Pendekar Sakti Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 19

PADA saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak menjadi kacau balau. Dan tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa perkasa yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.

Menteri Lu Pin memandang. Dia menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang mengamuk sambil memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!

“Anjing-anjing pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Ang-bin Sin-kai memaki.

Setiap kali tangannya diulur, tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan dilemparkannya sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang bal karet saja. Tubuh para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah.

Keadaan amat kacau balau, ada pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-bin Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya. Kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai serta jenggotnya melambai-lambai mengikuti gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek di sana-sini.

Ketika melihat kakek pengemis ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat penasaran. Kakek pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.

Ketika dua pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor burung garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan kiri dan hebat bukan main, tahu-tahu dia sudah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental saat beradu dengan jari-jari tangan kakek ini.

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!

Terdengar suara keras, suara batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin Sin-kai melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.

“Lihat pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati hendak mengukur tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”

Suara ini dikeluarkan dengan nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa lagi pada waktu mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali suara keluhan para anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.

Tiga orang panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian memandang kepada Ang-bin Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri Menteri Lu Pin dan berkata sambil tersenyum pahit,

“Inilah jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”

Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata keras,

“Twako, aku bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir penjajah khianat itu dari kota raja!”

“Adik Pin, suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.

“Kita sama lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah, hanya seorang seniman bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?”

Melihat sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.

“Orang bodoh, kau kira aku tak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu, Adikku. Kau memang patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa sejak kau keluar dari kota raja, secara diam-diam aku selalu mengikuti kau. Aku sudah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ahh, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, benar-benar aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”

“Sin-ko, jangan kau berkata begitu...”

Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dari kedua mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia yang berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, orang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air!

Ketika berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tidak patut dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-i Hui-mo sendiri juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka jika tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?

“Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang sangat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil, kau akan melihat hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa besar yang penuh tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu lebar sekali, aku pernah menggunakannya sebagai tempat bertapa. Kau bawalah harta ini dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh serumpun pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!”

Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.

“Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya.

Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka kemudian berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.

Benar saja seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat lebar itu dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam goa itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno.

Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa untuk mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa amat tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.

Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka lalu ditugaskan untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian dari pada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan sewaktu-waktu datang ke goa itu memberi laporan.

Ada pun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.

Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya dari tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa, berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah menjadi rangka yang amat menyeramkan!

Memang, Menteri Lu Pin membuat ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar menjadi kenyataan, namun juga dengan maksud supaya para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Walau pun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, akan tetapi ternyata bahwa di mana-mana rakyat tak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat lalu melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga boleh di bilang bahwa An Lu Shan tak dapat tidur nyenyak! Dia sudah melakukan banyak usaha untuk menumpas perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?

Tadinya Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini, menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar serta terkejut.

Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apa lagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain.

“Kalau begini, kita sudah menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pada kekeruhan ini,” kata Jeng-kin-jiu.

Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk selama ratusan tahun! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini sesudah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang sangat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu bila mana ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.

Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan.

*****

Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan ‘operasi’ secara berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.

Dalam hal ini tentu terjadi hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat.

Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas dari pada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.

Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah para pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.

Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, akan tetapi akibat dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.

Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar dan nampak kuat luar biasa. Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.

Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan suara keras.

“Lihat, beginilah nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan mulailah dia menghitung, “Satu...!”

Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.

“Tarrr...!”

Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet.

Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah!

Sebenarnya, mereka ini adalah sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.

“Dua...!” Komandan itu memberi aba-aba.

Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!

Mereka cepat memandang dan dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,

“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”

Sambil berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!

Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.

“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak, akan tetapi para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.

“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak akan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas dapat merasa puas.”

Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.

“Kau benar-benar hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang dan masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.

Pemuda itu menoleh ke arah penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya mengandung pengaruh yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan wajah pemuda yang tadinya sangat keruh dan muram segera berubah girang.

“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas semua dosa-dosaku!”

“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.

“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.

Komandan itu menjadi gemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila, pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang ‘bijaksana’ dan yang berlaku adil.

