Pendekar Sakti Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sakti Jilid 13

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 13

KETIKA Pek-eng Sianjin dan ketiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka memukul dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walau pun mangkok-mangkok itu berhasil dipukul pecah.

Mereka mendesak maju dan mengurung meja. Tetapi dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin Sin-kai melayani mereka dengan cara menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya.

Sementara itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani keempat orang lawannya. Untuk beberapa lamanya Hang-hong-siauw Yok-ong menonton sambil tertawa-tawa.

Kemudian dia menotok roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencari-cari lagi anak-anak muda lainnya yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu.

Setelah melihat suhu-nya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, Kwan Cu lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan?

Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang, yakni dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.

“Pak-lo-sian Locianpwe...!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.

Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.

“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau cari tambang yang panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan saja kepada tiang agar aku dapat naik!”

“Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar.”

Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Dia bertemu dengan beberapa ‘murid’ Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur bagai orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.

Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur. Akhirnya Kwan Cu dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.

“Locianpwe, tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat gelap itu.

Kwan Cu tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, kan tetapi memeganginya dan membelit-belitkan pada dua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja.

Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,

“Cepat, Locianpwe, teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki di kamar belakang sebelah kiri. Agaknya dia dalam bahaya!”

Memang pada waktu mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng sangat boleh jadi berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.

Mendengar ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai segera melompat dan lenyap dari situ. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang amat berbahaya. Ada pun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.

“Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya.

Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan sekarang dibaringkan berjajar di atas lantai, belasan orang jumlahnya.

Sambil meniup sulingnya, Yok-ong semenjak tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekali dan sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran. Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai merasa mendongkol sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong.

Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya. Dia hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, terlebih dahulu menolong dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima.

Pak-lo-sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng mengenai kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apa lagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat, rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.

“Harus kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.

Ang-bin Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya kebetulan sekali bisa melihat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk melalui sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kun-lun-pai. Kakek pengemis ini segera berkata,

“Hee, Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya.

Tubuh Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara yang telah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya. Sekali sambar dia sudah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin.

“Mampuslah kau!” serunya dan tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.

Terdengar suara keras ketika kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras itu. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.

Yok-ong menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,

“Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di dalam tubuhnya tak akan mau pergi!”

Namun baru saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang ternyata masih dapat mengeroyok juga sesudah tadi digunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong!

“Ini bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.

“Eh, eh, ehh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.

Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan dibawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana ia bisa membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorong kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yaitu Swi Kiat, pasti menjadi korban perempuan ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng Mo-li, dilihatnya tadi menggoda Kun Beng. Maka marahnya tidak dapat dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia pun mengangkat kaki kanannya menendang ke arah lambung Ui-eng Suthai.

Wanita ini menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh Hek-eng Sianjin dalam keadaan tidak bernyawa pula. Yang membunuhnya adalah tendangan tadi karena Pak-lo-sian tak mau berlaku kepalang tanggung dan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam tendangannya. Karena itu, mana Ui-eng Suthai kuat menahan tendangan itu?

Sesudah menewaskan dua orang jahat itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai menjadi semakin buas. Dia memang paling benci kepada orang-orang jahat, apa lagi setelah dia melihat keadaan orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang disayanginya.

Sambil mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih dipermainkan oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi serangannya? Sedangkan hanya menghadapi Ang-bin Sin-kai seorang saja mereka sudah menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi.

Jeng-eng Mo-li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian. Kipas ini menyambar bagaikan seekor burung gagak liar, dan meski pun Jeng-eng Mo-li berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas.

Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Jeng-eng Mo-li roboh kemudian ketika Pak-lo-sian menendangnya, tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-eng Suthai dan Hek-eng Sianjin!

Pek-eng Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk terus bertahan. Ilmu pedangnya memang paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih mampu mempertahankan diri.

Akan tetapi Ang-eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggunakan kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan.

Terdengar suara keras dan patahlah tulang leher Ang-eng Sianjin sehingga ia pun roboh tak bernyawa lagi. Pak-lo-sian menendangnya pula hingga mayatnya bertumpuk dengan mayat saudara-saudaranya.

