Bagus Sajiwo Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 05
JAYENG menjadi ketakutan. Tentu dia sedang melihat setan! Manusia mana, apa lagi kalau dia wanita yang mampu menumbangkan pohon-pohon besar, meremukkan batu-batu besar, hanya dengan sabetan sebuah kebutan? Dan wanita itu menangis seperti seorang yang miring otaknya! Jayeng merasa bulu tengkuknya meremang. Dia bergidik ngeri. Pasti dia tengah melihat iblis betina di senja hari itu. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri!

Wanita yang dilihat Jayeng itu bukan lain adalah Candra Dewi yang sedang mengamuk karena ia tidak mampu mendapatkan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo yang dikejarnya. Ia kehilangan mereka di terowongan karena terhalang sebuah pintu baja yang kokoh kuat. Karena tidak dapat membuka pintu itu, ia lalu menjadi marah dan mempergunakan aji pukulan yang sakti untuk menggempur pintu baja. Begitu pintu itu didobraknya dengan kekuatan dahsyat, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan batu-batu di dekat pintu berjatuhan.

Nyi Candra Dewi cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berkelebat keluar terowongan sambil memutar kebutannya di atas kepala. Untung ia melakukan ini karena kalau tidak, ia pasti akan tertimpa batu-batu dan akan tewas tertimbun batu. Kebutan yang diputar di atas kepala itu melindunginya karena dapat menangkis batu-batu yang menimpanya, dan kedua kakinya seperti melayang ketika ia melompat keluar. Akhirnya ia dapat keluar dari terowongan dengan selamat meskipun ada beberapa potong batu sempat mengenai pundaknya namun tidak mengakibatkan luka parah. Ia menganggap bahwa Maya Dewi dan Bagus Sajiwo pasti sudah terkubur dalam terowongan itu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menangis, menangis terisak-isak.

"Dia harus menjadi suamiku, untuk menebus aib ini! Aku telah ternoda....dan hanya kalau dia menjadi suamiku dapat menghapus noda dan aib ini.... hu-hu-huuh.... Bagus Sajiwo....!"

Teringat bahwa satu-satunya laki-laki yang pernah menjamahnya dan yang dapat membersihkannya dari aib itu kini telah mati terkubur di dalam puncak bukit, ia lalu menghampiri batu besar di depan guha terowongan, mengerahkan tenaga pada jari telunjuknya dan dengan telunjuknya seolah menjadi sekuat baja itu ia mengukir tulisan di atas batu yang berbuyi: KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO

Setelah itu, kemarahannya tiba-tiba bangkit lagi, mengingat betapa laki-laki yang seharusnya menjadi suaminya itu kini mati bersama Maya Dewi! Timbul rasa cemburu yang besar dan dengan marah ia lalu membakar pondok tempat tinggal Maya Dewi dan mengamuk dengan kebutannya, menghancurkan segala yang berada di depannya!

Biarpun cuaca sudah mulai gelap, penglihatan Candra Dewi yang amat tajam terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang melarikan diri turun dari daerah puncak. Ia tidak tahu siapa orang yang melarikan diri itu, akan tetapi ia dapat tahu bahwa orang itu adalah laki-laki. Amarahnya semakin berkobar. "Berhenti! Engkau harus mati!" bentaknya dan Candra Dewi melompat dan mengejar.

Mendengar bentakan nyaring suara wanita itu, tentu saja Jayeng menjadi semakin ketakutan. Dengan hati merasa ngeri dia lari secepat mungkin menuruni puncak. Apa lagi ketika mulai terdengar suara ledakan-ledakan kebutan yang mengerikan itu, disusul tumbangnya pohon-pohon yang dilanda sabetan ujung kebutan. Seluruh tubuhnya menggigil, giginya bergeratukan dan dia tahu benar bahwa bahaya maut telah menghampirinya.

Kalau sampai dia dapat dikejar, tentu dia akan mati oleh iblis betina yang mengerikan itu. Jayeng mempercepat larinya dan ada satu keuntungan baginya. Biarpun tentu saja larinya jauh kalah cepat dibandingkan Candra Dewi yang mengejarnya, namun dia menang pengalaman. Bertahun-tahun dia menjelajahi hutan-hutan sehingga dia mengenal betul hutan-hutan yang liar dan lebat. Berbeda dengan Candra Dewi yang sama sekali asing dengan daerah penuh hutan-hutan lebat itu sehingga beberapa kali wanita ini bertemu jalan buntu dan terpaksa menggunakan kebutannya untuk menumbangkan pohon-pohon yang menghalanginya. Setelah keadaan terpepet benar dan maklum bahwa kalau dia sudah tiba di luar hutan, di tempat terbuka pasti dia akan tersusul dan tak dapat dihindarkan lagi, dia tentu akan terbunuh oleh iblis betina itu!

Tiba-tiba di sebelah kirinya dia melihat sebuah jurang yang amat curam. Inilah penolongku, kata hatinya dan cepat dia memasuki jurang itu dengan cara bergayutan pada akar-akar pohon dan batu-batu gunung. Dia sudah terbiasa melakukan ini kalau mengejar buruannya, maka dia tidak merasa ngeri dan dapat turun sampai cukup dalam dan sama sekali tidak tampak dari atas jurang. Dari bawah dia mendengar bunyi ledakan-ledakan itu, lewat di atas jurang, lalu semakin menjauh ke arah bawah bukit. Hatinya lega sekali walaupun masih takut. Cepat dia merayap naik, kemudian dia melarikan diri ke bawah bukit ke arah utara karena dia tadi mendengar betapa ledakan-ledakan itu mengarah selatan. Saking takutnya, dalam kegelapan dia tetap melanjutkan pelariannya, meraba-raba dengan hati-hati. Daerah ini asing baginya. Dia tidak hafal akan jurang-jurang, maka kalau dalam kegelapan dia terjeblos ke dalam jurang, akan tamatlah riwayatnya.

Semalam suntuk dia merangkak, meraba-raba, maju selangkah demi selangkah dan setelah pagi menggantikan malam dan mulai terang tanah, dia melanjutkan larinya menuju ke arah Barat-laut yang menuju ke Pegunungan Liman. Dia berlari terus siang malam hampir tak pernah berhenti, hanya makan buah-buah atau daun-daun, juga sekali dua kali makan daging binatang hutan yang dapat dia tangkap. Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, dia terguling roboh pingsan di lereng sebelah barat Pegunungan Liman!

Jayeng sadar dari pingsannya ketika merasa ada air membasahi mukanya, ada air yang memasuki mulutnya dan dia telan, ada jari-jari tangan yang menyentuh muka, pundak dan dadanya. Dia membuka mata dan melihat seorang wanita berjongkok di dekat tubuhnya yang roboh telentang, dia diserang ketakutan hebat karena mengira bahwa akhirnya dia terjatuh ke tangan iblis betina yang mengejar-ngejarnya!

Dia segera bangkit dan hendak melarikan diri, akan tetapi wanita itu segera bangkit dan memegang lengannya karena tiba-tiba kepalanya terasa pening, semua berputar dan dia tentu sudah terpelanting roboh kalau saja wanita itu tidak memegang lengannya. Merasa tak berdaya dan terancam maut, Jayeng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki wanita itu.

"Ampun.... ampunkan saya, ni dewi...., ampunkan dan jangan bunuh saya ...." Ada dua tangan dengan lembut menyentuh kedua pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Suara lembut terdengar manis di telinga Jayeng yang masih ketakutan itu.

"Siapakah yang akan membunuhmu, ki sanak? Aku bukan ni dewi dan jangan takut, kalau ada yang hendak membunuhmu, kami pasti akan membela dan melindungimu. Di wilayah kami ini tidak ada orang boleh melakukan pembunuhan begitu saja."

Mendengar ucapan ini, Jayeng baru berani mengangkat mukanya yang tadi menunduk, dan memandang wanita itu. Ternyata wanita ini, sama sekali tidak mengenakan pakaian putih dan bukanlah iblis betina yang dia lihat amat cantik jelita namun mengerikan itu. Wanita ini masih muda, sekitar dua puluh tahun usianya. Kulitnya agak gelap akan tetapi wajahnya hitam manis, tubuh yang padat itu bagaikan setangkai bunga sedang mekar, dan rambutnya yang panjang indah itu sebagian digelung di atas kepala, ujungnya berjuntai ke atas pundaknya. Rambut di kepala itu dihias beberapa bunga melati yang dironce, putih bersih dan keharumannya dapat tercium oleh Jayeng.

Wajah gadis biasa, namun manis sekali bagi Jayeng, dan amat menarik hatinya. Dia juga merasa malu kepada diri sendiri, mengira gadis itu iblis betina dan dia telah memperlihatkan sikap ketakutan seperti itu. Memalukan bagi seorang pria, pada hal dia bukan laki-laki yang lemah. Bahkan dengan anak panah dan tombaknya, dia berani menghadapi seekor harimau tanpa gentar!

"Maafkan aku.... akan tetapi, siapakah andika?" dia bertanya.

Gadis hitam manis itu tersenyum dan giginya tampak putih bersih dan rata sehingga ia tampak lebih manis ketika tersenyum. "Tidakkah sepantasnya kalau andika yang lebih dulu memperkenalkan diri dan datang memasuki daerah kami ini? Aku mendapatkan andika pingsan disini. Apa yang telah terjadi dan mengapa pula andika tadi menyebut-nyebut ni dewi dan minta ampun agar jangan dibunuh?"

Wajah Jayeng menjadi kemerahan akan tetapi teringat akan pengalamannya dengan iblis betina itu, dia mengkirik (merasa ngeri). "Baiklah," katanya perlahan. "Namaku Jayeng dan pekerjaanku sebagai pemburu binatang hutan. Aku tinggal di dusun Magel, di kaki pegunungan Wilis sebelah selatan. Dua hari yang lalu, aku berburu binatang. Karena sampai sehari penuh belum berhasil mendapatkan seekor pun binatang buruan, aku mendaki Bukit Keluwung yang belum pernah kujelajahi. Mungkin bukit yang banyak hutannya itu menyimpan banyak binatang buruan. Aku mendaki dan setibanya di dekat puncak ...aku.... aku.... melihat.... iblis betina itu...."

Gadis hitam manis itu mengerutkan alisnya. "Iblis betina? Apa maksudmu?"

"Aku melihat seorang wanita, cantik jelita akan tetapi ia seperti kesetanan. Ia membakar sebuah rumah bagus, dan mengamuk dengan cambuknya. Sepak terjangnya mengerikan. Ia menumbangkan pohon-pohon besar dengan sabetan kebutannya, bahkan menghancurkan batu-batu besar dengan senjatanya yang aneh itu.. Lalu.... ia agaknya melihatku dan mengejarku. Ia mengancam membunuh dan ia .... menangis terus.... suara lengking tangis diantara ledakan-ledakan kebutan itu.... sungguh mengerikan. Aku melarikan diri, untung waktu itu telah mulai gelap. Aku lari dengan suara kebutan meledak-ledak dibelakangku. Akhirnya, aku dapat bersembunyi ke dalam jurang. Ia melewati jurang dan terus menuruni bukit ke arah selatan. Aku cepat keluar dari jurang dan terus berlari ke arah utara. Sehari dua malam aku berlari terus, akhirnya.... aku tiba disini, ketakutan, kelelahan dan kelaparan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu berada disini dan ada andika disini." Jayeng menutupi muka dengan kedua tangan untuk mengusir kengerian yang menghantuinya.

Gadis itu menyentuh lengannya. "Tenanglah, andika aman disini. Ini daerah kami, daerah perkumpulan kami, Melati Puspa. Tidak seorangpun berani mengganggumu disini. Aku adalah Marsi seorang anggauta Melati Puspa dan aku akan melindungimu kalau ada iblis datang hendak mengganggumu."

Ucapan itu demikian melegakan hati Jayeng sehingga dia menurunkan kedua tangannya, lalu memegang kedua tangan Marsi dengan. tatapan mata penuh terima kasih. "Terima kasih, Marsi, aku percaya sepenuhnya padamu. Akan tetapi kenapa engkau begini baik kepadaku?"

Wajah yang hitam manis itu kemerahan. "Mengapa? Aku harus baik kepada siapapun juga, siap menolong siapa yang terancam bahaya dan menentang tiap perbuatan jahat. Begitulah perintah yang harus ditaati semua anggota Melati Puspa, termasuk aku."

"Perintah siapa?"

"Tentu saja perintah Ni Melati Puspa, ketua dan pemimpin kami." Marsi merasa rikuh sekali ketika mendapat kenyataan betapa kedua tangannya masih saling berpegangan dengan kedua tangan pemuda itu. Akan tetapi merasa betapa kedua tangan pemuda itu menggenggam kedua tangannya erat-erat, ia tidak tega untuk merenggutkannya.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring, membentak penuh teguran. "Hemm, sungguh bagus, ya? Marsi, berani engkau melakukan pelanggaran disini?"

Marsi terkejut dan menoleh ke kiri. Disana telah berdiri tiga orang wanita, dua orang lebih muda dari padanya dan seorang, yang menegurnya tadi, berusia dua puluh dua tahun, lebih tua daripadanya.

"Mbakyu Kasmi, aku... kami.... tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas! Aku hanya menolong dia yang kudapatkan roboh pingsan disini!" Marsi membantah.

"Hemm, tidak melakukan hal yang tidak pantas, ya? Lalu, mengapa berpegang-pegangan tangan semesra itu?" bentak Kasmi seorang anggauta Melati Puspa pula yang rambutnya juga dihias ronce-ronce kembang melati seperti dua kawannya yang lain.

Marsi dan Jayeng agaknya baru menyadari bahwa mereka berdua masih saling berpegangan tangan, maka dengan muka berubah merah mereka lalu melepaskan genggaman masing-masing. Mereka lalu bangkit berdiri dan Marsi berkata kepada Kasmi dengan suara sungguh-sungguh.

"Mbakayu Kasmi, aku berani bersumpah bahwa tidak terjadi apa-apa yang kurang patut antara kakang Jayeng ini dan aku. harap mbakayu dan teman-teman tidak salah sangka....!" Marsi menghentikan ucapannya melihat betapa tiga orang rekannya itu memandang kepadanya dengan mulut berjebi.

"Kau boleh bantah apa saja di depan Ni Dewi!" kata Lasmi singkat.

Wajah Marsi menjadi pucat. Yang dimaksudkan dengan Ni Dewi itu adalah pemimpin mereka yang memakai nama Melati Puspa akan tetapi yang minta kepada semua anggautanya agar ia disebut Ni Dewi. Marsi ketakutan. Melati Puspa adalah seorang pimpinan yang keras dan tegas sekali. Tidak mau dibantah dan akan memberi hukuman yang keras kepada angauta-anggauta yang berani melakukan pelanggaran.

Pernah ada seorang anggauta yang melakukan pelanggaran, tertangkap basah ketika melakukan hubungan perjinahan dengan seorang laki-laki dari luar. Laki-laki itu dapat melarikan diri dan anggauta yang melanggar larangan itu, dihukum pancung daun telinga kirinya! Marsi bergidik ngeri.

Melihat betapa Marsi pucat ketakutan, Jayeng lalu berkata dengan gagah. "Ni Marsi, jangan takut! Aku akan menjadi saksi dan membelamu. kalau andika dipersalahkan. Andika tidak melakukan kesalahan apapun, hanya menolong aku yang terkapar pingsan disini. Kalau menolong orang pingsan dianggap bersalah, yang menganggapnya itu sungguh tak berprikemanusiaan!"

Mendengar ucapan ini, Kasmi menjadi marah. Sekali tangan kanannya bergerak, ia sudah mencabut sebatang pedang tipis pendek dari pinggangnya dan ia menodongkan senjata runcing itu ke dada Jayeng.

"Engkau laki-laki tak tahu diri! Sudah berani melanggar wilayah kami dan membikin kerusuhan, masih berlagak dan banyak bicara lagi! Hayo ikut kami menghadap pimpinan kami! Engkau juga, Marsi."

Jayeng dan Marsi lalu digiring oleh tiga orang anggauta Melati Puspa itu menuju ke perkampungan Melati Puspa yang berada tidak jauh dari situ, letaknya di lereng sebelah barat Gunung Liman. Perkumpulan Melati Puspa merupakan perkumpulan yang aneh karena anggautanya yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang itu semua wanita!

cerita silat online karya kho ping hoo

Wanita muda berusia antara sembila belas sampai dua puluh lima tahun. Agaknya para anggauta Melati Puspa itu memang dipilih karena diantara mereka tidak ada yang buruk rupa. Paling tidak memiliki wajah manis dan tubuh padat menarik, dan lebih banyak yang cantik. Mereka tinggal disebuah perkampungan khusus di lereng Gunung Liman dan tinggal di pondok-pondok dalam perkampungan itu. Hanya ada sekitar dua puluh pondok yang ditinggali lima puluh orang lebih anggota.

