Pembalasan Mintarsih - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

PEMBALASAN MINTARSIH

SATU
“Auuung...!”

Lolong anjing menggema, menyusup ke setiap telinga terbawa angin malam. Suara itu terdengar begitu dekat, seakan-akan tidak jauh di belakang dua orang prajurit yang bertugas jaga malam di depan rumah tahanan, di belakang Istana Kerajaan Karang Setra. Kedua prajurit berusia muda itu saling berpandangan, lalu sama-sama bergerak saling mendekat

“Auuung...!”

“Tidak biasanya malam-malam begini ada lolongan anjing,” bisik salah seorang prajurit, perlahan.

“Iya. Aku jadi merinding,” sambut temannya.

“Kata orang, kalau anjing melolong begini, ada setan lewat,” jelas prajurit itu lagi, sok tahu.

“Jangan ngaco, ah!” dengus temannya seraya bergidik.

Mereka tidak bicara lagi. Dan suara itu semakin sering terdengar, membuat wajah kedua prajurit itu terlihat bertambah pucat. Beberapa kali mereka saling melemparkan pandang, lalu menghembuskan napas panjang. Seakan-akan mereka ingin mengusir rasa takut yang tiba-tiba saja menyelinap ke dalam hati.

“Aku ingin ke belakang dulu,” kata seorang prajurit lagi.

“Heh...?! Mau ke mana..?” prajurit satunya lagi tersentak.

“Buang air. Sebentar....”

“Aku ikut”

“Yang jaga di sini nanti siapa? Pasti Gusti Prabu marah.”

"Masa bodo, ah!”

Mereka hendak melangkah. Namun belum juga kaki kedua prajurit itu terayun, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, di depan kedua prajurit itu sudah berdiri seseorang berbaju merah menyala. Wajahnya hampir tertutup rambut yang terurai panjang dan acak-acakan.

“Heh...?!”

“Ah...?!”

Kedua prajurit itu tersentak kaget. Mata mereka terbeliak lebar, dengan mulut ternganga. Dan sebelum keterkejutan mereka bisa hilang, mendadak saja orang berbaju serba merah itu cepat menggerakkan kedua tangannya.

Bet! Des!

Kedua prajurit itu terpaku tak dapat bersuara lagi, kemudian ambruk ke lantai batu yang dingin dan keras di depan pintu penjara. Kedua mata mereka terbuka lebar, dan mulut menganga. Dari kening di antara kedua mata mengucurkan darah. Sebuah lubang sebesar jari terlihat di kening kedua prajurit itu. Seketika mereka tewas, tanpa bersuara sedikit pun. Orang berbaju merah menyala itu mengambil seikat kunci dari pinggang salah seorang prajurit, lalu bergegas menghampiri pintu. Dengan kunci itu dia membuka pintu penjara.

“Hep!”

Cepat orang berbaju merah itu melompat masuk begitu pintu terbuka. Ayunan kakinya ringan dan tak bersuara sedikit pun. Disusurinya lorong yang hanya diterangi beberapa obor di dinding. Di kiri kanan lorong batu ini terdapat pintu-pintu besi yang terdapat sedikit lubang di tengahnya.

Orang berbaju merah itu mengintip di setiap lubang pintu. Dia terus bergerak cepat dan ringan sambil memeriksa setiap pintu besi di sepanjang kiri kanan lorong ini. Hingga pada sebuah pintu, kakinya berhenti melangkah. Sebentar matanya mengintip melalui lubang di pintu. Kemudian bergegas dibukanya pintu itu dengan kunci yang diambil dari pinggang salah seorang prajurit di luar tadi.

Kriiiet!

Suara derit pintu terdengar saat didorong membuka. Orang berbaju merah itu cepat melangkah masuk. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke seorang pemuda berbaju putih kotor dan berdebu. Pemuda itu tengah duduk memeluk lutut di sudut ruangan berukuran kecil ini.

“Eh...?!”

Pemuda berwajah cukup tampan itu terkejut, lalu cepat bangkit berdiri. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, mendadak saja tangan orang berbaju serba merah itu bergerak ke dadanya. Dan begitu jari tangannya menotok, seketika pemuda itu langsung ambruk ke lantai disertai keluhan kecil.

Tanpa berkata apa pun, orang berbaju merah itu mengangkat tubuh pemuda ini. Lalu, dia cepat melompat ke luar. Orang berbaju merah itu terus cepat menyusuri lorong menuju ke luar kembali. Dan begitu berada di luar penjara, cepat melesat ke atas. Sebentar kakinya dijejakkan di atas atap penjara, lalu kembali melesat cepat. Tubuhnya kemudian menghilang di belakang tembok bangunan penjara yang terbuat dari batu.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa. Tak ada seorang pun yang mengetahui peristiwa di penjara Karang Setra malam ini. Semua terjadi begitu cepat, tanpa menimbulkan keributan sedikit pun juga. Tinggal dua prajurit penjaga yang malang tergeletak tak bernyawa dengan kening berlubang sebesar jari.

********************

Dari jendela yang terbuka lebar, Rangga mengawasi para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Empat orang prajurit tengah menggotong dua prajurit yang tewas dengan kening berlubang. Darah sudah membeku, tak lagi mengucur. Di samping Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Dan di belakang mereka terlihat Cempaka dan Danupaksi.

Perlahan Rangga memutar tubuhnya mem-belakangi jendela. Ditatapnya Danupaksi dan Cempaka dengan sinar mata redup. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepala saja. Pandan Wangi ikut memutar tubuhnya, lalu duduk di kursi yang ada di samping jendela itu.

“Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi kita semua,” kata Rangga perlahan.

“Aku yang salah, Kakang. Di sana hanya kutempatkan dua penjaga saja,” ujar Danupaksi seraya mengangkat kepala.

“Tidak. Kau tidak perlu merasa bersalah, Danupaksi. Kesalahan ada pada kita semua, yang tidak mau belajar pada pengalaman. Ini suatu pelajaran. Dalam keadaan apa pun, kewaspadaan tidak bisa diabaikan begitu saja,” jelas Rangga bijaksana.

“Kalau saja kutempatkan satu regu penjaga, peristiwa semalam tidak perlu terjadi, Kakang,” kata Danupaksi, masih merasa bersalah.

“Semua yang terjadi tidak bisa diduga sebelumnya, Danupaksi. Meskipun kau menempatkan satu pasukan, kalau memang akan terjadi, maka tetap terjadi. Bahkan bukannya tidak mungkin akan lebih banyak jatuh korban lagi.”

Danupaksi terdiam. Kata-kata Rangga barusan memang tidak bisa dibantah lagi. Tapi, dia tetap merasa bertanggung jawab atas peristiwa semalam yang teiah meminta korban dua orang prajurit

“Kakang, apa mungkin Sangkala melarikan diri dan membunuh kedua prajurit itu?” duga Cempaka yang sejak tadi diam saja.

“Sangkala sudah menyadari kesalahannya. Bahkan telah berjanji akan selalu setia pada Karang Setra setelah masa hukumannya berakhir,” dengan halus Rangga membantah jalan pikiran adik tirinya ini.

“Tapi, kenyataannya dia kabur dari penjara, Kakang,” Cempaka berusaha menguatkan dugaannya.

“Hm..., kau lihat luka di kening kedua prajurit itu?” Rangga kini malah bertanya.

Cempaka hanya mengangguk saja.

“Aku seperti pernah melihat luka seperti itu, Kakang,” selak Pandan Wangi.

“Kurasa, kau masih ingat peristiwa di Desa Malimping, Pandan,” ujar Rangga.

“Benar, Kakang...!” sentak Pandan Wangi seraya bangkit dari duduknya.

“Kau tahu, siapa yang membawa kabur Sangkala, Kak Pandan?” tanya Danupaksi

“Luka seperti itu tidak ada lagi di dunia ini. Jelas, itu akibat dari jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Aku tahu, siapa yang memiliki jurus itu,” tandas Pandan Wangi.

“Siapa?” tanya Cempaka.

“Si Jari Maut,” sahut Pandan Wangi.

“Jari Maut..?!” Danupaksi mendesis, seakan-akan tidak percaya.

Mereka semua jadi terdiam dan saling melemparkan pandangan. Semua yang ada di situ tahu, siapa si Jari Maut itu. Dia adalah seorang tokoh persilatan beraliran hitam yang sukar dicari tandingannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti pernah bentrok dengannya di Desa Malimping. Waktu itu, Rangga memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki jalan hidupnya yang salah. Memang, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang mampu mengalahkan si Jari Maut

Tantu saja mereka tidak bisa mempercayai, karena semua tahu kalau si Jari Maut sudah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dan dia akan selalu membantu Karang Setra jika dibutuhkan. Tapi, kelihatannya Cempaka tidak seperti yang lain.

“Aku sudah menduga, si Jari Maut pasti akan mencari kesempatan untuk membalas dendam padamu, Kakang,” ujar Cempaka, agak mendesis suaranya.

“Jangan cepat berprasangka buruk, Cempaka,” sergah Rangga.

“Sudah terbukti, Kakang. Kedua prajurit penjaga itu tewas oleh jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Siapa lagi orangnya kalau bukan si Jari Maut..?” dengus Cempaka.

“Aku akan menanyakan hal ini padanya,” ujar Danupaksi agak mendesis.

“Kalau kau menemui si Jari Maut, urusannya akan bertambah panjang, Danupaksi,” kata Rangga.

“Tapi, Kakang...”

Rangga cepat mengangkat tangannya. Maka Danupaksi tidak meneruskan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti kembali memutar tubuh, menghadap ke jendela lagi. Sementara para prajurit masih terlihat sibuk di sekitar bangunan penjara.

“Danupaksi, siapkan kudaku dan kuda Pandan Wangi. Dan kau, Cempaka. Bawakan pakaianku serta Pedang Rajawali Sakti ke sini,” perintah Rangga tegas.

“Kakang akan pergi?” tanya Cempaka.

“Benar,” sahut Rangga singkat

Tanpa membantah lagi, kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti bergegas meninggalkan ruangan ini. Pandan Wangi sendiri segera ke luar. Gadis itu juga harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan bersama Pendekar Rajawali Sakti. Memang dia sudah bisa menangkap arti perintah itu.

Sementara Rangga masih berdiri terpaku di depan jendela, memperhatikan para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Tak berapa lama, Cempaka masuk kembali ke dalam ruangan itu. Setelah meletakkan pakaian dan pedang pusaka kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti di atas meja, gadis itu cepat melangkah ke luar dan menutup pintunya kembali.

“Jari Maut... Hm, mungkinkah dia melarikan Sangkala? Untuk apa hal itu dilakukannya...?” gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.

********************

Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga dan Pandan Wangi keluar dari gerbang belakang Istana Karang Setra. Mereka menunggang kuda masing-masing yang selalu setia menemani setiap kali pergi mengembara. Mereka memacu kuda tidak terlalu cepat, agar tidak menimbulkan perhatian seluruh rakyat Karang Setra.

Baru setelah melewati gerbang perbatasan sebelah Selatan, mereka memacu cepat kudanya. Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali Sakti yang menunggang kuda hitam Dewa Bayu. Gadis itu tahu kalau mereka menuju Lembah Kunir, tempat tinggal si Jari Maut.

“Kita ke Lembah Kunir, Kakang...?” agak keras suara Pandan Wangi untuk mengalahkan suara kaki kuda yang menghentak tanah berdebu.

“Benar,” sahut Rangga juga keras suaranya.

“Untuk apa ke sana?” tanya Pandan Wangi.

Tentu saja Pandan Wangi bertanya demikian, karena sebelum berangkat tadi Rangga memberi pesan pada Danupaksi dan Cempaka agar tidak mengusik si Jari Maut. Tapi, kenapa Rangga sendiri yang sekarang menuju ke sana? Pandan Wangi merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak menepati kata-katanya sendiri.

“Berhenti dulu, Kakang!” seru Pandan Wangi seraya menghentikan lari kudanya.

Rangga cepat menarik tali kekang kudanya sampai berhenti. Wajahnya berpaling menatap Pandan Wangi yang masih tetap berada di punggung kudanya. Rangga memutar kudanya, lalu menghampiri gadis itu. Ditatapnya Pandan Wangi dalam-dalam. Namun yang ditatap malah membalasnya tidak kalah tajam.

“Sejak kapan kau tidak mematuhi kata-katamu sendiri, Kakang?” tanya Pandan Wangi. Nada suaranya terdengar mengandung kekecewaan.

“Kau kecewa karena aku hendak menemui si Jari Maut, sedangkan aku melarang Cempaka dan Danupaksi ke sana...?” Rangga langsung bisa menebak.

Pandan Wangi hanya diam saja. Tatapan matanya tetap tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Dengar, Pandan Wangi. Aku ke sana hanya untuk mencari kebenaran saja. Kalaupun ternyata dia tidak melakukan, aku tidak akan memperpanjang,” jelas Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis ini.

Pandan Wangi masih diam saja.

“Aku tidak ingin terjadi salah paham, Pandan,” kata Rangga lagi.

“Salah paham apa?” tanya Pandan Wangi tidak mengerti.

“Kalau tidak ke sana lebih dulu, aku khawatir Danupaksi atau Cempaka yang ke sana. Dan aku tidak menginginkan terjadi kesalahpahaman di antara mereka dengan si Jari Maut. Aku akan menjelaskan keadaan yang sebenarnya nanti. Agar kalau Danupaksi atau Cempaka ke sana, si Jari Maut tidak tersinggung dan tidak terjadi kesalahpahaman. Kau mengerti, Pandan?” jelas Rangga panjang lebar.

Pandan Wangi masih tetap diam beberapa saat Kemudian....

“Aku mengerti, Kakang. Maaf,” ucap Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, lalu memutar kudanya kembali. Mereka kemudian memacu cepat kudanya lagi. Kali ini tidak ada keraguan lagi di hati Pandan Wangi. Bahkan di dalam hati memuji tindakan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu bijaksana. Dia mampu berpikir jauh, dengan segala akibat yang bisa terjadi tanpa diduga.

Kedua pendekar muda itu terus memacu kuda, menembus hutan yang tidak terlalu lebat. Dari Istana Karang Setra ke Lembah Kunir, memang hanya memerlukan waktu setengah hari perjalanan berkuda. Dan di saat matahari sudah condong ke arah Barat, mereka baru sampai di tepi lembah yang memiliki pemandangan indah ini. Sudah tiga kali Pandan Wangi ke lembah ini. Dan gadis itu selalu berdecak kagum memandangi keindahan alamnya.

Mereka memperlambat laju kudanya saat memasuki lembah ini. Sebuah pondok kecil terlihat berada di tengah-tengah lembah. Beberapa pohon besar seakan-akan melindungi pondok itu. Juga, batu-batu besar berserakan di sekitarnya. Kedua pendekar muda itu berhenti setelah dekat dengan pondok kecil ini.

“Hup!”

Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Pandan Wangi cepat mengikuti. Kakinya melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti, lalu berdiri di sampingnya. Sebentar mereka memandangi pondok kecil yang kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat. Dan baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak saja....

Slap!

“Awas...!” seru Rangga.

Dari atas sebatang pohon, meluncur bayangan merah begitu cepat ke arah Pandan Wangi. Begitu cepatnya, sehingga gadis itu sempat terhenyak. Tapi, tubuhnya cepat melenting berputar ke belakang. Bayangan merah itu lewat sedikit dari tubuh si Kipas Maut

“Hiyaaa...!”

Pandan Wangi bergegas melompat kembali mendekati Rangga. Pada saat itu, dari balik pepohonan dan bebatuan berlompatan tubuh-tubuh berbaju merah. Seluruh kepala mereka terselubung kain merah, dan hanya dua lubang kecil yang membuat bola mata mereka terlihat. Sebentar saja, sepuluh orang berbaju merah sudah mengepung kedua pendekar muda itu.

“Siapa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi setengah berbisik.

“Aku tidak tahu,” sahut Rangga. “Berhati-hatilah....”

Sepuluh orang berbaju serba merah itu semuanya memegang tongkat kayu berwarna kecoklatan. Mereka bergerak perlahan-lahan memutari kedua pendekar muda itu. Tongkat di tangan mereka bergerak berputar perlahan. Dan secara bersamaan, mereka berhenti bergerak. Lalu, secara bersamaan pula mereka mengebutkan tongkatnya hingga tertuju lurus ke depan, seperti menuding kedua pendekar itu.

Seperti ada yang memberi aba-aba, tiba-tiba saja mereka berlompatan cepat sambil mengebutkan tongkat secara bersamaan ke arah kedua pendekar muda itu.

“Hiyaaat..!”
“Hup!”
“Yeaaah...!”

Rangga dan Pandan Wangi cepat melesat ke udara, menghindari hunjaman sepuluh tongkat yang datang bersamaan. Mereka berputaran beberapa kali di udara, lalu cepat mendarat kembali di tanah. Pada saat itu, sepuluh orang berbaju merah membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerang Rangga, dan satu kelompok lagi langsung menyerang Pandan Wangi.

“Hait..!”

Rangga cepat menarik tubuh ke belakang, ketika satu tongkat kayu meluruk deras dari arah samping. Saat tongkat itu tepat di depan dada, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan tangan kanan. Langsung disabetnya tongkat di depan dadanya itu.

Tak!

“Uts!'

Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang, setelah berhasil menghalau tongkat itu dari depan dada. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi satu serangan dari arah kanan. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Seketika ujung-ujung tongkat berhamburan di sekitar tubuhnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Rangga cepat melentingkan tubuh sambil menghentakkan kedua tangannya ke samping. Lima tongkat yang menghujani tubuhnya, tersampok tangan Pendekar Rajawali Sakti sehingga berpentalan di udara. Cepat cepat Rangga melesat ke atas. Seketika dengan cepat disambarnya tongkat-tongkat itu. Begitu mendarat kembali di tanah, lima batang tongkat kayu sudah berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

DUA

Lima orang berbaju merah yang tadi menyerang Rangga, secara bersamaan berlompatan menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdiri berjajar sambil melipat tangan di depan dada. Rangga jadi tercenung, karena tak ada seorang pun yang bergerak lagi memberi serangan. Bahkan malah memperhatikan pertarungan antara Pandan Wangi dan lima orang lain yang juga mengenakan baju merah dan bersenjatakan tongkat kayu.

Tampaknya Pandan Wangi juga menguasai pertarungan. Satu persatu lawan-lawannya dibuat jatuh bangun. Seketika tongkat-tongkat mereka berpentalan, saat gadis itu bergerak cepat sambil mengebutkan cepat kipas baja putihnya. Begitu senjatanya terlepas dari tangan, cepat sekali kelima orang berbaju merah itu berlompatan mundur. Lalu mereka bergabung bersama lima orang lainnya. Sepuluh orang berbaju merah menyala itu kini berdiri berjajar dengan tangan terlipat di depan dada. Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga.

Plok, plok, plok...!

Rangga dan Pandan Wangi bersamaan berpaling saat terdengar tepukan tangan. Di ambang pintu pondok yang kini terbuka lebar, tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan baju merah ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.

“Jari Maut..,” desis Pandan Wangi langsung mengenali laki-laki setengah baya berbaju merah itu.

Slap!

Ringan sekali si Jari Maut melompat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar dua langkah di depan Rangga. Tubuhnya membungkuk sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Penghormatan itu dibalas Rangga dengan membungkukkan tubuhnya juga.

“Maaf. Penyambutanku mungkin kurang berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti,” ucap si Jari Maut ramah.

“Sambutan yang mengesankan,” sahut Rangga seraya melirik sepuluh orang berbaju merah.

“Kalian cepat beri hormat pada tamuku!” perintah si Jari Maut

Sepuluh orang berbaju merah itu cepat merapatkan telapak tangan di depan dada, lalu membungkuk memberi hormat pada kedua pendekar muda itu. Rangga dan Pandan Wangi membalas dengan membungkukkan tubuh juga.

Setelah kembali tegak, sepuluh orang berbaju merah itu melepaskan penutup kepala. Maka kini tampaklah wajah-wajah yang muda dan belia. Mereka ternyata gadis-gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Tak satu pun di antara mereka yang laki-laki.

“Mereka murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” si Jari Maut memberi tahu.

“Hebat! Satu pasukan prajurit terlatih pun tidak akan mampu menghadapi mereka,” puji Rangga.

“Ah! Kau terlalu memuji, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka masih perlu bimbingan lebih lama lagi. Masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Kau bisa lihat sendiri. Hanya beberapa gebrakan saja, mereka sudah kau buat tidak berdaya,” Jari Maut merendahkan diri.

“Tapi aku kagum. Mereka benar-benar tangkas dan sangat berbakat,” lagi-lagi Rangga memuji.

“Terima kasih,” ucap si Jari Maut seraya menjura. Rangga membalas dengan membungkukkan tubuh sedikit

“Kau datang ke sini, tentu ada maksud tertentu,” tebak si Jari Maut tidak ingin Rangga meneruskan pujian pada murid-muridnya.

“Benar. Sesuatu yang sangat penting,” sahut Rangga.

“Kalau begitu, sebaiknya bicara di dalam saja. Mari...,” ajak si Jari Maut

Rangga melangkah mengikuti laki-laki setengah baya yang sudah berjalan lebih dulu. Sementara Pandan Wangi mengikuti di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan sepuluh orang murid si Jari Maut, bergegas meninggalkan tempat itu. Mereka menuju bagian belakang pondok kecil ini.

Sementara Rangga dan Pandan Wangi, serta si Jari Maut sudah berada di dalam pondok. Mereka duduk di lantai yang beralaskan selembar permadani ber-corak bunga-bunga.

“Bisa dijelaskan sekarang, keperluan apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya si Jari Maut

“Kuharap kau tidak tersinggung setelah aku menyampaikannya. Masalahnya ini menyangkut nama baikmu selama ini, yang telah kau jaga dengan baik,” kata Rangga memulai.

“Nama baikku...? Apakah persoalan yang kau bawa ada sangkut pautnya dengan diriku?” tanya si Jari Maut, tidak mengerti.

“Aku sendiri tidak yakin. Tapi tampaknya memang demikian,” sahut Rangga.

Si Jari Maut memandangi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi bergantian. Sedangkan yang dipandangi juga balas memandang. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam tanpa berkata-kata. Di benak si Jari Maut, timbul berbagai macam dugaan dan pertanyaan yang belum tentu kebenarannya. Sedangkan Rangga sendiri tampaknya sulit untuk mengemukakan. Pendekar Rajawali Sakti harus mengatakannya, tapi tidak ingin menyinggung perasaan laki-laki setengah baya berbaju merah ini.
Pendekar Rajawali Sakti
“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku harus mencari kebenarannya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku merasa hubungan baik kita selama ini bisa terancam,” kata Rangga setelah cukup lama terdiam.

“Hm.... Katakan saja, apa masalahnya, Pendekar Rajawali Sakti...?” pinta si Jari Maut tidak sabaran.

“Semalam, sesuatu telah terjadi di Istana Karang Setra. Dua orang prajurit yang bertugas di rumah tahanan, ditemukan tewas. Dan satu orang tahanan yang sedang menjalani masa hukuman telah hilang...,” Rangga berhenti sebentar, lalu menarik napas panjang.

“Teruskan,” pinta si Jari Maut

“Aku tidak akan ke sini jika kematian dua orang prajurit itu tidak memberi petunjuk untukku yang menyangkut dirimu, Jari Maut,” sambung Rangga.

“Petunjuk...? Apa maksudmu dengan petunjuk, Pendekar Rajawali Sakti?” Jari Maut meminta penjelasan.

“Kedua prajurit itu tewas dengan lubang di kening, antara kedua matanya. Lubang sebesar jari....”

Brak!

Jari Maut menggebrak meja di depannya hingga bergetar. Seketika saja wajahnya memerah seperti besi terbakar di dalam tungku perapian pandai besi. Gerahamnya bergemeletuk, dan bola matanya memerah berapi-api. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka memang sudah menduga, si Jari Maut pasti marah jika mendengar hal itu.

“Aku sudah berusaha untuk tidak berurusan lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku juga tidak sudi dituduh menculik tahanan Karang Setra!” agak tertahan nada suara si Jari Maut

“Jangan salah mengerti, Jari Maut. Aku hanya memberi tahu dan bukan bermaksud menuduh. Luka yang membuat kedua prajurit itu tewas memang sangat mirip dengan luka akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Tapi aku tidak langsung menuduhmu,” Rangga mencoba meredakan amarah laki-laki setengah baya ini.

“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya si Jari Maut.

“Mencari kebenaran,” sahut Rangga.

“Phuah...! Itu sama saja mencurigaiku, Pendekar Rajawali Sakti!” sentak si Jari Maut semakin menggeram marah.

“Kebenaran bukan berarti mencurigai atau menuduh. Aku percaya, bukan kau pelakunya,” Rangga masih mencoba tenang.

Sementara Pandan Wangi sudah mulai waspada. Meskipun gadis itu masih duduk di tempatnya, namun sudah meraba kipas baja putih yang terselip di sabuk pinggangnya. Sedangkan Rangga masih kelihatan tenang, walaupun orang yang dihadapinya seperti sudah tidak lagi bisa menahan amarah.

“Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah bersumpah untuk tidak lagi terjun dalam dunia persilatan. Bahkan sudah berjanji untuk membantu Karang Setra jika mendapat kesulitan. Mana mungkin aku bisa membunuh dua orang prajurit dan melarikan seorang tahanan...? Siapa tahanan itu?” masih terdengar sengit nada suara si Jari Maut Meskipun dari tekanannya, kemarahannya sudah dicoba untuk diredakan.

Si Jari Maut menyadari, siapa yang ada di depannya ini. Seorang pendekar muda dan digdaya yang pernah menaklukkannya di Desa Malimping. Di samping itu, dia juga seorang raja yang menguasai seluruh wilayah Karang Setra. Dan Lembah Kunir ini juga termasuk kekuasaan Karang Setra.

“Tahanan itu bernama Sangkala. Dia murid mendiang Pendeta Pohaji. Kau pasti sudah mendengar peristiwanya, kenapa dia sampai mendapat hukuman,” sahut Rangga.

Si Jari Maut terdiam. Dia memang tahu, siapa Sangkala itu. Dan kenapa dia bisa berada di dalam tahanan Karang Setra. Seluruh peristiwanya memang sudah diketahuinya meskipun dia tidak terlibat langsung di dalamnya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisahJaringan Hitam)

“Phuhhh...!” Jari Maut menghembuskan napas kuat-kuat

Wajah yang semula memerah, kini perlahan memudar. Beberapa kali si Jari Maut menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu dirayapinya wajah Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

“Maaf, aku...,” ucap Jari Maut terputus.

“Sudahlah.... Aku bisa mengerti, Jari Maut,” desah Rangga seraya tersenyum.

“Sudah hampir malam. Sebaiknya kalian menginap saja di sini. Besok, baru kalian bisa melanjutkan perjalanan,” kata Jari Maut

“Terima kasih,” ucap Rangga.

********************

Malam sudah cukup larut Tapi Rangga belum juga dapat memejamkan matanya. Sebentar tubuhnya dimiringkan ke kanan. Lalu, dimiringkan lagi ke kiri. Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gelisah sekali malam ini. Perlahan dia bangkit turun dari pembaringan.

Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan mendekati jendela. Lalu membuka daun jendela lebar-lebar, sehingga angin yang dingin malam ini menerobos masuk ke dalam kamarnya. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat, dan menghilang di balik sebatang pohon yang cukup besar. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga cepat melompat ke luar.

“Hup!”

Begitu kakinya menjejak tanah, kembali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke pohon besar tempat bayangan merah tadi lenyap. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di balik pohon, tapi tidak menemukan sesuatu di sini. Hanya kegelapan saja yang dijumpainya. Sebentar pendengarannya ditajamkan sambil mengedarkan pandangan berkeliling.

Sing!

“Uts...!”

Hampir saja sebuah benda yang meluncur dari belakang, menghantam tubuhnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tubuhnya ke kanan. Maka benda berwarna merah itu menghantam batang pohon yang cukup besar. Sedikit tangan Rangga melirik ke arah benda berbentuk mata anak panah itu, kemudian cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat dari dalam sebuah semak yang cukup jauh dari tempat ini.

“Hup! Yeaaah...!”

Bergegas Rangga melompat mengejar bayangan merah itu. Lesatannya sungguh ringan dan cepat, karena ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tahap kesempurnaan dikerahkan. Namun, begitu hampir saja menyusul, mendadak saja bayangan merah itu berbalik, Dan....

Bet!

Wusss...!

“Uts!”

Rangga cepat mengegoskan tubuh ke kanan, ketika tiba-tiba saja tangan orang berbaju serba merah itu berkelebat cepat. Seketika sebuah benda merah berbentuk mata panah meluncur deras, hampir menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi Rangga menarik tubuhnya, tahu-tahu bayangan merah itu sudah melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga dalam kuat cepat sekali dilepaskannya.

“Yeaaah...!”

“Hait..!”

Rangga cepat melentingkan tubuhnya, lalu berputar ke belakang menghindari serangan orang berbaju merah itu. Dan selagi Pendekar Rajawali Sakti berputaran ke belakang, orang berbaju serba merah itu melesat ke udara. Lalu, kakinya hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi. Kembali tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan.

“Sial!” rungut Rangga.

Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti kehilangan bayangan merah itu. Maka dia cepat melesat ke atas, dan hinggap di cabang pohon yang tinggi. Pandangannya beredar tajam, merayapi sekelilingnya yang diselimuti kegelapan dan kabut cukup tebal.

“Hm.... Siapa dia?” Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Semalaman Rangga mengelilingi Lembah Kunir, mencari orang berbaju merah yang membuat dirinya terus bertanya-tanya sendiri. Tapi hingga matahari timbul, tidak juga ditemukan tanda-tanda orang aneh itu. Rangga kembali ke pondok kecil, tempat tinggal si Jari Maut. Di depan pintu, laki-laki setengah baya berbaju serba merah itu seperti sudah menunggu.

“Kau tidak tidur semalam, Pendekar Rajawali Sakti?” si Jari Maut langsung menegur begitu Rangga berada dekat di depannya.

Rangga tidak segera menjawab. Dipandanginya laki-laki setengah baya itu sebentar, kemudian tubuhnya dihempaskan di kursi panjang dari bambu yang berada di samping pintu pondok ini. Orang yang ditemuinya semalam, mengenakan baju merah juga. Tapi sayangnya, Rangga tidak bisa mengenali wajah orang itu. Karena, seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain merah. Persis seperti yang dikenakan murid-murid si Jari Maut

“Aku tidak melihat murid-muridmu. Ke mana mereka?” tanya Rangga, agak memancing nada suaranya.

“Setiap pagi mereka harus melatih tenaga dalam di tepi sungai,” sahut si Jari Maut. “Baru tengah hari nanti mereka kembali. Ada apa kau tanyakan mereka?”

“Semalam aku melihat seseorang menyelinap ke sini. Dia berpakaian persis dengan murid-muridmu,” jelas Rangga seraya menatap agak tajam pada si Jari Maut.

“Kuharap kau tidak sedang bergurau, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Jari Maut tidak percaya. “Selama aku tinggal di sini, tak pernah ada seorang pun yang berani menyelinap. Sepanjang malam murid-muridku bergiliran berjaga.”

“Kau membekali mereka dengan senjata rahasia, Jari Maut?” tanya Rangga lagi.

“Aku tidak pernah mengajarkan mereka meng-gunakan senjata rahasia apa pun juga. Mereka selalu kuajarkan untuk menghadapi segala sesuatu secara jantan,” tegas Jari Maut

Rangga bangkit berdiri, tepat saat Pandan Wangi muncul dari dalam pondok ini. Gadis itu menghampiri Rangga, dan memandangi kedua laki-laki itu dengan kening agak berkerut. Dia merasakan ada sedikit ketegangan di antara mereka.

“Aku mohon maaf. Mungkin kedatangan kami dalam suasana yang tidak tepat,” ucap Rangga. “Oh, ya. Berapa jumlah muridmu?”

“Sepuluh. Kenapa hal itu kau tanyakan?”

“Hanya ingin tahu saja.”

“Kuharap kau tidak membuka pertentangan di antara kita, Pendekar Rajawali Sakti,” sambut Jari Maut, agak dingin nada suaranya.

“Kami mohon diri, dan terima kasih atas semua layanan yang kau berikan,” ucap Rangga berpamitan.

Sengaja Rangga cepat-cepat berpamitan sebelum darah di dalam tubuh si Jari Maut kembali mendidih. Kata-kata si Jari Maut yang terakhir sudah menunjukkan ketidaksenangannya, karena Pendekar Rajawali Sakti terlalu banyak bertanya. Terlebih lagi jika masalah pribadinya dikorek. Dan Rangga sendiri tidak ingin hubungan mereka yang sudah berjalan baik, hancur karena persoalan yang belum jelas ini.

Jari Maut mengantarkan sampai di tempat kuda kedua pendekar muda itu ditambatkan. Tanpa berbicara lagi, Rangga mengajak Pandan Wangi pergi dari lembah ini. Jari Maut terus memandangi kedua pendekar muda itu sampai keluar dari lembah.

Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan Lembah Kunir. Dan pada suatu tempat yang tidak begitu rapat dirumbuhi pepohonan, Rangga menghentikan kudanya. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan manis sekali. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Gadis itu berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti yang tengah memandang ke arah lembah. Dari tempat yang cukup tinggi ini, mereka bisa leluasa memandang ke Lembah Kunir. Seluruh lembah itu bisa terlihat jelas.

“Ada apa, Kakang? Kenapa berhenti?” tanya Pandan Wangi.

“Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan si Jari Maut,” sahut Rangga perlahan setengah bergumam.

“Maksudmu?” Pandan Wangi tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Sikapnya...,” sahut Rangga terputus.

“Aku tidak melihat ada yang aneh. Dia memang mudah sekali marah, dan cepat tersinggung. Tapi, kulihat dia tetap menghormati kita, Kakang. Bahkan juga berjanji akan membantu mencari Sangkala,” sergah Pandan Wangi mengemukakan penilaiannya pada si Jari Maut.

“Mudah-mudahan penilaianmu benar, Pandan,” desah Rangga perlahan.

Pandan Wangi memandangi wajah tampan di sampingnya. Dia tahu kalau saat ini Rangga tengah memikirkan sesuatu. Kata-katanya tadi hanya dimaksudkan untuk menyenangkan hati gadis ini saja. Dan itu bisa dirasakan Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri masih terus memandang ke arah lembah di depan sana, seperti ada sesuatu yang menarik dalam penilaiannya.

“Bagaimana tidurmu semalam, Pandan?” tanya Rangga tiba-tiba seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.

“Nyenyak,” sahut Pandan Wangi.

“Kau tidak merasakan atau mendengar sesuatu?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Rangga dalam-dalam. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan semua pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Apalagi, sikap Rangga seperti mencurigai si Jari Maut. Sedangkan dia tidak melihat kejanggalan pada diri laki-laki setengah baya itu.

“Kenapa kau masih mencurigainya, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Sikapnya begitu mencurigakan. Dan sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh diketahui. Terus terang, aku juga tidak yakin kalau hanya ada sepuluh orang muridnya saat ini. Dia pasti juga mengajarkan cara-cara menggunakan senjata rahasia pada murid-muridnya,” nada suara Rangga terdengar mantap.

“Kenapa kau beranggapan seperti itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.

“Apa kau tidak mendengar pembicaraanku dengan si Jari Maut?” Rangga malah balik bertanya.

“Dengar,” sahut Pandan Wangi.

“Seharusnya kau sudah bisa memahaminya, Pandan. Semalam aku melihat seseorang menyelinap. Aku sempat mengejarnya, sehingga sedikit terjadi pertarungan. Tapi dia berhasil lolos setelah melemparkan senjata rahasia padaku. Kau lihat ini...,” Rangga memperlihatkan sebuah senjata rahasia berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan.

Pandan Wangi mengambil benda itu dari tangan Rangga. Diamatinya benda itu beberapa saat, lalu ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Diserahkannya benda itu kembali pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya Rangga meminta pendapat si Kipas Maut ini.

“Aku masih tidak yakin kalau si Jari Maut bisa menggunakan senjata rahasia. Tapi...,” ucapan Pandan Wangi terputus.

“Tapi kenapa, Pandan?”

“Yang kutahu, hanya satu orang saja yang ahli dalam senjata rahasia di Karang Setra ini, Kakang.”

“Siapa?”

“Nenek Jamping,” sahut Pandan Wangi

“Nenek Jamping..?!” Rangga tertegun.

“Orang yang terdekat dengan Mintarsih”

TIGA

“Mustahil...!” desis Rangga tidak percaya.

Mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa percaya kalau Nenek Jamping bisa melakukan semua ini. Sedangkan semua orang tahu, perempuan tua itu sudah tewas. Tapi Rangga tidak menyangkal kalau kemungkinan memang Mintarsih yang melakukan semua ini. Hal ini juga pernah dilontarkan Danupaksi padanya.

Terlebih lagi, tahanan yang hilang hanya Sangkala. Seorang pemuda yang mempunyai hubungan dengan Mintarsih, sehingga mengakibatkan Pendeta Pohaji tewas di tangan wanita itu. Sedangkan Sangkala sendiri mencoba membunuh Rangga, karena termakan hasutan Mintarsih. Katanya orang tua Sangkala tewas di tangan Rangga.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa mungkin Mintarsih kini menjalin hubungan dengan si Jari Maut? Pertanyaan seperti ini tiba-tiba saja muncul di benak Rangga. Memang sukar untuk bisa memastikan, karena semuanya masih terselimut kegelapan.

“Sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah bentrok melawan Nenek Jamping. Waktu itu aku tidak mengenal Mintarsih. Dalam pertarungan itu, Nenek Jamping sangat pandai menggunakan senjata rahasia. Aku berhasil lolos karena ditolong seorang laki-laki tua yang kusebut kakek. Kau pasti kenal dengannya, Kakang,” jelas Pandan Wangi mengingat masa lalunya.

“Kau tidak pernah cerita tentang hal itu, Pandan,” sergah Rangga.

Tentu saja Rangga kenal laki-laki tua yang dimaksudkan Pandan Wangi. Mereka memang bertemu ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Tapi, dia tidak pernah tahu kalau Pandan Wangi pernah bentrok dengan perempuan tua yang bernama Nenek Jamping, sekaligus orang terdekat dengan Mintarsih. Ketika membatu Mintarsih pun, Rangga tidak melihat kalau Nenek Jamping menggunakan senjata rahasia. Atau, memang pada waktu itu tidak sempat menggunakannya? Waktu itu, pertarungan antara Rangga dan Nenek Jamping memang berlangsung dalam jarak yang begitu dekat. Jadi, rasanya terlalu sulit untuk melepaskan senjata rahasia.

“Bagaimana bentuk senjatanya, Pandan?” tanya Rangga ingin tahu.

“Terlalu banyak bentuknya. Dan aku tidak bisa memastikan satu persatu, Kakang. Dia bisa menggunakan apa saja untuk dijadikan senjata rahasia. Bahkan sehelai rumput pun bisa dijadikan senjata rahasia yang mematikan,” sahut Pandan Wangi

“Apa mungkin Mintarsih bisa menggunakan senjata rahasia?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri

“Kemungkinan itu selalu ada, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

Rangga kembali terdiam. Rasanya memang semakin sulit mencari hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainya. Memang, ada kemungkinan Mintarsih juga mahir menggunakan senjata rahasia. Tapi apa mungkin juga menguasai jurus 'Sepuluh Jari Maut'? Sedangkan dua prajurit penjaga tewas dengan kening berlubang sebesar jari. Dan luka itu sudah jelas akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Sementara, yang memiliki jurus itu hanyalah si Jari Maut

“Pandan, apa mungkin si Jari Maut dan Mintarsih memiliki hubungan?” tanya Rangga, agak ragu-ragu nada suaranya.

“Terlalu dini untuk bisa memastikannya, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

Lagi-lagi Rangga terdiam.

“Kakang, apa tidak sebaiknya kita pergi ke tempat tinggal Nenek Jamping...?” saran Pandan Wangi.

“Ke puncak Gunung Batur Gamping?”

“Bukan ke sana, Kakang. Nenek itu mempunyai tempat tinggal yang baru setelah turun dari pertapaannya,” jelas Pandan Wangi.

“Di mana?”

“Tidak jauh dari Desa Wadas Putih.”

“Desa Wadas Putih...? Untuk apa ke sana?” tanya Rangga.

“Barangkali saja Mintarsih ada di sana, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

“Tapi membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari sini, Pandan,” gumam Rangga.

“Memang, kalau hanya menunggang kuda.”

“Maksudmu...?”

“Kau punya tunggangan yang lebih cepat, bukan?”

Rangga tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Dia tahu betul maksud Pandan Wangi ini. Untuk mencapai Desa Wadas Putih dengan waktu singkat tidak ada cara lain lagi, kecuali menunggang Rajawali Putih.

“Kau sudah bersumpah untuk tidak lagi menunggang Rajawali Putih, Pandan. Apa kau sanggup melanggar sumpahmu?” ujar Rangga mengingatkan akan sumpah Pandan Wangi.

“Sebelumnya pun aku sudah pernah melanggarnya, Kakang.”

“Kau tidak takut lagi?”

“Kenapa harus takut? Toh, Rajawali Putih tidak mungkin menjatuhkan aku dari atas awan.”

“Baiklah. Aku akan memanggil Rajawali Putih, dan kita pergi ke Desa Wadas Putih.”

“Lebih cepat, lebih baik, Kakang. Mumpung belum terlalu siang.”

Rangga hanya tersenyum saja.

********************

Tidak sampai setengah hari, Rangga dan Pandan Wangi sudah berada di pinggiran Desa Wadas Putih. Mereka diturunkan Rajawali Putih di tempat sepi, dan cukup jauh dari pemukiman. Setelah berpesan pada Rajawali Putih untuk menunggu, kemudian Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke tempat tinggal Nenek Jamping yang berjarak tidak jauh lagi.

“Kapan kau terakhir ke tempat ini, Pandan?” tanya Rangga tetap cepat mengayunkan kakinya.

“Aku lupa. Tapi cukup lama juga tidak pernah ke sini lagi,” sahut Pandan Wangi.

“Ada perubahan yang kau lihat?”

“Tidak terlalu banyak. Aku masih ingat letak rumahnya, kok.”

Mereka terus berjalan cepat tanpa bicara lagi. Sengaja mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh, agar lebih cepat sampai. Dan jalan yang dipilih Pandan Wangi memang sepi. Tak seorang pun yang dijumpai, sampai mereka tiba di depan sebuah rumah kecil berdinding bilik dan beratapkan daun rumbia. Sekitar rumah itu terlihat kotor dan tidak terawat

Sebentar mereka berhenti dan merayapi sekitarnya, kemudian berjalan perlahan-lahan mendekati rumah kecil itu. Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi! Bahkan binatang kecil pun tidak dijumpai. Begitu tinggal dua batang tombak lagi mereka sampai ke rumah kecil itu, tiba-tiba saja dari bagian belakang rumah itu berlari seseorang dengan cepat.

“Hei...!” seru Rangga mencoba memanggil.

Tapi orang itu terus saja berlari seperti ketakutan. Maka Rangga cepat melompat mengejar. Dua kali dia berlompatan, sehingga melewati kepala orang itu. Dan kini, tahu-tahu Rangga sudah berdiri di depannya. Orang itu terkejut, dan langsung menghentikan larinya. Dia cepat berbalik. Tapi sebelum kakinya bergerak untuk lari, wajahnya langsung memucat melihat Pandan Wangi sudah berdiri menghadang.

“Oh! Ampuuun..., jangan bunuh aku...,” rintih orang itu seraya menjatuhkan diri berlutut

“Siapa kau, Kisanak?” tanya Pandan Wangi, dingin nada suaranya.

“Aku..., aku Koler,” sahut laki-laki muda bertubuh kurus itu. Suaranya terdengar tergagap ketakutan.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dipandanginya bungkusan kain lusuh yang berada di dalam pelukan laki-laki bertubuh kurus kering ini. Saat itu Rangga sudah menghampiri dan berdiri di samping Pandan Wangi. Sebentar mereka saling ber-pandangan. Sedangkan laki-laki kurus yang tidak mengenakan baju ini, masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk dan tubuh terbungkuk hampir menyentuh tanah.

“Bungkusan apa itu?” tanya Rangga.

“Oh! Ini.., ini..,” suara Koler terputus-putus.

“Aku tanya, bungkusan apa itu?!” Rangga mengulangi dengan tegas.

“Aku mohon, jangan dirampas. Bungkusan ini hanya berisi ramuan obat-obatan,” nada suara Koler terdengar bergetar.

“Ramuan obat-obatan? Untuk siapa?” desak Rangga.

“Untuk seseorang, Tuan.”

“Iya, aku tahu untuk seseorang! Masa' untuk binatang!” dengus Pandan Wangi jadi kesal “Aku tanya, siapa yang membutuhkan obat-obatan itu...?!”

“Aku..., aku tidak tahu namanya. Aku dibayar untuk mengambil bungkusan ini dari rumah itu.”

“Laki-laki atau perempuan?” kejar Pandan Wangi.

“Perempuan.”

“Di mana dia menunggumu?” tanya Pandan Wangi terus mengejar.

“Oh...?!” Koler nampak terkejut mendengar pertanyaan Pandan Wangi.

Laki-laki berusia muda dan bertubuh kurus tanpa baju itu terdongak menatap Pandan Wangi, lalu beralih menatap Rangga. Tubuhnya nampak menggetar seperti menahan takut. Sedangkan tatapan Pandan Wangi begitu tajam menusuk.

“Kau boleh pergi,” kata Rangga tiba-tiba.

“Oh, terima kasih...,” ucap Koler langsung berseri-seri wajahnya.

Laki-laki kurus itu bergegas bangkit, lalu berlari cepat meninggalkan kedua pendekar muda itu. Didekapnya bungkusan kainnya, seakan-akan takut terjatuh.

“Kenapa kau membiarkannya pergi, Kakang?” dengus Pandan Wangi tidak mengerti atas sikap Rangga.

“Kau tidak akan bisa mendesaknya, Pandan,” kata Rangga kalem.

Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak mengalihkan pandangannya, dan terus memperhatikan Koler yang semakin jauh berlari. Sedangkan Pandan Wangi masih tidak puas atas tindakan Rangga yang membiarkan laki-laki kurus tadi pergi begitu saja.

“Ayo kita pergi, Pandan,” ajak Rangga.

“Ke mana?” tanya Pandan Wangi. “Kita belum memeriksa ke dalam pondok itu.”

“Tidak perlu.”

“Heh...?! Bukankah tujuan kita ke sini untuk..?”

Pandan Wangi tidak sempat lagi meneruskan, karena Rangga sudah melangkah cepat meninggalkannya. Terpaksa gadis itu bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau akan tahu, siapa yang menyuruh orang itu tadi,” kata Rangga tanpa menghentikan langkahnya.

“Jadi..., kau melepaskannya hanya untuk...,” Pandan Wangi tidak meneruskan.

Rangga tidak menyahuti, dan terus melangkah cepat. Matanya terus tertuju pada laki-laki kurus yang berjalan cepat, cukup jauh di depannya. Dan Pandan Wangi sendiri tidak lagi banyak tanya. Gadis itu sudah bisa mengerti rencana Rangga yang sebenarnya.

********************

Sampai di depan sebuah gubuk kecil di tengah-tengah kebun kelapa, laki-laki bertubuh kurus tanpa baju itu berhenti melangkah. Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar. Lalu, dia bergegas masuk ke dalam gubuk kecil yang kumuh itu. Ternyata di dalam sudah menunggu seorang wanita cantik mengenakan baju biru. Dia duduk di dipan bambu yang hanya beralaskan sehelai tikar lusuh.

“Kau sudah kembali, Koler...?” suara wanita cantik itu terdengar pelan.

“Sudah, Nini,” sahut Koler seraya menghampiri.

“Tidak ada yang mengikutimu, Koler?” tanya wanita berbaju biru itu lagi.

“Tidak, tapi....”

“Tapi kenapa?”

“Aku bertemu dua orang yang mencurigakan, Nini.”

“Siapa?”

“Aku tidak tahu. Mereka laki-laki dan perempuan, dan sepertinya orang-orang persilatan. Mereka menahanku sebentar, lalu melepaskanku kembali, Nini.”

“Hm, sudahlah. Mana ramuan obat yang kupesan?”

“Ini...”

Laki-laki kurus itu duduk di samping kanan wanita berbaju biru. Diserahkannya bungkusan kain yang sejak tadi dipeluk erat-erat. Wanita cantik berbaju biru itu segera menerima. Tapi belum juga sempat membuka bungkusan kain itu, mendadak saja pintu gubuk ini terbuka sendiri dari luar. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi menerobos masuk

Koler dan wanita cantik berbaju biru itu terkejut setengah mati. Bahkan Rangga dan Pandan Wangi juga terkejut begitu berada di dalam gubuk kecil yang kumuh ini. Tidak disangka kalau di dalam gubuk ini ada seorang wanita cantik yang sudah mereka kenal. Wanita yang tak lain adalah Mintarsih.

“Akhirnya kutemukan juga kau, Mintarsih,” desis Pandan Wangi dingin.

“Mau apa kalian ke sini?!” bentak Mintarsih seraya bangkit berdiri.

Koler bergegas berdiri juga, dan langsung berlindung di belakang Mintarsih. Sedangkan wanita cantik berbaju biru itu sudah meraba ujung sabuknya yang berwarna kuning keemasan. Sorot matanya begitu tajam, penuh kebencian pada Rangga dan Pandan Wangi.

“Di mana kau sembunyikan Sangkala, Mintarsih?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Dia ada di penjara Karang Setra!” dengus Mintarsih ketus.

“Kau sudah menculiknya dan membunuh dua orang prajurit penjaga! Sekarang, di mana kau sembunyikan Sangkala...?!” bentak Pandan Wangi jadi gusar.

“Aku menculik Sangkala...? Ha ha ha...!” Mintarsih jadi tertawa terbahak-bahak mendengar tuduhan Pandan Wangi yang begitu langsung, tanpa tedeng aling-aling lagi.

“Aku tidak ada waktu main-main denganmu, Mintarsih!” sentak Pandan Wangi berang.

“Main-main? Heh...?! Aku malah senang mendengar Sangkala bisa bebas. Bahkan telah membunuh dua orang prajurit. Hebat..! Dan kau benar-benar kecolongan, Pendekar Rajawali Sakti,” terasa sinis nada suara Mintarsih.

“Mintarsih! Aku tahu, kau dalam keadaan terluka. Dan sebaiknya jangan menyulitkan dirimu sendiri,” tegas Rangga dengan suara tenang.

“Aku tidak menculik Sangkala. Dan aku tidak ada hubungan lagi dengannya. Jelas...?!” tegas Mintarsih.

“Bagaimana aku bisa percaya kata-katamu, Mintarsih?” tanya Rangga meminta kepastian.

“Tanyakan saja pada Koler. Di mana saja aku selama ini, dan apa pernah pergi ke Karang Setra atau tidak.”

“Be..., benar. Nini Mintarsih tidak pergi ke mana-mana. Setiap hari bersemadi, untuk menyembuhkan luka-lukanya di sini,” selak Koler, agak tergagap suaranya.

“Kau dengar itu, Pendekar Rajawali Sakti...?” Rangga dan Pandan Wangi diam saja. “Aku tahu, kalian tidak akan percaya. Baik.... Paksa aku...!”

Sret!

Mintarsih segera meloloskan sabuk emasnya.

Bet!

Sekali kebut saja, sabuk berwarna kuning ke emasan itu jadi menegang kaku. Dan kini sabuk itu telah membentuk sebilah pedang kuning keemasan. Kemudian kakinya melangkah ke depan satu tindak. Perlahan-lahan sabuk emas yang sudah berubah menjadi pedang itu diangkat, dan ditujukan lurus ke arah Pandan Wangi.

“Kau yang maju lebih dulu, Pandan Wangi,” desis Mintarsih dingin.

“Kau pikir aku takut, huh!” dengus Pandan Wangi.

Set!

Bet!

Begitu mencabut kipasnya, Pandan Wangi langsung mengebutkannya ke depan, tepat menghantam sabuk emas yang menegang kaku di tangan Mintarsih.

Trang!

“Tahan...!” sentak Rangga.

Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti tidak digubris sama sekali. Bagaikan kilat, kedua wanita yang sudah berhadapan itu melesat ke atas, menjebol atap gubuk dari rumbia ini.

Bres!

Rangga bergegas berlari keluar. Di depan gubuk kecil ini, tampak Mintarsih dan Pandan Wangi sudah terlibat pertarungan yang cukup sengit. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan. Tidak mudah bagi Rangga untuk menghentikan, karena pertarungan mereka berlangsung dalam jarak yang begitu rapat. Kalaupun dipaksakan, bisa berakibat parah bagi kedua wanita itu. Terpaksa Rangga hanya bisa jadi penonton saja.

Meskipun masih dalam keadaan terluka, Mintarsih masih cukup tangguh. Tidak mudah bagi Pandan Wangi untuk cepat-cepat mengakhiri pertarungan ini. Bahkan beberapa kali sabuk emas yang menegang kaku itu hampir membelah tubuhnya. Walau sudah dua pukulan bersarang di tubuhnya, Mintarsih seringkali membuat Pandan Wangi kerepotan menghalau serangan-serangannya.

“Mampus kau! Hih...!”

Dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba saja Pandan Wangi melenting ke atas. Dilewatinya kepala Mintarsih dengan tubuh berputar. Lalu cepat sekali gadis itu mengebutkan kipasnya, mengincar kepala Mintarsih.

Bet!

“Hait!”

Mintarsih cepat mengegoskan kepala ke samping. Langsung sabuk emasnya dikibaskan ke atas kepala. Tak dapat dihindari lagi, dua senjata maut itu beradu keras. Akibatnya, berpijaranlah bunga api yang memercik ke segala arah.

Trang!

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat sekali Pandan Wangi melenting, berputar sekali ke belakang Mintarsih. Lalu dengan kecepatan luar biasa, si Kipas Maut itu memberi satu pukulan dengan tangan kiri ke punggung. Serangan Pandan Wangi yang begitu cepat, tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam punggung Mintarsih.

Des!

“Akh...!” Mintarsih memekik keras.

Wanita berbaju biru itu terpental ke depan sejauh dua batang tombak, namun cepat berputar dua kali. Dengan manis kakinya kemudian menjejak tanah, walaupun agak terhuyung-huyung untuk mencoba menguasai keseimbangan tubuhnya. Tampak da rah menitik dari sudut bibirnya.

“Saatmu sudah tiba, Mintarsih...!” desis Pandan Wangi

“Tahan...!” seru Rangga tiba-tiba.

Pandan Wangi yang sudah bersiap hendak menyerang kembali, seketika berhenti begitu Rangga tahu-tahu melompat cepat dan berdiri di antara kedua wanita itu. Pandan Wangi mendengus melihat Rangga mencegah pertarungannya. Sedangkan Mintarsih hanya menatap penuh kebencian.

“Minggir, Kakang. Biar kubereskan perempuan setan ini!” dengus Pandan Wangi.

“Kendalikan dirimu, Pandan,” ujar Rangga mencoba meredakan amarah Pandan Wangi

“Dia sudah membuat keonaran di Karang Setra, dan sekarang menculik Sangkala. Perbuatannya tidak dapat diampuni lagi, Kakang,” masih bemada ketus suara Pandan Wangi.

“Belum ada bukti kalau dia yang menculik Sangkala, Pandan. Kau harus ingat tujuan kita ke sini. Hanya untuk mencari bukti dari kebenaran yang ada.”

“Huh!” dengus Pandan Wangi, kesal.

Memang sulit bagi Pandan Wangi jika harus berdebat kata-kata dengan Rangga. Selamanya tidak bisa menang! Meskipun diakui kata-kata yang diucapkan Rangga benar, tetap saja hatinya kesal. Sementara itu Rangga sudah menghampiri Mintarsih yang masih mencoba menguasai jalan napasnya dengan baik. Cukup banyak tenaga yang terkuras akibat pertarungannya tadi. Terlebih lagi, sekarang ini keadaan tubuhnya belum sembuh benar dari cedera akibat bertempur melawan Pendekar Rajawali Sakti.

“Mintarsih, aku tidak ingin menyulitkan dirimu. Dan sebaiknya, kau juga jangan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri,” kata Rangga. Suaranya tenang dan lembut.

“Kalau kau menginginkan Sangkala, dia tidak ada di sini!” dengus Mintarsih langsung memotong cepat

“Benar kau tidak membawa lari Sangkala dari penjara?” tanya Rangga ingin menegaskan.

"Untuk apa...? Dia tidak ada gunanya bagiku!” sahut Mintarsih.

Rangga memandangi bola mata wanita di depannya ini dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari kata-kata yang diucapkan Mintarsih barusan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengeluarkan sebuah benda berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan. Diperlihatkannya benda itu pada Mintarsih.

“Kau kenali benda ini, Mintarsih?” tanya Rangga.

“Salah satu dari senjata rahasia milik Nenek Jamping,” sahut Mintarsih. Dia memang mengenali betul benda di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Aku tahu, Nenek Jamping mahir menggunakan senjata rahasia seperti ini. Dan kaulah orang yang terdekat dengannya. Aku tidak ingin menuduh kalau kau yang menggunakan senjata ini, Mintarsih. Aku hanya ingin kau memberi tahu, siapa saja orang yang menggunakan senjata seperti ini selain Nenek Jamping,” desak Rangga, menyelidik

“Aku tidak tahu!” dengus Mintarsih ketus.

“Kedudukanmu saat ini cukup sulit, Mintarsih. Ada kemungkinan bukan hanya aku yang mencarimu. Tapi juga pendekar-pendekar dari Karang Setra berusaha mencarimu dan mendapatkan kembali Sangkala yang sampai saat ini masih menjalani masa hukuman. Jika kau bersedia membantuku, aku akan menjamin keselamatanmu. Dan kau bisa tenang menyembuhkan luka-lukamu,” bujuk Rangga.

Mintarsih hanya diam saja.

“Kau tidak akan terus selamanya bersembunyi Mintarsih. Jangan berharap bisa terlepas dari kejaran pendekar-pendekar Karang Setra. Kau harus mengingat kesehatan tubuhmu sekarang ini. Jika kau mau menerima tawaranku, tidak ada seorang pun yang akan mengganggumu lagi,” bujuk Rangga kembali.

“Apa jaminanmu?” tanya Mintarsih setelah berpikir dan mempertimbangkan tawaran Rangga cukup lama.

“Aku punya tempat, yang tak seorang pun bisa menemukanmu. Kecuali, aku dan Pandan Wangi. Dan sahabatku yang terpercaya akan selalu menjaga keselamatanmu. Kau tidak perlu khawatir. Sahabatku tidak akan kau ketahui, tapi akan menghalau siapa saja yang mencoba mendekatimu, sebelum kau ketahui sendiri,” kata Rangga memberi jaminan.

Mintarsih melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang dilirik seperti tidak tahu, dan malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Kembali Mintarsih menatap Rangga yang menunggu jawabannya. Cukup lama juga dia berpikir, mempertimbangkan tawaran Pendekar Rajawali Sakti.

Memang pada saat ini, dirinya membutuhkan tempat aman dan terbebas dari gangguan siapa pun untuk menyembuhkan luka-luka yang dideritanya. Apa yang dikatakan Rangga memang tidak bisa dibantah lagi. Sudah beberapa kali dia harus berhadapan dengan jago-jago Karang Setra, yang masih terus memburunya. Sehingga, dia terpaksa harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari mereka itu. Dan beberapa kali pula Mintarsih terpaksa harus bertempur, sehingga luka-lukanya semakin bertambah parah.

“Bagaimana, Mintarsih...?” tanya Rangga meminta jawaban yang pasti dari wanita itu.

“Baiklah, aku akan bekerjasama denganmu. Tapi tunjukkan dulu, di mana tempat yang kau janjikan,” kata Mintarsih menerima juga tawaran Rangga.

Saat ini Mintarsih memang tidak punya pilihan lain lagi. Jika tidak menerima, rasanya untuk menghadapi Pandan Wangi saja sudah tidak mampu lagi. Apalagi jika harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.... Tidak lebih dari lima jurus saja, pasti sudah tidak mampu bertahan lagi.

“Kau masih bisa berjalan selama dua hari?” tanya Rangga.

“Aku rasa masih bisa,” sahut Mintarsih.

“Aku bisa mengatakannya dalam perjalanan, atau setelah sampai di sana nanti,” kata Rangga.

EMPAT

Setelah mengantarkan Mintarsih, Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke Lembah Kunir lagi. Dua hari mereka terpaksa melupakan persoalan di Lembah Kunir. Sementara itu Mintarsih telah memberikan nama beberapa orang yang diketahui mahir menggunakan senjata rahasia. Saat nama si Jari Maut disebut, Rangga dan Pandan Wangi hampir tidak percaya. Tapi Mintarsih berani bersumpah kalau si Jari Maut pernah belajar mempergunakan senjata rahasia pada Nenek Jamping.

“Kau percaya apa yang dikatakannya, Kakang?” tanya Pandan Wangi selagi mereka berada di angkasa bersama Rajawali Putih.

“Kalaupun dia berbohong, paling tidak kita tahu di mana bisa menemukannya, Pandan,” sahut Rangga kalem.

“Kuharap kau tidak lagi mencegahku untuk memberi pelajaran padanya,” desis Pandan Wangi, masih kesal dengan wanita bernama Mintarsih itu.

Rangga hanya tersenyum saja.

“Kraaaghk...!” tiba-tiba Rajawali Putih berseru nyaring.

“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Rangga.

“Khraghk...!”

Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke bawah. Seketika Rangga menatap langsung ke bawah. Matanya sedikit disipitkan begitu melihat titik-titik merah bergerak cepat, berkelebatan di antara rimbunnya pepohonan di bawah sana. Pandan Wangi juga memperhatikan ke bawah. Tapi, kepalanya cepat ditarik karena tiba-tiba saja jadi terasa pening.

“Lebih mendekat lagi, Rajawali Putih...!” seru Rangga memberi perintah.

Rajawali Putih meluruk deras ke bawah, mengikuti perintah Rangga. Semakin dekat, Rangga bisa jelas melihat Titik-titik merah itu bergerak cepat, berkelebatan di antara pepohonan di bawahnya.

“Turun di depan sana, Rajawali Putih!” perintah Rangga lagi sambil menunjuk ke sebuah dataran tinggi yang cukup lapang.

“Khraaaghk...!”

Bagaikan kilat, Rajawali Putih meluruk deras ke arah yang ditunjuk Rangga. Manis sekali kakinya mendarat di tanah berumput hijau yang subur dan tebal bagai permaidani terhampar. Rangga dan Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa. Mereka bergegas berlari menuju ke tepi dari dataran yang cukup tinggi ini

“Mereka seperti murid-murid si Jari Maut, Kakang,” kata Pandan Wangi sambil memperhatikan titik-titik bayangan merah yang berkelebatan cepat di antara kerimbunan pepohonan.

Empat bayangan merah itu terus bergerak cepat menuju Selatan. Baik Rangga maupun Pandan Wangi tahu, mereka pasti menuju Lembah Kunir yang berada tidak seberapa jauh lagi dari tempat ini. Dan dari tempat yang tinggi ini, mereka bisa melihat Lembah Kunir yang memiliki pemandangan sangat indah.

Empat bayangan merah itu berhenti bergerak, lalu lenyap tak terlihat lagi. Pepohonan yang begitu lebat, memang bisa membuat tempat persembunyian yang cukup aman. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dan menunggu. Tapi setelah begitu lama ditunggu, bayangan merah itu tidak juga terlihat lagi.

“Aku akan melihat ke sana. Kau tunggu di sini, Pandan. Kalau terjadi sesuatu, cepat datang bersama Rajawali Putih,” pesan Rangga.

“Baik,” sahut Pandan Wangi.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara Pandan Wangi terus memperhatikan dari tempat yang cukup tinggi ini. Saat itu, Rangga sudah cukup jauh berlari. Pendekar Rajawali Sakti menyelusup, menembus rapatnya pepohonan. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat empat bayangan merah tadi menghilang. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak, mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang dijumpainya di tempat ini. Benar-benar sunyi, sampai-sampai tak sedikit pun terdengar suara.

“Hm..., aku tidak yakin kalau mereka bisa menghilang seperti hantu,” gumam Rangga agak mendesis.

Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Matanya terus dibuka lebar-lebar, dan telinganya ditajamkan. Setiap jengkal yang dilalui, diteliti dengan cermat. Diperiksanya setiap pohon dan semak belukar. Tapi tidak juga ditemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.

Tanpa mengenal putus asa, Rangga terus mencari. Hingga ketika tangannya menyibakkan segerumbul semak yang cukup tebal, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena semak ini menutupi sebuah mulut gua yang cukup besar. Cukup untuk dilewati dua ekor kuda sekaligus. Sebentar diamatinya keadaan di dalam gua yang cukup gelap ini. Kemudian kakinya terayun melangkah masuk. Rangga mempergunakan aji 'Tatar Netra', agar bisa melihat jelas meskipun dalam kegelapan yang pekat.

Hati-hati sekali Rangga mengayunkan kakinya, melangkah menyusuri lorong gua yang cukup panjang berliku dan gelap ini. Seluruh dinding dan atap gua terbuat dari batu hitam yang licin dan berlumut tebal. Lantainya pun terasa lembab, seolah-olah Rangga berjalan di atas permukaan lumpur sawah. Sudah tiga belokan dilalui Pendekar Rajawali Sakti, tapi lorong gua ini belum juga berakhir.

Sampai pada belokan yang ketujuh, Rangga baru menemui ujung lorong gua ini. Sejenak dia tertegun melihat ujung lorong gua ternyata tertutup sebuah pintu besi yang tebal dan tampak kokoh. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Tangannya terulur memeriksa pintu besi itu.

“Tidak ada kuncinya. Bagaimana aku bisa mem-bukanya?” gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri. Sebenarnya tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk mendobrak pintu besi ini. Tapi, dia tidak ingin merusak. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras, tiba-tiba saja pintu besi itu bergerak, memperdengarkan suara berderit yang amat berat. Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat begitu matanya melihat sebongkah batu besar yang cukup untuk melindungi dirinya.

Saat itu pintu besi terbuka lebar. Kini terlihat dua orang keluar dari balik pintu itu, disusul empat orang berpakaian serba merah. Yang membuat bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak, dua orang itu adalah Jari Maut dan seorang Panglima Perang Kerajaan Karang Setra. Rangga mengenali panglima itu. Dia biasa dipanggil, Panglima Durangga.

“Aku di sini tinggal menunggu isyarat darimu, Panglima Durangga,” ujar Jari Maut tanpa menghentikan ayunan kakinya.

Sementara Rangga di tempat persembunyian, terus mengamati sambil memasang telinga tajam-tajam. Pendekar Rajawali Sakti juga memindahkan jalan pernapasannya melalui perut, agar tidak terdengar oleh orang-orang itu.

“Aku sebenarnya cemas waktu mendengar Gusti Prabu dan Nini Pandan Wangi menemuimu di pondok Lembah Kunir,” kata Panglima Durangga.

“Tidak perlu khawatir. Semua sudah kuatasi dengan baik. Aku tidak mungkin dicurigainya. Lihat saja nanti, aku akan membuat dia bertarung mengadu nyawa melawan sahabatnya sendiri,” si Jari Maut mencoba meyakinkan.

“Aku percaya. Selama ini semuanya berjalan lancar,” sahut Panglima Durangga. “Oh, ya. Bagaimana dengan Sangkala? Apa dia sudah bisa diajak kerjasama?”

“Rasanya sulit, Panglima Durangga. Aku sendiri tidak yakin kalau dia bisa dipercaya untuk menghancurkan dari dalam. Hm.... Mengapa tidak kau saja yang melaksanakannya, Panglima?”

“Orang-orang di Karang Setra terlalu patuh dan setia, walaupun ada juga yang bisa kuajak kerjasama. Makanya, aku tidak bisa bergerak bebas. Sedikit saja melakukan sesuatu yang mencurigakan, bisa-bisa mereka langsung menutup ruang gerakku. Paling-paling, aku hanya bisa mengerahkan prajurit-prajuritku, jika saatnya sudah tiba,” jelas Panglima Durangga.

“Kalau memang begitu, kita terpaksa menggunakan cara semula, Panglima,” ujar si Jari Maut

“Aku percaya pada kemampuan empat orangmu ini.”

“Mereka sudah terlatih baik, dan tidak pernah gagal melakukan tugas. Kecuali pada malam itu. Mereka telah gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan hampir saja aku kehilangan satu orang.”

“Oh, ya. Kau bisa tahu di mana dia sekarang ini?” tanya Panglima Durangga.

“Yang kudengar, dia mencari Mintarsih. Aku berhasil mengalihkan perhatiannya pada Mintarsih. Aku yakin, saat ini dia sudah jauh dari Karang Setra,” sahut si Jari Maut.

“Bagus. Memang itu yang kuharapkan. Dengan begitu, aku bisa leluasa bergerak. Masalah Danupaksi dan Cempaka, aku tidak terlalu memikirkannya.”

“Aku akan mengantarkanmu sampai di depan pintu saja,” kata si Jari Maut

“Baik. Memang seharusnya kau tidak terlalu sering pergi. Aku rasa kau sudah terlalu kewalahan mengatur waktu untuk gadis-gadis itu.”

Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak, dan semakin jauh masuk ke dalam lorong gua ini. Rangga baru keluar dari balik batu persembunyiannya, setelah mereka tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti menatap ke pintu besi yang kini terbuka lebar. Bergegas dia melompat, menerobos melewati pintu itu.

Sejenak Rangga tertegun begitu berada di luar gua. Ternyata pintu gua ini berada tepat di belakang pondok kecil tempat tinggal si Jari Maut. Suasananya begitu sepi. Tak ada seorang pun terlihat di sekitarnya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah mendekati pondok kecil yang diketahui untuk beristirahat sepuluh orang murid si Jari Maut

Dari pintunya yang terbuka, Rangga dapat melihat ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok itu. Rangga kembali mengayunkan kakinya, mendekati pondok satunya lagi. Dia tahu kalau pondok itu menjadi tempat tinggal si Jari Maut

“Hup!”

Tiba-tiba saja Rangga melesat ke atas. Dan manis sekali kakinya mendarat di atap pondok. Gerakannya sungguh indah dan ringan sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun. Pada saat itu dari dalam pondok keluar dua orang gadis muda berbaju merah menyala.

“Hup...!”

Cepat sekali Rangga melompat turun dari atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di belakang kedua gadis muda itu. Secepat itu pula, tangan Rangga terulur hendak menotok. Namun tanpa diduga sama sekali, kedua gadis itu cepat berbalik sambil mengebutkan tongkat kayu yang dibawanya.

Bet!

“Uts...! Hap!”

Rangga bergegas menarik tangannya kembali, lalu melenting ke belakang. Tubuhnya berputar satu kali sebelum dua ujung tongkat yang cukup runcing menyobek perutnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya kembali di tanah. Pada saat itu, dua orang gadis berbaju merah menyala sudah melompat cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah dada dan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hap!”

Rangga segera mengebutkan kedua tangannya, menangkis dua batang tongkat itu. Dan secepat kilat, tangannya dihentakkan ke depan. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua gadis itu tidak sempat lagi menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga.

Begkh!

Bugkh!

Kedua gadis muda itu memekik tertahan. Tubuh mereka terpental sejauh beberapa batang tombak ke belakang. Pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti siap mem-beri pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.

“Hiyaaat..!”
Plak!
“Akh...!”

Hampir saja pukulan Rangga mendarat di dada kedua gadis itu. Untung saja cepat datang sebuah bayangan merah berkelebat menghantam punggung Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terpekik agak tertahan. Tubuhnya tersungkur mencium tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Segera tubuhnya diputar berbalik.

“Jari Maut..,” desis Rangga begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tahu-tahu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

“Tidak sepatutnya kau menyakiti murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” terasa begitu dingin nada suara Jari Maut

“Aku tidak akan menyakiti, jika kau sendiri tidak memulai menyubit, Jari Maut,” desis Rangga tidak kalah dinginnya.

“Ha ha ha...! Gurauanmu menggelitik sekali, Pendekar Rajawali Sakti.”

“Cukup untuk membuatmu berpikir seribu kali, jika merencanakan menggulingkan Karang Setra!”

“Setan...! Sudah dua kali kau menuduhku, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Jari Maut, langsung memerah wajahnya.

“Tuduhan yang beralasan. Dan kau tidak bisa lagi mungkir dariku!” dingin sekali suara Rangga.

“Keparat..!”

“Siapa kau sebenarnya, sehingga berani ber-lindung di balik nama Jari Maut..?!” bentak Rangga keras.

“Bedebah! Kau harus mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!”

“Hm....”

“Suiiit..!”

Tiba-tiba saja si Jari Maut bersiul nyaring. Dan belum juga siulannya hilang dari pendengaran, mendadak saja bermunculan orang-orang berbaju merah menyala. Mereka semua terdiri dari laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun.

Rangga jadi berkerut juga keningnya melihat di sekitarnya sudah mengepung sekitar lima puluh orang. Bahkan tidak sedikit yang bersembulan dari atas pepohonan, dengan anak panah siap dilepaskan dari busur. Juga, beberapa orang lagi membawa jaring hitam yang berada di atas pondok. Rangga langsung bisa menebak, kalau jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan tidak mungkin mereka semua bisa dikalahkan seorang diri, meskipun memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali.

“Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Pendekar Rajawali Sakti!” si Jari Maut tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar licik, Setan Keparat..!” desis Rangga menggeram.

“Ha ha ha...!” si Jari Maut terus tertawa terbahak-bahak.

Jari Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Tapi setinggi apa pun tingkat kepandaian seseorang, tak akan mampu menghadapi seratus orang dengan senjata terhunus. Terlebih lagi dalam keadaan terkepung seperti ini. Tak ada lagi ruang gerak untuk bisa meloloskan diri. Setiap celah sudah tertutup rapat. Dan kepungan pun semakin bertambah rapat.

Orang-orang berbaju serba merah ini terus bergerak perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai macam senjata siap mengancam, dan siap mencabik-cabik tubuh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan si Jari Maut sudah melompat ke atas atap. Dia siap memberi perintah pada orang-orangnya yang semakin dekat saja pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Serang...!” teriak si Jari Maut tiba-tiba.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

LIMA

Begitu mendapat perintah dari si Jari Maut, lima puluh orang yang mengepung Rangga langsung berlompatan menyerang. Berbagai macam bentuk senjata, berkelebatan di sekitar tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus terpaksa berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuh menghindari serangan yang datang dari segala penjuru.

