Pendekar Sakti Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sakti Jilid 03

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 03

KWAN CU berjalan bersama kakek pengemis yang luka-luka dan di sepanjang jalan kakek pengemis itu masih bernyanyi-nyanyi. Kwan Cu seorang anak yang cerdik, mendengar nyanyian yang isinya memaki-maki dan mencela orang she Lu, dia tahu bahwa kakek ini tentu dibikin sakit hati oleh she Lu.

“Lopek, apakah anak bangsawan tadi she Lu?”

Kakek itu berhenti bernyanyi, kemudian memandang padanya. Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba kakek itu meramkan matanya. Wajahnya semenjak tadi sudah pucat dan sekarang matanya berkunang. Tubuhnya lemas dan dia lalu terkulai, pingsan dalam dekapan Kwan Cu. Ternyata bahwa kakek ini telah kehilangan banyak darah dan karena semenjak tadi dia menahan sakit dengan nyanyiannya, kini setelah ia berhenti bernyanyi, rasa sakit itu datang menyerang dirinya bagaikan gelombang besar yang menelannya!

Kwan Cu cepat menarik tubuh kakek ini dan karena anak itu diam-diam telah mempunyai tenaga besar, dengan mudah dia mengangkat dan memondong tubuh yang kurus kering ini ke pinggir jalan. Dia meletakkan tubuh pengemis tua itu di bawah pohon, lalu cepat pergi ke sebuah kedai yang ramai.

Pelayan kedai itu baik hati. Ketika Kwan Cu menceritakan keadaan pengemis tua yang sengsara, diberinya anak ini semangkok bubur hangat dan sedikit sisa arak. Kwan Cu menghaturkan terima kasih dan cepat kembali ke tempat dia meletakkan tubuh pengemis tua tadi. Setelah dia menuangkan sedikit arak ke dalam mulut kakek itu, maka pengemis tua ini siuman kembali dan dia menerima bubur yang disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kwan Cu.

“Anak, kau baik sekali. Baru sekarang aku orang she Gui bertemu dengan seorang yang menaruh perhatian kepada lain orang yang sengsara,” katanya. Dengan bantuan Kwan Cu, dia lalu duduk bersandar kepada sebatang pohon.

Sementara itu, hari telah menjadi panas dan hawa di bawah pohon besar itu sejuk benar.

“Kita mengaso di sini dulu, ehh, siapa pula namamu tadi? Kau she Lu dan namamu?”

“Kwan Cu,” jawab anak gundul itu sambil menahan perutnya yang terasa perih saking laparnya.

“Lu Kwan Cu, nama yang cukup baik, sayang she-nya itu! Ehhh, anak, bagaimana kau sampai bisa mempunyai she Lu?” kakek itu bertanya.

“Entahlah, Gui-lopek. Aku sendiri tidak tahu kenapa namaku Lu Kwan Cu. Aku mendapat nama ini begitu saja, dan kupikir, betapa pun buruknya nama ini masih lebih baik dari pada yang tidak bernama sama sekali. Pula, apakah artinya nama? Waktu lahir manusia tidak bernama, dan kalau sudah mati, namanya lenyap pula bersama tubuhnya ke dalam tanah.”

Kakek itu membelalakkan matanya. “Ah, benar-benar ajaib! Dari mana kau mendapatkan semua pengertian itu? Kau murid siapa?”

“Bukan murid siapa-siapa, Lopek, juga bukan anak siapa-siapa. Aku tahu semua itu dari buku-buku kuno.”

“Hm, lebih aneh lagi. Seorang anak pengemis yang jembel dan miskin dapat membaca kitab...”

“Masih kalah aneh dengan seorang kakek pengemis yang ternyata ahli sastra dan syair!” kata Kwan Cu. Mereka saling pandang, lalu tertawa.

“Bagus, Kwan Cu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan! Ketahuilah olehmu, dahulu Menteri Lu Pin yang mulia itu pernah belajar ilmu kesusastraan padaku! Pernah pula dia tinggal di rumahku dan makan dari mangkokku. Aku adalah ahli sastra, ahli bahasa kuno dan namaku Gui Tin. Gui-siucai bukanlah nama yang tak dikenal orang!”

“Sayang aku tidak mengenalnya, Lopek,” kata Kwan Cu.

Untuk sesaat kakek ini nampak kecewa dan marah akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang Kwan Cu yang mengandung kejujuran, kakek ini lalu tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya!

“Aahh, memang lebih mudah memaki orang dari pada memaki diri sendiri! Aku tidak lebih baik dari pada manusia she Lu itu. Aku masih saja di kotori oleh kesombongan dan ingin namaku dikenal oleh semua orang! Hanya kesombongan dan impian kosong belaka. Kau benar, Kwan Cu. Nama Gui-siucai memang nama kosong belaka. Apa anehnya pada diri seorang pengemis kelaparan yang dikeroyok anjing? Ha-ha-ha! Akan tetapi pertemuan kita ini bukan kebetulan saja, tentu sudah diatur oleh Thian yang maha adil! Kau cerdas dan suka dengan kesusastraan. Maukah kau mengoper pengetahuan yang memberatkan jiwaku ini?”

Kwan Cu memang cerdik, akan tetapi mendengar ucapan ini, dia masih ragu-ragu akan maksudnya. “Apa kau maksudkan bahwa kau hendak mengajarkan semua pengetahuan sastramu, Lopek?”

Gui Tin mengangguk. “Apa kataku! Kau memang cerdas dan hanya kaulah yang akan mewarisi pengetahuanku.”

Kwan Cu merasa girang sekali. Memang dia paling senang akan kesusastraan, maka mendengar ini dia berlutut di depan kakek pengemis tadi, menyatakan kesediaan untuk ‘mengoper’ semua pengetahuan dari Gui-siucai.

Gui Tin puas sekali. Sambil mengurut-urut kedua kakinya yang sakit-sakit, dia berkata, “Kwan Cu, setelah sekarang kita menjadi guru dan murid, ada baiknya kalau kau berterus terang. Siapakah sebetulnya orang tuamu dan kau datang dari mana?”

Mendengar pertanyaan ini Kwan Cu menjawab sejujurnya, ”Lopek sesungguhnya aku tak berbohong ketika aku berkata bahwa aku tak tahu siapa orang tuaku dan dari mana aku datang. Seingatku tahu-tahu aku telah berada di pantai Laut Po-hai dan melihat Ang-bin Sin-kai berkelahi dengan Kak Thong Taisu, karena mereka berdua memperebutkan aku untuk menjadi muridnya! Akan tetapi aku tidak mau menjadi murid mereka.”

Mendengar ini, Gui Tin membelakkan matanya. ”Aduh, aduh! Kalau tidak mendengar dari mulutnya sendiri, siapa yang sudi percaya? Tidak mau menjadi murid Ang-bin Sin-kai? Benar-benar aneh pernyataan ini. Akan tetapi sudahlah, kau memang seorang sin-tong (anak ajaib) dan agaknya kau akan lebih berhasil dari pada aku. Kita anggap saja bahwa kau memang sengaja diturunkan oleh Thian untuk menguras dan mengoper semua apa yang pernah kupelajari. Sekarang, kau dengarlah riwayatku agar kau tahu orang macam apa yang sekarang menjadi gurumu.”

Sampai matahari terbenam ke kaki langit sebelah barat, pengemis itu bercerita mengenai riwayat hidupnya. Dia memang seorang terpelajar yang sejak kecilnya hanya bergulung dengan kitab-kitab saja. Selain ahli sastra dan telah lulus dalam ujian kota raja sehingga berhak menyandang gelar siucai, Gui Tin ini juga tekun sekali mempelajari kitab-kitab kuno sehingga dia berhasil memecahkan segala macam tulisan-tulisan kuno yang tidak dapat di baca oleh para sastrawan lain!

Ketika dia masih muda, banyak sekali kaum sastrawan datang padanya untuk menerima wejangan-wejangan atau menghisap sedikit ilmu sehingga tidak ada orang yang tidak mengenal Gui Tin yang disebut Gui-siucai. Akan tetapi, watak dari Gui Tin amat aneh.

