Pendekar Bodoh Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 12

Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan hati sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia kemudian tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya dia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, dia berhasil menolong serta membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.

Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apa lagi sekarang dia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.

Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang dapat diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol yang setolol-tololnya. Celaka betul!

Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel bukan main mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa nama pemuda itu adalah ‘Pendekar Bodoh’!

Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk tepat di belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata, “Angin sejuk! Angin enak!”

Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.

“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.

Mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini, timbul harapan Ang I Niocu. Dia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata, “Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”

“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”

“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak.

Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan dirinya dan duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang harus dia perbuat?

“Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian.

Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika dia masih kecil dan ketika dia merantau dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang menderita kelaparan!

Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tidak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, ada pun Cin Hai tertawan oleh musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.

“Hai-ji... Hai-ji, kau cobalah untuk mengingat-ingat! Di mana adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.

“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”

Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Dia pikir dalam keadaan seperti ini ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Jika ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan semakin mengacaukan urusan. Ia harus terlebih dahulu mencarikan obat untuk memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.

Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu.

Akan tetapi pengaruh madu merah memang mukjijat sekali. Meski pun Cin Hai merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan setiap kali gadis itu bercerita, dia selalu memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi pada masa lalu!

Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin sehingga makin hari semakin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat sekali!

Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya sehingga malam itu sangat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan. Cin Hai berjalan di sebelahnya namun keduanya tidak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Pada waktu mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar berwarna hitam sehingga nampaknya menyeramkan di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba saja Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!

“Bahkan setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?

“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” mendadak Cin Hai berkata, oleh karena biar pun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya.

Apa bila telinga Ang I Niocu tidak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai mampu menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa itu adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya sehingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.

Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan sebuah tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya.

Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.

Di tempat terbuka itu, di atas tanah, nampak dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas setiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, sedang yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas!

Dua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan mereka seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apa lagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup!

Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikit pun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya tersisa sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.

Orang kedua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dengan muka sangat menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain adalah Hai Kong Hosiang!

Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang bagaikan rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali.

Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apa lagi kalau harus mengerahkan tenaga untuk mengadu khikang! Lebih-lebih jika berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang.

Pada saat itu, biar pun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok pada puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biar pun hanya dengan gerakan pelan saja, tetapi tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi dari pada tenaga Hai Kong Hosiang!

Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras, “Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu.

Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!

Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini.

Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasakan datangnya tenaga hebat ini, cepat-cepat menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga khikang-nya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!

Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai dari pada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!

Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya cepat bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan!

Pada waktu Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, yaitu di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi, terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguh pun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan.

Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah menjadi rasa gembira oleh karena dia segera dapat mengenali suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya yang luar biasa itu, entah dengan cara bagaimana sudah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.

Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu lalu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

Hai Kong Hosiang menjadi pucat luar biasa ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supek-nya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya sehingga telah gagu tidak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supek-nya ini untuk melawan Bu Pun Su.

“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa.

Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan kedua telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya sudah membeku dan dia tak dapat berbicara lagi. Maka dia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, kemudian mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Dia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan kalau Kam Ki Sianjin memiliki tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.

Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah dia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,

“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan dia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.

Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras, “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

“Baik! Kalau dia musuhmu, aku akan menyerang dia!” Dia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dengan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.

Tak terdengar suara tangan atau pun kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu angin bertiup sangat keras hingga membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi salah seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia tak akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!

Sebetulnya, selama beberapa hari ini kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikang-nya, sudah naik dan maju pesat sekali oleh karena dia memperoleh latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supek-nya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi kedua orang muda yang tangguh itu, dia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.

Tiba-tiba saja terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran. Kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

Bu Pun Su masih tertawa bergelak-gelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.

“Bagus, Im Giok. Kau sudah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!”

Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu dia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”

Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

“Cin Hai, kau majulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

“Anak tolol!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan.

Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan kegagalan, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya setiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!

Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin!

Akhirnya, sesudah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia pun berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia lalu tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhu-nya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu sudah datang ke sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”

Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya gembira sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

Ang I Niocu lalu menuturkan betapa tadinya dia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Dukun bangsa Mongol itu kemudian melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberinya madu merah. Maka kini teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu dia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya dia hanyut di dalam sungai dalam keadaan pingsan.

Cin Hai berlutut lagi di depan suhu-nya dan berkata, “Baiknya Suhu segera datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

“Ha-ha-ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, sesudah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.

Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan dia pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu tak akan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhu-nya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”

Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu walau pun kau lari sampai ke neraka sekali pun!”

Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.

“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, sekali ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,

“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu itu, Cin Hai!”

Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

Sesudah suhu-nya pergi, kini mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya, “Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya bersama Kwee An ketika bertempur dengan Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami sehingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi,

Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!

Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****


Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biar pun Boan Sip mempergunakan ilmu lari cepatnya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia telah dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.

Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.

“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena kau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini sudah kau tawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama kau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”

Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawani dirinya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka dia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dalam keadaan tak berdaya untuk melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga dia tak dapat mempergunakan tenaganya!

Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tidak dapat diikuti dengan pandangan mata sehingga apa bila kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia tak akan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersemedhi di dalam kamarnya, dapat mendengar adanya desir angin yang lain dari pada desir angin biasa. Selagi dia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,

“Bo Lang! Percuma saja engkau bersemedhi apa bila perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”

Bo Lang Hwesio merasa terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang demikian tinggi ilmu ginkang-nya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Selama ini belum pernah dia bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biar pun sedang dalam semedhi, ia sama sekali tak mendengarnya!

“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan yang tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio.

Akan tetapi orang di atas genteng terkekeh-kekeh dan menjawab, “Bo Lang Hwesio, aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kau tawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”

Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka tiba-tiba saja dia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.

Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ahh... Bu Pun Su! Apa kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau kembali hendak mengganggu pinceng?”

“Ha-ha-ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san karena kau ingin merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau sudah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”

“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tetapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”

“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”

“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan, kami perlakukan dia baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh muridku!”

“Ha-ha-ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik, aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”

“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio.

Dia lalu menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya sehingga biar pun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!

“Bagus, lweekang-mu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang segera mengelak dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka.

Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio, dan untuk menilai kehebatan pukulan ini bisa diukur dari suara genteng pecah. Ternyata pukulan yang tidak mengenai sasaran ini menyebabkan genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.

Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi satu tingkat dari pada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tidak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tidak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi, oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat sehingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seakan-akan berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan.

Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir. Akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai pada puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri.

Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jeri dan berseru,

“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”

Setelah berseru demikian, dengan cepat sekali Bo Lang Hwesio lalu lompat ke belakang dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin. Pada saat ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong.

Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu sejak tadi jiwanya telah melayang. Ia menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia pun tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja agar kakek itu tak akan mencelakakan Boan Sip.

Akan tetapi, tidak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,

“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”

Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biar pun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”

“Hmm, kalau begitu kau bersumpah!”

Mendengar bahwa dia benar-benar tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio menjadi marah sekali, akan tetapi dia tidak berdaya untuk membantah, apa lagi dia sendiri yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka dia lalu merangkapkan kedua tangan di dada dan mengucap sumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul, biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”

“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja tubuh kakek jembel itu telah lenyap.

“Bu Pun Su, lain kali pasti akan kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.

Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak berbohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!

Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu.

Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan berdiri di kepala perahu. Salah seorang di antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa dia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat dari pada kain berbulu yang indah.

“Eh, ehh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”

“Yo-suhu (nama aslinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.

Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang, akan tetapi ia segera memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.

“Heran sekali, siapa adanya orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.

“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri kini tengah mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”

“Ah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”

Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang yang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”

Kemudian Yousuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu itu dan yang sekarang tangannya sudah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,

“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”

“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi berhasil kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku sayang padanya.”

Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang Suhu-mu berkata benar. Tak pantas membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu segera menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Lin Lin. Sekali dia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!

Boan Sip terkejut sekali oleh karena dia tahu bahwa Lin Lin kini telah terlepas dari pada pengaruh totokan, dan inilah yang memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.

“Yo-suhu, kalau dia dilepas, dia berbahaya sekali!”

Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.

Sebaliknya, ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya sudah bebas, Lin Lin merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat mulur sehingga tak mudah untuk diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas!

Ia tidak tahu bahwa Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekali pun, orang Turki ini pasti akan dapat membukanya dengan mudah!

Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali terhadap Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil berseru,

“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!”

Lin Lin lalu menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan pada saat Boan Sip hendak menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini.

