Bagus Sajiwo Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 10

ORANG ke empat adalah Ki Kebondanu, jagoan dari Surabaya, berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah. Wajahnya juga gagah sekali dengan kumis sekepal sebelah dan jenggot terpelihara rapi dan sikapnya anggun, condong angkuh. Di pinggangnya terselip gagang sebatang pecut dan pecutnya sendiri digelung. Jagoan dari Surabaya ini yang dahulu membantu Pangeran Pekik mempertahankan serangan pasukan Mataram dengan gagah berani.

Akhirnya dia juga tertawan oleh para senopati Mataram yang sakti mandraguna, menjadi tawanan bersama Pangeran Pekik dan yang lain-lain. Akan tetapi oleh Sultan Agung dia juga dibebaskan sebagai seorang gagah yang telah membela Surabaya yang menjadi tanah airnya mati-matian. Akan tetapi ketika Pangeran Pekik tetap diakui sebagai Adipati Surabaya, bahkan menikah dengan Puteri Wandansari dari Mataram, lalu Pangeran Pekik hendak memberi kedudukan sebagai senopati kepadanya, Ki Kebondanu menolaknya dengan hormat dan halus.

Sejak muda dia memang tidak suka menduduki jabatan dan ingin bebas. Dia lalu menjadi guru olah kanuragan, melatih para perwira Surabaya. Dengan demikian walaupun dia tidak mempunyai kedudukan resmi, namun dia dihormati oleh para perwira dan senopati Surabaya. Ketika mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi, diapun tertarik sekali dan ikut datang ke daerah yang dikabarkan menjadi tempat disembunyikannya jamur ajaib itu untuk ikut mencari, kalau perlu memperebutkan dengan orang-orang lain.

Selain empat orang itu, ada pula seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, yaitu Kyai Jagalabilawa yang merupakan seorang tokoh besar dari Madiun. Tubuhnya sedang saja, akan tetapi wajahnya tampak kurus, begitu kurusnya sehingga tampak meruncing seperti wajah tikus. Pakaiannya serba hitam dan dia juga mempunyai sebatang keris yang terselip di pinggangnya.

Lima orang tokoh itu, ditambah Wiku Menak Jelangger yang baru datang, duduk berderet dengan pihak tuan rumah, yaitu Kyai Gagak Mudra dan Raden Jaka Bintara, berhadapan dengan para tamu lain yang jumlahnya lima belas orang. Di ruangan itu, bagian tengahnya cukup luas dan memang hal ini sengaja diatur oleh Kyai Gagak Mudra yang mempersiapkan ruangan terbuka itu agar para tokoh sakti itu dapat masing-masing mendemonstrasikan kesaktian mereka. Dengan cara demikian dia akan dapat menilai siapa kiranya yang akan menjadi lawan terberat dalam persaingan atau perebutan Jamur Dwipa Siddhi itu.

Setelah para tamu diberi hidangan secukupnya, Kyai Gagak Mudra lalu bangkit berdiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan sebagai sembah di depan dada. "Saya mewakili Pangeran Raden Jaka Bintara sebagai tuan rumah mengucapkan selamat datang kepada andika sekalian. Kami sungguh gembira dapat menyambut andika sekalian dan dapat berkumpul disini. Sebuah pertemuan tanpa direncanakan lebih dulu ini sungguh menyenangkan. Sayang sekali karena keadaan, kami tidak dapat menyuguhkan pertunjukkan apapun sebagai hiburan. Oleh karena itu, karena kita semua adalah orang-orang yang suka akan olah kanuragan, maka dalam kesempatan yang amat baik ini, bagaimana kalau kita menyumbangkan sedikit tenaga dan memperlihatkan kepandaian masing-masing untuk memeriahkan suasana dalam pertemuan ini?"

Golongan muda yang duduk di bagian tamu bersorak gembira menyambut usul yang menggembirakan ini. Bagi mereka, tidak ada pertunjukan yang lebih menarik daripada demonstrasi olah kanuragan dan seperti sudah menjadi penyakit mereka yang merasa memiliki kelebihan, mereka ingin sekali mendemonstrasikan kepandaian mereka agar dikagumi. Pendeknya, sebagian besar dari mereka ingin memamerkan kehebatan masing-masing!

"Ha-ha-ha-ha!" Bhagawan Dewokaton yang bertubuh gendut itu tiba-tiba tertawa, suara tawanya demikian bebas dan wajar sehingga memancing tawa orang-orang lain yang mendengarnya. "Kakang Kyai Gagak Mudra, usul andika itu memang bagus sekali. Memang tidak ada kegembiraan yang lebih menyenangkan daripada melihat pameran aji kanuragan dari saudara sekalian yang tentu saja hebat-hebat! Akan tetapi, sebelum ada tamu yang berani lancang memperlihatkan kebolehannya, sudah sepatutnya dan seyogianya kalau pihak tuan rumah yang lebih dulu memperlihatkan kehebatannya!"

Ucapan ini mendapat sambutan meriah dan semua tamu bertepuk tangan menyatakan setuju. Kyai Gagak Mudra berbisik kepada Raden Jaka Bintara, "Bagaimana kalau paduka yang pertama-tama membuka demonstrasi kedigdayaan ini, pangeran?"

Jaka Bintara adalah seorang pemuda yang suka menyombongkan kepandaiannya. Memang dia digdaya, memiliki kesaktian karena dia adalah murid tersayang dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa, datuk Banten yang amat terkenal itu. Dia tentu suka memamerkan kepandaiannya di depan para tamunya, maka dia mengangguk kepada paman gurunya. Kyai Gagak Mudra lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamunya.

"Baiklah, saudara-saudara sekalian. Murid keponakanku, Pangeran Raden Jaka Bintara, akan membuka pertunjukan ini dengan permainannya. Silakan, pangeran!"

Raden Jaka Bintara bangkit lalu melangkah maju ke tengah ruangan. Semua tamu dapat melihatnya dengan jelas. Pangeran yang berusia tiga puluh tiga tahun itu memang gagah sekali. Tubuhnya tinggi besar, agak kurus, wajahnya tampan dan kaki tangannya kokoh, dadanya bidang. Pandang matanya tajam dan mulutnya selalu tersenyum mengejek, tarikan bibirnya membayangkan kesombongan. Namun harus diakui bahwa dia tampak gagah.

Dia menggerakkan tubuh, menghadap kepada para tamu kehormatan dan para tamu muda, kemudian mulailah dia bergerak, memperlihatkan jurus silatnya yang gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat sehingga setiap kali tangannya menyambar, terdengar angin berciutan.

Tiba-tiba, setelah menggerakkan tubuh belasan jurus dengan pukulan dan tendangan, tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu dia telah melolos pedangnya. Pedang hitam yang ketika dia gerakkan berubah menjadi gulungan sinar hitam. Dia bersilat pedang dan diantara gulungan sinar pedang hitam itu terdengar suara berdesing-desing mengerikan.

Para tamu kagum menyaksikan demonstrasi yang dimainkan Raden Jaka Bintara. Bahkan para datuk yang duduk di tempat kehormatanpun diam-diam harus mengakui bahwa pangeran dari Banten ini memang tangguh sekali. Terutama sekali ilmu pedangnya yang demikian hebat, amat sukar dilawan.

Setelah bersilat pedang selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Raden Jaka Bintara menghentikan permainan pedangnya. Mendadak saja sinar hitam bergulung-gulung itu lenyap dan tahu-tahu pedang itu telah kembali ke sarung pedang dan pemuda itu kini berdiri tegak, lalu tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan yang tadi saling digosok-gosokkan sambil berseru nyaring.

"Aji Hastanala...!" Kedua telapak tangan yang didorongkan itu membara seperti terbakar merah dan hawa panas terasa oleh semua yang hadir.

Para tamu, terutama yang muda-muda, terbelalak kagum dan merasa jerih kepada pangeran Banten yang memiliki aji pukulan sedemikian dahsyatnya. Juga ilmu silat pedangnya tadi mengagumkan dan mengerikan.

Raden Jaka Bintara sudah merasa puas memamerkan sebagian kepandaiannya itu. Dia berhenti bergerak, memberi hormat kepada para tamu lalu melangkah kembali ke tempat duduknya, diiringi tepuk sorak para tamu.

Kini tiba giliran para tamu yang diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya dan dipersilakan maju satu demi satu. Tentu saja mereka yang serombongan atau seperguruan, hanya diwakili seorang saja untuk memperlihatkan ilmu silat aliran mereka. Diantara lima belas orang tamu yang bukan tamu kehormatan, maju seorang demi seorang dan semua hanya ada enam orang yang mewakili aliran masing-masing.

Mereka juga berusaha keras untuk memperlihatkan kepandaian mereka yang paling hebat, namun tidak ada diantara mereka yang dapat melampaui tingkat kepandaian Jaka Bintara sehingga pangeran dari Banten ini merasa bangga sekali. Tidak ada diantara mereka yang akan menjadi saingan berat dalam memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi, pikirnya.

Kyai Gagak Mudra kini bangkit berdiri dan memberi hormat kepada mereka yang duduk sejajar dengan dia. "Yang muda-muda sudah mendatangkan suasana gembira dengan bantuan mereka mempertunjukkan keahlian mereka. Kini kami harap andika yang tua-tua suka menambah meriahnya pertemuan ini dengan memperlihatkan kesaktian andika untuk membuka mata kita semua. Kami persilakan maju satu demi satu, dimulai yang duduk paling pinggir, yaitu Ki Sumali, pendekar Loano yang namanya sudah terkenal." Ucapan ini disambut tepuk tangan para tamu muda.

Ki Sumali sebetulnya enggan untuk memamerkan ilmunya, akan tetapi melihat betapa semua tamu menyetujui, dia merasa tidak enak kalau menolak sendiri. Terpaksa dia bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Kyai Gagak Mudra. "Sebetulnya saya tidak mempunyai kepandaian apapun yang berharga untuk ditonton, Kyai Gagak Mudra." kata Ki Sumali.

"Ha-ha-ha! Siapa yang tidak mengenal nama Pendekar Loano? Kalau tidak sakti mandraguna, mana bisa menjadi seorang pendekar?" kata Bhagawan Dewakaton yang lalu tertawa bergelak.

Diantara para tamu yang tidak senang terhadap sebutan "pendekar", sebutan yang mereka anggap sombong dan pula sering berlawanan dengan cara hidup mereka, ikut tertawa mengejek.

"Maaf, bukan saya yang memakai julukan pendekar, melainkan orang-orang yang menyebut demikian karena saya suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan. Untuk menolong orang tidak selalu harus mengandalkan kesaktian. Bahkan banyak sekali orang yang menggunakan kesaktian untuk melakukan kejahatan."

Kyai Gagak Mudra yang bertubuh pendek gemuk dan suka tertawa itu kini memperdengarkan tawanya. "Ha-ha-ha, Ki Sumali jangan andika terlalu merendahkan diri dan mengaku tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Andika datang kesini tentu juga ingin memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi, bukan? Dan untuk dapat memperoleh jamur pusaka itu tentu harus menggunakan kesaktian. Hayolah, jangan berpura-pura!"

"Kyai Gagak Mudra, memang tidak saya sangkal bahwa saya ingin mendapatkan jamur ajaib itu, akan tetapi saya mengandalkan nasib, bukan kepandaian." bantah Ki Sumali.

"Hemm, kalau begitu, andika tidak mau memenuhi permintaan kami semua untuk memperlihatkan kesaktianmu, Ki Sumali? Andika hendak menentang apa yang telah disetujui oleh kami semua?" tanya Kyai Gagak Mudra dengan nada tak senang.

Ki Sumali merasa tidak enak hati mendengar ini. "Bukan saya tidak mau, Kyai Gagak Mudra, hanya saya khawatir pertunjukanku tidak akan menarik, tidak berharga untuk ditonton. Akan tetapi kalau andika semua menghendaki, tentu saja saya tidak merasa keberatan."

Ucapan Ki Sumali ini disambut tepuk tangan para tamu golongan muda. Mereka tentu saja ingin sekali melihat kehebatan ilmu kepandaian para tokoh besar yang duduk di kursi-kursi kehormatan.

Ki Sumali melangkah ke tengah ruangan. Bagaimanapun juga, dia harus memperlihatkan kesaktiannya agar jangan dipandang rendah oleh orang-orang itu, terutama oleh Pangeran Raden Jaka Bintara dari Banten yang bersikap sombong akan tetapi yang dia tahu merupakan lawan yang cukup berat itu. Apalagi dia sudah dihargai oleh Kyai Gagak Mudra, datuk Banten itu, dengan dipersilakannya dia duduk di deretan kursi kehormatan, sejajar dengan pihak tuan rumah.

Setelah tiba di dekat ruangan, dia memberi hormat kepada para tamu dan pihak tuan rumah dengan sembah di depan dada, kemudian pendekar Loano ini mulai bersilat. Ki Sumali telah mempelajari banyak macam aji kanuragan, dan yang terakhir dia berguru kepada mendiang Aki Somad datuk di Nusakambangan yang sakti mandraguna. Dia bersilat menurut aliran Bagelen yang sifatnya gagah dan jantan.

Gerakannya seperti tarian kiprah yang indah dan gagah, makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya bergerak sukar diikuti pandang mata dan kadang tampak seperti bayangan berkelebat saja. Lalu dia isi kedua tangannya dengan Aji Tapak Geni dan ketika dia bergerak memukul, kedua telapak tangannya itu membara dan bernyala!

Para tamu muda bertepuk tangan memuji. Ki Sumali mencabut suling dan kerisnya yang hitam dan mulailah dia bersilat dengan sepasang senjatanya yang ampuh itu. Suling di tangan kirinya ketika digerakkan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung seperti ditiup dan kerisnya juga menyambar-nyambar ganas, mengeluarkan bunyi bercuitan.

Setelah dia berhenti bersilat, tidak tampak dia berkeringat atau terengah-engah, dan para penonton bertepuk tangan meriah. Ki Sumali memberi hormat kepada mereka semua lalu dengan tenang duduk kembali ketempat semula. Kyai Gagak Mudra tertawa dan bangkit berdiri. Dalam hatinya dia mencatat bahwa Ki Sumali merupakan lawan yang tangguh, akan tetapi tidak terlalu berat baginya. Bahkan Raden Jaka Bintara saja kiranya cukup untuk menandingi Ki Sumali.

"Wah, andika terlalu merendahkan diri, Ki Sumali. Kepandaianmu hebat!" Kemudian Kyai Gagak Mudra menghadapi tamu kehormatan yang duduk di kursi ke dua, yaitu Resi Sapujagad, pertapa dari Merapi dan berkata, "Sekarang kami persilakan Kakang Resi Sapujagad untuk membantu dan menambah kemeriahan pertemuan ini,"

Resi Sapujagad adalah seorang pertapa dari Gunung Merapi. Ketika Mataram mengadakan perang, baik ketika menundukkan daerah-daerah yang tidak mau tunduk, maupun ketika Mataram berperang melawan Kumpeni Belanda, dia tidak membantu. Akan tetapi dia juga tidak pernah membantu pihak musuh Mataram. Dia tinggal diam dalam pondok padepokannya untuk bertapa tidak memperdulikan itu semua.

Kini dia keluar dari padepokannya karena dia tertarik dan ingin mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya juga dapat memperpanjang umur! Mendengar ucapan tuan rumah, dia bangkit berdiri. Pertapa yang berusia enam puluh tahun ini mengenakan pakaian serba kuning, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. Tangan kirinya memegang seuntai tasbeh merah dan muka yang pucat dan selalu muram itu tidak memperlihatkan perasaan apapun ketika dia melangkah ke tengah ruangan.

Setelah berdiri di tengah ruangan, dia hanya menghadap kearah tuan rumah, lalu ke arah para tamu dan berkata, "Aku tidak punya kepandaian apapun, setiap hari hanya bergaul dengan tasbehku ini. Karena itu yang dapat kuperlihatkan hanyalah main-main dengan tasbehku!" Lalu dia menoleh ke arah para tamu muda. "Para saudara muda yang merasa tidak kuat agar menutupi kedua telinga mereka dengan jari telunjuk. Aku sudah memperingatkan, kalau terjadi apa-apa yang merugikan, aku tidak bertanggung jawab." Sesudah berkata demikian, kakek tinggi kurus itu lalu memutar tasbeh di tangan kirinya. Begitu diputar, tasbeh itu mengeluarkan suara berkeritikan, tidak begitu nyaring.