Habislah keberanian Pek-eng Sianjin sesudah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam keadaan amat mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan melempar pedangnya.

“Pinto (aku) Pek-eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup,” Pek-eng Sianjin berkata dengan bibir gemetar.

Mendengar ini, Yok-ong lalu mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan muak melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, karena itu dia lantas membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok olehnya. Dia kini mulai memeriksa keadaan mereka dan mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang sudah menjadi boneka hidup akibat obat pembius dari Kun-lun Ngo-eng.

“Dia harus mampus!” seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.

Sedangkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng Sianjin. Tanpa banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala ketua Kun-lun Ngo-eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai berseru, “Pak-lo-sian, tahan!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih menyinarkan kemarahan besar.

“Mengapa kau menahanku, Ang-bin Sin-kai? Apakah tidak sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari muka bumi?”

“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tidak patut dilakukan oleh orang gagah.” Kemudian pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.

“Berdasarkan apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan tidak akan melakukan kejahatan lagi?”

“Pinto sudah bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin dengan suara sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.

“Bohong!” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Ucapan manusia semacam ini tidak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh iblis. Dia harus mati!”

“Benar sekali, dia harus mati!” berkata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, setuju dengan pendapat Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Ang-bin Sin-kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ingatlah ujar-ujar guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan sesungguhnya apa bila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki kejahatan dan semua kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untuk menebus dosa-dosanya, maka dia berhak hidup.”

“Ang-bin Sin-kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat kejahatan? Bila kelak dia berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang berbuat kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak, “Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara tidak akan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?” Kakek itu tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-eng Sianjin,

“Kau tadi berjanji akan mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani bersumpah?”

Pek-eng Sianjin mengangguk.

“Nah, kalau begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”

“Jika aku, Pek-eng Sianjin, tidak bertobat dan kembali melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua keturunan atau anak muridku binasa oleh orang-orang gagah!”

Baru saja Pek-eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak kemudian berkata,

“Nah, kau pergilah!”

Sambil berkata demikian, kedua tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya menotok punggung, ada pun jari tangan kanan memencet pinggang ketua Kun-lun Ngo-eng itu.

Pek-eng Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Sesudah dia dapat mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, dia pun bangkit berdiri. Ternyata bahwa tubuhnya sudah menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat digunakan untuk memukul orang lagi! Dia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi orang biasa yang bertubuh lemah!

“Ha-ha-ha, Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lihai dan cerdik luar biasa!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Dia tahu bahwa Pek-eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi. Meski pun ingin melakukan kejahatannya, namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi. Juga kedua orang tosu dari Kun-lun-pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat hajaran yang diberikan kepada Pek-eng Sianjin.

“Hemmm, dia tidak mungkin dapat diobati lagi dan selama hidupnya akan tinggal menjadi orang bercacad,” kata Yok-ong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata penuh dendam.

“Ang-bin Sin-kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya terhadap sumpahku. Kau sudah membuat aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja, kelak tentu akan ada orang yang membalaskan sakit hatiku ini, apa bila tidak kepadamu, tentulah kepada murid-muridmu!” Sesudah berkata demikian, Pek-eng Sianjin segera berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu.

Terdengar Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.

“Pengemis bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah menjadi setan dan tak akan bisa mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya.”

“Biarlah,” jawab Ang-bin Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia melanggar sumpahnya sendiri.”

Semua orang lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya untuk mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu. Seorang demi seorang diurutnya di bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat.

Setiap anak muda yang mengalami pengobatan ini lantas muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih!

Juga Swi Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah mempunyai dasar yang kuat dan sudah berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Dia memandang kepada suhu-nya, kemudian berlutut dan walau pun tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya melompat keluar dua titik air mata.

“Swi Kiat, tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau kehilangan dasar kekuatan di dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau tetap giat berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,” gurunya berkata dengan suara mengandung keharuan.