Akan tetapi tiba-tiba dari samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahu-tahu sabuk itu telah melingkar pada pergelangan tangan yang melakukan pukulan sehingga sekarang menjadi gagal. Pada saat ia hendak melepaskan sabuk yang melibat pergelangan tangannya, tiba-tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang dipegangnya sehingga tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!

“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau sedang berada di dalam perahuku dan aku berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita semua tenggelam?”

Ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, Lin Lin maklum bahwa orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apa lagi pada saat mendengar bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

Sebaliknya, Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin sambil membentak,

“Perempuan rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!” Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju menyerang Lin Lin dengan muka buas!

Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah. Dengan cepat dia dapat mengelak, bahkan balas menyerang dengan kepalan tangannya.

“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf.

Akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah lepas dari pegangan perwira itu dan ternyata gagangnya sudah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.

“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.

“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa, maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?”

Suara orang Turki ini sekarang terdengar sangat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang asing yang aneh dan lihai ini. Maka, oleh karena ia memang merasa lelah sekali, ia segera masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas sebuah pembaringan bambu yang kasar!

Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasehat kepada Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah dan kepala tunduk.

Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan Perang Turki yang sudah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Sebenarnya dia masih seorang bangsawan keturunan pangeran, dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira bangsa Han yang bisa dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama menjatuhkan pemerintah yang sekarang.

Di antara para perwira yang telah mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini memiliki tujuan tertentu, yaitu ingin menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.

Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu sudah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf, bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, sehingga bukan tak disengaja bahwa Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya.

Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawan-kawannya atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.

Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu lalu meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.

“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka jangan sampai urusan pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini lebih berkuasa dari pada engkau, maka engkau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”

Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akan kelihaian dan kekuasaan Yousuf, maka dia tidak berani membantah.

“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih baik kalau dia disingkirkan agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?

Yousuf menggelengkan kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahu ini, dan yang lebih penting lagi, ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat ada seorang asing di sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali? Apa lagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”

“Nah, kenapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.

Kembali Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan mempergunakan tangan kirinya untuk membikin beres sorbannya yang terbuat dari pada kain kuning.

“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap orang-orang wanita!”

Boan Sip mengangguk-angguk maklum. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa orang Turki yang cerdik ini sebenarnya hanya menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf hanya merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!

Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat sambil membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam bilik perahu. Makin lama sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.

Tiba-tiba para penumpang perahu itu merasa terkejut sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip lalu memandang dan mereka melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung.

Dua orang ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu! Bagaimana Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendadak dapat muncul di sungai itu? Ini adalah akibat dari pada mala petaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar.

Sebagaimana diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin, melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, yaitu suheng dari Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira berhasil mendengar percakapan mereka dan dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa ‘pemuda itu adalah gadis atau puteri dari Ma Keng In, perwira Sayap Garuda!’

Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan mereka semua kemudian dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau pengkhianat! Untung sekali bahwa Ma Hoa masih dapat melarikan diri.

Di depan sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,

“Memang Ma Hoa adalah anakku. Aku merasa menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan kerjaku yang menjadi perwira kerajaan bukan untuk menjaga keamanan rakyat, malah sebaliknya suka berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk menindas serta mencekik orang-orang lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbahagia bahwa anakku yang tunggal itu tak mengikuti jejakku yang sesat, akan tetapi betul-betul menjadi seorang pelindung rakyat yang gagah perkasa! Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang bersama Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”

Tentu saja ucapannya ini adalah keputusan terakhir dan dia beserta semua keluarganya lalu mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar mala petaka yang dialami oleh seluruh keluarganya itu dia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat dari pada tangis muridnya sendiri.

Mendadak Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar yang sering menggunakan kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”

Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki, dan juga mereka yang dengan diam-diam mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!

Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka, juga kedua orang ini sekalian mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan bergabung dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar bergerak ke arah hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja dia menabrakkan perahunya yang kecil itu pada perahu di depannya sehingga mengejutkan para penumpang perahu di depan itu!

Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,

“Ehh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha-ha-ha-ha! Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata demikian, ia langsung mengangkat dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu sekerasnya.

Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air, sehingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!

Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”

Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu, oleh karena bagian yang pecah demikian besarnya sehingga sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian banyaknya dan sukar dibendung lagi!

“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru.

Tubuhnya lalu meloncat, diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!

Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seolah-olah kejadian itu merupakan suatu hal yang lucu sekali. Bahkan dalam kesedihannya Ma Hoa ikut tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.

“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya pada waktu melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.

“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhu-nya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.

Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam.

“Cici Hoa! Locianpwe!”

“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali.

Lin Lin yang sudah membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!

“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.

“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”

Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!

Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum mengejek.

“Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!” katanya.

Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya sehingga dia menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya.

Melihat datangnya serangan yang lihai ini, Boan Sip segera melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan bertempurlah mereka dengan hebat dan seru. Lin Lin yang tidak bersenjata itu lalu menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini ia kemudian mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.

Sementara itu, Nelayan Cengeng telah berhadapan dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini sudah datang mendekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,

“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis yang memasuki tubuh manusia!”

Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapa pun juga dia merasa mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.

“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!”

Yousuf melempangkan tangannya ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian dia membentak nyaring sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan, “Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”

Tiba-tiba saja suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan dia merasa seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa Yousuf benar-benar sudah mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng mengerahkan lweekang-nya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini hingga Yousuf berseru,

“Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”

Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena dia paham bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan menyangka ia benar-benar sedang kemasukan setan sungai. Maka dia segera menjura dan berkata,

“Tuan, kau sangat lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan ini?”

Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.

“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Memang perwira yang sedang bertempur itu adalah kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat luar biasa, dan apakah maksudmu merusak perahuku dan mengganggu perjalananku?”

“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah bahwa perwira itu sudah melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan seorang gadis yang menjadi sahabat baik muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”

“Hemm, siapa yang hendak melindungi dia?” berkata Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan Sip.

Akan tetapi ketika dia menengok dan memandang ke arah pertempuran, dia menjadi terkejut sekali. Biar pun Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur saja.

Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapa pun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Jika Boan Sip sampai kalah dan tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus membantu.

Yousuf lalu membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.

“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda. Kita tua sama tua boleh main-main, apa bila memang kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau juga tidak turun tangan terlebih dulu. Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan tak akan mengganggu sedikit pun!”

Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biar pun kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, karena itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang ahli lweekang yang tinggi ilmu kepandaiannya.

“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu kini sedang berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main. Ketahuilah, aku bernama Yousuf dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Lekas kau minggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”

Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng bisa mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi pun dia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia mengijinkan orang lain menolong perwira jahat itu?

“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Kong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”

“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

Sambil berkata demikian, Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada gagangnya tampak dihias oleh emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.

“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju.

Gerakannya gesit dan cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa dia sedang mempergunakan ilmu ginkang-nya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan.

Melihat serangan ini, tahulah Kong Hwat Lojin bahwa kini dia berhadapan dengan orang pandai, maka ia pun lantas menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat. Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan suara bagaikan suling, sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan membuat debu mengepul ke atas!

Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang sangat hebat serta dahsyat, sehingga dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini keduanya berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.

Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah sangat terkenal dan jarang ada jago dapat menandinginya. Akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain yang mempunyai silat tinggi dan sama sekali asing baginya. Demikian pula Yousuf. Baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu perkembangan gerakan lawan.

Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh karena dia harus menghadapi serangan dua singa betina yang sedang mengamuk hebat!

Sambil bertempur, Lin Lin berkata, “Cici, kita harus bikin mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi mala petaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima kasih kepadamu apa bila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi semakin bersemangat untuk segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya. Sedangkan Lin Lin juga mempergunakan dayung pada tangannya untuk menyerang kalang kabut sehingga Boan Sip makin terdesak saja.

Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan hati bingung, tiba-tiba dia menginjak sebuah batu yang bundar licin sehingga dia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!

Melihat betapa musuh besarnya kini telah menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan dia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,

“Ayah, anak yang puthau (tidak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!”

Kemudian dia pun menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan.

Dayung Si Nelayan Cengeng betul-betul hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi pasti, orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!

Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”

Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan dia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.

Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”

“Ahh, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun sangat hebat dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.

Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,

“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”

Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Dia memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah, meski pun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”

“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga air matanya kembali mengalir. “Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu, yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”

Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang bangsa Han memang sangat aneh dan patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketata negaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”

Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena lamarannya terhadap diriku ditolak oleh Ayahku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku sudah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia dapat menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu dengan kau.”

“Hmm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”

“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Dari percakapanmu aku mendengar kalau kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.

Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia bersama beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu, dalam hatinya telah timbul cita-cita ini.

Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan menggantikannya. Memang di dalam tubuh Yousuf masih ada darah pangeran, tapi sayangnya dia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya!



