Kemelut Blambangan Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Blambangan

Jilid 19

MENDENGAR ini, semua orang terdiam dan mengerutkan alis, menyadari kebenaran kekhawatiran wanita sakti itu. Parmadi lalu berkata dengan sikap hormat kepada sang Adipati Pasuruan.

"Maaf, Kanjeng Adipati, kalau menurut pendapat hamba, semestinya sejak lama kita minta bantuan pasukan dari Mataram untuk memperkuat pertahanan di sini." Sang Adipati menghela napas panjang.

"Seharusnya begitu. Hal ini baru kami sadari sekarang. Tadinya kami terlalu memandang rendah gerakan Kadipaten Blambangan yang memberontak. Kekuatan Blambangan tidaklah berapa besar. Akan tetapi, ternyata mereka dibantu pasukan yang amat kuat dan banyak dari Bali dan Madura. Juga mereka mempunyai senjata api. Akan tetapi ketika pasukan kita terpaksa ditarik mundur ke dalam kota, kami sudah mengirim utusan untuk memberi laporan dan mohon bantuan dari Gusti Sultan di Mataram."

"Semestinya utusanitu sudah kembali bersama bala bantuan," kata Senopati Aryo.

"Akan tetapi mengapa belum juga kembali dan tidak ada kabar dari Mataram."

"Hemm, saya tahu bahwa banyak orang yang tangguh dan berbahaya membantu Blambangan dan mereka disebar dimana-mana. Siapa tahu utusan itu mereka hadang sehingga tidak dapat mengirim laporan dan minta bantuan?" kata Muryani.

"Wah, itu mungkin juga!" Seru Sang Adipati.

"Celakalah kalau terjadi begitu!" Kembali semua orang dicekam kegelisahan membayangkan kemungkinan ini.

Parmadi lalu berkata, "Hamba kira lebih baik kalau sekarang kita kirim lagi beberapa orang utusan untuk menyusulkan pelaporan dan permohonan bala bantuan, kalau-kalau utusan pertama menemui kegagalan."

"Akan tetapi, Anakmas Parmadi, bagaimana mungkin menyelundupkan utusan keluar dari kepungan yang demikian ketat? Utusan itu pasti akan tertangkap dan usaha kita itu akan sia-sia saja." kata seorang senopati tua lain.

"Benar itu! Bagaimana utusan baru dapat diselundupkan keluar kepungan?" Sang Adipati menyambung.

"Begini, Kanjeng Adipati. Biarlah hamba bersama isteri hamba yang menjadi utusan. Kami berdua akan menyusup keluar dari kepungan dan langsung menuju ke kota raja Mataram untuk mohon bantuan."

Para senopati menangguk-angguk menyetujui, akan tetapi sang Adipati menggeleng kepala kuat-kuat dan menggoyang tangan kanannya. "Tidak, hal itu tidak tepat! Andika berdua dibutuhkan di sini untuk memperkuat pertahanan kita! Harus diatur agar orang-orang lain saja yang menjadi utusan! Kalian berdua harus memperkuat pertahanan!"

"Akan tetapi bagaimana caranya...?" Semua orang bertanya-tanya dengan bingung.

"Saya mengetahui cara itu!" Tiba-tiba Muryani berkata lantang. "Sekarang sudah senja, sebentar lagi malam tiba dan malam ini tidak ada bulan. Dalam kegelapan malam ini kita dapat menyelundupkan beberapa orang utusan untuk keluar. Saya dan suami saya, dibantu beberapa orang yang memiliki keberanian dan memiliki kedigdayaan, akan keluar di malam gelap dan mengamuk, membuat keributan, menyerang musuh yang berada di luar. Nah, dalam keributan itu para utusan diselundupkan keluar benteng dan mengingat bahwa pihak musuh terdiri dari orang-orang Blambangan, Bali, dan Madura, maka hal ini akan memudahkan para utusan untuk membaur di antara mereka tanpa dicurigai atau diketahui. Para utusan dipilih mereka yang pandai menyamar sebagai orang Bali atau Madura. bagaimana pendapat Andika sekalian?"

"Plakk!" Sang Adipati menepuk meja di depannya dan wajahnya berseri.

"Wah, bagus sekali siasat itu! Kakang Senopati Aryo, cepat laksanakan siasat Mas Ajeng Muryani itu!"

Para senopati dan jagabaya yang hadir juga merasa kagum dan mereka lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan penyelundupan para utusan itu. Pertama-tama, mereka memilih dua orang yang penah lama tinggal di Madura sehingga dapat menyamar sebagai orang Madura dengan baik, dan dua orang yang dapat menyamar sebagai orang Bali dengan baik. Mereka termasuk perajurit-perajurit setengah tua yang setia dan memiliki kecerdikan dan kedigdayaan.

Malam hari itu, tepat seperti dikatakan Muryani tadi, langit tidak dihias bulan. Dan agaknya alam membantu usaha itu karena bintang-bintang terhalang mendung hitam sehingga malam itu gelap gulita. Dalam keadaan gelap seperti itu, tentu saja pasukan Blambangan tidak melakukan serangan, bahkan mereka agak mundur, menjauhi dinding kota untuk menjaga agar tidak mendapat serangan gelap yang mendadak.

Akan tetapi, biarpun agak mundur, mereka tetap melakukan pengepungan ketat sehingga biarpun orang dapat keluar dari pintu gerbang, dia tidak akan mampu keluar dari kepungan itu. Setelah semua dipersiapkan, Parmadi dan Muryani, diikuti lima orang senopati yang memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh, keluar dari pintu gerbang. Mereka bertujuh langsung lari ke depan dan ketika bertemu dengan perajurit-perajurit musuh yang berjaga di lapisan terdepan, mereka lalu mengamuk.

Tentu saja keadaan menjadi gempar. Para perajurit musuh menyalakan obor dan tujuh orang itu segera dikeroyok. Mereka mengamuk dan sebentar saja belasan orang peajurit musuh roboh terkena pukulan atau hantaman senjata tujuh orang itu. Ketika para senopati Blambangan mulai berdatangan terdengarlah kentungan dari dalam benteng Pasuruan. Itulah isyarat bahwa empat orang utusan yang diselundupkan sudah keluar dan dengan mudah, dalam keadaan kacau itu mereka berempat dapat membaur dan pura-pura hendak ikut mengeroyok tujuh orang pengacau itu.

Mendengar ini, Parmadi membentak nyaring. Para pengeroyok berpelantingan dan bentakan itu pun merupakan isyarat bagi Muryani dan lima orang senopati untuk berlari kembali ke pintu gapura yang segera ditutup kembali setelah tujuh orang itu menyelinap masuk. Siasat itu berhasil dengan baik dan hanya ada seorang senopati yang terluka ketika terjadi pengeroyokan, luka ringan di pundaknya karena terkena bacokan golok para pengeroyok.

Siasat yang dilaksanakan atas usul Muryani dan Parmadi ini memang baik dan cerdik. Akan tetapi pihak Blambangan mempunyai banyak tokoh yang tidak kalah cerdiknya. Peristiwa malam itu membuat Tejakasmala dan Satyabrata menjadi curiga.

"Tidak mungkin orang-orang seperti Parmadi dan Muryani hanya keluar dari benteng sekadar mengamuk dan membuat kekacauan saja. Tentu ada maksud tertentu di balik perbuatan mereka itu." kata Satyabrata kepada Tejakasmala, didengarkan oleh Bhagawan Kalasrenggi.

"Dugaan itu benar sekali, raden Satyabrata" kata tejakasmala yang menghormati wakil Kumpeni Belanda ini karena dia sudah merasakan kesaktian orang setengah bule ini.

"Saya pun merasa curiga, tentu itu merupakan siasat, mungkin untuk memancing perhatian kita."

:Benar, Adi Tejakasmala. Aku mempunyai dugaan bahwa mungkin mereka menggunakan waktu terjadi keributan itu untuk menyelundupkan orang-orang keluar dari benteng dan menyusup di antara para perajurit kita. Mungkin saja mereka adalah orang-orang yang bertugas mencari bala bantuan dari Mataram."

"Wah, kalau begitu gawat sekali! Kita harus mencegah mereka pergi mencari bantuan ke Mataram. Kita harus dapat menguasai Pasuruan sebelum bala tentara Mataram datang menyerang." kata Bhagawan Kalasrenggi.

"Jangan khawatir, Paman Bhagawan. Saya akan menyuruh dua orang pembantu saya, Cakrasakti dan Candrabaya untuk membawa seregu perajurit Bali pilihan untuk melakukan pengejaran dan membinasakan para utusan yang diselundupkan itu."

Demikianlah, malam itu juga, dua orang senopati Bali itu membawa dua losin perajurit Bali untuk melakukan pengejaran dan pencarian terhadap orang-orang yang diselundupkan keluar. Akhirnya, pada keesokan harinya, mereka dapat menemukan empat orang utusan Kadipaten Pasuruan itu. Empat orang itu melawan ketika hendak ditangkap dan akhirnya mereka berempat tewas dikeroyok dua losin perajurit Bali yang dipimpin oleh Cakrasakti dan Candrabaya.

Sang Adipati Pasuruan dan para pembantunya sama sekali tidak tahu bahwa utusannya yang kedua kali ini pun gagal dan terbunuh. Mereka hanya menanti sambil mempertahankan benteng kota Kadipaten Pasuruan dari serbuan yang setiap hari dilakukan musuh. Akan tetapi setiap hari mereka kehilangan banyak perajurit, apalagi ketika pihak musuh mulai mempergunakan meriam sumbangan Kumpeni Belanda.

Semua itu ditambah lagi dengan ransum yang mulai menipis dan semangat para perajurit menurun. Rakyat penduduk kota kadipaten itu juga mulai gelisah dan ketakutan sehingga suasana di kota itu mulai gempar dan panic. Parmadi dan Muryani berusaha untuk membangkitkan semangat para perajurit dengan contoh perlawanan mereka yang gigih. Pada suatu malam yang sunyi setelah siang tadi mereka mempertahankan kota dari serbuan msuh, para perajurit Pasuruan beristirahat. Hanya mereka yang mendapat giliran jaga saja yang tidak tidur.

Suasana sunyi dan malam itu bulan sepotong muncul seolah melayang diantara awan tipis sepotong-sepotong. Makin larut, malam itu semakin sunyi dan udaranya amat dingin. Sekitar seratus orang perajurit yang mendapat giliran tugas berjaga pada malam itu berjalan hilir mudik melakukan penjagaan di sekitar benteng merasakan kedinginan itu. Juga malam yang sunyi itu terasa lain daripada malam yang lain.

Mungkin karena banyaknya orang yang tewas dan terluka dalam pertempuran selama beberapa hari ini mendatangkan suasana yang menyeramkan. Ditambah lagi bau amis darah yang banyak tertumpah membasahi bumi. Burung-burung malam yang terbang lewat mengeluarkan bunyi seolah meratapi mereka yang tewas. Kutu-kutu walang atogo, segala macam jangkerik, belalang dan lain-lain agaknya merasa ngeri menyaksikan kekejaman manusia yang saling bantai, saling bunuh tanpa alasan pribadi, hanya sekadar menaati perintah atasan.

Seolah merasa ngeri dan takut, semua serangga yang biasanya setiap malam berdendang ria itu, kini diam sehingga suasana menjadi sunyi, sunyi yang mencekam dan menimbulkan perasaan ngeri dalam hati para penjaga. Angin malam berhembus perlahan, semilir membangkitkan bulu di lengan dan tengkuk.

"Kulik! Kulik! Uhu... uhu... uhuuu...!" Kelepak yang terdengar menunjukkan bahwa ada beberapa ekor burung malam terbang lalu smbil mengeluarkan suaranya yang menambah keseraman suasana.

Tiba-tiba datang angin bertiup kuat. Angin yang tadinya hanya semilir lembut, tiba-tiba menjadi kuat dan berpusing. Udara yang tadinya diterangi bulan sepotong tiba-tiba menjdi gelap dan ada awan atau asap hitam bergulung-gulung melayang ke dalam benteng. Kemudian, tiba-tiba terdengar kelepak banyak kelelawar dengan suaranya yang bercicit nyaring. Mereka yang berjaga di atas tembok benteng dan di gardu-gardu tempat penjagaan, terkejut karena tiba-tiba ratusan kelelawar menyambar-nyambar ke arah mereka sambil bercuitan nyaring!

Pada saat itu, di bagian bawah, para perajurit jaga juga terkejut dan merasa ngeri karena ada ratusan ekor ular menyerbu ke dalam benteng. Binatang-binatang itu mendesis-desis dan tercium bau amis! Dari sinar lampu-lampu gantung, dapat dilihat ular-ular itu sehingga para perajurit terkejut dan berlompatan. Dalam keadaan panik itu, terdengar suara auman singa yang menggetarkan seluruh benteng.

Dua bayangan manusia berkelebat dari dalam. Mereka adalah Parmadi dan Muryani yang sudah mendengar akan penyerangan aneh yang membuat para perajurit yang bertugas jaga menjadi panik ketakutan itu. Begitu keluar dari istana kadipaten di mana mereka mondok memenuhi permintaan Sang Adipati, suami isteri itu segera mengerti bahwa ada orang-orang ahli sihir mengadakan serangan melalui ilmu hitam ke arah para perajurit yang sedang bertugas jaga. Hal ini berbahaya sekali, maka keduanya segera berlompatan dan berlari cepat menuju ke pintu gerbang.

Begitu tiba di situ dan melihat ratusan kelelawar beterbangan menyambar-nyambar dan ratusan ekor ular mendesis-desis membuat para perajurit ketakutan, dan melihat pula awan gelap menyelimuti tempat itu disertai angin lesus (angin berpusing) dan mendengar auman singa, Parmadi cepat berkata kepada isterinya.

"Diajeng, usir kelelawar dan ular-ular itu. Aku akan mengusir awan, angin, dan suara itu!"

Muryani mengangguk dan tubuhnya berkelebat cepat ketika ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti. Bagaikan seekor burung garuda ia menyambar-nyambar, didahului gulungan sinar pedangnya, mengamuk dan membacoki ular-ular yang menyerang dari bawah, juga kelelawar-kelelawar yang menyambar-nyambar dari atas. Parmadi naik ke atas menara yang dibangun di atas tembok benteng. Para perajurit yang tadinya berjaga di situ sudah lari turun semua sehingga menara itu kosong.

Dari tempat yang tinggi itu dia melihat jauh ke depan dan di dekat perkemahan pihak musuh dia melihat empat orang sedang duduk bersila dan dari empat orang itulah datangnya serangan sihir yang dahsyat itu. Memang penyerangan itu sengaja dilakukan sebagai siasat Blambangan untuk mengacaukan para penjaga benteng Pasuruan. Kalau para perajurit yang menjaga benteng sudah kacau dan panik, malam itu juga mereka akan menyerbu!

Yang mengirim ratusan ular itu adalah Ki Kaladhama dan pencipta kelelawar jadi-jadian itu adalah Ki Kalajana, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi. Bhagawan Kalasrenggi sendiri menyerang dengan ilmu sihirnya yang menyebabkan awan gelap dan angin lesus, sedangkan suara auman singa yang menggetarkan jantung itu adalah Aji Singabairawa yang dikeluarkan Tejakasmala.

Tiba-tiba terdengar suara seruling yang melengking-lengking, suara lembut namun mengandung getaran yang dapat menembus hawa sihir yang dahsyat karena tenaga empat orang disatukan untuk menyerang. Begitu terdengar alunan suara seruling yang melengking-lengking, serangan sihir itu semakin menghebat! Agaknya empat orang itu yang merasa ada kekuatan hebat menentang, memperkuat serangan mereka. Awan gelap semakin melebar dan menekan, angin lesus bergemuruh, dan auman singa itu semakin menggelegar.

Namun, makin lama suara seruling semakin nyaring dan perlahan-lahan awan hitam membuyar, angin lesus menyurut dan auman singa melemah. Juga ratusan kelelawar dan ular yang sudah dibuat kocar-kacir oleh amukan Muryani, kini surut. Yang terkena sambaran pedang lenyap menghilang dan kini sisanya melarikan diri. Tak lama kemudian suasana malam menjadi sunyi kembali dan dari atas menara, Parmadi melihat empat bayangan itu lenyap di antara perkemahan musuh.

"Sudah selesai, Kakangmas?" Muryani yang menyusul ke atas menara bertanya.

"Puji sukur kepada Gusti Allah, semua telah dapat diatasi, Diajeng. Mari kita beritahu para perajurit jaga agar mereka tenang kembali dan tidak takut."

Keduanya turun dari menara dan ternyata di bawah sudah berkumpul Senopati Aryo dan para senopati Pasuruan lainnya. Ketika tadi mereka mendengar laporan tentang serangan aneh itu, mereka berdatangan dan sempat mendengar suara suling yang menolak pengaruh sihir itu, juga melihat betapa Muryani mengusir ratusan kelelawar dan ular jadi-jadian.

"Ah, untung ada Anakmas Parmadi dan Mas Ajeng Muryani yang telah dapat menolak serangan itu!" kata Senopati Aryo memuji. Juga para senopati memandang kagum suami isteri itu.

"Paman Senopati, penyerangan itu dapat menjadi tanda bahwa mereka tentu akan melakukan serangan besar-besaran dan lebih dulu mereka hendak menimbulkan rasa takut kepada para perajurit. Keadaan sudah berbahaya sekali. Kita menunggu bala bantuan belum juga datang, sedangkan ransum sudah menipis dan semangat para perajurit menurun, terbukti tadi ketika terjadi serangan sihir mereka semua menjadi panik dan lari meninggalkan penjagaan mereka."

"Hemm, keadaannya memang demikian, Anakmas Parmadi. Karena itu, mulai malam ini penjagaan harus diperketat dan para perwira tidak boleh lengah. Harus secara bergilir melakukan pengawasan terhadap pasukan yang bertugas jaga." kata Senopati Aryo.

"Kami tahu bahwa pihak musuh mempunyai banyak ahli sihir dan orang-orang yang sakti mandraguna dan pandai mempergunakan ilmu hitam. Kalau saja para pendekar sakti yang setia kepada Mataram dapat berkumpul di sini, pasti kita dapat menanggulangi kekuatan musuh." kata Muryani yang teringat akan tokoh-tokoh yang dikenalnya dengan baik seperti Ki Tejomanik berdua Retno Susilo, Bagus Sajiwo, Lindu Aji berdua Sulastri, dan masih banyak lagi.

"Sebetulnya di sini terdapat seorang yang sakti mandraguna yang dapat memperkuat daya pertahanan kita." kata Senopati Aryo.

"Siapa dia, Paman Senopati?" tanya Parmadi.

