Memperebutkan Bunga Wijaya - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

MEMPEREBUTKAN BUNGA WIJAYAKUSUMA

SATU
Tidak seperti hari-hari biasanya, kini sekitar kaki Gunung Lawu tampak ramai, terlebih lagi di Desa Lambak, yang terletak di sebelah Timur kaki gunung itu. Sepertinya, tak ada tempat lagi bagi orang-orang yang datang ke desa itu. Entah dari mana mereka datang. Setiap hari, selalu saja bertambah. Kedatangan orang-orang yang tampaknya dari kalangan persilatan itu, tentu saja membuat Ki Sutar yang merupakan kepala Desa Lambak jadi kebingungan setengah mati.

Laki-laki tua itu tidak tahu, kenapa desanya tiba-tiba saja didatangi orang-orang dari kalangan persilatan begitu banyak. Kekhawatiran seketika timbul di hatinya. Kekhawatiran yang wajar, melihat semua orang yang datang rata-rata memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan tinggi. Belum lagi, hampir semuanya membawa senjata. Ki Sutar khawatir terjadi keributan di antara mereka. Terlebih lagi jika melibatkan para penduduk. Hal inilah yang membuat Ki Sutar begitu khawatir, sehingga memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki maksud kedatangan mereka.

“Bagaimana? Apa kalian sudah mendapatkan keterangan?” tanya Ki Sutar pada dua orang pembantunya yang datang menghadap.

“Mereka hendak ke puncak Gunung Lawu, Ki,” sahut salah seorang yang masih terlihat muda.

“Ke puncak Gunung Lawu...? Mau apa kesana?” tanya Ki Sutar tidak mengerti.

Kedua anak muda itu tidak menjawab. Sementara Ki Sutar memandangi kedua pembantunya ini dalam-dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi, kedua anak muda itu tetap diam tidak membuka suara. Mereka malah saling berpandangan satu sama lain.

“Kalian tahu, untuk apa mereka ke puncak Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar lagi.

“Tidak, Ki,” sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna kuning muda.

“Tidak...?! Lalu, apa saja yang kalian ketahui?” Ki Sutar jadi mengerutkan kening.

Belum juga kedua pemuda itu menjawab, tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia langsung jatuh terduduk di lantai. Seluruh pakaiannya kotor berdebu. Keringat mengucur deras, membasahi wajah dan lehernya. Ki Sutar dan kedua pemuda pembantunya jadi terkejut.

“Ada apa ini...? Apa yang terjadi padamu, Warjan?” tanya Ki Sutar terkejut melihat keadaan orang yang baru datang itu.

Orang yang bernama Warjan juga salah satu pembantunya yang ditugaskan menyelidiki kedatangan orang-orang persilatan ke desa ini. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tidak langsung menjawab. Napasnya masih terengah-engah. Disekanya keringat yang membanjiri leher.

“Celaka, Ki.... Celaka...,” lapor Warjan masih tersengal.

“Katakan yang benar. Ada apa...?” agak menyentak suara Ki Sutar.

“Mereka mulai membuat keributan. Aku berusaha melerai, tapi mereka malah mengeroyokku...,” lapor Warjan masih agak tergagap.

“Ohhh...,” Ki Sutar mendesah panjang. Inilah yang dikhawatirkan sejak semula. Kedatangan orang-orang persilatan memang tidak bisa membuat tenang. Biarpun kecil, pasti terjadi keributan di antara mereka. Ki Sutar khawatir, keributan itu akan menjalar lebih luas lagi. Dia tidak ingin desa yang tenteram dan damai ini jadi ajang pertumpahan darah.

“Di mana keributan itu terjadi?” tanya Ki Sutar.

“Di sebelah Selatan, Ki,” jawab Warjan.

“Ada penduduk yang terlibat?” tanya Ki Sutar lagi. Nada suaranya terdengar penuh kecemasan.

“Tidak, Ki,” sahut Warjan mulai agak tenang suaranya.

Ki Sutar terdiam lagi. Kakinya melangkah ke depan, dan berhenti di ambang pintu. Pandangannya lurus ke jalan ramai yang dipadati orang bersenjata dan berpakaian aneh-aneh, bercampur baur dengan penduduk Desa Lambak. Sementara Warjan dan dua orang pemuda pembantu kepala desa itu hanya diam, sambil duduk bersila di lantai. Mereka memandangi Ki Sutar yang masih berdiri di ambang pintu menghadap keluar.

“Kalian ikut aku,” ujar Ki Sutar tanpa berpaling sedikit pun.

Laki-laki tua yang masih tampak gagah itu melangkah keluar, diikuti Warjan dan dua pemuda pembantunya. Tak berapa lama kemudian, mereka terlihat sudah berkuda meninggalkan rumah berukuran cukup besar dan berhalaman luas. Mereka langsung menyatu dengan orang-orang yang memadati jalan tanah dan berdebu ini.

********************

Sementara itu, di sebelah Selatan Desa Lambak tampak dua orang tengah bertarung senjata, disaksikan sekitar dua puluh orang. Seorang yang mengenakan baju ketat berwarna hitam, tampak memegang sepasang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing. Sedangkan lawannya yang mengenakan baju warna merah, menggunakan senjata berupa tameng berbentuk segi tiga berwarna perak.

Dua puluh orang yang menyaksikan pertarungan tampaknya juga dari kalangan persilatan. Ini terlihat dari senjata-senjata yang disandang. Entah sudah berapa lama pertarungan itu berlangsung. Dan tampaknya, masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus andalan yang ampuh dan dahsyat. Tapi, belum kelihatan tanda-tanda kalau pertarungan bakal berhenti. Mereka sama-sama tangguh dan digdaya. Sehingga orang-orang yang menyaksikan tidak mengerdipkan mata sedikit pun.

“Berhenti...!”

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga membuat mereka yang ada di sekitar pertarungan jadi terkejut. Bahkan dua orang yang tengah bertarung itu pun langsung berlompatan mundur, menghentikan pertarungannya. Mereka semua menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.

Tampak di atas sebongkah batu yang cukup besar dan tinggi bagai sebuah bukit kecil, berdiri seseorang mengenakan baju hitam pekat. Kepalanya tertutup caping berukuran lebar, sehingga seluruh wajahnya tertutup caping itu. Pakaian yang dikenakan begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang bergagang kepala naga, tampak tersampir di punggungnya.

“Tidak ada gunanya kalian bertarung di sini. Kenapa tidak segera ke puncak Gunung Lawu...?” lantang sekali suara orang bercaping lebar itu.

Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya saling melemparkan pandang, kemudian kembali menatap orang berbaju hitam itu. Tanpa ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, tempat itu mulai ditinggalkan satu persatu. Sementara dua orang yang tadi bertarung, masih berada di tempatnya. Mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan belum puas dengan pertarungan yang terhenti barusan.

“Kita akan bertemu lagi di puncak Gunung Lawu, Pendekar Tombak Kembar,” tantang orang baju merah yang memegang sebuah perisai segitiga berwarna keperakan.

“Aku tunggu kau di sana, Perisai Maut,” sambut laki-laki muda yang dipanggil Pendekar Tombak Kembar.

Kembali mereka saling bertatapan, kemudian sama-sama meninggalkan tempat itu dengan arah berlawanan. Sementara orang berbaju hitam ketat yang wajahnya tertutup caping besar masih tetap berdiri di atas batu, meskipun sudah tak ada seorang pun di tempat pertarungan itu tadi.

Pada saat itu, Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya sampai di tempat ini. Sementara orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya tertutup caping lebar masih berdiri tegak di atas batu yang cukup tinggi, bagaikan sebuah bukit. Tak ada orang lain lagi selain mereka. Ki Sutar melompat turun dari atas punggung kuda. Gerakannya indah dan ringan sekali.

“Di mana mereka, Warjan?” tanya Ki Sutar.

“Tadi mereka bertarung di sini, Ki,” jelas Warjan.

“Hm...,” gumam Ki Sutar perlahan. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekitarnya memang berantakan, seperti baru saja terjadi pertarungan sengit. Juga banyak tapak kaki yang membekas di tanah berumput kering ini. Dia tahu, Warjan tidak berdusta. Tapi apa mungkin pertarungan bisa berlangsung begitu cepat, dan berakhir begitu saja...? Ki Sutar yang sedikitnya mengetahui kehidupan orang-orang persilatan, sudah tidak merasa aneh lagi oleh pertarungan yang berlangsung cepat. Hanya saja, di sini tidak ditemukan adanya bercak darah. Apalagi sesosok mayat.

Pandangan Ki Sutar tertuju pada sosok tubuh berbaju hitam dan bercaping lebar. Perlahan Ki Sutar melangkah menghampiri. Tapi belum juga dekat dengan batu besar itu, orang berbaju serba hitam dan bercaping lebar sudah melompat turun dari atas batu. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar lima langkah lagi di depan Ki Sutar.

“Hm.... Siapa kau?” tanya Ki Sutar sambil memandangi orang yang tidak kelihatan wajahnya.

“Aku si Caping Maut,” sahut orang itu memperkenalkan diri.

“Caping Maut..,” gumam Ki Sutar perlahan.

Laki-laki tua itu kembali memandang dalam-dalam orang bercaping lebar. Nama besar si Caping Maut sering didengarnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah punya nama, dan sangat disegani di kalangan rimba persilatan. Tapi, baru kali inilah Ki Sutar bertemu orangnya.

“Maaf, kalau kedatangan mereka membuatmu repot,” ucap si Caping Maut dengan suara lembut dan bernada sopan.

“Mereka memang sudah membuat kehidupan kami terusik,” jelas Ki Sutar berterus terang.

“Tidak lama, Ki. Besok juga mereka sudah meninggalkan desa ini. Mereka hendak berkumpul di puncak Gunung Lawu,” kata si Caping Maut memberi tahu. Masih dengan nada suaranya yang lembut dan sopan.

“Boleh aku tahu, untuk apa mereka ke Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar.

“Mereka semua mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu,” jawab si Caping Maut

“Padepokan Gunung Lawu...?!” Ki Sutar mengerutkan keningnya.

“Apa kau tidak mendapat undangan, Ki?” si Caping Maut malah bertanya, setelah melihat kepala desa itu seperti kebingungan mendengar penjelasannya tadi.

“Jangankan undangan. Aku sendiri tidak tahu kalau di Puncak Gunung Lawu berdiri sebuah padepokan,” agak mendengus suara Ki Sutar.

“Oh..., benarkah...?” kini si Caping Maut yang kelihatannya terkejut

Perlahan laki-laki berbaju hitam itu membuka caping yang menutupi kepalanya. Maka, terlihatlah seraut wajah tampan di balik sebuah caping lebar dan berwarna hitam itu. Wajah dengan senyum menawan dan sinar mata berbinar, bagaikan mata seorang bayi yang baru dilahirkan.

“Seharusnya kau menerima undangan, Ki. Semua kepala desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini telah menerima undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Hm..., tidak heran jika kau terkejut melihat kedatangan mereka yang memenuhi desamu,” kata si Caping Maut lagi.

“Aku memang terkejut. Tidak pernah desa ini kedatangan orang dari kalangan persilatan begini banyak. Paling-paling, satu dua orang saja. Dan itu pun hanya singgah satu dua hari. Mereka kemudian kembali meninggalkan desa ini tanpa menimbulkan masalah apa pun juga,” jelas Ki Sutar, seperti mengeluh.

“Kalau begitu, maafkan atas kelalaian Ketua Padepokan Gunung Lawu,” ucap si Caping Maut seraya menjura memberi hormat

Ki Sutar jadi kikuk juga, tapi cepat membungkukkan tubuhnya sedikit untuk membalas penghormatan tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu.

“Aku akan menegur Ketua Padepokan Gunung Lawu. Kuharap kau menerima undangan sebelum terlambat, Ki,” kata si Caping Maut lagi, seraya mengenakan caping hitamnya kembali.

Belum juga Ki Sutar mengucapkan sesuatu, laki-laki bercaping hitam itu sudah melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya jadi terlongong.

“Ayo, kita kembali,” ajak Ki Sutar, langsung melompat naik ke punggung kudanya.

Empat orang itu kemudian sudah kembali bergerak meninggalkan tempat itu. Suasana pun menjadi sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu di sini.

Pendekar Rajawali Sakti

“Tidak ada seorang pun yang ada di desa ini lagi, Ki,” jelas Warjan

Ki Sutar hanya diam saja, memandang lurus ke depan. Warjan dan dua orang anak muda pembantu kepala desa itu saling berpandangan. Sejak mereka bertemu si Caping Maut, sikap kepala desa ini jadi berubah. Sering melamun, dan selalu berdiam diri menyendiri. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki tua gagah ini.

“Warjan..,” panggil Ki Sutar, perlahan suaranya.

“Ya, Ki,” sahut Warjan seraya mendekat di samping kepala desa itu.

“Aku akan ke puncak Gunung Lawu. Dan selama kepergianku, kaulah yang bertanggung jawab atas seluruh desa ini,” ujar Ki Sutar.

“Ketua Padepokan Gunung Lawu sudah memberi undangan, Ki?” tanya Warjan agak terkejut mendengar keputusan kepala desa Ini.

“Semalam, aku mendapat undangan darinya,” sahut Ki Sutar.

“Semalam...?” Warjan mengerutkan kening.

“Aku tidak tahu, siapa yang memberikannya. Undangan itu sudah ada di kamarku. Ada di meja kecil dekat jendela,” Ki Sutar menjelaskan tentang undangan yang diterimanya dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.

Warjan hanya diam dengan kepala terangguk-angguk. Semalaman dia tidak tidur untuk menjaga sekeliling rumah ini, namun sama sekali tidak melihat ada orang datang membawa undangan untuk majikannya. Apalagi undangan itu sampai berada di kamar peristirahatan Ki Sutar sendiri.

“Aku berangkat sekarang,” kata Ki Sutar seraya melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.

“Kenapa tidak besok saja, Ki?” usul Warjan.

Ki Sutar tidak menjawab, dan terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar ditatapnya Warjan, dan dua orang anak muda pembantunya. Mereka hanya memandangi kepala desa itu dengan segudang pertanyaan di kepala. Mereka tidak mengerti, kenapa Ki Sutar tiba-tiba saja memutuskan hendak pergi ke puncak Gunung Lawu setelah mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Bahkan Ki Sutar berat meninggalkan desa ini, karena seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.

Tanpa bicara apa pun juga, Ki Sutar segera meng-gebah kuda meninggalkan rumahnya yang berukuran cukup besar itu. Sementara Warjan dan dua orang pembantu kepala desa itu hanya bisa memandangi tanpa dapat mencegah lagi. Apalagi memberi usul agar Ki Sutar menunda keperakannya. Sementara, Ki Sutar sudah jauh meninggalkan rumahnya. Kudanya digebah cepat menuju ke Gunung Lawu.

********************

DUA

Padepokan Gunung Lawu memang berdiri di atas puncak Gunung Lawu yang sunyi dan sepi. Sebuah padepokan yang cukup besar, berdiri di antara pepohonan dan tumpukan-tumpukan bebatuan yang membukit. Hanya ada dua bangunan yang berukuran besar di sana, dan tanah lapang luas di depan salah satu bangunan itu. Sebuah panggung berukuran besar tampak berdiri di tengah-tengah lapangan ini. Umbul-umbul dan berbagai macam bentuk hiasan terlihat, membuat suasana di puncak gunung yang sunyi itu jadi semarak bagai hendak diadakan pesta.

Puluhan orang berseragam merah-merah tampak sibuk menghiasi sekeliling padepokan itu, agar terlihat lebih semarak. Di tengah-tengah panggung yang sedang dihias, tampak berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia didampingi dua orang laki-laki muda, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh hma tahun.

“Persiapan sudah benar-benar matang, Ki. Hari ini semuanya selesai. Tinggal menunggu tamu-tamu undangan datang,” lapor salah seorang pemuda yang mengenakan baju warna biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang tergantung di pinggang pemuda itu. Ujung gagang pedangnya berbentuk kepala ular.

Wajahnya cukup tampan, tapi sedikit rusak oleh luka codet yang membelah pipi kanannya. Dia berdiri di samping kanan laki-laki separuh baya yang mengenakan baju warna putih bersih, yang bagian belakangnya panjang hampir menyentuh papan panggung.

“Apa sudah ada tamu yang datang?” tanya laki-laki setengah baya berbaju putih itu.

“Baru satu, Ki,” sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju wama kuning longgar.

Tubuh pemuda itu kurus, seakan-akan tidak seimbang dengan gada besar berduri yang tersandang di pundaknya. Kedua matanya tampak masuk ke dalam, dan memerah seperti kurang tidur. Rambutnya juga kemerahan tak teratur, hampir menutupi wajahnya yang kurus dengan tulang-tulang pipi bersembulan keluar.

“Kalian harus melayani semua undangan dengan baik. Jangan membuat mereka kecewa,” pesan laki-laki separuh baya itu lagi.

“Semua tempat untuk beristirahat juga sudah disediakan, Ki. Tak ada yang membuat kecewa undangan nantinya. Entah kalau di antara mereka nanti ada yang mencari gara-gara,” jelas pemuda yang mengenakan baju biru ketat

“Bagus,” desah laki-laki separuh baya itu.

Perlahan laki-laki setengah baya itu memutar tubuhnya, dan melangkah ringan menuruni panggung. Wanita yang mendampinginya mengikuti di samping kiri, diikuti dua orang pemuda dari belakang. Mereka terus melangkah menuju ke rumah besar di dekat panggung ini, dan baru berhenti setelah berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas.

Mereka semua duduk melingkari meja bundar dari batu pualam putih yang berkilat. Dua orang gadis cantik muncul dari dalam sambil membawa baki berisi dua guci arak dan beberapa cawan dari perak. Dengan sikap penuh rasa hormat, kedua gadis cantik berbaju merah itu meletakkan baki di atas meja. Mereka mengatur rapi, dan mengisi cawan-cawan dengan arak. Kemudian, kedua gadis itu kembali melangkah masuk ke dalam, dan tak keluar-keluar lagi.

“Sudah kau siapkan orang-orang yang akan melakukan pertunjukan nanti?” tanya laki-laki separuh baya yang merupakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu lagi, sambil menatap wanita di sampingnya.

“Sudah,” sahut wanita itu singkat.

“Aku tidak ingin mengecewakan tamu. Dan sebaik-nya, kau persiapkan lebih matang lagi. Tunjukkan pada mereka, kalau Padepokan Gunung Lawu harus diperhitungkan kehadirannya di tengah-tengah dunia persilatan.”

“Jangan khawatir, Kakang. Mereka tidak akan mengecewakanmu. Aku berani memastikan itu,” tegas wanita yang mengenakan baju warna biru muda.

Meskipun usianya sudah berkepala empat, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya juga ramping, dan padat berisi. Sebatang gagang pedang terlihat menyembul dari punggungnya. Di Padepokan Gunung Lawu ini, namanya adalah Winarti. Dia memang adik kandung Aria Kandaka, Ketua Padepokan Gunung Lawu.

“Kakang! Kelihatannya kau gelisah. Adakah sesuatu yang mengganjal di harimu?” tegur Winarti sambil menatap raut wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

Aria Kandaka yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Gunung Lawu hanya menghembuskan napas saja. Wajahnya berpaling, menatap dua pemuda yang duduk di depannya. Sebentar kemudian, dia kembali berpaling memandang Winarti. Sedangkan yang ditatap malah terus memandangi tanpa berkedip.

“Tidak ada yang meresahkan hatiku, Winarti,” elak Aria Kandaka, agak mendesah suaranya.

“Dalam beberapa hari ini, kau kelihatan seperti gelisah. Apakah ada kerabat yang terlupa diundang, Kakang? Biar aku yang menyampaikannya. Masih ada waktu dua hari lagi,” tanya Winarti lagi.

“Tidak. Semua sudah kuundang. Tak ada yang terlewat satu pun juga,” sahut Aria Kandaka, pelan.

“Kalau begitu, apa yang membuatmu gelisah?” Winarti masih mendesak.

“Aku hanya memikirkan akibat semua ini,” sahut Aria Kandaka.

“Bukankah semua akibat yang akan terjadi sudah diperhitungkan?”

“Memang benar. Dan aku tidak ingin terjadi sesuatu yang bisa membuat cacat nama Padepokan Gunung Lawu ini.”

“Kalau itu yang dikhawatirkan, aku rasa tidak ada masalah, Kakang. Aku sudah mempersiapkan segalanya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Percayalah. Semua pasti bisa berjalan lancar,” Winarti meyakinkan kakaknya.

“Terima kasih. Pengorbananmu sudah terlalu banyak untuk padepokan ini,” ucap Aria Kandaka.

“Tidak perlu kau ucapkan itu, Kakang. Semua yang kulakukan demi Padepokan Gunung Lawu. Juga demi kita semua,” Winarti merendah.

Aria Kandaka tersenyum saja. Diambilnya cawan perak yang berisi arak. Sekali tenggak saja, arak manis itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Winarti dan kedua anak muda ikut menenggak arak itu hingga habis. Seorang anak muda yang mengenakan baju biru, menuangkan arak manis ke dalam cawan-cawan yang sudah kosong.

Beberapa kali Winarti melirik Aria Kandaka yang tampaknya masih kelihatan murung, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Winarti tidak tahu, kenapa dalam beberapa hari ini kakaknya jadi murung. Padahal, acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu tinggal dua hari lagi. Suatu acara yang sangat bersejarah bagi padepokan ini, agar bisa diakui di kalangan rimba persilatan.

Memang tidak heran jika Aria Kandaka yang menjadi ketua padepokan ini kelihatan gelisah dan tidak tenang. Peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu merupakan satu tonggak yang teramat penting. Peringatan itu merupakan neraca ukuran bagi kelangsungan padepokan ini. Mati dan hidupnya Padepokan Gunung Lawu, sangat ditentukan oleh hari peringatan itu nanti.

“Aku akan jalan-jalan sebentar,” pamit Aria Kandaka seraya bangkit berdiri.

“Perlu ditemani, Kakang?” tanya Winarti ikut berdiri.

“Tidak,” sahut Aria Kandaka.

Winarti hanya memandangi kakaknya saja yang melangkah perlahan keluar dari ruangan berukuran cukup besar ini. Dia semakin yakin ada sesuatu yang dipikirkan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Tapi, dia tidak bisa lagi mendesak untuk mengetahuinya. Aria Kandaka sendiri enggan mengatakan, apa yang menjadi ganjalan hatinya saat ini.

********************

Para tamu undangan mulai berdatangan ke Padepokan Gunung Lawu yang berada di puncak Gunung Lawu ini. Mereka ditempatkan pada kamar-kamar yang memang sudah disiapkan sebelumnya. Suasana di puncak gunung itu pun semakin kelihatan ramai. Sampai senja hari, tamu-tamu undangan terus saja berdatangan dari segala penjuru.

Ketegangan memang terlihat, karena tidak sedikit di antara para undangan itu yang pernah memiliki persoalan. Atau bahkan masih menyimpan perselisihan. Mereka bukan saja dari kaum pendekar yang beraliran putih, tapi tidak sedikit pula tokoh-tokoh persilatan dari golongan hitam. Namun, tak ada seorang pun yang membuat persoalan terlebih dahulu. Mereka seakan sama-sama menjaga diri, menghormati Ketua Padepokan Gunung Lawu yang mengundang ke sini untuk menghadiri peringatan satu tahun berdirinya padepokan ini.

Sementara itu, Aria Kandaka tampak semakin jauh meninggalkan padepokannya. Dia berjalan sendiri dengan ayunan kaki ringan dan perlahan, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah pancuran air. Udara senja ini begitu sejuk, bahkan bisa dikatakan dingin. Kabut pun mulai merambat turun menyelimuti sekitar puncak Gunung Lawu ini. Menambah udara sekitarnya semakin terasa dingin hingga ke tulang.

“Hm...,” tiba-tiba saja Aria Kandaka menggumam.

Ayunan kakinya terhenti, begitu hampir sampai di pancuran air. Sebentar keningnya dikerutkan, lalu kaki kirinya bergerak cepat menyentak sebatang ranting kering yang berada tepat di ujung jari kakinya. Ranting kering itu mencelat ke atas. Begitu cepatnya tangan kanan Aria Kandaka bergerak mengibas, ranting kering itu melesat cepat ke samping kanannya.

Srak! Pada saat ranting kering itu menembus semak, saat itu juga sebuah bayangan hijau melesat keluar dari balik semak. Beberapa kali bayangan hijau itu berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat sekitar dua tombak di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini.

“He he he.... Ternyata Ketua Padepokan Gunung Lawu itu adalah dirimu, Aria Kandaka. Pantas saja berani mengundang tokoh-tokoh persilatan dari berbagai macam golongan,” terdengar suara serak yang begitu kering, terucap dari sosok tubuh berjubah hijau di depan Aria Kandaka.

“Kakek Naga Hijau...,” desis Aria Kandaka langsung mengenali orang tua berjubah hijau di depannya.

Aria Kandaka membungkukkan tubuh sedikit memberi hormat. Kedua telapak tangannya menyatu rapat di depan dada. Namun kakek berjubah hijau ,yang berada sekitar dua tombak darinya hanya terkekeh saja tanpa membalas penghormatan itu sedikit pun juga.

“Kenapa kau tidak segera saja datang ke padepokan. Kami sudah menyiapkan segalanya untukmu,” ujar Aria Kandaka dengan nada suara sopan.

“He he he.... Aku tidak sebodoh yang kau kira, Aria Kandaka. Aku bukan mereka yang begitu mudah dikelabui, dengan segala akal licikmu,” sambut Kakek Naga Hijau, agak sinis nada suaranya.

Aria Kandaka hanya tersenyum saja mendengar kata-kata bernada sinis itu. Kakinya melangkah beberapa tindak menghampiri, dan berhenti saat jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.

“Aku mengundang mereka atas nama seluruh murid Padepokan Gunung Lawu. Dan undangan ini hanya untuk meminta pengakuan atas berdirinya Padepokan Gunung Lawu,” jelas Aria Kandaka.

“Padepokan.... Hhh! Aku lebih senang mendengarnya kalau dikatakan gerombolan. Bukannya padepokan, Aria Kandaka!” dengus Kakek Naga Hijau sinis.

“Maaf. Apa maksudmu berkata begitu, Kakek Naga Hijau?” tanya Aria Kandaka kurang senang juga selalu disindir.

“Aku tahu, apa maksudmu yang sebenarnya dari undangan ini, Aria Kandaka. Aku hanya ingin memperingatkan kau saja. Sebaiknya hentikan sebelum terlambat, daripada kau menyesal di belakang hari,” tegas Kakek Naga Hijau, tetap sinis nada suaranya.

“Maaf. Aku tidak ada selera untuk berdebat denganmu, Kakek Naga Hijau. Sebaiknya segeralah ke padepokan, bergabung dengan yang lainnya,” pinta Aria Kandaka lagi.

Setelah berkata demikian, tubuhnya berputar ke kanan, dan mengayunkan kakinya meninggalkan kakek berjubah hijau itu. Tapi baru beberapa langkah berjalan, terasa adanya desiran angin dari arah belakang. Tanpa berpaling lagi, Aria Kandaka cepat melenting ke udara. Saat itu, secercah cahaya kehijauan melesat cepat begaikan kilat di bawah tubuh Aria Kandaka.

“Hup!”

Manis sekali Aria Kandaka kembali mendarat Langsung tubuhnya diputar berbalik, menatap tajam pada orang tua berjubah hijau yang masih berdiri tegap di tempatnya. Sedikit pun orang tua berjubah hijau itu tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat mereka hanya berdiam diri saja dengan sinar mata sama-sama tajam, saling bertemu pada satu titik.

“Belum saatnya kita saling mengumbar kesaktian, Kakek Naga Hijau. Jika memang ingin berhadapan denganku, sebaiknya kau tunggu saja saatnya nanti,” tegas Aria Kandaka.

“He he he.... Kau gentar kalau hanya berdua saja, Aria Kandaka...,” ejek Kakek Naga Hijau memanasi.

“Hm.... Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Naga Hijau?” semakin dingin nada suara Aria Kandaka.

Dia benar-benar tidak suka terhadap tingkah orang tua berjubah hijau ini. Dia tahu, Kakek Naga Hijau memiliki kepandaian tinggi. Bahkan sukar sekali dicari tandingannya. Sedangkan tempat ini tidak seberapa jauh dari Padepokan Gunung Lawu. Dan bukan tidak mungkin kalau terjadi pertarungan di sini, semua orang yang ada di padepokan bisa mengetahuinya.

Aria Kandaka tidak ingin terjadi sesuatu. Dia tidak ingin ada pertarungan, sebelum peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu diadakan. Apalagi dia sendiri sebagai ketua padepokan itu yang bertarung sebelum waktunya. Ini bisa menimbulkan masalah besar, yang akan mengakibatkan nama Padepokan Gunung Lawu jadi buruk.

“Silakan datang ke padepokanku. Naga Hijau,” Aria Kandaka menawarkan.

Setelah berkata begitu, cepat Aria Kandaka melesat pergi. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga sebelum Kakek Naga Hijau membuka suara, bayangan Aria Kandaka sudah lenyap dari pandangan.

“Setan!” dengus Kakek Naga Hijau merasa tidak puas.
********************

Sementara itu, suasana di Padepokan Gunung Lawu semakin kelihatan ramai. Puncak gunung yang biasanya sunyi, kini begitu riuh oleh suara-suara orang yang berdatangan dari segala penjuru. Dan dari pakaian serta senjata yang disandang, sudah dapat diketahui kalau mereka dari kalangan persilatan. Kedatangan mereka ke puncak gunung ini karena mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.

“Aku merasa ada sesuatu yang ganjil di sini,” gumam salah seorang undangan yang mengenakan baju ketat warna merah muda. Tangannya menggenggam sebatang tombak panjang bermata tiga.

“Keganjilan apa yang kau lihat, Ki?” tanya seorang anak muda yang berdiri di dekatnya.

“Kau lihat panggung itu...,” kata orang itu lagi seraya menunjuk panggung berukuran besar dan tampak kokoh, berdiri di tengah-tengah halaman luas.

“Tidak ada yang aneh di panggung itu, Ki Gambang,” sahut pemuda berbaju putih yang berdiri di sampingnya.

Laki-laki berusia lanjut yang bernama Ki Gambang itu melirik pemuda di sampingnya. Sejenak keningnya jadi berkerut melihat cambuk hitam berduri melilit pinggang pemuda ini. Pada bagian dada kiri yang terbuka, terlihat sebuah gambar seekor ular naga menyemburkan api. Laki-laki tua berbaju merah muda itu seakan-akan baru menyadari kalau lawan bicaranya tadi adalah si Cambuk Naga.

“Rupanya kau juga mendapat undangan, Cambuk Naga,” agak sinis nada suara Ki Gambang kali ini.

“Kedatanganku sengaja hanya untuk bertemu denganmu, Ki Gambang,” sahut pemuda yang ternyata memang berjuluk Cambuk Naga. Suaranya juga jadi terdengar sinis.

“Rupanya kau belum juga bisa melupakan peristiwa dua tahun lalu.”

“Tidak akan kulupakan. Dan kau harus bertanggung jawab, Ki Gambang. Mungkin di sini tempatnya nyawa adikku dapat tertebus,” semakin dingin nada suara Cambuk Naga.

“Aku tidak yakin kau sudah siap melawanku.”

“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka.”

Ki Gambang tahu, kalau si Cambuk Naga masih tetap hendak menuntut balas atas kematian adiknya yang berjuluk Iblis Naga Hitam. Dua tahun yang lalu, ketika Iblis Naga Hitam merajalela di sebuah desa tidak jauh dari kaki Gunung Lawu ini, Ki Gambang sempat bertarung dengannya. Dan dalam pertarungan itu, Iblis Naga Hitam tewas di tangannya. Sejak kejadian itu, Cambuk Naga bersumpah akan menuntut balas pada Ki Gambang yang telah membunuh adiknya.

Sudah dua kali mereka bentrok, tapi Ki Gambang berhasil mengalahkan pemuda ini. Namun, laki-laki tua itu memang tidak membunuhnya. Dia masih memberi kesempatan pada si Cambuk Naga untuk menyadari, kalau kematian adiknya karena perbuatannya sendiri yang menyusahkan orang banyak. Tapi rupanya Cambuk Naga tidak peduli kalau kesalahan berada di tangan adiknya, sehingga tetap hendak menuntut balas. Baginya, hutang nyawa harus dibayar nyawa.

Sementara di lain tempat, terlihat dua orang gadis cantik tengah duduk di bawah pohon. Mereka memperhatikan orang-orang yang berada di sekitar halaman depan Padepokan Gunung Lawu ini. Masing-masing menyandang sebilah pedang berukuran panjang, tersampir di punggung. Sukar membedakan di antara mereka, karena wajah satu sama lain begitu serupa. Hanya warna pakaiannya saja yang berbeda. Yang seorang mengenakan baju wama merah, dan seorang lagi mengenakan baju wama biru. Kedua gadis ini dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara.

“Sejak tadi aku tidak melihat Aria Kandaka. Kau tahu, di mana dia, Randita?” agak bergumam suara gadis berbaju biru.

“Tidak,” sahut gadis berbaju merah yang dipanggil Randita. “Untuk apa kau mencari Aria Kandaka, Randini?”

“Untuk apa...? Apa kau sudah lupa tujuan kita ke sini, Randita...?” agak mendelik mata Randini mendengar pertanyaan gadis kembarannya.

“Aku tidak lupa. Tapi bukan sekarang saatnya melaksanakan perintah Kanjeng Ibu, Randini. Kau juga harus ingat pesan-pesan Kanjeng Ibu,” Randita mengingatkan,

“Kalau tidak lupa, untuk apa kita duduk-duduk saja di sini...?”

“Masih terlalu terang, Randini. Lagi pula, ada tanda-tanda seperti yang dikatakan Kanjeng Ibu.”

“Hm...,” Randini menggumam kecil.

Gadis itu menatap lurus pada seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan jubah panjang warna putih bersih. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berwarna putih, seperti terbuat dari perak. Dia tengah duduk di kursi bambu, ditemani dua orang pemuda yang juga mengenakan baju jubah wama putih bersih. Kedua pemuda itu juga membawa tongkat putih keperakan.

“Aku tidak yakin kita akan berhasil, Randita,” kata Randini dengan suara masih terdengar pelan.

“Kenapa kau jadi bimbang begitu...?”

“Kau lihat sendiri. Bukan hanya satu dua orang yang akan menjadi saingan kita. Tapi banyak....”

“Apa pun yang terjadi, kita harus tetap melaksanakannya, Randini. Aku tidak ingin mengecewakan Kanjeng Ibu,” tekad Randita.

Kedua gadis itu tidak berbicara lagi, dan sama-sama bangkit berdiri seraya melangkah perlahan. Tanpa disadari, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Terutama, laki-laki tua berjubah putih bersih yang membawa tongkat putih keperakan.

“Kalian harus berhati-hati di sini. Terutama pada kedua gadis itu,” pelan sekali suara orang tua berjubah putih ini.

“Dewi Kembar dari Utara, Eyang...?” ujar salah seorang pemuda yang berada di depannya.

“Aku yakin, kedatangan mereka ke sini ada maksud tertentu,” sahut orang tua yang dikenal bernama Eyang Japalu. Dia adalah seorang tokoh tua yang sudah lama tidak pernah muncul lagi dalam rimba persilatan.

Eyang Japalu datang ke padepokan ini juga karena undangan yang diberikan Aria Kandaka padanya. Kalau bukan Aria Kandaka sendiri yang datang mengundangnya, tidak mungkin sekarang dia berada di puncak gunung ini. Mungkin hanya kedua muridnya itu saja yang diutus datang ke padepokan ini.

“Kami akan terus mengawasinya, Eyang,” ujar pemuda satunya lagi.

“Bukan hanya kedua gadis itu, tapi juga si Elang Perak, Gagak Hitam, dan Cambuk Naga. Mereka yang harus kalian awasi,” tegas Eyang Japalu.

“Tapi kami tidak melihat ada Ki Gambang di sini, Eyang.”

“Dia pasti ada. Kemunculannya memang jarang diketahui, dan selalu tiba-tiba. Itu sebabnya, kenapa kuminta kalian tetap memasang mata dan telinga. Ki Gambang lebih berbahaya dari yang lainnya. Kalian harus ingat itu.”

Kedua pemuda ini mengangguk berbarengan. Sementara itu, satu persatu tamu-tamu undangan meninggalkan halaman depan ini. Memang, hari sudah mulai senja. Dan matahari juga semakin condong ke peraduannya. Tak berapa lama kemudian, halaman depan yang luas itu sudah kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada di sana. Bahkan Eyang Japalu dan kedua pemuda muridnya juga sudah beranjak meninggalkan tempat itu.

********************

TIGA

Saat matahari baru menampakkan diri di puncak Gunung Lawu, semua tamu undangan sudah memadati halaman depan Padepokan Gunung Lawu. Mereka menempati kursi-kursi yang telah disediakan, mengelilingi panggung besar yang berdiri di tengah-tengah halaman. Sementara beberapa kursi yang berada pada barisan depan di belakang panggung, masih terlihat kosong. Kursi itu diperuntukkan bagi ketua Padepokan Gunung Lawu dan keluarga serta para kerabat dekatnya.

Semua murid padepokan itu sudah berjajar rapi di sekitar panggung. Mereka mengenakan pakaian warna merah, dengan bentuk dan potongan sama. Ada sekitar lima puluh orang yang rata-rata masih berusia muda, dan masing-masing menyandang pedang serta tombak.

Gong...!

Tiba-tiba terdengar gong dipukul. Suara yang begitu keras dan menggema, membuat suara-suara menggumam dari orang-orang yang berbicara seketika terhenti. Semua mata tertuju ke pintu depan bangunan besar yang berada tidak jauh dari panggung ini.

Begitu pintu terbuka, muncul Aria Kandaka didampingi adik perempuannya, Winarti. Di belakang mereka menyusul beberapa orang laki-laki. Mereka berjalan menuju ke panggung, disaksikan puluhan pasang mata dari para tamu undangan. Aria Kandaka langsung naik ke atas panggung. Sedangkan yang lain duduk di kursi yang sudah disediakan. Suasana pun menjadi hening, begitu Aria Kandaka sudah berdiri di tengah-tengah panggung. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengedarkan pandangan ber-keliling. Kemudian, tubuhnya membungkuk memberi penghormatan pada semua tamu undangannya.

“Atas nama seluruh penghuni Padepokan Gunung Lawu, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran saudara-saudara yang telah menyempatkan diri datang memenuhi undangan..,” terdengar lantang dan berwibawa suara Aria Kandaka.

Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Semua terdiam mendengarkan kata sambutan yang diberikan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Semua mata tertuju pada Aria Kandaka yang kali ini mengenakan baju putih bersih, yang bagian belakang-nya panjang. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya. Tampak gagah dan berwibawa kelihatannya.

“Maksud kami mengundang saudara-saudara semua adalah untuk memohon pengakuan dan restu atas kehadiran Padepokan Gunung Lawu, yang hari ini genap berusia satu tahun. Dan kami akan memperlihatkan hasil tempaan selama satu tahun ini dari murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Kami berharap, saudara-saudara semua bisa menilai, apakah Padepokan Gunung Lawu pantas berdiri atau tidak,” sambung Aria Kandaka.

Setelah mengucapkan beberapa kata sambutan lagi, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu pun melangkah turun dari panggung diiringi suara riuh tepuk tangan para hadirin yang memadati halaman. Memang bukan hanya undangan saja yang hadir. Tidak sedikit para penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu yang datang ingin menyaksikan peringatan satu tahun berdirinya padepokan ini. Juga, dari padepokan-padepokan lain yang ada di sekitar Gunung Lawu yang mengirimkan utusan-utusannya untuk menyaksikan kemampuan murid-murid Padepokan Gunung Lawu.

Setelah Aria Kandaka duduk di kursi yang telah disediakan untuknya, dua orang berbaju merah melompat naik ke atas panggung. Gerakan mereka begitu indah dan ringan sekali. Mereka membungkuk untuk memberi hormat pada ketua padepokan itu, kemudian membungkuk pada para hadirin. Lalu, mereka sama-sama memberi penghormatan. Tanpa berbicara sedikit pun, mereka langsung memperagakan keahliannya masing-masing dalam ilmu olah kanuragan.

