Kemelut Blambangan Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Blambangan

Jilid 02

SUARA itu merayu-rayu dan Maya Dewi dapat merasakan kekuatan pemikat yang terkandung dalam kata-kata itu. akan tetapi baginya, aji pamelet yang dipergunakan pemuda bernama Dartoko itu bagaikan permainan kanak-kanak saja. Ia pun tersenyum.

"Namaku adalah Maya Dewi...."

Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan senyumnya melebar, seolah mendengar kejutan yang menyenangkan.

"Eee ladhalah! Kiranya Andika ini Maya Dewi yang tersohor itu? Ah, sudah lama aku mengagumi namamu yang terkenal sebagai seorang wanita secantik bidadari yang sakti mandraguna! Sungguh berbahagia dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh besar yang sealiran!"

"Hmm, dengar baik-baik, Dartoko! Aku bukanlah orang sealiran denganmu. Engkau orang yang jahat dan kejam, menipu penduduk dusun Sampangan dan menculik gadis-gadis dusun. Sekarang aku datang untuk mengakhiri kejahatanmu. Hayo cepat bebaskan puteri Ki Lurah Ganjar dari Sampangan itu!"

"Tentu, tentu akan kami bebaskan dengan segera, Nimas Maya Dewi! Yang membutuhkan gadis itu adalah guruku, Kyai Kasmalapati. Akan tetapi kalau sudah ada Andika yang menemani kami, tentu saja kami tidak membutuhkan lagi wanita yang manapun juga. Mari, marilah, Nimas Ayu, mari masuk ke gua menemui guruku."

"Tidak perlu banyak cakap lagi, Dartoko. bujuk rayu gombalmu tidak akan dapat mempengaruhi aku. Cepat bebaskan gadis itu dan engkau bersama gurumu harus minggat, meninggalkan tempat ini dan jangan sekali-kali berani mengganggu penduduk dusun yang tidak bersalah. Kalau tidak cepat kalian penuhi permintaanku, terpaksa aku akan memberi hajaran keras kepada kalian!"

Wajah Dartoko berubah kemerahan. Dia sejak tadi bersusah payah mengerahkan aji pamelet untuk menjatuhkan hati wanita cantik ini, akan tetapi ternyata dia malah kini diejek!

"Maya Dewi!" Dia membentak marah. "Jangan berpura-pura alim! Aku sudah mendengar tentang dirimu. Engkau juga disebut Iblis Betina, tidak berpantang melakukan apapun juga dan sudah terkenal pula sebagai seorang perempuan yang gila laki-laki. Kalau sekarang kami menculik gadis, mengapa engkau mencampuri dan ribut-ribut? bukankah engkau sendiri terkenal sebagai penculik pemuda-pemuda?"

Wajah maya Dewi menjadi merah pula, bukan karena marah, melainkan karena malu dan menyesal. Ucapan itu seolah menyeretnya kepada kenangan masa lalu yang hitam.

Dengan sinar mata mencorong ia menatap tajam Dartoko, lalu ia berkata dengan suara yang dingin. "Dartoko, aku tidak menyangkal bahwa dahulu aku pernah hidup sesat. Akan tetapi aku telah menyadari bahwa hidup seperti itu hanya akan menyeretku ke dalam lembah kesengsaraan. Karena itu, aku telah bertaubat dan sekarang aku bertekad untuk menentang semua kejahatan, tidak perduli siapa pun yang melakukannya. Karena itu, kunasihatkan agar engkau dan gurumu insyaf dan kembali ke jalan benar. Bebaskan puteri ki Lurah itu dan tinggalkan tempat ini, jangan ganggu lagi penduduk dusun!"

Maklum bahwa menggunakan sihir tidak ada gunanya terhadap Maya Dewi, Dartoko menjadi marah. "Keparat, engkau tidak mau diajak berbaik, mau mencari kematian sendiri. Sambutlah ini." Dia mencabut sebatang keris dan langsung menerjang wanita itu dengan dahsyatnya.

Namun dengan mudah Maya Dewi mengelak. Ketika Dartoko melihat betapa serangannya dapat dielakkan, dia menjadi penasaran dan menyerang lagi dengan bertubi-tubi. Namun, setelah belasan kali menyerang tanpa hasil, Dartoko menjadi bingung sendiri dan pandang matanya berkunang melihat tubuh wanita itu kini telah berubah menjadi bayangan yang berkelebat cepat sekali, tidak mampu dia megikuti gerakan itu dengan pandang matanya.

Serangannya lalu menjadi ngawur, namun pemuda ini memang memiliki gerakan yang gesit dan serangannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat sehingga Maya Dewi harus berhati-hati juga. Serangan keris itu amat berbahaya dan kalau mengenai sasaran, agaknya tidak akan dapat ia melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan. Besar bahayanya, aji kekebalan tidak cukup kuat untuk menahan serangan itu.

Untuk merobohkan Dartoko tanpa melukainya merupakan hal yang tidak mudah. Kalau ia menggunakan tenaga Sari Bantala, tentu Dartoko akan roboh, akan tetapi juga terancam nyawa pemuda itu. Ia tidak ingin membunuh orang. Maka, setelah serangan bertubi-tubi yang selalu luput itu membuat pernapasan Dartoko mulai terengah. Maya Dewi berkelebat ke belakang, lalu ia mendorongkan tangan kirinya ke arah lawan sambil membentak.

"Pergilah!" Dartoko terkejut dan cepat dia menyambut serangan jarak jauh itu dengan dorongan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Syuuuutttt.... desssss!!" Tubuh Dartoko terlempar ke belakang bagaikan daun kering tertiup angin. Kerisnya terlepas dari tangan kanannya dan dia terbanting jatuh di mulut gua, lalu dia bergulingan dan duduk bersila di depan gua untuk mengatur pernapasannya karena dadanya yang terguncang hebat oleh pukulannya sendiri yang membalik ketika tenaga saktinya bertemu dengan tenaga sakti Maya Dewi.

"Eh-eh-eh, Maya Dewi, engkau bocah kemarin sore berani menentang aku?" terdengar suara parau dan dari dalam gua muncul seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun. Tubuhnya bongkok, rambutnya yang tipis sudah putih semua, bagian ubun-ubunnya botak kelimis, mukanya berbentuk panjang ke depan seperti muka kuda.

Terbongkok-bongkok dia melangkah keluar dari mulut gua, bertopang sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanannya dan tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Kakek ini mirip Bhagawan Durna, tokoh yang menjadi penasehat kaum Kurawa dalam kisah pewayangan Mahabharata.

Maya Dewi memandang dengan mata penuh selidik. Tadi Dartoko menyebut nama gurunya Kyai Kasmalapati. Dalam petualangannya beberapa tahun yang lalu, ia tidak pernah mendengar nama Dartoko, akan tetapi ia pernah mendengar nama Kyai Kasmalapati yang merupakan datuk dari Blambangan. Datuk pertama dari Blambangan adalah Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasehat Adipati Blambangan, adapun datuk kedua adalah Kyai Kasmalapati yang lebih suka berkeliaran sebagai seorang tokoh dunia hitam yang ditakuti orang.

"Hemm, agaknya Andika yang bernama Kyai Kasmalapati! Sungguh keterlaluan sekali kalau seorang tua seperti Andika bersama murid melakukan kejahatan yang amat keji, merampas hewan ternak, menculik gadis-gadis yang tidak berdosa dan menakut-nakuti penduduk dusun Sampangan! Hayo, Kyai Kasmalapati, cepat Andika bebaskan puteri Ki Lurah Ganjar dan pergilah Andika bersama murid Andika, jangan Andika berani mengganggu penduduk dusun lagi!"

"Babo-babo, keparat! Maya Dewi, kalau tidak ingat bahwa Andika ini puteri mendiang Resi Koloyitmo yang pernah menjadi sahabatku, malam tadi sudah kubunuh kau! Berani Andika anak kecil mencampuri urusanku dan menentangku!"

Maya Dewi menyambut pandang mata Kyai Kasmalapati dengan sinar mata lembut namun penuh wibawa dan bibirnya tersenyum. "Kyai Kasmalapati, kalau Andika dan muridmu tidak melakukan kejahatan, aku pun tidak akan mencampuri urusanmu. Akan tetapi kalau aku melihat kejahatan dilakukan, biar Andika atau siapapun juga pasti kutentang. Hal itu sudah merupakan kewajiban hidupku!"

"Babo-babo! Tidak malukah Andika kepada arwah ayah Andika? Resi Koloyitmo akan marah melihat kelakuanmu sekarang! Apakah engkau hendak muncul sebagai seorang pendekar dan memusuhi golongan ayahmu sendiri?"

"Kyai Kasmalapati, aku justru mengubah jalan hidupku, meninggalkan kesesatan kami dahulu untuk menebus dosa-dosa mendiang Ayahku dan aku sendiri. Aku juga memperingatkan Andika, Kyai Kasmalapati, mengingat bahwa Andika dahulu pernah menjadi sahabat Ayahku. Sadarlah bahwa jalan kesesatan ini akan membawa Andika terjerumus ke dalam neraka jahanam. Sadar dan bertaubatlah selagi Andika masih mempunyai waktu. Kalau Andika sudah mati, maka Andika akan menyesal namun tidak akan ada gunanya."

Kyai Kasmalapati menggereng seperti seekor serigala marah dan dari mulut dan hidungnya keluar uap putih! Dia maklum bahwa lawan ini tidak akan dapat dia kalahkan dengan penggunaan sihir ilmu hitam, maka sambil mengerahkan tenaga saktinya, dia menerjang dan menyerang. Tangan kanannya menggerakkan tongkat dan tangan kiri menggerakkan tasbeh hitam. Biarpun dia sudah tua dan bongkok, tampaknya sudah ringkih berpenyakitan, namun ternyata serangannya dahsyat sekali! Maya Dewi maklum akan kehebatan lawan, maka ia bersikap waspada dan hati-hati.

Menggunakan tenaga sakti yang ia dapatkan dari makan Jamur Dwipa Suddhi, tubuhnya sudah berkelebat, lolos di antara gulungan sinar tongkat dan tasbeh! Kyai Kasmalapati terkejut ketika tiba-tiba wanita itu berkelebatan dan lenyap. Matanya yang tua tidak mampu mengikuti gerakan yang amat cepat dari lawannya itu, hanya perasaan dan pendengarannya yang masih peka saja yang menunjukkan kepadanya di mana adanya lawan itu.

Dia menyerang terus secara bertubi-tubi, tak pernah berhenti, Maya Dewi terus mengelak dan terkadang ia menangkis tongkat atau tasbeh sambil mengerahkan tenaga saktinya. Setiap kali kedua senjata itu bertemu dengan tangkisannya, kakek bongkok itu merasa betapa lengannya tergetar hebat.

Namun, dia merasa malu kalau mengaku kalah dan kemarahannya sudah memuncak. Dia nekat menyerang terus, tidak mau menyadari bahwa lawannya itu tidak pernah balas menyerang. Memang Maya Dewi tidak membalas dan tidak ingin merobohkan kakek itu mengingat bahwa kakek itu pernah bersahabat dengan ayahnya.

Lima puluh jurus lebih Kyai Kasmalapati menyerang bertubi-tubi tanpa henti sambil mengerahkan seluruh tenanganya. Juga ketika dia mendapat tangkisan yang mmbuat tenaganya terpental dan tubuhnya terguncang hebat. Maka lewat lima puluh jurus, tenaganya mulai habis. serangannya menjadi lemah dan napasnya terengah-engah mengeluarkan suara ngik-ngik menunjukkan bahwa dia menderita penyakit mengi!

Maya Dewi memang sengaja hendak menaklukkan lawan ini tanpa memukulnya, membiarkannya kehabisan tenaga dan napas sendiri. Ia sengaja mengeluarkan suara ejekan untuk membuat Kyai Kasmalapati semakin marah dan semakin nekat, menyerang terus tanpa mengingat bahwa tenaga dan napasnya mulai habis!

"Kakek tua bangka yang tak tahu diri!"

"Sudah tua tidak mencari jalan terang!"

"Bertaubatlah dan jadilah manusia yang baik agar Gusti Allah mengampuni dosa-dosamu atau setidaknya mengurangi hukuman bagimu!" Dengan ucapan-ucapan seperti itu, Kyai Kasmalapati mejadi semakin nekat.

"Mampuslah!" Dengan sisa tenaganya, dia menyerang dengan hantaman tongkat dan tasbeh secara berbareng, mengerahkan seluruh sisa tenaganya. Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya menyambut.

"Wuuuttt.... bressss....!!!" Kyai Kasmalapati mengeluh dan roboh berlutut, kedua senjatanya terlepas dari keua tangannya yang kini dia pergunakan untuk menekan dadanya. Dia terengah-engah. tenaganya habis dan napasnya hampir putus, mengeluarkan bunyi ngak-ngik ngak-ngik. Maya Dewi menoleh ke arah Dartoko yang masih duduk bersila untuk menghilangkan rasa nyeri di dadanya akibat tenaga saktinya membalik menghantam dirinya sendiri tadi.

"Dartoko, bawa pergi gurumu dan kalian bertaubatlah, tinggalkan tempat ini dan jangan berani mengganggu orang-orang lain lagi."

Melihat gurunya juga sudah kalah dan tidak berdaya, Dartoko tanpa bicara bangkit lalu menghampiri Kyai Kasmalapati, membantunya bangkit berdiri, memungut tongkat dan tasbeh kakek itu, juga mengambil kerisnya, lalu memapah gurunya pergi dari situ dengan muka pucat dan napas agak memburu karena dadanya masih terasa sesak. Kyai Kasmalapati juga berjalan terpincang-pincang, terbongkok-bongkok, membiarkan dirinya dipapah Dartoko menuruni bukit itu.

Maya Dewi menghela napas panjang. Ia tahu bahwa orang-orang seperti Dartoko dan Kyai Kasmalapati itu pasti tidak dapat menerima kekalahan mereka begitu saja. Apalagi bertaubat. Sungguh tidak mudah untuk bertaubat dan mengubah jalan hidupnya karena jalan yang dilalui nafsu itu selalu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi jasmani walau meracuni rohani.

Sebaliknya jalan kebenaran itu menyelamatkan dan membersihkan rohani sehingga pantas untuk kembali kepada Gusti Allah walaupun sering tidak enak bagi jasmani. Mudah-mudahan mereka sekali waktu akan sadar dan bertaubat, pikirnya. Lalu ia mengusir pikiran tentang guru dan murid itu, dan melangkah memasuki Gua Siluman.

Ternyata gua itu di sebelah dalamnya luas, seperti sebuah rumah saja. Ada tiga buah ruang terpisah di dalamnya. Dalam sebuah ruangan, ia menemukan puteri Lurah Ganjar yang terikat di atas sebuah dipan bambu. Gadis manis itu menangis sesenggukan ketika Maya Dewi membebaskannya dari ikatan. Kemudian gadis itu memberitahu bahwa di ruangan yang lain masih terdapat dua orang gadis tawanan dari dusun lain. Mereka berdua memasuki ruangan itu dan benar saja, dua orang gadis saling rangkul di atas dipan sambil menangis. Wajah mereka pucat, rambut terurai dan pakaian mereka awut-awutan.

Dari keterangan tiga orang gadis yang bicara sambil menangis itu, Maya Dewi mengetahui bahwa dua orang gadis itu diculik dari sebuah dusun yang agak jauh dari situ dan mereka berdua menjadi korban kekejian Kyai Kasmalapati. Sedangkan puteri Ki Lurah masih belum sempat ternoda karena agaknya Dartoko menginginkan ia menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi gadis itu selalu menolak dan sebelum terjadi paksaan terhadap dirinya, muncul Maya Dewi membebaskannya.

