Bagus Sajiwo Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 20

TIBA-TIBA berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu tiga orang yang haus darah itu berhadapan dengan Lindu Aji dan Sulastri!

Seperti kita ketahui, suami isteri ini mendengar berita tentang Bagus Sajiwo dan mereka sengaja pergi ke Gunung Kawi untuk menyampaikah berita menggembirakan itu kepada Tejomanik dan Retno Susilo. Kedatangan mereka tepat sekali sehingga mereka dapat melindungi Tejomanik dan Retno Susilo yang terancam bahaya maut!

Melihat munculnya Lindu Aji dan Sulastri, Tejomanik dan Retno Susilo menjadi girang sekali. Tejomanik segera menghampiri isterinya dan melepaskan ikatan kedua tangannya. Retno Susilo bangkit berdiri dalam keadaan tidak terluka. Melihat pedang isterinya telah patah-patah, Tejomanik segera melepaskan kain pengikat kepalanya, itu adalah senjatanya yang kedua yang disebut Sihung Nila dan. isterinya pernah mempelajari cara menggunakan kain pengikat kepala yang panjangnya satu setengah depa ini sebagai senjata. Dia memberikan senjata istimewa itu kepada isterinya.

Sementara itu Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya menjadi marah sekali. Semula mereka terkejut karena mengira bahwa yang muncul itu Parmadi si Seruling Gading dan Muryani, akan tetapi ketika melihat Lindu Aji dan Sulastri yang tidak mereka kenal, mereka menjadi lega dan memandang ringan.

"Heh, sepasang orang muda! Jangan coba-coba mencampuri urusan Bhagawan Kalasrenggi. Pergilah kalian berdua kalau tidak ingin mati ditangan kami!" teriak kakek tua renta itu dengan suaranya yang tinggi.

Sebelum Lindu Aji menjawab, Sulastri yang tadinya merasa betapa ucapan kakek itu amat mempengaruhinya sehingga hampir saja ia menggerakkan kaki pergi, akan tetapi setelah ia berpegang kepada lengan suaminya, pengaruh itu lenyap, membentak dengan marah.

"Heh, tua bangka budak iblis! Engkaulah yang sudah mau mati, jangan menggunakan kekuatan iblis busuk untuk mempengaruhi kami! Kami tidak takut padamu, biar ada seratus orang macam engkau ini boleh maju semua, kami tidak akan mundur!"

Mendengar ucapan dan melihat sikap galak wanita itu, Dhagawan Kalasrenggi marah bukan main. Dia mendengus seperti seekor kerbau gila dan matanya menjadi merah. Dia pun tahu bahwa kekuatan sihirnya yang tadi dipergunakan untuk mengusir suami isteri muda itu telah gagal.

"Keparat!" Dia memaki dan tongkat kayu cendana di tangannya sudah terbang seperti ular hidup ke arah Sulastri. Wanita ini sudah mencabut pedang dan menangkis.

"Tranggg...!" Tongkat itu tertangkis akan tetapi Sulastri terhuyung kebelakang.

"Mundurlah!" kata Lindu Aji dan dia pun melompat ke depan Bhagawan Kalasrenggi yang sudah memegang tongkatnya yang kembali ke tangannya.

Melihat pemuda ini maju menghampirinya dengan tangan kosong, Bhagawan Kalasrenggi lalu menyerangnya dengan tongkat cendananya. Biarpun gerakannya lambat dari tampak lemah tenaganya, namun tongkat kayu cendana itu menyambar dahsyat, membawa angin dan bau yang menyengat hidung.

Lindu Aji menyambutnya dengan tangan kosong dan dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebatan ringan sekali. Dia menghadapi serangan kakek itu dengan ilmu silat Wanara Sakti. Gerakannya seperti Sang Hanoman yang lincah bukan main. Tak pernah dapat tersentuh tongkat lawan.

Sementara itu, melihat kakek sakti mandraguna itu kini dilawan Lindu Aji dan dia yakin akan kesaktian pemuda ini, Tejomanik lalu memutar Pecut Sakti Bajrakirana menyerang Kalajana yang tadi mengeroyoknya.

"Tar-tar-tarrr...!" Bunga api berpijar dari ujung pecut dan Kalajana sudah sibuk memutar golok gergajinya untuk melawan dengan hati merasa jerih.

Sulastri menghampiri Retno Susilo. "Bibi, mari kita hajar buto (raksasa) Galiuk muka hitam ini. Aku ingin sekali membuntungi dua buah telinganya yang seperti telinga kelelawar itu!" katanya sambil memandang ke arah sepasang telinga raksasa muka hitam itu.

"Baik, Lastri. Akupun ingin meremukkan batang hidungnya yang besar dan belang itu!" kata Retno Susilo yang wataknya juga amat keras dan suka bergurau di waktu mudanya. Tentu saja ia hendak mengatakan bahwa raksasa itu adalah seorang hidung belang yang pantas dihajar!

Kaladhama menjadi makin hitam kulit mukanya karena marah mendengar dua orang wanita itu berkelakar dengan kata-kata yang menghina dan memandang rendah kepadanya.

"Kalian mampus di tanganku!" bentaknya dan kini dia benar-benar hendak membunuh dua orang wanita itu, betapa pun cantik menariknya mereka karena dia melihat pihaknya kini terancam. Bagaikan seekor singa kelaparan dia menubruk dan menerjang dua orang wanita itu dengan golok gergajinya.

Akan tetapi Retno Susilo dan Sulastri dengan mudah menghindar, lalu mereka mengeroyok Kaladhama dari kanan kiri. Gurauan mereka tadi bukan sekedar anCaman gertak sambal, melainkan kini gulungan sinar pedang Sulastri terus-menerus menyambar ke arah kedua telinganya, dan gulungan sinar kebiruan dari kain ikat kepala berwarna biru itu benar-benar selalu menyambar kearah hidungnya!

Serangan dua orang wanita itu membuat Kaladhama benar-benar terkejut. Sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita muda yang baru muncul itu ternyata juga merupakan seorang wanita yang sakti mandraguna dan gerakan pedang itu ganas bukan main. Tingkat kepandaian Kaladhama memang sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat Retno Susilo, akan tetapi setelah kini Sulastri membantu dan Kaladhama dikeroyok, sebentar saja raksasa itu menjadi repot sekali. Dia terdesak hebat dan hanya mampu menggerakkan goloknya untuk menangkis sinar pedang dan sinar kain ikat kepala.

"Sing...!" Sinar pedang untuk kesekian kalinya menyambar dahsyat kearah telinga kirinya. Kaladhama menggerakkan goloknya menangkis.

"Tranggg...!" Dia terkejut sekali melihat ujung goloknya patah sedikit disambar pedang lawan.

Karena kaget, dia tidak mampu menghindar ketika sinar biru menyambar kearah mukanya. Dia hanya dapat miringkan mukanya namun tetap saja sinar biru itu menyerempet ujung hidungnya.

"Prattt...!" Darah mengucur dan ujung bukit hidung besar itu remuk! Kaladhama mengeluarkan teriakan dan pada saat itu, sinar pedang menyambar.

"Crettt...!" Daun telinga kiri Kaladhama terbabat putus! "Aduhhh...!" Raksasa muka hitam itu melompat kebelakang dan memutar golok melindungi dirinya. Darah menetes-netes dari telinga kiri dan batang hidungnya.

Sementara itu, Kalajana juga sudah terdesak hebat dan dua kali pundak dan hidungnya disengat ujung pecut Bajrakirana sehingga baju berikut kulit dagingnya tersayat, berdarah dan terasa perih panas. Dia juga hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran goloknya.

Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran bukan. main. Segala ajian dan ilmu sihirnya telah dia keluarkan untuk merobohkan Lindu Aji, namun semua usahanya sia-sia belaka karena semua sihirnya dapat dipunahkan oleh orang muda itu.

Ketika melihat betapa dua orang muridnya terluka, dia mengeluarkan pekik tinggi dan tampaklah asap hitam mengepul memenuhi udara disitu. Lindu Aji cepat menggunakan kedua tangan untuk mendorong asap itu, sedangkan Sulastri, Retno Susilo, dan Tejomanik berlompatan kebelakang, khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun.

Tiga orang lawan mereka kini sudah tidak tampak, tertutup asap hitam. Tiba-tiba asap hitam yang mulai memudar itu kini meluncur kearah Lindu Aji. Tentu saja dia terkejut dan cepat menyambut dengan dorongan kedua tangan dengan tenaga Sakti Surya Candra.

"Wuuuuttt... blaarrr...!" Tubuh Lindu Aji terguncang keras akan tetapi dia tidak roboh, hanya terpaksa melangkah mundur tiga kali karena pertemuan tenaga itu membuat dia terdorong amat kuatnya. Asap hitam menghilang dan tampaklah kini pihak musuh. Bhagawan Kalasrenggi masih berdiri dengan tongkat cendana di tangan, terkekeh girang.

Kalajana berdiri dengan muka pucat dan wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di pundak dan punggungnya yang terpatuk ujung pecut Bajrakirana. Kaladhama berdiri disampingnya, juga menyeringai menahan rasa nyeri karena ujung hidungnya penyok dan daun telinga kirinya buntung. Agaknya dia sudah menggunakan obat bubuk putih ditaburkan ditempat luka sehingga kini tidak mengucurkan darah lagi. Dan ternyata, ketika asap hitam mengepul tebal tadi, di pihak musuh telah muncul tiga orang yang tidak ketahuan kedatangan mereka.

Lindu Aji memandang. kepada laki-laki yang berdiri menghadapinya. Dia menduga bahwa tentu orang ini yang tadi menyerangnya, mendorong asap hitam ke arahnya karena dari tempat orang itu berdiri asap itu tadi menyambar. Dia memandang penuh perhatian karena maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tenaga Surya Candra yang dia kerahkan masih kalah kuat.

Laki-laki itu seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Wajahnya tampan dan gagah. Melihat pakaian dan ikat kepalanya, mudah diduga bahwa tentu pemuda itu seorang ber-suku Bali dan melihat pakaiannya yang mewah, dapat diduga bahwa dia seorang hartawan. Tampan dan gagah, namun pandang mata dan senyumnya membayangkan kesombongan. Pemuda itu bukan lain adalah Tejakasmala, pemuda dari Bali yang menjadi utusan Raja Klungkung bersama Cakrasakti dan Candrabaya, dua orang Senopati Klungkung yang diperbantukan kepada Tejakasmala.

Seperti telah diatur dalam rencana persekutuan di Blambangan, kalau Bhagawan Kalasrenggi dan juga dua orang muridnya bertugas membunuh Ki Tejomanik dan isterinya, maka Tejakasmala dan dua orang pembantunya itu ditugaskannya untuk membunuh Parmadi yang berjuluk Seruling Gading dan isterinya, Muryani.

Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung berangkat ke Pasuruan, tempat tinggal suami isteri yang akan dibunuhnya. Akan tetapi ternyata rumah itu kosong dan dia mendapat keterangan bahwa Parmadi dan Muryani tidak berada dirumah, sedang melakukan perjalanan entah kemana. Para tetangga yang ditanyai tidak ada yang tahu kemana suami isteri itu pergi.

Karena tidak berhasil menemukan suami isteri yang harus dibunuhnya, Tejakasmala lalu mengajak dua orang pembantunya pergi ke Gunung Kawi, untuk melihat bagaimana pelaksanaan tugas Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang anak muridnya membunuh Ki Tejomanik dan istrinya.

Demikianlah, kedatangan Tejakasmala tepat sekali pada saat Bhaigawan Ki Kalasrenggi dan dua orang muridnya terdesak hebat. Kakek itu mengeluarkan awan hitam dan hendak melarikan diri, akan tetapi pada saat itu muncul Tejakasmala dan dua orang pembantunya sehingga dia tidak jadi melarikan diri karena ia tahu bahwa pemuda dari Bali itu boleh diandalkan. Maka Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya tidak jadi melarikan diri.

Lindu Aji melihat betapa dua orang yang lain juga mengenakan pakaian seperti bangsawan dari Bali-dwipa. Melihat keakraban sikap Bhagawan Kalasrengi dan dua orang muridnya dengan tiga orang Bali itu, dia menduga bahwa mereka itu pasti ada hubungan.

Sementara itu. Ki Tejomanik juga memperhatikan tiga orang yang baru muncul dan dengan pecut Brajakirana yang sudah tergulung ditangan kanan dia melangkah dan berdiri disamping Lindu Aji menghadapi Tejakasmala yang memandang dengan bibir tersenyum mengejek dan sinar mata memandang rendah.

"Kami melihat bahwa Andika bertiga adalah orang-orang yang datang dari Bali-dwipa. Apakah yang menjadi keperluan Andika datang ke rumah kami dan siapakah Andika?" tanya Tejomanik.

"Anakmas Tejakasmala, orang muda dan isterinya itu yang membantu Tejomanik sehingga kami gagal!" kata Bhagakala dan Kalasrenggi kepada Tejakasmala.

Pemuda ini tersenyum memandang kepada Ki Tejomanik, lalu kepada Lindu Aji dan kepada Retno Susilo dan Sulastri yang berdiri dibelakang suami mereka. Lalu dia memandang kepada Ki Tejomanik dan melihat pecut tergulung di tangan satria ini, dia lalu menjawab pertanyaan tadi.

"Kalau aku tidak salah duga, Andika tentu Ki Tejomanik yang terkenal sebagai pembela Mataram dan pecut ditangan Andika itu agaknya yang disebut Pecut Sakti Bajrakirana."

"Benar, orang muda." jawab Ki Tejomanik tegas. "Dan siapakah Andika?"

"Namaku Tejakasmala dan dua orang ini adalah Cakrasakti dan Candrabaya yang menemani aku. Kedatanganku ini untuk membantu Paman Bhagawan Kalasrenggi untuk membunuh engkau dan isterimu, Ki Tejomanik!" Pemuda itu berkata dengan sikap sombong sekali, seolah apa yang diucapkan itu pasti akan terjadi.

Retno Susilo tak dapat menahan lagi kesabarannya. Ia lalu berkata dengan nada keras dan marah. "Bocah sombong! Engkau dan kawan-kawanmu yang berjumlah enam orang hendak mengeroyok kami? Bagus, kiranya engkau seorang pemuda Bali yang lagaknya saja sombong, akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut yang beraninya mengandalkan keroyokan dengan jumlah banyak!"

Mendengar ucapan ini, Tejakasmala hanya memperlebar senyumnya. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah dibakar perasaannya, tetap tenang dan waspada.

"Ha, Andika tenti isteri Ki Tejomanik yang bernama Retno Susili! Hemm, biarpun Andika pantas menjadi bibiku, namun harus kuakui bahwa Andika masih tampak muda dan cantik jelita! Retno Susilo dan Andika sekalian, aku Tejakasmala sama sekali bukan seorang sombong yang pengecut. Untuk mengalahkan kalian kami tidak perlu melakukan pengeroyokan! Dengarlah tantanganku: Aku menantang siapa saja diantara kalian untuk menandingi aku! Dan kalau Andika sekalian berani disebut pengecut, kalian bahkan boleh maju bersama mengeroyok aku seorang!"

Bukan main sombongnya tantangan itu! Tejakasmala menantang agar dia seorang diri dikeroyok dua pasang suami isteri itu. "Keparat sombong! Biar aku yang melawannya!" teriak Sulastri marah."

Akan tetapi Lindu Aji yang sudah tahu bahwa pemuda di depannya itu bukan sekedar membual dan menyombongkan diri, segera mencegahnya. "Mundurlah, Diajeng." katanya dan Sulastri tidak jadi melangkah maju.

"Biarkan aku saja yang menghajar bocah sombong bermulut lancang ini!" bentak Retno Susilo.

"Mundurlah, biar aku saja yang menandinginya!" kata Ki Tejomanik mencegah isterinya.