Pendekar Bodoh Jilid 12

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 12

Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan hati sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia kemudian tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya dia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, dia berhasil menolong serta membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.

Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apa lagi sekarang dia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.

Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang dapat diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol yang setolol-tololnya. Celaka betul!

Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel bukan main mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa nama pemuda itu adalah ‘Pendekar Bodoh’!

Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk tepat di belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata, “Angin sejuk! Angin enak!”

Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.

“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.

Mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini, timbul harapan Ang I Niocu. Dia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata, “Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”

“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”

“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak.

Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan dirinya dan duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang harus dia perbuat?

“Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian.

Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika dia masih kecil dan ketika dia merantau dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang menderita kelaparan!

Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tidak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, ada pun Cin Hai tertawan oleh musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.

“Hai-ji... Hai-ji, kau cobalah untuk mengingat-ingat! Di mana adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.

“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”

Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Dia pikir dalam keadaan seperti ini ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Jika ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan semakin mengacaukan urusan. Ia harus terlebih dahulu mencarikan obat untuk memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.

Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu.

Akan tetapi pengaruh madu merah memang mukjijat sekali. Meski pun Cin Hai merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan setiap kali gadis itu bercerita, dia selalu memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi pada masa lalu!

Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin sehingga makin hari semakin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat sekali!

Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya sehingga malam itu sangat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan. Cin Hai berjalan di sebelahnya namun keduanya tidak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Pada waktu mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar berwarna hitam sehingga nampaknya menyeramkan di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba saja Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!

“Bahkan setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?

“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” mendadak Cin Hai berkata, oleh karena biar pun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya.

Apa bila telinga Ang I Niocu tidak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai mampu menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa itu adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya sehingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.

Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan sebuah tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya.

Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.

Di tempat terbuka itu, di atas tanah, nampak dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas setiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, sedang yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas!

Dua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan mereka seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apa lagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup!

Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikit pun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya tersisa sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.

Orang kedua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dengan muka sangat menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain adalah Hai Kong Hosiang!

Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang bagaikan rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali.

Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apa lagi kalau harus mengerahkan tenaga untuk mengadu khikang! Lebih-lebih jika berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang.

Pada saat itu, biar pun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok pada puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biar pun hanya dengan gerakan pelan saja, tetapi tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi dari pada tenaga Hai Kong Hosiang!

Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras, “Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu.

Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!

Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini.

Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasakan datangnya tenaga hebat ini, cepat-cepat menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga khikang-nya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!

Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai dari pada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!

Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya cepat bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan!

Pada waktu Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, yaitu di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi, terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguh pun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan.

Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah menjadi rasa gembira oleh karena dia segera dapat mengenali suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya yang luar biasa itu, entah dengan cara bagaimana sudah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.

Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu lalu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

Hai Kong Hosiang menjadi pucat luar biasa ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supek-nya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya sehingga telah gagu tidak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supek-nya ini untuk melawan Bu Pun Su.

“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa.

Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan kedua telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya sudah membeku dan dia tak dapat berbicara lagi. Maka dia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, kemudian mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Dia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan kalau Kam Ki Sianjin memiliki tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.

Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah dia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,

“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan dia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.

Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras, “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

“Baik! Kalau dia musuhmu, aku akan menyerang dia!” Dia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dengan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.

Tak terdengar suara tangan atau pun kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu angin bertiup sangat keras hingga membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi salah seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia tak akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!

Sebetulnya, selama beberapa hari ini kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikang-nya, sudah naik dan maju pesat sekali oleh karena dia memperoleh latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supek-nya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi kedua orang muda yang tangguh itu, dia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.

Tiba-tiba saja terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran. Kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

Bu Pun Su masih tertawa bergelak-gelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.

“Bagus, Im Giok. Kau sudah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!”

Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu dia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”

Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

“Cin Hai, kau majulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

“Anak tolol!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan.

Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan kegagalan, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya setiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!

Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin!

Akhirnya, sesudah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia pun berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia lalu tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhu-nya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu sudah datang ke sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”

Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya gembira sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

Ang I Niocu lalu menuturkan betapa tadinya dia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Dukun bangsa Mongol itu kemudian melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberinya madu merah. Maka kini teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu dia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya dia hanyut di dalam sungai dalam keadaan pingsan.

Cin Hai berlutut lagi di depan suhu-nya dan berkata, “Baiknya Suhu segera datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

“Ha-ha-ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, sesudah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.

Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan dia pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu tak akan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhu-nya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”

Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu walau pun kau lari sampai ke neraka sekali pun!”

Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.

“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, sekali ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,

“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu itu, Cin Hai!”

Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

Sesudah suhu-nya pergi, kini mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya, “Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya bersama Kwee An ketika bertempur dengan Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami sehingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi,

Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!

Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****


Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biar pun Boan Sip mempergunakan ilmu lari cepatnya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia telah dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.

Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.

“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena kau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini sudah kau tawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama kau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”

Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawani dirinya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka dia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dalam keadaan tak berdaya untuk melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga dia tak dapat mempergunakan tenaganya!

Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tidak dapat diikuti dengan pandangan mata sehingga apa bila kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia tak akan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersemedhi di dalam kamarnya, dapat mendengar adanya desir angin yang lain dari pada desir angin biasa. Selagi dia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,

“Bo Lang! Percuma saja engkau bersemedhi apa bila perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”

Bo Lang Hwesio merasa terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang demikian tinggi ilmu ginkang-nya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Selama ini belum pernah dia bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biar pun sedang dalam semedhi, ia sama sekali tak mendengarnya!

“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan yang tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio.

Akan tetapi orang di atas genteng terkekeh-kekeh dan menjawab, “Bo Lang Hwesio, aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kau tawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”

Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka tiba-tiba saja dia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.

Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ahh... Bu Pun Su! Apa kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau kembali hendak mengganggu pinceng?”

“Ha-ha-ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san karena kau ingin merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau sudah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”

“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tetapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”

“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”

“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan, kami perlakukan dia baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh muridku!”

“Ha-ha-ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik, aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”

“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio.

Dia lalu menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya sehingga biar pun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!

“Bagus, lweekang-mu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang segera mengelak dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka.

Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio, dan untuk menilai kehebatan pukulan ini bisa diukur dari suara genteng pecah. Ternyata pukulan yang tidak mengenai sasaran ini menyebabkan genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.

Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi satu tingkat dari pada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tidak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tidak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi, oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat sehingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seakan-akan berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan.

Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir. Akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai pada puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri.

Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jeri dan berseru,

“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”

Setelah berseru demikian, dengan cepat sekali Bo Lang Hwesio lalu lompat ke belakang dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin. Pada saat ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong.

Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu sejak tadi jiwanya telah melayang. Ia menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia pun tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja agar kakek itu tak akan mencelakakan Boan Sip.

Akan tetapi, tidak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,

“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”

Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biar pun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”

“Hmm, kalau begitu kau bersumpah!”

Mendengar bahwa dia benar-benar tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio menjadi marah sekali, akan tetapi dia tidak berdaya untuk membantah, apa lagi dia sendiri yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka dia lalu merangkapkan kedua tangan di dada dan mengucap sumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul, biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”

“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja tubuh kakek jembel itu telah lenyap.

“Bu Pun Su, lain kali pasti akan kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.

Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak berbohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!

Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu.

Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan berdiri di kepala perahu. Salah seorang di antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa dia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat dari pada kain berbulu yang indah.

“Eh, ehh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”

“Yo-suhu (nama aslinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.

Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang, akan tetapi ia segera memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.

“Heran sekali, siapa adanya orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.

“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri kini tengah mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”

“Ah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”

Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang yang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”

Kemudian Yousuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu itu dan yang sekarang tangannya sudah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,

“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”

“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi berhasil kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku sayang padanya.”

Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang Suhu-mu berkata benar. Tak pantas membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu segera menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Lin Lin. Sekali dia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!

Boan Sip terkejut sekali oleh karena dia tahu bahwa Lin Lin kini telah terlepas dari pada pengaruh totokan, dan inilah yang memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.

“Yo-suhu, kalau dia dilepas, dia berbahaya sekali!”

Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.

Sebaliknya, ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya sudah bebas, Lin Lin merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat mulur sehingga tak mudah untuk diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas!

Ia tidak tahu bahwa Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekali pun, orang Turki ini pasti akan dapat membukanya dengan mudah!

Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali terhadap Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil berseru,

“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!”

Lin Lin lalu menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan pada saat Boan Sip hendak menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini.

