Pendekar Sakti Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 23

TOK HUI COA ANG HOK sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu orang, apa lagi orang itu hanya seorang pemuda saja.

Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main.

Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!

Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok...!” Dia sendiri pun lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.

Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita kenal ketika dia masih kecil. Pemuda ini sudah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api. Akan tetapi biar pun kedua matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, namun mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.

Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok tidak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri.

Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, ada pun Swi Kiat hendak pergi membantu perjuangan para petani yang sedang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.

Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang rakyat, ada pun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan. Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.

Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia melihat ada rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Segera dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan kejam, dia pun segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.

Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain merupakan sisa-sisa perampok yang telah dibasminya. Mereka sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya!

Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya, yakni batu-batu hitam biasa yang bisa dipungutnya di mana saja. Memang, di samping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepandaiannya menggunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia.

Dia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu. Akan tetapi jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya sebab sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh manusia!

Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa mengejek sambil mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat lantas terlepas dari pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata mereka.

Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, karena itu sambil berteriak-teriak mendorong anak buahnya agar mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!

Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyok sudah roboh malang melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.

Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka walau pun Kun Beng belum kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata pemuda pengejarnya awas sekali dan ke mana pun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.

Akhirnya Ang Hok berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai ke pinggang.

Ternyata bahwa dia sudah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau ditumbuhi oleh rumput! Dia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!

“Tolong... tolong…!”

Betapa pun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapa pun berani dan tabah hatinya, saat menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbullah perasaan ngeri dan takutnya.

Kui Lan biar pun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.

Tadinya Kun Beng sudah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur, di dalam rawa yang kurang lebih empat tombak lebarnya.

“Tolonglah aku...!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.

Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan dia lalu memutar otak bagaimana dia dapat menolong gadis itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.

“Tolonglah... Taihiap... tolonglah aku...!” kembali Ang Hok menjerit-jerit.

“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu, Tok-hui-coa,” Kun Beng berkata dengan suara dingin. “Apa bila aku dapat menolong juga bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”

Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga tiba-tiba Ang Hok menjadi beringas dan tertawa bergelak.

“Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha-ha-ha, lihat kalau kau tidak mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, terlebih dahulu aku akan menekannya ke bawah lumpur!”

Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan dia pun akan mati.

Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang justru dia hendak memaksaku dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.

“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar.

“Tak!”

Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan sekarang dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan tubuhnya dihisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur itu terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!

Sekarang lumpur sudah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan. Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat dan cepat, dia menarik baju itu.

“Breeeettt!”

“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.

Karena kuatnya gadis itu terbenam dan juga kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang disambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan ‘terbang’, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh lumpur.

Dengan muka merah dan hati bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi girang karena betapa pun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.

Ada pun Kui Lan yang sejak tertawan oleh kepala rampok tadi sudah banyak mengalami penderitaan dan kekagetan, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia pun jatuh pingsan!

Sekali lagi Kun Beng melompat, dan kini dia menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apa lagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini lantas membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai di seberang lumpur itu!

Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Dengan tenang pemuda ini menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, akhirnya dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.

“Berbahya sekali,” pikirnya.

Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali.

Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi! Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian berwarna abu-abu yang sangat pas dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan hati.

Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.

Perlahan Kui Lan membuka matanya dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu dia melihat bahwa dia sedang terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dan alangkah kagetnya pada saat dia menengok ke bawah melihat betapa punggung dan dadanya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian.

Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolong dirinya.

“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah telanjang.

Tanpa pikir panjang lagi ia kemudian menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan mempunyai mata di belakang kepalanya, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.

“Nona, mengapa kau menyerangku?”

“Kau... orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, telah berani... merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!”

Biar pun hatinya berdebar tak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,

“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Meski pun pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Memang aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”

“Kau... kau kurang ajar!” seru Kui Lan.

Kini dia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya. Pergerakan ini membuat lumpur yang kering itu rontok sehingga nampak kulitnya yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.

“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan pakaian supaya kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapa pun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”

Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu.

Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah... tampannya!