“Rakyat semua!” serunya memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mau mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian diharuskan membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”

Sepuluh orang itu saling pandang seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.

“Saudara yang baik, apakah kau benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara bekas tawanan itu.

Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,

“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”

Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.

“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.

Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera mulai menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah pengalaman yang aneh.

Ia telah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang tadi dengan secara sangat aneh dapat merampas cambuknya, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa.

Dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo, dan cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk mereka masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat dari pada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!

Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi sesudah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.

Dengan lagak gagah, algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali, lantas dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.

“Tarrr...!”

Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang tingkah lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa.

Baju pemuda itu robek, sedangkan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengerutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia lalu pejamkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa.

Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil meramkan kedua matanya.

“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat...”

Tak seorang pun di antara para penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian menghela napas dan dia berkata perlahan,

“Dia benar-benar menerima hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Orang ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!

Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.

Sebagaimana sudah diceritakan pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Dia teringat akan pesan suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini.

Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia bukanlah Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari, kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul dia kini telah menjadi seorang yang sakti.

Sesudah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.

Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pemuda ini pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah pula dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.

Mata hatinya telah terbuka mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua peristiwa di dunia ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan terakhir tetap di tangan Thian. Oleh karena ini, betapa pun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!

Hanya satu hal yang terpikir olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu pergi ke kota raja. Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula. Peristiwa perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat pada Menteri Lu Pin. Mustahil bila Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.

“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur istana, siapa pun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.

Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia mendengar pula mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski dia melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi ketenangan batinnya.

Dia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian amat buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, harta lain satu-satunya adalah suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong.

Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera mengungsi ke selatan, pergi sejauh mungkin.

Ketika dia sudah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.

Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang.

Seekor babi gemuk memimpin negara, mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi serigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga, pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!


Berulang kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para pengungsi menegurnya,

“Tu-siucai, harap kau diam dan jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua ditangkap dan dihukum mati?”

Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,

“Di dalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”

Orang yang menegurnya tadi hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa sang penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.

“Di mana dia? Ke mana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.

“Dia menghilang begitu saja!”

Ramailah rombongan itu. Akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.

Apakah betul penyanyi tadi bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.

Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin bertiup keras ke arah mukanya.

Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,

“Siauwte mohon maaf sebesarnya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini.”

Tu Fu biar pun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.

“Orang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”

“Siauwte seorang tak berarti, Bu-Pun-Su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi amat menarik hati siauwte. Apakah siauwte boleh mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”

Tu Fu tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”

“Apakah yang terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya.

Biar pun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, oleh karena itu sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja langsung menggerakkan hatinya.

Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mana pun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan.

Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,

“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?”

“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”

“Hemm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”

Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,

“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”

Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.

“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tidak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan mati-matian berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau berpura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”

Kwan Cu menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”

“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke kota raja. Akan tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”

Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan nasib gurunya yang sangat dia cinta, sudah setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.

Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,

“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”

Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.

“Wahai semua makhluk yang kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.

“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”

Tu Fu makin marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya jika orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang bagai mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak dapat dimengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah air, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.

Kwan Cu menjadi tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.

“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”

“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”

Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan hanya satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kagum.

Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.

Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya, malah melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan filsafat. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,

“Locianpwe, teecu sudah berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat alangkah besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak, karena sebenarnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”

“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa tindakan suhu-mu itu baik dan sempurna? Di kota Thian-cin ini, tidak jauh dari sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan dihukum cambuk. Apa bila kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka, kau akan dapat melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”

Mendengar ini, bangkitlah semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia belaka.”

Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.

Kwan Cu menurunkan Tu Fu di antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah dilanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman pada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.

Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.

Walau pun para penonton merasa sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, akan tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan matanya dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.

Suara cambuk algojo memecah di udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,

“Cukup, Bu-pun-su! Sudah lima puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.

Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal apa bila dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.

Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa hingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.

Demikian lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik melukai pemegang pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan si algojo terobek kulitnya sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!

Komandan pasukan mengira bahwa saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk turun tangan pula.

Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!

Geger keadaan di situ. Para anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apa lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau.