Akan tetapi tiba-tiba dari samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahu-tahu sabuk itu telah melingkar pada pergelangan tangan yang melakukan pukulan sehingga sekarang menjadi gagal. Pada saat ia hendak melepaskan sabuk yang melibat pergelangan tangannya, tiba-tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang dipegangnya sehingga tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!

“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau sedang berada di dalam perahuku dan aku berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita semua tenggelam?”

Ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, Lin Lin maklum bahwa orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apa lagi pada saat mendengar bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

Sebaliknya, Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin sambil membentak,

“Perempuan rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!” Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju menyerang Lin Lin dengan muka buas!

Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah. Dengan cepat dia dapat mengelak, bahkan balas menyerang dengan kepalan tangannya.

“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf.

Akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah lepas dari pegangan perwira itu dan ternyata gagangnya sudah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.

“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.

“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa, maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?”

Suara orang Turki ini sekarang terdengar sangat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang asing yang aneh dan lihai ini. Maka, oleh karena ia memang merasa lelah sekali, ia segera masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas sebuah pembaringan bambu yang kasar!

Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasehat kepada Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah dan kepala tunduk.

Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan Perang Turki yang sudah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Sebenarnya dia masih seorang bangsawan keturunan pangeran, dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira bangsa Han yang bisa dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama menjatuhkan pemerintah yang sekarang.

Di antara para perwira yang telah mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini memiliki tujuan tertentu, yaitu ingin menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.

Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu sudah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf, bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, sehingga bukan tak disengaja bahwa Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya.

Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawan-kawannya atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.

Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu lalu meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.

“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka jangan sampai urusan pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini lebih berkuasa dari pada engkau, maka engkau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”

Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akan kelihaian dan kekuasaan Yousuf, maka dia tidak berani membantah.

“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih baik kalau dia disingkirkan agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?

Yousuf menggelengkan kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahu ini, dan yang lebih penting lagi, ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat ada seorang asing di sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali? Apa lagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”

“Nah, kenapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.

Kembali Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan mempergunakan tangan kirinya untuk membikin beres sorbannya yang terbuat dari pada kain kuning.

“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap orang-orang wanita!”

Boan Sip mengangguk-angguk maklum. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa orang Turki yang cerdik ini sebenarnya hanya menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf hanya merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!

Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat sambil membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam bilik perahu. Makin lama sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.

Tiba-tiba para penumpang perahu itu merasa terkejut sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip lalu memandang dan mereka melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung.

Dua orang ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu! Bagaimana Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendadak dapat muncul di sungai itu? Ini adalah akibat dari pada mala petaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar.

Sebagaimana diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin, melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, yaitu suheng dari Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira berhasil mendengar percakapan mereka dan dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa ‘pemuda itu adalah gadis atau puteri dari Ma Keng In, perwira Sayap Garuda!’

Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan mereka semua kemudian dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau pengkhianat! Untung sekali bahwa Ma Hoa masih dapat melarikan diri.

Di depan sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,

“Memang Ma Hoa adalah anakku. Aku merasa menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan kerjaku yang menjadi perwira kerajaan bukan untuk menjaga keamanan rakyat, malah sebaliknya suka berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk menindas serta mencekik orang-orang lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbahagia bahwa anakku yang tunggal itu tak mengikuti jejakku yang sesat, akan tetapi betul-betul menjadi seorang pelindung rakyat yang gagah perkasa! Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang bersama Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”

Tentu saja ucapannya ini adalah keputusan terakhir dan dia beserta semua keluarganya lalu mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar mala petaka yang dialami oleh seluruh keluarganya itu dia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat dari pada tangis muridnya sendiri.

Mendadak Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar yang sering menggunakan kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”

Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki, dan juga mereka yang dengan diam-diam mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!

Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka, juga kedua orang ini sekalian mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan bergabung dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar bergerak ke arah hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja dia menabrakkan perahunya yang kecil itu pada perahu di depannya sehingga mengejutkan para penumpang perahu di depan itu!

Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,

“Ehh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha-ha-ha-ha! Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata demikian, ia langsung mengangkat dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu sekerasnya.

Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air, sehingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!

Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”

Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu, oleh karena bagian yang pecah demikian besarnya sehingga sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian banyaknya dan sukar dibendung lagi!

“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru.

Tubuhnya lalu meloncat, diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!

Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seolah-olah kejadian itu merupakan suatu hal yang lucu sekali. Bahkan dalam kesedihannya Ma Hoa ikut tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.

“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya pada waktu melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.