Setiap kali memiliki kesempatan, Rangga tidak menyia-nyiakannya. Cepat dilepaskannya pukulan maupun tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar saling sambut, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju merah menyala.

Memang tidak mudah menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan untuk mendekati saja, sulit setengah mati. Pertahanan Rangga memang kuat. Terlebih lagi, ayunan pukulan dan tendangannya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Benar benar sulit untuk dihindari. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah hampir separuh pengeroyok yang ambruk bergelimpangan, tak mampu bangkit lagi.

“Mundur...!” seru Jari Maut tiba-tiba. Seketika itu juga, orang-orang berbaju merah berlompatan mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga Rangga sempat menarik napas lega, tiba-tiba saja ratusan anak panah berhamburan meng-hujaninya.

“Setan...!” rutuk Rangga.

“Hiyaaat..!”

Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan. Kedua tangannya berkelebat cepat menghalau anak-anak panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Serbuan anak panah itu demikian gencar, membuat Rangga sukar menarik napas.

“Lemparkan jaring...!” teriak si Jari Maut tiba-tiba.

Bet! Wuk...!

Seketika itu juga, beberapa orang melemparkan jaring berwarna hitam ke arah Rangga, tepat saat hujan anak panah berhenti. Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi menghindar, sehingga tubuhnya seketika terbungkus jaring hitam yang kuat dan sangat kenyal. Pemuda berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah, berusaha keras melepaskan diri dari belitan jaring hitam yang semakin kuat. Namun usahanya sia-sia belaka. Jaring itu semakin bertambah kuat, membuat gerakan Rangga jadi menyempit.

“Ha ha ha...!” Jari Maut tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Rajawali Sakti tak berdaya lagi, terkurung jaring-jaring hitam.

Rangga yang merasa tidak ada gunanya melawan, langsung menghentikan usahanya membebaskan diri dari belitan jaring di tubuhnya. Namun otaknya terus berputar, mencari jalan agar bisa terlepas dari jaring ini. Tapi dia jadi mendengus. Ternyata beberapa orang lagi bergegas berlompatan, dan langsung mengikat Pendekar Rajawali Sakti dengan tambang yang sangat besar dan kuat.

“Huh! Aku harus memberi tahu Rajawali Putih, sebelum iblis keparat ini mencincang tubuh ku,” dengus Rangga dalam hati.

********************

Sementara itu, jauh dari Lembah Kunir. Tepatnya di atas tebing yang cukup tinggi, Pandan Wangi masih menunggu bersama Rajawali Putih. Gadis itu terus memperhatikan daerah tempat Rangga menghilang dari pandangannya tadi. Tapi pepohonan yang sangat lebat, membuat pandangannya jadi terhalang.

“Ke mana saja Kakang Rangga? Kok lama sekali, sih...?” Pandan Wangi mulai tidak sabaran menunggu terus.

“Krrrhhh...!”

“Jangan bercanda, Rajawali Putih!” dengus Pandan Wangi saat merasakan punggungnya didorong-dorong Rajawali Putih.

Tapi burung rajawali raksasa itu terus mendorong-dorong punggung Pandan Wangi, sambil memper-dengarkan suara mengkirik. Pandan Wangi jadi berbalik. Ditatapnya burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu dalam-dalam. Tapi, keningnya jadi berkerut juga melihat Rajawali Putih nampak gelisah.

“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Pandan Wangi.

Rajawali Putih menoleh ke belakang lalu mematuki punggungnya. Pandan Wangi menyipitkan matanya, mencoba untuk mengerti. Dia mengeluh dalam hati, karena tidak tahu maksud bumng rajawali ini.

“Ada apa dengan punggungmu?” Pandan Wangi malah bertanya.

“Khrrrk..!”

“Hm.... Kalau tidak salah, Kakang Rangga pernah mengatakan kalau Rajawali Putih mematuki punggungnya, aku harus naik,” Pandan Wangi bergumam sendiri dalam hati.

Sebentar dipandanginya bumng rajawali raksasa yang terus mematuki punggungnya sendiri. Pandan Wangi jadi ragu-ragu untuk naik ke punggung Rajawali Putih. Bukannya dia tidak mau mengerti. Tapi untuk menunggang Rajawali Putih sendirian rasanya keberaniannya masih belum cukup.

“Kau memintaku naik, Rajawali Putih?” tanya Pandan Wangi.

Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kenapa?” tanya Pandan Wangi lagi.

Rajawali Putih kelihatan tidak sabaran. Seketika kepalanya dijulurkan untuk menjepit ujung baju Pandan Wangi dengan paruhnya yang besar. Lalu, gadis itu ditarik sehingga Pandan Wangi terpekik kaget. Dan belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rajawali Putih melontarkan Pandan Wangi ke udara.

“Hei...?!” Pandan Wangi terpekik kaget. Pada saat tubuh si Kipas Maut itu berada di udara, dengan cepat Rajawali Putih meluncur ke angkasa. Disambarnya Pandan Wangi, tepat dengan punggungnya. Pandan Wangi tersentak, begitu terjatuh di punggung burung rajawali raksasa itu. Cepat-cepat gadis itu berpegangan pada bulu-bulu burung raksasa ini Tubuhnya tertelungkup, tak sanggup diperbaiki lagi. Sedangkan Rajawali Putih terus meluncur tinggi ke angkasa, dan langsung menuju Lembah Kunir.

“Mati aku...,” keluh Pandan Wangi dalam hati. Pandan Wangi buru-buru memejamkan matanya ketika merasakan Rajawali Putih menukik cepat laksana kilat. Dan begitu matanya dibuka, gadis itu tersentak kaget. Ternyata di bawah sana tampak Rangga tak berdaya terkurung jaring yang membelit tubuhnya. Sedangkan di sekitarnya tampak orang-orang berbaju merah memegangi ujung tambang yang mengikat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Khraaaghk...!”

Pandan Wangi bergegas memperbaiki letak tubuhnya, meskipun dengan perasaan masih takut. Angin yang menerpa tubuhnya demikian kencang, seakan-akan ingin melemparkan dirinya dari punggung burung rajawali raksasa ini. Sementara binatang raksasa ini, terus meluncur ke bawah.

“Khraaaghk...!”

Pada saat itu, Jari Maut baru saja hendak memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga perintahnya terlontar, mendadak saja terdengar suara serak yang keras dan parau dari angkasa. Ketika kepalanya mendongak ke atas, matanya langsung terbeliak melihat seekor burung rajawali raksasa menukik deras ke arahnya.

Demikian pula orang-orang berbaju merah. Sebagian dari mereka sudah berhamburan berlari. Malah enam orang yang memegangi tambang yang mengikat tubuh Rangga, cepat-cepat berlari, tak mempedulikan tugasnya lagi

“Khraaaghk...!”

Wusss!

Bagaikan kilat, Rajawali Putih menyambar Rangga yang tergeletak tak berdaya lagi, dengan seluruh tubuh terbungkus jaring hitam dan terikat tambang Rajawali Putih menyambar Rangga dengan cakarnya, lalu cepat membawanya pergi ke angkasa tanpa ada seorang pun yang menyadari.

“Binatang atau dewakah dia...?” desah Jari Maut tanpa sadar.

Laki-laki setengah baya itu jadi terbengong, menyaksikan seekor burung rajawali raksasa menyambar Rangga dengan kecepatan seperti kilat. Sementara Rajawali Putih sudah begitu tinggi, hingga menembus awan. Lalu burung raksasa itu kembali menukik cepat menuju atas tebing. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah mendarat kembali di tanah berbatu di atas tebing yang cukup tinggi ini.

Rangga bergelimpangan begitu terlepas dari cengkeraman cakar Rajawali Putih. Sedangkan Pandan Wangi bergegas melompat turun, dan segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dibukanya ikatan tambang yang membelenggu Rangga. Juga, dibukanya jaring-jaring hitam yang berlapis-lapis itu.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napasnya kuat-kuat begitu terbebas. “Terima kasih....”

“Bagaimana kau bisa berada di sana, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Panjang ceritanya. Aku sendiri hampir tidak percaya,” sahut Rangga, lagi-lagi dibarengi hembusan napas panjang dan kuat.

“Ceritakan, Kakang. Nanti aku akan bertukar cerita denganmu,” pinta Pandan Wangi sedikit mendesak.

“Kau juga menemukan sesuatu tadi?” tanya Rangga.

“Ya! Dan kau juga tidak akan percaya kalau kukatakan,” sahut Pandan Wangi.

“Aku tidak percaya.... Jari Maut merencanakan sesuatu yang besar. Bahkan hendak membunuhku tadi,” agak mendesah suara Rangga.

“Membunuhmu...?! Kurang ajar! Lalu, apa yang direncanakannya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

Pandan Wangi begitu geram mendengar Pendekai Rajawali Sakti akan dibunuh si Jari Maut. Memang, dia tadi sempat melihat. Meskipun tidak begitu jelas, namun keadaan Rangga yang sudah tidak berdaya tadi sudah menyiratkan nasibnya yang sudah di ujung tanduk. Tadi, Pandan Wangi melihat si Jari Maut berdiri di atas pondoknya, bersama beberapa orang muridnya. Mereka tertawa-tawa melihat penderitaan Pendekar Rajawali Sakti. Makanya Pandan Wangi begitu geram.

“Dia merencanakan hendak meruntuhkan Karang Setra,” jelas Rangga.

“Apa...?!” Pandan Wangi terkejut setengah mati. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti itu, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Jari Maut hendak menghancurkan Karang Setra...? Mana mungkin bisa terjadi? Sedangkan sejak si Jari Maut dikalahkan Rangga, tidak ada satu perselisihan pun yang terjadi. Bahkan laki-laki berusia setengah baya itu berjanji hendak mengabdikan dirinya pada Karang Setra. Tapi apa itu mungkin...? Pandan Wangi masih sukar mempercayai.

“Bagaimana mungkin dia bisa punya pikiran seperti itu...?” Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Rangga hanya diam saja. Pandan Wangi juga jadi ikut terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkan, sehingga cukup lama juga mereka berdiam diri.

“Perasaanku mengatakan kalau dia bukan si Jari Maut,” ujar Rangga perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.

“Maksudmu..., dia si Jari Maut palsu?” tebak Pandan Wangi langsung.

“Aku tidak tahu pasti, Pandan. Itu hanya perasaanku saja yang mengatakannya. Perlu dibuktikan lebih dulu,” sahut Rangga, masih terdengar pelan suaranya.

“Siapa pun orangnya, jika mempunyai rencana menghancurkan Karang Setra, tidak bisa didiamkan! Kita harus mendahului, sebelum dia membuat kerugian yang besar,” tegas Pandan Wangi.

“Aku juga sudah berpikir begitu, Pandan. Tapi....”

“Tapi kenapa, Kakang?”

“Sulit..,” desah Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Sulit untuk menghindari keterlibatan prajurit dalam hal ini, Pandan. Karena bukan hanya si Jari Maut sendiri. Tapi ada orang dalam yang terlibat. Dan itu harus didahulukan sebelum si Jari Maut dihancurkan.”

“Aku tahu siapa orang dalam itu, Kakang,” ungkap Pandan Wangi langsung.

“Kau tahu...?!” Rangga terkejut juga men-dengarnya.

“Itu yang hendak kukatakan, Kakang. Aku melihat Panglima Durangga di hutan sebelah sana. Tepat, di tempat kau menghilang dan penglihatanku. Dia pergi bersama empat orang berpakaian merah,” tutur Pandan Wangi

“Ya! Memang Panglima Durangga dan Jari Maut yang merencanakan semua ini, Pandan. Bahkan mereka yang menculik Sangkala. Aku belum tahu pasti, untuk apa Sangkala diculik,” kata Rangga.

“Sebaiknya kita segera kembali ke Karang Setra, Kakang. Kita bersihkan dulu dari dalam, lalu kembali lagi ke sini untuk menghadapi si Jari Maut,” usul Pandan Wangi.

Rangga tersenyum dan menepuk punggung gadis itu. Kemudian, mereka menghampiri Rajawali Putih yang sejak tadi diam dan mendengarkan saja.

“Antarkan kami ke Karang Setra, Rajawali Putih,” pinta Rangga.

“Khraghk...!” sahut Rajawali Putih seraya mengangguk-anggukkan kepala.

“Ayo, Pandan.”

Tak berapa lama kemudian, Rajawali Putih sudah mengangkasa lagi sambil membawa Rangga dan Pandan Wangi di punggungnya. Jika bersama Rangga, Pandan Wangi tidak begitu takut. Lain halnya jika harus menunggang Rajawali Putih sendirian.

“Langsung ke istana, Rajawali Putih...!” seru Rangga agak meminta.

“Khraaagkh...!”

“Kau akan membawa Rajawali Putih ke istana, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Benar! Biar cepat sampai. Aku tidak ingin persoalan ini berlarut-larut,” sahut Rangga.

“Tapi....”

“Jangan khawatir, Pandan. Rajawali akan menurunkan kita di belakang tembok istana. Jadi, tak ada yang bisa mengetahui”

Pandan Wangi terdiam. Dia tahu kalau di bagian belakang tembok istana, tak pernah ada seorang pun yang lewat. Karena, tempat itu merupakan jurang yang cukup dalam. Dan hanya sedikit saja tepiannya. Itu pun sangat licin berbatu. Sehingga, tak ada seorang pun yang sudi melintasinya. Bahkan prajurit pun enggan untuk ke sana.

“Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!”

“Khraaaghk...!”

********************

Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi tentu saja mengejutkan semua penghuni Istana Karang Setra. Terutama Danupaksi dan Cempaka, yang tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan kembali begitu cepat. Terlebih lagi kedatangan Rangga yang membawa kabar mengejutkan. Mereka tidak menyangka kalau Panglima Durangga mempunyai rencana makar.

Rangga menyuruh Danupaksi menjemput Panglima Durangga di rumahnya, yang tidak seberapa jauh dari istana. Tapi ketika Danupaksi kembali, panglima itu tidak bersamanya. Rumah Panglima Durangga ditemukan dalam keadaan kosong. Bahkan prajurit-prajurit yang berada di bawah pimpinannya juga sudah tidak ada lagi di bangsal keprajuritan. Para prajurit itu memang sudah dihasut oleh Panglima Durangga.

“Mereka pasti sudah berkumpul di Lembah Kunir, Kakang,” tebak Pandan Wangi setelah Danupaksi selesai dengan laporannya.

“Aku tidak mengira mereka akan bergerak secepat ini,” desah Rangga agak bergumam.

“Apa tidak sebaiknya dikerahkan prajurit ke sana, Kakang?” usul Danupaksi

“Benar, Kakang. Agar mereka tidak memasuki kota. Dengan begitu, kita bisa mencegah korban yang lebih banyak,” selak Cempaka membenarkan usul Danupaksi.

Sementara Rangga hanya diam saja, dengan kening berkerut dalam. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin melibatkan prajurit, karena yang pasti akan menimbulkan korban tidak sedikit. Tapi keadaan memang memaksa, sehingga harus melibatkan prajurit. Mereka semua tahu kalau prajurit Panglima Durangga berjumlah besar. Bahkan sepertiga dari jumlah prajurit yang ada di Karang Setra adalah di bawah pimpinannya. Belum lagi ditambah orang-orangnya Jari Maut yang juga ber-jumlah cukup besar.

Baik Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih memikirkan keterlibatan prajurit Pertempuran memang tidak mungkin bisa dihindari lagi. Terlebih persoalan ini menyangkut keutuhan Kerajaan Karang Setra. Jika terlalu lama didiamkan, bisa lebih menyulitkan lagi. Memang hanya ada dua pilihan yang harus dilakukan saat ini Menunggu, atau bergerak lebih dahulu.

“Danupaksi! Kumpulkan beberapa panglima dan sebagian besar prajurit pilihan. Kerahkan mereka ke Lembah Kunir sekarang juga,” perintah Rangga akhirnya, setelah cukup lama merenung.

“Hamba laksanakan segera, Kakang Prabu,” sahut Danupaksi seraya memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Danupaksi bergegas meninggalkan Balai Pendopo Agung. Sepeninggal Danupaksi, Rangga menatap Cempaka yang tampak sedang menunggu perintah.

“Dan kau, Cempaka. Tugasmu adalah menjaga keamanan di dalam kota. Kerahkan prajuritmu untuk mengatasi setiap gangguan yang ada,” ujar Rangga memberi perintah.

“Hamba laksanakan, Kakang Prabu,” sahut Cempaka, juga memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Cempaka pun bergegas meninggalkan Balai Pendopo Agung ini. Sementara Rangga masih tetap duduk di singgasana, didampingi Pandan Wangi. Di depan mereka masih terlihat beberapa patih dan pembesar kerajaan. Setelah memberi beberapa perintah dan pesan, Pendekar Rajawali Sakti beranjak pergi. Pandan Wangi selalu setia mengikuti. Mereka terus menuju bagian belakang dari bangunan istana yang megah ini.

“Kau kelihatan begitu tegang, Kakang,” tebak Pandan Wangi yang selalu memperhatikan Rangga.

“Entahlah, Pandan. Aku tidak tahu, apakah tindakanku benar atau tidak kali ini,” sahut Rangga, sedikit mendesah.

“Tindakanmu demi kejayaan Karang Setra, Kakang. Kau tidak bisa mengabaikan keterlibatan mereka dalam masalah ini. Lagi pula, tidak mungkin persoalan ini kau hadapi seorang diri,” hibur Pandan Wangi.

“Bukan itu yang membuat hatiku resah, Pandan Wangi,” sergah Rangga, masih terdengar pelan suaranya.

“Lalu, apa...?”

“Setiap kali aku berada di sini, selalu saja timbul persoalan yang tidak kecil. Bahkan selalu saja melibatkan prajurit.”

“Kau menyalahkan dirimu, Kakang?”

“Tidak. Tapi mungkin memang sebaiknya aku tidak berada di istana, Pandan. Keberadaanku di sini selalu saja menimbulkan persoalan.”

“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Kakang, Persoalan akan timbul di mana saja. Semua orang tidak bisa terlepas dari persoalan, Kakang. Baik besar maupun kecil. Tergantung bagaimana kita menghadapinya. Dan selalu bisa mengatasi walaupun terkadang diperlukan juga tindakan kekerasan. Tapi buktinya, kau selalu menyelesaikannya dengan baik, Kakang,” lagi-lagi Pandan Wangi menghibur.

“Kau memang baik, Pandan. Selalu saja bisa menenangkan keresahan hatiku,” ucap Rangga memuji.

“Itu pujian, atau rayuan?” seloroh Pandan Wangi.

“Terserah apa pandanganmu,” timpal Rangga.

Mereka jadi tersenyum. Untuk sesaat, Rangga bisa melupakan kegalauan hatinya. Pandan Wangi memang pandai menghibur hati Pendekar Rajawali Sakti. Walau dalam keadaan sulit bagaimanapun juga, selalu saja terlontar gurauan yang membuat ketegangan bisa sirna. Meskipun hanya sesaat.

Tanpa terasa mereka sudah sampai di batas tembok belakang istana. Kedua pendekar muda itu melompat ringan melewati tembok yang tinggi dan kokoh ini. Ringan sekali gerakan mereka. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa membawa kedua pendekar itu.

“Khraaaghk...!”

“Pandan, apa sebaiknya kita cari dulu tempat Sangkala disembunyikan...?” tanya Rangga meminta pendapat Pandan Wangi.

“Boleh juga, Kakang,” sahut Pandan Wangi. “Tapi...”

“Tapi kenapa, Pandan?”

“Aku masih belum mengerti, untuk apa mereka menculik Sangkala, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Mereka ingin menggunakan Sangkala untuk menghancurkan dan melemahkan kekuatan Karang Setra dari dalam. Dengan menculik Sangkala, perhatian kita diharapkan akan tertumpah pada Mintarsih. Dan disangka, kita akan meninggalkan Karang Setra. Itu merupakan taktik mereka untuk mengurangi kekuatan, Pandan. Mereka tahu, kalau aku dan kau ada di Karang Setra. Jadi, terlalu sukar untuk menjalankan rencana mereka,” Rangga mencoba menjelaskan.

“Lantas, apa Sangkala bersedia bekerjasama dengan mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Tampaknya tidak. Dan mereka sudah mengalami kegagalan dalam rencana pertama. Mereka tentu tidak tahu kalau kita bisa cepat menemukan Mintarsih. Bahkan tidak memusatkan perhatian padanya.”

“Benar, Kakang. Aku juga tidak menyangka kalau Panglima Durangga dan Jari Maut berkomplot hendak menghancurkan Karang Setra,” suara Pandan Wangi terdengar agak bergumam.

“Aku masih menyelidiki kebenarannya, Pandan.”

“Maksudmu?”

“Aku merasa ada kejanggalan pada diri Jari Maut. Naluriku mengatakan, dia bukan Jari Maut. Tapi orang lain yang menyamar menjadi Jari Maut”

“Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Kakang?”

“Sikapnya.”

“Tapi menurutku, dia memang si Jari Maut, Kakang. Ingatkah kau tentang cerita Mintarsih? Sebelumnya, Jari Maut sering berhubungan dengan Nenek Jamping. Bahkan mempelajari penggunaan senjata rahasia.”

“Itu salah satunya, Pandan.”

“Maksudmu...?” Pandan Wangi semakin tidak mengerti.

“Tingkat kepandaian yang dimiliki Jari Maut lebih tinggi daripada Nenek Jamping. Rasanya, tidak mungkin kalau dia mempelajari sesuatu dari seseorang yang tingkatannya lebih rendah. Dan lagi, Jari Maut paling tidak menyukai segala jenis senjata rahasia.”

“Jadi maksudmu..., yang menemui Nenek Jamping bukan si Jari Maut?”

“Tepat. Dan aku yakin, kalau Jari Maut asli ada di suatu tempat. Atau...”

“Sudah mati...?” potong Pandan Wangi

Rangga terdiam.

“Maaf, Kakang. Tidak seharusnya dugaan itu kulontarkan,” ucap Pandan Wangi menyesal.

“Kemungkinan itu memang ada, Pandan. Dan kita harus mencari kebenarannya, sebelum peperangan meletus,” ucap Rangga.

“Ke mana kita mencarinya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Aku rasa tidak keluar dari Lembah Kunir,” sahut Rangga.

“Khraaaghk...!”

“Iya, Rajawali Putih. Langsung saja ke Lembah Kunir!” seru Rangga seperti menjawab pertanyaan Rajawali Putih.

Rajawali Putih meluncur bagaikan kilat menuju Lembah Kunir. Pandan Wangi yang berada di depan Rangga jadi bergetar juga, saat burung rajawali raksasa ini terus meluncur cepat semakin tinggi.

********************

ENAM

Rangga cepat melompat turun dari punggung Rajawali Putih, begitu binatang raksasa itu mendarat di tepi Lembah Kunir. Pandan Wangi bergegas meng-ikuti. Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekitarnya, mengamati keadaan yang tampak sunyi. Lembah ini memang selalu sepi, seperti tidak pernah disinggahi orang.

“Hati-hati, Pandan. Kesunyian merupakan bahaya terbesar,” Rangga memperingatkan.

“Kita ke pondok itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi sambil menunjuk ke pondok kecil tidak jauh di depan mereka.

“Aku saja yang ke sana dan kau tunggu di sini,” ujar Rangga.

“Kenapa tidak sama-sama saja?”

“Sendiri lebih baik daripada celaka berdua, Pandan,” sahut Rangga.

Pandan Wangi tidak bisa memaksa. Rangga menepuk pundak gadis itu, kemudian cepat berlari menuju ke pondok kecil tempat tinggal si Jari Maut. Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti seekor kijang yang sedang berlari

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sebentar saja sudah berada di depan pintu pondok. Suasananya tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun di sekitar pondok kecil ini. Perlahan-lahan Rangga mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Bunyi berderit terdengar, begitu daun pintu bergerak terbuka.

Rangga mengayunkan kakinya hendak memasuki pondok. Namun baru saja sebelah kakinya melewati ambang pintu, mendadak saja dari balik dinding di samping pintu berkelebat sebilah golok berkilatan.

Wuk!

“Uts...!”

Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang. Pada saat itu, berlompatan dua orang berbaju merah menyala yang langsung merangsek Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menggunakan golok yang berkelebatan cepat di sekitar tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan menghindarinya.

“Hiyaaa...!”

Begitu mendapat sedikit kesempatan Rangga cepat melepaskan dua pukulan beruntun ke arah dua orang penyerangnya. Begitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dua orang berbaju merah itu tidak dapat lagi meng-hindar. Dan pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghantam dada mereka.

Des!

Buk!

Kedua orang itu menjerit keras, dan langsung terpental jauh ke belakang sampai menghantam dinding papan pondok hingga jebol. Pada saat itu, beberapa tombak berhamburan ke arah dua orang berbaju merah itu. Tombak-tombak itu seperti bermunculan dari dinding. Tak pelak lagi, tubuh mereka terhunjam tombak yang berjumlah puluhan. Jeritan panjang melengking terdengar saling sambut

“Gila...! Rupanya mereka sudah menyiapkan jebakan di pondok ini,” desis Rangga dalam hati.

Sebentar Rangga memperhatikan dua orang berbaju merah yang tergeletak di dalam pondok, dengan tubuh tertembus beberapa tombak. Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan menghampiri pondok itu. Sadar kalau di dalam pondok dipasangi jebakan, Rangga merasa harus lebih berhati-hati lagi. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh begitu kakinya terayun masuk ke dalam pondok.

Satu persatu, setiap ruangan yang ada dimasuki. Tapi, tak juga dijumpai seorang pun di sana. Sampai mencapai bagian belakang, juga tidak ditemui seorang pun. Rangga terus melangkah mendekati pondok satunya lagi. Sikapnya semakin berhati-hati. Dugaannya, di dalam pondok itu pasti juga dipasangi jebakan.

Sebentar Rangga berhenti di depan pintu, lalu perlahan-lahan mendorong pintu pondok ini. Tak ada seorang pun dijumpai. Pondok yang tidak memiliki kamar ini pun dalam keadaan kosong. Tak perlu Rangga melangkah masuk. Kakinya mundur beberapa langkah. Pandangannya beredar ke sekeliling, dan terhenti begitu melihat Pandan Wangi masih menunggu bersama Rajawali Putih.

“Pandan, ke sini..!” seru Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi bergegas berlari cepat menghampiri Sedangkan Rajawali Putih tetap diam menunggu di tempatnya. Sebentar saja gadis berbaju biru muda itu sudah berada di depan Rangga.

“Kau periksa sebelah sana, Pandan. Aku ke sini,” ujar Rangga.

“Baik,” sahut Pandan Wangi

Mereka berpisah lagi Rangga berjalan ke arah kiri, sedangkan Pandan Wangi ke sebelah kanan. Pendekar Rajawali Sakti mendekati mulut gua yang tertutup semak belukar. Dia tahu, gua itu menembus langsung ke hutan di kaki tebing batu, tepat di perbatasan Kota Karang Setra sebelah Selatan.

“Hm..., banyak jejak kaki di sini,” gumam Rangga begitu mendapatkan jejak-jejak kaki yang memasuki gua.

Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun beberapa saat, kemudian tersentak. Bergegas dia berlari menghampiri Pandan Wangi yang berjalan belum seberapa jauh.

“Ada apa?” tanya Pandan Wangi, begitu Rangga berada di sampingnya.

“Kita ke perbatasan, Pandan,” ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.

“Hei?! Kenapa ke sana?” tanya Pandan Wangi. “Mereka sudah ada di perbatasan,” sahut Rangga sambil terus saja berlari cepat menghampiri Rajawali Putih.

Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah berada dekat dengan Rajawali Putih. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat naik ke punggung rajawali raksasa itu. Pandan Wangi mengikuti, lalu duduk di depan Rangga.

“Cepat ke perbatasan Selatan, Putih!” perintah Rangga.

“Khraaagkh...!”

********************

“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.

Rangga langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tidak jauh dari gerbang perbatasan Karang Setra, terlihat suatu pertempuran sengit. Sukar dipercaya! Dua kekuatan yang sama-sama mengenakan seragam prajurit Karang Setra, saling baku hantam, dan saling bunuh. Satu sama lain seperti melawan musuh yang mengancam keutuhan Kerajaan Karang Setra.

“Aku tidak percaya...,” desis Rangga.

Tentu saja sukar dipercaya. Dua kelompok prajurit saling bertempur. Bahkan mengenakan seragam keprajuritan yang sama. Sedangkan di angkasa, Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat memutuskan untuk berbuat sesuatu. Tidak mungkin mereka terjun ke dalam kancah pertempuran para prajurit yang mengenakan seragam sama.

“Mereka harus segera dihentikan, Kakang,” tegas Pandan Wangi.

“Dengan cara apa...? Kau lihat sendiri, Pandan. Mereka bertarung seperti orang liar.”

“Suruh Rajawali Putih mendekat, Kakang. Lalu, perintahkan mereka berhenti. Aku yakin, kalau mereka berhenti pasti akan memisahkan diri dan menjadi dua kelompok setelah itu, baru bisa diketahui prajurit yang sesungguhnya,” Pandan Wangi memberi gagasan.

Rangga terdiam sebentar. “Rajawali, mendekat ke sana...!” perintah Rangga.

“Khraaagkh...!”

Rajawali Putih menukik turun, dan melayang dekat di atas para prajurit yang sedang bertarung. Kepakan sayap bumng rajawali raksasa itu membuat debu berhamburan, dan sangat mengejutkan para prajurit yang saling bertarung. Mereka malah berhamburan, berlarian ketakutan melihat seekor burung raksasa berada dekat di atas kepala.

“Lihat, Kakang. Mereka berlarian secara berkelompok,” kata Pandan Wangi berseru keras.

Rangga diam saja, memperhatikan prajurit-prajurit yang membelah diri menjadi dua bagian yang cukup besar. Sementara di sekitarnya, terlihat cukup banyak prajurit yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih.

“Kakang! Itu Panglima Durangga...!” seru Pandan Wangi seraya menunjuk ke arah salah satu kelompok yang memisahkan diri.

“Hiyaaat..!”

Begitu melihat Panglima Durangga berada di antara satu kelompok prajurit, Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Manis sekali gerakannya, karena Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.

“Durangga...!” bentak Rangga begitu kakinya mendarat sekitar satu batang tombak di depan Panglima Durangga.

“Gusti Prabu..,” desis Panglima Durangga terkejut.

Pucat pasi seluruh wajah Panglima Durangga, melihat kemunculan Rangga. Sedangkan seluruh prajuritnya terus berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Dari angkasa, Pandan Wangi mengendalikan Rajawali Putih untuk menggiring para prajurit Panglima Durangga agar menjauhi laki-laki setengah baya itu. Tentu saja hal ini membuat Panglima Durangga semakin memucat wajahnya.

“Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Durangga,” desis Rangga, dingin meng-getarkan.

Panglima Durangga tak mampu lagi mengeluarkan suara. Disadari kalau tidak mungkin menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaian yang dimilikinya, jauh berada di bawah pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara itu Pandan Wangi sudah benar-benar menguasai para prajurit yang hendak melakukan pemberontakan. Tentu saja dengan bantuan Rajawali Putih. Tak ada seorang pun yang berani bertindak, melihat burung raksasa berputar-putar di atas kepala mereka.

Sedangkan prajurit-prajurit yang dipimpin Ki Lintuk, hanya bisa memandangi. Bahkan Ki Lintuk sendiri dan dua orang panglima hanya bisa terbengong menyaksikan burung rajawali raksasa yang muncul bersamaan dengan kedatangan Rangga. Mereka juga sempat melihat kalau Rangga melompat dari punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

“Kenapa kau ingin memberontak, Panglima Durangga?” tanya Rangga ingin tahu alasan panglimanya yang merencanakan pemberontakan.

“Aku ingin melepaskan Karang Setra dari tanganmu!” sahut Panglima Durangga begitu memiliki keberanian kembali.

“Kenapa...?” tanya Rangga lagi, ingin tahu

“Karena kau tidak berhak! Kau bukan putra Gusti Adipati Arya Permadi. Gusti Wira Permadilah yang seharusnya berhak atas tahta Karang Setra!” agak lantang suara Panglima Durangga.

Rangga tersenyum mendengar alasan panglimanya ini. Pendekar Rajawali Sakti tahu Panglima Durangga sebelumnya memang mengabdi pada Wira Permadi, ketika Karang Setra masih dikuasai adik tirinya itu. Dan Rangga memang mengampuni semua yang mendukung Wira Permadi. Bahkan mereka yang tadinya mempunyai kedudukan, tetap memiliki kedudukan. Malahan, ada yang dinaikkan pangkatnya karena telah menunjukkan kesetiaan pada Karang Setra.

Rangga sendiri tidak pernah menganggap kalau Wira Permadi adalah pemberontak. Hanya saja, jalan yang ditempuh adik tirinya itu tidak pernah dibenarkan. Pendekar Rajawali Sakti hanya membebaskan rakyat Karang Setra dari tekanan dan tindasan orang-orang yang berada di belakang Wira Permadi. Orang-orang serakah yang menjadikan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti seperti boneka, tanpa disadari.

“Aku akan mengembalikan Karang Setra pada orang yang berhak, yang selama ini hidup sengsara karena perbuatanmu, Pendekar Rajawali Sakti?” tegas Panglima Durangga lagi.

“Siapa yang lebih berhak daripada aku, Panglima Durangga?” tanya Rangga kalem.

“Gusti Korapati Permadi! Dia adik kandung Wira Permadi yang baru pulang dari rantau. Beliaulah yang lebih berhak daripadamu! Karena, beliau adalah keturunan langsung Gusti Arya Permadi,” kali ini suara Panglima Durangga terdengar lantang.

“Ooo...?!” Rangga terkejut

Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau masih memiliki adik tiri lagi, yang merupakan adik kandung Wira Permadi, putra dari selir ayahnya sendiri. Sekarang, adik tirinya yang namanya disebut oleh Panglima Durangga adalah Korapati Permadi, menuntut haknya di Karang Setra. Meskipun begitu, Rangga tetap tidak membenarkan cara-cara yang dilakukan panglima itu.

“Aku tahu, kau seorang pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi demi junjunganku, kau harus mati di tanganku!” agak mendesis suara Panglima Durangga.

Sret!

Panglima Durangga langsung mencabut pedang yang sejak tadi tersimpan saja dalam warangkanya di pinggang. Pedang keperakan itu berkilatan tertimpa cahaya matahari, tertuju lurus ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti...!” desis Panglima Durangga lagi. “Hiyaaat..!”

“Hap!”

Cepat sekali Panglima Durangga melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya berkelebatan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang memaukan. Namun semua itu dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan-gerakan tubuh indah yang diimbangi gerakan kaki yang lincah. Meskipun pedang Panglima Durangga berkelebatan di sekitar tubuhnya, tapi tak seujung rambut pun dapat menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat dari gerakan-gerakannya, jelas sekali kalau Rangga mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Meskipun terkadang gerakannya tidak beraturan, tapi sangat sulit bagi Panglima Durangga untuk mencari sasarannya. Sementara pertarungan itu berlangsung, Pandan Wangi sudah melompat turun dari punggung Rajawali Putih yang terus saja berputar-putar di atas kepala para prajurit Panglima Durangga.

Gadis berbaju biru yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menghampiri Ki Lintuk dan dua orang panglima yang berdiri di depan para prajuritnya. Ki Lintuk dan dua orang Panglima itu membungkuk memberi hormat, kemudian Pandan Wangi mensejajarkan dirinya di samping laki-laki itu.

“Di mana prajurit yang lain?” tanya Pandan Wangi.

“Ditempatkan di setiap gerbang perbatasan,” sahut Ki Lintuk.

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Lintuk memberi perintah pada dua orang panglima yangg mendampingi, untuk melucuti senjata prajurit Panglima Durangga.

Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Panglima Durangga terus berlangsung. Namun sudah jelas sekali kalau Panglima Durangga sudah tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali dia terpaksa menerima pukulan maupun tendangan yang dilepaskan Rangga. Meskipun sudah jatuh bangun, tapi panglima itu masih terus gigih bertahan. Sedangkan darah sudah mengucur deras dari tubang hidung dan mututnya.

“Lepas...!” tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring.

Plak!

Cepat sekali Rangga menampar pergelangan tangan kanan Panglima Durangga, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak begitu besar.

“Akh...!” Panglima Durangga terpekik.

Panglima itu tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya, yang seketika itu juga mencelat ke angkasa. Meskipun Rangga hanya mengerahkan sedikit tenaga dalam, tapi sudah membuat pergelangan tangan Panglima Durangga jadi kaku kesemutan. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, kembali Rangga memberikan satu pukulan ke dadanya.

“Yeaaah...!”

Des!

“Akh...!” lagi-lagi Panglima Durangga terpekik. Laki-laki setengah baya itu terpental cukup jauh ke belakang. Pada saat itu, Rangga melesat ke udara. Dan dengan tangkas sekali, disambarnya pedang Panglima Durangga yang melayang di angkasa. Lalu, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah Panglima Durangga, sebelum sempat bangkit berdiri.

“Oh...?!” Panglima Durangga mengeluh begitu ujung pedang menempel di lehernya.

“Tidak ada gunanya melawan, Panglima Durangga,” ancam Rangga dingin.

Panglima Durangga benar-benar sudah tidak berdaya lagi dengan ujung pedang menempel di lehernya. Saat itu, Pandan Wangi dan Ki Lintuk berlari-lari menghampiri, diikuti sepuluh orang prajurit Rangga menjauhkan pedang yang ditempelkan ke leher Panglima Durangga, setelah Ki Lintuk mencekal tangannya. Setelah Ki Lintuk menyerahkan panglima pembangkang itu pada sepuluh orang prajurit, dia kemudian menerima pedang dari tangan Pendekar Rajawali Sakti

“Bawa mereka semua ke istana, Ki,” perintah Rangga.

