biar pun mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama persis seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu!

Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia menggunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.

Muka Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Dia segera mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!

"Ehhh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" tanyanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.

Kwan Cu cepat mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,

"Gerakan ilmu pedang tidak hanya dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapa pun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"

Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tiba mengubah ilmu silatnya dan sekarang sulingnya diputar cepat sekali.

"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-bin Sin-kai?"

Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.

"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu.

Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dahulu pernah dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia mempunyai kepandaian asli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali.

Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri tidak akan sanggup memainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.

Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapa pun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, maka semakin kacaulah ilmu silat itu.

Sebaliknya, biar pun hanya mainkan ilmu silat sederhana saja, kalau yang memainkan itu telah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat bukan main. Apa lagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, namun diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.

Setelah Kwan Cu membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk ‘memperkenalkan’ kelihaian Ang-bin Sin-kai, dia lalu mempergunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga mendadak hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas!

Dengan lweekang-nya yang tinggi, dia segera dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan untuk bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas

"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng sangat kagum dan takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

"Cianpwe terlalu memuji. Apa bila tadi Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boanpwe sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur serta baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.

Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.

"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa belas jurus.”

Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang ahli lweekang yang sekaligus telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,

"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" dia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena terhadap sikap yang kasar dan memandang rendah, Kwan Cu juga siap mengimbanginya.

"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."

Kwan Cu terkejut. Dia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana dan patut menjadi locianpwe, tak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"

Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi dongkol sekali. Dia pun lalu membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suheng-ku. Aku lihat tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, karena itu marilah kita bermain-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau mampu menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."

"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!” Kwan Cu menantang. Cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.

Bin Hong Siansu bertubuh kurus tinggi dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia segera memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di sisi pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).

Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini, akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lantas meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!

Ketika melihat sikap pemuda ini, Bin Hong Siansu menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapi dengan kuda-kuda biasa, betapa pun tangguhnya, akan dapat dia serang secara hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.

"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras.

Tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang menjadi serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu dan siap dibuka untuk mencengkeram apa bila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!

Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, oleh karena itu dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya saja sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!

Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, akan tetapi dia tidak gentar. Dia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan.

Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kali pun serangan tosu itu bisa mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apa bila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan.

Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena di dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi dari pada ginkang Bin Hong Siansu. Meski pun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, akan tetapi tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tidak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa.

Bin Hong Siansu memiliki julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa ginkang-nya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu, Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!

"Bocah siluman, kau pengecut!" mendadak Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi. "Bila kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri terus!"

Kwan Cu tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!"

Pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu. Kini dia tidak mau meniru-niru lagi, melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut!

Melihat pukulan tangan kanan Kwan Cu yang datangnya sangat lambat dan merupakan ilmu pukulan biasa saja, Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-in Hoat-sut, bahkan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau belum pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasakan kelihaian ilmu pukulan itu.

Melihat datangnya pukulan yang lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah pada urat nadi di pergelangan tangan lawan.

"Brettt…!"

Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur. Robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.

Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum lagi menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?

"Ilmu siluman…!" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya.

Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi amat marah melihat kesombongan dan mendengar hinaan tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak Sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, ada pun tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin Hong Siansu.

Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,

"Aduuuhhh… kurang ajar kau...!"

Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang sudah terjadi? Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu sudah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!

Biar pun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, akan tetapi tosu itu adalah seorang yang bisa melihat keadaan. Jika tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya bukan mencabut jenggot, melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,

"Kau sudah menghinaku, lain kali Kim-san-pai pasti akan mencarimu!" Sesudah berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,

“Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san."

Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.

Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang, "Pinceng juga masih punya urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan."

Hwesio ini lantas berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng sudah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Kemudian ia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.

Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, hati Kwan Cu menjadi tertarik. "Kiam Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?"

Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, tetapi kemudian dia tersenyum dan berkata,

"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."

“Musyawarah tentang apa?"

"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hendak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak itulah kau dengan mudah akan dapat menjumpai mereka."

Berdebar hati Kwan Cu. Dia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.

"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."

Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau juga sudah berjasa untukku."

Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu segera melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja dari pada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagai mana sudah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati.

Setelah dia kehilangan pedangnya, gadis ini ingin mencari senjata lebih dulu, akan tetapi bukan sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam dia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.

