Alap Alap Laut Kidul Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Alap Alap Laut Kidul

Jilid 18
KI SUDRAJAT mengerutkan alisnya. "Maafkan aku, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa Ki Ageng Pasisiran sudah amat sepuh (tua) dan kalau tidak ada hal yang teramat penting, sebaiknya beliau jangan diganggu. Maka, katakanlah dulu kepadaku apa yang hendak andika sampaikan kepada beliau agar dapat ku pertimbangkan apakah hal itu cukup penting ataukah tidak."

Ucapan Ki Sudrajat itu tentu saja mendatangkan rasa penasaran dalam hati Aji, walaupun ucapan itu dilakukan dengan lembut. "Maaf, paman. Akan tetapi, urusan ini hanya dapat saya sampaikan kepada Ki Ageng Pasisiran, bukan kepada orang lain."

Ki Sudrajat tersenyum maklum. "Anak mas Lindu Aji, aku bukan orang lain bagi Ki Ageng Pasisiran karena aku adalah anaknya."

Aji terkejut dan cepat memberi hormat. "Oh, maafkan saya, paman. Kalau paman putera beliau, tentu saja dapat saya beritahukan. Saya ingin menghadap Ki Ageng Pasisiran untuk membicarakan tentang Sulastri karena Sulastri pernah bercerita kepada saya bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pasisiran."

"Sulastri? Benar sekali, ia murid Bapa. Mari anakmas Lindu Aji, mari masuk dan kuantar menghadap Ki Ageng Pasisiran." Ki Sudrajat mempersilakan dengan sikap ramah. Mereka memasuki rumah dan langsung diajak masuk ruangan di mana Ki Ageng Pasisiran masih duduk bersila. Kakek itu telah dapat menguasai perasaannya dan kini duduk dengan sikap tenang, bersila di atas dipan seperti sebuah arca.

Melihat kakek yang sudah tua renta itu, Aji lalu berlutut dan menyembah. "Eyang, mohon maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu eyang."

"Bapa, orang muda ini bernama Lindu Aji dan dia mohon menghadap Bapa untuk menyampaikan berita tentang diri Sulastri." Ki Sudrajat melaporkan.

Mendengar ini, wajah Ki Ageng pasisiran agak berseri dan dia segera berkata kepada Aji. "Anak mas Lindu Aji... hemm, namamu sungguh bagus..."

"Saya biasa disebut Aji saja, kanjeng eyang."

"Baiklah, Aji. Andika datang membawa kabar tentang Sulastri? Nah, ceritakan tentang muridku yang bengal itu."

"Bagaimana andika dapat mengenal Sulastri, anakmas Aji?" Tanya pula Ki Sudrajat.

"Begini ceritanya, kanjeng eyang dan kanjeng paman. Ketika itu saya membantu Ki Sumali dari Loano untuk menentang gerombolan Gagak Rodra. Ternyata gerombolan itu didukung oleh dua orang tokoh sesat yang sakti mandraguna, yaitu Aki Somad dari Nusakambangan dan Nyi Maya Dewi."

"Ah, dua orang itu di mana-mana selalu mendatangkan kekacauan!" seru Ki Sudrajat.

"Nah, pada saat saya membantu Paman Sumali itu, muncullah Sulastri. dengan bantuan Sulastri yang ternyata keponakan dari Paman Sumali yang mengunjungi pamannya, akhirnya kami dapat mengalahkan dan mengusir para penjahat. Nimas Sulastri dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi."

"Bagus, anak Bengal itu dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi!" terdengar Ki Ageng Pasisiran memuji lirih, hatinya girang mendengar muridnya yang masih muda belia itu dapat mengalahkan wanita sesat yang terkenal itu. "Akan tetapi, Aji, mengapa kalian memusuhi Aki somad?"

"Gerombolan itu ternyata menjadi antek Kumpeni Belanda, eyang."

"Hemm, Aki Somad juga menjadi antek Belanda?" Ki Sudrajat mencela. "Dan andika sendiri, anakmas Aji. Kenapa andika mati-matian menentang para antek Kumpeni Belanda itu?"

"Terus terang saja, kanjeng eyang dan kanjeng paman, saya mengemban dawuh (melaksanakan perintah) Gusti Sultan Agung di Mataram untuk membantu Mataram dan menyelidiki keadaan di daerah barat sampai ke Batavia."

"Lhadhalah! Kiranya andika ini seorang senopati Mataram?" seru Ki Sudrajat.

Wajah Aji memerah. "Bukan, paman. Saya tidak menerima anugerah itu karena masih memiliki banyak tugas pribadi dan Gusti Sultan hanya memberi pusaka Kyai Nagawelang ini dan memberi tugas itu kepada saya."

"Aji, bocah gagah, lalu bagaimana ceritanya dengan Sulastri?" Tanya Ki Ageng Pasisiran.

"Saya berkenalan dengan Sulastri dan ketika saya hendak meninggalkan rumah Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan ke barat, Sulastri ikut. Iapun hendak pulang ke Dermayu. Dalam perjalanan, kami berdua bentrok dengan para antek Kumpeni Belanda, bahkan kami berdua sempat ditawan dan dibawa ke kapal milik Kumpeni Belanda. Akan tetapi kami berhasil meloloskan diri, Ketika kami tiba di Cirebon dan menghadap Gusti Pangeran Ratu untuk melaporkan tentang para antek kumpeni itu, Gusti Pangeran Ratu minta bantuan kami berdua untuk membasmi gerombolan pengacau pimpinan Munding Hideung yang bersarang di gunung Careme. Kami menerima tugas itu dan pergi ke Gunung Careme. Akan tetapi... justeru di sanalah... terjadi musibah yang menimpa diri Sulastri..." kata Aji dengan nada sedih.

"Apa yang terjadi dengan Sulastri?" Tanya Ki Ageng Pasisiran. "Ceritakanlah, apa yang telah terjadi, anakmas Aji?" Tanya pula Ki Sudrajat.

Aji lalu menceritakan pengalamannya dengan Sulastri di lereng Gunung Careme itu, betapa Sulastri jatuh ke bawah tebing seperti yang telah dia ceritakan kepada Ki Subali dan isterinya. Juga dia menceritakan betapa dia sudah berusaha mencari, dibantu banyak anak buah Munding Hideung, namun tetap saja tidak dapat menemukan Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan bekas, hanya menemukan pedang Naga Wilis yang kini sudah dia kembalikan kepada Ki Subali.

Suasana menjadi sunyi setelah Aji mengakhiri ceritanya tentang musibah yang menimpa diri Sulastri. Kemudian Ki Ageng Pasisiran berkata dengan tenang, "Aku percaya bahwa Sulastri masih hidup. Tidak ditemukannya jenazah anak itu berarti bahwa ia masih hidup dan telah meninggalkan bawah tebing."

"Anakmas Aji, kami mengucapkan terima kasih bahwa andika telah menyampaikan berita ini kepada kami," kata Ki Sudrajat.

"Sebelum saya mohon diri, masih ada sebuah hal lagi yang membuat saya bertanya-tanya dan penasaran tentang diri Nimas Sulastri yang ingin saya tanyakan kepada eyang."

"Apalagi yang ingin kau ketahui tentang Sulastri? Bukankah engkau sudah mengenalnya dengan baik?" Tanya Ki Sudrajat, mewakili ayah angkatnya.

"Begini, eyang. Ketika berada di atas tebing, sebelum pundaknya terkena anak panah dan terjatuh ke bawah tebing, saya melihat Sulastri memukul Munding Bodas sehingga wakil ketua gerombolan iu terjatuh ke bawah tebing. Saya terkejut karena mengenal gaya pukulan itu, dan ketika saya menemukan jenazah Munding Bodas di bawah tebing, saya menjadi yakin melihat bekas telapak tangan menghitam di dada kepala gerombolan itu. Saya yakin bahwa Sulastri telah mempergunakan ilmu pukulan Aji Margopati!"

"Andika mengenal aji Margopati, anakmas Aji?" Tanya Ki Sudrajat.

"Tentu saja saya mengenalnya, kanjeng paman. Akan tetapi dari mana Sulastri mempelajarinya? Apakah selain kanjeng eyang masih ada lain guru yang mengajarkan aji kanuragan kepada Sulastri?"

"Setahu kami tidak, bukankah begitu, bapa?" Tanya Ki sudrajat kepada Ki Ageng Pasisiran.

"Memang tidak ada," kata Ki Ageng Pasisiran.

"Kalau begitu, siapa yang mengajarkan Aji Margoapati?" Tanya Aji sambil memandang kedua orang tua itu.

"Siapa lagi kalau bukan gurunya?"

"Akan tetapi, bagaimana ini? Mana mungkin! Menurut mendiang guru saya, yang menguasai Aji Margopati hanya tiga orang saja, yaitu guru saya dan dua orang kakak seperguruannya!"

Mendengar ini, Ki Ageng Pasisiran memandang aji dan bertanya dengan heran. "Katakanlah, siapa tiga orang yang menguasai Aji Margopati itu?"

"Mereka adalah Ki Tejo Wening, ki tejo Langit, dan Ki Tejo Budi."

"Dan siapa gurumu itu?" Tanya pula Ki Ageng Pasisiran sambil menatap wajah Aji.

"Guru saya adalah Eyang Guru Ki Tejo Budi."

"Aduh Gusti...!!" Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Ki Ageng Pasisiran dan Ki Sudrajat dan mereka berdua bangkit dan berdiri di depan Aji.

"Aji, katakanlah di mana gurumu itu sekarang?" Tanya Ki Sudrajat dan suaranya diliputi ketegangan.

"Eyang Guru Tejo Budi... telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu."

"Ya Allah...!" Dua orang pria itu berseru dan Aji memandang terheran-heran ketika Ki Ageng Pasisiran terjatuh duduk di atas dipan kembali dan kakek itu menangis!

"Kanjeng eyang dan kanjeng paman, apa artinya ini...?" Aji bertanya.

"Bapa dahulu bernama Ki Tejo Langit," kata Ki Sudrajat.

Kini Aji yang terkejut. Sungguh sama sekali tidak disangkanya! Tanpa dicari, dia sudah berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Dan orang setengah tua itu. "Kiranya eyang adalah Eyang Tejo Langit! Ah, betapa bahagia rasa hati saya dapat bertemu dengan eyang. Dan... paman ini... apakah Paman Sudrajat yang dipanggil Ajat?" Ki Sudrajat mengangguk.

"Ah, sungguh saya merasa berbahagia sekali. Sebelum meninggal, eyang guru meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari Paman Sudrajat dan mengabarkan bahwa Eyang guru Tejo Budi telah meninggal dunia."

"Eyang gurumu itu sudah menceritakan siapa aku?" kata Ki Sudrajat.

Aji mengangguk. "Apa saja yang dia ceritakan?" tiba-tiba Ki Tejo Langit yang tadi menutupi muka dengan kedua tangannya, bertanya.

"Mendiang eyang guru menceritakan bahwa puteranya bernama Sudrajat dan ikut dengan Eyang Tejo Langit" jawab Aji dengan hati-hati.

"Benar, sejak Bapa Tejo Budi pergi, aku ikut Bapa Tejo Langit sebagai anak tirinya dan muridnya. Ibu kandungku juga sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu."

"Ah, tahukah engkau anak mas Aji bahwa baru saja kami berdua membicarakan Adimas Tejo Budi pada saat engkau datang. Sungguh kebetulan sekali, akan tetapi juga... sungguh membingungkan dan menyedihkan berita yang kau bawa." kata Ki Tejo Langit.

"Aku girang dapat bertemu denganmu Aji, akan tetapi juga bingung mendengar hilangnya Sulastri dan sedih mendengar tentang kematian ayah kandungku. Akan tetapi, engkau harus berdiam di sini dulu dan menceritakan kepada kami ini semua tentang mendiang ayah kandungku." kata Ki Sudrajat.

Mereka kini menjadi akrab sekali karena Aji dianggap sebagai keluarga sendiri. Aji diminta untuk menceritakan segala hal mengenai Ki Tejo Budi, dan dia menceritakan semua yang diketahui dan dialami selama Ki Tejo Budi tinggal bersama dia dan ibunya. Mendengar betapa Ki Tejo Budi hidup menyendiri dan terlunta-lunta, kedua orang itu mendengarkan dengan hati terharu sekali. Terutama sekali Ki Tejo Langit yang makin merasa betapa dia yang membuat kehidupan Ki Tejo Budi menjadi terlantar kesepian dan penuh kedukaan. Ketika hari menjelang senja dan Aji berpamit, Ki Sudrajat menahannya.

"Jangan pergi dulu, Aji. Engkau adalah murid tersayang bapa kandungku, berarti engkau adalah warga kami sendiri. Tingggallah di sini malam ini. Masih banyak yang ingin kutanyakan kepadamu mengenai bapa kandungku."

Ki Tejo Langit juga menahannya sehingga terpaksa Aji tinggal di pondok itu. Ketika senja datang dan cuaca mulai remang, ki Sydrajat menyalakan beberapa buah lampu gantung. Sebuah digantung di depan pintu menerangi bagian luar pondok, sebuah digantung di belakang dan sebuah lagi di ruangan tengah di mana mereka bertiga bercakap-cakap. Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar teriakan yang nyaring sekali dari luar pondok.

"Lindu Aji, keparat jahanam kamu! hayo keluar untuk menebus dosamu terhadap perguruan Dadali Sakti dengan menyerahkan nyawamu!"

Aji segera dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Raden Banuseta, Ketua Perguruan Dadali Sakti. Pembunuh ayahnya! Tidak, dia tidak mau mengingat tentang pembunuhan itu. Raden Banuseta adalah seorang ketua perkumpulan yang terkenal jahat, suka bertindak sewenang-wenang, bahkan anak buahnya diperintah untuk merampas Sriyani, isteri Sumanta. Orang yang pantas untuk ditentang dan dibasminya. Maka dia segera bangkit dan hendak keluar.

"Aji, tunggu dulu! Mengapa perguruan Dadali Sakti memusuhimu?" tanya Ki Sudrajat.

"Belum saya ceritakan kepada paman. Tadi pagi saya mendatangi sarang mereka dan memberi hajaran kepada semua muridnya karena mereka hendak menganiaya seorang yang tidak berdosa dan hendak merampas isterinya. Sekarang, saya kira ketuanya, Raden Banuseta yang datang ke sini mencari saya. Biarkan saya keluar, paman."

"Hemm, Raden Banuseta terkenal ganas dan suka sewenang-wenang. Biarkan aku yang menghadapinya karena dia berani datang membikin ribut di rumah kami. Aku memang belum lama tinggal di sini, akan tetapi aku sudah mendengar tentang kejahatannya!"

"Lindu Aji, pengecut! Hayo keluar jangan bersembunyi di dalam seperti kura-kura. Kalau kamu tidak mau keluar, akan kubakar pondok ini untuk memaksamu keluar!" terdengar lagi bentakan itu.

"Paman Sudrajat, dia menantang saya, harap paman tidak mencampuri urusan antara saya dan dia." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, aji sudah melompat keluar dari pintu. Dalam keremangan senja, Aji melihat bayangan dua orang di depan pondok. Seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian bangsawan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, menggantungkan sebatang golok bergagang emas di pinggangnya, berdiri di depan. Hatinya terguncang keras ketika dia mengenal orang itu. Dia bukan lain adalah pria bangsawan yang mempunyai hubungan akrab dengan Nyi Maya Dewi, pria yang ikut pula berkunjung ke kapal Kapten De Vos, pria yang tergila-gila kepada Sulastri dan bermaksud keji dan mesum terhadap gadis itu!

