Bagus Sajiwo Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 14

SEHABIS makan Ki Bangak dan Nyai Bangak tidak membolehkan Jaka Salman dan Mumun meninggalkan mereka. Mereka masih ingin bercakap-cakap dengan santai untuk menyatakan kebahagiaan mereka dengan perjodohan anak mereka itu. Ki Bangak menceritakan dengan bangga dan menurut pandangan Jaka Salman, agak sombong, tentang pengalamannya sebagai jagoan sejak dia muda sampai akhirnya menetap di lembah Sungai Cimanuk memimpin gerombolannya yang sekarang ini. Dengan panjang lebar Ki Bangak memamerkan kehebatannya sebagai jagoan dan dia bicara seolah tanpa henti. Tahu-tahu malam telah merayap sampai larut. Setelah hampir tengah malam, Muntari tidak tahan lagi.

"Bapak, ceritanya dilanjutkan besok saja. Akang Maman hendak bicara berdua denganku!" Setelah berkata demikian kepada ayahnya, Muntari menarik tangan Jaka Salman dan berkata, "Mari, Kang Maman!"

Mereka berdua lalu pergi meninggalkan ruangan itu, diikuti gelak tawa Ki Bangak dan isterinya. Muntari menggandeng tangan Jaka Salman memasuki kamarnya. Setelah memasuki kamar, Jaka Salman menutupkan daun pintu dan daun jendela dan melihat hal ini, Muntari tersenyum lebar dengan wajah berseri dan kedua pipi berubah kemerahan.

Lampu dalam kamar itu oleh pelayan diselubungi kertas merah sehingga kamar itu tampak kemerahan dan romantis! Dengan jantung berdebar dan kedua tangan gemetar, Muntari duduk di tepi pembaringan. Jantungnya makin berdebar kuat ketika Jaka Salman, tanpa malu-malu, duduk di sampingnya.

"Mumun..."

"Ya, kang...?" Muntari memotong kata-kata Jaka Salman.

"Sebelumnya, aku minta maaf kepadamu kalau aku akan membuatmu kecewa dan terkejut. Terus terang saja, Mumun, mustahil kalau kita harus menjadi suami isteri karena..."

"Ehh? Ada apa ini, kang?" Mumun memotong dan kedua matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut.

Jaka Salman atau Neneng Salmah memegang kedua pergelangan tangan gadis itu dan membawa tangan itu ke dadanya. "Karena ini... karena aku juga seorang wanita."

Wajah hitam manis itu tampak pucat, mata itu terbelalak dan seolah kedua tangannya menyentuh bara api, Muntari menarik kedua tangannya dari dada orang yang membuatnya tergila-gila itu.

"... ahhh...! Kau... kau... kenapa engkau tidak memberi tahu sebelumnya...?"

"Maaf, Mumun, aku sedang menyamar, maka aku hendak menyembunyikan penyamaranku. Sekarang pun aku hanya membuka penyamaranku kepadamu seorang, aku tidak ingin orang lain mengetahuinya."

Sepasang mata Mumun bersinar seperti bara api, kemarahannya memuncak. "Jahanam kau! Engkau menipuku, mempermainkan dan mempermalukan aku! Semua orang sudah mendengar bahwa aku akan menikah denganmu, tidak tahunya engkau seorang wanita! Keparat! Engkau membuat aku menjadi bahan ejekan dan , tertawaan semua orang!" Suaranya berubah isak dan Muntari menangis, akan tetapi dengan air mata bercucuran ia mengamuk mengirim tamparan keras ke arah muka Jaka Salman.

"Pemuda" itu sudah siap menjaga diri, maka dia cepat mengelak. Sampai tiga kali Muntari menyerang, akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Jaka Salman. Akhirnya sambil menangis Muntari lari, membuka pintu dan melompat keluar.

"Mumun...!" Jaka Salman memanggil, akan tetapi gadis itu berlari terus sambil menangis. Jaka Salman terpaksa menanti dalam kamar itu, termenung dan menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sementara itu, Muntari berlari ke kamar orang tuanya dan menggedor pintu kamar yang sudah tertutup itu. Ki Bangak dan isterinya yang belum tidur dan sedang membicarakan rencana pernikahan anak mereka, terkejut mendengar pintu digedor dan isak tangis Muntari. Keduanya membuka pintu dan Muntari segera merangkul ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Aeh, apa yang terjadi, anakku?" Nyai Bangak merangkul anaknya. "Ada apakah, Mumun?" Akan tetapi Mumun yang menangis sesenggukan itu tidak dapat menjawab.

Ki Bangak menjadi tidak sabar. "Mumun!" dia membentak. "Hayo ceritakan mengapa engkau menangis!"

Muntari menahan tagisnya lalu menjawab dengan suara masih terputus-putus disela tangis "Bapak... ibu... dia... dia itu wanita... yang menyamar pria...hu-hu-hhuuuhh..."

Suami isteri itu terbelalak, terheran-heran, akan tetapi Ki Bangak segera dapat mengetahui apa yang dimaksudkan puterinya. "Dimana dia sekarang?" bentaknya.

"Di dalam kamarku..." Mumun menjawab sambil mengusap air mata dari kedua pipinya.

"Keparat, biar kuhajar dia!" Ki Bangak lalu berlari keluar, diikuti Muntari dan ibunya.

Karena daun pintu kamar Muntari sudah terbuka, Ki Bangak lalu melompat ke dalam dan dia melihat Jaka Salman duduk di atas kursi dengan sikap tenang. Akan tetapi ketika melihat ayah Muntari itu melompat masuk dengan mata melotot dan muka bengis menyeramkan Jaka Salman segera bangkit berdiri.

"Keparat, engkau menipu puteriku!" Ki Bangak membentak marah.

"Maafkan aku, paman. Aku tidak menipu, akan tetapi puterimu yang salah mengenal orang dan ia memaksaku dan membawaku kesini." jawab Jaka Salman dengan lembut.

"Hemmm... !" Ki Bangak menerjang ke depan.

Jaka Salman bergerak hendak mengelak kalau-kalau diserang. Akan tetapi secepat kilat tangan kiri Ki Bangak menyambar dengan tamparan kuat sekali ke arah kepala Jaka Salman. "Pemuda" itu mengelak ke samping, akan tetapi tanpa diduga-duga, tangan kiri Ki Bangak sudah mencengkeram ke arah bajunya.

"Wuuuttt... breettt...!!" Baju di bagian dada Jaka Salman terkoyak dan tampaklah jelas tanda kewanitaannya pada dadanya. Jaka Salman atau Neneng Salmah cepat menutupkan bagian baju yang koyak itu ke dadanya.

"Kubunuh kau, keparat!" Muntari membentak dan ia sudah mencabut kerisnya dan menerjang ke arah Neneng Salmah, menusukkan kerisnya ke arah perut.

Neneng Salmah cepat mengelak dan gerakan ini membuat tangannya terpaksa melepaskan baju yang robek itu sehingga terbuka lagi menelanjangi dadanya. Serangan pertama yang luput itu membuat Muntari semakin marah dan ia sudah melompat ke depan hendak menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang oleh Ki Bangak yang menarik tangan itu dengan kuat sehingga tubuh Muntari tertarik ke belakang dan terhuyung sampai ke pintu kamar itu.

"Bapak...!" Muntari berseru menegur ayahnya dengan heran.

Kiranya Ki Bangak tiba-tiba tertarik kepada Neneng Salmah setelah melihat tanda kewanitaan gadis itu. "Jangan bunuh ibu tirimu, Mumun!" kata Ki Bangak sambil menyeringai dan memelintir kumisnya yang tebal.

"Ibu tiri...?" Muntari bertanya heran sambil menatap wajah ayahnya dengan mata terbelalak.

"Ya, ibu tirimu karena ia akan menjadi selirku!" Ki Bangak melangkah maju menghampiri Neneng Salmah.

"Tidak! Aku tidak sudi menjadi selirmu!" kata Neneng Salmah, kini menggunakan suaranya sendiri, suara wanita yang merdu.

"Ha-ha-ha, siapa berani menolak kehendak Ki Bangak? Manis, menyerahlah saja dengan suka rela dan engkau akan hidup senang disini sebagai selirku. Itu lebih baik daripada kalau aku memaksamu dengan kekerasan, bukan? Nah, katakan siapa namamu yang sesungguhnya, manis!" Dia melangkah maju lagi dan Neneng Salmah mundur menghindar sampai belakang pahanya tertahan pembaringan sehingga ia tidak dapat mundur lagi.

Pada saat kedua lengan Ki Bangak yang panjang dan besar berotot dan berbulu itu menjulur dan kedua tangannya hendak menangkap dan merangkul Neneng Salmah, tiba-tiba terdengar jerit Muntari dan Nyai Bangak. Ki Bangak terkejut, apalagi ketika melihat wajah Neneng Salmah berseri dan gadis itu sambil menutupkan bajunya yang terkoyak berseru girang, "Akang Jatmika."

Ki Bangak cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat betapa Muntari sudah ditelikung tangannya ke belakang tubuh oleh seorang pemuda dan keris milik gadisnya itu kini berada di tangan pemuda itu yang menodongkan keris ke leher Muntari. Nyi Bangak berdiri memandang terbelalak ketakutan.

"Ki Bangak, biarkan gadis itu pergi atau terpaksa aku akan membunuh puterimu lebih dulu!" bentak Jatmika dengan suara mengancam.

"Jangan...! Ah, jangan bunuh anakku...!" Nyai Bangak menjerit.

Ki Bangak marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mengancamnya seperti ini. Juga dia merasa penasaran bagaimana pemuda asing ini berani dan dapat memasuki rumahnya seperti ini, padahal perkampungan dan terutama rumahnya itu terjaga rapat oleh anak buahnya. "Anak setan!" Dia memaki. "Engkau sudah bosan hidup!" Ki Bangak lalu menyerang Jatmika dengan pukulan jarak jauh.

Kedua tangan dibuat terbuka dan mendorong ke arah Jatmika. Angin pukulan yang kuat menyambar ke arah Jatmika. Pemuda itu cepat menyambut dengan dorongan tangan kirinya tanpa memindahkan keris itu dari leher Muntari.

"Wuuuttt... dessss...!!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Ki Bangak yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai! Ki Bangak terengah-engah, dadanya terasa sesak.

"Neneng cepat kesini!" kata Jatmika. Neneng Salmah cepat berlari mendekati sambil memegangi baju yang koyak agar menutupi dadanya.

Jatmika memandang ke arah Ki Bangak yang masih belum dapat berdiri, hanya duduk sambil menekan dadanya. "Kami pergi dan anakmu harus mengantar kami sampai keluar dari perkampungan ini. Kalau engkau mengerahkan anak buahmu menghalangi, akan kubunuh lebih dulu anakmu ini!"

Setelah mengeluarkan ancaman itu, Jatmika yang kini menelikung lengan kanan Muntari ke belakang tubuh, mendorong gadis itu keluar dari kamar. Neneng Salmah berjalan di samping Muntari sehingga gadis itu berada di tengah, diantara mereka.

"Jangan bunuh anakku...!" Nyai Bangak kembali berseru sambil mengikuti Jatmika dan Neneng Salmah.

"Ia tidak akan kami ganggu asalkan kami juga tidak diganggu dan dihalangi kepergian kami!" kata Jatmika dan sambil terus menodongkan keris ke leher Muntari, Jatmika menggiring Muntari keluar dari rumah, diikuti oleh Neneng Salmah.

Setibanya di beranda depan, belasan orang berlompatan dan menghadang di depan, dengan senjata tajam di tangan dan tampaknya mereka hendak mengeroyok. Akan tetapi meragu melihat Muntari ditodong keris.

"Jangan ganggu mereka! Jangan keroyok! Mundur kalian semua, beri jalan kepada mereka. Semua mundur...!" Nyai Bangak menjerit-jerit dan semua orang yang tadinya menghalang itu terpaksa mundur dan memberi jalan kepada Jatmika dan Neneng Salmah.

Jatmika membawa Muntari ke tepi sungai dan mereka bertiga lalu memasuki sebuah perahu milik gerombolan itu. Kepada para anak buah gerombolan yang mengikuti mereka dari jarak agak jauh dan kini berdiri di tepi sungai, Jatmika berseru.

"Kami akan membebaskan gadis ini kalau ternyata kalian tidak mengejar kami. Kalau kalian mengejar, kami tidak akan membebaskannya!" Lalu dia berkata kepada Neneng Salmah. "Neneng, pegang keris ini dan kalau ia melawan, tusuk dan bunuh saja. Aku akan mengemudikan perahu."

Neneng Salmah menerima keris itu dan sambil duduk dibelakang Muntari, ia menodongkan kerisnya di lambung kanan gadis itu. Jatmika segera melepas tali pengikat perahu dan menggerakkan dayung di air untuk mengemudikan perahu ke tengah sungai. Dia mendengar suara parau Ki Bangak yang memaki anak buahnya dan membentak mereka agar tidak melakukan pengejaran.

Ketika perahu meluncur di tengah sungai, Jatmika memandang ke sekeliling dan mendengarkan kalau-kalau ada yang melakukan pengejaran. Akan tetapi suasana sunyi saja cuaca remang-remang diterangi bulan tiga perempat.

Neneng Salmah merasa kasihan juga kepada Muntari yang sejak tadi diam saja dan tampak gadis yang lincah dan galak itu kini seperti orang gelisah. "Mumun, kuharap sungguh bahwa pengalaman ini dapat menjadi pelajaran yang baik untukmu. Ketahuilah, bahwa caramu memaksa seorang pemuda menjadi suamimu, bukanlah cara yang baik dan benar dan akhirnya hanya akan menyusahkan dirimu sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan, harus didorong keinginan kedua pihak yang saling mencinta. Cinta sepihak, apalagi kalau pihak lain dipaksa, akan mendatangkan kegagalan dan kekecewaan. Bayangkan saja andaikata ada seorang pria memaksamu menjadi isterinya, padahal engkau tidak cinta kepadanya, apakah engkau akan dapat menjadi isterinya yang baik? Engkau tentu diam-diam akan membencinya walaupun secara berterang engkau tidak berani. Nah, demikian pula kalau engkau memaksa seorang pria menjadi suamimu. Dia pasti diam-diam membencimu dan hidupmu akan sengsara. Pilihlah seorang pria yang mencintamu dan juga kau cinta untuk menjadi suamimu, Mumun."

Mendengar nasihat Neneng Salmah yang diucapkan dengan nada bersungguh-sungguh, keluar dari hati yang menaruh iba, Muntari menangis.

Jatmika berkata, "Nah, engkau sekarang boleh pergi, Muntari! Loncatlah keluar dari perahu!"

"Akang Jatmika!" Neneng Salmah berseru. "Pinggirkan dulu perahunya Agar Mumun dapat mendarat."

"Hemm, ia pernah memaksa aku tercebur di sungai ini. Kalau sekarang aku minta ia untuk meloncat dengan suka rela, hal itu masih baik sekali untuknya. Nah, loncatlah keluar!" kata pula Jatmika yang masih merasa mendongkol atas sikap Muntari siang tadi.

"Aku memang bersalah. Selamat jalan dan maafkan aku!" kata Muntari dan ia-pun meloncat ke dalam air. Loncatannya indah dan ketika tubuhnya tiba di air, ia masuk dengan kedua tangan lebih dulu tanpa mengeluarkan suara.

"Engkau keterlaluan, kang!" cela Neneng Salmah. "Ia bisa mati tenggelam!" Gadis ini mencari-cari dengan matanya, mencoba menembus cuaca yang remang-remang itu karena ia tidak melihat tubuh Muntari muncul lagi setelah gadis itu terjun ke air.