Di tengah perkampungan terdapat sebuah pondok mungil yang menjadi tempat tinggal pemimpin mereka yang mereka sebut sebagai Ni Dewi dan yang dikenal dengan Melati Puspa. Dua tahun yang lalu, perkumpulan Melati Puspa ini belum mempunyai nama, merupakan sebuah gerombolan yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan puluhan orang wanita. Yang memimpin adalah seorang laki-laki yang bernama Suro dan terkenal sebagai seorang perampok, maka dijuluki orang Suro Gentho. Puluhan orang wanita yang menjadi anggauta adalah para wanita yang telah tersia-sia dan terlantar hidupnya. Ada janda yang ditinggal minggat suaminya. Ada wanita yang dibuat sakit hati oleh pria dan ada pula yang memang pada dasarnya liar.

Suro Gentho memimpin mereka, mengajarkan aji kanuragan sehingga gerombolan tanpa nama itu ditakuti orang dan seringkali membuat kerusuhan dan merampok para penduduk pedusunan di sekitar Gunung Liman. Pada suatu hari, dua tahun yang lalu, lewatlah seorang wanita. Karena wanita itu berpakaian indah dan memakai perhiasan mahal harganya, ia menjadi sasaran gerombolan.

Akan tetapi wanita itu ternyata sakti mandraguna, dengan mudahnya ia membunuh Suro Gentho dan belasan orang anak buahnya. Sebagian anggauta lagi segera menjatuhkan diri dan menaluk. Wanita itu mengampuni mereka dan mulailah ia menjadi pemimpin para wanita itu, bahkan mendirikan perkumpulan yang diberi nama Melati Puspa, sama dengan namanya sendiri seperti diperkenalkan kepada para wanita.

Semua anggauta gerombolan pria telah terbunuh dalam perkelahian keroyokan itu. Akan tetapi, pemimpin wanita itu selain sakti mandraguna, juga amat keras dan tertib! Ia tidak menerima anggauta laki-laki dan melarang keras para anggauta Melati Puspa melakukan kejahatan. Bahkan mereka digembleng agar menjadi wanita-wanita pendekar yang selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. Ia melatih mereka dengan ilmu silat yang membuat para anggautanya menjadi tangguh. Akan tetapi iapun melarang keras para anggautanya yang terdiri dari wanita-wanita muda agar tidak bermain gila dengan laki-laki.

Mereka tidak dilarang untuk menikah, akan tetapi setelah mereka harus keluar dari perkumpulan Melati Puspa! Yang dilarang adalah hubungan gelap atau perjinahan. Nama Melati Puspa menjadi terkenal dan banyak gadis-gadis di daerah Pegunungan Liman tertarik dan masuk menjadi anggautanya sehingga kini jumlah para anggauta ada lima puluh orang lebih! Dalam waktu dua tahun saja, apa yang tadinya merupakan gerombolan ganas dan jahat, di bawah pimpinan Melati Puspa, menjadi perkumpulan wanita pendekar yang disegani!

Marsi dan Jayeng digiring oleh Kasmi dan dua orang rekannya memasuki perkampungan Melati Puspa. Melihat ada seorang laki-laki menjadi tawanan, berjalan disamping Marsi yang menundukkan mukanya, para anggauta Melati Puspa menjadi tertarik dan semua keluar untuk menonton. Mereka dapat menduga apa yang terjadi dan mereka saling berbisik dan tersenyum-senyum.

Akhirnya kedua orang tawanan itu diajak memasuki pondok mungil di tengah perkampungan setelah melapor kepada penjaga, lalu disuruh menunggu di ruangan depan. Kasmi dan dua orang rekannya mengajak Marsi dan Jayeng menunggu dalam ruangan itu. Mereka berlima duduk di atas bangku panjang. Jayeng dan Marsi duduk di bangku sebelah kiri dan Kasmi bersama dua orang rekannya duduk di bangku sebelah kanan. Mereka menghadap ke sebelah kursi kosong, kursi dari rotan yang ditilami kain merah muda yang bersih.

Jayeng melihat kesekelilingnya dan ia merasa heran. Ruangan itu tidak berapa besar, namun terhias indah. Meja dan bangku-bangkunya terawat, bersih mengkilap, lantainya bertilamkan tikar anyaman yang halus. Ada pot-pot bunga di ruangan itu dan di dinding juga terdapat lukisan-lukisan yang indah. Keharuman melati semerbak dalam ruangan itu. Tadipun dia melihat betapa semua wanita yang berada dalam perkampungan memakai bunga melati pada rambut mereka!

Tak lama kemudian, pintu sebelah dalam yang tertutup tirai kain sutera hijau itu tersingkap dan muncullah seorang wanita berpakaian sutera putih yang bersih. Jayeng menjadi bengong memandang wanita yang baru muncul itu. Bidadarikah ia? Dewi dari kahyangan? Wanita itu masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan cantik jelita bukan kepalang! Ayu manis merak ati, menggairahkan dari rambut di kepala sampai kakinya yang memakai sandal dan tampak putih mulus. Terutama sekali mata itu! Tajam dan jernih bersinar-sinar, terkadang mencorong mendatangkan kesan galak! Dan mulutnya! Sepasang bibir yang merah membasah, segar bagaikan buah masak, menggairahkan. Entah mana yang lebih menarik, sepasang matanya atau sepasang bibirnya! Rambutnya yang hitam itu disanggul ke atas dan sebagian ujungnya dibiarkan terurai ke pundak.

Ronce-ronce bunga melati menghias rambutnya dan diantara bunga melati itu tampak hiasan rambut dari emas berbentuk burung camar dengan mata dari batu mirah indah. Kulit tubuh yang tampak pada leher, wajah dan lengannya putih mulus, membayangkan kelembutan. Namun, sifat lembut itu berpadu dengan sifat keras dari sinar matanya yang terkadang mencorong dan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Bahkan sarung dan gagang pedang itupun diukir bentuk kembang melati. Segalanya serba melati diperkampungan ini, pikir Jayeng heran.

Wanita yang menjadi pemimpin Melati Puspa itu duduk di atas kursi bertilamkan sutera merah muda, lalu memandang kepada lima orang yang duduk didepannya. Ketika pandang matanya menyapu kehadiran Marsi yang menundukkan muka dan Jayeng, sepasang alisnya berkerut, lalu terdengar suaranya yang merdu dan lantang.

"Hemm, mau apa kalian minta menghadap?"

Kasmi segera menjawab, suaranya gagah tegas seperti perajurit menghadapi atasannya. "Kami bertiga hendak melaporkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Marsi, Ni Dewi."

Kembali sipasang mata itu menyambarkan sinarnya ke arah Marsi dan Jayeng. Pandang mata itu sedemikian tajamnya sehingga Jayeng terpaksa menunduk, menghindarkan pertemuan pandang yang membuat dia salah tingkah dan gugup.

"Laporkan apa yang telah terjadi dengan sebenarnya dan sejujurnya, jangan dikurangi atau ditambah. Jangan menyembunyikan atau melepaskan fitnah. Nah, mulailah!"

Kasmi lalu melapor. "Ni Dewi, ketika kami bertiga mengadakan perondaan di bawah lereng, kami menemukan Marsi dan laki-laki ini sedang saling berpegangan tangan dengan sikap mesra. Kami menegur Marsi melakukan pelanggaran dan menuduh ia bergaul dan berhubungan dengan laki-laki ini, akan tetapi Marsi menyangkal dan laki-laki ini juga membelanya. Karena itu, kami membawa mereka menghadap Ni Dewi untuk diadili."

Kini Ni Dewi Melati Puspa memandang kepada Marsi dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Marsi, benarkah apa yang dituduhkan kepadamu itu?"

Marsi sudah ketakutan. Ia menangis akan tetapi tidak berani bersuara, hanya air matanya saja berlinang yang segera diusapnya sebelum ia menjawab. "Ampun, Ni Dewi. Sesungguhnya, tuduhan itu sama sekali tidak benar. Saya menyangkal karena memang tidak ada hubungan yang tidak patut antara saya dan laki-laki ini."

"Hemm, lalu apa artinya saling berpegang tangan itu dan mengapa pula engkau berduaan dengan dia disana?" tanya Ni Dewi dengan suara lantang.

"Ampun, Ni Dewi. Sesungguhnya, saya menemukan dia telentang pingsan disana. Karena ingin menaati perintah Ni Dewi, saya segera menolongnya dan menyadarkannya. Kemudian, mungkin karena bersyukur, dia memegang kedua tangan saya dan pada saat itu Mbakayu Kasmi dan dua orang adik ini muncul dan menyangka yang bukan-bukan."

Ni Dewi Melati Puspa menatap wajah Marsi penuh selidik. Ia menduga bahwa gadis itu tidak berbohong, dan wajah laki-laki itupun merupakan wajah pemuda dusun yang kasar namun jujur dan terbuka.

"Hei kamu!!" bentaknya nyaring dan Jayeng tersentak kaget, lalu mengangkat muka memandang. Dua sinar mata mencorong itu seperti menembus dan menjenguk ke dalam dadanya!

"Apa.... sa.... saya....?" tanyanya gagap.

"Ya, kamu! Apa yang kau lakukan disana bersama Marsi? Engkau hendak berjina dengannya maka engkau memegangi kedua tangannya, bukan?"

"Ah, tidak.....eh, bukan-bukan! Saya.... saya ketakutan, kelelahan dan kelaparan sehingga roboh pingsan disana dan .... adik ini menolong saya. Saya hanya hendak menyatakan terima kasih saya kepadanya. Sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas! Saya mau bersumpah. Adik ini.... Marsi, ia sama sekali tidak bersalah, sama sekali tidak melanggar peraturan. Kalau mau hukum, hukumlah saya karena yang bersalah adalah saya, sudah berani melanggar wilayah kalian, akan tetapi hal itu saya lakukan tidak sengaja."

Ni Dewi mengangguk-angguk. Benar dugaannya, pemuda ini jujur dan terbuka, juga memiliki sifat gagah, berani minta dihukum agar Marsi dibebaskan. Ini saja sudah merupakan tanda bahwa pemuda ini agaknya memang mencinta atau setidaknya menyukai Marsi. Jelas tidak ada terjadi perjinaan disini, dan kalau mereka berdua saling mencinta apa salahnya? Hal itu bisa diputuska nanti. Sekarang ia mulai tertarik mendengar pemuda itu berlari ketakutan sampai melanggar wilayah Melati Puspa dan jatuh pingsan. Padahal, menurut penilaiannya, pemuda ini bukan seorang penakut bahkan memiliki watak gagah seperti yang diperlihatkannya ketika membela Marsi.

"Siapa namamu dan apa yang terjadi sehingga engkau memasuki wilayah kami. Ceritakan sejelasnya. Kalau berani bohong, bukan tidak mungkin aku akan menghukum mati padamu!" Ni Dewi Melati Puspa berkata, suaranya tetap merdu namun mengandung ancaman yang membuat bulu tengkuk Jayeng meremang dan terasa dingin.

"Saya tidak akan berbohong. Saya bernama Jayeng, tinggal di sebuah dusun di kaki bukit Wilis. Pekerjaan saya adalah berburu binatang hutan. Usia saya dua puluh lima tahun, tinggal bersama ayah ibu di rumah...."

"Cukup semua itu! Ceritakan apa yang terjadi padamu!" ketua perkumpulan Melati Puspa Itu memotong tidak sabar mendengar pemuda itu bercerita tentang dirinya secara terperinci.

Namun, setidaknya dari cerita itu ia tahu bahwa Jayeng pemuda dusun seperti yang diduganya, juga pemberani karena pekerjaannya sebagai pemburu, dan belum beristeri karena tinggal hanya dengan ayah dan ibunya.

"Kemarin.... eh, kemarin dulu, saya berburu binatang dalam hutan-hutan pegunungan Wilis, namun gagal dan tidak memperoleh seekorpun binatang buruan. Saya lalu mendaki Bukit Keluwung yang termasuk sebuah bukit di pegunungan Wilis. Hari telah senja ketika saya tiba di puncak dan saya melihat seorang wanita cantik seperti bidadari berpakaian putih, akan tetapi ia mengamuk seperti iblis betina. Ia membakar pondok dan mengamuk, dengan kebutannya ia menumbangkan pohon-pohon dan menghancurkan batu-batu. Ia mengamuk sambil menangis seperti gila atau seperti iblis betina. Saya merasa ngeri dan melarikan diri. Akan tetapi celaka, agaknya ia mengetahui dan mengejar, mengancam hendak membunuhku. Kebutannya sudah meledak-ledak dibelakang saya. Saya ketakutan sekali dan berlari seperti dikejar setan. Untung cuaca mulai gelap dan akhirnya saya dapat bersembunyi di dalam sebuah jurang. Iblis betina itu mengamuk dengan kebutannya dan melewati atas jurang, lalu suara ledakan kebutannya terdengar menuju turun ke selatan. Maka saya lalu keluar dari jurang dan melarikan diri ke utara. Saya seolah mendengar terus ledakan-ledakan itu dan saya lari terus siang malam, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat, makan buah atau daun dan tanpa saya sadari, saya tiba di dalam wilayah ini dalam keadaan ketakutan, kelelahan dan kelaparan. Saya lalu terguling roboh dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika saya sadar, ternyata di dekat saya ada seorang wanita. Saya ketakutan, mengira ia iblis betina yang mengejar saya. Akan tetapi wanita itu, adik Marsi ini, menahan saya dan mengatakan bahwa saya tidak perlu takut. Kalau ada iblis betina mengamuk, ia akan melindungi saya. Setelah saya yakin bahwa ia adalah seorang penolong, maka saya amat berterima kasih kepada adik Marsi ini. Siapa kira, karena memegangi tangannya saking terharu dan berterima kasih, ia malah dituduh berbuat yang tidak pantas dan akan dihukum. Gusti puteri..."

"Hussh! Jangan sebut aku gusti puteri, sebut aku Ni Dewi!" wanita pemimpin Melati Puspa itu membentak nyaring.

Jayeng terkejut dan menyembah. "Maaf, Ni Dewi, akan tetapi Marsi ini tidak bersalah. Hukumlah saya karena saya yang bersalah."

Ketua Melati Puspa itu mengerutkan alisnya. Urusan Marsi tidak menarik perhatiannya lagi. Ia amat tertarik oleh cerita tentang iblis betina yang mengamuk dan membakar pondok di puncak Bukit Keluwung. Siapakah wanita berpakaian putih seperti ia yang disebut iblis betina oleh Jayeng itu? Dan senjatanya sebuah kebutan! Belum pernah ia mendengar tentang seorang datuk wanita yang bersenjata kebutan. Ia sungguh tertarik dan ingin menyelidiki.

"Jayeng...!" Ni Dewi berseru, mengejutkan yang dipanggil.

"Ya.... ya..., Dewi." kata Jayeng.

"Jawab dengan jujur! Selain berterima kasih kepada Marsi, apakah engkau suka kepadanya?"

Jayeng gelagapan. Tentu saja dia suka dan kagum kepada gadis hitam manis yang telah menolongnya itu. Akan tetapi ditanya secara terbuka seperti itu, dia merasa malu juga.

"Jawab! Apakah engkau gagu?" Ni Dewi membentak.

"Ya... ya... saya... suka..." akhirnya dia menjawab gugup dan terdengar suara tawa tertahan dari Kasmi dan dua orang rekannya sehingga terdengar cekikikan.

"Dan engkau Marsi! Apakah engkau suka kepada Jayeng?" tanya pula Ni Dewi, kini ditujukan kepada Marsi.

Marsi sudah mengenal ketuanya yang berwatak keras dan menghargai kejujuran. Setelah tadi mendengar jawaban Jayeng bahwa pemuda itu suka kepadanya, hatinya sudah merasa girang sekali. Maka tanpa malu-malu iapun menjawab. "Saya suka, Ni Dewi."

Kembali terdengar suara cekikian. "Nah, kalau begitu, dengar baik-baik. Kalian, Jayeng dan Marsi, akan dihukum dan hukumannya adalah: Kalian harus segera menikah dan karena menjadi isteri orang, maka Marsi harus keluar dari Melati Puspa!" Setelah berkata demikian, Ni Dewi bangkit dari tempat duduknya.

