Pendekar Sakti Jilid 05

Cersil kho ping hoo serial Bu Pun Su

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 05

ANAK laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Sui Ceng juga menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka kemudian berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini.

Akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan lantas mencela kepada Kun Beng, “Suheng-mu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!”

Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.”

“Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!”

Dia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li)! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti engkau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!”

Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka yang tidak senang. “Kalian ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan sekali!” katanya sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja dan menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku hendak menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo, siapa berani maju lebih dulu?”

Sambil berkata demikian, wanita sakti ini kemudian bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki tolol.”

Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?”

Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapa pun juga.

“Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas.

Inilah senjata yang amat lihai dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas warna hitam dan putih. Ia mempunyai ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hoat, yang permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia mempunyai ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, dia merasa rugi kalau harus menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya.

Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai.

“Nanti dulu!” berkata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!”

“Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.

“Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan ke dua!” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu menerangkan.

Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia segera melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat!

“Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan tetapi masih kurang adil.”

“Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” Jeng-kin-jiu bertanya sambil tertawa lebar.

“Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biar pun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”

“Hmm, hio akan terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Ang-bin Sin-kai menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk kedua kalinya.”

Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat-cepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang.

“Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan!

“Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang dimainkan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali digunakan untuk menangkis.

Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka walau pun oleh pemegangnya digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, saat tertangkis oleh kipas yang mengebut akan bertolak kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat. Cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam sambil kerahkan tenaga gwakang.

Wanita sakti itu cepat mengelak. Ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan!

“Satu jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang kawan berhantam!

Serangan Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu walau pun hanya bergagang satu, akan tetapi karena ujungnya memiliki sembilan helai bulu panjang yang bergerak masing-masing dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat lihai.

Namun Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya bisa digerakkan hingga menimbulkan angin berputar. Dari mana pun juga bulu-bulu pecut itu menyerang, selalu dia dapat mengebut senjata lawannya sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Ada pun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li.

“Guruku pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya terus bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak lucu.

“Tak mungkin! Guruku yang akan membikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat.

Sui Ceng mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku, nyawanya tentu melayang ke akhirat!”

“Ssttt……! Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan menang.”

Pertempuran itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung terus.

“Dua puluh delapan jurus! Dua puluh sembilan…! Ahh, cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!”

Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai lalu melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li, sedangkan Siangkoan Hai juga merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya.

“Kau hebat, Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya.

“Dalam babak ke dua nanti kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya.

“Hee, kau jangan begitu bernafsu dan serakah, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.”

Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi.

“Eh, ehh, aku dulu!” Ang-bin Sin-kai berkata kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul, sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?”

“Cecak kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan Hitam patut menjadi lawanku!”

Ketika Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring. Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan ke arah Jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo.

Memang lucu sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan seram dan galak, sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi.

Akan tetapi, ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya bukan main. Meja sembahyang yang terkena sambaran pukulan mereka sampai bergerak-gerak, juga lantai sampai tergetar dan beberapa macam barang yang letaknya terlalu tinggi dan berada di atas meja, roboh terguling!

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yang berat itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin ribut!

Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga memiliki tenaga besar, sedangkan Tongkat Kepala Naga (Liong-thouw-tung) pada tangan kanannya, ditambah pula dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu.

“Tang! Tung! Tang! Tung!” berkali-kali terdengar suara dibarengi bunga api berpencaran ke sana ke mari kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya.

Menghadapi pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng, Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa ngeri. Mereka yang semenjak kecil telah terdidik ilmu dapat membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan.

“Cukup! Hio sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.

Pertandingan kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin membesar dan cepat menghabiskan hio itu.

Kedua orang hwesio itu menggelundung mundur dan saling menjura.

"Omitohud! Jeng-kin-jiu benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa amat kewalahan menghadapimu," kata Hek-i Hui-mo.

“Omitohud! Apa bila dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat dari pada tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji.

Sesudah duduk kembali Ang-bin Sin-kai nampak termenung dan diam saja, agaknya dia sedang memutar otaknya.

“Ehh, pengemis bangkotan. Hayo kau maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan gembira.