Melihat pertapa itu hanya memutar-mutar tasbeh dengan tangan kirinya, sama sekali tidak melakukan gerakan silat, dan tasbeh itu hanya mengeluarkan suara berkeritikan, para tamu muda sudah mulai tertawa cekikikan. Akan tetapi, putaran tasbeh itu semakin cepat dan bunyinya juga semakin nyaring. Mulailah terjadi hal-hal yang luar biasa. Diantara para tamu muda itu, tiba-tiba merasa betapa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk dan ada tiga orang tamu yang sudah terguling jatuh dari kursinya. Mereka cepat memasukkan kedua jari telunjuk ke telinga mereka, barulah rasa nyeri luar biasa itu lenyap karena mereka tidak mendengar suara berkeritikan yang semakin nyaring itu. Yang lain-lain terkejut dan juga mulai merasakan serangan bunyi itu ke telinga mereka, maka merekapun cepat menutup kedua telinga mereka.

Para tokoh yang duduk di deretan tuan rumah terkejut pula. Mereka juga mulai merasakan serangan bunyi yang dapat menusuk telinga dan menggetarkan jantung itu, maka mereka semua cepat mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi kedua telinga mereka. Barulah bunyi itu tidak menembus pertahanan mereka dan tidak menyakitkan pendengaran lagi.

Resi Sapujagad kini memutar tasbehnya cepat sekali dan tiba-tiba tasbeh itu terlepas dari tangannya dan berputar-putar di udara seperti seekor burung hidup dan sambil "terbang" berputaran itu mengeluarkan suara berkeritikan nyaring!

Semua tokoh maklum bahwa tasbeh itu ternyata merupakan senjata ampuh dan dalam terbangnya itu dapat mengejar dan menyerang lawan!

Setelah membiarkan tasbeh itu melayang berkeliling beberapa kali, Resi Sapujagad lalu mencabut kerisnya luk sembilan dan begitu dia mengacungkan kerisnya ke arah tasbeh, maka tasbeh itu meluncur ke arah keris dan kembali ke tangan sang resi!

Suara berkeritikan berhenti dan Resi Sapujagad, dengan wajahnya yang pucat tidak berubah, lalu melangkah kembali ke kursinya dan duduk dengan air muka tetap dingin seolah tidak terjadi sesuatu!

Semua tamu bertepuk tangan dan Kyai Gagak Mudra tersenyum lebar dan berkata kepada Resi Sapujagad. "Kakang Resi Sapujagad sungguh sakti mandraguna dan tasbehnya merupakan senjata yang amat dahsyat. Aku kagum sekali! Kini kami persilakan andika, Bhagawan Dewokaton, untuk memeriahkan pertemuan ini."

"Ha-ha-ha!" Bhagawan Dewokaton, pertapa Gunung Bromo yang gendut itu bangkit dan menuju ke tengah ruangan. "Wah, setelah macan dan singa mengeluarkan auman mereka yang nyaring menakutkan, sekarang aku bagaikan seekor kodok disuruh berbunyi. Tentu hanya akan menggelikan saja. Akan tetapi tidak mengapa, untuk menggembirakan andika sekalian, biarlah aku memperlihatkan kebodohanku." Lalu dia menuding ke arah tiga orang cantrik yang menjadi pengiringnya dan kini duduk dalam ruangan untuk tamu muda. "Ambilkan sebatang balok pendek dan siap melempar padaku kalau nanti kuperintahkan!"

Seorang cantrik yang bertubuh tinggd besar lalu bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata semua tamu. Di luar pondok itu terdapat sebatang pohon waru. Cantrik itu menghampiri pohon waru dan sekali tangan kanannya membuat gerakan membacok, terdengar bunyi nyaring. Semua orang kagum. Muridnya saja begini hebat!

"Krakk!" Pohon itu roboh dan cantrik itu lalu mematahkan batang pohon dengan kedua tangannya dan membawa potongan batang pohon sebesar paha manusia dan sepanjang dua lengan itu ke dalam ruangan itu.

Melihat ini, Bhagawan Dewokaton tertawa lagi. "Ha-ha-ha, nah, sekarang aku akan mulai memperlihatkan kebodohanku!" Setelah berkata demikian, tangannya meraba punggung dan gerakannya cepat sekali.

"Srattt...!" Sebatang pedang telah dicabutnya dan dia lalu memainkan pedang itu, bersilat pedang dan biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi gerakannya cepat sekali sehingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan bayangan yang diselimuti gulungan sinar pedang!

Semua orang kagum, tidak mengira si gendut ini dapat bergerak sedemikian cepatnya dan mereka mulai bertepuk tangan.

"Lemparkan!" Bayangan dalam gulungan sinar pedang itu berseru dan cantrik tinggi besar yang sudah siap dengan balok batang pohon waru itu segera melemparkan kayu itu ke arah Bhagawan Dewokaton.

"Hyaaattt...!" Sinar pedang menyambar dengan suara berdesing-desing ke arah balok pendek. Balok itu terjatuh ke atas lantai dalam keadaan utuh! Semua orang memandang dan pertapa Bromo itu menghentikan gerakannya dan pedang sudah kembali ke sarungnya. Lalu meledaklah suara tawa para tamu muda.

Mereka mulai mengejek melihat betapa balok kayu tadi masih utuh ketika disambar pedang pertapa gendut itu. Mereka merasa lucu sekali dan menganggap kakek itu membual seperti gentong kosong. Akan tetapi Kyai Gagak Mudra melangkah maju menghampiri Bhagawan Dewokaton dan berkata, "Hebat, ilmu pedang andika luar biasa hebatnya!" Kemudian dia mengambil balok dari atas lantai dan mengangkatnya ke atas.

Ketika dia menggoyangkan balok itu, berjatuhanlah potongan-potongan balok. Ternyata batang kayu waru itu telah terpotong menjadi lima. Demikian tajam pedang itu dan demikian kuat tenaga dalam pertapa Bromo itu sehingga balok yang sudah terpotong empat kali menjadi lima potong itu masih tampak utuh!

Kini semua orang bertepuk tangan riuh, memuji-muji kehebatan kakek gendut itu. Dapat dibayangkan betapa tubuh lawan akan mudah sekali dikoyak pedang tajam yang digerakkan tangan yang bertenaga sakti demikian kuatnya. Bhagawan Dewokaton hanya tertawa lalu kembali ke tempat duduknya.

Kini, sebelum Kyai Gagak Mudra minta kepadanya untuk mendemonstrasikan kepandaiannya, Ki Kebondanu sudah bangkit dan menuju ke tengah ruangan.

"Semua kesaktian yang dipertontonkan tadi hebat. Aku seorang bekas penggembala kerbau hanya dapat bermain-main dengan pecut (cambuk) ini!" Dia mengambil pecut yang digulung dan gagangnya diselipkan di pinggang.

Ternyata pecut itu panjangnya tiga meter lebih. Ki Kebondanu memang dahulunya seorang penggembala kerbau dan hal ini tidak membuatnya merasa rendah diri atau malu, bahkan ketika dia mempelajari aji kanuragan, dia sengaja menyesuaikan kepandaiannya memainkan pecut dengan gerakan silat tinggi.

Mulailah dia bersilat dan semua orang berdecak kagum. Pantas orang tinggi besar ini menjadi pelatih para perwira di Kadipaten Surabaya. Gerakannya memang hebat sekali. Gulungan sinar pecut itu menyelimuti dirinya dalam jarak tiga meter dan terdengar bunyi meledak-ledak setiap kali ujung pecutnya menyambar dan tampak asap mengepul. Sungguh merupakan seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kyai Gagak Mudra yang diam-diam menilai permainan setiap orang tamu. Setelah puas memamerkan ilmunya bermain pecut, Ki Kebondanu menghentikan permainannya dan kembali duduk di tempatnya semula.

Kini tinggal seorang lagi tamu yang, duduk di kursi kehormatan, yaitu Kyai Jagalabilawa, datuk dari daerah Madiun, yang berpakaian serba hitam.

"Sekarang Kakang Kyai Jagalabilawa mendapat giliran, harap suka main-main sebentar untuk memeriahkan suasana." kata Kyai Gagak Mudra kepada kakek bermuka tikus berjubah hitam itu.

Kyai Jagalabilawa juga tidak banyak cakap. Dia bangkit lalu pergi ke tengah ruangan. Dicabutnya sebatang keris dari pinggangnya dan semua orang memandang kagum karena keris itu mengeluarkan cahaya berkilat. Sungguh merupakan sebatang keris pusaka yang bertuah! Keris itu berluk lima dan tidak berapa panjang, akan tetapi bersinar dan mengandung wibawa yang menyeramkan.

Kakek ini lalu bersilat dengan kerisnya. Gerakannya mantap namun tidak berapa cepat, hanya mengandung tenaga dahsyat karena setiap kali keris itu menusuk, terdengar suara mengiuk dan berdesing dan cahaya keris itu seolah lebih dulu menyerang mendahului kerisnya.

Para tamu muda mengerutkan alisnya. Apa anehnya silat keris seperti itu? Mereka juga mampu memainkannya. Sungguh mengecewakan kalau seorang datuk yang dihormati hanya sebegitu saja tingkat ilmu silatnya. Akan tetapi tiba-tiba datuk daerah Madiun itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau mengaum dan semua orang, terutama para tamu muda, terbelalak kaget dan heran karena mereka melihat betapa kini tubuh Kyai Jagalabilawa berubah menjadi dua!

Ada dua orang Kyai Jagalabilawa yang bersilat keris! Bukan main! Datuk ini dapat mengubah dirinya menjadi dua orang kembar yang tentu akan membingungkan lawan karena dikeroyok dua. Tentu saja orang ini akan merupakan lawan yang berbahaya sekali! Akan tetapi hanya sebentar saja Kyai Jagalabilawa memperlihatkan ajiannya yang mengandung ilmu sihir itu. Tubuhnya menjadi satu lagi dan dia menghentikan permainan kerisnya dan duduk kembali di kursinya, diiringi tepuk tangan riuh rendah dari para tamu muda yang terkagum-kagum.

Kyai Gagak Mudra kini menghampiri Wiku Menak Jelangger yang datang paling akhir dan duduk di sudut kiri. "Kakang Wiku Menak Jelangger, kami harap andika suka ikut pula meramaikan pertemuan ini."

Wiku Menak Jelangger tersenyum dan tetap duduk di kursinya lalu mengangkat kedua tangan menyembah di depan dada. "Sadhu-sadhu-sadhu, Adi Kyai Gagak Mudra. Aku adalah seorang pertapa yang sudah belasan tahun tak pernah keluar kedunia ramai. Kalau sekarang aku keluar juga, adalah untuk melaksanakan perintah Adipati Blambangan yang menugaskan aku mencari Jamur Dwipa Suddhi. Seorang pertapa seperti aku ini, sudah tua dan lemah, dapat memamerkan apakah?"

"Wah, Kakang Wiku terlalu merendah. Andika adalah adik seperguruan mendiang Kakang Wiku Menak Koncar. Siapa yang tidak mengenal kesaktiannya? Harap Kakang Wiku bermurah hati untuk memberi sedikit pelajaran kepada kami semua."

"Begini saja, Adi Kyai. Sebaiknya andika sendiri yang memperlihatkan permainan andika, setelah itu nanti aku akan mewakilkan saja kepada kedua orang cantrikku untuk bermain-main sebentar."

Kyai Gagak Mudra tidak berani terlalu mendesak dan dia tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Hanya kita berdua yang belum menyumbangkan tenaga untuk memeriahkan pertemuan ini. Nah, aku akan bemain-main sebentar untuk menghibur para tamu yang terhormat."

Kyai Gagak Mudra lalu pergi ke tengah ruangan dan menyembah depan dada kepada semua tamu, kemudian dia berkata dengan suara lantang. "Sesungguhnya, permainanku tadi sudah diwakili oleh Pangeran Raden Jaka Bintara, maka kalau aku bermain silat, tidak ada bedanya dengan apa yang tadi diperlihatkannya karena memang beliau adalah keponakan muridku dan aku adalah paman gurunya. Tadi Pangeran Raden Jaka Bintara sudah memperlihatkan Aji Hastanala. Untuk membuktikan bahwa ajian itu bukan hanya sulapan belaka dan benar-benar tangan kami berubah menjadi api membara, baiklah aku akan membuktikannya."

Kyai Gagak Mudra lalu mengambil sepotong kayu yang tadi dipotong-potong oleh pedang yang dahsyat dari Bhagawan Dewokaton, memegang potongan kayu itu dengan kedua telapak tangannya. Kemudian dia mengerahkan Aji Hasta Nala dan berseru nyaring.

"Haiiiittt...!" Kedua tangannya tergetar, kedua telapak tangan itu menjadi kemerahan dan membara seperti besi dibakar. Tampak asap mengepul dan kayu yang dipegangnya itu mulai terbakar! Tepuk tangan menyambut demonstrasi ini.

Kyai Gagak Mudra melepaskan kayu terbakar itu lalu membungkuk dan menghampiri Wiku Menak Jelangger. "Nah, sekarang kami persilakan Kakang Wiku Menak Jelangger sebagai pemain terakhir."

"Hemm, seperti sudah kukatakan tadi, Adi Kyai, aku akan mewakilkan kepada dua orang cantrikku." Sang Wiku lalu memberi isarat kepada dua orang cantriknya yang duduk bersama para tamu muda dan berkata, "Kalian berlatihlah dengan keris."

Darun dan Dayun mengangguk, menyembah lalu bangkit, lalu keduanya melangkah ketengah ruangan. Para tamu muda tersenyum geli. Kedua orang ini memang tampak lucu. Darun yang berusia tiga puluh dua tahun itu bertubuh pendek gendut, sedangkan Dayun yang berusia tiga puluh satu tahun bertubuh tinggi kurus. Bentuk tubuh yang berlawanan ini yang membuat mereka tampak lucu.

Kini keduanya saling berhadapan dan keduanya memberi hormat kepada para sesepuh, lalu mencabut keris masing-masing dan mulailah mereka saling serang. Gerakan mereka cukup tangkas dan permainan keris mereka juga cepat dan mengandung tenaga. Semua ini masih belum memancing rasa kagum para tamu muda, akan tetapi ketika tiba-tiba keris di tangan Dayun menghunjam ke arah dada Darun, semua orang menahan napas.

"Syuuuttt... tukk!" Keris itu terpental! Ternyata Darun yang pendek gendut itu menggunakan aji kekebalannya untuk menahan tusukan Dayun, Kemudian Darun membalas dengan tusukan yang diarahkan leher Dayun. Dayun sengaja menerima tusukan itu yang juga terpental ketika mengenai lehernya.

Dua orang itu saling menusuk dengan keris mereka, akan tetapi tidak ada tusukan yang dapat menembus kulit dua orang cantrik itu. Mereka seperti keranjingan dan tusukan-tusukan, seperti dua orang penari Bali yang kesurupan dalam tarian Bali.

Tiba-tiba Wiku Menak Jelangger berdiri dan melangkah ke arah dua orang cantriknya yang sedang main tusuk-tusukan dan dia berkata, "Hentikan dan kalau hendak berkelahi, seranglah aku!"

Ucapan itu lembut namun mengandung wibawa kuat dan dua orang cantrik itu, seolah mendapat perintah yang tidak dapat mereka bantah, menerjang ke arah sang wiku dengan keris di tangan dan melakukan gerakan untuk menyerang.

Akan tetapi Wiku Menak Jelangger menggerakkan kedua tangannya mendorong. Dua orang cantrik itu masih berada dalam jarak tiga meter di depannya, akan tetapi tenaga sakti yang keluar dari kedua tangan sang wiku mendatangkan angin yang kuat, menyambut dua orang cantrik itu dan mereka terlempar kebelakang sampai dua meter dan terbanting jatuh.

Kedua orang cantrik itu segera menyembah kepada guru mereka. Wiku Menak Jelangger memberi isyarat agar mereka bangkit. Mereka lalu mengambil keris yang tadi terlepas dari tangan mereka dan kembali ke tempat duduk mereka.