"Kau... kau... Raden Banuseta?" Tanya Aji, hatinya dipenuhi keheranan. Pria ini tersenyum mengejek dan dia mencabut goloknya yang bergagang emas.

"Benar, akulah Raden Banuseta, ketua Dadali Sakti. Lindu Aji, tempo hari engkau berhasil lolos, akan tetapi sekarang tiba saatnya engkau membayar semua hutangmu! Engkau berani mengacau Dadali Sakti, sekarang bersiaplah untuk mampus!"

Hati Aji bertambah panas. Raden Banuseta, yang telah membunuh ayah kandungnya, bukan hanya suka bertindak sewenang-wenang dan suka merusak pagar ayu merampas isteri dan anak orang, akan tetapi juga menjadi antek Kumpeni Belanda!

"Hemm, kiranya engkau bukan hanya jahat sewenang-wenang, melainkan juga menjadi anjing peliharaan Kumpeni Belanda!" bentak Aji marah dan pada saat itu dia memandang kepada pria yang berdiri di belakang Banuseta. Dia itu seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap, sikapnya gagah. Dia juga tampak tenang, berdiri menyilangkan kedua lengan di depan dada dan sinar matanya yang tajam memandang wajah Aji. Juga Aji melihat bayangan mencurigakan dari beberapa orang yang tampaknya mengepung pondok itu dengan sembunyi-sembunyi. Dalam keremangan malam yang mulai tiba, dia melihat mereka itu memegang tongkat.

Dimaki sebagai anjing peliharaan Kumpeni Belanda, Raden Banuseta menjadi marah bukan main. "Kamu anjing Mataram, mampuslah!"

Dia melompat ke depan Aji dan menerjang dengan gerakan goloknya menyerang dahsyat. Golok itu mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar dan tahulah Aji bahwa lawannya bukan orang lemah, melainkan memiliki tenaga yang kuat dan gerakan goloknya juga cepat sekali. Dia mengelak dengan tarikan kaki ke belakang dan mendoyongkan tubuh atas ke belakang sehingga golok yang membabat ke arah lehernya itu menyambar lewat di depannya. Namun, begitu bacokannya yang mengarah leher itu luput, Banuseta sudah membuat golok itu bergerak melingkar dan kini berubah menjadi serangan yang menusuk ke arah perut Aji.

"Hyaaaahhhh...!" bentaknya, goloknya menjadi gulungan sinar yang berdesing. Akan tetapi Aji yang sudah waspada dan tidak memandang remeh lawannya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti, sudah dapat mengelak ke kiri dengan mudah. Dari sebelah kanan lawan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat ke arah pinggang kanan Banuseta. Akan tetapi ketua Dadali Sakti itu dapat pula membuang diri ke kiri sambil mengelebatkan goloknya untuk memotong kaki Aji yang menyambar lewat. Akan tetapi Aji sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menyusul serangan kaki kiri tadi, menampar ke arah pelipis kiri lawan.

Banuseta terkejut bukan main. Ketika tiba di perguruan Dadali Sakti dan melihat para anggota perguruan itu menderita cedera, semua dihajar oleh seorang pemuda yang mencarinya, juga menggagalkan usaha Wiratma, wakilnya untuk merampas Sriyani dari tangan Sumanta, dia marah sekali. Kemudian dia mendengar bahwa pemuda itu bernama Lindu Aji. Teringatlah dia akan pemuda yang pernah menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan dia tahu bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna.

Maka, diapun membuat persiapan sebaiknya dan mendengar dari Wiratma bahwa musuhnya itu berada di pondok tempat tinggal Ki Ageng Pasisiran di pantai Laut Utara, dia membawa bala bantuannya menuju ke sana. Kini, biarpun dia sudah berhati-hati, dia melihat tamparang tangan kanan Aji ke arah pelipisnya, dia terkejut dan tidak sempat untuk mengelak atau menggunakan goloknya. maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menangkis dengan gerakan dari dalam keluar.

"Wuuttt... plakk!!" Raden Banuseta terhuyung ke belakang dan tentu akan jatuh terjengkang kalau tidak ada tangan yang kuat menangkap pangkal lengannya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Yang melakukan itu adalah laki-laki tinggi tegap yang tadi berdiri di belakangnya.

"Mundurlah, kakangmas Banuseta. Dia terlalu tangguh bagimu. Biar aku yang menandinginya!" kata pria berusia tiga puluh satu tahun lebih itu. Gerakannya ringan sekali ketika dia melompat ke depan Aji.

"Dimas, bunuhlah dia untukku!" kata Raden Banuseta dan dia menyelinap ke belakang dan lenyap dalam kegelapan malam. Aji berhadapan dengan lawannya itu. Sejenak mereka saling tatap bagaikan dua ekor jago yang hendak berlaga. Tiba-tiba orang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya bergerak cepat tangan kirinya terbuka dan mendorong ke arah dada Aji.

"Eh... !" Aji terkejut sekali dan cepat dia mengelak ke belakang karena dia mengenal gerakan orang itu. Jelas bahwa orang itu mempergunakan Aji Bayu Sakti ketika melompat dan bergerak sehingga tubuhnya menjadi ringan, dan pukulan yang dipergunakan Sulastri ketika merobohkan Munding Bodas, yaitu pukulan dengan Aji Margopati! Lawannya itu memiliki ilmu dari aliran yang sama dengan dia, walaupun dia sendiri tidak pernah dilatih Aji Margopati yang oleh mendiang Ki Tejo Budi dianggap terlalu ganas dan kejam.

Karena serangannya yang pertama gagal dan dapat dielakkan Aji, orang tinggi tegap itu berseru marah dan tubuhnya berkelebat cepat menerjang ke depan dan kembali dia mengirim pukulan Aji Margopati, kini dalam jarak yang lebih dekat. Angin dahsyat menyambar ketika tangan kanan orang itu mendorong. Maklum bahwa pukulan dahsyat itu sukar dihindarkan dengan mengelak, Aji lalu mengerahkan tenaga Surya Chandra dan diapun mendorongkan tangan kananya untuk menyambut pukulan lawan itu.

"Wuuuutttt... desss...!!" Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, Aji terdorong ke belakang akan tetapi lawannya juga terdorong ke belakang!

Heh... ???" Orang itu berseru heran dan memandang dengan mata terbelalak. Pada saat itu, sosok tubuh tua Ki Ageng Pasisiran muncul keluar dari pintu, bertopang pada tongkatnya. Ki Ageng Pasisiran atau yang dulu bernama ki tejo Langit memandang kepada lawan Aji itu dan di mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu berseru dengan suara bernada penuh teguran,

"Hei! Udin, apa yang kau lakukan ini....?"

"Dar-dar-dar-dor-dorrr!" Pada saat itu, dari arah kanan kiri terdengar beberapa kali ledakan dan tampak muncratnya bunga api dan tubuh kakek tua renta itu tersentak ke kanan kiri lalu roboh terkulai mandi darah! Pelor-pelor itu menembus tubuhnya yang tidak siap. Kini muncul Ki Sudrajat. Dia memegang sebuah lampu gantung dengan tangan kanan, mengangkat lampu gantung itu ke atas untuk menyinari wajah lawan Aji yang masih berdiri tertegun. "Udin! Hasanudin! Engkau... membantu kaki tangan Kumpeni...?"

"Dar-dar-dar-dor-dorr...!" Kembali terdengar letusan berkali-kali. Peluru bedil menyambar dari kanan kiri dan tampak bunga api berpijar-pijar. Lampu gantung di tangan Ki Sudrajat terkena tembakan dan padam seketika, kaca lampu itu hancur dan terlepas dari tangan Ki Sudrajat.

cerita silat online karya kho ping hoo

Akan tetapi ada sesuatu yang aneh, yang membuat Aji memandang dengan penuh kagum. Baju yang menutup dada Ki Sudrajat berlubang-lubang, hal ini dapat dilihat jelas karena ada sinar lampu gantung yang meneranginya. Akan tetapi tubuh itu tidak bergeming, agaknya tidak terluka dan sama sekali tidak roboh. Agaknya aji kekebalan Ki Sudrajat hebat sekali, mampu menahan peluru bedil dan ketika dia melangkah ke luar tadi agaknya dia sudah mempersiapkan diri dan mengerahkan aji kekebalannya sehingga dia tidak roboh oleh berondongan tembakan, tidak seperti Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang tidak sempat mempersiapkan diri karena heran dan terkejut melihat Udin tadi.

Pada saat itu, di belakang Hasanudin yang masih tercengang itu muncul bayangan Raden Banuseta yang memegang sebuah senjata pistol. Dia membidik ke arah tubuh Ki sudrajat yang berdiri tegar didepan pintu.

"Tarrr... !!" tiba-tiba muncul api menyusul ledakan ini dan tubuh Ki Sudrajat roboh terkulai!

"Kenapa... kenapa andika membunuh mereka...?" Hasanudin berseru, dalam suaranya terkandung penyesalan. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah menghilang dalam kegelapan malam.

Aji juga tertegun, bukan hanya melihat robohnya Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, melainkan juga mendengar Ki Tejo Langit menyebut nama Udin, bahkan Ki Sudrajat menyebut nama Hasanudin! Itu adalah nama kakak tirinya yang dulu ditinggalkan Harun, ayahnya, di Galuh! Hasanudin putera Harun itu kini malah membantu Raden Banuseta, pembunuh ayahnya sendiri! Dan karena Raden Banuseta ini antek Kumpeni Balanda, berarti bahwa Hasanudin atau Udin itu juga membantu Kumpeni Belanda!

"Tarr... !" Pistol di tangan Raden Banuseta meledak lagi. Tanpa disadarinya sendiri, tubuh Aji menjerembab ke atas tanah, lalu bergulingan, tangannya menyambar sepotong batu dan sekali tangan itu bergerak menyambit, terdengar suara nyaring dan lampu gantung itu pecah sehingga menjadi gelap pekat. Raden Banuseta menjadi jerih menghadapi Aji dalam kegelapan. Dia tahu betapa sakti dan berbahayanya pemuda itu. Apalagi kini Hasanudin yang ia andalkan sudah lebih dulu melarikan diri bersama dua belas orang perajurit Kumpeni, meninggalkan tempat itu.

Setelah merasa yakin bahwa para penyerbu itu telah melarikan diri meninggalkan tempat itu dan bahaya telah lewat, Aji cepat memasuki pondok, membawa keluar sebuah lampu dan digantungkan di luar. Kemudian dia memondong tubuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dibawanya masuk ke dalam pondok dan merebahkan mereka di atas pembaringan. Ki Tejo Langit yang tubuhnya disambar lima kali tembakan itu ternyata telah tewas. akan tetapi Ki Sudrajat belum tewas walaupun dadanya ditembusi sebutir peluru. Aji merasa heran sekali. Tadi dia melihat sendiri betapa berondongan peluru hanya merobaek baju orang sakti ini, akan tetapi mengapa tembakan terakhir itu, hanya satu kali saja, telah merobohkannya.

"Bagaimana keadaanmu, paman?" Tanya Aji ketika melihat Ki Sudrajat bergerak dan mengeluh panjang.

"Aku... terluka parah... jahanam itu..."

"Akan tetapi saya melihat tadi berondongan peluru tidak melukai paman, bagaimana tembakan yang satu kali ini...?"

Ki Sudrajat menggerakkan tangan mendekap dadanya. "Peluru perak... Kumpeni menggunakan...Peluru-peluru perak... dan emas... untuk melumpuhkan kekebalan kita... Andika dengar baik-baik, Aji... Si Udin itu... Hasanudin... agaknya dia.... tersesat... terbujuk menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda... aku pesan kepadamu... anakku... Jatmika... kalau bertemu dengan dia... kau bantulah dia..." Ki Sudrajat terkulai lemas.

"Baik, paman. Akan saya perhatikan dan penuhi pesan paman" kata Aji, akan tetapi dia meraba dan memeriksa, ternyata Ki Sudrajat telah menghembuskan napas terakhir, agaknya dia tewas pada saat mengucapkan kata terakhir itu.

Semalam suntuk Aji tidak tidur, melainkan duduk bersila di dekat jenazah Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat. Dia mengenang mendiang gurunya, Ki Tejo Budi dan merasa sedih bahwa pada saat dia berhasil bertemu dengan putera kandung gurunya itu, ialah Ki Sudrajat, orang itu tewas di depan matanya. Yang lebih membuatnya prihatin lagi adalah melihat kenyataan betapa kakak tirinya, ternyata telah tersesat, tidak saja membantu musuh besar pembunuh ayah kandung sendiri, bahkan mau menjadi antek Kumpeni Belanda!

Pedih hatinya mengingat untuk menemui dan menyadarkan kakak tirinya itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aji sudah menggali lubang kuburan di belakang pondok. Digalinya dua buah lubang dan dia lalu menguburkan dua buah jenazah itu dengan penuh khidmat. Dia merasa terharu sekali. Dua orang yang dihormatinya itu tewas menjadi korban tembakan senapan para antek Kumpeni Belanda. Mereka tewas tanpa ada yang melayat dan hanya dia seorang yang menguburkan mereka dalam keadaan yang sunyi, tanpa kehadiran seorangpun manusia lain.

********************

Mereka merupakan sepasang orang muda yang serasi. Yang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun, berwajah tampan bersikap gagah. Alis matanya hitm tebal melindungi sepasang mata yang mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis dan membayangkan kegagahan, apa lagi dengan adanya setitik tahi lalat di dagu, menambah kejantanannya. Tubuhnya sedang dengan dada bidang, pakaiannya sederhana bersih dan rapi.

Sebatang keris bergagang kayu cendana hitam terselip dipinggangnya. Adapun yang wanita berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah cantik jelita. Mata dan mulutnya amat indah. Sikapnya gagah perkasa sehingga ia merupakan seorang gadis yang memiliki wibawa dan membuat orang merasa segan untuk sembarangan menggoda. Langkahnyapun membayangkan ketangkasan, tidak lemah seperti wanita kebanyakan. Mereka adalah Jatmika dan Eulis. Siang hari itu panasnya terik sekali. Dua orang yang telah melakukan pejalanan sejak pagi itu tampak berkeringat.

"Uhh, panasnya..." Eulis mengeluh sambil mengusap keringat yang membasahi dahu dan lehernya yang berkulit putih mulus.

Jatmika berhenti melangkah dan menudingkan telunjuknya ke arah kanan jalan di mana terdapat sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah. Mereka telah tiba di kaki Gunung Careme di daerah persawahan yang luas dan tidak terdapat tempat yang cukup teduh untuk berlindung dari sengatan matahari. Eulis mengangguk dan keduanya lalu berjalan menuju ke gubuk itu. Nyaman memang duduk di dalam gubuk yang terlindung atap itu.

Selain dapat berlindung dari panasnya sinar matahari, juga di tempat terbuka itu berhembus angin semilir yang mengipasi tubuh mereka. Mereka duduk dan menghapus keringat. Semilir angin mendatangkan rasa nyaman dan merekapun duduk dengan nikmat dan mengantuk.