Memang kelima orang ini adalah jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam dunia ini tidak ada kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan mengadu ilmu.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai diam saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang berpikir keras. Akhirnya dia mengangkat muka dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh, “Kita semua sudah melakukan kebodohan besar! Benar-benar kita sudah tolol sekali, berebut mangkok butut yang kosong. Apa artinya kitab itu? Ambillah siapa saja yang suka mengambil. Aku tidak butuh lagi.”

Semua orang memandang heran.

“Ehh, apa maksudmu, Ang-bin Sin-kai? Apa kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe Coa-li.

Ang-bin Sin-kai menggeleng-gelengkan kepala. “Pertempuran adalah bagus sekali untuk menambah semangat di dalam kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa? Apa artinya kitab itu tanpa penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai seorang yang dapat menterjemahkan. Sekarang dia sudah mati, untuk apa kita berebut kitab itu? Sekarang kitab itu tiada gunanya lagi!”

Mendengar ucapan ini, bengonglah semua orang itu. Pikiran mereka baru terbuka dan mereka pun saling pandang dengan tertegun.

Sambil tertawa bergelak Ang-bin Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah. Kalian lihat sendiri, siapa di antara kita yang dapat membaca kitab kuno ini? Kalian tahu, aku seorang ahli sastra pula, dan aku tahu bahwa kitab ini usianya masih lebih tua dari pada usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!”

Ia lalu mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja. Tulisan pada kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya pada halaman terdepan ditulis dengan huruf besar dan jelas ‘IM-YANG BU-TEK CIN-KENG’, akan tetapi selanjutnya tak ada satu huruf pun yang dapat mereka baca.

“Ha-ha-ha!” Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di antara kita yang dapat membaca huruf pertama ini?”

Semua orang memandang.

“Huruf BENG!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

“Bukan, gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!” Ang-bin Sin-kai membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membuka-buka lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali.

“Aku tahu! Anak kecil itu…” kata Kiu-bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, “Sui Ceng, siapa namanya anak laki-laki murid Gui-suicai itu?”

“Namanya Lu Kwan Cu!” kata Sui Ceng

Muka Ang-bin Sin-kai berubah, “Anak kecil itu mana mengerti?”

“Belum tentu!” kata Hek-i Hui-mo. “Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari dari gurunya!”

Kembali mereka bersitegang dan kini timbul harapan baru, maka mereka saling pandang dengan penuh kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi!

Ang-bin Sin-kai mengangguk. “Baik! Sekarang diatur begini saja. Di sini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Biarlah mereka membawa meja ini dan kita berjalan di belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini.”

Demikianlah The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah, semua barang di atas meja itu telah dilemparkan. Lalu berangkatlah mereka.

Benar-benar lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di belakang ‘meja berjalan’ ini berjalanlah lima orang tua yang aneh!

“Hee, kenapa meja ini menjadi berat?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia segera membentak, “Bocah setan, jangan main-main!”

Kun Beng yang juga menengok, terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi ikut memanggul meja, melainkan dia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu! Karena tubuhnya paling pendek, maka dia dapat begantung sehingga boleh dibilang dia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi. Benar-benar seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak…..

*****

Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Meski pun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula dengan latihan-latihan semedhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah diterjemahkan oleh suhu-nya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian.

Tadinya, sesudah bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasa bahagia, dan merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian sesudah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapatlah dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia menyaksikan kematian Gui Tin.

Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat ada sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini.

Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Akan tetapi bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan.

Kalau saja dia tidak mempunyai hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis. Dia keluar dari rumah pondok reot itu dan duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar kemudian berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya.

Ia membuang muka dan tak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang semua daunnya sudah rontok, tinggal cabang-cabangnya saja dan membuat keadaan menjadi makin sunyi.

Lu Kwan Cu duduk dengan tangan kiri menunjang dagunya. Dia duduk termenung, tidak bergerak seakan-akan dia telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih.

“Memang betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari orang yang menggunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi dimana aku harus mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.”

Selagi dia duduk termenung, mendadak dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan.

“Itu dia…!” Ia mendengar suara seorang anak perempuan. “Hei… Kwan Cu...!”

Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu.

“Adik Ceng...!” teriaknya girang.

Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkan dirinya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik.

“Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.

“He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” berkata Jeng-kin-jiu kak Thong Taisu dengan suara gembira pula.

Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis.

Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini sudah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu. Pada saat melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu!

“Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah hendak bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja.

“Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng.

“Kau tentu dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh di dalam kitab itu, bukan?” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata penuh gairah.