"Ah, Neneng. Apakah engkau tidak melihat cara ia melompat ke dalam air? Begitu lincah seperti ikan! Tidak, Neneng, ia tidak mungkin tenggelam atau hanyut. Gadis itu puteri kepala bajak sungai, ingat? Tentu saja ia mahir bermain dalam air."

"Aku... aku kasihan kepadanya, Kang Jatmika."

Jatmika tertawa. "Itu adalah karena engkau memang memiliki budi luhur, Neneng. Aku teringat akan wejangan mendiang Eyang Tejo Langit. Beliau mengatakan bahwa hanya orang yang memiliki kasih sayang murni terhadap sesamanya, dia yang akan dapat merasakan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Aku merasa yakin bahwa engkau adalah seorang yang telah membiarkan hatimu dihuni oleh Kasih murni yang dimaksudkan itu."

"Ah, engkau bicara tentang kasih sayang murni, Akang Jatmika. Kalau ada yang murni, tentu ada yang tidak murni atau palsu, begitukah? Lalu apa perbedaan antara kasih murni dan kasih palsu?"

"Tentu saja ada kasih yang tidak murni, Neneng. Sebagian besar kasih yang didengung-dengungkan oleh kita manusia dalam kehidupan di dunia ini, adalah kasih sayang yang tidak murni itu. kasih sayang nafsu belaka, kasih sayang jual-beli, kasih sayang yang mengharapkan balas jasa atau imbalan, kasih sayang berpamrih demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Kasih sayang palsu buatan nafsu ini hanya merupakan kebalikan saja dari benci, dan timbul tenggelam silih berganti dengan benci. Mengasihi, akan tetapi minta imbalan ini dan itu dan biasanya imbalan yang dituntut lebih besar dan lebih banyak daripada kasih yang diberikan, dan kalau imbalan itu tidak didapatkan, maka kasih palsu itu berubah menjadi benci."

"Wah, aku jadi ngeri mendengarnya, kang! Bukankah banyak cinta kasih murni di dunia ini? Misalnya cinta kasih antara suami-isteri, antara saudara kandung, antara anak dan orang tua, antara dua orang sahabat."

"Mungkin saja ada, akan tetapi berapa gelintir orang yang memiliki cinta kasih murni seperti itu? Biasanya, cinta kasih kita ditujukan kepada diri sendiri. mencinta orang lain hanya menjadi sarana untuk menyenangkan diri sendiri, berpamrih untuk memenuhi keinginan diri sendiri. Kita dapat melakukan penyelidikan kepada diri sendiri, apakah cinta kita itu murni ataukah tidak. Cinta murni tak pernah padam, dan tidak mungkin berubah menjadi benci. Andaikata suami atau isteri yang kita cinta itu tidak memenuhi keinginan kita, tidak menyenangkan bahkan merugikan, melanggar ketentuan yang kita inginkan, tidak membalas cinta kita dan sebagainya, apakah kita akan tetap mencintanya? Ataukah cinta kita itu berubah menjadi benci? Andaikata anak, atau orang tua kita tidak menyenangkan hati kita, mengecewakan, mencemarkan nama baik dan berbagai tindakan lain yang tidak kita inginkan sehingga menyusahkan kita, apakah cinta kita masih tetap, ataukah terganti benci? Kalau seorang sahabat yang sudah ratusan kali melakukan kebaikan, lalu pada suatu saat melakukan satu saja perbuatan yang merugikan, menyusahkan dan tidak menyenangkan hati kita, apakah cinta kita kepadanya masih tetap? Ataukah berubah menjadi benci? Cinta yang berubah menjadi benci bukanlah cinta murni, melainkan cinta nafsu, yang dicinta pada hakekatnya adalah diri sendiri. Tentu saja ada orang-orang bijaksana yang hatinya sudah dihuni cinta kasih murni dan orang seperti itu yang dapat disebut orang bahagia, seorang manusia yang mengasihi sesamanya tanpa pandang bulu, ikut berduka dan selalu siap meno-long melihat orang lain menderita, dan ikut gembira melihat orang lain bergembira."

"Aduh, kalau begitu cinta kita manusia ini selalu dikotori oleh nafsu? Lalu bagaimana caranya belajar agar kita dapat memiliki kasih sayang yang murni?"

"Manusia hidup di dunia bergelimang dosa, Neneng. Akan tetapi ada agama yang mengajarkan bagaimana agar kita dapat hidup secara baik dan benar. Semua agama menuntun kita ke arah kebenaran dan kebajikan asal kita benar-benar mematuhi ajarannya. Tentu saja sebaik-baiknya manusia masih ada cacat celanya. Yang Maha Baik, Maha Benar, dan Maha Kasih itu hanyalah Gusti Allah. Kasih suci murni hanyalah Gusti Allah yang Maha Kasih, tanpa pamrih dan berkahnya melimpah ruah kepada semua mahluk ciptaanNya. Sinar matahari itu menghidupkan dan dinikmati siapa saja dan apa saja. Pendeta maupun penjahat, si kaya maupun si miskin, si pintar maupun si bodoh, menikmati sinar matahari yang sama. Bunga mawar yang semerbak, dicium oleh raja maupun pengemis, oleh pendeta maupun penjahat, tetap harum. Itulah Kasih sejati, Kasih murni, Kasih Illahi!"

"Akan tetapi Akang Jatmika, mungkinkah bagi manusia untuk memiliki kasih seperti itu? Bagaimana mempelajarinya?"

"Kasih bukan ilmu yang dapat dipelajari, bukan hasil akal pikiran, melainkan rasa perasaan dari hati yang paling dalam. Yang dapat dipelajari dan dilatih hanya kasih nafsu tadi. Cara untuk memilikinya juga tidak mungkin dilakukan manusia. Kasih suci murni merupakan anugerah Gusti Allah, karena hanya Dia saja yang mampu memberi. Manusia hanya dapat menerima dengan kepasrahan, pasrah menyerah kepada Gusti Allah dengan sepenuh jiwa, dengan sabar tawakal dan ikhlas, siap menerima apa saja yang ditentukan Gusti Allah dengan puji syukur dan terima kasih,' baik yang kita terima itu menyenangkan maupun menyusahkan!"

"Tapi mungkinkah itu bagi manusia untuk menerimanya?"

"Mengapa tidak? Bagi Gusti Allah, tidak ada hal yang tidak mungkin! Kalau Gusti Allah mengijinkan, menganugerahi kita dengan Roh Illahi, Roh Kudus yang bersemayam dalam hati sanubari kita, maka dengan sendirinya kasih murni sejati itu akan berada dalam hati kita."

"Tandanya kalau Kasih itu ada bagaimana kang?"

"Tandanya? Tidak ada lagi pamrih untuk si-AKU, adanya hanya rasa belas kasihan melihat orang lain menderita, membela keadilan, sabar, tidak iri, tidak mendendam, rendah hati dan condong membahagiakan orang lain. Semua perasaan sebagai buah dari pohon Kasih ini timbul dari dalam, dengan sendirinya, tanpa pamrih untuk si-AKU, digerakkan oleh kasih Illahi."

"Semoga Gusti Allah menganugerahi kita dengan kasih seperti itu, Kang Jatmika."

"Kita hanya manusia biasa, Neneng. Kita hanya dapat berdoa dan mohon bimbinganNya, menyerahkan jiwa raga kita ke dalam kekuasaanNya. Semoga Tuhan dapat mengampuni semua kelemahan dan dosa kita dan menyalakan Api Kasih itu dalam hati kita."

"Amin-amin-amin!" kata Neneng Salmah dan hatinya menjadi semakin kagum kepada pemuda itu. Ia melihat betapa Jatmika memiliki kebijaksanaan, mengingatkan ia akan Lindu Aji yang pernah dicintanya dan sampai sekarang masih dicintanya walaupun kini sebagai kakak angkatnya.

Beberapa hari kemudian mereka tiba di Dermayu. Mereka mendarat dan Neneng Salmah membeli pengganti bajunya yang robek. Perahu rampasan itu mereka berikan kepada seorang kakek nelayan yang miskin dan belum mempunyai perahu. Tentu saja kakek nelayan itu merasa berbahagia sekali dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada Jatmika dan Jaka Salman.

Melihat wajah kakek yang berseri-seri, mulutnya yang terse-nyum lebar sehingga tampak mulutnya yang ompong, dan melihat betapa kedua mata tua itu basah dan dua tetes air mata menggantung di bulu mata, Jatmika dan Jaka Salman merasa terharu sekali. Diam-diam mereka merasakan suatu kebahagiaan yang mendalam dan semakin yakinlah hati nurani mereka bahwa perbuatan apapun berdasarkan kasih mendatangkan kebahagiaan besar dalam hati.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu Jatmika dan Neneng Salmah yang menyamar sebagai Jaka Salman dan kita ikuti perjalanan Lindu Aji dan Sulastri.

Dapat dibayangkan betapa bahagia rasa hati Lindu Aji dan Sulastri. Dua orang ini sejak pertemuan pertama dahulu telah saling jatuh cinta. Walaupun keduanya tidak pernah saling menyatakan cinta, namun dari pandang mata, suara dan sikap mereka, keduanya merasa betapa mereka saling mencinta.

Kemudian hubungan kasih itu berubah karena Sulastri mengalami kecelakaan sehingga ia kehilangan ingatan, lupa kepada Lindu Aji dan mengira bahwa ia mencinta Jatmika, sungguhpun cintanya kepada Jatmika itu cinta seorang adik seperguruan terhadap kakaknya. Kemudian setelah Sulastri sembuh, pulih lagi ingatannya dan ia teringat akan cintanya kepada Lindu Aji, ia menyangka bahwa Lindu Aji mencinta Neneng Salmah yang terang-terangan mengaku bahwa ia mencinta pemuda itu.

Di lain pihak, Lindu Aji juga mengira bahwa Sulastri kini mencinta Jatmika. Keduanya saling mengalah, saling berkorban. Sulastri merelakan Lindu Aji berjodoh dengan Neneng Salmah dan sebaliknya Lindu Aji juga merelakan Sulastri berjodoh dengan Jatmika! Keduanya hanya ingin melihat orang yang dicinta itu hidup berbahagia dan rela menanggung pedih hati karena harus berpisah dari orang yang dicinta.

Akan tetapi sekarang mereka saling bertemu kembali. Bukan hanya bertemu orangnya, melainkan juga bertemu dan bertaut kembali perasaan hati mereka. Mereka merasa berbahagia karena ternyata keduanya tidak mau berjodoh dengan orang lain, keduanya tidak mencinta orang lain.

Dengan hati penuh kebahagiaan, Lindu Aji dan Sulastri melakukan perjalanan bersama menuju ke Gampingan, kampung halaman Lindu Aji di Pegunungan Kidul untuk, menghadap Nyi Warsiyem, ibu kandung Lindu Aji.

Nyi Warsiyem yang telah menjadi janda itu tinggal bersama seorang janda lain bernama Nyi Juminten yang mondok di rumah itu bersama dua orang anaknya, yaitu seoran anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun bernama Priyadi, dan seorang anak perempuan berusia delapan tahun bernama Wulandari.

Biarpun Nyi Warsiyem sudah berusia empat puluh tahun dan Nyi Juminten berusia tiga puluh tiga tahun, namun kedua orang janda ini masih tampak cantik, ayu manis merak ati sehingga banyak sudah pria dari dusun Gampingan dan dusun-dusun lain di sekitarnya, mengajukan pinangan. Namun dengan halus dua orang janda itu menolak semua pinangan.

Mereka sudah merasa hidup tenang dan tenteram di rumah itu sebagai janda. Setiap hari berjualan di warung makan dan cukup sibuk karena warung itu laris. Dan dua orang anak dari Nyi Juminten itu, Priyadi dan Wulandari, juga merupakan anak-anak yang baik dan penurut sehingga dua orang anak ini menjadi hiburan, bukan saja bagi ibu kandung mereka, akan tetapi juga bagi Nyi Warsiyem yang menganggap mereka berdua seperti keponakan sendiri.

Pada suatu siang, ketika warung Nyi Warsiyem menjadi sepi setelah semua orang yang makan siang disitu sudah meninggalkan warung, Nyi Warsiyem dan Nyi Juminten duduk santai di atas bangku warung. Mereka istirahat setelah tadi lelah melayani banyak langganan yang makan siang disitu. Priyadi dan Wulandari bermain di luar warung bersama anak-anak dusun Gampingan itu.

Terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda mendatangi ke arah warung itu dan berhenti tak jauh dari warung. Dua orang janda itu tidak memperhatikan dan masih duduk sambil membungkusi bothok yang akan segera dikukus. Bothok yang dibuat dari parutan kelapa, biji kemlanding, ikan teri dan bumbu-bumbu itu amat disuka oleh para langganan. Dibungkus daun pisang.

Priyadi berlari masuk "Bu, ibu ada orang mencari ibu!" kata anak itu kepada ibunya, Nyi Juminten.

"Eh, siapa yang mencari aku?" tanya Nyi Juminten tanpa menghentikan pekerjaannya membungkus bothok. Ia mengira tentu seorang di antara tetangga yang mencarinya. Selama tiga tahun lebih tinggal di rumah Nyi Warsiyem yang sudah menganggap ia seperti adik sendiri, Nyi Juminten hidup tenang dan cukup bahagia. Kedua anaknya sehat-sehat, ia dapat membantu Nyi Warsiyem di warung dan pergaulannya dengan para tetangga di dusun Gampingan itupun akrab. Maka, ia tidak heran mendengar laporan anaknya bahwa ada yang mencarinya.

"Entah siapa, ibu. Dia datang naik kuda bersama dua orang lain dan melihat pakaiannya, dia seorang priyayi!" kata pula Priyadi yang agaknya bangga kepada teman-temannya bahwa ibunya dicari seorang priyayi!

Nyi Juminten terbelalak heran. Juga Nyi Warsiyem menghentikan kesibukan tangannya dan memandang anak itu. "Priyayi?" tanya Nyi Warsiyem. "Bagaimana engkau tahu bahwa dia mencari ibumu, Priyadi?"

"Bu-dhe (uwa), orang itu menanyakan rumah Juminten. Bukankah disini hanya ada ibuku yang bernama Juminten?" kata Priyadi.

Pada saat itu, tiga orang laki-laki muncul di pintu warung. "Kulonuwun (permisi)...!" kata laki-laki yang berada di depan.

Nyi Warsiyem dan Nyi Juminten bangkit berdiri dan memandang ke arah tiga orang itu. Yang berkulonuwun dan berada di depan tadi adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh jangkung kurus, berkumis tipis dan wajahnya cukup tampan dengan mata bersinar tajam. Pakaiannya jelas menunjukkan bahwa dia seorang priyayi (bangsawan) yang kaya.

Di belakangnya berjalan dua orang laki-laki yang tinggi besar dan wajah mereka seram dan galak, usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka yang tidak seindah pakaian laki-laki pertama, sikap mereka, dan golok mereka yang tergantung di pinggang, mudah diduga bahwa mereka tentulah pembantu atau pengawal pria pertama.

"Monggo...!" kata Nyi Warsiyem. "Silakan duduk, denmas. Apakah andika bertiga hendak makan?" Sambutan seperti ini sudah biasa ia ucapkan pada para tamu yang hendak jajan di warungnya.

Akan tetapi priyayi itu tidak menjawab. Dia memandang kepada Nyi Juminten, lalu wajahnya menjadi berseri dan dia berseru girang, "Juminten! Ah, akhirnya aku dapat juga menemukanmu! Sudah tiga tahun lebih aku merindukanmu, mencarimu tanpa hasil. Kiranya engkau berada disini! Walah-walah, engkau semakin denok saja, Juminten. Lihat, kedua pipimu merah seperti kembang mawar, tubuhmu montok segar. Tentu engkau senang tinggal disini! Akan tetapi sayang, engkau tetap miskin!"