"Siapa lagi kalau bukan Raden Wangsakartika..."

"Ah, dia...?" Parmadi dan Muryani berseru lirih dan kecewa.

Mereka berdua mengenal siapa yang dimaksudkan Senopati Aryo. Sejak kurang lebih setahun yang lalu, Raden Wangsakartika dibuang oleh Kerajaan Mataram karena laki-laki ini membuat banyak keonaran di Mataram. Dia dikenal sebagai seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu-nafsunya, bergaul dengan orang-orang sesat, mengejar kesenangan dengan berjudi, melacur, dan suka mabuk-mabukan. Juga dia suka mencari keonaran dan kerana dia memang sakti mandraguna, tidak ada yang berani menentangnya.

Memang dia belum dapat dibilang seorang penjahat, akan tetapi wataknya sungguh buruk dan suka mencari perkara. Kalau sudah mabuk pun dia amat sukar diatur, mengambil milik siapa saja kalau dia membutuhkan sesuatu. Hanya karena dia putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang sudah banyak jasanya kepada Mataram, maka dia tidak dihukum oleh Sultan Agung, hanya dibuang atau diasingkan ke Pasuruan dengan harapan dia akan mengubah wataknya yang buruk.

Akan tetapi di Pasuruan dia masih tetap menjadi seorang pemabukan, penjudi, gila perempuan dan bergaul dengan orang-orang yang sesat dan tidak karuan. Tentu saja Parmadi dan Muryani tidak suka berkenalan dengan orang seperti itu, walaupun Raden Wangsakartika itu putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang terkenal gagah perkasa dan berjasa besar bagi Mataram.

Ketika pasukan Blambangan dan sekutunya mengepung Kadipaten Pasuruan, Raden Wangsakartika juga tidak memperlihatkan diri. Dia tidak peduli dan tetap bersenang-senang, berjudi, mabuk-mabukan dan pelesir. Apa yang dikhawatirkan Parmadi dan Muryani akhirnya terjadi.

Pada suatu hari, saat fajar menyingsing, pasukan gabungan Blambangan menyerbu. Biarpun Senopati Aryo sudah siap siaga dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian, namun karena jumlah perajurit Blambangan jauh lebih besar, ditambah lagi semangat para perajurit Pasuruan yang menanti-nanti bala bantuan yang belum datang juga itu menjadi menurun dan lemah, maka setelah pertempuran yang hebat, akhirnya benteng itu dapat dibobol dan pasukan Blambangan menyerbu masuk kota kadipaten!

Parmadi dan Muryani tadinya mempertahankan benteng. Akan tetapi pihak musuh terlampau kuat sehingga akhirnya suami isteri ini mengerahkan tenaga mereka untuk melindungi Sang Adipati sekeluarga yang melarikan diri mengungsi lewat bagian belakang kota kadipaten. Juga bersama rombongan Sang Adipati, sisa pasukan mundur dan keluar dari Kadipaten Pasuruan, bersama sebagian besar rakyat yang lari mengungsi berbondong-bondong.

Para perajurit Blambangan dengan sekutu mereka dari bali dan Madura, mabuk kemenangan. Mereka menjarah rayah (merampok) kota Kadipaten Pasuruan, membunuh dan memperkosa wanita, kekejaman yang selalu dilakukan oleh mereka yang menang perang. Orang yang berlari paling akhir adalah Parmadi dan Muryani setelah mereka berdua berhasil mengawal Sang Adipati keluar dari kota. Mereka masih sempat melihat kekejaman yang terjadi di kota Kadipaten Pasuruan.

Tentu saja hati mereka terasa sakit dan sedih, akan tetapi mereka yang hanya berdua tidak mungkin dapat melawan ribuan orang perajurit gabungan Blambangan yang berpesta pora mabuk kemenangan itu. Pasukan Blambangan tidak melakukan pengejaran. Mereka lebih mementingkan penyusunan kekuatan di Pasuruan karena musuh utama mereka adalah Pasukan Mataram yang tentu akan datang melakukan pembalasan.

Adipati Pasuruan bersama pasukannya yang masih bersisa kurang lebih empat ribu orang, sebagian ada yang melarikan diri meninggalkan induk pasukannya, juga diikuti banyak penduduk Pasuruan yang melarikan diri, tiba di Wonokitri, sebuah perbukitan. Senopati Aryo memerintahkan pasukan membuat perkemahan darurat di tempat itu.

Dari para perajurit bagian penyelidik Sang Adipati mendapat keterangan bahwa setelah berhasil meloloskan diri dari kota Pasuruan yang telah diserbu dan diduduki pasukan Blambangan, ada beberapa orang perajurit yang bergegas menunggang kuda menuju ke Mataram untuk melaporkan keadaan dan minta bantuan. Maka diharapkan bala bantuan akan segera datang.

Pada suatu hari Parmadi dan Muryani berjalan-jalan di tempat daerah perbukitan Wonokitri yang dijadikan tempat perkemahan darrat, untuk meneliti kalau-kalau ada puhak musuh yang menyusup dan membikin kacau. hati mereka trenyuh (sedih terharu) melihat penduduk yang ikut lari mengungsi membawa keluarga dan anak-anak yang masih kecil, dalam keadaan sengsara karena yang dapat mereka bawa hanyalah benda-benda milik mereka yang kecil, dan sedikit pakaian. Wajah mereka sedih dan seperti kehilangan harapan.

Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon Randu dekat serumpun bambu, mereka melihat seorang laki-laki sedang duduk bersandar batang pohon randu. Kedua lengannya memeluk lutut dan mukanya disembunyikan di antara kedua lutut yang diangkat dan pundaknya bergoyang-goyang. Laki-laki itu menangis! Menangis tanpa suara. suami isteri itu merasa heran. Laki-laki itu bukan perajurit, dan melihat pakaiannya yang cukup bagus, tentu dia bukan seorang peduduk yang miskin.

Tubuhnya tinggi besar, sebagian rambutnya sudah berwarna putih. Lengan yang merangkul kedua pundak itu pun besar berotot dan lehernya serta pundaknya kekar. Parmadi dan Muryani saling pandang. Parmadi mengangkat pundak dan karena merasa tidak enak untuk menganggu orang yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka ketahui mengapa ada laki-laki yang tampak gagah itu menangis seorang diri di situ, mereka berdua hendak pergi meninggalkannya.

Akan tetapi baru belasan langkah mereka berjalan pergi, tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara teriakan melengking yang menggetarkan jantung. "Terkutuk...! Orang-orang Balmbangan terkutuk...!!"

Parmadi dan Muryani memutar tubuh dan mereka melihat orang tadi kini telah bangkit berdiri. Mereka segera mengenal bahwa orang itu adalah Raden Wangsakartika yang walaupun tidak mereka kenal namun pernah mereka lihat. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu berdiri tegak dan wajahnya yang gagah berkumis lebat itu menyeramkan sekali. Matanya merah melotot memandang ke arah pohon randu di depannya.

"Keparat, jahanam terkutuk kamu!" Tiba-tiba orang itu berteriak lantang dan tangan kanannya menyamabr ke depan. memukul ke arah batang pohon randu yang besarnya sepelukan orang.

"Wess... kraaakkkk...!" Pohon randu yang tinggi dan besar itu patah dan tumbang, menimbulkan suara berisik! Aneh, setelah merobohkan pohon. Raden Wangsakartika menjatuhkan diri di atas tanah lalu menangis lagi dengan sedihnya. Kini dengan suara yang mengeluh penuh kesedihan, penasaran dan kemarahan.

Parmadi dan Muryani merasa iba. Parmadi lalu memberi isyarat kepada isterinya dan mereka lalu menghampiri laki-laki yang masih menangis itu. mereka berdiri dalam jarak dua tombak akan tetapi tidak mau mengganggu orang yang sedang menangis itu. Agaknya Raden Wangsakartika, masih belum kehilangan kepekaannya, karena dia merasakan kehadiran suami isteri itu lalu tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan ketika melihat mereka dia lalu bangkit betdiri, gerakannya gesit.

"Mau apa kalian? pergi, jangan ganggu aku!" setelah berkata demikian, orang tinggi besar itu mendorongkan tangan kanannya ke arah suami isteri itu. Dia tidak bermaksud membunuh, akan tetapi karena dorongan tangannya mengandung hawa sakti yang amat kuat, maka orang biasa yang terkena angin dorongan ini tentu akan terlempar dan terjengkang!

Melihat orang itu mendorong dan ada angin dorongan yang kuat, Parmadi dan Muryani mengerahkan tenaga dan angin dorongan itu lewat saja, sedikit pun tidak membuat mereka bergoyang, seperti angin melewati dua bongkah batu karang yang kokoh. Raden Wangsakartika terbelalak, lalu mengerutkan alisnya.

"Hemm, siapakah Andika berdua?"

"Raden Wangsakartika, saya bernama Parmadi dan ini Nyi Muryani, Isteri saya."

"Hemm. jadi Andika yang berjuluk Si Seruling Gading? Percuma saja nama Andika yang tersohor. Ternyata tidak mampu membela Pasuruan dari serangan para jahanam Blambangan!" katanya dengan suara mengandung penasaran dan kemarahan.

Parmadi tidak menjadi marah, bahkan tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa orang ini memiliki watak yang butuk dan kasar. "Raden Wangsakartika, pihak Blambangan memiliki pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan Pasuruan dan mereka pun dipimpin banyak orang yang sakti mandraguna. Kami semua telah melawan mati-matian untuk mempertahankan Pasuruan, namun kami kalah kuat sehingga Pasuruan diserbu dan diduduki musuh. Akan tetapi, kalau kami semua mati-matian membela Pasuruan, mengapa Andika yang memiliki kepandaian sama sekali tidak membantu melawan musuh? Mengapa kini Andika hanya menangisi kekalahan Pasuruan? Apa gunanya keluh kesah dan tangisan Andika? Bukan randu alas itu yang seharusnya Andika robohkan, melainkan orang-orang Blambangan"

"Raden Wangsakartika mengerutkan alisnya. "Huh, kalian tidak tahu bisanya hanya mencela! Aku tidak takut mati dan aku berani mengorbankan diri untuk membela Mataram dan Pasuruan. Akan tetapi Andika tahu siapa aku? Aku ini orang buangan! Orang yang tidak berguna dan sudah diusir dari Mataram, tidak dipercaya lagi dan tinggal di Pasuruan sebagai orang buangan! Aku sudah dianggap orang rendah, orang kotor, penjahat tidak ada gunanya. Aku tidak berhak lagi untuk membela Mataram!" Kata-katanya mengandung keprihatinan yang mendalam.

Permadi merasa iba. Orang ini sebetulnya bukan orang jahat. Mungkin agak lemah terhadap tekanan nafsunya sendiri. juga mungkin saja sebagai putera pangeran, dahulu ketika kecil terlalu dimanja sehingga apa pun yang dikehendakinya harus terlaksana. setelah dibuang oleh Kerajaan mataram, mungkin dia menjadi putus asa dan nekat, setengah sengaja melanjutkan kehidupannya yang hanya bersenang-senang untuk menutupi kekecewaannya yang mendalam.

"Raden Wangsakartika, sudah lama kami mendengar akan nama besar mendiang Pangeran Pringgalaya sebagai seorang priyagung (bangsawan agung) yang gagah perkasa dan setia kepada Mataram. Mungkin karena Andika terlalu mengejar kesenangan dunia, maka Andika mendatangkan kemarahan kepada Gusti Sultan dan menerima hukuman. Akan tetapi, saya kira sekarang ini saatnya bagi Andika untuk mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga ayahanda Andika yang ternoda oleh perbuatan Andika yang lalu. Kalau Andika sekarang diam saja, bukankah hal itu akan menambah buruk dan mencoreng nama besar dan kehormatan mendiang ayahanda Andika? Marilah, Raden Wangsakartika, marilah kita bersama para pendekar membela Kerajaan Mataram dan menentang Blambangan bersama sekutunya yang angkara murka."

Biarpun ucapan Parmadi itu tajam, namun diucapkan dengan suara lembut dan agaknya baru sekarang Raden Wangsakartika mendengar ucapan seperti itu. Dia mengerutkan alisnya, berpikir dan wajahnya perlahan-lahan mulai berseri, kedua matanya bersinar dan dia pun mengangguk. "Andika benar! Biarlah kalau perlu aku mengorbankan nyawa yang tak berharga ini untuk membersihkan nama dam kehormatan keluarga mendiang Kanjeng Rama!"

"Tidak perlu mengorbankan nyawa, Raden karena kita dapat saling bantu dan siapa bilang kalau nyawa Andika tidak berharga? Nyawa adalah milik Gusti Allah dan sudah sempurna sejak semula. Mari kita menghadap kanjeng Adipati Pasuruan."

Raden Wangsakartika tidak membantah dan mereka lalu menghadap Sang Adipati yang tentu saja menerima janji bantuan Raden Wangsakartika dengan gembira. Beberapa hari kemudian datanglah bala bantuan dari Mataram! Gegap gempita daerah Wonokitri itu dengan datangnya pasukan besar dari Mataram yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Silarong sebagai senopatinya, dan Gandek Padurekso diberi kekuasaan oleh Sang Sultan untuk menjadi pengawas.

Pangeran Silarong dibantu oleh beberapa orang senopati tua, yaitu Senopati Suroantani dan Tumenggung Alap-alap yang keduanya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Setelah disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati Pasuruan dan para senopati, Pangeran Silarong mengadakan rapat pertemuan dengan para senopati dan perwira. Hadir pula Raden Wangsakartika yang masih keponakan Pangeran Silarong.

Pangeran ini merasa gembira melihat keponakan yang tadinya hanya mengumbar nafsu dan tidak mempedulikan urusan Negara, kini mau membantu Mataram. Dalam pertemuan itu baru diketahui bahwa dua kali utusan Pasuruan yang dikirim ke Mataram itu tidak sampai ke tempat tujuan dan terbunuh oleh orang-orang Blambangan di tengah perjalanan. Ketika mereka merencanakan penyerbuan balasan ke Pasuruan untuk merebut kembali kota kadipaten itu, tiba-tiba Raden Wangsakartika menghadap Pangeran Silarong dan berkata dengan suara lantang dan tegas, namun seperti menjadi kebiasaannya, tidak pakai basa-basi.

"Paman Pangeran, aku minta perkenan Paman untuk memasuki Pasuruan. Aku mempunyai hutang kepada Pasuruan, yaitu ketika Pasuruan diserbu para jahanam Blambangan, aku diam saja tidak ikut membela. Sekarang, aku hendak membayar hutangku, aku akan memasuki Pasuruan dan membikin kacau di sana. Aku tidak menjanjikan sesuatu, akan tetapi aku akan membawa hadiah untuk Andika semua."

Pangeran Silarong mengerutkan alisnya. Dia mengenal keponakan ini sebagai seorang yang hidupnya tidak teratur, keluyuran dengan orang-orang jahat, tukang judi, mabuk-mabukan, pelesir dengan para wanita jalang. Dia khawatir kalau dia memberi persetujuan, Raden Wangsakartika malah akan membikin kacau rencana penyerbuan pasukannya ke Pasuruan.

"Hemm, Wangsa, Andika hanya seorang diri, bagaimana mungkin akan mampu menghadapi sekian banyaknya perajurit dengan para senopati mereka? Aku khawatir usahamu itu bukan saja akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu, akan tetapi juga akan mengacaukan rencana penyerbuan kita."

"Tidak, Paman. Andaikata aku gagal dan terbunuh sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia pasukan Mataram kepada musuh." bantah Raden Wangsakartika dengan suara mantap membayangkan kenekatan.

"Maaf, Paman Pangeran, saya kira niat Raden Wangsakartika itu ada benarnya. Sebelum penyerbuan besar dilakukan, ada baiknya kalau terjadi kekacauan di sebelah dalam agar penjagaan dan pertahanan mereka menjadi lemah. Saya dan isteri saya akan menemani Raden Wangsakartika menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan."

Pangeran Silarong sudah mengenal Parmadi dan Muryani, juga sudah mendengar akan kesaktian suami isteri ini, maka dia pun mulai menaruh perhatian.

"Hemm, kalau Andika bertiga yang maju, memang lebih baik. Akan tetapi, kota Pasuruan kini telah menjadi benteng pasukan Blambangan, tentu dijaga amat ketat. Bagaimana mungkin andika bertiga dapat memasuki kota ini tanpa ketahuan perajurit penjaga?"

"Gusti Pangeran" kata Senopati Aryo" Hal itu mudah diatur. Anakmas Parmadi telah minta nasihat kami dan ada sebuah jalan setapak yang dapat membawa mereka bertiga memasuki Pasuruan tanpa diketahui."

"Bagus, kalau begitu, Ananda Wangsa, dan kalian Anakmas Parmadi berdua, kami setuju kalau Andika bertiga hendak masuk kesana, membikin kacau dan sekalian menyelidiki keadaan pertahanan mereka."

Demikianlah, setelah mendapat persetujuan, malam itu juga tiga bayangan orang, yaitu Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan melalui rawa-rawa dan dapat masuk tanpa ketahuan para perajurit jaga yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang dapat memasuki kota melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya itu.

Pasukan Blambangan yang menyerbu dan menduduki Pasuruan hanya merupakan sebagian saja dari seluruh pasukan gabungan di Blambangan. Memang, pada waktu penyerbuan, pasukan yang jumlahnya hanya belasan ribu orang itu sudah lebih dari dua kali lipat jumlah pasukan Pasuruan.

Namun dalam penyerbuan itu, pasukan yang terutama terdiri dari pasukan Bali yang dipimpin Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua orang senopati yang memimpin pasukan yang dikirim Raja Dewa Agung dari Gelgel, diperkuat pula oleh Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama, Kalajana, bahkan Tejakasmala juga ikut memperkuat karena mereka mengkhawatirkan kalau-kalau Pasuruan sudah diperkuat tokoh-tokoh sakti pembela Mataram.

Setelah Pasuruan berhasil diduduki, empat orang tokoh sakti ini kembali ke Blambangan. Pertahanan kota Pasuruan diserahkan kepada Panji Buleleng dan Macan Kuning dibantu oleh beberapa orang tokoh persekutuan Blambangan, antara lain Ki Sarwatama adik seperguruan Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra, Kyai Ngurah Pacung, senopati dari Klungkung, Bali, pembantu Made Sukasada, Randujapang, tokoh Madura, Kyai Kasmalapati tokoh Blambangan bersama muridnya Dartoko, dan beberapa orang tokoh lain.