Diam-diam Maya Dewi mengutuk Kyai Kasmalapati, kakek tua renta bongkok itu yang sudah menodai dua orang gadis dusun itu. Akan tetapi ia teringat akan perbuatannya sendiri di masa lalu dan Maya Dewi menghela napas panjang penuh penyesalan dan tampaklah olehnya betapa jahat dan keji perbuatan memaksa orang lain menjadi permainan nafsu itu!

Ketika ia menggeledah dalam gua itu dan melihat keadaan gua itu seperti sebuah rumah, Maya Dewi merasa suka dengan tempat itu. Maka, setelah ia mengantar tiga orang gadis itu ke dusun Sampangan dan minta bantuan Ki Lurah Gabjar agar kedua orang gadis itu dikembalikan ke rumah masing-masing di dusun lain itu. Maya Dewi berpamit dari para penduduk. Akan tetapi Ku Lurah Ganjar dan para penduduk dusun Sampangan menahannya. Mereka semua amat berterima kasih kepada Maya Dewi yang telah membebaskan mereka dari ancaman guru dan murid jahat itu. Terutama sekali Ki Lurah Ganjar sekeluarga yang merasa amat berbahagia karena puteri mereka kembali dalam keadaan selamat dan tidak sampai ternoda seperti dua orang gadis yang lain.

Mengingat bahwa ia mengambil keputusan untuk sementara tinggal di gua yang tadinya disebut Gua Siluman itu, berarti ia akan tinggal dekat dusun itu, maka ia tidak menolak untuk tinggal dulu di rumah Ki Lurah Ganjar selama dua hari dua malam. Penduduk menyambutnya dengan gembira dan mengadakan pesta untuk menghormati Maya Dewi. Apalagi mereka mendengar bahwa Maya Dewi untuk sementara akan tinggal di Gua Siluman, mereka menjadi girang sekali. dengan adanya wanita sakti itu dekat Sampangan, mereka merasa aman dan tenteram.

Dengan sukarela, para penduduk lalu bergotong-royong membersihkan gua itu, melengkapinya dengan perabot rumah baru dan membuang perabot rumah bekas milik guru dan murid jahat itu. Semula Maya dewi menolak, akan tetapi Ki Lurah dan semua mendesak dan memohon dengan sangat agar ia menerimanya sehingga Maya Dewi tidak tega untuk menolak. Maka lengkaplah prabot rumah dalam goa itu, walaupun hanya sederhana karena apa yang disediakan orang-orang dusun itu tentu saja bukan prabotan yang biasa dipakai orang-orang kota, Akan tetapi di situ sudah ada pembaringan, meja kursi, tempat pakaian prabot dapur dan makan.

Mulai hari yang ditentukan, Maya Dewi tinggal di Gua Siluman di bukit kecil di luar dusun Sampangan itu. Ia berpesan kepada para penduduk agar jangan mengganggunya karena ia ingin hidup menyendiri, jauh dari keramaian dan urusan dunia, kecuali kalau ada urusan yang teramat penting, yang membutuhkan bantuannya.

********************

Suami isteri itu kini merasa berbahagia. Kebahagiaan mereka tampak pada wajah mereka. Ki Tejomanik yang berusia empat puluh enam tahun itu masih tampak gagah perkasa. Tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat. Wajahnya yang tampan gagah itu berseri, matanya lebat mencorong penuh semangat. Alis, rambut dan kumisnya masih hitam. Hidungnya besar mancung dan mulutnya membayangkan senyum ramah. Kalau sebulan yang lalu, wajah tampan gagah itu masih diselimuti mendung dan hatinya menderita tekanan selama belasan tahun karena kehilangan puteranya, kini menjadi cerah dan berseri gembira.

Isterinya, Nyi Retno Susilo, wanita cantik dan gagah berusia empat puluh dua tahun itu pun masih tampak cantik dengan mata jeli dan sinarnya tajam, bentuk mulut yang manis sekali, dan tubuhnya yang masih padat seperti tubuh seorang gadis. Juga wajah wanita ini yang dulunya selalu muram kini tampak berseri dan bercahaya.

Kebahagiaan suami isteri ini mudah dimengerti. Selama empat belas tahun mereka kehilangan anak tunggal mereka Bagus Sajiwo yang diculik orang sejak dia berusia enam tahun. Kini, sebulan yang lalu, Bagus Sajiwo pulang ke Gunung Kawi dan telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang tampan dan sakti mandraguna, bahkan melebihi kesaktian Tejomanik sendiri!

Pada pagi hari itu, suami isteri itu duduk di ruangan depan dan keduanya memandang kepada putera mereka yang sudah berkumpul kembali dengan mereka selama satu bulan. Mereka merasa bangga sekali melihat Bagus Sajiwo kini menjadi seorang pemuda yang tampan, lemah lembut sikapnya dan bijaksana. Selama satu bulan ini mereka saling bercerita tentang pengalaman mereka selama empat belas tahun berpisah.

Melihat Bagus Sajiwo duduk diam seperti ada yang dipikirkan, Retno susilo menghela napas panjang dan berkata, "Angger, Bagus Sajiwo, engkau kelihatan melamun, apakah yang kaupikirkan? Kalau engkau memikirkan Maya Dewi, aku sudah mengatakan bahwa aku merasa menyesal sekali telah bersikap dan bertindak tidak adil kepadanya."

Bagus Sajiwo memandang ibunya dengan senyum membesarkan hati, matanya juga sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. "Tidak, ibu. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sikap dan tindakan ibu terhadap Dewi itu wajar dan aku yakin Dewi juga dapat menerimanya dengan sabar dan maklum. Juga aku tidak mengkhawatirkan keadaannya karena dengan kesaktiannya sekarang, ditambah dengan kesadarannya, aku yakin Dewi akan dapat hidup benar, berjalan di atas lorong kebenaran dan selalu akan membela kebenaran dan keadilan."

"Engkau benar, bagus. Akan tetapi aku pun melihat engkau termenung sejak tadi. tentu ada sesuatu yang kau pikirkan." kata Ki Tejomanik sambil memandang wajah puteranya dengan penuh selidik.

Bagus tersenyum lagi dan berkata dengan suara lembut. "Ayah dan Ibu memiliki pandangan tajam sekali dan amat memperhatikan aku, hal ini amat membesarkan hati. Sesungguhnya, Ayah dan Ibu, aku hanya teringat akan pesan mendiang Eyang Guru Ki Ageng Mahendra bahwa aku harus membela kebenaran dan keadilan, melindungi yang lemah tertindas, dan membela Mataram dari musuh-musuhnya, terutama Kumpeni Belanada. Kalau aku hanya berdiam saja di sini bagaimana mungkin aku dapat mentaati pesan mendiang Eyang Guru? Akan tetapi hatiku juga merasa tidak enak kalau harus meninggalkan lagi Ayah dan Ibu padahal baru sebulan aku pulang ke sini."

Suami isteri itu saling pandang. "Bagus, kami juga menyetujui sepenuhnya pesan Eyang Gurumu itu, bukankah begitu, Diajeng?"

Retno Susilo menghela napas panjang dan memegang kedua tangan puteranya. "Anakku bocah bagus! Terus terang saja, kalau bicara sejujurnya hati Ibumu ini juga tidak senang kalau harus berpisah darimu lagi. Akan tetapi aku dan Ayahmu mengerti bahwa pesan Eyang Gurumu itu menjadi tugasmu. Bukan hanya Eyang Gurumu yang mengharapkan engkau menjadi satria utama pembela kebenaran dan keadilan, juga membela Mataram, akan tetapi Ayah Ibumu juga. sejak dulu kamipun berusaha untuk selalu memenuhi kewajiban itu, karena itu, kalau engkau harus pergi lagi meninggalkan kami, aku rela karena aku tahu bahwa engkau dalam keadaan selamat dan suatu saat engkau pasti akan kembali ke sini."

"Aduh, Ibu memang bijaksana sekali. Terima kasih, Ibu!" kata Bagus Sajiwo lalu dia mencium kedua tangan ibunya dengan hati penuh kasih dan hormat.

"Bagus, pada waktu ini, Mataram tidak berperang langsung melawan Kumpeni Belanda yang mempunyai kedudukan kuat sekali di Batavia. Seperti pernah kami ceritakan kepadamu, aku dan Ibumu juga ikut berjuang membantu pasukan Mataram ketika menyerang benteng Kumpeni Belanda di Batavia akan tetapi dua kali gagal. Sekarang, Mataram menurut kabar yang kami dengar, terancam oleh Kadipaten Blambangan. Penyerangan terhadap kami tempo hari itu mungkin sekali ada hubungannya dengan sikap permusuhan Blambangan terhadap Mataram. Mereka menyerang kami karena kami adalah orang-orang yang membela Mataram. Karena itu, aku kira sebaiknya kalau engkau pergi mengunjungi dulu keluarga kita sambil mencari berita tentang gerakan Blambangan yang akan memberontak terhadap Mataram. Blambangan merupakan kadipaten yang tidak boleh dipandang ringan. Di sana terdapat banyak orang sakti, juga sejak dulu mempunyai hubungan baik dengan Bali yang pasti akan membantunya, Juga fihak Kumpeni pasti berusaha untuk memancing di air keruh, kalau tidak membantu Blambangan setidaknya tentu akan mengadu domba dan memperbesar permusuhan antara Mataram dan Kadipaten Blambangan. Akan tetapi, yang penting, pergilah dulu berkunkung ke keluarga kita agar mereka ikut berbahagia denganmu dan mendengar bahwa engkau telah kembali kepada kami."

"Maksud Ayah aku harus berkunjung ke perguruan Jatikusumo lebih dulu?"

"Benar, Anakku. Keluarga kita hanya bibimu Pusposari adik angkatku yang menjadi isteri Ki Cangak Awu yang kini menjadi ketua Jatikusumo di daerah Pacitan, di tepi laut. Mereka juga ikut merasa gelisah mendengar engkau dulu diculik orang, bahkan mereka ikut pula berusaha mencarimu. Selain itu, mereka adalah pejuang-pejuang yang setia kepada Mataram, maka mungkin engkau dapat mendengarkan keterangan yang lebih jelas tentang keadaan Mataram dari perguruan Jatikusumo. Ketahuilah bahwa suami Bibimu itu, ketua Jatikusumo, masih kakak seperguruan Gusti Puteri Wandansari yang sekarang menjadi isteri Adipati Surabaya."

Ki Tejomanik juga memperkenalkan nama para satria yang setia kepada Mataram dan para tokoh persilatan dan datuk yang memusuhi Mataram. "Dan juga lupa, Bagus, setelah berkunjung ke Jatikusumo, engkau harus berkunjung pula ke hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud dan mewartakan tentang keadaan kita kepada Eyangmu."

"Ah. Ayah maksudkan Eyang Mundingsosro yang menjadi ketua Perkumpulan Sardula Cemeng?"

"Benar, bagus." kata Retno susilo. "Akan tetapi Eyangmu sudah terlalu tua sekarang. beberapa tahun yang lalu ketika kami berkunjung ke sana, jabatan ketua sudah dipegang oleh Paman Mundingloyo, entah siapa yang menjadi ketuanya. Sudah lama kami tidak mengadakan hubungan dengan keluargaku di sana."

"Baik, Ayah dan Ibu. Aku pasti akan berkunjung ke hutan Kebojambe dan melihat keadaan para eyang dan keluarga lain."

Beberapa hari kemudian, dengan restu ayah-ibunya, Bagus Sajiwo meninggalkan rumah orang tuanya di desa Bayem lereng Gunung Kawi, dan mulailah dia melakukan perjalanan merantau. Tujuan pertama perjalanannya, seperti dipesan ayahnya, adalah perguruan Jatikusumo yang letaknya di pantai Laut Kidul, daerah Pacitan.

********************

Perguruan Jatikusumo adalah sebuah perguruan silat di mana para murid digembleng aji kanuragan dan kesaktian. Perguruan ini merupakan sebuah perkampungan khusus di mana para murid mondok, dan nama perguruan Jatikusumo amat terkenal.

Apalagi perguruan ini pernah mendidik Puteri Wandansari dari Kerajaan Mataram, maka para pengasuh dan muridnya juga terkenal sebagai orang-orang gagah yang setia kepada Mataram. Perguruan ini sudah berusia hampir seabad. Seorang di antara pendirinya adalah mendiang Resi Limut Manik yang pada masa tuanya bertapa di Puncak Semeru. Resi ini yang kemudian mejadi guru terakhir dari Sutejo atau Ki Tejomanik dan Puteri Mandansari. Kemudian, perguruan Jatikusumo dipimpin oleh seorang murid Sang Resi yang bernama Bhagawan Sindusakti yang kini telah meninggal dunia. Kemudian, kedudukan ketua dipegang oleh murid mendiang Bhagawan Sindusakti, yaitu Ki Cangak Awu, yang menjadi muridnya yang ke empat. Murid pertama sampai ke tiga sudah meninggal dunia, maka Ki Cangak Awu yang kini menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo.

Ki Cangak Awu, ketua Jatikusumo, berusia empat puluh delapan tahun. Dalam usia yang hampir setengah abad itu, dia masih tampak gagah perkasa. Tubuhnya tinggi besar berotot, kokoh bagaikan batu karang, wajahnya tidak terlalu tampan namun jantan, pandang matanya terbuka dan membayangkan kejujuran, sikapnya kaku dan agak kasar terbawa kejujuran dan keterbukaannya. Dia seorang jantan yang gagah lahir batin, tidak suka berpura-pura dan memimpin para murid Jatikusumo yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu dengan keras dan adil. Di bawah bimbingannya para murid itu menjadi tertib dan mengenal disiplin, maklum bahwa pelanggaran akan mendatangkan hukuman yang berat.

Isteri ketua ini bernama Pusposari, berusia sekitar empat puluh tiga tahun, berkulit hitam manis berwajah ayu lembut. Akan tetapi dalam kelembutannya itu Pusposari adalah seorang wanita perkasa, bahkan tingkat kepandaian silatnya tidak berada di bawah tingkat suaminya! Ia adalah adik angkat Tejomanik, atau anak angkat mendiang Ki Harjodento, ayah Ki Tejomanik yang gagah perkasa dan menjadi ketua dari perguruan Nogo Dento di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi yang kini tidak ada lagi. Perguruan ini dibubarkan setelah Ki Harjodento dan isterinya meninggal dunia.

Suami isteri yang kini memimpin perguruan Jatikusumo ini mempunyai seorang anak perempuan yang baru berusia tiga belas tahun, bernama Nawangsih, seorang anak mungil dan lucu, sudah tampak bahwa ia kelak akan menjadi wanita yang cantik jelita dan manis. Wataknya lincah jenaka dan agak keras seperti watak ayahnya. Kalau ia merasa benar, apapun juga yang menghalang akan ditentangnya dengan berani!

Sebagai puteri suami isteri yang sakti, tentu saja sejak kecil Nawangsih sudah digembleng aji kanuragan sehingga dalam usia tiga belas tahun tidak sembarang laki-laki dewasa yang akan mampu mengalahkannya! Suami isteri itu memang agak terlambat dikaruniai anak. Setelah pernikahan mereka berjalan sekitar sepuluh tahun, barulah Nawangsih terlahir. Dan ia tidak mempunyai adik sehingga tidak aneh kalau ayah ibunya amat menyayangnya dan hal ini membuat ia agak manja.