Muka Juminten kemerahan, akan tetapi sinar matanya membayangkan ketakutan. Kedua tangan yang masih memegang bungkusan bothok yang belum ditusuk lidi itu menggigil sehingga bungkusan itu terlepas dan isinya berserakan di lantai. Melihat sikap Juminten, Nyi Warsiyem mendekati seolah melindunginya dan matanya ditujukan kepada laki-laki berpakaian mewah itu.

"Oh, Raden Kuncoro! Silakan duduk, den. Paduka hendak dhahar (makan) nasi apa?" Biarpun Nyi Juminten memaksa agar suaranya terdengar ramah dan tenang, namun tetap saja Nyi Warsiyem dapat mendengar betapa suara adik angkatnya itu tidak seperti biasa, agak gemetar.

Dan iapun teringat akan cerita Nyi Juminten bahwa wanita dan dua orang anaknya itu menjadi janda karena suaminya yang perajurit Mataram gugur dalam perang. Setengah tahun kemudian ia terpaksa melarikan diri dari kota raja karena hendak diambil menjadi selir oleh seorang priyayi bernama Raden Kuncoro! Kiranya ini laki-laki itu! Pantas Nyi Juminten menjadi begitu gugup dan ketakutan.

Pria itu tertawa ketika mendengar ucapan Nyi Juminten. "Hendak makan apa? Ha-ha, Juminten... Juminten! Benarkah engkau tidak tahu? Kalau disuruh pilih diantara semua makanan di dunia ini, aku memilih makan... engkau!" Pria itu tertawa lagi setelah mengeluarkan ucapan menggoda itu.

Wajah Nyi Juminten menjadi semakin merah. "Ah, raden, jangan begitu!" tegurnya sambil menundukkan mukanya, ketakutan.

"Ha-ha-ha, aku hanya main-main, Minten! Oya, engkau menjual nasi apa saja disini?"

"Nasi pecel, nasi sambal tumpang, sambal goreng, goreng ayam..."

"Beri kami tiga nasi pecel dan keluarkan goreng ayam dan semua lauk yang ada. Minumnya kopi!" ,

"Baik, raden." kata Nyi Juminten dan bersama Nyi Warsiyem ia lalu mempersiapkan pesanan makanan itu. Nyi Juminten selalu menundukkan muka dengan gelisah.

Nyi Warsiyem berbisik kepadanya. "Itukah yang dulu hendak menjadikan engkau selirnya?"

Juminten berbisik kembali. "Betul, mbakayu. Tolong engkau saja yang menghidangkan."

"Baik," kata Nyi Warsiyem, maklum bahwa Nyi Juminten tentu segan dan takut mendekati pria itu.

Akan tetapi ketika pesanan itu sudah tersedia dan Nyi Warsiyem mengeluarkan hidangan itu ke meja mereka, pria itu mengerutkan alisnya dan berkata. "Ah, tidak! Aku tidak mau kalau bukan Juminten yang menghidangkan makanan ini. Bawa kembali kesana dan suruh Juminten yang mengantarkan kesini!"

Melihat dua orang tinggi besar itu melotot kepadanya, Nyi Warsiyem terpaksa membawa kembali baki terisi makanan dan minuman itu ke dalam warung. "Bagaimana ini, Jum? Dia menghendaki engkau yang melayani." bisik Warsiyem.

Juminten menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. Keadaan menjadi menegangkan. Dua orang wanita itu selain tegang juga mulai merasa gelisah karena agaknya Raden Kuncoro itu hendak memaksakan kehendaknya dan tidak bermaksud baik dengan kedatangannya di warung itu.

Dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba terdengar suara Priyadi dan Wulandari bersorak gembira. "Bu-dhe! Ibu! Kakang Aji pulang! Hore! Kakang Aji pulang!"

Dua orang janda itu merasa begitu lega dan plong hati mereka sehingga wajah mereka seketika berseri dan keduanya saling pandang sambil tersenyum. Mereka melihat Lindu Aji bersama seorang gadis cantik jelita memasuki warung, diikuti Priyadi dan Wulandari yang berloncat-loncatan gembira.

"Ibu! Bulik (Bibi) Juminten!" Lindu Aji berseru gembira sambil memasuki warung.

"Aji...! Syukur engkau datang...!" seru Juminten gembira karena setelah pemuda ini muncul, rasa takutnya terhadap Raden Kuncoro lenyap.

"Aji engkau sudah pulang? Dan ini..." Warsiyem memandang kepada Sulastri.

"Ibu inilah Sulastri!"

Warsiyem terbelalak, lalu mengembangkan lengannya dan berseru, "Ah... nak Sulastri..., andika ayu...!"

Sulastri maju menyembah. "Ibu..."

Warsiyem merangkulnya dan menciumi pipi gadis itu yang ia tahu telah menjadi pilihan hati puteranya itu, gadis yang menjadi calon mantunya!

"Juminten, kesinilah engkau!" tiba-tiba terdengar suara lantang.

Juminten terkejut memandang kepada Raden Kuncoro yang memanggilnya. Lindu Aji juga menengok dan ibunya berbisik.

"Aji, orang itu hendak memaksa Juminten menjadi selirnya."

Aji memandang kepada Juminten. "Dan bibi setuju?" tanyanya.

Juminten menggeleng kepala kuat-kuat.

"Juminten apakah engkau tidak mendengar panggilanku?" kembali Raden Kuncoro berseru.

Setelah yakin bahwa Juminten tidak mau menjadi selir orang itu, Lindu Aji lalu melangkah, menghampiri Raden Kuncoro dan dua orang pengikutnya. Raden Kuncoro memandang wajah Lindu Aji dengan sinar mata tajam berwibawa, lalu bertanya dengan alis berkerut. "Andika ini siapa? Dan mau apa menghampiri kami?"

Lindu Aji tetap sabar dan tenang. "Namaku Lindu Aji dan saya anak pemilik warung ini. Saya hanya mau memberitahu kepada andika bahwa sikap andika memerintah Bu-lik Juminten seperti itu tidak pada tempatnya. Harap diingat bahwa andika ini tamu dan seyogianya bersikap sopan terhadap pemilik rumah, apalagi kalau andika menjadi tamu wanita-wanita yang patut dihormat ."

"Aha, kiranya andika ini bukan pemuda dusun biasa. Agaknya memiliki pengertian yang cukup mendalam. Kalau begitu duduklah dan kita bicara baik-baik agar andika mengerti duduknya persoalan."

Mendengar ucapan itu, rasa penasaran dalam hati Lindu Aji mereda karena dari ucapannya, orang berpakaian bangsawan ini agaknya bukan orang yang suka mengandalkan kebangsawanannya seperti para bangsawan lain. Maka diapun mengambil tempat duduk berhadapan dengan Raden Kuncoro, terhalang meja.

"Lindu Aji, perkenalkan, aku adalah Raden Kuncoro dari kota raja dan aku sudah mengenal Juminten sejak ia masih tinggal di kota raja dulu." Orang itu memperkenalkan diri. "Dan mereka ini adalah dua orang pengawalku."

"Saya pernah mendengar cerita Bu-lik Juminten bahwa ia dan dua orang anaknya melarikan diri dari kota raja karena andika hendak memaksanya menjadi selir andika." kata Lindu Aji terus terang dan langsung saja ke persoalannya.

Warsiyem dan Juminten memandang dengan sinar mata gelisah. Akan tetapi Sulastri tersenyum dan berkata kepada mereka. "Harap ibu dan Bibi Juminten tenang saja. Mas Aji tentu akan dapat mengatasi dan membereskan persoalan ini."

Ia lalu mengajak dua orang wanita itu duduk di atas bangku panjang. Ia sendiri tetap berdiri dan memandang ke arah tiga orang tamu yang duduk di ruangan tamu, di depan warung.

Mendengar ucapan Lindu Aji, Raden Kuncoro tersenyum lebar. "Ah, orang muda. Andika tidak tahu dan Juminten juga salah paham akan maksudku yang baik. Ketahuilah, aku telah mengenal mendiang suaminya yang gugur di medan perang, gugur sebagai seorang satria yang membela Mataram. Aku merasa kasihan sekali kepada Juminten yang menjadi janda dalam usia muda dan ia harus mengurus dua orang anaknya. Mengingat akan jasa mendiang suaminya terhadap negara, juga karena merasa kasihan kepadanya, maka aku hendak mengangkat derajatnya sebagai selirku. Ia akan hidup makmur, berkecukupan, terhormat dan kedua orang anaknya mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya. Hal itu akan jauh lebih baik bagi Juminten dan anak-anaknya, daripada hidup di dusun ini, serba kekurangan dan sebagai seorang janda muda tentu ia menghadapi banyak godaan dan cemoohan orang, bukan?"

Mendengar ucapan yang enak didengar itu, Lindu Aji mengangguk-angguk. Dia tidak melihat keburukan dalam ucapan Raden Kuncoro itu. "Semua kata-kata andika itu tak dapat dibantah lagi memang benar, Raden Kuncoro. Akan tetapi andika melupakan satu hal yang terpenting, yaitu bahwa Bu-lik Juminten bukanlah sepotong benda atau seekor hewan yang dapat diatur begitu saja menurut kehendak andika, betapapun baiknya kehendak itu. Ia adalah seorang manusia yang mempunyai perasaan hati sendiri. Oleh karena itu, andika tidak boleh memaksa ia melakukan sesuatu di luar kehendak perasaan hatinya. Maka, agar kita semua menjadi jelas dan yakin akan duduknya persoalan, sebaiknya kita tanyakan pendapat Bu-lik Juminten. Bu-lik, bagaimana dengan pendapat Bu-lik? Bu-lik sudah mendengar semua ucapan Raden Kuncoro, sekarang bu-lik sendiri yang harus mengambil keputusan. Maukah bu-lik diambil selir oleh Raden Kuncoro?"

"Tidak, aku tidak mau!" jawab Juminten dengan suara nyaring dan tegas.

"Nah, sekarang persoalannya jelas. Bu-lik Juminten tidak mau menjadi selir andika, Raden Kuncoro. Oleh karena itu, saya harap andika bijaksana dan tidak melakukan paksaan, karena paksaan hanya dilakukan oleh orang yang hadigang-hadigung-hadiguna, yang mengandalkan kekuasaan, harta benda, dan kedudukan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang kecil!"

Wajah Raden Kuncoro menjadi merah padam. "Akan tetapi...aku sangat cinta kepada Juminten, aku ingin membahagiakan ia dan anak-anaknya. Apakah itu salah?"

"Raden Kuncoro, mencinta adalah hak setiap orang. Kita boleh merasa jatuh cinta kepada siapapun juga, hal itu tidak merugikan siapa-siapa kecuali diri sendiri. Akan tetapi untuk dapat terlaksana perjodohan, haruslah ada cinta kedua pihak, harus terlaksana dengan suka rela. Kalau andika saja yang mencinta Bu-lik Juminten, akan tetapi ia tidak mencinta andika, tidak mau menjadi selir andika lalu andika hendak memaksanya, maka itu merupakan perkosaan dan suatu tindak kejahatan. Kalau anda hendak memaksa Bu-lik Juminten, terpaksa saya yang akan menentang andika!"

"Raden, kenapa melayani bocah ini? Biar kami melabraknya!" Dua orang pengawal tinggi besar itu bangkit dan mencabut golok besar mereka dengan wajah bengis dan sikap mengancam.

Tiba-tiba dengan bentakan nyaring. "Tunggu!" Sulastri telah melompat dekat Lindu Aji dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah dua orang tinggi besar itu ia berkata, "Hei, kalau kalian memang jagoan, jangan bikin ribut dalam warung. Mari keluar dan kalian berdua lawanlah aku!" Setelah berkata demikian Sulastri lalu melangkah keluar warung.

Melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu, Nyi Warsiyem dan Nyi Juminten terbelalak keheranan. Mereka sudah mendengar dari Lindu Aji bahwa gadis yang dikasihi Lindu Aji itu seorang wanita yang digdaya, akan tetapi mereka tidak dapat membayangkan betapa gadis cantik jelita dan halus semuda itu berani menantang dua orang laki-laki tinggi besar yang menyeramkan itu. Dan tempat mereka duduk dalam warung mereka dapat melihat apa yang terjadi di luar warung.

Lindu Aji tampak tenang saja dan ketika dua orang pengawal Raden Kuncoro berlari keluar mengejar Sulastri yang menantang mereka, dia hanya pergi ke pintu dan menonton dari situ. Raden Kuncoro hanya berdiri saja dan menonton dari dalam, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan juga kekaguman melihat gadis cantik yang masih amat muda itu berani menantang dua orang pengawalnya yang dia tahu memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh.

"Hei, Jagal dan Bendot, jangan bunuh dan jangan lukai gadis itu!" teriak Raden Kuncoro dan teriakan ini saja membuat Lindu Aji maklum bahwa biar-pun tergila-gila kepada janda Juminten itu dan kenekatannya untuk mengambilnya sabagai selir dengan memaksa merupakan prilaku yang amat buruk, namun priyayi ini bukan orang kejam. Dia tidak perlu memperingatkan Sulastri karena gadis itu, biarpun berwatak keras, namun juga bukan orang yang mudah membunuh atau mencelakai orang.

Dua orang jagoan itu kini sudah berhadapan dengan Sulastri dan mereka berdua saling pandang, kemudian memandang kepada gadis itu dengan mulut menyeringai. Mereka tadi mendengar pesan majikan mereka. Tentu saja mereka tidak ingin membunuh gadis cantik yang masih muda itu. Mereka bukan pembunuh, melainkan pengawal untuk melayani dan menjaga Raden Kuncoro, sungguhpun sebenarnya priyayi itu tidak perlu dijaga karena jauh lebih digdaya dibandingkan mereka.

"Anak manis, tidak salahkah pendengaran kami? Engkau menantang kami berdua?" tanya Jagal yang mukanya hitam.

"Ya, karena tadi kalian mengancam hendak melabrak Mas Aji. Kalau kalian memang jagoan, hayo labrak aku kalau mampu!" kata Sulastri.

"Aduh, bagaimana mungkin kami harus melawan seorang bocah manis seperti engkau?" kata Bandot sambil menyarungkan kembali goloknya dan hal ini diikuti oleh Jagal. "Baru melawan aku seorang saja, aku dapat mengalahkan engkau hanya dengan sebelah tangan ini!"

Dia memperlihatkan dan mengamangkan tangannya yang besar dan kuat sambil menyeringai lebar sehingga mukanya yang cacat bopeng itu tampak menyeramkan. "Ha-ha-ha!" Jagal tertawa. "Dan engkau boleh memukul aku dengan tanganmu yang lunak seperti agar-agar itu, tentu enak seperti dipijati!"

Sulastri yang pada dasarnya amat tidak suka melihat kesombongan, menjadi panas hatinya mendengar dua orang itu memandang rendah dan mentertawakannya. "Coba rasakan tangan agar-agarku ini!" Kedua tangannya bergerak ke depan, cepat seperti tatit.

Dua orang itu terkejut, akan tetapi gerakan mereka untuk menangkis atau mengelak kalah cepat oleh sambaran kedua tangan dara perkasa itu. "Plak! Plak!" Dua orang itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, lalu meludahkan gigi yang copot disertai darah. Seketika pipi mereka bengkak membiru terkena tamparan yang membuat gigi mereka di samping copot! Jagal dan Bendot marah sekali. Mereka mencabut golok mereka dan siap menyerang.