Ia benci akan kedudukan dan pangkat. Karena itu, ketika kaisar yang mendengar akan kepandaiannya memanggilnya untuk diberi kedudukan tinggi, Gui Tin menolaknya secara keras! Tentu saja kaisar merasa tersinggung dan terhina, lalu menitahkan pasukan untuk menangkap Gui Tin!

Akan tetapi, para pembesar yang merasa sangat kagum kepada sastrawan yang pandai ini, mencegah dan mintakan ampunan kepada kaisar sehingga hukuman kepada Gui Tin diubah, dari hukuman mati kepada hukuman buang! Ia dilarang tinggal di kota raja dan harus keluar dari situ!

Gui Tin menjadi marah dan penghinaan ini membuat perubahan hebat dalam hidupnya. Ia menjadi seperti gila dan sambil berteriak-teriak memaki-maki kaisar, dia lalu keluar dari kota raja!

Sudah tentu saja perbuatannya ini membikin marah orang banyak. Gui Tin tentu sudah terbunuh mati kalau saja dia tidak ditolong oleh dua orang gagah yang menangkap dan membawanya pergi ke utara. Dua orang gagah ini ternyata adalah putera-putera Kaisar Mongol!

Ketika itu, pemerintahan Mongol memperluas kebudayaan mereka dengan mempelajari kitab-kitab dari Tiongkok yang dapat mereka rampas dari perpustakaan Kaisar Han. Akan tetapi karena banyak terdapat kitab-kitab yang kuno dan sulit sekali dibaca, maka setelah melihat keadaan Gui Tin, dua orang putera kaisar yang ternyata perkasa sekali itu lalu menolong Gui-siucai dan membawanya ke Mongol!

Kaisar mendengar tentang hal ini. Gui Tin kemudian dianggap sebagai pengkhianat yang melarikan diri ke daerah asing, maka seluruh keluarganya lalu ditangkap dan dihukum mati!

Sampai belasan tahun Gui Tin tinggal di Mongolia, di mana dia bekerja menterjemahkan kitab-kitab kuno yang sangat sukar dibaca. Dalan kesempatan ini Gui Tin memperdalam pengetahuannya dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah yang banyaknya puluhan macam. Juga dia menemukan kitab-kitab kuno yang ternyata berisikan pelajaran penting sekali mengenai ilmu perang, ilmu silat dan lain-lain. Akan tetapi sebagai seorang ahli sastra, Gui Tin tidak suka mempelajari tentang ilmu silat.

Kembali Gui Tin menghadapi bahaya hebat ketika Kaisar Mongol minta agar supaya dia menterjemahkan kita-kitab ilmu perang serta ilmu silat. Tadinya Gui Tin memang mau mengerjakan perintah itu, akan tetapi ketika dia mendengar bahwa bala tentara Mongol makin maju dalam ilmu perangnya, dan bahkan kini mempunyai niat hendak menyerang ke selatan, dia menjadi terkejut dan gelisah sekali.

Tidak, betapa pun juga, dia tidak mau menjadi pengkhianat! Biar kaisar memperlakukan dirinya secara tidak adil, betapa pun dia tidak suka kepada para pembesar-pembesar di negaranya sendiri yang amat korup dan lalim, namun dia masih mencinta tanah airnya, masih menjunjung tinggi negaranya sendiri!

Oleh karena itu, dia lalu menghentikan segala penterjemahan kitab-kitab perang dan ilmu silat! Biar pun demikian, telah banyak ilmu perang yang di terjemahkan dan telah banyak pula ilmu silat yang tinggi-tinggi dia terjemahkan, sehingga sekarang banyak tokoh-tokoh besar di kalangan bangsa Mongol memiliki ilmu silat yang luar biasa!

Menghadapi pemogokan yang dilakukan oleh Gui Tin dalam menterjemahkan ilmu silat dan ilmu perang, Kaisar Mongol menjadi marah dan hampir saja Gui Tin dibunuh kalau tidak di halangi oleh dua orang pangeran yang dahulu menolongnya. Sebaliknya, Gui Tin hanya diusir dari Mongol! Untuk kedua kalinya satrawan ini diusir oleh kaisar dan kini dia pergi dengan penuh perasaan jemu menghadapi manusia.

Beberapa tahun kemudian, orang melihat seorang kakek pengemis yang kurus kering. Tidak seorang pun mengetahui bahwa dia ini adalah Gui Tin atau Gui-siucai yang dahulu namanya begitu dimuliakan orang, bahkan sangat dikagumi oleh kaisar dan juga kaisar Mongol!

Hancur hati Gui Tin ketika dia mendengar betapa keluarganya sudah dimusnahkan dan semua dijatuhi hukuman mati. Makin rusak batinnya, dan dia merantau ke sana ke mari seperti seorang edan.

Kemudian dia tiba di kota raja dan teringat akan Lu Pin, seorang kawannya yang paling baik, atau boleh juga dibilang seorang bekas muridnya yang paling dia sayang. Dia juga kagum melihat bakat luar biasa dari Lu Pin dalam hal seni ukir, maka dia ingin sekali bertemu dan mengunjungi rumah Lu Seng Hok saat mendengar bahwa Seng Hok adalah putera dari Lu Pin.

Tidak tahunya, di halaman gedung ini dia dihina dan hampir saja mati digigit anjing-anjing yang dikerahkan oleh Lu Thong, cucu dari Lu Pin bekas sahabat baiknya itu! Tentu saja hatinya menjadi sakit sekali dan makin bencilah dia kepada manusia, kepada dunia dan kepada diri sendiri.

"Demikianlah Kwan Cu. Kalau tidak bertemu dengan engkau, agaknya aku tidak melihat sesuatu lagi untuk lebih lama tinggal di dunia ini. Dengan adanya kau, aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi untuk menumpahkan semua yang telah kupelajari kepadamu."

Kwan Cu merasa terharu sekali, dan semenjak saat itu dia memandang kepada gurunya ini dengan penuh penghormatan, penuh kasih sayang dan dia merawat Gui Tin dengan penuh kesabaran dan kesetiaan. Dia tidak ragu-ragu untuk mengemiskan makanan untuk gurunya ini, atau menggendong tubuh gurunya yang lemah bila perjalanan jauh membuat kaki Gui Tin pecah-pecah dan tulangnya sakit-sakit.

"Kwan Cu, aku heran sekali melihat engkau. Bagaimana kau bisa berlari secepat ini dan tubuhmu begitu kuat? Bukankah kau belum mempelajari ilmu silat?" tanya Gui Tin ketika pada suatu hari Kwan Cu berlari cepat sambil menggendongnya.

"Belum pernah, Suhu. Sebenarnya, aku hanya pernah mendapat petunjuk dari Pek-cilan Thio Loan Eng tentang cara bersemedhi dan mengatur napas, juga tentang menyalurkan hawa dari tian-tan ke seluruh tubuh untuk menguatkan urat-urat dan melancarkan jalan darah. Entahlah, semenjak aku membiasakan diri siulian, aku merasa tubuhku kuat dan ringan sekali pada waktu berlari."

"Hm, itulah pelajaran pokok dari ginkang dan lweekang! Anak yang baik, aku sendiri pun telah banyak menterjemahkan ilmu-ilmu itu, sayangnya dulu aku tidak menaruh perhatian sehingga aku sudah lupa lagi dengan isinya dan tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi."

"Mengapa, Gui-lopek? Bagiku mempelajari ilmu silat sama halnya dengan mendatangkan bencana terhadap diri sendiri. Aku tidak suka belajar silat!"

"Ha-ha-ha-ha, kesukaan kita sama dan pendapat kita sama pula. Sayangnya Kwan Cu, pendapat ini salah sama sekali!"

Saking herannya Kwan Cu segera berhenti berlari. Kemudian gurunya minta diturunkan dari gendongan. Mereka berhenti dan duduk di pinggir jalan yang berumput.

"Mengapa begitu, Suhu?"

