Dewi Goa Ular

Pendekar Rajawali Sakti Episode Dewi Goa Ular

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

DEWI GOA ULAR

SATU
"Serang...!"

"Bunuh...!"

"Cincang...!"

Macam-macam teriakan keras terdengar memecah kesunyian dan ketenangan sebuah lembah. Teriakan-teriakan itu disusul suara gemuruh dari puluhan pasang kaki yang berlarian cepat menuruni tebing lembah. Lembah yang terdiri dari bebatuan itu seakan-akan hendak runtuh oleh gemuruh langkah-langkah kaki yang berlari cepat sambil melontarkan caci maki dan sumpah serapah yang keras.

Entah berapa puluh, atau mungkin ratusan orang yang berhamburan, berlarian memasuki lembah. Mereka semua menghunus senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran sambil bertari sekencang-kencangnya. Tujuan mereka adalah sebuah bangunan berpagar balok kayu yang cukup tinggi dan kokoh, yang bagian atasnya meruncing tajam.

Tampak kepala kepala menyembul di atas pagar balok kayu yang cukup tinggi, kemudian disusul pucuk-pucuk anak panah yang sudah terpasang di busurnya. Tepat di atas pintu gerbang yang tertutup rapat, berdiri tegak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih panjang dan longgar. Matanya memandangi orang-orang yang berlarian menuju ke arah bangunan menyerupai benteng ini. Di samping orang tua berjubah putih itu, berdiri seorang gadis berparas cukup cantik. Bajunya berwarna merah muda. Tampak di pinggangnya tergantung sebilah pedang berukuran panjang.

"Jumlah mereka semakin banyak saja, Ayah," jelas gadis berbaju cukup ketat berwarna merah muda.

"Hm...," orang tua berjubah putih itu hanya menggumam saja.

Sementara orang-orang yang berlarian menuju bangunan menyerupai benteng ini sudah semakin dekat saja. Tampak seorang yang menunggang kuda dan berada paling depan, mengangkat tangan kanannya yang memegang tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya. Dan orang-orang yang berlarian di belakangnya segera berhenti bertari. Mereka sudah cukup dekat, tapi masih berada di luar jangkauan anak panah.

Ada sekitar lima orang lagi yang menunggang kuda. Dan mereka berada di belakang laki-laki tua berjubah biru yang menunggang kuda paling depan dan memegang tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya. Di belakang mereka, juga ada sekitar dua puluh orang yang juga menunggang kuda, selain seratus lebih orang yang berjalan kaki. Mereka semua menatap ke arah orang tua berjubah putih yang berdiri tegak di atas pagar balok kayu yang tinggi dan runcing.

"Tampaknya mereka siap, Eyang," kata salah seorang yang menunggang kuda.

Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap dan wajahnya cukup tampan. Baju biru tua yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebuah pedang tampak tersampir di punggungnya.

"Tapi jumlah kita lebih banyak. Sebaiknya, langsung diserang saja, Eyang," sambung seorang lagi yang mengenakan baju warna kuning agak kemerahan. Dia membawa seutas cambuk hitam berduri.

Sementara orang tua berjubah biru tetap diam tanpa berkedip menatap lurus ke depan. Perlahan tangannya yang memegang tombak pendek bermata dua diangkat.

"Siapkan panah api!" teriak orang tua berjubah biru itu memberi perintah.

Seketika itu juga, dua puluh orang anak-anak muda melangkah maju. Mereka membawa busur panah panjang, dan beberapa anak panah di punggung. Segera disiapkannya panah-panah yang pada bagian ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan. Ujung panah itu segera dibakar, sehingga api berkobar dan siap dilepaskan.

"Lepaskan...!" perintah orang tua berjubah biru, lantang.

Wusss! Singgg...!

Dua puluh batang anak panah berapi seketika meluncur deras ke arah bangunan bagai benteng itu. Pada saat yang bersamaan, dari arah bangunan meluncur juga puluhan anak panah menyambut serangan panah-panah api itu. Panah-panah itu saling beradu di udara. Dan semua panah api seketika rontok berjatuhan sebelum mencapai sasaran.

"Keparat..!" geram orang tua berjubah biru melihat panah-panah api berguguran tanpa membawa hasil.

Sementara dua puluh orang yang membawa busur sudah kembali siap dengan panah apinya. Dan panah-panah api itu kembali dilepaskan tanpa menunggu perintah lagi. Namun, kembali panah-panah itu disambut oleh panah-panah, sehingga rontok sebelum mencapai sasaran. Beberapa kali mereka mencoba, tapi tetap tak membawa hasil yang diinginkan.

"Prabawa! Siapkan orang-orangmu. Serang mereka!" perintah orang tua berjubah biru, seraya berpaling menatap pemuda tampan berbaju kuning yang membawa cambuk hitam berduri.

"Baik, Eyang," sahut pemuda yang dipanggil Prabawa.

Segera Prabawa menyiapkan orang-orangnya yang berjumlah sekitar tiga puluh. Kemudian mereka diperintahkan untuk menyerang. Prabawa sendiri segera menggebah kudanya sambil berteriak-teriak memberi semangat bertempur pada orang-orangnya yang berlarian cepat sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata ke atas kepala.

Dan begitu mereka berada dalam jangkauan panah, seketika itu juga meluncur puluhan panah dari atas bangunan menyerupai benteng itu. Puluhan panah yang meluncur bagai hujan itu, tentu saja sukar dibendung lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh terpanggang panah.

"Panah api, seraaang...!" seru orang berjubah biru memberi perintah.

Wusss...!

Panah-panah api seketika itu juga berhamburan ke arah bangunan benteng. Tentu saja serangan yang dilancarkan secara cepat dan hampir bersamaan, sama sekali tidak diduga orang-orang yang berada di dalam benteng. Mereka berusaha menghancurkan panah-panah api. Tapi beberapa di antaranya lolos dari sergapan, dan langsung masuk ke dalam lingkungan benteng.

Api langsung berkobar di dalam benteng, membuat orang-orang yang berada di dalamnya jadi kalut. Sementara Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, terus merangsek semakin dekat. Sedangkan laki-laki tua berjubah biru sudah mempersiapkan orang-orangnya untuk menyerang. Dan begitu Prabawa sampai di depan pintu benteng yang tertutup rapat itu, tiba-tiba....

"Seraaang...!"

Pekik dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur seketika itu juga terdengar menggemuruh, memecah kesunyian lembah ini. Entah berapa puluh orang bersenjata terhunus berhamburan bagai air bah yang jebol tanggulnya, menerjang bangunan bagai benteng itu. Sementara, panah-panah dari atas benteng tidak lagi segencar tadi. Beberapa dari mereka juga melepaskan panah-panah, baik yang berapi maupun tidak.

Tampak beberapa tubuh terjatuh dari atas dengan tubuh terpanggang anak panah. Sementara Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, berusaha menjebol pintu benteng dengan sebuah gelondongan kayu berukuran cukup besar.

Dan di atas benteng, laki-laki berjubah putih yang didampingi anak gadisnya, terus sibuk mengatur murid-muridnya mempertahankan benteng itu. Sedangkan penghuni benteng yang rata-rata masih berusia muda, sebagian berusaha memadamkan api, dan sebagian lagi mencoba membalas serangan-serangan dari luar dengan hujan panah.

Pekik dan teriakan pertempuran berbaur menjadi satu, membuat lembah yang semula sunyi tenang itu bagai hendak runtuh. Tubuh-tubuh bersimbah darah tampak bergelimpangan, di antara kaki-kaki yang terus bergerak cepat mendekati bangunan benteng itu. Mereka seakan-akan tidak mempedulikan tubuh yang semakin banyak bergelimpangan di sekitarnya. Dan hujan anak panah masih saja berlangsung, meskipun tidak lagi banyak seperti tadi. Beberapa pemanah di atas benteng sudah tak bernyawa lagi, tertembus panah balasan dari luar benteng.

"Mereka sudah kehabisan panah, Ayah," jelas gadis berbaju merah muda memberi tahu.

"Hm..."

"Api juga semakin besar," sambungnya lagi.

Orang tua berjubah putih panjang itu hanya diam saja. Sikapnya juga kelihatan gelisah, terlebih lagi pintu benteng ini sudah hampir jebol. Hingga akhirnya....

Brak!

Pintu yang terbuat dari kayu tebal itu akhirnya hancur juga. Maka, orang-orang yang dipimpin Prabawa segera berhamburan masuk ke dalam benteng. Tapi, mereka langsung disambut pemuda-pemuda di dalam benteng yang memang sudah siap. Sehingga, pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Bahkan semakin banyak saja yang masuk ke dalam benteng itu. Sehingga, mereka yang berada di atas benteng jadi berlompatan turun.

Jerit dan pekik melengking tinggi semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh tampak sudah mulai bergelimpangan berlumuran darah. Sementara api semakin besar berkobar di dalam benteng. Jumlah orang yang menyerang memang lebih banyak, sehingga penghuni benteng yang rata-rata masih berusia muda tak sanggup lagi membendung serangan.

"Hiyaaat..!"

Tiba-tiba saja orang tua berjubah biru melompat naik ke atas benteng. Dengan gerakan ringan dan indah sekali, dia hinggap sekitar tiga langkah di depan orang tua berjubah putih. Langsung tombak pendeknya yang bermata dua dikebutkan.

Bet! "Uts!"

Laki-laki tua berjubah putih itu cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga serangan itu dapat dihindari. Dua orang tua itu langsung terlibat dalam pertarungan sengit di atas benteng. Sementara, gadis berbaju merah muda sudah terjun dalam kancah pertempuran. Gerakan-gerakannya begitu cepat dan gesit. Amukannya bagai banteng betina. Setiap kebutan pedangnya selalu menimbulkan korban nyawa. Tapi, karena jumlah lawan banyak, memang sukar ditandingi. Sehingga, penghuni benteng itu semakin terdesak saja. Dan sudah tidak terhitung lagi yang ambruk tak bernyawa.

"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari atas benteng.

"Ayah...!" gadis cantik berbaju merah muda menjerit keras ketika melihat ayahnya yang berjubah putih terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah.

Dan saat itu, orang tua berjubah biru sudah melepaskan satu tendangan keras yang mendarat telak di dada berlumuran darah itu. Tak pelak lagi, laki-laki tua berjubah putih itu terpental jatuh dengan keras sekali ke bawah. Tubuhnya menghantam beberapa gelondong kayu yang bertumpuk hingga hancur berentakan.

"Ayah...! " jerit gadis berbaju merah muda itu. Cepat gadis itu melompat menghampiri ayahnya yang tergeletak di antara kepingan kayu. Kepala ayahnya diangkat dan diletakkan ke pahanya. "Ayah...." agak tercekat suara gadis itu.

"Cepat, selamatkan dirimu. Kau harus selamat, Swani... Kau harus bisa membalas" ujar orang tua berjubah putih itu terbata-bata.

"Ayah..."

"Kau tidak boleh mati di sini, Swani. Cepatlah pergi. Akh!"

"Ayah...!"

Gadis yang dipanggil Swani itu memeluk ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi. Sementara pertarungan masih terus berlangsung, walau kelihatannya para penyerang sudah dapat menguasai benteng secara penuh. Jeritan-jeritan kematian masih saja terdengar saling sambut.

Swani perlahan bangkit berdiri. Sebentar diperhatikannya pertarungan itu, kemudian melompat cepat ke pintu. Tapi seorang yang menunggang kuda rupanya melihat gadis itu hendak kabur. Maka kudanya cepat digebah hendak mengejar.

"Heyaaa...!"

Sayang gerakan kudanya kalah cepat daripada lompatan Swani. Sehingga, gadis itu berhasil mencapai luar benteng, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan benteng yang semakin habis terbakar. Sedangkan penunggang kuda yang mengejarnya, hanya bisa mengumpat melihat buruannya sudah demikian jauh dan tak mungkin lagi dikejar.

"Setan...!" "Jangan diam saja! Kejar dia, Braga...!" sebuah suara keras menggelegar, terdengar dari atas benteng.

Penunggang kuda yang dipanggil Braga itu menoleh ke atas sebentar. Setelah tahu siapa yang mengeluarkan suara itu, cepat kudanya digebah untuk mengejar Swani yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Kudanya dipacu cepat seperti kesetanan, sehingga tubuhnya tampak terguncang-guncang.
Pendekar Rajawali Sakti
Sementara itu, Swani sudah cukup jauh meninggalkan benteng di tengah-tengah lembah. Gadis itu berhenti setelah merasakan tidak ada seorang pun yang mengejar. Napasnya tersengal, dan kedua matanya dipenuhi linangan air bening. Beberapa kali air matanya disusut dengan punggung tangan. Dari tempat yang cukup tinggi ini, dia bisa melihat jelas benteng di tengah-tengah lembah itu yang semakin hancur. Asap hitam membumbung tinggi, dan api semakin besar berkobar melahap bangunan itu

"Ayah...," desis Swani lirih, agak tersendat suaranya. "Maafkan aku, Ayah. Aku tidak bisa membawamu keluar dari sana."

Swani terus memandangi benteng yang semakin hancur terbakar. Tampak puluhan orang mengelilingi benteng. Kalau dia dapat mendengar, pasti mereka tengah bersorak-sorai bergembira atas kemenangan itu. Swani menarik napas dalam-dalam, dan mengeringkan air mata dengan selembar saputangan dari kain sutra halus berwarna merah muda.

"Aku harus membalas kematianmu. Ayah. Akan kubunuh mereka satu persatu," tekad Swani.

Tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah di depan gadis itu. Dan tahu-tahu, sekitar dua tombak di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Sebatang tombak panjang berwarna merah darah, tergenggam di tangannya. Swani tahu, orang itulah yang tadi berusaha mencegahnya keluar dari benteng.

"Rupanya tidak sulit mengejarmu, Bocah Ayu," ujar laki-laki yang bernama Braga.

"Hm..." Swani menggumam. Sorot matanya tajam, penuh kebencian dan dendam yang membakar di dada. Perlahan gadis itu menarik keluar pedangnya, dan digenggam erat-erat melintang di depan dada.

"Kau juga harus mampus seperti yang lain, Bocah! Hiyaaat..!"

Cepat sekali Braga melompat menyerang. Tombaknya yang berwarna merah bagai berlumur darah ditusukkan ke arah dada Swani. Tapi dengan gerakan manis sekali, gadis itu berkelit menghindar. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, pedangnya di kebutkan untuk membalas serangan itu.

Bet! "Ups!"

Braga cepat-cepat menarik dirinya ke belakang, sehingga tebasan pedang Swani tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan kembali tombaknya dihentakkan cepat sambil melompat ke atas. Swani membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Maka ujung tombak Braga hanya menancap di tanah kosong. Pada saat itu, Swani cepat melompat bangkit. Langsung diberikannya satu tendangan menyamping yang keras dan menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
Begkh!

"Akh...!" Braga memekik keras begitu punggungnya terkena tendangan keras gadis itu. Laki-laki itu terhuyung-huyung ke depan, lalu cepat-cepat mencabut tombaknya yang menancap di tanah. Tubuhnya kemudian cepat berputar sambil mengebutkan tombaknya. Tapi Swani lebih cepat lagi melentingkan tubuh ke udara. Bahkan pedangnya kembali bergerak cepat berkelebat ke arah kepala laki-laki separuh baya itu.

"Hih!"

Tak ada lagi kesempatan bagi Braga untuk berkelit menghindar. Maka cepat tongkatnya diangkat untuk menangkis tebasan pedang gadis itu. Dua senjata seketika beradu keras di atas kepala Braga.

Trak! "Heh...?!"

Lagi-lagi Braga terkejut, begitu mendapati kenyataan yang tidak diduga sama sekali. Ternyata tombak kebanggaannya terpenggal jadi dua bagian. Sungguh tidak disangka kalau gadis ini memiliki kepandaian dan kekuatan luar biasa. Dan sebelum keterkejutannya menghilang, mendadak saja Swani sudah memberi satu serangan lagi dengan pedangnya.

"Hiyaaat!"
Wuk!
Cras!
"Akh...!"

Untuk kedua kalinya Braga memekik keras agak tertahan. Darah seketika muncrat keluar dari bahunya yang terbabat ujung pedang Swani. Kembali rubuh Braga terhuyung-huyung ke belakang. Tapi sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Swani sudah kembali bergerak cepat.

"Hiyaaat..!"

Gadis itu melompat cepat bagaikan kilat. Pedangnya tertuju lurus, dan langsung ditusukkan ke dada lawan. Sedangkan Braga sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan begitu gencar dan dahsyat Laki-laki separuh baya itu hanya dapat mendelik, dan....

Crab! "Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri perlawanan Braga. Pedang Swani menembus dadanya begitu dalam, rangga tembus ke punggung. Swani mencabut pedangnya dari tubuh laki-laki setengah baya itu. Sebentar Braga bisa berdiri dengan sorot mata seakan tidak percaya, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari dada yang berlubang akibat tusukan pedang Swani.

"Huh! Kau pikir mudah menaklukkan aku, Keparat..?!" dengus Swani sengit.

Cring!

Sambil menghembuskan napas kencang, Swani memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung. Sebentar dipandanginya Braga yang masih berkelojotan meregang nyawa. Kemudian laki-laki setengah baya itu mengejang kaku, lalu diam tak berkutik lagi.

"Teman-temanmu akan segera menyusul. Keparat..!" desis Swani terselimut dendam di hatinya.

Gadis itu masih memandangi Braga yang sudah tidak bernyawa lagi, kemudian mengalihkannya ke arah lembah. Tampak asap hitam dan tebal masih membumbung tinggi ke angkasa dari bangunan benteng yang terbakar habis. Sementara, orang-orang yang menghancurkan benteng di lembah itu sudah tidak terlihat lagi di sana. Swani tidak tahu, ke mana mereka pergi. Tapi dia tidak mau gegabah pergi ke sana. Kembali ditatapnya Braga yang tergeletak tak bernyawa lagi di dekatnya.

"Mereka pasti akan datang ke sini. Hm.... Aku harus mencari tempat yang aman dulu," gumam Swani perlahan.

Bagaikan kilat, gadis itu cepat melesat pergi masuk ke dalam hutan yang cukup lebat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga dalam sekejapan saja, Swani sudah lenyap tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

********************

DUA

Entah sudah berapa lama Swani berlari menembus lebatnya hutan. Sampai hari gelap, gadis itu baru berhenti berlari. Dan kini punggungnya disandarkan di sebatang pohon yang cukup besar. Napasnya terengah-engah, dan keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Kemudian Swani mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya kegelapan saja yang ada di sekitarnya. Begitu pekat, sehingga tidak bisa melihat jarak jauh. Terlebih lagi, disekitarnya kabut begitu tebal. Sehingga, menimbulkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.

"Hhh...!"

Swani sedikit menggigil begitu angin dingin menerpa. Tubuhnya semakin dirapatkan ke pohon yang cukup besar itu, untuk melindungi diri dari terpaan angin yang begitu dingin menggigilkan. Tiba-tiba saja tatapan matanya tertumbuk lurus ketika kepalanya berpaling ke kanan. Kelopak matanya agak menyipit, agar bisa lebih Jelas lagi melihat di dalam kegelapan malam yang begitu pekat.

"Goa...?!" desis Swani begitu bisa memastikan.

Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya, melangkah mendekati mulut goa yang dilihatnya agak samar-samar tadi. Mata gadis itu semakin menyipit begitu mulut goa yang cukup besar ukurannya sudah terlihat jelas di depannya. Benar-benar sebuah mulut goa yang berukuran besar. Malam yang begitu gelap, membuat goa itu kelihatan hitam, bagai menyimpan sejuta teka-teki dan bahaya yang siap mengancam.

"Jangan ragu-ragu, masuklah. Cukup hangat didalam sini."

"Heh...?!"

Swani tersentak kaget ketika tiba-tiba saja ter-dengar suara menggema berat dari dalam goa di depannya. Gadis itu jadi tertegun, mencoba memastikan kalau suara yang barusan didengarnya bukan khayalan belaka. Tapi suara yang datang memang dari dalam goa ini.

"Kau tidak perlu ragu, Nisanak. Di luar begitu dingin, dan sebentar lagi akan turun hujan. Kau bisa mati kedinginan kalau terus berada di luar sana," kembali terdengar suara yang bernada berat dan menggema.

"Oh...?! Siapa itu yang bicara? Apakah kau manusia...?" agak bergetar suara Swani.

"Hanya manusia yang bicara, Nisanak. Masuklah. Kau perlu tempat berlindung, bukan...?"

"Eh...?!" lagi-lagi Swani terkejut.

Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja dari dalam goa itu melesat sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagaikan kilat. Tahu-tahu, di depan Swani sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambutnya juga sudah memutih semua. Janggutnya yang panjang, menyatu dengan kumis. Juga sudah berwarna putih bagai kapas. Bibir yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum manis dan ramah. Sinar matanya begitu bening dan sejuk, bagaikan bola mata seorang bayi yang baru dilahirkan.

Swani memandangi tanpa berkedip. Dia seperti tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Seekor ular belang yang melilit di tangannya membuat Swani saat itu juga bisa mengenali, siapa laki-laki tua berjubah putih yang baru keluar dari dalam goa itu. Dan semua orang dari kalangan persilatan, pasti mengenalnya. Karena, orang tua itu memang sudah dikenal di kalangan persilatan sebagai Pertapa Goa Ular. Swani hampir tidak percaya kalau sekarang ini berada di depan Goa Ular.

"Terimalah salam hormatku, Eyang," ucap Swani seraya membungkukkan tubuh memberi hormat.

"Bocah bagus. Aku terima salam hormatmu," sambut Pertapa Goa Ular lembut "Kenapa kau tadi ragu-ragu. Anak Manis?"

"Maafkan aku. Eyang. Aku harus berhati-hati pada setiap undangan yang tidak kukenal," sahut Swani memberi alasan.

"Sikap yang bagus," puji Pertapa Goa Ular. "Nah! Sekarang, maukah kau menerima undanganku? Sudah cukup lama aku tidak kedatangan tamu."

"Terima kasih. Eyang. Kalau tidak merepotkan, dengan senang hati undanganmu kuterima," sahut Swani.

Tentu saja Swani senang mendapat undangan dari seorang tokoh tua yang sakti dan sangat disegani di kalangan rimba persilatan ini. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi cerita tentang Pertapa Goa Ular sudah sering didengarnya. Bahkan ayahnya sering menceritakannya hampir setiap saat.

"Mari, masuklah. Sebentar lagi hujan akan turun," ajak Pertapa Goa Ular ramah.

"Terima kasih," ucap Swani.

Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam goa ini. Swani sempat mendongakkan kepala ke atas. Langit malam ini memang begitu pekat, terselimut awan hitam tebal. Dan begitu mereka berada di dalam goa, hujan langsung jatuh turun bagai ditumpahkan dari langit. Begitu derasnya, membuat suara menggemuruh bagai hendak meruntuhkan seluruh jagat raya.

Swani jadi bergidik saat sudah berada di dalam goa yang cukup terang dan hangat ini. Tak ada api di dalam goa ini, tapi keadaannya cukup terang. Hal ini disebabkan batu-batu di sekitar goa ini mengeluarkan cahaya bagaikan intan. Yang membuat Swani bergidik, bukan batu-batu yang mengeluarkan cahaya itu. Melainkan, sekitar goa ini dipenuhi ular dari berbagai jenis. Dan kebanyakan dari jenis ular berbisa!

Binatang-binatang melata itu mendesis saat melihat Swani, tapi tak ada seekor pun yang bergerak. Mereka semua diam hanya memandangi gadis itu saja. Bau amis yang memualkan langsung menyeruak, menyengat hidung. Swani mencoba bertahan, meskipun perutnya mendadak jadi begitu mual.

"Silakan duduk, Nisanak," Pertapa Goa Ular mempersilakan dengan ramah.

"Terima kasih," ucap Swani perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.

Mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan. Sebongkah batu pipih berwarna putih dan mengeluarkan cahaya kemilau, menjadi pembatas di antara mereka. Ular belang yang melingkar di tangan kanan Pertapa Goa Ular itu berpindah, dan melingkar di atas batu pipih bercahaya kemilau itu.

Sementara hujan di luar semakin deras saja. Meskipun angin yang berhembus menerobos masuk ke dalam goa ini begitu kencang, tapi Swani sama sekali tidak merasakan dingin. Padahal, angin itu menerpa tubuhnya demikian kuat. Di hatinya, memang masih terselip keanehan.

Di dalam goa ini keadaannya begitu terang, tapi sama sekali tidak terlihat cahayanya dari luar. Goa ini kelihatan gelap gulita dari luar sana. Dan Swani juga merasa heran pada dirinya sendiri, karena tidak lagi merasa mual. Bahkan jadi tidak peduli meskipun di sekitarnya begitu banyak ular dari berbagai jenis. Padahal, tadinya dia paling jijik melihat ular.

"Aku melihat ada guratan kedukaan di matamu...," tebak Pertapa Goa Ular memecah kesunyian yang terjadi di antara mereka. "Bahkan detak jantungmu, dengus napasmu, aliran darahmu juga memancarkan suatu gejolak dendam. Kalau boleh kutahu, kenapa kau bisa berada di depan goa ini tadi?"

"Maaf, Eyang. Mungkin aku mengganggu istirahatmu. Tapi, aku sama sekali tidak sengaja. Bahkan aku tidak tahu kalau tadi berada di depan tempat tinggalmu ini," sahut Swani.

"Kau lari dari seseorang, Nisanak?" tanya Pertapa Goa Ular lagi.

"Benar, Eyang. Bukan hanya satu orang. Tapi banyak," jawab Swani berterus terang.

"Hm...," gumam Pertapa Goa Ular perlahan. Sinar mata orang tua itu jadi tajam memperhatikan raut wajah gadis cantik di depannya. Sedangkan yang dipandangi hanya diam saja, agak tertunduk. Sungguh Swani tak sanggup menentang sinar mata orang tua itu. Begitu tajam, dan memancarkan sinar yang sangat kuat. Rasanya memang sulit ditentang.

"Ceritakan, apa yang terjadi pada dirimu sehingga sampai ke sini," pinta Pertapa Goa Ular.

Tanpa diminta dua kali, Swani menceritakan semua peristiwa yang terjadi Juga, disebutkannya beberapa nama yang menyerang tempat tinggalnya. Sampai ayahnya tewas, dan dia terpaksa lari dari lembah itu. Dia juga tidak tahu, kenapa laki-laki tua berjubah biru menyerang dan menghancurkan padepokan ayahnya.

Sementara itu Pertapa Goa Ular mendengarkan semua cerita Swani penuh perhatian. Sedikit pun cerita itu tidak diselak, sampai Swani selesai. Bahkan orang tua itu masih tetap diam, meskipun Swani sudah selesai dengan ceritanya.

Sampai beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam. Dan Swani memang tidak punya bahan lagi untuk diceritakan. Semua yang diketahuinya sudah diceritakannya. Tak ada yang dikurangi, bahkan sedikit pun tidak ada yang ditambah. Semua yang dikatakan sama persis dengan kejadian sebenarnya.

"Hm.... Jadi kau putri tunggal Ki Sanggala, Ketua Padepokan Pedang Perak...?" pelan sekali suara Pertapa Goa Ular.

"Benar, Eyang," sahut Swani.

"Sudah lama pertentangan antara ayahmu dengan Eyang Gorak si Iblis Tombak Baja kudengar. Hhh...! Tidak kusangka kalau dia bisa mengumpulkan tokoh-tokoh persilatan untuk menghancurkan padepokan ayahmu," desah Pertapa Goa Ular.

"Aku sendiri tidak tahu, Eyang. Apa yang diinginkan Eyang Gorak, sampai-sampai begitu tega membumi-hanguskan padepokan ayahku. Bahkan tak seorang murid pun yang dibiarkan hidup. Mereka semua dibantai habis, dan Padepokan Pedang Perak juga dibakar hangus." jelas Swani lagi.

"Pertentangan itu sudah ada sejak mereka sama-sama masih muda. Dan sebenarnya pula, mereka berasal dari satu perguruan. Tapi, memang tidak semua orang dalam satu perguruan bisa punya jalan sama. Jadi tidak heran hal seperti itu sering terjadi. Perselisihan yang panjang, bahkan tidak jarang diakhiri oleh pertumpahan darah," kembali Pertapa Goa Ular menggumam perlahan.

"Pertentangan apa, Eyang?" tanya SwanJ yang memang tidak tahu.

"Perempuan," sahut Pertapa Goa Ular.

"Perempuan...?!"

"Ya! Guru mereka punya anak gadis yang cantik. Mereka memperebutkannya. Tapi, ayahmulah yang beruntung hingga mereka menikah dan kau lahir. Hm..., rupanya Iblis Tombak Baja masih juga menyimpan dendam pada ayahmu," kata Pertapa Goa Uar menjelaskan dengan singkat.

"Aku harus membalas, Eyang," tegas Swani penuh semangat.

"Kau tidak akan mampu menandingi iblis Tombak Baja, Anakku. Kepandaian yang kau miliki sekarang ini, belum ada seujung kukunya. Terlebih lagi, sekarang dia memiliki senjata yang sangat ampuh dan sulit dicari tandingannya. Hm.... Dia sudah berhasil menumpas penghalang utamanya. Pasti dia akan semakin merajalela dengan para begundalnya."

Swani jadi terdiam. Memang kepandaian yang dimilikinya sekarang ini tidak seberapa bila dibanding Eyang Gorak yang dikenal di kalangan persilatan berjuluk Iblis Tombak Baja. Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu menandinginya. Si Iblis Tombak Baja jadi begitu tangguh dan digdaya setelah mendapatkan senjata tombak pendek bercabang dua pada kedua ujungnya. Senjata itu memang sangat dahsyat, dan sukar dicari tandingannya saat ini. Terlebih lagi Iblis Tombak Baja sudah menyempurnakan ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya.

Bahkan untuk menandingi kaki tangan si Iblis Tombak Baja yang berjumlah lima orang saja, mungkin Swani tidak akan mampu. Gadis itu jadi termenung menyadari keterbatasan yang ada pada dirinya. Kalaupun harus bertindak nekat, pasti hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia saja. Dan ini pasti tidak diinginkan mendiang ayahnya yang tewas di tangan si Iblis Tombak Baja.

"Seberapa besar keinginanmu untuk menumpas mereka, Anakku?" tanya Pertapa Goa Ular memecah kesunyian lagi.

"Nyawa pun akan kupertaruhkan, Eyang." sahut Swani mantap.

"Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, rasanya akan sia-sia saja. Bahkan aku tidak yakin kau bisa bertemu Iblis Tombak Baja. Dan kau pasti sudah tewas dibantai kaki tangannya yang pasti berkepandaian lebih tinggi darimu." jelas Pertapa Goa Ular lagi.

"Mereka memang pesilat-pesilat tangguh. Eyang," pelan sekali suara Swani. "Ada lima orang yang sulit kutandingi. Sedangkan yang lainnya, mungkin bisa kuatasi."

"Aku percaya, ayahmu pasti sudah membekalimu lebih dari cukup. Tapi, itu saja tidak cukup untuk memenuhi keinginanmu, Anakku. Kau harus membekali dirimu lebih mantap lagi," tegas Pertapa Goa Ular.

"Maksud, Eyang...?" tanya Swani tidak mengerti.

"Sebenarnya, aku juga ingin meninggalkan goa ini. Aku sendiri sudah muak melihat sepak terjang Ibtis Tombak Baja. Tapi, aku sudah terlalu tua untuk kembali terjun dalam kehidupan yang keras. Aku bermaksud mengundurkan diri dari kancah persilatan. Hanya saja, aku tidak ingin pergi begitu saja tanpa berbuat sesuatu yang bisa melanjutkan harapan dan keinginanku," jelas Pertapa Goa Ular lagi.

Swani terdiam. Dalam hatinya, dia menduga-duga maksud ucapan pertapa tua ini. Memang sudah lebih dari dua tahun ini Pertapa Goa Ular tidak lagi terdengar kabar beritanya lagi. Bahkan banyak orang di kalangan persilatan yang merasa kehilangan dengan ketidakmunculan pertapa tua ini.

"Selama ini, tak ada seorang pun yang tahu tempat tinggalku. Bertahun-tahun aku di sini, dan baru seorang saja yang mengunjungiku. Itu pun sudah lebih tiga purnama yang lalu. Dan orang kedua yang datang adalah kau, Swani," lanjut Pertapa Goa Ular.

Swani masih tetap diam.

"Sebenarnya, aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku padanya. Tapi ternyata dia lebih tangguh dariku, meskipun usianya jauh lebih muda dariku." jelas Pertapa Goa Ular lagi.

Sedangkan Swani masih tetap diam.

"Semula aku sudah putus asa. Tapi, rupanya Dewata mengabulkan juga permohonanku. Kau datang ke sini mungkin atas petunjuk Dewata, Swani."

"Oh...?!" Swani jadi terlongong tidak menyangka. Sama sekali tidak diduga kalau pada akhirnya Pertapa Goa Ular akan berkata demikian. Tidak pernah dibayangkan, apalagi memimpikan bisa menjadi murid Pertapa Goa Ular ini. Malah memimpikan untuk bertemu saja, rasanya belum pernah. Tapi saat didengarnya kalau orang tua yang sudah ternama di kalangan persilatan ini hendak mengangkatnya jadi murid. Swani seakan-akan tengah bermimpi.

"Aku harap kau bersedia menerima warisan ilmu-ilmuku, Swani," ujar Pertapa Goa Ular.

"Oh...! Apakah aku pantas menjadi muridmu. Eyang...?" Swani masih tidak percaya.

"Kau sudah memiliki ilmu olah kanuragan dari ayahmu. Aku rasa, tidak ada kesulitan bagiku untuk menurunkan ilmu-ilmuku padamu, Swani. Aku yakin, tidak lebih dari tiga tahun kau sudah bisa menguasai sebagian ilmu-ilmuku. Paling tidak, kau bisa menguasai beberapa jurus dan ilmu kesaktian pamungkasku," tegas Pertapa Goa Ular begitu yakin.

"Oh... Terimalah sembah hormatku. Eyang " Swani langsung membungkuk, menempelkan keningnya di lantai goa dari batu yang dingin dan keras ini.

Pertapa Goa Ular tersenyum senang melihat kesediaan Swani menjadi muridnya. Tangannya kemudian terulur, dan mengusap kepala gadis itu. Tiba-tiba saja dari telapak tangannya mengepulkan asap putih agak kebiruan. Saat itu juga, Swani merasakan tubuhnya bagai tersiram air yang begitu sejuk, merasuk dari ubun-ubun kepalanya.

"Bangunlah, Anakku." ujar Pertapa Goa Ular.

Perlahan Swani mengangkat tubuhnya, dan kembali duduk bersila. Namun kepalanya masih tetap tertunduk. Hati gadis itu begitu bahagia, karena tidak menyangka akan diangkat menjadi murid seorang tokoh sakti dan digdaya seperti Pertapa Goa Ular ini. Ternyata, pelariannya ini membawa suatu keberuntungan yang tidak pernah dibayangkan selama hidupnya.

"Istirahatlah sekarang. Besok, kau harus sudah mulai berlatih," ujar Pertapa Goa Ular lagi.

"Baik, Eyang," sahut Swani hormat.

********************

Setiap hari, Swani digembleng dengan latihan-latihan berat dan menguras tenaga. Tapi, gadis itu menjalaninya penuh semangat, sehingga membuat Pertapa Goa Ular jadi senang melihat kesungguhannya dalam menerima setiap ilmu yang diturunkan. Bahkan bila malam hari. Swani tekun mempelajari kitab-kitab yang ada di Goa Ular. Hampir semua kitab yang ada, sudah dibacanya.

Bahkan Swani bukan hanya menerima ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian saja. Tapi juga mengurus segala kebutuhan Pertapa Goa Ular itu. Sehingga, orang tua itu semakin bertambah senang dan sayang. Dia tidak lagi harus bersusah payah mencari makanan dan segala kebutuhannya, karena semua sudah disediakan Swani. Pagi hari, sebelum orang tua itu bangkit, Swani sudah menyiapkan makanan untuknya. Gadis itu bukan saja menganggap Pertapa Goa Ular sebagai gurunya, tapi juga menganggap sebagai pengganti ayahnya.

Entah sudah berapa lama Swani tinggal bersama Pertapa Goa Ular. Dia sama sekali tidak menghitung hari. Dan duka yang diderita atas kematian ayahnya pun sudah terhapus dari hatinya. Bahkan dendamnya juga seperti terlupakan terhadap Iblis Tombak Baja yang membunuh ayahnya, membakar hangus padepokan, dan membantai semua murid-murid Padepokan Pedang Perak.

Swani begitu tekun mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkan Pertapa Goa Ular. Tapi, apa benar Swani melupakan semuanya...? Tidak! Gadis itu tidak lupa. Ternyata di hatinya tetap tersimpan api dendam. Dan dia tetap bertekad membalas kematian ayahnya pada saatnya nanti. Hanya saja dia tidak tahu, kapan saat pembalasan itu datang. Seperti hari ini, tanpa bimbingan Pertapa Goa Ular pun, Swani tetap berlatih keras. Tapi tiba-tiba saja latihannya dihentikan ketika mendengar ledakan dahsyat.

"Ledakan apa itu...?" desah Swani bertanya sendiri.

Tampak asap hitam mengepul di udara dari pucuk-pucuk pepohonan. Sesaat Swani tertegun. Tampaknya asap hitam itu datang dari arah goa tempat tinggal Pertapa Goa Ular. Maka, seketika kecemasan menyelinap ke hatinya.

"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Swani langsung melesat cepat bagaikan kilat begitu teringat kalau Pertapa Goa Ular saat ini sedang bersemadi di dalam goa. Selama berada dalam bimbingan Pertapa Goa Ular. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Swani memang semakin meningkat pesat. Sehingga, gadis itu bisa berlari secepat kijang. Bahkan kedua kakinya bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah sama sekali. Sebentar saja Swani sudah sampai di depan mulut Goa Ular. Gadis itu jadi tertegun melihat goa itu runtuh, bahkan bongkahan-bongkahan batu menyumbat mulut goa berukuran besar itu. Api tampak berkobar melahap pepohonan di sekitar goa.

"Eyang...," desis Swani.

Bergegas gadis itu berlari menghampiri goa yang runtuh. Swani berhenti setelah dekat dengan mulut goa yang hampir tertutup bongkahan batu. Sementara api di sekitarnya semakin besar saja berkobar menimbulkan asap tebal menghitam pekat, membuat napas gadis itu jadi sesak.

"Eyang...!" panggil Swani sekuat kuatnya. Tak ada sahutan sama sekali. Swani bergegas mengangkat bongkahan batu yang menutupi mulut goa itu. Satu persatu batu-batu sebesar domba itu dilemparkan-nya. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, batu-batu yang berat itu dapat diangkatnya dengan mudah. Cepat sekali gadis itu bekerja, sehingga sebentar saja sudah terbentuk celah yang cukup besar untuk masuk.

"Hup!"

Swani langsung melompat masuk ke dalam goa itu. Tapi hatinya jadi tertegun, karena tidak mendapatkan apa-apa di dalamnya. Gadis itu hanya mendapatkan bangkai-bangkai ular saja yang sudah hangus seperti terbakar, tersebar hampir memenuhi lorong goa ini. Swani mengedarkan pandangan dengan tajam. Asap yang memenuhi goa ini agak menghambat pandangannya.

"Eyang...!" panggil Swani.

Suara Swani menggema terpantul dinding goa. Tapi hanya suaranya saja yang terdengar, dan tak ada sahutan sama sekali. Perlahan Swani mengayunkan kakinya. Dia sudah hafal betul seluk beluk goa ini. Bahkan tidak sedikit pun merasa gentar kalau di dalam goa ini dipenuhi ular. Tapi ular-ular itu sudah jadi bangkai, hangus bagai terbakar. Swani memeriksa setiap lorong goa, namun tetap saja tidak menemukan Perupa Goa Ular.

Swani bergegas kembali keluar begitu mendengar suara berderak. Dan ketika berada di luar, seluruh atap dan dinding goa itu runtuh, hingga tanah yang dipijaknya jadi bergetar. Suaranya begitu bergemuruh, bagai letusan gunung berapi yang mengamuk kelebihan lahar. Swani melentingkan tubuhnya berputaran beberapa kali ke belakang. Asap semakin banyak menggumpal di sekitarnya. Dan api juga semakin besar berkobar membakar hutan di sekitar Goa Ular ini.

"Heh...?!" Swani tersentak kaget ketika kakinya menjejak tanah kembali. Hampir saja seekor ular belang terinjak kakinya. Cepat dia melompat sehingga ular belang itu tidak sampai terinjak kakinya. Swani bergegas membungkuk mengambil ular yang dikenalinya sebagai peliharaan Pertapa Goa Uar.

"Belang..., kenapa kau?" tanya Swani. Tentu saja ular itu tidak basa menjawab. Swani memperhatikan beberapa saat. Sementara ular belang hitam kuning itu menggeliatkan tubuhnya. Swani kembali menaruh ular belang itu ke tanah. Sebentar ular belang itu menoleh menatap Swani, kemudian merayap cepat.

"Mau ke mana kau. Belang...?" tanya Swani. Bergagas Swani mengikuti ular belang itu yang merayap cukup cepat, tidak seperti ular-ular lainnya. Gadis itu terpaksa agak berlari-lari kecil mengikutinya. Ular terus merayap cepat menerobos semak belukar, hingga sampai di tempat yang cukup lapang dan berumput tebal.

"Oh...?!"

TIGA

Mata Swani jadi terbeliak begitu melihat banyak mayat bergelimpangan di sekitarnya. Darah berceceran di mana-mana, membuat udara yang sudah sesak ini semakin bertambah sesak. Swani meneliti beberapa mayat yang masih tampak hangat. Dia tahu, orang-orang ini belum lama mati.

"Hm.... Mereka orang-orangnya Iblis Tombak Baja," gumam Swani bisa mengenali.

Gadis itu mengedarkan pandang ke sekeliling. Sementara ular belang peliharaan Pertapa Goa Ular sudah melingkar di tangan kanan gadis itu. Tapi, tiba-tiba saja ular itu jatuh ke tanah dan tidak bergerak-gerak lagi Swani jadi terkejut, dan cepat-cepat mengambil ular itu.

"Mati...?!"

Lagi-lagi Swani terbeliak mendapati ular belang itu sudah mati. Baru disadarinya kalau ada luka di tubuh ular ini. Perlahan ular itu diletakkan di tanah berumput, kemudian pandangannya kembali beredar berkeliling. Perlahan kakinya terayun melangkah, meneliti setiap mayat yang dijumpai.

"Di mana Eyang Pertapa...?" Swani jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Begitu banyak mayat bergelimpangan, tapi tak ada Pertapa Goa Ular di antara mayat-mayat ini. Swani terus mencari, tapi sampai matahari berada di atas kepala tetap saja tidak bisa menemukan Pertapa Goa Ular. Gadis itu berlompatan seperti tupai, naik ke atas bukit batu yang cukup tinggi. Dia baru berhenti setelah sampai di puncak bukit baru itu. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Pandangan gadis itu terpaku pada Goa Ular yang sudah runtuh. Tampak api masih berkobar semakin meluas melahap hutan ini.

"Kenapa dia sampai menjarah ke sini..? Apa sebenarnya yang diinginkan...?" lagi-lagi Swani bertanya pada diri sendiri.

Swani benar-benar tidak menyangka kalau Iblis Tombak Baja bisa mengejarnya sampai ke tempat ini. Bahkan sekarang Pertapa Goa Ular menghilang entah ke mana. Gadis itu kembali seorang diri tanpa ada yang bisa dijadikan sandaran dan pelindung lagi. Sedangkan Pertapa Goa Ular belum tuntas menurunkan ilmunya pada gadis ini.

"Apa yang harus kulakukan sekarang...?"

Perlahan Swani mengayunkan kakinya menuruni bukit batu itu. Dia terus berjalan perlahan-lahan merambah hutan yang lebat bagai tak bertepi ini Otaknya terus bekerja, berpikir keras.

"Aku tahu, di mana Iblis Tombak Baja berada. Hm.... Dia akan kubuat pusing tujuh keiiling. Iblis Tombak Baja..., tunggulah pembalasanku!" desis Swani agak menggeram. "Aku harus ke Bukit Menjangan. Di sanalah Iblis Tombak Baja tinggal"

********************

Sementara itu jauh dari Hutan Goa Ular, tampak sebuah bukit menjulang tinggi yang tenang dan damai. Sebuah desa yang berdiri di kaki Bukit Menjangan itu juga bernama Desa Menjangan. Tidak terlalu besar, tapi penduduknya cukup padat. Dan suasananya selalu ramai, baik siang maupun malam. Seakan-akan desa itu tidak pernah tidur.

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Desa Menjangan juga tampak ramai dan terang benderang. Tampak lampu-lampu dan cahaya obor terpasang di setiap sudut dan sepanjang jalan yang membelah desa itu. Kegembiraan begitu semarak, terlihat di wajah-wajah mereka. Laki-laki perempuan, tua muda, berbaur menjadi satu. Suara gelak tawa dan canda kelakar terdengar di mana-mana. Di jalan, di rumah-rumah, kedai, dan tempat-tempat hiburan atau rumah-rumah penginapan selalu terdengar gelak tawa dan canda kelakar.

"Belum pernah aku melihat suasana desa seperti ini, Kakang," ungkap seorang gadis muda berparas cantik mengenakan baju biru muda yang ketat.

Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan yang berkuda di sampingnya hanya tersenyum saja. Mereka berkuda perlahan-lahan sambil menikmati keramaian di desa ini. Tak seorang pun yang memperhatikan kedua pasangan muda itu. Semuanya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka menghentikan langkah kaki kudanya di depan sebuah kedai yang cukup besar dan ramai oleh pengunjung.

Orang-orang keluar masuk kedai itu sambil berbincang dan tertawa-tawa. Kedua pasangan muda itu kemudian turun dari kudanya masing-masing. Seorang anak berumur sepuluh tahun menghampiri, dan langsung mengambil tali kekang kedua kuda dan menuntunnya ke tempat penambatan kuda. Sedangkan kedua pasangan muda itu terus melangkah masuk ke dalam kedai. Seorang laki-laki tua meng-hampiri mereka sambil terbungkuk-bungkuk hormat dan senyuman ramah tersungging di bibir.

"Silakan masuk," ucap orang tua itu ramah.

"Terima kasih," ucap pemuda berbaju putih tanpa lengan. Juga ramah.

Mereka mengikuti orang tua itu yang menunjukkan jalan menuju meja kosong agak ke sudut. Orang tua itu mempersilakan kedua pasangan muda itu duduk, lalu menanyakan keinginan mereka datang ke sini.

"Tolong siapkan makanan dan minuman yang terbaik di sini," pinta pemuda berbaju putih tanpa lengan itu.

"Baik. Silakan menunggu sebentar," sahut laki-laki tua itu ramah.

Dia bergegas meninggalkan tamunya. Sedangkan gadis berbaju biru muda mengedarkan pandangan ke sekeliling. Cukup padat juga pengunjung kedai ini. Dan suasananya begitu bising, penuh gelak tawa dan canda kelakar. Pandangannya kemudian berhenti, terpaku pada dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh darinya. Kedua laki-laki yang di punggung masing-masing menyandang pedang, tidak seperti pengunjung kedai lainnya. Mereka tampak begitu asyik berbicara dan hampir tak terdengar suaranya. Gadis itu jadi ingin tahu, apa yang dibicarakan. Maka pendengarannya ditajamkan, dan dipusatkan pada kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.

"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba tua bangka itu lenyap. Padahal, semua anak buahku sudah rapat mengepungnya," jelas laki-laki yang mengenakan baju warna hijau daun dengan garis merah pada bagian dadanya.

"Kita terlalu meremehkannya, Kakang Banapati. Orang tua itu memang bukan orang sembarangan, meskipun sudah lama tidak lagi kedengaran namanya di dunia persilatan," laki-laki berbaju hitam menanggapi dengan sungguh-sungguh pula.

"Eyang Gorak pasti marah jika tahu si tua bangka itu belum mati, Jaran Kadung," kata laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Banapati.

"Ah! Yang penting, dia tahunya si tua bangka itu sudah mati. Lihat saja tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah. Persis sama dengan Padepokan Pedang Perak. Hm... Aku yakin, sebentar lagi Partai Tombak Baja akan menjadi partai terkuat di dunia. Kau lihat saja sendiri, semakin banyak partai-partai kecil yang bergabung," kata Jaran Kadung lagi.

"Benar! Dan persaingan di dalam pun semakin ketat saja. Bisa-bisa kita yang sudah lama, tergeser dari samping Eyang Gorak."

"Itu tidak mungkin? Kakang Banapati. Eyang Gorak sudah mengatakan kalau dia tidak akan mengadakan perubahan di dalam partai. Meskipun kedudukan kita di bawah lima orang pembantunya, tapi sudah cukup kuat dan memiliki anak buah sedikitnya lima puluh orang. Tak ada lagi tambahan, meskipun ada yang datang dengan kepandaian lebih tinggi. Dan orang yang baru datang, tetap saja menjadi bawahan. Aku yakin, Eyang Gorak selalu menepati ucapannya."

Mereka terdiam beberapa saat, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepertinya, mereka khawatir ada yang mendengarkan percakapan ini. Mereka sama-sama memandang pada pasangan muda yang duduk tidak jauh darinya. Tapi, gadis baju biru yang tadi mendengarkan percakapan itu sudah berpura-pura sibuk menikmati makanannya, sehingga tidak membuat kedua orang ini curiga.

"Kau lihat mereka, Kakang Banapati...?" pelan sekali suara Jaran Kadung.

"Ya! Tampaknya mereka bukan orang sini," sahut Banapati.

"Akan kutanyakan, apa mereka akan lama di sini atau hanya sekadar singgah saja," kata Jaran Kadung lagi seraya bangkit berdiri.

"Jangan gegabah, Jaran Kadung. Tampaknya mereka bukan orang-orang sembarangan. Lihat saja senjata yang disandang," Banapati memperingatkan.

"Kalau mereka macam-macam, mungkin pedangku bisa minum darah lagi," sahut Jaran Kadung.

Banapati hanya tersenyum saja. Sementara Jaran Kadung sudah melangkah menghampiri pasangan muda itu. Dia berdiri di samping meja, sedangkan pasangan muda itu sendiri tidak mempedulikan kehadirannya. Mereka tetap saja menikmati hidangan yang hampir memenuhi mejanya.

"Maaf, aku mengganggu sebentar," ucap Jaran Kadung mencoba bersikap ramah.

Pasangan muda itu menghentikan makannya. Perlahan mereka mengangkat kepala, menatap Jaran Kadung yang sudah berdiri dekat meja ini. Pemuda berbaju putih tanpa lengan itu menganggukkan kepala sedikit dan memberikan senyum ramah.

"Kalian baru datang ke Desa Menjangan ini?" tanya Jaran Kadung.

"Benar," sahut pemuda berbaju putih tanpa lengan.

"Berapa lama kalian berada di sini?" tanya Jaran Kadung lagi.

"Tidak tahu. Mungkin dua hari, tiga hari, atau mungkin juga satu bulan," sahut gadis berbaju biru, agak tidak peduli sikapnya.

"Kuharap kalian tidak terlalu lama di sini. Dan sebaiknya, besok pagi sudah tidak ada lagi di desa ini," tegas sekali suara Jaran Kadung.

"He...?! Kenapa...? Apakah kau kepala desa ini, dan tidak menginginkan ada pendatang di sini?" gadis berbaju biru itu jadi mendelik.

"Aku tidak ingin membuat masalah, Nisanak. Dan sebaiknya, kalian berdua tidak perlu banyak tanya. Desa ini sebenarnya tertutup bagi para pendatang. Dan jika kalian tidak mengindahkan peringatanku, maaf.... Kalian akan mendapat kesulitan di sini," nada suara Jaran Kadung terdengar mengancam.

"Kau tidak bisa mengancam kami, Kisanak," desis gadis itu.

"Kau terlalu cantik untuk disakiti, Nisanak. Hati-hatilah. Desa ini tidak akan ramah padamu," dengus Jaran Kadung dingin.

Setelah berkata demikian, Jaran Kadung berbalik dan melangkah kembali ke mejanya. Sedangkan gadis berbaju biru muda yang ketat hanya memandangi saja dengan sinar mata memancarkan ketidaksenangan. Gadis itu masih tetap memandangi sampai Jaran Kadung dan Banapati yang beranjak pergi meninggalkan kedai ini. Jaran Kadung sempat memberi senyuman sinis pada gadis itu.

"Huh! Belum apa-apa sudah ada yang ingin cari gara-gara," dengus gadis baju biru itu.

"Selesaikan saja makanmu, Pandan. Kita segera pergi dari sini," kata pemuda berbaju rompi putih.

"Hhh...! Selera makanku sudah hilang!"

********************

Sementara itu, Jaran Kadung dan Banapati sudah jauh berkuda meninggalkan kedai. Mereka berkuda agak cepat melalui jalan kecil yang tampak sunyi. Tak ada seorang pun terlihat di sepanjang jalan ini. Dan ketika mereka hendak berbelok ke kanan, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan merah muda hampir menyambar Banapati yang berkuda agak di depan.

"Hup!"

Untung saja Banapati cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga sergapan bayangan merah muda itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Jaran Kadung juga bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Mereka jadi terkejut begitu tiba-tiba di depan sudah berdiri seseorang bertubuh ramping mengenakan baju merah muda.

Wajahnya tertutup selembar cadar agak tipis berwarna merah muda juga. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya yang ramping. Dari bentuk tubuh, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah perempuan. Rambutnya yang panjang agak sedikit tergelung ke atas, dan sebagian dibiarkan meriap ke belakang.

"Siapa kau...?!" bentak Banapati lantang.

"Hutang harus dibayar. Dan aku akan menagih hutang kalian yang belum dibayar," dingin sekali suara wanita bercadar merah muda itu.

"Aku tanya siapa kau...?!" bentak Banapati lagi jadi gusar.

"Aku Dewi Goa Ular yang akan membasmi kalian orang-orang Partai Tombak Baja!" tegas jawaban gadis bercadar merah muda itu.

"Heh...?!"

Banapati dan Jaran Kadung jadi terkejut mendengar nama Goa Ular disebut. Mereka memandangi wanita bercadar merah muda itu tajam-tajam, tapi tidak mudah untuk bisa mengenali wajahnya. Terlebih lagi, sekitarnya begitu gelap. Karena, malam ini bulan agak tertutup awan, sehingga cahayanya hampir tidak sampai ke mayapada ini.

"Bersiaplah untuk mati, Keparat..! Hiyaaat..!"

Gadis bercadar merah muda yang tadi mengaku bernama Dewi Goa Uar itu langsung saja melompat cepat menerjang kedua laki-laki pembantu Iblis Tembak Baja itu. Begitu cepatnya serangan yang diakukan Dewi Goa Uar, sehingga kedua orang itu terpaksa harus berjumpalitan, menyebar menghindari serangan itu. Tapi, Jaran Kadung tampaknya sedikit terlambat. Sehingga satu pukulan yang cukup keras sempat mampir di bahu kanannya.

"Akh...!" Jaran Kadung terpekik kecil. Dia tidak sempat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya, dan jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Dan sebelum gadis bercadar merah muda itu bisa menyerang kembali, Jaran Kadung sudah melenting bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Banapati sudah melompat menyerang seraya mencabut pedangnya.

"Hyaaat!"
"Hup?"
Sret!
Tring!

Dewi Goa Ular cepat sekali mencabut pedangnya. Dan sambil memutar tubuh dengan bertumpu pada satu kaki, tebasan pedang Banapati ditangkisnya. Begitu kerasnya dua senjata itu beradu, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala penjuru. Banapati agak terkejut juga, ketika merasakan tangannya jadi bergetar dan panas saat pedangnya beradu dengan pedang gadis bercadar merah muda itu.

Cepat-cepat dia melompat mundur beberapa tindak. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, gadis bercadar merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Uar itu sudah memberi satu serangan kilat. Pedangnya langsung berkelebat cepat luar biasa mengancam tubuh Banapati.

"Hiyaaat!"

"Uts!" Banapati terpaksa berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan kilat itu. Sementara, Jaran Kadung yang sudah bisa menguasai diri lagi, segera mencabut pedangnya. Secepat kilat pula dia melompat sambil membabatkan pedang ke punggung Dewi Goa Ular.

"Yeaaah..!"

"Curang! Hih...!" dengus Dewi Goa Ular.

Cepat dia memutar pedangnya ke belakang, melindungi punggung dari bokongan Jaran Kadung. Suara denting senjata kembali terdengar. Gadis bercadar merah muda itu cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran sebelum menjejakkan kaki di tanah. Sementara Jaran Kadung sudah berdiri di samping Banapati. Mereka sama-sama melintangkan pedang di depan dada. Sorot mata mereka begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata gadis bercadar merah muda di depannya.

Bet! Wuk!

Dewi Goa Ular melakukan beberapa gerakan dengan pedangnya. Sementara tangan kirinya tertuju lurus ke depan dengan pedang berada di atas kepala. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, memancarkan nafsu membunuh yang luar biasa. Akibatnya, kedua laki-laki itu jadi agak bergetar jantungnya mendapati sorot mata yang begitu tajam, seakan-akan hendak melumat habis tubuh mereka.

"Hiyaaat!"

Cepat sekali gadis bercadar merah muda itu meng-gerakkan kakinya bagai berlari. Dan begitu dekat pedangnya langsung dibabatkan dengan kecepatan luar biasa bagaikan kilat.

"Hup!"

"Yeaaah...!"

Banapati cepat melompat berputar ke belakang. Sedangkan Jaran Kadung tetap diam, sambil mengebutkan pedang menangkis tebasan pedang Dewi Goa Ular.

Trang!

"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya Jaran Kadung melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja gadis bercadar merah muda itu sudah kembali memberi serangan cepat, dahsyat luar biasa.

"Hiyaaat...!"

Bet!

Begitu cepat pedang Dewi Goa Ular dikebutkan. sehingga Jaran Kadung yang masih diliputi ketidak-percayaan dengan kejadian barusan, tidak sempat lagi menghindari serangan susulan itu.

Bret!

"Aaakh...!" Jaran Kadung menjerit keras melengking tinggi.

Ujung pedang Dewi Goa Ular tepat merobek dada laki-laki itu. Sesaat Jaran Kadung masih bisa berdiri, kemudian jatuh menggelepar di tanah. Darah mengucur deras sekali dari dadanya yang robek terbelah cukup panjang. Jaran Kadung menggelepar dan mengerang meregang nyawa, sebentar kemudian mengejang kaku. Lalu, diam tak berkutik lagi.

"Heh...?!" Banapati Jadi terbeliak melihat temannya tewas begitu cepat. Wajah Banapati jadi pucat pasi. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melompat cepat ke punggung kuda, dan cepat menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur.

"Jangan lari kau, Keparat! Hiyaaat...!"

Dewi Goa Ular cepat mengebutkan tangan kanannya. Seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur sebuah benda berwarna hitam berbentuk bintang yang ujung-ujungnya runcing. Benda itu melesat cepat bagaikan kilat ke arah Banapati.

Wusss!
Crab!
"Aaakh.....!"

Banapati agak terlonjak begitu punggungnya tertembus bintang hitam yang dilepaskan Dewi Goa Ular. Tapi dia masih tetap bertahan duduk di punggung kudanya, dan terus saja menggebahnya dengan cepat.

Sementara, wanita bercadar merah muda itu jadi mendengus melihat lawannya sudah jauh pergi. Bahkan masih dapat bertahan, meskipun punggungnya sudah tertembus senjata rahasianya. "Huh! Kau tidak akan mampu bertahan hidup. Keparat!" dengus Dewi Goa Uar.

Cepat sekali Dewi Goa Ular melesat pergi dari jalan kecil itu. Dan pada saat yang sama dalam jarak tidak terlalu jauh, tampak dua orang penunggang kuda menuju tempat itu. Mereka mengendarai kudanya perlahan-lahan sambil berbicara. Mereka belum tahu, tidak berapa jauh lagi di depan ada sesosok mayat tergeletak di tengah jalan.

EMPAT

"Kakang, lihat...!" tunjuk gadis berbaju biru sambil menghentikan kudanya.

Dua orang penunggang kuda itu bergegas berlompatan turun. Gerakan mereka sungguh indah dan ringan. Hanya sekali lesatan saja, mereka sudah sampai di dekat mayat yang tergeletak di tengah jalan. Kening mereka jadi berkerut begitu mengenali mayat ini.

"Kakang, bukankah dia yang menggertak kita di kedai tadi...?" pelan sekali suara gadis itu.

"Hm...," pemuda berbaju rompi putih hanya menggumam perlahan saja.

"Kenapa dia bisa sampai mati di sini? Ke mana yang seorang lagi, ya...?" gadis itu seperti bertanya pada diri sendiri.

"Tampaknya ada yang tidak beres di sini. Pandan," ujar pemuda berbaju rompi putih itu, agak menggumam suaranya.

Gadis yang dipanggil Pandan itu hanya menggumam saja. Dia memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di sebelah kanannya adalah Pendekar Rajawali Sakti, yang nama sebenarnya adalah Rangga. Beberapa saat mereka terdiam membisu.

Rangga menekuk lututnya hingga berjongkok di samping mayat Jaran Kadung. Sebentar diperiksanya luka yang membelah dada laki-laki berusia sekitar tiga puluhan ini. Agak berkerut juga keningnya melihat ada guratan biru kehitaman di sekitar luka yang menganga cukup lebar di dada itu.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah Rangga bangkit berdiri.

"Sepertinya, aku kenal dengan tanda luka seperti ini," ujar Rangga agak menggumam.

Pandan Wangi hanya memandangi saja wajah Pendekar Rajawali Sakti yang keningnya jadi berkerut cukup dalam. Kemudian, gadis itu ikut berjongkok dan memeriksa luka di dada Jaran Kadung. Namun sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi, dan langsung menatap wajah Rangga yang masih kelihatan sedang berpikir keras.

"Luka itu dari Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa', Kakang," kata Pandan Wangi.

"Benar," sahut Rangga. "Tapi apakah mungkin...?"

"Aku tidak yakin kalau Pertapa Goa Ular yang melakukan ini, Kakang," tandas Pandan Wangi, seperti bisa membaca jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku memang pernah datang ke tempatnya, Pandan," jelas Rangga, agak perlahan suaranya.

"Ya, aku tahu. Kau sudah menceritakannya padaku," sahut Pandan Wangi.

"Dia menginginkan aku agar menjadi muridnya. Tapi kepandaian yang dimilikinya dapat kutandingi dengan jurus-jurus yang kuperoleh dari Satria Naga Emas. Bahkan orang tua itu langsung menyatakan takluk setelah kukatakan kalau ilmu-ilmu yang kumiliki sebagian berasal dari Satria Naga Emas. Dia mengakui kalau semua yang dimilikinya belum seberapa besar dibanding dengan ilmu-ilmu Satria Naga Emas. Bahkan aku diminta memberikan beberapa jurus. Dan salah satunya adalah jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' Ini," Rangga menceritakan pertemuannya dengan Pertapa Goa Ular, meskipun Pandan Wangi sudah mendengarnya.

"Apa tidak sebaiknya kita menemuinya, Kakang," saran Pandan Wangi.

Namun belum juga Rangga sempat menjawab, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Tak lama kemudian, terlihat sekitar dua puluh orang berkuda mendatangi. Tampak berkuda paling depan adalah seorang pemuda mengenakan baju warna kuning. Seutas cambuk hitam berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.

"Siapa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Rangga tidak menjawab pertanyaan itu. Sedangkan orang-orang yang berkuda itu sudah demikian dekat, dan langsung berlompatan turun. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu jadi tertegun melihat dua puluh orang ini langsung saja mengepung rapat dengan senjata terhunus.

"Hati-hati, Pandan. Tampaknya mereka datang bukan untuk bersahabat," ujar Rangga memperingatkan.

"Besar juga nyali kalian," desis pemuda berbaju kuning yang memegang cambuk. Pemuda itu salah seorang pembantu utama Iblis Tombak Baja. Namanya, Prabawa.

"Serang...!"

"Eh! Tunggu...!" sentak Rangga.

Tapi orang-orang itu tidak mempedulikan, dan seketika sudah berlompatan menyerang. Rangga dan Pandan Wangi terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat dari segala penjuru. Sedangkan Prabawa hanya memperhatikan saja dari punggung kudanya.

"Lumpuhkan saja mereka, Pandan!" seru Rangga.

"Baik, Kakang!" sahut Pandan Wangi. "Hiya.....!"

Seketika itu juga Pandan Wangi melakukan gerakan-gerakan yang begitu cepat luar biasa. Kedua tangannya bergerak berkelebatan cepat, menyambar orang-orang yang mengeroyoknya. Rangga juga melakukan hal yang sama. Tubuhnya berlompatan sambil mengebutkan kedua tangannya dengan cepat.

Keluhan-keluhan tertahan terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh yang lemas tertotok jalan darahnya. Rangga dan Pandan Wangi memang sengaja membuat para pengeroyoknya lumpuh saja. Dan sebentar saja, dua puluh orang itu sudah bergelimpangan semua tanpa mampu lagi melakukan serangan.

"Setan...!" desis Prabawa menggeram sengit. Hampir tidak dipercayainya kalau dua puluh orang anak buahnya bisa ditaklukkan begitu mudah. Mereka tidak tewas, tapi hanya dibuat pingsan dengan jalan darah tertotok untuk waktu yang tidak terlalu lama.

Ctar!

Prabawa mengebutkan cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pemuda berbaju rompi putih itu tidak bergeming sedikit pun. Bahkan ketika ujung cambuk hitam berduri itu hampir sampai di dada, cepat sekali Rangga mengebutkan tangan kanannya menangkap ujung cambuk itu.

Rrrt! "Eh...?!"

Bukan main terkejutnya Prabawa begitu Rangga membetot cambuk yang berhasil ditangkapnya. Dan Prabawa tak kuasa lagi bertahan, sehingga jatuh bergulingan dari punggung kudanya. Tapi dia cepat bangkit berdiri dan langsung menyentakkan cambuknya. Pada saat yang sama. Rangga melepaskan cekalan pada ujung cambuk hitam berduri itu. Begitu kuatnya Prabawa menyentakkan cambuknya, sehingga tidak bisa lagi menguasai diri.

"Akh.....!" Prabawa Jadi terpekik. Tubuhnya terpental deras ke belakang akibat dorongan tenaganya sendiri yang berbalik arah. Begitu kuatnya terpental, sehingga keras sekali punggungnya menghantam sebatang pohon. Prabawa mengumpat dan memaki sambil bergegas bangun. Pemuda berbaju kuning itu melompat beberapa tindak ke depan, dan menyemburkan ludahnya sambil mengumpat geram. Sedangkan Pandan Wangi jadi tertawa terkikik melihat muka Prabawa memerah geram dipermainkan begitu rupa.

"Setan belang...! Tunggu pembalasanku!" dengus Prabawa geram setengah mati.

Setelah berkata demikian, dia langsung saja melompat naik ke punggung kuda, dan cepat menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu berlari kencang secepat angin. Sedangkan Pandan Wangi jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Prabawa seperti tikus kecebur got melihat kucing.

"Ayo, Pandan. Kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.

"Kenapa tidak ditunggu saja, Kakang? Dia pasti datang lagi dengan kekuatan besar," sergah Pandan Wangi.

"Kita belum tahu permasalahannya. Pandan. Ayo, jangan cari kesulitan dulu," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.

Pandan Wangi tidak berkata lagi, dituruti saja ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sebentar saja kedua pendekar muda itu sudah melaju di atas punggung kuda meninggalkan tempat itu. Sementara, dua puluh orang yang menggeletak pingsan mulai siuman kembali begitu Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi. Mereka bergegas menghampiri kuda masing-masing, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

********************

Sementara itu, di sebelah Timur Bukit Menjangan, Eyang Gorak yang dikenal berjuluk Iblis Tombak Baja jadi geram mendengar laporan Prabawa. Belum lama mendapat laporan Banapati yang sekarang sudah tergeletak jadi mayat di depannya karena tertembus bintang hitam beracun mematikan di punggungnya, sekarang datang lagi laporan yang membuatnya jadi semakin bertambah geram.

"Dewi Goa Ular... Huh! Apa mungkin Pertapa Goa Ular masih hidup...?" desis Eyang Gorak seakan-akan berbicara pada diri sendiri.

"Rasanya tidak mungkin, Eyang. Sulit untuk lolos. Sedangkan tempat tinggalnya saja sudah hancur begitu," tegas Prabawa.

"Lalu, siapa Dewi Goa Ular itu?" bentak Eyang Gorak berang.

"Mungkin saja muridnya yang hendak menuntut balas, Eyang," selak seorang laki-laki separuh baya yang mengenakan baju warna merah menyala. Dia menyandang sebuah gada besar berduri. Di dalam Partai Tombak Baja ini, dia berjuluk si Gada Maut.

"Tidak mungkin! Aku tahu, siapa itu Pertapa Goa Ular. Dia tidak punya murid seorang pun," bantah Eyang Gorak sengit.

"Tapi kenyataannya. Eyang. Banapati tewas dengan senjata rahasia Pertapa Goa Ular. Tidak ada seorang pun yang memiliki senjata bintang hitam beracun seperti itu. Hanya Pertapa Goa Ular saja yang memakainya." kata si Gada Maut sambil menunjuk mayat Banapati.

Eyang Gorak jadi terdiam. Memang benar apa yang barusan dikatakan si Gada Maut. Tidak ada seorang pun yang memakai senjata seperti itu, selain si Pertapa Goa Ular. Tapi hatinya masih belum yakin, kalau pertapa tua itu yang menewaskan Banapati dan Jaran Kadung. Sedangkan, baru saja Prabawa melaporkan kalau telah menemui dua orang pendekar muda tangguh di dekat mayat Jaran Kadung. Bahkan dengan beberapa gebrakan saja, dua puluh anak buahnya berhati dilumpuhkan.

Banapati memang tidak bicara banyak, dan hanya menyebut nama Dewi Goa Ular sebelum tewas. Hanya nama itu saja yang sempat diucapkan Banapati sebelum tewas. Dan ini menjadikan si Iblis Tombak Baja jadi kebingungan.

"Prabawa, dan kalian semua. Siapkan semua kekuatan yang ada. Sekarang juga kita ke Goa Ular!" perintah Eyang Gorak.

"Untuk apa ke sana, Eyang?" tanya Prabawa terkejut mendengar perintah itu.

"Aku ingin lihat sendiri, bagaimana keadaan di sana," sahut Eyang Gorak tegas.

Tanpa membantah lagi, Prabawa, si Gada Maut, dan tiga orang lagi segera beranjak pergi. Eyang Gorak kemudian memerintahkan dua orang pengikutnya yang ada di ruangan itu untuk menyingkirkan mayat Banapati. Sedangkan dia sendiri bergegas melangkah keluar dari ruangan berukuran cukup besar ini. Laki-laki tua berjubah biru tua itu berhenti melangkah setelah tiba di depan beranda rumah berukuran besar yang dikelilingi pagar tinggi dari batu. Bentuknya kokoh bagai sebuah benteng.

Di halaman depan yang luas itu tampak sekitar seratus orang sudah siap di atas punggung kuda masing-masing. Tampak Prabawa, si Gada Maut, dan tiga orang pembantu utama si Iblis Tombak Baja sudah berada pada barisan paling depan. Eyang Gorak melompat naik ke punggung kudanya yang dipegangi seorang anak muda bersenjata golok.

"Pisau Terbang! Sebaiknya kau tinggl di sini. Aku tidak ingin tempat ini kosong sama sekali!" perintah Iblis Tombak Baja.

"Baik, Eyang," sahut seorang pemuda yang di seluruh tubuhnya penuh menempel pisau kecil yang tipis.

"Ayo. Jalan!"

********************

Sepeninggal Eyang Gorak, Pisau Terbang mengatur penjagaan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi berbentuk benteng ini. Hanya ada sekitar dua puluh orang saja yang tinggal. Sedangkan hampir semua pengikut Partai Tombak Baja pergi bersama Eyang Gorak. Sementara malam terus merambat semakin larut. Udara di sekitar Bukti Menjangan ini terasa begitu dingin, dihembus angin yang agak kencang malam ini.

Setelah mengatur dua puluh orang anggota Partai Tombak Baja yang tersisa, Pisau Terbang melangkah hendak masuk ke dalam bangunan besar yang menjadi pusat pertemuan para anggota Partai Tombak Baja ini. Tapi belum juga kakinya menginjak lantai beranda depan, tiba-tiba saja berdesis angin dari arah belakang.

"Hup...!" Tanpa berpaling lagi, si Pisau Terbang memiringkan tubuhnya ke kanan. Tepat ketika saat itu, berkelebat sebuah benda hitam berbentuk bintang di samping tubuhnya. Bintang hitam itu langsung menancap di tiang beranda depan yang berukuran cukup besar. Cepat-cepat tubuh si Pisau Terbang melenting, berputar ke belakang beberapa kali. Dengan manis sekali kakinya menjejak tanah berumput agak basah, tepat di bagian depan halaman yang berukuran cukup luas ini.

Matanya langsung menangkap sebuah bayangan yang berkelebat cepat meluruk deras ke arahnya dari atas pagar benteng. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan si Pisau Terbang sudah berdiri seorang gadis berbaju merah muda dengan wajah tertutup sehelai cadar agak tipis, juga berwarna merah muda.

"Siapa kau? Menyelinap seperti garong!" bentak si Pisau Terbang.

"Aku Dewi Goa Ular!" sahut gadis bercadar merah muda Itu, dingin nada suaranya.

"Oh...?!" si Pisau Terbang agak terhenyak begitu mendengar jawaban gadis bercadar merah muda itu. Sungguh tidak diduga kalau orang yang sempat menghebohkan ini ternyata hanya seorang gadis bercadar merah muda. Sama sekali lain dari gambaran yang diberikan Prabawa.

Si Pisau Terbang melirik ke kanan dan ke kiri. Tampak beberapa anak buahnya berlarian menghampiri, disusul yang lainnya. Mereka langsung membentuk lingkaran mengepung tempat ini. Sementara, si Pisau Terbang dan gadis bercadar merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu tepat berada di tengah-tengah lingkaran dua puluh orang bersenjata golok terhunus.

"Kau tentu terkejut melihat kedatanganku, Pisau Terbang. Tapi sayang, aku tidak bisa membiarkanmu terkejut begitu lama. Aku harus mencabut nyawamu sekarang juga," terasa begitu dingin sekali nada suara si Dewi Goa Ular.

"Ha ha ha...! Kau boleh bangga bisa membunuh Jaran Kadung dan Banapati. Tapi, tidak mudah untuk membunuhku, Nisanak!" keras suara si Pisau Terbang.

"Tertawalah sepuasmu, Pisau Terbang. Tapi, ingat sebentar lagi kau akan meringkuk di dalam kubur!" desis Dewi Goa Ular.

"Tangkap dia! Hidup atau mati...!" seru si Pisau Terbang keras menggelegar.

Seketika itu juga dua puluh orang yang sudah siap menerima perintah, langsung berlompatan sambil berteriak-teriak gegap gempita. Mereka meluruk, menyerang si Dewi Goa Ular. Namun sungguh tidak diduga sama sekali, gerakan-gerakan yang dilakukan gadis bercadar merah muda itu sangat luar biasa cepatnya. Kedua tangannya berkelebatan cepat menyambar orang-orang yang meluruk menyerang-nya. Teriakan-teriakan pertempuran kini berubah menjadi jerit dan pekik melengking berhawa kematian. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terlihat enam orang bergelimpangan tak bernyawa lagi.

Sret!
"Yeaaah...!"

Dewi Goa Ular terus bergerak cepat, bahkan segera mencabut pedangnya yang langsung dikebutkan ke arah orang-orang yang berada dekat dengannya. Kembali jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berlumuran darah. Gadis bercadar merah muda itu bagaikan banteng betina yang mengamuk tak terbendung lagi.

Setiap kali pedangnya berkelebat, satu dua nyawa melayang meninggalkan tubuh yang bergelimpangan berlumuran darah. Sebentar saja sudah lebih dari separuh jumlah lawan yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dan kini, tinggal lima orang lagi yang masih bertahan hidup. Tapi tampaknya mereka sudah begitu gentar, tak berani lagi mendekat. Dewi Goa Ular berdiri tegak melintangkan pedang di depan dada. Matanya menatap tajam pada si Pisau Terbang yang tampak begitu geram melihat anak buahnya tak sanggup menandingi gadis itu.

"Sekarang giliranmu. Pisau Terbang. Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan pisau-pisaumu," dengus Dewi Goa Ular sinis.

"Phuih!" si Pisau Terbang menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Si Pisau Terbang menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata gadis bercadar merah muda, sekitar tiga tombak di depannya. Sesaat dia terdiam, berdiri tegak bagai patung. Kemudian, tiba-tiba saja....

"Hiyaaa...!"

Tepat saat tubuh si Pisau Terbang membungkuk agak doyong ke kanan, kedua tangannya bergerak cepat melemparkan beberapa pisau berukuran kecil yang tipis berkilat keperakan. Begitu cepat gerakannya sehingga Dewi Goa Ular agak sedikit terperangah. Namun, pedangnya cepat dikebutkan beberapa kali sambil melentingkan tubuh berputaran di udara.

Trang! Tring!

Tangkas sekali Dewi Goa Ular menghalau pisau-pisau kecil itu, sehingga berpentalan sebelum sempat menyentuh tubuhnya. Pisau-pisau itu jadi tak terkendali, dan menyambar sisa orang-orang yang masih hidup. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar saling sambut.

"Keparat..!" geram si Pisau Terbang gusar.

Kini tak ada lagi yang tersisa hidup. Si Pisau Terbang cepat menyadari kalau keutuhan Partai Tombak Baja tergantung dari dirinya dalam menghadapi si Dewi Goa Ular. Jelas, kehadiran wanita itu telah mengguncangkan Partai Tombak Baja ini.

"Tahan serangan Seribu Pisau Terbangku...! Hiya. hiya, hiyaaa...!"

Seperti kesetanan, si Pisau Tertang berlompatan mengelilingi Dewi Goa Ular sambil melontarkan pisau-pisau kecilnya. Menghadapi serangan yang begitu cepat dan beruntun seperti itu, Dewi Goa Ular terpaksa harus berjumpalitan. Bahkan tubuhnya harus berputaran di udara sambil mengebutkan pedang dengan kecepatan penuh. Suara-suara senjata beradu terdengar secara beruntun dan saling sambut.

Pisau-pisau kecil itu bagaikan tak ada habisnya, terus berhamburan di sekitar tubuh Dewi Goa Ular. Bahkan beberapa kali si Pisau Terbang melenting ke udara, dan menyerang dari atas kepala gadis bercadar merah muda itu. Tapi sampai sejauh ini, tak ada satu pisau pun yang berhasil menembus tubuh si Dewi Goa Ular. Gerakan-gerakan yang dilakukan gadis bercadar merah muda itu sungguh cepat dan tangkas luar biasa. Bahkan sulit diikuti pandangan mata biasa. Sehingga, yang terlihat hanyalah bayangan merah muda berkelebatan cepat di antara desingan pisau-pisau tipis yang berhamburan di sekitarnya.

"Setan..!" geram si Pisau Terbang berang. Belum pernah lawan setangguh ini didapatinya. Sampai semua senjatanya habis, lawan belum juga mampu didesak. Kini tak ada lagi pisau yang tersisa melekat di tubuhnya. Dan serangannya pun jadi terhenti. Dia berdiri tegak, menatap tajam penuh kemarahan ke arah gadis bercadar merah muda itu.

"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya si Pisau Terbang jadi penasaran.

Dewi Goa Ular tidak menyahut. Perlahan tangan kirinya diangkat, kemudian cadar yang menutupi wajahnya dibuka. Si Pisau Terbang jadi terbeliak begitu melihat seraut wajah cantik tersembunyi di balik cadar berwarna merah muda itu.

"Kau...?" agak tercekat suara si Pisau Terbang.

"Ya! Aku datang untuk membalas perbuatan kalian semua," desis gadis itu dingin.

Wuk!

Seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke depan. Dan bagaikan kilat. Dewi Goa Ular melompat menerjang sambil mengebutkan pedang beberapa kali.

"Uts! Hup...!"

Si Pisau Terbang terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang mengancam dirinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa harus dibanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Tapi, serangan-serangan gadis itu tidak juga berhenti.

Setelah lewat sepuluh jurus, Dewi Goa Ular menghentikan serangannya. Dia berdiri tegak, sambil melintangkan pedang di depan dada. Perlahan kemudian, kaki kanannya ditarik ke depan, dan tangan kirinya direntangkan lurus ke depan. Lalu, pedangnya diangkat hingga berada di atas kepala. Ujung pedangnya tertuju lurus ke depan, mengarah ke dada si Pisau Terbang. Gadis itu merendahkan tubuhnya perlahan, lalu...

"Hiyaaat..!"

"Oh...?!"

LIMA

Cepat-cepat si Pisau Terbang menarik tubuhnya ke samping ketika pedang Dewi Goa Ular menusuk cepat ke arah dada. Dan begitu pedang itu lewat di samping tubuhnya, segera tangannya dihentakkan menyodok ke arah lambung. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Goa Ular lebih cepat lagi mengebutkan pedangnya tanpa sedikit pun berusaha menghindari sodokan lawan.

"Yeaaah...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Si Pisau Terbang jadi terbeliak lebar. Sungguh tidak disangka kalau gadis cantik berbaju merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu bisa memutar pedangnya begitu cepat, dan langsung menebas tangan kirinya yang menjulur hendak melakukan sodokan ke arah lambung. Tangan kiri si Pisau Terbang seketika itu juga buntung, dan darah muncrat keluar dari tangan yang terpenggal sebatas siku.

"Mampus kau sekarang, Keparat..! Hiyaaat..!"

Wuk!

Bagaikan kilat, Dewi Goa Ular menebaskan pedangnya ke dada si Pisau Terbang. Begitu cepat tebasannya, sehingga si Pisau Terbang tak mampu lagi menghindar. Terlebih lagi, dia masih merasakan perih pada tangan kirinya yang buntung terbabat pedang itu. Dan...

Cras!

"Aaa...!" kembali si Pisau Terbang menjerit keras.

Tubuh si Pisau Terbang terhuyung-huyung ke belakang. Darah kembali membanjiri dari dadanya yang terbelah cukup lebar dan panjang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk terguling dan menggelepar di tanah. Sementara Dewi Goa Ular memandangi disertai senyuman sinis tersungging di bibir. Kembali cadarnya yang terbuat dari kain agak tipis berwarna merah muda dikenakan.

Agak lama juga si Pisau Terbang meregang nyawa, tapi akhirnya diam kaku tak bernyawa lagi. Guratan biru terlihat dari luka di dada dan tangan kirinya yang buntung. Si Pisau Terbang tewas dengan mata terbalak lebar dan mulut ternganga.

"Kalian harus merasakan, bagaimana kehilangan tempat tinggal" desis Dewi Goa Ular dingin.

Sebentar wanita itu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat menghampiri sebuah obor yang terpancang di tiang. Tangannya cepat mencabut obor itu, dan melemparkannya ke atas atap bangunan yang berukuran cukup besar ini. Kembali diambilnya obor, dan dilemparkannya ke dalam rumah. Lima obor dilemparkannya ke rumah besar yang megah itu, sehingga membuat api membesar melahap semua yang ada di dalam bangunan itu.

Dewi Goa Ular berdiri tegak memandangi api yang semakin besar berkobar, melahap bangunan itu. Kemudian tubuhnya diputar perlahan. Dan sambil berteriak nyaring melengking tinggi, beberapa pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat dilontarkan ke arah tembok banteng. Suara-suara ledakan terdengar dahsyat menggelegar, bersamaan hancurnya banteng itu. Lalu, beberapa pukulan lagi dilontarkan ke arah bangunan di depannya.

"Tunggulah pembalasanku. Iblis Tombak Baja...!" desis Dewi Goa Ular dingin menggetarkan.

Setelah puas menghancurkan sarang Partai Tombak Baja, Dewi Goa Ular cepat melesat pergi. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap mata saja dia sudah lenyap tertelan kegelapan malam. Sementara api semakin membesar menghanguskan sarang Partai Tombak Baja. Malam yang semula dingin, kini jadi hangat oleh kobaran api yang semakin bertambah besar saja.

Tanpa setahu gadis bercadar merah muda itu, dari tempat yang cukup tersembunyi mengintai dua pasang mata, memperhatikan semua kejadian di sarang Partai Tombak Baja. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi yang langsung ke tempat ini setelah mengetahui keadaan tempat tinggal Pertapa Goa Ular yang sudah hancur berentakan.

"Kau mengenalnya. Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak berbisik suaranya.

"Ya! Aku pun tahu, di mana bisa bertemu dengannya," sahut Rangga, agak menggumam suaranya.

"Sebaiknya kita temui, Kakang. Kita tanyakan, dari mana jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' itu diperolehnya. Kalau didapatkannya dari Pertapa Goa Ular, dia pasti tahu keberadaan pertapa tua Itu."

"Dia belum sempurna menguasai jurus itu. Tapi sudah cukup dahsyat. Hm.... Dengan jurus yang dimilikinya sekarang ini, rasanya dia belum cukup menandingi Iblis Tombak Baja," gumam Rangga.

"Ayo, Kakang. Sebelum dia pergi jauh," ajak Pandan Wangi lagi.

"Percuma, Pandan. Sebaiknya besok siang saja kita menemuinya," kata Rangga.

"Tapi, setidaknya kita segera meninggalkan tempat ini, Kakang. Iblis Tombak Baja dan begundal-begundalnya pasti sedang menuju ke sini."

"Baiklah. Ayo..."

Tanpa bicara lagi, mereka bergegas meninggalkan tempat persembunyian. Mereka lalu melompat naik ke punggung kuda masing-masing, dan cepat menggebahnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tadi memang sempat melihat Iblis Tombak Baja dan para pengikutnya di sekitar Hutan Goa Ular. Itu sebabnya, kedua pendekar muda itu langsung ke tempat ini. Dan ternyata, dugaan Rangga memang benar. Orang yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu sudah memporakporandakan sarang Partai Tombak Baja. Bahkan membunuh si Pisau Terbang serta dua puluh orang anak buahnya.

********************

Siang ini langit tampak cerah, tanpa awan sedikit pun yang menggantung. Matahari bersinar terik Cahayanya terasa begitu terik membakar. Di sebuah lembah yang tidak begitu besar, tampak seorang gadis berparas cantik tengah berdiri tegak di depan sebuah pusara yang dilingkari bebatuan. Bajunya agak ketat warna merah muda.

Ada lebih dari lima puluh makam lagi di sekitarnya. Dan tak jauh dari pusara-pusara itu, terlihat puing-puing bangunan yang sudah hangus akibat terbakar. Itulah puing bangunan Padepokan Pedang Perak. Dan gadis berbaju merah muda itu adalah Swani, putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak.

"Tenanglah kau di sana, Ayah. Aku bersumpah akan membalas kematianmu, dan kematian semua muridmu," desis Swani perlahan.

Swani cepat berpaling ketika mendengar langkah kaki kuda menghampiri. Kelopak mata gadis itu jadi menyipit begitu melihat dua orang penunggang kuda. Seorang gadis cantik sebayanya berbaju biru muda, dan seorang pemuda berbaju rompi putih yang tampan dan tegap. Perlahan Swani memutar tubuhnya, di saat kedua penunggang kuda yang tak lain adalah Rangga dan Pandan Wangi turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka kini berjalan menghampiri putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak itu.

"Kau masih mengenalku, Swani..?" lembut sekali suara Rangga.

"Kakang...." desah Swani.

Gadis itu langsung berlari dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi jadi bengong menyaksikannya. Dia sungguh tidak tahu kalau Rangga sudah mengenal gadis ini. Bahkan Swani tidak malu-malu lagi menghambur ke dalam pelukan Rangga sambil menangis terisak. Lembut sekali Pendekar Rajawai Sakti menepuk-nepuk punggung Swani, dan melepaskan palukan gadis itu.

"Tenangkan dirimu, Swani. Ceritakan, apa yang terjadi sebenarnya," ujar Rangga, tetap lembut suaranya.

Swani menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dri. Baru sekarang gadis ini bisa menangis sejak menguburkan ayahnya, dan semua murid Padepokan Pedang Perak. Dengan punggung tangannya, gadis itu menyusut air mata yang membasahi pipi. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan sejuta pertanyaan di dalam benaknya.

"Ceritakan semuanya, Swani. Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan persoalanmu." pinta Rangga lagi masih tetap lembut suaranya.

"Ceritanya panjang, Kakang." kata "Swani masih agak tersendat.

"Ayo,. kita cari tempat yang lebih nyaman," ajak Rangga.

Swani menatap Pandan Wangi yang, juga tengah memperhatikannya sejak tadi.

"Oha Kalian tentu belum saling mengenal. Ini Pandan Wangi," Rangga cepat-cepat. Memperkenalkan kedua gadis itu.

Mereka saling berjabatan tangan dan sama-sama menyebutkan nama, kemudian melangkah meninggalkan lembah itu. Swani masih tetap diam berjalan di samping kiri Rangga. Sedangkan Pandan Wangi berjalan di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti sambil menuntun kuda mereka.

Sambil berjalan, Rangga meminta Swani menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Padepokan Pedang Perak. Juga ditanyakannya keadaan ayah gadis itu. Tentu saja Rangga terkejut setelah mengetahui kalau ayah gadis ini sudah tewas di tangan Iblis Tombak Baja. Dan Swani memang menceritakan semua yang terjadi. Bahkan juga menceritakan pertemuannya dengan Pertapa Goa Ular yang kemudian mengangkatnya jadi murid. Tapi, baru beberapa pekan saja mempelajari beberapa ilmu, orang-orang Iblis Tombak Baja sudah menghancurkan Goa Ular. Dan sampai saat ini Swani tidak tahu di mana Pertapa Goa Ular berada.

Bersamaan dengan selesainya cerita Swani, mereka sampai ditepi sebuah sungai kecil yang berair jernih. Mereka segera beristirahat di tepi sungai itu. Sementara Pandan Wangi menyiapkan bekal makanan yang dibawanya. Perjalanan dengan menunggang kuda begini, memang bisa membawa bekal yang cukup dalam perjalanan. Mereka kemudian mengisi perut sambil terus berbicara. Dan kebanyakan, Swani yang berbicara menceritakan keadaan dirinya setelah padepokan ayahnya dihancurkan Partai Tombak Baja.

"Sudah berapa jurus yang kau pelajari dari Pertapa Goa Ular?" tanya Rangga sambil mencuci tangannya di sungai, kemudian kembali duduk di samping Swani.

"Baru tiga, tapi hanya satu yang bisa diandalkan," sahut Swani. "Dan itu juga rasanya belum cukup untuk menandingi Iblis Tombak Baja."

"Kau beruntung, Swani. Bisa mendapatkan ilmu dari Pertapa Goa Ular, meskipun baru tiga jurus. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan ilmu darinya," selak Pandan Wangi.

"Tapi apa yang kudapatkan, belum cukup untuk membalas kematian ayah," kilah Swani.

"Dendam memang tidak ada habisnya, Swani," tandas Rangga, tetap lembut nada suaranya.

"Tapi, aku sudah janji. Aku harus menuntut balas, meskipun harus mati," tegas Swani.

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Swani. Itu sebabnya aku dan Pandan Wangi cepat-cepat ke sini menemuimu, setelah melihat sarang mereka kau hancurkan," kata Rangga lagi.

"Kakang melihatku...?" Swani agak terkejut juga.

"Ya," Rangga mengangguk.

"Kakang tidak mencegah...? Kenapa tidak menemuiku di sana?"

"Tidak ada gunanya, Swani. Lagi pula, aku belum tahu permasalahannya. Meskipun dicegah, kau tidak mungkin bersedia, bukan...? Kau pasti tetap menghancurkan tempat itu." elak Rangga, selalu lembut suaranya.

Swani terdiam. Memang benar yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Tidak mungkin dia bisa dicegah waktu itu. Bara api dendam yang menyala di dalam dadanya begitu besar. Dan dia baru merasa sedikit puas setelah bisa menghancurkan sarang Partai Tombak Baja. Hatinya baru akan benar-benar puas setelah melihat kematian si Iblis Tombak Baja itu sendiri. Tapi, apakah mungkin dia bisa menyaksikan Kematian si Iblis Tombak Baja...? Swani jadi ragu-ragu sendiri. Maka ditatapnya Rangga dengan sinar mata yang sukar diartikan.

"Ayah pasti akan bahagia jika Kakang bersedia membantuku menumpas mereka," pinta Swani penuh harap.

"Ayahku dan ayahmu adalah sahabat dekat. Dan ayahmu sudah mengangkatku sebagai anak. Rasanya, tidak mungkin kalau aku berdiam diri begitu saja, Swani. Aku juga ingin berbakti pada ayah angkatku," tegas Rangga diiringi senyumnya.

"Oh.... Terima kasih, Kakang," ucap Swani.

Malam sudah cukup larut menyelimuti sebagian permukaan mayapada ini. Di tengah-tengah hutan yang cukup lebat Rangga, Pandan Wangi, dan Swani terpaksa bermalam. Mereka tentu tidak mungkin bermalam di Desa Menjangan yang tidak seberapa jauh dari hutan ini, karena terlalu banyak pengikut Iblis Tombak Baja berkeliaran di sana.

Sementara, Swani sudah melingkar di dekat api unggun. Sedangkan diam-diam, Pandan Wangi mendekati Rangga yang duduk bersandar pada sebuah batu cukup besar. Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada saat Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu berpindah, dan duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kenapa waktu itu kau tidak mengatakan kalau sudah mengenalnya, Kakang...?" tegur Pandan Wangi langsung atas sikap Rangga yang tidak berterus terang ketika malam itu mereka melihat Swani menghancurkan sarang Partai Tombak Baja.

"Terus terang, waktu itu hatiku belum yakin benar kalau dia Swani, Pandan. Kau kan tahu, dia mengaku bernama Dewi Goa Ular. Apalagi, jarak kita terlalu jauh untuk bisa melihat jelas." sahut Rangga beralasan.

"Jangan bohongi aku, Kakang. Kau menggunakan aji 'Tatar Netra'. Kau pasti bisa melihat jelas walau jarak jauh sekalipun," agak mendengus nada suara Pandan Wangi.

Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu, Pandan Wangi cemburu. Tapi, tidak ada alasan bagi gadis itu untuk mencemburui Swani. Rangga tadi sudah menjelaskan kalau antara dirinya dan Swani hanya ada hubungan kakak dan adik. Tidak lebih dari itu. Dan lagi ayah Swani sudah mengangkatnya anak. Jadi, tidak mungkin ada hubungan yang lebih selain antara kakak dan adik.

"Kau cemburu. Pandan...?" goda Rangga.

"Tidak!" dengus Pandan Wangi memasang wajah memberengut.

"Lalu, kenapa kau tanya begitu?"

"Tidak apa-apa."

"Pertemuanku dengan Swani waktu itu memang tidak sengaja. Aku menolongnya ketika dia hampir diterkam harimau. Lalu, aku mengantarkannya pulang, dan tidak bisa menolak permintaan ayahnya untuk tinggal beberapa hari di padepokannya. Bahkan secara resmi, beliau mengangkatku menjadi anak, setelah tahu kalau ayahku adalah teman baiknya. Tentu saja anugerah itu tidak bisa kutolak, Pandan. Dan antara aku dan Swani, sama sekali tidak ada hubungan yang istimewa selain hubungan antara kakak dan adik," dengan lembut Rangga menjelaskan hubungannya dengan Swani.

"Kau menganggapnya begitu, Kakang. Tapi, tidak demikian dengannya, bukan...? Bisa saja dia mengartikannya lain," kejar Pandan Wangi, masih terasa jelas kecemburuannya.

"Itu tidak mungkin, Pandan. Kami sudah mengikat sumpah. Jadi. tak ada hubungan yang lebih, selain kakak beradik," tegas Rangga

"Kakang Rangga benar, Kak Pandan," tiba-tiba saja Swani sudah bangun.

Pandan Wangi terkejut juga, dan cepat berpaling. Swani bangkit berdiri dan melangkah menghampiri, kemudian duduk di samping Pandan Wangi yang jadi agak memerah wajahnya. Sungguh tidak disangka kalau Swani mendengarkan percakapan ini. Dan dia jadi malu, karena kecemburuannya ketahuan.

"Aku sendiri sebenarnya sudah mempunyai tunangan. Tapi, dia tewas bersama ayah ketika kelompok Iblis Tombak Baja menyerang padepokan," jelas Swani. "Jadi antara aku dan Kakang Rangga tidak ada hubungan apa-apa. Kami bersahabat, dan saling menyayangi seperti kakak dan adik. Tidak lebih dari itu."

"Ah, sudahlah. Aku hanya ingin tahu saja awal pertemuan kalian berdua." selak Pandan Wangi, tidak ingin melanjutkan. "Aku tidur dulu. Kakang, Swani..."

Pandan Wangi tidak menunggu jawaban, dan segera menjauh. Tubuhnya direbahkan di bawah pohon yang cukup besar, sehingga terlindung dari terpaan angin yang cukup dingin malam ini. Api unggun yang dibuatnya tidak cukup mengusir dinginnya udara malam ini. Sementara Rangga dan Swani masih duduk berhadapan. Mereka sama-sama melemparkan senyum melihat Pandan Wangi jadi kikuk begitu.

"Swani, apa rencanamu setelah ini?" tanya Rangga ingin tahu.

"Yang jelas, aku akan menuntaskan urusan dengan Iblis Tombak Baja dulu." sahut Swani.

"Lalu?"

"Mungkin aku akan mencari Eyang Pertapa Goa Ular. Aku ingin menguasai semua ilmunya. Rasanya, aku cocok menggunakan ilmu-ilmunya, Kakang," lanjut Swani.

"Mudah-mudahan saja keinginanmu bisa terlaksana, Swani. Harapanku, kau bisa bertemu lagi dengan Pertapa Goa Ular," ujar Rangga membesarkan hati gadis ini.

"Tapi, Kakang...."

"Ada apa lagi?"

"Eyang Pertapa selalu saja menceritakan orang pertama yang datang ke tempatnya. Dan dia seperti menyesal tidak bisa mewariskan ilmu-ilmunya pada orang itu. Aku tidak ingin ilmu-ilmunya diturunkan padaku hanya karena terpaksa. Beliau pasti kecewa, karena tidak bisa tepat menentukan pilihannya sendiri.

"Itu tidak akan terjadi, Swani. Percayalah, Pertapa Goa Ular pasti senang mempunyai murid secerdasmu," lagi-lagi Rangga membesarkan hati gadis ini.

Tentu saja Rangga tidak mengatakan kalau orang pertama yang dimaksudkan tadi adalah dirinya sendiri. Dia memang pernah datang ke Goa Ular tanpa disengaja. Bahkan sempat bertarung dengan Pertapa Goa Ular. Tapi, Rangga bisa menandingi ilmu-ilmu yang dimiliki Pertapa Goa Ular dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari Satria Naga Emas. Dan Pertapa Goa Ular langsung tunduk, mengaku kalah begitu mengenali salah satu ilmu yang dikeluarkan Rangga. Terlebih lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti mengatakan, dari mana ilmunya diperoleh.

Pertapa Goa Ular sendiri mengatakan kalau ilmu-ilmu yang dimiliki sebagian kecil dari penggalan ilmu-ilmu Satria Naga Emas. Dan dia selalu menganggap Satria Naga Emas adalah gurunya, meskipun belum pernah berjumpa. Ilmu pertapa itu didapatkan dari sebuah kitab yang ditemukannya di Goa Ular. Sehingga, ular-ular yang hidup di bumi ini bisa dikuasainya.

Kedatangan Pertapa Goa Ular ke goa itu memang tidak disengaja. Ketika itu, dia menjadi buronan prajurit kadipaten karena dituduh membunuh putra seorang pembesar kadipaten. Padahal, itu semua hanya kecelakaan. Tapi pihak kadipaten tidak mau tahu, dan terus mengejarnya. Akhirnya, laki-laki tua itu sampai di Goa Ular, dan bersembunyi di sana. Maka, di sanalah ilmu-ilmunya didapatkan.

Dan tentu saja Rangga tidak menceritakan hal itu pada Swani. Pendekar Rajawali Sakti tetap merahasiakannya. Hanya Pandan Wangi yang tahu tentang semua itu. Dan Rangga yakin, Pandan Wangi bisa menutup rahasia ini sampai kapan pun juga.

"Sudah terlalu larut. Tidurlah. Masih banyak yang harus kau kerjakan. Kau harus siap menghadapi segala bahaya dan rintangan yang akan dihadapi," ujar Rangga lembut.

"Baik, Kakang." sahut Swani. Swani beranjak bangkit, lalu melangkah ke tempatnya semula ketika tidur tadi.

Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya. Sekias ditatapnya Pandan Wangi yang sudah mendengkur halus di bawah pohon. Di hatinya, terbersit rasa iri melihat Pandan Wangi bisa menjadi gadis pilihan Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar muda yang gagah dan tampan, juga berkepandaian tinggi yang sukar dicari tandingannya saat ini.

"Berbahagialah kau. Kak Pandan..." desah Swani seraya memejamkan mata.

********************

ENAM

Rangga cepat menggerinjang bangkit begitu cahaya matahari menghangati raganya. Pandangannya langsung diarahkan ke tempat Swani tidur semalam. Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut, karena tidak mendapati Swani di sana lagi. Bergegas kakinya melangkah mendekati Pandan Wangi yang masih tidur di bawah pohon.

"Pandan...," Rangga mengguncang bahu Pandan Wangi.

Sebentar Pandan Wangi menggeliat, lalu menggerinjang bangun.

"Kau tidak melihat Swani?" tanya Rangga langsung.

"Swani...?"

Pandan Wangi segera melayangkan pandangan ke tempat Swani tidur. Tapi putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak itu sudah tidak ada lagi di sana. Pandangan Pandan Wangi beralih ke wajah Rangga.

"Maaf, Kakang. Aku terlalu lelap...," ucap Pandan Wangi.

"Sudahlah, Pandan. Aku juga ketiduran," selak Rangga cepat.

"Lalu, ke mana dia pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Hhh...! Swani mengalami guncangan berat. Dia bisa saja berbuat nekat seperti kemarin." desah Rangga agak mengeluh.

"Apa tidak mungkin kembali ke tempat Iblis Tombak Baja...?" lagi-lagi Pandan Wangi bertanya seperti untuk diri sendiri.

"Dia sudah menghancurkannya. Pandan. Jadi, tidak mungkin ke sana lagi," bantah Rangga.

"Kalau tidak ke sana. lalu ke mana perginya....?"

"Desa Menjangan."

"Terlalu nekat kalau ke sana, Kakang."

"Swani bisa berbuat apa saja untuk melampiaskan dendamnya, Pandan. Bahkan bisa membantai satu persatu orang yang terlibat dalam menghancurkan padepokan ayahnya."

"Hm... Bisa-bisa dia dianggap pembunuh tak berperikemanusiaan, dan dimusuhi banyak pendekar, Kakang."

"Itulah yang tidak kuinginkan, Pandan. Tidak semua pendekar bisa menelaah dengan benar. Bahkan bukannya tidak mustahil langsung main tuduh saja, tanpa menyelidiki lagi sebabnya."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan...?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Kita harus segera menemuinya, sebelum dia bertindak sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri."

"Ke mana kita mencarinya, Kakang?"

"Kita lihat dulu ke Goa Ular. Kalau dia tidak ada di sana, lalu langsung ke Desa Menjangan," Rangga cepat memutuskan.

"Ayo, Kakang. Jangan buang-buang waktu lagi," ajak Pandan Wangi

Mereka bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tapi belum juga kuda mereka digebah, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata panah yang siap dilepaskan dari busur. Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Sebentar saja, tempat ini sudah terkepung begitu banyak orang bersenjata terhunus.

Pandangan mereka kemudian tertumbuk pada seorang laki-laki tua berjubah biru. Dia juga didampingi empat orang bersenjata yang beraneka macam bentuknya. Sedangkan orang tua berjubah biru itu menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya. Melihat senjata di tangan laki-laki tua itu, Rangga langsung bisa mengenali. Terlebih lagi, di antara mereka terlihat Prabawa yang sempat bertarung sebentar dengan Pendekar Rajawali Sakti.

"Mereka itu orangnya, Eyang." bisik Prabawa seraya menatap tajam, penuh dendam pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm...," laki-laki berjubah biru itu hanya menggumam saja.

Laki-laki tua itu mengayunkan kakinya beberapa tindak ke depan. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap duduk di punggung kuda hitamnya yang tinggi dan tegap berotot. Rangga turun dari punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri di depan kudanya yang berbulu putih bersih bagai kapas.

"Tindakanmu sudah melewati batas, Anak Muda. Untuk apa membunuh orang-orangku, dan membakar habis tempat tinggalku?!" terasa dingin sekali nada suara Eyang Gorak yang lebih dikenal dengan sebutan Iblis Tombak Baja.

"Maaf, aku tidak mengerti maksudmu, Kisanak," sergah Rangga mencoba ramah.

"Jangan berlagak bodoh kau, Bocah!" sentak Eyang Gorak sengit.

"Aku rasa di antara kita tidak ada persoalan," elak Rangga masih dengan suara kalem.

"Kau telah membuat persoalan denganku, Bocah! Sayang, aku tidak bisa lagi memberimu pengampunan. Kau harus mati karena telah mencampuri urusanku. Dan aku tidak suka pada orang yang senang mencampuri urusanku! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!" terdengar lantang suara Eyang Gorak.

Setelah berkata demikian. Eyang Gorak menjentikkan ujung jarinya, dan secepat itu pula melompat ke belakang. Maka sekitar dua puluh orang yang sudah mementang panah pada busurnya, melepaskan anak-anak panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Pandan, lepaskan kuda-kuda...! Hup.... Yeah...!"

Rangga langsung berlompatan di udara menghindari hujan anak panah yang meluruk deras ke arahnya. Sementara Pandan Wangi menggebah kudanya, agar pergi jauh dari tempat ini. Kedua kuda itu meringkik keras. Lalu berlari cepat menerjang kepungan beberapa orang. Tampak kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu sempat menerjang tiga orang sekaligus, hingga berpelantingan dan tak mampu bangun lagi.

Sementara Rangga terus berjumpalitan menghindari serbuan panah yang datang bagaikan hujan di sekitar tubuhnya. Meskipun tidak menggunakan senjata, tapi kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sepasang senjata yang sangat ampuh dan sukar dicari tandingannya. Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti berhasil merontokkan panah-panah yang menghujaninya.

Pada saat yang bersamaan, tampak empat orang bersenjata golok mencoba meringkus Pandan Wangi. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu bukanlah gadis sembarangan yang bisa mudah diringkus begitu saja. Sebelum empat orang bersenjata golok itu bisa menyentuhnya, si Kipas Maut sudah bergerak cepat melepaskan beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya empat orang yang mencoba meringkus Pandan Wangi. Mereka bergelimpangan dan tak mampu bangkit kembali. Mendengar jeritan-jeritan itu. Rangga sempat melirik ke arah kekasihnya. Maka cepat dia melompat ke arah gadis itu, dan langsung menyambar pinggangnya.

"Auwh...!" Pandan Wangi terpekik kaget

Dan sebelum Pandan Wangi sempat menyadari apa yang terjadi. Rangga sudah melesat cepat bagaikan kilat melewati beberapa kepala yang mengepung tempat ini. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.

"Setan...! Kejar mereka..!" perintah Eyang Gorak lantang menggelegar.

********************

Rangga baru berhenti berlari setelah dirasakan cukup aman. Kemudian Pandan Wangi yang berada di atas pundaknya diturunkan. Gadis itu memberengut kesal dengan tindakan Rangga yang begitu tiba-tiba.

"Maaf, aku terpaksa." ucap Rangga mendahului sebelum Pandan Wangi membuka mulutnya.

"Kenapa kau menyambarku? Kau kan bisa saja mengatakannya, Kakang...?" rungut Pandan Wangi.

"Kenapa...? Apa kau tidak bisa melihat jumlah mereka, Pandan? Setangguh apa pun ilmu yang kumiliki, tidak akan mungkin bisa melawan mereka semua. Jumlah mereka sama besarnya dengan satu pasukan prajurit. Dan lagi, mereka orang-orang yang berpengalaman dalam pertarungan seperti itu. Dan aku tidak sudi mati konyol tanpa menggunakan otak!"

Pandan Wangi jadi terdiam melihat Rangga tampak begitu berang. Padahal, Rangga belum pernah terlihat seberang ini. Sungguh sulit dimengerti, apa yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berang seperti ini.

"Maafkan, Pandan. Tidak seharusnya aku berkata kasar padamu," ucap Rangga menyesali kekasarannya barusan.

"Apa sebenarnya yang terjadi padamu. Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Ayo kita pergi dari sini," ajak Rangga menghindari pertanyaan Pandan Wangi.

Pandan Wangi bergegas melangkah mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berjalan lebih dahulu. Ayunan kakinya disejajarkan di samping pemuda itu. Pandan Wangi merasa ada sesuatu yang terjadi dalam diri Rangga, sehingga jadi begitu berang tampaknya. Tapi, Rangga sendiri sepertinya tidak ingin membicarakan. Sedangkan Pandan Wangi tidak mau Rangga berubah tanpa diketahui sebabnya.

"Kakang...," Pandan Wangi mencoba bicara lagi.

Rangga menghentikan ayunan kakinya. Dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam. Sedangkan gadis itu jadi diam dan balas memandang mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata kecemasan. Entah apa yang dicemaskannya.

"Kita harus secepatnya menemui Swani, Pandan. Sebelum Iblis Tombak Baja berhasil menemukannya, atau Swani yang mendatanginya," ujar Rangga, agak dalam suaranya.

"Kau mencemaskannya. Kakang...?" agak tertahan suara Pandan Wangi.

"Ya," sahut Rangga tegas.

"Kenapa...?"

"Karena dia selalu menggunakan Jurus "Seribu Racun Ular Berbisa' yang belum sempurna. Dan itu sangat membahayakan dirinya sendiri," Rangga mencoba menjelaskan.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang..."

"Aku tahu. Jurus itu bersumber dari Satria Naga Emas. Tapi, sangat berbahaya bagi siapa saja yang menggunakan sebelum bisa menyempurnakannya pada tingkat terakhir. Paling tidak dibutuhkan kekuatan tenaga dalam yang sangat besar, dan harus sempurna. Dan bila hal ini tidak dimiliki Swani, sedikit demi sedikit tenaga dalamnya akan dimakan jurus itu. Bahkan bukan tidak mungkin seluruh kepandaian yang dimilikinya akan terkuras habis. Lain halnya kalau Swani sudah menyempurnakannya. Maka jurus itu bisa membuat kekuatan dan kepandaiannya menjadi berlipat ganda. Itu sebabnya, kenapa Satria Naga Emas tidak mau menurunkannya padaku. Karena jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' sangat berbahaya. Bukan saja untuk lawan, tapi juga untuk diri sendiri. Hanya orang yang memiliki tenaga dalam tingkat sempurna saja yang bisa menguasainya. Sedangkan Swani, masih beberapa tingkat lagi untuk mencapai kesempurnaan." panjang lebar Rangga menjelaskan tentang jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang sekarang ini sering digunakan Swani, dalam setiap pertarungannya dalam membalas kematian ayahnya.

Pandan Wangi jadi terdiam. Sungguh tidak disangka kalau hal itu yang menjadi beban pikiran Rangga.

"Kau tadi dengar sendiri. Pandan, Si Iblis Tombak Baja sudah mengenalku. Dan yang pasti, dia sudah tahu tentang jurus yang sekarang dimiliki Swani. Dan dia juga tahu kelemahan jurus itu. Kalau Swani, sampai bertemu dengannya, pasti Swani akan dipaksa untuk mengerahkan seluruh kemampuan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Dan itu akan membahayakan jiwa Swani sendiri. Dia bisa mati tak bertenaga lagi, karena jurus itu menyedot habis seluruh tenaga dan kepandaiannya," sambung Rangga menjelaskan lagi.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Pandan Wangi sudah bisa mengerti kekhawatiran yang ada di hati Pendekar Rajawali Sakti.

"Seharusnya, tawaran Pertapa Goa Ular waktu itu kuterima saja. Kalau ilmu-ilmunya diturunkan padaku, tentu bisa kusimpan dan tidak kugunakan sama sekali. Atau mungkin bisa kusempurnakan. Jadi, dia tidak perlu menurunkannya pada orang lain secara tanggung seperti itu," nada suara Rangga terdengar mengeluh.

"Aku yakin, Pertapa Goa Ular tidak bermaksud mencelakakan Swani, Kakang. Mungkin karena serangan anak buah Iblis Tombak Baja saja yang membuatnya terpaksa harus meninggalkan Swani dalam keadaan tanggung seperti itu," timpal Pandan Wangi, tidak ingin Rangga menyesali diri.

"Kau benar, Pandan. Setelah urusan ini selesai, aku akan mengantarkan Swani mencari Pertapa Goa Ular. Jurus itu harus bisa disempurnakannya, atau ditinggalkan sama sekali," tegas Rangga.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Pandan Wangi menundukkan kepala, sebentar kemudian mengangkat lagi kepalanya. Langsung ditatapnya bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Maafkan aku, Kakang," ucap Pandan Wangi pelan. Begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar.

"Kenapa kau minta maaf padaku. Pandan?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Aku tadi sudah berpikir yang bukan-bukan tentang..."

"Ah, sudahlah...," potong Rangga cepat. "Yang penting sekarang, kau bisa mengerti arti dari persaudaraan."

"Aku paham, Kakang."

"Aku sudah berjanji pada ayah Swani untuk melindunginya jika terjadi sesuatu padanya. Dan janji itu harus kulaksanakan sekarang, Pandan. Terlebih lagi, sekarang ini Swani berada dalam kesulitan. Maka aku tidak bisa berpangku tangan saja menyaksikan semua ini," kata Rangga lagi meminta pengertian Pandan Wangi.

"Aku mengerti, Kakang. Maafkan...." ucap Pandan Wangi lagi.

Rangga tersenyum dan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa saat mereka berpelukan, kemudian kembali melanjutkan perjalanan mencari Swani yang kini entah berada di mana. Tapi, arah yang mereka tuju jelas ke Hutan Goa Ular yang tidak seberapa jauh lagi dari tempat ini.

********************

Matahari sudah berada di atas kepala ketika Rangga dan Pandan Wangi sampai di Goa Ular yang sudah hancur berantakan. Setiap jengkal daerah itu dijelajahi. Tapi, tetap saja tidak menemukan seorang pun di sana. Apalagi untuk menemukan Swani. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda dia berada di sekitar Goa Ular ini.

Setelah yakin kalau Swani tidak berada di tempat ini, Rangga mengajak Pandan Wangi ke Desa Menjangan. Untuk ke sana, perlu setengah hari perjalanan kalau tidak menunggang kuda. Tapi dengan ilmu lari cepat yang dipadu ilmu meringankan tubuh, mereka bisa lebih cepat sampai di Desa Menjangan. Dan sebelum matahari terbenam, kedua pendekar muda Ku sudah sampai di desa yang selalu ramai seperti tak ada waktu beristirahat.

"Desa ini terlalu luas dan ramai, Kakang. Rasanya seperti mencari jarum di dalam tumpukan Jerami," desis Pandan Wangi, agak berbisik suaranya.

"Apa pun rintangannya, Swani harus ditemukan lebih dahulu, Pandan," kata Rangga mantap.

"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Swani meninggalkan kita, Kakang...?" tanya Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.

"Aku rasa, dia tidak suka bila ada orang yang menghalangi keinginannya dalam membalas dendam," sahut Rangga.

"Jadi, dia menganggap kita penghalang...?"

"Mungkin," sahut Rangga agak mendesah. "Cukup lama aku mengenalnya. Dan Swani juga sudah tahu watak-watakku."

"Seharusnya, dia tidak perlu bersikap seperti itu. Toh, kita bukannya ingin menghalangi, tapi malah ingin membantu menyelesaikan persoalannya."

"Wataknya sangat keras. Tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Apa yang sudah menjadi tekadnya, harus dilaksanakan. Tidak dipedulikan lagi rintangan yang akan dihadapi, walaupun harus nyawa yang jadi taruhannya."

Mereka terus melangkah menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Menjangan seperti menjadi dua bagian. Apa yang dikatakan Pandan Wangi memang benar. Tidak mudah menemukan Swani di desa yang selalu ramai seperti ini. Bahkan sampai matahari tenggelam, Swani belum juga bisa ditemukan. Sementara keramaian di Desa Menjangan terus saja berlangsung. Bahkan terlihat semakin semarak saat matahari tenggelam di belahan bumi bagian Barat.

Sampai lelah mereka berjalan, tapi tidak juga bertemu Swani. Kedua pendekar muda itu kembali tiba di tepi desa yang dekat dengan kaki Gunung Menjangan. Sambil menghembuskan napas panjang. Pandan Wangi menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan yang mulai dibasahi embun. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri memandang ke arah Desa Menjangan yang terang benderang tersiram cahaya pelita dan obor.

"Ke mana lagi kita harus mencari, Kakang?" tanya Pandan Wangi lesu.

Rangga hanya diam saja, seperti tidak mendengar pertanyaan gadis itu. Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa Menjangan. Dari tempat yang cukup tinggi ini, dapat terlihat jelas setiap sudut desa itu.

"Pandan.... Kau dengar suara itu...?" agak berbisik suara Rangga.

"Suara apa...?" pertanyaan Pandan Wangi terputus.

Gadis itu bergegas bangkit berdiri begitu mendengar suara yang dimaksudkan Rangga. Sejenak mereka menajamkan telinga, mencoba mendengarkan suara yang hampir tidak terdengar itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka cepat melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga sebentar saja sudah sampai di tempat asal suara yang didengar. Kedua pendekar muda itu berhenti berlari ketika melihat seorang laki-laki tua tengah bertarung, dikeroyok sekitar tiga puluh orang yang semuanya bersenjatakan golok. Tampak jelas sekali kalau orang tua itu terdesak hebat.

"Pertapa Goa Ular...," desis Rangga mengenali orang tua itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat terjun ke dalam pertempuran. Pukulannya langsung melayang beruntun, menghajar pengeroyok laki-laki tua itu. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh yang mengeroyok Pertapa Goa Ular.

"Hiyaaat..!"

Pandan Wangi juga tidak mau ketinggalan. Gadis itu ikut terjun ke dalam pertempuran ini. Kipas Maut andalannya berkelebat cepat menghajar orang-orang bersenjata golok itu. Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi, tentu saja membuat mereka jadi kalang kabut. Terlebih lagi dalam waktu sebentar saja, sudah hampir sebagian dari mereka bergelimpangan tak bernyawa. Melihat banyak teman yang tewas, para pengeroyok segera berlarian kabur meninggalkan pertarungan.

Rangga bergegas menghampiri Pertapa Goa Ular yang tampak kepayahan, berdiri bertopang pada sebatang pohon. Sinar matanya begitu redup saat menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Pandan Wangi baru menghampiri setelah menyelesaikan pertarungannya.

"Eyang...," ucap Rangga, terputus suaranya.

"Biarkan aku, Rangga." sergah Pertapa Goa Ular.

Laki-laki tua itu duduk di bawah pohon. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti ikut duduk di depannya. Pandan Wangi juga duduk di samping kekasihnya. Beberapa saat mereka terdiam. Tampak jelas sekali kalau sorot mata Rangga seperti tidak percaya melihat Pertapa Goa Ular begitu kepayahan menghadapi begundal-begundalnya Iblis Tombak Baja, yang rata-rata hanya berkepandaian rendah. Seharusnya, tiga puluh orang pengeroyok tidak ada artinya bagi seorang tokoh tua seperti Pertapa Goa Ular ini. Tapi apa yang disaksikan Rangga, membuatnya tidak percaya.

"Eyang terluka...?" tanya Rangga.

"Tidak," sahut Pertapa Goa Ular. "Terima kasih atas bantuan kalian "

"Tapi..."

"Kau anak angkat Satria Naga Emas. Pasti tahu, kenapa aku bisa sampai begini. Bahkan hampir mati oleh para begundal itu," potong Pertapa Goa Ular cepat

"Aku mengerti, Eyang. Tapi kenapa kau tetap melakukannya...?" Rangga masih meminta penjelasan keadaan Pertapa Goa Ular itu.

"Rangga. Kau tentu tahu keburukan-keburukan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'...." kata Pertapa Goa Ular.

"Ya, aku tahu," sahut Rangga seraya mengangguk.

"Aku sudah terlalu tua untuk bisa menyempurnakannya dengan baik. Jurus itu memang sangat dahsyat, dan sulit dicari tandingannya. Kau ingat ketika kita bertarung, Rangga?"

Rangga hanya mengangguk saja.

"Aku ingin mengangkatmu menjadi murid, karena kau punya harapan besar bisa menyempurnakan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Terlebih lagi, kau adalah anak angkat Satria Naga Emas. Jadi pasti kau sudah mengenal betul akan setiap watak jurus-jurus dan ilmu kesaktiannya. Tapi, rupanya kita memang tidak berjodoh. Dan aku terpaksa...," Pertapa Goa Ular memutuskan pembicaraannya.

"Maafkan aku, Eyang. Bukannya aku tidak ingin diangkat menjadi muridmu. Tapi, aku tidak ingin mencelakakanmu. Aku sendiri, sebenarnya sudah tidak mau bertarung ketika kau mengerahkan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'," kata Rangga bisa memahami.

"Kau seorang pendekar arif dan bijaksana, Rangga," puji Pertapa Goa Ular tulus.

"Aku mohon maaf telah mengecewakanmu. Eyang," ucap Rangga.

"Tidak, Rangga. Tidak perlu kau ucapkan itu. Lagi pula, aku tidak kecewa. Aku sudah mempunyai pengganti yang cukup berbakat."

"Swani....?"

TUJUH

"Rupanya kau sudah tahu tentang gadis itu. Rangga," kata Pertapa Goa Ular.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

"Gadis yang malang, tapi memiliki semangat dan bakat yang besar. Aku benar-benar menyukainya, itu sebabnya, dia kupilih menjadi muridku. Tapi tidak kusangka akan begini jadinya. Sementara apa yang kuberikan masih begitu tanggung. Ohhh.... Aku telah mencelakakannya, tanpa dia sadari," terdengar mengeluh nada suara Pertapa Goa Ular.

"Belum terlambat untuk menolongnya. Eyang," ujar Rangga, membesarkan hati orang tua ini.

"Aku khawatir, dia tidak bisa bertahan lama. Sedangkan aku sendiri sudah begitu lemah. Sampai-sampai, aku tidak mampu lagi menghadapi begundal-begundal itu. Kau tahu, Rangga. Silat jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' tidak jauh berbeda dari belalang. Induknya langsung mati setelah menitiskan keturunan. Sedangkan sebagian jurus sudah kuturunkan pada Swani. Hanya tinggal sedikit lagi kekuatanku yang tersisa. Tapi, itu tidak membantu Swani. Bahkan bisa mencelakakannya kalau jurus itu tidak segera disempurnakan," kata Pertapa Goa Ular lagi

"Aku sudah tahu semuanya, Eyang. Aku juga tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya," kata Rangga.

"Kau sudah bertemu dengannya?" tanya Pertapa Goa Ular.

"Kemarin. Tapi dia pergi secara diam-diam semalam. Aku tidak tahu, di mana dia kini berada," sahut Rangga.

"Oh, sayang sekali," desah Pertapa Goa Ular sedikit mengeluh.

"Aku berjanji akan terus mencari dan membawanya padamu, Eyang," tegas Rangga.

"Aku percaya kau akan melakukan itu, Rangga. Tapi yang lebih penting, Swani harus bisa dijauhkan dari si Iblis Tombak Baja." pesan Pertapa Goa Ular.

"Oh, ya. Di mana tempat tinggalmu sekarang?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.

"Benar, Eyang. Kami lihat tempat tinggalmu sudah hancur, dan tak mungkin ditempati lagi," sambung Rangga.

"Aku sekarang memang tidak punya tempat tinggal lagi. Anak buah Iblis Tombak Baja telah menghancurkan tempat tinggalku. Dia memang sudah lama ingin menghancurkanku. Tapi, baru sekarang bisa terlaksana setelah sebagian kekuatanku lenyap. Bahkan sekarang ini aku benar-benar tidak punya daya lagi. Kau bisa lihat sendiri, bagaimana aku kewalahan hanya dalam menghadapi begundalnya saja," pelan sekali suara Pertapa Goa Ular.

Sebentar Pertapa Goa Ular terdiam. Dihembuskannya napas panjang, untuk melonggarkan rongga dadanya yang terasa jadi begitu sesak. Sedangkan Pandan Wangi dan Rangga hanya diam saja memperhatikan orang tua pertapa itu.

"Saat berhasil lolos dari kepungan orang-orang Iblis Tombak Baja, aku terus berusaha mencari Swani. Beberapa kali aku bentrok dengan mereka. Dan itu semakin menguras tenaga dan kepandaianku. Rasanya, aku tidak sanggup lagi bertarung jika bertemu mereka. Aku tidak ingin mati sebelum Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang kuturunkan pada Swani kutuntaskan. Kau harus bisa menemukan gadis itu sebelum segalanya terlambat, Rangga. Jika Swani sampai mati lebih dulu, maka aku juga akan mati tanpa mewariskan ilmu-ilmu yang kumiliki. Dan kalau aku yang mati lebih dulu, akan berbahaya akibatnya bagi Swani. Seumur hidup, dia akan menjadi orang yang paling lemah, tanpa daya sedikit pun," kata Pertapa Goa Ular menjelaskan lagi.

"Seburuk itukah akibatnya, Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak menyangka.

"Bisa lebih buruk lagi. Dia bisa lumpuh seumur hidup."

"Oh...?!" Pandan Wangi terpekik terkejut si Kipas Maut memandang Rangga yang jadi terdiam dengan kepala tertunduk Pandan Wangi tidak menyangka kalau akan seburuk itu akibat Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang dipelajari jika tidak sampai tuntas dan sempurna. Suatu ilmu dahsyat, tapi sangat buruk akibatnya jika hanya mempelajari setengah-setengah. Pantas saja Rangga tidak mau mempelajarinya, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui segala akibat dan keburukannya. Bukan saja bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang yang menurunkan ilmu itu. Tapi kalau bisa menguasai secara sempurna, sangat sukar menandingi jurus itu.

"Pandan Wangi! Sebaiknya kau tetap bersama Eyang Pertapa. Sementara, aku mencari Swani," ujar Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Swani pasti ke sarang si Iblis Tombak Baja, Rangga," duga Pertapa Goa Ular.

"Dia sudah ke sana dan menghancurkannya," selak Pandan Wangi memberi tahu.

"Oh! Benarkah...?!" Pertapa Goa Ular terkejut mendengarnya.

"Benar, Eyang," sahut Rangga.

"Ah.... Dia benar-benar dalam bahaya sekarang. Sayang, aku tidak punya daya lagi untuk menolongnya," keluh Pertapa Goa Ular.

"Jangan pikirkan itu, Eyang. Sekarang, yang penting Eyang dan Pandan Wangi ke puncak Bukit Menjangan. Aku berjanji akan membawa Swani dengan selamat padamu," tegas Rangga.

"Terima kasih, Rangga. Aku percaya, kau pasti bisa mengatasi kesulitan ini," ujar Pertapa Goa Ular.

"Sebaiknya, Eyang berangkat sekarang. Aku yakin, tidak lama lagi mereka pasti akan datang ke sini. Akan buruk akibatnya." ujar Rangga lagi.

"Mari, Eyang...," ajak Pandan Wangi.

Pandan Wangi membantu Pertapa Goa Ular berdiri. Sebentar mereka saling berpandangan. Pertapa Goa Ular menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti dan tersenyum dengan bibir bergetar, kemudian melangkah diikuti Pandan Wangi. Sementara Rangga masih berdiri memandangi kepergian mereka. Pendekar Rajawali Sakti baru beranjak pergi setelah Pandan Wangi dan Pertapa Goa Ular sudah tidak terlihat lagi.

********************

Sementara di bagian sebelah Timur Bukit Menjangan, tampak Eyang Gorak yang lebih dikenal berjuluk Iblis Tombak Baja, tengah berdiri termangu memandangi tempat tinggalnya yang hancur rata dengan tanah. Asap masih mengepul di beberapa tempat dari reruntuhan bangunan yang hangus terbakar itu. Sedangkan empat orang pembantu dan pengikut-pengikutnya hanya memandangi saja, tak ada yang sanggup mengeluarkan suara.

Eyang Gorak mencabut sebuah bintang hitam yang menancap di pohon di dekatnya. Diamatinya benda berbentuk bintang hitam itu dalam-dalam, lalu digenggamnya kuat-kuat. Tampak otot-otot tangannya bersembulan keluar, dan gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan. Asap tipis terlihat mengepul di tangannya yang mengepal kuat.

Perlahan laki-laki tua berjubah biru itu membuka kepalan tangannya. Tampak benda hitam yang tadi berbentuk bintang kini sudah hancur lebur menjadi serbuk hitam yang mengepulkan asap. Serbuk hitam itu menyebar terbawa angin. Eyang Gorak memutar tubuhnya perlahan-lahan, lalu memandangi pembantu utamanya yang tinggal empat orang lagi. Pandangannya terus beredar kepada para pengikut-nya yang duduk bersila di sekitar tempat itu.

"Kalian tahu, berapa tahun aku membangun Partai Tombak Baja...?" agak lantang dan tertahan suara Eyang Gorak. "Seluruh sisa hidupku tercurah untuk kebesaran Partai Tombak Baja. Aku tidak ingin partai yang kubangun bertahun-tahun hancur begitu saja. Maka kalian harus bisa menangkap si keparat itu hidup atau mati! Aku bersumpah, siapa saja di antara kalian yang bisa membawa kepalanya ke sini, akan kuangkat menjadi wakilku!"

Kata-kata Eyang Gorak disambut gemuruh dan gegap gempita. Mereka semua langsung berdiri sambil mengacungkan senjata masing-masing ke atas kepala dan berseru nyaring mendukung ucapan si Iblis Tombak Baja. Eyang Gorak begitu bangga melihat kesetiaan para pengikutnya, meskipun partai yang dibanggakan dan dibangun susah payah selama bertahun-tahun kini telah hancur menjadi puing berserakan

"Pergilah kalian sekarang. Aku tidak peduli dengan semua yang kalian lakukan. Aku hanya ingin si keparat itu sampai di sini!" kata Eyang Gorak lagi, lebih lantang suaranya.

"Aku sudah di sini, Iblis Tombak Baja...!"

"Heh...?!" Semua orang yang ada cli tempat itu terkejut bukan main begitu tiba-tiba terdengar suara lantang, keras menggema. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah muda. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang gadis berbaju merah muda. Wajahnya tertutup cadar agak tipis, juga berwarna merah muda. Sebilah pedang tampak tersampir di punggungnya.

Eyang Gorak langsung menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya ke atas kepala. Dan seketika itu juga, semua orang pengikutnya bergerak cepat mengepung gadis berbaju merah muda itu. Kepungan mereka begitu ketat, sehingga tak ada lagi celah bagi orang itu untuk meloloskan diri.

"Kau terlalu berani muncul di sini, Bocah Keparat! Tunjukkan, siapa dirimu yang sebenarnya...?!" desis Eyang Gorak menggeram berang.

"Aku Dewi Goa Ular yang akan menghentikan semua perbuatanmu, Iblis Tombak Baja!" terdengar lantang suara gadis bercadar merah muda itu.

"Biar aku yang membekuknya, Eyang," ujar seorang laki-laki berusia setengah baya yang membawa senjata berupa rantai baja putih, berbandul tiga buah bola besi berduri.

"Hati-hatilah, Pralaya. Kalau dia memang benar berasal dari Goa Ular, senjatanya yang beracun harus kau hindari," kata Eyang Gorak.

"Dia akan menyesal muncul di sini, Eyang," kata laki-laki yang dipanggil Pralaya itu pongah.

"Hup...!"

Pralaya langsung melompat menghampiri gadis bercadar merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu. Ringan sekali gerakannya, pertanda kepandaiannya cukup tinggi. Kemudian, dia mendarat sekitar lima langkah di depan Dewi Goa Ular.

"Tunjukkan kepandaianmu, Bocah!" dengus Pralaya dingin.

"Jangan banyak omong! Serang saja kalau mau mampus!" dengus Dewi Goa Ular.

"Setan...! Belum pernah aku ditantang oleh bocah ingusan!" geram Pralaya.

Wut! Cring!

Cepat sekati Pralaya mengebutkan senjatanya, maka tiga buah bola besi berduri yang dihubungkan dengan rantai baja itu meluruk deras ke arah Dewi Goa Ular. Tapi, tangkas sekali gadis bercadar merah muda itu melompat ke samping. Sehingga, tiga bola besi berduri itu menghunjam tanah kosong. Begitu kerasnya, sehingga tanah itu terbongkar, menimbul-kan kepulan debu yang membumbung tinggi ke udara.

"Hiyaaa...!"

Pralaya kembali mengebutkan cepat senjatanya sehingga Dewi Goa Ular terpaksa harus berjumpalitan menghindari bola-bola besi berduri yang berkelebatan di sekitar tubuhnya. Senjata berduri itu bagaikan memiliki mata saja, sehingga selalu dapat mengejar ke mana saja si Dewi Goa Ular menghindar.

"Hap!"

Tiba-tiba saja Dewi Goa Ular mengatupkan kedua tangannya ke depan dada ketika senjata Pralaya meluruk deras ke arah dadanya. Sedikit pun dia tidak berusaha menghindar. Dan bersamaan dengan itu. cepat sekali Dewi Goa Ular menghentakkan tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!" Wusss...!

Tiga buah benda hitam berbentuk bintang tiba-tiba melesat cepat dari kedua telapak tangan gadis bercadar merah muda itu. Senjata rahasia itu langsung menghantam tiga buah bola berduri yang tengah meluruk deras ke arahnya. Pralaya terkejut setengah mati, dan tak sempat lagi menarik pulang senjatanya.

Glarrr...! Ledakan keras terdengar dahsyat menggelegar. Bukan hanya Pralaya yang terbeliak jadinya. Bahkan juga Eyang Gorak dan semuanya yang ada di tempat itu jadi terlongong melihat senjata bola besi berduri itu hancur berkeping-keping terkena sambaran senjata bintang hitam yang dilepaskan Dewi Goa Ular.

"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat..!"

Sebelum ada yang bisa menghilangkan keter-kejutannya, bagaikan kilat Dewi Goa Ular melompat menerjang sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya sehingga Pralaya tidak sempat lagi berbuat sesuatu.

Des! Prak! "Aaa....!

Begitu dahsyatnya pukulan yang dilepaskan Dewi Goa Ular, sehingga kepala Pralaya yang terkena pukulan, seketika pecah berantakan. Darah kontan muncrat berhamburan bersama kepingan kepala yang hancur bagai batok kelapa terhantam batu. Sebentar Pralaya masih mampu berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah meregang nyawa. Hanya sebentar saja dia menggelepar, kemudian meregang kaku dan diam tak bernyawa lagi.

"Setan keparat...!" geram Eyang Gorak berang melihat seorang lagi pembantunya tewas.

"Beri aku kesempatan, Eyang," pinta seorang laki-laki setengah baya lagi sambil mendengus geram.

Eyang Gorak berpaling menatap laki-laki separuh baya yang menyandang sebilah golok berukuran sangat besar, yang salah satu sisinya bergerigi seperti gigi ikan. Tubuhnya tinggi besar, dengan otot-otot bersembulan kekar dan berkilat oleh keringat. Dia tidak mengenakan baju, sehingga bentuk tubuhnya yang kekar dan berotot terlihat jelas.

"Buat dia sedikitnya mengeluarkan lima jurus. Anggora." ujar Eyang Gorak.

"Baik, Eyang," sahut Anggora mantap.

"Hup! Yeaaah.....!

Anggora tidak banyak bicara. Langsung diserangnya Dewi Goa Ular dengan jurus-jurus permainan goloknya yang dahsyat luar biasa. Setiap tebasan menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan. Sama sekali gadis bercadar merah muda itu tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.

"Anggora, beri dia kesempatan!" teriak Eyang Gerak tidak puas melihat cara bertarung pembantunya.

"Hup!"

Anggora cepat melompat mundur begitu mendengar teriakan Eyang Gorak. Goloknya dilintangkan di depan dada dengan senyuman sinis tersungging di bibir yang tebal. Sorot matanya begitu tajam, menatap lurus ke bola mata gadis bercadar merah muda itu.

"Ayo serang aku, Bocah," desis Anggora menantang.

"Hhh! Kau memancingku. Baik. Aku tahu, apa yang kalian semua inginkan. Bersiaplah jika ingin menyusul temanmu ke neraka," desis Dewi Goa Ular dingin.

Sret!

Setelah berkata demikian. Dewi Goa Ular langsung bersiap mencabut pedangnya. Perlahan pedangnya ditarik dan disilangkan di depan dada. Tatapan sinar matanya begitu tajam menusuk. Perlahan sekali kakinya bergerak menggeser ke kanan beberapa langkah. Lalu kaki kanannya diletakkan di depan, dan tubuhnya sedikit direndahkan dengan lutut tertekuk. Tangan kirinya segera menjulur lurus ke depan. Sementara, pedangnya sudah diletakkan di atas kepala. Ujung pedang tampak tertuju ke depan, sejajar dengan pandangan matanya.

"Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'...," desis Eyang Gorak, mengenali gerakan Dewi Goa Ular.

Gadis bercadar merah muda itu memang tengah mempersiapkan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa', yang begitu terkenal kedahsyatannya. Tentu saja Eyang Gorak sudah bisa mengenali jurus itu, karena sudah beberapa kali bentrok melawan Pertapa Goa Ular yang memang menguasai jurus itu sudah bertahun-tahun lamanya. Si Iblis Tombak Baja juga mengetahui kelemahan jurus yang sangat dahsyat itu. Juga, semua keburukan jurus maut itu.

"Anggora, mundur kau...!" seru Eyang Gorak.

"Hiyaaat..!"

Tapi Dewi Goa Ular sudah lebih dahulu melompat menyerang Anggora. Hal ini membuat Eyang Gorak terkejut. Maka cepat-cepat tubuhnya melenting dan mengebutkan tombak mautnya ke arah pedang Dewi Goa Ular yang tertuju lurus ke arah dada Anggora.

Trang!

"Hup!" Dewi Goa Ular cepat melesat ke udara, dan ber-putaran beberapa kali begitu pedangnya membentur senjata Iblis Tombak Baja. Sehingga, dia gagal menebas dada Anggora yang masih terkesiap melihat kedahsyatan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'.

"Menyingkir kau...!" sentak Eyang Gorak begitu mendarat di depan Anggora.

Tanpa diperintah dua kali, Anggora bergagas menarik kakinya ke belakang menjauhi tempat pertarungan. Sementara Dewi Goa Ular sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah.

"Curang..!" dengus Dewi Goa Uar sengit

"Dari mana kau mendapatkan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' itu?! Dan siapa kau sebenarnya, Nisanak?!" tanya Eyang Gorak, lantang suaranya.

Kau tidak perlu tahu, siapa aku dan dari mana aku mendapatkan jurus itu, Iblis Tombak Baja. Kalau kau ingin mencoba, majulah...!" sahut Dewa Goa Ular

"Aku tahu siapa pemilik jurus itu, Nisanak. Dan aku tahu kalau kau belum sempurna memilikinya. Hm Kau akan menyesal, Nisanak," kata Eyang Gorak, agak menggumam suaranya.

Bet!

Eyang Gorak cepat mengebutkan tombak pendek yang bermata dua pada kedua ujungnya, sehingga melintang di depan dada. Perlahan kakinya bergeser ke depan beberapa langkah menyusuri tanah. Sedangkan Dewi Goa Ular sudah kembali bersiap dengan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' Tapi, mendadak saja kepalanya tergeleng-geleng.

Entah kenapa, tiba-tiba saja kepala Dewi Goa Ular terasa begitu pening, dan pandangannya langsung berkunang-kunang. Keringat sebesar-besar jagung seketika menitik di keningnya.

"Oh! Kenapa aku jadi begini...?" keluh Dewi Goa Ular dalam hati

"Hiyaaat...!

Belum juga Dewi Goa Uar menyadari apa yang terjadi pada carinya yang begitu tiba-tiba. Iblis Tombak Baja sudah melompat melakukan serangan cepat dan dahsyat. Bagaikan kaat serangan itu dilakukan, dan satu ujung tombaknya yang bermata dua di kabulkan lurus ke arah dada gadis bercadar merah muda itu.

"Ikh...!"

Dewi Goa Ular cepat cepat mengebutkan pedangnya ke depan dada untuk menangkis tebasan tombak bermata dua itu. Tak petak lagi dua senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada. Seketika timbullah ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api ke segala arah.

"Hup!"

Dewi Goa Ular cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya jadi limbung. Beberapa kali kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba menghilangkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepala. Dan pandangannya juga jadi semakin berkunang-kunang. Sementara, Iblis Tombak Baja sudah kembali bersiap hendak melakukan serangan kembali.

"Mampus kau sekarang, Bocah! Hiyaaat!"

"Oh! Apa yang terjadi padaku...?" keluh Dewi Goa Ular dalam hati

Gadis bercadar merah muda itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi serangan Iblis Tombak Baja kali ini. Dia sendiri tidak mengerti, apa yang terjadi padi dirinya. Bahkan untuk mengangkat pedang saja, sudah tidak sanggup lagi. Sungguh dia tidak tahu, tiba-tiba saja tenaganya jadi hilang tanpa disadari terlebih dahulu.

Sedangkan ujung tongkat Ibas Tombak Baja sudah meluruk deras, lurus ke arah dadanya. Dewi Goa Ular mencoba mengangkat tangannya yang memegang pedang, tapi jadi terkejut setengah mati. Ternyata tangannya sama sekali tidak sanggup digerakkan lagi. Dia hanya berdiri terpaku dengan bola mata terbenak lebar, menatap ujung tombak bermata dua yang semakin dekat saja mengarah ke dadanya.

"Oh, mati aku...." desah Dewi Goa Ular pelan. Tapi begitu ujung tombak bermata dua itu sedikit lagi menghunjam dada, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar Dewi Goa Ular. Begitu cepatnya bayangan putih itu berkelebat, sehingga membuat Iblis Tombak Baja terkejut bukan main. Ujung tombaknya hanya mengenai tempat kosong, karena tiba-tiba saja Dewi Goa Ular telah lenyap tersambar bayangan putih tadi.

"Setan..!" geram Iblis Tombak Baja berang. Laki-laki tua itu jadi cehngukan, karena lawan yang sudah berada di ujung maut tiba-tiba saja lenyap, bagai benang tertiup angin. Bukan hanya Eyang Gorak yang terkejut tidak mengerti. Tapi semua orang yang ada di tempat itu juga jadi kebingungan atas lenyapnya gadis bercadar merah muda yang tiba-tiba saja, bersamaan dengan kelebatan sebuah bayangan putih. Tak ada seorang pun yang bisa memastikan, bayangan putih apa yang berkelebat begitu cepat menyambar si Dewi Goa Ular

"Kenapa kalian bengong semua...? Ayo cepat kejar! Cari sampai dapat..!" teriak Eyang Gorak keras.

********************

DELAPAN

Sementara itu jauh dari sarang Partai Tombak Baja, sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyelusup dari balik pepohonan yang begitu rapat bagai tak ada jarak untuk dilewati. Dan bayangan itu baru berhenti setelah merasa cukup jauh dari sarang Partai Tombak Baja. Ternyata, bayangan putih itu adalah seorang pemuda tampan dan gagah. Tubuhnya tegap berotot mengenakan baju rompi putih. Lengannya mengepit gadis berbaju merah muda yang sebagian wajahnya tetutup kain cadar agak tipis berwarna merah muda

Di kalangan rimba persilatan, pemuda berbaju rompi putih itu tentu saja sudah sangat dikenal. Dialah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis berbaju merah muda yang mengenakan cadar itu adalah Dewi Goa Ular. Rupa-nya, Ranggalah yang menyelamatkan gadis itu dari hunjaman senjata Iblis Tombak Baja yang terkenal sangat dahsyat

"Kau sudah aman sekarang, Swani.." kata Rangga seraya menurunkan gadis itu.

Gadis bercadar merah muda itu menyandarkan punggungnya ke pohon. Sinar matanya begitu redup memandang wajah tampan di depannya. Perlahan dibukanya cadar merah muda yang menutupi wajahnya. Di balik cadar itu, ternyata tersembunyi seraut wajah cantik yang tak lain adalah Swani, putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak yang tewas di tangan Iblis Tombak Baja.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan aku," ucap Swani lirih.

"Di mana pedangmu?" tanya Rangga melihat sarung pedang di punggung gadis itu dalam keadaan kosong.

"Aku tidak tahu. Mungkin terjatuh waktu kau menyambarku tadi," sahut Swani, tetap lesu suaranya.

"Kenapa kau kelihatan begitu pasrah tadi, Swani...?" tanya Rangga lagi.

"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja, tenagaku hilang. Bahkan tidak kuat lagi untuk mengangkat senjata," sahut Swani tampak kebingungan sendiri atas semua yang terjadi pada dirinya.

"Kau tadi menggunakan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'?"

"Benar. Sudah beberapa kali jurus itu kugunakan. Tapi setiap kali menggunakan jurus itu, seluruh tubuhku selalu lemas, seperti tidak bertenaga lagi. Tapi semua itu akan hilang dengan sendirinya, dan akan pulih kembali seperti sediakala. Hanya saja...," Swani. memutuskan ucapannya.

"Hanya apa, Swani.?" desak Rangga

"Aku..., aku sendiri tidak tahu, Kakang. Aku merasa seperti ada satu kekuatan aneh yang menggerakkanku setiap kali bertarung. Bahkan seringkali tidak bisa mengendalikan diri. Rasanya, aku begitu ingin membunuh semua lawan-lawanku dengan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'," sahut Swani, masih bersikap bingung.

"Hhh...!" Rangga menarik napas dalam-dalam.

Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Swani, sudah dipengaruhi jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Suatu pengaruh yang sangat kuat, dan tidak mudah dilawan dengan kekuatan dan tenaga dalam serta hawa murni yang belum mencapai kesempurnaan. Dan itu bisa berakibat parah pada diri Swani sendiri. Tanpa disadari, jurus itu akan membunuh Swani, secara perlahan-lahan. Tidak mudah bagi Rangga untuk menjelaskan yang sebenarnya pada gadis ini. Hanya Pertapa Goa Ular saja yang bisa menjelaskan keburukan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang dipelajari secara tanggung seperti ini.

Dan kini akibat keburukan jurus itu sudah merasuki diri Swani. Sulit untuk dicegah lagi. Hanya ada satu pilihan bagi Swani. Mempelajari jurus itu sampai tuntas dan menyempurnakannya, atau merelakan dirinya termakan jurus itu sampai mati tanpa disadari. Tapi kalau Swani terus mempelajarinya, itu berarti akan kehilangan gurunya, si Pertapa Goa Ular yang telah memberikan jurus itu padanya. Dan semua itu juga belum berarti, kalau Swani tidak menyempurnakannya sendiri.

Paling sedikit memerlukan waktu lima tahun untuk menyempurnakan jurus itu agar Swani bisa menguasainya secara sempurna. Maka dia tidak akan terpengaruh lagi oleh keburukan-keburukan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Tapi apakah Swani sanggup melakukannya? Sedangkan dia masih diliputi dendam pada Iblis Tombak Baja yang telah membunuh ayahnya, dan menghancurkan padepokan milik ayahnya.

"Ayo kita pergi dari sini, Swani." ajak Rangga.

Swani mencoba melangkah, tapi kedua kakinya terasa begitu berat untuk digerakkan. Bahkan jadi limbung, dan hampir saja jatuh kalau Rangga tidak cepat-cepat menangkapnya.

"Kau tidak apa-apa, Swani...?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu, Kakang. Aku merasa begitu lemas sekali. Sepertinya aku akan lumpuh," sahut Swani tidak mengerti.

Tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali Sakti selain memondong gadis itu. Tanpa bicara apa-apa lagi, dia cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menembus lebatnya hutan di lereng Bukit Menjangan ini. Swani melingkarkan tangannya ke leher Rangga. Dipandanginya wajah tampan pemuda itu. Dia jadi tidak peduli kalau Rangga berlari secepat angin dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Mau kau bawa ke mana aku, Kakang?" tanya Swani.

"Menemui gurumu." sahut Rangga tanpa menghentikan larinya.

"Guruku..?"

"Iya. Pertapa Goa Ular sudah menunggumu di puncak Bukit Menjangan ini."

"Dia masih hidup?!"

"Keadaannya tidak jauh berbeda denganmu. Kau harus tabah dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi nanti."

"Memangnya kenapa, Kakang ?"

Rangga berhenti berlari. Dipandanginya Swani yang masih berada di dalam pondongannya. Gadis itu juga memandangi wajah tampan yang begitu dekat, sehingga dengus napas satu sama lain begitu terasa menerpa kulit wajah. Ada sedikit getaran di hari gadis ini. Tapi, Swani cepat-cepat membuang getaran itu dari hatinya.

"Aku akan menjelaskannya, tapi kau harus bisa menerima dengan hati lapang." ujar Rangga sungguhsungguh.

"Aku sudah mengalami hal yang terburuk, Kakang," tegas Swani, tegar.

Rangga kembali mengayunkan kakinya. Dia kini berjalan tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pendekar Rajawali Sakti kemudian menjelaskan semua yang terjadi. Terutama tentang jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Sedangkan Swani mendengarkan penuh perhatian. Dia jadi tertegun begitu mengetahui akibat-akibat buruk dari jurus yang dipelajarinya. Gadis itu masih tetap membisu, meskipun Rangga sudah menyelesaikan penjelasannya.

"Apa yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Swani. setelah cukup lama berdiam diri.

"Kau harus menerima segala keputusan yang diambil Pertapa Goa Ular nanti," sahut Rangga.

"Kalau keputusan yang diambilnya mengakibatkannya mati?"

"Itu sudah merupakan akibat yang harus ditanggungnya, Swani. Dan kelak juga akan menurun padamu."

Swani kembali terdiam. Rangga juga tidak bicara lagi. Memang sulit bagi Swani menerima semua ini. Tapi semuanya sudah terjadi, dan harus menerimanya dengan hati lapang. Apa yang sudah terjadi adalah kehendak Dewata, dan Swani tak dapat lagi menolak. Meskipun, di hati kecilnya hal itu tidak diinginkan.

********************

Sudah satu pekan ini Swani dan Pertapa Goa Ular terkurung di dalam kamar pondok kecil yang dibangun Rangga di puncak Bukit Menjangan Sementara, Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti tetap menunggu, tanpa dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan tertutup tanpa sedikit pun cahaya di dalamnya.

"Berapa lama lagi mereka di dalam sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil menatap ke gubuk kecil yang sangat sederhana itu.

"Entahlah...," sahut Rangga agak mendesah. "Kita tunggu saja sampai salah satu di antara mereka ada yang keluar."

"Kakang, apa kau yakin Iblis Tombak Baja tidak tahu tempat ini?" tanya Pandan Wangi mengalihkan pembicaraan.

"Mudah-mudahan saja tidak ada yang tahu sampai mereka selesai." sahut Rangga. "Tapi...."

Belum juga Pandan Wangi selesai bicara, tiba-tiba saja melesat sebuah anak panah dari arah belakang mereka. Rangga cepat menangkap desiran halus anak panah itu, dan cepat sekali tubuhnya berputar sambil mengebutkan tangan kanannya.

Tap!

Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti menangkap anak panah yang datang dari arah belakangnya tadi. Pada saat itu, dari balik pepohonan tiba-tiba bermunculan orang-orang bersenjata golok terhunus, diikuti seorang laki-laki tua berjubah biru yang didampingi tiga orang bertampang bengis. Hanya seorang dari mereka yang kelihatan masih muda dan cukup tampan wajahnya. Pemuda itu memegang cambuk hitam berduri, dan mengenakan baju warna kuning agak kemerahan

"Iblis Tombak Baja..." desis Rangga seraya me-natap tajam laki-laki tua berjubah biru yang me-megang sebatang tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya.

"He he he.... Tidak ada tempat bersembunyi lagi untuk kalian. Aku pasti bisa menemukan kalian, Bocah-bocah Edan...!" dengus Iblis Tombak Baja diiringi tawanya yang terkekeh.

Rangga menggeser kakinya sedikit mendekati Pandan Wangi. Tatapan matanya tetap tajam tertuju lurus pada orang tua berjubah biru yang sudah dikenalnya berjuluk Iblis Tombak Baja. Sedangkan orang tua itu sudah mengangkat tangannya yang menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya. Sekitar seratus orang bersenjata golok, seketika bergerak membuat lingkaran mengepung kedua pendekar muda itu

"Kalian tidak mungkin bisa lolos lagi dariku kali ini. Tikus Keparat!" geram Iblis Tombak Baja.

"Apa yang akan kita lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi berbisik.

"Tak ada plihan lain lagi, Pandan. Gunakan seluruh kemampuanmu yang ada," sahut Rangga, Juga berbisik.

"Baik, Kakang."

"Serang! Bunuh mereka...!" perintah iblis Tombak Baja.

Bagaikan guntur di siang bolong, sekitar seratus orang bersenjata golok berhamburan sambil berteriak-teriak menyerang kedua pendekar muda itu. Pandan Wangi yang sudah diperingatkan Rangga, cepat mencabut Kipas Maut andalannya. Gadis itu segera melesat, menyambut mereka dengan kebutan kipasnya yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti juga tidak ingin ketinggalan. Segera dikerahkannya Jurus-jurus dari 'Rangkaian Lima Jurus Rajawali Sakti'. Teriakan-teriakan menggelegar pembangkit semangat pertempuran seketika itu juga terdengar bercampur pekik dan jeritan melengking pembawa kematian. Meskipun jumlah mereka begitu banyak dan mengepung rapat dari segala arah, tapi tidak mudah mendesak kedua pendekar muda yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu

"Hiyaaat..!"

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, dan melakukan putaran di udara beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti cepat merentangkan kedua tangan ke samping, lalu kepalanya mendongak ke atas, memandang langit baru yang bening.

"Suiiit...!

Terdengar siulan nyaring melengking tinggi menyakitkan telinga. Hanya sekali siulan bernada panjang melengking tinggi itu terdengar. Dan Rangga sudah meluruk kembali sambil melontarkan pukulan-pukulan maut Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang sangat dahsyat luar biasa. Setiap kali pukulannya terlontar, selalu menimbulkan korban.

Sementara Pandan Wangi yang mendengar siulan itu tadi, jadi lebih bersemangat bertarung. Bahkan kini pedangnya telah dicabut, setelah memindahkan Kipas Maut ke tangan kiri. Gadis itu tahu kalau siulan itu tadi adalah panggilan untuk Rajawali Putih yang dikeluarkan Rangga. Dan memang, mereka tidak mungkin bisa bertahan melawan begini banyak orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, serta berpengalaman dalam segala macam pertarungan.

Setelah pertarungan berjalan cukup lama, tiba-tiba terdengar suara serak yang begitu keras menggelegar di angkasa. Iblis Tombak Baja yang tengah menyaksikan pertarungan didampingi tiga orang pembantunya, jadi terkejut mendengar suara keras menggelegar agak serak dari angkasa itu. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, mendadak saja ...

"Khraaagkh...!"

Dari angkasa tiba-tiba saja meluncur turun seekor burung rajawali berbulu putih. Ukuran burung rajawali itu sungguh luar biasa. Rajawali raksasa berbulu putih itu langsung menukik turun, dan menyambar orang-orang yang mengeroyok kedua pendekar muda itu. Kemunculan Rajawali Putih tentu saja membuat mereka jadi kalang kabut. Pengeroyok yang masih bisa kabur, cepat-cepat mengambil langkah seribu. Sedangkan yang tidak sempat lagi, harus rela menerima nasib diserang burung rajawali raksasa itu.

"Hiyaaa...!"

Rangga yang begitu senang atas kemunculan Rajawali Putih, capai melompat mendekati Iblis Tombak Baja yang masih didampingi ketiga pembantu utamanya.

"Bunuh dia...!" perintah Iblis Tombak Baja.

"Hiyaaat!"

"Yeaaah.....!

"Aku bantu. Kakang! Hiyaaat!"

Kemunculan Rajawali Putih juga membuat Pandan Wangi jadi bisa meninggalkan para pengeroyoknya. Dan gadis itu cepat melompat untuk membantu Rangga yang sudah dikeroyok tiga orang pembantu Iblis Tombak Baja.

"Kau lawanku. Setan Busuk!" dengus Pandan Wangi langsung mengebutkan pedang ke arah Prabawa.

Bet! "Eh...?! Hup...!"

Prabawa cepat-cepat melompat mundur begitu Pandan Wangi tiba-tiba menyerangnya. Untung saja dia cepat bertindak, sehingga kebutan pedang gadis itu tidak sampai merobek tubuhnya. Tapi Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Senjata andalannya terus dikebutkan cepat dan beruntun, membuat Prabawa terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk menggunakan cambuk kebanggaannya.

Sementara Rangga yang sudah menggunakan Pedang Rajawali Sakti, sama sekali tidak mendapat kesulitan menghadapi dua orang lawan yang tingkat kepandaiannya memang berada jauh di bawahnya. Sehingga tidak sampai lima jurus, mereka sudah tidak mampu lagi melawan. Pedang yang mengeluarkan cahaya biru berkilau itu membuat mereka ambruk tak mampu bangkit lagi

"Hup!" Rangga cepat melompat mendekati Iblis Tombak Baja. Kakinya mendarat manis sekitar lima langkah lagi di depan laki-laki tua berjubah biru itu. Ada sedikit kegentaran di hati Iblis Tombak Baja melihat ke-tangguhan Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak, sambil menyilangkan senjata di depan dada.

"Aku benar-benar muak melihat kelakuanmu, Iblis Tombak Baja. Rasanya tidak ada tempat lagi untukmu di dunia ini," desis Rangga dingin.

"Jangan banyak omong! Tahanlah seranganku. Hiyaaat...!"

Iblis Tombak Baja langsung saja melompat menerjang Rangga. Senjatanya dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga tidak menggeser sedikit pun juga. Dan begitu ujung tombak bermata dua dekat di depan dadanya, pedangnya cepat dikebutkan membabat tombak bermata dua itu.

"Yeaaah...!"
Trang! Trak!
"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya Iblis Tombak Baja melihat senjata andalannya terbabat buntung oleh pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan itu. Sambil mendengus kesal, Eyang Gorak melompat mundur dan membuang senjatanya. Kemudian, dia melakukan beberapa gerakan tangan, dan merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping.

Trek! Rangga memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di punggung. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menggunakan senjata jika lawannya tidak bersenjata. Melihat iblis Tombak Baja sudah bersiap mengeluarkan suatu ajian. Pendekar Rajawali Sakti cepat merentangkan kakinya ke samping.

Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuh sedikit, dan agak doyong ke kanan. Lalu, tubuhnya ditarik ke kiri sambil kedua telapak tangan dirapatkan di depan dada. Kemudian tubuhnya kembali bergerak meliuk ke depan, lalu berdiri tegak. Dan begitu tangannya direntangkan, terlihat cahaya biru menggumpal pada kedua telapak tangannya. Rangga cepat merapatkan kembali kedua telapak tangannya yang sudah berselimut cahaya biru menyilaukan.

"Hiyaaat....!

Tiba-tiba saja Iblis Tombak Baja menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Tampak dari kedua telapak tangan laki-laki tua berjubah biru itu meluncur cahaya merah menyala bagai api. Pada saat yang sama...

"Aji "Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Maka, sinar biru yang menggumpal di kedua telapak tangannya seketika meluncur deras menyambut cahaya merah yang keluar dari telapak tangan Iblis Tombak Baja. Dua buah sinar seketika beradu di titik tengah, menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.

"Akh...!" Jeritan melengking agak tertahan kontan ter-dengar. Tampak Iblis Tombak Baja terpental jauh ke belakang. Dua batang pohon hancur seketika terlanda tubuh laki-laki tua berjubah biru itu. Tapi Eyang Gorak cepat bisa bangkit kembali. Namun sebelum melakukan sesuatu, cahaya biru yang masih keluar dari kedua tangan Rangga sudah meng-hantam, dan langsung menyelimuti seluruh tubuh Iblis Tombak Baja.

"Aaakh...!" Iblis Tombak Baja menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit di dalam selubung sinar biru terang menyilaukan. Perlahan Eyang Gorak bergerak maju, ditarik kekuatan yang terpancar dari aji 'Cakra Buana Sukma'. Gerakan-gerakan tubuh Iblis Tombak Baja semakin melemah, dan teriakannya juga sudah lenyap tak terdengar lagi, tepat saat semakin dekat tubuhnya dengan Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar.

Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya, begitu jaraknya dengan Iblis Tombak Baja tinggal selangkah lagi. Begitu Rangga melenting berputar ke belakang, terdengar ledakan keras dan dahsyat. Tampak tubuh Iblis Tombak Baja hancur berkeping-keping ber-samaan dengan lenyapnya sinar biru yang menyelubungi seluruh tubuhnya.

Pada saat yang hampir bersamaan. Pandan Wangi juga sudah menyelesaikan pertarungannya melawan Prabawa. Gadis itu berhasil menghentikan perlawanan Prabawa dengan menusukkan pedang ke dada pemuda itu. Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga yang berdiri tegak memandangi tubuh Iblis Tombak Baja yang sudah menjadi onggokan debu. Memang sungguh dahsyat aji 'Cakra Buana Sukma' jika dikerahkan pada tingkat terakhir. Tubuh manusia bisa hancur jadi debu karenanya.

"Kakang...!"

Rangga dan Pandan Wangi cepat memutar tubuhnya ketika mendengar suara dari arah belakang. Tampak Swani berdiri di depan pondok kecil yang agak tersembunyi di antara pepohonan dan semak. Gadis itu tampak segar, tapi sinar matanya memancarkan kedukaan. Kedua pendekar muda itu bergegas menghampiri. Mereka tahu apa yang terjadi, meskipun Swani tidak menjelaskan. Dan memang, bila salah satu muncul, yang satunya lagi pasti meninggal. Dan itu memang sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi antara Swani dengan Pertapa Goa Ular.

"Aku harus mencari tempat untuk menyempurnakan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'." kata Swani, agak perlahan suaranya.

"Aku punya tempat yang cocok untukmu," selak Pandan Wangi buru-buru.

"Di mana, Pandan?" tanya Rangga.

"Kau lupa ketika aku juga harus mempelajari isi Kitab Naga Sewu untuk bisa menguasai Pedang Naga Geni ini, Kakang. Kau memberiku sebuah tempat yang nyaman dan tak ada gangguan sedikit pun," Jelas Pandan Wangi

"Ha ha ha...!" Rangga Jadi tertawa terbahak-bahak. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti memang sudah lupa akan hal itu. Dan memang sudah terlalu lama itu berlangsung. Tapi, rupanya Pandan Wangi masih juga mengingatnya. Dan tempat yang dimaksudkan Pandan Wangi adalah sebuah pulau karang yang tidak berpenghuni. Memang, sangat jauh letaknya dari Bukit Menjangan ini. Bisa memakan waktu satu purnama penuh untuk menempuhnya.

"Aku akan mengantarkanmu ke sana," kata Pandan Wangi

"Bisa satu bulan penuh jika hanya kalian berdua yang ke sana," selak Rangga.

"Maksudmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi

Rangga tidak segera menjawab. Dipandangnya Rajawali Putih yang mendekam di antara mayat-mayat bergelimpangan. Pandan Wangi langsung bisa mengerti, tapi juga jadi berkerut keningnya ketika melihat Swani. Juga tengah memandangi burung raksasa itu.

"Jangan khawatir, Kak Pandan. Aku pernah menunggangnya sekali bersama Kakang Rangga," jelas Swani, bisa mengerti jalan pikiran Pandan Wangi

"Oh...," desah Pandan Wangi tidak menyangka.

"Tapi, sebaiknya kita urus dulu jasad Pertapa Goa Ular," selak Rangga.

Mereka memang segera menguburkan Pertapa Goa Ular yang meninggal setelah menurunkan semua ilmunya pada Swani. Terutama, jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Setelah itu, mereka segera berangkat ke Pulau Karang dengan menunggang Rajawali Putih.


SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.