“Teecu bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar keras dan mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-eng Suthai.

Setelah semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh Kun-lun-pai diberi tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantarkan mereka kembali ke rumah dan dusun masing-masing.

Setelah pengobatan itu beres semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya. “Ehh, mana Kwan Cu?” tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.

“Muridmu yang gundul itu?” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar dari sumur.”

Tak hanya Ang-bin Sin-kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga Hang-houw-siauw Yok-ong turut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka segera pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai berteriak nyaring sekali sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu.

Tidak lama kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.

“Teecu berada di sini, Suhu!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan Hang-houw-siauw Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Ehh, Kwan Cu, kau di manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya.

“Teecu di sini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!”

Baru semua orang tahu bahwa Kwan Cu sedang berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas dan tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, tapi di samping kebodohannya harus kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi dipakai untuk menolongku,” berkata Pak-lo-sian sambil menunjuk ke arah tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah sumur, menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.

Memang betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh, juga sangat tabah dan cerdik. Dia tahu bahwa suhu-nya pasti sanggup menghadapi para pengeroyoknya, apa lagi tadi dia melihat ada Yok-ong yang sekarang ditambah pula dengan Pak-lo-sian. Dia tidak khawatir kalau orang-orang tua itu tak akan dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng.

Karena itu, ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di bawah! Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya yang ada di dalam sumur itu.

Sebelum memasuki sumur, lebih dahulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam ruang yang berdekatan. Kemudian, setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang.

Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia melepaskan tambang dan segera meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia! Dari rabaan ini Kwan Cu bisa menduga bahwa benda itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia.

Dengan tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba menjadi terang. Pertama-tama yang ditemui penglihatannya ialah tulang-tulang itu dan biar pun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia merasa seram juga saat mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi kiranya adalah tulang belulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya.

Di bawah penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan dia mendapat kenyataan bahwa kepala rangka itu telah pecah! Dia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya.

Tempat itu lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih di sudut kiri. Sesudah diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tengah dicari-carinya. Dia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan membuka-buka kitab itu.

Hampir saja dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, yang dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar! Segera anak ini membaca kitab itu. Kegembiraannya bertambah ketika dia mendapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang telah dicuri orang dari goa tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!

Mendapatkan kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab itu. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak akan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya!

Ia teringat betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab ini, maka akan besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu. Pikirannya bekerja cepat dan ia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi ini.

Ia cepat membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan mengenai kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti berikut:

Kitab ini terkutuk dan menjadi alat perusak dunia kalau terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apa bila terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang jahat, Liu Pang kemudian menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas pulau kosong.

Ketika menyembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.


Hanya bagian itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia berusaha mengingat-ingat keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia terkejut sekali ketika mendengar suara gurunya memanggilnya. Dia cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain, dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya!

Orang-orang yang menunggu di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa khawatir sekali.

“Ehh, Kwan Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.

“Teecu sekarang juga keluar, Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam.

Setelah melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini kemudian merayap naik melalui tambang. Begitu dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng lantas tertawa bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya sudah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab itu agak basah dan ketika dibakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan mukanya!

“Ehh, Kwan Cu, apa kau berubah menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar karena melihat muridnya yang terkasih ini.

Sebaliknya, Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan yang di antaranya ingin dia ketahui, apa lagi yang berkenaan dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Kwan Cu, apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.

“Di dalam gelap sekali, Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di sana yang dapat di bakar.”

“Kau menemukan apa di sana?” tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandang mata tajam.

“Sama seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik. “Apa lagi yang bisa teecu ketemukan di dalam sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?” Jawaban ini menyimpang.

Ang-bin Sin-kai tahu akan hal ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentulah ada ‘apa-apanya’ yang disembunyikan oleh bocah gundul ini.

Ang-bin Sin-kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan Pak-lo-sian, tentu tak akan ada habisnya. Mari kita pergi.” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu.