"Lastri, jangan...!" Lindu Aji sudah melompat ke dekat gadis itu untuk mencegah Sulastri menurunkan tangan yang lebih berat lagi.

"Simpan golok kalian!" terdengar Raden Kuncoro membentak dan diapun sudah melompat dekat dua orang pengawalnya. Dua orang itu menyimpan lagi golok mereka dan melangkah mundur, menutupi pipi yang bengkak dengan tangan sambil meringis menahan rasa nyeri.

Raden Kuncoro memandang kepada Sulastri dan Lindu Aji dan mengangguk-angguk penuh kagum. "Hebat, di dusun sepi seperti ini terdapat sepasang orang muda yang sakti mandraguna! Pantas saja Juminten berani menolak maksud baikku, tidak tahunya mempunyai sanak keluarga yang boleh diandalkan."

"Kembali penilaian dan pendapat andika keliru, Raden Kuncoro. Bulik Juminten bukan semata-mata menolak karena mempunyai andalan, melainkan tidak dapat menerima maksud baik andika karena tidak mau menjadi selirmu, karena ia tidak mencintamu. Karena itu sadarlah, Raden, dan jangan melakukan tindakan maksiat memaksa wanita yang tidak mau untuk menjadi selirmu. Sebagai seorang priyayi dari kota raja, kiranya andika tentu menyadari bahwa Gusti Sultan Agung sendiri tidak akan suka melihat perbuatan maksiat itu."

Raden Kuncoro mengerutkan alisnya. "Lindu Aji, kini engkau bersikap lancang. Apa yang diandalkan pemuda sepertimu ini, berani membawa-bawa nama Gusti Sultan Agung dalam urusan ini? Sombong sekali kau!"

Sebelum Lindu Aji menjawab, Sulastri sudah melangkah maju dan ia yang menjawab dengan suara lantang dan tegas. "Raden Kuncoro, andika yang sombong, bukan kami! Dari sikapmu yang tidak mengenal Kakangmas Lindu Aji ia sudah dapat diketahui bahwa andika bukan orang yang ikut membela Mataram ketika melawan Kumpeni Belanda! Andika pasti bukan seorang priyayi yang setia membela Mataram. Dengarlah baik-baik. Kakangmas Lindu Aji ini pernah menerima keris pusaka Kyai Nagawelang dari Gusti Sultan Agung dan maju di garis depan bersama aku ketika Mataram berperang menyerbu Batavia! Andika tidak mengenal kami, terutama Kakangmas Lindu Aji, itu membuktikan bahwa ketika terjadi perang melawan Kumpeni Belanda, andika hanya enak-enak mengumbar kesenangan sendiri dalam gedung andika!"

Lindu Aji menyentuh lengan gadis itu agar Sulastri tidak melanjutkan ucapan yang mengandung pameran untuk diri mereka. Akan tetapi mendengar itu wajah Raden Kuncoro berubah pucat, kemudian menjadi merah. Dia terkejut dan juga main.

"Bagaimana aku dapat percaya?" kata Raden Kuncoro ragu. Penampilan Lindu Aji demikian sederhana dan dia masih begitu muda, rasanya tidak mungkin menerima keris pusaka tanda kepercayaan dan kekuasaan yang dianugerahkan oleh Sang Prabu itu. "Coba perlihatkan kepadaku Kyai Nagawelang itu!"

Lindu Aji menjawab tenang. "Raden Kuncoro, setelah perang selesai, saya mengembalikan Kyai Nagawelang kepada Gusti Sultan Agung karena saya tidak ingin menjadi ponggawa kerajaan, saya ingin menjadi rakyat biasa saja."

"Hemm, bagaimana aku dapat percaya keteranganmu itu tanpa ada buktinya? Sekarang begini saja. Seorang yang menerima Kyai Nagawelang dari Gusti Sultan, syaratnya harus memiliki kesaktian yang tinggi dan harus pula berjasa terhadap Mataram. Nah, sekarang katakan jasa apa yang telah kau lakukan terhadap Mataram maka engkau menerima sebatang keris pusaka Kyai Nagawelang?"

"Sebetulnya itu bukan jasa besar, melainkan hanya merupakan tugas kewajiban saya. Ketika itu saya melihat Gusti Puteri Wandansari dikeroyok oleh Wiku Menak Koncar dan kawan-kawannya. Aku membantu sang puteri sehingga terlepas dari bencana. Nah, Gusti Puteri mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung dan saya menerima Kyai Nagawelang itu."

Raden Kuncoro mengangguk-angguk. Dia pernah mendengar akan hal itu, hanya tidak mengira bahwa penolong sang puteri itu adalah pemuda yang berada di depannya ini. "Hemm, ceritamu mungkin benar, akan tetapi hal itu tidak dapat dibuktikan kecuali kalau aku mendengar sendiri dari Gusti Puteri Wandansari. Aku ingin melihat buktinya dan kalau engkau dapat membuktikan dengan kesaktianmu."

Lindu Aji mengerutkan alisnya. "Maksudmu bagaimana, Raden Kuncoro?"

"Kalau engkau mampu menahan pukulan tenaga saktiku, baru aku percaya kepadamu, Lindu Aji!"

"Nanti dulu, Raden. Kalau andika sudah percaya, lalu bagaimana? Engkau berjanji untuk meninggalkan Bu-lik Juminten dan tidak akan mengganggunya lagi, tidak akan memaksanya untuk menjadi selirmu?"

Raden Kuncoro menghela napas panjang dan berkata, "Baiklah, Lindu Aji. Kalau engkau mampu menahan pukulanku, aku percaya kepadamu dan aku bersumpah tidak akan mendekati Juminten lagi. Akan tetapi kalau engkau tidak mampu menahan pukulanku, engkau jangan mencampuri urusanku dengan Juminten."

"Baik, raden. Nah, sekarang lakukanlah pukulanmu itu!" kata Lindu Aji.

Raden Kuncoro menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya agak merendah, kemudian dia membuat gerakan silang tiga kali dengan kedua lengannya, lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Lindu Aji sambil mengeluarkan bentakan lantang. "Aji Klabangkolo!!"

Lindu Aji maklum bahwa lawannya menyerangnya dengan pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, maka diapun menyambut pukulan itu dengan pengerahan tenaga Aji Surya Candra yang dia pergunakan untuk melindungi diri saja, bukan untuk menyerang balik.

"Wuuuttt..., desss...!!" Raden Kuncoro terlempar ke belakang. Tenaga pukulannya yang amat kuat itu. seolah membentur dinding baja dan membalik sehingga tubuhnya terlempar ke belakang, terjengkang dan roboh telentang!

Lindu Aji maju menghampiri dan menjulurkan tangan, membantu Raden Kuncoro bangkit berdiri. "Maaf, Raden. Andika tidak terluka, bukan?"

Raden Kuncoro menghirup napas panjang dan menggeleng kepala. "Hebat, andika sungguh hebat dan pantas pernah dianugerahi Kyai Nagawelang. Sekarang aku percaya, Lindu Aji, dan aku juga menyadari kesalahanku. Juminten dan dua orang anaknya, walaupun tidak hidup mewah, tampak berbahagia hidup di desa ini. Biarlah, aku akan berusaha sekuatku untuk mengubur rasa cintaku kepadanya. Seperti yang kujanjikan, aku tidak akan mendekatinya lagi."

Lindu Aji merasa kasihan. Dia pernah mengalami betapa nyerinya perasaan hati kalau harus berpisah dari orang yang dikasihinya, seperti yang pernah dia rasakan ketika dia terpaksa harus meninggalkan Sulastri yang dia kira mencinta orang lain.

"Raden, tentu saja andika boleh mencinta Bu-lik Juminten karena mencinta seseorang itu adalah hak pribadi. Akan tetapi, cinta bukan berarti harus menjadi suami isteri. Kalau andika mengubah pandangan terhadap diri Bu-lik Juminten, andika anggap ia sebagai seorang sahabat atau seorang adik, saya yakin bahwa cinta dalam hati andika itu masih hidup tanpa keinginan hendak menggmbilnya sebagai selir."

Raden Kuncoro mengangguk-angguk, lalu menoleh dan memandang kepada Juminten. Dia berkata dengan suara lirih, namun cukup dapat ditangkap Nyi Juminten. "Juminten, maafkan sikapku yang sudah-sudah. Mulai sekarang kuanggap engkau sebagai adikku dan hatiku akan merasa berbahagia sekali kalau sewaktu-waktu aku mendapat kesempatan untuk mendidik anak-anakmu. Aku tidak mempunyai anak dan anak-anakmu akan kuanggap sebagai anak sendiri." Kemudian dia menghadapi Lindu Aji. "Aku berterima kasih kepadamu yang telah membebaskan aku dari himpitan nafsu berahi yang selama ini membuatku merasa sengsara. Selamat tinggal!"

Raden Kuncoro mengambil sepotong dinar emas dan menyerahkannya kepada Nyi Warsiyem. "Ini untuk membayar makanan dan minuman kami tadi."

"Ah, ini terlalu banyak, Raden..." kata Warsiyem, tidak mau menerima uang emas itu.

Raden Kuncoro meletakkan uang itu di atas bangku warung dan berkata, "Biarlah sisanya untuk anak-anak Juminten." Setelah berkata demikian, dia keluar dari pekarangan warung, diikuti dua orang pengawalnya dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda mereka meninggalkan tempat itu.

Lindu Aji menghela napas panjang. "Dia seorang yang baik," katanya sambil memasuki warung lagi bersama Sulastri.

Nyi Warsiyem menyuruh Nyi Juminten menjaga warung dan ia lalu mengajak Lindu Aji dan Sulastri masuk ke dalam rumah di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira. Wanita itu minta kepada puteranya agar menceritakan semua pengalamannya sampai berjumpa dengan Sulastri. Ia merasa gembira bukan main karena akhirnya puteranya memperoleh jodoh, seorang gadis yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa dan yang lebih penting lagi keduanya saling mencinta.

"Aku merasa berbahagia sekali kalau kalian segera menikah!" kata janda itu sambil merangkul Sulastri yang duduk disebelahnya.

"Untuk itu kita harus mengajukan pinangan. Maka, aku ingin mengajak ibu pergi ke Dermayu untuk meminang Sulastri kepada orang tuanya disana."

Nyi Warsiyem menggeleng kepalanya, akan tetapi ia mengelus rambut kepala Sulastri dan tersenyum. "Tidak perlu aku sendiri yang pergi meminang, Aji. Aku seorang wanita yang lemah, tidak kuat melakukan perjalanan begitu jauhnya. Akan tetapi kalau tidak dilakukan pinangan dengan sah, juga tidak baik. Karena itu, aku mewakilkan kepada Kang Parto saja untuk pergi bersama kalian ke Dermayu dan mengajukan pinangan. Bagaimana menurut pendapatmu, Aji dah Lastri?"

Sulastri tersenyum. "Bagi saya, terserah kepada Mas Aji saja."

Lindu Aji mengangguk-angguk setuju. Dia mengenal dan tahu dengan baik siapa Parto. Tetangga itu adalah sahabat baik mendiang ayahnya dan hubungan mereka sudah seperti saudara saja. Memang, perjalanan ke Dermayu terlalu jauh bagi ibunya, seorang wanita lemah.

"Baik, ibu. Biar kuundang Paman Parto kesini agar dapat kita bicarakan masalah itu." Lindu Aji lalu keluar dan tak lama kemudian dia kembali bersama Ki Parto, seorang duda berusia lima puluh tahun.

Ki Parto juga merasa gembira sekali dan dia segera menyanggupi untuk menjadi wakil Nyi Warsiyem dan menjadi wali Lindu Aji. Setelah tinggal di Gampingan selama seminggu, Lindu Aji, Sulastri, dan Ki Parto berangkat menuju Dermayu dengan menunggang kuda. Dalam perjalanan itu mereka tidak mengalami gangguan atau hambatan dan beberapa hari kemudian tibalah mereka di Dermayu. Kedatangan mereka disambut oleh Ki Subali dan Nyi Subali dengan gembira sekali.

Nyi Subali sudah merangkul puterinya. Mereka menjadi lebih berbahagia melihat Sulastri pulang bersama Lindu Aji, pemuda yang mereka tahu menjadi pujaan hati puteri mereka. Apa-lagi setelah mendengar keterangan Lindu Aji dan Sulastri tentang keputusan mereka berdua untuk berjodoh, ditambah lagi kehadiran Ki Parto sebagai wakil ibu Lindu Aji dan juga menjadi walinya, Ki Subali dan isterinya menjadi gembira bukan main.

Maka, ketika Ki Parto memenuhi tugasnya, menyampaikan pinangan dari Nyi Warsiyem untuk melamar Sulastri menjadi isteri Lindu Aji, Ki Subali dan isterinya menerimanya dengan rasa syukur dan bahagia. Bahkan Nyi Subali tak dapat menahan tangisnya. "Tidak perlu menunda terlalu lama!" kata Ki Subali dengan gembira. "Aku akan mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan Sulastri!" Setelah "dia menghitung-hitung, hari baik itu terjatuh pada Rebo Legi, empat belas hari lagi.

Waktu lima belas hari itu diperlukan untuk menyebar undangan. Sebagai seorang sasterawan dan dalang terkemuka, Ki Subali menyebar undangan sampai ke Cirebon dan Sumedang. Sementara itu, sebuah kamar diperuntukkan Lindu Aji dan Ki Parto selama menanti datangnya hari pernikahan.

Menurut rencana yang disetujui kedua pihak, pernikahan dilangsungkan di Dermayu dan Ki Parto menjadi wali Lindu Aji. Setelah merayakan pernikahan di Dermayu, baru dua pekan kemudian Lindu Aji mengajak Sulastri ke Gampingan, dimana Nyi Warsiyem akan menyambut sepasang mempelai itu dengan perayaan sederhana yang dikunjungi para penghuni dusun Gampingan.

Tiga hari kemudian, pada suatu sore Lindu Aji dan Sulastri duduk di pendopo rumah Ki Subali. Dua orang yang saling mencinta ini merasa berbahagia sekali. Kalau menurutkan gejolak hati mereka, keduanya tentu saja ingin sekali bermesraan, ingin menumpahkan rasa cinta masing-masing satu sama lain. Akan tetapi keduanya menahan gejolak hati, menekan gairah berahi demi kesusilaan.

Bagi mereka, duduk berdekatan saling berpandangan, saling memegang tangan, sudah merupakan peristiwa yang mendebarkan jantung dan membuat mereka merasa berbahagia sekali. Keduanya adalah orang-orang yang kuat lahir batin, bukan hanya badannya yang kuat oleh gemblengan dan latihan, namun batin mereka juga kuat.

Orang yang kuat batinnya tidak mudah terseret oleh gelombang nafsu. Batin tak mungkin dapat menjadi kuat oleh usaha akal pikiran kita. Hanya apabila Gusti Allah menurunkan KekuasaanNya ke dalam batin kita, maka batin kita menjadi bersih dan kuat. Batin tidak lagi menjadi hamba nafsu seperti yang tampak dalam kehidupan manusia pada saat ini, melainkan nafsu menjadi hamba, menjadi alat manusia untuk hidup di dalam dunia ini, sebagaimana kodratnya.

Manusia sendiri tidak mungkin memasukkan kekuasan Gusti Allah ke dalam hati sanubarinya kalau Gusti Allah tidak berkenan menganugerahkannya. Manusia hanya dapat menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas akan semua anugerahNya, dan hanya dapat menerima. Kalau Gusti Allah berkenan segala hal pasti dapat terjadi, termasuk masuknya Roh Suci atau Roh Illahi ke dalam hati sanubari manusia dan membimbingnya dalam kehidupan ini.