Gui Tin menarik napas panjang. "Memang kita kaum sastrawan memandang dunia dari segi keindahan. Kita adalah pencinta damai dan suka akan ketentraman, sesuai dengan kehendak alam yang suci. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam keadaan negara kacau, justru ilmu silat jauh lebih penting dan lebih cocok untuk dipergunakan bagi kebaikan seluruh manusia! Kita lupa bahwa hidup ini memang perjuangan, ada pun perjuangan itu tergantung dari keadaan. Bila mana negara sedang dalam keadaan makmur dan damai, memang ilmu silat hanyalah mendatangkan kekacauan saja, dan ilmu kesusastraan dan kesenianlah yang diperlukan untuk memperkembangkan kebudayaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini..." Kembali Gui Tin menarik napas panjang. "Apakah artinya kepandaian seorang ahli sastra? Lihatlah saja Lu Pin itu biar pun dia seorang ahli sastra, namun dalam keadaan kacau ini apa yang dapat ia perbuat? Melainkan kekacauan yang keluar dari otaknya, buktinya cucunya sudah menjadi jahat karena selalu terbenam dan mabuk akan kemewahan dan kemuliaan dunia!"

"Akan tetapi, Gui-lopek. Bukankah ilmu silat itu adalah ilmu yang berdasarkan kekerasan, kasar, dan termasuk kepandaian yang jahat saja? Coba saja dipikir, untuk apa ilmu silat selain menggunakan pukulan untuk menghantam orang lain, mempergunakan tendangan menyerang orang lain, mainkan senjata tajam untuk melukai dan membunuh? Nabi-nabi seperti Khong Cu, Lo Cu dan yang lainnya, pernahkah mereka itu menggunakan pedang untuk mengalahkan orang?"

"Memang benar, akan tetapi mereka itu pun tidak dapat mendatangkan damai di dalam negeri. Pula, kita sudah melupakan bahwa yang bersifat jahat itu bukanlah ilmu silatnya, melainkan orang-orang yang mempunyai ilmu itu. Ilmu kepandaian apa saja, baik bun (kesusastraan) mau pun bu (ilmu silat), tetap merupakan ilmu yang tidak mempunyai sifat baik mau pun buruk. Baik atau buruknya tergantung dari orang yang memilikinya! Segala apa yang sudah ada di dunia ini sudah ada, dan kekal sifatnya, hanya yang tidak kekal saja yang dipengaruhi oleh baik mau pun buruk. Seperti air tenang, baru bergerak kalau ada angin lalu atau sesuatu jatuh ke dalamnya."

Kwan Cu berpikir. Ada persamaan dalam ucapan gurunya ini dengan ucapan Kak Thong Taisu.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak dan muncullah seorang bertubuh tinggi besar, entah dari mana datangnya. Orang ini ternyata memiliki ginkang yang luar biasa sekali dan tahu-tahu dia berkelebat berdiri di depan Gui Tin dan Kwan Cu.

Orang ini kulitnya putih, tubuhnya tegap dan nampak kuat sekali. Yang paling aneh ialah pakaiannya, karena pakaian yang menempel di tubuhnya berbeda dengan pakaian orang biasa.

Kepalanya tertutup oleh topi kain yang di depannya terdapat bentuk seperti tanduk. Pada luar bajunya yang berlengan panjang itu ditutupi dengan baju rompi lengan pendek yang indah sekali. Di luar celananya yang panjang itu tertutup pula oleh baju rok sebatas lutut.

Sungguh aneh sekali orang ini. Mukanya sama saja dengan orang Han, hanya hidungnya yang agak panjang dan bengkok ke bawah. Ia tidak berkumis namun memelihara jenggot model kambing. Pada punggungnya tergantung sepasang siang-kek (tombak bercabang) yang runcing.

Gui Tin memandang tajam. Kakek pengemis yang pengalamannya sudah banyak ini tahu dengan orang macam apa dia berhadapan, maka segera dia bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak di mengerti oleh Kwan Cu. Ternyata Gui Tin telah bicara dalam bahasa Tartar.

"Siapakah tuan dan mengapa datang menjumpai kami?"

Mendengar pertanyaan ini, orang Tartar itu tertawa lagi dan sekarang sepasang matanya bersinar-sinar girang.

"Tidak salah lagi!" katanya dalam bahasa Han sehingga Kwan Cu dapat mengerti. "Kau tentu Gui-siucai bukan? Bagus, bagus! Tadi aku merasa heran sekali dan bertanya-tanya dalam hati apakah aku bertemu dengan dewa atau setan di tempat ini, ketika mendengar kalian ini pengemis-pengemis tua dan muda bicara tentang filsafat-filsafat yang demikian tingginya. Sekarang aku mengerti, kau tentu Gui-siucai. Siapa lagi kalau bukan Gui Tin si ahli sastra?"

Gui Tin cepat bangkit dan menjura seperti laku seorang yang tahu akan sopan santun. "Memang tidak salah. Aku yang bodoh adalah Gui Tin, dan ini adalah muridku Kwan Cu. Tidak tahu siapakah Tuan?"

Orang Tartar itu tersenyum dan nampaklah giginya yang berbaris rapi dan putih sekali. Kalau saja hidungnya tidak demikian bengkok, dia benar-benar tampan sekali, pikir Kwan Cu sambil memandang heran. Ia menaksir usia orang ini antara tiga empat puluh tahun.

"Gui-siucai, baru melihat sepintas saja kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang Tartar, ini menandakan ketajaman matamu dan bahwa kau memang sudah amat matang dalam pengalaman. Juga bahasa Tartar yang kau ucapkan tadi, amat halus. Sungguh-sungguh aku sangat kagum sekali. Ketahuilah, aku bernama An Lu Kui, adik dari perwira An Lu Shan yang sudah banyak berjasa kepada negara."

Ketika itu nama An Lu Shan sudah terkenal sekali, karena panglima ini memang sangat gagah perkasa dan telah banyak membuat jasa dalam membasmi serangan kecil-kecilan dari musuh di utara dan barat. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah jemu terhadap para pembesar baik sipil mau pun militer, Gui Tin bersikap dingin saja.

"Ah, kiranya Tuan adalah adik dari An-ciangkun yang ternama. Tidak tahu ada keperluan apakah Tuan menjumpai aku, seorang jembel miskin?"

"Ah, Gui-siucai, engkau terlalu merendahkan diri. Sebenarnya, aku sengaja datang untuk mengundangmu supaya datang ke perbatasan utara atas perintah An-cingkun, terutama sekali atas petunjuk dari Li Kong Hoat-ong yang menjadi penasihat dari An-ciangkun."

Gui Tin berpikir sebentar dan diam-diam dia terkejut. "Kau maksudkan Li Kong Hoat-ong bekas raja dari suku bangsa Yu-yan? Apakah sekarang dia sudah menjadi penasihat dari An-ciangkun?"

"Gui-siucai betul-betul mengenal orang-orang besar. Memang tepat sekali apa yang kau duga itu."

Meski pun dia sendiri belum pernah memangku jabatan, akan tetapi Gui Tin telah banyak menterjemahkan buku-buku tentang ilmu perang. Maka, kini timbullah semacam dugaan yang menggelisahkan hatinya.

Di bawah pimpinan Li Kong Hoat-ong, bangsa Yu-yan telah banyak sekali mengacaukan negara Tiongkok, dan setelah bangsa itu dikalahkan, sekarang Li Kong Hoat-ong menjadi penasihat dari An Lu Shan. Benar bahwa An Lu Shan merupakan seorang perwira yang banyak berjasa dan tenaganya terpakai sekali oleh pemerintah, akan tetapi tetap saja An Lu Shan adalah seorang bangsa Tartar, siapa tahu isi hati dari orang itu?

"Tidak, tidak. Aku tidak dapat pergi ke perbatasan utara. Aku sudah tua, tubuhku sudah lemah, tulang-tulangku sudah rapuh, tak mungkin aku bisa melakukan perjalanan sejauh itu. Harap saja tuan tidak mengganggu lagi." Sambil berkata demikian kemudian Gui Tin menggandeng tangan Kwan Cu dan diajak pergi dari situ.

Akan tetapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan sekali melompat, An Lu Kui telah berada di depan mereka. Orang Tartar ini mendorong sebatang pohon besar yang mengeluarkan suara keras dan lantas tumbang, melintang serta menghalang perjalanan Gui Tin dan Kwan Cu!

Kwan Cu meleletkan lidah saking merasa kagum dan terheran. Bagaimana orang dapat mendorong roboh sebatang pohon besar sedemikian mudahnya?

Sedangkan Gui Tin yang melihat ini, lalu memandang tajam dan bertanya, “Hemm, kau berkepandaian tinggi! Pernah apa kau dengan Li Kong Hoat-ong?”

An Lu Kui tersenyum. “Dia adalah guruku, juga guru dari kakakku, An-ciangkun.”

Makin tercekat hati Gui Tin mendengar ini. Lebih hebat lagi kalau raja Yu-yan itu menjadi guru dari An Lu Shan! Mengapa kaisar tidak mengetahui akan hal ini?

“Jadi kau hendak menggunakan kekerasan, tetap hendak membawaku ke utara?”

An Lu Kui menggeleng kepala sambil tersenyum. “Tidak sama sekali, kami mengundang Gui-siucai dengan hormat. Harap Gui-siucai sudi meluluskan permintaan kami.”

Setelah berkata demikian, An Lu Kui bersuit keras dan tiba-tiba dari hutan kecil tak jauh dari situ muncullah lima orang yang membawa delapan ekor kuda yang besar dan kuat! Ternyata bahwa lima orang ini pun orang-orang Tartar pula.

“Gui-siucai, silakan naik kuda, kau juga!” kata An Lu Kui kepada Kwan Cu.

Gui Tin hendak membantah, akan tetapi Kwan Cu berkata, “Gui-lopek, tidak ada gunanya membantah. Biarlah kita ikut pergi dan menyerahkan nasib kepada Tuhan.”

Mendengar ini, An Lu Kui tertawa. “Anak baik, siapa namamu?”

“Aku Lu Kwan Cu, murid dari Gui-lopek.”

Salah seorang kawan An Lu Kui berkata, ”Ah, untuk apa kita membawa-bawa bocah ini? Tinggalkan saja!”

“Tidak!” Gui Tin membentak marah. “Kalau Kwan Cu ditingggalkan, biar pun kalian akan membunuhku, aku tak sudi pergi!”

Demikianlah, Gui Tin lalu naik kuda dan Kwan Cu juga naik kuda itu di belakang gurunya, karena inilah kehendak Gui Tin yang tidak mau berpisah dari muridnya yang tercinta. Kuda-kuda itu kemudian dikeprak dan berlarilah binatang-binatang tunggangan yang kuat ini menuju ke utara. Rombongan ini dipimpin sendiri oleh An Lu Kui yang di perjalanan bersikap sangat ramah tamah terhadap Gui Tin.

Perjalanan dilakukan cepat sekali. Mereka tidak pernah berhenti di satu kota atau dusun karena bekal makanan mereka ternyata cukup banyak. Bahkan anehnya, selalu An Lu Kui memilih jalan sunyi dan menghindari tempat-tempat ramai.

Mereka melewati Propinsi Shan-si dan ketika telah melalui kota Ta-tung, pada suatu pagi mereka melewati padang rumput yang sunyi. Di situ hanya nampak beberapa beberapa batang pohon yang tumbuhnya berjauhan dan keadaan benar-benar sunyi.

An Lu Kui nampaknya takut-takut melewati tempat ini dan beberapa kali dia menengok ke arah barat di mana nampak pegunungan kecil.

“Hayo kita percepat kuda karena sudah dekat!” katanya memberi perintah.

Kuda dilarikan semakin cepat. Keadaan sunyi sekali, kecuali hanya suara kaki kuda yang berderap-derap dan bergema di empat penjuru. Memang aneh sekali bagi Kwan Cu yang baru pertama kali datang di tempat ini. Tempat itu terbuka dan hanya terkurung oleh pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini seperti raksasa berdiri megah, akan tetapi suara kaki kuda itu bergema sehingga kalau didengar-dengar, seakan-akan ada banyak sekali kuda berlari datang dari segenap penjuru.

Mendadak delapan ekor kuda itu, terutama seekor yang membawa perbekalan dan tidak ditunggangi orang, hanya dituntun oleh seorang anak buah An Lu Kui, mengangkat dua kaki depan sambil meringkik ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dua orang anak laki-laki tahu-tahu telah melompat dari atas pohon dan kini berdiri menghadang di tengah jalan!

Ketika itu, Kwan Cu yang duduk sekuda dengan gurunya, menjalankan kudanya di dekat An Lu Kui. Melihat betapa kuda yang di tungganginya dan kuda An Lu Kui menyeruduk maju dan pasti akan menubruk dua orang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan dia itu, Kwan Cu tak terasa pula menjerit, “Celaka…!”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu memondong gurunya dan mengerahkan tenaganya melompat dari atas kuda yang sedang berlari cepat. Memang dia sudah memiliki ginkang di luar kesadarannya sehingga tubuhnya dapat mencelat dari atas kuda. Akan tetapi oleh karena dia tidak pernah melatih ilmu melompat, dia tidak tahu cara bagaimana harus mengatur tubuhnya saat melayang itu sehingga ia jatuh dengan kacau bersama gurunya.

Namun Kwan Cu memang berhati setia. Melihat bahwa dia dan gurunya jatuh ke tanah, dia lalu berguling dan mengatur sedemikian rupa sehingga pada saat jatuh dia berada di bawah dan gurunya menimpa dadanya! Kepala anak ini membentur tanah kering hingga debu mengebul, akan tetapi gurunya selamat!

Ada pun An Lu Kui yang melihat kudanya menubruk seorang di antara kedua orang anak laki-laki itu, membentak marah, “Anak gila, apakah kau ingin mampus?!”

Akan tetapi, terjadilah hal yang luar biasa sekali. Kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwan Cu akan menubruk anak yang lebih kecil, namun ketika kedua kaki depan kuda itu sudah terangkat akan menimpa anak itu, dia lalu menggerakkan kedua tangannya, secepat kilat menangkap kedua ujung kaki dan dengan sekali gentak saja kuda itu sudah melompat ke atas melewati kepalanya sehingga dia selamat!

Anak ini tertawa-tawa geli, sama sekali tak mempedulikan kuda tadi, tetapi menudingkan jari telunjuknya ke arah Kwan Cu yang jatuh bergulingan. “Ha-ha-ha, Suheng, kau lihat! Bocah gundul itu main komidi, lucu sekali!”

Ada pun An Lu Kui yang kudanya menubruk anak ke dua yang lebih besar, tidak keburu mencegah sehingga kudanya itu dengan kedua kakinya menendang ke arah dada anak tadi. Akan tetapi, dengan cepat dan tenang, anak yang besar ini lalu menusuk lutut kaki depan kuda yang sebelah kanan, yakni kaki yang berada di depan.

Kuda itu mengeluarkan ringkik kesakitan dan tiba-tiba kedua kaki depannya tertekuk dan kuda itu jatuh berlutut! Baiknya An Lu Kui adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia dapat melayang ke atas dan berpoksai (membuat salto) beberapa kali sehingga dapat turun dengan selamat!

"Sute, kau lihat. Bukankah kuda ini lebih lucu lagi? Datang-datang dia malah berlutut dan memberi hormat kepadaku. Bagus, bagus!"

An Lu Kui adalah seorang yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw dan tahulah dia bahwa dua orang anak yang usianya sekitar enam tujuh tahun ini tentulah murid-murid dari orang pandai. Maka dia tidak berani berlaku sembarangan sungguh pun dia merasa mendongkol sekali.

"Kalian ini bocah-bocah kecil murid siapakah? Mengapa kalian menghadang perjalanan kami?"

Akan tetapi kedua orang anak kecil itu tidak menjawab dan pada saat itu terdengar suara yang membuat kuda-kuda menjadi terkejut dan gelisah. Itulah suara ketawa yang sangat menyeramkan dan ketika An Lu Kui mendengar ini, mendadak dia menjadi pucat sekali. Suara ketawa itu seperti suara harimau mengaum dan disusul dengan suara ketawa ini lalu terdengarlah kata-kata yang jauh sekali namun cukup membuat telinga merasa sakit saking nyaringnya.

"Heh-heh-heh! Swi Kiat dan Kun Beng, kalian berada di manakah?"

Anak yang lebih kecil, yaitu yang tadi melontarkan kuda tunggangan Kwan Cu ke atas kepalanya, segera meruncingkan mulutnya dan keluarlah teriakan yang kecil akan tetapi cukup nyaring, "Teecu berdua berada di sini, Suhu!"

Kembali An Lu Kui menjadi amat terkejut sekali. Ternyata bahwa khikang dari pada anak kecil ini sudah demikian hebatnya!