"Ha-ha-ha," daripada berebut lebih baik kalian berempat maju semua, agar lebih mudah bagiku untuk membasmi kalian!" kata Tejakasmala yang tidak membawa senjata.

Lindu Aji berkata kepada Ki Tejomanik, "Paman, biarkan saya yang maju melawan Tejakasmala ini, kami sama-sama muda."

Ki Tejomanik yang juga dapat menduga bahwa Tejakasmala tentu seorang yang tangguh sekali, mengangguk dan mundur. "Berhati-hatilah, Anakmas."

Kini Tejakasmala memandang kepada Lindu Aji penuh perhatian. "Hemm, engkau yang bosan hidup mewakili mereka maju seorang diri melawan aku? Katakan dulu siapa namamu agar engkau tidak mati tanpa nama."

"Tejakasmala, namaku Lindu Aji."

Tejakasmala yang tinggal di Bali-Dwipa pernah mendengar nama ini. Akan tetapi Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya terkejut mendengar nama ini. Mereka sudah mendengar ketenaran nama Lindu Aji.

"Anakmas Tejakasmala, dia itu senopati Mataram yang terkenal." bisik Bhagawan Kalasrenggi kepada rekannya. Akan, tetapi Tejakasmala adalah seorang yang jumawa, percaya akan kesaktian sendiri hingga selalu memandang rendah orang lain.

Dia memandang wajah Lindu Aji dengan sinar mata mencorong, lalu berkata. "Hemm, bagus sekali! Kalau engkau senopati Mataram, lebih kuat alasanku untuk membunuhmu lebih dulu. Bersiaplah engkau untuk menerima kematianmu!"

"Aku sudah siap melayanimu, Tejakasmala!" kata Lindu Aji dan dia pun telah mengumpulkan seluruh kekuatan batinnya dan waspada karena maklum akan kesaktian lawan.

"Sambut ajiku Bayutantra, hyaaaaa-aahh!" Tejakasmala mengangkat dua tangannya ke atas dengan dua telapak tangan menghadap ke atas, kemudian kedua tangan itu turun dan dihadapkan ke arah Lindu Aji.

"Sirrrrrr... wuuuussss...!" Dari kedua tangan Tejakasmala itu keluar angin yang amat kuat, menerpa ke arah Lindu Aji. Bahkan angin itu membawa getaran yang dahsyat sehingga terasa pula oleh Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Sulastri walaupun mereka itu tidak diserang langsung dan hanya keserempet saja.

Ki Tejomanik cepat duduk bersila, diturut oleh Retno Susilo dan Sulastri, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga sakti mereka untuk melindungi diri karena merasa betapa jantung mereka berdebar keras!

Lindu Aji tentu saja yang paling hebat merasakan karena dialah yang menjadi sasaran serangan angin dahsyat itu. Lindu Aji dengan tenang lalu bersedekap dan mengerahkan Aji Tirta Bantala sehingga pada saat itu, dia laksana air atau tanah.

Angin itu menyambar, mendorong dengan kekuatan dahsyat, bahkan lalu berputar seperti angin lesus (beliung), angin berputar yang kalau mengamuk di pedusunan mampu mencabut sebuah rumah dan membawanya membubung ke atas!

Akan tetapi, Lindu Aji bersikap bagaikan tanah diserang angin. Sedikit pun tidak bergeming walaupun dia merasa betapa hebatnya serangan itu sehingga hampir saja pertahanannya jebol.

Tejakasmala hampir tidak dapat mempercaya apa yang dilihatnya. Pemuda bernama Lindu Aji itu mampu menahan serangan Aji Bayutantra yang biasanya tidak pernah gagal mengalahkan seorang musuhnya. Dia merasa penasaran bukan main dan setelah menghentikan Aji Bayutantra sehingga angin itu lenyap ketika dia menurunkan kedua tangannya, dia mengerahkan ajiannya yang lain.

"Lindu Aji, jangan bangga karena engkau mampu menahan serangan pertamaku tadi. Sekarang lawanlah ini, Sang Nagakala." Tejakasmala mengembangkan kedua tangannya dan muncullah uap putih bergumpal-gumpal di atas kepalanya dan uap putih itu perlahan-lahan berubah menjadi bentuk seekor naga!

Naga itu kini menerkam ke arah Lindu Aji. Serangan ke dua ini pun merupakan serangan ilmu sihir yang merupakan keahlian Tejakasmala, disamping aji kedigdayaan tubuhnya yang sudah digembleng dengan aji kanuragan tingkat tinggi.

Melihat serangan ini, Lindu Aji merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya, yang kanan di depan dan yang kiri dibelakang, lalu dia mendorong dengan kedua telapak tangannya kearah naga yang hendak menerkamnya.

"Wuuuuttt... wesss...!" Bayangan naga terdorong mundur ketika bertemu dengan dorongan kedua tangan Aji. Beberapa kali naga itu mencoba untuk menerjang lagi, namun setiap kali terdorong mundur oleh dorongan kedua tangan Aji.

"Haiiiiiiittt...!" Ketika naga itu masih mencoba menyerang, Lindu Aji mengeluarkan pekik melengking ini dan mengerahkan seluruh tenaga sakti Surya Candra.

"Wuuuuttt... blarrrr...!" Bentuk naga itu terpental kebelakang dan lenyap, berubah menjadi gumpalan uap yang melayang kembali ke arah kedua telapak tangan Tejakasmala. Akan tetapi diam-diam Lindu Aji terkejut karena ketika tenaga saktinya menghantam naga jadi-jadian itu, dia merasa seluruh tubuhnya tergetar sehingga dia maklum bahwa lawannya itu benar-benar tangguh bukan main! Padahal tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya!

Gumpalan uap berbentuk naga itu tidak ambyar atau sirna, melainkan melayang kembali kearah kedua telapak tangan Tejakasmala. Ini membuktikan bahwa tidak mustahil pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat daripada tenaganya sendiri!

Sementara itu, Tejakasmala semakin penasaran! Selama turun gunung meninggalkan gurunya, belum pernah dia bertemu tanding setangguh ini! Dua ajiannya yang ampuh telah gagal mengalahkan Lindu Aji. Padahal, biasanya Aji Bayutantra, apalagi Aji Nagakala, dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya yang terkenal sakti mandraguna.

Kini, kedua ilmunya itu sama sekali tidak mampu mengalahkan lawan, apalagi merobohkan dan menewaskannya! Saking penasaran, dia nenjadi marah sekali dan begitu dia marah, seluruh tubuhnya bergerak menggigil dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Pemuda yang tampan itu kini menjadi menakutkan, memiliki wibawa yang membuat orang merasa ngeri! Matanya seperti mencorong dan tubuhnya seolah menjadi semakin besar, rambutnya berdiri dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng yang menggetarkan bumi! Inilah Prabawasinga yang mendatangkan wibawa seolah seekor singa yang menakutkan semua musuhnya!

"Lindu Aji sekaranglah saatnya engkau akan mampus ditanganku. Aauuurrr-ggghhhh...!" Tiba-tiba Tejakasmala mengeluarkan suara gerengan yang dahsyat bukan main.

Bahkan Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Sulastri sendiri, tiga orang yang sakti mandraguna dan yang sudah duduk bersila itu, tergetar dan terguncang tubuhnya dengan jantung seperti dilanda getaran yang dahsyat. Mereka bertiga mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk menahan diri agar jangan sampai menderita luka dalam.

Lindu Aji yang langsung menerima serangan suara sakti itu tentu saja dilanda kekuatan yang paling dahsyat. Dia terkejut dan maklum bahwa kalau dia melawan ajian lain yang mengandalkan kekuatan tenaga sakti, dia tidak akan kuat bertahan. Aji kesaktian yang dipergunakan Tejakasmala itu adalah kekuatan dari Iblis yang amat hebat dan kiranya tidak mungkin dapat dilawan dengan kekerasan pula.

Dia akan kalah kalau dia menggunakan kekerasan melawannya. Maka dia pun lalu berdiam diri, menyerahkan diri seutuhnya kepada kekuasaan Gusti Allah seperti yang dahulu diajarkan kepadanya oleh mendiang Resi Tejobudi. Inilah yang disebut sarinya aji sikap Tirta Bantala. Dirinya seolah berubah memiliki sifat air atau tanah.

Terasa olehnya getaran dan guncangan dahsyat itu melandanya, namun hanya guncangan saja yang diakibatkan serangan Aji Singabairawa yang dipergunakan Tejakasmala itu. Getaran atau guncangan dahsyat itu melanda dan lewat tanpa melukainya, hanya mengguncangkannya, akan tetapi karena tidak ada kekuatan kasar darinya, maka dia tidak terluka atau terbanting roboh.

Hampir Tejakasmala tidak percaya akan apa yang dihadapinya. Juga teman-temannya memandang dengan takjub. Mereka yang berdiri dibelakang Tejakasmala, tidak terlanda semua serangan tadi. Namun mereka dapat merasakan hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan Tejakasmala kepada Lindu Aji. Namun ternyata Lindu Aji dapat menahan diri dan belum juga dapat dirobohkan!

Bagaimanapun juga, Tejakasmala bermata jeli dan dia melihat bahwa biar pun dapat menahan serangan-serangannya, namun Lindu Aji tampak berkeringat, wajahnya agak pucat dan pernapasannya memburu. Hal ini menandakan bahwa lawannya itu terpengaruh juga dan kekuatan batinnya berkurang sebagai akibat menahan gempuran-gempurannya.

"Bagus! Makin tangguh engkau, semakin puas hatiku dapat akhirnya membunuhmu, Lindu Aji!" bentaknya dan kini dia membuat gerakan mencakar-cakar dengan kedua tangan menyilang seperti seekor kucing mencakar-cakar.

Semua orang melihat dan terbelalak betapa tangan pemuda tampan itu kini membara merah sekali dan mengeluarkan asap. Demikian hebat panas yang keluar dari kedua telapak tangan itu sehingga terasa oleh semua orang yang berada disitu!

"Ha-ha, Lindu Aji. Perlihatkan ketangkasanmu dan sambutlah Aji Condromowo ini!" kata Tejakasmala setelah tertawa dan dia mulai membuat gerakan silat seekor kucing atau harimau yang hendak menyerang lawannya.

Lindu Aji waspada dan berhati-hati sekali karena dia maklum bahwa Sekali ini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar sakti mandraguna dan tangguh sekali. Dia pun cepat mengerahkan Aji Bayu Sakti untuk kecepatannya, Aji Surya Candra untuk mengisi tenaganya, dan bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti.

Begitu Tejakasmala menerkam seperti seekor harimau dengan kedua tangannya yang membara dan panas itu membentuk cakar, Aji cepat mengelak. Dari samping dia pun membalas dengan tamparan tangannya ke arah lambung lawan. Ini bukan sembarang tamparan karena mengandalkan tenaga sakti yang hebat, yang mampu menghancurkan batu karang.

"Plakk!" Lengan Tejakasmala menangkis lengan Lindu Aji dan akibatnya, Lindu Aji terhuyung ke belakang, sedangkan Tejakasmala hanya mundur dua langkah. Ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda Bali itu benar-benar memiliki tenaga yang lebih kuat. Dia terkekeh lalu menyerang lagi dengan gencar.

Gerakannya cepat, trengginas, dan kuat. Kedua cakar membara itu seolah menjadi banyak sekali, bertubi-tubi menyerang ke arah Lindu Aji. Hawa panas menerpa, tubuh dan muka Aji sehingga dia mulai terdesak hebat. Melihat lawannya terdesak namun dengan gesitnya dapat selalu mengelak, Tejakasmala tidak sabar lagi.

Lindu Aji memang menyeling ilmu silat Wanara Sakti dengan ilmu silat gubahannya sendiri dari gerakan ular dan burung alap-alap sehingga tubuhnya dapat bergerak amat cepatnya, apalagi dia menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya ringan seperti angin. Melihat ini Tejakasmala tiba-tiba menekuk kedua lututnya dan dengan mengeluarkan suara menggereng seperti singa tadi, dia menyerang dengan dorongan kedua tangannya ke arah Lindu Aji.

Angin dahsyat menyambar, membawa sinar merah dari api membara menyergap Lindu Aji. Pendekar ini mengerahkan tenaga dan menyambut denfean dorongan kedua tangannya."Aauuurrgghhhhh...!!"

"Hyaaaatttt...! Blaarrrr!" Tubuh Lindu Aji terpental dan terbanting roboh telentang. Sulastri menubruknya dan terdengar Tejakasmala tertawa bergelak. Akan tetapi, ketika dia hendak mengirim pukulan terakhir yang akan dapat membunuh Lindu Aji dan Sulastri, tiba-tiba terdengar cambuk meledak dan Ki Tejomanik sudah menyerangnya dengan sambaran Pecut Bajrakirana!

Pecut ini adalah sebuah senjata yang amat ampuh dan Tejakasmala agaknya tahu benar akan hal itu, Maka dia pun tidak berani menyambut dan dengan menggulingkan tubuhnya dia mengelak lalu kedua tangannya mendorong selagi tubuhnya bergulingan ke arah Tejomanik. Satria gagah ini mencoba bertahan, namun dia pun terpental dan terbanting roboh. Retno Susilo cepat menubruk suaminya dan memeriksa keadaannya.

"Ha-ha-ha-ha! Sekarang, kalian ber-empat, dua pasang suami isteri pembela Mataram, akan tewas di tangan Tejakasmala! Sambutlah......aauurrrggghhhh...!"

Kedua tangan yang merah membara itu mendorong ke arah empat orang yang kebetulan berada ditempat yang saling berdekatan. Lindu Aji dan Tejomanik sedang dalam keadaan tidak siap karena benturan tenaga tadi mengguncangkan tubuh mereka. Dan dua orang wanita itu pun sedang berjongkok dan menolong suami masing-masing, maka serangan itu dahsyat sekali dan mengancam keselamatan nyawa empat orang itu.

"Syuuuuutttt... wessss...!!" Dua sosok bayangan berkelebat seperti kilat menyambar dan dorongan tangan yang membara dari Tejakasmala itu bertemu dengan hawa pukulan yang menyambutnya dari depan.

Tejakasmala terkejut, bukan main sampai melompat ke belakang ketika ia merasa betapa hawa yang amat dingin menyambut pukulannya yang panas sehingga dia merasa betapa tangannya yang panas seperti api bertemu air dingin!

cerita silat online karya kho ping hoo

Semua orang memandang dan disitu sudah berdiri seorang wanita cantik dan seorang pemuda tampan. Ki Tejomanik, Retno Susilo, Lindu Aji, dan Sulastri berempat memandang dengan mata terbelalak ketika mereka mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Maya Dewi!

Masih tetap cantik jelita, akan tetapi kini pakaiannya tidak mewah seperti dulu, tidak lagi pesolek, melainkan berpakaian sederhana dan mukanya tidak berbalut bedak!

Ki Tejomanik dan Retno Susilo memandang dengan mata terbelalak penuh keraguan kepada pemuda yang berdiri dekat Maya Dewi. Mereka sudah mendengar kabar bahwa putera mereka, Bagus Sajiwo, kini tampak bersama-sama Maya Dewi. Apakah pemuda tinggi tegap ini putera mereka?

Mereka kehilangan Bagus Sajiwo ketika anak itu berusia enam tahun. Kini mereka, menghadapi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Tentu saja mereka meragu. Besar perbedaan antara anak berusia enam tahun dan pemuda berusia dua puluh tahun!

Maya Dewi, yang jantungnya berdebar tegang melihat Ki Tejomanik dan Retno Susilo, apalagi melihat Lindu Aji dan Sulastri yang pernah menjadi musuh besarnya, sengaja menghadapi enam orang yang memusuhi Ki Tejomanik itu. Ia tersenyum mengejek memandang kepada Tejakasmala, Candrabaya dan Cakra-sakti, ketiganya dari Bali, lalu kepada Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama dan Kalajana.