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Lintuk seraya membungkuk memberi hormat

Ki Lintuk segera melaksanakan perintah itu. Digiringnya Panglima Durangga dan para prajuritnya yang sudah dilucuti senjatanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap tinggal di tempat. Mereka memandangi para prajurit yang bergerak kembali ke Kota Karang Setra.

“Ayo kita pergi, Pandan,” ajak Rangga.

“Ke mana lagi?” tanya Pandan Wangi.

“Ke istana,” sahut Rangga.

“Tidak mengejar si Jari Maut?”

“Kita tidak tahu, ke mana harus mencarinya, Pandan. Aku akan menanyakan dulu pada Panglima Durangga.”

“Kenapa tidak ditanya saja tadi, Kakang?”

“Bukan saat yang tepat. Aku harus memberinya pengertian. Dan kalau perlu, membuatnya sadar akan kekeliruannya ini”

“Kau terlalu berbaik hati, Kakang. Kalau aku....”

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih yang sudah mendekam di bawah pohon yang sangat besar dan tinggi. Pandan Wangi mengikuti ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti. Tak berapa lama kemudian kedua pendekar muda itu sudah kembali mengangkasa menunggang burung rajawali raksasa.

********************

TUJUH

Panglima Durangga mengangkat kepalanya ketika pintu penjara yang mengurungnya terbuka, memperdengarkan suara berderit yang menggiris hati. Tubuhnya tidak bergeming, meskipun Rangga tampak melangkah masuk. Di depan pintu, terlihat dua orang prajurit penjaga berdiri membelakangi pintu penjara yang terbuka cukup lebar. Rangga melangkah masuk, dan berhenti sekitar empat langkah lagi di depan Panglima Durangga.

“Bagaimana keadaanmu Panglima Durangga?” sapa Rangga ramah.

“Baik,” sahut Panglima Durangga tak bersemangat

Rangga tersenyum. Bagaimanapun, hidup di dalam penjara tidak sebaik jika berada di alam bebas. Dan memang, penjara ini bukanlah tempat untuk orang seperti Panglima Durangga yang sudah berjasa cukup besar bagi Karang Setra. Tapi bagaimanapun juga, Panglima Durangga sudah melakukan kesalahan besar. Dia mencoba meruntuhkan Kerajaan Karang Setra, dengan mencoba merebut tahta dari Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi raja di Karang Setra.

“Sebenarnya aku tidak suka melihatmu berada di tempat seperti ini, Panglima Durangga. Tapi terpaksa kau kutempatkan di sini, sampai pengadilan nanti memutuskan,” kata Rangga sambil menghembuskan napas cukup panjang.

Panglima Durangga hanya diam saja, dan tetap duduk memeluk lutut, dengan punggung bersandar ke dinding. Sedangkan Rangga duduk di kursi yang disediakan seorang prajurit untuknya. Pintu ruangan ini masih tetap terbuka. Dan dua orang prajurit terlihat berjaga di depan pintu.

“Aku yakin, kau tetap mencintai Karang Setra. Seperti juga aku mencintai negeri ini. Bagaimanapun juga, aku tidak akan melupakan jasa-jasamu demi kejayaan Karang Setra, hingga seperti sekarang ini,” tutur Rangga lagi.

Panglima Durangga masih tetap diam membisu. Bahkan sedikit pun tidak melirik Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya tertuju ke lantai, di ujung jari kakinya.

“Aku ingin berbuat yang terbaik untuk semuanya. Untukku, untukmu, dan juga untuk Karang Setra yang sama-sama kita cintai ini, Panglima Durangga. Aku ingin bicara padamu, bukan karena aku raja di sini. Tapi, sebagai diriku pribadi. Sebagai seorang pendekar yang berjalan di jalur kebenaran. Aku berjanji akan membelamu, jika tujuanmu memang benar,” tegas Rangga lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu sungguh-sungguh.

“Kau tidak akan bisa melakukannya, Pendekar Rajawali Sakti,” tukas Panglima Durangga.

Rangga tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu. Panglima Durangga hanya melirik sedikit saja saat Rangga duduk di sampingnya. Sama-sama duduk di lantai bersama seorang tahanan. Terlebih lagi di lantai penjara yang lembab dan kotor begini

“Kau menyebutku Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang! Itu berarti kita bisa bicara tanpa kau memandang kedudukanku sebagai raja di sini,” pancing Rangga disertai senyum tersungging di bibir.

Panglima Durangga menatap dua prajurit yang berjaga di pintu. Rangga langsung bisa menangkap maksud laki-laki setengah baya ini. Kemudian, diperintahkannya dua prajurit itu untuk pergi. Tanpa membantah sedikit pun, kedua prajurit itu meninggalkan tugasnya setelah memberi hormat

“Nah! Sekarang, kita bisa bicara tanpa seorang pun yang mendengar,” kata Rangga lagi

“Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Panglima Durangga, masih sukar dipahami nada suaranya.

“Aku hanya ingin meluruskan persoalan ini, tanpa harus merugikan siapa pun juga. Kurasa, kau bisa mengerti maksudku, Panglima Durangga,” sahut Rangga.

“Kau seorang raja di sini. Tentu kau akan mempertahankan kedudukanmu,” agak sinis nada suara Panglima Durangga.

“Sebagai seorang raja, hal itu memang sudah menjadi kepastian, Panglima Durangga. Tapi keberadaanku di sini bukan sebagai raja. Dan aku akan meluruskan persoalan ini juga bukan sebagai raja. Jika memang ada yang lebih berhak atas tahta Karang Setra, tentu akan kuserahkan pada yang berhak. Dan memang aku sebenarnya tidak pantas menduduki tahta itu. Aku seorang pendekar, yang tidak selamanya bisa berada di atas tahta,” panjang lebar Rangga menjelaskan tentang dirinya dan kedudukannya di Karang Setra.

“Aku dulu juga pendekar. Aku akan memegang kata-katamu sebagai seorang pendekar,” ujar Panglima Durangga.

“Bagus! Kita bicara sebagai dua orang pendekar yang menghadapi satu persoalan,” sahut Rangga.

“Apa yang ingin kau ketahui dariku?” tanya Panglima Durangga, setelah yakin akan kata-kata Rangga yang berbicara bukan sebagai raja. Melainkan sebagai seorang pendekar yang berada di jalan kebenaran.

“Tujuanmu melakukan pemberontakan,” sahut Rangga.

“Aku melakukannya demi putra Gusti Arya Permadi,” jelas Panglima Durangga.

“Boleh aku tahu, siapa orangnya?” tanya Rangga, meminta.

“Gusti Korapati. Beliau adik Kandung Gusti Wira Permadi yang merupakan keturunan langsung Gusti Arya Permadi. Gusti Korapatilah yang lebih berhak atas tahta Karang Setra ini,” tegas Panglima Durangga.

“Danupaksi dan Cempaka juga putra Gusti Arya Permadi. Tapi mengapa kau tidak menuntut agar salah satu dari mereka yang menduduki tahta? Dan mengapa orang yang selama ini tidak pernah mempertaruhkan jabatanmu, Panglima Durangga?” tanya Rangga ingin tahu

“Mereka tidak berhak, karena terlahir dari selir yang belum disahkan pendeta istana,” sahut Panglima Durangga.

“Lalu, bagaimana dengan putra Gusti Arya Permadi sendiri?” tanya Rangga lagi

“Gusti Rangga Pati Permadi telah hilang, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Namanya sama denganmu. Tapi aku tidak yakin kalau kaulah orangnya.”

“Kau tahu persis kejadiannya?”

“Tidak. Tapi semua orang tahu kalau tak ada seorang pun yang bisa hidup jika sudah berhadapan dengan gerombolan Iblis Lembah Tengkorak. Terlebih lagi jika sudah tercebur ke dalam Lembah Bangkai. Dan semua orang berkeyakinan kalau Gusti Rangga Pari Permadi sudah tercebur ke Lembah Bangkai. Jadi tak ada harapan untuk bisa hidup kembali.”

Rangga tersenyum saja mendengar penuturan polos Panglima Durangga barusan. Memang benar apa yang dikatakan Panglima Durangga tadi. Dan hal itu diakui Rangga kebenarannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tidak mungkin memaksakan keyakinan panglima ini untuk mengakui kalau yang ada di sampingnya adalah Rangga Pari Permadi. Putra tunggal mendiang Arya Permadi.

“Kau tahu, di mana sekarang Korapati berada?” tanya Rangga.

“Untuk apa hal itu kau tanyakan? Kau ingin membunuhnya?” nada suara Panglima Durangga terdengar mengandung kecurigaan.

“Aku hanya ingin kenal. Dan kalau mungkin, mengajaknya ke istana,” sahut Rangga.

“Kau tidak akan bisa membawanya ke istana, kecuali dia ingin datang sendiri. Dan itu pun untuk mengambil tahta yang menjadi haknya.”

“Baiklah,” Rangga menyerah. “Tapi kau bisa tunjukkan di mana Sangkala, bukan...?”

Panglima Durangga tidak menjawab.

“Dalam persoalan ini, rasanya Sangkala tidak perlu dilibatkan. Dia masih menjalankan masa hukumannya. Dan aku tidak ingin orang yang tidak tahu apa-apa terlibat dalam persoalan ini,” bujuk Rangga.

“Dia sudah bebas, dan hidup damai bersama kekasihnya,” jelas Panglima Durangga.

“Kekasihnya...?” kening Rangga jadi berkerut

“Maaf, aku tidak bisa bicara lebih banyak lagi. Di antara kami punya perjanjian. Dan kau tidak bisa mendesakku untuk mengatakan lebih banyak,” tegas Panglima Durangga buru-buru, agar Rangga tidak lebih banyak bertanya lagi.

“Baiklah. Kau telah berbuat banyak, Panglima Durangga. Akan kuusahakan agar hukumanmu tidak terlalu berat,” ujar Rangga seraya bangkit berdiri.

“Tidak ada yang dapat menghukumku, kecuali Gusti Korapati,” dengus Panglima Durangga.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah keluar dari ruangan pengap dan kotor ini. Dua orang prajurit menghampiri dan mengunci pintu setelah Rangga ke luar.

********************

Dua hari Rangga mencoba membujuk Panglima Durangga, tapi tetap saja tidak memperoleh hasil memuaskan. Panglima Durangga tidak pernah sudi menunjukkan keberadaan Sangkala, dan terutama orang yang bernama Korapati. Orang yang diakuinya sebagai putra Arya Permadi, pewaris sah tahta Karang Setra. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi merasa tidak tenang.

Meskipun keadaan di seluruh pelosok kerajaan dalam keadaan damai, tapi di hati Pendekar Rajawali Sakti tidaklah demikian. Rupanya masih terdapat satu ganjalan di dalam hatinya, sebelum bisa menuntaskan semua persoalan yang dapat mengguncangkan Karang Setra setiap waktu. Rangga merasakan suasana seperti ini bagai gunung berapi yang setiap saat siap memuntahkan laharnya.

Saat itu matahari sudah hampir tenggelam. Rona merah membias di ufuk Barat. Rangga tampak berdiri tegak, mematung di tepi sebuah tebing yang cukup tinggi. Tatapan matanya lurus, tak berkedip ke arah Lembah Kunir. Di tempat itulah semua awal petaka ini terjadi. Lembah yang indah itu kelihatan sunyi, tak seorang pun terlihat di sana. Di belakang Rangga, terlihat Rajawali Putih mendekam dengan kepala menjulur ke depan. Seakan-akan bintang itu ingin turut serta memperhatikan lembah di depan sana.

“Kau melihat sesuatu di sana, Rajawali Putih?” tanya Rangga, agak bergumam suaranya seakan bertanya pada diri sendiri.

“Khrrr...,” Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.

Rangga memandangi Rajawali Putih yang semakin jauh menjulurkan kepala ke depan, melewati bahu kanannya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu seakan-akan tengah memperhatikan sesuatu yang sangat jauh di Lembah Kunir itu. Sedangkan Rangga jadi ikut memperhatikan ke arah yang tengah menjadi perhatian burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini. Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Tatar Netra' agar bisa melihat dalam jarak yang cukup jauh.

“Apa yang kau perhatikan, Rajawali Putih?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat sesuatu di lembah sana. Tapi keningnya jadi berkerut juga melihat sikap rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang seperti melihat sesuatu di sana.

“Khrrrkh...!”

Rajawali Putih mematuk punggung Rangga. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu memperhatikan, lalu cepat melompat naik ke punggungnya. Tak berapa lama kemudian, Rangga sudah mengangkasa bersama Rajawali Putih. Bagaikan kilat, burung raksasa itu melambung tinggi ke angkasa, lalu meluncur deras ke arah Lembah Kunir yang disirami cahaya merah jingga. Saat itu matahari memang hampir tenggelam.

“Khraaaghk...!”

“Aku tidak melihat apa-apa, Rajawali!” seru Rangga terus memperhatikan ke arah lembah yang ditunjuk Rajawali Putih, dengan menjulurkan paruhnya.

Burung raksasa itu menukik deras, ke arah hutan yang berada tidak seberapa jauh dari dua buah pondok kecil di lembah itu Rangga terpaksa memegangi erat-erat leher Rajawali Putih. Angin yang bertiup kencang di sekitarnya, membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi pekak.

“Hup...!”

Pepohonan lebat, tidak memungkinkan bagi Rajawali Putih untuk mendarat. Dan begitu berada dekat di atas pohon yang paling tinggi, Rangga cepat melompat turun dari punggung burung itu. Manis dan ringan sekali gerakannya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Rangga mendarat di salah satu cabang pohon yang cukup tinggi. Sementara Rajawali Putih kembali melambung tinggi, dan berputar-putar di atas hutan kecil ini. Sebentar Rangga menatap ke atas, lalu melompat turun dari atas cabang pohon ini

“Hap...!”

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepasang kaki Rangga menjejak tanah yang penuh dedaunan kering. Sebentar pandangannya beredar berkeliling. Meskipun sudah berada di tengah-tengah hutan kecil ini, tapi Pendekar Rajawali Sakti belum mengerti maksud Rajawali Putih yang menurunkannya di tengah hutan kecil ini

“Rajawali Putih seperti menyuruhku memeriksa hutan ini. Hm.... Aku yakin ada sesuatu di sekitar tempat ini,” gumam Rangga periahan, bicara pada dirinya sendiri.

Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Kedua matanya dipentang lebar, mengamati setiap jengkal daerah yang dilaluinya. Suasana yang begitu sunyi, membuat detak jantungnya sendiri terdengar begitu keras.

Cukup lama juga Rangga memeriksa sekitar tengah hutan kecil di Lembah Kunir ini, tapi belum menemukan sesuatu yang berarti. Hingga sampai pada sebatang pohon yang sangat besar, Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Sesaat hatinya tertegun memandangi pohon yang begitu besar, dengan sulur-sulurnya yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Rangga menaksir, sepuluh orang berpegangan tangan saja, tidak akan mungkin bisa melingkari pohon ini.

“Belum pernah kulihat pohon sebesar ini,” gumam Rangga terkagum-kagum.

Selagi Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan perasaan kagum, tiba-tiba saja batang pohon di depannya bergerak-gerak. Rangga terkejut, lalu terlompat mundur beberapa langkah. Batang pohon yang kulitnya sudah berganti entah berapa kali itu, terus bergerak-gerak. Kemudian, bergeser ke samping perlahan-lahan.

“Heh...?!”

Bergegas Rangga melompat masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sukar dipercaya, ternyata batang pohon itu bisa terbuka seperti pintu. Semakin lama, semakin membesar. Dan pada akhirnya benar-benar terbuka, membentuk sebuah rongga yang cukup besar. Bahkan mampu dilalui dua orang sekaligus!

Bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak ketika dari dalam pohon muncul si Jari Maut bersama seorang wanita muda dan cantik, berbaju biru yang sangat ketat. Rangga mengenali wanita itu. Dan inilah yang membuatnya hampir tidak percaya pada pandangannya sendiri.

“Mintarsih...,” desis Rangga dalam hati.

Si Jari Maut dan perempuan cantik yang dikenali Rangga bernama Mintarsih, berjalan cepat melewati semak tempat persembunyian Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka berjalan tanpa berbicara apa pun juga. Rangga terus mengamati sampai kedua orang yang telah dikenalinya ini tidak terlihat lagi. Kemudian, dia kembali menatap pohon besar yang masih tetap berlubang cukup besar. Kini di depan lubang pohon itu telah berdiri empat orang gadis-gadis muda berbaju merah menyala. Pedang mereka tampak tersampir di pinggang.

“Hm.... Mungkin ini yang dimaksud Rajawali Putih,” gumam Rangga dalam hati.

Rangga menduga kalau pohon besar itu pasti tempat persembunyian si Jari Maut selama ini. Dan yang pasti, pohon itu merupakan sebuah pintu rahasia. Rangga berpikir keras agar bisa masuk ke sana. Memang cukup sulit juga, karena ada empat orang yang menjaga di depang lubang pohon itu. Jadi, tidak mungkin menghindari bentrokan jika menerobos masuk ke sana. Jika hal itu terjadi, bisa-bisa malah menimbulkan keributan. Akibatnya semua orang yang berada di dalam pohon besar itu keluar. Maka, tentu saja hal itu akan menyulitkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri.

“Aku harus mencari cara untuk masuk ke sana tanpa diketahui,” bisik Rangga dalam hati.

Pada saat itu, si Jari Maut sudah kembali, tapi hanya seorang diri saja. Dan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan di benak Rangga. Jari Maut kemudian masuk kembali ke dalam pohon, diikuti empat orang gadis yang menjaga lubang pohon itu. Setelah mereka berada di dalam, pohon itu kembali tertutup sendiri.

“Hm..., ke mana Mintarsih...?” Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke luar. Sebentar ditatapnya pohon besar itu, kemudian melesat pergi ke arah si Jari Maut dan Mintarsih tadi pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.

DELAPAN

Rangga terus berlari cepat, menembus lebatnya pepohonan hutan di Lembah Kunir. Hingga sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah keluar dari hutan, dan kini memasuki padang rumput yang tidak begitu besar. Terlihat dua pondok kecil di sana. Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari, ketika melihat dua orang tengah bertarung tidak jauh dari pondok tempat tinggal si Jari Maut

Dua orang wanita yang sama-sama mengenakan baju biru. Tapi dari senjata yang digunakan, sudah dapat dipastjkan kalau yang memegang senjata berbentuk kipas adalah Pandan Wangi. Sedangkan wanita yang satunya lagi menggunakan pedang. Dia tak lain adalah Mintarsih. Rangga mendekati pertarungan itu. Dari jurus-jurus yang dikerahkan, sudah dapat dipastikan kalau mereka menggunakan jurus-jurus andalan yang maut dan berbahaya.

Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Dan sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda akan berhenti. Rangga melihat kalau Mintarsih begitu bernafsu sekali hendak menjatuhkan Pandan Wangi. Tapi si Kipas Maut itu tampaknya terlalu alot. Terbukti, beberapa kali dia berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh Mintarsih.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Pandan Wangi berteriak keras menggelegar. Dan secepat itu pula, tubuhnya bergerak cepat laksana kilat. Kipas baja putih yang terkenal itu berkelebat menghajar bagian pinggang Mintarsih. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga Mintarsih tak sempat lagi berkelit menghindar.

Bret!

“Akh...!” Mintarsih terpekik agak tertahan.

Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap pinggangnya yang tersambar ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan tajam. Darah merembes keluar dari sela-sela jari tangan Mintarsih. Pada saat itu Pandan Wangi sudah bersiap hendak mengakhiri pertarungan, dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya.

“Mampus kau sekarang, Setan...! Hiyaaa...!” teriak Pandan Wangi melengking tinggi

“Tahan...!” seru Rangga tiba-tiba.

Pandan Wangi yang hampir saja melompat menyerang Mintarsih, jadi mengurungkan serangannya. Wajahnya berpaling. Tampak Rangga melompat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di antara kedua wanita itu.

“Kakang Rangga! Mengapa kau hentikan pertarunganku?!” sentak Pandan Wangi tidak senang.

“Justru aku ingin bertanya, mengapa kau menyerang Mintarsih, Pandan? Apa kau tidak ingat kalau dia berada dalam lindungan kita?” agak mendesis suara Rangga.

“Bukan aku yang menyerang tapi dia!” dengus Pandan Wangi menuding Mintarsih.

Rangga menatap Mintarsih yang sedang meringis menahan sakit pada pinggangnya yang berdarah. Keadaan tubuhnya kelihatan lemah, karena memang belum lagi sembuh benar dari luka-luka akibat bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti.

“Sudahlah, Kakang. Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia ada di sini!” kata Pandan Wangi lagi

Rangga kembali menatap Pandan Wangi, lalu beralih pada Mintarsih. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu, Mintarsih berada di Lembah Kunir ini karena memiliki hubungan dengan Jari Maut. Tapi, hubungan itu memang belum diketahuinya secara pasti. Sebenarnya Rangga juga ingin tahu, mengapa wanita itu ada di lembah ini. Bahkan bersama si Jari Maut tadi

“Kau dengar pertanyaan Pandan Wangi tadi, Mintarsih...? Untuk apa kau berada di sini? Bukankah aku telah memberimu tempat yang tenang untuk memulihkan kesehatanmu?” ujar Rangga meminta penjelasan.

“Itu urusanku!” dengus Mintarsih.

“Jelas itu urusannya, Kakang. Dia masih dendam padamu, lalu bergabung dengan si Jari Maut,” selak Pandan Wangi ketus.

Rangga menatap Mintarsih tajam-tajam. Sebetulnya dia terkejut juga mendengar kata-kata Pandan Wangi barusan. Hanya saja, keterkejutannya segera ditutupi. Namun demikian di benaknya timbul pertanyaan, dari mana Pandan Wangi tahu kalau Mintarsih punya hubungan dengan si Jari Maut..? Dan pertanyaan itu hanya ada dalam benaknya saja.

“Aku tahu, waktu itu kau hanya berpura-pura saja, Mintarsih. Kau ingin mengadu domba antara aku dengan Jari Maut, dengan berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang penculikan Sangkala. Tapi, ternyata kau berada di belakang semua ini. Kau memang sekuntum mawar, Mintarsih. Sekuntum mawar berbisa...!” desis Rangga dingin.

“Ha ha ha...!” Mintarsih jadi tertawa terbahak-bahak.

Sampai di situ saja, Rangga sudah dapat memahami arti semua ini. Antara si Jari Maut, Mintarsih, dan Panglima Durangga rupanya selama ini terjalin suatu hubungan. Dan masing-masing memiliki alasan yang berbeda. Memang benar apa yang pernah dikatakan Pandan Wangi. Walaupun si Jari Maut sudah bertobat dan berjanji hendak meninggalkan semua perbuatan buruknya, tapi tetap saja memiliki dendam atas kekalahannya oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Mintarsih sendiri sudah jelas. Dia tidak akan puas sebelum berhasil membunuh Rangga. Wanita itu telah bersumpah untuk melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti beserta keturunannya.

“Tingkat kepandaianmu memang sukar ditandingi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau bodoh...!” dengus Mintarsih dingin.

“Keparat..! Kubunuh kau, Setan Jalang...!

Hiyaaat..!”

Rangga tidak sempat lagi mencegah ketika Pandan Wangi tiba-tiba sekali melompat menyerang Mintarsih. Gadis itu langsung mengebutkan kipas mautnya ke arah dada wanita cantik yang dijuluki si Mawar Berbisa oleh Pendekar Rajawali Sakti.

Bet!

“Uts! Yeaaah...!”

Mintarsih berhasil mengelakkan serangan Pandan Wangi. Tapi begitu si Kipas maut melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam kuat, dia tak mampu lagi berkelit Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras dan cepat itu mendarat telak di dadanya.

“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”

Mintarsih terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terkena tendangan keras Pandan Wangi. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Pandan Wangi sudah melancarkan serangan lagi. Kali ini kipas baja putih andalannya dikebutkan ke dada Mintarsih. Dan serangan itu benar-benar cepat, tak mampu dihindari lagi

Bet!

Cras!

“Aaa...!” lagi-lagi Mintarsih menjerit keras melengking tinggi. Darah kembali menyembur deras dari dadanya yang terkena sabetan kipas maut berwarna putih keperakan itu. Mintarsih tak mampu lagi berbuat banyak, dan kembali terjungkal begitu Pandan Wangi memberi satu pukulan telak di dadanya. Wanita berbaju biru itu menggelepar di tanah sambil mengerang lirih.

“Cukup, Pandan...!” sentak Rangga ketika Pandan Wangi hampir saja melancarkan serangan kembali.

Pandan Wangi menurunkan tangannya yang sudah terangkat naik di atas kepala. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, berpaling lagi menatap tajam Mintarsih penuh kebencian. Pandan Wangi benar-benar melampiaskan kebenciannya pada wanita itu. Sementara Rangga bergegas menghampiri Mintarsih yang tampak masih merintih kesakitan.

“Kau pernah bersumpah ingin membunuhku. Sekarang kau kuberikan kesempatan untuk hidup. Dan kau bisa melaksanakan sumpahmu itu, Mintarsih. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya. Di mana Sangkala, dan siapa sebenarnya Korapati itu.”

Mintarsih menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti, penuh kebencian. Dan karena tawaran Pendekar Rajawali Sakti cukup menarik, mata wanita itu tampak agak berbinar-binar. Sebab, paling tidak dia akan memiliki kesempatan lagi untuk melaksanakan sumpahnya.

“Bisa kupegang janjimu, Pendekar Rajawali Sakti?” Mintarsih ingin kepastian.

“Mengapa tidak?”

“Baik. Sangkala ada di..., akh!”

Rangga tersentak kaget Karena tiba-tiba leher Mintarsih terhunjam senjata rahasia seperti mata anak panah. Sungguh hal itu tidak diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu mengejang sesaat, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.

Sekejap, Rangga melihat semak-semak di dekat pohon di depannya bergoyang-goyang. Dengan rasa kekesalan yang tinggi akibat keterangan dari Mintarsih terputus, Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut senjata rahasia itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, senjata rahasia itu dilemparkan ke arah datangnya tadi. Maka....

“Aaakh...!”

Sosok tubuh berbaju merah tiba-tiba keluar dari semak-semak, dan langsung ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian mati. Pandan Wangi yang saat itu tidak melihat kejadiannya, karena perhatiannya tertuju ke arah lain, langsung terkejut. Dan ketika matanya melihat ke arah Mintarsih, gadis itu baru mengerti, apa yang terjadi. Rupanya orang berbaju merah itu anak buah si Jari Maut yang tidak ingin rahasia mereka terbongkar. Hanya saja, mereka tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti telah mengetahui sarang mereka.

********************

Rangga memandangi pohon raksasa di depannya. Sedangkan Pandan Wangi yang berada di sampingnya juga ikut memandangi pohon itu. Gadis itu masih belum percaya kalau di dalam pohon itulah tempat persembunyian si Jari Maut. Padahal, Rangga sudah menceritakan dengan sungguh-sungguh dan jelas sekali. Tak ada tanda-tanda kalau pohon ini memiliki lubang yang dapat dilewati. Mereka telah mengelilinginya sampai tiga kali. Namun, tidak juga ditemukan lubang masuk, seperti yang dikatakan Rangga.

“Apa kau benar-benar yakin di dalam pohon ini mereka bersembunyi?” tanya Pandan Wangi seraya memandangi pohon raksasa itu

“Belum lama aku di sini, Pandan. Matahari juga belum sepenuhnya tenggelam,” tegas Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menunjuk semak belukar. Di situ dia sempat bersembunyi, dan melihat si Jari Maut keluar dari pohon itu bersama Mintarsih.

“Di sana aku bersembunyi. Dan melihat mereka keluar dari pohon itu,” jelas Rangga.

“Maksudmu, si Jari Maut dan....”

“Siapa lagi kalau bukan si Mawar Berbisa itu,” potong Rangga cepat sebelum Pandan Wangi menyelesaikan kalimatnya.

Pandan Wangi memandangi pemuda tampan di sampingnya. Belum pernah gadis itu melihat Pendekar Rajawali Sakti ini begitu menggebu-gebu. Mungkin karena Rangga merasa tertipu atas sikap dan perilaku si Jari Maut. Sikap yang baik dan ramah, ternyata kini menikam dari belakang.

“Kau mundur, Pandan,” ujar Rangga, agak dingin nada suaranya.

“Kau mau apa?” tanya Pandan Wangi

“Pohon ini akan kuhancurkan,” sahut Rangga.

Pandan Wangi beringsut ke belakang beberapa langkah, begitu melihat Rangga sudah bersiap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Periahan-lahan kedua kepalan tangan Rangga menjulur ke depan. Seketika kedua tangan itu memancarkan warna merah yang membara, bagai sepotong besi yang terbakar di dalam tungku. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus ke arah pohon raksasa itu.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat ke arah pohon raksasa itu. Pada saat yang sama, kedua tangannya ditarik sejajar di samping dada. Lalu secepat itu pula, kedua tangannya dihentakkan ke depan, tepat menghantam batang pohon pada bagian tengah yang diyakininya sebagai pintu masuk ke dalam pohon itu.

Glarrr...!

Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu kedua tangan Rangga menghantam pohon raksasa itu. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Pohon besar itu seketika hancur berkeping-keping. Sedangkan bagian atasnya ambruk, menimbulkan suara bergemuruh. Bumi laksana diguncang gempa saat pohon itu menghantam tanah, tepat saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.

Tampak sebuah lubang yang cukup besar terdapat di bagian tengah pohon yang hancur itu. Dan sebelum Rangga menghampiri, dari dalam lubang berlompatan tubuh-tubuh berbaju merah. Ada sekitar sepuluh orang, yang langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua memegang tongkat kayu berwarna kecoklatan.

“Hiyaaa...!”

Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara sambil merentangkan kedua tangan ke samping. Saat itu jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dikerahkan. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Sehingga sebelum sepuluh orang berbaju merah itu bisa menyerang lebih jauh, Rangga sudah melakukan serangan cepat bagai kilat

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh berbaju merah. Dalam beberapa kali gebrak saja, tak ada lagi yang bisa bangkit kembali. Rangga cepat melompat mendekati reruntuhan pohon besar itu.

Begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, seketika berkelebat sebuah bayangan merah dari dalam lubang pohon yang sudah hancur itu. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke belakang, menghindari terjangan bayangan merah tadi.

“Huh! Yeaaah...!”

Dua kali Rangga berjumpalitan di udara. Dan begitu menjejakkan kaki di tanah, di depannya sudah berdiri si Jari Maut dengan sikap angkuh.

“Aku akui, kau memang sulit ditaklukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku tidak akan menyerah, sampai nyawaku hilang dari badan,” tegas si Jari Maut dingin.

“Aku memang melakukan kesalahan besar dengan membiarkan kau hidup waktu itu, Jari Maut,” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

“Sekarang kita sudah berhadapan lagi. Tak ada gunanya banyak bicara.”

Setelah berkata demikian, Jari Maut langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dilepaskannya beberapa pukulan cepat dan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan itu.

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Jari Maut memang tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang cepat dan sangat berbahaya. Sementara Pandan Wangi sudah bergegas menghampiri lubang pohon yang hancur akibat terkena pukulan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilontarkan Rangga tadi.

Pandan Wangi melompat masuk ke dalam lubang itu, dan seketika tubuhnya lenyap tak terlihat lagi. Sementara pertarungan Rangga melawan si Jari Maut berlangsung semakin sengit. Sebentar saja lebih dari lima jurus sudah dihabiskan. Tapi tampaknya pertarungan masih bakal terus berlangsung cukup lama.

Hingga setelah menyelesaikan sepuluh jurus dalam pertarungan, mereka sama-sama berlompatan mundur. Kini terbentang jarak sekitar dua batang tombak di antara mereka. Jari Maut mencabut pedangnya perlahan-lahan, lalu menyilangkannya di depan dada. Pedang berwarna merah itu seperti api yang berkobar-kobar, dan siap menghanguskan tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Sret!

Rangga yang sudah mengetahui kedahsyatan pedang itu, tak mungkin bisa menandingi hanya dengan tangan kosong saja. Maka pedangnya juga segera dicabut. Seketika itu juga cahaya biru berkilau menyemburat terang menyilaukan mata.

“Saatnya mengadu jiwa, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Jari Maut dingin menggetarkan.

“Majulah...!” sambut Rangga tak kalah dinginnya.

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Rangga cepat melompat, begitu si Jari Maut melompat menyerang dengan pedangnya. Secara bersamaan mereka mengayunkan pedang masing-masing ke depan. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi. Ledakan dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu dua senjata beradu keras di udara, hingga menimbulkan percikan bunga api.

Pertarungan kembali berlangsung sengit. Cahaya biru dan merah berkelebat cepat saling sambar. Beberapa kali terdengar ledakan keras setiap kali kedua pedang itu beradu. Dan setiap kali itu pula, terbetik pijaran api yang menyebar ke segala arah. Tempat pertarungan berlangsung sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Entah sudah berapa puluh pohon yang bertumbangan, akibat terkena serangan-serangan yang luput dari sasaran.

Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Tak terasa, mereka masih menghabiskan lebih dari sepuluh jurus lagi. Tapi sampai saat ini belum juga ada yang terlihat bakal terdesak. Sementara matahari semakin jatuh ke dalam pelukan alam. Dan kini keadaan jadi remang-remang. Tapi di sekitar pertarungan tetap terlihat terang, akibat dua sinar yang berkelebatan saling sambar.

“Hhh! Dia semakin tangguh dan meningkat pesat. Aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma',” desis Rangga bergumam dalam hati.

Saat itu juga, Rangga merubah jurusnya menjadi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus simpanan yang sangat dahsyat dan jarang digunakan jika tidak terdesak.

Setelah beberapa gebrakan berlalu, baru bisa terasakan akibat jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Perhatian si Jari Maut tampak mulai terpecah. Gerakan-gerakannya mulai tidak beraturan. Dan per-mainan pedangnya juga sudah tidak lagi menggigit. Perubahan ini cepat dilihat Rangga. Dan seketika itu juga serangan-serangannya diperhebat. Dan hal ini tentu saja membuat si Jari Maut semakin kewalahan saja. Dia sendiri tidak tahu, kenapa jadi sulit mengendalikan diri

“Lepas...!” seru Rangga tiba-tiba.

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan pedangnya ke arah pergelangan tangan kanan si Jari Maut yang memegang pedang. Begitu cepat gerakannya, sehingga si Jari Maut tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras!

“Akh...!” Jari Maut terpekik keras begitu pergelangan tangan kanannya terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Pedang si Jari Maut seketika terpental ke udara, bersamaan dengan tangannya yang buntung dari pergelangan. Darah langsung mengucur deras dari tangan yang buntung itu. Di saat si Jari Maut tengah terpana tidak percaya, Rangga sudah menusukkan pedangnya kembali dengan kecepatan tinggi.

“Hiyaaa...!”

Crab!

Jari Maut terpaku diam, ketika pedang Rangga berkelebat cepat menusuk dadanya hingga tembus ke punggung. Tak berapa lama kemudian, tubuh si Jari Maut ambruk ke tanah. Darah kembali muncrat keluar dari dada yang menganga lebar akibat terhunjam pedang. Jari Maut tewas seketika, sebelum tubuhnya menyentuh tanah.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang

Pada saat itu, Pandan Wangi melompat keluar dari dalam lubang pohon raksasa itu, disusul seorang pemuda berwajah cukup tampan. Dia mengenakan baju putih ketat agak kotor dan lusuh. Mereka langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar Rangga memandangi tubuh si Jari Maut yang berlumuran darah, kemudian berpaling menatap pemuda yang berdiri di samping Pandan Wangi. Pemuda itu membungkuk memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

“Bagaimana kau bisa menemukan Sangkala, Pandan?” tanya Rangga.

“Di ruangan bawah tanah. Aku memeriksa setiap kamar yang ada. Dan salah satu kamar, ternyata berisi Sangkala,” sahut Pandan Wangi.

“Ada orang lain di sana?” tanya Rangga lagi.

“Tidak,” sahut Pandan Wangi.

“Hm.... Lalu, murid-murid si Jari Maut yang lain ke mana?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Hanya sepuluh orang itu, kakang. Yang kau hadapi di pondok si Jari Maut, adalah para prajurit Panglima Durangga. Jadi, bukan murid-murid si Jari Maut. Aku tahu semua ini karena Sangkala yang cerita tadi,” jelas Pandan Wangi.

“Benar, Gusti Prabu,” ujar Sangkala membenarkan ucapan Pandan Wangi

“Ya, sudah. Sebaiknya kita segera kembali ke istana,” ujar Rangga.

“Bagaimana dengan Sangkala?” tanya Pandan Wangi

Rangga tersenyum dan menghampiri pemuda itu. Ditepuk-tepuknya Sangkala dan mengajaknya meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi segera mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti

“Kau hanya jadi korban saja, Sangkala. Sekarang juga, kau kubebaskan dari hukuman. Temui Danupaksi, dan minta pekerjaan padanya,” ujar Rangga.

“Terima kasih, Gusti Prabu. Hamba akan selalu setia pada Gusti Prabu dan Karang Setra,” ucap Sangkala penuh hormat

“Aku percaya padamu, Sangkala.”