Ki Cangak Awu yang bertubuh tinggi besar itu terkenal memiliki tenaga yang amat kuat, apalagi ditambah tenaga saktinya yang cukup hebat. Dia telah mempelajari banyak ilmu silat, akan tetapi ilmunya yang paling ampuh adalah Aji Gelap Musti dan permainan tongkat yang amat kuat. Selain itu, sebagai murid Jatikusumo, dia pun memiliki Aji Harina Legawa yang membuat tubuhnya yang tinggi besar itu dapat bergerak lincah dan ringan seperti seekor kijang. Nyi Pusposari juga memiliki aji pamungkasnya yang ampuh, yaitu ilmu pukulan Aji Nogodento dan ilmu memainkan senjata keris yang disebut Galuh Bajra.

Pada senja hari itu, Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari duduk di atas bangku dalam taman di belakang rumah mereka di perkampungan Jatikusumo. Mereka berdua memandang dengan wajah berseri kepada Nawangsih yang mereka suruh berlatih silat di senja hari itu, sebelum mandi. Gadis cilik itu memang mengagumkan sekali. Pantas kalau ayah ibunya menjadi bangga. Dalam usianya yang tiga belas tahun ia sudah tampak cantik manis. Ia bersilat tangan kosong dengan ilmu silat gubahan ayah ibunya yang diberi nama Aji Jatikusumo, yang merupakan penggabungan dari Aji Gelap Musti dan Aji Nogodento! Gerakan Nawangsih sudah cukup mantap dan cepat, gerakannya juga tidak ada yang salah.

Tentu saja permainan silat anak itu masih belum lengkap karena masih kekurangan tenaga sakti yang kuat. Untuk membangkitkan tenaga sakti, anak itu masih terlalu muda. Setelah menyelesaikan permainan ilmu silat tangan kosong Jatikusumo, atas perintah ayahnya, Nawangsih lalu memungut sebatang ranting pohon sebesar dan sepanjang lengannya lalu ia bersilat dengan ilmu tongkat yang diajarkan ayahnya kepadanya. Ki Cangak Awu adalah seorang ahli ilmu tongkat, maka ilmu tongkat yang diajarkannya kepada Nawangsih juga cukup hebat. Karena Nawangsih memungut tongkat pendek, maka ia memainkannya seperti sebilah pedang. gadis cilik inipun pandai memainkan tongkat panjang dengan kedua tangan, dan sudah berlatih pula cara bersilat dengan keris yang diajarkan ibunya.

Suami isteri itu memandang dengan hati bangga. Anak mereka itu sudah mulai memperlihatkan bentuk tubuh seorang gadis muda, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar. Rambutnya yang hitam panjang itu diikat ke belakang tubuhnya seperti ekor kuda. Wajahnya ayu manis seperti ibunya, akan tetapi kulitnya tidak sehitam kulit ibunya, melainkan putih mulus. Sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan ketangkasannya, mata itu bergerak-gerak lincah dan mulutnya selalu tersenyum nakal, senyuman yang seolah mengejek. Hidungnya mancung agak menjungat ke atas sehingga tampak lucu.

Setelah Nawangsih menghentikan latihannya dengan muka dan leher basah oleh keringat, Pusposari menarik tangan puterinya dan merangkulnya. 鈥淏agus, Asih, sekarang pergilah mandi dan sebentar lagi kita makan malam.鈥� Nawangsih yang biasa disebut Asih oleh kedua orang tuanya, tertawa genit dan manja.

"Wah, enak! perutku juga sudah klenengan (suara gamelan) sejak tadi!" Ia lalu lari ke rumah untuk mandi dan bertukar pakaian. Suami isteri itu pun meninggalkan taman karena cuaca mulai gelap, malam menjelang tiba. Di rumah, beberapa orang murid yang bertugas melayani guru mereka, tugas yang dikerjakan secara bergilir, mulai menyalakan lampu-lampu penerangan.

Pusposari yang tadi sudah mandi lalu pergi ke dapur untuk mengatur hidangan makan malam yang dibantu oleh dua orang murid perempuan. Sedangkan Ki Cangak Awu yang juga sudah mandi, duduk di rungan dalam, menerima dua orang murid laki-laki yang datang menghadap untuk memberi laporan tentang pekerjaan para murid hari itu. Para murid Jatikusumo tinggal dalam perkampungan Jatikusumo.

Mereka semua belum berkeluarga karena di perguruan itu terdapat peraturan bahwa murid yang sudah menikah tidak diperkenankan lagi tinggal di perkampungan Jatikusumo. Peraturan itu diadakan untuk mencegah terjadinya perkembang-biakan yang selain akan membuat perkampungan padat dan biaya menjadi bertambah besar dan berat, juga untuk mencegah masuknya orang-orang bukan murid dan mencegah terjadinya keretakan antara murid yang disebabkan keluarga mereka. Di situ terdapat tiga puluh enam murid pria yang terdiri dari bujangan berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan ada sembilan belas orang murid wanita berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun.

Sudah terdapat banyak pasangan yang terdiri dari murid pria dan wanita Jatikusumo dan mereka ini setelah menikah lalu meninggalkan Jatikusumo, membentuk keluarga sendiri di tempat lain. Para murid itu bekerja sebagai petani dan nelayan. Kalau tidak sedang sibuk di sawah ladang milik Jayikusumo, mereka pergi ke laut dan mencari ikan. Penghasilan mereka tidak terlalu banyak namun cukup untuk biaya hidup, untuk makanan dan pakaian, juga untuk membetulkan pondok-pondok mereka dan membeli prabot-prabot rumah sederhana.

Selain bekerja setiap hari, Jatikusumo terkenal sebagai perkumpulan para pendekar. Karena mereka selalu menentang kejahatan dan membasmi gerombolan-gerombolan penjahat yang suka merampok dan melakukan kejahatan di daerah Pacitan, maka Jatikusumo dianggap sebagai pelindung daerah itu. Mereka disukai dan dihormati rakyat yang secara sukarela suka mengirim bahan makanan, juga barang-barang lain untuk menyatakan rasa hormat dan suka mereka. Akan tetapi tentu saja para tokoh sesat amat membenci perkumpulan Jatikusumo yang mereka anggap sebagai penghalang "pekerjaan" mereka!

Namun, Ki Cangak Awu yang terkenal keras hati dan membenci kejahatan itu tidak peduli akan sikap bermusuhan golongan hitam dan dia selau siap bersama para murid untuk menentang siapa saja yang bertindak jahat dan melakukan penindasan terhadap mereka yang lemah tak berdaya. Bukan para penjahat saja yang membenci Jatikusumo, akan tetapi bahkan pejabat atau pamong praja yang tidak suka kepada mereka.

Dengan adanya Jatikusumo yang selalu menentang penindasan, para pamongpraja itu tidak lagi leluasa bertindak semena-mena, tidak dapat lagi memeras dan menindas penduduk untuk menggendutkan perut mereka sendiri. Akan tetapi karena perkumpulan Jatikusumo melakukan hal yang benar, apalagi ketuanya, Ki Cangak Awu adalah seorang yang berjasa terhadap Mataram, bahkan masih terhitung kakak seperguruan Puteri Wandansari dari Mataram, maka para pamongpraja itu hanya menyimpan saja kebencian mereka dalam hati. Bahkan Bupati Pacitan sendiri menghormati Ki Cangak Awu!

Setelah selesai mengatur hidangan makan malam di atas meja makan, Nyi Pusposari menemani suaminya duduk di ruangan dalam, mereka menanti selesainyaNawangsih yang mandi dan berganti pakaian. Akan tetapi setelah agak lama Nawangsih tidak muncul, Ki Cangak Awu mengomel.

"Hemm, anak itu! Masa mandi sampai begitu lama? Apa saja yang ia lakukan di kamar andi?"

"Biar kupanggil, tidak biasanya ia mandi begini lamanya." kata Nyi Pusposari yang segera melangkah hendak keluar dari ruangan itu menuju ke kamar mandi yang berada di bagian belakang. Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan dan bentakan-bentakan seperti orang berkelahi di luar rumah. Mendengar ini, Ki Cangak Awu melompat keluar dari ruangan itu. Nyi Pusposari juga mengikuti suaminya.

Setibanya di luar rumah, suami isteri ini terkejut bukan main karena dua buah pondok di kanan kiri rumah mereka telah terbakar! Api berkobar besar sehingga seluruh pekarangan rumah induk tempat tinggal Ki Cangak Awu menjadi terang sekali. Dan di sekitar pekarangan itu terjadi perkelahian hebat antara para murid Jatikusumo melawan orang-orang yang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan sabuk tali lawe besar berwaran kuning. Ternyata pihak musuh yang berpakaian serba hitam itu cukup banyak dan melihat di mana-mana terjadi perkelahian satu lawan satu, dapat diduga bahwa jumlah musuh tidak kalah banyak dibandingkan jumlah anggota atau murid Jatikusumo.

Ki Cangak Awu dan Pusposari terkejut bukan main. Ini merupakan serangan besar-besaran, di waktu malam lagi sehingga tentu saja para murid menjadi panik dan kacau menghadapi serangan yang tidak tersangka-sangka dan musuh membakar dua pondok itu. Selama bertahun-tahun mereka tidak pernah diserbu musuh dan kini tiba-tiba saja musuh yang banyak jumlahnya datang menyerang di malam gelap. Di bawah sinar api yang berkobar membakar dua pondok itu, Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari dapat melihat bahwa para murid mereka, anggauta Jatikusumo dapat melakuan perlawanan dengan baik dan kiranya tidak perlu dikhawatirkan akan kalah.

Para murid itu rata-rata telah memiliki kedigdayaan yang lumayan. Akan tetapi, mereka melihat adanya dua orang laki-laki tinggi besar yang memiliki gerakan dahsyat, mengamuk dan dikeroyok oleh empat orang murid. Akan tetapi empat orang murid itu terdesak. Dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam itu mengamuk dengaan senjata kolor (tali pinggang) lawe yang sebesar lengan dan panjangnya dari pinggang sampai ke tanah. dengan dua ujung kolor itu mereka mengamuk sehingga empat orang murid Jatikusumo yang bersenjata tongkat menjadi terdesak.

Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari cepat melompat ke dalam rumah untuk mengambil senjata dan beberapa detik kemudian suami isteri ini sudah berlari ke pekarangan. Dua dari empat orang murid yang mengeroyok dua orang tinggi besar itu sudah roboh, dan yang dua orang lagi hanya dapat mundur-mundur sambil menjaga diri dengan memutar golok.

"Kalian mundur!" Ki Cangak Awu membentak dan melihat suami isteri pimpinan mereka datang, dua orang murid itu merasa lega dan mereka melompat ke belakang, lalu membantu dua orang kawan yang terluka. Kini Ki Cangak Awu dan Nyi Pisposari berhadapan dengan dua orang raksasa itu.

"Keparat!" Ki Cangak Awu memaki marah. "Melihat senjata dan pakaian kalian, bukankah kalian ini dua orang warok (jagoan) dari Ponorogo? Mengapa kalian membawa anak buah menyerbu perkumpulan kami?"

Dua orang tinggi besar itu saling pandang dan mereka tertawa bergelak. keduanya memiliki wajah yang menyeramkan, dengan kumis melintang dan brewok memenuhi pipi dan dagu. Yang hidungnya besar mbengol seperti topeng Penthul dan berusia sekitar empat puluh tahun tertawa dan menjawab. "Ha-ha-ha! Tentu Andika ini yang bernama Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari, ketua Jatikusumo! Ketahuilah, aku bernama Ki Suro Singo dan ini Adikku Ki Suro Badak."

"Hemm, kami pernah mendengar bahwa kalian adalah warok-warok Ponorogo yang terkenal jagoan. Mengapa sekarang tiba-tiba membawa banyak anak buah menyerbu perkumpulan kami? Jatikusumo tidak pernah bermusuhan dengan para warok Ponorogo!"

"Heh, Ki Cangak Awu! Andika masih bertanya mengapa? Jatikusumo terkenal sombong, entah sudah berapa banyak jagoan di daerah Madiun, Ponorogo dan Pacitan kalian robohkan dan kalian usir, kelompok mereka kalian basmi! Dan Andika masih bertanya mengapa kami sekarang menyerbu?"

"Akan tetapi, yang kami basmi adalah gerombolan-gerombolan penjahat yang mengganggu rakyat jelata!"

"Kawan-kawan itu juga hanya mencari nafkah, dengan memungut sumbangan dari penduduk. Apakah kalian sendiri saja yang butuh makan? Kini, kawan-kawan melapor kepada kami dan kami memutuskan untuk membasmi Jatikusumo yang congkak dan ingin hidup sendiri, untuk membalas dendam dan menghentikan kesombongan kalian yang selalu mencampuri urusan orang lain! Hyaaaatttt!" Ki Suro Singo yang hidungnya besar itu sudah menggerakkan kolornya yang menyambar dan menghantam ke arah dada Ki Cangak Awu.

"Wirrrrr....!" Kolor itu menyambar dahsyat, namun Ki Cangak Awu yang sama sekali tidak merasa gentar, sudah menggerakkan tongkatnya menangkis.

"Wuuuttt.... plakkk!!" Tongkat bertemu kolor dan tampak bunga api berpijar saking kuatnya terasa panas. Hal ini menunjukkan bahwa ketua Jatikusumo itu memiliki tenaga yang amat kuat. Si Brewok berhidung mbengol itu marah, akan tetapi juga berhati-hati dan segera terjadi serang-menyerang di antara kedua orang pria yang bertubuh sama tinggi besarnya itu.

Merlihat kakaknya sudah saling serang dengan Ki Cangak Awu, Ki Suro Badak lalu menyerang Nyi Pusposari dengan kolornya. Wanita ini dengan gerakan tangkas mengelak lalu dari samping, kerisnya menusuk ke arah lambung lawan. Ki Suro Badak terkejut dan cepat mengebutkan kolornya menangkis. Kedua orang inipun saling serang dengan seru.

Sementara itu, dengan gagah perkasa tiga puluh enam murid pria dan sembilan murid wanita perguruan Jatikusumo melakukan perlawanan dengan gigih dan biarpun jumlah penyerbu itu sedikitnya ada tujuh puluh orang, namun perlahan tapi pasti para murid Jatikusumo dapat mendesak para penyerbu sehingga mereka bertempur sambil mundur. beberapa orang diantara mereka sudah roboh terpukul tongkat, ada yang patah tulang lengannya atau tulang kakinya, ada yang memar dan bengkak-bengkak muka atau kepalanya.

Perkelahian antara Ki Cangak Awu dan Ki Suro Singo berlangsung seru dan sudah lewat lima puluh jurus. Ki Suro Singo mulai terdesak hebat, tidak kuat dia menahan serangan ketua jatikusumo yang amat kuat itu.

"Heeehhh! Ki Cangak Awu menghantamkan tongkatnya yang menyambar ke arah kepala lawan. Ki Suro Singo cepat menghindar dengan miringkan tubuh ke samping, lalu ujung kolor yang di tangan kanan menangkis dan melibat tongkat! Pada saat itu juga, kolor yang kiri menyambar ke arah leher Ki Cangak Awu! Serangan balasan ini hebat sekali dan untuk sejenak Ki Cangak Awu tidak dapat menggerakkan tongkatnya yang sudah terlibat kolor kanan.

"Wuuttt.... plakkk!" Kolor yang menyambar ke arah lehernya itu ditangkapnya dengan tangan kanan sedangkan tongkat hanya dia pegang dengan tangan kiri, Keduanya kini saling mengerahkan tenaga karena sudah tidak dapat menggerakkan senjata lagi. Tiba-tiba saja Ki Cangak Awu melepaskan tangan kirinya mendorong ke arah dada lawan dengan pengerahan Aji Gelap Musti.

"Syuuttt.... dessss!!" Pukulan dengan tangan terbuka itu tepat mengenai dada Ki Suro Singo yang bidang. Warok itu mengeluh dan tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakang lalu terbanting jatuh dan tidak mampu bangkit kembali. Pukulan dengan Aji Gelap Musti itu hebat bukan main dan isi dadanya telah remuk terkena hawa pukulan sakti ini, Ki Suro Singo tewas seketika!