"Terima kasih, Ni Dewi!" Marsi menyembah, diturut oleh Jayeng, akan tetapi Ni Dewi Melati Puspa sudah meninggalkan ruangan itu, membuka tirai pintu dan masuk ke dalam.

Jayeng memandang Marsi dengan mata terbelalak penuh rasa girang. "Marsi, engkau akan menjadi biniku dan ikut pulang bersamaku ke dusun Magel. Wah, bapak ibu tentu senang menyambut mantunya. Mereka sudah ingin sekali menggendong cucu mereka!" Saking gembiranya Jayeng lalu merangkul Marsi.

Marsi cemberut dan menolak rangkulan itu sambil memberi isarat dengan matanya ke arah tiga orang rekannya. Jayeng menoleh dan melihat tiga orang wanita itu, dia bangkit dan memberi hormat sambil membungkuk. "Terima kasih kepada andika bertiga yang sudah menangkap kami sehingga kami berdua dapat berjodoh. Terima kasih dan saya mendoakan semoga andika bertiga segera dapat memperoleh jodoh masing-masing.

Kasmi yang tadinya terkekeh-kekeh bersama dua orang rekannya, kini berhenti tertawa dan wajah mereka berubah kemerahan, lalu mereka keluar dari ruangan, "Mari kita pulang, Marsi "

"Pulang?" Kata "Pulang?" Kata ini terdengar aneh di telinga gadis itu.

Ia sudah yatim piatu dan sejak remaja ia telah terseret masuk menjadi anggauta gerombolan liar yang dipimpin oleh mendiang Suro Gentho, sampai akhirnya ia menjadi anggauta Melati Puspa yang dipimpin Ni Dewi Melati Puspa.

"Ya, pulang ke rumahku, rumah bapak ibu, di dusun Magel. Mari kita berangkat sekarang!" kata Jayeng yang agaknya memperoleh tenaga baru dan sudah melupakan kelelahannya.

"Sebentar, kakang Jayeng, aku akan mengambil barang-barang milikku dulu. Kau tunggulah sebentar diluar pondok Ni Dewi ini."

"Kenapa aku tidak ikut engkau mengambil barang-barangmu?"

"Ah, jangan kakang. Aku tinggal bersama para wanita lain. Mereka tentu marah kalau aku membawamu kesana. Tunggu saja sebentar'"

Marsi lalu berlari, gerakannya gesit sekali sehingga Jayeng memandang kagum dan bangga. Calon isterinya itu kelak tentu dapat dia ajak berburu. Ia begitu tangkas, begitu padat dan indah bentuk tubuhnya, begitu manis wajahnya. Hitam-hitam manis, seperti buah manggis, biar kulitnya hitam akan tetapi manis sekali!

Tak lama kemudian Marsi sudah muncul kembali. Alangkah girang dan bangga hati Jayeng ketika melihat bahwa calon isterinya itu tidak hanya membawa semua pakaian dan sedikit perhiasannya, akan tetapi lebih menyenangkan hatinya lagi, gadis itu membawa pula sebungkus nasi dengan lauk-pauknya untuk dia!

"Nih, nasi dan lauknya untukmu, kakang. Bukankah engkau tadi kelaparan? Makanlah dulu disini, baru kita berangkat."

"Kita cepat tinggalkan tempat ini, Marsi. Aku makan nanti saja kalau sudah keluar dari sini. Aku... aku malu kalau makan disini. Hayo kita cepat pergi, Marsi."

Marsi tersenyum dan mengangguk, lalu keduanya pergi keluar dari perkampungan Melati Puspa. Setelah tiba di sebuah lereng dimana terdapat sebuah sumber air yang mancur keluar dari celah-celah batu, airnya dingin dan jernih sekali, Jayeng lalu mengajak Marsi berhenti. Kini tanpa malu-malu dia membuka buntalan nasi dan lauknya dan mengajak Marsi makan.

"Makanlah semua, kang. Aku tadi sudah sarapan." kata Marsi dan wanita ini tersenyum manis melihat calon suaminya makan dengan lahapnya.

Setelah makan nasi dan minum air jernih, mereka duduk disitu. Baru terasa oleh Jayeng betapa lelah kedua kakinya. Dia memandang calon isterinya, dari rambut sampai ke kaki, seperti sedang memeriksa sebuah benda yang amat berharga.

"Ih, apa sih yang kaulihat sejak tadi, kang? Kau bikin aku merasa risi dan malu saja!"

"Eh, tidak. Aku... aku melihat engkau tidak lagi memakai hiasan rambut berupa ronce kembang melati seperti tadi. Kenapa? Engkau pantas sekali memakai hiasan kembang itu."

"Aku tidak berani, kang. Di wilayah ini, yang memakai hiasan kembang melati pada rambutnya hanya para anggauta Melati Puspa. Sedangkan aku sekarang bukan lagi anggauta Melati Puspa."

Kedua orang itu lalu bercakap-cakap, menceritakan keadaan dan riwayat masing-masing sehingga mereka saling mengetahui keadaan calon jodoh mereka dan menjadi lebih akrab. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, bergandengan tangan, menyongsong masa depan yang tampaknya begitu gemilang! Seperti jutaan calon pasangan hidup yang lain di dunia ini, mereka sama sekali tidak melihat dan tidak menduga bahwa masa depan yang tampak begitu gemilang itu menyembunyikan banyak sekali awar mendung yang kelak akan mengganggi dan membuat suram kehidupan mereka

Ni Dewi Melati Puspa rebah telentang di atas pembaringan dalam kamarnya yang penuh keharuman melati, sebuah kamar yang tidak terlalu besar namun rapi dan indah. Sejak mengadili Marsi dan pemuda bernama Jayeng tadi, ia memasuki kamarnya, melempar diri ke atas pembaringan, rebah telentang dan memejamkan kedua matanya. Namun ia tidak tidur dan dengan memejamkan kedua matanya, ia dapat melamun dan membayangkan kembali masa lalunya dengan jelas. Baru dua tahun lebih ia telah mengubah seluruh kehidupannya. Dua tahun lebih yang lalu ia adalah seorang gadis bernama Sulastri yang tinggal di Dermayu bersama Ki Subali dan Nyi Subali, ayah ibunya.

Masa lalunya adalah masa yang penuh perjuangan membantu Mataram dan melakukan dharma-brata sebagai seorang pendekar wanita, menentang kejahatan dan menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam perjalanan ini, dan dalam perjuangan membantu balatentara Mataram ketika Mataram menyerang Batavia untuk ke dua kalinya, banyak hal terjadi dengan dirinya sehingga ia terombang-ambing dalam lika-liku cinta asmara antara dua orang pria dan dirinya sendiri. Ia segera kembali ke Dermayu setelah pasukan Mataram gagal menyerbu Kumpeni Belanda di Batavia.

Bersamanya, ikut pula ke Dermayu dua orang pemuda yang membuat ia bimbang dan bingung itu. Mereka adalah dua orang satria yang gagah perkasa dan sama-sama luhur budinya, sama-sama tampan sehingga akan membuat setiap orang wanita menjadi bingung untuk memilih mana yang lebih baik!

Pemuda itu bernama Lindu Aji dan yang ke dua bernama Jatmika. Sebetulnya diantara mereka bertiga masih ada pertalian persaudaraan seperguruan, bukan tunggal guru, melainkan guru-guru mereka masih sealiran. Semula, ia jatuh cinta dengan Lindu Aji. Akan. tetapi, malapetaka menimpanya ketika ia terjatuh ke dalam jurang dan akibatnya, ia kehilangan ingatan sehingga kepada Lindu Aji yang dicintanya itupun ia lupa sama sekali. Bahkan kepada ayah bundanya pun ia lupa!

Dalam keadaan lupa ingatan masa lalu ini ia berjumpa dengan Jatmika dan pemuda inipun jatuh cinta padanya. Ia sendiri amat suka kepada Jatmika yang gagah perkasa, lembut dan berbudi. Dalam keadaan masih lupa akan masa lalunya, ia bertemu dengan orang tuanya, Ki Subali dan isteri. Walaupun mendapat penjelasan, ia tetap tidak ingat, namun ia mau mengaku mereka sebagai ayah dan ibu kandungnya. Kemudian ia bertemu dengan Neneng Salmah, seorang waranggana yang ditolong Lindu Aji dari tangan orang-orang jahat. Neneng Salmah dan ayahnya, Ki Salmun, dapat melarikan diri dan oleh Lindu Aji dititipkan kepada Ki Subali. Selanjutnya mereka ditampung di Dermayu oleh Ki Subali.

Sulastri dan Neneng Salmah akrab sekali. Neneng Salmah dengan terus terang menceritakan bahwa ia jatuh cinta kepada Lindu Aji, satria yang telah menyelamatkannya. Sulastri yang dalam keadaan kehilangan ingatan itu diberi nama Listyani atau disebut Eulis oleh Jatmika yang menolongnya karena gadis itu lupa akan namanya, tidak perduli mendengar betapa Neneng Salmah jatuh cinta kepada Lindu Aji. Ia sama sekali tidak ingat bahwa Lindu Aji adalah pria yang amat dikasihinya sebelum ia kehilangan ingatannya akan masa lalunya.

Kemudian, ia mendapatkan kembali ingatannya dan terjadilah masalah yang amat sulit diatasi itu. Lindu Aji yang melihat keakraban Eulis dengan Jatmika, merasa bahwa dia harus mundur dari Sulastri dan menganjurkan Sulastri yang pulih kembali ingatannya itu untuk menikah dengan Jatmika. Betapa mulianya budi pekerti Lindu Aji. Terkenang akan hal ini, Ni Dewi Melati Puspa tak dapat menahan mengalirnya beberapa butir air mata dari pelupuk matanya menuruni kedua pipinya. Ia segera mengusap air matanya dan melanjutkan kenangannya.

Setelah Lindu Aji menyatakan bahwa ia harus menikah dengan Jatmika, ia sebaliknya juga menghendaki agar Lindu Aji menikah dengan Neneng Salmah yang amat mencintanya. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Lindu Aji menolak Neneng Salmah dan dia meninggalkan Dermayu. Setelah Lindu Aji pergi, Jatmika mengajukan pinangan kepadanya. Dengan berat hati Sulastri menolak pinangan Jatmika itu karena sesungguhnya yang dicintanya hanya Lindu Aji. Maka gagallah sama sekali perjodohan antara mereka berempat dan agaknya mereka semua mengalami patah hati!

Lindu Aji pergi, Jatmika yang ditolak lamarannya juga pergi. Ia tinggal di rumah, selain merasa duka akan kegagalan cintanya sendiri, juga ia harus menghadapi Neneng Salmah yang setiap hari menangis, merana sehingga tampak kurus dan pucat! .

Akhirnya ia tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ia berpamit kepada ayah bundanya, tidak mengacuhkan cegahan dan halangan mereka, kemudian merantau untuk menghibur hatinya yang gundah dan risau. Dan ia bertemu dengan gerombolan yang dipimpin Suro Gentho, membunuh Suro Gentho dan anak buahnya, lalu mengambil alih perkampungan gerombolan itu dan mendirikan perkumpulan Melati Puspa. Ia sendiri ingin melupakan dirinya sebagai Sulastri atau sebagai Listyani atau Eulis, dan mengaku bernama Melati Puspa, bahkan memberi nama itu pula kepada perkumpulannya.

Ni Dewi menghela napas panjang dan miringkan tubuhnya. Lamunannya terhenti. Sudah dua tahun ia menjadi pimpinan perkumpulan itu dan ia telah berhasil menggembleng para anggautanya, bukan saja dengan ilmu silat tangan kosong Sunya Hasta yang hanya diajarkan gerakan kaki tangannya saja tanpa diajarkan inti aji itu ialah pengosongan diri dan penyerahan kepada Gusti Allah. Juga ia mengajarkan gerakan silat pedang. Untuk menghapus jejaknya sebagai Sulastri atau Listyani, bahkan pedang Naga Wilis yang oleh pemiliknya, Retno Susilo, telah diberikan kepadanya itu diberi gagang dan sarung baru dengan ukiran bunga-bunga melati. Dan disamping itu, ia telah berhasil mengubah watak mereka dengan peraturan dan ketertiban yang keras, yaitu dari pelaku-pelaku kejahatan menjadi wanita-wanita penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan! Dalam waktu dua tahun saja, nama perkumpulan Melati Puspa terkenal dan tersiar dengan harum seperti bunga melati, sebagai perkumpulan para pendekar wanita!

Kembali Ni Dewi menghela napas panjang. Setelah menghadapi kasus Marsi dan Jayeng, ia merasa bersedih, diingatkan akan keadaan dirinya. Sedangkan seorang seperti Marsi anak buahnya itu, mendapatkan jodoh seorang pria yang dikasihi dan mengasihinya. Ia merasa iri melihat kebahagiaan mereka.

Dari sinar mata mereka saja ketika saling berpandangan, ia dapat merasakan bahwa kedua orang itu memang saling mencinta. Karena itulah maka ia tidak ragu lagi untuk memutuskan agar mereka menjadi suami isteri. Akan tetapi sekaligus keadaan mereka itu mengingatkan akan keadaan dirinya. Selama dua tahun ini ia menghabiskan waktunya di perkampungan Melati Puspa itu! Tidak sia-sia memang, karena ia mampu mengubah jalan hidup para wanita itu, yang dulunya menjadi anggauta gerombolan sesat kini menjadi anggauta perkumpulan pendekar. Yang baru masukpun dari wanita-wanita yang putus asa kini menjadi wanita-wanita yang gagah dan mempunyai masa depan yang lebih cerah serta mereka mampu membawa dan melindungi diri sendiri.

Kini boleh sekali-sekali ia tinggalkan untuk melanjutkan perantauannya. Ingin sekali ia melihat keadaan Lindu Aji. Apakah pemuda itu kini sudah menikah dengan gadis lain? Andaikata demikian halnya, ia tidak akan merasa penasaran. Bukankah ia dahulu juga rela membiarkan Lindu Aji berjodoh dengan Neneng Salmah? Ada kerinduan yang amat mendalam di hatinya terhadap Lindu Aji. Juga ia ingin bertemu dan melihat keadaan Jatmika sekarang. Ia merasa kasihan dan ia akan ikut merasa senang andaikata melihat Jatmika sudah hidup berbahagia dengan wanita lain.

Teringatlah ia akan cerita Jayeng tadi. Ah, mengapa tidak? Cerita tentang iblis betina itu dapat menjadi dalih baginya untuk sementara waktu meninggalkan Melati Puspa, untuk melakukan penyelidikan terhadap iblis betina itu!

Pada keesokan harinya, Ni Dewi sudah mengambil keputusan tetap. Ia memanggil semua anak buahnya, kini tinggal lima puluh lima orang dan mengatakan bahwa. ia hendak menyelidiki iblis betina yang membakar pondok di Bukit Keluwung. Ia menyerahkan pimpinan kepada anggauta yang paling dipercaya dan yang paling tangguh diantara semua anggauta. Ia mengangkat anggauta itu yang bernama Suwarni sebagai pemimpin sementara. Setelah itu, berangkatlah Ni Dewi menuruni Gunung Liman. Ketika menuruni lereng itu, dari tempat tinggi itu ia dapat melihat Gunung Wilis menjulang tinggi di arah tenggara.

Kembali terbayang akan peristiwa yang dialami Jayeng dan timbul keinginan tahunya. Siapakah iblis betina yang berpakaian serba putih dan bersenjatakan kebutan yang demikian saktinya sehingga dengan kebutannya mampu menumbangkan pohon-pohon dan menghancurkan batu-batu?

Ni Dewi lalu menuruni lereng Gunung Liman, kini ia mengerahkan tenaga saktinya dan berlari seperti terbang cepatnya. Ujung rambut yang digelung itu berkibar-kibar di atas punggungnya, dimana terdapat sebuah buntalan pakaian dan pedangnya. Setelah senja pada hari itu, ia tiba di kaki pegunungan Wilis. Ia mulai mencari-cari dimana letaknya Bukit Keluwung. Karena daerah ini asing baginya, maka ia menjadi bingung karena pegunungan itu mempunyai banyak sekali bukit. Untung ia bertemu dengan seorang laki-laki penyabit rumput di luar sebuah dusun dan orang inilah yang menunjukkan dimana adanya Bukit Keluwung itu. Setelah mengetahui letaknya, Ni Dewi berlari cepat menuju ke bukit itu. Akan tetapi malam keburu datang. Terpaksa malam itu ia berhenti dan melewatkan malam di kaki bukit.

Sebagai seorang gadis yang dulu sudah biasa merantau, Ni Dewi mampu tidur di sembarang tempat. Tubuhnya yang terlatih kuat itu mampu menahan dinginnya angin malam. Ia membuat api unggun, selain mencari kehangatan api, terutama sekali untuk mengusir nyamuk. Ia tidur dekat api unggun, setengah duduk bersandar sebuah batu besar.

Pada keesokan harinya, sinar matahari pagi yang menimpa mukanya membangunkan Ni Dewi. Semalam, sampai jauh malam ia baru dapat pulas karena pikirannya selalu melayang-layang ke masa lalul sehingga pagi ini ia baru bangun setelah tergugah sinar matahari yang menimpa mukanya. Ia membuka matanya, silau oleh sinar matahari dan miringkan muka untuk mengelak dari serangan matahari pada kedua matanya. Ia memejamkan matanya kembali, masih segan untuk bangun.

"Ni Dewi, mengapa tidur disini....?"

Teguran suara laki-laki ini mengejutkan hati Ni Dewi dan iapun melompat dan siap menghadapi bahaya. Ia melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di depannya dan laki-laki itu kini melongo memandang kepadanya, agaknya heran dan terkejut.

"Siapa engkau?" Ni Dewi membentak. "Bagaimana engkau dapat mengenal aku?"

"Maaf, saya .... saya tidak mengenal mas ayu. Maaf kalau saya mengagetkan andika, tadi saya kira andika adalah Ni Dewi, maka saya berani menyapa...."

Mengertilah Ni Dewi bahwa ada kesalah-pahaman disini. Laki-laki itu mengira ia seorang wanita lain yang agaknya juga bernama Ni Dewi!

"Hemm, siapakah Ni Dewi yang kau maksudkan itu? Hayo katakan sejujurnya, kalau tidak aku tidak akan mempercayai ucapanmu tadi dan akan kuhajar engkau!"

Laki-laki itu terbelalak. "Aduh, maaf, masayu.... andika memang mirip Ni Dewi...! Ketahuilah, saya adalah seorang diantara lima pembantu atau pelayan Ni Dewi, dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Kalau pagi kami mendaki puncak dan bekerja dirumahnya, kalau sore kami turun dan kembali ke dusun kami yang berada di kaki bukit. Empat hari yang lalu, ketika pagi-pagi kami mendaki puncak, setibanya disana kami melihat rumah yang indah itu telah menjadi puing, habis bekas terbakar! Dan kami tidak pernah melihat Ni Dewi lagi sampai pagi hari ini... saya bertemu andika tidur disini. Saya kira Ni Dewi, ia juga muda dan cantik seperti andika, maka saya berani menyapa... tidak tahunya setelah andika terbangun, andika bukan Ni Dewi. Maafkan saya...."

"Tapi, siapakah Ni Dewi itu? Siapa nama lengkapnya?" Ni Dewi Melati Puspa mendesak tak sabar. Iblis betina berpakaian serba putih bersenjata kebutan itukah? Akan tetapi, mengapa ia membakar rumahnya sendiri?

"Nama lengkapnya Ni Dewi, kalau saya tidak salah adalah Maya, ....ya, Ni Maya Dewi begitulah, akan tetapi kami biasa menyebutnya Ni Dewi saja."

Ni Dewi Melati Puspa mengangguk-ngguk dan tersenyum. Ah, kiranya Maya Dewi? Pantas disebut iblis betina! Tentu saja ia mengenal baik Ni Maya Dewi, bahkan dapat dibilang iblis betina itu adalah musuh besarnya dan sudah seringkali ia bentrok dan bertanding melawan Maya Dewi! Kalau sekarang ia bertemu dengan Maya Dewi, mereka berdua tentu akan bertanding mati-matian dan ia yakin kalau bertanding satu lawan satu, walaupun mereka memiliki ketangguhan seimbang, ia pasti akan dapat membunuhnya!

Ni Maya Dewi, si iblis betina yang dulu menjadi antek Kumpeni Belanda! Akan tetapi, mengapa ia membakar rumahnya sendiri dan benarkah sekarang ia mempunyai sebuah senjata kebutan yang ampuh? Dan apakah ia kini suka berpakaian serba putih seperti setelah ia menjadi pemimpin perkumpulan Melati Puspa?

"Paman, aku percaya omonganmu. Apakah Ni Maya Dewi itu suka berpakaian serba putih dan memiliki senjata ampuh berupa sebuah kebutan?"

Laki-laki itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala kuat-kuat. "Tidak, masayu, sama sekali tidak! Memang, Ni Dewi adalah seorang wanita cantik jelita yang sakti mandraguna, semua penduduk di dusun sekitar bukit ini mengetahuinya baik-baik. Akan tetapi ia tak pernah mengenakan pakaian serba putih seperti... seperti yang anda pakai sekarang ini. Pakaiannya selalu indah dan berharga mahal, dan senjatanya juga bukan kebutan, melainkan sebuah sabuk yang amat indah, kalau tidak salah... ia pernah menyebutnya, sabuk itu dinamakan Sabuk Cinde Kencana."

Jelas sudah, pikir Ni Dewi. Pemilik rumah itu jelas Ni Maya Dewi, akan tetapi siapa wanita cantik berpakaian putih bersenjata kebutan yang membakar rumah Maya Dewi lalu mengamuk dan marah-marah itu? Siapa wanita yang disebut iblis betina oleh Jayeng?

"Paman, kenapa rumah milik Ni Maya Dewi itu dibakar? Siapa yang membakarnya?"

"Itulah yang membuat kami berlima, para pembantu Ni Dewi, merasa penasaran sekali, masayu. Pagi itu, ketika kami mendaki puncak bukit ini untuk bekerja seperti biasa, setibanya di puncak kami melihat rumah yang indah itu telah habis terbakar, menjadi abu dan arang. Kami tidak melihat siapapun juga disana, bahkan kami tidak dapat menemukan Ni Dewi. Karena itu, kami juga tidak tahu siapa yang membakar rumah itu. Akan tetapi kami melihat banyak pohon tumbang dan batu besar pecah berantakan. Sungguh merupakan hal yang penuh rahasia dan sampai sekarang kami masih merasa penasaran sekali, masayu. Bahkan pagi inipun saya sengaja berjalan-jalan, dengan harapan dapat bertemu dengan Ni Dewi."

"Kalau menurut pendapatmu, siapa kiranya yang membakar rumah itu, paman?"

"Saya tidak tahu. Ni Maya Dewi mempunyai banyak musuh. Sudah banyak orang, laki-laki dari segala golongan, berdatangan untuk meminangnya. Akan tetapi mereka semua ditolak, bahkan yang menggunakan kekerasan dikalahkan dan dirobohkan oleh Ni Dewi. Mungkin ada yang membalas dendam, atau mungkin.... Ni Dewi sendiri yang membakar rumahnya! Ia memang seorang wanita yang cantik dan sakti mandraguna, akan tetapi wataknya aneh sekali, masayu. Ia banyak melamun dan banyak menangis."

Ni Dewi Melati Puspa semakin penasaran. Penggambaran orang itu tentang diri Maya Dewi juga terasa aneh olehnya. Ni Maya Dewi menolak lamaran banyak pria, merobohkan mereka dan banyak melamun, bahkan banyak menangis, hidup menyepi disini? Sungguh berlawanan dengan sifat Ni Maya Dewi seperti yang ia kenal, ganas, binal, sesat dan kejam!

"Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah Ni Maya Dewi mempunyai kenalan, atau pernah dikunjungi, seorang wanita cantik berpakaian putih yang mempunyai senjata sebuah kebutan?"

Laki-laki itu mengerutkan sepasang alisnya, berpikir-pikir, lalu menggeleng kepalanya. "Tidak, masayu, selama dua tahun kami bekerja pada Ni Maya Dewi, belum pernah saya melihat wanita berpakaian putih bersenjata kebutan."

"Oh, jadi Ni Maya Dewi baru dua tahun tinggal di puncak Bukit Keluwung ini?"

"Begitulah, masayu."

"Terima kasih, paman. Nah, andika boleh pergi sekarang. Akan tetapi jangan ke puncak bukit ini. Aku yang akan melakukan penyelidikan kesana."

"Baiklah, masayu." laki-laki itu lalu melangkah pergi menuju dusun tempat tinggalnya. Dari sikap dan pembawaan Ni Dewi Melati Puspa, dia dapat menduga bahwa wanita itu adalah sebangsa majikannya, yaitu seorang yang memiliki kesaktian dan wataknya aneh.

Ni Dewi lalu berkemas. Ia membersihkan diri di sebuah pancuran air, kemudian mulailah ia mendaki bukit itu. Hemm, pikirnya, jadi Maya Dewi baru sekitar dua tahun tinggal disini? Ini berarti bahwa iblis betina itu mengundurkan diri kesini sehabis perang di Batavia, seperti juga dirinya. Karena ingin sekali segera dapat tiba di puncak dengan harapan dapat bertemu dengan Maya Dewi yang mungkin masih bersembunyi disekitar puncak, Ni Dewi Melati Puspa lalu mengerahkan Aji Bayu Sakti, berlari mendaki Bukit Keluwung seperti terbang cepatnya sehingga tak lama kemudian ia sudah berdiri didepan bekas rumah yang telah menjadi abu dan arang itu.

Di jalan tadi iapun melihat pohon-pohon yang tumbang dan batu-batu yang pecah berantakan. Sungguh mengerikan bekas amukan wanita baju putih yang memegang kebutan itu. Dari bekas amukannya saja Ni Dewi dapat menduga bahwa wanita itu tentu sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya!

Melihat suasana disitu sunyi, tiada seorang pun tampak, Ni Dewi lalu melewati bekas rumah, melihat-lihat taman bunga dan kebun yang indah dan agaknya terawat baik-baik. Ia berjalan terus menuju ke belakang kebun dan akhirnya ia berdiri di depan guha itu. Ia tertarik sekali. Siapa tahu Maya Dewi masih berada di sini, bersembunyi di dalam guha besar ini! Akan tetapi mengapa bersembunyi? Bisakah seorang seganas dan sekejam Maya Dewi ketakutan dan perlu bersembunyi? Akan tetapi, ia harus menyelidiki.

Ni Dewi mencabut pedangnya. Di balik sarung pedang yang berukir bunga melati itu, keluarlah sebatang pedang yang menimbulkan sinar hijau berkilat dan pada tubuh pedang itu terukir bentuk seekor naga. Itulah pedang Naga Wilis yang ampuhnya menggiriskan! Dengan pedang di tangan kanan untuk bersiap siaga, Ni Dewi lalu memasuki guha. Ia melangkah perlahan-lahan, berhati-hati, apalagi ketika ternyata bahwa guha itu mempunyai terowongan. Dengan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf dalam tubuhnya siap siaga menghadapi bahaya, ia melangkah maju terus, satu-satu, karena terowongan itu agak gelap.

Akhirnya terowongan itu berakhir, buntu karena terhalang tumpukan batu-batu yang menyumbat terowongan. Mudah dilihat dalam keremangan bahwa terowongan itu agaknya tertutup batu-batu yang longsor dan runtuh dari atas. Ni Dewi bergidik. Tempat ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau ada keruntuhan batu-batu lagi sebelum ia keluar, ia bisa celaka. Tertimpa batu-batu atau terkurung dalam terowongan, tidak mampu keluar lagi. Teringat, akan kemungkinan longsornya batu-batu seperti yang ia lihat di depannya, ia lalu memutar tubuh dan cepat-cepat keluar dari terowongan itu. Ni Maya Dewi jelas tidak bersembunyi di situ.

Setelah tiba diluar guha, ia menyarungkan pedangnya dan berdiri memandang guha itu. Kini setelah ia mengamati mulut guha dengan penuh perhatian, baru tampak olehnya tulisan yang terukir di atas batu besar yang terdapat di depan guha. Ia cepat menghampiri dan membaca tulisan itu...

"KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO"

Membaca tulisan itu, Ni Dewi Melati Puspa menjadi bengong. Jantungnya berdebar tegang. Jadi Maya Dewi telah mati? Terkubur di dalam gua? Ah, tentu tertimpa dan teruruk timbunan batu longsor dalam terowongan itu. Dan Bagus Sajiwo? Siapa itu? Belum pernah dia mendengar nama itu. Akan tetapi.... nama itu seperti tidak asing bagi telinganya. Ia pernah mendengar tentang nama itu! Akan tetapi siapa? Dimana ia mendengarnya? Ni Dewi mencoba untuk mengingat-ingat, namun sia-sia. Ia tidak mampu mengingat kembali dimana ia pernah mendengar tentang nama Bagus Sajiwo itu.

Sesungguhnya, memang pernah Ni Dewi Melati Puspa, ketika ia masih dikenal dengan nama Sulastri, mendengar nama Bagus Sajiwo ini. Ketika itu ia dan Jatmika bertemu dengan Sutejo atau Ki Tejomanik dan isterinya yang bernama Retno Susilo. Mula-mula terjadi bentrokan antara ia dan Retno Susilo karena ia memegang pedang Naga Wilis yang tadinya menjadi milik Retno Susilo. Setelah kedua pihak saling berkenalan dan tahu bahwa mereka adalah orang-orang segolongan, bukan musuh, Ki Tejomanik dan Retno Susilo menceritakan tentang anak mereka yang hilang, diculik orang, dan anak itu bernama Bagus Sajiwo.

Retno Susilo lalu menolak ketika Sulastri hendak mengembalikan pedang Naga Wilis, bahkan dengan suka rela memberikan pedang itu kepada Sulastri. Nah, hanya sekali itulah Sulastri mendengar akan nama Bagus Sajiwo dan ketika itu dia malah berjanji hendak membantu mencari anak yang hilang itu. Akan tetapi sekarang ia sudah lupa sama sekali walau pun nama itu tidak asing terdengar oleh telinganya. Setelah merasa yakin bahwa disitu tidak ada apa-apa lagi untuk diselidiki, Ni Dewi lalu meninggalkan puncak Bukit Keluwung.

Ia teringat akan cerita Jayeng bahwa iblis betina baju putih bersenjata kebutan itu melakukan pengejaran menuju kearah selatan. Maka iapun lalu menuju kearah selatan. Siapa tahu ia akan bertemu dengan iblis betina itu. Dan siapa tahu pula ia akan dapat menemukan Lindu Aji atau Jatmika. Ia memang hendak menyusul Lindu Aji di tempat asalnya, di rumah tempat tinggal ibu pemuda itu. Ia masih ingat. Lindu Aji pernah bercerita bahwa dia berasal dari dusun Gampingan, daerah Gunung Kidul, dekat pantai Laut Kidul. Ia akan menyusul kesana!

********************

Lebih dua tahun yang lalu, ketika pasukan Mataram yang mengepung Batavia gagal dalam perang melawan Kumpeni Belanda karena terutama sekali pasukan Mataram kalah lengkap dalam persenjataan, ditambah adanya wabah pes dan malaria, juga karena kekurangan ransum, para satria yang membantu pasukan Mataram juga berpencar meninggalkan Batavia, kembali ketempat tingal masing-masing.

Seorang diantara mereka adalah Lindu Aji, seorang satria pendekar yang budiman dan sakti mandraguna. Dari Batavia Lindu Aji diajak oleh oleh Sulastri mampir ke Dermayu bersama Jatmika, seorang satria lain yang masih terhitung saudara sealiran persilatan. Memang ada hubungan erat antara mereka bertiga, hubungan yang memberatkan hati Lindu Aji.

Tak dapat dia sangkal lagi dalam hatinya bahwa dia saling jatuh cinta dengan Sulastri. Akan tetapi, ketika dia dan Sulastri bentrok dengan gerombolan penjahat, Sulastri tertimpa malapetaka, terjatuh ke dalam jurang. Dia sudah berusaha mencarinya, namun tidak dapat menemukan gadis yang dikasihinya itu. Sulastri lenyap begitu saja. Kalau mati tidak terdapat mayatnya di dasar jurang. Kalau hidup, entah kemana?

Akhirnya dia bertemu juga dengan Sulastri, akan tetapi gadis itu kehilangan ingatannya masa lalu, bahkan lupa akan namanya sendiri sehingga memakai nama baru, yaitu Listyani dengan sebutan Eulis. Dan dia melihat betapa Jatmika amat mencintai Listyani dan agaknya Listyani atau Sulastri juga mencinta Jatmika.

Bagus Sajiwo Jilid 05

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 05
JAYENG menjadi ketakutan. Tentu dia sedang melihat setan! Manusia mana, apa lagi kalau dia wanita yang mampu menumbangkan pohon-pohon besar, meremukkan batu-batu besar, hanya dengan sabetan sebuah kebutan? Dan wanita itu menangis seperti seorang yang miring otaknya! Jayeng merasa bulu tengkuknya meremang. Dia bergidik ngeri. Pasti dia tengah melihat iblis betina di senja hari itu. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri!

Wanita yang dilihat Jayeng itu bukan lain adalah Candra Dewi yang sedang mengamuk karena ia tidak mampu mendapatkan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo yang dikejarnya. Ia kehilangan mereka di terowongan karena terhalang sebuah pintu baja yang kokoh kuat. Karena tidak dapat membuka pintu itu, ia lalu menjadi marah dan mempergunakan aji pukulan yang sakti untuk menggempur pintu baja. Begitu pintu itu didobraknya dengan kekuatan dahsyat, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan batu-batu di dekat pintu berjatuhan.

Nyi Candra Dewi cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berkelebat keluar terowongan sambil memutar kebutannya di atas kepala. Untung ia melakukan ini karena kalau tidak, ia pasti akan tertimpa batu-batu dan akan tewas tertimbun batu. Kebutan yang diputar di atas kepala itu melindunginya karena dapat menangkis batu-batu yang menimpanya, dan kedua kakinya seperti melayang ketika ia melompat keluar. Akhirnya ia dapat keluar dari terowongan dengan selamat meskipun ada beberapa potong batu sempat mengenai pundaknya namun tidak mengakibatkan luka parah. Ia menganggap bahwa Maya Dewi dan Bagus Sajiwo pasti sudah terkubur dalam terowongan itu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menangis, menangis terisak-isak.

"Dia harus menjadi suamiku, untuk menebus aib ini! Aku telah ternoda....dan hanya kalau dia menjadi suamiku dapat menghapus noda dan aib ini.... hu-hu-huuh.... Bagus Sajiwo....!"

Teringat bahwa satu-satunya laki-laki yang pernah menjamahnya dan yang dapat membersihkannya dari aib itu kini telah mati terkubur di dalam puncak bukit, ia lalu menghampiri batu besar di depan guha terowongan, mengerahkan tenaga pada jari telunjuknya dan dengan telunjuknya seolah menjadi sekuat baja itu ia mengukir tulisan di atas batu yang berbuyi: KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO

Setelah itu, kemarahannya tiba-tiba bangkit lagi, mengingat betapa laki-laki yang seharusnya menjadi suaminya itu kini mati bersama Maya Dewi! Timbul rasa cemburu yang besar dan dengan marah ia lalu membakar pondok tempat tinggal Maya Dewi dan mengamuk dengan kebutannya, menghancurkan segala yang berada di depannya!

Biarpun cuaca sudah mulai gelap, penglihatan Candra Dewi yang amat tajam terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang melarikan diri turun dari daerah puncak. Ia tidak tahu siapa orang yang melarikan diri itu, akan tetapi ia dapat tahu bahwa orang itu adalah laki-laki. Amarahnya semakin berkobar. "Berhenti! Engkau harus mati!" bentaknya dan Candra Dewi melompat dan mengejar.

Mendengar bentakan nyaring suara wanita itu, tentu saja Jayeng menjadi semakin ketakutan. Dengan hati merasa ngeri dia lari secepat mungkin menuruni puncak. Apa lagi ketika mulai terdengar suara ledakan-ledakan kebutan yang mengerikan itu, disusul tumbangnya pohon-pohon yang dilanda sabetan ujung kebutan. Seluruh tubuhnya menggigil, giginya bergeratukan dan dia tahu benar bahwa bahaya maut telah menghampirinya.

Kalau sampai dia dapat dikejar, tentu dia akan mati oleh iblis betina yang mengerikan itu. Jayeng mempercepat larinya dan ada satu keuntungan baginya. Biarpun tentu saja larinya jauh kalah cepat dibandingkan Candra Dewi yang mengejarnya, namun dia menang pengalaman. Bertahun-tahun dia menjelajahi hutan-hutan sehingga dia mengenal betul hutan-hutan yang liar dan lebat. Berbeda dengan Candra Dewi yang sama sekali asing dengan daerah penuh hutan-hutan lebat itu sehingga beberapa kali wanita ini bertemu jalan buntu dan terpaksa menggunakan kebutannya untuk menumbangkan pohon-pohon yang menghalanginya. Setelah keadaan terpepet benar dan maklum bahwa kalau dia sudah tiba di luar hutan, di tempat terbuka pasti dia akan tersusul dan tak dapat dihindarkan lagi, dia tentu akan terbunuh oleh iblis betina itu!

Tiba-tiba di sebelah kirinya dia melihat sebuah jurang yang amat curam. Inilah penolongku, kata hatinya dan cepat dia memasuki jurang itu dengan cara bergayutan pada akar-akar pohon dan batu-batu gunung. Dia sudah terbiasa melakukan ini kalau mengejar buruannya, maka dia tidak merasa ngeri dan dapat turun sampai cukup dalam dan sama sekali tidak tampak dari atas jurang. Dari bawah dia mendengar bunyi ledakan-ledakan itu, lewat di atas jurang, lalu semakin menjauh ke arah bawah bukit. Hatinya lega sekali walaupun masih takut. Cepat dia merayap naik, kemudian dia melarikan diri ke bawah bukit ke arah utara karena dia tadi mendengar betapa ledakan-ledakan itu mengarah selatan. Saking takutnya, dalam kegelapan dia tetap melanjutkan pelariannya, meraba-raba dengan hati-hati. Daerah ini asing baginya. Dia tidak hafal akan jurang-jurang, maka kalau dalam kegelapan dia terjeblos ke dalam jurang, akan tamatlah riwayatnya.

Semalam suntuk dia merangkak, meraba-raba, maju selangkah demi selangkah dan setelah pagi menggantikan malam dan mulai terang tanah, dia melanjutkan larinya menuju ke arah Barat-laut yang menuju ke Pegunungan Liman. Dia berlari terus siang malam hampir tak pernah berhenti, hanya makan buah-buah atau daun-daun, juga sekali dua kali makan daging binatang hutan yang dapat dia tangkap. Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, dia terguling roboh pingsan di lereng sebelah barat Pegunungan Liman!

Jayeng sadar dari pingsannya ketika merasa ada air membasahi mukanya, ada air yang memasuki mulutnya dan dia telan, ada jari-jari tangan yang menyentuh muka, pundak dan dadanya. Dia membuka mata dan melihat seorang wanita berjongkok di dekat tubuhnya yang roboh telentang, dia diserang ketakutan hebat karena mengira bahwa akhirnya dia terjatuh ke tangan iblis betina yang mengejar-ngejarnya!

Dia segera bangkit dan hendak melarikan diri, akan tetapi wanita itu segera bangkit dan memegang lengannya karena tiba-tiba kepalanya terasa pening, semua berputar dan dia tentu sudah terpelanting roboh kalau saja wanita itu tidak memegang lengannya. Merasa tak berdaya dan terancam maut, Jayeng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki wanita itu.

"Ampun.... ampunkan saya, ni dewi...., ampunkan dan jangan bunuh saya ...." Ada dua tangan dengan lembut menyentuh kedua pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Suara lembut terdengar manis di telinga Jayeng yang masih ketakutan itu.

"Siapakah yang akan membunuhmu, ki sanak? Aku bukan ni dewi dan jangan takut, kalau ada yang hendak membunuhmu, kami pasti akan membela dan melindungimu. Di wilayah kami ini tidak ada orang boleh melakukan pembunuhan begitu saja."

Mendengar ucapan ini, Jayeng baru berani mengangkat mukanya yang tadi menunduk, dan memandang wanita itu. Ternyata wanita ini, sama sekali tidak mengenakan pakaian putih dan bukanlah iblis betina yang dia lihat amat cantik jelita namun mengerikan itu. Wanita ini masih muda, sekitar dua puluh tahun usianya. Kulitnya agak gelap akan tetapi wajahnya hitam manis, tubuh yang padat itu bagaikan setangkai bunga sedang mekar, dan rambutnya yang panjang indah itu sebagian digelung di atas kepala, ujungnya berjuntai ke atas pundaknya. Rambut di kepala itu dihias beberapa bunga melati yang dironce, putih bersih dan keharumannya dapat tercium oleh Jayeng.

Wajah gadis biasa, namun manis sekali bagi Jayeng, dan amat menarik hatinya. Dia juga merasa malu kepada diri sendiri, mengira gadis itu iblis betina dan dia telah memperlihatkan sikap ketakutan seperti itu. Memalukan bagi seorang pria, pada hal dia bukan laki-laki yang lemah. Bahkan dengan anak panah dan tombaknya, dia berani menghadapi seekor harimau tanpa gentar!

"Maafkan aku.... akan tetapi, siapakah andika?" dia bertanya.

Gadis hitam manis itu tersenyum dan giginya tampak putih bersih dan rata sehingga ia tampak lebih manis ketika tersenyum. "Tidakkah sepantasnya kalau andika yang lebih dulu memperkenalkan diri dan datang memasuki daerah kami ini? Aku mendapatkan andika pingsan disini. Apa yang telah terjadi dan mengapa pula andika tadi menyebut-nyebut ni dewi dan minta ampun agar jangan dibunuh?"

Wajah Jayeng menjadi kemerahan akan tetapi teringat akan pengalamannya dengan iblis betina itu, dia mengkirik (merasa ngeri). "Baiklah," katanya perlahan. "Namaku Jayeng dan pekerjaanku sebagai pemburu binatang hutan. Aku tinggal di dusun Magel, di kaki pegunungan Wilis sebelah selatan. Dua hari yang lalu, aku berburu binatang. Karena sampai sehari penuh belum berhasil mendapatkan seekor pun binatang buruan, aku mendaki Bukit Keluwung yang belum pernah kujelajahi. Mungkin bukit yang banyak hutannya itu menyimpan banyak binatang buruan. Aku mendaki dan setibanya di dekat puncak ...aku.... aku.... melihat.... iblis betina itu...."

Gadis hitam manis itu mengerutkan alisnya. "Iblis betina? Apa maksudmu?"

"Aku melihat seorang wanita, cantik jelita akan tetapi ia seperti kesetanan. Ia membakar sebuah rumah bagus, dan mengamuk dengan cambuknya. Sepak terjangnya mengerikan. Ia menumbangkan pohon-pohon besar dengan sabetan kebutannya, bahkan menghancurkan batu-batu besar dengan senjatanya yang aneh itu.. Lalu.... ia agaknya melihatku dan mengejarku. Ia mengancam membunuh dan ia .... menangis terus.... suara lengking tangis diantara ledakan-ledakan kebutan itu.... sungguh mengerikan. Aku melarikan diri, untung waktu itu telah mulai gelap. Aku lari dengan suara kebutan meledak-ledak dibelakangku. Akhirnya, aku dapat bersembunyi ke dalam jurang. Ia melewati jurang dan terus menuruni bukit ke arah selatan. Aku cepat keluar dari jurang dan terus berlari ke arah utara. Sehari dua malam aku berlari terus, akhirnya.... aku tiba disini, ketakutan, kelelahan dan kelaparan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu berada disini dan ada andika disini." Jayeng menutupi muka dengan kedua tangan untuk mengusir kengerian yang menghantuinya.

Gadis itu menyentuh lengannya. "Tenanglah, andika aman disini. Ini daerah kami, daerah perkumpulan kami, Melati Puspa. Tidak seorangpun berani mengganggumu disini. Aku adalah Marsi seorang anggauta Melati Puspa dan aku akan melindungimu kalau ada iblis datang hendak mengganggumu."

Ucapan itu demikian melegakan hati Jayeng sehingga dia menurunkan kedua tangannya, lalu memegang kedua tangan Marsi dengan. tatapan mata penuh terima kasih. "Terima kasih, Marsi, aku percaya sepenuhnya padamu. Akan tetapi kenapa engkau begini baik kepadaku?"

Wajah yang hitam manis itu kemerahan. "Mengapa? Aku harus baik kepada siapapun juga, siap menolong siapa yang terancam bahaya dan menentang tiap perbuatan jahat. Begitulah perintah yang harus ditaati semua anggota Melati Puspa, termasuk aku."

"Perintah siapa?"

"Tentu saja perintah Ni Melati Puspa, ketua dan pemimpin kami." Marsi merasa rikuh sekali ketika mendapat kenyataan betapa kedua tangannya masih saling berpegangan dengan kedua tangan pemuda itu. Akan tetapi merasa betapa kedua tangan pemuda itu menggenggam kedua tangannya erat-erat, ia tidak tega untuk merenggutkannya.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring, membentak penuh teguran. "Hemm, sungguh bagus, ya? Marsi, berani engkau melakukan pelanggaran disini?"

Marsi terkejut dan menoleh ke kiri. Disana telah berdiri tiga orang wanita, dua orang lebih muda dari padanya dan seorang, yang menegurnya tadi, berusia dua puluh dua tahun, lebih tua daripadanya.

"Mbakyu Kasmi, aku... kami.... tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas! Aku hanya menolong dia yang kudapatkan roboh pingsan disini!" Marsi membantah.

"Hemm, tidak melakukan hal yang tidak pantas, ya? Lalu, mengapa berpegang-pegangan tangan semesra itu?" bentak Kasmi seorang anggauta Melati Puspa pula yang rambutnya juga dihias ronce-ronce kembang melati seperti dua kawannya yang lain.

Marsi dan Jayeng agaknya baru menyadari bahwa mereka berdua masih saling berpegangan tangan, maka dengan muka berubah merah mereka lalu melepaskan genggaman masing-masing. Mereka lalu bangkit berdiri dan Marsi berkata kepada Kasmi dengan suara sungguh-sungguh.

"Mbakayu Kasmi, aku berani bersumpah bahwa tidak terjadi apa-apa yang kurang patut antara kakang Jayeng ini dan aku. harap mbakayu dan teman-teman tidak salah sangka....!" Marsi menghentikan ucapannya melihat betapa tiga orang rekannya itu memandang kepadanya dengan mulut berjebi.

"Kau boleh bantah apa saja di depan Ni Dewi!" kata Lasmi singkat.

Wajah Marsi menjadi pucat. Yang dimaksudkan dengan Ni Dewi itu adalah pemimpin mereka yang memakai nama Melati Puspa akan tetapi yang minta kepada semua anggautanya agar ia disebut Ni Dewi. Marsi ketakutan. Melati Puspa adalah seorang pimpinan yang keras dan tegas sekali. Tidak mau dibantah dan akan memberi hukuman yang keras kepada angauta-anggauta yang berani melakukan pelanggaran.

Pernah ada seorang anggauta yang melakukan pelanggaran, tertangkap basah ketika melakukan hubungan perjinahan dengan seorang laki-laki dari luar. Laki-laki itu dapat melarikan diri dan anggauta yang melanggar larangan itu, dihukum pancung daun telinga kirinya! Marsi bergidik ngeri.

Melihat betapa Marsi pucat ketakutan, Jayeng lalu berkata dengan gagah. "Ni Marsi, jangan takut! Aku akan menjadi saksi dan membelamu. kalau andika dipersalahkan. Andika tidak melakukan kesalahan apapun, hanya menolong aku yang terkapar pingsan disini. Kalau menolong orang pingsan dianggap bersalah, yang menganggapnya itu sungguh tak berprikemanusiaan!"

Mendengar ucapan ini, Kasmi menjadi marah. Sekali tangan kanannya bergerak, ia sudah mencabut sebatang pedang tipis pendek dari pinggangnya dan ia menodongkan senjata runcing itu ke dada Jayeng.

"Engkau laki-laki tak tahu diri! Sudah berani melanggar wilayah kami dan membikin kerusuhan, masih berlagak dan banyak bicara lagi! Hayo ikut kami menghadap pimpinan kami! Engkau juga, Marsi."

Jayeng dan Marsi lalu digiring oleh tiga orang anggauta Melati Puspa itu menuju ke perkampungan Melati Puspa yang berada tidak jauh dari situ, letaknya di lereng sebelah barat Gunung Liman. Perkumpulan Melati Puspa merupakan perkumpulan yang aneh karena anggautanya yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang itu semua wanita!

cerita silat online karya kho ping hoo

Wanita muda berusia antara sembila belas sampai dua puluh lima tahun. Agaknya para anggauta Melati Puspa itu memang dipilih karena diantara mereka tidak ada yang buruk rupa. Paling tidak memiliki wajah manis dan tubuh padat menarik, dan lebih banyak yang cantik. Mereka tinggal disebuah perkampungan khusus di lereng Gunung Liman dan tinggal di pondok-pondok dalam perkampungan itu. Hanya ada sekitar dua puluh pondok yang ditinggali lima puluh orang lebih anggota.

Di tengah perkampungan terdapat sebuah pondok mungil yang menjadi tempat tinggal pemimpin mereka yang mereka sebut sebagai Ni Dewi dan yang dikenal dengan Melati Puspa. Dua tahun yang lalu, perkumpulan Melati Puspa ini belum mempunyai nama, merupakan sebuah gerombolan yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan puluhan orang wanita. Yang memimpin adalah seorang laki-laki yang bernama Suro dan terkenal sebagai seorang perampok, maka dijuluki orang Suro Gentho. Puluhan orang wanita yang menjadi anggauta adalah para wanita yang telah tersia-sia dan terlantar hidupnya. Ada janda yang ditinggal minggat suaminya. Ada wanita yang dibuat sakit hati oleh pria dan ada pula yang memang pada dasarnya liar.

Suro Gentho memimpin mereka, mengajarkan aji kanuragan sehingga gerombolan tanpa nama itu ditakuti orang dan seringkali membuat kerusuhan dan merampok para penduduk pedusunan di sekitar Gunung Liman. Pada suatu hari, dua tahun yang lalu, lewatlah seorang wanita. Karena wanita itu berpakaian indah dan memakai perhiasan mahal harganya, ia menjadi sasaran gerombolan.

Akan tetapi wanita itu ternyata sakti mandraguna, dengan mudahnya ia membunuh Suro Gentho dan belasan orang anak buahnya. Sebagian anggauta lagi segera menjatuhkan diri dan menaluk. Wanita itu mengampuni mereka dan mulailah ia menjadi pemimpin para wanita itu, bahkan mendirikan perkumpulan yang diberi nama Melati Puspa, sama dengan namanya sendiri seperti diperkenalkan kepada para wanita.

Semua anggauta gerombolan pria telah terbunuh dalam perkelahian keroyokan itu. Akan tetapi, pemimpin wanita itu selain sakti mandraguna, juga amat keras dan tertib! Ia tidak menerima anggauta laki-laki dan melarang keras para anggauta Melati Puspa melakukan kejahatan. Bahkan mereka digembleng agar menjadi wanita-wanita pendekar yang selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. Ia melatih mereka dengan ilmu silat yang membuat para anggautanya menjadi tangguh. Akan tetapi iapun melarang keras para anggautanya yang terdiri dari wanita-wanita muda agar tidak bermain gila dengan laki-laki.

Mereka tidak dilarang untuk menikah, akan tetapi setelah mereka harus keluar dari perkumpulan Melati Puspa! Yang dilarang adalah hubungan gelap atau perjinahan. Nama Melati Puspa menjadi terkenal dan banyak gadis-gadis di daerah Pegunungan Liman tertarik dan masuk menjadi anggautanya sehingga kini jumlah para anggauta ada lima puluh orang lebih! Dalam waktu dua tahun saja, apa yang tadinya merupakan gerombolan ganas dan jahat, di bawah pimpinan Melati Puspa, menjadi perkumpulan wanita pendekar yang disegani!

Marsi dan Jayeng digiring oleh Kasmi dan dua orang rekannya memasuki perkampungan Melati Puspa. Melihat ada seorang laki-laki menjadi tawanan, berjalan disamping Marsi yang menundukkan mukanya, para anggauta Melati Puspa menjadi tertarik dan semua keluar untuk menonton. Mereka dapat menduga apa yang terjadi dan mereka saling berbisik dan tersenyum-senyum.

Akhirnya kedua orang tawanan itu diajak memasuki pondok mungil di tengah perkampungan setelah melapor kepada penjaga, lalu disuruh menunggu di ruangan depan. Kasmi dan dua orang rekannya mengajak Marsi dan Jayeng menunggu dalam ruangan itu. Mereka berlima duduk di atas bangku panjang. Jayeng dan Marsi duduk di bangku sebelah kiri dan Kasmi bersama dua orang rekannya duduk di bangku sebelah kanan. Mereka menghadap ke sebelah kursi kosong, kursi dari rotan yang ditilami kain merah muda yang bersih.

Jayeng melihat kesekelilingnya dan ia merasa heran. Ruangan itu tidak berapa besar, namun terhias indah. Meja dan bangku-bangkunya terawat, bersih mengkilap, lantainya bertilamkan tikar anyaman yang halus. Ada pot-pot bunga di ruangan itu dan di dinding juga terdapat lukisan-lukisan yang indah. Keharuman melati semerbak dalam ruangan itu. Tadipun dia melihat betapa semua wanita yang berada dalam perkampungan memakai bunga melati pada rambut mereka!

Tak lama kemudian, pintu sebelah dalam yang tertutup tirai kain sutera hijau itu tersingkap dan muncullah seorang wanita berpakaian sutera putih yang bersih. Jayeng menjadi bengong memandang wanita yang baru muncul itu. Bidadarikah ia? Dewi dari kahyangan? Wanita itu masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan cantik jelita bukan kepalang! Ayu manis merak ati, menggairahkan dari rambut di kepala sampai kakinya yang memakai sandal dan tampak putih mulus. Terutama sekali mata itu! Tajam dan jernih bersinar-sinar, terkadang mencorong mendatangkan kesan galak! Dan mulutnya! Sepasang bibir yang merah membasah, segar bagaikan buah masak, menggairahkan. Entah mana yang lebih menarik, sepasang matanya atau sepasang bibirnya! Rambutnya yang hitam itu disanggul ke atas dan sebagian ujungnya dibiarkan terurai ke pundak.

Ronce-ronce bunga melati menghias rambutnya dan diantara bunga melati itu tampak hiasan rambut dari emas berbentuk burung camar dengan mata dari batu mirah indah. Kulit tubuh yang tampak pada leher, wajah dan lengannya putih mulus, membayangkan kelembutan. Namun, sifat lembut itu berpadu dengan sifat keras dari sinar matanya yang terkadang mencorong dan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Bahkan sarung dan gagang pedang itupun diukir bentuk kembang melati. Segalanya serba melati diperkampungan ini, pikir Jayeng heran.

Wanita yang menjadi pemimpin Melati Puspa itu duduk di atas kursi bertilamkan sutera merah muda, lalu memandang kepada lima orang yang duduk didepannya. Ketika pandang matanya menyapu kehadiran Marsi yang menundukkan muka dan Jayeng, sepasang alisnya berkerut, lalu terdengar suaranya yang merdu dan lantang.

"Hemm, mau apa kalian minta menghadap?"

Kasmi segera menjawab, suaranya gagah tegas seperti perajurit menghadapi atasannya. "Kami bertiga hendak melaporkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Marsi, Ni Dewi."

Kembali sipasang mata itu menyambarkan sinarnya ke arah Marsi dan Jayeng. Pandang mata itu sedemikian tajamnya sehingga Jayeng terpaksa menunduk, menghindarkan pertemuan pandang yang membuat dia salah tingkah dan gugup.

"Laporkan apa yang telah terjadi dengan sebenarnya dan sejujurnya, jangan dikurangi atau ditambah. Jangan menyembunyikan atau melepaskan fitnah. Nah, mulailah!"

Kasmi lalu melapor. "Ni Dewi, ketika kami bertiga mengadakan perondaan di bawah lereng, kami menemukan Marsi dan laki-laki ini sedang saling berpegangan tangan dengan sikap mesra. Kami menegur Marsi melakukan pelanggaran dan menuduh ia bergaul dan berhubungan dengan laki-laki ini, akan tetapi Marsi menyangkal dan laki-laki ini juga membelanya. Karena itu, kami membawa mereka menghadap Ni Dewi untuk diadili."

Kini Ni Dewi Melati Puspa memandang kepada Marsi dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Marsi, benarkah apa yang dituduhkan kepadamu itu?"

Marsi sudah ketakutan. Ia menangis akan tetapi tidak berani bersuara, hanya air matanya saja berlinang yang segera diusapnya sebelum ia menjawab. "Ampun, Ni Dewi. Sesungguhnya, tuduhan itu sama sekali tidak benar. Saya menyangkal karena memang tidak ada hubungan yang tidak patut antara saya dan laki-laki ini."

"Hemm, lalu apa artinya saling berpegang tangan itu dan mengapa pula engkau berduaan dengan dia disana?" tanya Ni Dewi dengan suara lantang.

"Ampun, Ni Dewi. Sesungguhnya, saya menemukan dia telentang pingsan disana. Karena ingin menaati perintah Ni Dewi, saya segera menolongnya dan menyadarkannya. Kemudian, mungkin karena bersyukur, dia memegang kedua tangan saya dan pada saat itu Mbakayu Kasmi dan dua orang adik ini muncul dan menyangka yang bukan-bukan."

Ni Dewi Melati Puspa menatap wajah Marsi penuh selidik. Ia menduga bahwa gadis itu tidak berbohong, dan wajah laki-laki itupun merupakan wajah pemuda dusun yang kasar namun jujur dan terbuka.

"Hei kamu!!" bentaknya nyaring dan Jayeng tersentak kaget, lalu mengangkat muka memandang. Dua sinar mata mencorong itu seperti menembus dan menjenguk ke dalam dadanya!

"Apa.... sa.... saya....?" tanyanya gagap.

"Ya, kamu! Apa yang kau lakukan disana bersama Marsi? Engkau hendak berjina dengannya maka engkau memegangi kedua tangannya, bukan?"

"Ah, tidak.....eh, bukan-bukan! Saya.... saya ketakutan, kelelahan dan kelaparan sehingga roboh pingsan disana dan .... adik ini menolong saya. Saya hanya hendak menyatakan terima kasih saya kepadanya. Sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas! Saya mau bersumpah. Adik ini.... Marsi, ia sama sekali tidak bersalah, sama sekali tidak melanggar peraturan. Kalau mau hukum, hukumlah saya karena yang bersalah adalah saya, sudah berani melanggar wilayah kalian, akan tetapi hal itu saya lakukan tidak sengaja."

Ni Dewi mengangguk-angguk. Benar dugaannya, pemuda ini jujur dan terbuka, juga memiliki sifat gagah, berani minta dihukum agar Marsi dibebaskan. Ini saja sudah merupakan tanda bahwa pemuda ini agaknya memang mencinta atau setidaknya menyukai Marsi. Jelas tidak ada terjadi perjinaan disini, dan kalau mereka berdua saling mencinta apa salahnya? Hal itu bisa diputuska nanti. Sekarang ia mulai tertarik mendengar pemuda itu berlari ketakutan sampai melanggar wilayah Melati Puspa dan jatuh pingsan. Padahal, menurut penilaiannya, pemuda ini bukan seorang penakut bahkan memiliki watak gagah seperti yang diperlihatkannya ketika membela Marsi.

"Siapa namamu dan apa yang terjadi sehingga engkau memasuki wilayah kami. Ceritakan sejelasnya. Kalau berani bohong, bukan tidak mungkin aku akan menghukum mati padamu!" Ni Dewi Melati Puspa berkata, suaranya tetap merdu namun mengandung ancaman yang membuat bulu tengkuk Jayeng meremang dan terasa dingin.

"Saya tidak akan berbohong. Saya bernama Jayeng, tinggal di sebuah dusun di kaki bukit Wilis. Pekerjaan saya adalah berburu binatang hutan. Usia saya dua puluh lima tahun, tinggal bersama ayah ibu di rumah...."

"Cukup semua itu! Ceritakan apa yang terjadi padamu!" ketua perkumpulan Melati Puspa Itu memotong tidak sabar mendengar pemuda itu bercerita tentang dirinya secara terperinci.

Namun, setidaknya dari cerita itu ia tahu bahwa Jayeng pemuda dusun seperti yang diduganya, juga pemberani karena pekerjaannya sebagai pemburu, dan belum beristeri karena tinggal hanya dengan ayah dan ibunya.

"Kemarin.... eh, kemarin dulu, saya berburu binatang dalam hutan-hutan pegunungan Wilis, namun gagal dan tidak memperoleh seekorpun binatang buruan. Saya lalu mendaki Bukit Keluwung yang termasuk sebuah bukit di pegunungan Wilis. Hari telah senja ketika saya tiba di puncak dan saya melihat seorang wanita cantik seperti bidadari berpakaian putih, akan tetapi ia mengamuk seperti iblis betina. Ia membakar pondok dan mengamuk, dengan kebutannya ia menumbangkan pohon-pohon dan menghancurkan batu-batu. Ia mengamuk sambil menangis seperti gila atau seperti iblis betina. Saya merasa ngeri dan melarikan diri. Akan tetapi celaka, agaknya ia mengetahui dan mengejar, mengancam hendak membunuhku. Kebutannya sudah meledak-ledak dibelakang saya. Saya ketakutan sekali dan berlari seperti dikejar setan. Untung cuaca mulai gelap dan akhirnya saya dapat bersembunyi di dalam sebuah jurang. Iblis betina itu mengamuk dengan kebutannya dan melewati atas jurang, lalu suara ledakan kebutannya terdengar menuju turun ke selatan. Maka saya lalu keluar dari jurang dan melarikan diri ke utara. Saya seolah mendengar terus ledakan-ledakan itu dan saya lari terus siang malam, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat, makan buah atau daun dan tanpa saya sadari, saya tiba di dalam wilayah ini dalam keadaan ketakutan, kelelahan dan kelaparan. Saya lalu terguling roboh dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika saya sadar, ternyata di dekat saya ada seorang wanita. Saya ketakutan, mengira ia iblis betina yang mengejar saya. Akan tetapi wanita itu, adik Marsi ini, menahan saya dan mengatakan bahwa saya tidak perlu takut. Kalau ada iblis betina mengamuk, ia akan melindungi saya. Setelah saya yakin bahwa ia adalah seorang penolong, maka saya amat berterima kasih kepada adik Marsi ini. Siapa kira, karena memegangi tangannya saking terharu dan berterima kasih, ia malah dituduh berbuat yang tidak pantas dan akan dihukum. Gusti puteri..."

"Hussh! Jangan sebut aku gusti puteri, sebut aku Ni Dewi!" wanita pemimpin Melati Puspa itu membentak nyaring.

Jayeng terkejut dan menyembah. "Maaf, Ni Dewi, akan tetapi Marsi ini tidak bersalah. Hukumlah saya karena saya yang bersalah."

Ketua Melati Puspa itu mengerutkan alisnya. Urusan Marsi tidak menarik perhatiannya lagi. Ia amat tertarik oleh cerita tentang iblis betina yang mengamuk dan membakar pondok di puncak Bukit Keluwung. Siapakah wanita berpakaian putih seperti ia yang disebut iblis betina oleh Jayeng itu? Dan senjatanya sebuah kebutan! Belum pernah ia mendengar tentang seorang datuk wanita yang bersenjata kebutan. Ia sungguh tertarik dan ingin menyelidiki.

"Jayeng...!" Ni Dewi berseru, mengejutkan yang dipanggil.

"Ya.... ya..., Dewi." kata Jayeng.

"Jawab dengan jujur! Selain berterima kasih kepada Marsi, apakah engkau suka kepadanya?"

Jayeng gelagapan. Tentu saja dia suka dan kagum kepada gadis hitam manis yang telah menolongnya itu. Akan tetapi ditanya secara terbuka seperti itu, dia merasa malu juga.

"Jawab! Apakah engkau gagu?" Ni Dewi membentak.

"Ya... ya... saya... suka..." akhirnya dia menjawab gugup dan terdengar suara tawa tertahan dari Kasmi dan dua orang rekannya sehingga terdengar cekikikan.

"Dan engkau Marsi! Apakah engkau suka kepada Jayeng?" tanya pula Ni Dewi, kini ditujukan kepada Marsi.

Marsi sudah mengenal ketuanya yang berwatak keras dan menghargai kejujuran. Setelah tadi mendengar jawaban Jayeng bahwa pemuda itu suka kepadanya, hatinya sudah merasa girang sekali. Maka tanpa malu-malu iapun menjawab. "Saya suka, Ni Dewi."

Kembali terdengar suara cekikian. "Nah, kalau begitu, dengar baik-baik. Kalian, Jayeng dan Marsi, akan dihukum dan hukumannya adalah: Kalian harus segera menikah dan karena menjadi isteri orang, maka Marsi harus keluar dari Melati Puspa!" Setelah berkata demikian, Ni Dewi bangkit dari tempat duduknya.

"Terima kasih, Ni Dewi!" Marsi menyembah, diturut oleh Jayeng, akan tetapi Ni Dewi Melati Puspa sudah meninggalkan ruangan itu, membuka tirai pintu dan masuk ke dalam.

Jayeng memandang Marsi dengan mata terbelalak penuh rasa girang. "Marsi, engkau akan menjadi biniku dan ikut pulang bersamaku ke dusun Magel. Wah, bapak ibu tentu senang menyambut mantunya. Mereka sudah ingin sekali menggendong cucu mereka!" Saking gembiranya Jayeng lalu merangkul Marsi.

Marsi cemberut dan menolak rangkulan itu sambil memberi isarat dengan matanya ke arah tiga orang rekannya. Jayeng menoleh dan melihat tiga orang wanita itu, dia bangkit dan memberi hormat sambil membungkuk. "Terima kasih kepada andika bertiga yang sudah menangkap kami sehingga kami berdua dapat berjodoh. Terima kasih dan saya mendoakan semoga andika bertiga segera dapat memperoleh jodoh masing-masing.

Kasmi yang tadinya terkekeh-kekeh bersama dua orang rekannya, kini berhenti tertawa dan wajah mereka berubah kemerahan, lalu mereka keluar dari ruangan, "Mari kita pulang, Marsi "

"Pulang?" Kata "Pulang?" Kata ini terdengar aneh di telinga gadis itu.

Ia sudah yatim piatu dan sejak remaja ia telah terseret masuk menjadi anggauta gerombolan liar yang dipimpin oleh mendiang Suro Gentho, sampai akhirnya ia menjadi anggauta Melati Puspa yang dipimpin Ni Dewi Melati Puspa.

"Ya, pulang ke rumahku, rumah bapak ibu, di dusun Magel. Mari kita berangkat sekarang!" kata Jayeng yang agaknya memperoleh tenaga baru dan sudah melupakan kelelahannya.

"Sebentar, kakang Jayeng, aku akan mengambil barang-barang milikku dulu. Kau tunggulah sebentar diluar pondok Ni Dewi ini."

"Kenapa aku tidak ikut engkau mengambil barang-barangmu?"

"Ah, jangan kakang. Aku tinggal bersama para wanita lain. Mereka tentu marah kalau aku membawamu kesana. Tunggu saja sebentar'"

Marsi lalu berlari, gerakannya gesit sekali sehingga Jayeng memandang kagum dan bangga. Calon isterinya itu kelak tentu dapat dia ajak berburu. Ia begitu tangkas, begitu padat dan indah bentuk tubuhnya, begitu manis wajahnya. Hitam-hitam manis, seperti buah manggis, biar kulitnya hitam akan tetapi manis sekali!

Tak lama kemudian Marsi sudah muncul kembali. Alangkah girang dan bangga hati Jayeng ketika melihat bahwa calon isterinya itu tidak hanya membawa semua pakaian dan sedikit perhiasannya, akan tetapi lebih menyenangkan hatinya lagi, gadis itu membawa pula sebungkus nasi dengan lauk-pauknya untuk dia!

"Nih, nasi dan lauknya untukmu, kakang. Bukankah engkau tadi kelaparan? Makanlah dulu disini, baru kita berangkat."

"Kita cepat tinggalkan tempat ini, Marsi. Aku makan nanti saja kalau sudah keluar dari sini. Aku... aku malu kalau makan disini. Hayo kita cepat pergi, Marsi."

Marsi tersenyum dan mengangguk, lalu keduanya pergi keluar dari perkampungan Melati Puspa. Setelah tiba di sebuah lereng dimana terdapat sebuah sumber air yang mancur keluar dari celah-celah batu, airnya dingin dan jernih sekali, Jayeng lalu mengajak Marsi berhenti. Kini tanpa malu-malu dia membuka buntalan nasi dan lauknya dan mengajak Marsi makan.

"Makanlah semua, kang. Aku tadi sudah sarapan." kata Marsi dan wanita ini tersenyum manis melihat calon suaminya makan dengan lahapnya.

Setelah makan nasi dan minum air jernih, mereka duduk disitu. Baru terasa oleh Jayeng betapa lelah kedua kakinya. Dia memandang calon isterinya, dari rambut sampai ke kaki, seperti sedang memeriksa sebuah benda yang amat berharga.

"Ih, apa sih yang kaulihat sejak tadi, kang? Kau bikin aku merasa risi dan malu saja!"

"Eh, tidak. Aku... aku melihat engkau tidak lagi memakai hiasan rambut berupa ronce kembang melati seperti tadi. Kenapa? Engkau pantas sekali memakai hiasan kembang itu."

"Aku tidak berani, kang. Di wilayah ini, yang memakai hiasan kembang melati pada rambutnya hanya para anggauta Melati Puspa. Sedangkan aku sekarang bukan lagi anggauta Melati Puspa."

Kedua orang itu lalu bercakap-cakap, menceritakan keadaan dan riwayat masing-masing sehingga mereka saling mengetahui keadaan calon jodoh mereka dan menjadi lebih akrab. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, bergandengan tangan, menyongsong masa depan yang tampaknya begitu gemilang! Seperti jutaan calon pasangan hidup yang lain di dunia ini, mereka sama sekali tidak melihat dan tidak menduga bahwa masa depan yang tampak begitu gemilang itu menyembunyikan banyak sekali awar mendung yang kelak akan mengganggi dan membuat suram kehidupan mereka

Ni Dewi Melati Puspa rebah telentang di atas pembaringan dalam kamarnya yang penuh keharuman melati, sebuah kamar yang tidak terlalu besar namun rapi dan indah. Sejak mengadili Marsi dan pemuda bernama Jayeng tadi, ia memasuki kamarnya, melempar diri ke atas pembaringan, rebah telentang dan memejamkan kedua matanya. Namun ia tidak tidur dan dengan memejamkan kedua matanya, ia dapat melamun dan membayangkan kembali masa lalunya dengan jelas. Baru dua tahun lebih ia telah mengubah seluruh kehidupannya. Dua tahun lebih yang lalu ia adalah seorang gadis bernama Sulastri yang tinggal di Dermayu bersama Ki Subali dan Nyi Subali, ayah ibunya.

Masa lalunya adalah masa yang penuh perjuangan membantu Mataram dan melakukan dharma-brata sebagai seorang pendekar wanita, menentang kejahatan dan menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam perjalanan ini, dan dalam perjuangan membantu balatentara Mataram ketika Mataram menyerang Batavia untuk ke dua kalinya, banyak hal terjadi dengan dirinya sehingga ia terombang-ambing dalam lika-liku cinta asmara antara dua orang pria dan dirinya sendiri. Ia segera kembali ke Dermayu setelah pasukan Mataram gagal menyerbu Kumpeni Belanda di Batavia.

Bersamanya, ikut pula ke Dermayu dua orang pemuda yang membuat ia bimbang dan bingung itu. Mereka adalah dua orang satria yang gagah perkasa dan sama-sama luhur budinya, sama-sama tampan sehingga akan membuat setiap orang wanita menjadi bingung untuk memilih mana yang lebih baik!

Pemuda itu bernama Lindu Aji dan yang ke dua bernama Jatmika. Sebetulnya diantara mereka bertiga masih ada pertalian persaudaraan seperguruan, bukan tunggal guru, melainkan guru-guru mereka masih sealiran. Semula, ia jatuh cinta dengan Lindu Aji. Akan. tetapi, malapetaka menimpanya ketika ia terjatuh ke dalam jurang dan akibatnya, ia kehilangan ingatan sehingga kepada Lindu Aji yang dicintanya itupun ia lupa sama sekali. Bahkan kepada ayah bundanya pun ia lupa!

Dalam keadaan lupa ingatan masa lalu ini ia berjumpa dengan Jatmika dan pemuda inipun jatuh cinta padanya. Ia sendiri amat suka kepada Jatmika yang gagah perkasa, lembut dan berbudi. Dalam keadaan masih lupa akan masa lalunya, ia bertemu dengan orang tuanya, Ki Subali dan isteri. Walaupun mendapat penjelasan, ia tetap tidak ingat, namun ia mau mengaku mereka sebagai ayah dan ibu kandungnya. Kemudian ia bertemu dengan Neneng Salmah, seorang waranggana yang ditolong Lindu Aji dari tangan orang-orang jahat. Neneng Salmah dan ayahnya, Ki Salmun, dapat melarikan diri dan oleh Lindu Aji dititipkan kepada Ki Subali. Selanjutnya mereka ditampung di Dermayu oleh Ki Subali.

Sulastri dan Neneng Salmah akrab sekali. Neneng Salmah dengan terus terang menceritakan bahwa ia jatuh cinta kepada Lindu Aji, satria yang telah menyelamatkannya. Sulastri yang dalam keadaan kehilangan ingatan itu diberi nama Listyani atau disebut Eulis oleh Jatmika yang menolongnya karena gadis itu lupa akan namanya, tidak perduli mendengar betapa Neneng Salmah jatuh cinta kepada Lindu Aji. Ia sama sekali tidak ingat bahwa Lindu Aji adalah pria yang amat dikasihinya sebelum ia kehilangan ingatannya akan masa lalunya.

Kemudian, ia mendapatkan kembali ingatannya dan terjadilah masalah yang amat sulit diatasi itu. Lindu Aji yang melihat keakraban Eulis dengan Jatmika, merasa bahwa dia harus mundur dari Sulastri dan menganjurkan Sulastri yang pulih kembali ingatannya itu untuk menikah dengan Jatmika. Betapa mulianya budi pekerti Lindu Aji. Terkenang akan hal ini, Ni Dewi Melati Puspa tak dapat menahan mengalirnya beberapa butir air mata dari pelupuk matanya menuruni kedua pipinya. Ia segera mengusap air matanya dan melanjutkan kenangannya.

Setelah Lindu Aji menyatakan bahwa ia harus menikah dengan Jatmika, ia sebaliknya juga menghendaki agar Lindu Aji menikah dengan Neneng Salmah yang amat mencintanya. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Lindu Aji menolak Neneng Salmah dan dia meninggalkan Dermayu. Setelah Lindu Aji pergi, Jatmika mengajukan pinangan kepadanya. Dengan berat hati Sulastri menolak pinangan Jatmika itu karena sesungguhnya yang dicintanya hanya Lindu Aji. Maka gagallah sama sekali perjodohan antara mereka berempat dan agaknya mereka semua mengalami patah hati!

Lindu Aji pergi, Jatmika yang ditolak lamarannya juga pergi. Ia tinggal di rumah, selain merasa duka akan kegagalan cintanya sendiri, juga ia harus menghadapi Neneng Salmah yang setiap hari menangis, merana sehingga tampak kurus dan pucat! .

Akhirnya ia tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ia berpamit kepada ayah bundanya, tidak mengacuhkan cegahan dan halangan mereka, kemudian merantau untuk menghibur hatinya yang gundah dan risau. Dan ia bertemu dengan gerombolan yang dipimpin Suro Gentho, membunuh Suro Gentho dan anak buahnya, lalu mengambil alih perkampungan gerombolan itu dan mendirikan perkumpulan Melati Puspa. Ia sendiri ingin melupakan dirinya sebagai Sulastri atau sebagai Listyani atau Eulis, dan mengaku bernama Melati Puspa, bahkan memberi nama itu pula kepada perkumpulannya.

Ni Dewi menghela napas panjang dan miringkan tubuhnya. Lamunannya terhenti. Sudah dua tahun ia menjadi pimpinan perkumpulan itu dan ia telah berhasil menggembleng para anggautanya, bukan saja dengan ilmu silat tangan kosong Sunya Hasta yang hanya diajarkan gerakan kaki tangannya saja tanpa diajarkan inti aji itu ialah pengosongan diri dan penyerahan kepada Gusti Allah. Juga ia mengajarkan gerakan silat pedang. Untuk menghapus jejaknya sebagai Sulastri atau Listyani, bahkan pedang Naga Wilis yang oleh pemiliknya, Retno Susilo, telah diberikan kepadanya itu diberi gagang dan sarung baru dengan ukiran bunga-bunga melati. Dan disamping itu, ia telah berhasil mengubah watak mereka dengan peraturan dan ketertiban yang keras, yaitu dari pelaku-pelaku kejahatan menjadi wanita-wanita penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan! Dalam waktu dua tahun saja, nama perkumpulan Melati Puspa terkenal dan tersiar dengan harum seperti bunga melati, sebagai perkumpulan para pendekar wanita!

Kembali Ni Dewi menghela napas panjang. Setelah menghadapi kasus Marsi dan Jayeng, ia merasa bersedih, diingatkan akan keadaan dirinya. Sedangkan seorang seperti Marsi anak buahnya itu, mendapatkan jodoh seorang pria yang dikasihi dan mengasihinya. Ia merasa iri melihat kebahagiaan mereka.

Dari sinar mata mereka saja ketika saling berpandangan, ia dapat merasakan bahwa kedua orang itu memang saling mencinta. Karena itulah maka ia tidak ragu lagi untuk memutuskan agar mereka menjadi suami isteri. Akan tetapi sekaligus keadaan mereka itu mengingatkan akan keadaan dirinya. Selama dua tahun ini ia menghabiskan waktunya di perkampungan Melati Puspa itu! Tidak sia-sia memang, karena ia mampu mengubah jalan hidup para wanita itu, yang dulunya menjadi anggauta gerombolan sesat kini menjadi anggauta perkumpulan pendekar. Yang baru masukpun dari wanita-wanita yang putus asa kini menjadi wanita-wanita yang gagah dan mempunyai masa depan yang lebih cerah serta mereka mampu membawa dan melindungi diri sendiri.

Kini boleh sekali-sekali ia tinggalkan untuk melanjutkan perantauannya. Ingin sekali ia melihat keadaan Lindu Aji. Apakah pemuda itu kini sudah menikah dengan gadis lain? Andaikata demikian halnya, ia tidak akan merasa penasaran. Bukankah ia dahulu juga rela membiarkan Lindu Aji berjodoh dengan Neneng Salmah? Ada kerinduan yang amat mendalam di hatinya terhadap Lindu Aji. Juga ia ingin bertemu dan melihat keadaan Jatmika sekarang. Ia merasa kasihan dan ia akan ikut merasa senang andaikata melihat Jatmika sudah hidup berbahagia dengan wanita lain.

Teringatlah ia akan cerita Jayeng tadi. Ah, mengapa tidak? Cerita tentang iblis betina itu dapat menjadi dalih baginya untuk sementara waktu meninggalkan Melati Puspa, untuk melakukan penyelidikan terhadap iblis betina itu!

Pada keesokan harinya, Ni Dewi sudah mengambil keputusan tetap. Ia memanggil semua anak buahnya, kini tinggal lima puluh lima orang dan mengatakan bahwa. ia hendak menyelidiki iblis betina yang membakar pondok di Bukit Keluwung. Ia menyerahkan pimpinan kepada anggauta yang paling dipercaya dan yang paling tangguh diantara semua anggauta. Ia mengangkat anggauta itu yang bernama Suwarni sebagai pemimpin sementara. Setelah itu, berangkatlah Ni Dewi menuruni Gunung Liman. Ketika menuruni lereng itu, dari tempat tinggi itu ia dapat melihat Gunung Wilis menjulang tinggi di arah tenggara.

Kembali terbayang akan peristiwa yang dialami Jayeng dan timbul keinginan tahunya. Siapakah iblis betina yang berpakaian serba putih dan bersenjatakan kebutan yang demikian saktinya sehingga dengan kebutannya mampu menumbangkan pohon-pohon dan menghancurkan batu-batu?

Ni Dewi lalu menuruni lereng Gunung Liman, kini ia mengerahkan tenaga saktinya dan berlari seperti terbang cepatnya. Ujung rambut yang digelung itu berkibar-kibar di atas punggungnya, dimana terdapat sebuah buntalan pakaian dan pedangnya. Setelah senja pada hari itu, ia tiba di kaki pegunungan Wilis. Ia mulai mencari-cari dimana letaknya Bukit Keluwung. Karena daerah ini asing baginya, maka ia menjadi bingung karena pegunungan itu mempunyai banyak sekali bukit. Untung ia bertemu dengan seorang laki-laki penyabit rumput di luar sebuah dusun dan orang inilah yang menunjukkan dimana adanya Bukit Keluwung itu. Setelah mengetahui letaknya, Ni Dewi berlari cepat menuju ke bukit itu. Akan tetapi malam keburu datang. Terpaksa malam itu ia berhenti dan melewatkan malam di kaki bukit.

Sebagai seorang gadis yang dulu sudah biasa merantau, Ni Dewi mampu tidur di sembarang tempat. Tubuhnya yang terlatih kuat itu mampu menahan dinginnya angin malam. Ia membuat api unggun, selain mencari kehangatan api, terutama sekali untuk mengusir nyamuk. Ia tidur dekat api unggun, setengah duduk bersandar sebuah batu besar.

Pada keesokan harinya, sinar matahari pagi yang menimpa mukanya membangunkan Ni Dewi. Semalam, sampai jauh malam ia baru dapat pulas karena pikirannya selalu melayang-layang ke masa lalul sehingga pagi ini ia baru bangun setelah tergugah sinar matahari yang menimpa mukanya. Ia membuka matanya, silau oleh sinar matahari dan miringkan muka untuk mengelak dari serangan matahari pada kedua matanya. Ia memejamkan matanya kembali, masih segan untuk bangun.

"Ni Dewi, mengapa tidur disini....?"

Teguran suara laki-laki ini mengejutkan hati Ni Dewi dan iapun melompat dan siap menghadapi bahaya. Ia melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di depannya dan laki-laki itu kini melongo memandang kepadanya, agaknya heran dan terkejut.

"Siapa engkau?" Ni Dewi membentak. "Bagaimana engkau dapat mengenal aku?"

"Maaf, saya .... saya tidak mengenal mas ayu. Maaf kalau saya mengagetkan andika, tadi saya kira andika adalah Ni Dewi, maka saya berani menyapa...."

Mengertilah Ni Dewi bahwa ada kesalah-pahaman disini. Laki-laki itu mengira ia seorang wanita lain yang agaknya juga bernama Ni Dewi!

"Hemm, siapakah Ni Dewi yang kau maksudkan itu? Hayo katakan sejujurnya, kalau tidak aku tidak akan mempercayai ucapanmu tadi dan akan kuhajar engkau!"

Laki-laki itu terbelalak. "Aduh, maaf, masayu.... andika memang mirip Ni Dewi...! Ketahuilah, saya adalah seorang diantara lima pembantu atau pelayan Ni Dewi, dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Kalau pagi kami mendaki puncak dan bekerja dirumahnya, kalau sore kami turun dan kembali ke dusun kami yang berada di kaki bukit. Empat hari yang lalu, ketika pagi-pagi kami mendaki puncak, setibanya disana kami melihat rumah yang indah itu telah menjadi puing, habis bekas terbakar! Dan kami tidak pernah melihat Ni Dewi lagi sampai pagi hari ini... saya bertemu andika tidur disini. Saya kira Ni Dewi, ia juga muda dan cantik seperti andika, maka saya berani menyapa... tidak tahunya setelah andika terbangun, andika bukan Ni Dewi. Maafkan saya...."

"Tapi, siapakah Ni Dewi itu? Siapa nama lengkapnya?" Ni Dewi Melati Puspa mendesak tak sabar. Iblis betina berpakaian serba putih bersenjata kebutan itukah? Akan tetapi, mengapa ia membakar rumahnya sendiri?

"Nama lengkapnya Ni Dewi, kalau saya tidak salah adalah Maya, ....ya, Ni Maya Dewi begitulah, akan tetapi kami biasa menyebutnya Ni Dewi saja."

Ni Dewi Melati Puspa mengangguk-ngguk dan tersenyum. Ah, kiranya Maya Dewi? Pantas disebut iblis betina! Tentu saja ia mengenal baik Ni Maya Dewi, bahkan dapat dibilang iblis betina itu adalah musuh besarnya dan sudah seringkali ia bentrok dan bertanding melawan Maya Dewi! Kalau sekarang ia bertemu dengan Maya Dewi, mereka berdua tentu akan bertanding mati-matian dan ia yakin kalau bertanding satu lawan satu, walaupun mereka memiliki ketangguhan seimbang, ia pasti akan dapat membunuhnya!

Ni Maya Dewi, si iblis betina yang dulu menjadi antek Kumpeni Belanda! Akan tetapi, mengapa ia membakar rumahnya sendiri dan benarkah sekarang ia mempunyai sebuah senjata kebutan yang ampuh? Dan apakah ia kini suka berpakaian serba putih seperti setelah ia menjadi pemimpin perkumpulan Melati Puspa?

"Paman, aku percaya omonganmu. Apakah Ni Maya Dewi itu suka berpakaian serba putih dan memiliki senjata ampuh berupa sebuah kebutan?"

Laki-laki itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala kuat-kuat. "Tidak, masayu, sama sekali tidak! Memang, Ni Dewi adalah seorang wanita cantik jelita yang sakti mandraguna, semua penduduk di dusun sekitar bukit ini mengetahuinya baik-baik. Akan tetapi ia tak pernah mengenakan pakaian serba putih seperti... seperti yang anda pakai sekarang ini. Pakaiannya selalu indah dan berharga mahal, dan senjatanya juga bukan kebutan, melainkan sebuah sabuk yang amat indah, kalau tidak salah... ia pernah menyebutnya, sabuk itu dinamakan Sabuk Cinde Kencana."

Jelas sudah, pikir Ni Dewi. Pemilik rumah itu jelas Ni Maya Dewi, akan tetapi siapa wanita cantik berpakaian putih bersenjata kebutan yang membakar rumah Maya Dewi lalu mengamuk dan marah-marah itu? Siapa wanita yang disebut iblis betina oleh Jayeng?

"Paman, kenapa rumah milik Ni Maya Dewi itu dibakar? Siapa yang membakarnya?"

"Itulah yang membuat kami berlima, para pembantu Ni Dewi, merasa penasaran sekali, masayu. Pagi itu, ketika kami mendaki puncak bukit ini untuk bekerja seperti biasa, setibanya di puncak kami melihat rumah yang indah itu telah habis terbakar, menjadi abu dan arang. Kami tidak melihat siapapun juga disana, bahkan kami tidak dapat menemukan Ni Dewi. Karena itu, kami juga tidak tahu siapa yang membakar rumah itu. Akan tetapi kami melihat banyak pohon tumbang dan batu besar pecah berantakan. Sungguh merupakan hal yang penuh rahasia dan sampai sekarang kami masih merasa penasaran sekali, masayu. Bahkan pagi inipun saya sengaja berjalan-jalan, dengan harapan dapat bertemu dengan Ni Dewi."

"Kalau menurut pendapatmu, siapa kiranya yang membakar rumah itu, paman?"

"Saya tidak tahu. Ni Maya Dewi mempunyai banyak musuh. Sudah banyak orang, laki-laki dari segala golongan, berdatangan untuk meminangnya. Akan tetapi mereka semua ditolak, bahkan yang menggunakan kekerasan dikalahkan dan dirobohkan oleh Ni Dewi. Mungkin ada yang membalas dendam, atau mungkin.... Ni Dewi sendiri yang membakar rumahnya! Ia memang seorang wanita yang cantik dan sakti mandraguna, akan tetapi wataknya aneh sekali, masayu. Ia banyak melamun dan banyak menangis."

Ni Dewi Melati Puspa semakin penasaran. Penggambaran orang itu tentang diri Maya Dewi juga terasa aneh olehnya. Ni Maya Dewi menolak lamaran banyak pria, merobohkan mereka dan banyak melamun, bahkan banyak menangis, hidup menyepi disini? Sungguh berlawanan dengan sifat Ni Maya Dewi seperti yang ia kenal, ganas, binal, sesat dan kejam!

"Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah Ni Maya Dewi mempunyai kenalan, atau pernah dikunjungi, seorang wanita cantik berpakaian putih yang mempunyai senjata sebuah kebutan?"

Laki-laki itu mengerutkan sepasang alisnya, berpikir-pikir, lalu menggeleng kepalanya. "Tidak, masayu, selama dua tahun kami bekerja pada Ni Maya Dewi, belum pernah saya melihat wanita berpakaian putih bersenjata kebutan."

"Oh, jadi Ni Maya Dewi baru dua tahun tinggal di puncak Bukit Keluwung ini?"

"Begitulah, masayu."

"Terima kasih, paman. Nah, andika boleh pergi sekarang. Akan tetapi jangan ke puncak bukit ini. Aku yang akan melakukan penyelidikan kesana."

"Baiklah, masayu." laki-laki itu lalu melangkah pergi menuju dusun tempat tinggalnya. Dari sikap dan pembawaan Ni Dewi Melati Puspa, dia dapat menduga bahwa wanita itu adalah sebangsa majikannya, yaitu seorang yang memiliki kesaktian dan wataknya aneh.

Ni Dewi lalu berkemas. Ia membersihkan diri di sebuah pancuran air, kemudian mulailah ia mendaki bukit itu. Hemm, pikirnya, jadi Maya Dewi baru sekitar dua tahun tinggal disini? Ini berarti bahwa iblis betina itu mengundurkan diri kesini sehabis perang di Batavia, seperti juga dirinya. Karena ingin sekali segera dapat tiba di puncak dengan harapan dapat bertemu dengan Maya Dewi yang mungkin masih bersembunyi disekitar puncak, Ni Dewi Melati Puspa lalu mengerahkan Aji Bayu Sakti, berlari mendaki Bukit Keluwung seperti terbang cepatnya sehingga tak lama kemudian ia sudah berdiri didepan bekas rumah yang telah menjadi abu dan arang itu.

Di jalan tadi iapun melihat pohon-pohon yang tumbang dan batu-batu yang pecah berantakan. Sungguh mengerikan bekas amukan wanita baju putih yang memegang kebutan itu. Dari bekas amukannya saja Ni Dewi dapat menduga bahwa wanita itu tentu sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya!

Melihat suasana disitu sunyi, tiada seorang pun tampak, Ni Dewi lalu melewati bekas rumah, melihat-lihat taman bunga dan kebun yang indah dan agaknya terawat baik-baik. Ia berjalan terus menuju ke belakang kebun dan akhirnya ia berdiri di depan guha itu. Ia tertarik sekali. Siapa tahu Maya Dewi masih berada di sini, bersembunyi di dalam guha besar ini! Akan tetapi mengapa bersembunyi? Bisakah seorang seganas dan sekejam Maya Dewi ketakutan dan perlu bersembunyi? Akan tetapi, ia harus menyelidiki.

Ni Dewi mencabut pedangnya. Di balik sarung pedang yang berukir bunga melati itu, keluarlah sebatang pedang yang menimbulkan sinar hijau berkilat dan pada tubuh pedang itu terukir bentuk seekor naga. Itulah pedang Naga Wilis yang ampuhnya menggiriskan! Dengan pedang di tangan kanan untuk bersiap siaga, Ni Dewi lalu memasuki guha. Ia melangkah perlahan-lahan, berhati-hati, apalagi ketika ternyata bahwa guha itu mempunyai terowongan. Dengan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf dalam tubuhnya siap siaga menghadapi bahaya, ia melangkah maju terus, satu-satu, karena terowongan itu agak gelap.

Akhirnya terowongan itu berakhir, buntu karena terhalang tumpukan batu-batu yang menyumbat terowongan. Mudah dilihat dalam keremangan bahwa terowongan itu agaknya tertutup batu-batu yang longsor dan runtuh dari atas. Ni Dewi bergidik. Tempat ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau ada keruntuhan batu-batu lagi sebelum ia keluar, ia bisa celaka. Tertimpa batu-batu atau terkurung dalam terowongan, tidak mampu keluar lagi. Teringat, akan kemungkinan longsornya batu-batu seperti yang ia lihat di depannya, ia lalu memutar tubuh dan cepat-cepat keluar dari terowongan itu. Ni Maya Dewi jelas tidak bersembunyi di situ.

Setelah tiba diluar guha, ia menyarungkan pedangnya dan berdiri memandang guha itu. Kini setelah ia mengamati mulut guha dengan penuh perhatian, baru tampak olehnya tulisan yang terukir di atas batu besar yang terdapat di depan guha. Ia cepat menghampiri dan membaca tulisan itu...

"KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO"

Membaca tulisan itu, Ni Dewi Melati Puspa menjadi bengong. Jantungnya berdebar tegang. Jadi Maya Dewi telah mati? Terkubur di dalam gua? Ah, tentu tertimpa dan teruruk timbunan batu longsor dalam terowongan itu. Dan Bagus Sajiwo? Siapa itu? Belum pernah dia mendengar nama itu. Akan tetapi.... nama itu seperti tidak asing bagi telinganya. Ia pernah mendengar tentang nama itu! Akan tetapi siapa? Dimana ia mendengarnya? Ni Dewi mencoba untuk mengingat-ingat, namun sia-sia. Ia tidak mampu mengingat kembali dimana ia pernah mendengar tentang nama Bagus Sajiwo itu.

Sesungguhnya, memang pernah Ni Dewi Melati Puspa, ketika ia masih dikenal dengan nama Sulastri, mendengar nama Bagus Sajiwo ini. Ketika itu ia dan Jatmika bertemu dengan Sutejo atau Ki Tejomanik dan isterinya yang bernama Retno Susilo. Mula-mula terjadi bentrokan antara ia dan Retno Susilo karena ia memegang pedang Naga Wilis yang tadinya menjadi milik Retno Susilo. Setelah kedua pihak saling berkenalan dan tahu bahwa mereka adalah orang-orang segolongan, bukan musuh, Ki Tejomanik dan Retno Susilo menceritakan tentang anak mereka yang hilang, diculik orang, dan anak itu bernama Bagus Sajiwo.

Retno Susilo lalu menolak ketika Sulastri hendak mengembalikan pedang Naga Wilis, bahkan dengan suka rela memberikan pedang itu kepada Sulastri. Nah, hanya sekali itulah Sulastri mendengar akan nama Bagus Sajiwo dan ketika itu dia malah berjanji hendak membantu mencari anak yang hilang itu. Akan tetapi sekarang ia sudah lupa sama sekali walau pun nama itu tidak asing terdengar oleh telinganya. Setelah merasa yakin bahwa disitu tidak ada apa-apa lagi untuk diselidiki, Ni Dewi lalu meninggalkan puncak Bukit Keluwung.

Ia teringat akan cerita Jayeng bahwa iblis betina baju putih bersenjata kebutan itu melakukan pengejaran menuju kearah selatan. Maka iapun lalu menuju kearah selatan. Siapa tahu ia akan bertemu dengan iblis betina itu. Dan siapa tahu pula ia akan dapat menemukan Lindu Aji atau Jatmika. Ia memang hendak menyusul Lindu Aji di tempat asalnya, di rumah tempat tinggal ibu pemuda itu. Ia masih ingat. Lindu Aji pernah bercerita bahwa dia berasal dari dusun Gampingan, daerah Gunung Kidul, dekat pantai Laut Kidul. Ia akan menyusul kesana!

********************

Lebih dua tahun yang lalu, ketika pasukan Mataram yang mengepung Batavia gagal dalam perang melawan Kumpeni Belanda karena terutama sekali pasukan Mataram kalah lengkap dalam persenjataan, ditambah adanya wabah pes dan malaria, juga karena kekurangan ransum, para satria yang membantu pasukan Mataram juga berpencar meninggalkan Batavia, kembali ketempat tingal masing-masing.

Seorang diantara mereka adalah Lindu Aji, seorang satria pendekar yang budiman dan sakti mandraguna. Dari Batavia Lindu Aji diajak oleh oleh Sulastri mampir ke Dermayu bersama Jatmika, seorang satria lain yang masih terhitung saudara sealiran persilatan. Memang ada hubungan erat antara mereka bertiga, hubungan yang memberatkan hati Lindu Aji.

Tak dapat dia sangkal lagi dalam hatinya bahwa dia saling jatuh cinta dengan Sulastri. Akan tetapi, ketika dia dan Sulastri bentrok dengan gerombolan penjahat, Sulastri tertimpa malapetaka, terjatuh ke dalam jurang. Dia sudah berusaha mencarinya, namun tidak dapat menemukan gadis yang dikasihinya itu. Sulastri lenyap begitu saja. Kalau mati tidak terdapat mayatnya di dasar jurang. Kalau hidup, entah kemana?

Akhirnya dia bertemu juga dengan Sulastri, akan tetapi gadis itu kehilangan ingatannya masa lalu, bahkan lupa akan namanya sendiri sehingga memakai nama baru, yaitu Listyani dengan sebutan Eulis. Dan dia melihat betapa Jatmika amat mencintai Listyani dan agaknya Listyani atau Sulastri juga mencinta Jatmika.