Berpikir sampai di sini, Kui Lan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba dia menjadi pucat. Baru sekarang dia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.

“Ayah... ibu...!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali.

Dia belum tahu dengan jelas bagaimana nasib ayah bundanya, karena pada saat terjadi pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, dia segera melompat ke dalam kembali setelah teringat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang!

Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.

Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.

“Kui Lan, pakailah pakaian ini.”

Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Sesudah dia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya dan cukup pantas biar pun hanya pakaian wanita petani.

“Terima kasih, kau baik betul...,” kata gadis itu dari dalam goa.

“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” Pemuda itu bertanya.

Tiba-tiba terasalah di dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus, sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.

Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat-cepat melompat keluar dari goa itu. Kun Beng sudah berdiri di depan goa sehingga mereka kini berhadapan.

“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.

Kui Lan menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana saja.”

“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi.

Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, ada pun rumahnya juga sudah terbakar musnah!

Berdebar-debar hati Kui Lan saat mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikirnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguh pun berbeda sekali.

Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, namun sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan ... suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.

“Kau... siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat dia merasa malu-malu.

“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku mendengar dari orang-orang dusun itu.”

Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya. Dia cepat-cepat meloncat dan berkata, “Aku harus pulang...!”

Akan tetapi tiba-tiba gadis ini merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan kanannya.

“Ehh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.

Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.

“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”

Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kau larang pulang dan apa pula maksud dan kehendakmu ingin menahanku?”

“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan, dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis dia teringat akan orang tuanya, maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.

“Taihiap... katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku...? Dengan orang tuaku...?!”

Kun Beng mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Marilah kita duduk di tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”

“Tidak, tidak! Lekas kau katakan sekarang juga, atau... lebih baik aku pulang!” Ia hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.

“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”

“Ayah dan ibu...?”

Kun Beng mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu sudah dibakar oleh mereka...”

Tadi malam Kui Lan mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika dia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk serta memondongnya.

Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dahulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya.

Untuk menjaga ini pula, pada waktu dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ, supaya tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.

Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui Lan mengalami pukulan batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia terus mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia kembali roboh pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali, dan pemuda ini lalu merawat gadis itu baik-baik.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah pingsan, tapi berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan dia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.

"Makanlah, Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.

Untuk sejenak Kui Lan merasa nanar. Dia mengumpulkan ingatannya, mengenangkan semua peristiwa yang sudah terjadi. Kemudian dia menangis sambil menutupkan kedua tangan di mukanya. Dia teringat akan ayah bundanya yang tewas.

"Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.

"Aku... sebatang kara...," Kui Lan mengeluh.

"Apa kau kira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, meski pun maksudnya hanya untuk menghibur.

Kui Lan bangun duduk, akan tetapi segera meramkan mata kembali karena pusing. Kun Beng cepat menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.

"Minumlah bubur ini dulu."

Tanpa membuka matanya, Kui Lan lalu makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Setelah menghabiskan bubur hangat itu ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang kini sedang berlutut di dekatnya.

"Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?"

"Kau terkena demam selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari kau hanya mengigau saja," kata Kun Beng sambil tersenyum. "Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali."

"Tiga hari? Dan selama itu... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"

Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia pun segera mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.

"Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."

"Ahh... The-taihiap... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur bahwa di dalam penderitaannya yang hebat, dia bertemu dengan seorang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.

"Hushhh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," Kun Beng berkata sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?"

Mata gadis itu memandang tajam. Kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda, juga membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.

"Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu..."

"Taihiap, kau... kau suka kepadaku?"

Makin merah muka Kun Beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu. Akan tetapi ia maklum bahwa gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.

Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?

"Tentu saja, Kui Lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.

Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika dia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.

"Dan cinta kepadaku?"

Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini adalah urusan lain lagi. Ia tidak berani memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? Ia memang suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.

Semenjak Kun Beng telah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng.

Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biar pun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan setiap gerak-geriknya mencocoki hatinya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?

Namun bagaimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita sangat hebat ini? Wajahnya yang agak pucat, yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ahh, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan.