Sesudah tiba di luar, Ang-bin Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh, “Kwan Cu, kau menyembunyikan sesuatu dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”

“Suhu, sebetulnya teecu telah menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu! Dan teecu telah membakarnya menjadi abu.”

Saking terkejut dan herannya, Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.

“Kau bakar...?”

Kwan Cu tersenyum. “Tentu saja setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Berubahlah wajah Ang-bin Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.

“Kau tunggu di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!”

Belum juga Kwan Cu sempat bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari hadapan muridnya ini. Dia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng dan mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai berada. Ia bergerak hati-hati sekali karena maklum bahwa jika Pak-lo-sian berada di situ, banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap saja mendengar kedatangannya.

Akan tetapi, ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di sana. Dua orang tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi, sedangkan Hang-houw-siauw Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke dalam sumur itu. Tidak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!

Memang tepat sekali dugaan ini. Tadi sesudah Ang-bin Sin-kai pergi bersama Kwan Cu, Pak-lo-sian mengambil sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan huruf-huruf besar ‘BUKU SEJARAH KUNO’, dia cepat pergi ke dalam sumur dan memeriksa sambil membawa lilin!

Ang-bin Sin-kai cepat-cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Dia mendapatkan Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!

“Ehhh, dari mana kau mendapat suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar karena dia mengenal suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw Yok-ong!

“Dari Yok-ong Locianpwe,” jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat di situ dan memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,

“Kau anak baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kau simpan suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula.”

Ang-bin Sin-kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu mempunyai pandangan mata yang sangat tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.

“Kwan Cu, ternyata dugaanku benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa di dalam sumur dan kalau dia melihat abu kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan kekerasan. Hayo kita cepat-cepat pergi, aku segan untuk berurusan dengan kakek yang berkepala keras itu!”

Karena ingin menghindar dari kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai segera menggendong Kwan Cu, dibawa pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak Kun-lun-san, sebuah puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi manusia.

“Perjalanan yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau harus melakukan perjalanan jauh, akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tokoh besar yang selalu tidak mau tinggal diam sebelum mereka dapat merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, sementara kita tinggal dulu di tempat sunyi ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki.”

Demikianlah, mulai hari itu Ang-bin Sin-kai mengerahkan seluruh perhatian serta tenaga untuk mendidik dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak pernah terlihat anak ini menganggur, meski suhu-nya sedang beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia pelajari dari suhu-nya.

Bertahun-tahun Kwan Cu dan suhu-nya seolah-olah terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah hutan, di puncak sebuah bukit yang sangat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar gurunya mengeluh panjang pendek oleh karena gurunya itu sudah sangat rindu akan arak dan masakan enak, Kwan Cu menjadi terharu sekali.

“Suhu, sungguh teecu tidak mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu kepada teecu. Ahh, budi yang begini besar, dan apakah teecu akan dapat membalasnya?”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.

“Kwan Cu, pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang menjunjung tinggi peri kebajikan, bisa berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek Cin-keng! Kepandaianku belum cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?”

Mendengar ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan semakin giatlah dia. Dia menjadi terharu sekali ketika gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa beberapa stel pakaian baru untuknya! Suhu-nya sendiri tidak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada tubuhnya itu sudah benar-benar hancur.

Atas kehendak gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, sekarang Kwan Cu memakai pakaian yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhu-nya yang amat mengasihinya.

Beberapa tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Dia sudah berusia lima belas tahun, akan tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang hwesio kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang tiada henti-hentinya.

Kembali beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi sekali dan suhu-nya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah goa. Akhir-akhir ini, suhu-nya nampak malas dan bangunnya pun apa bila matahari telah naik tinggi. Tubuh suhu-nya nampak makin kurus dan kakek ini beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.

“Aku sudah sangat tua, Kwan Cu, tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,” demikianlah berkali-kali kakek pengemis yang sakti ini mengeluh.

Pagi hari itu Kwan Cu melatih ilmu silat Sin-ci Tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yaitu ilmu silat paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu tiam-hoat (menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari tangan yang luar biasa kuatnya.