"Nyaman sekali di sini." kata Jatmika.

"Ya, enak sekali." kata Eulis sambil tersenyum.

Jatmika memandang gadis itu dan seperti sejak pertemuan pertama, setiap kali memandang wajah gadis itu, dia terpesona. Alangkah cantiknya, alangkah manisnya. bentuk tubuh itu demikian indah menggairahkan, kulit yang tampak di wajah, leher, tangan dan kaki sebetis itu demikian putih mulus. Diam-diam dia masih merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan sebetulnya gadis ini. Jelas bukan gadis sembarangan dan ang amat mengganggu pikirannya adalah ketika dia melihat Eulis mengamuk dikeroyok gerombolan di gunung Careme tadi.

Dia melihat dengan jelas gerakan gadis itu yang membuat dia terheran-heran. Gerakan ilmu silat gadis itu dikenalnya benar karena gerakan silat itu sama dengan semua ilmu silat yang dia kuasai! Dia mengenal Aji Margopati, bahkan mengenal Aji Sunya Hasta dan Guruh Bumi. Bagaimana mungkin itu? Yang menguasai semua aji-aji itu hanyalah ayahnya, Ki Sudrajat, lalu eyang gurunya, Ki Tejo Langit yang kini berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Juga paman gurunya, Hasanudin. Akan tetapi dia teringat akan cerita ayahnya.

Selain kakek gurunya, masih ada saudara-saudara seperguruan eyang gurunya, yang bernama Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi. Bahkan yang bernama Ki Tejo Budi adalah kakek kandungnya yang sebenarnya, karena Ki Tejo Langit itu hanyalah kakek angkatnya, Keterangan itu dia dapatkan dari ayahnya ketika dia hendak meninggalkan pantai Dermayu untuk pergi merantau. Dia tidak tahu di mana adanya Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi sekarang, tidak tahu apakah mereka berdua itu masih hidup ataukan sudah mati. Kini, bertemu dengan Eulis, gadis yang kehilangan ingatannya itu, melihat gadis itu ada hubungan dengan seorang di antara kedua kakek itu! Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sesungguhnya adalah murid dari Ki Tejo Langit sendiri. Kakek itu tidak menceritakan tentang gadis ini kepadanya ketika dia berada di pantai Dermayu.

"Eh, Kakangmas Jatmika, kenapa sejak tadi engkau memandangku seperti itu?" Tiba-tiba Eulis bertanya denga suara menegur ketika tanpa disadarinya pemuda itu mengamatinya dengan sepasang mata penuh selidik Barulah Jatmika gelagapan dan baru dia menyadari bahwa kelakuannya tadi tidak patut.

"Eh... ohh... aku sungguh merasa heran melihatmu, Nimas Eulis" katanya agak gagap.

"Heran?" Tanya Eulis mulai mengamati diri sendiri untuk mencari kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres. "Apakah ada sesuatu yang aneh pada diriku?"

"Memang ada yang aneh sekali, nimas, akan tetapi bukan pada dirimu."

"Lalu apa yang aneh? Katakanlah, kakangmas, engkau membuat aku menjadi penasaran dan ingin tahu."

"Nimas, ketika engkau dikeroyok oleh Gerombolan Gunung Careme itu, aku melihat gerakan ilmu silatmu dan aku mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat aku menjadi heran sekali karena semua aji kanuragan yang kau pergunakan untuk melawan mereka itu adalah aliran dari perguruanku. Aku tidak sangsi atau ragu lagi bahwa ilmu yang kita kuasai itu sealiran, Berarti kita ini masih saudara seperguruan. Cobalah ingat-ingat, Nimas, siapakah yang mengajarkan semua ilmu silat itu kepadamu? Siapakah gurumu?"

Eulis memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya dan mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi ia tidak dapat mengingat apa-apa sebelum mendapatkan dirinya dikeroyok tujuh orang jahat itu. Yang dapat diingatnya hanya sejak pengeroyokan itu, sampai Jatmika menolongnya. Sebelum itu gelap, sama sekali kosong dan ia tidak dapat mengingat apapun, ia tidak ingat siapa gurunya, tidak ingat siapa orang tuanya dan dari mana ia berasal. Yang ia ingat hanya bahwa ia bernama Listyani dengan sebutan Eulis dan berasal dari daerah Cirebon seperti yang dikatakan Jatmika kepadanya. Eulis membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda yang duduk disampingnya itu dan ia menggeleng kepala.

"Aku tidak tahu, kakangmas, tidak ingat siapa guruku. Akan tetapi, bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa aku bernama Listyani, biasa disebut Eulis dan berasal dari daerah Cirebon? Engkau lebih mengetahui tentang asal usulku, kakangmas, tentu engkau tahu pula dari siapa aku belajar semua ilmu ini."

Jatmika menggeleng kepalanya. "Tidak, nimas. akupun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa engkau bernama Listyani atau Eulis dan berasal dari daerah Cirebon. Akan tetapi engkau tentu ingat akan nama-nama semua aji yang engkau kuasai itu, bukan?"

Eulis menggeleng kepala. "Engkau menguasai Aji Surya Hasta, Aji Margopati, dan Aji Guruh Bumi!!" kata Jatmika penasaran.

Eulis menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, tidak mengenal nama-nama itu. Sudahlah, Kakangmas Jatmika, aku memang sama sekali tidak ingat akan masa laluku. Tentang diriku, biarlah kita ketahui bahwa aku bernama Listyani atau Eulis berasal dari daerah Cirebon dan aku menguasai ilmu-ilmu kanuragan yang sealiran denganmu. Sekarang, sebaiknya engkau menceritakan tentang dirimu, kakangmas, agar aku dapat mengenalmu lebih baik lagi."

Jatmika menghela napas panjang. Sebetulnya ia ingin tahu sekali siapa sebenarnya gadis yang amat menarik hatinya itu. Dia harus mengakui bahwa biarpun dia sudah bertemu dengan banyak wanita cantik, semenjak tinggal di Banten, sampai pindah ke Dermayu, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis yang begitu menarik hatinya. Dia merasakan benar bahwa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang tidak diketahui nama atau asal-usulnya ini. Dia memberi nama Listyani atau Eulis hanya agar gadis itu tidak menjadi bingung. Dia menduga bahwa gadis itu telah kehilangan ingatannya yang sebabnya tidak dia ketahui pula. Akan tetapi mendengar ucapan Eulis tadi, dia merasa gembira sekali. Setidaknya, gadis ini menaruh perhatian kepadanya dan ingin dapat mengenalnya lebih baik.

"Engkau sudah tahu, namaku Jatmika. Aku berasal dari Banten. Ayahku bernama Ki Sudrajat dan sejak aku kecil, ayah, ibu dan aku tinggal di Banten. Dua tahun yang lalu ibuku meninggal dunia. Ayah lalu mengajak aku menyusul eyangku yang tinggal di pantai laut Dermayu. Eyangku itu bernama Ki Tejo Langit, akan tetapi di pantai laut Dermayu eyang berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Akan tetapi, aku tidak betah menganggur tinggal di sana, maka aku lalu berpamit dari ayah dan eyang untuk pergi merantau dan mencari pengalaman sambil mengamalkan semua ilmu yang pernah kupelajari dari ayah dan eyang. Nah, kulihat gerakan aji kanuraganmu tadi sama benar dengan aliran kami sekeluarga. Nimas Eulis, apakah ceritaku ini tidak mengingatkan engkau akan sesuatu?"

Eulis mengerutkan alisnya, mencoba untuk mengingat-ingat. "Aku tidak ingat apa-apa, kakangmas, hanya nama Dermayu dan Ki Ageng Pasisiran itu rasanya tidak asing bagiku, akan tetapi aku tidak tahu di mana tempat itu atau siapa yang memiliki nama itu."

"Aneh sekali. Aku harus menyelidiki asal usulmu, nimas, dan aku akan membantumu sampai engkau menemukan orang tuamu. Aku akan mempertemukan engkau dengan Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Mungkin beliau mengenalmu dan dapat menceritakan siapa orang tuamu."

"Baik, kakangmas. Karena aku tidak ingat apa-apa dan merasa bingung, maka aku menurut saja apa yang akan kau lakukan untuk mencari orang tuaku agar aku dapat mengingat lagi asal usulku."

"Kita akan pergi ke Dermayu, nimas. Akan tetapi sebelum itu, kita harus pergi dulu ke Sumedang memenuhi pesan ayah dan eyang untuk membantu Gusti Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang menghadapi orang-orang pemberontak yang mengadakan kekacauan di daerah Kadipaten Sumedang."

"Baik, kakangmas. Aku ikut dan aku akan membantumu sekuat tenaga walaupun aku tidak tahu mengapa engkau membantu Kadipaten Sumedang dan siapa pula Gusti Pangeran Mas Gede itu."

Kembali Jatmika menghela napas panjang. "Nimas, aku yakin bahwa seandainya engkau tidak melupakan asal usulmu, tentu engkau akan mengetahui akan keadaan yang kau tanyakan itu. Agaknya sekarang engkaupun tidak tahu akan Kerajaan Mataram dan Gusti Sultan Agung raja Mataram, bukan?"

Eulis memandang bodoh dan menggeleng kepala. "Kasihan engkau, Nimas Eulis. Entah apa yang terjadi denganmu sehingga engkau melupakan segala hal. Ketahuilah, Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai hampir seluruh Nusantara. Hampir semua kadipaten di Jawadwipa tunduk dan mendukung Kerajaan mataram yang kini sedang mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin merajalela."

"Siapakah Kumpeni Belanda itu, kakangmas?"

Jatmika maklum bahwa gadis ini sudah kehilangan ingatannya, maka dia harus menjelaskan segalanya agar gadis itu tidak bingung dan tahu benar di pihak mana ia harus berdiri. "Kumpeni Belanda adalah bangsa asing berkulit bule dan bermata siwer (berwarna). Kalau engkau berasal dari daerah Cirebon, kurasa engkau pasti pernah melihat bangsa Belanda."

Eulis menggeleng kepala. "Aku tidak ingat, kakangmas."

"Sudahlah, ketahuilah saja bahwa bangsa Belanda adalah bangsa asing yang sama sekali berlainan dengan bangsa kita. Mereka disebut Kumpeni Belanda dan sekarang mereka mempunyai benteng di Jayakarta. Akan tetapi mereka itu semakin merajalela dan berusaha menguasai perdagangan, juga berusaha memperluas tanah yang mereka kuasai. Mereka hendak merampas tanah air kita, nimas."

Eulis mengerutkan alisnya. Biarpun ia tidak ingat sama sekali dan cerita ini merupakan hal baru baginya, namun ia dapat mengerti bahwa Kumpeni Belanda itu adalah musuh! "Jahat sekali mereka!" katanya.

"Mereka jahat, akan tetapi juga amat kuat, nimas. Karena itu, kita berkewajiban untuk membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda. Bagaimana pendapatmu, nimas?"

Eulis mengepal kedua tangannya. "Aku juga akan membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda!"

"Bagus! Nah, ketahuilah bahwa Gusti Mas Gede, Adipati Sumedang itu juga mendukung Mataram dan sekarang Sumedang dikacau oleh gerombolan pemberontak yang agaknya digerakkan oleh Kumpeni Belanda. Maka kita harus membantu Sumedang dan menentang para pemberontak itu."

"Baik, kakangmas. Aku setuju untuk bersamamu membantu Kadipaten Sumedang."

"Mari kita lanjutkan perjalanan, nimas. Sudah cukup lama kita melepaskan lelah di sini." kata Jatmika yang melompat turun dari atas panggung gubuk itu.

Eulis juga melompat turun dan mereka meninggalkan gubuk di tengah sawah itu, melalui pematang sawah. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi sebuah hutan, muncul lima orang dan Jatmika berbisik kepada Eulis.

"Hati-hati, nimas. Lima orang itu agaknya mencurigakan. Mereka seperti sengaja menghadang kita."

Eulis memandang ke depan dan memang, lima orang itu kini berhenti dan sengaja menghadang di jalan yang menuju ke hutan itu. Jatmika mengambil sikap tidak acuh dan berjalan terus, Eulis berjalan di sisinya. Akan tetapi setelah mereka tiba dekat dengan lima orang itu, seorang di antara mereka berseru.

"Benar, merekalah itu! Mereka yang telah membunuh Kakang Munding Hideung dan Paman Kolo Srenggi!"

Jatmika dan Eulis memandang orang yang bicara sambil menuding kepada mereka itu. Mereka tidak mengenal orang itu, akan tetapi dari ucapan orang itu mereka dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang anak buah Munding Hideung yang berhasil meloloskan diri. Kini pemuda dan dara itu berdiri berhadapan dengan lima orang itu dan mereka mengamati dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun.

Tiga orang lain juga sebaya dengannya. Akan tetapi orang ke lima adalah seorang kakek berusia tujuh puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, hidungnya mancung sekali dan matanya cekung tajam. Wajahnya mirip seekor burung kakaktua dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular setinggi pinggangnya. Kakek itu tampak menyeramkan sekali, tubuhnya yang tinggi itu agak bongkok, tulang tubuhnya besar dan sepasang matanya tajam bukan main, sinarnya seperti dapat menembus jantung.

"Apa?" Kakek itu berkata, suaranya terdengar agak bindeng dan logatnya asing, kaku.

"Bocah-bocah ini mampu menewaskan Munding Hideung dan Kolo Srenggi? Heh, orang muda! Benarkah andika berdua yang telah membunuh Munding Hideung dan Kolo Srenggi?" Pertanyaan ini diajukan kepada Jatmika.

Pemuda itu bersikap tenang dan waspada karena dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti mandraguna. "Kalau yang anda maksudkan itu gerombolan penjahat yang mengganas di Gunung Careme, benar kami yang membasminya." jawab Jatmika dengan jujur.

"Babo-babo si keparat jahanam!" Kakek itu memaki marah.

"Mereka itu adalah sahabatku dan muridku, dan kalian berdua berani membunuh mereka! Siapakah kalian yang begini tak tahu diri dan nekat? Ketahuilah, kini kalian berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Hayo mengaku siapa kalian, jangan mati tanpa nama!"

Dengan sikap tenang Jatmika menjawab, "Namaku Jatmika dan gadis ini bernama Listyani. Kami menentang gerombolan di Gunung Careme karena mereka jahat. Aki Mahesa Sura, andika adalah seorang yang sudah tua, sebaiknya jangan membela mereka karena kalau andika membela gerombolan itu, berarti andika juga jahat dan terpaksa kami akan menentangmu!"

"Huh-huh, apa sih baik atau jahat itu? Yang baik bagiku belum tentu baik bagimu dan yang jahat bagimu belum tentu jahat bagiku! Kalian berdua telah membunuh sahabatku Kolo Srenggi dan muridku Munding Hideung, karena itu kalian harus dihukum!" Dia menoleh ke belakang, dan berkata kepada tiga di antara orang pengikutnya.

"Panca Munding (Lima Kerbau) telah hilang dua, tinggal kalian bertiga harus dapat membalaskan dendam ini. Tangkaplah dua orang muda itu!" Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki yang tadinya berdiri di belakang Aki Mahesa Sura serentak berlompatan ke depan menghadapi Jatmika dan Eulis.

"Aku adalah Munding Beureum!" kata seorang yang memakai sabuk berwarna merah.

"Aku Munding Koneng!" kata orang kedua yang bersabuk kuning.

"Aku Munding Hejo!" kata orang ketiga yang bersabuk hijau.

"Selama bertahun-tahun, kami Panca Munding sehidup semati di gunung Careme. Kini kalian telah membunuh dua orang kakak kami, maka menyerahlah untuk kami tangkap dan menerima hukuman dari guru kami!" kata Munding Beureum.

"Kami berdua tidak merasa bersalah. Kalau kalian hendak membela yang jahat, terpaksa kami akan menghajar kalian juga!" kata Jatmika.

Eulis juga sudah siap karena ia mengerti bahwa mereka berhadapan dengan teman-teman penjahat yang telah dibasminya bersama Jatmika. Diam-diam dara perkasa ini telah mengerahkan tenaga saktinya, siap untuk melawan. Munding Beureum mengeluarkan gerengan dan agaknya ini merupakan isarat bagi dua orang adik seperguruannya. Mereka bertiga mengeluarkan suara gerengan dan tiba-tiba mereka berjungkir balik di atas tanah tiga kali dan bentuk mereka telah berubah menjadi tiga ekor harimau sebesar anak lembu!

Tiga ekor harimau ini menggereng dan mengaum sambil memperlihatkan taring dan mengibas-kibaskan ekor mereka yang panjang. Tentu saja Eulis terbelalak ngeri, akan tetapi Jatmika menoleh kepadanya dan berkata lirih.

"Pergunakan Aji Guruh Bumi..." Eulis menurut. Bersama Jatmika ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan memasang Aji guruh Bumi, menggedruk (membanting) kaki tiga kali ke atas tanah lalu keduanya mendorongkan kedua telapak tangan ke depan dan membentak, Aji Guruh Bumi...!!"

Tiga ekor harimau jadi-jadian yang sudah bergerak ke depan hendak menubruk itu tiba-tiba dilanda angin pukulan yang amat kuat. Tiga ekor binatang jadi-jadian itu terdorong ke belakang dan jatuh bergulingan, berubah lagi menjadi tiga orang laki-laki ang tampak terkejut. Mereka manjadi penasaran sekali. Ilmu mereka mengubah diri menjadi harimau ternyata dapat dipunahkan dua orang muda itu dengan aji pukulan yang amat ampuh. Mereka lalu mencabut keris masing-masing dan serentak maju menyerang. Munding Hejo yang paling muda sudah menerjang dan menyerang Eulis dengan tusukan kerisnya.

Eulis bergerak cepat menghindarkan diri dengan elakan ke belakang, lalu membalik dan kaki kirinya mencuat, melayang dan menyambar ke arah muka lawan. Munding Hejo cukup cekatan. Dia sudah mampu menghindar dari sambaran kaki itu dengan merendahkan tubuhnya lalu menyerang lagi dengan kerisnya. terjadi perkelahian sengit antara Eulis melawan Munding Hejo. Sementara itu, Munding Beureum dan Munding Koneng juga sudah maju mengeroyok Jatmika yang mereka anggap lebih tangguh dibandingkan gadis itu.

Mereka menyerang dengan tusukan keris, bertubi-tubi, dengan gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Melihat gerakan mereka, tahulah Jatmika bahwa dua orang lawannya adalah lawan-lawan yang cukup tangguh. Maka diapun cepat mencabut kerisnya. Keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam. Keris itu berpamor emas dan itulah Kyai Cubruk, keris pusaka dari Banten yang terkenal ampuh pemberian ayahnya Ki Sudrajat.

"Trang...! Cring...!!" Dua batang keris di tangan Munding Beureum dan Munding Koneng terpental ketika senjata mereka itu ditangkis oleh keris Kyai Cubruk di tangan. Gerakan tangan Jatmika yang memegang keris itu cepat dan kuat bukan main sehingga keris itu lenyap bentuknya, dan berubah menjadi sinar yang berkelebatan dan bergulung-gulung. Juga pemuda perkasa itu membalas serangan kedua orang pengeroyolnya bukan hanya dengan keris, akan tetapi juga tangan kirinya menyelingi tusukan kerisnya dengan tamparan-tramparan dahsyat.

Karena dia mengerahkan tenaga sakti dalam tamparan tangan kiri itu, maka tamparan itu tidak kalah hebat dan berbahayanya daripada tusukan kerisnya. Dan setiap kali dua orang lawannya menangkis tamparannya, tubuh mereka terdorong dan mereka terhuyung ke belakang. Bukan hanya dua orang pengeroyok Jatmika yang terdesak, juga Munding Hejo yang bertanding melawan Eulis, mulai terdesak. Biarpun dia menggunakan keris sedangkan gadis itu bertangan kosong, namun tamparan-tamparan yang dilakukan Eulis sungguh amat hebat dan mulai mendesak Munding Hejo sehingga dia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.

Aki Mahesa Sura sejak tadi menonton pertandingan itu dan dia mengerutkan alisnya yang putih setelah melihat betapa lewat beberapa puluh jurus, tiga orang muridnya terdesak hebat oleh sepasang orang muda itu. Ternyata dua orang muda itu memang sakti mandraguna, apalagi pemuda itu. Dikeroyok dua juga masih mampu mendesak. Pantas saja sahabatnya, Ki Kolo Srenggi, dapat tewas melawan mereka.

Tentu pemuda itu yang telah mengalahkan dan menewaskan Kolo Srenggi. Dan sekarang kalau dia diamkan saja, tentu tiga orang muridnya itu juga akan tewas di tangan mereka. Aki Mahesa Sura yang sudah tua renta itu segera menggerakkan tubuhnya. Tubuh jangkung agak bongkok itu sekali bergerak telah meluncur ke depan, seperti melayang saja dan tahu-tahu dia sudah berada dekat Eulis yang sedang mendesak Munding Hejo dan tongkat ularnya menyambar ke arah tengkuk Eulis.

"Syuuuutttt...!" Eulis terkejut dan hidungnya mencium bau amis keluar dari sinar hitam yang menyambar ke arah tengkuknya itu. Ia cepat melangkah maju, memutar tubuh dan mengelak dari sambaran tongkat ular itu. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri kakek tua renta itu menyambar menyengkeram ke arah kepalanya. Eulis terkejut sekali. Jarak antara ia dan kakek itu ada dua meter, akan tetapi lengan kiri kakek itu dapat mulur (memanjang) seperti karet saja dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri itu sudah mengancam kepalanya. Eulis cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan menjauh. Namun tetap saja tangan kiri itu mengejarnya dan tengkuknya terkena tepukan kakek itu.

"Plakkk!" Tubuh Eulis tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu bergerak lagi. Aki Mahesa Sura menghampiri dan memegang pangkal lengan kanan Eulis dan diangkatnya gadis itu bangkit berdiri. Akan tetapi tubuh Eulis seperti lemas tak bertenaga sehingga ia berdiri lunglai dan bersandar ke tubuh kakek itu.

"Jatmika, hentikan perlawananmu atau aku akan membunuh gadis ini!" Aki Mahesa Sura membentak dan Jatmika cepat melompat ke belakang lalu memandang.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat Eulis sudah tertangkap oleh kakek yang mukanya seperti Begawan Durna tokoh cerita Mahabarata itu! "Aki Mahesa Sura! Bebaskan gadis itu dan mari kita bertanding secara jantan!" Jatmika membentak marah dan juga khawatir melihat Eulis sudah tak berdaya dan tertawan.

"Heh-heh-heh, Jatmika. Buang kerismu dan menyerahlah daripada engkau melihat gadis ini kubunuh di depan matamu!" Aki Mahesa Sura mengancam sambil mengangkat tongkat ularnya, mengancam untuk membunuh gadis itu dengan tongkatnya.

"Aki Mahesa Sura, tidak malukah andika bertindak curang? Lepaskan Nimas Eulis dan mari kita mengadu kesaktian kalau andika berani!" kembali Jatmika menantang.

"Hah-hah-ho-ho! Ini bukan kecurangan melainkan kecerdikan, Jatmika. Kalau dengan akal dapat menang tanpa lelah, mengapa mesti menggunakan okol yang melelahkan?"

Tiba-tiba Eulis yang lemas tak berdaya itu berseru, suaranya juga terdengar lemah namun cukup lantang. "Jangan menyerah, Kakangmas Jatmika! Lawan mereka, jangan perdulikan aku! Aku tidak takut mati!"

Aki Mahesa Sura menjadi marah. Mukanya yang berkulit hitam menjadi semakin hitam dan sepasang mata yang cekung itu mengeluarkan sinar berapi. "Hemm, kalau ia minta mati, lihatlah betapa aku akan membunuhnya, Jatmika!" katanya dan dia mengangkat tongkat ularnya, siap ditusukkan pada leher Eulis yang memandang dengan mata tidak membayangkan rasa takut sedikitpun.

"Tahan...!" teriak Jatmika dan kakek itu menahan pukulan tongkatnya. "Aki Mahesa Sura, katakan dulu apa yang akan andika lakukan kalau aku mau menyerah. Kalau setelah aku menyerah andika tetap akan membunuh Nimas Eulis, apa artinya aku menyerah? Aku akan melawan sampai titik darah penghabisan dan kalau andika membunuh Nimas Eulis, aku pasti akan membunuhmu!"

Ucapan Jatmika itu dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga dapat terasa oleh Aki Mahesa Sura bahwa ucapan itu bukan sekedar gertak belaka. Kakek ini berpikir. Tidak ada untungnya kalau dia membunuh gadis jelita ini. Apalagi kalau dia melakukan itu, Jatmika tentu akan berusaha mati-matian untuk membunuhnya dan dia tahu betapa saktinya pemuda itu.

"Hemm, baiklah. Kalau engkau tidak melawan dan menyerahkan diri, aku tidak akan membunuh kalian berdua!" kata kakek itu.

"Bersumpahlah, Aki Mahesa Sura, baru aku mau percaya." kata Jatmika.

"Keparat! Engkau tidak percaya janji seorang datuk besar yang sakti mndraguna seperti aku? Baik, aku bersumpah tidak akan membunuh kalian kalau engkau mau menyerah"

"Jangan, Kakangmas Jatmika! Jangan percaya padanya, jangan menyerah dan jangan perdulikan aku!" teriak Eulis.

"Nimas Eulis, jangan khawatir. Aku yakin bahwa seorang tua dan terhormat seperti Aki Mahesa Sura, tidak akan melanggar sumpahnya sendiri. Nah, Aki Mahesa Sura, aku menyerah!"

Jatmika menyarungkan kembali kerisnya. Aki Mahesa Sura lalu berkata kepada tiga orang muridnya dengan suara memerintah "Ikat tangan mereka ke belakang, pergunakan tali pengikat pinggang kalian!"

Tiga orang murid itu lalu melolos sabuk mereka. Sabuk itu terbuat dari lawe yang sudah dirajah (diberi kesaktian) karena itu merupakan benda yang memiliki daya yang luar biasa kuatnya. Mahesa Sura menyeringai mengelus jenggotnya yang putih melihat tiga orang muridnya sibuk melaksanakan perintahnya. Munding Beureum dan Munding Koneng menelikung kedua lengan Jatmika ke belakang tubuhnya, sedangkan Munding Hejo mengikat kedua pergelangan tangan Eulis ke belakang tubuhna pula.

Setelah memeriksa ikatan itu yang amat kuat, Mahesa Sura lalu menepuk tiga kali pundak dan punggung Eulis dan seketika gadis itu mampu bergerak, Eulis meronta dan berusaha mematahkan ikatan kedua tangan, namun usahanya tidak berhasil karena tali itu kuat bukan main. Gadis itu menjadi marah dan kedua kakinya mencuat bergantian ia mencoba untuk menyerang Mahesa Sura. kakek ini terkekeh dan mengelak, terkadang menangkis sehingga kaki gadis itu terpental dan ia merasa tulang kakinya nyeri ketika tertangkis oleh tangan kakek itu.

Melihat gadis itu sudah dapat bergerak, Jatmika diam-diam juga mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali yang menelikungnya, namun usahanya juga tidak berhasil. Maklumlah dia bahwa mereka berdua tidak akan dapat melepaskan diri karena itu mereka harus mempergunakan kecerdikan, menanti kesempatan untuk meloloskan diri. Menggunakan kekerasan yang sia-sia hanya merugikan mereka sendiri.

"Jatmika, engkau sudah berjanji tidak melawan dan aku berjanji tidak akan membunuh kalian. Kalau kalian ingkar janji, akupun dapat mengingkari janjiku dan membunuh kalian." kata Aki Mahesa Sura.

"Nimas Eulis, kata-katanya itu benar. Kita harus menyerah, itulah yang sudah kujanjikan dan aku tidak ingin melihat engkau melanggar janji. Tenanglah, nimas, engkau tidak perlu khawatir. Bukankah aku berada di sampingmu?"

Eulis juga melihat betapa perlawanan akan sia-sia belaka, ia memandang pemuda itu dan melihat pemuda itu tersenyum dan sinar matanya seolah memberi isarat kepadanya. Iapun berhenti meronta dan menundukkan muka lalu berkata lirih, "Aku menyerah."

"Heh-heh-heh-ho-ho-ho!" Aki Mahesa Sura tertawa gembira. "Sebentar lagi malam tiba. Mari kita bawa dua orang tawanan ini ke pondok kita agar tidak kemalaman di perjalanan."

Tiga orang muridnya itu menggiring Jatmika dan Eulis memasuki hutan. Mereka berhenti setelah hari menjadi agak gelap. Senja telah tiba dan mereka sampai di lembah Sungai Ci Lutung di mana berdiri sebuah pondok kayu yang cukup besar. Jatmika dan Eulis disuruh masuk dan mereka semua duduk di atas bangku-bangku kayu mengelilingi sebuah meja. Munding Koneng dan Munding Hejo lalu sibuk bekerja di dapur mempersiapkan makanan dan di ruangan itu tinggal Aki Mahesa Sura dan Munding Beureum yang menemani atau menjaga dua orang tawanan itu. Tak lama kemudian dua orang murid yang sibuk di dapur itu memasuki ruangan membawa sebakul nasi dan beberapa macam masakan sederhana.

"Biarkan Nimas Listyani makan lebih dulu! kata Jatmika.

"Tidak, biarkan Kakangmas Jatmika yang makan." bantah Eulis.

"Baiklah, Jatmika akan makan lebih dulu" kata kakek itu. Berdebar rasanya jantung kedua orang tawanan itu.

Mungkin kini tiba saatnya mereka memperoleh kesempatan untuk meloloskan diri! Akan tetapi ternyata kakek itu cerdik sekali. Dia menyuruh membebaskan ikatan kedua tangan Jatmika, akan tetapi Eulis dalam keadaan masih terikat disuruh duduk di dekatnya. Dalam keadaan seperti ini tentu saja Jatmika tidak berani memberontak karena kakek itu akan dapat dengan mudah turun tangan membunuh Eulis! Akan tetapi untuk dapat membuat tubuhnya tetap sehat dan kuat, Jatmika menghilangkan perasaannya yang tertekan dan diapun mulai makan...


Alap Alap Laut Kidul Jilid 18

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Alap Alap Laut Kidul

Jilid 18
KI SUDRAJAT mengerutkan alisnya. "Maafkan aku, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa Ki Ageng Pasisiran sudah amat sepuh (tua) dan kalau tidak ada hal yang teramat penting, sebaiknya beliau jangan diganggu. Maka, katakanlah dulu kepadaku apa yang hendak andika sampaikan kepada beliau agar dapat ku pertimbangkan apakah hal itu cukup penting ataukah tidak."

Ucapan Ki Sudrajat itu tentu saja mendatangkan rasa penasaran dalam hati Aji, walaupun ucapan itu dilakukan dengan lembut. "Maaf, paman. Akan tetapi, urusan ini hanya dapat saya sampaikan kepada Ki Ageng Pasisiran, bukan kepada orang lain."

Ki Sudrajat tersenyum maklum. "Anak mas Lindu Aji, aku bukan orang lain bagi Ki Ageng Pasisiran karena aku adalah anaknya."

Aji terkejut dan cepat memberi hormat. "Oh, maafkan saya, paman. Kalau paman putera beliau, tentu saja dapat saya beritahukan. Saya ingin menghadap Ki Ageng Pasisiran untuk membicarakan tentang Sulastri karena Sulastri pernah bercerita kepada saya bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pasisiran."

"Sulastri? Benar sekali, ia murid Bapa. Mari anakmas Lindu Aji, mari masuk dan kuantar menghadap Ki Ageng Pasisiran." Ki Sudrajat mempersilakan dengan sikap ramah. Mereka memasuki rumah dan langsung diajak masuk ruangan di mana Ki Ageng Pasisiran masih duduk bersila. Kakek itu telah dapat menguasai perasaannya dan kini duduk dengan sikap tenang, bersila di atas dipan seperti sebuah arca.

Melihat kakek yang sudah tua renta itu, Aji lalu berlutut dan menyembah. "Eyang, mohon maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu eyang."

"Bapa, orang muda ini bernama Lindu Aji dan dia mohon menghadap Bapa untuk menyampaikan berita tentang diri Sulastri." Ki Sudrajat melaporkan.

Mendengar ini, wajah Ki Ageng pasisiran agak berseri dan dia segera berkata kepada Aji. "Anak mas Lindu Aji... hemm, namamu sungguh bagus..."

"Saya biasa disebut Aji saja, kanjeng eyang."

"Baiklah, Aji. Andika datang membawa kabar tentang Sulastri? Nah, ceritakan tentang muridku yang bengal itu."

"Bagaimana andika dapat mengenal Sulastri, anakmas Aji?" Tanya pula Ki Sudrajat.

"Begini ceritanya, kanjeng eyang dan kanjeng paman. Ketika itu saya membantu Ki Sumali dari Loano untuk menentang gerombolan Gagak Rodra. Ternyata gerombolan itu didukung oleh dua orang tokoh sesat yang sakti mandraguna, yaitu Aki Somad dari Nusakambangan dan Nyi Maya Dewi."

"Ah, dua orang itu di mana-mana selalu mendatangkan kekacauan!" seru Ki Sudrajat.

"Nah, pada saat saya membantu Paman Sumali itu, muncullah Sulastri. dengan bantuan Sulastri yang ternyata keponakan dari Paman Sumali yang mengunjungi pamannya, akhirnya kami dapat mengalahkan dan mengusir para penjahat. Nimas Sulastri dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi."

"Bagus, anak Bengal itu dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi!" terdengar Ki Ageng Pasisiran memuji lirih, hatinya girang mendengar muridnya yang masih muda belia itu dapat mengalahkan wanita sesat yang terkenal itu. "Akan tetapi, Aji, mengapa kalian memusuhi Aki somad?"

"Gerombolan itu ternyata menjadi antek Kumpeni Belanda, eyang."

"Hemm, Aki Somad juga menjadi antek Belanda?" Ki Sudrajat mencela. "Dan andika sendiri, anakmas Aji. Kenapa andika mati-matian menentang para antek Kumpeni Belanda itu?"

"Terus terang saja, kanjeng eyang dan kanjeng paman, saya mengemban dawuh (melaksanakan perintah) Gusti Sultan Agung di Mataram untuk membantu Mataram dan menyelidiki keadaan di daerah barat sampai ke Batavia."

"Lhadhalah! Kiranya andika ini seorang senopati Mataram?" seru Ki Sudrajat.

Wajah Aji memerah. "Bukan, paman. Saya tidak menerima anugerah itu karena masih memiliki banyak tugas pribadi dan Gusti Sultan hanya memberi pusaka Kyai Nagawelang ini dan memberi tugas itu kepada saya."

"Aji, bocah gagah, lalu bagaimana ceritanya dengan Sulastri?" Tanya Ki Ageng Pasisiran.

"Saya berkenalan dengan Sulastri dan ketika saya hendak meninggalkan rumah Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan ke barat, Sulastri ikut. Iapun hendak pulang ke Dermayu. Dalam perjalanan, kami berdua bentrok dengan para antek Kumpeni Belanda, bahkan kami berdua sempat ditawan dan dibawa ke kapal milik Kumpeni Belanda. Akan tetapi kami berhasil meloloskan diri, Ketika kami tiba di Cirebon dan menghadap Gusti Pangeran Ratu untuk melaporkan tentang para antek kumpeni itu, Gusti Pangeran Ratu minta bantuan kami berdua untuk membasmi gerombolan pengacau pimpinan Munding Hideung yang bersarang di gunung Careme. Kami menerima tugas itu dan pergi ke Gunung Careme. Akan tetapi... justeru di sanalah... terjadi musibah yang menimpa diri Sulastri..." kata Aji dengan nada sedih.

"Apa yang terjadi dengan Sulastri?" Tanya Ki Ageng Pasisiran. "Ceritakanlah, apa yang telah terjadi, anakmas Aji?" Tanya pula Ki Sudrajat.

Aji lalu menceritakan pengalamannya dengan Sulastri di lereng Gunung Careme itu, betapa Sulastri jatuh ke bawah tebing seperti yang telah dia ceritakan kepada Ki Subali dan isterinya. Juga dia menceritakan betapa dia sudah berusaha mencari, dibantu banyak anak buah Munding Hideung, namun tetap saja tidak dapat menemukan Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan bekas, hanya menemukan pedang Naga Wilis yang kini sudah dia kembalikan kepada Ki Subali.

Suasana menjadi sunyi setelah Aji mengakhiri ceritanya tentang musibah yang menimpa diri Sulastri. Kemudian Ki Ageng Pasisiran berkata dengan tenang, "Aku percaya bahwa Sulastri masih hidup. Tidak ditemukannya jenazah anak itu berarti bahwa ia masih hidup dan telah meninggalkan bawah tebing."

"Anakmas Aji, kami mengucapkan terima kasih bahwa andika telah menyampaikan berita ini kepada kami," kata Ki Sudrajat.

"Sebelum saya mohon diri, masih ada sebuah hal lagi yang membuat saya bertanya-tanya dan penasaran tentang diri Nimas Sulastri yang ingin saya tanyakan kepada eyang."

"Apalagi yang ingin kau ketahui tentang Sulastri? Bukankah engkau sudah mengenalnya dengan baik?" Tanya Ki Sudrajat, mewakili ayah angkatnya.

"Begini, eyang. Ketika berada di atas tebing, sebelum pundaknya terkena anak panah dan terjatuh ke bawah tebing, saya melihat Sulastri memukul Munding Bodas sehingga wakil ketua gerombolan iu terjatuh ke bawah tebing. Saya terkejut karena mengenal gaya pukulan itu, dan ketika saya menemukan jenazah Munding Bodas di bawah tebing, saya menjadi yakin melihat bekas telapak tangan menghitam di dada kepala gerombolan itu. Saya yakin bahwa Sulastri telah mempergunakan ilmu pukulan Aji Margopati!"

"Andika mengenal aji Margopati, anakmas Aji?" Tanya Ki Sudrajat.

"Tentu saja saya mengenalnya, kanjeng paman. Akan tetapi dari mana Sulastri mempelajarinya? Apakah selain kanjeng eyang masih ada lain guru yang mengajarkan aji kanuragan kepada Sulastri?"

"Setahu kami tidak, bukankah begitu, bapa?" Tanya Ki sudrajat kepada Ki Ageng Pasisiran.

"Memang tidak ada," kata Ki Ageng Pasisiran.

"Kalau begitu, siapa yang mengajarkan Aji Margoapati?" Tanya Aji sambil memandang kedua orang tua itu.

"Siapa lagi kalau bukan gurunya?"

"Akan tetapi, bagaimana ini? Mana mungkin! Menurut mendiang guru saya, yang menguasai Aji Margopati hanya tiga orang saja, yaitu guru saya dan dua orang kakak seperguruannya!"

Mendengar ini, Ki Ageng Pasisiran memandang aji dan bertanya dengan heran. "Katakanlah, siapa tiga orang yang menguasai Aji Margopati itu?"

"Mereka adalah Ki Tejo Wening, ki tejo Langit, dan Ki Tejo Budi."

"Dan siapa gurumu itu?" Tanya pula Ki Ageng Pasisiran sambil menatap wajah Aji.

"Guru saya adalah Eyang Guru Ki Tejo Budi."

"Aduh Gusti...!!" Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Ki Ageng Pasisiran dan Ki Sudrajat dan mereka berdua bangkit dan berdiri di depan Aji.

"Aji, katakanlah di mana gurumu itu sekarang?" Tanya Ki Sudrajat dan suaranya diliputi ketegangan.

"Eyang Guru Tejo Budi... telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu."

"Ya Allah...!" Dua orang pria itu berseru dan Aji memandang terheran-heran ketika Ki Ageng Pasisiran terjatuh duduk di atas dipan kembali dan kakek itu menangis!

"Kanjeng eyang dan kanjeng paman, apa artinya ini...?" Aji bertanya.

"Bapa dahulu bernama Ki Tejo Langit," kata Ki Sudrajat.

Kini Aji yang terkejut. Sungguh sama sekali tidak disangkanya! Tanpa dicari, dia sudah berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Dan orang setengah tua itu. "Kiranya eyang adalah Eyang Tejo Langit! Ah, betapa bahagia rasa hati saya dapat bertemu dengan eyang. Dan... paman ini... apakah Paman Sudrajat yang dipanggil Ajat?" Ki Sudrajat mengangguk.

"Ah, sungguh saya merasa berbahagia sekali. Sebelum meninggal, eyang guru meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari Paman Sudrajat dan mengabarkan bahwa Eyang guru Tejo Budi telah meninggal dunia."

"Eyang gurumu itu sudah menceritakan siapa aku?" kata Ki Sudrajat.

Aji mengangguk. "Apa saja yang dia ceritakan?" tiba-tiba Ki Tejo Langit yang tadi menutupi muka dengan kedua tangannya, bertanya.

"Mendiang eyang guru menceritakan bahwa puteranya bernama Sudrajat dan ikut dengan Eyang Tejo Langit" jawab Aji dengan hati-hati.

"Benar, sejak Bapa Tejo Budi pergi, aku ikut Bapa Tejo Langit sebagai anak tirinya dan muridnya. Ibu kandungku juga sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu."

"Ah, tahukah engkau anak mas Aji bahwa baru saja kami berdua membicarakan Adimas Tejo Budi pada saat engkau datang. Sungguh kebetulan sekali, akan tetapi juga... sungguh membingungkan dan menyedihkan berita yang kau bawa." kata Ki Tejo Langit.

"Aku girang dapat bertemu denganmu Aji, akan tetapi juga bingung mendengar hilangnya Sulastri dan sedih mendengar tentang kematian ayah kandungku. Akan tetapi, engkau harus berdiam di sini dulu dan menceritakan kepada kami ini semua tentang mendiang ayah kandungku." kata Ki Sudrajat.

Mereka kini menjadi akrab sekali karena Aji dianggap sebagai keluarga sendiri. Aji diminta untuk menceritakan segala hal mengenai Ki Tejo Budi, dan dia menceritakan semua yang diketahui dan dialami selama Ki Tejo Budi tinggal bersama dia dan ibunya. Mendengar betapa Ki Tejo Budi hidup menyendiri dan terlunta-lunta, kedua orang itu mendengarkan dengan hati terharu sekali. Terutama sekali Ki Tejo Langit yang makin merasa betapa dia yang membuat kehidupan Ki Tejo Budi menjadi terlantar kesepian dan penuh kedukaan. Ketika hari menjelang senja dan Aji berpamit, Ki Sudrajat menahannya.

"Jangan pergi dulu, Aji. Engkau adalah murid tersayang bapa kandungku, berarti engkau adalah warga kami sendiri. Tingggallah di sini malam ini. Masih banyak yang ingin kutanyakan kepadamu mengenai bapa kandungku."

Ki Tejo Langit juga menahannya sehingga terpaksa Aji tinggal di pondok itu. Ketika senja datang dan cuaca mulai remang, ki Sydrajat menyalakan beberapa buah lampu gantung. Sebuah digantung di depan pintu menerangi bagian luar pondok, sebuah digantung di belakang dan sebuah lagi di ruangan tengah di mana mereka bertiga bercakap-cakap. Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar teriakan yang nyaring sekali dari luar pondok.

"Lindu Aji, keparat jahanam kamu! hayo keluar untuk menebus dosamu terhadap perguruan Dadali Sakti dengan menyerahkan nyawamu!"

Aji segera dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Raden Banuseta, Ketua Perguruan Dadali Sakti. Pembunuh ayahnya! Tidak, dia tidak mau mengingat tentang pembunuhan itu. Raden Banuseta adalah seorang ketua perkumpulan yang terkenal jahat, suka bertindak sewenang-wenang, bahkan anak buahnya diperintah untuk merampas Sriyani, isteri Sumanta. Orang yang pantas untuk ditentang dan dibasminya. Maka dia segera bangkit dan hendak keluar.

"Aji, tunggu dulu! Mengapa perguruan Dadali Sakti memusuhimu?" tanya Ki Sudrajat.

"Belum saya ceritakan kepada paman. Tadi pagi saya mendatangi sarang mereka dan memberi hajaran kepada semua muridnya karena mereka hendak menganiaya seorang yang tidak berdosa dan hendak merampas isterinya. Sekarang, saya kira ketuanya, Raden Banuseta yang datang ke sini mencari saya. Biarkan saya keluar, paman."

"Hemm, Raden Banuseta terkenal ganas dan suka sewenang-wenang. Biarkan aku yang menghadapinya karena dia berani datang membikin ribut di rumah kami. Aku memang belum lama tinggal di sini, akan tetapi aku sudah mendengar tentang kejahatannya!"

"Lindu Aji, pengecut! Hayo keluar jangan bersembunyi di dalam seperti kura-kura. Kalau kamu tidak mau keluar, akan kubakar pondok ini untuk memaksamu keluar!" terdengar lagi bentakan itu.

"Paman Sudrajat, dia menantang saya, harap paman tidak mencampuri urusan antara saya dan dia." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, aji sudah melompat keluar dari pintu. Dalam keremangan senja, Aji melihat bayangan dua orang di depan pondok. Seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian bangsawan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, menggantungkan sebatang golok bergagang emas di pinggangnya, berdiri di depan. Hatinya terguncang keras ketika dia mengenal orang itu. Dia bukan lain adalah pria bangsawan yang mempunyai hubungan akrab dengan Nyi Maya Dewi, pria yang ikut pula berkunjung ke kapal Kapten De Vos, pria yang tergila-gila kepada Sulastri dan bermaksud keji dan mesum terhadap gadis itu!

"Kau... kau... Raden Banuseta?" Tanya Aji, hatinya dipenuhi keheranan. Pria ini tersenyum mengejek dan dia mencabut goloknya yang bergagang emas.

"Benar, akulah Raden Banuseta, ketua Dadali Sakti. Lindu Aji, tempo hari engkau berhasil lolos, akan tetapi sekarang tiba saatnya engkau membayar semua hutangmu! Engkau berani mengacau Dadali Sakti, sekarang bersiaplah untuk mampus!"

Hati Aji bertambah panas. Raden Banuseta, yang telah membunuh ayah kandungnya, bukan hanya suka bertindak sewenang-wenang dan suka merusak pagar ayu merampas isteri dan anak orang, akan tetapi juga menjadi antek Kumpeni Belanda!

"Hemm, kiranya engkau bukan hanya jahat sewenang-wenang, melainkan juga menjadi anjing peliharaan Kumpeni Belanda!" bentak Aji marah dan pada saat itu dia memandang kepada pria yang berdiri di belakang Banuseta. Dia itu seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap, sikapnya gagah. Dia juga tampak tenang, berdiri menyilangkan kedua lengan di depan dada dan sinar matanya yang tajam memandang wajah Aji. Juga Aji melihat bayangan mencurigakan dari beberapa orang yang tampaknya mengepung pondok itu dengan sembunyi-sembunyi. Dalam keremangan malam yang mulai tiba, dia melihat mereka itu memegang tongkat.

Dimaki sebagai anjing peliharaan Kumpeni Belanda, Raden Banuseta menjadi marah bukan main. "Kamu anjing Mataram, mampuslah!"

Dia melompat ke depan Aji dan menerjang dengan gerakan goloknya menyerang dahsyat. Golok itu mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar dan tahulah Aji bahwa lawannya bukan orang lemah, melainkan memiliki tenaga yang kuat dan gerakan goloknya juga cepat sekali. Dia mengelak dengan tarikan kaki ke belakang dan mendoyongkan tubuh atas ke belakang sehingga golok yang membabat ke arah lehernya itu menyambar lewat di depannya. Namun, begitu bacokannya yang mengarah leher itu luput, Banuseta sudah membuat golok itu bergerak melingkar dan kini berubah menjadi serangan yang menusuk ke arah perut Aji.

"Hyaaaahhhh...!" bentaknya, goloknya menjadi gulungan sinar yang berdesing. Akan tetapi Aji yang sudah waspada dan tidak memandang remeh lawannya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti, sudah dapat mengelak ke kiri dengan mudah. Dari sebelah kanan lawan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat ke arah pinggang kanan Banuseta. Akan tetapi ketua Dadali Sakti itu dapat pula membuang diri ke kiri sambil mengelebatkan goloknya untuk memotong kaki Aji yang menyambar lewat. Akan tetapi Aji sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menyusul serangan kaki kiri tadi, menampar ke arah pelipis kiri lawan.

Banuseta terkejut bukan main. Ketika tiba di perguruan Dadali Sakti dan melihat para anggota perguruan itu menderita cedera, semua dihajar oleh seorang pemuda yang mencarinya, juga menggagalkan usaha Wiratma, wakilnya untuk merampas Sriyani dari tangan Sumanta, dia marah sekali. Kemudian dia mendengar bahwa pemuda itu bernama Lindu Aji. Teringatlah dia akan pemuda yang pernah menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan dia tahu bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna.

Maka, diapun membuat persiapan sebaiknya dan mendengar dari Wiratma bahwa musuhnya itu berada di pondok tempat tinggal Ki Ageng Pasisiran di pantai Laut Utara, dia membawa bala bantuannya menuju ke sana. Kini, biarpun dia sudah berhati-hati, dia melihat tamparang tangan kanan Aji ke arah pelipisnya, dia terkejut dan tidak sempat untuk mengelak atau menggunakan goloknya. maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menangkis dengan gerakan dari dalam keluar.

"Wuuttt... plakk!!" Raden Banuseta terhuyung ke belakang dan tentu akan jatuh terjengkang kalau tidak ada tangan yang kuat menangkap pangkal lengannya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Yang melakukan itu adalah laki-laki tinggi tegap yang tadi berdiri di belakangnya.

"Mundurlah, kakangmas Banuseta. Dia terlalu tangguh bagimu. Biar aku yang menandinginya!" kata pria berusia tiga puluh satu tahun lebih itu. Gerakannya ringan sekali ketika dia melompat ke depan Aji.

"Dimas, bunuhlah dia untukku!" kata Raden Banuseta dan dia menyelinap ke belakang dan lenyap dalam kegelapan malam. Aji berhadapan dengan lawannya itu. Sejenak mereka saling tatap bagaikan dua ekor jago yang hendak berlaga. Tiba-tiba orang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya bergerak cepat tangan kirinya terbuka dan mendorong ke arah dada Aji.

"Eh... !" Aji terkejut sekali dan cepat dia mengelak ke belakang karena dia mengenal gerakan orang itu. Jelas bahwa orang itu mempergunakan Aji Bayu Sakti ketika melompat dan bergerak sehingga tubuhnya menjadi ringan, dan pukulan yang dipergunakan Sulastri ketika merobohkan Munding Bodas, yaitu pukulan dengan Aji Margopati! Lawannya itu memiliki ilmu dari aliran yang sama dengan dia, walaupun dia sendiri tidak pernah dilatih Aji Margopati yang oleh mendiang Ki Tejo Budi dianggap terlalu ganas dan kejam.

Karena serangannya yang pertama gagal dan dapat dielakkan Aji, orang tinggi tegap itu berseru marah dan tubuhnya berkelebat cepat menerjang ke depan dan kembali dia mengirim pukulan Aji Margopati, kini dalam jarak yang lebih dekat. Angin dahsyat menyambar ketika tangan kanan orang itu mendorong. Maklum bahwa pukulan dahsyat itu sukar dihindarkan dengan mengelak, Aji lalu mengerahkan tenaga Surya Chandra dan diapun mendorongkan tangan kananya untuk menyambut pukulan lawan itu.

"Wuuuutttt... desss...!!" Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, Aji terdorong ke belakang akan tetapi lawannya juga terdorong ke belakang!

Heh... ???" Orang itu berseru heran dan memandang dengan mata terbelalak. Pada saat itu, sosok tubuh tua Ki Ageng Pasisiran muncul keluar dari pintu, bertopang pada tongkatnya. Ki Ageng Pasisiran atau yang dulu bernama ki tejo Langit memandang kepada lawan Aji itu dan di mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu berseru dengan suara bernada penuh teguran,

"Hei! Udin, apa yang kau lakukan ini....?"

"Dar-dar-dar-dor-dorrr!" Pada saat itu, dari arah kanan kiri terdengar beberapa kali ledakan dan tampak muncratnya bunga api dan tubuh kakek tua renta itu tersentak ke kanan kiri lalu roboh terkulai mandi darah! Pelor-pelor itu menembus tubuhnya yang tidak siap. Kini muncul Ki Sudrajat. Dia memegang sebuah lampu gantung dengan tangan kanan, mengangkat lampu gantung itu ke atas untuk menyinari wajah lawan Aji yang masih berdiri tertegun. "Udin! Hasanudin! Engkau... membantu kaki tangan Kumpeni...?"

"Dar-dar-dar-dor-dorr...!" Kembali terdengar letusan berkali-kali. Peluru bedil menyambar dari kanan kiri dan tampak bunga api berpijar-pijar. Lampu gantung di tangan Ki Sudrajat terkena tembakan dan padam seketika, kaca lampu itu hancur dan terlepas dari tangan Ki Sudrajat.

cerita silat online karya kho ping hoo

Akan tetapi ada sesuatu yang aneh, yang membuat Aji memandang dengan penuh kagum. Baju yang menutup dada Ki Sudrajat berlubang-lubang, hal ini dapat dilihat jelas karena ada sinar lampu gantung yang meneranginya. Akan tetapi tubuh itu tidak bergeming, agaknya tidak terluka dan sama sekali tidak roboh. Agaknya aji kekebalan Ki Sudrajat hebat sekali, mampu menahan peluru bedil dan ketika dia melangkah ke luar tadi agaknya dia sudah mempersiapkan diri dan mengerahkan aji kekebalannya sehingga dia tidak roboh oleh berondongan tembakan, tidak seperti Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang tidak sempat mempersiapkan diri karena heran dan terkejut melihat Udin tadi.

Pada saat itu, di belakang Hasanudin yang masih tercengang itu muncul bayangan Raden Banuseta yang memegang sebuah senjata pistol. Dia membidik ke arah tubuh Ki sudrajat yang berdiri tegar didepan pintu.

"Tarrr... !!" tiba-tiba muncul api menyusul ledakan ini dan tubuh Ki Sudrajat roboh terkulai!

"Kenapa... kenapa andika membunuh mereka...?" Hasanudin berseru, dalam suaranya terkandung penyesalan. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah menghilang dalam kegelapan malam.

Aji juga tertegun, bukan hanya melihat robohnya Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, melainkan juga mendengar Ki Tejo Langit menyebut nama Udin, bahkan Ki Sudrajat menyebut nama Hasanudin! Itu adalah nama kakak tirinya yang dulu ditinggalkan Harun, ayahnya, di Galuh! Hasanudin putera Harun itu kini malah membantu Raden Banuseta, pembunuh ayahnya sendiri! Dan karena Raden Banuseta ini antek Kumpeni Balanda, berarti bahwa Hasanudin atau Udin itu juga membantu Kumpeni Belanda!

"Tarr... !" Pistol di tangan Raden Banuseta meledak lagi. Tanpa disadarinya sendiri, tubuh Aji menjerembab ke atas tanah, lalu bergulingan, tangannya menyambar sepotong batu dan sekali tangan itu bergerak menyambit, terdengar suara nyaring dan lampu gantung itu pecah sehingga menjadi gelap pekat. Raden Banuseta menjadi jerih menghadapi Aji dalam kegelapan. Dia tahu betapa sakti dan berbahayanya pemuda itu. Apalagi kini Hasanudin yang ia andalkan sudah lebih dulu melarikan diri bersama dua belas orang perajurit Kumpeni, meninggalkan tempat itu.

Setelah merasa yakin bahwa para penyerbu itu telah melarikan diri meninggalkan tempat itu dan bahaya telah lewat, Aji cepat memasuki pondok, membawa keluar sebuah lampu dan digantungkan di luar. Kemudian dia memondong tubuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dibawanya masuk ke dalam pondok dan merebahkan mereka di atas pembaringan. Ki Tejo Langit yang tubuhnya disambar lima kali tembakan itu ternyata telah tewas. akan tetapi Ki Sudrajat belum tewas walaupun dadanya ditembusi sebutir peluru. Aji merasa heran sekali. Tadi dia melihat sendiri betapa berondongan peluru hanya merobaek baju orang sakti ini, akan tetapi mengapa tembakan terakhir itu, hanya satu kali saja, telah merobohkannya.

"Bagaimana keadaanmu, paman?" Tanya Aji ketika melihat Ki Sudrajat bergerak dan mengeluh panjang.

"Aku... terluka parah... jahanam itu..."

"Akan tetapi saya melihat tadi berondongan peluru tidak melukai paman, bagaimana tembakan yang satu kali ini...?"

Ki Sudrajat menggerakkan tangan mendekap dadanya. "Peluru perak... Kumpeni menggunakan...Peluru-peluru perak... dan emas... untuk melumpuhkan kekebalan kita... Andika dengar baik-baik, Aji... Si Udin itu... Hasanudin... agaknya dia.... tersesat... terbujuk menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda... aku pesan kepadamu... anakku... Jatmika... kalau bertemu dengan dia... kau bantulah dia..." Ki Sudrajat terkulai lemas.

"Baik, paman. Akan saya perhatikan dan penuhi pesan paman" kata Aji, akan tetapi dia meraba dan memeriksa, ternyata Ki Sudrajat telah menghembuskan napas terakhir, agaknya dia tewas pada saat mengucapkan kata terakhir itu.

Semalam suntuk Aji tidak tidur, melainkan duduk bersila di dekat jenazah Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat. Dia mengenang mendiang gurunya, Ki Tejo Budi dan merasa sedih bahwa pada saat dia berhasil bertemu dengan putera kandung gurunya itu, ialah Ki Sudrajat, orang itu tewas di depan matanya. Yang lebih membuatnya prihatin lagi adalah melihat kenyataan betapa kakak tirinya, ternyata telah tersesat, tidak saja membantu musuh besar pembunuh ayah kandung sendiri, bahkan mau menjadi antek Kumpeni Belanda!

Pedih hatinya mengingat untuk menemui dan menyadarkan kakak tirinya itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aji sudah menggali lubang kuburan di belakang pondok. Digalinya dua buah lubang dan dia lalu menguburkan dua buah jenazah itu dengan penuh khidmat. Dia merasa terharu sekali. Dua orang yang dihormatinya itu tewas menjadi korban tembakan senapan para antek Kumpeni Belanda. Mereka tewas tanpa ada yang melayat dan hanya dia seorang yang menguburkan mereka dalam keadaan yang sunyi, tanpa kehadiran seorangpun manusia lain.

********************

Mereka merupakan sepasang orang muda yang serasi. Yang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun, berwajah tampan bersikap gagah. Alis matanya hitm tebal melindungi sepasang mata yang mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis dan membayangkan kegagahan, apa lagi dengan adanya setitik tahi lalat di dagu, menambah kejantanannya. Tubuhnya sedang dengan dada bidang, pakaiannya sederhana bersih dan rapi.

Sebatang keris bergagang kayu cendana hitam terselip dipinggangnya. Adapun yang wanita berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah cantik jelita. Mata dan mulutnya amat indah. Sikapnya gagah perkasa sehingga ia merupakan seorang gadis yang memiliki wibawa dan membuat orang merasa segan untuk sembarangan menggoda. Langkahnyapun membayangkan ketangkasan, tidak lemah seperti wanita kebanyakan. Mereka adalah Jatmika dan Eulis. Siang hari itu panasnya terik sekali. Dua orang yang telah melakukan pejalanan sejak pagi itu tampak berkeringat.

"Uhh, panasnya..." Eulis mengeluh sambil mengusap keringat yang membasahi dahu dan lehernya yang berkulit putih mulus.

Jatmika berhenti melangkah dan menudingkan telunjuknya ke arah kanan jalan di mana terdapat sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah. Mereka telah tiba di kaki Gunung Careme di daerah persawahan yang luas dan tidak terdapat tempat yang cukup teduh untuk berlindung dari sengatan matahari. Eulis mengangguk dan keduanya lalu berjalan menuju ke gubuk itu. Nyaman memang duduk di dalam gubuk yang terlindung atap itu.

Selain dapat berlindung dari panasnya sinar matahari, juga di tempat terbuka itu berhembus angin semilir yang mengipasi tubuh mereka. Mereka duduk dan menghapus keringat. Semilir angin mendatangkan rasa nyaman dan merekapun duduk dengan nikmat dan mengantuk.

"Nyaman sekali di sini." kata Jatmika.

"Ya, enak sekali." kata Eulis sambil tersenyum.

Jatmika memandang gadis itu dan seperti sejak pertemuan pertama, setiap kali memandang wajah gadis itu, dia terpesona. Alangkah cantiknya, alangkah manisnya. bentuk tubuh itu demikian indah menggairahkan, kulit yang tampak di wajah, leher, tangan dan kaki sebetis itu demikian putih mulus. Diam-diam dia masih merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan sebetulnya gadis ini. Jelas bukan gadis sembarangan dan ang amat mengganggu pikirannya adalah ketika dia melihat Eulis mengamuk dikeroyok gerombolan di gunung Careme tadi.

Dia melihat dengan jelas gerakan gadis itu yang membuat dia terheran-heran. Gerakan ilmu silat gadis itu dikenalnya benar karena gerakan silat itu sama dengan semua ilmu silat yang dia kuasai! Dia mengenal Aji Margopati, bahkan mengenal Aji Sunya Hasta dan Guruh Bumi. Bagaimana mungkin itu? Yang menguasai semua aji-aji itu hanyalah ayahnya, Ki Sudrajat, lalu eyang gurunya, Ki Tejo Langit yang kini berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Juga paman gurunya, Hasanudin. Akan tetapi dia teringat akan cerita ayahnya.

Selain kakek gurunya, masih ada saudara-saudara seperguruan eyang gurunya, yang bernama Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi. Bahkan yang bernama Ki Tejo Budi adalah kakek kandungnya yang sebenarnya, karena Ki Tejo Langit itu hanyalah kakek angkatnya, Keterangan itu dia dapatkan dari ayahnya ketika dia hendak meninggalkan pantai Dermayu untuk pergi merantau. Dia tidak tahu di mana adanya Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi sekarang, tidak tahu apakah mereka berdua itu masih hidup ataukan sudah mati. Kini, bertemu dengan Eulis, gadis yang kehilangan ingatannya itu, melihat gadis itu ada hubungan dengan seorang di antara kedua kakek itu! Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sesungguhnya adalah murid dari Ki Tejo Langit sendiri. Kakek itu tidak menceritakan tentang gadis ini kepadanya ketika dia berada di pantai Dermayu.

"Eh, Kakangmas Jatmika, kenapa sejak tadi engkau memandangku seperti itu?" Tiba-tiba Eulis bertanya denga suara menegur ketika tanpa disadarinya pemuda itu mengamatinya dengan sepasang mata penuh selidik Barulah Jatmika gelagapan dan baru dia menyadari bahwa kelakuannya tadi tidak patut.

"Eh... ohh... aku sungguh merasa heran melihatmu, Nimas Eulis" katanya agak gagap.

"Heran?" Tanya Eulis mulai mengamati diri sendiri untuk mencari kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres. "Apakah ada sesuatu yang aneh pada diriku?"

"Memang ada yang aneh sekali, nimas, akan tetapi bukan pada dirimu."

"Lalu apa yang aneh? Katakanlah, kakangmas, engkau membuat aku menjadi penasaran dan ingin tahu."

"Nimas, ketika engkau dikeroyok oleh Gerombolan Gunung Careme itu, aku melihat gerakan ilmu silatmu dan aku mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat aku menjadi heran sekali karena semua aji kanuragan yang kau pergunakan untuk melawan mereka itu adalah aliran dari perguruanku. Aku tidak sangsi atau ragu lagi bahwa ilmu yang kita kuasai itu sealiran, Berarti kita ini masih saudara seperguruan. Cobalah ingat-ingat, Nimas, siapakah yang mengajarkan semua ilmu silat itu kepadamu? Siapakah gurumu?"

Eulis memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya dan mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi ia tidak dapat mengingat apa-apa sebelum mendapatkan dirinya dikeroyok tujuh orang jahat itu. Yang dapat diingatnya hanya sejak pengeroyokan itu, sampai Jatmika menolongnya. Sebelum itu gelap, sama sekali kosong dan ia tidak dapat mengingat apapun, ia tidak ingat siapa gurunya, tidak ingat siapa orang tuanya dan dari mana ia berasal. Yang ia ingat hanya bahwa ia bernama Listyani dengan sebutan Eulis dan berasal dari daerah Cirebon seperti yang dikatakan Jatmika kepadanya. Eulis membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda yang duduk disampingnya itu dan ia menggeleng kepala.

"Aku tidak tahu, kakangmas, tidak ingat siapa guruku. Akan tetapi, bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa aku bernama Listyani, biasa disebut Eulis dan berasal dari daerah Cirebon? Engkau lebih mengetahui tentang asal usulku, kakangmas, tentu engkau tahu pula dari siapa aku belajar semua ilmu ini."

Jatmika menggeleng kepalanya. "Tidak, nimas. akupun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa engkau bernama Listyani atau Eulis dan berasal dari daerah Cirebon. Akan tetapi engkau tentu ingat akan nama-nama semua aji yang engkau kuasai itu, bukan?"

Eulis menggeleng kepala. "Engkau menguasai Aji Surya Hasta, Aji Margopati, dan Aji Guruh Bumi!!" kata Jatmika penasaran.

Eulis menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, tidak mengenal nama-nama itu. Sudahlah, Kakangmas Jatmika, aku memang sama sekali tidak ingat akan masa laluku. Tentang diriku, biarlah kita ketahui bahwa aku bernama Listyani atau Eulis berasal dari daerah Cirebon dan aku menguasai ilmu-ilmu kanuragan yang sealiran denganmu. Sekarang, sebaiknya engkau menceritakan tentang dirimu, kakangmas, agar aku dapat mengenalmu lebih baik lagi."

Jatmika menghela napas panjang. Sebetulnya ia ingin tahu sekali siapa sebenarnya gadis yang amat menarik hatinya itu. Dia harus mengakui bahwa biarpun dia sudah bertemu dengan banyak wanita cantik, semenjak tinggal di Banten, sampai pindah ke Dermayu, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis yang begitu menarik hatinya. Dia merasakan benar bahwa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang tidak diketahui nama atau asal-usulnya ini. Dia memberi nama Listyani atau Eulis hanya agar gadis itu tidak menjadi bingung. Dia menduga bahwa gadis itu telah kehilangan ingatannya yang sebabnya tidak dia ketahui pula. Akan tetapi mendengar ucapan Eulis tadi, dia merasa gembira sekali. Setidaknya, gadis ini menaruh perhatian kepadanya dan ingin dapat mengenalnya lebih baik.

"Engkau sudah tahu, namaku Jatmika. Aku berasal dari Banten. Ayahku bernama Ki Sudrajat dan sejak aku kecil, ayah, ibu dan aku tinggal di Banten. Dua tahun yang lalu ibuku meninggal dunia. Ayah lalu mengajak aku menyusul eyangku yang tinggal di pantai laut Dermayu. Eyangku itu bernama Ki Tejo Langit, akan tetapi di pantai laut Dermayu eyang berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Akan tetapi, aku tidak betah menganggur tinggal di sana, maka aku lalu berpamit dari ayah dan eyang untuk pergi merantau dan mencari pengalaman sambil mengamalkan semua ilmu yang pernah kupelajari dari ayah dan eyang. Nah, kulihat gerakan aji kanuraganmu tadi sama benar dengan aliran kami sekeluarga. Nimas Eulis, apakah ceritaku ini tidak mengingatkan engkau akan sesuatu?"

Eulis mengerutkan alisnya, mencoba untuk mengingat-ingat. "Aku tidak ingat apa-apa, kakangmas, hanya nama Dermayu dan Ki Ageng Pasisiran itu rasanya tidak asing bagiku, akan tetapi aku tidak tahu di mana tempat itu atau siapa yang memiliki nama itu."

"Aneh sekali. Aku harus menyelidiki asal usulmu, nimas, dan aku akan membantumu sampai engkau menemukan orang tuamu. Aku akan mempertemukan engkau dengan Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Mungkin beliau mengenalmu dan dapat menceritakan siapa orang tuamu."

"Baik, kakangmas. Karena aku tidak ingat apa-apa dan merasa bingung, maka aku menurut saja apa yang akan kau lakukan untuk mencari orang tuaku agar aku dapat mengingat lagi asal usulku."

"Kita akan pergi ke Dermayu, nimas. Akan tetapi sebelum itu, kita harus pergi dulu ke Sumedang memenuhi pesan ayah dan eyang untuk membantu Gusti Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang menghadapi orang-orang pemberontak yang mengadakan kekacauan di daerah Kadipaten Sumedang."

"Baik, kakangmas. Aku ikut dan aku akan membantumu sekuat tenaga walaupun aku tidak tahu mengapa engkau membantu Kadipaten Sumedang dan siapa pula Gusti Pangeran Mas Gede itu."

Kembali Jatmika menghela napas panjang. "Nimas, aku yakin bahwa seandainya engkau tidak melupakan asal usulmu, tentu engkau akan mengetahui akan keadaan yang kau tanyakan itu. Agaknya sekarang engkaupun tidak tahu akan Kerajaan Mataram dan Gusti Sultan Agung raja Mataram, bukan?"

Eulis memandang bodoh dan menggeleng kepala. "Kasihan engkau, Nimas Eulis. Entah apa yang terjadi denganmu sehingga engkau melupakan segala hal. Ketahuilah, Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai hampir seluruh Nusantara. Hampir semua kadipaten di Jawadwipa tunduk dan mendukung Kerajaan mataram yang kini sedang mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin merajalela."

"Siapakah Kumpeni Belanda itu, kakangmas?"

Jatmika maklum bahwa gadis ini sudah kehilangan ingatannya, maka dia harus menjelaskan segalanya agar gadis itu tidak bingung dan tahu benar di pihak mana ia harus berdiri. "Kumpeni Belanda adalah bangsa asing berkulit bule dan bermata siwer (berwarna). Kalau engkau berasal dari daerah Cirebon, kurasa engkau pasti pernah melihat bangsa Belanda."

Eulis menggeleng kepala. "Aku tidak ingat, kakangmas."

"Sudahlah, ketahuilah saja bahwa bangsa Belanda adalah bangsa asing yang sama sekali berlainan dengan bangsa kita. Mereka disebut Kumpeni Belanda dan sekarang mereka mempunyai benteng di Jayakarta. Akan tetapi mereka itu semakin merajalela dan berusaha menguasai perdagangan, juga berusaha memperluas tanah yang mereka kuasai. Mereka hendak merampas tanah air kita, nimas."

Eulis mengerutkan alisnya. Biarpun ia tidak ingat sama sekali dan cerita ini merupakan hal baru baginya, namun ia dapat mengerti bahwa Kumpeni Belanda itu adalah musuh! "Jahat sekali mereka!" katanya.

"Mereka jahat, akan tetapi juga amat kuat, nimas. Karena itu, kita berkewajiban untuk membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda. Bagaimana pendapatmu, nimas?"

Eulis mengepal kedua tangannya. "Aku juga akan membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda!"

"Bagus! Nah, ketahuilah bahwa Gusti Mas Gede, Adipati Sumedang itu juga mendukung Mataram dan sekarang Sumedang dikacau oleh gerombolan pemberontak yang agaknya digerakkan oleh Kumpeni Belanda. Maka kita harus membantu Sumedang dan menentang para pemberontak itu."

"Baik, kakangmas. Aku setuju untuk bersamamu membantu Kadipaten Sumedang."

"Mari kita lanjutkan perjalanan, nimas. Sudah cukup lama kita melepaskan lelah di sini." kata Jatmika yang melompat turun dari atas panggung gubuk itu.

Eulis juga melompat turun dan mereka meninggalkan gubuk di tengah sawah itu, melalui pematang sawah. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi sebuah hutan, muncul lima orang dan Jatmika berbisik kepada Eulis.

"Hati-hati, nimas. Lima orang itu agaknya mencurigakan. Mereka seperti sengaja menghadang kita."

Eulis memandang ke depan dan memang, lima orang itu kini berhenti dan sengaja menghadang di jalan yang menuju ke hutan itu. Jatmika mengambil sikap tidak acuh dan berjalan terus, Eulis berjalan di sisinya. Akan tetapi setelah mereka tiba dekat dengan lima orang itu, seorang di antara mereka berseru.

"Benar, merekalah itu! Mereka yang telah membunuh Kakang Munding Hideung dan Paman Kolo Srenggi!"

Jatmika dan Eulis memandang orang yang bicara sambil menuding kepada mereka itu. Mereka tidak mengenal orang itu, akan tetapi dari ucapan orang itu mereka dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang anak buah Munding Hideung yang berhasil meloloskan diri. Kini pemuda dan dara itu berdiri berhadapan dengan lima orang itu dan mereka mengamati dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun.

Tiga orang lain juga sebaya dengannya. Akan tetapi orang ke lima adalah seorang kakek berusia tujuh puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, hidungnya mancung sekali dan matanya cekung tajam. Wajahnya mirip seekor burung kakaktua dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular setinggi pinggangnya. Kakek itu tampak menyeramkan sekali, tubuhnya yang tinggi itu agak bongkok, tulang tubuhnya besar dan sepasang matanya tajam bukan main, sinarnya seperti dapat menembus jantung.

"Apa?" Kakek itu berkata, suaranya terdengar agak bindeng dan logatnya asing, kaku.

"Bocah-bocah ini mampu menewaskan Munding Hideung dan Kolo Srenggi? Heh, orang muda! Benarkah andika berdua yang telah membunuh Munding Hideung dan Kolo Srenggi?" Pertanyaan ini diajukan kepada Jatmika.

Pemuda itu bersikap tenang dan waspada karena dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti mandraguna. "Kalau yang anda maksudkan itu gerombolan penjahat yang mengganas di Gunung Careme, benar kami yang membasminya." jawab Jatmika dengan jujur.

"Babo-babo si keparat jahanam!" Kakek itu memaki marah.

"Mereka itu adalah sahabatku dan muridku, dan kalian berdua berani membunuh mereka! Siapakah kalian yang begini tak tahu diri dan nekat? Ketahuilah, kini kalian berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Hayo mengaku siapa kalian, jangan mati tanpa nama!"

Dengan sikap tenang Jatmika menjawab, "Namaku Jatmika dan gadis ini bernama Listyani. Kami menentang gerombolan di Gunung Careme karena mereka jahat. Aki Mahesa Sura, andika adalah seorang yang sudah tua, sebaiknya jangan membela mereka karena kalau andika membela gerombolan itu, berarti andika juga jahat dan terpaksa kami akan menentangmu!"

"Huh-huh, apa sih baik atau jahat itu? Yang baik bagiku belum tentu baik bagimu dan yang jahat bagimu belum tentu jahat bagiku! Kalian berdua telah membunuh sahabatku Kolo Srenggi dan muridku Munding Hideung, karena itu kalian harus dihukum!" Dia menoleh ke belakang, dan berkata kepada tiga di antara orang pengikutnya.

"Panca Munding (Lima Kerbau) telah hilang dua, tinggal kalian bertiga harus dapat membalaskan dendam ini. Tangkaplah dua orang muda itu!" Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki yang tadinya berdiri di belakang Aki Mahesa Sura serentak berlompatan ke depan menghadapi Jatmika dan Eulis.

"Aku adalah Munding Beureum!" kata seorang yang memakai sabuk berwarna merah.

"Aku Munding Koneng!" kata orang kedua yang bersabuk kuning.

"Aku Munding Hejo!" kata orang ketiga yang bersabuk hijau.

"Selama bertahun-tahun, kami Panca Munding sehidup semati di gunung Careme. Kini kalian telah membunuh dua orang kakak kami, maka menyerahlah untuk kami tangkap dan menerima hukuman dari guru kami!" kata Munding Beureum.

"Kami berdua tidak merasa bersalah. Kalau kalian hendak membela yang jahat, terpaksa kami akan menghajar kalian juga!" kata Jatmika.

Eulis juga sudah siap karena ia mengerti bahwa mereka berhadapan dengan teman-teman penjahat yang telah dibasminya bersama Jatmika. Diam-diam dara perkasa ini telah mengerahkan tenaga saktinya, siap untuk melawan. Munding Beureum mengeluarkan gerengan dan agaknya ini merupakan isarat bagi dua orang adik seperguruannya. Mereka bertiga mengeluarkan suara gerengan dan tiba-tiba mereka berjungkir balik di atas tanah tiga kali dan bentuk mereka telah berubah menjadi tiga ekor harimau sebesar anak lembu!

Tiga ekor harimau ini menggereng dan mengaum sambil memperlihatkan taring dan mengibas-kibaskan ekor mereka yang panjang. Tentu saja Eulis terbelalak ngeri, akan tetapi Jatmika menoleh kepadanya dan berkata lirih.

"Pergunakan Aji Guruh Bumi..." Eulis menurut. Bersama Jatmika ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan memasang Aji guruh Bumi, menggedruk (membanting) kaki tiga kali ke atas tanah lalu keduanya mendorongkan kedua telapak tangan ke depan dan membentak, Aji Guruh Bumi...!!"

Tiga ekor harimau jadi-jadian yang sudah bergerak ke depan hendak menubruk itu tiba-tiba dilanda angin pukulan yang amat kuat. Tiga ekor binatang jadi-jadian itu terdorong ke belakang dan jatuh bergulingan, berubah lagi menjadi tiga orang laki-laki ang tampak terkejut. Mereka manjadi penasaran sekali. Ilmu mereka mengubah diri menjadi harimau ternyata dapat dipunahkan dua orang muda itu dengan aji pukulan yang amat ampuh. Mereka lalu mencabut keris masing-masing dan serentak maju menyerang. Munding Hejo yang paling muda sudah menerjang dan menyerang Eulis dengan tusukan kerisnya.

Eulis bergerak cepat menghindarkan diri dengan elakan ke belakang, lalu membalik dan kaki kirinya mencuat, melayang dan menyambar ke arah muka lawan. Munding Hejo cukup cekatan. Dia sudah mampu menghindar dari sambaran kaki itu dengan merendahkan tubuhnya lalu menyerang lagi dengan kerisnya. terjadi perkelahian sengit antara Eulis melawan Munding Hejo. Sementara itu, Munding Beureum dan Munding Koneng juga sudah maju mengeroyok Jatmika yang mereka anggap lebih tangguh dibandingkan gadis itu.

Mereka menyerang dengan tusukan keris, bertubi-tubi, dengan gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Melihat gerakan mereka, tahulah Jatmika bahwa dua orang lawannya adalah lawan-lawan yang cukup tangguh. Maka diapun cepat mencabut kerisnya. Keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam. Keris itu berpamor emas dan itulah Kyai Cubruk, keris pusaka dari Banten yang terkenal ampuh pemberian ayahnya Ki Sudrajat.

"Trang...! Cring...!!" Dua batang keris di tangan Munding Beureum dan Munding Koneng terpental ketika senjata mereka itu ditangkis oleh keris Kyai Cubruk di tangan. Gerakan tangan Jatmika yang memegang keris itu cepat dan kuat bukan main sehingga keris itu lenyap bentuknya, dan berubah menjadi sinar yang berkelebatan dan bergulung-gulung. Juga pemuda perkasa itu membalas serangan kedua orang pengeroyolnya bukan hanya dengan keris, akan tetapi juga tangan kirinya menyelingi tusukan kerisnya dengan tamparan-tramparan dahsyat.

Karena dia mengerahkan tenaga sakti dalam tamparan tangan kiri itu, maka tamparan itu tidak kalah hebat dan berbahayanya daripada tusukan kerisnya. Dan setiap kali dua orang lawannya menangkis tamparannya, tubuh mereka terdorong dan mereka terhuyung ke belakang. Bukan hanya dua orang pengeroyok Jatmika yang terdesak, juga Munding Hejo yang bertanding melawan Eulis, mulai terdesak. Biarpun dia menggunakan keris sedangkan gadis itu bertangan kosong, namun tamparan-tamparan yang dilakukan Eulis sungguh amat hebat dan mulai mendesak Munding Hejo sehingga dia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.

Aki Mahesa Sura sejak tadi menonton pertandingan itu dan dia mengerutkan alisnya yang putih setelah melihat betapa lewat beberapa puluh jurus, tiga orang muridnya terdesak hebat oleh sepasang orang muda itu. Ternyata dua orang muda itu memang sakti mandraguna, apalagi pemuda itu. Dikeroyok dua juga masih mampu mendesak. Pantas saja sahabatnya, Ki Kolo Srenggi, dapat tewas melawan mereka.

Tentu pemuda itu yang telah mengalahkan dan menewaskan Kolo Srenggi. Dan sekarang kalau dia diamkan saja, tentu tiga orang muridnya itu juga akan tewas di tangan mereka. Aki Mahesa Sura yang sudah tua renta itu segera menggerakkan tubuhnya. Tubuh jangkung agak bongkok itu sekali bergerak telah meluncur ke depan, seperti melayang saja dan tahu-tahu dia sudah berada dekat Eulis yang sedang mendesak Munding Hejo dan tongkat ularnya menyambar ke arah tengkuk Eulis.

"Syuuuutttt...!" Eulis terkejut dan hidungnya mencium bau amis keluar dari sinar hitam yang menyambar ke arah tengkuknya itu. Ia cepat melangkah maju, memutar tubuh dan mengelak dari sambaran tongkat ular itu. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri kakek tua renta itu menyambar menyengkeram ke arah kepalanya. Eulis terkejut sekali. Jarak antara ia dan kakek itu ada dua meter, akan tetapi lengan kiri kakek itu dapat mulur (memanjang) seperti karet saja dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri itu sudah mengancam kepalanya. Eulis cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan menjauh. Namun tetap saja tangan kiri itu mengejarnya dan tengkuknya terkena tepukan kakek itu.

"Plakkk!" Tubuh Eulis tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu bergerak lagi. Aki Mahesa Sura menghampiri dan memegang pangkal lengan kanan Eulis dan diangkatnya gadis itu bangkit berdiri. Akan tetapi tubuh Eulis seperti lemas tak bertenaga sehingga ia berdiri lunglai dan bersandar ke tubuh kakek itu.

"Jatmika, hentikan perlawananmu atau aku akan membunuh gadis ini!" Aki Mahesa Sura membentak dan Jatmika cepat melompat ke belakang lalu memandang.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat Eulis sudah tertangkap oleh kakek yang mukanya seperti Begawan Durna tokoh cerita Mahabarata itu! "Aki Mahesa Sura! Bebaskan gadis itu dan mari kita bertanding secara jantan!" Jatmika membentak marah dan juga khawatir melihat Eulis sudah tak berdaya dan tertawan.

"Heh-heh-heh, Jatmika. Buang kerismu dan menyerahlah daripada engkau melihat gadis ini kubunuh di depan matamu!" Aki Mahesa Sura mengancam sambil mengangkat tongkat ularnya, mengancam untuk membunuh gadis itu dengan tongkatnya.

"Aki Mahesa Sura, tidak malukah andika bertindak curang? Lepaskan Nimas Eulis dan mari kita mengadu kesaktian kalau andika berani!" kembali Jatmika menantang.

"Hah-hah-ho-ho! Ini bukan kecurangan melainkan kecerdikan, Jatmika. Kalau dengan akal dapat menang tanpa lelah, mengapa mesti menggunakan okol yang melelahkan?"

Tiba-tiba Eulis yang lemas tak berdaya itu berseru, suaranya juga terdengar lemah namun cukup lantang. "Jangan menyerah, Kakangmas Jatmika! Lawan mereka, jangan perdulikan aku! Aku tidak takut mati!"

Aki Mahesa Sura menjadi marah. Mukanya yang berkulit hitam menjadi semakin hitam dan sepasang mata yang cekung itu mengeluarkan sinar berapi. "Hemm, kalau ia minta mati, lihatlah betapa aku akan membunuhnya, Jatmika!" katanya dan dia mengangkat tongkat ularnya, siap ditusukkan pada leher Eulis yang memandang dengan mata tidak membayangkan rasa takut sedikitpun.

"Tahan...!" teriak Jatmika dan kakek itu menahan pukulan tongkatnya. "Aki Mahesa Sura, katakan dulu apa yang akan andika lakukan kalau aku mau menyerah. Kalau setelah aku menyerah andika tetap akan membunuh Nimas Eulis, apa artinya aku menyerah? Aku akan melawan sampai titik darah penghabisan dan kalau andika membunuh Nimas Eulis, aku pasti akan membunuhmu!"

Ucapan Jatmika itu dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga dapat terasa oleh Aki Mahesa Sura bahwa ucapan itu bukan sekedar gertak belaka. Kakek ini berpikir. Tidak ada untungnya kalau dia membunuh gadis jelita ini. Apalagi kalau dia melakukan itu, Jatmika tentu akan berusaha mati-matian untuk membunuhnya dan dia tahu betapa saktinya pemuda itu.

"Hemm, baiklah. Kalau engkau tidak melawan dan menyerahkan diri, aku tidak akan membunuh kalian berdua!" kata kakek itu.

"Bersumpahlah, Aki Mahesa Sura, baru aku mau percaya." kata Jatmika.

"Keparat! Engkau tidak percaya janji seorang datuk besar yang sakti mndraguna seperti aku? Baik, aku bersumpah tidak akan membunuh kalian kalau engkau mau menyerah"

"Jangan, Kakangmas Jatmika! Jangan percaya padanya, jangan menyerah dan jangan perdulikan aku!" teriak Eulis.

"Nimas Eulis, jangan khawatir. Aku yakin bahwa seorang tua dan terhormat seperti Aki Mahesa Sura, tidak akan melanggar sumpahnya sendiri. Nah, Aki Mahesa Sura, aku menyerah!"

Jatmika menyarungkan kembali kerisnya. Aki Mahesa Sura lalu berkata kepada tiga orang muridnya dengan suara memerintah "Ikat tangan mereka ke belakang, pergunakan tali pengikat pinggang kalian!"

Tiga orang murid itu lalu melolos sabuk mereka. Sabuk itu terbuat dari lawe yang sudah dirajah (diberi kesaktian) karena itu merupakan benda yang memiliki daya yang luar biasa kuatnya. Mahesa Sura menyeringai mengelus jenggotnya yang putih melihat tiga orang muridnya sibuk melaksanakan perintahnya. Munding Beureum dan Munding Koneng menelikung kedua lengan Jatmika ke belakang tubuhnya, sedangkan Munding Hejo mengikat kedua pergelangan tangan Eulis ke belakang tubuhna pula.

Setelah memeriksa ikatan itu yang amat kuat, Mahesa Sura lalu menepuk tiga kali pundak dan punggung Eulis dan seketika gadis itu mampu bergerak, Eulis meronta dan berusaha mematahkan ikatan kedua tangan, namun usahanya tidak berhasil karena tali itu kuat bukan main. Gadis itu menjadi marah dan kedua kakinya mencuat bergantian ia mencoba untuk menyerang Mahesa Sura. kakek ini terkekeh dan mengelak, terkadang menangkis sehingga kaki gadis itu terpental dan ia merasa tulang kakinya nyeri ketika tertangkis oleh tangan kakek itu.

Melihat gadis itu sudah dapat bergerak, Jatmika diam-diam juga mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali yang menelikungnya, namun usahanya juga tidak berhasil. Maklumlah dia bahwa mereka berdua tidak akan dapat melepaskan diri karena itu mereka harus mempergunakan kecerdikan, menanti kesempatan untuk meloloskan diri. Menggunakan kekerasan yang sia-sia hanya merugikan mereka sendiri.

"Jatmika, engkau sudah berjanji tidak melawan dan aku berjanji tidak akan membunuh kalian. Kalau kalian ingkar janji, akupun dapat mengingkari janjiku dan membunuh kalian." kata Aki Mahesa Sura.

"Nimas Eulis, kata-katanya itu benar. Kita harus menyerah, itulah yang sudah kujanjikan dan aku tidak ingin melihat engkau melanggar janji. Tenanglah, nimas, engkau tidak perlu khawatir. Bukankah aku berada di sampingmu?"

Eulis juga melihat betapa perlawanan akan sia-sia belaka, ia memandang pemuda itu dan melihat pemuda itu tersenyum dan sinar matanya seolah memberi isarat kepadanya. Iapun berhenti meronta dan menundukkan muka lalu berkata lirih, "Aku menyerah."

"Heh-heh-heh-ho-ho-ho!" Aki Mahesa Sura tertawa gembira. "Sebentar lagi malam tiba. Mari kita bawa dua orang tawanan ini ke pondok kita agar tidak kemalaman di perjalanan."

Tiga orang muridnya itu menggiring Jatmika dan Eulis memasuki hutan. Mereka berhenti setelah hari menjadi agak gelap. Senja telah tiba dan mereka sampai di lembah Sungai Ci Lutung di mana berdiri sebuah pondok kayu yang cukup besar. Jatmika dan Eulis disuruh masuk dan mereka semua duduk di atas bangku-bangku kayu mengelilingi sebuah meja. Munding Koneng dan Munding Hejo lalu sibuk bekerja di dapur mempersiapkan makanan dan di ruangan itu tinggal Aki Mahesa Sura dan Munding Beureum yang menemani atau menjaga dua orang tawanan itu. Tak lama kemudian dua orang murid yang sibuk di dapur itu memasuki ruangan membawa sebakul nasi dan beberapa macam masakan sederhana.

"Biarkan Nimas Listyani makan lebih dulu! kata Jatmika.

"Tidak, biarkan Kakangmas Jatmika yang makan." bantah Eulis.

"Baiklah, Jatmika akan makan lebih dulu" kata kakek itu. Berdebar rasanya jantung kedua orang tawanan itu.

Mungkin kini tiba saatnya mereka memperoleh kesempatan untuk meloloskan diri! Akan tetapi ternyata kakek itu cerdik sekali. Dia menyuruh membebaskan ikatan kedua tangan Jatmika, akan tetapi Eulis dalam keadaan masih terikat disuruh duduk di dekatnya. Dalam keadaan seperti ini tentu saja Jatmika tidak berani memberontak karena kakek itu akan dapat dengan mudah turun tangan membunuh Eulis! Akan tetapi untuk dapat membuat tubuhnya tetap sehat dan kuat, Jatmika menghilangkan perasaannya yang tertekan dan diapun mulai makan...