Lagi pula, dia hanyalah seorang pemuda yang pertahanan imannya masih sangat lemah dalam menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu dan mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!

Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suara keluhnya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Dia lantas menubruk pemuda itu dan menyadarkan mukanya pada dada Kun Beng.

Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju dan membasahi kulit dadanya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi, biduk pun akan terguling tertelan buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!

Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, tampak bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-larian naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te Hui-teng (Terbang di Atas Bumi).

Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluarganya.

Ketika dia bertanya mengenai adik perempuannya, penduduk di dusunnya tak ada yang dapat memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala perampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.

"Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana," demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.

Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. Hatinya sedih bukan main, juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biar pun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua.

Sesudah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun sampai di luar goa bekas sarang perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya ada orang sedang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap di antara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia segera memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!

"Taihiap, sungguh aneh dan amat lucu bila kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan serta cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya, kau yang sekarang telah dapat dikatakan menjadi suamiku, juga belum mengetahui betul keadaanku…" suara ini terdengar demikian manja dan mesra.

Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sute-nya sendiri!

Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.

"Kui Lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."

"Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."

Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira. Berkali-kali dia menghela napas dan seperti tidak merasakan sesuatu sungguh pun tangan kirinya terus mengelus-elus rambut kepala gadis itu.

"Sayang sekali iblis mengganggu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa... dan kita melakukan pelanggaran yang hebat... aku menyesal sekali."

"Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak merasa menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku... aku girang dan bangga dapat menjadi..."

Sebelum Kui Lan mengatakan ‘istrimu’, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.

"Kui Lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis sebatang kara..."

"Aku tidak sebatang kara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"

"Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatang kara seperti aku pula."

"Salah!" Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sebetulnya aku masih memiliki seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula. Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang..."

"Apa katamu?! Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya terkejut sekali dan melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.

"Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."

"Aduhai, Kui Lan. Kenapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka...! Kukira kau…"

"Kau kira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.

"Kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan... dan... kalau aku tahu bahwa kau adalah adik dari suheng-ku, aku takkan... takkan berani..."

"Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan perihal dirimu."

"Memang suhu melarang kami berbicara mengenai keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku... aku telah..."

Tiba-tiba terdengar suara dari luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.

"Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! Kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu!"

Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan, belum tentu mereka akan sekaget itu. Apa lagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa berkata, "Suheng..."

"Kiat-ko…," keluh Kui Lan yang sudah langsung mencucurkan air mata melihat kakaknya itu, "Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu..."

Wajah Swi Kiat menjadi semakin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"

"Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku... aku cinta padanya. Kiat-ko, kami... kami saling mencinta... harap kau ampunkan kami..."

Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia pun menarik napas panjang, lalu menghadapi Kun Beng dengan muka keras.

"Sute, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau harus segera memberi laporan pada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!"

Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.

"Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adalah adikmu... Tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu, suhu akan marah sekali."

"Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, namun kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!"

Kun Beng menggeleng kepalanya. "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..."

"Apa? Kau tidak cinta padanya?"

"Aku... terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku... aku merasa kasihan dan dia... dia menderita sakit, kurawat… dan... dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu kepadaku, membuat aku lupa..."

"Keparat! Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah sute-ku dan aku akan menghabiskan perhitungan ini dengan senjata!"

Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-lo-sian Siang-Koan Hai ini.

"Apa boleh buat, Suheng. Aku... aku tidak dapat melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula... aku tak ingin menjadi suami Kui Lan...”

"Keparat pengecut!"

Swi Kiat cepat menyerang sute-nya dengan kipas di tangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apa bila mengenai sasaran.

Kipas ini pada bagian gagang dan rangkanya terbuat dari pada gading gajah, sedangkan permukaannya terbuat dari kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Kun Beng cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah dan berdosa, janganlah menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu..."

Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.

"Kiat-ko... jangan kau serang dia...!" Kui Lan menjerit sambil menangis.

Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, kini tahulah ia bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa pemuda itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang timbul dikarenakan hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni.

Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapa pun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu tidak akan mudah hilang begitu saja.

Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu Khai-san Coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san Koan-jit (Buka Kipas Menutup Matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang San-hoat.

Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya bukan main-main lagi, namun menyerang untuk mengarah nyawanya!

"Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang sedang dilancarkan oleh suheng-nya.

"Mampuslah, bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya.

Oleh karena cepatnya Swi Kiat menyerang, kipas maut pada tangannya sudah berhasil menyerempet pundak kiri Kun Beng yang lalu mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang.

"Kiat-ko...! Jangan bunuh dia...!" Kui Lan menubruk kakaknya.

Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga telah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini dia lalu membalas serangan suheng-nya, karena dia merasa telah dilukai.

Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi Kiat. Akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya.

"Brett!" baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walau pun tidak parah namun cukup banyak mengeluarkan darah.

"Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini...! The-taihiap, cukuplah... kasihanilah aku...!" Kui Lan menangis dan memeluk kakaknya.

Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu.

Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya.

"Kiat-ko..., ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak.

Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-larian cepat sekali, merupakan bayangan hitam di kala senja itu, seperti seekor kalong yang besar sekali terbang pergi.

"Kiat-ko, dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali.

"Aku akan mengejarnya," kata Swi Kiat.

"Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapa pun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaimana juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng..."

Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sute-nya sudah demikian rupa sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan cara kasar mau pun halus dia harus mengusahakan hal itu.

"Aku akan mengejarnya, Kui Lan. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhnya. Andai kata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku mampu sebab kepandaiannya tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali padamu, suka menjadi suamimu."

Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaiannya belum cukup tinggi sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya bayangan ini.

Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika secara tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang penuh kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya.

"Siapa kau...?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.

Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaian yang dikenakannya sangat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya mau pun pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan mana pun juga kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat kebangsawannya.

“Aku bernama An Kong, seorang pangeran," pemuda itu berkata sambil menjura hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu sehingga kini kakakmu bermusuhan dengan sute-nya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup bahagia di istanaku. Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras. Marilah!" Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong kemudian mengulur tangan menangkap pergelangan tangan Kui Lan.



Pendekar Sakti Jilid 23

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 23

TOK HUI COA ANG HOK sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu orang, apa lagi orang itu hanya seorang pemuda saja.

Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main.

Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!

Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok...!” Dia sendiri pun lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.

Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita kenal ketika dia masih kecil. Pemuda ini sudah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api. Akan tetapi biar pun kedua matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, namun mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.

Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok tidak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri.

Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, ada pun Swi Kiat hendak pergi membantu perjuangan para petani yang sedang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.

Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang rakyat, ada pun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan. Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.

Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia melihat ada rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Segera dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan kejam, dia pun segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.

Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain merupakan sisa-sisa perampok yang telah dibasminya. Mereka sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya!

Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya, yakni batu-batu hitam biasa yang bisa dipungutnya di mana saja. Memang, di samping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepandaiannya menggunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia.

Dia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu. Akan tetapi jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya sebab sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh manusia!

Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa mengejek sambil mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat lantas terlepas dari pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata mereka.

Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, karena itu sambil berteriak-teriak mendorong anak buahnya agar mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!

Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyok sudah roboh malang melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.

Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka walau pun Kun Beng belum kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata pemuda pengejarnya awas sekali dan ke mana pun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.

Akhirnya Ang Hok berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai ke pinggang.

Ternyata bahwa dia sudah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau ditumbuhi oleh rumput! Dia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!

“Tolong... tolong…!”

Betapa pun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapa pun berani dan tabah hatinya, saat menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbullah perasaan ngeri dan takutnya.

Kui Lan biar pun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.

Tadinya Kun Beng sudah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur, di dalam rawa yang kurang lebih empat tombak lebarnya.

“Tolonglah aku...!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.

Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan dia lalu memutar otak bagaimana dia dapat menolong gadis itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.

“Tolonglah... Taihiap... tolonglah aku...!” kembali Ang Hok menjerit-jerit.

“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu, Tok-hui-coa,” Kun Beng berkata dengan suara dingin. “Apa bila aku dapat menolong juga bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”

Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga tiba-tiba Ang Hok menjadi beringas dan tertawa bergelak.

“Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha-ha-ha, lihat kalau kau tidak mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, terlebih dahulu aku akan menekannya ke bawah lumpur!”

Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan dia pun akan mati.

Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang justru dia hendak memaksaku dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.

“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar.

“Tak!”

Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan sekarang dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan tubuhnya dihisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur itu terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!

Sekarang lumpur sudah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan. Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat dan cepat, dia menarik baju itu.

“Breeeettt!”

“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.

Karena kuatnya gadis itu terbenam dan juga kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang disambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan ‘terbang’, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh lumpur.

Dengan muka merah dan hati bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi girang karena betapa pun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.

Ada pun Kui Lan yang sejak tertawan oleh kepala rampok tadi sudah banyak mengalami penderitaan dan kekagetan, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia pun jatuh pingsan!

Sekali lagi Kun Beng melompat, dan kini dia menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apa lagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini lantas membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai di seberang lumpur itu!

Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Dengan tenang pemuda ini menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, akhirnya dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.

“Berbahya sekali,” pikirnya.

Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali.

Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi! Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian berwarna abu-abu yang sangat pas dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan hati.

Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.

Perlahan Kui Lan membuka matanya dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu dia melihat bahwa dia sedang terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dan alangkah kagetnya pada saat dia menengok ke bawah melihat betapa punggung dan dadanya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian.

Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolong dirinya.

“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah telanjang.

Tanpa pikir panjang lagi ia kemudian menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan mempunyai mata di belakang kepalanya, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.

“Nona, mengapa kau menyerangku?”

“Kau... orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, telah berani... merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!”

Biar pun hatinya berdebar tak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,

“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Meski pun pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Memang aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”

“Kau... kau kurang ajar!” seru Kui Lan.

Kini dia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya. Pergerakan ini membuat lumpur yang kering itu rontok sehingga nampak kulitnya yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.

“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan pakaian supaya kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapa pun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”

Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu.

Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah... tampannya!

Berpikir sampai di sini, Kui Lan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba dia menjadi pucat. Baru sekarang dia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.

“Ayah... ibu...!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali.

Dia belum tahu dengan jelas bagaimana nasib ayah bundanya, karena pada saat terjadi pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, dia segera melompat ke dalam kembali setelah teringat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang!

Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.

Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.

“Kui Lan, pakailah pakaian ini.”

Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Sesudah dia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya dan cukup pantas biar pun hanya pakaian wanita petani.

“Terima kasih, kau baik betul...,” kata gadis itu dari dalam goa.

“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” Pemuda itu bertanya.

Tiba-tiba terasalah di dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus, sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.

Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat-cepat melompat keluar dari goa itu. Kun Beng sudah berdiri di depan goa sehingga mereka kini berhadapan.

“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.

Kui Lan menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana saja.”

“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi.

Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, ada pun rumahnya juga sudah terbakar musnah!

Berdebar-debar hati Kui Lan saat mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikirnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguh pun berbeda sekali.

Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, namun sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan ... suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.

“Kau... siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat dia merasa malu-malu.

“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku mendengar dari orang-orang dusun itu.”

Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya. Dia cepat-cepat meloncat dan berkata, “Aku harus pulang...!”

Akan tetapi tiba-tiba gadis ini merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan kanannya.

“Ehh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.

Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.

“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”

Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kau larang pulang dan apa pula maksud dan kehendakmu ingin menahanku?”

“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan, dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis dia teringat akan orang tuanya, maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.

“Taihiap... katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku...? Dengan orang tuaku...?!”

Kun Beng mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Marilah kita duduk di tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”

“Tidak, tidak! Lekas kau katakan sekarang juga, atau... lebih baik aku pulang!” Ia hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.

“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”

“Ayah dan ibu...?”

Kun Beng mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu sudah dibakar oleh mereka...”

Tadi malam Kui Lan mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika dia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk serta memondongnya.

Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dahulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya.

Untuk menjaga ini pula, pada waktu dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ, supaya tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.

Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui Lan mengalami pukulan batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia terus mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia kembali roboh pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali, dan pemuda ini lalu merawat gadis itu baik-baik.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah pingsan, tapi berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan dia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.

"Makanlah, Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.

Untuk sejenak Kui Lan merasa nanar. Dia mengumpulkan ingatannya, mengenangkan semua peristiwa yang sudah terjadi. Kemudian dia menangis sambil menutupkan kedua tangan di mukanya. Dia teringat akan ayah bundanya yang tewas.

"Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.

"Aku... sebatang kara...," Kui Lan mengeluh.

"Apa kau kira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, meski pun maksudnya hanya untuk menghibur.

Kui Lan bangun duduk, akan tetapi segera meramkan mata kembali karena pusing. Kun Beng cepat menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.

"Minumlah bubur ini dulu."

Tanpa membuka matanya, Kui Lan lalu makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Setelah menghabiskan bubur hangat itu ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang kini sedang berlutut di dekatnya.

"Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?"

"Kau terkena demam selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari kau hanya mengigau saja," kata Kun Beng sambil tersenyum. "Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali."

"Tiga hari? Dan selama itu... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"

Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia pun segera mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.

"Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."

"Ahh... The-taihiap... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur bahwa di dalam penderitaannya yang hebat, dia bertemu dengan seorang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.

"Hushhh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," Kun Beng berkata sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?"

Mata gadis itu memandang tajam. Kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda, juga membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.

"Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu..."

"Taihiap, kau... kau suka kepadaku?"

Makin merah muka Kun Beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu. Akan tetapi ia maklum bahwa gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.

Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?

"Tentu saja, Kui Lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.

Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika dia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.

"Dan cinta kepadaku?"

Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini adalah urusan lain lagi. Ia tidak berani memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? Ia memang suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.

Semenjak Kun Beng telah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng.

Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biar pun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan setiap gerak-geriknya mencocoki hatinya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?

Namun bagaimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita sangat hebat ini? Wajahnya yang agak pucat, yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ahh, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan.

Lagi pula, dia hanyalah seorang pemuda yang pertahanan imannya masih sangat lemah dalam menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu dan mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!

Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suara keluhnya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Dia lantas menubruk pemuda itu dan menyadarkan mukanya pada dada Kun Beng.

Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju dan membasahi kulit dadanya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi, biduk pun akan terguling tertelan buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!

Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, tampak bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-larian naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te Hui-teng (Terbang di Atas Bumi).

Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluarganya.

Ketika dia bertanya mengenai adik perempuannya, penduduk di dusunnya tak ada yang dapat memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala perampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.

"Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana," demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.

Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. Hatinya sedih bukan main, juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biar pun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua.

Sesudah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun sampai di luar goa bekas sarang perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya ada orang sedang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap di antara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia segera memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!

"Taihiap, sungguh aneh dan amat lucu bila kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan serta cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya, kau yang sekarang telah dapat dikatakan menjadi suamiku, juga belum mengetahui betul keadaanku…" suara ini terdengar demikian manja dan mesra.

Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sute-nya sendiri!

Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.

"Kui Lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."

"Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."

Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira. Berkali-kali dia menghela napas dan seperti tidak merasakan sesuatu sungguh pun tangan kirinya terus mengelus-elus rambut kepala gadis itu.

"Sayang sekali iblis mengganggu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa... dan kita melakukan pelanggaran yang hebat... aku menyesal sekali."

"Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak merasa menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku... aku girang dan bangga dapat menjadi..."

Sebelum Kui Lan mengatakan ‘istrimu’, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.

"Kui Lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis sebatang kara..."

"Aku tidak sebatang kara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"

"Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatang kara seperti aku pula."

"Salah!" Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sebetulnya aku masih memiliki seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula. Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang..."

"Apa katamu?! Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya terkejut sekali dan melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.

"Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."

"Aduhai, Kui Lan. Kenapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka...! Kukira kau…"

"Kau kira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.

"Kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan... dan... kalau aku tahu bahwa kau adalah adik dari suheng-ku, aku takkan... takkan berani..."

"Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan perihal dirimu."

"Memang suhu melarang kami berbicara mengenai keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku... aku telah..."

Tiba-tiba terdengar suara dari luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.

"Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! Kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu!"

Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan, belum tentu mereka akan sekaget itu. Apa lagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa berkata, "Suheng..."

"Kiat-ko…," keluh Kui Lan yang sudah langsung mencucurkan air mata melihat kakaknya itu, "Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu..."

Wajah Swi Kiat menjadi semakin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"

"Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku... aku cinta padanya. Kiat-ko, kami... kami saling mencinta... harap kau ampunkan kami..."

Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia pun menarik napas panjang, lalu menghadapi Kun Beng dengan muka keras.

"Sute, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau harus segera memberi laporan pada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!"

Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.

"Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adalah adikmu... Tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu, suhu akan marah sekali."

"Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, namun kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!"

Kun Beng menggeleng kepalanya. "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..."

"Apa? Kau tidak cinta padanya?"

"Aku... terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku... aku merasa kasihan dan dia... dia menderita sakit, kurawat… dan... dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu kepadaku, membuat aku lupa..."

"Keparat! Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah sute-ku dan aku akan menghabiskan perhitungan ini dengan senjata!"

Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-lo-sian Siang-Koan Hai ini.

"Apa boleh buat, Suheng. Aku... aku tidak dapat melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula... aku tak ingin menjadi suami Kui Lan...”

"Keparat pengecut!"

Swi Kiat cepat menyerang sute-nya dengan kipas di tangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apa bila mengenai sasaran.

Kipas ini pada bagian gagang dan rangkanya terbuat dari pada gading gajah, sedangkan permukaannya terbuat dari kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Kun Beng cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah dan berdosa, janganlah menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu..."

Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.

"Kiat-ko... jangan kau serang dia...!" Kui Lan menjerit sambil menangis.

Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, kini tahulah ia bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa pemuda itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang timbul dikarenakan hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni.

Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapa pun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu tidak akan mudah hilang begitu saja.

Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu Khai-san Coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san Koan-jit (Buka Kipas Menutup Matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang San-hoat.

Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya bukan main-main lagi, namun menyerang untuk mengarah nyawanya!

"Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang sedang dilancarkan oleh suheng-nya.

"Mampuslah, bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya.

Oleh karena cepatnya Swi Kiat menyerang, kipas maut pada tangannya sudah berhasil menyerempet pundak kiri Kun Beng yang lalu mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang.

"Kiat-ko...! Jangan bunuh dia...!" Kui Lan menubruk kakaknya.

Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga telah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini dia lalu membalas serangan suheng-nya, karena dia merasa telah dilukai.

Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi Kiat. Akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya.

"Brett!" baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walau pun tidak parah namun cukup banyak mengeluarkan darah.

"Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini...! The-taihiap, cukuplah... kasihanilah aku...!" Kui Lan menangis dan memeluk kakaknya.

Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu.

Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya.

"Kiat-ko..., ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak.

Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-larian cepat sekali, merupakan bayangan hitam di kala senja itu, seperti seekor kalong yang besar sekali terbang pergi.

"Kiat-ko, dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali.

"Aku akan mengejarnya," kata Swi Kiat.

"Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapa pun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaimana juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng..."

Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sute-nya sudah demikian rupa sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan cara kasar mau pun halus dia harus mengusahakan hal itu.

"Aku akan mengejarnya, Kui Lan. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhnya. Andai kata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku mampu sebab kepandaiannya tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali padamu, suka menjadi suamimu."

Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaiannya belum cukup tinggi sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya bayangan ini.

Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika secara tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang penuh kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya.

"Siapa kau...?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.

Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaian yang dikenakannya sangat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya mau pun pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan mana pun juga kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat kebangsawannya.

“Aku bernama An Kong, seorang pangeran," pemuda itu berkata sambil menjura hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu sehingga kini kakakmu bermusuhan dengan sute-nya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup bahagia di istanaku. Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras. Marilah!" Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong kemudian mengulur tangan menangkap pergelangan tangan Kui Lan.