Hatinya sangat kesal dan pada hari ke lima itu, dia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang senang mengobrol mengenai keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.

Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan sudah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan Tang.

Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebilah pedang dari gudang senjata. Biar pun pedang ini bukan pusaka yang ampuh, akan tetapi merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat dari pada logam putih seperti perak.

Dengan amat girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai besi pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Dia bukanlah seorang bodoh dan tidak nanti dia mau menggunakan sarung pedang aslinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan dalam sarung pedang baru, dia pun berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Pada keesokan harinya, kembali dia mendatangi rumah makan itu untuk mendengarkan berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri.

Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus serta sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Lagi pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.

"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik-bisik. "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat digunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"

Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biar pun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!

Tiba-tiba terdengar suara orang di pintu luar.

"He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"

Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang baru datang itu bukanlah tamu kaya atau pun seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis. Celananya dipenuhi tambal-tambalan, bajunya sudah butut sekali, rambutnya dipotong pendek sehingga berdiri bagaikan rambut landak, begitu pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum.

Apa bila pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng yang lalu tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali.

Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu dia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi kedua mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Pelayan tua itu, tepat seperti dugaan Sui Ceng, merupakan seorang yang simpati kepada perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.

"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untuk Sicu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya...”

"Tak peduli berapa harganya, keluarkan saja. Ini cukup untuk membayarnya?" Pemuda itu lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya hampir sama dengan tiga jari tangan.

Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri-seri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyaplah kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,

"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."

Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling dan perampok kecil, siapakah yang takut? Nona itu biar pun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apa lagi aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.

Sui Ceng mengerutkan kening. Tadinya dia mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.

Tidak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu segera makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk pada meja yang jauh dari tempat itu.

Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,

"Tunggulah saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, pasti aku akan menenggak darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?

Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkan restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan.

Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri, lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya dan melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.

"Hmm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia tadi mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.

Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Dia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia amat tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana. Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja. Cepat-cepat dia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagahnya ke arah kota raja, lalu langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.

Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.

"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya sudah dibunuh orang!"

Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kau maksudkan An Lu Kui dan An Kong?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita bisa celaka."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.

"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha-ha-ha-ha, kalau daging mereka itu dimasak, biar pun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha-ha-ha!"

Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah rumah yang tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, cepat dia mengikutinya dari jauh.

Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah sampai di depan sebuah rumah gedung yang sangat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!

Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.

"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"

Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!"

Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, hanya mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.

Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah melayang naik ke atas genteng. Dia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!

"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"

Tidak lama kemudian Sui Ceng melihat ada dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan berbeda. Yang pertama adalah seorang pemuda gagah dan tampan yang datang dari sebelah kiri rumah. Kedatangannya amat mencurigakan sebab pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.

Pada saat itu terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan, kemudian dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.

Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah sangat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.

"Hemm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?!" bentak pemuda yang bertubuh gagah.

Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah. Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.

"Ha-ha-ha, kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"

Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.

"Ha-ha, tepat sekali makian itu...," katanya perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan, mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.

"Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan hidup agaknya!"

"Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi sebagai keturunan terakhir bukannya kau bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu yang bernama Han Le.

"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia sudah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.

Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), segera dia menggunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.

Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Berani kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng? Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya.

Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan tiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat.

Hati Sui Ceng berdebar-debar. Tanpa sengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong mau pun Han Le sudah mewarisi seluruh kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seolah-olah mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu sering kali dilakukan, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah.

Sayangnya, akhirnya Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Apa bila hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.

Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.

Dari atas genteng, Sui Ceng tidak ada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat.

Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang amat kuat, dan ia merupakan seorang ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia bisa mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.

Akan tetapi, biar pun kedua orang muda itu belum dikenalnya, tetapi sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat.

Ada pun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang sudah membantu penjajah. Apa lagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.

Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan sekarang gerakannya amat aneh dan sulit diduga terlebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang sangat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.

Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,

"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu selama hidup belum pernah aku melihatnya! Saudara Sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"

Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!"

Kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali.

Han Le merasa betapa dari kedua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan amat hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biar pun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!

Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbarengan dengan Sui Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi! Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!

Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,

"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kau kira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!"

Setelah berkata demikian, Lu Thong lari memasuki gedungnya dan tidak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan berat.

Sementara itu, dengan muka terheran-heran Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.

Ada pun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling memandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bila mana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang Han Le.

Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan sinarnya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebilah po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.

Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru dari pada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong menunjukkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali.

Sungguh pun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, akan tetapi pertahanan Lu Thong tidak dapat dibobolkan. Berkali-kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan setiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri.

la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang sangat kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali lagi melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiliki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.

Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, terus memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar-debar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,

"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona adalah nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li?”

Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi dia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,

"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? Siapakah saudara?"

Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak semakin tampan.

"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apa lagi ketika menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”

Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Dia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh…"

Bagaimana dia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu!

Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan yang tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,

"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga berlomba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dahulu!" Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.

Sui Ceng kembali berani mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan orang yang tidak menyenangkan hati.

Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula. Sambil mengangguk dia lalu mencabut pedangnya. Keduanya segera melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.

Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah tinggi bukan main, tidak kalah dengan tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.

Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apa lagi kini ditambah dengan pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapa pun tangguh ilmu toyanya, dia lantas terdesak hebat sekali.

"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.

"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tidak perlu menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat dari pada anjing penjilat atau ular!" Kun Beng berseru sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.

"Traaang! Traaang!"

Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya sudah terlepas dari tangannya. Tepat pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong pun terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas!

Lu Thong tak berdaya lagi. Ia meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.

"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru.

Nampaklah bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lu Thong sudah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.

Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, dia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apa lagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.

"Hemm, siapakah kau dan kenapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?” tanya Han Le penasaran.



Pendekar Sakti Jilid 27

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 27

PEMUDA yang bergerak belakangan ini bahkan jauh lebih cepat dari pada dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dahulu digerakkan menyamping membabat pedang!

Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu pada saat pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.

Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Akan tetapi dalam pertemuan senjata ini, Kwan Cu sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekang-nya. Karena itu dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.

Bian Ti Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu memiliki gerak tipu yang sama atau hampir sama dengan Tian-kiam Kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia kemudian memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai Tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari).

Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai Tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung yang mengitari tubuh Kwan Cu.

Untuk sejenak Kwan Cu melengak. Tidak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benar-benar hebat bukan main. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkang-nya, bergerak memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apa bila terlalu mendekati tubuhnya.

Juga dengan gerakan Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.

Setelah menghadapi belasan jurus serangan, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal ‘jiwa’ atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di dinding goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga.

Dengan girang dia lalu memuji, "Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"

Biar pun mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama persis seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu!

Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia menggunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.

Muka Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Dia segera mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!

"Ehhh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" tanyanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.

Kwan Cu cepat mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,

"Gerakan ilmu pedang tidak hanya dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapa pun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"

Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tiba mengubah ilmu silatnya dan sekarang sulingnya diputar cepat sekali.

"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-bin Sin-kai?"

Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.

"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu.

Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dahulu pernah dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia mempunyai kepandaian asli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali.

Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri tidak akan sanggup memainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.

Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapa pun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, maka semakin kacaulah ilmu silat itu.

Sebaliknya, biar pun hanya mainkan ilmu silat sederhana saja, kalau yang memainkan itu telah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat bukan main. Apa lagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, namun diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.

Setelah Kwan Cu membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk ‘memperkenalkan’ kelihaian Ang-bin Sin-kai, dia lalu mempergunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga mendadak hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas!

Dengan lweekang-nya yang tinggi, dia segera dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan untuk bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas

"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng sangat kagum dan takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

"Cianpwe terlalu memuji. Apa bila tadi Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boanpwe sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur serta baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.

Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.

"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa belas jurus.”

Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang ahli lweekang yang sekaligus telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,

"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" dia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena terhadap sikap yang kasar dan memandang rendah, Kwan Cu juga siap mengimbanginya.

"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."

Kwan Cu terkejut. Dia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana dan patut menjadi locianpwe, tak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"

Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi dongkol sekali. Dia pun lalu membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suheng-ku. Aku lihat tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, karena itu marilah kita bermain-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau mampu menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."

"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!” Kwan Cu menantang. Cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.