Baru saja gema suara jawaban anak ini lenyap, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang laki-laki berusia sedikitnya enam puluh tahun yang tubuhnya membuat Kwan Cu hampir tertawa. Orang ini pendek dan kecil, sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang pandai.

Akan tetapi, ketika melihat orang ini, serta merta An Lu Kui segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat sekali.

"Siauwte An Lu Kui mohon maaf apa bila telah melanggar wilayah Pak-lo-sian Cianpwe," katanya.

Akan tetapi kakek itu tidak menghiraukan sama sekali, sebaliknya lalu menoleh kepada Gui Tin dan terdengar dia mengeluarkan suara ejekan dari hidungnnya, "Hemm, apakah si bangkotan Li Kong Hoat-ong itu telah benar-benar mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?"

Setelah berkata demikian tiba-tiba dia menoleh kepada An Lu Kui dan pandang matanya yang tadinya suram-muram itu mendadak menjadi tajam luar biasa sehingga An Lu Kui terkejut sama sekali karena pandang mata itu seakan-akan menembusi dadanya!

An Lu Kui sesungguhnya tidak mengerti tentang kitab itu, maka dengan terus terang dia berkata, "Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang tingkatnya jauh lebih tinggi), siauwte sama sekali tidak tahu tentang kitab itu. Mendengar pun baru sekarang. Sesungguhnya siauwte sudah diutus oleh suhu Li Kong Hoat-ong untuk mengundang Gui-siucai karena suhu amat mengaguminya."

Pandangan mata kakek itu benar-banar mengancam sekali. Keningnya yang keriputan itu menjadi makin nyata garis-garis keriputnya.

"Ehh, kau hendak mengandalkan nama An Lu Shan dan suhu-mu Li Kong Hoat-ong dan tidak mau mengaku? Hayo bicara terus terang!"

"Sungguh, Locianpwe, siauwte… siauwte tidak tahu…" An Lu Kui yang tadinya galak itu kini nampak ketakutan.

Tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak dan tahu-tahu dia melompat ke dekat orang Tartar itu. Pada saat lain, sebelum An Lu Kui sempat mengelak, kakek ini telah menangkap batang lehernya dan sekali menggentak, tubuh orang Tartar ini terlempar ke atas, tinggi sekali!

Bagaikan sekarung beras tubuh An Lu Kui terlempar dan dari atas jatuh pula ke bawah tanpa berdaya sedikit pun. Ternyata tangkapan pada lehernya tadi sekaligus juga sudah merupakan tekanan pada jalan darahnya yang membuat dia menjadi lumpuh!

Kebetulan sekali tubuh orang Tartar itu menimpa Swi Kiat, murid terbesar dari kakek itu. Anak ini usianya paling banyak delapan tahun, akan tetapi kepandaiannya sudah hebat. Dia menerima tubuh orang Tartar itu dengan kedua tangannya, lalu sambil tertawa lebar dia melemparkan tubuh itu kepada adik seperguruannya, yaitu yang bernama Kun Beng.

Anak ini lebih muda dari Kwan Cu, usianya paling banyak enam tahun, serta wajahnya tampan dan periang. Sambil tertawa geli anak ini kemudian menggunakan tangan kanan menahan punggung An Lu Kui yang terlempar ke arahnya. Kemudian, sekali tangan kiri anak ini menepuk tubuh belakang orang Tartar itu, An Lu Kui mencelat lagi ke atas dan kini melayang ke arah kakek tadi.

Kakek itu lalu menerimanya dengan menotok pundak An Lu Kui yang jatuh berdebuk di depan kakinya. Akan tetapi orang Tartar itu kini sudah terbebas dari totokan dan dapat bergerak. Ia segera menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat sekali.

"Locianpwe, biar pun siauwte dibunuh memang benar-benar siauwte tidak tahu tentang kitab itu," katanya dengan suara gemetar.

Kwan Cu paling tidak suka kalau orang menggunakan kekerasan, apa lagi melihat kakek dan dua orang muridnya itu mempermainkan An Lu Kui yang tidak berdaya sama sekali, timbulah rasa penasaran dalam dadanya.

"Menggunakan kepandaian untuk menghina orang, sungguh tak patut sekali. Menangkan orang lain hanya memiliki tenaga besar, menangkan diri sendiri barulah betul-betul patut disebut kuat!"

"Hushh, Kwan Cu…" Gurunya mencegah dan memandang khawatir.

Kakek itu cepat menengok. Ketika melihat Kwan Cu, nampak kekaguman membayang di dalam sinar matanya.

"Hemm, kau murid Gui-siucai? Tidak patut, tidak patut!"

"Suhu, segala kutu buku macam ini apa gunanya? Biarlah teecu menghajar sedikit adat padanya!" berkata Kun Beng dengan marah, akan tetapi Swi Kiat mencegahnya.

"Kalau kau sudah katakan dia kutu buku, untuk apa melawan segala kutu buku, Sute? Tulang-tulangnya terlalu lemah, jangan-jangan dia akan mati dalam tanganmu!"

"Diamlah kalian berdua. Kulihat ada apa-apanya dalam diri anak ini." Kakek ini kemudian berpaling kepada An Lu Kui. "Biarlah, memandang ucapan anak ini aku percaya padamu. Pergilah!"

Dengan tergesa-gesa dan juga lega sekali, An Lu Kui lalu mengajak kawan-kawannya, juga Kwan Cu dan Gui Tin, untuk pergi dari situ cepat-cepat.

Ketika mereka telah membalapkan kuda dan pergi jauh sehingga kakek dan dua orang muridnya tidak nampak lagi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu. Biar pun orangnya tidak kelihatan, namun suaranya terdengar dekat sekali,

"Gui Tin, lain kali pada waktunya, akulah yang benar-benar akan membutuhkan bantuan darimu. Selamat jalan!"

Kwan Cu terheran-heran dan sejak pertemuan tadi, berubahlah pandangannya terhadap ilmu silat. Sebenarnya sejak Gui Tin bicara tentang ilmu silat dan kegunaannya, dia telah tertarik sekali, akan tetapi tetap saja hasrat di dalam hatinya untuk belajar ilmu silat masih amat lemah. Kini, menyaksikan kelihaian kedua orang anak kecil itu, dia menjadi tertarik dan ingin sekali memiliki kepandaian seperti mereka! Inilah sifat anak-anak yang betapa pun juga masih melekat di dalam hatinya.

"An-sianseng (Tuan An), sebetulnya siapakah kakek yang luar biasa sekali itu?"

Diam-diam Kwan Cu lalu membandingkan kakek tadi dengan dua orang luar biasa yang pernah dijumpainya, yakni Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Bila melihat keadaan, keanehan dan kelihaian mereka, agaknya ketiga orang itu mempunyai tingkat yang sudah tinggi sekali.

Sebenarnya An Lu Kui sedang marah, mendongkol dan penasaran sekali. Oleh seluruh barisan di bawah kakaknya, dia dianggap sebagai seorang gagah yang disegani dan juga dihormati. Tidak tahunya, di sini dia telah mengalami penghinaan dari seorang kakek dan dua orang anak-anak. Akan tetapi, oleh karena menganggap Kwan Cu sudah berjasa di hadapan kakek tadi, dia menjawab juga.

"Dia adalah seorang sakti bernama Siangkoan Hai yang berjuluk Pak-lo-sian (Dewa Tua dari Utara). Untuk daerah utara boleh dibilang dia menjadi tokoh terbesar. Biasanya biar pun orang menduga bahwa dia berada di daerah utara, dia tidak pernah muncul kecuali terjadi perkara-perkara besar dan biasanya dia tidak mau mencampuri segala urusan dunia. Kita benar-benar sial sekali bertemu dengan dia."