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: SILUMAN ULAR MERAH

Pembalasan Mintarsih

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

PEMBALASAN MINTARSIH

SATU
“Auuung...!”

Lolong anjing menggema, menyusup ke setiap telinga terbawa angin malam. Suara itu terdengar begitu dekat, seakan-akan tidak jauh di belakang dua orang prajurit yang bertugas jaga malam di depan rumah tahanan, di belakang Istana Kerajaan Karang Setra. Kedua prajurit berusia muda itu saling berpandangan, lalu sama-sama bergerak saling mendekat

“Auuung...!”

“Tidak biasanya malam-malam begini ada lolongan anjing,” bisik salah seorang prajurit, perlahan.

“Iya. Aku jadi merinding,” sambut temannya.

“Kata orang, kalau anjing melolong begini, ada setan lewat,” jelas prajurit itu lagi, sok tahu.

“Jangan ngaco, ah!” dengus temannya seraya bergidik.

Mereka tidak bicara lagi. Dan suara itu semakin sering terdengar, membuat wajah kedua prajurit itu terlihat bertambah pucat. Beberapa kali mereka saling melemparkan pandang, lalu menghembuskan napas panjang. Seakan-akan mereka ingin mengusir rasa takut yang tiba-tiba saja menyelinap ke dalam hati.

“Aku ingin ke belakang dulu,” kata seorang prajurit lagi.

“Heh...?! Mau ke mana..?” prajurit satunya lagi tersentak.

“Buang air. Sebentar....”

“Aku ikut”

“Yang jaga di sini nanti siapa? Pasti Gusti Prabu marah.”

"Masa bodo, ah!”

Mereka hendak melangkah. Namun belum juga kaki kedua prajurit itu terayun, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, di depan kedua prajurit itu sudah berdiri seseorang berbaju merah menyala. Wajahnya hampir tertutup rambut yang terurai panjang dan acak-acakan.

“Heh...?!”

“Ah...?!”

Kedua prajurit itu tersentak kaget. Mata mereka terbeliak lebar, dengan mulut ternganga. Dan sebelum keterkejutan mereka bisa hilang, mendadak saja orang berbaju serba merah itu cepat menggerakkan kedua tangannya.

Bet! Des!

Kedua prajurit itu terpaku tak dapat bersuara lagi, kemudian ambruk ke lantai batu yang dingin dan keras di depan pintu penjara. Kedua mata mereka terbuka lebar, dan mulut menganga. Dari kening di antara kedua mata mengucurkan darah. Sebuah lubang sebesar jari terlihat di kening kedua prajurit itu. Seketika mereka tewas, tanpa bersuara sedikit pun. Orang berbaju merah menyala itu mengambil seikat kunci dari pinggang salah seorang prajurit, lalu bergegas menghampiri pintu. Dengan kunci itu dia membuka pintu penjara.

“Hep!”

Cepat orang berbaju merah itu melompat masuk begitu pintu terbuka. Ayunan kakinya ringan dan tak bersuara sedikit pun. Disusurinya lorong yang hanya diterangi beberapa obor di dinding. Di kiri kanan lorong batu ini terdapat pintu-pintu besi yang terdapat sedikit lubang di tengahnya.

Orang berbaju merah itu mengintip di setiap lubang pintu. Dia terus bergerak cepat dan ringan sambil memeriksa setiap pintu besi di sepanjang kiri kanan lorong ini. Hingga pada sebuah pintu, kakinya berhenti melangkah. Sebentar matanya mengintip melalui lubang di pintu. Kemudian bergegas dibukanya pintu itu dengan kunci yang diambil dari pinggang salah seorang prajurit di luar tadi.

Kriiiet!

Suara derit pintu terdengar saat didorong membuka. Orang berbaju merah itu cepat melangkah masuk. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke seorang pemuda berbaju putih kotor dan berdebu. Pemuda itu tengah duduk memeluk lutut di sudut ruangan berukuran kecil ini.

“Eh...?!”

Pemuda berwajah cukup tampan itu terkejut, lalu cepat bangkit berdiri. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, mendadak saja tangan orang berbaju serba merah itu bergerak ke dadanya. Dan begitu jari tangannya menotok, seketika pemuda itu langsung ambruk ke lantai disertai keluhan kecil.

Tanpa berkata apa pun, orang berbaju merah itu mengangkat tubuh pemuda ini. Lalu, dia cepat melompat ke luar. Orang berbaju merah itu terus cepat menyusuri lorong menuju ke luar kembali. Dan begitu berada di luar penjara, cepat melesat ke atas. Sebentar kakinya dijejakkan di atas atap penjara, lalu kembali melesat cepat. Tubuhnya kemudian menghilang di belakang tembok bangunan penjara yang terbuat dari batu.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa. Tak ada seorang pun yang mengetahui peristiwa di penjara Karang Setra malam ini. Semua terjadi begitu cepat, tanpa menimbulkan keributan sedikit pun juga. Tinggal dua prajurit penjaga yang malang tergeletak tak bernyawa dengan kening berlubang sebesar jari.

********************

Dari jendela yang terbuka lebar, Rangga mengawasi para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Empat orang prajurit tengah menggotong dua prajurit yang tewas dengan kening berlubang. Darah sudah membeku, tak lagi mengucur. Di samping Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Dan di belakang mereka terlihat Cempaka dan Danupaksi.

Perlahan Rangga memutar tubuhnya mem-belakangi jendela. Ditatapnya Danupaksi dan Cempaka dengan sinar mata redup. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepala saja. Pandan Wangi ikut memutar tubuhnya, lalu duduk di kursi yang ada di samping jendela itu.

“Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi kita semua,” kata Rangga perlahan.

“Aku yang salah, Kakang. Di sana hanya kutempatkan dua penjaga saja,” ujar Danupaksi seraya mengangkat kepala.

“Tidak. Kau tidak perlu merasa bersalah, Danupaksi. Kesalahan ada pada kita semua, yang tidak mau belajar pada pengalaman. Ini suatu pelajaran. Dalam keadaan apa pun, kewaspadaan tidak bisa diabaikan begitu saja,” jelas Rangga bijaksana.

“Kalau saja kutempatkan satu regu penjaga, peristiwa semalam tidak perlu terjadi, Kakang,” kata Danupaksi, masih merasa bersalah.

“Semua yang terjadi tidak bisa diduga sebelumnya, Danupaksi. Meskipun kau menempatkan satu pasukan, kalau memang akan terjadi, maka tetap terjadi. Bahkan bukannya tidak mungkin akan lebih banyak jatuh korban lagi.”

Danupaksi terdiam. Kata-kata Rangga barusan memang tidak bisa dibantah lagi. Tapi, dia tetap merasa bertanggung jawab atas peristiwa semalam yang teiah meminta korban dua orang prajurit

“Kakang, apa mungkin Sangkala melarikan diri dan membunuh kedua prajurit itu?” duga Cempaka yang sejak tadi diam saja.

“Sangkala sudah menyadari kesalahannya. Bahkan telah berjanji akan selalu setia pada Karang Setra setelah masa hukumannya berakhir,” dengan halus Rangga membantah jalan pikiran adik tirinya ini.

“Tapi, kenyataannya dia kabur dari penjara, Kakang,” Cempaka berusaha menguatkan dugaannya.

“Hm..., kau lihat luka di kening kedua prajurit itu?” Rangga kini malah bertanya.

Cempaka hanya mengangguk saja.

“Aku seperti pernah melihat luka seperti itu, Kakang,” selak Pandan Wangi.

“Kurasa, kau masih ingat peristiwa di Desa Malimping, Pandan,” ujar Rangga.

“Benar, Kakang...!” sentak Pandan Wangi seraya bangkit dari duduknya.

“Kau tahu, siapa yang membawa kabur Sangkala, Kak Pandan?” tanya Danupaksi

“Luka seperti itu tidak ada lagi di dunia ini. Jelas, itu akibat dari jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Aku tahu, siapa yang memiliki jurus itu,” tandas Pandan Wangi.

“Siapa?” tanya Cempaka.

“Si Jari Maut,” sahut Pandan Wangi.

“Jari Maut..?!” Danupaksi mendesis, seakan-akan tidak percaya.

Mereka semua jadi terdiam dan saling melemparkan pandangan. Semua yang ada di situ tahu, siapa si Jari Maut itu. Dia adalah seorang tokoh persilatan beraliran hitam yang sukar dicari tandingannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti pernah bentrok dengannya di Desa Malimping. Waktu itu, Rangga memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki jalan hidupnya yang salah. Memang, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang mampu mengalahkan si Jari Maut

Tantu saja mereka tidak bisa mempercayai, karena semua tahu kalau si Jari Maut sudah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dan dia akan selalu membantu Karang Setra jika dibutuhkan. Tapi, kelihatannya Cempaka tidak seperti yang lain.

“Aku sudah menduga, si Jari Maut pasti akan mencari kesempatan untuk membalas dendam padamu, Kakang,” ujar Cempaka, agak mendesis suaranya.

“Jangan cepat berprasangka buruk, Cempaka,” sergah Rangga.

“Sudah terbukti, Kakang. Kedua prajurit penjaga itu tewas oleh jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Siapa lagi orangnya kalau bukan si Jari Maut..?” dengus Cempaka.

“Aku akan menanyakan hal ini padanya,” ujar Danupaksi agak mendesis.

“Kalau kau menemui si Jari Maut, urusannya akan bertambah panjang, Danupaksi,” kata Rangga.

“Tapi, Kakang...”

Rangga cepat mengangkat tangannya. Maka Danupaksi tidak meneruskan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti kembali memutar tubuh, menghadap ke jendela lagi. Sementara para prajurit masih terlihat sibuk di sekitar bangunan penjara.

“Danupaksi, siapkan kudaku dan kuda Pandan Wangi. Dan kau, Cempaka. Bawakan pakaianku serta Pedang Rajawali Sakti ke sini,” perintah Rangga tegas.

“Kakang akan pergi?” tanya Cempaka.

“Benar,” sahut Rangga singkat

Tanpa membantah lagi, kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti bergegas meninggalkan ruangan ini. Pandan Wangi sendiri segera ke luar. Gadis itu juga harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan bersama Pendekar Rajawali Sakti. Memang dia sudah bisa menangkap arti perintah itu.

Sementara Rangga masih berdiri terpaku di depan jendela, memperhatikan para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Tak berapa lama, Cempaka masuk kembali ke dalam ruangan itu. Setelah meletakkan pakaian dan pedang pusaka kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti di atas meja, gadis itu cepat melangkah ke luar dan menutup pintunya kembali.

“Jari Maut... Hm, mungkinkah dia melarikan Sangkala? Untuk apa hal itu dilakukannya...?” gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.

********************

Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga dan Pandan Wangi keluar dari gerbang belakang Istana Karang Setra. Mereka menunggang kuda masing-masing yang selalu setia menemani setiap kali pergi mengembara. Mereka memacu kuda tidak terlalu cepat, agar tidak menimbulkan perhatian seluruh rakyat Karang Setra.

Baru setelah melewati gerbang perbatasan sebelah Selatan, mereka memacu cepat kudanya. Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali Sakti yang menunggang kuda hitam Dewa Bayu. Gadis itu tahu kalau mereka menuju Lembah Kunir, tempat tinggal si Jari Maut.

“Kita ke Lembah Kunir, Kakang...?” agak keras suara Pandan Wangi untuk mengalahkan suara kaki kuda yang menghentak tanah berdebu.

“Benar,” sahut Rangga juga keras suaranya.

“Untuk apa ke sana?” tanya Pandan Wangi.

Tentu saja Pandan Wangi bertanya demikian, karena sebelum berangkat tadi Rangga memberi pesan pada Danupaksi dan Cempaka agar tidak mengusik si Jari Maut. Tapi, kenapa Rangga sendiri yang sekarang menuju ke sana? Pandan Wangi merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak menepati kata-katanya sendiri.

“Berhenti dulu, Kakang!” seru Pandan Wangi seraya menghentikan lari kudanya.

Rangga cepat menarik tali kekang kudanya sampai berhenti. Wajahnya berpaling menatap Pandan Wangi yang masih tetap berada di punggung kudanya. Rangga memutar kudanya, lalu menghampiri gadis itu. Ditatapnya Pandan Wangi dalam-dalam. Namun yang ditatap malah membalasnya tidak kalah tajam.

“Sejak kapan kau tidak mematuhi kata-katamu sendiri, Kakang?” tanya Pandan Wangi. Nada suaranya terdengar mengandung kekecewaan.

“Kau kecewa karena aku hendak menemui si Jari Maut, sedangkan aku melarang Cempaka dan Danupaksi ke sana...?” Rangga langsung bisa menebak.

Pandan Wangi hanya diam saja. Tatapan matanya tetap tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Dengar, Pandan Wangi. Aku ke sana hanya untuk mencari kebenaran saja. Kalaupun ternyata dia tidak melakukan, aku tidak akan memperpanjang,” jelas Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis ini.

Pandan Wangi masih diam saja.

“Aku tidak ingin terjadi salah paham, Pandan,” kata Rangga lagi.

“Salah paham apa?” tanya Pandan Wangi tidak mengerti.

“Kalau tidak ke sana lebih dulu, aku khawatir Danupaksi atau Cempaka yang ke sana. Dan aku tidak menginginkan terjadi kesalahpahaman di antara mereka dengan si Jari Maut. Aku akan menjelaskan keadaan yang sebenarnya nanti. Agar kalau Danupaksi atau Cempaka ke sana, si Jari Maut tidak tersinggung dan tidak terjadi kesalahpahaman. Kau mengerti, Pandan?” jelas Rangga panjang lebar.

Pandan Wangi masih tetap diam beberapa saat Kemudian....

“Aku mengerti, Kakang. Maaf,” ucap Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, lalu memutar kudanya kembali. Mereka kemudian memacu cepat kudanya lagi. Kali ini tidak ada keraguan lagi di hati Pandan Wangi. Bahkan di dalam hati memuji tindakan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu bijaksana. Dia mampu berpikir jauh, dengan segala akibat yang bisa terjadi tanpa diduga.

Kedua pendekar muda itu terus memacu kuda, menembus hutan yang tidak terlalu lebat. Dari Istana Karang Setra ke Lembah Kunir, memang hanya memerlukan waktu setengah hari perjalanan berkuda. Dan di saat matahari sudah condong ke arah Barat, mereka baru sampai di tepi lembah yang memiliki pemandangan indah ini. Sudah tiga kali Pandan Wangi ke lembah ini. Dan gadis itu selalu berdecak kagum memandangi keindahan alamnya.

Mereka memperlambat laju kudanya saat memasuki lembah ini. Sebuah pondok kecil terlihat berada di tengah-tengah lembah. Beberapa pohon besar seakan-akan melindungi pondok itu. Juga, batu-batu besar berserakan di sekitarnya. Kedua pendekar muda itu berhenti setelah dekat dengan pondok kecil ini.

“Hup!”

Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Pandan Wangi cepat mengikuti. Kakinya melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti, lalu berdiri di sampingnya. Sebentar mereka memandangi pondok kecil yang kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat. Dan baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak saja....

Slap!

“Awas...!” seru Rangga.

Dari atas sebatang pohon, meluncur bayangan merah begitu cepat ke arah Pandan Wangi. Begitu cepatnya, sehingga gadis itu sempat terhenyak. Tapi, tubuhnya cepat melenting berputar ke belakang. Bayangan merah itu lewat sedikit dari tubuh si Kipas Maut

“Hiyaaa...!”

Pandan Wangi bergegas melompat kembali mendekati Rangga. Pada saat itu, dari balik pepohonan dan bebatuan berlompatan tubuh-tubuh berbaju merah. Seluruh kepala mereka terselubung kain merah, dan hanya dua lubang kecil yang membuat bola mata mereka terlihat. Sebentar saja, sepuluh orang berbaju merah sudah mengepung kedua pendekar muda itu.

“Siapa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi setengah berbisik.

“Aku tidak tahu,” sahut Rangga. “Berhati-hatilah....”

Sepuluh orang berbaju serba merah itu semuanya memegang tongkat kayu berwarna kecoklatan. Mereka bergerak perlahan-lahan memutari kedua pendekar muda itu. Tongkat di tangan mereka bergerak berputar perlahan. Dan secara bersamaan, mereka berhenti bergerak. Lalu, secara bersamaan pula mereka mengebutkan tongkatnya hingga tertuju lurus ke depan, seperti menuding kedua pendekar itu.

Seperti ada yang memberi aba-aba, tiba-tiba saja mereka berlompatan cepat sambil mengebutkan tongkat secara bersamaan ke arah kedua pendekar muda itu.

“Hiyaaat..!”
“Hup!”
“Yeaaah...!”

Rangga dan Pandan Wangi cepat melesat ke udara, menghindari hunjaman sepuluh tongkat yang datang bersamaan. Mereka berputaran beberapa kali di udara, lalu cepat mendarat kembali di tanah. Pada saat itu, sepuluh orang berbaju merah membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerang Rangga, dan satu kelompok lagi langsung menyerang Pandan Wangi.

“Hait..!”

Rangga cepat menarik tubuh ke belakang, ketika satu tongkat kayu meluruk deras dari arah samping. Saat tongkat itu tepat di depan dada, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan tangan kanan. Langsung disabetnya tongkat di depan dadanya itu.

Tak!

“Uts!'

Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang, setelah berhasil menghalau tongkat itu dari depan dada. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi satu serangan dari arah kanan. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Seketika ujung-ujung tongkat berhamburan di sekitar tubuhnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Rangga cepat melentingkan tubuh sambil menghentakkan kedua tangannya ke samping. Lima tongkat yang menghujani tubuhnya, tersampok tangan Pendekar Rajawali Sakti sehingga berpentalan di udara. Cepat cepat Rangga melesat ke atas. Seketika dengan cepat disambarnya tongkat-tongkat itu. Begitu mendarat kembali di tanah, lima batang tongkat kayu sudah berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

DUA

Lima orang berbaju merah yang tadi menyerang Rangga, secara bersamaan berlompatan menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdiri berjajar sambil melipat tangan di depan dada. Rangga jadi tercenung, karena tak ada seorang pun yang bergerak lagi memberi serangan. Bahkan malah memperhatikan pertarungan antara Pandan Wangi dan lima orang lain yang juga mengenakan baju merah dan bersenjatakan tongkat kayu.

Tampaknya Pandan Wangi juga menguasai pertarungan. Satu persatu lawan-lawannya dibuat jatuh bangun. Seketika tongkat-tongkat mereka berpentalan, saat gadis itu bergerak cepat sambil mengebutkan cepat kipas baja putihnya. Begitu senjatanya terlepas dari tangan, cepat sekali kelima orang berbaju merah itu berlompatan mundur. Lalu mereka bergabung bersama lima orang lainnya. Sepuluh orang berbaju merah menyala itu kini berdiri berjajar dengan tangan terlipat di depan dada. Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga.

Plok, plok, plok...!

Rangga dan Pandan Wangi bersamaan berpaling saat terdengar tepukan tangan. Di ambang pintu pondok yang kini terbuka lebar, tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan baju merah ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.

“Jari Maut..,” desis Pandan Wangi langsung mengenali laki-laki setengah baya berbaju merah itu.

Slap!

Ringan sekali si Jari Maut melompat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar dua langkah di depan Rangga. Tubuhnya membungkuk sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Penghormatan itu dibalas Rangga dengan membungkukkan tubuhnya juga.

“Maaf. Penyambutanku mungkin kurang berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti,” ucap si Jari Maut ramah.

“Sambutan yang mengesankan,” sahut Rangga seraya melirik sepuluh orang berbaju merah.

“Kalian cepat beri hormat pada tamuku!” perintah si Jari Maut

Sepuluh orang berbaju merah itu cepat merapatkan telapak tangan di depan dada, lalu membungkuk memberi hormat pada kedua pendekar muda itu. Rangga dan Pandan Wangi membalas dengan membungkukkan tubuh juga.

Setelah kembali tegak, sepuluh orang berbaju merah itu melepaskan penutup kepala. Maka kini tampaklah wajah-wajah yang muda dan belia. Mereka ternyata gadis-gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Tak satu pun di antara mereka yang laki-laki.

“Mereka murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” si Jari Maut memberi tahu.

“Hebat! Satu pasukan prajurit terlatih pun tidak akan mampu menghadapi mereka,” puji Rangga.

“Ah! Kau terlalu memuji, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka masih perlu bimbingan lebih lama lagi. Masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Kau bisa lihat sendiri. Hanya beberapa gebrakan saja, mereka sudah kau buat tidak berdaya,” Jari Maut merendahkan diri.

“Tapi aku kagum. Mereka benar-benar tangkas dan sangat berbakat,” lagi-lagi Rangga memuji.

“Terima kasih,” ucap si Jari Maut seraya menjura. Rangga membalas dengan membungkukkan tubuh sedikit

“Kau datang ke sini, tentu ada maksud tertentu,” tebak si Jari Maut tidak ingin Rangga meneruskan pujian pada murid-muridnya.

“Benar. Sesuatu yang sangat penting,” sahut Rangga.

“Kalau begitu, sebaiknya bicara di dalam saja. Mari...,” ajak si Jari Maut

Rangga melangkah mengikuti laki-laki setengah baya yang sudah berjalan lebih dulu. Sementara Pandan Wangi mengikuti di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan sepuluh orang murid si Jari Maut, bergegas meninggalkan tempat itu. Mereka menuju bagian belakang pondok kecil ini.

Sementara Rangga dan Pandan Wangi, serta si Jari Maut sudah berada di dalam pondok. Mereka duduk di lantai yang beralaskan selembar permadani ber-corak bunga-bunga.

“Bisa dijelaskan sekarang, keperluan apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya si Jari Maut

“Kuharap kau tidak tersinggung setelah aku menyampaikannya. Masalahnya ini menyangkut nama baikmu selama ini, yang telah kau jaga dengan baik,” kata Rangga memulai.

“Nama baikku...? Apakah persoalan yang kau bawa ada sangkut pautnya dengan diriku?” tanya si Jari Maut, tidak mengerti.

“Aku sendiri tidak yakin. Tapi tampaknya memang demikian,” sahut Rangga.

Si Jari Maut memandangi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi bergantian. Sedangkan yang dipandangi juga balas memandang. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam tanpa berkata-kata. Di benak si Jari Maut, timbul berbagai macam dugaan dan pertanyaan yang belum tentu kebenarannya. Sedangkan Rangga sendiri tampaknya sulit untuk mengemukakan. Pendekar Rajawali Sakti harus mengatakannya, tapi tidak ingin menyinggung perasaan laki-laki setengah baya berbaju merah ini.
Pendekar Rajawali Sakti
“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku harus mencari kebenarannya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku merasa hubungan baik kita selama ini bisa terancam,” kata Rangga setelah cukup lama terdiam.

“Hm.... Katakan saja, apa masalahnya, Pendekar Rajawali Sakti...?” pinta si Jari Maut tidak sabaran.

“Semalam, sesuatu telah terjadi di Istana Karang Setra. Dua orang prajurit yang bertugas di rumah tahanan, ditemukan tewas. Dan satu orang tahanan yang sedang menjalani masa hukuman telah hilang...,” Rangga berhenti sebentar, lalu menarik napas panjang.

“Teruskan,” pinta si Jari Maut

“Aku tidak akan ke sini jika kematian dua orang prajurit itu tidak memberi petunjuk untukku yang menyangkut dirimu, Jari Maut,” sambung Rangga.

“Petunjuk...? Apa maksudmu dengan petunjuk, Pendekar Rajawali Sakti?” Jari Maut meminta penjelasan.

“Kedua prajurit itu tewas dengan lubang di kening, antara kedua matanya. Lubang sebesar jari....”

Brak!

Jari Maut menggebrak meja di depannya hingga bergetar. Seketika saja wajahnya memerah seperti besi terbakar di dalam tungku perapian pandai besi. Gerahamnya bergemeletuk, dan bola matanya memerah berapi-api. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka memang sudah menduga, si Jari Maut pasti marah jika mendengar hal itu.

“Aku sudah berusaha untuk tidak berurusan lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku juga tidak sudi dituduh menculik tahanan Karang Setra!” agak tertahan nada suara si Jari Maut

“Jangan salah mengerti, Jari Maut. Aku hanya memberi tahu dan bukan bermaksud menuduh. Luka yang membuat kedua prajurit itu tewas memang sangat mirip dengan luka akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Tapi aku tidak langsung menuduhmu,” Rangga mencoba meredakan amarah laki-laki setengah baya ini.

“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya si Jari Maut.

“Mencari kebenaran,” sahut Rangga.

“Phuah...! Itu sama saja mencurigaiku, Pendekar Rajawali Sakti!” sentak si Jari Maut semakin menggeram marah.

“Kebenaran bukan berarti mencurigai atau menuduh. Aku percaya, bukan kau pelakunya,” Rangga masih mencoba tenang.

Sementara Pandan Wangi sudah mulai waspada. Meskipun gadis itu masih duduk di tempatnya, namun sudah meraba kipas baja putih yang terselip di sabuk pinggangnya. Sedangkan Rangga masih kelihatan tenang, walaupun orang yang dihadapinya seperti sudah tidak lagi bisa menahan amarah.

“Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah bersumpah untuk tidak lagi terjun dalam dunia persilatan. Bahkan sudah berjanji untuk membantu Karang Setra jika mendapat kesulitan. Mana mungkin aku bisa membunuh dua orang prajurit dan melarikan seorang tahanan...? Siapa tahanan itu?” masih terdengar sengit nada suara si Jari Maut Meskipun dari tekanannya, kemarahannya sudah dicoba untuk diredakan.

Si Jari Maut menyadari, siapa yang ada di depannya ini. Seorang pendekar muda dan digdaya yang pernah menaklukkannya di Desa Malimping. Di samping itu, dia juga seorang raja yang menguasai seluruh wilayah Karang Setra. Dan Lembah Kunir ini juga termasuk kekuasaan Karang Setra.

“Tahanan itu bernama Sangkala. Dia murid mendiang Pendeta Pohaji. Kau pasti sudah mendengar peristiwanya, kenapa dia sampai mendapat hukuman,” sahut Rangga.

Si Jari Maut terdiam. Dia memang tahu, siapa Sangkala itu. Dan kenapa dia bisa berada di dalam tahanan Karang Setra. Seluruh peristiwanya memang sudah diketahuinya meskipun dia tidak terlibat langsung di dalamnya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisahJaringan Hitam)

“Phuhhh...!” Jari Maut menghembuskan napas kuat-kuat

Wajah yang semula memerah, kini perlahan memudar. Beberapa kali si Jari Maut menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu dirayapinya wajah Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

“Maaf, aku...,” ucap Jari Maut terputus.

“Sudahlah.... Aku bisa mengerti, Jari Maut,” desah Rangga seraya tersenyum.

“Sudah hampir malam. Sebaiknya kalian menginap saja di sini. Besok, baru kalian bisa melanjutkan perjalanan,” kata Jari Maut

“Terima kasih,” ucap Rangga.

********************

Malam sudah cukup larut Tapi Rangga belum juga dapat memejamkan matanya. Sebentar tubuhnya dimiringkan ke kanan. Lalu, dimiringkan lagi ke kiri. Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gelisah sekali malam ini. Perlahan dia bangkit turun dari pembaringan.

Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan mendekati jendela. Lalu membuka daun jendela lebar-lebar, sehingga angin yang dingin malam ini menerobos masuk ke dalam kamarnya. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat, dan menghilang di balik sebatang pohon yang cukup besar. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga cepat melompat ke luar.

“Hup!”

Begitu kakinya menjejak tanah, kembali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke pohon besar tempat bayangan merah tadi lenyap. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di balik pohon, tapi tidak menemukan sesuatu di sini. Hanya kegelapan saja yang dijumpainya. Sebentar pendengarannya ditajamkan sambil mengedarkan pandangan berkeliling.

Sing!

“Uts...!”

Hampir saja sebuah benda yang meluncur dari belakang, menghantam tubuhnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tubuhnya ke kanan. Maka benda berwarna merah itu menghantam batang pohon yang cukup besar. Sedikit tangan Rangga melirik ke arah benda berbentuk mata anak panah itu, kemudian cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat dari dalam sebuah semak yang cukup jauh dari tempat ini.

“Hup! Yeaaah...!”

Bergegas Rangga melompat mengejar bayangan merah itu. Lesatannya sungguh ringan dan cepat, karena ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tahap kesempurnaan dikerahkan. Namun, begitu hampir saja menyusul, mendadak saja bayangan merah itu berbalik, Dan....

Bet!

Wusss...!

“Uts!”

Rangga cepat mengegoskan tubuh ke kanan, ketika tiba-tiba saja tangan orang berbaju serba merah itu berkelebat cepat. Seketika sebuah benda merah berbentuk mata panah meluncur deras, hampir menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi Rangga menarik tubuhnya, tahu-tahu bayangan merah itu sudah melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga dalam kuat cepat sekali dilepaskannya.

“Yeaaah...!”

“Hait..!”

Rangga cepat melentingkan tubuhnya, lalu berputar ke belakang menghindari serangan orang berbaju merah itu. Dan selagi Pendekar Rajawali Sakti berputaran ke belakang, orang berbaju serba merah itu melesat ke udara. Lalu, kakinya hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi. Kembali tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan.

“Sial!” rungut Rangga.

Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti kehilangan bayangan merah itu. Maka dia cepat melesat ke atas, dan hinggap di cabang pohon yang tinggi. Pandangannya beredar tajam, merayapi sekelilingnya yang diselimuti kegelapan dan kabut cukup tebal.

“Hm.... Siapa dia?” Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Semalaman Rangga mengelilingi Lembah Kunir, mencari orang berbaju merah yang membuat dirinya terus bertanya-tanya sendiri. Tapi hingga matahari timbul, tidak juga ditemukan tanda-tanda orang aneh itu. Rangga kembali ke pondok kecil, tempat tinggal si Jari Maut. Di depan pintu, laki-laki setengah baya berbaju serba merah itu seperti sudah menunggu.

“Kau tidak tidur semalam, Pendekar Rajawali Sakti?” si Jari Maut langsung menegur begitu Rangga berada dekat di depannya.

Rangga tidak segera menjawab. Dipandanginya laki-laki setengah baya itu sebentar, kemudian tubuhnya dihempaskan di kursi panjang dari bambu yang berada di samping pintu pondok ini. Orang yang ditemuinya semalam, mengenakan baju merah juga. Tapi sayangnya, Rangga tidak bisa mengenali wajah orang itu. Karena, seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain merah. Persis seperti yang dikenakan murid-murid si Jari Maut

“Aku tidak melihat murid-muridmu. Ke mana mereka?” tanya Rangga, agak memancing nada suaranya.

“Setiap pagi mereka harus melatih tenaga dalam di tepi sungai,” sahut si Jari Maut. “Baru tengah hari nanti mereka kembali. Ada apa kau tanyakan mereka?”

“Semalam aku melihat seseorang menyelinap ke sini. Dia berpakaian persis dengan murid-muridmu,” jelas Rangga seraya menatap agak tajam pada si Jari Maut.

“Kuharap kau tidak sedang bergurau, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Jari Maut tidak percaya. “Selama aku tinggal di sini, tak pernah ada seorang pun yang berani menyelinap. Sepanjang malam murid-muridku bergiliran berjaga.”

“Kau membekali mereka dengan senjata rahasia, Jari Maut?” tanya Rangga lagi.

“Aku tidak pernah mengajarkan mereka meng-gunakan senjata rahasia apa pun juga. Mereka selalu kuajarkan untuk menghadapi segala sesuatu secara jantan,” tegas Jari Maut

Rangga bangkit berdiri, tepat saat Pandan Wangi muncul dari dalam pondok ini. Gadis itu menghampiri Rangga, dan memandangi kedua laki-laki itu dengan kening agak berkerut. Dia merasakan ada sedikit ketegangan di antara mereka.

“Aku mohon maaf. Mungkin kedatangan kami dalam suasana yang tidak tepat,” ucap Rangga. “Oh, ya. Berapa jumlah muridmu?”

“Sepuluh. Kenapa hal itu kau tanyakan?”

“Hanya ingin tahu saja.”

“Kuharap kau tidak membuka pertentangan di antara kita, Pendekar Rajawali Sakti,” sambut Jari Maut, agak dingin nada suaranya.

“Kami mohon diri, dan terima kasih atas semua layanan yang kau berikan,” ucap Rangga berpamitan.

Sengaja Rangga cepat-cepat berpamitan sebelum darah di dalam tubuh si Jari Maut kembali mendidih. Kata-kata si Jari Maut yang terakhir sudah menunjukkan ketidaksenangannya, karena Pendekar Rajawali Sakti terlalu banyak bertanya. Terlebih lagi jika masalah pribadinya dikorek. Dan Rangga sendiri tidak ingin hubungan mereka yang sudah berjalan baik, hancur karena persoalan yang belum jelas ini.

Jari Maut mengantarkan sampai di tempat kuda kedua pendekar muda itu ditambatkan. Tanpa berbicara lagi, Rangga mengajak Pandan Wangi pergi dari lembah ini. Jari Maut terus memandangi kedua pendekar muda itu sampai keluar dari lembah.

Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan Lembah Kunir. Dan pada suatu tempat yang tidak begitu rapat dirumbuhi pepohonan, Rangga menghentikan kudanya. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan manis sekali. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Gadis itu berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti yang tengah memandang ke arah lembah. Dari tempat yang cukup tinggi ini, mereka bisa leluasa memandang ke Lembah Kunir. Seluruh lembah itu bisa terlihat jelas.

“Ada apa, Kakang? Kenapa berhenti?” tanya Pandan Wangi.

“Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan si Jari Maut,” sahut Rangga perlahan setengah bergumam.

“Maksudmu?” Pandan Wangi tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Sikapnya...,” sahut Rangga terputus.

“Aku tidak melihat ada yang aneh. Dia memang mudah sekali marah, dan cepat tersinggung. Tapi, kulihat dia tetap menghormati kita, Kakang. Bahkan juga berjanji akan membantu mencari Sangkala,” sergah Pandan Wangi mengemukakan penilaiannya pada si Jari Maut.

“Mudah-mudahan penilaianmu benar, Pandan,” desah Rangga perlahan.

Pandan Wangi memandangi wajah tampan di sampingnya. Dia tahu kalau saat ini Rangga tengah memikirkan sesuatu. Kata-katanya tadi hanya dimaksudkan untuk menyenangkan hati gadis ini saja. Dan itu bisa dirasakan Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri masih terus memandang ke arah lembah di depan sana, seperti ada sesuatu yang menarik dalam penilaiannya.

“Bagaimana tidurmu semalam, Pandan?” tanya Rangga tiba-tiba seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.

“Nyenyak,” sahut Pandan Wangi.

“Kau tidak merasakan atau mendengar sesuatu?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Rangga dalam-dalam. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan semua pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Apalagi, sikap Rangga seperti mencurigai si Jari Maut. Sedangkan dia tidak melihat kejanggalan pada diri laki-laki setengah baya itu.

“Kenapa kau masih mencurigainya, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Sikapnya begitu mencurigakan. Dan sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh diketahui. Terus terang, aku juga tidak yakin kalau hanya ada sepuluh orang muridnya saat ini. Dia pasti juga mengajarkan cara-cara menggunakan senjata rahasia pada murid-muridnya,” nada suara Rangga terdengar mantap.

“Kenapa kau beranggapan seperti itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.

“Apa kau tidak mendengar pembicaraanku dengan si Jari Maut?” Rangga malah balik bertanya.

“Dengar,” sahut Pandan Wangi.

“Seharusnya kau sudah bisa memahaminya, Pandan. Semalam aku melihat seseorang menyelinap. Aku sempat mengejarnya, sehingga sedikit terjadi pertarungan. Tapi dia berhasil lolos setelah melemparkan senjata rahasia padaku. Kau lihat ini...,” Rangga memperlihatkan sebuah senjata rahasia berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan.

Pandan Wangi mengambil benda itu dari tangan Rangga. Diamatinya benda itu beberapa saat, lalu ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Diserahkannya benda itu kembali pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya Rangga meminta pendapat si Kipas Maut ini.

“Aku masih tidak yakin kalau si Jari Maut bisa menggunakan senjata rahasia. Tapi...,” ucapan Pandan Wangi terputus.

“Tapi kenapa, Pandan?”

“Yang kutahu, hanya satu orang saja yang ahli dalam senjata rahasia di Karang Setra ini, Kakang.”

“Siapa?”

“Nenek Jamping,” sahut Pandan Wangi

“Nenek Jamping..?!” Rangga tertegun.

“Orang yang terdekat dengan Mintarsih”

TIGA

“Mustahil...!” desis Rangga tidak percaya.

Mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa percaya kalau Nenek Jamping bisa melakukan semua ini. Sedangkan semua orang tahu, perempuan tua itu sudah tewas. Tapi Rangga tidak menyangkal kalau kemungkinan memang Mintarsih yang melakukan semua ini. Hal ini juga pernah dilontarkan Danupaksi padanya.

Terlebih lagi, tahanan yang hilang hanya Sangkala. Seorang pemuda yang mempunyai hubungan dengan Mintarsih, sehingga mengakibatkan Pendeta Pohaji tewas di tangan wanita itu. Sedangkan Sangkala sendiri mencoba membunuh Rangga, karena termakan hasutan Mintarsih. Katanya orang tua Sangkala tewas di tangan Rangga.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa mungkin Mintarsih kini menjalin hubungan dengan si Jari Maut? Pertanyaan seperti ini tiba-tiba saja muncul di benak Rangga. Memang sukar untuk bisa memastikan, karena semuanya masih terselimut kegelapan.

“Sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah bentrok melawan Nenek Jamping. Waktu itu aku tidak mengenal Mintarsih. Dalam pertarungan itu, Nenek Jamping sangat pandai menggunakan senjata rahasia. Aku berhasil lolos karena ditolong seorang laki-laki tua yang kusebut kakek. Kau pasti kenal dengannya, Kakang,” jelas Pandan Wangi mengingat masa lalunya.

“Kau tidak pernah cerita tentang hal itu, Pandan,” sergah Rangga.

Tentu saja Rangga kenal laki-laki tua yang dimaksudkan Pandan Wangi. Mereka memang bertemu ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Tapi, dia tidak pernah tahu kalau Pandan Wangi pernah bentrok dengan perempuan tua yang bernama Nenek Jamping, sekaligus orang terdekat dengan Mintarsih. Ketika membatu Mintarsih pun, Rangga tidak melihat kalau Nenek Jamping menggunakan senjata rahasia. Atau, memang pada waktu itu tidak sempat menggunakannya? Waktu itu, pertarungan antara Rangga dan Nenek Jamping memang berlangsung dalam jarak yang begitu dekat. Jadi, rasanya terlalu sulit untuk melepaskan senjata rahasia.

“Bagaimana bentuk senjatanya, Pandan?” tanya Rangga ingin tahu.

“Terlalu banyak bentuknya. Dan aku tidak bisa memastikan satu persatu, Kakang. Dia bisa menggunakan apa saja untuk dijadikan senjata rahasia. Bahkan sehelai rumput pun bisa dijadikan senjata rahasia yang mematikan,” sahut Pandan Wangi

“Apa mungkin Mintarsih bisa menggunakan senjata rahasia?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri

“Kemungkinan itu selalu ada, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

Rangga kembali terdiam. Rasanya memang semakin sulit mencari hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainya. Memang, ada kemungkinan Mintarsih juga mahir menggunakan senjata rahasia. Tapi apa mungkin juga menguasai jurus 'Sepuluh Jari Maut'? Sedangkan dua prajurit penjaga tewas dengan kening berlubang sebesar jari. Dan luka itu sudah jelas akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Sementara, yang memiliki jurus itu hanyalah si Jari Maut

“Pandan, apa mungkin si Jari Maut dan Mintarsih memiliki hubungan?” tanya Rangga, agak ragu-ragu nada suaranya.

“Terlalu dini untuk bisa memastikannya, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

Lagi-lagi Rangga terdiam.

“Kakang, apa tidak sebaiknya kita pergi ke tempat tinggal Nenek Jamping...?” saran Pandan Wangi.

“Ke puncak Gunung Batur Gamping?”

“Bukan ke sana, Kakang. Nenek itu mempunyai tempat tinggal yang baru setelah turun dari pertapaannya,” jelas Pandan Wangi.

“Di mana?”

“Tidak jauh dari Desa Wadas Putih.”

“Desa Wadas Putih...? Untuk apa ke sana?” tanya Rangga.

“Barangkali saja Mintarsih ada di sana, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

“Tapi membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari sini, Pandan,” gumam Rangga.

“Memang, kalau hanya menunggang kuda.”

“Maksudmu...?”

“Kau punya tunggangan yang lebih cepat, bukan?”

Rangga tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Dia tahu betul maksud Pandan Wangi ini. Untuk mencapai Desa Wadas Putih dengan waktu singkat tidak ada cara lain lagi, kecuali menunggang Rajawali Putih.

“Kau sudah bersumpah untuk tidak lagi menunggang Rajawali Putih, Pandan. Apa kau sanggup melanggar sumpahmu?” ujar Rangga mengingatkan akan sumpah Pandan Wangi.

“Sebelumnya pun aku sudah pernah melanggarnya, Kakang.”

“Kau tidak takut lagi?”

“Kenapa harus takut? Toh, Rajawali Putih tidak mungkin menjatuhkan aku dari atas awan.”

“Baiklah. Aku akan memanggil Rajawali Putih, dan kita pergi ke Desa Wadas Putih.”

“Lebih cepat, lebih baik, Kakang. Mumpung belum terlalu siang.”

Rangga hanya tersenyum saja.

********************

Tidak sampai setengah hari, Rangga dan Pandan Wangi sudah berada di pinggiran Desa Wadas Putih. Mereka diturunkan Rajawali Putih di tempat sepi, dan cukup jauh dari pemukiman. Setelah berpesan pada Rajawali Putih untuk menunggu, kemudian Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke tempat tinggal Nenek Jamping yang berjarak tidak jauh lagi.

“Kapan kau terakhir ke tempat ini, Pandan?” tanya Rangga tetap cepat mengayunkan kakinya.

“Aku lupa. Tapi cukup lama juga tidak pernah ke sini lagi,” sahut Pandan Wangi.

“Ada perubahan yang kau lihat?”

“Tidak terlalu banyak. Aku masih ingat letak rumahnya, kok.”

Mereka terus berjalan cepat tanpa bicara lagi. Sengaja mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh, agar lebih cepat sampai. Dan jalan yang dipilih Pandan Wangi memang sepi. Tak seorang pun yang dijumpai, sampai mereka tiba di depan sebuah rumah kecil berdinding bilik dan beratapkan daun rumbia. Sekitar rumah itu terlihat kotor dan tidak terawat

Sebentar mereka berhenti dan merayapi sekitarnya, kemudian berjalan perlahan-lahan mendekati rumah kecil itu. Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi! Bahkan binatang kecil pun tidak dijumpai. Begitu tinggal dua batang tombak lagi mereka sampai ke rumah kecil itu, tiba-tiba saja dari bagian belakang rumah itu berlari seseorang dengan cepat.

“Hei...!” seru Rangga mencoba memanggil.

Tapi orang itu terus saja berlari seperti ketakutan. Maka Rangga cepat melompat mengejar. Dua kali dia berlompatan, sehingga melewati kepala orang itu. Dan kini, tahu-tahu Rangga sudah berdiri di depannya. Orang itu terkejut, dan langsung menghentikan larinya. Dia cepat berbalik. Tapi sebelum kakinya bergerak untuk lari, wajahnya langsung memucat melihat Pandan Wangi sudah berdiri menghadang.

“Oh! Ampuuun..., jangan bunuh aku...,” rintih orang itu seraya menjatuhkan diri berlutut

“Siapa kau, Kisanak?” tanya Pandan Wangi, dingin nada suaranya.

“Aku..., aku Koler,” sahut laki-laki muda bertubuh kurus itu. Suaranya terdengar tergagap ketakutan.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dipandanginya bungkusan kain lusuh yang berada di dalam pelukan laki-laki bertubuh kurus kering ini. Saat itu Rangga sudah menghampiri dan berdiri di samping Pandan Wangi. Sebentar mereka saling ber-pandangan. Sedangkan laki-laki kurus yang tidak mengenakan baju ini, masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk dan tubuh terbungkuk hampir menyentuh tanah.

“Bungkusan apa itu?” tanya Rangga.

“Oh! Ini.., ini..,” suara Koler terputus-putus.

“Aku tanya, bungkusan apa itu?!” Rangga mengulangi dengan tegas.

“Aku mohon, jangan dirampas. Bungkusan ini hanya berisi ramuan obat-obatan,” nada suara Koler terdengar bergetar.

“Ramuan obat-obatan? Untuk siapa?” desak Rangga.

“Untuk seseorang, Tuan.”

“Iya, aku tahu untuk seseorang! Masa' untuk binatang!” dengus Pandan Wangi jadi kesal “Aku tanya, siapa yang membutuhkan obat-obatan itu...?!”

“Aku..., aku tidak tahu namanya. Aku dibayar untuk mengambil bungkusan ini dari rumah itu.”

“Laki-laki atau perempuan?” kejar Pandan Wangi.

“Perempuan.”

“Di mana dia menunggumu?” tanya Pandan Wangi terus mengejar.

“Oh...?!” Koler nampak terkejut mendengar pertanyaan Pandan Wangi.

Laki-laki berusia muda dan bertubuh kurus tanpa baju itu terdongak menatap Pandan Wangi, lalu beralih menatap Rangga. Tubuhnya nampak menggetar seperti menahan takut. Sedangkan tatapan Pandan Wangi begitu tajam menusuk.

“Kau boleh pergi,” kata Rangga tiba-tiba.

“Oh, terima kasih...,” ucap Koler langsung berseri-seri wajahnya.

Laki-laki kurus itu bergegas bangkit, lalu berlari cepat meninggalkan kedua pendekar muda itu. Didekapnya bungkusan kainnya, seakan-akan takut terjatuh.

“Kenapa kau membiarkannya pergi, Kakang?” dengus Pandan Wangi tidak mengerti atas sikap Rangga.

“Kau tidak akan bisa mendesaknya, Pandan,” kata Rangga kalem.

Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak mengalihkan pandangannya, dan terus memperhatikan Koler yang semakin jauh berlari. Sedangkan Pandan Wangi masih tidak puas atas tindakan Rangga yang membiarkan laki-laki kurus tadi pergi begitu saja.

“Ayo kita pergi, Pandan,” ajak Rangga.

“Ke mana?” tanya Pandan Wangi. “Kita belum memeriksa ke dalam pondok itu.”

“Tidak perlu.”

“Heh...?! Bukankah tujuan kita ke sini untuk..?”

Pandan Wangi tidak sempat lagi meneruskan, karena Rangga sudah melangkah cepat meninggalkannya. Terpaksa gadis itu bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau akan tahu, siapa yang menyuruh orang itu tadi,” kata Rangga tanpa menghentikan langkahnya.

“Jadi..., kau melepaskannya hanya untuk...,” Pandan Wangi tidak meneruskan.

Rangga tidak menyahuti, dan terus melangkah cepat. Matanya terus tertuju pada laki-laki kurus yang berjalan cepat, cukup jauh di depannya. Dan Pandan Wangi sendiri tidak lagi banyak tanya. Gadis itu sudah bisa mengerti rencana Rangga yang sebenarnya.

********************

Sampai di depan sebuah gubuk kecil di tengah-tengah kebun kelapa, laki-laki bertubuh kurus tanpa baju itu berhenti melangkah. Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar. Lalu, dia bergegas masuk ke dalam gubuk kecil yang kumuh itu. Ternyata di dalam sudah menunggu seorang wanita cantik mengenakan baju biru. Dia duduk di dipan bambu yang hanya beralaskan sehelai tikar lusuh.

“Kau sudah kembali, Koler...?” suara wanita cantik itu terdengar pelan.

“Sudah, Nini,” sahut Koler seraya menghampiri.

“Tidak ada yang mengikutimu, Koler?” tanya wanita berbaju biru itu lagi.

“Tidak, tapi....”

“Tapi kenapa?”

“Aku bertemu dua orang yang mencurigakan, Nini.”

“Siapa?”

“Aku tidak tahu. Mereka laki-laki dan perempuan, dan sepertinya orang-orang persilatan. Mereka menahanku sebentar, lalu melepaskanku kembali, Nini.”

“Hm, sudahlah. Mana ramuan obat yang kupesan?”

“Ini...”

Laki-laki kurus itu duduk di samping kanan wanita berbaju biru. Diserahkannya bungkusan kain yang sejak tadi dipeluk erat-erat. Wanita cantik berbaju biru itu segera menerima. Tapi belum juga sempat membuka bungkusan kain itu, mendadak saja pintu gubuk ini terbuka sendiri dari luar. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi menerobos masuk

Koler dan wanita cantik berbaju biru itu terkejut setengah mati. Bahkan Rangga dan Pandan Wangi juga terkejut begitu berada di dalam gubuk kecil yang kumuh ini. Tidak disangka kalau di dalam gubuk ini ada seorang wanita cantik yang sudah mereka kenal. Wanita yang tak lain adalah Mintarsih.

“Akhirnya kutemukan juga kau, Mintarsih,” desis Pandan Wangi dingin.

“Mau apa kalian ke sini?!” bentak Mintarsih seraya bangkit berdiri.

Koler bergegas berdiri juga, dan langsung berlindung di belakang Mintarsih. Sedangkan wanita cantik berbaju biru itu sudah meraba ujung sabuknya yang berwarna kuning keemasan. Sorot matanya begitu tajam, penuh kebencian pada Rangga dan Pandan Wangi.

“Di mana kau sembunyikan Sangkala, Mintarsih?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Dia ada di penjara Karang Setra!” dengus Mintarsih ketus.

“Kau sudah menculiknya dan membunuh dua orang prajurit penjaga! Sekarang, di mana kau sembunyikan Sangkala...?!” bentak Pandan Wangi jadi gusar.

“Aku menculik Sangkala...? Ha ha ha...!” Mintarsih jadi tertawa terbahak-bahak mendengar tuduhan Pandan Wangi yang begitu langsung, tanpa tedeng aling-aling lagi.

“Aku tidak ada waktu main-main denganmu, Mintarsih!” sentak Pandan Wangi berang.

“Main-main? Heh...?! Aku malah senang mendengar Sangkala bisa bebas. Bahkan telah membunuh dua orang prajurit. Hebat..! Dan kau benar-benar kecolongan, Pendekar Rajawali Sakti,” terasa sinis nada suara Mintarsih.

“Mintarsih! Aku tahu, kau dalam keadaan terluka. Dan sebaiknya jangan menyulitkan dirimu sendiri,” tegas Rangga dengan suara tenang.

“Aku tidak menculik Sangkala. Dan aku tidak ada hubungan lagi dengannya. Jelas...?!” tegas Mintarsih.

“Bagaimana aku bisa percaya kata-katamu, Mintarsih?” tanya Rangga meminta kepastian.

“Tanyakan saja pada Koler. Di mana saja aku selama ini, dan apa pernah pergi ke Karang Setra atau tidak.”

“Be..., benar. Nini Mintarsih tidak pergi ke mana-mana. Setiap hari bersemadi, untuk menyembuhkan luka-lukanya di sini,” selak Koler, agak tergagap suaranya.

“Kau dengar itu, Pendekar Rajawali Sakti...?” Rangga dan Pandan Wangi diam saja. “Aku tahu, kalian tidak akan percaya. Baik.... Paksa aku...!”

Sret!

Mintarsih segera meloloskan sabuk emasnya.

Bet!

Sekali kebut saja, sabuk berwarna kuning ke emasan itu jadi menegang kaku. Dan kini sabuk itu telah membentuk sebilah pedang kuning keemasan. Kemudian kakinya melangkah ke depan satu tindak. Perlahan-lahan sabuk emas yang sudah berubah menjadi pedang itu diangkat, dan ditujukan lurus ke arah Pandan Wangi.

“Kau yang maju lebih dulu, Pandan Wangi,” desis Mintarsih dingin.

“Kau pikir aku takut, huh!” dengus Pandan Wangi.

Set!

Bet!

Begitu mencabut kipasnya, Pandan Wangi langsung mengebutkannya ke depan, tepat menghantam sabuk emas yang menegang kaku di tangan Mintarsih.

Trang!

“Tahan...!” sentak Rangga.

Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti tidak digubris sama sekali. Bagaikan kilat, kedua wanita yang sudah berhadapan itu melesat ke atas, menjebol atap gubuk dari rumbia ini.

Bres!

Rangga bergegas berlari keluar. Di depan gubuk kecil ini, tampak Mintarsih dan Pandan Wangi sudah terlibat pertarungan yang cukup sengit. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan. Tidak mudah bagi Rangga untuk menghentikan, karena pertarungan mereka berlangsung dalam jarak yang begitu rapat. Kalaupun dipaksakan, bisa berakibat parah bagi kedua wanita itu. Terpaksa Rangga hanya bisa jadi penonton saja.

Meskipun masih dalam keadaan terluka, Mintarsih masih cukup tangguh. Tidak mudah bagi Pandan Wangi untuk cepat-cepat mengakhiri pertarungan ini. Bahkan beberapa kali sabuk emas yang menegang kaku itu hampir membelah tubuhnya. Walau sudah dua pukulan bersarang di tubuhnya, Mintarsih seringkali membuat Pandan Wangi kerepotan menghalau serangan-serangannya.

“Mampus kau! Hih...!”

Dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba saja Pandan Wangi melenting ke atas. Dilewatinya kepala Mintarsih dengan tubuh berputar. Lalu cepat sekali gadis itu mengebutkan kipasnya, mengincar kepala Mintarsih.

Bet!

“Hait!”

Mintarsih cepat mengegoskan kepala ke samping. Langsung sabuk emasnya dikibaskan ke atas kepala. Tak dapat dihindari lagi, dua senjata maut itu beradu keras. Akibatnya, berpijaranlah bunga api yang memercik ke segala arah.

Trang!

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat sekali Pandan Wangi melenting, berputar sekali ke belakang Mintarsih. Lalu dengan kecepatan luar biasa, si Kipas Maut itu memberi satu pukulan dengan tangan kiri ke punggung. Serangan Pandan Wangi yang begitu cepat, tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam punggung Mintarsih.

Des!

“Akh...!” Mintarsih memekik keras.

Wanita berbaju biru itu terpental ke depan sejauh dua batang tombak, namun cepat berputar dua kali. Dengan manis kakinya kemudian menjejak tanah, walaupun agak terhuyung-huyung untuk mencoba menguasai keseimbangan tubuhnya. Tampak da rah menitik dari sudut bibirnya.

“Saatmu sudah tiba, Mintarsih...!” desis Pandan Wangi

“Tahan...!” seru Rangga tiba-tiba.

Pandan Wangi yang sudah bersiap hendak menyerang kembali, seketika berhenti begitu Rangga tahu-tahu melompat cepat dan berdiri di antara kedua wanita itu. Pandan Wangi mendengus melihat Rangga mencegah pertarungannya. Sedangkan Mintarsih hanya menatap penuh kebencian.

“Minggir, Kakang. Biar kubereskan perempuan setan ini!” dengus Pandan Wangi.

“Kendalikan dirimu, Pandan,” ujar Rangga mencoba meredakan amarah Pandan Wangi

“Dia sudah membuat keonaran di Karang Setra, dan sekarang menculik Sangkala. Perbuatannya tidak dapat diampuni lagi, Kakang,” masih bemada ketus suara Pandan Wangi.

“Belum ada bukti kalau dia yang menculik Sangkala, Pandan. Kau harus ingat tujuan kita ke sini. Hanya untuk mencari bukti dari kebenaran yang ada.”

“Huh!” dengus Pandan Wangi, kesal.

Memang sulit bagi Pandan Wangi jika harus berdebat kata-kata dengan Rangga. Selamanya tidak bisa menang! Meskipun diakui kata-kata yang diucapkan Rangga benar, tetap saja hatinya kesal. Sementara itu Rangga sudah menghampiri Mintarsih yang masih mencoba menguasai jalan napasnya dengan baik. Cukup banyak tenaga yang terkuras akibat pertarungannya tadi. Terlebih lagi, sekarang ini keadaan tubuhnya belum sembuh benar dari cedera akibat bertempur melawan Pendekar Rajawali Sakti.

“Mintarsih, aku tidak ingin menyulitkan dirimu. Dan sebaiknya, kau juga jangan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri,” kata Rangga. Suaranya tenang dan lembut.

“Kalau kau menginginkan Sangkala, dia tidak ada di sini!” dengus Mintarsih langsung memotong cepat

“Benar kau tidak membawa lari Sangkala dari penjara?” tanya Rangga ingin menegaskan.

"Untuk apa...? Dia tidak ada gunanya bagiku!” sahut Mintarsih.

Rangga memandangi bola mata wanita di depannya ini dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari kata-kata yang diucapkan Mintarsih barusan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengeluarkan sebuah benda berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan. Diperlihatkannya benda itu pada Mintarsih.

“Kau kenali benda ini, Mintarsih?” tanya Rangga.

“Salah satu dari senjata rahasia milik Nenek Jamping,” sahut Mintarsih. Dia memang mengenali betul benda di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Aku tahu, Nenek Jamping mahir menggunakan senjata rahasia seperti ini. Dan kaulah orang yang terdekat dengannya. Aku tidak ingin menuduh kalau kau yang menggunakan senjata ini, Mintarsih. Aku hanya ingin kau memberi tahu, siapa saja orang yang menggunakan senjata seperti ini selain Nenek Jamping,” desak Rangga, menyelidik

“Aku tidak tahu!” dengus Mintarsih ketus.

“Kedudukanmu saat ini cukup sulit, Mintarsih. Ada kemungkinan bukan hanya aku yang mencarimu. Tapi juga pendekar-pendekar dari Karang Setra berusaha mencarimu dan mendapatkan kembali Sangkala yang sampai saat ini masih menjalani masa hukuman. Jika kau bersedia membantuku, aku akan menjamin keselamatanmu. Dan kau bisa tenang menyembuhkan luka-lukamu,” bujuk Rangga.

Mintarsih hanya diam saja.

“Kau tidak akan terus selamanya bersembunyi Mintarsih. Jangan berharap bisa terlepas dari kejaran pendekar-pendekar Karang Setra. Kau harus mengingat kesehatan tubuhmu sekarang ini. Jika kau mau menerima tawaranku, tidak ada seorang pun yang akan mengganggumu lagi,” bujuk Rangga kembali.

“Apa jaminanmu?” tanya Mintarsih setelah berpikir dan mempertimbangkan tawaran Rangga cukup lama.

“Aku punya tempat, yang tak seorang pun bisa menemukanmu. Kecuali, aku dan Pandan Wangi. Dan sahabatku yang terpercaya akan selalu menjaga keselamatanmu. Kau tidak perlu khawatir. Sahabatku tidak akan kau ketahui, tapi akan menghalau siapa saja yang mencoba mendekatimu, sebelum kau ketahui sendiri,” kata Rangga memberi jaminan.

Mintarsih melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang dilirik seperti tidak tahu, dan malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Kembali Mintarsih menatap Rangga yang menunggu jawabannya. Cukup lama juga dia berpikir, mempertimbangkan tawaran Pendekar Rajawali Sakti.

Memang pada saat ini, dirinya membutuhkan tempat aman dan terbebas dari gangguan siapa pun untuk menyembuhkan luka-luka yang dideritanya. Apa yang dikatakan Rangga memang tidak bisa dibantah lagi. Sudah beberapa kali dia harus berhadapan dengan jago-jago Karang Setra, yang masih terus memburunya. Sehingga, dia terpaksa harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari mereka itu. Dan beberapa kali pula Mintarsih terpaksa harus bertempur, sehingga luka-lukanya semakin bertambah parah.

“Bagaimana, Mintarsih...?” tanya Rangga meminta jawaban yang pasti dari wanita itu.

“Baiklah, aku akan bekerjasama denganmu. Tapi tunjukkan dulu, di mana tempat yang kau janjikan,” kata Mintarsih menerima juga tawaran Rangga.

Saat ini Mintarsih memang tidak punya pilihan lain lagi. Jika tidak menerima, rasanya untuk menghadapi Pandan Wangi saja sudah tidak mampu lagi. Apalagi jika harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.... Tidak lebih dari lima jurus saja, pasti sudah tidak mampu bertahan lagi.

“Kau masih bisa berjalan selama dua hari?” tanya Rangga.

“Aku rasa masih bisa,” sahut Mintarsih.

“Aku bisa mengatakannya dalam perjalanan, atau setelah sampai di sana nanti,” kata Rangga.

EMPAT

Setelah mengantarkan Mintarsih, Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke Lembah Kunir lagi. Dua hari mereka terpaksa melupakan persoalan di Lembah Kunir. Sementara itu Mintarsih telah memberikan nama beberapa orang yang diketahui mahir menggunakan senjata rahasia. Saat nama si Jari Maut disebut, Rangga dan Pandan Wangi hampir tidak percaya. Tapi Mintarsih berani bersumpah kalau si Jari Maut pernah belajar mempergunakan senjata rahasia pada Nenek Jamping.

“Kau percaya apa yang dikatakannya, Kakang?” tanya Pandan Wangi selagi mereka berada di angkasa bersama Rajawali Putih.

“Kalaupun dia berbohong, paling tidak kita tahu di mana bisa menemukannya, Pandan,” sahut Rangga kalem.

“Kuharap kau tidak lagi mencegahku untuk memberi pelajaran padanya,” desis Pandan Wangi, masih kesal dengan wanita bernama Mintarsih itu.

Rangga hanya tersenyum saja.

“Kraaaghk...!” tiba-tiba Rajawali Putih berseru nyaring.

“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Rangga.

“Khraghk...!”

Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke bawah. Seketika Rangga menatap langsung ke bawah. Matanya sedikit disipitkan begitu melihat titik-titik merah bergerak cepat, berkelebatan di antara rimbunnya pepohonan di bawah sana. Pandan Wangi juga memperhatikan ke bawah. Tapi, kepalanya cepat ditarik karena tiba-tiba saja jadi terasa pening.

“Lebih mendekat lagi, Rajawali Putih...!” seru Rangga memberi perintah.

Rajawali Putih meluruk deras ke bawah, mengikuti perintah Rangga. Semakin dekat, Rangga bisa jelas melihat Titik-titik merah itu bergerak cepat, berkelebatan di antara pepohonan di bawahnya.

“Turun di depan sana, Rajawali Putih!” perintah Rangga lagi sambil menunjuk ke sebuah dataran tinggi yang cukup lapang.

“Khraaaghk...!”

Bagaikan kilat, Rajawali Putih meluruk deras ke arah yang ditunjuk Rangga. Manis sekali kakinya mendarat di tanah berumput hijau yang subur dan tebal bagai permaidani terhampar. Rangga dan Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa. Mereka bergegas berlari menuju ke tepi dari dataran yang cukup tinggi ini

“Mereka seperti murid-murid si Jari Maut, Kakang,” kata Pandan Wangi sambil memperhatikan titik-titik bayangan merah yang berkelebatan cepat di antara kerimbunan pepohonan.

Empat bayangan merah itu terus bergerak cepat menuju Selatan. Baik Rangga maupun Pandan Wangi tahu, mereka pasti menuju Lembah Kunir yang berada tidak seberapa jauh lagi dari tempat ini. Dan dari tempat yang tinggi ini, mereka bisa melihat Lembah Kunir yang memiliki pemandangan sangat indah.

Empat bayangan merah itu berhenti bergerak, lalu lenyap tak terlihat lagi. Pepohonan yang begitu lebat, memang bisa membuat tempat persembunyian yang cukup aman. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dan menunggu. Tapi setelah begitu lama ditunggu, bayangan merah itu tidak juga terlihat lagi.

“Aku akan melihat ke sana. Kau tunggu di sini, Pandan. Kalau terjadi sesuatu, cepat datang bersama Rajawali Putih,” pesan Rangga.

“Baik,” sahut Pandan Wangi.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara Pandan Wangi terus memperhatikan dari tempat yang cukup tinggi ini. Saat itu, Rangga sudah cukup jauh berlari. Pendekar Rajawali Sakti menyelusup, menembus rapatnya pepohonan. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat empat bayangan merah tadi menghilang. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak, mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang dijumpainya di tempat ini. Benar-benar sunyi, sampai-sampai tak sedikit pun terdengar suara.

“Hm..., aku tidak yakin kalau mereka bisa menghilang seperti hantu,” gumam Rangga agak mendesis.

Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Matanya terus dibuka lebar-lebar, dan telinganya ditajamkan. Setiap jengkal yang dilalui, diteliti dengan cermat. Diperiksanya setiap pohon dan semak belukar. Tapi tidak juga ditemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.

Tanpa mengenal putus asa, Rangga terus mencari. Hingga ketika tangannya menyibakkan segerumbul semak yang cukup tebal, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena semak ini menutupi sebuah mulut gua yang cukup besar. Cukup untuk dilewati dua ekor kuda sekaligus. Sebentar diamatinya keadaan di dalam gua yang cukup gelap ini. Kemudian kakinya terayun melangkah masuk. Rangga mempergunakan aji 'Tatar Netra', agar bisa melihat jelas meskipun dalam kegelapan yang pekat.

Hati-hati sekali Rangga mengayunkan kakinya, melangkah menyusuri lorong gua yang cukup panjang berliku dan gelap ini. Seluruh dinding dan atap gua terbuat dari batu hitam yang licin dan berlumut tebal. Lantainya pun terasa lembab, seolah-olah Rangga berjalan di atas permukaan lumpur sawah. Sudah tiga belokan dilalui Pendekar Rajawali Sakti, tapi lorong gua ini belum juga berakhir.

Sampai pada belokan yang ketujuh, Rangga baru menemui ujung lorong gua ini. Sejenak dia tertegun melihat ujung lorong gua ternyata tertutup sebuah pintu besi yang tebal dan tampak kokoh. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Tangannya terulur memeriksa pintu besi itu.

“Tidak ada kuncinya. Bagaimana aku bisa mem-bukanya?” gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri. Sebenarnya tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk mendobrak pintu besi ini. Tapi, dia tidak ingin merusak. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras, tiba-tiba saja pintu besi itu bergerak, memperdengarkan suara berderit yang amat berat. Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat begitu matanya melihat sebongkah batu besar yang cukup untuk melindungi dirinya.

Saat itu pintu besi terbuka lebar. Kini terlihat dua orang keluar dari balik pintu itu, disusul empat orang berpakaian serba merah. Yang membuat bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak, dua orang itu adalah Jari Maut dan seorang Panglima Perang Kerajaan Karang Setra. Rangga mengenali panglima itu. Dia biasa dipanggil, Panglima Durangga.

“Aku di sini tinggal menunggu isyarat darimu, Panglima Durangga,” ujar Jari Maut tanpa menghentikan ayunan kakinya.

Sementara Rangga di tempat persembunyian, terus mengamati sambil memasang telinga tajam-tajam. Pendekar Rajawali Sakti juga memindahkan jalan pernapasannya melalui perut, agar tidak terdengar oleh orang-orang itu.

“Aku sebenarnya cemas waktu mendengar Gusti Prabu dan Nini Pandan Wangi menemuimu di pondok Lembah Kunir,” kata Panglima Durangga.

“Tidak perlu khawatir. Semua sudah kuatasi dengan baik. Aku tidak mungkin dicurigainya. Lihat saja nanti, aku akan membuat dia bertarung mengadu nyawa melawan sahabatnya sendiri,” si Jari Maut mencoba meyakinkan.

“Aku percaya. Selama ini semuanya berjalan lancar,” sahut Panglima Durangga. “Oh, ya. Bagaimana dengan Sangkala? Apa dia sudah bisa diajak kerjasama?”

“Rasanya sulit, Panglima Durangga. Aku sendiri tidak yakin kalau dia bisa dipercaya untuk menghancurkan dari dalam. Hm.... Mengapa tidak kau saja yang melaksanakannya, Panglima?”

“Orang-orang di Karang Setra terlalu patuh dan setia, walaupun ada juga yang bisa kuajak kerjasama. Makanya, aku tidak bisa bergerak bebas. Sedikit saja melakukan sesuatu yang mencurigakan, bisa-bisa mereka langsung menutup ruang gerakku. Paling-paling, aku hanya bisa mengerahkan prajurit-prajuritku, jika saatnya sudah tiba,” jelas Panglima Durangga.

“Kalau memang begitu, kita terpaksa menggunakan cara semula, Panglima,” ujar si Jari Maut

“Aku percaya pada kemampuan empat orangmu ini.”

“Mereka sudah terlatih baik, dan tidak pernah gagal melakukan tugas. Kecuali pada malam itu. Mereka telah gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan hampir saja aku kehilangan satu orang.”

“Oh, ya. Kau bisa tahu di mana dia sekarang ini?” tanya Panglima Durangga.

“Yang kudengar, dia mencari Mintarsih. Aku berhasil mengalihkan perhatiannya pada Mintarsih. Aku yakin, saat ini dia sudah jauh dari Karang Setra,” sahut si Jari Maut.

“Bagus. Memang itu yang kuharapkan. Dengan begitu, aku bisa leluasa bergerak. Masalah Danupaksi dan Cempaka, aku tidak terlalu memikirkannya.”

“Aku akan mengantarkanmu sampai di depan pintu saja,” kata si Jari Maut

“Baik. Memang seharusnya kau tidak terlalu sering pergi. Aku rasa kau sudah terlalu kewalahan mengatur waktu untuk gadis-gadis itu.”

Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak, dan semakin jauh masuk ke dalam lorong gua ini. Rangga baru keluar dari balik batu persembunyiannya, setelah mereka tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti menatap ke pintu besi yang kini terbuka lebar. Bergegas dia melompat, menerobos melewati pintu itu.

Sejenak Rangga tertegun begitu berada di luar gua. Ternyata pintu gua ini berada tepat di belakang pondok kecil tempat tinggal si Jari Maut. Suasananya begitu sepi. Tak ada seorang pun terlihat di sekitarnya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah mendekati pondok kecil yang diketahui untuk beristirahat sepuluh orang murid si Jari Maut

Dari pintunya yang terbuka, Rangga dapat melihat ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok itu. Rangga kembali mengayunkan kakinya, mendekati pondok satunya lagi. Dia tahu kalau pondok itu menjadi tempat tinggal si Jari Maut

“Hup!”

Tiba-tiba saja Rangga melesat ke atas. Dan manis sekali kakinya mendarat di atap pondok. Gerakannya sungguh indah dan ringan sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun. Pada saat itu dari dalam pondok keluar dua orang gadis muda berbaju merah menyala.

“Hup...!”

Cepat sekali Rangga melompat turun dari atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di belakang kedua gadis muda itu. Secepat itu pula, tangan Rangga terulur hendak menotok. Namun tanpa diduga sama sekali, kedua gadis itu cepat berbalik sambil mengebutkan tongkat kayu yang dibawanya.

Bet!

“Uts...! Hap!”

Rangga bergegas menarik tangannya kembali, lalu melenting ke belakang. Tubuhnya berputar satu kali sebelum dua ujung tongkat yang cukup runcing menyobek perutnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya kembali di tanah. Pada saat itu, dua orang gadis berbaju merah menyala sudah melompat cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah dada dan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hap!”

Rangga segera mengebutkan kedua tangannya, menangkis dua batang tongkat itu. Dan secepat kilat, tangannya dihentakkan ke depan. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua gadis itu tidak sempat lagi menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga.

Begkh!

Bugkh!

Kedua gadis muda itu memekik tertahan. Tubuh mereka terpental sejauh beberapa batang tombak ke belakang. Pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti siap mem-beri pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.

“Hiyaaat..!”
Plak!
“Akh...!”

Hampir saja pukulan Rangga mendarat di dada kedua gadis itu. Untung saja cepat datang sebuah bayangan merah berkelebat menghantam punggung Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terpekik agak tertahan. Tubuhnya tersungkur mencium tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Segera tubuhnya diputar berbalik.

“Jari Maut..,” desis Rangga begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tahu-tahu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

“Tidak sepatutnya kau menyakiti murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” terasa begitu dingin nada suara Jari Maut

“Aku tidak akan menyakiti, jika kau sendiri tidak memulai menyubit, Jari Maut,” desis Rangga tidak kalah dinginnya.

“Ha ha ha...! Gurauanmu menggelitik sekali, Pendekar Rajawali Sakti.”

“Cukup untuk membuatmu berpikir seribu kali, jika merencanakan menggulingkan Karang Setra!”

“Setan...! Sudah dua kali kau menuduhku, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Jari Maut, langsung memerah wajahnya.

“Tuduhan yang beralasan. Dan kau tidak bisa lagi mungkir dariku!” dingin sekali suara Rangga.

“Keparat..!”

“Siapa kau sebenarnya, sehingga berani ber-lindung di balik nama Jari Maut..?!” bentak Rangga keras.

“Bedebah! Kau harus mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!”

“Hm....”

“Suiiit..!”

Tiba-tiba saja si Jari Maut bersiul nyaring. Dan belum juga siulannya hilang dari pendengaran, mendadak saja bermunculan orang-orang berbaju merah menyala. Mereka semua terdiri dari laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun.

Rangga jadi berkerut juga keningnya melihat di sekitarnya sudah mengepung sekitar lima puluh orang. Bahkan tidak sedikit yang bersembulan dari atas pepohonan, dengan anak panah siap dilepaskan dari busur. Juga, beberapa orang lagi membawa jaring hitam yang berada di atas pondok. Rangga langsung bisa menebak, kalau jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan tidak mungkin mereka semua bisa dikalahkan seorang diri, meskipun memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali.

“Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Pendekar Rajawali Sakti!” si Jari Maut tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar licik, Setan Keparat..!” desis Rangga menggeram.

“Ha ha ha...!” si Jari Maut terus tertawa terbahak-bahak.

Jari Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Tapi setinggi apa pun tingkat kepandaian seseorang, tak akan mampu menghadapi seratus orang dengan senjata terhunus. Terlebih lagi dalam keadaan terkepung seperti ini. Tak ada lagi ruang gerak untuk bisa meloloskan diri. Setiap celah sudah tertutup rapat. Dan kepungan pun semakin bertambah rapat.

Orang-orang berbaju serba merah ini terus bergerak perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai macam senjata siap mengancam, dan siap mencabik-cabik tubuh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan si Jari Maut sudah melompat ke atas atap. Dia siap memberi perintah pada orang-orangnya yang semakin dekat saja pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Serang...!” teriak si Jari Maut tiba-tiba.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

LIMA

Begitu mendapat perintah dari si Jari Maut, lima puluh orang yang mengepung Rangga langsung berlompatan menyerang. Berbagai macam bentuk senjata, berkelebatan di sekitar tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus terpaksa berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuh menghindari serangan yang datang dari segala penjuru.

Setiap kali memiliki kesempatan, Rangga tidak menyia-nyiakannya. Cepat dilepaskannya pukulan maupun tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar saling sambut, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju merah menyala.

Memang tidak mudah menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan untuk mendekati saja, sulit setengah mati. Pertahanan Rangga memang kuat. Terlebih lagi, ayunan pukulan dan tendangannya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Benar benar sulit untuk dihindari. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah hampir separuh pengeroyok yang ambruk bergelimpangan, tak mampu bangkit lagi.

“Mundur...!” seru Jari Maut tiba-tiba. Seketika itu juga, orang-orang berbaju merah berlompatan mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga Rangga sempat menarik napas lega, tiba-tiba saja ratusan anak panah berhamburan meng-hujaninya.

“Setan...!” rutuk Rangga.

“Hiyaaat..!”

Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan. Kedua tangannya berkelebat cepat menghalau anak-anak panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Serbuan anak panah itu demikian gencar, membuat Rangga sukar menarik napas.

“Lemparkan jaring...!” teriak si Jari Maut tiba-tiba.

Bet! Wuk...!

Seketika itu juga, beberapa orang melemparkan jaring berwarna hitam ke arah Rangga, tepat saat hujan anak panah berhenti. Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi menghindar, sehingga tubuhnya seketika terbungkus jaring hitam yang kuat dan sangat kenyal. Pemuda berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah, berusaha keras melepaskan diri dari belitan jaring hitam yang semakin kuat. Namun usahanya sia-sia belaka. Jaring itu semakin bertambah kuat, membuat gerakan Rangga jadi menyempit.

“Ha ha ha...!” Jari Maut tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Rajawali Sakti tak berdaya lagi, terkurung jaring-jaring hitam.

Rangga yang merasa tidak ada gunanya melawan, langsung menghentikan usahanya membebaskan diri dari belitan jaring di tubuhnya. Namun otaknya terus berputar, mencari jalan agar bisa terlepas dari jaring ini. Tapi dia jadi mendengus. Ternyata beberapa orang lagi bergegas berlompatan, dan langsung mengikat Pendekar Rajawali Sakti dengan tambang yang sangat besar dan kuat.

“Huh! Aku harus memberi tahu Rajawali Putih, sebelum iblis keparat ini mencincang tubuh ku,” dengus Rangga dalam hati.

********************

Sementara itu, jauh dari Lembah Kunir. Tepatnya di atas tebing yang cukup tinggi, Pandan Wangi masih menunggu bersama Rajawali Putih. Gadis itu terus memperhatikan daerah tempat Rangga menghilang dari pandangannya tadi. Tapi pepohonan yang sangat lebat, membuat pandangannya jadi terhalang.

“Ke mana saja Kakang Rangga? Kok lama sekali, sih...?” Pandan Wangi mulai tidak sabaran menunggu terus.

“Krrrhhh...!”

“Jangan bercanda, Rajawali Putih!” dengus Pandan Wangi saat merasakan punggungnya didorong-dorong Rajawali Putih.

Tapi burung rajawali raksasa itu terus mendorong-dorong punggung Pandan Wangi, sambil memper-dengarkan suara mengkirik. Pandan Wangi jadi berbalik. Ditatapnya burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu dalam-dalam. Tapi, keningnya jadi berkerut juga melihat Rajawali Putih nampak gelisah.

“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Pandan Wangi.

Rajawali Putih menoleh ke belakang lalu mematuki punggungnya. Pandan Wangi menyipitkan matanya, mencoba untuk mengerti. Dia mengeluh dalam hati, karena tidak tahu maksud bumng rajawali ini.

“Ada apa dengan punggungmu?” Pandan Wangi malah bertanya.

“Khrrrk..!”

“Hm.... Kalau tidak salah, Kakang Rangga pernah mengatakan kalau Rajawali Putih mematuki punggungnya, aku harus naik,” Pandan Wangi bergumam sendiri dalam hati.

Sebentar dipandanginya bumng rajawali raksasa yang terus mematuki punggungnya sendiri. Pandan Wangi jadi ragu-ragu untuk naik ke punggung Rajawali Putih. Bukannya dia tidak mau mengerti. Tapi untuk menunggang Rajawali Putih sendirian rasanya keberaniannya masih belum cukup.

“Kau memintaku naik, Rajawali Putih?” tanya Pandan Wangi.

Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kenapa?” tanya Pandan Wangi lagi.

Rajawali Putih kelihatan tidak sabaran. Seketika kepalanya dijulurkan untuk menjepit ujung baju Pandan Wangi dengan paruhnya yang besar. Lalu, gadis itu ditarik sehingga Pandan Wangi terpekik kaget. Dan belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rajawali Putih melontarkan Pandan Wangi ke udara.

“Hei...?!” Pandan Wangi terpekik kaget. Pada saat tubuh si Kipas Maut itu berada di udara, dengan cepat Rajawali Putih meluncur ke angkasa. Disambarnya Pandan Wangi, tepat dengan punggungnya. Pandan Wangi tersentak, begitu terjatuh di punggung burung rajawali raksasa itu. Cepat-cepat gadis itu berpegangan pada bulu-bulu burung raksasa ini Tubuhnya tertelungkup, tak sanggup diperbaiki lagi. Sedangkan Rajawali Putih terus meluncur tinggi ke angkasa, dan langsung menuju Lembah Kunir.

“Mati aku...,” keluh Pandan Wangi dalam hati. Pandan Wangi buru-buru memejamkan matanya ketika merasakan Rajawali Putih menukik cepat laksana kilat. Dan begitu matanya dibuka, gadis itu tersentak kaget. Ternyata di bawah sana tampak Rangga tak berdaya terkurung jaring yang membelit tubuhnya. Sedangkan di sekitarnya tampak orang-orang berbaju merah memegangi ujung tambang yang mengikat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Khraaaghk...!”

Pandan Wangi bergegas memperbaiki letak tubuhnya, meskipun dengan perasaan masih takut. Angin yang menerpa tubuhnya demikian kencang, seakan-akan ingin melemparkan dirinya dari punggung burung rajawali raksasa ini. Sementara binatang raksasa ini, terus meluncur ke bawah.

“Khraaaghk...!”

Pada saat itu, Jari Maut baru saja hendak memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga perintahnya terlontar, mendadak saja terdengar suara serak yang keras dan parau dari angkasa. Ketika kepalanya mendongak ke atas, matanya langsung terbeliak melihat seekor burung rajawali raksasa menukik deras ke arahnya.

Demikian pula orang-orang berbaju merah. Sebagian dari mereka sudah berhamburan berlari. Malah enam orang yang memegangi tambang yang mengikat tubuh Rangga, cepat-cepat berlari, tak mempedulikan tugasnya lagi

“Khraaaghk...!”

Wusss!

Bagaikan kilat, Rajawali Putih menyambar Rangga yang tergeletak tak berdaya lagi, dengan seluruh tubuh terbungkus jaring hitam dan terikat tambang Rajawali Putih menyambar Rangga dengan cakarnya, lalu cepat membawanya pergi ke angkasa tanpa ada seorang pun yang menyadari.

“Binatang atau dewakah dia...?” desah Jari Maut tanpa sadar.

Laki-laki setengah baya itu jadi terbengong, menyaksikan seekor burung rajawali raksasa menyambar Rangga dengan kecepatan seperti kilat. Sementara Rajawali Putih sudah begitu tinggi, hingga menembus awan. Lalu burung raksasa itu kembali menukik cepat menuju atas tebing. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah mendarat kembali di tanah berbatu di atas tebing yang cukup tinggi ini.

Rangga bergelimpangan begitu terlepas dari cengkeraman cakar Rajawali Putih. Sedangkan Pandan Wangi bergegas melompat turun, dan segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dibukanya ikatan tambang yang membelenggu Rangga. Juga, dibukanya jaring-jaring hitam yang berlapis-lapis itu.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napasnya kuat-kuat begitu terbebas. “Terima kasih....”

“Bagaimana kau bisa berada di sana, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Panjang ceritanya. Aku sendiri hampir tidak percaya,” sahut Rangga, lagi-lagi dibarengi hembusan napas panjang dan kuat.

“Ceritakan, Kakang. Nanti aku akan bertukar cerita denganmu,” pinta Pandan Wangi sedikit mendesak.

“Kau juga menemukan sesuatu tadi?” tanya Rangga.

“Ya! Dan kau juga tidak akan percaya kalau kukatakan,” sahut Pandan Wangi.

“Aku tidak percaya.... Jari Maut merencanakan sesuatu yang besar. Bahkan hendak membunuhku tadi,” agak mendesah suara Rangga.

“Membunuhmu...?! Kurang ajar! Lalu, apa yang direncanakannya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

Pandan Wangi begitu geram mendengar Pendekai Rajawali Sakti akan dibunuh si Jari Maut. Memang, dia tadi sempat melihat. Meskipun tidak begitu jelas, namun keadaan Rangga yang sudah tidak berdaya tadi sudah menyiratkan nasibnya yang sudah di ujung tanduk. Tadi, Pandan Wangi melihat si Jari Maut berdiri di atas pondoknya, bersama beberapa orang muridnya. Mereka tertawa-tawa melihat penderitaan Pendekar Rajawali Sakti. Makanya Pandan Wangi begitu geram.

“Dia merencanakan hendak meruntuhkan Karang Setra,” jelas Rangga.

“Apa...?!” Pandan Wangi terkejut setengah mati. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti itu, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Jari Maut hendak menghancurkan Karang Setra...? Mana mungkin bisa terjadi? Sedangkan sejak si Jari Maut dikalahkan Rangga, tidak ada satu perselisihan pun yang terjadi. Bahkan laki-laki berusia setengah baya itu berjanji hendak mengabdikan dirinya pada Karang Setra. Tapi apa itu mungkin...? Pandan Wangi masih sukar mempercayai.

“Bagaimana mungkin dia bisa punya pikiran seperti itu...?” Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Rangga hanya diam saja. Pandan Wangi juga jadi ikut terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkan, sehingga cukup lama juga mereka berdiam diri.

“Perasaanku mengatakan kalau dia bukan si Jari Maut,” ujar Rangga perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.

“Maksudmu..., dia si Jari Maut palsu?” tebak Pandan Wangi langsung.

“Aku tidak tahu pasti, Pandan. Itu hanya perasaanku saja yang mengatakannya. Perlu dibuktikan lebih dulu,” sahut Rangga, masih terdengar pelan suaranya.

“Siapa pun orangnya, jika mempunyai rencana menghancurkan Karang Setra, tidak bisa didiamkan! Kita harus mendahului, sebelum dia membuat kerugian yang besar,” tegas Pandan Wangi.

“Aku juga sudah berpikir begitu, Pandan. Tapi....”

“Tapi kenapa, Kakang?”

“Sulit..,” desah Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Sulit untuk menghindari keterlibatan prajurit dalam hal ini, Pandan. Karena bukan hanya si Jari Maut sendiri. Tapi ada orang dalam yang terlibat. Dan itu harus didahulukan sebelum si Jari Maut dihancurkan.”

“Aku tahu siapa orang dalam itu, Kakang,” ungkap Pandan Wangi langsung.

“Kau tahu...?!” Rangga terkejut juga men-dengarnya.

“Itu yang hendak kukatakan, Kakang. Aku melihat Panglima Durangga di hutan sebelah sana. Tepat, di tempat kau menghilang dan penglihatanku. Dia pergi bersama empat orang berpakaian merah,” tutur Pandan Wangi

“Ya! Memang Panglima Durangga dan Jari Maut yang merencanakan semua ini, Pandan. Bahkan mereka yang menculik Sangkala. Aku belum tahu pasti, untuk apa Sangkala diculik,” kata Rangga.

“Sebaiknya kita segera kembali ke Karang Setra, Kakang. Kita bersihkan dulu dari dalam, lalu kembali lagi ke sini untuk menghadapi si Jari Maut,” usul Pandan Wangi.

Rangga tersenyum dan menepuk punggung gadis itu. Kemudian, mereka menghampiri Rajawali Putih yang sejak tadi diam dan mendengarkan saja.

“Antarkan kami ke Karang Setra, Rajawali Putih,” pinta Rangga.

“Khraghk...!” sahut Rajawali Putih seraya mengangguk-anggukkan kepala.

“Ayo, Pandan.”

Tak berapa lama kemudian, Rajawali Putih sudah mengangkasa lagi sambil membawa Rangga dan Pandan Wangi di punggungnya. Jika bersama Rangga, Pandan Wangi tidak begitu takut. Lain halnya jika harus menunggang Rajawali Putih sendirian.

“Langsung ke istana, Rajawali Putih...!” seru Rangga agak meminta.

“Khraaagkh...!”

“Kau akan membawa Rajawali Putih ke istana, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Benar! Biar cepat sampai. Aku tidak ingin persoalan ini berlarut-larut,” sahut Rangga.

“Tapi....”

“Jangan khawatir, Pandan. Rajawali akan menurunkan kita di belakang tembok istana. Jadi, tak ada yang bisa mengetahui”

Pandan Wangi terdiam. Dia tahu kalau di bagian belakang tembok istana, tak pernah ada seorang pun yang lewat. Karena, tempat itu merupakan jurang yang cukup dalam. Dan hanya sedikit saja tepiannya. Itu pun sangat licin berbatu. Sehingga, tak ada seorang pun yang sudi melintasinya. Bahkan prajurit pun enggan untuk ke sana.

“Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!”

“Khraaaghk...!”

********************

Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi tentu saja mengejutkan semua penghuni Istana Karang Setra. Terutama Danupaksi dan Cempaka, yang tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan kembali begitu cepat. Terlebih lagi kedatangan Rangga yang membawa kabar mengejutkan. Mereka tidak menyangka kalau Panglima Durangga mempunyai rencana makar.

Rangga menyuruh Danupaksi menjemput Panglima Durangga di rumahnya, yang tidak seberapa jauh dari istana. Tapi ketika Danupaksi kembali, panglima itu tidak bersamanya. Rumah Panglima Durangga ditemukan dalam keadaan kosong. Bahkan prajurit-prajurit yang berada di bawah pimpinannya juga sudah tidak ada lagi di bangsal keprajuritan. Para prajurit itu memang sudah dihasut oleh Panglima Durangga.

“Mereka pasti sudah berkumpul di Lembah Kunir, Kakang,” tebak Pandan Wangi setelah Danupaksi selesai dengan laporannya.

“Aku tidak mengira mereka akan bergerak secepat ini,” desah Rangga agak bergumam.

“Apa tidak sebaiknya dikerahkan prajurit ke sana, Kakang?” usul Danupaksi

“Benar, Kakang. Agar mereka tidak memasuki kota. Dengan begitu, kita bisa mencegah korban yang lebih banyak,” selak Cempaka membenarkan usul Danupaksi.

Sementara Rangga hanya diam saja, dengan kening berkerut dalam. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin melibatkan prajurit, karena yang pasti akan menimbulkan korban tidak sedikit. Tapi keadaan memang memaksa, sehingga harus melibatkan prajurit. Mereka semua tahu kalau prajurit Panglima Durangga berjumlah besar. Bahkan sepertiga dari jumlah prajurit yang ada di Karang Setra adalah di bawah pimpinannya. Belum lagi ditambah orang-orangnya Jari Maut yang juga ber-jumlah cukup besar.

Baik Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih memikirkan keterlibatan prajurit Pertempuran memang tidak mungkin bisa dihindari lagi. Terlebih persoalan ini menyangkut keutuhan Kerajaan Karang Setra. Jika terlalu lama didiamkan, bisa lebih menyulitkan lagi. Memang hanya ada dua pilihan yang harus dilakukan saat ini Menunggu, atau bergerak lebih dahulu.

“Danupaksi! Kumpulkan beberapa panglima dan sebagian besar prajurit pilihan. Kerahkan mereka ke Lembah Kunir sekarang juga,” perintah Rangga akhirnya, setelah cukup lama merenung.

“Hamba laksanakan segera, Kakang Prabu,” sahut Danupaksi seraya memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Danupaksi bergegas meninggalkan Balai Pendopo Agung. Sepeninggal Danupaksi, Rangga menatap Cempaka yang tampak sedang menunggu perintah.

“Dan kau, Cempaka. Tugasmu adalah menjaga keamanan di dalam kota. Kerahkan prajuritmu untuk mengatasi setiap gangguan yang ada,” ujar Rangga memberi perintah.

“Hamba laksanakan, Kakang Prabu,” sahut Cempaka, juga memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Cempaka pun bergegas meninggalkan Balai Pendopo Agung ini. Sementara Rangga masih tetap duduk di singgasana, didampingi Pandan Wangi. Di depan mereka masih terlihat beberapa patih dan pembesar kerajaan. Setelah memberi beberapa perintah dan pesan, Pendekar Rajawali Sakti beranjak pergi. Pandan Wangi selalu setia mengikuti. Mereka terus menuju bagian belakang dari bangunan istana yang megah ini.

“Kau kelihatan begitu tegang, Kakang,” tebak Pandan Wangi yang selalu memperhatikan Rangga.

“Entahlah, Pandan. Aku tidak tahu, apakah tindakanku benar atau tidak kali ini,” sahut Rangga, sedikit mendesah.

“Tindakanmu demi kejayaan Karang Setra, Kakang. Kau tidak bisa mengabaikan keterlibatan mereka dalam masalah ini. Lagi pula, tidak mungkin persoalan ini kau hadapi seorang diri,” hibur Pandan Wangi.

“Bukan itu yang membuat hatiku resah, Pandan Wangi,” sergah Rangga, masih terdengar pelan suaranya.

“Lalu, apa...?”

“Setiap kali aku berada di sini, selalu saja timbul persoalan yang tidak kecil. Bahkan selalu saja melibatkan prajurit.”

“Kau menyalahkan dirimu, Kakang?”

“Tidak. Tapi mungkin memang sebaiknya aku tidak berada di istana, Pandan. Keberadaanku di sini selalu saja menimbulkan persoalan.”

“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Kakang, Persoalan akan timbul di mana saja. Semua orang tidak bisa terlepas dari persoalan, Kakang. Baik besar maupun kecil. Tergantung bagaimana kita menghadapinya. Dan selalu bisa mengatasi walaupun terkadang diperlukan juga tindakan kekerasan. Tapi buktinya, kau selalu menyelesaikannya dengan baik, Kakang,” lagi-lagi Pandan Wangi menghibur.

“Kau memang baik, Pandan. Selalu saja bisa menenangkan keresahan hatiku,” ucap Rangga memuji.

“Itu pujian, atau rayuan?” seloroh Pandan Wangi.

“Terserah apa pandanganmu,” timpal Rangga.

Mereka jadi tersenyum. Untuk sesaat, Rangga bisa melupakan kegalauan hatinya. Pandan Wangi memang pandai menghibur hati Pendekar Rajawali Sakti. Walau dalam keadaan sulit bagaimanapun juga, selalu saja terlontar gurauan yang membuat ketegangan bisa sirna. Meskipun hanya sesaat.

Tanpa terasa mereka sudah sampai di batas tembok belakang istana. Kedua pendekar muda itu melompat ringan melewati tembok yang tinggi dan kokoh ini. Ringan sekali gerakan mereka. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa membawa kedua pendekar itu.

“Khraaaghk...!”

“Pandan, apa sebaiknya kita cari dulu tempat Sangkala disembunyikan...?” tanya Rangga meminta pendapat Pandan Wangi.

“Boleh juga, Kakang,” sahut Pandan Wangi. “Tapi...”

“Tapi kenapa, Pandan?”

“Aku masih belum mengerti, untuk apa mereka menculik Sangkala, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Mereka ingin menggunakan Sangkala untuk menghancurkan dan melemahkan kekuatan Karang Setra dari dalam. Dengan menculik Sangkala, perhatian kita diharapkan akan tertumpah pada Mintarsih. Dan disangka, kita akan meninggalkan Karang Setra. Itu merupakan taktik mereka untuk mengurangi kekuatan, Pandan. Mereka tahu, kalau aku dan kau ada di Karang Setra. Jadi, terlalu sukar untuk menjalankan rencana mereka,” Rangga mencoba menjelaskan.

“Lantas, apa Sangkala bersedia bekerjasama dengan mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Tampaknya tidak. Dan mereka sudah mengalami kegagalan dalam rencana pertama. Mereka tentu tidak tahu kalau kita bisa cepat menemukan Mintarsih. Bahkan tidak memusatkan perhatian padanya.”

“Benar, Kakang. Aku juga tidak menyangka kalau Panglima Durangga dan Jari Maut berkomplot hendak menghancurkan Karang Setra,” suara Pandan Wangi terdengar agak bergumam.

“Aku masih menyelidiki kebenarannya, Pandan.”

“Maksudmu?”

“Aku merasa ada kejanggalan pada diri Jari Maut. Naluriku mengatakan, dia bukan Jari Maut. Tapi orang lain yang menyamar menjadi Jari Maut”

“Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Kakang?”

“Sikapnya.”

“Tapi menurutku, dia memang si Jari Maut, Kakang. Ingatkah kau tentang cerita Mintarsih? Sebelumnya, Jari Maut sering berhubungan dengan Nenek Jamping. Bahkan mempelajari penggunaan senjata rahasia.”

“Itu salah satunya, Pandan.”

“Maksudmu...?” Pandan Wangi semakin tidak mengerti.

“Tingkat kepandaian yang dimiliki Jari Maut lebih tinggi daripada Nenek Jamping. Rasanya, tidak mungkin kalau dia mempelajari sesuatu dari seseorang yang tingkatannya lebih rendah. Dan lagi, Jari Maut paling tidak menyukai segala jenis senjata rahasia.”

“Jadi maksudmu..., yang menemui Nenek Jamping bukan si Jari Maut?”

“Tepat. Dan aku yakin, kalau Jari Maut asli ada di suatu tempat. Atau...”

“Sudah mati...?” potong Pandan Wangi

Rangga terdiam.

“Maaf, Kakang. Tidak seharusnya dugaan itu kulontarkan,” ucap Pandan Wangi menyesal.

“Kemungkinan itu memang ada, Pandan. Dan kita harus mencari kebenarannya, sebelum peperangan meletus,” ucap Rangga.

“Ke mana kita mencarinya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Aku rasa tidak keluar dari Lembah Kunir,” sahut Rangga.

“Khraaaghk...!”

“Iya, Rajawali Putih. Langsung saja ke Lembah Kunir!” seru Rangga seperti menjawab pertanyaan Rajawali Putih.

Rajawali Putih meluncur bagaikan kilat menuju Lembah Kunir. Pandan Wangi yang berada di depan Rangga jadi bergetar juga, saat burung rajawali raksasa ini terus meluncur cepat semakin tinggi.

********************

ENAM

Rangga cepat melompat turun dari punggung Rajawali Putih, begitu binatang raksasa itu mendarat di tepi Lembah Kunir. Pandan Wangi bergegas meng-ikuti. Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekitarnya, mengamati keadaan yang tampak sunyi. Lembah ini memang selalu sepi, seperti tidak pernah disinggahi orang.

“Hati-hati, Pandan. Kesunyian merupakan bahaya terbesar,” Rangga memperingatkan.

“Kita ke pondok itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi sambil menunjuk ke pondok kecil tidak jauh di depan mereka.

“Aku saja yang ke sana dan kau tunggu di sini,” ujar Rangga.

“Kenapa tidak sama-sama saja?”

“Sendiri lebih baik daripada celaka berdua, Pandan,” sahut Rangga.

Pandan Wangi tidak bisa memaksa. Rangga menepuk pundak gadis itu, kemudian cepat berlari menuju ke pondok kecil tempat tinggal si Jari Maut. Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti seekor kijang yang sedang berlari

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sebentar saja sudah berada di depan pintu pondok. Suasananya tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun di sekitar pondok kecil ini. Perlahan-lahan Rangga mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Bunyi berderit terdengar, begitu daun pintu bergerak terbuka.

Rangga mengayunkan kakinya hendak memasuki pondok. Namun baru saja sebelah kakinya melewati ambang pintu, mendadak saja dari balik dinding di samping pintu berkelebat sebilah golok berkilatan.

Wuk!

“Uts...!”

Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang. Pada saat itu, berlompatan dua orang berbaju merah menyala yang langsung merangsek Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menggunakan golok yang berkelebatan cepat di sekitar tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan menghindarinya.

“Hiyaaa...!”

Begitu mendapat sedikit kesempatan Rangga cepat melepaskan dua pukulan beruntun ke arah dua orang penyerangnya. Begitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dua orang berbaju merah itu tidak dapat lagi meng-hindar. Dan pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghantam dada mereka.

Des!

Buk!

Kedua orang itu menjerit keras, dan langsung terpental jauh ke belakang sampai menghantam dinding papan pondok hingga jebol. Pada saat itu, beberapa tombak berhamburan ke arah dua orang berbaju merah itu. Tombak-tombak itu seperti bermunculan dari dinding. Tak pelak lagi, tubuh mereka terhunjam tombak yang berjumlah puluhan. Jeritan panjang melengking terdengar saling sambut

“Gila...! Rupanya mereka sudah menyiapkan jebakan di pondok ini,” desis Rangga dalam hati.

Sebentar Rangga memperhatikan dua orang berbaju merah yang tergeletak di dalam pondok, dengan tubuh tertembus beberapa tombak. Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan menghampiri pondok itu. Sadar kalau di dalam pondok dipasangi jebakan, Rangga merasa harus lebih berhati-hati lagi. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh begitu kakinya terayun masuk ke dalam pondok.

Satu persatu, setiap ruangan yang ada dimasuki. Tapi, tak juga dijumpai seorang pun di sana. Sampai mencapai bagian belakang, juga tidak ditemui seorang pun. Rangga terus melangkah mendekati pondok satunya lagi. Sikapnya semakin berhati-hati. Dugaannya, di dalam pondok itu pasti juga dipasangi jebakan.

Sebentar Rangga berhenti di depan pintu, lalu perlahan-lahan mendorong pintu pondok ini. Tak ada seorang pun dijumpai. Pondok yang tidak memiliki kamar ini pun dalam keadaan kosong. Tak perlu Rangga melangkah masuk. Kakinya mundur beberapa langkah. Pandangannya beredar ke sekeliling, dan terhenti begitu melihat Pandan Wangi masih menunggu bersama Rajawali Putih.

“Pandan, ke sini..!” seru Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi bergegas berlari cepat menghampiri Sedangkan Rajawali Putih tetap diam menunggu di tempatnya. Sebentar saja gadis berbaju biru muda itu sudah berada di depan Rangga.

“Kau periksa sebelah sana, Pandan. Aku ke sini,” ujar Rangga.

“Baik,” sahut Pandan Wangi

Mereka berpisah lagi Rangga berjalan ke arah kiri, sedangkan Pandan Wangi ke sebelah kanan. Pendekar Rajawali Sakti mendekati mulut gua yang tertutup semak belukar. Dia tahu, gua itu menembus langsung ke hutan di kaki tebing batu, tepat di perbatasan Kota Karang Setra sebelah Selatan.

“Hm..., banyak jejak kaki di sini,” gumam Rangga begitu mendapatkan jejak-jejak kaki yang memasuki gua.

Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun beberapa saat, kemudian tersentak. Bergegas dia berlari menghampiri Pandan Wangi yang berjalan belum seberapa jauh.

“Ada apa?” tanya Pandan Wangi, begitu Rangga berada di sampingnya.

“Kita ke perbatasan, Pandan,” ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.

“Hei?! Kenapa ke sana?” tanya Pandan Wangi. “Mereka sudah ada di perbatasan,” sahut Rangga sambil terus saja berlari cepat menghampiri Rajawali Putih.

Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah berada dekat dengan Rajawali Putih. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat naik ke punggung rajawali raksasa itu. Pandan Wangi mengikuti, lalu duduk di depan Rangga.

“Cepat ke perbatasan Selatan, Putih!” perintah Rangga.

“Khraaagkh...!”

********************

“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.

Rangga langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tidak jauh dari gerbang perbatasan Karang Setra, terlihat suatu pertempuran sengit. Sukar dipercaya! Dua kekuatan yang sama-sama mengenakan seragam prajurit Karang Setra, saling baku hantam, dan saling bunuh. Satu sama lain seperti melawan musuh yang mengancam keutuhan Kerajaan Karang Setra.

“Aku tidak percaya...,” desis Rangga.

Tentu saja sukar dipercaya. Dua kelompok prajurit saling bertempur. Bahkan mengenakan seragam keprajuritan yang sama. Sedangkan di angkasa, Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat memutuskan untuk berbuat sesuatu. Tidak mungkin mereka terjun ke dalam kancah pertempuran para prajurit yang mengenakan seragam sama.

“Mereka harus segera dihentikan, Kakang,” tegas Pandan Wangi.

“Dengan cara apa...? Kau lihat sendiri, Pandan. Mereka bertarung seperti orang liar.”

“Suruh Rajawali Putih mendekat, Kakang. Lalu, perintahkan mereka berhenti. Aku yakin, kalau mereka berhenti pasti akan memisahkan diri dan menjadi dua kelompok setelah itu, baru bisa diketahui prajurit yang sesungguhnya,” Pandan Wangi memberi gagasan.

Rangga terdiam sebentar. “Rajawali, mendekat ke sana...!” perintah Rangga.

“Khraaagkh...!”

Rajawali Putih menukik turun, dan melayang dekat di atas para prajurit yang sedang bertarung. Kepakan sayap bumng rajawali raksasa itu membuat debu berhamburan, dan sangat mengejutkan para prajurit yang saling bertarung. Mereka malah berhamburan, berlarian ketakutan melihat seekor burung raksasa berada dekat di atas kepala.

“Lihat, Kakang. Mereka berlarian secara berkelompok,” kata Pandan Wangi berseru keras.

Rangga diam saja, memperhatikan prajurit-prajurit yang membelah diri menjadi dua bagian yang cukup besar. Sementara di sekitarnya, terlihat cukup banyak prajurit yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih.

“Kakang! Itu Panglima Durangga...!” seru Pandan Wangi seraya menunjuk ke arah salah satu kelompok yang memisahkan diri.

“Hiyaaat..!”

Begitu melihat Panglima Durangga berada di antara satu kelompok prajurit, Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Manis sekali gerakannya, karena Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.

“Durangga...!” bentak Rangga begitu kakinya mendarat sekitar satu batang tombak di depan Panglima Durangga.

“Gusti Prabu..,” desis Panglima Durangga terkejut.

Pucat pasi seluruh wajah Panglima Durangga, melihat kemunculan Rangga. Sedangkan seluruh prajuritnya terus berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Dari angkasa, Pandan Wangi mengendalikan Rajawali Putih untuk menggiring para prajurit Panglima Durangga agar menjauhi laki-laki setengah baya itu. Tentu saja hal ini membuat Panglima Durangga semakin memucat wajahnya.

“Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Durangga,” desis Rangga, dingin meng-getarkan.

Panglima Durangga tak mampu lagi mengeluarkan suara. Disadari kalau tidak mungkin menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaian yang dimilikinya, jauh berada di bawah pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara itu Pandan Wangi sudah benar-benar menguasai para prajurit yang hendak melakukan pemberontakan. Tentu saja dengan bantuan Rajawali Putih. Tak ada seorang pun yang berani bertindak, melihat burung raksasa berputar-putar di atas kepala mereka.

Sedangkan prajurit-prajurit yang dipimpin Ki Lintuk, hanya bisa memandangi. Bahkan Ki Lintuk sendiri dan dua orang panglima hanya bisa terbengong menyaksikan burung rajawali raksasa yang muncul bersamaan dengan kedatangan Rangga. Mereka juga sempat melihat kalau Rangga melompat dari punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

“Kenapa kau ingin memberontak, Panglima Durangga?” tanya Rangga ingin tahu alasan panglimanya yang merencanakan pemberontakan.

“Aku ingin melepaskan Karang Setra dari tanganmu!” sahut Panglima Durangga begitu memiliki keberanian kembali.

“Kenapa...?” tanya Rangga lagi, ingin tahu

“Karena kau tidak berhak! Kau bukan putra Gusti Adipati Arya Permadi. Gusti Wira Permadilah yang seharusnya berhak atas tahta Karang Setra!” agak lantang suara Panglima Durangga.

Rangga tersenyum mendengar alasan panglimanya ini. Pendekar Rajawali Sakti tahu Panglima Durangga sebelumnya memang mengabdi pada Wira Permadi, ketika Karang Setra masih dikuasai adik tirinya itu. Dan Rangga memang mengampuni semua yang mendukung Wira Permadi. Bahkan mereka yang tadinya mempunyai kedudukan, tetap memiliki kedudukan. Malahan, ada yang dinaikkan pangkatnya karena telah menunjukkan kesetiaan pada Karang Setra.

Rangga sendiri tidak pernah menganggap kalau Wira Permadi adalah pemberontak. Hanya saja, jalan yang ditempuh adik tirinya itu tidak pernah dibenarkan. Pendekar Rajawali Sakti hanya membebaskan rakyat Karang Setra dari tekanan dan tindasan orang-orang yang berada di belakang Wira Permadi. Orang-orang serakah yang menjadikan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti seperti boneka, tanpa disadari.

“Aku akan mengembalikan Karang Setra pada orang yang berhak, yang selama ini hidup sengsara karena perbuatanmu, Pendekar Rajawali Sakti?” tegas Panglima Durangga lagi.

“Siapa yang lebih berhak daripada aku, Panglima Durangga?” tanya Rangga kalem.

“Gusti Korapati Permadi! Dia adik kandung Wira Permadi yang baru pulang dari rantau. Beliaulah yang lebih berhak daripadamu! Karena, beliau adalah keturunan langsung Gusti Arya Permadi,” kali ini suara Panglima Durangga terdengar lantang.

“Ooo...?!” Rangga terkejut

Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau masih memiliki adik tiri lagi, yang merupakan adik kandung Wira Permadi, putra dari selir ayahnya sendiri. Sekarang, adik tirinya yang namanya disebut oleh Panglima Durangga adalah Korapati Permadi, menuntut haknya di Karang Setra. Meskipun begitu, Rangga tetap tidak membenarkan cara-cara yang dilakukan panglima itu.

“Aku tahu, kau seorang pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi demi junjunganku, kau harus mati di tanganku!” agak mendesis suara Panglima Durangga.

Sret!

Panglima Durangga langsung mencabut pedang yang sejak tadi tersimpan saja dalam warangkanya di pinggang. Pedang keperakan itu berkilatan tertimpa cahaya matahari, tertuju lurus ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti...!” desis Panglima Durangga lagi. “Hiyaaat..!”

“Hap!”

Cepat sekali Panglima Durangga melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya berkelebatan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang memaukan. Namun semua itu dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan-gerakan tubuh indah yang diimbangi gerakan kaki yang lincah. Meskipun pedang Panglima Durangga berkelebatan di sekitar tubuhnya, tapi tak seujung rambut pun dapat menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat dari gerakan-gerakannya, jelas sekali kalau Rangga mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Meskipun terkadang gerakannya tidak beraturan, tapi sangat sulit bagi Panglima Durangga untuk mencari sasarannya. Sementara pertarungan itu berlangsung, Pandan Wangi sudah melompat turun dari punggung Rajawali Putih yang terus saja berputar-putar di atas kepala para prajurit Panglima Durangga.

Gadis berbaju biru yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menghampiri Ki Lintuk dan dua orang panglima yang berdiri di depan para prajuritnya. Ki Lintuk dan dua orang Panglima itu membungkuk memberi hormat, kemudian Pandan Wangi mensejajarkan dirinya di samping laki-laki itu.

“Di mana prajurit yang lain?” tanya Pandan Wangi.

“Ditempatkan di setiap gerbang perbatasan,” sahut Ki Lintuk.

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Lintuk memberi perintah pada dua orang panglima yangg mendampingi, untuk melucuti senjata prajurit Panglima Durangga.

Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Panglima Durangga terus berlangsung. Namun sudah jelas sekali kalau Panglima Durangga sudah tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali dia terpaksa menerima pukulan maupun tendangan yang dilepaskan Rangga. Meskipun sudah jatuh bangun, tapi panglima itu masih terus gigih bertahan. Sedangkan darah sudah mengucur deras dari tubang hidung dan mututnya.

“Lepas...!” tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring.

Plak!

Cepat sekali Rangga menampar pergelangan tangan kanan Panglima Durangga, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak begitu besar.

“Akh...!” Panglima Durangga terpekik.

Panglima itu tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya, yang seketika itu juga mencelat ke angkasa. Meskipun Rangga hanya mengerahkan sedikit tenaga dalam, tapi sudah membuat pergelangan tangan Panglima Durangga jadi kaku kesemutan. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, kembali Rangga memberikan satu pukulan ke dadanya.

“Yeaaah...!”

Des!

“Akh...!” lagi-lagi Panglima Durangga terpekik. Laki-laki setengah baya itu terpental cukup jauh ke belakang. Pada saat itu, Rangga melesat ke udara. Dan dengan tangkas sekali, disambarnya pedang Panglima Durangga yang melayang di angkasa. Lalu, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah Panglima Durangga, sebelum sempat bangkit berdiri.

“Oh...?!” Panglima Durangga mengeluh begitu ujung pedang menempel di lehernya.

“Tidak ada gunanya melawan, Panglima Durangga,” ancam Rangga dingin.

Panglima Durangga benar-benar sudah tidak berdaya lagi dengan ujung pedang menempel di lehernya. Saat itu, Pandan Wangi dan Ki Lintuk berlari-lari menghampiri, diikuti sepuluh orang prajurit Rangga menjauhkan pedang yang ditempelkan ke leher Panglima Durangga, setelah Ki Lintuk mencekal tangannya. Setelah Ki Lintuk menyerahkan panglima pembangkang itu pada sepuluh orang prajurit, dia kemudian menerima pedang dari tangan Pendekar Rajawali Sakti

“Bawa mereka semua ke istana, Ki,” perintah Rangga.