Bin Hong Siansu bertubuh kurus tinggi dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia segera memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di sisi pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).

Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini, akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lantas meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!

Ketika melihat sikap pemuda ini, Bin Hong Siansu menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapi dengan kuda-kuda biasa, betapa pun tangguhnya, akan dapat dia serang secara hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.

"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras.

Tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang menjadi serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu dan siap dibuka untuk mencengkeram apa bila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!

Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, oleh karena itu dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya saja sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!

Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, akan tetapi dia tidak gentar. Dia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan.

Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kali pun serangan tosu itu bisa mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apa bila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan.

Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena di dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi dari pada ginkang Bin Hong Siansu. Meski pun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, akan tetapi tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tidak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa.

Bin Hong Siansu memiliki julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa ginkang-nya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu, Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!

"Bocah siluman, kau pengecut!" mendadak Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi. "Bila kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri terus!"

Kwan Cu tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!"

Pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu. Kini dia tidak mau meniru-niru lagi, melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut!

Melihat pukulan tangan kanan Kwan Cu yang datangnya sangat lambat dan merupakan ilmu pukulan biasa saja, Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-in Hoat-sut, bahkan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau belum pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasakan kelihaian ilmu pukulan itu.

Melihat datangnya pukulan yang lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah pada urat nadi di pergelangan tangan lawan.

"Brettt…!"

Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur. Robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.

Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum lagi menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?

"Ilmu siluman…!" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya.

Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi amat marah melihat kesombongan dan mendengar hinaan tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak Sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, ada pun tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin Hong Siansu.

Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,

"Aduuuhhh… kurang ajar kau...!"

Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang sudah terjadi? Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu sudah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!

Biar pun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, akan tetapi tosu itu adalah seorang yang bisa melihat keadaan. Jika tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya bukan mencabut jenggot, melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,

"Kau sudah menghinaku, lain kali Kim-san-pai pasti akan mencarimu!" Sesudah berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,

“Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san."

Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.

Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang, "Pinceng juga masih punya urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan."

Hwesio ini lantas berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng sudah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Kemudian ia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.

Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, hati Kwan Cu menjadi tertarik. "Kiam Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?"

Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, tetapi kemudian dia tersenyum dan berkata,

"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."

“Musyawarah tentang apa?"

"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hendak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak itulah kau dengan mudah akan dapat menjumpai mereka."

Berdebar hati Kwan Cu. Dia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.

"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."

Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau juga sudah berjasa untukku."

Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu segera melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja dari pada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagai mana sudah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati.

Setelah dia kehilangan pedangnya, gadis ini ingin mencari senjata lebih dulu, akan tetapi bukan sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam dia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.

Hatinya sangat kesal dan pada hari ke lima itu, dia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang senang mengobrol mengenai keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.

Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan sudah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan Tang.

Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebilah pedang dari gudang senjata. Biar pun pedang ini bukan pusaka yang ampuh, akan tetapi merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat dari pada logam putih seperti perak.

Dengan amat girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai besi pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Dia bukanlah seorang bodoh dan tidak nanti dia mau menggunakan sarung pedang aslinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan dalam sarung pedang baru, dia pun berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Pada keesokan harinya, kembali dia mendatangi rumah makan itu untuk mendengarkan berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri.

Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus serta sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Lagi pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.

"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik-bisik. "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat digunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"

Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biar pun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!

Tiba-tiba terdengar suara orang di pintu luar.

"He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"

Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang baru datang itu bukanlah tamu kaya atau pun seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis. Celananya dipenuhi tambal-tambalan, bajunya sudah butut sekali, rambutnya dipotong pendek sehingga berdiri bagaikan rambut landak, begitu pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum.

Apa bila pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng yang lalu tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali.

Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu dia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi kedua mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Pelayan tua itu, tepat seperti dugaan Sui Ceng, merupakan seorang yang simpati kepada perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.

"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untuk Sicu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya...”

"Tak peduli berapa harganya, keluarkan saja. Ini cukup untuk membayarnya?" Pemuda itu lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya hampir sama dengan tiga jari tangan.

Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri-seri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyaplah kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,

"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."

Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling dan perampok kecil, siapakah yang takut? Nona itu biar pun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apa lagi aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.

