Dara Baju Merah Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ANG I NIOCU

DARA BAJU MERAH

Karya Kho Ping Hoo

JILID 12

PADA suatu pagi yang indah di musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binatang hutan pun nampak bergembira di saat seperti itu.

Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tak takut akan ancaman burung-burung.

Agaknya pada saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram ini dengan pembunuhan terhadap sesama makhluk, walau pun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Atau, apakah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah terlampau kenyang maka mereka tidak mengganggu kelinci dan kupu-kupu?

Mungkin sekali, karena hanya manusia-manusia saja yang masih merasa temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain makhluk tidak ada yang sekejam manusia.

Mendadak terdengar suara tertawa manusia yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang sangat indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.

Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali kenapa mula-mula terdengar suara tawa nyaring baru kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda. Bagaimana suara tawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh? Akan tetapi kalau pendengar tadi adalah seorang ahli silat tinggi, dia akan tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lweekang dan menggunakan ilmu yang disebut Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).

Kemudian terdengarlah suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, “Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kau lihat bunga ini, betapa indahnya...!”

Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing dan berwajah cantik. Sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Dia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang cambuk pendek.

Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah yang sudah masak dan sedap dipandang.

Gadis berbaju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat kembang-kembang warna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk pada tangannya digerakkan, cambuk itu lantas meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya.

Lihai sekali dia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa kembang itu padanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda bahwa lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata,

“Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!”

Kembali cambuk pendeknya bergerak dan pada lain saat setangkai bunga kuning sudah berada di tangan kirinya. Dia memandang dan mencium kedua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga berwarna merah. Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.

“Tarrr...!”

Tiba-tiba selarik sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang lalu terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.

“Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!” kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda bulu putih.

Kalau orang merasa kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini dia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau dia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda.

Cantik jelita sulit menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biar pun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang.

Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi demikian bening dan jelas terisi api kehidupan yang bagaikan tidak pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis luar biasa, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, walau pun dari bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.

Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, akan tetapi sinar matanya sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya sangat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal.

Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.

“Sumoi, kenapa kau mencegah aku memetik bunga?” tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu.

“Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?”

Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, “Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!” Ia tertawa lagi dengan sikap genit.

Dara berbaju merah itu pun tertawa dan menjawab, “Giok Gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!”

Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu lalu melemparkan bunga putih ke arah sumoi-nya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapkannya dengan tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.

“Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.”

“Aku lebih suka yang kuning ini,” dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya.

Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut dengan Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu.

Ada pun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini mempunyai sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu.

Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya. Biar pun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui oleh semua orang, tetapi para pemuda di kota Sian-koan lebih suka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria.

Kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka? Semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi dari pada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri!

Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apa bila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlomba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak.

Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apa lagi karena di dalam pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya!

Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.

Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri serta muridnya hanya apa bila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri.

Pelayan banyak, uang ada, segalanya lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapa pun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.

Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok mau pun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.

Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini pergi meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutan yang indah itu. Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh, kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.

Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.

“Ayah telah berkata benar,” kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, “indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini.”

“Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah ke seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,” kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

“Mengapa tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.”

“Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?” tanya Kim Lian.

“Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku selalu berduka. Dia adalah musuh besarku yang mesti kubunuh!” kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu.

“Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biar pun kepandaianku tidak ada artinya.”

Im Giok menarik napas panjang. “Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih...”

Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak. Juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat.

Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah keduanya berdiam diri, telinga mereka segera menangkap suara yang mencurigakan. Sayup sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda. Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar terlebih dahulu, karena memang telinganya lebih terlatih.

“Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini,” katanya.

Kim Lian memiringkan kepalanya, penuh perhatian. “Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke sana.”

Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlomba, akan tetapi apa bila biasanya mereka berlomba sambil tertawa, kini mereka berlomba dengan kening berkerut dan sikap garang.

Selain berkepandaian silat tinggi, mereka juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya.

Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajar-pelajar lemah.

Keadaan di tempat itu mengerikan sekali. Semua anggota rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut.

Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di sana terdapat seorang pemuda pelajar yang sedang melawan mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguh pun tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguh pun gerakannya menandakan bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, akan tetapi agaknya dia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat dia masih dapat melawan dan melindungi diri.

Akan tetapi tentu saja dia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, karena itu dia dibuat permainan, sengaja tak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan. Ada pula sebagian tentara yang sedang mengumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga.

“Anjing-anjing hina dina!” Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah melayang turun dari kuda.

Bagai seekor harimau betina dia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini. Kim Lian segera merebut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu.

Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadi sedang mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian.

“Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!” Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke sana ke mari, lalu sinar merah ini menerjang mereka yang sedang mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok!

Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah saking kagum dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya untuk melawan dan lemaslah ia, lalu terduduk dengan mata bengong.

Im Giok beserta Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, dia hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti tak akan dapat bangun lagi untuk selamanya!

Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak keras,

“Kam-ciangkun...! Tolonglah kami...”

“Suci, sudahlah jangan mengejar mereka lagi,” Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus.

Kim Lian tidak puas, akan tetapi dia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya. Pada waktu dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan sepuluh lannya terluka.

Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang sudah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup. Tubuhnya penuh darah, akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian.

Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan merasa sakit-sakit.

“Ji-wi-lihiap sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini...” dia menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, “mereka ini... tak tertolong lagi...” Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali.

“Akan tetapi kami masih dapat menolongmu,” kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar.

Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi baru sekarang ia melihat dan ia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik hati.

Juga tadi ia sudah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara itu, ia tidak memikirkan keadaan dirinya sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.

Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Sungguh pun aku sangat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan mala petaka ini...”

Bicara sampai di situ, pemuda itu semakin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu sudah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening, kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan memeluknya!

“Suci...!” Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika dia melihat bagaimana suci-nya memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga... panas!

“Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah...” Kim Lian membela diri sambil tersenyum, lalu secara perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.

Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia cepat meminumkan sedikit arak kepada pemuda yang masih pingsan itu. Kemudian, sesudah memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa rasa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah.

Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya dia melihat sumoi-nya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!

“Sumoi, lihat siapa yang datang itu!” tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri.

Im Giok juga mendengar suara derap kaki yang berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri, tidak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang sudah siuman dan perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.

Yang datang adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang sambil berlari mengiringkan dua orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang.

Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk. Kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi.

Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, jangankan melihat, mendengar pun belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!

“Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka berniat buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai,” kata Im Giok berbisik.

Kim Lian tersenyum mengejek. Biar pun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, akan tetapi dia pernah mendengar cerita Im Giok tentang Golok Maut ini dan dia memandang rendah.

Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjulukan Giam-ong-to Si Golok Maut. Sedangkan kakek yang aneh itu adalah Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi muridnya Thian-te Sam-kauwcu. Ia adalah seorang tokoh barat.

Dahulu ketika dia masih muda memang Ceng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Ceng-jiu Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya hanyalah di sekitar perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Sesudah puluhan tahun dia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua dia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, yaitu Giam-ong-to Kam Kin.

Semenjak masih muda, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia menjadi marah sekali.

Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya, matanya pun bersinar dan mulutnya menyeringai. Apa lagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main.

Selama hidup belum pernah dia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena sedang berada bersama gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata,

“Ahh, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?”

Im Giok melangkah maju kemudian berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. “Bagus sekali! Semenjak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?”

Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Dia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun sudah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun pada waktu berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biar pun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.

“Kiang Im Giok! Kaukah ini?”

“Baru terbuka matamu,” kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.

“Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiok-mu sendiri?” bentak Kam Kin.

Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu.

“Kam Kin, siapakah Nona ini?” Ceng-jiu Tok-ong bertanya dengan suaranya yang seperti burung kakatua.

“Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya.” Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, “Im Giok, andai kata kau tidak menaruh sungkan kepada susiok-mu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap sucouw-mu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouw-mu ini, guru dari Suci Pek Hoa.”

Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab, “Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini.”

Kam Kin menjadi amat marah. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.

“Bocah tidak tahu aturan! Tidak saja kau sudah membunuh banyak anggota tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah bosan hidup!”

“Monyet bercelana, kau berani menghina sumoi-ku?” tiba-tiba saja Kim Lian membentak marah dan dia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. “Mentang-mentang kau berjuluk ‘Si Golok Maut’, lalu hendak menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!”

“Gadis liar kurang ajar!” Kam Kin marah sekali.

“Kau yang kurang ajar!” bentak Kim Lian. “Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihatlah, akan kutampar mulutmu!”

Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak. Kam Kin bingung melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat.

“Plakk!” tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.

“Anjing betina, kubunuh kau!” bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.

“Kutempiling kepalamu, awas!” Kim Lian kembali berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya.

“Plakk!”

Lagi-lagi terdengar suara keras. Topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu.

Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat dia melompat ke belakang, menggeleng-geleng kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya.

Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang sangat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apa lagi sesudah ilmu silat itu diperbaiki oleh nasehat-nasehat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.

Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main.

Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang memiliki bakat yang besar sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, karena itu Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini.

Menghadapi rangsekan golok Kam Kin, gadis ini segera mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang disebut Kong-jiu Sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular, ada pun jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya.

Dalam beberapa kali gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia cepat berlaku hati-hati, maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.

Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, “Monyet tua, pergilah!”

Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat sekali, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan dan menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut!

Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan bergerak secepat itu dan berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian mendadak jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk dapat menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran.

Kam Kin berseru kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk kemudian merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya sudah terlepas! Anak buahnya cepat menolong dan menggotong tubuh komandan mereka ke pinggir.

Kim Lian tertawa-tawa mengejek, “Monyet tua, mana golok mautmu?”

“Bocah sombong, pergilah!”

Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa.

Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot!

Kim Lian mengerahkan lweekang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”

Tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas!

Ternyata bahwa Ceng-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadinya membetot sekarang dia mendorong. Tidak heran apa bila Kim Lian lantas terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong. Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang.

“Kakek bangkotan, kau curang!” bentaknya.

“Suci, mundurlah.” Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya.

Kemudian Im Giok menghadapi Ceng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,

“Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Ceng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang muda sungguh merasa amat heran kenapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang sesudah menjadi komandan membiarkan anak-anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suci-ku sedang bermain-main di hutan ini dan tadi kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?”

“Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi kata-katamu, sebagai seorang bocah kau ternyata memiliki pandangan yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku sendiri. Bagaimana sekarang kau berani sekali bersikap begini kurang ajar kepadaku? Andai kata sekarang juga kau menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?”

“Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena aku telah diculiknya dari orang tuaku, oleh karena itu aku pun tidak mungkin mengakui kau sebagai sucouw.”

“Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas-lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu sudah membunuh banyak anggota tentara, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berbahaya!” tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya.

Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya.

“Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan suci-mu itu menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan,” kata Ceng-jiu Tok-ong kepada Im Giok.

Agaknya dia merasa sungkan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda. Betapa pun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi, karena itu dia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apa lagi wanita pula.

Im Giok mulai panas hatinya. “Ceng-jiu Tok-ong, apa bila kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam Kin, terserah saja. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!” sambil berkata demikian, Im Giok mencabut pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.

Terdengar Ceng-jiu Tok-ong tertawa geli.

“Bocah, kau sungguh-sungguh lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kau mainkan untuk melawanku?”

“Ceng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!” bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan.

Ceng-jiu Tok-ong ialah seorang kakek yang memiliki julukan Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu mempunyai ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apa lagi kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan kepada Pek Hoa?

Akan tetapi, baru pada gerakan pertama saja, Ceng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat dia menggunakan dua ujung lengan baju untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat tak terduga-duga itu. Kakek ini benar-benar heran sekali.

Melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi dari pada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya.

Jurus-jurus berikutnya membuat Ceng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.

“Ayaaa, kau lihai juga...!” kata kakek itu.

Pada jurus ke sepuluh Ceng-jiu Tok-ong sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong. Dia melompat cepat ke kanan dengan ginkang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok maju mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan!

“Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil nyawamu yang masih muda,” berkata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya.

“Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh sumoi-ku!” teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.

Timbul amarah di dalam hati Ceng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu.

“Sumoi-mu ini akan kubunuh lebih dulu, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!” makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia menyerang Im Giok dengan goloknya.

Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar.

“Celaka,” pikirnya, “golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat.”

Ia mencoba menetapkan hatinya dan cepat membalas dengan serangan hebat. Memang segera terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Ceng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah.

Sebaliknya lawannya semakin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya dia mencium bau busuk yang mengandung racun itu!

Meski pun keadaannya semakin berbahaya, Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa penasaran. Memang tak mengherankan jika gadis ini merasa penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lweekang-nya dapat mengimbangi tenaga kakek itu.

Dalam hal ginkang dan kecepatan gerakan tubuh, dia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu semakin memusingkan kepalanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja aku yang tidak berharga, jangan kau ganggu kedua Li-hiap yang budiman itu...!”

Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, tiba-tiba kini menjadi nekat ketika melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan.

Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang terlihat seperti iblis? Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak menyerbu dan menyerang Ceng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu telah roboh terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya.

“Kakek siluman, jangan banyak lagak...!” bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni salah sebuah di antara senjata-senjata para serdadu yang bergeletak di situ.

“Suci, hati-hati...!” Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri. Kenapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa dirinya telah banyak terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya.

Mendengar suara yang aneh dan amat perlahan dari Im Giok, Kim Lian merasa kaget dan mengerling ke arah sumoi-nya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian. Biar pun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya.

Kim Lian yang mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis. Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga dia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya.

Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya dan terus bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah. Juga di pergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, kini telah merah menghitam.

“Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau berhati-hatilah...”

Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah satu-satunya cara yang sudah dia pelajari dari suhu-nya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.

Melihat dan mendengar keadaan suci-nya, Im Giok semakin bingung dan gugup. Baiknya ilmu pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biar pun kini hampir tak berani bernapas dan pandang matanya telah berkunang-kunang, akan tetapi pedangnya secara otomatis masih sanggup melindungi tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang kala masih dapat membalas dengan serangan yang bukan tak berbahaya bagi Ceng-jiu Tok-ong.

“Lihai sekali... mengagumkan...!”

Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa sedikit pun mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Tokoh ini masih malu untuk menggunakan seluruh kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah.

Setelah Im Giok terdesak betul-betul, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus, “Ceng-jiu Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?”

Mendadak tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena dia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan.

Pada saat membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang bukan main, lalu meletakkan pedang di atas tanah dan bersila meramkan mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi sudah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Ceng-jiu Tok-ong!

Sementara itu, Ceng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian dia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya.

Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan pada pinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya, Ceng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw. Oleh karena ia sendiri telah sangat lama meninggalkan kang-ouw, maka dia tidak berani berlaku sembrono dan berkata membela diri,

“Engkau siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengakui dia sebagai cucu muridmu?”

Orang itu tersenyum tenang. “Raja Racun, dalam pengakuanmu tadi ada dua kesalahan. Kau mengakui gadis ini sebagai cucu muridmu karena kau anggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau mimpi, Ceng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andai kata benar dia pernah menjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat agaknya sudah jauh melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau malah makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, lalu membela orang-orang sesat dan begitu keluar kau bahkan sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat...!”

Ceng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapa pun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau para tokoh lainnya dia tidak takut!

Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang yang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,

“Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!”

Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak berlari anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi!

Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su. Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.

“Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!” kata Bu Pun Su sambil menyampok dengan tangannya.

Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su!

Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,

“Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!” Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya bergerak.

Tangan kirinya menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apa lagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak terlihat oleh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan menotok ke arah iga lawannya.

Ceng-jiu Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai seorang tokoh persilatan yang sudah mempunyai ilmu silat tinggi, tahulah ia bahwa jalan darahnya telah terkena totokan lawan dan ia telah mendapat luka di dalam, biar pun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa kini ia menemui guru dalam ilmu silat!

Tanpa banyak cing-cong lagi Ceng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, segera berlari terpincang-pincang menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia harus berlari terpincang-pincang.

Terdengar suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis yang masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa cekikikan, telunjuk menunjuk ke arah Ceng-jiu Tok-ong yang lari terpincang-pincang.

“Monyet bangkotan itu lucu sekali larinya...!” kata Kim Lian.

Gadis itu tadi membuka matanya dan menyaksikan pertandingan hebat antara Ceng-jiu Tok-ong dengan Bu Pun Su. Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang terhitung masih susiok-couw-nya sendiri.

Tadinya melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu Pun Su ia pun merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su itu orangnya tentu sangat dahsyat dan menyeramkan sekali. Akan tetapi siapa nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya hanya sedemikian saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa takutnya dan gadis ini saking girangnya melihat Ceng-jiu Tok-ong kalah, lalu tertawa-tawa.

“He, kau! Tahan lidahmu yang jahat!” Bu Pun Su menegur marah.

“Suciok-couw, kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tak boleh bergirang?” Kim Lian membantah. Dia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan tenang, membayangkan watak yang sabar sekali, maka ia tidak takut.

“Suci, jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!” Tiba-tiba Im Giok menegur suci-nya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk. Diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula sambil matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis.

“Hm, bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?” katanya di dalam hati. Kemudian katanya dengan suara rendah,

“Hm, ini suci-mu? Jadi ayahmu mempunyai murid? Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka pada pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah) dari Tok-ong, siapa terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik merah akhirnya menjadi bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat tapi masih menertawakan orang lain, sungguh tak tahu diri...”

Alangkah kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini.

“Susiok-couw, tolonglah teecu...,” ratapnya kemudian sambil membentur-benturkan jidat di atas tanah.

“Aku hanya akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu...”

Kim Lian menjerit dan menangis sedih. “Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah tak usah diobati, biar teecu mati saja dari pada harus menderita, bopeng seluruh tubuh... alangkah ngerinya...”

“Hanya kalau mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah,” kata Bu Pun Su yang dengan suara dingin. “Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh-sungguh memalukan aku yang menjadi susiok-couw!”

Kini baru tahulah Kim Lian mengapa Im Giok dan Kiang Liat takut terhadap Bu Pun Su. Tak tahunya pendekar ini mempunyai hati yang keras dan suka sekali menghukum anak muridnya. Ketika ia mengangkat muka, hatinya berdebar ketakutan melihat sinar mata Bu Pun Su yang demikian tajamnya menembus dada memeriksa isi hati.

Benar-benar manusia aneh. Kim Lian bergidik. Belum pernah ia melihat sinar mata yang begitu berpengaruh!

Im Giok segera berkata kepada Bu Pun Su dengan suara memohon, “Susiok-couw, Suci memang bersalah. Mohon Susiok-couw sudi memberikan ampun. Susiok-couw, seorang gadis yang diandalkan hanyalah kebersihan muka dan hati, walau pun hati bersih kalau muka kotor dan bopeng, bukankah itu berarti hancurnya hidup seorang gadis? Karena itu, mohon Susiok-couw menaruh belas kasihan dan sudi mengobatinya.”

“Lebih baik muka bopeng asal hati bersih, dari pada muka cantik hatinya kotor!” kata pula Bu Pun Su, suaranya kini menggeledek, membuat Kim Lian gemetar sambil mendekam di atas tanah.

Im Giok tak berani banyak cakap lagi, hanya melirik ke arah suci-nya dengan hati merasa kasihan. Bu Pun Su melihat semua ini, akan tetapi sebelum sempat ia berkata, pemuda sastrawan yang semenjak tadi sudah sadar dari totokan ringan dan kini menjatuhkan diri berlutut pula, berkata,

“Boanseng Gan Tiauw Ki memohon kepada Lo-enghiong, sudilah menaruh kasihan dan mengobati Li-hiap yang terkena racun. Li-hiap sudah melakukan perbuatan gagah berani, kasihanilah kalau sampai menderita hidupnya. Kalau bisa, biarlah boanseng mengoper racun itu dan biar boanseng menjadi cacat untuk membalas budinya.”

Mendengar permintaan pemuda sastrawan yang bersedia menggantikan hukuman yang menimpa diri Song Kim Lian, Bu Pun Su mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada pemuda itu. Akan tetapi, Gan Tiauw Ki menentang pandang mata ini dengan tabah dan tidak takut-takut, karena memang pemuda ini rela untuk membalas budi Kim Lian.

“Hmm, kau tidak mengecewakan menjadi seorang terpelajar,” kata Bu Pun Su, pandang matanya melunak. “Baiklah, setelah dua orang memintakan ampun, biar aku sembuhkan dia. Kau maju ke sini!” katanya kepada Kim Lian yang maju dengan sikap takut-takut.

Bu Pun Su menggerakkan kedua tangan ke arah pundak dan lengan Kim Lian yang tadi terkena pukulan Ceng-jiu Tok-ong. Terlihat uap putih mengepul dan bergerak menyambar ke arah dua bagian tubuhnya, terutama sekali pada bagian yang terluka oleh racun. Rasa panas hampir tak dapat ditahannya sampai mukanya menjadi merah sekali dan berpeluh.

Bu Pun Su menarik kembali dua tangannya. “Sudah sembuh, sudah sembuh...,” katanya perlahan.

Kim Lian berlutut menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Bu Pun Su justru mengeluarkan kata-kata ancaman, “Sebagai murid Kiang Liat, kau telah mewarisi kepandaian yang pada dasarnya datang dari aku. Oleh karena itu, berhati-hatilah kau menjaga gerak-gerik dan perbuatanmu. Aku sendiri yang akan menghukum anak murid yang menyeleweng!”

Kemudian Bu Pun Su menoleh kepada Gan Tiauw Ki dan bertanya secara tiba-tiba.

“Bukankah surat kaisar untuk Suma-huciang berada di tanganmu?”

Tiauw Ki sebetulnya kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini tidak kelihatan berubah air mukanya, bahkan dengan tabah ia menatap wajah Bu Pun Su.

“Kepada Lo-enghiong yang menjadi susiok-couw dari kedua orang Li-hiap ini, boanseng tentu saja tak berani berbohong. Akan tetapi, mengenai pertanyaan tadi, harap maafkan, boanseng tidak dapat menjawab.”

Kim Lian mengangkat mukanya, memandang dengan kening berkerut. Alangkah kurang ajarnya pemuda itu, pikirnya marah. Kalau saja ia tidak takut kepada Bu Pun Su, tentu ia telah beri hajaran kepada pemuda itu.

Juga Im Giok mengerling ke arah Tiauw Ki dengan pandang mata heran. Akan tetapi, anehnya, Bu Pun Su sendiri tidak menjadi marah, bahkan sebaliknya pendekar sakti ini mengangguk-angguk dengan muka puas.

“Bagus, bagus! Tidak percuma kau menjadi orang kepercayaan Kaisar, Gan-sicu! Tidak usah kau takut-takut dan merasa curiga, kau boleh ketahui bahwa mendiang Menteri Lu Pin adalah kakekku.”

Mendengar ini, Gan Tiauw Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su.

“Mohon Lo-enghiong sudi memaafkan boanseng yang kurang ajar. Memang sebenarnya boanseng yang telah menerima tugas itu dan boanseng betul-betul kagum sekali melihat Lo-enghiong yang begitu waspada. Untuk selanjutnya boanseng yang bodoh hanya dapat mengharapkan petunjuk dari Lo-enghiong.”

“Sesungguhnya, mana aku tahu mengenai urusan ini? Hanya secara kebetulan saja aku mendengar bahwa Kaisar sudah mengirimkan utusan untuk menghubungi Suma-huciang di Tiang-hai. Di antara mereka yang terbunuh oleh tentara Gubernur Lie Kong, hanya kau yang kelihatan paling cerdik dan mempunyai pribadi. Kebetulan pula kau seorang yang selamat, maka aku menduga tentu kau yang menjadi utusan itu.”

“Jadi mereka yang menyerang tadi adalah pasukan dari Gubernur Lie Kong?” pemuda itu bertanya dengan muka kaget.

“Apa kau kira Lie Kong demikian bodoh sehingga tidak tahu akan gerak-gerik Kaisar?” Bu Pun Su tertawa, “Bocah she Gan, hanya satu yang belum kau punyai, yakni pengalaman. Kau tentu tak pernah menyangka bahwa di antara orang-orang yang terlihat setia kepada Kaisar, yang tiap hari dekat dengan Kaisar di istana, terdapat kaki tangan pemberontak!”

Sekarang Gan Tiauw Ki benar-benar terkejut dan mukanya berubah. “Kalau begitu, tugas boanseng masih belum terlepas dari bahaya. Boanseng sendiri tidak takut akan bahaya yang dapat menimpa diri boanseng, akan tetapi surat ini... boanseng mohon petunjuk dari Lo-enghiong...”

“Kau harus dikawal sampai Tiang-hai. Im Giok, sekarang tiba saatnya kau menggunakan kepandaian yang selama ini kau pelajari guna kebaikan. Tugas yang dipegang Gan-siucai ini bukan urusan kecil dan kaulah yang kutugaskan mengawalnya sampai ke Tiang-hai. Aku sendiri yang akan memberi tahukan hal ini kepada ayahmu. Nah, berangkatlah kalian berdua!”

Kiang Im Giok memang takut dan tunduk kepada susiok-couw ini dan pula... tidak dapat disangkal lagi bahwa hatinya berdebar girang tercampur jengah menerima tugas ini. Dia sejak tadi sudah amat tertarik pada pemuda yang tampan ini, dan sekarang ia ditugaskan untuk mengawalnya ke Tiang-hai, berarti dia akan melakukan perjalanan sedikitnya tiga hari bersama pemuda itu!

“Teecu mentaati perintah Susiok-couw,” katanya sambil menundukkan mukanya.

“Berangkatlah dan ingat, bila sampai pemuda ini terbunuh orang, itu masih belum hebat, akan tetapi jagalah baik-baik supaya surat yang berada di saku baju dalamnya jangan sampai dicuri orang!”

“Baik, susiok-couw, teecu akan ingat dan menjaga surat itu baik-baik.”

Im Giok lalu menghampiri kudanya. “Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-siucai.”

Kim Lian tersenyum akan tetapi tak berani mengeluarkan kata-kata sembrono di hadapan Bu Pun Su, maka ia hanya berkata, “Baiklah, Sumoi, memang Gan-siucai habis terluka dan lemah, harus melanjutkan perjalanan naik kuda.”

Gan Tiauw Ki buru-buru berkata, “Tidak usah, Li-hiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai kuda Li-hiap? Habis Li-hiap sendiri mau naik apa? Tidak usahlah, biarkan aku berjalan kaki saja...”

Tentu saja Tiauw Ki merasa amat sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena meski pun gadis itu seorang pendekar gagah, tetapi tetap saja Kim Lian adalah seorang wanita. Mana patut seorang laki-laki mengambil kuda seorang gadis dan membiarkan gadis itu berjalan kaki?

Bu Pun Su yang melihat semua ini lalu berkata, “Gan-siucai, tidak usah sungkan-sungkan dalam saat seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!”

Mendengar ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu kepada Kim Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biar pun gerakannya lemah, namun dapat dilihat bahwa dia sudah biasa menunggang kuda.

Hal ini melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda, nanti bisa repot juga di jalan! Sesudah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu berangkat bersama Tiauw Ki.

Di dalam perjalanan ini, Tiauw Ki secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Dan penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai berikut…..

Semenjak pemberontakan dari perusuh An Lu Shan, Sie Su Beng dan yang lain-lain bisa dihancurkan kemudian ibu kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang, keadaan di seluruh negeri sudah tidak seperti biasa lagi. Kembalinya pasukan-pasukan Tang yang merebut kota raja bukanlah atas kekuatan sendiri, akan tetapi dengan bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari utara dan barat, terutama sekali mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan gagah berani.

Setelah pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di Tiongkok dan tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda dan kekuasaan. Negara menjadi kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di sana sini para pembesar hidup laksana raja kecil. Banyak gubernur dari propinsi-propinsi yang berjauhan dari kota raja, mulai tidak taat lagi kepada Kaisar.

Bahkan lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan sering kali harus menurut apa yang diusulkan oleh para gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi akan tetapi lebih mendekati perintah! Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka, sedangkan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang memiliki pasukan-pasukan kuat.

Betapa pun juga, sampai begitu jauh belum ada pembesar yang secara terang-terangan berani menentang Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini bukan karena memandang kepada Kaisar, akan tetapi kepada Kerajaan Tang sendiri.

Para pembesar dan juga rakyat memang setia terhadap pemerintah Tang dan apa pun juga yang menjadi alasan, mereka ini tak akan membiarkan orang memberontak terhadap pemerintah Tang. Oleh karena itu, Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia untuk dapat berjaga-jaga terhadap pemberontakan yang mungkin timbul.

Gan Tiauw Ki adalah seorang siucai yang baru saja lulus dalam ujian di kota raja. Dia merupakan putera seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi Hok-kian. Semenjak kecilnya dia memang amat rajin belajar. Waktunya sejak kecil sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno hingga akhirnya dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki berangkat ke kota raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun.

Selain pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan cinta negara yang amat besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia mendapat angka tertinggi sehingga pembesar tua yang menjadi ko-khoa (kepala examinator) kagum sekali.

Kemudian, sesudah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat sehingga pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan kepada ko-khoa ini supaya mencarikan seorang kepercayaan yang setia, bersemangat, dan pandai.

Demikianlah, setelah diuji dengan banyak pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi hatinya, Gan Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi para pembesar dan gubernur-gubernur di daerah lain yang masih setia kepada Kaisar. Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk menghubungi gubernur-gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya.

Sekali ini Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma Huciang, seorang berpangkat huciang di kota Tiang-hai. Dan dalam perjalanan ini, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama para pengungsi lain, sudah dihadang dan hampir saja menjadi korban keganasan para tentara pemberontak, yakni tentara di bawah perintah gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar, dan pasukan ini dipimpin oleh Giam-ong-to Kam Kin yang dibantu oleh suhu-nya, yakni Ceng-jiu Tok-ong.

Begitulah penuturan Gan Tiauw Ki pada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tiang-hai. Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di lain pihak, Tiauw Ki juga kagum dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga biar pun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perasaan hati mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran rasa hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan.

Akan tetapi mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing.

*****

Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita menengok keadaan Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara kereng,

“Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepatlah kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke mana-mana!”

Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biar pun dia hanya murid Kiang Liat, namun biasanya dia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi dia dapat berbuat apakah? Bahkan untuk menjawab saja ia tak sempat sebab tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ!

Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri,

“Hebat sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja.”

Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman pada saat kakek itu memandangnya. Sinar mata itu begitu berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tidak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat dia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli silat biasa.

Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguh pun harus ia akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan dia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu sumoi-nya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok.

Kali ini Kim Lian benar-benar heran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couw-nya. Meski pun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su sudah berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah menegurnya,

“Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po yang kau lakukan tadi masih jauh dari sempurna!”

Kim Lian kaget sekali. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya? Memang benar tadi ia menggunakan ilmu lari Yan-cu Hui-po ajaran suhu-nya. Melihat suhu-nya juga bersikap sangat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-couw.”

Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata,

“Ketahuilah, dulu gurumu ini menerima Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang tingkatnya tinggi sekali di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah menjadi cucu muridku, oleh karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid keponakanku. Jadi, selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang, ditambah pula warisan dari aku dan sute-ku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau kuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat.”

“Teecu akan memperhatikan segala petunjuk dari Susiok-couw,” jawab Kim Lian dengan suara perlahan.

“Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu.”

Kim Lian lalu mengundurkan diri. Hatinya ingin sekali mengetahui apakah gerangan yang hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Tetapi tentu saja dia tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, susiok-couw-nya tentu akan mengetahui jika diintai orang.

Maka Kim Lian tak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok.

“Dia untung,” pikirnya, “melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu menyenangkan sekali...“

Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya dia pun tertidur.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

“Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh diharapkan,” kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. “Juga muridmu ini bakatnya amat bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya.”

Sebetulnya, Kiang Liat sama sekali tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan isterinya yang sampai sekarang sering kali terbayang dan seperti hidup di depan matanya. Sudah semenjak lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tak peduli akan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,

“Baiklah, Supek. Akan teecu perhatikan.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini mempunyai penglihatan dan pendengaran yang luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat.

“Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih terus menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tidak dapat kau temukan di dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, justru sakit di hati makin parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri.”

Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar matanya yang mulai panas itu jangan sampai mengeluarkan air.

“Teecu sudah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa.”

Tiba-tiba saja Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biar pun Kiang Liat sudah tahu bahwa supek-nya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan?

“Ha-ha-ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apa lagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, kenapa memilih cara rendah? Mati ngenes adalah kematian yang hina. Kau sudah mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?”

“Teecu tidak punya semangat, tidak punya nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im Giok dan Kim Lian.”

“Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?”

Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di dalam hati Kiang Liat yang sudah hampir kering.

“Tugas apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek.”

“Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik.”

Bu Pun Su lalu menceritakan mengenai keadaan negara. Betapa banyak gubernur yang kini membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing, yakni suku-suku bangsa yang dulu membantu pemerintah mengusir pemberontak An Lu Shan, sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar.

Di mana-mana timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para pembesar saling bermusuhan sebab ada yang pro dan ada yang kontra pemerintah. Demikian pula kedudukan orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi goncang. Mereka terpecah belah karena terpengaruh oleh gubernur-gubernur atau para pemimpin pemberontak di daerah masing-masing.



Dara Baju Merah Jilid 12

ANG I NIOCU

DARA BAJU MERAH

Karya Kho Ping Hoo

JILID 12

PADA suatu pagi yang indah di musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binatang hutan pun nampak bergembira di saat seperti itu.

Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tak takut akan ancaman burung-burung.

Agaknya pada saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram ini dengan pembunuhan terhadap sesama makhluk, walau pun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Atau, apakah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah terlampau kenyang maka mereka tidak mengganggu kelinci dan kupu-kupu?

Mungkin sekali, karena hanya manusia-manusia saja yang masih merasa temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain makhluk tidak ada yang sekejam manusia.

Mendadak terdengar suara tertawa manusia yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang sangat indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.

Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali kenapa mula-mula terdengar suara tawa nyaring baru kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda. Bagaimana suara tawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh? Akan tetapi kalau pendengar tadi adalah seorang ahli silat tinggi, dia akan tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lweekang dan menggunakan ilmu yang disebut Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).

Kemudian terdengarlah suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, “Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kau lihat bunga ini, betapa indahnya...!”

Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing dan berwajah cantik. Sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Dia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang cambuk pendek.

Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah yang sudah masak dan sedap dipandang.

Gadis berbaju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat kembang-kembang warna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk pada tangannya digerakkan, cambuk itu lantas meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya.

Lihai sekali dia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa kembang itu padanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda bahwa lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata,

“Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!”

Kembali cambuk pendeknya bergerak dan pada lain saat setangkai bunga kuning sudah berada di tangan kirinya. Dia memandang dan mencium kedua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga berwarna merah. Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.

“Tarrr...!”

Tiba-tiba selarik sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang lalu terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.

“Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!” kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda bulu putih.

Kalau orang merasa kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini dia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau dia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda.

Cantik jelita sulit menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biar pun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang.

Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi demikian bening dan jelas terisi api kehidupan yang bagaikan tidak pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis luar biasa, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, walau pun dari bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.

Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, akan tetapi sinar matanya sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya sangat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal.

Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.

“Sumoi, kenapa kau mencegah aku memetik bunga?” tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu.

“Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?”

Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, “Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!” Ia tertawa lagi dengan sikap genit.

Dara berbaju merah itu pun tertawa dan menjawab, “Giok Gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!”

Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu lalu melemparkan bunga putih ke arah sumoi-nya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapkannya dengan tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.

“Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.”

“Aku lebih suka yang kuning ini,” dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya.

Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut dengan Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu.

Ada pun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini mempunyai sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu.

Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya. Biar pun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui oleh semua orang, tetapi para pemuda di kota Sian-koan lebih suka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria.

Kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka? Semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi dari pada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri!

Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apa bila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlomba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak.

Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apa lagi karena di dalam pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya!

Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.

Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri serta muridnya hanya apa bila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri.

Pelayan banyak, uang ada, segalanya lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapa pun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.

Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok mau pun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.

Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini pergi meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutan yang indah itu. Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh, kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.

Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.

“Ayah telah berkata benar,” kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, “indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini.”

“Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah ke seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,” kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

“Mengapa tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.”

“Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?” tanya Kim Lian.

“Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku selalu berduka. Dia adalah musuh besarku yang mesti kubunuh!” kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu.

“Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biar pun kepandaianku tidak ada artinya.”

Im Giok menarik napas panjang. “Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih...”

Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak. Juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat.

Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah keduanya berdiam diri, telinga mereka segera menangkap suara yang mencurigakan. Sayup sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda. Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar terlebih dahulu, karena memang telinganya lebih terlatih.

“Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini,” katanya.

Kim Lian memiringkan kepalanya, penuh perhatian. “Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke sana.”

Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlomba, akan tetapi apa bila biasanya mereka berlomba sambil tertawa, kini mereka berlomba dengan kening berkerut dan sikap garang.

Selain berkepandaian silat tinggi, mereka juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya.

Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajar-pelajar lemah.

Keadaan di tempat itu mengerikan sekali. Semua anggota rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut.

Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di sana terdapat seorang pemuda pelajar yang sedang melawan mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguh pun tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguh pun gerakannya menandakan bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, akan tetapi agaknya dia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat dia masih dapat melawan dan melindungi diri.

Akan tetapi tentu saja dia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, karena itu dia dibuat permainan, sengaja tak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan. Ada pula sebagian tentara yang sedang mengumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga.

“Anjing-anjing hina dina!” Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah melayang turun dari kuda.

Bagai seekor harimau betina dia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini. Kim Lian segera merebut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu.

Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadi sedang mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian.

“Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!” Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke sana ke mari, lalu sinar merah ini menerjang mereka yang sedang mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok!

Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah saking kagum dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya untuk melawan dan lemaslah ia, lalu terduduk dengan mata bengong.

Im Giok beserta Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, dia hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti tak akan dapat bangun lagi untuk selamanya!

Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak keras,

“Kam-ciangkun...! Tolonglah kami...”

“Suci, sudahlah jangan mengejar mereka lagi,” Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus.

Kim Lian tidak puas, akan tetapi dia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya. Pada waktu dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan sepuluh lannya terluka.

Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang sudah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup. Tubuhnya penuh darah, akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian.

Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan merasa sakit-sakit.

“Ji-wi-lihiap sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini...” dia menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, “mereka ini... tak tertolong lagi...” Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali.

“Akan tetapi kami masih dapat menolongmu,” kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar.

Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi baru sekarang ia melihat dan ia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik hati.

Juga tadi ia sudah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara itu, ia tidak memikirkan keadaan dirinya sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.

Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Sungguh pun aku sangat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan mala petaka ini...”

Bicara sampai di situ, pemuda itu semakin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu sudah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening, kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan memeluknya!

“Suci...!” Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika dia melihat bagaimana suci-nya memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga... panas!

“Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah...” Kim Lian membela diri sambil tersenyum, lalu secara perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.

Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia cepat meminumkan sedikit arak kepada pemuda yang masih pingsan itu. Kemudian, sesudah memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa rasa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah.

Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya dia melihat sumoi-nya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!

“Sumoi, lihat siapa yang datang itu!” tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri.

Im Giok juga mendengar suara derap kaki yang berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri, tidak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang sudah siuman dan perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.

Yang datang adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang sambil berlari mengiringkan dua orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang.

Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk. Kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi.

Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, jangankan melihat, mendengar pun belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!

“Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka berniat buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai,” kata Im Giok berbisik.

Kim Lian tersenyum mengejek. Biar pun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, akan tetapi dia pernah mendengar cerita Im Giok tentang Golok Maut ini dan dia memandang rendah.

Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjulukan Giam-ong-to Si Golok Maut. Sedangkan kakek yang aneh itu adalah Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi muridnya Thian-te Sam-kauwcu. Ia adalah seorang tokoh barat.

Dahulu ketika dia masih muda memang Ceng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Ceng-jiu Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya hanyalah di sekitar perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Sesudah puluhan tahun dia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua dia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, yaitu Giam-ong-to Kam Kin.

Semenjak masih muda, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia menjadi marah sekali.

Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya, matanya pun bersinar dan mulutnya menyeringai. Apa lagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main.

Selama hidup belum pernah dia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena sedang berada bersama gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata,

“Ahh, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?”

Im Giok melangkah maju kemudian berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. “Bagus sekali! Semenjak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?”

Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Dia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun sudah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun pada waktu berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biar pun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.

“Kiang Im Giok! Kaukah ini?”

“Baru terbuka matamu,” kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.

“Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiok-mu sendiri?” bentak Kam Kin.

Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu.

“Kam Kin, siapakah Nona ini?” Ceng-jiu Tok-ong bertanya dengan suaranya yang seperti burung kakatua.

“Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya.” Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, “Im Giok, andai kata kau tidak menaruh sungkan kepada susiok-mu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap sucouw-mu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouw-mu ini, guru dari Suci Pek Hoa.”

Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab, “Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini.”

Kam Kin menjadi amat marah. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.

“Bocah tidak tahu aturan! Tidak saja kau sudah membunuh banyak anggota tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah bosan hidup!”

“Monyet bercelana, kau berani menghina sumoi-ku?” tiba-tiba saja Kim Lian membentak marah dan dia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. “Mentang-mentang kau berjuluk ‘Si Golok Maut’, lalu hendak menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!”

“Gadis liar kurang ajar!” Kam Kin marah sekali.

“Kau yang kurang ajar!” bentak Kim Lian. “Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihatlah, akan kutampar mulutmu!”

Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak. Kam Kin bingung melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat.

“Plakk!” tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.

“Anjing betina, kubunuh kau!” bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.

“Kutempiling kepalamu, awas!” Kim Lian kembali berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya.

“Plakk!”

Lagi-lagi terdengar suara keras. Topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu.

Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat dia melompat ke belakang, menggeleng-geleng kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya.

Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang sangat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apa lagi sesudah ilmu silat itu diperbaiki oleh nasehat-nasehat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.

Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main.

Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang memiliki bakat yang besar sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, karena itu Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini.

Menghadapi rangsekan golok Kam Kin, gadis ini segera mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang disebut Kong-jiu Sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular, ada pun jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya.

Dalam beberapa kali gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia cepat berlaku hati-hati, maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.

Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, “Monyet tua, pergilah!”

Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat sekali, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan dan menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut!

Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan bergerak secepat itu dan berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian mendadak jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk dapat menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran.

Kam Kin berseru kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk kemudian merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya sudah terlepas! Anak buahnya cepat menolong dan menggotong tubuh komandan mereka ke pinggir.

Kim Lian tertawa-tawa mengejek, “Monyet tua, mana golok mautmu?”

“Bocah sombong, pergilah!”

Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa.

Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot!

Kim Lian mengerahkan lweekang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”

Tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas!

Ternyata bahwa Ceng-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadinya membetot sekarang dia mendorong. Tidak heran apa bila Kim Lian lantas terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong. Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang.

“Kakek bangkotan, kau curang!” bentaknya.

“Suci, mundurlah.” Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya.

Kemudian Im Giok menghadapi Ceng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,

“Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Ceng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang muda sungguh merasa amat heran kenapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang sesudah menjadi komandan membiarkan anak-anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suci-ku sedang bermain-main di hutan ini dan tadi kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?”

“Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi kata-katamu, sebagai seorang bocah kau ternyata memiliki pandangan yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku sendiri. Bagaimana sekarang kau berani sekali bersikap begini kurang ajar kepadaku? Andai kata sekarang juga kau menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?”

“Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena aku telah diculiknya dari orang tuaku, oleh karena itu aku pun tidak mungkin mengakui kau sebagai sucouw.”

“Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas-lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu sudah membunuh banyak anggota tentara, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berbahaya!” tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya.

Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya.

“Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan suci-mu itu menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan,” kata Ceng-jiu Tok-ong kepada Im Giok.

Agaknya dia merasa sungkan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda. Betapa pun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi, karena itu dia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apa lagi wanita pula.

Im Giok mulai panas hatinya. “Ceng-jiu Tok-ong, apa bila kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam Kin, terserah saja. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!” sambil berkata demikian, Im Giok mencabut pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.

Terdengar Ceng-jiu Tok-ong tertawa geli.

“Bocah, kau sungguh-sungguh lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kau mainkan untuk melawanku?”

“Ceng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!” bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan.

Ceng-jiu Tok-ong ialah seorang kakek yang memiliki julukan Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu mempunyai ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apa lagi kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan kepada Pek Hoa?

Akan tetapi, baru pada gerakan pertama saja, Ceng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat dia menggunakan dua ujung lengan baju untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat tak terduga-duga itu. Kakek ini benar-benar heran sekali.

Melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi dari pada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya.

Jurus-jurus berikutnya membuat Ceng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.

“Ayaaa, kau lihai juga...!” kata kakek itu.

Pada jurus ke sepuluh Ceng-jiu Tok-ong sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong. Dia melompat cepat ke kanan dengan ginkang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok maju mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan!

“Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil nyawamu yang masih muda,” berkata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya.

“Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh sumoi-ku!” teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.

Timbul amarah di dalam hati Ceng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu.

“Sumoi-mu ini akan kubunuh lebih dulu, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!” makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia menyerang Im Giok dengan goloknya.

Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar.

“Celaka,” pikirnya, “golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat.”

Ia mencoba menetapkan hatinya dan cepat membalas dengan serangan hebat. Memang segera terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Ceng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah.

Sebaliknya lawannya semakin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya dia mencium bau busuk yang mengandung racun itu!

Meski pun keadaannya semakin berbahaya, Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa penasaran. Memang tak mengherankan jika gadis ini merasa penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lweekang-nya dapat mengimbangi tenaga kakek itu.

Dalam hal ginkang dan kecepatan gerakan tubuh, dia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu semakin memusingkan kepalanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja aku yang tidak berharga, jangan kau ganggu kedua Li-hiap yang budiman itu...!”

Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, tiba-tiba kini menjadi nekat ketika melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan.

Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang terlihat seperti iblis? Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak menyerbu dan menyerang Ceng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu telah roboh terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya.

“Kakek siluman, jangan banyak lagak...!” bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni salah sebuah di antara senjata-senjata para serdadu yang bergeletak di situ.

“Suci, hati-hati...!” Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri. Kenapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa dirinya telah banyak terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya.

Mendengar suara yang aneh dan amat perlahan dari Im Giok, Kim Lian merasa kaget dan mengerling ke arah sumoi-nya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian. Biar pun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya.

Kim Lian yang mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis. Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga dia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya.

Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya dan terus bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah. Juga di pergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, kini telah merah menghitam.

“Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau berhati-hatilah...”

Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah satu-satunya cara yang sudah dia pelajari dari suhu-nya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.

Melihat dan mendengar keadaan suci-nya, Im Giok semakin bingung dan gugup. Baiknya ilmu pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biar pun kini hampir tak berani bernapas dan pandang matanya telah berkunang-kunang, akan tetapi pedangnya secara otomatis masih sanggup melindungi tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang kala masih dapat membalas dengan serangan yang bukan tak berbahaya bagi Ceng-jiu Tok-ong.

“Lihai sekali... mengagumkan...!”

Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa sedikit pun mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Tokoh ini masih malu untuk menggunakan seluruh kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah.

Setelah Im Giok terdesak betul-betul, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus, “Ceng-jiu Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?”

Mendadak tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena dia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan.

Pada saat membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang bukan main, lalu meletakkan pedang di atas tanah dan bersila meramkan mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi sudah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Ceng-jiu Tok-ong!

Sementara itu, Ceng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian dia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya.

Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan pada pinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya, Ceng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw. Oleh karena ia sendiri telah sangat lama meninggalkan kang-ouw, maka dia tidak berani berlaku sembrono dan berkata membela diri,

“Engkau siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengakui dia sebagai cucu muridmu?”

Orang itu tersenyum tenang. “Raja Racun, dalam pengakuanmu tadi ada dua kesalahan. Kau mengakui gadis ini sebagai cucu muridmu karena kau anggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau mimpi, Ceng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andai kata benar dia pernah menjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat agaknya sudah jauh melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau malah makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, lalu membela orang-orang sesat dan begitu keluar kau bahkan sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat...!”

Ceng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapa pun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau para tokoh lainnya dia tidak takut!

Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang yang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,

“Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!”

Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak berlari anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi!

Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su. Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.

“Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!” kata Bu Pun Su sambil menyampok dengan tangannya.

Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su!

Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,

“Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!” Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya bergerak.

Tangan kirinya menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apa lagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak terlihat oleh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan menotok ke arah iga lawannya.

Ceng-jiu Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai seorang tokoh persilatan yang sudah mempunyai ilmu silat tinggi, tahulah ia bahwa jalan darahnya telah terkena totokan lawan dan ia telah mendapat luka di dalam, biar pun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa kini ia menemui guru dalam ilmu silat!

Tanpa banyak cing-cong lagi Ceng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, segera berlari terpincang-pincang menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia harus berlari terpincang-pincang.

Terdengar suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis yang masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa cekikikan, telunjuk menunjuk ke arah Ceng-jiu Tok-ong yang lari terpincang-pincang.

“Monyet bangkotan itu lucu sekali larinya...!” kata Kim Lian.

Gadis itu tadi membuka matanya dan menyaksikan pertandingan hebat antara Ceng-jiu Tok-ong dengan Bu Pun Su. Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang terhitung masih susiok-couw-nya sendiri.

Tadinya melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu Pun Su ia pun merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su itu orangnya tentu sangat dahsyat dan menyeramkan sekali. Akan tetapi siapa nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya hanya sedemikian saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa takutnya dan gadis ini saking girangnya melihat Ceng-jiu Tok-ong kalah, lalu tertawa-tawa.

“He, kau! Tahan lidahmu yang jahat!” Bu Pun Su menegur marah.

“Suciok-couw, kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tak boleh bergirang?” Kim Lian membantah. Dia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan tenang, membayangkan watak yang sabar sekali, maka ia tidak takut.

“Suci, jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!” Tiba-tiba Im Giok menegur suci-nya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk. Diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula sambil matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis.

“Hm, bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?” katanya di dalam hati. Kemudian katanya dengan suara rendah,

“Hm, ini suci-mu? Jadi ayahmu mempunyai murid? Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka pada pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah) dari Tok-ong, siapa terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik merah akhirnya menjadi bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat tapi masih menertawakan orang lain, sungguh tak tahu diri...”

Alangkah kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini.

“Susiok-couw, tolonglah teecu...,” ratapnya kemudian sambil membentur-benturkan jidat di atas tanah.

“Aku hanya akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu...”

Kim Lian menjerit dan menangis sedih. “Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah tak usah diobati, biar teecu mati saja dari pada harus menderita, bopeng seluruh tubuh... alangkah ngerinya...”

“Hanya kalau mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah,” kata Bu Pun Su yang dengan suara dingin. “Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh-sungguh memalukan aku yang menjadi susiok-couw!”

Kini baru tahulah Kim Lian mengapa Im Giok dan Kiang Liat takut terhadap Bu Pun Su. Tak tahunya pendekar ini mempunyai hati yang keras dan suka sekali menghukum anak muridnya. Ketika ia mengangkat muka, hatinya berdebar ketakutan melihat sinar mata Bu Pun Su yang demikian tajamnya menembus dada memeriksa isi hati.

Benar-benar manusia aneh. Kim Lian bergidik. Belum pernah ia melihat sinar mata yang begitu berpengaruh!

Im Giok segera berkata kepada Bu Pun Su dengan suara memohon, “Susiok-couw, Suci memang bersalah. Mohon Susiok-couw sudi memberikan ampun. Susiok-couw, seorang gadis yang diandalkan hanyalah kebersihan muka dan hati, walau pun hati bersih kalau muka kotor dan bopeng, bukankah itu berarti hancurnya hidup seorang gadis? Karena itu, mohon Susiok-couw menaruh belas kasihan dan sudi mengobatinya.”

“Lebih baik muka bopeng asal hati bersih, dari pada muka cantik hatinya kotor!” kata pula Bu Pun Su, suaranya kini menggeledek, membuat Kim Lian gemetar sambil mendekam di atas tanah.

Im Giok tak berani banyak cakap lagi, hanya melirik ke arah suci-nya dengan hati merasa kasihan. Bu Pun Su melihat semua ini, akan tetapi sebelum sempat ia berkata, pemuda sastrawan yang semenjak tadi sudah sadar dari totokan ringan dan kini menjatuhkan diri berlutut pula, berkata,

“Boanseng Gan Tiauw Ki memohon kepada Lo-enghiong, sudilah menaruh kasihan dan mengobati Li-hiap yang terkena racun. Li-hiap sudah melakukan perbuatan gagah berani, kasihanilah kalau sampai menderita hidupnya. Kalau bisa, biarlah boanseng mengoper racun itu dan biar boanseng menjadi cacat untuk membalas budinya.”

Mendengar permintaan pemuda sastrawan yang bersedia menggantikan hukuman yang menimpa diri Song Kim Lian, Bu Pun Su mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada pemuda itu. Akan tetapi, Gan Tiauw Ki menentang pandang mata ini dengan tabah dan tidak takut-takut, karena memang pemuda ini rela untuk membalas budi Kim Lian.

“Hmm, kau tidak mengecewakan menjadi seorang terpelajar,” kata Bu Pun Su, pandang matanya melunak. “Baiklah, setelah dua orang memintakan ampun, biar aku sembuhkan dia. Kau maju ke sini!” katanya kepada Kim Lian yang maju dengan sikap takut-takut.

Bu Pun Su menggerakkan kedua tangan ke arah pundak dan lengan Kim Lian yang tadi terkena pukulan Ceng-jiu Tok-ong. Terlihat uap putih mengepul dan bergerak menyambar ke arah dua bagian tubuhnya, terutama sekali pada bagian yang terluka oleh racun. Rasa panas hampir tak dapat ditahannya sampai mukanya menjadi merah sekali dan berpeluh.

Bu Pun Su menarik kembali dua tangannya. “Sudah sembuh, sudah sembuh...,” katanya perlahan.

Kim Lian berlutut menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Bu Pun Su justru mengeluarkan kata-kata ancaman, “Sebagai murid Kiang Liat, kau telah mewarisi kepandaian yang pada dasarnya datang dari aku. Oleh karena itu, berhati-hatilah kau menjaga gerak-gerik dan perbuatanmu. Aku sendiri yang akan menghukum anak murid yang menyeleweng!”

Kemudian Bu Pun Su menoleh kepada Gan Tiauw Ki dan bertanya secara tiba-tiba.

“Bukankah surat kaisar untuk Suma-huciang berada di tanganmu?”

Tiauw Ki sebetulnya kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini tidak kelihatan berubah air mukanya, bahkan dengan tabah ia menatap wajah Bu Pun Su.

“Kepada Lo-enghiong yang menjadi susiok-couw dari kedua orang Li-hiap ini, boanseng tentu saja tak berani berbohong. Akan tetapi, mengenai pertanyaan tadi, harap maafkan, boanseng tidak dapat menjawab.”

Kim Lian mengangkat mukanya, memandang dengan kening berkerut. Alangkah kurang ajarnya pemuda itu, pikirnya marah. Kalau saja ia tidak takut kepada Bu Pun Su, tentu ia telah beri hajaran kepada pemuda itu.

Juga Im Giok mengerling ke arah Tiauw Ki dengan pandang mata heran. Akan tetapi, anehnya, Bu Pun Su sendiri tidak menjadi marah, bahkan sebaliknya pendekar sakti ini mengangguk-angguk dengan muka puas.

“Bagus, bagus! Tidak percuma kau menjadi orang kepercayaan Kaisar, Gan-sicu! Tidak usah kau takut-takut dan merasa curiga, kau boleh ketahui bahwa mendiang Menteri Lu Pin adalah kakekku.”

Mendengar ini, Gan Tiauw Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su.

“Mohon Lo-enghiong sudi memaafkan boanseng yang kurang ajar. Memang sebenarnya boanseng yang telah menerima tugas itu dan boanseng betul-betul kagum sekali melihat Lo-enghiong yang begitu waspada. Untuk selanjutnya boanseng yang bodoh hanya dapat mengharapkan petunjuk dari Lo-enghiong.”

“Sesungguhnya, mana aku tahu mengenai urusan ini? Hanya secara kebetulan saja aku mendengar bahwa Kaisar sudah mengirimkan utusan untuk menghubungi Suma-huciang di Tiang-hai. Di antara mereka yang terbunuh oleh tentara Gubernur Lie Kong, hanya kau yang kelihatan paling cerdik dan mempunyai pribadi. Kebetulan pula kau seorang yang selamat, maka aku menduga tentu kau yang menjadi utusan itu.”

“Jadi mereka yang menyerang tadi adalah pasukan dari Gubernur Lie Kong?” pemuda itu bertanya dengan muka kaget.

“Apa kau kira Lie Kong demikian bodoh sehingga tidak tahu akan gerak-gerik Kaisar?” Bu Pun Su tertawa, “Bocah she Gan, hanya satu yang belum kau punyai, yakni pengalaman. Kau tentu tak pernah menyangka bahwa di antara orang-orang yang terlihat setia kepada Kaisar, yang tiap hari dekat dengan Kaisar di istana, terdapat kaki tangan pemberontak!”

Sekarang Gan Tiauw Ki benar-benar terkejut dan mukanya berubah. “Kalau begitu, tugas boanseng masih belum terlepas dari bahaya. Boanseng sendiri tidak takut akan bahaya yang dapat menimpa diri boanseng, akan tetapi surat ini... boanseng mohon petunjuk dari Lo-enghiong...”

“Kau harus dikawal sampai Tiang-hai. Im Giok, sekarang tiba saatnya kau menggunakan kepandaian yang selama ini kau pelajari guna kebaikan. Tugas yang dipegang Gan-siucai ini bukan urusan kecil dan kaulah yang kutugaskan mengawalnya sampai ke Tiang-hai. Aku sendiri yang akan memberi tahukan hal ini kepada ayahmu. Nah, berangkatlah kalian berdua!”

Kiang Im Giok memang takut dan tunduk kepada susiok-couw ini dan pula... tidak dapat disangkal lagi bahwa hatinya berdebar girang tercampur jengah menerima tugas ini. Dia sejak tadi sudah amat tertarik pada pemuda yang tampan ini, dan sekarang ia ditugaskan untuk mengawalnya ke Tiang-hai, berarti dia akan melakukan perjalanan sedikitnya tiga hari bersama pemuda itu!

“Teecu mentaati perintah Susiok-couw,” katanya sambil menundukkan mukanya.

“Berangkatlah dan ingat, bila sampai pemuda ini terbunuh orang, itu masih belum hebat, akan tetapi jagalah baik-baik supaya surat yang berada di saku baju dalamnya jangan sampai dicuri orang!”

“Baik, susiok-couw, teecu akan ingat dan menjaga surat itu baik-baik.”

Im Giok lalu menghampiri kudanya. “Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-siucai.”

Kim Lian tersenyum akan tetapi tak berani mengeluarkan kata-kata sembrono di hadapan Bu Pun Su, maka ia hanya berkata, “Baiklah, Sumoi, memang Gan-siucai habis terluka dan lemah, harus melanjutkan perjalanan naik kuda.”

Gan Tiauw Ki buru-buru berkata, “Tidak usah, Li-hiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai kuda Li-hiap? Habis Li-hiap sendiri mau naik apa? Tidak usahlah, biarkan aku berjalan kaki saja...”

Tentu saja Tiauw Ki merasa amat sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena meski pun gadis itu seorang pendekar gagah, tetapi tetap saja Kim Lian adalah seorang wanita. Mana patut seorang laki-laki mengambil kuda seorang gadis dan membiarkan gadis itu berjalan kaki?

Bu Pun Su yang melihat semua ini lalu berkata, “Gan-siucai, tidak usah sungkan-sungkan dalam saat seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!”

Mendengar ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu kepada Kim Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biar pun gerakannya lemah, namun dapat dilihat bahwa dia sudah biasa menunggang kuda.

Hal ini melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda, nanti bisa repot juga di jalan! Sesudah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu berangkat bersama Tiauw Ki.

Di dalam perjalanan ini, Tiauw Ki secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Dan penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai berikut…..

Semenjak pemberontakan dari perusuh An Lu Shan, Sie Su Beng dan yang lain-lain bisa dihancurkan kemudian ibu kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang, keadaan di seluruh negeri sudah tidak seperti biasa lagi. Kembalinya pasukan-pasukan Tang yang merebut kota raja bukanlah atas kekuatan sendiri, akan tetapi dengan bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari utara dan barat, terutama sekali mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan gagah berani.

Setelah pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di Tiongkok dan tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda dan kekuasaan. Negara menjadi kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di sana sini para pembesar hidup laksana raja kecil. Banyak gubernur dari propinsi-propinsi yang berjauhan dari kota raja, mulai tidak taat lagi kepada Kaisar.

Bahkan lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan sering kali harus menurut apa yang diusulkan oleh para gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi akan tetapi lebih mendekati perintah! Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka, sedangkan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang memiliki pasukan-pasukan kuat.

Betapa pun juga, sampai begitu jauh belum ada pembesar yang secara terang-terangan berani menentang Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini bukan karena memandang kepada Kaisar, akan tetapi kepada Kerajaan Tang sendiri.

Para pembesar dan juga rakyat memang setia terhadap pemerintah Tang dan apa pun juga yang menjadi alasan, mereka ini tak akan membiarkan orang memberontak terhadap pemerintah Tang. Oleh karena itu, Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia untuk dapat berjaga-jaga terhadap pemberontakan yang mungkin timbul.

Gan Tiauw Ki adalah seorang siucai yang baru saja lulus dalam ujian di kota raja. Dia merupakan putera seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi Hok-kian. Semenjak kecilnya dia memang amat rajin belajar. Waktunya sejak kecil sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno hingga akhirnya dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki berangkat ke kota raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun.

Selain pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan cinta negara yang amat besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia mendapat angka tertinggi sehingga pembesar tua yang menjadi ko-khoa (kepala examinator) kagum sekali.

Kemudian, sesudah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat sehingga pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan kepada ko-khoa ini supaya mencarikan seorang kepercayaan yang setia, bersemangat, dan pandai.

Demikianlah, setelah diuji dengan banyak pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi hatinya, Gan Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi para pembesar dan gubernur-gubernur di daerah lain yang masih setia kepada Kaisar. Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk menghubungi gubernur-gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya.

Sekali ini Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma Huciang, seorang berpangkat huciang di kota Tiang-hai. Dan dalam perjalanan ini, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama para pengungsi lain, sudah dihadang dan hampir saja menjadi korban keganasan para tentara pemberontak, yakni tentara di bawah perintah gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar, dan pasukan ini dipimpin oleh Giam-ong-to Kam Kin yang dibantu oleh suhu-nya, yakni Ceng-jiu Tok-ong.

Begitulah penuturan Gan Tiauw Ki pada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tiang-hai. Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di lain pihak, Tiauw Ki juga kagum dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga biar pun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perasaan hati mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran rasa hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan.

Akan tetapi mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing.

*****

Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita menengok keadaan Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara kereng,

“Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepatlah kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke mana-mana!”

Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biar pun dia hanya murid Kiang Liat, namun biasanya dia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi dia dapat berbuat apakah? Bahkan untuk menjawab saja ia tak sempat sebab tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ!

Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri,

“Hebat sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja.”

Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman pada saat kakek itu memandangnya. Sinar mata itu begitu berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tidak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat dia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli silat biasa.

Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguh pun harus ia akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan dia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu sumoi-nya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok.

Kali ini Kim Lian benar-benar heran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couw-nya. Meski pun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su sudah berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah menegurnya,

“Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po yang kau lakukan tadi masih jauh dari sempurna!”

Kim Lian kaget sekali. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya? Memang benar tadi ia menggunakan ilmu lari Yan-cu Hui-po ajaran suhu-nya. Melihat suhu-nya juga bersikap sangat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-couw.”

Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata,

“Ketahuilah, dulu gurumu ini menerima Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang tingkatnya tinggi sekali di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah menjadi cucu muridku, oleh karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid keponakanku. Jadi, selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang, ditambah pula warisan dari aku dan sute-ku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau kuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat.”

“Teecu akan memperhatikan segala petunjuk dari Susiok-couw,” jawab Kim Lian dengan suara perlahan.

“Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu.”

Kim Lian lalu mengundurkan diri. Hatinya ingin sekali mengetahui apakah gerangan yang hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Tetapi tentu saja dia tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, susiok-couw-nya tentu akan mengetahui jika diintai orang.

Maka Kim Lian tak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok.

“Dia untung,” pikirnya, “melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu menyenangkan sekali...“

Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya dia pun tertidur.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

“Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh diharapkan,” kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. “Juga muridmu ini bakatnya amat bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya.”

Sebetulnya, Kiang Liat sama sekali tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan isterinya yang sampai sekarang sering kali terbayang dan seperti hidup di depan matanya. Sudah semenjak lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tak peduli akan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,

“Baiklah, Supek. Akan teecu perhatikan.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini mempunyai penglihatan dan pendengaran yang luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat.

“Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih terus menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tidak dapat kau temukan di dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, justru sakit di hati makin parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri.”

Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar matanya yang mulai panas itu jangan sampai mengeluarkan air.

“Teecu sudah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa.”

Tiba-tiba saja Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biar pun Kiang Liat sudah tahu bahwa supek-nya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan?

“Ha-ha-ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apa lagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, kenapa memilih cara rendah? Mati ngenes adalah kematian yang hina. Kau sudah mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?”

“Teecu tidak punya semangat, tidak punya nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im Giok dan Kim Lian.”

“Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?”

Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di dalam hati Kiang Liat yang sudah hampir kering.

“Tugas apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek.”

“Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik.”

Bu Pun Su lalu menceritakan mengenai keadaan negara. Betapa banyak gubernur yang kini membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing, yakni suku-suku bangsa yang dulu membantu pemerintah mengusir pemberontak An Lu Shan, sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar.

Di mana-mana timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para pembesar saling bermusuhan sebab ada yang pro dan ada yang kontra pemerintah. Demikian pula kedudukan orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi goncang. Mereka terpecah belah karena terpengaruh oleh gubernur-gubernur atau para pemimpin pemberontak di daerah masing-masing.