“Bagaimana isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li.

“Lekas kau baca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.

Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak berbicara apa-apa, namun seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan apa bila perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa yang dipergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.

“Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” berkata Kwan Cu sambil menggelengkan kepala, kemudian memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan!

Terdengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata mengancam.

“Apa katamu?”

“Jangan bohong bocah!”

“Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!”

Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali buah coa-ko oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biar pun menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja.

“Apa gunanya aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.”

Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai yang paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia lalu berkata, “Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu tak akan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!”

Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis tua ini bicara dengan halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!

“Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?”

Lima orang tua itu saling pandang.

“Aku tahu,” kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?”

“Pinceng pun tahu, memang betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

“Tidak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis pada jaman Kerajaan Shia.”

Berseri wajah Kwan Cu. “Ehh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!”

“Mengapa demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur.

“Oleh karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!”

Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba menjadi amat kecewa.

“Tar! Tarr!”

Tiba-tiba terdengar bunyi suara dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya!

“Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!”

Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi.

“Aku tidak tahu.” Kata Kwan Cu.

“Bohong!” bentak Kiu-bwe Coa-li.

Ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh!

Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata,

“Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia lalu memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.

Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia pun melihat betapa tiga orang tua yang lainnya sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang diperebutkan!

“Di mana kitab aslinya?!” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas, jangan membohong!”

“Siapa yang perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk apakah?” Kwan Cu berkata jengkel. “Guruku Gui Tin pernah mengatakan bahwa memang ada kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng, akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong yang sangat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku sudah bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!”

Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, tapi melihat ketabahan serta keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, sungguh luar biasa sekali. Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini mendekatinya.

“Kau hebat, Kwan Cu...,” katanya.

Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku hanya menimbulkan keributan belaka...”

Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja kemudian melompat pergi!

“Bangsat tua bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar.

Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang, kalau diulur terus ada sepuluh kaki. Sembilan helai bulu pecut lantas meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa.

Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai.

“Trang! Traaang!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu saat terhantam pecut Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari.

Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sebaliknya, dalam kemarahannya Kiu-bwe Coa-li melakukan serangan sepenuh tenaga.

Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Mendadak menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkang-nya dan melompat jauh ke kiri.

Terdengar suara keras karena ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang. Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo.

Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biar pun dia lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng! Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih meluncur ke tubuhnya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung bagai belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya.

Hek-i Hui-mo cepat mengelak sambil berloncatan, akan tetapi tetap saja sebatang paku menancap di pundaknya. Dia mengeluh dan menggigit bibirnya, kemudian mempercepat larinya.

Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apa lagi pada saat itu bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata. Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu?

Apa lagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia mempelajari kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu.

“Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!” berkata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa ke mana anak itu?”

“Dia? Dia adalah seorang anak yang sudah semenjak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sin-kai. “Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.”

“Siapa bilang? Muridku masih kurahasiakan, tetapi kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha-ha-ha!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

“Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa di antara kita yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing.”

Dia hendak membawa pergi Kwan Cu, namun Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam dan mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid, dan aku pun tak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga kepadanya. Bagaimana kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau hanya pura-pura mengambil murid padanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal kecurangan lelaki macam kau!”

“Habis, kau mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Anak ini harus dibunuh! Dengan demikian barulah adil namanya jika kita saling berlomba mencari kitab itu tanpa bantuan siapa pun juga.”

“Betul, betul!” kata Siangkoan Hai.

Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapa pun juga, pinceng juga termasuk orang yang pernah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya hendak direnggut orang? Apa lagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk membela dan melindunginya. Sebaiknya diatur begini saja. Percayakah kalian akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?”

“Aku percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas.

“Aku pun percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?”

“Biar dia bersumpah bahwa dia tak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu.

“Bagus, kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu.”

Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua percakapan di dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya.

“Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.”

Ang-bin Sin-kai membelalakkan sepasang matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Ehh, bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?”

“Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Boleh, boleh, biarlah aku bersumpah bahwa kalau aku menggunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku si pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!” Kemudian ucapannya ini disambungnya dengan suara menyindir, “Andai kata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?”

Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ. Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia ‘menggelundung’ pergi dari situ.

“Hayo kita pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.

“Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian dari kakek angkatnya.

“Apa itu?” tanya gurunya.