Melihat kakaknya roboh, Ki Suro Badak menjadi panik. Dia belum juga dapat mengalahkan Nyi Pusposari, biarpun wanita perkasa itu juga belum mampu mendesaknya karena senjata wanita itu hanya sebatang keris pendek sedangkan dia menggunakan dua helai ujung kolor yang panjang. Melihat kakaknya roboh, kolornya menyambar dahsyat sehingga Nyi Pusposari terpaksa melompat ke belakang.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Suro Badak untuk melompat jauh ke belakang dan segera dia menghilang ke dalam kegelapan di luar pekarangan. Dia lalu memberi isarat dengan suara parau seperti burung gagak berkali-kali. mendengar isarat ini, anak buahnya lalu mundur dan melarikan diri membawa teman-teman yang terluka dan terpaksa meninggalkan mereka yang tewas dalam pertempuran itu. Karena malam gelap. Ki Cangak Awu berseru, "jangan kejar, mari kita padamkan api."

Para anak buah perguruan Jatikusumo segera bekerja keras memadamkan dua buah pondok yang termakan api. Ki Cangak Awu lalu memeriksa keadaan anak buahnya dan menghitung jatuhnya korban. Ternyata ada tiga orang anggauta Jatikusumo yang tewas, dan enam orang yang terluka. Sedangkan di fihak musuh, ada sembilan orang mayat musuh malang melintang di situ. Ki Cangak Awu memerintahkan para murid untuk mengubur mayat-mayat itu dan merawat yang terluka. Pada saat itu, tampak seorang murid wanita merangkak keluar dari rmah induk. Ia menderita luka-luka dan dengan susah payah ia merangkak keluar.

"Makarti, engkau kenapakah?" tanya Nyi Pusposari sambil cepat mendekati murid wanita itu.

"Aduh, ketiwasan (celaka), ibu guru....! Adi Nawangsih...."

"Kenapa Nawangsih?" Nyi Pusposari bertanya, tidak lagi memperhatikan Makarti yang terluka karena seluruh perhatiannya tertuju kepada puterinya, hanya gelisah sekali.

Ki Cangak Awu memegang lengan isterinya, "Biar kutanya dengan tenang. Makarti, apakah keadaanmu baik-baik saja?" Ki Cangak Awu memeriksa luka di pundak dan paha murid perempuan itu dan hatinya lega melihat bahwa luka-luka itu tidak berbahayam hanya luka kulit dan daging dan tidak mengandung racun. Lalu, setelah memeriksa dengan teliti dia bertanya, "Sekarang ceritakanlah, Makarti, apa yang terjadi tadi dengan Nawangsih?"

Makarti lalu bercerita. Ketika terjadi pertempuran, ia tidak ikut keluar menyambut musuh karena ia mengkhawatirkan keselamatan Nawangsih yang memang menjadi kewajibannya untuk menemani puteri ketua Jatikusumo itu. Ia dipercaya memiliki watak lembut sehingga akan mampu memberi bimbingan kepada Nawangsih dalam bersikap, bicara, dan bertindak sesuai dengan murid Jatikusumo, apalagi gadis kecil itu adalah puteri tunggal sang ketua. Tadinya Nawangsih yang penuh semangat itu ingin keluar menyambut musuh, akan tetapi ia dicegah oleh Makarti yang mengkhawatirkan keselamatannya. Maka ia mengajak Nawangsih untuk tinggal di ruangan dalam saja.

Akan tetapi, ketika pertempuran di luar sedang berlangsung ramai, tiba-tiba seorang pemuda melompat masuk ke dalam ruangan itu. Tangan kanannya memegang sebatang pedang. pemuda itu memandang kepada Makarti yang sudah mencabut keris untuk mempertahankan diri, juga kepada Nawangsih, lalu bertanya dengan suara keren.

"Di manakah puteri Ketua jatikusumo?" Makarti hendak melarang Nawangsih mengaku, akan tetapi terlambat karena gadis remaja itu sudah menjawab lantang, "Aku Nawangsih, puteri Ketua Jatikusumo! Engkau siapa berani lancang masuk ke sini?"

"Ha-ha-ha, bagus! Engkau ikut denganku!" laki-laki itu berkata dan dia sudah menggerakkan tangan kiri untuk menangkap lengan gadis cilik itu. Akan tetapi Nawangsih yang sejak kecil sudah dilatih ilmu silat oleh orang tuanya, dapat mengelak dengan melangkah mundur.

"Jangan ganggu ia!" makarti membentak dan menyerang dengan kerisnya. Akan tetapi orang itu dengan sigapnya mengelak dan membalas dengan sabetan pedangnya. Terjadilah perkelahian, akan tetapi pemuda itu jauh lebih tangguh sehingga akhirnya Makarti roboh terkena sabetan pedang, terluka pundak dan pahanya. Ketika Makarti roboh, orang itu menangkap Nawangsih yang mencoba untuk melawan. Akan tetapi akhirnya gadis cilik itu dapat diringkus, dipanggul dan dibawa lari.

"Begitulah yang saya alami, Bapa dan Ibu Guru."

"Apa penculik itu tidak mengatakan siapa namanya?" Tanya Ki Cangak Awu.

"Tidak, dia sama sekali tidak bicara, kecuali ketika bertanya di mana adanya puteri Ketua Jatikusumo."

"Seperti apa dia? Coba gambarkan seperti apa macamnya!" Kini Pusposari bertanya.

Orangnya masih muda, sekitar dua puluh lima tahun usianya. Bertubuh jangkung agak kurus. Wajahnya cukup tampan. matanya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya tersenyum mengejek, membayangkan kesombongan. Pakaiannya mewah. "Hanya itu yang saya ingat.... oh, ya, dia mempunyai sebatang keris yang terselip di pinggangnya dan membawa sebatang pedang."

"Hemm, bagaimana warna kulitnya? Hitam?"

"Tidak, ibu Guru, kulitnya agak putih, rambutnya agak keriting."

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alis karena tidak dapat mengenal siapa pemuda yang digambarkan Makarti itu.

"Bagaimanapun dan siapa pun dia, sudah pasti penculikan ini ada hubungannya dengan para warok dari Ponorogo itu. Mereka menggunakan gerakan memancing harimau-harimau keluar dari sarang untuk memukul kita dengan penculikan itu!" kata Ki Cangak Awu.

"Jahanam yang curang! Menapa menculik anakku yang tidak berdosa? Awas, kalau engkau mengganggu anakku, aku bersumpah untuk membasmi mereka dengan taruhan nyawaku!" Pusppsari berseru dan kedua matanya menjadi basah oleh tangis yang ditahan-tahan karena kegelisahan hatinya memikirkan anaknya.

"Tidak ada jalan lain. Kita harus melakukan pengejaran ke Ponorogo!" kata Cangak Awu. Suami isteri itu lalu membuat persiapan, menyerahkan pengawasan Jatikusumo kepada murid-murid yang lebih tua, kemudian mereka berdua menunggang kuda meninggalkan perkampungan Jatikusumo untuk melakukan pengejaran terhadap penculik anak mereka yang mereka sangka pastilah ada hubungannya dengan gerombolan yang dipimpin Ki Suro Singo dan Ki Suro Badak.

********************

"Lepaskan aku! Setan kau! Monyet tikus kau! Lepaskan aku!" Nawangsih meronta-ronta di atas punggung kuda ketika dia diboncengkan seorang pemuda yang menculiknya. ketika diculik, ia sudah berusaha melawan, akan tetapi tangan kiri orang itu menampar tengkuknya sehingga ia jatuh pingsan dan tidak dapat meronta atau berteriak ketika dilarikan dari rumahnya.

Penculiknya itu melarikan ia keluar perkampungan Jatikusumo dan melanjutkan pelariannya dengan kuda yang memang sudah dipersiapkan di situ. Dia mendudukkan Nawangsih di depannya dan membalapkan kudanya meninggalkan daerah itu. Setelah jauh dari Jatikusumo dan mereka tiba di dalam sebuah hutan, Nawangsih siuman dari pingsannya dan gadis cilik ini segera meronta dan memaki-maki.

"Hussh, diam kau! Atau ingin kucekik mampus disini?" bentak laki-laki muda itu. Laki-laki muda itu bukan lain adalah Dartoko, murid Kyai Kasmalapati. Seperti kita ketahui, guru dan murid ini pernah membikin kacau dusun Sampangan, menakut nakuti dan memeras rakyat, bertindak sewenang-wenang bahkan menculik gadis-gadis dusun yang cantik.

Kemudian muncul Maya Dewi yang mengalahkan mereka sehingga mereka melarikan diri ketakutan dari Gua Siluman yang selanjutnya dipilih Maya Dewi untuk dijadikan tempat ia bertapa mengasingkan diri untuk mengobati perasaan duka karena harus berpisah dari Bagus Sajiwo. Dartoko dan gurunya Kyai Kasmalapati mengobati luka dalam yang mereka derita dan kembali ke Blambangan dari mana Kyai Kasmalapati berasal. Segera dia menggabungkan diri dengan Adipati Blambangan yang bermaksud memberontak terhadap Mataram.

Dartoko mendapat tugas istimewa, yaitu dia ditugaskan untuk mengacau dan kalau mungkin membunuh ketua dan para tokoh Perguruan Jatikusumo karena perguruan itu terkenal sebagai perguruan orang-orang yang setia kepada Mataram. Pada waktu Dartoko tiba di luar perkampungan Jatikusumo, kebetulan sekali gerombolan para warok golongan hitam dari Ponorogo datang menyerbu. Dartoko mempergunakan kesempatan itu untuk menculik Nawangsih karena dari pengintaiannya dia pun melihat betapa tangguhnya ketua Jatikusumo dan isterinya.

"Iblis jahat, setan alas! Lepaskan aku! Ayah dan ibuku pasti akan meremukkan kepalamu kalau engkau tidak membebaskan aku sekarang!"

Nawangsih meronta-ronta dan memaki-maki karena rontaannya, kuda yang mereka tunggangi menjadi kaget dan mengangkat dua kaki depannya ke atas. Gerakan kuda ini membuat Dartoko terpaksa membawa gadis cilik itu melompat turun dari punggung kudanya.

Begitu turun dari atas kuda, Nawangwulan meronta dan Dartoko yang meraih kendali kuda untuk menenangkan binatang itu terpaksa melepaskannya. Dia berhasil menangkap kendali kuda dan selagi dia berusaha membuat kuda itu tenang kembali, tiba-tiba lambung kirinya dihantam Nawangsih.

"Bukk!" pukulan anak perempuan berusia tiga belas tahun itu tentu saja tidak ada artinya bagi Dartoko yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi karena anak itu sejak kecil sudah digembleng oleh orang tuanya, maka pukulannya bukan lagi pukulan lemah seorang anak perempuan, melainkan sudah mengandung tenaga dalam yang lumayan. Maka, biarpun pukulan itu tidak melukai Dartoko, tetap saja dia meringis karena isi perutnya terguncang.

"Anak setan!" Dia memaki dan melepaskan kendali kuda, lalu menerjang ke arah Nawangsih untuk meringkus anak perempuan yang bandel dan pemberani itu. Akan tetapi, Nawangsih sudah dapat mengelak ke samping, kemudian dari samping kembali ia memukul sekuatnya ke arah perut Dartoko dengan tangan kananya dan berbareng tangan kirinya mencengkeram ke arah muka laki-laki itu!

"Anak liar!" Dartoko cepat menyambut dua serangan itu dengan kedua tangannya dan dia sudah dapat menangkap kedua pergelangan gadis cilik itu. Nawangsih meronta-ronta hendak melepaskan kedua lengannya, namun dia-sia. Genggaman tangan Dartoko amat kuatnya. Ia menjadi semakin merah dan kakinya menendang ke arah bawah pusar lawan! Dartoko menyambut dengan kakinya.

"Dukk!" Kini Nawangsih yang menggigit bibir kesakitan ketika tulang kering kakinya bertemu dengan kaki Dartoko. Ia tahu bahwa menendang lagi tidak menguntungkan. Kalau harus beradu kaki, tulang kakinya kalah tua dan kalah kuat.

"Lepaskan, tikus busuk!" ia memaki dan meronta-ronta lagi.

Akan tetapi kini Dartoko menyatukan kedua pergelangan tangan anak itu ke dalam genggaman tangan kanannya. Jari-jarinya yang panjang membuat dua pergelangan tangan Nawangsih tidak mampu bergerak, seperti terikat.

"Heh-heh-heh, anak perempuan berandalan!" Dartoko mengejek dan tangan kirinya mencubit pipi Nawangsih, anak yang masih remaja namun sudah tampak mungil dan manis sekali.

"Cuhh!" Nawangsih berdongak dan meludah ke arah muka Dartoko. Wajah Dartoko menjadi merah sekali ketika pipinya terkena ludah. Kalau tadinya jari-jari tangan kirinya membelai pipi kini bergerak menampar pipi.

"Plakk!" Untung bagi Nawangsih bahwa Dartoko tidak mengerahkan tenaga sakti ketika menampar, hanya merupakan tamparan biasa saja. Namun cukup keras membuat pipi anak itu merah dan terasa nyeri, panas dan pedih. Nawangsih tidak menjadi takut, malah ia marah sekali, lalu timbul akalnya untuk melepaskan kedua tangannya. Ia menunduk dan menggigit tangan kanan Dartoko yang menggenggam kedua pergelangan tangannya, menggigit dengan sekuatnya.

"Auhhh....!" Dartoko berteriak dan otomatis melepaskan pegangannya karena punggung tangan kanannya robek berdarah digigit deretan gigi yang kuat itu. Setelah kedua tangannya terlepas, kembali Nawangsih menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah muka Dartoko yang sedang membungkuk memijati tangan kanannya yang nyeri.

"Plokk!" pukulan itu mengenai pipi Dartoko. Dia menggereng seperti seekor singa marah, lalu menerjang anak itu dengan tamparan tangannya. Nawangsih berhasil mengelak dua kali, akan tetapi tamparan yang ketiga kalinya tak dapat dihindarkan.

"Plakk!" Tubuh Nawangsih terpelanting dan ia cepat menggulingkan tubuhnya begitu terbanting ke atas tanah untuk menjauhkan diri dari lawan. Tamparan itu membuat kepalanya terasa pening dan ada sedikit darah keluar dari ujung bibirnya. Melihat Dartoko kini mulai merobek ujung bajunya dan membalut luka gigitan pada tangan kanannya, Nawangsih tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan ia cepat melarikan diri ke arah dalam hutan itu.

"Anak setan, hendak lari ke mana kau?" Dartoko membentak dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi Nawangsih dapat berlari cepat sekali, menyusup-nyusup di antara semak-semak belukar dan pohon-pohon besar! Kewalahan juga Dartoko mengejar. Karena khawatir kehilangan jejak, dia mencabut pedangnya dan membabati semak-semak yang menghalang jalannya. dengan tindakan ini, dia dapat melihat dan mengejar Nawangsih. Kini buruannya sudah hampir tersusul. Akan tetapi ketika gadis cilik itu melompat ke belakang semak-semak, ia lenyap!

Dartoko mencari-cari, akan tetapi layangan pandang matanya tidak menemukan bayangan anak itu. Anak itu seolah ditelan bumi! Dia mengamuk dengan pedangnya, membabati semak dan pohon-pohon kecil. Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki yang ringan. Cepat dia menoleh dan ternyata Nawangsih bersembunyi di balik sebatang pohon yang besar sekali dan kini anak itu sudah lari lagi.

Kemelut Blambangan Jilid 02

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Blambangan

Jilid 02

SUARA itu merayu-rayu dan Maya Dewi dapat merasakan kekuatan pemikat yang terkandung dalam kata-kata itu. akan tetapi baginya, aji pamelet yang dipergunakan pemuda bernama Dartoko itu bagaikan permainan kanak-kanak saja. Ia pun tersenyum.

"Namaku adalah Maya Dewi...."

Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan senyumnya melebar, seolah mendengar kejutan yang menyenangkan.

"Eee ladhalah! Kiranya Andika ini Maya Dewi yang tersohor itu? Ah, sudah lama aku mengagumi namamu yang terkenal sebagai seorang wanita secantik bidadari yang sakti mandraguna! Sungguh berbahagia dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh besar yang sealiran!"

"Hmm, dengar baik-baik, Dartoko! Aku bukanlah orang sealiran denganmu. Engkau orang yang jahat dan kejam, menipu penduduk dusun Sampangan dan menculik gadis-gadis dusun. Sekarang aku datang untuk mengakhiri kejahatanmu. Hayo cepat bebaskan puteri Ki Lurah Ganjar dari Sampangan itu!"

"Tentu, tentu akan kami bebaskan dengan segera, Nimas Maya Dewi! Yang membutuhkan gadis itu adalah guruku, Kyai Kasmalapati. Akan tetapi kalau sudah ada Andika yang menemani kami, tentu saja kami tidak membutuhkan lagi wanita yang manapun juga. Mari, marilah, Nimas Ayu, mari masuk ke gua menemui guruku."

"Tidak perlu banyak cakap lagi, Dartoko. bujuk rayu gombalmu tidak akan dapat mempengaruhi aku. Cepat bebaskan gadis itu dan engkau bersama gurumu harus minggat, meninggalkan tempat ini dan jangan sekali-kali berani mengganggu penduduk dusun yang tidak bersalah. Kalau tidak cepat kalian penuhi permintaanku, terpaksa aku akan memberi hajaran keras kepada kalian!"

Wajah Dartoko berubah kemerahan. Dia sejak tadi bersusah payah mengerahkan aji pamelet untuk menjatuhkan hati wanita cantik ini, akan tetapi ternyata dia malah kini diejek!

"Maya Dewi!" Dia membentak marah. "Jangan berpura-pura alim! Aku sudah mendengar tentang dirimu. Engkau juga disebut Iblis Betina, tidak berpantang melakukan apapun juga dan sudah terkenal pula sebagai seorang perempuan yang gila laki-laki. Kalau sekarang kami menculik gadis, mengapa engkau mencampuri dan ribut-ribut? bukankah engkau sendiri terkenal sebagai penculik pemuda-pemuda?"

Wajah maya Dewi menjadi merah pula, bukan karena marah, melainkan karena malu dan menyesal. Ucapan itu seolah menyeretnya kepada kenangan masa lalu yang hitam.

Dengan sinar mata mencorong ia menatap tajam Dartoko, lalu ia berkata dengan suara yang dingin. "Dartoko, aku tidak menyangkal bahwa dahulu aku pernah hidup sesat. Akan tetapi aku telah menyadari bahwa hidup seperti itu hanya akan menyeretku ke dalam lembah kesengsaraan. Karena itu, aku telah bertaubat dan sekarang aku bertekad untuk menentang semua kejahatan, tidak perduli siapa pun yang melakukannya. Karena itu, kunasihatkan agar engkau dan gurumu insyaf dan kembali ke jalan benar. Bebaskan puteri ki Lurah itu dan tinggalkan tempat ini, jangan ganggu lagi penduduk dusun!"

Maklum bahwa menggunakan sihir tidak ada gunanya terhadap Maya Dewi, Dartoko menjadi marah. "Keparat, engkau tidak mau diajak berbaik, mau mencari kematian sendiri. Sambutlah ini." Dia mencabut sebatang keris dan langsung menerjang wanita itu dengan dahsyatnya.

Namun dengan mudah Maya Dewi mengelak. Ketika Dartoko melihat betapa serangannya dapat dielakkan, dia menjadi penasaran dan menyerang lagi dengan bertubi-tubi. Namun, setelah belasan kali menyerang tanpa hasil, Dartoko menjadi bingung sendiri dan pandang matanya berkunang melihat tubuh wanita itu kini telah berubah menjadi bayangan yang berkelebat cepat sekali, tidak mampu dia megikuti gerakan itu dengan pandang matanya.

Serangannya lalu menjadi ngawur, namun pemuda ini memang memiliki gerakan yang gesit dan serangannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat sehingga Maya Dewi harus berhati-hati juga. Serangan keris itu amat berbahaya dan kalau mengenai sasaran, agaknya tidak akan dapat ia melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan. Besar bahayanya, aji kekebalan tidak cukup kuat untuk menahan serangan itu.

Untuk merobohkan Dartoko tanpa melukainya merupakan hal yang tidak mudah. Kalau ia menggunakan tenaga Sari Bantala, tentu Dartoko akan roboh, akan tetapi juga terancam nyawa pemuda itu. Ia tidak ingin membunuh orang. Maka, setelah serangan bertubi-tubi yang selalu luput itu membuat pernapasan Dartoko mulai terengah. Maya Dewi berkelebat ke belakang, lalu ia mendorongkan tangan kirinya ke arah lawan sambil membentak.

"Pergilah!" Dartoko terkejut dan cepat dia menyambut serangan jarak jauh itu dengan dorongan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Syuuuutttt.... desssss!!" Tubuh Dartoko terlempar ke belakang bagaikan daun kering tertiup angin. Kerisnya terlepas dari tangan kanannya dan dia terbanting jatuh di mulut gua, lalu dia bergulingan dan duduk bersila di depan gua untuk mengatur pernapasannya karena dadanya yang terguncang hebat oleh pukulannya sendiri yang membalik ketika tenaga saktinya bertemu dengan tenaga sakti Maya Dewi.

"Eh-eh-eh, Maya Dewi, engkau bocah kemarin sore berani menentang aku?" terdengar suara parau dan dari dalam gua muncul seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun. Tubuhnya bongkok, rambutnya yang tipis sudah putih semua, bagian ubun-ubunnya botak kelimis, mukanya berbentuk panjang ke depan seperti muka kuda.

Terbongkok-bongkok dia melangkah keluar dari mulut gua, bertopang sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanannya dan tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Kakek ini mirip Bhagawan Durna, tokoh yang menjadi penasehat kaum Kurawa dalam kisah pewayangan Mahabharata.

Maya Dewi memandang dengan mata penuh selidik. Tadi Dartoko menyebut nama gurunya Kyai Kasmalapati. Dalam petualangannya beberapa tahun yang lalu, ia tidak pernah mendengar nama Dartoko, akan tetapi ia pernah mendengar nama Kyai Kasmalapati yang merupakan datuk dari Blambangan. Datuk pertama dari Blambangan adalah Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasehat Adipati Blambangan, adapun datuk kedua adalah Kyai Kasmalapati yang lebih suka berkeliaran sebagai seorang tokoh dunia hitam yang ditakuti orang.

"Hemm, agaknya Andika yang bernama Kyai Kasmalapati! Sungguh keterlaluan sekali kalau seorang tua seperti Andika bersama murid melakukan kejahatan yang amat keji, merampas hewan ternak, menculik gadis-gadis yang tidak berdosa dan menakut-nakuti penduduk dusun Sampangan! Hayo, Kyai Kasmalapati, cepat Andika bebaskan puteri Ki Lurah Ganjar dan pergilah Andika bersama murid Andika, jangan Andika berani mengganggu penduduk dusun lagi!"

"Babo-babo, keparat! Maya Dewi, kalau tidak ingat bahwa Andika ini puteri mendiang Resi Koloyitmo yang pernah menjadi sahabatku, malam tadi sudah kubunuh kau! Berani Andika anak kecil mencampuri urusanku dan menentangku!"

Maya Dewi menyambut pandang mata Kyai Kasmalapati dengan sinar mata lembut namun penuh wibawa dan bibirnya tersenyum. "Kyai Kasmalapati, kalau Andika dan muridmu tidak melakukan kejahatan, aku pun tidak akan mencampuri urusanmu. Akan tetapi kalau aku melihat kejahatan dilakukan, biar Andika atau siapapun juga pasti kutentang. Hal itu sudah merupakan kewajiban hidupku!"

"Babo-babo! Tidak malukah Andika kepada arwah ayah Andika? Resi Koloyitmo akan marah melihat kelakuanmu sekarang! Apakah engkau hendak muncul sebagai seorang pendekar dan memusuhi golongan ayahmu sendiri?"

"Kyai Kasmalapati, aku justru mengubah jalan hidupku, meninggalkan kesesatan kami dahulu untuk menebus dosa-dosa mendiang Ayahku dan aku sendiri. Aku juga memperingatkan Andika, Kyai Kasmalapati, mengingat bahwa Andika dahulu pernah menjadi sahabat Ayahku. Sadarlah bahwa jalan kesesatan ini akan membawa Andika terjerumus ke dalam neraka jahanam. Sadar dan bertaubatlah selagi Andika masih mempunyai waktu. Kalau Andika sudah mati, maka Andika akan menyesal namun tidak akan ada gunanya."

Kyai Kasmalapati menggereng seperti seekor serigala marah dan dari mulut dan hidungnya keluar uap putih! Dia maklum bahwa lawan ini tidak akan dapat dia kalahkan dengan penggunaan sihir ilmu hitam, maka sambil mengerahkan tenaga saktinya, dia menerjang dan menyerang. Tangan kanannya menggerakkan tongkat dan tangan kiri menggerakkan tasbeh hitam. Biarpun dia sudah tua dan bongkok, tampaknya sudah ringkih berpenyakitan, namun ternyata serangannya dahsyat sekali! Maya Dewi maklum akan kehebatan lawan, maka ia bersikap waspada dan hati-hati.

Menggunakan tenaga sakti yang ia dapatkan dari makan Jamur Dwipa Suddhi, tubuhnya sudah berkelebat, lolos di antara gulungan sinar tongkat dan tasbeh! Kyai Kasmalapati terkejut ketika tiba-tiba wanita itu berkelebatan dan lenyap. Matanya yang tua tidak mampu mengikuti gerakan yang amat cepat dari lawannya itu, hanya perasaan dan pendengarannya yang masih peka saja yang menunjukkan kepadanya di mana adanya lawan itu.

Dia menyerang terus secara bertubi-tubi, tak pernah berhenti, Maya Dewi terus mengelak dan terkadang ia menangkis tongkat atau tasbeh sambil mengerahkan tenaga saktinya. Setiap kali kedua senjata itu bertemu dengan tangkisannya, kakek bongkok itu merasa betapa lengannya tergetar hebat.

Namun, dia merasa malu kalau mengaku kalah dan kemarahannya sudah memuncak. Dia nekat menyerang terus, tidak mau menyadari bahwa lawannya itu tidak pernah balas menyerang. Memang Maya Dewi tidak membalas dan tidak ingin merobohkan kakek itu mengingat bahwa kakek itu pernah bersahabat dengan ayahnya.

Lima puluh jurus lebih Kyai Kasmalapati menyerang bertubi-tubi tanpa henti sambil mengerahkan seluruh tenanganya. Juga ketika dia mendapat tangkisan yang mmbuat tenaganya terpental dan tubuhnya terguncang hebat. Maka lewat lima puluh jurus, tenaganya mulai habis. serangannya menjadi lemah dan napasnya terengah-engah mengeluarkan suara ngik-ngik menunjukkan bahwa dia menderita penyakit mengi!

Maya Dewi memang sengaja hendak menaklukkan lawan ini tanpa memukulnya, membiarkannya kehabisan tenaga dan napas sendiri. Ia sengaja mengeluarkan suara ejekan untuk membuat Kyai Kasmalapati semakin marah dan semakin nekat, menyerang terus tanpa mengingat bahwa tenaga dan napasnya mulai habis!

"Kakek tua bangka yang tak tahu diri!"

"Sudah tua tidak mencari jalan terang!"

"Bertaubatlah dan jadilah manusia yang baik agar Gusti Allah mengampuni dosa-dosamu atau setidaknya mengurangi hukuman bagimu!" Dengan ucapan-ucapan seperti itu, Kyai Kasmalapati mejadi semakin nekat.

"Mampuslah!" Dengan sisa tenaganya, dia menyerang dengan hantaman tongkat dan tasbeh secara berbareng, mengerahkan seluruh sisa tenaganya. Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya menyambut.

"Wuuuttt.... bressss....!!!" Kyai Kasmalapati mengeluh dan roboh berlutut, kedua senjatanya terlepas dari keua tangannya yang kini dia pergunakan untuk menekan dadanya. Dia terengah-engah. tenaganya habis dan napasnya hampir putus, mengeluarkan bunyi ngak-ngik ngak-ngik. Maya Dewi menoleh ke arah Dartoko yang masih duduk bersila untuk menghilangkan rasa nyeri di dadanya akibat tenaga saktinya membalik menghantam dirinya sendiri tadi.

"Dartoko, bawa pergi gurumu dan kalian bertaubatlah, tinggalkan tempat ini dan jangan berani mengganggu orang-orang lain lagi."

Melihat gurunya juga sudah kalah dan tidak berdaya, Dartoko tanpa bicara bangkit lalu menghampiri Kyai Kasmalapati, membantunya bangkit berdiri, memungut tongkat dan tasbeh kakek itu, juga mengambil kerisnya, lalu memapah gurunya pergi dari situ dengan muka pucat dan napas agak memburu karena dadanya masih terasa sesak. Kyai Kasmalapati juga berjalan terpincang-pincang, terbongkok-bongkok, membiarkan dirinya dipapah Dartoko menuruni bukit itu.

Maya Dewi menghela napas panjang. Ia tahu bahwa orang-orang seperti Dartoko dan Kyai Kasmalapati itu pasti tidak dapat menerima kekalahan mereka begitu saja. Apalagi bertaubat. Sungguh tidak mudah untuk bertaubat dan mengubah jalan hidupnya karena jalan yang dilalui nafsu itu selalu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi jasmani walau meracuni rohani.

Sebaliknya jalan kebenaran itu menyelamatkan dan membersihkan rohani sehingga pantas untuk kembali kepada Gusti Allah walaupun sering tidak enak bagi jasmani. Mudah-mudahan mereka sekali waktu akan sadar dan bertaubat, pikirnya. Lalu ia mengusir pikiran tentang guru dan murid itu, dan melangkah memasuki Gua Siluman.

Ternyata gua itu di sebelah dalamnya luas, seperti sebuah rumah saja. Ada tiga buah ruang terpisah di dalamnya. Dalam sebuah ruangan, ia menemukan puteri Lurah Ganjar yang terikat di atas sebuah dipan bambu. Gadis manis itu menangis sesenggukan ketika Maya Dewi membebaskannya dari ikatan. Kemudian gadis itu memberitahu bahwa di ruangan yang lain masih terdapat dua orang gadis tawanan dari dusun lain. Mereka berdua memasuki ruangan itu dan benar saja, dua orang gadis saling rangkul di atas dipan sambil menangis. Wajah mereka pucat, rambut terurai dan pakaian mereka awut-awutan.

Dari keterangan tiga orang gadis yang bicara sambil menangis itu, Maya Dewi mengetahui bahwa dua orang gadis itu diculik dari sebuah dusun yang agak jauh dari situ dan mereka berdua menjadi korban kekejian Kyai Kasmalapati. Sedangkan puteri Ki Lurah masih belum sempat ternoda karena agaknya Dartoko menginginkan ia menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi gadis itu selalu menolak dan sebelum terjadi paksaan terhadap dirinya, muncul Maya Dewi membebaskannya.

Diam-diam Maya Dewi mengutuk Kyai Kasmalapati, kakek tua renta bongkok itu yang sudah menodai dua orang gadis dusun itu. Akan tetapi ia teringat akan perbuatannya sendiri di masa lalu dan Maya Dewi menghela napas panjang penuh penyesalan dan tampaklah olehnya betapa jahat dan keji perbuatan memaksa orang lain menjadi permainan nafsu itu!

Ketika ia menggeledah dalam gua itu dan melihat keadaan gua itu seperti sebuah rumah, Maya Dewi merasa suka dengan tempat itu. Maka, setelah ia mengantar tiga orang gadis itu ke dusun Sampangan dan minta bantuan Ki Lurah Gabjar agar kedua orang gadis itu dikembalikan ke rumah masing-masing di dusun lain itu. Maya Dewi berpamit dari para penduduk. Akan tetapi Ku Lurah Ganjar dan para penduduk dusun Sampangan menahannya. Mereka semua amat berterima kasih kepada Maya Dewi yang telah membebaskan mereka dari ancaman guru dan murid jahat itu. Terutama sekali Ki Lurah Ganjar sekeluarga yang merasa amat berbahagia karena puteri mereka kembali dalam keadaan selamat dan tidak sampai ternoda seperti dua orang gadis yang lain.

Mengingat bahwa ia mengambil keputusan untuk sementara tinggal di gua yang tadinya disebut Gua Siluman itu, berarti ia akan tinggal dekat dusun itu, maka ia tidak menolak untuk tinggal dulu di rumah Ki Lurah Ganjar selama dua hari dua malam. Penduduk menyambutnya dengan gembira dan mengadakan pesta untuk menghormati Maya Dewi. Apalagi mereka mendengar bahwa Maya Dewi untuk sementara akan tinggal di Gua Siluman, mereka menjadi girang sekali. dengan adanya wanita sakti itu dekat Sampangan, mereka merasa aman dan tenteram.

Dengan sukarela, para penduduk lalu bergotong-royong membersihkan gua itu, melengkapinya dengan perabot rumah baru dan membuang perabot rumah bekas milik guru dan murid jahat itu. Semula Maya dewi menolak, akan tetapi Ki Lurah dan semua mendesak dan memohon dengan sangat agar ia menerimanya sehingga Maya Dewi tidak tega untuk menolak. Maka lengkaplah prabot rumah dalam goa itu, walaupun hanya sederhana karena apa yang disediakan orang-orang dusun itu tentu saja bukan prabotan yang biasa dipakai orang-orang kota, Akan tetapi di situ sudah ada pembaringan, meja kursi, tempat pakaian prabot dapur dan makan.

Mulai hari yang ditentukan, Maya Dewi tinggal di Gua Siluman di bukit kecil di luar dusun Sampangan itu. Ia berpesan kepada para penduduk agar jangan mengganggunya karena ia ingin hidup menyendiri, jauh dari keramaian dan urusan dunia, kecuali kalau ada urusan yang teramat penting, yang membutuhkan bantuannya.

********************

Suami isteri itu kini merasa berbahagia. Kebahagiaan mereka tampak pada wajah mereka. Ki Tejomanik yang berusia empat puluh enam tahun itu masih tampak gagah perkasa. Tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat. Wajahnya yang tampan gagah itu berseri, matanya lebat mencorong penuh semangat. Alis, rambut dan kumisnya masih hitam. Hidungnya besar mancung dan mulutnya membayangkan senyum ramah. Kalau sebulan yang lalu, wajah tampan gagah itu masih diselimuti mendung dan hatinya menderita tekanan selama belasan tahun karena kehilangan puteranya, kini menjadi cerah dan berseri gembira.

Isterinya, Nyi Retno Susilo, wanita cantik dan gagah berusia empat puluh dua tahun itu pun masih tampak cantik dengan mata jeli dan sinarnya tajam, bentuk mulut yang manis sekali, dan tubuhnya yang masih padat seperti tubuh seorang gadis. Juga wajah wanita ini yang dulunya selalu muram kini tampak berseri dan bercahaya.

Kebahagiaan suami isteri ini mudah dimengerti. Selama empat belas tahun mereka kehilangan anak tunggal mereka Bagus Sajiwo yang diculik orang sejak dia berusia enam tahun. Kini, sebulan yang lalu, Bagus Sajiwo pulang ke Gunung Kawi dan telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang tampan dan sakti mandraguna, bahkan melebihi kesaktian Tejomanik sendiri!

Pada pagi hari itu, suami isteri itu duduk di ruangan depan dan keduanya memandang kepada putera mereka yang sudah berkumpul kembali dengan mereka selama satu bulan. Mereka merasa bangga sekali melihat Bagus Sajiwo kini menjadi seorang pemuda yang tampan, lemah lembut sikapnya dan bijaksana. Selama satu bulan ini mereka saling bercerita tentang pengalaman mereka selama empat belas tahun berpisah.

Melihat Bagus Sajiwo duduk diam seperti ada yang dipikirkan, Retno susilo menghela napas panjang dan berkata, "Angger, Bagus Sajiwo, engkau kelihatan melamun, apakah yang kaupikirkan? Kalau engkau memikirkan Maya Dewi, aku sudah mengatakan bahwa aku merasa menyesal sekali telah bersikap dan bertindak tidak adil kepadanya."

Bagus Sajiwo memandang ibunya dengan senyum membesarkan hati, matanya juga sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. "Tidak, ibu. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sikap dan tindakan ibu terhadap Dewi itu wajar dan aku yakin Dewi juga dapat menerimanya dengan sabar dan maklum. Juga aku tidak mengkhawatirkan keadaannya karena dengan kesaktiannya sekarang, ditambah dengan kesadarannya, aku yakin Dewi akan dapat hidup benar, berjalan di atas lorong kebenaran dan selalu akan membela kebenaran dan keadilan."

"Engkau benar, bagus. Akan tetapi aku pun melihat engkau termenung sejak tadi. tentu ada sesuatu yang kau pikirkan." kata Ki Tejomanik sambil memandang wajah puteranya dengan penuh selidik.

Bagus tersenyum lagi dan berkata dengan suara lembut. "Ayah dan Ibu memiliki pandangan tajam sekali dan amat memperhatikan aku, hal ini amat membesarkan hati. Sesungguhnya, Ayah dan Ibu, aku hanya teringat akan pesan mendiang Eyang Guru Ki Ageng Mahendra bahwa aku harus membela kebenaran dan keadilan, melindungi yang lemah tertindas, dan membela Mataram dari musuh-musuhnya, terutama Kumpeni Belanada. Kalau aku hanya berdiam saja di sini bagaimana mungkin aku dapat mentaati pesan mendiang Eyang Guru? Akan tetapi hatiku juga merasa tidak enak kalau harus meninggalkan lagi Ayah dan Ibu padahal baru sebulan aku pulang ke sini."

Suami isteri itu saling pandang. "Bagus, kami juga menyetujui sepenuhnya pesan Eyang Gurumu itu, bukankah begitu, Diajeng?"

Retno Susilo menghela napas panjang dan memegang kedua tangan puteranya. "Anakku bocah bagus! Terus terang saja, kalau bicara sejujurnya hati Ibumu ini juga tidak senang kalau harus berpisah darimu lagi. Akan tetapi aku dan Ayahmu mengerti bahwa pesan Eyang Gurumu itu menjadi tugasmu. Bukan hanya Eyang Gurumu yang mengharapkan engkau menjadi satria utama pembela kebenaran dan keadilan, juga membela Mataram, akan tetapi Ayah Ibumu juga. sejak dulu kamipun berusaha untuk selalu memenuhi kewajiban itu, karena itu, kalau engkau harus pergi lagi meninggalkan kami, aku rela karena aku tahu bahwa engkau dalam keadaan selamat dan suatu saat engkau pasti akan kembali ke sini."

"Aduh, Ibu memang bijaksana sekali. Terima kasih, Ibu!" kata Bagus Sajiwo lalu dia mencium kedua tangan ibunya dengan hati penuh kasih dan hormat.

"Bagus, pada waktu ini, Mataram tidak berperang langsung melawan Kumpeni Belanda yang mempunyai kedudukan kuat sekali di Batavia. Seperti pernah kami ceritakan kepadamu, aku dan Ibumu juga ikut berjuang membantu pasukan Mataram ketika menyerang benteng Kumpeni Belanda di Batavia akan tetapi dua kali gagal. Sekarang, Mataram menurut kabar yang kami dengar, terancam oleh Kadipaten Blambangan. Penyerangan terhadap kami tempo hari itu mungkin sekali ada hubungannya dengan sikap permusuhan Blambangan terhadap Mataram. Mereka menyerang kami karena kami adalah orang-orang yang membela Mataram. Karena itu, aku kira sebaiknya kalau engkau pergi mengunjungi dulu keluarga kita sambil mencari berita tentang gerakan Blambangan yang akan memberontak terhadap Mataram. Blambangan merupakan kadipaten yang tidak boleh dipandang ringan. Di sana terdapat banyak orang sakti, juga sejak dulu mempunyai hubungan baik dengan Bali yang pasti akan membantunya, Juga fihak Kumpeni pasti berusaha untuk memancing di air keruh, kalau tidak membantu Blambangan setidaknya tentu akan mengadu domba dan memperbesar permusuhan antara Mataram dan Kadipaten Blambangan. Akan tetapi, yang penting, pergilah dulu berkunkung ke keluarga kita agar mereka ikut berbahagia denganmu dan mendengar bahwa engkau telah kembali kepada kami."

"Maksud Ayah aku harus berkunjung ke perguruan Jatikusumo lebih dulu?"

"Benar, Anakku. Keluarga kita hanya bibimu Pusposari adik angkatku yang menjadi isteri Ki Cangak Awu yang kini menjadi ketua Jatikusumo di daerah Pacitan, di tepi laut. Mereka juga ikut merasa gelisah mendengar engkau dulu diculik orang, bahkan mereka ikut pula berusaha mencarimu. Selain itu, mereka adalah pejuang-pejuang yang setia kepada Mataram, maka mungkin engkau dapat mendengarkan keterangan yang lebih jelas tentang keadaan Mataram dari perguruan Jatikusumo. Ketahuilah bahwa suami Bibimu itu, ketua Jatikusumo, masih kakak seperguruan Gusti Puteri Wandansari yang sekarang menjadi isteri Adipati Surabaya."

Ki Tejomanik juga memperkenalkan nama para satria yang setia kepada Mataram dan para tokoh persilatan dan datuk yang memusuhi Mataram. "Dan juga lupa, Bagus, setelah berkunjung ke Jatikusumo, engkau harus berkunjung pula ke hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud dan mewartakan tentang keadaan kita kepada Eyangmu."

"Ah. Ayah maksudkan Eyang Mundingsosro yang menjadi ketua Perkumpulan Sardula Cemeng?"

"Benar, bagus." kata Retno susilo. "Akan tetapi Eyangmu sudah terlalu tua sekarang. beberapa tahun yang lalu ketika kami berkunjung ke sana, jabatan ketua sudah dipegang oleh Paman Mundingloyo, entah siapa yang menjadi ketuanya. Sudah lama kami tidak mengadakan hubungan dengan keluargaku di sana."

"Baik, Ayah dan Ibu. Aku pasti akan berkunjung ke hutan Kebojambe dan melihat keadaan para eyang dan keluarga lain."

Beberapa hari kemudian, dengan restu ayah-ibunya, Bagus Sajiwo meninggalkan rumah orang tuanya di desa Bayem lereng Gunung Kawi, dan mulailah dia melakukan perjalanan merantau. Tujuan pertama perjalanannya, seperti dipesan ayahnya, adalah perguruan Jatikusumo yang letaknya di pantai Laut Kidul, daerah Pacitan.

********************

Perguruan Jatikusumo adalah sebuah perguruan silat di mana para murid digembleng aji kanuragan dan kesaktian. Perguruan ini merupakan sebuah perkampungan khusus di mana para murid mondok, dan nama perguruan Jatikusumo amat terkenal.

Apalagi perguruan ini pernah mendidik Puteri Wandansari dari Kerajaan Mataram, maka para pengasuh dan muridnya juga terkenal sebagai orang-orang gagah yang setia kepada Mataram. Perguruan ini sudah berusia hampir seabad. Seorang di antara pendirinya adalah mendiang Resi Limut Manik yang pada masa tuanya bertapa di Puncak Semeru. Resi ini yang kemudian mejadi guru terakhir dari Sutejo atau Ki Tejomanik dan Puteri Mandansari. Kemudian, perguruan Jatikusumo dipimpin oleh seorang murid Sang Resi yang bernama Bhagawan Sindusakti yang kini telah meninggal dunia. Kemudian, kedudukan ketua dipegang oleh murid mendiang Bhagawan Sindusakti, yaitu Ki Cangak Awu, yang menjadi muridnya yang ke empat. Murid pertama sampai ke tiga sudah meninggal dunia, maka Ki Cangak Awu yang kini menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo.

Ki Cangak Awu, ketua Jatikusumo, berusia empat puluh delapan tahun. Dalam usia yang hampir setengah abad itu, dia masih tampak gagah perkasa. Tubuhnya tinggi besar berotot, kokoh bagaikan batu karang, wajahnya tidak terlalu tampan namun jantan, pandang matanya terbuka dan membayangkan kejujuran, sikapnya kaku dan agak kasar terbawa kejujuran dan keterbukaannya. Dia seorang jantan yang gagah lahir batin, tidak suka berpura-pura dan memimpin para murid Jatikusumo yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu dengan keras dan adil. Di bawah bimbingannya para murid itu menjadi tertib dan mengenal disiplin, maklum bahwa pelanggaran akan mendatangkan hukuman yang berat.

Isteri ketua ini bernama Pusposari, berusia sekitar empat puluh tiga tahun, berkulit hitam manis berwajah ayu lembut. Akan tetapi dalam kelembutannya itu Pusposari adalah seorang wanita perkasa, bahkan tingkat kepandaian silatnya tidak berada di bawah tingkat suaminya! Ia adalah adik angkat Tejomanik, atau anak angkat mendiang Ki Harjodento, ayah Ki Tejomanik yang gagah perkasa dan menjadi ketua dari perguruan Nogo Dento di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi yang kini tidak ada lagi. Perguruan ini dibubarkan setelah Ki Harjodento dan isterinya meninggal dunia.

Suami isteri yang kini memimpin perguruan Jatikusumo ini mempunyai seorang anak perempuan yang baru berusia tiga belas tahun, bernama Nawangsih, seorang anak mungil dan lucu, sudah tampak bahwa ia kelak akan menjadi wanita yang cantik jelita dan manis. Wataknya lincah jenaka dan agak keras seperti watak ayahnya. Kalau ia merasa benar, apapun juga yang menghalang akan ditentangnya dengan berani!

Sebagai puteri suami isteri yang sakti, tentu saja sejak kecil Nawangsih sudah digembleng aji kanuragan sehingga dalam usia tiga belas tahun tidak sembarang laki-laki dewasa yang akan mampu mengalahkannya! Suami isteri itu memang agak terlambat dikaruniai anak. Setelah pernikahan mereka berjalan sekitar sepuluh tahun, barulah Nawangsih terlahir. Dan ia tidak mempunyai adik sehingga tidak aneh kalau ayah ibunya amat menyayangnya dan hal ini membuat ia agak manja.

Ki Cangak Awu yang bertubuh tinggi besar itu terkenal memiliki tenaga yang amat kuat, apalagi ditambah tenaga saktinya yang cukup hebat. Dia telah mempelajari banyak ilmu silat, akan tetapi ilmunya yang paling ampuh adalah Aji Gelap Musti dan permainan tongkat yang amat kuat. Selain itu, sebagai murid Jatikusumo, dia pun memiliki Aji Harina Legawa yang membuat tubuhnya yang tinggi besar itu dapat bergerak lincah dan ringan seperti seekor kijang. Nyi Pusposari juga memiliki aji pamungkasnya yang ampuh, yaitu ilmu pukulan Aji Nogodento dan ilmu memainkan senjata keris yang disebut Galuh Bajra.

Pada senja hari itu, Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari duduk di atas bangku dalam taman di belakang rumah mereka di perkampungan Jatikusumo. Mereka berdua memandang dengan wajah berseri kepada Nawangsih yang mereka suruh berlatih silat di senja hari itu, sebelum mandi. Gadis cilik itu memang mengagumkan sekali. Pantas kalau ayah ibunya menjadi bangga. Dalam usianya yang tiga belas tahun ia sudah tampak cantik manis. Ia bersilat tangan kosong dengan ilmu silat gubahan ayah ibunya yang diberi nama Aji Jatikusumo, yang merupakan penggabungan dari Aji Gelap Musti dan Aji Nogodento! Gerakan Nawangsih sudah cukup mantap dan cepat, gerakannya juga tidak ada yang salah.

Tentu saja permainan silat anak itu masih belum lengkap karena masih kekurangan tenaga sakti yang kuat. Untuk membangkitkan tenaga sakti, anak itu masih terlalu muda. Setelah menyelesaikan permainan ilmu silat tangan kosong Jatikusumo, atas perintah ayahnya, Nawangsih lalu memungut sebatang ranting pohon sebesar dan sepanjang lengannya lalu ia bersilat dengan ilmu tongkat yang diajarkan ayahnya kepadanya. Ki Cangak Awu adalah seorang ahli ilmu tongkat, maka ilmu tongkat yang diajarkannya kepada Nawangsih juga cukup hebat. Karena Nawangsih memungut tongkat pendek, maka ia memainkannya seperti sebilah pedang. gadis cilik inipun pandai memainkan tongkat panjang dengan kedua tangan, dan sudah berlatih pula cara bersilat dengan keris yang diajarkan ibunya.

Suami isteri itu memandang dengan hati bangga. Anak mereka itu sudah mulai memperlihatkan bentuk tubuh seorang gadis muda, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar. Rambutnya yang hitam panjang itu diikat ke belakang tubuhnya seperti ekor kuda. Wajahnya ayu manis seperti ibunya, akan tetapi kulitnya tidak sehitam kulit ibunya, melainkan putih mulus. Sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan ketangkasannya, mata itu bergerak-gerak lincah dan mulutnya selalu tersenyum nakal, senyuman yang seolah mengejek. Hidungnya mancung agak menjungat ke atas sehingga tampak lucu.

Setelah Nawangsih menghentikan latihannya dengan muka dan leher basah oleh keringat, Pusposari menarik tangan puterinya dan merangkulnya. 鈥淏agus, Asih, sekarang pergilah mandi dan sebentar lagi kita makan malam.鈥� Nawangsih yang biasa disebut Asih oleh kedua orang tuanya, tertawa genit dan manja.

"Wah, enak! perutku juga sudah klenengan (suara gamelan) sejak tadi!" Ia lalu lari ke rumah untuk mandi dan bertukar pakaian. Suami isteri itu pun meninggalkan taman karena cuaca mulai gelap, malam menjelang tiba. Di rumah, beberapa orang murid yang bertugas melayani guru mereka, tugas yang dikerjakan secara bergilir, mulai menyalakan lampu-lampu penerangan.

Pusposari yang tadi sudah mandi lalu pergi ke dapur untuk mengatur hidangan makan malam yang dibantu oleh dua orang murid perempuan. Sedangkan Ki Cangak Awu yang juga sudah mandi, duduk di rungan dalam, menerima dua orang murid laki-laki yang datang menghadap untuk memberi laporan tentang pekerjaan para murid hari itu. Para murid Jatikusumo tinggal dalam perkampungan Jatikusumo.

Mereka semua belum berkeluarga karena di perguruan itu terdapat peraturan bahwa murid yang sudah menikah tidak diperkenankan lagi tinggal di perkampungan Jatikusumo. Peraturan itu diadakan untuk mencegah terjadinya perkembang-biakan yang selain akan membuat perkampungan padat dan biaya menjadi bertambah besar dan berat, juga untuk mencegah masuknya orang-orang bukan murid dan mencegah terjadinya keretakan antara murid yang disebabkan keluarga mereka. Di situ terdapat tiga puluh enam murid pria yang terdiri dari bujangan berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan ada sembilan belas orang murid wanita berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun.

Sudah terdapat banyak pasangan yang terdiri dari murid pria dan wanita Jatikusumo dan mereka ini setelah menikah lalu meninggalkan Jatikusumo, membentuk keluarga sendiri di tempat lain. Para murid itu bekerja sebagai petani dan nelayan. Kalau tidak sedang sibuk di sawah ladang milik Jayikusumo, mereka pergi ke laut dan mencari ikan. Penghasilan mereka tidak terlalu banyak namun cukup untuk biaya hidup, untuk makanan dan pakaian, juga untuk membetulkan pondok-pondok mereka dan membeli prabot-prabot rumah sederhana.

Selain bekerja setiap hari, Jatikusumo terkenal sebagai perkumpulan para pendekar. Karena mereka selalu menentang kejahatan dan membasmi gerombolan-gerombolan penjahat yang suka merampok dan melakukan kejahatan di daerah Pacitan, maka Jatikusumo dianggap sebagai pelindung daerah itu. Mereka disukai dan dihormati rakyat yang secara sukarela suka mengirim bahan makanan, juga barang-barang lain untuk menyatakan rasa hormat dan suka mereka. Akan tetapi tentu saja para tokoh sesat amat membenci perkumpulan Jatikusumo yang mereka anggap sebagai penghalang "pekerjaan" mereka!

Namun, Ki Cangak Awu yang terkenal keras hati dan membenci kejahatan itu tidak peduli akan sikap bermusuhan golongan hitam dan dia selau siap bersama para murid untuk menentang siapa saja yang bertindak jahat dan melakukan penindasan terhadap mereka yang lemah tak berdaya. Bukan para penjahat saja yang membenci Jatikusumo, akan tetapi bahkan pejabat atau pamong praja yang tidak suka kepada mereka.

Dengan adanya Jatikusumo yang selalu menentang penindasan, para pamongpraja itu tidak lagi leluasa bertindak semena-mena, tidak dapat lagi memeras dan menindas penduduk untuk menggendutkan perut mereka sendiri. Akan tetapi karena perkumpulan Jatikusumo melakukan hal yang benar, apalagi ketuanya, Ki Cangak Awu adalah seorang yang berjasa terhadap Mataram, bahkan masih terhitung kakak seperguruan Puteri Wandansari dari Mataram, maka para pamongpraja itu hanya menyimpan saja kebencian mereka dalam hati. Bahkan Bupati Pacitan sendiri menghormati Ki Cangak Awu!

Setelah selesai mengatur hidangan makan malam di atas meja makan, Nyi Pusposari menemani suaminya duduk di ruangan dalam, mereka menanti selesainyaNawangsih yang mandi dan berganti pakaian. Akan tetapi setelah agak lama Nawangsih tidak muncul, Ki Cangak Awu mengomel.

"Hemm, anak itu! Masa mandi sampai begitu lama? Apa saja yang ia lakukan di kamar andi?"

"Biar kupanggil, tidak biasanya ia mandi begini lamanya." kata Nyi Pusposari yang segera melangkah hendak keluar dari ruangan itu menuju ke kamar mandi yang berada di bagian belakang. Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan dan bentakan-bentakan seperti orang berkelahi di luar rumah. Mendengar ini, Ki Cangak Awu melompat keluar dari ruangan itu. Nyi Pusposari juga mengikuti suaminya.

Setibanya di luar rumah, suami isteri ini terkejut bukan main karena dua buah pondok di kanan kiri rumah mereka telah terbakar! Api berkobar besar sehingga seluruh pekarangan rumah induk tempat tinggal Ki Cangak Awu menjadi terang sekali. Dan di sekitar pekarangan itu terjadi perkelahian hebat antara para murid Jatikusumo melawan orang-orang yang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan sabuk tali lawe besar berwaran kuning. Ternyata pihak musuh yang berpakaian serba hitam itu cukup banyak dan melihat di mana-mana terjadi perkelahian satu lawan satu, dapat diduga bahwa jumlah musuh tidak kalah banyak dibandingkan jumlah anggota atau murid Jatikusumo.

Ki Cangak Awu dan Pusposari terkejut bukan main. Ini merupakan serangan besar-besaran, di waktu malam lagi sehingga tentu saja para murid menjadi panik dan kacau menghadapi serangan yang tidak tersangka-sangka dan musuh membakar dua pondok itu. Selama bertahun-tahun mereka tidak pernah diserbu musuh dan kini tiba-tiba saja musuh yang banyak jumlahnya datang menyerang di malam gelap. Di bawah sinar api yang berkobar membakar dua pondok itu, Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari dapat melihat bahwa para murid mereka, anggauta Jatikusumo dapat melakuan perlawanan dengan baik dan kiranya tidak perlu dikhawatirkan akan kalah.

Para murid itu rata-rata telah memiliki kedigdayaan yang lumayan. Akan tetapi, mereka melihat adanya dua orang laki-laki tinggi besar yang memiliki gerakan dahsyat, mengamuk dan dikeroyok oleh empat orang murid. Akan tetapi empat orang murid itu terdesak. Dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam itu mengamuk dengaan senjata kolor (tali pinggang) lawe yang sebesar lengan dan panjangnya dari pinggang sampai ke tanah. dengan dua ujung kolor itu mereka mengamuk sehingga empat orang murid Jatikusumo yang bersenjata tongkat menjadi terdesak.

Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari cepat melompat ke dalam rumah untuk mengambil senjata dan beberapa detik kemudian suami isteri ini sudah berlari ke pekarangan. Dua dari empat orang murid yang mengeroyok dua orang tinggi besar itu sudah roboh, dan yang dua orang lagi hanya dapat mundur-mundur sambil menjaga diri dengan memutar golok.

"Kalian mundur!" Ki Cangak Awu membentak dan melihat suami isteri pimpinan mereka datang, dua orang murid itu merasa lega dan mereka melompat ke belakang, lalu membantu dua orang kawan yang terluka. Kini Ki Cangak Awu dan Nyi Pisposari berhadapan dengan dua orang raksasa itu.

"Keparat!" Ki Cangak Awu memaki marah. "Melihat senjata dan pakaian kalian, bukankah kalian ini dua orang warok (jagoan) dari Ponorogo? Mengapa kalian membawa anak buah menyerbu perkumpulan kami?"

Dua orang tinggi besar itu saling pandang dan mereka tertawa bergelak. keduanya memiliki wajah yang menyeramkan, dengan kumis melintang dan brewok memenuhi pipi dan dagu. Yang hidungnya besar mbengol seperti topeng Penthul dan berusia sekitar empat puluh tahun tertawa dan menjawab. "Ha-ha-ha! Tentu Andika ini yang bernama Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari, ketua Jatikusumo! Ketahuilah, aku bernama Ki Suro Singo dan ini Adikku Ki Suro Badak."

"Hemm, kami pernah mendengar bahwa kalian adalah warok-warok Ponorogo yang terkenal jagoan. Mengapa sekarang tiba-tiba membawa banyak anak buah menyerbu perkumpulan kami? Jatikusumo tidak pernah bermusuhan dengan para warok Ponorogo!"

"Heh, Ki Cangak Awu! Andika masih bertanya mengapa? Jatikusumo terkenal sombong, entah sudah berapa banyak jagoan di daerah Madiun, Ponorogo dan Pacitan kalian robohkan dan kalian usir, kelompok mereka kalian basmi! Dan Andika masih bertanya mengapa kami sekarang menyerbu?"

"Akan tetapi, yang kami basmi adalah gerombolan-gerombolan penjahat yang mengganggu rakyat jelata!"

"Kawan-kawan itu juga hanya mencari nafkah, dengan memungut sumbangan dari penduduk. Apakah kalian sendiri saja yang butuh makan? Kini, kawan-kawan melapor kepada kami dan kami memutuskan untuk membasmi Jatikusumo yang congkak dan ingin hidup sendiri, untuk membalas dendam dan menghentikan kesombongan kalian yang selalu mencampuri urusan orang lain! Hyaaaatttt!" Ki Suro Singo yang hidungnya besar itu sudah menggerakkan kolornya yang menyambar dan menghantam ke arah dada Ki Cangak Awu.

"Wirrrrr....!" Kolor itu menyambar dahsyat, namun Ki Cangak Awu yang sama sekali tidak merasa gentar, sudah menggerakkan tongkatnya menangkis.

"Wuuuttt.... plakkk!!" Tongkat bertemu kolor dan tampak bunga api berpijar saking kuatnya terasa panas. Hal ini menunjukkan bahwa ketua Jatikusumo itu memiliki tenaga yang amat kuat. Si Brewok berhidung mbengol itu marah, akan tetapi juga berhati-hati dan segera terjadi serang-menyerang di antara kedua orang pria yang bertubuh sama tinggi besarnya itu.

Merlihat kakaknya sudah saling serang dengan Ki Cangak Awu, Ki Suro Badak lalu menyerang Nyi Pusposari dengan kolornya. Wanita ini dengan gerakan tangkas mengelak lalu dari samping, kerisnya menusuk ke arah lambung lawan. Ki Suro Badak terkejut dan cepat mengebutkan kolornya menangkis. Kedua orang inipun saling serang dengan seru.

Sementara itu, dengan gagah perkasa tiga puluh enam murid pria dan sembilan murid wanita perguruan Jatikusumo melakukan perlawanan dengan gigih dan biarpun jumlah penyerbu itu sedikitnya ada tujuh puluh orang, namun perlahan tapi pasti para murid Jatikusumo dapat mendesak para penyerbu sehingga mereka bertempur sambil mundur. beberapa orang diantara mereka sudah roboh terpukul tongkat, ada yang patah tulang lengannya atau tulang kakinya, ada yang memar dan bengkak-bengkak muka atau kepalanya.

Perkelahian antara Ki Cangak Awu dan Ki Suro Singo berlangsung seru dan sudah lewat lima puluh jurus. Ki Suro Singo mulai terdesak hebat, tidak kuat dia menahan serangan ketua jatikusumo yang amat kuat itu.

"Heeehhh! Ki Cangak Awu menghantamkan tongkatnya yang menyambar ke arah kepala lawan. Ki Suro Singo cepat menghindar dengan miringkan tubuh ke samping, lalu ujung kolor yang di tangan kanan menangkis dan melibat tongkat! Pada saat itu juga, kolor yang kiri menyambar ke arah leher Ki Cangak Awu! Serangan balasan ini hebat sekali dan untuk sejenak Ki Cangak Awu tidak dapat menggerakkan tongkatnya yang sudah terlibat kolor kanan.

"Wuuttt.... plakkk!" Kolor yang menyambar ke arah lehernya itu ditangkapnya dengan tangan kanan sedangkan tongkat hanya dia pegang dengan tangan kiri, Keduanya kini saling mengerahkan tenaga karena sudah tidak dapat menggerakkan senjata lagi. Tiba-tiba saja Ki Cangak Awu melepaskan tangan kirinya mendorong ke arah dada lawan dengan pengerahan Aji Gelap Musti.

"Syuuttt.... dessss!!" Pukulan dengan tangan terbuka itu tepat mengenai dada Ki Suro Singo yang bidang. Warok itu mengeluh dan tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakang lalu terbanting jatuh dan tidak mampu bangkit kembali. Pukulan dengan Aji Gelap Musti itu hebat bukan main dan isi dadanya telah remuk terkena hawa pukulan sakti ini, Ki Suro Singo tewas seketika!

Melihat kakaknya roboh, Ki Suro Badak menjadi panik. Dia belum juga dapat mengalahkan Nyi Pusposari, biarpun wanita perkasa itu juga belum mampu mendesaknya karena senjata wanita itu hanya sebatang keris pendek sedangkan dia menggunakan dua helai ujung kolor yang panjang. Melihat kakaknya roboh, kolornya menyambar dahsyat sehingga Nyi Pusposari terpaksa melompat ke belakang.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Suro Badak untuk melompat jauh ke belakang dan segera dia menghilang ke dalam kegelapan di luar pekarangan. Dia lalu memberi isarat dengan suara parau seperti burung gagak berkali-kali. mendengar isarat ini, anak buahnya lalu mundur dan melarikan diri membawa teman-teman yang terluka dan terpaksa meninggalkan mereka yang tewas dalam pertempuran itu. Karena malam gelap. Ki Cangak Awu berseru, "jangan kejar, mari kita padamkan api."

Para anak buah perguruan Jatikusumo segera bekerja keras memadamkan dua buah pondok yang termakan api. Ki Cangak Awu lalu memeriksa keadaan anak buahnya dan menghitung jatuhnya korban. Ternyata ada tiga orang anggauta Jatikusumo yang tewas, dan enam orang yang terluka. Sedangkan di fihak musuh, ada sembilan orang mayat musuh malang melintang di situ. Ki Cangak Awu memerintahkan para murid untuk mengubur mayat-mayat itu dan merawat yang terluka. Pada saat itu, tampak seorang murid wanita merangkak keluar dari rmah induk. Ia menderita luka-luka dan dengan susah payah ia merangkak keluar.

"Makarti, engkau kenapakah?" tanya Nyi Pusposari sambil cepat mendekati murid wanita itu.

"Aduh, ketiwasan (celaka), ibu guru....! Adi Nawangsih...."

"Kenapa Nawangsih?" Nyi Pusposari bertanya, tidak lagi memperhatikan Makarti yang terluka karena seluruh perhatiannya tertuju kepada puterinya, hanya gelisah sekali.

Ki Cangak Awu memegang lengan isterinya, "Biar kutanya dengan tenang. Makarti, apakah keadaanmu baik-baik saja?" Ki Cangak Awu memeriksa luka di pundak dan paha murid perempuan itu dan hatinya lega melihat bahwa luka-luka itu tidak berbahayam hanya luka kulit dan daging dan tidak mengandung racun. Lalu, setelah memeriksa dengan teliti dia bertanya, "Sekarang ceritakanlah, Makarti, apa yang terjadi tadi dengan Nawangsih?"

Makarti lalu bercerita. Ketika terjadi pertempuran, ia tidak ikut keluar menyambut musuh karena ia mengkhawatirkan keselamatan Nawangsih yang memang menjadi kewajibannya untuk menemani puteri ketua Jatikusumo itu. Ia dipercaya memiliki watak lembut sehingga akan mampu memberi bimbingan kepada Nawangsih dalam bersikap, bicara, dan bertindak sesuai dengan murid Jatikusumo, apalagi gadis kecil itu adalah puteri tunggal sang ketua. Tadinya Nawangsih yang penuh semangat itu ingin keluar menyambut musuh, akan tetapi ia dicegah oleh Makarti yang mengkhawatirkan keselamatannya. Maka ia mengajak Nawangsih untuk tinggal di ruangan dalam saja.

Akan tetapi, ketika pertempuran di luar sedang berlangsung ramai, tiba-tiba seorang pemuda melompat masuk ke dalam ruangan itu. Tangan kanannya memegang sebatang pedang. pemuda itu memandang kepada Makarti yang sudah mencabut keris untuk mempertahankan diri, juga kepada Nawangsih, lalu bertanya dengan suara keren.

"Di manakah puteri Ketua jatikusumo?" Makarti hendak melarang Nawangsih mengaku, akan tetapi terlambat karena gadis remaja itu sudah menjawab lantang, "Aku Nawangsih, puteri Ketua Jatikusumo! Engkau siapa berani lancang masuk ke sini?"

"Ha-ha-ha, bagus! Engkau ikut denganku!" laki-laki itu berkata dan dia sudah menggerakkan tangan kiri untuk menangkap lengan gadis cilik itu. Akan tetapi Nawangsih yang sejak kecil sudah dilatih ilmu silat oleh orang tuanya, dapat mengelak dengan melangkah mundur.

"Jangan ganggu ia!" makarti membentak dan menyerang dengan kerisnya. Akan tetapi orang itu dengan sigapnya mengelak dan membalas dengan sabetan pedangnya. Terjadilah perkelahian, akan tetapi pemuda itu jauh lebih tangguh sehingga akhirnya Makarti roboh terkena sabetan pedang, terluka pundak dan pahanya. Ketika Makarti roboh, orang itu menangkap Nawangsih yang mencoba untuk melawan. Akan tetapi akhirnya gadis cilik itu dapat diringkus, dipanggul dan dibawa lari.

"Begitulah yang saya alami, Bapa dan Ibu Guru."

"Apa penculik itu tidak mengatakan siapa namanya?" Tanya Ki Cangak Awu.

"Tidak, dia sama sekali tidak bicara, kecuali ketika bertanya di mana adanya puteri Ketua Jatikusumo."

"Seperti apa dia? Coba gambarkan seperti apa macamnya!" Kini Pusposari bertanya.

Orangnya masih muda, sekitar dua puluh lima tahun usianya. Bertubuh jangkung agak kurus. Wajahnya cukup tampan. matanya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya tersenyum mengejek, membayangkan kesombongan. Pakaiannya mewah. "Hanya itu yang saya ingat.... oh, ya, dia mempunyai sebatang keris yang terselip di pinggangnya dan membawa sebatang pedang."

"Hemm, bagaimana warna kulitnya? Hitam?"

"Tidak, ibu Guru, kulitnya agak putih, rambutnya agak keriting."

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alis karena tidak dapat mengenal siapa pemuda yang digambarkan Makarti itu.

"Bagaimanapun dan siapa pun dia, sudah pasti penculikan ini ada hubungannya dengan para warok dari Ponorogo itu. Mereka menggunakan gerakan memancing harimau-harimau keluar dari sarang untuk memukul kita dengan penculikan itu!" kata Ki Cangak Awu.

"Jahanam yang curang! Menapa menculik anakku yang tidak berdosa? Awas, kalau engkau mengganggu anakku, aku bersumpah untuk membasmi mereka dengan taruhan nyawaku!" Pusppsari berseru dan kedua matanya menjadi basah oleh tangis yang ditahan-tahan karena kegelisahan hatinya memikirkan anaknya.

"Tidak ada jalan lain. Kita harus melakukan pengejaran ke Ponorogo!" kata Cangak Awu. Suami isteri itu lalu membuat persiapan, menyerahkan pengawasan Jatikusumo kepada murid-murid yang lebih tua, kemudian mereka berdua menunggang kuda meninggalkan perkampungan Jatikusumo untuk melakukan pengejaran terhadap penculik anak mereka yang mereka sangka pastilah ada hubungannya dengan gerombolan yang dipimpin Ki Suro Singo dan Ki Suro Badak.

********************

"Lepaskan aku! Setan kau! Monyet tikus kau! Lepaskan aku!" Nawangsih meronta-ronta di atas punggung kuda ketika dia diboncengkan seorang pemuda yang menculiknya. ketika diculik, ia sudah berusaha melawan, akan tetapi tangan kiri orang itu menampar tengkuknya sehingga ia jatuh pingsan dan tidak dapat meronta atau berteriak ketika dilarikan dari rumahnya.

Penculiknya itu melarikan ia keluar perkampungan Jatikusumo dan melanjutkan pelariannya dengan kuda yang memang sudah dipersiapkan di situ. Dia mendudukkan Nawangsih di depannya dan membalapkan kudanya meninggalkan daerah itu. Setelah jauh dari Jatikusumo dan mereka tiba di dalam sebuah hutan, Nawangsih siuman dari pingsannya dan gadis cilik ini segera meronta dan memaki-maki.

"Hussh, diam kau! Atau ingin kucekik mampus disini?" bentak laki-laki muda itu. Laki-laki muda itu bukan lain adalah Dartoko, murid Kyai Kasmalapati. Seperti kita ketahui, guru dan murid ini pernah membikin kacau dusun Sampangan, menakut nakuti dan memeras rakyat, bertindak sewenang-wenang bahkan menculik gadis-gadis dusun yang cantik.

Kemudian muncul Maya Dewi yang mengalahkan mereka sehingga mereka melarikan diri ketakutan dari Gua Siluman yang selanjutnya dipilih Maya Dewi untuk dijadikan tempat ia bertapa mengasingkan diri untuk mengobati perasaan duka karena harus berpisah dari Bagus Sajiwo. Dartoko dan gurunya Kyai Kasmalapati mengobati luka dalam yang mereka derita dan kembali ke Blambangan dari mana Kyai Kasmalapati berasal. Segera dia menggabungkan diri dengan Adipati Blambangan yang bermaksud memberontak terhadap Mataram.

Dartoko mendapat tugas istimewa, yaitu dia ditugaskan untuk mengacau dan kalau mungkin membunuh ketua dan para tokoh Perguruan Jatikusumo karena perguruan itu terkenal sebagai perguruan orang-orang yang setia kepada Mataram. Pada waktu Dartoko tiba di luar perkampungan Jatikusumo, kebetulan sekali gerombolan para warok golongan hitam dari Ponorogo datang menyerbu. Dartoko mempergunakan kesempatan itu untuk menculik Nawangsih karena dari pengintaiannya dia pun melihat betapa tangguhnya ketua Jatikusumo dan isterinya.

"Iblis jahat, setan alas! Lepaskan aku! Ayah dan ibuku pasti akan meremukkan kepalamu kalau engkau tidak membebaskan aku sekarang!"

Nawangsih meronta-ronta dan memaki-maki karena rontaannya, kuda yang mereka tunggangi menjadi kaget dan mengangkat dua kaki depannya ke atas. Gerakan kuda ini membuat Dartoko terpaksa membawa gadis cilik itu melompat turun dari punggung kudanya.

Begitu turun dari atas kuda, Nawangwulan meronta dan Dartoko yang meraih kendali kuda untuk menenangkan binatang itu terpaksa melepaskannya. Dia berhasil menangkap kendali kuda dan selagi dia berusaha membuat kuda itu tenang kembali, tiba-tiba lambung kirinya dihantam Nawangsih.

"Bukk!" pukulan anak perempuan berusia tiga belas tahun itu tentu saja tidak ada artinya bagi Dartoko yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi karena anak itu sejak kecil sudah digembleng oleh orang tuanya, maka pukulannya bukan lagi pukulan lemah seorang anak perempuan, melainkan sudah mengandung tenaga dalam yang lumayan. Maka, biarpun pukulan itu tidak melukai Dartoko, tetap saja dia meringis karena isi perutnya terguncang.

"Anak setan!" Dia memaki dan melepaskan kendali kuda, lalu menerjang ke arah Nawangsih untuk meringkus anak perempuan yang bandel dan pemberani itu. Akan tetapi, Nawangsih sudah dapat mengelak ke samping, kemudian dari samping kembali ia memukul sekuatnya ke arah perut Dartoko dengan tangan kananya dan berbareng tangan kirinya mencengkeram ke arah muka laki-laki itu!

"Anak liar!" Dartoko cepat menyambut dua serangan itu dengan kedua tangannya dan dia sudah dapat menangkap kedua pergelangan gadis cilik itu. Nawangsih meronta-ronta hendak melepaskan kedua lengannya, namun dia-sia. Genggaman tangan Dartoko amat kuatnya. Ia menjadi semakin merah dan kakinya menendang ke arah bawah pusar lawan! Dartoko menyambut dengan kakinya.

"Dukk!" Kini Nawangsih yang menggigit bibir kesakitan ketika tulang kering kakinya bertemu dengan kaki Dartoko. Ia tahu bahwa menendang lagi tidak menguntungkan. Kalau harus beradu kaki, tulang kakinya kalah tua dan kalah kuat.

"Lepaskan, tikus busuk!" ia memaki dan meronta-ronta lagi.

Akan tetapi kini Dartoko menyatukan kedua pergelangan tangan anak itu ke dalam genggaman tangan kanannya. Jari-jarinya yang panjang membuat dua pergelangan tangan Nawangsih tidak mampu bergerak, seperti terikat.

"Heh-heh-heh, anak perempuan berandalan!" Dartoko mengejek dan tangan kirinya mencubit pipi Nawangsih, anak yang masih remaja namun sudah tampak mungil dan manis sekali.

"Cuhh!" Nawangsih berdongak dan meludah ke arah muka Dartoko. Wajah Dartoko menjadi merah sekali ketika pipinya terkena ludah. Kalau tadinya jari-jari tangan kirinya membelai pipi kini bergerak menampar pipi.

"Plakk!" Untung bagi Nawangsih bahwa Dartoko tidak mengerahkan tenaga sakti ketika menampar, hanya merupakan tamparan biasa saja. Namun cukup keras membuat pipi anak itu merah dan terasa nyeri, panas dan pedih. Nawangsih tidak menjadi takut, malah ia marah sekali, lalu timbul akalnya untuk melepaskan kedua tangannya. Ia menunduk dan menggigit tangan kanan Dartoko yang menggenggam kedua pergelangan tangannya, menggigit dengan sekuatnya.

"Auhhh....!" Dartoko berteriak dan otomatis melepaskan pegangannya karena punggung tangan kanannya robek berdarah digigit deretan gigi yang kuat itu. Setelah kedua tangannya terlepas, kembali Nawangsih menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah muka Dartoko yang sedang membungkuk memijati tangan kanannya yang nyeri.

"Plokk!" pukulan itu mengenai pipi Dartoko. Dia menggereng seperti seekor singa marah, lalu menerjang anak itu dengan tamparan tangannya. Nawangsih berhasil mengelak dua kali, akan tetapi tamparan yang ketiga kalinya tak dapat dihindarkan.

"Plakk!" Tubuh Nawangsih terpelanting dan ia cepat menggulingkan tubuhnya begitu terbanting ke atas tanah untuk menjauhkan diri dari lawan. Tamparan itu membuat kepalanya terasa pening dan ada sedikit darah keluar dari ujung bibirnya. Melihat Dartoko kini mulai merobek ujung bajunya dan membalut luka gigitan pada tangan kanannya, Nawangsih tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan ia cepat melarikan diri ke arah dalam hutan itu.

"Anak setan, hendak lari ke mana kau?" Dartoko membentak dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi Nawangsih dapat berlari cepat sekali, menyusup-nyusup di antara semak-semak belukar dan pohon-pohon besar! Kewalahan juga Dartoko mengejar. Karena khawatir kehilangan jejak, dia mencabut pedangnya dan membabati semak-semak yang menghalang jalannya. dengan tindakan ini, dia dapat melihat dan mengejar Nawangsih. Kini buruannya sudah hampir tersusul. Akan tetapi ketika gadis cilik itu melompat ke belakang semak-semak, ia lenyap!

Dartoko mencari-cari, akan tetapi layangan pandang matanya tidak menemukan bayangan anak itu. Anak itu seolah ditelan bumi! Dia mengamuk dengan pedangnya, membabati semak dan pohon-pohon kecil. Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki yang ringan. Cepat dia menoleh dan ternyata Nawangsih bersembunyi di balik sebatang pohon yang besar sekali dan kini anak itu sudah lari lagi.