Seruling Gading Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 12

TOKOH besar Jatikusumo ini menjadi sesat dan jahat seperti iblis setengah giIa. Dia adalah mendiang Resi Ekomolo. Karena kejahatannya dia bentrok dengan adik seperguruannya sendiri yang bernama Resi Limut Manik dan setelah melalui pertandingan mati-matian yang berlangsung lama, akhirnya Resi Ekomolo dapat dirobohkan sehingga kedua kakinya lumpuh.

Karena maklum bahwa Resi Ekomolo amat jahat dan bahkan tidak waras otaknya, terpaksa Resi Limut Manik yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo memasukkannya dalam sumur tua di atas bukit di belakang perguruan Jatikusumo itu. Di dasar sumur itu terdapat sebuah terowongan dan ruangan bawah tanah. Bertahun-tahun Resi Ekomolo hidup di dasar sumur itu, tidak mungkin dapat keluar dari situ karena kedua Kakinya yang lumpuh.

Namun setiap hari dia mendapat kiriman makan minum dari Resi Limut Manik dan kebiasaan ini masih dilanjutkan ketika ketua Jatikusumo itu sudah digantikan oleh muridnya yang tertua, yaitu Bhagawan Sindusakti. Pada suatu hari, seorang murid Jatikusumo, murid Sang Bhagawan Sindusakti, dapat turun kedalam sumur dan bertemu dengan Resi Ekomolo. Dia membantu sang resi yang amat sakti akan tetapi gila itu keluar dari sumur dan diam-diam menjai muridnya sehingga Priyadi, demikian nama murid Jatikusumo itu, berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna melebihi semua tokoh Jatikusumo, akan tetapi wataknya menjadi jahat dan setengah gila!

Priyadi bentrok sendiri dengan para murid Jatikusumo dan para pendekar lainnya. Akhirnya guru dan murid yang gila itu bermusuhan sendiri. Priyadi dengan licik telah memukul jatuh Resi Ekomolo ke dalam sumur kembali! Dia sendiri akhirnya kalah melawan seorang murid muda Resi Limut Manik yang bernama Sutejo atau Tejomanik. Ketika kedua orang ini bertanding di atas bukit, dekat sumur tua, Priyadi terpukul jatuh ke dalam sumur.

Di dasar sumur, dia disambut oleh Resi Ekomolo yang ternyata belum tewas dan kedua orang ini bergumul sehingga akhirnya mati sampyuh. Priyadi mati dicekik dan Resi Ekomolo mati ditusuk keris pusaka Iiat Nogo. Demikianlah riwayat singkat sumur tua yang menyeramkan itu, yang seolah-olah berhantu dan tempat ini menjadi tempat yang tidak pernah dikunjungi orang.

Seperti telah diceritakan dibagian depan kisah ini, Satyabrata, pemuda keturunan Portugis yang amat cerdik itu, yang oleh Willem Van Huisen, seorang perwira Kumpeni Belanda, ditugaskan menjadi mata-mata, berhasil menyusup ke perguruan Jatikusumo dan diterima menjadi murid perguruan itu. Kini yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Ki Cangak Awu, seorang pendekar gagah perkasa yang berwatak jujur dan kasar. Ki Cangak Awu yang jujur dapat dikelabui sikap Satyabrata yang amat pandai membawa diri sehingga pemuda itu diterima menjadi murid.

Setelah menjadi murid Jatikusumo perlahan-lahan dengan cerdik Satyabrata menyebar cerita, memburuk-burukkan Mataram yang menindas dan menaklukkan daerah-daerah dan memuji-muji kebaikan Kumpeni Belanda. Saking pandainya dia bercerita, banyak murid Jatikusumo yang terpengaruh. Mendengar tentang keanehan sumur itu, dia tertarik dan pada suatu hari dia nekat memasuki sumur itu dan menemukan kerangka Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia menemukan pula gambar-gambar dan ukiran pada ruangan bawah tanah itu dan mengambil keputusan untuk mempelajari semua ilmu itu.

Akan tetapi perbuatannya yang memburuk burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda itu akhirnya ketahuan juga oleh Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari, dan tentu saja Ki Cangak Awu menjadi marah sekali lalu menyerang dan mereka bertanding di dekat sumur. Akhirnya pemuda yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu terpukul dan terjatuh ke dalam sumur tua itu.

Semua mengira bahwa dia telah tewas. Padahal sebetulnya pemuda itu sama sekali tidak tewas, bahkan dia dapat mempunyai kesempatan besar sekali untuk mempelajari semua ilmu peninggalan Ki Ekomolo tanpa gangguan sedikitpun juga. Ilmu-ilmu yang aneh membuat pemuda itu menjadi amat sakti, akan tetapi juga membuat pikirannya menjadi tidak waras dan setengah gila.

Setelah tamat mempelajari semua ilmu aneh itu, pemuda itu pada malam hari terang bulan purnama itu mengambil keputusan untuk keluar dari sumur dan seterusnya meninggalkan lempat itu. Sesosok bayangan seperti terbang keluar dari sumur itu. Kalau pada saat itu ada orang melihatnya, tentu akan mengira bahwa iblis sendiri yang keluar dari sumur itu. Seperti bukan manusia lagi, karena gerakannya amat cepatnya seperti terbang keluar dari dalam sumur.

Setelah bayangan itu berhenti di dekat sumur dan sinar bulan purnama menerangi wajahnya, barulah dapat dilihat bahwa dia adalah seorang pemuda yan amat tampan. Pemuda yang matanya agak kebiruan dan memiliki ketampanan yang bahkan mendekati kecantikan seorang wanita. Dia bukan lain adalah Satyabrata!

Satyabrata kini telah menjadi seorang yang amat sakti. Ilmu-ilmu yang telah dikuasainya adalah antara lain Aji Jerit Nogo, dan ilmu menghimpun tenaga sakti dengan jalan bersamadhi jungkir balik yang diberi nama Aji Waringin Sungsang, dan selain dari itu diapun mendapatkan keris pusaka Iiat Nogo, peninggalan dari Priyadi.

Setelah tiba di atas dan memandang bulan purnama, tiba-tiba pemuda itu berdongak dan dia mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan seluruh permukaan bukit itu. Kalau sekiranya ada orang yang berada di situ dan mendengarkan pekik itu, orang itu dapat roboh dan tewas seketika. itulah Aji Jerit Nogo yang dapat membuat lawan roboh dan hancur jantungnya karena tekanan suara yang melengking tinggi. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada seorangpun dipuncak bukit.

Betapapun juga, jeritnya itu terdengar sampai ke bawah bukit. Tentu saja jerit itupun terdengar dari perkampungan Jatikusumo, di mana tingal semua murid Jatikusumo. Mereka ada yang terkejut dan terbangun dari tidurnya, akan tetapi merasa seperti dalam mimpi. Hal ini adalah karena Aji Jerit Nogo itu asing bagi mereka semua. Mereka mengira bahwa itu adalah jerit yang keluar dari mulut hewan liar. Bahkan Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari juga terbangun dari tidurnya.

Ki Cangak Awu menggeliat dan bangun terduduk. Dia memandang ke kanan kiri dan melihat isterinya sudah terbangun pula. "Kau juga dengar itu tadi?" tanyanya kepada Pusposari.

"Ya, aku mendengarnya. Apakah itu, kakangmas? Suara apakah yang remeh itu? Dan masih terasa jantungku berdebar mendengarnya," tanya Pusposari dengan heran.

Ki Cangak Awu menghela napas panjang dan dia menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu, diajeng. Aku juga mendengar dan aku dapat merasakan suatu tenaga yang amat kuat terkandung dalam pekik melengking itu. Akan tetapi, rasanya tidak mungkin kalau suara seperti itu keluar dari kerongkongan seorang manusia. Akan tetapi andaikata keluar dari mulut seekor binatang, lalu binatang apa yang dapat memekik seperti itu? Setahuku, hanya singa dan harimau saja yang suaranya mengandung daya melumpuhkan dan pengaruh yang menyerang jantung."

"Ibliskah yang bersuara tadi, kakangmas? Dan rasanya suara itu datang dari belakang sana, dari bukit" Jelas tampak betapa wanita gagah perkasa yangi memiliki kesaktian itu bergidik. Padahal, Pusposari adalah anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang bernarna Ki Harjodento. Pusposari telah mewarisi ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari ayah angkatnya dan ia memiliki tingkat kepandaian yang tidak kalah hebat dibandingkan suaminya sendiri. Akan tetapi, mendengar suara jerit melengking tadi, ia merasa ngeri!

"Perasaanmu tidak keliru, diajeng. Aku sendiri juga merasakan sesuatu yang tidak beres. Walaupun tidak masuk akal, akan tetapi suara itu seolah menurut perasaanku, keluar dari sumur tua itu!" kata Ki Cangak Awu kepada isterinya.

"Ihh! Mana mungkin, kakangmas? Bukankah semua orang yang memasuki sumur itu telah mati? Resi Ekomolo, Priyadi, dan lima tahun yang lalu, si Satya itu mereka semua telah mati. Tak mungkin mereka yang mengeluarkan jerit seperti , tadi, kecuali... kecuali kalau... kalau ada yang masih hidup, atau boleh jadi arwah mereka yang penasaran."

Ki Cangak Awu mengangguk-angguk. "Setan penasaran memang dapat saja mengganggu manusia, diajeng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada malam mi. Mari kita bersamadhi dan mengerahkan tenaga batin kita, siap dan waspada menghadapi hawa dan pengaruh jahat. Siapa tahu roh jahat berkeliaran dan hendak mengganggu kita."

"Benar sekali, kakangmas. Akupun mempunyai perasaan yang amat tidak enak."

"Karena itu kita harus berhati-hati, diajeng. Apalagi keadaanmu sekarang ini. Engkau mengandung sudah tiga bulan, kita harus berhati-hati menjaga anak kita yang baru akan muncul setelah sepuluh tahun kita menikah dan menanti-nanti."

Pusposari mengelus perutnya. "Semoga Hyang Maha Esa melindungi kita, melindungi anak kita " katanya penuh haru.

Malam semakin larut. Bulan semakin tinggi dan semakin tegang. Tiba-tiba terdengar suara ada benda-benda kecil menjatuhi genteng rumah itu dan suami isteri itu merasa ada semacam pengaruh yang amat kuat, yang seolah memaksa mereka agar tidur. Mata mereka terserang rasa kantuk yang hebat. Suami isteri yang sudah berpengalaman itu segera tahu bahwa ada pengaruh yang sama sekali tidak wajar. Ada sesuatu yang menyerang mereka dan membuat mereka mengantuk. Ilmu hitam, ilmu sihir, Aji penyirepan, pikir mereka!

Dari pengalaman dan pelajaran aji kesaktian, mereka segera tahu bahwa hal tidak wajar itu disebabkan oleh aji penyirepan yang amat kuat, yang hendak memaksa mereka agar tidur! Keduanya maklum dan cepat mereka mengerahkan kekuatan batinnya, mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan dan melawan pengaruh kantuk yang menekan perasaan mereka itu.

Dugaan suami isteri itu memang tidak keliru. Pada saat itu, diluar bangunan induk di perkampungan Jatikusumo, berdiri sosok tubuh yang menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tadi dia mengambil sekepal tanah dan dilempar-lemparkan ke atap seluruh bangunan di perkampungan itu, bibirnya bergerak-gerak membaca mantera. Bayangan itu bukan lain adalah Satyabrata dan dia sedang mempergunakan satu diantara ilmu hitam yang dipelajarinya di dalam sumur. Ilmu hitam ini adalah aji penyirepan Begonondo, satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dalam sumur tua.

Sebetulnya, agar ilmu hitam Aji Penyirepan Begonondo ini mencapai kekuatan sepenuhnya, yang dipergunakan untuk disebarkan ke atas atap rumah orang-orang yang hendak disirep haruslah dipergunakan tanah yang diambil dari kuburan. Akan tetapi dengan mempergunakan tanah biasa juga sudah memiliki daya yang ampuh sekali untuk membuat semua penghuni rumah itu tidur pulas.

Satyabrata ingin melihat apakah aji penyirepan yang dilakukannya itu berhasil. Dia menghampiri pondok yang berjajar-jajar itu dan menendangi daun pintunya. Terdengar suara gaduh berturut-turut dan daun-daun pintu beberapa buah rumah jebol. Satyabrata menanti sejenak dan ternyata tidak ada suara seorangpun. Dia merasa yakin bahwa semua penghuni rumah perkampungan itu telah terpengaruh aji penyirepannya dan telah tertidur pulas semua. Perasaan girang memenuhi hatinya dan dia bertolak pinggang, menengadah lalu tertawa bergelak dengan lagak sombong.

"Hua-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan yang berkelebat keluar dari pintu rumah induk yang terbuka dari dalam dan di lain saat Ki Cangak Awu dan Pusposari telah berdiri di depan Satyabrata. Sinar bulan purnama saat itu sedang terang sekali sehingga segera dapat saling mengenal.

"Ah, engkau... Satya...!" Pusposari berseru, kaget dan heran karena semua orang menduga bahwa pemuda itu telah tewas, terjatuh ke dalam sumur tua.

"Jahanam busuk! Kiranya kamu, keparat!" Ki Cangak Awu juga membentak, marah sekali mendapat kenyataan bahwa yang memasang aji penyirepan dan yang membuat gaduh adalah Satya, pemuda yang menyusup menjadi murid Jatikusumo dan telah menyebar bujukan memusuhi Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda.

Satyabrata agak terkejut ketika tiba-tiba melihat suami isteri pimpinan Jatikusumo itu muncul secara tidak terdua-duga. Akan tetapi dia segera dapat menguasai kekagetannya, maklum bahwa tentu suami isteri yang memiliki kesaktian itu telah mampu menolak daya aji penyirepannya tadi.

"Ha-ha-ha-ha, Ki Cangak Awu! Bagus sekali engkau tidak jatuh tidur. Kebetulan sekali karena aku akan membunuhmu dan engkau dapat melihat kematian datang di depan matamu!"

"Setan alas! Engkaulah yang akan mati!" bentak Pusposari sambil mencabut kerisnya.

"Diajeng, biar aku yang menghadapinya," kata Cangak Awu yang mengkhawatirkan keadaan isterinya yang sedang mengandung dan dia sudah melompat ke depan isterinya, menghadapi Satyabrata. Ki Cangak Awu mengamangkan sebatang tongkat penggada yang tadi memang dibawanya keluar karena dia maklum bahwa ada orang sakti datang mengacau Jatikusumo.

"Keparat Satya, manusia curang. Engkau pasti antek Kumpeni Belanda, maka bersiaplah untuk menerima hukuman dariku!"

Satyabrata masih menyeringai dengan senyumnya yang mengejek, lalu tangan kanannya mencabut sebatang keris, yang berkarat dan berwarna kehitaman. Itulah keris pusaka Iiat Nogo peninggalan mendiang Priyadi yang tewas dalam sumur. Karena keris itu sudah terpendam dalam tubuh mendiang Resi Ekomolo sampai tubuh itu membusuk dan hancur, maka kini menjadi semakin ampuh, racunnya semakin kuat dan ada hawa menyeramkan meliputi keris Iiat Nogo itu.

Sekali tendang saja Ki Cangak Awu teringat bahwa keris itu adalah milik bekas kakak seperguruannya yang menyeleweng, yaitu Priyadi yang tewas dalam sumur tua. Kiranya keris itu kini telah dimiliki Satya, pemuda yang amat tampan dan pandai membawa diri, akan tetapi ternyata aneh dan jahat itu.

"Ha-ha, Cangak Awu, bagaimana engkau dapat menghukum aku kalau sebentar lagi engkau mati oleh pusakaku ini!"

Ki Cangak Awu marah sekali. "Manusia sombong sekali engkau! Bagaimana engkau dapat menentukan kematian seseorang? Awas, lihat senjataku!"