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Lintuk seraya membungkuk memberi hormat

Ki Lintuk segera melaksanakan perintah itu. Digiringnya Panglima Durangga dan para prajuritnya yang sudah dilucuti senjatanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap tinggal di tempat. Mereka memandangi para prajurit yang bergerak kembali ke Kota Karang Setra.

“Ayo kita pergi, Pandan,” ajak Rangga.

“Ke mana lagi?” tanya Pandan Wangi.

“Ke istana,” sahut Rangga.

“Tidak mengejar si Jari Maut?”

“Kita tidak tahu, ke mana harus mencarinya, Pandan. Aku akan menanyakan dulu pada Panglima Durangga.”

“Kenapa tidak ditanya saja tadi, Kakang?”

“Bukan saat yang tepat. Aku harus memberinya pengertian. Dan kalau perlu, membuatnya sadar akan kekeliruannya ini”

“Kau terlalu berbaik hati, Kakang. Kalau aku....”

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih yang sudah mendekam di bawah pohon yang sangat besar dan tinggi. Pandan Wangi mengikuti ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti. Tak berapa lama kemudian kedua pendekar muda itu sudah kembali mengangkasa menunggang burung rajawali raksasa.

********************

TUJUH

Panglima Durangga mengangkat kepalanya ketika pintu penjara yang mengurungnya terbuka, memperdengarkan suara berderit yang menggiris hati. Tubuhnya tidak bergeming, meskipun Rangga tampak melangkah masuk. Di depan pintu, terlihat dua orang prajurit penjaga berdiri membelakangi pintu penjara yang terbuka cukup lebar. Rangga melangkah masuk, dan berhenti sekitar empat langkah lagi di depan Panglima Durangga.

“Bagaimana keadaanmu Panglima Durangga?” sapa Rangga ramah.

“Baik,” sahut Panglima Durangga tak bersemangat

Rangga tersenyum. Bagaimanapun, hidup di dalam penjara tidak sebaik jika berada di alam bebas. Dan memang, penjara ini bukanlah tempat untuk orang seperti Panglima Durangga yang sudah berjasa cukup besar bagi Karang Setra. Tapi bagaimanapun juga, Panglima Durangga sudah melakukan kesalahan besar. Dia mencoba meruntuhkan Kerajaan Karang Setra, dengan mencoba merebut tahta dari Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi raja di Karang Setra.

“Sebenarnya aku tidak suka melihatmu berada di tempat seperti ini, Panglima Durangga. Tapi terpaksa kau kutempatkan di sini, sampai pengadilan nanti memutuskan,” kata Rangga sambil menghembuskan napas cukup panjang.

Panglima Durangga hanya diam saja, dan tetap duduk memeluk lutut, dengan punggung bersandar ke dinding. Sedangkan Rangga duduk di kursi yang disediakan seorang prajurit untuknya. Pintu ruangan ini masih tetap terbuka. Dan dua orang prajurit terlihat berjaga di depan pintu.

“Aku yakin, kau tetap mencintai Karang Setra. Seperti juga aku mencintai negeri ini. Bagaimanapun juga, aku tidak akan melupakan jasa-jasamu demi kejayaan Karang Setra, hingga seperti sekarang ini,” tutur Rangga lagi.

Panglima Durangga masih tetap diam membisu. Bahkan sedikit pun tidak melirik Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya tertuju ke lantai, di ujung jari kakinya.

“Aku ingin berbuat yang terbaik untuk semuanya. Untukku, untukmu, dan juga untuk Karang Setra yang sama-sama kita cintai ini, Panglima Durangga. Aku ingin bicara padamu, bukan karena aku raja di sini. Tapi, sebagai diriku pribadi. Sebagai seorang pendekar yang berjalan di jalur kebenaran. Aku berjanji akan membelamu, jika tujuanmu memang benar,” tegas Rangga lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu sungguh-sungguh.

“Kau tidak akan bisa melakukannya, Pendekar Rajawali Sakti,” tukas Panglima Durangga.

Rangga tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu. Panglima Durangga hanya melirik sedikit saja saat Rangga duduk di sampingnya. Sama-sama duduk di lantai bersama seorang tahanan. Terlebih lagi di lantai penjara yang lembab dan kotor begini

“Kau menyebutku Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang! Itu berarti kita bisa bicara tanpa kau memandang kedudukanku sebagai raja di sini,” pancing Rangga disertai senyum tersungging di bibir.

Panglima Durangga menatap dua prajurit yang berjaga di pintu. Rangga langsung bisa menangkap maksud laki-laki setengah baya ini. Kemudian, diperintahkannya dua prajurit itu untuk pergi. Tanpa membantah sedikit pun, kedua prajurit itu meninggalkan tugasnya setelah memberi hormat

“Nah! Sekarang, kita bisa bicara tanpa seorang pun yang mendengar,” kata Rangga lagi

“Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Panglima Durangga, masih sukar dipahami nada suaranya.

“Aku hanya ingin meluruskan persoalan ini, tanpa harus merugikan siapa pun juga. Kurasa, kau bisa mengerti maksudku, Panglima Durangga,” sahut Rangga.

“Kau seorang raja di sini. Tentu kau akan mempertahankan kedudukanmu,” agak sinis nada suara Panglima Durangga.

“Sebagai seorang raja, hal itu memang sudah menjadi kepastian, Panglima Durangga. Tapi keberadaanku di sini bukan sebagai raja. Dan aku akan meluruskan persoalan ini juga bukan sebagai raja. Jika memang ada yang lebih berhak atas tahta Karang Setra, tentu akan kuserahkan pada yang berhak. Dan memang aku sebenarnya tidak pantas menduduki tahta itu. Aku seorang pendekar, yang tidak selamanya bisa berada di atas tahta,” panjang lebar Rangga menjelaskan tentang dirinya dan kedudukannya di Karang Setra.

“Aku dulu juga pendekar. Aku akan memegang kata-katamu sebagai seorang pendekar,” ujar Panglima Durangga.

“Bagus! Kita bicara sebagai dua orang pendekar yang menghadapi satu persoalan,” sahut Rangga.

“Apa yang ingin kau ketahui dariku?” tanya Panglima Durangga, setelah yakin akan kata-kata Rangga yang berbicara bukan sebagai raja. Melainkan sebagai seorang pendekar yang berada di jalan kebenaran.

“Tujuanmu melakukan pemberontakan,” sahut Rangga.

“Aku melakukannya demi putra Gusti Arya Permadi,” jelas Panglima Durangga.

“Boleh aku tahu, siapa orangnya?” tanya Rangga, meminta.

“Gusti Korapati. Beliau adik Kandung Gusti Wira Permadi yang merupakan keturunan langsung Gusti Arya Permadi. Gusti Korapatilah yang lebih berhak atas tahta Karang Setra ini,” tegas Panglima Durangga.

“Danupaksi dan Cempaka juga putra Gusti Arya Permadi. Tapi mengapa kau tidak menuntut agar salah satu dari mereka yang menduduki tahta? Dan mengapa orang yang selama ini tidak pernah mempertaruhkan jabatanmu, Panglima Durangga?” tanya Rangga ingin tahu

“Mereka tidak berhak, karena terlahir dari selir yang belum disahkan pendeta istana,” sahut Panglima Durangga.

“Lalu, bagaimana dengan putra Gusti Arya Permadi sendiri?” tanya Rangga lagi

“Gusti Rangga Pati Permadi telah hilang, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Namanya sama denganmu. Tapi aku tidak yakin kalau kaulah orangnya.”

“Kau tahu persis kejadiannya?”

“Tidak. Tapi semua orang tahu kalau tak ada seorang pun yang bisa hidup jika sudah berhadapan dengan gerombolan Iblis Lembah Tengkorak. Terlebih lagi jika sudah tercebur ke dalam Lembah Bangkai. Dan semua orang berkeyakinan kalau Gusti Rangga Pari Permadi sudah tercebur ke Lembah Bangkai. Jadi tak ada harapan untuk bisa hidup kembali.”

Rangga tersenyum saja mendengar penuturan polos Panglima Durangga barusan. Memang benar apa yang dikatakan Panglima Durangga tadi. Dan hal itu diakui Rangga kebenarannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tidak mungkin memaksakan keyakinan panglima ini untuk mengakui kalau yang ada di sampingnya adalah Rangga Pari Permadi. Putra tunggal mendiang Arya Permadi.

“Kau tahu, di mana sekarang Korapati berada?” tanya Rangga.

“Untuk apa hal itu kau tanyakan? Kau ingin membunuhnya?” nada suara Panglima Durangga terdengar mengandung kecurigaan.

“Aku hanya ingin kenal. Dan kalau mungkin, mengajaknya ke istana,” sahut Rangga.

“Kau tidak akan bisa membawanya ke istana, kecuali dia ingin datang sendiri. Dan itu pun untuk mengambil tahta yang menjadi haknya.”

“Baiklah,” Rangga menyerah. “Tapi kau bisa tunjukkan di mana Sangkala, bukan...?”

Panglima Durangga tidak menjawab.

“Dalam persoalan ini, rasanya Sangkala tidak perlu dilibatkan. Dia masih menjalankan masa hukumannya. Dan aku tidak ingin orang yang tidak tahu apa-apa terlibat dalam persoalan ini,” bujuk Rangga.

“Dia sudah bebas, dan hidup damai bersama kekasihnya,” jelas Panglima Durangga.

“Kekasihnya...?” kening Rangga jadi berkerut

“Maaf, aku tidak bisa bicara lebih banyak lagi. Di antara kami punya perjanjian. Dan kau tidak bisa mendesakku untuk mengatakan lebih banyak,” tegas Panglima Durangga buru-buru, agar Rangga tidak lebih banyak bertanya lagi.

“Baiklah. Kau telah berbuat banyak, Panglima Durangga. Akan kuusahakan agar hukumanmu tidak terlalu berat,” ujar Rangga seraya bangkit berdiri.

“Tidak ada yang dapat menghukumku, kecuali Gusti Korapati,” dengus Panglima Durangga.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah keluar dari ruangan pengap dan kotor ini. Dua orang prajurit menghampiri dan mengunci pintu setelah Rangga ke luar.

********************

Dua hari Rangga mencoba membujuk Panglima Durangga, tapi tetap saja tidak memperoleh hasil memuaskan. Panglima Durangga tidak pernah sudi menunjukkan keberadaan Sangkala, dan terutama orang yang bernama Korapati. Orang yang diakuinya sebagai putra Arya Permadi, pewaris sah tahta Karang Setra. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi merasa tidak tenang.

Meskipun keadaan di seluruh pelosok kerajaan dalam keadaan damai, tapi di hati Pendekar Rajawali Sakti tidaklah demikian. Rupanya masih terdapat satu ganjalan di dalam hatinya, sebelum bisa menuntaskan semua persoalan yang dapat mengguncangkan Karang Setra setiap waktu. Rangga merasakan suasana seperti ini bagai gunung berapi yang setiap saat siap memuntahkan laharnya.

Saat itu matahari sudah hampir tenggelam. Rona merah membias di ufuk Barat. Rangga tampak berdiri tegak, mematung di tepi sebuah tebing yang cukup tinggi. Tatapan matanya lurus, tak berkedip ke arah Lembah Kunir. Di tempat itulah semua awal petaka ini terjadi. Lembah yang indah itu kelihatan sunyi, tak seorang pun terlihat di sana. Di belakang Rangga, terlihat Rajawali Putih mendekam dengan kepala menjulur ke depan. Seakan-akan bintang itu ingin turut serta memperhatikan lembah di depan sana.

“Kau melihat sesuatu di sana, Rajawali Putih?” tanya Rangga, agak bergumam suaranya seakan bertanya pada diri sendiri.

“Khrrr...,” Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.

Rangga memandangi Rajawali Putih yang semakin jauh menjulurkan kepala ke depan, melewati bahu kanannya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu seakan-akan tengah memperhatikan sesuatu yang sangat jauh di Lembah Kunir itu. Sedangkan Rangga jadi ikut memperhatikan ke arah yang tengah menjadi perhatian burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini. Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Tatar Netra' agar bisa melihat dalam jarak yang cukup jauh.

“Apa yang kau perhatikan, Rajawali Putih?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat sesuatu di lembah sana. Tapi keningnya jadi berkerut juga melihat sikap rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang seperti melihat sesuatu di sana.

“Khrrrkh...!”

Rajawali Putih mematuk punggung Rangga. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu memperhatikan, lalu cepat melompat naik ke punggungnya. Tak berapa lama kemudian, Rangga sudah mengangkasa bersama Rajawali Putih. Bagaikan kilat, burung raksasa itu melambung tinggi ke angkasa, lalu meluncur deras ke arah Lembah Kunir yang disirami cahaya merah jingga. Saat itu matahari memang hampir tenggelam.

“Khraaaghk...!”

“Aku tidak melihat apa-apa, Rajawali!” seru Rangga terus memperhatikan ke arah lembah yang ditunjuk Rajawali Putih, dengan menjulurkan paruhnya.

Burung raksasa itu menukik deras, ke arah hutan yang berada tidak seberapa jauh dari dua buah pondok kecil di lembah itu Rangga terpaksa memegangi erat-erat leher Rajawali Putih. Angin yang bertiup kencang di sekitarnya, membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi pekak.

“Hup...!”

Pepohonan lebat, tidak memungkinkan bagi Rajawali Putih untuk mendarat. Dan begitu berada dekat di atas pohon yang paling tinggi, Rangga cepat melompat turun dari punggung burung itu. Manis dan ringan sekali gerakannya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Rangga mendarat di salah satu cabang pohon yang cukup tinggi. Sementara Rajawali Putih kembali melambung tinggi, dan berputar-putar di atas hutan kecil ini. Sebentar Rangga menatap ke atas, lalu melompat turun dari atas cabang pohon ini

“Hap...!”

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepasang kaki Rangga menjejak tanah yang penuh dedaunan kering. Sebentar pandangannya beredar berkeliling. Meskipun sudah berada di tengah-tengah hutan kecil ini, tapi Pendekar Rajawali Sakti belum mengerti maksud Rajawali Putih yang menurunkannya di tengah hutan kecil ini

“Rajawali Putih seperti menyuruhku memeriksa hutan ini. Hm.... Aku yakin ada sesuatu di sekitar tempat ini,” gumam Rangga periahan, bicara pada dirinya sendiri.

Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Kedua matanya dipentang lebar, mengamati setiap jengkal daerah yang dilaluinya. Suasana yang begitu sunyi, membuat detak jantungnya sendiri terdengar begitu keras.

Cukup lama juga Rangga memeriksa sekitar tengah hutan kecil di Lembah Kunir ini, tapi belum menemukan sesuatu yang berarti. Hingga sampai pada sebatang pohon yang sangat besar, Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Sesaat hatinya tertegun memandangi pohon yang begitu besar, dengan sulur-sulurnya yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Rangga menaksir, sepuluh orang berpegangan tangan saja, tidak akan mungkin bisa melingkari pohon ini.

“Belum pernah kulihat pohon sebesar ini,” gumam Rangga terkagum-kagum.

Selagi Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan perasaan kagum, tiba-tiba saja batang pohon di depannya bergerak-gerak. Rangga terkejut, lalu terlompat mundur beberapa langkah. Batang pohon yang kulitnya sudah berganti entah berapa kali itu, terus bergerak-gerak. Kemudian, bergeser ke samping perlahan-lahan.

“Heh...?!”

Bergegas Rangga melompat masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sukar dipercaya, ternyata batang pohon itu bisa terbuka seperti pintu. Semakin lama, semakin membesar. Dan pada akhirnya benar-benar terbuka, membentuk sebuah rongga yang cukup besar. Bahkan mampu dilalui dua orang sekaligus!

Bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak ketika dari dalam pohon muncul si Jari Maut bersama seorang wanita muda dan cantik, berbaju biru yang sangat ketat. Rangga mengenali wanita itu. Dan inilah yang membuatnya hampir tidak percaya pada pandangannya sendiri.

“Mintarsih...,” desis Rangga dalam hati.

Si Jari Maut dan perempuan cantik yang dikenali Rangga bernama Mintarsih, berjalan cepat melewati semak tempat persembunyian Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka berjalan tanpa berbicara apa pun juga. Rangga terus mengamati sampai kedua orang yang telah dikenalinya ini tidak terlihat lagi. Kemudian, dia kembali menatap pohon besar yang masih tetap berlubang cukup besar. Kini di depan lubang pohon itu telah berdiri empat orang gadis-gadis muda berbaju merah menyala. Pedang mereka tampak tersampir di pinggang.

“Hm.... Mungkin ini yang dimaksud Rajawali Putih,” gumam Rangga dalam hati.

Rangga menduga kalau pohon besar itu pasti tempat persembunyian si Jari Maut selama ini. Dan yang pasti, pohon itu merupakan sebuah pintu rahasia. Rangga berpikir keras agar bisa masuk ke sana. Memang cukup sulit juga, karena ada empat orang yang menjaga di depang lubang pohon itu. Jadi, tidak mungkin menghindari bentrokan jika menerobos masuk ke sana. Jika hal itu terjadi, bisa-bisa malah menimbulkan keributan. Akibatnya semua orang yang berada di dalam pohon besar itu keluar. Maka, tentu saja hal itu akan menyulitkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri.

“Aku harus mencari cara untuk masuk ke sana tanpa diketahui,” bisik Rangga dalam hati.

Pada saat itu, si Jari Maut sudah kembali, tapi hanya seorang diri saja. Dan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan di benak Rangga. Jari Maut kemudian masuk kembali ke dalam pohon, diikuti empat orang gadis yang menjaga lubang pohon itu. Setelah mereka berada di dalam, pohon itu kembali tertutup sendiri.

“Hm..., ke mana Mintarsih...?” Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke luar. Sebentar ditatapnya pohon besar itu, kemudian melesat pergi ke arah si Jari Maut dan Mintarsih tadi pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.

DELAPAN

Rangga terus berlari cepat, menembus lebatnya pepohonan hutan di Lembah Kunir. Hingga sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah keluar dari hutan, dan kini memasuki padang rumput yang tidak begitu besar. Terlihat dua pondok kecil di sana. Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari, ketika melihat dua orang tengah bertarung tidak jauh dari pondok tempat tinggal si Jari Maut

Dua orang wanita yang sama-sama mengenakan baju biru. Tapi dari senjata yang digunakan, sudah dapat dipastjkan kalau yang memegang senjata berbentuk kipas adalah Pandan Wangi. Sedangkan wanita yang satunya lagi menggunakan pedang. Dia tak lain adalah Mintarsih. Rangga mendekati pertarungan itu. Dari jurus-jurus yang dikerahkan, sudah dapat dipastikan kalau mereka menggunakan jurus-jurus andalan yang maut dan berbahaya.

Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Dan sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda akan berhenti. Rangga melihat kalau Mintarsih begitu bernafsu sekali hendak menjatuhkan Pandan Wangi. Tapi si Kipas Maut itu tampaknya terlalu alot. Terbukti, beberapa kali dia berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh Mintarsih.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Pandan Wangi berteriak keras menggelegar. Dan secepat itu pula, tubuhnya bergerak cepat laksana kilat. Kipas baja putih yang terkenal itu berkelebat menghajar bagian pinggang Mintarsih. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga Mintarsih tak sempat lagi berkelit menghindar.

Bret!

“Akh...!” Mintarsih terpekik agak tertahan.

Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap pinggangnya yang tersambar ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan tajam. Darah merembes keluar dari sela-sela jari tangan Mintarsih. Pada saat itu Pandan Wangi sudah bersiap hendak mengakhiri pertarungan, dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya.

“Mampus kau sekarang, Setan...! Hiyaaa...!” teriak Pandan Wangi melengking tinggi

“Tahan...!” seru Rangga tiba-tiba.

Pandan Wangi yang hampir saja melompat menyerang Mintarsih, jadi mengurungkan serangannya. Wajahnya berpaling. Tampak Rangga melompat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di antara kedua wanita itu.

“Kakang Rangga! Mengapa kau hentikan pertarunganku?!” sentak Pandan Wangi tidak senang.

“Justru aku ingin bertanya, mengapa kau menyerang Mintarsih, Pandan? Apa kau tidak ingat kalau dia berada dalam lindungan kita?” agak mendesis suara Rangga.

“Bukan aku yang menyerang tapi dia!” dengus Pandan Wangi menuding Mintarsih.

Rangga menatap Mintarsih yang sedang meringis menahan sakit pada pinggangnya yang berdarah. Keadaan tubuhnya kelihatan lemah, karena memang belum lagi sembuh benar dari luka-luka akibat bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti.

“Sudahlah, Kakang. Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia ada di sini!” kata Pandan Wangi lagi

Rangga kembali menatap Pandan Wangi, lalu beralih pada Mintarsih. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu, Mintarsih berada di Lembah Kunir ini karena memiliki hubungan dengan Jari Maut. Tapi, hubungan itu memang belum diketahuinya secara pasti. Sebenarnya Rangga juga ingin tahu, mengapa wanita itu ada di lembah ini. Bahkan bersama si Jari Maut tadi

“Kau dengar pertanyaan Pandan Wangi tadi, Mintarsih...? Untuk apa kau berada di sini? Bukankah aku telah memberimu tempat yang tenang untuk memulihkan kesehatanmu?” ujar Rangga meminta penjelasan.

“Itu urusanku!” dengus Mintarsih.

“Jelas itu urusannya, Kakang. Dia masih dendam padamu, lalu bergabung dengan si Jari Maut,” selak Pandan Wangi ketus.

Rangga menatap Mintarsih tajam-tajam. Sebetulnya dia terkejut juga mendengar kata-kata Pandan Wangi barusan. Hanya saja, keterkejutannya segera ditutupi. Namun demikian di benaknya timbul pertanyaan, dari mana Pandan Wangi tahu kalau Mintarsih punya hubungan dengan si Jari Maut..? Dan pertanyaan itu hanya ada dalam benaknya saja.

“Aku tahu, waktu itu kau hanya berpura-pura saja, Mintarsih. Kau ingin mengadu domba antara aku dengan Jari Maut, dengan berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang penculikan Sangkala. Tapi, ternyata kau berada di belakang semua ini. Kau memang sekuntum mawar, Mintarsih. Sekuntum mawar berbisa...!” desis Rangga dingin.

“Ha ha ha...!” Mintarsih jadi tertawa terbahak-bahak.

Sampai di situ saja, Rangga sudah dapat memahami arti semua ini. Antara si Jari Maut, Mintarsih, dan Panglima Durangga rupanya selama ini terjalin suatu hubungan. Dan masing-masing memiliki alasan yang berbeda. Memang benar apa yang pernah dikatakan Pandan Wangi. Walaupun si Jari Maut sudah bertobat dan berjanji hendak meninggalkan semua perbuatan buruknya, tapi tetap saja memiliki dendam atas kekalahannya oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Mintarsih sendiri sudah jelas. Dia tidak akan puas sebelum berhasil membunuh Rangga. Wanita itu telah bersumpah untuk melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti beserta keturunannya.

“Tingkat kepandaianmu memang sukar ditandingi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau bodoh...!” dengus Mintarsih dingin.

“Keparat..! Kubunuh kau, Setan Jalang...!

Hiyaaat..!”

Rangga tidak sempat lagi mencegah ketika Pandan Wangi tiba-tiba sekali melompat menyerang Mintarsih. Gadis itu langsung mengebutkan kipas mautnya ke arah dada wanita cantik yang dijuluki si Mawar Berbisa oleh Pendekar Rajawali Sakti.

Bet!

“Uts! Yeaaah...!”

Mintarsih berhasil mengelakkan serangan Pandan Wangi. Tapi begitu si Kipas maut melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam kuat, dia tak mampu lagi berkelit Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras dan cepat itu mendarat telak di dadanya.

“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”

Mintarsih terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terkena tendangan keras Pandan Wangi. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Pandan Wangi sudah melancarkan serangan lagi. Kali ini kipas baja putih andalannya dikebutkan ke dada Mintarsih. Dan serangan itu benar-benar cepat, tak mampu dihindari lagi

Bet!

Cras!

“Aaa...!” lagi-lagi Mintarsih menjerit keras melengking tinggi. Darah kembali menyembur deras dari dadanya yang terkena sabetan kipas maut berwarna putih keperakan itu. Mintarsih tak mampu lagi berbuat banyak, dan kembali terjungkal begitu Pandan Wangi memberi satu pukulan telak di dadanya. Wanita berbaju biru itu menggelepar di tanah sambil mengerang lirih.

“Cukup, Pandan...!” sentak Rangga ketika Pandan Wangi hampir saja melancarkan serangan kembali.

Pandan Wangi menurunkan tangannya yang sudah terangkat naik di atas kepala. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, berpaling lagi menatap tajam Mintarsih penuh kebencian. Pandan Wangi benar-benar melampiaskan kebenciannya pada wanita itu. Sementara Rangga bergegas menghampiri Mintarsih yang tampak masih merintih kesakitan.

“Kau pernah bersumpah ingin membunuhku. Sekarang kau kuberikan kesempatan untuk hidup. Dan kau bisa melaksanakan sumpahmu itu, Mintarsih. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya. Di mana Sangkala, dan siapa sebenarnya Korapati itu.”

Mintarsih menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti, penuh kebencian. Dan karena tawaran Pendekar Rajawali Sakti cukup menarik, mata wanita itu tampak agak berbinar-binar. Sebab, paling tidak dia akan memiliki kesempatan lagi untuk melaksanakan sumpahnya.

“Bisa kupegang janjimu, Pendekar Rajawali Sakti?” Mintarsih ingin kepastian.

“Mengapa tidak?”

“Baik. Sangkala ada di..., akh!”

Rangga tersentak kaget Karena tiba-tiba leher Mintarsih terhunjam senjata rahasia seperti mata anak panah. Sungguh hal itu tidak diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu mengejang sesaat, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.

Sekejap, Rangga melihat semak-semak di dekat pohon di depannya bergoyang-goyang. Dengan rasa kekesalan yang tinggi akibat keterangan dari Mintarsih terputus, Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut senjata rahasia itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, senjata rahasia itu dilemparkan ke arah datangnya tadi. Maka....

“Aaakh...!”

Sosok tubuh berbaju merah tiba-tiba keluar dari semak-semak, dan langsung ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian mati. Pandan Wangi yang saat itu tidak melihat kejadiannya, karena perhatiannya tertuju ke arah lain, langsung terkejut. Dan ketika matanya melihat ke arah Mintarsih, gadis itu baru mengerti, apa yang terjadi. Rupanya orang berbaju merah itu anak buah si Jari Maut yang tidak ingin rahasia mereka terbongkar. Hanya saja, mereka tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti telah mengetahui sarang mereka.

********************

Rangga memandangi pohon raksasa di depannya. Sedangkan Pandan Wangi yang berada di sampingnya juga ikut memandangi pohon itu. Gadis itu masih belum percaya kalau di dalam pohon itulah tempat persembunyian si Jari Maut. Padahal, Rangga sudah menceritakan dengan sungguh-sungguh dan jelas sekali. Tak ada tanda-tanda kalau pohon ini memiliki lubang yang dapat dilewati. Mereka telah mengelilinginya sampai tiga kali. Namun, tidak juga ditemukan lubang masuk, seperti yang dikatakan Rangga.

“Apa kau benar-benar yakin di dalam pohon ini mereka bersembunyi?” tanya Pandan Wangi seraya memandangi pohon raksasa itu

“Belum lama aku di sini, Pandan. Matahari juga belum sepenuhnya tenggelam,” tegas Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menunjuk semak belukar. Di situ dia sempat bersembunyi, dan melihat si Jari Maut keluar dari pohon itu bersama Mintarsih.

“Di sana aku bersembunyi. Dan melihat mereka keluar dari pohon itu,” jelas Rangga.

“Maksudmu, si Jari Maut dan....”

“Siapa lagi kalau bukan si Mawar Berbisa itu,” potong Rangga cepat sebelum Pandan Wangi menyelesaikan kalimatnya.

Pandan Wangi memandangi pemuda tampan di sampingnya. Belum pernah gadis itu melihat Pendekar Rajawali Sakti ini begitu menggebu-gebu. Mungkin karena Rangga merasa tertipu atas sikap dan perilaku si Jari Maut. Sikap yang baik dan ramah, ternyata kini menikam dari belakang.

“Kau mundur, Pandan,” ujar Rangga, agak dingin nada suaranya.

“Kau mau apa?” tanya Pandan Wangi

“Pohon ini akan kuhancurkan,” sahut Rangga.

Pandan Wangi beringsut ke belakang beberapa langkah, begitu melihat Rangga sudah bersiap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Periahan-lahan kedua kepalan tangan Rangga menjulur ke depan. Seketika kedua tangan itu memancarkan warna merah yang membara, bagai sepotong besi yang terbakar di dalam tungku. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus ke arah pohon raksasa itu.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat ke arah pohon raksasa itu. Pada saat yang sama, kedua tangannya ditarik sejajar di samping dada. Lalu secepat itu pula, kedua tangannya dihentakkan ke depan, tepat menghantam batang pohon pada bagian tengah yang diyakininya sebagai pintu masuk ke dalam pohon itu.

Glarrr...!

Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu kedua tangan Rangga menghantam pohon raksasa itu. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Pohon besar itu seketika hancur berkeping-keping. Sedangkan bagian atasnya ambruk, menimbulkan suara bergemuruh. Bumi laksana diguncang gempa saat pohon itu menghantam tanah, tepat saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.

Tampak sebuah lubang yang cukup besar terdapat di bagian tengah pohon yang hancur itu. Dan sebelum Rangga menghampiri, dari dalam lubang berlompatan tubuh-tubuh berbaju merah. Ada sekitar sepuluh orang, yang langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua memegang tongkat kayu berwarna kecoklatan.

“Hiyaaa...!”

Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara sambil merentangkan kedua tangan ke samping. Saat itu jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dikerahkan. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Sehingga sebelum sepuluh orang berbaju merah itu bisa menyerang lebih jauh, Rangga sudah melakukan serangan cepat bagai kilat

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh berbaju merah. Dalam beberapa kali gebrak saja, tak ada lagi yang bisa bangkit kembali. Rangga cepat melompat mendekati reruntuhan pohon besar itu.

Begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, seketika berkelebat sebuah bayangan merah dari dalam lubang pohon yang sudah hancur itu. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke belakang, menghindari terjangan bayangan merah tadi.

“Huh! Yeaaah...!”

Dua kali Rangga berjumpalitan di udara. Dan begitu menjejakkan kaki di tanah, di depannya sudah berdiri si Jari Maut dengan sikap angkuh.

“Aku akui, kau memang sulit ditaklukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku tidak akan menyerah, sampai nyawaku hilang dari badan,” tegas si Jari Maut dingin.

“Aku memang melakukan kesalahan besar dengan membiarkan kau hidup waktu itu, Jari Maut,” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

“Sekarang kita sudah berhadapan lagi. Tak ada gunanya banyak bicara.”

Setelah berkata demikian, Jari Maut langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dilepaskannya beberapa pukulan cepat dan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan itu.

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Jari Maut memang tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang cepat dan sangat berbahaya. Sementara Pandan Wangi sudah bergegas menghampiri lubang pohon yang hancur akibat terkena pukulan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilontarkan Rangga tadi.

Pandan Wangi melompat masuk ke dalam lubang itu, dan seketika tubuhnya lenyap tak terlihat lagi. Sementara pertarungan Rangga melawan si Jari Maut berlangsung semakin sengit. Sebentar saja lebih dari lima jurus sudah dihabiskan. Tapi tampaknya pertarungan masih bakal terus berlangsung cukup lama.

Hingga setelah menyelesaikan sepuluh jurus dalam pertarungan, mereka sama-sama berlompatan mundur. Kini terbentang jarak sekitar dua batang tombak di antara mereka. Jari Maut mencabut pedangnya perlahan-lahan, lalu menyilangkannya di depan dada. Pedang berwarna merah itu seperti api yang berkobar-kobar, dan siap menghanguskan tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Sret!

Rangga yang sudah mengetahui kedahsyatan pedang itu, tak mungkin bisa menandingi hanya dengan tangan kosong saja. Maka pedangnya juga segera dicabut. Seketika itu juga cahaya biru berkilau menyemburat terang menyilaukan mata.

“Saatnya mengadu jiwa, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Jari Maut dingin menggetarkan.

“Majulah...!” sambut Rangga tak kalah dinginnya.

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Rangga cepat melompat, begitu si Jari Maut melompat menyerang dengan pedangnya. Secara bersamaan mereka mengayunkan pedang masing-masing ke depan. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi. Ledakan dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu dua senjata beradu keras di udara, hingga menimbulkan percikan bunga api.

Pertarungan kembali berlangsung sengit. Cahaya biru dan merah berkelebat cepat saling sambar. Beberapa kali terdengar ledakan keras setiap kali kedua pedang itu beradu. Dan setiap kali itu pula, terbetik pijaran api yang menyebar ke segala arah. Tempat pertarungan berlangsung sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Entah sudah berapa puluh pohon yang bertumbangan, akibat terkena serangan-serangan yang luput dari sasaran.

Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Tak terasa, mereka masih menghabiskan lebih dari sepuluh jurus lagi. Tapi sampai saat ini belum juga ada yang terlihat bakal terdesak. Sementara matahari semakin jatuh ke dalam pelukan alam. Dan kini keadaan jadi remang-remang. Tapi di sekitar pertarungan tetap terlihat terang, akibat dua sinar yang berkelebatan saling sambar.

“Hhh! Dia semakin tangguh dan meningkat pesat. Aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma',” desis Rangga bergumam dalam hati.

Saat itu juga, Rangga merubah jurusnya menjadi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus simpanan yang sangat dahsyat dan jarang digunakan jika tidak terdesak.

Setelah beberapa gebrakan berlalu, baru bisa terasakan akibat jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Perhatian si Jari Maut tampak mulai terpecah. Gerakan-gerakannya mulai tidak beraturan. Dan per-mainan pedangnya juga sudah tidak lagi menggigit. Perubahan ini cepat dilihat Rangga. Dan seketika itu juga serangan-serangannya diperhebat. Dan hal ini tentu saja membuat si Jari Maut semakin kewalahan saja. Dia sendiri tidak tahu, kenapa jadi sulit mengendalikan diri

“Lepas...!” seru Rangga tiba-tiba.

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan pedangnya ke arah pergelangan tangan kanan si Jari Maut yang memegang pedang. Begitu cepat gerakannya, sehingga si Jari Maut tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras!

“Akh...!” Jari Maut terpekik keras begitu pergelangan tangan kanannya terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Pedang si Jari Maut seketika terpental ke udara, bersamaan dengan tangannya yang buntung dari pergelangan. Darah langsung mengucur deras dari tangan yang buntung itu. Di saat si Jari Maut tengah terpana tidak percaya, Rangga sudah menusukkan pedangnya kembali dengan kecepatan tinggi.

“Hiyaaa...!”

Crab!

Jari Maut terpaku diam, ketika pedang Rangga berkelebat cepat menusuk dadanya hingga tembus ke punggung. Tak berapa lama kemudian, tubuh si Jari Maut ambruk ke tanah. Darah kembali muncrat keluar dari dada yang menganga lebar akibat terhunjam pedang. Jari Maut tewas seketika, sebelum tubuhnya menyentuh tanah.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang

Pada saat itu, Pandan Wangi melompat keluar dari dalam lubang pohon raksasa itu, disusul seorang pemuda berwajah cukup tampan. Dia mengenakan baju putih ketat agak kotor dan lusuh. Mereka langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar Rangga memandangi tubuh si Jari Maut yang berlumuran darah, kemudian berpaling menatap pemuda yang berdiri di samping Pandan Wangi. Pemuda itu membungkuk memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

“Bagaimana kau bisa menemukan Sangkala, Pandan?” tanya Rangga.

“Di ruangan bawah tanah. Aku memeriksa setiap kamar yang ada. Dan salah satu kamar, ternyata berisi Sangkala,” sahut Pandan Wangi.

“Ada orang lain di sana?” tanya Rangga lagi.

“Tidak,” sahut Pandan Wangi.

“Hm.... Lalu, murid-murid si Jari Maut yang lain ke mana?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Hanya sepuluh orang itu, kakang. Yang kau hadapi di pondok si Jari Maut, adalah para prajurit Panglima Durangga. Jadi, bukan murid-murid si Jari Maut. Aku tahu semua ini karena Sangkala yang cerita tadi,” jelas Pandan Wangi.

“Benar, Gusti Prabu,” ujar Sangkala membenarkan ucapan Pandan Wangi

“Ya, sudah. Sebaiknya kita segera kembali ke istana,” ujar Rangga.

“Bagaimana dengan Sangkala?” tanya Pandan Wangi

Rangga tersenyum dan menghampiri pemuda itu. Ditepuk-tepuknya Sangkala dan mengajaknya meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi segera mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti

“Kau hanya jadi korban saja, Sangkala. Sekarang juga, kau kubebaskan dari hukuman. Temui Danupaksi, dan minta pekerjaan padanya,” ujar Rangga.

“Terima kasih, Gusti Prabu. Hamba akan selalu setia pada Gusti Prabu dan Karang Setra,” ucap Sangkala penuh hormat

“Aku percaya padamu, Sangkala.”

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: SILUMAN ULAR MERAH
Loading...