Sudah berbulan-bulan dia terus melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan hatinya. Pada pagi hari ini, sesudah pada malam tadi mendapat wejangan dari gurunya yang membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari pada ilmu pukulan Sin-ci Tin-san ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.

Pada saat bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat ke sana kemari serta kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan ke sana ke mari dan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur.

Kemudian mulailah dia menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang usianya baru lima belas tahun ini. Tiap kali jari tangannya baik yang kanan mau pun yang kiri, menusuk ke batang sebuah pohon, terdengar suara berderak kemudian pohon itu patah dan tumbang berikut semua daunnya!

Kalau ada orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,

“Tidak baik, tidak baik! Gwakang-ku lebih besar keluarnya dari pada tenaga lweekang!”

Kembali dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang langsung patah dan tumbang.

“Kau terlalu terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga gwakang sehingga tidak seimbang dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok, ternyata bahwa suhu-nya sudah berdiri di belakangnya.

Kwan Cu berlutut. “Suhu, mohon petunjuk dari suhu yang mulia.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali saat menghadapi perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan yang paling utama adalah timbulnya nafsu yang menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca inderamu, dan sadar serta tak sadar harus waspada betul-betul. Kekuatan yang tenaganya tampak seperti pukulanmu kepada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh. Ingatlah, segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat.”

“Mohon suhu memberi penjelasan mengenai Sin-ci Tin-san, karena sesungguhnya teecu belum dapat melakukannya dengan baik.”

Ang-bin Sin-kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan satu jarinya untuk menusuk pohon itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikit pun juga, bahkan tiada sehelai pun daun yang rontok. Akan tetapi ketika Ang-bin Sin-kai menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan, ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang pohon di balik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu lantas tumbang ke tanah!

“Dalam pukulan Sin-ci Tin-san, kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang itu akan berubah menjadi tenaga gwakang yang kasar.”

Demikianlah, Kwan Cu digembleng terus oleh suhu-nya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti terbang, serta ilmu silat yang lihai. Suling yang didapatnya dari Yok-ong ternyata merupakan senjata yang amat ampuh. Suling ini terbuat dari pada baja hijau dan kuatnya bukan main.

Ang-bin Sin-kai melatih ilmu pedang tunggalnya yang membuat dia dapat menjagoi dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Memecah dan Membuka). Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan sulingnya dan ternyata cocok sekali.

Selain pandai memainkan suling sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu dari sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin Sin-kai yang tahu akan teori meniup suling sungguh pun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.

Dua tahun kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.

“Muridku, kini kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kau pakai sebagai bekal dalam perjalanmu mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menuruti petunjuk yang kau baca dalam kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat yang paling lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati sehingga aku dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”

Kwan Cu yang berlutut di depan suhu-nya merasa sangat berat untuk berpisah dan pergi meninggalkan suhu-nya yang kini nampak tua sekali.

“Semenjak dahulu memang teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat tua dan siapakah yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.

“Kwan Cu, apakah kau akan memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tak membutuhkan pelayanan orang lain.”

“Akan tetapi... kalau teecu rindu kepada suhu dan hendak bertemu, ke manakah teecu harus mencari suhu?”

“Aku akan ke kota raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku tak akan jauh dari tempat kau mencari kitab itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”

Setelah mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah timur dari Tiongkok.

Ia melakukan perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur…..

*****

Baru sekarang Kwan Cu merasa alangkah sunyinya hidup seorang diri dan melakukan perjalanan tak berteman. Dia rindu kepada suhu-nya yang baginya merupakan penganti ayah bundanya. Namun hati Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja dia telah melenyapkan rasa sunyi itu dan memaksa hati bergembira.

Suling pemberian Yok-ong yang kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang paling setia. Setiap kali dia beristirahat di mana saja, dia selalu meniup sulingnya. Suara sulingnya inilah yang menghibur hatinya, biar pun dia berada di dalam hutan yang sunyi, apa bila dia meniup suling maka lenyaplah rasa sunyi dalam hati.

Perjalanan yang dilakukan oleh pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, paling sedikit ada empat ribu kilo meter! Terlebih pula perjalanan ini banyak melalui gunung-gunung serta hutan-hutan liar yang sukar dilalui.

Akan tetapi Kwan Cu sekarang sudah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi sehingga perjalanan yang sukar itu dapat dilakukan dengan cepatnya. Ginkang-nya telah terlampau tinggi untuk dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau pun jalan-jalan yang menanjak.

Semenjak turun gunung, dia tak lagi mencukur rambutnya sehingga kini dia benar-benar merupakan pemuda yang gagah dan tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar tajam namun jujur dan bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang lapang dan tabah. Dia mengikat rambutnya dengan sapu tangan agar rambut itu tidak turun menutupi mukanya.

Kurang lebih setengah tahun dia melakukan perjalanan, meski kadang-kadang berhenti untuk menikmati pemandangan alam di beberapa gunung yang aneh atau mengagumi bangunan-bangunan indah di kota-kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap bentrokan sesuai dengan nasehat suhu-nya.

Memang beberapa kali ia pernah dihadang oleh para perampok yang hendak merampas pakaiannya, akan tetapi Kwan Cu tidak mau melayani para perampok itu dan setiap kali dia hanya membuat para perampok berdiri bengong seperti patung karena pemuda yang hendak dijadikan korbannya itu tiba-tiba saja tertawa dan berkelebat melenyapkan diri dari depan mata mereka!

Lebih enam bulan kemudian dia tiba di perbatasan utara dari propinsi Ho-pei. Di tempat ini dia teringat akan pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-siucai ditawan oleh panglima An Lu Shan.

Keadaan di sekitar daerah ini sekarang sudah sangat berubah, tidak seperti dahulu lagi. Kwan Cu merasa heran betapa daerah ini sekarang amat ramai, penuh oleh tentara yang bermacam-macam pakaiannya dan bermacam-macam pula kebangsaannya. Dia melihat tentara-tentara dari suku bangsa Hui, Daur dan juga Mongol. Mereka semua berpakaian perang dan bersenjata lengkap, berbaris ke sana kemari seolah-olah tengah menantikan datangnya perang besar!

Di setiap tanah lapang dia meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi dan berlatih perang-perangan. Kwan Cu menjadi semakin kagum dan heran karena setiap anggota tentara mampu mainkan senjata mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi. Biar pun hanya beberapa jurus saja mereka itu mainkan senjata masing-masing, tombak, golok atau pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu silat yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi!

Tentu saja pemuda yang sama sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi pemerintahan ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu, Panglima An Lu Shan sedang mengerahkan seluruh tenaga suku-suku bangsa yang berada di Tiongkok Timur laut, untuk membentuk sebuah barisan yang besar sekali dengan maksud menyerang ke selatan dan merampas kedudukan kaisar! An Lu Shan mulai dengan persiapannya untuk memberontak.

Yang paling mengherankan hati Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu. Tak pernah dia bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki berpakaian tentara dan menjadi anggota tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja yang berpakaian biasa.

Sebaliknya, semua orang memandang padanya dengan mata yang terheran-heran pula karena sesungguhnya Kwan Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang berpakaian preman. Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang seorang komandan pasukan yang dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu.

“He, orang muda! Kau masih enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri agar segera masuk tempat latihan!” sambil berkata demikian, komandan itu memegang pergelangan tangan Kwan Cu erat-erat.

Kalau dia menghendaki, dengan mudah Kwan Cu akan mampu melepaskan tangannya. Akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, maka sambil tersenyum ia berkata,

“Sobat, apakah maksudmu? Aku tak mengerti sama sekali. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perantau yang datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap kau suka menjelaskan.”

“Setiap orang laki-laki di daerah ini harus menjadi tentara, hanya ini saja dan tidak ada penjelasan lain!”

“Mengapa harus? Aku bukan orang sini dan aku tidak mau menjadi tentara,” kata Kwan Cu.

Sementara itu mendengar suara ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak tentara dan tahu-tahu Kwan Cu sudah dikurung!