Setelah berkata demikian, Ki Cangak Awu lalu menerjang dengan senjatanya yang berat. Senjata itu menyambar ke arah kepala Satyabrata, dan kalau mengenai kepala, maka kepala itu pasti akan hancur lebur karena bukan saja senjata itu amat berat dan keras, akan tetapi juga tenaga yang menggerakkan itu amatlah kuatnya sehingga andaikata bukan kepala yang dihajar, melainkan batu karang, maka batu karang itupun akan hancur lebur, tidak mungkin kuat menahan pukulan sehebat itu. Akan tetapi Satyabrata dapat mengelak dengan kecepatan kilat sehingga serangan pertama itu luput dan menyambar di samping kepalanya.

Setelah penggada itu lewat, secepat kilat Satyabrata membalas dengan tusukan kerisnya ke perut lawan. Hampir saja Ki Cangak Awu terkena keris pada perutnya, akan tetapi sebagai seorang yang banyak sekali pengalaman bertanding, dia dapat melompat ke belakang dan kembali penggada dan menyambar dari samping, kini menyerampang ke arah kaki lawan.

"Heiiiiit !" Ki Cangak Awu membentak keras sekali ketika penggadanya menyambar, akan tetapi kembali Satyabrata dapat mengelak dengan lompatan ke samping lalu tangan kirinya yang menyambar dengan pukulan ke arah kepala. Pukulan itu adalah pukulan yang mengandung tenaga sakti sehingga anginnya menyambar ke arah dada Ki Cangak Awu, akan tetapi Ki Cangak Awu juga mampu menghindarkan pukulan sakti itu dengan menggulingkan tubuh ke kanan. Dia memutar tubuh ke kiri dan kembali penggadanya menyambar, kini didorongkan ke perut dengan kekuatan yang dahsyat.

"Haaiiitt !" Kini Satyabrata yang mengeluarkan teriakan keras karena penggada itu sungguh merupakan ancaman maut baginya. Kakinya diangkat ke kanan dan sambil mengubah kedudukan kaki dia telah mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Kalau tendangan itu mengenai sasaran, tentu akan membahayakan nyawa Ki Cangak Awu.

Melihat suaminya terserang dan terdesak, Pusposari cepat maju dan menggerakkan kerisnya membantu, sehingga kini pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri itu. Satyabrata menggerakkan keris dengan pengerahan tenaga sakti, dua kali keris menyambar dan menangkis dua senjata lawan.

"Trang ! Tranggg !!" Tiga orang itu terdorong mundur sampai terhuyung saking kuatnya senjata-senjata itu bertemu. Karena gerakan mereka didukung tenaga sakti yang amat kuat, maka ketiganya terhuyung ke belakang. Akan tetapi yang lebih terkejut adalah suami isteri itu karena bukan saja mereka terhuyung ke belakang, bahkan senjata merekapun terlepas dari pegangan.

Satyabrata cepat menyarungkan kerisnya dan sambil melompat berdiri dia mengerahkan tenaga sakti yang mujijat, yang terbentuk dari latihan Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas. Begitu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka, didorongkan ke arah dua orang suami isteri yang sudah berdiri berhadapan dengannya itu, dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!

"Ciaaaaattt...!!" Itulah pukulan Aji Margopati yang amat dahsyat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terkejut bukan main. Karena maklum bahwa mereka menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat berbahaya, keduanya cepat mengerahkan tenaga sakti mereka.

"Haiiiittt...!" Pusposari mendorong dengan tangan kanannya untuk menyambut serangan lawan dan ia mengerahkan aji pukulan Nogodento!

"Aaarrhhhhhh...!" Ki Cangak Awu juga mengeluarkan teriakan nyaring dan mengerahkan tenaga sakti dalam tangan kanannya yang didorongkan menyambut serangan Satyabrata dengan aji pukulan Gelap Musti.

"Wuuuuttt blaaarrr !!" Tenaga dahsyat Aji Margopati bertemu di udara dengan Aji Gelap Musti dan Aji Nogodento! Hebat bukan main pertemuan antara tiga tenaga sakti itu. Tenaga yang menggetarkan sekeliling tempat itu terasa. Akibatnya juga hebat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terjengkang dan roboh telentang keras, sedangkan Satyabrata terhuyung-huyung ke belakang.

Satyabrata merasa dadanya sesak dari agak nyeri. Ketika dia merasa bibirnya basah, dia mengusap dengan tangannya dan melihat bahwa yang membasahi bibirnya itu adalah darah. Dia terluka dalam. Akan tetapi melihat suami isteri itu roboh telentang tak bergerak, dia menjadi girang dan bangga sekali. Dia mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan, lalu mencabut keris pusaka Liat Nogo dan melangkah maju, maksudnya hendak menyusulkan serangan dengan tikaman kerisnya pada dua orang suami isteri yang sudah tak berdaya itu.

"Heii! Apa yang terjadi di sini?" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali menuju tempat itu. Satyabrata terkejut. Maklum bahwa dua orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia dalam keadaan terluka. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia memutar tubuhnya dan melompat jauh lalu berlari cepat meninggalkan perkampungan Jatikusumo itu.

"Hei, siapa kamu? Berhenti!" terdengar bentakan suara wanita melengking dan satu di antara dua sosok bayangan itu hendak mengejar larinya Satyabrata.

"Diajeng, jangan kejar! Lihat ini, kita harus menolong mereka!" kata bayangan kedua yang sudah berjongkok dekat tubuh Cangak Awu dan Pusposari.

Wanita itu menahan langkahnya lalu menghampiri laki-laki yang berjongkok itu. Iapun ikut berjongkok. "Mereka siapakah, kakangmas?" tanyanya.

"Lihat baik-baik. Mereka adalah kakang Cangak Awu."

"Ah, benar! Dan ini mbakayu Pusposari!"

"Mereka terluka dan pingsan. Mari kita bawa mereka masuk," kata laki-laki itu. Dia lalu memondong tubuh Cangak Awu yang tinggi besar itu dengan ringannya seperti memondong seorang bayi saja. Wanita itupun memondong tubuh Pusposari dan mereka membawa suami isteri yang pingsan itu memasuki rumah induk. Ruangan dalam rumah itu masih diterangi sinar lampu.

Siapakah pria dan wanita itu? Mereka adalah seorang pendekar perkasa dan pembela Mataram yang setia dan berjasa besar, bernama Sutejo atau Tejomanik, putera Ki Harjodento ketua perguruan Nogodento. Adapun wanita itu adalah isterinya yang bernama Retno Susilo, juga seorang pendekar wanita yang sakti karena ia adalah murid Nyi Rukmo Petak yang kemudian mematangkan ilmunya di bawah bimbingan suaminya.

Sutejo berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun dan Retno Susilo berusia dua puluh sembilan bilan tahun. Biarpun kedua orang ini seperti juga para pendekar lain telah membantu Sultan Agung dalam menundukkan semua daerah, terutama sekali daerah Jawa Timur, namun suami isteri ini juga tidak mau menerima anugerah pangkat.

Setelah perang selesai dan Jawa Timur dapat ditundukkan dan menakluk, suami isteri ini lalu meninggalkan Mataram dan berdiam di lereng Gunung Kawi. Sutejo memilih tinggal di lereng Gunung Kawi, yang menjadi tempat tinggalnya dahulu ketika masih hidup bersama gurunya, mendiang Bhagawan Sidik Paningal. Mereka hidup tenteram di lereng gunung itu sebagai petani.

Setelah memondong tubuh Cangak Awu dan Pusposari masuk ke dalam rumah, mereka merebahkan tubuh suami isteri pimpinan Jatikusumo itu di atas pembaringan. Setelah keduanya memeriksa keadaan suami isteri yang pingsan itu, tahulah mereka bahwa suami isteri itu tidak terluka parah, hanya terguncang sehingga pingsan oleh hawa pukulan yang amat dahsyat. Untung bahwa mereka berdua memiliki tenaga sakti yang cukup kuat sehingga daya pukulan lawan itu dapat tertangkis dan tidak membuat mereka terluka parah. Sutejo dan Retno Susilo tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi agar tidak keliru, Retno Susilo bertanya kepada suaminya.

"Kakangmas, kita harus membantu mereka, menggunakan tenaga sakti untuk memulihkan tenaga mereka sehingga jalan darah mereka menjadi lancar kembali. Benarkah?"

Sutejo mengangguk. "Benar, diajeng. Mari kita bantu mereka."

"Aku harus berhati-hati, kakangmas, karena kulihat bahwa mbakayu Pusposari tampaknya sedang mengandung."

"Begitukah? Kalau begitu, jangan menggunakan tenaga terlalu besar, cukup untuk menghangatkan dan melancarkan jalan darahnya saja."

Retno Susilo lalu menempelkan tangan kanannya ke pundak kiri Pusposari dan ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga keluar getaran tenaga memasuki tubuh Pusposari yang pingsan, menggetarkan jantung dan jalan darahnya. Sutejo juga menempelkan tangannya ke dada Cangak Awu dan mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh pendekar tinggi besar itu. Tidak sampai lima menit, suami isteri itu telah siuman. Mereka mengeluh dan membuka mata mereka. Mula-mula mereka terkejut mendapatkan diri mereka rebah di atas pembaringan dan ada orang duduk dekat mereka. Akan tetapi ketika mengenal Sutejo den Retno Susilo, keduanya menjadi girang sekali, lalu bangkit duduk.

"Ah, adi Sutejo...!" seru Cangak Awu

"Retno Susilo...!" kata pula Pusposari.

"Tenanglah, kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari," kata Sutejo lembut, "Andika berdua baru saja siuman dari pingsan, agaknya terkena pukulan yang ampuh. Mari kita duduk dan bicara."

Mereka berempat lalu turun dari atas pembaringan dan duduk di kursi-kursi dalam ruangan di luar kamar itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan beberapa orang murid Jatikusumo memasuki ruangan itu. Wajah mereka memperlihatkan ketegangan. Lima orang itu adalah murid-murid kepala atau adik-adik seperguruan Ki Cangak Awu.

"Syukurlah kalau kakang Cangak Awu berdua dalam keadaan selamat," kata seorang dari mereka dengan lega ketika melihat Cangak Awu dan Pusposari duduk di situ dalam keadaan sehat.

Cangak Awu memandang kepada mereka dan bertanya, "Wiro, apa yang telah terjadi?" Wiro mewakili saudara-saudara seperguruannya, menjawab, "Kami juga tidak tahu apa yang telah terjadi, kakang. Kami semua serentak terbangun seperti dibangunkan sesuatu dan kami keluar. Ternyata ada beberapa buah pondok yang daun pintunya jebol, juga daun pintu rumah andika sudah jebol dan terbuka. Kami tidak tahu apa yang telah terjadi, maka kami berlima memasuki rumah andika untuk melapor. Apakah yang telah terjadi, kakang?"

"Besok saja kami ceritakan. Sekarang keluarlah dan malam ini atur penjagaan yang ketat. Malam ini kami tidak ingin diganggu," kata Cangak Awu dan lima orang itu mengangguk lalu keluar lagi dari rumah itu.

Setelah mereka keluar, Retno Susilo berkata, "Kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari, sebetulnya apakah yang telah terjadi?"

Cangak Awu menghela napas berulang-ulang. Wajahnya membayangkan kemarahan dan penyesalan, kemudian diapun bercerita. "Peristiwa malam ini merupakan akibat dari kebodohan dan kecerobohanku sendiri. Sekitar lima tahun yang lalu, seorang pemuda yang mengaku bernama Satya datang ke sini dan mohon kepadaku agar dia diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia pandai membawa diri, tampan sopan dan lembut dan ketika aku mencoba memukulnya, dia sama sekali tidak dapat melawan seolah dia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Akan tetapi baru beberapa lama di sini, dia telah menyebar bujukan kepada para murid Jatikusumo, memburuk-burukkan Gusti Sultan Agung dan memji-muji Kumpeni Belanda! Mendengar laporan ini, aku menjadi marah. Tentu dia itu seorang telik sandi Kumpeni Belanda, Aku mencarinya dan mendapatkan dia berada di bukit larangan, di belakang perkampungan kami. Aku menyerangnya dan dia juga menyerangku dengan senjata api. Akan tetapi diajeng Pusposari menolongku dengan lemparan batu pada tangannya dan aku berhasil menyerangnya sehingga dia terjatuh ke dalam sumur setelah dia berhasil menembak mati seorang murid Jatikusumo. Dia terjatuh kedalam sumur tua. Karena sumur itu merupakan sumur maut yang berhantu, maka kami mengganggap dia sudah mati."

"Pengkhianat seperti si Satya itu memang layak mati!" kata Retno Susilo gemas.

Cangak Awu menghela napas panjang. "Sayang sekali, dia sama sekali tidak mati! Malam ini kami berdua tiba-tiba terserang kantuk yang luar biasa kuatnya. Kami menduga bahwa rasa kantuk itu tentu tidak wajar dan agaknya ada orang mengerahkan aji penyirepan. Maka kami lalu menolaknya dengan pengerahan tenaga sakti. Kemudian, terdengar suara tawa seperti iblis dan terdengar suara gaduh seperti runtuhnya pintu-pintu perumahan kami. Kami berdua lalu mengambil senjata dan melompat keluar. Dan ia berada disana, di luar rumah kami."

"Si Satya jahanam itu?" tanya Retno Susilo.

"Ya, dialah orangnya," kata Pusposari yang sejak tadi diam saja.

"Kami segera mengenalnya dan menyerangnya, akan tetapi dia memiliki kepandaian yang hebat sekali, gerakannya cepat seperti setan!"

"Hemm, kakang Cangak Awu, bagaimana dalam waktu lima tahun lebih saja dia sudah dapat menjadi sepandai itu? Bukankah.ketika mula-mula datang dia tidak pandai ilmu silat seperti ceritamu tadi?" tanya Sutejo heran.

"Benar, ketika dia datang dan sengaja kucoba memukulnya, dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis. Tentu saja kini aku tahu bahwa dia hanya bermain sandiwara dan sebetulnya dia sudah memiliki ilmu silat yang tinggi. Hanya kalau tingkatnya sudah tinggi saja maka dia mampu berpura-pura seperti itu, maklum bahwa pukulanku itu hanya hendak mengujinya saja."

"Akan tetapi, kalau dia memang merupakan telik sandi Kumpeni Belanda dan bermaksud untuk menyerangmu, kenapa tidak dia lakukan ketika dia datang melainkan menanti sampai setahun bahkan membiarkan dirinya kau serang sampai terjatuh ke dalam sumur?"

Cangak Awu menghela napas. "Itulah kebodohanku yang kedua kali. Kebodohku pertama kali adalah ketika aku dapat dia kelabui dan menerimanya sebagai murid Jatikusumo. Kemudian, kebodohanku yang kedua adalah ketika aku percaya bahwa dia telah terjatuh ke dalam sumur maut dan mati! Sekarang aku mengerti. Agaknya dia memang sengaja menjatuhkan diri dalam sumur itu. Agaknya dia menemukan pelajaran ilmu-ilmu yang ditinggalkan paman Eyang Guru Ekomolo dalam sumur itu dan sempat mempelajarinya. Ketika kami tadi menyerangnya, dia memang memiliki kesaktian seperti iblis sendiri. Semua serangan kami tak mengenai sasaran dan ketika senjata kami beradu dengan kerisnya yang kukenal kenal sebagai keris pusaka Ilat Nogo mllik mendiang kakang Priyadi, kami terpental ke belakang. Ketika kami bangkit, dia menyerang kami dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Kami sudah mengerahkan aji pukulan kami untuk melawannya, akan tetapi kami roboh terbanting kebelakang dan tidak ingat apa-apa lagi."

"Tahu-tahu aku sudah siuman di kamar tadi," sambung Pusposari. "Apa yang terjadi ketika kami pingsan itu? Bagaimana andika berdua dapat datang malam-malam, tepat pada waktunya dan agaknya andika berdua yang telah menolong kami?"