Bagus Sajiwo Jilid 14

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 14

SEHABIS makan Ki Bangak dan Nyai Bangak tidak membolehkan Jaka Salman dan Mumun meninggalkan mereka. Mereka masih ingin bercakap-cakap dengan santai untuk menyatakan kebahagiaan mereka dengan perjodohan anak mereka itu. Ki Bangak menceritakan dengan bangga dan menurut pandangan Jaka Salman, agak sombong, tentang pengalamannya sebagai jagoan sejak dia muda sampai akhirnya menetap di lembah Sungai Cimanuk memimpin gerombolannya yang sekarang ini. Dengan panjang lebar Ki Bangak memamerkan kehebatannya sebagai jagoan dan dia bicara seolah tanpa henti. Tahu-tahu malam telah merayap sampai larut. Setelah hampir tengah malam, Muntari tidak tahan lagi.

"Bapak, ceritanya dilanjutkan besok saja. Akang Maman hendak bicara berdua denganku!" Setelah berkata demikian kepada ayahnya, Muntari menarik tangan Jaka Salman dan berkata, "Mari, Kang Maman!"

Mereka berdua lalu pergi meninggalkan ruangan itu, diikuti gelak tawa Ki Bangak dan isterinya. Muntari menggandeng tangan Jaka Salman memasuki kamarnya. Setelah memasuki kamar, Jaka Salman menutupkan daun pintu dan daun jendela dan melihat hal ini, Muntari tersenyum lebar dengan wajah berseri dan kedua pipi berubah kemerahan.

Lampu dalam kamar itu oleh pelayan diselubungi kertas merah sehingga kamar itu tampak kemerahan dan romantis! Dengan jantung berdebar dan kedua tangan gemetar, Muntari duduk di tepi pembaringan. Jantungnya makin berdebar kuat ketika Jaka Salman, tanpa malu-malu, duduk di sampingnya.

"Mumun..."

"Ya, kang...?" Muntari memotong kata-kata Jaka Salman.

"Sebelumnya, aku minta maaf kepadamu kalau aku akan membuatmu kecewa dan terkejut. Terus terang saja, Mumun, mustahil kalau kita harus menjadi suami isteri karena..."

"Ehh? Ada apa ini, kang?" Mumun memotong dan kedua matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut.

Jaka Salman atau Neneng Salmah memegang kedua pergelangan tangan gadis itu dan membawa tangan itu ke dadanya. "Karena ini... karena aku juga seorang wanita."

Wajah hitam manis itu tampak pucat, mata itu terbelalak dan seolah kedua tangannya menyentuh bara api, Muntari menarik kedua tangannya dari dada orang yang membuatnya tergila-gila itu.

"... ahhh...! Kau... kau... kenapa engkau tidak memberi tahu sebelumnya...?"

"Maaf, Mumun, aku sedang menyamar, maka aku hendak menyembunyikan penyamaranku. Sekarang pun aku hanya membuka penyamaranku kepadamu seorang, aku tidak ingin orang lain mengetahuinya."

Sepasang mata Mumun bersinar seperti bara api, kemarahannya memuncak. "Jahanam kau! Engkau menipuku, mempermainkan dan mempermalukan aku! Semua orang sudah mendengar bahwa aku akan menikah denganmu, tidak tahunya engkau seorang wanita! Keparat! Engkau membuat aku menjadi bahan ejekan dan , tertawaan semua orang!" Suaranya berubah isak dan Muntari menangis, akan tetapi dengan air mata bercucuran ia mengamuk mengirim tamparan keras ke arah muka Jaka Salman.

"Pemuda" itu sudah siap menjaga diri, maka dia cepat mengelak. Sampai tiga kali Muntari menyerang, akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Jaka Salman. Akhirnya sambil menangis Muntari lari, membuka pintu dan melompat keluar.

"Mumun...!" Jaka Salman memanggil, akan tetapi gadis itu berlari terus sambil menangis. Jaka Salman terpaksa menanti dalam kamar itu, termenung dan menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sementara itu, Muntari berlari ke kamar orang tuanya dan menggedor pintu kamar yang sudah tertutup itu. Ki Bangak dan isterinya yang belum tidur dan sedang membicarakan rencana pernikahan anak mereka, terkejut mendengar pintu digedor dan isak tangis Muntari. Keduanya membuka pintu dan Muntari segera merangkul ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Aeh, apa yang terjadi, anakku?" Nyai Bangak merangkul anaknya. "Ada apakah, Mumun?" Akan tetapi Mumun yang menangis sesenggukan itu tidak dapat menjawab.

Ki Bangak menjadi tidak sabar. "Mumun!" dia membentak. "Hayo ceritakan mengapa engkau menangis!"

Muntari menahan tagisnya lalu menjawab dengan suara masih terputus-putus disela tangis "Bapak... ibu... dia... dia itu wanita... yang menyamar pria...hu-hu-hhuuuhh..."

Suami isteri itu terbelalak, terheran-heran, akan tetapi Ki Bangak segera dapat mengetahui apa yang dimaksudkan puterinya. "Dimana dia sekarang?" bentaknya.

"Di dalam kamarku..." Mumun menjawab sambil mengusap air mata dari kedua pipinya.

"Keparat, biar kuhajar dia!" Ki Bangak lalu berlari keluar, diikuti Muntari dan ibunya.

Karena daun pintu kamar Muntari sudah terbuka, Ki Bangak lalu melompat ke dalam dan dia melihat Jaka Salman duduk di atas kursi dengan sikap tenang. Akan tetapi ketika melihat ayah Muntari itu melompat masuk dengan mata melotot dan muka bengis menyeramkan Jaka Salman segera bangkit berdiri.

"Keparat, engkau menipu puteriku!" Ki Bangak membentak marah.

"Maafkan aku, paman. Aku tidak menipu, akan tetapi puterimu yang salah mengenal orang dan ia memaksaku dan membawaku kesini." jawab Jaka Salman dengan lembut.

"Hemmm... !" Ki Bangak menerjang ke depan.

Jaka Salman bergerak hendak mengelak kalau-kalau diserang. Akan tetapi secepat kilat tangan kiri Ki Bangak menyambar dengan tamparan kuat sekali ke arah kepala Jaka Salman. "Pemuda" itu mengelak ke samping, akan tetapi tanpa diduga-duga, tangan kiri Ki Bangak sudah mencengkeram ke arah bajunya.

"Wuuuttt... breettt...!!" Baju di bagian dada Jaka Salman terkoyak dan tampaklah jelas tanda kewanitaannya pada dadanya. Jaka Salman atau Neneng Salmah cepat menutupkan bagian baju yang koyak itu ke dadanya.

"Kubunuh kau, keparat!" Muntari membentak dan ia sudah mencabut kerisnya dan menerjang ke arah Neneng Salmah, menusukkan kerisnya ke arah perut.

Neneng Salmah cepat mengelak dan gerakan ini membuat tangannya terpaksa melepaskan baju yang robek itu sehingga terbuka lagi menelanjangi dadanya. Serangan pertama yang luput itu membuat Muntari semakin marah dan ia sudah melompat ke depan hendak menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang oleh Ki Bangak yang menarik tangan itu dengan kuat sehingga tubuh Muntari tertarik ke belakang dan terhuyung sampai ke pintu kamar itu.

"Bapak...!" Muntari berseru menegur ayahnya dengan heran.

Kiranya Ki Bangak tiba-tiba tertarik kepada Neneng Salmah setelah melihat tanda kewanitaan gadis itu. "Jangan bunuh ibu tirimu, Mumun!" kata Ki Bangak sambil menyeringai dan memelintir kumisnya yang tebal.

"Ibu tiri...?" Muntari bertanya heran sambil menatap wajah ayahnya dengan mata terbelalak.

"Ya, ibu tirimu karena ia akan menjadi selirku!" Ki Bangak melangkah maju menghampiri Neneng Salmah.

"Tidak! Aku tidak sudi menjadi selirmu!" kata Neneng Salmah, kini menggunakan suaranya sendiri, suara wanita yang merdu.

"Ha-ha-ha, siapa berani menolak kehendak Ki Bangak? Manis, menyerahlah saja dengan suka rela dan engkau akan hidup senang disini sebagai selirku. Itu lebih baik daripada kalau aku memaksamu dengan kekerasan, bukan? Nah, katakan siapa namamu yang sesungguhnya, manis!" Dia melangkah maju lagi dan Neneng Salmah mundur menghindar sampai belakang pahanya tertahan pembaringan sehingga ia tidak dapat mundur lagi.

Pada saat kedua lengan Ki Bangak yang panjang dan besar berotot dan berbulu itu menjulur dan kedua tangannya hendak menangkap dan merangkul Neneng Salmah, tiba-tiba terdengar jerit Muntari dan Nyai Bangak. Ki Bangak terkejut, apalagi ketika melihat wajah Neneng Salmah berseri dan gadis itu sambil menutupkan bajunya yang terkoyak berseru girang, "Akang Jatmika."

Ki Bangak cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat betapa Muntari sudah ditelikung tangannya ke belakang tubuh oleh seorang pemuda dan keris milik gadisnya itu kini berada di tangan pemuda itu yang menodongkan keris ke leher Muntari. Nyi Bangak berdiri memandang terbelalak ketakutan.

"Ki Bangak, biarkan gadis itu pergi atau terpaksa aku akan membunuh puterimu lebih dulu!" bentak Jatmika dengan suara mengancam.

"Jangan...! Ah, jangan bunuh anakku...!" Nyai Bangak menjerit.

Ki Bangak marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mengancamnya seperti ini. Juga dia merasa penasaran bagaimana pemuda asing ini berani dan dapat memasuki rumahnya seperti ini, padahal perkampungan dan terutama rumahnya itu terjaga rapat oleh anak buahnya. "Anak setan!" Dia memaki. "Engkau sudah bosan hidup!" Ki Bangak lalu menyerang Jatmika dengan pukulan jarak jauh.

Kedua tangan dibuat terbuka dan mendorong ke arah Jatmika. Angin pukulan yang kuat menyambar ke arah Jatmika. Pemuda itu cepat menyambut dengan dorongan tangan kirinya tanpa memindahkan keris itu dari leher Muntari.

"Wuuuttt... dessss...!!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Ki Bangak yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai! Ki Bangak terengah-engah, dadanya terasa sesak.

"Neneng cepat kesini!" kata Jatmika. Neneng Salmah cepat berlari mendekati sambil memegangi baju yang koyak agar menutupi dadanya.

Jatmika memandang ke arah Ki Bangak yang masih belum dapat berdiri, hanya duduk sambil menekan dadanya. "Kami pergi dan anakmu harus mengantar kami sampai keluar dari perkampungan ini. Kalau engkau mengerahkan anak buahmu menghalangi, akan kubunuh lebih dulu anakmu ini!"

Setelah mengeluarkan ancaman itu, Jatmika yang kini menelikung lengan kanan Muntari ke belakang tubuh, mendorong gadis itu keluar dari kamar. Neneng Salmah berjalan di samping Muntari sehingga gadis itu berada di tengah, diantara mereka.

"Jangan bunuh anakku...!" Nyai Bangak kembali berseru sambil mengikuti Jatmika dan Neneng Salmah.

"Ia tidak akan kami ganggu asalkan kami juga tidak diganggu dan dihalangi kepergian kami!" kata Jatmika dan sambil terus menodongkan keris ke leher Muntari, Jatmika menggiring Muntari keluar dari rumah, diikuti oleh Neneng Salmah.

Setibanya di beranda depan, belasan orang berlompatan dan menghadang di depan, dengan senjata tajam di tangan dan tampaknya mereka hendak mengeroyok. Akan tetapi meragu melihat Muntari ditodong keris.

"Jangan ganggu mereka! Jangan keroyok! Mundur kalian semua, beri jalan kepada mereka. Semua mundur...!" Nyai Bangak menjerit-jerit dan semua orang yang tadinya menghalang itu terpaksa mundur dan memberi jalan kepada Jatmika dan Neneng Salmah.

Jatmika membawa Muntari ke tepi sungai dan mereka bertiga lalu memasuki sebuah perahu milik gerombolan itu. Kepada para anak buah gerombolan yang mengikuti mereka dari jarak agak jauh dan kini berdiri di tepi sungai, Jatmika berseru.

"Kami akan membebaskan gadis ini kalau ternyata kalian tidak mengejar kami. Kalau kalian mengejar, kami tidak akan membebaskannya!" Lalu dia berkata kepada Neneng Salmah. "Neneng, pegang keris ini dan kalau ia melawan, tusuk dan bunuh saja. Aku akan mengemudikan perahu."

Neneng Salmah menerima keris itu dan sambil duduk dibelakang Muntari, ia menodongkan kerisnya di lambung kanan gadis itu. Jatmika segera melepas tali pengikat perahu dan menggerakkan dayung di air untuk mengemudikan perahu ke tengah sungai. Dia mendengar suara parau Ki Bangak yang memaki anak buahnya dan membentak mereka agar tidak melakukan pengejaran.

Ketika perahu meluncur di tengah sungai, Jatmika memandang ke sekeliling dan mendengarkan kalau-kalau ada yang melakukan pengejaran. Akan tetapi suasana sunyi saja cuaca remang-remang diterangi bulan tiga perempat.

Neneng Salmah merasa kasihan juga kepada Muntari yang sejak tadi diam saja dan tampak gadis yang lincah dan galak itu kini seperti orang gelisah. "Mumun, kuharap sungguh bahwa pengalaman ini dapat menjadi pelajaran yang baik untukmu. Ketahuilah, bahwa caramu memaksa seorang pemuda menjadi suamimu, bukanlah cara yang baik dan benar dan akhirnya hanya akan menyusahkan dirimu sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan, harus didorong keinginan kedua pihak yang saling mencinta. Cinta sepihak, apalagi kalau pihak lain dipaksa, akan mendatangkan kegagalan dan kekecewaan. Bayangkan saja andaikata ada seorang pria memaksamu menjadi isterinya, padahal engkau tidak cinta kepadanya, apakah engkau akan dapat menjadi isterinya yang baik? Engkau tentu diam-diam akan membencinya walaupun secara berterang engkau tidak berani. Nah, demikian pula kalau engkau memaksa seorang pria menjadi suamimu. Dia pasti diam-diam membencimu dan hidupmu akan sengsara. Pilihlah seorang pria yang mencintamu dan juga kau cinta untuk menjadi suamimu, Mumun."

Mendengar nasihat Neneng Salmah yang diucapkan dengan nada bersungguh-sungguh, keluar dari hati yang menaruh iba, Muntari menangis.

Jatmika berkata, "Nah, engkau sekarang boleh pergi, Muntari! Loncatlah keluar dari perahu!"

"Akang Jatmika!" Neneng Salmah berseru. "Pinggirkan dulu perahunya Agar Mumun dapat mendarat."

"Hemm, ia pernah memaksa aku tercebur di sungai ini. Kalau sekarang aku minta ia untuk meloncat dengan suka rela, hal itu masih baik sekali untuknya. Nah, loncatlah keluar!" kata pula Jatmika yang masih merasa mendongkol atas sikap Muntari siang tadi.

"Aku memang bersalah. Selamat jalan dan maafkan aku!" kata Muntari dan ia-pun meloncat ke dalam air. Loncatannya indah dan ketika tubuhnya tiba di air, ia masuk dengan kedua tangan lebih dulu tanpa mengeluarkan suara.

"Engkau keterlaluan, kang!" cela Neneng Salmah. "Ia bisa mati tenggelam!" Gadis ini mencari-cari dengan matanya, mencoba menembus cuaca yang remang-remang itu karena ia tidak melihat tubuh Muntari muncul lagi setelah gadis itu terjun ke air.