“Anak muda, sudahlah jangan banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau menjadi tentara dan membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi penghuni goa maut!”

Kwan Cu menjadi penasaran sekali, akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran dari pada marah.

“Apakah goa maut itu? Dan mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi tentara? Sungguh mati aku tak mengerti sama sekali!”

Komandan itu tertawa, “Oya, aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat goa maut? Mari, mari ikut!” sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik lengan Kwan Cu diikuti oleh para anggota yang juga tertawa-tawa geli.

Masih saja Kwan Cu bersabar dan dia membiarkan dirinya ditarik bagaikan kerbau oleh komandan itu yang membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng bukit dan jalannya naik turun melalui hutan-hutan. Di pinggir sebuah hutan di luar kota, Kwan Cu dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah kelihatan sebuah goa yang merupakan terowongan besar dan di sebelah dalamnya tampak anak tangga. Di depan goa itu dijaga oleh seorang tentara berbangsa Mongol yang bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa, memegang sebatang tombak yang besar dan panjang lagi berat.

Komandan yang menarik tangan Kwan Cu lalu berbicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga itu yang tertawa bergelak-gelak, membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang menjuntai ke bawah itu ikut bergerak-gerak lucu.

“Nah, inilah goa maut. Siapa pun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan ke dalam goa ini lalu dijerumuskan ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah, sekarang pilihlah.”

Dari dalam goa itu lapat-lapat terdengar suara rintihan dan tangisan sehingga terbangkit semangat Kwan Cu untuk menolong mereka itu. Akan tetapi, dia teringat bahwa dia kini sedang berurusan dengan tentara pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan keributan hebat. Maka dia lalu mengangguk dan berkata,

“Aku menurut saja.”

Terdengar suara gelak ketawa. Komandan itu bersama para tentara yang mengikutinya lalu beramai-ramai menghantar Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu sebagai calon tentara.

Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat goa maut itu, tiba-tiba mereka ribut-ribut kemudian sibuk mencari-cari seperti seorang wanita kehilangan gelangnya. Tanpa diketahui oleh seorang pun, tiba-tiba saja pemuda yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!

“Ehh, di mana dia?”

“Aneh sekali, tak mungkin dia melarikan diri!”

“Aku tadi masih melihat dia berjalan sambil tersenyum-senyum.”

“Dia bisa menghilang, tentu dia siluman!”

Ramailah orang-orang itu bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi bayangannya.

Sebenarnya, dengan kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya, ia lalu melarikan diri dengan cepat dan ringan sekali sehingga tak menimbulkan suara apa pun. Dia ingin sekali menyelidiki keadaan goa maut itu dan hendak berusaha menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan tangisan tadi.

Kalau tentara negeri menghukum orang bersalah atau orang jahat, tentu dia takkan mau campur tangan. Akan tetapi tadi pun ia akan dimasukkan ke dalam goa itu hanya karena dia menolak menjadi tentara. Kalau memang demikian, tentu banyak sudah orang-orang yang dimasukkan ke dalam goa maut itu tanpa dosa! Jika begini keadaannya, dia harus menolong mereka itu.

Sesudah senja datang, Kwan Cu menyembunyikan diri di balik rumpun alang-alang dan mengintai ke arah goa itu. Dia hendak bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga raksasa yang tadi masih saja berdiri laksana patung di depan goa, memegangi tombaknya sehingga nampaknya angker dan menakutkan.

Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Dia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam goa itu melarikan diri. Ketika dia masih menunggu sambil mengintai di belakang rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu.

Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang dengan langkah cepat itu ternyata adalah seorang hwesio bertubuh gendut bulat berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu masih mengenal hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang sangat lihai dan jahat, hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!

Di sebelah hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, tentu berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tidak usah merasa jeri, akan tetapi Hek-I Hui-mo merupakan seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!

Dia melihat penjaga yang laksana raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian An Lu Shan serta kedua orang kawannya memasuki goa dan lenyap ditelan kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam goa, seakan-akan dia berkata-kata di depan banyak orang.