Kini giliran Sutejo dan Retno Susilo, sepasang suami isteri dari lereng Gunung Kawi itu, yang menghela napas panjang mendengar pertanyaan ini. "Seperti juga andika berdua, kakang Cangak Awu, kamipun tidak membawa kabar baik," kata Sutejo dengan wajah muram.

"Heh, apakah yang telah terjadi, adimas Sutejo? Ketika kami berdua mengunjungi kalian dilereng Gunung Kawi, kalian berdua hidup dengan tenteram bahagia di lereng yang subur indah itu, bersama putera kalian... eh, siapa namanya...Oya, Bagus Sajiwo. Anak yang mungil dan lucu itu berusia dua tahun ketika kami berkunjung ke sana, lima tahun yang lalu. Kini dia tentu telah menjadi seorang perjaka kecil yang tampan!" kata Ki Cangak Awu.

"Itulah, kakangmas Cangak Awu. Kabar buruk itu mengenai anak kami Bagus Sajiwo..." kata Retno Susilo dengan suara sedih.

"Hei....! Apa yang terjadi dengan keponakanku itu?" teriak Ki Cangak Awu sambil bangkit berdiri dari kursinya.

"Tenanglah, kakangmas," bujuk Pusposari. "Biar kita dengarkan dulu cerita mereka."

Mendengar bujukan isterinya, Ki Cangak Awu yang berwatak kaku dan keras seperti Bimasena itu mengangguk dan duduk kembali. "Ceritakanlah, adimas Sutejo. Ceritakan yang jelas!" katanya.

Setelah menghela napas panjang Sutejo lalu bercerita. "Terjadinya kurang lebih setahun yang lalu. Ketika itu, Ragus Sajiwo berusia kurang lebih enam tahun. Pada suatu pagi, seorang penduduk dusun di kaki Gunung Kawi datang berlari-lari, melaporkan kepada kami bahwa dusun itu diserbu gerombolan perampok. Karena sudah beberapa kali kami menentang para gerombolan disekitar daerah Gunung Kawi dan berhasil mengusir mereka, maka kami dikenal sebagai orang-orang yang mampu menolong para penduduk dusun yang diganggu gerombolan jahat. Kami berdua lalu pergi turun gunung menuju dusun itu. Kami meninggalkan Bagus Sajiwo berdua dengan bibi Sikem, pembantu rumah tangga kami. Kami berhasil menghalau gerombolan penjahat yang mengganggu dusun itu. Bahkan mereka melarikan diri ketika kami datang. Setelah kami pulang ke rumah kami, baru kami tahu bahwa gangguan gerombolan ke dusun itu hanyalah merupakan siasat licik untuk menjauhkan kami dari rumah kami..."

"Hemm, siasat memancing harimau meninggalkan sarangnya?" kata Cangak Awu.

Sutejo mengangguk. "Benar, kakangmas Cangak Awu. Ketika kami tiba di rumah, bibi Sikem pembantu kami telah tewas dan Bagus Sajiwo telah hilang..."

"Hilang???" Cangak Awu dan Pusposari berseru kaget.

"Anakku Bagus Sajiwo hilang, agaknya diculik orang." kata Retno Susilo, suaranya menggetar menahan isak.

Cangak Awu sudah bangkit berdiri dan tinjunya yang besar bergerak menimpa meja. "Keparat! Jahanam dari mana berani menculik keponakanku? Katakan, adi Sutejo, katakan siapa penculik itu! Aku akan mencarinya, merampas kembali Bagus Sajiwo dan meremukkan kepala penculik itu!"

"Kakangmas, tenanglah dulu dan biarkan adimas Sutejo melanjutkan ceritanya," kata Pusposari sambil menarik tangan suaminya agar duduk kembali.

"Kalau aku mengetahul siapa jahanam itu, tentu sekarang sudah kupenggal kepalanya dan anakku sudah dapat kurampas kembali!" kata Retno Susilo dengan suara gemas.

Barulah Cangak Awu menyadari bahwa Sutejo dan Retno Susilo merupakan orang-orang yang sakti mandraguna. Tadi dia hampir lupa akan kenyataan ini dan sikapnya didorong oleh kemarahan yang membakar hatinya mendengar Bagus Sajiwo diculik orang. Maka diapun duduk kembali.

"Kami tidak tahu siapa penculik itu," kata Sutejo. "Satu-satunya orang yang menyaksikan penculikan itu tentulah bibi Sikem, akan tetapi ia telah terbunuh, tentu penculik itu pula yang membunuhnya."

"Hemm, kalau begitu penculik itu tentu seorang pengecut. Dia membunuh pembantu rumah tangga tentu dengan maksud agar wanita itu tidak akan dapat membuka rahasianya. Jelas dia takut kalau kalian mengetahui siapa dia," kata Cangak Awu.

"Benar, tentu begitu," kata Pusposari. "Dan penculik itu jelas takut kepada kalian maka dia menggunakan siasat memancing kalian keluar dari rumah. Mereka tidak berani melakukan penculikan itu sewaktu kalian berada di rumah," kata Pusposari.

"Heii! Ada cara untuk mengetahui siapa jahanam itu!" Tiba-tiba Cangak Awu, berteriak. "Adi Sutejo, kita cari para perampok yang memancing kalian keluar meninggalkan rumah itu karena mereka itu tentu disuruh oleh penculik dan mengetahui siapa penculik itu!"

Isterinya membenarkan dan mengangap usul suaminya ini baik sekali. Akan tetapi Sutejo menggeleng kepala dan menghela napas. "Hal itu sudah kami lakukan, kakang Cangak Awu. Kami sudah pergi mencari para perampok itu, bahkan berhasil menangkap kepala perampok. Kami memaksanya untuk mengaku siapa yang menyuruh mereka melakukan perampokan itu. Akan tetapi dia mengaku bahwa penyuruhnya adalah seorang laki-laki tinggi besar yang menutupi mukanya dengan topeng hitam dan dia tidak tahu siapa penyuruh itu. Mula-mula dia tidak mau, akan tetapi setelah dihajar setengah mati dan anak buahnya juga diamuk, kepala perampok itu terpaksa memenuhi perintah orang yang sakti mandraguna itu. Jadi, tidak ada seorangpun yang tahu siapa penculik itu. Hanya diketahui bahwa dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar."

"Akan tetapi bisa saja dia membohongimu, adi Sutejo!"

"Tidak mungkin dia berbohong!" kata Retno Susilo. "Aku sudah mematahkan kedua tulang kakinya! Tak mungkin dia berani berbohong!"

"Benar, kakang Cangak Awu," kata Sutejo. "Kepala perampok itu tidak berbohong. Aku sudah menanyai beberapa orang anggota perampok dengan ancaman dan hasilnya sama. Mereka hanya tahu bahwa yang memaksa mereka mengganggu dusun itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang memakai kedok sehingga mereka bahkan tidak tahu berapa kira-kira usia laki-laki itu."

"Hemm, kalau begitu, sukar juga melacak jejaknya," kata Cangak Awu.

"Memang tidak mudah, semenjak anak kami diculik, kami berdua sudah meninggalkan rumah dan mencari-cari namun tidak ada hasilnya. Karena itulah kami ingat kepadamu, kakang Cangak Awu. Engkau memiliki banyak anggauta perguruan, siapa tahu engkau dan para anggota Jatikusumo dapat membantu kami untuk mendengar-dengarkan, barangkali di antara mereka ada yang kebetulan mendengar tentang anak kami itu. Anak kami Bagus Sajiwo itu kini berusia kurang lebih tujuh tahun."

"Menurut pendapatku, sementara mencari Bagus Sajiwo, kalian tidak perlu gelisah. Orang itu hanya menculik anak kalian, dan hal ini menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud membunuhnya. Kalau dia bermaksud demikian, tentu pembunuhan itu telah dia lakukan seperti yang dilakukan kepada pembantu rumah tangga itu, tidak perlu bersusah payah melakukan penculikan," kata Pusposari dengan nada menghibur kepada Retno Susilo.

"Dan aku yakin bahwa yang melakukan penculikan ini tentulah seorang yang mendendam sakit hati kepada kalian, adi Sutejo," kata pula Ki Cangak Awu.

Sutejo mengangguk. "Apa yang andika berdua katakan itu memang benar. Penculik itu tentu melakukan penculikan atas diri anak kami untuk membalas dendam, dan dia tentu tidak bermaksud membunuh anak kami. Yang kuherankan, mengapa Bagus Sajiwo mengalami nasib seperti bapaknya. Aku sendiri dulu juga diculik orang dari orang tuaku, bahkan aku diculik ketika masih kecil sehingga tidak ingat lagi siapa orang tuaku. Hanya berkat kemurahan Gusti Allah saja akhirnya aku dapat juga bertemu dengan ayah bundaku."

Sutejo termenung dengan sedih, teringat akan pengalamannya sendiri. Ketika dia masih kecil, berusia tiga tahun, diapun diculik oleh seorang wanita bernama Ken Lasmi yang kemudian dikenal sebagai Nyi Rukmo Petak karena wanita itu mendendam sakit hati terhadap ayah dan ibu kandungnya, yaitu Ki Harjodento ketua perguruan Nogo Dento dan Padmosari. Sakit hati Ken Lasmi itu karena cintanya ditolak oleh Ki Harjodento. Karena tidak kuasa menandingi Ki Harjodento dan Padmosari, Ken Lasmi lalu menculiknya pada waktu dia berusip tiga tahun dan tidak ingat siapa orang tuanya. Bahkan yang diingat dari namanya, yaitu Tejomanik, hanyalah "Tejo" saja.

Dia ditolong dan dibebaskan dari tangan Ken Lasmi oleh Bhagawan Sidik Paningal yang kemudian menjadi gurunya, bahkan menjadi ayah angkatnya. Karena dia mengaku bernama Tejo, maka Bhagawan Sidik Paningal memberinya nama Sutejo. Baru setelah dia dewasa, dia tahu bahwa penculiknya adalah Nyi Rukmo Petak yang menjadi guru Retno Susilo yang kini menjadi isterinya, dan diapun tahu dari Nyi Rukmo Petak sendiri bahwa dia adalah putera Ki Harjodento dan Padmosari. Kisah tentang peristiwa itu dapat diikuti dalam cerita "Pecut Sakti Bajrakirana".

"Sudahlah, jangan terlalu berduka, adi Sutejo. Percayalah bahwa Gusti Allah akan senantiasa melindungi keponakanku Bagus Sajiwo dan aku berjanji akan mengerahkan anak buahku agar memasang mata dan telinga baik-baik untuk mendengarkan tentang anak kita itu. Akan tetapi kalian belum menceritakan bagaimana kalian dapat datang berkunjung malam-malam begini dan kebetulan sekali dapat menolong kami."

Sutejo menoleh kepada isterinya. "Diajeng, ceritakanlah peristiwa tadi kepada kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari."

Retno Susilo mengangguk dan melanjutkan cerita suaminya. "Ketika kami tiba di Ponorogo, kami teringat akan perguruan Jatikusumo di sini. Akan tetapi hari telah sore. Walaupun begitu, karena ingin sekali bertemu dengan kalian disini dan minta bantuan mencari jejak anak kami, kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami tiba disini, malam telah tiba. Akan tetapi kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan Jatikusumo, yakin bahwa kami pasti tidak akan mengganggu kalian, bahkan kami mungkin akan merupakan kejutan yang menggembirakan."

"Memang, kami akan terkejut dan gembira sekali menerima kalian berkunjung malam malam begini kalau saja tidak terjadi penyerangan tadi," kata Pusposari.

"Ketika kami memasuki perkampungan, kami merasa heran sekali akan kesunyiannya dan melihat dua orang anggauta Jatikusumo tertidur di atas bangku depan gardu penjagaan. Kami merasa heran dan curiga, lalu berlari cepat menuju ke rumah induk.

Pada saat itu kami melihat seorang memegang keris dan hendak menyerang kalian yang sudah roboh. Agaknya orang itu terkejut dan melihat kami dia lalu melarikan diri. Kemudian kami mendapat kenyataan bahwa dua orang yang roboh pingsan adalah kalian berdua, maka kami cepat memondong kalian masuk kerumah ini yang daun pintunya sudah jebol."

"Ah, kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Kalau tidak, tentu kami telah mati di tangan jahanam keparat Satya itu. Agaknya Gusti Allah sendiri yang menuntun kalian sehingga malam-malam begini datang berkunjung untuk menyelamatkan kami secara tidak disengaja," kata Cangak Awu.

"Akan tetapi, rasanya sukar sekali dapat kupercaya bahwa ada seorang pemuda yang terjungkal ke dalam sumur, dalam waktu lima tahun saja telah berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan mampu merobohkan dua orang seperti kakangmas Cangak Awu dan mbakayu Pusposari!" kata Retno Susilo dengan suara mengandung penasaran.

"Hemm, diajeng, apakah engkau sudah lupa kepada mendiang Priyadi dan betapa hebat kesaktiannya? Bahkan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan lawan yang setangguh Priyadi. Nah, menurut cerita kakang Cangak Awu tadi, pemuda bernama Satya itu terjerumus kedalam sumur tua dimana dahulu mendiang Priyadi terjatuh. Bahkan Satya itu juga telah mempunyai keris Iiat Nogo yang dulu menjadi milik Priyadi.

Siapa tahu dalam waktu lima tahun itu dia telah mampu mempelajari ilmu-ilmu yang dulu dikuasai Priyadi, entah melalui kitab atau mungkin juga tulisan atau gambar dalam sumur itu. Kalau benar demikian, tidak aneh kalau dia berubah menjadi seorang pemuda yang memiliki kesaktian hebat," kata Sutejo.

"Aku sependapat dengan adi Sutejo. Pasti jahanam Satya itu telah mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang kakang Priyadi dan keris pusakanya. Karena itu aku mengambil keputusan untuk besok pagi memasuki sumur itu dan melakukan pemeriksaan," kata Cangak Awu.

"Ihhh�..!" seru Pusposari dengan wajah membayangkan kengerian. "Itu berbahaya sekali, kakangmas! Sumur tua itu berhantu!" Ia bergidik. "Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa sejak dahulu bukit tempat sumur itu berada menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo?" Cangak Awu menghela napas panjang.

"Sesungguhnya, kalau mau jujur, aku juga merasa ngeri dan takut memasuki sumur keramat itu. Akan tetapi dengan munculnya kasus jahanam Satya, aku harus memasuki sumur itu untuk menyelidiki. Bagaimanapun, aku berhak karena aku adalah murid Jatikusumo."

'"Bagus! Kalau begitu, aku akan menemanimu turun ke sumur itu besok, kakang Cangak Awu!" kata Sutejo.

Retno Susilo yang juga merasa seram, berseru, "Akan tetapi, orang luar mana boleh memasuki tempat terlarang itu?"

Sutejo tersenyum. "Siapa orang luar? Aku bukan orang luar. Aku juga murid Jatikusumo. Guruku yang pertama, Bapa Bhagawan Sidik Paningal, adalah adik seperguruan Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua Jatikusumo. Kemudian, guruku yang kedua, Eyang Guru Resi Limut Manik, malah menjadi tokoh besar Jatikusumo. Aku juga keturunan perguruan Jatikusumo dan seperti juga kakang Cangak Awu, aku berhak memasuki sumur tua itu."

"Itu baik sekali! Hilang rasa takut dan ngeri dalam hatiku kalau adi Sutejo mau menemaniku masuk ke sumur melakukan pemeriksaan. Kalian berdua jangan khawatir. Kalian boleh menjaga diluar sumur. Kami tidak akan terancam karena bukankah yang berada di dalam sumur itu hanyalah sisa-sisa jenazah Paman Kakek Guru Ekomolo dan kakang Priyadi? Apalagi kami memasuki sumur besok siang. Tidak ada hantu berani muncul di siang hari, bukan?" kata Cangak Awu kepada dua orang wanita gagah perkasa yang merasa seram itu.