Enam orang, tiga dari Bali dan tiga dari Blambangan ini memang merupakan tokoh-tokoh baru yang baru saja datang dari Bali dan Bhagawan Kalasrenggi beserta dua orang muridnya juga baru satu dua tahun pindah ke Blambangan dari Bali, maka melihat mereka berenam, Maya Dewi sama sekali tidak mengenal mereka. Sebaliknya enam orang itu pun tidak mengenal wanita cantik yang dulunya merupakan datuk sesat yang dikenal semua tokoh dunia petualangan. Maya Dewi dianggap seorang Iblis Betina yang kejam, curang, bahkan pernah merendahkan diri menjadi antek dan telik sandi Kumpeni Belanda yang tangguh dan dipercaya.

Melihat betapa tadi Tejakasmala yang tampan itu nyaris membunuh Ki Tejomanik dan Lindu Aji bersama isteri mereka, Maya Dewi tersenyum lebar dan tertawa mengejek. Biarpun ia kini bagaikan seekor singa betina kelaparan berubah menjadi seekor domba yang lembut, namun tetap saja wataknya yang lincah masih kadang muncul, walaupun kini kelincahannya tidak melanggar kesopanan. Ia sudah dapat membedakan dan mengerti benar mana yang sopan dan tidak sopan, mana yang bersusila dan tidak, terutama sekali mana yang baik dan jahat.

"He-he melihat pakaian kalian, aku berani memastikan bahwa kalian ini tentu orang-orang dari Bali dan yang tiga itu pakaiannya seperti bangsawan Blambangan. Apa yang mendorong kalian berkeliaran sampai kesini dan mencoba membunuh orang-orang gagah perkasa, para satria pembela Mataram? Sudah pasti kalian ini antek-antek Kadipaten Blambangan yang kudengar kini sedang bersiap-siap menentang Mataram. Hi-hik, lucunya. Orang-orang macam kalian mana mungkin dapat mengalahkan para satria? Melawan aku seorang pun kalian berenam takkan mampu menang! Apalagi itu badut yang hidung dan sebelah telinganya buntung! Hiiih, buruk sekali! Hayo kalian cepat pergi dari sini atau terpaksa aku akan membuntungi hidung kalian semua, baru tahu rasa!"

Empat orang pendekar pembela Mataram itu bengong melihat aksi dan mendengar ucapan Maya Dewi. Hampir mereka tidak dapat percaya kepada pendengaran, mereka sendiri dan dalam keadaan biasa mereka tentu mengira Maya Dewi hanya berlagak dan sesungguhnya wanita itu berpihak kepada musuh. Akan tetapi mereka teringat akan cerita Ki Sumali bahwa Maya Dewi juga membela Ki Sumali. Akan tetapi Ki Tejomanik dan Retno Susilo tetap memandang kepada Bagus Sajiwo dengan mata tak pernah berkedip.

Melihat Maya Dewi menghadapi dan mengejek enam orang itu, Bagus Sajiwo tidak perduli. Dia percaya akan kemampuan Maya Dewi. Dia juga sejak tadi memandang kepada Ki Tejomanik dan Retno Susilo. Hanya keteguhan batinnya saja yang membuat pemuda ini tidak digoyahkan oleh keharuan yang amat sangat. Dengan tenang dia maju melangkah menghampiri suami isteri itu, lalu menjatuhkan dirinya berlutut menyembah kepada ayah ibunya dan berkata, suaranya agak gemetar karena dia menahan keharuan.

"Ayah dan Ibu, ampunkan anakmu Bagus Sajiwo yang baru sekarang pulang"

"Bagus...!" Retno Susilo menjerit.

"Bagus Sajiwo...!" Ki Tejomanik jugd berseru.

Kini mereka tidak ragu lagi dan Retno Susilo sudah menubruk dan merangkul puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Ki Tejomanik juga menepuk-nepuk pundak puteranya dengan hati ber-bunga-bunga. Suami isteri ini merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Akan tetapi Ki Tejomanik. menyadari keadaan lalu berkata kepada puteranya! "Bagus Sajiwo, nanti saja kita rayakan pertemuan yang membahagiakan ini. Sekarang waspadalah karena kita menghadapi lawan yang amat tangguh dan berbahaya!"

Retno Susilo juga menyadari keadaan, maka ia melepaskan rangkulannya. Bagus Sajiwo bangkit berdiri dan mereka semua memandang ke arah Maya Dewi yang masih memperolok-olok Tejakasmala dan kawan-kawannya.

Tantangan Maya Dewi tadi membuat telinga Tejakasmala menjadi merah. Akan tetapi dia juga merasa kagum kepada wanita yang amat cantik itu. Dia maklum bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis yang masih hijau. Biarpun tampak masih muda namun jelas bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, cerdik, sakti dan berbahaya.

"Hemm, wanita cantik bermulut tajam dan bernyali harimau, siapakah Andika? Mengaku Siapa Andika agar aku dapat mempertimbangkan apakah Andika juga layak dibunuh atau tidak!" kata Tejakasmala.

Maya Dewi tersenyum manis sekali. Tadi, ia melihat betapa pemuda tampan ini telah mengalahkan Lindu Aji! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh sekali. Ia pun ingin sekali mengetahui siapa orang masih begini muda tiba-tiba muncul sebagai orang yang amat sakti ini. Sengaja ia memancing kemarahan orang dengan kata-kata yang meremehkan.

"Eh, engkau ini cucuku berani bersikap tidak tahu aturan kepada Nenekmu? Orang muda harus memperkenalkan diri lebih dulu!"

Wajah Tejakasmala menjadi merah. Wanita ini benar-benar berlidah tajam. "Baik, aku Tejakasmala, murid utama Sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali-dwipa! Nah, mengakulah engkau, siapa namamu berani menantang kami!"

Diam-diam Maya Dewi terkejut. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Sang Bhagawan Ekabrata, pertapa di Gunung Agung, Bali-dwipa itu. Nama besarnya sudah tersohor sampai ke Banten! Akan tetapi ia sengaja tersenyum seperti memandang ringan. "Ah, rupanya murid Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung? Ketahuilah, Tejakasmala, aku Maya Dewi..."

"Babo-babo!" Tiba-tiba Candrabaya, senopati Klungkung yang berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah bopeng itu berseru. "Aku pernah mendengar nama Maya Dewi! Bukankah Andika yang dijuluki Iblis Cantik dari Banten itu?"

Maya Dewi tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilat. "Dahulu memang benar, akan tetapi sekarang aku berjuluk Dewi Pembunuh Iblis macam engkau ini!"

"Bojleng-bojleng Iblis Laknat!" Candrabaya memaki. "Aku mendengar bahwa Maya Dewi musuh bebuyutan Mataram! Akan tetapi sekarang malah mcmbantu orang-orang Mataram, keparat! Engkau pengkhianat!"

"Heh, muka buruk yang buruk! Aku mau begini begitu, apa pedulimu? Kalau engkau, berani, majulah, biar kukirim ke akhirat. menjadi intip neraka kau!"

"Raden Tejakasmala, serahkan perempuan ini kepada kami, akan kujuwing-juwing (cabik-cabik) tubuhnya, kuhancur-lumetkan kepalanya!" Candrabaya berteriak dan Candrasakti, rekannya yang juga senopati dari Kerajaan Klungkung sudah bergerak mendampinginya menghadapi Maya Dewi!

Tejakasmala lebih memperhatikan Bagus Sajiwo yang tadi telah menangkis serangan mautnya yang dia tujukan kepada Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka. Dia tahu bahwa pemuda yang baru datang ini yang kemudian melihat adegan singkat tadi dia ketahui bahwa dia adalah putera Ki Tejomanik, merupakan seorang lawan yang tangguh, bahkan lebih tangguh dibandingkan Ki Tejomanik atau Lindu Aji! Maka, dia tidak begitu memperdulikan Maya Dewi dan ketika Candrabaya dan Cakrasakti berdua menghadapi Maya Dewi, dia hanya mengangguk saja untuk menjawab ucapan Candrabaya tadi. Pandang matanya masih terus ditujukan kepada Bagus Sajiwo yang kini sudah berdiri di depan kedua orang tuanya, menghadapinya.

Sementara Itu, Maya Dewi yang sudah menghadapi dua orang senopati Klungkung itu, mengejek. "Hai, kalian berdua orang-orang jelek dari Bali. Katakan dulu siapa kalian agar kelak aku dapat mengabarkan kepada keluarga kalian bahwa kalian sudah mampus hari ini!"

"Maya Dewi, perempuan keparat!" bentak Candrabaya marah, "Kami Candrabaya dan Cakrasakti, dua orang senopati Kerajaan Klungkung, hari ini akan menamatkan riwayatmu. Haaiilihhh!!".

Candrabaya sudah menerjang maju, tangan kanannya yang panjang dan besar itu menyambar dalam bentuk cakar ke arah dada Maya Dewi! .

Melihat sambaran tangan. itu, Maya Dewi maklum bahwa kepandaian orang ini tak perlu dikhawatirkan, Sebelum ia bertemu Bagus Sajiwo dan memperoleh tambahan tenaga sakti karena makan Jamur Dwipa Suddhi dan berlatih AJI Sari Bantala, tingkat kepandaian Candrabaya ini masih tidak akan mampu menandinginya. Apalagi sekarang. Dengan amat mudahnya ia mengelak. Hanya sedikit saja menggeser kaki miringkan tubuh, cengkeraman tangan Candrabaya hanya mengenai tempat kosong. Pada saat itu Cakrasakti berseru nyaring sambil menghantam dengan kepalan tangannya yang panjang kurus.

"Ciaaaattt...!!" Kepalan tangan yang hanya merupakan tulang terbungkus kulit itu menyambar cukup hebat, mendatangkan. angin bersiut. Namun, sambil tersenyum Maya Dewi mengelak lagi.

Dua orang senopati itu menjadi penasaran sekali. Serangan pertama mereka dielakkan demikian mudahnya oleh Maya Dewi dan gerakan wenita itu ketika mengelak mengejek sekali, seperti orang merem saja, seperti seorang dewasa mempermainkan dua orang anak nakal! Mereka menyerang lebih hebat lagi, dan dengan gencar. Bertubi-tubi mereka menyerang, dari kanan kiri, dari depan, belakang, menggunakan segala macam pukulan dan tendangan.

Semua orang yang menonton menjadi kagum. Maya Dewi masih tersenyum-senyum, terkadang tertawa mengejek. "Luput! Wah luput lagi! ih, gerakan kalian seperti siput lambatnya dan pukulan kalian seperti gudir (agar-agar) lunaknya!" Ia mengejek dan tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara sambaran, tangan dan kaki kedua orang yang menyerangnya.

Mendapat ejekan seperti, itu, Candrabaya dan Cakrasakti menjadi marah bukan main. Seolah terbakar hati mereka, kemarahan membuat mata mereka menjadi merah dan napas mereka panas, rambut serasa berdiri dan mereka menerjang dan menubruk seperti gila.

Maya Dewi sengaja mempermainkan mereka sambil mentertawakan dengan maksud agar orang-orang yang memusuhi orang tua Bagus Sajiwo ini menjadi buah tertawaan dan mendapatkan penghinaan. Dengan tenaga sakti dahsyat yang mengalir dalam tubuhnya, ia dapat bergerak sedemikian cepatnya sehingga dua orang itu sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya, apalagi melukainya.

Setelah merasa cukup mempermainkan mereka, tiba-tiba bayangan Maya Dewi meluncur ke atas dan tiba-tiba ketika tubuhnya berada diatas, kakinya bergerak mencuat dua kali. "Crot! Crot!" Bayangan Maya Dewi meluncur turun kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang melihat dua orang itu terhuyung dan memegangi pipi mereka yang bengkak dan bibir mereka yang pecah berdarah terkena tendangan tadi!

Tejakasmala terkejut bukan main! Wanita itu sungguh tak boleh dipandang ringan, pikirnya. Gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa Maya Dewi seorang yang sakti mandraguna dan dapat bergerak sedemikian ringan dan gesitnya seperti seekor burung srikatan saja! Dia hendak mencegah dua orang senopati yang mengikutnya itu, akan tetapi terlambat. Tenaga sakti dan Candrabaya menjadi demikian marahnya sehingga mereka melupakan rasa nyeri pada pipi mereka yang membuat kepala terasa nyut-nyutan dan mereka sudah mencabut sebatang keris yang panjang dan besar menyeramkan. Kemudian, tanpa banyak kata lagi, bahkan hampir tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, mereka mengeluarkan gerengan seperti dua ekor biruang marah, lalu menerjang ke arah Maya Dewi dengan ganas.

"Eiit-eiiit. kalian main-main dengan pisau pencokel kelapa itu, ya?" kata Maya Dewi dan dengan lincahnya ia mengelak dari tusukan-tusukan dua batang keris yang menyambar dahsyat itu. Kembali ia menggunakan keringanan tubuhnya untuk menghindarkan semua serangan keris dengan elakan-elakan.

"Dewi, tidak baik mempermainkan orang!" tiba-tiba terdengar Bagus Sajiwo berkata, suaranya lembut seperti membujuk.

Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka sejak tadi menonton dengan kagum betapa Maya Dewi mempermainkan dua orang senopati Bali yang sebetulnya telah memiliki tingkat kedigdayaan yang cukup tinggi itu.

Terutama sekali Lindu Aji dan Sulastri. Mereka berdua memang mengetahui bahwa Maya Dewi adalah seorang yang sakti, akan tetapi tak pernah mereka membayangkan sehebat itu kepandaian Maya Dewi. Dan yang lebih mengherankan mereka berempat, Maya Dewi benar-benar menentang mereka yang jelas memusuhi Mataram. Maya Dewi membela Mataram! Hal ini benar-benar merupakan sesuatu yang amat mengherankan hati mereka. Rasanya mustahil kalau mengingat akan sepak terjang Maya Dewi dahulu, beberapa tahun yang lalu. Padahal Lindu Aji dan Sulastri maklum benar bahwa wanita itu adalah seorang antek Kumpeni Belanda yang setia kepada Belanda!

Kini, setelah mendengar suara Bagus Sajiwo tadi, terjadi hal yang lebih mengherankan mereka lagi. Begitu mendengar kata-kata lembut itu, Maya Dewi berkata. "Maaf, Bagus!" Dan tiba-tiba ia berseru, "Robohlah kaliah berdua!"

Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan tiba-tiba saja dua orang Senopati Bali itu roboh terkena tamparan tangan kiri Maya Dewi dan hebatnya, keris mereka sudah pindah ke dalam tangan kanan Maya Dewi! Dua orang itu terpelanting roboh dan mereka memegangi kepala yang terasa seperti disambar petir!

Dengan senyum manis Maya Dewi menghampiri mereka dengan dua bilah keris di kedua tangannya. Setelah dekat ia bergerak hendak menghunjamkan keris kepada pemiliknya masing-masing.

"Dewi, jangan bunuh orang!" kembali terdengar suara Bagus Sajiwo. Seruan ini menghentikan gerakan kedua tangan Maya Dewi dan sebagai gantinya, dua kali kakinya menendang dan tubuh dua orang senopati itu terlempar ke arah Tejakasmala! Pemuda itu menjulurkan tangan dan menangkap tubuh dua orang pembantunya sehingga mereka tidak menabraknya dan tidak terbanting.

Maya Dewi tersenyum dan ia menyatukan kedua batang keris itu ke dalam kedua tangan, meremasnya dan terdengar bunyi krek-krek dan dua batang keris itu telah patah-patah. Ia melemparkan patahan keris itu ke depan dan potongan baja itu melayang ke arah Tejakasmala!

Tejakasmala mengebutkan tangannya dan beberapa potong baja itu runtuh dan menancap ke atas tanah! Pemuda Bali ini marah bukan main. Wanita itu terlalu menghinanya! Dua orang pembantunya telah dikalahkan secara mutlak dan bukan hanya sampai disitu saja penghinaannya, melainkan keris mereka yang bagi senopati Klungkung merupakan pusaka yang dihormati, dipatah-patahkan dan patahannya dilemparkan kepadanya!