“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhu-nya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.

Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam.

“Cici Hoa! Locianpwe!”

“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali.

Lin Lin yang sudah membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!

“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.

“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”

Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!

Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum mengejek.

“Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!” katanya.

Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya sehingga dia menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya.

Melihat datangnya serangan yang lihai ini, Boan Sip segera melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan bertempurlah mereka dengan hebat dan seru. Lin Lin yang tidak bersenjata itu lalu menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini ia kemudian mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.

Sementara itu, Nelayan Cengeng telah berhadapan dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini sudah datang mendekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,

“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis yang memasuki tubuh manusia!”

Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapa pun juga dia merasa mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.

“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!”

Yousuf melempangkan tangannya ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian dia membentak nyaring sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan, “Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”

Tiba-tiba saja suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan dia merasa seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa Yousuf benar-benar sudah mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng mengerahkan lweekang-nya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini hingga Yousuf berseru,

“Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”

Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena dia paham bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan menyangka ia benar-benar sedang kemasukan setan sungai. Maka dia segera menjura dan berkata,

“Tuan, kau sangat lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan ini?”

Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.

“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Memang perwira yang sedang bertempur itu adalah kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat luar biasa, dan apakah maksudmu merusak perahuku dan mengganggu perjalananku?”

“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah bahwa perwira itu sudah melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan seorang gadis yang menjadi sahabat baik muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”

“Hemm, siapa yang hendak melindungi dia?” berkata Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan Sip.

Akan tetapi ketika dia menengok dan memandang ke arah pertempuran, dia menjadi terkejut sekali. Biar pun Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur saja.

Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapa pun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Jika Boan Sip sampai kalah dan tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus membantu.

Yousuf lalu membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.

“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda. Kita tua sama tua boleh main-main, apa bila memang kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau juga tidak turun tangan terlebih dulu. Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan tak akan mengganggu sedikit pun!”

Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biar pun kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, karena itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang ahli lweekang yang tinggi ilmu kepandaiannya.

“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu kini sedang berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main. Ketahuilah, aku bernama Yousuf dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Lekas kau minggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”

Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng bisa mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi pun dia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia mengijinkan orang lain menolong perwira jahat itu?

“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Kong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”

“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

Sambil berkata demikian, Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada gagangnya tampak dihias oleh emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.

“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju.

Gerakannya gesit dan cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa dia sedang mempergunakan ilmu ginkang-nya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan.

Melihat serangan ini, tahulah Kong Hwat Lojin bahwa kini dia berhadapan dengan orang pandai, maka ia pun lantas menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat. Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan suara bagaikan suling, sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan membuat debu mengepul ke atas!

Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang sangat hebat serta dahsyat, sehingga dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini keduanya berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.

Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah sangat terkenal dan jarang ada jago dapat menandinginya. Akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain yang mempunyai silat tinggi dan sama sekali asing baginya. Demikian pula Yousuf. Baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu perkembangan gerakan lawan.

Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh karena dia harus menghadapi serangan dua singa betina yang sedang mengamuk hebat!

Sambil bertempur, Lin Lin berkata, “Cici, kita harus bikin mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi mala petaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima kasih kepadamu apa bila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi semakin bersemangat untuk segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya. Sedangkan Lin Lin juga mempergunakan dayung pada tangannya untuk menyerang kalang kabut sehingga Boan Sip makin terdesak saja.

Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan hati bingung, tiba-tiba dia menginjak sebuah batu yang bundar licin sehingga dia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!

Melihat betapa musuh besarnya kini telah menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan dia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,

“Ayah, anak yang puthau (tidak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!”

Kemudian dia pun menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan.

Dayung Si Nelayan Cengeng betul-betul hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi pasti, orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!

Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”

Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan dia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.

Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”

“Ahh, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun sangat hebat dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.

Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,

“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”

Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Dia memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah, meski pun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”

“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga air matanya kembali mengalir. “Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu, yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”

Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang bangsa Han memang sangat aneh dan patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketata negaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”

Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena lamarannya terhadap diriku ditolak oleh Ayahku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku sudah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia dapat menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu dengan kau.”

“Hmm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”

“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Dari percakapanmu aku mendengar kalau kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.

Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia bersama beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu, dalam hatinya telah timbul cita-cita ini.

Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan menggantikannya. Memang di dalam tubuh Yousuf masih ada darah pangeran, tapi sayangnya dia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya!