SANG PENAKLUK
SATU
MALAM ini bulan bersinar penuh. Langit cerah tanpa sedikit pun awan menggantung. Bintang-bintang gemerlapan, menambah keindahan angkasa raya. sepertinya keindahan malam ini tidak dinikmati seluruh penduduk Desa Semanding. Pintu dan jendela rumah mereka tertutup rapat, tak ada seorang pun yang terlihat di luar. Hanya binatang-binatang malam saja yang mereguk keindahan malam.Namun di sebuah rumah yang terletak agak menyendiri dari rumah-rumah lain, terlihat sepasang suami istri yang telah berumur tengah duduk-duduk beranda. Mereka hidup tanpa pernah mengecap indahnya menimang anak dan merdunya suara tangisan seorang bayi. Hingga usia menggerogoti, tak seorang anak pun menghiasi kehidupan mereka.
"Sepi sekali ya, Nyi...?" gumam lelaki tua yang duduk bersandar pada tiang rumahnya.
Laki-laki itu sering dipanggil orang Ki Jepun. Sedangkan istrinya yang tengah menikmati kinang sirih, hanya diam saja memandang cahaya rembulan. Sesekali disemburkan ludahnya yang berwarna merah ke dalam cawan kuningan. Sementara Ki Jepun tentu menikmati asap daun tembakau.
"Sepi atau ramai bagiku sama saja, Ki," Dengus Nyi Jepun tak peduli.
"Yaaah.... Seakan-akan kesunyian telah menyatu dalam kehidupan kita," desah Ki Jepun pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Bikin saja keributan biar ramai, Ki," Celetuk Nyi Jepun seenaknya.
Ki Jepun terbatuk mendengar olok-olok istrinya. Sedangkan Nyi Jepun tertawa terkikik. Meskipun sudah berusia lanjut, namun kemesraan selalu menyemaraki kehidupan mereka. Tak ada waktu bagi mereka untuk berbicara serius. Kalau tidak Nyi Jepun yang memulai, tentu Ki Jepun yang mendahului dengan gurauan.
Pasangan suami-istri tua itu tiba-tiba terdiam ketika mendengar langkah kaki kuda dari kejauhan. Sesaat mereka saling pandang. Di malam sunyi seperti ini, suara sekecil apa pun akan terdengar jelas. Dan suara langkah kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Ki Jepun mengarahkan pandangannya ke ujung jalan, tempat suara kaki kuda itu berasal.
"Siapa malam-malam begini berkuda, ya..?" gumam Ki Jepun seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Aaah.... Barangkali orang kesasar, Ki," sahut istrinya tidak peduli.
Ki Jepun terus mengamati ke ujung jalan. Dari balik kabut tampak seekor kuda berjalan pelahan melintasi jalan desa yang tidak begitu besar dan berdebu dipenuhi kerikil. Suara langkah kaki kuda itu semakin jelas terdengar.
Ki Jepun berusaha memperjelas penglihatannya dalam kegelapan. Namun mata tuanya memang terlalu sukar melihat dalam jarak yang cukup jauh. Rasanya tak mungkin Ki Jepun mengenali penunggang kuda itu.
"Ada apa, Ki...?" tanya Nyi Jepun melihat suaminya terus memperhatikan penunggang kuda itu.
"Kelihatannya dia mencari sesuatu, Nyi," sahut Ki Jepun.
“Paling juga mencari penginapan. Biar saja, Ki. Kalau dia mau menginap di sini, bisa menempati kamar belakang. Lumayan kan, Ki...," ujar Nyi Jepun ringan.
Ki Jepun diam saja, dan terus saja memperhatikan penunggang kuda itu. Semakin dekat, semakin jelas kalau penunggang kuda coklat tua itu seorang wanita muda berwajah cukup cantik mengenakan baju biru gelap. Kepalanya tertutup caping cukup lebar, sehingga hampir menyembunyikan sebagian wajahnya.
Penunggang kuda itu berhenti tepat di depan rumah Ki Jepun. Sebentar diperhatikannya pasangan suami istri tua itu, penunggang kuda itu kemudian turun dari punggung kudanya. Setelah menambatkan kudanya di pagar bambu, dilangkahkan kakinya menghampiri beranda, ke arah Ki Jepun dan istrinya duduk.
"Malam, Ki...," sapa orang itu dengan suara ramah, sopan, dan lembut sekali.
"Oh, malam...," sahut Ki Jepun.
"Ada yang bisa kami bantu?"
"Aku mencari tempat penginapan, Ki. Tapi tampaknya desa ini tidak ada rumah penginapan," sahut wanita itu tetap bersuara lembut.
Dibukanya caping bambu yang dikenakannya. Semakin jelas terlihat raut wajah yang cantik berkeringat. Bukan hanya Ki Jepun yang terpana, bahkan istrinya sampai terlongong melihat kecantikan wanita ini. Mereka seperti tengah berhadapan dengan seorang dewi yang baru turun dari kahyangan! Begitu cantiknya bagai tak memiliki cacat sedikit pun.
"Maaf, Ki. Di manakah kiranya aku bisa menemukan tempat untuk bermalam?" ujar wanita itu masih dengan suara yang halus lembut.
"Oh...!" Ki Jepun tersentak, bagai baru terbangun dari mimpi indah.
Laki-laki tua renta itu memandang istrinya. Nyi Jepun bergegas bangkit dan menghampiri wanita cantik itu.
"Ni sanak bisa tinggal di sini. Desa ini memang tidak ada rumah penginapan,” jelas Nyi Jepun ramah.
"Terima kasih, Nyi," sahut wanita itu diiringi senyum menawan.
"Mari masuk, biar kudamu Ki Jepun yang mengurus," ajak Nyi Jepun.
"Ah, biar saja kudaku di Sana. Jangan terlalu merepotkan, Nyi."
“Tidak apa-apa. Masuklah."
Wanita muda berwajah cantik bagai bidadari itu melangkah masuk mengikuti Nyi Jepun. Sedangkan Ki Jepun hanya memandanginya saja sampai lenyap di balik pintu. Kepala laki-laki tua itu menggeleng-geleng beberapa kali, kemudian bergegas menghampiri kuda tamunya, dan membawanya ke belakang. Sementara malam terus beranjak semakin larut Udara dingin terasa, saat kabut semakin menebal. Kesunyian semakin terasa menyelimuti seluruh Desa Semanding.
********************
Kehadiran wanita muda yang mengaku bernama Dewayani di rumah Ki Jepun, membuat suasana rumah itu jauh berbeda. Bahkan Ki Jepun sudah mengakui Dewayani sebagai keponakannya yang datang dari jauh. Setiap orang yang menanyakan tentang gadis itu, selalu dijawab begitu. Semula Nyi Jepun tidak menyukai suaminya mengakui wanita itu sebagai keponakan, tapi akhirnya diam saja. Bahkan kini ikut senang.
Kini mereka menumpahkan kasih sayang pada gadis itu. Segala kerinduannya terhadap seorang anak kandung seperti tertumpah semua terhadap Dewayani. Sudah lebih satu pekan Dewayani tinggal di rumah pasangan tua itu. Dan kelihatannya gadis itu juga menyukai, terlebih lagi pasangan tua itu selalu memperhatikan dan menyayanginya seperti anak sendiri. Namun kehadiran Dewayani juga membuat Ki Jepun jadi pusing. Pemuda-pemuda desa mulai berkasak-kusuk ingin mendekati gadis cantik itu. Hal ini membuat laki-laki tua itu jadi kewalahan menghadapinya.
"Ki, ajak-ajaklah keponakanmu main ke rumah," kata seorang tetangganya ketika Ki Jepun baru saja pulang dari ladang.
"Nantilah jika sempat," sahut Ki Jepun ramah.
Sapaan seperti itu memang sering diterimanya sejak kedatangan Dewayani. Dan Ki Jepun masih menyambut baik, meskipun tidak pernah mengajak Dewayani pergi bertandang ke rumah-rumah tetangganya. Bahkan sapaan-sapaan yang bernada berani sering juga didapat. Terutama dari kalangan anak-anak muda. Namun Ki Jepun hanya menanggapinya dengan senyum, walaupun hatinya menggerutu dongkol.
"Kopinya, Ki..."
"Oh...!" Ki Jepun tersentak. Seketika lamunannya buyar. Laki-laki tua itu tersenyum melihat Dewayani membawa segelas kopi yang masih mengepulkan asap. Diletakkan kopi di atas meja, kemudian gadis itu duduk di balai-balai bambu di depan Ki Jepun. Sedangkan laki-laki tua itu hanya memandangi saja.
"Ada apa, Ki?" tegur Dewayani lembut.
"Sudah lebih dari satu pekan kau tinggal di sini, Yani," desah Ki Jepun.
"Apakah aku selalu merepotkanmu, Ki?"
"Tidak. Bahkan aku senang kau berada di sini. Tapi..."
"Tapi, kenapa?"
"Mereka...," desah Ki Jepun pelan.
Dewayani tersenyum. Sudah bisa ditebak, apa yang hendak diutarakan laki-laki tua itu. Gadis itu memang sering digoda pemuda-pemuda iseng. Bahkan yang kurang ajar pun sering didapatkan. Kehadirannya di desa ini memang sudah membuat suatu perubahan besar, terutama buat kalangan anak-anak muda. Sebaliknya tidak jarang didapatkan cibiran sinis dari para gadis yang merasa tersaing.
"Biarkan saja mereka, Ki. Toh aku tidak lama berada di sini. Jika Aki kehendaki, sekarang juga aku bisa pergi," tegas Dewayani tetap lembut.
"Tidak, Yani. Aku senang kau berada di sini. Bahkan istriku juga menyayangimu. Kedatanganmu ke sini telah merubah kehidupan kami. Semua orang di desa ini jadi memperhatikan aku, yang sebelumnya tidak pernah kudapatkan. Hampir setiap saat sekarang mereka menyapa dan menghormatiku. Padahal sebelumnya tak ada seorang pun yang suka bertegur sapa denganku,” nada suara Ki Jepun seperti mengeluh menumpahkan isi hatinya.
"Aku tidak menyangka akan seperti itu jadinya, Ki," ujar Dewayani.
"Biarkan saja mulut orang. Toh, nanti berhenti sendiri!" tiba-tiba Nyi Jepun muncul.
Perempuan tua itu langsung menempatkan diri di samping Dewayani. Diambilnya kotak sirih, dan mulailah diracik ramuan sirih, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Seperti seekor sapi yang sedang memamah biak, mulutnya tidak berhenti bergerak mengunyah sirih.
"Yang penting sekarang, kau adalah anak kami. Aku tidak peduli sikap seluruh warga desa ini. Kalau ada maunya saja mereka ramah, tapi kalau tidak...? Bertemu muka pun mereka enggan!" Agak jengkel nada suara Nyi Jepun.
"Memangnya kenapa, Nyi?" Tanya Dewayani.
"Mereka menganggap kami ini pembawa bencana, sehingga Hyang Widi tidak memberiku anak!" Dengus Nyi Jepun.
"Jangan berkata seperti itu, Nyi..." selak Ki Jepun.
"Biar saja! Untuk apa ditutup-tutupi? Memang kenyataannya begitu, kok!" Rungut Nyi Jepun.
Dewayani memandangi Nyi Jepun dan suaminya bergantian. Kening gadis itu sedikit berkerut mendengar keluhan yang baru kali ini didengarnya. Sejak berada di rumah ini, Dewayani selalu melihat Nyi Jepun, perempuan tua periang dan senang bergurau. Tapi pagi ini sungguh lain, seakan-akan apa yang sudah lama terpendam dalam hatinya tertumpah.
Sedangkan Ki Jepun hanya diam tidak berkata apa-apa. Laki-laki tua itu mengarahkan pandangannya ke jalan. Setelah menghirup habis kopinya, kemudian laki-laki tua itu bangkit berdiri dan mengambil cangkul. Ki Jepun mengenakan caping bambu. Sebentar wajahnya menoleh pada Dewayani dan istrinya.
"Aku pulang siang nanti, tidak perlu bawa makanan ke ladang," pesan Ki Jepun.
"Iya, lihat ladang sana. Nanti pepaya kita ada yang mencuri lagi!" Rungut istrinya.
Ki Jepun melangkah ke luar memanggul cangkul. Dewayani memandangi punggung laki-laki tua itu sampai lenyap dari pandangannya. Kemudian dialihkan tatapannya pada perempuan tua di sampingnya. Sedangkan Nyi Jepun masih asyik mengunyah sirih.
"Suamiku itu orangnya memang lemah. Padahal dulu waktu muda gagah, dan semua orang menyeganinya," jelas Nyi Jepun.
Dewayani hanya diam saja mendengarkan.
"Dulu tidak ada orang yang berbuat macam-macam. Tapi sekarang.... Setelah kami tua renta dan tidak punya daya lagi, tak ada seorang pun yang memandang lagi. Hidup ini memang memuakkan, Yani. Mumpung masih muda cantik, aku hanya berpesan agar kau jangan mudah terpancing omongan manis laki-laki. Demikian pula pada gadis-gadis yang pasti tidak akan menyukai keberadaanmu di sini," sambung Nyi Jepun lagi.
"Ah! Aku belum berpikir ke situ, Nyi," ujar Dewayani.
"Bagus kalau begitu. Asal tahu saja, jangan sampai terpikat pada anak-anak muda di sini."
"Kenapa?"
"Mereka cuma melihat kecantikan dirimu saja. Kalau kau sudah tidak cantik lagi, dengan seenaknya mereka akan mendepakmu, lalu mencari wanita lain yang lebih cantik dan segar."
"Ah masa begitu ah, Nyi?"
"Aku ini orang asli di sini, Yani. Jadi, tahu betul perbuatan orang-orang di sini."
"Tapi, Ki Jepun kan setia."
"Suamiku itu bukan orang sini. Tadinya seorang pengembara, lalu terpikat padaku dan menetap di sini. Dulu aku ini kembang desa yang selalu menjadi rebutan, Yani"
Dewayani memandangi wanita itu dalam-dalam. Memang, meskipun sudah berusia lanjut, tapi masih terlihat garis-garis kecantikan pada wajahnya. Gadis itu juga pernah mendengar cerita kalau dulu Nyi Jepun adalah Kembang Desa Semanding. Dan yang beruntung menyuntingnya adalah Ki Jepun, hingga mereka hidup rukun sampai tua renta seperti ini
"Ki Jepun dulunya seorang pendekar ya, Nyi?" Tanya Dewayani iseng.
"Benar," sahut Nyi Jepun. Ada nada bangga pada suaranya. "Pantas saja bisa menyunting bunga desa...," olok Dewayani.
"Kau ini ada-ada saja, Yani," Nyi Jepun tersipu.
"Tapi benar kan, Nyi?"
"Aku memang tidak bisa menyangkal. Waktu menikah dengannya, banyak cobaan datang. Terutama dari laki-laki yang merasa kecewa. Mereka jadi tidak menyukai suamiku. Tapi suamiku memang laki-laki hebat Semuanya bisa diatasi. Bahkan mereka yang membenci jadi takut, tidak berani lagi mencari gara-gara.
"Wah! Hebat..!" puji Dewayani.
"Ah, sudahlah. Jadi melantur. Pekerjaanku masih banyak di belakang!" ujar Nyi Jepun seraya bangkit dari balai-balai bambu itu.
********************
Dewayani duduk mencangkung di pinggir sungai. Batu yang didudukinya menjorok masuk ke sungai sehingga sebagian kakinya terendam di dalam air Jernih yang mengalir tenang. Gadis itu mendongakkan kepalanya ketika mendengar langkah kaki dari belakang dan sedikit pun tidak menoleh. Suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar menghampiri, kemudian berhenti.
"Rupanya kau berada di sini, Dewayani," terdengar suara kering dan berat.
Dewayani tersentak kaget, langsung melompat berdiri dan memutar tubuhnya. Kedua matanya membeliak melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering mengenakan jubah hitam panjang, tahu-tahu sudah di dekatnya. Sebatang tongkat hitam menyangga tubuhnya berdiri.
Dewayani menggeser kakinya ke samping. Keranjang cucian yang terbalik tidak dipedulikan lagi, ketika gadis itu melompat terkejut. Beberapa potong pakaian hanyut terbawa arus sungai. Pandangan gadis itu tidak berkedip merayapi laki-laki tua kurus kering yang hanya berdiri saja sambil tersenyum tipis.
"Mau apa kau ke sini, Iblis Hitam?" dengus Dewayani.
"Seharusnya kau bisa menjawab sendiri pertanyaanmu, Dewayani," sahut laki-laki tua kurus kering itu yang dipanggil Iblis Hitam oleh Dewayani.
"Aku minta kau pergi dan jangan ganggu aku lagi!" Bentak Dewayani.
"Sayang sekali, Dewayani. Aku harus membawamu pulang ke daerah Selatan," datar dan kering sekali suara Iblis Hitam.
“Pulang ke Selatan...? Kau pikir aku ini apamu, heh?!"
"Kau memang berhak untuk menolak, tapi..."
"Tutup mulutmu!" bentak Dewayani memutus kata-kata Iblis Hitam.
"Apa pun yang kau lakukan, ke mana pun kau pergi, semua tak ada gunanya bagimu. Apa yang sudah ditetapkan harus terlaksana di mana pun kau berada. Ingat-ingatlah itu, Dewayani!" Dingin nada suara Iblis Hitam.
"Huh!" Dewayani mendengus.
"Baiklah. Kau kuberikan kesempatan untuk berpikir," Iblis Hitam mengalah.
Dewayani diam saja tanpa memberi tanggapan apa pun. Dan Iblis Hitam membalikkan tubuhnya. Ditinggalkannya gadis itu dengan ayunan kaki ringan bagai tidak menapak tanah. Dewayani masih berdiri memandangi sampai laki-laki tua kurus kering itu lenyap dari pandangan. Buru-buru gadis itu mengambil keranjang cucian, dan bergegas meninggalkan sungai itu.
Langkahnya lebar dan tergesa-gesa. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang pemuda yang hendak menuju sungai. Untung saja pemuda itu buru-buru menghentikan langkahnya, hanya saja keranjang cucian yang dibawa Dewayani sempat membentur tangan pemuda itu hingga jatuh.
"Oh, maaf!" ucap pemuda itu buru-buru mengambil keranjang cucian yang terjatuh tadi.
Dewayani hanya diam saja memandangi seraut wajah tampan. Bahkan sampai tak sadar kalau pemuda itu menyodorkan keranjang cuciannya. Gadis itu cepat tersentak dari keterkejutannya, dan buru-buru menerima keranjang dari tangan pemuda berwajah tampan dengan tubuh tegap terbalut kulit kuning langsat. Sebentar Dewayani memandangi, kemudian bergegas pergi.
"Eh, tunggu...!" seru pemuda itu. Dewayani berhenti, namun tidak membalikkan tubuhnya. Sedangkan pemuda itu segera menghampiri dan berdiri di depannya. Kembali mereka saling tatap.
"Kau tidak menerima maafku, Ni sanak?" ujar pemuda itu, penuh penyesalan. Dewayani hanya diam saja. Dialihkan pandangannya ke arah lain. Entah kenapa, tiba-tiba saja jantungnya jadi berdetak keras saat menerima tatapan pemuda itu. "Aku tadi terburu-buru, jadi...."
"Sudahlah. Aku juga buru-buru," Dewayani cepat memutus kata-kata pemuda tampan itu.
"Jadi kau sudi menerima maafku?"
"Iya," sahut Dewayani.
Gadis itu segera melangkah pergi. Sedangkan pemuda itu masih memandanginya. Diangkat bahunya sedikit ke atas, kemudian dilanjutkan jalannya menuju ke sungai. Sementara Dewayani terus berjalan tergesa-gesa, tapi sebentar kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. Tak terlihat lagi pemuda itu di sana.
Dewayani menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Kembali dilanjutkan perjalanannya, tapi kali ini langkahnya tidak terburu-buru karena sudah memasuki jalan menuju desa. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menganggukkan kepala dan menyapa ramah. Dewayani membalasnya dengan anggukan kepala dan tersenyum manis.
Dewayani terus berjalan menuju rumahnya, namun sebentar-sebentar berlari-lari kecil. Napasnya sudah tersengal memburu. Gadis itu tak mempedulikan pandangan beberapa orang yang merasa keheranan melihatnya seperti terburu-buru. Dewayani memang jadi tergesa-gesa kembali begitu teringat Iblis Hitam. Gadis itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah Ki Jepun.
Kebetulan laki-laki tua itu ada di dalam sedang menikmati teh hangat bersama istrinya. Ki Jepun dan istrinya terkejut melihat Dewayani seperti dikejar setan. Gadis itu langsung meletakkan keranjang cuciannya, dan menghenyakkan tubuh di balai-balai bambu. Napasnya mendengus tidak teratur.
"Ada apa, Yani? Ada yang mengganggumu?" Tanya Ki Jepun.
"Tidak apa-apa, Ki," sahut Dewayani seraya mengatur jalan napasnya.
"Tapi, kau seperti dikejar setan saja."
"Aku memang tadi dikejar-kejar, Ki."
"Heh...! Siapa yang berani mengejarmu?" sentak Ki Jepun.
"Bukan orang, tapi anjing yang mengejarku, sahut Dewayani berbohong.
"Ooo...," Ki Jepun menarik napas panjang.
Sedangkan Nyi Jepun hanya tertawa terkikik. Dihampirinya Dewayani yang masih sibuk mengatur jalan nafasnya. Perempuan tua itu mengambil kain dan menghapus keringat yang membanjiri pundak Dewayani. Gadis itu memang ha-nya mengenakan kain membelit tubuhnya, sehingga bagian bahu dan sebagian dadanya terbuka. Putih dan mulus sekali, sampai-sampai Ki Jepun mengalihkan pandangannya.
"Ganti bajumu dulu, sana," perintah Nyi Jepun.
Dewayani mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Nyi Jepun kembali duduk di samping suaminya. Diangkatnya cawan dari kuningan, dan diludahkan liur sirih ke dalam cawan itu. Mulutnya terus bergoyang mengunyah sirih. Sesekali dibersihkan bibir keriputnya dengan potongan daun tembakau, kemudian meludah lagi ke dalam cawan.
“Rasanya tidak ada anjing di desa ini yang suka mengejar-ngejar orang," gumam Ki Jepun.
"Barangkali anjing itu suka melihat Dewayani, Ki.”
"Iya, anjing berkepala hitam!" rungut Ki Jepun.
Nyi Jepun jadi tertawa mengikik. Ditepuk pundak suaminya. Tapi Ki Jepun malah memberengut. Saat itu Dewayani keluar dari kamarnya, dan sudah mengenakan baju yang cukup ketat berwarna kuning muda. Sungguh serasi dengan warna kulitnya yang putih. Cantik sekali gadis itu, sampai-sampai Nyi Jepun dan suaminya terpana. Sering mereka terpana begitu bila melihat penampilan Dewayani yang sudah rapi mengenakan pakaian bersih begitu.
"Yani. Kalau ada yang kurang ajar padamu, bilang saja," pancing Ki Jepun.
"Kenapa jadi kamu yang sewot sih, Ki!" Dengus Nyi Jepun sebelum Dewayani menjawab.
"Aku tidak suka tingkah mereka!"
"Lho...! Kemarin kau sendiri yang melarangku berkata begitu. Kok sekarang lain...?"
"Ah, sudahlah!" sentak Ki Jepun memutus ucapan istrinya.
Nyi Jepun mengangkat bahunya seraya tersenyum-senyum memandang wajah suaminya yang memberengut. Sejak pagi tadi wajah Ki Jepun kelihatan masam dan tidak ada senyum. Pasti ada sesuatu yang membuat laki-laki tua ini bersikap demikian, namun Nyi Jepun tidak ambil peduli. Dia malah senang suaminya sudah berubah sikap memandang Dewayani. Sedangkan Dewayani sendiri hanya diam saja. Tidak ada yang tahu kalau pikiran gadis ini sedang kalut. Dia masih teringat kata-kata Iblis Hitam di sungai tadi.
********************
DUA
Malam ini suasana di Desa Semanding tidak seperti biasanya. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin menggigilkan. Langit tampak kelam, terselimut awan hitam tebal. Kepekatan benar-benar menyelimuti seluruh permukaan Desa Semanding. Suasana malam ini begitu mencekam ditambah lolongan anjing yang panjang, seakan-akan memberi tanda akan terjadi sesuatu.
Malam yang begitu sunyi dan mencekam, mendadak saja dipecahkan oleh jeritan panjang melengking tinggi, yang seakan-akan sedang meregang nyawa. Jeritan itu mengejutkan seluruh penduduk Desa Semanding. Begitu jelas dan mengejutkan, membuat hampir seluruh penduduk yang tengah terlelap jadi terbangun. Rumah-rumah yang semula gelap, mendadak saja terang benderang. Seketika beberapa pintu rumah terbuka, disusul keluarnya penghuni rumah-rumah itu. Beberapa saat kemudian seluruh penduduk desa kembali dikejutkan suara teriakan minta tolong.
“Tolooong...! Tolooong...!" Jelas sekali kalau suara itu terdengar dan datang dari sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah Ki Jepun.
Semua orang yang sudah keluar rumah, langsung terkejut begitu melihat seorang wanita bertubuh gemuk tengah berlari ke luar rumah sambil menjerit-jerit minta tolong. Perempuan gemuk yang dikenal seluruh penduduk Desa Semanding bernama Nyai Lantak itu jatuh tersuruk di depan rumahnya. Seperti semut melihat gula, para penduduk desa itu berhamburan menghampiri.
Sementara wanita gemuk itu menangis dan melolong-lolong seperti kehilangan ingatan. Seluruh penduduk desa, baik laki-laki, perempuan, tua, dan muda menjadi sibuk. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi. Beberapa pertanyaan terlontar, namun Nyai Lantak malah semakin menjerit histeris tak karuan.
"Minggir! Ada apa ini...?" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Orang-orang yang sedang mengerumuni Nyai Lantak langsung menyingkir. Tampak seorang laki-laki bertubuh kekar yang usianya sekitar empat puluh tahun, melangkah menyibak kerumunan orang itu. Semua yang berkerumun tahu betul, siapa laki-laki kekar dan berkumis tebal itu. Dia adalah Ki Jarak, Kepala Desa Seman-ding ini. Laki-laki itu langsung menghampiri Nyai Lantak yang masih terduduk di tanah, tidak mempedulikan pakaiannya yang acak-acakan.
"Aduh, Ki.... Tolong anakku, Ki...," Nyai Lantak langsung memeluk kaki kepala desa itu.
“Tenang, Nyai. Ada apa dengan anakmu?" Tanya Ki Jarak.
"Anakku, Ki.... Anakkuuu,..," kembali Nyai Lantak menangis melolong dan meratap. Ki Jarak jadi kebingungan. Dilepaskan pelukan wanita gemuk itu pada kakinya, kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri rumah Nyai Lantak yang pintunya terbuka lebar. Namun begitu baru saja sampai di ambang pintu, mendadak hatinya tertegun dan matanya membeliak lebar. Orang-orang yang berkerumun jadi keheranan. Mereka menghampiri, dan....
"Ah...!"
“Hihhh...!"
Orang-orang itu langsung berhamburan menjauh. Tapi Ki Jarak malah melangkah masuk. Matanya tidak berkedip memandangi sosok tubuh pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang tergolek dengan leher koyak. Darah telah menggenang di lantai, dan mengucur dari leher yang koyak lebar itu. Sebentar Ki Jarak memandangi pemuda yang dikenalnya betul. Laki-laki tua itu berbalik dan melangkah keluar dengan kepala tertunduk, dan berhenti di ambang pintu.
Dipandanginya orang-orang yang berkerumun dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran. Kemudian pandangannya beralih, dan langsung tertuju pada Nyai Lantak yang masih menangis senggukan dalam pelukan seorang wanita tua. Sunyi, tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya memandang Ki Jarak yang juga membisu, berwajah lesu. Mereka semua tahu, apa yang ada di dalam rumah itu.
Selama bertahun-tahun desa ini belum pernah mengalami kejadian seperti ini. Tak heran jika Ki Jarak sendiri seperti kehilangan akal, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya berdiri bengong di ambang pintu memandangi warganya yang berkerumun.
Pada saat itu, dari kerumunan penduduk Desa Semanding, berjalan seorang pemuda tampan dan berambut panjang sedikit tergelung ke atas. Dia mengenakan baju rompi dan ikat kepala putih. Dada yang bidang dibiarkan terbuka lebar. Pemuda Itu tidak mempedulikan tatapan mata penduduk, dan terus berjalan menghampiri Ki Jarak.
"Maaf. Kalau boleh aku tahu, ada apa di dalam?" tanya pemuda itu sopan.
Ki Jarak tidak menjawab. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian digeser tubuhnya memberi jalan. Pemuda itu menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian melangkah melewati kepala desa itu. Sejenak pemuda itu tertegun begitu mencapai ambang pintu, tapi kakinya kemudian kembali terayun masuk. Matanya agak menyipit melihat seorang pemuda tergeletak berlumuran darah dengan leher terkoyak. Dia berlutut di samping mayat itu, lalu memeriksa luka di leher yang koyak.
"Hm...!" pemuda itu bergumam, seraya bangkit berdiri. Ditolehkan kepalanya ketika mendengar suara langkah menghampiri. Ki Jarak berhenti tidak berapa jauh di ambang pintu. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian beralih pada sosok mayat di lantai rumah. Pandangannya berganti-ganti seakan-akan ingin mengatakan sesuatu. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian tangannya menjulur mengambil selembar kain lusuh. Ditutupi mayat itu dengan kain. Segera dihampiri-nya Ki Jarak.
"Kita harus mengubur mayat ini sebagaimana layaknya," kata pemuda itu bernada sopan.
"Oh, iya.... Iya," sahut Ki Jarak tergagap, seperti baru saja terjaga dari mimpi buruk.
Pemuda itu melangkah hendak ke luar.
"Tunggu, Kisanak," cegah Ki Jarak. Ayunan langkah pemuda berbaju putih tanpa lengan itu terhenti. Diputar tubuhnya menghadap kembali pada Ki Jarak.
"Tampaknya Kisanak bukan penduduk desa ini. Siapa Kisanak sebenarnya?" ada nada kecurigaan pada suara Ki Jarak.
"Hanya kebetulan lewat saja. Aku seorang pengembara," sahut pemuda itu seraya tersenyum.
Ki jarak ingin bertanya lagi, tapi tidak jadi.
"Sebaiknya kita urus dulu jasad itu," usul pemuda itu sopan.
Ki Jarak hanya diam saja, tapi menyetujui usul pemuda itu untuk mengurus mayat anak Nyai Lantak. Ki Jarak bergegas ke luar. Sedangkan pemuda itu kembali mendekati mayat pemuda yang terkoyak lehernya. Entah apa yang dikatakan kepala desa itu di luar, tapi tidak lama kemudian empat orang laki-laki masuk ke dalam rumah itu. Mereka sebentar memandangi pemuda yang tengah membenahi mayat itu.
"Apakah akan dikubur sekarang atau menunggu besok?" Tanya pemuda itu tanpa mempedulikan empat orang yang hanya diam saja. Sedangkan Ki Jarak hanya berdiri saja di ambang pintu.
"Dia sudah tidak punya ayah lagi. Dan ibunya sekarang...," salah seorang menyahuti tapi terputus suaranya.
"Kalau begitu, tunggu ibunya saja," kata pemuda itu memutuskan.
Tak ada yang membantah. Bahkan Ki Jarak sendiri hanya diam saja tanpa membuka mulut sedikit pun. Kejadian ini memang membuat mereka semua jadi seperti orang dungu. Tak ada yang mampu mengemukakan pendapat. Bahkan bertindak saja seperti tidak berani. Bertahun-tahun kejadian seperti ini tidak pernah lagi dialami. Mereka benar-benar tidak siap untuk menghadapinya.
********************
Tidak banyak yang mengantarkan anak Nyai Lantak ke kubur. Hanya beberapa orang saja, dan itu pun Ki Jarak yang memerintahkan. Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan jadi sibuk sendiri. Dia menggali dan menguburkan mayat pemuda malang yang mati tanpa diketahui sebab-sebabnya. Begitu tragis sehingga membuat seluruh penduduk desa jadi dicekam rasa takut yang amat sangat.
Selesai penguburan, semua yang ikut langsung pergi tanpa berkata-kata sedikit pun. Hanya seorang perempuan tua yang ikut. Itu pun dia selalu mendampingi Nyai Lantak yang kelihatan begitu lemah dan terpukul sekali kehilangan anak satu-satunya. Sedangkan suaminya entah berada di mana. Meninggalkan begitu saja sejak anaknya masih berusia sekitar tiga tahun.
"Kenapa mereka begitu ketakutan...?" Tanya pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Ki Jarak seraya mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Sedangkan pemuda berwajah tampan itu ikut melangkah di samping Kepala Desa Semanding ini. Mereka berjalan pelahan-lahan dengan pikiran masing-masing.
"Bertahun-tahun tidak pernah ada kejadian seperti ini. Desa Semanding memang aman, tentram. Bahkan keributan kecil saja jarang terjadi. Apalagi sampai..., ah!" Ki Jarak tidak melanjutkan.
"Apakah ibunya telah menceritakan apa sebenarnya yang terjadi?" tanya pemuda itu.
“Dia tidak tahu apa-apa. Dia terbangun begitu mendengar jeritan anaknya," sahut Ki Jarak seraya berhenti melangkah. Kepala Desa Semanding itu memandangi pemuda yang berada di sampingnya. Sedangkan yang di-pandangi hanya membalas datar. Beberapa saat mereka terdiam membisu.
"Anak Muda. Sejak semalam aku belum kenal namamu, dan mengapa kau membantu hingga sampai ke saat penguburan?" Tanya Ki Jarak.
"Ah, maaf. Aku lupa sampai tidak memperkenalkan diri," ujar pemuda itu. "Namaku Rangga, dan hanya kebetulan lewat di desa ini"
"Hm.... Belum pernah ada orang yang suka bersusah payah untuk orang lain yang tidak dikenal sama sekali," gumam Ki Jarak
"Tapi apa salahnya kita menolong tanpa diminta. Bagiku pekerjaan seperti ini belum seberapa bila dibanding dosa yang telah kita perbuat selama hidup."
Ki Jarak tertegun mendengar kata-kata pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga atau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kata-katanya begitu lembut namun sangat menyentuh kalbu.
"Siapa sebenarnya kau ini, Anak Muda? Apakah kau seorang utusan? Atau titisan Dewata yang ingin menyadarkan manusia dari segala tindak dan kebodohannya?"
"Aku manusia biasa, Paman. Aku bukan utusan dari mana-mana, apalagi dari kahyangan," jelas Rangga yang kini memanggil Ki Jarak dengan sebutan paman. Memang dia ingin lebih mengakrabkan diri dengan laki-laki itu.
"Siapa pun kau sebenarnya, aku patut mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Kalau tidak ada dirimu, tentu tak ada seorang pun yang sudi menguburkan anak itu," kata Ki Jarak.
"Tidak sepatutnya mereka berbuat seperti itu, Paman. Mereka toh pasti akan meninggalkan dunia ini. Sebab-sebab seseorang meninggal tidak akan sama," jelas Rangga.
"Yaaah.... Itulah yang menyulitkan aku menjadi kepala desa di sini, Anak Muda. Mereka sudah terbiasa hidup damai dan tentram. Apa saja tersedia di sini, sehingga mereka jadi malas bekerja, dan mementingkan diri sendiri Hanya bersenang-senang saja yang mereka pikirkan. Tapi tak mampu menghadapi kenyataan pahit Terus terang, aku sendiri sebenarnya takut."
"Rasa takut selalu ada pada setiap orang, Paman. Aku juga kadang-kadang merasa ketakutan. Tapi jangan sampai diperbudak perasaan yang akan merugikan diri sendiri."
"Kau benar, Anak Muda. Ahhh..., tutur katamu seperti seorang cendekia. Sungguh jauh dan dalam sekali pandangan hidupmu. Terasa kecil diriku berada di depanmu, Anak Muda," ungkap Ki Jarak tulus, keluar dari lubuk hatinya.
Rangga hanya tersenyum saja. Ditepuk-tepuknya bahu Ki Jarak seraya mengajak berjalan kembali. Mereka terus berjalan sambil bertukar pikiran mengenai makna-makna kehidupan. Semakin banyak mereka berbicara, semakin terasakan oleh Ki Jarak bahwa dirinya begitu kerdil di depan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dengan jiwa besar, Ki Jarak mengakui kalau dirinya tidaklah berarti apa-apa. Dan Rangga mengagumi kebesaran jiwa yang dimiliki kepala desa ini.
Memang sukar menemukan seseorang berjiwa besar dan suka mengakui kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Biasanya orang selalu bercermin dan menyorot sekelilingnya, tanpa peduli pada dirinya sendiri. Rangga menghentikan langkahnya ketika melihat seorang gadis berwajah cantik yang hanya mengenakan kain melilit tubuhnya. Rupanya gadis itu juga melihat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Buru-buru ditutupi dadanya yang terbuka dengan kain lusuh, lalu bergegas berjalan menuju sungai sambil menjinjing keranjang cucian dari anyaman bambu.
"Gadis itu keponakannya Ki Jepun,” kata Ki Jarak yang sejak tadi memperhatikan Rangga.
"Hm...," Rangga tersenyum dan kembali melangkah. Rangga memang pernah bertemu gadis itu sekali, dan hampir bertabrakan di dekat sungai. Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menghilangkan bayangan gadis itu dari benaknya.
"Belum ada satu bulan dia tinggal di sini. Aku sendiri tidak tahu kalau Ki Jepun punya keponakan seorang gadis cantik seperti itu," jelas Ki Jarak lagi.
"Siapa itu Ki Jepun?" tanya Rangga.
"Seorang tua yang selalu menyendiri dan tidak pernah bergaul dengan sesama warga desa. Dia sendiri sebenarnya bukan berasal dari desa ini. Tapi istrinya, asli kelahiran desa ini," jelas Ki Jarak.
Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
"Rupanya kau tertarik pada gadis itu, Kisanak," gurau Ki Jarak.
"Ah...," Rangga hanya mendesah saja.
********************
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti begitu sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar dan berair jernih, hingga dasarnya terlihat jelas. Hanya ada seorang gadis di sungai itu, dan kelihatan terkejut begitu melihat Rangga. Gadis yang ternyata adalah Dewayani itu buru-buru membenahi kain yang dikenakannya. Ditutupinya bahu dan dadanya dengan selembar kain lain.
Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit Dewayani hanya Diam, tapi membalas dengan senyuman pula. Pendekar Rajawali Sakti itu membasuh wajah dan tangannya dengan air sungai yang sejuk menyegarkan, kemudian berdiri, tepat saat Dewayani beranjak keluar dari dalam sungai. Gadis itu menjinjing keranjang bambu pada ketiaknya.
"Ah...!" Tiba-tiba saja Dewayani terpeleset, hampir jatuh ke dalam sungai. Untung saja Rangga segera melompat menangkap tangan gadis itu. Sesaat mereka saling pandang, namun sebentar kemudian Dewayani buru-buru melepaskan pegangan tangan Rangga. Bergegas gadis itu melangkah. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba saja....
"He he he...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis itu sudah menghadang seorang laki-laki tua kurus kering membawa tongkat hitam untuk menyangga tubuhnya. Dewayani terperanjat, dan melangkah mundur beberapa tindak. Sementara Rangga yang berada di belakang gadis itu mengamati laki-laki tua kurus kering yang wajahnya begitu pucat tanpa senyum sedikit pun menghiasi bibirnya. Meskipun terkekeh, tapi bibirnya terkatup rapat
"Batas waktumu sudah habis, Dewayani," kering dan datar sekali suara laki-laki tua kurus kering yang ternyata si Iblis Hitam.
"Huh! Aku tidak ada urusan lagi denganmu!" dengus Dewayani sengit.
"Siapa bilang, Dewayani? Batas waktumu sudah habis. Kau harus kembali ke Selatan bersamaku. Percayalah, kau akan sengsara jika berada di sini. Tidak ada tempat yang sudi menerima dirimu, Dewayani. Sang Penakluk pasti mencarimu."
"Pergi kau!" bentak Dewayani berang.
"Pulanglah, Dewayani. Tidak ada gunanya membangkang. Kau harus ingat, siapa dirimu, dan apa yang mengalir dalam darahmu. Jangan menyengsarakan dirimu sendiri, Dewayani."
"Aku tidak peduli! Pergiii...!" jerit Dewayani.
“Ini peringatanku yang terakhir, Dewayani...!"
"Iblis keparat! Kubunuh kau...! Hiyaaat..!"
Dewayani tidak mampu lagi membendung luapan amarahnya. Tanpa menghiraukan kalau di tempat ini ada orang lain yang selalu memperhatikan, gadis itu melem-parkan keranjang cuciannya ke arah Iblis Hitam Keranjang yang cukup besar dan kelihatan berat itu melayang deras bagai dilemparkan tangan raksasa.
"Uts!" Iblis Hitam memiringkan tubuhnya ke kiri menghindari lemparan itu. Sungguh di luar dugaan sama sekali, keranjang itu hancur berkeping-keping begitu menghantam pohon yang berada tepat di belakang Iblis Hitam. Rangga yang menyaksikan itu sampai terkejut. Sungguh tidak disangka kalau seorang gadis cantik yang kelihatan lemah lembut ini ternyata mempunyai tenaga begitu besar.
"Hiyaaat...!" Dewayani yang sudah dirasuki luapan amarah langsung melompat sambil mengangkat sedikit kain yang dikenakannya. Ternyata di balik kain lusuh itu terdapat celana pangsi sebatas betis. Dan yang membuat Rangga terpana, di balik kain itu juga menyembul sebilah pedang yang sarungnya berwarna kuning keemasan.
Sementara itu Dewayani sudah menyerang si Iblis Hitam dengan gerakan-gerakan cepat. Laki-laki kurus kering itu agak kewalahan juga menghindari serangan-serangan lawan. Namun sebentar saja hal itu berlalu. Jurus-jurus berikutnya, si Iblis Hitam mampu mendikte Dewayani.
"Hih! Hiyaaa...!" Hingga pada satu saat, sambil berteriak keras si Iblis Hitam melontarkan satu pukulan keras dengan tangan kiri. Pada saat yang sama, Dewayani juga melepaskan pukulan tangan kanan, sehingga pertemuan tangan mereka tak dapat dihindari lagi.
Bughk! "Akh...!" Dewayani memekik kecil. Gadis itu terlontar ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Ughk...!" Iblis Hitam juga mengeluh pendek. Tapi laki-laki tua kurus kering itu hanya tiga langkah saja terdorong ke belakang.
Sementara Dewayani mendengus-dengus bagai kuda betina yang sedang marah. Digerak-gerakkan tangannya sambil meliuk-liukkan tubuhnya, membuat gerakan indah. Sementara si Iblis Hitam menggeser kakinya ke samping kanan. Diputar-putarkan tongkatnya pelahan-lahan di depan dada.
"Kau akan menyesal, Dewayani!" Dengus Iblis Hitam dingin.
"Phuih! Yiaaat..!" Dewayani kembali melompat sambil mencabut pedang yang tersembunyi di balik kainnya.
Sret! "Hait..!" Secepat Dewayani mengibaskan pedangnya, secepat itu pula si Iblis Hitam mengebutkan tongkatnya. Dan...
Trang! Benturan dua senjata itu menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala penjuru. tampak sekali kalau tangan Dewayani bergetar, dan pedangnya hampir terpental dari genggaman. Namun rupanya gadis itu masih bisa menguasai. Bahkan dengan gerakan sangat indah, diputar pedangnya ke bawah sambil meliukkan tubuhnya.
"Eh! Uts...!" Iblis Hitam tampak terperanjat Buru-buru dikibaskan tongkatnya menyamping ke bawah. Namun tanpa diduga sama sekali, Dewayani cepat menarik pedangnya, dan secepat itu pula menusukkannya ke arah perut.
"Setan alas..!" sentak Iblis Hitam terperanjat. Secepat kilat laki-laki tua kurus kering itu melentingkan tubuhnya ke belakang, menghindari tusukan pedang Dewayani yang datang bagaikan gelombang samudra. Namun rupanya Dewayani benar-benar tak ingin memberi kesempatan pada lawannya. Gadis itu melompat menerjang kembali. Pedangnya berkelebatan cepat mengurung gerak tubuh si Iblis Hitam.
Trang! Trak...! Beberapa kali senjata mereka beradu. Dan sekali beradu senjata, tampak tangan Dewayani bergetar. Tapi gadis itu mampu menutupi kelemahan tenaga dalamnya yang masih di bawah si Iblis Hitam. Kelemahan itu bisa ditutupi dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu lentur dan indah sekali. Hasilnya, Iblis Hitam merasa kesulitan setiap kali punya peluang setelah membenturkan tongkatnya ke pedang gadis itu.
"Hiyaaa...!” Tiba-tiba Iblis Hitam melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran beberapa kali. Manis sekali Si laki-laki tua kurus kering itu hinggap di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Sedangkan Dewayani berdiri tegak sambil menghunus pedang melintang di depan dada. Gadis itu mendongak menatap berang pada lawannya.
"Turun kau, iblis keparat!" bentak Dewayani berang.
"Sayang sekali, aku tidak boleh melukaimu, Dewayani. Tapi tunggulah. Kau akan menyesal, gadis bodoh!" dengus Iblis Hitam dingin.
Setelah berkata demikian, si Iblis Hitam me-lesat pergi cepat bagai kilat. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh laki-laki tua kurus kering itu lenyap dari pandangan mata. Dewayani mengumpat dan memaki habis-habisan. Dimasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Kemudian membenahi kain yang melilit tubuhnya. Gadis itu berpaling ke arah Rangga, kemudian terus berlari cepat meninggalkan tempat ini.
“Hey, tunggu...!" seru Rangga langsung melesat mengejar.
Tapi Dewayani terus berlari, bahkan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu bisa saja mengejar. Tapi gadis itu sudah keburu sampai di jalan Desa Semanding. Rangga berhenti berlari, dan hanya dapat memandangi Dewayani yang kini sudah berjalan biasa di antara para penduduk desa yang sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Hm, gadis yang aneh," gumam Rangga pelan.
********************
TIGA
Hampir seharian Dewayani duduk saja di samping rumahnya. Sedangkan Ki Jepun dan istrinya berada di ladang. Gadis itu tidak tahu kalau sejak tadi selalu diperhatikan sepasang mata. Dia baru tahu setelah mendengar langkah kaki meng-hampiri. Seorang laki-laki muda bertubuh agak kurus mengenakan baju biru dan ikat kepala hitam, tengah menghampiri sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Sendiri saja, Dewayani?" tegur pemuda itu ramah.
"Oh! iya nih, Kang Aji," sahut Dewayani berusaha ramah.
"Kok sepi, ya...?"
"He eh. Ki Jepun dan Nyi Jepun sedang ke ladang. Aku disuruh tunggu rumah," sahut Dewayani.
"Kalau begitu...," suara Aji terputus.
"Ingin menemani? Boleh saja kok, Kang," celetuk Dewayani bisa mengetahui maksud pemuda desa itu.
"Waduh...! Mimpi apa aku semalam...?" Desah Aji dalam hati.
Pemuda itu kemudian duduk di samping Dewayani, setelah gadis itu menggeser memberi tempat. Sikap Aji begitu kaku, dan hanya menggosok-gosok tangannya sambil senyum-senyum. Sesekali diliriknya wajah cantik di sampingnya. Tidak banyak kesempatan untuk bisa ngobrol berdua bersama gadis ini. Hampir seluruh pemuda di desa ini berlomba-lomba mencari kesempatan untuk hanya sekadar bisa berbicara saja.
Tapi mereka memang hanya berani memandang dari jauh. Sedangkan Dewayani hanya tersenyum geli dalam hati melihat tingkah pemuda lugu ini. Hanya saja gadis itu tidak memperlihatkannya. Dia hanya diam saja sambil memandang ke depan. Lama juga mereka hanya diam saja. Sedangkan beberapa kali Aji hendak berbicara. Tapi begitu mulutnya terbuka, suaranya serasa tertanggal di tenggorokan.
"Dewayani Yani..," agak bergetar suara Aji.
"Apa?" tanya Dewayani tanpa berpaling.
"Ng..., boleh tidak aku sering-sering ngobrol bersamamu?" tanya Aji polos.
Sebenarnya Dewayani ingin tertawa, tapi hanya tersenyum saja di dalam hati. Pemuda itu benar-benar polos dan lugu, seperti layaknya pemuda-pemuda lain di desa ini. Tapi Dewayani memuji juga keberaniannya hingga datang ke sini dan berbicara dengannya. Tidak seperti pemuda-pemuda lainnya, yang hanya bisa mencuri pandang dari jauh. Kalaupun menegur, saat kebetulan berpapasan saja. Itu pun dengan sikap kaku, seperti dipaksakan.
"Boleh tidak, Yani...?" harap Aji.
“Kenapa tidak? Kau boleh datang ke sini kapan saja."
"Sungguh..?" berbinar mata Aji.
Dewayani tersenyum dan mengangguk
"Oh.... Betapa bahagianya hati ini..," desah Aji dalam hati.
"Sebentar ya, tuh Ki Jepun sudah pulang," kata Dewayani menunjuk Ki Jepun dan istrinya yang berjalan menuju rumah ini.
"Eh! Aku pamit saja dulu, Yani," Aji buru-buru bangkit
"Nanti saja, Ji. Kenapa sih buru-buru?" cegah Dewayani
"Besok aku ke sini lagi deh. Aku pergi dulu, Yani"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Aji bergegas pergi melalui jalan samping rumah, terus menuju belakang dan memutari rumah tetangga. Pemuda itu menghilang di balik rumah tetangga. Dewayani tersenyum geli melihat tingkah laku pemuda itu. Bibirnya masih tersenyum meskipun Ki Jepun dan istrinya sudah sampai.
"Siapa pemuda itu tadi, Dewayani?” tanya Ki Jepun sambil meletakkan cangkul di bawah balai-balai bambu yang diduduki Dewayani.
"Aji," sahut Dewayani pendek.
"Ada apa dia ke sini?" dengus Nyi Jepun bernada tidak senang.
"Hanya ngobrol saja, Nyi," sahut Dewayani.
“Tapi..."
"Tapi kenapa, Yani?" potong Ki Jepun.
"Lucu, seperti anak kecil saja. Masa dia kabur begitu melihat Aki pulang."
"Ha ha ha...!" Ki Jepun tertawa terbahak-bahak. "Dasar anak muda sekarang, mentalnya lembek!"
"Ah sudahlah, Yani. Jangan layani anak seperti itu. Kau harus bisa mendapatkan pemuda gagah dan tampan seperti Aki waktu muda dulu," kata Nyi Jepun.
"Mana ada pemuda seperti itu di sini, Nyi. Berani taruhan, sepuluh orang saja masih sanggup kuhadapi!" Ki Jepun menyombongkan diri.
"Ingat, Ki. Kau ini sudah tua, sudah loyo..."
"Biar tua, sentilanku masih mampu menjungkalkan mereka!"
Dewayani hanya tersenyum geli saja mendengar celotehan pasangan tua itu. Keceriaan memang selalu terjadi. Apalagi Dewayani memang pandai memancing suasana ceria seperti itu. Meskipun tubuh penat dan kepala pening, masih juga mereka bisa berkelakar kalau Dewayani sudah memulai lebih dahulu. Dan biasanya gadis itu selalu tersenyum. Bahkan kadang-kadang tawanya lepas tak terkendali lagi.
Kalau sudah begitu, lenyap sudah rasa letih dan penat pasangan tua itu. Dewayani memang pandai dalam segala hal, dan ini membuat Ki Jepun dan istrinya semakin menyayangi gadis itu. Malam baru saja merayap turun menyelimuti seluruh Desa Semanding. Tiga orang anak muda berjalan pelahan sambil bercanda. Di antara mereka terlihat Aji yang banyak bercerita, membanggakan dirinya karena bisa berbicara dengan Dewayani yang menjadi kembang desa ini. Dan itu membuat kedua temannya menjadi iri. Mereka tidak percaya, tapi banyak juga yang memang melihat Aji duduk berdua bersama gadis cantik itu.
"Kalian tahu, besok aku ada janji dengan Dewayani," tutur Aji semakin membuat.
"Ke mana, Ji?" tanya temannya yang berjalan di kanan.
"Ke sendang," sahut Aji Kedua temannya saling berpandangan.
Mereka tahu kalau sendang yang dimaksud Aji letaknya di tengah hutan. Jarang orang yang datang ke sana. Selain jalannya sulit, juga tak ada sesuatu yang bisa dilihat. Tapi tempat itu memang disukai anak-anak muda yang tengah kasmaran.
"Aku duluan, ya .?" Aji melangkah cepat menuju rumahnya yang memang lebih dekat daripada kedua temannya.
Sedangkan kedua temannya itu hanya memandangi, diliputi perasaan iri. Sebenarnya Aji bukanlah pemuda tampan. Tubuhnya saja bisa dikatakan kurus. Tapi kenapa begitu beruntung...? Pertanyaan itu yang selalu ada di benak pemuda-pemuda lain di desa itu. Kedua anak muda itu masih saja berdiri memandangi Aji yang membuka pintu rumahnya. Tapi mendadak saja, begitu pintu terbuka lebar, Aji menjerit keras melengking.
"Aaa...!" Tubuh pemuda itu terpental jauh ke belakang dan ambruk keras ke tanah. Kedua temannya terperanjat kaget, dan jadi terpaku dengan mata membeliak lebar dan mulut ternganga. Seketika wajah mereka pucat pasi, dan tubuh gemetar melihat Aji menggelepar dengan leher koyak mengucurkan darah segar.
"Tolooong...!" Kedua pemuda itu jadi kalang kabut. Mereka ingin berlari tapi seperti terpaku dan berat untuk menggerakkan kaki. Dua pemuda itu hanya bisa berteriak-teriak minta tolong. Sebentar saja, tempat itu sudah dipenuhi orang yang kaget dan berhamburan keluar rumah mendengar teriakan kedua anak muda itu. Namun mereka langsung terpaku begitu melihat tubuh Aji yang sudah diam kaku berlumuran darah.
********************
Kematian Aji yang begitu tragis membuat penduduk Desa Semanding diliputi perasaan takut yang amat sangat. Dua pemuda sudah tewas dalam waktu yang tidak begitu lama, dan dengan cara yang sama. Leher terkoyak lebar, hampir putus. Tapi yang menjadi tanda tanya, kedua pemuda yang tewas itu sebelumnya pernah ngobrol bersama Dewayani. Gadis cantik yang diakui Ki Jepun adalah keponakannya.
Kasak-kusuk mulai terdengar. Para penduduk menghubung-hubungkan kedua peristiwa mengerikan itu dengan kehadiran Dewayani didesa ini. Tapi tak ada seorang pun yang berani berterus terang, apalagi melakukan sesuatu. Kecurigaan penduduk semakin menebal begitu mendengar cerita kedua teman Aji yang melihat kejadian itu. Mereka memang baru saja mendengar cerita Aji yang katanya sudah berhasil mendekati Dewayani, gadis cantik yang menjadi buah bibir di Desa Semanding ini.
"Huh! Mereka bisanya hanya kasak-kusuk tanpa bukti!" dengus Ki Jepun yang mendengar juga selentingan kabar burung itu.
"Kenapa harus dipusingkan, Ki. Biar saja, memang sudah begitu adat mereka," timpal istri-nya tak peduli.
"Kau enak! Aku ini yang mendengar...! Rasanya kuping ini panas mendengar Dewayani dituduh sebagai penyebab kematian anak-anak tolol itu!" rungut Ki Jepun.
Sedangkan Dewayani hanya diam saja, duduk mencangkung sambil memeluk lutut di balai-balai bambu di samping Nyi Jepun. Pandangannya kosong lurus ke depan, mengamati jalan yang tampak sepi lengang. Para penduduk Desa Seman-ding ini seperti sengaja menghindari depan rumah ini.
"Mau ke mana, Ki?" tegur Nyi Jepun begitu melihat Ki Jepun berjalan ke luar.
"Ke rumah Kepala Desa," sahut Ki Jepun terus saja melangkah ke luar rumah.
"Mau apa kau ke sana?"
Tapi Ki Jepun tidak menyahut, dan terus saja berjalan cepat Nyi Jepun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia tahu betul watak suaminya yang keras, tapi lembut dan penyabar. Perempuan tua itu berpaling memandangi Dewayani yang diam saja, memandang kosong ke depan.
"Sudahlah, Yani Jangan terlalu dipikirkan. Aku percaya kau tidak mungkin melakukan itu," bujuk Nyi Jepun mencoba menghibur.
"Aku menyesal, Nyi. Kenapa mereka menuduhku demikian...? Aku jadi merepotkanmu saja," keluh Dewayani.
“Penduduk di sini memang manja. Biar mereka belajar dari peristiwa ini. Dulu, suamiku pernah menganjurkan agar pemuda-pemuda di sini berlatih ilmu olah kanuragan, tapi malah melecehkan. Sekarang baru tahu rasa, bagaimana kalau tidak memiliki kepandaian sama sekali!" agak ketus nada suara Nyi Jepun.
Dewayani mengangkat kepalanya, berpaling memandang perempuan tua di sampingnya.
"Kau percaya aku yang melakukan semua itu, Nyi?" tanya Dewayani.
"Kalau aku percaya, sama tololnya dengan mereka!" sahut Nyi Jepun mendengus.
"Kalau ternyata memang aku?"
"Jangan mengada-ada, Yani. Aku tahu kau bisa ilmu olah kanuragan. Tapi untuk apa melakukan itu? Aku tidak melihat adanya kegarangan pada dirimu. Bahkan kau seperti seorang putri raja, atau paling tidak putri bangsawan," sanggah Nyi Jepun.
Dewayani tersenyum. Nyi Jepun juga memberi senyum semanis mungkin. Sesaat mereka terdiam saling berpandangan. Nyi Jepun memang tidak percaya jika Dewayani yang melakukan kedua pembunuhan itu. Mereka yang tewas memang pernah ngobrol dengan Dewayani sebelumnya, tapi bukan berarti gadis itu yang membunuh. Mereka hanya bicara, tidak lebih dari itu. Yang pertama berbicara sambil berjalan pulang dari sungai. Sedangkan yang kedua di samping rumah ini. Banyak yang melihat kalau mereka hanya ngobrol saja. Tapi penduduk desa sudah menuduh Dewayani penyebab semua peristiwa mengerikan itu.
"Aku mau ke kebun belakang dulu. Kau ingin ikut, Yani?" kata Nyi Jepun seraya bangkit berdiri.
"Nanti aku menyusul, Nyi," sahut Dewayani.
Nyi Jepun menepuk punggung tangan gadis itu, kemudian berjalan ke belakang. Dewayani masih saja duduk memeluk lutut yang tertekuk. Kepalanya disandarkan ke lutut. Sedangkan pandangannya kembali kosong ke depan. Tapi mendadak saja kedua matanya terbeliak, lalu gadis itu menggerinjang melompat berdiri. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke depan. Tampak di bawah pohon seberang jalan rumah ini berdiri seorang laki-laki berwajah tampan. Pakaiannya indah dari bahan sutra halus bersulamkan benang-benang emas. Pemuda itu memegang kipas yang terbuka lebar di depan dada. Dewayani berdiri mematung memandangi laki-laki berwajah tampan itu.
"Dewayani! Kau telah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan. Kini rasakan sendiri akibatnya. Tidak ada tempat yang bisa menampungmu. Tidak ada orang yang akan menolongmu. Seumur hidup kau akan tersiksa," terdengar suara halus di telinga Dewayani.
"Heh...!" gadis itu tersentak kaget. Jelas sekali suara itu mendengung di telinga Dewayani, Hanya sekejap saja gadis itu berpaling. Dan begitu memandang ke pohon di seberang jalan, laki-laki muda itu sudah tidak terlihat lagi, tepat ketika sebuah pedati melintasinya. Dewayani jadi menggerinjang, lalu melompat keluar sambil menyambar pedang yang tergantung di dinding. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Tapi tak seorang pun yang dilihatnya. Bahkan pedati yang tadi melintas di jalan itu pun sudah tidak terlihat lagi. Rasanya tidak mungkin sebuah pedati yang hanya ditarik seekor sapi bisa begitu cepat menghilang di jalan. yang lurus tanpa belokan sama sekali ini. Dewayani menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Dia kembali masuk ke dalam rumahnya. Tapi baru saja melewati ambang pintu, kembali matanya terbeliak kaget
"Kau.... Mau apa kau ke sini?" Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dalam rumah itu sudah berdiri seorang laki-laki tua kurus kering berjubah hitam sambil menggenggam tongkat yang berwarna hitam pula.
Dewayani menggenggam pedangnya dengan kedua tangan erat-erat, namun belum menghunus nya. Pandangannya begitu tajam menusuk langsung bola mata tua yang memerah agak cekung ke dalam.
"Aku hanya menyampaikan pesan, kalau kau masih punya kesempatan, Dewayani. Kembalilah dan jangan siksa dirimu sendiri," kata laki-laki tua kurus kering yang tak lain Iblis Hitam itu.
"Aku tidak perlu nasihatmu! Pergi kau!" bentak Dewayani sengit.
"Sayang sekali, kau begitu keras kepala. Waktumu tinggal tiga hari lagi, Dewayani. Selepas itu, tak ada yang bisa menolongmu. Bahkan dirimu sendiri tak mampu. Camkan kata-kataku ini, Dewayani."
"Pergiii...!" jerit Dewayani.
"Aku akan pergi, tapi kau bo...."
"Pergi, keparat..!" bentak Dewayani memutus ucapan Iblis Hitam. Iblis Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berbalik dan berjalan melalui pintu belakang. Gadis itu memandangi sampai tubuh tua kurus kering itu lenyap di balik pintu. Dewayani menghempaskan tubuhnya ke atas balai-balai bambu. Napasnya memburu, dan tubuhnya agak gemetar. Pada saat itu Nyi Jepun tergopoh-gopoh masuk menghampiri Dewayani.
"Ada apa, Yani? Kenapa menjerit-jerit?" Tanya Ny Jepun.
"Tidak apa-apa, Nyi Aku hanya bermimpi," sahut Dewayani seraya menyeka keringat di wajahnya.
"Makanya kalau siang-siang jangan tidur. Banyak setan datang," kata Nyi Jepun lagi.
Dewayani hanya tersenyum saja, dan masih merebahkan tubuhnya menelentang memandang langit-langit rumah. Sementara Nyi Jepun meninggalkannya.
********************
Sementara itu di rumah Kepala Desa Semanding, Ki Jepun disambut secara ramah dan penuh persaudaraan oleh Ki Jarak. Namun kepala desa itu terkejut juga begitu mendengar penuturan laki-laki tua itu mengenai tuduhan penduduk desa terhadap Dewayani. Saat itu Rangga masih berada di rumah kepala desa, dan mendengarkan semua penuturan Ki Jepun penuh perhatian. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja, tidak memberikan suara sedikit pun.
“Terus terang, aku belum mendengar tuduhan itu, Ki Jepun. Aku sendiri terkejut mendengar keponakanmu dituduh sebagai pembunuh," kata Ki Jarak dengan suara pelan seakan-akan menyesalkan sikap warganya yang menuduh sembarangan tanpa bukti.
"Itulah sebabnya, kenapa aku cepat-cepat datang ,ke sini," ujar Ki Jepun.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Ki Jarak bisa mengatakan pada semua penduduk kalau keponakanku tidak bersalah, dan tidak ada hubungannya dengan kedua pembunuhan itu," tegas Ki Jepun.
"Rasanya tidak semudah itu, Ki. Maaf...! Bukannya menyepelekan laporanmu, tapi aku harus mencari bukti dulu kebenarannya," kata Ki Jarak bijaksana.
"Kebenaran apa lagi, Ki? Sudah jelas keponakanku tidak tersangkut Mereka saja yang usil dan dengki pada Dewayani!" dengus Ki Jepun.
"Baiklah, Ki Jepun. Laporanmu kuterima, tapi aku tidak ingin bertindak gegabah dan berat sebelah. Bagaimanapun juga aku seorang kepala desa yang harus bertindak adil dan bijaksana. Kalau memang benar Dewayani tidak ada hubungannya dengan peristiwa berdarah ini, aku atas nama seluruh penduduk Desa Semanding tidak segan-segan meminta maaf padanya." Kata-kata Ki Jarak rupanya sedikit memberi kepuasan Ki Jepun.
Laki-laki tua itu kemudian mohon diri dan meninggalkan rumah kepala desa itu. Ki Jarak memandangi hingga laki-laki tua renta itu jauh meninggalkan rumahnya. Ditariknya napas panjang, lalu dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja.
"Kau dengar sendiri, Nak Rangga. Sudah kuduga kalau peristiwa ini pasti akan berbuntut panjang," ujar Ki Jarak sedikit mendesah.
"Memang sulit diterima akal sehat Hampir semua penduduk desa mengatakan kalau kedua korban sebelumnya pernah berbincang-bincang dengan Dewayani sebelum mereka ditemukan tewas," gumam Rangga.
"Sebelumnya tidak pernah terjadi hal ini, Nak Rangga. Sejak kedatangan Dewayani di desa ini, ada saja peristiwa yang terjadi. Pertama penduduk diributkan dengan hilangnya hewan ternak, yang kemudian ditemukan di pinggir hutan dalam keadaan mati. Leher terkoyak dan sebagian darah terkuras. Dan kejadian selanjutnya ya, begini ini,"
"Hm...," Rangga bergumam pelan. Dua pemuda yang jadi korban pembunuhan misterius itu juga lehernya terkoyak lebar. Dan memang, korban pertama darahnya hampir habis. Tapi Rangga tidak pernah berpikir sejauh itu, karena banyak juga darah yang tergenang di lantai. Sedangkan pada korban yang kedua, hanya leher saja terkoyak tanpa sisa darah sedikit pun di tubuhnya.
"Aku jadi berpikir, jangan-jangan desa ini kedatangan makhluk aneh haus darah...," gumam Ki Jarak pelan seperti untuk dirinya sendiri.
Rangga memandangi laki-laki setengah baya itu dalam-dalam. Selama dalam pengembaraannya, belum pernah terdengar hal seperti ini. Sedangkan Ki Jarak hanya menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat mereka hanya diam membisu dengan pikiran berkecamuk. Di dalam hati, Rangga semakin tertarik pada persoalan ini. Terlebih lagi setelah mendengar dugaan Ki Jarak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Satu pemikiran yang dirasakan amat ganjil, tapi bukannya tidak mustahil hal itu bisa terjadi. Masih banyak masyarakat yang mempercayai hal-hal seperti itu, yang sukar diterima akal sehat. Apakah memang benar ada makhluk haus darah di Desa Semanding ini?
********************
EMPAT
Dewayani merendam tubuhnya di dalam sungai. Sebentar ditenggelamkan kepalanya, kemudian diangkat sambil dibasuh wajahnya dengan air sungai itu. Sama sekali tidak disadari kalau dari balik semak di tepi sungai, sepasang mata selalu memperhatikan. Gadis itu tetap asyik mandi tanpa mengetahui ada yang tengah merayapi tubuhnya. Setelah puas berendam dalam sungai, Dewayani keluar dari dalam sungai itu. Dia berjalan ke tepi dan mengganti kain yang basah dengan pakaian kering berwarna biru tua.
Sementara sepasang mata dari balik semak semakin tidak berkedip menjilati tubuh Dewayani yang tengah berganti pakaian. Sepasang mata itu terus memperhatikan sampai Dewayani meninggalkan sungai dengan ayunan kaki pelahan-lahan.
Trek! Tiba-tiba terdengar suara ranting patah terinjak. Dewayani langsung berhenti melangkah. Ditatapnya sumber suara tempat pemilik sepasang mata itu bersembunyi. Gadis itu memutar tubuhnya sedikit, dan pandangan matanya tajam ke arah semak itu. Tampak semak itu bergoyang-goyang.
Sebentar kemudian, muncul seorang pemuda bertubuh sedang dengan wajah polos, tapi sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar diterka. pemuda itu melangkah mendekati Dewayani yang hanya diam memperhatikan saja. dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan gadis itu.
"Kang Odi.., aku kira siapa," desah Dewayani mengenali pemuda itu.
Pemuda itu kelihatan kaku. namun sinar matanya begitu tajam merayapi wajah cantik di depannya. sedangkan Dewayani memberi senyuman yang teramat manis, membuat jakun pemuda itu bergerak turun naik. terasa kering seketika tenggorokan Odi melihat senyum gadis cantik ini.
"Siang-siang kok ada di sini, kang. tidak ke ladang?" Tanya Dewayani, lembut dan halus.
"Oh...! eh, tidak," sahut Odi tergagap. Pikiran pemuda itu jadi melayang, semula Odi hanya ingin mengintip saja, tapi tidak disangka ketahuan juga. dia tahu kalau hampir semua penduduk seakan-akan menjauhi Dewayani dan menuduh gadis ini biang keladi dari dua pembunuhan yang terjadi kemarin. Tetapi tetap saja pemuda desa itu tidak peduli dan tetap berusaha mendekati gadis ini secara sembunyi-sembunyi, kecantikan Dewayani memang telah membuat dia tidak peduli akan segala macam prasangka warga desa Temanding.
“Terus, mau apa kau di sini?" Tanya Dewayani bernada curiga.
"Aku..., Aku.... Eh, Anu...," Odi semakin tergagap.
Dewayani tersenyum manis sekali sepasang matanya berbinar semakin indah dipandang. Namun Odi malah kelihatan bertambah gugup. Tubuhnya beberapa kali menggeletar seperti kedinginan. wajahnya sebentar pucat dan sebentar kemudian berubah merah. Dewayani memang cantik sekali, sehingga tidak ada seorang pemuda pun yang sanggup berlama-lama bersama gadis ini. Rata-rata tidak ada yang tahan jika bertatapan mata. kharisma Dewayani memang sungguh luar biasa. bukan saja anak-anak muda. bahkan yang sudah punya anak istri saja bakal tidak berkedip bila memandang gadis ini.
"Seharusnya tidak perlu sembunyi-sembunyi begitu, Odi. Aku sungguh senang jika ada yang sudi berteman denganku," ujar Dewayani semakin lembut suaranya.
"Oh, benarkah...?" Odi seperti tidak percaya.
“Tentu saja. di sini aku tidak punya teman. Malah sekarang seperti dimusuhi," agak memberengut wajah Dewayani.
"Mereka memang bodoh, Dewayani. tapi aku sama sekali tidak percaya kalau kau bisa membunuh orang. aku yakin, membunuh semut pun kau pasti tak mampu," Odi mulai berani.
Dewayani tertawa renyah. sungguh merdu suara tawanya. Sampai-sampai Odi terpana memandangi baris-baris gigi yang begitu rapi dan putih bersih. Memang kecantikan Dewayani sungguh sempurna. seperti tidak mempunyai cela sedikit pun. Beberapa kali Odi terpaksa harus menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak kering kerontang.
"Kita ngobrol di sana, yuk...?" ajak Dewayani sambil menunjuk batu-batu yang bertumpuk dan tersebar di tepi sungai.
Gadis itu langsung saja menarik tangan Odi, sehingga membuat pemuda itu bergetar bagai tersengat ribuan lebah berbisa. Odi jadi terpaku kaku. Malah kakinya seperti terpantek, sukar untuk digerakkan. Tangan Dewayani yang halus bagai kapas mencekal pergelangan tangan Odi.
"Ayo...," ajak Dewayani seperti tidak mempedulikan keadaan pemuda itu.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Odi menurut saja. Mereka berjalan mendekati tepian sungai yang berbatu. Tapi pemuda itu semakin kelihatan kaku, dan beberapa kali tubuhnya menggeletar seperti terserang demam. Dua orang itu kemudian duduk di atas sebongkah batu datar. Mereka duduk hampir merapat, membuat pemuda itu semakin tidak menentu perasaannya. Namun tampaknya Dewayani sama sekali tidak peduli. Bibirnya yang merah tersenyum-senyum dan beberapa kali mengerlingkan mata pada pemuda itu.
"Kok gemetaran, Di?" tegur Dewayani diiringi senyuman.
"Dingin," sahut Odi seenaknya.
"Panas begini kok dingin sih? Terus terang saja. Kau tidak biasa berdekatan dengan perempuan, ya?"
Odi langsung membisu. Tepat sekali tebakan Dewayanti. Pemuda itu memang belum pernah berdekatan dengan seorang gadis mana pun juga. Apalagi gadis secantik bidadari ini. Masih bisa bernapas saja Odi sudah harus bersyukur. Baginya hari ini adalah hari yang paling indah daripada hari-hari lainnya. Tidak semua pemuda di Desa Semanding punya kesempatan duduk berdua bersama gadis ini.
"Nanti malam kamu bisa keluar tidak, Di?" Tanya Dewayani lembut sambil meletakkan tangannya di punggung tangan pemuda itu.
Kembali tubuh Odi gemetar. Seketika itu juga jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Lidahnya terasa kelu, seperti tidak mampu menjawab pertanyaan Dewayani.
"Kalau tidak bisa, tidak apa-apa," kata Dewayani setengah merajuk.
"Bi..., bisa. Tentu saja bisa," buru-buru Odi membuka suara meskipun tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa menolongku dong," rajuk Dewayani.
"Menolong apa?" Tanya Odi. Pemuda itu seperti merasakan punya kesempatan untuk lebih mendekati gadis ini. Dalam hatinya, Odi bertekad untuk menyanggupi apa saja yang diinginkan Dewayani. Yang penting baginya bisa berada berdua saja dengan gadis ini.
"Mengantarku ke sendang," sahut Dewayani.
"Malam-malam...?!" Odi terkejut.
"Bisa tidak...?" desak Dewayani.
"Bisa!" sahut Odi tanpa berpikir panjang lagi.
“Kalau begitu, aku tunggu di sini ya?"
"Di mana saja, Dewayani. Aku jemput ke rumahmu juga tidak apa-apa."
"Jangan, nanti Ki Jepun marah. Soalnya sekarang ini aku dilarang bergaul. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Padahal, tanpa bergaul pun aku sudah dijauhi.” agak menghiba nada suara Dewayani.
"Jangan khawatir, Dewayani. Pokoknya aku bersedia mendampingimu kapan saja," tegas Odi, langsung berbunga hatinya.
“Sungguh...?"
"Apa harus bersumpah?"
Dewayani tersenyum manis. Tiba-tiba saja diberikannya satu kecupan tipis di pipi pemuda itu. Seketika itu juga Odi merasa jantungnya berhenti berdetak. Tubuhnya mengejang kaku, dan matanya menatap kosong tidak percaya. Sebelum Odi menyadari apa yang baru saja didapat, Dewayani sudah meninggalkannya sambil berlari-lari kecil. Pemuda itu masih terpaku bagai sepotong area batu. Sungguh sulit dipercaya kalau dirinya baru saja dicium seorang gadis cantik yang menjadi buah bibir dan menjadi incaran setiap anak muda di Desa Semanding.
"Yihuii...!" tiba-tiba saja Odi terlonjak melompat sambil berteriak keras. Pemuda itu berjingkrak-jingkrakan seperti baru saja mendapat lotre. Sambil berteriak-teriak, pemuda itu berlari-lari dan melonjak-lonjak tidak karuan. Bahkan lebih dari itu, dipeluk dan diciuminya sebatang pohon bertubi-tubi sambil menyebut-nyebut nama Dewayani. Kelakuan Odi sungguh menggelikan. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau ada beberapa orang memperhatikan tingkahnya yang memeluk pohon sambil menyebut nama Dewayani. Pemuda itu benar-tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang keheranan. Dia berlari-lari dan berjingkrakan bagai orang tidak waras.
"Ha ha ha..! Aku berhasil! Aku berhasil..!" Teriak Odi keras sambil terus berjingkrakan.
********************
Pagi-pagi sekali kegemparan kembali terjadi di Desa Semanding. Orang-orang yang hendak ke sungai dikejutkan dengan diketemukannya tubuh Odi yang tergeletak tak bernyawa di tepi sungai. Pemuda itu tewas dengan cara mengerikan. Leher terkoyak hampir buntung dan dada berlubang besar hingga seluruh rongga bagian dalam dadanya terlihat. Yang lebih mengejutkan lagi, tak ada setetes darah pun terdapat di tubuh pemuda itu. Bahkan sekitarnya juga kelihatan bersih tanpa ada sedikit bercak darah.
Kematian Odi membuat seluruh penduduk Desa Semanding marah. Mereka beramai-ramai mendatangi rumah Ki Jepun. Semua orang tahu kalau kemarin Odi seperti orang gila, selalu menyebut-nyebut nama Dewayani sambil memeluk dan menciumi pohon. Bahkan Odi sendiri cerita pada teman-temannya kalau dirinya dicium Dewayani di tepi sungai. Tentu saja cerita Odi tidak ada yang mempercayai. Terlebih lagi anak-anak muda yang secara diam-diam selalu bersaing memperebutkan gadis itu. Namun tidak demikian halnya gadis-gadis dan kaum wanita di desa yang tampak be-gitu marah. Bahkan orang-orang tua tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah mereka mendatangi rumah Ki Jepun.
"Dewayani! Keluar kau...!"
"Bunuh saja perempuan setan itu!" "Usir dia dari desa kita...!"
Macam-macam teriakan terdengar dari mulut para wanita dan gadis-gadis muda yang berkumpul di depan rumah Ki Jepun. Sedangkan yang laki-laki, baik tua maupun muda, hanya diam saja mengawasi di belakang mereka. Sementara jendela dan pintu rumah Ki Jepun tertutup rapat. Di dalam rumah, Ki Jepun, istrinya, dan Dewayani hanya diam saja mendengarkan teriakan-teriakan yang menyakitkan telinga.
"Apa yang harus kita lakukan, Ki?" Tanya Nyi Jepun dengan suara agak bergetar.
"Tenang saja, Nyi. Biarkan mereka meluapkan kemarahannya sampai serak suaranya," sahut Ki Je pun tenang.
Nyi Jepun memandangi Dewayani yang hanya duduk saja di balai-balai bambu. Gadis itu juga memandang perempuan tua yang telah begitu baik padanya. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Jepun yang berdiri dekat jendela mengintip ke luar.
"Biar kuhadapi mereka, Ki," kata Dewayani sambil turun dari balai-balai bambu.
"Jangan...!" cegah Nyi Jepun langsung menarik tangan Dewayani, dan membawanya duduk kembali.
Ki Jepun memalingkan mukanya menatap dalam-dalam gadis itu. "Mereka semua bersenjata, Dewayani. Kau akan dirajam kalau keluar," jelas Ki Jepun, terdengar tenang suaranya.
"Aku bisa menghadapi mereka, Ki," tegas Dewayani tidak tahan lagi mendengar kata-kata yang menyakitkan hatinya di luar sana.
"Lebih baik kau tutup saja telingamu, Dewayani. Sabarkan hatimu, dan jangan lawan mereka dengan hati panas juga," Ki Jepun menasehati.
Dewayani diam saja, duduk di samping Nyi Jepun. Kata-kata Ki Jepun barusan memang benar. Para penduduk itu sedang dilanda kemarahan sehingga hati mereka menjadi buta. Jika dilawan dengan hati panas juga, justru akan memperburuk suasana. Saat mereka berdiam diri, terdengar ketukan di pintu beberapa kali. Sejenak Ki Jepun memandang kedua wanita yang duduk berdampingan, kemudian melangkah menghampiri pintu. Ki Jarak dan Rangga serta beberapa sesepuh des berdiri di depan pintu yang dibuka Ki Jepun.
Setelah dipersilakan masuk, mereka yang berjumlah lima orang, masuk ke dalam rumah itu. Ki Jepun menyambut mereka dengan ramah, lalu mempersilakan duduk. Dua orang laki-laki tua berdiri saja di pintu yang tetap dibiarkan terbuka. Sementara para wanita yang berkerumun di depan rumah Ki Jepun terus berteriak-teriak menyuruh Dewayani keluar.
"Aku ke sini bukan hendak mengadili keponakanmu, Ki Jepun," jelas Ki Jarak membuka suara.
"Terus terang, Ki Jarak. Aku tidak mengerti, mengapa mereka menuduh keponakanku yang membunuh Odi," keluh Ki Jepun.
"Itulah yang hendak kuselesaikan sekarang, Ki," kata Ki Jarak lagi.
"Ki Jarak, kan aku sudah katakan. Kalau memang Dewayani benar-benar bersalah, aku sendiri yang akan menghukumnya. Nah, sekarang mana bukti-buktinya kalau keponakanku bersalah?" tantang Ki Jepun.
"Memang tidak ada bukti kuat, Ki," sahut Ki Jarak.
"Nah! Kenapa mereka tidak dibubarkan saja?" agak keras nada suara Ki Jepun.
Ki Jarak menarik napas panjang. Dipandanginya, dua orang laki-laki tua yang menjaga di pintu. Ki Jarak meminta agar orang-orang yang berkerumun di luar dibubarkan. Bukan hanya dua orang laki-laki di pintu saja. Bahkan seorang yang usianya sebaya dengan Ki Jarak yang duduk di samping kepala desa itu juga ikut keluar. Hanya Rangga yang masih duduk di samping kiri Ki Jarak.
"Ki Jepun, kudengar Dewayani mempunyai ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Apa benar begitu?" Tanya Ki Jarak setelah suasana di luar sunyi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Jepun.
Ki Jarak memandang Dewayani yang tetap duduk di pinggir balai-balai bambu bersama Nyi Jepun. Gadis itu membalas tatapan kepala desa dengan sinar mata lembut. Agak bergetar juga hati Ki Jarak menerima pandangan mata gadis itu. Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak lebih kencang. Buru-buru Ki Jarak mengalihkan pandangannya ke pintu yang masih terbuka lebar.
Tak terlihat lagi penduduk desa di depan rumah ini. Hanya ada beberapa laki-laki dan tiga orang sesepuh desa yang berada tidak jauh dari pintu. Sementara itu pandangan Dewayani sudah beralih pada Rangga. Gadis ini tahu, kenapa Ki Jarak bertanya seperti itu. Rangga memang pernah melihat Dewayani bertarung melawan seorang tua berjubah hitam yang bernama Iblis Hitam di tepi sungai. Maka Dewayani yakin betul kalau pemuda berbaju rompi putih itulah yang mengatakan demikian pada kepala desa ini.
"Ilmu olah kanuragan yang kumiliki bukan untuk membunuh," tegas Dewayani tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak menuduhmu dalam peristiwa pembunuhan di sini, Dewayani," ujar Ki Jarak.
"Tapi pertanyaanmu bernada menuduhku, Ki," dengus Dewayani dingin.
"Maaf kalau kau tersinggung oleh pertanyaanku,” ucap Ki Jarak menghindari suasana tegang.
"Asal kalian tahu saja, semalaman aku tidak keluar kamar. Kuakui, aku memang ngobrol dengan Odi kemarin. Tapi itu bukan berarti aku sebagai pembunuhnya!" tegas kata-kata Dewayani.
Ki Jarak memandang Rangga yang saat itu juga menoleh padanya. Laki-laki setengah baya itu seperti minta pendapat Pendekar Rajawali Sakti, tapi pemuda itu malah mengangkat bahu saja. Rangga memang tidak punya alasan untuk mencurigai Dewayani. Dan jalan pikiran Ki Jarak sendiri seperti buntu. Dia jadi tidak tahu, apa yang harus dikatakan lagi. Sementara Dewayani terus menatap tajam Ki Jarak dan Rangga bergantian dengan sinar mata dingin.
********************
Hampir jauh malam Ki Jarak bam pulang dari rumah Ki Jepun. Banyak yang dibicarakan setelah Dewayani masuk ke dalam kamarnya. Sementara Ki Jepun bisa mengerti kalau kepala desa itu memang hendak berbuat adil dan tidak berpihak pada siapa pun. Ki Jepun menghargai sikap kepala desa itu. Dan dengan hati besar diakui kesalahannya yang telah menduga buruk terhadap Ki Jarak.
Malam itu suasana di Desa Semanding begitu mencekam. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin membekukan tulang. Ki Jarak berjalan pelahan-lahan menuju kerumahnya. Sedangkan tetangga sudah sejak sore tadi pergi entah ke mana. Tak ada seorang pun yang terlihat di luar rumah. Kematian tiga anak muda yang begitu tragis membuat hampir seluruh penduduk desa dicekam rasa takut.
Mendadak langkah kaki kepala desa itu terhenti. Tiba-tiba di depannya menghadang seseorang berpakaian gelap mengenakan sebuah tudung besar yang menutupi sebagian wajahnya. Suasana malam yang hanya diterangi cahaya bulan, membuat Ki Jarak kesulitan untuk mengetahui orang yang menghadangnya di tengah jalan itu, Melihat kilatan cahaya pedang di depan dada, Ki Jarak sudah dapat menduga kalau orang itu pasti tidak bermaksud baik.
"Apa maksudmu menghadang di tengah jalan..?" Tanya Ki Jarak yang tidak mengetahui apakah orang itu laki-laki atau perempuan.
Orang itu tidak menjawab sepatah kata pun, tapi tiba-tiba saja melompat cepat tanpa menimbulkan suara. Ringan dan bagaikan kilat lompatan orang itu, sehingga membuat Ki Jarak agak terpukau sesaat. Namun begitu terlihat kelebatan cahaya keperakan, secepat kilat Ki Jarak melompat mundur dua langkah.
Wutt! Ki Jarak terhuyung sedikit begitu ujung pedang yang berkilatan itu lewat di depan dadanya. Sungguh luar biasa! Angin tebasan itu demikian kuat, membuat keseimbangan tubuh Ki Jarak tergoyah. Dan pada saat itu, orang berbaju gelap dan bertudung itu kembali menyerang dengan melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Tak ada lagi kesempatan bagi Ki Jarak untuk menghindari pukulan itu. Dengan cepat dikibaskan tangannya untuk menangkis pukulan orang tak dikenal itu.
Tak! "Ikh...!" Ki Jarak terpekik tertahan. Buru-buru kepala desa itu melompat mundur. Pergelangan tangan kanannya terasa seperti remuk ketika membentur tangan orang itu. Dan belum juga hilang rasa sakit pada pergelangan tangannya, orang bertudung besar itu sudah kembali melompat sambil mengibaskan pedang ke arah dada.
"Uts!" Ki Jarak menarik tubuhnya ke belakang menghindari tebasan pedang itu. Secepat kilat dilepaskan satu pukulan keras dengan tangan kiri begitu ujung pedang itu lewat di depan dadanya. Namun orang itu manis sekali mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Ki Jarak hanya menyambar tempat kosong.
Tiba-tiba saja orang itu cepat menggeser kakinya ke samping. Dan dengan gerakan setengah memutar, secepat kilat diberikan satu tendangan keras disusul tusukan pedang ke arah perut. Ki Jarak langsung meliukkan tubuhnya menghindari tendangan menggeledek itu, namun terlambat menarik tubuhnya. Sehingga...
Crab! "Akh...!" Ki Jarak memekik keras.
Tusukan pedang orang itu berhasil merobek lambung Ki Jarak. Darah langsung muncrat keluar begitu pedang ditarik dari perut. Ki Jarak terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang sobek akibat tusukan pedang. Dan sebelum kepala desa itu mampu melakukan sesuatu, orang bertudung besar itu kembali melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher. Ki Jarak terbelalak. Buru-buru ditarik kepalanya ke belakang. Dan tebasan pedang itu lewat sedikit saja di depan tenggorokan Ki Jarak. Namun sebelum pedang itu tertarik pulang, orang bertudung sudah memberikan satu tendangan melingkar sambil memutar tubuhnya pada kaki kiri. Begitu cepat serangan berantai itu, sehingga membuat Ki Jarak tidak sempat lagi menghindarinya.
Des! Tendangan itu tepat menghantam dada Ki Jarak, membuat kepala desa itu terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Pada saat itu, secepat kilat orang bertudung besar melesat mengejar sambil menghunus pedang lurus ke depan. Dan bagaikan kilat dikibaskan pedangnya dua kali.
Bret! Cras!
"Aaa...!" Ki Jarak menjerit tinggi. Leher dan dadanya sobek terbabat ujung pedang. Darah mengucur deras dari luka yang menganga lebar. Hanya sebentar Ki Jarak mampu bertahan berdiri. Ketika satu tendangan keras menghantam dadanya, tubuh laki-laki setengah baya itu kontan terjungkal keras menghantam tanah berdebu. Ki Jarak kini menggelepar meregang nyawa. Darah semakin banyak keluar dari tubuhnya. Sebentar kemudian, kepala desa itu mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi.
********************
LIMA
Rangga berdiri tegak di samping pusara Ki Jarak. Kematian Kepala Desa Semanding itu membuat seluruh penduduk gempar. Tuduhan terhadap Dewayani sebagai pelakunya semakin kuat. Tapi kini tak ada seorang pun yang berani mendatangi rumah Ki Jepun. Mereka marah, tapi juga takut bertindak. Sedangkan sesepuh desa sendiri tak mampu berbuat banyak.
Rangga mengangkat kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki dari arah depan. Kening Pendekar Rajawali Sakti itu berkerut saat melihat seorang wanita berbaju hitam, tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh di depannya. Sebagian wajahnya tertutup kerudung tipis berwarna hitam. Namun Rangga masih bisa mengenali kalau wanita itu adalah Dewayani. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri dan berdiri sekitar tiga langkah di depan gadis itu.
Saat kerudung hitam tersibak dan turun dari kepala, terlihat seraut wajah cantik bagai seorang bidadari kahyangan turun ke bumi. Sesaat Rangga terpaku memandangi wajah cantik di depannya, namun perasaannya yang jadi tidak menentu, cepat-cepat dikuasai. Dia lalu menoleh memandang pusara Ki Jarak, kemudian berpaling lagi menatap Dewayani.
“Aku menyesal, orang sebaik Ki Jarak harus ikut jadi korban," ucap Dewayani pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Banyak yang ingin kubicarakan denganmu. Mudah-mudahan kau tidak keberatan, Dewayani," kata Rangga tanpa mempedulikan ucapan penyesalan gadis itu.
Sebentar Dewayani memandangi pusara Ki Jarak, kemudian menghampiri dan meletakkan seikat bunga mawar yang dibawa. Gadis itu kini kembali menghampiri Rangga dan terus berjalan pelahan. Rangga mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping kanannya. Mereka berjalan pelahan tanpa berbicara. Sampai jauh meninggalkan tempat pemakaman, belum ada yang membuka suara. Tanpa disadari mereka berjalan menuju ke hutan di sebelah Barat Desa Semanding.
“Terus terang, semalam aku mengawasi rumah Ki Jepun," Rangga mulai membuka suara.
Semula Rangga mengira kalau Dewayani akan terkejut mendengar kata-katanya. Tapi, Kenyataannya gadis itu tampak biasa saja. Pandangannya tetap lurus ke depan tak berkedip. Ayunan kakinya juga teratur. Sedikit pun Dewayani tidak berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku melihat seseorang keluar dari pintu belakang. Cepat sekali, sehingga sulit melihat jelas. Tapi arahnya menuju sungai. Aku mengejar ke sana, dan kehilangan jejak. Di situ aku mendengar jeritan Ki Jarak. Ternyata begitu aku datang, dia sudah tewas," sambung Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu berbicara sambil terus mengamati raut wajah gadis cantik di sampingnya. Untuk kedua kalinya Rangga harus menelan ludah pahit. Ternyata Dewayani tetap datar tanpa sedikit pun ada perubahan pada wajahnya. Bahkan sorot mata gadis itu demikian kosong, bagai seorang gadis yang sudah enggan-hidup di dunia lagi.
"Bukannya ingin menuduhmu, tapi aku hanya ingin tahu. Di mana kau malam itu?" lanjut Rangga terus memperhatikan wajah di sampingnya.
"Di rumah," jawab Dewayani datar.
"Kau tidak ke luar rumah semalam?" Tanya Rangga lagi.
“Tidak," singkat saja jawaban Dewayani.
"Kau tahu di mana Ki Jepun dan istrinya malam itu?"
"Untuk apa kau bawa-bawa Ki Jepun?" dengus Dewayani balik bertanya. "Pikiranmu sama piciknya dengan mereka...," agak terputus suara Dewayani.
"Kau bisa memanggilku Rangga," Rangga memperkenalkan diri
"Siapa yang peduli dengan namamu? Yang aku ingin tahu, untuk apa kau datang ke desa ini? Kau juga hanya pendatang, bukan?"
Rangga terhenyak mendengar pertanyaan ketus itu. "Aku heran, kenapa mereka tidak mencurigaimu? Padahal kau juga hanya pendatang. Malah kedatanganmu bertepatan dengan jatuhnya korban pertama. Kenapa justru aku yang dituduh? Kenapa tidak menuduhmu...?"
Untuk kesekian kalinya, Rangga terpaksa harus menelan makian pahit. Kata-kata Dewayani barusan jelas memojokkan dirinya, di samping gadis itu mengelak dari tuduhan seluruh penduduk Desa Semanding. Secara jujur, Rangga memang mengakui kebenaran kata-kata gadis ini. Sama sekali tidak dibantah kebenarannya.
"Sekarang kau ikut-ikutan menuduhku. Justru itulah yang membuatku jadi curiga padamu!" dalam sekali nada suara Dewayani.
"Kau cerdas, Dewayani," puji Rangga tulus.
Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tersinggung mendengar tuduhan Dewayani yang begitu langsung tanpa tedeng aling-aling lagi. Dan kembali Rangga mengagumi keberanian gadis ini. Buktinya dia sendiri masih berbasa-basi dan berpikir agar tidak menyinggung lawan bicaranya. Tapi justru gadis ini secara terbuka mengeluarkan isi hatinya, meskipun begitu pedas berbau tuduhan. Namun hal itu justru membuat Rangga jadi berpikir lain, dan tidak tersinggung. Apalagi marah. Pendekar Rajawali Sakti itu malah tersenyum.
"Kuakui kau memang benar, Dewayani," ujar Rangga terbuka. "Untuk itu aku ingin banyak bicara denganmu. Itu pun jika tidak keberatan."
"Kau ingin mengorek tentang diriku?" tebak Dewayani langsung.
“Tidak. Karena aku juga tidak suka kalau ada orang yang coba-coba mengutak-atik kehidupan diriku," tegas Rangga.
"Bagus! Kalau begitu, sebaiknya lupakan saja semua yang terjadi di sini. Dan aku juga tidak akan lebih lama tinggal di sini. Percuma saja, desa ini seperti neraka buatku."
"Itu bukan pemecahan yang terbaik, Dewayani."
Dewayani berhenti melangkah, tepat di saat mereka tiba di sebuah kolam kecil berair jernih. Pinggiran kolam itu dihiasi batu-batu hitam berlumut yang bertumpuk-tumpuk, seperti sengaja ditata. Dewayani duduk di atas batu di pinggir kolam itu. Tempat inilah yang disebut penduduk Desa Semanding sebagai sendang. Sebuah kolam kecil yang merupakan sumber mata air jernih. Letaknya tidak begitu jauh di dalam hutan. Namun suasananya begitu tenang dan sunyi.
********************
Sementara itu di Desa Semanding, Ki Jepun duduk mencangkung dengan satu kaki terangkat menopang dagu di beranda depan rumahnya. Sedangkan Nyi Jepun asyik mengunyah sirih sambil menganyam tikar. Sejak pagi tadi mereka tidak melihat Dewayani. Sedangkan senja sudah merayap turun. Saat itu seorang wanita bertubuh gemuk melintas di depan rumah. Disemburkan ludahnya dan terus berjalan. Cepat Ki Jepun ter dongak kaget.
“Biar saja, Ki.," kata Nyi Jepun melihat suaminya sudah akan berdiri.
"Huh! Seumur hidup belum pernah aku dihina seperti ini!" dengus Ki Jepun sambil memandangi perempuan gemuk yang sudah lenyap di tikungan jalan.
Sejak pagi tadi, sudah beberapa kali Ki Jepun melihat penghinaan seperti itu. Entah sudah berapa orang yang meludah saat melintas di depan rumahnya. Kematian kepala desa benar-benar merupakan pukulan berat bagi seluruh warga Desa Semanding. Terutama, bagi Ki Jepun yang langsung merasakan akibatnya. Semua penduduk jadi begitu benci, seperti melihat kotoran busuk terhadap pasangan tua ini.
"Belum pernah hal ini terjadi...!" rungut Ki Jepun menggerutu.
"Kau jangan menyalahkan Dewayani, Ki!" sentak Nyi Jepun.
"Aku tidak menyalahkan anak itu. Tapi sejak dia datang ke sini.... Rasanya kewibawaanku lenyap!"
"Sebelum Dewayani datang, mereka juga sudah tidak pernah memandang lata lagi, Ki. Aku tidak senang kalau Dewayani dijadikan alasan."
"Aku jadi heran, kau selalu saja membela anak itu, Nyi," nada suara Ki Jepun mulai curiga.
"Anak itu baik, Ki, Dan kita sudah sepakat untuk mengangkatnya sebagai anak. Justru sekarang aku yang heran, kenapa tiba-tiba kau jadi berubah? Apa sudah tidak sayang lagi pada Dewayani?" Nyi Jepun balik menyerang sengit.
“Terus terang, Nyi Kadang-kadang aku suka ragu. Aku memang menyayanginya. Tapi sampai saat ini kita belum tahu, dari mana asalnya? Dan lagi, kenapa tiba-tiba saja dia menyetujui begitu kita mengutarakan hendak mengangkatnya anak? Sejak itu..."
“Terjadi pembunuhan misterius!" potong Nyi Jepun cepat
"Nyi..," Ki Jepun menggeser duduknya mendekati istrinya.
"Apa tidak sebaiknya nanti kita tanyakan asal-usulnya?" usul Ki Jepun, setengah berbisik.
"Apa kau ini sudah pikun, Ki...? Kau sendiri yang mengatakan kalau tidak akan peduli siapa dan dari mana asal Dewayani. Aku tidak setuju!"
"Hhhmm.!" Ki Jepun menghembuskan napas berat.
Laki-laki tua itu memang bisa memahami, betapa cintanya istrinya terhadap Dewayani. Kerinduannya terhadap seorang anak begitu tertumpah penuh pada gadis itu. Sehingga membuat Nyi Jepun tidak mempedulikan situasi yang kini sedang dihadapi. Suasana yang tidak mengenakkan sama sekali, dibenci semua penduduk desa. Kehadiran Dewayani di rumah ini memang sempat membuat semarak, tapi itu tidak berlangsung lama.
Sekarang suasananya begitu jauh terbalik. Mereka Selalu dihadapkan pada hal-hal yang sukar di mengerti. Sejak pertama, sebenarnya Ki Jepun hendak menanyakan asal-usul Dewayani. Tapi begitu melihat gadis itu sangat rajin, ringan tangan, dan selalu membuat keceriaan, pupus segala keingintahuan nya mengenai diri gadis itu. Tapi sekarang rasa ingin tahunya begitu tebal, bahkan bisa dikatakan kecurigaan, Ki Jepun jadi ragu-ragu tentang diri gadis itu yang sebenarnya.
Pandangan Ki Jepun mendadak tertumbuk ke ujung jalan. Terlihat Dewayani berjalan bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih. Ki Jepun tahu, siapa pemuda itu. Beberapa penduduk yang melihat langsung mencibirkan bibirnya. Bahkan ada di antaranya yang langsung menyemburkan ludah. Tapi nampaknya Dewayani tidak peduli, dan tetap berjalan tenang di samping Pendekar Rajawali Sakti. Ki Jepun dan istrinya tetap saja duduk di balai-balai bambu beranda depan rumahnya, meskipun Dewayani sudah berada di halaman. Gadis itu langsung menghenyakkan tubuhnya di samping Nyi Jepun. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja, namun bersikap sopan.
"Silakan duduk, Den," Nyi Jepun mempersilakan.
“Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk di kursi kayu di depan Ki Jepun. Sedangkan Ki Jepun hanya memandang dalam-dalam pemuda itu. Sukar ditebak arti pandangan laki-laki tua itu. Rangga sendiri tidak mengerti, dan jadi merasa tidak enak. "Aku hanya mengantarkan Dewayani Sebaiknya aku permisi dulu," ucap Rangga seraya bangkit berdiri.
“Tunggu dulu, Anak Muda," cegah Ki Jepun. Rangga kembali duduk.
"Aku ingin bicara denganmu," kata Ki Jepun seraya melirik istrinya. Nyi Jepun bisa mengerti, lalu segera bangkit berdiri dan mengajak Dewayani ke dalam. Gadis itu berpamitan pada Rangga, kemudian mengikuti perempuan tua itu yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.
"Kelihatannya penting sekali, Ki," ujar Rangga setelah Nyi Jepun dan Dewayani tidak terlihat lagi.
"Tentang Dewayani," kata ki Jepun datar.
"Oh...," Rangga menyandarkan punggungnya. "Ada apa dengan Dewayani, Ki?"
"Hhh...!" sebentar Ki Jepun mendesah pajang. "Aku tahu kau bukan penduduk desa ini, Anak Muda. Aku juga yakin baru beberapa hari kau kenal Ki Jarak."
"Aku memang pendatang, Ki," sahut Rangga terus terang.
"Itulah yang ingin kubicarakan denganmu, Anak Muda."
Rangga mengerutkan keningnya hingga alisnya hampir bertaut menjadi satu. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi semakin ingin tahu melihat raut wajah Ki Jepun yang kelihatan bersungguh-sungguh. Bahkan laki-laki tua ini tidak tersenyum sedikit pun. Pandangan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak menembus relung hati pemuda di depannya.
"Anak Muda, jika kau sudi mendengar kata-kataku, sebaiknya tinggalkan saja desa ini secepatnya," kata Ki Jepun, datar dan dalam nada suaranya.
Kening Rangga semakin berkerut dalam.
"Kenapa, Ki?" Tanya Rangga tidak mengerti. "Demi kebaikanmu sendiri dan mengurangi bebanku, Anak Muda. Kau dan aku sama-sama buta. Dan sebaiknya kau menghindar sebelum telanjur," ujar Ki Jepun lagi.
"Ki, apakah ini ada hubungannya dengan Dewayani?" Pelan sekali suara Rangga, hampir tidak terdengar.
"Aku tidak bisa mengatakannya, Anak Muda. Meskipun aku sendiri bingung, tapi tidak bisa kukatakan padamu. Maaf," sahut Ki Jepun.
"Yaaah..., aku juga sebenarnya memang akan pergi dari desa ini Tapi sayang sekali, aku menunggu seseorang. Dan yang kutunggu belum datang," kata Rangga beralasan.
Rangga langsung bangkit berdiri dan berpamitan. Ki Jepun tidak bisa mencegah lagi. Dipandanginya punggung pemuda itu. Hembusan napas berat terdengar keluar dari hidung laki-laki tua itu. Sementara Rangga semakin jauh berjalan, menuju rumah Ki Jarak yang berada di ujung jalan. Rumah yang kini kosong karena istri Ki Jarak telah lama meninggal. Sedangkan anak-anaknya sudah tidak tinggal lagi di desa ini. Ki Jarak tidak pernah cerita, di mana anak-anaknya sekarang berada.
Sementara Ki Jepun masih memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Beberapa kali dihembuskan napas panjang dan terasa berat. Entah kenapa, penolakan Rangga yang begitu halus membuat dirinya jadi gelisah. Ki Jepun sendiri tidak tahu, kenapa jadi mengkhawatirkan pemuda itu. Tiga anak muda yang tewas sebelumnya pernah ngobrol dengan Dewayani. Dan barusan Rangga berjalan beriringan dengan gadis itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja tidak ada korban lagi," desah Ki Jepun dalam hati.
Rangga duduk bersila di beranda depan rumah Ki Jarak. Tidak ada seorang pun di rumah besar ini. Semua pembantu Ki Jarak langsung pergi begitu kepala desa itu tewas secara tragis. Bahkan empat orang pengawalnya langsung menghilang. Mereka semua merasa takut menjadi sasaran pembunuh misterius yang sampai saat ini belum ketahuan siapa orangnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin semakin terasa. Kabut pun semakin menebal di seluruh permukaan bumi Desa Semanding kali ini. Tak ada lagi terdengar suara, selain desir angin dan suara binatang-binatang malam. Begitu sunyi suasana malam di desa itu.
"Hm...," tiba-tiba Rangga menggumam pelan. Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat kepalanya sampai tegak. Telinganya yang tajam, mendengar adanya suara halus yang hampir tidak terdengar. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu mampu berpikir lebih jauh, mendadak saja...
Wusss! Sebuah benda tiba-tiba meluncur deras dari kegelapan malam yang berkabut. Benda itu mengarah kepada Rangga yang duduk bersila di beranda depan rumah Ki Jarak. Masih dalam posisi duduk bersila Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menggerakkan tangannya, lalu menangkap benda sepanjang jengkal tangan itu dengan dua jari tangannya. Sebentar Rangga melirik, ternyata hanya sebatang ranting kering yang panjangnya sekitar satu jengkal.
"Hup...!" Cepat Rangga melesat keluar dari beranda, begitu melihat sesosok tubuh berada di dalam gumpalan kabut. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti itu berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di depan sosok tubuh berbaju gelap mengenakan tudung lebar yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Jarak di antara mereka tepat sekitar lima langkah lagi.
"Siapa kau?" Tanya Rangga
Orang itu tidak menjawab, namun tiba-tiba saja menarik pedangnya keluar dari sarungnya di pinggang. Dan secepat itu pula dia melompat menerjang, seraya mengibaskan pedangnya tiga kali ke atas dan ke bawah.
"Uff! Hup..,!" Bergegas Rangga mengegoskan tubuhnya, lalu melenting ke belakang ketika ujung pedang itu meluruk menusuk ke arah dada. Tapi orang itu terus mengejar. Tubuhnya meluruk, dan pedangnya diarahkan lurus ke depan. Dia seperti terbang dalam posisi tubuh tegak. Dan Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat dirapatkan kedua tangannya di depan dada, tepat pada saat ujung pedang hampir menembus dadanya.
Tap! Pedang itu terkunci rapat di dalam telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil melepaskan pedang itu. Tubuh orang bertudung itu terlontar deras ke belakang. Secepat kilat Rangga melesat mengejar sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega’. Kedua tangannya bergerak cepat mengarah ke kepala lawan. Begitu cepatnya, sehingga orang itu jadi kelabakan menghindari serangan-serangannya. Dan pada satu saat...
Prak! Kibasan tangan Rangga berhasil menghancurkan tudung yang dikenakan orang itu. Namun belum juga Rangga sempat melihat wajahnya, orang itu sudah lebih cepat melesat kabur.
"Hei..!" teriak Rangga.
Slap!
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat mengejar. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Rangga juga merapalkan aji 'Tatar Netra’. Keadaan malam yang begitu pekat dan berkabut memang menyulitkan pandangan mata biasa, memaksa Pendekar Rajawali Sakti hams menggunakan aji 'Tatar Netra’ untuk mempertajam penglihatannya. Dengan demikian orang itu dapat terlihat walaupun berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Hiyaaat..!" Rangga melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi begitu hampir saja mengejar orang itu, mendadak sebuah bayangan hitam menyambarnya. Buru-buru Rangga memutar tubuhnya di udara, dan mendarat turun dengan manis sekali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, kembali bayangan hitam berkelebat menyerang.
"Hup! Hiyaaa...." Rangga tetap berdiri tegak, dan langsung menghentakkan kedua tangannya menyambut bayangan hitam itu.
Dughk!
Satu benturan keras terjadi. Pendekar Rajawali Sakti itu terdorong sejauh tiga langkah ke belakang. Sedangkan bayangan hitam itu terlontar sejauh tiga batang tombak, lalu jatuh bergulingan di tanah. Tapi cepat-cepat dia bangkit berdiri. Saat itu Rangga sudah melompat sambil memberikan dua pukulan beruntun.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Orang berbaju hitam longgar itu segera melompat ke samping. Dan secepat itu pula dikibaskan sebatang tongkat yang tergenggam di tangan kanan, ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun pemuda berbaju rompi putih itu lebih tangkas lagi. Segera diangkat kakinya, dan tanpa diduga sama sekali kaki kanannya melayang deras ke arah dada.
Buk!
"Akh...!" orang itu terpekik keras.
Tendangan Rangga memang tidak diduga sama sekali, sehingga sukar lagi dihindari. Kembali orang bertongkat itu terbanting keras ke tanah. Dan sebelum dia sempat berdiri, Rangga sudah melompat. Sambil mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan kakinya ke arah dada orang itu. Tapi orang itu cepat menggulirkan tubuhnya ke samping, sehingga pijakan kaki Rangga hanya menghajar tanah. Begitu keras dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tanah bergetar bagai gempa akibat pijakan kakinya.
"Hiyaaa...!" Sukar dipercaya! Gagal dengan pijakan kaki, Rangga langsung memutar tubuhnya sambil melayangkan tendangan berputar. Padahal, gerakan itu sangat sukar dilakukan orang yang ilmunya cukup tinggi sekalipun. Dan orang bertongkat itu jadi terkejut. Dia baru saja bisa berdiri, dan kini tidak ada kesempatan menghindar lagi. Terpaksa dikebutkan tongkatnya memapak tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!"
Trak,..!
"Heh...?!"
Orang itu terperanjat tidak percaya. Tongkatnya terpental dan patah jadi dua bagian tersambar tendangan Rangga. Belum lagi lenyap keterkejutannya, nendadak saja satu pukulan keras bertenaga dalam penuh sudah cepat dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Orang itu tidak bisa lagi mengelak, dan...
Des!
"Aaakh...!" orang itu menjerit melengking tinggi. Tubuh berjubah hitam itu terpental deras ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Rangga tidak membuang-buang waktu lagi, dan langsung melentingkan tubuhnya mengejar. Dan begitu tangannya terangkat hendak menghantam kepala orang itu, mendadak saja terdengar seruan keras dari arah belakang.
"Jangan...!"
Seketika Rangga menghentikan niatnya untuk menghantamkan pukulan ke kepala orang yang sudah tidak berdaya itu. Dia kemudian melompat mundur dua langkah. Sedangkan orang berjubah hitam itu masih tergeletak di antara kepingan kayu dari pohon yang hancur terlanda tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh, tapi...
Wut...!
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget.
Mendadak saja secercah cahaya merah meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Secepat pula Rangga menarik tubuhnya ke samping, maka sinar merah itu lewat di samping bahunya. Sinar merah itu menghantam sebatang pohon di pinggir jalan.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya pohon itu. Bunga api memercik menyebar ke segala arah. Rangga benar-benar terkejut. Tapi belum juga sempat menarik kembali posisi tubuhnya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan gelap.
"Hup!"
Cepat Rangga melompat menghindari terjangan itu. Namun sungguh tidak diduga sama sekali. Ternyata bayangan gelap itu bukan hendak menyerangnya, tapi menyambar tubuh yang masih tergeletak dengan napas tersengal di tanah. Bagaikan kilat, bayangan gelap itu berkelebat membawa orang berjubah hitam.
"Hei...!" Rangga terkejut. Secepat kilat pula Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mengejar. Namun pada saat itu hampir seluruh penduduk desa keluar dari rumahnya. Mereka terkejut mendengar ledakan keras barusan. Tapi mereka tidak akan bisa melihat apa-apa. Ternyata baik orang misterius itu maupun Rangga sudah lenyap entah ke mana.
********************
ENAM
“Huh! Ke mana perginya...?" dengus Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu kehilangan jejak buruannya. Dia berhenti berlari dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi yang tampak hanya kegelapan dan pohon-pohon yang rapat hitam kelam bagai tangan-tangan raksasa yang hendak merangkul dan melumatnya.
Rangga tertegun begitu mengenali tempat ini karena pernah ke sini bersama Dewayani siang tadi. Sebuah kolam berbatu berada dekat di depannya. Di tempat ini buruannya menghilang tak berbekas. Keadaan yang begitu gelap, memang sulit mencari jejak. Terlebih lagi buruannya memiliki ilmu yang cukup tinggi. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai meneliti setia jengkal sekitar sendang ini tanpa mengenal putus asa.
Namun sampai begitu lama, buruannya tidak juga ditemukan. Andai dia menyadari kalau yang dikejarnya tadi adalah orang yang selama ini membuat kekacauan di Desa Semanding. Tapi siapa...? Yang jelas sudah terlihat dua orang. Dan salah satunya dapat dikenali. Rangga tahu betul orang yang hampir tewas di tangannya adalah si Iblis Hitam. Seorang laki-laki tua yang pernah bertarung melawan Dewayani di tepi sungai.
"Rasanya jelas kalau Dewayani ada hubungannya Dengan semua peristiwa yang terjadi di Desa Semanding. Tapi aku sangsi kalau gadis itu yang membunuh mereka," gumam Rangga sambil terus meneliti sekitar Sendang.
Sampai menjelang fajar, Pendekar Rajawali Sakti itu belum juga menemukan tanda-tanda di mana buruannya berada. Begitu terasa penat, segera dihenyakkan tubuhnya di tepi sendang berbatu. Pandangannya beredar berkeliling. Semburat cahaya matahari di ufuk timur memperjelas keadaan sekitar sendang ini.
"Hm, apakah ada tempat tersembunyi sekitar sendang ini?" Gumam Rangga bertanya-tanya di dalam hati. Sudah seluruh pelosok sekitar sendang ini dijelajahi semalaman, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda tempat persembunyian. Sejak semalam Pendekar Rajawali Sakti memang sudah berpikir ke arah situ. Tapi sampai pagi begini belum juga ditemukan. Dan Rangga jadi ragu-ragu. Mungkin juga orang itu hanya lewat saja di sini, dan mungkin juga...
Berbagai macam kemungkinan memang bisa saja terjadi, Dan Rangga tidak ingin semuanya serba mungkin. Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat kepalanya, ketika mendengar suara langkah orang menuju sendang ini, Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian melesat ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi dan terlindung. Matanya tajam tak berkedip memandang ke arah suara langkah yang didengarnya.
"Dewayani...?!" Desis Rangga dalam hati ketika melihat seorang gadis dari dalam semak belukar.
Gadis itu mengenakan baju berwarna biru gelap dengan sebilah pedang tergantung di pinggang. Dai atas pohon, Rangga terus memperhatikan gadis itu yang menuju sendang. Tampaknya Dewayani tidak tahu kalau ada orang yang memperhatikannya. Langkahnya kemudian berhenti di tepi sendang. Tanpa ragu-ragu lagi, gadis itu membuka pakaiannya. Dilemparkannya begitu saja pakaian itu ke atas batu di samping kakinya.
Sementara Rangga yang berada di atas pohon, langsung memalingkan mukanya. Rasanya tak sanggup memandang tubuh Dewayani yang polos tanpa benang selembar pun melekat di tubuhnya. Gadis itu melangkah masuk ke dalam sendang, lalu berenang membersihkan diri di dalam air yang bening bagai kaca itu. Sesekali Rangga memperhatikan.
Tapi setiap kali Dewayani menyembulkan tubuhnya keluar dari dalam air, buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu memalingkan muka. Dalam persembunyiannya Rangga jadi gelisah sendiri. Rasanya tidak mungkin kalau harus pergi. Sedikit gerakan saja, akan mengejutkan gadis situ. Rangga terpaksa bertahan walaupun jantungnya berdetak kencang.
"Setan!" rutuk Rangga dalam hati ketika seekor semut merah menggigit punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti itu meringis. Dan sialnya semut itu malah berpindah-pindah tempat. Menggigit beberapa bagian kulit tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun gigitan itu masih bisa ditahan. Tapi saat dirasakan semut itu mulai merayapi leher, dia sudah tidak tahan lagi. Terlebih saat merasakan semut itu menuju telinga.
"Mati aku..." Dengus Rangga.
Tanpa dapat dicegah lagi, Rangga menepak semut merah yang hampir saja masuk ke dalam telinganya. dan apa yang dikhawatirkan pemuda itu terjadi. Tepakannya terdengar Dewayani yang masih asyik bermain-main di kolam. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya. Matanya seketika membelalak tatkala melihat Rangga nangkring di atas pohon, tidak jauh dari sendang ini.
"He...! Apa yang kau lakukan di situ?" bentak Dewayani seraya menenggelamkan tubuhnya. Tinggal leher dan kepala saja yang berada di atas permukaan
"Semut sialan!" rutuk Rangga dalam hati. Merasa sudah diketahui, Rangga melompat turun dari atas pohon itu walaupun dengan muka merah. Dengan sekali gerakannya, dan tanpa suara sedikit pun kakinya menjejak tanah. Sementara Dewayani masih merendam tubuhnya di dalam air hingga sebatas leher. Tapi air sendang yang jernih tetap memperlihatkan bayang-bayang tubuhnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud...," ucap Rangga terputus.
"Berbalik ke sana!" bentak Dewayani.
Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya. Dewayani buru-buru keluar dari dalam sendang Bergegas pula dikenakan pakaiannya kembali. Sedangkan Rangga masih memunggunginya. Ada rasa penyesalan terselip di hatinya karena telah melihat gadis itu dalam keadaan tanpa busana. Tapi semua yang terjadi memang bukan kehendaknya, dan sudah dicobanya untuk menghindar. Tapi gara-gara seekor semut... Rangga memaki binatang kecil itu dalam hati.
"Kau pasti sengaja menungguku di sini!" dengus Dewayani langsung menuduh.
"Tidak," sangkal Rangga seraya memutar tubuhnya, menghadap kembali pada gadis itu.
“Kalau begitu, untuk apa kau pagi-pagi begini ada di sini?! Tingkahmu pasti sama dengan anak-anak muda desa. Selalu saja mencuri kesempatan!" dengus Dewayani memberungut.
"Terserahlah," Rangga mengangkat bahunya "Yang jelas sama sekali aku tidak tahu kalau setiap pagi kau mandi di sini. Biasanya semua warga Desa Semanding mandi di sungai."
“Tadinya memang begitu, tapi sekarang tidak. Setiap kali aku ke sungai, selalu saja ada yang menunggu atau membuntuti. Huh! Mereka semua pengecut! Bisanya hanya mencuri," Dewayani masih memberungut.
“Jangan samakan aku dengan mereka, Dewayani.”
“Kau memang lain. Mereka bodoh, sedangkan kau punya kepandaian tinggi. Lagi pula kau memang tampan...," Dewayani memberikan senyum.
Rangga hanya tersenyum tipis.
"Seharusnya kau tidak perlu sembunyi-sembunyi begitu, Kakang. Kalau ingin mandi bersamaku, kenapa tidak berterus terang saja?" ujar Dewayani, mendadak lenyap keketusan di wajahnya.
Rangga menelan ludahnya. Sebenarnya Pendekar. Rajawali Sakti itu heran juga melihat perubahan yang begitu cepat. Tapi mengingat tawaran gadis cantik ini jantungnya jadi berdetak kencang juga. Pria mana yang begitu tolol menolak ajakan menggairahkan itu? Setiap laki-laki normal, mustahil akan menolak ajakan gadis cantik ini. Dan Rangga jadi serba salah.
Dewayani memang cantik dan penuh daya rangsang tinggi. Tidak akan ada seorang laki-laki pun yang akan berpaling ke arah lain bila memandang kecantikan gadis ini. Bukan hanya kecantikan wajahnya, tapi bentuk tubuhnya sanggup membuat seorang laki-laki bertahan berjemur diri di bawah terik panas matahari satu harian. Bahkan kalau perlu dapat meninggalkan anak dan istri, asalkan bisa mendapatkan Dewayani.
Walau hanya sebentar saja. Dan kini dalam batin Pendekar Rajawali Sakti tengah terjadi pertempuran sengit. Satu pertempuran ganjil antara menolak dan menerima ajakan menggairahkan itu.
"Sendang ini cukup jauh dari desa. Tidak ada yang datang ke sini kecuali air sungai sudah kering," pancing Dewayani.
"Kau baru saja selesai mandi. Untuk apa mengajakku mandi lagi?" agak bergetar juga suara Rangga.
"Itu juga kalau kau mau, Kakang. Aku bisa menggosok punggungmu. Aku yakin, pagi ini kau pasti belum membersihkan diri. Iya, kan...?"
Rangga tidak menjawab. Memang diakui kalau dirinya belum mandi. Bahkan sejak pagi kemarin belum tersentuh air. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu masih sukar menerima keinginan Dewayani. Entah kenapa perasaannya jadi tidak menentu. Terlebih lagi saat Dewayani menarik tangannya, dan mendekap ke dadanya. Seketika detak jantung pemuda itu tidak menentu.
"Dewayani...," desah Rangga hendak menolak.
Tapi Dewayani malah merapatkan tubuhnya di tubuh pemuda itu. Dan dengan berani sekali dilingkarkan tangannya ke leher. Begitu dekat sekali wajah mereka, sehingga Rangga dapat merasakan desahan napas gadis itu menerpa kulit wajahnya. Begini segar dan harum, membuat pikirannya jadi tidak menentu. Dengan gerakan lembut, Dewayani melepaskan tali pengikat pedang di punggung Pendekar Rajawali Sakti, dan menjatuhkannya ke tanah. Sedangkan Rangga hanya diam saja.
Seperti hilang kesa-darannya pemuda berbaju rompi putih itu menurut saja. Dewayani merendahkan tubuhnya sambil menarik leher pemuda itu. Rangga jadi ikut merendahkan tubuhnya berlutut dengan kaki tertekuk sejajar tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu merasa seluruh aliran darahnya seketika terhenti begitu bibir Dewayani melumat bibirnya disertai gairah menggelora.
Sedikit pun Rangga tidak mencegah ketika tangan Dewayani melepaskan bajunya. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi lupa diri. Dan yang ada kini hanya gairah yang menggebu-gebu menggelegak dalam dada. Semula hanya diam saja, tapi kini...
"Ah...," Dewayani mendesis saat merasakan jari-jari tangan Rangga merayapi dadanya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya. Rangga seperti tak kuasa menolak, ikut merebahkan tubuhnya tanpa melepaskan pelukan. Dilumatnya bibir gadis itu disertai gairah menggelegak. Tak ada lagi kata-kata, hanya desah dan rintihan tertahan terdengar. Dewayani menggeliat-geliatkan tubuhnya di bawah himpitan Pendekar Rajawali Sakti. Tidak dipedulikan lagi jari-jari tangan Rangga yang mulai melepaskan pakaiannya. Bahkan gadis itu ikut membantu dengan menggerak-gerakkan tubuhnya. Sebentar saja, gadis itu sudah polos. Tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya berserakan di samping tubuhnya sendiri.
"Oh, Kakang...," rintih Dewayani mendesah.
Tapi mendadak saja... "Khraghk...!"
"Aaakh...!" tiba-tiba Rangga menjerit keras. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu menggelimpang dari tubuh Dewayani. Dipegangi kepalanya sendiri sambil berteriak-teriak. Lalu dengan tatapan mata merah, Pendekar Rajawali Sakti itu mendesis menatap Dewayani. Secepat kilat, Rangga menyambar pakaian dan pedangnya, lalu melesat pergi. Begitu cepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Kakang...!" jerit Dewayani. Buru-buru gadis itu mengenakan pakaiannya kembali, lalu bangkit berdiri. Tapi Dewayani tidak jadi mengejar pemuda berbaju rompi putih itu, dan mendadak jadi tertegun. Gadis itu kemudian terus berlari kencang ke arah yang berlawanan dengan kepergian Rangga.
“Tidak...!" jerit Dewayani sambil terus berlari kencang.
********************
Rangga menjatuhkan dirinya berlutut. Dipegangi kepalanya dan dijambak rambutnya. Kemudian tangannya memukul-mukul tanah. Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan kepalanya hingga membentur tanah berumput dengan keras.
"Oh, Dewata Yang Agung..., Apa yang telah kuperbuat? Oh, tidak! Aku tidak melakukan itu...," rintih Rangga.
Memang, suara burung rajawali putih telah menyadarkannya. Rangga benar-benar tidak ingat apa yang telah dilakukannya terhadap Dewayani. Kesadarannya saat itu hilang, dan yang ada hanya gairah nafsu menggelora. Rangga tak mampu melawan, dan tidak tahu apa yang telah terjadi.
"Oh...!" Rangga tersentak ketika mengangkat kepalanya. Tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang laki-laki berbaju putih. Wajahnya bersinar bagai matahari.
Rangga langsung bersujud menempelkan keningnya di tanah. Seluruh tubuhnya gemetaran, tak sanggup mengangkat kepalanya kembali. Apalagi memandang laki-laki yang kini berdiri di depannya, yang sangat dihormati. Dialah guru sejati yang telah moksa ratusan tahun lalu. Seorang pendekar tanpa tanding pada masa hidupnya dulu, dan dikenal berjuluk Pendekar Rajawali. Tampak di angkasa seekor burung rajawali putih melayang-layang mengitari. Bayang-bayang burung itu membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran deras Rangga semakin tidak sanggup menggerakkan tubuhnya. Hatinya sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Bangunlah, Rangga," lembut dan berwibawa sekali suara Pendekar Rajawali.
"Guru.... Aku mohon ampun. Aku tidak melakukannya. Sungguh...," rintih Rangga tetap bersujud dengan kening menyentuh tanah.
"Bangun, Rangga."
"Ampunkan aku, Guru...." Dengan tubuh masih bergetar dan keringat mengucur deras, Rangga bangkit dan duduk bersila. Namun kepalanya masih tetap tertunduk.
"Pandang aku, Rangga." Pendekar Rajawali Sakti itu merapatkan tangannya di depan hidung, kemudian mengangkat kepalanya pelahan dan memandang wajah laki-laki berbaju putih yang wajah dan tubuhnya bersinar bagai matahari.
"Kau tidak perlu bersikap seperti itu, Rangga. Tegarlah! Angkat kepala, dan busungkan dadamu! Kau bukan laki-laki lembek yang mudah mengucurkan air mata. Aku tidak suka melihatmu seperti itu!" tegas kata-kata Pendekar Rajawali.
"Maafkan aku, Guru," ucap Rangga mulai tenang.
"Aku tahu kau tidak kuasa menolak. Bagaimanapun juga kau manusia normal. Dan apa yang telah terjadi pada dirimu adalah di luar kendali dan kesadaranmu. Kau terpengaruh, Rangga. Dan hal itu tidak kau sadari, karena hati, pikiran, dan perasaanmu sedang terguncang. Kau harus tegar menghadapi segala sesuatu. Jangan biarkan hatimu lemah. Jangan biarkan pikiranmu terguncang. Kau seorang pendekar sejati. Hati dan pikiranmu harus sejalan."
Rangga diam saja. Disimak dan dimasukkannya kata-kata gurunya itu ke dalam hati yang paling dalam. Setiap kata yang terucapkan dicerna dengan baik di dalam hati. Rangga mengakui, meskipun kepandaiannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya, tapi dalam beberapa hal masih memiliki kelemahan.
"Rangga! Orang yang kau hadapi sekarang bukan manusia sembarangan. Dalam diri orang itu telah merasuk roh jahat meskipun dia sendiri tidak menginginkannya. Itu sebabnya dalam waktu sekejap perangainya bisa berubah. Dan dia sadar dengan apa yang dilakukannya, tapi tidak mampu menolak. Kau harus dapat membebaskannya dari pengaruh Roh Sang Penakluk dari dalam dirinya," kata Pendekar Rajawali lagi.
"Guru, apakah yang dimaksudkan itu adalah Dewayani?" Tanya Rangga.
"Benar, Rangga. Gadis itu berasal dari daerah Selatan. Dan sengaja lari ke wilayah Kulon ini untuk menghindari kekuasaan Roh Sang Penakluk. Tapi rupanya roh jahat itu tetap mengikutinya, dan ingin menjadikan Dewayani sebagai penerus! Menjadi Sang Penakluk.
"Maksud, Guru?" Rangga tidak mengerti.
"Rangga. Dulu ketika aku masih hidup, ada seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Suatu ilmu yang sangat langka dan jarang dimiliki orang lain. Dia bisa menguasai pikiran dan hati manusia. Tidak peduli apakah itu laki-laki, perempuan, anak-anak, atau orang-orang tua. Dia bisa menguasai hanya dari pandangan matanya saja, tidak ada yang bisa menandinginya. Bahkan aku sendiri nyaris tewas ketika mencoba menghentikan perbuatannya. Tapi, akhirnya bisa kulenyapkan, meskipun aku sendiri harus menderita luka parah. Tapi sebelum tewas, dia bersumpah akan terus mengembara dalam bentuk roh, dan merasuk ke dalam raga orang-orang yang diinginkan. Rangga, tidak sembarang orang bisa dimasuki dan dipengaruhi dalam bentuk roh seperti sekarang ini. Hanya mereka yang terlahir kembar, dan kembarannya meninggal sebelum sempat melihat dunia saja yang bisa dipengaruhi. Tapi jika sudah merasuk ke dalam tubuh orang yang dipilihnya, maka kekuatannya akan kembali sempurna pada orang itu."
"Guru, apa yang harus kulakukan?" Tanya Rangga.
"Hm..., kau memang tidak mungkin bisa membunuh roh tanpa jasad. Tapi kau harus bisa melepaskan gadis itu dari pengaruhnya. Hanya saja itu tidak mudah, Rangga. Kau bisa melenyapkan roh itu jika memang sudah menyatu di dalam diri gadis itu.
Tapi...."
"Tapi kenapa, Guru?"
"Harus ada korban."
"Maksud Guru?"
"Dewayani harus merelakan dirinya menyatu bersama roh itu...," kembali kata-kata Pendekar Rajawali terputus.
"Aku mengerti, Guru," ujar Rangga pelan.
********************
TUJUH
Hampir tengah malam Rangga sudah berada tidak jauh dari rumah Ki Jepun. Dan sebenarnya pula, sejak menjelang malam tadi Pendekar Rajawali Sakti sudah mengawasi rumah pasangan tua itu. Kini diyakininya kalau Dewayani terlibat langsung terhadap semua yang terjadi di Desa Semanding ini. Tapi Rangga masih sangsi, kalau Dewayani yang membunuh tiga pemuda desa.
Tapi menurut gurunya yang muncul dalam bentuk roh halus, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi ragu-ragu juga. Menurut gurunya, Dewayani memang membunuh ketiga pemuda desa itu. Tapi itu dilakukannya di luar kendali dan keinginannya sendiri. Ada suara kekuatan lain yang tidak bisa dilawan sendiri. Suatu kekuatan yang telah lama mati ratusan tahun yang lalu. Kekuatan itu disebut Sang Penakluk.
"Hm.... Dewayani harus kubebaskan. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya...? Mungkinkah manusia dapat melawan roh tak berujud?" Rangga berbicara sendiri dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia teringat kembali kata-kata gurunya. Dan setiap kali teringat, rasanya tidak mungkin memisahkan Dewayani dari kekuatan itu. Bisa saja roh itu dilenyapkannya, tapi hanya untuk sementara waktu saja. Dan ini juga menyangkut keselamatan Dewayani sendiri, karena gadis itu harus jadi korban. Tak mungkin roh halus itu dilawan kalau tidak menyusup lebih dahulu ke dalam raga gadis itu.
"Sangat disayangkan sekali, gadis itu harus mati dalam usia muda. Hhh...!" Desah Rangga dalam hati. Rangga memang menghadapi satu pilihan sulit. Dan rasanya sulit menghindar dari Kenyataan yang akan terjadi. Bagaimanapun juga tekad Pendekar Rajawali Sakti adalah mengenyahkan kekuatan jahat yang kini bersemayam di dalam diri Dewayani. Kalaupun mungkin, gadis itu harus diselamatkan. Tapi Rangga tidak yakin bisa menyelamatkan Dewayani. Masalahnya sekarang, gurunya sendiri tidak yakin kalau Dewayani bisa diselamatkan.
Rangga terus berpikir keras mencari jalan yang terbaik. Namun perhatiannya tidak lepas ke arah rumah Ki Jepun. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu merasa yakin kalau malam ini Dewayani akan keluar kembali dan mencari korban baru. Darah dari pemuda-pemuda yang berhasil ditaklukkan melalui kecantikannya. Darah yang akan membuat roh dalam tubuhnya semakin bertambah kuat. Semakin banyak darah yang didapat, semakin bertambah kekuatannya.
"Hm...," Rangga bergumam ketika melihat pintu belakang rumah Ki Jepun terbuka. Pendekar Rajawali Sakti itu semakin menajamkan penglihatannya. Tampak dari dalam rumah, keluar seseorang mengenakan baju berwarna gelap. Rangga terus memperhatikan orang yang bergerak ringan keluar dari dalam rumah. Masih sulit baginya untuk mengenalinya, karena orang itu berjalan agak memunggunginya.
Tepat pada saat orang itu melesat, Rangga langsung melentingkan tubuhnya mengejar. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin ketinggalan walau hanya sesaat saja. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan aji ‘Tatar Netra', ke mana orang berbaju gelap itu pergi, terus dikuntitnya.
********************
Sementara itu di sebuah rumah yang letaknya agak menyendiri dari rumah-rumah lainnya, tampak dua orang laki-laki tengah duduk di beranda depan. Yang seorang masih muda, berusia sekitar dua puluh tahun. Sedangkan seorang lagi sudah setengah baya. Mereka duduk saling berhadapan di atas selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh sambil berbincang-bincang. Semua penduduk Desa Semanding mengenal mereka. Yang muda bernama Caraka. Sedangkan laki-laki setengah baya itu adalah ayahnya, yang biasa dipanggil Ki Pudit.
"Caraka, apa kau yakin kalau Dewayani akan ke sini malam ini?" Tanya Ki Pudit. Nada suaranya terdengar tegang.
"Aku yakin. Ayah. Siang tadi aku sengaja menunggunya di tepi hutan, dan lama juga bicara dengannya. Dan aku merasa yakin ada sesuatu di dalam dirinya, tapi tidak tahu kekuatan apa yang ada," sahut Caraka.
“Tapi kau harus hati-hati, Caraka. Sudah tiga anak muda dan kepala desa yang tewas terbunuh," ujar ayahnya khawatir.
Caraka hanya tersenyum saja. Sebenarnya Caraka baru dua hari ini berada kembali di desa, tanah kelahirannya ini. Kedatangannya juga karena mendengar di desanya sedang terjadi sesuatu yang menimbulkan tiga korban nyawa. Selama ini pemuda itu tinggal di sebuah padepokan, dan berguru disana. Hanya sesekali saja pulang ke rumah orang tuanya. Dia sudah banyak mendengar, baik dari cerita ayah dan ibunya maupun dari para penduduk desa ini.
Sebenarnya Caraka tidak yakin kalau pelaku semua pembunuhan itu adalah seorang gadis yang sangat cantik dan nampak lembut. Tapi setelah berbicara cukup lama siang tadi, dia merasa ada sesuatu di dalam diri gadis itu. Sesuatu yang hampir tidak dirasakan. Namun demikian pemuda itu masih juga merasa ragu-ragu. Apalagi, Caraka tidak membantah kalau hatinya sempat tergetar pula saat melihat kecantikan Dewayani.
"Sebaiknya Ayah di dalam saja. Jangan memberi kesan kalau kita sedang menunggu," kata Caraka.
"Hati-hatilah, Caraka. Aku mungkin tidak bisa membantumu. Aku tidak bisa apa-apa," ucap Ki Pudit seraya bangkit berdiri, namun agak berat hatinya.
"Percayalah, Ayah. Apa pun namanya kejahatan di muka bumi ini, tidak akan berumur panjang. Kalaupun tidak bisa menandinginya, aku berusaha agar masih bisa selamat," ujar Caraka memberikan ketenangan pada ayahnya.
Ki Pudit menepuk pundak anaknya, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya. Semula orang tua itu tidak ingin menutup pintu. Tapi, Caraka meminta agar pintunya ditutup saja. Ki Pudit terpaksa menuruti keinginan anaknya ini. Di Desa Semanding, memang Ki Puditlah orang tua yang bisa berbangga. Sebab, anaknya bisa berguru di sebuah padepokan yang cukup mempunyai nama dan termasuk seorang murid pilihan yang berkemampuan cukup tinggi.
Memang di desa ini bisa dihitung dengan jari, orang yang memiliki ilmu olah kanuragan. Bahkan itu pun hanya sekadar untuk menjaga diri saja. Tidak ada keistimewaannya sama sekali. Tapi malam ini kecemasan benar-benar menghantui hati Ki Pudit. Betapa tidak? Baru saja dua hari anaknya datang, sudah harus menghadapi bahaya besar yang bisa membuat nyawa melayang.
Sementara itu Caraka duduk mencangkung di beranda depan rumahnya. Meskipun kelihatan tenang, namun hatinya tetap diliputi sesuatu yang sukar dienyahkan. Secara jujur, Caraka mengakui kalau dirinya juga khawatir tidak akan mampu menghadapi pembunuh misterius itu. Caraka bangkit berdiri ketika melihat seseorang berjalan setengah berlari di kejauhan.
Pemuda itu melangkah keluar dari beranda dan berdiri di tengah jalan, tepat di depan rumahnya. Ditunggunya orang yang menghampiri setengah berlari itu. Semakin dekat, semakin jelas terlihat kalau orang itu adalah wanita. Caraka tersenyum begitu melihat wajahnya. Ternyata dia adalah Dewayani.
"Ada yang mengejarmu?" Tanya Caraka begitu Dewayani sudah dekat di depannya.
"Tidak." Sahut Dewayani seraya memberi senyuman yang begitu manis.
Gadis itu mengenakan baju cukup ketat berwarna biru gelap, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Sejenak Caraka memandang gadis itu. Sebagai laki-laki normal, tentu pemuda itu agak bergetar juga melihat seorang gadis yang begitu cantik dengan bentuk tubuh menggairahkan. Tapi Caraka berusaha menekan perasaannya.
"Bagaimana? Kita jadi ke sendang?" Tanya Caraka.
"Rasanya...."
"Ada apa, Dewayani? Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk mengantarkan ke sendang malam ini?"
Dewayani hanya diam saja. Ditolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, seakan-akan ada yang dicari. Caraka ikut memperhatikan sekelilingnya. Keadaan sekitarnya sepi senyap, tak tampak seorang pun di sekitar tempat ini. Pemuda itu memandangi wajah cantik di depannya. Kening pemuda itu agak berkerut saat melihat raut wajah Dewayani yang berubah jadi menegang. Caraka menelan ludahnya. Dirasakan adanya sesuatu yang sukar diketahui apa namanya.
Pemuda itu mulai waspada dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Pelahan kakinya bergerak mundur beberapa tindak. Sementara Dewayani semakin kelihatan menegang kaku. Sepasang matanya mendadak saja berubah merah menyala. Wajah yang cantik itu jadi memucat bagai tak teralirkan darah.
"Kau ingin menjebakku, Caraka...!" Desis Dewayani dengan suara yang serak dan datar.
Kembali Caraka menelan ludahnya mendengar suara yang begitu lain. Jelas sekali kalau itu bukan suara Dewayani, meskipun keluar dari bibir gadis itu. Dan pemuda itu semakin yakin kalau ada suatu kekuatan lain di sekitar tempat ini. Kekuatan itu datang dari gadis di depannya.
"Kau harus mampus, Caraka! Shaaa...!" Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Dewayani melompat menerjang pemuda itu.
Bergegas Caraka menggeser kakinya ke samping, dan secepat itu pula dicabut golok yang tersembunyi di balik bajunya.
Wuk! Bagaikan kilat, Caraka mengibaskan goloknya begitu dapat menghindari ter-jangan Dewayani yang kini sudah berubah. Tebasan golok itu berhasil menghantam pinggang gadis itu. Tapi sungguh di luar dugaan sama sekali! Golok itu malah terpental, lepas dari genggaman Caraka. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Dewayani mengibaskan tangan kanannya dengan kecepatan bagai kilat.
"Graghk...!"
Bughk!
"Akh..." Caraka memekik keras tertahan. Kibasan tangan Dewayani menghantam dada pemuda itu. Akibatnya tubuh Caraka terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Begitu keras, sehingga membuatnya bergelimpangan di tanah beberapa kali. Pemuda itu meringis sambil mendekap dadanya. Tangan Dewayani yang kecil, lembut, dan halus itu terasa bagai sebuah potongan baja yang amat keras.
"Ughk...” Caraka berusaha bangkit berdiri sambil mengatur jalan napasnya. Seluruh tulang-tulang dadanya terasa remuk. Kalau saja kekuatan tenaga dalam tidak dikerahkan, mungkin seketika sudah tewas dengan dada remuk. Namun demikian, rasa nyeri dan sesak napas mengganjal di dalam dada pemuda itu. Dan sebelum Caraka bisa menguasai jalan nafasnya, Dewayani sudah kembali melompat seraya memperdengarkan suara raungan keras bagai binatang buas.
"Auuurghk...!"
“Hup!" Cepat sekali Caraka melentingkan tubuhnya ke samping, menghindari ter-jangan gadis itu. Dua kali pemuda itu berputaran di udara, dan manis sekali mendarat agak ke belakang dari tubuh Dewayani. Caraka tidak membuang-buang kesempatan. Sambil berteriak keras, dia melompat dan menghentakkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Hiyaaa...!"
Buk!
Tendangan Caraka yang demikian keras tak dapat dihindari Dewayani. Punggung gadis itu telak dihantam tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Tapi sungguh sukar dipercaya. Bukannya Dewayani yang terpental, tapi justru Caraka yang terpental cukup jauh. Dan pemuda itu mengerang keras saat punggungnya menghantam sebatang pohon hingga hancur berantakan. Caraka menggeliat sambil meringis kesakitan di antara serpihan pohon yang terlanda tubuhnya.
Sementara Dewayani sudah memutar tubuhnya berbalik menghadap pemuda yang berusaha bang-kit sambil merintih menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Belum lagi rasa nyeri seperti remuk pada tulang-tulang kakinya. Pemuda itu tadi seperti menendang seonggok benda campuran antara batu cadas dengan baja yang sangat kuat Sungguh tak tergoyahkan meskipun telah dikerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
"Gila! Makhluk apa ini...?" Dengus Caraka seraya menggeser kakinya ke samping. Pemuda itu meraba pinggangnya, lalu mengeluarkan dua senjata pendek berujung tiga dari besi berwarna kuning keemasan. Senjata itu berbentuk trisula pendek, yang ujung-ujungnya runcing berkilat tertimpa cahaya sinar rembulan. Caraka memutar-mutar kedua senjata di tangannya. Pandangannya begitu tajam mengawasi setiap gerak gadis cantik yang kini sudah berubah menjadi sosok makhluk mengerikan dan sangat liar.
"Maju kau, iblis laknat!" dengus Caraka.
“Ha ha ha...!" Dewayani malah tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa itu terdengar kering dan agak serak, persis tawa seorang nenek-nenek. Caraka agak tersentak juga mendengarnya. Dia jadi menduga, mungkinkah Dewayani sebenarnya adalah nenek-nenek yang mampu mempertahankan bentuk wajah dan tubuhnya sehingga masih kelihatan seperti gadis muda dan cantik?
Namun belum juga pemuda itu bisa menjawab pertanyaan yang menggeluti benaknya, mendadak saja Dewayani sudah kembali melompat cepat luar biasa. Direntangkan tangannya ke depan, dan kuku-kuku jari tangannya mengembang runcing berwarna hitam.
"Hiyaaa...!"
Wut! Wuk...!
Caraka langsung mengibaskan senjatanya sambil melompat berkelit. Dua kali senjatanya berhasil ditancapkan ke tubuh gadis itu. Tapi Caraka jadi terbeliak keheranan. Ternyata senjatanya tak mampu melukai tubuh gadis ini. Bahkan Dewayani semakin liar dan ganas saja. Serangan-serangannya sungguh cepat, meskipun sama sekali tidak berusaha untuk menghindari serangan balasan yang dilepaskan pemuda itu.
Beberapa kali Caraka berhasil mendaratkan tendangan dan menancapkan senjatanya ke seluruh bagian tubuh gadis itu. Tapi hasilnya nihil. Bahkan pemuda itu sendiri jadi kewalahan menghindari setiap serangan yang datang dan sangat berbahaya dari Dewayani. Caraka tidak ingin terkena lagi. Dan dia tahu, sekali saja terkena pukulan gadis ini, maka tamatlah riwayatnya. Namun mendapat serangan yang begitu gencar dan sangat berbahaya, Caraka semakin sulit meladeninya. Bahkan beberapa kali harus jatuh bangun untuk menghindari.
Apalagi setiap serangan balasan yang dilancarkannya tidak mempunyai arti sama sekali. Dewayani terus mendesak dengan serangan-serangan dahsyatnya. Gadis itu benar-benar tidak mempedulikan serangan balasan yang dilontarkan Caraka, sehingga membuatnya putus asa. Sudah seluruh kepandaian yang dimiliki dikeluarkan, tapi tidak juga mampu mendesak lawan. Bahkan kini dia hanya bisa bertahan dan terus bertahan.
"Uh! Aku tidak bisa begini terus-menerus!" Dengus Caraka dalam hati. Caraka berniat lari dari pertarungan yang bakal merenggut nyawanya ini. Tapi sebelum niatnya terlaksana, mendadak saja Dewayani memberikan satu pukulan keras dan tiba-tiba. Itu terjadi tepat ketika Caraka baru saja menghindari sebuah tendangan gadis ini, dan tidak bisa terhindari lagi.
Des! "Aaakh...!" Caraka menjerit keras melengking. Pemuda itu terpental sejauh tiga batang tombak, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Saat itu juga Dewayani sudah melompat hendak menerkam. Caraka tak mampu lagi berbuat sesuatu. Pukulan keras yang bersarang di dadanya membuatnya serasa lumpuh, tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Pemuda itu hanya bisa menahan napas dan menerima apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Aaarghk...!"
Namun mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat, langsung menghajar Dewayani. Gadis itu meraung keras, dan terpental sebelum mencapai tubuh pemuda yang tergeletak pasrah di tanah. Saat itu Caraka hanya bisa memandang saja. Matanya terbeliak begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
Dan Dewayani tampak menggerung-gerung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatap pemuda yang baru datang dengan mata merah membara. Bibirnya mengeluarkan suara mendesis bagai ular. Tampak dari sela-sela bibirnya menyembul sepasang taring yang sangat tajam dan berkilat. Wajah Dewayani demikian memucat, namun sangat kaku sekali bagai sosok mayat.
"Kau tidak apa-apa, Kisanak?" Tanya pemuda berbaju rompi putih itu lembut seraya melirik pada Caraka sedikit.
"Tidak," sahut Caraka seraya berusaha bangkit berdiri. Sambil memegangi dadanya, Caraka mampu berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Dia masih kesulitan mengatur jalan napasnya. Dan setiap kali menarik napas, dadanya terasa nyeri. Caraka tahu kalau ada tulang dadanya yang kemungkinan patah, atau paling tidak retak. Dan juga disadari kalau dirinya tidak akan mampu melakukan pertarungan lagi. Caraka memandang pemuda di sampingnya. Dia tidak tahu siapa pemuda ini, tapi diyakini kalau pemuda yang tidak jauh berbeda usianya ini berada di pihaknya.
"Menyingkiriah. Kau terluka dalam cukup parah," jelas pemuda berbaju rompi putih itu.
Caraka tidak membantah, dan segera bergerak menjauh, mendekati beranda rumahnya. Pemuda ini terus menerka-nerka, siapa sebenarnya laki-laki berbaju rompi putih itu? Suaranya sangat dalam dan berwibawa, namun tidak menghilangkan kelembutannya.
Sementara itu Dewayani sudah menggeram sambil menggerak-gerakkan tangannya yang mengembang dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu hanya berdiri tegak memperhatikan, sedikit pun tidak melakukan gerakan apa-apa.
"Ghraughk...."
"Hap!"
DELAPAN
Cepat sekali Rangga melompat menyongsong serangan Dewayani. Dihentakkan tangannya ke depan seraya mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tak pelak lagi, dua kekuatan dahsyat bertemu di udara, sehingga menimbulkan ledakan sangat dahsyat.
Glarrr...!
Percikan bunga api menebar ke seluruh penjuru. Tampak Rangga dan Dewayani sama-sama terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka cepat melompat bangkit berdiri dan kembali siap melakukan serangan berikutnya. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum tipis. Sedangkan Dewayani menggerung kecil sambil memperlihatkan taringnya.
“Pergilah! Bukan di sini tempatmu, Sang Penakluk!" ujar Rangga dingin.
"Gherrr..! Rupanya kau sudah tahu diriku, Anak Muda. Siapa kau sebenarnya?" geram Dewayani. Suaranya begitu serak dan kering.
"Kau lihat ini...!"
Sret!
Pelahan namun pasti Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari warangka nya di punggung. Malam yang gelap gulita itu, seketika terang benderang oleh cahaya biru yang memancar dari mata pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaarghk...!" Dewayani meraung keras sambil mengangkat tangan. Gadis itu menutupi muka yang dipalingkan dengan tangannya. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak, tapi hanya sebentar saja. Pelahan dia kembali tegak sambil menggeram. Sepasang bola matanya semakin merah membara bagai sepasang bola api yang siap membakar Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendiri berdiri tegak sambil melintangkan pedang di depan dada. Sorot matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata wanita di depannya.
"Kau....! Kau sudah mati!" geram Dewayani menuding.
"Ya! Dan kau juga sudah lama mati." Balas Rangga dingin.
"Ha ha ha...!" mendadak saja Dewayani tertawa terbahak-bahak.
“Tertawalah sepuasmu, Iblis Penakluk! Kau tidak akan bisa berlama-lama dalam diri gadis itu selama aku masih menghirup udara di dunia ini!" Dingin sekali nada suara Rangga.
"Ha ha ha...! Kau boleh besar kepala ketika mengalahkan aku, Pendekar Rajawali. Tapi kini. Tak bakal kau bisa menandingi ku, karena...."
"Kau sekarang adalah Iblis yang sesungguhnya! Bukan lagi manusia berhati iblis!" potong Rangga cepat.
"Bedebah!" geram Dewayani.
"Pedang ini pernah berlumur darahmu. Dan dengan pedang ini pula, kau akan kukirim kembali ke neraka! Kau tidak bisa lupa, Iblis Penakluk. Setitik darah yang mengalir dari tubuhmu, itulah yang akan mengembalikanmu ke neraka. Dan aku memiliki sedikit darahmu di pedang ini!"
"Keparat..!" semakin pucat wajah Dewayani. Namun sorot matanya memancarkan luapan amarahnya. Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan memang menggetarkan.
Dan Rangga sudah tahu, setiap iblis akan binasa oleh darahnya sendiri. Memang, tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkan kekuatan iblis selain darahnya sendiri. Bahkan manusia pun akan tewas oleh darahnya sendiri pula. Setetes darah sangat berarti bagi kelangsungan hidup. Kehilangan setetes darah merupakan kehilangan setitik kehidupan. Rangga pernah mengetahui hal itu dari Kitab yang dibacanya di kediaman gurunya di Lembah Bangkai.
Dan kini ingin dibuktikannya. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, kalau gurunya tidak akan menuliskan kata-kata tersebut tanpa mengandung arti yang dalam. Dan sekarang baru bisa dimengerti maknanya. Hanya saja hatinya masih diliputi perasaan cemas akan keselamatan Dewayani. Bagaimanapun juga Dewayani harus diselamatkan, di samping melenyapkan pengaruh Roh Sang Penakluk di dalam diri gadis itu.
Tapi Rangga juga menyadari kalau hal itu tidak mudah dilaksanakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti sudah siap seandainya Dewayani harus menjadi korban. Pada saat itu terdengar ayam jantan berkokok, pertanda pergantian waktu akan segera terjadi. Tak berapa lama lagi fajar akan menyingsing. Suara ayam jantan itu membuat Dewayani tampak gelagapan, dan wajahnya kelihatan gelisah.
"Satu saat, aku akan membunuhmu, keparat!" geram Dewayani. Setelah berkata demikian, Dewayani langsung melesat pergi. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Hey...!" Sentak Rangga terkejut Tapi terlambat Tidak mungkin lagi Pendekar Rajawali Sakti itu untuk mengejar. Rangga memang tahu arah kepergian gadis itu, tapi bukan tidak mungkin kalau Dewayani membelokkan arahnya sehingga akan sia-sia saja pengejarannya. Rangga mendesah panjang. Dimasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti dalam warangkanya dipunggung. Kegelapan kembali menyelimuti sekitarnya. Rangga mengayunkan kakinya hendak pergi, tapi...
“Tunggu...!"
Rangga menghentikan langkah, lalu memutar tubuhnya. Tampak Caraka melangkah cepat menghampiri. Anak muda itu berdiri sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Darah masih terlihat disekitar mulutnya.
”Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Caraka.
"Bagaimana lukamu?" Rangga malah bertanya.
"Tidak terlampau parah. Aku sudah mengobatinya dengan bersemadi tadi," sahut Caraka.
Pada saat itu Ki Pudit keluar dari dalam rumahnya. Laki-laki setengah baya itu tergesa-gesa menghampiri. Tampak di ambang pintu berdiri dua orang wanita. Yang seorang sudah berusia empat puluh tahun, dan seorang lagi masih sekitar delapan belas tahun. Mereka adalah ibu, dan adik Caraka.
"Oh, Den. Mari, Den. Istirahatlah di dalam," ujar Ki Pudit dengan tubuh agak terbungkuk.
Caraka agak mengerutkan kening melihat sikap ayahnya terhadap pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya ini. Tapi sebelum Caraka bertanya, ayahnya telah menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti dan membawa ke rumahnya. Rangga tidak bisa lagi menolak, dan tidak ingin mengecewakan orang tua ini, Caraka memandangi sebentar, kemudian mengangkat bahunya dan ikut melangkah.
********************
Rangga memandangi sekitar sendang. Masih diyakini kalau tempat ini telah dijadikan persembunyian Roh Sang Penakluk. Sedangkan Caraka yang memaksa ikut, tampak sibuk menyibak setiap semak belukar. Sudah setengah harian mereka meneliti tempat ini, tapi tempat persembunyian yang dimaksud, tidak juga ditemukan.
"Kakang, sini...!" seru Caraka memanggil tiba-tiba. Pemuda ini sudah membiasakan diri memanggil kakang terhadap Rangga. Rangga bergegas menghampiri. Kening Pendekar Rajawali Sakti berkernyit melihat ke dalam semak yang disibakkan Caraka. Tampak di dalam semak itu tergolek sesosok tubuh tua kurus berjubah hitam. Sebatang tongkat tergeletak di sampingnya. Rangga mengenali kalau sosok itu adalah si Iblis Hitam.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu memeriksa keadaan si Iblis Hitam, telinganya mendengar langkah kaki menginjak ranting kering. Tepat pada saat Rangga dan Caraka memutar tubuhnya, dari dalam semak muncul seorang gadis mengenakan baju biru tua. Gadis itu juga nampak terkejut begitu melihat Rangga dan Caraka, dan langsung menghentikan langkahnya.
"Kebetulan kau datang, Dewayani," ujar Rangga seraya melempar senyum. Pendekar Rajawali Sakti itu sempat menyikut perut Caraka yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu langsung diam, padahal sudah membuka mulutnya.
"Kalian menungguku, ya?" Tanya Dewayani.
"Benar. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu," sahut Rangga.
Dewayani mengayunkan kakinya menghampiri, sedangkan Caraka menggeser ke samping. Saat Dewayani berada di samping Rangga, pemuda itu langsung menyibakkan semak. Dewayani terpekik begitu melihat sosok tubuh tua kurus berjubah hitam terbaring kaku di dalam semak itu. Tubuhnya langsung bergerak mundur beberapa langkah, dan wajahnya memucat.
"Aku tahu kau kenal orang itu, Dewayani," tegas Rangga.
Dewayani menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir bergetar. Ditatapnya Rangga dan Caraka bergantian. Tubuh gadis itu tampak menggeletar bagai kedinginan, padahal siang ini matahari bersinar terik.
"Waktu itu dia berhasil kurobohkan, tapi aku tidak yakin kalau sampai tewas. Seseorang telah menyelamatkannya. Yaaah.. ternyata tewas juga. Mungkin karena pukulanku yang keras," jelas Rangga.
"Aku..., aku...," Dewayani tergagap.
"Kau tahu, siapa yang membawanya ke tempat ini?" Tanya Rangga langsung.
"Aku tidak tahu," jawab Dewayani.
"Ya, kau memang tidak tahu. Tapi, roh yang ada dalam dirimulah yang tahu. Aku yakin kaulah yang membawanya ke sini, tapi tanpa disadari olehmu."
"Kau..., kau menuduhku...?!" agak tersedak suara Dewayani.
"Sama sekali tidak. Justru aku ingin menolongmu, Dewayani. Kau dalam kesulitan besar, dan aku yakin kau tidak ingin berlarut-larut dengan semua ini. Kau ingin bebas dari semua pengaruh yang membuatmu tidak berdaya, bukan?"
Dewayani diam dengan kepala tertunduk, dan agak lama juga membisu. Pelahan-lahan gadis itu mengangkat kepalanya, langsung menatap Rangga dengan pandangan sayu.
"Percayalah, Dewayani. Aku akan membebaskan dirimu dari pengaruh iblis itu," tegas Rangga.
"Tidak... Kau tidak akan sanggup, Kakang. Dia terlalu kuat untuk dilawan. Seluruh diriku sudah hampir dikuasainya. Tinggal menunggu waktu saja, Kakang. Percuma, tidak ada gunanya...," pelan dan tersendat suara Dewayani.
"Dengan bantuanmu, aku yakin mampu mengusir iblis itu dari dalam dirimu," Rangga meyakinkan.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Dewayani
“Tetapkan dirimu. Lawan setiap kali dia mencoba merasuk dan menguasaimu."
Dewayani menggeleng-gelengkan kepalanya. Air bening mulai terlihat menitik dari sudut matanya. Sementara itu Caraka hanya mendengarkan saja. Sedikit sudah bisa dimengerti, karena Rangga sebelumnya telah menceritakan perihal gadis ini. Tapi pemuda itu belum begitu memahami tentang Roh Sang Penakluk yang dimaksudkan Pendekar Rajawali Sakti itu. Roh yang katanya tengah berusaha menguasai diri Dewayani sepenuhnya. Gadis itu akan dijadikan penerus Sang Penakluk yang akan menggemparkan seluruh rimba persilatan!
"Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak kuat menolak kehadirannya. Kalau ingin menghentikan, bunuhlah aku sekarang juga. Aku rela, Kakang," sergah Dewayani setengah meratap.
“Tidak, Dewayani. Bukan cara itu yang kuinginkan. Memang bisa saja kau korbankan dirimu, tapi iblis itu akan mencari gadis lain atau pemuda yang cocok dengannya."
“Tapi tidak mungkin aku mampu melawannya, Kakang. Kau bisa melenyapkannya, tapi juga harus membunuhku. Tidak ada jalan lain lagi. Bunuhlah aku selagi dia berada di dalam tubuhku. Di situ, aku akan berusaha untuk tidak melawan."
"Aku tahu itu, Dewayani. Tapi hal seperti itulah yang tidak kuinginkan. Ada cara lain, dan aku sendiri ragu apakah bisa menyelamatkanmu."
"Lakukanlah, Kakang. Aku sudah lelah, dan tidak suka menjadi budak iblis untuk selamanya," Dewayani kelihatan pasrah.
Rangga tersenyum terharu. Keyakinannya terbukti kalau Dewayani sebenarnya tidak menginginkan iblis itu bersarang di tubuhnya. Maka dengan demikian akan mempermudah cara yang akan digunakan, meskipun masih ragu-ragu akan keselamatan gadis itu sendiri. Terlalu besar resikonya, dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak punya pilihan lain. Cara yang akan ditempuhnya juga sungguh berbahaya bagi dirinya sendiri. Jika tidak kuat, tentu dirinya akan musnah dan Roh Sang Penakluk akan semakin kuat lagi.
Rangga sudah mempertimbangkan semua itu. Dan hatinya sudah bertekad, apa pun yang akan terjadi pada dirinya maupun pada Dewayani, harus dihadapi. Kemungkinan yang terburuk bagi mereka berdua adalah kematian. Sementara, iblis itu masih tetap tangguh untuk mencari tubuh baru berupa seorang manusia kembar yang kembarannya meninggal sebelum menghirup udara dunia. Ini sudah menjadi ketentuan yang tidak bisa lagi ditolak.
Bisa saja roh itu menyusup ke tubuh manusia lain dan sembarangan, tapi kekuatannya tidak akan setangguh bila menyusup di tubuh manusia kembar. Karena dia bisa menggunakan roh kembarannya yang biasanya memiliki sifat dan watak yang sangat berbeda. Jelasnya, dua roh yang menjadi satu di dalam tubuh seseorang.
Sungguh sukar diterima akal sehat, tapi memang itulah kenyataannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti harus menghadapinya dengan segala macam resiko terburuk sekalipun. Rangga sudah memutuskan, di sendang ini dan pada malam ini harus bertarung mengadu jiwa melawan Roh Sang Penakluk.
********************
Rangga duduk bersila sambil memohon kekuatan pada Sang Pencipta. Sedangkan Dewayani juga duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tidak jauh dari mereka, Caraka mengawasi di samping ayahnya. Pemuda itu tidak ingin melewatkan saat-saat paling berharga dalam hidupnya untuk menyaksikan pertarungan tokoh digdaya melawan roh yang sudah ratusan tahun meninggal. Bahkan dia sempat memanggil ayahnya untuk ikut menyaksikan.
Ki Pudit sebenarnya tidak ingin, tapi karena didesak terus akhirnya ikut juga. Tidak ada orang lain lagi di sendang ini selain mereka berempat. Dan malam terus merayap semakin larut. Udara dingin menyelimuti sekitarnya. Kabut semakin tebal, namun Rangga sudah berpesan agar tidak menyalakan api. Pendekar Rajawali Sakti itu tetap duduk bersila menyatukan jiwa dan raganya pada Sang Pencipta, penguasa tunggal jagad raya ini.
"Graaagh...!" tiba-tiba terdengar raungan keras.
"Oh...!" Ki Pudit tersentak kaget, sehingga sampai terlonjak melompat ke belakang anaknya.
"Tenang, Ayah. Jangan membuat gerakan yang akan mengundang iblis itu," kata Caraka.
"Iya, iya...," sahut Ki Pudit.
Sementara itu Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Sebentar ditarik napas panjang, lalu dibuka matanya yang sejak tadi terpejam. Ditatapnya Dewayani yang duduk bersila di depannya. Wajah gadis itu mulai tampak berubah, dan tubuhnya menggigil seperti terserang demam. Kini seluruh raut wajah gadis itu pucat pasi.
"Hup!" Rangga menghentakkan tangannya kedepan, dan tepat menempel di dada gadis itu. Seketika itu juga tubuh Dewayani bergetar bagai tersengat ribuan lebah berbisa. Tampak dari jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti keluar sinar biru yang semakin lama semakin meluas menyelimuti dirinya dan Dewayani. Sinar biru membuat sekitarnya jadi terang benderang, sehingga memberi keleluasaan pada Caraka dan ayahnya untuk melihat jelas.
"Hssss..!" Rangga mendesis.
"Aaarghk..!" Dewayani meraung keras sambil menggeliat-geliatkan tubuhnya. Tapi sebentar kemudian gadis itu hanya diam kaku tak bergeming sedikit pun. Dan Rangga juga tak bergerak-gerak, dan kedua telapak tangannya tetap menempel erat di dada gadis itu.
Cahaya biru masih bersinar terang menyelimuti kedua orang itu. Tak ada yang tahu kecuali mereka berdua kalau di dalam jiwa mereka tengah berlangsung suatu pertarungan ganjil. Rangga melepaskan jiwanya dari raga dan menyatu ke dalam raga Dewayani. Di alam sana, Pendekar Rajawali Sakti bertemu seorang laki-laki bertubuh kekar, dan berwajah tampan mengenakan baju putih dari bahan halus. Namun di balik ketampanan wajahnya terbersik cahaya mata kejam, sekejam iblis.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" Tanya Sang Penakluk dengan suara dingin menggetarkan.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti, murid tunggal Pendekar Rajawali yang hidup di jamanmu!" Rangga memperkenalkan diri.
"Hm.... Ternyata kau lebih tangguh dari gurumu sendiri, Anak Muda. Kau mampu memisahkan jiwa dan ragamu untuk menemuiku di sini, dalam raga semayamku!"
"Aku datang dengan satu maksud, Sang Penakluk!"
“Tidak perlu kau katakan, Anak Muda. Sudah kuketahui apa maksudmu!"
“Kalau begitu, enyahlah dari tubuh Dewayani. Dan jangan ganggu dia lagi. Bukan di sini tempatmu Sang Penakluk. Kau sudah punya tempat tersendiri, bukan di alam dunia lagi!" tegas Rangga.
"Hebat sekali pengusiranmu ini, Anak Muda. Tapi, ketahuilah! Aku sudah mati, dan tidak akan mati untuk kedua kalinya. Sia-sia saja usahamu, Anak Muda. Malah aku khawatir, kaulah yang akan tewas di sini seperti si Iblis Hitam tolol itu!"
"Jika kau jantan, aku menantangmu bertarung sampai salah satu di antara kita tewas!" Tantang Rangga.
"Ha ha ha...! Bagus! Aku terima tantanganmu, Anak Muda. Tapi jangan menyesal, karena kau terlalu bodoh meninggalkan ragamu!"
"Bersiaplah, Sang Penakluk!" desis Rangga.
Sret!
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak akan tanggung-tanggung lagi. Langsung dicabut Pedang Rajawali Sakti dari dalam warangkanya. Sementara itu Sang Penakluk melompat mundur dua tindak. Arena pertarungan yang akan terjadi ini memang berada di dalam tubuh Dewayani. Tapi yang dilihat Rangga hanyalah gumpalan asap bercampur cahaya biru. Suatu yang sangat luas tak bertepi. Dan yang pasti, tak akan ditemukan lagi. Jika selamat kembali ke dunia.
"Hait..!"
"Hiyaaa...!"
Secara bersamaan mereka berlompatan memberi serangan. Rangga mengebutkan pedangnya menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Pertarungan yang sangat ganjil tak dapat dihindari lagi.
Sementara itu Caraka dan ayahnya hanya bisa melihat tubuh Rangga dan Dewayani terguncang-guncang dalam selimut cahaya biru yang keluar dari sela-sela jari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menempel erat di dada gadis itu. Tampak jelas, cahaya itu seperti memberi petunjuk jalannya pertarungan di dalam. Sebentar cahaya itu redup, dan sebentar kemudian terang benderang.
Beberapa kali Rangga menggeletar dan mengerang lirih, tapi Dewayani setiap kali juga mengerang dengan tubuh berkelojotan bagai meregang nyawa. Sedangkan dalam raga Dewayani, Pendekar Rajawali Sakti yang hanya jiwanya saja masih bertarung sengit melawan Roh Sang Penakluk. Pertarungan berjalan sengit, karena masing-masing mengerahkan ilmu-ilmu sulit dan sangat tinggi tingkatannya. Tampak jelas kalau Roh Sang Penakluk selalu menghindar dari tebasan dan tusukan pedang di tangan Rangga.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Jurus demi jurus berlalu cepat. Entah sudah berapa jurus yang dikerahkan masing-masing. Bahkan sesekali mereka menggunakan ajian kesaktian. Namun tampaknya mereka sama-sama tangguh. Pertarungan yang cukup adil, masing-masing lawan hanya bisa menolong diri sendiri untuk kelangsungan hidup.
"Modar! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras sambil melontarkan satu pukulan keras.
Pukulan lurus bertenaga dalam sempurna ini mengarah ke bagian perut. Pada kenyataannya Sang Penakluk masih bisa menghindari dengan manis sekali. Tapi mendadak saja dia terperangah, karena tanpa diduga sama sekali Rangga mengibaskan pedangnya ke arah leher selagi tubuhnya miring menghindari pukulan lawan.
"Keparat!" umpat Sang Penakluk seraya cepat-cepat menarik lehernya ke belakang.
Tapi pada saat itu, Rangga secepat kilat menarik pulang pedangnya, dan secepat itu pula diputar tubuhnya sambil mengibaskan pedangnya ke arah dada. Sungguh suatu jurus luar biasa. Akibatnya Sang Penakluk mengalami kesukaran menghindari, sehingga...
Crab!
"Aaakh...!" Sang Penakluk menjerit keras melengking tinggi. Seketika ujung Pedang Rajawali Sakti berhasil mengoyak dada Roh Sang Penakluk. Laki-laki muda berwajah tampan itu kontan terhuyung ke belakang sambil mendekap dadanya.
Pada saat itu, Rangga tidak memberi kesempatan lagi. Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat dan mengibaskan pedangnya ke arah leher.
"Hiyaaa...!"
Cras!
"Aaa...!" kembali Sang Penakluk menjerit keras. Seketika lehernya terbabat buntung, sehingga kepalanya menggelinding. Sebelum tubuh itu ambruk, kembali Rangga menghunjamkan pedangnya ke dada. Dan secepat menarik pedangnya keluar, secepat itu pula disarungkan kembali. Maka...
"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!"
Glarrr!
Seketika tubuh Sang Penakluk meledak dan hancur menjadi debu saat dari telapak tangan Rangga memercik kilat berwarna biru. Rangga berdiri tegak memandangi debu yang berkepul menyatu bercampur asap. Kemudian dirapatkan kedua tangannya di depan dada, lalu pelahan-lahan menghilang.
"Hup!"
Rangga melepaskan tangannya dari dada Dewayani. Seketika itu juga Dewayani terkulai sambil merintih lirih. Tampak dari atas kepalanya mengepul asap putih kebiru-biruan.
"Dewayani...," panggil Rangga seraya menyentuh bahu gadis itu.
Tak ada lagi cahaya biru yang menyelimuti mereka. Semuanya lenyap, tepat saat tangan Pendekar Rajawali Sakti ditarik kembali dari dada gadis itu.
"Ohhh...," Dewayani merintih lirih.
"Kau sudah selamat, Dewayani," ujar Rangga memberitahu.
"Oh, Kakang...." Dewayani menangis dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga menepuk-nepuk punggung gadis itu, kemudian melirik Caraka dan ayahnya yang masih saja berdiri di tempatnya.
"Tolong nyalakan api, Caraka," Pinta Rangga.
"Oh! Iya..., iya, segera," sahut Caraka bergegas.
"Kita semua selamat, Dewayani. Tidak ada yang mengganggumu lagi," ucap Rangga seraya melepaskan pelukan gadis itu.
“Terima kasih, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Apakah mereka suka menerimaku lagi?"
"Pasti, Dewayani. Aku yang akan mengatakan kepada mereka," celetuk Ki Pudit yang sudah berada di belakang Rangga.
“Terima kasih, aku bahagia sekali," desah Dewayani.
"Ya! Kita semua bersyukur bisa selamat, dan iblis itu tidak akan kembali lagi," ucap Ki Pudit sok tahu.
"Mudah-mudahan," sambung Rangga mendesah.
Malam ini mereka terpaksa bermalam di sendang, karena tidak mungkin kembali ke desa malam-malam begini. Masih terlalu jauh menjelang pagi. Mereka berkumpul mengelilingi api unggun yang dibuat Caraka. Dan Rangga terpaksa menceritakan pertarungannya atas desakan mereka semua.
Dan mereka semua bersyukur karena Sang Penakluk sudah tiada. Tapi, tidak demikian halnya Rangga. Dia masih ragu, apakah Sang Penakluk sudah dilenyapkan? Tapi untuk sementara ini, Dewayani bisa hidup tenang tanpa gangguan lagi.
SELESAI