"Ah, Neneng. Apakah engkau tidak melihat cara ia melompat ke dalam air? Begitu lincah seperti ikan! Tidak, Neneng, ia tidak mungkin tenggelam atau hanyut. Gadis itu puteri kepala bajak sungai, ingat? Tentu saja ia mahir bermain dalam air."

"Aku... aku kasihan kepadanya, Kang Jatmika."

Jatmika tertawa. "Itu adalah karena engkau memang memiliki budi luhur, Neneng. Aku teringat akan wejangan mendiang Eyang Tejo Langit. Beliau mengatakan bahwa hanya orang yang memiliki kasih sayang murni terhadap sesamanya, dia yang akan dapat merasakan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Aku merasa yakin bahwa engkau adalah seorang yang telah membiarkan hatimu dihuni oleh Kasih murni yang dimaksudkan itu."

"Ah, engkau bicara tentang kasih sayang murni, Akang Jatmika. Kalau ada yang murni, tentu ada yang tidak murni atau palsu, begitukah? Lalu apa perbedaan antara kasih murni dan kasih palsu?"

"Tentu saja ada kasih yang tidak murni, Neneng. Sebagian besar kasih yang didengung-dengungkan oleh kita manusia dalam kehidupan di dunia ini, adalah kasih sayang yang tidak murni itu. kasih sayang nafsu belaka, kasih sayang jual-beli, kasih sayang yang mengharapkan balas jasa atau imbalan, kasih sayang berpamrih demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Kasih sayang palsu buatan nafsu ini hanya merupakan kebalikan saja dari benci, dan timbul tenggelam silih berganti dengan benci. Mengasihi, akan tetapi minta imbalan ini dan itu dan biasanya imbalan yang dituntut lebih besar dan lebih banyak daripada kasih yang diberikan, dan kalau imbalan itu tidak didapatkan, maka kasih palsu itu berubah menjadi benci."

"Wah, aku jadi ngeri mendengarnya, kang! Bukankah banyak cinta kasih murni di dunia ini? Misalnya cinta kasih antara suami-isteri, antara saudara kandung, antara anak dan orang tua, antara dua orang sahabat."

"Mungkin saja ada, akan tetapi berapa gelintir orang yang memiliki cinta kasih murni seperti itu? Biasanya, cinta kasih kita ditujukan kepada diri sendiri. mencinta orang lain hanya menjadi sarana untuk menyenangkan diri sendiri, berpamrih untuk memenuhi keinginan diri sendiri. Kita dapat melakukan penyelidikan kepada diri sendiri, apakah cinta kita itu murni ataukah tidak. Cinta murni tak pernah padam, dan tidak mungkin berubah menjadi benci. Andaikata suami atau isteri yang kita cinta itu tidak memenuhi keinginan kita, tidak menyenangkan bahkan merugikan, melanggar ketentuan yang kita inginkan, tidak membalas cinta kita dan sebagainya, apakah kita akan tetap mencintanya? Ataukah cinta kita itu berubah menjadi benci? Andaikata anak, atau orang tua kita tidak menyenangkan hati kita, mengecewakan, mencemarkan nama baik dan berbagai tindakan lain yang tidak kita inginkan sehingga menyusahkan kita, apakah cinta kita masih tetap, ataukah terganti benci? Kalau seorang sahabat yang sudah ratusan kali melakukan kebaikan, lalu pada suatu saat melakukan satu saja perbuatan yang merugikan, menyusahkan dan tidak menyenangkan hati kita, apakah cinta kita kepadanya masih tetap? Ataukah berubah menjadi benci? Cinta yang berubah menjadi benci bukanlah cinta murni, melainkan cinta nafsu, yang dicinta pada hakekatnya adalah diri sendiri. Tentu saja ada orang-orang bijaksana yang hatinya sudah dihuni cinta kasih murni dan orang seperti itu yang dapat disebut orang bahagia, seorang manusia yang mengasihi sesamanya tanpa pandang bulu, ikut berduka dan selalu siap meno-long melihat orang lain menderita, dan ikut gembira melihat orang lain bergembira."

"Aduh, kalau begitu cinta kita manusia ini selalu dikotori oleh nafsu? Lalu bagaimana caranya belajar agar kita dapat memiliki kasih sayang yang murni?"

"Manusia hidup di dunia bergelimang dosa, Neneng. Akan tetapi ada agama yang mengajarkan bagaimana agar kita dapat hidup secara baik dan benar. Semua agama menuntun kita ke arah kebenaran dan kebajikan asal kita benar-benar mematuhi ajarannya. Tentu saja sebaik-baiknya manusia masih ada cacat celanya. Yang Maha Baik, Maha Benar, dan Maha Kasih itu hanyalah Gusti Allah. Kasih suci murni hanyalah Gusti Allah yang Maha Kasih, tanpa pamrih dan berkahnya melimpah ruah kepada semua mahluk ciptaanNya. Sinar matahari itu menghidupkan dan dinikmati siapa saja dan apa saja. Pendeta maupun penjahat, si kaya maupun si miskin, si pintar maupun si bodoh, menikmati sinar matahari yang sama. Bunga mawar yang semerbak, dicium oleh raja maupun pengemis, oleh pendeta maupun penjahat, tetap harum. Itulah Kasih sejati, Kasih murni, Kasih Illahi!"

"Akan tetapi Akang Jatmika, mungkinkah bagi manusia untuk memiliki kasih seperti itu? Bagaimana mempelajarinya?"

"Kasih bukan ilmu yang dapat dipelajari, bukan hasil akal pikiran, melainkan rasa perasaan dari hati yang paling dalam. Yang dapat dipelajari dan dilatih hanya kasih nafsu tadi. Cara untuk memilikinya juga tidak mungkin dilakukan manusia. Kasih suci murni merupakan anugerah Gusti Allah, karena hanya Dia saja yang mampu memberi. Manusia hanya dapat menerima dengan kepasrahan, pasrah menyerah kepada Gusti Allah dengan sepenuh jiwa, dengan sabar tawakal dan ikhlas, siap menerima apa saja yang ditentukan Gusti Allah dengan puji syukur dan terima kasih,' baik yang kita terima itu menyenangkan maupun menyusahkan!"

"Tapi mungkinkah itu bagi manusia untuk menerimanya?"

"Mengapa tidak? Bagi Gusti Allah, tidak ada hal yang tidak mungkin! Kalau Gusti Allah mengijinkan, menganugerahi kita dengan Roh Illahi, Roh Kudus yang bersemayam dalam hati sanubari kita, maka dengan sendirinya kasih murni sejati itu akan berada dalam hati kita."

"Tandanya kalau Kasih itu ada bagaimana kang?"

"Tandanya? Tidak ada lagi pamrih untuk si-AKU, adanya hanya rasa belas kasihan melihat orang lain menderita, membela keadilan, sabar, tidak iri, tidak mendendam, rendah hati dan condong membahagiakan orang lain. Semua perasaan sebagai buah dari pohon Kasih ini timbul dari dalam, dengan sendirinya, tanpa pamrih untuk si-AKU, digerakkan oleh kasih Illahi."

"Semoga Gusti Allah menganugerahi kita dengan kasih seperti itu, Kang Jatmika."

"Kita hanya manusia biasa, Neneng. Kita hanya dapat berdoa dan mohon bimbinganNya, menyerahkan jiwa raga kita ke dalam kekuasaanNya. Semoga Tuhan dapat mengampuni semua kelemahan dan dosa kita dan menyalakan Api Kasih itu dalam hati kita."

"Amin-amin-amin!" kata Neneng Salmah dan hatinya menjadi semakin kagum kepada pemuda itu. Ia melihat betapa Jatmika memiliki kebijaksanaan, mengingatkan ia akan Lindu Aji yang pernah dicintanya dan sampai sekarang masih dicintanya walaupun kini sebagai kakak angkatnya.

Beberapa hari kemudian mereka tiba di Dermayu. Mereka mendarat dan Neneng Salmah membeli pengganti bajunya yang robek. Perahu rampasan itu mereka berikan kepada seorang kakek nelayan yang miskin dan belum mempunyai perahu. Tentu saja kakek nelayan itu merasa berbahagia sekali dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada Jatmika dan Jaka Salman.

Melihat wajah kakek yang berseri-seri, mulutnya yang terse-nyum lebar sehingga tampak mulutnya yang ompong, dan melihat betapa kedua mata tua itu basah dan dua tetes air mata menggantung di bulu mata, Jatmika dan Jaka Salman merasa terharu sekali. Diam-diam mereka merasakan suatu kebahagiaan yang mendalam dan semakin yakinlah hati nurani mereka bahwa perbuatan apapun berdasarkan kasih mendatangkan kebahagiaan besar dalam hati.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu Jatmika dan Neneng Salmah yang menyamar sebagai Jaka Salman dan kita ikuti perjalanan Lindu Aji dan Sulastri.

Dapat dibayangkan betapa bahagia rasa hati Lindu Aji dan Sulastri. Dua orang ini sejak pertemuan pertama dahulu telah saling jatuh cinta. Walaupun keduanya tidak pernah saling menyatakan cinta, namun dari pandang mata, suara dan sikap mereka, keduanya merasa betapa mereka saling mencinta.

Kemudian hubungan kasih itu berubah karena Sulastri mengalami kecelakaan sehingga ia kehilangan ingatan, lupa kepada Lindu Aji dan mengira bahwa ia mencinta Jatmika, sungguhpun cintanya kepada Jatmika itu cinta seorang adik seperguruan terhadap kakaknya. Kemudian setelah Sulastri sembuh, pulih lagi ingatannya dan ia teringat akan cintanya kepada Lindu Aji, ia menyangka bahwa Lindu Aji mencinta Neneng Salmah yang terang-terangan mengaku bahwa ia mencinta pemuda itu.

Di lain pihak, Lindu Aji juga mengira bahwa Sulastri kini mencinta Jatmika. Keduanya saling mengalah, saling berkorban. Sulastri merelakan Lindu Aji berjodoh dengan Neneng Salmah dan sebaliknya Lindu Aji juga merelakan Sulastri berjodoh dengan Jatmika! Keduanya hanya ingin melihat orang yang dicinta itu hidup berbahagia dan rela menanggung pedih hati karena harus berpisah dari orang yang dicinta.

Akan tetapi sekarang mereka saling bertemu kembali. Bukan hanya bertemu orangnya, melainkan juga bertemu dan bertaut kembali perasaan hati mereka. Mereka merasa berbahagia karena ternyata keduanya tidak mau berjodoh dengan orang lain, keduanya tidak mencinta orang lain.

Dengan hati penuh kebahagiaan, Lindu Aji dan Sulastri melakukan perjalanan bersama menuju ke Gampingan, kampung halaman Lindu Aji di Pegunungan Kidul untuk, menghadap Nyi Warsiyem, ibu kandung Lindu Aji.

Nyi Warsiyem yang telah menjadi janda itu tinggal bersama seorang janda lain bernama Nyi Juminten yang mondok di rumah itu bersama dua orang anaknya, yaitu seoran anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun bernama Priyadi, dan seorang anak perempuan berusia delapan tahun bernama Wulandari.

Biarpun Nyi Warsiyem sudah berusia empat puluh tahun dan Nyi Juminten berusia tiga puluh tiga tahun, namun kedua orang janda ini masih tampak cantik, ayu manis merak ati sehingga banyak sudah pria dari dusun Gampingan dan dusun-dusun lain di sekitarnya, mengajukan pinangan. Namun dengan halus dua orang janda itu menolak semua pinangan.

Mereka sudah merasa hidup tenang dan tenteram di rumah itu sebagai janda. Setiap hari berjualan di warung makan dan cukup sibuk karena warung itu laris. Dan dua orang anak dari Nyi Juminten itu, Priyadi dan Wulandari, juga merupakan anak-anak yang baik dan penurut sehingga dua orang anak ini menjadi hiburan, bukan saja bagi ibu kandung mereka, akan tetapi juga bagi Nyi Warsiyem yang menganggap mereka berdua seperti keponakan sendiri.

Pada suatu siang, ketika warung Nyi Warsiyem menjadi sepi setelah semua orang yang makan siang disitu sudah meninggalkan warung, Nyi Warsiyem dan Nyi Juminten duduk santai di atas bangku warung. Mereka istirahat setelah tadi lelah melayani banyak langganan yang makan siang disitu. Priyadi dan Wulandari bermain di luar warung bersama anak-anak dusun Gampingan itu.

Terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda mendatangi ke arah warung itu dan berhenti tak jauh dari warung. Dua orang janda itu tidak memperhatikan dan masih duduk sambil membungkusi bothok yang akan segera dikukus. Bothok yang dibuat dari parutan kelapa, biji kemlanding, ikan teri dan bumbu-bumbu itu amat disuka oleh para langganan. Dibungkus daun pisang.

Priyadi berlari masuk "Bu, ibu ada orang mencari ibu!" kata anak itu kepada ibunya, Nyi Juminten.

"Eh, siapa yang mencari aku?" tanya Nyi Juminten tanpa menghentikan pekerjaannya membungkus bothok. Ia mengira tentu seorang di antara tetangga yang mencarinya. Selama tiga tahun lebih tinggal di rumah Nyi Warsiyem yang sudah menganggap ia seperti adik sendiri, Nyi Juminten hidup tenang dan cukup bahagia. Kedua anaknya sehat-sehat, ia dapat membantu Nyi Warsiyem di warung dan pergaulannya dengan para tetangga di dusun Gampingan itupun akrab. Maka, ia tidak heran mendengar laporan anaknya bahwa ada yang mencarinya.

"Entah siapa, ibu. Dia datang naik kuda bersama dua orang lain dan melihat pakaiannya, dia seorang priyayi!" kata pula Priyadi yang agaknya bangga kepada teman-temannya bahwa ibunya dicari seorang priyayi!

Nyi Juminten terbelalak heran. Juga Nyi Warsiyem menghentikan kesibukan tangannya dan memandang anak itu. "Priyayi?" tanya Nyi Warsiyem. "Bagaimana engkau tahu bahwa dia mencari ibumu, Priyadi?"

"Bu-dhe (uwa), orang itu menanyakan rumah Juminten. Bukankah disini hanya ada ibuku yang bernama Juminten?" kata Priyadi.

Pada saat itu, tiga orang laki-laki muncul di pintu warung. "Kulonuwun (permisi)...!" kata laki-laki yang berada di depan.

Nyi Warsiyem dan Nyi Juminten bangkit berdiri dan memandang ke arah tiga orang itu. Yang berkulonuwun dan berada di depan tadi adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh jangkung kurus, berkumis tipis dan wajahnya cukup tampan dengan mata bersinar tajam. Pakaiannya jelas menunjukkan bahwa dia seorang priyayi (bangsawan) yang kaya.

Di belakangnya berjalan dua orang laki-laki yang tinggi besar dan wajah mereka seram dan galak, usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka yang tidak seindah pakaian laki-laki pertama, sikap mereka, dan golok mereka yang tergantung di pinggang, mudah diduga bahwa mereka tentulah pembantu atau pengawal pria pertama.

"Monggo...!" kata Nyi Warsiyem. "Silakan duduk, denmas. Apakah andika bertiga hendak makan?" Sambutan seperti ini sudah biasa ia ucapkan pada para tamu yang hendak jajan di warungnya.

Akan tetapi priyayi itu tidak menjawab. Dia memandang kepada Nyi Juminten, lalu wajahnya menjadi berseri dan dia berseru girang, "Juminten! Ah, akhirnya aku dapat juga menemukanmu! Sudah tiga tahun lebih aku merindukanmu, mencarimu tanpa hasil. Kiranya engkau berada disini! Walah-walah, engkau semakin denok saja, Juminten. Lihat, kedua pipimu merah seperti kembang mawar, tubuhmu montok segar. Tentu engkau senang tinggal disini! Akan tetapi sayang, engkau tetap miskin!"