Sang wiku juga kembali duduk, diiringkan tepuk sorak para tamu yang merasa kagum melihat kesaktiannya. Memukul dengan menggunakan tenaga sakti sehingga sebelum tangan mengenai tubuh yang dipukul, lawan sudah terlempar jauh merupakan aji kesaktian yang dimiliki banyak tokoh pandai. Akan tetapi memukul dengan tenaga yang tepat sehingga dua orang murid yang terdorong pukulan jarak jauh itu roboh tanpa terluka sedikitpun membutuhkan keahlian tersendiri.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada saat itu, tiba-tiba dari luar masuk seorang wanita dengan langkah ringan dan tenang. Semua orang menengok dan memandang, dengan kagum. Wanita yang cantik jelita. Rambutnya panjang hitam berombak, wajahnya bulat dan kulitnya putih mulus, agak kemerahan karena sehat, sepasang matanya lebar, bening jeli dengan kedua ujungnya meruncing ke atas, hidung mancung, mulutnya indah manis dengan bibir merah basah menggairahkan, bentuk tubuhnya padat ramping agak denok. Benar-benar seorang wanita yang amat cantik dan melihat wajah dan bentuk tubuhnya, orang akan menaksir bahwa ia berusia kurang lebih dua puluh tahun.

Wanita ini bukan lain adalah Nyi Maya Dewi yang sebenarnya sudah berusia tiga puluh tiga tahun. Seperti kita ketahui, Nyi Maya Dewi melakukan perjalanan bersama Bagus Sajiwo, meninggalkan pegunungan Wilis yang dulunya menjadi tempat tinggal wanita itu, yakni di Bukit Keluwung. Selama kurang lebih satu tahun itu sambil melakukan perjalanan, Nyi Maya Dewi yang sudah pulih kesehatannya dan telah mendapatkan kembali tenaga saktinya, memperdalam ilmu silatnya, yaitu silat Singorodra.

Bagus Sajiwo memberi petunjuk dan menghilangkan sifat-sifat kejam dari ilmu silat itu, menambah dengan jurus-jurus ampuh. Biarpun kini Nyi Maya Dewi sudah kehilangan Aji Naka Sarpa dengan pukulan mengandung Wisa Sarpa, dan Aji Tapak Rudira, kedua macam aji kesaktian yang sifatnya sesat, jahat dan keji, namun kini ia telah menguasai aji pukulan lain yang cukup ampuh karena ia menerima latihan ilmu silat Lintang Kemukus dari Bagus Sajiwo. Juga ia masih dapat memainkan Sabuk Cinde Kencana dengan baik. Bahkan kini tenaga saktinya menjadi murni dan tidak kalah kuatnya dibandingkan dahulu sebelum ia bertemu Bagus Sajiwo.

Nyi Maya Dewi termasuk seorang tokoh yang terkenal. Oleh karena itu, begitu ia memasuki ruangan, banyak mulut berseru, "Ah, ia Nyi Maya Dewi...!"

Yang paling terkejut dan merasa tidak enak hati adalah pihak tuan rumah, yaitu Pangeran Jaka Bintara dan paman gurunya, Kyai Gagak Mudra.

Raden Jaka Bintara pernah meminang Nyi Maya Dewi dan ketika wanita itu menolak, dia hendak memaksanya, dibantu oleh Kyai Gagak Mudra. Akan tetapi mereka berdua merasa tidak dapat menandingi wanita yang sakti mandraguna itu, maka keduanya melarikan diri meninggalkan tempat tinggal Nyi Maya Dewi di Bukit Keluwung.

Mereka tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa "kemenangan" Nyi Maya Dewi itu karena diam-diam dibantu Bagus Sajiwo. Juga sama sekali tidak tahu bahwa pertandingan melawan mereka mengakibatkan Nyi Maya Dewi terluka parah sekali yang membahayakan keselamatan badannya.

Biarpun merasa terkejut dan juga gentar, Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya. Disitu banyak tokoh dan para datuk, memalukan kalau mereka takut terhadap datuk wanita itu. Apalagi disitu terdapat Panca Warak, anak buah Raden Jaka Bintara, lima jagoan Banten yang siap membela mereka dan yang kini duduk di pinggiran, dibelakang tempat duduk para tamu kehormatan.

Juga para tamu tentu akan membantu mereka sebagai tuan rumah kalau Nyi Maya Dewi membuat ulah dan hendak mengacau. Maka, mereka berdua lalu bangkit dan menyambut Nyi Maya Dewi yang sudah melangkah sampai ke tengah ruangan.

Jaka Bintara yang masih merasa kagum akan kecantikan Nyi Maya Dewi dan masih mengharapkan untuk menundukkan hati wanita jelita yang membuat dia tergila-gila itu, segera menyambut dengan wajah tersenyum gembira. "Ah, kiranya Nyi Maya Dewi yang memberi kehormatan kepada kami untuk datang berkunjung. Selamat datang, Nyi Maya Dewi dan silakan duduk!" Dia memberi isarat dan dua orang dari Panca Warak segera mengantarkan dua buah kursi yang diletakkan di bagian tamu kehormatan.

Nyi Maya Dewi tersenyum manis sekali. Semenjak pertemuannya dengan Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra setahun lebih yang lalu, yang mengakibatkan pertandingan antara mereka, wanita ini sudah berubah banyak sekali. Ia kini bukan lagi Nyi Maya Dewi yang berwatak jahat dan kejam. Ia telah mendapat bimbingan Bagus Sajiwo yang menuntunnya ke arah jalan kebenaran, yang membuka mata hatinya sehingga ia menyadari akan semua dosa dan kesalahannya di masa yang lalu.

Memang ia masih cerdik dan lincah, akan tetapi kekerasan dan kekejaman hatinya kini terganti watak riang dan jenaka. Ia memandang kepada Jaka Bintara dengan senyum yang tulus, dan tidak ada dendam kebencian dalam hatinya. Namun ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang yang sesat dan berwatak tidak baik, juga sakti mandraguna dan amat berbahaya. Apalagi disitu terdapat pula Kyai Gagak Mudra dan siapa tahu diantara banyak orang yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar itu ada yang siap mendukung Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu.

"Terima kasih, Pangeran Jaka Bintara. Aku sudah merasa heran di tempat seperti ini ada yang membangun pondok besar dan mengadakan pesta, dihadiri oleh para datuk dan tokoh persilatan. Tidak tahunya Pangeran Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra dari Banten yang menjadi tuan rumah."

"Ha-ha-ha, Nyi Maya Dewi, memang benar kami yang menjadi tuan rumah. Karena andika sudah datang, maka andika adalah tamu kami. Karena itu silakan duduk dan terimalah hidangan kami seadanya!" kata Kyai Gagak Mudra sambil tertawa dan memberi isarat kepada pelayan untuk menambah hidangan bagi tamu yang baru datang ini.

"Terima kasih, Kyai Gagak Mudra, engkau ramah dan baik sekali. Akan tetapi aku datang ini hanya karena tertarik melihat banyaknya orang berkumpul disini, dan kebetulan aku sudah makan dan masih kenyang. Juga aku khawatir, pihak tuan rumah mencampurkan racun atau pembius dalam hidangan yang kumakan. Bagaimanapun juga aku tidak dapat mempercayai orang-orang seperti kalian. Wah, ramai benar disini dan kalau aku tidak salah mengira, kedatangan kalian semua ini tentu untuk mencari dan memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya tersembunyi di daerah ini." Setelah berkata demikian, Nyi Maya Dewi masih berdiri sambil bertolak pinggang, memandang ke arah para tamu, terutama yang duduk di tempat kehormatan.

Diam-diam Nyi Maya Dewi yang dulu banyak berkecimpung di dunia hitam, terkejut mengenal para pertapa yang merupakan datuk-datuk yang tinggi ilmu kepandaiannya, ia mengenal pula Ki Sumali yang menjadi pendekar di daerah Loano dan Bagelen.

Pendekar seperti Ki Sumali ini dahulu tentu saja ia anggap musuh besar, akan tetapi sekarang sikapnya sudah berubah sama sekali karena pandangannya juga berubah. Ia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan jahat. Bahkan kini, melihat kehadiran Ki Sumali, ia seolah merasa mendapatkan seorang segolongan!

Akan tetapi sebaliknya, tentu saja Ki Sumali tidak tahu akan perubahan pada diri Nyi Maya Dewi ini. Sepanjang pengetahuannya, Nyi Maya Dewi adalah seorang datuk wanita yang berbahaya, dan ia sudah mendengar pula bahwa wanita cantik jelita ini pernah menjadi mata-mata Kumpeni Belanda. Karena itu dia memandang wanita itu dengan alis berkerut. Bertambah lagi seorang calon lawan yang amat tangguh, pikirnya.

Sementara itu, Kyai Jagalabilwa sejak tadi memandang kepada Ki Sumali dengan sinar mata tak senang. Datuk Madiun ini sejak dahulu mempunyai perasaan memusuhi Mataram, bahkan dahulu ketika Kadipaten Madiun berperang melawan Mataram, dia mati-matian membela Madiun. Akan tetapi Madiun kalah dan ditundukkan Mataram dan diapun melarikan diri dan bersembunyi. Namun dia semakin membenci Mataram.

Ketika Ki Sumali muncul, dia segera mengenal pendekar Loano ini sebagai seorang yang berpihak kepada Mataram, walaupun tidak pernah menjadi punggawa Mataram. Pendekar Loano inilah satu-satunya orang diantara mereka semua yang berpihak kepada Mataram. Bahkan Wiku Menak Jelangger sekalipun yang pertapa tulen dan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia, tetap saja setia kepada Kadipaten Blambangan dan dengan sendirinya juga tidak berpihak kepada Mataram.

Kini, melihat munculnya Nyi Maya Dewi yang dia tahu seorang yang pernah dengan gigih menentang Mataram dan membantu Kumpeni Belanda, dia merasa mendapat sekutu dan hatinya semakin berani untuk menyampaikan niatnya yang sejak tadi ditahan-tahannya, yaitu menantang dan membikin Malu Pendekar Loano itu. Lebih-lebih kalau dia ingat akan kematian Ki Singobarong yang pernah menjadi sahabatnya.

Dia mendengar dari anak buah Singobarong yang berhasil melarikan diri bahwa sahabatnya itu tewas ketika bentrok dengan Ki Sumali Pendekar Loano. Hatinya semakin panas. Kini mendengar Nyi Maya Dewi dengan terus terang bicara tentang Jamur Dwipa Suddhi, Kyai Jagalabilawa bangkit berdiri dari kursinya. Kebetulan dia duduk di ujung kanan sedangkan Ki Sumali 'duduk di ujung kiri sehingga mereka berdua terpisah cukup jauh. Suaranya yang kecil terdengar lantang dan terdengar oleh semua orang yang hadir disitu.

"Adi Kyai Cagak Mudra, Pangeran Raden Jaka Bintara dan semua saudara yang berada disini termasuk Nyi Maya Dewi, dengarlah pendapatku ini demi kebaikan kita semua! Baru saja Nyi Maya Dewi bicara tentang Jamur Dwipa Suddhi yang kita semua sedang cari. Akan tetapi jangan harap siapapun diantara kita akan dapat menemukannya karena tentang jamur ajaib itu tentu akan terdengar oleh Sultan Agung dan dia akan mengirim pasukannya untuk mencari dan merebutnya dari kita."

"Sadhu-sadhu-sadhu!" Wiku Menak Jelangger berkata lembut. "Kakang Kyai Jagalabilawa, kita semua kini sedang mencari, bagaimana mungkin Sultan Agung Mataram akan dapat mengetahui dan mengirim pasukan?"

"Hemm, apakah andika sekalian tidak tahu ataukah lupa? Diantara kita terdapat seorang yang setia kapada Mataram dan bukan mustahil kalau kehadirannya ini sebagai telik-sandi (mata-mata) yang dikirim Sultan Agung untuk menyelidiki tentang Jamur Dwipa." kata Kyai Jagalabilawa dan dengan sengaja dan jelas dia mengarahkan pandang matanya kepada Ki Sumali.

Ucapan itu menimbulkan suara ribut karena semua orang saling pandang dan bertanya-tanya siapa yang dimaksudkan sebagai mata-mata Mataram oleh datuk Madiun itu. Kemudian, mereka mengikuti pandang mata Kyai Jagalabilawa dan semua mata kini memandang ke arah Ki Sumali.

Ki Sumali merasa betapa semua orang memandang ke arahnya Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia bangkit berdiri, mengerutkan alisnya dan balas menatap wajah datuk Madiun dengan garang, lalu berkata, "Kyai Jagalabilawa! Andika memandang kepadaku dengan sinar mata menuduh, apakah aku yang andika maksudkan sebagai telik-sandi Mataram?"

Dua orang tokoh besar itu masing-masing berdiri sambil memandang dengan mata terbelalak marah. Suasana menjadi tegang sekali karena mereka semua dapat merasakan bahwa suasana panas ini akan dapat menimbulkan kebakaran. Mereka adalah orang-orang yang paling suka menonton perkelahian dan diantara mereka terdapat beberapa orang yang ikut menjadi marah mendengar bahwa Ki Sumali pendekar Loano itu hadir sebagai telik-sandi Mataram. Tentu saja semua orang merasa khawatir karena kalau Sultan Agung turun tangan mengirim pasukan, harapan untuk bisa mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi menjadi semakin tipis.

"Ki Sumali, jawablah pertanyaanku ini. Apakah tidak benar kata-kataku bahwa andika adalah seorang yang setia kepada Mataram?" tanya Kyai Jagalabilawa.

Pertanyaan ini tentu saja menyudutkan dia, akan tetapi dengan lantang Ki Sumali menjawab, suaranya tegas dan jelas. "Kyai Jagalabilawa! Sebagai kawula Mataram, tentu saja aku setia kepada Mataram! Apakah andika hendak mengatakan bahwa andika tidak setia kepada Mataram? Kadipaten Madiun juga merupakan bagian dari Mataram dan Sang Adipati Madiun sendiri tunduk kepada Gusti Sultan Agung di Mataram. Kalau andika tidak setia, berarti andika adalah seorang pemberontak terhadap Mataram. Begitukah?"

Wajah yang meruncing seperti tikus itu berubah kemerahan. "Aku bukan pemberontak dan aku hanya setia kepada Madiun, akan tetapi aku tidak akan menjadi telik sandi Mataram yang akan mengkhianati kami semua dan menghalangi kami mencari Jamur Dwipa Suddhi!"

"Aku bukan telik-sandi Mataram dan aku mencari jamur ajaib untuk diriku sendiri!" Ki Sumali membentak lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kyai Jagalabilawa dan berkata lagi dengan suara tegas. "Kyai Jagalabilawa, kalau andika tidak suka padaku, katakan saja. Tidak perlu melempar fitnah yang bukan-bukan!"

"Heh! Fitnah? Kalau andika bukan telik-sandi Mataram, apa buktinya?" Ejek Kyai Jagalabilawa.

"Andika yang sepantasnya membuktikan! Coba buktikan bahwa fitnahmu itu benar, buktikan bahwa aku benar-benar telik-sandi Mataram!"

"Buktinya sudah jelas! Andika selalu memusuhi orang-orang yang menentang Mataram, bahkan andika telah membunuh sahabatku Singobarong yang terkenal sebagai seorang yang selalu menentang Mataram!" kata Kyai Jagalabilawa.

Ki Sumali adalah seorang pendekar yang keras hati. Mendengar tuduhan datuk Madiun itu dia marah sekali, apa lagi mendengar ucapan Kyai Jagalabilawa tentang terbunuhnya Ki Singobarong. Dia mengepal tinjunya dan menjawab lantang. "Kyai Jagalabilawa, andika menyebut mendiang Ki Singobarong sebagai seorang sahabatmu, ini saja sudah menunjukkan orang macam apa adanya andika! Tahukah andika mengapa Ki Singobarong mati di tanganku? Karena dia telah menculik isteriku!"

Ki Sumali tidak mau menceritakan bahwa Ki Singobarong roboh oleh Lindu Aji kemudian dibunuh Winarsih ketika penjahat itu pingsan. "Kalau andika hendak membela kematiannya, majulah! Aku tidak pernah takut menentang orang-orang yang membela kejahatan!"

Suasana menjadi semakin menegangkan. Baik Ki Sumali maupun Kyai Jagalabilawa keduanya sudah "naik darah" dan sudah saling pandang dengan sinar mata marah penuh tantangan.

Pada saat yang hening menegangkan itu, tiba-tiba terdengar suara yang datang dari jauh, akan tetapi dapat terdengar jelas oleh semua orang dan para datuk terkejut karena maklum bahwa suara itu diteriakkan orang dari jauh dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat.

"Dewiii...!! Dimana engkau...??"

Semua orang, termasuk Ki Sumali dan Kyai Jagalabilawa yang sedang marah dan siap berkelahi, menengok ke arah luar.

Nyi Maya Dewi yang sejak tadi berdiri disitu sambil tersenyum mendengarkan dua orang bertengkar, lalu memutar tubuh menghadap keluar dan terdengar ia berseru dengan suara melengking, diarahkan keluar. "Baguuuuss...!! Aku berada disini nonton keramaian! Engkau kesinilah...!!"

Kiranya Nyi Maya Dewi sedang melakukan perjalanan bersama Bagus Sajiwo. Sejak mereka meninggalkan Bukit Keluwung di Pegunungan Wilis, mereka melakukan perjalanan bersama, tidak pernah berpisah. Sudah kurang lebih satu tahui lewat sejak mereka saling bertemu di puncak Bukit Keluwung. Tadipun mereka bersama, akan tetapi ketika Bagus Sajiwo mengaso di sebuah puncak bukit di Pegunungan Seribu, duduk bersamadhi. Nyi Maya Dewi meninggalkannya dan berjalan-jalan sampai ia tiba di pondok itu dan tertarik melihat keramaian ditempat sepi itu.

Semua orang menanti dengan hati tegang dan ingin sekali mereka melihat siapa orangnya yang datang bersama Nyi Maya Dewi dan disebut Bagus Sajiwo oleh datuk wanita itu. Tak lama kemudian mereka melihat seorang pemuda melangkah santai menuju ke pondok itu dan mereka semua terheran-heran karena yang datang itu hanya seorang pemuda remaja yang tampak masih hijau, berpakaian sederhana dan sikapnya sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

Bagus Sajiwo memasuki pondok itu, menoleh ke kanan kiri dengan keheranan melihat banyak orang berkumpul disitu. Kemudian ia melihat Nyi Maya Dewi dan wajahnya yang ganteng itu berseri dan dia melangkah lebar menghampiri Nyi Maya Dewi yang berada di tengah ruangan. Pandang matanya hanya tertuju kepada Maja Dewi dan dia tidak memperdulikan orang lain yang berada disitu.

"Dewi, kenapa engkau berada disini? Mau apa engkau disini?" tanya Bagus Sajiwo setelah berada dekat Maya Dewi.

Wanita itu lalu menggandeng tangan pemuda itu, tanpa sungkan atau malu dia memegang tangan Bagus Sajiwo dan merapatkan tubuhnya, lalu berkata dengan wajah gembira. "Aku nonton keramaian disini, Bagus. Ternyata semua datuk dan tokoh persilatan berkumpul disini. Mereka semua tentu hendak mencari Jamur Dwipa Suddhi juga. Wah, akan ramai ini! Dan kau tahu siapa yang menjadi tuan rumah? Tentu engkau mengenal mereka. Itu lihat, mereka adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dan paman gurunya Kyai Gagak Mudra, keduanya dari Banten. Dan lihat, yang duduk disana itu, dia adalah Wiku Menak Jelangger, seorang datuk dari Blambangan. Yang pakaiannya kuning dan mukanya pucat seperti mayat itu adalah Resi Sapujagad dari Gunung Merapi. Disebelahnya itu, yang gendut dan tersenyum-senyum, dia adalah Bhagawan Dewokaton dari Gunung Bromo dan yang tinggi besar itu adalah Ki Kebondanu tokoh dari Surabaya."

Bagus Sajiwo tentu saja segera mengenal Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra sebagai dua orang yang setahun lebih yang lalu mengeroyok Maya Dewi di puncak Bukit Keluwung, akan tetapi yang lain-lain dia sama sekali tidak mengenalnya.

"Dan yang berdiri di ujung kanan dan kiri, saling pandang dengan sikap marah itu siapa, Dewi?" tanyanya.

"Oh, itu? Yang berdiri di ujung kiri itu adalah Ki Sumali, pendekar Loano. Adapun yang berdiri di ujung kanan adalah Kyai Jagalabilawa, tokoh dari Madiun. Mereka sedang bertengkar karena Kyai Jagalabilawa menuduh Ki Sumali menjadi telik sandi Mataram. Wah, kita dapat suguhan menarik, Bagus. Melihat mereka bertanding, sungguh menarik!"

"Dewi, bukan urusan kita. Mari kita pergi." kata Bagus Sajiwo sambil menarik tangan Maya Dewi.

Akan tetapi Maya Dewi ingin nonton perkelahian, maka ia tidak mau dan terjadi tarik menarik. Semua orang melihat dengan geli. Kiranya teman Maya Dewi hanya seorang pemuda remaja dan sikap mereka berdua yang mesra itu membuat semua orang menyangka bahwa pemuda remaja itu tentu kekasih Nyi Maya Dewi!

Akan tetapi karena nama besar Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai seorang datuk wanita yang kejam dan mudah main bunuh, para tamu muda hanya melihat dan tidak ada yang berani mencampuri.

Sementara itu, Kyai Jagalabilawa melangkah ke tengah ruangan dan dia berkata dengan sikap hormat kepada Maya Dewi. "Nyi Maya Dewi, kuharap andika suka minggir dan memberi tempat kepadaku untuk menantang Ki Sumali si sombong itu! Aku yakin bahwa dia adalah telik sandi Mataram yang hendak menyelidiki tentang Jamur Dwipa Suddhi."

Bagus Sajiwo menarik tangan Nyi Maya Dewi. "Hayolah, Dewi. Jangan ganggu urusan orang lain!"

Sekarang Nyi Maya Dewi menurut, akan tetapi ia tidak mau keluar, melainkan mengajak Bagus Sajiwo ke pinggir dan duduk di atas bangku yang masih kosong. Mereka duduk bersanding dan Nyi Maya Dewi tidak pernah melepaskan tangan pemuda itu yang terus digandengnya dengan mesra.

Kyai Jagalabilawa yang sudah berada di tengah ruangan itu, memandang kepada Ki Sumali dan berkata, "Ki Sumali, andika tadi menantangku. Hayo, majulah dan kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!"

Ki Sumali juga melangkah lebar menghampiri jagoan dari Madiun itu. Mereka kini saling berhadapan dalam jarak tiga meter. Ki Sumali berkata dengan suara tegas. "Kyai Jagalabilawa, aku tidak menantangmu. Aku hanya mengatakan bahwa kalau andika hendak membela mendiang Ki Singobarong yang jahat, aku siap melayanimu!"

"Bagus, aku memang hendak membelanya dan aku ingin membasmi telik sandi Mataram yang hanya akan mengkhianati kami semua. Majulah, Ki Sumali!"

"Hemm, Kyai Jagalabilawa, andika yang mencari gara-gara, andika yang hendak membela Ki Singobarong yang jahat, andika yang menantang. Karena Itu, hayo keluarkanlah semua kesaktianmu, hendak kulihat sampai dimana sih kehebatanmu!" kata Ki Sumali.

Biarpun tadi dia sudah menyaksikan jagoan ini mendemonstrasikan ilmunya dan memperlihatkan bagaimana dia dapat membuat tubuhnya menjadi dua namun dia tidak merasa gentar.

"Babo-babo, Ki Sumali! Sumbarmu seperti geluduk di siang hari! Hai Adi Gagak Mudra, kalau dalam pertandingan ini aku merobohkan dan membunuh Ki Sumali yang sombong ini, jangan salahkan aku!" kata Kyai Jagalabilawa dan kalimat terakhir itu dia tujukan kepada tuan rumah.

Kyai Gagak Mudra yang diam-diam berpihak kepada Kyai Jagalabilawa karena diapun merasa tidak suka kepada Ki Sumali yang terkenal sebagai pendekar Loano yang setia kepada Mataram, tertawa dan berkata lantang agar terdengar semua orang.

"Kakang Jagalabilawa, mengapa harus andika tanyakan lagi hal itu? Dalam dunia kita, semua ketidaksesuaian dan pertentangan memang harus diselesaikan dengan pertandingan dan terluka parah atau mati dalam setiap pertandingan adalah hal biasa. Mengapa harus diributkan? Silakan saja kalau kalian berdua sudah sepakat untuk bertanding dan saling bunuh, kami tidak akan mencampuri dan hanya menjadi saksi!"

"Kyai Jagalabilawa, kita ini hendak bertanding ataukah hendak mengobrol? Kalau memang andika merasa jagoan dan hendak membunuhku, nah, maju dan seranglah, jangan banyak cakap lagi!" kata Ki Sumali.

Pendekar Loano ini maklum bahwa dia berada di kandang singa, tahu bahwa sebagian besar dari para tamu itu adalah orang-orang golongan hitam atau golongan sesat yang tentu akan condong berpihak kepada Kyai Jagalabilawa. Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang selalu mempertahankan kebenaran dan keadilan, dia tidak dapat mundur dan harus berani menghadapi ancaman bahaya.

Kyai Jagalabilawa juga maklum akan ketangguhan lawannya. Maka dia langsung mencabut kerisnya dan membentak nyaring. "Ki Sumali, sambutlah seranganku ini. Hyaaaaattt...!" Kakek dari Madiun itu menerjang dengan cepat dan kuat, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan dan tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah leher Ki Sumali.

"Cringgg... plakk!" Ki Sumali dengan cepat sudah mencabut keris Sarpo Langking (Ular Hitam) dari pinggangnya dan menangkis keris lawan dan ketika cengkeraman tangan kiri lawan meluncur dekat, dia miringkan tubuh ke kanan dan tangan kirinya menangkis. Pertemuan keris di tangan kanan dan tangan kiri itu membuat Kyai Jagalabilawa terjengkang dan terpaksa dia melompat ke belakang agar jangan sampai terjatuh. Maklumlah dia bahwa dalam hal tenaga dalam, agaknya dia masih kalah kuat. Maka dia tidak membuang waktu lagi, segera mengeluarkan bentakan lantang dan tiba-tiba dia bergerak cepat dan tubuhnya menjadi dua, keduanya kini menyerang Ki Sumali dengan keris!

Ki Sumali sudah siap menghadapi ilmu yang aneh ini. Tadi ketika Kyai Jagalabilawa berdemonstrasi dan mengubah dirinya menjadi dua, dia telah mencoba untuk mengerahkan kekuatan batinnya dan berusaha agar pandang matanya tidak terpengaruh. Akan tetapi dia gagal dan tetap saja tubuh tokoh Madiun itu tampak dua olehnya. Maka dia mengerti bahwa ilmu yang mengandung sihir ini amat kuat dan dia tidak mampu memecahkannya. Karena itu, tangan kirinya cepat mencabut sulingnya dan dia lalui menghadapi "pengeroyokan" dua orang Kyai Jagalabilawa itu dengan keris dan sulingnya.

Ki Sumali memang tangkas sekali. Dengan suling dan kerisnya, bukan saja dia mampu melindungi dirinya dari serangan Kyai Jagalabilawa yang mengubah dirinya menjadi dua itu, bahkan dia mampu pula membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat "dua" orang lawan itu terdesak mundur. Sulingnya yang digerakkan dengan tangan kiri mengeluarkan bunyi berdengung seperti ditiup.

Kalau semua orang menonton pertandingan itu dengan hati tegang dan gembira karena mereka semua memang suka sekali menonton pertandingan adu kesaktian sehingga suasana menjadi hening, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara, sebaliknya Nyi Maya Dewi menonton sambil mengajak Bagus Sajiwo bercakap-cakap memberi komentar terhadap pertandingan itu.

"Lihat, Bagus. Ilmu Kyai Jagalabilawa boleh jadi aneh dan juga hebat, akan tetapi agaknya dirinya yang menjadi dua itu tetap tidak akan mampu menang melawan Ki Sumali. Kalau saja dia mampu mengubah dirinya menjadi empat, atau sedikitnya tiga orang, mungkin baru dia akan mampu mengimbangi Ki Sumali pendekar Loano itu."

Bagus Sajiwo menghela napas panjang "Dewi, aku sungguh tidak mengerti. Mereka itu memiliki kesaktian, setelah mengadakan pertemuan dan berpesta disini, mengapa kini mereka malah bertanding dan berusaha keras untuk saling membunuh?"

Pemuda ini melihat jelas betapa baik Ki Sumali maupun Kyai Jagalabilawa memang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan aji kesaktian dan menyerang dengan jurus-jurus maut untuk membunuh.

"Ah, kenapa engkau merasa heran, Bagus? Begitulah watak semua orang yang menguasai aji kanuragan. Mereka selalu ingin menang sendiri, ingin dianggap paling jagoan sendiri. Aku dulu juga berpendirian sama seperti mereka, yaitu apa gunanya bertahun-tahun dengan susah payah mempelajari ilmu kanuragan kalau tidak dipergunakan untuk mencari kemenangan agar mendapatkan ketenaran dan nama besar sebagai jagoan tak terkalahkan?"

"Hemm, mengerikan! Dan sekarang, bagaimana pendapatmu, Dewi? Apakah engkau masih berpendapat seperti mereka?" tanya Bagus.

Karena semua orang berdiam diri dan suasana menjadi hening, maka percakapan antara Bagus Sajiwo dan Nyi Maya Dewi dapat terdengar jelas oleh semua orang.

"Tidak, Bagus. Aku melihat dengan jelas betapa pendapat itu salah sama sekali. Kalau ilmu kanuragan hanya dipergunakan untuk memukul orang, melukai atau membunuh, untuk memaksakan kehendak sendiri, maka lebih baik tidak pernah mempelajarinya sama sekali."

"Memang begitu, Dewi. Bukan ilmu kanuragan yang bersalah, atau yang sifatnya keras dan buruk, melainkan cara kita menggunakannya. Ilmu kanuragan sama saja dengan alat-alat yang kita pergunakan dalam kehidupan ini. Misalnya sebatang pisau. Kalau kita menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu membuat segala macam prabot yang kita butuhkan, atau untuk memotong sayur-mayur yang akan dimasak dan untuk segala macam keperluan hidup lainnya, maka pisau itu akan menjadi alat yang amat berguna. Akan tetapi sebaliknya kalau kita pergunakan untuk melampiaskan dendam kebencian dan kemarahan untuk melukai atau membunuh orang, maka pisau itu akan menjadi alat yang teramat jahat pula. Demikian juga misalnya api. Kalau kita mempergunakan untuk menyalakan lampu, untuk memasak makanan, untuk mengusir hawa dingin dan sebagainya lagi demi memenuhi keperluan hidup, maka api itu menjadi alat yang amat berguna dan baik. Akan tetapi sebaliknya kalau kita pergunakan untuk membakar rumah orang misalnya atau hal lain sebagai pelampiasan kemarahan dan dendam kebencian, maka apipun berubah menjadi alat yang merusak dan amat jahat. Aji kanuragan tidak ada bedanya. Kalau dipergunakan untuk olah raga menjaga kesehatan, diambil keindahannya sebagai seni tari, untuk menjaga dan membela diri dari ancaman bahaya kekerasan, kemudian dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk menolong orang lain yang membutuhkan kekuatan, untuk membela nusa bangsa dan negara dari ancaman musuh, maka aji kanuragan tentu saja menjadi alat yang amat berguna dan baik. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk memaksakan keinginan sendiri berlandaskan kekerasan, untuk mengumbar kesenangan, untuk mencari kemenangan guna ketenaran dan kesombongan, untuk menyiksa orang, untuk berkelahi melukai atau membunuh orang yang dianggap menghalangi niat buruknya, untuk menjadi tukang pukul atau pembunuh bayaran dengan aji kanuragan itu, untuk mencuri atau merampok, maka tentu saja aji kanuragan menjadi alat yang amat tidak baik."

Orang-orang yang berada di situ, sambil menonton pertandingan, mau tidak mau ikut pula mendengarkan dan semua orang merasa heran dan juga geli. Bagaimana seorang pemuda remaja, seorang bocah hijau, mengeluarkan omongan seolah memberi wejangan kepada seorang datuk wanita seperti Nyi Maya Dewi?

Mereka menduga bahwa datuk wanita itu tentu akan mentertawakan bocah itu atau bahkan mungkin sekali marah karena datuk wanita itu terkenal sebagai seorang wanita yang galak, kejam dan sedikit-sedikit mudah membunuh orang! Akan tetapi apa yang mereka lihat dan dengar sungguh membuat mereka terheran-heran. Nyi Maya Dewi sama sekali tidak mentertawakan, apalagi marah kepada pemuda itu. Bahkan sebaliknya, ia memandang kagum dan berkata.

"Ah, Bagus. kenapa tidak sejak dulu aku bertemu denganmu? Setiap ucapanmu bagaikan ratusan lampu yang menerangi kegelapan dalam batinku!" Dan wanita itu sambil memegang kedua tangan pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh kagum, sinar mata yang jelas sekali membayangkan rasa kasih sayang yang amat besar!

Bagus Sajiwo Jilid 10

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 10

ORANG ke empat adalah Ki Kebondanu, jagoan dari Surabaya, berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah. Wajahnya juga gagah sekali dengan kumis sekepal sebelah dan jenggot terpelihara rapi dan sikapnya anggun, condong angkuh. Di pinggangnya terselip gagang sebatang pecut dan pecutnya sendiri digelung. Jagoan dari Surabaya ini yang dahulu membantu Pangeran Pekik mempertahankan serangan pasukan Mataram dengan gagah berani.

Akhirnya dia juga tertawan oleh para senopati Mataram yang sakti mandraguna, menjadi tawanan bersama Pangeran Pekik dan yang lain-lain. Akan tetapi oleh Sultan Agung dia juga dibebaskan sebagai seorang gagah yang telah membela Surabaya yang menjadi tanah airnya mati-matian. Akan tetapi ketika Pangeran Pekik tetap diakui sebagai Adipati Surabaya, bahkan menikah dengan Puteri Wandansari dari Mataram, lalu Pangeran Pekik hendak memberi kedudukan sebagai senopati kepadanya, Ki Kebondanu menolaknya dengan hormat dan halus.

Sejak muda dia memang tidak suka menduduki jabatan dan ingin bebas. Dia lalu menjadi guru olah kanuragan, melatih para perwira Surabaya. Dengan demikian walaupun dia tidak mempunyai kedudukan resmi, namun dia dihormati oleh para perwira dan senopati Surabaya. Ketika mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi, diapun tertarik sekali dan ikut datang ke daerah yang dikabarkan menjadi tempat disembunyikannya jamur ajaib itu untuk ikut mencari, kalau perlu memperebutkan dengan orang-orang lain.

Selain empat orang itu, ada pula seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, yaitu Kyai Jagalabilawa yang merupakan seorang tokoh besar dari Madiun. Tubuhnya sedang saja, akan tetapi wajahnya tampak kurus, begitu kurusnya sehingga tampak meruncing seperti wajah tikus. Pakaiannya serba hitam dan dia juga mempunyai sebatang keris yang terselip di pinggangnya.

Lima orang tokoh itu, ditambah Wiku Menak Jelangger yang baru datang, duduk berderet dengan pihak tuan rumah, yaitu Kyai Gagak Mudra dan Raden Jaka Bintara, berhadapan dengan para tamu lain yang jumlahnya lima belas orang. Di ruangan itu, bagian tengahnya cukup luas dan memang hal ini sengaja diatur oleh Kyai Gagak Mudra yang mempersiapkan ruangan terbuka itu agar para tokoh sakti itu dapat masing-masing mendemonstrasikan kesaktian mereka. Dengan cara demikian dia akan dapat menilai siapa kiranya yang akan menjadi lawan terberat dalam persaingan atau perebutan Jamur Dwipa Siddhi itu.

Setelah para tamu diberi hidangan secukupnya, Kyai Gagak Mudra lalu bangkit berdiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan sebagai sembah di depan dada. "Saya mewakili Pangeran Raden Jaka Bintara sebagai tuan rumah mengucapkan selamat datang kepada andika sekalian. Kami sungguh gembira dapat menyambut andika sekalian dan dapat berkumpul disini. Sebuah pertemuan tanpa direncanakan lebih dulu ini sungguh menyenangkan. Sayang sekali karena keadaan, kami tidak dapat menyuguhkan pertunjukkan apapun sebagai hiburan. Oleh karena itu, karena kita semua adalah orang-orang yang suka akan olah kanuragan, maka dalam kesempatan yang amat baik ini, bagaimana kalau kita menyumbangkan sedikit tenaga dan memperlihatkan kepandaian masing-masing untuk memeriahkan suasana dalam pertemuan ini?"

Golongan muda yang duduk di bagian tamu bersorak gembira menyambut usul yang menggembirakan ini. Bagi mereka, tidak ada pertunjukan yang lebih menarik daripada demonstrasi olah kanuragan dan seperti sudah menjadi penyakit mereka yang merasa memiliki kelebihan, mereka ingin sekali mendemonstrasikan kepandaian mereka agar dikagumi. Pendeknya, sebagian besar dari mereka ingin memamerkan kehebatan masing-masing!

"Ha-ha-ha-ha!" Bhagawan Dewokaton yang bertubuh gendut itu tiba-tiba tertawa, suara tawanya demikian bebas dan wajar sehingga memancing tawa orang-orang lain yang mendengarnya. "Kakang Kyai Gagak Mudra, usul andika itu memang bagus sekali. Memang tidak ada kegembiraan yang lebih menyenangkan daripada melihat pameran aji kanuragan dari saudara sekalian yang tentu saja hebat-hebat! Akan tetapi, sebelum ada tamu yang berani lancang memperlihatkan kebolehannya, sudah sepatutnya dan seyogianya kalau pihak tuan rumah yang lebih dulu memperlihatkan kehebatannya!"

Ucapan ini mendapat sambutan meriah dan semua tamu bertepuk tangan menyatakan setuju. Kyai Gagak Mudra berbisik kepada Raden Jaka Bintara, "Bagaimana kalau paduka yang pertama-tama membuka demonstrasi kedigdayaan ini, pangeran?"

Jaka Bintara adalah seorang pemuda yang suka menyombongkan kepandaiannya. Memang dia digdaya, memiliki kesaktian karena dia adalah murid tersayang dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa, datuk Banten yang amat terkenal itu. Dia tentu suka memamerkan kepandaiannya di depan para tamunya, maka dia mengangguk kepada paman gurunya. Kyai Gagak Mudra lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamunya.

"Baiklah, saudara-saudara sekalian. Murid keponakanku, Pangeran Raden Jaka Bintara, akan membuka pertunjukan ini dengan permainannya. Silakan, pangeran!"

Raden Jaka Bintara bangkit lalu melangkah maju ke tengah ruangan. Semua tamu dapat melihatnya dengan jelas. Pangeran yang berusia tiga puluh tiga tahun itu memang gagah sekali. Tubuhnya tinggi besar, agak kurus, wajahnya tampan dan kaki tangannya kokoh, dadanya bidang. Pandang matanya tajam dan mulutnya selalu tersenyum mengejek, tarikan bibirnya membayangkan kesombongan. Namun harus diakui bahwa dia tampak gagah.

Dia menggerakkan tubuh, menghadap kepada para tamu kehormatan dan para tamu muda, kemudian mulailah dia bergerak, memperlihatkan jurus silatnya yang gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat sehingga setiap kali tangannya menyambar, terdengar angin berciutan.

Tiba-tiba, setelah menggerakkan tubuh belasan jurus dengan pukulan dan tendangan, tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu dia telah melolos pedangnya. Pedang hitam yang ketika dia gerakkan berubah menjadi gulungan sinar hitam. Dia bersilat pedang dan diantara gulungan sinar pedang hitam itu terdengar suara berdesing-desing mengerikan.

Para tamu kagum menyaksikan demonstrasi yang dimainkan Raden Jaka Bintara. Bahkan para datuk yang duduk di tempat kehormatanpun diam-diam harus mengakui bahwa pangeran dari Banten ini memang tangguh sekali. Terutama sekali ilmu pedangnya yang demikian hebat, amat sukar dilawan.

Setelah bersilat pedang selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Raden Jaka Bintara menghentikan permainan pedangnya. Mendadak saja sinar hitam bergulung-gulung itu lenyap dan tahu-tahu pedang itu telah kembali ke sarung pedang dan pemuda itu kini berdiri tegak, lalu tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan yang tadi saling digosok-gosokkan sambil berseru nyaring.

"Aji Hastanala...!" Kedua telapak tangan yang didorongkan itu membara seperti terbakar merah dan hawa panas terasa oleh semua yang hadir.

Para tamu, terutama yang muda-muda, terbelalak kagum dan merasa jerih kepada pangeran Banten yang memiliki aji pukulan sedemikian dahsyatnya. Juga ilmu silat pedangnya tadi mengagumkan dan mengerikan.

Raden Jaka Bintara sudah merasa puas memamerkan sebagian kepandaiannya itu. Dia berhenti bergerak, memberi hormat kepada para tamu lalu melangkah kembali ke tempat duduknya, diiringi tepuk sorak para tamu.

Kini tiba giliran para tamu yang diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya dan dipersilakan maju satu demi satu. Tentu saja mereka yang serombongan atau seperguruan, hanya diwakili seorang saja untuk memperlihatkan ilmu silat aliran mereka. Diantara lima belas orang tamu yang bukan tamu kehormatan, maju seorang demi seorang dan semua hanya ada enam orang yang mewakili aliran masing-masing.

Mereka juga berusaha keras untuk memperlihatkan kepandaian mereka yang paling hebat, namun tidak ada diantara mereka yang dapat melampaui tingkat kepandaian Jaka Bintara sehingga pangeran dari Banten ini merasa bangga sekali. Tidak ada diantara mereka yang akan menjadi saingan berat dalam memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi, pikirnya.

Kyai Gagak Mudra kini bangkit berdiri dan memberi hormat kepada mereka yang duduk sejajar dengan dia. "Yang muda-muda sudah mendatangkan suasana gembira dengan bantuan mereka mempertunjukkan keahlian mereka. Kini kami harap andika yang tua-tua suka menambah meriahnya pertemuan ini dengan memperlihatkan kesaktian andika untuk membuka mata kita semua. Kami persilakan maju satu demi satu, dimulai yang duduk paling pinggir, yaitu Ki Sumali, pendekar Loano yang namanya sudah terkenal." Ucapan ini disambut tepuk tangan para tamu muda.

Ki Sumali sebetulnya enggan untuk memamerkan ilmunya, akan tetapi melihat betapa semua tamu menyetujui, dia merasa tidak enak kalau menolak sendiri. Terpaksa dia bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Kyai Gagak Mudra. "Sebetulnya saya tidak mempunyai kepandaian apapun yang berharga untuk ditonton, Kyai Gagak Mudra." kata Ki Sumali.

"Ha-ha-ha! Siapa yang tidak mengenal nama Pendekar Loano? Kalau tidak sakti mandraguna, mana bisa menjadi seorang pendekar?" kata Bhagawan Dewakaton yang lalu tertawa bergelak.

Diantara para tamu yang tidak senang terhadap sebutan "pendekar", sebutan yang mereka anggap sombong dan pula sering berlawanan dengan cara hidup mereka, ikut tertawa mengejek.

"Maaf, bukan saya yang memakai julukan pendekar, melainkan orang-orang yang menyebut demikian karena saya suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan. Untuk menolong orang tidak selalu harus mengandalkan kesaktian. Bahkan banyak sekali orang yang menggunakan kesaktian untuk melakukan kejahatan."

Kyai Gagak Mudra yang bertubuh pendek gemuk dan suka tertawa itu kini memperdengarkan tawanya. "Ha-ha-ha, Ki Sumali jangan andika terlalu merendahkan diri dan mengaku tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Andika datang kesini tentu juga ingin memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi, bukan? Dan untuk dapat memperoleh jamur pusaka itu tentu harus menggunakan kesaktian. Hayolah, jangan berpura-pura!"

"Kyai Gagak Mudra, memang tidak saya sangkal bahwa saya ingin mendapatkan jamur ajaib itu, akan tetapi saya mengandalkan nasib, bukan kepandaian." bantah Ki Sumali.

"Hemm, kalau begitu, andika tidak mau memenuhi permintaan kami semua untuk memperlihatkan kesaktianmu, Ki Sumali? Andika hendak menentang apa yang telah disetujui oleh kami semua?" tanya Kyai Gagak Mudra dengan nada tak senang.

Ki Sumali merasa tidak enak hati mendengar ini. "Bukan saya tidak mau, Kyai Gagak Mudra, hanya saya khawatir pertunjukanku tidak akan menarik, tidak berharga untuk ditonton. Akan tetapi kalau andika semua menghendaki, tentu saja saya tidak merasa keberatan."

Ucapan Ki Sumali ini disambut tepuk tangan para tamu golongan muda. Mereka tentu saja ingin sekali melihat kehebatan ilmu kepandaian para tokoh besar yang duduk di kursi-kursi kehormatan.

Ki Sumali melangkah ke tengah ruangan. Bagaimanapun juga, dia harus memperlihatkan kesaktiannya agar jangan dipandang rendah oleh orang-orang itu, terutama oleh Pangeran Raden Jaka Bintara dari Banten yang bersikap sombong akan tetapi yang dia tahu merupakan lawan yang cukup berat itu. Apalagi dia sudah dihargai oleh Kyai Gagak Mudra, datuk Banten itu, dengan dipersilakannya dia duduk di deretan kursi kehormatan, sejajar dengan pihak tuan rumah.

Setelah tiba di dekat ruangan, dia memberi hormat kepada para tamu dan pihak tuan rumah dengan sembah di depan dada, kemudian pendekar Loano ini mulai bersilat. Ki Sumali telah mempelajari banyak macam aji kanuragan, dan yang terakhir dia berguru kepada mendiang Aki Somad datuk di Nusakambangan yang sakti mandraguna. Dia bersilat menurut aliran Bagelen yang sifatnya gagah dan jantan.

Gerakannya seperti tarian kiprah yang indah dan gagah, makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya bergerak sukar diikuti pandang mata dan kadang tampak seperti bayangan berkelebat saja. Lalu dia isi kedua tangannya dengan Aji Tapak Geni dan ketika dia bergerak memukul, kedua telapak tangannya itu membara dan bernyala!

Para tamu muda bertepuk tangan memuji. Ki Sumali mencabut suling dan kerisnya yang hitam dan mulailah dia bersilat dengan sepasang senjatanya yang ampuh itu. Suling di tangan kirinya ketika digerakkan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung seperti ditiup dan kerisnya juga menyambar-nyambar ganas, mengeluarkan bunyi bercuitan.

Setelah dia berhenti bersilat, tidak tampak dia berkeringat atau terengah-engah, dan para penonton bertepuk tangan meriah. Ki Sumali memberi hormat kepada mereka semua lalu dengan tenang duduk kembali ketempat semula. Kyai Gagak Mudra tertawa dan bangkit berdiri. Dalam hatinya dia mencatat bahwa Ki Sumali merupakan lawan yang tangguh, akan tetapi tidak terlalu berat baginya. Bahkan Raden Jaka Bintara saja kiranya cukup untuk menandingi Ki Sumali.

"Wah, andika terlalu merendahkan diri, Ki Sumali. Kepandaianmu hebat!" Kemudian Kyai Gagak Mudra menghadapi tamu kehormatan yang duduk di kursi ke dua, yaitu Resi Sapujagad, pertapa dari Merapi dan berkata, "Sekarang kami persilakan Kakang Resi Sapujagad untuk membantu dan menambah kemeriahan pertemuan ini,"

Resi Sapujagad adalah seorang pertapa dari Gunung Merapi. Ketika Mataram mengadakan perang, baik ketika menundukkan daerah-daerah yang tidak mau tunduk, maupun ketika Mataram berperang melawan Kumpeni Belanda, dia tidak membantu. Akan tetapi dia juga tidak pernah membantu pihak musuh Mataram. Dia tinggal diam dalam pondok padepokannya untuk bertapa tidak memperdulikan itu semua.

Kini dia keluar dari padepokannya karena dia tertarik dan ingin mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya juga dapat memperpanjang umur! Mendengar ucapan tuan rumah, dia bangkit berdiri. Pertapa yang berusia enam puluh tahun ini mengenakan pakaian serba kuning, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. Tangan kirinya memegang seuntai tasbeh merah dan muka yang pucat dan selalu muram itu tidak memperlihatkan perasaan apapun ketika dia melangkah ke tengah ruangan.

Setelah berdiri di tengah ruangan, dia hanya menghadap kearah tuan rumah, lalu ke arah para tamu dan berkata, "Aku tidak punya kepandaian apapun, setiap hari hanya bergaul dengan tasbehku ini. Karena itu yang dapat kuperlihatkan hanyalah main-main dengan tasbehku!" Lalu dia menoleh ke arah para tamu muda. "Para saudara muda yang merasa tidak kuat agar menutupi kedua telinga mereka dengan jari telunjuk. Aku sudah memperingatkan, kalau terjadi apa-apa yang merugikan, aku tidak bertanggung jawab." Sesudah berkata demikian, kakek tinggi kurus itu lalu memutar tasbeh di tangan kirinya. Begitu diputar, tasbeh itu mengeluarkan suara berkeritikan, tidak begitu nyaring.

Melihat pertapa itu hanya memutar-mutar tasbeh dengan tangan kirinya, sama sekali tidak melakukan gerakan silat, dan tasbeh itu hanya mengeluarkan suara berkeritikan, para tamu muda sudah mulai tertawa cekikikan. Akan tetapi, putaran tasbeh itu semakin cepat dan bunyinya juga semakin nyaring. Mulailah terjadi hal-hal yang luar biasa. Diantara para tamu muda itu, tiba-tiba merasa betapa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk dan ada tiga orang tamu yang sudah terguling jatuh dari kursinya. Mereka cepat memasukkan kedua jari telunjuk ke telinga mereka, barulah rasa nyeri luar biasa itu lenyap karena mereka tidak mendengar suara berkeritikan yang semakin nyaring itu. Yang lain-lain terkejut dan juga mulai merasakan serangan bunyi itu ke telinga mereka, maka merekapun cepat menutup kedua telinga mereka.

Para tokoh yang duduk di deretan tuan rumah terkejut pula. Mereka juga mulai merasakan serangan bunyi yang dapat menusuk telinga dan menggetarkan jantung itu, maka mereka semua cepat mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi kedua telinga mereka. Barulah bunyi itu tidak menembus pertahanan mereka dan tidak menyakitkan pendengaran lagi.

Resi Sapujagad kini memutar tasbehnya cepat sekali dan tiba-tiba tasbeh itu terlepas dari tangannya dan berputar-putar di udara seperti seekor burung hidup dan sambil "terbang" berputaran itu mengeluarkan suara berkeritikan nyaring!

Semua tokoh maklum bahwa tasbeh itu ternyata merupakan senjata ampuh dan dalam terbangnya itu dapat mengejar dan menyerang lawan!

Setelah membiarkan tasbeh itu melayang berkeliling beberapa kali, Resi Sapujagad lalu mencabut kerisnya luk sembilan dan begitu dia mengacungkan kerisnya ke arah tasbeh, maka tasbeh itu meluncur ke arah keris dan kembali ke tangan sang resi!

Suara berkeritikan berhenti dan Resi Sapujagad, dengan wajahnya yang pucat tidak berubah, lalu melangkah kembali ke kursinya dan duduk dengan air muka tetap dingin seolah tidak terjadi sesuatu!

Semua tamu bertepuk tangan dan Kyai Gagak Mudra tersenyum lebar dan berkata kepada Resi Sapujagad. "Kakang Resi Sapujagad sungguh sakti mandraguna dan tasbehnya merupakan senjata yang amat dahsyat. Aku kagum sekali! Kini kami persilakan andika, Bhagawan Dewokaton, untuk memeriahkan pertemuan ini."

"Ha-ha-ha!" Bhagawan Dewokaton, pertapa Gunung Bromo yang gendut itu bangkit dan menuju ke tengah ruangan. "Wah, setelah macan dan singa mengeluarkan auman mereka yang nyaring menakutkan, sekarang aku bagaikan seekor kodok disuruh berbunyi. Tentu hanya akan menggelikan saja. Akan tetapi tidak mengapa, untuk menggembirakan andika sekalian, biarlah aku memperlihatkan kebodohanku." Lalu dia menuding ke arah tiga orang cantrik yang menjadi pengiringnya dan kini duduk dalam ruangan untuk tamu muda. "Ambilkan sebatang balok pendek dan siap melempar padaku kalau nanti kuperintahkan!"

Seorang cantrik yang bertubuh tinggd besar lalu bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata semua tamu. Di luar pondok itu terdapat sebatang pohon waru. Cantrik itu menghampiri pohon waru dan sekali tangan kanannya membuat gerakan membacok, terdengar bunyi nyaring. Semua orang kagum. Muridnya saja begini hebat!

"Krakk!" Pohon itu roboh dan cantrik itu lalu mematahkan batang pohon dengan kedua tangannya dan membawa potongan batang pohon sebesar paha manusia dan sepanjang dua lengan itu ke dalam ruangan itu.

Melihat ini, Bhagawan Dewokaton tertawa lagi. "Ha-ha-ha, nah, sekarang aku akan mulai memperlihatkan kebodohanku!" Setelah berkata demikian, tangannya meraba punggung dan gerakannya cepat sekali.

"Srattt...!" Sebatang pedang telah dicabutnya dan dia lalu memainkan pedang itu, bersilat pedang dan biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi gerakannya cepat sekali sehingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan bayangan yang diselimuti gulungan sinar pedang!

Semua orang kagum, tidak mengira si gendut ini dapat bergerak sedemikian cepatnya dan mereka mulai bertepuk tangan.

"Lemparkan!" Bayangan dalam gulungan sinar pedang itu berseru dan cantrik tinggi besar yang sudah siap dengan balok batang pohon waru itu segera melemparkan kayu itu ke arah Bhagawan Dewokaton.

"Hyaaattt...!" Sinar pedang menyambar dengan suara berdesing-desing ke arah balok pendek. Balok itu terjatuh ke atas lantai dalam keadaan utuh! Semua orang memandang dan pertapa Bromo itu menghentikan gerakannya dan pedang sudah kembali ke sarungnya. Lalu meledaklah suara tawa para tamu muda.

Mereka mulai mengejek melihat betapa balok kayu tadi masih utuh ketika disambar pedang pertapa gendut itu. Mereka merasa lucu sekali dan menganggap kakek itu membual seperti gentong kosong. Akan tetapi Kyai Gagak Mudra melangkah maju menghampiri Bhagawan Dewokaton dan berkata, "Hebat, ilmu pedang andika luar biasa hebatnya!" Kemudian dia mengambil balok dari atas lantai dan mengangkatnya ke atas.

Ketika dia menggoyangkan balok itu, berjatuhanlah potongan-potongan balok. Ternyata batang kayu waru itu telah terpotong menjadi lima. Demikian tajam pedang itu dan demikian kuat tenaga dalam pertapa Bromo itu sehingga balok yang sudah terpotong empat kali menjadi lima potong itu masih tampak utuh!

Kini semua orang bertepuk tangan riuh, memuji-muji kehebatan kakek gendut itu. Dapat dibayangkan betapa tubuh lawan akan mudah sekali dikoyak pedang tajam yang digerakkan tangan yang bertenaga sakti demikian kuatnya. Bhagawan Dewokaton hanya tertawa lalu kembali ke tempat duduknya.

Kini, sebelum Kyai Gagak Mudra minta kepadanya untuk mendemonstrasikan kepandaiannya, Ki Kebondanu sudah bangkit dan menuju ke tengah ruangan.

"Semua kesaktian yang dipertontonkan tadi hebat. Aku seorang bekas penggembala kerbau hanya dapat bermain-main dengan pecut (cambuk) ini!" Dia mengambil pecut yang digulung dan gagangnya diselipkan di pinggang.

Ternyata pecut itu panjangnya tiga meter lebih. Ki Kebondanu memang dahulunya seorang penggembala kerbau dan hal ini tidak membuatnya merasa rendah diri atau malu, bahkan ketika dia mempelajari aji kanuragan, dia sengaja menyesuaikan kepandaiannya memainkan pecut dengan gerakan silat tinggi.

Mulailah dia bersilat dan semua orang berdecak kagum. Pantas orang tinggi besar ini menjadi pelatih para perwira di Kadipaten Surabaya. Gerakannya memang hebat sekali. Gulungan sinar pecut itu menyelimuti dirinya dalam jarak tiga meter dan terdengar bunyi meledak-ledak setiap kali ujung pecutnya menyambar dan tampak asap mengepul. Sungguh merupakan seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kyai Gagak Mudra yang diam-diam menilai permainan setiap orang tamu. Setelah puas memamerkan ilmunya bermain pecut, Ki Kebondanu menghentikan permainannya dan kembali duduk di tempatnya semula.

Kini tinggal seorang lagi tamu yang, duduk di kursi kehormatan, yaitu Kyai Jagalabilawa, datuk dari daerah Madiun, yang berpakaian serba hitam.

"Sekarang Kakang Kyai Jagalabilawa mendapat giliran, harap suka main-main sebentar untuk memeriahkan suasana." kata Kyai Gagak Mudra kepada kakek bermuka tikus berjubah hitam itu.

Kyai Jagalabilawa juga tidak banyak cakap. Dia bangkit lalu pergi ke tengah ruangan. Dicabutnya sebatang keris dari pinggangnya dan semua orang memandang kagum karena keris itu mengeluarkan cahaya berkilat. Sungguh merupakan sebatang keris pusaka yang bertuah! Keris itu berluk lima dan tidak berapa panjang, akan tetapi bersinar dan mengandung wibawa yang menyeramkan.

Kakek ini lalu bersilat dengan kerisnya. Gerakannya mantap namun tidak berapa cepat, hanya mengandung tenaga dahsyat karena setiap kali keris itu menusuk, terdengar suara mengiuk dan berdesing dan cahaya keris itu seolah lebih dulu menyerang mendahului kerisnya.

Para tamu muda mengerutkan alisnya. Apa anehnya silat keris seperti itu? Mereka juga mampu memainkannya. Sungguh mengecewakan kalau seorang datuk yang dihormati hanya sebegitu saja tingkat ilmu silatnya. Akan tetapi tiba-tiba datuk daerah Madiun itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau mengaum dan semua orang, terutama para tamu muda, terbelalak kaget dan heran karena mereka melihat betapa kini tubuh Kyai Jagalabilawa berubah menjadi dua!

Ada dua orang Kyai Jagalabilawa yang bersilat keris! Bukan main! Datuk ini dapat mengubah dirinya menjadi dua orang kembar yang tentu akan membingungkan lawan karena dikeroyok dua. Tentu saja orang ini akan merupakan lawan yang berbahaya sekali! Akan tetapi hanya sebentar saja Kyai Jagalabilawa memperlihatkan ajiannya yang mengandung ilmu sihir itu. Tubuhnya menjadi satu lagi dan dia menghentikan permainan kerisnya dan duduk kembali di kursinya, diiringi tepuk tangan riuh rendah dari para tamu muda yang terkagum-kagum.

Kyai Gagak Mudra kini menghampiri Wiku Menak Jelangger yang datang paling akhir dan duduk di sudut kiri. "Kakang Wiku Menak Jelangger, kami harap andika suka ikut pula meramaikan pertemuan ini."

Wiku Menak Jelangger tersenyum dan tetap duduk di kursinya lalu mengangkat kedua tangan menyembah di depan dada. "Sadhu-sadhu-sadhu, Adi Kyai Gagak Mudra. Aku adalah seorang pertapa yang sudah belasan tahun tak pernah keluar kedunia ramai. Kalau sekarang aku keluar juga, adalah untuk melaksanakan perintah Adipati Blambangan yang menugaskan aku mencari Jamur Dwipa Suddhi. Seorang pertapa seperti aku ini, sudah tua dan lemah, dapat memamerkan apakah?"

"Wah, Kakang Wiku terlalu merendah. Andika adalah adik seperguruan mendiang Kakang Wiku Menak Koncar. Siapa yang tidak mengenal kesaktiannya? Harap Kakang Wiku bermurah hati untuk memberi sedikit pelajaran kepada kami semua."

"Begini saja, Adi Kyai. Sebaiknya andika sendiri yang memperlihatkan permainan andika, setelah itu nanti aku akan mewakilkan saja kepada kedua orang cantrikku untuk bermain-main sebentar."

Kyai Gagak Mudra tidak berani terlalu mendesak dan dia tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Hanya kita berdua yang belum menyumbangkan tenaga untuk memeriahkan pertemuan ini. Nah, aku akan bemain-main sebentar untuk menghibur para tamu yang terhormat."

Kyai Gagak Mudra lalu pergi ke tengah ruangan dan menyembah depan dada kepada semua tamu, kemudian dia berkata dengan suara lantang. "Sesungguhnya, permainanku tadi sudah diwakili oleh Pangeran Raden Jaka Bintara, maka kalau aku bermain silat, tidak ada bedanya dengan apa yang tadi diperlihatkannya karena memang beliau adalah keponakan muridku dan aku adalah paman gurunya. Tadi Pangeran Raden Jaka Bintara sudah memperlihatkan Aji Hastanala. Untuk membuktikan bahwa ajian itu bukan hanya sulapan belaka dan benar-benar tangan kami berubah menjadi api membara, baiklah aku akan membuktikannya."

Kyai Gagak Mudra lalu mengambil sepotong kayu yang tadi dipotong-potong oleh pedang yang dahsyat dari Bhagawan Dewokaton, memegang potongan kayu itu dengan kedua telapak tangannya. Kemudian dia mengerahkan Aji Hasta Nala dan berseru nyaring.

"Haiiiittt...!" Kedua tangannya tergetar, kedua telapak tangan itu menjadi kemerahan dan membara seperti besi dibakar. Tampak asap mengepul dan kayu yang dipegangnya itu mulai terbakar! Tepuk tangan menyambut demonstrasi ini.

Kyai Gagak Mudra melepaskan kayu terbakar itu lalu membungkuk dan menghampiri Wiku Menak Jelangger. "Nah, sekarang kami persilakan Kakang Wiku Menak Jelangger sebagai pemain terakhir."

"Hemm, seperti sudah kukatakan tadi, Adi Kyai, aku akan mewakilkan kepada dua orang cantrikku." Sang Wiku lalu memberi isarat kepada dua orang cantriknya yang duduk bersama para tamu muda dan berkata, "Kalian berlatihlah dengan keris."

Darun dan Dayun mengangguk, menyembah lalu bangkit, lalu keduanya melangkah ketengah ruangan. Para tamu muda tersenyum geli. Kedua orang ini memang tampak lucu. Darun yang berusia tiga puluh dua tahun itu bertubuh pendek gendut, sedangkan Dayun yang berusia tiga puluh satu tahun bertubuh tinggi kurus. Bentuk tubuh yang berlawanan ini yang membuat mereka tampak lucu.

Kini keduanya saling berhadapan dan keduanya memberi hormat kepada para sesepuh, lalu mencabut keris masing-masing dan mulailah mereka saling serang. Gerakan mereka cukup tangkas dan permainan keris mereka juga cepat dan mengandung tenaga. Semua ini masih belum memancing rasa kagum para tamu muda, akan tetapi ketika tiba-tiba keris di tangan Dayun menghunjam ke arah dada Darun, semua orang menahan napas.

"Syuuuttt... tukk!" Keris itu terpental! Ternyata Darun yang pendek gendut itu menggunakan aji kekebalannya untuk menahan tusukan Dayun, Kemudian Darun membalas dengan tusukan yang diarahkan leher Dayun. Dayun sengaja menerima tusukan itu yang juga terpental ketika mengenai lehernya.

Dua orang itu saling menusuk dengan keris mereka, akan tetapi tidak ada tusukan yang dapat menembus kulit dua orang cantrik itu. Mereka seperti keranjingan dan tusukan-tusukan, seperti dua orang penari Bali yang kesurupan dalam tarian Bali.

Tiba-tiba Wiku Menak Jelangger berdiri dan melangkah ke arah dua orang cantriknya yang sedang main tusuk-tusukan dan dia berkata, "Hentikan dan kalau hendak berkelahi, seranglah aku!"

Ucapan itu lembut namun mengandung wibawa kuat dan dua orang cantrik itu, seolah mendapat perintah yang tidak dapat mereka bantah, menerjang ke arah sang wiku dengan keris di tangan dan melakukan gerakan untuk menyerang.

Akan tetapi Wiku Menak Jelangger menggerakkan kedua tangannya mendorong. Dua orang cantrik itu masih berada dalam jarak tiga meter di depannya, akan tetapi tenaga sakti yang keluar dari kedua tangan sang wiku mendatangkan angin yang kuat, menyambut dua orang cantrik itu dan mereka terlempar kebelakang sampai dua meter dan terbanting jatuh.

Kedua orang cantrik itu segera menyembah kepada guru mereka. Wiku Menak Jelangger memberi isyarat agar mereka bangkit. Mereka lalu mengambil keris yang tadi terlepas dari tangan mereka dan kembali ke tempat duduk mereka.

Sang wiku juga kembali duduk, diiringkan tepuk sorak para tamu yang merasa kagum melihat kesaktiannya. Memukul dengan menggunakan tenaga sakti sehingga sebelum tangan mengenai tubuh yang dipukul, lawan sudah terlempar jauh merupakan aji kesaktian yang dimiliki banyak tokoh pandai. Akan tetapi memukul dengan tenaga yang tepat sehingga dua orang murid yang terdorong pukulan jarak jauh itu roboh tanpa terluka sedikitpun membutuhkan keahlian tersendiri.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada saat itu, tiba-tiba dari luar masuk seorang wanita dengan langkah ringan dan tenang. Semua orang menengok dan memandang, dengan kagum. Wanita yang cantik jelita. Rambutnya panjang hitam berombak, wajahnya bulat dan kulitnya putih mulus, agak kemerahan karena sehat, sepasang matanya lebar, bening jeli dengan kedua ujungnya meruncing ke atas, hidung mancung, mulutnya indah manis dengan bibir merah basah menggairahkan, bentuk tubuhnya padat ramping agak denok. Benar-benar seorang wanita yang amat cantik dan melihat wajah dan bentuk tubuhnya, orang akan menaksir bahwa ia berusia kurang lebih dua puluh tahun.

Wanita ini bukan lain adalah Nyi Maya Dewi yang sebenarnya sudah berusia tiga puluh tiga tahun. Seperti kita ketahui, Nyi Maya Dewi melakukan perjalanan bersama Bagus Sajiwo, meninggalkan pegunungan Wilis yang dulunya menjadi tempat tinggal wanita itu, yakni di Bukit Keluwung. Selama kurang lebih satu tahun itu sambil melakukan perjalanan, Nyi Maya Dewi yang sudah pulih kesehatannya dan telah mendapatkan kembali tenaga saktinya, memperdalam ilmu silatnya, yaitu silat Singorodra.

Bagus Sajiwo memberi petunjuk dan menghilangkan sifat-sifat kejam dari ilmu silat itu, menambah dengan jurus-jurus ampuh. Biarpun kini Nyi Maya Dewi sudah kehilangan Aji Naka Sarpa dengan pukulan mengandung Wisa Sarpa, dan Aji Tapak Rudira, kedua macam aji kesaktian yang sifatnya sesat, jahat dan keji, namun kini ia telah menguasai aji pukulan lain yang cukup ampuh karena ia menerima latihan ilmu silat Lintang Kemukus dari Bagus Sajiwo. Juga ia masih dapat memainkan Sabuk Cinde Kencana dengan baik. Bahkan kini tenaga saktinya menjadi murni dan tidak kalah kuatnya dibandingkan dahulu sebelum ia bertemu Bagus Sajiwo.

Nyi Maya Dewi termasuk seorang tokoh yang terkenal. Oleh karena itu, begitu ia memasuki ruangan, banyak mulut berseru, "Ah, ia Nyi Maya Dewi...!"

Yang paling terkejut dan merasa tidak enak hati adalah pihak tuan rumah, yaitu Pangeran Jaka Bintara dan paman gurunya, Kyai Gagak Mudra.

Raden Jaka Bintara pernah meminang Nyi Maya Dewi dan ketika wanita itu menolak, dia hendak memaksanya, dibantu oleh Kyai Gagak Mudra. Akan tetapi mereka berdua merasa tidak dapat menandingi wanita yang sakti mandraguna itu, maka keduanya melarikan diri meninggalkan tempat tinggal Nyi Maya Dewi di Bukit Keluwung.

Mereka tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa "kemenangan" Nyi Maya Dewi itu karena diam-diam dibantu Bagus Sajiwo. Juga sama sekali tidak tahu bahwa pertandingan melawan mereka mengakibatkan Nyi Maya Dewi terluka parah sekali yang membahayakan keselamatan badannya.

Biarpun merasa terkejut dan juga gentar, Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya. Disitu banyak tokoh dan para datuk, memalukan kalau mereka takut terhadap datuk wanita itu. Apalagi disitu terdapat Panca Warak, anak buah Raden Jaka Bintara, lima jagoan Banten yang siap membela mereka dan yang kini duduk di pinggiran, dibelakang tempat duduk para tamu kehormatan.

Juga para tamu tentu akan membantu mereka sebagai tuan rumah kalau Nyi Maya Dewi membuat ulah dan hendak mengacau. Maka, mereka berdua lalu bangkit dan menyambut Nyi Maya Dewi yang sudah melangkah sampai ke tengah ruangan.

Jaka Bintara yang masih merasa kagum akan kecantikan Nyi Maya Dewi dan masih mengharapkan untuk menundukkan hati wanita jelita yang membuat dia tergila-gila itu, segera menyambut dengan wajah tersenyum gembira. "Ah, kiranya Nyi Maya Dewi yang memberi kehormatan kepada kami untuk datang berkunjung. Selamat datang, Nyi Maya Dewi dan silakan duduk!" Dia memberi isarat dan dua orang dari Panca Warak segera mengantarkan dua buah kursi yang diletakkan di bagian tamu kehormatan.

Nyi Maya Dewi tersenyum manis sekali. Semenjak pertemuannya dengan Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra setahun lebih yang lalu, yang mengakibatkan pertandingan antara mereka, wanita ini sudah berubah banyak sekali. Ia kini bukan lagi Nyi Maya Dewi yang berwatak jahat dan kejam. Ia telah mendapat bimbingan Bagus Sajiwo yang menuntunnya ke arah jalan kebenaran, yang membuka mata hatinya sehingga ia menyadari akan semua dosa dan kesalahannya di masa yang lalu.

Memang ia masih cerdik dan lincah, akan tetapi kekerasan dan kekejaman hatinya kini terganti watak riang dan jenaka. Ia memandang kepada Jaka Bintara dengan senyum yang tulus, dan tidak ada dendam kebencian dalam hatinya. Namun ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang yang sesat dan berwatak tidak baik, juga sakti mandraguna dan amat berbahaya. Apalagi disitu terdapat pula Kyai Gagak Mudra dan siapa tahu diantara banyak orang yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar itu ada yang siap mendukung Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu.

"Terima kasih, Pangeran Jaka Bintara. Aku sudah merasa heran di tempat seperti ini ada yang membangun pondok besar dan mengadakan pesta, dihadiri oleh para datuk dan tokoh persilatan. Tidak tahunya Pangeran Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra dari Banten yang menjadi tuan rumah."

"Ha-ha-ha, Nyi Maya Dewi, memang benar kami yang menjadi tuan rumah. Karena andika sudah datang, maka andika adalah tamu kami. Karena itu silakan duduk dan terimalah hidangan kami seadanya!" kata Kyai Gagak Mudra sambil tertawa dan memberi isarat kepada pelayan untuk menambah hidangan bagi tamu yang baru datang ini.

"Terima kasih, Kyai Gagak Mudra, engkau ramah dan baik sekali. Akan tetapi aku datang ini hanya karena tertarik melihat banyaknya orang berkumpul disini, dan kebetulan aku sudah makan dan masih kenyang. Juga aku khawatir, pihak tuan rumah mencampurkan racun atau pembius dalam hidangan yang kumakan. Bagaimanapun juga aku tidak dapat mempercayai orang-orang seperti kalian. Wah, ramai benar disini dan kalau aku tidak salah mengira, kedatangan kalian semua ini tentu untuk mencari dan memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya tersembunyi di daerah ini." Setelah berkata demikian, Nyi Maya Dewi masih berdiri sambil bertolak pinggang, memandang ke arah para tamu, terutama yang duduk di tempat kehormatan.

Diam-diam Nyi Maya Dewi yang dulu banyak berkecimpung di dunia hitam, terkejut mengenal para pertapa yang merupakan datuk-datuk yang tinggi ilmu kepandaiannya, ia mengenal pula Ki Sumali yang menjadi pendekar di daerah Loano dan Bagelen.

Pendekar seperti Ki Sumali ini dahulu tentu saja ia anggap musuh besar, akan tetapi sekarang sikapnya sudah berubah sama sekali karena pandangannya juga berubah. Ia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan jahat. Bahkan kini, melihat kehadiran Ki Sumali, ia seolah merasa mendapatkan seorang segolongan!

Akan tetapi sebaliknya, tentu saja Ki Sumali tidak tahu akan perubahan pada diri Nyi Maya Dewi ini. Sepanjang pengetahuannya, Nyi Maya Dewi adalah seorang datuk wanita yang berbahaya, dan ia sudah mendengar pula bahwa wanita cantik jelita ini pernah menjadi mata-mata Kumpeni Belanda. Karena itu dia memandang wanita itu dengan alis berkerut. Bertambah lagi seorang calon lawan yang amat tangguh, pikirnya.

Sementara itu, Kyai Jagalabilwa sejak tadi memandang kepada Ki Sumali dengan sinar mata tak senang. Datuk Madiun ini sejak dahulu mempunyai perasaan memusuhi Mataram, bahkan dahulu ketika Kadipaten Madiun berperang melawan Mataram, dia mati-matian membela Madiun. Akan tetapi Madiun kalah dan ditundukkan Mataram dan diapun melarikan diri dan bersembunyi. Namun dia semakin membenci Mataram.

Ketika Ki Sumali muncul, dia segera mengenal pendekar Loano ini sebagai seorang yang berpihak kepada Mataram, walaupun tidak pernah menjadi punggawa Mataram. Pendekar Loano inilah satu-satunya orang diantara mereka semua yang berpihak kepada Mataram. Bahkan Wiku Menak Jelangger sekalipun yang pertapa tulen dan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia, tetap saja setia kepada Kadipaten Blambangan dan dengan sendirinya juga tidak berpihak kepada Mataram.

Kini, melihat munculnya Nyi Maya Dewi yang dia tahu seorang yang pernah dengan gigih menentang Mataram dan membantu Kumpeni Belanda, dia merasa mendapat sekutu dan hatinya semakin berani untuk menyampaikan niatnya yang sejak tadi ditahan-tahannya, yaitu menantang dan membikin Malu Pendekar Loano itu. Lebih-lebih kalau dia ingat akan kematian Ki Singobarong yang pernah menjadi sahabatnya.

Dia mendengar dari anak buah Singobarong yang berhasil melarikan diri bahwa sahabatnya itu tewas ketika bentrok dengan Ki Sumali Pendekar Loano. Hatinya semakin panas. Kini mendengar Nyi Maya Dewi dengan terus terang bicara tentang Jamur Dwipa Suddhi, Kyai Jagalabilawa bangkit berdiri dari kursinya. Kebetulan dia duduk di ujung kanan sedangkan Ki Sumali 'duduk di ujung kiri sehingga mereka berdua terpisah cukup jauh. Suaranya yang kecil terdengar lantang dan terdengar oleh semua orang yang hadir disitu.

"Adi Kyai Cagak Mudra, Pangeran Raden Jaka Bintara dan semua saudara yang berada disini termasuk Nyi Maya Dewi, dengarlah pendapatku ini demi kebaikan kita semua! Baru saja Nyi Maya Dewi bicara tentang Jamur Dwipa Suddhi yang kita semua sedang cari. Akan tetapi jangan harap siapapun diantara kita akan dapat menemukannya karena tentang jamur ajaib itu tentu akan terdengar oleh Sultan Agung dan dia akan mengirim pasukannya untuk mencari dan merebutnya dari kita."

"Sadhu-sadhu-sadhu!" Wiku Menak Jelangger berkata lembut. "Kakang Kyai Jagalabilawa, kita semua kini sedang mencari, bagaimana mungkin Sultan Agung Mataram akan dapat mengetahui dan mengirim pasukan?"

"Hemm, apakah andika sekalian tidak tahu ataukah lupa? Diantara kita terdapat seorang yang setia kapada Mataram dan bukan mustahil kalau kehadirannya ini sebagai telik-sandi (mata-mata) yang dikirim Sultan Agung untuk menyelidiki tentang Jamur Dwipa." kata Kyai Jagalabilawa dan dengan sengaja dan jelas dia mengarahkan pandang matanya kepada Ki Sumali.

Ucapan itu menimbulkan suara ribut karena semua orang saling pandang dan bertanya-tanya siapa yang dimaksudkan sebagai mata-mata Mataram oleh datuk Madiun itu. Kemudian, mereka mengikuti pandang mata Kyai Jagalabilawa dan semua mata kini memandang ke arah Ki Sumali.

Ki Sumali merasa betapa semua orang memandang ke arahnya Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia bangkit berdiri, mengerutkan alisnya dan balas menatap wajah datuk Madiun dengan garang, lalu berkata, "Kyai Jagalabilawa! Andika memandang kepadaku dengan sinar mata menuduh, apakah aku yang andika maksudkan sebagai telik-sandi Mataram?"

Dua orang tokoh besar itu masing-masing berdiri sambil memandang dengan mata terbelalak marah. Suasana menjadi tegang sekali karena mereka semua dapat merasakan bahwa suasana panas ini akan dapat menimbulkan kebakaran. Mereka adalah orang-orang yang paling suka menonton perkelahian dan diantara mereka terdapat beberapa orang yang ikut menjadi marah mendengar bahwa Ki Sumali pendekar Loano itu hadir sebagai telik-sandi Mataram. Tentu saja semua orang merasa khawatir karena kalau Sultan Agung turun tangan mengirim pasukan, harapan untuk bisa mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi menjadi semakin tipis.

"Ki Sumali, jawablah pertanyaanku ini. Apakah tidak benar kata-kataku bahwa andika adalah seorang yang setia kepada Mataram?" tanya Kyai Jagalabilawa.

Pertanyaan ini tentu saja menyudutkan dia, akan tetapi dengan lantang Ki Sumali menjawab, suaranya tegas dan jelas. "Kyai Jagalabilawa! Sebagai kawula Mataram, tentu saja aku setia kepada Mataram! Apakah andika hendak mengatakan bahwa andika tidak setia kepada Mataram? Kadipaten Madiun juga merupakan bagian dari Mataram dan Sang Adipati Madiun sendiri tunduk kepada Gusti Sultan Agung di Mataram. Kalau andika tidak setia, berarti andika adalah seorang pemberontak terhadap Mataram. Begitukah?"

Wajah yang meruncing seperti tikus itu berubah kemerahan. "Aku bukan pemberontak dan aku hanya setia kepada Madiun, akan tetapi aku tidak akan menjadi telik sandi Mataram yang akan mengkhianati kami semua dan menghalangi kami mencari Jamur Dwipa Suddhi!"

"Aku bukan telik-sandi Mataram dan aku mencari jamur ajaib untuk diriku sendiri!" Ki Sumali membentak lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kyai Jagalabilawa dan berkata lagi dengan suara tegas. "Kyai Jagalabilawa, kalau andika tidak suka padaku, katakan saja. Tidak perlu melempar fitnah yang bukan-bukan!"

"Heh! Fitnah? Kalau andika bukan telik-sandi Mataram, apa buktinya?" Ejek Kyai Jagalabilawa.

"Andika yang sepantasnya membuktikan! Coba buktikan bahwa fitnahmu itu benar, buktikan bahwa aku benar-benar telik-sandi Mataram!"

"Buktinya sudah jelas! Andika selalu memusuhi orang-orang yang menentang Mataram, bahkan andika telah membunuh sahabatku Singobarong yang terkenal sebagai seorang yang selalu menentang Mataram!" kata Kyai Jagalabilawa.

Ki Sumali adalah seorang pendekar yang keras hati. Mendengar tuduhan datuk Madiun itu dia marah sekali, apa lagi mendengar ucapan Kyai Jagalabilawa tentang terbunuhnya Ki Singobarong. Dia mengepal tinjunya dan menjawab lantang. "Kyai Jagalabilawa, andika menyebut mendiang Ki Singobarong sebagai seorang sahabatmu, ini saja sudah menunjukkan orang macam apa adanya andika! Tahukah andika mengapa Ki Singobarong mati di tanganku? Karena dia telah menculik isteriku!"

Ki Sumali tidak mau menceritakan bahwa Ki Singobarong roboh oleh Lindu Aji kemudian dibunuh Winarsih ketika penjahat itu pingsan. "Kalau andika hendak membela kematiannya, majulah! Aku tidak pernah takut menentang orang-orang yang membela kejahatan!"

Suasana menjadi semakin menegangkan. Baik Ki Sumali maupun Kyai Jagalabilawa keduanya sudah "naik darah" dan sudah saling pandang dengan sinar mata marah penuh tantangan.

Pada saat yang hening menegangkan itu, tiba-tiba terdengar suara yang datang dari jauh, akan tetapi dapat terdengar jelas oleh semua orang dan para datuk terkejut karena maklum bahwa suara itu diteriakkan orang dari jauh dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat.

"Dewiii...!! Dimana engkau...??"

Semua orang, termasuk Ki Sumali dan Kyai Jagalabilawa yang sedang marah dan siap berkelahi, menengok ke arah luar.

Nyi Maya Dewi yang sejak tadi berdiri disitu sambil tersenyum mendengarkan dua orang bertengkar, lalu memutar tubuh menghadap keluar dan terdengar ia berseru dengan suara melengking, diarahkan keluar. "Baguuuuss...!! Aku berada disini nonton keramaian! Engkau kesinilah...!!"

Kiranya Nyi Maya Dewi sedang melakukan perjalanan bersama Bagus Sajiwo. Sejak mereka meninggalkan Bukit Keluwung di Pegunungan Wilis, mereka melakukan perjalanan bersama, tidak pernah berpisah. Sudah kurang lebih satu tahui lewat sejak mereka saling bertemu di puncak Bukit Keluwung. Tadipun mereka bersama, akan tetapi ketika Bagus Sajiwo mengaso di sebuah puncak bukit di Pegunungan Seribu, duduk bersamadhi. Nyi Maya Dewi meninggalkannya dan berjalan-jalan sampai ia tiba di pondok itu dan tertarik melihat keramaian ditempat sepi itu.

Semua orang menanti dengan hati tegang dan ingin sekali mereka melihat siapa orangnya yang datang bersama Nyi Maya Dewi dan disebut Bagus Sajiwo oleh datuk wanita itu. Tak lama kemudian mereka melihat seorang pemuda melangkah santai menuju ke pondok itu dan mereka semua terheran-heran karena yang datang itu hanya seorang pemuda remaja yang tampak masih hijau, berpakaian sederhana dan sikapnya sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

Bagus Sajiwo memasuki pondok itu, menoleh ke kanan kiri dengan keheranan melihat banyak orang berkumpul disitu. Kemudian ia melihat Nyi Maya Dewi dan wajahnya yang ganteng itu berseri dan dia melangkah lebar menghampiri Nyi Maya Dewi yang berada di tengah ruangan. Pandang matanya hanya tertuju kepada Maja Dewi dan dia tidak memperdulikan orang lain yang berada disitu.

"Dewi, kenapa engkau berada disini? Mau apa engkau disini?" tanya Bagus Sajiwo setelah berada dekat Maya Dewi.

Wanita itu lalu menggandeng tangan pemuda itu, tanpa sungkan atau malu dia memegang tangan Bagus Sajiwo dan merapatkan tubuhnya, lalu berkata dengan wajah gembira. "Aku nonton keramaian disini, Bagus. Ternyata semua datuk dan tokoh persilatan berkumpul disini. Mereka semua tentu hendak mencari Jamur Dwipa Suddhi juga. Wah, akan ramai ini! Dan kau tahu siapa yang menjadi tuan rumah? Tentu engkau mengenal mereka. Itu lihat, mereka adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dan paman gurunya Kyai Gagak Mudra, keduanya dari Banten. Dan lihat, yang duduk disana itu, dia adalah Wiku Menak Jelangger, seorang datuk dari Blambangan. Yang pakaiannya kuning dan mukanya pucat seperti mayat itu adalah Resi Sapujagad dari Gunung Merapi. Disebelahnya itu, yang gendut dan tersenyum-senyum, dia adalah Bhagawan Dewokaton dari Gunung Bromo dan yang tinggi besar itu adalah Ki Kebondanu tokoh dari Surabaya."

Bagus Sajiwo tentu saja segera mengenal Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra sebagai dua orang yang setahun lebih yang lalu mengeroyok Maya Dewi di puncak Bukit Keluwung, akan tetapi yang lain-lain dia sama sekali tidak mengenalnya.

"Dan yang berdiri di ujung kanan dan kiri, saling pandang dengan sikap marah itu siapa, Dewi?" tanyanya.

"Oh, itu? Yang berdiri di ujung kiri itu adalah Ki Sumali, pendekar Loano. Adapun yang berdiri di ujung kanan adalah Kyai Jagalabilawa, tokoh dari Madiun. Mereka sedang bertengkar karena Kyai Jagalabilawa menuduh Ki Sumali menjadi telik sandi Mataram. Wah, kita dapat suguhan menarik, Bagus. Melihat mereka bertanding, sungguh menarik!"

"Dewi, bukan urusan kita. Mari kita pergi." kata Bagus Sajiwo sambil menarik tangan Maya Dewi.

Akan tetapi Maya Dewi ingin nonton perkelahian, maka ia tidak mau dan terjadi tarik menarik. Semua orang melihat dengan geli. Kiranya teman Maya Dewi hanya seorang pemuda remaja dan sikap mereka berdua yang mesra itu membuat semua orang menyangka bahwa pemuda remaja itu tentu kekasih Nyi Maya Dewi!

Akan tetapi karena nama besar Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai seorang datuk wanita yang kejam dan mudah main bunuh, para tamu muda hanya melihat dan tidak ada yang berani mencampuri.

Sementara itu, Kyai Jagalabilawa melangkah ke tengah ruangan dan dia berkata dengan sikap hormat kepada Maya Dewi. "Nyi Maya Dewi, kuharap andika suka minggir dan memberi tempat kepadaku untuk menantang Ki Sumali si sombong itu! Aku yakin bahwa dia adalah telik sandi Mataram yang hendak menyelidiki tentang Jamur Dwipa Suddhi."

Bagus Sajiwo menarik tangan Nyi Maya Dewi. "Hayolah, Dewi. Jangan ganggu urusan orang lain!"

Sekarang Nyi Maya Dewi menurut, akan tetapi ia tidak mau keluar, melainkan mengajak Bagus Sajiwo ke pinggir dan duduk di atas bangku yang masih kosong. Mereka duduk bersanding dan Nyi Maya Dewi tidak pernah melepaskan tangan pemuda itu yang terus digandengnya dengan mesra.

Kyai Jagalabilawa yang sudah berada di tengah ruangan itu, memandang kepada Ki Sumali dan berkata, "Ki Sumali, andika tadi menantangku. Hayo, majulah dan kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!"

Ki Sumali juga melangkah lebar menghampiri jagoan dari Madiun itu. Mereka kini saling berhadapan dalam jarak tiga meter. Ki Sumali berkata dengan suara tegas. "Kyai Jagalabilawa, aku tidak menantangmu. Aku hanya mengatakan bahwa kalau andika hendak membela mendiang Ki Singobarong yang jahat, aku siap melayanimu!"

"Bagus, aku memang hendak membelanya dan aku ingin membasmi telik sandi Mataram yang hanya akan mengkhianati kami semua. Majulah, Ki Sumali!"

"Hemm, Kyai Jagalabilawa, andika yang mencari gara-gara, andika yang hendak membela Ki Singobarong yang jahat, andika yang menantang. Karena Itu, hayo keluarkanlah semua kesaktianmu, hendak kulihat sampai dimana sih kehebatanmu!" kata Ki Sumali.

Biarpun tadi dia sudah menyaksikan jagoan ini mendemonstrasikan ilmunya dan memperlihatkan bagaimana dia dapat membuat tubuhnya menjadi dua namun dia tidak merasa gentar.

"Babo-babo, Ki Sumali! Sumbarmu seperti geluduk di siang hari! Hai Adi Gagak Mudra, kalau dalam pertandingan ini aku merobohkan dan membunuh Ki Sumali yang sombong ini, jangan salahkan aku!" kata Kyai Jagalabilawa dan kalimat terakhir itu dia tujukan kepada tuan rumah.

Kyai Gagak Mudra yang diam-diam berpihak kepada Kyai Jagalabilawa karena diapun merasa tidak suka kepada Ki Sumali yang terkenal sebagai pendekar Loano yang setia kepada Mataram, tertawa dan berkata lantang agar terdengar semua orang.

"Kakang Jagalabilawa, mengapa harus andika tanyakan lagi hal itu? Dalam dunia kita, semua ketidaksesuaian dan pertentangan memang harus diselesaikan dengan pertandingan dan terluka parah atau mati dalam setiap pertandingan adalah hal biasa. Mengapa harus diributkan? Silakan saja kalau kalian berdua sudah sepakat untuk bertanding dan saling bunuh, kami tidak akan mencampuri dan hanya menjadi saksi!"

"Kyai Jagalabilawa, kita ini hendak bertanding ataukah hendak mengobrol? Kalau memang andika merasa jagoan dan hendak membunuhku, nah, maju dan seranglah, jangan banyak cakap lagi!" kata Ki Sumali.

Pendekar Loano ini maklum bahwa dia berada di kandang singa, tahu bahwa sebagian besar dari para tamu itu adalah orang-orang golongan hitam atau golongan sesat yang tentu akan condong berpihak kepada Kyai Jagalabilawa. Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang selalu mempertahankan kebenaran dan keadilan, dia tidak dapat mundur dan harus berani menghadapi ancaman bahaya.

Kyai Jagalabilawa juga maklum akan ketangguhan lawannya. Maka dia langsung mencabut kerisnya dan membentak nyaring. "Ki Sumali, sambutlah seranganku ini. Hyaaaaattt...!" Kakek dari Madiun itu menerjang dengan cepat dan kuat, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan dan tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah leher Ki Sumali.

"Cringgg... plakk!" Ki Sumali dengan cepat sudah mencabut keris Sarpo Langking (Ular Hitam) dari pinggangnya dan menangkis keris lawan dan ketika cengkeraman tangan kiri lawan meluncur dekat, dia miringkan tubuh ke kanan dan tangan kirinya menangkis. Pertemuan keris di tangan kanan dan tangan kiri itu membuat Kyai Jagalabilawa terjengkang dan terpaksa dia melompat ke belakang agar jangan sampai terjatuh. Maklumlah dia bahwa dalam hal tenaga dalam, agaknya dia masih kalah kuat. Maka dia tidak membuang waktu lagi, segera mengeluarkan bentakan lantang dan tiba-tiba dia bergerak cepat dan tubuhnya menjadi dua, keduanya kini menyerang Ki Sumali dengan keris!

Ki Sumali sudah siap menghadapi ilmu yang aneh ini. Tadi ketika Kyai Jagalabilawa berdemonstrasi dan mengubah dirinya menjadi dua, dia telah mencoba untuk mengerahkan kekuatan batinnya dan berusaha agar pandang matanya tidak terpengaruh. Akan tetapi dia gagal dan tetap saja tubuh tokoh Madiun itu tampak dua olehnya. Maka dia mengerti bahwa ilmu yang mengandung sihir ini amat kuat dan dia tidak mampu memecahkannya. Karena itu, tangan kirinya cepat mencabut sulingnya dan dia lalui menghadapi "pengeroyokan" dua orang Kyai Jagalabilawa itu dengan keris dan sulingnya.

Ki Sumali memang tangkas sekali. Dengan suling dan kerisnya, bukan saja dia mampu melindungi dirinya dari serangan Kyai Jagalabilawa yang mengubah dirinya menjadi dua itu, bahkan dia mampu pula membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat "dua" orang lawan itu terdesak mundur. Sulingnya yang digerakkan dengan tangan kiri mengeluarkan bunyi berdengung seperti ditiup.

Kalau semua orang menonton pertandingan itu dengan hati tegang dan gembira karena mereka semua memang suka sekali menonton pertandingan adu kesaktian sehingga suasana menjadi hening, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara, sebaliknya Nyi Maya Dewi menonton sambil mengajak Bagus Sajiwo bercakap-cakap memberi komentar terhadap pertandingan itu.

"Lihat, Bagus. Ilmu Kyai Jagalabilawa boleh jadi aneh dan juga hebat, akan tetapi agaknya dirinya yang menjadi dua itu tetap tidak akan mampu menang melawan Ki Sumali. Kalau saja dia mampu mengubah dirinya menjadi empat, atau sedikitnya tiga orang, mungkin baru dia akan mampu mengimbangi Ki Sumali pendekar Loano itu."

Bagus Sajiwo menghela napas panjang "Dewi, aku sungguh tidak mengerti. Mereka itu memiliki kesaktian, setelah mengadakan pertemuan dan berpesta disini, mengapa kini mereka malah bertanding dan berusaha keras untuk saling membunuh?"

Pemuda ini melihat jelas betapa baik Ki Sumali maupun Kyai Jagalabilawa memang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan aji kesaktian dan menyerang dengan jurus-jurus maut untuk membunuh.

"Ah, kenapa engkau merasa heran, Bagus? Begitulah watak semua orang yang menguasai aji kanuragan. Mereka selalu ingin menang sendiri, ingin dianggap paling jagoan sendiri. Aku dulu juga berpendirian sama seperti mereka, yaitu apa gunanya bertahun-tahun dengan susah payah mempelajari ilmu kanuragan kalau tidak dipergunakan untuk mencari kemenangan agar mendapatkan ketenaran dan nama besar sebagai jagoan tak terkalahkan?"

"Hemm, mengerikan! Dan sekarang, bagaimana pendapatmu, Dewi? Apakah engkau masih berpendapat seperti mereka?" tanya Bagus.

Karena semua orang berdiam diri dan suasana menjadi hening, maka percakapan antara Bagus Sajiwo dan Nyi Maya Dewi dapat terdengar jelas oleh semua orang.

"Tidak, Bagus. Aku melihat dengan jelas betapa pendapat itu salah sama sekali. Kalau ilmu kanuragan hanya dipergunakan untuk memukul orang, melukai atau membunuh, untuk memaksakan kehendak sendiri, maka lebih baik tidak pernah mempelajarinya sama sekali."

"Memang begitu, Dewi. Bukan ilmu kanuragan yang bersalah, atau yang sifatnya keras dan buruk, melainkan cara kita menggunakannya. Ilmu kanuragan sama saja dengan alat-alat yang kita pergunakan dalam kehidupan ini. Misalnya sebatang pisau. Kalau kita menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu membuat segala macam prabot yang kita butuhkan, atau untuk memotong sayur-mayur yang akan dimasak dan untuk segala macam keperluan hidup lainnya, maka pisau itu akan menjadi alat yang amat berguna. Akan tetapi sebaliknya kalau kita pergunakan untuk melampiaskan dendam kebencian dan kemarahan untuk melukai atau membunuh orang, maka pisau itu akan menjadi alat yang teramat jahat pula. Demikian juga misalnya api. Kalau kita mempergunakan untuk menyalakan lampu, untuk memasak makanan, untuk mengusir hawa dingin dan sebagainya lagi demi memenuhi keperluan hidup, maka api itu menjadi alat yang amat berguna dan baik. Akan tetapi sebaliknya kalau kita pergunakan untuk membakar rumah orang misalnya atau hal lain sebagai pelampiasan kemarahan dan dendam kebencian, maka apipun berubah menjadi alat yang merusak dan amat jahat. Aji kanuragan tidak ada bedanya. Kalau dipergunakan untuk olah raga menjaga kesehatan, diambil keindahannya sebagai seni tari, untuk menjaga dan membela diri dari ancaman bahaya kekerasan, kemudian dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk menolong orang lain yang membutuhkan kekuatan, untuk membela nusa bangsa dan negara dari ancaman musuh, maka aji kanuragan tentu saja menjadi alat yang amat berguna dan baik. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk memaksakan keinginan sendiri berlandaskan kekerasan, untuk mengumbar kesenangan, untuk mencari kemenangan guna ketenaran dan kesombongan, untuk menyiksa orang, untuk berkelahi melukai atau membunuh orang yang dianggap menghalangi niat buruknya, untuk menjadi tukang pukul atau pembunuh bayaran dengan aji kanuragan itu, untuk mencuri atau merampok, maka tentu saja aji kanuragan menjadi alat yang amat tidak baik."

Orang-orang yang berada di situ, sambil menonton pertandingan, mau tidak mau ikut pula mendengarkan dan semua orang merasa heran dan juga geli. Bagaimana seorang pemuda remaja, seorang bocah hijau, mengeluarkan omongan seolah memberi wejangan kepada seorang datuk wanita seperti Nyi Maya Dewi?

Mereka menduga bahwa datuk wanita itu tentu akan mentertawakan bocah itu atau bahkan mungkin sekali marah karena datuk wanita itu terkenal sebagai seorang wanita yang galak, kejam dan sedikit-sedikit mudah membunuh orang! Akan tetapi apa yang mereka lihat dan dengar sungguh membuat mereka terheran-heran. Nyi Maya Dewi sama sekali tidak mentertawakan, apalagi marah kepada pemuda itu. Bahkan sebaliknya, ia memandang kagum dan berkata.

"Ah, Bagus. kenapa tidak sejak dulu aku bertemu denganmu? Setiap ucapanmu bagaikan ratusan lampu yang menerangi kegelapan dalam batinku!" Dan wanita itu sambil memegang kedua tangan pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh kagum, sinar mata yang jelas sekali membayangkan rasa kasih sayang yang amat besar!