Akan tetapi, Gui Tin berkata perlahan kepada Kwan Cu, "Kita benar-benar beruntung bertemu dengan dia. Aku pun baru kali ini melihat wajahnya, walau pun namanya sudah lama kudengar. Kwan Cu, perhatikanlah, di dalam dunia persilatan, terdapat lima orang yang paling terkenal. Mereka itu adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang merajai daerah utara, ke dua adalah Ang-bin Sin-kai yang menjagoi di pantai timur, ke tiga hwesio tibet bernama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Jubah Hitam) yang menjadi tokoh terbesar bagian barat. Ada pun orang ke empat dan ke lima merajai daerah selatan, yakni yang seorang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang sudah kau kenal dan orang ke dua adalah seorang wanita tua yang terkenal dengan julukan Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Buntut Sembilan)! Menurut berita yang pernah kudengar, mereka berlima ini kepandaiannya seimbang dan kini mereka sedang berusaha untuk memperebutkan sebuah kitab ilmu perang dan ilmu silat yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. Tadinya kuanggap hal ini hanya kabar angin belaka, akan tetapi setelah sikap Dewa Tua Utara tadi, agaknya betul juga kabar itu."

"Gui-lopek, apakah sesungguhnya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang diperebutkan oleh orang-orang luar biasa itu? Dan apakah selain lima orang tokoh itu, di dunia ini tidak ada orang-orang pandai ilmu silat yang lain lagi?"

Pada saat itu An Lu Kui mendekatkan kudanya. Gui Tin memberi tanda dengan matanya agar Kwan Cu tak banyak bicara lagi, kemudian kakek pengemis itu berkata seakan-akan menjawab pertanyaan Kwan Cu,

"Kau tanyakan tentang nama-nama tokoh besar? Ahh, menyebut yang lain-lain tidak ada artinya. Kalau Pek-cilan Thio Loan Eng barulah seorang wanita pendekar berilmu tinggi!"

Mendengar ini, An Lu Kui mengejek dan tersenyum. "Gui-siucai, kau orang bun mana tahu tentang tokoh-tokoh besar dalam ilmu persilatan? Walau pun aku belum tentu dapat menandingi kepandaian Pek-cilan, akan tetapi kalau dibandingkan dengan suhu Li Kong Hoat-ong, bukankah itu sama saja dengan membandingkan sebuah bukit anakan dengan Gunung Thai-san?"

Akhirnya perjalanan mereka tiba di benteng penjagaan di mana An Lu Shan memimpin barisannya untuk menjaga tapal batas utara. Benteng ini besar sekali, merupakan suatu perkampungan tersendiri yang dikelilingi dusun-dusun yang penduduknya campur aduk, ada orang Mongol, ada suku bangsa Uigur, Cou, dan lain-lain.

Ketika Gui Tin ditinggalkan di ruangan tamu berdua dengan Kwan Cu, kakek ini berkata, "Kwan Cu, tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tokoh-tokoh persilatan yang kau tanyakan itu, nanti saja kalau kita sudah dapat meninggalkan tempat ini, kau kuberi tahu. Sebetulnya, di dalam tangankulah rahasia untuk mendapatkan kitab kuno itu!"

Kwan Cu amat terkejut. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Gui Tin memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut, dan dari dalam terdengar tindakan kaki mendatangi.

Setelah pintu terbuka, ternyata yang masuk adalah An Lu Kui sendiri bersama dua orang lain. Seorang adalah seorang berpakaian perwira yang bertubuh gagah, sedangkan yang lain adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan sikapnya agung sekali. Dia berjalan dengan tubuh tegak dan dada terangkat, bagai sikap seorang raja besar. Inilah Li Kong Hoat-ong, bekas raja bangsa Yu-yan yang kini menjadi guru dari An Lu Shan dan An Lu Kui!.

An Lu Shan, panglima yang sudah banyak membuat jasa bagi negara itu, berlaku hormat kepada Gui Tin. Ia menjura lalu berkata,

“Kami harap Gui-siucai tidak mendapat banyak kaget dan mengalami banyak kesukaran karena undangan kami ini. Telah lama kami mendengar nama besar Gui-siucai, dan biar pun selama ini pemerintah tidak memperhatikanmu, akan tetapi karena aku pun seorang panglima negara, maka biarlah kau anggap sekarang aku sedang mewakili pemerintah dan menebus kelalaian pemerintah. Gui-siucai akan hidup kecukupan di tempat kami ini.”

Gui Tin adalah seorang terpelajar tinggi yang telah banyak pengalaman dan mempunyai kecerdikan luar biasa. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur dan tidak suka memutar balikkan omongan. Sebab itu, mendengar ucapan yang dia tahu hanya merupakan siasat untuk membela hatinya belaka ini, dia menjawab,

“An-ciangkun, aku dan muridku sudah dibawa ke sini dengan paksa, lebih baik sekarang lekas katakan, pekerjaan apakah yang harus kami lakukan? Kami ingin membereskan urusan ini secepatnya, karena kami ibarat burung-burung yang terbang bebas di udara. Pernahkah kau mendengar akan burung-burung yang merasa suka di kurung, biar dalam kurung emas sekali pun?”

Kini Li Kong Hoat-ong yang tertawa bergelak mendengar kata-kata sastrawan terpelajar tinggi itu. Pada saat ketawa, Li kong Hoat-ong menutup mulutnya dengan tangan kanan, agaknya dia hendak menjaga peraturan serta kesopanan dirinya, untuk memperlihatkan bahwa dia adalah berbeda dari pada orang lain, bahwa ia memiliki keistimewaan khusus, karena bukankah dia bekas raja?

“Gui-siucai, inilah yang dibilang bahwa makin tinggi pengertian orang, semakin poloslah wataknya!” Bekas raja bangsa Yu-yan ini lalu berpaling kepada An Lu Shan dan berkata, “Muridku, terhadap seorang terpelajar tinggi seperti Gui-siucai ini, tak perlu kita bicarakan yang lain lagi. Kau lebih baik menerangkan saja maksud kita.”

Merahlah wajah An Lu Shan saking jengah dan malunya. Benar-benar seorang yang luar biasa sekali Gui Tin ini, pikirnya. Pakaiannya seperti pengemis, akan tetapi sikapnya agung-agungan seperti seorang pembesar tinggi saja! Akan tetapi oleh karena dia amat membutuhkan tenaga bantuan Gui-siucai, An Lu Shan menahan sabar.

Komandan ini memberi perintah agar semua penjaga pergi dari ruangan itu, lalu Gui Tin bersama muridnya diajak masuk ke dalam sebuah kamar. Hanya lima orang yang berada di kamar itu, yakni An Lu Shan, An Lu Kui, Li Kong Hoat-ong dan Gui Tin bersama Kwan Cu saja.

“Gui-siucai, sebelumnya harap kau suka bersumpah bahwa kau takkan bercerita kepada lain orang tentang hal yang akan kita bicarakan ini,” kata An Lu Shan.

Gui Tin tersenyum. “Aku tak pernah bersumpah, dan tidak mau bersumpah. Kalau orang tidak percaya padaku, mengapa aku dibawa ke sini? An-ciangkun, bicaralah. Aku Gui Tin bukanlah orang yang biasa berpanjang mulut.”

“Gui-siucai, kami hanya minta padamu untuk menterjemahkan sebuah kitab untuk kami. Kitab itu kitab kuno sekali dan hanya kaulah orang yang akan dapat menterjemahkannya. Kami tidak akan mau memeras tenaga orang secara sia-sia, maka kau boleh tetapkan sendiri biayanya, asal kau suka mengerjakannya cepat-cepat, lebih cepat lebih baik.”

Gui Tin mengerling ke arah An Lu Kui dan berkata perlahan. “Hm, agaknya benar dugaan kakek pendek kecil dulu itu?”

Sesungguhnya, di dalam hatinya Gui Tin terkejut sekali mendengar ucapan An Lu Shan tadi, akan tetapi secara pandai sekali dia dapat menguasai debar jantungnya.

An Lu Kui menjawab, “Memang betul Gui-siucai. Kitab itulah yang berada di tangan kami. Oleh karena itulah kau tidak boleh membocorkan rahasia ini supaya jangan sampai ada orang jahat datang merampasnya.”

Gui Tin mengangguk-angguk, hatinya pun berdebar-debar. Sudah belasan tahun ia ingin sekali melihat kitab ini, kitab yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia, karena di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini selain terdapat ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga di situ terdapat ilmu perang, ilmu pengobatan, dan perbintangan!

“Akan kucoba menterjemahkan, sungguh pun aku tidak berani memastikan apakah aku bisa melakukan hal itu. Bolehkah aku melihat kitabnya sekarang juga?”