Muka Juminten kemerahan, akan tetapi sinar matanya membayangkan ketakutan. Kedua tangan yang masih memegang bungkusan bothok yang belum ditusuk lidi itu menggigil sehingga bungkusan itu terlepas dan isinya berserakan di lantai. Melihat sikap Juminten, Nyi Warsiyem mendekati seolah melindunginya dan matanya ditujukan kepada laki-laki berpakaian mewah itu.

"Oh, Raden Kuncoro! Silakan duduk, den. Paduka hendak dhahar (makan) nasi apa?" Biarpun Nyi Juminten memaksa agar suaranya terdengar ramah dan tenang, namun tetap saja Nyi Warsiyem dapat mendengar betapa suara adik angkatnya itu tidak seperti biasa, agak gemetar.

Dan iapun teringat akan cerita Nyi Juminten bahwa wanita dan dua orang anaknya itu menjadi janda karena suaminya yang perajurit Mataram gugur dalam perang. Setengah tahun kemudian ia terpaksa melarikan diri dari kota raja karena hendak diambil menjadi selir oleh seorang priyayi bernama Raden Kuncoro! Kiranya ini laki-laki itu! Pantas Nyi Juminten menjadi begitu gugup dan ketakutan.

Pria itu tertawa ketika mendengar ucapan Nyi Juminten. "Hendak makan apa? Ha-ha, Juminten... Juminten! Benarkah engkau tidak tahu? Kalau disuruh pilih diantara semua makanan di dunia ini, aku memilih makan... engkau!" Pria itu tertawa lagi setelah mengeluarkan ucapan menggoda itu.

Wajah Nyi Juminten menjadi semakin merah. "Ah, raden, jangan begitu!" tegurnya sambil menundukkan mukanya, ketakutan.

"Ha-ha-ha, aku hanya main-main, Minten! Oya, engkau menjual nasi apa saja disini?"

"Nasi pecel, nasi sambal tumpang, sambal goreng, goreng ayam..."

"Beri kami tiga nasi pecel dan keluarkan goreng ayam dan semua lauk yang ada. Minumnya kopi!" ,

"Baik, raden." kata Nyi Juminten dan bersama Nyi Warsiyem ia lalu mempersiapkan pesanan makanan itu. Nyi Juminten selalu menundukkan muka dengan gelisah.

Nyi Warsiyem berbisik kepadanya. "Itukah yang dulu hendak menjadikan engkau selirnya?"

Juminten berbisik kembali. "Betul, mbakayu. Tolong engkau saja yang menghidangkan."

"Baik," kata Nyi Warsiyem, maklum bahwa Nyi Juminten tentu segan dan takut mendekati pria itu.

Akan tetapi ketika pesanan itu sudah tersedia dan Nyi Warsiyem mengeluarkan hidangan itu ke meja mereka, pria itu mengerutkan alisnya dan berkata. "Ah, tidak! Aku tidak mau kalau bukan Juminten yang menghidangkan makanan ini. Bawa kembali kesana dan suruh Juminten yang mengantarkan kesini!"

Melihat dua orang tinggi besar itu melotot kepadanya, Nyi Warsiyem terpaksa membawa kembali baki terisi makanan dan minuman itu ke dalam warung. "Bagaimana ini, Jum? Dia menghendaki engkau yang melayani." bisik Warsiyem.

Juminten menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. Keadaan menjadi menegangkan. Dua orang wanita itu selain tegang juga mulai merasa gelisah karena agaknya Raden Kuncoro itu hendak memaksakan kehendaknya dan tidak bermaksud baik dengan kedatangannya di warung itu.

Dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba terdengar suara Priyadi dan Wulandari bersorak gembira. "Bu-dhe! Ibu! Kakang Aji pulang! Hore! Kakang Aji pulang!"

Dua orang janda itu merasa begitu lega dan plong hati mereka sehingga wajah mereka seketika berseri dan keduanya saling pandang sambil tersenyum. Mereka melihat Lindu Aji bersama seorang gadis cantik jelita memasuki warung, diikuti Priyadi dan Wulandari yang berloncat-loncatan gembira.

"Ibu! Bulik (Bibi) Juminten!" Lindu Aji berseru gembira sambil memasuki warung.

"Aji...! Syukur engkau datang...!" seru Juminten gembira karena setelah pemuda ini muncul, rasa takutnya terhadap Raden Kuncoro lenyap.

"Aji engkau sudah pulang? Dan ini..." Warsiyem memandang kepada Sulastri.

"Ibu inilah Sulastri!"

Warsiyem terbelalak, lalu mengembangkan lengannya dan berseru, "Ah... nak Sulastri..., andika ayu...!"

Sulastri maju menyembah. "Ibu..."

Warsiyem merangkulnya dan menciumi pipi gadis itu yang ia tahu telah menjadi pilihan hati puteranya itu, gadis yang menjadi calon mantunya!

"Juminten, kesinilah engkau!" tiba-tiba terdengar suara lantang.

Juminten terkejut memandang kepada Raden Kuncoro yang memanggilnya. Lindu Aji juga menengok dan ibunya berbisik.

"Aji, orang itu hendak memaksa Juminten menjadi selirnya."

Aji memandang kepada Juminten. "Dan bibi setuju?" tanyanya.

Juminten menggeleng kepala kuat-kuat.

"Juminten apakah engkau tidak mendengar panggilanku?" kembali Raden Kuncoro berseru.

Setelah yakin bahwa Juminten tidak mau menjadi selir orang itu, Lindu Aji lalu melangkah, menghampiri Raden Kuncoro dan dua orang pengikutnya. Raden Kuncoro memandang wajah Lindu Aji dengan sinar mata tajam berwibawa, lalu bertanya dengan alis berkerut. "Andika ini siapa? Dan mau apa menghampiri kami?"

Lindu Aji tetap sabar dan tenang. "Namaku Lindu Aji dan saya anak pemilik warung ini. Saya hanya mau memberitahu kepada andika bahwa sikap andika memerintah Bu-lik Juminten seperti itu tidak pada tempatnya. Harap diingat bahwa andika ini tamu dan seyogianya bersikap sopan terhadap pemilik rumah, apalagi kalau andika menjadi tamu wanita-wanita yang patut dihormat ."

"Aha, kiranya andika ini bukan pemuda dusun biasa. Agaknya memiliki pengertian yang cukup mendalam. Kalau begitu duduklah dan kita bicara baik-baik agar andika mengerti duduknya persoalan."

Mendengar ucapan itu, rasa penasaran dalam hati Lindu Aji mereda karena dari ucapannya, orang berpakaian bangsawan ini agaknya bukan orang yang suka mengandalkan kebangsawanannya seperti para bangsawan lain. Maka diapun mengambil tempat duduk berhadapan dengan Raden Kuncoro, terhalang meja.

"Lindu Aji, perkenalkan, aku adalah Raden Kuncoro dari kota raja dan aku sudah mengenal Juminten sejak ia masih tinggal di kota raja dulu." Orang itu memperkenalkan diri. "Dan mereka ini adalah dua orang pengawalku."

"Saya pernah mendengar cerita Bu-lik Juminten bahwa ia dan dua orang anaknya melarikan diri dari kota raja karena andika hendak memaksanya menjadi selir andika." kata Lindu Aji terus terang dan langsung saja ke persoalannya.

Warsiyem dan Juminten memandang dengan sinar mata gelisah. Akan tetapi Sulastri tersenyum dan berkata kepada mereka. "Harap ibu dan Bibi Juminten tenang saja. Mas Aji tentu akan dapat mengatasi dan membereskan persoalan ini."

Ia lalu mengajak dua orang wanita itu duduk di atas bangku panjang. Ia sendiri tetap berdiri dan memandang ke arah tiga orang tamu yang duduk di ruangan tamu, di depan warung.

Mendengar ucapan Lindu Aji, Raden Kuncoro tersenyum lebar. "Ah, orang muda. Andika tidak tahu dan Juminten juga salah paham akan maksudku yang baik. Ketahuilah, aku telah mengenal mendiang suaminya yang gugur di medan perang, gugur sebagai seorang satria yang membela Mataram. Aku merasa kasihan sekali kepada Juminten yang menjadi janda dalam usia muda dan ia harus mengurus dua orang anaknya. Mengingat akan jasa mendiang suaminya terhadap negara, juga karena merasa kasihan kepadanya, maka aku hendak mengangkat derajatnya sebagai selirku. Ia akan hidup makmur, berkecukupan, terhormat dan kedua orang anaknya mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya. Hal itu akan jauh lebih baik bagi Juminten dan anak-anaknya, daripada hidup di dusun ini, serba kekurangan dan sebagai seorang janda muda tentu ia menghadapi banyak godaan dan cemoohan orang, bukan?"

Mendengar ucapan yang enak didengar itu, Lindu Aji mengangguk-angguk. Dia tidak melihat keburukan dalam ucapan Raden Kuncoro itu. "Semua kata-kata andika itu tak dapat dibantah lagi memang benar, Raden Kuncoro. Akan tetapi andika melupakan satu hal yang terpenting, yaitu bahwa Bu-lik Juminten bukanlah sepotong benda atau seekor hewan yang dapat diatur begitu saja menurut kehendak andika, betapapun baiknya kehendak itu. Ia adalah seorang manusia yang mempunyai perasaan hati sendiri. Oleh karena itu, andika tidak boleh memaksa ia melakukan sesuatu di luar kehendak perasaan hatinya. Maka, agar kita semua menjadi jelas dan yakin akan duduknya persoalan, sebaiknya kita tanyakan pendapat Bu-lik Juminten. Bu-lik, bagaimana dengan pendapat Bu-lik? Bu-lik sudah mendengar semua ucapan Raden Kuncoro, sekarang bu-lik sendiri yang harus mengambil keputusan. Maukah bu-lik diambil selir oleh Raden Kuncoro?"

"Tidak, aku tidak mau!" jawab Juminten dengan suara nyaring dan tegas.

"Nah, sekarang persoalannya jelas. Bu-lik Juminten tidak mau menjadi selir andika, Raden Kuncoro. Oleh karena itu, saya harap andika bijaksana dan tidak melakukan paksaan, karena paksaan hanya dilakukan oleh orang yang hadigang-hadigung-hadiguna, yang mengandalkan kekuasaan, harta benda, dan kedudukan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang kecil!"

Wajah Raden Kuncoro menjadi merah padam. "Akan tetapi...aku sangat cinta kepada Juminten, aku ingin membahagiakan ia dan anak-anaknya. Apakah itu salah?"

"Raden Kuncoro, mencinta adalah hak setiap orang. Kita boleh merasa jatuh cinta kepada siapapun juga, hal itu tidak merugikan siapa-siapa kecuali diri sendiri. Akan tetapi untuk dapat terlaksana perjodohan, haruslah ada cinta kedua pihak, harus terlaksana dengan suka rela. Kalau andika saja yang mencinta Bu-lik Juminten, akan tetapi ia tidak mencinta andika, tidak mau menjadi selir andika lalu andika hendak memaksanya, maka itu merupakan perkosaan dan suatu tindak kejahatan. Kalau anda hendak memaksa Bu-lik Juminten, terpaksa saya yang akan menentang andika!"

"Raden, kenapa melayani bocah ini? Biar kami melabraknya!" Dua orang pengawal tinggi besar itu bangkit dan mencabut golok besar mereka dengan wajah bengis dan sikap mengancam.

Tiba-tiba dengan bentakan nyaring. "Tunggu!" Sulastri telah melompat dekat Lindu Aji dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah dua orang tinggi besar itu ia berkata, "Hei, kalau kalian memang jagoan, jangan bikin ribut dalam warung. Mari keluar dan kalian berdua lawanlah aku!" Setelah berkata demikian Sulastri lalu melangkah keluar warung.

Melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu, Nyi Warsiyem dan Nyi Juminten terbelalak keheranan. Mereka sudah mendengar dari Lindu Aji bahwa gadis yang dikasihi Lindu Aji itu seorang wanita yang digdaya, akan tetapi mereka tidak dapat membayangkan betapa gadis cantik jelita dan halus semuda itu berani menantang dua orang laki-laki tinggi besar yang menyeramkan itu. Dan tempat mereka duduk dalam warung mereka dapat melihat apa yang terjadi di luar warung.

Lindu Aji tampak tenang saja dan ketika dua orang pengawal Raden Kuncoro berlari keluar mengejar Sulastri yang menantang mereka, dia hanya pergi ke pintu dan menonton dari situ. Raden Kuncoro hanya berdiri saja dan menonton dari dalam, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan juga kekaguman melihat gadis cantik yang masih amat muda itu berani menantang dua orang pengawalnya yang dia tahu memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh.

"Hei, Jagal dan Bendot, jangan bunuh dan jangan lukai gadis itu!" teriak Raden Kuncoro dan teriakan ini saja membuat Lindu Aji maklum bahwa biar-pun tergila-gila kepada janda Juminten itu dan kenekatannya untuk mengambilnya sabagai selir dengan memaksa merupakan prilaku yang amat buruk, namun priyayi ini bukan orang kejam. Dia tidak perlu memperingatkan Sulastri karena gadis itu, biarpun berwatak keras, namun juga bukan orang yang mudah membunuh atau mencelakai orang.

Dua orang jagoan itu kini sudah berhadapan dengan Sulastri dan mereka berdua saling pandang, kemudian memandang kepada gadis itu dengan mulut menyeringai. Mereka tadi mendengar pesan majikan mereka. Tentu saja mereka tidak ingin membunuh gadis cantik yang masih muda itu. Mereka bukan pembunuh, melainkan pengawal untuk melayani dan menjaga Raden Kuncoro, sungguhpun sebenarnya priyayi itu tidak perlu dijaga karena jauh lebih digdaya dibandingkan mereka.

"Anak manis, tidak salahkah pendengaran kami? Engkau menantang kami berdua?" tanya Jagal yang mukanya hitam.

"Ya, karena tadi kalian mengancam hendak melabrak Mas Aji. Kalau kalian memang jagoan, hayo labrak aku kalau mampu!" kata Sulastri.

"Aduh, bagaimana mungkin kami harus melawan seorang bocah manis seperti engkau?" kata Bandot sambil menyarungkan kembali goloknya dan hal ini diikuti oleh Jagal. "Baru melawan aku seorang saja, aku dapat mengalahkan engkau hanya dengan sebelah tangan ini!"

Dia memperlihatkan dan mengamangkan tangannya yang besar dan kuat sambil menyeringai lebar sehingga mukanya yang cacat bopeng itu tampak menyeramkan. "Ha-ha-ha!" Jagal tertawa. "Dan engkau boleh memukul aku dengan tanganmu yang lunak seperti agar-agar itu, tentu enak seperti dipijati!"

Sulastri yang pada dasarnya amat tidak suka melihat kesombongan, menjadi panas hatinya mendengar dua orang itu memandang rendah dan mentertawakannya. "Coba rasakan tangan agar-agarku ini!" Kedua tangannya bergerak ke depan, cepat seperti tatit.

Dua orang itu terkejut, akan tetapi gerakan mereka untuk menangkis atau mengelak kalah cepat oleh sambaran kedua tangan dara perkasa itu. "Plak! Plak!" Dua orang itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, lalu meludahkan gigi yang copot disertai darah. Seketika pipi mereka bengkak membiru terkena tamparan yang membuat gigi mereka di samping copot! Jagal dan Bendot marah sekali. Mereka mencabut golok mereka dan siap menyerang.