Dua pasang suami isteri itu bercakap-cakap dengan asyik, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Selama ini, Sutejo dan Retno Susilo tinggal dilereng Gunung Kawi yang sunyi dan jauh dari kota sehingga mereka berdua tidak tahu banyak tentang perkembangan yang terjadi di Mataram. Cangak Awu yang lebih banyak mengetahui banyak bercerita tentang Mataram, tentang usaha Mataram untuk menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri.

"Kami tinggal menanti berita dari Gusti Puteri Wandansari. Begitu kami dipanggil, kami akan segera berangkat untuk membantu gerakan Mataram kalau sekiranya membutuhkan bantuan kami. Ketika Mataram menundukkan Tuban, kami tidak dipanggil."

"Eh, kakangmas Cangak Awu. Bukankah Sang Puteri Wandansari itu masih murid Jatikusumo dan menjadi adik seperguruanmu? Kenapa engkau menyebutnya Gusti Puteri?" tanya Retno Susilo yang pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu karena dahulu Sutejo pernah jatuh cinta kepada puteri istana itu.

"Kenapa engkau bertanya begitu, diajeng?" kata Sutejo. "Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Kerajaan Mataram, tentu saja kita semua menyebutnya Gusti Puteri."

Cangak Awu melanjutkan keterangannya, "Akan tetapi untuk menghadapi Madura, Surabaya dan Giri, agaknya Mataram membutuhkan bantuan banyak orang yang sekiranya memiliki kemampuan. Aku mendengar bahwa Madura itu kuat sekali karena selain diam-diam dibantu Kumpeni, juga di sana terdapat banyak orang sakti mandraguna, di antaranya adalah Ki Harya Baka Wulung yang menjadi tokoh besar dan penasihat di Kadipaten Arisbaya."

"Aku merasa heran mengapa Mataram masih hendak menaklukkan Madura dan Surabaya? Bukankah daerah-daerah yan menentangnya sudah ditundukkan semua?" tanya Retno Susilo.

Suaminya segera memandangnya dengan tatapan mata tajam. "Diajeng, bukankah sudah sering kuceritakan kepadamu tentang cita-cita Gusti Sultan Agung? Mataram sama sekali bukan berniat menaklukkan untuk menguasai, melainkan mengajak semua daerah bersatu padu untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman bagi tanah air. Tentu saja yang tidak mau bersatu lalu ditundukkan. Tujuan Gusti Sultan Agung hanya agar seluruh Nusantara menjadi satu kesatuan yang utuh, karena hanya dengan begitu maka setiap daerah akan menjadi perisai yang kokoh untuk mencegah berkembangnya kekuasaan Kumpeni Belanda di Nusantara. Kalau ada daerah, terutama di pasisiran, yang tidak mau bersatu dengan Mataram kemudian terbujuk Kumpeni dan mau menerima Kumpeni Belanda, maka hal itu menjadi amat berbahaya bagi Mataram. Mengertikah engkau, diajeng?"

Retno Susilo mengangguk dan mengalah, tidak ingin berbantah dengan suaminya karena dia tahu bahwa suaminya adalah seorang yang amat setia kepada Kerajaan Mataram, seorang berjiwa pahlawan sejati yang mencinta tanati air dan siap untuk membelanya sampai mati sekalipun. Kalau tadi ia mengajukan rasa penasarannya terhadap Mataram, hal itu sebenarnya hanya menyembunyikan perasaan cemburunya kepada Sang Puteri Wandansari! Setelah puas bercakap-cakap, mereka lalu mengaso dan tidur, mempersiapkan diri untuk melaksanakan keinginan mereka memasuki sumur keramat dan melakukan pemeriksaan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Matahari telah naik tinggi ketika dua pasang suami isteri itu mendaki bukit di belakang perkampungan Jatikusumo. Tidak ada murid Jatikusumo lain yang diperkenankan ikut. Para murid ikut kaget dan kini melakukan penjagaan ketat setelah mereka semua mendengar keterangan Ki Cangak Awu bahwa semalam mereka semua telah menjadi korban aji penyirepan dan bahwa Ki Cangak Awu dan isterinya diserang oleh Satya yang tadinya dianggap telah tewas dalam sumur tua akan tetapi dapat diusir dari situ. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya yang cerah menerangi seluruh permukaan bukit itu.

Terangnya sinar matahari itu mengusir semua kesan seram dan ngeri dari hati Retno Susilo dan Pusposari. Memang tepat kata orang-orang tua bahwa setan tidak akan muncul di siang hari dan didongengkan bahwa bangsa setan demit iblis takut akan sinar matahari! Buktinya, di waktu siang hari, ketika matahari bersinar terang, perasaan takut terhadap setanpun lenyap dari hati orang. Karena munculnya di waktu malam gelap itulah maka setan kadang disebut kuasa kegelapan, yang samar-samar atau merupakan bayangan atau juga suara tanpa rupa.

Padahal sesungguhnya, setan demit iblis yang suka muncul di waktu malam itu hanya menakut-nakuti saja dan sama sekali tidak berbahaya. Yang amat berbahaya sekali adalah setan yang tidak tampak, setan yang bercokol dalam hati akal pikiran kita, yang menyalahgunakan nafsu-nafsu kita untuk mencengkeram dan menguasai kita, menyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan dengan menghalalkan segala cara sehingga tanpa kita sadari kita melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat.

Setan yang tak tampak itu menyeret kita kedalam dosa dengan mempergunakan nafsu-nafsu daya rendah kita sebagai umpan. Dan setan iblis yang bercokol dalam hati akal pikiran kita inilah yang sesungguhnya teramat berbahaya sekali bagi kita. Pertama-tama iblis yang bercokol dalam pikiran kita membayangkan kesenangan-kesenangan dengan segala kenikmatannya sehingga kita lupa diri, tertarik dan mengejar-ngejar.

Pengejaran kesenangan menjadi tujuan utama dan untuk mendapatkannya terkadang kita mempergunakan segala macam cara, menghalalkan segala cara. Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh materi, dalam hal ini intinya adalah uang karena segala materi dapat diperoleh dengan uang, menimbul, kan kejahatan-kejahatan seperti pencurian, perampokan, penipuan, korupsi, manipulasi, dan lain-lain.

Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh sekali sering menimbulkan tindak kejahatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya. Sekali lagi. Setan yang tak tampak inilah yang berbahaya karena dia muncul kapan saja dan dimana saja, tak perduli siang atau malam. Kita tidak usah takut terhadap setan yang muncul menakut-nakuti kita di waktu malam gelap, namun kita harus selalu waspada dan hati-hati terhadap godaan setan yang bercokol dalam benak kita sendiri.

Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak mungkin dapat mengusir setan yang bercokol dalam pikiran kita. Yang dapat mengusir setan agar meninggalkan kita hanyalah Kekuasaan Gusti Allah yang Maha Kuasa, Sang Maha Pencipta. Kalau kita selalu mendekatkan diri kepada Gusti Allah, batin kita selalu memuja dan memujiNya, dengan kepasrahan lahir batin, doa dalam batin yang terus-menerus tiada hentinya sehingga setiap pernapasan kita merupakan nyanyi pujaan kepada-Nya, sehingga setiap perbuatan kita merupakan kebaktian kepadaNya dan kita lakukan atas namaNya, maka Kekuasaan Gusti Allah akan selalu menyertai kita, selalu melindungi dan menuntun kita dan kalau sudah begitu, setan iblis sudah pasti melarikan diri ketakutan dan kekuasaannya atas diri kita hilang.

Akan tetapi, setan takkan pernah berhenti mengamati kita, bagaikan harimau mengintai calon mangsanya. Sedikit saja kita lengah, sebentar saja kita menjauhkan diri dari Gusti Allah sehingga hubungan kita dengan-Nya menjadi renggang, iblis akan segera menyergap masuk untuk menerkam dan menguasai hati akal pikiran kita, bagaikan harimau kelaparan menerkam mangsanya!


Dua pasang suami isteri itu telah tiba di tepi sumur tua. Ketika mereka menjenguk ke bawah, hanya tampak kegelapan menghitam.

"Ihh, gelap pekat di bawah sana!" seru Retno Susilo.

"Kita tidak tahu berapa dalamnya sumur ini. Jangan-jangan tidak ada dasarnya!" kata pula Pusposari yang seperti juga Retno Susilo, kembali merasa ngeri setelah menjenguk ke dalam sumur dan tidak dapat melihat apa-apa kecuali hitam gelap.

"Tak mungkin ada sumur tanpa dasar," kata Sutejo. "Kita coba dengan ini!" Dia melemparkan sebuah batu sebesar kepala orang ke dalam sumur dan mereka semua menghitung dalam hati dan menanti penuh perhatian yang mereka kerahkan pada pendengaran mereka.

"Bukk....!" Setelah lewat belasan detik, terdengar suara berdebuk.

"Nah, agaknya tidak terlalu dalam dan dasarnya tanah lunak. Biarlah aku akan turun dulu, kakang Cangak Awu. Turunkan tali itu," kata Sutejo.

"Jangan, adi Sutejo. Ini adalah tugas dan kewajabanku. Aku yang akan turun dulu. Setelah aku berada di dasar sumur dan keadaannya aman, aku akan memberi isyarat dengan tarikan pada tali dan andika baru menyusul turun," kata Cangak Awu dan suaranya yang tegas menunjukkan bahwa dia tidak mau dibantah.

"Biar aku yang menurunkan dan memegangi tali," kata Pusposari. Mereka memang sudah mempersiapkan dan membawa segulung tali yang kuat dari rumah. Kini Pusposari membuka gulungan dan membiarkan ujung tali menuruni sumur.

"Sebaiknya ujung yang lain diikatkan pada pohon itu!" kata Sutejo dan diapun membawa ujung lain dari tall itu ke pohon yang tumbuh tak jauh dari sumur, lalu mengikatkan ujung tali pada batang pohon.

"Sekarang turunlah, kakangmas," kata Pusposari sambil memegangi tali, dibantu oleh Retno Susilo. Ki Cangak Awu lalu memegang tali itu dan merayap turun memasuki sumur. Setelah kedua kakinya menginjak tanah dasar sumur, dia melihat bahwa di depan sana terdapat cahaya dan tampak ada terowongan yang menembus dasar sumur itu. Cepat dia memberi isyarat ke atas dengan menarik-narik tali.

Pusposari yang memegangi tali merasakan tarikan itu dan ia berkata girang, "Dia sudah sampai di dasar sumur dengan selamat dan memberi isyarat dengan tarikan pada tali ini."

"Kalau begitu, aku akan menyusulnya!" kata Sutejo. Dia lalu menuruni sumur rnelalui tali yang dipegang oleh Pusposari yang dibantu Retno Susilo.

Tak lama kemudian Sutejo telah berdiri di dasar sumur seperti Cangak Awu. "Adi Sutejo, lihat. Itu tentu kerangka Paman Kakek Resi Ekomolo dan kakang Priyadi!" Cangak Awu menunjuk ke depan. Bagian itu sudah tersentuh cahaya yang berada di depan sana.

Sutejo memandang dan melihat tulang tulang kerangka dua orang manusia bertumpuk di situ. Dia mengangguk, kemudian berkata. "Kakang Cangak Awu, apakah andika tidak melihat itu? Agaknya ada orang yang membuat jalan untuk keluar, dari sumur ini." Cangak Awu melihat ke arah dinding sumur yang ditunjuk Sutejo dan baru sekarang dia dapat melihat setelah pandang matanya terbiasa dengan cuaca yang remang-remang itu. Ada lubang-lubang pada dinding itu menuju ke atas, seperti tangga. Dengan memanjat dinding dengan bantuan lubang-lubang itu, seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh akan dapat dengan mudah merayap ke atas tanpa bantuan tali. Dari atas, lubang-lubang itu sama sekali tidak tampak karena gelap.

"Terowongan ini menuju ke tempat yang terang. Mari kita masuk dan memeriksa ke sana," kata Cangak Awu. Mereka lalu melangkah maju memasuki terowongan, melangkah agar jangan sampai menginjak tulang-tulang itu. Makin ke dalam cuaca semakin terang dan akhirnya mereka tiba disebuah ruangan yang terang. Kiranya sinar matahari masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu melalui celah-celah yang terdapat di antara batu-batu bukit.

Ruangan itu cukup luas dan Sutejo berkata, "Lihat, kakang Cangak Awu. Dinding-dinding ini dirusak orang!"

Cangak Awu melihat ke arah dinding dan benar saja. Dinding-dinding itu agaknya dirusak orang. Masih tampak sisa-sisa coretan huruf dan gambar yang terlewat sehingga belum terhapus. Agaknya tadinya ada coretan gambar dan huruf-huruf di atas dinding dan ada orang yang telah menghapus semua itu dengan cara merusak dengan bacokan-bacokan senjata tajam.

"Hemm, sekarang aku tahu. Si jahanam Satya itu tentu telah memasuki sumur ini dan menemukan pelajaran ilmu-ilmu peninggalan Paman Kakek Guru Ekomolo yang ditulis dan digambar pada dinding. Dia mempelajarinya, dan setelah menguasai semua ilmu itu, dia merusak dinding lalu keluar dan menjadi orang yang sakti mandraguna."

"Agaknya dugaanmu itu memang tepat, kakang Cangak Awu. Akan tetapi aku yakin bahwa sebelum mempelajari semua aji kesaktian yang hebat itu, si Satya itu tentu telah memiliki dasar kesaktian yang cukup. Tanpa dasar itu, tidak mungkin dia mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi melalui tulisan saja, apalagi hanya dalam waktu beberapa tahun."

Ki Cangak Awu mengangguk dan menghela napas panjang. "Itulah kelengahan dan kebodohanku yang pertama. Dia dapat mengelabui aku. Ketika aku mengujinya dengan menyerangnya, dia diam saja seolah tidak memiliki kepandaian silat apapun dan aku percaya. Kiranya dia hanya berpura-pura!"

"Sudahlah, kakang Cangak Awu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan. Aku berdua isteriku akan membantumu, akan kami cari keterangan pula tentang orang bernama Satya itu dan kalau kami bertemu dengan dia yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu, pasti akan kami hajar dia!"

"Adi Sutejo, akupun akan mengerahkan para murid Jatikusumo untuk mencari keterangan tentang anakmu yang diculik orang itu."

Dua orang gagah itu lalu meneliti semua bagian ruangan bawah tanah itu, akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang penting. Ketika kembali ke ternpat di mana dua kerangka manusia itu berada, Cangak Awu mengamati kerangka itu dan berkata, "Agaknya Uwa Kakek Guru Resi Ekomolo dan kakang Priyadi saling bunuh dan mati sampyuh. Lihat, ini tentu tengkorak kakek itu karena kedua tulang pahanya bekas remuk dan dia mencengkeram dengan kedua tangannya keleher kakang Priyadi. Tentu kakang Priyadi juga membunuh kakek itu dengan senjatanya, yaitu Keris Iiat Nogo yang kini berada di tangan Satya. Tentu pemuda jahat itu telah mengambil keris pusaka itu."

Setelah merasa yakin bahwa tidak terdapat apa-apa lagi yang perlu mereka ketahui, kedua orang itu lalu merayap naik keluar dari sumur tua itu. Ketika mereka tiba di atas, kedua orang isteri mereka menghujani mereka dengan pertanyaan. Cangak Awu lalu menceritakan segala yang ditemukannya di dasar sumur kepada Pusposari dan Retno Susilo.

Mendengar cerita kedua orang yang memasuki sumur tua itu, Pusposari menghela napas. Ia berkata kepada suaminya, "Hemm, tidak terduga sama sekali bahwa kakek bernama Resi Ekomolo yang dihukum ke dalam sumur karena kejahatannya itu, merupakan kutukan bagi perguruan Jatikusumo. Ilmu-ilmu sesatnya dulu menurun kepada Priyadi, setelah Priyadi dapat dibinasakan, kini mendadak muncul Satya itu." Cangak Awu juga menghela napas panjang...


Seruling Gading Jilid 12

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 12

TOKOH besar Jatikusumo ini menjadi sesat dan jahat seperti iblis setengah giIa. Dia adalah mendiang Resi Ekomolo. Karena kejahatannya dia bentrok dengan adik seperguruannya sendiri yang bernama Resi Limut Manik dan setelah melalui pertandingan mati-matian yang berlangsung lama, akhirnya Resi Ekomolo dapat dirobohkan sehingga kedua kakinya lumpuh.

Karena maklum bahwa Resi Ekomolo amat jahat dan bahkan tidak waras otaknya, terpaksa Resi Limut Manik yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo memasukkannya dalam sumur tua di atas bukit di belakang perguruan Jatikusumo itu. Di dasar sumur itu terdapat sebuah terowongan dan ruangan bawah tanah. Bertahun-tahun Resi Ekomolo hidup di dasar sumur itu, tidak mungkin dapat keluar dari situ karena kedua Kakinya yang lumpuh.

Namun setiap hari dia mendapat kiriman makan minum dari Resi Limut Manik dan kebiasaan ini masih dilanjutkan ketika ketua Jatikusumo itu sudah digantikan oleh muridnya yang tertua, yaitu Bhagawan Sindusakti. Pada suatu hari, seorang murid Jatikusumo, murid Sang Bhagawan Sindusakti, dapat turun kedalam sumur dan bertemu dengan Resi Ekomolo. Dia membantu sang resi yang amat sakti akan tetapi gila itu keluar dari sumur dan diam-diam menjai muridnya sehingga Priyadi, demikian nama murid Jatikusumo itu, berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna melebihi semua tokoh Jatikusumo, akan tetapi wataknya menjadi jahat dan setengah gila!

Priyadi bentrok sendiri dengan para murid Jatikusumo dan para pendekar lainnya. Akhirnya guru dan murid yang gila itu bermusuhan sendiri. Priyadi dengan licik telah memukul jatuh Resi Ekomolo ke dalam sumur kembali! Dia sendiri akhirnya kalah melawan seorang murid muda Resi Limut Manik yang bernama Sutejo atau Tejomanik. Ketika kedua orang ini bertanding di atas bukit, dekat sumur tua, Priyadi terpukul jatuh ke dalam sumur.

Di dasar sumur, dia disambut oleh Resi Ekomolo yang ternyata belum tewas dan kedua orang ini bergumul sehingga akhirnya mati sampyuh. Priyadi mati dicekik dan Resi Ekomolo mati ditusuk keris pusaka Iiat Nogo. Demikianlah riwayat singkat sumur tua yang menyeramkan itu, yang seolah-olah berhantu dan tempat ini menjadi tempat yang tidak pernah dikunjungi orang.

Seperti telah diceritakan dibagian depan kisah ini, Satyabrata, pemuda keturunan Portugis yang amat cerdik itu, yang oleh Willem Van Huisen, seorang perwira Kumpeni Belanda, ditugaskan menjadi mata-mata, berhasil menyusup ke perguruan Jatikusumo dan diterima menjadi murid perguruan itu. Kini yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Ki Cangak Awu, seorang pendekar gagah perkasa yang berwatak jujur dan kasar. Ki Cangak Awu yang jujur dapat dikelabui sikap Satyabrata yang amat pandai membawa diri sehingga pemuda itu diterima menjadi murid.

Setelah menjadi murid Jatikusumo perlahan-lahan dengan cerdik Satyabrata menyebar cerita, memburuk-burukkan Mataram yang menindas dan menaklukkan daerah-daerah dan memuji-muji kebaikan Kumpeni Belanda. Saking pandainya dia bercerita, banyak murid Jatikusumo yang terpengaruh. Mendengar tentang keanehan sumur itu, dia tertarik dan pada suatu hari dia nekat memasuki sumur itu dan menemukan kerangka Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia menemukan pula gambar-gambar dan ukiran pada ruangan bawah tanah itu dan mengambil keputusan untuk mempelajari semua ilmu itu.

Akan tetapi perbuatannya yang memburuk burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda itu akhirnya ketahuan juga oleh Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari, dan tentu saja Ki Cangak Awu menjadi marah sekali lalu menyerang dan mereka bertanding di dekat sumur. Akhirnya pemuda yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu terpukul dan terjatuh ke dalam sumur tua itu.

Semua mengira bahwa dia telah tewas. Padahal sebetulnya pemuda itu sama sekali tidak tewas, bahkan dia dapat mempunyai kesempatan besar sekali untuk mempelajari semua ilmu peninggalan Ki Ekomolo tanpa gangguan sedikitpun juga. Ilmu-ilmu yang aneh membuat pemuda itu menjadi amat sakti, akan tetapi juga membuat pikirannya menjadi tidak waras dan setengah gila.

Setelah tamat mempelajari semua ilmu aneh itu, pemuda itu pada malam hari terang bulan purnama itu mengambil keputusan untuk keluar dari sumur dan seterusnya meninggalkan lempat itu. Sesosok bayangan seperti terbang keluar dari sumur itu. Kalau pada saat itu ada orang melihatnya, tentu akan mengira bahwa iblis sendiri yang keluar dari sumur itu. Seperti bukan manusia lagi, karena gerakannya amat cepatnya seperti terbang keluar dari dalam sumur.

Setelah bayangan itu berhenti di dekat sumur dan sinar bulan purnama menerangi wajahnya, barulah dapat dilihat bahwa dia adalah seorang pemuda yan amat tampan. Pemuda yang matanya agak kebiruan dan memiliki ketampanan yang bahkan mendekati kecantikan seorang wanita. Dia bukan lain adalah Satyabrata!

Satyabrata kini telah menjadi seorang yang amat sakti. Ilmu-ilmu yang telah dikuasainya adalah antara lain Aji Jerit Nogo, dan ilmu menghimpun tenaga sakti dengan jalan bersamadhi jungkir balik yang diberi nama Aji Waringin Sungsang, dan selain dari itu diapun mendapatkan keris pusaka Iiat Nogo, peninggalan dari Priyadi.

Setelah tiba di atas dan memandang bulan purnama, tiba-tiba pemuda itu berdongak dan dia mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan seluruh permukaan bukit itu. Kalau sekiranya ada orang yang berada di situ dan mendengarkan pekik itu, orang itu dapat roboh dan tewas seketika. itulah Aji Jerit Nogo yang dapat membuat lawan roboh dan hancur jantungnya karena tekanan suara yang melengking tinggi. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada seorangpun dipuncak bukit.

Betapapun juga, jeritnya itu terdengar sampai ke bawah bukit. Tentu saja jerit itupun terdengar dari perkampungan Jatikusumo, di mana tingal semua murid Jatikusumo. Mereka ada yang terkejut dan terbangun dari tidurnya, akan tetapi merasa seperti dalam mimpi. Hal ini adalah karena Aji Jerit Nogo itu asing bagi mereka semua. Mereka mengira bahwa itu adalah jerit yang keluar dari mulut hewan liar. Bahkan Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari juga terbangun dari tidurnya.

Ki Cangak Awu menggeliat dan bangun terduduk. Dia memandang ke kanan kiri dan melihat isterinya sudah terbangun pula. "Kau juga dengar itu tadi?" tanyanya kepada Pusposari.

"Ya, aku mendengarnya. Apakah itu, kakangmas? Suara apakah yang remeh itu? Dan masih terasa jantungku berdebar mendengarnya," tanya Pusposari dengan heran.

Ki Cangak Awu menghela napas panjang dan dia menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu, diajeng. Aku juga mendengar dan aku dapat merasakan suatu tenaga yang amat kuat terkandung dalam pekik melengking itu. Akan tetapi, rasanya tidak mungkin kalau suara seperti itu keluar dari kerongkongan seorang manusia. Akan tetapi andaikata keluar dari mulut seekor binatang, lalu binatang apa yang dapat memekik seperti itu? Setahuku, hanya singa dan harimau saja yang suaranya mengandung daya melumpuhkan dan pengaruh yang menyerang jantung."

"Ibliskah yang bersuara tadi, kakangmas? Dan rasanya suara itu datang dari belakang sana, dari bukit" Jelas tampak betapa wanita gagah perkasa yangi memiliki kesaktian itu bergidik. Padahal, Pusposari adalah anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang bernarna Ki Harjodento. Pusposari telah mewarisi ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari ayah angkatnya dan ia memiliki tingkat kepandaian yang tidak kalah hebat dibandingkan suaminya sendiri. Akan tetapi, mendengar suara jerit melengking tadi, ia merasa ngeri!

"Perasaanmu tidak keliru, diajeng. Aku sendiri juga merasakan sesuatu yang tidak beres. Walaupun tidak masuk akal, akan tetapi suara itu seolah menurut perasaanku, keluar dari sumur tua itu!" kata Ki Cangak Awu kepada isterinya.

"Ihh! Mana mungkin, kakangmas? Bukankah semua orang yang memasuki sumur itu telah mati? Resi Ekomolo, Priyadi, dan lima tahun yang lalu, si Satya itu mereka semua telah mati. Tak mungkin mereka yang mengeluarkan jerit seperti , tadi, kecuali... kecuali kalau... kalau ada yang masih hidup, atau boleh jadi arwah mereka yang penasaran."

Ki Cangak Awu mengangguk-angguk. "Setan penasaran memang dapat saja mengganggu manusia, diajeng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada malam mi. Mari kita bersamadhi dan mengerahkan tenaga batin kita, siap dan waspada menghadapi hawa dan pengaruh jahat. Siapa tahu roh jahat berkeliaran dan hendak mengganggu kita."

"Benar sekali, kakangmas. Akupun mempunyai perasaan yang amat tidak enak."

"Karena itu kita harus berhati-hati, diajeng. Apalagi keadaanmu sekarang ini. Engkau mengandung sudah tiga bulan, kita harus berhati-hati menjaga anak kita yang baru akan muncul setelah sepuluh tahun kita menikah dan menanti-nanti."

Pusposari mengelus perutnya. "Semoga Hyang Maha Esa melindungi kita, melindungi anak kita " katanya penuh haru.

Malam semakin larut. Bulan semakin tinggi dan semakin tegang. Tiba-tiba terdengar suara ada benda-benda kecil menjatuhi genteng rumah itu dan suami isteri itu merasa ada semacam pengaruh yang amat kuat, yang seolah memaksa mereka agar tidur. Mata mereka terserang rasa kantuk yang hebat. Suami isteri yang sudah berpengalaman itu segera tahu bahwa ada pengaruh yang sama sekali tidak wajar. Ada sesuatu yang menyerang mereka dan membuat mereka mengantuk. Ilmu hitam, ilmu sihir, Aji penyirepan, pikir mereka!

Dari pengalaman dan pelajaran aji kesaktian, mereka segera tahu bahwa hal tidak wajar itu disebabkan oleh aji penyirepan yang amat kuat, yang hendak memaksa mereka agar tidur! Keduanya maklum dan cepat mereka mengerahkan kekuatan batinnya, mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan dan melawan pengaruh kantuk yang menekan perasaan mereka itu.

Dugaan suami isteri itu memang tidak keliru. Pada saat itu, diluar bangunan induk di perkampungan Jatikusumo, berdiri sosok tubuh yang menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tadi dia mengambil sekepal tanah dan dilempar-lemparkan ke atap seluruh bangunan di perkampungan itu, bibirnya bergerak-gerak membaca mantera. Bayangan itu bukan lain adalah Satyabrata dan dia sedang mempergunakan satu diantara ilmu hitam yang dipelajarinya di dalam sumur. Ilmu hitam ini adalah aji penyirepan Begonondo, satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dalam sumur tua.

Sebetulnya, agar ilmu hitam Aji Penyirepan Begonondo ini mencapai kekuatan sepenuhnya, yang dipergunakan untuk disebarkan ke atas atap rumah orang-orang yang hendak disirep haruslah dipergunakan tanah yang diambil dari kuburan. Akan tetapi dengan mempergunakan tanah biasa juga sudah memiliki daya yang ampuh sekali untuk membuat semua penghuni rumah itu tidur pulas.

Satyabrata ingin melihat apakah aji penyirepan yang dilakukannya itu berhasil. Dia menghampiri pondok yang berjajar-jajar itu dan menendangi daun pintunya. Terdengar suara gaduh berturut-turut dan daun-daun pintu beberapa buah rumah jebol. Satyabrata menanti sejenak dan ternyata tidak ada suara seorangpun. Dia merasa yakin bahwa semua penghuni rumah perkampungan itu telah terpengaruh aji penyirepannya dan telah tertidur pulas semua. Perasaan girang memenuhi hatinya dan dia bertolak pinggang, menengadah lalu tertawa bergelak dengan lagak sombong.

"Hua-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan yang berkelebat keluar dari pintu rumah induk yang terbuka dari dalam dan di lain saat Ki Cangak Awu dan Pusposari telah berdiri di depan Satyabrata. Sinar bulan purnama saat itu sedang terang sekali sehingga segera dapat saling mengenal.

"Ah, engkau... Satya...!" Pusposari berseru, kaget dan heran karena semua orang menduga bahwa pemuda itu telah tewas, terjatuh ke dalam sumur tua.

"Jahanam busuk! Kiranya kamu, keparat!" Ki Cangak Awu juga membentak, marah sekali mendapat kenyataan bahwa yang memasang aji penyirepan dan yang membuat gaduh adalah Satya, pemuda yang menyusup menjadi murid Jatikusumo dan telah menyebar bujukan memusuhi Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda.

Satyabrata agak terkejut ketika tiba-tiba melihat suami isteri pimpinan Jatikusumo itu muncul secara tidak terdua-duga. Akan tetapi dia segera dapat menguasai kekagetannya, maklum bahwa tentu suami isteri yang memiliki kesaktian itu telah mampu menolak daya aji penyirepannya tadi.

"Ha-ha-ha-ha, Ki Cangak Awu! Bagus sekali engkau tidak jatuh tidur. Kebetulan sekali karena aku akan membunuhmu dan engkau dapat melihat kematian datang di depan matamu!"

"Setan alas! Engkaulah yang akan mati!" bentak Pusposari sambil mencabut kerisnya.

"Diajeng, biar aku yang menghadapinya," kata Cangak Awu yang mengkhawatirkan keadaan isterinya yang sedang mengandung dan dia sudah melompat ke depan isterinya, menghadapi Satyabrata. Ki Cangak Awu mengamangkan sebatang tongkat penggada yang tadi memang dibawanya keluar karena dia maklum bahwa ada orang sakti datang mengacau Jatikusumo.

"Keparat Satya, manusia curang. Engkau pasti antek Kumpeni Belanda, maka bersiaplah untuk menerima hukuman dariku!"

Satyabrata masih menyeringai dengan senyumnya yang mengejek, lalu tangan kanannya mencabut sebatang keris, yang berkarat dan berwarna kehitaman. Itulah keris pusaka Iiat Nogo peninggalan mendiang Priyadi yang tewas dalam sumur. Karena keris itu sudah terpendam dalam tubuh mendiang Resi Ekomolo sampai tubuh itu membusuk dan hancur, maka kini menjadi semakin ampuh, racunnya semakin kuat dan ada hawa menyeramkan meliputi keris Iiat Nogo itu.

Sekali tendang saja Ki Cangak Awu teringat bahwa keris itu adalah milik bekas kakak seperguruannya yang menyeleweng, yaitu Priyadi yang tewas dalam sumur tua. Kiranya keris itu kini telah dimiliki Satya, pemuda yang amat tampan dan pandai membawa diri, akan tetapi ternyata aneh dan jahat itu.

"Ha-ha, Cangak Awu, bagaimana engkau dapat menghukum aku kalau sebentar lagi engkau mati oleh pusakaku ini!"

Ki Cangak Awu marah sekali. "Manusia sombong sekali engkau! Bagaimana engkau dapat menentukan kematian seseorang? Awas, lihat senjataku!"

Setelah berkata demikian, Ki Cangak Awu lalu menerjang dengan senjatanya yang berat. Senjata itu menyambar ke arah kepala Satyabrata, dan kalau mengenai kepala, maka kepala itu pasti akan hancur lebur karena bukan saja senjata itu amat berat dan keras, akan tetapi juga tenaga yang menggerakkan itu amatlah kuatnya sehingga andaikata bukan kepala yang dihajar, melainkan batu karang, maka batu karang itupun akan hancur lebur, tidak mungkin kuat menahan pukulan sehebat itu. Akan tetapi Satyabrata dapat mengelak dengan kecepatan kilat sehingga serangan pertama itu luput dan menyambar di samping kepalanya.

Setelah penggada itu lewat, secepat kilat Satyabrata membalas dengan tusukan kerisnya ke perut lawan. Hampir saja Ki Cangak Awu terkena keris pada perutnya, akan tetapi sebagai seorang yang banyak sekali pengalaman bertanding, dia dapat melompat ke belakang dan kembali penggada dan menyambar dari samping, kini menyerampang ke arah kaki lawan.

"Heiiiiit !" Ki Cangak Awu membentak keras sekali ketika penggadanya menyambar, akan tetapi kembali Satyabrata dapat mengelak dengan lompatan ke samping lalu tangan kirinya yang menyambar dengan pukulan ke arah kepala. Pukulan itu adalah pukulan yang mengandung tenaga sakti sehingga anginnya menyambar ke arah dada Ki Cangak Awu, akan tetapi Ki Cangak Awu juga mampu menghindarkan pukulan sakti itu dengan menggulingkan tubuh ke kanan. Dia memutar tubuh ke kiri dan kembali penggadanya menyambar, kini didorongkan ke perut dengan kekuatan yang dahsyat.

"Haaiiitt !" Kini Satyabrata yang mengeluarkan teriakan keras karena penggada itu sungguh merupakan ancaman maut baginya. Kakinya diangkat ke kanan dan sambil mengubah kedudukan kaki dia telah mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Kalau tendangan itu mengenai sasaran, tentu akan membahayakan nyawa Ki Cangak Awu.

Melihat suaminya terserang dan terdesak, Pusposari cepat maju dan menggerakkan kerisnya membantu, sehingga kini pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri itu. Satyabrata menggerakkan keris dengan pengerahan tenaga sakti, dua kali keris menyambar dan menangkis dua senjata lawan.

"Trang ! Tranggg !!" Tiga orang itu terdorong mundur sampai terhuyung saking kuatnya senjata-senjata itu bertemu. Karena gerakan mereka didukung tenaga sakti yang amat kuat, maka ketiganya terhuyung ke belakang. Akan tetapi yang lebih terkejut adalah suami isteri itu karena bukan saja mereka terhuyung ke belakang, bahkan senjata merekapun terlepas dari pegangan.

Satyabrata cepat menyarungkan kerisnya dan sambil melompat berdiri dia mengerahkan tenaga sakti yang mujijat, yang terbentuk dari latihan Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas. Begitu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka, didorongkan ke arah dua orang suami isteri yang sudah berdiri berhadapan dengannya itu, dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!

"Ciaaaaattt...!!" Itulah pukulan Aji Margopati yang amat dahsyat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terkejut bukan main. Karena maklum bahwa mereka menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat berbahaya, keduanya cepat mengerahkan tenaga sakti mereka.

"Haiiiittt...!" Pusposari mendorong dengan tangan kanannya untuk menyambut serangan lawan dan ia mengerahkan aji pukulan Nogodento!

"Aaarrhhhhhh...!" Ki Cangak Awu juga mengeluarkan teriakan nyaring dan mengerahkan tenaga sakti dalam tangan kanannya yang didorongkan menyambut serangan Satyabrata dengan aji pukulan Gelap Musti.

"Wuuuuttt blaaarrr !!" Tenaga dahsyat Aji Margopati bertemu di udara dengan Aji Gelap Musti dan Aji Nogodento! Hebat bukan main pertemuan antara tiga tenaga sakti itu. Tenaga yang menggetarkan sekeliling tempat itu terasa. Akibatnya juga hebat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terjengkang dan roboh telentang keras, sedangkan Satyabrata terhuyung-huyung ke belakang.

Satyabrata merasa dadanya sesak dari agak nyeri. Ketika dia merasa bibirnya basah, dia mengusap dengan tangannya dan melihat bahwa yang membasahi bibirnya itu adalah darah. Dia terluka dalam. Akan tetapi melihat suami isteri itu roboh telentang tak bergerak, dia menjadi girang dan bangga sekali. Dia mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan, lalu mencabut keris pusaka Liat Nogo dan melangkah maju, maksudnya hendak menyusulkan serangan dengan tikaman kerisnya pada dua orang suami isteri yang sudah tak berdaya itu.

"Heii! Apa yang terjadi di sini?" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali menuju tempat itu. Satyabrata terkejut. Maklum bahwa dua orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia dalam keadaan terluka. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia memutar tubuhnya dan melompat jauh lalu berlari cepat meninggalkan perkampungan Jatikusumo itu.

"Hei, siapa kamu? Berhenti!" terdengar bentakan suara wanita melengking dan satu di antara dua sosok bayangan itu hendak mengejar larinya Satyabrata.

"Diajeng, jangan kejar! Lihat ini, kita harus menolong mereka!" kata bayangan kedua yang sudah berjongkok dekat tubuh Cangak Awu dan Pusposari.

Wanita itu menahan langkahnya lalu menghampiri laki-laki yang berjongkok itu. Iapun ikut berjongkok. "Mereka siapakah, kakangmas?" tanyanya.

"Lihat baik-baik. Mereka adalah kakang Cangak Awu."

"Ah, benar! Dan ini mbakayu Pusposari!"

"Mereka terluka dan pingsan. Mari kita bawa mereka masuk," kata laki-laki itu. Dia lalu memondong tubuh Cangak Awu yang tinggi besar itu dengan ringannya seperti memondong seorang bayi saja. Wanita itupun memondong tubuh Pusposari dan mereka membawa suami isteri yang pingsan itu memasuki rumah induk. Ruangan dalam rumah itu masih diterangi sinar lampu.

Siapakah pria dan wanita itu? Mereka adalah seorang pendekar perkasa dan pembela Mataram yang setia dan berjasa besar, bernama Sutejo atau Tejomanik, putera Ki Harjodento ketua perguruan Nogodento. Adapun wanita itu adalah isterinya yang bernama Retno Susilo, juga seorang pendekar wanita yang sakti karena ia adalah murid Nyi Rukmo Petak yang kemudian mematangkan ilmunya di bawah bimbingan suaminya.

Sutejo berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun dan Retno Susilo berusia dua puluh sembilan bilan tahun. Biarpun kedua orang ini seperti juga para pendekar lain telah membantu Sultan Agung dalam menundukkan semua daerah, terutama sekali daerah Jawa Timur, namun suami isteri ini juga tidak mau menerima anugerah pangkat.

Setelah perang selesai dan Jawa Timur dapat ditundukkan dan menakluk, suami isteri ini lalu meninggalkan Mataram dan berdiam di lereng Gunung Kawi. Sutejo memilih tinggal di lereng Gunung Kawi, yang menjadi tempat tinggalnya dahulu ketika masih hidup bersama gurunya, mendiang Bhagawan Sidik Paningal. Mereka hidup tenteram di lereng gunung itu sebagai petani.

Setelah memondong tubuh Cangak Awu dan Pusposari masuk ke dalam rumah, mereka merebahkan tubuh suami isteri pimpinan Jatikusumo itu di atas pembaringan. Setelah keduanya memeriksa keadaan suami isteri yang pingsan itu, tahulah mereka bahwa suami isteri itu tidak terluka parah, hanya terguncang sehingga pingsan oleh hawa pukulan yang amat dahsyat. Untung bahwa mereka berdua memiliki tenaga sakti yang cukup kuat sehingga daya pukulan lawan itu dapat tertangkis dan tidak membuat mereka terluka parah. Sutejo dan Retno Susilo tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi agar tidak keliru, Retno Susilo bertanya kepada suaminya.

"Kakangmas, kita harus membantu mereka, menggunakan tenaga sakti untuk memulihkan tenaga mereka sehingga jalan darah mereka menjadi lancar kembali. Benarkah?"

Sutejo mengangguk. "Benar, diajeng. Mari kita bantu mereka."

"Aku harus berhati-hati, kakangmas, karena kulihat bahwa mbakayu Pusposari tampaknya sedang mengandung."

"Begitukah? Kalau begitu, jangan menggunakan tenaga terlalu besar, cukup untuk menghangatkan dan melancarkan jalan darahnya saja."

Retno Susilo lalu menempelkan tangan kanannya ke pundak kiri Pusposari dan ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga keluar getaran tenaga memasuki tubuh Pusposari yang pingsan, menggetarkan jantung dan jalan darahnya. Sutejo juga menempelkan tangannya ke dada Cangak Awu dan mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh pendekar tinggi besar itu. Tidak sampai lima menit, suami isteri itu telah siuman. Mereka mengeluh dan membuka mata mereka. Mula-mula mereka terkejut mendapatkan diri mereka rebah di atas pembaringan dan ada orang duduk dekat mereka. Akan tetapi ketika mengenal Sutejo den Retno Susilo, keduanya menjadi girang sekali, lalu bangkit duduk.

"Ah, adi Sutejo...!" seru Cangak Awu

"Retno Susilo...!" kata pula Pusposari.

"Tenanglah, kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari," kata Sutejo lembut, "Andika berdua baru saja siuman dari pingsan, agaknya terkena pukulan yang ampuh. Mari kita duduk dan bicara."

Mereka berempat lalu turun dari atas pembaringan dan duduk di kursi-kursi dalam ruangan di luar kamar itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan beberapa orang murid Jatikusumo memasuki ruangan itu. Wajah mereka memperlihatkan ketegangan. Lima orang itu adalah murid-murid kepala atau adik-adik seperguruan Ki Cangak Awu.

"Syukurlah kalau kakang Cangak Awu berdua dalam keadaan selamat," kata seorang dari mereka dengan lega ketika melihat Cangak Awu dan Pusposari duduk di situ dalam keadaan sehat.

Cangak Awu memandang kepada mereka dan bertanya, "Wiro, apa yang telah terjadi?" Wiro mewakili saudara-saudara seperguruannya, menjawab, "Kami juga tidak tahu apa yang telah terjadi, kakang. Kami semua serentak terbangun seperti dibangunkan sesuatu dan kami keluar. Ternyata ada beberapa buah pondok yang daun pintunya jebol, juga daun pintu rumah andika sudah jebol dan terbuka. Kami tidak tahu apa yang telah terjadi, maka kami berlima memasuki rumah andika untuk melapor. Apakah yang telah terjadi, kakang?"

"Besok saja kami ceritakan. Sekarang keluarlah dan malam ini atur penjagaan yang ketat. Malam ini kami tidak ingin diganggu," kata Cangak Awu dan lima orang itu mengangguk lalu keluar lagi dari rumah itu.

Setelah mereka keluar, Retno Susilo berkata, "Kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari, sebetulnya apakah yang telah terjadi?"

Cangak Awu menghela napas berulang-ulang. Wajahnya membayangkan kemarahan dan penyesalan, kemudian diapun bercerita. "Peristiwa malam ini merupakan akibat dari kebodohan dan kecerobohanku sendiri. Sekitar lima tahun yang lalu, seorang pemuda yang mengaku bernama Satya datang ke sini dan mohon kepadaku agar dia diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia pandai membawa diri, tampan sopan dan lembut dan ketika aku mencoba memukulnya, dia sama sekali tidak dapat melawan seolah dia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Akan tetapi baru beberapa lama di sini, dia telah menyebar bujukan kepada para murid Jatikusumo, memburuk-burukkan Gusti Sultan Agung dan memji-muji Kumpeni Belanda! Mendengar laporan ini, aku menjadi marah. Tentu dia itu seorang telik sandi Kumpeni Belanda, Aku mencarinya dan mendapatkan dia berada di bukit larangan, di belakang perkampungan kami. Aku menyerangnya dan dia juga menyerangku dengan senjata api. Akan tetapi diajeng Pusposari menolongku dengan lemparan batu pada tangannya dan aku berhasil menyerangnya sehingga dia terjatuh ke dalam sumur setelah dia berhasil menembak mati seorang murid Jatikusumo. Dia terjatuh kedalam sumur tua. Karena sumur itu merupakan sumur maut yang berhantu, maka kami mengganggap dia sudah mati."

"Pengkhianat seperti si Satya itu memang layak mati!" kata Retno Susilo gemas.

Cangak Awu menghela napas panjang. "Sayang sekali, dia sama sekali tidak mati! Malam ini kami berdua tiba-tiba terserang kantuk yang luar biasa kuatnya. Kami menduga bahwa rasa kantuk itu tentu tidak wajar dan agaknya ada orang mengerahkan aji penyirepan. Maka kami lalu menolaknya dengan pengerahan tenaga sakti. Kemudian, terdengar suara tawa seperti iblis dan terdengar suara gaduh seperti runtuhnya pintu-pintu perumahan kami. Kami berdua lalu mengambil senjata dan melompat keluar. Dan ia berada disana, di luar rumah kami."

"Si Satya jahanam itu?" tanya Retno Susilo.

"Ya, dialah orangnya," kata Pusposari yang sejak tadi diam saja.

"Kami segera mengenalnya dan menyerangnya, akan tetapi dia memiliki kepandaian yang hebat sekali, gerakannya cepat seperti setan!"

"Hemm, kakang Cangak Awu, bagaimana dalam waktu lima tahun lebih saja dia sudah dapat menjadi sepandai itu? Bukankah.ketika mula-mula datang dia tidak pandai ilmu silat seperti ceritamu tadi?" tanya Sutejo heran.

"Benar, ketika dia datang dan sengaja kucoba memukulnya, dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis. Tentu saja kini aku tahu bahwa dia hanya bermain sandiwara dan sebetulnya dia sudah memiliki ilmu silat yang tinggi. Hanya kalau tingkatnya sudah tinggi saja maka dia mampu berpura-pura seperti itu, maklum bahwa pukulanku itu hanya hendak mengujinya saja."

"Akan tetapi, kalau dia memang merupakan telik sandi Kumpeni Belanda dan bermaksud untuk menyerangmu, kenapa tidak dia lakukan ketika dia datang melainkan menanti sampai setahun bahkan membiarkan dirinya kau serang sampai terjatuh ke dalam sumur?"

Cangak Awu menghela napas. "Itulah kebodohanku yang kedua kali. Kebodohku pertama kali adalah ketika aku dapat dia kelabui dan menerimanya sebagai murid Jatikusumo. Kemudian, kebodohanku yang kedua adalah ketika aku percaya bahwa dia telah terjatuh ke dalam sumur maut dan mati! Sekarang aku mengerti. Agaknya dia memang sengaja menjatuhkan diri dalam sumur itu. Agaknya dia menemukan pelajaran ilmu-ilmu yang ditinggalkan paman Eyang Guru Ekomolo dalam sumur itu dan sempat mempelajarinya. Ketika kami tadi menyerangnya, dia memang memiliki kesaktian seperti iblis sendiri. Semua serangan kami tak mengenai sasaran dan ketika senjata kami beradu dengan kerisnya yang kukenal kenal sebagai keris pusaka Ilat Nogo mllik mendiang kakang Priyadi, kami terpental ke belakang. Ketika kami bangkit, dia menyerang kami dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Kami sudah mengerahkan aji pukulan kami untuk melawannya, akan tetapi kami roboh terbanting kebelakang dan tidak ingat apa-apa lagi."

"Tahu-tahu aku sudah siuman di kamar tadi," sambung Pusposari. "Apa yang terjadi ketika kami pingsan itu? Bagaimana andika berdua dapat datang malam-malam, tepat pada waktunya dan agaknya andika berdua yang telah menolong kami?"

Kini giliran Sutejo dan Retno Susilo, sepasang suami isteri dari lereng Gunung Kawi itu, yang menghela napas panjang mendengar pertanyaan ini. "Seperti juga andika berdua, kakang Cangak Awu, kamipun tidak membawa kabar baik," kata Sutejo dengan wajah muram.

"Heh, apakah yang telah terjadi, adimas Sutejo? Ketika kami berdua mengunjungi kalian dilereng Gunung Kawi, kalian berdua hidup dengan tenteram bahagia di lereng yang subur indah itu, bersama putera kalian... eh, siapa namanya...Oya, Bagus Sajiwo. Anak yang mungil dan lucu itu berusia dua tahun ketika kami berkunjung ke sana, lima tahun yang lalu. Kini dia tentu telah menjadi seorang perjaka kecil yang tampan!" kata Ki Cangak Awu.

"Itulah, kakangmas Cangak Awu. Kabar buruk itu mengenai anak kami Bagus Sajiwo..." kata Retno Susilo dengan suara sedih.

"Hei....! Apa yang terjadi dengan keponakanku itu?" teriak Ki Cangak Awu sambil bangkit berdiri dari kursinya.

"Tenanglah, kakangmas," bujuk Pusposari. "Biar kita dengarkan dulu cerita mereka."

Mendengar bujukan isterinya, Ki Cangak Awu yang berwatak kaku dan keras seperti Bimasena itu mengangguk dan duduk kembali. "Ceritakanlah, adimas Sutejo. Ceritakan yang jelas!" katanya.

Setelah menghela napas panjang Sutejo lalu bercerita. "Terjadinya kurang lebih setahun yang lalu. Ketika itu, Ragus Sajiwo berusia kurang lebih enam tahun. Pada suatu pagi, seorang penduduk dusun di kaki Gunung Kawi datang berlari-lari, melaporkan kepada kami bahwa dusun itu diserbu gerombolan perampok. Karena sudah beberapa kali kami menentang para gerombolan disekitar daerah Gunung Kawi dan berhasil mengusir mereka, maka kami dikenal sebagai orang-orang yang mampu menolong para penduduk dusun yang diganggu gerombolan jahat. Kami berdua lalu pergi turun gunung menuju dusun itu. Kami meninggalkan Bagus Sajiwo berdua dengan bibi Sikem, pembantu rumah tangga kami. Kami berhasil menghalau gerombolan penjahat yang mengganggu dusun itu. Bahkan mereka melarikan diri ketika kami datang. Setelah kami pulang ke rumah kami, baru kami tahu bahwa gangguan gerombolan ke dusun itu hanyalah merupakan siasat licik untuk menjauhkan kami dari rumah kami..."

"Hemm, siasat memancing harimau meninggalkan sarangnya?" kata Cangak Awu.

Sutejo mengangguk. "Benar, kakangmas Cangak Awu. Ketika kami tiba di rumah, bibi Sikem pembantu kami telah tewas dan Bagus Sajiwo telah hilang..."

"Hilang???" Cangak Awu dan Pusposari berseru kaget.

"Anakku Bagus Sajiwo hilang, agaknya diculik orang." kata Retno Susilo, suaranya menggetar menahan isak.

Cangak Awu sudah bangkit berdiri dan tinjunya yang besar bergerak menimpa meja. "Keparat! Jahanam dari mana berani menculik keponakanku? Katakan, adi Sutejo, katakan siapa penculik itu! Aku akan mencarinya, merampas kembali Bagus Sajiwo dan meremukkan kepala penculik itu!"

"Kakangmas, tenanglah dulu dan biarkan adimas Sutejo melanjutkan ceritanya," kata Pusposari sambil menarik tangan suaminya agar duduk kembali.

"Kalau aku mengetahul siapa jahanam itu, tentu sekarang sudah kupenggal kepalanya dan anakku sudah dapat kurampas kembali!" kata Retno Susilo dengan suara gemas.

Barulah Cangak Awu menyadari bahwa Sutejo dan Retno Susilo merupakan orang-orang yang sakti mandraguna. Tadi dia hampir lupa akan kenyataan ini dan sikapnya didorong oleh kemarahan yang membakar hatinya mendengar Bagus Sajiwo diculik orang. Maka diapun duduk kembali.

"Kami tidak tahu siapa penculik itu," kata Sutejo. "Satu-satunya orang yang menyaksikan penculikan itu tentulah bibi Sikem, akan tetapi ia telah terbunuh, tentu penculik itu pula yang membunuhnya."

"Hemm, kalau begitu penculik itu tentu seorang pengecut. Dia membunuh pembantu rumah tangga tentu dengan maksud agar wanita itu tidak akan dapat membuka rahasianya. Jelas dia takut kalau kalian mengetahui siapa dia," kata Cangak Awu.

"Benar, tentu begitu," kata Pusposari. "Dan penculik itu jelas takut kepada kalian maka dia menggunakan siasat memancing kalian keluar dari rumah. Mereka tidak berani melakukan penculikan itu sewaktu kalian berada di rumah," kata Pusposari.

"Heii! Ada cara untuk mengetahui siapa jahanam itu!" Tiba-tiba Cangak Awu, berteriak. "Adi Sutejo, kita cari para perampok yang memancing kalian keluar meninggalkan rumah itu karena mereka itu tentu disuruh oleh penculik dan mengetahui siapa penculik itu!"

Isterinya membenarkan dan mengangap usul suaminya ini baik sekali. Akan tetapi Sutejo menggeleng kepala dan menghela napas. "Hal itu sudah kami lakukan, kakang Cangak Awu. Kami sudah pergi mencari para perampok itu, bahkan berhasil menangkap kepala perampok. Kami memaksanya untuk mengaku siapa yang menyuruh mereka melakukan perampokan itu. Akan tetapi dia mengaku bahwa penyuruhnya adalah seorang laki-laki tinggi besar yang menutupi mukanya dengan topeng hitam dan dia tidak tahu siapa penyuruh itu. Mula-mula dia tidak mau, akan tetapi setelah dihajar setengah mati dan anak buahnya juga diamuk, kepala perampok itu terpaksa memenuhi perintah orang yang sakti mandraguna itu. Jadi, tidak ada seorangpun yang tahu siapa penculik itu. Hanya diketahui bahwa dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar."

"Akan tetapi bisa saja dia membohongimu, adi Sutejo!"

"Tidak mungkin dia berbohong!" kata Retno Susilo. "Aku sudah mematahkan kedua tulang kakinya! Tak mungkin dia berani berbohong!"

"Benar, kakang Cangak Awu," kata Sutejo. "Kepala perampok itu tidak berbohong. Aku sudah menanyai beberapa orang anggota perampok dengan ancaman dan hasilnya sama. Mereka hanya tahu bahwa yang memaksa mereka mengganggu dusun itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang memakai kedok sehingga mereka bahkan tidak tahu berapa kira-kira usia laki-laki itu."

"Hemm, kalau begitu, sukar juga melacak jejaknya," kata Cangak Awu.

"Memang tidak mudah, semenjak anak kami diculik, kami berdua sudah meninggalkan rumah dan mencari-cari namun tidak ada hasilnya. Karena itulah kami ingat kepadamu, kakang Cangak Awu. Engkau memiliki banyak anggauta perguruan, siapa tahu engkau dan para anggota Jatikusumo dapat membantu kami untuk mendengar-dengarkan, barangkali di antara mereka ada yang kebetulan mendengar tentang anak kami itu. Anak kami Bagus Sajiwo itu kini berusia kurang lebih tujuh tahun."

"Menurut pendapatku, sementara mencari Bagus Sajiwo, kalian tidak perlu gelisah. Orang itu hanya menculik anak kalian, dan hal ini menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud membunuhnya. Kalau dia bermaksud demikian, tentu pembunuhan itu telah dia lakukan seperti yang dilakukan kepada pembantu rumah tangga itu, tidak perlu bersusah payah melakukan penculikan," kata Pusposari dengan nada menghibur kepada Retno Susilo.

"Dan aku yakin bahwa yang melakukan penculikan ini tentulah seorang yang mendendam sakit hati kepada kalian, adi Sutejo," kata pula Ki Cangak Awu.

Sutejo mengangguk. "Apa yang andika berdua katakan itu memang benar. Penculik itu tentu melakukan penculikan atas diri anak kami untuk membalas dendam, dan dia tentu tidak bermaksud membunuh anak kami. Yang kuherankan, mengapa Bagus Sajiwo mengalami nasib seperti bapaknya. Aku sendiri dulu juga diculik orang dari orang tuaku, bahkan aku diculik ketika masih kecil sehingga tidak ingat lagi siapa orang tuaku. Hanya berkat kemurahan Gusti Allah saja akhirnya aku dapat juga bertemu dengan ayah bundaku."

Sutejo termenung dengan sedih, teringat akan pengalamannya sendiri. Ketika dia masih kecil, berusia tiga tahun, diapun diculik oleh seorang wanita bernama Ken Lasmi yang kemudian dikenal sebagai Nyi Rukmo Petak karena wanita itu mendendam sakit hati terhadap ayah dan ibu kandungnya, yaitu Ki Harjodento ketua perguruan Nogo Dento dan Padmosari. Sakit hati Ken Lasmi itu karena cintanya ditolak oleh Ki Harjodento. Karena tidak kuasa menandingi Ki Harjodento dan Padmosari, Ken Lasmi lalu menculiknya pada waktu dia berusip tiga tahun dan tidak ingat siapa orang tuanya. Bahkan yang diingat dari namanya, yaitu Tejomanik, hanyalah "Tejo" saja.

Dia ditolong dan dibebaskan dari tangan Ken Lasmi oleh Bhagawan Sidik Paningal yang kemudian menjadi gurunya, bahkan menjadi ayah angkatnya. Karena dia mengaku bernama Tejo, maka Bhagawan Sidik Paningal memberinya nama Sutejo. Baru setelah dia dewasa, dia tahu bahwa penculiknya adalah Nyi Rukmo Petak yang menjadi guru Retno Susilo yang kini menjadi isterinya, dan diapun tahu dari Nyi Rukmo Petak sendiri bahwa dia adalah putera Ki Harjodento dan Padmosari. Kisah tentang peristiwa itu dapat diikuti dalam cerita "Pecut Sakti Bajrakirana".

"Sudahlah, jangan terlalu berduka, adi Sutejo. Percayalah bahwa Gusti Allah akan senantiasa melindungi keponakanku Bagus Sajiwo dan aku berjanji akan mengerahkan anak buahku agar memasang mata dan telinga baik-baik untuk mendengarkan tentang anak kita itu. Akan tetapi kalian belum menceritakan bagaimana kalian dapat datang berkunjung malam-malam begini dan kebetulan sekali dapat menolong kami."

Sutejo menoleh kepada isterinya. "Diajeng, ceritakanlah peristiwa tadi kepada kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari."

Retno Susilo mengangguk dan melanjutkan cerita suaminya. "Ketika kami tiba di Ponorogo, kami teringat akan perguruan Jatikusumo di sini. Akan tetapi hari telah sore. Walaupun begitu, karena ingin sekali bertemu dengan kalian disini dan minta bantuan mencari jejak anak kami, kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami tiba disini, malam telah tiba. Akan tetapi kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan Jatikusumo, yakin bahwa kami pasti tidak akan mengganggu kalian, bahkan kami mungkin akan merupakan kejutan yang menggembirakan."

"Memang, kami akan terkejut dan gembira sekali menerima kalian berkunjung malam malam begini kalau saja tidak terjadi penyerangan tadi," kata Pusposari.

"Ketika kami memasuki perkampungan, kami merasa heran sekali akan kesunyiannya dan melihat dua orang anggauta Jatikusumo tertidur di atas bangku depan gardu penjagaan. Kami merasa heran dan curiga, lalu berlari cepat menuju ke rumah induk.

Pada saat itu kami melihat seorang memegang keris dan hendak menyerang kalian yang sudah roboh. Agaknya orang itu terkejut dan melihat kami dia lalu melarikan diri. Kemudian kami mendapat kenyataan bahwa dua orang yang roboh pingsan adalah kalian berdua, maka kami cepat memondong kalian masuk kerumah ini yang daun pintunya sudah jebol."

"Ah, kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Kalau tidak, tentu kami telah mati di tangan jahanam keparat Satya itu. Agaknya Gusti Allah sendiri yang menuntun kalian sehingga malam-malam begini datang berkunjung untuk menyelamatkan kami secara tidak disengaja," kata Cangak Awu.

"Akan tetapi, rasanya sukar sekali dapat kupercaya bahwa ada seorang pemuda yang terjungkal ke dalam sumur, dalam waktu lima tahun saja telah berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan mampu merobohkan dua orang seperti kakangmas Cangak Awu dan mbakayu Pusposari!" kata Retno Susilo dengan suara mengandung penasaran.

"Hemm, diajeng, apakah engkau sudah lupa kepada mendiang Priyadi dan betapa hebat kesaktiannya? Bahkan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan lawan yang setangguh Priyadi. Nah, menurut cerita kakang Cangak Awu tadi, pemuda bernama Satya itu terjerumus kedalam sumur tua dimana dahulu mendiang Priyadi terjatuh. Bahkan Satya itu juga telah mempunyai keris Iiat Nogo yang dulu menjadi milik Priyadi.

Siapa tahu dalam waktu lima tahun itu dia telah mampu mempelajari ilmu-ilmu yang dulu dikuasai Priyadi, entah melalui kitab atau mungkin juga tulisan atau gambar dalam sumur itu. Kalau benar demikian, tidak aneh kalau dia berubah menjadi seorang pemuda yang memiliki kesaktian hebat," kata Sutejo.

"Aku sependapat dengan adi Sutejo. Pasti jahanam Satya itu telah mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang kakang Priyadi dan keris pusakanya. Karena itu aku mengambil keputusan untuk besok pagi memasuki sumur itu dan melakukan pemeriksaan," kata Cangak Awu.

"Ihhh�..!" seru Pusposari dengan wajah membayangkan kengerian. "Itu berbahaya sekali, kakangmas! Sumur tua itu berhantu!" Ia bergidik. "Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa sejak dahulu bukit tempat sumur itu berada menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo?" Cangak Awu menghela napas panjang.

"Sesungguhnya, kalau mau jujur, aku juga merasa ngeri dan takut memasuki sumur keramat itu. Akan tetapi dengan munculnya kasus jahanam Satya, aku harus memasuki sumur itu untuk menyelidiki. Bagaimanapun, aku berhak karena aku adalah murid Jatikusumo."

'"Bagus! Kalau begitu, aku akan menemanimu turun ke sumur itu besok, kakang Cangak Awu!" kata Sutejo.

Retno Susilo yang juga merasa seram, berseru, "Akan tetapi, orang luar mana boleh memasuki tempat terlarang itu?"

Sutejo tersenyum. "Siapa orang luar? Aku bukan orang luar. Aku juga murid Jatikusumo. Guruku yang pertama, Bapa Bhagawan Sidik Paningal, adalah adik seperguruan Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua Jatikusumo. Kemudian, guruku yang kedua, Eyang Guru Resi Limut Manik, malah menjadi tokoh besar Jatikusumo. Aku juga keturunan perguruan Jatikusumo dan seperti juga kakang Cangak Awu, aku berhak memasuki sumur tua itu."

"Itu baik sekali! Hilang rasa takut dan ngeri dalam hatiku kalau adi Sutejo mau menemaniku masuk ke sumur melakukan pemeriksaan. Kalian berdua jangan khawatir. Kalian boleh menjaga diluar sumur. Kami tidak akan terancam karena bukankah yang berada di dalam sumur itu hanyalah sisa-sisa jenazah Paman Kakek Guru Ekomolo dan kakang Priyadi? Apalagi kami memasuki sumur besok siang. Tidak ada hantu berani muncul di siang hari, bukan?" kata Cangak Awu kepada dua orang wanita gagah perkasa yang merasa seram itu.

Dua pasang suami isteri itu bercakap-cakap dengan asyik, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Selama ini, Sutejo dan Retno Susilo tinggal dilereng Gunung Kawi yang sunyi dan jauh dari kota sehingga mereka berdua tidak tahu banyak tentang perkembangan yang terjadi di Mataram. Cangak Awu yang lebih banyak mengetahui banyak bercerita tentang Mataram, tentang usaha Mataram untuk menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri.

"Kami tinggal menanti berita dari Gusti Puteri Wandansari. Begitu kami dipanggil, kami akan segera berangkat untuk membantu gerakan Mataram kalau sekiranya membutuhkan bantuan kami. Ketika Mataram menundukkan Tuban, kami tidak dipanggil."

"Eh, kakangmas Cangak Awu. Bukankah Sang Puteri Wandansari itu masih murid Jatikusumo dan menjadi adik seperguruanmu? Kenapa engkau menyebutnya Gusti Puteri?" tanya Retno Susilo yang pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu karena dahulu Sutejo pernah jatuh cinta kepada puteri istana itu.

"Kenapa engkau bertanya begitu, diajeng?" kata Sutejo. "Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Kerajaan Mataram, tentu saja kita semua menyebutnya Gusti Puteri."

Cangak Awu melanjutkan keterangannya, "Akan tetapi untuk menghadapi Madura, Surabaya dan Giri, agaknya Mataram membutuhkan bantuan banyak orang yang sekiranya memiliki kemampuan. Aku mendengar bahwa Madura itu kuat sekali karena selain diam-diam dibantu Kumpeni, juga di sana terdapat banyak orang sakti mandraguna, di antaranya adalah Ki Harya Baka Wulung yang menjadi tokoh besar dan penasihat di Kadipaten Arisbaya."

"Aku merasa heran mengapa Mataram masih hendak menaklukkan Madura dan Surabaya? Bukankah daerah-daerah yan menentangnya sudah ditundukkan semua?" tanya Retno Susilo.

Suaminya segera memandangnya dengan tatapan mata tajam. "Diajeng, bukankah sudah sering kuceritakan kepadamu tentang cita-cita Gusti Sultan Agung? Mataram sama sekali bukan berniat menaklukkan untuk menguasai, melainkan mengajak semua daerah bersatu padu untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman bagi tanah air. Tentu saja yang tidak mau bersatu lalu ditundukkan. Tujuan Gusti Sultan Agung hanya agar seluruh Nusantara menjadi satu kesatuan yang utuh, karena hanya dengan begitu maka setiap daerah akan menjadi perisai yang kokoh untuk mencegah berkembangnya kekuasaan Kumpeni Belanda di Nusantara. Kalau ada daerah, terutama di pasisiran, yang tidak mau bersatu dengan Mataram kemudian terbujuk Kumpeni dan mau menerima Kumpeni Belanda, maka hal itu menjadi amat berbahaya bagi Mataram. Mengertikah engkau, diajeng?"

Retno Susilo mengangguk dan mengalah, tidak ingin berbantah dengan suaminya karena dia tahu bahwa suaminya adalah seorang yang amat setia kepada Kerajaan Mataram, seorang berjiwa pahlawan sejati yang mencinta tanati air dan siap untuk membelanya sampai mati sekalipun. Kalau tadi ia mengajukan rasa penasarannya terhadap Mataram, hal itu sebenarnya hanya menyembunyikan perasaan cemburunya kepada Sang Puteri Wandansari! Setelah puas bercakap-cakap, mereka lalu mengaso dan tidur, mempersiapkan diri untuk melaksanakan keinginan mereka memasuki sumur keramat dan melakukan pemeriksaan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Matahari telah naik tinggi ketika dua pasang suami isteri itu mendaki bukit di belakang perkampungan Jatikusumo. Tidak ada murid Jatikusumo lain yang diperkenankan ikut. Para murid ikut kaget dan kini melakukan penjagaan ketat setelah mereka semua mendengar keterangan Ki Cangak Awu bahwa semalam mereka semua telah menjadi korban aji penyirepan dan bahwa Ki Cangak Awu dan isterinya diserang oleh Satya yang tadinya dianggap telah tewas dalam sumur tua akan tetapi dapat diusir dari situ. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya yang cerah menerangi seluruh permukaan bukit itu.

Terangnya sinar matahari itu mengusir semua kesan seram dan ngeri dari hati Retno Susilo dan Pusposari. Memang tepat kata orang-orang tua bahwa setan tidak akan muncul di siang hari dan didongengkan bahwa bangsa setan demit iblis takut akan sinar matahari! Buktinya, di waktu siang hari, ketika matahari bersinar terang, perasaan takut terhadap setanpun lenyap dari hati orang. Karena munculnya di waktu malam gelap itulah maka setan kadang disebut kuasa kegelapan, yang samar-samar atau merupakan bayangan atau juga suara tanpa rupa.

Padahal sesungguhnya, setan demit iblis yang suka muncul di waktu malam itu hanya menakut-nakuti saja dan sama sekali tidak berbahaya. Yang amat berbahaya sekali adalah setan yang tidak tampak, setan yang bercokol dalam hati akal pikiran kita, yang menyalahgunakan nafsu-nafsu kita untuk mencengkeram dan menguasai kita, menyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan dengan menghalalkan segala cara sehingga tanpa kita sadari kita melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat.

Setan yang tak tampak itu menyeret kita kedalam dosa dengan mempergunakan nafsu-nafsu daya rendah kita sebagai umpan. Dan setan iblis yang bercokol dalam hati akal pikiran kita inilah yang sesungguhnya teramat berbahaya sekali bagi kita. Pertama-tama iblis yang bercokol dalam pikiran kita membayangkan kesenangan-kesenangan dengan segala kenikmatannya sehingga kita lupa diri, tertarik dan mengejar-ngejar.

Pengejaran kesenangan menjadi tujuan utama dan untuk mendapatkannya terkadang kita mempergunakan segala macam cara, menghalalkan segala cara. Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh materi, dalam hal ini intinya adalah uang karena segala materi dapat diperoleh dengan uang, menimbul, kan kejahatan-kejahatan seperti pencurian, perampokan, penipuan, korupsi, manipulasi, dan lain-lain.

Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh sekali sering menimbulkan tindak kejahatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya. Sekali lagi. Setan yang tak tampak inilah yang berbahaya karena dia muncul kapan saja dan dimana saja, tak perduli siang atau malam. Kita tidak usah takut terhadap setan yang muncul menakut-nakuti kita di waktu malam gelap, namun kita harus selalu waspada dan hati-hati terhadap godaan setan yang bercokol dalam benak kita sendiri.

Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak mungkin dapat mengusir setan yang bercokol dalam pikiran kita. Yang dapat mengusir setan agar meninggalkan kita hanyalah Kekuasaan Gusti Allah yang Maha Kuasa, Sang Maha Pencipta. Kalau kita selalu mendekatkan diri kepada Gusti Allah, batin kita selalu memuja dan memujiNya, dengan kepasrahan lahir batin, doa dalam batin yang terus-menerus tiada hentinya sehingga setiap pernapasan kita merupakan nyanyi pujaan kepada-Nya, sehingga setiap perbuatan kita merupakan kebaktian kepadaNya dan kita lakukan atas namaNya, maka Kekuasaan Gusti Allah akan selalu menyertai kita, selalu melindungi dan menuntun kita dan kalau sudah begitu, setan iblis sudah pasti melarikan diri ketakutan dan kekuasaannya atas diri kita hilang.

Akan tetapi, setan takkan pernah berhenti mengamati kita, bagaikan harimau mengintai calon mangsanya. Sedikit saja kita lengah, sebentar saja kita menjauhkan diri dari Gusti Allah sehingga hubungan kita dengan-Nya menjadi renggang, iblis akan segera menyergap masuk untuk menerkam dan menguasai hati akal pikiran kita, bagaikan harimau kelaparan menerkam mangsanya!


Dua pasang suami isteri itu telah tiba di tepi sumur tua. Ketika mereka menjenguk ke bawah, hanya tampak kegelapan menghitam.

"Ihh, gelap pekat di bawah sana!" seru Retno Susilo.

"Kita tidak tahu berapa dalamnya sumur ini. Jangan-jangan tidak ada dasarnya!" kata pula Pusposari yang seperti juga Retno Susilo, kembali merasa ngeri setelah menjenguk ke dalam sumur dan tidak dapat melihat apa-apa kecuali hitam gelap.

"Tak mungkin ada sumur tanpa dasar," kata Sutejo. "Kita coba dengan ini!" Dia melemparkan sebuah batu sebesar kepala orang ke dalam sumur dan mereka semua menghitung dalam hati dan menanti penuh perhatian yang mereka kerahkan pada pendengaran mereka.

"Bukk....!" Setelah lewat belasan detik, terdengar suara berdebuk.

"Nah, agaknya tidak terlalu dalam dan dasarnya tanah lunak. Biarlah aku akan turun dulu, kakang Cangak Awu. Turunkan tali itu," kata Sutejo.

"Jangan, adi Sutejo. Ini adalah tugas dan kewajabanku. Aku yang akan turun dulu. Setelah aku berada di dasar sumur dan keadaannya aman, aku akan memberi isyarat dengan tarikan pada tali dan andika baru menyusul turun," kata Cangak Awu dan suaranya yang tegas menunjukkan bahwa dia tidak mau dibantah.

"Biar aku yang menurunkan dan memegangi tali," kata Pusposari. Mereka memang sudah mempersiapkan dan membawa segulung tali yang kuat dari rumah. Kini Pusposari membuka gulungan dan membiarkan ujung tali menuruni sumur.

"Sebaiknya ujung yang lain diikatkan pada pohon itu!" kata Sutejo dan diapun membawa ujung lain dari tall itu ke pohon yang tumbuh tak jauh dari sumur, lalu mengikatkan ujung tali pada batang pohon.

"Sekarang turunlah, kakangmas," kata Pusposari sambil memegangi tali, dibantu oleh Retno Susilo. Ki Cangak Awu lalu memegang tali itu dan merayap turun memasuki sumur. Setelah kedua kakinya menginjak tanah dasar sumur, dia melihat bahwa di depan sana terdapat cahaya dan tampak ada terowongan yang menembus dasar sumur itu. Cepat dia memberi isyarat ke atas dengan menarik-narik tali.

Pusposari yang memegangi tali merasakan tarikan itu dan ia berkata girang, "Dia sudah sampai di dasar sumur dengan selamat dan memberi isyarat dengan tarikan pada tali ini."

"Kalau begitu, aku akan menyusulnya!" kata Sutejo. Dia lalu menuruni sumur rnelalui tali yang dipegang oleh Pusposari yang dibantu Retno Susilo.

Tak lama kemudian Sutejo telah berdiri di dasar sumur seperti Cangak Awu. "Adi Sutejo, lihat. Itu tentu kerangka Paman Kakek Resi Ekomolo dan kakang Priyadi!" Cangak Awu menunjuk ke depan. Bagian itu sudah tersentuh cahaya yang berada di depan sana.

Sutejo memandang dan melihat tulang tulang kerangka dua orang manusia bertumpuk di situ. Dia mengangguk, kemudian berkata. "Kakang Cangak Awu, apakah andika tidak melihat itu? Agaknya ada orang yang membuat jalan untuk keluar, dari sumur ini." Cangak Awu melihat ke arah dinding sumur yang ditunjuk Sutejo dan baru sekarang dia dapat melihat setelah pandang matanya terbiasa dengan cuaca yang remang-remang itu. Ada lubang-lubang pada dinding itu menuju ke atas, seperti tangga. Dengan memanjat dinding dengan bantuan lubang-lubang itu, seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh akan dapat dengan mudah merayap ke atas tanpa bantuan tali. Dari atas, lubang-lubang itu sama sekali tidak tampak karena gelap.

"Terowongan ini menuju ke tempat yang terang. Mari kita masuk dan memeriksa ke sana," kata Cangak Awu. Mereka lalu melangkah maju memasuki terowongan, melangkah agar jangan sampai menginjak tulang-tulang itu. Makin ke dalam cuaca semakin terang dan akhirnya mereka tiba disebuah ruangan yang terang. Kiranya sinar matahari masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu melalui celah-celah yang terdapat di antara batu-batu bukit.

Ruangan itu cukup luas dan Sutejo berkata, "Lihat, kakang Cangak Awu. Dinding-dinding ini dirusak orang!"

Cangak Awu melihat ke arah dinding dan benar saja. Dinding-dinding itu agaknya dirusak orang. Masih tampak sisa-sisa coretan huruf dan gambar yang terlewat sehingga belum terhapus. Agaknya tadinya ada coretan gambar dan huruf-huruf di atas dinding dan ada orang yang telah menghapus semua itu dengan cara merusak dengan bacokan-bacokan senjata tajam.

"Hemm, sekarang aku tahu. Si jahanam Satya itu tentu telah memasuki sumur ini dan menemukan pelajaran ilmu-ilmu peninggalan Paman Kakek Guru Ekomolo yang ditulis dan digambar pada dinding. Dia mempelajarinya, dan setelah menguasai semua ilmu itu, dia merusak dinding lalu keluar dan menjadi orang yang sakti mandraguna."

"Agaknya dugaanmu itu memang tepat, kakang Cangak Awu. Akan tetapi aku yakin bahwa sebelum mempelajari semua aji kesaktian yang hebat itu, si Satya itu tentu telah memiliki dasar kesaktian yang cukup. Tanpa dasar itu, tidak mungkin dia mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi melalui tulisan saja, apalagi hanya dalam waktu beberapa tahun."

Ki Cangak Awu mengangguk dan menghela napas panjang. "Itulah kelengahan dan kebodohanku yang pertama. Dia dapat mengelabui aku. Ketika aku mengujinya dengan menyerangnya, dia diam saja seolah tidak memiliki kepandaian silat apapun dan aku percaya. Kiranya dia hanya berpura-pura!"

"Sudahlah, kakang Cangak Awu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan. Aku berdua isteriku akan membantumu, akan kami cari keterangan pula tentang orang bernama Satya itu dan kalau kami bertemu dengan dia yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu, pasti akan kami hajar dia!"

"Adi Sutejo, akupun akan mengerahkan para murid Jatikusumo untuk mencari keterangan tentang anakmu yang diculik orang itu."

Dua orang gagah itu lalu meneliti semua bagian ruangan bawah tanah itu, akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang penting. Ketika kembali ke ternpat di mana dua kerangka manusia itu berada, Cangak Awu mengamati kerangka itu dan berkata, "Agaknya Uwa Kakek Guru Resi Ekomolo dan kakang Priyadi saling bunuh dan mati sampyuh. Lihat, ini tentu tengkorak kakek itu karena kedua tulang pahanya bekas remuk dan dia mencengkeram dengan kedua tangannya keleher kakang Priyadi. Tentu kakang Priyadi juga membunuh kakek itu dengan senjatanya, yaitu Keris Iiat Nogo yang kini berada di tangan Satya. Tentu pemuda jahat itu telah mengambil keris pusaka itu."

Setelah merasa yakin bahwa tidak terdapat apa-apa lagi yang perlu mereka ketahui, kedua orang itu lalu merayap naik keluar dari sumur tua itu. Ketika mereka tiba di atas, kedua orang isteri mereka menghujani mereka dengan pertanyaan. Cangak Awu lalu menceritakan segala yang ditemukannya di dasar sumur kepada Pusposari dan Retno Susilo.

Mendengar cerita kedua orang yang memasuki sumur tua itu, Pusposari menghela napas. Ia berkata kepada suaminya, "Hemm, tidak terduga sama sekali bahwa kakek bernama Resi Ekomolo yang dihukum ke dalam sumur karena kejahatannya itu, merupakan kutukan bagi perguruan Jatikusumo. Ilmu-ilmu sesatnya dulu menurun kepada Priyadi, setelah Priyadi dapat dibinasakan, kini mendadak muncul Satya itu." Cangak Awu juga menghela napas panjang...