Sui Ceng mengerutkan kening. Tadinya dia mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.

Tidak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu segera makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk pada meja yang jauh dari tempat itu.

Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,

"Tunggulah saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, pasti aku akan menenggak darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?

Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkan restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan.

Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri, lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya dan melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.

"Hmm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia tadi mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.

Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Dia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia amat tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana. Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja. Cepat-cepat dia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagahnya ke arah kota raja, lalu langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.

Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.

"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya sudah dibunuh orang!"

Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kau maksudkan An Lu Kui dan An Kong?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita bisa celaka."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.

"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha-ha-ha-ha, kalau daging mereka itu dimasak, biar pun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha-ha-ha!"

Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah rumah yang tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, cepat dia mengikutinya dari jauh.

Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah sampai di depan sebuah rumah gedung yang sangat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!

Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.

"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"

Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!"

Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, hanya mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.

Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah melayang naik ke atas genteng. Dia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!

"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"

Tidak lama kemudian Sui Ceng melihat ada dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan berbeda. Yang pertama adalah seorang pemuda gagah dan tampan yang datang dari sebelah kiri rumah. Kedatangannya amat mencurigakan sebab pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.

Pada saat itu terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan, kemudian dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.

Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah sangat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.

"Hemm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?!" bentak pemuda yang bertubuh gagah.

Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah. Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.

"Ha-ha-ha, kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"

Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.

"Ha-ha, tepat sekali makian itu...," katanya perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan, mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.

"Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan hidup agaknya!"

"Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi sebagai keturunan terakhir bukannya kau bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu yang bernama Han Le.

"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia sudah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.

Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), segera dia menggunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.

Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Berani kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng? Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya.

Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan tiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat.

Hati Sui Ceng berdebar-debar. Tanpa sengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong mau pun Han Le sudah mewarisi seluruh kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seolah-olah mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu sering kali dilakukan, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah.

Sayangnya, akhirnya Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Apa bila hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.

Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.

Dari atas genteng, Sui Ceng tidak ada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat.

Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang amat kuat, dan ia merupakan seorang ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia bisa mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.

Akan tetapi, biar pun kedua orang muda itu belum dikenalnya, tetapi sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat.

Ada pun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang sudah membantu penjajah. Apa lagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.

Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan sekarang gerakannya amat aneh dan sulit diduga terlebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang sangat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.

Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,

"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu selama hidup belum pernah aku melihatnya! Saudara Sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"

Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!"

Kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali.

Han Le merasa betapa dari kedua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan amat hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biar pun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!

Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbarengan dengan Sui Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi! Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!

Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,

"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kau kira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!"

Setelah berkata demikian, Lu Thong lari memasuki gedungnya dan tidak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan berat.

Sementara itu, dengan muka terheran-heran Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.

Ada pun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling memandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bila mana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang Han Le.

Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan sinarnya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebilah po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.

Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru dari pada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong menunjukkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali.

Sungguh pun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, akan tetapi pertahanan Lu Thong tidak dapat dibobolkan. Berkali-kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan setiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri.

la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang sangat kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali lagi melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiliki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.

Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, terus memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar-debar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,

"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona adalah nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li?”

Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi dia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,

"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? Siapakah saudara?"

Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak semakin tampan.

"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apa lagi ketika menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”

Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Dia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh…"

Bagaimana dia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu!

Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan yang tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,

"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga berlomba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dahulu!" Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.

Sui Ceng kembali berani mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan orang yang tidak menyenangkan hati.

Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula. Sambil mengangguk dia lalu mencabut pedangnya. Keduanya segera melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.

Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah tinggi bukan main, tidak kalah dengan tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.

Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apa lagi kini ditambah dengan pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapa pun tangguh ilmu toyanya, dia lantas terdesak hebat sekali.

"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.

"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tidak perlu menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat dari pada anjing penjilat atau ular!" Kun Beng berseru sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.

"Traaang! Traaang!"

Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya sudah terlepas dari tangannya. Tepat pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong pun terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas!

Lu Thong tak berdaya lagi. Ia meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.

"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru.

Nampaklah bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lu Thong sudah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.

Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, dia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apa lagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.

"Hemm, siapakah kau dan kenapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?” tanya Han Le penasaran.