Sementara itu, Bhagawan Kalasrenggi dan kedua orang muridnya yang raksasa, yaitu Kaladhama dan Kalajana, merasa kecewa sekali melihat sepak-terjang dua orang senopati Klungkung itu. Mereka bertiga dapat menilai bahwa tingkat kepandaian dua orang senopati itu masih lebih rendah daripada tingkat mereka, sehingga menjadi permainan Maya Dewi. Terutama sekali Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran sekali. Dia sendiri merasa dapat mengalahkan Maya Dewi, akan tetapi karena dia tadi sudah dikalahkan Lindu Aji, maka dia merasa gentar untuk menantang lagi dan menyerahkan kepada Tejakasmala untuk membersihkan nama dan muka mereka. Harapan mereka kini hanya pada Tejakasmala yang mereka tahu merupakan orang yang sakti mandraguna dan tadi sudah dibuktikan dengan mengalahkan Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka.

Biarpun semua kawannya sudah kalah, namun Tejakasmala tidak merasa gentar atau kecil hati. Dia terlalu percaya kepada diri sendiri. Ketika dia berhasil menyampok sambitan potongan keris dari Maya Dewi, sambil tersenyum dia bersenyum dia berkata,

"Aku sudah menyambut seranganmu. sekarang sambutlah ini!" Setelah berkata demikian, tangan kirinya mendorong ke depan, ke arah Maya Dewi. Ada uap hitam menyambar dari telapak tangan itu, meluncur ke arah Maya Dewi dan mengeluarkan suara mencicit.

Melihat serangan ini, Maya Dewi tidak berani memandang ringan. ia mengenal aji kesaktian yang ampuh dan berbahaya, maka ia pun mendorongkan kedua tangan untuk menolak serangan jarak jauh tangan kiri Tejakasmala itu.

"Syuuuuuttt... wusssss!!" Tubuh Maya Dewi seperti sebuah bola karet ditendang, terpental kebelakang sampai sekitar sepuluh tombak jauhnya! Akan tetapi ia turun ke atas tanah dengan ringan dan berdiri tegak sambil tersenyum.

Ini menunjukkan bahwa biarpun ia kalah kuat, namun ia sama sekali tidak terluka dan tadi ia menggunakan keringanan tubuhnya sehingga tubuh itu terdorong jauh kebelakang tanpa terluka sedikit pun. Melihat ini diam-diam Tejakasmala merasa terkejut juga.

Bagus Sajiwo maklum bahwa Tejakasmala itu tangguh sekali. Dia khawatir kalau Maya Dewi nekat melawan lagi karena hal itu depat membahayakan keselamatan Maya Dewi. Maka dia berkata sambil menengok kebelakang, memandang wanita itu.

"Dewi, biar aku yang menghadapi Kisanak ini!" Dia lalu melangkah maju dan berdiri berhadapan dengan Tejakasmala dalam jarak kurang lebih tiga tombak.

Dua orang pemuda yang sama-sama bertubuh tegap dan berwajah tampan itu saling pandang tanpa berkedip, tanpa bergerak sedikit pun seolah telah menjadi patung.

Wajah Bagus Sajiwo tenang seperti permukaan air telaga yang dalam, sedikit pun tidak membayangkan perasaan hatinya, wajah yang cerah dengan mata lembut penuh pengertian, tenang dan menanti apa yang akan terjadi tanpa prasangka, tanpa kecurigaan. Adapun wajah Tejakasmala yang juga tampan itu tampak dipengaruhi gelombang perasaannya yang marah. Sepasang matanya mencorong dan bibirnya tersenyum mengejek, membayangkan ketinggian hatinya. Biarpun keduanya tampak diam saja, namun seoiah mereka itu dengan kediaman mereka saling menguji, saling menilai kekuatan lawan.

Akhirnya dalam adu kesabaran ini, agaknya Tejakasmala tidak begitu tahan uji dibandingkan Bagus Sajiwo. Dia mulai tidak sabar dan gelisah, seolah-olah gerak-gerik Cakil menghadapi Arjuna.

"Hei, bocah bosan hidup! Agaknya engkau ini putera Ki Tejomanik. Siapakah namamu?" pertanyaan ini diajukan dengan nada suara memandang rendah, tentu dengan maksud untuk membikin gentar hati lawan.

Apalagi dalam suaranya terkandung kekuatan sihir yang dapat mempengaruhi perasaan lawan sehingga menimbulkan perasaan gentar. Namun dengan sikap tenang Bagus Sajiwo menjawab, suaranya lembut, sedikit pun tidak mengandung kemarahan atau kebencian.

"Benar sekali, Kisanak. Aku adalah putera Ayahanda Ki Tejomanik. Namaku Bagus Sajiwo."

"Hemm, ketahuilah, Bagus Sajiwo. Aku adalah Raden Tejakasmala, keturunan Raja Kerajaan Gel-gel. Aku adalah murid utama dari Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung, Bali-dwipa! Bagus Sajiwo besar sekali nyalimu, berani menentang aku?"

Tejakasmala menceritakan semua itu tentu untuk membuat lawannya gentar. Siapa yang tidak mendengar akan kebesaran nama Raja Gel-gel di Bali dan nama Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung Bali? Akan tetapi sekali ini dia kecelik. Bagus Sajiwo sama sekali belum pernah mendengar nama Raja Gel-gel maupun Sang Bhagawan Ekabrata, maka tentu saja mendengar nama-nama besar itu baginya tidak ada bedanya, dengan kalau dia mendengar nama Suto atau Kromo sehingga jangankan gentar, heran pun tidak ada dalam perasaannya.

"Tejakasmala, aku. sama sekali tidak bermaksud untuk menentang Andika. atau siapa pun juga. Akan tetapi, kalau Andika hendak membunuh orang-orang yang tidak bersalah, apalagi membunuh orang tuaku, tentu saja aku akan menghalangi perbuatanmu yang jahat itu. Untuk membela mereka, aku tidak akan mundur setapak pun, Tejakasmala!" .

"Babo-babo, sumbarmu seperti engkau dapat meruntuhkan gunung membendung lautan! Kau kira hanya engkau sendiri yang memiliki kesaktian? Bagus Sajiwo, bersiaplah, sekali ini engkau akan bertemu lawan yang akan mengalahkan semua ajianmu. Sebelum engkau menggeletak tanpa nyawa, hayo katakan lebih dulu siapa gurumu agar aku tahu murid siapa yang sekali ini kurobohkan."

Bagus Sajiwo sampai lama tidak menjawab karena dia merasa bingung ditanya siapa gurunya. Dia tidak ingin menyebut nama Ki Ageng Mahendra karena dia tidak mau membawa-bawa nama gurunya dalam permusuhan dengan Tejakasmala.

Gurunya itu dahulu telah sering menasihati agar dia tidak bermusuhan dengan siapa pun juga, lebih baik mengalah dan mengambil jalan damai sedapat mungkin. "Angger," suara mendiang Ki Ageng Mahendra masih terngiang di dalam telinganya. "ngalah (mengalah) itu ngelmu ne Allah (ilmunya Allah). Maka orang yang berani mengalah itu dhuwur wekas ane (akhirnya ditinggikan)."

"Berani, Eyang?" ketika itu dia bertanya. Mengapa mengalah saja membutuhkan keberanian?

"Tentu saja, Angger. Tersinggung dan marah itu dapat dilakukan oleh siapa pun juga, akan tetapi mengalah dengan sabar membutuhkan keberanian yang tinggi. Mengalah bukan berarti kalah, dan orang yang sabar itu kekasih Gusti Allah. Benar tanpa menyalahkan orang lain, menang tanpa mengalahkan orang lain."

"Akan tetapi kalu begitu untuk apa saya mempelajari semua aji kanuragan dari Eyang selama ber-tahun2 kalau saya tidak boleh berkelahi, Kanjeng Eyang?"

"Angger Bagus Sajiwo, aji kenuragan adalah ilmu yang mengandung tiga sifat, pertama merupakan gerakan seni tari yang indah, dengan gerakan-gerakan lembut dan halus karena disitulah letak kekuatannya. Ke dua merupakan olah raga yang dapat menyehatkan dan menguatkan tubuh sehingga tidak mudah terkena penyakit dan tubuh yang sehat dan kuat membuat orang dapat melaksanakan tugas pekerjaannya dengan sebaik mungkin Dan ke tiga merupakan ilmu beladiri, yaitu ketangkasan yang dapat dipergunakan untuk menolak datangnya ancaman bahaya terhadap badan, Juga dapat dipergunakan untuk membela orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi semua itu haruslah dilandasi atau didasari satu hal, yaitu kebenaran. Dan tidak ada kebenaran yang jauh dari Gusti Allah karena hanya Dia yang Maha Benar. Maka, engkau harus selalu dekat dengan Gusti Allah, Angger, dengan Jalan penyerahan diri seutuhnya dan secara mutlak, selalu mohon bimbinganNya."

Demikianlah, ketika Tejakasmala bertanya kepadanya siapa gurunya, dia tidak segera menjawab dan percakapan dengan mendiang gurunya itu terngiang di telinganya. Sekali ini pun dia tidak hendak berkelahi, melainkan membela orang tuanya yang hendak dibunuh.

"Heh, Tejakasmala manusia sombong. Anak kemarin sore yang masih bau kencur bicaranya sudah kementhus (sombong) seperti katak budhug! Mau tahu siapa guru Bagus Sajiwo? gurunya adalah Kakek Guru dari Sang Bhagawan Ekabrata!" Siapa lagi kalau bukan Maya Dewi yang mengeluarkan kata-kata pedas menggigit seperti itu?

Wajah Tejakasmala menjadi merah seperti udang direbus. Ucapan Maya Dewi itu bukan hanya menghina dia, melainkan juga menghina gurunya, Sang Bhagawan Ekabrata!

Tejakasmala bukan seorang pemuda mata keranjang. Dia selalu menjaga diri, menjauhi wanita maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam aji kesaktian. Sang Bhagawan Ekabrata adalah seorang pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai dan bukan seorang datuk sesat. Dia bertapa untuk hidup bersih. Sayang dia tidak acuh terhadap murid-muridnya sehingga dia hanya menurunkan ilmu-ilmunya tanpa mengarahkan ke jalan benar. Hanya melatih raganya tidak melatih jiwanya. Maka, tiga orang muridnya, Tejakasmala, dan si kembar Dhirasani dan Dhirasanu, walaupun tidak melakukan perbuatan jahat, namun memiliki watak sombong dan memandang rendah orang lain, menganggap diri sendiri paling hebat.

Juga mereka mudah dibakar api kemarahan kalau tinggian hatinya tersinggung seperti halnya Tejakasmala sekarang yang menjadi marah sekali kepada Maya Dewi. ingin membunuh wanita itu sekarang juga. Akan tetapi karena yang dihadapi adalah Bagus Sajiwo, maka semua kemarahannya dia timpakan kepada Bagus Sajiwo.

"Keparat engkau, Bagus Sajiwo! Engkau mengandalkan tajam dan cerewetnya mulut wanita untuk menghina aku dan Guruku. Bersiaplah engkau untuk mati lebih dulu, baru akan kubunuh semua orang itu!" katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Maya Dewi.

Hebatnya, telunjuk kiri pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan asap bergulung dan asap itu membentuk seekor harimau yang mengeluarkan suara mengaum sambil membuka moncongnya dan harimau Jadi-jadian itu menubruk ke arah Maya Dewi.

Akan tetapi Maya Dewi telah menguasai Aji Sari Bantala, kekuatan aji ini bersandar kepada kekuasan Gusti Allah, mengambil kekuatan bumi yang ada pada bumi menjadi tenaga inti bumi, Maka ia tertawa saja menghadapi serangan harimau jadi-jadian itu dan sambil menekuk lutut kanan yang berada di depan, tangan kanannya yang terbuka mendorong ke arah harimau jadi-jadian itu sambil membentak nyaring.

"Demi kekuatan Sari Bantala, enyahlah kamu mahluk jadi-jadian!"

"Wuuuuussshhh...!" Harimau jadi-jadian itu seperti asap ditiup angin, membuyar dan mengecil lalu asap putih itu kembali ke telunjuk kiri Tejakasmala.

Tejakasmala kembali merasa terkejut. Tadi ketika wanita itu menerima serangannya yang menggunakan Aji Condromawo, gadis itu jelas kalah kuat dan terpental jauh walaupun tidak mengalami cidera. Akan tetapi kini wanita itu dapat memunahkan sihirnya yang biasanya amat kuat. Dia merasa penasaran dan hendak melanjutkan serangannya kepada Maya Dewi yang dibencinya karena wanita itu telah menghinanya.

Akan tetapi Bagus Sajiwo berkata tenang. "Tejakasmala, tidak malukah Andika kalau menyerang wanita? Sebaiknya, Andika dan teman-teman Andika meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu orang lain. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga dan kalau Andika pergi, aku akan menyudahi saja urusan ini dan tidak memperpanjangnya lebih lanjut."

"Bagus, mana bisa begitu? Enak dia rugi kita kalau begitu! Dia sudah menghina dan menyerang Paman Tejomanik dan Bibi Retno, Susilo, Juga menyerang Lindu Aji dan Sulastri, bahkan nyaris membunuh mereka berempat! Dan sekarang engkau mau menyudahi urusan ini begitu saja? Wah, bocah ingusan ini akan menjadi semakin gemendhik kalau begitu!" Biarpun hati Maya Dewi kini telah berubah sama sekali namun ia tidak kehilangan kegalakan dan kepintaran bicaranya.

Sebetulnya, kini nafsu kebencian sudah sukar membakar hatinya, dan semua ucapannya itu hanya untuk menggoda pemuda yang dianggapnya jahat itu. Kalau Lindu Aji dan Sulastri merasa heran melihat perubahan Maya Dewi dan merasa geli mendengar ucapan dan melihat lagak wanita itu, Ki Tejomanik dan Retno Susilo mengerutkan alis mereka. Kemesraan dan akrabnya hubungan yang tampak antara putera mereka dan Maya Dewi sungguh membuat mereka merasa tidak senang dan mereka menganggap bahwa semua ucapan dan sikap Maya Dewi itu hanya buatan dan pura-pura dengan maksud mencari muka kepada mereka!

Dibakar dengan kata-kata oleh Maya Dewi, Tejakasmala tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menggunakan kesempatan selagi Bagus Sajiwo menoleh ke arah Maya Dewi untuk menegur wanita itu agar jangan menggoda Tejakasmala. Cepat bagaikan kilat menyambar dia sudah menyerang tanpa memberi peringatan lagi.

"Bagus, awas...!" Maya Dewi berseru kaget.

"Wuuuttt... desss!!" Bagus Sajiwo yang sama sekali tidak mengira lawannya akan menyerang secara tiba-tiba, tidak sempat menghindar dan pukulan tangan kanan Tejakasmala dengan tangan terbuka mengenai dadanya sehingga dia terpental dan roboh pingsan!

"Jahanam busuk engkau! Pengecut hina dina!" Maya Dewi berteriak dan ia sudah menerjang Tejakasmala dengan serangan yang cepat dan dahsyat.

Tejakasmala girang bukan main melihat pukulannya tepat mengenai dada Bagus Sajiwo. Lawan satu-satunya yang dianggap berat telah dia robohkan dan pukulannya tadi itu telah menewaskan lawan tangguh karena dia telah mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya dan pukulan itu tepat mengenai dada Bagus Sajiwo.

Pukulannya mengandung tenaga dalam dan itu telah meremukkan isi dada Bagus Sajiwo, Kini dia tinggal menghadapi wanita yang membuat hatinya panas dan marah sekali. Setelah Bagus Sajiwo tewas, yang lain-lain dia anggap ringan karena tadi dia sudah mendapat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun diantara mereka yang mampu menandinginya!

Bagus Sajiwo Jilid 20

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 20

TIBA-TIBA berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu tiga orang yang haus darah itu berhadapan dengan Lindu Aji dan Sulastri!

Seperti kita ketahui, suami isteri ini mendengar berita tentang Bagus Sajiwo dan mereka sengaja pergi ke Gunung Kawi untuk menyampaikah berita menggembirakan itu kepada Tejomanik dan Retno Susilo. Kedatangan mereka tepat sekali sehingga mereka dapat melindungi Tejomanik dan Retno Susilo yang terancam bahaya maut!

Melihat munculnya Lindu Aji dan Sulastri, Tejomanik dan Retno Susilo menjadi girang sekali. Tejomanik segera menghampiri isterinya dan melepaskan ikatan kedua tangannya. Retno Susilo bangkit berdiri dalam keadaan tidak terluka. Melihat pedang isterinya telah patah-patah, Tejomanik segera melepaskan kain pengikat kepalanya, itu adalah senjatanya yang kedua yang disebut Sihung Nila dan. isterinya pernah mempelajari cara menggunakan kain pengikat kepala yang panjangnya satu setengah depa ini sebagai senjata. Dia memberikan senjata istimewa itu kepada isterinya.

Sementara itu Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya menjadi marah sekali. Semula mereka terkejut karena mengira bahwa yang muncul itu Parmadi si Seruling Gading dan Muryani, akan tetapi ketika melihat Lindu Aji dan Sulastri yang tidak mereka kenal, mereka menjadi lega dan memandang ringan.

"Heh, sepasang orang muda! Jangan coba-coba mencampuri urusan Bhagawan Kalasrenggi. Pergilah kalian berdua kalau tidak ingin mati ditangan kami!" teriak kakek tua renta itu dengan suaranya yang tinggi.

Sebelum Lindu Aji menjawab, Sulastri yang tadinya merasa betapa ucapan kakek itu amat mempengaruhinya sehingga hampir saja ia menggerakkan kaki pergi, akan tetapi setelah ia berpegang kepada lengan suaminya, pengaruh itu lenyap, membentak dengan marah.

"Heh, tua bangka budak iblis! Engkaulah yang sudah mau mati, jangan menggunakan kekuatan iblis busuk untuk mempengaruhi kami! Kami tidak takut padamu, biar ada seratus orang macam engkau ini boleh maju semua, kami tidak akan mundur!"

Mendengar ucapan dan melihat sikap galak wanita itu, Dhagawan Kalasrenggi marah bukan main. Dia mendengus seperti seekor kerbau gila dan matanya menjadi merah. Dia pun tahu bahwa kekuatan sihirnya yang tadi dipergunakan untuk mengusir suami isteri muda itu telah gagal.

"Keparat!" Dia memaki dan tongkat kayu cendana di tangannya sudah terbang seperti ular hidup ke arah Sulastri. Wanita ini sudah mencabut pedang dan menangkis.

"Tranggg...!" Tongkat itu tertangkis akan tetapi Sulastri terhuyung kebelakang.

"Mundurlah!" kata Lindu Aji dan dia pun melompat ke depan Bhagawan Kalasrenggi yang sudah memegang tongkatnya yang kembali ke tangannya.

Melihat pemuda ini maju menghampirinya dengan tangan kosong, Bhagawan Kalasrenggi lalu menyerangnya dengan tongkat cendananya. Biarpun gerakannya lambat dari tampak lemah tenaganya, namun tongkat kayu cendana itu menyambar dahsyat, membawa angin dan bau yang menyengat hidung.

Lindu Aji menyambutnya dengan tangan kosong dan dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebatan ringan sekali. Dia menghadapi serangan kakek itu dengan ilmu silat Wanara Sakti. Gerakannya seperti Sang Hanoman yang lincah bukan main. Tak pernah dapat tersentuh tongkat lawan.

Sementara itu, melihat kakek sakti mandraguna itu kini dilawan Lindu Aji dan dia yakin akan kesaktian pemuda ini, Tejomanik lalu memutar Pecut Sakti Bajrakirana menyerang Kalajana yang tadi mengeroyoknya.

"Tar-tar-tarrr...!" Bunga api berpijar dari ujung pecut dan Kalajana sudah sibuk memutar golok gergajinya untuk melawan dengan hati merasa jerih.

Sulastri menghampiri Retno Susilo. "Bibi, mari kita hajar buto (raksasa) Galiuk muka hitam ini. Aku ingin sekali membuntungi dua buah telinganya yang seperti telinga kelelawar itu!" katanya sambil memandang ke arah sepasang telinga raksasa muka hitam itu.

"Baik, Lastri. Akupun ingin meremukkan batang hidungnya yang besar dan belang itu!" kata Retno Susilo yang wataknya juga amat keras dan suka bergurau di waktu mudanya. Tentu saja ia hendak mengatakan bahwa raksasa itu adalah seorang hidung belang yang pantas dihajar!

Kaladhama menjadi makin hitam kulit mukanya karena marah mendengar dua orang wanita itu berkelakar dengan kata-kata yang menghina dan memandang rendah kepadanya.

"Kalian mampus di tanganku!" bentaknya dan kini dia benar-benar hendak membunuh dua orang wanita itu, betapa pun cantik menariknya mereka karena dia melihat pihaknya kini terancam. Bagaikan seekor singa kelaparan dia menubruk dan menerjang dua orang wanita itu dengan golok gergajinya.

Akan tetapi Retno Susilo dan Sulastri dengan mudah menghindar, lalu mereka mengeroyok Kaladhama dari kanan kiri. Gurauan mereka tadi bukan sekedar anCaman gertak sambal, melainkan kini gulungan sinar pedang Sulastri terus-menerus menyambar ke arah kedua telinganya, dan gulungan sinar kebiruan dari kain ikat kepala berwarna biru itu benar-benar selalu menyambar kearah hidungnya!

Serangan dua orang wanita itu membuat Kaladhama benar-benar terkejut. Sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita muda yang baru muncul itu ternyata juga merupakan seorang wanita yang sakti mandraguna dan gerakan pedang itu ganas bukan main. Tingkat kepandaian Kaladhama memang sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat Retno Susilo, akan tetapi setelah kini Sulastri membantu dan Kaladhama dikeroyok, sebentar saja raksasa itu menjadi repot sekali. Dia terdesak hebat dan hanya mampu menggerakkan goloknya untuk menangkis sinar pedang dan sinar kain ikat kepala.

"Sing...!" Sinar pedang untuk kesekian kalinya menyambar dahsyat kearah telinga kirinya. Kaladhama menggerakkan goloknya menangkis.

"Tranggg...!" Dia terkejut sekali melihat ujung goloknya patah sedikit disambar pedang lawan.

Karena kaget, dia tidak mampu menghindar ketika sinar biru menyambar kearah mukanya. Dia hanya dapat miringkan mukanya namun tetap saja sinar biru itu menyerempet ujung hidungnya.

"Prattt...!" Darah mengucur dan ujung bukit hidung besar itu remuk! Kaladhama mengeluarkan teriakan dan pada saat itu, sinar pedang menyambar.

"Crettt...!" Daun telinga kiri Kaladhama terbabat putus! "Aduhhh...!" Raksasa muka hitam itu melompat kebelakang dan memutar golok melindungi dirinya. Darah menetes-netes dari telinga kiri dan batang hidungnya.

Sementara itu, Kalajana juga sudah terdesak hebat dan dua kali pundak dan hidungnya disengat ujung pecut Bajrakirana sehingga baju berikut kulit dagingnya tersayat, berdarah dan terasa perih panas. Dia juga hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran goloknya.

Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran bukan. main. Segala ajian dan ilmu sihirnya telah dia keluarkan untuk merobohkan Lindu Aji, namun semua usahanya sia-sia belaka karena semua sihirnya dapat dipunahkan oleh orang muda itu.

Ketika melihat betapa dua orang muridnya terluka, dia mengeluarkan pekik tinggi dan tampaklah asap hitam mengepul memenuhi udara disitu. Lindu Aji cepat menggunakan kedua tangan untuk mendorong asap itu, sedangkan Sulastri, Retno Susilo, dan Tejomanik berlompatan kebelakang, khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun.

Tiga orang lawan mereka kini sudah tidak tampak, tertutup asap hitam. Tiba-tiba asap hitam yang mulai memudar itu kini meluncur kearah Lindu Aji. Tentu saja dia terkejut dan cepat menyambut dengan dorongan kedua tangan dengan tenaga Sakti Surya Candra.

"Wuuuuttt... blaarrr...!" Tubuh Lindu Aji terguncang keras akan tetapi dia tidak roboh, hanya terpaksa melangkah mundur tiga kali karena pertemuan tenaga itu membuat dia terdorong amat kuatnya. Asap hitam menghilang dan tampaklah kini pihak musuh. Bhagawan Kalasrenggi masih berdiri dengan tongkat cendana di tangan, terkekeh girang.

Kalajana berdiri dengan muka pucat dan wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di pundak dan punggungnya yang terpatuk ujung pecut Bajrakirana. Kaladhama berdiri disampingnya, juga menyeringai menahan rasa nyeri karena ujung hidungnya penyok dan daun telinga kirinya buntung. Agaknya dia sudah menggunakan obat bubuk putih ditaburkan ditempat luka sehingga kini tidak mengucurkan darah lagi. Dan ternyata, ketika asap hitam mengepul tebal tadi, di pihak musuh telah muncul tiga orang yang tidak ketahuan kedatangan mereka.

Lindu Aji memandang. kepada laki-laki yang berdiri menghadapinya. Dia menduga bahwa tentu orang ini yang tadi menyerangnya, mendorong asap hitam ke arahnya karena dari tempat orang itu berdiri asap itu tadi menyambar. Dia memandang penuh perhatian karena maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tenaga Surya Candra yang dia kerahkan masih kalah kuat.

Laki-laki itu seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Wajahnya tampan dan gagah. Melihat pakaian dan ikat kepalanya, mudah diduga bahwa tentu pemuda itu seorang ber-suku Bali dan melihat pakaiannya yang mewah, dapat diduga bahwa dia seorang hartawan. Tampan dan gagah, namun pandang mata dan senyumnya membayangkan kesombongan. Pemuda itu bukan lain adalah Tejakasmala, pemuda dari Bali yang menjadi utusan Raja Klungkung bersama Cakrasakti dan Candrabaya, dua orang Senopati Klungkung yang diperbantukan kepada Tejakasmala.

Seperti telah diatur dalam rencana persekutuan di Blambangan, kalau Bhagawan Kalasrenggi dan juga dua orang muridnya bertugas membunuh Ki Tejomanik dan isterinya, maka Tejakasmala dan dua orang pembantunya itu ditugaskannya untuk membunuh Parmadi yang berjuluk Seruling Gading dan isterinya, Muryani.

Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung berangkat ke Pasuruan, tempat tinggal suami isteri yang akan dibunuhnya. Akan tetapi ternyata rumah itu kosong dan dia mendapat keterangan bahwa Parmadi dan Muryani tidak berada dirumah, sedang melakukan perjalanan entah kemana. Para tetangga yang ditanyai tidak ada yang tahu kemana suami isteri itu pergi.

Karena tidak berhasil menemukan suami isteri yang harus dibunuhnya, Tejakasmala lalu mengajak dua orang pembantunya pergi ke Gunung Kawi, untuk melihat bagaimana pelaksanaan tugas Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang anak muridnya membunuh Ki Tejomanik dan istrinya.

Demikianlah, kedatangan Tejakasmala tepat sekali pada saat Bhaigawan Ki Kalasrenggi dan dua orang muridnya terdesak hebat. Kakek itu mengeluarkan awan hitam dan hendak melarikan diri, akan tetapi pada saat itu muncul Tejakasmala dan dua orang pembantunya sehingga dia tidak jadi melarikan diri karena ia tahu bahwa pemuda dari Bali itu boleh diandalkan. Maka Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya tidak jadi melarikan diri.

Lindu Aji melihat betapa dua orang yang lain juga mengenakan pakaian seperti bangsawan dari Bali-dwipa. Melihat keakraban sikap Bhagawan Kalasrengi dan dua orang muridnya dengan tiga orang Bali itu, dia menduga bahwa mereka itu pasti ada hubungan.

Sementara itu. Ki Tejomanik juga memperhatikan tiga orang yang baru muncul dan dengan pecut Brajakirana yang sudah tergulung ditangan kanan dia melangkah dan berdiri disamping Lindu Aji menghadapi Tejakasmala yang memandang dengan bibir tersenyum mengejek dan sinar mata memandang rendah.

"Kami melihat bahwa Andika bertiga adalah orang-orang yang datang dari Bali-dwipa. Apakah yang menjadi keperluan Andika datang ke rumah kami dan siapakah Andika?" tanya Tejomanik.

"Anakmas Tejakasmala, orang muda dan isterinya itu yang membantu Tejomanik sehingga kami gagal!" kata Bhagakala dan Kalasrenggi kepada Tejakasmala.

Pemuda ini tersenyum memandang kepada Ki Tejomanik, lalu kepada Lindu Aji dan kepada Retno Susilo dan Sulastri yang berdiri dibelakang suami mereka. Lalu dia memandang kepada Ki Tejomanik dan melihat pecut tergulung di tangan satria ini, dia lalu menjawab pertanyaan tadi.

"Kalau aku tidak salah duga, Andika tentu Ki Tejomanik yang terkenal sebagai pembela Mataram dan pecut ditangan Andika itu agaknya yang disebut Pecut Sakti Bajrakirana."

"Benar, orang muda." jawab Ki Tejomanik tegas. "Dan siapakah Andika?"

"Namaku Tejakasmala dan dua orang ini adalah Cakrasakti dan Candrabaya yang menemani aku. Kedatanganku ini untuk membantu Paman Bhagawan Kalasrenggi untuk membunuh engkau dan isterimu, Ki Tejomanik!" Pemuda itu berkata dengan sikap sombong sekali, seolah apa yang diucapkan itu pasti akan terjadi.

Retno Susilo tak dapat menahan lagi kesabarannya. Ia lalu berkata dengan nada keras dan marah. "Bocah sombong! Engkau dan kawan-kawanmu yang berjumlah enam orang hendak mengeroyok kami? Bagus, kiranya engkau seorang pemuda Bali yang lagaknya saja sombong, akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut yang beraninya mengandalkan keroyokan dengan jumlah banyak!"

Mendengar ucapan ini, Tejakasmala hanya memperlebar senyumnya. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah dibakar perasaannya, tetap tenang dan waspada.

"Ha, Andika tenti isteri Ki Tejomanik yang bernama Retno Susili! Hemm, biarpun Andika pantas menjadi bibiku, namun harus kuakui bahwa Andika masih tampak muda dan cantik jelita! Retno Susilo dan Andika sekalian, aku Tejakasmala sama sekali bukan seorang sombong yang pengecut. Untuk mengalahkan kalian kami tidak perlu melakukan pengeroyokan! Dengarlah tantanganku: Aku menantang siapa saja diantara kalian untuk menandingi aku! Dan kalau Andika sekalian berani disebut pengecut, kalian bahkan boleh maju bersama mengeroyok aku seorang!"

Bukan main sombongnya tantangan itu! Tejakasmala menantang agar dia seorang diri dikeroyok dua pasang suami isteri itu. "Keparat sombong! Biar aku yang melawannya!" teriak Sulastri marah."

Akan tetapi Lindu Aji yang sudah tahu bahwa pemuda di depannya itu bukan sekedar membual dan menyombongkan diri, segera mencegahnya. "Mundurlah, Diajeng." katanya dan Sulastri tidak jadi melangkah maju.

"Biarkan aku saja yang menghajar bocah sombong bermulut lancang ini!" bentak Retno Susilo.

"Mundurlah, biar aku saja yang menandinginya!" kata Ki Tejomanik mencegah isterinya.

"Ha-ha-ha," daripada berebut lebih baik kalian berempat maju semua, agar lebih mudah bagiku untuk membasmi kalian!" kata Tejakasmala yang tidak membawa senjata.

Lindu Aji berkata kepada Ki Tejomanik, "Paman, biarkan saya yang maju melawan Tejakasmala ini, kami sama-sama muda."

Ki Tejomanik yang juga dapat menduga bahwa Tejakasmala tentu seorang yang tangguh sekali, mengangguk dan mundur. "Berhati-hatilah, Anakmas."

Kini Tejakasmala memandang kepada Lindu Aji penuh perhatian. "Hemm, engkau yang bosan hidup mewakili mereka maju seorang diri melawan aku? Katakan dulu siapa namamu agar engkau tidak mati tanpa nama."

"Tejakasmala, namaku Lindu Aji."

Tejakasmala yang tinggal di Bali-Dwipa pernah mendengar nama ini. Akan tetapi Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya terkejut mendengar nama ini. Mereka sudah mendengar ketenaran nama Lindu Aji.

"Anakmas Tejakasmala, dia itu senopati Mataram yang terkenal." bisik Bhagawan Kalasrenggi kepada rekannya. Akan, tetapi Tejakasmala adalah seorang yang jumawa, percaya akan kesaktian sendiri hingga selalu memandang rendah orang lain.

Dia memandang wajah Lindu Aji dengan sinar mata mencorong, lalu berkata. "Hemm, bagus sekali! Kalau engkau senopati Mataram, lebih kuat alasanku untuk membunuhmu lebih dulu. Bersiaplah engkau untuk menerima kematianmu!"

"Aku sudah siap melayanimu, Tejakasmala!" kata Lindu Aji dan dia pun telah mengumpulkan seluruh kekuatan batinnya dan waspada karena maklum akan kesaktian lawan.

"Sambut ajiku Bayutantra, hyaaaaa-aahh!" Tejakasmala mengangkat dua tangannya ke atas dengan dua telapak tangan menghadap ke atas, kemudian kedua tangan itu turun dan dihadapkan ke arah Lindu Aji.

"Sirrrrrr... wuuuussss...!" Dari kedua tangan Tejakasmala itu keluar angin yang amat kuat, menerpa ke arah Lindu Aji. Bahkan angin itu membawa getaran yang dahsyat sehingga terasa pula oleh Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Sulastri walaupun mereka itu tidak diserang langsung dan hanya keserempet saja.

Ki Tejomanik cepat duduk bersila, diturut oleh Retno Susilo dan Sulastri, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga sakti mereka untuk melindungi diri karena merasa betapa jantung mereka berdebar keras!

Lindu Aji tentu saja yang paling hebat merasakan karena dialah yang menjadi sasaran serangan angin dahsyat itu. Lindu Aji dengan tenang lalu bersedekap dan mengerahkan Aji Tirta Bantala sehingga pada saat itu, dia laksana air atau tanah.

Angin itu menyambar, mendorong dengan kekuatan dahsyat, bahkan lalu berputar seperti angin lesus (beliung), angin berputar yang kalau mengamuk di pedusunan mampu mencabut sebuah rumah dan membawanya membubung ke atas!

Akan tetapi, Lindu Aji bersikap bagaikan tanah diserang angin. Sedikit pun tidak bergeming walaupun dia merasa betapa hebatnya serangan itu sehingga hampir saja pertahanannya jebol.

Tejakasmala hampir tidak dapat mempercaya apa yang dilihatnya. Pemuda bernama Lindu Aji itu mampu menahan serangan Aji Bayutantra yang biasanya tidak pernah gagal mengalahkan seorang musuhnya. Dia merasa penasaran bukan main dan setelah menghentikan Aji Bayutantra sehingga angin itu lenyap ketika dia menurunkan kedua tangannya, dia mengerahkan ajiannya yang lain.

"Lindu Aji, jangan bangga karena engkau mampu menahan serangan pertamaku tadi. Sekarang lawanlah ini, Sang Nagakala." Tejakasmala mengembangkan kedua tangannya dan muncullah uap putih bergumpal-gumpal di atas kepalanya dan uap putih itu perlahan-lahan berubah menjadi bentuk seekor naga!

Naga itu kini menerkam ke arah Lindu Aji. Serangan ke dua ini pun merupakan serangan ilmu sihir yang merupakan keahlian Tejakasmala, disamping aji kedigdayaan tubuhnya yang sudah digembleng dengan aji kanuragan tingkat tinggi.

Melihat serangan ini, Lindu Aji merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya, yang kanan di depan dan yang kiri dibelakang, lalu dia mendorong dengan kedua telapak tangannya kearah naga yang hendak menerkamnya.

"Wuuuuttt... wesss...!" Bayangan naga terdorong mundur ketika bertemu dengan dorongan kedua tangan Aji. Beberapa kali naga itu mencoba untuk menerjang lagi, namun setiap kali terdorong mundur oleh dorongan kedua tangan Aji.

"Haiiiiiiittt...!" Ketika naga itu masih mencoba menyerang, Lindu Aji mengeluarkan pekik melengking ini dan mengerahkan seluruh tenaga sakti Surya Candra.

"Wuuuuttt... blarrrr...!" Bentuk naga itu terpental kebelakang dan lenyap, berubah menjadi gumpalan uap yang melayang kembali ke arah kedua telapak tangan Tejakasmala. Akan tetapi diam-diam Lindu Aji terkejut karena ketika tenaga saktinya menghantam naga jadi-jadian itu, dia merasa seluruh tubuhnya tergetar sehingga dia maklum bahwa lawannya itu benar-benar tangguh bukan main! Padahal tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya!

Gumpalan uap berbentuk naga itu tidak ambyar atau sirna, melainkan melayang kembali kearah kedua telapak tangan Tejakasmala. Ini membuktikan bahwa tidak mustahil pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat daripada tenaganya sendiri!

Sementara itu, Tejakasmala semakin penasaran! Selama turun gunung meninggalkan gurunya, belum pernah dia bertemu tanding setangguh ini! Dua ajiannya yang ampuh telah gagal mengalahkan Lindu Aji. Padahal, biasanya Aji Bayutantra, apalagi Aji Nagakala, dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya yang terkenal sakti mandraguna.

Kini, kedua ilmunya itu sama sekali tidak mampu mengalahkan lawan, apalagi merobohkan dan menewaskannya! Saking penasaran, dia nenjadi marah sekali dan begitu dia marah, seluruh tubuhnya bergerak menggigil dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Pemuda yang tampan itu kini menjadi menakutkan, memiliki wibawa yang membuat orang merasa ngeri! Matanya seperti mencorong dan tubuhnya seolah menjadi semakin besar, rambutnya berdiri dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng yang menggetarkan bumi! Inilah Prabawasinga yang mendatangkan wibawa seolah seekor singa yang menakutkan semua musuhnya!

"Lindu Aji sekaranglah saatnya engkau akan mampus ditanganku. Aauuurrr-ggghhhh...!" Tiba-tiba Tejakasmala mengeluarkan suara gerengan yang dahsyat bukan main.

Bahkan Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Sulastri sendiri, tiga orang yang sakti mandraguna dan yang sudah duduk bersila itu, tergetar dan terguncang tubuhnya dengan jantung seperti dilanda getaran yang dahsyat. Mereka bertiga mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk menahan diri agar jangan sampai menderita luka dalam.

Lindu Aji yang langsung menerima serangan suara sakti itu tentu saja dilanda kekuatan yang paling dahsyat. Dia terkejut dan maklum bahwa kalau dia melawan ajian lain yang mengandalkan kekuatan tenaga sakti, dia tidak akan kuat bertahan. Aji kesaktian yang dipergunakan Tejakasmala itu adalah kekuatan dari Iblis yang amat hebat dan kiranya tidak mungkin dapat dilawan dengan kekerasan pula.

Dia akan kalah kalau dia menggunakan kekerasan melawannya. Maka dia pun lalu berdiam diri, menyerahkan diri seutuhnya kepada kekuasaan Gusti Allah seperti yang dahulu diajarkan kepadanya oleh mendiang Resi Tejobudi. Inilah yang disebut sarinya aji sikap Tirta Bantala. Dirinya seolah berubah memiliki sifat air atau tanah.

Terasa olehnya getaran dan guncangan dahsyat itu melandanya, namun hanya guncangan saja yang diakibatkan serangan Aji Singabairawa yang dipergunakan Tejakasmala itu. Getaran atau guncangan dahsyat itu melanda dan lewat tanpa melukainya, hanya mengguncangkannya, akan tetapi karena tidak ada kekuatan kasar darinya, maka dia tidak terluka atau terbanting roboh.

Hampir Tejakasmala tidak percaya akan apa yang dihadapinya. Juga teman-temannya memandang dengan takjub. Mereka yang berdiri dibelakang Tejakasmala, tidak terlanda semua serangan tadi. Namun mereka dapat merasakan hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan Tejakasmala kepada Lindu Aji. Namun ternyata Lindu Aji dapat menahan diri dan belum juga dapat dirobohkan!

Bagaimanapun juga, Tejakasmala bermata jeli dan dia melihat bahwa biar pun dapat menahan serangan-serangannya, namun Lindu Aji tampak berkeringat, wajahnya agak pucat dan pernapasannya memburu. Hal ini menandakan bahwa lawannya itu terpengaruh juga dan kekuatan batinnya berkurang sebagai akibat menahan gempuran-gempurannya.

"Bagus! Makin tangguh engkau, semakin puas hatiku dapat akhirnya membunuhmu, Lindu Aji!" bentaknya dan kini dia membuat gerakan mencakar-cakar dengan kedua tangan menyilang seperti seekor kucing mencakar-cakar.

Semua orang melihat dan terbelalak betapa tangan pemuda tampan itu kini membara merah sekali dan mengeluarkan asap. Demikian hebat panas yang keluar dari kedua telapak tangan itu sehingga terasa oleh semua orang yang berada disitu!

"Ha-ha, Lindu Aji. Perlihatkan ketangkasanmu dan sambutlah Aji Condromowo ini!" kata Tejakasmala setelah tertawa dan dia mulai membuat gerakan silat seekor kucing atau harimau yang hendak menyerang lawannya.

Lindu Aji waspada dan berhati-hati sekali karena dia maklum bahwa Sekali ini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar sakti mandraguna dan tangguh sekali. Dia pun cepat mengerahkan Aji Bayu Sakti untuk kecepatannya, Aji Surya Candra untuk mengisi tenaganya, dan bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti.

Begitu Tejakasmala menerkam seperti seekor harimau dengan kedua tangannya yang membara dan panas itu membentuk cakar, Aji cepat mengelak. Dari samping dia pun membalas dengan tamparan tangannya ke arah lambung lawan. Ini bukan sembarang tamparan karena mengandalkan tenaga sakti yang hebat, yang mampu menghancurkan batu karang.

"Plakk!" Lengan Tejakasmala menangkis lengan Lindu Aji dan akibatnya, Lindu Aji terhuyung ke belakang, sedangkan Tejakasmala hanya mundur dua langkah. Ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda Bali itu benar-benar memiliki tenaga yang lebih kuat. Dia terkekeh lalu menyerang lagi dengan gencar.

Gerakannya cepat, trengginas, dan kuat. Kedua cakar membara itu seolah menjadi banyak sekali, bertubi-tubi menyerang ke arah Lindu Aji. Hawa panas menerpa, tubuh dan muka Aji sehingga dia mulai terdesak hebat. Melihat lawannya terdesak namun dengan gesitnya dapat selalu mengelak, Tejakasmala tidak sabar lagi.

Lindu Aji memang menyeling ilmu silat Wanara Sakti dengan ilmu silat gubahannya sendiri dari gerakan ular dan burung alap-alap sehingga tubuhnya dapat bergerak amat cepatnya, apalagi dia menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya ringan seperti angin. Melihat ini Tejakasmala tiba-tiba menekuk kedua lututnya dan dengan mengeluarkan suara menggereng seperti singa tadi, dia menyerang dengan dorongan kedua tangannya ke arah Lindu Aji.

Angin dahsyat menyambar, membawa sinar merah dari api membara menyergap Lindu Aji. Pendekar ini mengerahkan tenaga dan menyambut denfean dorongan kedua tangannya."Aauuurrgghhhhh...!!"

"Hyaaaatttt...! Blaarrrr!" Tubuh Lindu Aji terpental dan terbanting roboh telentang. Sulastri menubruknya dan terdengar Tejakasmala tertawa bergelak. Akan tetapi, ketika dia hendak mengirim pukulan terakhir yang akan dapat membunuh Lindu Aji dan Sulastri, tiba-tiba terdengar cambuk meledak dan Ki Tejomanik sudah menyerangnya dengan sambaran Pecut Bajrakirana!

Pecut ini adalah sebuah senjata yang amat ampuh dan Tejakasmala agaknya tahu benar akan hal itu, Maka dia pun tidak berani menyambut dan dengan menggulingkan tubuhnya dia mengelak lalu kedua tangannya mendorong selagi tubuhnya bergulingan ke arah Tejomanik. Satria gagah ini mencoba bertahan, namun dia pun terpental dan terbanting roboh. Retno Susilo cepat menubruk suaminya dan memeriksa keadaannya.

"Ha-ha-ha-ha! Sekarang, kalian ber-empat, dua pasang suami isteri pembela Mataram, akan tewas di tangan Tejakasmala! Sambutlah......aauurrrggghhhh...!"

Kedua tangan yang merah membara itu mendorong ke arah empat orang yang kebetulan berada ditempat yang saling berdekatan. Lindu Aji dan Tejomanik sedang dalam keadaan tidak siap karena benturan tenaga tadi mengguncangkan tubuh mereka. Dan dua orang wanita itu pun sedang berjongkok dan menolong suami masing-masing, maka serangan itu dahsyat sekali dan mengancam keselamatan nyawa empat orang itu.

"Syuuuuutttt... wessss...!!" Dua sosok bayangan berkelebat seperti kilat menyambar dan dorongan tangan yang membara dari Tejakasmala itu bertemu dengan hawa pukulan yang menyambutnya dari depan.

Tejakasmala terkejut, bukan main sampai melompat ke belakang ketika ia merasa betapa hawa yang amat dingin menyambut pukulannya yang panas sehingga dia merasa betapa tangannya yang panas seperti api bertemu air dingin!

cerita silat online karya kho ping hoo

Semua orang memandang dan disitu sudah berdiri seorang wanita cantik dan seorang pemuda tampan. Ki Tejomanik, Retno Susilo, Lindu Aji, dan Sulastri berempat memandang dengan mata terbelalak ketika mereka mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Maya Dewi!

Masih tetap cantik jelita, akan tetapi kini pakaiannya tidak mewah seperti dulu, tidak lagi pesolek, melainkan berpakaian sederhana dan mukanya tidak berbalut bedak!

Ki Tejomanik dan Retno Susilo memandang dengan mata terbelalak penuh keraguan kepada pemuda yang berdiri dekat Maya Dewi. Mereka sudah mendengar kabar bahwa putera mereka, Bagus Sajiwo, kini tampak bersama-sama Maya Dewi. Apakah pemuda tinggi tegap ini putera mereka?

Mereka kehilangan Bagus Sajiwo ketika anak itu berusia enam tahun. Kini mereka, menghadapi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Tentu saja mereka meragu. Besar perbedaan antara anak berusia enam tahun dan pemuda berusia dua puluh tahun!

Maya Dewi, yang jantungnya berdebar tegang melihat Ki Tejomanik dan Retno Susilo, apalagi melihat Lindu Aji dan Sulastri yang pernah menjadi musuh besarnya, sengaja menghadapi enam orang yang memusuhi Ki Tejomanik itu. Ia tersenyum mengejek memandang kepada Tejakasmala, Candrabaya dan Cakra-sakti, ketiganya dari Bali, lalu kepada Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama dan Kalajana.

Enam orang, tiga dari Bali dan tiga dari Blambangan ini memang merupakan tokoh-tokoh baru yang baru saja datang dari Bali dan Bhagawan Kalasrenggi beserta dua orang muridnya juga baru satu dua tahun pindah ke Blambangan dari Bali, maka melihat mereka berenam, Maya Dewi sama sekali tidak mengenal mereka. Sebaliknya enam orang itu pun tidak mengenal wanita cantik yang dulunya merupakan datuk sesat yang dikenal semua tokoh dunia petualangan. Maya Dewi dianggap seorang Iblis Betina yang kejam, curang, bahkan pernah merendahkan diri menjadi antek dan telik sandi Kumpeni Belanda yang tangguh dan dipercaya.

Melihat betapa tadi Tejakasmala yang tampan itu nyaris membunuh Ki Tejomanik dan Lindu Aji bersama isteri mereka, Maya Dewi tersenyum lebar dan tertawa mengejek. Biarpun ia kini bagaikan seekor singa betina kelaparan berubah menjadi seekor domba yang lembut, namun tetap saja wataknya yang lincah masih kadang muncul, walaupun kini kelincahannya tidak melanggar kesopanan. Ia sudah dapat membedakan dan mengerti benar mana yang sopan dan tidak sopan, mana yang bersusila dan tidak, terutama sekali mana yang baik dan jahat.

"He-he melihat pakaian kalian, aku berani memastikan bahwa kalian ini tentu orang-orang dari Bali dan yang tiga itu pakaiannya seperti bangsawan Blambangan. Apa yang mendorong kalian berkeliaran sampai kesini dan mencoba membunuh orang-orang gagah perkasa, para satria pembela Mataram? Sudah pasti kalian ini antek-antek Kadipaten Blambangan yang kudengar kini sedang bersiap-siap menentang Mataram. Hi-hik, lucunya. Orang-orang macam kalian mana mungkin dapat mengalahkan para satria? Melawan aku seorang pun kalian berenam takkan mampu menang! Apalagi itu badut yang hidung dan sebelah telinganya buntung! Hiiih, buruk sekali! Hayo kalian cepat pergi dari sini atau terpaksa aku akan membuntungi hidung kalian semua, baru tahu rasa!"

Empat orang pendekar pembela Mataram itu bengong melihat aksi dan mendengar ucapan Maya Dewi. Hampir mereka tidak dapat percaya kepada pendengaran, mereka sendiri dan dalam keadaan biasa mereka tentu mengira Maya Dewi hanya berlagak dan sesungguhnya wanita itu berpihak kepada musuh. Akan tetapi mereka teringat akan cerita Ki Sumali bahwa Maya Dewi juga membela Ki Sumali. Akan tetapi Ki Tejomanik dan Retno Susilo tetap memandang kepada Bagus Sajiwo dengan mata tak pernah berkedip.

Melihat Maya Dewi menghadapi dan mengejek enam orang itu, Bagus Sajiwo tidak perduli. Dia percaya akan kemampuan Maya Dewi. Dia juga sejak tadi memandang kepada Ki Tejomanik dan Retno Susilo. Hanya keteguhan batinnya saja yang membuat pemuda ini tidak digoyahkan oleh keharuan yang amat sangat. Dengan tenang dia maju melangkah menghampiri suami isteri itu, lalu menjatuhkan dirinya berlutut menyembah kepada ayah ibunya dan berkata, suaranya agak gemetar karena dia menahan keharuan.

"Ayah dan Ibu, ampunkan anakmu Bagus Sajiwo yang baru sekarang pulang"

"Bagus...!" Retno Susilo menjerit.

"Bagus Sajiwo...!" Ki Tejomanik jugd berseru.

Kini mereka tidak ragu lagi dan Retno Susilo sudah menubruk dan merangkul puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Ki Tejomanik juga menepuk-nepuk pundak puteranya dengan hati ber-bunga-bunga. Suami isteri ini merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Akan tetapi Ki Tejomanik. menyadari keadaan lalu berkata kepada puteranya! "Bagus Sajiwo, nanti saja kita rayakan pertemuan yang membahagiakan ini. Sekarang waspadalah karena kita menghadapi lawan yang amat tangguh dan berbahaya!"

Retno Susilo juga menyadari keadaan, maka ia melepaskan rangkulannya. Bagus Sajiwo bangkit berdiri dan mereka semua memandang ke arah Maya Dewi yang masih memperolok-olok Tejakasmala dan kawan-kawannya.

Tantangan Maya Dewi tadi membuat telinga Tejakasmala menjadi merah. Akan tetapi dia juga merasa kagum kepada wanita yang amat cantik itu. Dia maklum bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis yang masih hijau. Biarpun tampak masih muda namun jelas bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, cerdik, sakti dan berbahaya.

"Hemm, wanita cantik bermulut tajam dan bernyali harimau, siapakah Andika? Mengaku Siapa Andika agar aku dapat mempertimbangkan apakah Andika juga layak dibunuh atau tidak!" kata Tejakasmala.

Maya Dewi tersenyum manis sekali. Tadi, ia melihat betapa pemuda tampan ini telah mengalahkan Lindu Aji! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh sekali. Ia pun ingin sekali mengetahui siapa orang masih begini muda tiba-tiba muncul sebagai orang yang amat sakti ini. Sengaja ia memancing kemarahan orang dengan kata-kata yang meremehkan.

"Eh, engkau ini cucuku berani bersikap tidak tahu aturan kepada Nenekmu? Orang muda harus memperkenalkan diri lebih dulu!"

Wajah Tejakasmala menjadi merah. Wanita ini benar-benar berlidah tajam. "Baik, aku Tejakasmala, murid utama Sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali-dwipa! Nah, mengakulah engkau, siapa namamu berani menantang kami!"

Diam-diam Maya Dewi terkejut. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Sang Bhagawan Ekabrata, pertapa di Gunung Agung, Bali-dwipa itu. Nama besarnya sudah tersohor sampai ke Banten! Akan tetapi ia sengaja tersenyum seperti memandang ringan. "Ah, rupanya murid Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung? Ketahuilah, Tejakasmala, aku Maya Dewi..."

"Babo-babo!" Tiba-tiba Candrabaya, senopati Klungkung yang berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah bopeng itu berseru. "Aku pernah mendengar nama Maya Dewi! Bukankah Andika yang dijuluki Iblis Cantik dari Banten itu?"

Maya Dewi tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilat. "Dahulu memang benar, akan tetapi sekarang aku berjuluk Dewi Pembunuh Iblis macam engkau ini!"

"Bojleng-bojleng Iblis Laknat!" Candrabaya memaki. "Aku mendengar bahwa Maya Dewi musuh bebuyutan Mataram! Akan tetapi sekarang malah mcmbantu orang-orang Mataram, keparat! Engkau pengkhianat!"

"Heh, muka buruk yang buruk! Aku mau begini begitu, apa pedulimu? Kalau engkau, berani, majulah, biar kukirim ke akhirat. menjadi intip neraka kau!"

"Raden Tejakasmala, serahkan perempuan ini kepada kami, akan kujuwing-juwing (cabik-cabik) tubuhnya, kuhancur-lumetkan kepalanya!" Candrabaya berteriak dan Candrasakti, rekannya yang juga senopati dari Kerajaan Klungkung sudah bergerak mendampinginya menghadapi Maya Dewi!

Tejakasmala lebih memperhatikan Bagus Sajiwo yang tadi telah menangkis serangan mautnya yang dia tujukan kepada Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka. Dia tahu bahwa pemuda yang baru datang ini yang kemudian melihat adegan singkat tadi dia ketahui bahwa dia adalah putera Ki Tejomanik, merupakan seorang lawan yang tangguh, bahkan lebih tangguh dibandingkan Ki Tejomanik atau Lindu Aji! Maka, dia tidak begitu memperdulikan Maya Dewi dan ketika Candrabaya dan Cakrasakti berdua menghadapi Maya Dewi, dia hanya mengangguk saja untuk menjawab ucapan Candrabaya tadi. Pandang matanya masih terus ditujukan kepada Bagus Sajiwo yang kini sudah berdiri di depan kedua orang tuanya, menghadapinya.

Sementara Itu, Maya Dewi yang sudah menghadapi dua orang senopati Klungkung itu, mengejek. "Hai, kalian berdua orang-orang jelek dari Bali. Katakan dulu siapa kalian agar kelak aku dapat mengabarkan kepada keluarga kalian bahwa kalian sudah mampus hari ini!"

"Maya Dewi, perempuan keparat!" bentak Candrabaya marah, "Kami Candrabaya dan Cakrasakti, dua orang senopati Kerajaan Klungkung, hari ini akan menamatkan riwayatmu. Haaiilihhh!!".

Candrabaya sudah menerjang maju, tangan kanannya yang panjang dan besar itu menyambar dalam bentuk cakar ke arah dada Maya Dewi! .

Melihat sambaran tangan. itu, Maya Dewi maklum bahwa kepandaian orang ini tak perlu dikhawatirkan, Sebelum ia bertemu Bagus Sajiwo dan memperoleh tambahan tenaga sakti karena makan Jamur Dwipa Suddhi dan berlatih AJI Sari Bantala, tingkat kepandaian Candrabaya ini masih tidak akan mampu menandinginya. Apalagi sekarang. Dengan amat mudahnya ia mengelak. Hanya sedikit saja menggeser kaki miringkan tubuh, cengkeraman tangan Candrabaya hanya mengenai tempat kosong. Pada saat itu Cakrasakti berseru nyaring sambil menghantam dengan kepalan tangannya yang panjang kurus.

"Ciaaaattt...!!" Kepalan tangan yang hanya merupakan tulang terbungkus kulit itu menyambar cukup hebat, mendatangkan. angin bersiut. Namun, sambil tersenyum Maya Dewi mengelak lagi.

Dua orang senopati itu menjadi penasaran sekali. Serangan pertama mereka dielakkan demikian mudahnya oleh Maya Dewi dan gerakan wenita itu ketika mengelak mengejek sekali, seperti orang merem saja, seperti seorang dewasa mempermainkan dua orang anak nakal! Mereka menyerang lebih hebat lagi, dan dengan gencar. Bertubi-tubi mereka menyerang, dari kanan kiri, dari depan, belakang, menggunakan segala macam pukulan dan tendangan.

Semua orang yang menonton menjadi kagum. Maya Dewi masih tersenyum-senyum, terkadang tertawa mengejek. "Luput! Wah luput lagi! ih, gerakan kalian seperti siput lambatnya dan pukulan kalian seperti gudir (agar-agar) lunaknya!" Ia mengejek dan tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara sambaran, tangan dan kaki kedua orang yang menyerangnya.

Mendapat ejekan seperti, itu, Candrabaya dan Cakrasakti menjadi marah bukan main. Seolah terbakar hati mereka, kemarahan membuat mata mereka menjadi merah dan napas mereka panas, rambut serasa berdiri dan mereka menerjang dan menubruk seperti gila.

Maya Dewi sengaja mempermainkan mereka sambil mentertawakan dengan maksud agar orang-orang yang memusuhi orang tua Bagus Sajiwo ini menjadi buah tertawaan dan mendapatkan penghinaan. Dengan tenaga sakti dahsyat yang mengalir dalam tubuhnya, ia dapat bergerak sedemikian cepatnya sehingga dua orang itu sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya, apalagi melukainya.

Setelah merasa cukup mempermainkan mereka, tiba-tiba bayangan Maya Dewi meluncur ke atas dan tiba-tiba ketika tubuhnya berada diatas, kakinya bergerak mencuat dua kali. "Crot! Crot!" Bayangan Maya Dewi meluncur turun kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang melihat dua orang itu terhuyung dan memegangi pipi mereka yang bengkak dan bibir mereka yang pecah berdarah terkena tendangan tadi!

Tejakasmala terkejut bukan main! Wanita itu sungguh tak boleh dipandang ringan, pikirnya. Gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa Maya Dewi seorang yang sakti mandraguna dan dapat bergerak sedemikian ringan dan gesitnya seperti seekor burung srikatan saja! Dia hendak mencegah dua orang senopati yang mengikutnya itu, akan tetapi terlambat. Tenaga sakti dan Candrabaya menjadi demikian marahnya sehingga mereka melupakan rasa nyeri pada pipi mereka yang membuat kepala terasa nyut-nyutan dan mereka sudah mencabut sebatang keris yang panjang dan besar menyeramkan. Kemudian, tanpa banyak kata lagi, bahkan hampir tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, mereka mengeluarkan gerengan seperti dua ekor biruang marah, lalu menerjang ke arah Maya Dewi dengan ganas.

"Eiit-eiiit. kalian main-main dengan pisau pencokel kelapa itu, ya?" kata Maya Dewi dan dengan lincahnya ia mengelak dari tusukan-tusukan dua batang keris yang menyambar dahsyat itu. Kembali ia menggunakan keringanan tubuhnya untuk menghindarkan semua serangan keris dengan elakan-elakan.

"Dewi, tidak baik mempermainkan orang!" tiba-tiba terdengar Bagus Sajiwo berkata, suaranya lembut seperti membujuk.

Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka sejak tadi menonton dengan kagum betapa Maya Dewi mempermainkan dua orang senopati Bali yang sebetulnya telah memiliki tingkat kedigdayaan yang cukup tinggi itu.

Terutama sekali Lindu Aji dan Sulastri. Mereka berdua memang mengetahui bahwa Maya Dewi adalah seorang yang sakti, akan tetapi tak pernah mereka membayangkan sehebat itu kepandaian Maya Dewi. Dan yang lebih mengherankan mereka berempat, Maya Dewi benar-benar menentang mereka yang jelas memusuhi Mataram. Maya Dewi membela Mataram! Hal ini benar-benar merupakan sesuatu yang amat mengherankan hati mereka. Rasanya mustahil kalau mengingat akan sepak terjang Maya Dewi dahulu, beberapa tahun yang lalu. Padahal Lindu Aji dan Sulastri maklum benar bahwa wanita itu adalah seorang antek Kumpeni Belanda yang setia kepada Belanda!

Kini, setelah mendengar suara Bagus Sajiwo tadi, terjadi hal yang lebih mengherankan mereka lagi. Begitu mendengar kata-kata lembut itu, Maya Dewi berkata. "Maaf, Bagus!" Dan tiba-tiba ia berseru, "Robohlah kaliah berdua!"

Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan tiba-tiba saja dua orang Senopati Bali itu roboh terkena tamparan tangan kiri Maya Dewi dan hebatnya, keris mereka sudah pindah ke dalam tangan kanan Maya Dewi! Dua orang itu terpelanting roboh dan mereka memegangi kepala yang terasa seperti disambar petir!

Dengan senyum manis Maya Dewi menghampiri mereka dengan dua bilah keris di kedua tangannya. Setelah dekat ia bergerak hendak menghunjamkan keris kepada pemiliknya masing-masing.

"Dewi, jangan bunuh orang!" kembali terdengar suara Bagus Sajiwo. Seruan ini menghentikan gerakan kedua tangan Maya Dewi dan sebagai gantinya, dua kali kakinya menendang dan tubuh dua orang senopati itu terlempar ke arah Tejakasmala! Pemuda itu menjulurkan tangan dan menangkap tubuh dua orang pembantunya sehingga mereka tidak menabraknya dan tidak terbanting.

Maya Dewi tersenyum dan ia menyatukan kedua batang keris itu ke dalam kedua tangan, meremasnya dan terdengar bunyi krek-krek dan dua batang keris itu telah patah-patah. Ia melemparkan patahan keris itu ke depan dan potongan baja itu melayang ke arah Tejakasmala!

Tejakasmala mengebutkan tangannya dan beberapa potong baja itu runtuh dan menancap ke atas tanah! Pemuda Bali ini marah bukan main. Wanita itu terlalu menghinanya! Dua orang pembantunya telah dikalahkan secara mutlak dan bukan hanya sampai disitu saja penghinaannya, melainkan keris mereka yang bagi senopati Klungkung merupakan pusaka yang dihormati, dipatah-patahkan dan patahannya dilemparkan kepadanya!