"Lastri, jangan...!" Lindu Aji sudah melompat ke dekat gadis itu untuk mencegah Sulastri menurunkan tangan yang lebih berat lagi.

"Simpan golok kalian!" terdengar Raden Kuncoro membentak dan diapun sudah melompat dekat dua orang pengawalnya. Dua orang itu menyimpan lagi golok mereka dan melangkah mundur, menutupi pipi yang bengkak dengan tangan sambil meringis menahan rasa nyeri.

Raden Kuncoro memandang kepada Sulastri dan Lindu Aji dan mengangguk-angguk penuh kagum. "Hebat, di dusun sepi seperti ini terdapat sepasang orang muda yang sakti mandraguna! Pantas saja Juminten berani menolak maksud baikku, tidak tahunya mempunyai sanak keluarga yang boleh diandalkan."

"Kembali penilaian dan pendapat andika keliru, Raden Kuncoro. Bulik Juminten bukan semata-mata menolak karena mempunyai andalan, melainkan tidak dapat menerima maksud baik andika karena tidak mau menjadi selirmu, karena ia tidak mencintamu. Karena itu sadarlah, Raden, dan jangan melakukan tindakan maksiat memaksa wanita yang tidak mau untuk menjadi selirmu. Sebagai seorang priyayi dari kota raja, kiranya andika tentu menyadari bahwa Gusti Sultan Agung sendiri tidak akan suka melihat perbuatan maksiat itu."

Raden Kuncoro mengerutkan alisnya. "Lindu Aji, kini engkau bersikap lancang. Apa yang diandalkan pemuda sepertimu ini, berani membawa-bawa nama Gusti Sultan Agung dalam urusan ini? Sombong sekali kau!"

Sebelum Lindu Aji menjawab, Sulastri sudah melangkah maju dan ia yang menjawab dengan suara lantang dan tegas. "Raden Kuncoro, andika yang sombong, bukan kami! Dari sikapmu yang tidak mengenal Kakangmas Lindu Aji ia sudah dapat diketahui bahwa andika bukan orang yang ikut membela Mataram ketika melawan Kumpeni Belanda! Andika pasti bukan seorang priyayi yang setia membela Mataram. Dengarlah baik-baik. Kakangmas Lindu Aji ini pernah menerima keris pusaka Kyai Nagawelang dari Gusti Sultan Agung dan maju di garis depan bersama aku ketika Mataram berperang menyerbu Batavia! Andika tidak mengenal kami, terutama Kakangmas Lindu Aji, itu membuktikan bahwa ketika terjadi perang melawan Kumpeni Belanda, andika hanya enak-enak mengumbar kesenangan sendiri dalam gedung andika!"

Lindu Aji menyentuh lengan gadis itu agar Sulastri tidak melanjutkan ucapan yang mengandung pameran untuk diri mereka. Akan tetapi mendengar itu wajah Raden Kuncoro berubah pucat, kemudian menjadi merah. Dia terkejut dan juga main.

"Bagaimana aku dapat percaya?" kata Raden Kuncoro ragu. Penampilan Lindu Aji demikian sederhana dan dia masih begitu muda, rasanya tidak mungkin menerima keris pusaka tanda kepercayaan dan kekuasaan yang dianugerahkan oleh Sang Prabu itu. "Coba perlihatkan kepadaku Kyai Nagawelang itu!"

Lindu Aji menjawab tenang. "Raden Kuncoro, setelah perang selesai, saya mengembalikan Kyai Nagawelang kepada Gusti Sultan Agung karena saya tidak ingin menjadi ponggawa kerajaan, saya ingin menjadi rakyat biasa saja."

"Hemm, bagaimana aku dapat percaya keteranganmu itu tanpa ada buktinya? Sekarang begini saja. Seorang yang menerima Kyai Nagawelang dari Gusti Sultan, syaratnya harus memiliki kesaktian yang tinggi dan harus pula berjasa terhadap Mataram. Nah, sekarang katakan jasa apa yang telah kau lakukan terhadap Mataram maka engkau menerima sebatang keris pusaka Kyai Nagawelang?"

"Sebetulnya itu bukan jasa besar, melainkan hanya merupakan tugas kewajiban saya. Ketika itu saya melihat Gusti Puteri Wandansari dikeroyok oleh Wiku Menak Koncar dan kawan-kawannya. Aku membantu sang puteri sehingga terlepas dari bencana. Nah, Gusti Puteri mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung dan saya menerima Kyai Nagawelang itu."

Raden Kuncoro mengangguk-angguk. Dia pernah mendengar akan hal itu, hanya tidak mengira bahwa penolong sang puteri itu adalah pemuda yang berada di depannya ini. "Hemm, ceritamu mungkin benar, akan tetapi hal itu tidak dapat dibuktikan kecuali kalau aku mendengar sendiri dari Gusti Puteri Wandansari. Aku ingin melihat buktinya dan kalau engkau dapat membuktikan dengan kesaktianmu."

Lindu Aji mengerutkan alisnya. "Maksudmu bagaimana, Raden Kuncoro?"

"Kalau engkau mampu menahan pukulan tenaga saktiku, baru aku percaya kepadamu, Lindu Aji!"

"Nanti dulu, Raden. Kalau andika sudah percaya, lalu bagaimana? Engkau berjanji untuk meninggalkan Bu-lik Juminten dan tidak akan mengganggunya lagi, tidak akan memaksanya untuk menjadi selirmu?"

Raden Kuncoro menghela napas panjang dan berkata, "Baiklah, Lindu Aji. Kalau engkau mampu menahan pukulanku, aku percaya kepadamu dan aku bersumpah tidak akan mendekati Juminten lagi. Akan tetapi kalau engkau tidak mampu menahan pukulanku, engkau jangan mencampuri urusanku dengan Juminten."

"Baik, raden. Nah, sekarang lakukanlah pukulanmu itu!" kata Lindu Aji.

Raden Kuncoro menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya agak merendah, kemudian dia membuat gerakan silang tiga kali dengan kedua lengannya, lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Lindu Aji sambil mengeluarkan bentakan lantang. "Aji Klabangkolo!!"

Lindu Aji maklum bahwa lawannya menyerangnya dengan pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, maka diapun menyambut pukulan itu dengan pengerahan tenaga Aji Surya Candra yang dia pergunakan untuk melindungi diri saja, bukan untuk menyerang balik.

"Wuuuttt..., desss...!!" Raden Kuncoro terlempar ke belakang. Tenaga pukulannya yang amat kuat itu. seolah membentur dinding baja dan membalik sehingga tubuhnya terlempar ke belakang, terjengkang dan roboh telentang!

Lindu Aji maju menghampiri dan menjulurkan tangan, membantu Raden Kuncoro bangkit berdiri. "Maaf, Raden. Andika tidak terluka, bukan?"

Raden Kuncoro menghirup napas panjang dan menggeleng kepala. "Hebat, andika sungguh hebat dan pantas pernah dianugerahi Kyai Nagawelang. Sekarang aku percaya, Lindu Aji, dan aku juga menyadari kesalahanku. Juminten dan dua orang anaknya, walaupun tidak hidup mewah, tampak berbahagia hidup di desa ini. Biarlah, aku akan berusaha sekuatku untuk mengubur rasa cintaku kepadanya. Seperti yang kujanjikan, aku tidak akan mendekatinya lagi."

Lindu Aji merasa kasihan. Dia pernah mengalami betapa nyerinya perasaan hati kalau harus berpisah dari orang yang dikasihinya, seperti yang pernah dia rasakan ketika dia terpaksa harus meninggalkan Sulastri yang dia kira mencinta orang lain.

"Raden, tentu saja andika boleh mencinta Bu-lik Juminten karena mencinta seseorang itu adalah hak pribadi. Akan tetapi, cinta bukan berarti harus menjadi suami isteri. Kalau andika mengubah pandangan terhadap diri Bu-lik Juminten, andika anggap ia sebagai seorang sahabat atau seorang adik, saya yakin bahwa cinta dalam hati andika itu masih hidup tanpa keinginan hendak menggmbilnya sebagai selir."

Raden Kuncoro mengangguk-angguk, lalu menoleh dan memandang kepada Juminten. Dia berkata dengan suara lirih, namun cukup dapat ditangkap Nyi Juminten. "Juminten, maafkan sikapku yang sudah-sudah. Mulai sekarang kuanggap engkau sebagai adikku dan hatiku akan merasa berbahagia sekali kalau sewaktu-waktu aku mendapat kesempatan untuk mendidik anak-anakmu. Aku tidak mempunyai anak dan anak-anakmu akan kuanggap sebagai anak sendiri." Kemudian dia menghadapi Lindu Aji. "Aku berterima kasih kepadamu yang telah membebaskan aku dari himpitan nafsu berahi yang selama ini membuatku merasa sengsara. Selamat tinggal!"

Raden Kuncoro mengambil sepotong dinar emas dan menyerahkannya kepada Nyi Warsiyem. "Ini untuk membayar makanan dan minuman kami tadi."

"Ah, ini terlalu banyak, Raden..." kata Warsiyem, tidak mau menerima uang emas itu.

Raden Kuncoro meletakkan uang itu di atas bangku warung dan berkata, "Biarlah sisanya untuk anak-anak Juminten." Setelah berkata demikian, dia keluar dari pekarangan warung, diikuti dua orang pengawalnya dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda mereka meninggalkan tempat itu.

Lindu Aji menghela napas panjang. "Dia seorang yang baik," katanya sambil memasuki warung lagi bersama Sulastri.

Nyi Warsiyem menyuruh Nyi Juminten menjaga warung dan ia lalu mengajak Lindu Aji dan Sulastri masuk ke dalam rumah di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira. Wanita itu minta kepada puteranya agar menceritakan semua pengalamannya sampai berjumpa dengan Sulastri. Ia merasa gembira bukan main karena akhirnya puteranya memperoleh jodoh, seorang gadis yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa dan yang lebih penting lagi keduanya saling mencinta.

"Aku merasa berbahagia sekali kalau kalian segera menikah!" kata janda itu sambil merangkul Sulastri yang duduk disebelahnya.

"Untuk itu kita harus mengajukan pinangan. Maka, aku ingin mengajak ibu pergi ke Dermayu untuk meminang Sulastri kepada orang tuanya disana."

Nyi Warsiyem menggeleng kepalanya, akan tetapi ia mengelus rambut kepala Sulastri dan tersenyum. "Tidak perlu aku sendiri yang pergi meminang, Aji. Aku seorang wanita yang lemah, tidak kuat melakukan perjalanan begitu jauhnya. Akan tetapi kalau tidak dilakukan pinangan dengan sah, juga tidak baik. Karena itu, aku mewakilkan kepada Kang Parto saja untuk pergi bersama kalian ke Dermayu dan mengajukan pinangan. Bagaimana menurut pendapatmu, Aji dah Lastri?"

Sulastri tersenyum. "Bagi saya, terserah kepada Mas Aji saja."

Lindu Aji mengangguk-angguk setuju. Dia mengenal dan tahu dengan baik siapa Parto. Tetangga itu adalah sahabat baik mendiang ayahnya dan hubungan mereka sudah seperti saudara saja. Memang, perjalanan ke Dermayu terlalu jauh bagi ibunya, seorang wanita lemah.

"Baik, ibu. Biar kuundang Paman Parto kesini agar dapat kita bicarakan masalah itu." Lindu Aji lalu keluar dan tak lama kemudian dia kembali bersama Ki Parto, seorang duda berusia lima puluh tahun.

Ki Parto juga merasa gembira sekali dan dia segera menyanggupi untuk menjadi wakil Nyi Warsiyem dan menjadi wali Lindu Aji. Setelah tinggal di Gampingan selama seminggu, Lindu Aji, Sulastri, dan Ki Parto berangkat menuju Dermayu dengan menunggang kuda. Dalam perjalanan itu mereka tidak mengalami gangguan atau hambatan dan beberapa hari kemudian tibalah mereka di Dermayu. Kedatangan mereka disambut oleh Ki Subali dan Nyi Subali dengan gembira sekali.

Nyi Subali sudah merangkul puterinya. Mereka menjadi lebih berbahagia melihat Sulastri pulang bersama Lindu Aji, pemuda yang mereka tahu menjadi pujaan hati puteri mereka. Apa-lagi setelah mendengar keterangan Lindu Aji dan Sulastri tentang keputusan mereka berdua untuk berjodoh, ditambah lagi kehadiran Ki Parto sebagai wakil ibu Lindu Aji dan juga menjadi walinya, Ki Subali dan isterinya menjadi gembira bukan main.

Maka, ketika Ki Parto memenuhi tugasnya, menyampaikan pinangan dari Nyi Warsiyem untuk melamar Sulastri menjadi isteri Lindu Aji, Ki Subali dan isterinya menerimanya dengan rasa syukur dan bahagia. Bahkan Nyi Subali tak dapat menahan tangisnya. "Tidak perlu menunda terlalu lama!" kata Ki Subali dengan gembira. "Aku akan mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan Sulastri!" Setelah "dia menghitung-hitung, hari baik itu terjatuh pada Rebo Legi, empat belas hari lagi.

Waktu lima belas hari itu diperlukan untuk menyebar undangan. Sebagai seorang sasterawan dan dalang terkemuka, Ki Subali menyebar undangan sampai ke Cirebon dan Sumedang. Sementara itu, sebuah kamar diperuntukkan Lindu Aji dan Ki Parto selama menanti datangnya hari pernikahan.

Menurut rencana yang disetujui kedua pihak, pernikahan dilangsungkan di Dermayu dan Ki Parto menjadi wali Lindu Aji. Setelah merayakan pernikahan di Dermayu, baru dua pekan kemudian Lindu Aji mengajak Sulastri ke Gampingan, dimana Nyi Warsiyem akan menyambut sepasang mempelai itu dengan perayaan sederhana yang dikunjungi para penghuni dusun Gampingan.

Tiga hari kemudian, pada suatu sore Lindu Aji dan Sulastri duduk di pendopo rumah Ki Subali. Dua orang yang saling mencinta ini merasa berbahagia sekali. Kalau menurutkan gejolak hati mereka, keduanya tentu saja ingin sekali bermesraan, ingin menumpahkan rasa cinta masing-masing satu sama lain. Akan tetapi keduanya menahan gejolak hati, menekan gairah berahi demi kesusilaan.

Bagi mereka, duduk berdekatan saling berpandangan, saling memegang tangan, sudah merupakan peristiwa yang mendebarkan jantung dan membuat mereka merasa berbahagia sekali. Keduanya adalah orang-orang yang kuat lahir batin, bukan hanya badannya yang kuat oleh gemblengan dan latihan, namun batin mereka juga kuat.

Orang yang kuat batinnya tidak mudah terseret oleh gelombang nafsu. Batin tak mungkin dapat menjadi kuat oleh usaha akal pikiran kita. Hanya apabila Gusti Allah menurunkan KekuasaanNya ke dalam batin kita, maka batin kita menjadi bersih dan kuat. Batin tidak lagi menjadi hamba nafsu seperti yang tampak dalam kehidupan manusia pada saat ini, melainkan nafsu menjadi hamba, menjadi alat manusia untuk hidup di dalam dunia ini, sebagaimana kodratnya.

Manusia sendiri tidak mungkin memasukkan kekuasan Gusti Allah ke dalam hati sanubarinya kalau Gusti Allah tidak berkenan menganugerahkannya. Manusia hanya dapat menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas akan semua anugerahNya, dan hanya dapat menerima. Kalau Gusti Allah berkenan segala hal pasti dapat terjadi, termasuk masuknya Roh Suci atau Roh Illahi ke dalam hati sanubari manusia dan membimbingnya dalam kehidupan ini.