Persekutuan Blambangan itu tidak mengerahkan atau memusatkan seluruh pasukan mereka di Pasuruan karena mereka khawatir kalau-kalau pihak musuh, yaitu Mataram akan menyerang Blambangan lewat jalan lain. Mereka lebih mementingkan penjagaan dan pertahanan di Blambangan, dan hanya akan menggunakan sebagian, paling banyak separuh kekuatan pasukan mereka untuk melakukan serangan sampai ke Mataram.

Panji Buleleng dibantu Macan Kuning yang memimpin pasukan yang menduduki Pasuruan, berbesar hati karena mereka diperlengkapi dengan sepuluh buah meriam dan seratus buah senapan sumbangan dari Kumpeni Belanda melalui Satyabrata. Raden Wangsakartika sudah mengatur siasat bersama Parmadi dan Muryani sebelum mereka menyelinap ke dalam benteng Pasuruan.

Maka, setelah berhasil menyelinap ke dalam benteng Pasuruan, mereka langsung saja menuju sasaran, yaitu tiga buah gudang terisi ransum tumpukan padi dan lain-lain. Ketika merebut Pasuruan, pasukan Blambangan merampas hasil sawah ladang rakyat di dusun-dusun dan mengangkut padi-padi itu dimasukkan ke dalam tiga gudang ransum. Yang bertugas menyelidiki keadaan pertahanan benteng Pasuruan adalah Parmadi.

Maka ketika dia menyelinap ke sebuah di antara gudang-gudang itu, dan melihat seorang perajurit yang membawa tombak lewat seorang diri, dia menyergapnya dan membuatnya tidak berdaya dan tidak mampu berteriak. Parmadi lalu menghardik dengan bisikan, mengancam orang itu agar menceritakan kekuatan yang menjaga Pasuruan. Dengan menekan punggung perajurit itu, Parmadi membuat orang itu menggeliat kesakitan dan terpaksa mengaku dan menceritakan tentang kekuatan pasukan yang berada di situ.

Parmadi memaksanya menceritakan tentang letak sepuluh buah meriam dan pasukan mana yang diperlengkapi senjata api. Juga siapa para senopati dan tokoh sakti yang memperkuat pertahanan di situ. Karena tidak kuat menahan nyeri ketika Parmadi menekan pundaknya, perajurit itu menceritakan semua yang ditanyakan Parmadi. Setelah mendapat keterangan secara terperinci, Parmadi lalu menepuk tengkuk orang itu yang roboh pingsan berat.

"Mau apa kalian? pergi, jangan ganggu aku!" setelah berkata demikian, orang tinggi besar itu mendorongkan tangan kanannya ke arah suami isteri itu. Dia tidak bermaksud membunuh, akan tetapi karena dorongan tangannya mengandung hawa sakti yang amat kuat, maka orang biasa yang terkena angin dorongan ini tentu akan terlempar dan terjengkang!

Melihat orang itu mendorong dan ada angin dorongan yang kuat, Parmadi dan Muryani mengerahkan tenaga dan angin dorongan itu lewat saja, sedikit pun tidak membuat mereka bergoyang, seperti angin melewati dua bongkah batu karang yang kokoh. Raden Wangsakartika terbelalak, lalu mengerutkan alisnya.

"Hemm, siapakah Andika berdua?"

"Raden Wangsakartika, saya bernama Parmadi dan ini Nyi Muryani, Isteri saya."

"Hemm. jadi Andika yang berjuluk Si Seruling Gading? Percuma saja nama Andika yang tersohor. Ternyata tidak mampu membela Pasuruan dari serangan para jahanam Blambangan!" katanya dengan suara mengandung penasaran dan kemarahan.

Parmadi tidak menjadi marah, bahkan tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa orang ini memiliki watak yang butuk dan kasar. "Raden Wangsakartika, pihak Blambangan memiliki pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan Pasuruan dan mereka pun dipimpin banyak orang yang sakti mandraguna. Kami semua telah melawan mati-matian untuk mempertahankan Pasuruan, namun kami kalah kuat sehingga Pasuruan diserbu dan diduduki musuh. Akan tetapi, kalau kami semua mati-matian membela Pasuruan, mengapa Andika yang memiliki kepandaian sama sekali tidak membantu melawan musuh? Mengapa kini Andika hanya menangisi kekalahan Pasuruan? Apa gunanya keluh kesah dan tangisan Andika? Bukan randu alas itu yang seharusnya Andika robohkan, melainkan orang-orang Blambangan"

"Raden Wangsakartika mengerutkan alisnya. "Huh, kalian tidak tahu bisanya hanya mencela! Aku tidak takut mati dan aku berani mengorbankan diri untuk membela Mataram dan Pasuruan. Akan tetapi Andika tahu siapa aku? Aku ini orang buangan! Orang yang tidak berguna dan sudah diusir dari Mataram, tidak dipercaya lagi dan tinggal di Pasuruan sebagai orang buangan! Aku sudah dianggap orang rendah, orang kotor, penjahat tidak ada gunanya. Aku tidak berhak lagi untuk membela Mataram!" Kata-katanya mengandung keprihatinan yang mendalam.

Permadi merasa iba. Orang ini sebetulnya bukan orang jahat. Mungkin agak lemah terhadap tekanan nafsunya sendiri. juga mungkin saja sebagai putera pangeran, dahulu ketika kecil terlalu dimanja sehingga apa pun yang dikehendakinya harus terlaksana. setelah dibuang oleh Kerajaan mataram, mungkin dia menjadi putus asa dan nekat, setengah sengaja melanjutkan kehidupannya yang hanya bersenang-senang untuk menutupi kekecewaannya yang mendalam.

"Raden Wangsakartika, sudah lama kami mendengar akan nama besar mendiang Pangeran Pringgalaya sebagai seorang priyagung (bangsawan agung) yang gagah perkasa dan setia kepada Mataram. Mungkin karena Andika terlalu mengejar kesenangan dunia, maka Andika mendatangkan kemarahan kepada Gusti Sultan dan menerima hukuman. Akan tetapi, saya kira sekarang ini saatnya bagi Andika untuk mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga ayahanda Andika yang ternoda oleh perbuatan Andika yang lalu. Kalau Andika sekarang diam saja, bukankah hal itu akan menambah buruk dan mencoreng nama besar dan kehormatan mendiang ayahanda Andika? Marilah, Raden Wangsakartika, marilah kita bersama para pendekar membela Kerajaan Mataram dan menentang Blambangan bersama sekutunya yang angkara murka."

Biarpun ucapan Parmadi itu tajam, namun diucapkan dengan suara lembut dan agaknya baru sekarang Raden Wangsakartika mendengar ucapan seperti itu. Dia mengerutkan alisnya, berpikir dan wajahnya perlahan-lahan mulai berseri, kedua matanya bersinar dan dia pun mengangguk. "Andika benar! Biarlah kalau perlu aku mengorbankan nyawa yang tak berharga ini untuk membersihkan nama dam kehormatan keluarga mendiang Kanjeng Rama!"

"Tidak perlu mengorbankan nyawa, Raden karena kita dapat saling bantu dan siapa bilang kalau nyawa Andika tidak berharga? Nyawa adalah milik Gusti Allah dan sudah sempurna sejak semula. Mari kita menghadap kanjeng Adipati Pasuruan."

Raden Wangsakartika tidak membantah dan mereka lalu menghadap Sang Adipati yang tentu saja menerima janji bantuan Raden Wangsakartika dengan gembira. Beberapa hari kemudian datanglah bala bantuan dari Mataram! Gegap gempita daerah Wonokitri itu dengan datangnya pasukan besar dari Mataram yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Silarong sebagai senopatinya, dan Gandek Padurekso diberi kekuasaan oleh Sang Sultan untuk menjadi pengawas.

Pangeran Silarong dibantu oleh beberapa orang senopati tua, yaitu Senopati Suroantani dan Tumenggung Alap-alap yang keduanya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Setelah disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati Pasuruan dan para senopati, Pangeran Silarong mengadakan rapat pertemuan dengan para senopati dan perwira. Hadir pula Raden Wangsakartika yang masih keponakan Pangeran Silarong.

Pangeran ini merasa gembira melihat keponakan yang tadinya hanya mengumbar nafsu dan tidak mempedulikan urusan Negara, kini mau membantu Mataram. Dalam pertemuan itu baru diketahui bahwa dua kali utusan Pasuruan yang dikirim ke Mataram itu tidak sampai ke tempat tujuan dan terbunuh oleh orang-orang Blambangan di tengah perjalanan. Ketika mereka merencanakan penyerbuan balasan ke Pasuruan untuk merebut kembali kota kadipaten itu, tiba-tiba Raden Wangsakartika menghadap Pangeran Silarong dan berkata dengan suara lantang dan tegas, namun seperti menjadi kebiasaannya, tidak pakai basa-basi.

"Paman Pangeran, aku minta perkenan Paman untuk memasuki Pasuruan. Aku mempunyai hutang kepada Pasuruan, yaitu ketika Pasuruan diserbu para jahanam Blambangan, aku diam saja tidak ikut membela. Sekarang, aku hendak membayar hutangku, aku akan memasuki Pasuruan dan membikin kacau di sana. Aku tidak menjanjikan sesuatu, akan tetapi aku akan membawa hadiah untuk Andika semua."

Pangeran Silarong mengerutkan alisnya. Dia mengenal keponakan ini sebagai seorang yang hidupnya tidak teratur, keluyuran dengan orang-orang jahat, tukang judi, mabuk-mabukan, pelesir dengan para wanita jalang. Dia khawatir kalau dia memberi persetujuan, Raden Wangsakartika malah akan membikin kacau rencana penyerbuan pasukannya ke Pasuruan.

"Hemm, Wangsa, Andika hanya seorang diri, bagaimana mungkin akan mampu menghadapi sekian banyaknya perajurit dengan para senopati mereka? Aku khawatir usahamu itu bukan saja akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu, akan tetapi juga akan mengacaukan rencana penyerbuan kita."

"Tidak, Paman. Andaikata aku gagal dan terbunuh sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia pasukan Mataram kepada musuh." bantah Raden Wangsakartika dengan suara mantap membayangkan kenekatan.

"Maaf, Paman Pangeran, saya kira niat Raden Wangsakartika itu ada benarnya. Sebelum penyerbuan besar dilakukan, ada baiknya kalau terjadi kekacauan di sebelah dalam agar penjagaan dan pertahanan mereka menjadi lemah. Saya dan isteri saya akan menemani Raden Wangsakartika menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan."

Pangeran Silarong sudah mengenal Parmadi dan Muryani, juga sudah mendengar akan kesaktian suami isteri ini, maka dia pun mulai menaruh perhatian.

"Hemm, kalau Andika bertiga yang maju, memang lebih baik. Akan tetapi, kota Pasuruan kini telah menjadi benteng pasukan Blambangan, tentu dijaga amat ketat. Bagaimana mungkin andika bertiga dapat memasuki kota ini tanpa ketahuan perajurit penjaga?"

"Gusti Pangeran" kata Senopati Aryo" Hal itu mudah diatur. Anakmas Parmadi telah minta nasihat kami dan ada sebuah jalan setapak yang dapat membawa mereka bertiga memasuki Pasuruan tanpa diketahui."

"Bagus, kalau begitu, Ananda Wangsa, dan kalian Anakmas Parmadi berdua, kami setuju kalau Andika bertiga hendak masuk kesana, membikin kacau dan sekalian menyelidiki keadaan pertahanan mereka."

Demikianlah, setelah mendapat persetujuan, malam itu juga tiga bayangan orang, yaitu Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan melalui rawa-rawa dan dapat masuk tanpa ketahuan para perajurit jaga yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang dapat memasuki kota melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya itu.

Pasukan Blambangan yang menyerbu dan menduduki Pasuruan hanya merupakan sebagian saja dari seluruh pasukan gabungan di Blambangan. Memang, pada waktu penyerbuan, pasukan yang jumlahnya hanya belasan ribu orang itu sudah lebih dari dua kali lipat jumlah pasukan Pasuruan.

Namun dalam penyerbuan itu, pasukan yang terutama terdiri dari pasukan Bali yang dipimpin Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua orang senopati yang memimpin pasukan yang dikirim Raja Dewa Agung dari Gelgel, diperkuat pula oleh Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama, Kalajana, bahkan Tejakasmala juga ikut memperkuat karena mereka mengkhawatirkan kalau-kalau Pasuruan sudah diperkuat tokoh-tokoh sakti pembela Mataram.

Setelah Pasuruan berhasil diduduki, empat orang tokoh sakti ini kembali ke Blambangan. Pertahanan kota Pasuruan diserahkan kepada Panji Buleleng dan Macan Kuning dibantu oleh beberapa orang tokoh persekutuan Blambangan, antara lain Ki Sarwatama adik seperguruan Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra, Kyai Ngurah Pacung, senopati dari Klungkung, Bali, pembantu Made Sukasada, Randujapang, tokoh Madura, Kyai Kasmalapati tokoh Blambangan bersama muridnya Dartoko, dan beberapa orang tokoh lain.

Persekutuan Blambangan itu tidak mengerahkan atau memusatkan seluruh pasukan mereka di Pasuruan karena mereka khawatir kalau-kalau pihak musuh, yaitu Mataram akan menyerang Blambangan lewat jalan lain. Mereka lebih mementingkan penjagaan dan pertahanan di Blambangan, dan hanya akan menggunakan sebagian, paling banyak separuh kekuatan pasukan mereka untuk melakukan serangan sampai ke Mataram.

Panji Buleleng dibantu Macan Kuning yang memimpin pasukan yang menduduki Pasuruan, berbesar hati karena mereka diperlengkapi dengan sepuluh buah meriam dan seratus buah senapan sumbangan dari Kumpeni Belanda melalui Satyabrata. Raden Wangsakartika sudah mengatur siasat bersama Parmadi dan Muryani sebelum mereka menyelinap ke dalam benteng Pasuruan.

Maka, setelah berhasil menyelinap ke dalam benteng Pasuruan, mereka langsung saja menuju sasaran, yaitu tiga buah gudang terisi ransum tumpukan padi dan lain-lain. Ketika merebut Pasuruan, pasukan Blambangan merampas hasil sawah ladang rakyat di dusun-dusun dan mengangkut padi-padi itu dimasukkan ke dalam tiga gudang ransum. Yang bertugas menyelidiki keadaan pertahanan benteng Pasuruan adalah Parmadi.

Maka ketika dia menyelinap ke sebuah di antara gudang-gudang itu, dan melihat seorang perajurit yang membawa tombak lewat seorang diri, dia menyergapnya dan membuatnya tidak berdaya dan tidak mampu berteriak. Parmadi lalu menghardik dengan bisikan, mengancam orang itu agar menceritakan kekuatan yang menjaga Pasuruan. Dengan menekan punggung perajurit itu, Parmadi membuat orang itu menggeliat kesakitan dan terpaksa mengaku dan menceritakan tentang kekuatan pasukan yang berada di situ.

Parmadi memaksanya menceritakan tentang letak sepuluh buah meriam dan pasukan mana yang diperlengkapi senjata api. Juga siapa para senopati dan tokoh sakti yang memperkuat pertahanan di situ. Karena tidak kuat menahan nyeri ketika Parmadi menekan pundaknya, perajurit itu menceritakan semua yang ditanyakan Parmadi. Setelah mendapat keterangan secara terperinci, Parmadi lalu menepuk tengkuk orang itu yang roboh pingsan berat.

Parmadi lalu mempersiapkan segala ssuatu untuk membakar gudang ransum yang menjadi bagiannya. Dia menumpuk jerami kering di seputar gudang, akan tetapi dia bersembunyi, menanti sampai isterinya dan Raden Wangsakartika lebih dulu membakar dua gudang yang lain. Raden Wangsakartika merasa tidak puas kalau hanya membakar gudang ransum. Dia harus melakukan sesuatu yang menggemparkan dan membawa kejutan bagi pamannya, Pangeran Silarong dan Adipati Pasuruan.

Biar mereka semua tahu bahwa dia bukan seorang yang tidak ada gunanya, bahwa dia tidak percuma menjadi putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang sakti dan gagah perkasa. Seperti聽juga suami isteri Parmadi dan Muryani, sebagai seorang penghuni kota Pasuruan tentu saja Raden Wangsakartika juga mengenal betul keadaan dan lika-liku kota itu.

Ketika menyelinap dari rumah ke rumah dan tiba di dekat gudang ransum yang menjadi bagiannya seperti telah direncanakan bersama Parmadi dan Muryani, Raden Wangsakartika tiba di dekat gudang pertama yang terbesar. Dia melihat dua orang perajurit Bali duduk di depan gudang. Melihat dua orang perajurit ini, timbul suatu gagasan dalam pikirannya. Yang membuat pasukan Blambangan menjadi kuat adalah karena dukungan orang Bali, pikirnya. Mereka harus diberi hajaran keras! Dia menyusup dekat dan dari tempat gelap dia berseru perlahan kepada dua orang penjaga itu.

"Sssttt... Andika berdua ke sinilah, penting...!" katanya dalam bahasa Bali yang fasih. Raden Wangsakartika memang memiliki bakat dalam hal berkata. Dia pandai menggunakan bahasa Bali, Madura, dan logat daerah lain. Kalau dia berbahasa Bali, semua orang tentu akan mengira dia orang Bali asli. Dua orang prajurit itu merasa heran akan tetapi mereka lalu menghampiri tempat gelap itu sambil membawa tombak mereka.

Begitu mereka tiba di depannya, sinar pedang di tangan Raden Wangsakartika berkelebat dan seorang perajuri roboh dan tewas. Sebelum perajurit kedua sempat bergerak atau berteriak, Raden Wangsakartika sedah menerkamnya dan lengan kirinya yang kuat sudah melingkari leher, mengempit dan mencekik.

"Cepat katakan di mana adanya pimpinan kalian!"

Dengan suara parau karena lehernya dijepit lengan yang kuat itu, perajurit kedua menjawab ketakutan. "Di... di... istana kadipaten... sayap kanan..."

"Siapa pemimpinmu?" bentak pula Raden Wangsakartika.

Perajurit itu hendak menggertak dan menakut-nakuti. "Mereka adalah dua orang senopati sakti mandraguna, Panji Buleleng dan Macan Kuning!"

Raden Wangsakartika mengerahkan tenaga pada lengannya yang menghimpit leher perajurit Bali itu.

"Krekk...!" Batang leher itu patah dan orangnya tewas seketika. Raden Wangsakartika menyeret mayat dua orang itu dan menyembunyikan mereka di bawah semak-semak yang tumbuh di belakang gudang. Dia tidak mempedulikan lagi gudang itu. Urusan kecil membakar gudang, pikirnya. Dia memilih urusan yang lebih besar lagi dan cepat tubuhnya bergerak menuju ke istana kadipaten, setelah dia mengenakan pakaian perajurit tinggi besar yang dibunuhnya.

Malam itu, para pimpinan pasukan Blambangan yang berhasil menduduki Pasuruan masih dalam keadaan pesta kemenangan, Panji Buleleng dan Macan Kuning, yang menjadi pimpinan tertinggi pasukan yang kini menduduki Pasuruan, menempati istana kadipaten bagian kanan yang paling luas dan mewah. Setelah beberapa hari mereka berdua itu bersenang-senang dengan para perwira lainnya, malam itu mereka berdua duduk di ruangan dalam, berbincang-bincang.

"Kakang Panji" kata Macan Kuning yang bertubuh sedang dan kokoh, kulitnya putih kekuningan, "Bagaimana rencana gerakan kita selanjutnya? Apa yang harus kita lakukan setelah kita berhasil menduduki Pasuruan?"

"Adi Macan Kuning," kata Panji Buleleng yang bertubuh tinggi kurus dan kumisnya tebal. "Tugas kita sekarang hanya menjaga benteng Pasuruan yang menjadi benteng terdepan persekutuan Blambangan untuk menyerang Mataram. Kita hanya tinggal menanti perintah selanjutnya dari para pimpinan di Blambangan."

"Apakah rencana selanjutnya dari para pimpinan Kakang?"

"Aku belum tahu benar, akan tetapi kukira sekarang sedang seluruh daerah Jawa Timur dan menyusun kekuatan. Setelah itu baru akan diadakan gerakan penyerangan ke Mataram, pemberangkatan bala tentara tentu dipusatkan di Pasuruan ini."

Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh di luar ruangan itu, suara beradunya senjata berdentingan disusul teriakan dan berdebuknya tubuh orang-orang yang roboh. Dua orang senopati Bali itu adalah panglima-panglima yang berpengalaman. Panji Buleleng sudah berusia hampir enam puluh tahun sedangkan Macan Kuning juga sudah berusia lima puluh tahun lebih. Mendengar suara gaduh itu, keduanya lalu berlompatan keluar sambil hunus keris mereka yang panjang.

Setelah tiba di ruangan itu agak gelap karena hanya sebuah lampu penerangan yang msij bernyala. Tiga buah lampu penerangan lain telah padam sehingga cuaca di situ remang-remang. Namun mereka berdua dapat melihat betapa lima orang perajurit yang menjaga di bagian itu telah roboh malang melintang tak bergerak lagi. Akan tetapi ada seorang perajurit yang bertubuh tinggi besar memegang tombak berdiri di sudut.

"Hei! apa yang terjadi di sini?" bentak Macan kuning kepada perajuritnya itu.

"...kami diserang... musuh..." Raden Wangsakartika berkata dan bersikap seperti orang gugup dan ketakutan. Mendengar ini, dua orang senopati itu terkejut dan mereka segera melihat ke sekeliling sambil memegang keris, siap menghadapi serangan gelap. Mereka berdua sama sekali tidak mengira bahwa yang berada di depan mereka justeru adalah musuh yang telah membunuh lima orang anak buah mereka itu. Karena Raden Wangsakartika memakai pakaian perajurit Bali dan bicaranya juga dalam bahasa Bali yang sempurna, dua orang senopati itu sama sekali tidak curiga.

"Wuuuttt...!" Tombak panjang itu meluncur cepat menghunjam ke arah dada Macan Kuning. Senopati ini sama sekali tidak pernah mengira akan diserang oleh perajurit bali itu dari dekat. Maka sama sekali dia tidak dapat mengelak atau menangkis dan tahu-tahu dadanya sudah ditembus tombak yang ditusukkan dengan tenaga dahsyat itu.

"Heiii...!" Panji buleleng berseru kaget melihat rekannya roboh dan tewas seketika dengan tombak masih menembus dadanya. Akan tetapi Raden Wangsakartika sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya dengan hebat.

"Cring... tranggg...!!" bunga api berpijar ketika dua kali keris di tangan Panji Buleleng menangkis mata pedang yang menghunjam ke arah tubuhnya itu. Kemudian dia pun balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di ruangan remang-remang itu.

Panji Buleleng adalah seorang senopati Gelgel di Bali yang digdaya, akan tetapi sekali ini dia bertanding melawan putera mendiang Pangeran Pringgalaya dari Mataram yang sakti mandraguna. Pula, hatinya sudah gentar melihat lima orang perajurit dan rekannya, Macan Kuning, tewas di tangan lawannya ini. Ditambah lagi senjata Raden Wangsakartika jauh lebih panjang, besar dan berat daripada kerisnya. Juga tenaga lawan amat kuat sehingga setiap kali kerisnya bertemu pedang, dia merasa betapa lengannya tergetar dan terpental. Karena maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, Panji Buleleng berteriak nyaring.

"Tolooonnngggg...!"

Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu terdengar pula teriakan-teriakan dari luar istana kadipaten. Teriakan banyak orang yang menggema sampai ke dalam istana.

"Tolooonnnggg....! Tolooonnnggg....! Kebakaran.... kebakaran...!"

Teriakan ini sambung menyambung dan terdengar suara gaduh seperti banyak orang berlarian dan berteriak-teriak. Juga di dalam istana menjadi geger dan agaknya para penghuni istana berhamburan keluar sehingga tidak ada yang mengetahui bahwa di bagian kanan istana terjadi perkelahian mati-matian. Panji Buleleng menjadi panik dan maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berteriak karena kegaduhan di luar istana akan menyelimuti suara teriakannya. Dia semakin terdesak, akan tetapi Panji Buleleng adalah seorang yang sudah banyak pengalaman berkelahi.

Dia cepat menjatuhkan diri ketika pedang di tangan lawan menyambar dengan bacokan. Tubuhnya lalu bergulingan dan tangan kirinya menyambar sebuah kursi. Sambil melompat bangun, dia melemparkan kursi itu dengan pengerahan tenaga ke arah kepala lawan yang mengejarnya. Melihat benda hitam melayang ke arahnya dan dia tidak tahu benda apa itu karena keadaannya agak gelap, Raden Wangsakartika membacokkan pedangnya ke arah benda hitam yang seolah-olah seekor harimau menerkamnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Singg.... crakkkk!" Kursi itu patah dan runtuh. Akan tetapi pada saat itu, Panji Buleleng yang sudah merenggut lepas sehelai tirai pintu yang lebar, sudah melemparkan tirai itu ke arah lawan yang baru saja menangkis kursi.

"Wuuuttt...!" Raden Wangsakartika gelagapan ketika tiba-tiba ada kain menimpa dan menutup kepalanya. Dia menggerakkan lengan kiri untuk menangkap dan menyingkirkan kain tirai itu. Pada saat itu, Panji Buleleng sudah menubruk maju dan menikamkan kerisnya ke arah lawan yang tubuh atasnya masih tertutup tirai.

"Cappp...!" Keris menembus kulit daging dan berhenti terhalang tulang pangkal lengan kiri Raden Wangsakartika.

"Aduhh....!" Raden Wangsakartika roboh terjengkang. Hal ini merupakan siasatnya. Memang tadi secara kebetulan pangkal lengan kirinya menyelamatkannya dan dapat menggantikan dadanya tertusuk keris. Luka itu sebetulnya tidak akan merobohkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa keadaannya yang tertutup kain itu berbahaya sekali, maka sengaja dia mengaduh dan menjatuhkan diri ke belakang seolah terjengkang.

Ketika terjengkang inilah dia sempat menyingkap kain yang menutupi kepalanya dan pada saat itu, Panji Buleleng dengan girang menubruk untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pedang di tangan Raden Wangsakartika lebih dulu menyambar bagaikan kilat, tepat menebas leher Panji Buleleng sehingga tubuh senopati itu jatuh menimpa tubuh Raden Wangsakartika dengan leher putus dan kepalanya menggelinding ke atas lantai!

Dengan muka, tangan dan pakaian berlepotan darah lawan, Raden Wangsakartika melompat berdiri dan tersenyum puas. Rasa nyeri di pangkal lengan kirinya tidak dia rasakan. Dia lalu memenggal leher Macan Kuning, kemudian menggunakan kain tirai untuk membungkus dua buah kepala itu dan membawanya keluar istana, mengambil jalan samping yang sepi.

Ketika tiba di luar, dia melihat kobaran api di dua tempat. maklumlah dia bahwa Parmadi dan Muryani telah melaksanakan tugas mereka dengan baik dan baru teringat dia bahwa dia pun bertugas membakar gudang pertama. Akan tetapi sekarang tidak ada kesempatan lagi. Kota telah penuh perajurit, sebagian berusaha memadamkan kebakaran, sebagian lagi sibuk mencari-cari musuh yang melakukan pembakaran. Dia tidak peduli. Apa yang dilakukannya jauh lebih berarti daripada sekadar membakar gudang ransum pertama, pikirnya.

Maka dia pun cepat menyelinap di antara para perajurit yang panik. Tidak ada yang mencurigainya karena dia pun berpakaian perajurit Bali dan perhatian semua orang lebih tertarik ke arah kebakaran-kebakaran itu. Ketika dia tiba di dekat tembok kota bagian selatan yang menembus ke daerah rawa yang menjadi tempat mereka tadi menyusup ke Pasuruan, dia mlihat orang-orang bertempur di bawah sinar beberapa buah obor yang diacungkan ke atas oleh perajurit-perajurit Blambangan.

ketika dia mendekat, Raden Wangsakartika terkejut karena yang bertanding adalah Parmadi dan Muryani, dikeroyok oleh tiga orang yang gerakannya berbahaya dibantu pula oleh belasan orang perajurit. Parmadi dan Muryani telah berhasil membakar gudang ransum kedua dan ketiga. Sia-sia mereka menunggu-nunggu terbakarnya gudang ransum pertama dan mereka sangsi. Jangan-jangan Raden Wangsakartika telah gagal melaksanakan tugas bagiannya. Karena terlalu lama menanti, akhirnya Muryani membakar gudang ransum dan melihat kebakaran itu, Parmadi juga membakar gudang yang menjadi bagiannya.

Setelah membakar gudang yang menimbulkan kegemparan, keduanya lalu melarikan diri ke arah bagian selatan kota untuk keluar dari sana. Akan tetapi, Muryani terlihat oleh sepasukan perajurit Blambangan yang segera mengepung dan mengeroyoknya. Muryani mengamuk dan merobohkan enam orang perajurit. akan tetapi, segera muncul Ki Randupajang, tokoh Madura yang tinggi besar dan brewok. Laki-laki berusia lima puluh tahun lebih ini memang diperbantukan dalam merebut dan menjaga Pasuruan.

Selain Ki Randujapang,juga聽muncul Kyai Kasmalapati yang berusia enam puluh lima tahun, datuk Blambangan yang sakti itu, bersama-sama muridnya, yaitu Dartoko berusia dua puluh lima tahun yang berwajah tampan namun wataknya sombomg dan jahat. Begitu tiga orang sakti ini muncul dan menyerang, Muryani menghadapi pengeroyokan mereka dengan pedangnya yang diputar cepat sehingga membentuk gulungan sinar berkeredepan tertimpa sinat obor yang dibawa para perajurit.

Namun, tiga orang itu adalah tokoh-tokoh yang sakti dan kuat, maka mulailah Muryani terdesak dan ia tidak melihat jalan keluar karena dirinya sudah terkepung. Jalan satu-satunya hanyalah mengamuk dan mempertahankan diri sampai saat terakhir. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendengung-dengung. Muryani merasa girang sekali karena itu adalah suara seruling gading yang dimainkan suaminya. Benar saja, kepungan itu mengendur karena Parmadi sudah menerjang masuk dan senjatanya yang ampuh, suling gadingnya, berubah menjadi sinar keemasan.

Semua senjata para perajurit yang bertemu sinar suling atau sinar pedang, tentu terpental. Akan tetapi tiga orang itu tetap menyerang mereka dan para perajurit mengepung agar suami isteri itu tidak dapat melarikan diri. Sedangkan beberapa orang perajurit cepat membunyikan kentungan untuk memanggil bala bantuan. Parmadi dan Muryani maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali. Kalau sampai pasukan yang besar jumlahnya datang mengepung, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri keluar dari Kadipaten Pasuruan.

Akan tetapi selagi mereka berusaha mati-matian untuk memecahkan kepungan, tiba-tiba muncul Raden Wangsakartika. Melihat suami isteri itu dikeroyok, Raden Wangsakartika lalu menerjang dengan pedangnya dan gerakannya amat ganas. Tidak seperti Parmadi dan Muryani yang hanya merobohkan para perajurit dengan melukai mereka tanpa membunuh, sepak terjang Raden Wangsakartika nggegirisi (mengerikan). Darah muncrat-muncrat dari perut yang tertembus pedangnya, leher yang terpenggal atau pundak, kaki tangan terbabat putus!

Sepak terjang Raden Wangsakartika ini membuat para pengeroyok menjadi gentar sehingga kepungan mengendor dan kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang sakti itu untuk meloloskan diri melalui tembok dan tiba di daerah rawa, Para perajurit hanya berani mengejar keluar dinding, tak berani memasuki daerah rawa yang gelap dan berbahaya.

********************

Pangeran Silarong menyambut kembalinya Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani dengan gembira. Dia memuji jasa mereka bertiga, terutama Raden Wangsakartika yang membawa "oleh-oleh" untuknya berupa dua buah kepala milik pimpinan pasukan Bali. Pangeran Silarong lalu memerintahkan perajurit untuk memasang dua buah kepala itu di atas galah dan ditancapkan di depan pintu benteng Pasuruan untuk membikin gentar hati para perajurit musuh.

Juga Pangeran Silarong girang mendapatkan keterangan yang jelas dari Parmadi tentang keadaan dan kekuatan pertahanan dalam benteng itu. Pengetahuan tentang kekuatan pertahanan musuh, terutama sekali tentang letak meriam-meriam itu amatlah penting karena dengan demikian Pasukan Mataram dapat menyusun siasat penyerangan agar terhindar dari ancaman peluru-peluru meriam dan dapat memperoleh kemenangan tanpa menderita terlalu banyak korban.

Sementara itu, peristiwa pembakaran dua gudang ransum dan terbunuhnya beberapa perajurit, terutama sekali matinya dua orang pimpinan yang kepalanya hilang, menggegerkan para perajurit di kota Kadipaten Pasuruan. Apalagi ketika pada keesokan harinya, dua buah kepala pemimpin mereka itu dipasang di atas galah dan ditancapkan di depan pintu gerbang benteng mereka, para perajurit menjadi gentar sekali.

Para perwira pembantu dua pemimpin yang tewas itu segera mengirim laporan dan minta bantuan ke Blambangan. Pangeran Silarong mengajak para perwira, termasuk Parmadi, Muryani, dan Raden Wangsakartika sebagai pembela sukarelawan. Mereka semua dapat menduga bahwa peristiwa malam itu tentu menggemparkan dan membuat gentar hati pasukan musuh dan menurunkan semangat mereka. Oleh karena itu, Pangeran Silarong segera mengatur barisan dan memerintahkan penyerbuan pada keesokan harinya agar jangan memberi kesempatan musuh memperkuat diri dengan bantuan yang datang dari Blambangan.

Para senopati Mataram yang sudah berpengalaman menghadapi gempuran musuh yang mengandalkan meriam dan senapan, ketika mereka beberapa kali menyerbu Batavia, kini menggunakan siasat penyerbuan lewat sayap kanan dan kiri, tidak langsung dari depan yang dapat menjadi sasaran lunak peluru-peluru meriam dan mendekati benteng dari kanan kiri, maju sambil berlindung di balik pohon-pohon dan batu-batu, juga rumah-rumah penduduk yang sudah kosong ditinggalkan para penghuninya yang lari mengungsi.

Mereka membentuk Pasukan Sapit Udang, menyerbu dari kanan kiri dan setengah bagian pasukan menyerbu lewat belakang, yaitu lewat daerah rawa, dipimpin oleh pemandu-pemandu jalan yang sudah hafal akan keadaan daerah yang sukar dan berbahaya itu. Pertempuran dimulai. Pasukan Blambangan melawan dengan seluruh kekuatannya. Sebagian besar perajurit dari Bali pimpinan Senopati Tabanan dan Pacung yang menggantikan Panji Buleleng dan Macan Kuning yang telah tewas, dibekali aji kanuragan yang cukup tangguh, bahkan banyak diantara mereka, terutama para perwira dan senopati dari Bali itu memiliki aji kekebalan, tidak dapat dilukai serangan senjata tajam biasa.

Dengan perlawanan mati-matian terjadilah pertempuran yang amat hebat. Banjir darah terjadi ketika pasukan campuran Blambangan yang mempertahankan kota Pasuruan itu menerjang keluar menyambut musuh, setelah peluru-peluru meriam dan senapan mereka tidak dapat menahan desakan pasukan Mataram. Perang campuh yang amat hebat sehingga korban di kedua pihak roboh dan mayat-mayat berserakan. Darah mereka membasahi bumi. Teriakan-teriakan kemarahan bercampur aduk dengan jerit-jerit kematian.

Ki Randujapang, datuk Madura yang sakti itu, mengamuk dan merobohkan banyak perajurit Mataram dengan senjatanya sepasang kapak yang besar dan berat. sepasang kapaknya sudah berlepotan darah, demikian pula pakaiannya. Akan tetapi tiba-tiba ketika kapak kanannya menyambar ke arah kepala seorang perajurit, ada sebatang pedang berkelebat menangkis. "Tranggg... !" Bunga api berhamburan ketika kapak ditangkis pedang. ki randujapang terkejut karena dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat.

Ketika melihat siapa yang menangkis kapaknya dengan pedang, dia marah sekali dan sepasang kapaknya menyambar-nyambar dahsyat ke arah Muryani. Wanita perkasa ini menggerakkan tubuhnya yang ringan dan dapat bergerak cepat seperti seekor burung kepinis, pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih berkilauan dan ia balas menyerang dengan dahsyat pula, Terjadilah perkelahian yang amat seru. para perajurit kedua pihak tidak berani membantu karena tingkat kepandaian mereka masih terlampau rendah sehingga membantu berarti membiarkan diri terancam maut.

Dartoko juga mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri. Banyak perajurit Mataram yang roboh disambar kedua batang senjatanya itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Raden Wangsakartika menghadapinya dan kedua orang ini pun bertanding seru dan mati-matian. Juga dua orang jagoan ini bertanding tanpa ada yang membantu karena para perajurit juga tidak berani mendekati mereka yang amat tangguh ini...

Kemelut Blambangan Jilid 19

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Blambangan

Jilid 19

MENDENGAR ini, semua orang terdiam dan mengerutkan alis, menyadari kebenaran kekhawatiran wanita sakti itu. Parmadi lalu berkata dengan sikap hormat kepada sang Adipati Pasuruan.

"Maaf, Kanjeng Adipati, kalau menurut pendapat hamba, semestinya sejak lama kita minta bantuan pasukan dari Mataram untuk memperkuat pertahanan di sini." Sang Adipati menghela napas panjang.

"Seharusnya begitu. Hal ini baru kami sadari sekarang. Tadinya kami terlalu memandang rendah gerakan Kadipaten Blambangan yang memberontak. Kekuatan Blambangan tidaklah berapa besar. Akan tetapi, ternyata mereka dibantu pasukan yang amat kuat dan banyak dari Bali dan Madura. Juga mereka mempunyai senjata api. Akan tetapi ketika pasukan kita terpaksa ditarik mundur ke dalam kota, kami sudah mengirim utusan untuk memberi laporan dan mohon bantuan dari Gusti Sultan di Mataram."

"Semestinya utusanitu sudah kembali bersama bala bantuan," kata Senopati Aryo.

"Akan tetapi mengapa belum juga kembali dan tidak ada kabar dari Mataram."

"Hemm, saya tahu bahwa banyak orang yang tangguh dan berbahaya membantu Blambangan dan mereka disebar dimana-mana. Siapa tahu utusan itu mereka hadang sehingga tidak dapat mengirim laporan dan minta bantuan?" kata Muryani.

"Wah, itu mungkin juga!" Seru Sang Adipati.

"Celakalah kalau terjadi begitu!" Kembali semua orang dicekam kegelisahan membayangkan kemungkinan ini.

Parmadi lalu berkata, "Hamba kira lebih baik kalau sekarang kita kirim lagi beberapa orang utusan untuk menyusulkan pelaporan dan permohonan bala bantuan, kalau-kalau utusan pertama menemui kegagalan."

"Akan tetapi, Anakmas Parmadi, bagaimana mungkin menyelundupkan utusan keluar dari kepungan yang demikian ketat? Utusan itu pasti akan tertangkap dan usaha kita itu akan sia-sia saja." kata seorang senopati tua lain.

"Benar itu! Bagaimana utusan baru dapat diselundupkan keluar kepungan?" Sang Adipati menyambung.

"Begini, Kanjeng Adipati. Biarlah hamba bersama isteri hamba yang menjadi utusan. Kami berdua akan menyusup keluar dari kepungan dan langsung menuju ke kota raja Mataram untuk mohon bantuan."

Para senopati menangguk-angguk menyetujui, akan tetapi sang Adipati menggeleng kepala kuat-kuat dan menggoyang tangan kanannya. "Tidak, hal itu tidak tepat! Andika berdua dibutuhkan di sini untuk memperkuat pertahanan kita! Harus diatur agar orang-orang lain saja yang menjadi utusan! Kalian berdua harus memperkuat pertahanan!"

"Akan tetapi bagaimana caranya...?" Semua orang bertanya-tanya dengan bingung.

"Saya mengetahui cara itu!" Tiba-tiba Muryani berkata lantang. "Sekarang sudah senja, sebentar lagi malam tiba dan malam ini tidak ada bulan. Dalam kegelapan malam ini kita dapat menyelundupkan beberapa orang utusan untuk keluar. Saya dan suami saya, dibantu beberapa orang yang memiliki keberanian dan memiliki kedigdayaan, akan keluar di malam gelap dan mengamuk, membuat keributan, menyerang musuh yang berada di luar. Nah, dalam keributan itu para utusan diselundupkan keluar benteng dan mengingat bahwa pihak musuh terdiri dari orang-orang Blambangan, Bali, dan Madura, maka hal ini akan memudahkan para utusan untuk membaur di antara mereka tanpa dicurigai atau diketahui. Para utusan dipilih mereka yang pandai menyamar sebagai orang Bali atau Madura. bagaimana pendapat Andika sekalian?"

"Plakk!" Sang Adipati menepuk meja di depannya dan wajahnya berseri.

"Wah, bagus sekali siasat itu! Kakang Senopati Aryo, cepat laksanakan siasat Mas Ajeng Muryani itu!"

Para senopati dan jagabaya yang hadir juga merasa kagum dan mereka lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan penyelundupan para utusan itu. Pertama-tama, mereka memilih dua orang yang penah lama tinggal di Madura sehingga dapat menyamar sebagai orang Madura dengan baik, dan dua orang yang dapat menyamar sebagai orang Bali dengan baik. Mereka termasuk perajurit-perajurit setengah tua yang setia dan memiliki kecerdikan dan kedigdayaan.

Malam hari itu, tepat seperti dikatakan Muryani tadi, langit tidak dihias bulan. Dan agaknya alam membantu usaha itu karena bintang-bintang terhalang mendung hitam sehingga malam itu gelap gulita. Dalam keadaan gelap seperti itu, tentu saja pasukan Blambangan tidak melakukan serangan, bahkan mereka agak mundur, menjauhi dinding kota untuk menjaga agar tidak mendapat serangan gelap yang mendadak.

Akan tetapi, biarpun agak mundur, mereka tetap melakukan pengepungan ketat sehingga biarpun orang dapat keluar dari pintu gerbang, dia tidak akan mampu keluar dari kepungan itu. Setelah semua dipersiapkan, Parmadi dan Muryani, diikuti lima orang senopati yang memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh, keluar dari pintu gerbang. Mereka bertujuh langsung lari ke depan dan ketika bertemu dengan perajurit-perajurit musuh yang berjaga di lapisan terdepan, mereka lalu mengamuk.

Tentu saja keadaan menjadi gempar. Para perajurit musuh menyalakan obor dan tujuh orang itu segera dikeroyok. Mereka mengamuk dan sebentar saja belasan orang peajurit musuh roboh terkena pukulan atau hantaman senjata tujuh orang itu. Ketika para senopati Blambangan mulai berdatangan terdengarlah kentungan dari dalam benteng Pasuruan. Itulah isyarat bahwa empat orang utusan yang diselundupkan sudah keluar dan dengan mudah, dalam keadaan kacau itu mereka berempat dapat membaur dan pura-pura hendak ikut mengeroyok tujuh orang pengacau itu.

Mendengar ini, Parmadi membentak nyaring. Para pengeroyok berpelantingan dan bentakan itu pun merupakan isyarat bagi Muryani dan lima orang senopati untuk berlari kembali ke pintu gapura yang segera ditutup kembali setelah tujuh orang itu menyelinap masuk. Siasat itu berhasil dengan baik dan hanya ada seorang senopati yang terluka ketika terjadi pengeroyokan, luka ringan di pundaknya karena terkena bacokan golok para pengeroyok.

Siasat yang dilaksanakan atas usul Muryani dan Parmadi ini memang baik dan cerdik. Akan tetapi pihak Blambangan mempunyai banyak tokoh yang tidak kalah cerdiknya. Peristiwa malam itu membuat Tejakasmala dan Satyabrata menjadi curiga.

"Tidak mungkin orang-orang seperti Parmadi dan Muryani hanya keluar dari benteng sekadar mengamuk dan membuat kekacauan saja. Tentu ada maksud tertentu di balik perbuatan mereka itu." kata Satyabrata kepada Tejakasmala, didengarkan oleh Bhagawan Kalasrenggi.

"Dugaan itu benar sekali, raden Satyabrata" kata tejakasmala yang menghormati wakil Kumpeni Belanda ini karena dia sudah merasakan kesaktian orang setengah bule ini.

"Saya pun merasa curiga, tentu itu merupakan siasat, mungkin untuk memancing perhatian kita."

:Benar, Adi Tejakasmala. Aku mempunyai dugaan bahwa mungkin mereka menggunakan waktu terjadi keributan itu untuk menyelundupkan orang-orang keluar dari benteng dan menyusup di antara para perajurit kita. Mungkin saja mereka adalah orang-orang yang bertugas mencari bala bantuan dari Mataram."

"Wah, kalau begitu gawat sekali! Kita harus mencegah mereka pergi mencari bantuan ke Mataram. Kita harus dapat menguasai Pasuruan sebelum bala tentara Mataram datang menyerang." kata Bhagawan Kalasrenggi.

"Jangan khawatir, Paman Bhagawan. Saya akan menyuruh dua orang pembantu saya, Cakrasakti dan Candrabaya untuk membawa seregu perajurit Bali pilihan untuk melakukan pengejaran dan membinasakan para utusan yang diselundupkan itu."

Demikianlah, malam itu juga, dua orang senopati Bali itu membawa dua losin perajurit Bali untuk melakukan pengejaran dan pencarian terhadap orang-orang yang diselundupkan keluar. Akhirnya, pada keesokan harinya, mereka dapat menemukan empat orang utusan Kadipaten Pasuruan itu. Empat orang itu melawan ketika hendak ditangkap dan akhirnya mereka berempat tewas dikeroyok dua losin perajurit Bali yang dipimpin oleh Cakrasakti dan Candrabaya.

Sang Adipati Pasuruan dan para pembantunya sama sekali tidak tahu bahwa utusannya yang kedua kali ini pun gagal dan terbunuh. Mereka hanya menanti sambil mempertahankan benteng kota Kadipaten Pasuruan dari serbuan yang setiap hari dilakukan musuh. Akan tetapi setiap hari mereka kehilangan banyak perajurit, apalagi ketika pihak musuh mulai mempergunakan meriam sumbangan Kumpeni Belanda.

Semua itu ditambah lagi dengan ransum yang mulai menipis dan semangat para perajurit menurun. Rakyat penduduk kota kadipaten itu juga mulai gelisah dan ketakutan sehingga suasana di kota itu mulai gempar dan panic. Parmadi dan Muryani berusaha untuk membangkitkan semangat para perajurit dengan contoh perlawanan mereka yang gigih. Pada suatu malam yang sunyi setelah siang tadi mereka mempertahankan kota dari serbuan msuh, para perajurit Pasuruan beristirahat. Hanya mereka yang mendapat giliran jaga saja yang tidak tidur.

Suasana sunyi dan malam itu bulan sepotong muncul seolah melayang diantara awan tipis sepotong-sepotong. Makin larut, malam itu semakin sunyi dan udaranya amat dingin. Sekitar seratus orang perajurit yang mendapat giliran tugas berjaga pada malam itu berjalan hilir mudik melakukan penjagaan di sekitar benteng merasakan kedinginan itu. Juga malam yang sunyi itu terasa lain daripada malam yang lain.

Mungkin karena banyaknya orang yang tewas dan terluka dalam pertempuran selama beberapa hari ini mendatangkan suasana yang menyeramkan. Ditambah lagi bau amis darah yang banyak tertumpah membasahi bumi. Burung-burung malam yang terbang lewat mengeluarkan bunyi seolah meratapi mereka yang tewas. Kutu-kutu walang atogo, segala macam jangkerik, belalang dan lain-lain agaknya merasa ngeri menyaksikan kekejaman manusia yang saling bantai, saling bunuh tanpa alasan pribadi, hanya sekadar menaati perintah atasan.

Seolah merasa ngeri dan takut, semua serangga yang biasanya setiap malam berdendang ria itu, kini diam sehingga suasana menjadi sunyi, sunyi yang mencekam dan menimbulkan perasaan ngeri dalam hati para penjaga. Angin malam berhembus perlahan, semilir membangkitkan bulu di lengan dan tengkuk.

"Kulik! Kulik! Uhu... uhu... uhuuu...!" Kelepak yang terdengar menunjukkan bahwa ada beberapa ekor burung malam terbang lalu smbil mengeluarkan suaranya yang menambah keseraman suasana.

Tiba-tiba datang angin bertiup kuat. Angin yang tadinya hanya semilir lembut, tiba-tiba menjadi kuat dan berpusing. Udara yang tadinya diterangi bulan sepotong tiba-tiba menjdi gelap dan ada awan atau asap hitam bergulung-gulung melayang ke dalam benteng. Kemudian, tiba-tiba terdengar kelepak banyak kelelawar dengan suaranya yang bercicit nyaring. Mereka yang berjaga di atas tembok benteng dan di gardu-gardu tempat penjagaan, terkejut karena tiba-tiba ratusan kelelawar menyambar-nyambar ke arah mereka sambil bercuitan nyaring!

Pada saat itu, di bagian bawah, para perajurit jaga juga terkejut dan merasa ngeri karena ada ratusan ekor ular menyerbu ke dalam benteng. Binatang-binatang itu mendesis-desis dan tercium bau amis! Dari sinar lampu-lampu gantung, dapat dilihat ular-ular itu sehingga para perajurit terkejut dan berlompatan. Dalam keadaan panik itu, terdengar suara auman singa yang menggetarkan seluruh benteng.

Dua bayangan manusia berkelebat dari dalam. Mereka adalah Parmadi dan Muryani yang sudah mendengar akan penyerangan aneh yang membuat para perajurit yang bertugas jaga menjadi panik ketakutan itu. Begitu keluar dari istana kadipaten di mana mereka mondok memenuhi permintaan Sang Adipati, suami isteri itu segera mengerti bahwa ada orang-orang ahli sihir mengadakan serangan melalui ilmu hitam ke arah para perajurit yang sedang bertugas jaga. Hal ini berbahaya sekali, maka keduanya segera berlompatan dan berlari cepat menuju ke pintu gerbang.

Begitu tiba di situ dan melihat ratusan kelelawar beterbangan menyambar-nyambar dan ratusan ekor ular mendesis-desis membuat para perajurit ketakutan, dan melihat pula awan gelap menyelimuti tempat itu disertai angin lesus (angin berpusing) dan mendengar auman singa, Parmadi cepat berkata kepada isterinya.

"Diajeng, usir kelelawar dan ular-ular itu. Aku akan mengusir awan, angin, dan suara itu!"

Muryani mengangguk dan tubuhnya berkelebat cepat ketika ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti. Bagaikan seekor burung garuda ia menyambar-nyambar, didahului gulungan sinar pedangnya, mengamuk dan membacoki ular-ular yang menyerang dari bawah, juga kelelawar-kelelawar yang menyambar-nyambar dari atas. Parmadi naik ke atas menara yang dibangun di atas tembok benteng. Para perajurit yang tadinya berjaga di situ sudah lari turun semua sehingga menara itu kosong.

Dari tempat yang tinggi itu dia melihat jauh ke depan dan di dekat perkemahan pihak musuh dia melihat empat orang sedang duduk bersila dan dari empat orang itulah datangnya serangan sihir yang dahsyat itu. Memang penyerangan itu sengaja dilakukan sebagai siasat Blambangan untuk mengacaukan para penjaga benteng Pasuruan. Kalau para perajurit yang menjaga benteng sudah kacau dan panik, malam itu juga mereka akan menyerbu!

Yang mengirim ratusan ular itu adalah Ki Kaladhama dan pencipta kelelawar jadi-jadian itu adalah Ki Kalajana, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi. Bhagawan Kalasrenggi sendiri menyerang dengan ilmu sihirnya yang menyebabkan awan gelap dan angin lesus, sedangkan suara auman singa yang menggetarkan jantung itu adalah Aji Singabairawa yang dikeluarkan Tejakasmala.

Tiba-tiba terdengar suara seruling yang melengking-lengking, suara lembut namun mengandung getaran yang dapat menembus hawa sihir yang dahsyat karena tenaga empat orang disatukan untuk menyerang. Begitu terdengar alunan suara seruling yang melengking-lengking, serangan sihir itu semakin menghebat! Agaknya empat orang itu yang merasa ada kekuatan hebat menentang, memperkuat serangan mereka. Awan gelap semakin melebar dan menekan, angin lesus bergemuruh, dan auman singa itu semakin menggelegar.

Namun, makin lama suara seruling semakin nyaring dan perlahan-lahan awan hitam membuyar, angin lesus menyurut dan auman singa melemah. Juga ratusan kelelawar dan ular yang sudah dibuat kocar-kacir oleh amukan Muryani, kini surut. Yang terkena sambaran pedang lenyap menghilang dan kini sisanya melarikan diri. Tak lama kemudian suasana malam menjadi sunyi kembali dan dari atas menara, Parmadi melihat empat bayangan itu lenyap di antara perkemahan musuh.

"Sudah selesai, Kakangmas?" Muryani yang menyusul ke atas menara bertanya.

"Puji sukur kepada Gusti Allah, semua telah dapat diatasi, Diajeng. Mari kita beritahu para perajurit jaga agar mereka tenang kembali dan tidak takut."

Keduanya turun dari menara dan ternyata di bawah sudah berkumpul Senopati Aryo dan para senopati Pasuruan lainnya. Ketika tadi mereka mendengar laporan tentang serangan aneh itu, mereka berdatangan dan sempat mendengar suara suling yang menolak pengaruh sihir itu, juga melihat betapa Muryani mengusir ratusan kelelawar dan ular jadi-jadian.

"Ah, untung ada Anakmas Parmadi dan Mas Ajeng Muryani yang telah dapat menolak serangan itu!" kata Senopati Aryo memuji. Juga para senopati memandang kagum suami isteri itu.

"Paman Senopati, penyerangan itu dapat menjadi tanda bahwa mereka tentu akan melakukan serangan besar-besaran dan lebih dulu mereka hendak menimbulkan rasa takut kepada para perajurit. Keadaan sudah berbahaya sekali. Kita menunggu bala bantuan belum juga datang, sedangkan ransum sudah menipis dan semangat para perajurit menurun, terbukti tadi ketika terjadi serangan sihir mereka semua menjadi panik dan lari meninggalkan penjagaan mereka."

"Hemm, keadaannya memang demikian, Anakmas Parmadi. Karena itu, mulai malam ini penjagaan harus diperketat dan para perwira tidak boleh lengah. Harus secara bergilir melakukan pengawasan terhadap pasukan yang bertugas jaga." kata Senopati Aryo.

"Kami tahu bahwa pihak musuh mempunyai banyak ahli sihir dan orang-orang yang sakti mandraguna dan pandai mempergunakan ilmu hitam. Kalau saja para pendekar sakti yang setia kepada Mataram dapat berkumpul di sini, pasti kita dapat menanggulangi kekuatan musuh." kata Muryani yang teringat akan tokoh-tokoh yang dikenalnya dengan baik seperti Ki Tejomanik berdua Retno Susilo, Bagus Sajiwo, Lindu Aji berdua Sulastri, dan masih banyak lagi.

"Sebetulnya di sini terdapat seorang yang sakti mandraguna yang dapat memperkuat daya pertahanan kita." kata Senopati Aryo.

"Siapa dia, Paman Senopati?" tanya Parmadi.

"Siapa lagi kalau bukan Raden Wangsakartika..."

"Ah, dia...?" Parmadi dan Muryani berseru lirih dan kecewa.

Mereka berdua mengenal siapa yang dimaksudkan Senopati Aryo. Sejak kurang lebih setahun yang lalu, Raden Wangsakartika dibuang oleh Kerajaan Mataram karena laki-laki ini membuat banyak keonaran di Mataram. Dia dikenal sebagai seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu-nafsunya, bergaul dengan orang-orang sesat, mengejar kesenangan dengan berjudi, melacur, dan suka mabuk-mabukan. Juga dia suka mencari keonaran dan kerana dia memang sakti mandraguna, tidak ada yang berani menentangnya.

Memang dia belum dapat dibilang seorang penjahat, akan tetapi wataknya sungguh buruk dan suka mencari perkara. Kalau sudah mabuk pun dia amat sukar diatur, mengambil milik siapa saja kalau dia membutuhkan sesuatu. Hanya karena dia putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang sudah banyak jasanya kepada Mataram, maka dia tidak dihukum oleh Sultan Agung, hanya dibuang atau diasingkan ke Pasuruan dengan harapan dia akan mengubah wataknya yang buruk.

Akan tetapi di Pasuruan dia masih tetap menjadi seorang pemabukan, penjudi, gila perempuan dan bergaul dengan orang-orang yang sesat dan tidak karuan. Tentu saja Parmadi dan Muryani tidak suka berkenalan dengan orang seperti itu, walaupun Raden Wangsakartika itu putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang terkenal gagah perkasa dan berjasa besar bagi Mataram.

Ketika pasukan Blambangan dan sekutunya mengepung Kadipaten Pasuruan, Raden Wangsakartika juga tidak memperlihatkan diri. Dia tidak peduli dan tetap bersenang-senang, berjudi, mabuk-mabukan dan pelesir. Apa yang dikhawatirkan Parmadi dan Muryani akhirnya terjadi.

Pada suatu hari, saat fajar menyingsing, pasukan gabungan Blambangan menyerbu. Biarpun Senopati Aryo sudah siap siaga dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian, namun karena jumlah perajurit Blambangan jauh lebih besar, ditambah lagi semangat para perajurit Pasuruan yang menanti-nanti bala bantuan yang belum datang juga itu menjadi menurun dan lemah, maka setelah pertempuran yang hebat, akhirnya benteng itu dapat dibobol dan pasukan Blambangan menyerbu masuk kota kadipaten!

Parmadi dan Muryani tadinya mempertahankan benteng. Akan tetapi pihak musuh terlampau kuat sehingga akhirnya suami isteri ini mengerahkan tenaga mereka untuk melindungi Sang Adipati sekeluarga yang melarikan diri mengungsi lewat bagian belakang kota kadipaten. Juga bersama rombongan Sang Adipati, sisa pasukan mundur dan keluar dari Kadipaten Pasuruan, bersama sebagian besar rakyat yang lari mengungsi berbondong-bondong.

Para perajurit Blambangan dengan sekutu mereka dari bali dan Madura, mabuk kemenangan. Mereka menjarah rayah (merampok) kota Kadipaten Pasuruan, membunuh dan memperkosa wanita, kekejaman yang selalu dilakukan oleh mereka yang menang perang. Orang yang berlari paling akhir adalah Parmadi dan Muryani setelah mereka berdua berhasil mengawal Sang Adipati keluar dari kota. Mereka masih sempat melihat kekejaman yang terjadi di kota Kadipaten Pasuruan.

Tentu saja hati mereka terasa sakit dan sedih, akan tetapi mereka yang hanya berdua tidak mungkin dapat melawan ribuan orang perajurit gabungan Blambangan yang berpesta pora mabuk kemenangan itu. Pasukan Blambangan tidak melakukan pengejaran. Mereka lebih mementingkan penyusunan kekuatan di Pasuruan karena musuh utama mereka adalah Pasukan Mataram yang tentu akan datang melakukan pembalasan.

Adipati Pasuruan bersama pasukannya yang masih bersisa kurang lebih empat ribu orang, sebagian ada yang melarikan diri meninggalkan induk pasukannya, juga diikuti banyak penduduk Pasuruan yang melarikan diri, tiba di Wonokitri, sebuah perbukitan. Senopati Aryo memerintahkan pasukan membuat perkemahan darurat di tempat itu.

Dari para perajurit bagian penyelidik Sang Adipati mendapat keterangan bahwa setelah berhasil meloloskan diri dari kota Pasuruan yang telah diserbu dan diduduki pasukan Blambangan, ada beberapa orang perajurit yang bergegas menunggang kuda menuju ke Mataram untuk melaporkan keadaan dan minta bantuan. Maka diharapkan bala bantuan akan segera datang.

Pada suatu hari Parmadi dan Muryani berjalan-jalan di tempat daerah perbukitan Wonokitri yang dijadikan tempat perkemahan darrat, untuk meneliti kalau-kalau ada puhak musuh yang menyusup dan membikin kacau. hati mereka trenyuh (sedih terharu) melihat penduduk yang ikut lari mengungsi membawa keluarga dan anak-anak yang masih kecil, dalam keadaan sengsara karena yang dapat mereka bawa hanyalah benda-benda milik mereka yang kecil, dan sedikit pakaian. Wajah mereka sedih dan seperti kehilangan harapan.

Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon Randu dekat serumpun bambu, mereka melihat seorang laki-laki sedang duduk bersandar batang pohon randu. Kedua lengannya memeluk lutut dan mukanya disembunyikan di antara kedua lutut yang diangkat dan pundaknya bergoyang-goyang. Laki-laki itu menangis! Menangis tanpa suara. suami isteri itu merasa heran. Laki-laki itu bukan perajurit, dan melihat pakaiannya yang cukup bagus, tentu dia bukan seorang peduduk yang miskin.

Tubuhnya tinggi besar, sebagian rambutnya sudah berwarna putih. Lengan yang merangkul kedua pundak itu pun besar berotot dan lehernya serta pundaknya kekar. Parmadi dan Muryani saling pandang. Parmadi mengangkat pundak dan karena merasa tidak enak untuk menganggu orang yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka ketahui mengapa ada laki-laki yang tampak gagah itu menangis seorang diri di situ, mereka berdua hendak pergi meninggalkannya.

Akan tetapi baru belasan langkah mereka berjalan pergi, tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara teriakan melengking yang menggetarkan jantung. "Terkutuk...! Orang-orang Balmbangan terkutuk...!!"

Parmadi dan Muryani memutar tubuh dan mereka melihat orang tadi kini telah bangkit berdiri. Mereka segera mengenal bahwa orang itu adalah Raden Wangsakartika yang walaupun tidak mereka kenal namun pernah mereka lihat. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu berdiri tegak dan wajahnya yang gagah berkumis lebat itu menyeramkan sekali. Matanya merah melotot memandang ke arah pohon randu di depannya.

"Keparat, jahanam terkutuk kamu!" Tiba-tiba orang itu berteriak lantang dan tangan kanannya menyamabr ke depan. memukul ke arah batang pohon randu yang besarnya sepelukan orang.

"Wess... kraaakkkk...!" Pohon randu yang tinggi dan besar itu patah dan tumbang, menimbulkan suara berisik! Aneh, setelah merobohkan pohon. Raden Wangsakartika menjatuhkan diri di atas tanah lalu menangis lagi dengan sedihnya. Kini dengan suara yang mengeluh penuh kesedihan, penasaran dan kemarahan.

Parmadi dan Muryani merasa iba. Parmadi lalu memberi isyarat kepada isterinya dan mereka lalu menghampiri laki-laki yang masih menangis itu. mereka berdiri dalam jarak dua tombak akan tetapi tidak mau mengganggu orang yang sedang menangis itu. Agaknya Raden Wangsakartika, masih belum kehilangan kepekaannya, karena dia merasakan kehadiran suami isteri itu lalu tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan ketika melihat mereka dia lalu bangkit betdiri, gerakannya gesit.

"Mau apa kalian? pergi, jangan ganggu aku!" setelah berkata demikian, orang tinggi besar itu mendorongkan tangan kanannya ke arah suami isteri itu. Dia tidak bermaksud membunuh, akan tetapi karena dorongan tangannya mengandung hawa sakti yang amat kuat, maka orang biasa yang terkena angin dorongan ini tentu akan terlempar dan terjengkang!

Melihat orang itu mendorong dan ada angin dorongan yang kuat, Parmadi dan Muryani mengerahkan tenaga dan angin dorongan itu lewat saja, sedikit pun tidak membuat mereka bergoyang, seperti angin melewati dua bongkah batu karang yang kokoh. Raden Wangsakartika terbelalak, lalu mengerutkan alisnya.

"Hemm, siapakah Andika berdua?"

"Raden Wangsakartika, saya bernama Parmadi dan ini Nyi Muryani, Isteri saya."

"Hemm. jadi Andika yang berjuluk Si Seruling Gading? Percuma saja nama Andika yang tersohor. Ternyata tidak mampu membela Pasuruan dari serangan para jahanam Blambangan!" katanya dengan suara mengandung penasaran dan kemarahan.

Parmadi tidak menjadi marah, bahkan tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa orang ini memiliki watak yang butuk dan kasar. "Raden Wangsakartika, pihak Blambangan memiliki pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan Pasuruan dan mereka pun dipimpin banyak orang yang sakti mandraguna. Kami semua telah melawan mati-matian untuk mempertahankan Pasuruan, namun kami kalah kuat sehingga Pasuruan diserbu dan diduduki musuh. Akan tetapi, kalau kami semua mati-matian membela Pasuruan, mengapa Andika yang memiliki kepandaian sama sekali tidak membantu melawan musuh? Mengapa kini Andika hanya menangisi kekalahan Pasuruan? Apa gunanya keluh kesah dan tangisan Andika? Bukan randu alas itu yang seharusnya Andika robohkan, melainkan orang-orang Blambangan"

"Raden Wangsakartika mengerutkan alisnya. "Huh, kalian tidak tahu bisanya hanya mencela! Aku tidak takut mati dan aku berani mengorbankan diri untuk membela Mataram dan Pasuruan. Akan tetapi Andika tahu siapa aku? Aku ini orang buangan! Orang yang tidak berguna dan sudah diusir dari Mataram, tidak dipercaya lagi dan tinggal di Pasuruan sebagai orang buangan! Aku sudah dianggap orang rendah, orang kotor, penjahat tidak ada gunanya. Aku tidak berhak lagi untuk membela Mataram!" Kata-katanya mengandung keprihatinan yang mendalam.

Permadi merasa iba. Orang ini sebetulnya bukan orang jahat. Mungkin agak lemah terhadap tekanan nafsunya sendiri. juga mungkin saja sebagai putera pangeran, dahulu ketika kecil terlalu dimanja sehingga apa pun yang dikehendakinya harus terlaksana. setelah dibuang oleh Kerajaan mataram, mungkin dia menjadi putus asa dan nekat, setengah sengaja melanjutkan kehidupannya yang hanya bersenang-senang untuk menutupi kekecewaannya yang mendalam.

"Raden Wangsakartika, sudah lama kami mendengar akan nama besar mendiang Pangeran Pringgalaya sebagai seorang priyagung (bangsawan agung) yang gagah perkasa dan setia kepada Mataram. Mungkin karena Andika terlalu mengejar kesenangan dunia, maka Andika mendatangkan kemarahan kepada Gusti Sultan dan menerima hukuman. Akan tetapi, saya kira sekarang ini saatnya bagi Andika untuk mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga ayahanda Andika yang ternoda oleh perbuatan Andika yang lalu. Kalau Andika sekarang diam saja, bukankah hal itu akan menambah buruk dan mencoreng nama besar dan kehormatan mendiang ayahanda Andika? Marilah, Raden Wangsakartika, marilah kita bersama para pendekar membela Kerajaan Mataram dan menentang Blambangan bersama sekutunya yang angkara murka."

Biarpun ucapan Parmadi itu tajam, namun diucapkan dengan suara lembut dan agaknya baru sekarang Raden Wangsakartika mendengar ucapan seperti itu. Dia mengerutkan alisnya, berpikir dan wajahnya perlahan-lahan mulai berseri, kedua matanya bersinar dan dia pun mengangguk. "Andika benar! Biarlah kalau perlu aku mengorbankan nyawa yang tak berharga ini untuk membersihkan nama dam kehormatan keluarga mendiang Kanjeng Rama!"

"Tidak perlu mengorbankan nyawa, Raden karena kita dapat saling bantu dan siapa bilang kalau nyawa Andika tidak berharga? Nyawa adalah milik Gusti Allah dan sudah sempurna sejak semula. Mari kita menghadap kanjeng Adipati Pasuruan."

Raden Wangsakartika tidak membantah dan mereka lalu menghadap Sang Adipati yang tentu saja menerima janji bantuan Raden Wangsakartika dengan gembira. Beberapa hari kemudian datanglah bala bantuan dari Mataram! Gegap gempita daerah Wonokitri itu dengan datangnya pasukan besar dari Mataram yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Silarong sebagai senopatinya, dan Gandek Padurekso diberi kekuasaan oleh Sang Sultan untuk menjadi pengawas.

Pangeran Silarong dibantu oleh beberapa orang senopati tua, yaitu Senopati Suroantani dan Tumenggung Alap-alap yang keduanya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Setelah disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati Pasuruan dan para senopati, Pangeran Silarong mengadakan rapat pertemuan dengan para senopati dan perwira. Hadir pula Raden Wangsakartika yang masih keponakan Pangeran Silarong.

Pangeran ini merasa gembira melihat keponakan yang tadinya hanya mengumbar nafsu dan tidak mempedulikan urusan Negara, kini mau membantu Mataram. Dalam pertemuan itu baru diketahui bahwa dua kali utusan Pasuruan yang dikirim ke Mataram itu tidak sampai ke tempat tujuan dan terbunuh oleh orang-orang Blambangan di tengah perjalanan. Ketika mereka merencanakan penyerbuan balasan ke Pasuruan untuk merebut kembali kota kadipaten itu, tiba-tiba Raden Wangsakartika menghadap Pangeran Silarong dan berkata dengan suara lantang dan tegas, namun seperti menjadi kebiasaannya, tidak pakai basa-basi.

"Paman Pangeran, aku minta perkenan Paman untuk memasuki Pasuruan. Aku mempunyai hutang kepada Pasuruan, yaitu ketika Pasuruan diserbu para jahanam Blambangan, aku diam saja tidak ikut membela. Sekarang, aku hendak membayar hutangku, aku akan memasuki Pasuruan dan membikin kacau di sana. Aku tidak menjanjikan sesuatu, akan tetapi aku akan membawa hadiah untuk Andika semua."

Pangeran Silarong mengerutkan alisnya. Dia mengenal keponakan ini sebagai seorang yang hidupnya tidak teratur, keluyuran dengan orang-orang jahat, tukang judi, mabuk-mabukan, pelesir dengan para wanita jalang. Dia khawatir kalau dia memberi persetujuan, Raden Wangsakartika malah akan membikin kacau rencana penyerbuan pasukannya ke Pasuruan.

"Hemm, Wangsa, Andika hanya seorang diri, bagaimana mungkin akan mampu menghadapi sekian banyaknya perajurit dengan para senopati mereka? Aku khawatir usahamu itu bukan saja akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu, akan tetapi juga akan mengacaukan rencana penyerbuan kita."

"Tidak, Paman. Andaikata aku gagal dan terbunuh sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia pasukan Mataram kepada musuh." bantah Raden Wangsakartika dengan suara mantap membayangkan kenekatan.

"Maaf, Paman Pangeran, saya kira niat Raden Wangsakartika itu ada benarnya. Sebelum penyerbuan besar dilakukan, ada baiknya kalau terjadi kekacauan di sebelah dalam agar penjagaan dan pertahanan mereka menjadi lemah. Saya dan isteri saya akan menemani Raden Wangsakartika menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan."

Pangeran Silarong sudah mengenal Parmadi dan Muryani, juga sudah mendengar akan kesaktian suami isteri ini, maka dia pun mulai menaruh perhatian.

"Hemm, kalau Andika bertiga yang maju, memang lebih baik. Akan tetapi, kota Pasuruan kini telah menjadi benteng pasukan Blambangan, tentu dijaga amat ketat. Bagaimana mungkin andika bertiga dapat memasuki kota ini tanpa ketahuan perajurit penjaga?"

"Gusti Pangeran" kata Senopati Aryo" Hal itu mudah diatur. Anakmas Parmadi telah minta nasihat kami dan ada sebuah jalan setapak yang dapat membawa mereka bertiga memasuki Pasuruan tanpa diketahui."

"Bagus, kalau begitu, Ananda Wangsa, dan kalian Anakmas Parmadi berdua, kami setuju kalau Andika bertiga hendak masuk kesana, membikin kacau dan sekalian menyelidiki keadaan pertahanan mereka."

Demikianlah, setelah mendapat persetujuan, malam itu juga tiga bayangan orang, yaitu Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan melalui rawa-rawa dan dapat masuk tanpa ketahuan para perajurit jaga yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang dapat memasuki kota melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya itu.

Pasukan Blambangan yang menyerbu dan menduduki Pasuruan hanya merupakan sebagian saja dari seluruh pasukan gabungan di Blambangan. Memang, pada waktu penyerbuan, pasukan yang jumlahnya hanya belasan ribu orang itu sudah lebih dari dua kali lipat jumlah pasukan Pasuruan.

Namun dalam penyerbuan itu, pasukan yang terutama terdiri dari pasukan Bali yang dipimpin Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua orang senopati yang memimpin pasukan yang dikirim Raja Dewa Agung dari Gelgel, diperkuat pula oleh Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama, Kalajana, bahkan Tejakasmala juga ikut memperkuat karena mereka mengkhawatirkan kalau-kalau Pasuruan sudah diperkuat tokoh-tokoh sakti pembela Mataram.

Setelah Pasuruan berhasil diduduki, empat orang tokoh sakti ini kembali ke Blambangan. Pertahanan kota Pasuruan diserahkan kepada Panji Buleleng dan Macan Kuning dibantu oleh beberapa orang tokoh persekutuan Blambangan, antara lain Ki Sarwatama adik seperguruan Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra, Kyai Ngurah Pacung, senopati dari Klungkung, Bali, pembantu Made Sukasada, Randujapang, tokoh Madura, Kyai Kasmalapati tokoh Blambangan bersama muridnya Dartoko, dan beberapa orang tokoh lain.

Persekutuan Blambangan itu tidak mengerahkan atau memusatkan seluruh pasukan mereka di Pasuruan karena mereka khawatir kalau-kalau pihak musuh, yaitu Mataram akan menyerang Blambangan lewat jalan lain. Mereka lebih mementingkan penjagaan dan pertahanan di Blambangan, dan hanya akan menggunakan sebagian, paling banyak separuh kekuatan pasukan mereka untuk melakukan serangan sampai ke Mataram.

Panji Buleleng dibantu Macan Kuning yang memimpin pasukan yang menduduki Pasuruan, berbesar hati karena mereka diperlengkapi dengan sepuluh buah meriam dan seratus buah senapan sumbangan dari Kumpeni Belanda melalui Satyabrata. Raden Wangsakartika sudah mengatur siasat bersama Parmadi dan Muryani sebelum mereka menyelinap ke dalam benteng Pasuruan.

Maka, setelah berhasil menyelinap ke dalam benteng Pasuruan, mereka langsung saja menuju sasaran, yaitu tiga buah gudang terisi ransum tumpukan padi dan lain-lain. Ketika merebut Pasuruan, pasukan Blambangan merampas hasil sawah ladang rakyat di dusun-dusun dan mengangkut padi-padi itu dimasukkan ke dalam tiga gudang ransum. Yang bertugas menyelidiki keadaan pertahanan benteng Pasuruan adalah Parmadi.

Maka ketika dia menyelinap ke sebuah di antara gudang-gudang itu, dan melihat seorang perajurit yang membawa tombak lewat seorang diri, dia menyergapnya dan membuatnya tidak berdaya dan tidak mampu berteriak. Parmadi lalu menghardik dengan bisikan, mengancam orang itu agar menceritakan kekuatan yang menjaga Pasuruan. Dengan menekan punggung perajurit itu, Parmadi membuat orang itu menggeliat kesakitan dan terpaksa mengaku dan menceritakan tentang kekuatan pasukan yang berada di situ.

Parmadi memaksanya menceritakan tentang letak sepuluh buah meriam dan pasukan mana yang diperlengkapi senjata api. Juga siapa para senopati dan tokoh sakti yang memperkuat pertahanan di situ. Karena tidak kuat menahan nyeri ketika Parmadi menekan pundaknya, perajurit itu menceritakan semua yang ditanyakan Parmadi. Setelah mendapat keterangan secara terperinci, Parmadi lalu menepuk tengkuk orang itu yang roboh pingsan berat.

"Mau apa kalian? pergi, jangan ganggu aku!" setelah berkata demikian, orang tinggi besar itu mendorongkan tangan kanannya ke arah suami isteri itu. Dia tidak bermaksud membunuh, akan tetapi karena dorongan tangannya mengandung hawa sakti yang amat kuat, maka orang biasa yang terkena angin dorongan ini tentu akan terlempar dan terjengkang!

Melihat orang itu mendorong dan ada angin dorongan yang kuat, Parmadi dan Muryani mengerahkan tenaga dan angin dorongan itu lewat saja, sedikit pun tidak membuat mereka bergoyang, seperti angin melewati dua bongkah batu karang yang kokoh. Raden Wangsakartika terbelalak, lalu mengerutkan alisnya.

"Hemm, siapakah Andika berdua?"

"Raden Wangsakartika, saya bernama Parmadi dan ini Nyi Muryani, Isteri saya."

"Hemm. jadi Andika yang berjuluk Si Seruling Gading? Percuma saja nama Andika yang tersohor. Ternyata tidak mampu membela Pasuruan dari serangan para jahanam Blambangan!" katanya dengan suara mengandung penasaran dan kemarahan.

Parmadi tidak menjadi marah, bahkan tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa orang ini memiliki watak yang butuk dan kasar. "Raden Wangsakartika, pihak Blambangan memiliki pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan Pasuruan dan mereka pun dipimpin banyak orang yang sakti mandraguna. Kami semua telah melawan mati-matian untuk mempertahankan Pasuruan, namun kami kalah kuat sehingga Pasuruan diserbu dan diduduki musuh. Akan tetapi, kalau kami semua mati-matian membela Pasuruan, mengapa Andika yang memiliki kepandaian sama sekali tidak membantu melawan musuh? Mengapa kini Andika hanya menangisi kekalahan Pasuruan? Apa gunanya keluh kesah dan tangisan Andika? Bukan randu alas itu yang seharusnya Andika robohkan, melainkan orang-orang Blambangan"

"Raden Wangsakartika mengerutkan alisnya. "Huh, kalian tidak tahu bisanya hanya mencela! Aku tidak takut mati dan aku berani mengorbankan diri untuk membela Mataram dan Pasuruan. Akan tetapi Andika tahu siapa aku? Aku ini orang buangan! Orang yang tidak berguna dan sudah diusir dari Mataram, tidak dipercaya lagi dan tinggal di Pasuruan sebagai orang buangan! Aku sudah dianggap orang rendah, orang kotor, penjahat tidak ada gunanya. Aku tidak berhak lagi untuk membela Mataram!" Kata-katanya mengandung keprihatinan yang mendalam.

Permadi merasa iba. Orang ini sebetulnya bukan orang jahat. Mungkin agak lemah terhadap tekanan nafsunya sendiri. juga mungkin saja sebagai putera pangeran, dahulu ketika kecil terlalu dimanja sehingga apa pun yang dikehendakinya harus terlaksana. setelah dibuang oleh Kerajaan mataram, mungkin dia menjadi putus asa dan nekat, setengah sengaja melanjutkan kehidupannya yang hanya bersenang-senang untuk menutupi kekecewaannya yang mendalam.

"Raden Wangsakartika, sudah lama kami mendengar akan nama besar mendiang Pangeran Pringgalaya sebagai seorang priyagung (bangsawan agung) yang gagah perkasa dan setia kepada Mataram. Mungkin karena Andika terlalu mengejar kesenangan dunia, maka Andika mendatangkan kemarahan kepada Gusti Sultan dan menerima hukuman. Akan tetapi, saya kira sekarang ini saatnya bagi Andika untuk mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga ayahanda Andika yang ternoda oleh perbuatan Andika yang lalu. Kalau Andika sekarang diam saja, bukankah hal itu akan menambah buruk dan mencoreng nama besar dan kehormatan mendiang ayahanda Andika? Marilah, Raden Wangsakartika, marilah kita bersama para pendekar membela Kerajaan Mataram dan menentang Blambangan bersama sekutunya yang angkara murka."

Biarpun ucapan Parmadi itu tajam, namun diucapkan dengan suara lembut dan agaknya baru sekarang Raden Wangsakartika mendengar ucapan seperti itu. Dia mengerutkan alisnya, berpikir dan wajahnya perlahan-lahan mulai berseri, kedua matanya bersinar dan dia pun mengangguk. "Andika benar! Biarlah kalau perlu aku mengorbankan nyawa yang tak berharga ini untuk membersihkan nama dam kehormatan keluarga mendiang Kanjeng Rama!"

"Tidak perlu mengorbankan nyawa, Raden karena kita dapat saling bantu dan siapa bilang kalau nyawa Andika tidak berharga? Nyawa adalah milik Gusti Allah dan sudah sempurna sejak semula. Mari kita menghadap kanjeng Adipati Pasuruan."

Raden Wangsakartika tidak membantah dan mereka lalu menghadap Sang Adipati yang tentu saja menerima janji bantuan Raden Wangsakartika dengan gembira. Beberapa hari kemudian datanglah bala bantuan dari Mataram! Gegap gempita daerah Wonokitri itu dengan datangnya pasukan besar dari Mataram yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Silarong sebagai senopatinya, dan Gandek Padurekso diberi kekuasaan oleh Sang Sultan untuk menjadi pengawas.

Pangeran Silarong dibantu oleh beberapa orang senopati tua, yaitu Senopati Suroantani dan Tumenggung Alap-alap yang keduanya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Setelah disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati Pasuruan dan para senopati, Pangeran Silarong mengadakan rapat pertemuan dengan para senopati dan perwira. Hadir pula Raden Wangsakartika yang masih keponakan Pangeran Silarong.

Pangeran ini merasa gembira melihat keponakan yang tadinya hanya mengumbar nafsu dan tidak mempedulikan urusan Negara, kini mau membantu Mataram. Dalam pertemuan itu baru diketahui bahwa dua kali utusan Pasuruan yang dikirim ke Mataram itu tidak sampai ke tempat tujuan dan terbunuh oleh orang-orang Blambangan di tengah perjalanan. Ketika mereka merencanakan penyerbuan balasan ke Pasuruan untuk merebut kembali kota kadipaten itu, tiba-tiba Raden Wangsakartika menghadap Pangeran Silarong dan berkata dengan suara lantang dan tegas, namun seperti menjadi kebiasaannya, tidak pakai basa-basi.

"Paman Pangeran, aku minta perkenan Paman untuk memasuki Pasuruan. Aku mempunyai hutang kepada Pasuruan, yaitu ketika Pasuruan diserbu para jahanam Blambangan, aku diam saja tidak ikut membela. Sekarang, aku hendak membayar hutangku, aku akan memasuki Pasuruan dan membikin kacau di sana. Aku tidak menjanjikan sesuatu, akan tetapi aku akan membawa hadiah untuk Andika semua."

Pangeran Silarong mengerutkan alisnya. Dia mengenal keponakan ini sebagai seorang yang hidupnya tidak teratur, keluyuran dengan orang-orang jahat, tukang judi, mabuk-mabukan, pelesir dengan para wanita jalang. Dia khawatir kalau dia memberi persetujuan, Raden Wangsakartika malah akan membikin kacau rencana penyerbuan pasukannya ke Pasuruan.

"Hemm, Wangsa, Andika hanya seorang diri, bagaimana mungkin akan mampu menghadapi sekian banyaknya perajurit dengan para senopati mereka? Aku khawatir usahamu itu bukan saja akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu, akan tetapi juga akan mengacaukan rencana penyerbuan kita."

"Tidak, Paman. Andaikata aku gagal dan terbunuh sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia pasukan Mataram kepada musuh." bantah Raden Wangsakartika dengan suara mantap membayangkan kenekatan.

"Maaf, Paman Pangeran, saya kira niat Raden Wangsakartika itu ada benarnya. Sebelum penyerbuan besar dilakukan, ada baiknya kalau terjadi kekacauan di sebelah dalam agar penjagaan dan pertahanan mereka menjadi lemah. Saya dan isteri saya akan menemani Raden Wangsakartika menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan."

Pangeran Silarong sudah mengenal Parmadi dan Muryani, juga sudah mendengar akan kesaktian suami isteri ini, maka dia pun mulai menaruh perhatian.

"Hemm, kalau Andika bertiga yang maju, memang lebih baik. Akan tetapi, kota Pasuruan kini telah menjadi benteng pasukan Blambangan, tentu dijaga amat ketat. Bagaimana mungkin andika bertiga dapat memasuki kota ini tanpa ketahuan perajurit penjaga?"

"Gusti Pangeran" kata Senopati Aryo" Hal itu mudah diatur. Anakmas Parmadi telah minta nasihat kami dan ada sebuah jalan setapak yang dapat membawa mereka bertiga memasuki Pasuruan tanpa diketahui."

"Bagus, kalau begitu, Ananda Wangsa, dan kalian Anakmas Parmadi berdua, kami setuju kalau Andika bertiga hendak masuk kesana, membikin kacau dan sekalian menyelidiki keadaan pertahanan mereka."

Demikianlah, setelah mendapat persetujuan, malam itu juga tiga bayangan orang, yaitu Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani menyusup ke dalam kota Kadipaten Pasuruan melalui rawa-rawa dan dapat masuk tanpa ketahuan para perajurit jaga yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang dapat memasuki kota melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya itu.

Pasukan Blambangan yang menyerbu dan menduduki Pasuruan hanya merupakan sebagian saja dari seluruh pasukan gabungan di Blambangan. Memang, pada waktu penyerbuan, pasukan yang jumlahnya hanya belasan ribu orang itu sudah lebih dari dua kali lipat jumlah pasukan Pasuruan.

Namun dalam penyerbuan itu, pasukan yang terutama terdiri dari pasukan Bali yang dipimpin Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua orang senopati yang memimpin pasukan yang dikirim Raja Dewa Agung dari Gelgel, diperkuat pula oleh Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama, Kalajana, bahkan Tejakasmala juga ikut memperkuat karena mereka mengkhawatirkan kalau-kalau Pasuruan sudah diperkuat tokoh-tokoh sakti pembela Mataram.

Setelah Pasuruan berhasil diduduki, empat orang tokoh sakti ini kembali ke Blambangan. Pertahanan kota Pasuruan diserahkan kepada Panji Buleleng dan Macan Kuning dibantu oleh beberapa orang tokoh persekutuan Blambangan, antara lain Ki Sarwatama adik seperguruan Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra, Kyai Ngurah Pacung, senopati dari Klungkung, Bali, pembantu Made Sukasada, Randujapang, tokoh Madura, Kyai Kasmalapati tokoh Blambangan bersama muridnya Dartoko, dan beberapa orang tokoh lain.

Persekutuan Blambangan itu tidak mengerahkan atau memusatkan seluruh pasukan mereka di Pasuruan karena mereka khawatir kalau-kalau pihak musuh, yaitu Mataram akan menyerang Blambangan lewat jalan lain. Mereka lebih mementingkan penjagaan dan pertahanan di Blambangan, dan hanya akan menggunakan sebagian, paling banyak separuh kekuatan pasukan mereka untuk melakukan serangan sampai ke Mataram.

Panji Buleleng dibantu Macan Kuning yang memimpin pasukan yang menduduki Pasuruan, berbesar hati karena mereka diperlengkapi dengan sepuluh buah meriam dan seratus buah senapan sumbangan dari Kumpeni Belanda melalui Satyabrata. Raden Wangsakartika sudah mengatur siasat bersama Parmadi dan Muryani sebelum mereka menyelinap ke dalam benteng Pasuruan.

Maka, setelah berhasil menyelinap ke dalam benteng Pasuruan, mereka langsung saja menuju sasaran, yaitu tiga buah gudang terisi ransum tumpukan padi dan lain-lain. Ketika merebut Pasuruan, pasukan Blambangan merampas hasil sawah ladang rakyat di dusun-dusun dan mengangkut padi-padi itu dimasukkan ke dalam tiga gudang ransum. Yang bertugas menyelidiki keadaan pertahanan benteng Pasuruan adalah Parmadi.

Maka ketika dia menyelinap ke sebuah di antara gudang-gudang itu, dan melihat seorang perajurit yang membawa tombak lewat seorang diri, dia menyergapnya dan membuatnya tidak berdaya dan tidak mampu berteriak. Parmadi lalu menghardik dengan bisikan, mengancam orang itu agar menceritakan kekuatan yang menjaga Pasuruan. Dengan menekan punggung perajurit itu, Parmadi membuat orang itu menggeliat kesakitan dan terpaksa mengaku dan menceritakan tentang kekuatan pasukan yang berada di situ.

Parmadi memaksanya menceritakan tentang letak sepuluh buah meriam dan pasukan mana yang diperlengkapi senjata api. Juga siapa para senopati dan tokoh sakti yang memperkuat pertahanan di situ. Karena tidak kuat menahan nyeri ketika Parmadi menekan pundaknya, perajurit itu menceritakan semua yang ditanyakan Parmadi. Setelah mendapat keterangan secara terperinci, Parmadi lalu menepuk tengkuk orang itu yang roboh pingsan berat.

Parmadi lalu mempersiapkan segala ssuatu untuk membakar gudang ransum yang menjadi bagiannya. Dia menumpuk jerami kering di seputar gudang, akan tetapi dia bersembunyi, menanti sampai isterinya dan Raden Wangsakartika lebih dulu membakar dua gudang yang lain. Raden Wangsakartika merasa tidak puas kalau hanya membakar gudang ransum. Dia harus melakukan sesuatu yang menggemparkan dan membawa kejutan bagi pamannya, Pangeran Silarong dan Adipati Pasuruan.

Biar mereka semua tahu bahwa dia bukan seorang yang tidak ada gunanya, bahwa dia tidak percuma menjadi putera mendiang Pangeran Pringgalaya yang sakti dan gagah perkasa. Seperti聽juga suami isteri Parmadi dan Muryani, sebagai seorang penghuni kota Pasuruan tentu saja Raden Wangsakartika juga mengenal betul keadaan dan lika-liku kota itu.

Ketika menyelinap dari rumah ke rumah dan tiba di dekat gudang ransum yang menjadi bagiannya seperti telah direncanakan bersama Parmadi dan Muryani, Raden Wangsakartika tiba di dekat gudang pertama yang terbesar. Dia melihat dua orang perajurit Bali duduk di depan gudang. Melihat dua orang perajurit ini, timbul suatu gagasan dalam pikirannya. Yang membuat pasukan Blambangan menjadi kuat adalah karena dukungan orang Bali, pikirnya. Mereka harus diberi hajaran keras! Dia menyusup dekat dan dari tempat gelap dia berseru perlahan kepada dua orang penjaga itu.

"Sssttt... Andika berdua ke sinilah, penting...!" katanya dalam bahasa Bali yang fasih. Raden Wangsakartika memang memiliki bakat dalam hal berkata. Dia pandai menggunakan bahasa Bali, Madura, dan logat daerah lain. Kalau dia berbahasa Bali, semua orang tentu akan mengira dia orang Bali asli. Dua orang prajurit itu merasa heran akan tetapi mereka lalu menghampiri tempat gelap itu sambil membawa tombak mereka.

Begitu mereka tiba di depannya, sinar pedang di tangan Raden Wangsakartika berkelebat dan seorang perajuri roboh dan tewas. Sebelum perajurit kedua sempat bergerak atau berteriak, Raden Wangsakartika sedah menerkamnya dan lengan kirinya yang kuat sudah melingkari leher, mengempit dan mencekik.

"Cepat katakan di mana adanya pimpinan kalian!"

Dengan suara parau karena lehernya dijepit lengan yang kuat itu, perajurit kedua menjawab ketakutan. "Di... di... istana kadipaten... sayap kanan..."

"Siapa pemimpinmu?" bentak pula Raden Wangsakartika.

Perajurit itu hendak menggertak dan menakut-nakuti. "Mereka adalah dua orang senopati sakti mandraguna, Panji Buleleng dan Macan Kuning!"

Raden Wangsakartika mengerahkan tenaga pada lengannya yang menghimpit leher perajurit Bali itu.

"Krekk...!" Batang leher itu patah dan orangnya tewas seketika. Raden Wangsakartika menyeret mayat dua orang itu dan menyembunyikan mereka di bawah semak-semak yang tumbuh di belakang gudang. Dia tidak mempedulikan lagi gudang itu. Urusan kecil membakar gudang, pikirnya. Dia memilih urusan yang lebih besar lagi dan cepat tubuhnya bergerak menuju ke istana kadipaten, setelah dia mengenakan pakaian perajurit tinggi besar yang dibunuhnya.

Malam itu, para pimpinan pasukan Blambangan yang berhasil menduduki Pasuruan masih dalam keadaan pesta kemenangan, Panji Buleleng dan Macan Kuning, yang menjadi pimpinan tertinggi pasukan yang kini menduduki Pasuruan, menempati istana kadipaten bagian kanan yang paling luas dan mewah. Setelah beberapa hari mereka berdua itu bersenang-senang dengan para perwira lainnya, malam itu mereka berdua duduk di ruangan dalam, berbincang-bincang.

"Kakang Panji" kata Macan Kuning yang bertubuh sedang dan kokoh, kulitnya putih kekuningan, "Bagaimana rencana gerakan kita selanjutnya? Apa yang harus kita lakukan setelah kita berhasil menduduki Pasuruan?"

"Adi Macan Kuning," kata Panji Buleleng yang bertubuh tinggi kurus dan kumisnya tebal. "Tugas kita sekarang hanya menjaga benteng Pasuruan yang menjadi benteng terdepan persekutuan Blambangan untuk menyerang Mataram. Kita hanya tinggal menanti perintah selanjutnya dari para pimpinan di Blambangan."

"Apakah rencana selanjutnya dari para pimpinan Kakang?"

"Aku belum tahu benar, akan tetapi kukira sekarang sedang seluruh daerah Jawa Timur dan menyusun kekuatan. Setelah itu baru akan diadakan gerakan penyerangan ke Mataram, pemberangkatan bala tentara tentu dipusatkan di Pasuruan ini."

Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh di luar ruangan itu, suara beradunya senjata berdentingan disusul teriakan dan berdebuknya tubuh orang-orang yang roboh. Dua orang senopati Bali itu adalah panglima-panglima yang berpengalaman. Panji Buleleng sudah berusia hampir enam puluh tahun sedangkan Macan Kuning juga sudah berusia lima puluh tahun lebih. Mendengar suara gaduh itu, keduanya lalu berlompatan keluar sambil hunus keris mereka yang panjang.

Setelah tiba di ruangan itu agak gelap karena hanya sebuah lampu penerangan yang msij bernyala. Tiga buah lampu penerangan lain telah padam sehingga cuaca di situ remang-remang. Namun mereka berdua dapat melihat betapa lima orang perajurit yang menjaga di bagian itu telah roboh malang melintang tak bergerak lagi. Akan tetapi ada seorang perajurit yang bertubuh tinggi besar memegang tombak berdiri di sudut.

"Hei! apa yang terjadi di sini?" bentak Macan kuning kepada perajuritnya itu.

"...kami diserang... musuh..." Raden Wangsakartika berkata dan bersikap seperti orang gugup dan ketakutan. Mendengar ini, dua orang senopati itu terkejut dan mereka segera melihat ke sekeliling sambil memegang keris, siap menghadapi serangan gelap. Mereka berdua sama sekali tidak mengira bahwa yang berada di depan mereka justeru adalah musuh yang telah membunuh lima orang anak buah mereka itu. Karena Raden Wangsakartika memakai pakaian perajurit Bali dan bicaranya juga dalam bahasa Bali yang sempurna, dua orang senopati itu sama sekali tidak curiga.

"Wuuuttt...!" Tombak panjang itu meluncur cepat menghunjam ke arah dada Macan Kuning. Senopati ini sama sekali tidak pernah mengira akan diserang oleh perajurit bali itu dari dekat. Maka sama sekali dia tidak dapat mengelak atau menangkis dan tahu-tahu dadanya sudah ditembus tombak yang ditusukkan dengan tenaga dahsyat itu.

"Heiii...!" Panji buleleng berseru kaget melihat rekannya roboh dan tewas seketika dengan tombak masih menembus dadanya. Akan tetapi Raden Wangsakartika sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya dengan hebat.

"Cring... tranggg...!!" bunga api berpijar ketika dua kali keris di tangan Panji Buleleng menangkis mata pedang yang menghunjam ke arah tubuhnya itu. Kemudian dia pun balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di ruangan remang-remang itu.

Panji Buleleng adalah seorang senopati Gelgel di Bali yang digdaya, akan tetapi sekali ini dia bertanding melawan putera mendiang Pangeran Pringgalaya dari Mataram yang sakti mandraguna. Pula, hatinya sudah gentar melihat lima orang perajurit dan rekannya, Macan Kuning, tewas di tangan lawannya ini. Ditambah lagi senjata Raden Wangsakartika jauh lebih panjang, besar dan berat daripada kerisnya. Juga tenaga lawan amat kuat sehingga setiap kali kerisnya bertemu pedang, dia merasa betapa lengannya tergetar dan terpental. Karena maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, Panji Buleleng berteriak nyaring.

"Tolooonnngggg...!"

Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu terdengar pula teriakan-teriakan dari luar istana kadipaten. Teriakan banyak orang yang menggema sampai ke dalam istana.

"Tolooonnnggg....! Tolooonnnggg....! Kebakaran.... kebakaran...!"

Teriakan ini sambung menyambung dan terdengar suara gaduh seperti banyak orang berlarian dan berteriak-teriak. Juga di dalam istana menjadi geger dan agaknya para penghuni istana berhamburan keluar sehingga tidak ada yang mengetahui bahwa di bagian kanan istana terjadi perkelahian mati-matian. Panji Buleleng menjadi panik dan maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berteriak karena kegaduhan di luar istana akan menyelimuti suara teriakannya. Dia semakin terdesak, akan tetapi Panji Buleleng adalah seorang yang sudah banyak pengalaman berkelahi.

Dia cepat menjatuhkan diri ketika pedang di tangan lawan menyambar dengan bacokan. Tubuhnya lalu bergulingan dan tangan kirinya menyambar sebuah kursi. Sambil melompat bangun, dia melemparkan kursi itu dengan pengerahan tenaga ke arah kepala lawan yang mengejarnya. Melihat benda hitam melayang ke arahnya dan dia tidak tahu benda apa itu karena keadaannya agak gelap, Raden Wangsakartika membacokkan pedangnya ke arah benda hitam yang seolah-olah seekor harimau menerkamnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Singg.... crakkkk!" Kursi itu patah dan runtuh. Akan tetapi pada saat itu, Panji Buleleng yang sudah merenggut lepas sehelai tirai pintu yang lebar, sudah melemparkan tirai itu ke arah lawan yang baru saja menangkis kursi.

"Wuuuttt...!" Raden Wangsakartika gelagapan ketika tiba-tiba ada kain menimpa dan menutup kepalanya. Dia menggerakkan lengan kiri untuk menangkap dan menyingkirkan kain tirai itu. Pada saat itu, Panji Buleleng sudah menubruk maju dan menikamkan kerisnya ke arah lawan yang tubuh atasnya masih tertutup tirai.

"Cappp...!" Keris menembus kulit daging dan berhenti terhalang tulang pangkal lengan kiri Raden Wangsakartika.

"Aduhh....!" Raden Wangsakartika roboh terjengkang. Hal ini merupakan siasatnya. Memang tadi secara kebetulan pangkal lengan kirinya menyelamatkannya dan dapat menggantikan dadanya tertusuk keris. Luka itu sebetulnya tidak akan merobohkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa keadaannya yang tertutup kain itu berbahaya sekali, maka sengaja dia mengaduh dan menjatuhkan diri ke belakang seolah terjengkang.

Ketika terjengkang inilah dia sempat menyingkap kain yang menutupi kepalanya dan pada saat itu, Panji Buleleng dengan girang menubruk untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pedang di tangan Raden Wangsakartika lebih dulu menyambar bagaikan kilat, tepat menebas leher Panji Buleleng sehingga tubuh senopati itu jatuh menimpa tubuh Raden Wangsakartika dengan leher putus dan kepalanya menggelinding ke atas lantai!

Dengan muka, tangan dan pakaian berlepotan darah lawan, Raden Wangsakartika melompat berdiri dan tersenyum puas. Rasa nyeri di pangkal lengan kirinya tidak dia rasakan. Dia lalu memenggal leher Macan Kuning, kemudian menggunakan kain tirai untuk membungkus dua buah kepala itu dan membawanya keluar istana, mengambil jalan samping yang sepi.

Ketika tiba di luar, dia melihat kobaran api di dua tempat. maklumlah dia bahwa Parmadi dan Muryani telah melaksanakan tugas mereka dengan baik dan baru teringat dia bahwa dia pun bertugas membakar gudang pertama. Akan tetapi sekarang tidak ada kesempatan lagi. Kota telah penuh perajurit, sebagian berusaha memadamkan kebakaran, sebagian lagi sibuk mencari-cari musuh yang melakukan pembakaran. Dia tidak peduli. Apa yang dilakukannya jauh lebih berarti daripada sekadar membakar gudang ransum pertama, pikirnya.

Maka dia pun cepat menyelinap di antara para perajurit yang panik. Tidak ada yang mencurigainya karena dia pun berpakaian perajurit Bali dan perhatian semua orang lebih tertarik ke arah kebakaran-kebakaran itu. Ketika dia tiba di dekat tembok kota bagian selatan yang menembus ke daerah rawa yang menjadi tempat mereka tadi menyusup ke Pasuruan, dia mlihat orang-orang bertempur di bawah sinar beberapa buah obor yang diacungkan ke atas oleh perajurit-perajurit Blambangan.

ketika dia mendekat, Raden Wangsakartika terkejut karena yang bertanding adalah Parmadi dan Muryani, dikeroyok oleh tiga orang yang gerakannya berbahaya dibantu pula oleh belasan orang perajurit. Parmadi dan Muryani telah berhasil membakar gudang ransum kedua dan ketiga. Sia-sia mereka menunggu-nunggu terbakarnya gudang ransum pertama dan mereka sangsi. Jangan-jangan Raden Wangsakartika telah gagal melaksanakan tugas bagiannya. Karena terlalu lama menanti, akhirnya Muryani membakar gudang ransum dan melihat kebakaran itu, Parmadi juga membakar gudang yang menjadi bagiannya.

Setelah membakar gudang yang menimbulkan kegemparan, keduanya lalu melarikan diri ke arah bagian selatan kota untuk keluar dari sana. Akan tetapi, Muryani terlihat oleh sepasukan perajurit Blambangan yang segera mengepung dan mengeroyoknya. Muryani mengamuk dan merobohkan enam orang perajurit. akan tetapi, segera muncul Ki Randupajang, tokoh Madura yang tinggi besar dan brewok. Laki-laki berusia lima puluh tahun lebih ini memang diperbantukan dalam merebut dan menjaga Pasuruan.

Selain Ki Randujapang,juga聽muncul Kyai Kasmalapati yang berusia enam puluh lima tahun, datuk Blambangan yang sakti itu, bersama-sama muridnya, yaitu Dartoko berusia dua puluh lima tahun yang berwajah tampan namun wataknya sombomg dan jahat. Begitu tiga orang sakti ini muncul dan menyerang, Muryani menghadapi pengeroyokan mereka dengan pedangnya yang diputar cepat sehingga membentuk gulungan sinar berkeredepan tertimpa sinat obor yang dibawa para perajurit.

Namun, tiga orang itu adalah tokoh-tokoh yang sakti dan kuat, maka mulailah Muryani terdesak dan ia tidak melihat jalan keluar karena dirinya sudah terkepung. Jalan satu-satunya hanyalah mengamuk dan mempertahankan diri sampai saat terakhir. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendengung-dengung. Muryani merasa girang sekali karena itu adalah suara seruling gading yang dimainkan suaminya. Benar saja, kepungan itu mengendur karena Parmadi sudah menerjang masuk dan senjatanya yang ampuh, suling gadingnya, berubah menjadi sinar keemasan.

Semua senjata para perajurit yang bertemu sinar suling atau sinar pedang, tentu terpental. Akan tetapi tiga orang itu tetap menyerang mereka dan para perajurit mengepung agar suami isteri itu tidak dapat melarikan diri. Sedangkan beberapa orang perajurit cepat membunyikan kentungan untuk memanggil bala bantuan. Parmadi dan Muryani maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali. Kalau sampai pasukan yang besar jumlahnya datang mengepung, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri keluar dari Kadipaten Pasuruan.

Akan tetapi selagi mereka berusaha mati-matian untuk memecahkan kepungan, tiba-tiba muncul Raden Wangsakartika. Melihat suami isteri itu dikeroyok, Raden Wangsakartika lalu menerjang dengan pedangnya dan gerakannya amat ganas. Tidak seperti Parmadi dan Muryani yang hanya merobohkan para perajurit dengan melukai mereka tanpa membunuh, sepak terjang Raden Wangsakartika nggegirisi (mengerikan). Darah muncrat-muncrat dari perut yang tertembus pedangnya, leher yang terpenggal atau pundak, kaki tangan terbabat putus!

Sepak terjang Raden Wangsakartika ini membuat para pengeroyok menjadi gentar sehingga kepungan mengendor dan kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang sakti itu untuk meloloskan diri melalui tembok dan tiba di daerah rawa, Para perajurit hanya berani mengejar keluar dinding, tak berani memasuki daerah rawa yang gelap dan berbahaya.

********************

Pangeran Silarong menyambut kembalinya Raden Wangsakartika, Parmadi dan Muryani dengan gembira. Dia memuji jasa mereka bertiga, terutama Raden Wangsakartika yang membawa "oleh-oleh" untuknya berupa dua buah kepala milik pimpinan pasukan Bali. Pangeran Silarong lalu memerintahkan perajurit untuk memasang dua buah kepala itu di atas galah dan ditancapkan di depan pintu benteng Pasuruan untuk membikin gentar hati para perajurit musuh.

Juga Pangeran Silarong girang mendapatkan keterangan yang jelas dari Parmadi tentang keadaan dan kekuatan pertahanan dalam benteng itu. Pengetahuan tentang kekuatan pertahanan musuh, terutama sekali tentang letak meriam-meriam itu amatlah penting karena dengan demikian Pasukan Mataram dapat menyusun siasat penyerangan agar terhindar dari ancaman peluru-peluru meriam dan dapat memperoleh kemenangan tanpa menderita terlalu banyak korban.

Sementara itu, peristiwa pembakaran dua gudang ransum dan terbunuhnya beberapa perajurit, terutama sekali matinya dua orang pimpinan yang kepalanya hilang, menggegerkan para perajurit di kota Kadipaten Pasuruan. Apalagi ketika pada keesokan harinya, dua buah kepala pemimpin mereka itu dipasang di atas galah dan ditancapkan di depan pintu gerbang benteng mereka, para perajurit menjadi gentar sekali.

Para perwira pembantu dua pemimpin yang tewas itu segera mengirim laporan dan minta bantuan ke Blambangan. Pangeran Silarong mengajak para perwira, termasuk Parmadi, Muryani, dan Raden Wangsakartika sebagai pembela sukarelawan. Mereka semua dapat menduga bahwa peristiwa malam itu tentu menggemparkan dan membuat gentar hati pasukan musuh dan menurunkan semangat mereka. Oleh karena itu, Pangeran Silarong segera mengatur barisan dan memerintahkan penyerbuan pada keesokan harinya agar jangan memberi kesempatan musuh memperkuat diri dengan bantuan yang datang dari Blambangan.

Para senopati Mataram yang sudah berpengalaman menghadapi gempuran musuh yang mengandalkan meriam dan senapan, ketika mereka beberapa kali menyerbu Batavia, kini menggunakan siasat penyerbuan lewat sayap kanan dan kiri, tidak langsung dari depan yang dapat menjadi sasaran lunak peluru-peluru meriam dan mendekati benteng dari kanan kiri, maju sambil berlindung di balik pohon-pohon dan batu-batu, juga rumah-rumah penduduk yang sudah kosong ditinggalkan para penghuninya yang lari mengungsi.

Mereka membentuk Pasukan Sapit Udang, menyerbu dari kanan kiri dan setengah bagian pasukan menyerbu lewat belakang, yaitu lewat daerah rawa, dipimpin oleh pemandu-pemandu jalan yang sudah hafal akan keadaan daerah yang sukar dan berbahaya itu. Pertempuran dimulai. Pasukan Blambangan melawan dengan seluruh kekuatannya. Sebagian besar perajurit dari Bali pimpinan Senopati Tabanan dan Pacung yang menggantikan Panji Buleleng dan Macan Kuning yang telah tewas, dibekali aji kanuragan yang cukup tangguh, bahkan banyak diantara mereka, terutama para perwira dan senopati dari Bali itu memiliki aji kekebalan, tidak dapat dilukai serangan senjata tajam biasa.

Dengan perlawanan mati-matian terjadilah pertempuran yang amat hebat. Banjir darah terjadi ketika pasukan campuran Blambangan yang mempertahankan kota Pasuruan itu menerjang keluar menyambut musuh, setelah peluru-peluru meriam dan senapan mereka tidak dapat menahan desakan pasukan Mataram. Perang campuh yang amat hebat sehingga korban di kedua pihak roboh dan mayat-mayat berserakan. Darah mereka membasahi bumi. Teriakan-teriakan kemarahan bercampur aduk dengan jerit-jerit kematian.

Ki Randujapang, datuk Madura yang sakti itu, mengamuk dan merobohkan banyak perajurit Mataram dengan senjatanya sepasang kapak yang besar dan berat. sepasang kapaknya sudah berlepotan darah, demikian pula pakaiannya. Akan tetapi tiba-tiba ketika kapak kanannya menyambar ke arah kepala seorang perajurit, ada sebatang pedang berkelebat menangkis. "Tranggg... !" Bunga api berhamburan ketika kapak ditangkis pedang. ki randujapang terkejut karena dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat.

Ketika melihat siapa yang menangkis kapaknya dengan pedang, dia marah sekali dan sepasang kapaknya menyambar-nyambar dahsyat ke arah Muryani. Wanita perkasa ini menggerakkan tubuhnya yang ringan dan dapat bergerak cepat seperti seekor burung kepinis, pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih berkilauan dan ia balas menyerang dengan dahsyat pula, Terjadilah perkelahian yang amat seru. para perajurit kedua pihak tidak berani membantu karena tingkat kepandaian mereka masih terlampau rendah sehingga membantu berarti membiarkan diri terancam maut.

Dartoko juga mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri. Banyak perajurit Mataram yang roboh disambar kedua batang senjatanya itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Raden Wangsakartika menghadapinya dan kedua orang ini pun bertanding seru dan mati-matian. Juga dua orang jagoan ini bertanding tanpa ada yang membantu karena para perajurit juga tidak berani mendekati mereka yang amat tangguh ini...