Pendekar Sakti Jilid 19

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 19

PADA saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak menjadi kacau balau. Dan tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa perkasa yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.

Menteri Lu Pin memandang. Dia menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang mengamuk sambil memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!

“Anjing-anjing pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Ang-bin Sin-kai memaki.

Setiap kali tangannya diulur, tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan dilemparkannya sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang bal karet saja. Tubuh para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah.

Keadaan amat kacau balau, ada pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-bin Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya. Kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai serta jenggotnya melambai-lambai mengikuti gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek di sana-sini.

Ketika melihat kakek pengemis ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat penasaran. Kakek pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.

Ketika dua pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor burung garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan kiri dan hebat bukan main, tahu-tahu dia sudah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental saat beradu dengan jari-jari tangan kakek ini.

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!

Terdengar suara keras, suara batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin Sin-kai melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.

“Lihat pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati hendak mengukur tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”

Suara ini dikeluarkan dengan nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa lagi pada waktu mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali suara keluhan para anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.

Tiga orang panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian memandang kepada Ang-bin Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri Menteri Lu Pin dan berkata sambil tersenyum pahit,

“Inilah jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”

Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata keras,

“Twako, aku bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir penjajah khianat itu dari kota raja!”

“Adik Pin, suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.

“Kita sama lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah, hanya seorang seniman bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?”

Melihat sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.

“Orang bodoh, kau kira aku tak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu, Adikku. Kau memang patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa sejak kau keluar dari kota raja, secara diam-diam aku selalu mengikuti kau. Aku sudah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ahh, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, benar-benar aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”

“Sin-ko, jangan kau berkata begitu...”

Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dari kedua mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia yang berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, orang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air!

Ketika berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tidak patut dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-i Hui-mo sendiri juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka jika tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?

“Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang sangat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil, kau akan melihat hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa besar yang penuh tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu lebar sekali, aku pernah menggunakannya sebagai tempat bertapa. Kau bawalah harta ini dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh serumpun pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!”

Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.

“Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya.

Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka kemudian berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.

Benar saja seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat lebar itu dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam goa itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno.

Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa untuk mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa amat tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.

Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka lalu ditugaskan untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian dari pada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan sewaktu-waktu datang ke goa itu memberi laporan.

Ada pun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.

Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya dari tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa, berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah menjadi rangka yang amat menyeramkan!

Memang, Menteri Lu Pin membuat ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar menjadi kenyataan, namun juga dengan maksud supaya para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Walau pun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, akan tetapi ternyata bahwa di mana-mana rakyat tak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat lalu melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga boleh di bilang bahwa An Lu Shan tak dapat tidur nyenyak! Dia sudah melakukan banyak usaha untuk menumpas perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?

Tadinya Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini, menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar serta terkejut.

Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apa lagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain.

“Kalau begini, kita sudah menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pada kekeruhan ini,” kata Jeng-kin-jiu.

Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk selama ratusan tahun! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini sesudah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang sangat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu bila mana ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.

Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan.

*****

Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan ‘operasi’ secara berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.

Dalam hal ini tentu terjadi hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat.

Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas dari pada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.

Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah para pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.

Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, akan tetapi akibat dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.

Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar dan nampak kuat luar biasa. Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.

Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan suara keras.

“Lihat, beginilah nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan mulailah dia menghitung, “Satu...!”

Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.

“Tarrr...!”

Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet.

Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah!

Sebenarnya, mereka ini adalah sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.

“Dua...!” Komandan itu memberi aba-aba.

Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!

Mereka cepat memandang dan dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,

“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”

Sambil berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!

Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.

“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak, akan tetapi para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.

“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak akan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas dapat merasa puas.”

Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.

“Kau benar-benar hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang dan masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.

Pemuda itu menoleh ke arah penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya mengandung pengaruh yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan wajah pemuda yang tadinya sangat keruh dan muram segera berubah girang.

“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas semua dosa-dosaku!”

“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.

“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.

Komandan itu menjadi gemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila, pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang ‘bijaksana’ dan yang berlaku adil.