Suara-suara riuh dari tepukan tangan, dan celetukan-celetukan mulut usil mulai terdengar. Acara demi acara pun berlangsung. Murid-murid Padepokan Gunung Lawu yang sudah dipersiapkan tampil mempertunjukkan kemahirannya, bergantian berlompatan naik ke atas panggung. Acara seperti ini memang membosankan. Terlihat dari para undangan yang mulai tidak betah lagi duduk di kursinya. Tiba-tiba, salah seorang undangan bangkit berdiri dari kursinya.

“Aria Kandaka...! Apa kau tidak bisa menampilkan pertunjukan menarik...?” lantang sekali suara orang yang mengenakan baju merah menyala itu.

Dia adalah seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya tinggi tegap, dan menyandang golok berukuran besar yang bagian atasnya bergerigi. Perhatian semua orang, langsung tertuju padanya. Bahkan empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang sedang berlaga, jadi menghentikan pertunjukannya. Mereka tahu, siapa orang yang mengeluarkan suara lantang menggelegar itu. Di kalangan persilatan, julukannya adalah Golok Iblis Peminum Darah.

“Hup!” Tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat naik ke atas panggung. Gerakannya begitu ringan dan indah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di tengah-tengah panggung.

“Dengar kalian semua! Aku akan mempertunjukkan sesuatu yang menarik!” ujar si Golok Iblis Peminum Darah, dengan suara keras dan lantang menggelegar.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat cepat. Langsung dilontarkannya beberapa pukulan keras menggeledek ke arah empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang berada di atas panggung. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadari. Tahu-tahu, empat orang murid itu sudah berpelantingan jatuh keluar panggung.

Suara-suara riuh dan gumaman terdengar seketika, begitu empat orang murid Padepokan Gunung Lawu itu terkapar di tanah. Beberapa orang murid lainnya bergegas menghampiri memberi pertolongan. Mereka mengangkut keempat pemuda itu, menjauhi panggung. Melihat acara yang semula berjalan lancar mulai dirusak, Winarti cepat bangkit berdiri. Tapi, Aria Kandaka lebih cepat lagi mencekal tangan adiknya ini. Terpaksa Winarti duduk kembali di kursinya sambil mendengus.

“Aria Kandaka...! Tampilkan orang terbaikmu ke sini. Kalau ada di antara murid-muridmu yang bisa menandingiku dalam lima jurus, keberadaan padepokanmu akan kuakui!” ujar si Golok Iblis Peminum Darah lantang menggelegar.

“Biar aku yang membungkam mulutnya, Ki Kandaka,” kata seorang anak muda yang duduk di sebelah kiri Aria Kandaka.

Aria Kandaka memandang anak muda itu sejenak, kemudian menatap ke arah panggung tempat si Golok Iblis Peminum Darah berdiri tegak di sana. “Baik. Hati-hatilah kau, Raseta,” kata Aria Kandaka mengizinkan.

“Terima kasih, Ki.”

Pemuda yang dipanggil Raseta itu cepat melesat naik ke panggung. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas panggung, hanya beberapa langkah saja di depan si Golok Iblis Peminum Darah. Pada saat itu, seorang laki-laki tua berjubah kuning panjang dan berkepala gundul naik juga ke atas panggung.

“Sebentar...,” katanya lembut

Raseta segera menjura memberi hormat pada orang tua berjubah kuning gading itu. Sedangkan si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja. Matanya melirik sedikit pada orang tua berjubah kuning gading itu.

“Aku ingin, acara ini tidak dikotori oleh darah dan nafsu pribadi. Memang sebaiknya Padepokan Gunung Lawu ini bisa menunjukkan kemampuannya melawan para undangan yang ada. Tapi, hendaknya memberi batasan, agar jangan sampai menimbulkan korban. Terlebih lagi, sampai ada darah menetes,” ujar orang tua berjubah kuning gading itu berwibawa.

“Kami akan menuruti anjuran Paman Pendeta,” ujar Raseta seraya menjura memberi hormat

“Bagus. Dalam hal ini, aku akan menjadi penengah. Dan siapa saja yang jatuh keluar panggung, itu yang kalah. Bagaimana...?”

“Setuju, Paman Pendeta,” sahut Raseta cepat.

“Silakan kalian mulai.”

Laki-laki tua berkepala gundul yang mengenakan baju jubah kuning panjang itu melangkah turun dari panggung. Sementara si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja, seakan tidak senang oleh peraturan yang diberikan pendeta tua itu.

“Maaf. Sebagai tuan rumah, aku mempersilakan Paman menyerang lebih dulu,” kata Raseta sopan.

“Phuih!” Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, si Golok Iblis Peminum Darah menggeser kaki sedikit ke kanan. Kemudian goloknya yang berukuran besar dan bergerigi di depan dada disilangkan. Sementara Raseta hanya memperhatikan saja, dan masih berdiri tegak tak bergeming sedikit pun juga.

“Hiyaaat..!” Bagaikan kilat, si Golok Iblis Peminum Darah melompat menerjang pemuda itu. Goloknya yang berukuran besar berkelebat cepat, membabat ke arah dada Raseta.

Namun manis sekali Raseta menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Dan sebelum si Golok Iblis Peminum Darah bisa menarik kembali senjatanya, tiba-tiba saja Raseta sudah memberi satu serangan balasan yang cepat. Dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, membuat si Golok Iblis Peminum Darah jadi terkejut setengah mati.

“Hiyaaat..!”

Cepat-cepat si Golok Iblis Peminum Darah melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Saat itu, Raseta juga sudah melompat mengejar. Kembali diberikannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada si Golok Iblis Peminum Darah. Tapi Raseta cepat-cepat menarik pukulannya, begitu si Golok Iblis Peminum Darah mengebutkan senjata untuk menangkis pukulan yang diberikan Raseta.

Bahkan kini si Golok Iblis Peminum Darah sudah cepat menyerang dahsyat Goloknya yang berukuran besar, berkelebat mengincar tubuh anak muda itu. Akibatnya, Raseta harus berjumpalitan menghindarinya. Semua orang yang menyaksikan perarungan itu jadi menahan napas. Bahkan beberapa tamu undangan mulai kasak-kusuk, berbisik-bisik sambil tidak lepas memperhatikan jalannya pertarungan yang semakin sengit

Tanpa terasa, lima jurus sudah berlalu. Beberapa celetukan usil mulai terdengar mengejek si Golok Iblis Peminum Darah yang tadi sesumbar akan menjatuhkan Raseta kurang dari lima jurus. Dan sekarang, sudah lebih dari lima jurus. Tapi, Raseta malah tetap tegar.

“Cukup...!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, disusul melesatnya bayangan kuning naik ke atas panggung. Pendeta tua yang tadi memberi peraturan, tahu-tahu sudah berdiri di atas panggung. Maka pertarungan itu pun seketika berhenti. Mereka sama-sama memandang pendeta tua itu. Raseta segera melompat mundur, lalu menjura memberi hormat

“Kau sudah kalah, Golok Iblis. Sebaiknya, segeralah turun dari panggung,” ujar pendeta tua itu dengan suara lembut tanpa ada maksud menyinggung.

“Heh,..?! Apa katamu, Pendeta Tua...?” bentak si Golok Iblis Peminum Darah tidak menerima.

“Kau tadi mengatakan, hanya sampai lima jurus saja. Kau harus menepati janji dengan ucapanmu sendiri, Golok Iblis. Kau harus mengakui keberadaan Padepokan Gunung Lawu ini,” pendeta tua itu mengingatkan.

“Setan...!” dengus si Golok Iblis Peminum Darah sengit

Golok Iblis Peminum Darah mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia merasa seakan-akan semua mata memandang padanya dengan begitu sinis dan melecehkan. Karena, dia tidak mampu merobohkan seorang anak muda dalam lima jurus.

“Silakan kau kembali ke tempatmu, Golok Iblis,” ujar pendeta tua itu masih dengan suara lembut dan sopan.

“Huh!” Golok Iblis Peminum Darah jadi mendengus kesal.

Bukan hanya kesal. Bahkan juga malu yang tak bisa dikatakan lagi. Memang ucapannya tadi terasa begitu angkuh dan meremehkan. Dan itu didengar orang banyak. Mau tak mau, harus diakuinya keberadaan Padepokan Gunung Lawu meskipun harus menanggung malu yang amat sangat. Tanpa banyak bicara lagi, si Golok Iblis Peminum Darah langsung melesat pergi. Dia tidak kembali lagi ke kursinya, tapi terus pergi meninggalkan puncak Gunung Lawu.

********************

Semua orang memang bisa punya rencana, tapi tidak ada yang bakal menduga kalau rencana yang sudah dipersiapkan matang bisa berubah tiba-tiba begitu saja. Seperti halnya acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu itu. Acara yang sudah tersusun rapi, jadi rusak oleh ulah si Golok Ibhs Peminum Darah. Meskipun, dia dapat dikalahkan murid utama Padepokan Gunung Lawu.

Tapi kerusuhan itu tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa orang tamu undangan jadi tertarik mengikuti jejak si Golok Ibhs Peminum Darah. Secara bergantian, satu persatu mereka naik ke atas panggung untuk menantang murid-murid padepokan itu. Dan ini terpaksa dilayani Aria Kandaka yang tidak mau mengecewakan tamu-tamu undangannya.

Memang beraneka ragam tingkah mereka. Ada yang secara jantan mengakui, tapi ada juga yang penasaran dan tidak mengakui ketangguhan murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Dan semuanya diterima Aria Kandaka dengan senyum tersungging di bibir. Namun demikian, hatinya begitu bangga terhadap murid-muridnya yang bisa menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi tokoh persilatan yang sudah punya nama. Meskipun, sebagian besar dari murid-muridnya dapat dikalahkan tidak lebih dari lima jurus. Bahkan tidak sedikit yang sudah ambruk hanya dalam beberapa gebrakan saja.

Hingga senja datang, acara adu laga itu baru berhenti. Dan Aria Kandaka terpaksa mengabulkan permintaan tamu undangannya untuk melanjutkannya esok hari. Saat matahari sudah begitu condong ke arah Barat, halaman yang semula ramai kini menjadi sunyi senyap. Hanya ada beberapa orang dari murid padepokan itu yang masih berada di sana, membereskan panggung yang hampir ambruk akibat dipakai berlaga sepanjang siang ini.

“Huh! Ada saja orang yang sirik, merusak acara!” dengus Winarti sambil menghempaskan tubuhnya di kursi panjang.

“Hal seperti ini memang sudah pasti terjadi, Winarti. Tidak mudah mendirikan sebuah padepokan. Itu baru tantangan pertama. Aku yakin, masih ada tantangan berikutnya yang lebih berat dan tidak bisa diduga,” jelas Aria Kandaka diiringi senyuman lembut

“Seharusnya Kakang membiarkan aku menghajar si Golok Iblis Peminum Darah itu!” nada suara Winarti masih terdengar kesal oleh tingkah si Golok Iblis Peminum Darah.

“Kalau kau turun tadi, akan lebih buruk jadinya. Untung saja Pendeta Winaya cepat turun tangan. Sehingga, tidak terjadi pertumpahan darah.”

“Cepat atau lambat, pasti pertumpahan darah akan terjadi, Kakang.”

“Mudah-mudahan saja tidak sampai terjadi.” Aria Kandaka melangkah keluar dari kamar ini. Dia terus berjalan menuju ke belakang. Sementara Winarti masih tetap berada di dalam kamar itu. Aria Kandaka terus mengayunkan kakinya sampai ke halaman belakang padepokan.

Beberapa orang muridnya yang ada di halaman belakang ini, membungkukkan kepala sedikit untuk membalas penghormatan itu. Sementara dari arah depan, terlihat Raseta melangkah cepat menghampiri. Pemuda itu membungkuk memberi penghormatan, yang kemudian dibalas Aria Kandaka dengan anggukan kepala sedikit

“Ada apa, Raseta?” tanya Aria Kandaka.

“Ada sesuatu terjadi, Ki,” sahut Raseta, agak terputus suaranya.

“Apa yang terjadi?” tanya Aria Kandaka, masih terdengar tenang suaranya.

“Gudang penyimpanan senjata pusaka dibongkar orang,” pelan sekali suara Raseta, seakan-akan takut didengar orang lain.

“Apa...?!”

Aria Kandaka terkejut bukan main mendengar laporan murid utamanya ini. Bergegas kakinya melangkah menuju ke tempat penyimpanan senjata pusaka. Raseta mengikuti dari belakang tanpa berbicara lagi. Tempat penyimpanan senjata pusaka milik Padepokan Gunung Lawu ini memang bukan berbentuk bangunan, tapi sebuah gua yang cukup besar. Mulut gua itu diberi pintu yang terbuat dari kayu jati tebal.

Aria Kandaka jadi terbeliak melihat pintu gua penyimpanan senjata pusaka sudah hancur berkeping-keping. Bergegas dia melangkah hendak masuk. Tapi, mendadak saja ayunan kakinya terhenti begitu melihat dua sosok mayat tergeletak di dekat mulut gua bagian dalam. Kedua mayat berbaju merah itu adalah muridnya yang ditugaskan menjaga gua penyimpanan senjata pusaka ini.

“Aku menemukan mereka sudah meninggal, Ki,” jelas Raseta.

“Kau sudah periksa ke dalam?” tanya Aria Kandaka.

“Belum,” sahut Raseta. “Aku langsung melaporkan hal ini”

“Sudah ada orang lain yang tahu?”

“Belum, Ki.”

Aria Kandaka bergegas masuk ke dalam diikuti Raseta. Gua ini memang tidak memiliki lorong. Dan hanya merupakan sebuah ruangan berdinding dan beratap batu. Seperti sebuah gua buatan, yang sengaja dibangun untuk tempat perlindungan. Aria Kandaka memandangi setiap sudut ruangan gua yang sudah begitu berantakan. Berbagai macam bentuk senjata berserakan. Kepingan-kepingan lemari penyimpan senjata juga berhamburan di lantai gua yang dingin dan lembab ini.

“Celaka...!” desis Aria Kandaka begitu matanya tertumbuk pada sebuah lubang di sudut dinding gua ini.

Bergegas dihampirinya lubang yang menganga cukup lebar itu. Kedua bola matanya semakin terbeliak, karena peti kayu di dalam lubang itu sudah terbuka penutupnya. Dan memang hanya ada sehelai kain merah saja di dalam peti itu. Saat itu juga, Aria Kandaka merasa tubuhnya jadi lemas. Dia kemudian bersandar di dinding gua dengan pandangan mata lesu dan kosong, seperti tidak memiliki gairah hidup lagi. Tapi, raut wajahnya tampak memerah dan menegang kaku.

“Siapa yang melakukan ini...?” desah Aria Kandaka bertanya pada diri sendiri.

“Ada yang hilang, Ki...?” tanya Raseta.

“Kau panggil Winarti dan Pendeta Winaya ke sini,” perintah Aria Kandaka tanpa menjawab pertanyaan murid utamanya.

“Baik, Ki,” sahut Raseta. Tanpa diperintah dua kali, Raseta bergegas melangkah meninggalkan gua itu.

“Jangan katakan apa-apa, Raseta,” pesan Aria Kandaka sebelum Raseta keluar.

“Baik, Ki.”

********************

Aria Kandaka hanya melirik sedikit saja ketika Winarti dan Pendeta Winaya memasuki gua penyimpanan senjata ini. Mereka terkejut melihat keadaan gua yang berantakan. Senjata berbagai jenis dan bentuk berserakan di lantai. Tak ada satu lemari penyimpanan pun yang masih utuh berdiri. Semuanya sudah hancur berkeping-keping. Mereka bergegas menghampiri Aria Kandaka yang terduduk lemas bersandar di dinding batu gua yang berlumut ini.

“Kakang...?!” agak mendesis suara Winarti begitu melihat lubang di dinding yang bolong.

Mata wanita itu langsung terbeliak begitu melihat kotak kayu di dalam lubang itu terbuka tutupnya. Sementara, Aria Kandaka sudah berdiri. Dipandangnya Winarti dan Pendeta Winaya yang tengah merayapi sekitar gua ini. Pendeta tua itu mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih.

“Siapa yang melakukan ini, Aria Kandaka?” tanya Pendeta Winaya seraya menatap dalam pada Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Aku tidak tahu, Paman. Aku sendiri mendapat laporan dari Raseta,” sahut Aria Kandaka.

“Apa yang hilang?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Bunga Wijayakusuma Merah,” sahut Aria Kandaka tetap bersuara pelan.

“Hm...,” Pendeta Winaya menggumam perlahan. Dia tahu, Bunga Wijayakusuma Merah hanya ada satu-satunya di dunia ini, dan sangat berarti sekali bagi Aria Kandaka. Bunga itu memang didapatkannya dengan susah payah. Apalagi, keberadaannya hanya satu kali dalam seratus tahun. Bunga itu bukan hanya bisa digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit, tapi juga bisa untuk menyempurnakan ilmu tenaga dalam dan ilmu-ilmu kesaktian. Bahkan bunga itu bisa membuat tenaga dan kesaktian seseorang berlipat ganda.

Orang yang membawa bunga itu dalam pertarungan, tubuhnya tak akan mempan oleh senjata apa pun juga. Kekebalannya tak bisa ditembus, oleh senjata yang sakti sekalipun. Tidak heran jika Aria Kandaka jadi lemas begini. Dengan hilangnya bunga itu, berarti hilang pula kekuatan abadi yang dimiliki dan dibanggakannya.

“Di antara tamu-tamu undanganmu, apa ada yang mengetahui tentang bunga itu?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Ya,” sahut Aria Kandaka.

“Siapa saja?”

“Ki Gambang, Cambuk Naga, Dewi Kembar dari Utara, Elang Perak, Eyang Japalu dan.... Masih banyak lagi yang tahu, Paman,” sahut Aria Kandaka.

“Apa mereka semua ada di deretan bangku undangan?”

“Tidak kuperhatikan, Paman.”

“Hm...,” Pendeta Winaya kembali menggumam perlahan.

Sementara Winarti hanya diam saja. Dikumpulkannya senjata-senjata pusaka yang berserakan di lantai gua ini dibantu Raseta. Tak ada orang lain lagi di dalam gua ini, selain mereka berempat. Untuk beberapa saat, tak ada seorang pun yang berbicara. Sedangkan Aria Kandaka masih kelihatan lesu, seperti tidak mempunyai gairah hidup lagi.

“Apa ada di antara mereka yang mengambil kesempatan mencuri bunga itu, Paman?” tanya Aria Kandaka.

“Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Aria Kandaka. Tapi kita tidak bisa menuduh salah seorang dari mereka. Hal ini harus diselidiki lebih dahulu.”

“Tapi, acara akan berakhir sampai besok sore, Paman. Apa kita punya kesempatan untuk mengetahui, siapa pencuri itu...?”

“Aku tidak tahu. Tapi, sebaiknya hal ini jangan sampai tersebar dulu. Akan kupikirkan, bagaimana caranya menjebak pencuri itu sebelum acara peringatan satu tahun padepokanmu berakhir.”

“Kalau mereka sudah bubar, habislah aku...,” desah Aria Kandaka lesu.

“Jangan putus asa dulu, Aria Kandaka. Masih ada waktu untuk mencari si pencuri itu,” Pendeta Winaya membesarkan hati Ketua Padepokan Gunung Lawu ini

“Ya, masih ada waktu. Waktu yang sedikit..,” desah Aria Kandaka.

********************

EMPAT

Sampai jauh malam, Aria Mandaka belum juga bisa mengetahui orang yang telah membongkar gua tempat penyimpanan pusakanya. Semakin larut malam, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu semakin gelisah. Sama sekali matanya tidak bisa dipicingkan barang sekejap pun. Hatinya begitu gelisah, berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Sesekali, dia berdiri di depan jendela sambil memandang jauh ke dalam kegelapan.

Entah untuk yang keberapa kali, Aria Kandaka berdiri di depan jendela kamar ini. Pada saat itu, matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat menuju ke gua tempat penyimpanan senjata. Dari jendela kamar ini ke gua tempat penyimpanan senjata bisa langsung terlihat

“Heh...?! Siapa itu...?”

Tanpa berpikir panjang lagi, Aria Kandaka langsung melompat keluar dari jendela yang terbuka lebar. Gerakannya ringan sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga. Begitu kakinya menjejak tanah, langsung dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekilas bayangan hitam itu masih terlihat menyelinap ke bagian belakang bangunan tempat beristirahat murid-murid Padepokan Gunung Lawu ini.

“Hup...!” Aria Kandaka cepat melompat ke atas atap bangunan memanjang itu. Bagaikan seekor kucing, dia berlari ringan di atas atap yang terbuat dari rumbia itu. Kemudian, kembali melesat turun dengan gerakan ringan sekali. Tepat pada saat itu, bayangan hitam terlihat berkelebat mendekati mulut gua penyimpanan senjata.

“Berhenti...!” bentak Aria Kandaka lantang menggelegar.

Bentakan Aria Kandaka yang begitu keras, membuat sosok tubuh hitam itu terkejut setengah mati. Larinya dihentikan, dan cepat tubuhnya berbalik. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya ber-kelebat cepat. Seketika itu juga terlihat dua buah sinar keperakan melesat cepat ke arah Aria Kandaka.

“Hup! Yeaaah...!”

Aria Kandaka cepat-cepat melentingkan tubuhnya, menghindari kilatan cahaya keperakan itu. Dua kali dia berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat sekitar tiga langkah di depan sosok tubuh hitam itu. Secepat kilat, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi

“Hiyaaa...!”

Hanya sedikit saja sosok tubuh hitam itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Aria Kandaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekail, orang berbaju serba hitam itu membalas. Tangan kirinya menyodok ke arah lambung Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Hait..!”

Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, kemudian menggeser kakinya ke kanan. Kembari dilepaskannya satu tendangan keras ke arah kepala yang terselubung kain hitam. Tapi kali ini juga serangan Aria Kandaka manis sekali berhasil dielakkan.

Orang berbaju serba hitam itu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya sekitar dua batang tombak dari Aria Kandaka. Kembali tangannya mengibas cepat ke depan, melepaskan senjata keperakan berbentuk bulatan sebesar mata kucing.

“Hiyaaa...!”

“Hup!”

Aria Kandaka terpaksa berjumpalitan menghindari benda-benda bulat kecil bersinar keperakan itu. Dan begitu kembali menjejakkan kakinya di tanah, orang berbaju serba hitam itu sudah tidak ada lagi. Aria Kandaka langsung mementang matanya tajam-tajam, mencoba menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi orang berbaju serba hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Dia pergi di saat Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sedang sibuk menghindari senjata-senjata rahasianya.

Aria Kandaka membungkukkan tubuhnya sedikit, memungut senjata bulat sebesar mata kucing yang berwarna perak dari tanah. Diamatinya benda bulat keperakan itu beberapa saat. Keningnya jadi berkerut, dan matanya agak menyipit.

“Hm..., siapa dia...? Mau apa ke gua penyimpanan pusaka...?” Aria Kandaka bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Perlahan kakinya terayun menuju ke mulut gua yang sudah tidak berpintu lagi. Sebentar dia berhenti di ambang mulut gua itu. Tangannya kemudian meraih sebatang obor, lalu dinyalakan dengan pemantik api. Cahaya api obor segera menerangi sekitarnya. Kembali kakinya terayun memasuki gua batu itu. Keadaan di dalam gua ini tidak berubah, meskipun sudah kelihatan agak rapi. Kepingan-kepingan kayu bekas lemari penyimpanan pusaka masih terlihat berserakan di lantai.

Aria Kandaka kembali melangkah keluar gua batu ini. Obor itu dimatikan dan ditaruhnya kembali pada tempatnya. Saat itu terlihat seseorang berjalan cepat menghampiri. Aria Kandaka menunggu sambil memperhatikan. Ternyata dia seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dengan kepala gundul dan janggut putih panjang hampir menutupi leher.

“Paman Pendeta...” Aria Kandaka menjura memberi hormat begitu mengenali orang tua berjubah kuning yang datang menghampiri.

“Aku lihat tadi kau bertarung di sini. Siapa orang itu, Kandaka...?” tanya Pendeta Winaya ingin tahu.

“Entahlah. Wajahnya ditutupi kain hitam,” sahut Aria Kandaka.

“Kau kenali jurus-jurusnya?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Tidak,” sahut Aria Kandaka lagi. “Tapi dia menggunakan senjata ini.”

Aria Kandaka menunjukkan benda bulat kecil keperakan pada orang tua berjubah kuning itu. Pendeta Winaya mengambil benda di telapak tangan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kemudian, diamatinya dengan seksama. Aria Kandaka mengambil benda itu lagi setelah disodorkan Pendeta Winaya. Disimpannya benda bulat keperakan itu di dalam saku ikat pinggangnya.

“Kau kenali benda itu, Kandaka?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Tidak,” sahut Aria Kandaka.

Dia memang tidak tahu benda kecil bulat keperakan itu, dan baru kali ini melihatnya. Dari tadi, Aria Kandaka memang sedang berusaha mengenali senjata rahasia itu. Tapi, sama sekali dia tidak ingat. “Apa Paman mengenalnya...?” Aria Kandaka balik bertanya.

“Tidak ada orang lain yang menggunakan senjata seperti itu...,” kata Pendeta Winaya, agak bergumam suaranya, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

“Siapa orangnya, Paman?” desak Aria Kandaka ingin tahu.

“Hanya Elang Perak yang menggunakan senjata dari perak. Tapi....”

“Tapi kenapa, Paman?”

“Apa mungkin Elang Perak muncul seperti itu, dan secara rahasia...?” nada suara Pendeta Winaya seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku akan melihat ke kamarnya, Paman,” kata Aria Kandaka.

“Untuk apa? Kalaupun dia orangnya, pasti sekarang ini ada di dalam kamarnya. Cukup banyak waktu untuknya kembali ke kamar dan mengganti pakaian. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana, Kandaka,” sergah Pendeta Winaya lagi.

Aria Kandaka jadi termenung. Memang, kata-kata yang diucapkan Pendeta Winaya tidak bisa dibantah lagi. Perlahan Aria Kandaka mengayunkan kakinya meninggalkan depan gua penyimpanan senjata itu. Sementara Pendeta Winaya hanya memperhatikan saja. Laki-laki gundul itu masih tetap berdiri di depan mulut gua, dengan mata tidak berkedip memandangi punggung Aria Kandaka yang semakin jauh.

********************

Aria Kandaka memandangi benda bulat kecil, sebesar mata kucing berwarna keperakan di atas meja. Otaknya terus berputar memikirkan orang yang tadi dipergoki hendak masuk ke gua penyimpanan senjata. Tidak mudah menemukan orang aneh terselubung teka-teki itu. Terlalu banyak tamu yang diundangnya. Dan kebanyakan dari mereka, mahir menggunakan senjata rahasia.

Bisa saja mereka menggunakan senjata rahasia yang tidak bisa dikenali, dan bukan miliknya sendiri. Ini yang membuat Aria Kandaka tidak bisa menentu-kan, siapa orang itu di antara para tamu undangan-nya. Tapi ada satu keganjilan mengganjal di hatinya. Belum lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sempat meneruskan dugaannya, tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu.

“Masuk...!” seru Aria Kandaka agak keras.

Pintu kamar ini terbuka perlahan. Muncul seraut wajah wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik. Wanita itu melangkah masuk dan menutup pintunya kembali. Aria Kandaka berdiri saja membelakangi meja yang menempel pada dinding. Diberikannya senyuman sedikit pada Winarti yang kini sudah duduk di kursi dekat jendela.

“Kau belum tidur, Winarti?” tegur Aria Kandaka lebih dahulu.

“Aku tidak bisa tidur,” sahut Winarti.

“Kenapa...?”

“Pikiranku tidak menentu, Kakang,” sahut Winarti.

Wanita itu bangkit dari duduknya, lalu meng-hampiri kakaknya. Matanya langsung tertumbuk pada benda bulat kecil keperakan di atas meja. Tangannya terulur mengambil benda itu, lalu mengamatinya beberapa saat. Lalu, benda itu diletakkannya kembali di atas meja. Aria Kandaka hanya memperhatikan saja, tanpa mengucapkan sesuatu.

“Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?” tanya Winarti tanpa berpaling sedikit pun.

Aria Kandaka menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Winarti kelihatan terkejut mendengar ada orang yang berusaha masuk ke gua penyimpanan senjata. Dipandanginya wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu dalam-dalam, seakan-akan hendak mencari kebenaran dari cerita yang didengarnya barusan.

Cukup lama juga mereka terdiam, meskipun Aria Kandaka telah menyelesaikan ceritanya. Mereka sama-sama menghembuskan napas panjang, lalu melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Mereka berdiri berdampingan di depan jendela, menghadap keluar. Tak seorang pun membuka suara lebih dahulu. Entah apa yang ada di dalam kepala masing-masing saat ini. Hilangnya Bunga Wijaya-kusuma Merah dari gua tempat penyimpanan senjata, telah membuat mereka diliputi kegelisahan.

“Kau tidak merasakan ada sesuatu yang aneh dari peristiwa ini, Kakang...?” tanya Winarti dengan suara perlahan, hampir tidak terdengar. Seakan-akan dia bicara untuk diri sendiri.

“Maksudmu...?” Aria Kandaka balik bertanya.

Dia berpaling sedikit menatap wajah Winarti yang berdiri di sampingnya. Winarti tidak langsung menjawab. Tubuhnya diputar, dan berjalan mendekati meja kembali. Aria Kandaka memandangi saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sedangkan Winarti kembali mengamati benda bulat kecil keperakan di atas meja itu, kemudian duduk di kursi yang ada di samping meja.

“Bunga Wijayakusuma Merah telah hilang. Tapi, masih ada orang yang akan masuk ke sana. Apa kau tidak merasa ada sesuatu kejanggalan, Kakang...?” masih terdengar pelan suara Winarti.

“Hm...,” Aria Kandaka hanya menggumam saja perlahan. Sebelum Winarti masuk tadi, dia juga sebenarnya sudah berpikir ke sana. Memang terlihat adanya satu kejanggalan dari peristiwa ini. Sesuatu yang belum sempat diketahuinya tadi. Dan sekarang, Winarti sudah menemukan adanya kejanggalan itu. Memang, mereka sudah tahu kalau Bunga Wijayakusuma Merah telah hilang dari tempatnya siang tadi. Tapi, kenapa masih ada orang yang ingin ke sana...? Untuk apa orang aneh itu ke gua penyimpanan senjata? Pertanyaan inilah yang terus memenuhi kepala Aria Kandaka. Pertanyaan yang sulit dijawab saat ini.

“Aku merasa, mereka datang ke sini punya tujuan tertentu, selain memenuhi undanganmu, Kakang,” duga Winarti lagi.

“Hanya beberapa saja dari mereka yang mengetahui bunga itu, Winarti,” sergah Aria Kandaka, membantah jalan pikiran adiknya ini.

“Memang tidak semua. Dan mereka yang tahu, harus kita perhatikan, Kakang. Aku yakin, salah satu di antara mereka sekarang memiliki Bunga Wijaya Kusuma Merah. Atau mungkin ada orang lain yang telah mengetahui, tapi kita sendiri tidak tahu orangnya, Kakang,” kembali Winarti menduga-duga.

“Sekarang ini memang kita hanya bisa menduga-duga. Aku...,” tiba-tiba Aria Kandaka menghentikan ucapannya. Dan... “Awas...!”

Saat itu terlihat secercah cahaya merah melesat masuk dari luar jendela. Winarti cepat melompat ke samping, dan menjatuhkan diri ke lantai. Wanita itu bergulingan beberapa kali sebelum cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat itu, cahaya merah yang menerobos masuk telah menghantam tiang penyangga kamar ini. Suara ledakan keras, terdengar dahsyat disusul hancurnya tiang itu.

“Hup!”

“Yeaaah...!”

Aria Kandaka dan Winarti cepat melompat keluar melalui jendela, sebelum atap kamar ini runtuh. Suara menggemuruh terdengar begitu atap kamar itu ambruk, karena tiang penyangganya telah hancur terhantam sinar merah yang datang begitu tiba-tiba dari luar tadi.

Beberapa kali Aria Kandaka dan Winarti berputaran di udara, lalu manis sekali sama-sama menjejakkan kaki di tanah. Mereka saling berpandangan sejenak, laki memperhatikan kamar yang telah runtuh atapnya. Di dalam selimut kabut dan kegelapan malam, terlihat debu mengepul di dalam kamar itu. Balok-balok kayu dan kepingan papan hampir memenuhi kamar itu. Untung saja hanya atap kamar itu saja yang runtuh, dan tidak merembet ke bagian-bagian lain bangunan berukuran cukup besar Ini.

“Edan...! Siapa lagi yang ingin main gila...?!” dengus Aria Kandaka jadi geram setengah mati.

“Awas, Kakang...!” seru Winarti tiba-tiba.

“Hup!” Aria Kandaka cepat membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali ketika secercah cahaya merah tiba-tiba melesat cepat menuju ke arahnya. Pada saat yang bersamaan, Winarti melihat adanya satu bayangan berkelebat cepat di atas atap. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Winarti langsung melesat mengejar bayangan yang dilihatnya tadi.

“Hiyaaa...!”

“Hup! Yeaaah...!”

Aria Kandaka juga cepat melompat ke atas atap begitu melihat Winarti melesat cepat ke atap bangunan utama Padepokan Gunung Lawu ini. Begitu cepat dan ringannya gerakan mereka, sehingga sekejap saja sudah berada di atas atap, dan langsung melunak turun ke bagian belakang.

********************

Winarti terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mengejar bayangan hitam yang berkelebat masuk ke dalam hutan di bagian belakang Padepokan Gunung Lawu. Sekilas bayangan hitam itu masih sempat terlihat, sebelum lenyap di balik pepohonan yang begitu rapat dan menghitam pekat

“Huh! Ke mana dia...?” dengus Winarti seraya menghentikan larinya. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi bayangan hitam yang dikejarnya tidak juga kelihatan lagi. Pada saat itu, Aria Kandaka sudah sampai. Dia berdiri dekat di samping adiknya. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu juga mengedarkan pandangan dengan tajam.

Wusss! Slap!

Tiba-tiba saja sebuah benda hitam sepanjang lengan melesat cepat ke arah mereka. Aria Kandaka cepat mengibaskan tangannya untuk menangkap benda hitam pekat itu. Belum sempat benda yang berada di dalam genggaman tangannya diperhatikan, mendadak saja dari atas pohon di dekatnya meluncur dua sosok tubuh ramping.

“Hup...!” Aria Kandaka dan Winarti cepat melompat ke belakang. Tahu-tahu saja di depan mereka kini sudah berdiri dua orang gadis berpakaian ketat warna merah dan biru. Masing-masing menyandang sebilah pedang. Wajah kedua gadis ini begitu serupa, hampir tak ada bedanya sedikit pun.

“Dewi Kembar dari Utara...,” desis Aria Kandaka langsung mengenali kedua gadis itu.

“Rupanya kalian biang onarnya,” dengus Winarti langsung sengit

“Kami datang bukan untuk membuat keonaran, tapi hendak menuntut balas atas perbuatanmu pada ibu kami!” dengus Randita dingin.

“Ibu kalian...? Apa yang telah kami lakukan...?” sentak Aria Kandaka tidak mengerti.

“Kau jangan berpura-pura tidak tahu, Aria Kandaka! Karena ulahmu, maka ibu kami sampai sekarang tidak bisa bangun dari pembaringannya!” sentak Randini ketus.

Kening Aria Kandaka jadi berkerut mendengar tuduhan yang begitu ketus. Sungguh! Dia tidak merasa telah berbuat sesuatu pada ibu kedua gadis ini, yang dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Tapi, otaknya langsung bekerja cepat. Dan kini mulai bisa diduga, apa yang dimaksud kedua gadis ini.

“Hm... Kalian menginginkan Bunga Wijayakusuma Merah...?” agak bergumam nada suara Aria Kandaka.

“Kau sudah tahu apa yang kami inginkan, Aria Kandaka. Lebih baik, serahkan bunga itu pada kami. Bunga itu sangat bermanfaat bagi kesembuhan ibu kami,” tegas Randita masih bernada sinis.

“Bunga itu tidak ada lagi padaku,” sergah Aria Kandaka berterus terang.

“Setan...! Kau pikir mudah membodohi kami, heh...?!” dengus Randita menyentak.

“Aku tidak berdusta. Bunga itu hilang dari tempat penyimpanannya siang tadi,” Aria Kandaka mencoba meyakinkan kedua gadis itu.

“Sudah kuduga, kau pasti akan mempertahankan bunga itu, Aria Kandaka,” kata Randini sinis.

“Percuma menjelaskannya, Kakang. Sebaiknya tinggalkan saja anak-anak gendeng ini,” selak Winarti mulai muak.

“Jaga mulutmu, Winarti!” bentak Randita tersinggung.

“Kalau kau tidak suka dikatakan gendeng, sebaiknya cepat pergi dari sini. Aku tidak sudi lagi melihat muka-muka kalian yang memuakkan!” balas Winarti berang.

“Keparat..! Jangan katakan kami kejam kalau mengirim kalian ke neraka!” rungut Randita geram. Setelah berkata demikian, Randita langsung melompat cepat menerjang Winarti. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan gadis kembar itu ke arah dada Winarti. Tapi hanya sedikit saja Winarti mengegoskan tubuhnya, pukulan Randita melesat dari sasaran. Bahkan cepat sekali Winarti menyodokkan tangan kirinya ke arah perut gadis kembar itu.

“Uts!” Randita melompat mundur, menghindari sodokan tangan kiri adik perempuan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Cepat pedangnya ditarik keluar, dan langsung dikebutkan ke arah dada Winarti yang sedikit kosong. Tapi, rupanya Winarti memang sengaja membuka dadanya agar diserang. Dan begitu ujung pedang hampir membabat dadanya, cepat sekali tubuhnya ditarik ke belakang. Lalu pada saat yang sama, Winarti cepat mengebutkan tangan kanannya ke depan.

“Hiyaaa...!” Dari telapak tangan kanannya, melesat sebuah benda berwarna keperakan yang meluncur deras ke arah Randita. Serangan balasan Winarti yang begitu cepat, membuat Randita jadi terperangah tidak menyangka. Kelihatannya, tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Tapi mendadak saja....

Trang!

Secercah kilatan benda keperakan berkelebat cepat di depan dada Randita, menyampok benda keperakan yang dilepaskan Winarti. Benda keperakan itu terpental ke samping, dan menghantam pohon. Ledakan keras seketika terdengar menggelegar, membuat pohon yang cukup besar itu tumbang seketika. Randita cepat melompat mundur beberapa tindak. Bibirnya tersenyum pada Randini yang telah menyelamatkan nyawanya pada saat yang tepat.

Entah apa jadinya jika benda keperakan itu tadi menghantam tubuhnya. Pohon yang begitu besar dan kokoh saja bisa tumbang terhantam benda keperakan itu. Apalagi tubuhnya yang lunak...? Randita menghembuskan napas panjang, karena masih bisa bernapas. Dan itu berkat kecekatan saudara kembarnya yang bertindak tepat di saat gawat tadi.

“Kalian belum cukup mampu menandingiku,” dengus Winarti sinis.

Kedua gadis yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara itu saling berpandangan. Dalam beberapa gebrakan saja, memang sudah dapat dilihat kalau kepandaian mereka masih berada di bawah adik perempuan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Tapi mereka datang ke Gunung Lawu ini bukan untuk menerima kegagalan begitu saja. Kedatangan mereka bukan hanya karena mendapat undangan. Tapi yang lebih penting lagi untuk mendapatkan Bunga Wijaya Kusuma Merah. Hanya bunga itu yang bisa menyembuhkan ibu mereka dari kelumpuhan selama beberapa tahun ini.

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Tanpa bicara apa pun juga, si Dewi Kembar dari Utara melesat cepat menyerang Winarti yang memang sejak tadi sudah siap menerima serangan. Begitu kedua gadis kembar itu melesat, Winarti cepat menarik kaki sedikit ke kanan. Dan pada saat pedang Randita berkelebat ke arah kepala, manis sekali Winarti menarik kepala ke belakang. Sehingga, tebasan pedang Randita tidak sampai mengenai sasaran.

Tapi belum juga Winarti bisa menarik pulang kepalanya, Randini sudah menyerang cepat bagaikan kilat Pedang gadis kembar itu berkelebat cepat membabat ke arah pinggang. Tak ada waktu lagi bagi Winarti untuk berkelit menghindar. Cepat-cepat kakinya ditarik ke samping, menghindari tebasan pedang yang mengarah kepinggangnya.

“Gila...!” dengus Winarti dalam hati. Sungguh tidak disangka kalau kebutan pedang Randini begitu dahsyat, sehingga terasa adanya aliran hawa panas dari tebasan pedang itu. Bergegas Winarti melompat mundur beberapa langkah. Sementara, Dewi Kembar dari Utara sudah bersiap untuk melakukan serangan kembali. Mereka berada di sebelah kanan dan kiri wanita separuh baya adik Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

Perlahan kedua gadis kembar itu menggeser kakinya memutari Winarti yang terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Dengan gerakan-gerakan yang sama dan beraturan, kedua gadis kembar itu memainkan pedang di depan dada. Sesaat kemudian...

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan Dewi Kembar dari Utara melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah kepala dan kaki Winarti. Begitu cepatnya serangan mereka, sehingga membuat Winarti sempat terperangah sedikit. Tapi cepat-cepat dia melakukan gerakan indah, mengangkat kaki kanannya sambil membungkuk menghindari dua serangan yang datang sekaligus bagaikan kilat itu.

Gagal dengan serangan pertama, Dewi Kembar dari Utara kembali melakukan serangan-serangan secara cepat dan bergantian. Pedang mereka berkelebat cepat bagaikan kilat, mengurung semua ruang gerak Winarti. Akibatnya, wanita hampir separuh baya itu harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Sedikit pun tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan serangan balasan. Satu serangan belum lagi berakhir, datang lagi serangan berikut dari arah lain. Sehingga, Winarti benar-benar tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk balas menyerang.

“Setan...!” dengus Winarti geram setengah mati. Sementara tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan itu, Aria Kandaka hanya diam menyaksikan tanpa berbuat sesuatu. Meskipun adiknya kelihatan begitu kelabakan menghindari serangan kedua gadis kembar ini, tapi Aria Kandaka masih bisa melihat kalau Winarti masih bisa meladeni serangan-serangan kedua gadis kembar ini. Tak ada sedikit pun rasa khawatir di hatinya. Dia percaya kalau Winarti mampu menundukkan si Dewi Kembar dari Utara.

LIMA

Pertarungan antara Winarti melawan dua gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara terus berlangsung semakin sengit. Jurus-jurus berlalu cepat. Dan tampaknya, Dewi Kembar dari Utara sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan. Sementara Winarti masih melayaninya dengan jurus-jurus ringan, tapi sangat berbahaya dan tidak bisa dianggap enteng.

Meskipun Winarti belum mengeluarkan jurus-jurus andalan, tapi beberapa kali sempat melakukan serangan balasan yang membuat kedua gadis kembar itu terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan yang dilepaskan Winarti sudah mendarat di tubuh kedua gadis kembar itu. Sementara itu, belum ada satu serangan pun yang berhasil disarangkan Dewi Kembar dari Utara ke tubuh wanita hampir separuh baya ini. Padahal, serangan-serangan yang mereka lakukan bagitu dahsyat dan berbahaya.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Winarti melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali melakukan putaran di udara. Lalu, kedua kakinya menghentak ke samping cepat sekali. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat kedua gadis kembar lawannya ini jadi terperangah. Parahnya, mereka tidak sempat lagi berkelit menghindar.

Dugkh! Begkh!

“Akh!”

“Aduh...!” Kedua gadis kembar itu mengeluh saat telapak kaki Winarti tepat mendarat di dadanya. Tak pelak lagi, mereka terpelanting ke belakang, lalu bergulingan beberapa kali. Sementara, Winarti manis sekali menjejakkan kakinya di tanah kembali. Dia berdiri tegak, memperhatikan kedua gadis kembar itu yang merintih sambil memegangi dada sambil berusaha bangkit berdiri.

Tampak dari sudut bibir masing-masing mengucurkan darah segar agak kental, dan berwarna sedikit kehitaman. Tendangan yang dilancarkan Winarti tadi rupanya mengandung pengerahan tenaga dalam, meskipun tidak dikeluarkan secara penuh. Tapi, itu sudah membuat si Dewi Kembar dari Utara sudah tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan.

“Sudah kuperingatkan, kalian bukanlah tandinganku...,” ujar Winarti, agak sinis nada suaranya.

Kedua gadis kembar itu hanya diam saja. Sejak semula, mereka memang sudah menyadari kalau tidak bakal unggul menghadapi Winarti. Apalagi, untuk menghadapi Aria Kandaka yang tingkat kepandaiannya di atas Winarti. Tapi tekad yang ada di hati untuk membawa pulang Bunga Wijayakusuma Merah, membuat mata kedua gadis kembar ini buta. Padahal, mereka tahu tidak akan mampu menghadapi kepandaian Winarti maupun Aria Kandaka.

“Dengar...! Aku tidak akan segan-segan mengirim ke neraka, jika kalian masih tetap membandel membuat keonaran di sini!” ancam Winarti lagi.

Dan ancaman yang dilontarkan Winarti memang tidak bisa dianggap main-main. Wanita ini memang lebih tegas dari kakaknya, bila sudah mengambil keputusan. Bahkan terkadang tindakannya bisa dikatakan kejam. Apalagi kalau dalam keadaan seperti ini. Aria Kandaka yang berada tidak seberapa jauh, melangkah perlahan menghampiri. Sementara Dewi Kembar dari Utara sudah bisa bangkit berdiri. Mereka berdiri berdampingan dengan tubuh nyeri. Seluruh tulang-tulang di dalam tubuh mereka terasa remuk.

“Sebaiknya kalian tinggalkan tempat ini, sebelum adikku berubah pikiran,” kata Aria Kandaka, lembut suaranya.

Randita dan Randini saling berpandangan sejenak. Mereka masih berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun, meski Aria Kandaka sudah meminta pergi dengan suara lembut. Kedua gadis kembar itu malah menatap Aria Kandaka dan Winarti tajam-tajam. Sinar mata mereka memancarkan ketidakpuasan. Tapi, mereka harus menyadari kalau tidak akan mungkin bisa bernapas lagi jika pertarungan ini diteruskan. Terlebih lagi, Winarti sudah mengeluarkan kata-kata bernada ancaman yang tidak bisa dipandang ringan.

“Aku tahu, bunga itu sangat berarti bagi kesembuhan ibu kalian. Tapi, saat ini bunga itu tidak berada lagi di tanganku. Percayalah. Jika bunga itu bisa kudapatkan lagi, aku akan membawakannya untuk ibu kalian,” kata Aria Kandaka berjanji.

“Terima kasih. Tapi kami akan mendapatkannya sendiri,” sahut Randita yang tidak ingin diberi belas kasihan.

Setelah berkata demikian, Randita mengajak saudara kembarnya meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan cepat, dan sebentar saja sudah lenyap ditelan lebatnya hutan yang begitu pekat tanpa mendapat siraman cahaya bulan. Sementara Aria Kandaka dan Winarti masih tetap berdiri di sana, memandangi kepergian Dewi Kembar dari Utara.

“Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, Kakang?” tanya Winarti ingin memastikan kesungguhan janji kakaknya tadi pada si Dewi Kembar dari Utara.

“Ya,” sahut Aria Kandaka agak mendesah.

Perlahan kaki Aria Kandaka terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Winarti masih berdiri beberapa saat di tempatnya, kemudian bergegas mengayunkan kakinya menyusul Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Sebentar saja, dia sudah berjalan sejajar di samping kanan Aria Kandaka.

“Kenapa kau cepat sekali berubah, Kakang...?” Winarti masih penasaran atas sikap kakaknya.

Aria Kandaka tidak menjawab. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Mengapa tiba-tiba hatinya begitu terbuka, sehingga berjanji akan menyerahkan Bunga Wijayakusuma Merah kepada Dewi Kembar dari Utara? Seakan-akan, kedigdayaan tak ada artinya bila dibanding keluhuran budi. Menolong orang kesusahan dengan bunga itu memang lebih berarti daripada kedigdayaan yang didapat dari bunga itu. Inilah yang jadi pertimbangan Aria Kandaka.

Kakinya terus terayun, melangkah menuju ke padepokannya. Sedangkan Winarti masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi setelah lama ditunggu tidak juga ada jawaban, akhirnya dia diam saja. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi menuju Padepokan Gunung Lawu yang tampak tenang dan damai. Tapi di balik kedamaian itu, sebenarnya tersimpan bara yang sewaktu-waktu bisa berkobar.

********************

Burung-burung berkicauan riang, menyambut datangnya sang mentari yang menyembul dari balik Gunung Lawu. Kabut tebal masih menyelimuti sekitar puncak gunung itu. Suasana di Padepokan Gunung Lawu masih kelihatan tenang dan damai. Baru beberapa orang yang kelihatan keluar dari kamarnya.

Sementara agak jauh dari padepokan itu, terlihat dua orang gadis berwajah kembar tengah berjalan tertatih-tatih menembus lebatnya hutan. Wajah mereka tampak diselimuti mendung. Kedua gadis ini adalah si Dewi Kembar dari Utara. Sejak kekalahan semalam dari Winarti, mereka memang tidak langsung meninggalkan puncak Gunung Lawu ini. Dan, baru pagi ini mereka mulai berjalan hendak meninggalkan Gunung Lawu.

“Apa yang akan kita katakan pada Kanjeng Ibu nanti, Randita?” tanya Randini, pelan suaranya.

“Aku tidak tahu. Tapi tampaknya kita bisa memegang janji Aria Kandaka,” sahut Randita.

“Kau percaya pada janjinya, Randita...?”

“Tampaknya dia bisa dipercaya. Tapi, entahlah kalau adiknya,” sahut Randita lagi. Kali ini suaranya agak mendesah.

“Kau juga percaya kalau Bunga Wijayakusuma Merah tidak ada lagi padanya?” tanya Randini lagi.

“Tampaknya Aria Kandaka tidak main-main, Randita. Kita sudah melihat kalau gua tempat penyimpanan pusaka sudah diobrak-abrik orang. Aku yakin, ada orang lain yang menginginkan bunga itu. Dan tampaknya dia lebih beruntung dari kita,” jelas Randita.

“Kalau memang benar, rasanya tidak ada harapan bagi kita untuk mendapatkannya,” desah Randini jadi lesu.

“Justru itu harapannya, Randini.”

“Maksudmu...?” Randini jadi tidak mengerti.

Belum juga Randita menjawab pertanyaan saudara kembarnya, mendadak saja dikejutkan suara tawa keras menggelegar yang memekakkan telinga. Begitu kerasnya, sehingga membuat gendang telinga kedua gadis kembar ini terasa begitu sakit. Mereka menutupi telinga dengan kedua telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan.

“Kerahkan tenaga dalam, Randini,” desis Randita memberi tahu.

“Baik,” sahut Randini.

Mereka segera berpegangan tangan, dan sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk melawan suara tawa yang begitu keras menggelegar dan menyakitkan telinga. Tubuh kedua gadis kembar ini mulai menggeletar. Dan perlahan, darah terlihat merembes dari lubang hidung dan telinga. Mereka sama-sama sudah mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam, tapi tampaknya masih begitu sulit membendung arus tenaga dalam yang disalurkan melalui suara tawa itu.

Tapi di saat kedua gadis ini hampir saja tak kuat lagi menahan gelombang suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, mendadak saja bertiup angin yang begitu kencang bagai terjadi badai topan. Begitu kuatnya angin topan itu bertiup, membuat sikap berdiri si Dewi Kembar dari Utara jadi bergeser. Mereka benar-benar kewalahan mendapat gempuran yang begitu dahsyat. Dan pada saat benar-benar tidak dapat tertahankan lagi, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan putih ke arah kedua gadis kembar ini.

“Pegang tanganku...!”

Dewi Kembar dari Utara jadi terlongong begitu tiba-tiba di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung tampak tersampir di punggung. Belum juga kedua gadis kembar itu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu sudah mencekal pergelangan tangan mereka. Saat itu juga, kedua gadis kembar itu merasakan adanya aliran hawa hangat merambat dari per-gelangan tangan, dan terus menyelusup ke seluruh aliran darah.

Mereka tidak tahu, apa yang dilakukan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi suara tawa yang begitu keras dan menggelegar mulai tak terasa lagi menyengat telinga. Bahkan sama sekali tidak merasakan adanya hembusan angin topan, meskipun pepohonan di sekitarnya mulai bertumbangan, dan batu-batuan berpentalan. Bahkan banyak yang pecah berkeping-keping terhempas hembusan angin yang entah dari mana datangnya.

“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan cekalan pada tangan kedua gadis kembar ini. Lalu, cepat sekali tangan kanannya dihentakkan ke depan, sambil menaruh tangan kiri di samping pinggang. Saat itu juga, sinar merah melesat bagaikan kilat dari telapak tangan kanan yang terbuka lebar. Sinar merah itu langsung menghantam sebongkah batu sebesar kerbau hingga hancur berantakan.

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu. Pada saat yang sama, terlihat sebuah bayangan berkelebat keluar dari kepulan debu dan pecahan batu yang berhamburan ke segala arah.

“Phuih...!” Suara semburan terdengar bersamaan dengan mendaratnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya kelihatan tampan, meskipun rambutnya sudah mulai berwarna dua. Bajunya berwarna perak dan ketat. Sebilah pedang berukuran pendek, tampak terselip di pinggangnya yang ramping dan tegap. Dia berdiri sekitar tiga batang tombak di depan Dewi Kembar dari Utara, dan pemuda berbaju rompi putih. Suara tawa menggelegar dan angin topan, saat itu menghilang tiba-tiba.

“Bedebah! Untuk apa kau menolong gadis-gadis liar itu, heh...?!” sentak laki-laki berbaju perak itu sengit

Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata pemuda berbaju rompi putih di depannya. Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju putih tanpa lengan itu hanya tersenyum saja. Hanya sedikit matanya melirik ke arah dua gadis kembar yang berada di samping kanan dan kirinya.

“Elang Perak...,” desis Randita cepat mengenali laki-laki berbaju serba perak yang baru muncul itu.

“Sayang sekali. Aku paling tidak suka melihat ada serangan gelap dan pengecut,” terdengar tenang sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.

“Siapa kau sebenarnya, Bocah? Apa hubungannya dengan gadis liar itu?” tanya Elang Perak, agak menyentak suaranya.

“Apakah salah jika membantu orang yang mengalami kesulitan?” pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya.

“Jawab saja pertanyaanku, Bocah Setan!” bentak si Elang Perak jadi berang.

“Hm.... Kalau kau ingin tahu, baiklah.... Aku Rangga, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan mereka. Aku hanya menghentikan serangan gelapmu saja. Tidak pantas menyerang dengan cara seperti itu,” masih terdengar tenang suara pemuda berbaju rompi putih ini.

Dan memang, pemuda itu adalah Rangga, yang di kalangan persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga muncul pada saat yang benar-benar tepat bagi si Dewi Kembar dari Utara. Tapi tindakannya membuat si Elang Perak jadi berang, karena serangannya dapat dipatahkan begitu mudah. Bahkan hampir saja mati kalau tidak segera keluar dari balik batu yang dihancurkan Rangga tadi.

“Kau mampu menandingi aji 'Suara Dewa'. Apa julukanmu, Bocah?” tanya Elang Perak. Kali ini suaranya terdengar agak lunak.

“Apakah itu perlu...?” Rangga kembali balik bertanya.

“Jawab saja pertanyaanku, Bocah!” kembali si Elang Perak membentak kasar.

“Baik kalau itu bisa memuaskanmu. Aku digelari Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Rangga, tanpa ada maksud menyombongkan diri.

“Pendekar Rajawali Sakti...?!”

********************

Bukan hanya Elang Perak saja yang terkejut begitu mengetahui kalau pemuda berbaju rompi putih ini adalah Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan si gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara juga terlongong mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan setiap kali muncul di rimba persilatan. Mereka sering mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti, tapi baru kali ini bisa bertemu orangnya langsung.

Dan tentu saja mereka terkejut, karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti yang begitu ternama dan terkenal kedigdayaannya masih begitu muda dan tampan. Terlebih lagi, si Elang Perak. Dia tadi tidak memperhatikan sama sekali kalau Ranggalah yang menimbulkan angin topan dari aji 'Bayu Bajra', sebelum melepaskan satu pukulan dahsyat yang dikeluarkan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Satu jurus pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat luar biasa.

“Aku sering mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti. Pantas saja kau mampu membuyarkan aji 'Suara Dewa',” puji Elang Perak tulus. “Tapi kuharap, kau tidak mencampuri urusanku dengan kedua gadis liar itu.”

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja perlahan. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik dua gadis kembar yang berada di sebelah kanan dan kirinya.

Sedangkan kedua gadis kembar ini hanya menatap tajam saja pada si Elang Perak. Disadari, Elang Perak bukanlah tandingan mereka. Tingkat kepandaian yang dimiliki mereka masih jauh dari laki-laki berbaju serba perak itu.

“Elang Perak! Ada apa kau mencegat jalan kami? Bukankah kau seharusnya ada di Padepokan Gunung Lawu...?” tanya Randita menyelak.

“He he he.... Kau pikir aku bodoh?! Kau sendiri, mengapa meninggalkan Padepokan Gunung Lawu sebelum waktunya...?” sinis sekali nada suara Elang Perak.

“Apa maksudmu?” sentak Randita.

“Sebaiknya tidak perlu berpura-pura, Bocah. Serahkan saja Bunga Wijayakusuma Merah kepadaku. Aku jamin, kau akan selamat,” kali ini nada suara Elang Perak terdengar mengancam.

“Edan...!” rungut Randita kesal. Gadis itu sendiri tidak tahu, di mana Bunga Wijayakusuma Merah berada sekarang. Tapi sekarang malah dituduh telah menguasai bunga itu. Tentu saja Randita jadi geram, karena tidak merasa telah memiliki Bunga Wijayakusuma Merah yang menjadi pangkal dari segala persoalan ini. Randita sendiri sebenarnya sudah merasa, kalau tidak akan mudah mendapatkan bunga itu. Dia dan saudara kembarnya datang ke Gunung Lawu juga hanya mengandalkan nasib baik saja. Tapi sebelum segala rencana mereka terlaksana, sudah terbentur sandungan yang begitu berat

Dan sekarang, di depannya berdiri seorang laki-laki berjuluk Elang Perak. Bukan karena kemunculannya yang tadi begitu tiba-tiba dan langsung menyerang menggunakan aji kesaktian, tapi tuduhannya yang membuat Randita jadi berang setengah mati. Tapi sungguh disadari kalau kemampuannya berada jauh di bawah laki-laki ini. Jadi, Randita hanya bisa menggerutu dalam hati. Dia harus berpikir seribu kali untuk melabraknya.

“Aku tidak punya banyak waktu, Bocah Setan! Serahkan bunga itu padaku, atau terpaksa kulakukan kekerasan!” ancam Elang Perak mendesis dingin.

“Bunga itu tidak ada pada kami!” sentak Randita sengit.

“Jangan membuat kesabaranku habis, Bocah!” desis Elang Perak menggeram.

“Terserah apa keinginanmu. Aku mengatakan yang sebenarnya. Bunga itu tidak ada pada kami...!” sentak Randini yang sejak tadi diam saja.

“Keparat..! Jangan harap bisa mempermainkan aku, Bocah Setan...!” Kemarahan Elang Perak sudah tidak bisa ditakar lagi. Dia merasa dirinya dipermainkan kedua gadis kembar ini Sambil mendesis menahan geram, tiba-tiba saja tangannya bergerak cepat mengibas ke depan. Saat itu, dari telapak tangannya meluncur secercah sinar keperakan yang meluruk deras ke arah Randita.

“Tahan...!” seru Rangga.

Tapi terlambat Elang Perak sudah melancarkan serangan cepat sekali. Tak ada kesempatan menghindar bagi Randita. Apalagi, saat itu dia sama sekali tidak siap menerima serangan. Tapi begitu ujung sinar keperakan itu hampir menghantam dadanya, mendadak saja Rangga mengibaskan tangan kirinya dengan kecepatan kilat. Langsung ditangkisnya serangan cahaya perak itu.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar terjadi ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan kiri Rangga menghantam ujung cahaya keperakan di depan dada Randita. Begitu keras ledakan itu, sehingga membuat Randita sampai terpental ke belakang. Beberapa kali gadis itu berputaran di udara, kemudian mendarat dengan tubuh limbung. Buru-buru tubuhnya disandarkan ke pohon, sebelum jatuh terguling.

Hempasan dari dua kekuatan tenaga yang begitu dahsyat, membuat dada Randita jadi terasa sesak. Padahal pukulan jarak jauh yang dilepaskan Elang Perak tadi, tidak sampai mengenai tubuhnya. Tapi, dari dorongan ledakan tadi sudah membuat dadanya begitu sesak. Bahkan keseimbangan tubuhnya pun jadi terganggu.

“Setan...!” geram Randita menggeretak.

“Keparat..! Dua kali kau menghalangiku, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Elang Perak menggeram marah.

“Aku akan diam jika kau tidak bertangan besi,” tegas Rangga.

“Itu bukan urusanmu!” bentak Elang Perak semakin gusar.

“Maaf. Selama aku melihat tindak kekerasan secara brutal, maka itu selalu menjadi urusanku. Suka atau tidak, aku tetap akan melindungi kedua gadis ini dari kebrutalanmu,” lagi-lagi Rangga berkata tegas.

“Setan...!” rungut Elang Perak tidak dapat lagi menahan kegeramannya.

Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali melepaskan dua pukulan jarak jauh secara beruntun. Sinar-sinar keperakan berkelebatan cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya dengan menggeser kaki sedikit ke kanan dan ke kiri, Rangga berhasil mengelakkan serangan-serangan itu.

Pada saat yang hampir bersamaan, Elang Perak meluruk deras sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Rangga sempat terkejut. Ternyata jurus yang digunakan Elang Perak, hampir mirip jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Hanya saja Elang Perak memusatkan seluruh serangan pada kekuatan tangan, sedangkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikuasai Rangga terpusat pada kedua kaki.

Menghadapi jurus yang hampir mirip, Rangga cepat-cepat melompat mundur. Dan begitu kaki Elang Perak mendarat di tanah, cepat dilepaskannya satu sodokan tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya serangan balasan yang dilakukan, sehingga membuat Elang Perak jadi terperangah. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindar, karena jarak mereka memang terlalu dekat. Cepat-cepat Elang Perak mengibaskan tangan kanan, menangkis sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengarah ke perut

Plak!

“Ikh...!” Elang Perak terpekik agak tertahan. Cepat dia melompat mundur sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu luar biasa sekali. Tulang pergelangan tangannya seperti remuk ketika berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Elang Perak cepat-cepat mengebutkan tangan kanan beberapa kali. Disalurkannya hawa murni ke tangan untuk menghilangkan getaran yang merambat di seluruh tangan kanannya.

“Edan...!” dengus Elang Perak dalam hati.

ENAM

Sudah seringkali Elang Perak mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, dan kedigdayaannya dalam mengatasi lawan-lawan. Dan sekarang dia benar-benar berhadapan dengan pendekar muda digdaya berkepandaian tinggi itu. Rasa penasaran membuatnya tidak peduli. Padahal dari benturan tangan tadi, sudah bisa diketahui kalau tingkat tenaga dalam yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau akan menyesal mencampuri urusanku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!”

Elang Perak kembali melompat menerjang cepat. Beberapa pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, cepat dilepaskan. Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah, diimbangi gerakan kaki yang ringan dan lincah sekali. Sehingga, membuat setiap serangan yang dilancarkan Elang Perak tidak membawa hasil sama sekali.

Beberapa kali Elang Perak merubah jurus, tapi tak satu pun serangannya yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat dan ringan. Bahkan terkadang seperti tidak sedang bertarung. Tapi, tidak mudah bagi Elang Perak untuk memasukkan serangannya. Setiap kali pukulannya hampir mengena, manis sekali Rangga selalu berhasil menghindar tanpa diduga sama sekali. Bahkan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan yang membuat Elang Perak jadi kelabakan menghindarinya. Padahal, serangan-serangan yang dilakukan Rangga hanya bersifat menguji dan menjajaki tingkat kepandaian lawan saja.

“Setan...!” geram Elang Perak semakin sengit dan penasaran.

Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke belakang, lalu melakukan putaran beberapa kali. Tepat ketika kakinya menjejak tanah, kedua tangannya bergerak cepat mengibas. Langsung dilontarkannya puluhan benda-benda kecil berwarna keperakan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaah...!”

Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan gencar yang dilancarkan Elang Perak. Suara ledakan-ledakan keras menggelegar terdengar di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Setiap benda keperakan yang dilepaskan Elang Perak, selalu menimbulkan ledakan di saat menghantam tanah atau pohon dan bebatuan yang berada di sekitar pertarungan.

Debu dan kepingan bebatuan serta serpihan dari pepohonan yang hancur terhantam benda keperakan itu, membuat pandangan jadi terhalang. Sehingga, tubuh Rangga benar-benar tak terlihat lagi. Yang terlihat hanyalah bayangan putih saja yang berkelebat cepat menghindari setiap serangan yang datang.

“Hup! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Rangga merentangkan kedua tangan ke samping, lalu cepat sekali dihentakkan ke depan dengan kedua telapak tangan terbuka lebar-lebar. Pada saat itu, dua cahaya merah melesat cepat ke arah Elang Perak.

“Heh...?!” Elang Perak terkejut setengah mati. “Hup! Yeaaah...!”

Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan putaran beberapa kali untuk menghindari sinar-sinar merah yang dilepaskan Rangga dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap terakhir. Dan begitu kaki Elang Perak menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk cepat bagaikan kilat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat serangannya sehingga Elang Perak tidak sempat lagi berkelit.

Desss!

“Akh...!” Elang Perak memekik keras agak tertahan.

Pukulan Rangga yang begitu keras tepat menghantam dadanya. Akibatnya Elang Perak terpental cukup jauh ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

“Hoek...!”

Elang Perak memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya yang penuh berlumur darah. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga, membuat Elang Perak terpaksa harus menderita luka dalam yang cukup parah di dada.

Sementara Rangga berdiri tegak memandangi Elang Perak yang mencoba bangkit berdiri. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengucur dari mulut Meskipun bisa bangkit berdiri, tapi sepasang kakinya seakan-akan tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Limbung. Elang Perak terpaksa menyangga tubuh dengan berpegangan pada pohon di sampingnya. Dipandanginya Rangga dengan sinar mata redup.

“Kau benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti,” puji Elang Perak, tulus.

“Sebaiknya bersemadilah, Kisanak. Aku yakin, kau menderita luka dalam cukup parah,” jelas Rangga.

“Aku tidak menyesal kau tundukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bangga bisa dikalahkan pendekar digdaya dan ternama sepertimu,” kata Elang Perak lagi diiringi senyum kebanggaan menghias bibirnya. “Hanya satu pesanku, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah pada kedua gadis liar itu. Jangan sampai kau diperalat mereka....”

Setelah berkata demikian, Elang Perak membalikkan tubuhnya. Dia kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri memandangi kepergian Elang Perak, sampai tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

Perlahan Rangga baru memutar tubuhnya, dan langsung memandang kedua gadis kembar yang berdiri berdampingan. Rangga mengayunkan kakinya perlahan mendekati kedua gadis kembar yang dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan mereka.

“Kaliankah yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara?” tanya Rangga seakan-akan ingin memastikan.

“Benar,” sahut Randita seraya berkerut keningnya.

“Bagaimana kau bisa tahu tentang diri kami?” Randini balik bertanya.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan salah satu dari gadis kembar itu. Memang diakui dalam hati, tidak mudah membedakan kedua gadis ini jika mengenakan pakaian yang potongan dan warnanya sama. Wajah mereka begitu serupa, hampir tak ada bedanya. Hanya warna baju yang dikenakan saja yang membedakan.

Kedua gadis itu masih keheranan, karena Rangga bisa mengetahui tentang diri mereka. Padahal mereka tidak pernah saling berjumpa sebelum ini. Dan memang diakui, kalau nama Pendekar Rajawali Sakti sering didengar. Tapi baru kali ini mereka bisa berjumpa.

“Rasanya tidak ada lagi di jagat raya ini ada dua gadis kembar berkepandaian tinggi yang begitu serupa, dan hampir tak ada bedanya,” kata Rangga diiringi senyuman menghias dibibir. “Kalau penilaianku tidak salah, benarkah dugaanku itu...?”

“Benar, kami memang dijuluki Dewi Kembar dari Utara,” sahut Randita membenarkan dugaan Rangga.

“Ah.... Beruntung sekali bisa bertemu dengan kalian di sini,” desah Rangga.

“Kau sengaja datang ke sini mencari kami...?” tanya Randita mulai diliputi kecurigaan.

“Ya,” sahut Rangga singkat

“Untuk apa mencari kami?” sambung Randini bertanya.

“Rasanya tempat ini kurang cocok untuk berbicara. Sebaiknya, kita cari tempat yang lebih nyaman,” kata Rangga tanpa menjawab pertanyaan kedua gadis itu.

Rangga langsung saja mengayunkan kakinya meninggalkan tempat yang sudah hancur porak-poranda ini. Sementara, si Dewi Kembar dari Utara saling berpandangan. Sebentar kemudian, mereka menatap punggung Rangga yang terus saja melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Kedua gadis kembar itu kemudian mengayunkan kaki mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, setelah saling melemparkan pandangan sebentar.

“Aku memang sengaja datang ke Gunung Lawu ini untuk mencari kalian berdua...,” jelas Rangga, memulai.

Pendekar Rajawali Sakti duduk bersandar di bawah pohon. Sedangkan Randita dan Randini duduk berdampingan sekitar setengah tombak di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Mereka terdiam saja, memandangi wajah tampan di depannya.

“Kenapa kau mencari kami?” tanya Randita.

“Ada pesan yang harus kusampaikan,” sahut Rangga.

“Pesan...? Dari siapa?”

“Nyai Karti,” sahut Rangga.

Dewi Kembar dari Utara terkejut mendengar jawaban Rangga barusan. Mereka sampai terlonjak bangkit, seperti disengat kala beracun. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja dengan bibir tetap mengulas senyum. Kelihatan tenang sekali, seakan-akan tidak terpengaruh oleh keterkejutan kedua gadis kembar itu atas jawabannya barusan.

“Di sini bukan tempatnya bermain-main, Kisanak. Kami berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan kami dari Elang Perak. Tapi jangan harap semudah itu bisa mempermainkan kami!” dengus Randita. Begitu dingin sekali nada suaranya.

Tatapan mata Randita juga tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Randini sudah meraba ujung pedang yang menyembul ke pinggang belakang. Tapi, Rangga masih tetap kelihatan tenang.

“Kenapa kalian begitu terkejut mendengarnya...? Bukankah kalian juga datang ke sini untuknya?” masih terdengar tenang nada suara Rangga.

“Bagaimana kau bisa tahu tentang kami?” tanya Randini, agak dalam nada suaranya.

“Nyai Karti sendiri yang mengatakannya. Itulah sebabnya, aku cepat datang ke sini, meskipun sebenarnya enggan. Aku juga masih ada urusan lain yang lebih penting. Tapi mengingat keadaan Nyai Karti yang semakin kelihatan parah, aku tidak bisa mengenyampingkan begitu saja. Terserah anggapan kalian padaku. Yang penting, pesan untuk kalian akan kusampaikan. Hanya itu yang kubawa dari Nyai Karti,” tutur Rangga.

“Apa pesannya?” tanya Randini lagi.

“Kalian diminta pulang segera, dan melupakan semuanya. Hanya itu yang bisa kusampaikan,” sahut Rangga.

Randita dan Randini saling berpandangan, kemudian kembali menatap tajam-tajam ke arah Rangga. Sepertinya kedua gadis kembar ini belum bisa percaya penuh pada kata-kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Padahal mereka tahu dan sering mendengar nama dan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba persilatan di setiap kemunculannya.

“Apa lagi yang kau ketahui?” tanya Randita, seolah-olah menyelidik.

Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan menyandarkan punggung ke pohon. Matanya menerawang jauh ke depan, melewati bahu kedua gadis kembar di depannya ini.

“Kalian sudah dapatkan bunga itu?” Rangga malah balik bertanya.

“Belum,” sahut Randita.

“Kelihatannya penyakit ibu kalian memang tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan Bunga Wijayakusuma Merah. Tapi, aku tidak yakin kalian bisa memperolehnya dari puncak gunung ini. Yang kutahu, bunga itu hanya ada satu kali dalam seratus tahun, dan pohonnya juga tidak ada di sini,” kata Rangga lagi.

“Memang pohonnya tidak ada di sini. Tapi, Bunga Wijayakusuma Merah ada di sini. Aria Kandaka-lah yang memilikinya,” jelas Randita.

“Ketua Padepokan Gunung Lawu...?”

“Benar.”

“Kalau memang dia yang memiliki, kenapa tidak bicara saja terus terang? Aku yakin, Aria Kandaka bersedia memberikannya. Aku kenal baik dengannya. Dia orang yang sangat bijaksana. Bahkan selalu memperhatikan kepentingan orang lain, daripada dirinya sendiri,” kata Rangga lagi.

“Kau pikir mudah memintanya begitu saja...?” agak sinis nada suara Randita.

“Kenapa tidak...?”

“Karena bunga itu, ibu kami harus menderita kelumpuhan bertahun-tahun. Beliau kalah bertarung dalam memperebutkan Bunga Wijayakusuma Merah. Bukan hanya Aria Kandaka, tapi juga oleh tokoh-tokoh persilatan lain yang saat ini berkumpul di puncak Gunung Lawu ini,” masih terdengar ketus nada suara Randita.

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Pendekar Rajawali Sakti memang baru tahu kalau itulah persoalannya. Dan tampaknya memang tidak mudah bagi kedua gadis ini untuk bisa mendapatkan Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat diperlukan untuk menyembuhkan penyakit kelumpuhan yang diderita ibu mereka selama beberapa tahun ini. Sedangkan yang diketahuinya, bunga itu hanya dapat digunakan satu kali. Namun bunga itu begitu banyak kegunaannya, sehingga tidak heran jika banyak tokoh persilatan memperebutkannya. Dan tentu saja mereka menginginkan untuk tujuan masing-masing.

“Kanjeng ibu terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat beracun. Masih untung tidak tewas, dan hanya menderita kelumpuhan saja. Dan hanya bunga itu sendiri yang dapat menyembuhkannya,” jelas Randita.

“Kalian memang harus mendapatkan sebelum orang lain memilikinya. Aku akan bicara pada Aria Kandaka,” tegas Rangga.

“Percuma saja bicara padanya,” dengus Randini.

“Kenapa...?”

“Bunga itu sudah hilang. Itu pengakuan dari Aria Kandaka sendiri,” sahut Randini.

“Oh..., benarkah...?”

Rangga terkejut bukan main mendengar Bunga Wijayakusuma Merah sudah hilang, dan tidak berada lagi di tangan Aria Kandaka. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Langsung dirasakan kalau persoalannya berkembang semakin sulit, sebelum dirinya masuk dalam kemelut ini.

“Sebaiknya kalian pulang saja. Ada adikku di sana,” ujar Rangga.

“Adikmu...? Siapa?” tanya Randita.

“Pandan Wangi. Aku menyuruhnya menunggu ibu kalian. Tidak baik meninggalkan orang tua dalam keadaan tidak berdaya seorang diri di dalam gua,” kata Rangga lagi.

“Tapi kami tidak bisa pulang tanpa membawa bunga itu,” tolak Randini tegas.

“Nyai Karti tidak mengharapkan kalian mendapatkannya. Beliau malah memikirkan keselamatan kalian berdua. Sebaiknya, segeralah pulang. Aku akan membawa bunga itu untuk kalian. Percayalah. Aku akan berusaha mendapatkannya untuk kalian,” Rangga mencoba meyakinkan.

“Bagaimana, Randita...?” tanya Randini meminta pendapat saudara kembarnya.

Randita hanya mengangkat bahu saja. “Baiklah. Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Randini.

“Panggil saja aku Rangga.” Kedua gadis kembar itu hanya tersenyum saja.

Sesaat kemudian mereka berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing. Dewi Kembar dari Utara menuruni puncak Gunung Lawu ini, sedangkan Rangga sendiri terus menuju Padepokan Gunung Lawu yang berada di tengah-tengah puncak gunung yang selalu terselimut kabut ini.

Tapi, benarkah Randita dan Randini benar-benar kembali ke Bukit Utara seperti yang diminta Pendekar Rajawali Sakti...? Kedua gadis itu memang tidak terus melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di lereng Gunung Lawu ini, dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan rindang untuk menaungi diri dari sengatan sinar matahari.

“Kita akan kembali ke sana diam-diam, Randini,” kata Randita perlahan.

“Untuk apa?” tanya Randini.

“Aku ingin membawa bunga itu untuk Kanjeng Ibu dengan tanganku sendiri,” sahut Randita bertekad.

“Kau tidak percaya pada Pendekar Rajawali Sakti, Randita...?”

“Aku percaya. Justru kedatangannya memberi kesempatan pada kita, Randini. Kau pasti bisa mengerti jalan pikiranku “

Randini terdiam dan mengangguk-anggukkan kepala. Memang bukan hanya wajah dan bentuk tubuh mereka saja yang sama persis. Bahkan jalan pikiran mereka juga selalu sama. Meskipun terkadang ada perselisihan pendapat Tapi, selalu saja mereka mempunyai jalan kesepakatan bersama, yang tentu saja tidak dimiliki orang lain. Mereka seperti memiliki satu jiwa dalam tubuh kembar masing-masing.

“Malam nanti, kita mulai bergerak,” desis Randita memantapkan rencananya.

“Ya...,” sahut Randini mendesah.

********************

Sementara itu Rangga sudah sampai di Padepokan Gunung Lawu. Pendekar Rajawali Sakti jadi agak ragu-ragu, melihat padepokan itu tampak ramai seperti sedang mengadakan perayaan. Tapi, dia cepat ingat kalau kemarin adalah peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu. Dan mungkin, sampai hari ini perayaan itu belum juga berakhir.

Perlahan Rangga mengayunkan kaki memasuki gerbang padepokan itu. Dua orang murid berpakaian seragam merah memperhatikan saja, tanpa menegur sama sekali. Memang sampai hari ini, semua orang diberi kebebasan untuk memasuki lingkungan padepokan. Rangga menghentikan ayunan kaki sebelum jauh melewati pintu gerbang. Dari sini panggung berukuran besar yang berdiri di tengah-tengah halaman sudah bisa terlihat. Di atas panggung itu tampak sedang berlaga dua orang tokoh persilatan. Rangga berbalik menghampiri dua orang murid Padepokan Gunung Lawu yang bertugas jaga di gerbang ini.

“Maaf. Boleh aku bertanya sedikit...?” ucap Rangga sopan.

“Silakan,” sahut salah seorang yang masih berusia muda, juga dengan suara dan sikap ramah.

“Boleh bertemu Paman Aria Kandaka?” ujar Rangga masih dengan sikap sopan.

“Kisanak siapa?” pemuda itu kembali bertanya.

“Aku Rangga, sahabat Paman Aria Kandaka. Beliau mungkin sedang menunggu kedatanganku,” sahut Rangga memperkenalkan diri.

“Kisanak punya undangan?” tanya murid Padepokan Gunung Lawu itu lagi.

“Ada. Tapi aku ada keperluan yang lebih penting lagi dengannya.”

Dua orang anak muda murid Padepokan Gunung Lawu itu berbisik-bisik sebentar. Mereka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

“Sebentar,” ujar salah seorang.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Pemuda yang mengenakan seragam warna merah itu bergegas melangkah meninggalkan pos jaganya. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja. Pandangannya dilayangkan ke arah panggung. Tampak pertarungan sudah berhenti di atas panggung. Tapi, kemudian disusul berlompatannya satu orang yang langsung menantang pemenang dari pertarungan tadi.

Kembali sorak sorai terdengar bergemuruh dari para penonton yang kebanyakan adalah penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini. Dan di atas panggung, sudah kembali terjadi pertarungan adu kekuatan dan kesaktian dari tokoh-tokoh persilatan yang diundang Ketua Padepokan Gunung Lawu.

Rangga mengalihkan perhatiannya, ketika melihat pemuda yang tadi menjaga gerbang ini datang kembali diikuti seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Wanita itu mengenakan baju yang cukup ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat. Meskipun umurnya sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan cantik.

“Ah! Kenapa tidak langsung masuk saja. Rangga...?” tegur wanita yang ternyata adalah Winarti, begitu dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf, aku datang terlambat,” ucap Rangga seraya menjura, memberi penghormatan.

“Tidak mengapa. Mari...”

Rangga melangkah mengikuti Winarti yang berjalan lebih dahulu di depan. Mereka tidak menuju ke panggung, melainkan terus memasuki bangunan utama Padepokan Gunung Lawu ini. Di dalam ruangan berukuran cukup besar, tampak Aria Kandaka sudah menanti. Dia bergegas menyongsong, begitu melihat Rangga dan Winarti masuk ke dalam ruangan ini

“Ah! Syukurlah kau datang, Rangga...,” ucap Aria Kandaka seraya menyalami Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga membalasnya dengan hangat dan penuh persahabatan. Di antara mereka memang sudah terjalin suatu persahabatan. Karena Aria Kandaka sebenarnya abdi yang setia dari Adipati Arya Permadi, orang tua kandung Pendekar Rajawali Sakti. Aria Kandaka lalu mengasingkan diri dan pergi ke Gunung Lawu, saat Wira Permadi menguasai Kadipaten Karang Setra.

Memang bukan hanya Aria Kandaka yang meninggalkan Kadipaten Karang Setra waktu itu. Tapi, masih banyak para petinggi yang meninggalkah kadipaten, karena tidak menyetujui sikap dan cara Wira Permadi menduduki kadipaten. Dan Rangga memang selalu mengunjungi orang-orang yang pernah mengabdi pada ayahnya, yang tersebar di saat Karang Setra masih berupa kadipaten di bawah kekuasaan tangan besi adik tirinya.

“Maaf. Aku datang terlambat, Paman,” ucap Rangga.

“Tidak mengapa, Rangga. Aku senang kau bisa hadir di sini. Malah kedatanganmu sangat kuharapkan pada saat-saat seperti ini,” kata Aria Kandaka.

“Ada sedikit halangan yang membuatku terlambat,” kata Rangga lagi, masih merasa tidak enak karena kedatangannya tidak tepat pada waktunya.

“Sudahlah, Rangga. Mari duduk....” Mereka kemudian duduk melingkari meja bundar beralaskan batu pualam putih yang licin dan berkilat Winarti menuangkan arak ke dalam cawan dari perak. Mereka sama-sama menenggak habis arak manis di dalam cawan itu, lalu sama-sama memberi penghormatan melalui minuman.

“Seharusnya kami memanggilmu dengan sebutan Gusti Prabu, Rangga...,” kata Aria Kandaka.

“Ini bukan istana. Dan sebaiknya, Paman dan Bibi tetap memanggilku dengan nama saja. Biar orang lain tidak tahu, siapa aku sebenarnya,” sahut Rangga meminta.

“Apa yang ada dalam dirimu, sama sekali tidak membuang sifat-sifat ayahmu,” kata Aria Kandaka mengenang.

“Mudah-mudahan nama baik beliau bisa kupertahankan,” ucap Rangga.

Mereka kembali terdiam, dan sama-sama menikmati arak manis yang dituangkan Winarti ke dalam cawan masing-masing. Wanita itu juga ikut minum, untuk menghormati kedatangan tamu yang memang sudah sangat dinantikan.

“Menjadi raja tentu sangat sibuk. Banyak persoalan yang harus ditangani,” kata Aria Kandaka lagi.

“Ya.... Tapi, untunglah aku memiliki orang-orang yang dapat dipercaya, sehingga punya banyak waktu untuk mengembara. Aku ingin melihat kehidupan yang sebenarnya, dan punya banyak waktu untuk belajar dari alam,” nada suara Rangga terdengar merendah.

“Aku tadinya malah khawatir, undanganku tidak sampai ke tanganmu,” kata Aria Kandaka lagi.

“Kebetulan waktu itu aku ada di istana, Paman. Dan sebenarnya aku datang berdua....”

Sebenarnya Rangga tidak dari Istana Karang Setra. Bahkan sudah lama tidak ke sana. Dan dia sendiri tidak tahu kalau ada undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kedatangannya ke sini juga bukan karena undangan itu. Tapi, Rangga tidak ingin mengecewakan, dan terpaksa berbohong sebelum sampai pada maksud yang sebenarnya.

“Berdua...? Kenapa tadi kulihat kau hanya sendiri saja, Rangga?” selak Winarti.

“Aku bersama Pandan Wangi. Tapi terpaksa dia tidak bisa ikut ke sini, “ Rangga mencoba menjelaskan.

“Kenapa tidak diajak sekalian ke sini...?” Aria Kandaka seperti menyesalkan.

Bukan hanya Aria Kandaka yang sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Tapi hampir semua orang juga sudah tahu, Pendekar Rajawali Sakti ini punya teman dekat yang bergelar si Kipas Maut. Meskipun kepandaian yang dimiliki berada beberapa tingkat di bawah Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak mudah menaklukkan gadis itu.

Saat itu Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menceritakan tentang perjalanannya yang terpaksa terhambat Saat itu hujan turun, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi kebetulan sedang lewat di Bukit Utara. Mereka lalu menemukan gua yang ternyata di dalamnya ada seorang perempuan tua dalam keadaan lumpuh, tak mampu bergerak sedikit pun. Dan saat Rangga menyebutkan nama perempuan tua itu, Aria Kandaka seperti tersengat ribuan kala berbisa.

“Kau kenal Nyai Karti, Paman...?” tanya Rangga sempat melihat perubahan wajah Aria Kandaka.

Aria Kandaka tidak langsung menjawab, dan hanya terdiam saja. Matanya beberapa kali melirik Winarti yang juga diam membisu. Sedangkan Rangga me-mandangi mereka secara bergantian. Dia sebenarnya sudah tahu kalau Ketua Padepokan Gunung Lawu ini kenal perempuan tua yang bernama Nyai Karti. Tapi Rangga tidak ingin menunjukkan kalau sudah tahu. Bahkan ingin memastikan sendiri dari pengakuan Aria Kandaka. Tentu saja Rangga menginginkan kejujuran Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Kami memang mengenalnya...,” pelan sekali suara Aria Kandaka, hampir tidak terdengar.

Rangga hanya menggumam saja. Jawaban seperti inilah yang memang diharapkan. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengatur pembicaraan secara bertahap. Sehingga, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tidak merasa kalau kedatangannya bukan karena mendapat undangan, tapi karena Nyai Karti yang meminta pertolongannya.

********************

TUJUH

Pembicaraan mereka terhenti saat matahari sudah condong ke arah Barat. Aria Kandaka sendiri sengaja mengulur-ulur waktu, dengan mengumumkan adu ketangkasan bisa dilanjutkan esok hari. Sehingga, tak ada lagi rasa penasaran dari para undangan yang datang ke padepokannya ini. Tapi, tidak sedikit para undangan yang sudah meninggalkan padepokan.

Dan mereka yang pergi, merasa kalau acara adu ketangkasan itu tidak ada gunanya. Memang ada juga yang sudah merasakan adanya sesuatu yang tidak beres di padepokan ini, sehingga lebih memilih meninggalkan padepokan daripada ikut terlibat dalam suatu urusan yang tidak diketahuinya. Sehingga, yang tinggal hanya beberapa orang saja. Dan pada malam harinya, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.

Kali ini, pembicaraan sudah berkisar pada Bunga Wijayakusuma Merah yang telah hilang dari tempat penyimpanannya. Rangga juga sudah mengatakan kalau kelumpuhan yang diderita Nyai Karti hanya dapat disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah itu.

“Ya.... Kelumpuhan Nyai Karti memang hanya bisa disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah. Dia bisa lumpuh begitu, karena terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang beracun dan sukar dicari obatnya, kecuali oleh bunganya sendiri,” kata Aria Kandaka, perlahan suaranya.

“Tapi sayang sekali. Bunga itu sekarang tidak ada lagi di sini, Rangga,” selak Winarti.

“Apakah dari tamu-tamu yang hadir, mengetahui tentang bunga itu?” tanya Rangga menyelidik.

“Ya! Ada beberapa di antara mereka yang tahu. Bahkan sudah beberapa kali berusaha merebutnya dariku. Tapi aku tidak punya bukti untuk menuduh salah seorang dari mereka,” sahut Aria Kandaka menjelaskan.

“Memang sulit..,” gumam Rangga perlahan.

“Itu sebabnya, aku terpaksa menahan mereka di sini dengan mengadakan pertandingan. Itu pun karena keinginan mereka yang ingin menjajaki tingkat kepandaian masing-masing,” sambung Aria Kandaka.

“Apa ada di antara undangan yang sudah meninggalkan padepokan ini, Paman?” tanya Rangga lagi.

“Beberapa di antaranya memang sudah. Bahkan Elang Perak, Dewi Kembar dari Utara, dan Ki Gambang yang mengetahui tentang bunga itu juga sudah meninggalkan padepokan ini,” sahut Aria Kandaka.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Elang Perak dan Dewi Kembar dari Utara tidak memiliki bunga itu. Sedangkan beberapa nama yang sempat disebutkan Aria Kandaka, masih berada di padepokan ini. Kecuali, Ki Gambang yang sudah meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini kemarin siang.

Tapi, apa mungkin Ki Gambang yang mengambil bunga itu dari tempat penyimpanan pusaka? Atau mungkin ada orang lain yang telah menguasai, dan sekarang menunggu waktu yang tepat untuk membawanya pergi dari padepokan tanpa seorang pun yang mencurigainya? Dan memang benar apa yang dikatakan Aria Kandaka tadi. Tidak ada bukti untuk menuduh atau mencurigai salah seorang dari mereka.

“Maaf, aku tinggal dulu,” ucap Winarti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.

“Oh, ya. Silakan...,” sahut Rangga juga bangkit berdiri.

Winarti menjura memberi hormat, kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. Rangga kembali duduk di kursinya setelah Winarti tenggelam di balik pintu yang kembali tertutup rapat Di dalam ruangan berukuran cukup besar ini, hanya ada Rangga dan Aria Kandaka saja. Sementara malam terus merayap semakin larut Dan mereka terus berbicara hingga jauh malam.

“Maaf, Paman. Boleh bertanya sedikit..?” pinta Rangga menyelak pembicaraan.

“Tentu saja, Rangga,” sahut Aria Kandaka mempersilakan.

“Ini menyangkut Bibi Winarti, Paman.”

“Winarti...? Ada apa dengannya...?” tanya Aria Kandaka agak terkejut

“Kudengar, Bibi Winarti sedang memperdalam ilmu-ilmunya di Gua Pantai Selatan. Kapan dia datang ke sini, Paman...?” tanya Rangga hati-hati.

“Sudah dua purnama ini,” sahut Aria Kandaka.

“Kenapa kau tanyakan itu, Rangga?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, apakah Bibi Winarti sudah menguasai ilmu-ilmu kesaktiannya. Aku senang kalau Bibi Winarti sudah semakin sempurna ilmu-ilmunya,” kata Rangga kalem.

Aria Kandaka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rangga dari pertanyaannya tadi. Sesuatu yang pasti menyangkut Winarti. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang saja, meskipun dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.

“Maaf, Paman. Mungkin aku salah menduga,” ujar Rangga merasa tidak enak juga.

“Ada apa sebenarnya, Rangga...? Katakan saja,” desak Aria Kandaka.

Rangga menghembuskan napas panjang, dan terasa begitu berat sekali. Hatinya seperti berat mengatakannya, takut kalau laki-laki separuh baya ini tersinggung.

“Belum lama ini, aku dan Pandan Wangi sempat mampir ke Gua Pantai Selatan. Di sana, kami sempat pula berbincang-bincang dengan Bibi Winarti. Katanya, dia masih perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Dan sekarang, aku bertemu lagi di sini. Aku hanya heran saja, Paman. Karena, belum ada satu purnama bertemu dengannya di Gua Pantai Selatan,” kata Rangga hatihati.

“Dia sudah dua purnama tinggal di sini, dan membantuku menggembleng murid-murid padepokan ini. Bahkan datang membawa dua orang yang dikatakan muridnya,” jelas Aria Kandaka lagi

“Murid...? Sejak kapan Bibi Winarti punya murid, Paman?” tanya Rangga agak terkejut

“Katanya, selama berada di Gua Pantai Selatan,” sahut Aria Kandaka. “Ada apa, Rangga? Kenapa bertanya seperti itu...?”

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan

“Kuharap, kau tidak menaruh prasangka buruk pada Winarti, Rangga,” agak dalam nada suara Aria Kandaka.

Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri, dan berpamitan hendak istirahat. Aria Kandaka tidak mencegah, dan masih tetap berada di kursinya sampai Rangga tidak terlihat lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak termenung. Dipikirkannya kata-kata Rangga yang terakhir tadi.

“Hm.... Sepertinya Rangga mencurigai Winarti Tapi, kenapa...?” Aria Kandaka jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Benarkah Pendekar Rajawali Sakti mencurigai Winarti? Atau itu hanya perasaan Aria Kandaka saja. Tapi pembicaraannya barusan dengan Rangga, membuat hatinya jadi tidak bisa tenteram.

********************

Malam terus merambat semakin larut. Tapi, Rangga belum juga dapat memicingkan mata dalam kamar peristirahatan yang disediakan Aria Kandaka untuknya. Entah sudah berapa kali kamar ini diputari. Dan sudah berapa kali pula dia berada di depan jendela. Sebentar kepalanya ditengadahkan ke atas, sebentar kemudian ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskan kuat-kuat.

Tok, tok, tok...!

Rangga berpaling ketika terdengar ketukan di pintu. Sebentar ditatapnya pintu kamar yang tertutup rapat itu. Kemudian perlahan kakinya terayun mendekati pintu. Tapi belum juga sempat terbuka, mendadak saja pintu kamar itu sudah jebol, disusul melesatnya sesosok tubuh hitam yang masuk ke dalam kamarnya.

“Hup!”

Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya. Dia berputaran beberapa kali ke belakang, sebelum kakinya menjejak lantai kamar yang terbuat dari belahan papan tebal. Dan pada saat itu, satu pukulan cepat mengandung tenaga dalam tinggi melunak deras ke arahnya.

“Hait..!”

Rangga cepat memiringkan tubuh ke kanan, sehingga pukulan orang berbaju serba hitam itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diduga, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mengecutkan tangan kirinya. Langsung disodoknya perut orang berbaju serba hitam itu.

“Hegkh!”

Orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya memegangi perut yang terkena sodokan tangan kiri Rangga. Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sodokan itu membuat perut orang itu terasa mengejang kaku dan mual.

“Hiyaaat..!”

Belum lagi orang berbaju serba hitam berbuat sesuatu, Rangga sudah melompat cepat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disusul satu totokan jari tangan kirinya ke arah dada.

“Akh...!”

Orang berbaju serba hitam itu langsung tergeletak di lantai yang terbuat dari belahan papan. Rangga cepat-cepat menghampiri, dan menjambret kain hitam yang menutupi muka orang ini. Betapa terkejut hatinya, begitu kain hitam yang menutup wajah orang itu terbuka.

Rangga cepat-cepat melompat mundur. Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena tangan kiri orang itu masih mampu bergerak cepat Rangga tak sempat lagi bertindak, ketika orang itu menggorok lehernya sendiri dengan pisau yang diambil dari balik lipatan baju.

“Hey...!” sentak Rangga terkejut.

Terlambat..! Leher orang itu sudah menganga tergorok pisau. Darah mengucur deras. Kelopak matanya terbuka lebar, dan sebentar kemudian tertutup rapat Rangga mendesah panjang. Hampir tidak dipercayai, apa yang dilihatnya ini.

Rangga mengangkat kepala ketika Aria Kandaka muncul di ambang pintu. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak terkejut melihat sesosok tubuh berpakaian serba hitam tergeletak tak bernyawa lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Lebih terkejut lagi begitu mengenali orang berbaju serba hitam itu. Seorang pemuda bertubuh tegap, dan berwajah cukup tampan. Tapi, agak terusik oleh luka codet yang membelah pipinya.

“Kenapa dia...?” tanya Aria Kandaka seraya melangkah menghampiri Rangga.

“Dia bunuh diri setelah aku menjatuhkannya,” sahut Rangga.

“Dia menyerangmu...?” nada suara Aria Kandaka seperti tidak percaya oleh pertanyaannya sendiri

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Memang sukar untuk dipercaya. Ternyata pemuda dengan luka codet di pipi itu sudah sangat dikenal di Padepokan Gunung Lawu ini. Dia adalah salah satu pengikut Winarti, yang dikatakan sebagai muridnya. Tapi, kenapa menyerang Pendekar Rajawali Sakti...? Pertanyaan inilah yang mengganggu benak Aria Kandaka.

Aria Kandaka bergegas melangkah keluar tanpa berkata-kata lagi. Rangga bergegas pula mengikuti Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Mereka terus berjalan cepat, setengah berlari menyusuri lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu tertutup, tempat para tamu beristirahat. Tak ada satu pintu pun yang terbuka.

Mereka kini tiba di sebuah ruangan berukuran cukup hias dan terang benderang. Setelah melintasi ruangan itu, mereka sampai di depan pintu sebuah kamar yang juga tertutup rapat. Aria Kandaka mengetuk pintu itu kuat-kuat. Tapi, tak terdengar jawaban sedikit pun dari dalam. Sebentar matanya melirik Rangga yang berada tidak jauh di belakangnya. Kemudian, tiba-tiba saja kakinya bergerak menghentak.

Brak!

Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal itu seketika hancur berantakan terkena tendangan Aria Kandaka. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu cepat menerobos masuk ke dalam. Kedua matanya kontan terbeliak melihat keadaan kamar dalam keadaan kosong. Rangga hanya berdiri saja di ambang pintu yang sudah hancur berantakan. Dia tahu, kamar ini dihuni Winarti, adik perempuan satu-satunya Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Keparat..!” geram Aria Kandaka gusar.

Perlahan tubuhnya berputar memandang Rangga yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Rona merah tampak membias di wajahnya. Terdengar suara bergemeretak dari geraham yang berderak menahan geram.

“Siapa sebenarnya dia, Rangga?” tanya Aria Kandaka.

“Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, wanita itu bukanlah Bibi Winarti,” sahut Rangga.

Aria Kandaka bergegas berlari keluar. Kemarahannya begitu memuncak, merasa telah tertipu mentah-mentah. Sungguh tidak disangka, kalau wanita yang selama ini dianggap adiknya ternyata telah menipu. Bahkan sekarang wanita itu telah pergi entah ke mana.

Rupanya kedatangan Rangga ke Padepokan Gunung Lawu ini, membuat Winarti merasa terancam. Maka anak buahnya diperintahkan membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu gagal, dia malah melarikan diri. Aria Kandaka yang langsung bisa mengetahui keadaan, tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Terlebih lagi, sebelumnya Rangga memang sudah mencurigai wanita itu. Karena, sebelum sampai di Padepokan Gunung Lawu ini, terlebih dahulu Pendekar Rajawali Sakti bertemu Winarti yang asli di Gua Pantai Selatan.

Sementara itu Aria Kandaka sudah berada di luar ruang utama padepokannya ini. Rangga masih tetap mengikuti dari belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju gua tempat penyimpanan senjata pusaka Padepokan Gunung Lawu. Tapi baru saja sampai di mulut gua, mendadak saja....

“Paman, awas...!” seru Rangga tiba-tiba.

“Hup! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Rangga melesat cepat begitu melihat secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arah Aria Kandaka. Pada saat yang bersamaan, Aria Kandaka menjatuhkan diri ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Rangga mengebutkan tangan kanan untuk menyampok sinar keperakan yang meluncur cepat bagaikan kilat itu.

“Akh...!” Rangga terpekik agak tertahan.

Cepat-cepat tubuhnya diputar dan mendarat di tanah. Pendekar Rajawali Sakti agak limbung sedikit begitu kakinya menjejak tanah. Tangan kanannya yang memerah bagai sepotong besi di dalam tungku pembakaran dipeganginya. Sementara itu Aria Kandaka yang sudah bangkit berdiri, segera menghampiri Rangga.

“Kenapa tanganmu?” tanya Aria Kandaka.

“Tidak apa-apa,” sahut Rangga.

Aria Kandaka memperhatikan tangan Rangga yang masih kelihatan memerah. Kalau saja Rangga tidak mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir, mungkin sekarang ini tangannya sudah buntung saat menyampok sinar keperakan tadi. Namun begitu, rasa panas tetap menjalar di tangannya. Begitu panasnya, sehingga dari pergelangan tangan hingga ke ujung jarinya memerah bagai terbakar.

“Hati-hati, Paman. Rupanya dia sudah mengetahui kalau kedoknya sudah terbongkar,” Rangga memperingatkan.

Pada saat itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar sepuluh orang berpakaian serba hitam. Mereka berlompatan ringan, dan langsung mengurung sambil menghunus golok melintang di depan dada. Sulit untuk melihat wajah mereka, karena kesepuluh orang ini menutupi wajah dengan kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat

“Hm..., siapa mereka...?” gumam Aria Kandaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Seraaang...!”

Begitu terdengar teriakan memberi perintah, seketika itu juga sepuluh orang berbaju serba hitam yang menggenggam senjata golok langsung berlompatan menyerang. Rangga dan Aria Kandaka terpaksa berlompatan. Mereka memisahkan diri, sehingga sepuluh orang ini terpaksa memecah menjadi dua bagian. Lima orang mengeroyok Aria Kandaka, dan lima orang lagi menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Cring!
Bet!

Aria Kandaka yang memang hatinya sudah terbakar amarah, tidak ingin tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan pedangnya, dan dikebutkan dengan cepat. Lima orang berpakaian hitam yang mengeroyoknya langsung terbabat. Begitu cepatnya gerakan permainan pedang Ketua Padepokan Gunung Lawu itu, sehingga lima orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa lagi membendungnya.

Jeritan-jeritan panjang melengking terdengar saling susul. Dalam beberapa gebrakan saja, lima orang itu sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi. Aria Kandaka langsung saja melompat cepat hendak membantu Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”

Seperti seekor banteng jantan yang terluka, Aria Kandaka cepat mengebutkan pedang. Langsung dibabatnya lima orang berbaju serba hitam yang menyerang Rangga. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar. Rangga terkejut melihat Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengamuk, membantai orang-orang berbaju hitam tanpa ampun lagi.

“Mampus kalian, Keparat..!” geram Aria Kandaka memaki.

Dalam waktu yang tidak begitu lama saja, sepuluh orang berbaju serba hitam itu sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Udara malam yang semula dingin dan bersih, kini tercemar bau anyir darah yang mengucur dari tubuh sepuluh orang berbaju serba hitam ini.

“Tidak seharusnya kau membantai mereka, Paman,” ujar Rangga tidak menyetujui tindakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Mereka pantas mampus!” dengus Aria Kandaka kesal.

Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dihampirinya salah seorang penyerang itu. Lalu dilepaskannya kain hitam yang menyelubungi wajahnya.

“Heh...?!” sentak Aria Kandaka terkejut begitu kain hitam yang menutupi wajah orang itu terbuka.

DELAPAN

Aria Kandaka membuka kain hitam penutup muka orang-orang itu satu persatu. Kedua matanya semakin lebar terbeliak. Sepuluh orang berpakaian serba hitam ini ternyata adalah murid-muridnya sendiri. Memang, dia tadi cepat bertindak membunuh sehingga tidak sempat lagi mengenali jurus-jurus yang mereka gunakan. Tidak heran kalau dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang itu mampu dituntaskan.

“Setan...! Kenapa mereka memusuhiku...?!” dengus Aria Kandaka geram.

“Mereka lebih patuh pada perintahku, Arya Kandaka.”

“Heh...?!”

Aria Kandaka cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping mengenakan baju hitam pekat. Meskipun sudah berumur lebih dari empat puluh tahun, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Sementara Rangga yang berada di samping Aria Kandaka hanya diam saja memperhatikan.

Plok, plok, plok...!

Wanita itu menepuk tangan beberapa kali. Maka dari kegelapan malam, bermunculan orang-orang berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung bergerak mengepung tempat ini. Ada sekitar dua puluh orang dengan kepala terselubung kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat

“Siapa kau sebenarnya? Kenapa mengacau padepokanku?” tanya Aria Kandaka, terdengar lantang suaranya.

“Lima tahun memang bukan waktu yang pendek. Tapi itu juga tidak cukup untuk menghapus ingatan, Aria Kandaka. Kau pasti tidak akan lupa dengan benda ini!”

Wanita berbaju serba hitam yang selama ini dikenal sebagai Winarti melemparkan sebuah benda berwarna keemasan. Benda itu jatuh tepat di ujung kaki Aria Kandaka yang terbeliak begitu mengenali benda berbentuk tusuk rambut berwarna kuning keemasan. Perlahan tubuhnya membungkuk, memungut tusuk rambut emas itu. Sebentar diperhatikannya benda itu, kemudian ditatapnya wanita berbaju serba hitam sekitar dua batang tombak di depannya.

“Mustahil...!” desis Aria Kandaka, seakan-akan tidak percaya dengan dirinya sendiri. “Kau sudah mati, Lasti....”

“Itu anggapanmu, Aria Kandaka. Tapi, kenyataannya aku masih tetap hidup. Dan sekarang, aku hendak menuntut balas!” dingin sekali nada suara wanita yang kini dikenal Aria Kandaka bernama Lasti. Bukan Winarti yang selama ini dikenalnya.

“Bagaimana mungkin kau bisa hidup? Dan wajahmu itu...?” Aria Kandaka benar-benar jadi kebingungan.

Lasti tersenyum tipis. Tangan kanannya kemudian terangkat ke wajah. Perlahan-lahan sekali tangannya bergerak seperti mengupas sesuatu di wajahnya. Dan Aria Kandaka jadi terbeliak begitu mengetahui kalau wanita itu memakai topeng yang begitu tipis, dan menyerupai wajah adiknya.

Kini, di depannya bukan lagi Winarti yang ada. Melainkan, seorang wanita berwajah cacat, penuh luka. Seperti luka akibat tergores ujung pedang. Kulit mukanya juga kelihatan hitam, seperti bekas terbakar. Aria Kandaka benar-benar terkejut, dan mengenalinya. Wajah itu memang pernah dilihatnya lima tahun yang lalu. Bahkan luka-luka di wajah yang menghitam itu akibat dari goresan ujung pedangnya.

Lima tahun yang lalu, di antara mereka memang terjadi suatu perselisihan. Tepatnya, perselisihan asmara. Dulu, selagi mereka muda, antara Aria Kandaka dengan Lasti telah terjalin cinta kasih. Namun karena Aria Kandaka mengasingkan diri ke Gunung Lawu, Lasti terpaksa ditinggalkan. Mereka memang tidak bisa bersatu, karena orang tua Lasti melarang hubungan mereka. Sebabnya, orang tua Lasti adalah antek Wira Permadi, yang memerintah Kadipaten Karang Setra waktu itu. Maka bibit cinta kemudian berkembang jadi bibit permusuhan.

Mereka kemudian bertarung di tepi sebuah jurang setelah lama tak bertemu. Aria Kandaka yang saat itu masih malang-melintang di dalam rimba persilatan, berhasil melemparkan wanita itu ke dalam jurang yang cukup dalam. Ujung pedang membabat habis wajah wanita itu.

Bahkan satu tusukan pedangnya berhasil menembus bagian dada. Memang mustahil kalau wanita yang bernama Lasti ini masih bisa bertahan hidup. Tapi kenyataannya, sekarang masih bernapas dan berada di depan orang yang dulu dicintainya.

“Kau terkejut kenapa aku masih hidup, Aria Kandaka...? Maut memang belum mau menjemputku. Seorang tua yang baik hati telah menyelamatkanku di dasar jurang. Dialah yang merawatku sehingga aku punya kesempatan membalas sakit hatiku padamu,” dingin sekali suara Lasti.

Geraham Aria Kandaka menggeretak hebat Hatinya benar-benar geram, karena selama dua purnama ini tinggal bersama-sama orang yang masih berpihak pada Wira Permadi. Bahkan semua rahasia padepokan yang dibangunnya ini sudah diketahui Lasti. Sampai tempat penyimpanan Bunga Wijaya-kusuma Merah pun diberi tahu.

Aria Kandaka baru menyadari, kalau saat seperti ini memang sudah direncanakan Lasti. Acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu, dimanfaatkan wanita ini untuk menghancurkannya dan padepokan yang didirikannya selama satu tahun ini. Bahkan dia berhasil memalingkan kesetiaan murid-murid Aria Kandaka padanya. Benar-benar suatu kerja yang rapi dan terencana baik. Dan ini membuat Aria Kandaka benar-benar geram. Dia merasa telah tertipu, tanpa dapat menyadari sedikit pun juga. Hasil kerjanya selama setahun ini begitu mudah dihancurkan oleh seorang wanita yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.

“Terimalah kematianmu, Aria Kandaka! Hiyaa...!”

“Uts!”

Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu pedang tipis berkelebat cepat di depan dadanya. Tapi sebelum sempat melakukan sesuatu, Lasti sudah kembali melakukan serangan cepat. Pedangnya berkelebatan dahsyat mengurung ruang gerak Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

Sementara Rangga yang sudah mengetahui pertentangan cinta antara kedua orang itu segera menyingkir menjauh. Tapi, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang berbaju serba hitam yang mengelilingi sekitar tempat pertarungan ini. Pada saat itu, terlihat tamu-tamu undangan yang masih berada di padepokan menghampiri. Mereka tak ada yang berbuat sesuatu, dan hanya berdiri saja menyaksikan pertarungan Aria Kandaka melawan wanita berbaju serba hitam dari luar lingkungan kepungan orang ber-baju hitam yang menggenggam senjata golok terhunus di depan dada.

Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berjalan cepat. Dan masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang dahsyat. Begitu cepatnya pertarungan berlangsung, sehingga tubuh mereka lenyap. Yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan disertai kilatan-kilatan cahaya pedang.

“Hiyaaat..!”

Bet!

Tiba-tiba saja Aria Kandaka mengecutkan cepat pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu. Sungguh sulit dipercaya. Lasti tidak berusaha berkelit sedikit pun. Bahkan pertahanannya di bagian dada dibuka lebar-lebar. Maka tak pelak lagi, pedang Aria Kandaka yang terkenal dahsyat itu menghantam dada Lasti dengan keras.

“Ha ha ha...!” Lasti malah tertawa terbahak-bahak.

“Heh...?! Edan...!” dengus Aria Kandaka terbeliak tidak percaya.

Bukan hanya Aria Kandaka saja yang terkejut setengah mati. Tapi, Rangga dan juga semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terkejut Betapa tidak...? Jelas sekali kalau pedang Aria Kandaka membabat dada Lasti. Tapi, wanita itu tetap berdiri tegar. Bahkan tak ada sedikit pun luka di dadanya.

Aria Kandaka cepat-cepat melompat mundur. Pandangannya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengecutkan pedang di depan dada, lalu cepat melompat Pedangnya langsung dibabatkan ke leher wanita berbaju serba hitam itu.

“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Bet!
“Heh...?!”

Untuk kedua katinya mata Aria Kandaka terbeliak. Sukar dipercaya! Pedang kebanggaannya selama ini ternyata patah jadi dua bagian begitu menghantam leher wanita berbaju serba hitam itu. Pada saat yang bersamaan, Lasti menghentakkan tangan kanannya. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras meng-geledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi

“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!”

Aria Kandaka terpekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang dilepaskan Lasti mendarat telak di dada. Keras sekali tubuhnya jatuh terguling di tanah. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Aria Kandaka bangkit berdiri

“Ugkh!”

Kembali dimuntahkannya darah segar dari mulut Tarikan napasnya juga jadi terhambat, akibat pukulan bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dada.

“Saatmu sudah tiba, Aria Kandaka! Hiyaaat..!”

Lasti melompat cepat bagaikan kilat Pedangnya berkelebat mengarah ke leher Aria Kandaka. Tak ada lagi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu untuk menghindar. Terlebih lagi, saat ini tengah menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada. Aria Kandaka hanya dapat mendesis dan terbeliak melihat Lasti sudah melancarkan serangan cepat, dengan pedang mengarah ke leher. Tapi pada saat mata pedang itu hampir membabat leher Aria Kandaka, mendadak saja....

Trang!

“Ikh...?!”

Lasti tersentak kaget setengah mati. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan. Cepat-cepat serangannya ditarik, lalu melompat mundur sejauh dua batang tombak. Manis sekali kedua kakinya menjejak tanah.

“Setan...!” geram Lasti begitu melihat Rangga sudah berdiri di samping Aria Kandaka.

“Sudah cukup kau menghancurkannya, Nisanak. Tidak perlu sampai membunuhnya,” tegas Rangga.

“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Lasti geram.

“Aku memang tidak ada urusan dalam hal ini. Tapi tindakanmu sudah kelewat batas, Nisanak. Kau hancurkan nama baik seseorang, hanya untuk mengumbar nafsu dan dendammu,” kata Rangga, tetap tegas suaranya.

“Hanya satu kali kuperingatkan, Pendekar Rajawali Sakti! Minggirlah, atau kau juga ingin mampus!” ancam Lasti tidak main-main.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit

Mata Pendekar Rajawali Sakti melirik Aria Kandaka yang berada di sampingnya. Keadaan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Luka dalam akibat pukulan Lasti tadi, seakan-akan telah meremukkan seluruh rongga dadanya. Bahkan tarikan napasnya saja sudah demikian terhambat.

“Menyingkirlah, Paman. Biar kutangani dia,” ujar Rangga.

“Hati-hatilah, Rangga. Aku yakin dia membawa Bunga Wijayakusuma Merah. Tubuhnya jadi kebal, dan kepandaiannya berlipat ganda,” Aria Kandaka memperingatkan.

Setelah memperingatkan Pendekar Rajawali Sakti, Aria Kandaka bergerak ke belakang menjauhi. Sementara Lasti sudah bersiap melakukan serangan. Pedangnya sudah melintang di depan dada. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Matanya menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita berbaju serba hitam di depannya.

“Aku sering mendengar julukanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal kalau mati di tanganku,” ancam Lasti dingin.

“Aku hanya ingin mencoba keampuhan Bunga Wijayakusuma Merah yang kau bawa,” sambut Rangga kalem.

“Rupanya kau sudah tahu kalau aku yang memiliki bunga itu, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Lasti dingin.

“Ya. Karena tak ada orang lain lagi yang tahu tempat penyimpanannya selain kau. Mustahil bunga itu hilang begitu saja dari tempatnya.”

“Kau baru datang siang tadi, tapi sudah tahu segalanya. Aku mengagumi kepintaranmu dalam menilai, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang, kau akan mati malam ini,” semakin dingin suara Lasti.

“Terima kasih.”

“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!”

“Hup! Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, mereka melompat saring menerjang. Lasti melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan tangan kirinya. Serangan itu langsung disambut Rangga dengan hentakan tangan kanannya. Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu di udara, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.

Tampak mereka sama-sama terpental berputaran ke belakang. Hampir bersamaan pula, mereka mendarat kembali di tanah. Lasti langsung melesat lagi begitu kakinya menjejak tanah. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah dada Rangga. Namun dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari tebasan pedang wanita berbaju serba hitam ini.

Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Lasti yang sudah banyak mendengar kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lagi bermain tanggung-tanggung, meskipun sekarang ini sudah menguasai Bunga Wijayakusuma Merah yang membuat kepandaiannya jadi berlipat ganda. Bahkan tubuhnya juga jadi kebal terhadap senjata. Itu terbukti ketika pedang Aria Kandaka patah begitu membabat lehernya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai sepuluh jurus berlalu, Rangga masih menghadapi dengan tangan kosong. Beberapa kali pukulannya berhasil mendarat, tapi tak sedikit pun membuat Lasti goyah. Bahkan wanita itu kelihatan semakin garang. Dan setiap pukulan Rangga yang mendarat di tubuhnya, membuat kekuatan wanita itu terus bertambah. Hingga, tak sedikit pun merasa sakit setiap kali mendapat pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm... Kekuatannya semakin bertambah besar saja. Sungguh dahsyat pengaruh bunga itu pada dirinya,” gumam Rangga langsung menyadari.

Sementara Lasti semakin dahsyat saja melancarkan serangan-serangannya. Dan Rangga tidak lagi membalas menyerang. Dia hanya berkelit, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Pendekar Rajawali Sakti terus mencari kelemahan wanita berbaju serba hitam itu. Hingga akhirnya....

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat tubuhnya meluruk deras membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga Lasti tak sempat lagi menyadari. Dan sebelum wanita berwajah penuh luka itu melakukan sesuatu, kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah mendepak kepalanya.

“Akh...!” Lasti terpekik keras agak tertahan. Wanita bermuka buruk penuh luka itu kontan terhuyung-huyung terkena dupakan kaki Rangga pada kepalanya. Dan sebelum dapat berbuat sesuatu, Rangga sudah mencabut pedang pusakanya. Sinar biru langsung menerangi sekitarnya. Kemudian pedangnya dikebutkan ke arah dada. Tapi Pendekar Rajawali Sakti menahan arus tebasan sedikit, sehingga ujung pedangnya hanya menebas baju bagian dada wanita itu.

Bet!

“Ikh...?!”

Lasti jadi kelabakan, karena bagian dadanya jadi terbuka. Pada saat itu, tangan kiri Rangga bergerak cepat menyambar bagian perut wanita itu.

Bret!

“Hup!”

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya sejauh dua batang tombak dari wanita berbaju serba hitam ini. Di tangan kirinya kini telah tergenggam sobekan baju Lasti. Di antara sobekan kain itu, terdapat sekuntum bunga berwarna merah bagai berlumur darah.

“Keparat..!” geram Lasti.

Rangga tersenyum melihat hasil serangannya begitu memuaskan. Kini tak ada lagi kekuatan yang dimiliki Lasti tanpa Bunga Wijayakusuma Merah. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang langsung lenyap seketika begitu pedang itu tenggelam ke dalam warangka.

“Kubunuh kau, Rangga! Hiyaaat..!”

Lasti jadi nekat. Bagaikan kilat dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dikibaskan disertai pengerahan seluruh kemampuan tenaganya. Tapi hanya sedikit saja Rangga menarik tubuh ke belakang, tebasan pedang itu berhasil dihindari. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti berhasil memasukkan satu sodokan tangan kanan ke dada wanita ini.

“Akh...!”

Lasti terpental ke belakang, dan tidak dapat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan pada saat itu, Aria Kandaka melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok yang dipungutnya dari tanah.

"Hiyaat..!"

"Paman, jangan...!" seru Rangga mencoba mencegah. Tetapi terlambat...

Bres! "Aaa...!"

Golok di tangan Aria Kandaka langsung menghunjam dalam ke dada wanita berwajah buruk penuh luka itu. Darah seketika menyembur deras sekali. Lasti berkelojotan, sementara golok masih memanggang dadanya dengan dalam hingga sampai ke pangkal gagangnya.

Tak berapa lama dia mengejang, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Aria Kandaka cepat melompat mundur begitu melihat bekas kekasih yang telah menjadi musuh bebuyutannya sudah tak bernyawa lagi. Saat itu Rangga sudah berada di sampingnya. Perlahan Aria Kandaka memutar tubuhnya menghadap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya pendekar muda itu, lalu pandangannya beredar ke sekeliling.

“Pergilah. Bawa bunga itu untuk Nyai Karti. Dia lebih membutuhkan daripada aku,” kata Aria Kandaka.

“Bagaimana dengan di sini?” tanya Rangga.

“Biar aku yang mengurus. Tidak semua muridku berkhianat,” sahut Aria Kandaka.

Memang di tempat ini, terlihat beberapa orang pemuda berbaju serba merah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang berbaju hitam sudah menjatuhkan diri, berlutut begitu melihat Lasti tewas. Dan orang-orang persilatan yang masih berada di padepokan ini, satu persatu menyingkir meninggalkan bagian belakang padepokan ini. Mereka seperti tidak mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi.

Rangga menatap dua orang gadis kembar yang tadi menyatu bersama orang-orang persilatan tamu undangan Padepokan Gunung Lawu ini. Rangga tidak lagi terkejut melihat mereka. Memang sudah diduga kalau kedua gadis kembar itu pasti datang kembali ke padepokan ini untuk mencari Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat dibutuhkan bagi penyembuhan ibu mereka dari kelumpuhan. Rangga tak peduli kalau kedua gadis itu merasa malu, karena tak mempercayainya.

“Aku akan kembali lagi ke sini, Paman,” kata Rangga.

“Kedatanganmu selalu kuharapkan. Pergilah, sebelum ada di antara mereka yang menginginkan bunga itu,” sahut Aria Kandaka.

Rangga menjura memberi hormat, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati dua orang gadis kembar itu. Sementara Aria Kandaka masih berdiri memperhatikan. Sebentar Rangga berbicara pada Dewi Kembar dari Utara, kemudian mereka sama-sama beranjak pergi meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini.


SELESAI


Memperebutkan Bunga Wijaya

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

MEMPEREBUTKAN BUNGA WIJAYAKUSUMA

SATU
Tidak seperti hari-hari biasanya, kini sekitar kaki Gunung Lawu tampak ramai, terlebih lagi di Desa Lambak, yang terletak di sebelah Timur kaki gunung itu. Sepertinya, tak ada tempat lagi bagi orang-orang yang datang ke desa itu. Entah dari mana mereka datang. Setiap hari, selalu saja bertambah. Kedatangan orang-orang yang tampaknya dari kalangan persilatan itu, tentu saja membuat Ki Sutar yang merupakan kepala Desa Lambak jadi kebingungan setengah mati.

Laki-laki tua itu tidak tahu, kenapa desanya tiba-tiba saja didatangi orang-orang dari kalangan persilatan begitu banyak. Kekhawatiran seketika timbul di hatinya. Kekhawatiran yang wajar, melihat semua orang yang datang rata-rata memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan tinggi. Belum lagi, hampir semuanya membawa senjata. Ki Sutar khawatir terjadi keributan di antara mereka. Terlebih lagi jika melibatkan para penduduk. Hal inilah yang membuat Ki Sutar begitu khawatir, sehingga memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki maksud kedatangan mereka.

“Bagaimana? Apa kalian sudah mendapatkan keterangan?” tanya Ki Sutar pada dua orang pembantunya yang datang menghadap.

“Mereka hendak ke puncak Gunung Lawu, Ki,” sahut salah seorang yang masih terlihat muda.

“Ke puncak Gunung Lawu...? Mau apa kesana?” tanya Ki Sutar tidak mengerti.

Kedua anak muda itu tidak menjawab. Sementara Ki Sutar memandangi kedua pembantunya ini dalam-dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi, kedua anak muda itu tetap diam tidak membuka suara. Mereka malah saling berpandangan satu sama lain.

“Kalian tahu, untuk apa mereka ke puncak Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar lagi.

“Tidak, Ki,” sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna kuning muda.

“Tidak...?! Lalu, apa saja yang kalian ketahui?” Ki Sutar jadi mengerutkan kening.

Belum juga kedua pemuda itu menjawab, tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia langsung jatuh terduduk di lantai. Seluruh pakaiannya kotor berdebu. Keringat mengucur deras, membasahi wajah dan lehernya. Ki Sutar dan kedua pemuda pembantunya jadi terkejut.

“Ada apa ini...? Apa yang terjadi padamu, Warjan?” tanya Ki Sutar terkejut melihat keadaan orang yang baru datang itu.

Orang yang bernama Warjan juga salah satu pembantunya yang ditugaskan menyelidiki kedatangan orang-orang persilatan ke desa ini. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tidak langsung menjawab. Napasnya masih terengah-engah. Disekanya keringat yang membanjiri leher.

“Celaka, Ki.... Celaka...,” lapor Warjan masih tersengal.

“Katakan yang benar. Ada apa...?” agak menyentak suara Ki Sutar.

“Mereka mulai membuat keributan. Aku berusaha melerai, tapi mereka malah mengeroyokku...,” lapor Warjan masih agak tergagap.

“Ohhh...,” Ki Sutar mendesah panjang. Inilah yang dikhawatirkan sejak semula. Kedatangan orang-orang persilatan memang tidak bisa membuat tenang. Biarpun kecil, pasti terjadi keributan di antara mereka. Ki Sutar khawatir, keributan itu akan menjalar lebih luas lagi. Dia tidak ingin desa yang tenteram dan damai ini jadi ajang pertumpahan darah.

“Di mana keributan itu terjadi?” tanya Ki Sutar.

“Di sebelah Selatan, Ki,” jawab Warjan.

“Ada penduduk yang terlibat?” tanya Ki Sutar lagi. Nada suaranya terdengar penuh kecemasan.

“Tidak, Ki,” sahut Warjan mulai agak tenang suaranya.

Ki Sutar terdiam lagi. Kakinya melangkah ke depan, dan berhenti di ambang pintu. Pandangannya lurus ke jalan ramai yang dipadati orang bersenjata dan berpakaian aneh-aneh, bercampur baur dengan penduduk Desa Lambak. Sementara Warjan dan dua orang pemuda pembantu kepala desa itu hanya diam, sambil duduk bersila di lantai. Mereka memandangi Ki Sutar yang masih berdiri di ambang pintu menghadap keluar.

“Kalian ikut aku,” ujar Ki Sutar tanpa berpaling sedikit pun.

Laki-laki tua yang masih tampak gagah itu melangkah keluar, diikuti Warjan dan dua pemuda pembantunya. Tak berapa lama kemudian, mereka terlihat sudah berkuda meninggalkan rumah berukuran cukup besar dan berhalaman luas. Mereka langsung menyatu dengan orang-orang yang memadati jalan tanah dan berdebu ini.

********************

Sementara itu, di sebelah Selatan Desa Lambak tampak dua orang tengah bertarung senjata, disaksikan sekitar dua puluh orang. Seorang yang mengenakan baju ketat berwarna hitam, tampak memegang sepasang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing. Sedangkan lawannya yang mengenakan baju warna merah, menggunakan senjata berupa tameng berbentuk segi tiga berwarna perak.

Dua puluh orang yang menyaksikan pertarungan tampaknya juga dari kalangan persilatan. Ini terlihat dari senjata-senjata yang disandang. Entah sudah berapa lama pertarungan itu berlangsung. Dan tampaknya, masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus andalan yang ampuh dan dahsyat. Tapi, belum kelihatan tanda-tanda kalau pertarungan bakal berhenti. Mereka sama-sama tangguh dan digdaya. Sehingga orang-orang yang menyaksikan tidak mengerdipkan mata sedikit pun.

“Berhenti...!”

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga membuat mereka yang ada di sekitar pertarungan jadi terkejut. Bahkan dua orang yang tengah bertarung itu pun langsung berlompatan mundur, menghentikan pertarungannya. Mereka semua menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.

Tampak di atas sebongkah batu yang cukup besar dan tinggi bagai sebuah bukit kecil, berdiri seseorang mengenakan baju hitam pekat. Kepalanya tertutup caping berukuran lebar, sehingga seluruh wajahnya tertutup caping itu. Pakaian yang dikenakan begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang bergagang kepala naga, tampak tersampir di punggungnya.

“Tidak ada gunanya kalian bertarung di sini. Kenapa tidak segera ke puncak Gunung Lawu...?” lantang sekali suara orang bercaping lebar itu.

Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya saling melemparkan pandang, kemudian kembali menatap orang berbaju hitam itu. Tanpa ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, tempat itu mulai ditinggalkan satu persatu. Sementara dua orang yang tadi bertarung, masih berada di tempatnya. Mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan belum puas dengan pertarungan yang terhenti barusan.

“Kita akan bertemu lagi di puncak Gunung Lawu, Pendekar Tombak Kembar,” tantang orang baju merah yang memegang sebuah perisai segitiga berwarna keperakan.

“Aku tunggu kau di sana, Perisai Maut,” sambut laki-laki muda yang dipanggil Pendekar Tombak Kembar.

Kembali mereka saling bertatapan, kemudian sama-sama meninggalkan tempat itu dengan arah berlawanan. Sementara orang berbaju hitam ketat yang wajahnya tertutup caping besar masih tetap berdiri di atas batu, meskipun sudah tak ada seorang pun di tempat pertarungan itu tadi.

Pada saat itu, Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya sampai di tempat ini. Sementara orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya tertutup caping lebar masih berdiri tegak di atas batu yang cukup tinggi, bagaikan sebuah bukit. Tak ada orang lain lagi selain mereka. Ki Sutar melompat turun dari atas punggung kuda. Gerakannya indah dan ringan sekali.

“Di mana mereka, Warjan?” tanya Ki Sutar.

“Tadi mereka bertarung di sini, Ki,” jelas Warjan.

“Hm...,” gumam Ki Sutar perlahan. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekitarnya memang berantakan, seperti baru saja terjadi pertarungan sengit. Juga banyak tapak kaki yang membekas di tanah berumput kering ini. Dia tahu, Warjan tidak berdusta. Tapi apa mungkin pertarungan bisa berlangsung begitu cepat, dan berakhir begitu saja...? Ki Sutar yang sedikitnya mengetahui kehidupan orang-orang persilatan, sudah tidak merasa aneh lagi oleh pertarungan yang berlangsung cepat. Hanya saja, di sini tidak ditemukan adanya bercak darah. Apalagi sesosok mayat.

Pandangan Ki Sutar tertuju pada sosok tubuh berbaju hitam dan bercaping lebar. Perlahan Ki Sutar melangkah menghampiri. Tapi belum juga dekat dengan batu besar itu, orang berbaju serba hitam dan bercaping lebar sudah melompat turun dari atas batu. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar lima langkah lagi di depan Ki Sutar.

“Hm.... Siapa kau?” tanya Ki Sutar sambil memandangi orang yang tidak kelihatan wajahnya.

“Aku si Caping Maut,” sahut orang itu memperkenalkan diri.

“Caping Maut..,” gumam Ki Sutar perlahan.

Laki-laki tua itu kembali memandang dalam-dalam orang bercaping lebar. Nama besar si Caping Maut sering didengarnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah punya nama, dan sangat disegani di kalangan rimba persilatan. Tapi, baru kali inilah Ki Sutar bertemu orangnya.

“Maaf, kalau kedatangan mereka membuatmu repot,” ucap si Caping Maut dengan suara lembut dan bernada sopan.

“Mereka memang sudah membuat kehidupan kami terusik,” jelas Ki Sutar berterus terang.

“Tidak lama, Ki. Besok juga mereka sudah meninggalkan desa ini. Mereka hendak berkumpul di puncak Gunung Lawu,” kata si Caping Maut memberi tahu. Masih dengan nada suaranya yang lembut dan sopan.

“Boleh aku tahu, untuk apa mereka ke Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar.

“Mereka semua mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu,” jawab si Caping Maut

“Padepokan Gunung Lawu...?!” Ki Sutar mengerutkan keningnya.

“Apa kau tidak mendapat undangan, Ki?” si Caping Maut malah bertanya, setelah melihat kepala desa itu seperti kebingungan mendengar penjelasannya tadi.

“Jangankan undangan. Aku sendiri tidak tahu kalau di Puncak Gunung Lawu berdiri sebuah padepokan,” agak mendengus suara Ki Sutar.

“Oh..., benarkah...?” kini si Caping Maut yang kelihatannya terkejut

Perlahan laki-laki berbaju hitam itu membuka caping yang menutupi kepalanya. Maka, terlihatlah seraut wajah tampan di balik sebuah caping lebar dan berwarna hitam itu. Wajah dengan senyum menawan dan sinar mata berbinar, bagaikan mata seorang bayi yang baru dilahirkan.

“Seharusnya kau menerima undangan, Ki. Semua kepala desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini telah menerima undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Hm..., tidak heran jika kau terkejut melihat kedatangan mereka yang memenuhi desamu,” kata si Caping Maut lagi.

“Aku memang terkejut. Tidak pernah desa ini kedatangan orang dari kalangan persilatan begini banyak. Paling-paling, satu dua orang saja. Dan itu pun hanya singgah satu dua hari. Mereka kemudian kembali meninggalkan desa ini tanpa menimbulkan masalah apa pun juga,” jelas Ki Sutar, seperti mengeluh.

“Kalau begitu, maafkan atas kelalaian Ketua Padepokan Gunung Lawu,” ucap si Caping Maut seraya menjura memberi hormat

Ki Sutar jadi kikuk juga, tapi cepat membungkukkan tubuhnya sedikit untuk membalas penghormatan tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu.

“Aku akan menegur Ketua Padepokan Gunung Lawu. Kuharap kau menerima undangan sebelum terlambat, Ki,” kata si Caping Maut lagi, seraya mengenakan caping hitamnya kembali.

Belum juga Ki Sutar mengucapkan sesuatu, laki-laki bercaping hitam itu sudah melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya jadi terlongong.

“Ayo, kita kembali,” ajak Ki Sutar, langsung melompat naik ke punggung kudanya.

Empat orang itu kemudian sudah kembali bergerak meninggalkan tempat itu. Suasana pun menjadi sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu di sini.

Pendekar Rajawali Sakti

“Tidak ada seorang pun yang ada di desa ini lagi, Ki,” jelas Warjan

Ki Sutar hanya diam saja, memandang lurus ke depan. Warjan dan dua orang anak muda pembantu kepala desa itu saling berpandangan. Sejak mereka bertemu si Caping Maut, sikap kepala desa ini jadi berubah. Sering melamun, dan selalu berdiam diri menyendiri. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki tua gagah ini.

“Warjan..,” panggil Ki Sutar, perlahan suaranya.

“Ya, Ki,” sahut Warjan seraya mendekat di samping kepala desa itu.

“Aku akan ke puncak Gunung Lawu. Dan selama kepergianku, kaulah yang bertanggung jawab atas seluruh desa ini,” ujar Ki Sutar.

“Ketua Padepokan Gunung Lawu sudah memberi undangan, Ki?” tanya Warjan agak terkejut mendengar keputusan kepala desa Ini.

“Semalam, aku mendapat undangan darinya,” sahut Ki Sutar.

“Semalam...?” Warjan mengerutkan kening.

“Aku tidak tahu, siapa yang memberikannya. Undangan itu sudah ada di kamarku. Ada di meja kecil dekat jendela,” Ki Sutar menjelaskan tentang undangan yang diterimanya dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.

Warjan hanya diam dengan kepala terangguk-angguk. Semalaman dia tidak tidur untuk menjaga sekeliling rumah ini, namun sama sekali tidak melihat ada orang datang membawa undangan untuk majikannya. Apalagi undangan itu sampai berada di kamar peristirahatan Ki Sutar sendiri.

“Aku berangkat sekarang,” kata Ki Sutar seraya melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.

“Kenapa tidak besok saja, Ki?” usul Warjan.

Ki Sutar tidak menjawab, dan terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar ditatapnya Warjan, dan dua orang anak muda pembantunya. Mereka hanya memandangi kepala desa itu dengan segudang pertanyaan di kepala. Mereka tidak mengerti, kenapa Ki Sutar tiba-tiba saja memutuskan hendak pergi ke puncak Gunung Lawu setelah mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Bahkan Ki Sutar berat meninggalkan desa ini, karena seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.

Tanpa bicara apa pun juga, Ki Sutar segera meng-gebah kuda meninggalkan rumahnya yang berukuran cukup besar itu. Sementara Warjan dan dua orang pembantu kepala desa itu hanya bisa memandangi tanpa dapat mencegah lagi. Apalagi memberi usul agar Ki Sutar menunda keperakannya. Sementara, Ki Sutar sudah jauh meninggalkan rumahnya. Kudanya digebah cepat menuju ke Gunung Lawu.

********************

DUA

Padepokan Gunung Lawu memang berdiri di atas puncak Gunung Lawu yang sunyi dan sepi. Sebuah padepokan yang cukup besar, berdiri di antara pepohonan dan tumpukan-tumpukan bebatuan yang membukit. Hanya ada dua bangunan yang berukuran besar di sana, dan tanah lapang luas di depan salah satu bangunan itu. Sebuah panggung berukuran besar tampak berdiri di tengah-tengah lapangan ini. Umbul-umbul dan berbagai macam bentuk hiasan terlihat, membuat suasana di puncak gunung yang sunyi itu jadi semarak bagai hendak diadakan pesta.

Puluhan orang berseragam merah-merah tampak sibuk menghiasi sekeliling padepokan itu, agar terlihat lebih semarak. Di tengah-tengah panggung yang sedang dihias, tampak berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia didampingi dua orang laki-laki muda, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh hma tahun.

“Persiapan sudah benar-benar matang, Ki. Hari ini semuanya selesai. Tinggal menunggu tamu-tamu undangan datang,” lapor salah seorang pemuda yang mengenakan baju warna biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang tergantung di pinggang pemuda itu. Ujung gagang pedangnya berbentuk kepala ular.

Wajahnya cukup tampan, tapi sedikit rusak oleh luka codet yang membelah pipi kanannya. Dia berdiri di samping kanan laki-laki separuh baya yang mengenakan baju warna putih bersih, yang bagian belakangnya panjang hampir menyentuh papan panggung.

“Apa sudah ada tamu yang datang?” tanya laki-laki setengah baya berbaju putih itu.

“Baru satu, Ki,” sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju wama kuning longgar.

Tubuh pemuda itu kurus, seakan-akan tidak seimbang dengan gada besar berduri yang tersandang di pundaknya. Kedua matanya tampak masuk ke dalam, dan memerah seperti kurang tidur. Rambutnya juga kemerahan tak teratur, hampir menutupi wajahnya yang kurus dengan tulang-tulang pipi bersembulan keluar.

“Kalian harus melayani semua undangan dengan baik. Jangan membuat mereka kecewa,” pesan laki-laki separuh baya itu lagi.

“Semua tempat untuk beristirahat juga sudah disediakan, Ki. Tak ada yang membuat kecewa undangan nantinya. Entah kalau di antara mereka nanti ada yang mencari gara-gara,” jelas pemuda yang mengenakan baju biru ketat

“Bagus,” desah laki-laki separuh baya itu.

Perlahan laki-laki setengah baya itu memutar tubuhnya, dan melangkah ringan menuruni panggung. Wanita yang mendampinginya mengikuti di samping kiri, diikuti dua orang pemuda dari belakang. Mereka terus melangkah menuju ke rumah besar di dekat panggung ini, dan baru berhenti setelah berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas.

Mereka semua duduk melingkari meja bundar dari batu pualam putih yang berkilat. Dua orang gadis cantik muncul dari dalam sambil membawa baki berisi dua guci arak dan beberapa cawan dari perak. Dengan sikap penuh rasa hormat, kedua gadis cantik berbaju merah itu meletakkan baki di atas meja. Mereka mengatur rapi, dan mengisi cawan-cawan dengan arak. Kemudian, kedua gadis itu kembali melangkah masuk ke dalam, dan tak keluar-keluar lagi.

“Sudah kau siapkan orang-orang yang akan melakukan pertunjukan nanti?” tanya laki-laki separuh baya yang merupakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu lagi, sambil menatap wanita di sampingnya.

“Sudah,” sahut wanita itu singkat.

“Aku tidak ingin mengecewakan tamu. Dan sebaik-nya, kau persiapkan lebih matang lagi. Tunjukkan pada mereka, kalau Padepokan Gunung Lawu harus diperhitungkan kehadirannya di tengah-tengah dunia persilatan.”

“Jangan khawatir, Kakang. Mereka tidak akan mengecewakanmu. Aku berani memastikan itu,” tegas wanita yang mengenakan baju warna biru muda.

Meskipun usianya sudah berkepala empat, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya juga ramping, dan padat berisi. Sebatang gagang pedang terlihat menyembul dari punggungnya. Di Padepokan Gunung Lawu ini, namanya adalah Winarti. Dia memang adik kandung Aria Kandaka, Ketua Padepokan Gunung Lawu.

“Kakang! Kelihatannya kau gelisah. Adakah sesuatu yang mengganjal di harimu?” tegur Winarti sambil menatap raut wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

Aria Kandaka yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Gunung Lawu hanya menghembuskan napas saja. Wajahnya berpaling, menatap dua pemuda yang duduk di depannya. Sebentar kemudian, dia kembali berpaling memandang Winarti. Sedangkan yang ditatap malah terus memandangi tanpa berkedip.

“Tidak ada yang meresahkan hatiku, Winarti,” elak Aria Kandaka, agak mendesah suaranya.

“Dalam beberapa hari ini, kau kelihatan seperti gelisah. Apakah ada kerabat yang terlupa diundang, Kakang? Biar aku yang menyampaikannya. Masih ada waktu dua hari lagi,” tanya Winarti lagi.

“Tidak. Semua sudah kuundang. Tak ada yang terlewat satu pun juga,” sahut Aria Kandaka, pelan.

“Kalau begitu, apa yang membuatmu gelisah?” Winarti masih mendesak.

“Aku hanya memikirkan akibat semua ini,” sahut Aria Kandaka.

“Bukankah semua akibat yang akan terjadi sudah diperhitungkan?”

“Memang benar. Dan aku tidak ingin terjadi sesuatu yang bisa membuat cacat nama Padepokan Gunung Lawu ini.”

“Kalau itu yang dikhawatirkan, aku rasa tidak ada masalah, Kakang. Aku sudah mempersiapkan segalanya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Percayalah. Semua pasti bisa berjalan lancar,” Winarti meyakinkan kakaknya.

“Terima kasih. Pengorbananmu sudah terlalu banyak untuk padepokan ini,” ucap Aria Kandaka.

“Tidak perlu kau ucapkan itu, Kakang. Semua yang kulakukan demi Padepokan Gunung Lawu. Juga demi kita semua,” Winarti merendah.

Aria Kandaka tersenyum saja. Diambilnya cawan perak yang berisi arak. Sekali tenggak saja, arak manis itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Winarti dan kedua anak muda ikut menenggak arak itu hingga habis. Seorang anak muda yang mengenakan baju biru, menuangkan arak manis ke dalam cawan-cawan yang sudah kosong.

Beberapa kali Winarti melirik Aria Kandaka yang tampaknya masih kelihatan murung, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Winarti tidak tahu, kenapa dalam beberapa hari ini kakaknya jadi murung. Padahal, acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu tinggal dua hari lagi. Suatu acara yang sangat bersejarah bagi padepokan ini, agar bisa diakui di kalangan rimba persilatan.

Memang tidak heran jika Aria Kandaka yang menjadi ketua padepokan ini kelihatan gelisah dan tidak tenang. Peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu merupakan satu tonggak yang teramat penting. Peringatan itu merupakan neraca ukuran bagi kelangsungan padepokan ini. Mati dan hidupnya Padepokan Gunung Lawu, sangat ditentukan oleh hari peringatan itu nanti.

“Aku akan jalan-jalan sebentar,” pamit Aria Kandaka seraya bangkit berdiri.

“Perlu ditemani, Kakang?” tanya Winarti ikut berdiri.

“Tidak,” sahut Aria Kandaka.

Winarti hanya memandangi kakaknya saja yang melangkah perlahan keluar dari ruangan berukuran cukup besar ini. Dia semakin yakin ada sesuatu yang dipikirkan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Tapi, dia tidak bisa lagi mendesak untuk mengetahuinya. Aria Kandaka sendiri enggan mengatakan, apa yang menjadi ganjalan hatinya saat ini.

********************

Para tamu undangan mulai berdatangan ke Padepokan Gunung Lawu yang berada di puncak Gunung Lawu ini. Mereka ditempatkan pada kamar-kamar yang memang sudah disiapkan sebelumnya. Suasana di puncak gunung itu pun semakin kelihatan ramai. Sampai senja hari, tamu-tamu undangan terus saja berdatangan dari segala penjuru.

Ketegangan memang terlihat, karena tidak sedikit di antara para undangan itu yang pernah memiliki persoalan. Atau bahkan masih menyimpan perselisihan. Mereka bukan saja dari kaum pendekar yang beraliran putih, tapi tidak sedikit pula tokoh-tokoh persilatan dari golongan hitam. Namun, tak ada seorang pun yang membuat persoalan terlebih dahulu. Mereka seakan sama-sama menjaga diri, menghormati Ketua Padepokan Gunung Lawu yang mengundang ke sini untuk menghadiri peringatan satu tahun berdirinya padepokan ini.

Sementara itu, Aria Kandaka tampak semakin jauh meninggalkan padepokannya. Dia berjalan sendiri dengan ayunan kaki ringan dan perlahan, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah pancuran air. Udara senja ini begitu sejuk, bahkan bisa dikatakan dingin. Kabut pun mulai merambat turun menyelimuti sekitar puncak Gunung Lawu ini. Menambah udara sekitarnya semakin terasa dingin hingga ke tulang.

“Hm...,” tiba-tiba saja Aria Kandaka menggumam.

Ayunan kakinya terhenti, begitu hampir sampai di pancuran air. Sebentar keningnya dikerutkan, lalu kaki kirinya bergerak cepat menyentak sebatang ranting kering yang berada tepat di ujung jari kakinya. Ranting kering itu mencelat ke atas. Begitu cepatnya tangan kanan Aria Kandaka bergerak mengibas, ranting kering itu melesat cepat ke samping kanannya.

Srak! Pada saat ranting kering itu menembus semak, saat itu juga sebuah bayangan hijau melesat keluar dari balik semak. Beberapa kali bayangan hijau itu berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat sekitar dua tombak di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini.

“He he he.... Ternyata Ketua Padepokan Gunung Lawu itu adalah dirimu, Aria Kandaka. Pantas saja berani mengundang tokoh-tokoh persilatan dari berbagai macam golongan,” terdengar suara serak yang begitu kering, terucap dari sosok tubuh berjubah hijau di depan Aria Kandaka.

“Kakek Naga Hijau...,” desis Aria Kandaka langsung mengenali orang tua berjubah hijau di depannya.

Aria Kandaka membungkukkan tubuh sedikit memberi hormat. Kedua telapak tangannya menyatu rapat di depan dada. Namun kakek berjubah hijau ,yang berada sekitar dua tombak darinya hanya terkekeh saja tanpa membalas penghormatan itu sedikit pun juga.

“Kenapa kau tidak segera saja datang ke padepokan. Kami sudah menyiapkan segalanya untukmu,” ujar Aria Kandaka dengan nada suara sopan.

“He he he.... Aku tidak sebodoh yang kau kira, Aria Kandaka. Aku bukan mereka yang begitu mudah dikelabui, dengan segala akal licikmu,” sambut Kakek Naga Hijau, agak sinis nada suaranya.

Aria Kandaka hanya tersenyum saja mendengar kata-kata bernada sinis itu. Kakinya melangkah beberapa tindak menghampiri, dan berhenti saat jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.

“Aku mengundang mereka atas nama seluruh murid Padepokan Gunung Lawu. Dan undangan ini hanya untuk meminta pengakuan atas berdirinya Padepokan Gunung Lawu,” jelas Aria Kandaka.

“Padepokan.... Hhh! Aku lebih senang mendengarnya kalau dikatakan gerombolan. Bukannya padepokan, Aria Kandaka!” dengus Kakek Naga Hijau sinis.

“Maaf. Apa maksudmu berkata begitu, Kakek Naga Hijau?” tanya Aria Kandaka kurang senang juga selalu disindir.

“Aku tahu, apa maksudmu yang sebenarnya dari undangan ini, Aria Kandaka. Aku hanya ingin memperingatkan kau saja. Sebaiknya hentikan sebelum terlambat, daripada kau menyesal di belakang hari,” tegas Kakek Naga Hijau, tetap sinis nada suaranya.

“Maaf. Aku tidak ada selera untuk berdebat denganmu, Kakek Naga Hijau. Sebaiknya segeralah ke padepokan, bergabung dengan yang lainnya,” pinta Aria Kandaka lagi.

Setelah berkata demikian, tubuhnya berputar ke kanan, dan mengayunkan kakinya meninggalkan kakek berjubah hijau itu. Tapi baru beberapa langkah berjalan, terasa adanya desiran angin dari arah belakang. Tanpa berpaling lagi, Aria Kandaka cepat melenting ke udara. Saat itu, secercah cahaya kehijauan melesat cepat begaikan kilat di bawah tubuh Aria Kandaka.

“Hup!”

Manis sekali Aria Kandaka kembali mendarat Langsung tubuhnya diputar berbalik, menatap tajam pada orang tua berjubah hijau yang masih berdiri tegap di tempatnya. Sedikit pun orang tua berjubah hijau itu tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat mereka hanya berdiam diri saja dengan sinar mata sama-sama tajam, saling bertemu pada satu titik.

“Belum saatnya kita saling mengumbar kesaktian, Kakek Naga Hijau. Jika memang ingin berhadapan denganku, sebaiknya kau tunggu saja saatnya nanti,” tegas Aria Kandaka.

“He he he.... Kau gentar kalau hanya berdua saja, Aria Kandaka...,” ejek Kakek Naga Hijau memanasi.

“Hm.... Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Naga Hijau?” semakin dingin nada suara Aria Kandaka.

Dia benar-benar tidak suka terhadap tingkah orang tua berjubah hijau ini. Dia tahu, Kakek Naga Hijau memiliki kepandaian tinggi. Bahkan sukar sekali dicari tandingannya. Sedangkan tempat ini tidak seberapa jauh dari Padepokan Gunung Lawu. Dan bukan tidak mungkin kalau terjadi pertarungan di sini, semua orang yang ada di padepokan bisa mengetahuinya.

Aria Kandaka tidak ingin terjadi sesuatu. Dia tidak ingin ada pertarungan, sebelum peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu diadakan. Apalagi dia sendiri sebagai ketua padepokan itu yang bertarung sebelum waktunya. Ini bisa menimbulkan masalah besar, yang akan mengakibatkan nama Padepokan Gunung Lawu jadi buruk.

“Silakan datang ke padepokanku. Naga Hijau,” Aria Kandaka menawarkan.

Setelah berkata begitu, cepat Aria Kandaka melesat pergi. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga sebelum Kakek Naga Hijau membuka suara, bayangan Aria Kandaka sudah lenyap dari pandangan.

“Setan!” dengus Kakek Naga Hijau merasa tidak puas.
********************

Sementara itu, suasana di Padepokan Gunung Lawu semakin kelihatan ramai. Puncak gunung yang biasanya sunyi, kini begitu riuh oleh suara-suara orang yang berdatangan dari segala penjuru. Dan dari pakaian serta senjata yang disandang, sudah dapat diketahui kalau mereka dari kalangan persilatan. Kedatangan mereka ke puncak gunung ini karena mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.

“Aku merasa ada sesuatu yang ganjil di sini,” gumam salah seorang undangan yang mengenakan baju ketat warna merah muda. Tangannya menggenggam sebatang tombak panjang bermata tiga.

“Keganjilan apa yang kau lihat, Ki?” tanya seorang anak muda yang berdiri di dekatnya.

“Kau lihat panggung itu...,” kata orang itu lagi seraya menunjuk panggung berukuran besar dan tampak kokoh, berdiri di tengah-tengah halaman luas.

“Tidak ada yang aneh di panggung itu, Ki Gambang,” sahut pemuda berbaju putih yang berdiri di sampingnya.

Laki-laki berusia lanjut yang bernama Ki Gambang itu melirik pemuda di sampingnya. Sejenak keningnya jadi berkerut melihat cambuk hitam berduri melilit pinggang pemuda ini. Pada bagian dada kiri yang terbuka, terlihat sebuah gambar seekor ular naga menyemburkan api. Laki-laki tua berbaju merah muda itu seakan-akan baru menyadari kalau lawan bicaranya tadi adalah si Cambuk Naga.

“Rupanya kau juga mendapat undangan, Cambuk Naga,” agak sinis nada suara Ki Gambang kali ini.

“Kedatanganku sengaja hanya untuk bertemu denganmu, Ki Gambang,” sahut pemuda yang ternyata memang berjuluk Cambuk Naga. Suaranya juga jadi terdengar sinis.

“Rupanya kau belum juga bisa melupakan peristiwa dua tahun lalu.”

“Tidak akan kulupakan. Dan kau harus bertanggung jawab, Ki Gambang. Mungkin di sini tempatnya nyawa adikku dapat tertebus,” semakin dingin nada suara Cambuk Naga.

“Aku tidak yakin kau sudah siap melawanku.”

“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka.”

Ki Gambang tahu, kalau si Cambuk Naga masih tetap hendak menuntut balas atas kematian adiknya yang berjuluk Iblis Naga Hitam. Dua tahun yang lalu, ketika Iblis Naga Hitam merajalela di sebuah desa tidak jauh dari kaki Gunung Lawu ini, Ki Gambang sempat bertarung dengannya. Dan dalam pertarungan itu, Iblis Naga Hitam tewas di tangannya. Sejak kejadian itu, Cambuk Naga bersumpah akan menuntut balas pada Ki Gambang yang telah membunuh adiknya.

Sudah dua kali mereka bentrok, tapi Ki Gambang berhasil mengalahkan pemuda ini. Namun, laki-laki tua itu memang tidak membunuhnya. Dia masih memberi kesempatan pada si Cambuk Naga untuk menyadari, kalau kematian adiknya karena perbuatannya sendiri yang menyusahkan orang banyak. Tapi rupanya Cambuk Naga tidak peduli kalau kesalahan berada di tangan adiknya, sehingga tetap hendak menuntut balas. Baginya, hutang nyawa harus dibayar nyawa.

Sementara di lain tempat, terlihat dua orang gadis cantik tengah duduk di bawah pohon. Mereka memperhatikan orang-orang yang berada di sekitar halaman depan Padepokan Gunung Lawu ini. Masing-masing menyandang sebilah pedang berukuran panjang, tersampir di punggung. Sukar membedakan di antara mereka, karena wajah satu sama lain begitu serupa. Hanya warna pakaiannya saja yang berbeda. Yang seorang mengenakan baju wama merah, dan seorang lagi mengenakan baju wama biru. Kedua gadis ini dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara.

“Sejak tadi aku tidak melihat Aria Kandaka. Kau tahu, di mana dia, Randita?” agak bergumam suara gadis berbaju biru.

“Tidak,” sahut gadis berbaju merah yang dipanggil Randita. “Untuk apa kau mencari Aria Kandaka, Randini?”

“Untuk apa...? Apa kau sudah lupa tujuan kita ke sini, Randita...?” agak mendelik mata Randini mendengar pertanyaan gadis kembarannya.

“Aku tidak lupa. Tapi bukan sekarang saatnya melaksanakan perintah Kanjeng Ibu, Randini. Kau juga harus ingat pesan-pesan Kanjeng Ibu,” Randita mengingatkan,

“Kalau tidak lupa, untuk apa kita duduk-duduk saja di sini...?”

“Masih terlalu terang, Randini. Lagi pula, ada tanda-tanda seperti yang dikatakan Kanjeng Ibu.”

“Hm...,” Randini menggumam kecil.

Gadis itu menatap lurus pada seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan jubah panjang warna putih bersih. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berwarna putih, seperti terbuat dari perak. Dia tengah duduk di kursi bambu, ditemani dua orang pemuda yang juga mengenakan baju jubah wama putih bersih. Kedua pemuda itu juga membawa tongkat putih keperakan.

“Aku tidak yakin kita akan berhasil, Randita,” kata Randini dengan suara masih terdengar pelan.

“Kenapa kau jadi bimbang begitu...?”

“Kau lihat sendiri. Bukan hanya satu dua orang yang akan menjadi saingan kita. Tapi banyak....”

“Apa pun yang terjadi, kita harus tetap melaksanakannya, Randini. Aku tidak ingin mengecewakan Kanjeng Ibu,” tekad Randita.

Kedua gadis itu tidak berbicara lagi, dan sama-sama bangkit berdiri seraya melangkah perlahan. Tanpa disadari, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Terutama, laki-laki tua berjubah putih bersih yang membawa tongkat putih keperakan.

“Kalian harus berhati-hati di sini. Terutama pada kedua gadis itu,” pelan sekali suara orang tua berjubah putih ini.

“Dewi Kembar dari Utara, Eyang...?” ujar salah seorang pemuda yang berada di depannya.

“Aku yakin, kedatangan mereka ke sini ada maksud tertentu,” sahut orang tua yang dikenal bernama Eyang Japalu. Dia adalah seorang tokoh tua yang sudah lama tidak pernah muncul lagi dalam rimba persilatan.

Eyang Japalu datang ke padepokan ini juga karena undangan yang diberikan Aria Kandaka padanya. Kalau bukan Aria Kandaka sendiri yang datang mengundangnya, tidak mungkin sekarang dia berada di puncak gunung ini. Mungkin hanya kedua muridnya itu saja yang diutus datang ke padepokan ini.

“Kami akan terus mengawasinya, Eyang,” ujar pemuda satunya lagi.

“Bukan hanya kedua gadis itu, tapi juga si Elang Perak, Gagak Hitam, dan Cambuk Naga. Mereka yang harus kalian awasi,” tegas Eyang Japalu.

“Tapi kami tidak melihat ada Ki Gambang di sini, Eyang.”

“Dia pasti ada. Kemunculannya memang jarang diketahui, dan selalu tiba-tiba. Itu sebabnya, kenapa kuminta kalian tetap memasang mata dan telinga. Ki Gambang lebih berbahaya dari yang lainnya. Kalian harus ingat itu.”

Kedua pemuda ini mengangguk berbarengan. Sementara itu, satu persatu tamu-tamu undangan meninggalkan halaman depan ini. Memang, hari sudah mulai senja. Dan matahari juga semakin condong ke peraduannya. Tak berapa lama kemudian, halaman depan yang luas itu sudah kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada di sana. Bahkan Eyang Japalu dan kedua pemuda muridnya juga sudah beranjak meninggalkan tempat itu.

********************

TIGA

Saat matahari baru menampakkan diri di puncak Gunung Lawu, semua tamu undangan sudah memadati halaman depan Padepokan Gunung Lawu. Mereka menempati kursi-kursi yang telah disediakan, mengelilingi panggung besar yang berdiri di tengah-tengah halaman. Sementara beberapa kursi yang berada pada barisan depan di belakang panggung, masih terlihat kosong. Kursi itu diperuntukkan bagi ketua Padepokan Gunung Lawu dan keluarga serta para kerabat dekatnya.

Semua murid padepokan itu sudah berjajar rapi di sekitar panggung. Mereka mengenakan pakaian warna merah, dengan bentuk dan potongan sama. Ada sekitar lima puluh orang yang rata-rata masih berusia muda, dan masing-masing menyandang pedang serta tombak.

Gong...!

Tiba-tiba terdengar gong dipukul. Suara yang begitu keras dan menggema, membuat suara-suara menggumam dari orang-orang yang berbicara seketika terhenti. Semua mata tertuju ke pintu depan bangunan besar yang berada tidak jauh dari panggung ini.

Begitu pintu terbuka, muncul Aria Kandaka didampingi adik perempuannya, Winarti. Di belakang mereka menyusul beberapa orang laki-laki. Mereka berjalan menuju ke panggung, disaksikan puluhan pasang mata dari para tamu undangan. Aria Kandaka langsung naik ke atas panggung. Sedangkan yang lain duduk di kursi yang sudah disediakan. Suasana pun menjadi hening, begitu Aria Kandaka sudah berdiri di tengah-tengah panggung. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengedarkan pandangan ber-keliling. Kemudian, tubuhnya membungkuk memberi penghormatan pada semua tamu undangannya.

“Atas nama seluruh penghuni Padepokan Gunung Lawu, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran saudara-saudara yang telah menyempatkan diri datang memenuhi undangan..,” terdengar lantang dan berwibawa suara Aria Kandaka.

Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Semua terdiam mendengarkan kata sambutan yang diberikan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Semua mata tertuju pada Aria Kandaka yang kali ini mengenakan baju putih bersih, yang bagian belakang-nya panjang. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya. Tampak gagah dan berwibawa kelihatannya.

“Maksud kami mengundang saudara-saudara semua adalah untuk memohon pengakuan dan restu atas kehadiran Padepokan Gunung Lawu, yang hari ini genap berusia satu tahun. Dan kami akan memperlihatkan hasil tempaan selama satu tahun ini dari murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Kami berharap, saudara-saudara semua bisa menilai, apakah Padepokan Gunung Lawu pantas berdiri atau tidak,” sambung Aria Kandaka.

Setelah mengucapkan beberapa kata sambutan lagi, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu pun melangkah turun dari panggung diiringi suara riuh tepuk tangan para hadirin yang memadati halaman. Memang bukan hanya undangan saja yang hadir. Tidak sedikit para penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu yang datang ingin menyaksikan peringatan satu tahun berdirinya padepokan ini. Juga, dari padepokan-padepokan lain yang ada di sekitar Gunung Lawu yang mengirimkan utusan-utusannya untuk menyaksikan kemampuan murid-murid Padepokan Gunung Lawu.

Setelah Aria Kandaka duduk di kursi yang telah disediakan untuknya, dua orang berbaju merah melompat naik ke atas panggung. Gerakan mereka begitu indah dan ringan sekali. Mereka membungkuk untuk memberi hormat pada ketua padepokan itu, kemudian membungkuk pada para hadirin. Lalu, mereka sama-sama memberi penghormatan. Tanpa berbicara sedikit pun, mereka langsung memperagakan keahliannya masing-masing dalam ilmu olah kanuragan.

Suara-suara riuh dari tepukan tangan, dan celetukan-celetukan mulut usil mulai terdengar. Acara demi acara pun berlangsung. Murid-murid Padepokan Gunung Lawu yang sudah dipersiapkan tampil mempertunjukkan kemahirannya, bergantian berlompatan naik ke atas panggung. Acara seperti ini memang membosankan. Terlihat dari para undangan yang mulai tidak betah lagi duduk di kursinya. Tiba-tiba, salah seorang undangan bangkit berdiri dari kursinya.

“Aria Kandaka...! Apa kau tidak bisa menampilkan pertunjukan menarik...?” lantang sekali suara orang yang mengenakan baju merah menyala itu.

Dia adalah seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya tinggi tegap, dan menyandang golok berukuran besar yang bagian atasnya bergerigi. Perhatian semua orang, langsung tertuju padanya. Bahkan empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang sedang berlaga, jadi menghentikan pertunjukannya. Mereka tahu, siapa orang yang mengeluarkan suara lantang menggelegar itu. Di kalangan persilatan, julukannya adalah Golok Iblis Peminum Darah.

“Hup!” Tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat naik ke atas panggung. Gerakannya begitu ringan dan indah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di tengah-tengah panggung.

“Dengar kalian semua! Aku akan mempertunjukkan sesuatu yang menarik!” ujar si Golok Iblis Peminum Darah, dengan suara keras dan lantang menggelegar.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat cepat. Langsung dilontarkannya beberapa pukulan keras menggeledek ke arah empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang berada di atas panggung. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadari. Tahu-tahu, empat orang murid itu sudah berpelantingan jatuh keluar panggung.

Suara-suara riuh dan gumaman terdengar seketika, begitu empat orang murid Padepokan Gunung Lawu itu terkapar di tanah. Beberapa orang murid lainnya bergegas menghampiri memberi pertolongan. Mereka mengangkut keempat pemuda itu, menjauhi panggung. Melihat acara yang semula berjalan lancar mulai dirusak, Winarti cepat bangkit berdiri. Tapi, Aria Kandaka lebih cepat lagi mencekal tangan adiknya ini. Terpaksa Winarti duduk kembali di kursinya sambil mendengus.

“Aria Kandaka...! Tampilkan orang terbaikmu ke sini. Kalau ada di antara murid-muridmu yang bisa menandingiku dalam lima jurus, keberadaan padepokanmu akan kuakui!” ujar si Golok Iblis Peminum Darah lantang menggelegar.

“Biar aku yang membungkam mulutnya, Ki Kandaka,” kata seorang anak muda yang duduk di sebelah kiri Aria Kandaka.

Aria Kandaka memandang anak muda itu sejenak, kemudian menatap ke arah panggung tempat si Golok Iblis Peminum Darah berdiri tegak di sana. “Baik. Hati-hatilah kau, Raseta,” kata Aria Kandaka mengizinkan.

“Terima kasih, Ki.”

Pemuda yang dipanggil Raseta itu cepat melesat naik ke panggung. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas panggung, hanya beberapa langkah saja di depan si Golok Iblis Peminum Darah. Pada saat itu, seorang laki-laki tua berjubah kuning panjang dan berkepala gundul naik juga ke atas panggung.

“Sebentar...,” katanya lembut

Raseta segera menjura memberi hormat pada orang tua berjubah kuning gading itu. Sedangkan si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja. Matanya melirik sedikit pada orang tua berjubah kuning gading itu.

“Aku ingin, acara ini tidak dikotori oleh darah dan nafsu pribadi. Memang sebaiknya Padepokan Gunung Lawu ini bisa menunjukkan kemampuannya melawan para undangan yang ada. Tapi, hendaknya memberi batasan, agar jangan sampai menimbulkan korban. Terlebih lagi, sampai ada darah menetes,” ujar orang tua berjubah kuning gading itu berwibawa.

“Kami akan menuruti anjuran Paman Pendeta,” ujar Raseta seraya menjura memberi hormat

“Bagus. Dalam hal ini, aku akan menjadi penengah. Dan siapa saja yang jatuh keluar panggung, itu yang kalah. Bagaimana...?”

“Setuju, Paman Pendeta,” sahut Raseta cepat.

“Silakan kalian mulai.”

Laki-laki tua berkepala gundul yang mengenakan baju jubah kuning panjang itu melangkah turun dari panggung. Sementara si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja, seakan tidak senang oleh peraturan yang diberikan pendeta tua itu.

“Maaf. Sebagai tuan rumah, aku mempersilakan Paman menyerang lebih dulu,” kata Raseta sopan.

“Phuih!” Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, si Golok Iblis Peminum Darah menggeser kaki sedikit ke kanan. Kemudian goloknya yang berukuran besar dan bergerigi di depan dada disilangkan. Sementara Raseta hanya memperhatikan saja, dan masih berdiri tegak tak bergeming sedikit pun juga.

“Hiyaaat..!” Bagaikan kilat, si Golok Iblis Peminum Darah melompat menerjang pemuda itu. Goloknya yang berukuran besar berkelebat cepat, membabat ke arah dada Raseta.

Namun manis sekali Raseta menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Dan sebelum si Golok Iblis Peminum Darah bisa menarik kembali senjatanya, tiba-tiba saja Raseta sudah memberi satu serangan balasan yang cepat. Dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, membuat si Golok Iblis Peminum Darah jadi terkejut setengah mati.

“Hiyaaat..!”

Cepat-cepat si Golok Iblis Peminum Darah melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Saat itu, Raseta juga sudah melompat mengejar. Kembali diberikannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada si Golok Iblis Peminum Darah. Tapi Raseta cepat-cepat menarik pukulannya, begitu si Golok Iblis Peminum Darah mengebutkan senjata untuk menangkis pukulan yang diberikan Raseta.

Bahkan kini si Golok Iblis Peminum Darah sudah cepat menyerang dahsyat Goloknya yang berukuran besar, berkelebat mengincar tubuh anak muda itu. Akibatnya, Raseta harus berjumpalitan menghindarinya. Semua orang yang menyaksikan perarungan itu jadi menahan napas. Bahkan beberapa tamu undangan mulai kasak-kusuk, berbisik-bisik sambil tidak lepas memperhatikan jalannya pertarungan yang semakin sengit

Tanpa terasa, lima jurus sudah berlalu. Beberapa celetukan usil mulai terdengar mengejek si Golok Iblis Peminum Darah yang tadi sesumbar akan menjatuhkan Raseta kurang dari lima jurus. Dan sekarang, sudah lebih dari lima jurus. Tapi, Raseta malah tetap tegar.

“Cukup...!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, disusul melesatnya bayangan kuning naik ke atas panggung. Pendeta tua yang tadi memberi peraturan, tahu-tahu sudah berdiri di atas panggung. Maka pertarungan itu pun seketika berhenti. Mereka sama-sama memandang pendeta tua itu. Raseta segera melompat mundur, lalu menjura memberi hormat

“Kau sudah kalah, Golok Iblis. Sebaiknya, segeralah turun dari panggung,” ujar pendeta tua itu dengan suara lembut tanpa ada maksud menyinggung.

“Heh,..?! Apa katamu, Pendeta Tua...?” bentak si Golok Iblis Peminum Darah tidak menerima.

“Kau tadi mengatakan, hanya sampai lima jurus saja. Kau harus menepati janji dengan ucapanmu sendiri, Golok Iblis. Kau harus mengakui keberadaan Padepokan Gunung Lawu ini,” pendeta tua itu mengingatkan.

“Setan...!” dengus si Golok Iblis Peminum Darah sengit

Golok Iblis Peminum Darah mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia merasa seakan-akan semua mata memandang padanya dengan begitu sinis dan melecehkan. Karena, dia tidak mampu merobohkan seorang anak muda dalam lima jurus.

“Silakan kau kembali ke tempatmu, Golok Iblis,” ujar pendeta tua itu masih dengan suara lembut dan sopan.

“Huh!” Golok Iblis Peminum Darah jadi mendengus kesal.

Bukan hanya kesal. Bahkan juga malu yang tak bisa dikatakan lagi. Memang ucapannya tadi terasa begitu angkuh dan meremehkan. Dan itu didengar orang banyak. Mau tak mau, harus diakuinya keberadaan Padepokan Gunung Lawu meskipun harus menanggung malu yang amat sangat. Tanpa banyak bicara lagi, si Golok Iblis Peminum Darah langsung melesat pergi. Dia tidak kembali lagi ke kursinya, tapi terus pergi meninggalkan puncak Gunung Lawu.

********************

Semua orang memang bisa punya rencana, tapi tidak ada yang bakal menduga kalau rencana yang sudah dipersiapkan matang bisa berubah tiba-tiba begitu saja. Seperti halnya acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu itu. Acara yang sudah tersusun rapi, jadi rusak oleh ulah si Golok Ibhs Peminum Darah. Meskipun, dia dapat dikalahkan murid utama Padepokan Gunung Lawu.

Tapi kerusuhan itu tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa orang tamu undangan jadi tertarik mengikuti jejak si Golok Ibhs Peminum Darah. Secara bergantian, satu persatu mereka naik ke atas panggung untuk menantang murid-murid padepokan itu. Dan ini terpaksa dilayani Aria Kandaka yang tidak mau mengecewakan tamu-tamu undangannya.

Memang beraneka ragam tingkah mereka. Ada yang secara jantan mengakui, tapi ada juga yang penasaran dan tidak mengakui ketangguhan murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Dan semuanya diterima Aria Kandaka dengan senyum tersungging di bibir. Namun demikian, hatinya begitu bangga terhadap murid-muridnya yang bisa menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi tokoh persilatan yang sudah punya nama. Meskipun, sebagian besar dari murid-muridnya dapat dikalahkan tidak lebih dari lima jurus. Bahkan tidak sedikit yang sudah ambruk hanya dalam beberapa gebrakan saja.

Hingga senja datang, acara adu laga itu baru berhenti. Dan Aria Kandaka terpaksa mengabulkan permintaan tamu undangannya untuk melanjutkannya esok hari. Saat matahari sudah begitu condong ke arah Barat, halaman yang semula ramai kini menjadi sunyi senyap. Hanya ada beberapa orang dari murid padepokan itu yang masih berada di sana, membereskan panggung yang hampir ambruk akibat dipakai berlaga sepanjang siang ini.

“Huh! Ada saja orang yang sirik, merusak acara!” dengus Winarti sambil menghempaskan tubuhnya di kursi panjang.

“Hal seperti ini memang sudah pasti terjadi, Winarti. Tidak mudah mendirikan sebuah padepokan. Itu baru tantangan pertama. Aku yakin, masih ada tantangan berikutnya yang lebih berat dan tidak bisa diduga,” jelas Aria Kandaka diiringi senyuman lembut

“Seharusnya Kakang membiarkan aku menghajar si Golok Iblis Peminum Darah itu!” nada suara Winarti masih terdengar kesal oleh tingkah si Golok Iblis Peminum Darah.

“Kalau kau turun tadi, akan lebih buruk jadinya. Untung saja Pendeta Winaya cepat turun tangan. Sehingga, tidak terjadi pertumpahan darah.”

“Cepat atau lambat, pasti pertumpahan darah akan terjadi, Kakang.”

“Mudah-mudahan saja tidak sampai terjadi.” Aria Kandaka melangkah keluar dari kamar ini. Dia terus berjalan menuju ke belakang. Sementara Winarti masih tetap berada di dalam kamar itu. Aria Kandaka terus mengayunkan kakinya sampai ke halaman belakang padepokan.

Beberapa orang muridnya yang ada di halaman belakang ini, membungkukkan kepala sedikit untuk membalas penghormatan itu. Sementara dari arah depan, terlihat Raseta melangkah cepat menghampiri. Pemuda itu membungkuk memberi penghormatan, yang kemudian dibalas Aria Kandaka dengan anggukan kepala sedikit

“Ada apa, Raseta?” tanya Aria Kandaka.

“Ada sesuatu terjadi, Ki,” sahut Raseta, agak terputus suaranya.

“Apa yang terjadi?” tanya Aria Kandaka, masih terdengar tenang suaranya.

“Gudang penyimpanan senjata pusaka dibongkar orang,” pelan sekali suara Raseta, seakan-akan takut didengar orang lain.

“Apa...?!”

Aria Kandaka terkejut bukan main mendengar laporan murid utamanya ini. Bergegas kakinya melangkah menuju ke tempat penyimpanan senjata pusaka. Raseta mengikuti dari belakang tanpa berbicara lagi. Tempat penyimpanan senjata pusaka milik Padepokan Gunung Lawu ini memang bukan berbentuk bangunan, tapi sebuah gua yang cukup besar. Mulut gua itu diberi pintu yang terbuat dari kayu jati tebal.

Aria Kandaka jadi terbeliak melihat pintu gua penyimpanan senjata pusaka sudah hancur berkeping-keping. Bergegas dia melangkah hendak masuk. Tapi, mendadak saja ayunan kakinya terhenti begitu melihat dua sosok mayat tergeletak di dekat mulut gua bagian dalam. Kedua mayat berbaju merah itu adalah muridnya yang ditugaskan menjaga gua penyimpanan senjata pusaka ini.

“Aku menemukan mereka sudah meninggal, Ki,” jelas Raseta.

“Kau sudah periksa ke dalam?” tanya Aria Kandaka.

“Belum,” sahut Raseta. “Aku langsung melaporkan hal ini”

“Sudah ada orang lain yang tahu?”

“Belum, Ki.”

Aria Kandaka bergegas masuk ke dalam diikuti Raseta. Gua ini memang tidak memiliki lorong. Dan hanya merupakan sebuah ruangan berdinding dan beratap batu. Seperti sebuah gua buatan, yang sengaja dibangun untuk tempat perlindungan. Aria Kandaka memandangi setiap sudut ruangan gua yang sudah begitu berantakan. Berbagai macam bentuk senjata berserakan. Kepingan-kepingan lemari penyimpan senjata juga berhamburan di lantai gua yang dingin dan lembab ini.

“Celaka...!” desis Aria Kandaka begitu matanya tertumbuk pada sebuah lubang di sudut dinding gua ini.

Bergegas dihampirinya lubang yang menganga cukup lebar itu. Kedua bola matanya semakin terbeliak, karena peti kayu di dalam lubang itu sudah terbuka penutupnya. Dan memang hanya ada sehelai kain merah saja di dalam peti itu. Saat itu juga, Aria Kandaka merasa tubuhnya jadi lemas. Dia kemudian bersandar di dinding gua dengan pandangan mata lesu dan kosong, seperti tidak memiliki gairah hidup lagi. Tapi, raut wajahnya tampak memerah dan menegang kaku.

“Siapa yang melakukan ini...?” desah Aria Kandaka bertanya pada diri sendiri.

“Ada yang hilang, Ki...?” tanya Raseta.

“Kau panggil Winarti dan Pendeta Winaya ke sini,” perintah Aria Kandaka tanpa menjawab pertanyaan murid utamanya.

“Baik, Ki,” sahut Raseta. Tanpa diperintah dua kali, Raseta bergegas melangkah meninggalkan gua itu.

“Jangan katakan apa-apa, Raseta,” pesan Aria Kandaka sebelum Raseta keluar.

“Baik, Ki.”

********************

Aria Kandaka hanya melirik sedikit saja ketika Winarti dan Pendeta Winaya memasuki gua penyimpanan senjata ini. Mereka terkejut melihat keadaan gua yang berantakan. Senjata berbagai jenis dan bentuk berserakan di lantai. Tak ada satu lemari penyimpanan pun yang masih utuh berdiri. Semuanya sudah hancur berkeping-keping. Mereka bergegas menghampiri Aria Kandaka yang terduduk lemas bersandar di dinding batu gua yang berlumut ini.

“Kakang...?!” agak mendesis suara Winarti begitu melihat lubang di dinding yang bolong.

Mata wanita itu langsung terbeliak begitu melihat kotak kayu di dalam lubang itu terbuka tutupnya. Sementara, Aria Kandaka sudah berdiri. Dipandangnya Winarti dan Pendeta Winaya yang tengah merayapi sekitar gua ini. Pendeta tua itu mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih.

“Siapa yang melakukan ini, Aria Kandaka?” tanya Pendeta Winaya seraya menatap dalam pada Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Aku tidak tahu, Paman. Aku sendiri mendapat laporan dari Raseta,” sahut Aria Kandaka.

“Apa yang hilang?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Bunga Wijayakusuma Merah,” sahut Aria Kandaka tetap bersuara pelan.

“Hm...,” Pendeta Winaya menggumam perlahan. Dia tahu, Bunga Wijayakusuma Merah hanya ada satu-satunya di dunia ini, dan sangat berarti sekali bagi Aria Kandaka. Bunga itu memang didapatkannya dengan susah payah. Apalagi, keberadaannya hanya satu kali dalam seratus tahun. Bunga itu bukan hanya bisa digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit, tapi juga bisa untuk menyempurnakan ilmu tenaga dalam dan ilmu-ilmu kesaktian. Bahkan bunga itu bisa membuat tenaga dan kesaktian seseorang berlipat ganda.

Orang yang membawa bunga itu dalam pertarungan, tubuhnya tak akan mempan oleh senjata apa pun juga. Kekebalannya tak bisa ditembus, oleh senjata yang sakti sekalipun. Tidak heran jika Aria Kandaka jadi lemas begini. Dengan hilangnya bunga itu, berarti hilang pula kekuatan abadi yang dimiliki dan dibanggakannya.

“Di antara tamu-tamu undanganmu, apa ada yang mengetahui tentang bunga itu?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Ya,” sahut Aria Kandaka.

“Siapa saja?”

“Ki Gambang, Cambuk Naga, Dewi Kembar dari Utara, Elang Perak, Eyang Japalu dan.... Masih banyak lagi yang tahu, Paman,” sahut Aria Kandaka.

“Apa mereka semua ada di deretan bangku undangan?”

“Tidak kuperhatikan, Paman.”

“Hm...,” Pendeta Winaya kembali menggumam perlahan.

Sementara Winarti hanya diam saja. Dikumpulkannya senjata-senjata pusaka yang berserakan di lantai gua ini dibantu Raseta. Tak ada orang lain lagi di dalam gua ini, selain mereka berempat. Untuk beberapa saat, tak ada seorang pun yang berbicara. Sedangkan Aria Kandaka masih kelihatan lesu, seperti tidak mempunyai gairah hidup lagi.

“Apa ada di antara mereka yang mengambil kesempatan mencuri bunga itu, Paman?” tanya Aria Kandaka.

“Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Aria Kandaka. Tapi kita tidak bisa menuduh salah seorang dari mereka. Hal ini harus diselidiki lebih dahulu.”

“Tapi, acara akan berakhir sampai besok sore, Paman. Apa kita punya kesempatan untuk mengetahui, siapa pencuri itu...?”

“Aku tidak tahu. Tapi, sebaiknya hal ini jangan sampai tersebar dulu. Akan kupikirkan, bagaimana caranya menjebak pencuri itu sebelum acara peringatan satu tahun padepokanmu berakhir.”

“Kalau mereka sudah bubar, habislah aku...,” desah Aria Kandaka lesu.

“Jangan putus asa dulu, Aria Kandaka. Masih ada waktu untuk mencari si pencuri itu,” Pendeta Winaya membesarkan hati Ketua Padepokan Gunung Lawu ini

“Ya, masih ada waktu. Waktu yang sedikit..,” desah Aria Kandaka.

********************

EMPAT

Sampai jauh malam, Aria Mandaka belum juga bisa mengetahui orang yang telah membongkar gua tempat penyimpanan pusakanya. Semakin larut malam, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu semakin gelisah. Sama sekali matanya tidak bisa dipicingkan barang sekejap pun. Hatinya begitu gelisah, berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Sesekali, dia berdiri di depan jendela sambil memandang jauh ke dalam kegelapan.

Entah untuk yang keberapa kali, Aria Kandaka berdiri di depan jendela kamar ini. Pada saat itu, matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat menuju ke gua tempat penyimpanan senjata. Dari jendela kamar ini ke gua tempat penyimpanan senjata bisa langsung terlihat

“Heh...?! Siapa itu...?”

Tanpa berpikir panjang lagi, Aria Kandaka langsung melompat keluar dari jendela yang terbuka lebar. Gerakannya ringan sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga. Begitu kakinya menjejak tanah, langsung dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekilas bayangan hitam itu masih terlihat menyelinap ke bagian belakang bangunan tempat beristirahat murid-murid Padepokan Gunung Lawu ini.

“Hup...!” Aria Kandaka cepat melompat ke atas atap bangunan memanjang itu. Bagaikan seekor kucing, dia berlari ringan di atas atap yang terbuat dari rumbia itu. Kemudian, kembali melesat turun dengan gerakan ringan sekali. Tepat pada saat itu, bayangan hitam terlihat berkelebat mendekati mulut gua penyimpanan senjata.

“Berhenti...!” bentak Aria Kandaka lantang menggelegar.

Bentakan Aria Kandaka yang begitu keras, membuat sosok tubuh hitam itu terkejut setengah mati. Larinya dihentikan, dan cepat tubuhnya berbalik. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya ber-kelebat cepat. Seketika itu juga terlihat dua buah sinar keperakan melesat cepat ke arah Aria Kandaka.

“Hup! Yeaaah...!”

Aria Kandaka cepat-cepat melentingkan tubuhnya, menghindari kilatan cahaya keperakan itu. Dua kali dia berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat sekitar tiga langkah di depan sosok tubuh hitam itu. Secepat kilat, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi

“Hiyaaa...!”

Hanya sedikit saja sosok tubuh hitam itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Aria Kandaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekail, orang berbaju serba hitam itu membalas. Tangan kirinya menyodok ke arah lambung Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Hait..!”

Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, kemudian menggeser kakinya ke kanan. Kembari dilepaskannya satu tendangan keras ke arah kepala yang terselubung kain hitam. Tapi kali ini juga serangan Aria Kandaka manis sekali berhasil dielakkan.

Orang berbaju serba hitam itu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya sekitar dua batang tombak dari Aria Kandaka. Kembali tangannya mengibas cepat ke depan, melepaskan senjata keperakan berbentuk bulatan sebesar mata kucing.

“Hiyaaa...!”

“Hup!”

Aria Kandaka terpaksa berjumpalitan menghindari benda-benda bulat kecil bersinar keperakan itu. Dan begitu kembali menjejakkan kakinya di tanah, orang berbaju serba hitam itu sudah tidak ada lagi. Aria Kandaka langsung mementang matanya tajam-tajam, mencoba menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi orang berbaju serba hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Dia pergi di saat Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sedang sibuk menghindari senjata-senjata rahasianya.

Aria Kandaka membungkukkan tubuhnya sedikit, memungut senjata bulat sebesar mata kucing yang berwarna perak dari tanah. Diamatinya benda bulat keperakan itu beberapa saat. Keningnya jadi berkerut, dan matanya agak menyipit.

“Hm..., siapa dia...? Mau apa ke gua penyimpanan pusaka...?” Aria Kandaka bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Perlahan kakinya terayun menuju ke mulut gua yang sudah tidak berpintu lagi. Sebentar dia berhenti di ambang mulut gua itu. Tangannya kemudian meraih sebatang obor, lalu dinyalakan dengan pemantik api. Cahaya api obor segera menerangi sekitarnya. Kembali kakinya terayun memasuki gua batu itu. Keadaan di dalam gua ini tidak berubah, meskipun sudah kelihatan agak rapi. Kepingan-kepingan kayu bekas lemari penyimpanan pusaka masih terlihat berserakan di lantai.

Aria Kandaka kembali melangkah keluar gua batu ini. Obor itu dimatikan dan ditaruhnya kembali pada tempatnya. Saat itu terlihat seseorang berjalan cepat menghampiri. Aria Kandaka menunggu sambil memperhatikan. Ternyata dia seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dengan kepala gundul dan janggut putih panjang hampir menutupi leher.

“Paman Pendeta...” Aria Kandaka menjura memberi hormat begitu mengenali orang tua berjubah kuning yang datang menghampiri.

“Aku lihat tadi kau bertarung di sini. Siapa orang itu, Kandaka...?” tanya Pendeta Winaya ingin tahu.

“Entahlah. Wajahnya ditutupi kain hitam,” sahut Aria Kandaka.

“Kau kenali jurus-jurusnya?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Tidak,” sahut Aria Kandaka lagi. “Tapi dia menggunakan senjata ini.”

Aria Kandaka menunjukkan benda bulat kecil keperakan pada orang tua berjubah kuning itu. Pendeta Winaya mengambil benda di telapak tangan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kemudian, diamatinya dengan seksama. Aria Kandaka mengambil benda itu lagi setelah disodorkan Pendeta Winaya. Disimpannya benda bulat keperakan itu di dalam saku ikat pinggangnya.

“Kau kenali benda itu, Kandaka?” tanya Pendeta Winaya lagi.

“Tidak,” sahut Aria Kandaka.

Dia memang tidak tahu benda kecil bulat keperakan itu, dan baru kali ini melihatnya. Dari tadi, Aria Kandaka memang sedang berusaha mengenali senjata rahasia itu. Tapi, sama sekali dia tidak ingat. “Apa Paman mengenalnya...?” Aria Kandaka balik bertanya.

“Tidak ada orang lain yang menggunakan senjata seperti itu...,” kata Pendeta Winaya, agak bergumam suaranya, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

“Siapa orangnya, Paman?” desak Aria Kandaka ingin tahu.

“Hanya Elang Perak yang menggunakan senjata dari perak. Tapi....”

“Tapi kenapa, Paman?”

“Apa mungkin Elang Perak muncul seperti itu, dan secara rahasia...?” nada suara Pendeta Winaya seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku akan melihat ke kamarnya, Paman,” kata Aria Kandaka.

“Untuk apa? Kalaupun dia orangnya, pasti sekarang ini ada di dalam kamarnya. Cukup banyak waktu untuknya kembali ke kamar dan mengganti pakaian. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana, Kandaka,” sergah Pendeta Winaya lagi.

Aria Kandaka jadi termenung. Memang, kata-kata yang diucapkan Pendeta Winaya tidak bisa dibantah lagi. Perlahan Aria Kandaka mengayunkan kakinya meninggalkan depan gua penyimpanan senjata itu. Sementara Pendeta Winaya hanya memperhatikan saja. Laki-laki gundul itu masih tetap berdiri di depan mulut gua, dengan mata tidak berkedip memandangi punggung Aria Kandaka yang semakin jauh.

********************

Aria Kandaka memandangi benda bulat kecil, sebesar mata kucing berwarna keperakan di atas meja. Otaknya terus berputar memikirkan orang yang tadi dipergoki hendak masuk ke gua penyimpanan senjata. Tidak mudah menemukan orang aneh terselubung teka-teki itu. Terlalu banyak tamu yang diundangnya. Dan kebanyakan dari mereka, mahir menggunakan senjata rahasia.

Bisa saja mereka menggunakan senjata rahasia yang tidak bisa dikenali, dan bukan miliknya sendiri. Ini yang membuat Aria Kandaka tidak bisa menentu-kan, siapa orang itu di antara para tamu undangan-nya. Tapi ada satu keganjilan mengganjal di hatinya. Belum lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sempat meneruskan dugaannya, tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu.

“Masuk...!” seru Aria Kandaka agak keras.

Pintu kamar ini terbuka perlahan. Muncul seraut wajah wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik. Wanita itu melangkah masuk dan menutup pintunya kembali. Aria Kandaka berdiri saja membelakangi meja yang menempel pada dinding. Diberikannya senyuman sedikit pada Winarti yang kini sudah duduk di kursi dekat jendela.

“Kau belum tidur, Winarti?” tegur Aria Kandaka lebih dahulu.

“Aku tidak bisa tidur,” sahut Winarti.

“Kenapa...?”

“Pikiranku tidak menentu, Kakang,” sahut Winarti.

Wanita itu bangkit dari duduknya, lalu meng-hampiri kakaknya. Matanya langsung tertumbuk pada benda bulat kecil keperakan di atas meja. Tangannya terulur mengambil benda itu, lalu mengamatinya beberapa saat. Lalu, benda itu diletakkannya kembali di atas meja. Aria Kandaka hanya memperhatikan saja, tanpa mengucapkan sesuatu.

“Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?” tanya Winarti tanpa berpaling sedikit pun.

Aria Kandaka menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Winarti kelihatan terkejut mendengar ada orang yang berusaha masuk ke gua penyimpanan senjata. Dipandanginya wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu dalam-dalam, seakan-akan hendak mencari kebenaran dari cerita yang didengarnya barusan.

Cukup lama juga mereka terdiam, meskipun Aria Kandaka telah menyelesaikan ceritanya. Mereka sama-sama menghembuskan napas panjang, lalu melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Mereka berdiri berdampingan di depan jendela, menghadap keluar. Tak seorang pun membuka suara lebih dahulu. Entah apa yang ada di dalam kepala masing-masing saat ini. Hilangnya Bunga Wijaya-kusuma Merah dari gua tempat penyimpanan senjata, telah membuat mereka diliputi kegelisahan.

“Kau tidak merasakan ada sesuatu yang aneh dari peristiwa ini, Kakang...?” tanya Winarti dengan suara perlahan, hampir tidak terdengar. Seakan-akan dia bicara untuk diri sendiri.

“Maksudmu...?” Aria Kandaka balik bertanya.

Dia berpaling sedikit menatap wajah Winarti yang berdiri di sampingnya. Winarti tidak langsung menjawab. Tubuhnya diputar, dan berjalan mendekati meja kembali. Aria Kandaka memandangi saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sedangkan Winarti kembali mengamati benda bulat kecil keperakan di atas meja itu, kemudian duduk di kursi yang ada di samping meja.

“Bunga Wijayakusuma Merah telah hilang. Tapi, masih ada orang yang akan masuk ke sana. Apa kau tidak merasa ada sesuatu kejanggalan, Kakang...?” masih terdengar pelan suara Winarti.

“Hm...,” Aria Kandaka hanya menggumam saja perlahan. Sebelum Winarti masuk tadi, dia juga sebenarnya sudah berpikir ke sana. Memang terlihat adanya satu kejanggalan dari peristiwa ini. Sesuatu yang belum sempat diketahuinya tadi. Dan sekarang, Winarti sudah menemukan adanya kejanggalan itu. Memang, mereka sudah tahu kalau Bunga Wijayakusuma Merah telah hilang dari tempatnya siang tadi. Tapi, kenapa masih ada orang yang ingin ke sana...? Untuk apa orang aneh itu ke gua penyimpanan senjata? Pertanyaan inilah yang terus memenuhi kepala Aria Kandaka. Pertanyaan yang sulit dijawab saat ini.

“Aku merasa, mereka datang ke sini punya tujuan tertentu, selain memenuhi undanganmu, Kakang,” duga Winarti lagi.

“Hanya beberapa saja dari mereka yang mengetahui bunga itu, Winarti,” sergah Aria Kandaka, membantah jalan pikiran adiknya ini.

“Memang tidak semua. Dan mereka yang tahu, harus kita perhatikan, Kakang. Aku yakin, salah satu di antara mereka sekarang memiliki Bunga Wijaya Kusuma Merah. Atau mungkin ada orang lain yang telah mengetahui, tapi kita sendiri tidak tahu orangnya, Kakang,” kembali Winarti menduga-duga.

“Sekarang ini memang kita hanya bisa menduga-duga. Aku...,” tiba-tiba Aria Kandaka menghentikan ucapannya. Dan... “Awas...!”

Saat itu terlihat secercah cahaya merah melesat masuk dari luar jendela. Winarti cepat melompat ke samping, dan menjatuhkan diri ke lantai. Wanita itu bergulingan beberapa kali sebelum cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat itu, cahaya merah yang menerobos masuk telah menghantam tiang penyangga kamar ini. Suara ledakan keras, terdengar dahsyat disusul hancurnya tiang itu.

“Hup!”

“Yeaaah...!”

Aria Kandaka dan Winarti cepat melompat keluar melalui jendela, sebelum atap kamar ini runtuh. Suara menggemuruh terdengar begitu atap kamar itu ambruk, karena tiang penyangganya telah hancur terhantam sinar merah yang datang begitu tiba-tiba dari luar tadi.

Beberapa kali Aria Kandaka dan Winarti berputaran di udara, lalu manis sekali sama-sama menjejakkan kaki di tanah. Mereka saling berpandangan sejenak, laki memperhatikan kamar yang telah runtuh atapnya. Di dalam selimut kabut dan kegelapan malam, terlihat debu mengepul di dalam kamar itu. Balok-balok kayu dan kepingan papan hampir memenuhi kamar itu. Untung saja hanya atap kamar itu saja yang runtuh, dan tidak merembet ke bagian-bagian lain bangunan berukuran cukup besar Ini.

“Edan...! Siapa lagi yang ingin main gila...?!” dengus Aria Kandaka jadi geram setengah mati.

“Awas, Kakang...!” seru Winarti tiba-tiba.

“Hup!” Aria Kandaka cepat membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali ketika secercah cahaya merah tiba-tiba melesat cepat menuju ke arahnya. Pada saat yang bersamaan, Winarti melihat adanya satu bayangan berkelebat cepat di atas atap. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Winarti langsung melesat mengejar bayangan yang dilihatnya tadi.

“Hiyaaa...!”

“Hup! Yeaaah...!”

Aria Kandaka juga cepat melompat ke atas atap begitu melihat Winarti melesat cepat ke atap bangunan utama Padepokan Gunung Lawu ini. Begitu cepat dan ringannya gerakan mereka, sehingga sekejap saja sudah berada di atas atap, dan langsung melunak turun ke bagian belakang.

********************

Winarti terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mengejar bayangan hitam yang berkelebat masuk ke dalam hutan di bagian belakang Padepokan Gunung Lawu. Sekilas bayangan hitam itu masih sempat terlihat, sebelum lenyap di balik pepohonan yang begitu rapat dan menghitam pekat

“Huh! Ke mana dia...?” dengus Winarti seraya menghentikan larinya. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi bayangan hitam yang dikejarnya tidak juga kelihatan lagi. Pada saat itu, Aria Kandaka sudah sampai. Dia berdiri dekat di samping adiknya. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu juga mengedarkan pandangan dengan tajam.

Wusss! Slap!

Tiba-tiba saja sebuah benda hitam sepanjang lengan melesat cepat ke arah mereka. Aria Kandaka cepat mengibaskan tangannya untuk menangkap benda hitam pekat itu. Belum sempat benda yang berada di dalam genggaman tangannya diperhatikan, mendadak saja dari atas pohon di dekatnya meluncur dua sosok tubuh ramping.

“Hup...!” Aria Kandaka dan Winarti cepat melompat ke belakang. Tahu-tahu saja di depan mereka kini sudah berdiri dua orang gadis berpakaian ketat warna merah dan biru. Masing-masing menyandang sebilah pedang. Wajah kedua gadis ini begitu serupa, hampir tak ada bedanya sedikit pun.

“Dewi Kembar dari Utara...,” desis Aria Kandaka langsung mengenali kedua gadis itu.

“Rupanya kalian biang onarnya,” dengus Winarti langsung sengit

“Kami datang bukan untuk membuat keonaran, tapi hendak menuntut balas atas perbuatanmu pada ibu kami!” dengus Randita dingin.

“Ibu kalian...? Apa yang telah kami lakukan...?” sentak Aria Kandaka tidak mengerti.

“Kau jangan berpura-pura tidak tahu, Aria Kandaka! Karena ulahmu, maka ibu kami sampai sekarang tidak bisa bangun dari pembaringannya!” sentak Randini ketus.

Kening Aria Kandaka jadi berkerut mendengar tuduhan yang begitu ketus. Sungguh! Dia tidak merasa telah berbuat sesuatu pada ibu kedua gadis ini, yang dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Tapi, otaknya langsung bekerja cepat. Dan kini mulai bisa diduga, apa yang dimaksud kedua gadis ini.

“Hm... Kalian menginginkan Bunga Wijayakusuma Merah...?” agak bergumam nada suara Aria Kandaka.

“Kau sudah tahu apa yang kami inginkan, Aria Kandaka. Lebih baik, serahkan bunga itu pada kami. Bunga itu sangat bermanfaat bagi kesembuhan ibu kami,” tegas Randita masih bernada sinis.

“Bunga itu tidak ada lagi padaku,” sergah Aria Kandaka berterus terang.

“Setan...! Kau pikir mudah membodohi kami, heh...?!” dengus Randita menyentak.

“Aku tidak berdusta. Bunga itu hilang dari tempat penyimpanannya siang tadi,” Aria Kandaka mencoba meyakinkan kedua gadis itu.

“Sudah kuduga, kau pasti akan mempertahankan bunga itu, Aria Kandaka,” kata Randini sinis.

“Percuma menjelaskannya, Kakang. Sebaiknya tinggalkan saja anak-anak gendeng ini,” selak Winarti mulai muak.

“Jaga mulutmu, Winarti!” bentak Randita tersinggung.

“Kalau kau tidak suka dikatakan gendeng, sebaiknya cepat pergi dari sini. Aku tidak sudi lagi melihat muka-muka kalian yang memuakkan!” balas Winarti berang.

“Keparat..! Jangan katakan kami kejam kalau mengirim kalian ke neraka!” rungut Randita geram. Setelah berkata demikian, Randita langsung melompat cepat menerjang Winarti. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan gadis kembar itu ke arah dada Winarti. Tapi hanya sedikit saja Winarti mengegoskan tubuhnya, pukulan Randita melesat dari sasaran. Bahkan cepat sekali Winarti menyodokkan tangan kirinya ke arah perut gadis kembar itu.

“Uts!” Randita melompat mundur, menghindari sodokan tangan kiri adik perempuan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Cepat pedangnya ditarik keluar, dan langsung dikebutkan ke arah dada Winarti yang sedikit kosong. Tapi, rupanya Winarti memang sengaja membuka dadanya agar diserang. Dan begitu ujung pedang hampir membabat dadanya, cepat sekali tubuhnya ditarik ke belakang. Lalu pada saat yang sama, Winarti cepat mengebutkan tangan kanannya ke depan.

“Hiyaaa...!” Dari telapak tangan kanannya, melesat sebuah benda berwarna keperakan yang meluncur deras ke arah Randita. Serangan balasan Winarti yang begitu cepat, membuat Randita jadi terperangah tidak menyangka. Kelihatannya, tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Tapi mendadak saja....

Trang!

Secercah kilatan benda keperakan berkelebat cepat di depan dada Randita, menyampok benda keperakan yang dilepaskan Winarti. Benda keperakan itu terpental ke samping, dan menghantam pohon. Ledakan keras seketika terdengar menggelegar, membuat pohon yang cukup besar itu tumbang seketika. Randita cepat melompat mundur beberapa tindak. Bibirnya tersenyum pada Randini yang telah menyelamatkan nyawanya pada saat yang tepat.

Entah apa jadinya jika benda keperakan itu tadi menghantam tubuhnya. Pohon yang begitu besar dan kokoh saja bisa tumbang terhantam benda keperakan itu. Apalagi tubuhnya yang lunak...? Randita menghembuskan napas panjang, karena masih bisa bernapas. Dan itu berkat kecekatan saudara kembarnya yang bertindak tepat di saat gawat tadi.

“Kalian belum cukup mampu menandingiku,” dengus Winarti sinis.

Kedua gadis yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara itu saling berpandangan. Dalam beberapa gebrakan saja, memang sudah dapat dilihat kalau kepandaian mereka masih berada di bawah adik perempuan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Tapi mereka datang ke Gunung Lawu ini bukan untuk menerima kegagalan begitu saja. Kedatangan mereka bukan hanya karena mendapat undangan. Tapi yang lebih penting lagi untuk mendapatkan Bunga Wijaya Kusuma Merah. Hanya bunga itu yang bisa menyembuhkan ibu mereka dari kelumpuhan selama beberapa tahun ini.

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Tanpa bicara apa pun juga, si Dewi Kembar dari Utara melesat cepat menyerang Winarti yang memang sejak tadi sudah siap menerima serangan. Begitu kedua gadis kembar itu melesat, Winarti cepat menarik kaki sedikit ke kanan. Dan pada saat pedang Randita berkelebat ke arah kepala, manis sekali Winarti menarik kepala ke belakang. Sehingga, tebasan pedang Randita tidak sampai mengenai sasaran.

Tapi belum juga Winarti bisa menarik pulang kepalanya, Randini sudah menyerang cepat bagaikan kilat Pedang gadis kembar itu berkelebat cepat membabat ke arah pinggang. Tak ada waktu lagi bagi Winarti untuk berkelit menghindar. Cepat-cepat kakinya ditarik ke samping, menghindari tebasan pedang yang mengarah kepinggangnya.

“Gila...!” dengus Winarti dalam hati. Sungguh tidak disangka kalau kebutan pedang Randini begitu dahsyat, sehingga terasa adanya aliran hawa panas dari tebasan pedang itu. Bergegas Winarti melompat mundur beberapa langkah. Sementara, Dewi Kembar dari Utara sudah bersiap untuk melakukan serangan kembali. Mereka berada di sebelah kanan dan kiri wanita separuh baya adik Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

Perlahan kedua gadis kembar itu menggeser kakinya memutari Winarti yang terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Dengan gerakan-gerakan yang sama dan beraturan, kedua gadis kembar itu memainkan pedang di depan dada. Sesaat kemudian...

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan Dewi Kembar dari Utara melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah kepala dan kaki Winarti. Begitu cepatnya serangan mereka, sehingga membuat Winarti sempat terperangah sedikit. Tapi cepat-cepat dia melakukan gerakan indah, mengangkat kaki kanannya sambil membungkuk menghindari dua serangan yang datang sekaligus bagaikan kilat itu.

Gagal dengan serangan pertama, Dewi Kembar dari Utara kembali melakukan serangan-serangan secara cepat dan bergantian. Pedang mereka berkelebat cepat bagaikan kilat, mengurung semua ruang gerak Winarti. Akibatnya, wanita hampir separuh baya itu harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Sedikit pun tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan serangan balasan. Satu serangan belum lagi berakhir, datang lagi serangan berikut dari arah lain. Sehingga, Winarti benar-benar tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk balas menyerang.

“Setan...!” dengus Winarti geram setengah mati. Sementara tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan itu, Aria Kandaka hanya diam menyaksikan tanpa berbuat sesuatu. Meskipun adiknya kelihatan begitu kelabakan menghindari serangan kedua gadis kembar ini, tapi Aria Kandaka masih bisa melihat kalau Winarti masih bisa meladeni serangan-serangan kedua gadis kembar ini. Tak ada sedikit pun rasa khawatir di hatinya. Dia percaya kalau Winarti mampu menundukkan si Dewi Kembar dari Utara.

LIMA

Pertarungan antara Winarti melawan dua gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara terus berlangsung semakin sengit. Jurus-jurus berlalu cepat. Dan tampaknya, Dewi Kembar dari Utara sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan. Sementara Winarti masih melayaninya dengan jurus-jurus ringan, tapi sangat berbahaya dan tidak bisa dianggap enteng.

Meskipun Winarti belum mengeluarkan jurus-jurus andalan, tapi beberapa kali sempat melakukan serangan balasan yang membuat kedua gadis kembar itu terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan yang dilepaskan Winarti sudah mendarat di tubuh kedua gadis kembar itu. Sementara itu, belum ada satu serangan pun yang berhasil disarangkan Dewi Kembar dari Utara ke tubuh wanita hampir separuh baya ini. Padahal, serangan-serangan yang mereka lakukan bagitu dahsyat dan berbahaya.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Winarti melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali melakukan putaran di udara. Lalu, kedua kakinya menghentak ke samping cepat sekali. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat kedua gadis kembar lawannya ini jadi terperangah. Parahnya, mereka tidak sempat lagi berkelit menghindar.

Dugkh! Begkh!

“Akh!”

“Aduh...!” Kedua gadis kembar itu mengeluh saat telapak kaki Winarti tepat mendarat di dadanya. Tak pelak lagi, mereka terpelanting ke belakang, lalu bergulingan beberapa kali. Sementara, Winarti manis sekali menjejakkan kakinya di tanah kembali. Dia berdiri tegak, memperhatikan kedua gadis kembar itu yang merintih sambil memegangi dada sambil berusaha bangkit berdiri.

Tampak dari sudut bibir masing-masing mengucurkan darah segar agak kental, dan berwarna sedikit kehitaman. Tendangan yang dilancarkan Winarti tadi rupanya mengandung pengerahan tenaga dalam, meskipun tidak dikeluarkan secara penuh. Tapi, itu sudah membuat si Dewi Kembar dari Utara sudah tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan.

“Sudah kuperingatkan, kalian bukanlah tandinganku...,” ujar Winarti, agak sinis nada suaranya.

Kedua gadis kembar itu hanya diam saja. Sejak semula, mereka memang sudah menyadari kalau tidak bakal unggul menghadapi Winarti. Apalagi, untuk menghadapi Aria Kandaka yang tingkat kepandaiannya di atas Winarti. Tapi tekad yang ada di hati untuk membawa pulang Bunga Wijayakusuma Merah, membuat mata kedua gadis kembar ini buta. Padahal, mereka tahu tidak akan mampu menghadapi kepandaian Winarti maupun Aria Kandaka.

“Dengar...! Aku tidak akan segan-segan mengirim ke neraka, jika kalian masih tetap membandel membuat keonaran di sini!” ancam Winarti lagi.

Dan ancaman yang dilontarkan Winarti memang tidak bisa dianggap main-main. Wanita ini memang lebih tegas dari kakaknya, bila sudah mengambil keputusan. Bahkan terkadang tindakannya bisa dikatakan kejam. Apalagi kalau dalam keadaan seperti ini. Aria Kandaka yang berada tidak seberapa jauh, melangkah perlahan menghampiri. Sementara Dewi Kembar dari Utara sudah bisa bangkit berdiri. Mereka berdiri berdampingan dengan tubuh nyeri. Seluruh tulang-tulang di dalam tubuh mereka terasa remuk.

“Sebaiknya kalian tinggalkan tempat ini, sebelum adikku berubah pikiran,” kata Aria Kandaka, lembut suaranya.

Randita dan Randini saling berpandangan sejenak. Mereka masih berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun, meski Aria Kandaka sudah meminta pergi dengan suara lembut. Kedua gadis kembar itu malah menatap Aria Kandaka dan Winarti tajam-tajam. Sinar mata mereka memancarkan ketidakpuasan. Tapi, mereka harus menyadari kalau tidak akan mungkin bisa bernapas lagi jika pertarungan ini diteruskan. Terlebih lagi, Winarti sudah mengeluarkan kata-kata bernada ancaman yang tidak bisa dipandang ringan.

“Aku tahu, bunga itu sangat berarti bagi kesembuhan ibu kalian. Tapi, saat ini bunga itu tidak berada lagi di tanganku. Percayalah. Jika bunga itu bisa kudapatkan lagi, aku akan membawakannya untuk ibu kalian,” kata Aria Kandaka berjanji.

“Terima kasih. Tapi kami akan mendapatkannya sendiri,” sahut Randita yang tidak ingin diberi belas kasihan.

Setelah berkata demikian, Randita mengajak saudara kembarnya meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan cepat, dan sebentar saja sudah lenyap ditelan lebatnya hutan yang begitu pekat tanpa mendapat siraman cahaya bulan. Sementara Aria Kandaka dan Winarti masih tetap berdiri di sana, memandangi kepergian Dewi Kembar dari Utara.

“Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, Kakang?” tanya Winarti ingin memastikan kesungguhan janji kakaknya tadi pada si Dewi Kembar dari Utara.

“Ya,” sahut Aria Kandaka agak mendesah.

Perlahan kaki Aria Kandaka terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Winarti masih berdiri beberapa saat di tempatnya, kemudian bergegas mengayunkan kakinya menyusul Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Sebentar saja, dia sudah berjalan sejajar di samping kanan Aria Kandaka.

“Kenapa kau cepat sekali berubah, Kakang...?” Winarti masih penasaran atas sikap kakaknya.

Aria Kandaka tidak menjawab. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Mengapa tiba-tiba hatinya begitu terbuka, sehingga berjanji akan menyerahkan Bunga Wijayakusuma Merah kepada Dewi Kembar dari Utara? Seakan-akan, kedigdayaan tak ada artinya bila dibanding keluhuran budi. Menolong orang kesusahan dengan bunga itu memang lebih berarti daripada kedigdayaan yang didapat dari bunga itu. Inilah yang jadi pertimbangan Aria Kandaka.

Kakinya terus terayun, melangkah menuju ke padepokannya. Sedangkan Winarti masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi setelah lama ditunggu tidak juga ada jawaban, akhirnya dia diam saja. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi menuju Padepokan Gunung Lawu yang tampak tenang dan damai. Tapi di balik kedamaian itu, sebenarnya tersimpan bara yang sewaktu-waktu bisa berkobar.

********************

Burung-burung berkicauan riang, menyambut datangnya sang mentari yang menyembul dari balik Gunung Lawu. Kabut tebal masih menyelimuti sekitar puncak gunung itu. Suasana di Padepokan Gunung Lawu masih kelihatan tenang dan damai. Baru beberapa orang yang kelihatan keluar dari kamarnya.

Sementara agak jauh dari padepokan itu, terlihat dua orang gadis berwajah kembar tengah berjalan tertatih-tatih menembus lebatnya hutan. Wajah mereka tampak diselimuti mendung. Kedua gadis ini adalah si Dewi Kembar dari Utara. Sejak kekalahan semalam dari Winarti, mereka memang tidak langsung meninggalkan puncak Gunung Lawu ini. Dan, baru pagi ini mereka mulai berjalan hendak meninggalkan Gunung Lawu.

“Apa yang akan kita katakan pada Kanjeng Ibu nanti, Randita?” tanya Randini, pelan suaranya.

“Aku tidak tahu. Tapi tampaknya kita bisa memegang janji Aria Kandaka,” sahut Randita.

“Kau percaya pada janjinya, Randita...?”

“Tampaknya dia bisa dipercaya. Tapi, entahlah kalau adiknya,” sahut Randita lagi. Kali ini suaranya agak mendesah.

“Kau juga percaya kalau Bunga Wijayakusuma Merah tidak ada lagi padanya?” tanya Randini lagi.

“Tampaknya Aria Kandaka tidak main-main, Randita. Kita sudah melihat kalau gua tempat penyimpanan pusaka sudah diobrak-abrik orang. Aku yakin, ada orang lain yang menginginkan bunga itu. Dan tampaknya dia lebih beruntung dari kita,” jelas Randita.

“Kalau memang benar, rasanya tidak ada harapan bagi kita untuk mendapatkannya,” desah Randini jadi lesu.

“Justru itu harapannya, Randini.”

“Maksudmu...?” Randini jadi tidak mengerti.

Belum juga Randita menjawab pertanyaan saudara kembarnya, mendadak saja dikejutkan suara tawa keras menggelegar yang memekakkan telinga. Begitu kerasnya, sehingga membuat gendang telinga kedua gadis kembar ini terasa begitu sakit. Mereka menutupi telinga dengan kedua telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan.

“Kerahkan tenaga dalam, Randini,” desis Randita memberi tahu.

“Baik,” sahut Randini.

Mereka segera berpegangan tangan, dan sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk melawan suara tawa yang begitu keras menggelegar dan menyakitkan telinga. Tubuh kedua gadis kembar ini mulai menggeletar. Dan perlahan, darah terlihat merembes dari lubang hidung dan telinga. Mereka sama-sama sudah mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam, tapi tampaknya masih begitu sulit membendung arus tenaga dalam yang disalurkan melalui suara tawa itu.

Tapi di saat kedua gadis ini hampir saja tak kuat lagi menahan gelombang suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, mendadak saja bertiup angin yang begitu kencang bagai terjadi badai topan. Begitu kuatnya angin topan itu bertiup, membuat sikap berdiri si Dewi Kembar dari Utara jadi bergeser. Mereka benar-benar kewalahan mendapat gempuran yang begitu dahsyat. Dan pada saat benar-benar tidak dapat tertahankan lagi, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan putih ke arah kedua gadis kembar ini.

“Pegang tanganku...!”

Dewi Kembar dari Utara jadi terlongong begitu tiba-tiba di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung tampak tersampir di punggung. Belum juga kedua gadis kembar itu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu sudah mencekal pergelangan tangan mereka. Saat itu juga, kedua gadis kembar itu merasakan adanya aliran hawa hangat merambat dari per-gelangan tangan, dan terus menyelusup ke seluruh aliran darah.

Mereka tidak tahu, apa yang dilakukan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi suara tawa yang begitu keras dan menggelegar mulai tak terasa lagi menyengat telinga. Bahkan sama sekali tidak merasakan adanya hembusan angin topan, meskipun pepohonan di sekitarnya mulai bertumbangan, dan batu-batuan berpentalan. Bahkan banyak yang pecah berkeping-keping terhempas hembusan angin yang entah dari mana datangnya.

“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan cekalan pada tangan kedua gadis kembar ini. Lalu, cepat sekali tangan kanannya dihentakkan ke depan, sambil menaruh tangan kiri di samping pinggang. Saat itu juga, sinar merah melesat bagaikan kilat dari telapak tangan kanan yang terbuka lebar. Sinar merah itu langsung menghantam sebongkah batu sebesar kerbau hingga hancur berantakan.

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu. Pada saat yang sama, terlihat sebuah bayangan berkelebat keluar dari kepulan debu dan pecahan batu yang berhamburan ke segala arah.

“Phuih...!” Suara semburan terdengar bersamaan dengan mendaratnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya kelihatan tampan, meskipun rambutnya sudah mulai berwarna dua. Bajunya berwarna perak dan ketat. Sebilah pedang berukuran pendek, tampak terselip di pinggangnya yang ramping dan tegap. Dia berdiri sekitar tiga batang tombak di depan Dewi Kembar dari Utara, dan pemuda berbaju rompi putih. Suara tawa menggelegar dan angin topan, saat itu menghilang tiba-tiba.

“Bedebah! Untuk apa kau menolong gadis-gadis liar itu, heh...?!” sentak laki-laki berbaju perak itu sengit

Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata pemuda berbaju rompi putih di depannya. Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju putih tanpa lengan itu hanya tersenyum saja. Hanya sedikit matanya melirik ke arah dua gadis kembar yang berada di samping kanan dan kirinya.

“Elang Perak...,” desis Randita cepat mengenali laki-laki berbaju serba perak yang baru muncul itu.

“Sayang sekali. Aku paling tidak suka melihat ada serangan gelap dan pengecut,” terdengar tenang sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.

“Siapa kau sebenarnya, Bocah? Apa hubungannya dengan gadis liar itu?” tanya Elang Perak, agak menyentak suaranya.

“Apakah salah jika membantu orang yang mengalami kesulitan?” pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya.

“Jawab saja pertanyaanku, Bocah Setan!” bentak si Elang Perak jadi berang.

“Hm.... Kalau kau ingin tahu, baiklah.... Aku Rangga, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan mereka. Aku hanya menghentikan serangan gelapmu saja. Tidak pantas menyerang dengan cara seperti itu,” masih terdengar tenang suara pemuda berbaju rompi putih ini.

Dan memang, pemuda itu adalah Rangga, yang di kalangan persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga muncul pada saat yang benar-benar tepat bagi si Dewi Kembar dari Utara. Tapi tindakannya membuat si Elang Perak jadi berang, karena serangannya dapat dipatahkan begitu mudah. Bahkan hampir saja mati kalau tidak segera keluar dari balik batu yang dihancurkan Rangga tadi.

“Kau mampu menandingi aji 'Suara Dewa'. Apa julukanmu, Bocah?” tanya Elang Perak. Kali ini suaranya terdengar agak lunak.

“Apakah itu perlu...?” Rangga kembali balik bertanya.

“Jawab saja pertanyaanku, Bocah!” kembali si Elang Perak membentak kasar.

“Baik kalau itu bisa memuaskanmu. Aku digelari Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Rangga, tanpa ada maksud menyombongkan diri.

“Pendekar Rajawali Sakti...?!”

********************

Bukan hanya Elang Perak saja yang terkejut begitu mengetahui kalau pemuda berbaju rompi putih ini adalah Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan si gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara juga terlongong mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan setiap kali muncul di rimba persilatan. Mereka sering mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti, tapi baru kali ini bisa bertemu orangnya langsung.

Dan tentu saja mereka terkejut, karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti yang begitu ternama dan terkenal kedigdayaannya masih begitu muda dan tampan. Terlebih lagi, si Elang Perak. Dia tadi tidak memperhatikan sama sekali kalau Ranggalah yang menimbulkan angin topan dari aji 'Bayu Bajra', sebelum melepaskan satu pukulan dahsyat yang dikeluarkan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Satu jurus pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat luar biasa.

“Aku sering mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti. Pantas saja kau mampu membuyarkan aji 'Suara Dewa',” puji Elang Perak tulus. “Tapi kuharap, kau tidak mencampuri urusanku dengan kedua gadis liar itu.”

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja perlahan. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik dua gadis kembar yang berada di sebelah kanan dan kirinya.

Sedangkan kedua gadis kembar ini hanya menatap tajam saja pada si Elang Perak. Disadari, Elang Perak bukanlah tandingan mereka. Tingkat kepandaian yang dimiliki mereka masih jauh dari laki-laki berbaju serba perak itu.

“Elang Perak! Ada apa kau mencegat jalan kami? Bukankah kau seharusnya ada di Padepokan Gunung Lawu...?” tanya Randita menyelak.

“He he he.... Kau pikir aku bodoh?! Kau sendiri, mengapa meninggalkan Padepokan Gunung Lawu sebelum waktunya...?” sinis sekali nada suara Elang Perak.

“Apa maksudmu?” sentak Randita.

“Sebaiknya tidak perlu berpura-pura, Bocah. Serahkan saja Bunga Wijayakusuma Merah kepadaku. Aku jamin, kau akan selamat,” kali ini nada suara Elang Perak terdengar mengancam.

“Edan...!” rungut Randita kesal. Gadis itu sendiri tidak tahu, di mana Bunga Wijayakusuma Merah berada sekarang. Tapi sekarang malah dituduh telah menguasai bunga itu. Tentu saja Randita jadi geram, karena tidak merasa telah memiliki Bunga Wijayakusuma Merah yang menjadi pangkal dari segala persoalan ini. Randita sendiri sebenarnya sudah merasa, kalau tidak akan mudah mendapatkan bunga itu. Dia dan saudara kembarnya datang ke Gunung Lawu juga hanya mengandalkan nasib baik saja. Tapi sebelum segala rencana mereka terlaksana, sudah terbentur sandungan yang begitu berat

Dan sekarang, di depannya berdiri seorang laki-laki berjuluk Elang Perak. Bukan karena kemunculannya yang tadi begitu tiba-tiba dan langsung menyerang menggunakan aji kesaktian, tapi tuduhannya yang membuat Randita jadi berang setengah mati. Tapi sungguh disadari kalau kemampuannya berada jauh di bawah laki-laki ini. Jadi, Randita hanya bisa menggerutu dalam hati. Dia harus berpikir seribu kali untuk melabraknya.

“Aku tidak punya banyak waktu, Bocah Setan! Serahkan bunga itu padaku, atau terpaksa kulakukan kekerasan!” ancam Elang Perak mendesis dingin.

“Bunga itu tidak ada pada kami!” sentak Randita sengit.

“Jangan membuat kesabaranku habis, Bocah!” desis Elang Perak menggeram.

“Terserah apa keinginanmu. Aku mengatakan yang sebenarnya. Bunga itu tidak ada pada kami...!” sentak Randini yang sejak tadi diam saja.

“Keparat..! Jangan harap bisa mempermainkan aku, Bocah Setan...!” Kemarahan Elang Perak sudah tidak bisa ditakar lagi. Dia merasa dirinya dipermainkan kedua gadis kembar ini Sambil mendesis menahan geram, tiba-tiba saja tangannya bergerak cepat mengibas ke depan. Saat itu, dari telapak tangannya meluncur secercah sinar keperakan yang meluruk deras ke arah Randita.

“Tahan...!” seru Rangga.

Tapi terlambat Elang Perak sudah melancarkan serangan cepat sekali. Tak ada kesempatan menghindar bagi Randita. Apalagi, saat itu dia sama sekali tidak siap menerima serangan. Tapi begitu ujung sinar keperakan itu hampir menghantam dadanya, mendadak saja Rangga mengibaskan tangan kirinya dengan kecepatan kilat. Langsung ditangkisnya serangan cahaya perak itu.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar terjadi ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan kiri Rangga menghantam ujung cahaya keperakan di depan dada Randita. Begitu keras ledakan itu, sehingga membuat Randita sampai terpental ke belakang. Beberapa kali gadis itu berputaran di udara, kemudian mendarat dengan tubuh limbung. Buru-buru tubuhnya disandarkan ke pohon, sebelum jatuh terguling.

Hempasan dari dua kekuatan tenaga yang begitu dahsyat, membuat dada Randita jadi terasa sesak. Padahal pukulan jarak jauh yang dilepaskan Elang Perak tadi, tidak sampai mengenai tubuhnya. Tapi, dari dorongan ledakan tadi sudah membuat dadanya begitu sesak. Bahkan keseimbangan tubuhnya pun jadi terganggu.

“Setan...!” geram Randita menggeretak.

“Keparat..! Dua kali kau menghalangiku, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Elang Perak menggeram marah.

“Aku akan diam jika kau tidak bertangan besi,” tegas Rangga.

“Itu bukan urusanmu!” bentak Elang Perak semakin gusar.

“Maaf. Selama aku melihat tindak kekerasan secara brutal, maka itu selalu menjadi urusanku. Suka atau tidak, aku tetap akan melindungi kedua gadis ini dari kebrutalanmu,” lagi-lagi Rangga berkata tegas.

“Setan...!” rungut Elang Perak tidak dapat lagi menahan kegeramannya.

Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali melepaskan dua pukulan jarak jauh secara beruntun. Sinar-sinar keperakan berkelebatan cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya dengan menggeser kaki sedikit ke kanan dan ke kiri, Rangga berhasil mengelakkan serangan-serangan itu.

Pada saat yang hampir bersamaan, Elang Perak meluruk deras sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Rangga sempat terkejut. Ternyata jurus yang digunakan Elang Perak, hampir mirip jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Hanya saja Elang Perak memusatkan seluruh serangan pada kekuatan tangan, sedangkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikuasai Rangga terpusat pada kedua kaki.

Menghadapi jurus yang hampir mirip, Rangga cepat-cepat melompat mundur. Dan begitu kaki Elang Perak mendarat di tanah, cepat dilepaskannya satu sodokan tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya serangan balasan yang dilakukan, sehingga membuat Elang Perak jadi terperangah. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindar, karena jarak mereka memang terlalu dekat. Cepat-cepat Elang Perak mengibaskan tangan kanan, menangkis sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengarah ke perut

Plak!

“Ikh...!” Elang Perak terpekik agak tertahan. Cepat dia melompat mundur sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu luar biasa sekali. Tulang pergelangan tangannya seperti remuk ketika berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Elang Perak cepat-cepat mengebutkan tangan kanan beberapa kali. Disalurkannya hawa murni ke tangan untuk menghilangkan getaran yang merambat di seluruh tangan kanannya.

“Edan...!” dengus Elang Perak dalam hati.

ENAM

Sudah seringkali Elang Perak mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, dan kedigdayaannya dalam mengatasi lawan-lawan. Dan sekarang dia benar-benar berhadapan dengan pendekar muda digdaya berkepandaian tinggi itu. Rasa penasaran membuatnya tidak peduli. Padahal dari benturan tangan tadi, sudah bisa diketahui kalau tingkat tenaga dalam yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau akan menyesal mencampuri urusanku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!”

Elang Perak kembali melompat menerjang cepat. Beberapa pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, cepat dilepaskan. Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah, diimbangi gerakan kaki yang ringan dan lincah sekali. Sehingga, membuat setiap serangan yang dilancarkan Elang Perak tidak membawa hasil sama sekali.

Beberapa kali Elang Perak merubah jurus, tapi tak satu pun serangannya yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat dan ringan. Bahkan terkadang seperti tidak sedang bertarung. Tapi, tidak mudah bagi Elang Perak untuk memasukkan serangannya. Setiap kali pukulannya hampir mengena, manis sekali Rangga selalu berhasil menghindar tanpa diduga sama sekali. Bahkan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan yang membuat Elang Perak jadi kelabakan menghindarinya. Padahal, serangan-serangan yang dilakukan Rangga hanya bersifat menguji dan menjajaki tingkat kepandaian lawan saja.

“Setan...!” geram Elang Perak semakin sengit dan penasaran.

Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke belakang, lalu melakukan putaran beberapa kali. Tepat ketika kakinya menjejak tanah, kedua tangannya bergerak cepat mengibas. Langsung dilontarkannya puluhan benda-benda kecil berwarna keperakan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaah...!”

Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan gencar yang dilancarkan Elang Perak. Suara ledakan-ledakan keras menggelegar terdengar di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Setiap benda keperakan yang dilepaskan Elang Perak, selalu menimbulkan ledakan di saat menghantam tanah atau pohon dan bebatuan yang berada di sekitar pertarungan.

Debu dan kepingan bebatuan serta serpihan dari pepohonan yang hancur terhantam benda keperakan itu, membuat pandangan jadi terhalang. Sehingga, tubuh Rangga benar-benar tak terlihat lagi. Yang terlihat hanyalah bayangan putih saja yang berkelebat cepat menghindari setiap serangan yang datang.

“Hup! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Rangga merentangkan kedua tangan ke samping, lalu cepat sekali dihentakkan ke depan dengan kedua telapak tangan terbuka lebar-lebar. Pada saat itu, dua cahaya merah melesat cepat ke arah Elang Perak.

“Heh...?!” Elang Perak terkejut setengah mati. “Hup! Yeaaah...!”

Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan putaran beberapa kali untuk menghindari sinar-sinar merah yang dilepaskan Rangga dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap terakhir. Dan begitu kaki Elang Perak menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk cepat bagaikan kilat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat serangannya sehingga Elang Perak tidak sempat lagi berkelit.

Desss!

“Akh...!” Elang Perak memekik keras agak tertahan.

Pukulan Rangga yang begitu keras tepat menghantam dadanya. Akibatnya Elang Perak terpental cukup jauh ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

“Hoek...!”

Elang Perak memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya yang penuh berlumur darah. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga, membuat Elang Perak terpaksa harus menderita luka dalam yang cukup parah di dada.

Sementara Rangga berdiri tegak memandangi Elang Perak yang mencoba bangkit berdiri. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengucur dari mulut Meskipun bisa bangkit berdiri, tapi sepasang kakinya seakan-akan tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Limbung. Elang Perak terpaksa menyangga tubuh dengan berpegangan pada pohon di sampingnya. Dipandanginya Rangga dengan sinar mata redup.

“Kau benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti,” puji Elang Perak, tulus.

“Sebaiknya bersemadilah, Kisanak. Aku yakin, kau menderita luka dalam cukup parah,” jelas Rangga.

“Aku tidak menyesal kau tundukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bangga bisa dikalahkan pendekar digdaya dan ternama sepertimu,” kata Elang Perak lagi diiringi senyum kebanggaan menghias bibirnya. “Hanya satu pesanku, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah pada kedua gadis liar itu. Jangan sampai kau diperalat mereka....”

Setelah berkata demikian, Elang Perak membalikkan tubuhnya. Dia kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri memandangi kepergian Elang Perak, sampai tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

Perlahan Rangga baru memutar tubuhnya, dan langsung memandang kedua gadis kembar yang berdiri berdampingan. Rangga mengayunkan kakinya perlahan mendekati kedua gadis kembar yang dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan mereka.

“Kaliankah yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara?” tanya Rangga seakan-akan ingin memastikan.

“Benar,” sahut Randita seraya berkerut keningnya.

“Bagaimana kau bisa tahu tentang diri kami?” Randini balik bertanya.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan salah satu dari gadis kembar itu. Memang diakui dalam hati, tidak mudah membedakan kedua gadis ini jika mengenakan pakaian yang potongan dan warnanya sama. Wajah mereka begitu serupa, hampir tak ada bedanya. Hanya warna baju yang dikenakan saja yang membedakan.

Kedua gadis itu masih keheranan, karena Rangga bisa mengetahui tentang diri mereka. Padahal mereka tidak pernah saling berjumpa sebelum ini. Dan memang diakui, kalau nama Pendekar Rajawali Sakti sering didengar. Tapi baru kali ini mereka bisa berjumpa.

“Rasanya tidak ada lagi di jagat raya ini ada dua gadis kembar berkepandaian tinggi yang begitu serupa, dan hampir tak ada bedanya,” kata Rangga diiringi senyuman menghias dibibir. “Kalau penilaianku tidak salah, benarkah dugaanku itu...?”

“Benar, kami memang dijuluki Dewi Kembar dari Utara,” sahut Randita membenarkan dugaan Rangga.

“Ah.... Beruntung sekali bisa bertemu dengan kalian di sini,” desah Rangga.

“Kau sengaja datang ke sini mencari kami...?” tanya Randita mulai diliputi kecurigaan.

“Ya,” sahut Rangga singkat

“Untuk apa mencari kami?” sambung Randini bertanya.

“Rasanya tempat ini kurang cocok untuk berbicara. Sebaiknya, kita cari tempat yang lebih nyaman,” kata Rangga tanpa menjawab pertanyaan kedua gadis itu.

Rangga langsung saja mengayunkan kakinya meninggalkan tempat yang sudah hancur porak-poranda ini. Sementara, si Dewi Kembar dari Utara saling berpandangan. Sebentar kemudian, mereka menatap punggung Rangga yang terus saja melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Kedua gadis kembar itu kemudian mengayunkan kaki mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, setelah saling melemparkan pandangan sebentar.

“Aku memang sengaja datang ke Gunung Lawu ini untuk mencari kalian berdua...,” jelas Rangga, memulai.

Pendekar Rajawali Sakti duduk bersandar di bawah pohon. Sedangkan Randita dan Randini duduk berdampingan sekitar setengah tombak di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Mereka terdiam saja, memandangi wajah tampan di depannya.

“Kenapa kau mencari kami?” tanya Randita.

“Ada pesan yang harus kusampaikan,” sahut Rangga.

“Pesan...? Dari siapa?”

“Nyai Karti,” sahut Rangga.

Dewi Kembar dari Utara terkejut mendengar jawaban Rangga barusan. Mereka sampai terlonjak bangkit, seperti disengat kala beracun. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja dengan bibir tetap mengulas senyum. Kelihatan tenang sekali, seakan-akan tidak terpengaruh oleh keterkejutan kedua gadis kembar itu atas jawabannya barusan.

“Di sini bukan tempatnya bermain-main, Kisanak. Kami berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan kami dari Elang Perak. Tapi jangan harap semudah itu bisa mempermainkan kami!” dengus Randita. Begitu dingin sekali nada suaranya.

Tatapan mata Randita juga tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Randini sudah meraba ujung pedang yang menyembul ke pinggang belakang. Tapi, Rangga masih tetap kelihatan tenang.

“Kenapa kalian begitu terkejut mendengarnya...? Bukankah kalian juga datang ke sini untuknya?” masih terdengar tenang nada suara Rangga.

“Bagaimana kau bisa tahu tentang kami?” tanya Randini, agak dalam nada suaranya.

“Nyai Karti sendiri yang mengatakannya. Itulah sebabnya, aku cepat datang ke sini, meskipun sebenarnya enggan. Aku juga masih ada urusan lain yang lebih penting. Tapi mengingat keadaan Nyai Karti yang semakin kelihatan parah, aku tidak bisa mengenyampingkan begitu saja. Terserah anggapan kalian padaku. Yang penting, pesan untuk kalian akan kusampaikan. Hanya itu yang kubawa dari Nyai Karti,” tutur Rangga.

“Apa pesannya?” tanya Randini lagi.

“Kalian diminta pulang segera, dan melupakan semuanya. Hanya itu yang bisa kusampaikan,” sahut Rangga.

Randita dan Randini saling berpandangan, kemudian kembali menatap tajam-tajam ke arah Rangga. Sepertinya kedua gadis kembar ini belum bisa percaya penuh pada kata-kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Padahal mereka tahu dan sering mendengar nama dan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba persilatan di setiap kemunculannya.

“Apa lagi yang kau ketahui?” tanya Randita, seolah-olah menyelidik.

Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan menyandarkan punggung ke pohon. Matanya menerawang jauh ke depan, melewati bahu kedua gadis kembar di depannya ini.

“Kalian sudah dapatkan bunga itu?” Rangga malah balik bertanya.

“Belum,” sahut Randita.

“Kelihatannya penyakit ibu kalian memang tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan Bunga Wijayakusuma Merah. Tapi, aku tidak yakin kalian bisa memperolehnya dari puncak gunung ini. Yang kutahu, bunga itu hanya ada satu kali dalam seratus tahun, dan pohonnya juga tidak ada di sini,” kata Rangga lagi.

“Memang pohonnya tidak ada di sini. Tapi, Bunga Wijayakusuma Merah ada di sini. Aria Kandaka-lah yang memilikinya,” jelas Randita.

“Ketua Padepokan Gunung Lawu...?”

“Benar.”

“Kalau memang dia yang memiliki, kenapa tidak bicara saja terus terang? Aku yakin, Aria Kandaka bersedia memberikannya. Aku kenal baik dengannya. Dia orang yang sangat bijaksana. Bahkan selalu memperhatikan kepentingan orang lain, daripada dirinya sendiri,” kata Rangga lagi.

“Kau pikir mudah memintanya begitu saja...?” agak sinis nada suara Randita.

“Kenapa tidak...?”

“Karena bunga itu, ibu kami harus menderita kelumpuhan bertahun-tahun. Beliau kalah bertarung dalam memperebutkan Bunga Wijayakusuma Merah. Bukan hanya Aria Kandaka, tapi juga oleh tokoh-tokoh persilatan lain yang saat ini berkumpul di puncak Gunung Lawu ini,” masih terdengar ketus nada suara Randita.

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Pendekar Rajawali Sakti memang baru tahu kalau itulah persoalannya. Dan tampaknya memang tidak mudah bagi kedua gadis ini untuk bisa mendapatkan Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat diperlukan untuk menyembuhkan penyakit kelumpuhan yang diderita ibu mereka selama beberapa tahun ini. Sedangkan yang diketahuinya, bunga itu hanya dapat digunakan satu kali. Namun bunga itu begitu banyak kegunaannya, sehingga tidak heran jika banyak tokoh persilatan memperebutkannya. Dan tentu saja mereka menginginkan untuk tujuan masing-masing.

“Kanjeng ibu terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat beracun. Masih untung tidak tewas, dan hanya menderita kelumpuhan saja. Dan hanya bunga itu sendiri yang dapat menyembuhkannya,” jelas Randita.

“Kalian memang harus mendapatkan sebelum orang lain memilikinya. Aku akan bicara pada Aria Kandaka,” tegas Rangga.

“Percuma saja bicara padanya,” dengus Randini.

“Kenapa...?”

“Bunga itu sudah hilang. Itu pengakuan dari Aria Kandaka sendiri,” sahut Randini.

“Oh..., benarkah...?”

Rangga terkejut bukan main mendengar Bunga Wijayakusuma Merah sudah hilang, dan tidak berada lagi di tangan Aria Kandaka. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Langsung dirasakan kalau persoalannya berkembang semakin sulit, sebelum dirinya masuk dalam kemelut ini.

“Sebaiknya kalian pulang saja. Ada adikku di sana,” ujar Rangga.

“Adikmu...? Siapa?” tanya Randita.

“Pandan Wangi. Aku menyuruhnya menunggu ibu kalian. Tidak baik meninggalkan orang tua dalam keadaan tidak berdaya seorang diri di dalam gua,” kata Rangga lagi.

“Tapi kami tidak bisa pulang tanpa membawa bunga itu,” tolak Randini tegas.

“Nyai Karti tidak mengharapkan kalian mendapatkannya. Beliau malah memikirkan keselamatan kalian berdua. Sebaiknya, segeralah pulang. Aku akan membawa bunga itu untuk kalian. Percayalah. Aku akan berusaha mendapatkannya untuk kalian,” Rangga mencoba meyakinkan.

“Bagaimana, Randita...?” tanya Randini meminta pendapat saudara kembarnya.

Randita hanya mengangkat bahu saja. “Baiklah. Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Randini.

“Panggil saja aku Rangga.” Kedua gadis kembar itu hanya tersenyum saja.

Sesaat kemudian mereka berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing. Dewi Kembar dari Utara menuruni puncak Gunung Lawu ini, sedangkan Rangga sendiri terus menuju Padepokan Gunung Lawu yang berada di tengah-tengah puncak gunung yang selalu terselimut kabut ini.

Tapi, benarkah Randita dan Randini benar-benar kembali ke Bukit Utara seperti yang diminta Pendekar Rajawali Sakti...? Kedua gadis itu memang tidak terus melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di lereng Gunung Lawu ini, dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan rindang untuk menaungi diri dari sengatan sinar matahari.

“Kita akan kembali ke sana diam-diam, Randini,” kata Randita perlahan.

“Untuk apa?” tanya Randini.

“Aku ingin membawa bunga itu untuk Kanjeng Ibu dengan tanganku sendiri,” sahut Randita bertekad.

“Kau tidak percaya pada Pendekar Rajawali Sakti, Randita...?”

“Aku percaya. Justru kedatangannya memberi kesempatan pada kita, Randini. Kau pasti bisa mengerti jalan pikiranku “

Randini terdiam dan mengangguk-anggukkan kepala. Memang bukan hanya wajah dan bentuk tubuh mereka saja yang sama persis. Bahkan jalan pikiran mereka juga selalu sama. Meskipun terkadang ada perselisihan pendapat Tapi, selalu saja mereka mempunyai jalan kesepakatan bersama, yang tentu saja tidak dimiliki orang lain. Mereka seperti memiliki satu jiwa dalam tubuh kembar masing-masing.

“Malam nanti, kita mulai bergerak,” desis Randita memantapkan rencananya.

“Ya...,” sahut Randini mendesah.

********************

Sementara itu Rangga sudah sampai di Padepokan Gunung Lawu. Pendekar Rajawali Sakti jadi agak ragu-ragu, melihat padepokan itu tampak ramai seperti sedang mengadakan perayaan. Tapi, dia cepat ingat kalau kemarin adalah peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu. Dan mungkin, sampai hari ini perayaan itu belum juga berakhir.

Perlahan Rangga mengayunkan kaki memasuki gerbang padepokan itu. Dua orang murid berpakaian seragam merah memperhatikan saja, tanpa menegur sama sekali. Memang sampai hari ini, semua orang diberi kebebasan untuk memasuki lingkungan padepokan. Rangga menghentikan ayunan kaki sebelum jauh melewati pintu gerbang. Dari sini panggung berukuran besar yang berdiri di tengah-tengah halaman sudah bisa terlihat. Di atas panggung itu tampak sedang berlaga dua orang tokoh persilatan. Rangga berbalik menghampiri dua orang murid Padepokan Gunung Lawu yang bertugas jaga di gerbang ini.

“Maaf. Boleh aku bertanya sedikit...?” ucap Rangga sopan.

“Silakan,” sahut salah seorang yang masih berusia muda, juga dengan suara dan sikap ramah.

“Boleh bertemu Paman Aria Kandaka?” ujar Rangga masih dengan sikap sopan.

“Kisanak siapa?” pemuda itu kembali bertanya.

“Aku Rangga, sahabat Paman Aria Kandaka. Beliau mungkin sedang menunggu kedatanganku,” sahut Rangga memperkenalkan diri.

“Kisanak punya undangan?” tanya murid Padepokan Gunung Lawu itu lagi.

“Ada. Tapi aku ada keperluan yang lebih penting lagi dengannya.”

Dua orang anak muda murid Padepokan Gunung Lawu itu berbisik-bisik sebentar. Mereka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

“Sebentar,” ujar salah seorang.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Pemuda yang mengenakan seragam warna merah itu bergegas melangkah meninggalkan pos jaganya. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja. Pandangannya dilayangkan ke arah panggung. Tampak pertarungan sudah berhenti di atas panggung. Tapi, kemudian disusul berlompatannya satu orang yang langsung menantang pemenang dari pertarungan tadi.

Kembali sorak sorai terdengar bergemuruh dari para penonton yang kebanyakan adalah penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini. Dan di atas panggung, sudah kembali terjadi pertarungan adu kekuatan dan kesaktian dari tokoh-tokoh persilatan yang diundang Ketua Padepokan Gunung Lawu.

Rangga mengalihkan perhatiannya, ketika melihat pemuda yang tadi menjaga gerbang ini datang kembali diikuti seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Wanita itu mengenakan baju yang cukup ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat. Meskipun umurnya sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan cantik.

“Ah! Kenapa tidak langsung masuk saja. Rangga...?” tegur wanita yang ternyata adalah Winarti, begitu dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf, aku datang terlambat,” ucap Rangga seraya menjura, memberi penghormatan.

“Tidak mengapa. Mari...”

Rangga melangkah mengikuti Winarti yang berjalan lebih dahulu di depan. Mereka tidak menuju ke panggung, melainkan terus memasuki bangunan utama Padepokan Gunung Lawu ini. Di dalam ruangan berukuran cukup besar, tampak Aria Kandaka sudah menanti. Dia bergegas menyongsong, begitu melihat Rangga dan Winarti masuk ke dalam ruangan ini

“Ah! Syukurlah kau datang, Rangga...,” ucap Aria Kandaka seraya menyalami Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga membalasnya dengan hangat dan penuh persahabatan. Di antara mereka memang sudah terjalin suatu persahabatan. Karena Aria Kandaka sebenarnya abdi yang setia dari Adipati Arya Permadi, orang tua kandung Pendekar Rajawali Sakti. Aria Kandaka lalu mengasingkan diri dan pergi ke Gunung Lawu, saat Wira Permadi menguasai Kadipaten Karang Setra.

Memang bukan hanya Aria Kandaka yang meninggalkan Kadipaten Karang Setra waktu itu. Tapi, masih banyak para petinggi yang meninggalkah kadipaten, karena tidak menyetujui sikap dan cara Wira Permadi menduduki kadipaten. Dan Rangga memang selalu mengunjungi orang-orang yang pernah mengabdi pada ayahnya, yang tersebar di saat Karang Setra masih berupa kadipaten di bawah kekuasaan tangan besi adik tirinya.

“Maaf. Aku datang terlambat, Paman,” ucap Rangga.

“Tidak mengapa, Rangga. Aku senang kau bisa hadir di sini. Malah kedatanganmu sangat kuharapkan pada saat-saat seperti ini,” kata Aria Kandaka.

“Ada sedikit halangan yang membuatku terlambat,” kata Rangga lagi, masih merasa tidak enak karena kedatangannya tidak tepat pada waktunya.

“Sudahlah, Rangga. Mari duduk....” Mereka kemudian duduk melingkari meja bundar beralaskan batu pualam putih yang licin dan berkilat Winarti menuangkan arak ke dalam cawan dari perak. Mereka sama-sama menenggak habis arak manis di dalam cawan itu, lalu sama-sama memberi penghormatan melalui minuman.

“Seharusnya kami memanggilmu dengan sebutan Gusti Prabu, Rangga...,” kata Aria Kandaka.

“Ini bukan istana. Dan sebaiknya, Paman dan Bibi tetap memanggilku dengan nama saja. Biar orang lain tidak tahu, siapa aku sebenarnya,” sahut Rangga meminta.

“Apa yang ada dalam dirimu, sama sekali tidak membuang sifat-sifat ayahmu,” kata Aria Kandaka mengenang.

“Mudah-mudahan nama baik beliau bisa kupertahankan,” ucap Rangga.

Mereka kembali terdiam, dan sama-sama menikmati arak manis yang dituangkan Winarti ke dalam cawan masing-masing. Wanita itu juga ikut minum, untuk menghormati kedatangan tamu yang memang sudah sangat dinantikan.

“Menjadi raja tentu sangat sibuk. Banyak persoalan yang harus ditangani,” kata Aria Kandaka lagi.

“Ya.... Tapi, untunglah aku memiliki orang-orang yang dapat dipercaya, sehingga punya banyak waktu untuk mengembara. Aku ingin melihat kehidupan yang sebenarnya, dan punya banyak waktu untuk belajar dari alam,” nada suara Rangga terdengar merendah.

“Aku tadinya malah khawatir, undanganku tidak sampai ke tanganmu,” kata Aria Kandaka lagi.

“Kebetulan waktu itu aku ada di istana, Paman. Dan sebenarnya aku datang berdua....”

Sebenarnya Rangga tidak dari Istana Karang Setra. Bahkan sudah lama tidak ke sana. Dan dia sendiri tidak tahu kalau ada undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kedatangannya ke sini juga bukan karena undangan itu. Tapi, Rangga tidak ingin mengecewakan, dan terpaksa berbohong sebelum sampai pada maksud yang sebenarnya.

“Berdua...? Kenapa tadi kulihat kau hanya sendiri saja, Rangga?” selak Winarti.

“Aku bersama Pandan Wangi. Tapi terpaksa dia tidak bisa ikut ke sini, “ Rangga mencoba menjelaskan.

“Kenapa tidak diajak sekalian ke sini...?” Aria Kandaka seperti menyesalkan.

Bukan hanya Aria Kandaka yang sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Tapi hampir semua orang juga sudah tahu, Pendekar Rajawali Sakti ini punya teman dekat yang bergelar si Kipas Maut. Meskipun kepandaian yang dimiliki berada beberapa tingkat di bawah Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak mudah menaklukkan gadis itu.

Saat itu Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menceritakan tentang perjalanannya yang terpaksa terhambat Saat itu hujan turun, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi kebetulan sedang lewat di Bukit Utara. Mereka lalu menemukan gua yang ternyata di dalamnya ada seorang perempuan tua dalam keadaan lumpuh, tak mampu bergerak sedikit pun. Dan saat Rangga menyebutkan nama perempuan tua itu, Aria Kandaka seperti tersengat ribuan kala berbisa.

“Kau kenal Nyai Karti, Paman...?” tanya Rangga sempat melihat perubahan wajah Aria Kandaka.

Aria Kandaka tidak langsung menjawab, dan hanya terdiam saja. Matanya beberapa kali melirik Winarti yang juga diam membisu. Sedangkan Rangga me-mandangi mereka secara bergantian. Dia sebenarnya sudah tahu kalau Ketua Padepokan Gunung Lawu ini kenal perempuan tua yang bernama Nyai Karti. Tapi Rangga tidak ingin menunjukkan kalau sudah tahu. Bahkan ingin memastikan sendiri dari pengakuan Aria Kandaka. Tentu saja Rangga menginginkan kejujuran Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Kami memang mengenalnya...,” pelan sekali suara Aria Kandaka, hampir tidak terdengar.

Rangga hanya menggumam saja. Jawaban seperti inilah yang memang diharapkan. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengatur pembicaraan secara bertahap. Sehingga, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tidak merasa kalau kedatangannya bukan karena mendapat undangan, tapi karena Nyai Karti yang meminta pertolongannya.

********************

TUJUH

Pembicaraan mereka terhenti saat matahari sudah condong ke arah Barat. Aria Kandaka sendiri sengaja mengulur-ulur waktu, dengan mengumumkan adu ketangkasan bisa dilanjutkan esok hari. Sehingga, tak ada lagi rasa penasaran dari para undangan yang datang ke padepokannya ini. Tapi, tidak sedikit para undangan yang sudah meninggalkan padepokan.

Dan mereka yang pergi, merasa kalau acara adu ketangkasan itu tidak ada gunanya. Memang ada juga yang sudah merasakan adanya sesuatu yang tidak beres di padepokan ini, sehingga lebih memilih meninggalkan padepokan daripada ikut terlibat dalam suatu urusan yang tidak diketahuinya. Sehingga, yang tinggal hanya beberapa orang saja. Dan pada malam harinya, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.

Kali ini, pembicaraan sudah berkisar pada Bunga Wijayakusuma Merah yang telah hilang dari tempat penyimpanannya. Rangga juga sudah mengatakan kalau kelumpuhan yang diderita Nyai Karti hanya dapat disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah itu.

“Ya.... Kelumpuhan Nyai Karti memang hanya bisa disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah. Dia bisa lumpuh begitu, karena terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang beracun dan sukar dicari obatnya, kecuali oleh bunganya sendiri,” kata Aria Kandaka, perlahan suaranya.

“Tapi sayang sekali. Bunga itu sekarang tidak ada lagi di sini, Rangga,” selak Winarti.

“Apakah dari tamu-tamu yang hadir, mengetahui tentang bunga itu?” tanya Rangga menyelidik.

“Ya! Ada beberapa di antara mereka yang tahu. Bahkan sudah beberapa kali berusaha merebutnya dariku. Tapi aku tidak punya bukti untuk menuduh salah seorang dari mereka,” sahut Aria Kandaka menjelaskan.

“Memang sulit..,” gumam Rangga perlahan.

“Itu sebabnya, aku terpaksa menahan mereka di sini dengan mengadakan pertandingan. Itu pun karena keinginan mereka yang ingin menjajaki tingkat kepandaian masing-masing,” sambung Aria Kandaka.

“Apa ada di antara undangan yang sudah meninggalkan padepokan ini, Paman?” tanya Rangga lagi.

“Beberapa di antaranya memang sudah. Bahkan Elang Perak, Dewi Kembar dari Utara, dan Ki Gambang yang mengetahui tentang bunga itu juga sudah meninggalkan padepokan ini,” sahut Aria Kandaka.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Elang Perak dan Dewi Kembar dari Utara tidak memiliki bunga itu. Sedangkan beberapa nama yang sempat disebutkan Aria Kandaka, masih berada di padepokan ini. Kecuali, Ki Gambang yang sudah meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini kemarin siang.

Tapi, apa mungkin Ki Gambang yang mengambil bunga itu dari tempat penyimpanan pusaka? Atau mungkin ada orang lain yang telah menguasai, dan sekarang menunggu waktu yang tepat untuk membawanya pergi dari padepokan tanpa seorang pun yang mencurigainya? Dan memang benar apa yang dikatakan Aria Kandaka tadi. Tidak ada bukti untuk menuduh atau mencurigai salah seorang dari mereka.

“Maaf, aku tinggal dulu,” ucap Winarti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.

“Oh, ya. Silakan...,” sahut Rangga juga bangkit berdiri.

Winarti menjura memberi hormat, kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. Rangga kembali duduk di kursinya setelah Winarti tenggelam di balik pintu yang kembali tertutup rapat Di dalam ruangan berukuran cukup besar ini, hanya ada Rangga dan Aria Kandaka saja. Sementara malam terus merayap semakin larut Dan mereka terus berbicara hingga jauh malam.

“Maaf, Paman. Boleh bertanya sedikit..?” pinta Rangga menyelak pembicaraan.

“Tentu saja, Rangga,” sahut Aria Kandaka mempersilakan.

“Ini menyangkut Bibi Winarti, Paman.”

“Winarti...? Ada apa dengannya...?” tanya Aria Kandaka agak terkejut

“Kudengar, Bibi Winarti sedang memperdalam ilmu-ilmunya di Gua Pantai Selatan. Kapan dia datang ke sini, Paman...?” tanya Rangga hati-hati.

“Sudah dua purnama ini,” sahut Aria Kandaka.

“Kenapa kau tanyakan itu, Rangga?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, apakah Bibi Winarti sudah menguasai ilmu-ilmu kesaktiannya. Aku senang kalau Bibi Winarti sudah semakin sempurna ilmu-ilmunya,” kata Rangga kalem.

Aria Kandaka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rangga dari pertanyaannya tadi. Sesuatu yang pasti menyangkut Winarti. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang saja, meskipun dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.

“Maaf, Paman. Mungkin aku salah menduga,” ujar Rangga merasa tidak enak juga.

“Ada apa sebenarnya, Rangga...? Katakan saja,” desak Aria Kandaka.

Rangga menghembuskan napas panjang, dan terasa begitu berat sekali. Hatinya seperti berat mengatakannya, takut kalau laki-laki separuh baya ini tersinggung.

“Belum lama ini, aku dan Pandan Wangi sempat mampir ke Gua Pantai Selatan. Di sana, kami sempat pula berbincang-bincang dengan Bibi Winarti. Katanya, dia masih perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Dan sekarang, aku bertemu lagi di sini. Aku hanya heran saja, Paman. Karena, belum ada satu purnama bertemu dengannya di Gua Pantai Selatan,” kata Rangga hatihati.

“Dia sudah dua purnama tinggal di sini, dan membantuku menggembleng murid-murid padepokan ini. Bahkan datang membawa dua orang yang dikatakan muridnya,” jelas Aria Kandaka lagi

“Murid...? Sejak kapan Bibi Winarti punya murid, Paman?” tanya Rangga agak terkejut

“Katanya, selama berada di Gua Pantai Selatan,” sahut Aria Kandaka. “Ada apa, Rangga? Kenapa bertanya seperti itu...?”

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan

“Kuharap, kau tidak menaruh prasangka buruk pada Winarti, Rangga,” agak dalam nada suara Aria Kandaka.

Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri, dan berpamitan hendak istirahat. Aria Kandaka tidak mencegah, dan masih tetap berada di kursinya sampai Rangga tidak terlihat lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak termenung. Dipikirkannya kata-kata Rangga yang terakhir tadi.

“Hm.... Sepertinya Rangga mencurigai Winarti Tapi, kenapa...?” Aria Kandaka jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Benarkah Pendekar Rajawali Sakti mencurigai Winarti? Atau itu hanya perasaan Aria Kandaka saja. Tapi pembicaraannya barusan dengan Rangga, membuat hatinya jadi tidak bisa tenteram.

********************

Malam terus merambat semakin larut. Tapi, Rangga belum juga dapat memicingkan mata dalam kamar peristirahatan yang disediakan Aria Kandaka untuknya. Entah sudah berapa kali kamar ini diputari. Dan sudah berapa kali pula dia berada di depan jendela. Sebentar kepalanya ditengadahkan ke atas, sebentar kemudian ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskan kuat-kuat.

Tok, tok, tok...!

Rangga berpaling ketika terdengar ketukan di pintu. Sebentar ditatapnya pintu kamar yang tertutup rapat itu. Kemudian perlahan kakinya terayun mendekati pintu. Tapi belum juga sempat terbuka, mendadak saja pintu kamar itu sudah jebol, disusul melesatnya sesosok tubuh hitam yang masuk ke dalam kamarnya.

“Hup!”

Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya. Dia berputaran beberapa kali ke belakang, sebelum kakinya menjejak lantai kamar yang terbuat dari belahan papan tebal. Dan pada saat itu, satu pukulan cepat mengandung tenaga dalam tinggi melunak deras ke arahnya.

“Hait..!”

Rangga cepat memiringkan tubuh ke kanan, sehingga pukulan orang berbaju serba hitam itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diduga, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mengecutkan tangan kirinya. Langsung disodoknya perut orang berbaju serba hitam itu.

“Hegkh!”

Orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya memegangi perut yang terkena sodokan tangan kiri Rangga. Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sodokan itu membuat perut orang itu terasa mengejang kaku dan mual.

“Hiyaaat..!”

Belum lagi orang berbaju serba hitam berbuat sesuatu, Rangga sudah melompat cepat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disusul satu totokan jari tangan kirinya ke arah dada.

“Akh...!”

Orang berbaju serba hitam itu langsung tergeletak di lantai yang terbuat dari belahan papan. Rangga cepat-cepat menghampiri, dan menjambret kain hitam yang menutupi muka orang ini. Betapa terkejut hatinya, begitu kain hitam yang menutup wajah orang itu terbuka.

Rangga cepat-cepat melompat mundur. Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena tangan kiri orang itu masih mampu bergerak cepat Rangga tak sempat lagi bertindak, ketika orang itu menggorok lehernya sendiri dengan pisau yang diambil dari balik lipatan baju.

“Hey...!” sentak Rangga terkejut.

Terlambat..! Leher orang itu sudah menganga tergorok pisau. Darah mengucur deras. Kelopak matanya terbuka lebar, dan sebentar kemudian tertutup rapat Rangga mendesah panjang. Hampir tidak dipercayai, apa yang dilihatnya ini.

Rangga mengangkat kepala ketika Aria Kandaka muncul di ambang pintu. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak terkejut melihat sesosok tubuh berpakaian serba hitam tergeletak tak bernyawa lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Lebih terkejut lagi begitu mengenali orang berbaju serba hitam itu. Seorang pemuda bertubuh tegap, dan berwajah cukup tampan. Tapi, agak terusik oleh luka codet yang membelah pipinya.

“Kenapa dia...?” tanya Aria Kandaka seraya melangkah menghampiri Rangga.

“Dia bunuh diri setelah aku menjatuhkannya,” sahut Rangga.

“Dia menyerangmu...?” nada suara Aria Kandaka seperti tidak percaya oleh pertanyaannya sendiri

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Memang sukar untuk dipercaya. Ternyata pemuda dengan luka codet di pipi itu sudah sangat dikenal di Padepokan Gunung Lawu ini. Dia adalah salah satu pengikut Winarti, yang dikatakan sebagai muridnya. Tapi, kenapa menyerang Pendekar Rajawali Sakti...? Pertanyaan inilah yang mengganggu benak Aria Kandaka.

Aria Kandaka bergegas melangkah keluar tanpa berkata-kata lagi. Rangga bergegas pula mengikuti Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Mereka terus berjalan cepat, setengah berlari menyusuri lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu tertutup, tempat para tamu beristirahat. Tak ada satu pintu pun yang terbuka.

Mereka kini tiba di sebuah ruangan berukuran cukup hias dan terang benderang. Setelah melintasi ruangan itu, mereka sampai di depan pintu sebuah kamar yang juga tertutup rapat. Aria Kandaka mengetuk pintu itu kuat-kuat. Tapi, tak terdengar jawaban sedikit pun dari dalam. Sebentar matanya melirik Rangga yang berada tidak jauh di belakangnya. Kemudian, tiba-tiba saja kakinya bergerak menghentak.

Brak!

Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal itu seketika hancur berantakan terkena tendangan Aria Kandaka. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu cepat menerobos masuk ke dalam. Kedua matanya kontan terbeliak melihat keadaan kamar dalam keadaan kosong. Rangga hanya berdiri saja di ambang pintu yang sudah hancur berantakan. Dia tahu, kamar ini dihuni Winarti, adik perempuan satu-satunya Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Keparat..!” geram Aria Kandaka gusar.

Perlahan tubuhnya berputar memandang Rangga yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Rona merah tampak membias di wajahnya. Terdengar suara bergemeretak dari geraham yang berderak menahan geram.

“Siapa sebenarnya dia, Rangga?” tanya Aria Kandaka.

“Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, wanita itu bukanlah Bibi Winarti,” sahut Rangga.

Aria Kandaka bergegas berlari keluar. Kemarahannya begitu memuncak, merasa telah tertipu mentah-mentah. Sungguh tidak disangka, kalau wanita yang selama ini dianggap adiknya ternyata telah menipu. Bahkan sekarang wanita itu telah pergi entah ke mana.

Rupanya kedatangan Rangga ke Padepokan Gunung Lawu ini, membuat Winarti merasa terancam. Maka anak buahnya diperintahkan membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu gagal, dia malah melarikan diri. Aria Kandaka yang langsung bisa mengetahui keadaan, tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Terlebih lagi, sebelumnya Rangga memang sudah mencurigai wanita itu. Karena, sebelum sampai di Padepokan Gunung Lawu ini, terlebih dahulu Pendekar Rajawali Sakti bertemu Winarti yang asli di Gua Pantai Selatan.

Sementara itu Aria Kandaka sudah berada di luar ruang utama padepokannya ini. Rangga masih tetap mengikuti dari belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju gua tempat penyimpanan senjata pusaka Padepokan Gunung Lawu. Tapi baru saja sampai di mulut gua, mendadak saja....

“Paman, awas...!” seru Rangga tiba-tiba.

“Hup! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Rangga melesat cepat begitu melihat secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arah Aria Kandaka. Pada saat yang bersamaan, Aria Kandaka menjatuhkan diri ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Rangga mengebutkan tangan kanan untuk menyampok sinar keperakan yang meluncur cepat bagaikan kilat itu.

“Akh...!” Rangga terpekik agak tertahan.

Cepat-cepat tubuhnya diputar dan mendarat di tanah. Pendekar Rajawali Sakti agak limbung sedikit begitu kakinya menjejak tanah. Tangan kanannya yang memerah bagai sepotong besi di dalam tungku pembakaran dipeganginya. Sementara itu Aria Kandaka yang sudah bangkit berdiri, segera menghampiri Rangga.

“Kenapa tanganmu?” tanya Aria Kandaka.

“Tidak apa-apa,” sahut Rangga.

Aria Kandaka memperhatikan tangan Rangga yang masih kelihatan memerah. Kalau saja Rangga tidak mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir, mungkin sekarang ini tangannya sudah buntung saat menyampok sinar keperakan tadi. Namun begitu, rasa panas tetap menjalar di tangannya. Begitu panasnya, sehingga dari pergelangan tangan hingga ke ujung jarinya memerah bagai terbakar.

“Hati-hati, Paman. Rupanya dia sudah mengetahui kalau kedoknya sudah terbongkar,” Rangga memperingatkan.

Pada saat itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar sepuluh orang berpakaian serba hitam. Mereka berlompatan ringan, dan langsung mengurung sambil menghunus golok melintang di depan dada. Sulit untuk melihat wajah mereka, karena kesepuluh orang ini menutupi wajah dengan kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat

“Hm..., siapa mereka...?” gumam Aria Kandaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Seraaang...!”

Begitu terdengar teriakan memberi perintah, seketika itu juga sepuluh orang berbaju serba hitam yang menggenggam senjata golok langsung berlompatan menyerang. Rangga dan Aria Kandaka terpaksa berlompatan. Mereka memisahkan diri, sehingga sepuluh orang ini terpaksa memecah menjadi dua bagian. Lima orang mengeroyok Aria Kandaka, dan lima orang lagi menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Cring!
Bet!

Aria Kandaka yang memang hatinya sudah terbakar amarah, tidak ingin tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan pedangnya, dan dikebutkan dengan cepat. Lima orang berpakaian hitam yang mengeroyoknya langsung terbabat. Begitu cepatnya gerakan permainan pedang Ketua Padepokan Gunung Lawu itu, sehingga lima orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa lagi membendungnya.

Jeritan-jeritan panjang melengking terdengar saling susul. Dalam beberapa gebrakan saja, lima orang itu sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi. Aria Kandaka langsung saja melompat cepat hendak membantu Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”

Seperti seekor banteng jantan yang terluka, Aria Kandaka cepat mengebutkan pedang. Langsung dibabatnya lima orang berbaju serba hitam yang menyerang Rangga. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar. Rangga terkejut melihat Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengamuk, membantai orang-orang berbaju hitam tanpa ampun lagi.

“Mampus kalian, Keparat..!” geram Aria Kandaka memaki.

Dalam waktu yang tidak begitu lama saja, sepuluh orang berbaju serba hitam itu sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Udara malam yang semula dingin dan bersih, kini tercemar bau anyir darah yang mengucur dari tubuh sepuluh orang berbaju serba hitam ini.

“Tidak seharusnya kau membantai mereka, Paman,” ujar Rangga tidak menyetujui tindakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

“Mereka pantas mampus!” dengus Aria Kandaka kesal.

Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dihampirinya salah seorang penyerang itu. Lalu dilepaskannya kain hitam yang menyelubungi wajahnya.

“Heh...?!” sentak Aria Kandaka terkejut begitu kain hitam yang menutupi wajah orang itu terbuka.

DELAPAN

Aria Kandaka membuka kain hitam penutup muka orang-orang itu satu persatu. Kedua matanya semakin lebar terbeliak. Sepuluh orang berpakaian serba hitam ini ternyata adalah murid-muridnya sendiri. Memang, dia tadi cepat bertindak membunuh sehingga tidak sempat lagi mengenali jurus-jurus yang mereka gunakan. Tidak heran kalau dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang itu mampu dituntaskan.

“Setan...! Kenapa mereka memusuhiku...?!” dengus Aria Kandaka geram.

“Mereka lebih patuh pada perintahku, Arya Kandaka.”

“Heh...?!”

Aria Kandaka cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping mengenakan baju hitam pekat. Meskipun sudah berumur lebih dari empat puluh tahun, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Sementara Rangga yang berada di samping Aria Kandaka hanya diam saja memperhatikan.

Plok, plok, plok...!

Wanita itu menepuk tangan beberapa kali. Maka dari kegelapan malam, bermunculan orang-orang berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung bergerak mengepung tempat ini. Ada sekitar dua puluh orang dengan kepala terselubung kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat

“Siapa kau sebenarnya? Kenapa mengacau padepokanku?” tanya Aria Kandaka, terdengar lantang suaranya.

“Lima tahun memang bukan waktu yang pendek. Tapi itu juga tidak cukup untuk menghapus ingatan, Aria Kandaka. Kau pasti tidak akan lupa dengan benda ini!”

Wanita berbaju serba hitam yang selama ini dikenal sebagai Winarti melemparkan sebuah benda berwarna keemasan. Benda itu jatuh tepat di ujung kaki Aria Kandaka yang terbeliak begitu mengenali benda berbentuk tusuk rambut berwarna kuning keemasan. Perlahan tubuhnya membungkuk, memungut tusuk rambut emas itu. Sebentar diperhatikannya benda itu, kemudian ditatapnya wanita berbaju serba hitam sekitar dua batang tombak di depannya.

“Mustahil...!” desis Aria Kandaka, seakan-akan tidak percaya dengan dirinya sendiri. “Kau sudah mati, Lasti....”

“Itu anggapanmu, Aria Kandaka. Tapi, kenyataannya aku masih tetap hidup. Dan sekarang, aku hendak menuntut balas!” dingin sekali nada suara wanita yang kini dikenal Aria Kandaka bernama Lasti. Bukan Winarti yang selama ini dikenalnya.

“Bagaimana mungkin kau bisa hidup? Dan wajahmu itu...?” Aria Kandaka benar-benar jadi kebingungan.

Lasti tersenyum tipis. Tangan kanannya kemudian terangkat ke wajah. Perlahan-lahan sekali tangannya bergerak seperti mengupas sesuatu di wajahnya. Dan Aria Kandaka jadi terbeliak begitu mengetahui kalau wanita itu memakai topeng yang begitu tipis, dan menyerupai wajah adiknya.

Kini, di depannya bukan lagi Winarti yang ada. Melainkan, seorang wanita berwajah cacat, penuh luka. Seperti luka akibat tergores ujung pedang. Kulit mukanya juga kelihatan hitam, seperti bekas terbakar. Aria Kandaka benar-benar terkejut, dan mengenalinya. Wajah itu memang pernah dilihatnya lima tahun yang lalu. Bahkan luka-luka di wajah yang menghitam itu akibat dari goresan ujung pedangnya.

Lima tahun yang lalu, di antara mereka memang terjadi suatu perselisihan. Tepatnya, perselisihan asmara. Dulu, selagi mereka muda, antara Aria Kandaka dengan Lasti telah terjalin cinta kasih. Namun karena Aria Kandaka mengasingkan diri ke Gunung Lawu, Lasti terpaksa ditinggalkan. Mereka memang tidak bisa bersatu, karena orang tua Lasti melarang hubungan mereka. Sebabnya, orang tua Lasti adalah antek Wira Permadi, yang memerintah Kadipaten Karang Setra waktu itu. Maka bibit cinta kemudian berkembang jadi bibit permusuhan.

Mereka kemudian bertarung di tepi sebuah jurang setelah lama tak bertemu. Aria Kandaka yang saat itu masih malang-melintang di dalam rimba persilatan, berhasil melemparkan wanita itu ke dalam jurang yang cukup dalam. Ujung pedang membabat habis wajah wanita itu.

Bahkan satu tusukan pedangnya berhasil menembus bagian dada. Memang mustahil kalau wanita yang bernama Lasti ini masih bisa bertahan hidup. Tapi kenyataannya, sekarang masih bernapas dan berada di depan orang yang dulu dicintainya.

“Kau terkejut kenapa aku masih hidup, Aria Kandaka...? Maut memang belum mau menjemputku. Seorang tua yang baik hati telah menyelamatkanku di dasar jurang. Dialah yang merawatku sehingga aku punya kesempatan membalas sakit hatiku padamu,” dingin sekali suara Lasti.

Geraham Aria Kandaka menggeretak hebat Hatinya benar-benar geram, karena selama dua purnama ini tinggal bersama-sama orang yang masih berpihak pada Wira Permadi. Bahkan semua rahasia padepokan yang dibangunnya ini sudah diketahui Lasti. Sampai tempat penyimpanan Bunga Wijaya-kusuma Merah pun diberi tahu.

Aria Kandaka baru menyadari, kalau saat seperti ini memang sudah direncanakan Lasti. Acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu, dimanfaatkan wanita ini untuk menghancurkannya dan padepokan yang didirikannya selama satu tahun ini. Bahkan dia berhasil memalingkan kesetiaan murid-murid Aria Kandaka padanya. Benar-benar suatu kerja yang rapi dan terencana baik. Dan ini membuat Aria Kandaka benar-benar geram. Dia merasa telah tertipu, tanpa dapat menyadari sedikit pun juga. Hasil kerjanya selama setahun ini begitu mudah dihancurkan oleh seorang wanita yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.

“Terimalah kematianmu, Aria Kandaka! Hiyaa...!”

“Uts!”

Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu pedang tipis berkelebat cepat di depan dadanya. Tapi sebelum sempat melakukan sesuatu, Lasti sudah kembali melakukan serangan cepat. Pedangnya berkelebatan dahsyat mengurung ruang gerak Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.

Sementara Rangga yang sudah mengetahui pertentangan cinta antara kedua orang itu segera menyingkir menjauh. Tapi, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang berbaju serba hitam yang mengelilingi sekitar tempat pertarungan ini. Pada saat itu, terlihat tamu-tamu undangan yang masih berada di padepokan menghampiri. Mereka tak ada yang berbuat sesuatu, dan hanya berdiri saja menyaksikan pertarungan Aria Kandaka melawan wanita berbaju serba hitam dari luar lingkungan kepungan orang ber-baju hitam yang menggenggam senjata golok terhunus di depan dada.

Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berjalan cepat. Dan masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang dahsyat. Begitu cepatnya pertarungan berlangsung, sehingga tubuh mereka lenyap. Yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan disertai kilatan-kilatan cahaya pedang.

“Hiyaaat..!”

Bet!

Tiba-tiba saja Aria Kandaka mengecutkan cepat pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu. Sungguh sulit dipercaya. Lasti tidak berusaha berkelit sedikit pun. Bahkan pertahanannya di bagian dada dibuka lebar-lebar. Maka tak pelak lagi, pedang Aria Kandaka yang terkenal dahsyat itu menghantam dada Lasti dengan keras.

“Ha ha ha...!” Lasti malah tertawa terbahak-bahak.

“Heh...?! Edan...!” dengus Aria Kandaka terbeliak tidak percaya.

Bukan hanya Aria Kandaka saja yang terkejut setengah mati. Tapi, Rangga dan juga semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terkejut Betapa tidak...? Jelas sekali kalau pedang Aria Kandaka membabat dada Lasti. Tapi, wanita itu tetap berdiri tegar. Bahkan tak ada sedikit pun luka di dadanya.

Aria Kandaka cepat-cepat melompat mundur. Pandangannya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengecutkan pedang di depan dada, lalu cepat melompat Pedangnya langsung dibabatkan ke leher wanita berbaju serba hitam itu.

“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Bet!
“Heh...?!”

Untuk kedua katinya mata Aria Kandaka terbeliak. Sukar dipercaya! Pedang kebanggaannya selama ini ternyata patah jadi dua bagian begitu menghantam leher wanita berbaju serba hitam itu. Pada saat yang bersamaan, Lasti menghentakkan tangan kanannya. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras meng-geledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi

“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!”

Aria Kandaka terpekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang dilepaskan Lasti mendarat telak di dada. Keras sekali tubuhnya jatuh terguling di tanah. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Aria Kandaka bangkit berdiri

“Ugkh!”

Kembali dimuntahkannya darah segar dari mulut Tarikan napasnya juga jadi terhambat, akibat pukulan bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dada.

“Saatmu sudah tiba, Aria Kandaka! Hiyaaat..!”

Lasti melompat cepat bagaikan kilat Pedangnya berkelebat mengarah ke leher Aria Kandaka. Tak ada lagi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu untuk menghindar. Terlebih lagi, saat ini tengah menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada. Aria Kandaka hanya dapat mendesis dan terbeliak melihat Lasti sudah melancarkan serangan cepat, dengan pedang mengarah ke leher. Tapi pada saat mata pedang itu hampir membabat leher Aria Kandaka, mendadak saja....

Trang!

“Ikh...?!”

Lasti tersentak kaget setengah mati. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan. Cepat-cepat serangannya ditarik, lalu melompat mundur sejauh dua batang tombak. Manis sekali kedua kakinya menjejak tanah.

“Setan...!” geram Lasti begitu melihat Rangga sudah berdiri di samping Aria Kandaka.

“Sudah cukup kau menghancurkannya, Nisanak. Tidak perlu sampai membunuhnya,” tegas Rangga.

“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Lasti geram.

“Aku memang tidak ada urusan dalam hal ini. Tapi tindakanmu sudah kelewat batas, Nisanak. Kau hancurkan nama baik seseorang, hanya untuk mengumbar nafsu dan dendammu,” kata Rangga, tetap tegas suaranya.

“Hanya satu kali kuperingatkan, Pendekar Rajawali Sakti! Minggirlah, atau kau juga ingin mampus!” ancam Lasti tidak main-main.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit

Mata Pendekar Rajawali Sakti melirik Aria Kandaka yang berada di sampingnya. Keadaan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Luka dalam akibat pukulan Lasti tadi, seakan-akan telah meremukkan seluruh rongga dadanya. Bahkan tarikan napasnya saja sudah demikian terhambat.

“Menyingkirlah, Paman. Biar kutangani dia,” ujar Rangga.

“Hati-hatilah, Rangga. Aku yakin dia membawa Bunga Wijayakusuma Merah. Tubuhnya jadi kebal, dan kepandaiannya berlipat ganda,” Aria Kandaka memperingatkan.

Setelah memperingatkan Pendekar Rajawali Sakti, Aria Kandaka bergerak ke belakang menjauhi. Sementara Lasti sudah bersiap melakukan serangan. Pedangnya sudah melintang di depan dada. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Matanya menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita berbaju serba hitam di depannya.

“Aku sering mendengar julukanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal kalau mati di tanganku,” ancam Lasti dingin.

“Aku hanya ingin mencoba keampuhan Bunga Wijayakusuma Merah yang kau bawa,” sambut Rangga kalem.

“Rupanya kau sudah tahu kalau aku yang memiliki bunga itu, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Lasti dingin.

“Ya. Karena tak ada orang lain lagi yang tahu tempat penyimpanannya selain kau. Mustahil bunga itu hilang begitu saja dari tempatnya.”

“Kau baru datang siang tadi, tapi sudah tahu segalanya. Aku mengagumi kepintaranmu dalam menilai, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang, kau akan mati malam ini,” semakin dingin suara Lasti.

“Terima kasih.”

“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!”

“Hup! Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, mereka melompat saring menerjang. Lasti melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan tangan kirinya. Serangan itu langsung disambut Rangga dengan hentakan tangan kanannya. Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu di udara, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.

Tampak mereka sama-sama terpental berputaran ke belakang. Hampir bersamaan pula, mereka mendarat kembali di tanah. Lasti langsung melesat lagi begitu kakinya menjejak tanah. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah dada Rangga. Namun dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari tebasan pedang wanita berbaju serba hitam ini.

Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Lasti yang sudah banyak mendengar kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lagi bermain tanggung-tanggung, meskipun sekarang ini sudah menguasai Bunga Wijayakusuma Merah yang membuat kepandaiannya jadi berlipat ganda. Bahkan tubuhnya juga jadi kebal terhadap senjata. Itu terbukti ketika pedang Aria Kandaka patah begitu membabat lehernya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai sepuluh jurus berlalu, Rangga masih menghadapi dengan tangan kosong. Beberapa kali pukulannya berhasil mendarat, tapi tak sedikit pun membuat Lasti goyah. Bahkan wanita itu kelihatan semakin garang. Dan setiap pukulan Rangga yang mendarat di tubuhnya, membuat kekuatan wanita itu terus bertambah. Hingga, tak sedikit pun merasa sakit setiap kali mendapat pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm... Kekuatannya semakin bertambah besar saja. Sungguh dahsyat pengaruh bunga itu pada dirinya,” gumam Rangga langsung menyadari.

Sementara Lasti semakin dahsyat saja melancarkan serangan-serangannya. Dan Rangga tidak lagi membalas menyerang. Dia hanya berkelit, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Pendekar Rajawali Sakti terus mencari kelemahan wanita berbaju serba hitam itu. Hingga akhirnya....

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat tubuhnya meluruk deras membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga Lasti tak sempat lagi menyadari. Dan sebelum wanita berwajah penuh luka itu melakukan sesuatu, kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah mendepak kepalanya.

“Akh...!” Lasti terpekik keras agak tertahan. Wanita bermuka buruk penuh luka itu kontan terhuyung-huyung terkena dupakan kaki Rangga pada kepalanya. Dan sebelum dapat berbuat sesuatu, Rangga sudah mencabut pedang pusakanya. Sinar biru langsung menerangi sekitarnya. Kemudian pedangnya dikebutkan ke arah dada. Tapi Pendekar Rajawali Sakti menahan arus tebasan sedikit, sehingga ujung pedangnya hanya menebas baju bagian dada wanita itu.

Bet!

“Ikh...?!”

Lasti jadi kelabakan, karena bagian dadanya jadi terbuka. Pada saat itu, tangan kiri Rangga bergerak cepat menyambar bagian perut wanita itu.

Bret!

“Hup!”

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya sejauh dua batang tombak dari wanita berbaju serba hitam ini. Di tangan kirinya kini telah tergenggam sobekan baju Lasti. Di antara sobekan kain itu, terdapat sekuntum bunga berwarna merah bagai berlumur darah.

“Keparat..!” geram Lasti.

Rangga tersenyum melihat hasil serangannya begitu memuaskan. Kini tak ada lagi kekuatan yang dimiliki Lasti tanpa Bunga Wijayakusuma Merah. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang langsung lenyap seketika begitu pedang itu tenggelam ke dalam warangka.

“Kubunuh kau, Rangga! Hiyaaat..!”

Lasti jadi nekat. Bagaikan kilat dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dikibaskan disertai pengerahan seluruh kemampuan tenaganya. Tapi hanya sedikit saja Rangga menarik tubuh ke belakang, tebasan pedang itu berhasil dihindari. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti berhasil memasukkan satu sodokan tangan kanan ke dada wanita ini.

“Akh...!”

Lasti terpental ke belakang, dan tidak dapat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan pada saat itu, Aria Kandaka melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok yang dipungutnya dari tanah.

"Hiyaat..!"

"Paman, jangan...!" seru Rangga mencoba mencegah. Tetapi terlambat...

Bres! "Aaa...!"

Golok di tangan Aria Kandaka langsung menghunjam dalam ke dada wanita berwajah buruk penuh luka itu. Darah seketika menyembur deras sekali. Lasti berkelojotan, sementara golok masih memanggang dadanya dengan dalam hingga sampai ke pangkal gagangnya.

Tak berapa lama dia mengejang, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Aria Kandaka cepat melompat mundur begitu melihat bekas kekasih yang telah menjadi musuh bebuyutannya sudah tak bernyawa lagi. Saat itu Rangga sudah berada di sampingnya. Perlahan Aria Kandaka memutar tubuhnya menghadap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya pendekar muda itu, lalu pandangannya beredar ke sekeliling.

“Pergilah. Bawa bunga itu untuk Nyai Karti. Dia lebih membutuhkan daripada aku,” kata Aria Kandaka.

“Bagaimana dengan di sini?” tanya Rangga.

“Biar aku yang mengurus. Tidak semua muridku berkhianat,” sahut Aria Kandaka.

Memang di tempat ini, terlihat beberapa orang pemuda berbaju serba merah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang berbaju hitam sudah menjatuhkan diri, berlutut begitu melihat Lasti tewas. Dan orang-orang persilatan yang masih berada di padepokan ini, satu persatu menyingkir meninggalkan bagian belakang padepokan ini. Mereka seperti tidak mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi.

Rangga menatap dua orang gadis kembar yang tadi menyatu bersama orang-orang persilatan tamu undangan Padepokan Gunung Lawu ini. Rangga tidak lagi terkejut melihat mereka. Memang sudah diduga kalau kedua gadis kembar itu pasti datang kembali ke padepokan ini untuk mencari Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat dibutuhkan bagi penyembuhan ibu mereka dari kelumpuhan. Rangga tak peduli kalau kedua gadis itu merasa malu, karena tak mempercayainya.

“Aku akan kembali lagi ke sini, Paman,” kata Rangga.

“Kedatanganmu selalu kuharapkan. Pergilah, sebelum ada di antara mereka yang menginginkan bunga itu,” sahut Aria Kandaka.

Rangga menjura memberi hormat, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati dua orang gadis kembar itu. Sementara Aria Kandaka masih berdiri memperhatikan. Sebentar Rangga berbicara pada Dewi Kembar dari Utara, kemudian mereka sama-sama beranjak pergi meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini.


SELESAI