“Uang emas, Suhu.”

Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan kedua matanya terbelalak melihat uang emas sebanyak itu. “Ehh, dari mana kau dapatkan uang ini?”

“Dari Kongkong (Kakek)!”

Mendengar jawaban ini, Ang-bin Sin-kai jadi semakin tertegun. “Bocah aneh, siapa pula kongkong-mu itu? Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?”

Lu Kwan Cu tersenyum. “Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!”

Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali.

“Buang saja uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.”

“Mengapa dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?”

Kakek itu melototkan matanya. “Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang saja!”

“Sayang, Suhu.”

“Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhu-mu?”

“Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Dari pada dibuang di sini, dan bila ditemukan orang hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?”

Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku. Sesukamulah.”

Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika ia melihat betapa muridnya yang gundul itu sanggup mengikutinya, dia mempercepat jalannya. Dan walau pun terlihat gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk berlari cepat agar bisa mengimbangi kecepatan suhu-nya…..

*****

Di pinggiran sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar, nampak pemandangan yang sangat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang anak lelaki berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah!

Baju anak itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan hingga nampak perutnya yang kecil, dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini diam tidak bergerak dan kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya kelihatan berseri!

Ada pun di bawah pohon, seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan duduk bersandarkan batu. Tubuh pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan. Apa lagi kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya.

Ia memegang seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular, ada pun tangan kirinya memegang tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka mulutnya. Dan dari dalam mulut ular ini keluarlah suara mendesis-desis dan mengebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini?

Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu, ada pun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah menjadi gila, menggantung tubuh muridnya secara terbalik dan makan ular beracun pula? Tidak demikianlah halnya.

Sesudah membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka lalu menuju ke bukit Liang-san.

Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli. Maka, dia pun tidak mau banyak bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san. Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu.

“Dari mana kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?” tanyanya.

“Teecu pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.”

“Hemm, seorang wanita yang baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji.

“Kemudian, teecu menurut pada petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.”

Kali ini Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Kau sudah membaca semua isi kitab palsu itu?”

Kwan Cu mengangguk. “Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu pelajari.”

“Coba kau tidur terlentang,” gurunya memerintah.

Kwan Cu menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang.

Ang-bin Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kau dapat dari pelajaran kitab palsu.”

Kwan Cu mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Dia merasa dadanya sakit, maka dia lalu melepaskan tenaganya itu.

Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai merasa betapa ada tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu. “Sakitkah dadamu?”

Kwan Cu mengangguk.

“Celaka sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ahh, benar-benar kitab itu palsu. Akan tetapi jika ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini hebat, apa lagi aslinya. Kwan Cu, kau sudah mempelajari ilmu yang salah, karena itu kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani karena mesti melakukan latihan napas semedhi secara terbalik.”

Kemudian, sejak hari itu kedua kaki Kwan Cu diikat, kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong!

“Dengan begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan akan menyehatkan paru-parumu yang sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tidak enak sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu supaya aliran darahmu tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena banyaknya aliran darah di bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan tubuhmu dari tenaga palsu itu!”

Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih hebat lagi, sering kali suhu-nya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah selama dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan!

Akhirnya, beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (semedhi) secara tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali. Meski pun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya supaya jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan pikirannya terang.

Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Bila dia hendak berlatih, gurunya tidak lagi membantu. Dia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, lalu mengikat kedua kakinya pada cabang itu dan menggantung dirinya!

Pada pagi hari itu, ketika mereka sampai di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai sudah tidur mendengkur ada pun Kwan Cu sebentar saja juga sudah dapat mempersatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta.

Baik guru mau pun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali!

Walau pun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tertidur dan Kwan Cu tidak sedang bersemedhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah mempunyai pendengaran yang amat tajam.

Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit. “Suhu...!”

Ang-bin Sin-kai melompat bangun dan betapa terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu!

“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada lehernya.

Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Dia tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular!

Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti anak itu takkan dapat ditolong lagi.

“Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni di dalam pusarnya,” pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu.

Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di sana tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara adalah dia harus dapat menyimpan darah ular itu di dalam mulutnya, lalu dia akan menyemburkan darah itu dari mulutnya ke mulut Kwan Cu!

Demikianlah, maka terlihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung bagaikan mayat, dan kakek itu duduk sambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu.

Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya. Akan tetapi dia terus menyedot hingga darah ular itu terkumpul ke dalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus itu menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat kakek itu nampak menyeramkan sekali.

Gerakan ular itu makin lama makin lemah dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin Sin-kai melemparkan bangkai ular, kemudian melompat lagi ke atas cabang. Dia menggantungkan dua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya.

Pada waktu dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dari dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya!

Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum pula akan maksud suhu-nya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!” seru Ang-bin Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya. “Tahan napas kemudian biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!”

Kwan Cu menurut pada petunjuk suhu-nya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya mulai hilang. Ang-bin Sin-kai lalu menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa murni untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi.

Setengah hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya sudah tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai baru menurunkan tubuh muridnya.

“Kau selamat!” katanya dengan lega. “Akan tetapi aneh sekali kenapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu.”

Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa tubuh teecu sangat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai.”

“Mana mungkin?” Gurunya menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko (buah ular).”

“Teecu sudah makan coa-ko, Suhu!”

“Hushh! Kau kira mudah mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun semenjak dulu mencari belum juga dapat.”

“Akan tetapi teecu tidak membohong, Suhu.”

Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali.

“Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku tidak akan begitu kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang mana pun juga!”

Maka, setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih dari tenaga yang didapatnya dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini merupakan tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong…..

*****

Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, yaitu anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak dia pergi meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggota Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti.

Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, karena itu timbul di dalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat.

Ketika masih kecil, Ong Kiat ini merupakan kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara dua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka.

Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika dia menikah dengan Bun Liok Si. Diam-diam dia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya.

Ong Kiat yang sejak kecil juga belajar ilmu silat, kemudian menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu mereka tidak pernah saling bertemu lagi.

Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasanya, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri pergi merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).

Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk pergi merantau dan mempergunakan kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Ia sering kali berpakaian warna putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia pun mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias oleh setangkai bunga cilan.

Seorang diri Loan Eng menuju sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali.

Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti kata takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya dan biar pun ia sudah sering kali menghadapi orang-orang jahat serta bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.

Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidak amanan daerah ini. Banyak dusun yang sudah kosong ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja.

Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Dia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan hendak membasmi gerombolan itu sampai bersih.

Loan Eng tidak mengetahui bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintai dirinya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah pada waktu mata mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing.

Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan segera tampak berlompatan keluar anggota-anggota gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).

“Nona elok dan gagah siapakah yang bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil memandang kagum, ada pun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.

“Namaku tak perlu diketahui oleh gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Jika betul, cepat berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”

Semua orang tertegun, karena mereka tidak mengira seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.

“Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu dengan mulut menyeringai dia berkata, “Nona manis, walau pun kau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku tidak akan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”

Sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus lantas bernyala. Sekali dia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.

“Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, apa bila tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina ini, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!

Melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, Sin Houw tidak berani memandang ringan. Dari gerakan ini dia maklum bahwa pendekar wanita di depannya itu mempunyai kepandaian tinggi, apa lagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang.

Cepat dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang lawannya terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan telapak tangan kepala rampok muda ini yang terasa sakit!

Dia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng menggunakan gerak tipu Hong-sauw Pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.

Diam-diam Loan Eng harus mengakui bahwa kepandaian kepala rampok muda ini tidak jelek, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Akan tetapi ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng sehingga dalam beberapa jurus saja Sin Houw sudah terdesak hebat.

Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lebih lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda sehingga sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat.

Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya. Tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.

“Mundur...!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.

“Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.

Mereka lantas berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.

Akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng menjadi terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!

Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Dia memandang bangunan di depannya yang kini nampak senyap. Tidak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun?

Dia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan menggunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan memiliki pekarangan belakang yang luas sekali ini.

“Hemm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.

Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan sudah sering menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja dia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biar pun dia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, Loan Eng tak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil mengeluarkan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!

“Syuuut-syuuuut! Syuuuuut!”

Banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini. Akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali, dan setelah tadi merobohkan pintu, dia melompat ke samping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.

Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya, memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Dia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorang pun manusia.

Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan.

“Tangkap penjahat! Padamkan api...!”

Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi dia tidak tertarik, malah ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan dia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.

"Siapa dia? Kenapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan," pikir Loan Eng. "Aku harus menolong dia." Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu.



AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.