Li Kong Hoat-ong bertukar pandang dengan An Lu Shan.

“Mari ikut dengan aku untuk mengambilnya,” kata komandan ini.

Beramai-ramai mereka lalu memasuki kamar komandan ini yang berada di tengah-tengah benteng. Kamar ini terjaga kuat-kuat dan agaknya tidak akan mudah bagi siapa pun juga untuk menyerbu masuk ke dalam kamar An Lu Shan.

Setelah berada di kamar, An Lu Shan merapatkan daun pintu, bahkan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menghampiri pembaringannya dan sesudah dia menarik gantungan kelambu tiga kali, terdengarlah suara keras kemudian pembaringan itu terangkat naik! Di bawahnya terdapat lubang yang terbuka sendiri di lantai yang tadinya berada di kolong pembaringan, dan di dalam lubang ini terdapat sebuah peti kecil.

An Lu Shan mengambil peti itu dan berkata kepada Gui Tin sambil tersenyum, “Kitab yang banyak diinginkan oleh banyak orang jahat, apa bila tidak disimpan baik-baik, tentu akan mudah hilang.”

Gui Tin mengangguk-angguk. Sambil memandang ke arah peti itu dengan penuh gairah, dia pun berkata memuji, "An-ciangkun benar-benar teliti. Setan pun agaknya akan sukar mendapatkan kitab itu di sini!"

An Lu Shan tertawa, kemudian setelah menutup kembali pembaringan, dia menghampiri meja dan menaruh peti kecil berwarna hitam itu ke atas meja. Ketika dia membukanya, nampak sebuah kitab yang sudah tua sekali dan kertasnya berwarna kekuning-kuningan, terbungkus oleh sutera putih yang bersih.

Debar jantung Gui Tin semakin menghebat dan sastrawan ini bagaikan orang kelaparan melihat paha babi panggang. Tak terasa pula dia maju mendekat.

An Lu Shan tertawa lagi, lalu mengambil kitab itu. "Kau lihat sebentar, dan coba kenali kitab apa ini!"

Gui Tin menerima bungkusan sutera putih itu, lalu membukanya. Dia tidak cepat-cepat membuka kitab itu, akan tetapi memandang sampulnya dahulu dengan penuh perhatian, lalu menimbang-nimbang berat kitab itu di atas tangannya. Kemudian dia mencium kitab itu dengan hidungnya yang dikembang-kempiskan.

Setelah itu dia memandang agak ragu-ragu ke arah kitab itu. Dibacanya beberapa baris tulisan kuno yang tak karuan bentuknya, dan menurut penglihatan Kwan Cu yang selalu berada di sisi gurunya, itu bukanlah tulisan, melainkan gambaran-gambaran yang buruk sekali!

Mendadak Gui Tin tertawa geli. "Ahh, orang telah main-main, An-ciangkun! Orang mau meniru, akan tetapi alangkah bodohnya! Kertas ini biar pun sudah kuno namun tulisan-tulisan dan gambar-gambarnya dilakukan dengan penggunaan tinta baru! Ini adalah kitab palsu sama sekali!"

Untuk sesaat hening di dalam kamar itu, kemudian terdengar Li Kong Hoat-ong memuji, "Gui-siucai benar-benar bermata tajam. Sungguh mengagumkan sekali!"

An Lu Shan juga merasa kagum maka dia lalu menjura kepada Gui Tin. "Gui siucai sekali melihat saja tahu perbedaan, sungguh lihai. Sekarang aku percaya benar-benar bahwa kitab itu tidak akan dapat diterjemahkan orang melainkan Gui-siucai seorang. Tunggulah, aku akan mengambil aslinya!"

Setelah berkata demikian, An Lu Shan lalu menekan sesuatu di tembok dan terbukalah dinding itu, memperlihatkan satu pintu rahasia. Kali ini dia sendiri yang memasuki pintu rahasia itu, bahkan guru dan adiknya sendiri tidak ikut masuk! Setelah dia keluar kembali, dia sudah membawa keluar sebuah peti yang lebih kecil dari pada peti yang palsu tadi. Juga peti ini berwarna hitam, akan tetapi kelihatannya berat sekali. Ia menaruh peti ini di atas meja, kemudian menyimpan kembali kitab dan peti palsu yang tadi.

An Lu Kui sendiri baru pertama kali ini melihat kitab yang asli itu, karena yang pernah melihatnya hanya An Lu Shan berdua Li Kong Hoat-ong. Oleh karena itu dengan suara memohon dia berkata kepada kakaknya. "Shan-heng, bolehkah aku membukanya?"

Sambil berkata demikian, dia segera mengulurkan tangan kanannya hendak membuka tutup peti. Akan tetapi cepat sekali An Lu Shan menampar tangan adiknya dan berkata,

"Hati-hati! Jangan sembarangan menjamah peti ini, Kui-te!" Lalu dia melanjutkan dalam bahasa Tartar. "Peti ini telah dilaburi racun yang berbahaya sekali!" Tentu saja Kwan Cu tidak mengerti, akan tetapi Gui Tin mengerti baik kata-kata ini.

An Lu Shan lalu meminta semua orang untuk mundur, kemudian dengan tangan kirinya dia mengambil sebuah bantal dari pembaringannya, dipegang di atas peti, antara dia dan peti itu sebagai perisai. Kemudian dengan tangan kanannya dia membuka tutup peti.

“Ser! Ser! Ser!” terdengar suara dan dari dalam peti itu dengan cepat dan tidak terduga sekali menyambar tujuh batang anak panah kecil yang ujungnya kehitaman karena telah direndam racun ular berbisa! Tujuh anak panah ini kesemuanya menancap pada bantal yang dipegang oleh An Lu Shan.

An Lu Kui menjadi pucat. Kalau dia yang membukanya, tentu akan celakalah dia! Tidak saja tangannya akan terkena racun yang dipulaskan di luar peti, juga anak-anak panah itu tak mungkin dielakkan oleh orang yang membuka peti, kalau tidak mengetahui lebih dahulu!

"Lihai sekali kau, An-ciangkun!" Gui Tin juga memuji sedangkan Kwan Cu meleletkan lidahnya saking ngerinya.

An Lu Shan hanya tersenyum.

"Untuk menjaga tangan jahil," katanya sambil mengeluarkan kitab itu.

Kitab yang ini lebih kecil bentuknya, akan tetapi amat berat dan ternyata kertasnya amat tipis-tipis sehingga isinya banyak sekali. Ketika Gui Tin membuka kitab itu dia tertegun.

Benar saja, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sebagaimana yang pernah dibacanya dalam buku-buku sejarah kuno. Inilah kitab yang semenjak ribuan tahun dipakai rebutan dan siapa yang memegang kitab ini, kalau perorangan merupakan jago terlihai di muka bumi, kalau negara menjadi negara yang kuat sekali.

Inilah dia kitab yang selama ini diimpi-impikan oleh semua orang gagah, oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, oleh negara-negara di seluruh dunia. Dan kini kitab ini berada di tangan An Lu Shan, seorang komandan militer yang bersemangat dan gagah!

Gui Tin merasa betapa tangannya tergetar. Berbahaya kalau sampai isi kitab ini diketahui oleh An Lu Shan. Dan dia percaya bahwa yang mampu menterjemahkan kitab ini hanya dia seorang! Kitab ini ditulis di jaman kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu.

Tiba-tiba Gui Tin teringat sesuatu dan ia meraba-rabakan jari-jari tangannya di atas kitab itu. Hemm, aneh, pikirnya! Pada masa itu, belum ada kertas!

Lalu dia mengerutkan keningnya untuk mengingat-ingat kembali tentang apa yang sudah dibacanya mengenai kitab rahasia ini. Kalau tidak salah ingat, kitab aslinya ditulis di atas sutera! Dan dia membaca sudah beribu kali orang memalsukan kitab itu supaya aslinya tidak mudah dicuri orang. Hm, apakah yang dipegangnya ini pun sebuah dari pada kitab tiruan dan palsunya?

Melihat Gui Tin mengerutkan kening dan diam seperti patung, An Lu Shan lalu berkata, “Gui-siucai, apa yang kau pikirkan? Sanggupkah kau menterjemahkannya?” Semua mata memandang kepada Gui Tin dengan sinar tajam mengancam.