“Rakyat semua!” serunya memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mau mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian diharuskan membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”

Sepuluh orang itu saling pandang seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.

“Saudara yang baik, apakah kau benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara bekas tawanan itu.

Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,

“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”

Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.

“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.

Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera mulai menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah pengalaman yang aneh.

Ia telah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang tadi dengan secara sangat aneh dapat merampas cambuknya, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa.

Dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo, dan cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk mereka masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat dari pada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!

Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi sesudah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.

Dengan lagak gagah, algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali, lantas dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.

“Tarrr...!”

Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang tingkah lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa.

Baju pemuda itu robek, sedangkan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengerutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia lalu pejamkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa.

Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil meramkan kedua matanya.

“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat...”

Tak seorang pun di antara para penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian menghela napas dan dia berkata perlahan,

“Dia benar-benar menerima hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Orang ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!

Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.

Sebagaimana sudah diceritakan pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Dia teringat akan pesan suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini.

Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia bukanlah Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari, kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul dia kini telah menjadi seorang yang sakti.

Sesudah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.

Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pemuda ini pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah pula dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.

Mata hatinya telah terbuka mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua peristiwa di dunia ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan terakhir tetap di tangan Thian. Oleh karena ini, betapa pun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!

Hanya satu hal yang terpikir olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu pergi ke kota raja. Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula. Peristiwa perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat pada Menteri Lu Pin. Mustahil bila Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.

“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur istana, siapa pun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.

Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia mendengar pula mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski dia melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi ketenangan batinnya.

Dia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian amat buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, harta lain satu-satunya adalah suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong.

Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera mengungsi ke selatan, pergi sejauh mungkin.

Ketika dia sudah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.

Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang.

Seekor babi gemuk memimpin negara, mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi serigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga, pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!


Berulang kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para pengungsi menegurnya,

“Tu-siucai, harap kau diam dan jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua ditangkap dan dihukum mati?”

Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,

“Di dalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”

Orang yang menegurnya tadi hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa sang penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.

“Di mana dia? Ke mana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.

“Dia menghilang begitu saja!”

Ramailah rombongan itu. Akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.

Apakah betul penyanyi tadi bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.

Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin bertiup keras ke arah mukanya.

Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,

“Siauwte mohon maaf sebesarnya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini.”

Tu Fu biar pun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.

“Orang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”

“Siauwte seorang tak berarti, Bu-Pun-Su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi amat menarik hati siauwte. Apakah siauwte boleh mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”

Tu Fu tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”

“Apakah yang terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya.

Biar pun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, oleh karena itu sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja langsung menggerakkan hatinya.

Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mana pun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan.

Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,

“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?”

“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”

“Hemm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”

Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,

“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”

Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.

“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tidak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan mati-matian berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau berpura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”

Kwan Cu menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”

“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke kota raja. Akan tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”

Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan nasib gurunya yang sangat dia cinta, sudah setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.

Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,

“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”

Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.

“Wahai semua makhluk yang kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.

“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”

Tu Fu makin marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya jika orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang bagai mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak dapat dimengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah air, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.

Kwan Cu menjadi tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.

“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”

“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”

Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan hanya satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kagum.

Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.

Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya, malah melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan filsafat. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,

“Locianpwe, teecu sudah berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat alangkah besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak, karena sebenarnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”

“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa tindakan suhu-mu itu baik dan sempurna? Di kota Thian-cin ini, tidak jauh dari sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan dihukum cambuk. Apa bila kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka, kau akan dapat melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”

Mendengar ini, bangkitlah semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia belaka.”

Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.

Kwan Cu menurunkan Tu Fu di antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah dilanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman pada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.

Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.

Walau pun para penonton merasa sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, akan tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan matanya dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.

Suara cambuk algojo memecah di udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,

“Cukup, Bu-pun-su! Sudah lima puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.

Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal apa bila dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.

Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa hingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.

Demikian lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik melukai pemegang pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan si algojo terobek kulitnya sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!

Komandan pasukan mengira bahwa saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk turun tangan pula.

Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!

Geger keadaan di situ. Para anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apa lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau.