Dara Baju Merah Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ANG I NIOCU

(DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 14

DUA orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tidak lama kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki.

Mata Im Giok yang tajam dapat melihat betapa banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena ia sendiri belum terkenal, maka ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya.

“Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa hari ini Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.

“Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat serta menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”

Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. “Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang ke kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Ada pun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan ini.”

Im Giok mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat barang ini, Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.

“Ehh, Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.

Muka Tiauw Ki makin merah. “Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”

Im Giok tertawa. “Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”

“Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu.”

“Begitukah? Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung kuda!”

“Ahh, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.

“Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?”

“Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”

“Ahh, ini benda tidak begitu berharga, Twako.”

“Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi... begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.”

Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.

“Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Tetapi aku tidak mau kalau kau membelikan barang hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini dari pada aku harus menyusahkanmu membeli di toko.”

“Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”

Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.

“Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja… kalau berada di tanganmu lebih baik lagi.”

“Mengapa lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.

“Mengapa? Ahh... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”

“Mengapa, Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.

“Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan dan berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”

Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua buah kamar, lalu berkemas. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang.

Dengan diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.

Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, sebab semenjak beberapa keturunan Suma-huciang memang sudah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena kedudukannya maka Suma-huciang disegani oleh para pembesar lainnya, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara.

Ketika mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh ramai dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring.

Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan dan minuman.

Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermuka merah bagai muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung pada pinggangnya, duduk di ruangan sebelah dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.

Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah. Tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruangan dalam, kemudian tamu ini menghaturkan selamat sekalian memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk.

Barang-barang sumbangan diletakkan di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit apa bila dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan.

Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu-tamu pria. Tamu wanita seperti ini pasti orang-orang kang-ouw dan para ahli silat, mudah dilihat dari gerak gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguh pun hubungan ini amat terbatas oleh tata susila yang tetap dipegang teguh.

Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan senyum ramah-tamahnya.

“Selamat datang, Tuan Muda beserta Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberi tahukan nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”

“Terima kasih, Lopek. Tolong beri tahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang berkunjung bersama seorang sahabat, yaitu Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.

Pada saat pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.

“Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.”

Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Tiap meja yang dikelilingi tamu terdiam apa bila mereka lewat dekat, baru kemudian terdengar bisikan-bisikan disertai suara ketawa ketika mereka sudah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian.

Baik Tiauw Ki mau pun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruang dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini.

Ruangan ini paling lebar dan luas, dan di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel pada dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan tangan.

“Aha, kiranya Gan-hiantit yang baru datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?”

Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah Tiauw Ki betul-betul keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik sekali?

“Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Ada pun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.”

Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu.

“Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”

Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.

Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba saja merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu!

Akan tetapi dia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat dia menjura kepada pembesar itu dan berkata,

“Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa Suma-taijin hendak merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga.”

Dia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan segera dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.

“Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang.”

Tiauw Ki dan Im Giok menjura, lalu mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,

“Aku ingin duduk di ruangan ini, di dekat pamanku.”

Pelayan itu tak berani membantah karena betapa pun juga pemuda ini adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan ‘orang-orang besar’ di situ. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang dia duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.

“Kau lihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.

Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Baginya hal ini mudah saja karena memang dia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan.

Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak sehingga memenuhi meja. Akhirnya habis juga aliran tamu, ada pun semua tempat sudah penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.

Kemudian salah seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar!

Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua hadirin, karena hal ini adalah sesuatu yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!

Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri, menjura dan berkata,

“Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali dari Hongsiang, karunia yang sangat mengharukan hatiku dan yang selama hidup tidak akan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”

Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai bergetar saking harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.

“Ada kabar yang baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai, Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di hadapan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!”

Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin yang berada di situ. Kini semua tamu wanita memandang ke arah pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.

“Sebetulnya siauwte merasa amat malu menunjukkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis.

Mendadak, sekali dia bergerak, tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat dia berdiri dengan panggung ada enam puluh tombak, dan dia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, betul-betul merupakan demonstrasi ginkang yang tak boleh dipandang ringan!

Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali.

“Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian dia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik.

Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.

“Tamu wanita di depan!” terdengar suara orang.

Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja terciumlah bau harum serta suara berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah.

Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, “Adik Im Giok, aku hendak mendekati Suma-huciang.”

Dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga banyak tamu-tamu pria yang meninggalkan tempat duduknya lalu diberikan pada para tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh sebab itu, maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.

Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar sudah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri panggung di mana orang menyediakan tempat khusus bagi tuan rumah.

Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di sana, para penabuh musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan menjadi ramai sekali.

Secara diam-diam Im Giok memperhatikan Tiauw Ki. Ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan sambil bercakap-cakap asyik sekali dengan Suma-huciang yang tampak mengangguk-angguk.

Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga berbicara tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apa lagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.

Tidak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengakui bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan tampan sekali.

Dandanan Lie Kian Tek sebagai seorang pendekar besar pada jaman dulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi. Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti yang sering kali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja.

Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul. Sekarang semua orang terdiam dan hanya memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang, kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok.

Gadis ini membuang muka, akan tetapi dia melihat semua wanita muda yang berada di sana tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok menjadi sebal. Dia tahu bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.

Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Pada mulanya dia bergerak lambat, ada pun pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat sehingga setiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang kala tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang kemudian bergerak amat gagahnya.

Im Giok secara terus terang harus mengakui bahwa dia sangat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, akan tetapi ilmu silat yang mempunyai dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang.

Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah tempat dia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.

Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tanpa terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi dia dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan dia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isyarat-isyarat kurang ajar dari pemuda itu.

Lie Kian Tek bersilat semakin cepat dan tidak lama kemudian di atas panggung bagaikan ada beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali, dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah.

Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba dia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya.

Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biar pun ia harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat.

Mendadak Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan Sin-liong Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan biasanya di dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah sangat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir adalah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!

Tadinya semua orang terkejut karena menyangka bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu menjadi pucat dan dia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal baru saja dia mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.

“Kepandaian hebat, Lie-kongcu.” Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. “Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Apa bila dipergunakan dalam perang, kiranya tak akan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”

Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari tengah dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Lalu sambil tertawa ia memuji,

“Pedang bagus! Pedang bagus!”

Kemudian sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di kursinya.

Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok tertegun. Tenaga lweekang seperti itu tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi ‘sahabat’ Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Lie Kian Tek.

Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai berubah muram. Ia lalu menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada pembesar itu,

“Ahhh, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah hari gembira sekaligus hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat mengharapkan supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk menunjukkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita.”

Kata-kata ini sebenarnya bukan semata untuk menyatakan ketidak senangan hati putera Gubernur ini sebab tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, tapi pada hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam.

Suma-huciang adalah seorang pembesar yang sangat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan menjadi penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.

Ada pun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan kalau di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguh pun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan rasa kebencian dan permusuhan.

Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.

Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,

“Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.”

Suma-huciang lalu memberi isyarat kepada seorang tamu yang cepat berdiri dan menjura kepadanya. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam.

Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang sangat terkenal dan juga amat setia terhadap Kaisar, karena itu selalu membela Suma-huciang. Sesudah memberi hormat kepada Suma-huciang, dia segera berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata,

“Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba tak akan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”

Lie Kian Tek tersenyum mengejek, “Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.”

Sesudah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh atau melirik sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga sekarang dia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung.

Para wanita melirik-lirik, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya dan senyum simpul menghujani pemuda itu! Kian Tek melempar senyum dan membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu, lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung.

Sementara itu, musik sudah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini lantas terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.

Setiap gerak tangan mengandung tenaga lweekang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan main. Sesudah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu segera mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam.

Dia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar.

Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, ”Aku orang she Chi sudah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin.” Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula.

Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni salah seorang di antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berseru keras,

“Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”

Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan ginkang yang lihai.

Suma-huciang tertawa. “Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,” jawabnya.

Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata, suaranya lantang tinggi.

“Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shansi. Akan tetapi, siauwte bukanlah seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang tak berarti, sebaliknya banyak pula orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah jika diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi ketika melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, betul-betul siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tak mau berlaku seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri.”

“Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi Liok menegur. Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau.

“Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan? Ataukah, kau... takut?”

Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekali, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu dia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini.

Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka hanya berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar yang memang sudah lama sekali diam-diam saling membenci.

Semenjak tadi sebelum keadaan meruncing, Suma-huciang telah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara beberapa nasehat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan kehendak kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.

Kini dia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang dia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya.

Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji serta melihat ‘isi hati’ musuh-musuhnya tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan itu terjadi dikarenakan perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok.

Setelah melihat isyarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, piauwsu itu menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat dia sudah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng!

Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur ‘isi’ lawan dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang.

“Saudara Coa Keng, betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain silat?” tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.

Coa Keng tersenyum mengejek. “Kenapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya bila kita bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak takut, karena dalam permainan silat bersama kita berdua pasti maklum bahwa kemungkinan terluka besar sekali, bahwa ada kemungkinan terpukul tewas.”

“Ini sebuah tantangan!” Chi Liok menegur gemas.

“Kau takut?” Coa Keng menggerakkan alis, menghina.

“Orang sombong, kau sajakah yang memiliki keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak sekali yang melihat alangkah kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri, membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kau mulailah!”

Coa Keng mengeluarkan suara nyaring dan mendadak dengan suara licik, sambil masih tertawa, ia langsung mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!

“Bukkk!”

Tubuh Chi Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh apa bila ia tidak lekas-lekas berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, tapi pukulan tadi tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia masih keburu mengerahkan lweekang ke arah bagian yang akan terpukul.

“Kau curang!” bentaknya.

“Bukankah kau menyuruh aku mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha-ha-ha!”

“Rasakan ini!” Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa.

Pukulannya hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat Coa Keng terhuyung ke samping sebanyak tiga tindak sambil meringis karena pundaknya terasa sakit sekali.

“Kurang ajar kau!” bentaknya.

Dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara kasar sekali.

Sebetulnya ilmu silat mereka juga tidak terlalu rendah akan tetapi oleh karena watak Coa Keng amat kasar, cara berkelahinya juga kasar sehingga mereka lebih sering memukul tanpa membahayakan lawan dari pada mengirim serangan yang betul-betul berbahaya bagi keselamatan lawan.

Pertempuran itu berjalan seru. Bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang ilmu kepandaiannya masih rendah, memang pertandingan itu terlihat ramai dan menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orang-orang yang kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan menggelundung keluar dari panggung!

Orang-orang wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepat-cepat mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak beranjak pergi dan karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat.

Dia melirik dan melihat bahwa tiga orang ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan rambutnya diikat kain putih, sedangkan dua orang lainnya adalah gadis-gadis yang berpakaian sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang tak seperti orang-orang sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini.

Sementara itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling meninggalkan tempat itu, lantas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di hadapan Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok langsung memekik dan terlempar keluar panggung!

“Orang-orang macam ini berani betul menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul memiliki kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa lagi, aku adalah Ceng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi.”

Im Glok terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun sudah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Ceng-jiu Tok-ong menjadi kaki tangan Lie Kian Tek.

Mengingat sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang, maka dia menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan.

Pada lain saat, tubuh Im Giok sudah lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang amat cepat. Gadis ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan tengah menegur seorang laki-laki yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas meja!

Kedatangan Im Giok tak terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi dia ternyata lihai bukan main karena dia masih sempat mengelak dan walau pun totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa.

Im Giok yang tadi menotok merasa kaget dan sama sekali tak mengira orang itu demikian lihai, maka ia menyerang terus sambil membentak,

“Bangsat kecil, kau hendak mencuri apa?”

Dua kali lm Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya sambil berseru,

“Kau hendak lari ke mana?”

Kembali secara mengagumkan sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im Giok berusaha menangkapnya, sedangkan Lie Kian Tek sudah tiga kali mencoba untuk merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate itu.

“Copet, kau bikin gara-gara saja, tidak tahu kalau sedang kucari-cari!” tiba-tiba terdengar teguran orang.

Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang ini dan mencari perlindungan di belakang tubuhnya! Pada saat Im Giok dan Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-huciang!

“Lie-kongcu, apakah kesalahan dia maka kau serang dia?” tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek.

“Aku melihat dia menggeratak di meja dan hendak mencuri barang-barang sumbangan,” kata putera gubernur itu.

Suma-huciang menengok kepada Im Giok, “Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?”

“Aku melihat dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin,” jawab In Giok sambil mengerling ke arah Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya di belakang panggung.

Suma-huciang tertawa. “Harap kalian memaafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang orang lain. Copet, kau mengambil apa saja? Hayo lekas keluarkan!”

Sin-touw-ong yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian dia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang ternyata banyak pula.

Benda-benda itu lalu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri sampai terheran-heran karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas, di antara benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja!

“Segera kembalikan barang-barang itu, dan mari kau wakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong,” kata Suma-huciang yang tidak pedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang mungkin hilang.

Sin-touw-ong cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika dia melihat pemuda itu tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti!

“Nona, kau betul-betul gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, semua tiada artinya! Nona, pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di tempat yang lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan...”

“Jahanam, tutup mulutmu!” Im Giok memaki marah.

Gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Dia mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau saja ia tidak ingat akan tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couw-nya, tentu dia tadi sudah memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Sementara itu, di atas panggung Ceng-jiu Tok-ong sekarang sudah berhadapan dengan Sin-touw-ong. Ceng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang, “Ha-ha-ha, Suma-taijin bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?”

Ketika ia melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah. Dia merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus.

“Kau ini manusia tiada guna, benar-benarkah kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak ternama, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?”

Raja copet yang kate itu cengar-cengir laksana seorang badut. Ia memiliki bentuk muka yang lucu. Tubuhnya pendek kecil, matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apa lagi berhadapan dengan Ceng-jiu Tok-ong, benar-benar bagaikan seorang raksasa yang berhadapan dengan seorang katai.

“Aku memang tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?” tanyanya memicingkan mata.

“Setan pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Ceng-jiu Tok-ong!”

Si Kate menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,” dia berkata acuh tak acuh.

“Bangsat, aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal namaku?” Ceng-jiu Tok-ong membentak.

“Setan besar, kau tak mengenal namaku, aku pun tak mengenal namamu, siapa di antara kita yang paling tidak terkenal? Kau berjulukan Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan Seribu), dan aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku adalah raja-raja besar!”

Meledak suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini.

“Lo-enghiong, mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja kepalanya, habis perkara!” seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat jagonya dipermainkan oleh raja copet itu.

“Ya, ya, injaklah! Injaklah!” Sin-touw-ong mengejek.

Dia lantas memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Ceng-jiu Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh, sungguh pun mereka yang telah mengenal kelihaian Ceng-jiu Tok-ong, juga merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu.

“Bangsat tukang copet, bersiaplah kau untuk mampus!” Ceng-jiu Tok-ong yang tak dapat menahan sabarnya lagi sudah maju menyerang.

Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut setengah mati. Raja copet ini bukan orang biasa. Ia adalah seorang kang-ouw yang telah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan copet, dia memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan untuk menyerangnya.

Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Ceng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tak mengira bahwa serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu mengelak.

Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sudah lebih berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut. Jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biar pun lebih tinggi kepandaiannya tak akan kuat menerima pukulan ini.

Im Giok memandang semuanya ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Ceng-jiu Tok-ong, maka dia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut pandangannya, walau pun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi bila dibandingkan dengan Ceng-jiu Tok-ong, dia masih jauh sekali.

Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biar pun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Lagi pula dia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi sudah lenyap dari atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?

Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung dan melompat ke atas panggung. Sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang. Gerakan ini cepat sekali.

Ceng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu seketika menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biar pun ia tahu amat lihai, ia masih belum jeri. Akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya langsung berdiri!

Semua orang menjadi gempar pada waktu melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,

“Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet itu!”

Tiauw Ki dan Suma-huciang saling bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.

“Terima kasih, Nona. Jika Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”

Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali di hadapan Im Glok sambil berkata,

“Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak dapat melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”

“Kau tidak kalah? Jangan main-main!” Suma-huciang berkata menegur orangnya.

Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan segera Im Giok terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini sudah berhasil mencopet golok pusaka milik lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).

“Inilah buktinya bahwa tadi aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!” Kembali dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.

Im Giok merasa kagum bukan main. Biar pun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini memang patut disebut Raja Copet Sakti!

Sementara itu, di atas panggung terdengar Ceng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, “Ha-ha-ha, begitu sajakah jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha-ha-ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu, biarlah kini kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha-ha-ha!”

“Hemm, manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.

“Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.

Suma-huciang menghela napas. “Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali apa bila aku sendiri yang naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!”

Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata amat tajam. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja dia kenal dengan gadis ini, apa lagi baru saja gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, maka ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.

“Taijin, kalau memang Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga.”

“Ahh, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,” kata pembesar itu.

“Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,” kata Im Giok.

Ia kemudian cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan sangat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidung sehingga ia lantas mencium aroma yang wangi sekali.

Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas panggung Im Giok dapat melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak pedulikan itu semua dan langsung dia menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!

“Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.

Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, “Si Sombong ini mengira bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau aku tidak datang dan membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”

“Bohong! Omongan apa ini? Dialah yang hampir saja mampus!” bantah Ceng-jiu Tok-ong marah.

Kiang Im Giok tersenyum manis. Dia lalu memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.

“Tok-ong, kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?”

Ceng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan obat di dalam saku telah lenyap!

“Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.

“Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak sanggup mengambil nyawamu dari pada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?” Dalam kata-kata ini Im Giok mengancam, lalu ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.

Ceng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Dia masih jeri menghadapi Im Giok yang ilmu pedangnya amat lihai, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak sedang bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai dia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok beserta bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?

Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Ceng-jiu Tok-ong bergidik dan dia pikir lebih baik cepat mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.

Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong.

“Kepandaian Sin-touw-ong lihai sekali, sungguh membuat orang kagum!” Setelah berkata begitu, Ceng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.

Im Giok tersenyum puas. Memang dia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Ceng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa bila sampai terjadi pertempuran, walau pun ia tak akan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Ceng-jiu Tok-ong!

Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri.

“Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang hendak dihina oleh orang lain,” katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,

“Terima kasih kepada semua enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk turut meramaikan pesta ini. Sekarang tibalah gilirannya para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!”

Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang gadis penari yang cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah dan gemulai, membuat darah orang-orang muda yang hadir di sana tersirap ke muka serta denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki.

“Tidak apa, Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan.

“Bungkusan itu kosong tidak berisi suatu apa pun yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakap-cakap tadi.”

Im Giok menjadi lega dan dia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda serta suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.

“Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?” tanyanya.

“Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidak senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. “Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok.”

“Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im Giok mengerutkan kening.

“Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?” Kata-kata ini disertai senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok.

Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang langsung kepada Tiauw Ki.

“Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw...,” katanya kemudian perlahan.

Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain, lalu mengalihkan pandang mata ke atas panggung di mana para penari sedang menunjukkan kepandaian mereka dengan indahnya.

Demikianlah, pesta berjalan terus dengan sangat lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya telah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.

Sesudah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso.

Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tersisa tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata, “Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.”

Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Semenjak tadi mereka diam saja, maka Im Giok juga tak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.

Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur Shansi ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Ceng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.

“Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu beserta rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bila mana Kongcu ingin beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk menyediakan kendaraan.”

Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.

“Terima kasih, memang sebentar lagi kami pun hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.”

Suma-huciang yang diiringi oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam. Setelah tiba di ruangan yang sunyi ini, pembesar itu lalu berkata kepada Tiauw Ki,

“Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan kepada Hong-siang, yaitu bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apa bila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan.”

Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Namun sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, ia telah didahului oleh pembesar itu.

“Aku tahu mengapa engkau merasa heran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok segera menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang kau maksudkan.”

Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, “Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya serta Kiang-lihiap akan berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan.”

Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, “Kau amat mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su, seorang sakti yang semenjak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.”

Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan dia cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki kamarnya, sementara kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah disediakan, sesudah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok.

Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.

Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?

Malam itu ia selalu memikirkan Tiauw Ki. Tiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya. Tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!

“Aku harus melindunginya, biar pun aku harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini.

Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringan dan beristirahat dengan cara bersemedhi. Menjelang subuh dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia cepat membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa.

Dia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan!

Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sahut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari pembaringan, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.

Dia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya dia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat.

Dua orang pelayan menghampiri mereka dan menjura sambil berkata, “Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?”

“Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.”

“Baik, Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki.

Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.

“Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.

“Enak juga. Dan kau?”

“Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.

Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini letaknya tidak jauh dari kamar Suma-huciang, maka dia lalu bertanya, “Twako, apakah kau tidak ada mendengar suara apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya.”

Tiauw Ki menggeleng kepala. “Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”

Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu ginkang-nya sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.

Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok pada pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu.

Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keduanya amat muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan.

Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan menyampaikan pesanan Kaisar, karenanya dia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Sekarang dia harus pulang ke Sian-koan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa mereka harus berpisah. Tak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.

Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing. Semakin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat lari kudanya sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!

“Adik Im Giok, selanjutnya kau akan ke mana?” Tiauw Ki bertanya.

Sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Dan dari pertanyaan ini saja telah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini.

Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biar pun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru kali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, akan tetapi keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa.

Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikian tajamnya perasaan orang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.

Sungguh pun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana dia hendak pergi, ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,

“Aku hendak pulang ke Sian-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?”

“Tentu ke kota raja... tugasku belum selesai. Sayang...”

Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling oleh derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu.

“Mengapa sayang, Twako?” Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar-debar menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.

“Sayang karena... karena terpaksa kita harus berpisah.” Suara pemuda itu menggetar.

Tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya sendiri, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat dia menguasai diri lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki.

“Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada pula waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya berpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?”

Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.

“Mengapa demikian?”

Pertanyaan ini tak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada di sampingnya.

Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong padanya seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.

“Mengapa? Ehh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”

Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang dan berkata,

“Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti...”

Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu. “Ehm, apa kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?”

“Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua, Adikku. Pertemuan bukanlah awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?”

Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.

“Ada-ada saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.

Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar.

“Adik Im Giok, tunggu...! Kita tidak akan berpisah selamanya!” Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.

Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu sudah sampai di sungai yang melintang di depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka.

Alisnya berkerut, kegembiraannya lenyap sama sekali. Dia telah merasakan kebahagiaan luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan hatinya.

“Giok-moi...!” Tiauw Ki juga sudah tiba di situ. Pemuda ini melompat turun dari kudanya. “Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”

Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata, “Twako, janganlah kau berkata begitu...” Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan.

“Marilah kita gunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk.

Im Giok meniru perbuatannya dan sesudah kedua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari sana, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Ke situlah dua orang ini berjalan perlahan.

Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya.

“Adik Giok, rasanya janggal dan aneh sekali jika kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita telah berkumpul selamanya, telah semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku...”

“Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke Sian-koan.”

“Memang semestinya demikian. Akan tetapi... ahh, rasanya sedikit pun juga aku tidak ada keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan...”

Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.

“Mana boleh begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dahulu dan sesudah tugasmu selesai, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?”

Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seolah-olah Im Giok menyatakan bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang perasaannya, dia menangkap kedua tangan gadis itu.

“Giok-moi…,” suaranya gemetar.

Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari jemari tangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tak kuasa menarik tangannya seakan-akan semua tenaganya telah hilang! Dia hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.

“Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku bila aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan.

“Mengapa tidak?” Im Giok hanya menjawab singkat karena dia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!

“Tidak… tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.

“Ada apakah, Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”

Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad, “Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...”

“Dan apa...?”

“Aku... aku hendak... meminangmu!” Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga.

Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan bagai buah tho masak, membikin dia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apa lagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, dia laksana bidadari dari kahyangan saja!

“Bagaimana, Giok-moi...?” tanya Tiauw Ki.

Dengan sudut matanya Im Giok mengerling kepada pemuda itu, bibirnya yang manis itu tersenyum malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, “Entahlah...”

Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.

“Giok-moi, bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”

Bukan main malunya Im Giok dan ia pun tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan wajah ditundukkan, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.

Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin dia melompat turun dari atas batu dan menari-nari kegirangan atau ingin dia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar.

Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?” Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan.

Maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,

“Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suci-ku Giok Gan Niocu Song Kim Lian!”

Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil. “Ahh, suci-mu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan berhati mulia, biar pun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan mau pun kecantikan.”

Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.

“Akan tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah...!” Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.

“Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah... dia sangat sayang kepadaku, tidak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya, kemudian memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk kondeku, harap kau simpan baik-baik.”

Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk konde ini, Moi-moi, hatiku akan terhibur. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin pula, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini...”

Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.

“Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...”

Sambil berkata begitu, pemuda itu ‘menyulap’ keluar sebatang pit dan arang tintanya dari dalam saku bajunya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu dia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih.

Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu:

Tusuk konde dan kipas menjadi saksi bertemunya dua hati di bawah pohon, di tepi sungai...
Semoga cinta kasih kita kekal abadi takkan berpisah, sehidup semati
...

Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.

“Aduh indahnya tulisanmu, Koko...” katanya.

Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.

“Kau mengapa, Twako?”

“Sayang pertemuan seindah ini harus diputuskan oleh perpisahan...” kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu, ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.

“Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai? Aku selalu menantimu di sana, Koko...”

Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharu hatinya, kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara.

Biar pun keduanya diam tak bergerak, biar pun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun, batu, apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut beriang gembira.

Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala macam perasaan, tapi keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.

Sungguh mengagumkan mereka ini, teladan bagi muda-mudi beradab. Meski pun mereka juga diombang-ambingkan oleh ombak asmara yang memabukkan, akan tetapi mereka pantang melakukan pelanggaran dan mereka teguh bagaikan karang di pantai samudra.

Apa pun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimana pun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tata susila yang dijunjung tinggi!

Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika secara tiba-tiba Im Giok merenggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,

“Koko, ada penunggang kuda datang...”

Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu semakin mendekat baru dia mendengar derap kaki kuda.

“Ada tiga orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok.

Dia sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa yang datang ini tentu pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega.

Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apa lagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lweekang yang cukup kuat.

Setelah mereka mendekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir pula dalam pesta yang diadakan di rumah Suma-huciang, yakni nenek yang pada kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat, bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak. Kini kedua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki, lalu kepada Im Giok dengan pandangan mata terbelalak dan mengandung sinar kebencian.



Dara Baju Merah Jilid 14

ANG I NIOCU

(DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 14

DUA orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tidak lama kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki.

Mata Im Giok yang tajam dapat melihat betapa banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena ia sendiri belum terkenal, maka ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya.

“Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa hari ini Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.

“Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat serta menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”

Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. “Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang ke kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Ada pun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan ini.”

Im Giok mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat barang ini, Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.

“Ehh, Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.

Muka Tiauw Ki makin merah. “Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”

Im Giok tertawa. “Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”

“Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu.”

“Begitukah? Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung kuda!”

“Ahh, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.

“Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?”

“Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”

“Ahh, ini benda tidak begitu berharga, Twako.”

“Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi... begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.”

Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.

“Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Tetapi aku tidak mau kalau kau membelikan barang hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini dari pada aku harus menyusahkanmu membeli di toko.”

“Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”

Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.

“Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja… kalau berada di tanganmu lebih baik lagi.”

“Mengapa lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.

“Mengapa? Ahh... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”

“Mengapa, Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.

“Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan dan berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”

Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua buah kamar, lalu berkemas. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang.

Dengan diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.

Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, sebab semenjak beberapa keturunan Suma-huciang memang sudah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena kedudukannya maka Suma-huciang disegani oleh para pembesar lainnya, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara.

Ketika mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh ramai dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring.

Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan dan minuman.

Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermuka merah bagai muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung pada pinggangnya, duduk di ruangan sebelah dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.

Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah. Tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruangan dalam, kemudian tamu ini menghaturkan selamat sekalian memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk.

Barang-barang sumbangan diletakkan di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit apa bila dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan.

Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu-tamu pria. Tamu wanita seperti ini pasti orang-orang kang-ouw dan para ahli silat, mudah dilihat dari gerak gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguh pun hubungan ini amat terbatas oleh tata susila yang tetap dipegang teguh.

Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan senyum ramah-tamahnya.

“Selamat datang, Tuan Muda beserta Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberi tahukan nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”

“Terima kasih, Lopek. Tolong beri tahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang berkunjung bersama seorang sahabat, yaitu Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.

Pada saat pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.

“Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.”

Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Tiap meja yang dikelilingi tamu terdiam apa bila mereka lewat dekat, baru kemudian terdengar bisikan-bisikan disertai suara ketawa ketika mereka sudah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian.

Baik Tiauw Ki mau pun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruang dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini.

Ruangan ini paling lebar dan luas, dan di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel pada dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan tangan.

“Aha, kiranya Gan-hiantit yang baru datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?”

Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah Tiauw Ki betul-betul keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik sekali?

“Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Ada pun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.”

Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu.

“Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”

Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.

Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba saja merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu!

Akan tetapi dia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat dia menjura kepada pembesar itu dan berkata,

“Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa Suma-taijin hendak merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga.”

Dia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan segera dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.

“Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang.”

Tiauw Ki dan Im Giok menjura, lalu mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,

“Aku ingin duduk di ruangan ini, di dekat pamanku.”

Pelayan itu tak berani membantah karena betapa pun juga pemuda ini adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan ‘orang-orang besar’ di situ. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang dia duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.

“Kau lihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.

Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Baginya hal ini mudah saja karena memang dia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan.

Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak sehingga memenuhi meja. Akhirnya habis juga aliran tamu, ada pun semua tempat sudah penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.

Kemudian salah seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar!

Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua hadirin, karena hal ini adalah sesuatu yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!

Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri, menjura dan berkata,

“Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali dari Hongsiang, karunia yang sangat mengharukan hatiku dan yang selama hidup tidak akan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”

Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai bergetar saking harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.

“Ada kabar yang baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai, Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di hadapan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!”

Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin yang berada di situ. Kini semua tamu wanita memandang ke arah pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.

“Sebetulnya siauwte merasa amat malu menunjukkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis.

Mendadak, sekali dia bergerak, tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat dia berdiri dengan panggung ada enam puluh tombak, dan dia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, betul-betul merupakan demonstrasi ginkang yang tak boleh dipandang ringan!

Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali.

“Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian dia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik.

Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.

“Tamu wanita di depan!” terdengar suara orang.

Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja terciumlah bau harum serta suara berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah.

Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, “Adik Im Giok, aku hendak mendekati Suma-huciang.”

Dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga banyak tamu-tamu pria yang meninggalkan tempat duduknya lalu diberikan pada para tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh sebab itu, maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.

Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar sudah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri panggung di mana orang menyediakan tempat khusus bagi tuan rumah.

Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di sana, para penabuh musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan menjadi ramai sekali.

Secara diam-diam Im Giok memperhatikan Tiauw Ki. Ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan sambil bercakap-cakap asyik sekali dengan Suma-huciang yang tampak mengangguk-angguk.

Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga berbicara tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apa lagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.

Tidak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengakui bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan tampan sekali.

Dandanan Lie Kian Tek sebagai seorang pendekar besar pada jaman dulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi. Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti yang sering kali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja.

Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul. Sekarang semua orang terdiam dan hanya memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang, kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok.

Gadis ini membuang muka, akan tetapi dia melihat semua wanita muda yang berada di sana tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok menjadi sebal. Dia tahu bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.

Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Pada mulanya dia bergerak lambat, ada pun pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat sehingga setiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang kala tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang kemudian bergerak amat gagahnya.

Im Giok secara terus terang harus mengakui bahwa dia sangat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, akan tetapi ilmu silat yang mempunyai dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang.

Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah tempat dia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.

Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tanpa terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi dia dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan dia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isyarat-isyarat kurang ajar dari pemuda itu.

Lie Kian Tek bersilat semakin cepat dan tidak lama kemudian di atas panggung bagaikan ada beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali, dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah.

Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba dia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya.

Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biar pun ia harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat.

Mendadak Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan Sin-liong Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan biasanya di dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah sangat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir adalah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!

Tadinya semua orang terkejut karena menyangka bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu menjadi pucat dan dia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal baru saja dia mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.

“Kepandaian hebat, Lie-kongcu.” Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. “Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Apa bila dipergunakan dalam perang, kiranya tak akan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”

Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari tengah dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Lalu sambil tertawa ia memuji,

“Pedang bagus! Pedang bagus!”

Kemudian sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di kursinya.

Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok tertegun. Tenaga lweekang seperti itu tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi ‘sahabat’ Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Lie Kian Tek.

Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai berubah muram. Ia lalu menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada pembesar itu,

“Ahhh, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah hari gembira sekaligus hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat mengharapkan supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk menunjukkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita.”

Kata-kata ini sebenarnya bukan semata untuk menyatakan ketidak senangan hati putera Gubernur ini sebab tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, tapi pada hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam.

Suma-huciang adalah seorang pembesar yang sangat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan menjadi penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.

Ada pun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan kalau di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguh pun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan rasa kebencian dan permusuhan.

Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.

Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,

“Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.”

Suma-huciang lalu memberi isyarat kepada seorang tamu yang cepat berdiri dan menjura kepadanya. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam.

Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang sangat terkenal dan juga amat setia terhadap Kaisar, karena itu selalu membela Suma-huciang. Sesudah memberi hormat kepada Suma-huciang, dia segera berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata,

“Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba tak akan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”

Lie Kian Tek tersenyum mengejek, “Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.”

Sesudah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh atau melirik sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga sekarang dia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung.

Para wanita melirik-lirik, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya dan senyum simpul menghujani pemuda itu! Kian Tek melempar senyum dan membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu, lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung.

Sementara itu, musik sudah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini lantas terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.

Setiap gerak tangan mengandung tenaga lweekang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan main. Sesudah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu segera mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam.

Dia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar.

Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, ”Aku orang she Chi sudah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin.” Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula.

Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni salah seorang di antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berseru keras,

“Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”

Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan ginkang yang lihai.

Suma-huciang tertawa. “Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,” jawabnya.

Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata, suaranya lantang tinggi.

“Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shansi. Akan tetapi, siauwte bukanlah seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang tak berarti, sebaliknya banyak pula orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah jika diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi ketika melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, betul-betul siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tak mau berlaku seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri.”

“Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi Liok menegur. Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau.

“Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan? Ataukah, kau... takut?”

Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekali, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu dia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini.

Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka hanya berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar yang memang sudah lama sekali diam-diam saling membenci.

Semenjak tadi sebelum keadaan meruncing, Suma-huciang telah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara beberapa nasehat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan kehendak kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.

Kini dia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang dia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya.

Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji serta melihat ‘isi hati’ musuh-musuhnya tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan itu terjadi dikarenakan perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok.

Setelah melihat isyarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, piauwsu itu menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat dia sudah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng!

Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur ‘isi’ lawan dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang.

“Saudara Coa Keng, betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain silat?” tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.

Coa Keng tersenyum mengejek. “Kenapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya bila kita bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak takut, karena dalam permainan silat bersama kita berdua pasti maklum bahwa kemungkinan terluka besar sekali, bahwa ada kemungkinan terpukul tewas.”

“Ini sebuah tantangan!” Chi Liok menegur gemas.

“Kau takut?” Coa Keng menggerakkan alis, menghina.

“Orang sombong, kau sajakah yang memiliki keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak sekali yang melihat alangkah kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri, membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kau mulailah!”

Coa Keng mengeluarkan suara nyaring dan mendadak dengan suara licik, sambil masih tertawa, ia langsung mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!

“Bukkk!”

Tubuh Chi Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh apa bila ia tidak lekas-lekas berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, tapi pukulan tadi tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia masih keburu mengerahkan lweekang ke arah bagian yang akan terpukul.

“Kau curang!” bentaknya.

“Bukankah kau menyuruh aku mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha-ha-ha!”

“Rasakan ini!” Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa.

Pukulannya hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat Coa Keng terhuyung ke samping sebanyak tiga tindak sambil meringis karena pundaknya terasa sakit sekali.

“Kurang ajar kau!” bentaknya.

Dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara kasar sekali.

Sebetulnya ilmu silat mereka juga tidak terlalu rendah akan tetapi oleh karena watak Coa Keng amat kasar, cara berkelahinya juga kasar sehingga mereka lebih sering memukul tanpa membahayakan lawan dari pada mengirim serangan yang betul-betul berbahaya bagi keselamatan lawan.

Pertempuran itu berjalan seru. Bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang ilmu kepandaiannya masih rendah, memang pertandingan itu terlihat ramai dan menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orang-orang yang kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan menggelundung keluar dari panggung!

Orang-orang wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepat-cepat mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak beranjak pergi dan karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat.

Dia melirik dan melihat bahwa tiga orang ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan rambutnya diikat kain putih, sedangkan dua orang lainnya adalah gadis-gadis yang berpakaian sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang tak seperti orang-orang sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini.

Sementara itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling meninggalkan tempat itu, lantas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di hadapan Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok langsung memekik dan terlempar keluar panggung!

“Orang-orang macam ini berani betul menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul memiliki kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa lagi, aku adalah Ceng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi.”

Im Glok terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun sudah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Ceng-jiu Tok-ong menjadi kaki tangan Lie Kian Tek.

Mengingat sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang, maka dia menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan.

Pada lain saat, tubuh Im Giok sudah lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang amat cepat. Gadis ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan tengah menegur seorang laki-laki yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas meja!

Kedatangan Im Giok tak terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi dia ternyata lihai bukan main karena dia masih sempat mengelak dan walau pun totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa.

Im Giok yang tadi menotok merasa kaget dan sama sekali tak mengira orang itu demikian lihai, maka ia menyerang terus sambil membentak,

“Bangsat kecil, kau hendak mencuri apa?”

Dua kali lm Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya sambil berseru,

“Kau hendak lari ke mana?”

Kembali secara mengagumkan sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im Giok berusaha menangkapnya, sedangkan Lie Kian Tek sudah tiga kali mencoba untuk merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate itu.

“Copet, kau bikin gara-gara saja, tidak tahu kalau sedang kucari-cari!” tiba-tiba terdengar teguran orang.

Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang ini dan mencari perlindungan di belakang tubuhnya! Pada saat Im Giok dan Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-huciang!

“Lie-kongcu, apakah kesalahan dia maka kau serang dia?” tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek.

“Aku melihat dia menggeratak di meja dan hendak mencuri barang-barang sumbangan,” kata putera gubernur itu.

Suma-huciang menengok kepada Im Giok, “Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?”

“Aku melihat dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin,” jawab In Giok sambil mengerling ke arah Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya di belakang panggung.

Suma-huciang tertawa. “Harap kalian memaafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang orang lain. Copet, kau mengambil apa saja? Hayo lekas keluarkan!”

Sin-touw-ong yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian dia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang ternyata banyak pula.

Benda-benda itu lalu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri sampai terheran-heran karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas, di antara benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja!

“Segera kembalikan barang-barang itu, dan mari kau wakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong,” kata Suma-huciang yang tidak pedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang mungkin hilang.

Sin-touw-ong cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika dia melihat pemuda itu tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti!

“Nona, kau betul-betul gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, semua tiada artinya! Nona, pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di tempat yang lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan...”

“Jahanam, tutup mulutmu!” Im Giok memaki marah.

Gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Dia mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau saja ia tidak ingat akan tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couw-nya, tentu dia tadi sudah memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Sementara itu, di atas panggung Ceng-jiu Tok-ong sekarang sudah berhadapan dengan Sin-touw-ong. Ceng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang, “Ha-ha-ha, Suma-taijin bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?”

Ketika ia melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah. Dia merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus.

“Kau ini manusia tiada guna, benar-benarkah kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak ternama, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?”

Raja copet yang kate itu cengar-cengir laksana seorang badut. Ia memiliki bentuk muka yang lucu. Tubuhnya pendek kecil, matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apa lagi berhadapan dengan Ceng-jiu Tok-ong, benar-benar bagaikan seorang raksasa yang berhadapan dengan seorang katai.

“Aku memang tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?” tanyanya memicingkan mata.

“Setan pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Ceng-jiu Tok-ong!”

Si Kate menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,” dia berkata acuh tak acuh.

“Bangsat, aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal namaku?” Ceng-jiu Tok-ong membentak.

“Setan besar, kau tak mengenal namaku, aku pun tak mengenal namamu, siapa di antara kita yang paling tidak terkenal? Kau berjulukan Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan Seribu), dan aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku adalah raja-raja besar!”

Meledak suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini.

“Lo-enghiong, mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja kepalanya, habis perkara!” seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat jagonya dipermainkan oleh raja copet itu.

“Ya, ya, injaklah! Injaklah!” Sin-touw-ong mengejek.

Dia lantas memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Ceng-jiu Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh, sungguh pun mereka yang telah mengenal kelihaian Ceng-jiu Tok-ong, juga merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu.

“Bangsat tukang copet, bersiaplah kau untuk mampus!” Ceng-jiu Tok-ong yang tak dapat menahan sabarnya lagi sudah maju menyerang.

Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut setengah mati. Raja copet ini bukan orang biasa. Ia adalah seorang kang-ouw yang telah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan copet, dia memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan untuk menyerangnya.

Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Ceng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tak mengira bahwa serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu mengelak.

Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sudah lebih berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut. Jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biar pun lebih tinggi kepandaiannya tak akan kuat menerima pukulan ini.

Im Giok memandang semuanya ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Ceng-jiu Tok-ong, maka dia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut pandangannya, walau pun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi bila dibandingkan dengan Ceng-jiu Tok-ong, dia masih jauh sekali.

Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biar pun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Lagi pula dia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi sudah lenyap dari atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?

Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung dan melompat ke atas panggung. Sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang. Gerakan ini cepat sekali.

Ceng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu seketika menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biar pun ia tahu amat lihai, ia masih belum jeri. Akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya langsung berdiri!

Semua orang menjadi gempar pada waktu melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,

“Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet itu!”

Tiauw Ki dan Suma-huciang saling bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.

“Terima kasih, Nona. Jika Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”

Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali di hadapan Im Glok sambil berkata,

“Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak dapat melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”

“Kau tidak kalah? Jangan main-main!” Suma-huciang berkata menegur orangnya.

Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan segera Im Giok terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini sudah berhasil mencopet golok pusaka milik lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).

“Inilah buktinya bahwa tadi aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!” Kembali dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.

Im Giok merasa kagum bukan main. Biar pun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini memang patut disebut Raja Copet Sakti!

Sementara itu, di atas panggung terdengar Ceng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, “Ha-ha-ha, begitu sajakah jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha-ha-ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu, biarlah kini kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha-ha-ha!”

“Hemm, manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.

“Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.

Suma-huciang menghela napas. “Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali apa bila aku sendiri yang naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!”

Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata amat tajam. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja dia kenal dengan gadis ini, apa lagi baru saja gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, maka ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.

“Taijin, kalau memang Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga.”

“Ahh, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,” kata pembesar itu.

“Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,” kata Im Giok.

Ia kemudian cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan sangat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidung sehingga ia lantas mencium aroma yang wangi sekali.

Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas panggung Im Giok dapat melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak pedulikan itu semua dan langsung dia menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!

“Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.

Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, “Si Sombong ini mengira bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau aku tidak datang dan membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”

“Bohong! Omongan apa ini? Dialah yang hampir saja mampus!” bantah Ceng-jiu Tok-ong marah.

Kiang Im Giok tersenyum manis. Dia lalu memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.

“Tok-ong, kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?”

Ceng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan obat di dalam saku telah lenyap!

“Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.

“Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak sanggup mengambil nyawamu dari pada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?” Dalam kata-kata ini Im Giok mengancam, lalu ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.

Ceng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Dia masih jeri menghadapi Im Giok yang ilmu pedangnya amat lihai, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak sedang bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai dia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok beserta bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?

Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Ceng-jiu Tok-ong bergidik dan dia pikir lebih baik cepat mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.

Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong.

“Kepandaian Sin-touw-ong lihai sekali, sungguh membuat orang kagum!” Setelah berkata begitu, Ceng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.

Im Giok tersenyum puas. Memang dia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Ceng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa bila sampai terjadi pertempuran, walau pun ia tak akan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Ceng-jiu Tok-ong!

Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri.

“Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang hendak dihina oleh orang lain,” katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,

“Terima kasih kepada semua enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk turut meramaikan pesta ini. Sekarang tibalah gilirannya para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!”

Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang gadis penari yang cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah dan gemulai, membuat darah orang-orang muda yang hadir di sana tersirap ke muka serta denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki.

“Tidak apa, Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan.

“Bungkusan itu kosong tidak berisi suatu apa pun yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakap-cakap tadi.”

Im Giok menjadi lega dan dia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda serta suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.

“Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?” tanyanya.

“Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidak senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. “Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok.”

“Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im Giok mengerutkan kening.

“Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?” Kata-kata ini disertai senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok.

Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang langsung kepada Tiauw Ki.

“Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw...,” katanya kemudian perlahan.

Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain, lalu mengalihkan pandang mata ke atas panggung di mana para penari sedang menunjukkan kepandaian mereka dengan indahnya.

Demikianlah, pesta berjalan terus dengan sangat lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya telah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.

Sesudah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso.

Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tersisa tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata, “Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.”

Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Semenjak tadi mereka diam saja, maka Im Giok juga tak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.

Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur Shansi ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Ceng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.

“Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu beserta rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bila mana Kongcu ingin beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk menyediakan kendaraan.”

Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.

“Terima kasih, memang sebentar lagi kami pun hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.”

Suma-huciang yang diiringi oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam. Setelah tiba di ruangan yang sunyi ini, pembesar itu lalu berkata kepada Tiauw Ki,

“Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan kepada Hong-siang, yaitu bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apa bila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan.”

Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Namun sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, ia telah didahului oleh pembesar itu.

“Aku tahu mengapa engkau merasa heran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok segera menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang kau maksudkan.”

Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, “Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya serta Kiang-lihiap akan berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan.”

Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, “Kau amat mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su, seorang sakti yang semenjak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.”

Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan dia cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki kamarnya, sementara kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah disediakan, sesudah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok.

Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.

Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?

Malam itu ia selalu memikirkan Tiauw Ki. Tiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya. Tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!

“Aku harus melindunginya, biar pun aku harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini.

Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringan dan beristirahat dengan cara bersemedhi. Menjelang subuh dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia cepat membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa.

Dia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan!

Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sahut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari pembaringan, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.

Dia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya dia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat.

Dua orang pelayan menghampiri mereka dan menjura sambil berkata, “Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?”

“Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.”

“Baik, Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki.

Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.

“Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.

“Enak juga. Dan kau?”

“Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.

Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini letaknya tidak jauh dari kamar Suma-huciang, maka dia lalu bertanya, “Twako, apakah kau tidak ada mendengar suara apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya.”

Tiauw Ki menggeleng kepala. “Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”

Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu ginkang-nya sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.

Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok pada pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu.

Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keduanya amat muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan.

Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan menyampaikan pesanan Kaisar, karenanya dia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Sekarang dia harus pulang ke Sian-koan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa mereka harus berpisah. Tak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.

Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing. Semakin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat lari kudanya sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!

“Adik Im Giok, selanjutnya kau akan ke mana?” Tiauw Ki bertanya.

Sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Dan dari pertanyaan ini saja telah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini.

Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biar pun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru kali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, akan tetapi keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa.

Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikian tajamnya perasaan orang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.

Sungguh pun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana dia hendak pergi, ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,

“Aku hendak pulang ke Sian-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?”

“Tentu ke kota raja... tugasku belum selesai. Sayang...”

Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling oleh derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu.

“Mengapa sayang, Twako?” Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar-debar menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.

“Sayang karena... karena terpaksa kita harus berpisah.” Suara pemuda itu menggetar.

Tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya sendiri, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat dia menguasai diri lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki.

“Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada pula waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya berpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?”

Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.

“Mengapa demikian?”

Pertanyaan ini tak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada di sampingnya.

Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong padanya seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.

“Mengapa? Ehh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”

Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang dan berkata,

“Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti...”

Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu. “Ehm, apa kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?”

“Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua, Adikku. Pertemuan bukanlah awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?”

Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.

“Ada-ada saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.

Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar.

“Adik Im Giok, tunggu...! Kita tidak akan berpisah selamanya!” Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.

Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu sudah sampai di sungai yang melintang di depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka.

Alisnya berkerut, kegembiraannya lenyap sama sekali. Dia telah merasakan kebahagiaan luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan hatinya.

“Giok-moi...!” Tiauw Ki juga sudah tiba di situ. Pemuda ini melompat turun dari kudanya. “Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”

Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata, “Twako, janganlah kau berkata begitu...” Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan.

“Marilah kita gunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk.

Im Giok meniru perbuatannya dan sesudah kedua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari sana, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Ke situlah dua orang ini berjalan perlahan.

Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya.

“Adik Giok, rasanya janggal dan aneh sekali jika kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita telah berkumpul selamanya, telah semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku...”

“Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke Sian-koan.”

“Memang semestinya demikian. Akan tetapi... ahh, rasanya sedikit pun juga aku tidak ada keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan...”

Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.

“Mana boleh begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dahulu dan sesudah tugasmu selesai, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?”

Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seolah-olah Im Giok menyatakan bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang perasaannya, dia menangkap kedua tangan gadis itu.

“Giok-moi…,” suaranya gemetar.

Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari jemari tangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tak kuasa menarik tangannya seakan-akan semua tenaganya telah hilang! Dia hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.

“Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku bila aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan.

“Mengapa tidak?” Im Giok hanya menjawab singkat karena dia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!

“Tidak… tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.

“Ada apakah, Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”

Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad, “Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...”

“Dan apa...?”

“Aku... aku hendak... meminangmu!” Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga.

Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan bagai buah tho masak, membikin dia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apa lagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, dia laksana bidadari dari kahyangan saja!

“Bagaimana, Giok-moi...?” tanya Tiauw Ki.

Dengan sudut matanya Im Giok mengerling kepada pemuda itu, bibirnya yang manis itu tersenyum malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, “Entahlah...”

Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.

“Giok-moi, bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”

Bukan main malunya Im Giok dan ia pun tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan wajah ditundukkan, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.

Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin dia melompat turun dari atas batu dan menari-nari kegirangan atau ingin dia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar.

Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?” Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan.

Maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,

“Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suci-ku Giok Gan Niocu Song Kim Lian!”

Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil. “Ahh, suci-mu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan berhati mulia, biar pun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan mau pun kecantikan.”

Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.

“Akan tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah...!” Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.

“Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah... dia sangat sayang kepadaku, tidak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya, kemudian memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk kondeku, harap kau simpan baik-baik.”

Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk konde ini, Moi-moi, hatiku akan terhibur. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin pula, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini...”

Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.

“Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...”

Sambil berkata begitu, pemuda itu ‘menyulap’ keluar sebatang pit dan arang tintanya dari dalam saku bajunya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu dia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih.

Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu:

Tusuk konde dan kipas menjadi saksi bertemunya dua hati di bawah pohon, di tepi sungai...
Semoga cinta kasih kita kekal abadi takkan berpisah, sehidup semati
...

Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.

“Aduh indahnya tulisanmu, Koko...” katanya.

Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.

“Kau mengapa, Twako?”

“Sayang pertemuan seindah ini harus diputuskan oleh perpisahan...” kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu, ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.

“Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai? Aku selalu menantimu di sana, Koko...”

Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharu hatinya, kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara.

Biar pun keduanya diam tak bergerak, biar pun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun, batu, apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut beriang gembira.

Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala macam perasaan, tapi keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.

Sungguh mengagumkan mereka ini, teladan bagi muda-mudi beradab. Meski pun mereka juga diombang-ambingkan oleh ombak asmara yang memabukkan, akan tetapi mereka pantang melakukan pelanggaran dan mereka teguh bagaikan karang di pantai samudra.

Apa pun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimana pun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tata susila yang dijunjung tinggi!

Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika secara tiba-tiba Im Giok merenggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,

“Koko, ada penunggang kuda datang...”

Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu semakin mendekat baru dia mendengar derap kaki kuda.

“Ada tiga orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok.

Dia sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa yang datang ini tentu pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega.

Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apa lagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lweekang yang cukup kuat.

Setelah mereka mendekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir pula dalam pesta yang diadakan di rumah Suma-huciang, yakni nenek yang pada kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat, bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak. Kini kedua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki, lalu kepada Im Giok dengan pandangan mata terbelalak dan mengandung sinar kebencian.