Sastrawan ini maklum kalau dia mengatakan dia tidak sanggup, dia tidak akan diampuni. Sebaliknya kalau dia sampai menterjemahkan kitab ini, juga tidak ada harapan baginya untuk bisa pergi dari tempat ini dalam keadaan hidup! Dia yang telah menterjemahkan, kelak tentu akan dianggap berbahaya oleh An Lu Shan, dan tentu akan dibinasakan agar jangan sampai membuka rahasia isi kitab itu kepada orang lain.

Sebelum menjawab, Gui Tin mengelus-elus kepala Kwan Cu yang berdiri di dekatnya, lalu dia menatap wajah An Lu Shan sambil berkata, “Biar pun kitab ini sukar sekali untuk diterjemahkan, akan tetapi aku sanggup mengerjakan asalkan ciangkun dapat bersabar menanti. Akan tetapi, hanya satu saja permintaanku sebagai biaya penterjemahan, yaitu, kau lepaskan dan bebaskan muridku ini untuk pergi dari sini dan jangan mengganggu padanya!"

"Tidak, Gui-lopek! Aku tidak mau meninggalkan kau orang tua. Siapa yang akan merawat dirimu, juga siapa yang akan menggosokkan bak untukmu, dan siapa pula yang akan kau suruh-suruh pada waktu kau mengerjakan semua ini? Gui-lopek, jangan suruh aku pergi meninggalkanmu!” tiba-tiba Kwan Cu berkata.

Sementara itu, An Lu Shan yang cerdik sekali ketika melihat betapa Gui Tin amat sayang kepada muridnya, timbullah sebuah pikiran yang amat cerdik.

“Gui-siucai, aku berjanji tak akan mengganggu muridmu. Akan tetapi, dia baru kubiarkan pergi bila mana kau sudah selesai menterjemahkan kitab ini. Ingat, semakin cepat kau menterjemahkannya, semakin cepat pula aku melepaskan anak ini. Sementara itu, siapa lagi yang akan melayanimu selain anak ini? Orang lain tidak boleh melihat kitab ini. Kau tentu mengerti maksudku, bukan?”

Gui Tin mengerti baik sekali. Siapa saja yang sudah melihat kitab ini harus mati, temasuk pula Kwan Cu! Maka sastrawan ini menjadi gelisah dan berduka sekali, akan tetapi dia dapat menindas perasaanya dan menyatakan kesanggupannya.

“Baik, akan kukerjakan mulai hari ini juga. Akan tetapi aku tak mau diganggu dan biarkan aku dilayani oleh muridku di dalam kamar tertutup.”

An Lu Shan mengangguk. “Baik, Gui-Siucai. Kau akan bekerja di dalam kamarku ini dari pagi sampai petang. Setiap pagi kau masuk ke sini dan sesudah petang kau keluar dari kamar ini, meninggalkan terjemahan dan kitab aslinya.”

Demikianlah, mulai hari itu juga Gui Tin mengerjakan terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dilayani oleh Kwan Cu. Karena maklum dia dan muridnya diintai dari luar dan diawasi, Gui Tin tidak berani bicara sembarangan terhadap Kwan Cu, dan dia melakukan terjemahan itu selambat mungkin.

Isi kitab ini benar-benar hebat. Di situ tertulis aturan-aturan dan cara-cara melatih tentara, membentuk barisan, dan mengatur serangan secara lihai sekali. Selain itu, terdapat pula latihan-latihan ilmu silat yang aneh-aneh, cara untuk semedhi dalam bentuk yang paling istimewa, kemudian ada pula ilmu pukulan yang hebat-hebat sehingga baru membaca sebentar saja Gui Tin sudah merasa pening kepala dan juga ngeri.

Dia pikir bahwa kalau dia menterjemahkan ilmu silat itu, apa bila sampai dipelajari oleh orang jahat, maka kelak orang itu akan menjadi manusia berkepandaian iblis yang sukar ditekan. Sebaliknya, bila dia menterjemahkan ilmu perang, tidak ada jahatnya. Bukankah An Lu Shan seorang perwira dari kerajaan yang sudah terbukti membela negara. Kalau perwira itu mendapatkan pelajaran ilmu perang ini, bukankah hal ini baik sekali dan tidak merugikan rakyat mau pun tidak membahayakan negara?

Oleh karena inilah, maka Gui Tin kemudian mulai dengan terjemahannya. Dia sengaja mendahulukan terjemahan ilmu perang yang aneh-aneh dan lihai itu, yang dia lakukan sedikit demi sedikit. Ada pun terhadap Kwan Cu, dia memiliki sebuah cita-cita yang baik sekali.

Kitab ini adalah kitab tiruan atau kitab palsu, ini Gui Tin yakin betul. Sayang dia sudah banyak lupa tentang sejarah yang dulu pernah dibacanya mengenai kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi kitab sejarah itu masih bertumpuk pada suatu tempat di mana dia menyimpan kitab-kitab kunonya. Kalau kelak kitab aslinya bisa didapat, mungkin dia telah tewas, dan muridnya inilah yang menjadi orang satu-satunya yang dapat membacanya!.

Oleh karena itu, maka Gui Tin lalu memberi pelajaran tentang bahasa tulisan kuno itu kepada Kwan Cu. Ia mengajar sedikit demi sedikit, secara lisan, karena kalau tertulis, ia khawatir akan terlihat oleh orang lain. Ia minta kepada Kwan Cu supaya mencatat dan menghafal di dalam otaknya.

Anak ini memang cerdik sekali. Apa yang sekali terdengar olehnya, seolah-olah langsung menempel pada otaknya dan tidak mudah terlupa kembali. Oleh karena itu, semua yang dipelajarinya dapat dihafalnya dengan mudah.

Pada keesokan harinya, setelah melihat hasil terjemahan Gui Tin, bukan main girangnya hati An Lu Shan. Ia membaca siasat-siasat kemiliteran yang rumit-rumit dan hebat-hebat, cara mengatur barisan, mengatur penyerangan dan mengatur penjagaan.

Hebat! Inilah yang dicari-cari, inilah yang diimpi-impikannya! Maka serentak mulailah dia mempraktekkan semua siasat beserta tata peraturan melatih tentara yang dibacanya dari terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.

Tiga bulan terlewat cepat sekali dan selama tiga bulan ini, Gui Tin baru menterjemahkan setengah dari pada ilmu perang itu! Akan tetapi hasilnya bagi An Lu Shan bukan main besarnya! Kini bala tentara yang dipegangnya merupakan barisan yang kuat dan memiliki pendidikan militer yang lain dari pada yang lain! Semua ini berkat pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentu saja An Lu Shan merasa bangga dan puas sekali.

Ada pun dalam waktu tiga bulan itu, Kwan Cu dengan penuh ketekunan mencurahkan segenap tenaga, otak, dan perhatian untuk menghafal dan mempelajari bahasa tulisan kuno yang dipergunakan untuk menuliskan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu. Dan ketika tanpa sengaja dia melirik ke arah kitab yang sedang diterjemahkan oleh gurunya, hampir dia berseru girang karena dia dapat membacanya dengan mudah!

"Gui-lopek! Bukankah baris paling atas bunyinya, ‘Barisan Kwan-im Pouwsat menyebar biji teratai’…?

"Sstttt!" Gui Tin cepat menutup mulut Kwan Cu, lalu berkejap mata.

Kwan Cu cerdik. Dia tahu bahwa sesungguhnya bukan karena terjemahan itu sukar bagi gurunya, melainkan karena gurunya sengaja memperlambat terjemahan itu!

"Lopek, mengapa tidak cepat-cepat menyelesaikan saja agar kita dapat segera pergi dari sini?"

Gui Tin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. Sukar baginya untuk bicara karena dia tahu bahwa selalu ada penjaga yang mengawasi mereka di luar kamar dan mendengarkan percakapan mereka. Karena itu dia sengaja berkata keras-keras sambil memberi kedipan mata kepada muridnya itu,

"Enak saja kau bicara! Apa kau kira menterjemahkan kitab seperti ini sama mudahnya dengan makan bakso?"

Demikianlah, dua orang guru dan murid ini main sandiwara. Diam-diam Gui Tin menunjuk ke arah kitab bagian pelajaran ilmu silat dan minta Kwan Cu membacanya.