Sementara itu, Bhagawan Kalasrenggi dan kedua orang muridnya yang raksasa, yaitu Kaladhama dan Kalajana, merasa kecewa sekali melihat sepak-terjang dua orang senopati Klungkung itu. Mereka bertiga dapat menilai bahwa tingkat kepandaian dua orang senopati itu masih lebih rendah daripada tingkat mereka, sehingga menjadi permainan Maya Dewi. Terutama sekali Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran sekali. Dia sendiri merasa dapat mengalahkan Maya Dewi, akan tetapi karena dia tadi sudah dikalahkan Lindu Aji, maka dia merasa gentar untuk menantang lagi dan menyerahkan kepada Tejakasmala untuk membersihkan nama dan muka mereka. Harapan mereka kini hanya pada Tejakasmala yang mereka tahu merupakan orang yang sakti mandraguna dan tadi sudah dibuktikan dengan mengalahkan Ki Tejomanik dan Lindu Aji beserta isteri mereka.

Biarpun semua kawannya sudah kalah, namun Tejakasmala tidak merasa gentar atau kecil hati. Dia terlalu percaya kepada diri sendiri. Ketika dia berhasil menyampok sambitan potongan keris dari Maya Dewi, sambil tersenyum dia bersenyum dia berkata,

"Aku sudah menyambut seranganmu. sekarang sambutlah ini!" Setelah berkata demikian, tangan kirinya mendorong ke depan, ke arah Maya Dewi. Ada uap hitam menyambar dari telapak tangan itu, meluncur ke arah Maya Dewi dan mengeluarkan suara mencicit.

Melihat serangan ini, Maya Dewi tidak berani memandang ringan. ia mengenal aji kesaktian yang ampuh dan berbahaya, maka ia pun mendorongkan kedua tangan untuk menolak serangan jarak jauh tangan kiri Tejakasmala itu.

"Syuuuuuttt... wusssss!!" Tubuh Maya Dewi seperti sebuah bola karet ditendang, terpental kebelakang sampai sekitar sepuluh tombak jauhnya! Akan tetapi ia turun ke atas tanah dengan ringan dan berdiri tegak sambil tersenyum.

Ini menunjukkan bahwa biarpun ia kalah kuat, namun ia sama sekali tidak terluka dan tadi ia menggunakan keringanan tubuhnya sehingga tubuh itu terdorong jauh kebelakang tanpa terluka sedikit pun. Melihat ini diam-diam Tejakasmala merasa terkejut juga.

Bagus Sajiwo maklum bahwa Tejakasmala itu tangguh sekali. Dia khawatir kalau Maya Dewi nekat melawan lagi karena hal itu depat membahayakan keselamatan Maya Dewi. Maka dia berkata sambil menengok kebelakang, memandang wanita itu.

"Dewi, biar aku yang menghadapi Kisanak ini!" Dia lalu melangkah maju dan berdiri berhadapan dengan Tejakasmala dalam jarak kurang lebih tiga tombak.

Dua orang pemuda yang sama-sama bertubuh tegap dan berwajah tampan itu saling pandang tanpa berkedip, tanpa bergerak sedikit pun seolah telah menjadi patung.

Wajah Bagus Sajiwo tenang seperti permukaan air telaga yang dalam, sedikit pun tidak membayangkan perasaan hatinya, wajah yang cerah dengan mata lembut penuh pengertian, tenang dan menanti apa yang akan terjadi tanpa prasangka, tanpa kecurigaan. Adapun wajah Tejakasmala yang juga tampan itu tampak dipengaruhi gelombang perasaannya yang marah. Sepasang matanya mencorong dan bibirnya tersenyum mengejek, membayangkan ketinggian hatinya. Biarpun keduanya tampak diam saja, namun seoiah mereka itu dengan kediaman mereka saling menguji, saling menilai kekuatan lawan.

Akhirnya dalam adu kesabaran ini, agaknya Tejakasmala tidak begitu tahan uji dibandingkan Bagus Sajiwo. Dia mulai tidak sabar dan gelisah, seolah-olah gerak-gerik Cakil menghadapi Arjuna.

"Hei, bocah bosan hidup! Agaknya engkau ini putera Ki Tejomanik. Siapakah namamu?" pertanyaan ini diajukan dengan nada suara memandang rendah, tentu dengan maksud untuk membikin gentar hati lawan.

Apalagi dalam suaranya terkandung kekuatan sihir yang dapat mempengaruhi perasaan lawan sehingga menimbulkan perasaan gentar. Namun dengan sikap tenang Bagus Sajiwo menjawab, suaranya lembut, sedikit pun tidak mengandung kemarahan atau kebencian.

"Benar sekali, Kisanak. Aku adalah putera Ayahanda Ki Tejomanik. Namaku Bagus Sajiwo."

"Hemm, ketahuilah, Bagus Sajiwo. Aku adalah Raden Tejakasmala, keturunan Raja Kerajaan Gel-gel. Aku adalah murid utama dari Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung, Bali-dwipa! Bagus Sajiwo besar sekali nyalimu, berani menentang aku?"

Tejakasmala menceritakan semua itu tentu untuk membuat lawannya gentar. Siapa yang tidak mendengar akan kebesaran nama Raja Gel-gel di Bali dan nama Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung Bali? Akan tetapi sekali ini dia kecelik. Bagus Sajiwo sama sekali belum pernah mendengar nama Raja Gel-gel maupun Sang Bhagawan Ekabrata, maka tentu saja mendengar nama-nama besar itu baginya tidak ada bedanya, dengan kalau dia mendengar nama Suto atau Kromo sehingga jangankan gentar, heran pun tidak ada dalam perasaannya.

"Tejakasmala, aku. sama sekali tidak bermaksud untuk menentang Andika. atau siapa pun juga. Akan tetapi, kalau Andika hendak membunuh orang-orang yang tidak bersalah, apalagi membunuh orang tuaku, tentu saja aku akan menghalangi perbuatanmu yang jahat itu. Untuk membela mereka, aku tidak akan mundur setapak pun, Tejakasmala!" .

"Babo-babo, sumbarmu seperti engkau dapat meruntuhkan gunung membendung lautan! Kau kira hanya engkau sendiri yang memiliki kesaktian? Bagus Sajiwo, bersiaplah, sekali ini engkau akan bertemu lawan yang akan mengalahkan semua ajianmu. Sebelum engkau menggeletak tanpa nyawa, hayo katakan lebih dulu siapa gurumu agar aku tahu murid siapa yang sekali ini kurobohkan."

Bagus Sajiwo sampai lama tidak menjawab karena dia merasa bingung ditanya siapa gurunya. Dia tidak ingin menyebut nama Ki Ageng Mahendra karena dia tidak mau membawa-bawa nama gurunya dalam permusuhan dengan Tejakasmala.

Gurunya itu dahulu telah sering menasihati agar dia tidak bermusuhan dengan siapa pun juga, lebih baik mengalah dan mengambil jalan damai sedapat mungkin. "Angger," suara mendiang Ki Ageng Mahendra masih terngiang di dalam telinganya. "ngalah (mengalah) itu ngelmu ne Allah (ilmunya Allah). Maka orang yang berani mengalah itu dhuwur wekas ane (akhirnya ditinggikan)."

"Berani, Eyang?" ketika itu dia bertanya. Mengapa mengalah saja membutuhkan keberanian?

"Tentu saja, Angger. Tersinggung dan marah itu dapat dilakukan oleh siapa pun juga, akan tetapi mengalah dengan sabar membutuhkan keberanian yang tinggi. Mengalah bukan berarti kalah, dan orang yang sabar itu kekasih Gusti Allah. Benar tanpa menyalahkan orang lain, menang tanpa mengalahkan orang lain."

"Akan tetapi kalu begitu untuk apa saya mempelajari semua aji kanuragan dari Eyang selama ber-tahun2 kalau saya tidak boleh berkelahi, Kanjeng Eyang?"

"Angger Bagus Sajiwo, aji kenuragan adalah ilmu yang mengandung tiga sifat, pertama merupakan gerakan seni tari yang indah, dengan gerakan-gerakan lembut dan halus karena disitulah letak kekuatannya. Ke dua merupakan olah raga yang dapat menyehatkan dan menguatkan tubuh sehingga tidak mudah terkena penyakit dan tubuh yang sehat dan kuat membuat orang dapat melaksanakan tugas pekerjaannya dengan sebaik mungkin Dan ke tiga merupakan ilmu beladiri, yaitu ketangkasan yang dapat dipergunakan untuk menolak datangnya ancaman bahaya terhadap badan, Juga dapat dipergunakan untuk membela orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi semua itu haruslah dilandasi atau didasari satu hal, yaitu kebenaran. Dan tidak ada kebenaran yang jauh dari Gusti Allah karena hanya Dia yang Maha Benar. Maka, engkau harus selalu dekat dengan Gusti Allah, Angger, dengan Jalan penyerahan diri seutuhnya dan secara mutlak, selalu mohon bimbinganNya."

Demikianlah, ketika Tejakasmala bertanya kepadanya siapa gurunya, dia tidak segera menjawab dan percakapan dengan mendiang gurunya itu terngiang di telinganya. Sekali ini pun dia tidak hendak berkelahi, melainkan membela orang tuanya yang hendak dibunuh.

"Heh, Tejakasmala manusia sombong. Anak kemarin sore yang masih bau kencur bicaranya sudah kementhus (sombong) seperti katak budhug! Mau tahu siapa guru Bagus Sajiwo? gurunya adalah Kakek Guru dari Sang Bhagawan Ekabrata!" Siapa lagi kalau bukan Maya Dewi yang mengeluarkan kata-kata pedas menggigit seperti itu?

Wajah Tejakasmala menjadi merah seperti udang direbus. Ucapan Maya Dewi itu bukan hanya menghina dia, melainkan juga menghina gurunya, Sang Bhagawan Ekabrata!

Tejakasmala bukan seorang pemuda mata keranjang. Dia selalu menjaga diri, menjauhi wanita maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam aji kesaktian. Sang Bhagawan Ekabrata adalah seorang pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai dan bukan seorang datuk sesat. Dia bertapa untuk hidup bersih. Sayang dia tidak acuh terhadap murid-muridnya sehingga dia hanya menurunkan ilmu-ilmunya tanpa mengarahkan ke jalan benar. Hanya melatih raganya tidak melatih jiwanya. Maka, tiga orang muridnya, Tejakasmala, dan si kembar Dhirasani dan Dhirasanu, walaupun tidak melakukan perbuatan jahat, namun memiliki watak sombong dan memandang rendah orang lain, menganggap diri sendiri paling hebat.

Juga mereka mudah dibakar api kemarahan kalau tinggian hatinya tersinggung seperti halnya Tejakasmala sekarang yang menjadi marah sekali kepada Maya Dewi. ingin membunuh wanita itu sekarang juga. Akan tetapi karena yang dihadapi adalah Bagus Sajiwo, maka semua kemarahannya dia timpakan kepada Bagus Sajiwo.

"Keparat engkau, Bagus Sajiwo! Engkau mengandalkan tajam dan cerewetnya mulut wanita untuk menghina aku dan Guruku. Bersiaplah engkau untuk mati lebih dulu, baru akan kubunuh semua orang itu!" katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Maya Dewi.

Hebatnya, telunjuk kiri pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan asap bergulung dan asap itu membentuk seekor harimau yang mengeluarkan suara mengaum sambil membuka moncongnya dan harimau Jadi-jadian itu menubruk ke arah Maya Dewi.

Akan tetapi Maya Dewi telah menguasai Aji Sari Bantala, kekuatan aji ini bersandar kepada kekuasan Gusti Allah, mengambil kekuatan bumi yang ada pada bumi menjadi tenaga inti bumi, Maka ia tertawa saja menghadapi serangan harimau jadi-jadian itu dan sambil menekuk lutut kanan yang berada di depan, tangan kanannya yang terbuka mendorong ke arah harimau jadi-jadian itu sambil membentak nyaring.

"Demi kekuatan Sari Bantala, enyahlah kamu mahluk jadi-jadian!"

"Wuuuuussshhh...!" Harimau jadi-jadian itu seperti asap ditiup angin, membuyar dan mengecil lalu asap putih itu kembali ke telunjuk kiri Tejakasmala.

Tejakasmala kembali merasa terkejut. Tadi ketika wanita itu menerima serangannya yang menggunakan Aji Condromawo, gadis itu jelas kalah kuat dan terpental jauh walaupun tidak mengalami cidera. Akan tetapi kini wanita itu dapat memunahkan sihirnya yang biasanya amat kuat. Dia merasa penasaran dan hendak melanjutkan serangannya kepada Maya Dewi yang dibencinya karena wanita itu telah menghinanya.

Akan tetapi Bagus Sajiwo berkata tenang. "Tejakasmala, tidak malukah Andika kalau menyerang wanita? Sebaiknya, Andika dan teman-teman Andika meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu orang lain. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga dan kalau Andika pergi, aku akan menyudahi saja urusan ini dan tidak memperpanjangnya lebih lanjut."

"Bagus, mana bisa begitu? Enak dia rugi kita kalau begitu! Dia sudah menghina dan menyerang Paman Tejomanik dan Bibi Retno, Susilo, Juga menyerang Lindu Aji dan Sulastri, bahkan nyaris membunuh mereka berempat! Dan sekarang engkau mau menyudahi urusan ini begitu saja? Wah, bocah ingusan ini akan menjadi semakin gemendhik kalau begitu!" Biarpun hati Maya Dewi kini telah berubah sama sekali namun ia tidak kehilangan kegalakan dan kepintaran bicaranya.

Sebetulnya, kini nafsu kebencian sudah sukar membakar hatinya, dan semua ucapannya itu hanya untuk menggoda pemuda yang dianggapnya jahat itu. Kalau Lindu Aji dan Sulastri merasa heran melihat perubahan Maya Dewi dan merasa geli mendengar ucapan dan melihat lagak wanita itu, Ki Tejomanik dan Retno Susilo mengerutkan alis mereka. Kemesraan dan akrabnya hubungan yang tampak antara putera mereka dan Maya Dewi sungguh membuat mereka merasa tidak senang dan mereka menganggap bahwa semua ucapan dan sikap Maya Dewi itu hanya buatan dan pura-pura dengan maksud mencari muka kepada mereka!

Dibakar dengan kata-kata oleh Maya Dewi, Tejakasmala tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menggunakan kesempatan selagi Bagus Sajiwo menoleh ke arah Maya Dewi untuk menegur wanita itu agar jangan menggoda Tejakasmala. Cepat bagaikan kilat menyambar dia sudah menyerang tanpa memberi peringatan lagi.

"Bagus, awas...!" Maya Dewi berseru kaget.

"Wuuuttt... desss!!" Bagus Sajiwo yang sama sekali tidak mengira lawannya akan menyerang secara tiba-tiba, tidak sempat menghindar dan pukulan tangan kanan Tejakasmala dengan tangan terbuka mengenai dadanya sehingga dia terpental dan roboh pingsan!

"Jahanam busuk engkau! Pengecut hina dina!" Maya Dewi berteriak dan ia sudah menerjang Tejakasmala dengan serangan yang cepat dan dahsyat.

Tejakasmala girang bukan main melihat pukulannya tepat mengenai dada Bagus Sajiwo. Lawan satu-satunya yang dianggap berat telah dia robohkan dan pukulannya tadi itu telah menewaskan lawan tangguh karena dia telah mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya dan pukulan itu tepat mengenai dada Bagus Sajiwo.

Pukulannya mengandung tenaga dalam dan itu telah meremukkan isi dada Bagus Sajiwo, Kini dia tinggal menghadapi wanita yang membuat hatinya panas dan marah sekali. Setelah Bagus Sajiwo tewas, yang lain-lain dia anggap ringan karena tadi dia sudah mendapat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun diantara mereka yang mampu menandinginya!